PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS
DOSEN PENGAMPU:
Prof. Dr. Aceng Rahmat, M.Pd.
Oleh:
Kelompok V
Kelas PB C
1. Noprival (7317167804)
2. M. Nur Hakim (7317167500)
3. Marlina Bakri (7317167492)
Disusun untuk Memenuhi Tugas Presentasi Mata Kuliah
Isu-Isu Kritis dalam Pendidikan
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA
PROGRAM PASCASARJA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2017
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu hak setiap warga Negara, tanpa
ada pengecualian, yakni pendidikan tidak memandang suku, agama, ras,
maupun golongon. Setiap warga Negara mempunyai peranan yang
sangat strategis dalam pembangunan suatu bangsa. Karena pada
dasarnya pendidikan dapat dijadikan sebagai wadah bagi setiap individu
dalam proses belajar, melalui pengembangan kecerdasan intelektual (IQ),
kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ), serta potensi
yang ada dalam setiap individu. Karena dengan belajar setiap individu
dapat membentuk keperibadian dan kedewasaan.
Seperti yang tertuang dalam Undang-undang RI No 20 Tahun 2003
Pasal 3 menjelaskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bagsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.1 Dapat dipahami
bahwa setiap anak tentunya mempunyai hak untuk meningkatkan segala
potensi yang ada dalam dirinya melalui pendidikan.
1 Sisdiknas. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
2
Tujuan pendidikan yang mulia hendaknya dapat dijadikan cita-cita
pendidikan yang ideal. Dalam hal ini, diperlukan adanya kerjasama antara
stakeholder yang peduli akan pendidikan dengan pemerintah. Pemerintah
memegang peranan yang sangat penting dalam proses pengembangan
pendidikan, karena pemerintah sebagai aktor utama dalam pembuatan
kebijakan pendidikan. Kebijakan yang dimaksud yakni pendidikan yang
merata, bermutu, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. Salah satu
di antaranya, yang perlu mendapatkan perhatian tentang program sekolah
penyelengggara pendidikan inklusif.
Sebagaimana yang dikemukakan dalam Permendiknas No. 70
Tahun 2009 pasal 3 tentang pendidikan inklusif tertuang dalam ayat 1 dan
2, yaitu:2
(1) Setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional,
mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan atau bakat
istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada
satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuannya.
(2) Peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 terdiri atas: (a) tunannetra; (b) tunarungu; (c)
tunawicara; (d) tunagrahita; (e) tunadaksa; (f) tunalaras; (g)
berkesulitan belajar; (h) lamban belajar; (i) autis; (j) memiliki
gangguan motorik; (k) menjadi korban penyalahgunaan
narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya; (l) memiliki
kelainannya; dan (m) tunaganda.
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional dan Permendiknas No. 70 Tahun
2009 pasal 3 tentang pendidikan inklusif, tentunya dapat dijadikan acuan
bahwa anak berkebutuhan khusus pun layak untuk menimbah ilmu
2 Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang: Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang
Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan atau Bakat Istimewa.
3
pengetahuan, baik dalam lingkungan formal maupun non formal. Tidak
sedikit kita jumpai anak-anak yang lahir dengan kondisi yang kurang
normal, baik yang memiliki gangguan perkembangan fisik dan mentalnya.
Hasil sensus penduduk pada Tahun 2010, dari 237 juta penduduk
Indonesia, jumlah anak berkebutuhan khusus usia sekolah (5-18 Tahun)
sekitar 355.859 anak. Dari jumlah tersebut 74,6 persen belum
memperoleh layanan pendidikan. Jumlah SDLB dan SMP 516 sekolah,
sedangkan SD dan SMP swasta 2.113 sekolah.3 Dari data tersebut
tampak bahwa kesempatan anak berkebutuhan khusus atau penyandang
disabilitas menyelesaikan pendidikan relatif sedikit dibandingkan dengan
anak normal. Kesempatan yang kian kecil pada jenjang pendidikan tinggi.
Meski pemerintah telah menyelenggarakan pendidikan inklusif,
pada praktinya pendidikan inklusif masih cenderung dipaksakan. Banyak
sekolah inklusif tanpa guru khusus pendamping anak berkebutuhan
khusus. Selain itu, anak berkebutuhan khusus pun diberi ruang belajar
khusus dan tidak berbaur dengan siswa lain. Yang menjadi persoalan
yakni kebijakan pemerintah yang kerap dibuat tanpa melihat kebutuhan,
tetapi hanya didasarkan pada asumsi semata. Oleh karena itu,
penyandang disabilitas harus mampu menyampaikan suaranya sendiri.4
Dari uraian di atas, tentunya banyak hal yang dapat menimbulkan
suatu pertanyaan dalam masyarakat awaw, apakah anak-anak yang
memiliki kekurangan secara fisik maupun mental berhak mendapatkan
pelajaran? Jika anak-anak yang berkebutuhan khusus berhak
3 Kompas. Com, Jumlah SLB di Bawah Satu Persen: 23 Februari 2013. Diakses 18
Januari 2017. 4 Kompas. Com., op.cit., Diakses 18 Januari 2017.
4
mendapatkan pelajaran, lantas siapa yang bertanggungjawab terhadap
tercapainya pelaksanaan pendidikan mereka?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentunya dapat dijadikan acuan
bagi kita semua dalam mewujudkan pembuktian nyata bagi anak-anak
yang berkebutuhan khusus. Jawaban yang diharapkan bukan hanya
menjadi tugas pemerintah tetapi merupakan tugas bagi semua warga
Negara yang tentunya peduli terhadap kebutuhan pendidikan bagi anak-
anak yang memiliki keterbatasan dan kekurangan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, adapun yang menjadi
rumusan masalah dalam makalah ini dirumuskan dalam bentuk
pertanyaan, yaitu sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud anak berkebutuhan khusus?
2. Apa Undang-undang yang mengatur tentang anak berkebutuhan
khusus?
3. Bagaimana proses layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus?
4. Apa kendala dan persoalan pendidikan inklusif di Indonesia?
5. Bagaimana penyelenggaraan pendidikan anak berkebutuhan khusus di
Negara maju?
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Anak Berkebutuhan khusus
1. Definisi Anak Berkebutuhan khusus
Wardi mengemukakan bahwa anak berkebutuhan khusus (Heward)
merupakan anak yang memiliki karateristik khusus dan berbeda dengan
anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan ketidakmampuan mental
emosi atau fisik. Lebih lanjut pengelompokan ABK antara lain: tunanetra,
tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan
berperilaku, anak dengan gangguan kesehatan. Istilah lain dari anak
berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa, anak cacat dan juga anak
cerdas istimewa dan bakat istimewa (CIBI).5
Pendapat lain dikemukakan oleh Kosasih bahwa anak
berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai anak yang lambat atau
mengalami gangguan dan tidak akan pernah berhasil di sekolah
sebagaimana anak-anak pada umumnya. Selain itu, anak berkebutuhan
khusus juga dapat diartikan sebagai anak yang mengalami gangguan baik
secara fisik, mental, intelegensi, dan emosi sehingga membutuhkan
pembelajaran secara khusus.6
Berbagai istilah lain yang telah dipergunakan sebagai variasi dari
kebutuhan khusus, seperti disability yang menampilkan aktivitas sesuai
dengan aturan atau masih dalam batas normal, impraiment yang berarti
5 Wardi, Pendidikan Inklusif (Jakarta: Baduose Media, 2012), h. 25.
6 E. Kosasih, Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus (Bandung: Yrama
Widya, 2012), h. 1
6
ketidaknormalan dalam hal psikologis dan biasya tampak pada level
organ, dan handicap yang berarti ketidakberuntungan individu yang
membatasi atau menghambat pemenuhan peran yang normal pada
individu.7
2. Jenis-jenis Anak Berkebutuhan Khusus
Menurut Wardi anak berkebutuhan khusus dikelompokkan menjadi
menjadi 6 jenis, yaitu: 1) tunanetra, 2) tunarungu, 3) tunagrahita, 4)
tunadaksa, 5) tunalaras, dan 6) kesulitan belajar. Berikut uraian tiap jenis
anak berkebutuhan khusus.8
a. Tunanetra
Tunanetra dapat dikatakan sebagai individu yang memiliki
hambatan dalam penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan ke dalam
dua golongan yaitu: buta total (blind) dan low vision. Karena tunanetra
memiliki keterbatasan dalam indra penglihatan maka proses pembelajaran
menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra
pendengaran. Oleh karena itu, prinsip yang harus diperhatikan dalam
memberikan pengajaran dalam individu ialah media yang digunakan harus
bersifat taktual dan bersuara. Sebagi contoh pada penggunaan tulisan
braille, gambar timbul, benda model, dan benda nyata. Sedangkan media
yang bersuara adalah tape recorder dan peranti lunak JAWS.
Dalam membantu anak tunanetra beraktivitas di sekolah luar biasa
mereka belajar orientasi dan mobilitas. Orientasi dan mobilitas diantaranya
mempelajari bagaimana tunanetra mengetahui tempat dan arah serta
7 Ibid., h. 2.
8 Wardi, loc. cit.
7
bagaimana menggunakan tongkat putih tongkat khusus tunanetra yang
terbuat dari alumunium).
b. Tunarungu
Jenis Anak berkebutuhan khusus yang kedua yakni tunarungu.
Tunarungu merupakan anak yang memiliki kendala dalam proses
pendengaran, baik permanen maupun tidak permanen. Klasifikasi
tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran dikategorikan
menjadi lima jenis, yaitu sebagai berikut:
1) Gangguan pendengaran sangat ringan ( 27-40dB);
2) Gangguan pendengaran ringan (41-55dB);
3) Gangguan pendengaran sedang (56-70dB);
4) Gangguan pendengaran berat (71-90dB); dan
5) Gangguan pendengaran ekstrem/tuli di atas 91 dB).
Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu
memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut
tunawicara. Cara berkomunikasi dengan individu menggunakan bahasa
insyarat untuk abjad jari tengah dipatenkan cecara internasional
sedangakan untuk isyarat bahasa berbeda beda disetiap Negara.
Saat ini di beberapa sekolah dikembangkan komunikasi total yaitu
cara berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat,
dan bahasa tubuh. Individu tuna rungu cenderung kesulitan dalam
memahami konsep dari sesuatu yang abstrak.
8
c. Tunagrahita
Tunagrahita merupakan anak yang memiliki intelegensi yang
signifikan berada di bawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan
dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan
klasifikasi tunagrahita berdasarkan tingkat IQ. Adapun klasifikasi
tunagrahita, dikelompokkan menjadi 4 jenis, yaitu sebagai berikut:
1) Tunagrahita ringan (IQ : 51-70)
2) Tunagrahita sedang (IQ :36-51)
3) Tuna grahita berat ( IQ : 20-35 )
4) Tunagrahita sangat berat ( IQ : 20)
Pembelajaran bagi individu tunagrahita dititikberatkan pada
kemampuan bina diri dan sosialisasi.
d. Tunadaksa
Tunadaksa merupakan anak yang memiliki gangguan gerak yang
sisebabkan oleh kelainan neuro-muscular dan strukrur tulang yang bersifat
bawaan, sakit atau akibat kecelakaan termasuk celebral palsy, amputasi,
polio, dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa masih dikategorikan
ringan karena hanya memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik
tetapi masih dapat ditingkatkan melalui terapi, gangguan sedang yaitu
memiliki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan kordinasi
sensorik, sedangkan gangguan berat yaitu memiliki keterbatasan total
dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.
9
e. Tunalaras
Tunalaras merupakan anak yang mengalami hambatan dalam
mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Individu tunalaras pada biasanya
menunjukkan perilaku penyimpangan yang tidak sesuai dengan norma
dan aturan yang berlaku di sekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan
karena faktor internal dan eksternal, yaitu pengaruh dari lingkungan
sekitar.
B. Undang-undang Anak Berkebutuhan Khusus
Pendidikan anak berkebutuhan khusus telah dirumuskan dalam UU
No. 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan penyelenggaraan pendidikan dan
Permendiknas No. 70 Tahun 2009. Undang-undang tersebut tertuang
dalam beberapa pasal, yaitu sebagai berikut.
1. PP No. 17 Tahun 2010
Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan, tertuang dalam beberapa pasal, yang dikutip oleh Wardi,
yaitu:9
a. Pasal 127
Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang
memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena
kelainan fisik, emosi, mental, sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa.
9 Wardi, op. cit., h. 255-263.
10
b. Pasal 129
1) Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan berfungsi
memberirikan pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang
memiliki kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena
kelainan fisik, emosional, mental intelektual atau sosial.
2) Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didk secara optimal sesuai
kemampuannya.
3) Peserta dididk berkelainan terdiri atas peserta didik yang:
a) tunanetra;
b) tunarungu;
c) tunawicara;
d) tunagrahita;
e) tunadaksa;
f) berkesulitan belajar;
g) lamban belajar;
h) autis;
i) memiliki gangguan motorik;
j) menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan
zat adiktif lain; dan
k) memiliki kelainan lain;
4) kelainan yang dimaksud pada ayat 3 dapat juga berwujud
gabungan dari dua atau lebih jenis kelaian yang di sebut
tunaganda.
11
c. Pasal 130
1) Pendidikan khusus bagi peserta didik dapat si selenggarakan pada
semua jalur dan jenis pendidikan pada jenjang pendidkan dasar
dan menengah
2) Penyelenggaraan pendidikan khusus dapat dilakukan melalui
satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum satuan
pendidikan kejuruan/ atau satuan pendidikan keagamaan.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai program pendidikan khusus pada
satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum satuan
pendidikan keagamaan sebagaimana yang diatur dalam ayat (2)
diatur dengan peraturan menteri.
d. Pasal 131
1) Pemerintah propinsi menyelenggarakan paling sedikit satu satuan
pendidikan khusus untuk setiap jenis kelainan dan jenjang
pendidikan sebagai model sesuai denngan kebutuhan peseserta
didik.
2) Pemerintah kabupaten kota menjamin terselenggaranya pendidikan
khusus pada satuan pendidikan umum dan satuan pendidikan
kejuruan sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
3) Penjaminan terselenggaranya penjaminan khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat 2 dilakukan dengan menetapkan paling sedikit
atu satuan pendidikan umum satu satuan pendidikan kejuruan yang
memberikan pendidikan khusus.
12
4) Dalam menjamin terselenggaranya pendidikan khusus sebagai
mana yang dimaksud pada ayat 3 pemerintah kabupaten kota
menyediakan sumberdaya pendidkan yang berkaitan dengan
kebutuhan peserta didik berkelainan.
5) Perguruan tinggi wajib menyediakan akses bagi mahasiswa
berkelainan.
6) Pemerintah propinsi membantu tersedianya sumberdaya
pendidikan yang berkaitan dengan peserta didik berkelainan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat 4.
7) Pemerintah membantu tersedianya sumberdaya pendidikan yang
berkaitan dengan kebutuhan peserta didik berkelainan pada
pendidikan khusus sebagai mana yang dimaksud pada ayat 1, ayat
4, ayat 5 dan ayat 6 pada semua jalur dan jenjang jenis
pendidikan.
e. Pasal 132
Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelaian pada jalur formal
diselenggarakan melalui satuan pendidikan anak usia dini, satuan
pendidikan dasar, dan satuan pendidikan menengah.
f. Pasal 133
1) Satuan pendidikan khusus pormal bagi peserta didik berkelaian
untuk anak usia dini berbentuk taman kanak-kanak luar biasa atau
sebutan lain untuk satuan pendidikan yang sejenis dan sederajat.
2) Satuan pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan pada
jenjang pendidikan dasar terdiri atas:
13
a) Sekolah dasar luar biasa atau sebutan lain untuk satuan
pendidikan yang sejenis dan sederajat dan
b) Sekolah menengah pertama luar biasa atau sebutan lain untuk
satuan pendidikan yang sejenis dan sederajat.
3) Satuan pendidikan khusus bagi peserta didik yang berkelaian pada
jenjang pendidikan menengah adalah sekolah menegah atas luar
biasa, sekolah menengah kejuruan luar biasa atau sebutan lain
untuk satuan pendidikan sejenis dan sederajat.
4) Penyelenggara satuan pendidikan khusus dapat dilaksanakan
secara integrasi antar jenjang pendidikan dan antar jenis kelainan.
5) Pendidikan khusus bagai peserta didik berkelainan dapat
diselenggarakan oleh satuan pendidikan pada jalur pendidikan
nonformal.
2. Permendiknas No. 70 Tahun 2009
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang pendidikan inklusif
bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/bakat istimewa,
yakni dikemukakan pada pasal 1 sampai pasal 15. Adapun salah satu
pasal yang memberikan kesempatan pada peserta didik dalam menempuh
pendidikan, yakni tertuang pada pasal 1 yang berbunyi “Dalam peraturan
ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada
semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau
14
pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama
dengan peserta didik pada umumnya”.10
Berdasarkan pasal di atas, yang telah ditetapkan oleh
Permendiknas, tentunya memberikan kita pemahaman bahwa, semua
anak di Indonesia layak memperoleh penddikan tanpa terkecuali. Anak
berkebutuhan khusus, harus mendapatkan perhatian penuh, bukan hanya
pemerintah atau lembaga yang berkecimpun di dunia pendidikan, tetapi
semua warga Indonesia wajib memberikan perhatian. Hal ini dimaksudkan
agar anak yang memiliki keterbelakangan atau kebutuhan khusus tidak
merasa tersisih, sehingga mereka juga mampu memberikan kontribusi
yang lebih kepada bangsa dan Negara.
C. Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus merupakan suatu
layanan yang diberikan oleh pendidik yang ahli dibidangnya, misalnya
guru yang memberikan pengetahuan kepada peserta didiknya yang
berkebutuhan khusus. Anak yang berkebutuhan khusus harus
memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan permsalahan
pembelajaran yang dihadapai dan tentunya harus sesuai dengan
kebutuhan yang dimiliki oleh anak yang mengalami kebutuhan khusus.
Beberapa hal yang berkaitan dengan layanan pendidikan anak
berkebutuhan khusus ditinjau dari layanan akademik, meliputi: 1) peserta
didik, 2) kurikulum, 3) sarana dan prasarana, dan 4) pendidik.
10
Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang: Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan atau Bakat Istimewa.
15
1. Peserta Didik
Hal yang menjadi sasaran pendidikan anak berkebutuhan khusus
yakni peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial,
atau memiliki atau memiliki potensi kecerdasan atau bakat peserta didik.
Pemberian layanan pada peserta didik mencakup dua hal, yakni
identifikasi dan assesmen. Idintifikasi dalam hal ini dimaksudkan terhadap
pemahaman awal bahwa di antara siswa yang mengalami kesulitan dalam
proses pembelajaran disebabkan oleh kelainan dan kecatatan11. Melalui
identifikasi terhadap peserta didik diharapkan dapat diketahui apakah
peserta didik tersebut mengalami kebutuhan khusus atau tidak.
Selanjutnya pada tahap assesmen yakni proses yang dilakukan dengan
mengumpulkan informasi sebelum disusun program pembelajaran pada
peserta didik yang memiliki kelainan khusus. Pada dasarnya assesmen ini
dilakukan untuk mengetahui keunggulan dan hambatan-hambatan yang
dialami oleh peserta didik, serta program yang disusun sesuai dengan
kebutuhan belajar siswa.12
2. Kurikulum
Dedy Kustawan mengemukakan bahwa dalam menerapkan
pendidikan inklusif pada satuan pendidikan diperlukan penyusunan
kurikulum yang bersifat fleksibel dengan menyesuaikan pada komponen
yang mencakup pada tujuan, materi, proses, sampai pada evaluasi.
11
Parwoto, Strategi Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Direktorat Ketenagaan, 2007), h. 44. 12
Budiyanto, Modul Pelatihan Pendidikan Inklusif (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Direktoral Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar, 2012), h. 19.
16
Pengembangan kurikulum bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus
dikenal dengan model eskalasi, duplikasi, modifikasi, substitusi, dan dan
omisi.13
3. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang diperlukan pada pendidikan anak
berkebutuhan khusus, hampir sama halnya yang digunakan di sekolah-
sekolah regular pada umumnya. Sebagai suatu contoh prasarana
pembangunan pintu kelas atau pintu WC, hendaknya disesuaikan jalan
yang bisa dilalui kursi roda. Demikian juga, apabila bagunan bertingkat
sebaiknya ada jalanan yang bisa dilalui kursi roda, atau jika dana sekolah
sudah memungkinkan sebaiknya menyediakan lift untuk bangunan
bertingkat.14 Sarana dan prasarana pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus tentunya harus disesuaikan dengan keamanan, kegunaan,
kemudahan, dan kemandirian, sehingga layanan yang diberikan sekolah
terhadap anak berkebutuhan khusus bisa maksimal.
4. Pendidik
Sebaiknya guru atau pendidik yang mengajar pada sekolah
berkebutuhan khusus harus menguasai bidang ilmunya. Dedy Kustawan
mengemukakan bahwa guru pembimbing yang dimaksud yakni memiliki
kualifikasi akademik dan kompetensi pendidikan yang diberikan tugas baik
oleh kepala sekolah, kepala dinas, maupun kepala pusat pendidkan,
13
Dedy Kustawan, Pendidikan Inklusif dan Upaya Implementasinya, (Jakarta: PT Luxima Metro Media 2012), h. 58-59. 14
Tarmansyah, Inklusif, Pendidikan untuk semua (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Direktorat Ketenagaan. 2007), h. 169.
17
dengan harapan memiliki latar belakang pendidikan luar biasa, atau sudah
pernah melakukan pelatihan tentang pendidikan luar biasa.15
D. Problematika Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus di
Indonesia
1. Banyak Anak yang Belum Bisa Mengenyam Pendidikan
Di Indonesia ada 10 juta anak jalanan ditaksir oleh Departemen
sosial. Diantaranya 1,6 juta anak berkebutuhan khusus.16 Berdasarkan
data dari direktorat jenderal pendidikan dasar kementerian pendidikan dan
kebudayaan, sekitar 184.000 anak berkebutuhan khusus di Indonesia
belum menikmati pendidikan layaknya anak dengan kondisi mental dan
fisik normal. Tentunya angka ini terus bertambah seiring bertambahnya
jumlah penduduk hingga hari ini.17
a. Minimnya Fasilitas Anak Berkebutuhan Khusus
Pada dasarnya banyak orang tua yang ingin menyekolahkan anak
di sekolah luar biasa. Namun, keterbatasan jumlah sekolah tersebut
sehingga beberapa siswa yang tinggal di daerah tetentu relatif jauh untuk
menjangkau sekolah. Pada dasarnya anak-anak berkebutuhan khusus
tidak harus sekolah di sekolah luar biasa. Ada beberapa alternatif selain
SLB. Menurut Suyanto & Mudjito A.K. (20012: 5), ada tiga model
pendidikan untuk menggabungkan anak berkebutuhan khusus dengan
anak normal dalam satu lingkungan belajar, yakni:
15
Dedy Kustawan, op. cit., h. 74 16
Mudjito, Elfindri, Harizal, & Rimilton Riduan, Pendidikan Layanan khusus: Model-model dan Implementasi (Jakarta: Baduose Media, 2014) h. 26. 17
http://www.antaranews.com/berita/395235/184-ribu-anak-berkebutuhan-khusus-belum-nikmati-pendidikan (diakses pada tanggal 19 Januari 2017).
18
1) Mainstream, adalah sistem pendidikan yang menempatkan anak-
anak berkebutuhan khusus di sekolah umum, mengikuti kurikulum
akademis yang berlaku, dan guru juga tidak harus melakukan
adaptasi kurikulum. Diikuti oleh anak-anak yang sakit namun tidak
berdampak pada kemampuan kognisinya.
2) Integrasi, adalah menempatkan anak-anak berkebutuhan khusus
dalam kelas anak-anak normal, dimana mereka mengikuti
pelajaran-pelajaran yang dapat mereka ikuti dari gurunya.
Sedangkan untuk mata pelajaran akademis lainnya anak-anak
berkebutuhan khusus itu memperoleh pengganti di kelas yang
berbeda dan terpisah. Penempatan integrasi itu tidak sama dengan
integrasi pengajaran dan itegrasi sosial, karena tergantung pada
dukungan yang diberikan sekolah.
3) Inklusi, adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang
memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam
lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik
pada umumnya (Permendiknas No. 70 tahun 2009).18
Namun demikian, sekolah-sekolah umum belum begitu ramah
terhadap anak berkebutuhan khusus. Contohnya di Indonesia sangat
jarang kita lihat sekolah negeri yang menyediakan fasilitas yang ramah
untuk siswa yang menggunkan kursi roda.
18
Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang: Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan atau Bakat Istimewa.
19
b. Minimnya Tenaga Pengajar di SLB
Minimnya guru untuk anak berkebuthan khusus merupakan salah
satu masalah utama yang dihadapi oleh berbagai daerah di Indonesia.
menyikapi situasi seperti ini banyak sekolah luar biasa yang merekrut guru
yang bukan mempunyai latar belakang Pendidikan luar biasa.19
E. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus di Luar Negeri
Salah satu Negara maju yang dijadikan contoh pendidikan anak
berkebutuhan yakni Finlandia. Angka pendidikan berkebutuhan khusus di
Finlandia relatif tinggi dengan presentase 30% siswa wajib belajar
menerima bantuan tambahan. Sekitar 8% siswa belajar pada pendidikan
anak berkebutuhan khsusu penuh sedangkan sisanya 22% lainnya
bersifat part-time special education.
1. Identifikasi Dini dengan Langsung Memberikan Bantuan
Finlandia menekankan pada identifikasi dini dan memberikan
bantuan, hal ini dikarenakan tingginya angka anak berkebutuhan khusus
disana. Fokus pada identifikasi dini dimulai jauh sebelum usia sekolah,
dengan jaringan klinik kesehatan anak yang menyediakan penilaian rutin
terhadap kondisi perkembangan sosial, fisik, dan mental. Tim yang terdiri
dari berbagai disiplin ilmu yang melakukan identifikasi diantaranya
perawat, dokter, penterapi berbicara, psikolog.
19
http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/14/09/23/nccmyv-indonesia-kurang-guru-slb ( diakses pada tanggal 19 Januari 2017).
20
2. Komitment Terhadap Inklusi
Finlandia sangat komitment terhadap prinsip inklusi terhadap
pendidikan anak berkebutuhan khusus, dengan menekankan pada
diagnosa dini dan melakukan terapi untuk memungkinkan siswa bisa
beradaptasi dengan sekolah umum. Artinya pemerintah semaksimal
mungkin untuk menyatukan antara siswa yang normal dan yang
berkebutuhan khusus. Bilamana hal ini benar-benar tidak bisa berjalan,
maka siswa baru dibawa ke sekolah anak berkebutuhan khusus.
3. Kejasama Langsung dari Berbagai Pihak dengan Dikomandoi
Guru
Identifikasi pendidikan anak berkebuthan khusus tidak berdasarkan
hasil diagnosa. Namun, orang tua dan guru menentukan apakah anak
mereka membutuhkan bantuan tambahan. Tim yang bertanggungjawab
untuk perencanaan pendidikan menetapkan apa yang dibutuhkan orang
tua dan siswa, setelah berkonsultasi dengan guru pendidikan
berkebutuhan khusus dan pertimbangan psikolog.
21
BAB III
PENUTUP
Pendidikan adalah hak semua warga negara Indonesia, tanpa
terkecuali anak yang berkebutuhan khusus. Peran semua pihak sangat
dibutuhkan untuk mensukseskan pendidikan tersebut. Selaku pemerintah
wajib memperhatikan rasio guru, anggaran, fasilitas, serta pendukung
lainnya yang besumber dari pemerintah. Sementara bagi orang tua
hendaknya selalu mendampingi anak yang berkebutuhan khusus agar
pelaksanaan pendidikan optimal kepada anak. Karena bagaimanapun
secara emosional anak lebih nyaman dan lebih dekat dengan orang tua
dan orang tua juga mengetahui banyak apa yang dibutuhkan anak dalam
hal pendidikan. Kemudian bagi masyarakat untuk tidak memandang anak
berkebutuhan khusus adalah kelompok marjinal akan tetapi membantu
telaksananya proses pendidikan bagi mereka dengan baik. Apabila anak
yang diabilitas bersekolah di sekolah umum (pendidikan inklusif) agar
siswa lainnya mengerti tentang keadaan temannya dan membantu proses
belajar dikelas.
Dengan dukungan berbagai pihak diharapkan potensi yang dimiliki
anak berkebutuhan khusus bisa dikembangkan secara maksimal. Karena
mereka memiliki kemampuan yang sama dengan masyarakat umumnya.
Sejarah mencatat bahwa banyak ilmuan-ilmuan merupakan anak yang
berkebuthan khusus, salah satunya Albert Enstein bahwa ia menderita
sidrom perger (sebuah kondisi yang berhubungan dengan autisme).
Namun karena diasah dan diarahkan ke teknologi ia bisa menjadi ilmuan