LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA A
MENINGKATKAN KERJASAMA BILATERAL INDONESIA-
AUSTRALIA BIDANG PERDAGANGAN DAN LITBANG AGRARIA
GUNA MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN KEDUA
NEGARA
DALAM RANGKA KEMANDIRIAN KEDUA BANGSA
Oleh :
JOHN L. GOULD, BProfStud, MA BRIGJEN (Australia) NRP.326678
KERTAS KARYA PERORANGAN (TASKAP) PROGRAM PENDIDIKAN REGULER ANGKATAN XLVIII
LEMHANNAS RI TAHUN 2012
i
KATA PENGANTAR
Atas berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
kekuatan dan kesehatan kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan
penyusunan makalah Taskap ini dengan judul: “MENINGKATKAN
KERJASAMA BILATERAL INDONESIA-AUSTRALIA BIDANG
PERDAGANGAN DAN LITBANG AGRARIA GUNA MEMPERKUAT
KETAHANAN PANGAN KEDUA NEGARA DALAM RANGKA
KEMANDIRIAN KEDUA BANGSA”.
Makalah ini adalah salah satu persyaratan akademis bagi Peserta
Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) XLVIII Tahun 2012 di
Lemhannas RI. Berkat dorongan, perhatian dan kesabaran dari Tutor
Taskap Mayor Jenderal (TNI) Endang Hairudin, ST, MM, serta masukan dari
rekan-rekan peserta PPRA XLVIII, makalah ini dapat diselesaikan kurang-
lebih tepat pada waktunya. Saya ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu.
Saya sangat menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna,
lagipula dirumuskan dalam jangka waktu yang terbatas oleh seorang
peserta mancanegara, dan masih banyak hal yang memerlukan perbaikan
untuk penyempurnaan. Oleh karena itu koreksi serta saran-saran konstruktif
dari semua pihak akan selalu saya terima dengan sangat senang hati.
Menyadari kekurangan-kekurangan tersebut, maka harapan besar
saya adalah makalah ini akan dapat menjadi salah satu referensi tentang
hubungan bilateral Indonesia dan Australia dan bagaimana cara untuk
meningkatkan kerjasama kita supaya kinerjanya lebih baik dan, akibatnya,
kemakmuran serta kemandirian kedua negara kita turut makin kuat.
Jakarta, November 2012
Penulis
JOHN L. GOULD, BProfStud, MA
BRIGJEN (Australia) NRP.326678
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
1. Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : JOHN L. GOULD Pangkat : BRIGJEN (Australia)
Jabatan : Peserta Lemhannas RI PPRA XLVIII (No Urut 39)
Instansi : Angkatan Darat Australia
Alamat : Defence Section, Kedubes Australia di Jakarta Jl. H.R. Rasuna Said, Kav 15-16 Jakarta Selatan, 12940
Sebagai peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) XLVIII
tahun 2012 menyatakan dengan sebenarnya bahwa :
a. Kertas Karya Perorangan (Taskap) yang saya tulis adalah asli.
b. Apabila ternyata sebagian tulisan Taskap ini terbukti tidak asli
atau plagiasi, maka saya bersedia untuk dibatalkan.
2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan
seperlunya.
Jakarta, November 2012
Penulis
JOHN L. GOULD, BProfStud, MA
BRIGJEN (Australia) NRP.326678
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................. i PERNYATAAN KEASLIAN ....................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
BAB I. PENDAHULUAN 1. Umum ............................................................................ 1 2. Maksud dan Tujuan ....................................................... 5
3. Ruang Lingkup dan Tata Urut ........................................ 6 4. Metode dan Pendekatan ................................................ 8
5. Pengertian-pengertian ………........................................ 8
BAB II. LANDASAN PEMIKIRAN 6. Umum ............................................................................ 11 7. Paradigma Nasional (Indonesia, Australia) ................... 11
8. Peraturan Per-UU-an yang Terkait................................. 18 9. Landasan Teori .............................................................. 24 10. Tinjauan Kepustakaan……………………...…..………… 26
BAB III. KONDISI KERJASAMA BILATERAL BIDANG PERDAGANGAN DAN LITBANG AGRARIA SAAT INI
11. Umum ........................................................................... 29
12. Implementasi Kerjasama Bilateral Bidang Perdagangan dan Litbang Agraria saat ini ………………….. 32
13. Implikasi Kerjasama Bilateral Bidang Perdagangan dan Litbang Agraria Terhadap Ketahanan Pangan Dan Kemandirian Bangsa…….….............................................….. 37
14. Permasalahan yang Dihadapi ....................................... 39
BAB IV. PENGARUH PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS
15. Umum ........................................................................... 46 16. Perkembangan Lingkungan .......................................... 47
17. Perkembangan Regional .............................................. 50
iv
18. Perkembangan Nasional (Indonesia, Australia) ........... 53
19. Peluang dan Kendala ................................................... 60
BAB V. KONDISI KERJASAMA BILATERAL BIDANG PERDAGANGAN DAN LITBANG AGRARIA YANG DIHARAPKAN
20. Umum ........................................................................... 64
21. Kondisi Kerjasama Bilateral Bidang Perdagangan dan Litbang Agraria yang diharapkan ……………………..………. 66
22. Kontribusi Kerjasama Bilateral Bidang Perdagangan dan Litbang Agraria Terhadap Ketahanan Pangan dan Kemandirian Bangsa ............................................................. 70
23. Indikator Keberhasilan Kerjasama Bilateral Bidang Perdagangan dan Litbang Agraria ……………………............ 73
BAB VI. KONSEPSI PENINGKATAN KERJASAMA BILATERAL RI-AUS BIDANG PERDAGANGAN DAN LITBANG AGRARIA AGAR MEMENUHI TARAF COMPREHENSIVE STRATEGIC PARTNERSHIP (CSP)
24. Umum ........................................................................... 75 25. Kebijakan ...................................................................... 76
26. Strategi ......................................................................... 77 27. Upaya ........................................................................... 81
BAB VII. PENUTUP 28. Kesimpulan ................................................................... 93
29. Saran ............................................................................ 96
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ DP 1
DAFTAR LAMPIRAN : 1. Alur Pikir 2. Pola Pikir 3. Gambaran Ekonomi, Indonesia dan Australia (fact Sheets)
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Umum
Indonesia dan Australia merupakan negara tetangga yang unik,
dengan sistem politik, ekonomi, agama, ideologi nasional, pengalaman
sejarah serta identitas bangsa yang sangat berbeda, bahkan kadang-
kadang bertentangan, sehingga pernah dipantau “tidak ada dua negara
tetangga di dunia ini yang lebih berbeda daripada Australia dan Indonesia”
“And that message is very clear and simple: Australia and Indonesia have a great future together. We are not just neighbors, we are not just friends. We are strategic partners. We are equal stake-holders in a common future, with much to gain if we get this relationship right, and much to lose if we get it wrong.” (…) The prospects of Australia and Indonesia are indeed bright and exciting. But these impressive [economic] statistics need to be reflected in our Partnership. (… ) we need to do better to harness these economic benefits. We need to encourage our private sectors to do more business with one another.
Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI Pidato kepada Parlemen Australia, 10 Mar 2010
[http://www.presidenri.go.id/index.php/eng/pidato/2010/03/10/1353.html, diakses 27 Agu 12]
"We want to work with Indonesia to help solve the pressures associated with food shortages in our region. In Australia, I have issued a fresh challenge: that with greater investment in our agriculture sector, we could be the food bowl for Asia. And I acknowledge that Indonesia has also announced an intention to boost its own food production to meet its own needs and also to export. Together, there is scope for Australia and Indonesia to form a mutually beneficial trading supply chain that can provide consumers in the region and around the world the access and choice they need. This means capacity-building in both countries. It means lifting the ability of Indonesia to produce its own food for its own people and to have it done by people producing that food and earning the incomes that go along with that. And that’s our commitment to Indonesia as a partner; as a friend."
Craig Emerson MP, Australian Minister for Trade and Competitiveness Pidato kepada Jakarta Foreign Correspondents' Club, 22 Mar 2012
[http://trademinister.gov.au/speeches/2012/ce_sp_120322.html, diakses 8 Agu 12]
2
oleh mantan Menlu Australia Gareth Evans. 1 Kendati agak berbeda,
sebagai negara-negara tetangga, tentu saja Indonesia dan Australia pantas
berusaha agar menjalin kemudian menjaga sebuah hubungan yang
konstruktif, terbuka, bersifat saling menolong, menghormati dan saling
memahami kepentingan satu sama lain. Kurang lebih deskripsi tersebut
cukup akurat tentang sifat hubungan kedua negara kita tingkat makro
belakangan ini—yakni mendekati konsep Strategic Partners—walaupun
sejarah mencatat antara cukup banyak interaksi yang positif tetap ada
momen-momen tertentu juga dimana hubungan kita menghadapi tantangan
tertentu (contohnya, krisis Timor Timur tahun 1999, kasus pelanggaran
wilayah kedaulatan RI oleh pilot dan penumpang pesawat ringan di Merauke
tahun 2008-092, kesulitan penanganan para imigran gelap / pencari suaka
kasus Ocean Viking tahun 20093, dan kasus Live Cattle 2011 dimana
pemerintah Australia secara sepihak menghentikan pengeksporan sapi
akibat lobi domestik anti kekejaman terhadap hewan). Syukurlah juga, para
pemimpin politik di Indonesia dan Australia belakangan ini agak positif dan
aktif terhadap perlunya peningkatan kualitas dan kuantitas hubungan
bilateral kita—dalam semua bidang termasuk urusan kerjasama ekonomi,
yang mencakup urusan Ketahanan Pangan.
Ketahanan Pangan tersebut merupakan isu yang makin sentral dan
penting bagi setiap bangsa dan negara, dan kini diakui kebanyakan pihak
maupun organisasi internasional sebagai salah satu komponen kunci
terhadap Ketahanan Nasional dan Human Security (selain keamanan-
pertahanan umum, ketahanan energi dll). Lagipula dengan adanya krisis
pangan dunia 'Price Shock' pada tahun 2006-08 di mana ongkos-ongkos
komoditi pangan sedunia meloncat drastis akibat beberapa penyebab
termasuk cuaca kering ekstrim dan kenaikan ongkos minyak4, maka tidak
terherankan bahwa PBB (khususnya Food and Agriculture Organization-nya,
FAO), Uni Eropa, Non-Aligned Movement (NAM), OECD, APEC, G20 serta
1 Dalam bahasa Inggeris, 'No two neighbours anywhere in the world are as comprehensively unalike as Australia and Indonesia'. Dalam Evans, G. dan Grant, B., Australia's Foreign Relations In the World of the 1990s, Melbourne University Press, 1991, hlm.184 2 Lihat artikel di Jakarta Globe, 'Merauke Five' back in Australia After Nine-month Legal Battle for Freedom, 24 Juni 2009 [http://www.thejakartaglobe.com/home/merauke-five-back-in-australia-after-nine-month-legal-battle-for-freedom/314245, diakses 15 Okt 2012]. 3 http://en.wikipedia.org/wiki/MV_Oceanic_Viking [diakses 16 Okt 2012]. 4 http://en.wikipedia.org/wiki/2007–2008_world_food_price_crisis [diakses 15 Okt 2012].
3
kebanyakan lembaga internasional terdepan yang lain telah mengeluarkan
pernyataan, kebijakan serta perhatian banyak terhadap urusan Ketahanan
Pangan.
Republik Indonesia sebagai negara agraria dan maritim dengan
budaya pertanian yang mendalam serta iklim dan SDA yang melimpah
sedang menyadari tantangan Ketahanan Pangan ini, dilihat dengan data
resmi yang mencatat adanya 13% daripada jumlah bangsa yang tergolong
'sangat rawan pangan'5, dan dengan ketentuan prioritas tinggi yang Bapak
Presiden sedang memberikan kepada tantangan Ketahanan Pangan
dengan dicanangkannya sebagai Prioritas Pembangunan Nasional urut
kelima dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2009-2014. Perumusan kebijakan Indonesia terhadap Ketahanan
Pangan menitik-beratkan pendekatan Swasembada Pangan kepada lima
komoditas unggul sekaligus terwujudnya Kedaulatan Pangan agar Indonesia
kelak serba mandiri dalam menentukan produksi, konsumsi serta kebijakan
pangannya. Dan rencana induknya akan pembangunan ekonomi yakni
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
2011-2025 (MP3EI) pula cukup mengalamatkan urusan peningkatan
produksi serta distribusi pangan, terutama gagasan Food Estates.
Australia juga tidak puas dengan keadaan Ketahanan Pangannya,
namun Australia diakui sebagai salah satu negara pengekspor pangan
terbesar di dunia (nomor enam di belakang Amerika Serikat, Brazil, China,
Kanada, dan Argentina). 6 Akibatnya, pemerintah Australia baru
mengeluarkan sebuah draf Buku Putih National Food Plan7, yang bertujuan
mengatur kembali hubungan antara pemerintah dan industri-industri
makanan, menciptakan konteks segmen ekonomi pangan agar lebih
berdaya saing di panggung dunia dan lebih berkelanjutan soal sumber daya
tanah dan air. Dan Australia juga terus berjuang dengan urusan
keterjangkauan, dimana masih ada satu dalam setiap delapan orang
5 Hermanto, Dr. Ir., ceramah kepada PPRA XVLIII, Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional, Jakarta, 28 Maret 2012 6 Lihat situs Reuters [http://in.reuters.com/article/2008/04/18/trade-wto-food-idINL1835607720080418, diakses 15 Okt 12] 7 Australian Department of Agriculture and Fisheries (DAFF), (2012), National Food Plan Green Paper, 2012 [http://www.daff.gov.au/nationalfoodplan/national-food-plan [diakses 30 Sep 12]
4
Australia yang tergolong miskin (pendapatan tahunan kurang dari $18,000)
yang cenderung berarti gizi keluarga tersebut tidak seimbang dan optimal.8
Kemudian pantas ditanyakan, apakah kedua negara kita dapat saling
membantu dalam urusan Ketahanan Pangan secara holistik, daripada
bekerjasama bidang pangan melalui perdagangan yang berpedoman
keuntungan belaka? Presiden Yudhoyono dan Perdana Menteri Gillard
dalam pertemuan resminya pada Nopember 2011 telah bersetuju untuk
sedini mungkin memulaikan negosiasi merumus sebuah Indonesia-Australia
Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-A CEPA),9 juga setuju
untuk berusaha meningkatkan perdagangan bilateral di antara kedua negara
agar mencapai nilai perdagangan sebanyak dolar Australia (AUD) $15
milyar sebelum tahun 2015 (dibandingkan dengan AUD$13,8 milyar pada
tahun anggaran 2010-11).
Dari segi kepentingan nasionalnya, Australia menilai ada ruang gerak
dan peluang-peluang bagi para investor bisnis yang ingin menanamkan
modal di Indonesia, agar meningkatkan tingat investasi dari AUD$5,3 milyar
pada tahun 2010-11 menjadi lebih bermakna (mengingat pada 2010-11,
Indonesia merupakan mitra dagang dengan Australia pada urutan ke-empat
terbesar di konstelasi ASEAN; Singapore sebagai nomor satu!). Sekarang
ada pengakuan dari Canberra bahwa hubungan ekonomi bilateral tidak
sebagus bidang-bidang kerjasama lain, dan harus diperhatikan agar menjadi
lebih kuat dan signifikan. Dari segi kepentingan nasional Indonesia, melalui
kacamata Tannas, Indonesia ingin menciptakan "stabilitas ekonomi yang
sehat dan dinamis serta kemampuan menciptakan kemandirian ekonomi
nasional dengan daya saing tinggi dan mewujudkan kemakmuran rakyat
yang adil dan merata".10 Hemat penulis, ada cukup banyak tumpang-tindih
kepentingan di sini.
Jika kita pandai, kerjasama yang baru/enhanced dapat memberikan
sumbangsih besar terhadap kegiatan dan program bidang Pangan dan
Ketahanan Pangan di kedua negara kita . Contoh-contoh yang praktis tidak
8 Laporan oleh Australian Council of Social Services (ACOSS), Okt 2012 [http://www.abc.net.au/news/2012-10-14/poverty-getting-worse/4312488, diakses 15 Okt 2012] 9 Situs internet Kemlu Australia [http://www.dfat.gov.au/geo/indonesia/indonesia_brief.html, diakses 17 Mei 2012] 10 Pokja BS Geostrategi dan Ketahanan Nasional (2012), naskah Modul 1-3 Konsepsi Ketahanan Nasional, Jakarta, 2012, hlm.55
5
terlalu sulit dibayangkan, misalnya, Australia agak unggul soal produksi
gula, ternak hidup dan potong, bahkan beras pada skala luas dan modern.
Betapa bagusnya apabila kerjasama Indonesia-Australia bidang agraria
diatur agar memprioritaskan upaya-upaya dalam sektor tersebut, dengan
tujuan membantu upaya RI menjadi lebih bagus lagi (bahkan
mandiri/swasembada) dalam penghasilan bahan-bahan pokok ini. Dan
sebaliknya, agar Indonesia yang mahir dengan pertanian umbi-umbian
misalnya membantu Australia mendiversifikasikan diet orang Australia agar
menghindari masalah obesitas dan diabetes, atau membantu Australia
mendirikan sektor pertanian buah-buahan tropis yang lebih menarik dan laris
daripada buahan tropis terbatas yang ada di pasar Australia sekarang. Atau
lebih berani lagi, bayangkan jika perusahan Indonesia mendirikan PT agraria
di Australia dengan lahan luas untuk produksi kedelai secara skala besar
dan modern-produktif (mengingat kedelai adalah jenis tanaman sub-tropis),
lalu dikirim ke Indonesia untuk pengolahan secara murah dan sesuai selera
bangsa. Kesimpulannya, potensi kerjasama tampaknya ada.
Mencermati latar belakang tersebut, maka pokok permasalahan yang
harus dicarikan upaya pemecahannya secara komprehensif integralistik
adalah : "BAGAIMANA PENINGKATAN KERJASAMA BILATERAL
INDONESIA-AUSTRALIA BIDANG PERDAGANGAN DAN LITBANG
AGRARIA GUNA MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN KEDUA
NEGARA DALAM RANGKA KEMANDIRIAN KEDUA BANGSA?"
2. Maksud dan Tujuan a. Maksud. Penulisan makalah ini adalah untuk memberikan
gambaran tentang dinamika kerjasama perdagangan dan litbang
agraria saat ini di antara Indonesia dan Australia, kemudian potensinya
akan peningkatan serta cara-cara agar potensi tersebut tercapai guna
kepentingan Ketahanan Pangan kedua negara dalam rangka konsepsi
strategic partners (mitra strategis) yang telah dicanangkan oleh kedua
pemimpin bangsa.
6
b. Tujuan. Makalah ini bertujuan untuk memberikan sumbangan
pemikiran kepada para pemimpin politik maupun kementerian/birokrasi
di Indonesia dan Australia, agar dapat digunakan sebagai bahan acuan
dalam menentukan kebijakan pengembangan program kerjasama
perdagangan dan litbang agraria, terutama dalam perundingan I-A
CEPA kini dan ke depan.
3. Ruang Lingkup dan Sistematika a. Ruang Lingkup. Ruang lingkup penulisan Taskap ini dibatasi
pada permasalahan yang terkait dengan peningkatan kerjasama
bilateral Indonesia-Australia bidang peradagangan dan litbang agraria
(yakni tidak mencakup secara spesifik sektor perikanan, atau
penanaman modal) guna memperkuat Ketahanan Pangan kedua
negara dalam rangka Kemandirian kedua Bangsa, dengan sistematika
sebagai berikut :
b. Sistematika. Penulisan makalah ini disusun dengan sistematika
sebagai berikut :
1) BAB I : Pendahuluan. Merupakan bagian awal penulisan,
dalam bab ini diuraikan secara singkat tentang latar belakang
permasalahan, maksud dan tujuan penulisan, ruang lingkup dan
tata urut penulisan, metode dan pendekatan serta pengertian-
pengertian yang dianggap relevan dalam materi penulisan.
2) BAB II : Landasan Pemikiran. Bab ini membahas dasar-
dasar pemikiran yang digunakan sebagai landasan dalam
menyusun makalah dan digunakan sebagai instrumental input
dalam pemecahan persoalan, berupa paradigma nasional
Indonesia (yang meliputi Landasan ldiil Pancasila, Landasan UUD
Negara RI 1945 dan amendemennya, Landasan Visional
Wawasan Nusantara, Landasan Konsepsional Ketahanan
Nasional, dan Landasan Operasional peraturan perundang-
undangan yang terkait) maupun Australia (Landasan Idiil
7
Konstitusi Australia 1900 [diamandemen 1906, 1910, 1928, 1946,
1967 dan 1977], dan Landasan Operasional peraturan
perundang-undangan yang terkait), teori-teori yang relevan, lalu
tinjauan pustaka.
3) BAB III : Kondisi Perdagangan dan Kerjasama Litbang Agraria Indonesia-Australia Saat Ini, merupakan bagian analisa
pertama. Pada bab ini dibahas tentang kondisi perdagangan dan
kerjasama litbang agraria bilateral Indonesia-Australia saat ini,
dan implikasinya terhadap mewujudkan Ketahanan Pangan
masing-masing negara, serta mengindentifikasikan permasalahan
yang dihadapi (pokok-pokok persoalan).
4) BAB IV : Perkembangan Lingkungan Strategis. Sebagai
bagian analisa kedua, bab ini diuraikan tentang perkembangan
lingkungan strategis yang mencakup Lingkungan Global,
Lingkungan Regional, dan Lingkungan Nasional (baik Indonesia
maupun Australia), berikut Peluang dan Kendala yang
mempengaruhi bidang perdagangan dan kerjasama litbang
agraria khususnya terhadap tercapainya Ketahanan Pangan di
Indonesia dan Australia secara terpisah maupun kolektif.
5) BAB V : Kondisi Perdagangan dan Kerjasama Litbang Agraria Indonesia-Australia yang Diharapkan dan Indikator Keberhasilannya. Bab ini sebagai analisa ke-tiga, membahas
tentang perdagangan dan kerjasama litbang agraria Indonesia-
Australia yang diharapkan, kontribusinya terhadap Ketahanan
Pangan di kedua negara dalam rangka kemandirian kedua
bangsa, serta indikator keberhasilan.
6) BAB VI : Konsepsi Peningkatan dan Kerjasama Bilateral Indonesia-Australia Bidang Perdagangan dan Litbang Agraria agar memenuhi Taraf Comprehensive Strategic Partnership (CSP). Pada Bab yang terbesar ini diuraikan
konsepsi mewujudkan peningkatan terhadap kerjasama bidang
perdagangan dan litbang agraria antara Indonesia dan Australia
menjadi sebuah program yang menyeluruh, berpandangan jauh
8
serta komplementatif guna mewujudkan Ketahanan Pangan
dalam rangka Kemandirian Bangsa, yang berisikan kebijakan
yang ditempuh, strategi-strategi yang diterapkan dan pelbagai
upaya yang dilakukan secara terperinci dan preskriptif.
7) BAB VII : Penutup. Dalam Bab ini berisi tentang
kesimpulan dari keseluruhan pembahasan dan beberapa saran
yang dikemukakan.
4. Metode dan Pendekatan Dalam penulisan ini metode yang digunakan adalah deskriptif analitis,
yakni menyajikan data maupun informasi yang berkaitan dengan materi
permasalahan, sekaligus analisis yang didasarkan pada tinjauan
kepustakaan (library research), internet, dan masukan lisan dari para
pejabat bidang perdagangan dan litbang di Kedutaan Besar Australia di
Jakarta, serta sejauh mungkin menerapkan pendekatan komprehensif,
integral dan holistik dengan menggunakan pisau analisis Ketahanan
Nasional.
5. Pengertian-pengertian Agar menghindari perbedaan persepsi, dalam makalah ini
dicantumkan beberapa pengertian sebagai berikut :
a. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati
dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk
bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya
yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau
pembuatan makanan atau minuman.11
11 UU No.7 Tahun 1996 ttg Pangan, Pasal 1 ayat (1) dan PP No. 68 Tahun 2002 ttg Ketahanan Pangan, Pasal 1 ayat (2).
9
b. Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi
rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup,
baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.12
c. Kemandirian Bangsa adalah keadaan dimana bangsa dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat atau bangsanya sendiri atau tidak
tergantung pada bangsa lain, sehingga mampu menentukan tujuan
dan cita-cita sendiri, mengelola sumber kekayaan alam (SKA) dan
manusianya sendiri serta mampu menentukan kebijakan sendiri
untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasional.
d. Perdagangan Internasional adalah perdagangan yang
dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara
lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud
dapat berupa antarperorangan (individu dengan individu), antara
individu dengan pemerintah suatu negara, atau pemerintah suatu
negara dengan pemerintah negara lain.13
e. Litbang Agraria. Penelitian dan Pembangunan (Litbang)
Agraria di taskap ini berarti kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan
oleh pihak pemerintahan maupun swasta apakah oleh para ahli,
teknisi ataupun praktisi yang merupakan perumusan teori, penelitian,
pengujicobaan dll agar bidang pangan (food) dan agraria (non-food
plant and other living matter) menjadi lebih produktif secara
berkelanjutan, lebih sehat dan lebih aman.
f. Mitra Strategis (Strategic Partners). Sepengetahuan penulis,
belum ada definisi dari Strategic Partners yang baku. Namun,
menurut pengamat politik asal Brazil, Antonio Lessa (2010)14, Mitra
Strategis adalah hubungan politik dan ekonomi berprioritas tinggi
yang saling mengisi dan didirikan atas kumpulan hasil dari hubungan
12 PP No.68 Tahun 2002 ttg Ketahanan Pangan, Pasal 1 ayat (1). 13 Definisi dari http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_internasional [diakses 15 Okt 12] 14 Lessa, Antonio Carlos, (2010), Brazil’s strategic partnerships: an assessment of the Lula era (2003-2010), Jurnal Revista Brasileira de Política Internacional. No.53 (special edition), hlm.119
10
bilateral sebelumnya yang luas (“priority political and economic
relations, reciprocally compensating, established on the basis of an
accumulation of bilateral relations of a universal nature.")
g. Rencana Pangan Nasional (National Food Plan). Rencana
tersebut adalah rencana strategis dan holistik yang mewujudkan
integrasi antara kebijakan-kebijakan terkait produksi, distribusi serta
konsumsi pangan dan program-program aksi yang menghasilkan
tiga dimensi itu, agar suatu negara (di sini Australia, tetapi juga bisa
bermaksud Indonesia) bertahan sebagai pemasok pangan yang
terhandalkan, berkelanjutan, produktif dan mempunyai daya tahan,
di mana pangan yang dihasilkan tersebut bergizi, aman dan
harganya terjangkau.
11
BAB II
LANDASAN PEMIKIRAN
6. Umum Penting di sini untuk membahas konteks teoretis pemikiran untuk
makalah ini serta mengerti acuan-acuan hukum dan regulasi nyata yang
akan mempengaruhi konsepsi nanti atas Comprehensive Strategic
Partnership Indonesia-Australia bidang perdagangan dan litbang agraria,
lagipula karena taskap ini membahas konteks di dua negara yang agak
berbeda. Kerjasama bilateral sangat bergantung pada aktor-aktor yang
mampu memahami dan berempati dengan konteks, kepentingan serta
harapan pihak yang kedua itu. Jika situasi Indonesia dan Australia dilihat,
pendekatan Ketahanan Pangan dan pendekatan ekonomi secara garis
besar cukup berbeda satu sama lain, peranan pemerintahan urusan pangan,
peranan sektor-sektor swasta, bahkan semangat terhadap sistem
perdagangan dunia juga cukup berbeda. Maka sebelum kita dapat
membahas realita tentang keadaan saat ini (Bab III) kemudian memikirkan
tentang perumusan potensial sebagai solusi menuju paradigma yang lebih
baik (Bab VI), adalah sangat penting bahwa kita mengerti konteks landasan
masing-masing negara agar mengerti pola pikir, batas hukum serta aspirasi
kedua-duanya. Intisarinya, inilah suatu upaya untuk mengerti ‘batas ruang
gerak’ bagi ekspansi kerjasama bilateral kita.
7. Paradigma Nasional
a. Indonesia Falsafah Pancasila merupakan landasan idiil dalam
penyelenggaraan sistem pemerintahan Republik Indonesia. Pancasila
terdiri dari lima nilai luhur, di mana nilai-nilai tersebut dianggap sesuai
national character dan urat-berakar dalam bangsa Indonesia sendiri
hasil penggalian dan introspeksi yang panjang lebar oleh founding
12
fathers Indonesia modern dalam perumusan dasar negara menjelang
dan setelah mencapai kemerdekaan. 15 Dalam penyelenggaraan
Negara, Pancasila memiliki peran sebagai dasar negara, sebagai
ideologi nasional, serta sebagai falsafah pandangan hidup bangsa,
sehingga digunakan sebagai landasan idiil dalam pelaksanaan
pembangunan di segala bidang. Implementasi nilai-nilai Pancasila
diyakini para pemimpin Indonesia dapat menggerakkan pemerintah
dan masyarakat untuk mendukung program peningkatan produksi
pangan nasional. Dengan menganut ide ’ekonomi kerakyatan’ sebagai
perpanjangan dari sila ’keadilian sosial bagi seluruh bangsa Indonesia’
maka Pancasila menjadikan pendekatan sektor agraria Indonesia lebih
berbasis kooperatif dan memihak ke BUMN daripada komersial /
swasta masal (seperti Multi National Corporations [MNC] di negara-
negara agraria lain). Dan fokus Pancasila terhadap kesatuan dan
persatuan Indonesia sangat mewarnai dan mendorong ide-ide
Ketahanan Pangan berbasis Swasembada Pangan dan Kemandirian
Pangan, daripada Ketahanan Pangan berbasis pendekatan ekonomi
keunggulan komparatif / pasar bebas (yakni menghasilkan komoditi-
komoditi yang unggul saja dan ekspor kelebihan produksi meraih
devisa, sekaligus mengimpor pangan yang lebih
murah/gampang/mungkin diproduksi di luar negeri). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
(UUD’45) merupakan landasan konstitusional bangsa dan negara
Indonesia dalam menjalankan kehidupan nasionalnya. UUD’45
merupakan hukum dasar tertulis, yang mengikat setiap warga dan
aparatur negara Indonesia serta menjadi pedoman pokok dalam
kehidupan nasional. Pasal-pasal UUD’45 memberikan arahan lebih
terperinci tentang bagaimana melaksanakan Pancasila dan dijadikan
acuan bagi berbagai aturan pelaksanaan dibawahnya. Sebagai
sumber hukum tertinggi maka UUD’45 juga dijadikan acuan dalam
pelaksanaan pemerintahan. Dikaitkan dengan Ketahanan Pangan
maka tujuan keberadaan bangsa Indonesia sebagaimana tercantum
15 Heri Herdiawanto & Jumanta Hamdayama, (2010), Cerdas, Kritis, dan Aktif Berwarganegara,, Erlannga, PT Erlannga, Jakarta, hlm.152
13
dalam preambule UUD’45 sangat erat kaitannya, spesifiknya dengan
ketentuan hak untuk berkehidupan yang layak yang diamanatkan
dalam Pasal 27 Ayat (2), bahwa setiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dan
relevan juga adalah Pasal 33 tentang ide ‘ekonomi
kerakyatan/kekeluargaan’ dimana ditetapkan bahwa "cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara". 16 Jadi, dalam merumuskan
konsepsi peningkatan terhadap perdagangan dan litbang agraria
bilateral Indonesia-Australia harus berdasarkan (atau paling, tidak
bertentangan secara spesifik dengan) landasan konstitusional UUD’45
tersebut.
Wawasan Nusantara (Wasantara) dijadikan landasan visional
sekaligus Wawasan Nasional bangsa Indonesia dengan
mempertimbangkan pandangan geopolitik Indonesia, sejarah
perjuangan dan kondisi sosial budaya Indonesia. Wasantara
dirumuskan sebagai cara pandang bangsa Indonesia yang
berlandaskan Pancasila, tentang diri dan lingkungannya serta tanah
airnya sebagai negara kepulauan dengan semua aspek kehidupannya
yang beragam dan dinamis, dengan mengutamakan kesatuan wilayah
Indonesia, sekaligus tetap berusaha untuk menghargai kebhinnekaan
dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Wawasan Nasional Indonesia tersebut, seperti halnya
Wawasan Nasional di negara lain, bersifat khas, terutama disebabkan
keciri-khasan geografi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di
dunia. Dan Wasantara dikembangkan di sini sebagai suatu "doktrin
dasar nasional dalam penyelenggaraan negara, untuk mendorong
(motivate), merangsang (drive), dan memedomani (orientate)
penyelenggara negara dan masyarakat madani (civil society) untuk
berinteraksi, dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa
Indonesia." 17 Dengan demikian, sudah pasti Wasantara relevan
terhadap strategi Ketahanan Pangan RI, khususnya upaya untuk
16 UUD’45, Pasal 33 Ayat (2). 17 Pokja Geopolitik dan Nusantara, op.cit., hlm.15
14
meratakan keterjangkauan pangan di seluruh pelosok negara maupun
menghandalkan keunggulan agraria di tempat tertentu secara
sistematis demi manfaat semua bangsa di tempat yang lain. Ketahanan Nasional (Tannas) merupakan landasan konsepsional
bangsa Indonesia; suatu “dinamika bangsa (...) mengandung
kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, dalam menghadapi
dan mengatasi segala Tantangan/Ancaman/Hambatan/Gangguan
(TAHG) baik dari dalam negeri maupun luar, untuk menjamin identitas,
integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara, serta perjuangan
mencapai tujuan nasional”.18 Pada hakekatnya, Tannas merupakan
suatu “konsepsi di dalam pengaturan dan penyelenggaraan
kesejahteraan serta keamanan di dalam kehidupan nasional." 19
Metode umum dalam merumuskan Tannas memakai sistem per-gatra-
an meliputi unsur-unsur geografi, demografi, sumber kekayaan alam
(SKA), ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan
keamanan (Hankam). Tannas itu yang paling melatar-belakangi
konsepsi Ketahanan Pangan pemerintah RI berbasis Swasembada
Pangan dan Kedaulatan Pangan daripada pendekataan ekonomi
liberal yang murni (yakni keseimbangan antara ekspor dan impor
secara bebas dan terbuka).
Secara kolektif, Pancasila, UUD’45, Wasantara dan Tannas
merupakan Paradigma Nasional (ditambah dengan ide ‘Bhineka
Tunggal Ika’ dan NKRI, menjadi ‘batu bangun’ Wasantara juga).
Secara praktis, dampaknya Paradigma Nasional tersebut terhadap
pendekatan para pemimpin nasional dan daerah terhadap kebijakan
dan manajemen pangan ditafsirkan penulis seperti contoh-contoh ini :
(1) Dalam aspek ketersediaan pangan, penerapan prinsip-prinsip
Paradigma Nasional Indonesia barangkali berkembang seperti :
bantuan pemerintah agar produksi domestik ditingkatkan berdasarkan
kondisi potensi SDM dan SKA yang ada (tidak diserahkan saja kepada
pasar bebas, yang cendurung menghindari penanaman modal besar
18 Pokja BS Geostrategi dan Ketahanan Nasional Lemhannas RI, naskah Modul 1-3, Konsepsi Ketahanan Nasional, Jakarta, 2012, hlm.11 19 Lemhannas RI, Kewiraan Untuk Mahasiswa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm.63
15
yang non-produktif untuk sekian tahun); pengadaan cadangan pangan
akan dilaksanakan secara rajin dan seksama agar menghindari potensi
ancaman kelaparan (demi melindungi segenap warga bangsa);
pengimporan pangan yang arif dan menyeimbangi kepentingan suplai
bagi komponen konsumen (yaitu makanan dengan harga terjangkau)
dengan kepentingan petani (yaitu agar harga jual panen tidak
dirongrong oleh impor yang sangat murah contohnya). (2) Dalam
aspek keterjangkauan pangan : jaringan distribusi nasional dijamin
oleh negara; perdagangan/pemasaran diawasi pemerintah agar
kepentingan komersial tidak memanipulasikan harga makanan (seperti
kelakuan cartel); dan dengan bantuan berbentuk subsidi atau hibah
sembako bagi komponen bangsa yang betul-betul tidak mampu. (3)
Dalam aspek konsumsi pangan : usaha keras pemerintah pusat dan
pemda-pemda turut membantu jaminan mutu gizi serta kuantitas
makanan seperti pembagian benih unggul, kerjasama bilateral dengan
negara sahabat, kerjasama dengan LSM yang kompeten dan integritas
tinggi seperti World Food Program (WFP) dan Food and Agriculture
Organization (FAO); dengan adanya program-program serta sosialisasi
untuk menganeka-ragamkan kembali pola makanan dan selera bangsa
agar makanan tradisional diindahkan kembali daripada pergeseran
pola makanan terus-menerus kepada nasi putih, mie dan makanan
asing.
Secara kesimpulan, esensi pendekatan Indonesia tersebut
dimengerti di dunia luas sebagai suatu paradigma yang agak
interventif/proteksionis, memihak langsung kepada para produsen
(petani, peternak, nelayan) dengan menghandalkan subsidi-subsidi
daripada bentuk investasi yang lain (infrastruktur makro atau litbang
misalnya).
b. Australia Ideologi (sebagai landasan idiil) di Australia merupakan sesuatu
yang agak tersirat, dan sebenarnya tidak muncul secara formal dalam
Undang-Undang Dasar Commonwealth of Australia tahun 1900
(sebagaimana diamandemen). Walau demikian, falsafah praktis
16
Australia dimengerti sebagai Liberalisme. Dengan demikian, ‘Ideologi
nasional’ Australia, pandangan filsafat, dan tradisi politik semua
berdasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah prinsip
utama dalam kehidupan bernegara, berpolitik dan bermasyarakat.
Paham liberalisme menolak adanya pembatasan terhadap hak-hak
individu, khususnya dari pemerintah ataupun dari agama (namun, tidak
berarti kebebasan tanpa batas sama sekali; tetap ada hukum positif).
Liberalisme menghendaki adanya pertukaran gagasan yang bebas,
ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise)
yang relatif bebas, dan suatu sistem hankam yang transparan dan
serba dikontrol oleh pemimpin politik sipil, serta menolak adanya
pembatasan terhadap pemilikan individu. Lebih lanjut dan secara riil,
ide ‘Liberalisme’ di Australia dihidupkan secara praktis dengan
beberapa nilai dan kelakuan yang menyokong cara hidup berbangsa :
menghormati kesetaraan nilai; kehormatan dan kebebasan individu;
kebebasan berbicara dan berserikat; kebebasan beragama dan
pemerintah sekuler (penduduk Australia juga bebas untuk tidak
memeluk agama sama sekali); dukungan atas demokrasi parlementer
dan negara hukum; kesetaraan di bawah hukum; kesetaraan pria dan
wanita; kesetaraan kesempatan; kedamaian; semangat egalitarianisme
yang mencakup toleransi, saling hormat-menghormati dan rasa kasih
sayang kepada mereka yang sedang dalam kesulitan.20
Sistem politik Australia dibangun di atas tradisi demokrasi liberal.
Berdasarkan nilai-nilai toleransi beragama, kebebasan berbicara dan
berserikat, dan supremasi hukum, di mana lembaga-lembaga politik
Australia dan praktik-praktik pemerintahannya mencerminkan
beberapa aspek dari model Inggeris dan Amerika Utara.
Persemakmuran Australia didirikan pada tahun 1901 ketika bekas
koloni Inggeris ini---kini enam negara bagian---sepakat untuk menjadi
sebuah federasi. Semenjak berdirinya negara federal tersebut,
Australia telah berhasil mempertahankan sistem politik liberal
demokratis yang stabil dan tetap tunduk dalam Wadah
20 Lihat penjelasan yang lebih terperinci pada situs Kedutaan Besar Australia di Jakarta [http://www.indonesia.embassy.gov.au/jaktindonesian/australia.html, diakses 14 Okt 2012]
17
Persemakmuran. Kubu-kubu politik di Australia tidak banyak, dengan
aliran konservatif (Liberals dan Nationals), aliran progresif (Labor dan
Democrats), aliran pelestarian lingkungan hidup (Greens), serta para
politikus independen. Australia memiliki undang-undang dasar tertulis (sebagai
landasan konstitutional). UUD Australia 1901 merumuskan tanggung
jawab pemerintah federal, yang mencakup hubungan luar negeri,
perdagangan, pertahanan dan imigrasi. Pemerintah-pemerintah
tingkat Negara Bagian serta Teritori bertanggungjawab atas semua
urusan yang tidak diserahkankan kepada Persemakmuran, dan
mereka juga mematuhi prinsip pemerintah yang bertanggungjawab.
UUD Australia menjabarkan kekuasaan pemerintah dalam tiga bagian-
--legislatif, eksekutif dan yudikatif---tetapi menegaskan bahwa anggota
eksekutif harus juga anggota legislatif (politikus yang dipilih oleh rakyat
menjadi wakil umum dulu; bukan dipilih oleh Perdana Menteri dari
bangsa luas). Pada kenyataannya, parlemen mendelegasikan
wewenang penyusunan undang-undang yang luas kepada eksekutif.21 Australia tidak mencanangkan suatu landasan visional yang
formal (seperti Ketahanan Nasional di Indonesia), melainkan semua
pihak politik pada umumnya mempromosikan slogan 'a free, fair and
prosperous nation'. Kemakmuran tersebut (prosperity) sangat
tergantung pada sukses tidaknya ekonomi Australia dalam kegiatan
perdagangan global. Australia memiliki salah satu sistem
perekonomian yang cukup kuat di panggung dunia walau jumlah
penduduk hanya 23 juta jiwa, kompetitif, terbuka, sekaligus tidak tanpa
tantangan. Australia menganut paham kapitalis liberal dalam sistem
perekonomiannya. Yang menjadi pendukung utama kemajuan
perekonomian Australia adalah Usaha Kecil Menengah (UKM)
daripada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). 22 Dalam segmen
agraria, petani kesatuan keluarga adalah tulang punggungnya, dengan
21 Ibid. 22 Australia sadar akan betapa vitalnya keberadaan UKM ini. Tercatat terjadi peningkatan 58% jumlah tenaga kerja dalam jangka waktu 6 tahun terakhir dan 30% peningkatan hasil produksi Australia. Sebanyak 1,2 juta UKM di Australia mempekerjakan 3,3 juta orang, dan pertumbuhan jumlahnya UKM adalah 3,5% per tahun.
18
asosiasi dan kooperatif sebagai wadah untuk beberapa komoditas, dan
MNC untuk komoditas tertentu yang lain.
Kebijakan perdagangan Pemerintah Australia diarahkan kepada
peningkatan kegiatan ekonomik di segmen dimana Australia
mempunyai competitive advantage (keunggulan relatif), penciptaan
lapangan kerja, dan perolehan transaksi perdagangan yang adil bagi
Australia di pasar internasional. Hal tersebut dimaksudkan untuk
memperluas lapangan kerja, memperluas pilihan bagi konsumen, dan
meningkatkan standar kehidupan yang lebih tinggi bagi seluruh
masyarakat Australia.
Secara kesimpulan, esensi pendekatan Australia tersebut
dimengerti di dunia luas sebagai suatu paradigma yang agak non-
interventif, tidak memihak kepada para produsen di atas kepentingan
para konsumen, menghindari subsidi-subsidi dasar agar malah dapat
menanamkan modal terhadap infrastruktur makro dan litbang, dan
sanggup melihat Ketahanan Pangan lebih penting daripada konsep
Swasembada dan Kedaulatan Pangan (yakni, tidak terlalu peka
terhadap impor komoditas pangan, sepanjang tidak mengancam
kesehatan sistem hayati melalui ancaman wabah hewan dan
tanaman). Secara terbuka, Pemerintah Australia mengumumkan
pengertian yang fundamental itu: The Australian Government believes a market-based policy approach remains the best way to help Australian food businesses take advantage of future opportunities. The open nature of the Australian economy encourages businesses to be efficient, innovate and compete on world markets.23
8. Peraturan dan Perundangan yang Terkait
a. Indonesia. 1) UU No.37 tahun 1999 ttg Hubungan Luar Negeri. Politik
Luar Negeri RI menganut prinsip bebas aktif yang diabdikan
untuk kepentingan nasional, dan dilaksanakan melalui diplomasi
yang kreatif, aktif, dan antisipatif, tidak sekedar rutin dan reaktif,
teguh dalam prinsip dan pendirian, serta rasional dan luwes
23 DAFF (2012), op.cit., hlm.4
19
dalam pendekatan. Penting bagi subyek taskap ini, Menlu RI
mempunyai wewenang atas pembentukan/pengesahan Perjanjian
Internasional (Pasal 13-15).
2) UU No.32 tahun 1997 ttg Perdagangan Berjangka Komoditi, memandang bahwa "dalam era globalisasi dan
perdagangan bebas yang penuh persaingan, Perdagangan
Berjangka Komoditi sebagai sarana pengelolaan risiko harga
serta tempat pembentukan harga yang efektif dan transparan
mempunyai peranan strategis dalam mewujudkan sistem
perdagangan nasional yang efisien dan efektif."24
3) Rancangan UU Pengganti UU No.7 tahun 1996 ttg Pangan, yang disahkan DPR RI tanggal 18 Okt 2012,
mengamanatkan bahwa pangan harus senantiasa tersedia
secara cukup, aman, bermutu, bergizi, dan beragam. Harganya
pun harus terjangkau oleh daya beli masyarakat. Untuk
mencapai semua itu, Indonesia harus mendorong produksi
pangan secara mandiri dan mendiversifikasi jenis pangan lokal.
Sistem pangan nasional harus bisa memberikan perlindungan
bagi produsen maupun konsumen. Kehadiran UU Pangan ini
sekaligus menunjukkan bahwa Indonesia berkehendak mengatur
kedaulatan, kemandirian, dan Ketahanan Pangan sendiri di atas
pendekatan yang lain.
4) PP No.68 tahun 2002 ttg Ketahanan Pangan menegaskan
bahwa pemenuhan kebutuhan pangan diutamakan dari produksi
dalam negeri. Dengan demikian, pemerintah berusaha
mengoptimalkan semua potensi yang ada di dalam negeri,
termasuk sektor kehutanan untuk mencukupi kebutuhan pangan
nasional. PP ini barangkali akan dirumus kembali sebagai
respons terhadap RUU Pangan baru.
5) Peraturan Presiden No.83 tahun 2006 ttg Dewan Ketahanan Pangan, mengurus fungsi dan tujuan pokok DKP
24 Preambule dari UU No.32 Tahun 1997, dari situs BPKP RI [www.bpkp.go.id/uu/filedownload/2/46/470.bpkp, diakses 16 Oct 2012]
20
tersebut, tanggung jawab pejabat/peserta, modalitas pekerjaan,
dll.
6) UU No.17 tahun 2007 ttg Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Menurut dokumen
Bangnas induk ini, tujuan jangka panjang resmi RI tentang
Ketahanan Pangan adalah:25 Sistem Ketahanan Pangan diarahkan untuk menjaga ketahanan dan kemandirian pangan nasional dengan mengembangkan kemampuan produksi dalam negeri yang didukung kelembagaan Ketahanan Pangan yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup di tingkat rumah tangga, baik dalam jumlah, mutu, keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang didukung oleh sumber-sumber pangan yang beragam sesuai dengan keragaman lokal.
7) PP No.5 tahun 2010 ttg Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20010-2014. Dan lebih aktual
lagi, menurut RPJMN 20010-14 tujuan jangka menengah resmi
tentang Ketahanan Pangan adalah: 26 Peningkatan Ketahanan Pangan dan lanjutan revitalisasi pertanian untuk mewujudkan kemandirian pangan, peningkatan daya saing produk pertanian, peningkatan pendapatan petani, serta kelestarian lingkungan dan sumber daya alam, peningkatan pertumbuhan PDB sektor pertanian terbesar 3,7% per tahun dan indeks nilai tukar petani sebesar 115-120 pada 2014.
Tujuan tersebut dijabarkan lebih lanjut menjadi paling tidak 30
program (usaha unik) sebagai manifestasi riil pekerjaan terhadap
pencapaian tujuan tersebut.
8) PP No.32 tahun 2011 ttg Masterplan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, sekarang
merupakan semacam 'turbo boost' terhadap pembangunan
jangka waktu panjang dengan menitik-beratkan ekonomi pada
sektor dan wilayah tertentu dimana penanganan pemerintah
secara khusus dengan insentivisasi sekaligus menyederhanakan
birokrasi / proses perizinan (yaitu de-bottlenecking) diperkirakan
akan sangat berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi,
dan sebagai akibat, memajukan keadaan pembangunan
25 Bappenas RI (2005), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-20025, Jakarta, hlm.58 26 Pokja Sismennas Lemhannas RI PPRA XLVIII Tahun 2012, Sismennas, Modul 4 Starbangnas 2010-2014, hlm.30 (versi online)
21
Indonesia secara keseluruhan. Tujuan makro MP3EI soal
pangan dijelaskan sebagai berikut:27 Dengan melihat dinamika global yang terjadi serta memperhatikan potensi dan peluang keunggulan geografi dan sumber daya yang ada di Indonesia, serta mempertimbangkan prinsip pembangunan yang berkelanjutan, dalam kerangka MP3EI, Indonesia perlu memposisikan dirinya sebagai basis Ketahanan Pangan dunia, pusat pengolahan produk pertanian, perkebunan, perikanan, dan sumber daya mineral serta pusat mobilitas logistik global.
Secara nyata terhadap bidang pangan, MP3EI memberikan
perhatian langsung terhadap sektor 'pertanian' dan sektor
'kelautan' (merupakan dua sektor dari '8 Program Utama').
Kemudian, untuk komoditi-komoditi dan kegiatan spesifik yang
terkait pangan ada: makanan/minuman, kakao, peternakan,
pertanian/pangan, perikanan dan kelapa sawit (sebagai beberapa
di antara '22 Kegiatan Ekonomi Utama') yang akan ditargetkan.
Jika sukses, tentu Ketahanan Pangan Indonesia bagian
ketersediaan akan ditingkatkan dengan adanya MP3EI ini. Dan
secara tidak langsung, upaya-upaya MP3EI lain berpotensial
memantapkan sistem-sistem transportasi nasional (yakni
membantu efek distribusi buat pangan), serta meningkatkan
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia (yakni rakyat pada
umumnya lebih makmur maka seharusnya lebih mampu membeli
makanan yang cukup kualitas, kuantitas dan gizi).
9) UU No.16 tahun 1992 ttg Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan, bertujuan untuk (1) mencegah masuknya hama dan
penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, dan
organisme pengganggu tumbuhan karantina dari luar negeri ke
dalam wilayah negara Republik Indonesia; (2) mencegah
tersebarnya hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, dan organisme pengganggu tumbuhan
karantina dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara
Republik Indonesia; (3) mencegah keluarnya hama dan penyakit
hewan karantina dari wilayah negara Republik Indonesia; dan (4)
mencegah keluarnya hama dan penyakit ikan dari organisme
27 Presiden RI, PP No.32 Tahun 2011, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, Jakarta, 20 Mei 2011, lampiran, hlm.4
22
pengganggu tumbuhan tertentu dari wilayah negara Republik
Indonesia apabila negara tujuan menghendakinya.
10) UU No.25 tahun 2007 ttg Penanaman Modal. Pemerintah
menetapkan kebijakan dasar penanaman modal untuk:
mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi
penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian
nasional; dan mempercepat peningkatan penanaman modal. UU
ini mengatur bagaimana persyaratan, batas-batas dan
pewaspadaan terhadap modal asing per sektor, di mana
beberapa sektor agak terbuka, sedangkan beberapa yang lain
(termasuk agraria) tidak terlalu terbuka bagi pemodal asing.
11) UU 18/2009 ttg Peternakan dan Kesehatan Hewan; UU 18/2004 ttg Perkebunan; UU 13/2010 ttg Hortikultura; PP 18/2010 Usaha Budidaya Tanaman; semua merupakan undang-
undang teknis tentang sektor agraria tertentu, yang wajib
dipertimbangkan serta dipatuhi dalam upaya-upaya untuk
meningkatkan kerjasama bilateral bidang perdagangan dan
litbang agraria kita.
b. Australia 1) Buku Putih tentang Hublu dan Perdagangan Australia (2003).28 Menjelaskan kepentingan dan Strategi Australia dalam
Hubungan Luar Negeri serta perdagangan, dengan bagian
hubungan bilateral dengan Indonesia pada Bab 5-nya.
2) UU-UU Karantina dan Impor/Ekspor (Quarantine Act 1908, Export Control Act 1982, Imported Food Control Act 1992). Dinas Pemeriksaan dan Karantina Australia (Australian
Quarantine and Inspection Service, AQIS) menangani ketiga UU
tersebut dengan tujuan untuk melindungi status kesehatan
manusia, hewan dan tanaman Australia dan untuk menjaga akses
28 http://homepage.ntu.edu.tw/~lbh/ref/Statandyearbook/others/32.pdf, diakses 14 Okt 2012.
23
komoditas ekspor agraria Australia ke pasar-pasar global.29
3) Buku Hijau tentang Rencana Pangan Australia (National Food Plan) (2012).30 Merupakan draf rencana strategis pangan
pertama yang pernah diterbitkan oleh pemerintah nasional
Australia, dengan fungsi untuk menerima umpan balik bangsa
sebelum menerbitkan sebuah Buku Putih (sumber kebijakan
tertinggi) pada tahun 2013 yang akan : (1) mengidentifikasikan
lalu mencegah risiko terhadap Ketahanan Pangan Australia; (2)
memberikan sumbangan terhadap urusan Ketahanan Pangan
dunia; (3) menurunkan hambatan terhadap suplai makanan yang
aman dan bergizi bagi bangsa Australia; (4) menjaga serta
meningkatkan SKA yang merupakan landasan produksi pangan;
(5) mendorong daya saingnya serta produktivitas sistem produksi
dan distribusi pangan Australia, termasuk melalui litbang, sains
dan inovasi; (6) mengurangi pagar-pagar perdagangan (trade
barriers) yang dihadapi perusahan makanan/pangan dalam
negeri maupun di luar negeri; dan (7) memberikan sumbangsih
ekonomi, lowongan kerja serta kesehatan bermasyarakat di
wilayah-wilayah pedesaan Australia. Penting bagi taskap ini, Bab
9 membicarakan ide-ide tentang kerjasama luar negeri, termasuk
bidang perdagangan dan litbang, serta bantuan/hibah.
4) Buku Putih ‘Australia in the Asia Century’ (2012), mencanangkan kehendak pemerintah Australia untuk
meningkatkan kembali upaya-upaya bilateral dan multilateral
dengan negara-negara Asia, sebagai respons terhadap semakin
pentingnya Asia di panggung dunia secara hankam dan ekonomi.
Sebagai langkah awal, pemerintah Australia akan melaksanakan
perumusan strategi kerjasama bilateral ('country strategies')
dengan lima negara yang dianggap paling penting: China, India,
Indonesia, Jepang, Korea Selatan. Upaya-upaya yang mungkin
termasuk : peningkatan terhadap jumlah diplomat serta konsulat
29 http://www.daff.gov.au/aqis/quarantine/legislation [diakses 14 Okt 2012] 30 http://www.daff.gov.au/nationalfoodplan/national-food-plan
24
yang berada di kawasan Asia; peningkatan terhadap hubungan
orang-kepada-orang; peningkatan terhadap kerjasama badan
teknologi/sains dll.31
9. Landasan Teori
a. Teori Ekonomik. Adam Smith (1723-1790) merupakan bapak
ilmu ekonomi modern yang terkenal dengan teori nilainya, yaitu teori
yang menyelidiki faktor-faktor yang menentukan nilai atau harga suatu
barang.32 Adam Smith melihat proses pertumbuhan ekonomi itu dari
dua segi yaitu pertumbuhan output total (GNP) dan pertumbuhan
penduduk. Pembagian kerja merupakan titik permulaan dari teori
pembangunan ekonomi Smith yang meningkat daya produktifitas
tenaga kerja. Smith menghubungkan kenaikan itu dengan
meningkatnya keterampilan pekerja, penghematan waktu dalam
memproduksi barang, dan penemuan mesin yang sangat menghemat
tenaga.
b. Teori Perdagangan. Menurut Darwanto,33 ada ide dasar David
Ricardo: Teori Comparative Advantage berdasarkan nilai tenaga kerja
(teori labor value). Harga suatu barang ditentukan oleh jumlah waktu
(jam kerja) yang diperlukan untuk memproduksinya. Menurutnya,
perdagangan internasional terjadi bila ada perbedaan keunggulan
komparatif antar negara. Ricardo berpendapat bahwa keunggulan
komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu memproduksi
barang dan jasa lebih banyak dengan biaya yang lebih murah daripada
negara lainnya. Adapun Teori cost comparative advantage (labor
efficiency): Negara memperoleh manfaat perdagangan internasional
jika melakukan spesialisasi produksi dan ekspor barang yang
diproduksi relatif lebih efesien. Lalu, ada Model Perdagangan
31 http://asiancentury.dpmc.gov.au [diakses 11 Nop 2012] 32 http://www.investopedia.com/articles/economics/08/adam-smith-economics.asp#axzz2DcmA1M7O [diakses 29 Nop 2012] 33Darwanto, M.Si. FE UNDIP, Teori Perdagangan Internasional, Absolute Advantage, [http://eprints.undip.ac.id/960/1/Present_AA-CA_Dar1.pdf, diakses 15 Okt 2012]
25
Hecksher-Ohlin34, yang mencoba memberikan penjelasan mengenai
penyebab terjadinya perbedaan produktivitas tersebut. Teori
Hecksher-Ohlin menyatakan penyebab perbedaaan produktivitas
karena adanya jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki
(endowment factors) oleh masing-masing negara, sehingga
selanjutnya menyebabkan terjadinya perbedaan harga barang yang
dihasilkan. Oleh karena itu teori modern Hecksher-Ohlin ini dikenal
sebagai ‘The Proportional Factor Theory'. Selanjutnya negara-negara
yang memiliki faktor produksi relatif banyak atau murah dalam
memproduksinya akan melakukan spesialisasi produksi untuk
kemudian mengekspor barangnya. Sebaliknya, masing-masing negara
akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor
produksi yang relatif langka atau mahal dalam memproduksinya.
c. Teori Diplomasi. Diplomasi adalah seni dan praktek
bernegosiasi oleh seseorang/pihak/kelompok yang biasanya mewakili
sebuah negara, mengurus urusan lintas-negara seperti budaya,
ekonomi, perdagangan atau hankam. Biasanya, diplomasi dianggap
sebagai cara memperoleh keuntungan dengan pendekatan yang halus,
secara absolut ataupun secara 'saling mengisi' ('win-win'). Anehnya,
diakui juga bahwa teori-teori diplomasi dan hubungan internasional
sebenarnya kurang banyak atau baku (contoh, intisari dari esai
terkenal Martin Wright pada tahun 1966 berjudul 'Mengapa tidak ada
Teori International?' 35 ). Walau demikian, menurut Stuart Murray
(Universitas Bond, Australia),36 ada tiga kategori besar dari dunia teori
diplomasi: Tradisional; Berkembang (Nascent), dan Inovatif. Para
Tradisionalis terfokus kepada kesentralan posisi negara dan instansi
diplomasi formal sebagai subyek dan obyek daripada diplomasi.
Sedangkan para pemegang teori Nascent lebih mengajukan ide bahwa
34 Darwanto, S.E., M.Si. FE UNDIP, Teori, Kritik dan Perbaikan, [http://eprints.undip.ac.id/789/1/Model_Perdagangan_HO_Darwanto.pdf, diakses 16 Oct 2012]) 35 Herbert Butterfield dan Martin Wright (1968), red., Diplomatic Investigations: Essays in the Theory of International Politics, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts 36 Stuart Murray (2006), tesis doktoral, Reordering diplomatic theory for the twenty-first century: A tripartite approach, [http://epublications.bond.edu.au/cgi/viewcontent.cgi?article=1057&context=theses, diakses 8 Nop 2012]
26
peranan diplomasi formal (negara dan para diplomat resmi) tidak
mutlak lagi malah aktor nir-negara (non-state) seperti LSM global dan
regional, para pembisnis / penanam modal, dan multilateralisme
(summits dll) lebih penting dalam menentukan arah hubungan
internasional dewasa ini. Dan kategori pemikir Teori Inovatif adalah
yang melihat peranan baik diplomat/instansi formal maupun aktor non-
formal sebagai suatu kemitraan yang saling mengisi ('symbiosis').
10. Tinjauan Kepustakaan. Penulis tidak berhasil menemukan buku-
buku terbitan Indonesia tentang hubungan bilateral Indonesia-Australia,
apalagi aspek-aspek kerjasama ekonomi, perdagangan dan litbang agraria.
Ada satu buku yang terkenal tulisan jurnalis Ratih Hardjono (White Tribe of
Asia: An Indonesia view of Australia, 1993, Hyland House Publishing,
Victoria) tetapi buku tersebut lebih mengarah kepada urusan politik, budaya
dan persepsi publik daripada kerjasama konkrit apalagi bidang ekonomi
secara umum dan agraria secara spesifik. Yang ditemukan adalah
beberapa buku tulisan penulis Australia, sebagaimana yang berikut :
a. Monfries, J. (red), (2006), Different Societies, Shared Futures: Australia, Indonesia and the region, Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Singapore. Buku ini adalah hasil dan kumpulan
naskah dari seminar hubungan bilateral Indonesia-Australia yang
diselenggarakan oleh Universitas Nasional Australia (ANU) di
Canberra pada September 2005. Bab IV-nya membahas tentang 'The
Economic Partnership: Aid, Economics and Business', terdiri dari tiga
naskah dengan sejumlah 40an halaman. Naskah Stephen Grenville
paling relevan, dimana Grenville mengatakan bahwa hubungan
ekonomi aktual kurang berarti ("Singapore dan Hong Kong lebih
penting secara perdagangan bagi Australia"), tetapi potensi akan
kerjasama penanaman modal serta bidang good governance sangat
baik. Buku tersebut menarik, tetapi tidak membahas tentang potensi
kerjasama bidang agraria (perdagangan atau litbang).
27
b. Evans, G. dan Grant, B., (1991), Australia's Foreign Relations In the World of the 1990s, Melbourne University Press. Buku ini
terkenal di Australia karena ditulis oleh seorang Menlu Australia saat
masih aktif dalam jabatannya (Gareth Evans, Menlu periode 1988-96).
Karya ini membahas secara panjang-lebar dan komprehensif tentang
posisi Australia di dunia, pola kelakuan diplomatiknya, warisan
sejarahnya serta tantangan-tantangan ke depan. Tentang hubungan
bilateral Indonesia-Australia, ada bagian hanya tujuh halaman yang
secara spesifik membahas topik tersebut. Namun tentang aspek
kerjasama ekonomi dan perdagangan, Evans dan Grant cukup tajam
mengakui bahwa statusnya "belum dewasa", terhambat oleh kekurang-
pengertian akan keadaan serta peluang di masing-masing pasar
domestik, namun dengan makin terbukanya Indonesia zaman 1980-
90an terhadap liberalisasi perdagangan (di bawah WTO) maka makin
klop pendekatan perdagangan dan investasi kedua negara kita
tuturnya.37 Tetapi buku ini tidak memberikan fokus kepada urusan ini,
apalagi memberikan suatu konsepsi akan pemecahan persoalan.
c. JSCFADT (1993), Australia's Relations with Indonesia, Dinas Penerbitan Pemerintah Federal Australia, Canberra. Joint Standing
Committee for Foreign Affairs, Defence and Trade (JSCFADT)
Pemerintah Australia merupakan semacam komisi tetap di parlemen
Australia (mirip dengan fungsi dan komposisi Komisi I DPR RI). Buku
ini merupakan laporan resmi dari kerangkaian sidang mereka yang
membahas keadaan hubungan bilateral Indonesia-Australia pada saat
itu. Buku tersebut sangat luas dan tajam, dan selain mengumpulkan
dan membahas banyak masukan tertulis dari sekian banyak
stakeholders di Australia (termasuk KBRI Canberra), juga
mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi resmi yang wajib
dipertimbangkan oleh Pemerintah Australia pada waktu itu.
Pembahasan tentang keadaan kerjasama ekonomi, perdagangan dan
investasi muncul di Bab 8 (Perikanan), Bab 10 (Isu-Isu Sains,
37 Evans, G. dan Grant, B., (1991), Australia's Foreign Relations In the World of the 1990s, Melbourne University Press, hlm.189-90
28
Lingkungan Alam, Pendidikan dll), Bab 11 (SKA dan SD Energi), Bab
12 (Perdagangan Bilateral), Bab 13 (Investasi Bilateral), dan Bab 14
(Bantuan Pembangunan). Rekomendasi-rekomendasi tentang
perdagangan dan investasi agak sempit, dan lebih mengarah kepada
kepentingan informasi (pengertian/pemahaman) daripada sebuah
peningkatan kerjasama ataupun langkah-langkah strategis (misalnya,
Comprehensive Strategic Partnership).
29
BAB III
KONDISI KERJASAMA BILATERAL BIDANG PERDAGANGAN DAN LITBANG AGRARIA SAAT INI
11. Umum Kalau melihat keadaan saat ini soal Ketahanan Pangan, sebenarnya
Indonesia baik pemerintah maupun masyarakat umum memberi banyak
perhatian terhadap isu pangan. Sebagai negara berkembang (yang juga
dinilai telah naik status menjadi negara 'lower-middle-income' atau
'pendapatan-menengah-bawah' menurut Bank Dunia 38 ) maka sangat
dimaklumi bahwa Indonesia pernah mengalami kesulitan pangan dengan
wujud kelaparan (contoh krisis beras di Jawa tahun 1972-73; Timor Timur
akhir tahun 1970an; Irian Jaya tahun 1998 39 ), dan pernah merasakan
beratnya ongkos pengimporan bahan makanan terhadap kelancaran
ekonomi (contoh kurang lebih sepanjang tahun 1960an). Dengan demikian
sangat dimaklumi bahwa para pemimpin Indonesia rajin mengawasi bidang
pangan, apalagi dengan mengingat semangat kinerja yang melandasi
sukses pemerintahan Suharto dengan mengembalikan Indonesia kepada
status 'swasembada beras' pada tahun 1984 hasil kerja keras Orba sejak
Repelita I canangan tahun 1969. Manifestasi semangat penanganan
maupun pengawasan Ketahanan Pangan justru banyak, dan adanya
38 Sebagaimana dikutip oleh World Food Program (WFP) [http://www.wfp.org/countries/Indonesia, diakses 24 Mei 2012] 39 Situs internet Indonesian Timeline [http://www.gimonca.com/sejarah/sejarah10.shtml, diakses 24 Mei 2012]
'Food security is a growing challenge, with recent widespread flooding throughout our region devastating food crops. We recognised the role of our aid partnership in helping Indonesia to address food security concerns and agreed to implement a new $112 million agricultural initiative to improve the livelihoods of Indonesian farmers. We agreed to work together to enhance animal welfare outcomes and contribute to ensuring a sustainable trade for the live cattle industry. On the issue of palm oil, Indonesia encourages Australian industries to purchase and use sustainable palm oil from Indonesia.'
Transcript, Joint Communiqué 1st Indonesia-Australia Annual Leaders' Meeting, Bali, 20 Nov 2011
[http://www.pm.gov.au/press-office/1st-indonesia-australia-annual-leaders-meeting-joint-communique, diakses 29 Sep 12]
30
kerangka dokumen pembangunan nasional yang sedemikian tebal justru
merupakan bukti akan keseriusan para pemimpin Indonesia terhadap
pangan dan Ketahanan Pangan.
Menurut Badan Ketahanan Pangan RI, Permasalahan Pangan
Nasional Indonesia saat ini meliputi sembilan isu/masalah sebagai berikut:40
(1) laju pertumbuhan penduduk yang masih tinggi (periode 2000-2010 =
1,49% per tahun) dengan jumlah penduduk yang besar; (2) jumlah
penduduk rawan pangan masih relatif tinggi (±13% dari total penduduk); (3)
ketergantungan konsumsi beras dalam pola konsumsi pangan yang masih
tinggi (konsumsi beras 139,15 kg/kapita/th); (4) konversi lahan pertanian
masih tinggi dan tidak terkendali; (5) kompetisi pemanfaatan dan degradasi
sumber daya air semakin meningkat; (6) infrastruktur pertanian/pedesaan
masih kurang memadai; (7) belum memadainya prasarana dan sarana
transportasi, sehingga meningkatkan biaya distribusi/pemasaran pangan; (8)
sebaran produksi pangan yang tidak menentu, baik antar waktu (panen raya
dan paceklik) ataupun antar daerah (di Jawa surplus dan di Papua defisit);
dan (9) beberapa daerah di Indonesia rawan bencana alam, yang
menyulitkan bagi pengembangan Ketahanan Pangan yang berkelanjutan.
Akibatnya, dan berdasarkan data dari Kementerian Pertanian (Kementan),
diketahui bahwa produksi pangan Indonesia belum dapat memenuhi
kebutuhan pangan dalam negeri. Hal ini terlihat dari neraca perdagangan
yang defisit 1.392.324.931kg pada bulan Juni 2011 misalnya. Impor
dilakukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dalam negeri terkait dengan
pencapaian Ketahanan Pangan (pengimporan tersebut diakomadir dalam
kebijakan resmi, dimana pangan boleh diimpor apabila pangan bagian
pokok dan/atau bagian cadangan tidak mencukupi kebutuhan negara pada
waktu tertentu). 41 Dan dari data World Food Program (WFP), dan
pemerintah RI sendiri, permasalahan Ketahanan Pangan diakui:42 Dari laporan Riskesdas, kurs manusia yang gizinya buruk (malnutrition) mencapai 18%. Lebih dari 36% adalah terbantut (stunted) ... dan dari data Indonesia Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) yang diluncurkan oleh Presiden pada Mei 2010, 87 juta WNI tergolong 'rawan pangan' (food insecure), 25 juta diantaranya tergolong 'sangat rawan pangan' (severely food insecure).
40 Hermanto, Dr. Ir., op.cit. 41 Lihat PP RI No.68/2002 ttg Ketahanan Pangan, Pasal 3 (4) 42 http://www.wfp.org/countries/Indonesia/Overview [diakses 2 Juni 2012]
31
Maka status Ketahanan Pangan di Indonesia dapat dikatakan
merupakan tantangan tingkat nasional, dimana cukup banyak dari jumlah
penduduk terdampak secara negatif (‘rawan pangan’) terkait dengan isu
kemiskinan, namun produksi pangan serta potensi akan kenaikan produksi
tersebut juga besar, dan respons dari pemerintah pusat maupun daerah-
daerah justru luas dan serius.
Keadaan Ketahanan Pangan di Australia secara relatif lebih tangguh,
walau tidak tanpa permasalahan juga. Secara keseluruhan, Australia
menghasilkan lebih banyak komoditi pangan daripada yang dapat
dikonsumsi, sehingga misalnya pada tahun 2011 nilai ekspor pangan dari
Australia sebanyak AUD$27,1 milyar43 (namun pada saat yang sama, tetap
mengimpor bahan makanan sebanyak AUD$10,6 milyar pada tahun itu
akibat : beberapa sektor pangan yang tidak sesuai keadaan SKA di
Australia, atau sesuai tetapi produksi dalam negeri terlalu mahal, atau berkat
selera konsumen yang rela bayar mahal untuk makanan impor tertentu).
Australia dianggap oleh FAO sebagai negara dengan Ketahanan Pangan
yang tinggi, dan dalam banyak sektor pangan juga Swasembada. Kendati
demikian, Australia mempunyai tantangan dalam produksi ke depan terkait
kepekaan mutu dan gizi lahan/tanah (soil fragility, mengingat hanya 8% dari
wilayah benua Australia dianggap subur untuk kegiatan pertanian), terkait
kepekaan tingkat endapan / SKA air (benuanya merupakan benua terkering
di dunia44), dan terkait aspirasi para petani/peternak yang makin melihat
anaknya pindah ke sektor ekonomi yang lebih menentukan (mengingat juga
bahwa petani/peternak di Australia terekspos penuh terhadap fluktuasi pasar
bebas global, serta harus bersaing dengan impor tanpa banyak bantuan
ataupun proteksi daripada pemerintah negara bagian maupun nasional).
Lebih memprihatinkan lagi, kerawanan pangan terjadi di Australia
walau produksi pangannya agak melimpah, terkait permasalahan di sekitar
aspek keterjangkauan dan konsumsi. Bagi kaum lanjut usia (lansia),
sebagian yang jumlahnya tidak kecil tergolong rawan gizi---hampir sepertiga
43 DAFF, (2012), op.cit, hlm.iii 44 http://www.about-australia.com/facts/ [diakses 18 Okt 2012]
32
dari lansia yang pasien di panti jompo pada tahun 2008.45 Bagi kaum
aborijin situasi nutrisi cukup menghawatirkan, dimana tingkat kesakitan
kronis, angka harapan hidup, serta tingkat pertumbuhan balita semua lebih
buruk daripada kaum orang Australia non-aborijin (misalnya di komunitas-
komunitas terpencil di Northern Territory pada tahun 2007, tercatat
sebanyak 11% balita tergolong bantut, 14% berat badannya di bawah
standar [underweight], dan 10% lagi tergolong berat badan yang sangat di
bawah standar [wasted])46. Dan untuk penduduk secara umum, tingkat
kemiskinan umum sedang meningkat dengan akibat sebanyak 12,8%
penduduk Australia tergolong miskin sesuai definisi kemiskinan di negara-
negara maju (standar OECD, dimana seorang manusia dewasa meraih
kurang dari AUS$358 per minggu; sebuah keluarga [dua orang tua, dua
anak] meraih kurang dari AUS$752 per minggu).47
Maka status Ketahanan Pangan di Australia dapat dikatakan cukup
tangguh, tetapi masih ada permasalahan di sekitar segmen penduduk
tertentu dimana kemiskinan, keterpencilan (khususnya kaum aborijin)
ataupun pola makanan menimbulkan kerawanan pangan / kerawanan gizi
secara sempit. Dengan adanya sistem bantuan sosial di Australia yang
cukup menyeluruh dan menerobos, dan dengan latar belakang dan kinerja
produksi agraria yang stabil dan efektif maka boleh dikatakan bahwa
pendekatan dan penanganan bidang Ketahanan Pangan pemerintah-
pemerintah Australia cukup baik, padahal 'pekerjaan rumah' tetap ada.
12. Kondisi kerjasama bilateral Indonesia-Australia bidang perdagangan dan litbang agraria saat ini Indonesia dan Australia mempunyai kesibukan tertentu dalam
perdagangan bilateral, namun pada tahun 2011 tercatat bahwa Indonesia
hanya sampai urutan kesembilan terbesar sebagai tujuan ekspor bagi
Australia, dan bagi Indonesia juga situasinya sama di mana Australia
45 Lihat artikel di harian The Australian, Elderly Patients are Malnourished or At Risk, 21 Mei 2008 [http://www.theaustralian.com.au/news/health-science/elderly-patients-are-malnourished/story-e6frg8y6-1111116397757, diakses 18 Okt 2012] 46 Burns J, Thomson N (2008) Review of nutrition and growth among Indigenous peoples. [http://www.healthinfonet.ecu.edu.au/health-risks/nutrition/reviews/our-review, diakses 18 Okt 2012] 47 http://acoss.org.au/uploads/ACOSS%20Poverty%20Report%202012_Final.pdf [diakses 7 Nop 2012]
33
merupakan tujuan ekspornya yang urutan kesembilan pula.48 Nilai daripada
perdagangan dua arah tersebut agak seimbang, dengan nilai ekspor dari
Australia (ke Indonesia) sebesar AUD$5,397 milyar dan dari Indonesia (ke
Australia) AUD$5,906 milyar pada tahun 2011. Macam komoditas terbesar
adalah : dari Australia, gandum (AUD$1,117 milyar), bensin mentah
(AUD$0,747 milyar), aluminium (AUD$0,341 milyar) dan katun (AUD$0,301
milyar); dan dari Indonesia, bensin mentah (AUD$2,544 milyar), barang
baja/besi/aluminium (AUD$0,640 milyar), emas (AUD$0,419 milyar) dan
bensin matang (AUD$0,216 milyar) (melihat data di Lampiran 3). Maka
dalam perdagangan pangan hanya gandum yang merupakan komoditi
pangan dalam delapan komoditi terbesar/terbanyak---sesuatu yang ironis
mengingat identitas Indonesia sebagai negara agraria sekaligus negara
maritim, dan Australia sebagai net food exporter. Menurut OECD (2012)49
kendati Australia merupakan pemasok terbesar dalam gandum, produk
susu, sayuran dan ternak hidup, tetap saja blok Australia / New-Zealand
merupakan blok pengekspor pangan/agraria yang menghasilkan seperlima
daripada total impor pangan periode 2008-10 kepada Indonesia. Tetapi ini
juga berarti AS sendiri dan Eropa secara kolektif tetap lebih menonjol
sebagai sumber kalori dan gizi di Indonesia daripada Australia / New-
Zealand, padahal Australia relatif dekat, maka seharusnya mempunyai
integrasi perdagangan yang canggih dan pas. Dan mesti dipertanyakan
pula, mengingat pemerintah Australia suka mencanangkan mempunyai
hubungan yang khusus dengan Indonesia.50 Dan sebaliknya, pengeksporan
produksi agraria Indonesia ke Australia tidak memuaskan (tidak ada
komoditas dalam empat teratas yang merupakan produksi agraria, dan
hanya Harmonised System (HS) kategori 'kakao / minyak masak' yang
muncul dalam HS kategori ke-25 terbesar produk ekspor pangan ke
Australia dengan bahkan itu hanya bernilai USD$29,3 juta pada tahun 2007
48 http://www.dfat.gov.au/geo/fs/indo.pdf [diakses 17 Okt 2012] 49 Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), (2012), OECD Review of Agricultural Policies: Indonesia, OECD Publishing, hlm.105 [http://dx.doi.org/10.1787/9789264179011-en, diakses 20 Okt 2012] 50 Misalnya, sering diumumkan oleh pejabat tinggi atau pemimpin politik di Australia bahwa “tidak ada negara yang lebih penting bagi Australia daripada Indonesia”. Ucapan sedemikian baru dikatakan mantan PM Australia Paul Keating dalam ‘Orasi Peringatan Keith Murdoch’ di Perpustakaan Induk, Negara Bagian Victoria, tanggal 14 Nop 2012 [http://news.blogs.slv.vic.gov.au/2012/11/15/the-2012-keith-murdoch-oration-delivered-by-the-honourable-paul-keating-former-prime-minister/, diakses 15 Nov 2012].
34
atau 1.56% dari total nilai pengeksporan Indonesia ke Australia pada tahun
itu 51 ). Jika mengingat pentingnya sektor agraria bagi perekonomian
Indonesia di mana 15% dari PDB diraih dari pangan/agraria dan 38% dari
kaum pekerja diserap oleh sektor ini pula, maka penyerapan ekspor pangan
Indonesia oleh pasar-pasar di Australia pantas disesalkan.52
Mengapa perdagangan bidang pangan kita tidak lebih menonjol? Jika
perekonomian di kedua negara kita kompetitif maka kenyataan itu akan
masuk akal, padahal, cukup banyak pakar pernah mengatakan bahwa
ekonomi Australia dan ekonomi Indonesia cukup bersifat saling berisi
(complimentary).53 Ataukah kenyataan ini merupakan sebagian daripada
underperformance perdagangan bilateral kita secara keseluruhan, seperti
yang pernah dikomentari petinggi Kemendag RI dan Deplu Australia
(DFAT): "pemerintah dari kedua negara kita mengakui bahwa perdagangan dua arah serta koneksi penanaman modal adalah jauh di bawah potensinya dibandingkan misalnya tingkat perdagangan dan penanaman modal Australia dengan negara anggota ASEAN yang lain"54
seperti kesan dari gambar ini:
(sumber: www.dfat.gov.au/trade/fta/asean/aanzfta, diakses 9 Nop 2012)
51 DFAT dan Kemendag RI, (2008), op.cit., tabel 2.5, hlm.23 52 Namun, ekspor produksi kehutanan (kayu, kayu lapis, kertas, tisu, dan perabot rumah) dan karet berjalan juga. Tetapi pada umumnya, hasil agraria (pangan dan non-pangan) dari Indonesia ke Australia tidak signifikan menurut hemat penulis. 53 Misalnya, komentar yang muncul dari Centre for International Economics (CIE) dalam laporan Estimating the Impact of an Australia-Indonesia Trade and Investment Agreement, (2009). Bab II-nya membahas pertanyaan itu, dan menyimpulkan : “… dari lima sistem ukuran tersebut maka Australia dan Indonesia mempunyai pola-pola produksi dan konsumsi yang complimentary satu sama lain.” [hlm.17] 54 DFAT dan Kemendag RI, (2008), Australia-Indonesia Free Trade Agreement Joint Feasibility Study, hlm.1
1
Go to www.dfat.gov.au/trade/fta/asean/aanzfta for more information
AANZFTA - OVERVIEW
AANZFTA: a key new regional commitment
to open markets
� AANZFTA is the first Free Trade Agreement Australia has signed since the onset of the global financial crisis
� demonstrates the Government’s commitment to providing a solid platform to support growth in Australia’s trade and investment with the region.
ASEAN and New Zealand are key trading partners
� Australia’s total two-way trade with ASEAN and New Zealand was valued at $97 billion in 2009, accounting for just under 20% of Australia’s total trade with the world.
� Australia’s two-way trade with ASEAN has grown by an annual average of over 10 per cent over the past five years
� AANZFTA covers an area with a combined population of over 600 million, with an estimated GDP of $3.3 trillion.
Note: Trade with the less developed countries of ASEAN (Burma, Cambodia and Laos) is negligible, amounting to around $164 million in 2009. Source: ABS Trade data on DFAT STARS database & ABS Regional Services series.
Viet�Nam�8%A$6bn
Indonesia�15%A$11.3bn
Brunei�1%A$0.9bn
Malaysia�17%A$13.3bn
Philippines�3%A$2.5bn
Singapore�30%A$23bn
Thailand�25%A$19.2bn
Australia's�Total�TwoͲWay�Trade�with�ASEAN�2009
35
Dan mengapa Peristiwa penghentian peneksporan ternak hidup tahun 2011
(dikenal di Australia sebagai kasus Live Cattle) terjadi begitu seru, dimana
pemerintah Australia secara sepihak melarang pengeksporan sapi hidup
dari Australia kepada Indonesia secara mendadak selama satu bulan akibat
ekspos kelakuan brutal saat sapi dipotong di beberapa rumah potong di
Indonesia oleh media televisi ABC. Tertekan oleh opini publik yang sangat
anti, pemerintahan Gillard tanpa konsultasi dengan Jakarta bertindak. Satu
bulan kemudian pengeksporan dimulaikan kembali secara bertahap tetapi
setelah perundingan dengan pejabat-pejabat Indonesia, bantuan teknis
Australia serta regulasi baru dari Australia sebagai rejim pengawasan yang
ketat. Respons lebih lanjut dari pemerintahan Yudhoyono adalah jatah sapi
impor Australia dikurangi menjadi setengah, dan akan dikurangi lagi
menjelang target Indonesia menjadi swasembada daging sapi pada tahun
2014. 55 Akibatnya, pasar ekspor yang semula bernilai AUD$300 juta
diseparuhkan, daging box impor turut dikurangi oleh Jakarta, ongkos daging
sapi di Indonesia pra-Juni 2011 yang sekitar Rp55.000 per kg sekarang
menjadi sekitar Rp90.000 per kg (dan lebih dari Rp100.000 pada bulan
puasa lalu).56 Peternak di Australia Utara sebagian kehilangan nafkah,
pembisnis hilir Indonesia juga kehilangan keuntungan, dan banyak WNI
mengalami penurunan protein dan gizi akibat daging sapi menjadi lebih
mahal 80% lebih---sebuah kasus yang sungguh tidak mengindahkan status
konon 'mitra' Australia dan Indonesia.
Dalam bidang litbang agraria / bantuan teknis agraria, keterangan
resmi dari Australian Centre for International Agricultural Research
(ACIAR) 57 adalah menarik. Program ACIAR di Indonesia merupakan
program terbesar ACIAR di dunia, yang sendirinya mencerminkan suatu
prioritas tinggi instansi pemerintahan Australia ini terhadap kerjasama
55 http://www.smh.com.au/environment/animals/farmers-worried-as-indonesia-plans-to-cut-beef-imports-20111216-1ox74.html [diakses 10 Nov 2012] 56 http://www.beefcentral.com/p/news/article/2362 [diakses 10 Nop 2012] 57 Lihat situs http://aciar.gov.au. Berdiri sejak Juni 1982, ACIAR adalah suatu otorita pemerintahan yang beroperasi sebagai bagian dari Program Bantuan Australia di bawah kewenangan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan. ACIAR berperan dalam obyektif program bantuan ini untuk meningkatkan kepentingan nasional Australia melalui pengurangan tingkat kemiskinan dan pembangunan yang berkelanjutan dengan pendanaan penelitian dan pengembangan proyek-proyek pertanian yang dilaksanakan oleh peneliti-peneliti Australia dan negara-negara mitra.
36
agraria teknis dengan Indonesia di atas dengan negara-negara sahabat
yang lain.58 Alasan ACIAR sangat aktif di Indonesia nampakya karena
Indonesia mempunyai letak dan bobot strategis bagi Australia, serta
masalah kemiskinan di Indonesia merupakan prioritas yang disetujui
bersama oleh kedua pemerintahan sebagai jalur gerak utama bagi
kerjasama bilateral kita melalui The Australia-Indonesian Partnership (AIP,
2008-13). Menurut informasi resmi, kegiatan ACIAR dengan para mitra
instansi Indonesia melaksanakan fokus geografis terhadap tantangan-
tantangan di propinsi yang kurang makmur yang kebanyakannya berada di
Indonesia bagian Timur. Kegiatan resit yang dilakukan dikatakan bersifat
fleksibel, berkisah antara fokus terhadap produktivitas petani dan mutu
penghasilannya, ataupun rantai suplai agar produksi komodoti nilai tinggi
dapat dipasarkan dengan efisien dan efektif. Strategi resit ACIAR di
Indonesia pada jangka waktu menengah terfokus pada : optimalisasi
kebijakan agar agribisnis dapat lebih bersukses; memperkuat produksi
hewan sapi / domba serta sistem biosecurity yang terkait; meningkatkan
produktivitas sistem pertanaman; meningkatkan keuntungan bagi
pembudidaya ikan skala kecil; optimalisasi pengelolaan perikanan; dan
peningkatan pengelolaan kehutanan (produksi dan jasa). Secara nyata,
kegiatan tersebut pada tahun 2010-11 menyentuh urusan : sektor padi di
Aceh; lobster di Lombok, Kupang dan Bima; ikan susu di Jawa; mangga dan
rambutan di NTB (ekspor ke Hong Kong, Singapura dan Kuala Lumpur);
tauge/toge di Timor Barat; kopi di Sulawesi dan Flores; dan sektor sapi di
NTB dan Jawa.59 Walau semua data ini cukup bagus, yang tidak muncul
dibahas adalah berapa jauh kerjasama tersebut membantu keperluan
agraria Indonesia secara holistik, apakah ada celah antara apa yang
dimintai Indonesia dibandingkan apa yang disediakan/didanai Australia,
bagaimana Transfer of Technology-nya (bagus tidak?, berkelanjutan tidak?).
Dan penilaian dari pihak pemerintah Indonesia tidak ditemukan penulis,
58 ACIAR memiliki kantor di tujuh negara: China, India, Indonesia, PNG, Filipina, Thailand dan Vietnam, namun juga ada program di negara-negara tertentu di Afrika (Aljazair, Zimbabwe, Kenya, Ethiopia, Moroko, Tunis, Mesir dll) [http://aciar.gov.au/wherewework, diakses 18 Okt 2012] 59 Laporan Tahunan ACIAR 2010-11, bagian Indonesia, Timor Leste dan Filipina [http://aciar.gov.au/files/node/14074/indonesia_east_timor_and_the_philippines_pdf_53876.pdf, diakses 18 Okt 2012]
37
maka seolah-olah penilaian keefektifan pekerjaan ACIAR dilakukan oleh
satu mitra saja (maka, kredibel tidak?).
13. Implikasi kerjasama bilateral Indonesia-Australia bidang perdagangan dan litbang agraria terhadap Ketahanan Pangan, dan terhadap Kemandirian Bangsa
Dengan pengertian dari atas tentang bagaimana keadaan kerjasama
bilateral bidang perdagangan dan litbang agraria Indonesia-Australia saat in,
khususnya pro dan kontra yang mewarnai realitanya, maka boleh
diextrapolasi lebih lanjut apa efek terhadap Ketahanan Pangan di setiap
negara dan kepada negara kita secara kolektif, kemudian bagaimana juga
efek status Ketahanan Pangan tersebut terhadap keadaan Kemandirian
Bangsa di Indonesia maupun Australia akibat kerjasama agrarianya.
a. Implikasi Kerjasama Bilateral Bidang Perdagangan dan Litbang Agraria saat ini terhadap Ketahanan Pangan Dengan fakta bahwa kerjasama bilateral perdagangan agraria
bilateral kita belum menjadi suatu proyek yang masal dan mengakui
kepentingan Ketahanan Pangan maka penulis menilai bahwa
perdagangan tersebut hampir tidak membawa kontribusi terhadap
situasi Ketahanan Pangan baik di Indonesia maupun di Australia. Di
Indonesia, gandum diperoleh melalui impor dari beberapa negara, di
mana Australia merupakan sumber dari 50-55% gandum impor, tetapi
juga Indonesia mengimpor dari AS, Kanada, Rusia dll.60 Komoditas
agraria yang lain dari Australia tidak menonjol sekali bagi Indonesia.
Dan impor makanan dari Indonesia ke Australia juga tidak begitu
berarti. Maka kontribusi kerjasama bilateral kita lebih terasakan oleh
ekonomi secara luas (dimana paling sedikit Indonesia menjual produksi
senilai USD$7 milyar lebih kepada Australia, dan Australia kepada
Indonesia hampir sama nilainya).
Dan namun ada kegiatan bersama antara ACIAR dan berapa
instansi penelitian agraria di Indonesia, jika kesibukan tersebut hanya
60 http://www.agric.wa.gov.au/objtwr/imported_assets/content/fcp/cu2012_cato_larisa_ indonesian_wheat_market_presentations.pdf [diakses 9 Nop 2012]
38
memakan biaya kurang dari AUD$9 juta (sedangkan anggaran ODA
mendekati AUD$500 juta) maka kegiatan penelitian bersama tersebut
tidak mampu banyak menerobos di dunia agraria Indonesia yang
begitu aneka-ragam serta menyibukkan 40an juta WNI secara
langsung setiap hari (belum menghitung orang yang terlibat dengan
sektor distribusi, pengolahan, pemasaran dan restauran-restauran).
Pendek kata, kerjasama bilateral kita bidang agraria sekarang ini
tidak banyak membantu Ketahanan Pangan di kedua negara.
b. Implikasi Ketahanan Pangan yang saat ini terhadap Kemandirian Bangsa Di Indonesia, kerawanan pangan bagi kaum miskin berarti
Indonesia tetap memilih untuk menerima dana hibah dari beberapa
negara (termasuk Australia), dan tetap menerima bantuan teknis dari
instansi bantuan pembangunan seperti ADB, FAO, dan Bank Dunia.
Dan karena belum swasembada dalam beberapa bahan makanan
yang pokok maupun yang sekunder maka Indonesia tetap mengimpor
bahan makanan dari negara tetangga dan dari dunia lebih luas.
Dinamika tersebut berarti Indonesia di tahun 2012 ini tetap dibantu
oleh pihak asing, dan tetap ekspos terhadap pasar internasional dan
'minat baik' dari negara mengekspor tersebut. Oleh karena itu,
Ketahanan Pangan di Indonesia yang belum optimal ini berarti
kemandirian bangsa belum 100% bulat. Namun, hemat penulis adalah
bahwa Indonesia tidak serba bergantung juga : banyak negara rela
mengekspor komoditasnya (walau harga dan mutu barangkali kurang
sesuai pasar dan selera Indonesia), dan Indonesia tidak harus
bekerjasama dengan instansi bantuan teknis dari luar negeri---para
pakar dan teknisi pangan/agraria di Indonesia sudah pandai juga.
Bagi Australia, yang tidak menganut prinsip 'geopolitik bebas aktif'
yakni non-blok, Kemandirian Bangsa kami telah lama tidak sempurna
dan sebenarnya tidak pernah dituju. Asal Australia kompetitif di pasar-
pasar dunia dan mampu negosiasi di panggung dan forum-forum dunia
dengan bargaining power yang cukup maka Australia tidak
39
mempertanyakan keterikatan yang kami miliki secara eknomik dan
juga dalam urusan hankam.
14. Permasalahan yang dihadapi Berdasarkan uraian di atas dapat diidentifikasi permasalahan yang
dihadapi sebagai berikut :
a. Belum lengkapnya saling pengertian bidang agraria serta pendekatan Ketahanan Pangan masing-masing. Sebagai negara tetangga dengan tradisi agraria yang panjang
lebar di masing-masing negara, bukankah seharusnya para pemimpin
politik, para pemimpin perhimpunan sektor agraria tertentu, para
peneliti serta tokoh-tokoh petani/peternak/nelayan sangat saling
familiar dengan situasi agraria serta pendekatan terhadap Ketahanan
Pangan di kedua negara kita? Tetapi buktinya agak mengecewakan
menurut penulis ini. Contohnya, keunggulan petani Australia sektor
gula (Australia merupakan penghasil gula yang terbesar urutan ke-tiga
di dunia, dengan 80% dari penghasilan ini diekspor61) dan sektor
padi/beras (petani beras Australia menghasilkan panen-per-areal yang
terbanyak di dunia [10 ton per hectare], dan rata-rata menggunakan air
irigasi yang 50% lebih sedikit daripada petani-petani lain di dunia62)
tidak dimengerti di kalangan umum di Indonesia dan belum dibahas di
lingkungan PPRAXLVIII misalnya. Di Australia, publik tidak mengerti
konteks dan tantangan Indonesia soal makanan pokok daging sapi
(kalau mengerti, mengapa over-reaksi opini publik saat liputan
emosional tentang praktek-praktek di beberapa rumah potong hewan
ditayangkan di media Australia?), dan kurang siap melihat kepentingan
dan argumentasi pihak Indonesia terhadap keunggulan dan valid-nya
CPO hasil unggulan Indonesia. Kalau saling mengerti dan paham,
maka pernyataan DFAT dan Kemendag RI bahwa "sebuah FTA antara
Australia dan Indonesia akan membawa manfaat bagi Australia (...)
61 Situs internet Cane Growers Association of Australia [http://www.canegrowers.com.au/, diakses 28 Mei 2012] 62 Situs internet Rice Growers Association of Australia [http://www.rga.org.au/about-rice.aspx, diakses 28 Mei 2012]
40
dan manfaat yang lebih besar lagi bagi Indonesia"63 seharusnya berarti
bahwa basis sebuah FTA---yakni perdagangan bebas tarif maupun
bentuk proteksionisme yang lain---seharusnya telah disepakati dan di
tengah-tengah pelaksanaannya (daripada tetap diragukan dan
dipertanyakan oleh pihak tertentu baik di Jakarta maupun di Canberra).
Dan apabila stakeholders agraria di Australia betul-betul sadar akan
lalu memikirkan potensi akan kerjasama agraria dengan Indonesia
maka mengapa dalam 152 buah submisi tertulis kepada tim perumus
Green Paper 'National Food Plan' yang dipasang di situs internet tim
tersebut hanya tujuh yang menyinggung urusan pangan/agraria
Indonesia dan bahkan kebanyakannya dari tujuh itu merupakan
keluhan sempit tentang kasus moratorium Live cattle atau status
sustainable tidaknya CPO penghasilan Indonesia.64 Tetapi realita hari
ini masih mirip dengan masalah tahun 1990an sebagaimana diajukan
Evans dan Grant (1991) tentang kegiatan komersial bilateral : ignorance in each country of conditions and opportunities in the other (...).65
Dan sama halnya jika melihat penilaian dari Business Partnership
Group (BPG)---perkumpulan pembisnis dan cendekiawan Indonesia
dan Australia selaku narasumber kunci terhadap perundingan I-A
CEPA---yang baru-baru ini mengatakan : But there is a lack of communication and systematic exchange of information on business opportunities. As a result, many businesses from one country have not pursued opportunities with the other. This lack of information, leading to poor understanding and market failure, is a major hindrance to the increase of trade and investment cooperation.66
b. Belum ‘diproyekkan’ hubungan ekonomi secara strategis, sektor agraria sebagai salah satu bagian terpenting. Hubungan ekonomi kedua negara kita (sebagaimana digaris-
bawahi dalam FTA Feasibility Study-nya) adalah jauh di bawah
potensinya. Sedangkan kerjasama bidang hankam, pendidikan
63 DFAT dan Kemendag RI, (2008), Australia-Indonesia Free Trade Agreement Joint Feasibility Study, hlm.1 64 Lihat http://www.daff.gov.au/nationalfoodplan/process-to-develop/green-paper/submissions-received [diakses 14 Okt 2012] 65 Evans dan Grant (1991), op.cit., hlm.189 66 Business Partnership Group (2012), Interim Report on the BPG Consideration of the Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement, 24 Sep 2012 [http://www.dfat.gov.au/fta/iacepa/submissions/index.html, diakses 12 Okt 2012]
41
bahkan sosial-budaya jauh lebih tangguh dan terstruktur. Tetapi
kegiatan ekonomi, yakni perdagangan dan penanaman modal dua
arah, lebih jatuh kepada semangat kurangnya pihak swasta, dan tidak
diindahkan oleh adanya sebuah 'payung' atau 'kerangka' yang
teryakinkan bagi para pemainnya. Malah, bantuan ekonomi teknis
atau kredit lebih merupakan respons ad hoc daripada sesuatu yang
terus-menurus dan terhandalkan (contohnya, pinjaman lunak Australia
kepada Indonesia di sekitar Krismon 1998, atau hibah dana
rekonstruksi setelah malapetaka Tsunami Laut India 2004). Dan
komitmen politik kedua negara kita tampaknya kurang berkomitmen
yang sungguh-sungguh soal perjanjian, persetujuan atau kerangka
kerjasama ekonomi, mengingat bahwa persetujuan formal bidang
ekonomi yang pertama setelah enam dekade lebih perjalanan
hubungan bilateral Indonesia-Australia muncul sebagai persetujuan
Australia dan New Zealand dengan ASEAN daripada Australia dan
Indonesia secara bilateral yaitu mitra langsung (FTA dibahas pada
tahun 2007; hanya sekarang perundingan I-A CEPA akan dimulai).
Maka masalah di sini sangat fundamental : dinamika ekonomi
adalah sangat kritis untuk sukses geopolitik (ke luar) dan
menyejahterakan bangsa (ke dalam), padahal Australia sebagai
'jangkar' Oceania dengan ekonomi terbesar nomor ke-13di dunia, dan
Indonesia sebagai negara berpopulasi nomor empat dan ekonomi
terbesar nomor ke-16 67 , belum memprioritaskan sinergi ekonomi
bersama, padahal cukup komplementatif. Daripada menangani urusan
kerjasama ekonomi dengan potensialnya yang sekian besar, malah
negara-negara kita lebih memprioritaskan persetujuan formal bidang
hankam (tahun 1996 dan 2006), perpajakan (1992), ekstradisi (1995),
perbatasan di Celah Timor (1991), tenaga nuklir (1997) dll---hal-hal
yang dapat dianggap tingkat transaksional saja, bukan hal yang
sesentral menghasilkan kemakmuran bersama.
67 http://databank.worldbank.org/databank/download/GDP.pdf [diakses 11 Nop 2012]
42
c. Terlalu pekanya kegiatan kerjasama agraria (khususnya impor/ekspor) terhadap dinamika pasar bebas dan terhadap kepentingan politik domestik. Secara jujur, agak mudah bagi kedua negara kita untuk berfikir
negatif satu sama lain (beberapa contoh saja : kasus David Jenkins
tahun 1986, Peristiwa Santa Cruz 1991, Timor Timur 1999, fenomena
Pauline Hanson 1999-2003, Pemboman Kedubes Australia di Jakarta
2004, kasus 43 orang Papua 'pencari suaka' tahun 2006, kasus
Shapelle Corby 2004-05, peristiwa Live Cattle 2011....).
Kecendurungan ‘negative thinking’ tersebut tidak serba aneh
mengingat perbedaan sejarah, budaya, kepercayaan spiritual,
etnisitas, tingkat perkembangan dll di antara Australia dan Indonesia.
Kecendurungan ini juga berarti kepentingan akan kerjasama dan
penjagaan hubungan harmonis kita dapat dibajak untuk sementara
oleh kasus, isu ataupun krisis yang mudah menjadi 'seru' di mata
publik kita masing-masing. Kalau aspek perdagangan/ekonomi,
sektor-sektor yang---menurut hemat penulis---adalah mudah
ditanggapi dengan 'kepala yang panas' atau kurang rasional adalah :
makanan impor jika menjadi terlalu menonjol; adanya pemodal asing
yang terlalu menonjol/sukses; dan (bagi orang Australia) kelakuan
terhadap ternak hidup.
Dari segi penanaman modal, ada semacam paradoks, dimana
pada satu segi pemerintahan Yudhoyono agak sibuk menghimbau dari
Jakarta dan saat berkunjung ke luar negeri agar dunia pemodal asing
meningkatkan minat dan giatnya untuk menanamkan modal lebih
banyak sesuai program Bangnas RI (terutama sesuai dengan
MP3EI)68, tetapi dari segi lain keluhan dan rasa kekurang-nyamanan
opini publik terus meningkat tentang isu investasi asing sehingga
sering muncul kritikan (di kuliah Lemhannas pula) bahwa ‘SKA bangsa
68 Melihat kata-kata Bapak Presiden misalnya dalam pidato kepada Australia Indonesia Business Council di Darwin : " ... I encourage you to utilize Indonesia’s geography, demographics, stability, democracy, economic strengths, and competitive labor to your advantage. Make Indonesia your hub for production and innovation. Having plants, factories, and business centers in Indonesia will open bigger markets for your business." [http://www.aibc.com.au/index.php?option=com_content&view=article&id=51&Itemid=50, diakses 30 Sep 2012]
43
dikuasai asing’. (Australia juga rawan paradoks serupa, tetapi lebih
terkait dengan semangat BUMN China belakangan ini untuk membeli
lahan agraria atau pertambangan strategis di negara kangguru
tersebut69.) Pokoknya, apabila perusahaan ataupun pemodal asing
diajak berkemitraan berusaha di Indonesia dan mereka bertindak
sesuai undang-undang RI yang sah maka tidak masuk akal dan tidak
mengindahkan kepentingan pertumbuhan ekonomi Indonesia apabila
kepekaan yang mengarah ke nasionalisme yang kuat tetapi kurang
rasional tersebut tetap terdorong oleh para pembentuk opini publik,
apalagi para pemimpin politik ataupun birokrat senior dari sektor
perdagangan, pertanian dan lain sebagainya.
Inti dari semua ini, tanpa mempunyai suatu grand design
kerjasama ekonomi agar kedua bangsa mampu melihat 'gambar
besar'-nya dan manfaat makro, isu ad hoc mampu direspon dengan
tidak seimbang. Tanpa mengerti keseluruhan yang akan diancam oleh
reaksi apabila reaksi itu menjadi kelebihan maka publik ataupun para
politikus Australia dan publik atau politikus Indonesia pernah dan akan
melangkah secara sepihak dan provokatif. Hasilnya, obyek
kemarahan tersebut menjadi terpukul (sebuah pertambangan atau
sebuah sektor komoditas misalnya) tetapi juga business confidence di
negara-negara kita juga terpukul sehingga ketidak-nyamanan secara
lebih luas muncul. Ibarat 'tanpa kiblat, kita gampang kesasar'.
d. Kurang seriusnya kerjasama antara Instansi litbang masing-masing. Kendati ada kegiatan ACIAR sebagaimana di sosialisasi di
website-nya, realitanya adalah tenaga kerja ACIAR di Indonesia hanya
puluhan orang dan anggaran ACIAR itu pada tahun anggaran 2011-
2012 hanya sebesar AUD$8,11 juta (sedangkan 2009-10 sebanyak
AUD$11,57 juta dan 2010-11 AUD$9,1470). Mengingat begitu besar
69 Lihat kasus Rio Tinto - Chinalco tahun 2008-09 [http://www.cb.cityu.edu.hk/research/apjae/document/17-3/07.pdf, diakses 1 Sep 2012] dan kasus Cubbie Station 2012 [http://www.theaustralian.com.au/national-affairs/asia-leads-the-charge-in-aussie-land-grab/story-fn59niix-1226085921522, diakses 1 Sep 2012] 70 ACIAR (2011), Indonesia Strategy Paper 2011-12 [http://aciar.gov.au/country/Indonesia, diakses 12 Okt 2012]
44
dan luas segmen agraria Indonesia maka ACIAR dengan skala yang
sekarang itu penulis berani mengatakan tidak cukup besar untuk
menghasilkan perubahan / perbaikan yang berarti ataupun luas.
Jumlah tenaga kerja di sektor pertanian pada tahun 2010
mencapai 42,3 juta jiwa atau kira-kira 38% dari jumlah tenaga kerja
Indonesia seluruhnya.71 Akan tetapi dengan jumlah tenaga kerja yang
besar tersebut, ternyata sektor pertanian hanya mampu memberikan
kontribusi PDB nasional sebesar 15%. Hal ini menunjukkan bahwa
tingkat produktivitas tenaga kerja pertanian masih rendah yang
disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kemampuan adopsi
teknologi. 72 Betapa bagusnya apabila teknologi serta pengalaman
petani/peternak di Australia (khususnya sektor beras, sapi dan gula)
lebih tersedia bagi para peneliti, penyuluh dan petani/peternak di
Indonesia. Sebaliknya, betapa bagusnya apabila pengetahuan peneliti
dan petani Indonesia sektor buahan tropis dan umbi-umbian juga dapat
diakses dan menjadi referensi bagi pemeran-pemeran agraria di
Australia.
Dan bagaimana koneksi LIPI dan asosiasi segmen pangan
Indonesia dengan counterparts di Australia; apakah terjadi lebih mirip
kerjasama satu arah daripada suatu kemitraan yang betul-betul saling
mengisi? Nampaknya kerjasama LIPI dengan instansi iptek di
Australia bersifat ad hoc dan tidak dipayungi sebuah persetujuan
tingkat makro (contohnya, tahun ini dicanangkan kerjasama baru
pertukaran beberapa peneliti dengan Universitas Queensland, dan
kerjasama resit teknologi diversifikasi genetika pisang---kedua proyek
baru ini tidak terikat kepada kebijakan kerjasama makro). Dan soal
peneliti asing yang minta izin untuk melaksanakan resit di Indonesia,
Australia tidak termasuk dalam negara yang teraktif, malah "Jumlah
peneliti terbanyak berasal dari Amerika Serikat sebesar 28%, disusul
Jepang 20%, Perancis 16%, Inggeris 11% dan Jerman 8%." 73
71 OECD, op.cit., hlm.19 72 Direktorat Pangan dan Pertanian, Profil Tenaga Kerja Pertanian Indonesia. Bappenas. 2006 73 Artikel di situs LIPI, 'Peneliti AS Dominasi Penelitian Asing di Indonesia', [http://www.lipi.go.id/www.cgi?berita&1323302870&&2011&&ina, diakses 10 Nop 2012]
45
Untuk penelitian agraria secara spesifik, Kementan RI
mempunyai Badan Litbang Pertanian, yang menurut keterangannya di
website mereka menganut kerjasama luar negara secara aktif : Kerjasama luar negeri adalah suatu kesepakatan untuk melakukan kegiatan penelitian, perekayasaan, pengkajian, pengembangan dan alih teknologi dalam bidang pertanian antara UK/UPT Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dengan mitra kerjasama luar negeri. Kerjasama luar negeri meliputi kerja sama dengan lembaga penelitian asing, organisasi internasional, perguruan tinggi asing, swasta asing, dan LSM asing. Secara garis besar, kerjasama dapat dilakukan dalam skema bilateral, regional, dan multilateral. Prioritas kerjasama diberikan kepada kegiatan kerjasama penelitian dengan negara/lembaga dimana Indonesia telah memiliki payung kerja sama dengan negara/lembaga yang bersangkutan.74
Biarpun begitu, tidak ada informasi tentang kegiatan kerjasama luar negeri sejak tahun 2010. Untuk tahun 2010 itu, hanya ada 27 program/kegiatan yang diantaranya 13 adalah dengan ACIAR dan dua adalah dengan CSIRO (yakni 55% kegiatan adalah dengan Australia). Untuk tahun 2009 tercatat 42 program/kegiatan yang diantaranya 24 adalah dengan ACIAR dan 2 adalah dengan CSIRO (yakni 62% kegiatan adalah dengan Australia). 75 Boleh disimpulkan bahwa Australia cukup menonjol di bagian kerjasama iptek bidang agraria (dengan BLP) daripada bidang umum (LIPI). Biar bagiamanapun bagus itu, mengingat kecilnya anggaran tahunan ACIAR, dan rendahnya pendanaan litbang iptek agraria di Indonesia---menurut Bank Dunia, Indonesia menanamkan 0,27% dari nilai PDBnya; yang hampir sama dengan komitmen Laos (0,24%) dan jauh lebih rendah daripada Malaysia (1,92%) bahkan Filipina (0,46%)76---maka penulis berani mengatakan bahwa kerjasama litbang agraria belum cukup serius.
74 http://www.litbang.deptan.go.id/kerjasama/kln, diakses 9 Okt 2012 75 http://www.litbang.deptan.go.id/kerjasama/2009/bilateral_2009.pdf, diakses 9 Okt 2012. 76 OECD (2012), op.cit., hlm.169
46
BAB IV
PENGARUH PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS
15. Umum
Dinamika lingkungan strategis di tingkat global, regional dan nasional
membawa implikasi pro dan kontra, langsung dan tidak langsung terhadap
pelaksanaan pembangunan nasional dan terhadap hubungan luar negeri
kedua negera kita. Dampak positif dapat membawa manfaat dalam
mendukung kepentingan nasional, sedangkan dampak negatif
menyebabkan terjadinya peningkatan potensi ancaman bagi kelangsungan
hidup negara, ataupun semangat akan kerjasama bilateral. Perkembangan
lingkungan strategis kini yang diwarnai dengan pergeseran kekuatan dunia
dari bipolar kembali ke multipolar lagi membawa suatu situasi yang tidak
menentu, dinamis, dan sulit diprediksi, sehingga secara tidak langsung akan
cenderung memaksa semua negara lebih memikirkan stabilitas nasional
serta mengamankan kepentingan nasionalnya. 77 Oleh sebab itu,
peningkatan kerjasama bilateral Indonesia-Australia bidang perdagangan
dan litbang agraria harus mengakomadir perkembangan lingkungan
77 Budi Susilo Supandji. Naskah Lembaga, Perkembangan Lingkungan Strategis Tahun 2012, Lemhannas RI, hlm.5-6
During the past 50 years, global food production has generally followed a positive growth trend, even on a per person basis. Between 1961 and 2008, world population grew by 117% while food production grew by 179%. Nevertheless, the number of chronically undernourished people has increased, not decreased. This is a clear reminder that ensuring an adequate food supply at the aggregate level, globally or nationally, does not guarantee that all people have enough to eat and that hunger will be eradicated. (...) Many people suffer chronic hunger because of inefficiencies and waste in distribution systems and inequality in food purchasing power owing to poverty. In some regions, food distribution systems are compromised by political instability, corruption and war. (...) As a consequence, approximately one billion people around the world suffer chronic hunger, with the Asia-Pacific region home to the largest number: 578 million. A further one billion worldwide, living on less than US$2 a day, are also categorised as food insecure.
FAO (2009), Feeding the world, eradicating hunger,
WSFS 2009/INF/2, FAO of the United Nations, Rome
47
strategis (tingkat global, regional dan nasional masing-masing negara kita),
apalagi memperhatikan peluang dan kendala, dalam upaya kita untuk
merumuskan kebijakan yang tepat.
16. Perkembangan Global Pertama-tama, penting diingat bahwa Ketahanan Pangan tidak lepas
dari keadaan geopolitik dan ekonomi dunia. Kalau geopolitik secara makro, tahun 2012 Amerika Serikat (AS) masih menjadi satu-satunya negara adidaya di dunia ini, walaupun terjadi persaingan dan peningkatan pengaruh global dari China, sehingga kepentingan nasional AS masih cenderung dijadikan kepentingan global yang pada ekstrimnya dapat berkembang menjadi intervensi AS kepada negara-negara lain (termasuk Indonesia dan Australia). AS masih mempunyai keunggulan relatif dalam bidang teknologi, ekonomi dan kekuatan militernya. Namun berubahnya perkembangan ekonomi telah terasakan dengan mulainya kemunduran hegemoni AS sekaligus dengan (atau pemicu terhadap?) terjadinya kompetisi strategis dengan China. Kemunduran hegemoni AS ditandai dengan terjadinya stagnasi ekonomi akibat krisis kredit ('sub-prime crisis' kemudian krisis dengan perbankan investasi [Lehman Brothers, Merill Lynch dll]78) sekaligus ongkos-ongkos berskala raksasa terkait Perang Irak dan Perang Afghanistan.
Krisis ekonomi global ini memberi peluang meningkatnya peran negara-negara kekuatan ekonomi baru seperti Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan (BRICS) dalam tatanan ekonomi global. Sesuai hasil kesepakatan BRICS Summit di New Delhi 29 Maret 2012, kelompok negara-negara ini sepakat untuk meningkatkan kerjasama blok ekonomi baru-nya, misalnya dengan membentuk Bank internasional baru sebagai semacam saingan bagi Bank Dunia. Australia maupun Indonesia menghadapi peluang dan hambatan dengan adanya blok economik baru ini.
Kendati adanya krisis perekonomian di Eropa, tetap diprediksi tahun 2012 perekonomian global akan didorong oleh kemajuan perekonomian Asia, khususnya China dan India. Di kawasan Asia Tenggara, pertumbuhan ekonomi, akan berkisar 5,7-6,8%, dengan motor penggerak Indonesia, Vietnam dan Singapura. Hal ini karena aktivitas ekonomi di negara tersebut
78 http://en.wikipedia.org/wiki/2007–2012_global_financial_crisis [diakses 12 Okt 2012]
48
menunjukkan peningkatan pertumbuhan ekonomi secara perlahan dan tanpa banyak ekspos terhadap Zona Euro. Sekaligus banyak negara maju (High-income countries menurut bahasa Bank Dunia) masih belum sepenuhnya berhasil mengatasi kondisi krisis, sebagian karena masih merasakan akibat langkah-langkah yang drastis dari strategi pemulihan dan restrukturisasi sebelumnya, sebagaimana yang dialami negara-negara Eropa menyusul Krisis Hutang Negari (Sovereign Debt Crisis) di Yunani, lrlandia dan Portugal, lalu menular ke Italia dan Spanyol.
Tetapi juga hampir semua negara dan blok multilateral terekspos terhadap tingginya harga minyak dunia belakangan ini yang sangat berpengaruh pada kestabilan perekonomian dunia (disekitar 90 dolar AS per barrel79, tidak jauh dari puncak harga minyak tahun 1980an, dan 2008-09 pada masa Global Financial Crisis, GFC). Fenomena Peak Oil (saat dunia bertemu titik dimana produksi BBM telah semaksimal mungkin, dan setelahnya produksi akan merosot secara terus-menurus), pertumbuhan jumlah manusia dan industri-industri, konflik di Timur Tengah, serta lambatnya penerapan sumber energi alternatif berarti kepekaan ekonomi dunia terhadap fluktuasi harga minyak akan semakin riil dan semakin mengancamkan.
Semua ini penting justru karena Ketahanan Pangan adalah sangat terkait dengan kesehatan ekonomi tingkat nasional, regional maupun global. Menurut FAO (2012), kira-kira 870 juta manusia diprakirakan bergizi rendah dan buruk (undernourished in terms of dietary energy supply) dalam periode 2010-12. Angka tersebut merupakan 12,5% daripada jumlah penduduk dunia, atau satu orang dari setiap delapan orang. Kebanyakannya tinggal di negara berkembang---yaitu 852 juta---di mana adanya kekurang-gizian diprakirakan mencapai 14,9% penduduk.80 Pesan kunci dari FAO adalah bahwa walau pertumbuhan ekonomik suatu negara (khususnya PDBnya) adalah salah satu faktor inti dalam upaya untuk menurunkan kerawanan pangan serta kekurangan gizi, pertumbuhan tersebut tidak serta merta menjamin sukses Ketahanan Pangan penduduk. Malah, sukses pertumbuhan ekonomi harus menerobos kepada lapis masyarakat miskin, dengan kerangka kebijakan dan program yang tertarget dan sengaja, dan juga bahwa penanaman modal kepada sektor pertanian/peternakan di
79 http://www.oil-price.net [diakses 10 Nop 2012] 80 FAO, (2012), The State of Food Insecurity in the World 2012, hlm.8
49
negara berkembang secara tepat dan efektif merupakan langkah strategis yang terbaik untuk menurunkan angka kerawanan pangan.81 Pada waktu yang sama, beberapa faktor global non-perekonomian
muncul yang membawa dampak langsung terhadap produksi pangan. Di
antaranya : (1) anomali cuaca meningkatkan bencana alam dan
menyebabkan terganggunya produksi pangan; (2) pertumbuhan penduduk
dunia yang tinggi (saat ini +7 milyar, dan 9,1 milyar tahun 2050) akan
meningkatkan permintaan pangan sebesar 60% dari kondisi saat ini; dan (3)
persaingan pemanfaatan lahan untuk food, feed, dan biofuel memperparah
ketersediaan pangan.82 Khususnya soal biofuel, Crude Palm Oil (CPO,
minyak kelapa sawit---produksi unggulan Indonesia---terjebak kritikan dari
beberapa negara maju (EU dan AS khususnya) yang menilai bahwa
perkebunan sawit mengakibatkan kerusakan terhadap hutan primer dan
sekunder yang nilai ekologi terlalu penting, dan sekaligus menambah
masalah karbon dioxida / pemanasan global daripada mengatasinya
sebagai bahan bakar alternatif.83
Sedangkan untuk perdagangan, sistem perdagangan dunia tetap
kurang-lebih berkiblat kepada prinsip-prinsip 'perdagangan yang lebih bebas
dan lebih adil' di bawah naungan World Trade Organization (WTO).
'Kurang-lebih' justru karena liberalisasi dan semangat meningkatkan
kerjasama perdagangan internasional secara kolektif/multi-lateral sedang
macet melihat Putaran Doha tidak lagi bergerak.84 Bagi Australia dan
Indonesia, kemacetan tersebut tidak menguntungkan, khususnya karena
81 Ibid, hlm.4. "However, one lesson that we have learned from success stories coming from all developing regions is that investment in agriculture, more so than investment in other sectors, can generate economic growth that delivers large benefits to the poor, hungry and malnourished." 82 dari materi Paparan Staf Khusus Presiden Bidang Pangan dan Energi Jakarta, 11 Okt 2012 kepada PPRAXLVIII Lemhannas (dihadiri oleh pokja kecil, panitia Seminar). 83 Submisi tertulis oleh Mr Bart van der Wel kepada DAFF National Food Plan Green Paper [http://www.daff.gov.au/nationalfoodplan/process-to-develop/issues-paper/submissions-received/bart-van-der-wel, diakses 14 Oct 2012]. Kritkannya adalah: 'Some agricultural production is being dedicated to crops exclusively for biofuels. Whilst this may not be occurring in Australia largely, Australia’s demand for oil is contributing to this land use change overseas, for example, palm oil plantations in Indonesia and Malaysia to allow for fossil fuel substitution. This is leading to habitat degradation for endangered species overseas and to food price rises of staple crops in developing countries, such as maize in Mexico. Furthermore, several studies indicate that the production of biofuels consume more energy than is produced. Biofuels require inputs of non-renewables such as phosphorus which are not recovered' 84 Putaran Doha mulai diperundingkan pada tahun 2001, dengan tujuan untuk menurunkan lebih jauh lagi tingkat tarif-tarif serta hambatan non-tarif lainnya, khususnya pada sektor agraria dan pempabrikan (manufacturing). Tetapi proteksionisme antara AS, EU dan negara berkembang (G33, yang kebetulan diketuai oleh Indonesia) muncul sebagai titik ketidak-sepahaman. Perundingan resmi gagal pada Juli 2008 saat AS dan India me-'walk out' dari perundingan, akibat kegagalan bertemu persetujuan atas regulasi pengimporan produk-produk agraria.
50
Australia dan Indonesia adalah negara pengekspor netto yang sendiri tidak
terlalu proteksionis terhadap perdagangan (perbedaan yang ada akan
didiskusikan pada sub-bab yang berikut). Indonesia sendiri walau sering
terdengar bersemangat anti-liberalis sebenarnya merupakan salah satu
anggota perdana di WTO dan sebelumnya merupakan pihak mitra
('contracting party') dengan GATT sejak 1950.85 Dan bersama dengan
Australia, Indonesia merupakan anggota perdana Cairns Group Countries
(19 negara maju maupun berkembang berstatus pengekspor agraria yang
sejak terbentuknya tahun 1986 berupaya untuk melawan proteksionisme
agraria dari Eropa dan AS) yang aktif sekali dalam Putaran Uruguay tahun
1986-94. Namun Indonesia sekarang lebih aktif dengan kelompok G33,
sebuah perkumpulan negara berkembang yang didirikan untuk
memperjuangkan hak dagang negara berkembang secara khusus, terutama
proteksionisme tertarget bagi sektor agrarianya melalui pengecualian
khusus dari WTO. Sebagaimana diajarkan di Lemhannas RI, "upaya yang
dilakukan di WTO untuk terus menurus membuka pasar dunia memberikan
kontribusi positif terhadap perekonomian Indonesia",86 namun keuntungan
tersebut tidak berarti bahwa tidak ada kontra juga, dan kepentingan
Indonesia (sama dengan Australia) hanya akan diindahkan dengan sistem
perdagangan dunia yang makin liberal (freer and fairer) apabila ekonomi
nasional mempunyai daya saing, "agar mampu merebut pasar
internasional".87
17. Perkembangan Regional Wilayah Asia dan khususnya Asia Tenggara (zona ASEAN) turut
dinamis pula. Tren makro yang paling menonjol adalah integrasi, termasuk ekonomi-ekonomi negara anggotanya dengan bermajunya prinsip dan praktek 'perdagangan yang semakin bebas' yang dilihat dengan adanya perjanjian perdagangan formal baru antara lain: AFTA (ASEAN Free Trade Area), CAFTA (China, ASEAN Free Trade Agreement), dan nuansa dan arus dialog APEC (Asia Pacific Economic Cooperation). Puncak integrasi
85 OECD (2012), op.cit., hlm.189 86 Timotius D. Harsono, naskah ceramah kepada PPRAXVIII, Perdagangan Dunia (WTO) dan Pengaruhnya terhadap Perekonomian Nasional dalam rangka Ketahanan Nasional, 22 Okt 2012, hlm.14 87 Ibid, hlm.12
51
tersebut akan tercapai saat ASEAN Economic Community (AEC) akan terwujud mulai pada tahun 2015, dengan visi yang sangat agung yakni "a single market and production base, a highly competitive economic region, a region of equitable economic development, and a region fully integrated into the global economy".88 Namun, nuansa liberalisasi perdagangan regional tersebut dapat juga bertentangan dengan pengertian ekonomi nasional di Indonesia (yang berbasis 'ekonomi kerakyatan') maka merupakan tren yang patut diwaspadai terkait dengan pertumbuhan ekonomi.89
Tetapi Indonesia sudah banyak pengalaman soal liberalisasi regional, mengingat AFTA sudah berdiri sejak tahun 1995 dengan pilar sentralnya penepatan tarif-tarif rendah (0, 2.5% or 5% pada komoditas yang memenuhi persyaratan tempat asal, namun ada pengecualian untuk komoditas tertentu yang dianggap sensitif atau sangat sensitif, yang bagi Indonesia, komoditas agraria tersebut termasuk bawang, cengkeh, gandum, terigu dan kedelai, sedangkan beras dan gula dicanangkan sangat sensitif90). Sebenarnya ASEAN kini mempunyai lima perjanjian perdagangan bilateral berciri Free Trade Agreement atau yang serupa, dengan: China, Japan, India, Korea dan Australia - New Zealand. Akibatnya, terlihat semacam transformasi pendekatan perdagangan regional, sehingga ada opini yang muncul dari anggota ASEAN sendiri bahwa "perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara dalam bentuk AFTA, telah meningkatkan ekonomi beberapa negara ASEAN, yang telah siap merebut peluang yang ada.91 Dan lebih luas daripada ASEAN, di tingkat Asia Pasifik dengan konstelasi Asian-Pacific Economic Cooperation (APEC), Indonesia merupakan salah satu negara yang berperan aktif dalam pembentukan APEC maupun pengembangan kerjasamanya, termasuk ide-ide liberalisme perdagangan, mengingat Presiden Suharto sendiri bertindak selaku penyemangat dari hasil kunci pertemuan APEC tahun 1994 dengan ‘Tujuan-Tujuan Bogor’ (Bogor Goals) yaitu 'liberalisasi perdagangan dan investasi secara penuh
88 http://www.kemenperin.go.id/artikel/3227/Menperin-Menggelar-Diskusi-Informal-ASEAN-Economic-Community-2015,-Rabu-(25), diakses 11 Okt 2012. Menurut Depmenperin RI (2010), "Konsep utama dari AEC adalah menciptakan ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal dan kesatuan basis produksi dimana terjadi free flow atas barang, jasa, faktor produksi, investasi dan modal serta penghapusan tarif bagi perdagangan antar negara ASEAN yang kemudian diharapkan dapat mengurangi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi di antara negara-negara anggotanya melalui sejumlah kerjasama yang saling menguntungkan." [hwww.kemenperin.go.id%2Fdownload%2F2572%2FBuku-Perkembangan-Kerjasama-ASEAN-di-Sektor-Industri-(s.d-2011), diakses 11 Nop 2012] 89 Supandji (2012), op.cit., hlm.8 90 OECD, op.cit, h.176 91 Lemhannas RI, (2012), op.cit., hlm.29
52
pada tahun 2010 untuk ekonomi yang sudah maju, dan tahun 2020 untuk ekonomi berkembang'. Komitmen inilah---identik dengan kinerja Pak Harto--yang menurut Bappenas menjadi dasar dalam berbagai inisiatif untuk mendorong percepatan penghapusan tarif perdagangan maupun investasi antar anggota APEC.92
Perkembangan regional yang paling terkait topik taskap ini adalah terwujudnya ASEAN Australia - New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA) yang mulai berlaku pada 1 Jan 2010 (walau Indonesia sendiri salah satu negara yang bergabung lebih lambat saat mulai memenuhi persyaratan traktat tersebut pada 10 Jan 2012). Manfaat AANZFTA tidak dapat diperbandingkan dengan FTA bilateral sebab AANZFTA mencakup komitmen liberalisasi tarif regional yang dilengkapi dengan a Regional Rule of Origin yang memungkinkan dikembangkannya basis produksi regional sekawasan. Menurut Kementerian Perindustrian RI (2010), salah satu keuntungan untuk Indonesia dari AANZFTA tersebut adalah 98,10% ekspor RI ke Australia (USD2,6 milyar) dan 79,95% ekspor ke NZ (USD330 juta) menikmati bea masuk 0%, termasuk komoditas textil yang sebelumnya agak terhambat oleh proteksionisme.93 Kesimpulannya, liberalisasi perdagangan bermaju terus.
Selain kerjasama perdagangan umum ini (yang sebagian mempengaruhi suplai dan keterjangkauan pangan), ASEAN juga memperhatikan urusan Ketahanan Pangan secara langsung, misalnya dengan ASEAN Integrated Food Security (AIFS) Framework, dan Strategic Plan of Action on Food Security in ASEAN (SPA-FS) 2009-13. Kedua program tersebut menghandalkan kepemimpinan dari para menteri pertanian, perikanan dan kehutanan seASEAN, serta berusaha untuk mengatur kerjasama dengan mitra dialog LSM dunia (WFP, FAO, UNDP Asian Development Bank [ADB], International Rice Research Institute [IRRI], dll) secara kolektif. Strategi yang sedang diterapkan terdiri dari empat komponen sebagai berikut:
92http://ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik%20Luar%20Negeri/3)%20Keanggotaan%20Indonesia%20dalam%20Organisasi%20Internasional/5)%20APEC/APEC.pdf [diakses 8 Nop 12] 93 Kementerian Perindustrian RI (2012), Perkembangan Kerjasama ASEAN di Sektor Industri (s.d. 2011), hlm.27-28 [www.kemenperin.go.id, diakses 10 Nop 2012]
53
(sumber: http://aseanfoodsecurity.asean.org/wp-content/uploads/2011/08/suriyan-st1.pdf, diakses 10 Nop 2012)
Dan lebih spesifik lagi, ASEAN 'plus tiga' (Jepang, China, Korea Selatan)
telah mendirikan program cadangan darurat beras (ASEAN plus Three
Emergency Rice Resources, APTERR) tahun lalu yang bertujuan untuk
menjamin bahwa sejumlah beras selalu disimpan di sepanjang kawasan
sebagai stok darurat saat ASEAN atau anggotanya dilandai musibah dan
penduduk terancam kelaparan / krisis pangan.94
Maka selain tren-tren integrasi perekonomian agar perdagangan
semua bidang menjadi lebih bebas dan aktif, ASEAN juga mulai merespon
terhadap tantangan-tantangan Ketahanan Pangan secara politik, bukan
dengan pendekatan ekonomik belaka. Walau Australia bukan anggota
ASEAN, kebanyakan kegiatan tersebut disetujui dan didorong oleh Australia,
dan secara riil, tren-tren liberalisasi diikuti Australia melalui AANZFTA
tentunya. Maka, dampak regionalisme tersebut akhirnya agak sama bagi
Indonesia maupun Australia.
18. Perkembangan Nasional Diskusi di sini difokuskan kepada aspek yang paling relevan terhadap
pangan---ekonomi, perdagangan, serta kebijakan (politik pangan)---daripada
94 http://www.apterr.org/index.php/how-apterr-works [diakses 9 Nov 2102]
One Vision, One Identity, One Community 6
AIFS Framework and SPA-FS
ASEAN Integrated Food Security (AIFS)
Component 1: Food Security Emergency/Shortage Relief
Strategic Thrust 1: Strengthen Food Security Arrangements
Component 2: Sustainable Food Trade Development
Strategic Thrust 2: Promote Conducive Food Market and Trade
Component 3: Integrated Food Security Information System
Strategic Thrust 3: Strengthen Integrated Food Security Information Systems
Component 4: Agri-Innovation Strategic Thrusts 4: Promote Sustainable Food ProductionStrategic Thrusts 5: Encourage Greater Investment in Food and Agro-based IndustryStrategic Thrusts 6: Identify and Address Emerging Issues Related to Food Security
54
keseluruhan delapan gatra (geo, demo, SKA, ideologi, pol, ekonom, sosbud,
dan hankam), agar situasi di kedua negara kita yang paling berpengaruh
terhadap keadaan Ketahanan Pangan sempat dibahas secara langsung
(tanpa menjadi terlalu panjang).
a. Indonesia. Kondisi perekonomian nasional Indonesia secara umum makin
memuaskan, dengan Direktur Dana Moneter IMF memuji ekonomi
Indonesia bersifat "kokoh dan menjanjikan", serta Bank Dunia
mencatat “pertumbuhan pendapatan dalam kwartal pertama 2012
adalah 6,3%, (...) tingkat konsumsi tetap tinggi di kwartal pertama
2012, [namun] pertumbuhan investasi turun sedangkan ekspor
menyumbang kontribusi negatif terhadap pertumbuhan”. 95 Lebih
penting lagi, ramalan terhadap potensi ekonomi Indonesia masa depan
justru sangat positif, di mana dalam studi Citibank awal tahun ini
diperkirakan PDB Indonesia pada tahun 2040 akan mencapai
USD$8,27 trilyun sehingga memposisikan RI sebagai ekonomi
terbesar nomor ke-empat di dunia (dari nomor ke16 sekarang ini).96
Ramalan McKinsey Global Institute juga senada (“nomor ke-tujuh pada
tahun 2030”).97 Walau ramalan ekonomik juga bisa salah (misalnya,
Indonesia sering dipuji sebagai 'harimau ekonomik Asia' sebelum krisis
finansial kemudian melanda pada tahun 1997-98), namun ramalan
tetap merupakan sumber prediksi yang patut dipertimbangkan dengan
seksama.
Di bagian perdagangan, Indonesia ikut serta dengan tren blok
ASEAN tetap sendirinya kurang sibuk dengan urusan perjanjian
ekonomik bilateral, jika melihat bahwa FTA Indonesia tidak sebanyak
yang multilateral melalui ASEAN, barangkali menandai bahwa
Indonesia sendiri tidak sesemangat me-liberal-kan perdagangan
dibandingkan negara anggota ASEAN yang lain (atau secara kolektif).
95 http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2012/07/120712_globalcrisis.shtml [diakses 10 Nop 12] 96 http://www.eastasiaforum.org/2012/07/08/indonesia-and-australia-the-great-power-next-door/ [diakses 29 Nop 2012] 97 McKinsey Global Institute, (MGI), (2012), The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s potential, hlm.1 [http://www.mckinsey.com/insights/mgi/research/asia/the_archipelago_economy, diakses 17 Nop 2012]
55
Walau Indonesia pernah melaksanakan perbincangan soal FTA
bilateral dengan AS, EU dan Chile, hanya satu yang berhasil terwujud
yakni Japan-Indonesia Economic Partnership Agreement (JIEPA) yang
mulai diperundingkan tahun 2005 kemudian mulai berlaku 1 Juli
2008. 98 Seharusnya penulis tidak heran dengan realita tersebut,
mengingat prinsip geopolitik Indonesia menghandalkan ide 'bebas aktif'
dan tidak mencari pengikatan (keterikatan?), sekaligus semangat
mendambakan kedaulatan dan kemandirian turut tinggi di Nusantara
ini, maka semangat kompromi serta kebergantungan yang mungkin
tersurat ataupun tersirat dalam FTA adalah sesuatu yang diwaspadai
para pemimpin dan pejabat Indonesia.
Terkait Ketahanan Pangan, yang menonjol di Indonesia sekarang
adalah : (1) peningkatan kebutuhan pangan akibat laju pertumbuhan
penduduk Indonesia sebesar 1,49% per tahun hingga mencapai + 240
juta jiwa tahun 2011; (2) stagnasi pertumbuhan pangan pokok sejak
pasca Orde Baru dengan indikasi relatif tidak ada penambahan dan
rehabilitasi infrastruktur pertanian dan pedesaan seperti jaringan irigasi
yang mengalami kerusakan 45% (menurut Indonesia Finance Today,
2011); (3) Implementasi kebijakan otonomi daerah pada beberapa
daerah mendegradasi keberadaan lembaga pertanian dan terkikisnya
struktur sosial masyarakat pertanian; dan (4) kurangnya perhatian
terhadap keberadaan industri pertanian hampir di setiap daerah
menyebabkan terpuruknya produktivitas sektor pangan sehingga
secara agregat melemahkan Ketahanan Pangan nasional.99 Respon
daripada pemerintahan Yudhoyono serius dan terpadu, sebagaimana
dilihat pada Bab II terkait RPJPN, RPJMN dan MP3EI.
Bagi Indonesia, sektor pertanian (dalam arti luas yang meliputi
pertanian tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, peternakan,
perikanan dan kehutanan) masih merupakan ruang kerja yang terbesar
maka mempunyai makna secara politik. Sektor ini menyerap tenaga
kerja dalam jumlah cukup besar yakni 38%an. Output dari sektor
98 OECD, op.cit., hlm.193. 99 Materi paparan Staf Khusus Presiden, Bidang Pangan dan Energi, kepada Lemhannas PPRA XLVIII, tanggal 27 Mar 2012.
56
tersebut masih relatif kuat (walau ada keluhan umum tentang
pengimporan komoditas pangan tertentu) khususnya untuk komoditas
pangan yang difokuskan oleh Presiden dan Mentan; beras dan jagung
tahun ini sudah hampir status 'swasembada' (produksi beras tahun
2011 mencapai 98% dari kebutuhan; jagung 90% 100 ). Namun,
produksi kedelai, gula, dan daging sapi belum memadai dan
pengimporan masih signifikan. Respon dari pemerintah adalah
intesifikasi terhadap tujuan swasembada ini, seperti sebagaimana
tertuang dalam progja Dirjen Tanaman Pangan : Pangan untuk Mencapai Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan. Program tersebut dilaksanakan melalui delapan kegiatan, yaitu (1) Pengelolaan produksi tanaman serealia; (2) Pengelolaan produksi tanaman aneka kacang dan umbi; (3) Pengelolaan sistem penyediaan benih tanaman pangan; (4) Penanganan pascapanen tanaman pangan; (5) Penguatan perlindungan tanaman pangan dari gangguan OPT dan DPI; (6) Pengembangan metode pengujian mutu benih dan penerapan sistem mutu laboratorium pengujian benih, (7) Pengembangan peramalan serangan organisme pengganggu tumbuhan, serta 8) Dukungan manajemen dan teknis lainnya pada Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.101
Sekaligus Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan mengerjakan
Program Swasembada Daging Sapi 2014 (Blue Print for Beef self
Sufficiency Program 2014) termasuk dengan modifikasi jatah impor dll
hasil masalah yang muncul di sekitar penghentian ekspor dari Australia
tahun kemarin.102
Jika disimpulkan, perkembangan Lingstra nasional Indonesia
yang terkait Ketahanan Pangan (ekonomi, pembangunan,
perdagangan dll) cendurung semakin ruwet, tetapi tanggapan dari
pemerintah justru serius baik dalam perkataan maupun aksi, dan
kebijakan formal baru saja diperbaruhi dengan sebuah RUU Pangan,
yang menentukan bahwa kebijakan nasional adalah untuk memenuhi
sejauh mungkin kebutuhan konsumsi seluruh rakyat dari produksi
dalam negeri, karena secara politis Indonesia tidak ingin tergantung
kepada negara lain.
100 Achmad Suryana (2012), materi paparan kepada Lemhannas PPRAXLVIII, Kewaspadaan Nasional dalam Mendukung Ketahanan Pangan, 29 Juni 2012 101 Dirjen Tanaman Pangan, Kementan RI (2011), Pedoman Pelaksanaan Program: Peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu tanaman pangan untuk mencapai swasembada dan swasembada berkelanjutan TA 2011, Jakarta, hlm.8 102 Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan RI (2012), materi paparan kepada Lemhannas PPRAXLVIII, Kebijakan Pemerintah di Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam rangka Ketahanan Pangan Nasional, 23 Jul 2012
57
b. Australia. Perekonomian Australia belakangan ini juga agak solid, dan
merupakan salah-satu di antara hanya beberapa negara 'maju' dimana
ekonomi tetap bertumbuh, dan dampak dari GFC 2008-09 dan krisis
ekonomi Eropa 2011-12 tidak meninggalkan luka berat. Data-data
makro adalah sebagaimana diperlihatkan pada Lampiran 3, dimana
hal-hal yang menonjol adalah PDB sebesar USD$1,6 trilyun; hutang
eksternal USD$1,169 trilyun (pemerintah hanya USD$143 milyar, yang
lain hutang swasta dan individu). Inflasi sekarang agak rendah, 1,6%,
padahal biasanya ditarget sehingga bergeser antara 2-3% saja. Walau
skor kredit Australia adalah AAA (Standard & Poor, Fitch, dan Moody's)
Resiko ekonomi Australia kini adalah pola defisit, dimana pengeluaran
negera bertahun-tahun melebihi pendapatannya, walau hutang negara
tidak dianggap ‘raksasa’ dibandingkan kebanyakan negara maju. PDB
didominasi oleh sektor jasa yang merupakan 68%, dan pertambangan
(langsung) sebesar 10% (dan tidak langsung, menjadi sebesar 19%).
Ekspor agraria (pangan dan non-pangan) meraih hanya 12%, tetapi
15% daripada pekerja di Australia berkecimpungan dalam sektor
makanan, apabila produksi, pemasaran, distribusi, restoran-restoran
dll.
Pada umumnya Australia, sebagai negara maju, sebagai negara
pengekspor, dan dengan tradisi persekutuan dengan Inggeris lalu AS,
memperhatikan dunia eksternal dan bertindak secara aktif dalam
urusan regional dan global. Salah satu fokus sejak 1990an dan yang
baru diberikan fokus kembali adalah peranan Australia di kawasan
Asia Pasifik, khususnya ke depan dengan bangkitnya China dan India
dan persaingan strategis AS-China, China-Jepang, dan China-India.
Pemerintahan Gillard baru meluncurkan sebuah Buku Putih 'Australia
in the Asia Century' (Australia di Abad Asia), dengan tebalnya 320
halaman, pada intinya ingin menciptakan sebuah 'disain agung'
mengenai bagaimana Australia dapat bertindak, bergaul, dan mengatur
diri agar mampu bersaing dan muncul kuat, stabil dan makmur pada
tahun 2050 dan selanjutnya saat pusat kekuatan ekonomi dan
58
perdagangan dunia (dan mungkin militer pula) telah bergeser dari
poros AS-Eropa menempatkan dirinya di kawasan Asia.103 Buku Putih
ini merupakan sebuah rencana, dan menentukan 25 tujuan nasional
khusus. Salah satu isu yang dibahas adalah bagaimana keadaan
Ketahanan Pangan dunia, regional maupun nasional pada saat itu,
khususnya dengan jumlah penduduk dunia mencapai 9 milyar jiwa
lebih, luasnya lahan agraria menipis, iklim lebih panas dan air tawar
lebih susah. Yang relevan untuk taskap ini adalah prioritas yang akan
diberikan kepada lima hubungan bilateral secara spesifik: Australia
dengan China, dengan India, dengan Jepang, South Korea, dan---tak
kalah penting---dengan Indonesia. Bagi kepentingan argumentasi di
taskap ini, dengan adanya komitmen politik melalui Buku Putih ini, ide
fundamental serta upaya-upaya terkait 'peningkatan kerjasama
bilateral Indonesia-Australia bidang perdagangan dan litbang agraria'
seharusnya didorong secara prinsip, dan secara pembagian
sumberdaya (sejauh sumberdaya tersebut dianggap terjangkaukan).
Perkembangan yang kedua adalah Buku Hijau (yakni dokumen
Rancangan pra Buku Putih) tentang National Food Plan, yang
diluncurkan pada bulan Juli lalu. Dokumen ini kurang-lebih merupakan
pikiran dan pendekatan Australia terhadap urusan Ketahanan Pangan.
Motivasi di belakang Buku Putih yang turut tebal juga (284 halaman) ini
adalah untuk menentukan suatu rencana holistik terhadap urusan
pangan di Australia yang sampai saat ini tidak dipedomani oleh satu
referensi induk, agar potensi Australia sebagai pemasok pangan terus
tercapai (Australia sekarang adalah pengekspor pangan netto) secara
berkelanjutan dan dengan empati dan kerjasama dengan dan dari
negara-negara tetangga yang sekaligus merupakan pasar impor dan
ekspor bagi Australia. Tujuan spesifiknya adalah : (1) Membantu daya
saing dan pertumbuhan rantai penyuplaian pangan Australia termasuk
melalui litbang iptek; (2) Menurunkan rintangan (barriers) yang
dihadapi para produsen di dalam negeri maupun di luar negeri; (3)
Membantu kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat perdaerahan;
103 http://asiancentury.dpmc.gov.au/white-paper/executive-summary [diakses 9 Nop 2012]
59
(4) Mengidentifikasikan serta meminimilisir resiko terhadap Ketahanan
Pangan Australia; (5) Memelihara dan memperkuat SKA yang
melandasi produksi pangan Australia; (6) Mengurangi rintangan bagi
warga dalam memperoleh suplai makanan yang aman, bergizi, sesuai
selera/budaya serta mengindahkan kepentingan kesehatan umum; dan
(7) Turut membantu Ketahanan Pangan di dunia.104 Mengapa peduli
dengan urusan Ketahanan Pangan bangsa yang lain? : Langkah-langkah untuk memantapkan Ketahanan Pangan dunia mendorong kestabilan sosial dan politik, dan menyongsong pertumbuhan ekonomik. Oleh karena itu, merupakan suatu kepentingan Australia untuk turut membantu Ketahanan Pangan dunia. 105
Secara nyata, sekitar 7% daripada program bantuan kemanusiaan
Australia (hampir AUD$300 juta pada 2009-10106) diarahkan kepada
Ketahanan Pangan, termasuk sebagian yang terarah sebagai
kontribusi dana kepada instansi dunia seperti FAO, WFP dan Bank
Dunia agar menghindari tumpang-tindih dan sebagai pengakuan akan
keahlian instansi-instansi tersebut.
Soal pendekatan Australia terhadap perdagangan, sejak 1980an
kami sudah semakin menolak gagasan proteksionisme (yang
sebelumnya dijunjung tinggi sehingga banyak dari pasar-pasar
domestik Australia tertutup). Peranan Australia dalam memproklamir
Cairns Group dalam WTO sudah cukup dikenal. Dan semangat
Australia untuk menghasilkan perjanjian perdagangan berdasarkan
atas peraturan WTO tentang FTA cukup terbukti dengan adanya enam
FTA Australia dengan negara mitra (New Zealand, Singapore,
Thailand, AS, Chile dan ASEAN) serta delapan FTA bilateral maupun
multilateral baru yang sedang diperundingkan (China, Jepang, Korea
Selatan, India, Indonesia [I-A CEPA], Gulf Co-operation Council [GCC],
Pacific Agreement on Closer Economic Relations [PACER], dan Trans-
Pacific Strategic Economic Partnership [TPP]).107
Jika disimpulkan, perkembangan nasional Australia yang terkait
Ketahanan Pangan (ekonomi, pembangunan, perdagangan dll)
104 DAFF (2012), op.cit, hlm.2 105 Ibid, hlm.9 106 Ibid, hlm.243 107 http://en.wikipedia.org/wiki/Economy_of_Australia [diakses 10 Nop 2012]
60
cendurung berpedomani prinsip ekonomi pasar bebas dan kemitraan
dengan negara impor-ekspor yang lain, dimana keuntungan
merupakan penyemangat utama, tetapi bantuan terhadap negara yang
rawan pangan juga dilaksanakan. Australia tidak menggaris-bawahi
pentingnya kemandirian pangan atau kedaulatan pangan, mungkin
juga karena hasil produksi sudah swasembada dalam beberapa
makanan pokok, dan mungkin juga karena beberapa makanan yang
laris dalam pola makanan warga Australia terlalu mahal dewasa ini
apabila dihasilkan di Australia sendiri (sosis dari Jerman dan Itali
misalnya), atau tidak sesuai iklim dan tanah Australia.108
19. Peluang dan Kendala.
a. Peluang Beberapa peluang terhadap kepentingan peningkatan kerjasama
bilateral bidang perdagangan dan litbang agraria muncul :
1) Formulasi ‘Strategic Partners’. Baik Presiden Yudhoyono
dan PM Gillard (dan sebelumnya, PM Rudd) pernah dan sering
mengatakan bahwa Indonesia dan Australia adalah Strategic
Partners. Walau konsep tersebut tidak mempunyai suatu
pengertian yang baku dan universal (sebagaimana dibahas di
Bab I), namun ide dan intisari dimaklumi oleh orang banyak,
yakni, saling membantu dan saling mengerjakan dan fokus
kepada kepentingan bersama yang induk, makro, berbobot.
Dengan kenyataan bahwa hubungan ekonomi kedua negara kita
under-performing maka kemauan politik daripada para pemimpin
nasional merupakan peluang besar.
2) Perundingan I-A CEPA. Sebuah FTA biasanya hanya
dirumuskan sekali, maka dengan adanya perundingan tersebut
saat ini pas pada waktu ekonomi-ekonomi kedua negara kita
makin kuat, dan pas pada waktunya pula Australia
108 Lihat laporan DAFF Australian Food Statistics 2010-11, tabel 6.1 sampai 6.7 [http://www.daff.gov.au/__data/assets/pdf_file/0015/2144103/aust-food-statistics-2011-1023july12.pdf, diakses 10 Nop 2012]
61
mencanangkan disain Australia in the Asia Century serta National
Food Plan sekaligus adalah saat Indonesia mencanangkan
MP3EI dan ide 'lumbung pangan' (food estates) maka adanya
kesanggupan dan kehendak duduk dan berunding bersama
dalam rangka I-A CEPA merupakan hal yang sangat pas
terhadap kepentingan peningkatan kerjasama agraria.
3) Letak Geografis. Indonesia dan Australia begitu dekat,
kemudahan dan kemurahan transit dan angkutan harus
merupakan suatu keunggulan.
4) Keklopan/Kesesuaian (complementarity) sektor agraria.
Indonesia mempunyai lahan yang subur, iklim tropis, air hujan
yang melimpah, dan banyak sekali tenaga kerja. Australia
mempunyai iklim sub-tropis dan moderat, sedikit lahan yang
kesuburan tinggi tetapi banyak yang cukup subur untuk
peternakan dan tanaman serealia, ongkos buruh tinggi dan
tenaga kerja yang terbatas. Indonesia memerlukan teknik-teknik
mekanisasi agar lahan menjadi lebih produktif; Australia
mempunyai kemampuan tersebut. Australia memerlukan akses
terhadap prasarana pengolahan yang mampu bersaing dengan
ekonomi raksasa seperti China; Indonesia mempunyai itu.
5) Bantuan Pembangungan Australia Meningkat. Pemerintah
Australia tetap mematuhi komitmennya dari tahun 2000 sesuai
Millennium Development Goals (MDGs) PBB untuk
menghibahkan 0,5% dari PDBnya kepada negara yang perlu
bantuan pembangunan dan kemanusiaan. 109 Pada tahun
anggaran 2012-13, pemerintah Australia telah menyiapkan
USD$5,2 milyar sebagai anggaran hibah/ODA. Seperti prioritas
nasional Australia sejak tahun 2008, Indonesia akan menjadi
mitra utama ODA itu. Betapa bagusnya apabila sebagian yang
lebih besar daripada dana itu dimanfaatkan untuk urusan
memajukan peningkatan kerjasama pangan bilateral kita.
109 http://www.theage.com.au/opinion/society-and-culture/too-much-hit-and-miss-in-piecemeal-approach-to-foreign-aid-20100923-15or4.html [diakses, 12 Nop 2012]
62
b. Kendala
Kendala-kendala juga muncul, seperti ini:
1) Proteksionisme vs Liberalisme. Jakarta memegang prinsip
Ketahanan Pangan melalui Swasembada dan Kedaulatan
Pangan, yang intisari berarti Indonesia ingin berdiri sendiri soal
produksi pangan, sekaligus tetap meraih keuntungan dari agri-
ekspor. Sedangkan Canberra menjagokan keunggulan dinamika
pasar bebas, kurang berprihatin terhadap ide impor makanan,
dan ingin meraih akses yang sangat terbuka terhadap semua
pasar, termasuk Indonesia. 'Perbedaan kiblat' ini harus dimanej
dengan pandai.
2) Economics / profit orientation. Selama ini kerjasama
perdagangan selalu muncul berdasarkan atas perhitungan
keuntungan secara absolut. Dan pemerintah-pemerintah kita
hanya menanamkan dana yang secukupnya karena hanya ingin
menfasilitasikan (bukan menyetir) kerjasama perdagangan. Jika
sebuah paradigma baru akan diciptakan maka urusan
keuntungan (profit orientation) harus mundur menjadi salah satu
isu bukan segala-galanya. Pemerintah-pemerintah kita harus
juga siap mensubsidikan proyek-proyek agar pemeran swasta
rela beresiko fiskal. Perubahan mindset ini tidak akan gampang.
3) Politik Domestik. Baik Australia maupun Indonesia kadang-
kadang merasa tersinggung dengan sikap atau tindakan yang
satu lain. Opini publik sering menjadi peka, sehingga para
politikus terbawa moods tersebut dan merespon dengan kepala
panas. Jika akan betul-betul menjadi Mitra Strategis maka kita
harus sanggup lebih membantu, lebih rela berkorban, tunduk
terhadap ide 'kepentingan bersama' padahal kepentingan luas
seperti itu dapat juga menentang kepentingan unilateral salah
satu pihak. Apakah rakyat Indonesia siap melihat pengimporan
beras dan sapi dari Australia tanpa batas? Apakah rakyat
Australia siap melihat puluhan ribu TKI datang ke Australia dan
63
membantu petani dengan tugas pertanian intensif, sekaligus
diberikan bansos dari APBN Australia? Para pemimpin kita harus
rajin dan tanpa lelah menjaga dan melobi agar enhanced
cooperation dapat bermaju.
4) Integritas Karantina. Rejim Karantina (Sanitary and
Phytosanitary Standards, SPS) di Australia dianggap terlalu ketat
oleh banyak pihak, sehingga dikritik sebagai bentuk Non-Tariff
Barrier (NTB). Sedangkan Australia menghandalkan rejim ketat
tersebut karena lingkungan hayati di Australia sangat relatif bebas
banyak wabah dan penyakit yang sudah melanda negara yang
lain. Apabila perdagangan kita akan menjadi lebih bermakna
maka harus ada akomodasi terhadap isu SPS. Belum tentu
standar-standar tersebut harus dibuang, malah bantuan teknis,
sosialisasi/pendidikan, maupun alat-peralatan harus diberikan
agar regulasi SPS lebih gampang dipenuhi, bahkan diperpanjang
ke Indonesia agar Indonesia lebih unggul mengekspor ke semua
negara (misalnya, Jepang dan AS juga ketat soal SPS).
64
BAB V KONDISI KERJASAMA BILATERAL BIDANG PERDAGANGAN DAN
LITBANG AGRARIA YANG DIHARAPKAN DAN INDIKATOR KEBERHASILANNYA
20. Umum Maka sudah makin jelas bahwa keadaan Ketahanan Pangan dunia
cukup ruwet dan penuh tantangan, dan Ketahanan Pangan di Indonesia dan
Australia turut terdampak oleh tantangan tingkat global, serta mempunyai
dinamika sendiri terkait keadaan produktivitas sektor agraria nasional,
keefektifan distribusi ke daerah-daerah terpencil, serta keadaan ekonomi
rakyat secara umum di mana tingkat kemiskinan merupakan penyebab
paling utama terhadap tingkat Ketahanan Pangan pada tingkat individu
apabila di Indonesia ataupun Australia. Dibahas pula tentang keadaan
kerjasama perdagangan dan litbang agraria sekarang ini antara kedua
negara kita, di mana interaksi telah ada dan semakin meningkat, padahal
pentingnya perdagangan tersebut tidak seimbang (hanya senilai
USD$14,8an milyar per tahun dan urutan status sebagai penyerap ekspor
satu sama lain hanya meraih posisi ke-11 Australia bagi Indonesia dan ke-9
Indonesia bagi Australia110) dibandingkan bobot strategis bagian hubungan
bilateral yang lain misalnya dimensi politik, pembangunan kemampuan /
ODA, hankam, dan 'orang-ke-orang' ('people-to-people', P2P).
Yang jelas ke depan dengan komitmen liberalisasi perdagangan dan
penanaman modal yang tertuang dalam AANZFTA, dan yang akan berlanjut
pula dengan berdirinya AEC pada tahun 2015, maka pasti ini momennya
bagi Indonesia dan Australia untuk melangkah secara visioner dan berani,
terinspirasi oleh visi MP3EI dan Buku Hijau National Food Plan, dan sejauh
mungkin menyatukan upaya-upaya untuk memantapkan Ketahanan Pangan
sehingga melebihi sekedar tujuan intern tersebut dan lebih hebat lagi
berusaha mencoba menjadi pemasok makanan kepada region dan bagian-
110 BPG (2012), op.cit., hlm.4
65
bagian dunia. Think tank ternama McKinsey Global Institute telah
menganalisa potensi agraria Indonesia saja, dan menyimpulkan bahwa
potensi Nusantara ini justru bagus sekali : Pada sektor agraria, jika Indonesia menerapkan tiga pendekatan---meningkatkan produktivitas penghasilan, menggeser produksi ke tanaman yang bernilai tinggi, dan mengurangi kehilangan produksi pasca-panen serta kehilangan sepanjang 'rantai nilai'---maka Indonesia dapat menjadi suatu pengekspor netto produksi agraria yang raksasa, mampu memasok 130 juta ton kepada pasar internasional.111
Dan lebih menyenangkan lagi, ramalan McKinsey menghitung bahwa
ekonomi Indonesia dengan produksi tersebut (asal melaksanakan revitisasi
melalui semua dari enam perubahan yang para pakar mereka sarankan)
akan amat sangat didorong, dengan pertumbuhan pendapatan dari USD$70
milyar pada 2010 menjadi $250 milyar tahun 2030, sama dengan
pertumbuhan berkelanjutan sebesar 7%, sebagaimana digambarkan di sini :
(sumber: McKinsey Global Institute, (MGI), (2012), The Archipelago Economy: Unleashing
Indonesia’s potential, hlm.46)
Pemerintah Australia juga antusiastis tentang potensi Australia untuk
menjadi pemasok pangan yang lebih produktif lagi---visi itu yang justru
menjadi inspirasi di belakang National Food Plan-nya.
Tetapi gagasan ini---Indonesia dan Australia sendiri dan secara
bersama menjadi pemasok region dan dunia---hanya akan didorong bahkan
111 McKinsey Global Institute (2012), The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia's potential, dicetak on-line [http://www.mckinsey.com/insights/mgi/research/asia/the_archipelago_economy, diakses 17 Nop 2012]
46
Exhibit 17Indonesia could achieve unprecedented 7 percent per annum growth in real revenue from agriculture and fisheries
SOURCE: Food and Agriculture Organization; International Institute for Applied Systems Analysis; Ministry of Agriculture;
Ministry of Marine Affairs and Fisheries; Ministry of Forestry; McKinsey Global Institute analysis
1 Rounded to the nearest $5 billion.
2 Includes palm oil, fruits, and vegetables.
Indonesia agricultural and fisheries real revenue1
$ billion, 2010 price
60
45
20
25
210
30
50
40
Increase
commercial
yield
+7% p.a.
Increase
smallholder
yield
5
Shift to
high-value
crops2
250
Cultivate
low-carbon
unused land
Reduce
food losses
and waste
35
Increase
fisheries
production
2030
optimised
potential
10
5
Revenue
in 2010
70
Crops
Fisheries
Optimisation levers
Exhibit 18
Key barriersCapital intensity Q Q Q Q Q Q
Return on investment Q
Infrastructure/supply chain bottlenecks Q Q Q Q Q Q
Capital availability Q Q Q Q
Regulatory support Q
Technological readiness Q Q Q Q
Entrenched behaviour Q Q Q Q Q Q
Agency issues Q Q Q Q Q
Political feasibility Q Q
Information failures Q Q Q Q
Achieving higher revenues from agriculture and fisheries will require overcoming a series of barriers
SOURCE: Ministry of Agriculture; Ministry of Forestry; International Institute for Applied Systems Analysis; Food and Agriculture Organization; McKinsey Global Institute analysis
Potential additional revenue by 20301
$ billion
3525
5
20
4550
Cultivate low-carbon unused land
Increase commercial yield
Reduce food losses andwaste
Increase fisheries production
Shift to high-value crops
Increase smallholder yields
1 Rounded to the nearest $5 billion.
66
terwujud apabila keadaan kerjasama bilateral kita sempat dipermudah dan
ditingkatkan. Secara abstrak, keadaan yang diharapkan diuraikan seperti
yang berikut, dengan dibahas juga kontribusinya terhadap pencapaian
Ketahanan Pangan dan Kemandirian Bangsa Indonesia maupun Australia,
beserta indikator keberhasilannya.
21. Kondisi kerjasama bilateral bidang Agraria yang diharapkan
a. Saling pengertian bidang agraria serta pendekatan Ketahanan Pangan yang akurat, komplit dan berpandangan luas. Betapa bagusnya apabila para pemimpin politik kita, para peneliti
agraria, asosiasi petani/peternak/pembudidaya/nelayan, para praktisi
agraria, serta bangsa secara umum mempunyai suatu pengertian---
umum sehingga spesifik---mengenai tradisi dan kegiatan agraria di
setiap negara masing-masing, keunggulan dan kekurangan, serta
bagaimana pola pikir serta pola kebijakan terhadap urusan Ketahanan
Pangan. Lebih lanjut, dan mungkin mirip dengan keadaan di antara
Australia dan Indonesia, atau Indonesia dengan Malaysia (mitra
perdagangan dan agraria yang telah lama berinteraksi), betapa
bergunanya apabila kaum pedagang dan pembisnis kedua negara kita
begitu paham peluang dan tantangan bisnis agraria di masing-masing
negara sehingga kerjasama usaha, pemodal dan distribusi menjadi
sesuatu yang handal dan mudah.
Jika terwujud pengertian sedemikian rupa maka hemat penulis
adalah kapasitas untuk berempati satu sama lain akan turut terwujud,
sehingga kepentingan kedua negara kita sebagai tetangga yang
seharusnya saling membantu dan saling menjaga akan lebih
diindahkan (daripada keadaan yang saat ini, di mana kekurang-
pahaman dan kurang kepedulian tetap eksis secara terlalu menonjol).
b. Kerjasama bidang agraria adalah Proyek G2G secara resmi, dengan visi besar dan berani, agar mampu menciptakan 'CSP'. Kerjasama agraria kita sangat memerlukan sebuah kerangka
sekaligus payung politik-diplomatik. Tanpa kerangka tersebut, tidak
67
ada 'proyek' yang menyeluruh dan terpadu, malah ada kegiatan-
kegiatan sempit dan ad hoc yang belum tentu klop satu sama lain.
Alangkah strategisnya apabila kerjasama agraria kita diangkat
dari status kegiatan komersial serta beberapa interaksi sempit dalam
dunia litbang menjadi kegiatan yang berorientasi geo-politik
komplentatif. Saat ini hanya Australia-Indonesian Partnership (AIP,
2008-13), yang merupakan sebuah proyek bilateral yang menyeluruh-
terpadu. Dan walau (Official Development Assistance (ODA) itu
penting, bagi penulis adalah agak ironis bahwa AIP itu ada daripada
proyek ekonomi yang seharusnya jauh lebih berguna dan membawa
dampak positif kepada kedua negara kita (apalagi AIP barangkali
diapresiasi oleh pemerintahan Yudhoyono tetapi tidak se'berguna'
investasi dengan kemampuan strategis seperti industri atau pangan,
menurut hemat penulis; ingatlah sejarah Indonesia di mana program
hibah pernah ditafsirkan sebagai 'alat pengaruh' oleh dunia Barat
maupun Soviet, dan respons Presiden Sukarno yang sangat terkenal,
"Go to hell with your aid!"112).
Maka yang diharapkan adalah sebuah perjanjian yang berbentuk
FTA tetapi melebihi struktur perdagangan-investasi murni menjadi
suatu komitmen bersama yang mampu merespon kepada kepentingan
Ketahanan Pangan; bukan sesuatu yang terlalu komersial dan bukan
pula sesuatu yang merupakan hibah (donor-recipient arrangement).
Mengingat teori modern Hecksher-Ohlin ‘The Proportional Factor
Theory', negara-negara yang memiliki faktor produksi relatif banyak
atau murah dalam memproduksinya akan melakukan spesialisasi
produksi untuk kemudian mengekspor barangnya. Sebaliknya,
masing-masing negara akan mengimpor barang tertentu jika negara
tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka atau mahal dalam
memproduksinya. Jika pendekatan H-O itu diterapkan maka beberapa
sektor agraria kita tampaknya memiliki potensi menjadi kemitraan
lintas-negara (lintas-batas) yang betul-betul berbeda dengan
kebiasaan sekarang ini, contohnya :
112 http://www.gimonca.com/sejarah/sejarah09.shtml [diakses 16 Nop 2012]
68
1) Kerjasama bidang Daging Hidup/potong. Industri daging
sapi hidup memperkerjakan lebih dari 13.0000 WNA serta
menyumbangkan AUD$1,8 milyar terhadap PDB Australia setiap
tahun.113 Banyak penduduk di bagian utara Australia dinafkahi
oleh industri tersebut, termasuk banyak orang aborijin yang
sangat perlu lowongan kerja. Sedangkan di Indonesia
pemenuhan kebutuhan rakyat akan protein masih kurang cukup
serta suplai hewan yang bermutu juga belum optimal. Dengan
'teknologi transfer' sains peternakan yang lebih bagus lagi maka
potensi terhadap win-win di sini bagus sekali.
2) Kerjasama bidang Beras. Industri beras di Australia berdiri
sejak tahun 1924 dan mampu dewasa ini menghasilkan sejuta ton
beras per tahun. Beras Australia diekspor ke lebih dari 60
negara. Petani beras Australia menghasilkan panen-per-areal
yang terproduktif di dunia (10 ton per hectare), dan rata-rata
menggunakan air irigasi yang 50% lebih sedikit daripada petani-
petani lain di dunia.114 Oleh karena air irigasi sulit diperoleh di
Australia maka sektor agraria ini menjadi hebat dalam upaya
litbang dan percobaan terhadap adaptasi jenis padi mencari yang
terefisien soal kebutuhan air, serta dengan sistem dan disain
irigasi yang paling mengirit air. Mengingat Indonesia belum stabil
soal pengadaan beras yang cukup (bagian pokok serta bagian
cadangan) maka potensi akan kerjasama di sini pasti bagus
sekali, apalagi di bagian Indonesia NTT dan NTB di mana air
irigasi dan hujan tidak banyak.
3) Kerjasama bidang Gula. Australia merupakan penghasil
gula yang terbesar urutan ketiga di dunia. 80% dari penghasilan
ini diekspor, meraih pendapatan di sekitar AUD$1,5 - 2,5 milyar
per tahun, padahal produsen adalah enam ribu keluarga petani
113 Situs internet Meat and Livestock Association of Australia [www.mla.com.au/About-the-red-meat-industry/Livestock-exports, diakses 28 Mei 2012] 114 Situs internet Rice Growers Association of Australia [http://www.rga.org.au/about-rice.aspx, diakses 28 Mei 2012]
69
saja.115 Mengingat Indonesia adalah net importer gula namun
terletak di zona tropis dengan tingkat air hujan yang tinggi, maka
pasti ada potensi kerjasama di sini agar Australia bisa membantu
Indonesia menjadi swasembada gula.
4) Kerjasama bidang Umbi-Umbian, di mana Indonesia
mempunyai pengalaman yang dalam dengan menghasilkan dan
memanfaatkan gizinya dari singkong, talas, kentang hitam, ubi,
garut dll. Umbi-umbian semacam ini tidak ditanam di Australia.
Mengingat sekarang ini diet Orang Australia adalah terlalu tinggi
lemak, gula dan karbohidrat kompleks maka pasti ada kearifan
lokal dari Indonesia yang mampu memperkenalkan umbi-umbian
baru (yang sekaligus menarik dan sehat) ke pasar-pasar
konsumen Australia.
Walau ke-empat sektor ini hanya contoh saja, kerjasama kita
sebaiknya berani untuk melangkah ke arah integrasi produksi
komoditas tertentu, apabila keunggulan geografi, demografi dan iklim
yang sebenarnya komplementatif di antara Indonesia dan Australia
sempat dimanfaatkan dengan cerdas. Kalau berani begitu, dengan
juga mengatur manajemen, pendanaan serta fleksibilitas yang tinggi
maka perjanjian kerjasama bilateral bidang agraria kita akan bagus
sekali.
c. Kerjasama agraria bilateral dipayungi secara politik, didorong oleh para pemimpin secara terbuka dan aktif, dan kasus-kasus ditangani dengan arif, empati dan seksama . Daripada pengalaman dengan kasus Live Cattle (sebagaimana
dibahas sebelumnya pada Bab III), keadaan yang diperlukan di sini
adalah kedewasaan, semangat negosiasi, kesiapan untuk mengerti
posisi pihak kedua, dan pengelolaan isu dengan terstruktur, transparan
dan obyektif. Yang terjadi disekitar Live Cattle, merupakan kasus
terburuk. Keadaan yang diharapkan justru yang sebaliknya, titik.
115 Situs internet Cane Growers Association of Australia [http://www.canegrowers.com.au/, diakses 28 Mei 2012]
70
d. Kerjasama antara Instansi litbang bidang agraria menjadi menyeluruh, sibuk, dan didorong oleh dana yang kuat. Jika Indonesia dan Australia menjadi mitra agraria yang kuat
(Comprehensive Strategic Partners) maka harus ada dinamika yang
sibuk dan agak terbuka antara pusat-pusat penelitian kedua negara
kita. Australia cukup berprestasi dengan litbang dan sains agraria
(horticultural science). Rural Industries Research and Development
Corporation (RIRDC) dan Commonwealth Scientific and Industrial
Research Organisation (CSIRO) adalah dua instansi yang paling
berperan dengan pengadaptasian pertanian dan peternakan Australia
menjadi lebih produktif, lebih menghemat air dan pestasida, serta lebih
peduli terhadap konservasi mutu tanahnya. Indonesia pasti tidak kalah
soal keahlian sektor pertanian khususnya bidang sayuran dan buahan
tropis (LIPI misalnya). Potensi akan kolaborasi dua-arah jelas ada,
dan merupakan salah satu kunci terhadap peningkatan produktivitas,
daya tahan wabah, kandungan gizi yang tinggi dll. Kerjasama litbang
agraria yang diharapkan adalah kerjasama yang multi-arah,
terintergrasi secara ketat, didanai dengan memadai, dan di mana para
peneliti sibuk bolak-balik di antara laboratorium, lapangan dan seminar
di kedua negara kita sehingga begitu familiar dan membantu satu
sama lain.
22. Kontribusi kerjasama bilateral bidang perdagangan dan litbang agraria yang diharapkan terhadap Ketahanan Pangan, dan terhadap Kemandirian Bangsa
Intisari daripada ide 'kerjasama bilateral' adalah upaya-upaya bersama
antara kedua negara kita yang akhirnya akan saling membantu dan saling
mengisi, meraih suatu sinergi yang melebihi jumlah mentah dari bagian-
bagian inputs. Tidak mengherankan juga bahwa kerjasama sedemikian
rupa seharusnya membawa dampak terhadap keadaan yang lebih
strategis/makro lagi : bahwa kerjasama perdagangan dan litbang agraria
seharusnya mengindahkan kepentingan Ketahanan Pangan, yang kemudian
akan mengindahkan kepentingan Kemandirian Bangsa kita masing-masing.
71
a. Implikasi Peningkatan Kerjasama Bilateral Bidang Perdagangan dan Litbang Agraria terhadap Ketahanan Pangan Menyadari bahwa ketahanan pangan berdiri atas interaksi tiga
komponen116 yakni (1) ketersediaan [produksi, cadangan, impor[, (2)
keterjangkauan [distribusi, perdagangan/pemasaran, pengendalian
harga, bantuan pangan, dan (3) konsumsi, [kualitas/kuantitas,
penganeka-ragaman konsumsi, gizi), maka perdagangan bilateral
Indonesia dan Australia mampu meningkatkan ketersediaan di masing-
masing negara apabila bahan baku atau alat-peralatan
pertanian/peternakan/perikanan menjadi lebih mudah diperdagang,
atau komoditas impor yang diperlukan menjadi lebih terjamin, murah,
dan aneka-ragam. Dan kepentingan produksi akan lebih dibantu lagi
apabila teknologi dan pengalaman agraria ditukar dan sempat masuk
program-program penyuluhan, terutama dalam bidang di mana satu
dari kedua negara kita mempunyai keunggulan tertentu (Australia
dengan gula, Indonesia dengan penggilingan tepung terigu misalnya).
Dalam komponen keterjangkauan, kerjasama dapat membantu urusan
keefisienan dan keefektifan sistem-sistem distribusi apabila penukaran
ilmu pengetahuan dianggap berguna, atau bantuan pembangunan
(ODA) dapat meningkatkan infrastruktur jalan, jembatan dan
pelabuhan. Bantuan Pangan juga menjadi lebih mudah saat ada krisis
jika pola makanan dan gizi lebih dimengerti melalui ekspos terhadap
pasar domestik masing-masing, serta ekspos terhadap proses dan
ruas-ruas pengimporan. Urusan konsumsi dapat dibantu melalui
kerjasama contohnya apabila resit ditukar mengenai jenis-jenis
tanaman yang lebih unggul (termasuk teknologi Genetic Modification,
GM), teknik-teknik terkini pergudangan dan cold storage agar makanan
bertahan lebih lama tanpa degradasi gizi maupun tingkat keamanan,
dan secara tidak langsung dengan bantuan ekonomik dan pendekatan
sistem bantuan sosial agar kemiskinan makin diatasi.
116 Hermanto (2012), op.cit.
72
b. Implikasi Ketahanan Pangan terhadap Kemandirian Bangsa Hampir serta merta, semakin terpenuhi kebutuhan gizi dan energi
sebuah bangsa maka semakin stabil dan produktif bangsa itu, apalagi
dengan menghindari krisis (dengan dampak sosial dan politik) dan
menghindari pemborosan dana negara apabila kebutuhan gizi dan
energi dipenuhi oleh pasar swasta tanpa intervensi signifikan dari
negeri. Tetapi perlu dimengerti di sini bahwa Ketahanan Pangan
dapat terwujud secara domestik murni dengan produksi yang surplus
(swasembada, sampai 'swasembada plus'), didukung oleh sistem-
sistem keterjangkauan yang handal dan memadai, dan dengan daya
beli bangsa yang turut mencukupi agar makanan yang aman, sehat
dan cukup banyak mudah dibeli (kalau tidak dihasilkan sendiri) secara
terus-menerus. Ketahanan Pangan juga dapat terwujud tanpa suplai
domestik yang memadai apabila sumber pangan impor menjadi
sumber yang handal dan terjamin, dan keterjangkauan pun dapat
menjadi lebih bagus dengan masuknya bahan pangan impor yang
lebih bergizi atau lebih murah atau lebih banyak. Pada dasarnya,
Ketahanan Pangan tidak harus berdasarkan atas pendekatan
swasembada ('kemandirian pangan'), ataupun 'kedaulatan pangan' ;
bangsa dapat mencapai status 'tahan pangan' padahal caranya tidak
mandiri malah bergantung pada pasar internasional atau
interaksi/kerjasama/kemitraan dengan bangsa lain.
Oleh karena itu, Ketahanan Pangan dapat membawa kontribusi
terhadap kemandirian, tetapi dapat juga merongrong kemandirian,
tergantung pada cara mana Ketahanan Pangan tersebut terwujud.
Misalnya Brazil sudah swasembada pangan tetapi masih ada 66 juta
warga yang rawan pangan, dan swasembada mereka tercapai dengan
kerjasama/integrasi dengan pemodal asing. Ketahanan Pangan di
Singapura sudah bagus, namun Singapura harus mengimpor
mayoritas bahan makanannya maka bangsa tetap tergantung pada
negara lain (walau Singapura pandai menciptakan persetujuan
persediaan yang berjangka panjang dan strategis agar persediaan
tersebut untuk komoditas penting stabil dan harganya tidak terlalu
fluktuatif). Bagi Australia dan Indonesia, kerjasama bidang
73
perdagangan dan litbang agraria seharusnya berlandasan prinsip
'gotong royong', maka urusan kemandirian mau tidak mau akan
dihambat secara kecil. Tetapi juga, ide kerjasama tersebut tidak serta
merta menghasilkan kebergantungan, dan sepanjang monopoli-
monopoli tidak muncul dan sepanjang kerjasama melaksanakan
Transfer of Technology (TOT) maka baik Australia maupun Indonesia
tidak akan kehilangan kemandirian, malah seharusnya muncul lebih
kuat secara ekonomi dan lebih sehat dan bergizi sebagai bangsa
masing-masing.
23. Indikator keberhasilan Kerjasama Bilateral Bidang Perdagangan dan Litbang Agraria Semua sistem pengelolaan apabila ingin efektif harus mempunyai
sistem pengukuran (metrics) terhadap progres dan---akhirnya---definisi
sukses, supaya para pewewenang dan manajer dapat menilai kemudian
meng-adjust settings sesuai kebutuhan dinamika dan sesuai kebebasan dan
kebatasan sumberdaya yang dimiliki sistem tersebut.
Untuk urusan peningkatan kerjasama bilateral Indonesia-Australia
bidang perdagangan dan litbang agraria, indikator keberhasilan diuraikan
sebagai berikut ini :
a. Pengertian tentang segmen agraria yang akurat dan pandangan luas.
1) Adanya pusat informasi (kantor dan cabang sebagaimana
diperlukan).
2) Adanya program pertukaran pejabat/pakar/pelaku.
3) Adanya forum information sharing.
4) Adanya empati terhadap pihak kedua dalam
perencanaan/dokumentasi/aksi pihak pertama.
5) Adanya kemitraan antara asosiasi / perhimpunan.
74
b. Kerjasama bidang agraria ‘diproyekkan’ Secara resmi—G2G, S2S
1) Adanya I-A CEPA.
2) Adanya forum manajemen G2G yang efisien dan efektif.
3) Adanya pendanaan dan alokasi SDM yang memadai.
4) Adanya kemitraan resmi (yang didanai anggaran negara)
antara sektor agraria yang ditentukan, sebagai jago 'integrated
value chain' (apakah daging sapi, beras, gula, kedelai dll)
5) Adanya peningkatan terhadap banyaknya dan seringnya
penanaman modal.
6) Adanya simplifikasi terhadap regulasi, proses, dan
hambatan lain (rintangan berbentuk tarif, dan on-tarif)
c. Apabila pekanya kerjasama sempat dikurangi
1) Adanya protap dan mekanisme untuk komunikasikan isu.
2) Komunikasi isu terjadi G2G sebelum muncul di pers (sejauh
mungkin dan praktis).
3) Para politikus bertindak dengan empati terhadap pentingnya
hubungan bilateral serta I-A CEPA.
d. Kerjasama antara Instansi litbang dipertingkat dan diperkuat
1) Adanya program pertukaran peneliti sehingga ratusan orang
terlibat.
2) Meningkatnya footprint ACIAR di Indonesia.
3) Adanya perwakilan LIPI di Australia (kantor dan cabang).
4) Adanya proyek penelitian tauladan yang dikerjakan secara
bersama.
75
BAB VI KONSEPSI PENINGKATAN KERJASAMA BILATERAL RI-AUS BIDANG PERDAGANGAN DAN LITBANG AGRARIA AGAR MEMENUHI TARAF
COMPREHENSIVE STRATEGIC PARTNERSHIP (CSP)
24. Umum Presiden Yudhoyono dan PM Gillard telah berani menyatakan melalui
kenyataan resmi (joint communiqué) hasil pertemuan tahunan pemimpin
pemerintahan kedua negara kita tahun kemarin bahwa hubungan bilateral
kita justru bertaraf 'kemitraan strategis menyeluruh' ('comprehensive
strategic partnership', CSP). Melalui argumentasi dan pembahasan penulis
pada bab-bab sebelumnya, diajukan bahwa hubungan ekonomi bilateral kita
belum bertaraf 'CSP' itu, apalagi bagian perdagangan agraria dan kerjasama
litbang agraria, malah hubungan bagian itu justru underperforming, terlalu
bersifat transaksi (transactional) yang tidak melayani sebuah gambar besar,
dan juga menderita dari kepekaan yakni mudah terbawa moods nasionalistis
sempit atau kepentingan keuntungan belaka.
Oleh karena itu, untuk mengisi celah antara retorika dan realita saat ini,
diperlukan sebuah usaha yang sangat besar dan sengaja, yang juga harus
seimbang di antara Jakarta dan Canberra, apabila suatu kemitraan bidang
agraria yang betul-betul bertaraf 'strategis menyeluruh' akan terwujud.
Sampai saat ini, yang mampu dijadikan contoh dalam usaha tersebut hanya
'In this historic first meeting, we recommitted to enhance our comprehensive strategic partnership across all spheres of activity. Our shared vision and challenge is to create two countries, deeply familiar with one another and working closely for our mutual good and that of our region. We call on all Indonesians and Australians to reach out to each other as neighbours and friends; to celebrate the differences in our cultures; to embrace the political freedoms and values we hold in common; and to realise the full potential of our joint partnership and shared future.'
Transcript, Joint Communiqué 1st Indonesia-Australia Annual Leaders' Meeting, Bali, 20 Nov 2011
[http://www.pm.gov.au/press-office/1st-indonesia-australia-annual-leaders-meeting-joint-communique, diakses 29 Sep 12]
76
Australia Indonesia Partnership (AIP)117, yang merupakan suatu kemitraan
bidang bantuan pembangunan (ODA) yang disetujui bersama oleh Jakarta
dan Canberra selama periode 2008-13, agar bantuan pemerintah Australia
menjadi sinkron dengan RPJMN 2009-14, serta mematuhi prinsip-prinsip
terdepan para pakar ODA sedunia khususnya program PBB Millennium
Development Goals (MDG). Oleh karena AIP tersebut mengandung : (1)
kerjasama yang bersifat multi-sektoral, (2) menjunjung tinggi kebijakan
nasional menurut Jakarta, (3) dikelolai secara bersama dengan semangat
kemitraan; dan (4) didanai secara signifikan maka hanya AIP yang cukup
berbobot untuk dijadikan semacam tauladan bagi kepentingan peningkatan
terhadap kerjasama bidang agraria kita.
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, untuk meningkatkan
kerjasama bilateral Indonesia-Australia bidang perdagangan dan litbang
agraria telah ditemukan beberapa pokok persoalan yang perlu diatasi
dengan konsepsi di sini, diantaranya : (1) Belum lengkapnya saling
pengertian bidang agraria serta pendekatan Ketahanan Pangan masing-
masing; (2) Belum ‘diproyekkan’ hubungan ekonomi secara strategis, sektor
agraria sebagai salah satu bagian terpenting; (3) Terlalu pekanya kegiatan
kerjasama agraria (khususnya impor/ekspor) terhadap dinamika pasar
bebas dan terhadap kepentingan politik domestik; dan (4) Kurang seriusnya
kerjasama antara Instansi litbang masing-masing. Maka peningkatan
kerjasama bilateral Indonesia-Australia bidang perdagangan dan litbang
agraria dilakukan dengan konsepsi kebijakan, strategi dan upaya
sebagaimana diuraikan berikut ini, untuk mengatasi ke-empat pokok
persoalan tersebut.
25. Kebijakan Dihadapkan dengan berbagai permasalahan terkait perlunya
ditingkatkan kerjasama Indonesia-Australia bidang perdagangan dan litbang
agraria, dirumuskan kebijakan sebagai berikut :
117 http://www.ausaid.gov.au/Publications/Pages/Australia-Indonesia-Partnership-Country-Strategy-2008-13-english.aspx [diakses 17 Nop 2012]
77
"Peningkatan kerjasama bilateral Indonesia-Australia bidang
perdagangan dan litbang agraria, sehingga menjadi sebuah proyek
masal dan komitmen yang mendalam".
Rumusan kebijakan yang ditujukan untuk menjawab tantangan
peningkatan kerjasama bilateral kita bidang perdagangan dan litbang agraria
diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman dalam mencapai
kesepahaman maksud, cara dan/atau sarana-prasarana bagi
pengembangan strategi dan upaya yang akan dilaksanakan oleh para
pemimpin politik, pejabat maupun tokoh sektor agraria kita. Kebijakan
tersebut selanjutnya diuraikan ke dalam empat strategi dan dijabarkan lebih
lanjut dalam berbagai upaya yang harus ditempuh untuk merealisasikannya.
26. Strategi
a. Strategi 1 : Meningkatkan Saling Pengertian Strategi ini bertujuan untuk mengatasi masalah kekurang-
pahaman terhadap sistem-sistem agraria dan pangan di Indonesia dan
di Australia, dengan mendirikan sumber-sumber pusat informasi yang
aktual dan benar, mengiklankan kerjasama bilateral kita secara luas
dan terus-menurus, dan dengan memperluas secara besar banyaknya
individu (para ahli, mahasiswa, praktisi, peneliti dll) yang sempat
berkunjung dan berkarya di lingkungan negara kedua sesuai dengan
latar belakang dan sub-bidang ketertarikan mereka masing-masing.
Ide sentralnya adalah knowledge is power (pengetahuan adalah
kuasa), dan dengan akses yang mudah terhadap pengetahuan dan
informasi yang bermutu, aktual, dan luas maka tentu kesadaran akan
muncul tentang pro dan kontra sistem pangan dan Ketahanan Pangan
di kedua negara, empati satu sama lain, lalu semangat untuk saling
membantu akan turut muncul pula. Strategi tersebut juga mengakui
bahwa fungsi penginformasian ini memerlukan penanaman dana dan
waktu, dan walau dunia modern ini mempunyai aliran komunikasi yang
sangat hebat, tetap saja informasi kita tidak akan masuk ke kesadaran
bangsa maupun para pemeran agraria tanpa suatu usaha yang kuat
78
(alias, informasi harus didorong, tidak cukup di-stel secara pasif
dengan harapan bahwa petani/peternak/nelayan/peneliti dll akan
meluangkan waktu dan fokus untuk mencari dan mengambil informasi
tersebut). Semboyannya: Information 'push', not information 'pull'. Dan
karena strategi ini juga merupakan semacam kegiatan sosialisasi
secara umum, maka penting strategi ini tidak dapat diabaikan, justru
karena sosialisasi selalu sangat sentral terhadap sukses tidaknya
program-program pemerintah dan instansi yang lain di mana saja dan
kapan saja.
b. Strategi 2 : Mendirikan Perjanjian yang besar, berani, dan menyeluruh
Tujuan dari strategi ini adalah untuk merumus kemudian
menyetujui sebuah perjanjian bilateral yang sebobot mungkin (paling
tidak, sehingga mempunyai status hukum dan mengikat seperti FTA
yang pada dasarnya berpedoman terhadap persyaratan WTO), agar
kerjasama agraria kedua negara kita menjadi semacam proyek yang
masal dan 'agung', dikenal, serta didambakan oleh kedua bangsa kita.
Berangkat dari pendekatan 'kemitraan' yang telah diciptakan oleh AIP,
maka proyek kerjasama agraria di sini, menurut hemat penulis,
sebaiknya dipercayakan kepada proses perundingan I-A CEPA,
mengingat I-A CEPA itu telah memiliki momentum dan restu secara
politik, dan sebagai perpanjangan dari prinsip-prinsip perdagangan
WTO (terjabar dengan paling aktual dalam AANZFTA) maka asal-
usulnya sudah kuat. Dan oleh karena I-A CEPA akan menerobos lebih
jauh daripada perdagangan secara eksklusif, menjadi sebuah
kerangkaian untuk tiga kegiatan yakni (1) perdagangan, (2)
penanaman modal, dan (3) kerjasama membangun kemampuan
(capacity building), di mana sektor membangun kemampuan tersebut
telah disetujui bersama dalam pra-perundingan tahun lalu menjadi
agraria, pertambangan, jasa-jasa, serta perekonomian 'hijau'118. Maka
I-A CEPA merupakan wahana yang pas bagi kepentingan 'proyek' kita.
118 BPG (2012), op.cit., hlm.3
79
Strategi ini juga menghimbau agar I-A CEPA berani untuk
menentukan tujuan ke depan yang betul-betul mulia, seperti 'Indonesia
dan Australia menjadi mitra perdagangan satu sama lain dalam urutan
'Top Three' pada tahun 2025', 'Australia dan Indonesia mencapai
sistem litbang agraria terintegrasi penuh pada tahun 2030', ataupun
'Indonesia dan Australia menjadi blok penghasil dan pengekspor
makanan nomor satu di Asia', kemudian memetakan perjalanannya
supaya semacam plan of action / road map justru dihasilkan, menjadi
pedoman yang riil dan berguna. Jika tujuan-tujuan hanya tertulis
seperti 'meningkat', 'mengoptimalkan', atau 'memperluas' maka kita
ibarat menyiapkan diri untuk menghasilkan perkembangan-
perkembangan yang abstrak, taktis, dan tanpa sistem ukuran (metrics)
yang tajam, maka tidak mungkin menjadi semacam penerobosan yang
agung ataupun masal.
Dan secara praktis, I-A CEPA harus mengidentifikasikan sektor-
sektor agraria tertentu yang akan dijadikan fokus khusus sebagai
'rantai nilai lintas batas' (apakah daging sapi, gandum, kedelai, gula,
buah-buahan dll), berdasarkan atas perhitungan teori comparative
advantage sehingga keunggulan di Indonesia dan keunggulan di
Australia disinergikan (misalanya produksi di satu negara, pengolahan
di negara kedua).
c. Strategi 3 : Mendirikan Sistem 'Pengelolaan Aktif' Strategi ini bertujuan untuk menjamin bahwa, apabila sebuah I-A
CEPA yang memuaskan sempat terwujud, nanti operasinya berjalan
dengan sungguh-sungguh. Diketahui secara umum cukup banyak
kasus di negara mana pun di mana rencana strategis dirumus dengan
sangat bagus, tetapi penerapannya berjalan secara kurang rajin atau
terlanda masalah karena kemampuan manajemen kurang memadai
ataupun pendanaan tidak mencukupi. Khususnya terhadap urusan
kepekaan hubungan bilateral Indonesia dan Australia, strategi ini harus
mampu mendirikan sebuah arsitektur pengelolaan yang responsif dan
terkoneksi secara baik dengan superstruktur politik dan kementerian
terkait di kedua negara agar kepentingan pengambilan keputusan
80
('biltus' dalam bahasa militer) diindahkan. Seperti kasus Live cattle
tahun 2011, jika struktur manajemen, komitmen politik, serta
pengaliran informasi tidak bersifat real time, terbuka dan rajin maka
dikhawatirkan penulis bahwa kepekaan akan terus mengakibatkan
kerusakan terhadap kepentingan hubungan bilateral Indonesia dan
Australia yang seharusnya senantiasa dijaga dengan baik dan arif, dan
tidak mudah menjadi korban kepada kasus tertentu yang hanya
bersifat 'taktis' atau friksi. Pentingnya sistem pengelolaan baru ini
menjadi jelas apabila kita mengingat juga bahwa semakin sibuk dan
luas sebuah hubungan bilateral maka pro dan kontranya turut semakin
menonjol pula (lihat saja konektivitas Indonesia dan Malaysia dalam
sekian banyak aspek, membawa banyak manfaat bagi kedua negara
tetapi sekaligus tantangan-tantangan sering muncul karena
kepentingan kedua negara terekspos satu sama lain setiap saat dan
melalui sosok dua juta lebih manusia WNI yang tinggal di Malaysia
atau WNM yang tinggal di Indonesia).
d. Strategi 4 : Mendirikan Litbang Agraria Gabungan berskala besar
Litbang Agraria demikian penting terhadap kemajuan
produktivitas sektor pangan (seperti argumentasi World Bank [dalam
McKinsey (2012)], bahwa "penanaman modal dalam R&D/litbang
menghasilkan kurs keuntungan yang berkisah antara 43% dan 151%,
sedangkan penanaman modal terhadap subsidi-subsidi bahan baku
dasar kepada produsen secara individu seperti pupuk malah
membawa dampak negatif terhadap pertumbuhan agraria secara
umum."119). Dengan Indonesia hanya sekarang menanamkan dana
sebesar 0,27% dari PDB agrarianya terhadap litbang agraria domestik
secara keseluruhan, dan dengan kerjasama instansi litbang Indonesia
dan Australia hanya didanai kurang daripada AUD$9 juta per tahun
(belum termasuk pendanaan dari Jakarta, yang tidak diketahui penulis)
119 Enrique Blanco Armas et al., (2012), Agriculture public spending and growth in Indonesia, World Bank policy research working paper number 5977, February 2012, dalam McKinsey, (2012), op.cit., hlm.47
81
maka strategi ini bertujuan untuk meningkatkan secara drastis ruang
lingkup, kuantitas maupun kualitas kerjasama litbang agraria di antara
para peneliti dan instansi terkait di kedua negara kita.
Jika I-A CEPA mampu menciptakan sebuah paradigma baru
dalam kerjasama bilateral agraria kita maka tentu salah satu tujuan
yang seharusnya muncul adalah penyempurnaan rantai suplai terpadu,
di mana hibridisasi, daya tahan hama, kesuburan jenis / sub-jenis
tanaman pangan dll harus terus-menerus diteliti lalu pengetahuan baru
yang dihasilkan harus disuluhkan kepada para
petani/peternak/nelayan/pembudidaya agar produktivitasnya
meningkat terus. Tanpa kerjasama litbang ideal seperti itu maka I-A
CEPA akan kurang optimal jika kegiatan litbang agraria kita tetap
berdiri sendiri (khususnya bagi sektor yang mungkin akan disetujui
untuk produksi dan pengolahan terpadu). Dan sinergi tidak akan
tercapai apabila interaksi para peneliti Indonesia dan Australia tetap
terjadi pada skala yang agak kecil seperti saat ini, di mana peneliti
yang ikut program pertukaran hanya merupakan beberapa belasan
orang per tahun. Maka strategi ini ingin melihat terwujudnya 'litbang
agraria gabungan'---proyek-proyek dan resit bersama secara signifikan
dan berkelanjutan---dan penukaran pengetahuan secara umum di
mana saja keunggulan satu pihak dianggap berguna dan valid untuk
pihak yang kedua.
27. Upaya Dalam rangka mengoperasionalkan kebijakan dan ke-empat strategi
tersebut maka disusun upaya-upaya yang dapat dilaksanakan sebagai
langkah konkrit, kebanyakannya bersifat teknis. Upaya-upaya yang diajukan
adalah sebagai berikut :
a. Strategi 1 : Meningkatkan Saling Pengertian Strategi ini akan dijabarkan dengan upaya-upaya riil dan praktis
(dengan dijelaskan siapa pemeran [subyek]; apa materi, sektor atau
isu sebagai target aksi [obyek]; dan apa metodenya yang mesti
diterapkan) seperti ini :
82
1) Kementan RI (melalui Dewan Ketahanan Pangan, DKP),
DAFF dan DFAT Australia mendirikan sebuah Pusat Informasi
yang mempunyai kantor di Indonesia (Jakarta?) dan kantor di
Australia (Sydney atau Canberra?), yang memiliki bentuk nyata
maupun bentuk ('kehadiran') di internet, sebagai titik temuan
semua informasi Indonesia dan Australia terkait pangan dan
Ketahanan Pangan.
2) Kementan RI dan DAFF Australia melaksanakan kampanye
informasi secara terus menurus tentang kemitraan bilateral kita,
dipasarkan sebagai urusan Ketahanan Pangan bersama (bukan
urusan keuntungan/rejeki belaka), dimana urusan impor-ekspor
diberikan konteks dan keseimbangan sebagai salah satu aspek
saja dari tujuan yang lebih penting lagi yakni urusan Ketahanan
Pangan di kedua negara kita, serta urusan Ketahanan Pangan
regional maupun global di mana kedua negara kita seharusnya
maju sebagai pemasok pada komoditas pangan unggulan secara
unilateral maupun bilateral di mana 'value added chains' sempat
terwujud. Branding harus laris, seperti 'Partnership Pangan
Indonesia Australia', atau Proyek 'Mitra Agraria Negara Tetangga
akan Pangan', alias 'MANTAP' Indonesia-Australia, dan
kampanye informasi harus serba-arah, memanfaatkan media apa
saja misalnya radio, televisi, brosur, iklan koran/majalah, seminar
dll.
3) Kementan RI, Kemendag RI, Kemenperin RI, Dirjen Bea
dan Cukai RI, kemudian AQIS dan DAFF dari Australia
melaksanakan harmonisasi, penerjemahan serta sosialisasi
tentang perundangan, regulasi dan standar-standar perihal
pengimporan dan SPS komoditas agraria. Hasil dari harmonisasi
dan penerjemahan tersebut disimpan/dipasang pada Pusat
Informasi, agar semua pihak yang ingin mengikuti kemitraan
agraria dengan kegiatan impor-ekspor merasa yakin tentang
peraturan yang terkait.
83
4) Kementan RI, Kemeniptek RI, dan Ditjen Imigrasi RI, serta
DAFF, Department of Immigration and Citizenship (DIAC), dan
CSIRO/ACIAR Australia merumus dan menerapkan sebuah
program pertukaran para peneliti, praktisi, penyuluh dan
pedagang bidang agraria kita yang besar, serba-arah, dan
berbobot, mencontohkan aspek-aspek positif dari pengalaman
Colombo Plan120 pada zaman 1950-60an, dan dengan target agar
ribuan orang Indonesia (bukan puluhan seperti sekarang ini)
bidang agraria terekspos kepada sistem-sistem agraria di
Australia, maupun orang Australia terekspos kepada sistem-
sistem agraria di Indonesia. Dana yang diperlukan agar diperoleh
dari anggaran ODA (Australia), dan anggaran pertanian
(Indonesia, sebagian dikonversi dari anggaran input subsidies
yang agak kelebihan sekarang ini).
5) Kementan RI dan Kemennakertrans RI, serta DAFF, DFAT
dan DIAC Australia merumus kemudian melaksanakan program
'pekerja tamu agraria' ('agricultural guest workers')121 di mana
petani/peternak WNI yang berminat bekerja di Australia diberikan
izin dan bantuan untuk periode-periode tertentu (bukan imigrasi
tetap) untuk ikut bekerja di sektor pertanian dan peternakan di
Australia, khususnya sektor yang paling relevan bagi kepentingan
swasembada Indonesia misalnya gula, daging sapi, beras, dan
sayur-mayur. Sepanjang Australia mempunyai kekurangan
tenaga kerja bidang pertanian/peternakan, dan Indonesia
mempunyai kelebihan tenaga kerja, maka program guest workers
tersebut sangat berpotensi untuk saling mengisi / saling
membantu.
6) Perhimpunan dan Asosiasi agraria sektoral (sebagai
'infrastruktur pertanian') didorong oleh pemerintah masing-masing
(plus dengan dana jika diperlukan) agar turut aktif dalam
120 http://www.colombo-plan.org/index.php/about-cps/history/, dan http://www.dfat.gov.au/publications/colombo_plan/index.html [diakses 17 Nov 2012] 121 Seperti yang diajukan sebagai ide 'overseas workers' dalam DAFF (2012) National Food Plan, op.cit., hlm.14
84
mempromosikan keterangan di forum-forum komunikasi sektor
tentang keadaan dan fakta-fakta di sektor di negara kedua (sama
seperti ide 'kota saudara' ['sister cities'] di dunia pariwisata dan
perdagangan) agar pengertian bilateral ditingkatkan dan
semangat bilateralisme muncul pada sektor-sektor yang
ditentukan (melalui I-A CEPA) sebagai sektor proyek.
b. Strategi 2 : Mendirikan Perjanjian yang besar, berani, dan menyeluruh Strategi ini akan dijabarkan dengan upaya-upaya riil dan praktis
(dan SOMnya) yang ini :
1) Menkoekon RI, Mendag RI, Mentan RI, beserta MenDFAT
dan Mendag Australia merundingkan, lalu menyetujui sebuah I-A
CEPA (perjanjian resmi bidang ekonomi, perdagangan dan
pembangunan kemampuan) yang menyeluruh, berani dan
berbobot, mampu menciptakan percepatan terhadap
penurunan/pencabutan tarif, melangkah lebih jauh daripada
AANZFTA, dan menyebutkan target-target riil yang akan
memaksakan pekerjaan yang keras dan sungguh-sungguh dari
kedua bangsa kita komponen agraria. Aspek-aspek yang pantas
diakomadir termasuk usulan dari BPG seperti: penghapusan
secara segera atau cepat semua rintangan perdagangan (baik
berbentuk tarif, non-tarif, jatah/kuota); liberalisasi terhadap
perdagangan dan interaksi jasa-jasa; harmonisasi terhadap
regulasi; penyederhanaan terhadap keluar-masuk orang; integrasi
'rantai produksi lintas batas'; pembangunan kemampuan (proses-
proses, SDM dll); bantuan terhadap kemitraan antarUKM;
pendirian kemitraan sektor-ke -sektor ('S2S') dll.122
2) Perumus I-A CEPA tersebut (yakni Menkoekon RI, Mendag
RI, Mentan RI, beserta MenDFAT dan Mendag Australia)
menentukan target-target strategis untuk kerjasama bilateral
bidang perdagangan dan litbang agraria yang sangat besar
122 BPG (2012), op.cit., hlm.6-7
85
(biarpun realistis), mencontohkan kesuksesan gaya MDGs
misalnya (1C "separuhkan banyaknya orang yang kelaparan di
dunia sebelum tahun 2015", 2A "semua anak di dunia sempat ikut
program sekolah dasar selama enam tahun"123). Agar perumus I-
A CEPA menentukan target-target yang inspiratif dan pas,
misalnya 'Indonesia dan Australia menjadi mitra perdagangan
satu sama lain dalam urutan 'Top Three' pada tahun 2025',
dan/atau 'Australia dan Indonesia mencapai sistem litbang agraria
terintegrasi penuh pada tahun 2030'.
3) Kementan RI dan DAFF Australia melaksanakan kampanye
informasi tentang I-A CEPA tersebut bagian kerjasama
perdagangan dan litbang bidang agraria khususnya secara terus-
menurus, dengan semacam branding yang sederhana dan
'nempel di otak' (misalnya, 'Partnership Pangan Indonesia
Australia' atau Proyek 'Mitra Agraria Negara Tetangga akan
Pangan', alias 'MANTAP' Indonesia-Australia).
4) Kementan RI dan DAFF Australia ikut memantau kembali
secara rutin dan mendalam aspek agraria daripada I-A CEPA
agar diperbaiki / diperbaruhi sesuai dengan pergeseran tren dan
berdasarkan atas umpan balik yang aktual dan tajam, sehingga I-
A CEPA menjadi semacam dokumen berhidup (living document).
5) Kemenkoekon RI dan AusAID Australia agar
mempertimbangkan kembali, lalu meng-adjust ODA sehingga
fokus digeser dari urusan kemiskinan dan pendidikan umum
hampir secara eksklusif, kepada suatu keseimbangan yang mulai
lebih memihak kepada urusan sektor-sektor agraria, pertama-
tama dengan ekspansifikasi ukuran, bobot dan sumberdaya
ACIAR (khususnya dana).
6) Di bawah naungan I-A CEPA, Kemendag RI dan Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Indonesia 124 , beserta
123 http://en.wikipedia.org/wiki/Millennium_Development_Goals [diakses 17 Nop 2012] 124 BKPM adalah Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia. Sebagai penghubung utama antara dunia usaha dan pemerintah, BKPM diberi mandat untuk mendorong investasi
86
Kemendag Australia membahas, merumus, lalu mendirikan
paradigma baru penanaman modal bidang perdagangan dan
litbang agraria sehingga diatur dengan lebih baik, transparan, dan
dengan kejelasan hukum agar para pemodal tertarik kembali
dengan paradigma baru peluang-peluang investasi.
7) Di bawah naungan I-A CEPA, Kemendag dan Kemenperin
RI bersama Kemendag Australia bekerjasama dengan para
pemodal dan para pakar sektor agraria tertentu agar mencari, lalu
menfasilitasi didirikannya beberapa proyek 'rantai nilai lintas
batas' ('cross-border value chains') untuk menjadi proyek
tauladan akan seberapa jauh integrasi sektor agraria tertentu
dapat diciptakan dengan tetap mengindahkan kepentingan kedua
negara dan tanpa merongrong ide 'kemandirian pangan' di opini
Jakarta ataupun di Canberra. Contoh sektor yang paling cocok
diusahakan secara terintegrasi adalah daging sapi, kedelai, gula,
dan/atau pembudidayaan ikan. 125 Dipedomani pula oleh
perhitungan comparative advantage, di mana pembagian tugas-
tugas secara bilateral mencari letak keunggulan secara obyektif,
dan kedua pihak kita merelakan diri untuk membagi tugas dan
wewenang.
8) Kemendag Ri dan Kementan RI, beserta DAFF dan Meat
and Livestock Association of Australia (MLA Australia) secara
spesifik mendirikan hubungan antarsektor (S2S) daging sapi
Indonesia-Australia, agar kerjasama dilaksanakan pada tingkat
sektoral selain hanya berbasis G2G (walaupun pasif) dan B2B
(yang bermotivasi keuntungan sebagai prioritas utama) saja
seperti sekarang ini. Dengan keikutsertaan para pakar sektor
perdagangan daging sapi maka kearifan lokal, pengalaman se-
langsung, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, melalui penciptaan iklim investasi yang kondusif. Setelah BKPM dikembalikan statusnya menjadi kementerian di tahun 2009 dan melapor langsung kepada Presiden Republik Indonesia, maka sasaran lembaga promosi investasi ini tidak hanya untuk meningkatkan jumlah investasi yang lebih besar dari dalam maupun luar negeri, namun juga untuk mendapatkan investasi bermutu yang dapat memperbaiki kesenjangan sosial dan mengurangi pengangguran. [http://www.bkpm.go.id/contents/general/2/tentang-kami, diakses 9 Okt 2012] 125 Ibid, hlm.45
87
sektor dan loyalitas berdasarkan kepentingan masa depan sektor
daripada ‘rejeki tahun ini' dapat diperdayakan demi kepentingan
bilateral kita. Pendanaan khusus akan diperlukan, yang dapat
diambil untuk bagian awal dari dana AIP. Lambat laun,
pendanaan untuk urusan hubungan S2S tersebut seharusnya
dapat dipetik sebagai semacam pajak dari kesuksesan usaha
bersama daging sapi kita.
9) Kemendag Ri, Kementan RI dan asosiasi/
perhimpunan/persatuan terkait sektor beras Indonesia (seperti
Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia
[PERPADI], Asosiasi Petani Padi Palawija Indonesia [AP3I],
Asosiasi Petani Padi Organik Boyolali [APPOLI] dll), beserta
DAFF dan Rice Growers Association of Australia (RGA Australia)
secara spesifik mendirikan hubungan antarsektor (S2S) beras
Indonesia-Australia, agar kerjasama dilaksanakan pada tingkat
sektoral selain hanya berbasis G2G dan B2B saja seperti
sekarang ini. Prinsip-prinsipnya sama dengan hubungan S2S
Daging Sapi di atas.
10) Kemendag RI, Kementan RI, dan Asosiasi Petani Tebu
Rakyat Indonesia (APTRI), beserta DAFF dan Cane Growers
Association of Australia (CGA Australia) secara spesifik
mendirikan hubungan antarsektor (S2S) gula tebu Indonesia-
Australia, agar kerjasama dilaksanakan pada tingkat sektoral
selain hanya berbasis G2G dan B2B saja seperti sekarang ini.
Prinsip-prinsipnya sama dengan hubungan S2S Daging Sapi dan
beras di atas.
11) Badan Karantina Pertanian (BKP) di Kementan RI, Badan
Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) di Kemenkes), dan
Badan Standarisasi Nasional (BSN) Indonesia, beserta AQIS
Australia dan badan Food Standards Australia New Zealand
(FSANZ)126 melaksanakan harmonisasi rejim perizinan dan SPS
126 Australia dan New Zealand telah menyatukan sistem regulasi keamanan dan kemutuan makanan dan obat, maka badan yang bertanggung jawab atas fungsi tersebut merupakan sebuah
88
(termasuk bantuan teknis, penukaran pengalaman, pengadaan
alat-peralatan pengecekan) agar pengaliran impor-ekspor
komoditas di antara Indonesia dan Australia menjadi selancar
mungkin. Dilaksanakan pula simplifikasi dan standardisasi
terhadap rejim labeling agar urusan hak cipta (intellectual
property, IP) tidak dirongrong oleh regulasi yang kelebihan
sekaligus melebihi standar yang ditentukan oleh WTO.
12) Kemendag RI, Kemenag RI, serta DAFF dan AQIS Australia
mengatur pengertian sertifikasi halal yang universal, mudah
dimengerti dan mudah diterapkan agar produsen tidak susah dan
konsumen rasa nyaman dan yakin.
13) Kemendag, Kementan dan Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) RI, beserta DAFF dan DFAT Australia
melaksanakan penilaian tentang potensi keikutsertaan pihak
Australia dalam MP3EI bagian agraria, dan keikutsertaan pihak
Indonesia dalam National Food Plan Australia.
c. Strategi 3 : Mendirikan Sistem 'Pengelolaan Aktif' Strategi ini akan dijabarkan dengan upaya-upaya riil dan
praktis (dan SOMnya) yang ini :
1) Presiden RI dan Perdana Menteri Australia melaksanakan
fungsi sebagai pengarah dan pengawas tertinggi terhadap
bentuk, tujuan-tujuan dan kinerja dari I-A CEPA. Kedua
pemimpin kita dibantu dengan fungsi tersebut oleh Indonesia-
Australia Ministerial Forum (IAMF) yang sudah berdiri sejak tahun
1992 dimana pertemuan dilaksanakan dua tahun sekali, tetapi
dengan mendirikan sebuah pokja / working group atau komisi
baru yang khusus untuk memanej Comprehensive Strategic
Partnership bidang agraria, yang akan bertemu paling sedikit
setahun sekali.
badan gabungan, yakni FSANZ. Lihat keterangan di situs http://www.foodstandards.gov.au/scienceandeducation/aboutfsanz/ [diakses 18 Nop 2012]
89
2) IAMF membahas, merumus, lalu mendirikan kantor-kantor
perwakilan tetap I-A CEPA dengan footprint sebagaimana
diperlukan (paling tidak, di Jakarta dan di Canberra,
kemungkinaanya sebagai ekspansi kepada perwakilan
Austrade 127 di Jakarta, dan Kemendag di KBRI Canberra).
Kantor perwakilan tetap tersebut berperan untuk melaksanakan
sosialisasi, memfasilitasikan hubungan-hubungan,
mengawas/memantau implementasi I-A CEPA, menerima umpan
balik dll.
3) IAMF, Kementan dan Kemendag RI, beserta DAFF dan
DFAT Australia memantau kembali secara rutin dan mendalam
aspek agraria daripada I-A CEPA agar diperbaiki / diperbaruhi
sesuai dengan pergeseran tren dan berdasarkan atas umpan
balik yang aktual dan tajam, sehingga I-A CEPA menjadi
semacam dokumen berhidup (living document). Dalam kegiatan
ini, opini dan umpan balik dari sektor dan pembisnis individu
diterima secara terus-menurus, dan apabila kepekaan dapat
diatasi dengan perubahan terhadap pasal-pasal dalam I-A CEPA
maka amandemen diajukan secara ad hoc kepada keanggotaan
IAMF untuk dipertimbangkan.
4) Khususnya untuk masalah signifikan urusan pangan,
Ketahanan Pangan atau kerjasama litbang agraria, kantor-kantor
ini bertindak sebagai titik fusion semua keterangan, pernyataan
kepada pers, penasehat kepada pejabat dan pemimpin kedua
belah pemerintah, dengan tujuan bahwa isu-isu yang muncul
dapat ditangani dengan seksama, akurat, obyektif, secara
bersama (bilateral, bukan unilateral) dan dengan menjunjung
tinggi prinsip-prinsip induk daripada I-A CEPA tersebut yakni
kerjasama dan saling membantu.
127 Komisi Perdagangan Australia (Australian Trade Commission - Austrade) adalah lembaga Pemerintah Australia untuk membantu perusahaan-perusahaan Australia dalam memperoleh kesempatan berbisnis untuk produk dan jasanya di luar negeri sehingga mereka dapat menghemat waktu, biaya dan risiko dalam memilih, memasuki dan mengembangkan pasar internasional. [www.austrade.gov.au, diakses 10 Nop 2012]
90
5) Masing-masing pemerintah berusaha untuk tidak terpicu
dinamika politik domestik, sejauh praktis, saat urusan pangan
atau Ketahanan Pangan muncul di mana peranan ataupun
kepentingan satu pihak dipertanyakan/dipermasalahkan pihak
yang kedua. Komitmen tersebut agar diberikan bentuk dengan
diadakan talking points tetap (yang bagus diulang kepada dunia
pers apabila ada isu), dan dengan sebuah prosedur tetap (dalam
bahasa militer, 'protap') mengenai resolusi konflik atau
persengketaan agar semua politikus dan pejabat mengerti dan
rasa nyaman bahwa dalam krisis atau isu, penanganannya
mempunyai proses bersama, mempunyai ketransparanan serta
kejelasan.
d. Strategi 4 : Mendirikan Litbang Agraria Gabungan berskala besar Strategi ini akan dijabarkan dengan upaya-upaya riil dan praktis
(dan SOMnya) yang ini :
1) Perumus I-A CEPA agar merumus bagian khusus untuk
urusan kerjasama perdagangan dan litbang bidang agraria, yang
menempatkan urusan Ketahanan Pangan sebagai fitur selain
hanya urusan pardagangan, di mana kerjasama litbang agraria
diangkat menjadi sebuah line of cooperation yang bersifat 'pilar',
bukan sekedar kegiatan kecil saja, dan tujuan dari kerjasama
litbang kita termasuk 'peningkatan produktivitas (intensifikasi)',
harmonisasi rejim SPS, dan kemungkinan integrasi produksi
lintas-negara dimana produksi bahan baku kemudian pengolahan
(hilirisasi) sempat dibagi antara kedua negara kita.
2) Pemerintah Australia (melalui Bendahera Nasional
[Treasurer]) agar menyediakan dana yang sekian kali lipat yang
diberikan sekarang ini demi kepentingan litbang gabungan
Indonesia-Australia, dengan salah satu sumber pendanaan
tersebut sebagai anggaran ODA yang telah ditunjukkan, sesuai
dengan kehendak yang muncul dalam Buku Hijau National Food
91
Plan ("technology and expertise transfers to developing countries,
and supporting agricultural and fisheries R&D and rural
development"128) .
3) Pemerintah Indonesia (melalui Menteri Keuangan, Panitia
Anggaran serta Sidang Paripurna DPR) meningkatkan anggaran
terhadap urusan litbang agraria, paling sedikit pada bagian-
bagian tertentu dimana Indonesia dan Australia akan bersetuju
untuk melaksanakan proyek bersama (apabila menjadi bidang
daging sapi, gula, kedelai atau pembudidaya ikan misalnya)
supaya semangat kerjasama dan kemitraan tercapai, daripada
nuansa hibah satu arah saja.
4) LIPI di Indonesia dan CSIRO di Australia agar membahas,
merumus, lalu mendirikan sebuah kemitraan iptek/litbang baru
sebagai jabaran / anak dari I-A CEPA, yang khususnya bertujuan
untuk membagikan ilmu dan pengalaman sebanyak mungkin
tentang kemajuan sains pangan. Kedua instansi tersebut
kemudian bertindak sebagai instansi induk terhadap instansi
penelitian agraria teknis atau yang lebih kecil yang lain (misalnya
Pusat Pengembangan Penyuluhan [Pusbangluh] Pertanian serta
Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pertanian [BPPSDMP], Sekolah Lapangan Pengelolaan tanaman
Terpadu [SL-PTT] di Kementan RI, atau Badan Litbang Kelautan
dan Perikanan [BLKP], di Kementerian Kelautan dan Perikanan
RI; Rural Industries Research and Development Corporation
[RIRDC] dan ACIAR di Australia misalnya).
5) Perwakilan CSIRO, LIPI, dan instansi iptek/litbang yang lain
(sebagaimana ditunjukan oleh LIPI dan CSIRO) ikut serta dalam
forum manajemen I-A CEPA Pokja Pangan secara penuh,
memberikan laporan, umpan balik dan saran tentang progja
iptek/litbang yang sedang dilaksanakan dan langkah-langkah ke
depan. (Penting bahwa litbang tidak dianggap sebagai kegiatan
murni yang diserahkan saja kepada para pesains, melainkan,
128 DAFF (2012), op.cit., hlm.239
92
terikat secara langsung kepada urusan manajemen strategis dan
kegiatan komersial agar kegiatan iptek/litbang tetap relevan dan
membantu.)
6) LIPI dan CSIRO melaksanakan sebuah studi tentang
proyek-proyek litbang yang dapat diangkat menjadi proyek litbang
gabungan sebagai langkah awal untuk menciptakan momentum
terhadap kerjasama iptek/litbang 'paradigma baru'. Proyek
litbang tersebut sebaiknya mendorong sektor agraria yang akan
dijadikan 'rantai nilai lintas batas' ('cross-border value chains').
Termasuk dalam upaya ini, LIPI dan CSIRO agar menentukan
proposal akan program pertukaran peneliti dan program
pendidikan yang sekian kali lipat lebih besar daripada realita
sekarang ini, di mana diharapkan ratusan peneliti Indonesia
maupun Australia sempat bekerja berjangka waktu lama
(berbulan-bulan sehingga bertahun-tahun) di instansi mitra
masing-masing. Untuk proyek gabungan yang didirikan, agar
pekerjaan dipikuli bersama dan hak cipta yang muncul
merupakan hak cipta bersama, Indonesia dan Australia.
7) CSIRO, LIPI, dan instansi iptek/litbang yang lain
(sebagaimana ditunjukan oleh LIPI dan CSIRO) setelah memilih
proyek-proyek tertentu sebagai proyek litbang gabungan,
kemudian melaksanakan promosi dan branding khusus (dengan
motif khusus, periklanan di media massal, periklanan di jurnal dan
surat kabar pertanian dll) agar kesadaran masyarakat terwujud
terhadap adanya kerjasama litbang agraria Indonesia-Australia.
Dengan sengaja, proyek gabungan tersebut agar disosialisasi di
Indonesia maupun Australia sebagai hasil bersama---proyek
tauladan---bertujuan untuk meningkatkan kesadaran terhadap
LIPI dan badan litbang agraria Indonesia yang lain di mata publik
Australia, dan CSIRO/ACIAR di mata publik Indonesia
(contohnya, 'Susu Kedelai Ausindo', hasil kacang kedelai
hibridisasi, di kemasan memakai logo gabungan LIPI/ACIAR).
93
BAB VII P E N U T U P
28. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan dalam bab-bab
sebelumnya, maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut :
a. Indonesia dan Australia merupakan negara tetangga yang telah
menjalankan hubungan praktis sejak 1947 dan resmi sejak saat dunia
mengakui kedaulatan Indonesia pada akhir Desember 1949.
Hubungan kita diwarnai oleh interaksi dan kerjasama yang
membanggakan, maupun juga momen-momen friksi, antogonisme
bahkan konflik. Fakta tersebut sangat dimaklumi mengingat
perbedaan-perbedaan sosial, etnisitas, sejarah kedua negara kita.
Walau dulu dianggap sangat berbeda, dengan globalisasi sekarang ini
sudah membawa kita menjadi lebih dekat dengan banyak kepentingan
bersama. Salah satunya adalah Ketahanan Pangan, di mana FAO
mendata masih adanya 800 juta lebih manusia di dunia yang saat ini
mengalami kelaparan dan efek buruk dari malnutrisi, Diprakirakan pula
bahwa produktivitas agraria dunia harus meloncat secara besar
apabila jumlah penduduk dunia pada tahun 2050 (yakni sekitar 9,1
milyar) akan mampu bertahan.
b. Indonesia maupun Australia tidak bebas dari masalah kerawanan
pangan juga, pada umumnya diakibatkan oleh kemiskinan tetapi juga
dibuat lebih ruwet di Indonesia dengan kekurangan produksi bahan
pokok tertentu. Tetapi juga Indonesia dan Australia merupakan
penghasil agraria yang besar di panggung dunia, dan mampu
meningkatkan produksi apabila kebijakan dan kinerjanya menjadi pas.
Dalam rangka itu, Indonesia telah berusaha keras untuk mewujudkan
keadaan Swasembada Pangan pada lima komoditas pokok (beras,
94
gula, kedelai, jagung, dan daging sapi), dan telah merumus sebuah
rencana akselerasi pembangunan nasional dengan MP3EI, yang
khususnya bertujuan meningkatkan konektivitas dan mendirikan Food
Estates, serta meraih devisa lebih banyak melalui peningkatan ekspor
komoditas unggulannya. Pada saat yang sama, Australia baru
meluncurkan sebuah pra-kebijakan (Buku Hijau) National Food Plan
dan kebijakan (Buku Putih) Australia in the Asian Century---kedua-
duanya membahas peranan Australia sebagai pemasok pangan,
perlunya Australia untuk meningkatkan kemitraan dengan negara Asia,
serta komitmen Australia untuk turut membantu Ketahanan Pangan
global dengan kerjasama litbang/iptek, dengan menjuarakan hak
negara produsen agraria dalam WTO, dengan hibah dana, dan dengan
respons darurat saat krisis pangan muncul.
c. Secara bersama, Indonesia dan Australia mampu berdagang dan
bekerja secara lebih menonjol dan dengan lebih sukses. Masalah
kekurangan performa interaksi perekonomian kita diakui, dan sedang
lagi direspon dengan perundingan I-A CEPA: sebuah 'FTA plus' yang
telah disetujui mesti mengatur perdagangan, penanaman modal, dan
pembangunan kapasitas agar Indonesia dan Australia kelak muncul
sebagai Comprehensive Strategic Partners (CSP) dalam bidang
ekonomi. Untuk itu, I-A CEPA harus mengatasi empat pokok
persoalan dalam kerjasama agraria kita sekarang ini: (1) kekurangan
saling pengertian tentang sistem-sistem agraria serta pendekatan
Ketahanan Pangan; (2) belum adanya perjanjian masal; (3) terlalu
pekanya interaksi agraria terhadap kepentingan domestik sempit; dan
(4) belum seriusnya kerjasama bidang litbang (sebagai mesin
peningkatan produktivitas).
d. Nampaknya, masalah-masalah tersebut dapat diatasi asal
negara-negara kita berani untuk melangkah secara visioner,
menyiapkan personil dan dana, serta mengintegrasikan beberapa
sektor agraria demi kepentingan kita secara kolektif (daripada
kepentingan unilateral selalu). Usaha yang diperlukan seharusnya
95
jangan dianggap kecil : semangat akan liberalisasi kita agak berbeda,
pendapat tentang peranan impor juga berbeda, dan posisi
petani/peternak di Indonesia sangat bermakna politik, sedangkan
mentalitas perekonomian Australia sudah bergeser kepada
kepentingan jasa-jasa, pertambangan dan pabrik daripada kaum
petani. Indonesia menjuarakan pentingnya Swasembada Pangan dan
kedaulatan pangan, sedangkan Australia hanya menjuarakan
kesuksesan menghasilkan pangan macam/jenis saja yang unggul, dan
membeli yang lain dari pasar dunia.
e. Tetapi kalau cukup berani, manfaat dan keuntungan yang kita
dapat meraih bersama justru besar, sebagaimana dianalisa oleh
Indonesia-Australia Business Partner Group, dan oleh McKinsey
Global Institute. Adalah sinergitas di antara sistem agraria di
Indonesia dan Australia, yang dapat dimanfaatkan jika kita berani
untuk menurunkan rintangan, kuota, dan regulasi karantina dan
imigrasi. Selain meraih devisa, kerjasama yang ditingkatkan tersebut
mampu meningkatkan Ketahanan Pangan di Indonesia dan di
Australia, padahal (dan secara paradoks) kerjasama tersebut berarti
semangat 'kemandirian' hilang secara kecil walaupun nyata.
f. Soal kemandirian itu, penulis berpendapat bahwa ada aspek
kemandirian unilateral, ada juga aspek yang merupakan kemandirian
melalui kemitraan : semacam ide ‘dwi tunggal’. Jika para pemimpin
kedua bangsa kita cukup berani dan bervisi agung dan jauh ke depan
(sesuai ciri-ciri Kepemimpinan Visioner sebenarnya), maka kedua
negara kita dapat melangkah menjadi lebih dekat, lebih saling mengisi,
tanpa harus merasa menjadi ‘bergantung’. Bagi penulis, ini malah
intisari dari ide luhur dan mulia : ‘gotong royong’. Mengapa gotong
royong itu harus dimaklumi sebagai suatu fenomena yang berlaku di
Indonesia saja dan hanya sampai ke perbatasan negara, tidak sebagai
suatu idiil yang valid pula bagi hubungan bilateral. Marilah kita
melangkah ke arah dan pemahaman seperti itu.
96
29. Saran Dalam kesempatan ini kami menyampaikan sumbangsaran pemikiran
terkait dengan peningkatan kerjasama bilateral Indonesia-Australia bidang
perdagangan dan litbang agraria melalui kebijakan, strategi dan upaya
sebagaimana telah disampaikan di atas, yakni sebagai berikut.
a. Dengan dicanangkannya kehendak Presiden Yudhoyono dan PM
Gillard untuk melihat terbentuknya sebuah hubungan bilateral yang
berbobot sehingga dianggap Comprehensive Strategic Partners maka
I-A CEPA harus besar, berani, dan dijunjung tinggi, dengan upaya
sosialisasi yang kuat dan terus-menurus (ingat dengan proyek
dambaan PM Mahathir di Malaysia, 'Vision 20-20'---kita perlu suatu
branding yang se-powerful itu).
b. Dalam operasi I-A CEPA, dana harus ditingkatkan, mau tidak
mau. Kesibukan dan perluasan interaksi memerlukan dana sebagai
semacam 'bahan bakar'. Dan karena skala tugas untuk meng-ekspos
banyak peneliti, praktisi, pembisnis, penyuluh dsb agar memperoleh
pengertian dan empati yang primer merupakan kunci dari semua
upaya di sini maka dana tidak boleh kecil. Dan penting pula bahwa
kontribusi dari kedua negara berusaha untuk maksimal---apakah
kontribusi tersebut dalam aspek regulasi, komitmen dan giat politik,
pertukaran iptek ataupun dana. Telah lama ada semacam nuansa
'penghibah / penerima' (donor / recipient) dalam sebagian dari
interaksi-interaksi bilateral kita. Ke depan, nuansa tersebut tidak sehat
ataupun pantas lagi, baik dari Canberra maupun Jakarta.
c. Pengelolaan kerjasama agraria kita harus menjadi lebih
terstruktur, berempati, dan rutin. Tetapi juga, ini tidak berarti hubungan
CSP bidang agraria harus kaku dan terlalu dikontrol dengan ketat
(micromanagement). Malah, tugas pemimpin dan pejabat adalah
untuk menentukan kebijakan-kebijakan yang tetap, memberikan
anggaran dan sumber daya yang memadai, kemudian 'minggir' supaya
para pemain dapat menyibukkan diri dengan menjalankan kerjasama
97
dan kegiatan bisnisnya dengan energi dan drive yang justru
merupakan keunggulan komponen swasta di seluruh dunia.
Demikianlah penulisan naskah Taskap saya tentang PENINGKATAN
KERJASAMA BILATERAL INDONESIA-AUSTRALIA BIDANG PERDAGANGAN
DAN LITBANG AGRARIA GUNA MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN KEDUA
NEGARA DALAM RANGKA KEMANDIRIAN KEDUA BANGSA. Semoga dapat
dijadikan sumbang pikir untuk menghadapi tugas kita masing-masing dan
secara bersama untuk memajukan kepentingan nasional kita masing-masing
maupun bersama sebagai Comprehensive Strategic Partners, sekaligus ikut
membantu memajukan kepentingan Ketahanan Pangan regional dan global
di masa mendatang.
Lampiran :
1. Alur Pikir
2. Pola Pikir
3. Gambaran Ekonomi, Indonesia dan Australia (fact sheets)
Jakarta, November 2012
Penulis
JOHN L. GOULD, BProfStud, MA
BRIGJEN (Australia) NRP.326678
DP - 1
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Burns J, Thomson N (2008) Review of nutrition and growth among Indigenous peoples. [http://www.healthinfonet.ecu.edu.au/health-risks/nutrition/reviews/our-review, diakses 18 Okt 2012]
Edwards, P. dan Goldsworthy, D., (2003), The Century of Australian Engagement with Asia, Melbourne University Press (for the Department of Foreign Affairs and Trade (Australia)
Evans, G. dan Grant, B., (1991), Australia's Foreign Relations In the World of the 1990s, Melbourne University Press
Heri Herdiawanto & Jumanta Hamdayama, (2010) Cerdas, Kritis, dan Aktif Berwarganegara, PT Erlannga, Jakarta
Hill, H., (1996), The Indonesian Economy Since 1966: Southeast Asia’s Emerging Giant, Cambridge University Press, Cambridge (UK), 1996
Lemhannas RI, (1998), Kewiraan Untuk Mahasiswa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Monfries, J. (red), (2006), Different Societies, Shared Futures: Australia, Indonesia and the region, Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Singapore
Naskah / Laporan
Achmad Suryana (2012), materi paparan kepada Lemhannas PPRAXLVIII, Kewaspadaan Nasional dalam Mendukung Ketahanan Pangan, 29 Juni 2012
Australian Government, Department of Prime Minister and Cabinet, (2012), Australia in the Asian Century White Paper, Canberra [http://asiancentury.dpmc.gov.au/sites/default/files/white-paper/australia-in-the-asian-century-white-paper.pdf, diakses 28 Okt 2012]
Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) (2011), Annual Operational Plan 2011-12: Indonesia [http://aciar.gov.au/files/node/13817/indonesia_pdf_19385.pdf, diakses 8 Okt 2012]
----------, (2011), Laporan Tahunan 2010-11 Bagian Indonesia, Timor Leste dan Filipina, Canberra
Bappenas RI, (2005), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, Jakarta
DP - 2
----------, (2006), Direktorat Pangan dan Pertanian, Profil Tenaga Kerja Pertanian Indonesia, Jakarta
Budi Susilo Supandji, (2012), Naskah Lembaga, Perkembangan Lingkungan Strategis Tahun 2012, Lemhannas RI
Business Partnership Group (BPG), (2012), Interim Report on the BPG Consideration of the Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement, 24 Sep 2012 [http://www.aibc.com.au/images/Draft_Report.pdf]
Centre for International Economics (CIE), (2009), Estimating the Impact of an Australia-Indonesia Trade and Investment Agreement, Canberra [http://www.thecie.com.au/publication.asp?pID=197, diakses 30 Sep 2012]
Department of Agriculture, Fisheries and Forestry (DAFF) (2011), Australian Food Statistics 2010-11, tabel 6.1 sampai 6.7 [http://www.daff.gov.au/__data/assets/pdf_file/0015/2144103/aust-food-statistics-2011-1023july12.pdf, diakses 10 Nop 2012]
----------, (2012), National Food Plan Green Paper, Canberra [http://www.daff.gov.au/nationalfoodplan/national-food-plan, diakses 30 Sep 2012]
Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI, (2008), Australia-Indonesia Free Trade Agreement Joint Feasibility Study [http://www.dfat.gov.au/fta/iacepa/aus-indon_fta_jfs.pdf, diakses 18 Okt 2012]
Dirjen Tanaman Pangan, Kementan RI (2011), Pedoman Pelaksanaan Program: Peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu tanaman pangan untuk mencapai swasembada dan swasembada berkelanjutan TA 2011, Jakarta
Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan RI (2012), materi paparan kepada Lemhannas PPRAXLVIII, Kebijakan Pemerintah di Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam rangka Ketahanan Pangan Nasional, 23 Jul 2012
Food and Agriculture Agency (FAO), (2012), The State of Food Insecurity in the World 2012 [http://www.fao.org/publications/sofi/en/, diakses 5 Okt 2012]
Margarita Escaler dan Paul Teng, (2010), Can Asia Learn from Brazil’s Agricultural Success?, Centre for Non-Traditional Security Studies (NTS), Insight Okt 2010 [http://www.rsis.edu.sg/nts/html-newsletter/insight/NTS-insight-oct-1002.html diakses 10 Jul 2012]
McKinsey Global Institute, (MGI), (2012), The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s potential [http://www.mckinsey.com/insights/mgi/research/asia/the_archipelago_economy, diakses 17 Nop 2012]
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), (2012), OECD Review of Agricultural Policies: Indonesia, OECD Publishing
DP - 3
[http://dx.doi.org/10.1787/9789264179011-en, diakses 20 Okt 2012]
Oxfam, (2010), study kasus Fighting Hunger in Brazil: Much Achieved, More To Do, Juni 2010 [http://www.oxfam.org/sites/www.oxfam.org/files/cs-fighting-hunger-brazil-090611-en.pdf, diakses 8 Jul 12]
Pokja BS Geostrategi dan Ketahanan Nasional Lemhannas RI (2012), naskah Modul 1-3, Konsepsi Ketahanan Nasional, Jakarta, 2012
Pokja BS Sismennas (2012), Sismennas, Naskah Modul 4, Starbangnas 2010-2014 (versi online)
Stuart Murray, (2006), tesis doktoral, Reordering diplomatic theory for the twenty-first century: A tripartite approach, [http://epublications.bond.edu.au/cgi/viewcontent.cgi?article=1057&context=theses, diakses 8 Nop 2012]
Timotius D. Harsono, (2012), naskah ceramah kepada PPRAXVIII, Perdagangan Dunia (WTO) dan Pengaruhnya terhadap Perekonomian Nasional dalam rangka Ketahanan Nasional, 22 Okt 2012
Pidato
The Hon Dr Craig Emerson MP, Australian Minister for Trade and Competitiveness, (2012), Australia and Indonesia: working together in the Asian Century, Address to the Jakarta Foreign Correspondents' Club, 22 March 2012 (http://trademinister.gov.au/speeches/2012/ce_sp_120322.html)
H.E. Presiden RI, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, (2010), speech to the Australia Joint Sitting of Parliament, 10 March 2010 [http://www.presidenri.go.id/index.php/eng/pidato/2010/03/10/1353.html, diakses 30 Sep 12]
Lain-lain
Achmad Suryana, Direktor Jendral Badan Ketahanan Pangan RI, (2008), Sustainable Food Security Development in Indonesia: Policies and Its Implementation, presentasi kepada UN-ESCAP High-Level Regional Policy Dialogue, Bali, 9-10 Des 2008 (http://www.unescap.org/LDCCU/Meetings/HighLevel-RPD-food-fuel-crisis/Paper-Presentations/C2-FoodSecurity/ASuryana-DOA-Indonesia-FoodSecurity.pdf, terakses 9 Jul 12)
Hermanto, Dr. Ir., (2012), ceramah kepada PPRA XVLIII, Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional, Jakarta, 28 Maret 2012
Lessa, Antonio Carlos, (2010), Brazil’s strategic partnerships: an assessment of the Lula era (2003-2010), Jurnal Revista Brasileira de Política Internacional, No.53 (special edition), hlm.115-131
DP - 4
Situs Internet
Australian Agency for International Development (AusAID) [www.ausaid.gov.au] Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) [http://aciar.gov.au/publication/AOP2012-12_Indo] Australian Trade Commission (Austrade) [http://www.austrade.gov.au] Department of Agriculture, Fisheries and Forestry (DAFF) [http://www.daff.gov.au] Food and Agriculture Organisation (FAO) [http://www.fao.org/index_en.htm] Kementerian Pertanian RI [www.deptan.go.id] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [http://www.lipi.go.id] Presiden Suslio Bambang Yudhoyono [http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2007/01/08/1454.html] World Bank [http://www.worldbank.org] World Food Program (WFP) [http://www.wfp.org/countries/indonesia]
ALUR PIKIR
Judul : “MENINGKATKAN KERJASAMA BILATERAL INDONESIA-AUSTRALIA BIDANG PERDAGANGAN DAN LITBANG AGRARIA GUNA MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN KEDUA NEGARA DALAM RANGKA KEMANDIRIAN KEDUA BANGSA”.
INSTRUMENTAL INPUT
POKOK2 PERMASALAHAN
1. Belum lengkapnya saling pengertian bidang agraria serta pendekatan Ketahanan Pangan masing-masing. 2. Belum ‘diproyekkan’ hubungan ekonomi secara strategis, sektor agraria sebagai salah satu bagian terpenting. 3. Terlalu pekanya kegiatan kerjasama agraria (khususnya impor/ekspor) terhadap dinamika pasar bebas dan terhadap kepentingan politik domestik. 4. Kurang seriusnya kerjasama antara Instansi litbang masing-masing.
ENVIRONMENTAL INPUT
KONDISI KERMA BILAT BID DAG & LITBANG AG
SAAT INI (blm 'compr strat
partnership')
KONDISI KERMA BILAT BID DAG & LITBANG AG YG D'HARAP
(jadi 'compr strat partnership')
K'TAHAN PANG RI & AUS LEBIH
KUAT
KONSEPSI
'Comprehensive Strategic Partners' dlm Bidang Dag & Litbang Ag
(S O M)
LAM
PIR
AN
1
KKKEEEMMMAAANNNDDDIIIRRRIIIAAANNN BBBAAANNNGGGSSSAAA
MMMAAASSSIIINNNGGG222 LLLEEEBBBIIIHHH TTTAAANNNGGGGGGUUUHHH
POLA PIKIR
Judul : “MENINGKATKAN KERJASAMA BILATERAL INDONESIA-AUSTRALIA BIDANG PERDAGANGAN DAN LITBANG AGRARIA GUNA MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN KEDUA NEGARA DALAM RANGKA KEMANDIRIAN KEDUA BANGSA”.
INSTRUMENTAL INPUT UUD RI dan AUS UU RI ttg Hublu, Dag, Tan Pang, Pertanian dll RPJPN, RPJMN, MP3EI AUS National Food Plan
SUBYEK
Pres RI dan PM AUS. Mendag RI dan AUS. Mentan RI dan AUS. Pimp Sektor Ag RI/AUS.
OBYEK
Deptan masing2. Asosiasi Sektor Ag. Para Pemodal masing2. Kaum Tani/Ternak masing2.
METODA
Analisis, dik, negosiasi, pimp strat, disiplin pol, kerma litbang, pendanaan, sosialisasi.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
LINGSTRA PELUANG & KENDALA
Global Regional (Asia-Pas) Bilateral (RI-AUS)
+Niat Politik (Mitra Strat) +IA-CEPA +Letak & complimentarities -Pengaruh pasar bebas -Cela SDM, infrastruktur dll -Pol domestik & dana
KONDISI KERMA BILAT BID DAG & LITBANG AG
SAAT INI (blm 'compr strat
partnership')
UMPAN BALIK
KONDISI KERMA BILAT BID DAG & LITBANG AG YG D'HARAP
(jadi 'compr strat partnership')
K'TAHAN PANG RI & AUS LEBIH
KUAT
KKKEEEMMMAAANNNDDDIIIRRRIIIAAANNN BBBAAANNNGGGSSSAAA
MMMAAASSSIIINNNGGG222 LLLEEEBBBIIIHHH TTTAAANNNGGGGGGUUUHHH
LAM
PIR
AN
2
Fact Sheet
General information: Fact sheets are updated biannually; June and December
Capital: Jakarta Head of State and Head of Government:Surface area: 1,905 thousand sq km President HE Dr Susilo Bambang YudhoyonoOfficial language: Bahasa IndonesiaPopulation: 241.0 million (2011)Exchange rate: A$1 = 9,950.54 Rupiah (Aug 2012)
Recent economic indicators: 2007 2008 2009 2010 2011 (a) 2012 (b)GDP (US$bn) (current prices): 432.2 510.3 538.8 708.4 846.5 894.9GDP PPP (Int'l $bn) (c): 840.4 910.7 961.2 1,034.4 1,124.6 1,212.0GDP per capita (US$): 1,897 2,209 2,299 2,981 3,512 3,660GDP per capita PPP (Int'l $) (c): 3,690 3,942 4,102 4,353 4,666 4,958Real GDP growth (% change yoy): 6.3 6.0 4.6 6.2 6.5 6.0Current account balance (US$m): 10,492 126 10,628 5,144 1,719 -18,858Current account balance (% GDP): 2.4 0.0 2.0 0.7 0.2 -2.1Goods & services exports (% GDP): 28.7 28.9 23.5 23.6 25.2 28.2Inflation (% change yoy): 6.7 9.8 4.8 5.1 5.4 4.4
Australia's trade and investment relationship with Indonesia (d):Australian merchandise trade with Indonesia, 2011-12: Total share: Rank: Growth (yoy):
Exports to Indonesia (A$m): 5,285 2.0% 11th 10.6%Imports from Indonesia (A$m): 6,205 2.6% 11th 7.9%Total trade (exports + imports) (A$m): 11,490 2.3% 13th 9.1%
Major Australian exports, 2011-12* (A$m): Major Australian imports, 2011-12 (A$m):Wheat 1,148 Crude petroleum 2,371Crude petroleum 523 Iron, steel, aluminium structures 669Aluminium 334 Gold 649Cotton 282 Refined petroleum 238*Includes A$607m of confidential items, mainly aluminaand sugar, 11% of total exports.
Australia's trade in services with Indonesia, 2011-12: Total share:Exports of services to Indonesia (A$m): 1,299 2.6%Imports of services from Indonesia (A$m): 2,190 3.6%
Major Australian service exports, 2011-12 (A$m): Major Australian service imports, 2011-12 (A$m):Education-related travel 607 Personal travel excl education 1,793Personal travel excl education 331 Transport 193
Australia's investment relationship with Indonesia, 2011 (e): Total: FDI:Australia's investment in Indonesia (A$m): 5,405 3,654Indonesia's investment in Australia (A$m): 454 np
Indonesia's global merchandise trade relationships:Indonesia's principal export destinations, 2011: Indonesia's principal import sources, 2011:
1 Japan 16.6% 1 China 14.8%2 China 11.3% 2 Singapore 14.6%3 Singapore 9.1% 3 Japan 11.0%9 Australia 2.7% 9 Australia 2.9%
Compiled by the Market Information and Research Section, DFAT, using the latest data from the ABS, the IMF and various international sources.
(a) All recent data subject to revision; (b) IMF/EIU forecast; (c) PPP is purchasing power parity; (d) Total may not add due to rounding; (e) Stock, as at 31 December. Released annually
by the ABS. na Data not available. np Data not published. .. Data not meaningful.
Australia's merchandise trade with Indonesia Australia's merchandise exports to IndonesiaReal GDP growth
INDONESIA
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
3,500
Primary STM ETM Other
A$m
2006-07
2011-12
0
1
2
3
4
5
6
7
2007 2008 2009 2010 2011 2012
%
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
6,000
7,000
2006-07 2007-08 2008-09 2009-10 2010-11 2011-12
A$m
Imports
Exports
LAMPIRAN 3
Fact Sheet
General information: Fact sheets are updated biannually; June and December
Capital: Canberra Head of State:Surface area: 7,692 thousand sq km HM Queen Elizabeth II, represented by the Official language: English Governor-General HE Ms Quentin BrycePopulation: 22.6 million (Mar 2012) Head of Government:Exchange rate: A$1 = US$1.0468 (Aug 2012) Prime Minister The Hon Ms Julia Gillard
Recent economic indicators: 2007 2008 2009 2010 2011 (a) 2012 (b)GDP (US$bn) (current prices): 944.8 1,033.5 976.0 1,242.1 1,487.4 1,542.1GDP PPP (Int'l $bn) (c): 788.4 825.9 844.5 877.2 915.1 960.7GDP per capita (US$): 44,614 47,875 44,508 55,993 66,151 67,983GDP per capita PPP (Int'l $) (c): 37,226 38,259 38,510 39,545 40,847 42,354Real GDP growth (% change yoy): 4.9 2.2 1.5 2.4 2.3 3.3Current account balance (US$m): -58,690 -44,848 -41,696 -35,263 -33,105 -62,969Current account balance (% GDP): -6.2 -4.3 -4.3 -2.8 -2.2 -4.1Goods & services exports (% GDP): 19.4 22.5 19.9 21.0 21.7 21.6Inflation (% change yoy): 3.0 3.7 2.1 2.7 3.1 2.0
Australia's trade and investment relationships (d):Major Australian exports, 2011-12 (A$m) (e): Major Australian imports, 2011-12 (A$m) (e):
Iron ores & concentrates 62,729 Crude petroleum 20,919Coal 47,914 Passenger motor vehicles 15,980Gold 15,813 Refined petroleum 15,576Natural gas 11,960 Telecom equipment & parts 8,723Crude petroleum 11,176 Medicaments (incl veterinary) 8,541
Australian merchandise trade, 2011-12:Exports (A$m): 264,175Imports (A$m): 239,668Total trade (exports + imports) (A$m): 503,843Merchandise trade surplus (A$m): 24,508
Australia's main export destinations, 2011-12 (e): Australia's main import sources, 2011-12 (e):1 China 29.1% 1 China 18.1%2 Japan 19.4% 2 United States (f) 12.8%3 Republic of Korea 8.3% 3 Japan 8.5%4 India 5.0% 4 Singapore 6.2%5 United States 3.7% 5 Germany 4.7%
Australia's trade in services, 2011-12:Exports of services (A$m): 50,545Imports of services (A$m): 60,239Services trade deficit (A$m): 9,694
Australia's investment links, as at 30 Jun 2012:Level of Australian investment abroad (A$m): 1,235,983Level of foreign investment in Australia (A$m): 2,038,395
Compiled by the Market Information and Research Section, DFAT, using the latest data from the ABS, the IMF and various international sources.
(a) All recent data subject to revision; (b) IMF/EIU forecast; [c] PPP is purchasing power parity; (d) Total may not add due to rounding; (e) Merchandise trade;
(f) Based on unpublished ABS data and includes confidential aircraft imports. na Data not available. np Data not published. .. Data not meaningful.
Australia's merchandise trade Australia's merchandise exportsReal GDP growth
AUSTRALIA
50,000
100,000
150,000
200,000
Primary STM ETM Other
A$m 2006-07
2011-12
0
1
2
3
4
5
2007 2008 2009 2010 2011 2012
%
40,000
80,000
120,000
160,000
200,000
240,000
280,000
2006-07 2007-08 2008-09 2009-10 2010-11 2011-12
A$m
Imports
Exports