SMK Negeri 3 Manado
Seni Budaya
Macam-macam Seni Teater
Rizka Aprilia
9/3/2012
Kelas : XI RPL 2
Nama : Rizka Aprilia
Kelas : XI RPL 2
Wayang Orang
Wayang orang disebut juga dengan istilah wayang wong (bahasa Jawa). Wayang Orang atau Wayang Wong adalah wayang yang diperagakan oleh manusia yang memakai kostum atau pakaian sesuai dengan tokoh wayang yang diperankannya.
Wayang Orang tidak dimainkan oleh dalang, karena setiap tokoh dalam wayang orang bisa bergerak dan berdialog sendiri. Dalam pertunjukkan wayang orang, dalang berperan sebagai sutradara yang mengarahkan para pemain. Cerita yang dikisahkan yaitu Mahabharata dan Ramayana.
Wayang orang diciptakan oleh Sultan Hamangkurat I pada tahun 1731. Tapi dalam beberapa buku mengenai budaya wayang, wayang orang diciptakan oleh kanjeng pangera Adipati Arya Mangkunegara I (1757-17895). Pada waktu itu para pemain wayang orang adalah para abdi dalem istana, dan dipentaskan secara terbatas.
Pada masa pemerintahan Mangkunegara VII (1916-1944), wayang orang mulai dikenal pada masyarakat. Dan usaha memasyarakatkan kesenian wayang orang makin pesat saat Sunan Paku Buwana X (1893-1939), memprakarsai pertunjukkan Wayang Orang bagi masyarakat umum di Balekambang Taman Sri Wedari, dan di Pasar Malam. Para pemainnya sudah tidak abdi dalem saja, tetapi juga orang-orang di luar kraton yang berbakat menari.
Wayang Orang mulai diselenggarakan secara komersil pada tahun 1922, pada saat itu tujuannya hanya untuk mengumpulkan dana bagi kongres kebudayaan. Pada tahun 1932, Wayang orang pertama kali masuk dalam siaran Radio, yaitu Solosche Radio Vereeniging.
Wayang orang kemudian juga menyebar ke Yogyakarta, pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII (1877-1921), keraton Yogyakarta menggelar pementasan Wayang Orang untuk kerabat keraton. Pada saat itu, lakonnya adalah Sri Suwela dan Pregiwa-Pregiwati. Wayang orang Yogyakarta disebut Wayang Wong Mataraman. Untuk menyelenggarakan suatu pagelaran Wayang Orang secara lengkap,
biasanya dibutuhkan pendukung sebanyak 35 orang, yang terdiri dari:
• 20 Orang sebagai pemain (pria dan wanita)• 12 orang sebagai penabuh gamela, juga merangkap wiraswara• 2 orang sebagai wiranggana• 1 orang sebagai dalang.
Supaya bentuk muka atau bangun muka mereka menyerupai wayang kulit (kalau dilihat dari samping), sering kali pemain wayang orang ini diubah/dihias mukanya dengan tambahan gambar atau lukisan. Dalam pertunjukkan wayang orang setiap gerak yang dilakukan oleh pemain dilakukan dengan tarian, baik saat masuk panggung, keluar panggung maupun adegan intinya. Sedangkan gamelan yang digunakan adalah pelog dan slendro.
Pertunjukan wayang orang yang masih ada saat ini, salah satunya adalah wayang orang Barata (di kawasan Pasar Senen, Jakarta), Taman Mini Indonesia Indah, Taman Sriwedari Solo, Taman Budaya Raden Saleh Semarang, dan lain-lain.
Pandawa dan Kresna dalam suatu adegan pagelaran wayang wong.
Gedung Sriwedari Solo, tempat pagelaran Wayang orang
KetoprakKetoprak (bahasa Jawa: kethoprak) adalah sejenis seni pentas yang berasal dari Jawa. Dalam sebuah pentasan ketoprak, sandiwara yang diselingi dengan lagu-lagu Jawa, yang diiringi dengan gamelan disajikan.
Tema cerita dalam sebuah pertunjukan ketoprak bermacam-macam. Biasanya diambil dari cerita legenda atau sejarah Jawa. Banyak pula diambil cerita dari luar negeri. Tetapi tema cerita tidak pernah diambil dari repertoar cerita epos (wiracarita): Ramayana dan Mahabharata. Sebab nanti pertunjukan bukan ketoprak lagi melainkan menjadi pertunjukan wayang orang.
Kesenian tradisional ketoprak sudah lahir sejak pertengahan Abad ke-18 yang hingga kini menjadi kekayaan budaya Indonesia. Perkembangan kesenian tradisional Indonesia mengalami kemunduran yang ditandai dengan ditutupnya beberapa kelompok kesenian tradisional di beberapa daerah. Sejumlah panggung-panggung kesenian tradisional mengalami proses kematian yang perlahan.Padahal, kesenian tradisional ketoprak dan wayang orang sebagai warisan nenek moyang leluhur Indonesia mengandung nilai budaya dan filosofi serta ideology. Juga, sarat dengan petuah dan nilai-nilai lihur yang seharusnya dilestarikan, walaupun seni budaya modern akan selalu berkembang dan berpengaruh di Indoensia. Keduanya saling mempengaruhi dan perkembangannya telah membuat kesenian tradisional tersudut.Kemunduran kesenian tradisional dan wayang orang berkaibat pada masa depan sejumlah pemain dan pelaku yang terlibat di dalamnya. Kesenian tradisi tidak hanya menjaga kebudayaan, tapi juga dapat memberi penghidupan yang layak bagi para penggiat dan pemainnya. Namun karena kesenian tradisi mengalami kumunduran maka secara langsung akan berdampak buruk pada kaderisasi pemain ketoprak dan sekaligus hilangnya sumber kehidupan – yang pada akhirnya akan punahnya kesenian tradisional ketoprak.
Namun beberapa tahun terakhir ini, muncul sebuah genre baru; Ketoprak Humor yang ditayangkan di stasiun televisi. Dalam pentasan jenis ini, banyak dimasukkan unsur humor.
Pementasan Ketoprak
LudrukLudruk adalah kesenian drama tradisional dari Jawa Timur. Ludruk merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang dipergelarkan di sebuah panggung dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan, dan sebagainya yang diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik.
Dialog/monolog dalam ludruk bersifat menghibur dan membuat penontonnya tertawa, menggunakan bahasa khas Surabaya, meski kadang-kadang ada bintang tamu dari daerah lain seperti Jombang, Malang,Madura, Madiun dengan logat yang berbeda. Bahasa lugas yang digunakan pada ludruk, membuat dia mudah diserap oleh kalangan nonintelek (tukang becak, peronda, sopir angkutan umum, dll.).
Sebuah pementasan ludruk biasa dimulai dengan Tari Remo dan diselingi dengan pementasan seorang tokoh yang memerankan "Pak Sakera", seorang jagoan Madura.
Kartolo adalah seorang pelawak ludruk legendaris asal Surabaya, Jawa Timur. Ia sudah lebih dari 40 tahun hidup dalam dunia seni ludruk. Nama Kartolo dan suaranya yang khas, dengan banyolan yang lugu dan cerdas, dikenal hampir di seluruh Jawa Timur, bahkan hingga Jawa Tengah.
Ludruk berbeda dengan ketoprak dari Jawa Tengah. Cerita ketoprak sering diambil dari kisah zaman dulu (sejarah maupun dongeng), dan bersifat menyampaikan pesan tertentu. Sementara ludruk menceritakan cerita hidup sehari-hari (biasanya) kalangan wong cilik.
Kartolo, salah seorang pemain ludruk terkenal.
Tari Remo, diperagakan sebagai pembuka pementasan Ludruk
SrandulSrandul adalah salah satu jenis kesenian yang masih hidup di dusun Bulu, Karangmojo, Gunungkidul. Banyak yang belum tahu atau bahkan tidak tahu bagaimana kesenian Srandul ini. Karena pementasan kesenian ini sangat jarang dilakukan.
Kesenian srandul termasuk jenis drama tari. Dilihat dari ceritera yang biasa dipentaskan terdapat perbedaan antara daerah yang satu dengan yang lain.Di suatu daerah tertentu ceritera yang dapat dimainkan oleh kesenian Srandul adalah ceritera rakyat yang tidak terbatas pada kisah tokoh tokoh tertentu saja, akan tetapi di daerah lainnya kesenian Srandul ini hanya mementaskan ceritera rakyat dengan tokoh Dadung Awuk saja, sehingga hampir sama dengan kesenian Dadung Awuk. Meskipun demikian alat-alat musik yang dipergunakan dan tehnis penyajiannya adalah seragam.
Dengan format seperti kethoprak (jawa) , Srandul juga menggunakan alat music jawa seperti kendang, saron, gong, juga ditambah angklung. Cerita yang dibawakan dengan nuansa islami pada jaman dahulu. Kostum yang digunakan juga sangat unik dengan gaya assesoris yang menggambarkan jaman kerajan dulu. Ada pula yang hanya memakai pakaian-pakaian yang biasa dikenakan orang-orang pedesaan sehari-hari, ditambah dengan sedikit make up yang bersifat realis. Untuk mementaskan pertunjukan Srandul dibutuhkan pendukung sebanyak 15 orang, yaitu 6 orang untuk menjadi pemusik dan 9 orang menjadi pemain. Pemain Srandul ini ada yang terdiri dari pria dan wanita, tetapi ada pula yang hanya terdiri dari pria saja, dengan peran wanita dimainkan oleh pria.
Randai
A. Selayang Pandang
Randai adalah kesenian (teater) khas masyarakat Minangkabau yang dimainkan
oleh beberapa orang (berkelompok atau beregu) dengan membentuk lingkaran,
kemudian melangkahkan kaki secara perlahan, sambil menyampaikan cerita
dalam bentuk nyanyian secara berganti-gantian. Cerita dalam randai, selalu
mengangkat cerita rakyat Minangkabau, seperti cerita Cindua Mato, Malin
Deman, Anggun Nan Tongga, dan cerita rakyat lainnya. Konon kabarnya,
randai pertama kali dimainkan oleh masyarakat Pariangan, Padang Panjang,
ketika mereka berhasil menangkaprusa yang keluar dari laut.
Pertunjukan Randai di Padang Panjang
Biasanya randai dimainkan pada perayaan pesta, seperti: pernikahan,
pengangkatan penghulu atau pada hari besar tertentu. Bahkan, pemerintah
Sumatera Barat mengemas kesenian randai sebagai salah satu “icon” daerah
untuk menarik para wisatawan datang berkunjung ke Sumatera Barat.
Kesenian randai sudah dipentaskan di beberapa tempat di Indonesia dan
bahkan dunia. Bahkan randai dalam versi bahasa Inggris sudah pernah
dipentaskan oleh sekelompok mahasiswa di University of Hawaii, Amerika
Serikat.
B. Keistimewaan
Kesenian randai yang kaya dengan nilai etika dan estetika adat Minangkabau
ini, merupakan hasil penggabungan dari beberapa macam seni, seperti: drama
(teater), seni musik, tari dan pencak silat.
Dalam sebuah randai, ada beberapa pemain pendukung, di antaranya: pemain
galombang, yang melakukan gerak-gerak gelombang yang bersumber dari
bunga-bunga silat; pembawa alur cerita, pemain ini akan berbicara secara
lantang menyampaikan narasi demi narasi yang menjadi ruh cerita randai;
pemain musik/dendang, merekalah yang akan memainkan talempong, gendang,
serunai, saluang, puput batang padi, bansi, rabab dan lainnya; pemain
pasambahan, bertugas berbicara atau berdialog dalam petatah-petitih
Minangkabau. Pemain ini akan memberi bobot dan pesan moral lewat kiasan
yang ia sampaikan; dan pemain silat yang tampil ketika ada alur cerita
menghendaki perkelahian.
C. Lokasi
Masing-masing kecamatan dan kabupaten yang ada di Sumatera Barat memiliki
Grup randai. Sekarang ini, sedikitnya terdapat 300 grup kesenian randai yang
tersebar di Sumatera Barat. Biasanya, grup tersebut selalu siap tampil untuk
menghibur masyarakat pada event-event tertentu di Sumatera Barat.
D. Akses
Bagi para wisatawan yang ingin melihat kesenian randai bisa datang ke Kota
Padang. Cukup dengan satu kali naik mobil dari Bandara Ketaping ke Kota
Padang, para wisatawan sudah bisa sampai di tempat tujuan.
Bagi para wisatawan yang tidak ingin bersusah payah melihat randai di
Sumatera Barat, mereka bisa mengundang grup randai untuk tampil di tempat
yang diinginkan. Tentunya para peminat randai harus mengeluarkan ongkos
lebih untuk biaya transportasi dan akomodasi mereka.
E. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Oleh karena randai biasanya diadakan pada event-event besar di pusat-pusat
kota di Provinsi Sumatera Barat, maka wisatawan yang datang dari luar kota
tidak akan kesulitan untuk mencari tempat penginapan, karena di kota-kota
tersebut banyak tersedia hotel yang nyaman untuk menginap. Begitu juga
dengan tempat bersantap ria, di kota-kota tersebut juga banyak berjejeran
restoran dan rumah makan yang menyajikan beragam menu masakan Padang
yang akan memanjakan para wisatawan.
LongserLongser merupakan salah satu jenis teater rakyat yang hidup dan berkembang di daerah Priangan, khususnya di daerah Bandung. Dari beberapa sumber disebutkan bahwa sekitar tahun 1915 di Bandung terdapat sebuah pertunjukan rakyat yang disebut doger. Dalam perkembangannya doger berubah menjadi lengger kemudian berubah lagi menjadi longser. Longser cukup berjaya sekitar tahun 1920-1960-an.
Pengertian dari longser belum ditemukan secara pasti apa artinya. Akan tetapi beberapa keterangan mengaitkan pengertian itu dalam kirata basa. Di dalam bahasa Sunda, ada yang dinamakan kirata basa (akronim) kependekan dari dikira-kira tapi nyata. Long dari kata melongyang artinya memandang dan berartinya ada sesuatu rasa, hasrat, atau gairah seksual. Namun tampaknya pengertian itu hanya dikarang-karang saja karena belum tentu kebenarannya, terlihat seperti terlalu dipaksakan.
Bentuk pertunjukan longser adalah teater rakyat yang di dalamnya terdapat unsur tari, nyanyi, lakon yang di dalamnya sarat dengan lelucon. Biasanya dipertunjukan pada malam hari di tempat terbuka dengan menggelar tikar. Secara otomatis penonton pun membuat setengah lingkaran seperti tapal kuda. Di tengah-tengah arena biasanya diletakkan oncor bersumbu tiga atau lima sebagai alat penerangan. Gamelan diletakkan di belakang yang sekaligus juga sebagai tempat berganti pakaian oleh anggota rombongan. Walaupun umumnya pertunjukan malam hari, namun kadangkala dipertunjukan pula siang hari dengan istilah lain yaitu lontang. Longser biasanya dipertunjukan dengan cara mengamen, walaupun sekali-kali ada yang nanggap. Waditra (alat musik) yang
digunakan dalam pertunjukan Longser adalah ketuk, kendang, dua buah saron, kempyang, kempul, goong, kecrek, dan rebab. Dalam perkembangannya waditra yang digunakan semakin lengkap yaitu ditambah dengan terompet, bonang, rincik, gambang, dan jenglong. Yang berlaras salendro.
Dalam pertunjukan longser ada anggota perempuan yang disebut ronggeng. Salah seorang di antaranya ada yang disebut Sripanggung. Ia merupakan bintang atau primadona dari para ronggeng. Para ronggeng menggunakan kain dan kebaya, juga menggunakan karembong (selendang). Hiasan kepala bersanggul dihiasi dengan mangle (bunga melati/sedap malam yang dironce). Asessoris yang dipakai adalah subang (hiasan telinga), kalung, gelang, cincin, juga bros. Mereka berias tebal (menor). Para ronggeng biasanya diberi julukan dengan nama ikan seperti Si Jeler, Si Tawes, Si Sepat, Si Kumpay, dan lain-lain. Para pemain laki-laki menggunakan pakaian jawara, yaitu menggunakan kampret, kain sarung, dengan ikat barangbang seplak, lengkap dengan golok yang diselipkan pada sabuk kulit yang lebar, juga menggunakan gelang bahar dan cincin batu yang besar-besar.
Pertunjukan Longser dimulai dengan masuknya para ronggeng yang disebut dengan adegan wawayangan atau mamarung yaitu para ronggeng menyanyi sambil menari. Hal ini sebagai salah satu cara yang dilakukan untuk menarik hati penonton. Apabila ada laki-laki yang tertarik pada salah satu ronggeng, biasanya akan memakaikan apa saja yang dimilikinya kepada ronggeng. Misalnya: sarung, kopiah, jam tangan, kaca mata, sapu tangan, dan lain-lain. Bila selesai menari, barang-barang tersebut dikembalikan kepada yang mempunyai barang tersebut dengan tebusan uang. Setelah itu, datang bodor untuk mengucapkan terima kasih kepada para penonton atas partisipasinya. Orang yang jadi bodor biasanya adalah pemimpin rombongan. Sambil melawak, ia memperkenalkan rombongan juga Sripanggung serta para ronggeng kepada para penonton. Selanjutnya, Jawara dan Sripanggung menari berpasangan kemudian diikuti oleh ronggeng yang lain berpasangan dengan para penonton yang menaksirnya. Penonton juga diperbolehkan meminta lagu kesenangannya, dengan imbalan memberi uang. Lagu-lagu yang diminta seperti Awi Ngarambat, Geboy, Berenuk Mundur, dan lagu-lagu Ketuk Tilu yang lain. Tidak jauh berbeda dengan sajian Ketuk Tilu. Pada acara ini kadang-kadang terjadi rebutan ronggeng sampai berkelahi. Maka apabila terjadi perkelahian, pimpinan rombongan berkewajiban untuk melerainya, oleh sebab itu pimpinan rombongan harus memiliki kemampuan penca. Adegan selanjutnya adalah menyajikan lakonan. Lakon-lakon yang sering ditampilkan biasanya diangkat dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Di antaranya adalah Suganda-Sugandi,
Si Keletek jeung Si Kulutuk. Karnadi Anemer Bangkong, Rasiah Geulang Rantai, Pahatu Lalis, Kelong, dan lain-lain.
Tokoh yang cukup populer dalam kaitannya dengan proses pertumbuhan dan perkembangan longser di Bandung adalah Bang Tilil. Nama ini merupakan julukan atau nama beken dari seorang seniman longser yang bernama Akil. Biasanya nama julukan bagi seniman-seniman rakyat masa itu mengalahkan popularitas nama aslinya. Nama julukan para seniman dalam pertunjukan rakyat tersebut biasanya berkaitan erat dengan kekhasan yang dimiliki oleh seniman tersebut. Tilil itu sendiri adalah nama burung kecil yang terdapat di daerah-daerahkan rawa. Bang Tilil ini memiliki suara yang melengking (nyaring) seperti burung tilil.
Antara tahun 1920-an hingga tahun 1960-an Longser Bang Tilil terus mengalami perkembangan hingga mencapai masa puncaknya. Di samping itu, muncul pula kelompok-kelompok lain seperti Bang Soang, Bang Timbel, Bang Cineur berasal (Cimahi). Bang Kayu (Batu Karut), Bang Auf (Kamasan, Sumanta (Cikuda). Tahun 1939 terbentuk grup Longser Pancawarna yang dipimpin oleh Ateng Japar. Ateng Japar pada awalnya bersatu dengan Bang Tilil tetapi kemudian memisahkan diri dengan membentuk grup baru. Kedua grup ini kemudian membuat komitmen untuk membagi wilayah pertunjukan. Bang Tilil menguasai daerah Kota Bandung sedangkan Ateng Japar menguasai daerah di luar Kota Bandung. Kini kelompok-kelompok longser sudah jarang ditampilkan. Namun demikian sekitar tahun 1990-an muncul longser yang dikemas menjadi seni pertunjukan oleh mahasiswa teater STSI Bandung. Terbentuklah kelompok LAP (Longser Antar Pulau).
DagelanDagelan merupakan salah satu akar tradisi yang menjadi bagian dari karakter atau watak wong Banyumas. Tradisi ini melengkapi karakter lain, seperti cablaka (transparan), apa adanya, egaliter, dan glogok sor atau suka mengumbar ukara (ucapan). Dagelan sesungguhnya merupakan salah satu bentuk sastra lisan tertua di Banyumas, di samping Dalang Jemblung. Keberadaan seni Dagelan setali tiga uang dengan seni Dalang Jemblung. Keduanya nyaris punah tergerus modernisasi.
Dagelan berasal dari kata ndagel yang artinya melucu, sehingga Dagelan diartikan sebagai lelucon atau tingkah yang mengundang dan mengandung tawa. Dagelan biasanya menjadi salah satu fragmen yang ditunggu penonton
dalam pentas Pakeliran Gragag Banyumasan. Dagelan juga bisa dipentaskan secara terpisah “dari pertunjukan wayang” dalam bentuk tunggal seperti seni Ludruk di Jawa Timur atau Lenong di Betawi.
Seni Dagelan pernah mengalami masa keemasan pada sekitar tahun 1990. Saat itu di Banyumas terdapat satu grup Dagelan yang cukup melegenda. Grup lawak ini bernama Peang-Penjol dan Suliyah. Dalam banyolan atau lawakannya tokoh Peang-Penjol dan Suliyah ini sebenarnya tengah memainkan karakter wong Banyumas asli. Karakter yang juga melekat pada tokoh Bawor sebagai ikon masyarakat Banyumas yang biasa muncul dalam seni Pakeliran Banyumasan.Baik Peang-Penjol dan Suliyah maupun Bawor sebenarnya merupakan metafora, sublimasi dari kondisi masyarakat Banyumas. Humor-humor segar mengalir tanpa beban dari tokoh-tokoh tersebut. Dengan bahasa- dialek-Banyumas-ngapak-yang kental, isu-isu kontemporer kala itu menjadi bahan lawakan.
Berbagai isu sosial yang terjadi saat itu diramu dan ditanggapi secara cablaka dalam perspektif wong Banyumas. Yang timbul kemudian adalah bukan sekadar kelucuan, tetapi di dalamnya terkandung wacana kritis, pendidikan moral, dan nilai-nilai kearifan lokal.
ReligiositasDus, apa yang dipertontonkan sebenarnya tak sekadar guyon yang hanya mengundang tawa, melainkan pendidikan budi pekerti yang disampaikan secara segar. Dagelan sebenarnya adalah seni mengkritik, mengingatkan, mendidik, menerjemahkan, atau mengejawantahkan perilaku pemimpin dan masyarakat yang dipimpin.Nah, di sinilah letak religiositas yang menjiwai dagelan. Meski terkesan vulgar, tanpa tedeng aling-aling dan cenderung kasar, tetapi lakon-lakon yang diperankan dalam seni Dagelan sesungguhnya bermuatan nilai-nilai religious.
Religiositas ini diadaptasi dari kata religiosity dalam The World Book Dictionary, yang berarti religious feeling or sentiment atau perasaan keagamaan. Perasaan keagamaan meliputi segala perasaan batin yang berhubungan dengan Tuhan, seperti perasaan takut berbuat dosa, perasaan kejujuran, dan sebagainya. Dengan demikian, bentuk-bentuk kritik yang disublimasikan dalam dagelan sebenarnya merupakan religiositas. Sindiran-sindiran atau humor satir yang dituturkan dalam dagelan merupakan elan religiositas. Lantaran pada hakikatnya dagelan mengajarkan moral sambil menghibur, mengkritik tanpa menyakiti, mendidik dengan senyuman. Namun, pada puncaknya, dagelan sesungguhnya merupakan bentuk katarsis. Dagelan tanpa disadari tengah mengajak penonton menertawakan dirinya sendiri.
Dalam kehidupan sehari-hari wong Banyumas kontemporer, seni tradisi ndagel ini sudah luntur. Dagelan telah kehilangan gereget dan rohnya. Seni Dagelan telah kehabisan momen untuk tampil. Faktor penyebabnya ada dua. Pertama hadirnya humor-humor populer yang menyerbu ke ruang-ruang pribadi keluarga melalui pesawat televisi. Kedua, semakin mengecilnya frekuensi dan ruang publik untuk pementasan seni hiburan rakyat.
Untuk faktor pertama ini sangat jelas hubungannya dengan industri hiburan (entertainment) dan kepemilikan modal. Yang memiliki kekuatan untuk meminimalkan adalah penguasa (pemerintah) melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).Atau kekuatan (pemilik modal) lain yang seimbang yang beriktikad baik memberikan pendidikan melalui tayangan edutainment. Atau dengan membuat tayangan yang sepadan, tetapi lebih menonjolkan moralitas ketimbang sekadar kelucuan yang slapstik. Nah, minimnya tayangan hiburan yang mengandung unsur pedidikan ini menjadi alasan betapa pentingnya revitalisasi seni tradisional seperti dagelan di Banyumas.
RevitalisasiUntuk mengatasi faktor kedua, dapat dimulai oleh lembaga pemerintahan dan swasta. Misalnya dengan mengundang grup dagelan sebagai pengisi acara hiburan dalam momen perayaan ulang tahun lembaga, pisah-sambut pejabat, silaturahmi, atau momen lain yang memungkinkan digelarnya hiburan. Artinya, lembaga-lembaga tersebut harus rela dicap sedikit jadul dengan menyuguhkan seni tradisi ini. Lembaga juga harus rela menahan sedikit hasrat untuk menampilkan hiburan lain yang lebih modern, seperti panggung karaoke, organ tunggal, dan band. Atau mengolaborasikan dua jenis hiburan tersebut dalam satu panggung.
Jika lembaga-lembaga resmi itu telah memberikan contoh bagaimana menghidupkan kembali seni tradisi yang nyaris punah, maka pada gilirannya masyarakat juga akan termotivasi untuk melakukan hal yang sama. Masyarakat akan berpikir untuk menggelar pertunjukan dagelan pada acara hajatan daripada mengundang pemain organ tunggal.Dengan pola semacam ini revitalisasi seni tradisional dagelan dapat berjalan dan dengan sendirinya nilai-nilai atau pesan moral (religiositas) yang terkandung di dalamnya dapat disampaikan. Sehingga, masyarakat tidak hanya mendapat hiburan segar, melainkan juga mendapat pendidikan moral
SulapanSulap merupakan suatu seni pertunjukkan yang diminati sebagian besar masyarakat di dunia, karena pada penyajiannya sulap dapat membuat heran penontonnya akan rahasia dibalik penyajiannya. Sulap merupakan suatu gabungan dari berbagai seni yang ada, misalnya seni tari, seni musik, seni rupa, dll dan merupakan penerapan dari gabungan berbagai disiplin ilmu yang ada. Misalnya ilmu fisika, ilmu biologi, ilmu kimia, ilmu psikologi, dan lain-lain. Seni Sulap bukanlah suatu keterampilan yang berbau klenik atau supranatural, karena setiap trik sulap dapat dijelaskan. Sulap semata-mata hanyalah permainan "kelihaian" tangan, manipulasi, hasil kerja dari suatu perlengkapan/ peralatan ataupun efek yang timbul dari suatu reaksi kimia dan yang telah dilatih sebaik mungkin oleh seorang pesulap sebelum dipertunjukkan kepada orang lain. Oleh sebab itu sulap dapat dipelajari oleh semua orang, asalkan orang tersebut mau berlatih pula dengan baik.
Sayang sekali sampai sekarang masih saja ada orang yang menyamakan sulap dengan sihir/mistik. Sulap dianggap sebagai satu kekuatan supranatural karena disesatkan oleh beberapa Pesulap yang hanya memikirkan popularitas dan uang saja. Pesulap yang sejati tidak akan membiarkan orang lain berpikir terlalu jauh bahwa pesulap mempunyai kekuatan sihir.
AkrobatikAkrobatik adalah pertunjukan atau peragaan yang dilakukan seorang pemain akrobat. Akrobatik juga bisa diartikan sebagai permainan atau pertunjukan hebat dan mengagumkan yang berkenaan dengan ketangkasan
Mamanda
A. Pengertian Mamanda
Teater adalah susuna bentuk “seni” yang menggunakan lakon sebagai
wujud ekspresinya. Dalam kazanah seni tradisional di Indonesia diketahui,
bentuk teater tradisi merupakan kombinasi dari bentuk seni seperti tari, musik
tetabuhan, lagu (nyanyian), dan lakon. Bentuk-bentuk teater seperti ini banyak
ditemui di berbagai wilayah Indonesia; mahyong (Pontianak), randai (Sumatra
Barat), mendu (Riau), komedi bangsawan (Sumatra Barat), ketoprak (Jawa),
serimulat (Jawa), lenong (Betawi), mamanda (Kal Sel), peta puang (Sulawesi
Selatan), dan lain-lain.
Istilah mamanda pada teater mamanda di Kalimantan Selatan ditengarai
berasal dari kata paman. Kata ini merupakan kata sapaan dalam sistem
kekerabatan masyarakat Banjar, yang merujuk pada pengertian saudara laki-laki
dari ayah atau ibu. Sapaan ini berlaku juga untuk orang yang dianggap sesuai
dengan atau sebaya dengan ayah atau orang tua. Kata ini direkatkan dengan
morfem nda sebagai sebuah sugesti kekerabatan atau keakraban dengan orang
yang disapa dengan sapaan ini.
Dari proses itu terbentuklah kata pamanda, mamanda, ayahnda yang
mengisyaratkan keakraban dengan kata sapaan dasar yang dirujuknya. Pamanda
menjadi sapaan khas yang biasanya dipergunakan oleh Sultan ketika berdialog
dengan Mangkubumi atau kepala Wajir. Wajir dan Mangkubumi adalah bagian
pimpinan kerajaan yang selalu hadir pada setiap sidang kerajaan. Sistem
pemerintahan yang senantiasa menjadi idealisasi dalam gambaran cerita
mamanda, wajir adalah orang yang dituakan atau yang difungsikan sebagai
penasihat raja atau sultan di suatu kerajaan.
Istilah mamanda menjadi lebih populer diucapkan karena kata ini tidak
terikat dengan keterangan atau pertanyaan lain.
Mamanda adalah sebuah wujud komunikasi antarmanusia, manusia
dengan alam dan lingkungan. Mamanda tidak sekedar kesenian yang
dipelgelarkan, tetapi mamanda menggambarkan sikap dan prilaku orang dalam
wujud alur kehidupan komplit. Mamanda adalah miniatur jiwa dan prilaku
manusia dengan fungsi dan kedudukannya. Mamanda lebih rekat disebut teater,
sebab kontekstualitasnya menyangkut komunikasi antar tokoh dalam misi-misi
kehidupan masa lalu, masa kini maupun masa datang.
B. Sejarah Mamanda
Asal muasal Mamanda adalah kesenian Badamuluk yang dibawa
rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka tahun 1897. Dulunya di Kalimantan
Selatan bernama Komedi Indra Bangsawan. Persinggungan kesenian lokal di
Banjar dengan Komedi Indra Bangsawan melahirkan bentuk kesenian baru yang
disebut sebagai Ba Abdoel Moeloek atau lebih tenar dengan Badamuluk.
Seiring dengan perkembangan zaman dan pengaruh budaya massa pada
permulaan sampai pertengahan abad 19, Bermula dari kedatangan rombongan
bangsawan Malaka (1897 M) yang dipimpin oleh Encik Ibrahim dan isterinya
Cik Hawa di Tanah Banjar, kesenian ini dipopulerkan dan disambut hangat oleh
masyarakat Banjar. kesenian damoeloek ini pun sedikit demi sedikit merubah
gaya dan garapannya. Setelah beradaptasi, teater ini melahirkan sebuah teater
baru bernama "Mamanda".
Sebagai kota yang memiliki bandar, Banjarmasin lebih memungkinkan
menjadi sentral pertukaran budaya, sehingga mamanda juga sudah mulai
bergeser dari bentuk aslinya menjadi bentuk yang dikenal tradisional populer.
Mamanda yang berkembang di Banjarmasin nampaknya lebih mengutamakan
selera pasar.
Ini dibuktikan dengan masuknya pameran-pameran wanita, rias, dan
busana pelakon yang sudah mulai glamor, ditambah pengembangan posisi
humor lebih banyak dibanding yang lain pada setiap gelar-gelar mamanda.
Bahkan, kegiatan mamanda yang biasanya diselenggarakan dalam durasi empat
sampai enam jam sudah bisa dikemas menjadi dua sampai tiga jam. Dalam
perkemabnagan terakhir, malah ada mamanda yang disajikan dalam durasi 30
menit.
Sumber cerita mamanda yang dikembangkan di Banjarmasin tidak harus
lagi mengikuti pakem cerita syair dan hikayat, sesekali pelakon sudah
menyusun (carangan) cerita sendiri sesuai keperluan. Kemampuan menyusun
cerita dengan menyelenggarakan tema-tema cerita dengan psiko-sosial
masyarakat pasar ini membuat mamanda semakin disenangi.
C. Sumber cerita Mamanda
Kesenian pada umumnya mempunyai sifat berkembang dan tidak
bertahan dalam gaya dan garapan awal. Hal ini karen aaktivitas berkesenian
adalah kreasi dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan
wawasan estetika penyelenggaraan itu sendiri. Teater tradisional mamanda
dipandang sebagai seni rakyat yang masih mampu bertahan dalam wujudnya
semula, yakni istana dan melayu. Meskipun amat terasa perkembangan budaya
modern cukup menggejala dalam dua dasa warsa terakhir, tetapi hal ini tidak
mempengaruhi perkembangan garapan mamanda.
Berdasarkan beberapa kategori inspirasi cerita yang dimanfaatkan dalam
pagelaran mamanda, sumber cerita dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Sumber cerita yang diambil dari Hikayat, Syair, dan kisah 1001 malam.
2. Sumber cerita yang diambil dari buku-buku roman.
3. Sumber cerita yang diambil dari buku-buku sejarah
4. Sumber cerita yang diambil dari cerita rakyat.
5. Sumber cerita yang diambil dari inspirasi problematik masyarakat kemudian
dituliskan dalam skenario cerita (carangan).
D. Ciri Khas Mamanda
a) Bahasa
Kedudukan dan fungsi bahasa Banjar sebagai identitas daerah dan medium
pengungkapan pergaulan masyarakat, berlaku pula untuk pengungkapan
pergaulan masyarakat, berlaku pula untuk pengungkapan kesenian daerah
seperti teater tradisional mamanda. Umumnya bahasa yang dipergunakan dalam
teater mamanda adalah bahasa Melayu Banjar. Medium bahasa Banjar ini
setidak-tidaknya telah mampu membawa nilai rasa sistem sosial dan sistem
budaya masyarakat Banjar sebagai pendukung teater mamanda. Dengan
penggunaan bahasa Melayu Banjar ini, pelakon mamanda lebih mudah
memahami dan mengungkapkan humor dan unsur-unsur budaya dalam kisahan
mamanda yang dibawakan.
Seiring dengan perkembangan zaman, pelakon mamanda juga turut
menyadari bahwa kondisi penonton mamanda tidak hanya terdiri orang-orang
penutur bahasa Banjar, tetapi masih banyak terdapat penuturan bahasa lain
seperti Sunda, Jawa, Madura, Bugis, Batak, Minang, dan sebagainya, yang
sebelumnya masih menggunakan bahasa ibu mereka masing-masing.
Keragaman penonton ini menyadarkan para pelakon mamanda untuk
menggunakan bahasa Indonesia dalam logat Banjar atau menggunakan bahasa
Banjar dengan campuran bahasa Indonesia.
b) Simbolisasi
Mamanda sebagai sebuah bentuk kesenian rakyat tidak hanya menyajikan
ekspresi yang bersifat laudens (permainan), tetapi juga menghantarkan simbol-
simbol kehidupan manusia dalam simulasi makhluk yang berbudaya. Dalam
permainan mamanda telah direkontruksi rasa dan idealisme yang berisi
wawasan batin dan wawasan perilaku orang perorang, baik sebagai rakyat biasa
maupun sebagai kelompok penguasa.
Simbol-simbol yang tersaji dalam mamanda memberi rangsangan terhadap
pengalaman imajinatif terhadap kisah-kisah yang dibawakan. Disinilah
mamanda lebih sesuai disebut sebagai seni tradisi, sebab beberapa simbolnya
selalu dikaitkan dengan komunikasi budaya.
Simbolisasi lain, yang menyaran pada rekadaya kemanusiaan adalah hadirnya
unsur-unsur properti seperti meja, tongkat pendek, lawangan basar (pintu
gerbang) yang menyaran pada aspek pemerintahan dan kekuasaan.
Rekadaya normatif simbol-simbol mamanda tersebut telah membangun
pengalaman konkrit yang bersifat ideal dan metafisik.
Simbol-simbol lain yang juga bisa saja hadir dalam kisah-kisah mamanda
tergantung pada keperluan cerita.
Simbol dalam teater tradisional mamanda nampak bersifat multiinterpretabel.
Setiap fungsi simbol tersebut memiliki substansi penalaran sendiri yang bersifat
etika dan moral, bahkan ideologis.
c) Humor
Secara hirarki munculnya humor dalam sistem budaya masyarakat Banjar di
Kalimantan Selatan adalah dari peristiwa bacupatian (main tebak-tebakan)
dalam bentuk bahasa verbal. Dari peristiwa ini memunculkan permainan lain
yaitu mahalabio. Peristiwa ini memunculkan lagi kebiasaan menyampaikan
cerita-cerita lucu yang disebut balucuan. Balucuan adalah bercerita atau
bertingkah laku lucu sehingga menimbulkan rasa terhibur dan tertawa. Semua
peristiwa ini dapat dikatagorikan humor.
Ideasi teater mamanda melakukan perubahan dengan mencoba menggarap
hal-hal ya berisi humor, termasuk upaya memasukkan lagu-lagu dangdut di
sela-sela pergelaran mamanda. Modus seperti ini ternyata cukup efektif untuk
menambah kembali emosi penonton terhadap teater tradisional mamanda.
Humor-humor yang biasanya disajikan dalam pagelaran mamanda dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
· Humor bahasa
· Humor tngkah laku
· Humor pergunjingan
· Humor pornografi
d) Estetika Mamanda
Teater tradisional mamanda adalah sebuah model interaksi manusia dengan
segala kedudukan dan fungsinya serta dikemas dalam justifikasi ekspresi tari,
lagu, dan tetabuhan, simbol yang disimbiosekan dengan nilai kearifan lokal
(Kultur Banjar).
Estetika lain dari gambaran teater tradisional mamanda adalah struktur yang
bergerak mengikuti alur cerita yang bermula dari ladon, sidang kerajaan, jalan
cerita, dan babujukan (antiklimaks).
Pola estetika mamanda seperti ini tentu berbeda dengan bentuk-bentuk dan
estetika teater modern yang sering menyajikan sesuatu yang absurd, illogical.
Hal ini karena teater moderen hadir dan dihubungkan dengan tingkat berpikir
audiens penonton yang lebih bebas sesuai dengan tingkat pemahaman mereka
terhadap problematik kehidupan zaman moderen.
E. Mamanda : sebuah Model Interaksi Sosial
Mamanda disadari lahir dari kebutuhan emosi kolektif masyarakat Banjar
masa lalu. Teater tradisional ini dapat bertahan sampai sekarang merupakan
bukti bahwa kesenian ini mendapat perhatian dan partisipasi aktif masyarakat.
Mamanda menjadi salah satu tambatan hati masyarakat Banjar yang dikenal
sebagai bagian dari rumpun Melayu. Ada kesamaan emosi antara nuansa
budaya Banjar yang direkadaya dalam teater mamanda dengan budaya Melayu
Banjar di Kalimantan Selatan.
Peran mamanda dalam sepak terjangnya yang ditata sedemikian rupa,
sesungguhnya merupakan sebuah model interaksi dengan kesenian lain, yang
secara analog juga merupakan model interaksi sosial dalam kehidupan
masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan.
F. Mamanda: di Belantika Teater Kalimantan Selatan
Mamanda mestilah dibagun dari titik perjuangan yang memang sulit. Tidak
semua teater tradisi yang dimiliki oleh masyarakat lain di nusantara bisa lebih
dikenal di Indonesia. Hal ini tergantung pada jam terbang teater tesebut untuk
bisa dikenal di tengah masyarakat umum. Ini termasuk pula kemampuan
publikasi siaran televisi dan kesediaan mereka untuk menampilkan teater itu
kepada penonton dengan jangkauan yang lebih luas.
Perjalanan teater tradisi mamanda yang mampu melampaui popularitas teater
moderen di Kalimantan Selatan adalah sebuah perjuangan meraih kebebesan
dari bentuk-bentuk statis yang mengurung dirinya sendiri. Sekiranya teater
mamanda tidak melakukan retropeksi pada masa-masa lalu.
Teater di Kalimantan Selatan nampaknya belum bisa membebaskan
ketergantungannya dengan Disbudpar atau juga Taman Budaya.
Dalam hal teknis penyajian, teater mamanda sudah mencoba melepaskan diri
dari sikap pengucapan tradisi mengikat. Mereka lebih cepat melakukan
perubahan dan adaptasi. Bukan hanya visi pelakon yang berubah sesuai dengan
tuntutan zaman berkenaan dengan bentuk dan format teater tradisi mamanda,
tetapi juga menyangkut penonton yang mereka hadapi.
Pengucapan-pengucapan teater tradisional mamanda dalam beberapa konsep
pergelaran nampaknya memang lebih bebas dibanding dengan teater moderen di
Kalimantan Selatan.
Kredibilitas lain yang juga mesti dicatat di sini adalah jam terbang yang
sudah diperoleh teater ini. Teater mamanda sudah melakukan eksebisi tidak
hanya di lingkup daerah tetapi juga tampil di berbagai daerah di Indonesia
SintrenSintren adalan kesenian tari tradisional masyarakat Jawa, khususnya di Cirebon. Kesenian ini terkenal di pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Tengah, antara lain di Indramayu, Cirebon, Majalengka, Jatibarang, Brebes, Pemalang, Banyumas, dan Pekalongan. Kesenian Sintren dikenal juga dengan nama lais. Kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono.
Kesenian tradisional Sintren atau Lais
Sejarah
Kesenian Sintren berasal dari kisah Sulandono sebagai putra Ki Baurekso hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari. Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Baurekso, akhirnya R. Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan di antara keduanya masih terus berlangsung melalui alam gaib.
Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari yang memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulasih, pada saat itu pula R. Sulandono yang sedang bertapa dipanggil oleh roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan di antara Sulasih dan R. Sulandono. Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan suci (perawan).
Bentuk pertunjukan
>> Sintren
Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci, dibantu oleh pawang dengan diiringi gending 6 orang. Dalam perkembangannya tari sintren sebagai hiburan budaya, kemudian dilengkapi dengan penari pendamping dan bodor (lawak).
Dalam permainan kesenian rakyat pun Dewi Lanjar berpengaruh antara lain dalam permainan Sintren, si pawang (dalang) sering mengundang Roh Dewi Lanjar untuk masuk ke dalam permainan Sintren. Bila, roh Dewi Lanjar berhasil diundang, maka penari Sintren akan terlihat lebih cantik dan membawakan tarian lebih lincah dan mempesona.
Janger
Teater Janger atau kadang disebut Damarwulan atau Jinggoan, merupakan pertunjukan rakyat yang sejenis dengan ketoprak dan ludruk. Pertunjukan ini hidup dan berkembang di wilayah Banyuwangi, Jawa Timur serta mempunyai lakon atau cerita yang diambil dari kisah-kisah legenda maupun cerita rakyat lainnya. Selain itu juga sama-sama dilengkapi pentas, sound system, layar/ tirai, gamelan, tari-tarian dan lawak. Serta pembagian cerita dalam babak-babak yang dimulai dari setelah Isya hingga menjelang Subuh.
Awal mula kemunculan pertunjukan janger adalah, pada abad ke-19, di Banyuwangi hidup suatu jenis teater rakyat yang disebut Ande-Ande Lumut karena lakon yang dimainkan adalah lakon Andhe-Andhe Lumut. Dan dari sumber cerita dari mulut ke mulut, pelopor lahirnya Janger ini adalah Mbah Darji, asal Dukuh Klembon, Singonegaran, Banyuwangi kota. Mbah Darji ini adalah seorang pedagang sapi yang sering mondar-mandir Banyuwangi-Bali, dan dari situ dia tertarik dengan kesenian teater Arja dan dia pun berkenalan dengan seniman musik bernama Singobali yang tinggal di Penganjuran, dari situlah kemudian terjadi pemaduan antara teater Ande-Ande Lumut dengan unsure tari dan gamelan Bali, sehingga lahirlah apa yang disebut Damarwulan Klembon atau Janger Klembon.
Semenjak itu, mulai lahir grup-grup Damarwulan di seantero Banyuwangi. Mereka bukan hanya memberikan hiburan, namun juga menyisipkan pesan-pesan perjuangan untuk melawan penjajah dengan kedok seni. Di masa revolusi, kerap kali para pejuang kemerdekaan menyamar sebagai seniman Janger untuk mengelabui Belanda dan para mata-matanya.
Menurut salah satu pelaku kesenian janger, teater ini juga sempat berkembang hingga melampaui wilayah Banyuwangi sendiri. Bahkan menurutnya lagi, pada
tahun 1950an pernah berdiri dua kelompok Janger yang berada di wilayah Samaan, dan Klojen, kota Malang.
Dalam wacana masyarakat Banyuwangi, karakter Minakjinggo digambarkan sangat berlawanan dengan apa yang diiyakini masyarakat Jawa pada umumnya ( berdasarkan cerita-cerita seperti Serat Damarwulan ). Digambarkan Minakjinggo merupakan sosok yang bertemperamen buruk, kejam dan sewenang-wenang . Selain buruk rupa, pincang, suka makan daun sirih dan lancing meminang Sri Ratu Kencanawungu (Ratu Majapahit).
Menurut pandangan masyarakat Banyuwangi, Minakjinggo digambarkan sebagai sosok yang rupawan, digandrungi banyak wanita, arif, bijaksana dan pengayom rakyatnya. Mengapa Minakjinggo memberontak? Menurut para sesepuh Banyuwangi itu lebih dikarenakan dia menagih janji Kencana Wungu untuk menjadikannya suami, setelah mampu mengalahkan Kebo Marcuet, dan dimenangkan oleh Minakjinggo. Wajah Minakjinggo menjadi rusak karena terluka pada saat bertarung dengan Kebo Marcuet, dan demi melihat wajah Minakjinggo yang rusak, maka Kencana Wungu menolak dan akhirnya Minakjinggo memberontak.
Pandangan inilah yang berupaya diluruskan, mengingat citra Minakjinggo yang buruk dalam catatan legenda Serat Damarulan. Keabsahan Serat Damarwulan dengan legenda-legendanyapun masih simpang siur, dan data masih kurang lengkap.
Teater Janger Banyuwangi ini merupakan salah satu kesenian hibrida, dimana unsure Jawa dan Bali bertemu jadi satu didalamnya. Gamelan, kostum dan gerak tarinya mengambil budaya Bali, namun lakon cerita dan bahasa justru mengambil dari budaya Jawa. Bahasa yang dipergunakan dalam kesenian ini adalah bahasa Jawa Tengahan yang merupakan bahasa teater ketoprak. Namun pada saat lawakan, digunakan bahasa Using sebagai bahasa pengantar. Lakon ceritanya pun justru diambil dari Serat Damarwulan yang dianggap penghinaan terhadap masyarakat Banyuwangi, yang anehnya malah berkembang subur.
Lakon atau cerita yang akan dipentaskan, disesuaikan dengan permintaan penanggap atau scenario kelompok itu sendiri. Lakon yang paling banyak dipentaskan antara lain, Cinde Laras, Minakjinggo Mati, Damarulan Ngenger, Damarulan Ngarit, dan lain sebagainya. Selain dari cerita panji, lakon juga diambil dari legenda rakyat setempat seperti Sri Tanjung dan kadang cerita-cerita bernuansa Islam.
Busana pemain disesuaikan dengan peran mereka. Pada peran prajurit, raja, panglima dan tokoh kalangan atas biasanya menggunakan busana khas Bali yang biasa dipakai dalam pertunjukan Arja. Sedangkan kaum wanita istana memakai busana Bali yang dimodifikasi, yakni kuluk yang dihias bunga kamboja dengan manik-manik, ter atau penutup dada, dan biasanya memakai
kain jarit berwarna mengkilap. Yang unik, peran rakyat jelata justru memakai busana khas Jawa.
Tari-tarian yang menjadi pengiring dalam pertunjukan Janger ini bervariasi. Bisa dibuka dengan tari-tarian khas Bali, seperti pendet, legong, baris , atau tari-tarian khas Banyuwangi seperti Jejer Gandrung, Jaran Goyang, Seblang Lokento dan lain sebagainya.
Diperkirakan ada sekitar 60an kelompok Janger yang masih eksis saat ini. Meski kondisinya memang senin-kamis, sebagai dampak modernisasi yang makin marak. Kelompok Janger Banyuwangi yang cukup popular di wilayah tersebut antara lain Temenggung Budoyo dari kota Banyuwangi, Madyo Utomo dari desa Bubuk, Kec. Rogojampi, dan Patoman dari desa Blimbingsari, Kec. Rogojampi.
Wayang kulit
Pagelaran wayang kulit oleh dalang terkemuka di Indonesia, Ki Manteb Sudharsono.
Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa. Wayang berasal dari kata 'Ma Hyang' yang artinya menuju kepada roh spiritual, dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wayang adalah istilah bahasa Jawa yang bermakna 'bayangan', hal ini disebabkan karena penonton juga bisa menonton wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya saja. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang
berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.
Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, ki dalang bisa juga memainkan lakon carangan (gubahan). Beberapa cerita diambil dari cerita Panji.
Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga ( Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity ). Wayang kulit lebih populer di Jawa bagian tengah dan timur, sedangkan wayang golek lebih sering dimainkan di Jawa Barat.
Wayang Golek
Wayang Golek adalah wayang yang bentuknya berupa bonek kayu. Wayang golek terkenal di wilayah tanah Pasundan.
Ada dua jenis wayang golek yang terkenal, yaitu wayang golek papak (cepak) dan wayang golek purwa yang ada di daerah Sunda.
Wayang golek dimainkan oleh seorang dalang. Namun bedanya, wayang golek tidak dimainkan dengan kelir. Cerita yang diangkat adalah cerita Mahabharata dan Ramayana.
Pertunjukkan wayang golek diiringi gamelan Sunda (Salendro), yang terdiri dari dua buah saron, sebuah peking, sebuah salentem satu perangkat boning, satu perangkat boning rincik, satu perangkat kenong, sepasang gong, seperangkat kendang dan rebab. Selain itu juga diiringi oleh tembang yang dinyanyikan oleh Sinden.
Lakon yang sering dipertunjukan dalam pertunjukan wayang golek adalah lakon carangan. Dalang Wayang Golek yang terkenal diantaranya adalah Tarkim, R.U. Partasuanda, Abeng Sunarya, Entah Tirayana, Apek, Asep Sunandar Sunarya, Cecep Supriadi.
Pola pengadegan wayang golek adalah sebagai berikut:
1) Tatalu, dalang dan sinden naik panggung, gending jejer/kawit, murwa, nyandra, suluk/kakawen, dan biantara2) Babak unjal, paseban, dan bebegalan 3) Nagara sejen4) Patepah5) Perang gagal6) Panakawan/goro-goro7) Perang kembang8) Perang raket9) Tutug
Selain sebagai media hiburan, pertunjukkan wayang golek juga memiliki fungsi lain yang sangat oenting bagi masyarakat setempat, yakni ngaruat.
Ngaruat adalah membersihkan segala marabahaya. Beberapa orang atau anam yang diruwat antara lain adalah sebagai berikut :
1) Wunggal (anak tunggal)2) Nanggung Bugang (seorang adik yang kakaknya meninggal dunia)3) Suramba (empat orang putra)4) Surambi (empat orang putri)5) Pandawa (lima putra)6) Pandawi (lima putri)7) Talaga Tanggal Kausak (seorang putra dihapit putri)8) Samudra hapit sindang (seorang putri dihapit dua orang putra), dan masih banyak yang lain.
Selain untuk kebutuhan spiritual, pertunjukan wayang untuk saat ini juga sering dipertunjukan dalam acara perayaan seperti khitanan, pernikahan, dan lain-lain.
Perkembangan
>> Wayang Golek Sunda
Sebagaimana alur cerita pewayangan umumnya, dalam pertunjukan wayang golek juga biasanya memiliki lakon-lakon baik galur maupun carangan yang bersumber dari cerita Ramayana dan Mahabarata dengan menggunakan bahasa Sunda dengan iringan gamelan Sunda (salendro), yang terdiri atas dua buah saron, sebuah peking, sebuah selentem, satu perangkat boning, satu perangkat boning rincik, satu perangkat kenong, sepasang gong (kempul dan goong), ditambah dengan seperangkat kendang (sebuah kendang Indung dan tiga buah kulanter), gambang dan rebab.
Sejak 1920-an, selama pertunjukan wayang golek diiringi oleh sinden. Popularitas sinden pada masa-masa itu sangat tinggi sehingga mengalahkan popularitas dalang wayang golek itu sendiri, terutama ketika zamannya Upit Sarimanah dan Titim Patimah sekitar tahun 1960-an.
Dalam pertunjukan wayang golek, lakon yang biasa dipertunjukan adalah lakon carangan. Hanya kadang-kadang saja dipertunjukan lakon galur. Hal ini seakan menjadi ukuran kepandaian para dalang menciptakan lakon carangan yang bagus dan menarik. Beberapa dalang wayang golek yang terkenal diantaranya Tarkim, R.U. Partasuanda, Abeng Sunarya, Entah Tirayana, Apek, Asep Sunandar Sunarya, Cecep Supriadi dll.
Pola pengadegan wayang golek adalah sebagai berikut; 1) Tatalu, dalang dan sinden naik panggung, gending jejer/kawit, murwa, nyandra, suluk/kakawen, dan biantara; 2) Babak unjal, paseban, dan bebegalan; 3) Nagara sejen; 4) Patepah; 5) Perang gagal; 6) Panakawan/goro-goro; 7) Perang kembang; 8) Perang raket; dan 9) Tutug.
Salah satu fungsi wayang dalam masyarakat adalah ngaruat, yaitu membersihkan dari kecelakaan (marabahaya). Beberapa orang yang diruwat (sukerta), antara lain: 1) Wunggal (anak tunggal); 2) Nanggung Bugang (seorang adik yang kakaknya meninggal dunia); 3) Suramba (empat orang putra); 4) Surambi (empat orang putri); 5) Pandawa (lima putra); 6) Pandawi (lima putri); 7) Talaga Tanggal Kausak (seorang putra dihapit putri); 8) Samudra hapit sindang (seorang putri dihapit dua orang putra), dan sebagainya.
Wayang golek saat ini lebih dominan sebagai seni pertunjukan rakyat, yang memiliki fungsi yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lingkungannya, baik kebutuhan spiritual maupun material. Hal demikian dapat kita lihat dari beberapa kegiatan di masyarakat misalnya ketika ada perayaan, baik hajatan (pesta kenduri) dalam rangka khitanan, pernikahan dan lain-lain adakalanya diriingi dengan pertunjukan wayang golek.
Ubrug
Kata Ubrug memang bagi sebagian orang sangat asing ditelinga. Ubrug di Pandeglang dikenal sebagai kesenian tradisional rakyat yang semakin hari semakin dilupakan oleh penggemarnya. Istilah UBRUG berasal dari bahasa Sunda ‘sagebrugan’ yang berarti campur aduk dalam satu lokasi. Ini memang menggambarkan unsur-unsur kesenian yang memasyarakat. Pertunjukan ubrug sederhana dan bisa dilakukan di mana saja, bahkan tak jarang seniman ubrug bisa pentas tanpa dekorasi dan panggung. Mereka bisa pentas di tanah lapang dengan arena pertunjukan berbentuk tapal kuda, penonton mengelilingi tempat permainan. sehingga penonton bisa menyaksikannya dari berbagi sudut. Kedekatan antara pemain dengan penonton ini memungkinkan pertunjukkan menjadi semakin menarik dan terlihat memasyarakat.
Beruntung saya dapat menyaksikan penampilan Seni Ubrug yang sudah langka ini. Lingkung Seni Tiga Saderek adalah satu Group Kesenian Ubrug di Daerah Panimbang yang tetap bertahan hingga kini. Group yang dipimpin oleh Mr.Kobet ini, menampilkan sinden dan penarinya dengan pakaian agak sedikit “menor” dan gerakan yang sedikit menggoda penonton. Uniknya, menurut Kobet, group ini ternyata terdiri dari beberapa orang yang punya profesi lain. “Personil kami, kalau sedang tidak ada job atau mentas, mereka adalah petani
biasa, ada juga yang berprofesi nelayan bahkan ada pula yang berprofesi sebagai tukang becak” ujarnya.
Tetapi ketika mereka sedang mentas, profesi yang mereka geluti setiap hari tidak tampak. “Kesenian rakyat ini sudah ada di Banten sebelum tahun 1918, biasanya kesenian ini dipentaskan pada acara-acara hajatan. Hingga kini belum ada catatan resmi tentang pencipta dan tahun awal kemunculan kesenian ubrug di Banten” jelas kobet.
Kesenian ini biasanya diselingi oleh dialog dan akting dari para pemainnya yang kadang membuat penonton tertawa, kesenian ini diiringi oleh seperangkat alat musik seperti gendang, kulanter, kempul, gong angkeb, rebab, kenong, kecrek, dan ketuk. Selain itu, lakon-lakon yang dipertunjukkan dalam ubrug juga bisa menjadi saran penyampai pesan-pesan bijak sesuai dengan kejadian yang ada di masyarakat.
Kesenian yang hingga kini masih ada di sejumlah daerah di Banten ini, masih tetap menjadi sarana hiburan bagi sebagian masyarakat, terutama didaerah-daerah pesisir di Banten. Kesenian ini juga secara sosial, merupakan potret kesenian masyarakat yang dapat menjadi alat pemersatu. (boim)
Reog (Ponorogo)Reog adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya. Gerbang kota Ponorogo dihiasi oleh sosok warok dan gemblak, dua sosok yang ikut tampil pada saat reog dipertunjukkan. Reog adalah salah satu budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat.
Sejarah
Ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok, namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak istri raja Majapahit yang berasal dari Cina, selain itu juga murka kepada rajanya dalam pemerintahan yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan di mana ia mengajar seni bela diri kepada anak-anak muda, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan kerajaan Majapahit kembali. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Kertabhumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.
Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabhumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50 kg hanya dengan menggunakan giginya. Kepopuleran Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Bhre Kertabhumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer di antara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru di mana
ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewandono, Dewi Songgolangit, dan Sri Genthayu.
Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun di tengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujang Anom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan "kerasukan" saat mementaskan tariannya.
Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai warisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.
Pementasan Seni Reog
>> Reog Ponorogo
Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang atau jathilan, yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping.
Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu yang disebut Bujang Ganong atau Ganongan.
Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar,
Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya.
Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.
Tokoh-tokoh dalam seni Reog
Jathil
>> Jathilan (depan)
Jathil adalah prajurit berkuda dan merupakan salah satu tokoh dalam seni Reog. Jathilan merupakan tarian yang menggambarkan ketangkasan prajurit berkuda yang sedang berlatih di atas kuda. Tarian ini dibawakan oleh penari di mana antara penari yang satu dengan yang lainnya saling berpasangan. Ketangkasan dan kepiawaian dalam berperang di atas kuda ditunjukkan dengan ekspresi atau greget sang penari.
Jathilan ini pada mulanya ditarikan oleh laki-laki yang halus, berparas ganteng atau mirip dengan wanita yang cantik. Gerak tarinya pun lebih cenderung feminin. Sejak tahun 1980-an ketika tim kesenian Reog Ponorogo hendak dikirim ke Jakarta untuk pembukaan PRJ (Pekan Raya Jakarta), penari jathilan diganti oleh para penari putri dengan alasan lebih feminin. Ciri-ciri kesan gerak
tari Jathilan pada kesenian Reog Ponorogo lebih cenderung pada halus, lincah, genit. Hal ini didukung oleh pola ritmis gerak tari yang silih berganti antara irama mlaku (lugu) dan irama ngracik.
Warok
>> Warok Ponorogo
"Warok" yang berasal dari kata wewarah adalah orang yang mempunyai tekad suci, memberikan tuntunan dan perlindungan tanpa pamrih. Warok adalah wong kang sugih wewarah (orang yang kaya akan wewarah). Artinya, seseorang menjadi warok karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup yang baik.Warok iku wong kang wus purna saka sakabehing laku, lan wus menep ing rasa (Warok adalah orang yang sudah sempurna dalam laku hidupnya, dan sampai pada pengendapan batin).
Warok merupakan karakter/ciri khas dan jiwa masyarakat Ponorogo yang telah mendarah daging sejak dahulu yang diwariskan oleh nenek moyang kepada generasi penerus. Warok merupakan bagian peraga dari kesenian Reog yang tidak terpisahkan dengan peraga yang lain dalam unit kesenian Reog Ponorogo. Warok adalah seorang yang betul-betul menguasai ilmu baik lahir maupun batin.
Barongan (Dadak merak)
>> Barongan (Dadak merak)
Barongan (Dadak merak) merupakan peralatan tari yang paling dominan dalam kesenian Reog Ponorogo. Bagian-bagiannya antara lain; Kepala Harimau (caplokan), terbuat dari kerangka kayu, bambu, rotan ditutup dengan kulit Harimau Gembong. Dadak merak, kerangka terbuat dari bambu dan rotan sebagai tempat menata bulu merak untuk menggambarkan seekor merak sedang
mengembangkan bulunya dan menggigit untaian manik - manik (tasbih). Krakap terbuat dari kain beludru warna hitam disulam dengan monte, merupakan aksesoris dan tempat menuliskan identitas group reog. [4] Dadak merak ini berukuran panjang sekitar 2,25 meter, lebar sekitar 2,30 meter, dan beratnya hampir 50 kilogram.
Klono Sewandono
>> Prabu Klono Sewandono
Klono Sewandono atau Raja Kelono adalah seorang raja sakti mandraguna yang memiliki pusaka andalan berupa Cemeti yang sangat ampuh dengan sebutan Kyai Pecut Samandiman kemana saja pergi sang Raja yang tampan dan masih muda ini selalu membawa pusaka tersebut. Pusaka tersebut digunakan untuk melindungi dirinya. Kegagahan sang Raja di gambarkan dalam gerak tari yang lincah serta berwibawa, dalam suatu kisah Prabu Klono Sewandono berhasil menciptakan kesenian indah hasil dari daya ciptanya untuk menuruti permintaan Putri (kekasihnya). Karena sang Raja dalam keadaan mabuk asmara maka gerakan tarinyapun kadang menggambarkan seorang yang sedang kasmaran.
Bujang Ganong (Ganongan)
>> Bujang Ganong (Ganongan)
Bujang Ganong (Ganongan) atau Patih Pujangga Anom adalah salah satu tokoh yang enerjik, kocak sekaligus mempunyai keahlian dalam seni bela diri sehingga disetiap penampilannya senantiasa di tunggu - tunggu oleh penonton
khususnya anak - anak. Bujang Ganong menggambarkan sosok seorang Patih Muda yang cekatan, berkemauan keras, cerdik, jenaka dan sakti.
Kontroversi
Foto tari Barongan di situs resmi Malaysia, yang memicu kontroversi.
Tarian sejenis Reog Ponorogo yang ditarikan di Malaysia dinamakan Tari Barongan tetapi memiliki unsur Islam. Tarian ini juga menggunakan topeng dadak merak, yaitu topeng berkepala harimau yang di atasnya terdapat bulu-bulu merak. Deskripsi dan foto tarian ini ditampilkan dalam situs resmi Kementrian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia.
Kontroversi timbul karena pada topeng dadak merak di situs resmi tersebut terdapat tulisan "Malaysia",dan diakui sebagai warisan masyarakat keturunan Jawa yang banyak terdapat di Batu Pahat, Johor dan Selangor, Malaysia. Hal ini memicu protes berbagai pihak di Indonesia, termasuk seniman Reog asal Ponorogo yang menyatakan bahwa hak cipta kesenian Reog telah dicatatkan dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004, dan dengan demikian diketahui oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Ditemukan pula informasi bahwa dadak merak yang terlihat di situs resmi tersebut adalah buatan pengrajin Ponorogo. Ribuan seniman Reog sempat berdemonstrasi di depan Kedutaan Malaysia di Jakarta. Pemerintah Indonesia menyatakan akan meneliti lebih lanjut hal tersebut.
Pada akhir November 2007, Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Datuk Zainal Abidin Muhammad Zain menyatakan bahwa Pemerintah Malaysia tidak pernah mengklaim Reog Ponorogo sebagai budaya asli negara itu. Reog yang disebut “Barongan” di Malaysia dapat dijumpai di Johor dan Selangor, karena dibawa oleh rakyat Jawa yang merantau ke negeri tersebut.
LenongLenong adalah kesenian teater tradisional atau sandiwara rakyat Betawi yang dibawakan dalam dialek Betawi yang berasal dari Jakarta, Indonesia.[1]
Kesenian tradisional ini diiringi musik gambang kromong dengan alat-alat musik seperti gambang, kromong, gong, kendang, kempor, suling, dan kecrekan, serta alat musik unsur Tionghoa seperti tehyan, kongahyang, dan sukong. Lakon atau skenario lenong umumnya mengandung pesan moral, yaitu menolong yang lemah, membenci kerakusan dan perbuatan tercela. Bahasa yang digunakan dalam lenong adalah bahasa Melayu (atau kini bahasa Indonesia) dialek Betawi.
Sejarah
Lenong berkembang sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Kesenian teatrikal tersebut mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi atas kesenian serupa seperti "komedi bangsawan" dan "teater stambul" yang sudah ada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco, seniman Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang dari proses teaterisasi musik gambang kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak tahun 1920-an.
Lakon-lakon lenong berkembang dari lawakan-lawakan tanpa plot cerita yang dirangkai-rangkai hingga menjadi pertunjukan semalam suntuk dengan lakon panjang dan utuh.
Pada mulanya kesenian ini dipertunjukkan dengan mengamen dari kampung ke kampung. Pertunjukan diadakan di udara terbuka tanpa panggung. Ketika pertunjukan berlangsung, salah seorang aktor atau aktris mengitari penonton sambil meminta sumbangan secara sukarela. Selanjutnya, lenong mulai dipertunjukkan atas permintaan pelanggan dalam acara-acara di panggung hajatan seperti resepsi pernikahan. Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung.
Setelah sempat mengalami masa sulit, pada tahun 1970-an kesenian lenong yang dimodifikasi mulai dipertunjukkan secara rutin di panggung Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selain menggunakan unsur teater modern dalam plot dan tata panggungnya, lenong yang direvitalisasi tersebut menjadi berdurasi dua atau tiga jam dan tidak lagi semalam suntuk.
Selanjutnya, lenong juga menjadi populer lewat pertunjukan melalui televisi, yaitu yang ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia mulai tahun 1970-an. Beberapa seniman lenong yang menjadi terkenal sejak saat itu misalnya adalah Bokir, Nasir, Siti, dan Anen.
Jenis lenong
Terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang berarti "dinas" atau "resmi"), aktor dan aktrisnya umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya ber-seting kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, sedangkan dalam lenong preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Selain itu, kedua jenis lenong ini juga dibedakan dari bahasa yang digunakan; lenong denes umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.
Kisah yang dilakonkan dalam lenong preman misalnya adalah kisah rakyat yang ditindas oleh tuan tanah dengan pemungutan pajak dan munculnya tokoh pendekar taat beribadah yang membela rakyat dan melawan si tuan tanah jahat. Sementara itu, contoh kisah lenong denes adalah kisah-kisah 1001 malam.
Pada perkembangannya, lenong preman lebih populer dan berkembang dibandingkan lenong denes.