DAFTAR ISI
Kata Pengantar....................................................................................................................iDaftar isi..............................................................................................................................ii
Bab I. Pendahuluan ............................................................................................................1
Bab II. Isi............................................................................................................................2
- Identifikasi istilah yang tidak diketahui................................................................2
- Rumusan masalah.................................................................................................2
- Analisis Masalah...................................................................................................2
- Hipotesis...............................................................................................................2
- Sasaran Pembelajaran...........................................................................................2
Bab III. Pembahasan...........................................................................................................3
1. Anamnesis...........................................................................................................3
2. Pemeriksaan
- Pemeriksaan Tanda Vital................................................................................3
- Pemeriksaan Fisik...........................................................................................4
- Pemeriksaan Penunjang..................................................................................4
3. Diagnosis
- Working Diagnosis.........................................................................................5
- Differensial Diagnosis....................................................................................7
4. Etiologi................................................................................................................12
5. Faktor Resiko .....................................................................................................12
6. Epidemiologi ......................................................................................................12
7. Patofisiologi........................................................................................................13
8. Penatalaksanaan....................................................................................................14
9. Komplikasi.....................................................................................................................16
10. Preventif............................................................................................................16
11. Prognosis...........................................................................................................16
Bab IV. Kesimpulan............................................................................................................17
Bab V. Penutup...................................................................................................................18
Daftar pustaka
ii
BAB I. PENDAHULUAN
Limfoma adalah kanker yang berasal dari jaringan limfoid mencakup system limfatik
dan imunitas tubuh. Tumor ini bersifat heterogen, ditandai dengan kelainan umum yaitu
pembesaran kelenjar limfe diikuti splenomegali, hepatomegali dan kelainan sumsum tulang.
Tumor ini dapat juga dijumpai ekstra nodul yaitu diluar system limfatik dan imunitas antara
lain pada traktus digestivus, paru, kulit dan organ lain. Dalam garis besar, limfoma dibagi
dalam 4 bagian yaitu:
klasifikasi limfoma
- Limfoma Hodgkin (LH)
- Limfoma non Hodgkin (LNH)
- Histiositosis x
- Mycosis fungoides
Dalam praktek, yang dimaksud dengan limfoma adalah LH dan LNH, sedang
Histiositosis x dan mycosis fungoides sangat jarang ditemukan.
Di negara maju limfoma maligna relatif jarang yaitu kira-kira 2 % dari kanker yang ada.
Akan tetapi, menurut laporan berbagai sentra patologi di Indonesia, tumor ini merupakan
terbanyak setelah kanker serviks uteri, payudara dan kulit.
Pada sebagian besar limfoma ditemukan pada stadium lanjut yang merupakan penyulit
dalam terapi kuratif. Penemuan penyakit pada stadium awal masih merupakan faktor penting
dalam terapi kuratif walaupun tersedia berbagai jenis kemoterapi dan radioterapi. Akhir-akhir
ini angka harapan kehidupan 5 tahun meningkat dan bahkan sembuh (kuratif) berkat
manajemen tumor yang tepat dan tersedianya kemoterapi dan radioterapi. Dalam makalah ini
akan dibahas lebih lanjut dan jelas tentang limfoma Hodgkin (LH).
1
BAB II. ISI
Seorang laki-laki datang ke dokter dengan keluhan adanya benjolan di lehar yang mulai
disadari sejak 2 bulan yang lalu. Benjolan tidak disertai rasa sakit, tapi semakin membesar.
1. Identifikasi istilah yang tidak diketahui:
Tidak ada
2. Rumusan Masalah.
Laki-laki ada benjolan di leher sejak 2 bulan yang lalu, tidak sakit dan makin membesar.
3. Analisis Masalah
4. Hipotesis
Laki-laki dengan keluhan adanya benjolan di leher yang semakin membesar dan tidak sakit
menderita limfadenopati neoplasia.
5. Sasaran Pembelajaran
Mempelajari:
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan: Pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
3. Diagnosis: working, diferensial
4. Etiologi
5. Faktor Resiko
6. Epidemiologi
7. Patofisiologi
8. Penatalaksanaan
9. Komplikasi
10. Preventif
11. Prognosis
BAB III. PEMBAHASAN2
8.Penatalaksanaan
1.Anamnesis 2. Pemeriksaan 4.Etiologi
7.Patofisiologi
11.Prognosis
3.Diagnosis
6. Epidemiologi
9.Komplikasi
Laki-laki ada benjolan di leher sejak 2 bulan yang
lalu, tidak sakit dan makin membesar.
10.Preventif
5. Faktor Resiko
1. Anamnesis1
Dari penderita atau keluarga penderita,ataupun orang terdekat pasien, kita berharap
mendapat keterangan tentang keadaan pasien sebagai manifestasi kelainan yang berkaitan
dengan gejala yang dialami oleh pasien, yaitu :
- Identitas pasien.
Meliputi nama pasien, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, agama/suku, warga negara,
bahasa yang digunakan, pendidikan, pekerjaan, alamat rumah untuk data rekam medis.
- Keluhan Utama
Mendengar keluhan penderita sangat penting untuk pemeriksaan. Bertanya seperti “apa
keluhan bapak?”, gejala yang dialami, kapan mulai terjadi?
- Riwayat penyakit dahulu
Ditanya apakah pernah menderita penyakit-penyakit berat atau yang lainnya.
Riwayat penyakit sekarang dan dahulu seperti adanya peradangan tonsil sebelumnya,
mengarahkan kepada infeksi oleh Streptococcus; luka lecet pada wajah atau leher atau
tanda-tanda infeksi mengarahkan penyebab infeksi Staphilococcus; dan adanya infeksi
gigi dan gusi juga dapat mengarahkan kepada infeksi bakteri anaerob. Transfusi darah
sebelumnya dapat mengarahkan kepada Citomegalovirus, Epstein Barr Virus atau HIV.
- Gejala penyerta
Demam, nyeri tenggorok dan batuk mengarahkan kepada penyebab infeksi saluran
pernapasan bagian atas. Demam, keringat malam dan penurunan berat badan
mengarahkan kepada infeksi tuberkulosis atau keganasan. Demam yang tidak jelas
penyebabnya, rasa lelah dan nyeri sendi meningkatkan kemungkinan oleh penyakit
kolagen atau penyakit serum (serum sickness), ditambah adanya riwayat pemakaian obat-
obatan atau produk darah.
- Riwayat pengobatan, apakah ada masalah dengan obat tertentu untuk alternatif pemberian
obat jika ternyata pasien tidak cocok dengan jenis obat tertentu.
2. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan tanda vital1
Pemeriksaan tanda-tanda vital meliputi pengukuran suhu badan, denyut nadi, tekanan
darah, dan pernapasan.
Tekanan Darah
3
Tekanan darah pada sistem arteri bervariasi sesuai dengan siklus jantung, yaitu
memuncak pada waktu sistolik dan sedikit menurun pada waktu diastolik.
Tingginya tekanan darah dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya aktifitas fisik,
keadaan emosi, rasa sakit, suhu sekitar, penggunaan kopi, tembakau, dll.
Denyut Nadi
Dengan menghitung frekuensi denyut nadi, dapat diketahui frekuensi denyut jantung
dalam 1 menit. Dalam praktek sehari-hari, pemeriksaan pulsasi a.radialis paling sering
dilakukan.
Pernafasan
Penilaian pada pemeriksaan pernafasan dapat meliputi :
1. Tipe pernafasan: abdomino-torakal, torako-abdominal
2. Frekuensi
a. Normal : 12-20 kali permenit, tetapi ada pula yang menyatakan 8-16 kali/menit.
b. Takipnea : pernafasan yang cepat.
c. Bradipnea : pernafasan yang lebih lambat.
3. Kedalaman Pernafasan: normal, dangkal, dalam
b. Pemeriksaan fisik1
Palpasi pembesaran kelenjar getah bening di leher terutama supraklavikular, aksiler dan
inguinal. Mungkin lien dan hati teraba membesar. Pemeriksaan THT perlu dilakukan untuk
menentukan kemungkinan cincin waldeyer ikut terlibat. Apabila area ini terlihat perlu
diperiksa gastrointestinal sebab sering terlihat bersama-sama.
c. Pemeriksaan penunjang6
- Biopsi
Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH) sering
digunakan pada diagnosis pendahuluan
limfadenopati untuk identifikasi penyebab
kelainan tersebut seperti reaksi hiperplastik
kelenjar getah bening, metastasis karsinoma
dan limfoma malignum. Penyulit lain dalam
diagnosis sitologi biopsy aspirasi LH ataupun
LNH adalah adanya negatif palsu dianjurkan melakukan biopsy aspirasi multiple hole di
beberapa tempat permukaan tumor. Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan tidak
sesuai dengan gambaran klinis, maka pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi.
4
Diagnostik sitologi Limfoma Hodgkin umumnya dibuat dengan ditemukannya tanda
klasik yaitu sel Reed Sternberg dengan latar belakang limfosit, sel plasma, eosinofil dan
histiosit. Sel Reed Sternberg adalah sel yang besar dengan dua inti atau multinucleated
dengan sitoplasma yang banyak dan pucat
- Radiologi1,6
Termasuk didalamnya :
1. foto toraks untuk menentukan keterlibatan KGB mediastinal
2. Limfangiografi untuk menentukan keterlibatan KGB didaerah iliaka dan pasca aortal.
3.USG banyak digunakan melihat pembesaran KGB di paraaortal dan sekaligus
menuntun biopsi aspirasi jarum halus untuk konfirmasi sitologi.
4. CT-Scan sering dipergunakan untuk diagnosa dan evaluasi pertumbuhan LH
- Laboratorium1
Pemeriksaan darah rutin, uji fungsi hati dan uji fungsi ginjal merupakan bagian penting
dalam pemeriksaan medis, tetapi tidak memberi keterangan tentang luas penyakit. atau
keterlibatan organ spesifik. Pada pasien penyakit Hodgkin serta pada penyakit neoplastik
atau kronik lainnya mungkin ditemukan anemia normokromik normositik derajat sedang
yang berkaitan dengan penurunan kadar besi dan kapasitas ikat besi, tetapi dengan
simpanan besi yang normal atau meningkat di sumsum tulang sering terjadi reaksi
leukomoid sedang sampai berat, terutama pada pasien dengan gejala dan biasanya
menghilang dengan pengobatan. Eosinofilia absolute perifer ringan tidak jarang
ditemukan, terutama pada pasien yang menderita pruritus. Juga dijumpai monositosis
absolute limfositopenia absoluit (<1000 sel per millimeter kubik) biasanya terjadi pada
pasien dengan penyakit stadium lanjut. Telah dilakukan evaluasi terhadap banyak
pemeriksaan sebagai indicator keparahan penyakit. Sampai saat ini, laju endap darah
masih merupakan pemantau terbaik, tetapi pemeriksaan ini tidak spesifik dan dapat
kembali ke normal walaupun masih terdapat penyakit residual. Uji lain yang abnormal
adalah peningkatan kadar tembaga, kalsium, asam laktat, fosfatase alkali, lisozim,
globulin, protein C-reaktif dan reaktan fase akut lain dalam serum.
3. Diagnosis
- Working Diagnosis2,4,6,7
Limfoma Hodgkin
Pada penyakit ini dibedakan 2 macam staging :
· Clinical staging
Staging dilakukan secara klinis saja tentang ada tidaknya kelainan organ tubuh.
5
· Pathological staging.
Penentuan stadium juga didukung dengan adanya kelainan histopatologis pada jaringan
yang abnormal. Pathological staging ini dinyatakan pula pada hasil biopsi organ, yaitu :
hepar, paru, sumsum tulang, kelenjar, limpa, pleura, tulang, kulit.
Staging yang dianut saat ini adalah staging menurut Ann Arbor yang dimodifikasi sesuai
konferensi Cotswald.
Staging menurut system Ann Arbor modifikasi Costwald.
Stage I : Penyakit menyerang satu regio kelenjar getah bening atau satu struktur limfoid
(missal : limpa, timus, cincin Waldeyer).
Stage II : Penyakit menyerang dua atau lebih regio kelenjar pada satu sisi diafragma,
jumlah regio yang diserang dinyatakan dengan subskrip angka, misal : II2, II3.
Stage III : Penyakit menyerang regio atau struktur limfoid di atas dan di bawah diafragma.
III1 : menyerang kelenjar splenikus hiler, seliakal, dan portal
III2 : menyerang kelenjar para-aortal, mesenterial dan iliakal.
Stage IV : Penyakit menyerang organ-organ ekstra nodul, kecuali yang tergolong E (E: bila
primer menyerang satu organ ekstra nodal).
A : bila tanpa gejala sistemik
B : bila disertai gejala sistemik yaitu: panas badan ≥ 38˚C yang tak jelas sebabnya;
penurunan berat badan 10 % atau berkeringat malam atau setiap kombinasi dari 3 gejala itu
selama 6 bulan terakhir penyakit ini.
X : bila ada bulky mass (≥ 1/3 lebar thorax dan ≥ 10 cm untuk ukuran kelenjar).
S : bila limpa (spleen) terkena.
6
- Differensial Diagnosis2,4,6,,7
1. Limfoma non hodgkin
Definisi
Limfoma malignum non Hodgkin atau limfoma non Hodgkin adalah suatu keganasan
primer jaringan limfoid yang bersifat padat. Lebih dari 45.000 pasien didiagnosis sebagai
limfoma non Hodgkin (LNH) setiap tahun di Amerika Serikat. Limfoma non Hodgkin,
khususnya limfoma susunan saraf pusat biasa ditemukan pada pasien dengan keadaan
defisiensi imun dan yang mendapat obat-obat imunosupresif, seperti pada pasien dengan
transplantasi ginjal dan jantung.
Penggolongan Histologis Limfoma non Hodgkin
Anggapan pertama adalah bahwa status diferensiasi limfosit dapat dilihat dari ukuran dan
konfigurasi intinya, sel-sel limfoid yang kecil dan bulat dianggap sebagai sel-sel yang
berdiferensiasi baik, dan sel-sel limfoid kecil yang tidak beraturan bentuknya dianggap
sebagai limfosit yang berdiferensiasi buruk. Anggapan kedua adalah sel-sel limfoid besar
dengan inti vesikular dan mempunyai banyak sitoplasma yang biasanya berwarna pucat
dianggap berasal dari golongan monosit makrofag (histiosit).
Tanda-Tanda Imunologis Limfoma non Hodgkin
Limfosit B mengandung imunoglobulin permukaan (surface immunoglobulins) yang
dapat diwarnai dan menampilkan reseptor-reseptor untuk komplemen dan fraksi Fc dari
imunoglobulin. Limfosit T tidak mempunyai imunoglobulin permukaan yang dapat
diwarnai tetapi mempunyai kemampuan membentuk ikatan dengan sel-sel darah merah
biri-biri. Dengan demikian limfosit B dan T dapat dikenal dan ditetapkan jumlahnya baik
dalam darah tepi maupun dalam suspensi sel yang berasal dari jaringan limfoid.
Pendekatan ini telah membuktikan bahwa sebagian besar LNH berasal dari sel B dan
bahwa sel yang berproliferasi biasanya monoklonal.
Etiologi dan Patogenesis
Abnormalitas sitogenik, seperti translokasi kromosom. Limfoma malignum subjenis sel
yang tidak berdiferensiasi (DU) ialah LNH derajat keganasan tinggi lainnya, jarang
dijumpai pada dewasa tetapi sering ditemukan pada anak. Subjenis histologis ini
mencakup limfoma Burkitt, yang merupakan limfoma sel B dan mempunyai ciri
abnormalitas kromosom, yaitu translokasi lengan panjang kromosom nomor 8 (8q)
biasanya ke lengan panjang kromosom nomor 14 (14q+). Infeksi virus, salah satu yang
dicurigai adalah virus Epstein-Barr yang berhubungan dengan limfoma Burkitt(Afrika).
Infeksi HTLV-1 (Human T Lymphoytopic Virus type 1).
7
Gambaran Klinis
Gejala pada sebagian besar pasien asimtomatik sebanyak 2% pasien dapat mengalami
demam, keringat malam dan penurunan berat badan. Pada pasien dengan limfoma
indolen dapat terjadi adenopati selama beberapa bulan sebelum terdiagnosis, meskipun
biasanya terdapat pembesaran persisten dari nodul kelenjar bening. Untuk
ekstranodalnya, penyakit ini paling sering terjadi pada lambung, paru-paru dan tulang,
yang mengakibatkan karakter gejala pada penyakit yang biasa menyerang organ-organ
tersebut. Dengan menerapkan kriteria yang digunakan oleh Rosenberg dan Kaplan untuk
menentukan rantairantai kelenjar getah bening yang saling berhubungan. Jones
menemukan bahwa pada 81% di antara 97 penderita LNH jenis folikular dan 90% di
antara 93 penderita LNH jenis difus, penyebaran penyakit juga terjadi dengan cara
merambat dari satu tempat ke tempat yang berdekatan. Walaupun demikian hubungan
antara kelenjar getah bening daerah leher kiri dan daerah para aorta pada LNH jenis
folikular tidak sejelas seperti apa yang terlihat pada LNH jenis difus. Rosenberg
melaporkan bahwa pada semua penderita LNH difus dengan jangkitan pada sumsum
tulang, didapati jangkitan pada kelenjar getah bening para aorta yang terjadi sebelumnya
atau bersamaan dengan terjadinya jangkitan pada sumsum tulang. Di antara semua
subjenis LNH menurut klasifikasi Rappaport subjenis histiotik difus menunjukkan angka
yang terendah dari jangkitan penyakit pada hati.
Penatalaksanaan
Terapi yang dilakukan biasanya melalui pendekatan multidisiplin. Terapi yang dapat
dilakukan adalah:
1. Derajat Keganasan Rendah (DKR)/indolen:
Pada prinsipnya simtomatik
- Kemoterapi: obat tunggal atau ganda (per oral), jika dianggap perlu:
COP (Cyclophosphamide, Oncovin, dan Prednisone)
- Radioterapi: LNH sangat radiosensitif.
Radioterapi ini dapat dilakukan untuk lokal dan paliatif. Radioterapi: Low Dose TOI +
Involved Field Radiotherapy saja.
2. Derajat Keganasan Mengah (DKM)/agresif limfoma
- Stadium I: Kemoterapi (CHOP/CHVMP/BU) + radioterapi CHOP (Cyclophosphamide,
Hydroxydouhomycin,Oncovin, Prednisone)
- Stadium II - IV: kemoterapi parenteral kombinasi, radioterapi berperan paliatif.
8
3. Derajat Keganasan Tinggi (DKT) DKT Limfoblastik (LNH-Limfoblastik)
- Selalu diberikan pengobatan seperti Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)
- Re-evaluasi hasil pengobatan dilakukan pada:
1. setelah siklus kemoterapi keempat
2. setelah siklus pengobatan lengkap
2. Limfadenitis
Definisi
Limfadenitis adalah peradangan kelenjar getah bening (kelenjar limfe) regional dari lesi
primer akibat adanya infeksi dari bagian tubuh yang lain.
Peradangan tersebut akan menimbulkan hiperplasia kelenjar getah bening hingga terasa
membesar secara klinik.
Penyebab infeksi berasal dari organisme yaitu bakteri, virus, protozoa, riketsia, atau
jamur.
Infeksi kelenjar limfe dapat disebarkan dari infeksi kulit, telinga, hidung, atau mata.
Jenis limfadenitis :
1. Limfadenitis akut
2. Limfadenitis kronis
Jenis limfadenitis kronis :
1. Limfadenitis kronis spesifik
2. Limfadenitis kronis non spesifik : limfadenitis tuberkulosis
Gejala limfadenitis berupa pembengkakan kelenjar getah bening. Biasanya teraba lunak
dan nyeri.
Cara menentukan penyebab limfadenitis bisa melalui biopsi.
Pengobatan limfadenitis tergantung organisme penyebab. Rasa nyeri dapat dikurangi
dengan memberikan kompres hangat pada kelenjar yang terkena.
Pencegahan limfadenitis bisa dengan menjaga kesehatan dan kebersihan badan.
9
Limfadenitis granulomatosa. Tampak sel epiteloid pada aspirat penderita limfadenitis tuberkulosis
3. Struma nodusa non toksik
Definisi
Struma nodosa non toksik merupakan pembesaran kelenjar tiroid yang teraba sebagai
suatu nodul ,tanpa disertai tanda – tanda hipertiroidisme.
Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif nodul dibedakan menjadi: nodul
dingin ,hangat dan panas.
Sedangkan berdasarkan konsistensinya nodul dibedakan menjadi: nodul lunak, nodul
kistik, nodul keras, nodul sangat keras.
Etiologi
Penyebab pasti pembesaran kelenjar tiroid pada struma nodosa tidak diketahui, namun
sebagian besar penderita menunjukkan gejala-gejala tiroiditis ringan; oleh karena itu,
diduga tiroiditis ini menyebabkan hipotiroidisme ringan, yang selanjutnya menyebabkan
peningkatan sekresi TSH (thyroid stimulating hormone) dan pertumbuhan yang progresif
dari bagian kelenjar yang tidak meradang. Keadaan inilah yang dapat menjelaskan
mengapa kelenjar ini biasanya nodular, dengan beberapa bagian kelenjar tumbuh namun
bagian yang lain rusak akibat tiroiditis.
Diagnosis
Anamnesis :
• Sejak kapan benjolan timbul
• Rasa nyeri spontan atau tidak spontan ,berpindah atau tetap
• Cara membesarkanya : cepat atau lambat
• Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa benjolan atau
hanya pembesaran leher saja
• Gangguan menelan ,sesak nafas
• Penurunan berat badan
• Keluhan tirotoksikosis
Pemeriksaan fisik
• Umum
• Local ;
o Nodul tunggal atau majemuk,atau difus
o Nyeri tekan
o Konsistensi
o Permukaan
o Perlekatan pada jaringan sekitarnya
10
o Pendesakan atau pendorongan trakea
o Pembesaran kelenjar getah bening regional
o Pemberton’s sign
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium : T4 atau T3, dan TSHs
• Biosi aspirasi jarum halus ( BAJAH ) nodul tiroid
Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.
Biopsi aspirasi jarum tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-sel
ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu karena lokasi
biopsi kurang tepat. Selain itu teknik biopsi kurang benar dan pembuatan preparat yang
kurang baik atau positif palsu karena salah intrepertasi oleh ahli sitologi.
o Bila hasil laboratorium; non –toksik
• USG tiroid
o Pemantau kasus nodul yang tidak diopersi
o Pemendu pada BAJAH
• Sidik tiroid :
o Bila klinis ganas,tetapi hasil sitologi dengan BAJAH ( 2 X );jinak,
o Hasil sitologi dengan BAJAH : curiga ganas
• Petanda keganasan tiroid ( bila ada riwayat keluarga dengan karsinoma tiroid
medular,diperiksakan kalsitonik)
• Pemeriksaaan antitiroglobulin bila TSHs meningkat,curiga penyakit hashimoto
Pengobatan
Sesuai hasil BAJAH ,maka terapi :
A. Ganas operasi tirodektomi near total ;
B. curiga operasi dengan lebih dulu melakukan potong beku (VC)
Bila hasil = ganas operasi tiroidektomi total
Bila hasil = jinak operasi lobektomi,atau tiroidektomi total.
C. Jinak
* terapi dengan levo-tiroksin ( LT 4) dosis subtoksis .
• Dosis dititrasi mulai 2 x 25 ug ( 3 hari )
• Dilanjutkan 3 x 25 ug ( 3 – 4 hari )
11
4. Etiologi6
Banyak kemajuan telah dicapai dalam bidang biologi penyakit ini. Meskipun masih banyak
yang belum mapan. Seperti pada keganasan yang lain penyebab penyakit Hodgkin ini
multifaktorial dan belum jelas benar. Perubahan genetic, disregulasi gen-gen factor
pertumbuhan, virus dan efek imunologis, semuanya dapat merupakan factor tumorigenik
penyakit ini. Tentang asal usul sel datia Reed-Sternberg masih ada silang pendapat sampai
sekarang. Kejangkitan limfoma Hodgkin ataupun limfoma non Hodgkin kemungkinan ada
kaitannya dengan keluarga. Apabila salah satu anggota keluarga menderita limfoma
Hodgkin, maka resiko anggota lain terjangkit tumor ini lebih besar dibanding dengan orang
lain yang tidak termasuk keluarga itu. Pada orang hidup berkelompok insiden limfoma
Hodgkin cenderung lebih banyak.
5. Faktor Resiko4,5
Faktor risiko adalah sesuatu yang secara statistik meningkatkan kesempatan mendapatkan
penyakit atau kondisi.
Faktor risiko meliputi:
Jenis Kelamin: laki-laki
Usia: 15-40 dan lebih dari 55
Sejarah keluarga
Sejarah mononukleosis menular atau infeksi dengan virus Epstein-Barr, agen penyebab
mononukleosis.
Melemah sistem kekebalan tubuh, termasuk infeksi dengan HIV atau AIDS kehadiran.
Lama penggunaan hormon pertumbuhan manusia.
6. Epidemiologi4,5
Angka kejadian Penyakit Hodgkin yang berdasarkan populasi di Indonesia belum ada. Pada
KOPAPDI II di Surabaya tahun 1973 dilaporkan bahwa di bagian penyakit dalam RS.
Dr.Sutomo Surabaya antara tahun 1963-1972 (9 tahun) telah dirawat 26.815 pasien, dimana
81 diantaranya adalah limfoma malignum dan 12 orang adalah penyakit Hodgkin. Pada
KOPAPDI VIII tahun 1990 di Yogya dilaporkan bahwa selama 1 tahun di bagian penyakit
dalam RSUP Dr. Sardjito dirawat 2246 pasien, 32 di antaranya adalah limfoma malignum
dan semuanya adalah limfoma Hodgkin. Dari laporan-laporan tersebut di atas terlihat bahwa
di Indonesia limfoma non-Hodgkin lebih banyak dari penyakit Hodgkin, dan pria selalu lebih
banyak daripada wanita. Pada limfoma non Hodgkin terdapat peningkatan insidensi yang
linear seiring dengan usia. Sebaliknya, pada penyakit Hodgkin di Amerika Serikat dan di
negaranegara barat yang telah berkembang, kurva insidensi spesifik umur berbentuk bimodal
12
dengan puncak awal pada orang dewasa muda (15-35 tahun). Dan puncak kedua setelah 50
tahun. Penyakit Hodgkin lebih prevalen pada laki-laki dan bila kurva insidensi spesifik umur
dibandingkan dengan distribusi jenis kelamin pasien, maka peningkatan prevalensi laki-laki
lebih nyata pada dewasa muda. Pada penyakit Hodgkin anak predominasi laki-laki ini lebih
mencolok dengan lebih dari 80% pasien adalah laki-laki Hal ini menyebabkan beberapa
peneliti beranggapan bahwa terdapat peningkata kerentan yang berhubungan dengan faktor
genetik terkait seks dan hormonal.
7. Patofisiologi6
Asal-usul penyakit Hodgkin tidak diketahui. Pada masa lalu, diyakini bahwa penyakit
Hodgkin merupakan reaksi radang luar biasa (mungkin terhadap agen infeksi) yang
berperilaku seperti neoplasma. Tetapi, kini secara luas diterima bahwa penyakit Hodgkin
merupakan kelainan neoplasi dan bahwa sel Reed-Sternberg merupakan sel transformasi.
Tetapi asal-usul sel Reed-Sternberg tetap menjadi teka-teki. Sel Reed-Sternberg tidak
membawa penanda permukaan sel B atau T. Tidak seperti monosit, tidak memiliki
komplemen dan reseptor Fc. Beberapa pengkaji telah menentukan berdasarkan dari penderita
dengan jalur sel penyakit Hodgkin, yang agaknya berasal dari sel Reed-Sternberg.
Sel-sel yang mirip Reed-Sternberg dari perbenihan ini tampak menimbulkan antigen
permukaan dengan sejumlah kecil sel “dendrit” pada daerah parafolikel nodus limfatik.
Mungkin termasuk kelas antigen HLA II sel dendrit positif, yang aktif dalam pengenalan
antigen oleh sel T ?. Berkurangnya kapasitas “memberitahukan” antigen berkaitan dengan
transformasi neoplasi sel “dendritik”, mungkin menjelaskan adanya gangguan imunitas sel-T,
yang begitu umum terjadi pada penyakit Hodgkin.
Infiltrat radang nonneoplastik yang khas tampaknya terbentuk karena sekresi sejumlah
sitokin oleh sel RS, termasuk IL-5 ( suatu zat penarik dan faktor pertumbuhan untuk
eosinofil), transforming growth faktor â (suatu faktor fibrogenik), dan IL-13 (yang dapat
merangsang sel RS melalui mekanisme autokrin). Sebaliknya, sel reaktif menghasilkan faktor
(seperti ligan CD30) yang membantu pertumbuhan dan kesintasan sel RS.
Patologi
Klasifikasi patologis yang sering dipakai sekarang ini adalah menurut Lukas dan Butler
sesuai keputusan symposium penyakit Hodgkin dan Ann Arbor. Menurut klasifikasi ini
penyakit Hodgkin dibagi menjadi 4 tipe, yaitu :
13
1. Tipe Lymphocyte Predominant
Pada tipe ini gambaran patologis kelenjar getah bening terutama terdiri dari sel-sel limfosit
yang dewasa, beberapa sel Reed-Sternberg. Biasanya didapatkan pada anak muda.
Prognosisnya baik.
2. Tipe Mixed Cellularity
Mempunyai gambaran patologis yang pleimorfik dengan sel plasma, eosinofil, neutrofil,
limfosit dan banyak didapatkan sel Reed-Sternberg. Dan merupakan penyakit yang luas
dan mengenai organ ekstranodul. Sering pula disertai gejala sistemik seperti demam, berat
badan menurun dan berkeringat. Prognosisnya lebih buruk.
3. Tipe Lymphocyte Depleted
Gambaran patologis mirip diffuse histiocytic lymphoma, sel Reed-Sternberg banyak sekali
dan hanya ada sedikit sel jenis lain. Biasanya pada orang tua dan cenderung merupakan
proses yang luas (agresif) dengan gejala sistemik. Prognosis buruk.
4. Tipe Nodular Sclerosis
Kelenjar mengandung nodul-nodul yang dipisahkan oleh serat kolagen. Sering dilaporkan
sel Reed-Sternberg yang atifik yang disebut sel Hodgkin. Sering didapatkan pada wanita
muda / remaja. Sering menyerang kelenjar mediastinum.
8. Penatalaksanaan4,5,7
a. Non Medika Mentosa
1. Dengan melakukan Radioterapi:
Radioterapi dapat kuratif untuk penyakit Hodgkin dini (st I+II) A. kurabilitasnya
menurun bila ada penyakit dibawah diafragma, karena itu untuk stadium IA dan IIA
(tanpa gejala demam, keringat malam, penurunan berat badan) yang direncanakan akan
diberi terapi radiasi kuratif saja perlu dilakukan staging laparotomy untuk memastikan
ada tidaknya lesi dibawah diafragma. Bila ada lesi di bawah diafragma maka radioterapi
saja tidak cukup, perlu ditambah dengan kemoterapi.
2. Pencangkokan sumsum tulang atau sel stem darah
Pencangkokan ini ditujukan pada penderita yang tidak menunjukkan perbaikan setelah
terapi penyinaran atau kemoterapi atau yang membaik tapi kemudian kambuh kembali
dalam 6-9 bulan, memiliki harapan hidup yang lebih kecil dibandingkan dengan penderita
yang mengalami kekambuhan dalam 1 tahun atau lebih setelah terapi awal.
Kemoterapi dosis tinggi yang dikombinasikan dengan pencangkokan sumsum tulang
memiliki resiko tinggi terhadap infeksi, yang bisa berakibat fatal. Tetapi sekitar 20-40%
penderita yang menjalani pencangkokan sumsum tulang terbebas dari penyakit Hodgkin
14
selama 3 tahun atau lebih dan bisa sembuh. Hasil terbaik bisa dicapai pada penderita
yang berusia dibawah 55 tahun dengan keadaan kesehatan yang baik.
b. Medika Mentosa
Terapi penyinaran sendiri menyembuhkan sekitar 90% penderita stadium I atau II.
Pengobatan biasanya dilakukan selama 4-5 minggu, penderita tidak perlu dirawat.
Penyinaran ditujukan kepada daerah yang terkena dan kelenjar getah bening di sekitarnya.
Kelenjar getah bening di dada yang sangat membesar diobati dengan terapi penyinaran
yang biasanya mendahului atau mengikuti kemoterapi. Dengan pendekatan ini, 85%
penderita bisa disembuhkan.
Pengobatan untuk stadium III bervariasi, tergantung kepada keadaan. Jika tanpa gejala,
kadang terapi penyinaran saja sudah mencukupi. Tetapi hanya 65-75% penderita yang
sembuh. Penambahan kemoterapi meningkatkan kemungkinan sembuh sampai 75-80%.
Jika pembesaran kelenjar getah bening disertai dengan gejala lainnya, maka digunakan
kemoterapi dengan atau tanpa terapi penyinaran. Angka kesembuhan diantara 70-80%.
Pada stadium IV digunakan kombinasi dari obat-obat kemoterapi.
2 kombinasi tradisional adalah:
- MOPP (mekloretamin, vinkristin/onkovin, prokarbazin dan prednison)
- ABVD (doksorubisin/adriamisin, bleomisin, vinblastin dan dakarbazin).
Setiap siklus kemoterapi berlangsung selama 1 bulan, dengan waktu pengobatan total
adalah 6 bulan atau lebih. Bisa juga digunakan kombinasi obat lainnya. Pengobatan ini
memberikan angka kesembuhan lebih dari 50%.
Sediaan Obat Keterangan
MOPP Mekloretamin
(nitrogen mustard)
Vinkristin (onkovin)
Prokarbazin
Prednison
Merupakan sediaan pertama, ditemukan pada tahun
1969,kadang masih digunakan
ABVD Doksorubisin
(adriamisin)
Bleomisin
Vinblastin
Dakarbazin
Dikembangkan untuk mengurangi efek samping dari
MOPP (misalnya kemandulan menetap & leukemia)
Menyebabkan e.s. berupa keracunan jantung & paru2.
Angka kesembuhannya menyerupai MOPP.
Lebih sering digunakan dibandingkan MOPP.
ChiVPP Klorambusil
Vinblastin
Prokarbazin
Prednison
Kerontokan rambut yg terjadi lebih sedikit
dibandingkan pada pemakaian MOPP & ABVD
15
MOPP/ABVD Bergantian antara
MOPP & ABVD
Dikembangkan untuk memperbaiki angka kesembuhan
menyeluruh, tetapi belum terbukti
Angka harapan hidup bebas kekambuhan lebih baik
dibandingkan sediaan lainnya
MOPP/ABVhibrid MOPP bergantian
dengan
Doksorubisin
(adriamisin)
Bleomisin
Vinblastin
Dikembangkan untuk memperbaiki angka kesembuhan
menyeluruh & untuk mengurangi keracunan
Masih dalam penelitian
9. Komplikasi2,7
Komplikasi yang dialami dihubungkan dengan penanganan dan berulangnya penyakit.
Efek-efek umum yang merugikan berkaitan dengan kemoterapi meliputi : alopesia, mual,
muntah, supresi sumsum tulang, stomatitis dan gangguan gastrointestinal. Infeksi adalah
komplikasi potensial yang paling serius yang mungkin dapat menyebabkan syok sepsis. Efek
jangka panjang dari kemoterapi meliputi kemandulan, kardiotoksik, dan fibrosis pulmonal.
Efek samping terapi radiasi dihubungkan dengan area yang diobati. Bila pengobatan
pada nodus limfa servikal atau tenggorok maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut : mulut
kering, disfagia, mual, muntah, rambut rontok, dan penurunan produksi saliva.
10. Preventif6
Tidak ada pedoman untuk mencegah limfoma Hodgkin karena penyebabnya tidak
diketahui.
11. Prognosis2
Prognosis penyakit Hodgkin ini relatif baik. Penyakit ini dapat sembuh atau hidup lama
dengan pengobatan meskipun tidak 100%.
16
BAB. IV KESIMPULAN
1. Limfoma malignum Hodgkin adalah suatu jenis limfoma yang dibedakan berdasarkan jenis
sel kanker tertentu yang disebut sel Reed-Stenberg.
2. Etiologi limfoma Hodgkin Seperti pada keganasan yang lain penyebab penyakit Hodgkin ini
multifaktorial dan belum jelas benar
3. Gambaran klinis pada sebagian besar pasien Penyakit Hodgkin biasanya ditemukan jika
seseorang mengalami pembesaran kelenjar getah bening. Gejala lainnya adalah demam,
berkeringat di malam hari dan penurunan berat badan.
4. Diagnosis banding limfoma Hodgkin adalah limfoma non hodgkin, limfadenitis dan struma
nodusa non toksik.
5. Limfoma Hodgkin mempunyai 4 stadium. Disini dibagi atau ditetapkan tingkat penyakit:
tahap I, tahap II, tahap III dan tahap IV
17
BAB V. PENUTUP
Limfadenopati merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sering menimbulkan
keresahan orang tua ataupun pasien itu sendiri. Apakah itu merupakan tanda dari keganasan,
atau suatu keadaan yang normal. Untuk itu diperlukan suatu profil Limfadenopati untuk
membantu menegakkan diagnosis agar diketahui cara penanganannya dengan baik.
Sistem limfatik membawa tipe khusus dari sel darah putih yang disebut limfosit melalui
suatu jaringan dari saluran tubuler (pembuluh getah bening) ke seluruh jaringan tubuh,
termasuk sumsum tulang. Tersebarnya jaringan ini merupakan suatu kumpulan limfosit dalam
nodus limfatikus yang disebut kelenjar getah bening. Limfosit yang ganas (sel limfoma) dapat
bersatu menjadi kelenjar getah bening tunggal atau dapat menyebar di seluruh tubuh, bahkan
hampir di semua organ.
18
DAFTAR PUSTAKA.
1. P.D, Welsby. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. EGC. Jakarta. 2010
2. Am Fam Physician, Lymphadenopathy and Malignancy. 2002 Didunduh dari
http://www.aafp.org/afp/2002/1201/p2103.html pada tanggal 24 April 2011.
3. Chandrasoma P, Taylor CR. The Lymphoid System: Structure and Function; Infection and
Proliferation. In: Concise Pathology, Singapore, McGraw-Hill, 2006
4. Soeparman, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta:Balai Penerbit FKUI, 2002
5. Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, editor. Kapita Selekta Haematologi (Essential
Haematology). Edisi 2. Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 2006
6. Robbins & Cotran Pathologic Basis of Disease, 8th Edition, 2010
7. Isselbacher K.J, Braunwald E, Asdie H Dr Prof, et al. HARRISON Prinsip-prinsip Ilmu
Penyakit Dalam. Volume 4. Edisi 13. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 2000.
19
Problem Based Learning
Limfoma Hodgkin
oleh:
Peter Fischer
10-2008-209
PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
JAKARTA 2011
20
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan syukur keapada Tuhan Yang Maha Esa yang telah membimbing
penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini penulis buat
untuk memenuhi tugas mandiri Problem Based Learning yang diberikan. Dalam pembuatan
makalah ini banyak pihak yang turut membantu. Karena itu penulis ingin mengucapkan juga
terima kasih kepada :
1. Kepada dr. Clara selaku tutor PBL kelompok D7 yang telah memberikan pengarahan
bagi penulis.
2. Kelompok diskusi yang kompak.
3. Perpustakaan Ukrida yang telah menjadi tempat mencari bahan.
4. dan berbagai pihak yang belum tersebutkan satu per satu.
Penulis sadar masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu penulis
akan sangat senang dalam menerima kritik dan saran yang akan disampaikan untuk perbaikan.
Semoga makalah ini bisa berguna bagi kita semua.
Jakarta, 25 April 2011
Penulis
21
i