Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
1
KUMPULAN MAKALAH Penelitian, Pengkajian, Pengembangan dan Penerapan Inovasi Teknnologi Penanggung jawab:
Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Dr. Dedi Sugandi, MP Penyunting:
Wahyu Wibawa Wahyuni Amelia Wulandari Umi Pudji Astuti Sri Suryani M. Rambe Redaksi Pelaksana:
Zul Efendi Agus Darmadi
Diterbitkan oleh:
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl. Irian Km. 6,5 Bengkulu 38119 PO. BOX. 1010 BKL 38001 Telepon (0736) 23030, Faximile (0736) 345568 E-mail: [email protected] Website: http://www.bengkulu.litbang.deptan.go.id ISBN 978-602-9064-05-6 Hak cipta pada penulis. Tidak diperkenankan memproduksi sebagian atau seluruhnya isi kumpulan makalah ini dalam bentuk apapun tanpa seizin dari penulis.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
2
KATA PENGANTAR
SL-PTT dan PSDSK merupakan Program Nasional dalam mendukung terwujudnya 4 target sukses Kementerian Pertanian. Empat target yang ingin dicapai adalah: 1) Swasembada dan swasembada berkelanjutan untuk komoditi padi (beras), jagung, kedelai, tebu (gula), dan daging sapi/kerbau pada tahun 2014, 2) Peningkatan diversifikasi pangan, 3) Peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, dan 4) Pengingkatan kesejahteraan rakyat.
Dukungan Badan Litbang Pertanian, melalui BPTP dalam mendukung 4 sukses Kementerian Pertanian diantaranya melalui kegiatan pendampingan SL-PTT dan PSDSK, peningkatan diversifikasi pangan dan pengingkatan nilai tambah produk pertanian. Pendampingan merupakan salah satu aspek penting dalam mensukseskan program strategis Kementerian Pertanian. Pendampingan yang holistik, bersinergi, terkoordinir, terfokus dan terukur sangat diharapkan oleh semua pihak dalam mengakselerasi pencapaian sasaran yang telah ditetapkan.
Tugas utama BPTP Bengkulu adalah melaksanakan pengkajian, perakitan dan pengembangan teknologi pertanian tepat guna spesifik lokasi. Menyiapkan kerja sama, informasi dokumentasi serta penyebarluasan dan pendayagunaan hasil pengkajian teknologi pertanian tepat guna spesifik lokasi merupakan salah satu fungsi dari BPTP.
Keberhasilan kegiatan litkajibangrap BPTP ditentukan oleh tingkat pemanfaatan informasi dan penerapan teknologi oleh pengguna antara dan pengguna akhir di wilayah kerjanya. Yield gap antara hasil riel di tingkat petani dan hasil pengkajian merupakan indikator yang dapat digunakan untuk menilai tingkat adopsi teknologi. Semakin tinggi yield gap menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat adopsi teknologi oleh petani.
Seminar dan dokumentasi hasil litkajibangrap merupakan salah satu upaya BPTP Bengkulu dalam menyampaikan dan menyebarluaskan inovasi teknologi baik kepada pengguna antara (stakeholders) maupun kepada pengguna akhir (petani). Kumpulan hasil litkajibangrap memuat berbagai artikel yang mendukung swasembada beras, jagung, dan daging sapi serta upaya peningkatan nilai tambah dan diversifikasi pangan yang dilakukan pada tahun 2011.
Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan penyelenggaraan seminar dan penyusunan dokumentasi hasil litkajibangrap. Semoga kumpulan hasil litkajibangrap ini bermanfaat bagi para pembaca.
Bengkulu, Desember 2011
Kepala BPTP Bengkulu
Dr. Dedi Sugandi, MP
NIP.19590206 198603 1 002
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
3
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR.............................................................................................. iii
DAFTAR ISI........................................................................................................ IV
1. RESPON PETANI TERHADAP PERAN DEMFARM DALAM PENINGKATAN ADOPSI KOMPONEN TEKNOLOGI PTT DI DESA RIMBO RECAP KECAMATAN CURUP SELATAN KABUPATEN REJANG LEBONG (Yesmawati, Wahyu Wibawa dan Umi Pudji Astuti)............................................................................................................ 1-6
2. KAJIAN PENGGUNAAN VARIETAS UNGGUL PADI DI KECAMATAN LEBONG SELATAN KABUPATEN LEBONG, PROVINSI BENGKULU (Yartiwi, Andi Ishak dan Yesmawati)...................................................................................................... 7-14
3. KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN KOMPONEN HASIL TIGA VARIETAS UNGGUL PADI GOGO DI RUMAH KACA (Yartiwi, Yahumri dan Andi Ishak)................................ 15-21
4. TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI KOMPONEN PTT DI KECAMATAN CURUP SELATAN KABUPATEN REJANG LEBONG (Siti Rosmanah dan Sri Suryani M. Rambe)...... 22-32
5. PERSEPSI DAN MINAT ADOPSI PETANI TERHADAP PADI VARIETAS UNGGUL BARU INPARI MELALUI KEGIATAN GELAR TEKNOLOGI PERTANIAN (Siswani Dwi Daliani dan Taufik Hidayat).................................................................................... 33-41
6. UJI MUTU BERAS HASIL DARI TEKNOLOGI PEMANFAATAN LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PUPUK ORGANIK (Wilda Mikasari,Taufik Hidayat, Lina Ivanti dan Alfayanti)........................................................................................................ 42-50
7. KERAGAAN MUTU BERAS INPARI 6, 10 DAN 13 BERDASARKAN HASIL UJI LABORATORIUM DI BPTP BENGKULU (Irma Calista Siagian, Yartiwi dan Ahmad Damiri)........................................................................................................... 51-60
8. PENINGKATAN PERSEPSI PETANI DALAM PENERAPAN PTT PADI SAWAH (STUDI KASUS: Kelompok Tani Harapan Maju II Desa Rimbo Recap Kabupaten Rejang Lebong) (Ruswendi dan Bunaiyah Honorita).................................................. 61-69
9. ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN (OPT) PENTING PADA SENTRA TANAMAN PADI SAWAH MT 2010/2011 DAN MT 2011 (Sri Suryani M. Rambe dan Kusmea Dinata)................................................................................................. 70-79
10. PEMANFAATAN LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PUPUK ORGANIK UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI PADI SAWAH DENGAN PENDEKATAN PTT DI KABUPATEN REJANG LEBONG (Alfayanti dan Ruswendi).............................. 80-88
11. KERAGAAN JAGUNG KOMPOSIT SUKMARAGA DAN LAMURU DI KECAMATAN CURUP SELATAN KABUPATEN REJANG LEBONG (Siti Rosmanah, Wahyu Wibawa dan Sri Suryani M. Rambe)......................................................................................... 89-96
12. PEMANFAATAN KOMODITAS PANGAN LOKAL SEBAGAI SUMBER DIVERSIFIKASI PANGAN ALTERNATIF (Lina Ivanti dan Herlena Bidi Astuti)................ 97-103
13. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP JUMLAH KONSUMSI PANGAN NON BERAS BERBASIS PANGAN LOKAL DI PROVINSI BENGKULU (Alfayanti dan Dedi Sugandi)................................................................. 104-114
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
4
14. ANALISIS TANAH SEBAGAI INDIKATOR TINGKAT KESUBURAN LAHAN SAWAH DI PROVINSI BENGKULU (Nurmegawati, Wahyu Wibawa, Dedi Sugandi dan Yahumri)........ 115-124
15. PERCEPATAN ADOPSI TEKNOLOGI PEMANFAATAN LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN SAPI DAN PUPUK ORGANIK DI BENGKULU (Ruswendi, Siswani Dwi Daliani dan Ahmad Damiri).................................................................................... 125-133
16. KAJIAN PERSEPSI DAN ADOPSI PETERNAK SAPI TERHADAP TEKNOLOGI BUDIDAYA SAPI UNGGUL DI KABUPATEN REJANG LEBONG PROVINSI BENGKULU (Zul Efendi, Harwi Kusnadi, dan Andi Ishak)............................................... 134-141
17. DISEMINASI TEKNOLOGI PETERNAKAN BERUPA GELAR TEKNOLOGI PENGOLAHAN BIOGAS DAN PAKAN UNTUK PENGEMUKAN SAPI POTONG (Ruswendi dan Zul Efendi).................................................................................... 142-150
18. EFISIENSI PEMANFAATAN BAHAN MAKANAN TERHADAP BERAT HIDUP PADA TERNAK AYAM RAS PEDAGING (Erpan Ramon, Dedi Sugandi, Zul Efendi dan Herlena Bidiastuti)........................................................................................................ 151-158
19. MANFAAT PEMBERIAN PAKAN TAMBAHAN DAN MINAT ADOPSI PETANI DALAM PEMELIHARAAN SAPI BRAHMAN CROSS MELALUI KEGIATAN GELAR TEKNOLOGI (Siswani Dwi Daliani dan Taufik Hidayat)................................................. 159-165
20. PEMETAAN WILAYAH SAPI BERPOTENSI BERANAK KEMBAR DI BENGKULU (Wahyuni Amelia Wulandari, Zul Efendi dan Ruswendi)................................................... 166-179
21. SISTEM INTEGRASI KELAPA SAWIT DAN SAPI BALI RAKYAT DI PROVINSI BENGKULU (Dedi Sugandi dan Harwi Kusnadi).......................................................... 180-188
22. OPTIMASI PEMANFAATAN LIMBAH TANAMAN SAWIT UNTUK PAKAN DI PROVINSI BENGKULU (Dedi Sugandi, Harwi Kusnadi dan Yahumri)............................... 189-195
23. MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (M-KRPL) SEBAGAI IMPLEMENTASI SPEKTRUM DISEMINASI MULTI CHANEL (SDMC) (Umi Pudji Astuti dan Dedi Sugandi).............................................................................................. 196-200
24. KAJIAN KELEMBAGAAN FORMAL DAN INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN INOVASI SPESIFIK LOKASI UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN DI PROPINSI BENGKULU (Wahyuni Amelia Wulandari, Afrizon, Zul Efendi dan Wilda Mikasari)................... 201-211
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
5
RESPON PETANI TERHADAP PERAN DEMFARM DALAM PENINGKATAN ADOPSI KOMPONEN TEKNOLOGI PTT DI DESA RIMBO RECAP KECAMATAN CURUP SELATAN KABUPATEN REJANG LEBONG
Yesmawati, Wahyu Wibawa dan Umi Pudji Astuti
ABSTRAK
Demontrasi Farming (Demfarm) padi sangat berperan dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani untuk menerapkan inovasi baru di bidang pertanian serta memberikan contoh bagi petani sekitarnya, dengan luasan 1-5 ha. Demfarm padi dilakukan untuk menunjukkan dan membuktikan keunggulan pendekatan PTT padi kepada petani, petugas, dan stakeholders lainnya. Melalui kegiatan Demfarm diharapkan terjadi perbaikan pemahaman petani dan kelompok tani mengenai pentingnya penerapan inovasi teknologi dengan benar untuk meningkatkan produktivitas, produksi dan pendapatan usahataninya. Respon petani terhadap peran demfarm dalam peningkatan adopsi komponen teknologi PTT tentu saja berbeda-beda sesuai dengan kondisi petani. Oleh karena itu telah dilakukan survei pada bulan Juli 2011 untuk mengetahui bagaimana respon petani terhadap peran demfarm padi. Survei dilaksanakan di Desa Rimbo Recap Kecamatan Curup Selatan Kabupaten Rejang Lebong dengan melibatkan 30 orang petani. Data yang diperoleh dari lapangan dianalisa secara statistik dengan kategori baik, cukup baik dan tidak baik kemudian dipaparkan secara deskriptif. Dalam menentukan skor digunakan Skala Likert (Baik diberi skor 5, Cukup Baik diberi skor 3, Tidak baik diberi skor 1). Hasil kajian menunjukkan bahwa respon petani terhadap peran demfarm padi dalam peningkatan adopsi komponen teknologi PTT padi sawah di Kecamatan Curup Selatan Rejang Lebong cukup baik.
Kata kunci: respon, demfarm padi, adopsi, komponen teknologi PTT
PENDAHULUAN
Menurut Suryabrata (1992), respon adalah reaksi obyektif dari individu
terhadap stimulan yang wujudnya dapat bermacam-macam seperti sikap atau
tindakan terhadap stimulan tersebut. Sementara itu Sastropoetra (1990)
menyatakan bahwa respon adalah tanggapan atau jawaban dari orang-orang
tentang hal-hal yang bersifat sosial yang memerlukan perhatian umum. Respon
tersebut biasanya berkaitan dengan setuju, tidak setuju atau sikap acuh tak acuh
terhadap inovasi yang diberikan oleh demfarm padi yang merupakan suatu media
desiminasi inovasi teknologi.
Selanjutnya bila timbul minat dan kesadaran terhadap inovasi dan teknologi
baru, petani biasanya akan mengerti dan menyadari apa yang dikerjakannya dan
mengapa itu dikerjakannya. Hal itu terjadi karena adanya pengetahuan dan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
6
pandangan hidup yang baik. Apabila terjadi peningkatan pengetahuan dan
pandangan hidup yang lebih baik, maka bertambah respon terhadap inovasi.
Demontrasi Farming (Demfarm) padi sangat berperan dalam meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan petani untuk menerapkan inovasi baru di bidang
pertanian serta memberikan contoh bagi petani sekitarnya, dengan luasan 1-5 ha.
Demfarm padi dilakukan untuk menunjukkan dan membuktikan keunggulan
pendekatan PTT padi kepada petani, petugas, dan stakeholders lainnya. Melalui
kegiatan Demfarm diharapkan terjadi perbaikan pemahaman petani dan kelompok
tani mengenai pentingnya penerapan inovasi teknologi dengan benar untuk
meningkatkan produktivitas, produksi dan pendapatan usahataninya.
Dalam peningkatan adopsi komponen teknologi PTT padi sawah di
Kecamatan Curup Selatan Kabupaten Rejang Lebong, Demfarm berperan sangat
besar, sebagai suatu metode penyuluhan di lapangan untuk memperlihatkan dan
membuktikan secara nyata tentang cara dan atau hasil penerapan suatu inovasi
teknologi PTT padi yang telah teruji dan menguntungkan bagi petani, antara lain
dalam mengakselerasikan dua komponen teknologi, yaitu komponen dasar dan
komponen pilihan. Dalam makalah ini akan memaparkan “Bagaimana tanggapan
petani terhadap peran Demfarm dalam peningkatan adopsi komponen teknologi
PTT padi sawah di Kecamatan Curup Selatan Kabupaten Rejang Lebong ?”.
METODOLOGI
Pengkajian dilakukan di Desa Rimbo Recap Kecamatan Curup Selatan
Kabupaten Rejang Lebong pada bulan Juli tahun 2012. Pengambilan sampel
dilakukan secara acak sederhana (Simple Random Sampling) yaitu sebanyak 30
responden petani padi sawah. Pengumpulan data dilakukan dengan survei,
wawancara dan menggunakan kuisioner (daftar pertanyaan). Data yang diperoleh
dari lapangan dianalisa secara statistik dengan kategori baik, cukup baik dan tidak
baik kemudian dipaparkan secara deskriptif. Dalam menentukan skor digunakan
Skala Likert, pilihan dan bobot nilai jawaban untuk tanggapan petani terhadap
Demfarm adalah:
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
7
Baik diberi skor 5
Cukup Baik diberi skor 3
Tidak baik diberi skor 1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Responden
Hasil wawancara terhadap 30 responden, diperoleh karakteristik petani
seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Keadaan umum responden.
No Uraian Kisaran Rata-rata
1. Umur (Tahun) 22 - 65 40
2. Lama Pendidikan Formal (Tahun) 3 - 17 9
3. Luas Lahan Garapan (Ha) 0,25 – 2,50 1
4. Lama Berusahatani (Tahun) 3 - 15 6
Sumber : Data Primer (diolah), 2011.
Tabel 1 menunjukkan umur petani padi sawah bervariasi berkisar antara 22
tahun sampai 65 tahun atau dengan umur rata-rata 40 tahun, termasuk dalam
katagori usia produktif untuk mendukung peningkatan produktivitas padi sawah.
Tingkat pendidikan formal petani padi sawah cukup memadai dalam pengambilan
keputusan, berfikir, bertindak, berbuat, dan menanggapi suatu proses inovasi
dalam mengolah usahatani padi sawahnya. Lama pendidikan formal petani berkisar
antara 3 tahun sampai 17 tahun dengan rata-rata lama pendidikan formal 9 tahun.
Luas lahan garapan petani padi sawah berkisar antara 0,25 hektar sampai 2,50
hektar dengan rata-rata 1 hektar per tani, sehingga menuntut petani untuk
mengoptimalkan fungsi lahan usahataninya agar produktivitas padi sawahnya dapat
ditingkatkan melalui penarapan atau adopsi komopenen teknologi PTT padi sawah.
Dari Tabel 1 juga terlihat bahwa lama berusahatani petani berkisar antara 3
tahun sampai 15 tahun dengan rata-rata lama berusahatani 6 tahun. Lamanya
berusahatani mempengaruhi pengalaman petani dalam berusahatani, terutama
keberhasilan mereka dalam mengelola ushataninya, mulai dari menentukan jenis
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
8
usaha apa yang akan dilakukan, bagaimana merencanakan usahanya, bagaimana ia
menyikapi suatu program atau inovasi yang ditawarkan kepadanya, bagaimana ia
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dan keputusan yang akan diambil
guna mencapai keberhasilan usahataninya.
Respon Petani Terhadap Peran Demfarm dalam Peningkatan Adopsi Komponen Teknologi PTT padi sawah
Demfarm berperan sangat besar dalam peningkatan adopsi komponen
teknologi yang selanjutnya dapat mempengaruhi peningkatan produktivitas padi
sawah dan perubahan perilaku usaha tani petani ke arah yang lebih baik. Respon
petani terhadap peran demfarm dalam peningkatan adopsi komponen teknologi
PTT padi diukur dari indikator komponen dasar dan komponen pilihan. Komponen
teknologi dasar yaitu teknologi yang sangat dianjurkan untuk diterapkan di semua
lokasi padi sawah. Komponen teknologi ini terdiri dari atas:
(1) Varietas unggul baru, inbrida atau hibrida.
(2) Benih bermutu dan berlabel.
(3) Pemberian bahan organik melalui pengembalian jerami ke sawah atau dalam
bentuk kompos.
(4) Pengaturan populasi tanaman secara optimum.
(5) Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah.
(6) Pengendalian OPT (organisme pengganggu tanaman) dengan pendekatan PHT
(Pengendalian Hama Terpadu).
Komponen teknologi pilihan yaitu teknologi yang disesuaikan dengan kondisi,
kemauan dan kemampuan petani setempat. Teknologi ini terdiri atas:
(1) Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam.
(2) Penggunaan bibit muda (< 21 hari).
(3) Tanam bibit 1 – 3 batang per rumpun.
(4) Pengairan secara efektif dan efisien.
(5) Penyiangan dengan landak atau gasrok.
(6) Panen tepat waktu dan gabah segera dirontok.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
9
Berdasarkan hasil analisis data yang menggunakan nilai interval didapat
bahwa respon petani padi sawah terhadap peran peningkatan adopsi komponen
PTT padi tertinggi 60% (sebanyak 18 orang) pada klasifikasi cukup baik, sebanyak
12 orang (40%) pada klasifikasi baik, dan pada klasifikasi tidak baik adalah tidak
ada (0%).
Tabel 2. Respon Responden terhadap peran Demfarm.
No Kategori Skor Jumlah (Orang)
Persentase (%)
1 Baik 27-35 12 40
2 Cukup Baik 17-26 18 60
3 Tidak Baik 7-16 0 0
Jumlah 30 100
Sumber : Data Primer (diolah), 2011.
Dengan persentase respon sebesar 60% menunjukkan bahwa petani menilai
cukup baik terhadap peran demfarm padi dalam meningkatkan adopsi komponen
teknologi PTT padi. Dengan persentase lebih dari 50% petani yang berpenilaian
cukup baik artinya secara umum petani mempunyai tanggapan cukup baik
terhadap peran demfarm padi dalam peningkatan adopsi komponen teknologi PTT
padi sawah.
KESIMPULAN
Respon petani terhadap peran demfam dalam peningkatan adopsi komponen
teknologi PTT padi sawah cukup baik (60%).
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
10
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Panduan Teknologi Mendukung Program SL-PTT padi. BPTP Bengkulu. Bengkulu.
Anonim. 2011. Petunjuk Teknis Pelaksanaan SL-PTT Padi. BPTP Bengkulu. Bengkulu.
Anonim. 2012. Petunjuk Teknis Pemberdayaan Petani Melalui Demfarm Dengan Pola SL Agribisnis Padi. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Jawa Barat.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Rejang Lebong, 2010. Kabupaten Rejang Lebong Dalam Anggka. Rejang Lebong.
Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Edisis Ketiga LP3ES. Jakarta.
Padmowihardjo, Soedijanto. 1996. Evaluasi Penyuluhan Pertanian. Universitas Terbuka. Jakarta.
Suryabrata. 1992. Organisasi Penyuluhan. Bumi Aksara. Jakarta.
Sajogyo dan Pudjiwati. 1999. Sosiologi Pedesaan. Jilid II Gadjah Mada university Press. Jakarta.
Tohir, K. 1993. Seuntai Pengetahuan Tentang Usahatani Indonesia. Bumi Aksara. Jakarta.
Wisnuadji. 1998. Peranan Penyuluh Pertanian Lapangan. Bina Cipta. Bandung.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
11
KAJIAN PENGGUNAAN VARIETAS UNGGUL PADI DI KECAMATAN LEBONG SELATAN KABUPATEN LEBONG, PROVINSI BENGKULU
Yartiwi, Andi Ishak dan Yesmawati
ABSTRAK
Salah satu faktor yang berperan penting dalam peningkatan produktivitas padi adalah penggunaan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi. Sampai saat ini telah dilepas sekitar 200 varietas unggul padi, namun adopsinya di lapangan masih terbatas. Suatu penelitan tentang kajian penggunaan varietas unggul padi yang telah dilaksanakan di Kecamatan Lebong Selatan, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu pada bulan November 2011. Data dikumpulkan melalui survei terhadap 34 responden petani padi. Penelitian ini bertujuan mengetahui: (1) adopsi petani terhadap varietas unggul padi sawah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, (2) pengaruh bantuan benih dari Pemerintah terhadap minat adopsi varietas unggul padi, dan (3) alasan-alasan petani memilih varietas padi. Metode penelitian dengan mengumpulkan data meliputi keadaan umum lokasi penelitian, deskripsi responden, adopsi varietas unggul padi, sumber informasi benih unggul, dan alasan-alasan petani mengadopsi varietas unggul. Analisis data secara deskriptif dan dihitung persentase dari data yang dianalisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) adopsi petani terhadap varietas unggul berlabel mencapai 85,29% yang dipengaruhi oleh pengalaman usahatani padi, luas lahan, dan persepsi petani terhadap varietas unggul; (2) minat adopsi petani tidak dipengaruhi oleh adanya bantuan benih unggul dari pemerintah; (3) alasan utama petani mengadopsi varietas unggul adalah produktivitas tinggi (93,55%), rasa nasi (80,65%), dan anakan banyak, gabah bernas, mutu gabah baik (75,27%).
Kata kunci: varietas unggul padi, tingkat adopsi
PENDAHULUAN
Keberhasilan peningkatan produksi padi tidak terlepas dari ketersediaan dan
adopsi teknologi. Revolusi hijau yang terjadi pada banyak negara berkembang,
termasuk Indonesia sejak awal tahun 1970-an telah membuktikan bahwa peranan
teknologi sangat penting dalam mengatasi kekurangan pangan. Penggunaan
varietas padi unggul yang berdaya hasil tinggi, responsif terhadap pemupukan dan
tahan hama penyakit utama disertai dengan perbaikan irigasi dan teknik budidaya
telah terbukti dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi produksi, dan kecukupan
pangan. Menurut Nugraha et al. (2007), swasembada beras pada tahun 1984 di
Indonesia tidak terlepas dari introduksi varietas unggul, perbaikan jaringan irigasi,
teknik budidaya, dan rekayasa kelembagaan melalui program Bimas, Inmas, Insus,
dan Supra Insus. Sistem perbenihan yang tangguh (produktif, efisien, berdaya
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
12
saing, dan berkelanjutan) sangat diperlukan untuk mendukung upaya peningkatan
penyediaan benih padi dan peningkatan produksi beras nasional.
Sampai saat ini telah dihasilkan lebih dari 200 varietas unggul padi oleh
berbagai lembaga penelitian di Indonesia yang telah dilepas oleh Kementerian
Pertanian, 85% diantaranya dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian Kementerian
Pertanian. Dari data luas tanam pada tahun 2009, lebih dari 75% telah ditanami
dengan varietas unggul. Sampai dengan tahun 2010, varietas padi yang paling luas
ditanam adalah Ciherang, IR64 dan Cigeulis (Sri Wahyuni, 2011).
Penggunaan benih unggul di lapangan oleh masyarakat relatif masih terbatas.
Menurut Daradjat et al. (2008), benih padi yang digunakan oleh masyarakat lebih
dari 60 persen berasal dari sektor informal yaitu berupa gabah yang disisihkan dari
sebagian hasil panen musim sebelumnya yang dilakukan berulang-ulang. Hal ini
berarti bahwa petani padi belum merespon benih unggul padi dengan baik.
Permasalahan yang dihadapi dalam percepatan penggunaan varietas unggul
adalah sistem informasi keberadaan benih sumber masih lemah sehingga
pengetahuan pengguna tentang varietas unggul masih terbatas, disamping itu
ketersediaan varietas unggul juga terbatas (Wahyuni, 2011).
Kondisi di Provinsi Bengkulu tidaklah jauh berbeda dengan apa yang
diuraikan di atas. Secara umum, penanaman varietas unggul berlabel dalam skala
luas oleh petani padi dimungkinkan oleh adanya bantuan benih dari pemerintah
melalui berbagai program, seperti subsidi benih, Bantuan Langsung Benih Unggul
(BLBU), dan bantuan benih unggul pada lahan display dan demfarm SL-PTT.
Menurut data BPS Provinsi Bengkulu (2010), luas panen padi sawah di Bengkulu
adalah 121.877 ha. Jika setiap hektar lahan sawah membutuhkan 25 kg benih,
maka kebutuhan benih mencapai 3.046.925 kg. Bantuan benih melalui BLBU dan
SL-PTT di Bengkulu mencapai 1.046.460 kg, atau 34,34% dari kebutuhan benih
total (Ishak et al., 2011).
Kajian ini difokuskan untuk mengetahui adopsi petani terhadap varietas
unggul padi sawah di Kecamatan Lebong Selatan. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui: (1) adopsi petani terhadap varietas unggul padi sawah dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya, (2) pengaruh bantuan benih dari Pemerintah
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
13
terhadap minat adopsi varietas unggul padi, dan (3) alasan-alasan petani memilih
varietas padi.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan melalui survei pada bulan November sampai dengan
Desember 2011 di Kecamatan Lebong Selatan, Kabupaten Lebong. Responden
dipilih secara acak sebanyak 34 orang petani. Data yang dikumpulkan meliputi data
primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan petani
responden menggunakan daftar pertanyaan meliputi karakteristik petani dan
usahatani padi sawah. Selain itu juga dilakukan wawancara dengan petugas Dinas
Pertanian Kabupaten Lebong. Data sekunder diperoleh dari Dinas Pertanian serta
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lebong. Analisis data secara deskriptif dan
dihitung persentase dari data yang dianalisis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Luas wilayah Kecamatan Lebong Selatan adalah 23.494 ha dengan jumlah
penduduk 13.406 jiwa. Kabupaten Lebong terdiri 13 wilayah Kecamatan.
Kecamatan Lebong Selatan merupakan 1 dari 13 Kecamatan di Kabupaten Lebong,
yang terdiri atas 4 kelurahan dan 4 desa dengan topografi pada ketinggian 100 –
500 mpl seluas 21.205 ha, ketinggian 500 – 1.000 mpl seluas 80.384 ha dan pada
ketinggian 1.000 mpl keatas seluas 91.335 ha.
Produksi padi sawah dan padi ladang di Kabupaten Lebong secara
keseluruhan pada tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar 6,62 %
dibandingkan tahun sebelumnya, dari 49.273 ton GKG di tahun 2008 menjadi
52.537 ton GKG di tahun 2009. Hal ini berkaitan pula dengan luas panen padi
sawah dan padi ladang di tahun 2009 yang mengalami peningkatan menjadi 13.645
ha atau sebesar 2,35 % dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan Kecamatan
tahun 2009, padi sawah dan padi ladang di produksi dari 3 Kecamatan, yaitu
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
14
Kecamatan Lebong Selatan 17.868 ton GKG, Lebong Utara 15.019 ton GKG dan
Lebong Tengah 7.166 ton GKG.
Deskripsi Responden
Jumlah responden survei sebanyak 30 orang petani padi, 12 orang
diantaranya (40%) memiliki persepsi yang baik terhadap penggunaan benih
unggul. Umur rata-rata responden 45,11 tahun dengan tingkat pendidikan formal
rata-rata yang pernah ditempuh selama 8 tahun. Lama berusahatani padi rata-rata
20,90 tahun dengan luas lahan garapan total 27,6 ha (rata-rata petani 0,92 ha),
sebagian besar (80%) petani menggarap lahan milik sendiri. Sebanyak 11 orang
responden (36,67%) merupakan pengurus kelompok tani, sedangkan sisanya
adalah anggota kelompok. Tanggungan keluarga rata-rata responden 3,48 jiwa.
Pekerjaan utama responden 36,67% adalah petani, dan sisanya adalah peternak,
tukang, kebun kopi/karet, tukang ojek dan pedagang yaitu sebanyak (63.33%).
Jarak domisili responden ke kios sarana produksi pertanian terdekat rata-rata 2,95
km.
Adopsi Varietas Padi Unggul
Varietas yang ditanam petani di Kecamatan Lebong Selatan cukup beragam
yaitu 6 varietas padi. Varietas Ciherang yang paling banyak digunakan yaitu 50 %,
sedangkan varietas Inpari 6 masih sangat sedikit digunakan yaitu 3,33 %. Daftar
varietas yang ditanam petani disajikan pada Tabel 1.
Varietas Ciherang dilepas tahun 2000, rasa nasi pulen dengan umur tanaman
116-125 hari sejak persemaian) dan potensi hasil (8,5 ton GKG/ha) dengan rata-
rata hasil 6,0 ton GKG/ha. Varietas ini dilepas karena lebih tahan Tahan wereng
coklat biotipe 2, dan agak tahan biotipe 3 dan ketahanan terhadap penyakit Tahan
terhadap penyakit hawar daun bakteri strain III dan IV (Suprihatno et al., 2010).
Sedangkan Varetas Unggul Baru (VUB) seperti varietas Inpari masih sangat sedikit
responden yang menggunakan hal ini sesuai dengan respon petani di Kecamatan
Lebong selatan terhadap VUB yang kurang baik.
Benih padi yang digunakan petani berasal dari 2 sektor yaitu sektor
perbenihan formal yang mensuplai benih bersertifikat/berlabel dan sektor
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
15
perbenihan informal. Penggunaan benih berlabel di Kecamatan Lebong Selatan
sudah cukup tinggi. Petani responden yang menggunakan benih berlabel mencapai
80%. Hal ini didukung karena adanya distribusi melalui program Bantuan Langsung
Benih Unggul (BLBU) (Distannak Kabupaten Lebong, 2010 dan 2011), varietas yang
didistribusikan yaitu Ciherang dan Cigeulis.
Tabel 1. Daftar varietas padi yang ditanam petani di Kecamatan Lebong Selatan.
No Varietas %
1 Mira 16,67
2 Cigeulis 20
3 Inpari 6 3,33
4 Silugonggo 6,67
5 Ciherang 50
6 Lokal 3,33
Total 100,00
Dari uraian di atas ternyata bahwa ketersediaan benih unggul di Kecamatan
Lebong Selatan sudah memadai meskipun ketersediaan benih yang ada belum
varietas unggul baru (VUB), sehingga berpengaruh terhadap tingginya penggunaan
benih yang bermutu dan berlabel.
Informasi benih unggul diperoleh petani dari berbagai sumber, yaitu dari
petani di sekitar lingkungan mereka, petugas dinas/penyuluh pertanian, kios sarana
produksi pertanian, dan penangkar padi. Umumnya petani mengetahui informasi
benih unggul dari petugas dinas/penyuluh pertanian. Menurut hasil survei sebagian
besar petani responden (73,33%) memperoleh informasi benih unggul dari petugas
dinas/penyuluh pertanian setempat. Selain itu informasi benih unggul diperoleh dari
petani sekitar (26,67%). Hal ini mengindikasikan bahwa penangkar dan kios
saprodi tidak memiliki peranan penting dalam penyebarluasan informasi benih
unggul padi.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
16
Pengaruh Bantuan Benih dari Pemerintah terhadap Minat Petani mengadopsi Varietas Unggul Padi
Minat adopsi petani terhadap varietas unggul padi dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor, diantaranya karena adanya program Pemerintah. Tabel 3
menunjukkan minat adopsi petani padi terhadap varietas unggul dengan adanya
bantuan benih melalui Program BLBU di Kecamatan Lebong Selatan, Kabupaten
Lebong.
Tabel 3. Minat petani mengadopsi varietas unggul padi.
Minat adopsi Ada bantuan Tidak ada bantuan Total
Minat Mengadopsi 19 10 29
Tidak mengadopsi 2 3 5
Jumlah 21 13 34
Alasan-alasan Petani memilih Varietas Padi
Alasan-alasan petani responden memilih varietas padi yang ditanam
beragam. Setiap responden memilih lebih dari satu alasan dalam penentuan
varietas padi yang akan ditanam. Tabel 4 menunjukkan bahwa alasan utama petani
memilih varietas yang akan ditanam adalah produktivitas tinggi (93,55%).
Kenyataan ini menunjukkan bahwa petani di Kecamatan Lebong Selatan menanam
padi terutama bertujuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga
produktivitas tinggi menjadi pertimbangan utama.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
17
Tabel 4. Alasan responden memilih varietas padi.
No Alasan responden memilih varietas Persentase responden
(%)
1 Rasa nasi disukai petani 80,65
2 Rasa nasi disukai konsumen 61,29
3 Produktivitas tinggi 93,55
4 Harga jual tinggi, umur genjah, benih mudah diperoleh
48,39
5 Daun bendera tegak 35,48
6 Tahan rebah, tahan HPT 58,07
7 Bulir malai panjang, wangi 41,94
8 Tahan kekeringan 25,81
9 Anakan banyak, gabah bernas, Mutu gabah baik
75,27
Alasan lain petani memilih suatu varietas unggul adalah rasa nasi disukai
petani (80,65%). Alasan-alasan lainnya yaitu anakan banyak, gabah bernas, mutu
gabah baik (75,27%). Dari beberapa alasan ini terlihat bahwa petani padi di
Kecamatan Lebong Selatan Kabupaten Lebong menanam padi bukan hanya untuk
pemenuhan kebutuhan pangan keluarga, namun juga sudah berorientasi agribisnis.
Fakta ini didukung oleh penggunaan varietas unggul berlabel yang sudah cukup
tinggi (80%). Selain itu dengan melihat kepemilikan lahan sawah rata-rata petani
yaitu 0,92 ha, petani pemilik sekaligus penggarap lahan 80% dan jumlah
tanggungan rata-rata keluarga petani 3,48 jiwa, maka diperkirakan hasil panen
yang diperoleh akan melebihi kebutuhan pangan keluarga.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
18
KESIMPULAN
Tingkat adopsi petani padi di Kecamatan Lebong Selatan, Kabupaten Lebong
terhadap varietas unggul padi berlabel mencapai 80 % yang dipengaruhi oleh
pengalaman usahatani padi, luas lahan, dan persepsi petani terhadap
varietas unggul. Sedangkan alasan petani mengadopsi varietas unggul adalah
produktivitas tinggi (93,55%), rasa nasi disukai petani (80,65%), anakan banyak,
gabah bernas, mutu gabah baik (75,27%). Sedangkan yang berminat mengadopsi
varietas unggul tidak dipengaruhi oleh adanya bantuan benih unggul dari
pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
BPS Kabupaten Lebong. 2010. Kabupaten Lebong Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lebong.
BPS Provinsi Bengkulu. 2010. Bengkulu Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu.
Daradjat, A.A., Agus S., A.K. Makarim, A. Hasanuddin. 2008. Padi – Inovasi Teknologi Produksi. Buku 2. LIPI Press. Jakarta.
Distan Kabupaten Lebong. Laporan Distribusi Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) Kabupaten Bengkulu Utara. Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bengkulu Utara. Tidak dipublikasikan.
Ishak, A., Afrizon, Z. Efendi, Yartiwi, dan Yahumri. 2011. Laporan Hasil Survei Perbenihan kegiatan Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS). BPTP Bengkulu. Tidak dipublikasikan.
Nugraha, U.S, Sri Wahyuni, M.Y. Samaullah, dan A. Ruskandar. 2007. Perbenihan di Indonesia. Prosiding Hasil Penelitian Padi Tahun 2007. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Subang – Jawa Barat.
Sri Wahyuni. 2011. Teknik Produksi Benih Sumber Padi. Makalah disampaikan dalam Workshop Evaluasi Kegiatan Pendampingan SL-PTT 2001 dan Koordinasi UPBS 2012 tanggal 28-29 November 2011. Balai Besar Penelitian Padi. Tidak dipublikasikan.
Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Baehaki SE, Suprihanto, A. Setyono, S.D. Indrasari, IP Wardana, dan H. Sembiring. 2011. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Subang – Jawa Barat.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
19
KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN KOMPONEN HASIL TIGA
VARIETAS UNGGUL PADI GOGO DI RUMAH KACA Yartiwi, Yahumri dan Andi Ishak
ABSTRAK
Rata-rata produktivitas padi gogo di Bengkulu masih rendah dibandingkan rata-rata hasil varietas unggul baru padi gogo yang telah dilepas oleh Kementerian Pertanian yang mencapai 4 ton/ha seperti Inpago 4 (4,15 ton/ha), Inpago 5 (4,04 ton/ha) dan Inpago 6 (3,9 ton/ha). Oleh karena itu peluang peningkatan produktivitas padi gogo di Bengkulu dapat ditingkatkan dengan penggunaan varietas unggul baru. Pengujian adaptasi varietas unggul baru bertujuan untuk membandingkan keragaan pertumbuhan dan komponen hasil, serta menunjukan keragaan VUB kepada pengunjung di BPTP. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca BPTP Bengkulu pada bulan Desember 2011 sampai bulan April 2012, menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan tiga varietas unggul baru padi gogo (Inpago 4, 5 dan 6) yang diulang sebanyak 7 kali. Data dianalisis menggunakan Analisis Sidik Ragam (Anova) dan diuji lanjut dengan DMRT untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Keragaan pertumbuhan dan komponen hasil dianalisis secara deskriptif dengan membandingkan hasil penelitian dengan deskripsi varietas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, tiga varietas inpago tidak berbeda nyata pada parameter tinggi tanaman. Sedangkan parameter jumlah anakan terdapat perbedaan antar perlakuan inpago 4, 5 dan 6 yaitu rata-rata 12,86, 17,14 dan 10,57. Untuk komponen hasil yang mendekati dengan deskripsi yaitu perlakuan inpago 6 dilihat dari jumlah gabah bernas, berat 1000 butir dan hasil/pot juga merupakan hasil tertinggi diantara ketiga perlakuan yaitu 31.53 gr/pot dibandingkan perlakuan inpago 4 dan 5 yaitu 21,38 gr/pot dan 12,45 gr/pot.
Kata kunci : pertumbuhan, komponen hasil, varietas unggul baru, padi gogo
PENDAHULUAN
Kebutuhan beras akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah
penduduk, peningkatan konsumsi perkapita dan peningkatan pendapatan. Upaya
peningkatan produksi beras saat ini mengalami banyak kendala seperti terjadinya
alih fungsi lahan, ketidakpastian iklim dan penurunan kualitas sumberdaya lahan.
Badan Pusat Statistik (2011) mencatat bahwa produksi nasional pada tahun 2011
sebanyak 65.740.046 ton gabah kering giling (GKG) menurun 724.448 ton atau 1,1
% dari tahun sebelumnya sebesar 66.469.394 ton. Demikian juga rata-rata
produktivitasnya menurun dari 5,015 ton pada tahun 2010 menjadi 4,98 ton pada
tahun 2011.
Rata-rata produktivitas padi sawah di Bengkulu juga menurun dibandingkan
tahun 2010 sebesar 0,07 ton dari 4,036 ton menjadi 3,966 ton GKG/ha. Di sisi lain
padi inpago meningkat sebesar 0,026 ton/ha dari 2,125 to/ha menjadi 2,151 to/ha.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
20
Sumbangan dari produksi padi gogo terhadap produksi padi total di Bengkulu pada
tahun 2011 sebesar 5,89 %. Potensi produksi padi gogo di Bengkulu cukup besar,
bila ditinjau dari aspek agroekologi Bengkulu yang didominasi oleh lahan kering
(BPS Propinsi Bengkulu, 2011). Rata-rata produktivitas padi gogo di Bengkulu
diatas masih rendah dibandingkan rata-rata hasil varietas unggul baru padi gogo
yang telah dilepas oleh Kementerian Pertanian yang mencapai 4 ton/ha seperti
inpago 4 sebesar 4,15 ton/ha, inpago 5 (4,04 ton/ha) dan inpago 6 (3,9 ton/ha)
(Suprihatno, dkk., 2011). Oleh karena itu peluang peningkatan produktivitas padi
gogo di Bengkulu dapat ditingkatkan dengan penggunaan varietas unggul baru.
Disadari bahwa adopsi varietas unggul baru padi gogo di tingkat petani
tidaklah mudah dan diperlukan informasi tentang kesesuaian varietas dengan
kondisi spesifik lokasi. Sebelum uji adaptasi di lapangan, sebaiknya telah dilakukan
pegujian di tingkat laboratorium atau rumah kaca, sehingga dalam proses
diseminasi yang lebih luas , varietas yang dipilih telah diyakini akan beradaptasi
dengan baik di lapangan.
BPTP Bengkulu yang memiliki mandat mendiseminasikan inovasi teknologi
khususnya berasal dari Badan Litbang Pertanian perlu memiliki informasi tentang
keragaan pertumbuhan dan hasil VUB padi gogo di lapangan. Untuk itu telah
dilakukan pengujian adaptasi 3 varietas unggul bari padi gogo yaitu inpago 4, 5 dan
6 di rumah kaca BPTP Bengkulu yang bertujuan untuk membandingkan keragaan
pertumbuhan dan komponen hasil ketiga varietas tersebut.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Rumah Kaca BPTP Bengkulu pada bulan Desember
2011 sampai dengan April 2012. Penanaman dilakukan dengan menggunakan 21
buah pot plastik yang dirancang dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Sebagai
perlakuan adalah varietas unggul baru padi gogo yaitu inpago 4, inpago 5 dan
inpago 6 yang masing-masing diulang sebanyak 7 kali. Dosis pupuk yang
digunakan pada seluruh perlakuan sama yaitu sesuai dengan hasil analisis tanah.
Media tanam (tanah) yang disiapkan adalah jenis tanah Podsolik Merah Kuning
(PMK) dengan bobot tanah per pot setara dengan 10 kg kering angin.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
21
Data yang dikumpulkan meliputi keragaan pertumbuhan yaitu tinggi tanaman
dan jumlah anakan, serta komponen hasil berupa jumlah gabah bernas, jumlah
gabah hampa, panjang malai, berat 1000 butir dan hasil per pot. Keragaan
pertumbuhan diukur setiap minggu sampai dengan tanaman berumur 8 minggu
setelah tanam dan pada saat panen, sedangkan komponen hasil diamati saat
panen.
Data di analisis menggunakan Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan di uji lanjut
dengan DMRT untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Keragaan
pertumbuhan dan komponen hasil dianalisis secara deskriptif dengan
membandingkan hasil penelitian dengan deskripsi varietas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Vegetatif
Pada Tabel 1 hasil pengukuran untuk tinggi tanaman menunjukkan bahwa
minggu ke-1, 2, 4, 6, 7 dan minggu ke-8 tinggi tanaman tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata antar varietas, tetapi pada minggu ke-3 dan minggu ke-5
varietas inpago 4 menunjukan berbeda nyata dengan varietas inpago 5 dan 6.
Adapun varietas yang paling tinggi dari ketiga varietas tersebut adalah Inpago 5
yaitu 111.86 cm sedangkan yang paling rendah varietas Inpago 6 yaitu 111.29 cm.
Tabel 1. Hasil pengukuran tinggi tanaman (cm) mulai 1 MST hingga 8 MST masing-masing varietas yaitu Inpago 4, 5 dan 6.
Pengamatan Minggu Ke Perlakuan (varietas)
1 2 3 4 5 6 7 8
Inpago 4 18.34 a 32.50 a 43.64 a 59.23 a 71.57 a 90.00 a 106.29 a 117.43 a
Inpago 5 16.73 a 31.21 a 39.57 b 57.60 a 61.00 b 77.29 a 99.29 a 111.86 a
Inpago 6 17.81 a 30.33 a 39.21 b 50.51 a 62.00 b 82.00 ab 98.29 a 111.29 a
Angka-angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji DMRT.
Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah anakan pada minggu ke-3, 4, 5, 6 dan 7
terdapat perbedaan yang nyata pada varietas Inpago 6 dengan Inpago 5,
sedangkan pada varietas inpago 5 jumlah anakan tidak menunjukkan perbedaan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
22
yang nyata. Dari ketiga varietas tersebut jumlah anakan yang tertinggi adalah
varietas Inpago 5 yaitu rata-rata 18 anakan sedangkan yang terendah adalah
varetas Inpago 4 yaitu rata-rata anakan 15.57 anakan.
Tabel 2. Hasil penghitungan jumlah anakan mulai 1 MST hingga 8 MST masing-masing varietas yaitu Inpago 4, 5 dan 6.
Pengamatan Minggu Ke Perlakuan (Varietas)
1 2 3 4 5 6 7 8
Inpago 4 2.43 ab 3.57 a 5.57 ab 8.00 ab 8.00 ab 10.86 ab 15.29 ab 15.57 a
Inpago 5 3.14 a 4.57 a 6.43 a 9.71 a 9.71 a 13.29 a 16.71 a 18.00 a
Inpago 6 2.00 a 3.43 a 4.71 b 6.29 b 6.29 b 8.29 b 11.14 b 16.00 a
Pertumbuhan Generatif
Pada parameter pertumbuhan generatif diamati tinggi tanaman terakhir dan
jumlah anakan yang produktif tiap-tiap varietas. Tabel 3 menunjukkan bahwa
tinggi tanaman dari ketiga varietas yaitu inpago 4, 5 dan 6 tidak menunjukkan
berbeda nyata dimana varietas inpago 4 mempunyai rata-rata tinggi-tinggi
tanaman 131.29 cm sedangkan yang paling rendah adalah varietas inpago 5
dengan rata-rata tinggi tanaman 131 cm. Sedangkan jumlah anakan produktif
berbeda nyata pada perlakuan inpago 5 dengan jumlah anakan terbanyak 17.14
batang/rumpun dibandingkan dengan perlakuan inpago 4 dan 6 (masing-masing
12.86 dan 10.57 batang/rumpun).
Tabel 3. Hasil pengukuran tinggi tanaman (cm) dan jumlah anakan produktif varietas inpago 4, 5 dan 6 di maksimum pertumbuhan.
Perlakuan Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Anakan (batang/rumpun)
Inpago 4 131.29 a 12.86 b
Inpago 5 131.00 a 17.14 a
Inpago 6 137.14 a 10.57 b
Angka-angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji DMRT.
Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa keragaan pertumbuhan tanaman yang
dihasilkan mempunyai selisih dengan yang ada di deskripsi varietas antar
perlakuan. Selisih hasil penelitian dengan deskripsi tersebut ada yang lebih tinggi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
23
dan ada yang lebih rendah. Perlakuan inpago 4 keragaan tanaman untuk tinggi
tanaman dan jumlah anakan hasil penelitian lebih rendah dari deskripsi, inpago 5
tinggi tanaman lebih rendah tetapi untuk jumlah anakan hasil penelitian lebih tinggi
dari yang dideskripsi dan perlakuan inpago 6 tinggi tanaman yang lebih tinggi
sedangkan jumlah anakan lebih rendah dari yang di deskripsi.
Tabel 4. Keragaan pertumbuhan tanaman dan komponen hasil penelitian dibandingkan dengan deskripsi varietas antar perlakuan.
Keragaan Pertumbuhan
Tinggi Tanaman (cm) Jumlah anakan produktif Varietas Hasil Penelitian
(cm) Deskripsi
(cm) Selisih (cm)
Hasil Penelitian Deskripsi Selisih
Inpago 4 131.29 134 -2.71 12.86 11 1.86
Inpago 5 131.00 132 -1 17.14 14 3.14
Inpago 6 137.14 117 20.14 10.57 11 -0.43
Untuk tinggi tanaman dari ketiga varietas tersebut hanya varietas inpago 6
yang lebih tinggi dari yang di deskripsi padi yang dirilis Balai Besar Padi, sedangkan
jumlah anakan produktif diatas deskripsi padi semua. Berdasarkan deskripsi padi,
varietas inpago 4 tinggi tanaman + 134 cm dengan jumlah anakan + 11 batang,
inpago 5 + 132 cm jumlah anakan + 14 batang dan inpago 6 + 117 cm dan jumlah
anakan + 11 batang (Suprihatno, dkk., 2011). Rendahnya batang tanaman ini
diperkirakan dipengaruhi oleh kemampuan adaptasi varietas yang berbeda.
Untuk komponen hasil dari semua parameter yang diamati semua
menunjukkan perbedaan yang nyata kecuali pada berat 1000 butir. Setelah di uji
secara statistik, berat 1000 butir yang tertinggi adalah varietas inpago 5 yaitu 26.31
gr. Sedangkan varietas inpago 4 dan 6 sudah mendekati yang dideskripsi yaitu 23
gr dan 23.29 gr (92 % dan 93.16 %) dapat dilihat pada Tabel 5.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
24
Tabel 5. Data komponen hasil panjang malai (cm), gabah hampa (butir), gabah isi (butir), berat 1000 butir (gr), hasil/pot (gr) ketiga varietas inpago 4, 5 dan 6.
Perlakuan Panjang Malai (cm)
Gabah Hampa (Butir)
Gabah Isi (Butir)
Berat 1000 Butir (gr)
Hasil/Pot (gr)
Inpago 4 24.12 b 46.51 a 82.75 b 23.00a 21.38 b
Inpago 5 22.00 c 52.98 a 45.46 c 26.31a 12.45 c
Inpago 6 27.30 a 22.02 b 142.21 a 23.29a 31.53 a
Angka-angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji DMRT.
Hasil per pot pada tiap perlakuan menunjukkan perbedaan yaitu inpago 6
memperoleh hasil tertinggi yaitu 31.53 gr/pot sedangkan inpago 4 dan 5 yaitu
21.38 gr/pot dan 12.45 gr/pot. Rendahnya hasil ini diduga karena pada perlakuan
inpago 4 dan 5 terjadi serangan hama semut dan burung yang menyebabkan
gabah banyak menjadi hampa, hal ini dapat dilihat dimana gabah hampa antar
perlakuan inpago 4 dan 5 berbeda nyata dengan inpago 6.
KESIMPULAN
Varietas inpago 4 dan 5 mampu meningkatkan jumlah anakan 1,86 dan 3,14
batang/rumpun, sedangkan varietas inpago 6 mampu meningkatkan tinggi
tanaman mencapai 20,14 cm. Pada komponen hasil yang mendekati deskripsi yaitu
perlakuan inpago 6 dilihat dari jumlah gabah bernas, berat 1000 butir dan hasil/pot
juga merupakan hasil tertinggi diantara ketiga perlakuan yaitu 31.53 gr/pot
dibandingkan perlakuan inpago 4 dan 5 yaitu 21,38 gr/pot dan 12,45 gr/pot.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Ir. Eddy Makruf yang telah
membantu dan memberikan fasilitas penelitian, serta memberikan kritik dan saran
yang bermanfaat bagi penulis selama dalam pelaksanaan penelitian di rumah kaca.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
25
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2011. Tabel Luas Panen, Produktivitas, Produksi Tanaman Padi Seluruh Propinsi (http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?adodb_next_page=2&eng=0&pgn=1&prov=99&thn1=2010&thn2=2011&luas=1&produktivitas=1&produksi=1. Di unduh 7 juni 2012, 8:45).
BPS Propinsi Bengkulu. 2011. Berita Resmi Statistik Nomor 43/11/17/th.V, 1 November 2011. BPS. 2011.
Nurbaeti, B dan Agus, N., 2009. Petunjuk Teknis Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) Padi Gogo. BPTP Jawa Barat. Badan Litang Pertanian. Departemen Pertanian.
Suprihatno, B., Aan A. Daradjat, Satato, Erwin Lubis, Baehaki, SE., S. Dewi Indrasari, I Putu Wardana dan M.J. Mejaya. 2011. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. 118 hal.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
26
TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI KOMPONEN PTT DI KECAMATAN CURUP SELATAN KABUPATEN REJANG LEBONG
Siti Rosmanah dan Sri Suryani M. Rambe
ABSTRAK
Melalui metode penyuluhan yang dilakukan selama ini pada sentra-sentra padi di Kabupaten Rejang Lebong, khususnya di Kecamatan Curup Selatan, produktivitas padi sawah baru mencapai 3-4 ton/ha. Untuk itu perlu dilakukan kajian untuk mengetahui tingkat penerapan komponen teknologi guna meningkatkan produktivitas padi. Pengkajian melalui survei dilakukan terhadap responden sebanyak 25 orang yang tersebar di 5 desa sentra penghasil padi di Kecamatan Curup Selatan dengan menggunakan alat bantu berupa kuesioner. Dari hasil survei diperoleh tingkat penerapan komponen teknologi padi untuk kecamatan Curup Selatan. Komponen PTT yang diterapkan petani di Kecamatan Curup Selatan Kabupaten Rejang Lebong terdiri pengolahan tanah (68%), penggunaan VUB (56%), penggunaan benih berlabel (60%), penanaman bibit muda (20%), jumlah bibit 1-3 batang/rumpun (36%), sistem tanam legowo belum sesuai anjuran (legowo 8:1 dan 10:1), penggunaan kompos (8%), pemupukan spesifik lokasi belum dilakukan, pengendalian OPT (60%) dan waktu panen yang tepat (80%). Untuk meningkatkan penerapan teknologi padi, diperlukan metode penyuluhan yang lebih disukai petani yaitu demonstrasi plot/area PTT padi sawah.
Kata kunci: PTT padi sawah, komponen teknologi, tingkat penerapan teknologi
PENDAHULUAN
Program peningkatan produksi beras atau yang disingkat P2BN merupakan
program yang bertujuan untuk meningkatkan produksi beras sebesar 5%.
Peningkatan ini bisa ditempuh dengan berbagai cara, salah satunya adalah melalui
intensifikasi. Intensifikasi ditempuh melalui penerapan PTT (penggelolaan tanaman
terpadu) dengan komponen penggunaan VUB, benih berlabel, dan umur bibit muda
(Anonimous, 2007). Program P2BN ini telah dimulai pada tahun 2007 dan berhasil
meningkatkan beras sebesar 4,76% atau setara 2,59 juta ton beras yang
sebelumnya hanya tumbuh kurang dari 1%.
Secara garis besar, komponen PTT dibadi menjadi dua yaitu komponen PTT
dasar dan komponen PTT pilihan. Komponen PTT dasar merupakan teknologi yang
sangat dianjurkan untuk diterapkan di semua lokasi sawah. Komponen dasar ini
terdiri dari beberapa komponen yaitu penggunaan varietas unggul baru (VUB),
penggunaan benih bermutu dan berlabel, pemberian bahan organik melalui
pengembalian jerami, pengaturan populasi tanaman secara optimum, pemupukan
berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah dan pengendalian OPT.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
27
Sedangkan komponen PTT pilihan merupakan teknologi yang disesuaikan dengan
kondisi, kemauan dan kemampuan petani setempat. Penggunaan VUB, benih
bermutu, tanaman bibit muda (15-20 hari), jumlah bibit 1-3 bibit, pemupukan
berdasarkan bagan warna daun, dan pemupukan P dan K berdasarkan status hara
tanah (mengikuti rekomendasi pemupukan) dilaporkan dapat meningkatkan
produktivitas padi sawah hingga 15% (Kamandalu et al, 2011). Sedangkan
menurut Hastini et al, 2011 penerapan PTT padi sawah di Desa Wanasari
Kecamatan Wanayasa Kabupaten Purwakarta mampu meningkatkan produktivitas
sebesar 54,02% selama beberapa musim tanam. Selain itu penerapan PTT padi
sawah juga memberikan efisiensi penggunaan pupuk Urea sebanyak 10%, SP-36
dan KCl masing-masing 33,33% dan pestisida sebesar 75%.
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penerapan komponen PTT
yang telah dilaksanakan oleh petani pada sentra tanaman padi di Kecamatan Curup
Selatan.
METODE PENGKAJIAN
Pengkajian dilakukan di Kecamatan Curup Selatan Kabupaten Rejang Lebong
pada bulan Agustus-November 2011. Pengkajian melalui survei terhadap responden
sebanyak 25 orang yang tersebar di 5 desa sentra penghasil padi di Kecamatan
Curup Selatan dengan menggunakan alat bantu berupa kuesioner. Pemilihan lokasi
dilakukan secara purposive dengan pemilihan petani yang dilakukan secara acak.
Desa-desa lokasi survei adalah Air Putih Baru, Rimbo Recap, Lubuk Ubar,
Sukamarga, dan Watas Marga. Data yang dikumpulkan meliputi profil Kecamatan
Curup Selatan dan teknologi PTT yang diterapkan oleh petani. Selanjutnya data
tersebut ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kecamatan Curup Selatan merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten
Rejang Lebong yang memiliki potensi lahan untuk tanaman pangan seluas 2.954 ha
dan tanaman palawija 1.968 ha. Luas lahan sawah di Kecamatan Curup Selatan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
28
seluas 835,5 ha. Topografi bervariasi dari dataran, bergelombang dan berbukit
dengan kemiringan antara 1-60%. Kecamatan Curup Selatan berada pada
ketinggian 550-900 m dpl. Jenis tanah rata-rata andosol dan latosol dengan pH 5,5-
7. Jumlah bulan basah rata-rata 5-9 bulan/tahun dengan jumlah bulan kering 3-5
bulan/tahun. curah hujan rata-rata 2.140 mm/tahun dengan suhu berkisar antara
24-320C, kelembaban 40-80% dan intensitas penyinaran 5-8 jam/hari (BPP Lubuk
Ubar, 2011).
1. Tingkat Penerapan Komponen PTT Dasar
a). Penggunaan VUB
Komponen PTT dasar adalah teknologi yang dianjurkan untuk diterapkan di
semua lokasi padi sawah. Penggunaan varietas unggul baru (VUB) merupakan
salah satu komponen PTT dasar. Penggunaan VUB merupakan salah satu
pemecahan masalah produksi padi di Provinsi Bengkulu. Untuk itu Badan Litbang
Pertanian berusaha menghasilkan VUB berbasis agroekosistem dan spesifik lokasi,
seperti varietas toleran terhadap kekeringan, naungan, suhu rendah, tahan wereng
coklat, blas, tungro dan hama penyakit utama lainnya (Kustiyanto, 2001).
Berdasarkan hasil survei, penggunaan benih VUB sudah banyak dilakukan
oleh petani di Kecamatan Curup Selatan. Benih yang banyak digunakan adalah
varietas Cigeulis yang digunakan oleh sebanyak 56%, 24% menggunakan benih
varietas IR-64, 8% menggunakan benih varietas Ciherang dan sisanya sebanyak
16% menggunakan varietas lain. Varietas lain yang juga ditanam oleh petani
adalah varietas padi lokal. Data penggunaan VUB dan benih berlabel di Kecamatan
Curup Selatan dapat dilihat pada Tabel 1.
Jenis VUB yang baru dilepas seperti varietas Inpari belum banyak digunakan
oleh petani pada sentra tanaman padi di Kecamatan Curup Selatan. ketersediaan
benih yang belum ada di kios-kios tani sehingga petani kesulitan untuk
mendapatkan benih tersebut. Selain itu kesukaan petani terhadap jenis padi IR-64
juga menjadi salah satu alasan penggunaan VUB belum banyak digunakan oleh
petani.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
29
Terbatasnya ketersediaan benih sumber, kurangnya produsen atau
penangkar benih lokal, tingginya resiko dan minimalnya keuntungan usaha
perbenihan serta kecenderungan petani untuk menggunakan benih yang dihasilkan
sendiri merupakan salah satu kendala pada usahatani padi sawah (Wahyuni, 2005).
b). Penggunaan Benih berlabel
Secara umum, penggunaan benih berlabel merupakan benih yang telah
mendapat sertifikasi dari instansi yang bersangkutan. Benih berlabel biasanya
mempunyai tingkat kemurnian dan daya tumbuh yang tinggi. Penggunaan benih
berlabel telah banyak digunakan oleh petani di Kecamatan Curup Selatan.
Sebanyak 60% telah menggunakan benih berlabel, sedangkan sisanya sebanyak
40% menggunakan benih tanpa label. Data penggunaan VUB dan benih berlabel di
Kecamatan Curup Selatan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Penggunaan VUB dan benih berlabel di Kecamatan Curup Selatan.
Penggunaan VUB Benih berlabel
Varietas Persentase (%) Penggunaan label Persentase (%)
Cigeulis 56 Label 60
IR-64 24 Tanpa label 40
Ciherang 8
Varietas Lain 12
Berdasarkan asalnya, asal benih berlabel yang digunakan oleh petani rata-
rata berasal dari kios tani. Sebanyak 44% telah memperoleh benih berlabel melalui
pembelian di kios tani dan sebanyak 16% memperoleh benih dari balai benih induk
atau BBI. Selain itu sisanya masih menggunakan benih turunan yang dihasilkan
oleh petani. Sebanyak 36% petani menggunakan benih yang berasal dari sesama
petani dan 4% petani memperoleh benih yang berasal dari lainnya. Penggunaan
benih yang dihasilkan dari hasil panen sendiri merupakan penggunaan benih yang
selama ini masih banyak digunakan oleh petani di Kecamatan Curup Selatan. Benih
yang diturunkan biasanya berasal dari benih terdahulu dengan produktivitas tinggi.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
30
Kendala yang dihadapi oleh petani untuk menggunakan benih berlabel adalah
harga benih berlabel yang lebih mahal jika dibandingkan dengan benih yang
diperoleh dari panen sendiri.
Terbatasnya ketersediaan benih sumber, kurang produsen atau penangkar
benih lokal, tingginya resiko dan minimalnya keuntungan usaha perbenihan serta
kecenderungan petani untuk menggunakan benih yang dihasilkan sendiri
merupakan salah satu kendala pada usahatani padi sawah. Selain kendala yang
dihadapi oleh petani di dalam melakukan usahatani padi sawah, permasalahan
yang dihadapi oleh produsen benih adalah menjaga kesinambungan produksi benih
(Anonymous, 2009). Menurut Wahyuni (2005), rendahnya efisiensi industri
produksi perbenihan disebabkan oleh rendahnya produksi benih, tingginya
persentase ketidak lulusan benih dalam uji di laboratorium yang disebabkan oleh
pengendalian mutu yang tidak efektif, dan pembatalan oleh penangkar karena
harga jual benih yang tidak menarik. Sedangkan di tingkat petani, rendahnya minat
petani untuk menggunakan benih bersertifikat karena benih yang dihasilkan dari
panen sendiri telah tersedia. Sehingga petani lebih memilih menggunakan benih
yang dihasilkan sendiri daripada menggunakan benih yang bersertifikat.
c). Pemberian bahan organik melalui pengembalian jerami
Pemberian bahan organik melalui pengembalian jerami merupakan kegiatan
yang bertujuan untuk memelihara kesuburan tanah. Selain berperan untuk
memperbaiki kesuburan kimia, pemberian bahan organik juga bertujuan untuk
meningkatkan kesuburan fisik dan biologi tanah. Pengembalian jerami belum
banyak dilakukan oleh petani di Kecamatan Curup Selatan. Hal ini karena masih
banyak petani yang membakar jerami dan membuang jerami.
Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan, sebanyak 60% petani
membakar jerami, 16% petani membuang jerami keluar lahan, 16%
memberikannya untuk ternak dan 8% menggunakan jerami sebagai kompos. Data
pengolahan jerami yang dilakukan petani di Kecamatan Curup Selatan dapat dilihat
pada Tabel 2.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
31
Tabel 3. Pengolahan jerami yang dilakukan oleh petani di Kecamatan Curup Selatan.
Pengolahan jerami Frekuensi Persentase (%)
Dikomposkan 2 8
Dibuang 4 16
Dibakar 15 60
Untuk pakan ternak 4 16
Jumlah 25 100
Walaupun pengembalian jerami ke lahan belum banyak dilakukan oleh petani
di Kecamatan Curup Selatan, penggunaan bahan organik telah banyak dilakukan.
Bahan organik yang digunakan adalah bahan organik yang berasal dari kotoran
sapi, kambing maupun ayam. Selain itu penggunaan pupuk organik yang berasal
dari pabrik juga telah banyak digunakan. Penggunaan bahan organik oleh petani di
Kecamatan Curup Selatan berkisar antara kurang dari 1 -2 ton/ha. Dosis rata-rata
penggunaan pupuk organik yang digunakan oleh petani di Kecamatan Curup
Selatan adalah < 1 ton/ha sebanyak 76%, 8% menggunakan dosis yang berkisar
antara 1-2 ton/ha, sedangkan sisanya sebanyak 16% tanpa menggunakan pupuk
organik.
Berdasarkan hasil penelitian Mukhlis (2010), pemberian pupuk bio kompos
yang berasal dari gulma insitu sebanyak 2 t/ha, pupuk anorganik (110 kg/m2, 55
kg/m P2O5, 55 kg/m K2O dan 500 kg/m kapur) mampu meningkatkan
produktivitas lahan rawa lebak. Sehingga pengembalian jerami ke lahan akan
meningkatkan dan memperbaiki tingkat kesuburan tanah. Menurut Abbas (1992),
pupuk organik dapat meningkatkan ketersediaan fosfor di dalam. Dengan
meningkatnya ketersediaan fosfor di dalam tanah maka akan memperbaiki
pertumbuhan akar sehingga akar akan lebih banyak lagi menyerap unsur hara.
Faktor yang menyebabkan pengembalian jerami masih belum banyak
dilakukan oleh petani di Kecamatan Curup Selatan adalah karena terlalu rumit
untuk mengolah jerami menjadi kompos. Sehingga untuk memudahkan pengolahan
lahan maka jerami langsung dibakar setelah panen selesai. Selain itu pemberian
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
32
pakan sapi dengan menggunakan jerami juga menjadi salah satu banyaknya jerami
terangkut keluar dari lahan. Akibatnya produktivitas padi terus menerus menurun.
d). Pengaturan populasi tanaman (sistem legowo)
Pengaturan populasi tanaman atau yang lebih dikenal dengan sistem legowo
belum banyak dilakukan oleh petani di Kecamatan Curup Selatan. Sebanyak 28%
telah melakukan penanaman secara legowo, sebanyak 20% menggunakan sistem
tanam tegel dan sisanya sebanyak 32% menggunakan jarak tanam tanpa aturan.
Sistem tanam yang digunakan oleh petani di Kecamatan Curup Selatan dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Sistem tanam yang digunakan oleh petani di Kecamatan Curup Selatan.
Sistem tanam Frekuensi Persentase (%)
Tegel 5 20
Legowo petani 12 48
Tanpa aturan 8 32
Jumlah 100
Walaupun jumlah petani yang menggunakan sistem tanam legowo banyak,
akan tetapi legowo yang digunakan belum sesuai dengan anjuran. Legowo yang
digunakan masih merupakan legowo cara petani yaitu legowo 8:1 atau 10:1.
Penggunaan legowo 2:1 ataupun 4:1 belum banyak dilakukan oleh petani dengan
alasan rumit sehingga membutuhkan biaya tambahan. Selain itu, sistem tanam
tegel juga masih dilakukan oleh petani yaitu sebanyak 20% sedangkan sisanya
sebanyak 28% masih menggunakan sistem tanam tanpa aturan.
Jarak tanam yang digunakan oleh petani juga berbeda-beda, jarak tanam
yang banyak digunakan oleh petani adalah tanpa aturan. Sebanyak 52%
menggunakan jarak tanam tanpa aturan sedangkan sisanya sebanyak 16%
menggunakan jarak tanam 20 x 20 cm, 8% menggunakan jarak tanam 22,5 x 22,5
cm dan sisanya sebanyak 24% menggunakan jarak tanam 20 x 25 cm.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
33
e). Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah
Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah belum
dilakukan oleh petani secara maksimal. Jenis pupuk yang digunakan terdiri dari
Urea, SP-36, NPK dan KCL. Dosis pemupukan yang digunakan belum sesuai dengan
anjuran. Rata-rata dosis pupuk Urea yang digunakan berkisar antara 50-100 kg/ha
yang digunakan oleh petani sebanyak 40%. Sedangkan sisanya sebanyak 28%
menggunakan dosis yang berkisar antara 101-150 kg/ha, 24% menggunakan dosis
yang berkisar antara 151-200 kg/ha dan 8% menggunakan dosis 251-300 kg/ha.
Dosis pupuk kimia yang digunakan oleh petani di Kecamatan Curup Selatan sapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Dosis pupuk kimia yang digunakan oleh petani di Kecamatan Curup Selatan.
Persentase masing-masing pupuk Dosis (kg/ha) Urea SP-36 KCl NPK
50-100 40 32 44 24
101-150 28 0 0 0
151-200 24 0 0 0
201-250 8 0 16 0
251-300 0 0 0 0
Tidak menggunakan 0 68 40 76
Penggunaan pupuk SP-36 juga masih belum banyak digunakan oleh petani.
Hanya 32% yang menggunakan sedangkan sisanya sebanyak 68% belum
menggunakan pupuk SP-36. Dosis penggunaan pupuk SP-36 yang digunakan oleh
petani di Kecamatan Curup Selatan berkisar antara 50-250 kg/ha.
Pemupukan dengan menggunakan KCl juga masih belum banyak dilakukan
oleh petani. Pemupukan dengan menggunakan pupuk KCl hanya dilakukan oleh
petani sebanyak 24%. Dengan dosis yang berkisar antara 25-75 kg/ha. Sedangkan
pupuk lain yang juga digunakan adalah pupuk NPK. Sebanyak 64% telah
menggunakan pupuk NPK. Dosis pupuk NPK yang digunakan berkisar antara 50-
250 kg/ha.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
34
Rekomendasi pemupukan spesifik lokasi yang ada baru pada tingkat
kecamatan sehingga merupakan salah satu penyebab bervariasinya dosis
pemupukan yang dilakukan oleh petani di Kecamatan Curup Selatan. PUTS sudah
disosialisasikan tetapi tidak tersedia alatnya sehingga petani belum dapat
melakukan pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah.
Kelangkaan pupuk di pasaran juga menjadi kendala yang dihadapi oleh seluruh
petani tidak hanya di Kecamatan Curup Selatan, akan tetapi wilayah-wilayah sentra
tanaman padi lainnya. Selain itu harga pupuk yang mahal juga menjadi kendala
pemupukan belum bisa dilaksanakan spesifik lokasi. Rekomendasi pupuk spesifik
lokasi diperlukan untuk mendukung peningkatan produksi dan produktivitas padi
terutama di wilayah Kecamatan Curup Selatan.
f). Pengendalian OPT dengan pendekatan PHT
Sebanyak 60% telah melakukan pengendalian OPT setelah munculnya
gejala serangan, sedangkan sisanya sebanyak 40% melakukan pengendalian
hama/penyakit sebelum ditemukan adanya serangan. Pengendalian OPT dengan
pendekatan PHT disarankan untuk dilakukan pada pertanaman.
2. Tingkat Penerapan Komponen PTT Pilihan
Komponen PTT pilihan terdiri dari pengolahan tanah sesuai musim dan pola
tanam, penggunaan bibit muda (< 21 hari), tanam bibit 1-3 batang/rumpun,
pengairan secara efektif dan efisien, penyiangan dengan landak atau gasrok dan
panen tepat waktu dan gabah segera dirontokkan. Komponen ini merupakan
komponen pilihan yang disesuaikan dengan waktu dan kondisi lingkungan.
Sehingga penerapan komponen pilihan akan berbeda-beda untuk masing-masing
lokasi.
Pengolahan tanah yang dilakukan oleh petani Kecamatan Curup Selatan
merupakan pengolahan tanah sempurna yang terdiri dari tiga tahapan yaitu bajak,
garu dan perataan. Sebanyak 68% telah melakukan pengolahan tanah secara
sempurna. Sisanya sebanyak 28% melakukan pengolahan hanya dua tahapan yaitu
bajak dan garu saja, sedangkan sebanyak 4% hanya melakukan pembajakan saja.
Pengolahan tanah sudah cukup baik dilakukan oleh petani di Kecamatan Curup
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
35
Selatan. Hand traktor sebagai salah satu alat yang digunakan untuk pengolahan
lahan telah cukup tersedia. Sehingga petani tidak kesulitan di dalam melakukan
pengolahan lahan.
Penggunaan bibit muda belum banyak dilakukan oleh petani di Kecamatan
Curup Selatan. Umur bibit yang ditanam rata-rata telah berumur antara 21-30 hari.
Penanaman pada saat bibit berumur < 21 hari baru dilakukan oleh 20%.
Sedangkan sisanya sebanyak 48% menanam bibit pada umur 21-30 hari, 24%
menanam bibit pada umur 30-40 hari dan sisanya sebanyak 4% menanam bibit
pada umur > 40 hari.
Penanaman bibit 1-3 batang/rumpun baru dilaksanakan oleh 9 orang atau
36%, sedangkan sisanya sebanyak 36% menggunakan jumlah bibit 3-5
batang/rumpun, dan sisanya sebanyak 28% melakukan penanaman dengan jumlah
bibit 5-6 batang/rumpun. Rendahnya penanaman bibit 1-3 batang/rumpun karena
petani khawatir pertumbuhan tanaman menjadi terhambat. Sehingga jumlah bibit
yang digunakan > 3 batang/rumpun.
Penyiangan yang dilakukan oleh petani rata-rata sebanyak 2 kali. Penyiangan
2 kali dilakukan oleh 72%, sedangkan sisanya sebanyak 16% melakukan
penyiangan sebanyak 1 kali, dan sisanya sebanyak 20% melakukan penyiangan
sebanyak 3 kali. Cara penyiangan yang dilakukan oleh petani secara rata-rata
adalah dengan mencabut yang dilakukan oleh 80%, sedangkan sisanya sebanyak
12% melakukan penyiangan dengan menggunakan landak/gasrok, 4% masing-
masing melakukan penyiangan dengan menggunakan herbisida dan tanpa
penyiangan.
Panen secara rata-rata dilakukan pada saat ≥ 80% bulir telah menguning.
Panen dengan menggunakan kriteria ≥ 80% bulir telah menguning dilakukan oleh
80%, sedangkan sisanya sebanyak 16% melakukan panen dengan kriteria ≤ 80%
bulir telah menguning, sedangkan sisanya sebanyak 4% melakukan panen dengan
kriteria daun telah mengering. Cara panen yang dilakukan oleh petani di
Kecamatan Curup Selatan adalah dengan cara dibug. Produksi rata-rata padi di
Kecamatan Curup Selatan berkisar antara 3-4 ton/ha. Pola tanam rata-rata yang
dilakukan oleh petani di Curup Selatan adalah padi-padi atau padi-padi-sayuran.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
36
KESIMPULAN
1. Komponen PTT yang diterapkan petani di Kecamatan Curup Selatan Kabupaten
Rejang Lebong terdiri pengolahan tanah (68%), penggunaan VUB (56%),
penggunaan benih berlabel (60%), penanaman bibit muda (20%), jumlah bibit
1-3 batang/rumpun (36%), sistem tanam legowo belum sesuai anjuran (legowo
8:1 dan 10:1), penggunaan kompos (8%), pemupukan spesifik lokasi belum
dilakukan, pengendalian OPT (60%) dan waktu panen yang tepat (80%).
2. Untuk meningkatkan produktivitas padi diperlukan metode penyuluhan yang
berbentuk demonstrasi plot atau demonstrasi area melalui pendekatan PTT padi
sawah agar petani bisa langsung mengamati, memahami dan mau menerapkan
teknologi padi yang dianjurkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, K. 1992. Pengaruh pemberian bahan organik mikoriza vesikular ambuskular dan pupuk posfat terhadap serapan fosfor oleh tanaman jagung. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Anonymous. 2007. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah irigasi (petunjuk teknis lapang). Badan Litbang Pertanian Jakarta.
BPP Lubuk Ubar. 2011. Programa penyuluhan pertanian BPP Lubuk Ubar Kecamatan Curup Selatan Kabupaten Rejang Lebong.
Kamandalu, A.A.N.B, Ni Putu Sutami, Sagung Aryawati, dan Sri Wahyuni. 2011. Peran varietas unggul baru (VUB) Inpari menunjang industri perbenihan padi sawah di Kuat Subak Guama. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional 2010. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi 2010. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Hal. 275-280.
Kustiyanto, B. 2001. Kriteria seleksi untuk Sifat Toleran Cekaman Lingkungan Biotik dan Abiotik. Makalah Penelitian dan Koordinasi Program pemuliaan Partisipatif (Shuttle Breeding) dan Uji Multilokasi. Sukamandi, 9-14 April 2001.
Mukhlis. 2010. Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap pertumbuhan dan hasil padi di lahan rawa lebak. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi 2010. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Hal. 693-700.
Wahyuni, S. 2005. Teknologi produksi benih bermutu. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Jaringan Alih Teknologi Produksi dan Distribusi Benih Sumber. Balitpa Sukamandi, 21-22 November 2005.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
37
PERSEPSI DAN MINAT ADOPSI PETANI TERHADAP PADI VARIETAS UNGGUL BARU INPARIMELALUI KEGIATAN GELAR
TEKNOLOGI PERTANIAN Siswani Dwi Daliani dan Taufik Hidayat
ABSTRAK
Diseminasi merupakan bagian integral dari penelitian/pengkajian berbentuk kegiatan penyebarluasan teknologi pertanian. Salah satu sistem diseminasi atau penyebaran informasi teknologi adalah gelar teknologi. Melaluikegiatan gelar teknologi diharapkan dapat diketahui tingkat adopsi petani terhadap Varietas Unggul Baru Inpari.Gelar teknologi padi varietas unggul baru (INPARI) dengan sistem tanam legowo 4-1 menggunakan caplak roda, di Desa Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma. Prosedur pelaksanaan kegiatan Gelar Teknologi dimulai dengan identifikasi lokasi petani, koordinasi dengan instansi terkait, inventarisasi lokasi dan kelompok sasaran, teknologi yang diaplikasikan, pembinaan kelompok, pelaksanaan gelar teknologi (penyampaian materi, demonstrasi dan kunjungan kelokasi demplot serta diskusi) dan umpan balik dengan pengisian kuisioner. Data yang dikumpulkan berupa hasil kuisioner minat dan adopsi petani terhadap VUB inpari. Setelah dilakukannya kegiatan gelar ini masyarakat sangat ingin mencoba. Hal ini diketahui dari hasil kuisioner yang menyatakan ingin menerapkan didalam kegiatan sehari-hari. Gelar teknologi padi Varietas Unggul baru (inpari) dengan demplot seluas 2,3 ha dilaksanakan oleh empat petani kooperator menanam VUB Inpari 13 dan Inpari 10. Dari hasil kuisioner yang diambil saat kegiatan, persepsi petani terhadap teknologi PTT secara keseluruhan berpendapat sangat setuju dengan pernyataan-pernyataan yang diajukan mencapai 46,02%, disusul dengan 31,41% setuju, 9,38% ragu-ragu, 10,38% tidak setuju dan kurang dari 3% berpendapat sangat tidak setuju dengan teknologi PTT tersebut. Sementara itu, minat adopsi petani terhadap teknologi PTT yang diterapkan dalam kegiatan gelar teknologi ini menyatakan selalu menggunakan mencapai 51,58%, 29,90% menyatakan sering menggunakan, 11,93% kadang-kadang, 2,54% jarang dan 4,05% menyatakan tidak pernah.
Kata Kunci: VUB Inpari, persepsi petani, tingkat adopsi, gelar teknologi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Diseminasi merupakan bagian integral dari penelitian/pengkajian berbentuk
kegiatan penyebarluasan teknologi pertanian. Penyaluran hasil penelitian melalui
kegiatan penyuluhan bukan hal yang baru tetapi semakin maju tingkat
pengetahuan petani maka makin tinggi pula tuntutan permintaan teknologi untuk
meningkatkan terhadap produksi usahataninya. Oleh karena itu diperlukan usaha
penyampaian teknologi secara informatif, aplikatif dan efektif dari hasil kegiatan
penelitian kepada petani untuk diterapkan pada usahataninya (Anonim, 1999).
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
38
Paransih Isbagio (1998), menyatakan bahwa penyebaran informasi hasil
penelitian melalui publikasi sangat diperlukan karena publikasi mampu menjangkau
sasaran lebih luas. Bentuk publikasi dan penyampaian informasi melalui audio
visual, radio, TV dan lain-lain mempunyai beberapa keunggulan antara lain dapat
menyampaikan pesan secara lisan yang berguna bagi pendengar yang minat
bacanya rendah, dan dapat didengar sambil bekerja serta biaya relatif rendah.
Untuk materi yang sifatnya teknis, metode yang ideal dan memungkinkan adalah
melalui praktek langsung di tingkat petani sehingga petani dapat berpikir secara
realistis untuk menerapkan suatu teknologi dalam bentuk Gelar Teknologi. Untuk
itu BPTP memerlukan suatu system diseminasi atau penyebaran informasi dan alih
teknologi yang efektif dan efisien agar khalayak pengguna dapat memperoleh
informasi maupun teknologi yang dibutuhkan dengan mudah dan relative cepat
(Fauziah, 2002). Salah satu system diseminasi atau penyebaran informasi teknologi
yang sudah dihasilkan untuk mempercepat alih teknologi kepada petani dan
pengguna adalah dengan menggunakan media peragaan teknologi berupa Gelar
Teknologi.
Gelar teknologi adalah kegiatan untuk menunjukkan paket teknologi yang
diyakini sudah lebih baik dibanding dengan teknologi petani. Gelar Teknologi Padi
ini untuk mengenalkan Varietas Unggul Baru (INPARI) dan teknologi budidaya
secara PTT di Desa Rimbo Kedui , Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma.
Penerapan hasil penelitian dalam bentuk gelar teknologi diharapkan dapat
mendorong proses adopsi teknologi terhadap kelompok tani melalui petani
kooperator. Kegiatan ini melibatkan petani secara intensif, penyuluh pertanian,
peternakan, petugas inseminator, kepala PosKesWan dan para kelompok wanita
tani baik yang berada didesa lokasi pelaksanaan Gelar maupun yang berada didesa
lainnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui umpan balik tentang persepsi dan
minat adopsi teknologi dari pengguna dilapangan melalui quisioner respon petani,
bedasarkan hasil kuisioner.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
39
METODOLOGI
Data persepsi dan minat adopsi petani terhadap VUB Inpari didapat dari
kegiatan gelar teknologi pertanian budidaya padi sawah dilaksanakan pada hari
Selasa tanggal 01 November 2011 di kelompok tani harapan maju Kelurahan Rimbo
Kedui, kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma, yang merupakan salah satu
desa sasaran kegiatan MP3-MI dan juga salah satu desa kegiatanGelar Teknologi
pada tahun anggaran 2011.
Metode yang digunakan adalah dengan melakukan komunikasi tatap muka,
diskusi, dan penjaringan umpan balik melalui qusioner.Pengisian kuesioner
dilakukan oleh peserta pada saat selesai pemaparan materi dan peninjauan lokasi
tanaman padi.
Peserta Gelar Teknologi terdiri dari para petani, penyuluh pertanian, petugas
lapangan, mentri tani, serta para masyarakat sekitar lokasi.Jumlah peserta secara
keseluruhan 60 orang. Adapun tahapan pelaksanaan kegiatan dimulai dengan
identifikasi lokasi dan petani, koordinasi dengan Dinas Pertanian dan Peternakan
Kabupaten Seluma tentang pelaksanaan Gelar Teknologi Padi Varietas Unggul Baru
(INPARI), inventarisasi lokasi dan kelompok sasaran yang akan menjadi lokasi
gelar, konsultasi dengan ketua kelompok rencana lokasi kegiatan gelar teknologi
padi sawah varietas unggul baru (inpari) kelompok taninya. Adapun teknologi yang
diaplikasikan dalam kegiatan gelar teknologi ini adalah sebagai berikut: 1)
Teknologi budidaya padi sawah varietas unggul baru (inpari) dengan PTT 2)
Memperkenalkan VUB Inpari 10 dan 13, 3) Teknologi penggunaan caplak roda
dalam budidaya tanaman padi dengan sistem tanam legowo 4 : 1 dll.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan Gelar Teknologi Padi Varietas Unggul Baru (Inpari) dengan sistem
tanam Legowo 4 : 1 yang dilaksanakan di Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan
Seluma Selatan Kabupaten Seluma diikuti oleh 4 petani kooperator kegiatan gelar
teknologi dan 10 kelompok tani dari kelurahan rimbo kedui dan sekitarnya.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
40
Balit Padi dari waktu ke waktu terus meningkatkan desiminasi dan teknologi
kepada masyarakat tani salah satunya menciptakan Varietas Unggul Bari (VUB)
yang target produksi tinggi yang secara langsung berdampak kepada peningkatan
pendapatan dalam waktu relatif singkat. Untuk nama-nama varietas padi berubah
mulai tahun 2008, yang sebelumnya nama-nama varietas yang dilepas berdasarkan
nama sungai. Tetapi mulai tahun 2008 nama-nama varietas diubah menjadi: a)
Inpari yaitu Inhibrida Padi Sawah Irigasi b) Inpara yaitu Inhibrida Padi Rawa c)
Inpago yaitu Inhibrida Padi Gogo.
Sampai saat pelaksanaan gelar teknologi ini, varietas Inpari yang sudah
dilepas Inpari 1 sampai dengan Inpari 13. Sedangkan yang sudah di introduksikan
oleh BPTP Bengkulu baru 7 varietas Inpari yaitu Inpari 1,2,3, 4, 6, 10 dan 13.VUB
yang dibudidayakan berdasarkan sefesifik lokasi sehingga petani tidak dipaksakan
untuk menanam VUB yang di introduksikan BPTP Bengkulu, mereka dapat memilih
VUB mana yang sesuai dengan lokasi mereka. Data sementara Kabupaten Bengkulu
Utara spesifik Inpari 13, Bengkulu Selatan spesifik dengan Inpari 13, Kabupaten
Rejang Lebong spesifik Inpari 13 dan Kabupaten Seluma Inpari 10. Komponen
teknologi selama ini yang diintroduksikan adalah komponen teknologi SL-PTT Padi
Sawah. Komponen teknologi SL-PTT ini ada 12 macam, dan secara bertahap telah
dilakukan dan masih dilakukan.
Produktivitas padi sawah Propinsi Bengkulu saat ini 4,06 ton GKG/ha jauh
dibawah produktivitas secara nasional yaitu 5,06 ton GKG/ha. Untuk Kabupaten
Seluma masih dibawah produktivitas rata-rata propinsi Bengkulu yaitu 4,03 ton
GKG/ha. Untuk meningkatkan produktivitas hingga 8 ton GKG/ha dapat dicapai
dengan alternative semua komponen teknologi pilihan dilakukan. Teknologi-
teknologi yang telah di adopsi dari BPTP Bengkulu adalah sebagai berikut:
a) Penggunaan benih VUB dan berertifikat.
b) Luas persemaian yang kecil menjadi luas/normal.
c) Penggunaan bibit umur mudah.
d) Penanaman dengan bibit 1–3 batang.
e) Sistem tanam yang biasa menjadi sistem tanam legowo.
f) Pemupukan yang semula 1 x menjadi 3 kali dengan dosis yang sama.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
41
Teknologi-teknologi itu antara lain:
1. Efisiensi dari penggunaan benih dan bibit yang digunakan dibudidaya padi
sawah.
• Benih yang selama ini 90 kg/ha dapat berubah menjadi 15 - 25 kg/ha
• Dengan syarat benih yang digunakan benih bersertifikat adanya jaminan
mutu dan daya tumbuh tinggi.
• Luas persemaian 17 m x 17 m (10 kg) untuk luas lahan 4.000 m2 atau 1/20
dari luas lahan yang akan ditanam.
• Lahan persemaian diberi perlakuan khusus yaitu ditabur dengan karbofuran
agar terhindar dari hama seperti ulat, burung, orong-orong, dll. Dengan
diberikan karbofuran persemaian hingga 10 hari masih aman.
• Umur bibit saat tanam tidak lebih dari 20 Hari Setelah Semai (HSS).
• Jumlah bibit per lubang 1-2 batang.
2. Sistem Tanam Legowo dengan Caplak Roda
Sistem tanam legowo 4 :1 sangat menguntungkan untuk produksi karena:
• Jumlah dari populasi tanaman untuk legowo 4 : 1 = 300.000 rumpun/ha
sedangkan sistem jajar biasa 250.000 rumpun/ha.
• Pertambahan populasi ini pada tanaman pinggir kita tahu selama ini bahwa
tanaman pinggir merupakan tanaman terbaik karena dalam pengambilan
unsur hara lebih banyak.
• Mudah dalam pemeliharaan (penyiangan, penyemprotan, pemupukan) mudah
dilakukan.
• Serangan hama tikus kurang karena dengan adanya legowo sawah menjadi
terang.
3. Pemupukan
Agar tanaman tumbuh normal pemupukan dasar dilakukan lebih awal dan dosis
sesuai anjuran. Sedangkan waktu pemberian dilakukan 3 kali yaitu:
• I = di bawah 2 Minggu Setelah Tanam (MST)
• II = 21 – 25 HST
• III = 35 -40 HST
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
42
4. Penyiangan
Penyiangan dilakukan 2 kali yaitu sebelum pemupukan (umur 20 dan 40 hst).
Pengendalian Hama dan Penyakit dilakukan dengan penyemprotan insektisida
Dharmafur 3G, untuk pengendalian penyakit (cendawan) yang biasanya
menyerang pada musim hujan dikendlikan dengan penyemprotan fungisida
seperti Dhitane M.45, pengendalian keong emas diberi daun papaya atau keladi
pada caren agar keong emas berkumpul dan mudah pengambilannya, atau
memasang saringan di pintu masuk air untuk mencegah keong emas masuk ke
sawah.
5. Penggunaan air
Untuk penggunaan air selama belum menerapkan sistem intermiten masih
seperti biasa, karena jika sawah dalam keadaan kering maka rumput cepat
tumbuh.
6. Panen
Kreteria panen selama ini:
• Tidak terlalu masak karena akan mengakibatkan kehilangan hasil gabah
mudah rontok.
• Jika kita melakukan pemupukan 3 kali maka sangat berpengaruh saat panen,
karena daun padi tidak mengalami kuning tetapi gabah sudah masak akibat
sumber makanan selalu tersedia.
Produktivitas padi sawah Propinsi Bengkulu saat ini 4,06 ton GKG/ha jauh
dibawah produktivitas secara nasional yaitu 5,06 ton GKG/ha. Untuk Kabupaten
Seluma masih dibawah produktivitas rata-rata Propinsi Bengkulu yaitu 4,03 ton
GKG/ha. Untuk meningkatkan produktivitas hingga 8 ton GKG/ha dapat dicapai
dengan alternative semua komponen teknologi pilihan dilakukan.
Dari hasil quisioner yang dibagi pada saat kegiatan gelar teknologi pertanian
varietas unggul baru inpari, persepsi petani terhadap teknologi PTT secara
keseluruhan berpendapat sangat setuju dengan pernyataan-pernyataan dalam
penggunaan teknologi PTT padi sawah. Persepsi petani terhadap komponen PTT
Padi dengan VUB Inpari dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
43
Persepsi Petani tehadap Komponen PTT
Jumlah Responden
Persentase (%)
Sangat Setuju Setuju Ragu-ragu Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
35 46,02 31,41 9,38 10,38 2,81
Dari tabel di atas dapat kita lihat bahwa persepsi petani terhadap komponen
PTT Padi yang menyatakan sangat setuju mencapai 46,02%, disusul dengan
31,41% setuju, 9,38% ragu-ragu, 10,38% tidak setuju dan kurang dari 3%
berpendapat sangat tidak setuju dengan teknologi PTT tersebut.
Petani tidak berani mengganti varietas padi yang biasa dipakai dengan VUB takut gagal dan hasilnya akan turun
Jumlah Responden
Persentase (%)
Sangat Setuju Setuju Ragu-ragu Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
35 14,30 20,00 11,42 34,28 20,00
Berdasarkan isi quisioner yang diajukan dimana 34,28% menyatakan tidak
setuju dengan pernyataan bahwa tidak berani mengganti varietas padi yang biasa
dipakai karena takut gagal/produksinya turun. 20% sangat tidak setuju dan setuju
serta 14% sangat setuju dan ragu-ragu 11,43%.94,60% responden yakin bahwa
benih padi berlabel produksinya lebih tinggi dari pada benih padi lokal.
Sementara itu responden menggunakan benih padi berlabel hanya jika ada
bantuan dari pemerintah, bila tidak ada bantuan maka menggunakan benih yang
dihasilkan sendiri dengan 25% menjawab sangat setuju, 19,44% setuju, 16,67%
ragu-ragu, 25% tidak setuju dan 13,89% menyatakan sangat tidak setuju.
Responden sangat percaya bahwa dengan mengembalikan jerami kelahan sawah
dapat meningkatkan kesuburan lahan dan sistem tanam legowo dapat
meningkatkan produksi padi. Hal ini dinyatakan dengan lebih dari 95% responden
menyatakan sangat setuju dan setuju.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
44
Sementara dari pertanyaan yang diajukan ke responden mengenai minat
adopsi terhadap teknologi PTT ini, hampir 70% menggunakan benih berlabel dan
kurang dari 30% yang jarang dan tidak pernah menggunakan benih berlabel.
23,53% responden juga menyatakan mereka selalu, sering dan kadang-kadang
mengembalikan jerami ke lahan sawah. 82,35% responden selalu menggunakan
sistem tanam legowo dan seabgian lagi menyatakan sering dan kadang-kadang.
Untuk penggunaan pupuk responden yang selalu menggunakan pupuk sesuai
dengan dosis anjuran mencapai 38,24%, sering 35,29%, kadang-kadang 17,65%.
Lebih dari separoh responden menyatakan selalu menggunakan pertisida (57,67%),
27,27% sering menggunakan pestisida, 15,15% kadang-kadang hanya
menggunakan pestisida dalam mengendalikan hama penyakit. Begitupun dalam
melakukan pengolahan lahan sesuai dengan musim dan pola tanam yang tepat.
53,13% dan 37,5% selalu dan sering menanam bibit muda dan 40,62%
diantaranya selalu dan sering menanam 1-3 batang per rumpun. Dalam melakukan
pengaturan air secara berselang, 51,74% menyatakan selalu, 27,59% menyatakan
sering dan 20,67% menyatakan kadang-kadang. Tidak ada yang menyatakan
jarang dan tidak pernah. Untuk penanganan pasca panen, apakah segera
melakukan perontokan gabah setelah panen, 51,58% menyatakan selalu, 29,90%
menyatakan sering, 11,93 kadang-kadang, 3,13% jarang dan 4,05% menyatakan
tidak pernah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa minat adopsi petani terhadap
teknologi PTT yang diterapkan dalam kegiatan gelar teknologi ini menyatakan akan
selalu menggunakan teknologi PTT mencapai 51,58%, 29,90% menyatakan sering
menggunakan, 11,93% kadang-kadang, 2,54% jarang dan 4,05% menyatakan
tidak pernah.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
45
KESIMPULAN
Persepsi petani terhadap teknologi PTT secara keseluruhan berpendapat
sangat setuju dengan pernyataan-pernyataan dalam penggunaan teknologi PTT
mencapai 46,02%, disusul dengan 31,41% setuju, 9,38% ragu-ragu, 10,38% tidak
setuju dan kurang dari 3% berpendapat sangat tidak setuju dengan teknologi PTT
tersebut.
Umpan balik hasil gelar teknologi menunjukkan minat adopsi petani terhadap
teknologi PTT yang diterapkan dalam kegiatan gelar teknologi ini menyatakan akan
selalu menggunakan teknologi PTT mencapai 51,58%, 29,90% menyatakan sering
menggunakan, 11,93% kadang-kadang, 2,54% jarang dan 4,05% menyatakan
tidak pernah.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1999. Panduan Umum Pelaksanaan Penelitian, Pengkajian danDiseminasi Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
BBPPTP Bogor.2009. Petunjuk Pelaksanaan pendampingan PencapaianSwasembada Daging sapi (PSDS).Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.Badan Litbang Pertanian Bogor.
BPTP Jawa Tengah. 2008. Penyuluhan dan Penyebaran Informasi Pertanian padadaerah P4MI.Balai Pengkajian Teknologi Pertanian . Jawa Tengah.
Dinas Peternakan Propinsi Bengkulu.2009.Laporan Tahunan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Bengkulu.Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Bengkulu.
Isbagio Paransih, 1998. Kebijaksanaan Komunikasi Penelitian Pertanian danPeranan AARDNET dalam Menopang Penelititan, Disampaikan pada Pengolahan TeknisJaringan Informasi Ciawi Bogor.
Tjiptopranoto,P. 2000. Strategi Diseminasi Teknologi dan Informasi Pertanian.Balai Pusat Pengembangan Pengkajian Teknologi Pertanian. Bogor.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
46
UJI MUTU BERAS HASIL DARI TEKNOLOGI PEMANFAATAN LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PUPUK ORGANIK
Wilda Mikasari,Taufik Hidayat, Lina Ivanti dan Alfayanti
ABSTRAK
Perkembangan pertanian organik di Indonesia saat ini telah menunjukkan perkembangan yang positif, walaupun pasarnya masih terkonsentrasi dibeberapa kota besar saja sehingga penggunaan pupuk organik dapat meningkatkan mutu beras yang dihasilkan. Respon konsumen terhadap beras bermutu sangat tinggi. Agar konsumen mendapatkan jaminan mutu beras yang ada dipasaran maka dalam perdagangan beras harus diterapkan sistem standarisasi mutu beras. Beras harus diuji mutunya sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui pengaruh pemberian pupuk organik (kotoran ayam, kotoran sapi, jerami) terhadap produktivitas padi yang dihasilkan; 2) Mengetahui mutu beras yang dihasilkan dari pemberian pupuk organik berdasarkan SNI. Penelitian dilakukan dilahan sawah petani desa Rimbo Recap kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu dan Laboratorium Pasca Panen Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu pada tahun 2011. Bahan yang digunakan adalah gabah padi varietas inpari 13 hasil panen. Parameter yang diuji adalah kadar air, butir kepala, butir patah, butir menir, butir mengapur, butir kuning, butir gabah, dan benda asing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas padi dengan pemberian pupuk organik dari kotoran sapi memperoleh hasil paling tinggi yaitu 7,867 kg//ha GKP disusul kompos jerami 7,750 ton/ha dan tanpa menggunakan kompos 7,633 ton/ha. Hasil yang terendah didapat pada penggunaan kompos ayam yaitu 7,13 ton/ha. Hasil pengujian mutu beras menunjukkanbahwaperlakuan pemberian kompos kotoran sapi paling tinggidenganrendemen 69,60%, danberas yang dihasilkan dikategorikan mutu III untuk penggunaan kompos sapi dan yang lainnya dikategorikan mutu IV.
Kata kunci: mutu beras, pupuk organik
PENDAHULUAN
Perkembangan pertanian organik di Indonesia saat ini telah menunjukkan
perkembangan yang positif, walaupun pasarnya masih terkosentrasi dibeberapa
kota besar saja. Produk-produk pangan organik, terutama dalam bentuk produk
segar dan olahan minimal telah diperdagangkandi ritel-ritel modern dan toko
khusus yang menjual produk pangan organik. Untuk komoditas perkebunan seperti
kacang mete dan kopi bahkan telah menembus pasar ekspor.
Pengembangan pertanian organik di Indonesia masih memiliki peluang yang
besar untuk dikembangkan. Hal ini terkait dengan berbagai keunggulan dan
peluang yang dimiliki oleh Indonesia. Namun demikian, upaya pengembangan
pertanian jenis ini juga dihadapkan pada berbagai kelemahan dan ancaman yang
harus segera diantisipasi. Berbagai keunggulan, peluang, ancaman dan kelemahan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
47
dalam pengembangan pertanian organik di Indonesia antara lain: 1) Kekuatan
(Strengths) terdiri dari: sumber daya hayati yang kaya dan beragam, Lahan original
terutama wilayah timur dan tengahserta sebagian wilayah barat Indonesia,
penduduk yang besar dan pendapatan perkapita yang terus meningkat merupakan
pasar yang potensial; 2) Kelemahan (Weaknesses) antara lain: pengelolaan
umumnya petani kecil, mahalnya biaya sertifikasi, akses dan informasi pasar, terlalu
supply driven, kurangnya penelitian dan pengembangan; 3) Peluang
(Opportunities), yaitu: pasar (nasional dan internasional) yang berkembang, trend
hidup sehat, skandal pangan (pestisida, hormon) dan keterllibatan LSM dan
lembaga donor dalam pengembangan; 4) Tantangan (threats) antara lain: klaim
produk konvensional sebagai produk organik, pertanian organik versus ketahanan
pangan, petani yang frustasi akibat gagal mengakses harga premium, masuknya
produk impor.
Program pemerintah dengan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN)
dimana melalui program ketahanan pangan berupaya untuk mewujudkan
ketersedian, aksesibilitas, dan stabilitas pengadaan pangan yang memadai, dimana
kebutuhan beras nasional meningkat setiap tahunnya seiring dengan peningkatan
jumlah penduduk. Kebutuhan beras nasional pada tahun 2007 diprediksi mencapai
30,9 juta ton dengan asumsi bahwa konsumsi beras rata-rata139 kg/kapita/tahun
(Yuwanda, 2008). Rata-rata pertumbuhan penduduk sebesar 1,7% /tahun, maka
pemerintah dituntut harus terus meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman
padi.
Sedangkan dalam usaha tani padi, penggunaan varietas unggul dan benih
bermutu sangat berperan dalam peningkatan produktivitas dan mutu hasil panen.
Potensi varietas dalam meningkatkan produk pertanian dapat dilihat dari mutu
produk varietas unggul seperti daya hasil tinggi, ketahanan terhadap hama dan
penyakit tertentu, umur genjah, kandungan khusus tertentu (pulen, kadar protein
tinggi dll), dan kesesuaian dengan pola tanam tertentu.
Preferensi konsumen terhadap nasi di suatu daerah berbeda dengan
konsumen di daerah lainnya seperti konsumen di pulau jawa menyukai nasi yang
pulen (lengket) dan mengeluarkan aroma wangi bila ditanak (Puslitbangtan, 2006).
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
48
Secara tidak langsung faktor mutu beras diklasifikasikan berdasarkan nama atau
jenis beras serta varietas beras yang dipakai.
Respon konsumen terhadap beras bermutu sangat tinggi. Agar konsumen
mendapatkan jaminan mutu beras yang ada dipasaran maka dalam perdagangan
beras harus diterapkan sistem standarisasi mutu beras. Beras harus diuji mutunya
sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) mutu beras giling pada
laboratorium uji yang terakreditasi dan dibuktikan berdasarkan sertifikat hasil uji
(Suismono, 2002). SNI untuk beras giling bertujuan untuk mengantisipasi
terjadinya manipulasi mutu beras dipasaran, terutama karena pengoplosan atau
pencampuran antar kualitas atau antar varietas beras yang dihasilkan.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui dan mempelajari pengaruh
pemberian pupuk organik (kotoran ayam, kotoran sapi, jerami) terhadap jumlah
produksi padi yang dihasilkan; 2) Mengetahui mutu beras yang dihasilkan dari
pemberian pupuk organik berdasarkan SNI.
METODOLOGI
Penelitian dilakukan dilahan sawah petani di Desa Rimbo Recap Kabupaten
Rejang Lebong Provinsi Bengkulu dengan luas 1 ha dan sistem pertanaman padi
menggunakan legowo 4 : 1. Pengujian mutu beras dilakukan di laboratorium pasca
panen BPTP Bengkulu pada tahun 2011.
Perlakuan yang diterapkan adalah penanaman padi varietas inpari 13 dengan
menggunakan penambahan pupuk organik limbah pertanian yaitu pupuk kompos
kotoran ayam, pupuk kompos kotoran sapi, pupuk kompos jerami dengan dosis 0,5
ton/ha dan tanpa menggunakan penambahan pupuk kompos. Dosis pupuk kimia
yang digunakan adalah 200 kg/ha urea dan 300 kg/ha NPK Phonska. Sampel gabah
dan beras yang diuji seluruhnya berasal dari hasil ubinan.
Bahan yang digunakan adalah gabah padi varietas inpari 13 hasil panen
ubinan, sedangkan alat yang digunakan untuk pengolahan dan pengujian mutu
adalah mesin penggiling padi, karung, timbangan, timbangan analitik, alat ukur
kadar air dan kantong plastik. Sampel gabah diambil dari hasil ubinan kegiatan
pengkajian kompetitif 2011 percontohan komponen teknologi pemanfaatan pupuk
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
49
organik limbah pertanian untuk padi sawah di kabupaten Rejang Lebong. Jumlah
gabah untuk masing-masing sampel sebanyak 7 kg dalam bentuk gabah kering
giling. Sampel gabah kemudian digabung per perlakuan pupuk untuk digiling
bersamaan dengan rata-rata 21 kg per perlakuan, masing-masing perlakuan
diambil sampel beras hasil gilingan sebelum disosoh dan sesudah disosoh
sebanayak 100 gram dengan masing-masing 4 ulangan.
Jenis pengujian mutu beras meliputi beras kepala, beras patah, butir menir, butir
kapur, serta butir kuning dan rusak dengan penjelasan sebagai berikut:
• Beras kepala, yaitu butir beras sehat maupun cacat yang mempunyai ukuran
lebih besar atau sama dengan 75% bagian dari butir beras utuh.
• Beras patah, yaitu butir beras sehat maupun cacat yang mempunyai ukuran
lebih besar dari 25% sampai dengan lebih kecil 75% bagian dari butir beras
utuh.
• Butir menir, yaitu butir beras sehat maupun cacat yang mempunyai ukuran lebih
kecil dari 25% bagian butir beras utuh.
• Butir kapur, yaitu butir beras yang separuh bagian atau lebih berwarna putih
seperti kapur dan bertekstur lunak yang disebabkan faktor fisiologis.
• Butir kuning, yaitu butir beras utuh, beras kepala, beras patah, dan menir yang
berwarna kuning atau kuning kecoklatan (BPTP Sumatera Selatan 2006).
Peralatan yang dipergunakan terdiri atas alat penampi atau pembersih gabah
(aspirator) untuk memisahkan gabah isi dan gabah hampa, alat pemecah kulit
gabah (rice husker) untuk memperoleh beras pecah kulit (BPK), alat penyosoh (rice
polisher) untuk menyosoh beras pecah kulit hingga diperoleh beras berwarna putih,
ayakan menir (seive) ukuran 2,5 mm untuk memperoleh butir menir, dan alat
pemisah ukuran beras (rice drum grader) untuk memisahkan beras kepala dan utuh
dengan beras patah. Data yang diperoleh akan dianalisis secara deskriftif dengan
mengacu kepada SNI.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
50
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil produksi padi dengan pemberian pupuk organik limbah pertanian
kotoran ayam, kotoran sapi dan jerami secara deskriftif tidak begitu berbeda
dengan yang tidak diberikan pupuk kandang. Hal ini dapat dilihat dari hasil ubinan
yang didapat. Data hasil ubinan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 1. Produktivitas padi sawah pada beberapa perlakuan pupuk organik (ton/ha).
Perlakuan/Ulangan Kompos Ayam
Kompos Sapi
Kompos Jerami Kontrol
1 7,6 7,4 7,1 7,7
2 7,7 8,2 8,4 8,6
3 6,1 8 6,5 6,6
Rata-rata 7,133 7,867 7,750 7,633
Berdasarkan data hasil ubinan di atas dapat kita lihat bahwa rata-rata hasil
produksi tertinggi sebesar 7,867 ton/ha dengan perlakukan pemberian pupuk
organik/kompos kotoran sapi dan yang terendah adalah perlakuan dengan
pemberian pupuk kompos ayam dengan rata-rata produksi 7,133 ton/ha. Secara
keseluruhan dapat disimpulkan bahwa pemberian pupuk kompos kotoran sapi
mampu meningkatkan hasil produksi tertinggi padi. Hal tersebut bisa dilihat pada
grafik di bawah ini:
Gambar 1. Grafik Produksi padi berdasarkan hasil ubinan 5m x 2m.
Rata-rata hasil ubinan tidak jauh berbeda yang berkisar antara 7,13 s/d 7,86 ton/ ha GKP.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
51
Hasil pengujian mutu beras dari beberapa ubinan yang diambil menunjukkan
bahwa rendemen beras giling dari inpari 13 berkisar antara 65,80 % sampai 69,60.
Rendemen paling tinggi didapat dari perlakuan pemberian kompos kotoran sapi dan
tidak jauh berbeda dengan rendemen pemberian kompos jerami yakni sebesar
69,31%. Rendemen terendah dihasilkan dari pemberian pupuk kompos kotoran
ayam.
Tabel 2. Kadar air gabah saat penggilingan dan rendemen yang dihasilkan dari proses penggilingan (putaran mesin 700-800 rpm).
No Perlakuan Ka (%) Berat Padi (Kg)
Berat Beras (Kg)
Rendemen (%)
1 Penambahan Kompos Ayam 9,95 18,80 12,37 65,80
2 Penambahan Kompos Sapi 9,50 17,30 12,04 69,60
3 Penambahan Kompos Jerami 9,05 17,40 12,06 69,31
4 Kontrol 8,80 17,20 11,74 68,26
Rendemen beras giling dipengaruhi oleh varietas, karakteristik gabah, cara
dan alat penggilingan, mutu beras yang hendak dicapai, teknik budi daya, dan
agroekosistem pertanaman padi. Rendemen beras giling yang tinggi belum tentu
diikuti oleh persentase beras kepala yang tinggi. Hasil penelitian justru menemukan
hubungan yang berkebalikan dengan kedua kriteria mutu tersebut (Sutrisno et al.
2002).
Untuk kadar air beras pun tidak ada perbedaan. Hal ini dikarenakan masing-
masing perlakuan diberikan penanganan pascapanen yang sama, namun setelah
dipisahkan berdasarkan komponen mutu beras, terdapat variasi pada persentase
beras kepala dan beras patah atau pecah, sedangkan butir menir, butir kapur, dan
butir kuning rusak tidak terlalu bervariasi. Variasi persentase beras kepala dan
beras patah bisa disebabkan oleh lokasi pertanaman padi atau penanganan
pascapanen yang berbeda serta kesehatan tanaman. Pada Tabel 3 dapat dilihat
bahwa beras yang dihasilkan dikategorikan kedalam mutu III dan mutu IV.
Pemberian pupuk organic dari kompos kotoran sapi menghasilkan beras dengan
kwalitas mutu III berdasarkan butir kepala sementara yang lainnya dikategorikan
mutu IV.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
52
Tabel 3. Hasil analisa mutu beras sebelum disosoh.
Perlakuan/ No
Variabel Pengamatan Ayam Sapi Jerami Kontrol
1 Kadar Air (%) 11 11 11 11 2 Butir Kepala (%) 77,17 79,83 74,54 73,03 3 Butir Patah(%) 18,06 16.77 21,63 22,11 4 Butir Menir (%) 2,31 2,12 2,12 3,72 5 Butir Mengapur (%) 2,46 1,28 1,71 1,14 6 Butir Kuning (%) 0 0 0 0 7 Butir Gabah (%) 0 0 0 1 butir 8 Benda asing (%) 0 0 0 0
Tabel 4. Hasil analisa mutu beras sesudah disosoh.
Perlakuan/ No Variabel Pengamatan
Ayam Sapi Jerami Kontrol
1 Kadar Air (%) 11 11 11 11 2 Butir Kepala (%) 76,56 78,34 74,03 74,18 3 Butir Patah (%) 16,33 17.65 21,72 20,16 4 Butir Menir (%) 4,18 1,97 2,58 3,72 5 Butir Mengapu (%) 2,93 2,04 1,67 1,94 6 Butir Kuning (%) 0 0 0 0 7 Butir Gabah (%) 0 0 0 0 8 Benda asing (%) 0 0 0 0
Persentase beras kepala pada sampel yang berasal dari pertanaman padi
yang menggunakan pupuk organik kotoran sapi paling tinggi dengan beras patah
paling sedikit dan butir menir tidak terlalu berbeda dengan yang lain. Beras patah
bisa terjadi jika pada saat digiling, gabah masih agak basah atau terlalu kering. Sisa
patahan beras yang kecil membentuk butir menir. Beras patah juga dapat
disebabkan oleh proses penyosohan. Batu sosoh yang baru dapat menghasilkan
beras patah tinggi, sedangkan batu sosoh yang sudah aus menghasilkan beras
patah lebih sedikit. Besarnya persentase beras patah dan butir menir ini juga bisa
disebabkan oleh kurang sehatnya gabah yang dihasilkan karena pada gabah
tersebut terdapat bercak-bercak.
Berdasarkan hasil pengujian mutu beras, terhadap sampel yang sudah
disosoh yang berasal dari pupuk organik sapi menghasilkan beras kepala 78,34%
atau termasuk dalam kategori mutu III standar SNI. Sementara sampel gabah yang
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
53
lainnya menghasilkan beras kepala dibawah 78% sehingga termasuk ke dalam
kategori mutu IV.
Tabel 5. Persyaratan mutu beras menurut SNI 6128: 2008.
Komponen Mutu Satuan Mutu I
Mutu II
Mutu III
Mutu IV
Mutu V
Derajad Sosoh (Minimum) % 100 100 95 95 95 Kadar Air (Maksimum) % 14 14 14 14 15 Beras Kepala (Minimum) % 95 89 78 73 60 Butir Patah (Maksimum) % 5 10 20 25 35 Butir Menir (Maksimum) % 0 1 2 2 5 Butir Merah (Maksimum) % 0 1 2 3 3 Butir kapur (Maksimum) % 0 1 2 3 5 Bneda Asing (Maksimum) % 0 1 2 3 5 Butir Gabah (Maksimum) Butir/100 gr 0 1 1 2 3
Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2008).
Tabel 6. Kategori mutu per komponen yang diamati.
Komponen Mutu Satuan Ayam Sapi Jerami Kontrol
Kadar Air (Maksimum) % Mutu I Mutu I Mutu I Mutu I Beras Kepala (Minimum) % Mutu IV Mutu III Mutu IV Mutu IV Butir Patah (Maksimum) % Mutu III Mutu III Mutu IV Mutu IV Butir Menir (Maksimum) % Mutu III Mutu III Mutu III Mutu V Butir Merah (Maksimum) % Mutu I Mutu I Mutu I Mutu I Butir kapur (Maksimum) % Mutu IV Mutu III Mutu III Mutu III Bneda Asing (Maksimum) % Mutu I Mutu I Mutu I Mutu I Butir Gabah (Maksimum) Butir/100 gr Mutu I Mutu I Mutu I Mutu II
Untuk sampel dari beberapa perlakukan saat penanaman terdapat dua kelas mutu
yang dapatdijadikan pedoman berdasarkan persentase beras kepala dan persentase
beras patah menjadi dua kategori mutu, yaitu untuk sampel dengan pupuk kompos
kotoransapi dikategorikan mutu III dan sampel perlakuan pupuk kompos
kotoranayam, jerami dan tanpa menggunakan kompos menghasilkan beras yang
termasuk dalam kategori mutu IV.
Hasil pengujian mutu beras kepala dari beberapa sampel perlakuan tanaman
menunjukkan tidak terdapat beras yang termasuk mutu I karena beras kepala tidak
mencapai minimum 95%. Namun, beras mutu III masih disukai konsumen karena
beras patahnya berkisar 10-20%.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
54
Dengan adanya kelas mutu, pedagang atau pelaku pasar beras akan lebih mudah
memilih segmen pasar yang akan dituju. Namun, sebelum beras didistribusikan ke
pasar atau konsumen, perlu dilakukan pengujian mutu beras oleh laboratorium
pengujian mutu beras yang terakreditasi.
KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwa:
1. Pemberian pupuk organik dari kotoran sapi menghasil produksi padi lebih tinggi
dibandingkan dengan pemberian pupuk organik yang lain yaitu sebesar 7,867
ton/ha GKP.
2. Pemberian pupuk organik kotoran sapi menghasilkan mutu beras III lebih baik
dibandingkandengan mutu beras dengan pemberian pupuk organik kotoran
ayam dan jerami yaitu dikatagorikan mutu beras IV.
3. Dengan dilakukan pengukuran atau identifikasi secara kuantitatif terhadap
karakter fisik beras dan menentukan klasifikasi mutu beras yang yang dihasilkan
maka diharapkan konsumen dan pelaku pasar beras akan lebih mudah memilih
segmen pasar yang akan dituju.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standardisasi Nasional. 2008. Standar Nasional Indonesia Beras Giling. SNI 6128:2008. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. 9 hlm.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan. 2006. Laporan Pelatihan dan Pedoman Penanganan Pascapanen Padi, Palembang, 27-28 Februari 2006. Kerja Sama IRRI - SSFFMP - BPTP Sumatera Selatan. hlm. 9-13.
Puslitbangtan. 2006. Padiunggulspesifikdaerah. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol.28. No.2,Bogor.Page 4-5.
Suismono. 2002. Standardisasi mutu untuk perdagangan beras di Indonesia. Majalah Pangan 39(XI): 37-47.
Suprihatno, B., A.A. Darajat, Satoto, Baehaki S.E., B. Suprihanto, A. Setyono, S.D. Indrasari, M.Y. Samaullah, dan H. Sembiring. 2009. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian TanamanPadi, Sukamandi. hlm. 15.
Sutrisno, Suismono, Jumali, dan J.S. Munarso. 2002. Cara berproduksi yang baik dalam industri beras. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. 22 hlm.
Yuwanda,W. 2008. Prospek pengembangan padigogo aromatic dalam upaya menunjang ketahanan Pangan. http://cdsindonesiawordpress.com/2008/03/31/prospek pengembangan padigogo aromatic 25/4/2008.p.3.Sukamandi. 22 hlm.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
55
KERAGAAN MUTU BERAS INPARI 6, 10 DAN 13 BERDASARKAN HASIL UJI LABORATORIUM DI BPTP BENGKULU
Irma Calista Siagian, Yartiwi dan Ahmad Damiri
ABSTRAK
Beras merupakan makanan pokok yang merupakan kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mutu beras mendapat perhatian penting dalam perakitan varietas unggul padi. Beras yang mempunyai kualitas mutu yang baik cenderung menjadi pilihan konsumen. Agar konsumen mendapatkan jaminan mutu beras yang ada di pasaran maka dalam perdagangan beras harus diterapkan sistem standarisasi mutu beras sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) 6128:2008. Perbaikan mutu beras terus dilakukan baik terhadap mutu giling, mutu nasi maupun tampilan beras. Pengujian mutu beras dilakukan pada 3 varietas padi sawah lahan irigasi di Kabupaten Seluma yang meliputi varietas Inpari 6, inpari 10, dan Inpari 13. Pengujian Mutu Beras dilakukan di Laboratorium Pasca Panen, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Bengkulu pada Bulan Januari 2012. Pengujian mutu beras meliputi kadar air, butir kepala, butir patah, butir menir, butir merah, butir kuning/rusak, butir kapur, benda asing dan butir gabah. Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa Varietas Inpari 10 menghasilkan Butir Kepala 53 %, masuk dalam kategori Mutu V dan menghasilkan butir patah 16.78 % (Mutu III), butir menir 18.36 % (Mutu IV), butir merah 0. % (Mutu I), butir kuning 1.03% (Mutu II), butir kapur 0.26 % (Mutu II), benda asing 0 % (Mutu I), dan butir gabah 0.02% (Mutu I). Dapat terlihat bahwa varietas Inpari 10 memiliki mutu beras yang paling baik dibandingkan varietas lainnya yang di tanam di lahan sawah irigasi di Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma.
Kata Kunci: mutu beras, varietas unggul, SNI 6128;2008
PENDAHULUAN
Mutu beras yang baik sangat berpengaruh pada tingkat adopsi petani dan
konsumen serta penyebaran suatu varietas padi. Beras adalah salah satu
kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi di dalam kehidupan sehari-hari,
manfaat utama dari beras untuk diolah menjadi nasi, makanan pokok terpenting
warga dunia. Istilah kata beras mengacu pada bagian bulir padi (gabah) yang telah
dipisah dari sekam.1 Mutu beras sangat bergantung pada mutu gabah yang akan
digiling dan sarana mekanis yang digunakan dalam penggilingan.2 Mutu beras di
Indonesia beragam disebabkan oleh beberapa faktor yaitu varietas, agroekosistem,
teknik budidaya, penanganan pascapanen dan pengolahan hasil, serta distribusi
dan pemasaran.3 Penggilingan padi dapat menentukan mutu beras dan mutu giling
dapat mencakup berbagai ciri dari beras giling yaitu: rendemen beras giling,
persentase beras pecah dan derajat sosoh.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
56
Respon konsumen terhadap beras bermutu sangat tinggi. Beras harus diuji
mutunya sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) mutu beras giling. SNI
untuk beras giling bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya manipulasi mutu
beras di pasaran, terutama karena pengoplosan atau pencampuran antar kualitas
atau antar varietas. Pemilihan beras merupakan ungkapan selera pribadi konsumen,
ditentukan oleh faktor subjektif dan dipengaruhi oleh lokasi, suku bangsa atau
etnis, lingkungan, pendidikan, status sosial ekonomi, jenis pekerjaan dan tingkat
pendapatan. Beras yang mempunyai cita rasa nasi yang enak mempunyai
hubungan dengan selera dan preferensi konsumen serta akan menentukan harga
beras. Secara tidak langsung, faktor mutu beras diklasifikaskan berdasarkan nama
atau jenis (brand name) beras atau varietas padi.2 Ketersediaan beras di pasaran
yang beraneka ragam memberikan kesempatan konsumen lebih leluasa memilih
jenis, sifat, dan mutu beras yang dikehendaki.
Tujuan pengujian mutu beras ini untuk melakukan indentifikasi secara
kuantitatif terhadap karakter fisik beras dan menentukan klasifikasi mutu beras
yang diinginkan pasar dan konsumen.
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan komoditas yang sangat penting di
Indonesia, karena beras merupakan makanan pokok hampir sebagian besar rakyat
Indonesia. Sejalan dengan pertambahan penduduk, yaitu sekitar 2% per tahun,
maka kebutuhan akan beras meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena itu
Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan produksi padi dari tahun ke tahun.
Selain untuk memenuhi kecukupan pangan (beras), peningkatan hasil padi terkait
erat dengan upaya peningkatan pendapatan petani dan pemerataan kesempatan
kerja. Peningkatan tidak hanya ditekankan kepada aspek kuantitas, tetapi dibarengi
dengan peningkatan terhadap kualitas beras yang dihasilkan.4
Peningkatan kuantitas dan kualitas beras dapat dilakukan melalui perbaikan
penanganan pada saat pra panen, panen dan pasca panen secara terintegrasi.
Penanganan pada saat pra panen selain bertujuan untuk meningkatkan kuantitas
dan kualitas gabah (beras), juga ditujukan untuk menekan kehilangan hasil baik
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
57
akibat pengaruh musim yang kurang menguntungkan maupun akibat serangan
organisme pengganggu tanaman serta penggunaan sarana produksi yang tidak
optimal. Menurut beberapa sumber gabah terbaik yang dimiliki petani, memiliki
rendemen 50 %. Artinya dari 100 kg gabah yang digiling akan menghasilkan beras
sebanyak 50 kg. Gabah kering giling seperti ini tergolong langka di petani. Masih
menurut sumber yang terpercaya, gabah kering giling dipetani kebanyakan memiliki
rendemen 40-45 %. Ini memiliki arti dari 100 kg gabah yang digiling hanya
menghasilkan 40–45 kg beras.5
Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat rendemen antara lain: cara
pemanenan, perontokan gabah, pengeringan, pengangkutan, penggilingan dan
penyimpanan. Pada dasarnya tidak seluruh penduduk Indonesia mengkonsumsi
beras secara teratur, data yang menunjukan 60%-75% penduduk indonesia
mengkonsumsi beras dan terkonsentrasi pada areal menengah – padat penduduk.
Dari areal padat penduduk contohnya Jakarta berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa,
konsumsi beras terbagi menjadi 4 kategori yaitu; 50% masyarakat yang
mementingkan ketersediaan beras/pangan murah, 25% sudah menginginkan beras
lumayan baik dengan harga murah, 15% menginginkan beras dengan rasa yang
baik dan harga yang tidak terlalu dimasalahkan, 10 % tidak perduli berapa harga
berasnya asalkan enak dimakan dan sehat.5 Namun demikian kebanyakan beras
dari petani memenuhi pangsa pasar beras murah yang memiliki mutu rendah.
Dengan demikian pendapatan yang diterimapun akan menjadi rendah, tidak
seimbang dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Dari paparan diatas, jelaslah
bahwa untuk menghasilkan beras yang bermutu diperlukan proses yang harus
dilakukan dengan sempurna.
Mutu beras, rendemen, mutu gabah dan kehilangan bobot saling berkaitan
selama proses perberasan. Mutu beras ditentukan oleh mutu gabah sewaktu
digiling, derajat sosoh, kondisi penggilingan dan penanganannya serta sifat
varietas7. Pada penetapan mutu gabah, rendemen giling mencakup rendemen
beras kepala dan rendemen total giling. Mutu giling beras merupakan persyaratan
utama dalam penetapan mutu gabah karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi
yaitu menentukan jumlah berat beras yang dihasilkan. Rendemen beras kepala
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
58
mempunyai keragaman yang besar yang tergantung pada berbagai faktor yaitu
varietas, jenis biji, butir kapur, cara budidaya, faktor lingkungan, perlakuan lepas
panen yang dimulai sejak pemanenan, perontokan, pengeringan, penyimpanan,
hingga penggilingan. Demikian juga rendemen total beras giling dipengaruhi
perlakuan tersebut diatas dan juga ditentukan oleh perbandingan sekam, kulit ari,
dan bagian endosperm. Mutu giling merupakan salah satu faktor penting yang
menentukan mutu beras. Mutu giling mencakup berbagai ciri, yaitu rendemen beras
giling, rendemen beras kepala, persentase beras pecah, dan derajat sosoh beras.
Sebagian besar beras yang beredar di beberapa daerah di Indonesia memiliki
derajat sosoh 80 % atau lebih dan persentase beras kepala lebih besar dari 75 %
dan mengandung butir patah kurang dari 30 %. Berbagai faktor yang meliputi
keadaan lingkungan, panen hingga penanganan pasca panen mempengaruhi mutu
giling disamping faktor genetik.8
Jenis pengujian mutu beras sesuai dengan SNI 6128: 2008 antara lain meliputi:
1. Kadar Air, merupakan kandungan air di dalam butir beras.
2. Butir Kepala, yaitu butir beras baik sehat maupun cacat yang mempunyai
ukuran lebih besar atau sama dengan 0.75 bagian dari butir beras utuh.
3. Butir Patah, yaitu butir beras baik sehat maupun cacat yang mempunyai ukuran
lebih besar dari 0.25 sampai dengan lebih kecil 0.75 dari butir beras utuh.
4. Butir Menir, yaitu butir beras baik sehat maupun cacat yang mempunyai ukuran
lebih kecil 0.25 bagian butir beras utuh.
5. Butir Merah, yaitu butir beras utuh, beras kepala, patah maupun menir yang
berwarna merah akibat faktor genetis.
6. Butir Kuning, yaitu butir beras utuh, beras kepala, beras patah dan menir yang
berwarna kuning, kuning kecokla-coklatan, dan kuning semu akibat proses fisik
atau aktivitas mikroorganisme.
7. Butir Kapur, yakni butir beras yang separuh bagian atau lebih berwarna seperti
kapur (chalky) dan bertekstur lunak yang disebabkan oleh faktor fisiologis.
8. Butir Rusak, yaitu butir beras utuh, beras kepala, beras patah dan menir
berwarna putih/bening, putih mengapur, kuning dan berwarna merah yang
mempunyai lebih dari satu bintik yang merupakan noktah disebabkan proses
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
59
fisik, kimiawi, dan biologi. Beras yang berbintik kecil tunggal tidak termasuk
butir rusak.
9. Benda Asing, yaitu benda-benda yang tidak tergolong beras, misalnya jerami,
malai, batu kerikil, butir tanah, pasir, logam, potongan kayu, potongan kaca,
biji-bijian, serangga mati, dan lain-lain.
10. Butir Gabah, yaitu butir padi yang sekamnya belum terkelupas atau terkelupas
sebagian.
Syarat mutu dari beras berdasarkan SNI 6128:2008 dibagi menjadi dua yakni:
1. Syarat Umum
a. Bebas hama dan penyakit
b. Bebas bau apek, asam atau bau asing lainnya
c. Bebas dari campuran dedak dan bekatul
d. Bebas dari bahan kimia yang membahayakan dan merugikan konsumen
2. Syarat Khusus
Adapun syarat khusus dari mutu beras menurut SNI 6128: 2008 dapat dilihat
pada Tabel.1 berikut ini:
Tabel.1 spesifikasi Persyaratan Mutu Beras Berdasarkan SNI 6128:2008.
No Komponen Mutu Satuan Mutu I
Mutu II
Mutu III
Mutu IV
Mutu V
1 Derajat sosoh (min) (%) 100 100 95 95 85
2 Kadar Air (maks) (%) 14 14 14 14 15
3 Butir Kepala (min) (%) 95 89 78 73 60
4 Butir Patah (maks) (%) 5 10 20 25 35
5 Butir Menir (maks) (%) 0 1 2 2 5
6 Butir Merah (maks) (%) 0 1 2 3 3
7 Butir Kuning/Rusak (maks) (%) 0 1 2 3 5
8 Butir Mengapur ( maks) (%) 0 1 2 3 5
9 Benda Asing (maks) (%) 0 0.02 0.02 0.05 0.20
10 Butir Gabah (maks) (butir/ 100 g)
0 1 1 2 3
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
60
Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu merupakan salah satu sentra produksi padi.
Data Luas Panen, Rata-rata Produksi, dan Produksi padi di Kabupaten Seluma,
Tahun 2007-2009 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Luas Panen, Rata-rata Produksi, dan Produksi padi di Kabupaten Seluma, Tahun 2007-2009.
Tahun Jenis Tanaman
2007 2008 2009
[1] [2] [3] [4]
Padi Sawah Luas Panen (Ha) Rata-rata Produksi (Kw/Ha) Produksi (Ton)
19,898 40.63 80,851
17,705 40.30 71,353
19,045 40.10 76,374
Padi Ladang Luas Panen (Ha) Rata-rata Produksi (Kw/Ha) Produksi (Ton)
1,858 20.34 3,780
899
20.83 1,873
677
21.14 1,431
Padi Luas Panen (Ha) Rata-rata Produksi (Kw/Ha) Produksi (Ton)
21,756 38.90 84,631
18,268 39.36 73,225
19,722 39.45 77,806
Sumber : Angka Tetap (ATAP) BPS Propinsi Bengkulu.
Berdasarkan data diatas, Kecamatan Seluma Selatan yang merupakan bagian
dari Kabupaten Seluma mempunyai luas persawahan 2.697 ha berdasarkan mata
pencarian penduduk sebagai petani sebanyak 5000 jiwa sehingga sangat
bberpotensi menjadi daerah sentra padi.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan pada komoditas padi di Kelurahan Rimbo
Kedui dilaksanakan kegiatan Model Pengembangan Pertanian Pedesaan Melalui
Inovasi (MP3MI). Pada kegiatan MP3MI ini diuji cobakan 3 VUB Padi Inpari yaitu
Inpari 6, 10 dan 13 dengan luas tanam + 2,7 ha dengan petani kooperator
berbeda. Berdasarkan hasil produktivitas dari ketiga varietas tersebut, varietas
inpari 10 merupakanVUB dengan produktivitas tertinggi yaitu 6.8 ton/ha GKP.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
61
METODOLOGI
Pengujian dilakukan di Laboratorium Pasca Panen, Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Bengkulu, pada Bulan Januari 2012. Bahan utama yang digunakan adalah
padi (beras) dari 3 varietas yang berbeda yakni: Inpari 6, Inpari 10, Inpari 13 dari
hasil panen padi sawah lahan irigasi intensif di Kabupaten Seluma, Bengkulu. Jenis
pengujian mutu beras meliputi kadar air, butir kepala, butir patah, butir menir,
putih merah, butir kuning/rusak, butir mengapur, benda asing, butir gabah.
Peralatan yang digunakan berupa ayakan berdiameter 2.0 mm, pinset, kaca
pembesar, timbangan analitik, oven, wadah, rice grader. Untuk pengujian mutu
beras giling seperti butir kepala, butir patah, butir menir, putih merah, butir
kuning/rusak, butir mengapur, benda asing, butir gabah , sampel yang digunakan
sebanyak 100 gram, sedangkan untuk menguji kadar air sampel yang digunakan
sebanyak 5 gram (mengacu pada cara pengujian berdasarkan SNI 6128:2008).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Mutu Beras
Dari hasil pengkajian uji varietas yang dilaksanakan di Kabupaten Seluma,
diperoleh hasil mutu beras 3 varietas pada Tabel 2 di bawah ini:
Tabel. 3 Data hasil pengujian mutu beras 3 varietas padi sawah Kab. Seluma.
Persentase(%)
No Varietas Butir Kepala
Butir Patah
Butir Menir
Butir Merah
Butir Kuning/rusak
Butir Kapur
Benda Asing
Butir Gabah
1 Inpari 6 68.26 12.58 3.28 0 0.84 0.42 0 0.1
2 Inpari 10 53.00 16.78 18.36 0 1.03 0.26 0 0.02
3 Inpari 13 66.96 12.90 10.28 0.04 0.06 0.36 0 0
Hasil pengujian mutu beras dari 3 varietas padi sawah irigasi di Kabupaten
Seluma menunjukkan bahwa Varietas Inpari 6 dan Inpari 13 menghasilkan beras
kepala 68,26 % 66.96 % ,termasuk dalam kategori Mutu IV (sesuai SNI
6128:2008), diikuti oleh varietas Inpari 10 yang menghasilkan beras kepala 53%
(Kategori Mutu V). Hal ini dikarenakan rendemen beras giling tersebut dipengaruhi
oleh varietas, karakteristik gabah, cara dan alat penggilingan, mutu beras yang
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
62
hendak dicapai, teknik budidaya dan agroekosistem pertanaman padi. Tinggi
rendahnya rendemen beras giling sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya
komponen beras kepala. Semakin meningkat bobot butir kepala, maka akan
semakin meningkat pula rendemen beras gilingnya.
Dari Table 2 di atas menunjukkan bahwa varietas Inpari 6, Inpari 10 dan
Inpari 13 menghasilkan butir patah 12.58%, 16.78 % dan 12.90 %, termasuk
dalam kategori Mutu III (sesuai SNI 6128;2008). Semakin tinggi persentase butir
patah dan menir, akan semakin menurunkan mutu fisik beras giling. Banyaknya
butir patah pada beras juga dipengaruhi oleh tingginya kadar air pada beras
tersebut. kadar air gabah sekitar 14 % merupakan kadar air optimal untuk digiling,
karena menghasilkan beras pecah paling sedikit dibandingkan kadar air gabah lebih
tinggi maupun lebih rendah dari 14 %.
Persentase butir menir pada varietas Inpari 6, Inpari 10, dan Inpari 13
masing-masing menghasilkan butir Menir 3,28 %, 18,36% dan 10,28%, termasuk
kategori Mutu IV (sesuai SNI 6128: 2008). Untuk butir merah tertinggi pada
varietas Inpari 13 sebesar 0.04 %, masuk dalam kategori mutu II lalu diikuti
varietas Inpari 6 dan Inpari 10 sebesar 0% termasuk dalam kategori mutu I
(sesuai SNI 6128:2008), kemudian varietas Inpari 6 dan Inpari 13 menghasilkan
butir kuning/rusak 0.84 % dan 0.06 %, masuk dalam kategori mutu II (SNI
6128;2008), sedangkan Inpari 10 menghasilkan butir kuning/rusak sebesar 1.03 %,
masuk dalam kategori mutu III (SNI 6128;2008). Hal ini dipengaruhi oleh proses
penggilingan dan kadar air dari masing-masing varietas. Persentase kadar air pada
3 varietas padi berkisar antara 9 sampai 13 %, dimana angka tersebut berada di
bawah pesentase kadar air normal saat penggilingan, yakni 14% sehingga
mengakibatkan beras banyak yang mudah patah karena gabah menjadi lunak pada
persentase kadar air tersebut.
Untuk butir kapur terendah pada varietas Inpari 10 menghasilkan butir kapur
0.26 % atau termasuk kategori Mutu II (Sesuai SNI 6128:2008), hal ini dipengaruhi
oleh faktor fisiologis dari masing-masing varietas dengan ditandai tekstur yang
lunak dan berwarna putih seperti kapur. Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa
varietas Inpari 6, 10 dan 13 tidak memiliki kandungan benda asing (0 %),
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
63
termasuk kategori mutu I (sesuai SNI 6128: 2008). Benda asing bisa berupa
jerami, malai, batu kerikil, butir tanah, pasir, logam, potongan kayu, potongan
kaca, biji-bijian lain, serangga mati, dan lain-lain yang kemungkinan terikut pada
saat proses panen dan penggilingan. Berdasarkan Tabel 2 di atas menunjukkan
bahwa varietas Inpari 6, Inpari 10, dan Inpari 13 memiliki kandungan butir gabah
masing-masing sebesar 0,1 %, 0.02 % dan 0% termasuk dalam kategori Mutu II
(sesuai SNI 6128:2008). Butir gabah merupakan butir padi yang sekamnya belum
terkelupas atau hanya terkelupas sebagian, biasanya dipengaruhi oleh proses
penggilingan atau penyosohan.
3. Kadar air beras
Untuk kadar air beras kegiatan uji varietas padi pada MT II lahan irigasi
insentif di Kabupaten Seluma dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 4. Data kadar air 3 varietas padi sawah irigasi intensif Kabupaten Seluma, Laboratorium Pasca Panen, BPTP Bengkulu, 2012.
No Varietas Kadar Air (%)
1. Inpari 6 11
2. Inpari 10 13
3. Inpari 13 9
Hasil pengujian mutu beras dari beberapa varietas padi di Kabupaten Seluma
menunjukkan bahwa kadar air dari 3 varietas padi masuk dalam kategori Mutu I
berdasarkan standar SNI 6128:2008. Dari Tabel 3. Diatas menunjukkan kadar air
tertinggi yakni pada varietas Inpari 10 sebesar 13 % dan terendah pada varietas
Inpari 13 (9%), dimana persentase kadar air padi 3 varietas ini dibawah kadar air
normal (14%) sehingga mempengaruhi hasil penggilingan dan kualitas beras.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
64
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada pengujian mutu beras berdasarkan standar nasional Indonesia (SNI)
6128:2008 pada 3 varietas padi lahan sawah irigasi intensif di Kabupaten Seluma,
diperoleh bahwa Varietas Inpari 10 memiliki mutu beras paling paik dibandingkan
varietas lainnya yang di tanam di lahan sawah irigasi di Kelurahan Rimbo Kedui
Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma Propinsi Bengkulu.
DAFTAR PUSTAKA
Kiat Pedagang Mempertahankan SinarTani, (http://www.sinar tani.com/index.php?option=com-content&view=article&id=3223&catid=298=pasca-panen&itemid=559, diakses tanggal 1 Januari 2012, pukul 11.15 WIB).
R.N.E.Soerjandoko, Teknik Pengujian Mutu Beras Skala Laboratorium, Buletin TeknikPertanian, Vol.15,No.2, 2010, hal.44-47.
M.Nur,Gaybita, Peningkatan Mutu Beras, PERPADI, Jakarta, 2009.
Wijaya, Pengaruh Kadar Air Gabah Terhadap Mutu Fisik Beras Giling,Staff Pengajar Fakultas Pertanian, Unswagati, Cirebon.
Pusat Standarisasi dan Akreditasi Deptan, Meningkatkan Harga Gabah Melalui Peningkatan Kualitas, Edisi Mei 2003 (http://www.deptan.go.id/buletin/infomutu/mei_03.pdf, diakses pada 5 Januari 2012, pukul 11.30 WIB).
Soemardi, 1982, Produksi, Rendemen dan Mutu gabah/Beras Hasil Panen Petani, Laporan Kemajuan, Seri Teknologi Pasca Panen No. 15 , BPTP Bogor, Sub BPTP Karawang.
Hayadi, Proses Penggilingan Beras dan Pengaruhnya Terhadap Mutu Beras, 2006 (http://kuliahitukeren.blogspot.com/2011/03/proses-penggilingan-beras-dan html, diakses pada tanggal 1 Februari 2012, pukul 11.45 WIB).
Herlina,E, Hermanasari, R, Siwi, H.P, 2009, Mutu Beras Galur-Galur Padi Gogo,di dalam Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional 2010, Buku 3. Hal 1259-1268.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
65
PENINGKATAN PERSEPSI PETANI DALAM PENERAPAN PTT PADI SAWAH (STUDI KASUS : Kelompok Tani Harapan Maju II
Desa Rimbo Recap Kabupaten Rejang Lebong) Ruswendi dan Bunaiyah Honorita
ABSTRAK
Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas padi adalah melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Individu petani dalam memahami suatu inovasi adalah melalui proses persepsi. Perubahan persepsi petani menjadi lebih baik merupakan upaya yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan diseminasi inovasi dan dapat dijadikan indikator adopsi inovasi yang didiseminasikan. Pengkajian dilaksanakan untuk mengetahui persepsi petani Kelompok Tani Harapan Maju II Desa Rimbo Recap Kabupaten Rejang Lebong, tentang penerapan komponen teknologi PTT padi sawah sebelum dan sesudah dilaksanakannya kegiatan diseminasi percepatan adopsi inovasi teknologi. Data yang diambil terdiri dari data primer meliputi karakteristik petani, persepsi petani terhadap komponen teknologi PTT padi sawah, faktor-faktor yang mempengaruhinya dan data sekunder diambil dari data Desa, BPP Lubuk Ubar dan Dinas Pertanian Kabupaten Rejang Lebong. Aanalisis data menggunakan Uji Statistik Wilcoxon Signed Ranks Test dan Korelasi Peringkat Spearman. Hasil pengkajian menunjukkan terdapatnya peningkatan persepsi petani mengenai komponen PTT padi sawah dari sebelum adanya kegiatan diseminasi memperlihatkan nilai rata-rata total skor 3,34 (kriteria cukup baik) dan meningkat menjadi 4,43 (kriteria sangat baik). Tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap persepsi petani, hal ini dimungkinkan adanya faktor-faktor eksternal lainnya yang belum terukur, seperti; norma-norma, kebiasaan, komunikasi sosial, interaksi sosial dan belajar sosial individu petani dalam sistem sosial. Persepsi petani terhadap inovasi teknologi juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan alam (agro-ekosistem dan agro-klimat).
Kata kunci: persepsi, petani, komponen teknologi, PTT padi sawah dan diseminasi
PENDAHULUAN
Sasaran pembangunan pertanian saat ini tidak hanya untuk meningkatkan
produktivitas hasil pertanian, tetapi juga diarahkan untuk meningkatkan
kesejahteraan petani dan keluarganya. Peningkatan kesejahteraan petani
merupakan salah satu tujuan penyuluhan pertanian, yang ditegaskan dalam UU RI
No.16 Tahun 2006. Bahwa penyuluhan juga ditujukan untuk memberdayakan
pelaku utama dan pelaku usaha dalam peningkatan kemampuan melalui penciptaan
iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan potensi,
pemberian peluang, peningkatan kesadaran dan pendampingan serta fasilitasi.
Pencapaian sasaran penyuluhan salah satunya dilakukan melalui pengembangan
dan diseminasi inovasi pertanian serta penumbuhan motivasi pada petani
menggunakan inovasi teknologi. Karakteristik individu yang diperlihatkan dengan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
66
sikap empati, dogmatis, kemampuan abstraksi, rasionalitas, intelegensi, sikap
terhadap perubahan, keberanian beresiko dan sikap futuristik, termasuk salah satu
faktor yang dipertimbangkan dalam kegiatan diseminasi agar mendukung
efektivitas penyampaian pesan pembangunan (Pertiwi dan Saleh, 2010). Sehingga
memperkuat keputusan petani untuk memilih dan mengadopsi inovasi teknologi
yang awalnya, terbentuk dari penilaian dan persepsi petani terhadap komponen
teknologi PTT padi sawah tersebut.
Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi beras adalah melalui
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah yang merupakan suatu
pendekatan inovatif dan dinamis dalam upaya meningkatkan produksi dan
pendapatan petani melalui perakitan komponen teknologi secara partisipatif
bersama petani yang meliputi; varietas unggul baru, benih bermutu dan berlabel,
pemberian bahan organik melalui pengembalian jerami atau pupuk kandang ke
sawah dalam bentuk kompos, pengaturan populasi tanaman secara optimum,
pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah, pengendalian
OPT (organisme pengganggu tanaman) dengan pendekatan PHT (pengendalian
hama terpadu), pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam, penggunaan bibit
muda (<21 hari), tanam bibit 1-3 batang per rumpun, pengairan secara efektif dan
efisien, penyiangan dengan landak atau gasrok, serta panen tepat waktu dan
gabah segera dirontok (Badan Litbang Pertanian, 2010).
Petani padi merupakan sasaran yang perlu dijamah dalam pengembangan
dan diseminasi inovasi pertanian, mengingat petani padi merupakan individu pelaku
utama dalam penyediaan produksi beras. Sedangkan Individu petani dalam
memahami suatu inovasi adalah melalui proses persepsi, termasuk persepsi petani
terhadap suatu inovasi teknologi baru merupakan proses pengorganisasian dan
interpretasi terhadap stimulus yang diterima oleh individu petani. Sehingga inovasi
teknologi tersebut merupakan sesuatu yang berarti, bermanfaat dan merupakan
aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu sebelum mengambil keputusan untuk
berperilaku. Menurut Bulu (2010), bentuk keputusan berperilaku adalah merupakan
tindakan individu untuk memaknai inovasi teknologi yang telah diyakini dan
dibuktikan.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
67
Dengan dilaksanakannya kegiatan pengembangan diseminasi di Kabupaten
Rejang Lebong, diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan merubah
persepsi petani terhadap diseminasi inovasi teknologi yang pada akhirnya memacu
mereka mengadopsi inovasi pertanian komoditas padi yang dikembangkan. Oleh
karena itu, diperlukan pengkajian mengenai persepsi petani terhadap komponen
teknologi PTT padi sawah dan faktor-faktor yang mempengaruhi sebelum dan
sesudah dilaksanakannya kegiatan pengkajian dan diseminasi percepatan adopsi
inovasi teknologi padi sawah.
BAHAN DAN METODE
Pengkajian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2011
pada Kelompok Tani Harapan Makmur II Desa Rimbo Recap, Kecamatan Curup
Selatan Kabupaten Rejang Lebong. Pemilihan tempat dilakukan secara sengaja
(purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa Rimbo Recap merupakan salah satu
daerah sentra produksi padi dan dijadikan sebagai lokasi beberapa kegiatan
diseminasi BPTP Bengkulu. Metode yang digunakan dalam pengkajian ini adalah
metode survei dengan alat ukur kuesioner, terhadap 30 orang petani di sekitar
lokasi percontohan aplikasi komponen teknologi PTT padi sawah yang dipilih
menggunakan metode simple random sampling. Data yang diambil terdiri dari data
primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik petani, persepsi petani
terhadap komponen teknologi PTT padi sawah, serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Data sekunder diambil dari data Desa, BPP Lubuk Ubar dan
Dinas Pertanian Kabupaten Rejang Lebong.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif dan interval
kelas. Menurut Nasution dan Barizi dalam Rentha, T (2007), penentuan interval
kelas untuk masing-masing indikator adalah:
NR = NST – NSR dan PI = NR : JIK
Dimana : NR : Nilai Range PI : Panjang Interval NST : Nilai Skor Tertinggi JIK : Jumlah Interval Kelas NSR : Nilai Skor Terendah
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
68
Peningkatan persepsi petani dianalisis dengan menggunakan Uji Statistik
Wilcoxon Signed Ranks Test dengan rumus:
T - µT Z =
oT
Sedangkan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi petani
digunakan Uji Statistik Korelasi Peringkat Spearman (Alma dan Riduwan: 2009).
Rumus yang digunakan adalah:
6 ∑di2 rs = 1-
n (n2 – 1)
∑di2
n = ∑ {R (Xi ) – R (yi )}2 i=1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Desa Rimbo Recap
Desa Rimbo Recap merupakan salah satu desa yang berada dalam wilayah
Kecamatan Curup Selatan Kabupaten Rejang Lebong selaku daerah sentra beras di
Provinsi Bengkulu. Jarak tempuh desa ke Ibu kota Kecamatan 2 km, ke Ibukota
Kabupaten 3 km dan ke Ibukota Provinsi 85 km. Secara administratif, Desa Rimbo
Recap berbatasan dengan kelurahan Air Putih di sebelah Timur, Desa Lubuk Ubar
di sebelah Barat, kelurahan Dwi Tunggal di sebelah Utara dan Desa Suka Marga di
sebelah Selatan. Topografi wilayah datar dan bergelombang dengan kemiringan 5-
100, ketinggian 600-700 m dpl, suhu rata-rata 260C dan curah hujan berkisar antara
2.500 - 3.000 mm/tahun. Sebagian besar petani di Desa Rimbo Recap merupakan
petani penggarap dengan usahatani budidaya tanaman pangan, seperti padi dan
palawija. Penggunaan lahan dan luas wilayah Desa Rimbo Recap, terdiri dari lahan:
persawahan 120 ha, perkampungan 10 ha, dan lain-lain 1,5 ha. Pola usahatani
yang diterapkan masyarakat secara umum, adalah menerapkan pola tani (Padi) –
(Padi+Palawija) – (Padi+Palawija/Sayuran).
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
69
Persepsi Petani
Hasil pengkajian memperlihatkan persepsi petani terhadap penerapan
komponen teknologi PTT padi sawah setelah diuji analisis statistik Wilcoxon Signed
Ranks Test, memperlihatkan ada perbedaan antara persepsi petani mengenai PTT
padi sawah sebelum dan sesudah implementasi kegiatan diseminasi percepatan
adopsi. Dimana persepsi petani sebelum adanya kegiatan diseminasi secara umum
berada pada kondisi kriteria cukup baik dengan rata-rata skor total 3,34. Kemudian
setelah kegiatan diseminasi aplikasi komponen teknologi PTT padi sawah terjadi
peningkatan persepsi menjadi kondisi kriteria sangat baik dengan rata-rata skor
total menjadi 4,43. Sehingga secara keseluruhan, memperlihatkan dimana persepsi
petani mengenai PTT padi sawah sesudah dilaksanakannya kegiatan diseminasi
percepatan adopsi inovasi teknologi menjadi 132,63% atau mengalami peningkatan
sebesar 32,63% (Tabel 1).
Begitu juga dengan masing-masing komponen teknologi, secara keseluruhan
persepsi petani contoh terhadap penerapan masing-masing komponen teknologi
tergambar 100% mengalami peningkatan dari sebelum penerapan dibandingkan
dengan setelah dilaksanakannya kegiatan pengkajian diseminasi inovasi teknologi
percontohan penerapan komponen teknologi dan pemanfaatan limbah pertanian
sebagai pupuk organik padi sawah.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
70
Tabel 1. Deskripsi persepsi petani terhadap penerapan PTT padi sawah sebelum dan sesudah dilaksanakannya kegiatan diseminasi percepaan adopsi inovasi teknologi di Desa Rimbo Recap Kabupaten Rejang Lebong.
Skor Persepsi Petani* Komponen Teknologi PTT Padi Sawah Sebelum Sesudah
Varietas unggul baru 2,38 4,54
Benih bermutu dan berlabel 2,58 4,63
Pemberian bahan organik 2,17 3,88
Pengaturan populasi tanam melalui jajar legowo 2,71 4,71
Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman & status hara 3,63 4,13
Pengendalian OPT dengan pendekatan PHT 2,88 4,21
Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam 3,79 4,04
Penggunaan bibit muda (umur <21 hari) 4,04 4,13
Tanam bibit 1-3 batang per rumpun 4,17 4,92
Pengairan secara efektif dan efisien 4,33 4,79
Panen tepat waktu dan gabah segera dirontok 4,13 4,75
Jumlah 36,79 48,71
Rerata 3,34 4,43
Keterangan : * 1,00 -1,80 = sangat buruk; 1,81-2,60 = buruk; 2,61-3,40 = cukup baik; 3,41- 4,20 = baik; 4,21-5,00 = sangat baik.
Namun bila dilihat tingkatan persepsi masing-masing komponen teknologi,
hanya terlihat komponen teknologi pengairan secara efektif dan efisien sudah sejak
awal diterapkan perani di desa Rimbo Recap dengan baik yaitu berada pada
tingkatan skor sangat baik (4,33). Hal ini dikarenakan desa Rimbo Recap telah
memiliki jaringan pengairan untuk kebutuhan persawahan, sehingga kebutuhan air
bagi usahatani padi sawah masyarakat tercukupi. Sedangkan komponen tekbologi
lainnya seperti penggunaan Varietas Unggul Baru (VUB); benih bermutu dan
berlabel yang pada awalnya berada dalam kondisi buruk (2,38 dan 2,58) meningkat
menjadi sangat baik (4,54 dan 4,63) dan pemberian bahan organik dari kondisi
buruk (2,17) hanya meningkat menjadi tingkatan kondisi baik (3,88).
Komponen teknologi PTT yang tingkatan persepsi awalnya sudah berada
dalam kondisi cukup baik adalah; Pengaturan populasi tanam melalui jajar legowo
dan Pengendalian OPT dengan pendekatan PHT berada pada skor 2,71 dan 2,88
juga telah meningkat menjadi sangat baik dengan skor 4,71 dan 4,21. Namun
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
71
untuk komponen teknologi Penggunaan bibit muda (umur <21 hari) dan
Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman & status hara dengan skor awalnya
3,63 dan 4,04 hanya meningkat menjadi 4,13 dan 4,14 dan masih tetap berada
pada tingkatan persepsi kondisi baik (rank skore 3,41- 4,20).
Sedangkan komponen teknologi tanam bibit 1-3 batang per rumpun serta
panen tepat waktu dan gabah segera dirontok yang persepsi awalnya sudah baik
(4,17 dqn 4,13), juga menjadi semakin baik (4,92 dan 4,76). Namun dari
keseluruhan komponen teknologi PTT padi sawah yang didiseminasikan, komponen
teknologi tanam bibit 1-3 batang per rumpun merupakan peringkat persepsi terbaik
mendekati sempurna dan meyakinkan petani padi sawah di desa Rimbo Recap
yaitu; berada pada skor persepsi petani 4,92.
Dari gambaran analisis masing-masing komponen teknologi yang masih
bervariasi, terlihat bahwa peningkatan persepsi petani dalam penerapan PTT padi
sawah tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan petani sendiri. Tetapi juga
dipengaruhi berbagai faktor luar dan linkungan lainnya, seperti faktor kondisi,
budaya atau kebiasaan sistem budidaya padi sawah yang turun-temurun. Bulu
(2010) menggambarkan, bahwa persepsi petani terhadap sesuatu inovasi teknologi
baru dapat dipengaruhi oleh faktor internal (dari dalam diri individu) dan faktor
eksternal (atau dari stimulus itu sendiri dan lingkungan). Secara psikologis, persepsi
individu petani terhadap suatu inovasi teknologi sangat dipengaruhi oleh
kemampuan pemberian makna atau arti teknologi, pengalaman individu, perasaan,
keyakinan, pengetahuan tentang inovasi, kemampuan berfikir dan motivasi untuk
belajar. Van den Ban dan Hawkins (2000) menggambarkan, bahwa belajar adalah
memperoleh serta memperbaiki kemampuan seseorang untuk melaksanakan suatu
pola sikap melalui pengalaman dan praktek. Hal ini akan menimbulkan proses
psikologis, sehingga individu akan menyadari apa yang ia lihat, ia dengar dan
sebagainya.
Tingkat pendidikan diduga menjadi faktor yang mempengaruhi persepsi
petani. namun dari hasil analisis menggunakan Uji Statistik Koefisien Korelasi
Peringkat Spearman, yernyata pendidikan tidak berpengaruh terhadap tingkat
persepsi petani dalam penerapan PTT padi sawah di desa Rimbo Recap. Kondisi ini
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
72
dimungkinkan oleh faktor-faktor eksternal lainnya yang belum terukur, seperti;
norma-norma, kebiasaan, komunikasi sosial, interaksi sosial, dan belajar sosial
individu petani dalam sistem sosial. Oleh Mar’at dalam Bulu (2010) hal tersebut
merupakan salah satu faktor yang disebut sebagai “hambatan” dan merupakan
salah satu variabel eksternal penentu persepsi petani, terutama kesesuaian inovasi
teknologi terhadap kondisi ago-ekosistem maupun agro-klimat setempat.
Melalui kegiatan diseminasi inovasi komponen teknologi PTT padi sawah,
tergambar perubahan persepsi petani bernilai positif, yaitu persepsi petani menjadi
meningkat. Peningkatan persepsi petani mengisyaratkan bahwa petani percaya dan
setuju dengan apa yang sudah diterapkan dan didiseminasikan. Peningkatan
persepsi petani merupakan langkah awal dalam menumbuhkan minat (kepercayaan
petani) dalam merubah keterampilan, sehingga pada akhirnya komponen PTT padi
sawah dapat diadopsi dan diterapkan langsung oleh petani.
Berkaitan dengan hal tersebut, berarti bahwa dengan adanya kegiatan
diseminasi yang meliputi demonstrasi atau praktek dan bimbingan langsung yang
melibatkan petani secara partisipatif mulai dari awal hingga akhir kegiatan serta
diikuti dengan penyuluhan (bimbingan dan edukasi) mengenai PTT padi sawah,
telah mendorong pengetahuan petani menjadi meningkat yang pada akhirnya
merubah persepsi petani menjadi lebih baik.
KESIMPULAN
1. Terjadi peningkatan persepsi petani mengenai PTT padi sawah sebelum dan
sesudah implementasi kegiatan diseminasi dilaksanakan, dimana persepsi petani
sebelum adanya kegiatan diseminasi berada pada kriteria cukup baik dengan
rata-rata skor total 3,34 yang kemudian meningkat menjadi 4,43 dengan kriteria
sangat baik dan secara keseluruhan memperlihatkan perserpsi inovasi teknologi
tergambar menjadi 132,63% atau mengalami peningkatan sebesar 32,63%.
2. Persepsi petani secara keseluruhan terhadap penerapan dari masing-masing
komponen teknologi PTT padi mengalami peningkatan (100%) setelah
dilaksanakannya kegiatan diseminasi inovasi teknologi percontohan penerapan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
73
komponen teknologi dan pemanfaatan limbah pertanian sebagai pupuk organik
pada padi sawah.
3. Pendidikan tidak berpengaruh terhadap tingkat persepsi petani, kemungkinan
disebabkan oleh faktor-faktor eksternal lainnya yang belum terukur, seperti
norma-norma, kebiasaan, komunikasi sosial, interaksi sosial, dan belajar sosial
individu petani dalam sistem sosial serta kondisi lingkungan alam (agro-
ekosistem dan agro-klimat).
DAFTAR PUSTAKA
Alma B dan Riduwan. 2009. Pengantar Statistika Sosial. Penerbit CV. Alfabeta. Bandung.
Badan Litbang Pertanian. 2010. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Kementerian Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Bulu Yohanes Geli. 2010. Persepsi Petani Terhadap Peran Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) dalam Usahatani Padi di Kecamatan Sukaharjo Kabupaten Sukoharjo (Online). http://h0404055. wordpress.com/2010/04/07/. Diakses 30 Mei 2012. Bengkulu.
Dinas Pertanian R/L . 2011. Produktivitas Padi Sawah Kabupaten Rejang Lebong Tahun 2010. Dinas Pertanian Kabupaten Rejang Lebong. Curup.
Pertiwi, R P dan Saleh A. 2010. Persepsi Petani Tentang Saluran Komunikasi Usahatani Padi (Online). http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/32203/ Pepi%20Rospina%20Pertiwi%28ppt%29_Makalah%20Penunjang.pdf Diakses 30 Mei 2012. Bengkulu.
Rentha, T. 2007. Identifikasi Perilaku, Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Irigasi Teknis Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga Pupuk di Desa Bedilan Kecamatan Belitang OKU Timur (Skripsi S1). Universitas Sriwijaya. Palembang.
Van Den Ban dan Howkins. 2000. Penyuluhan Pertanian. Penerbit CV. Kanisius. Yogyakarta.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
74
ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN (OPT) PENTING PADA SENTRA TANAMAN PADI SAWAH MT 2010/2011 dan MT 2011
Sri Suryani M. Rambe dan Kusmea Dinata
ABSTRAK
Salah satu upaya untuk mencapai target produksi padi sebesar 70,6 juta ton GKG pada tahun 2011 memerlukan dukungan sistem monitoring serangan OPT dan pelaporan yang intensif secara berkesinambungan untuk menerapkan pengendalian hama terpadu. Tujuan kegiatan ini adalah untuk menentukan beberapa jenis OPT penting pada tanaman padi sawah yang menyerang di provinsi Bengkulu, serta mendapatkan informasi tentang luas serangan dan intensitas serangan OPT penting pada tanaman padi sawah pada MT I tahun 2010/2011 dan MT II tahun 2011. Pelaksanaan kegiatan dilakukan pada setiap kabupaten yang ada di provinsi Bengkulu dengan mengambil satu wilayah kerja POPT-PHP atau wilayah kecamatan. Waktu pelaksanaan dimulai dari MT I tahun 2010/2011 sampai MT II tahun 2011. Pelaksanaan kegiatan monitoring berbagai jenis OPT penting pada tanaman padi meliputi intensitas serangan, populasi dan luas serangan. Data di kumpulkan dari laporan POPT-PHP yang ada di setiap kabupaten di satu wilayah kerja/wilayah kecamatan yang mewakili sentra produksi padi. Dari hasil observasi lapangan jenis OPT penting pada MT I yaitu: walang sangit, hama tikus, ulat grayak, penggerek batang padi, penyakit blas dan tungro luas serangannya 141,2 ha, 57,2 ha, 52 ha, 23,0 ha, 13,7 ha, dan 17,2 ha. Pada pengamatan MT II juga terdapat serangan walang sangit, hama tikus, ulat grayak, penggerek batang padi, penyakit blas dan tungro luas serangannya: 155,5 ha, 77,2 ha, 5,0 ha, 25,5 ha, 1,2 ha dan 35,5 ha.
Kata kunci: organisme pengganggun tanaman penting, monitoring, padi
PENDAHULUAN
Organisme Penggangu Tanaman (OPT) merupakan salah satu faktor
penghambat dalam upaya meningkatkan produktvitas padi di Indonesia. Pada
musim hujan 2007/2008, dilaporkan luas serangan penggerek batang padi 64.973
ha, wereng batang coklat 9.906 ha, tikus 44.470 ha, tungro 2.355 ha dan blas
4.707 ha (BBPOPT, 2008). Fenomena tersebut berpotensi menimbulkan gangguan
produksi padi nasional. Oleh karena itu, upaya untuk mencapai target produksi padi
sebesar 70,6 juta ton GKG pada tahun 2011 memerlukan dukungan sistem
moinitoring serangan OPT dan pelaporan yang intensif secara berkesinambungan.
Pengamatan dan pelaporan OPT merupakan komponen kegiatan
perlindungan tanaman. Dari kegiatan tersebut akan diperoleh data kualitatif dan
kuantitatif yang berguna sebagai bahan untuk pengambilan keputusan dan
langkah-langkah operasional pengendalian OPT secara terpadu (Ditlin, 2008).
Dalam rangka penerapan PHT, pengamatan dan pelaporan merupakan kegiatan-
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
75
kegiatan yang amat mendasar. Dari kegiatan tersebut diharapkan dapat diperoleh
gambaran tentang adanya serangan, luas serangan, kepadatan populasi atau
itensitas serangan.
Adapun tujuan dari kegiatan ini yaitu untuk menentukan beberapa jenis OPT
penting pada tanaman padi sawah yang menyerang di provinsi Bengkulu, serta
mendapatkan informasi tentang luas serangan dan intensitas serangan OPT penting
tanaman padi sawah pada musim tanam I (MT I) 2010/2011 dan Musim Tanam II
(MT II) 2011.
METODE PENELITIAN
Ruang Lingkup
Pelaksanaan kegiatan dilakukan pada setiap kabupaten yang ada di provinsi
Bengkulu dengan mengambil satu wilayah kerja POPT-PHP atau wilayah
kecamatan. Waktu pelaksanaan dimulai dari MT I tahun 2010/2011 sampai MT II
tahun 2011.
kegiatan yang dilakukan yaitu monitoring berbagai jenis OPT penting pada
tanaman padi meliputi intensitas serangan dan luas serangan. Data di kumpulkan
dari laporan POPT-PHP yang ada di setiap kabupaten di satu wilayah kerja/wilayah
kecamatan yang mewakili sentra produksi padi.
Tahapan Pelaksanaan
1. Sosialisasi dan koordinasi dengan Petugas POPT-PHP setiap kabupaten yang
terlibat kegiatan monitoring OPT 2011. Satu orang petugas untuk satu
kabupaten/kota dalam satu wilayah kerja/kecamatan.
2. Penentuan petak contoh pengamatan tetap dan pengamatan keliling. Setiap
petugas POPT-PHP menentukan petak pengamatan tetap dengan cara
mengambil 3 unit petak contoh pada perpotongan garis diagonal terpanjang,
masing-masing unit contoh diambil 10 rumpun tanaman sampel, kemudian
diamati seminggu sekali.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
76
3. Pengumpulan data oleh petugas POPT-PHP yang dikirimkan setiap 2 minggu
sekali selama MT I sampai MT II, sesuai pedoman pengamatan dan pelaporan
Perlindungan Tanaman Pangan, Direktorat Jendral Tanaman Pangan.
Variabel pengamatan
1. Identifikasi OPT penting pada tanaman padi sawah
Identifikasi dilaksanakan dengan cara mengamati gejala yang ditimbulkan dan
melihat tanda-tanda keberadaan jenis OPT.
2. Luas dan Intensitas serangan OPT penting padi sawah
Luas dan intensitas serangan OPT dilakukan dengan cara menghitung luas
serangan OPT penting pada wilayah kerja/kecamatan POPT-PHP, kemudian
dihitung intensitas serangannya. Dapat dihitung dengan menggunakan rumus
(Ditlin, 2007):
1. Intensitas serangan mutlak n
I = x 100% N
Keterangan I : Intensitas serangan n : Jumlah tanaman/bagian tanaman yang rusak N : Jumlah seluruh tanaman/bagian tanaman yang diamati
2. Intensitas serangan tidak mutlak
∑ (ni x vi)
I = x 100% N x Z Keterangan I : Intensitas serangan ni : Jumlah sampel pada katagori kerusakan vi : Skor pada sampel N : Jumlah total sampel Z : Skor tertinggi dari katagori serangan
Nilai Skoring kerusakan: 0 : Tidak ada serangan 1 : Apabila ada 1/4 bagian tanaman terserang 3 : Apabila ada 1/3 bagian tanaman terserang 5 : Apabila ada1/2 bagian tanaman terserang 7 : Apabila ada 3/4 bagian tanaman terserang 9 : Apabila ada > 3/4 bagian tanaman terserang
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
77
Tabel 1. Katagori intensitas serangan hama dan Penyakit tanaman padi.
Kisaran intensitas serangan hama
Katagori Kisaran intensitas serangan penyakit
0-25% 25 - <50% 50 - 90%
>90%
Intensiatas ringan Intensitas sedang Intensitas berat Puso
<11% 11 - <25% 25 - <75% 75 - 100 %
Analisis Data
Data OPT yang diperoleh dari petugas POPT dianalisis secara statistik deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan dan Identifikasi OPT Penting Tanaman Padi
Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan pada petak tetap MT I dan MT II,
terdapat enam jenis OPT penting dari beberapa OPT utama yang menyerang
tanaman padi. Keenam jenis OPT tersebut yaitu hama penggerek batang padi,
hama tikus, hama walang sangit, hama ulat grayak, penyakit blas, dan penyakit
tungro. Data hasil pengamatan disajikan pada tabel 2 dan 3.
Tabel 2. Data luas dan intensitas serangan OPT penting tanaman padi MT I pada wilayah pengamatan Kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu tahun 2010/2011.
Jenis OPT
PB UG WS TK TG BL NO Kabupaten/Kota/kecamatan
L I L I L I L I L I L I
1 Kota Bengkulu/Gading cempaka 6,5 R - - 5,0 R - - - - 3,0 R
2 Seluma/Seluma Selatan 1,0 R 52,0 R 34,0 R 20,0 R 2,0 S 3,0 S
3 Bengkulu Tengah/Taba Penanjung - - - - 10,5 R 10 R 5 R - -
4 Bengkulu Utara/Argamakmur 0,2 R - - 12,0 R - - - - - -
5 Bengkulu Selatan/Seginim - - - - 9,0 R 4,5 R - - 2,5 R
6 Kepahiang/kepahiang 0,7 R - - 22,2 R 1,7 R 6,7 S 5,2 R
7 Rejang Lebong/Curup Selatan - - - - - - - - - - - -
8 Lebong/Lebong selatan - - - - 1,0 R 3,0 R 3,0 S - -
9 Kaur/Kaur Selatan 13,0 R - - 45,0 R 18,0 R - - - -
10 Mukomuko/XIV Koto 1,5 R - - 2,5 R - - 0,5 R - -
Keterangan: PB : Penggerek Batang UG : Ulat Grayak WS : Walang Sangit TK : Tikus TG : Tungro BL : Blas malai L : Luas serangan (ha) R : Intensitas ringan I : Intensitas serangan (%) S : Intensitas sedang
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
78
Tabel 3. Data luas dan intensitas serangan OPT penting tanaman padi MT II pada wilayah pengamatan Kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu tahun 2011.
Jenis OPT
PB UG WS TK TG BL NO Kabupaten/Kota/Kecamatan
L I L I L I L I L I L I
1 Kota Bengkulu/Gading Cempaka 6,5 R - - 1,5 R 1,0 R - - - -
2 Seluma/Seluma Selatan 5,0 R 5,0 S 15,0 R 8,0 R 4,0 S - -
3 Bengkulu Tengah/Taba Penanjung - - - - 20 R 15 R 7 R - -
4 Bengkulu Utara/Argamakmur - - - - 37,5 R 2,5 R - - - -
5 Bengkulu Selatan/Seginim - - - - 6,0 R 12,0 R - - - -
6 Kepahiang/kepahiang 1,0 R - - 3,0 R 1,75 R 7,0 S 1,2 R
7 Rejang Lebong/Curup Selatan - - - - - - - - - - - -
8 Lebong/Lebong Selatan - - - - - - 3,0 R 5,0 S - -
9 Kaur/ Kaur Selatan 12,0 R - - 70,0 R 34,0 R 10,0 R - -
10 Mukomuko/XIV Koto 1,0 R - - 2,5 R - - 2,5 S - -
Keterangan:
PB : Penggerek Batang UG : Ulat Grayak WS : Walang Sangit TK : Tikus TG : Tungro BL : Blas malai L : Luas serangan (ha) R : Intensitas ringan I : Intensitas serangan (%) S : Intensitas sedang
Serangan hama walang sangit memiliki sebaran yang paling tinggi, terlihat
hampir seluruh kabupaten terdapat serangan. Kemudian diikuti hama tikus,
penggerek batang padi, tungro, blas dan terakhir serangan hama ulat grayak yang
hanya terjadi di kabupaten Seluma.
Walang sangit (Leptocorisa oratorius L) adalah hama yang menyerang
tanaman padi setelah berbunga dengan cara menghisap cairan bulir padi,
menyebabkan bulir padi menjadi hampa atau pengisiannya tidak sempurna.
Di Indonesia telah dikenal 6 jenis penggerek batang padi, yang terdiri dari
lima jenis famili Pyralidae dan satu jenis famili Noctuidae. Jenis-jenis penggerek
batang padi ini memiliki sifat atau ciri yang berbeda dalam penyebaran dan
bioekologi, namun hampir sama dalam cara menyerang dan kerusakan yang
ditimbulkannya. Gejala serangan pada masa vegetatif dapat berupa matinya titik
tumbuh karena digerek oleh larva penggerek batang, yang dapat mengakibatkan
berkurangnya anakan dan penghambatan pertumbuhan (gejala sundep).
Sedangkan pada masa generatif dapat mengakibatkan pembentukan bulir gabah
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
79
tidak sempurna karena batang pangkal malai digerek oleh larva penggerek batang
(gejala beluk) (Ditlin, 2007b).
Hama tikus merupakan hama yang cukup penting pada tanaman padi, hama
ini dapat menyerang pada fase vegetatif dan generatif. Gejala serangan yang
ditimbulkan yaitu dengan cara mengerat batang tanaman padi, dekat pangkal
batang. Gejala berupa terdapat bekas eratan yang berbentuk miring sekitar 45o.
Penyakit blas disebabkan oleh jamur Pyricularia oryzae gejala penyakit blas
dapat ditimbulkan pada daun dan malai (Semangun, 1990; Utami et al, 2006).
Gejala pada daun yang sering disebut blas daun (leaf blas), yaitu berupa bercak
berbentuk jorong dengan ujung-ujung runcing. Serangan ini dapat menimbulkan
kerugian yang besar karena hampir semua biji pada malai hampa (Semangun,
1990).
Penyakit tungro disebabkan oleh virus, yang ditularkan oleh wereng hijau
Nephotettix virescens. Gejala yang ditimbulkan yaitu terjadinya penghambatan
pertumbuhan dan warna daunnya berubah, yang bervariasi dari kuning sampai
merah jambu (Semangun, 1990; Ditlin, 2007b).
Hama Ulat grayak dapat menyerang tanaman pada masa vegetatif dan
generatif. Gejala serangan dapat berupa bekas gigitan ulat pada daun, pada
serangan berat tanaman padi muda terlihat bekas tunggul-tunggulnya saja.
Luas serangan OPT penting padi di provinsi Bengkulu
Total luas serangan OPT penting pada tanaman padi musim tanam
2010/2011 dapat disajikan pada tabel 4.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
80
Tabel 4. Data luas serangan OPT penting tanaman padi sawah pada wilayah pengamatan di Propinsi Bengkulu MT 2010/2011.
Luas serangan (ha)
Musim Hujan (MT I) Musim Kering (MT II) No Jenis OPT
R S B T P R S B T P
1 Penggerek Batang 23,0 - - 23,0 - 25,5 - - 25,5 -
2 Ulat Grayak 52,0 - - 52,0 - - 5,0 - 5,0 -
3 Walang Sangit 141,2 - - 141,2 - 155,5 - - 155,5 -
4 Tikus 57,2 - - 57,2 - 77,2 - - 77,2 -
5 Tungro 5,5 11,7 - 17,2 - 17,0 18,5 - 35,5 -
6 Blas 10,7 3,0 - 13,7 - 1,2 - - 1,2 -
Keterangan: R : Luas Intensitas Ringan ; S : Luas Intensitas Sedang; B : Luas Intensitas Berat; T : Total terkena; P : Total Puso
Dari tabel 4 pada MT I, terlihat serangan hama walang sangit total luas
serangannya paling banyak bila dibandingkan dengan OPT yang lain yaitu sekitar
141,2 ha. Kemudian diikuti serangan hama tikus 57,2 ha, hama ulat grayak 52 ha,
penggerek batang padi 23,0 ha, penyakit blas 13,7 ha, dan penyakit tungro 17,2
ha.
Pada pengamatan MT II terlihat juga hama walang sangit memiliki total luas
serangan yang paling banyak yaitu 155,5 ha. Kemudian diikuti hama tikus 77,2 ha,
hama penggerek batang 25,5 ha, penyakit tungro 35,5 ha, hama ulat grayak 5,0 ha
dan serangan penyakit blas 1,2 ha.
Dari total luas serangan terkena pada musim tanam I dan II, luas seragan
penggerek batang, walang sangit, tikus, dan tungro, terlihat serangannya lebih luas
pada MT II dibanding pada MT I. Hal ini banyak diduga karena faktor inang, yaitu
tersediannya pertanaman padi terus-menerus atau singgang dan tanaman padi
yang tumbuh dari gabah yang tercecer di lapang serta inang alternatif apabila tidak
ada pertanaman (Ditlin, 2007b). Maka pada musim berikutnya serangan bisa lebih
tinggi dibanding musim sebelumnya.
Untuk hama ulat grayak dan blas total luas serangan terkena pada MT I lebih
luas dibandingkan dengan MT II. Hal ini diduga karena pengaruh fenomena iklim
yang tidak menentu mengakibatkan adanya ledakan hama ulat grayak (outbreak).
Perkembangan dan penyebaran serangan penyakit blas sangat dipengaruhi oleh
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
81
curah hujan dan angin, dan tingkat keparahannya lebih disebabkan oleh faktor
ketahanan tanaman, pemupukan N yang tinggi, dan kekeringan (Semangun, 1990).
Di Indonesia walang sangit merupakan hama penting dan dapat
menyebabkan kehilangan hasil mencapai 50%. Diduga bahwa populasi 100.000
ekor per hektar dapat menurunkan hasil sampai 25%. Hasil penelitian
menunjukkan populasi walang sangit 5 ekor per 9 rumpun padi akan menurunkan
hasil 15% (Suharto dan Damarrdjah, 1988 dalam Ashikin dan Thamrin, 2003)
Hubungan antara kepadatan populasi walang sangit dengan penurunan hasil
menunjukkan bahwa serangan satu ekor walang sangit per malai dalam satu
minggu dapat menurunkan hasil 27% (BB Padi, 2009).
Pada masa tidak ada pertanaman padi atau tanaman padi masih stadia
vegetatif, dewasa walang sangit bertahan hidup/berlindung pada barbagai tanaman
yang terdapat pada sekitar sawah. Hama walang sangit memiliki tanaman inang
alternatif yaitu tanaman rumput-rumputan antara lain: Panicum spp; Andropogon
sorgum; Digitaria consanguinaria; Eleusine coracoma; Setaria italica; Cyperus
polystachys, Paspalum spp; dan Pennisetum typhoideum (BB Padi, 2009).
Penggerek batang padi terdapat sepanjang tahun dan menyebar di seluruh
Indonesia pada ekosistem padi yang beragam. Kehilangan hasil akibat serangan
penggerek batang padi pada stadia vegetatif tidak terlalu besar karena tanaman
masih dapat mengkompensasi dengan membentuk anakan baru.
Berdasarkan simulasi pada stadia vegetatif, tanaman masih sanggup
mengkompensasi akibat kerusakan oleh penggerek sampai 30%. Gejala serangan
pada stadia generatif menyebabkan malai muncul putih dan hampa yang disebut
beluk. Kerugian hasil yang disebabkan setiap persen gejala beluk berkisar 1-3%
atau rata-rata 1,2%. Kerugian yang besar terjadi bila penerbangan ngengat
bersamaan dengan stadia tanaman bunting (BB Padi, 2008).
Reproduksi atau perkembangbiakan tikus tidak hanya terjadi pada stadia
generatif tanaman dimana dalam kondisi tersedia cukup pakan bergizi. Periode
reproduksi pendek terjadi pada lokasi areal tanaman serempak, dan sebaliknya
reproduksi panjang pada areal tanaman tidak serempak (Murakani et al,1992).
Jumlah kelahiran tikus pada musim tanam hujan 1-2 kali, sedangkan pada musim
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
82
kemarau 2-3 kali (Priyono, 2008). Tingginya intensitas serangan hama tikus sangat
tergantung dengan jumlah populasi pada suatu musim tanam.
Hama ulat grayak merupakan hama yang potensial merusak pertanaman
padi. Menurut Kalshoven (1991) bahwa eksplosi ulat grayak akan terjadi pada
kedua musim peralihan, terutama jika musim kemarau dimulai lebih awal dari pada
biasanya atau adanya periode kering yang terjadi selama musim hujan. Namun
demikian, diduga bahwa temperatur dan kelembaban yang tinggi pada kedua
musim peralihan tersebut memberikan andil dalam menciptakan kondisi yang
menguntungkan bagi ulat grayak untuk tumbuh dan berkembangbiak.
KESIMPULAN
1. Pada sentra-sentra padi sawah di Provinsi Bengkulu ditemukan 6 jenis OPT
penting pada tanaman padi yang menyerang yaitu: hama walang sangit,
penggerek batang, tikus, tungro, blas, dan ulat grayak.
2. Dari hasil observasi lapangan jenis OPT penting pada MT I yaitu: walang sangit,
hama tikus, ulat grayak, penggerek batang padi, penyakit blas dan tungro luas
serangannya 141,2 ha, 57,2 ha, 52 ha, 23,0 ha, 13,7 ha, dan 17,2 ha. Pada
pengamatan MT II juga terdapat serangan walang sangit, hama tikus, ulat
grayak, penggerek batang padi, penyakit blas dan tungro luas serangannya
yaitu: 155,5 ha, 77,2 ha, 5,0 ha, 25,5 ha, 1,2 ha dan 35,5 ha.
DAFTAR PUSTAKA
BBPOPT.2008. Peramalan OPT Padi, Jagung dan Kedelai. Direktorat Perlindungan tanaman, Direktorat Jendral Tanaman Pangan.
BB Padi. 2008. Hama Penggerek Batang Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Litbang Pertanian.
BB Padi. 2009. Hama Walang Sangit. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Litbang Pertanian.
Ditlin. 2007a. Pedoman Pengendalian Penyakit Tungro pada Tanaman Padi. Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan, Jakarta.
Ditlin. 2007b. Pedoman Teknis Pengendalian Hama Penggerek Batang Pada Tanaman Padi. Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan, Jakarta.
Ditlin. 2008. Pedoman Pengamatan dan Pelaporan Perlindungan Tanaman Pangan. Direkrorat Jendaral Tanaman Pangan.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
83
Kalshoven, L.G.E. 1981. Pesr of Crop in Indonesia. Revised and Translated by Van Der Laan, P.A. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve. Jakarta.
Murakani. O, Kirana. V.L.T, Priyono. J, Tristiani. H. 1992. Tikus Sawah. Laporan Akhir Tulisan Ilmiah Kerjasama Teknis Indonesia-Jepang Bidang Perlindungan Tanaman Pangan (ATA-162). Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan, Jakarta.
Priyono. J, 2008. Tikus Sawah dan Pengendalianya. Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan. Karawang. Jawa Barat.
Semangun,H. 1990. Penyakit-penyakit tanaman pangan di Indonesia. Gadjah Mada University Press.
Utami. D.W, H. Aswidinnoor, S. Moeljopawiroi. Hanarida, dan Reflinur. 2006. Pewarisan Ketahanan Penyakit Blas (Pyricularia grisea Sacc) pada Persilangan Padi IR64 dengan Oryza rufipogon. J.Hayati, hlm. 107-112 Vol. 13, No. 3.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
84
PEMANFAATAN LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PUPUK ORGANIK UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI PADI SAWAH DENGAN
PENDEKATAN PTT DI KABUPATEN REJANG LEBONG Alfayanti dan Ruswendi
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendapatan petani padi sawah sebelum dan setelah pemanfaatan pupuk organik limbah pertanian serta kelayakan usahatani padi sawah yang dilakukan pada bulan Agustus-November 2011di desa Rimbo Recap Kecamatan Curup Selatan Kabupaten Rejang Lebong. Lokasi dipilih secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan desa Rimbo Recap merupakan salah satu sentra penghasil beras di Kabupaten Rejang Lebong. Penelitian dilaksanakan melalui perlakuan percontohan budidaya padi dengan pendekatan PTT pada lahan sawah petani kooperator dengan 3 perlakuan yaitu pemberian pupuk organik berbahan a) limbah kotoran ternak ayam, b) limbah kotoran ternak sapi, c) limbah jerami padi yang dibandingkan dengan usahatani perlakuan petani, kemudian dianalisis menggunakan tekhnik analisis pengolohan secara matematis dan diuraikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan limbah pertanian pada usahatani padi sawah dengan pendekatan PTT dan pemberian kompos dari; kotoran ayam, kotoran sapi dan jerami padi dapat meningkatkan pendapatan petani dari Rp 6.416.250,-/ha/MT menjadi Rp 9.236.750,-/MT/ha, Rp 11.359.750,-/ha/MT dan Rp 10.758.350,-/ha/MT serta hasil penghitungan Marginal benefit Cost Ratio (MBCR) secara ekonomi pemanfaatan limbah pertanian ini mendapatkan nilai kelayakan berturut-turut sebesar 1,553; 2,245 dan 1,801.
Kata Kunci: limbah pertanian, pupuk organik , PTT, padi sawah, pendapatan
PENDAHULUAN
Kabupaten Rejang Lebong merupakan wilayah kabupaten yang memiliki
potensi pertanian di Provinsi Bengkulu. Letak geografisnya berada di selatan garis
khatulistiwa dengan ketinggian tempat antara 100 m sampai diatas 1.000 m dpl
yang secara umum merupakan daerah pegunungan dengan topografi
bergelombang dan berbukit-bukit serta mempunyai kemiringan tanah antara 2% -
40% dengan curah hujan yang cukup sepanjang tahun (Badan Pusat Statistik
Rejang Lebong, 2010). Hal ini mengkondisikan daerah Kabupaten Rejang Lebong
sebagai daerah yang subur dan mempunyai potensi untuk pengembangan
pertanian, termasuk sektor utama pangan padi sawah.
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) adalah suatu pendekatan inovatif,
dinamis dalam upaya peningkatan produksi dan pendapatan petani melalui
perakitan komponen teknologi secara patisipatif bersama petani, yang terdiri dari
komponen teknologi dasar dan teknologi pilihan. Dimana komponen teknologi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
85
dasar sangat dianjurkan untuk diterapkan (Badan Litbang Pertanian, 2010).
Adapun komponen teknologi dasar tersebut; 1) varietas unggul baru, inbrida atau
hibrida, 2) benih bermutu dan berlabel, 3) pemberian bahan organik melalui
pengembalian jerami ke sawah atau dalam bentuk kompos, 4) pengaturan populasi
tanaman secara optimum, 5) pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan
status hara tanah, 6) pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman)
dengan pendekatan PHT (Pengendalian Hama Terpadu). Namun komponen
teknologi pilihan juga perlu diterapkan sesuai dengan kondisi, kemauan dan
kemampuan petani setempat, diaantaranya; 1)pengolahan tanah sesuai musim dan
pola tanam, 2) penggunaan bibit muda < 21 hari, 3) tanam bibit 1 - 3 batang per
rumpun, 4) pengairan secara efektif dan efisien, 5) penyiangan dengan landak atau
gasrok, 6) panen tepat waktu dan gabah segera dirontok.
Penggunaan lahan secara terus menerus berakibat pada penurunan bahan
oganik tanah dan bahkan sebagian besar lahan pertanian mengandung bahan
organik rendah (< 2%), padahal kandungan yang ideal adalah > 3%
(Kartono,2010). Perbaikan kesuburan tanah dan peningkatan bahan organik tanah
dapat dilakukan melalui penambahan bahan organik atau kompos. Pupuk organik
adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri dari bahan organik yang
berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat
berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk mensuplai bahan organik serta
memperbaiki sifat fisik kimia dan biologi tanah (Kartono, 2010). Secara umum,
manfaat pupuk organik adalah; memperbaiki struktur dan kesuburan tanah,
meningkatkan daya simpan dan daya serap air, memperbaiki kondisi biologi dan
kimia tanah, memperkaya unsur hara makro dan mikro serta tidak mencemari
lingkungan dan aman bagi manusia.
Limbah adalah sisa atau hasil ikutan dari produk utama. Limbah pertanian
adalah bagian tanaman pertanian diatas tanah atau bagian pucuk, batang yang
tersisa setelah dipanen atau diambil hasil utamanya (Sutrisno 2002 dalam
Syamsidar 2011). Limbah pertanian yang dapat dijadikan sumber pupuk organik
adalah jerami padi, sekam/arang sekam, brangkasan kacang tanah dan kedelai,
daun dan batang jagung, serbuk gergaji, sampah kota serta kotoran ternak (sapi,
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
86
kerbau, domba, kambing, dan ayam). Kandungan hara kotoran ternak dan limbah
pertanian sangat beragam, dan begitu juga perbandingan antara karbon dan
nitrogen (C/N ratio). Bahan organik yang optimal untuk pembuatan kompos atau
pupuk organik secara aerobik memiliki C/N ratio 25-30.
Pengelolaan hara K pada tanah sawah tidak dapat dipisahkan dari
pengolahan bahan organik, karena bahan organik yang cukup tersedia pada lahan
sawah dapat meningkatkan aktivitas organisme tanah mempersiapkan hara, siklus
hara dan pembentukan pori mikro dan makro tanah. Pemberian jerami pada lahan
sawah dapat memperbaiki sifat biologi, kimia dan fisika tanah sawah yang
sekaligus dapat memasok sebagian kebutuhan hara K dan memperlambat
kemiskinan K, sehingga mengurangi takaran pupuk KCl disamping juga mampu
meningkatkan kesuburan tanah sawah (Hartatik, 2009).
Menurut Badan Pusat Statistik Rejang Lebong (2010), luas panen padi sawah
di Kabupaten Rejang tahun 2009 mencapai 16.418 ha dengan jumlah produksi
63.730 ton. Selain sektor tanaman pangan, sektor peternakan di Kabupaten Rejang
Lebong juga menjadi salah satu andalan daerah. Jumlah ternak besar (sapi perah
dan sapi potong) dengan populasi berjumlah 7601 ekor pada tahun 2009 dan
jumlah terbesar berada di Kecamatan Curup Selatan 4292 ekor, diikuti populasi
ternak unggas 635.723 ekor diantarnya 501.198 ekor merupakan ayam ras. Secara
keseluruhan limbah kotoran ternak dan tanaman pangan sangat berpotensi sebagai
penghasil pupuk organik. Sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
pendapatan petani padi sawah sebelum dan setelah memanfaatkan inovasi
pemanfaatan limbah pertanian (kompos kotoran ayam, kompos kotoran sapi dan
kompos jerami padi) sebagai pupuk organik pada usahatani padi sawah serta
mengetahui kelayakan ekonomi dari usahatani padi awah yang mengadopsi inovasi
tersebut.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
87
BAHAN DAN METODA
Penelitian ini dilakukan di Desa Rimbo Recap Kecamatan Curup Selatan
Kabupaten Rejang Lebong pada bulan Agustus-November 2011. Pemilihan lokasi
penelitian dipilih secara purposive (sengaja) berdasarkan pertimbangan bahwa
desa Rimbo Recap merupakan salah satu sentra penghasil beras di Kabupaten
Rejang Lebong. Kegiatan yang dilaksanakan adalah percontohan penerapan
komponen teknologi dan pemanfaatan limbah pertanian sebagai pupuk organik
padi sawah dengan pendekatan PTT pada sawah petani kooperator dengan 3
perlakuan yaitu pemberian pupuk organik berbahan a) limbah kotoran ternak ayam,
b) limbah kotoran ternak sapi, c) limbah jerami padi dan dibandingkan dengan
usahatani petani tanpa diberikan perlakuan. Data yang diambil adalah data input
produksi (benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja), biaya produksi dan jumlah
produksi padi sebelum dan setelah pelaksanaan perlakuan pemberian pupuk
organik.
Dari data yang diperoleh akan dihitung penerimaan dan pendapatan
usahatani padi sawah setelah mengadopsi inovasi dan dibandingkan dengan
pendapatan sebelum mengadopsi inovasi. Pendapatan dapat dihitung dengan
menggunakan rumus (Soekartawi,1995):
Dimana: Pd = Pendapatan (Rp/MT/ha) TR = Total penerimaan (Rp/MT/ha) Y = Jumlah produksi beras petani (kg/MT/ha) Py = harga beras (Rp/kg) TC = Total biaya (Rp/MT/ha) VC = Biaya tidak tetap (Rp/MT/ha) FC = Biaya tetap (Rp/MT/ha)
Untuk mengetahui kelayakan ekonomi inovasi pemanfaatan limbah pertanian
sebagai pupuk organik pada usahatani padi sawah dengan pendekatan PTT
dianalisis dengan menggunakan Marginal benefit Cost Ratio (MBCR). MBCR dapat
Pd = TR -TC TR = Y. Py TC = FC + VC Pd = TR - (FC+VC)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
88
digunakan untuk mengukur kelayakan teknologi baru/introduksi dibandingkan
dengan teknologi petani (Swastik, 2004) dengan rumus sebagai berikut:
dimana: Bst : benefit setelah perlakuan Bsb : benefit sebelum pelakuan Cst : cost setelah perlakuan Csb : cost sebelum perlakuan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan usahatani
Keragaan usahatani padi sawah pada petani kooperator di Desa Rimbo
Recap sebelum dan setelah penelitian dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 1. Keragaan usahatani petani kooperator percontohan inovasi budidaya padi dengan pendekatan PTT dan pemanfaatan limbah pertanian.
No Keragaan/Teknologi Sebelum Setelah
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Varietas benih Pemberian bahan organik (kompos) Pola tanam/Pengaturan populasi Pengendalian OPT secara PHT Frekuensi pemupukan (kali/MT) Umur bibit (hari) Jumlah bibit (batang/rumpun)
cigeulis tidak tegel kadang-kadang 2 >21 3-5
inpari 13 ya legowo 4:1 Sesuai anjuran 3 <21 1-3
Sumber : data primer 2011.
Dari keragaan usahatani tersebut dapat dilihat, bahwa ada perubahan keragaan dan penerapan inovasi komponen teknologi yang dilakukan pada usahatani padi sawah petani kooperator. Beberapa komponen teknologi PTT diterapkan dalam percontohan ini seperti penggunaan varietas unggul baru, pemberian bahan organik, pengaturan populasi, Pengendalian OPT secara PHT (sebagai kompoenen dasar) serta penggunaan bibit muda serta tanam bibit 1-3 batang per rumpun (sebagai komponen pilihan.
Penerimaan dan Pendapatan Petani
Struktur biaya dan pendapatan petani padi sawah sebelum dan sesudah
pemanfaatan limbah pertanian sebagai pupuk organik dengan pendekatan PTT
setiap hektar per musim tanam dapat dilihat pada tabel 2.
∆B Bst - Bsb MBCR = ------- = ------------- ∆C Cst – Csb
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
89
Tabel 2. Struktur biaya dan pendapatan petani padi sawah sebelum dan sesudah pemanfaatan limbah pertanian sebagai pupuk organik dengan pendekatan PTT setiap hektar per musim tanam.
Volume Biaya usahatani (000)
Setelah
Komponen Biaya Sebelum Sesudah Sebelum
K.Ayam K.Sapi Jerami
PENGELUARAN a.Biaya tetap Penyusutan alat (Rp/paket) 38,75 38,75 38,75 38,75 Sewa lahan (Rp/MT) 6.930 6.930 6.930 6.930 Total Biaya Tetap 6.968,75 6.968,75 6.968,75 6.968,75 b. Biaya tidak tetap Benih (kg) 64 25 200 175 175 175 Pupuk (kg)
- Urea 150 200 225 340 340 340 - SP 36 100 0 250 0 0 0 - NPK Phonska 150 253 375 634 634 634 - Kompos 0 2000 0 1.000 1.400 1.600
Furadan (kg) 0 16.5 0 412,5 412,5 412,5 Pestisida (ml)
- Baycarb 0 500 0 40 40 40 - Snaildown 0 0 25 25 25 - Chix 30 30 30 30 - Score 240 80 130 42 42 42 - Perekat 0 40 0 0 0
Tenaga Kerja (HOK) - Pengolahan tanah 10 11 750 900 900 900 - Penyemaian 1 1 50 50 50 50 - Pencabutan bibit 4 4 160 160 160 160 - Tanam 14 14 280 280 280 280 - Pemupukan 4 6 200 300 300 300 - Penyiangan 10 10 400 400 400 400 - Pengendalian OPT 4 4 200 200 200 200 - Panen 52 52 2.600 2.600 2.600 2.600 - Pengangkutan 2.5 2.5 125 125 125 125 - Penjemuran 8 8 400 400 400 400 - Penggilingan 4 4 200 200 200 200
Total Biaya tidak tetap 6.615 8.313,5 8.713,5 8.913,5 Total Pengeluaran 13.583,75 15.282,25 15.682,25 15.882,25
PRODUKSI Produksi gabah (GKP) 5818 7133 7867 7750 Produksi beras (kg) 3200 3923,15 4326,85 4262,5
PENDAPATAN Harga (Rp/kg) 6250 6250 6250 6250 Penerimaan 20.000 24.519 27.042 26.640,6
Pendapatan 6.416,25 9.236,75 11.359,75 10.758,35
Sumber : data primer 2011.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
90
Penerimaan adalah hasil perkalian antara produk-produk tersebut dengan
harga jual. Soekartawi (1995) menyatakan bahwa pendapatan adalah perkalian
antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Sedangkan pendapatan
(keuntungan) adalah selisih antara penerimaan dengan semua biaya., sehingga
dengan tamabahan penggunaan kompos pada lahan percontohan sebanyak 2
ton/ha dengan harga produksi masing-masing; Rp 500,-/kg untuk kompos kotoran
ayam, Rp 700,-/kg untuk kompos kotoran sapi dan Rp 800,-/kg untuk kompos
jerami, terdapat penambahan biaya secara berturut-turut masing-masing perlakuan
Rp 1.000.000,- ; Rp 1.400.000,- dan Rp 1.600.000,-.
Jumlah gabah yang dihasilkan sebelum percontohan adalah sebanyak 5818
kg GKP (Gabah Kering Panen) yang menghasilkan 3200 kg beras. Petani biasa
menjual hasil panennya dalam bentuk beras dimana 1 kg beras dijual dengan
harga Rp 6.250,- sehingga penerimaan petani adalah sebesar Rp 20.000.000,-
dengan pendapatan sebesar Rp 6.416.250,-. Setelah adanya perlakuan I
(penggunaan kompos kotoran ayam dan pendekatan PTT), jumlah gabah
dihasilkan meningkat menjadi 7133 kg GKP atau setara dengan 3923,15 kg beras
senilai Rp 24.519.000,-. Yang Pendapatan petani pada perlakuan ini meningkat dari
Rp 6.416.250,- menjadi Rp 9.236.750,- (sebesar Rp. 2.820.500,-). Pada perlakuan
II (penggunaan kompos kotoran sapi dan pendekatan PTT) dihasilkan produksi
sebesar 7867 kg GKP atau setara dengan 4326,85 kg beras dan harga jual sebesar
Rp 6.250,-/kg, maka petani memperoleh penerimaan sebesar Rp 27.042.000,-
dengan pendapatan sebesar Rp 11.359.750,-. (diperoleh peningkatan pendapatan
petani sebesar Rp 4.945.500,-). Untuk perlakuan III (penggunaan kompos jerami
dan pendekatan PTT) dihasilkan produksi sebanyak 7750 kg GKP atau setara
dengan 4262,5 kg beras dan harga jual beras sebesar Rp 6.250,-/kg, maka petani
memperoleh penerimaan sebesar Rp 26.640.600,- dengan pendapatan sebesar Rp
10.758.350,- (diperoleh peningkatan pendapatan petani sebesar Rp 4.342.100,-).
Kelayakan Ekonomi Inovasi
Berdasarkan hasil penghitungan kelayakan ekonomi dari produksi padi
percontohan penerapan komponen teknologi dan pemupukan kompos organik
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
91
limbah pertanian pada padi sawah, memperlihatkan hasil perhitungan berdasarkan
nilai setiap perlakuan yang dianalisis dengan menggunakan Marginal benefit Cost
Ratio (MBCR) memberikan nilai ekonomi usahatani padi sawah dengan perlakuan
penggunaan pupuk organik berbahan baku limbah kotoran ayam ; limbah kotoran
sapi dan limbah jerami padi memberikan nilai kelayakan berturut-turut sebesar
1,553; 2,245 dan 1,801. Nilai MBCR ini menunjukkan bahwa penggunaan pupuk
organik dari limbah pertanian yang dikomposkan layak secara ekonomi karena
setiap 1,00 unit penggunaan pupuk kompos kotoran ayam akan menghasilkan
output 1,553 unit; setiap 1,00 unit penggunaan pupuk kompos kotoran sapi akan
menghasilkan output 2,245 unit serta setiap 1,00 unit penggunaan pupuk kompos
jerami padi akan menghasilkan output 1,801 unit. Secara teoritis keputusan
mengadopsi teknologi baru layak dilakukan jika MBCR > 1, artinya setiap tambahan
penerimaan yang diperoleh dari penerapan teknologi baru harus lebih besar
daripada tambahan biaya (Malian, 2004). Sehingga inovasi teknologi pemanfaatan
limbah pertanian pupuk kompos pada padi sawah layak untuk diadopsi dan
dikembangkan petani, karena dapat memberikan peningkatan hasil untuk setiap 1
unit inovasi sebesar 1,553 sampai 2,245 unit.
KESIMPULAN
1. Pemanfaatan limbah pertanian pada usahatani padi sawah menggunakan
pendekatan PTT berupa pemberian bahan organik kompos kotoran ayam,
kompos kotoran sapi dan kompos jerami dapat meningkatkan pendapatan
petani dari Rp 6.416.250,-/ha untuk setiap musism tanam menjadi Rp
9.236.750,-/ha; Rp 11.359.750,-/ha dan Rp 10.758.350,-/ha.
2. Pemanfaatan limbah pertanian (kompos kotoran ayam, kompos kotoran sapi,
kompos jerami) sebagai pupuk organik pada usahatani padi sawah sangat layak
untuk diadopsi dan dikembangkan, karena secara ekonomi dapat memberikan
peningkatan pendapatan untuk setiap 1 unit inovasi sebesar 1,553 sampai 2,245
unit hasil.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
92
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 2010. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian., Kementrian Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu . 2010. Provinsi Bengkulu Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. Bengkulu.
Badan Pusat Statistik R/L. 2010. Rejang Lebong Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Rejang Lebong. Curup.
Hartatik, W. 2009. Jerami Dapat Mensubstitusi Pupuk KCl. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian., Vol. 31 No. 1. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Kartono. 2010. Pembuatan Pupuk Kompos (Kompos Jerami dan Bokhasi). http://banten.litbang.deptan.go.id. Diakses tanggal 6 Juni 2012. Bengkulu.
Malian, A.H. 2004. Analisis Ekonomi Usahatani dan Kelayakan Finansial Teknologi pada Skala Pengkajian. Makalah Disajikan dalam Pelatihan Analisa Finansial dan Ekonomi bagi Pengembangan Sistem dan Usahatani Agribisnis Wilayah. Bogor, 29 November – 9 Desember 2004. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Soekartawi. 1995. Analisis Ilmu Usahatani. Penerbit PT. Rajawali Press. Jakarta.
Swastika, D.K.S. 2004. Beberapa Teknik Analisis Dalam Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Vol 7 Nomor 1. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Hal 90 – 103.
Syamsyidar. 2011. ProfitabilitasSistem Perpaduan Peternakan Sapi Potong dengan Pemanfaatan Limbah Pertanian. http://syidar.blogspot.com. Diakses tanggal 7 Juni 2012. Bengkulu.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
93
KERAGAAN JAGUNG KOMPOSIT SUKMARAGA DAN LAMURU DI KECAMATAN CURUP SELATAN KABUPATEN REJANG LEBONG
Siti Rosmanah, Wahyu Wibawa dan Sri Suryani M. Rambe
ABSTRAK
Kabupaten Rejang Lebong merupakan salah satu sentra jagung di Provinsi Bengkulu. Tujuan penanaman jagung di Kabupaten Rejang Lebong adalah sebagai jagung pipilan kering dan jagung rebus. Masalah yang ditemui dalam usahatani jagung di Kabupaten Rejang Lebong antara lain sulitnya memperoleh benih jagung bermutu serta modal petani yang terbatas. Untuk itu perlu dilakukan kajian jagung komposit yang bertujuan untuk memperoleh varietas jagung komposit yang sesuai di Kabupaten Rejang Lebong. Kajian berupa observasi pada per tanaman jagung komposit dilakukan di Desa Teladan Kecamatan Curup Selatan pada tahun 2011. Varietas yang diobservasi yaitu Sukmaraga dan Lamuru. Pertanaman dua varietas jagung komposit dilakukan oleh 5 petani untuk masing-masing varietas. Hasil kajian menunjukkan bahwa tinggi tanaman Sukmaraga lebih tinggi dari Lamuru. Produktivitas yang diperoleh pada varietas Sukmaraga 5,81 ton/ha kering panen, sedangkan varietas Lamuru 3,23 ton/ha kering panen. Produktivitas kering pipilan rata-rata varietas Sukmaraga 4,19 ton/ha lebih tinggi jika dibandingkan dengan 2,47 ton/ha untuk varietas Lamuru.
Kata Kunci: benih bermutu, komposit, varietas
PENDAHULUAN
Luas areal tanaman jagung di Provinsi Bengkulu pada tahun 2010 adalah
28.205 ha dengan produksi 93.799 ton (BPS Provinsi Bengkulu, 2010). Salah satu
sentra jagung di Provinsi Bengkulu adalah Kabupaten Rejang Lebong seluas areal
5.048 ha dengan produksi 16.937 ton. Jika dibandingkan dengan produksi jagung
nasional, produktivitas jagung di Kabupaten Rejang Lebong masih rendah.
Komoditas jagung yang banyak ditanam oleh petani adalah jagung hibrida dan
jagung lokal. Sedangkan jagung komposit belum banyak dibudidayakan.
Penanaman jagung yang dilakukan oleh petani di Kabupaten Rejang Lebong
bertujuan sebagai jagung pipilan kering dan jagung rebus. Jagung pipilan kering
dipanen dari benih jagung hibrida sedangkan jagung rebus biasanya diambil dari
jagung lokal.
Masalah yang dihadapi dalam usahatani jagung di Kabupaten Rejang Lebong
antara lain sulitnya memperoleh benih jagung bermutu serta modal petani yang
terbatas. Benih jagung hibrida tersedia akan tetapi produktivitasnya masih rendah.
Hal ini dipengaruhi secara genetika tanaman itu sendiri maupun oleh lingkungan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
94
sekitar tanaman. Menurut Kiesselbach (1950), jagung adalah tanaman hari pendek
kuantitatif dan jumlah daun total, yang ditentukan pada waktu inisiasi bunga,
dikendalikan terutama oleh genotip fotoperiode walaupun ada sedikit pengaruh
suhu. Untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman jagung yang baik dan
memperoleh hasil yang tinggi diperlukan kondisi tanah yang gembur dan subur.
Kesuburan tanah merupakan salah satu aspek lingkungan yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung. Peningkatan kesuburan tanah
dilakukan melalui pemupukan. Akan tetapi pupuk yang diberikan untuk tanaman
jagung hibrida tidak sesuai dengan kebutuhan dan status hara tanah. Oleh karena
itu diperlukan benih jagung lain seperti jagung komposit. Jagung komposit
merupakan jagung yang dihasilkan dari campuran beberapa varietas sehingga
individunya heterozygot dan heterogen (Derryadi, 2009).
Pengkajian jagung varietas Sukmaraga dan Lamuru telah dilakukan di
beberapa tempat. Hasil pengkajian jagung varietas Sukmaraga yang dilakukan di
Kecamatan Surantih Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat dengan perlakuan
tanpa olah tanah (TOT), produksi pipilan kering jagung Sukmaraga berkisar antara
1,86-6,50 t/ha dengan produksi rata-rata 3,4 t/ha. Sedangkan jagung varietas
Lamuru produksinya berkisar antara 6,58-6,69 t/ha. Pengkajian dengan perlakuan
pemberian pupuk Urea 450 kg/ha + 2,5 t/ha kompos produksi jagung varietas
Lamuru lebih tinggi sebesar 6,69 t/ha jika dibandingkan dengan perlakuan pada
pemberian Urea 300 kg/ha + 5 t/ha kompos yaitu 6,56 t/ha (Mulyadi, Sutardi dan
Sudaryanto, 2005). Sedangkan berdasarkan hasil penelitian keragaan pertumbuhan
dan hasil jagung bersari bebas di lahan masam, Lampung jagung varietas
Sukmaraga mencapai produksi 5,6 t/ha dan jagung varietas Lamuru 4,73 t/ha
(Mustikawati, 2006). Kajian jagung komposit perlu dilakukan di Provinsi Bengkulu
yang bertujuan untuk memperoleh jenis jagung komposit yang sesuai khususnya
untuk daerah Rejang Lebong.
BAHAN DAN METODE
Kajian jagung komposit ini dilaksanakan di Desa Teladan Kecamatan Curup
Selatan Kabupaten Rejang Lebong pada bulan April sampai November 2011.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
95
Pengkajian ini dilaksanakan pada areal tanaman jagung milik petani dengan luas
lahan ± 5 ha. Kajian yang dilaksanakan adalah kajian kesesuaian jenis jagung
komposit (Sukmaraga dan Lamuru) pada lahan kering dengan ketinggian sekitar
675 m dpl. Data kondisi lahan dan agroklimat seperti curah hujan dan hari hujan
serta data sekunder seperti potensi lahan juga dikumpulkan.
Kajian dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan 2 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah 2 varietas
jagung komposit yaitu Sukmaraga dan Lamuru. Luas tanam jagung masing-masing
petani 0,50 ha. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji t.
Pendekatan yang digunakan adalah PTT jagung dengan rekomendasi pupuk
yang diberikan 100 kg Urea/ha, NPK 400 kg/ha. Analisis tanah dilakukan sebelum
kegiatan dilaksanakan. Parameter yang diamati adalah data vegetatif, generatif,
produksi dan umur panen. Data dianalisis secara tabulasi dan dianalisis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis tanah di Desa Teladan, status unsur hara lahan
tegalan adalah rendah N, sedangkan unsur P2O5 dan K2O sedang. Hasil pengukuran
terhadap komponen hasil panen yang terdiri dari tinggi tanaman (cm), jarak
tongkol ke tanah (cm), jumlah tongkol/batang, dan jumlah baris/tongkol
menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata pada kedua varietas. Sedangkan
parameter pengamatan terhadap panjang tongkol, lingkar tongkol, jumlah/baris,
produtivitas kering panen dan produktivitas kering pipilan menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata pada kedua varietas. Komponen hasil panen varietas
Sukmaraga dan Lamuru dapat dilihat pada Tabel 1.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
96
Tabel 1. Komponen hasil panen jagung varietas Sukmaraga dan Lamuru.
Rata-rata varietas Parameter
Sukmaraga Lamuru
Tinggi Tanaman (cm) 192,20a 152,94a
Jarak tongkol ke Tanah (cm) 77,34a 61,98a
Jumlah Tongkol/Batang 1a 1a
Panjang Tongkol (cm) 9,27a 11,56b
Lingkar Tongkol (cm) 8,01a 11,56b
Jumlah Baris/Tongkol 7,60a 11,78a
Jumlah Biji/Baris 15,20a 19,96b
Kering Panen (t/ha) 5,81b 3,23a
Kering Pipilan (t/ha) 4,19b 2,47a
Berdasarkan tinggi tanaman rata-rata pada varietas Sukmaraga 192,20 cm
dan Lamuru 152,94 cm tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan
terhadap tinggi tanaman pada kedua varietas. Jarak tongkol rata-rata varietas
Sukmaraga 77,34 cm dan Lamuru 61,98 cm menunjukkan tidak adanya perbedaan
nyata. Jumlah tongkol/batang rata-rata untuk kedua varietas adalah 1
tongkol/batang dan menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata diantara kedua
varietas. Panjang tongkol rata-rata varietas Sukmaraga 9,27 cm dan Lamuru 11,56
cm menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada varietas Lamuru. Lingkar
tongkol rata-rata varietas Sukmaraga 8,01 cm dan Lamuru 11,56 cm menunjukkan
adanya perbedaan nyata pada varietas Lamuru. Jumlah baris/tongkol varietas
Sukmaraga rata-rata 7,60 dan Lamuru 11,78 cm menunjukkan tidak adanya
perbedaan nyata diantara kedua varietas. Jumlah biji/baris rata-rata varietas
Sukmaraga 15,20 dan Lamuru 19,96 menunjukkan adanya perbedaan nyata pada
varietas Sukmaraga. Produktivitas rata-rata kering panen varietas Sukmaraga 5,81
ton/ha dan Lamuru 3,23 ton/ha menunjukkan adanya perbedaan nyata pada
varietas Sukmaraga. sedangkan hasil jagung pipilan kering varietas Sukmaraga
rata-rata 4,19 ton/ha dan Lamuru 2,47 ton/ha menunjukkan adanya perbedaan
nyata pada varietas Sukmaraga.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
97
Berdasarkan hasil pada Tabel 1, panjang tongkol (cm), lingkar tongkol (cm),
jumlah baris/tongkol, dan jumlah biji/tongkol lebih tinggi pada varietas Lamuru
dibandingkan dengan varietas Sukmaraga. Akan tetapi produktivitas kering panen
lebih tinggi pada varietas Sukmaraga yaitu 5,81 ton/ha sedangkan Lamuru 3,23
ton/ha. Begitu juga pada produktivitas kering pipilan, hasil varietas Sukmaraga
lebih tinggi yaitu 4,19 ton/ha jika dibandingkan dengan Lamuru yang 2,47 ton/ha.
Hal ini karena berdasarkan hasil penimbangan terhadap berat 100 butir varietas
Sukmaraga lebih tinggi jika dibandingkan dengan varietas Lamuru. Berdasarkan
hasil penimbangan terhadap berat kering 100 butir, rata-rata berat kering varietas
Sukmaraga adalah 27,8 gram lebih tinggi jika dibandingkan dengan berat kering
varietas Lamuru yaitu 18,68 gram.
Penanaman jagung varietas Sukmaraga berpotensi untuk dikembangkan di
Kabupaten Rejang Lebong terutama di Desa Teladan karena hasil yang diperoleh
tinggi yaitu 5,81 ton/ha kering panen atau 3,23 ton/ha pipilan kering. Sedangkan
varietas Lamuru tidak cocok untuk dikembangkan di Kabupaten Rejang Lebong
karena hasil rata-rata yang diperoleh rendah yaitu 3,23 ton/ha kering panen atau
2,47 ton/ha pipilan kering.
Produktivitas jagung varietas Sukmaraga yang ditanam di Desa Teladan
memiliki kesesuaian lahan karena produktivitasnya tinggi jika dibandingkan
produktivitas jagung rata-rata yang ditanam oleh petani di Desa Teladan.
Produktivitas jagung di Desa Teladan berbeda antara jagung lokal dengan jagung
hibrida. Produktivitas jagung lokal 2,65 ton/ha dan produktivitas jagung hibrida
3,35 ton/ha. Akan tetapi jika dibandingkan dengan potensi hasil berdasarkan
deskripsi jagung varietas Sukmaraga yang ditanam di Desa Teladan Kabupaten
Rejang Lebong masih rendah. Berdasarkan deskripsi, rata-rata potensi hasil jagung
varietas Sukmaraga adalah 6,0 ton/ha sedangkan Lamuru 5,6 ton/ha.
Produktivitas jagung dipengaruhi oleh berbagai faktor. Beberapa faktor yang
mempengaruhi produksi jagung adalah curah hujan ideal berkisar antara 85-200
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
98
mm/bulan, suhu ideal 230-300C dengan ketinggian optimum 50-600 m dpl
(Puslittan, 2011). Masih rendahnya produktivitas jagung varietas Sukmaraga jika
dibandingkan dengan deskripsi salah satunya disebabkan oleh curah hujan.
Berdasarkan data curah hujan dan hari hujan, curah hujan rata-rata adalah 472
mm/bulan dengan rata-rata hari hujan 22,08. Akan tetapi pada saat penanaman
yaitu bulan Mei-Juli curah hujan dan hari hujan cukup rendah. Sehingga pada fase
pertumbuhan tanaman kekurangan air. Sedangkan pada fase pemasakan biji (bulan
Agustus) jumlah curah hujan tinggi sehingga memperlambat waktu panen.
Berdasarkan data curah hujan yang diperoleh dari BMKG Kecamatan Ujan Mas,
curah hujan rata-rata pada tahun 2011 adalah sebanyak 472,42 ml/bulan dengan
jumlah hari hujan sebanyak 22,08 hari. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan
Oktober hingga Desember 2011 yaitu berkisar antara 800-983 ml. Pada bulan-bulan
tersebut tanaman jagung varietas Sukmaraga sudah panen sedangkan varietas
Lamuru berada pada proses pemasakan buah. Sehingga pada fase pertumbuhan,
pembungaan dan pembentukan biji terutama varietas Sukmaraga curah hujan
kurang sehingga produktivitas pun menurun.
Rendahnya produktivitas jagung varietas Lamuru karena serangan hama
penyakit lebih tinggi jika dibandingkan dengan varietas Sukmaraga. Selain itu, kulit
jagung yang tidak menutup hingga ke ujung tongkol juga menyebabkan biji jagung
terserang penyakit. Pada saat panen biji jagung varietas Lamuru lebih banyak yang
busuk jika dibandingkan dengan varietas Sukmaraga. Ukuran tongkol besar dengan
biji yang kecil serta ukuran tongkol yang tidak seragam menyebabkan produktivitas
jagung komposit masih rendah jika dibandingkan dengan jagung hibrida.
Pada fase pembungaan dan pengisian biji tanaman jagung perlu
mendapatkan air yang cukup. Kekurangan air akan menyebabkan pertumbuhan
tanaman dan produksi menjadi terhambat. Sehingga waktu yang tepat untuk
penanaman jagung adalah di awal musim hujan dan menjelang musim kemarau.
Penanaman jagung yang dilakukan pada awal musim kemarau akan menyebabkan
pertumbuhan dan hasil tanaman tidak optimum.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
99
Selain pengaruh iklim yang tidak sesuai pada saat penanaman jagung
varietas Sukmaraga dan Lamuru, faktor ketinggian tempat lokasi pengkajian juga
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Menurut Guslim (2007), semakin
tinggi suatu tempat, suhu dan intensitas sinar matahari yang terjadi di tempat
tersebut semakin rendah. Respon tanaman terhadap kedua elemen cuaca tersebut
akan menentukan tingkat kesesuaian tanaman untuk mampu tumbuh baik pada
dataran tinggi. Penanaman jagung varietas Lamuru yang dilakukan pada ketinggian
yang lebih dari 600 m dpl menyebabkan pertumbuhan tanaman dan produksi
kurang optimal. Sehingga pertumbuhan jagung varietas Lamuru memberikan
respon yang kurang baik dibandingkan dengan varietas jagung Sukmaraga. Daerah
sebaran varietas Lamuru dataran rendah sampai ketinggian 600 m dpl, sedangkan
varietas Sukmaraga dataran rendah sampai ketinggian 800 m dpl (Puslittan, 2011).
KESIMPULAN DAN SARAN
1). Produktivitas jagung komposit varietas Sukmaraga dapat mencapai 5,81 ton/ha
kering panen atau 3,23 ton/ha pipilan kering sehingga berpeluang
dikembangkan di Kabupaten Rejang Lebong.
2). Waktu tanam jagung yang tepat pada awal musim hujan dan menjelang
musim kemarau.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Bengkulu. 2010. Provinsi Bengkulu dalam angka 2010. Bengkulu.
BPP Lubuk Ubar. 2012. Programa Penyuluh Pertanian. BPP Lubuk Ubar Kecamatan Curup Selatan Kabupaten Rejang Lebong.
Dasmal. 2007. Penampilan jagung komposit varietas Sukmaraga pada budidaya tanpa olah tanah (TOT). BPTP Sumatera Barat. http://sjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/8309413420.pdf. Diakses tanggal 26 Januari 2012.
Derryadi. 2009. Klasifikasi jagung. http://derryariadi.blogspot.com/2009/05/klasifikasi-jagung.html. Diakses tanggal 7 November 2011.
Goldworthy, P.R dan Fisher, N.M. 1996. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Kiesselbach, T.A. 1950. Progressive development and seasonal variation of the corn crop. Nebr. Agric. Expl. Stn. Res. Bull. 166. Hal 49.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
100
Mulyadi, Sutari dan Sudaryanto, B. 2005. Pengkajian penggunaan Urea dan Kompos pada pertanaman jagung varietas Lamuru di lahan kering beriklim kering. BPTP Yogyakarta.http://ntb.litbang.deptan.go.id/ind/2006/TPH/pengkajianpenggunaan.doc. Tanggal diakses 25 jan 2012.
Mustikawati, D.R. 2006. Keragaan pertumbuhan dan hasil jagung bersari bebas di lahan masam, Lampung. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung. Sumber: http://bbp2tp.litbang.deptan.go.id/index.php?option=comcontent&task=view&id=57& Itemid=63. Diakses tanggal 22 Feb 2012.
Puslittan. 2011. Deskripsi jagung varietas Sukmaraga. http://www.puslittan. bogor.net/index.php?bawaan=varietas/varietas_detail&komoditas=05022&id=Lamuru&pg=5&varietas=1. Diakses pada tanggal 27 Juli 2011.
Puslittan. 2011. Deskripsi jagung varietas Lamuru. http://www.puslittan. bogor.net/index.php?bawaan=varietas/varietas_detail&komoditas=05022&id=Sukmaraga&pg=9&varietas=1. Diakses pada tanggal 27 Juli 2011.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
101
PEMANFAATAN KOMODITAS PANGAN LOKAL SEBAGAI SUMBER DIVERSIFIKASI PANGAN ALTERNATIF
Lina Ivanti dan Herlena Bidi Astuti
ABSTRAK
Sampai saat ini upaya pemenuhan kalori bagi masyarakat Bengkulu masih didominasi beras (113,8 kg per kapita per tahun), penganekaragaman pangan merupakan jalan keluar bagi ketergantungan terhadap beras. Pengkajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pemanfaatan pangan lokal di Kabupaten Bengkulu Tengah, dilakukan dengan metode survey menggunakan kuesioner terhadap 37 responden yang dipilih secara purposive pada 3 (tiga) desa yaitu desa; Sri Kuncoro, Pondok Kubang dan Harapan Makmur. Untuk melihat banyaknya jenis pangan lokal yang dikonsumsi di uji dengan statistik deskriftive meliputi; mean, median, minimum dan maksimum. Hasil kajian memperlihatkan adanya empat jenis pangan lokal yang sudah terbiasa di konsumsi oleh responden yaitu; ubi, pisang, ganyong dan sukun. Rata-rata responden mengkonsumsi 2,4 jenis pangan lokal, dengan nilai median 2 jenis pangan dan secara keseluruhan umumnya telah mengkonsumsi 2 (dua) dan 1 (satu) jenis atau 40,54% dan 35,13% diikuti dengan mengkonsumsi 3 (tiga) jenis 16,22% dan 4 (empat) jenis 8,11%. Artinya dari ke 4 jenis pangan lokal non beras teridentifikasi yang terbanyak jenis pangan lokal adalah mengkonsumsi 2 jenis pangan dan paling sedikit mengkonsumsi 4 jenis pangan. Dilihat dari minat sebanyak 34 responden (91,90 %) mengkonsumsi ubi sebagai makanan selingan selain beras, diikuti pisang 22 responden (60,66%), ganyong 13 responden (35,00%) dan paling sedikit peminatnya komoditas sukun (6,00%).
Kata kunci: pemanfaatan, pangan lokal, identifikasi, diversivikasi, pengganti
PENDAHULUAN
Penganekaragaman pangan atau dikenal dengaan diversifikasi pangan,
merupakan salah satu jalan keluar cukup rasional untuk memecahkan masalah
kecukupan kebutuhan pangan (khususnya sumber karbohidrat). Untuk
mewujudkan ketahanan pangan yang tangguh, maka langkah penting yang cukup
rasional yang perlu ditempuh adalah dengan melakukan diversifikasi pangan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
102
berbasis pangan lokal guna mencegah terjadinya krisis pangan. Menurut Widowati
(2003) penataan pola makan yang tidak tergantung pada satu sumber pangan,
memungkinkan masyarakat dapat menetapkan pangan pilihan sendiri dan
membangkitkan ketahanan pangan keluarga masing-masing, sebagai upaya wujud
peningkatan ketahanan pangan nasional.
Sampai saat ini upaya pemenuhan konsumsi kalori di Bengkulu masih
didominasi oleh kelompok padi-padian, sedangkan kelompok pangan lain
kontribusinya masih sangat rendah. Badan Ketahanan Pangan Provinsi Bengkulu
(2009) menunjukan bahwa dari konsumsi 2074 kalori pada tahun 2008, ternyata
sebanyak 1327,7 kalori (66,4%) dipenuhi dari padi-padian, sedangkan sisanya
dipenuhi oleh kelompok pangan lain seperti; umbi-umbian 53,9 kalori (2,7%),
kacang-kacangan 44,2 kalori (2,2%), sayur dan buah 109 kalori (5,4%). Sampai
saat ini upaya pemenuhan kalori bagi masyarakat Bengkulu masih didominasi beras
sebesar 113,8 kg per kapita per tahun (Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu
2010).
Pangan lokal adalah pangan yang diproduksi suatu wilayah/daerah tertentu
untuk tujuan konsumsi atau nilai ekonominya, sehingga pangan yang diproduksi di
Bengkulu adalah merupakan pangan lokal Bengkulu. Tercatat pada tahun 1990,
jumlah orang yang mengkonsumsi jagung dan ubi kayu masing-masing adalah
9,3% dan 32,1% di kota, serta 19,0% dan 49,6% di desa. Sedangkan pada tahun
1999 menurun, masing-masing menjadi 4,8% dan 28,6% di kota dan 10,1% dan
39,8% di desa. Namun sebaliknya konsumsi gandum dan produk olahannya, seperti
mie mempunyai tingkat partisipasi konsumsi dengan trend meningkat melampaui
konsumsi jagung dan ubi kayu, pada kurun waktu tahun 1990-1999,
memperlihatkan laju perubahan jumlah penduduk Indonesia yang mengkonsumsi
mie di kota mencapai 56,4% di kota dan 67,0% di desa (Anonymous, 2003).
Berdasarkan kondisi tersebut, maka perlu dilakukan suatu kajian untuk
mengidentifikasi pangan lokal non beras yang dikonsumsi masyarakat dalam
mewujudkan diversifikasi pangan keluarga menuju ketahanan pangan yang
tangguh.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
103
METODE PENELITIAN
Pengkajian ini dilaksanakan pada bulan juni 2011 di Kabupaten Bengkulu
Tengah pada 3 (tiga) desa terpilih, yaitu desa; Sri Kuncoro, Pondok Kubang dan
Harapan Makmur yang ditentukan dengan cara sengaja (purposive). Penggalian
informasi dan data mengunakan metode survey dengan kuesioner terstruktur
terhadap 37 orang responden yang diambil secara acak, yaitu; 15 responden dari
desa Sri kuncoro, 7 responden dari desa Pondok Kubang dan 14 responden dari
desa Harapan Makmur. Untuk uji analsis hasil identifikasi pangan lokal yang paling
banyak dikonsumsi masyarakat, mengunakan uji statistik deskriptif dengan tekhnik
penjelasan didasarkan atas nilai tengan dan rata-rata (medianan dan mean).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identitas responden
Hasil pengujian rata – rata umur responden yang disurvey masih cukup
muda, yaitu; 37,30 tahun dengan sebaran usia tertinggi pada umur 36-50 tahun
mecapai 49% (18 orang) dan kondisi ini memperlihatkan, bahwa responden
dominan masih pada usia produktif. Untuk tingkat pendidikan responden rata-rata
berada pada tingkatan 8,14 tahun, masih dibawah standar pendidikan wajib belajar
warga negara Indonesia minimal 9 tahun. Tanggungan anggota keluarga rata-rata
4 orang, dimana jumlah tanggungan ini akan mempengaruhi jumlah konsumsi
makanan pokok rumah tangga (Tabel 1). Dewanti (2002) dari hasil penelitiannya
menunjukan jumlah anggota keluarga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
status gizi, karena semakin banyak jumah anggota keluarga akan membutuhkan
biaya untuk memenuhi kebutuhan makanan bergizi yang lebih besar dibandingkan
dengan jumlah anggota keluarga yang lebih sedikit. Begitu juga dengan tingkat
pendidikan berkaitan erat dengan status gizi keluarga, karena semakin tinggi
pendidikan ibu maka akan semakin tinggi pula perolehan status gizi anak.
Tabel 1. Karakteristik identitas responden pada desa lokasi pengakajian di Kabupaten Bengkulu Tengah Tahun 2011.
Identitas Responden Desa lokasi pengkajian Umur Pendidikan Jumlah anggota keluarga
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
104
Kelompok Jumlah % Kelompok Jumlah % Kelompok Jumlah %
Sri kuncoro 20-35 16 43 0 - 5 2 5 1 – 2 3 8
Pondok Kubang 36-50 18 49 6 - 11 24 65 3 - 4 27 73
Harapan Maju 51-67 3 8 12 - 17 11 30 5 - 7 7 19
Jumlah 37 100 37 100 37 100
Keadaan Sumber Pangan Lokal di Bengkulu Tengah
Hasil identifikasi jenis pangan lokal dilokasi mpengkajian menunjukkan bahwa
secara umum di tiap desa lokasi pengkajian beberapa memiliki jenis pangan lokal
yang bisa dikembangkan sebagai bahan pangan pengganti beras, diantaranya yang
umum dikonsumsi masyarakat sebagai pangan lokal adalah ubi kayu, ganyong,
sukun dan pisang. Jenis pangan ini memang termasuk jenis pangan lokal, seperti
yang di gambarkan Badan Ketahanan Pangan Provinsi Bengkulu (2011) dimana
bahan pangan lokal yang dapat dijadikan sebagai pengganti beras antara lain;
jagung, pisang, ubi kayu, ubi jalar, ganyong, garut, sukun dan prenggi.
Iklim tropis di Bengkulu Tengah secara umum menjadikan wilayah pengkajian
sangat kaya akan sumber bahan pangan pokok non beras, seperti halnya potensi
umbi-umbian dan buah yang beragam sebagai sumber karbohidrat banyak tumbuh
subur ragam jenisnya dan umumnya sudah dikonsumsi masyarakat sebagai sumber
pangan lokal seperti; pisang, ubi jalar, ubi kayu, ganyong dan sukun. Walaupun
dari segi nutrisi, tanaman umbi-umbian mempunyai nilai nutrisi yang rendah
dibandingkan dengan beras maupun kacang-kacangan, terutama kandungan
protein dan lemaknya namun cukup tinggi pada kandungan karbohidratnya
(Marudut dan Sundari, 2000).
Dari gambaran konsumsi pangan lokal di lokasi pengkajian terlihat bahwa ubi
kayu, merupakan komoditas pangan lokal yang paling diminati masyarakat. Dimana
sebanyak 34 responden atau 91,90 % mengkonsumsi ubi sebagai makanan
selingan selain beras, kemudian diikuti pisang 22 responden (60,66%) dan
ganyong 13 responden (35,00%) serta yang paling sedikit peminatnya komoditas
sukun yang hanya diwakili oleh 2 responden (Tabel 2). Hal ini bisa disebabkan
karena ubi lebih mudah untuk di budidayakan dan pengolahan hasil sebagai produk
pascapanen.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
105
Tabel 2. Hasil identifikasi jenis pangan lokal yang dikonsumsi masyarakat pada desa lokasi pengakajian di Kabupaten Bengkulu Tengah Tahun 2011.
Konsumsi Pangan Lokal No.
Jenis pangan lokal Jumlah rumah tangga persentase
1. Ubi 34 91,90
2. Ganyong 13 35,00
3. Sukun 2 6,00
4. Pisang 22 60,66
Hasil uji satatistik untuk jenis pangan lokal yang dikonsumsi oleh responden
dmenunjukan, rata-rata responden telah mengkonsumsi 2,4 jenis pangan lokal
dengan nilai median 2 jenis pangan. Akan tetapi apabila dilhat secara keseluruhan
jumlah jenis konsumsi pangan lokal non beras yang dikonsumsi masyarakat di
Kabupaten Bengkulu Tengah secara umum menunjukan, bahwa masyarakat
umumnya mengkonsumsi 2 (dua) dan 1 (satu) jenis atau 40,54% dan 35,13%
diikuti dengan mengkonsumsi 3 (tiga) jenis 16,22% dan 4 (empat) jenis 8,11%.
Artinya dari ke 4 jenis pangan lokal non beras teridentifikasi yang terbanyak adalah
masyarakat mengkonsumsi 2 jenis pangan dan paling sedikit mengkonsumsi 4 jenis
pangan (Tabel 3).
Kondisi ini memperlihatkan masyarakat di Kabupaten Bengkulu Tengah
walaupun sudah banyak yang mengkonsumsi pangan lokal (non beras), namun
belum menunjukan masih rendahnya tingkat diversivikasi pangan masyarakat
terhadap pangan lokal pengganti beras. Sehingga pelu menjadi perhatian kita
bersama untuk meningkatkan upaya pendampingan terhadap diversifikasi berbagai
pangan lokal non beras yang dapat dikonsumsi masyarkat sebagai pengganti
komsumsi beras, terutama dari jenis umbi-umbian dan buah lainnya walaupun
adanya berbagai hambatan dalam pelaksanaan kepada massyarakat.
Tabel 3. Identifikasi jumlah jenis konsumsi pangan lokal non beras yang dikonsumsi masyarakat di Kabupaten Bengkulu Tengah Tahun 2011.
Jumlah yang mengkonsumsi No. Jumlah Jenis Pangan Lokal orang %
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
106
1. Satu jenis pangan 13 35,13 2. Dua jenis pangan 15 40,54 3. Tiga jenis pangan 6 16,22 4. Empat jenis pangan 3 8,11
T o t a l 37 100,00
Kondisi ini disebabkan karena beberapa faktor yang pada akhirnya
menghambat upaya diversifikasi pangan berbasis pangan lokal antara lain; 1)
ketergantungan masyarakat yang tinggi pada beras untuk dimasak menjadi nasi
karena dibandingkan sumber karbohidrat lain, nasi dari beras lebih mudah
disiapkan, lebih luwes dengan beragam lauk pauk dan memiliki kandungan kalori
dan protein yang cukup tinggi, 2) ada anggapan dari sebagian masyarakat
Indonesia yang menganggap belum makan bila belum makan nasi, 3) budidaya
umbi-umbian dan buah-buahan kaya karbohidrat belum maksimal, seperti halnya
petani menanam padi, 4) pangan lokal diberbagai wilayah belum dapat
dikembangkan dalam skala industri dengan berbagai hasil olahan pangan lokal
sesuai dengan standar kecukupan gizi yang dianjurkan (Damat, 2009).
Dimanas standar kecukupan gizi tersebut secara ukuran dapat dibagi
kedalam dua bagian yaitu ukuran makro (kecukupan kalori/energi dan kecukupuan
protein) dan ukuran mikro (kecukupan vitamin dan mineral), di Indonesia masih
menggunakan ukuran makro dengan standar kecukupan kalori ideal sebesar 2200
kkal/kapita/hari yang terdiri dari 1000 kkal kelompok bahan pangan padi-padian,
120 kkal kelompok umbi-umbian, 240 kkal kelompok pangan hewani, 200 kkal
kelompok minyak dan lemak, 60 kkal kelompok buah/biji berminyak, 100 kkal
kelompok kacang-kacangan, 100 kkal kelompok gula serta 120 kkal kelompok
sayur dan buah. Bila diasumsikan responden mengkonsumsi pangan non beras
satu kali dalam sehari sehingga mengurangi konsumsi beras yang seharusnya tiga
kali menjadi dua kali dengan jumlah konsumsi sebesar 0,083 kg/kapita/hari maka
angka ini sudah cukup menunjang pemenuhan kecukupan kalori responden
terutama dari kelompok umbi-umbian.
KESIMPULAN
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
107
1. Bengkulu Tengah secara umum sangat kaya akan sumber bahan pangan pokok
non beras, namun yang dominan dan paling diminati untuk dikonsumsi
masyarakat adalah ubi kayu/jalar, ganyong, sukun dan pisang.
2. Rata-rata Masyarakat telah mengkonsumsi 2,4 jenis pangan lokal pada nilai
median 2 jenis pangan, namun dilhat secara keseluruhan jumlah jenis konsumsi
pangan lokal non beras yang dikonsumsi secara umum menunjukan masyarakat
umumnya mengkonsumsi 2 (dua) dan 1 (satu) jenis atau 40,54% dan 35,13%
diikuti dengan mengkonsumsi 3 (tiga) jenis 16,22% dan 4 (empat) jenis 8,11%
yang terbanyak adalah mengkonsumsi 2 jenis dan paling sedikit mengkonsumsi
4 jenis pangan.
3. Untuk meningkatkan konsumsi pangan lokal masyarakat dan perlunya
penganekaragaman makanan agar konsumsi terhadap beras dapat menjadi
berkurang dan kebutuhan gizi keluarga dapat terpenuhi dangan baik, maka
diperlukan ditingkatkan diseminasi atau penyuluhan terhadap diversivikasi dan
pengolahan pangan lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Ketahanan Pangan Provinsi Bengkulu. 2009. Laporan Tahunan Badan Ketahanan Pangan Tahun 2009. Badan Ketahanan Pangan Provinsi Bengkulu. Bengkulu.
Badan Ketahanan Pangan Provinsi Bengkulu. 2011. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah 2010. Badan Ketahanan Pangan Provinsi Bengkulu. Bengkulu.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. 2011. Bengkulu Dalam Angka Tahun 2010. Bengkulu.
Damat. 2009. Diversifikasi Pangan Berbasis Pangan Lokal Untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional. Makalah Pribadi. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.
Marudut dan Sundari. 2003. Budidaya dan Pascapanen Garut. Penerbit CV. Kanisius. Yogyakarta.
Widowati,S. 2003. Prospek Tepung Sukun Untuk Berbagai Produk Makanan Olahan dalam Upaya Menunjang Diversifikasi Pangan. Makalah Pribadi. Pengantar Kefalsafah Sains Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
108
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP JUMLAH KONSUMSI PANGAN NON BERAS BERBASIS PANGAN
LOKAL DI PROVINSI BENGKULU Alfayanti dan Dedi Sugandi
ABSTRAK Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap jumlah konsumsi pangan berbasis pangan lokal dalam mewujudkan ketahanan pangan di Provinsi Bengkulu. Pengkajian dilakukan di wilayah Provinsi Bengkulu pada pada bulan Juni sampai Agustus tahun 2011 dengan lokasi pengkajian dipilih secara sengaja (purposive) yaitu di Kabupaten Bengkulu Tengah Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Seluma, dan Kota Bengkulu dengan jumlah responden berjumlah 120 orang. Responden dipilih berdasarkan kriteria sebagai anggota kelompok wanita tani atau perorangan yang melakukan budidaya dan atau pengolahan hasil tanaman pangan non beras berbasis pangan lokal. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui informasi yang dihimpun dari responden menggunakan instrumen daftar pertanyaan yang disusun secara terstruktur (kuesioner) berupa meliputi identitas responden, data sosial ekonomi, perilaku konsumsi serta data kelembagaan. Data sekunder yang digunakan seperti data produksi beras dan pangan non beras. Pengujian data menggunakan teknik analisis OLS (Ordinary Least Square). Hasil pengkajian menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap jumlah konsumsi pangan non beras berbasis pangan lokal di Provinsi Bengkulu adalah umur, jumlah tanggungan keluarga dan frekuensi konsumsi pangan lokal.
Kata Kunci: konsumsi, pangan, non beras
PENDAHULUAN
Peran sektor pertanian sangat strategis, selain sebagai pemasok devisa,
sektor pertanian merupakan penghasil utama pangan. Pangan merupakan
kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap manusia.
Ketersediaan pangan yang cukup akan menentukan kualitas sumber daya manusia
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
109
dan stabilitas sosial politik sebagai prasyarat untuk melaksanakan pembangunan
(Mantau dan Bahtiar, 2010). Selain itu, pangan memiliki peran memiliki peran yang
signifikan dalam perekonomian daerah dan nasional. Mengingat perannya yang
begitu sentral, maka pembangunan ketahanan pangan posisinya sangat strategis.
Menurut Undang-Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan,
pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang
diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman
bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan makanan, bahan baku pangan
dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau
pembuatan makanan atau minuman. Ketahanan pangan adalah kondisi
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan
yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
Ketahanan pangan berkaitan dengan ketersediaan pangan, yaitu tersedianya
pangan dari hasil produksi dalam negeri atau sumber lainnya.
Penganekaragaman pangan (diversifikasi pangan) merupakan salah satu jalan
keluar yang cukup rasional untuk memecahkan masalah pemenuhan kebutuhan
pangan (khususnya sumber karbohidrat). Menurut Widowati (2003), melalui
penataan pola makan yang tidak tergantung pada satu sumber pangan,
memungkinkan masyarakat dapat menetapkan pangan pilihan sendiri,
membangkitkan ketahanan pangan keluarga masing-masing, yang berujung pada
peningkatan ketahanan pangan nasional. Untuk mewujudkan ketahanan pangan
yang tangguh, maka langkah penting yang cukup rasional yang perlu ditempuh
adalah dengan melakukan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal guna
mencegah terjadinya krisis pangan.
Dalam konteks Indonesia keanekaragaman konsumsi pangan sering diartikan
sebagai pengurangan konsumsi beras yang dikompensasi oleh penambahan
konsumsi pangan non beras (Suyastiri,2008). Konsumsi beras masyarakat
Indonesia mencapai 139 kg/kapita/tahun (BPS, 2010). Thailand salah satu
produsen beras dunia hanya mengkonsumsi beras per kapita per tahun sekitar 72
kg, Malaysia sekitar 63 kg dan Jepang sekitar 52 kg (Nganro,2009) dan rata-rata
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
110
konsumsi beras masyarakat dunia hanya 60 kilogram per kapita per tahun (Nurdin,
2008).
Bengkulu diketahui memiliki ketersediaan bahan pangan yan beragam, dari
satu wilayah ke wilayah lainnya, baik bahan pangan sumber karbohidrat, protein,
lemak, vitamin maupun mineral. Iklim tropis di Bengkulu menjadikan wilayah
Bengkulu sangat kaya akan sumber bahan pangan pokok selain beras. Misalnya,
potensi umbi-umbian yang beragam sebagai sumber karbohidrat dapat tumbuh
dengan subur dan beragam jenisnya seperti; ubi jalar, ubi kayu, garut, ganyong
dan lain-lain.
Data Badan Ketahanan Pangan Propinsi Bengkulu menunjukkan bahwa
sampai saat ini upaya pemenuhan konsumsi kalori di Bengkulu masih didominasi
oleh kelompok padi-padian, sedangkan kelompok pangan yang lain kontribusinya
masih sangat rendah. Pada tahun 2008 dari konsumsi 2.074 kalori sebanyak
1327,7 kalori (66,4%) dipenuhi dari padi-padian, sedangkan sisanya dipenuhi oleh
kelompok pangan yang lain seperti umbi-umbian 53,9 kalori (2,7%), kacang-
kacangan 44,2 kalori (2,2%), sayur dan buah 109 kalori (5,4%). Sampai saat ini
upaya pemenuhan kalori bagi masyarakat Bengkulu masih didominasi beras yaitu
sebesar 113,8 kg per kapita per tahun (Badan Ketahanan Pangan,2011).
Ketergantungan yang tinggi terhadap beras sebagai sumber karbohidrat dan
sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan masyarakat pada beras maka
perlu menggali potensi lokal yamg berbasis non beras untuk memenuhi kebutuhan
pangannya. Pada saat mendatang diharapkan akan terwujud pola konsumsi pangan
masyarakat yang bergizi, beragam dan berimbang berbasis potensi lokal yang
bermuara pada terwujudnya ketahanan pangan yang berkelanjutan. Oleh
karenanya diversifikasi pangan potensi lokal menjadi sesuatu yang mendesak untuk
segera diupayakan. Sehingga perlu dilakukan kajian untuk mengetahui faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap jumlah konsumsi pangan berbasis pangan lokal dalam
mewujudkan ketahanan pangan di Provinsi Bengkulu.
METODOLOGI
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
111
Pengkajian ini dilakukan di wilayah Provinsi Bengkulu pada bulan Juni sampai
Agustus tahun 2011. Lokasi pengkajian meliputi Kabupaten Bengkulu Tengah (37
responden), Kabupaten Bengkulu Utara (40 responden), Kabupaten Seluma (18
responden) dan Kota Bengkulu (25 responden) sehingga sampel berjumlah 120
orang. Pemilihan lokasi dan responden dipilih secara purposive (sengaja).
Responden dipilih berdasarkan kriteria sebagai anggota kelompok wanita tani atau
perorangan yang melakukan budidaya dan atau pengolahan hasil tanaman pangan
non beras berbasis pangan lokal seperti ganyong, ubi kayu, ubi jalar, garut, pisang
dan lain-lain.
Metode yang digunakan untuk mendapatkan data adalah metode survei. Data
yang digunakan berupa data primer yang diperoleh melalui informasi yang
dihimpun dari responden menggunakan instrumen daftar pertanyaan yang disusun
secara terstruktur (kuesioner) dengan pendekatan Focus Group Discussion (FGD)
pada semua responden. Data primer yang dihimpun meliputi identitas responden
(nama, umur, pendidikan formal, alamat), data sosial ekonomi (jumlah anggota
keluarga, pendapatan keluarga), perilaku konsumsi (jenis makanan pokok,
frekuensi, jumlah, bentuk, biaya konsumsi makanan beras dan non beras),
penguasaan lahan (status tempat tinggal, luas pekarangan, pemanfaatan
pekarangan, luas lahan usaha) serta data kelembagaan (organisasi, pelatihan dan
program yang diikuti).
Analisis data faktor-faktor yang berpengaruh terhadap jumlah konsumsi
pangan non beras berbasis pangan lokal dilakukan dengan teknik analisis OLS
(Ordinary Least Square) dengan model yang digunakan sebagai berikut :
Y = b0a +b1X1+b2X2+b3X3+b4X4+b5X5+b6X6+b7D1+e
Dimana: Y = Jumlah konsumsi pangan non beras (kg/bulan) a = Konstanta b0-7 = Koefisien regresi X1 = Umur (tahun) X2 = Pendidikan formal (tahun) X3 = Jumlah tanggungan keluarga (orang) X4 = Pendapatan rumah tangga (Rp/bulan) X5 = Harga pangan lokal (Rp/kg) X6 = Frekuensi konsumsi pangan lokal (kali/bulan)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
112
D1 = Pelatihan pengolahan pangan lokal (Dummy, telah mengikuti pelatihan=1, belum mengikuti pelatihan=0)
E = error
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Karakteristik responden yang ditampilkan pada pembahasan ini adalah umur
(tahun), pendidikan formal (tahun), tanggungan keluarga (orang), dan pendapatan
rumah tangga (Rp/bulan).
Tabel 1. Karakteristik responden penelitian analisis faktor yang berpengaruh terhadap jumlah konsumsi pangan non beras berbasis pangan lokal di Provinsi Bengkulu Tahun 2011.
No Kabupaten/Kota Umur
(th)) Pendidikan formal (th)
Tanggungan keluarga
(org)
Pendapatan RT (Rp/bln)
1. Bengkulu Tengah 37,30 8,14 3,40 2.271.081,08
2. Bengkulu Utara 30,67 10,87 4,10 1.725.000,00
3. Seluma 33,94 9,11 4,00 2.255.555,56
4. Bengkulu 42,07 9,88 3,40 2.255.000,00
Jumlah 143,98 38,00 14,90 8.506.636,64
Rata-rata 35,99 9,50 3,70 2.126.659,16
Sumber : data primer 2011.
Umur merupakan hal yang penting dalam suatu kegiatan usaha karena
berkaitan dengan semangat, tenaga dan kondisi fisik seseorang dalam melakukan
suatu pekerjaan. Menurut Rosman (2000) usia produktif berkisar antara 15-55
tahun dimana pada usia produktif seseorang masih memiliki semangat dan tenaga
yang kuat serta dapat diandalkan dalam menjalani usahanya dengan baik.. Rata-
rata umur responden adalah 35,99 tahun ini berarti umumnya responden berada
pada usia produktif.
Lama pendidikan formal responden rata-rata adalah 9,50 tahun dan bila
diasumsikan responden menyelesaikan setiap jenjang tepat waktu maka dapat
dikatakan rata-rata responden menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Umum.
Menurut Riyadi (2003) dalam Suyastiri (2008) semakin tinggi tingkat pendidikan
dan pengetahuan yang dimiliki seseorang umumnya semakin tinggi pula tingkat
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
113
kesadaran untuk memenuhi pola konsumsi yang seimbang dan memenuhi syarat
gizi serta selektif dalam kaitannya tentang ketahanan pangan.
Rata-rata jumlah anggota keluarga responden sebanyak 3,7 orang. Jumlah
anggota keluarga terbanyak berada di Kabupaten Bengkulu Utara dengan jumlah
4,1 orang sedangkan jumlah anggota keluarga terkecil berada di Kabupaten
Bengkulu Utara dan Kota Bengkulu sebanyak 3,4 orang.
Ditinjau dari aspek sosial ekonomi, rata-rata total pendapatan keluarga
responden adalah Rp 2.126.659,16 per bulan. Pendapatan ini lebih tinggi
dibandingkan dengan upah minimum regional Provinsi Bengkulu tahun 2010 yaitu
sebesar Rp 780.000,- per bulan (BPS, 2011). Menurut Suyastiri (2008) pendapatan
merupakan faktor utama yang menentukan perilaku rumah tangga dalam
melakukan pola konsumsi pangan dan diversifikasi pangan. Secara umum dengan
peningkatan pendapatan akan memberikan peluang bagi masing-masing rumah
tangga untuk melakukan diversifikasi konsumsi, meningkatkan kualitas bahan
pangan pokok dalam rangka meningkatkan gizi keluarganya.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Jumlah Konsumsi Pangan Non Beras Berbasis Pangan Lokal
Pembahasan faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah konsumsi panga non
beras berbasis pangan lokal di Provinsi Bengkulu akan dianalisis secara spesifik
lokasi (per Kabupaten/Kota) dan secara umum (Provinsi Bengkulu). Hasil analisis
faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah konsumsi pangan lokal di masing-masing
lokasi penelitian dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Hasil analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap jumlah konsumsi pangan lokal di Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu Utara, Seluma dan Kota Bengkulu tahun 2011.
Keterangan Bengkulu Tengah
Bengkulu Utara
Seluma Kota Bengkulu
Variabel t hit t hit t hit t hit Konstanta -2,21 -0,05 1,25 0,35 X1 (umur) 1,37 0,43 -1,48 0,34 X2 (pendidikan formal) 2,86*** -1,13 -1,16 -0,52 X3 (jumlah tanggungan keluarga) 4,79*** 1,23 -0,01 2,93*** X4 (pendapatan rumah tangga) -1,23 1,07 0,08 1,31 X5 (harga pangan lokal) -0,23 -0,81 1,03 -0,84 X6 (frekuensi konsumsi pangan lokal) 1,63 5.71*** 0,69 2,34** D1 (dummy pelatihan pengolahan) 1,12 -0,39 2,46** -2,78***
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
114
R 0,71 0,75 0,84 0,86 F hitung 4,35** 6,06** 3,14** 7,40**
Keterangan: ** signifikan pada taraf kepercayaan 95%, *** signifikan pada taraf kepercayaan 99%
Hasil uji F di semua Kabupaten/Kota diperoleh nilai F hitung lebih besar dari
F tabel sehingga secara statistik ini berarti model yang dianalisis adalah baik atau
dapat dipergunakan untuk menerangkan atau menunjukkan bahwa secara
keseluruhan semua variabel secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap
jumlah konsumsi pangan lokal. Nilai koefisien korelasi (R), secara berurutan untuk
Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu Utara, Seluma dan Kota Bengkulu adalah
sebesar 0,71; 0,75; 0,84; 0,86 menunjukkan hubungan yang kuat antara variabel
bebas dengan variabel terikat.
Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap jumlah
konsumsi pangan lokal di Kabupaten Bengkulu Tengah adalah pendidikan (X2) dan
jumlah tanggungan keluarga (X3). Berpengaruhnya variabel pendidikan
dikarenakan pola konsumsi pangan tergantung dari pendidikan pengelola rumah
tangga tersebut. Semakin tinggi pendidikan formal maka pengetahuan dan
wawasan tentang pentingnya kualitas pangan yang dikonsumsi untuk
meningkatkan kesehatan akan menyebakan semakin bervariasinya pangan yang
dikonsumsi (Suyastiri,2008).
Tingkat pendidikan yang semakin tinggi juga identik dengan semakin
tingginya wawasan di segala bidang termasuk pula wawasan dalam pola konsumsi
pangan (Taufik, 2007). Atmarita (2004) dalam Mapandin (2006) menyatakan
bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi juga akan memudahkan seseorang
dalam menyerap informasi dan mengimplementasikan dalam perilaku dalam gaya
hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Jumlah tanggungan
keluarga yang juga berpengaruh terhadap jumlah konsumsi pangan lokal
disebabkan karena semakin banyak jumlah anggota keluarga maka kebutuhan
pangan yang dikonsumsi akan semakin bervariasi karena masing-masing anggota
keluarga mempunyai selera yang belum tentu sama (Suyastiri, 2008).
Faktor yang berpengaruh terhadap jumlah konsumsi pangan lokal di
Kabupaten Bengkulu Utara adalah frekuensi konsumsi pangan lokal (X6). Semakin
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
115
sering mengkonsumsi pangan lokal maka akan semakin banyak pula jumlah
konsumsi pangan lokal tersebut. Sebagian besar responden mengkonsumsi pangan
lokal sebagai makanan selingan pada saat sarapan pagi atau sore hari, hal ini
dilakukan supaya dapat mencoba variasi cita rasa sehingga tidak membosankan
dan dapat menambah nafsu makan (Hidayah, 2011).
Faktor yang berpengaruh terhadap jumlah konsumsi pangan lokal di
Kabupaten Seluma adalah pengalaman mengikuti pelatihan pengolahan pangan
lokal. Hal ini diduga karena setelah memiliki pengetahuan dalam mengolah pangan
lokal responden lebih sering mengaplikasikan pengetahuan yang telah mereka
dapatkan. Teknik pengolahan pangan yang bervariasi dapat menimbulkan cita rasa
yang menyenangkan bagi orang yang mengkonsumsinya (Hidayah,2011).
Di Kota Bengkulu faktor yang berpengaruh terhadap jumlah konsumsi pangan
lokal adalah jumlah tanggungan keluarga (X3), frekuensi konsumsi pangan lokal
(X6) dan pengalaman mengikuti pelatihan pengolahan pangan lokal (D1). Tanda
negatif pada D1 menunjukkan bahwa ada korelasi yang negatif antara pengalaman
pelatihan pengolahan pangan lokal dengan jumlah konsumsi pangan lokal itu
sendiri. Apabila responden telah mengikuti pelatihan, jumlah konsumsi pangan
lokalnya lebih sedikit dibandingkan dengan responden yang belum mengikuti
pelatihan. Hal ini diduga disebabkan karena paradigma di tengah masyarakat
perkotaan yang masih menganggap bahwa makanan non beras sebagai makanan
yang masih bersifat inferior (www.kabarbisnis.com., 03 April 2012). Selain itu
masyarakat perkotaan lebih memilih makanan olahan berbasis gandum, karena
dengan berat yang sama, memiliki kandungan kalori yang lebih tinggi ketimbang
umbi-umbian atau jagung (Hidayah, 2011).
Hasil analisis regresi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap jumlah
konsumsi pangan lokal di Provinsi Bengkulu dapat dilihat pada tabel 3. Hasil uji F
menunjukkan bahwa F hitung lebih besar dari F tabel sehingga secara statistik ini
berarti model yang dianalisis adalah baik atau dapat dipergunakan untuk
menerangkan atau menunjukkan bahwa secara keseluruhan semua variabel secara
bersama-sama berpengaruh nyata terhadap jumlah konsumsi pangan lokal. Nilai
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
116
koefisien korelasi (R) sebesar 0,61 menunjukkan hubungan yang kuat antara
variabel bebas dengan variabel terikat.
Faktor yang berpengaruh terhadap jumlah konsumsi pangan lokal adalah
umur (X1), jumlah tanggungan keluarga (X3) dan frekuensi konsumsi pangan lokal
(X6). Koefisien X1 (b1) sebesar 0,181 menunjukkan bahwa jika umur meningkat
satu tahun maka jumlah konsumsi pangan lokalnya akan meningkat sebanyak
0,181 kg. Koefisien X3 (b3) berkolerasi positif terhadap jumlah konsumsi pangan
lokal. Koefisien regresi sebesar 1,186 menunjukkan bahwa jika jumlah tanggungan
keluarga responden satu orang maka jumlah konsumsi pangan lokalnya akan
meningkat sebanyak 1,186 kg. Koefisien X6 (b6) sebesar 0,265 menunjukkan
bahwa jika frekuensi konsumsi pangan lokal meningkat satu kali maka jumlah
konsumsi pangan lokalnya akan meningkat sebanyak 0,265 kg.
Tabel 3. Hasil analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah konsumsi pangan lokal di Provinsi Bengkulu tahun 2011.
Variabel Koefisien regresi t hitung
Konstanta -8,388 -1,725
Umur (X1) 0,181 2,324**
Pendidikan (X2) 0,223 0,985
Jumlah tanggungan keluarga (X3) 1,186 2,348**
Pendapatan rumah tangga (X4) 4,460E-07 1,258
Harga pangan lokal (X5) -3,143E-05 -0,172
Frekuensi konsumsi pangan lokal (X6) 0,265 6,124***
Pelatihan pengolahan panga lokal (D1) -1,069 -0,840 R 0,61 F hitung 9,65**
Keterangan : **signifikan pada taraf kepercayaan 95%, ***signifikan pada taraf kepercayaan 99%
Berpengaruhnya variabel umur pada hasil analisis ini lebih berkaitan dengan
kebiasaan responden dalam mengkonsumsi pangan lokal karena tingkat konsumsi
dipengaruhi juga oleh pola makan atau kebiasaan makan (Windarsih, 2008).
Sebagian besar responden yang merupakan pendatang dari Pulau Jawa telah
memiliki kebiasan untuk mengkonsumsi olahan pangan lokal terutama yang berasal
dari ubi kayu seperti gaplek, tiwul dan lainnya. Bahkan, responden merasa lebih
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
117
bertenaga dalam beraktivitas bila mengkonsumsi olahan tersebut dibandingkan bila
mereka mengkonsumsi nasi (beras).
Dalam mengkonsumsi pangan lokal, keluarga yang memiliki jumlah
tanggungan keluarga yang banyak akan mengkonsumsi pangan lokal yang lebih
banyak bila dibandingkan dengan keluarga yang memilik tanggungan keluarga
yang lebih sedikit. Semakin banyak jumlah anggota rumah tangga juga
menyebabkan kebutuhan pangan yang dikonsumsi akan semakin bervariasi karena
masing-masing anggota rumahtangga mempunyai selera yang belum tentu sama
(Suyastiri, 2008).
Semakin sering mengkonsumsi pangan lokal tentu saja mengakibatkan
jumlah pangan lokal yang dikonsumsi semakin banyak. Pangan lokal dapat
digunakan sebagai pelengkap makanan pokok yang biasa dikonsumsi selama ini.
Selain itu pangan lokal dianggap memiliki nilai lebih, antara lain harganya yang
dianggap murah dan terjangkau oleh masyarakat (Hidayah,2011).
KESIMPULAN
Dari uraian pada hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
1. Secara umum faktor yang berpengaruh terhadap jumlah konsumsi pangan non
beras berbasis pangan lokal di Provinsi Bengkulu adalah umur, jumlah
tanggungan keluarga dan frekuensi konsumsi pangan lokal.
2. Secara spesifik faktor yang berpengaruh terhadap jumlah konsumsi pangan non
beras berbasis pangan lokal di Kabupaten Bengkulu Tengah adalah pendidikan
dan jumlah tanggungan keluarga, di Kabupaten Bengkulu Utara adalah frekuensi
konsumsi pangan lokal, Kabupaten Seluma adalah pelatihan pengolahan pangan
lokal, dan di Kota Bengkulu adalah jumlah tanggungan keluarga, frekuensi
konsumsi pangan lokal dan pelatihan pengolahan pangan lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. 2011. Bengkulu dalam Angka tahun 2010. Bengkulu.
Badan Ketahanan Pangan Provinsi Bengkulu. 2011. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah 2010. Bengkulu.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
118
Hidayah, Nurul. 2011. Kesiapan Psikologis Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan Menghadapi Diversifikasi Pangan Pokok. Jurnal Humanitas Vol VII No 1 Januari. Yogyakarta.
Kabarbisnis. 2012. Pangan Non Beras Masih Dinilai Inferior. http://www.kabarbisnis.com. Diakses tanggal 13 Juni 2012.
Mantau,Z dan Bahtiar. 2010. Kajian Kebijakan Harga Pangan Non Beras dalam Konteks Ketahanan Pangan Nasional. Jurnal Litbang Pertanian 29 (2).Jakarta.
Mapandin, Wahida. 2006. Hubungan Faktor-Faktor Sosial Budaya dengan Konsumsi Makanan Pokok Rumah Tangga Pada Masyarakat di Kecamatan Wamena Kabupaten Jayawijaya Tahun 2005. Tesis Magister Gizi masyarakat Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang.
Nganro,N.R. 2009. Dukungan Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan Komoditas Pertanian yang Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Makalah Semiloka Kementrian Riset dan Teknologi 10 November 2009 dengan tema Pengembangan dan Penerapan IPTEK dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Energi. Jakarta.
Nurdin, P.A. 2008. Perlu Program Diversifikasi.Harian Seputar Indonesia 21 April 2008.
Suyastiri,Ni Made. 2008. Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Berbasis Potensi Lokal dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Pedesaan di Kecamatan Semin Kabupaten Gunung Kidul. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol 13 No 1 April. Yogyakarta.
Taufiq, Muhammad .2007. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Pangan Masyarakat di Kabupaten Tuban. Jurnal Manajemen Akuntansi dan Bisnis Volume 5 No 3 Desember. Surabaya.
Widowati. 2003. Prospek Tepung Sukun Untuk Berbagai Produk Makanan Olahan dalam Upaya Menunjang Diversifikasi Pangan. Makalah Pribadi. Pengantar Kefalsafah Sains Program Pasca Sarjana IPB Bogor.
Windarsih, Eka. 2008.Perbedaan Pola Pangan Harapan di Pedesaan dan Perkotaan Kabupaten Sukoharjo. Makalah Pribadi. Program Studi DIII Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
119
ANALISIS TANAH SEBAGAI INDIKATOR TINGKAT KESUBURAN LAHAN SAWAH DI PROVINSI BENGKULU
Nurmegawati, Wahyu Wibawa, Dedi Sugandi dan Yahumri
ABSTRAK
Salah satu indikator untuk menilai kesuburan tanah adalah melalui analisis tanah. Dengan diketahuinya tingkat kesuburan tanah diharapkan pengelolaan lahan sawah dapat lebih efisien sehingga tingkat produktivitasnya meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat kesuburan lahan sawah di Provinsi Bengkulu. Metode pengambilan sampel tanah dengan menggunakan metode simple random sampling (SRS) pada kedalaman 0 – 20 cm yang merupakan sampel tanah terganggu. Kemudian dilakukan analisa di laboratorium untuk menentukan tekstur tanah, pH tanah, C-Organik dan unsur hara lainnya (N,P,K, Ca, Na, Mg, KTK, Al dan Kejenuhan Basa). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Tekstur tanah sangat sesuai untuk tanaman padi sawah dengan kelas tekstur tanah liat dan liat berdebu, (2) pH tanah tergolong masam sampai sangat masam (4,43 – 5,09), kandungan C-organik tergolong tinggi (4,39%), Kapasitas tukar kation tergolong sedang (16,03), Kejenuhan basa mencapai 72 % dan termasuk subur, (3) Jika dilihat dari kandungan unsur hara N, P dan K dan kation basa maka daerah penelitian ini tingkat kesuburannya tergolong rendah sampai sedang.
Kata kunci: analisa tanah, kesuburan, tanah sawah
PENDAHULUAN
Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat sejalan
dengan pertambahan jumlah penduduk, sehingga pemerintah berupaya
meningkatkan produksinya. Salah satunya melalui pengelelolaan tanaman terpadu
(PTT) padi yang spesifik lokasi. Tanaman padi pada umumnya dapat tumbuh di
berbagai jenis tanah, tetapi untuk tanaman padi di lahan persawahan memerlukan
syarat-syarat tertentu karena tidak semua jenis tanah dapat dijadikan lahan
tergenang air. Tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi sawah memiliki
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
120
tekstur halus sampai agak halus, sulit dilewati air karena padi sawah membutuhkan
air lebih untuk pertumbuhannya.
Dilain pihak banyak permasalahan yang mempengaruhi peningkatan produksi
padi diantaranya konversi lahan sawah subur yang masih terus berjalan,
penyimpangan iklim (climate anomaly), gejala kelelahan teknologi (technology
fatigue), penurunan kualitas sumberdaya lahan (soil sickness) yang berdampak
terhadap penurunan dan atau pelandaian produktivitas (Pramono et al, 2005).
Salah satu penyebab penurunan kualitas sumberdaya lahan adalah apabila
lahan tersebut diusahakan terus menerus sehingga penambahan unsur hara melalui
pemupukan mutlak diperlukan agar diperoleh hasil pertanian yang menguntungkan.
Karena kesuburan tanah berhubungan langsung dengan pertumbuhan tanaman,
maka penilaian kesuburan suatu tanah mutlak diperlukan. Menurut Nyakpa et al
(1988), salah satu cara untuk menilai status hara dalam menilai kesuburan hara
yaitu dengan analisis tanah, yang mempunyai konsep bahwa tanaman akan respon
terhadap pemupukan bila kadar hara tersebut kurang atau jumlah yang tersedia
tidak cukup untuk pertumbuhan yang optimal sehingga dari analisa ini akan
diperoleh rekomendasi pemupukan.
Produksi padi di Provinsi Bengkulu pada tahun 2011 sebesar 494,95 ton turun
4,42 % dari produksi 516 ribu ton pada tahun 2010 sedangkan produktivitasnya
sebesar 37,88 Ku/Ha, ini masih jauh dari produktivitas rata-rata nasional sebesar
49,44 Ku/Ha (BPS, 2011). Hal ini disebabkan masih sedikitnya pengetahuan
tentang teknologi tanaman padi dan salah satunya tentang tingkat kesuburan
tanahnya sehingga perlu dilakukan penelitian untuk menentukan tingkat kesuburan
lahan sawah di Provinsi Bengkulu. Dengan diketahuinya tingkat kesuburan tanah
diharapkan pengelolaan lahan sawah dapat dilakukan dengan efisien supaya
tingkat produktivitasnya menjadi tinggi.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2011 di 4
kabupaten sentra padi di Provinsi Bengkulu, yaitu Kabupaten; Bengkulu Utara,
Seluma, Rejang Lebong dan Bengkulu Selatan. Dengan pengambilan sampel tanah
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
121
diwakilkan masing-masing satu desa yaitu berturut-turut; Desa Sido Urip, Rimbo
Kedui, Rimbo Recap dan Karang Caya (dengan masing-masing luasan sawah 5 ha).
Jenis tanah yang diambil adalah sampel tanah terganggu untuk dianalisis sifat fisika
tanah meliputi tekstur tanah dan sifat kimia tanah meliputi; pH tanah, C-Organik
serta unsur hara lainnya (N,P,K, Ca dan Mg).
Pengambilan sampel tanah dilakukan secara komposit yaitu merupakan suatu
teknik pengambilan sampel tanah pada beberapa titik pengambilan pada
kedalaman 0 – 20 cm. Metode yang digunakan yaitu simple random sampling
(SRS). Menurut Suganda et al, (2006) metode SRS tidak ada batasan dalam
menentukan jumlah contoh tanah yang dipilih, semua titik pengambilan contoh
memiliki peluang yang sama dan saling bebas satu sama lainnya.
Sampel tanah yang diperoleh selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk
analisa sifat fisika dan kimia tanah sebagai berikut: (1) Penetapan tekstur tanah
(metode hydrometer), (2) penetapan pH tanah (metode kalorometri), (3)
penetapan C-Organik (metode spektrofotometer), (4) penetapan P dan K ekstrak
HCl 25 %, (5) penetapan kation-kation (N,P,K, Ca, Na, Mg, KTK, Al dan Kejenuhan
Basa).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara umum kelas tekstur tanah pada daerah penelitian termasuk liat; pH
H2O (5,09) dan pH KCl (4,43) masing tergolong masam dan sangat masam
;Kandungan C-organik (4,39 %) tergolong tinggi; % bahan organik (7,48 %)
tergolong sedang; nisbah C/N (45,5 %) tergolong sangat tinggi; kandungan N
(0,14 %) tergolong rendah, K-dd (0,43 Cmol+/kg) tergolong rendah; kandungan
Ca (6,67 Cmol+/kg) tergolong sedang; Mg-dd (4,72 Cmol+/kg) tergolong tinggi;
Na-dd (0,10 Cmol+/kg) tergolong sangat rendah; Al3+ (7,74 Cmol+/kg) tergolong
rendah; dan KTK (16,03 Cmol+/kg) tergolong sedang; sedangkan KB (71,57 %)
tergolong sangat tinggi; P2O5 potensial (20 mg 100/g),K2O potensial (10,69 mg
100/g) tergolong rendah; P2O5 tersedia (25,09 %) tergolong sangat tinggi
sedangkan K2O tersedia (8,30%) tergolong rendah (Tabel 1).
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
122
Tekstur
Hasil analisa tanah mengenai tekstur tanah menunjukkan bahwa kandungan
fraksi liat 8,28 persen, fraksi debu 34,17 persen dan fraksi liat 57,55 persen.
Berdasarkan diagram segitiga tekstur menurut United State Department of
Agriculture (USDA) dalam Luki (1989) maka kelas tekstur tanah tersebut adalah
liat. Fraksi liat memiliki kemampuan besar dalam memegang air dibanding dengan
fraksi pasir. Hal ini disebabkan pada tanah yang bertekstur halus memiliki lebih
banyak ruang pori total yang sebagian besar terdiri dari pori mikro sehingga
kapasitas memegang air besar. Pada tanah berpasir disamping ruang pori total
rendah juga memiliki jumlah pori mikro lebih rendah dibanding pori makro sehingga
sulit menahan air. Tanah yang sulit menahan air kurang cocok dijadikan lahan
persawahan sebaliknya tanah yang sulit dilewati air sangat cocok dibuat lahan
persawahan.
Tekstur tanah yang baik atau sangat sesuai untuk tanaman padi sawah
adalah liat berpasir, liat, liat berdebu, lempung berliat, lempung liat berpasir dan
lempung liat berdebu sedangkan tanah yang cukup sesuai untuk tanaman padi
sawah yang memiliki tekstur lempung berpasir sangat halus, lempung, lempung
berdebu dan berdebu (Djaenudin et al, 2003). Menurut Hidayanto et al (2004)
tanah yang memiliki tekstur agak kasar atau kasar seperti lempung berpasir, pasir
dan pasir berlempung bersipat porous sehingga tidak dapat menahan air serta
miskin unsur hara.
Tabel 1. Hasil analisis sifat kimia dan fisika tanah di beberapa sentra produksi padi di Provinsi Bengkulu, 2011.
TERHADAP CONTOH TANAH KERING 105°C
KB (%)
POTENSIAL
TEKSTUR
EKSTRAK
BAHAN ORGANIK TERSEDIA NILAI TUKAR KATION (NH4ACETAT
1N, pH7) KCl 1 N
PASIR DEBU LIAT H2O KCl
C BO N C/N P2O5 K2O K-dd Na-dd Ca-dd Mg-dd KTK Al 3+ H+ P2O5 K2O -----------%-------
NO
KODE
----%----- ppm ----- Cmol+/kg ------
1 Sido Urip 7,16 12,17 0,26 28 36,78 10, 10 0,52 0,10 9,51 6,66 19,50 0,78 0,23 86 16,91 14,45 7, 84 26, 59 65, 57 5,34 4,65
2 Rimbo recap 7,16 12,17 0,26 28 36,78 10, 10 0,52 0,10 9,51 6,66 19,50 0.27 0.04 86 42,72 3,1 10,12
46,43
43,45
5,28 4,58
3 Rimbo Kedui 1,03 1,78 0,02 52 4, 08 2, 69 0,42 0,04 5, 15 3, 74 11, 73 0,95 0,12 79,71 12,96 8,28 10, 32 36, 51 53,17 5,36 4,68
4 Karang Caya 2,21
3,81 0.03 74 22.70 10,29 0,24 0,05 2.52 1.81 13,37 2,21 0,20
34,55 7,32 16,93
4.84
27.14
68.02
4,37 3,80
Rata-rata 4,39 7,48 0,14 45,5 25,09 8,30 0,43 0,10 6,67 4,72 16,03 7,74 0,15 71,57 20 10,69 8,28 34,17 34,17 5,09 4,43
T S R ST S SR S T S R ST R R liat M SM
Keterangan : ST = sangat tinggi,T= tinggi, S=sedang, R= rendah, SR=sangat rendah
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
123
M = masam, SM = sangat masam
Lempung merupakan tekstur yang optimal untuk pertanian, karena lempung
mempunyai komposisi yang berimbang antara fraksi kasar dan fraksi halus. Hal ini
disebabkan oleh kapasitas menyerap hara pada umumnya lebih baik daripada pasir
sementara drainase, aerasi dan kemudahannya diolah lebih baik daripada liat. Pada
tanah-tanah dengan kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah-
tanah berpasir, makin halus tekstur tanah makin besar pula jumlah koloid liat dan
koloid organik, sehingga KTK juga makin besar. Menurut Hakim et al (1986) tekstur
tanah berhubungan dengan dengan plastisitas, permeabilitas, kekerasanan,
kemudahan olah dan kesuburan tanah.
Derajat Keasaman (pH) Tanah
Nilai pH menunjukkan konsentrasi ion H+ dalam larutan tanah. Konsentrasi H+
yang diekstrak dengan air menyatakan kemasaman aktif/aktual sedangkan yang
diekstrak dengan KCl 1 N menyatakan kemasaman cadangan/potensial (Sulaeman,
Suparto dan Eviati, 2005). Menurut Tan (1998) ion-ion H+ ada 2 macam yaitu ion-
ion yang ada dalam tanah sebagai ion-ion yang dapat dipertukarkan dan ion-ion
bebas masing-masing menciptakan kemasaman cadangan dan aktif. Tife
kemasaman aktif inilah yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Dari hasil pengukuran pH tanah maka diperoleh kemasaman aktif senilai 5,09
dan kemasaman cadangan senilai 4,43 masing-masing tergolong masam dan
sangat masam, dari pH tersebut maka daerah penelitian tersebut termasuk baik
karena tanaman padi tumbuh baik antara pH 4,0 – 7,0. Pada tanah sawah
kalaupun mempunyai pH masam itu tidak menjadi masalah karena pada tanah
sawah yang tergenang akan terjadi perubahan kimia salah satunya terjadi
perubahan pH tanah. Bila tanah sawah dalam kondisi masam maka setelah
pengenangan maka pH tanah akan mendekati netral sebaliknya pada tanah alkalis
setelah penggenangan pH tanahnya akan turun mendekati netral (6,5 – 7,5).
Menurut Djaenudin, et al (2003) pH H2O sangat sesuai untuk tanaman padi sawah
yaitu 5,5 – 8,2 dan cukup sesuai 4,5 – 5,5 dan 8,2 – 8,5 sedangkan sesuai marjinal
< 4,5 dan > 8,5.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
124
Pengukuran pH tanah merupakan hal yang sangat penting karena dengan
pengukuran ini akan diperoleh hal-hal sebagai berikut: Kebutuhan kapur, respon
tanah terhadap pespon tanah terhadap pemupukan dan proses-proses kimia
lainnya (Hardjowigeno, 1993). Secara umum pemberian kapur ke tanah dapat
mempengaruhi sifat fisika dan kimia tanah serta kegiatan jasad renik tanah. Bila
ditinjau dari sudut kimia, maka tujuan pengapuran adalah menetralkan kemasaman
tanah dan meningkatkan atau menurunkan ketersedian hara bagi pertumbuhan
tanaman.
Bahan Organik
Secara rata-rata Kandungan C-organik dan bahan organik tergolong tinggi,
kandungan bahan organiknya tergolong sedang; kandungan N (0,14 %) tergolong
rendah, sedangkan nisbah C/N (45,5 %) tergolong sangat tinggi. Kandungan
bahan organik erat kaitannya dengan kandungan C-organik karena dalam
penetapannya berdasarkan kandungan C-organik sehingga tinggi rendahnya
kandungan bahan organik tergantung kandungan C-organiknya. Kandungan N pada
daerah penelitian tergolong rendah sehingga membuat rasio C/N tergolong sangat
tinggi.
Kandungan bahan organik pada daerah penelitian tergolong sedang karena
pada daerah tersebut petaninya pada umumnya sudah mengembalikan jerami
sebagai kompos dengan cara pada saat tanam petani sering menebarkan jerami
yang sudah lapuk di lahan sawahnya. Bahan organik akan mempengaruhi
kemampuan tanah dalam menahan air, apabila kandungan bahan organiknya tinggi
maka kemampuan airnya meningkat, ini sangat cocok untuk lahan sawah yang
memerlukan air lebih banyak. Dengan banyaknya bahan organik maka warna tanah
menjadi coklat hingga hitam, biasanya warna tanah yang hitam tanahnya subur.
Tinggi rendahnya bahan organik juga mempengaruhi jumlah dan aktivitas
metabolik organisme tanah, meningkatnya kegiatan organisme tanah akan
mempercepat dekomposisi bahan organik menjadi humus. Menurut Hakim et al
(1986), bahan organik adalah bahan perekat tanah yang tiara taranya, sekitar
setengah dari KTK beasal dari bahan organik. Ia merupakan sumber hara tanaman
dan sumber energi sebagian besar organisme tanah.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
125
Ditinjau dari kesuburan tanah maka daerah ini belum begitu membahayakan
karena kandungan bahan organiknya masih tergolong sedang (7,48 %). menurut
Setyorini, D. Widowati, L.R, Kasno, A. (2006) kandungan C-organik rendah (< 2%)
pada lahan sawah intensifikasi akan berimplikasi pada menurunnya kesuburan
tanah dan efisiensi pemupukan.
Kandungan N tergolong rendah karena kandungan N memang rendah di
dalam tanah sedangkan yang diangkut tanaman berupa panen sangat tinggi selain
itu unsur ini sangat larut dan mudah hilang dalam air drainase ataupun hilang ke
atmosfer. Nisba antara karbon dan nitrogen tergolong tinggi yaitu mencapai 45,5
ini menunjukkan dekomposisinya belum lanjut dan baru mulai.
Rasio C/N adalah jumlah relatif karbon terhadap nitrogen pada bahan organik
yang dirombak, merupakan cara untuk menunjukkan gambaran kandungan
nitrogen relatif. Rasio C/N dari bahan organik merupakan petunjuk kemungkinan
kekurangan nitrogen. Pada daerah penelitian rasio C/N tergolong sangat tinggi, hal
ini menunjukkan bahwa tingkat perombakan/ dekomposisi bahan organik belum
lanjut atau baru mulai. Suatu dekomposisi bahan organik yang lanjut dicirikan oleh
C/N yang rendah. Suatu masalah akan timbul apabila kandungan nitrogen dari
perombakan bahan organik kecil dalam arti rasio C/N tinggi maka akan terjadi
persaingan antara tanaman dan mikroorganisme dalam mendapatkan nitrogen
yang tersedia di tanah. Menurut Foth (1998), bahan organik dengan rasio kecil atau
rendah relatif kaya nitrogen, sedangkan bila tinggi atau luas relatif miskin
nitrogennya.
Pertukaran kation
Pertukaran kation adalah pertukaran antara satu kation dalam suatu larutan
dan kation lain pada permukaan dari setiap permukaan bahan yang aktif (Foth,
1991). Koloid tanah (mineral liat dan humus) bermuatan negatif sehingga dapat
menyerap kation-kation. Kation-kation basa dapat ditukar (K, Ca, Na dan Mg)
tergolong sangat rendah sampai tinggi sedangkan kation masam Al tergolong
rendah. Hidrogen (H) tertukar tergolong rendah dibanding dengan basa K-dd, Ca-
dd, Mg-dd kecuali Na-dd. Kation basa lebih banyak daripada kation masam, hal ini
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
126
disebabkan pada komplek jerapan kation basa mampu mendesak kation masam.
Kation Al dan H keluar dari komplek jerapan dan tercuci, sehingga kandungan Al
dan H tertukar relatif sedikit.
Kation-kation yang dihasilkan baik yang bersifat masam maupun basa tidak
lepas begitu saja tetapi dijerap oleh koloid. Kekuatan masing-masing kation
berbeda-beda. Menurut Hakim, et al (1986) Kation-kation bila berada dalam jumlah
yang sama maka kekuatan jerapannya adalah Al> Ca> Mg> K> Na.
Kapasitas tukar kation (KTK) suatu tanah merupakan suatu kemampuan
koloid tanah menyerap dan mempertukarkan kation (Tan, 1991). Pada daerah
penelitian KTK tanahnya tergolong sedang, besarnya KTK tanah dipengaruhi salah
satunya tekstur tanah yang didominasi oleh fraksi liat. Dari beberapa pengamatan
ciri tekstur tanah, ternyata KTK tanah berbanding lurus dengan jumlah butir liat.
Semakin tinggi jumlah liat pada suatu jenis tanah yang sama, KTK juga bertambah
besar, sebaliknya tekstur yang didominasi oleh fraksi pasir atau debu, KTKnya
relatif lebih kecil daripada tanah yang teksturnya halus.
Suatu tanah yang mengandung KTK sedang, artinya tidak rendah maupun
tidak tinggi merupakan hal yang ideal, karena pada tanah yang mengandung KTK
tinggi memerlukan pemupukan kation tertentu dalam jumlah yang banyak agar
dapat tersedia bagi tanaman, bila diberikan dalam jumlah sedikit maka akan kurang
tersedia bagi tanaman karena lebih banyak terjerap sebaliknya pada tanah-tanah
yang mengandung KTK rendah, pemupukan kation tertentu tidak boleh banyak
karena mudah tercuci bila diberikan dalam jumlah berlebihan.
Kejenuhan Basa
Persentase kejenuhan basa (KB) suatu tanah adalah perbandingan antara
jumlah me kation basa dengan me KTK. Pada daerah penelitian KB 72 % artinya
72/100 bagian dari seluruh kapasitas tukar ditempati oleh kation basa (Ca, Mg, Na
dan K) yang artinya kesuburan tanahnya tergolong sedang. Menurut Tan (1998)
Tanah yang subur bila KB > 80 %, kesuburan sedang jika kejenuhan basa antara
50 – 80 % dan tanah tidak subur jika KB < 50 %.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
127
Kejenuhan basa mendekati 100 % tanahnya bersifat alkalis, tampaknya
terdapat hubungan yang positif antara kejenuhan basa dengan pH. Kejenuhan basa
sering dijadikan acuan sebagai petunjuk mengenai kesuburan suatu tanah.
Kemudahan dalam melepaskan ion yang dijerap untuk tanaman tergantung pada
derajat kejenuhan basa.
Unsur Hara
Hasil pengukuran unsur hara pada lokasi penelitian menunjukan bahwa
nitrogen (0,14) tergolong rendah, ini menunjukkan bahwa tingkat kesuburan
tanahnya sangat rendah (tidak subur). P205 tersedia(25,09 %) tergolong sangat
tinggi dan K2O tersedia (8,30%) tergolong rendah sedangkan P2O5 (20 mg 100/g)
dan K2O (10,69) potensial kedua-duanya tergolong rendah. Untuk potensial fosfat
yang rendah mengisyaratkan ketersedian P yang tinggi sebaliknya potensial fosfat
yang tinggi menunjukkan ketersedian P yang rendah bagi tanaman.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Tekstur tanah sangat sesuai untuk tanaman padi sawah dengan kelas tekstur
tanah liat dan liat berdebu.
1. pH tanah tergolong masam sampai sangat masam (4,43 – 5,09), kandungan C-
organik tergolong tinggi, Kapasitas tukar kation tergolong sedang, Kejenuhan
basa mencapai 72 % dan termasuk subur.
2. Jika dilihat dari kandungan unsur hara N, P dan K dan kation basa maka
daerah penelitian ini tingkat kesuburannya tergolong rendah sampai sedang.
Saran
Disarankan untuk membuat rekomendasi pemupukan spesifik lokasi pada lahan
sawah.
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2011. Bengkulu dalam angka. Badan Pusat Statistik. Bengkulu.
Djaenudin, D.,Marwan H., Subagyo H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk teknis untuk komoditas pertanian. Edisi Pertama tahun 2003, ISBN 979-9474-25-6. Balai Penelitian
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
128
Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian.
Foth, H.D. 1998. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Diterjemahkan oleh Purbayanti , Lukiwati dan Trimulatsi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Hakim, N. M.Y.Nyakpa, A.M.Lubis, S.G.Nugroho, M.A. Diha, G.B. Hong dan H.H. Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung.
Hardjowigeno, Sarwono. 1993. Klasifikasi tanah dan pedogenesis edisi pertama. Akademika Pressindo. Jakarta.
Hidayanto,M.W.Agus Heru, F.Yossita. 2004. Analisis tanah tambak sebagai indikator tingkat kesuburan tambak. Jurnal pengkajian dan pengembangan teknologi pertanian volume 7 nomor 2, Juli 2004. Bogor.
Luki, U. 1989. Fisika Tanah Terapan 2. Jurusan Tanah Universitas Andalas. Padang.
Nyakpa, M.Y. A.M.Lubis, M.A. Pulung, A.G.Amrah, A.Munawar, G.B.Hong, N.Hakim. 1988. Kesuburan Tanah. Universitas Lampung. Lampung.
Pramono,J, S. Basuki, Widarto. 2005. Upaya peningkatan produktivitas padi sawah melalui pendekatan tanaman dan sumberdaya terpadu. Agrosain 7 (1) : 1 -6.
Setyorini, D. Widowati, L.R, Kasno, A. 2006. Petunjuk Penggunaan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Balai Penelitian Tanah. Bogor.
Suganda, H. Rachman, A. Sutono. 2006. Petunjuk pengambilan contoh tanah dalam sifat fisika tanah dan metode analisisnya. Balai Besar Sumberdaya lahan pertanian. Bogor.
Sulaeman, Suparto dan Eviati. 2005. Petunjuk teknis analisis kimia tanah, tanaman, air dan pupuk edisi I. Balai Penelitian Tanah. Bogor.
Tan, Kim H. 1998. Dasar-dasar kimia tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
129
PERCEPATAN ADOPSI TEKNOLOGI PEMANFAATAN LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN SAPI DAN PUPUK ORGANIK DI BENGKULU
Ruswendi, Siswani Dwi Daliani dan Ahmad Damiri
ABSTRAK
Pengkajian percepatan adopsi teknologi pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan sapi dan pupuk organik di Bengkulu dilakukan pada 4 lokasi terpilih, yaitu di Kabupaten Bengkulu Tengah; Seluma; Rejang Lebong dan Kepahiang. Pengkajian ini bersifat kompetitif sesuai kebutuhan daerah, bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis tingkat percepatan adopsi inovasi pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan sapi dan pupuk organik serta dampaknya kepada khalayak pengguna. Metode kajian dan diseminasi percepatan adopsi limbah pertanian ini dilakukan secara wawancara langsung menggunakan kuesioner terstruktur sebagai alat pengumpul data pokok yang diperoleh dari 30 kooperator setiap kabupaten sebagai sampel responden pengukuran adopsi inovasi teknologi. Hasil informasi dan data terkumpul dianalisis secara deskriptif menggunakan analisis pola percepatan level adopsi berdasarkan waktu percepatan adopsi, faktor-faktor yang mempengaruhi peluang dalam pemanfaatan limbah petanian dianalisis menggunakan pendekatan fungsi logit, Hasil pengkajian menggambarkan waktu untuk mengadopsi pemanfaatan limbah percepatan berada pada level penerapan 2 - 3 tahun untuk diadopsi sebagai pakan sapi dan untuk diadopsi sebagai pupuk organik pada lahan sawah dibawah < 2 tahun. Faktor-faktor berpengaruh nyata terhadap percepatan adopsi pemanfaatan limbah pertanian adalah kepemilikan ternak sapi (t hitung 3,168 > t tabel 1,980) dan aksesibilitas sumber informasi (t hitung 1,902 > t tabel 1,658).
Kata kunci: adopsi, teknologi, limbah pertanian, pakan sapi, pupuk organik
PENDAHULUAN
Pendekatan pembangunan pertanian di Provinsi Bengkulu dilakukan melalui
pengembangan agribisnis dan agroindustri. Hal ini menuntut adanya
pengembangan teknologi pertanian secara terpadu guna mendapatkan nilai tambah
setiap produk/komoditi pertanian.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
130
Salah satu upaya untuk dapat mengoptimalkan produktivitas ternak sapi
potong, adalah dengan inovasi teknologi pakan inkonvensional asal limbah
pertanian sebagai alternatif pakan tambahan yang dapat memenuhi kebutuhan
nutrisi sapi potong dan pengganti hijauan. Dilain pihak ternak sapi memberikan
peluang yang besar dari limbah kotoran bersama-sama limbah pertanian lainnya
dapat diproses menjadi pupuk organik guna perbaikan kondisi lahan sawah. Potensi
limbah pertanian yang belum dimanfaatkan, terutama limbah perkebunan sawit,
kopi, kakao, jagung dan jerami padi masih terbuang atau dibakar dilahan
usahatani.
Setiap tahun Badan Litbang Pertanian menghasilkan sejumlah inovasi
teknologi baru pengolahan limbah pertanian, berdasarkan evaluasi eksternal
maupun internal menunjukkan bahwa kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi
tersebut lambat sampai dan diadopsi oleh pengguna. Hal ini berkaitan erat dengan
rantai pasok subsistem penyampaian dan penerimaan (delivery and receiving),
dimana kedua segmen tersebut merupakan penghambat (bottleneck) penyebab
lambannya penyampaian informasi dan rendahnya tingkat adopsi inovasi yang
dihasilkan Badan Litbang Pertanian (Simatupang, 2004).
Dalam tatanan praktis, pengalaman empiris menunjukkan bahwa dinamika
proses adopsi inovasi teknologi dalam bidang pertanian tidak terlepas dari
bekerjanya faktor-faktor pendorong dan penghambat, berupa kesenjangan
teknologi introduksi dan dibutuhkan petani, pendekatan belum mengakomodasi
kondisi karakteristik petani sangat beragam, hubungan pelaku diseminasi dan
peranan penyuluh di lapangan kurang optimal (Hendayana, 2006).
Implementasi teknologi hasil penelitian akan memberikan manfaat, jika
proses adopsi berjalan secara informatif, aplikatif dan efektif bagi usahataninya.
Untuk itu BPTP memerlukan suatu sistem diseminasi atau penyebaran informasi
dan alih teknologi yang efektif dan efisien agar khalayak pengguna dapat
memperoleh informasi maupun teknologi yang dibutuhkan dengan mudah dan
relatif cepat (Fawzia, 2002).
Berdasarkan kondisi tersebut maka dilakukan pengkajian mengungkapkan
sampai sejauh mana dampak percepatan adopsi inovasi pemanfaatan limbah
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
131
pertanian sebagai pakan sapi dan pupuk organik dapat diadopsi pengguna, dapat
mempengaruhi tingkat produktivitas ternak sapi dan sebagai pupuk organik akan
mendorong peningkatan produksi padi sawah yang berlandaskan kearifan lokal.
BAHAN DAN METODA
Kegiatan pengkajian percepatan adopsi teknologi pemanfaatan limbah
pertanian sebagai pakan sapi dan pupuk organik di Bengkulu, dilakukan pada bulan
Juni – Desember 2011 di 4 Kabupaten (Bengkulu Tengah, Seluma, Rejang Lebong
dan Kepahiang). Lokasi pengkajain ditentukan secara purposive (sengaja)
berdasarkan eksistensi adopter mengadopsi inovasi teknologi, mengunakan metode
wawancara langsung dan kuesioner terstruktur sebagai alat pengumpul data pokok.
Pada masing-masing kabupaten dipilih 30 petani dan peternak sebagai sampel
responden pengukuran adopsi inovasi teknologi berdasarkan kriteria; kepemilikan
ternak sapi dan lahan usahatani, memanfaatkan pakan sapi dan pupuk organik dari
limbah pertanian serta mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang
berhubungan dengan tujuan penelitian. Untuk mengukur percepatan adopsi inovasi
pemanfaatan limbah pertanian terhadap data terkumpul, menggunakan analisis
pola percepatan level adopsi. Untuk mengtahui faktor-faktor yang mempengaruhi
peluang dalam pemanfaatan limbah petanian untuk pakan sapi dan pupuk organik,
menggunakan pendekatan fungsi logit;
dimana: Pi = Peluang petani memanfaatkan limbah
(P=1, jika petani mengadopsi < rata-rata th dan P=0, jika mengadopsi > rata-rata th) 1- Pi = Peluang petani mengadopsi suatu teknologi > - rata-rata th α = Intersep X1 = Pemilikan ternak sapi (ekor) X2 = Pemilikan lahan usaha tani (ha) X3 = Pendidikan formal (tahun) X4 = Pengalaman berusahatani (tahun) X5 = umur (tahun) X6 = Ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga (orang) X7 = Jarak pemukiman ke sumber informasi terdekat (km) X8 = Jarak pemukiman ke pasar (km)
Ln (Pi/1- Pi) =α + β1X1 + β2X2 + ....... + β8X8+Ui
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
132
X9 = Jarak pemukiman ke sumber modal (km) X10 = Sikap petani terhadap resiko (skor) βi = Parameter peubah Xi Ui = Kesalahan pengganggu
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil kajian terhadap percepatan adopsi pemanfaatan limbah pertanian untuk
pakan ternak sapi dan pupuk organik berdasarkan hasil survey dan wawancara
langsung terhadap 120 responden pada 4 kabupaten terpilih telah terangkum hasil
terhadap:
Karakateristik responden
Keragaman karakteristik petani peternak di lokasi pengkajian relatif beragam,
seirama dengan dengan profil responden yang dicirikan Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik responden pengkajian percepatan adopsi pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak sapi dan pupuk organik.
No. Peubah Keragaman
1. Umur (tahun) 21 - 65
2. Tingkat pendidikan (tahun) 1 - 16
3. Tanggungan keluarga (orang) 2 - 6
4. Anggota keluarga terlibat berusahatani (orang) 1 - 3
5. Pengalaman usahatani/ternak sapi (tahun) 2 - 10
6. Penguasaan/pemilikan ternak sapi (ekor) 2 - 12
7. Penguasaan/pemilikan lahan usahatani (ha) 0,5 – 3,5
Tabel 1. secara umum menggambarkan petani responden tergolong dalam
usia produktif dengan rerata umur 43,05 tahun dan dapat diandalkan
mengembangkan usaha dengan baik, karena rataan umur tersebut masih dibawah
rataan umur tenaga kerja yang mendominasi sektor pertanian umumnya mencapai
lebih dari 50 tahun (Suharyanto, 2001).
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
133
Usia produktif ini mempunyai peluang untuk dapat meningkatkan
pengembangan usahatani dengan baik, karena didukung latar belakang pendidikan
formal mencapai rata-rata 8,69 tahun atau identik tamat sekolah lanjutan tingkat
pertama (SLTP) mendekati pendidikan 9 tahun.
Sekitar 75 % responden mengandalkan tenaga kerja keluarga menjalankan
usahataninya pada keragaman usia kerja >15 tahun dan pengalaman dalam
berusahatani dan memelihara sapi > 10 tahun, namun jumlah ternak sapi
dipelihara setiap rumah tangga tidak lebih dari 2 ekor, Kalaupun ada yang memiliki
lebih itu berupa ternak gaduhan sistim bagi hasil. Sehingga terlihat motivasi
memelihara ternak sapi itu hanya sebagai usaha sampingan dijadikan “tabungan”
masa depan.
Penguasaan lahan usahatani rata-rata hanya 1,373 ha dengan perincian
kepemilikan tanah sawah rata-rata 0,316 ha, tanah tegalan 0,267 ha dan tanah
perkebunan 0,720 ha/KK tani. Sebagai sumber pendapatan utama kondisi ini
diharapkan akan menjadi pemotivasi bagi petani dalam meningkatkan hasil menjadi
lebih optimal melalui pemanfaatan sumberdaya dan inovasi teradopsi, termasuk
pemanfaatan limbah pertanian untuk pupuk organik bagi peningkatan produktivitas
lahan dan usahatani sebagai penopang peningkatan pendapatan utama keluarga,
hal ini sesuai harapan Slamet (2000) yang perlu menjadi perhatian dalam proses
adopsi untuk tetap menjadi efektif harus didasari motivasi petani yang
mengadopsinya.
Aksesibilitas inovasi teknologi
Aksesibilitas wilayah menjadi faktor kunci yang memiliki peran penting dalam
mendukung atau menghambat keberhasilan usahatani. Indikator aksesibilitas
wilayah di lokasi pengkajian ditentukan antara lain oleh (Tabel 2).
Tabel 2. Karakteristik responden pengkajian percepatan adopsi pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak sapi dan pupuk organik.
No. Peubah Keragaman
1. Jarak pemukiman ke lokasi usaha (km) 0 - 1
2. Jarak pemukiman ke jalan raya (km) 1 - 6
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
134
3. Jarak pemukiman ke pasar input (km) 1 - 9
4. Jarak pemukiman ke pasar output (km) 1 - 9
5. Jarak pemukiman ke sumber modal (km) 1 - 10
6. Jarak pemukiman ke sumber teknologi (km) 1 - 5
7. Jarak pemukiman ke sumber limbah (km) 0 - 1
Aksesibilitas lokasi usaha ternak ke jalan raya secara umum cukup kondusif,
jaraknya ± 1 km dengan keragaman masih kurang dari 6 km. Sehingga
memudahkan pengangkutan input dan output hasil usahatani dan menekan biaya
pengangkutan sehingga akan dapat meningkatkan efisiensi biaya, begitu juga
terhadap sumber modal tidak lebih dari 10 km.
Ketika petani memerlukan teknologi untuk meningkatkan kinerja
usahataninya, prioritas utama upaya ditempuh adalah melakukan komunikasi pada
penyuluh di wilayah usahatani dan di Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) relatif
mudah dicapai dengan jarak < 5 km. Karena akses ke BPTP cukup jauh, maka
mencari informasi ke BPTP sulit dilakukan. Hanya ada kesempatan mencari
informasi bila peneliti/penyuluh BPTP sedang berkunjung atau dari diseminasi
lembaran informasi diterbitkan.
Pendugaan Parameter Percepatan adopsi inovasi pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan sapi dan pupuk organik
1. Waktu adopsi
Setelah dianalisis berdasarkan pola percepatan level dan inovasi yang di
adopsi, maka waktu adopsi berada pada level penerapan 2 - 3 tahun terhadap
inovasi pemanfaatan limbah sebagai pakan sapi dan sebagai pupuk organik pada
lahan usahatani atau sawah < 2 tahun.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi percepatan adopsi
Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi percepatan adopsi
pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan sapi dan sebagai pupuk organik
menggunakan analisis regresi model logit (Tabel 3), memperlihatkan variabel bebas
berpengaruh nyata terhadap percepatan adopsi teknologi usaha ternak sapi potong
adalah pemilikan ternak sapi (X1) pada taraf kepercayaan 95% (nyata 5%) yang
ditunjukan dengan nilai t hitung (3,168) > t tabel (1,980), peubah aksesibilitas ke
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
135
sumber informasi (X7) pada taraf kepercayaan 90% (nyata 10%) yang ditunjukan
dengan nilai t hitung (1,902) > t tabel (1,658).
Tabel 3. Hasil analisis faktor-faktor peubah variabel yang mempengaruhi percepatan adopsi pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan sapi dan pupuk organik menggunakan Regresi Model Logit.
Peubah Variabel Standar error Koeffisien t hitung
X1 Pemilikan ternak sapi 0,154 0,490 3,168*
X2 Pemilikan lahan usaha tani 0,278 0,459 1,650
X3 Pendidikan formal 0,087 0,043 0,501
X4 Pengalaman berusahatani 0,035 -0,032 -0,906
X5 umur 0,030 0,026 0,887
X6 Ketersediaan tenaga kerja 0,466 -0,485 -1,042
X7 Jarak ke sumber informasi 0,126 0,241 1,902**
X8 Jarak pemukiman ke pasar 0,097 -0,273 -2,797
X9 Jarak ke sumber modal 0,084 0,097 1,145
X10 Sikap petani terhadap resiko 0,055 0,027 0,503
* = Berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan 95% ** = Berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan 90% Konstanta = - 3,803 t tabel = 1,980 (signifikan pada taraf kepercayaan 95%) = 1,658 (signifikan pada taraf kepercayaan 90%)
Dari hasil regresi model logit terdapat koefisien estimasi variabel kepemilikan
ternak sapi sebesar 0,490 dapat diartikan, bahwa setiap penambahan 1% variabel
pemilikan ternak sapi cendrung akan diikuti percepatan adopsi pemanfaatan limbah
pertanian untuk pakan sapi dan pupuk organik sebesar 0,490 kali dari sebelum
setiap dibekali pengetahuan. Begitu juga dengan akses jarak untuk mendapatkan
sumber informasi akan mempermudah petani meningkatkan pengetahuan sebesar
0,241 kali lipat setiap pengurangan jarak aksesibilitas kesumber informasi.
Untuk peubah variabel lain umumnya belum memberi pengaruh terhadap
percepatan adopsi, baik itu faktor pendidikan, luas lahan, pengalaman usahatani,
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
136
umur, penggunaan tenaga kerja keluarga, aksesibilitas kepasar dan sumber modal
namun hal ini tetap harus menjadi perhatian. Subagiyo, dkk., (2005)
menyampaikan bahwa aspek jarak tempat tinggal petani dari sumber informasi
serta sistem dan nilai-nilai norma sosial memberi pengaruh dalam proses
percepatan adopsi, begitu juga dengan faktor lingkungan strategis juga merupakan
hal yang perlu menjadi perhatian (Fagi, 2008).
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Waktu adopsi terhadap inovasi pemanfaatan limbah untuk diadopsi sebagai
pakan sapi berada pada level penerapan 2 - 3 tahun dan untuk diadopsi sebagai
pupuk organik pada lahan usahatani, terutama untuk lahan sawah waktu yang
dicapai dibawah < 2 tahun.
2. Faktor yang berpengaruh nyata terhadap percepatan adopsi pemanfaatan
limbah pertanian untuk pakan sapi dan pupuk organik adalah kepemilikan ternak
sapi (t hitung 3,168 > t tabel 1,980) dan aksesibilitas sumber informasi (t
hitung 1,902 > t tabel 1,658).
3. Percepatan adopsi pemanfaatan limbah berhubungan negatif dengan faktor
pemilikan lahan, umur, pendidikan, pengalaman usaha, ketersediaan tenaga
kerja, jarak pemukiman ke lokasi pasar input dan jarak pemukiman ke lokasi
pasar dan sumber modal. Namun demikian semua peubah tersebut secara
statistik pengaruhnya tidak nyata, kecuali pemilikan lahan mendekati pengaruh
nyata.
4. Setiap penambahan 1% variabel pemilikan ternak sapi cendrung akan diikuti
percepatan adopsi pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan sapi dan pupuk
organik sebesar 0,490 kali dari sebelum setiap dibekali pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Fagi, A.M., 2008. Alternatif Teknologi Peningkatan Produksi Beras Nasional. Iptek Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengambangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Vol.3 No.1.
Fawzia, S. 2002. Revitalisasi Fungsi Inmformasi dan Komunikasi Serta Diseminasi Luaran BPTP. Makalah di Sampaikan Pada Ekspose dan Seminar Teknologi Pertanian
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
137
Speszifik Lokasi., 14 – 15 Agustus 2002 di Jakarata. Pusat Penelitian dan pengembangan Sosial Ekonomi. Bogor.
Hendayana, R., 2006. Lintasan dan Peta Jalan (Road Map) Diseminasi Teknologi Pertanian Menuju Masyarakat Tani Progresif. Prosiding Lokakarya Nasional Akselerasi Diseminasi Inovasi Pertanian Mendukung Pembangunan. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Sardiman, 2001. Interaksi dan motivasi belajar mengajar. CV.Grafindo Jakarta. Jakarta.
Simatupang, P. 2004. Prima Tani Sebagai Langkah Awal Pengembangan Sistem dan Usaha Agribisnis Industrial., Analisis Kebijakan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Subagiyo, 2005. Kajian Faktor-Faktor Sosial yang Berpengaruh Terhadap Adopsi Inovasi Usaha Perikanan Laut di Desa Pantai Selatan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Vol 8 No 2. Pusat Penelitian dan Penembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Suharyanto, Destialisma dan I. A. Parwati. 2001. Faktor-faktor yang Mempengaruh Adopsi Teknologi Tabela di Provinsi Bali. Badan Litbang Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). Bali.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
138
KAJIAN PERSEPSI DAN ADOPSI PETERNAK SAPI TERHADAP TEKNOLOGI BUDIDAYA SAPI UNGGUL DI KABUPATEN REJANG
LEBONG PROVINSI BENGKULU Zul Efendi, Harwi Kusnadi, dan Andi Ishak
ABSTRAK
Kabupaten Rejang Lebong merupakan sentra produksi sapi unggul (Simental, Limousin dan Brahman) di Provinsi Bengkulu. Letaknya di daerah dataran tinggi Pegunungan Bukit Barisan memberikan iklim yang cocok bagi ternak sapi unggul didukung dengan sumber pakan dari limbah pertanian yang melimpah karena daerah ini merupakan daerah sentra produksi sayuran. Populasi sapi pada tahun 2010 tercatat 15.155 ekor dengan sentra produksi di Kecamatan Selupu Rejang, Sindang Kelingi, Curup Selatan dan Curup Timur. Permasalahan yang dihadapi peternak umumnya adalah penerapan teknologi pemeliharaan sapi yang belum optimal, sehingga masih diperlukan perbaikan sistem pemeliharaan dengan penerapan teknologi budidaya sesuai dengan kondisi peternak. Kajian persepsi dan adopsi peternak sapi terhadap teknologi budidaya sapi unggul dilakukan melalui survei pada 75 orang peternak sapi di 4 kecamatan sentra produksi pada bulan Oktober 2011. Tujuan penelitian untuk mengetahui persepsi dan tingkat adopsi peternak terhadap teknologi budidaya sapi unggul yang meliputi pemilihan bibit, sistem perkandangan, pemberian pakan, pemeliharaan ternak, dan penanganan kesehatan. Metode analisis terhadap persepsi menggunakan regresi logistik dengan variabel terikat persepsi (Y) dan 6 variabel bebas yaitu umur (X1), tingkat pendidikan (X2), jumlah kepemilikan sapi (X3), status kepemilikan sapi (dummy) (X4), jumlah tanggungan keluarga (X5), serta pengalaman beternak sapi (X6). Analisis adopsi peternak terhadap teknologi budidaya sapi unggul dilakukan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 86% peternak memiliki persepsi yang baik terhadap ternak sapi unggul. Persepsi peternak dipengaruhi secara nyata oleh tingkat pendidikan, sedangkan umur, jumlah kepemilikan sapi, status kepemilikan sapi, jumlah tanggungan keluarga, dan pengalaman beternak sapi tidak mempengaruhi persepsi petani secara nyata. Penerapan teknologi budidaya sapi oleh peternak secara umum telah sesuai dengan anjuran. Seluruh peternak telah memelihara sapi dengan cara dikandangkan dan memberikan obat cacing serta memandikan sapi secara berkala. Namun 33,33% peternak memilih memelihara jenis sapi lokal (Sapi Bali), 10% peternak masih membuat kandang sapi menyatu dengan bangunan rumah, dan 13,33% peternak belum menanam hijauan makanan ternak (masih mencari rumput di lingkungan sekitar).
Kata kunci: persepsi, adopsi, teknologi, sapi unggul, Rejang Lebong
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
139
PENDAHULUAN
Pada tahun 2010 permintaan daging sapi nasional mencapai 402,9 ribu ton,
dimana pemerintah baru dapat menyediakan dari produksi lokal sebesar 282,9 ribu
ton. Guna memenuhi permintaan daging nasional, pemerintah melakukan impor
sebesar 35% yang terdiri dari sapi bakalan sebesar 46,3 ribu ton dan daging
sebesar 73,7 ribu ton. Seiring dengan pertambahan penduduk dan meningkatnya
pendapatan, maka kebutuhan daging sapi pada tahun 2014 diprediksi akan
meningkat menjadi 467 ribu ton (meningkat 10% dari tahun 2010). Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut sekitar 420,3 ribu ton diperoleh dari produksi lokal
dan sisanya 46,7 ribu ton (10%) dipenuhi dari impor (Ditjennak, 2010).
Terbukanya peluang pasar untuk pengembangan agribisnis ternak ternyata
belum mampu memacu usaha ternak sapi potong lokal di Indonesia yang dalam
beberapa tahun terakhir cenderung menurun, baik pada populasi maupun
genetiknya. Dalam rangka pemenuhan target produksi nasional 420,3 ribu ton,
Kementerian Pertanian mencanangkan Program Swasembada Daging sapi (PSDS)
Tahun 2014. Di Provinsi Bengkulu yang merupakan daerah penyangga untuk
program tersebut ikut berpartisipasi dengan beberapa kegiatan seperti progam
Sarjana Membangun Desa (SMD), LM3 dan Program Bantuan Sapi Brahman Cross.
Kabupaten Rejang Lebong yang merupakan daerah dataran tinggi di Provinsi
Bengkulu menjadi daerah yang cocok untuk budidaya sapi potong terutama sapi
unggul (Simental, Limousin, Brahman Cross, dll). Upaya peningkatan produksi sapi
unggul di Kabupaten Rejang Lebong dilakukan program peningkatan produktivitas
sapi potong melalui pengadaan sapi unggul dan program kawin suntik (IB)
merupakan alternatif yang dapat dikembangkan yang pada akhirnya dapat
meningkatkan produksi perunit ternak dan secara kuantitatif dapat meningkatkan
pertambahan populasi ternak sapi potong (Bestari et all, 2000).
Perkembangan populasi sapi unggul di Provinsi Bengkulu khususnya
Kabupaten Rejang Lebong dari tahun ke tahun terus meningkat, baik yang
didatangkan seiring program pemerintah berupa sapi bunting ataupun bakalan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
140
maupun yang sudah dibudidayakan oleh petani peternak dengan program kawin
suntik (IB) maupun kawin alam.
METODOLOGI PENELITIAN
Survei dilaksanakan pada sentra sapi potong di Kabupaten Rejang Lebong,
yaitu di Kecamatan Sindang Kelingi pada bulan Oktober 2011. Data yang
dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan dengan
cara wawancara menggunakan daftar pertanyaan dengan responden peternak sapi
potong sebanyak 75 orang. Data sekunder dikumpulkan dengan penelusuran
pustaka dan laporan yang relevan.
Kuesioner persepsi terhadap teknologi budidaya sapi unggul disusun dengan
menggunakan skala Likert (Riduwan, 2007). Variabel penyusun persepsi terhadap
penerapan teknologi (Y) adalah karakteristik responden yang meliputi umur (X1),
tingkat pendidikan (X2), jumlah kepemilikan sapi (X3), status kepemilikan sapi
(dummy) (X4), jumlah tanggungan keluarga (X5), serta pengalaman beternak sapi
(X6). Data dianalisis dengan regresi logistik untuk mengetahui hubungan antara
variabel terikat (Y) dengan 6 variabel bebas (Xi).
Model regresi logistik yang digunakan (Gujarati, 1999) adalah sebagai
berikut:
Yi = ln P(Xi) = bo + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5_1 + b6X5_2 + b7X6
1 - P(Xi)
Dimana: Yi = Persepsi (1 = baik; 0 = kurang baik) X1 = Umur responden (tahun) X2 = Tingkat pendidikan (tahun) X3 = Jumlah kepemilikan sapi (ekor) X4 = Status kepemilikan sapi (1 = milik sendiri; 2 = gaduhan) X5 = Jumlah tanggungan keluarga (jiwa) X6 = Pengalaman beternak sapi (tahun) bo = konstanta b1 ... b6 = parameter dugaan (koofisien)
Untuk mengetahui tingkat adopsi peternak petani terhadap terhadap
teknologi budidaya sapi unggul yang meliputi pemilihan bibit, sistem perkandangan,
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
141
pemberian pakan, pemeliharaan ternak, dan penanganan kesehatan dilakukan
analisis secara deskriptif dengan menggunakan analisis tabel.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Responden
Deskripsi responden survei tersaji pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Deskripsi responden survei persepsi peternak terhadap terhadap teknologi budidaya sapi unggul.
No Uraian Keterangan 1. Jumlah responden 75 orang
Persepsi responden terhadap teknologi budidaya - Baik - 12 orang (16%)
2.
- Kurang baik - 63 orang (84%) Umur responden - minimum - 22 tahun - Maksimum - 62 tahun
3.
- rata-rata - 37,2 tahun Lama menempuh pendidikan - minimum - 6 tahun - Maksimum - 12 tahun
4.
- rata-rata - 9,36 tahun Jumlah kepemilikan sapi - minimum - 1 ekor - Maksimum - 7 ekor
5.
- rata-rata - 3,44 ekor Status kepemilikan sapi - Pemilik - 21 orang (28%)
6.
- Gaduhan - 54 orang (72%) Jumlah tanggungan keluarga - minimum - 1 jiwa - Maksimum - 6 orang
7.
- rata-rata - 3,44 Pengalaman beternak sapi 8. - minimum - 1 tahun
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
142
- Maksimum - 16 tahun - rata-rata - 4,6
Sumber: Analisis data primer, 2011.
Pada Tabel 1 tersebut terlihat bahwa umur responden rata-rata 37,2 tahun
merupakan umur produktif. Tingkat pendidikan rata-rata rendah yaitu hanya tamat
SLTP. Kepemilikan sapi rata-rata sekitar 3 ekor, masih efektif dipelihara oleh satu
rumah tangga peternak dengan jumlah anggota keluarga rata-rata sekitar 3 orang.
Sebanyak 54 orang responden (72%) memelihara sapi dengan sistem gaduhan dan
21 orang (28%) memelihara sapi milik sendiri. Banyaknya sapi yang digaduh
disebabkan oleh harga sapi unggul (seperti Brahman Cross dan Limousin) yang
mahal sehingga biasanya peternak menggaduh sapi melalui bantuan pemerintah.
Persepsi Peternak Terhadap Teknologi Budidaya Sapi Unggul
Pada Tabel 1 terlihat bahwa 63 orang (84%) responden memiliki persepsi
yang kurang baik terhadap teknologi budidaya sapi unggul, sedangkan 12 orang
responden (16%) memiliki persepsi baik. Kenyataan ini membuktikan bahwa
peternak merasa agak kesulitan dalam memelihara ternak sapi unggul karena
membutuhkan pakan yang berkualitas dan cara pemeliharaannya yang harus
dikandangkan.
Persepsi merupakan proses pengenalan atau identifikasi sesuatu melalui
proses berpikir dan belajar, serta dipengaruhi oleh berbagai faktor. Chaplin (1989)
menyatakan bahwa persepsi adalah proses mengetahui atau mengenali obyek dan
kejadian obyektif dengan bantuan panca indera. Persepsi adalah proses aktif
timbulnya kesadaran terhadap suatu obyek yang disebabkan oleh faktor internal
dan eksternal individu. Faktor internal antara lain kebutuhan individu, pengalaman,
usia, motif, jenis kelamin, pendidikan dan lain-lain yang bersifat subyektif. Faktor
eksternal meliputi lingkungan sosial, hukum yang berlaku, dan nilai-nilai dalam
masyarakat (Ahmadi, 2009).
Nilai validitas dan realibilitas kuesioner cukup baik. Dari 9 pernyataan,
terdapat 2 pernyataan yang tidak valid dengan menggunakan korelasi Pearson.
Nilai reliabilitas 0,677 telah memadai.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
143
Hasil analisis persepsi dapat menilai kelayakan model regresi, pengaruh
variabel bebas (Xi) terhadap variabel persepsi (Y), baik secara bersama-sama
maupun parsial, dan rasio peluang (odds ratio) perubahan variabel Y akibat
perubahan variabel Xi. Hasil analisis logistik disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil analisis regresi logistik survei persepsi petani terhadap teknologi budidaya sapi unggul.
No Variabel Koefisien p-value Odds Ratio
1. X1 (Umur) 0,046 0,608 1,047
2. X2 (Tingkat Pendidikan) 1,224 0,049* 3,399
3. X3 (Jumlah kepemilikan sapi) -0,286 0,755 0,751
4. X4 (Status kepemilikan sapi) 0,790 0,821 2,203
5. X5 (Jumlah tanggungan keluarga) -1,468 0,180 0,230
6. X6 (Pengalaman beternak sapi) 0,332 0,487 1,394
Konstanta -6,005 - - Kelayakan model (Nagelkerke R2) 0,547 - -
* berbeda nyata pada α=10% Sumber: Analisis data primer, 2011.
Dari Tabel 2 terlihat bahwa hanya variabel X2 (tingkat pendidikan) yang
berpengaruh nyata terhadap persepsi peternak dengan p-value 0,049 pada
α=10%, sedangkan variabel lain berpengaruh tidak nyata. Dengan melihat nilai
Nagelkerke R2, keenam variabel bebas mampu menjelaskan varian ketepatan
persepsi sebesar 54,7% dan sisanya yaitu sebesar 45,3% dijelaskan oleh faktor
lain.
Nilai odds ratio variabel X2 (tingkat pendidikan) sebesar 3,399 dapat diartikan
bahwa peluang persepsi peternak yang baik terhadap teknologi budidaya sapi
unggul adalah 3,399 kali apabila tingkat pendidikan meningkat 1 tahun dan variabel
lainnya tetap. Artinya bahwa peternak yang memiliki tingkat pendidikan lebih lama
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
144
memiliki peluang persepsi baik terhadap teknologi budidaya sapi unggul juga lebih
tinggi. Dari hasil analisis persepsi tersebut dapat disimpulkan bahwa persepsi
peternak dipengaruhi secara nyata oleh tingkat pendidikan. Sedangkan umur,
jumlah kepemilikan sapi, status kepemilikan sapi, jumlah tanggungan keluarga, dan
pengalaman beternak sapi berpengaruh tidak nyata terhadap persepsi peternak.
Tingkat Adopsi Peternak Terhadap Teknologi Budidaya Sapi Unggul
Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa 66,67% peternak
memelihara sapi unggul sedangkan lebihnya 33,33% lainnya masih memelihara
sapi Lokal (sapi Bali). Banyaknya peternak tertarik memelihara sapi unggul
disebabkan oleh pertumbuhan sapi unggul lebih tinggi dibandingkan sapi lokal,
harga jual sapi unggul juga sangat tinggi, dan kemudahan untuk mendapatkan
straw dari jenis sapi unggul dengan berkembangnya program Inseminasi Buatan
(IB).
Kandang merupakan tempat ternak sapi menghabiskan waktunya untuk
beraktivitas dan melangsungkan hidupnya, sehingga sangat berpengaruh terhadap
produktifitas ternak sapi yang dipelihara didalamnya. Kandang yang baik adalah
kandang yang memenuhi persyaratan kesehatan seperti kandang harus bersih,
lantai kering, dilengkapi dengan tempat pakan, air minum dan tempat pembuangan
kotoran. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata setiap peternak sudah
mengandangkan sapinya baik pada siang hari maupun pada waktu malam, namun
10% dari peternak masih membuat kandang ternaknya menyatu dengan bangunan
rumahnya. Hal ini disebabkan oleh tingginya tingkat kemalingan ternak sapi apabila
ternak sapi dikandangkan jauh dari rumah.
Pemberian pakan dilakukan sebanyak dua kali sehari berupa hijauan yang
terdiri dari rumput raja dan rumput lapangan yang banyak terdapat dilokasi.
Sedangkan pakan tambahan diberikan 1 kali sehari sebanyak 1% dari berat badan
ternak berupa campuran dedak padi 55%, kulit kopi 40%, garam dapur 2%, gula
merah 1,5%, kapur 1%, dan mineral 0,5%. Sebanyak 86,67% peternak sudah
mempunyai kebun rumput yang luasnya bervariasi dan untuk mencukupi
kebutuhan hijauan selain memanfaatkan hasil dari kebun rumputnya, juga
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
145
memanfaatkan hasil limbah pertanian dan sayuran yang kadang-kadang tidak
terjual. Sedangkan 13,33% lainnya masih mengandalkan rumput lapangan yang
terdapat dilokasi peternakan disamping limbah pertanian dan sayuran.
Perkawinan ternak sapi dilakukan dengan program IB dan sedikit sekali
dengan kawin alam kalau straw lagi habis. Dari hasil wawancara dengan petugas
IB, diperoleh informasi bahwa sebagian besar peternak lebih memilih jenis sapi
unggul dari jenis simental, limousine dan brahman cross bila dibandingkan dengan
sapi lokal untuk dijadikan pemacek sapinya.
Penanganan kesehatan dilakukan secara berkala dengan pemeriksaan
kesehatan dan pemberian obat cacing terhadap ternak yang diduga menderita
penyakit cacing. Untuk pemeriksaan peternak melibatkan petugas peternakan dan
dokter hewan yang ada di daerah tersebut.
KESIMPULAN
1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 86% peternak memiliki persepsi yang baik
terhadap terhadap teknologi budidaya sapi unggul. Persepsi peternak
dipengaruhi secara nyata oleh tingkat pendidikan, sedangkan umur, jumlah
kepemilikan sapi, status kepemilikan sapi, jumlah tanggungan keluarga, dan
pengalaman beternak sapi tidak mempengaruhi persepsi petani secara nyata.
2. Penerapan teknologi budidaya sapi oleh peternak secara umum telah sesuai
dengan anjuran. Seluruh peternak telah memelihara sapi dengan cara
dikandangkan dan memberikan obat cacing serta memandikan sapi secara
berkala. Namun 33,33% peternak memilih memelihara jenis sapi lokal (Sapi
Bali), 10% peternak masih membuat kandang sapi menyatu dengan bangunan
rumah, dan 13,33% peternak belum menanam hijauan makanan ternak (masih
mencari rumput di lingkungan sekitar).
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Rejang Lebong. 2010. Rejang Lebong Dalam Angka.
Ahmadi, A. 2009. Psikologi Umum. Edisi Revisi 2009. Rineka Cipta. Jakarta.
Chaplin, J.P. 1985. Dictionary of Psychology. Dell Publisher. New York.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
146
Ditjen Bina Produksi Peternakan.2010. Buku Statistik Peternakan 2009. Direktorat Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Gujarati, D. 1999. Ekonometrika Dasar. Alih Bahasa Sumarno Zain. Erlangga. Jakarta.Hendayana, R. 2010. Petunjuk Pelaksanaan Apresiasi Pengelolaan dan Operasionalisasi Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Kementerian Pertanian. Bogor.
Riduwan. 2007. Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Cetakan ketujuh. CV. Alfabeta. Jakarta.
DISEMINASI TEKNOLOGI PETERNAKAN BERUPA GELAR TEKNOLOGI PENGOLAHAN BIOGAS DAN PAKAN UNTUK
PENGEMUKAN SAPI POTONG Ruswendi dan Zul Efendi
ABSTRAK
Salah satu sistem diseminasi atau penyebaran informasi teknologi yang sudah dihasilkan untuk mempercepat alih teknologi kepada petani dan pengguna, adalah dengan menggunakan media peragaan dan implementasi teknologi berupa gelar teknologi dilahan petani. Diseminasi hasil teknologi peternakan dilaksanakan di Desa Bukit Peninjauan I Kabupaten Seluma, berupa gelar teknologi pengolahan limbah kotoran sapi menjadi energi dan pupuk organik sebagai income tambahan sekaligus akan mengurangi pencemaran lingkungan dan gelar teknologi pakan inkonvensional melalui pemanfaatan limbah industri pertanian berupa solid dan ampas tahu sebagai alternatif pakan tambahan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak sapi untuk mengoptimalkan produktivitas ternak sapi potong dalam mendukung percepatan swasembada daging sapi (PSDS). Diseminasi tekologi peternakan dilakukan menggunakan metoda demo aplikasi langsung oleh peternak di lapangan, kemudian hasil yang diperoleh digelarkan kepada peternak/kelompok secara tatap muka, diskusi dan kunjungan langsung lapangan. Hasil demo gelar teknologi pengolahan kotoran sapi menjadi biogas sebagai energi dan limbah buangan biogas menjadi pupuk organik padat atau cair telah dimanfaatkan sebagai pupuk organik meningkatkan kesuburan tanah dan produktivitas tanaman. Sedangkan hasil demo gelar teknologi aplikasi 4 perlakuan pakan langsung pada ternak memanfaatkan solid dan ampas tahu masing-masing, 5 kg solid; 3 kg solid+2 kg ampas tahu; 2 kg solid+3 kg ampas tahu; 5 kg ampas tahu disamping pemberian 15 kg hijauan dibandingkan yang biasa dilakukan peternak hanya diberi hijauan 20-25 kg/hari untuk setiap ekor sapi Bali penggemukan selama 45 hari, telah memperlihatkan peningkatan pertambahan berat badan harian (PBBH) sapi Bali berturut-turut: 0,483 kg; 0,410 kg; 0,390 kg; 0,456 kg/ekor/hari dibandingkan hasil PBBH 0,275 kg/ekor/hari teknologi peternak. Gelar paket teknologi pengolah biogas telah dapat meningkatkan produk tambahan bagi peternak berupa energi dan pupuk
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
147
organik padat atau cair serta terciptanya kondisi ramah lingkungan. Gelar paket teknologi pakan memperlihatkan peningkatan produktivitas sapi Bali digemukkan lebih baik dengan pemberian pakan tambahan tunggal berupa solid atau ampas tahu saja disamping pemberian hijauan, yaitu peningkatan PBBH harian mencapai 175,63% untuk pemberian solid dan 165,81% untuk pemberian ampas tahu lebih baik dari sapi Bali yang hanya diberi pakan hijauan saja oleh peternak (exiting). Gelar teknologi peternakan berupa pengolahan biogas dan pemberian pakan sapi untuk penggemukan, telah terdiseminasikan kepada lebih dari 30 kelompok peternak sapi di Kabupaten Seluma.
Kata kunci: diseminasi, gelar teknologi, biogas, pakan sapi, penggemukan, peternak dan kelompok
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
148
PENDAHULUAN
Pendekatan pembangunan pertanian di Provinsi Bengkulu, dilakukan melalui
pengembangan agribisnis dan agroindustri guna mendapatkan nilai tambah setiap
produk/komoditi pertanian. Hal ini menuntut, adanya pengembangan komoditas
pertanian dengan dukungan sumberdaya manusia terampil dan tersedianya
informasi teknologi tepat guna spesifik lokasi yang dapat diadopsi. Sehingga akan
menjadikan petani lebih tangguh dalam menghadapi daya saing dan dinamika
pasar yang sudah mengacu kepada globalisasi dalam mendorong laju
pembangunan pertanian di daerah sekaligus mampu berfungsi sebagai penggerak
perekonomian daerah.
Rekomendasi paket teknologi yang sudah dihasilkan Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) akan memberikan manfaat apabila dapat diterapkan
dan dapat menjangkau pengguna maupun pihak-pihak yang membutuhkannya.
Untuk itu BPTP memerlukan suatu sistem diseminasi atau penyebaran informasi
dan alih teknologi yang efektif dan efisien agar khalayak pengguna dapat
memperoleh informasi maupun teknologi yang dibutuhkan dengan mudah dan
relatif cepat (Fawzia, 2002).
Salah satu sistem diseminasi atau penyebaran informasi teknologi yang sudah
dihasilkan untuk mempercepat alih teknologi kepada petani dan pengguna adalah
dengan menggunakan media peragaan teknologi berupa gelar teknologi dilahan
petani. Gelar teknologi merupakan kegiatan untuk menunjukkan atau menggelar
berbagai paket teknologi yang dihasilkan oleh balai pengkajian dan dibandingkan
dengan teknologi yang ada pada petani, kegiatan ini lebih mengarah kepada
promosi paket teknologi sesuai kondisi potensi yang diyakini lebih baik dari pada
teknologi yang diterapkan petani. Menurut Tjiptopranoto (2000) dalam penerapan
teknologi yang akan dikembangkan harus disesuaikan dengan potensi sumberdaya
setempat dengan biaya murah dan mudah untuk diterapkan, akan tetapi dapat
memberikan kenaikan hasil dengan cepat. Hal ini menjadi aspek penting untuk
keberlanjutan penerapan teknologi dan sistem usahatani yang dianjurkan, dengan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
149
demikian diharapkan petani mampu mengadopsi dan menerapkan teknologi
dimaksud dalam usahataninya sehingga pendapatannya meningkat.
Penerapan hasil penelitian dalam bentuk gelar teknologi diharapkan dapat
mendorong proses adopsi teknologi dengan pendekatan learning by doing terhadap
kelompok tani melalui petani kooperator. Kegiatan ini melibatkan petani secara
intensif mulai dari perencanaan dan penetapan teknologi serta evaluasi kegiatan
agar adopsi teknologi yang komprehensif, berorientasi agribisnis berkelanjutan
dapat dicapai dan dikembangkan.
Pakan utama ternak sapi potong adalah hijauan, pemberian hijauan sebagai
pakan tunggal belum mampu mengoptimalkan produktivitas ternak. Salah satu
upaya untuk dapat mengoptimalkan produktivitas ternak sapi potong adalah
dengan memberikan pakan tambahan disamping pakan hijauan yang kadang-
kadang mencukupi atau tidak mencukupi. Untuk mengatasi keadaan ini pemberian
pakan pada ternak sapi potong tidak hanya bergantung kepada pakan tunggal
berupa hijauan saja, tetapi perlu diimbangi dengan pemberian pakan tambahan
memanfaatkan limbah dan sisa industri pertanian. Pengembangan teknologi pakan
dari limbah pertanian dan sisa hasil industri pertanian sebagai pakan ternak
merupakan alternatif pakan lebih murah dan mudah didapat yang secara aktif akan
memberikan sumbangan nyata terhadap penurunan potensi limbah pertanian yang
terbuang dan belum dimanfaatkan.
Disamping itu Kotoran ternak saat ini telah menjadi masalah dan merupakan
salah satu isu yang ditenggarai telah ikut menyebabkan pencemaran lingkungan
bagi masyarakat disekitarnya. Penanganan limbah kotoran ternak yang baik, akan
memberikan nilai tambah bagi peternak dan bahkan dapat mendorong menjaga
kelestarian lingkungan serta membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat.
Salah satu pemanfaatan limbah kotoran ternak adalah dengan mengolahnya untuk
dijadikan sebagai sumber energi alternatif melalui teknologi biogas (Wahyuni,
2009).
Berdasarkan kondisi tersebut perlu dikembangkan peranan inovasi teknologi
untuk dapat menjawab permasalahan yang dihadapi dengan tujuan
menyebarluaskan informasi teknologi hasil penelitian dan pengkajian kepada
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
150
pengguna untuk meningkatkan pengetahuan peternak sapi melalui peragaan gelar
teknologi produksi dan pengolahan limbah biogas serta pakan sapi mendukung
swasembada daging (PSDS) sekaligus mengoptimalkan produktivitas ternak dan
pendapatan keluarga petani.
BAHAN DAN METODE
Diseminasi teknologi peternakan berupa pengolahan biogas dan pakan sapi
untuk penggemukan dilaksanakan pada lahan petani peternak sapi potong di Desa
Bukit Peninjauan I Kecamatan Air Periukan, Kabupaten Seluma.
Pelaksanaan diseminasi gelar teknologi pengolahan biogas, menggunakan
instalasi biogas kelompok LM3 Mufthatul Hidayah yang belum dioperasikan secara
optimal dan belum ramah lingkungan. Diseminasi gelar teknologi pakan sapi untuk
penggemukan menggunakan 20 ekor ternak sapi Bali masing-masing sebanyak 4
ekor diberi perlakuan pakan tambahan 5 kg solid; 3 kg solid+2 kg ampas tahu; 2
kg solid+3 kg ampas tahu; 5 kg ampas tahu disamping pemberian 15 kg hijauan,
dibandingkan biasa dilakukan peternak hanya diberi hijauan 20-25 kg/hari untuk
setiap ekor sapi Bali penggemukan.
Metode analisis yang digunakan dalam diseminasi gelar teknologi pakan sapi
potong adalah metode With and Without yaitu membandingkan teknologi perbaikan
dengan teknologi yang biasa digunakan petani (Exiting).
Hasil demo dan aplikasi diseminasi teknologi pengolahan biogas dan produksi
pupuk organik limbah biogas, serta diseminasi teknologi pakan untuk penggemukan
sapi Bali. Selanjutnya digelar teknologikan kepada kelompok peternak sapi disekitar
lokasi dan desa lokasi kegiatan melalui pertemuan secara tatap muka, diskusi dan
kunjungan langsung dilapangan. Sehingga inovasi teknologi tersebut dapat diadopsi
dan diimplementasi oleh peternak sapi disekitar lokasi kegiatan, sekaligus dapat
membuka peluang usaha dan peningkatan pendapatan peternak di Kabupaten
Seluma.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
151
HASIL DAN PEMBAHASAN
Aplikasi Pengolahan Biogas dan Produksi Pupuk Cair
Aplikasi inovasi teknologi instalasi reaktor biogas yang sudah termanfaatkan
gasnya untuk kompor gas, terkendala belum ramah lingkungan dan masih
mengeluarkan bau disekitar kandang ternak sapinya. Berdasarkan kondisi tersebut
dan lebih mengoptimalkan manfaat dari pengolahan biogas ini, telah dilakukan
aplikasi peningkatan produtivitas biogas melalui penyempurnaan inovasi teknologi
saluran pengaliran pada bak penampungan limbah buangan biogas sehinga dapat
diolah menjadi pupuk organik cair.
Untuk dapat memproduksi pupuk cair limbah buangan biogas bak
penampungan dibuat menjadi 4 bagian, kemudian dibuat saluran pada bagian
bawah dari Bak I ke untuk memudahkan pengaliran sludge berupa cair kental pada
Bak penampungan ke II sehingga bagian berserat akan naik kepermukaan untuk
diambil dan ditumpuk pada bak penampungan kusus sebagai kompos padat.
Selanjutnya untuk mengalirkan slud yang kekentalannya semakin encer, maka
salurannya cukup dibuat pada bagian atas dari Bak penampungan ke II pada Bak
ke III dan IV kemudian diendapkan selama 2 – 3 hari untuk mengendapkan
padatan.
Bagian yang cair dimasukan kedalam 3 buah drum sudah disediakan dengan
terlebih dahulu dilakukan penyaringan dan penyaluran secara berurutan pada drum
1, 2 dan 3. Kemudian diendapkan selama 2 – 3 hari untuk masing-masing drum
penampung, selanjutnya akan terdapat cairan bening pada drum terakhir yang
merupakan pupuk organik cair memanfaatkan limbah buangan biogas untuk
dipaking dan siap digunakan pada tanaman sebagai pupuk organik cair.
Dampak dari pelaksanaan demo peningkatan produtivitas biogas adalah,
semua kotoran ternak terolah menjadi biogas, pupuk organik padat dan cair.
Disamping itu lingkungan kandang benar-benar menjadi ramah lingkugnan dan
semua limbah yang dihasilkan termanfaatkan untuk biogas dan pupuk organik,
serta terbukanya peluang kerja akibat pemanfaatan limbah pertanian. Menurut
Syafa’at et al., (2003) sektor pertanian termasuk dalam hal pengolahan limbah
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
152
pertanian juga sebagai salah satu sektor penyedia lapangan kerja terbesar, yaitu
lebih dari 40% kesempatan kerja masyarakat berasal dari sektor pertanian.
Aplikasi Pakan Untuk Sapi Penggemukan
Aplikasi inovasi teknologi pakan tambahan memanfaatkan limbah industri
pertanian berupa solid dan ampas tahu untuk sapi Bali penggemukan, masing-
masing perlakuan diberi tambahan 5 kg solid; 3 kg solid+2 kg ampas tahu; 2 kg
solid+3 kg ampas tahu; 5 kg ampas tahu disamping pemberian hijauan masing-
masing 15 kg. Dibandingkan teknologi peternak hanya diberi hijauan 20-25 kg/hari
untuk setiap ekor sapi Bali penggemukan selama 45 hari, telah memperlihatkan
peningkatan pertambahan berat badan harian (PBBH) sapi Bali berturut-turut:
0,483 kg; 0,410 kg; 0,390 kg; 0,456 kg/ekor/hari dibandingkan hasil PBBH 0,275
kg/ekor/hari pada teknologi peternak. Selain pemberian pakan utama hijauan,
ternak sapi potong juga perlu diberi pakan tambahan (Konsentrat) agar dapat
memacu peningkatan produksi ternak. Penggunaan limbah dan sisa hasil industri
pertanian sebagai bahan pakan tambahan ternak sapi potong merupakan alternatif
yang dapat dimanfaatkan asalkan tidak memberikan dampak negatif bagi ternak itu
sendiri (Umiyasih et all., 2004).
Dampak dari pelaksanaan aplikasi inovasi teknologi pakan tambahan untuk
sapi penggemukan, telah meperlihatkan peningkatan produktivitas sapi Bali
digemukkan lebih baik dengan pemberian pakan tambahan tunggal berupa solid
atau ampas tahu saja disamping pemberian hijauan, yaitu peningkatan PBBH
harian mencapai 175,63% untuk pemberian solid dan 165,81% untuk pemberian
ampas tahu lebih baik dari sapi Bali yang hanya diberi pakan hijauan saja oleh
peternak (exiting). Selain itu peternak sudah mengetahui bahwa pemberian pakan
tambahan perlu dilakukan pada sapi penggemukan, karena telah dapat
meningkatkan produksi daging sapi dan meberikan kontribusi terhadap peningkatan
pendapatan petani peternak serta termanfaatkannya limbah tanaman maupun
industri pertanian disekitar lokasi untuk percepatan peningkatan produksi daging
menuju swasembada daging sapi.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
153
Diseminasi Gelar Teknologi biogas dan pakan sapi
Gelar teknologi peternakan berupa pengolahan biogas dan pemberian pakan
sapi untuk penggemukan, telah terdiseminasikan kepada masing-masing lebih dari
30 kelompok peternak sapi di Kabupaten Seluma melalui pertemuan dan tatap
muka, diskusi dan peninjauan langsung ke lapangan. Sehingga para peternak telah
dapat mengadopsi dan mengetahui manfaat dari diseminasi teknologi peternakan
berupa gelar teknologi biogas dan pakan sapi memanfaatkan limbah industri
pertanian. Melalui inovasi teknologi limbah dan sisa hasil ikutan agroindustri
pertanian dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan sapi yang potensial untuk
usaha penggemukan (Badan Litbang Pertanian, 2005).
Dari hasil diskusi terungkap bahwa peternak merasa kesulitan
mengembangkan usaha peternakan karena terbentur berbagai faktor, seperti
ketersediaan pakan ternak merupakan faktor dominan selain terbatasnya
ketersediaan modal. Peternak sekarang sudah mengetahui dan bisa mendapatkan
pakan berkualitas mudah dan murah untuk ternak sapi, dengan adanya diseminasi
teknologi peternakan yang diaplikasikan dan dilihat langsung oleh peternak
dilapangan. Sebenarnya apabila kita memepunyai kemauan, maka untuk
mendapatkan pakan ternak yang mudah dan bergizi itu mudah dilakukan. Sebab
disekitar kita banyak sumber pakan bisa dimanfaatkan sebagai pakan termasuk
limbah pertanian yang selama ini tidak dimanfaatkan disekitar lahan usahatani kita
(Syafii, 2010).
Dampak dan Umpan Balik Kegiatan
Dampak dan umpan balik pelaksanaan gelar teknologi dengan metode
aplikasi dan didiseminasikan dilapangan secara langsung dirasakan bagi peternak
dan kelompoknya. Karena telah dapat memberikan informasi langsung, baik secara
terlihat maupun terdengar sehingga memudahkan peternak mengadopsi teknologi
pengolahan kompos dan pakan penggemukan sapi memanfaatkan limbah disekitar
lahan usahatani. Hal ini sejalan dengan berbagai kajian terdahulu, Departemen
Pertanian (2001) dimana metode diseminasi teknologi dan informasi pertanian
dapat dilakukan melalui beberapa kegiatan, antara lain: (1) pengelolaan informasi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
154
dan peragaan teknologi pertanian, (2) komunikasi tatap muka dan pengembangan
media informasi dan, (3) Peningkatan kapasitas institusi.
Informasi teknologi pertanian yang mudah dan tepat akan diadopsi dan
diterapkan oleh petani secara cepat, sehingga petani menguasai teknologi tersebut
dan menjadi lebih tangguh dalam persaingan global dan memiliki keterampilan
dalam menerapkan inovasi teknologi serta mampu menghadapi resiko usaha.
Dalam penerapan suatu teknologi, maka petani perlu diajari, dilatih dan dibimbing
sehingga mampu untuk melakukan sendiri. Ada hal penting yang perlu diketahui
dalam proses belajar tersebut 1) ada keaktifan dari individu yang sedang belajar, 2)
terjadi proses internal atau proses mental, 3) terjadi perubahan perilaku, dan 4)
petani aktif mengembangkan diri dan mengembangkan potensi. (Asgari, 2001).
KESIMPULAN
1. Perbaikan tatalaksana pengolahan biogas telah dapat meningkatkan
pemanfaatan limbah kotoran sapi selain untuk biogas, juga dapat memproduksi
pupuk cair selain pupuk padat dan membuka peluang usaha bagi peternak sapi
sekaligus memberi manfaat terhadap kebersihan kandang dan lingkungan
maupun kesehatan ternak sapi.
2. Diseminasi teknologi pakan untuk penggemukan sapi potong dengan pemberian
pakan tambahan solid dan ampas tahu memberikan pengaruh positif pada
pertambahan berat badan harian (PBBH) ternak sapi Bali dan secara tidak
langsung juga meberikan peluang terhadap peningkatan pendapatan peternak
sapi.
3. Hasil akhir dari gelar teknologi pengolahan biogas dan pakan sapi telah dapat
meningkatkan pengetahuan peternak dan kelompoknya, bahwa berbagai limbah
pertanian dapat diberdayakan bagi kebutuhan usaha peternakan termasuk
peningkatan produksi daging yang dapat menunjang PSDS.
4. Petani peternak sudah mau mengadopsi inovasi teknologi peternakan dengan
memanfaatkan limbah ternaka dan pertanian di sekitar lokasi usaha, dari
sebelumnya belum termanfaatkan dan bahkan juga mengganggu keramahan
lingkungan.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
155
DAFTAR PUSTAKA
Asgari. 2001. Peranan Agen Pembaharuan/Penyuluh dalam Usaha Memberdayakan (Empowerment) Sumberdaya manusia pengelola Agribisnis. Fakultas Peternakan IPB. Bogor. Asgari. 2001. Peranan Agen Pembaharuan/Penyuluh dalam Usaha Memberdayakan (Empowerment) Sumberdaya manusia pengelola Agribisnis. Fakultas Peternakan IPB. Bogor.
Badan Litbang Pertanian. 2005. Rencana Aksi Ketahanan Pangan 2005-2010. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarata.
Departemen Pertanian. 2001. Pedoman Penelitian Metode Penyuluh Pertanian. Pusat Penyuluhan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Fawzia, S. 2002. Revitalisasi Fungsi Inmformasi dan Komunikasi Serta Diseminasi Luaran BPTP. Makalah di Sampaikan Pada Ekspose dan Seminar Teknologi Pertanian Speszifik Lokasi., 14 – 15 Agustus 2002 di Jakarata. Pusat Penelitiuan dan pengembanag Sosial Ekonomi. Bogor.
Safa’at, N., S. Maryanto dan P. Simatupang. 2003. Dinamika Indikator Ekonomi Makro Sektor Pertanian dan Kesejahteraan Petani. Dalam Analisis Kebijakan Pertanian (I): Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Syafii Muhammad. 2010. Pemanfaatan Limbah Pertanian Untuk Pakan Ternak. Loka Latih Petani Jombang. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam). Jombang.
Tjiptopranoto, P. 2000. Strategi Diseminasi Teknologi dan Informasi Pertanian. Balai Pusat Pengkajian Teknologi Pertanian. Bogor.
Umiyasih, U., Gunawan, D.E. Wahyono, Y.N. Anggraini dan I.W. Mathius. 2004. Penggunaan Bahan Pakan Lokal Sebagai Upaya Effisiensi pada Usaha Perbibitan Sapi Potong Komersial. Prosd. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, 4-5 Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Wahyuni Sri. 2009. Biogas. Penerbit, PT. Penebar Swadaya. Jakarta.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
156
EFISIENSI PEMANFAATAN BAHAN MAKANAN TERHADAP BERAT HIDUP PADA TERNAK AYAM RAS PEDAGING
Erpan Ramon, Dedi Sugandi, Zul Efendi dan Herlena Bidiastuti
ABSTRAK
Penggunaan berbagai macam bahan pakan merupakan salah satu upaya efisiensi pemanfaatan bahan pakan, karena biaya pakan pada usaha ternak ayam broiler mencapai 70 % dari total biaya produksi. Tujuan pengkajian untuk mengetahui efisiensi pemanfaatan bahan makanan pada ternak ayam broiler priode umur finisher yang dilaksanakan pada kandang ayam BPTP Bengkulu, menggunakan 100 ekor ternak ayam yang dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan pakan (masing-masing 25 ekor). Pengkajian ini mengguna Rancangan Acak Lengkap (RAL) terhadap 4 perlakuan campuran pakan (konsnentrat+jagung giling+dedak halus) berdasarkan perbandingan pengurangan jumlah penggunaan konsentrat sebanyak 10% pada masing-masing perlakuan (Kontrol/petani= 40 %; P1= 30%; P2= 20%; P3= 10%) dengan 5 ulangan. Parametar yang diamati adalah berat badan akhir setelah perlakuan pemberian pakan, kemudian dianalisis menggunakan analisis sidik ragam. Hasil pengkajian menunjukan berat rata-rata bobot hidup ayam broiler diberi perlakuan pakan P1; P2; P3 (1,36 kg/ekor; 1,21 kg/ekor; P3=1,15 kg/ekor) tidak berpengaruh nyata bila dibandingkan Teknologi petani (1,45 kg/ekor) terhadap setiap tingkat pengurangan 10% pakan kosentrat, berdasarkan F hitung setiap kombinasikan perlakuan pakan (konsentrat, jagung giling dan dedak halus) tidak berpengaruh nyata pada taraf 5 % dan 1 % terhadap bobot hidup, sehingga penggunaan setiap racikan pakan perlakuan dapat diaplikasikan pada usaha perternakan ayam broiler.
Kata kunci: efisiensi, bahan pakan, berat hidup
PENDAHULUAN
Usaha perunggasan di Propinsi Bengkulu adalah sebuah industri yang
memiliki komponen yang lengkap dari sektor hulu sampai ke hilir. Dimana
perkembangan usaha ini memberikan konstribusi nyata dalam pembangunan
pertanian. industri perunggasan memiliki nilai strategis khususnya dalam
penyediaan protein hewani untuk memenuhi kebutuhan dalam propinsi Bengkulu,
pada tahun 2010 tercatat bahwa produksi ternak unggas khususnya ayam ras
mencapai 434,69 juta ton dengan populasi berjumlah 5.874.583 ekor (BPS Propinsi
Bengkulu tahun 2010), dengan melihat kondisi demikian maka diperlukan wawasan
konstruktif untuk menggali kreatifitas dan inovatif peternakan ungas secara terapan
tanpa mengabaikan aspek teknis dan ekonomis, pengeluaran terbesar dalam
budidaya ayam broiler yaitu pakan yang dapat menduduki angka 60-70 % dari
keseluruhan biaya produksi, Bambang AM (1987), melihat kondisi ini maka sudah
pantas kita berpikir bagaimana mengefisiensi pemanfaatan konsenterat, sebab
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
157
konsentrat secara ekonomis adalah bahan makanan yang relatif lebih mahal
dibandingkan dengan bahan makanan yang lain. Pembangunan industri
perunggasan menghadapi tantangan yang cukup berat baik secara global maupun
lokal karena dinamika lingkungan strategis dalam propinsi, tantangan ini mencakup
kesiapan dayasaing produk perunggasan, bila dikaitkan dengan lemahnya kinerja
penyediaan bahan baku pakan serta harus memenuhi zat-zat nutrisi yang
dibutuhkan oleh ternak, zat-zat nutrisi yang di butuhkan oleh ternak ayam potong
menurut Scott et al (1976 ) dibagi menjadi 2 periode yaitu : Periode starter umur
0 – 4 minggu ternak membutuhkan Protein 22 – 23 %, Lemak 5,5 – 8,0%, Serat
kasar 2 - 5%, Ca 1%, P 0,5 – 0,7%, ME 2700 – 2900 kl. Periode starter umur 5 –
panen ternak membutuhkan Protein 20 – 21 %, Lemak 5,5 – 8,5%, Serat kasar 4 -
5%, Ca 1%, P 0,4 – 0,5%, ME 2500 – 3400 kl.
Untuk dapat mengantisipasi kendala-kendala tersebut, tidak banyak yang
dapat dilakukan oleh peternakan unggas rakyat, perternak kecil hanya dapat
mengupayakan untuk menghemat biaya dengan tetap mempertahankan tingkat
produksi melalui pemanfaatan bahan baku pakan lokal seperti pencampuran bahan
pakan dapat menekan biaya produksi daging dengan tidak mengabaikan kebutuhan
zat nutrisi yang menjadi kebutuhan untuk produksi daging. Tujuan dari pengkajian
ini adalah: Mengetahui pengaruh racikan beberapa bahan pakan yang berbeda
terhadap berat hidup ternak ayam broiler, Mengetahui racikan pakan yang paling
efisien untuk mengoptimalkan produksi.
BAHAN DAN METODR
Pengkajian efisiensi pemanfaatan bahan makanan terhadap berat hidup pada
ternak ayam ras pedaging dilaksanakan dikandang ayam BPTP Bengkulu, dari
tanggal 17 Oktober 2011 sampai dengan 27 Oktober 2011, menggunakan 100 ekor
ternak ayam umur 10 hari yang diberi pakan berdasarkan persentasse (%) jumlah
pemberian konsentrat yang dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan pakan terhadap
masing-masing 25 ekor ayam broiler (Tabel 1).
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
158
Tabel 1. Rancangan perlakuan racikan pakan berdasarkan pengurangan 10 % penggunaan konsentrat yang diaplikasikan pada ayam broiler priode finisher.
PERLAKUAN % No Komposisi Racikan Pakan
Kontrol/petani I II III
1 Kosentrat 40 30 20 10
2 Jagung 40 50 50 50
3 Dedak 20 20 30 40
4 Probiotik 0,3 0,3 0,3 0,3
Pengkajian ini mengguna Rancangan Acak Lengkap (RAL) terhadap 4
perlakuan campuran pakan (konsnentrat+jagung giling+dedak halus) berdasarkan
perbandingan pengurangan jumlah penggunaan konsentrat sebanyak 10% pada
masing-masing perlakuan (Kontrol/petani= 40 %; P1= 30%; P2= 20%; P3= 10%)
dengan 5 ulangan. Parametar yang diamati adalah berat badan akhir setelah
perlakuan pemberian pakan.
Adapun model Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang digunakan dapat
digambarkan secara sistematis, menggunakan rumus :
Yij = µ + �i + ∑ij dimana : Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-I dan ulangan ke-I µ = Nilai tengah umum �i = Pengaruh perlakuan ke-I ∑ij = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j I = Banyaknya perlakuan (kontrol, I, II dan III) J = Banyaknya ulangan
Untuk mengetahui pengaruh terhadap parameter yang diukur maka dilakukan
uji statistik dengan rancangan Analisis sidik ragam (Tabel 2).
Tabel 2. Analisis Sidik ragam yang digunakan pada pengkajian efisiensi pemanfaatan bahan makanan terhadap berat hidup pada ternak ayam ras pedaging.
F SK Db JK KT F.Hit
0,05 0,01
Perlakuan t – 1 JKP JKP/t-1 KTP/KTG
Galat r (r-1) JKG JKG/r.(r-t)
Total r.t-1 JKP+JKG
Sumber: K A Gomes dan A A Gomes, 1995.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
159
HASIL DAN PEMBAHASAN
Periode starter pada pengkajian ini selama 20 hari yaitu dimulai dari hari ke 0
sampai dengan hari ke 20, pakan yang diberikan berupa pakan jadi/konsentrat
yang mempunyai kandungan protein berjumlah 22 % Wahyu,J. 1992. berasal dari
pabrik pada hari ke20 dilakukan penimbangan disetiap perlakuan dengan bobot
badan rata-rata 0,85 kg.
Periode finisher dimulai pada hari ke 21 hari sampai dengan hari ke 30
(panen), ternak sudah dipindahkan tanpa dipisahkan jeniskelamin secara acak
kedalam kandang perlakuan masing-masing 25 ekor pada tiap kandang, pakan
yang habis dikonsumsi oleh ternak secara keseluruhan perlakuan adalah 170 kg.
Untuk mengethui pengaruh perlakuan terhadap berat hidup maka harus diketahui
kwalitas pakan pada masing-masing perlakuan, Peni S Harjosworo, Rukmiasih.
(2000) menyatakan bahwa, pengefisienan dalam penggunaan pakan dapat
terlaksana bila telah mengetahui bahan pakan berdasarkan zat nutrisinya yang
terkandung dalam bahan pakan tersebut. Dilihat dari kandungan nutrisi yang
terdapat pada masing-masing perlakuan, kandungan nutrisi dapat disajikan sebagai
berikut:
Tabel 2.Kandungan Nutrisi pada tiap-tiap Perlakuan.
No Kandungan Nutrisi Kontrol % P I % P II % P III %
1 ME 2654 2736 2649 2562
2 Protein Kasar 15,2 12,2 11,3 10,3
3 Lemak Kasar 6,92 6,9 8,4 8,9
4 Serat Kasar 5,4 5,15 5,85 6,55
5 Ca 8,092 7,975 11,655 15,335
6 P 0,476 0,415 0,325 0,235
7 Abu 3,8 3,2 3,3 3,4
Dihitung berdasarkan data dari buku Wawan MI (2003).
Dari data kandungan nutrisi, perlakuan pada kontrol menunjukan kandungan
proteinnya yaitu 15,2 % data ini menunjukan angka yang lebih tinggi dan
kandungan zat nutrisi lebih baik dibandingkan dengan PI, PII, dan PIII Berdasarkan
hasil perhitungan total dari tiap-tiap perlakuan dan ulangan secara acak maka akan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
160
diperoleh data Kontrol=7,25 P1=6,80 P2=6,05 dan P3=5,75. Dengan demikian
pertambahan bobot badan hidup yang lebih sempurna pada pengkajian ini terlihat
pada kontrol yaitu rata-rata berjumlah 1,45 kg dalam jangka waktu pemeliharaan
30 hari, data ini adalah rata-rata tertinggi dibandingkan dengan perlakuan yang
lain, berarti secara teknis susunan bahan pakan dan kandungan zat nutrisi yang
terkandung pada kontrol adalah lebih baik. Berdasarkan hasil penghitungan zat
nutrisi tiap-tiap perlakuan bahwa untuk mempertahankan kelangsungan hidup
ternak ayam ras pedaging, maka Energi Metabolisme perlu diperhitungkan sesuai
dengan kebutuhan yaitu 2500-3400 kkl, Scott et al (1976) sedangkan pada
pengkajian ini dapat dilihat ME terendah yaitu pada perlakuan PIII (2562), angka
ini masih di atas angka minimal kebutuhan ayam ras pedaging.
Berdasarkan analisa sidigragam masing-masing perlakuan menunjukan
bahwa f hitung 2,442 dibandingkan dengan f tabel 0,05 = 3,15 dan f tabel 0,01 =
4,34 menurut K A Gomes dan A A Gomes, 1995 bahwa, apabila f hitung lebih
dari F tabel maka perlakuan dinyatakan non significant.
KESIMPULAN
Dari hasil dan pembahasan, pengkajian dengan sistem pemeliharaan yang
sama (homogen), dapat disimpulkan bahwa, racikan pakan dengan mengurangi
kandungan konsentrat 10 % digantikan dengan jagung dan dedak halus tidak
berbedanyata terhadap bobot hidup ayam broiler.
Maka perlu dilakukan analisis ekonomi perternakan ayam broiler, untuk
mengaplikasikan bahan makanan yang sesuai dan tentunya akan berdampak pada
sosial ekonomi terhadap peternak, atas dukungan berbagai pihak termasuk
kegiatan penelitian dan penyusunan kebijakan, kerjasama yang baik dan terarah
diharapkan dapat meningkatkan kinerja usaha perternakan ayam broiler sebagai
peluang agribisnis dengan tujuan meningkatkan pendapatan peternak.
DAFTAR PUSTAKA
Aak, 1982 , Pedoman Beternak Ayam Negeri. kanisius.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
161
Anggorodi,R.1997. Ilmu Makanan Ternak Unggas Kemajuan Muktahir. Fakultas pertanian, IPB. Bogor.
Bambang. AM, 1987. Pedoman Meramu Pakan Unggas. kanisius.
Heti Resnawati dan Ida AK Bintang. 2005. Produktivitas Ayam Lokal yang Dipelihara secara Intensif, dalam Prosiding Loka karya nasional inovasi teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Puslitnak, Badan Penelitian pengembangan pertanian dan Fakultas Perternakan Undip, Bogor.
Khanchai A Gomes and Arturo A Gomes. 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian edisi kedua, Universitas Indonesia.
Mochamad Wawan Ichwan,W.2003. Membuat Pakan Ayam Ras Pedaging. Agromedia.
Murtidjo. 1978. Pedoman Berternak Ayam Broiler. Kanisius. Yogyakarta.
Peni S. Hardjosworo, Rukmiasih. 2000. Meningkatkan Produksi Daging Unggas, cetakan ke1 Penebar Swadaya, Jakarta.
Scott, MI, MC Neshein and R.J Young. 1976. Nutrition of the chikens, 3 Th E.D Scott Asotiation,it hac New York.
Siregar et al. 1980. Tehnik Berternak Ayam Pedaging DiIndinesia. Cetakan ke III Margi group Jakarta.
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Perternakan , UGM Yogyakarta.
Summer and Lesson. 1965. The Offcet of dearty energy and Protein on Carcas compotints with anote on amethot for estimating iliyonis. USA.
Wahyu,J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Pengantar perternakan didaerah tropis UGM Yogyakarta.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
162
Lampiran 1.
Analisis sidig ragam pada hari ke 30 masing-masing perlakuan (kg).
Ulangan Total Rata-rata Perlakuan
A B C D E
Kontrol 1,35 1,40 1,45 1,70 1,35 7,25 1,45
II 1,80 1,20 1,25 1,35 1,20 6,80 1,36
III 1,15 1,15 1,40 1,05 1,30 6,05 1,21
IV 0,80 1,10 1,20 1,40 1,25 5,75 1,15
Galat total (Gt) 25,85 FK = = = = 33,41
JKT = (n12, n2
2, n32.... n20
2) – FK = (1,352.1,802. 1,152 .... 1,252) – 33,41 = (1,8225+3,24+1,3225 ... 1,5625) – 33,41 = 34,3125 – 33,41 = 0,9025 JKP =
=
=
=
= 33,6935 – 33,41 = 0,2835 JKG = JKT – JKP =0,9025 – 0,2835 =0,619
Tabel anova Sidig ragam rata-rata bobot hidup.
F SK Db JK KT F. Hit
0,05 0,01
Perlakuan 3 0,2835 0,0945 2,442 3,15 ns 4,34
Galat 16 0,619 0,0387
Total 19 0,9025 Bila F hitung lebih dari F tabel maka perlakuan dinyatakan NS (Non significant).
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
163
Tabel 2. Kandungan zat nutrisi yang terkandung pada tiap-tiap bahan makanan.
No Bahan Makanan
Air %
PK %
LK %
SK %
Abu %
Ca %
P %
Cocii Ostat
ME (Kkal)
Anti Biotik
1 Kons BR I 13 21 4 5 6 0,9-1,2 0,7-0,9 + 2500 +
2 Kons BR II 13 19 4 5 6 0,9-1,2 0,7-0,9 + 2500 +
3 Dedak Padi 11,5 10 19 12 7,0 38,00 - - 1630 -
4 Jagung hls - 9,0 3,8 2,5 - 0,03 0,29 - 3320 -
5 Probiotik - - - - - - - - - -
Keterangan - PK : Protein Kasar - LK : Lemak Kasar - SK : Serat Kasar - Ca : Kalsium - P : Phospor
Sumber : Wawan MI (2003).
Tabel 3. Kandungan nutrisi yang dibutuhkan oleh ternak ayam potong.
No Zat Nutrisi Starter Umur 0 – 4 mg Finisher Umur 5 - Potong
1 2 3 4 5 6
Protein Lemak
Serat kasar Ca P
ME
22 – 23` 5,5 – 8,0 2,0 – 5,0
1,0 0,5 – 0,7
2700 -2900
20 – 21 5,5 – 8,5 4,0 – 5,0
1,0 0,4 – 0,5
2500 – 3400
Sumber : Scott et al (1976).
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
164
MANFAAT PEMBERIAN PAKAN TAMBAHAN DAN MINAT ADOPSI
PETANI DALAM PEMELIHARAAN SAPI BRAHMAN CROSS MELALUI KEGIATAN GELAR TEKNOLOGI
Siswani Dwi Daliani dan Taufik Hidayat
ABSTRAK
Sapi brahman cross merupakan sapi hasil keturunan dari sapi Zebu (Boss indicus) yang sangat berkembang pesat di Amerika Serikat dengan iklim tropis. Sapi brahman cross adalah tipe sapi potong terbaik untuk dikembangkan. Hal ini membuat kita perlu memberikan pakan tambahan bagi ternak sapi brahman cross. Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Kayu Manis, Kecamatan Sindang Kelingi, Kabupaten Rejang Lebong dengan melakukan demonstrasi pembuatan pakan tambahan dari limbah kopi dan strabio. Tahapan pelaksanaan pemeliharaan ternak sapi brahman cross yaitu melakukan penimbangan ternak sebelum pemberian pakan tambahan dan setelah pemeliharaan selama 2 bulan terhadap 6 ekor ternak sapi brahman cross yang diberi pakan tambahan campuran dedak padi, kulit kopi, garam, gula merah, kapur, dan mineral.Hasil penimbangan dapat dilihat bahwa rata-rata kenaikan berat badan perharinya yaitu 0,53 kg/ekor/hari.Setelah dilakukannya kegiatan gelar teknologi ini masyarakat/peternak sangat ingin mencoba, hal ini diketahui dari hasil kuisioner yang menyatakan ingin menerapkan didalam pemeliharaan ternak sehari- hari sebanyak 96%, 4% kadang kadang, kemudian dalam hal mencari bahan-bahan campuran pakan tambahan 80% menyatakan mudah didapat, 12% menyatakan cukup mudah dan 8% menyatakan sulit didapat. Dilakukan penimbangan dapat dilihat bahwa dalam kurun waktu 2 bulan berat sapi mengalami peningkatan rata-rata 0,53kg/ekor/hari.
Kata kunci: brahman cross, pakan tambahan, PBBH
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi brahman cross merupakan sapi hasil keturunan dari sapi Zebu (boss
indicus) yang sangat berkembang pesat di Amerika Serikat dengan iklim tropis.
Sapi brahman ini diseleksi dan ditingkatkan mutu genetiknya kemudian diekspor ke
berbagai Negara antara lain ke benua Australia. Pada tahun 1974 dari Australia
masuk ke Negara Indonesia.Ciri-ciri yang dapat kita lihat dari performance nya 1)
berpunuk besar dan berkulit longgar, 2) Gelambir dibawah leher sampai ke perut
lebar dan banyak lipatan, 3) telinga panjang menggantung dan berujung runcing.
Sapi brahman cross adalah tipe sapi potong terbaik untuk dikembangkan. Di
Kabupaten Rejang Lebong jumlah sapi brahman cross sudah mencapai lebih dari
158 ekor. Penyebaran pertama kali Sapi Brahman Cross di Kabupaten Rejang
Lebong berada di kecamatan Sindang Kelingi yang berasal dari bantuan pemerintah
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
165
pada tanggal 28 November tahun 2007 dengan jumlah bantuan sebanyak 50 ekor
sapi betina brahman cross di kelompok Sidomulyo desa Air Dingin. Populasi ternak
sapi Brahman Cross di desa Kayu Manis sampai dengan tahun 2011 sebanyak 126
ekor.
Dalam pemeliharaan ternaknya, teknologi pemeliharaan sapi brahman croos
yang biasa dilakukan peternak adalah dengan cara pemberian hijauan biasa dan
belum sepenuhnya diberikan pakan tambahan sesuai dengan teknologi yang
disebarluaskan oleh BPTP Bengkulu. Oleh karenanya sangat perlu dilakukan
terobosan teknologi yang dapat membantu para petani peternak dalam hal
meningkatkan kenaikan berat badan perharinya (PBB) untuk meningkatkan
pendapatan peternak.Hijauan rumput yang diberikan berupa hijauan yang sudah
dicacah menggunakan mesin pencacah rumput. Hal ini menyebabkan penambahan
berat ternak sapi menjadi lambat. Melalui kegiatan gelar teknologi pemeliharaan
sapi brahman cross diaharapkan petani dapat mengubah pola makan ternak
sapinya dengan memberikan pakan tambahan.
Gelar teknologi pemberian pakan tambahan merupakan kegiatan untuk
menunjukkan paket teknologi sapi brahman cross yang sudah pernah dilakukan
oleh BPTP melalui kegiatan pendampingan PSDSK di Kabupaten Rejang Lebong
yang telah lalu.Hasil-hasil penelitian/pengkajian beberapa komoditas andalan yang
telah dilaksanakan oleh BPTP Bengkulumaupun Badan Litbang Pertanian,
(introduksi maupun perbaikan paket teknologi) telah dapat meningkatkan
produktivitas dan pendapatan usahatani 2-3 kali dari kondisi riil petani.Kegiatan ini
melibatkan peternak secara intensif, penyuluh pertanian, peternakan, petugas
inseminator, kepala poskeswan dan para kelompok tani baik yang berada didesa
lokasi pelaksanaan gelar maupun yang berada didesa lainnya.
Adapun tujuan dari pengkajian ini adalah untuk mengetahui manfaat
pemberian pakan tambahan yang berupa limbah kulit kopi, dedak padi dan
probiotik serta untuk mengetahui minat adposi petani terhadap pemberian pakan
tambahan di Kabupaten Rejang Lebong.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
166
METODOLOGI
Data diambil dari hasil kegiatan gelar teknologi pemeliharaan sapi brahman
cross yang dilaksanakan pada hari Senin tanggal 23 Mei 2011 di Desa Kayu Manis,
Kecamatan Sindang Kelingi Kabupaten Rejang Lebong, tepat nya di Kelompok Tani
“Maju Bersama” yang di ketuai oleh Bapak Asma’i.Adapun pakan tambahan yang
diberikan berupa campuran 55 % dedak padi, 40% kulit kopi, 2% garam dapur,
1,5% gula merah, 1 % kapur pertanian dan 0,5% mineral premix. Jumlah
pemberiannya disesuaikan dengan berat badan maximal yaitu rata- rata 2-3 kg
/ekor/hari. Pemberian pakan selama 60 hari kepada 6 ekor sapi brahman cross
yang telah ditimbang berat badannya terlebih dahulu. Setelah 60 hari, berat badan
sapi ditimbang kembali. Data hasil timbangan berat badan dianalisa secara
deskriptif.
Minat adopsi petani diambil dari data hasil kuisioner yang diisi oleh petani
saat pelaksanaan kegiatan gelar teknologi. Data ditabulasi dan kemudian dianaslisa
secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Teknologi pemeliharaan ternak sapi brahman cross dengan memberikan
pakan tambahan dari limbah kulit kopi dan dedak padi yang dilaksanakan di Desa
Kayu Manis Kecamatan Sindang Kelingi Kabupaten Rejang Lebong mendapat
perhatian yang cukup besar dari para petani/peternak, masyarakat Desa Kayu
Manis dan sekitarnya serta petugas lapangan yang menangani bidang peternakan.
Pembuatan pakan tambahan dari limbah dedak padi, dan kulit kopi ini belum
pernah dilakukan sehingga dengan telah dilakukannya kegiatan gelar teknologi ini
masyarakat sangat ingin mencoba dan mendapatkan manfaat dari pemberian
pakan tambahan ini, terutama untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal
terhadap kenaikan berat badan sapi perharinya. Dengan adanya pemberian pakan
tambahan baik dari bahan limbah kopi yang selama ini hanya dibuang begitu saja
tanpa dimanfaatkan, ternyata akan terlihat performance ternak sapi yang sangat
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
167
berbeda nyata, bila dibandingkan saat diberikan ransum rumput saja, terutama
kebiasaan petani yang hanya memberikan pakan seadanya tanpa
mempertimbangkan nilai kebutuhan nutrisi pakan pada ternak sapi. Rumput atau
hijauan yang diberikanpun rumput biasa melainkan bukan rumput gajah (Protein
tinggi).Dari semua jenis Hijauan rumput, yang tertinggi proteinnya adalah rumput
gajah, sehingga sangat baik bila diberikan kepada ternak yang sedang produksi.
Ternak Sapi yang digunakan yaitu 6 ekor ternak sapi brahman cross, yang ada
dikelompok tani “ Maju Bersama“ yang diketuai oleh bapak Asma,i. Sebelum
dilakukan pemberian pakan tambahan ditimbang berat badannya terlebih dahulu,
dan setelah pemberian pakan selama 2 bulan ditimbang lagi berat badannya.
Pembuatan pakan tambahan menggunakan alat pencampur mollen/mixer
dengan kapasitas 100 kg, begitupun hijauan rumputnya meggunakan alat pencacah
hijauan sederhana atau disebut copper. Bahan pakan yang akan digunakan
diletakkan satu persatu sesuai dengan jumlah bahan pakannya, mulai dari yang
terbanyak, yaitu dedak padi 55% , kulit kopi 40%, garam dapur 2%, gula aren
1,5%, kapur 1 %, mineral premix 0,5%. Dimasukkan ke dalam mollen sampai
tercampur rata. Pemberiannya kepada ternak bisa diberikan langsung kepada
ternak, dapat juga secara bertahap, sesuai dengan berat badan maximal 2-3 kg per
ekor per hari.
Untuk mengetahui kandungan pakan tambahan yang dibuat, dilakukan
pengambilan sampel untuk dianalisa proximate di laboratorium BALITNAK Ciawi,
Bogor. Hasil analisa kandungan dapat dilihat pada tebel dibawah ini:
Tabel 1. Hasil analisa proximate pakan tambahan sapi.
Jenis/Kode Contoh
Air g/100 g
Protein g/100 g
Lemak g/100 g
Energi Kcal/kg
SK g/100 g
Abu g/100 g
Ca g/100 g
P g/100 g
Dedak Padi Kulit Kopi A3 Ransum Dedak Padi
8.27 8.73 9.21 11.01 8.55
7.38 7.09 7.20 5.98 4.74
6.37 2.21 5.89 6.67 5.15
3871 3990 3669 3684 3769
19.35 29.36 21.92 23.64 29.40
12.98 6.91 14.42 15.67 17.82
0.14 0.40 0.73 0.70 0.11
0.75 0.08 0.53 0.47 0.36
Sumber : hasil Analisis laboratorium balai penelitian ternak, ciawi Bogor.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
168
Dari hasil penimbangan berat sapi sebelum dan sesudah diberikan pakan
tambahan berupa kulit kopi, dedak padi dan probiotik, maka dapat kita lihat secara
nyata peningkatan berat badan dari 6 ekor sapi yang dijadikan sampel selama 60
hari memakan pakan tambahan. Data petani menyebutkan bahwa biasanya
peningkatan berat badan sapi mereka tak lebih dari 0,2 kg/hari dengan hanya
memberikan pakan berupa hijauan rumput biasa. Dengan diberikannya pakan
tambahan ini dapat dengan jelas kita lihat peningkatan berat badan sapi.
Tabel 2. Berat badan sapi sebelum dan sesudah diberi pakan tambahan.
No
Berat sebelum diberikan pakan tambahan ( Kg)
Berat sesudah diberikan pakan tambahan (Kg)
Total kenaikan berat (Kg)
Rata-rata kenaikan (kg/hari)
1. 301 350 49 0,82
2. 137 160 23 0,38
3. 207 258 51 0,85
4. 173 199 26 0,43
5. 159 175 16 0,27
6. 168 193 25 0,42
Rata-rata 31,6 0,53
Sumber hasil pelaksanaan Gelar Teknologi sapi Brahman cross.
Dari data table di atas dapat dilihat bahwa, jika dikonversikan perhari maka
peningkatan berat badan sapi tersebut rata- rata 0,53 kg/ekor/hari. Dengan
demikian dapat dilihat secara nyata manfaat dari pemberian pakan tambahan
tersebut.
Selain mengetahui manfaat dari pemberian pakan tambahan menggunakan
bahan pakan dari limbah padi dan kulit kopi, juga dianalisa minat adopsi petani
terhadap teknologi pemberian pakan tambahan dengan membagikan kuisioner
teknologi pemeliharaan ternak sapi brahman cross dan pada saat gelar berakhir
respon tersebut sudah bisa terkumpul.
Dari hasil kuisioner respon petani yang telah diambil , maka dapat kita lihat
manfaat dari kegiatan gelar yang telah dilakukan memberi manfaat yang cukup
besar dan menambah pengetahuan bagi para peternak sapi . Data kuisioner dari 25
orang peserta dapat dilihat pada table 2 di bawah ini.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
169
Tabel 3. Minat adopsi petani terhadap teknologi pemberian pakan tambahan
Minat adopsi Jumlah responden
Persentase (%)
Keterangan
Mau Kadang-kadang
Tidak
24 1 0
96 4 0
Jumlah reseponden keseluruhan 25
orang
Hasil tabulasi jawaban dari kuisioner respon petani terhadap pelaksanaan
gelar teknologi terhadap 25 orang sampel yang diambil menyatakan keinginan
untuk menerapkan didalam pemeliharaan ternak sehari-hari 96%, 4% kadang-
kadang. Kemudahan dalam mencari bahan-bahan campuran pakan tambahan 80%
responden menyatakan mudah didapat, 12 % menyatakan cukup mudah, dan 8 %
menyatakan sulit didapat. Dari data tersebut, secara keselurahan pelaksanaan gelar
teknologi pemeliharaan sapi brahman cross sangat bermanfaat dan sangat
membantu para peternak dalam memelihara ternaknya.
KESIMPULAN
1. Kenaikan berat badan sapi brahman cross cukup baik setelah diberi pakan
tambahan dari limbah kopi dan dedak padi sebesar 0,53kg/ekor/ hari.
2. Peternak sangat berminat memberikan pakan tambahan untuk sapi mereka
dengan 96% dari responden atau sebanyak 24 responden dari 25 responden. 4
% menyatakan akan kadang-kadang memberikan pakan tambahan dan tidak
ada yang menyatakan tidak berminat memberikan pakan tambahan pada ternak
sapinya (0%).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1999. Panduan Umum Pelaksanaan Penelitian, Pengkajian danDiseminasi Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
Badan Litbang, 2011. Pedoman Umum Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Permentan No:44/Permentan /OT.140/8/2011.
BBPPTP Bogor. 2009. Petunjuk Pelaksanaan pendampingan PencapaianSwasembada Daging sapi (PSDS). Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian Bogor.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
170
Dinas Peternakan Propinsi Bengkulu. 2009. Laporan Tahunan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Bengkulu.Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Bengkulu.
Isbagio Paransih, 1998. Kebijaksanaan Komunikasi Penelitian Pertanian danPeranan AARDNET dalam Menopang Penelititan, Disampaikan pada Pengolahan TeknisJaringan Informasi Ciawi Bogor.
Tjiptopranoto,P.2000. Strategi Diseminasi Teknologi dan Informasi Pertanian.Balai Pusat Pengembangan Pengkajian Teknologi Pertanian. Bogor.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
171
PEMETAAN WILAYAH SAPI BERPOTENSI BERANAK KEMBAR DI BENGKULU
Wahyuni Amelia Wulandari, Zul Efendi dan Ruswendi
ABSTRAK
Salah satu teknologi tepat guna yang dapat meningkatkan jumlah kelahiran anak sapi adalah melalui upaya pengembangan inovasi tenologi ternak sapi beranak kembar. Inovasi teknologi ini diharapkan akan dapat meningkatkan produktivitas dan pengembangan perbibitan ternak sapi. Pemetaan sapi kembar perlu dilakukan untuk mengetahui sentra sapi kembar di Bengkulu, karena dari kejadian sapi kembar diharapkan akan mendapatkan keturunan sapi kembar juga. Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk memetakan wilayah sentra pengembangan ternak sapi yang mempunyai potensi untuk dijadikan sebagai pusat perbibitan sapi beranak kembar di Provinsi Bengkulu. Pemetaan wilayah sapi beranak kembar di Bengkulu dilaksanakan pada 8 (delapan) kabupaten dan 1 (satu) kota yatu Kabupaten Seluma, Bengkulu Selatan, Kaur, Kepahiang, Rejang Lebong, Lebong, Bengkulu Utara, Mukomuko dan Kota Bengkulu. Hal ini sesuai dengan peta administratif yang dibuat oleh Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Propinsi Bengkulu. Khusus Kabupaten Bengkulu Tengah bergabung dengan Kabupaten induk sebelumnya yaitu Kabupaten Bengkulu Utara. Kejadian sapi beranak kembar di Bengkulu sudah pernah terjadi yaitu di Kabupaten Mukomuko 2 kali, Kabupaten Seluma 4 kali, Kabupaten Rejang Lebong 3 kali, Kota Bengkulu 1 kali dan Kabupaten Bengkulu Utara 5 kali. Wilayah sapi berpotensi beranak kembar di Bengkulu berada pada 3 Kecamatan dengan potensi pakan dan populasi ternak terbesar di tiap kabupaten.
Kata kunci: sapi, anak kembar, peta
PENDAHULUAN
Pemenuhan kecukupan protein hewani secara nasional masih jauh dari target
yang telah ditetapkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1998 sebesar 6
g/kapita/hari dan equivalent dengan konsumsi daging 10,3 kg/kapita/tahun, telur
6,5 kg/kapita/tahun, dan susu 7,2 kg/kapita/tahun. Sementara itu konsumsi protein
di Provinsi Bengkulu pada tahun 2005 sebesar 3,16 g/kapita/hari, sedangkan tahun
2006 sebesar 3,36 g/kapita/hari, dan pada tahun 2007 dapat mencapai 3,68
g/kapita/hari (Dinas Peternakan Provinsi Bengkulu, 2008).
Permasalahan yang dihadapi dalam bidang peternakan di Indonesia umunya
dan di Bengkulu khususnya antara lain adalah masih rendahnya produktivitas dan
mutu genetik ternak. Keadaan ini terjadi karena sebagian besar peternakan di
Indonesia masih merupakan peternakan konvensional, dimana mutu bibit,
penggunaan teknologi, dan keterampilan peternak relatif masih rendah. Dengan
rekayasa bioteknologi reproduksi, proses reproduksi dapat dimaksimalkan antara
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
172
lain dengan teknologi Inseminasi Buatan (IB), Transfer Embrio (TE), pembekuan
embrio, dan manipulasi embrio.
Salah satu teknologi tepat guna yang dapat meningkatkan jumlah kelahiran
anak sapi adalah melalui upaya pengembangan inovasi tenologi ternak sapi
beranak kembar. Inovasi teknologi ini diharapkan akan dapat meningkatkan
produktivitas dan pengembangan perbibitan ternak sapi.
Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk memetakan wilayah sentra
pengembangan ternak sapi yang mempunyai potensi untuk dijadikan sebagai pusat
perbibitan sapi beranak kembar di Provinsi Bengkulu.
METODOLOGI
Kegiatan penelitian ini dimulai pada bulan Mei 2009 sampai dengan bulan
Desember 2009. Lokasi penelitian dibagi menjadi 3 wilayah kabupaten. Wilayah I
yaitu Kota Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu Utara dan Mukomuko,
wilayah II yaitu Kabupaten Kepahiang, Rejang Lebong dan Lebong, dan wilayah III
yaitu Kabupaten Seluma, Bengkulu Selatan dan Kaur. Pemilihan lokasi
menggunakan metode purposive sampling. Data dianalisis dengan analisis
deskriptif. Pengumpulan data-data primer mengenai populasi sapi, termasuk
populasi jantan dan betina, data mengenai teknologi pemeliharaan sapi yang telah
diadopsi menggunakan metode survey terhadap kartu penyebaran ternak sapi di
setiap kecamatan. Validasi dilakukan dengan metode survey dan pengambilan
sampel dengan metode purposive sampling. Pembuatan peta wilayah ternak sapi
yang berpotensi beranak kembar dilakukan berdasarkan hasil validasi di lapangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Populasi Ternak dan Potensi Pakan serta Potensi Sapi Beranak Kembar
Wilayah I. Kota Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu Utara dan Mukomuko
Populasi ternak sapi di Kabupaten Bengkulu Tengah pada tahun 2008
sebanyak 4.467 ekor (Laporan Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
173
Kabupaten Bengkulu Tengah, 2008). Tiga kecamatan dengan populasi sapi
terbanyak berturut-turut adalah di Kecamatan Pondok Kelapa sebanyak 1.520 ekor,
Kecamatan Karang Tinggi sebanyak 1.007 ekor dan Kecamatan Talang Empat
sebanyak 894 ekor. Jenis sapi yang dipelihara rata-rata sapi potong jenis sapi Bali.
Kabupaten Bengkulu Tengah belum ditemui adanya sapi beranak kembar
sampai dengan saat ini. Potensi pakan ternak diketiga kecamatan tersebut untuk
pakan hijauan masih cukup banyak tersedia sehingga kabupaten ini cukup potensial
untuk dilakukan pengembangan ternak sapi.
Potensi terbesar sapi beranak kembar di Kabupaten ini berada di ketiga
kecamatan tersebut diatas yaitu Kecamatan Pondok Kelapa, Karang Tinggi dan
Talang Empat. Hal tersebut karena ketiga daerah ini mempunyai potensi pakan dan
populasi ternak yang cukup besar di Kabupaten Bengkulu Tengah.
Populasi ternak sapi di Kabupaten Bengkulu Utara pada tahun 2008 sebanyak
29.220 ekor (Laporan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bengkulu Utara,
2008). Kabupaten Bengkulu Utara merupakan kabupaten dengan populasi ternak
sapi terbesar di Propinsi Bengkulu. Tiga kecamatan dengan populasi sapi terbanyak
berturut-turut adalah di Kecamatan Puteri Hijau sebanyak 8.556 ekor, Kecamatan
Kerkap sebanyak 3.213 ekor dan Kecamatan Ketahun sebanyak 3.124 ekor.
Kecamatan Puteri Hijau terdapat perusahaan pengolahan CPO yaitu PT. Agricinal
yang memiliki sekitar 5.000 ekor ternak sapi sendiri. Jenis sapi yang dipelihara rata-
rata sapi potong jenis sapi Bali.
Di Kabupaten Bengkulu Utara telah ditemui sapi beranak kembar yaitu di: 1. Desa Baturoto, Kecamatan Kerkap pada tahun 2006, pada induk sapi Bali
perkawinan dengan IB sapi Bali dan Simental menghasilkan anak jantan Sapi
Bali (hidup) dan anak betina sapi Simental (mati).
2. Desa Sumberejo, Kecamatan Kerkap pada tahun 2005, pada induk sapi Bali
kawin secara alami menghasilkan anak betina semua.
3. Desa Kota Lekat, Kecamatan Kerkap pada tahun 2007, pada induk sapi Bali
kawin secara alami menghasilkan anak betina semua.
4. Desa Banyumas, Kecamatan Kerkap pada tahun 2004 pada induk sapi sapi Bali
kawin secara alami menghasilkan anak jantan semua.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
174
5. Desa Sengkuang, Kecamatan Kerkap pada tahun 2003 pada induk sapi Bali
kawin IB sapi Bali menghasilkan anak betina semua.
Potensi terbesar sapi beranak kembar di Kabupaten ini berada di ketiga
kecamatan tersebut diatas yaitu Kecamatan Puteri Hijau, Kerkap dan Ketahun. Hal
ini karena ketiga daerah ini mempunyai potensi pakan dan populasi ternak yang
cukup besar di Kabupaten Bengkulu Utara.
Populasi ternak sapi di Kabupaten Mukomuko pada tahun 2008 sebanyak
9.352 ekor, data disajikan pada Tabel 7 (Laporan Dinas Peternakan Kabupaten
Mukomuko, 2008). Tiga kecamatan dengan populasi sapi terbanyak berturut-turut
adalah di Kecamatan Ipuh sebanyak 1.658 ekor, Kecamatan Kota Mukomuko
sebanyak 1.594 ekor dan Kecamatan Teramang Jaya sebanyak 1.175 ekor. Jenis
sapi yang dipelihara rata-rata sapi potong jenis sapi Bali.
Kabupaten Mukomuko telah ditemui adanya sapi beranak kembar yaitu:
1. Desa Sumber Makmur Kecamatan XIV Koto pada tahun 2008, yaitu pada induk
sapi PO dan pejantan sapi PO juga yang terjadi perkawinan secara alami. Anak
yang dihasilkan semuanya jantan.
2. Desa Tirta Kencana Kecamatan Air Rami pada tahun 2009, yaitu pada induk
sapi Bali dan pejantan sapi Bali yang terjadi perkawinan secara alami. Anak yang
dihasilkan semuanya berjenis kelamin jantan.
Potensi pakan ternak diketiga kecamatan tersebut untuk pakan hijauan
masih cukup banyak tersedia sehingga kabupaten ini cukup potensial untuk
dilakukan pengembangan ternak sapi.
Potensi terbesar sapi beranak kembar di Kabupaten ini berada di ketiga
kecamatan tersebut diatas yaitu Kecamatan Ipuh, Mukomuko dan Teramang Jaya.
Hal tersebut karena ketiga daerah ini mempunyai potensi pakan dan populasi
ternak yang cukup besar di Kabupaten Mukomuko.
Sapi beranak kembar di kota Bengkulu terjadi 1 kali yaitu di Desa Bumiayu
pada tahun 2007 pada induk sapi lokal dengan IB sapi Simental menghasilkan 1
jantan (hidup) dan 1 betina (mati).
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
175
Wilayah II. Kabupaten Kepahiang, Rejang Lebong dan Lebong
Populasi ternak sapi di Kabupaten Kepahiang pada tahun 2008 sebanyak
2.482 ekor (Laporan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kepahiang, 2008).
Tiga kecamatan dengan populasi sapi terbanyak berturut-turut adalah di
Kecamatan Kabawetan sebanyak 1.474 ekor, Kecamatan Bermani Ilir sebanyak 277
ekor dan Kecamatan Tebat Karai sebanyak 197 ekor. Jenis sapi yang dipelihara
rata-rata sapi potong jenis sapi Bali. Pada Kabupaten Kepahiang belum ditemui
adanya sapi beranak kembar sampai dengan saat ini. Potensi pakan ternak
diketiga kecamatan tersebut untuk pakan hijauan masih cukup banyak tersedia
sehingga kabupaten ini cukup potensial untuk dilakukan pengembangan ternak
sapi. Potensi terbesar sapi beranak kembar di kabupaten ini berada di ketiga
kecamatan tersebut diatas yaitu Kecamatan Kabawetan, Bermani Ilir dan Tebat
Karai. Hal tersebut karena daerah ini mempunyai potensi pakan dan populasi
ternak yang cukup besar di Kabupaten Kepahiang.
Populasi ternak sapi di Kabupaten Lebong pada tahun 2008 sebanyak 494
ekor. Tiga kecamatan dengan populasi terbanyak yaitu Lebong Selatan sebanyak
252 ekor, Lebong Tengah sebanyak 59 ekor, Pinang Berlapis sebanyak 48 ekor.
Kejadian sapi beranak kembar belum ditemui di Kabupaten Lebong.
Wilayah III. Kabupaten Seluma, Bengkulu Selatan dan Kaur
Populasi ternak sapi di Kabupaten Seluma sebanyak 18.982 (Laporan Dinas
Pertanian dan Peternakan Kabupaten Seluma, 2008). Tiga kecamatan dengan
populasi sapi terbanyak berturut-turut adalah di Kecamatan Air Periukan sebanyak
4.109 ekor, Kecamatan Sukaraja sebanyak 3.974 ekor dan Kecamatan Seluma
Selatan sebanyak 2.271 ekor. Jenis sapi yang dipelihara rata-rata sapi potong jenis
sapi Bali.
Kejadian sapi beranak kembar di Kabupaten Seluma sudah ada 4 (empat) kali
yaitu:
1. Desa Cahaya Negeri Kecamatan Sukaraja pada tahun 2004, menggunakan induk
sapi Bali dengan pejantan sapi Simental dan sapi Peranakan Ongole (PO).
Teknologi sapi beranak kembar menggunakan teknologi Embrio Transfer (ET)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
176
yang dilakukan atas kerjasama Balai Inseminasi Buatan (BIB) Kandang Limun
Bengkulu dan BIB Cipelang Bogor. Untuk perkawinan kedua adalah
menggunakan IB semen beku dengan pejantan sapi PO. Hasil keturunannya
semuanya jantan. Saat ini sapinya sudah tidak ada karena telah dijual sebagai
sapi potong.
2. Desa Penago I Kecamatan Ulu Talo pada tahun 2009, terjadi perkawinan alami
antara induk sapi Bali dan pejantan sapi Bali juga. Anak yang dihasilkan berjenis
kelamin betina semua.
3. Desa Masmambang Kecamatan Ulu Talo pada tahun 2009, terjadi perkawinan
secara alami antara induk sapi Bali dan pejantan sapi Bali juga yang
menghasilkan anak kembar. Anak yang dihasilkan berjenis kelamin betina
semua.
4. Desa Padang Rambun Kecamatan Seluma Selatan pada tahun 2009, terjadi
pada induk dan pejantan sapi Bali yang menghasilkan sapi anak berjenis kelamin
jantan dan betina.
Potensi pakan di Kabupaten Seluma masih banyak tersedia, baik pakan hijuan
maupun limbah pertanian. Potensi sapi beranak kembar di Kabupaten Seluma
berada di Kecamatan Sukaraja, Seluma Selatan, Ulu Talo dan Air Periukan. Di
keempat kecamatan tersebut memungkinkan terjadi sapi beranak kembar karena
lokasi dengan jumlah populasi sapi yang cukup banyak, potensi pakan yang masih
cukup tersedia dan pernah terjadi kelahiran kembar di lokasi ini.
Jumlah populasi ternak sapi di Kabupaten Bengkulu Selatan sebanyak 8.010
ekor (Laporan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bengkulu Selatan, 2008).
Tiga kecamatan dengan populasi sapi terbanyak berturut-turut adalah di
Kecamatan Pino Raya sebanyak 2.046 ekor, Kecamatan Manna sebanyak 1.344
ekor dan Kecamatan Bunga Mas sebanyak 1.153 ekor. Jenis sapi yang dipelihara
rata-rata sapi potong jenis sapi Bali.
Pada Kabupaten Bengkulu Selatan belum ditemui adanya sapi beranak
kembar sampai dengan saat ini. Potensi pakan ternak diketiga kecamatan tersebut
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
177
untuk pakan hijauan masih cukup banyak tersedia sehingga kabupaten ini cukup
baik untuk dilakukan pengembangan ternak sapi.
Potensi sapi beranak kembar di Kabupaten ini berada di ketiga kecamatan
tersebut diatas yaitu Kecamatan Pino Raya, Bunga Mas dan Manna. Hal ini karena
daerah ini dengan potensi pakan ternak dan populasi ternak yang cukup besar di
Kabupaten Bengkulu Selatan.
Jumlah populasi ternak sapi di Kabupaten Kaur sebanyak 13.887 ekor
(Laporan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kaur, 2008). Tiga kecamatan
dengan populasi sapi terbanyak berturut-turut adalah di Kecamatan Kaur Selatan
sebanyak 1.920 ekor, Kecamatan Kaur Utara sebanyak 1.754 ekor dan Kecamatan
Semidang Gumai sebanyak 1.351 ekor. Jenis sapi yang dipelihara rata-rata sapi
potong jenis sapi Bali.
Pada Kabupaten Kaur belum ditemui adanya sapi beranak kembar sampai
dengan saat ini. Potensi pakan ternak diketiga kecamatan tersebut untuk pakan
hijauan masih cukup banyak tersedia sehingga kabupaten ini cukup baik untuk
dilakukan pengembangan ternak sapi.
Potensi sapi beranak kembar di Kabupaten ini berada di ketiga kecamatan
tersebut diatas yaitu Kecamatan Kaur Selatan, Utara dan Semidang Gumai. Hal
tersebut karena daerah ini mempunyai potensi pakan dan populasi ternak yang
cukup besar di Kabupaten Kaur.
Pemetaan Wilayah Sapi Berpotensi Beranak Kembar di Bengkulu
Pemetaan wilayah sapi berpotensi beranak kembar di Bengkulu dilaksanakan
pada 8 (delapan) kabupaten dan 1 (satu) kota yatu Kabupaten Seluma, Bengkulu
Selatan, Kaur, Kepahiang, Rejang Lebong, Lebong, Bengkulu Utara, Mukomuko dan
Kota Bengkulu. Hal ini sesuai dengan peta administratif yang dibuat oleh Kanwil
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Propinsi Bengkulu. Khusus untuk Kabupaten
Bengkulu Tengah pemetaan wilayah sapi berpotensi beranak kembar dilakukan
bergabung dengan kabupaten sebelumnya yaitu Kabupaten Bengkulu Utara.
Kabupaten Bengkulu Tengah merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten
Bengkulu Utara yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 24 Tahun 2008
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
178
tentang Pembentukkan Kabupaten Bengkulu Tengah yang secara administrasi
termasuk dalam wilayah Propinsi Bengkulu. Pemetaan wilayah sapi berpotensi
beranak kembar dan kejadian sapi kembar ke 8 kabupaten dan 1 kota disajikan
pada Lampiran 1 – 3.
KESIMPULAN
Kejadian sapi beranak kembar di Bengkulu terjadi di Kabupaten Mukomuko
sebanyak 2 kali, Kabupaten Seluma sebanyak 4 kali, Kabupaten Rejang Lebong
sebanyak 3 kali, Kota Bengkulu sebanyak 1 kali dan Kabupaten Bengkulu Utara
sebanyak 5 kali.
Wilayah sapi berpotensi beranak kembar di Bengkulu berada pada 3
Kecamatan dengan potensi pakan dan populasi ternak terbesar di tiap kabupaten.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2007. Bengkulu Dalam Angka Tahun 2007. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Bengkulu dengan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bengkulu. Bengkulu.
Dinas Peternakan Provinsi Bengkulu, 2008. Laporan Tahunan. Dinas Peternakan Provinsi Bengkulu. Bengkulu.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
179
Lampiran 1. Pemetaan wilayah sapi berpotensi beranak kembar dan kejadian sapi kembar di Wilayah I. Kota Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Utara dan Mukomuko.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
180
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
181
Lampiran 2. Pemetaan wilayah sapi berpotensi beranak kembar dan kejadian sapi kembar di Wilayah II. Kabupaten Kepahiang, Rejang Lebong dan Lebong.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
182
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
183
Lampiran 3. Pemetaan wilayah sapi berpotensi beranak kembar dan kejadian sapi kembar di Wilayah III. Kabupaten Seluma, Bengkulu Selatan dan Kaur.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
184
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
185
SISTEM INTEGRASI KELAPA SAWIT DAN SAPI BALI RAKYAT DI PROVINSI BENGKULU
Dedi Sugandi dan Harwi Kusnadi
ABSTRAK
Sistem integrasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan nilai tambah karena ada timbal balik yang saling menguntungkan. Salah satu yang telah dilaksanakan di Provinsi Bengkulu adalah Sistem Integrasi Sapi-Kelapa Sawit (SISKA). Perkebunan kelapa sawit dapat mendukung peternakan rakyat, yaitu sebagai penyedia pakan yang berasal dari limbah tanaman sawit yaitu pelepah daun. Limbah dari industri pengolahan kelapa sawit berupa solid dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak sapi. Kotoran sapi cukup potensial digunakan untuk pemupukan tanaman sawit. Pemanfaatan kotoran ternak sebagai sumber pupuk organik sangat mendukung usaha perkebunan kelapa sawit. Komposisi pakan pada pengkajian pemanfaatan limbah kelapa sawit sebagai pakan ternak sapi Bali yaitu rumput 100%, rumput 100% + solid 2,5% bobot badan, rumput 50% + pelepah sawit 50%, rumput 50% + pelepah sawit 50% + solid 2,5% bobot badan. Komposisi pupuk pada pengkajian pemanfaatan kotoran sapi untuk pemupukan tanaman kelapa sawit yaitu: pupuk NPK 75%+kompos 25% dan NPK 50%+Kompos 50%, sedangkan kontrol dengan aplikasi pemupukan NPK 100% dengan 5 kali ulangan. Integrasi tanaman kelapa sawit dengan sapi Bali dapat dilakukan oleh petani yang memiliki tanaman kelapa sawit yang sudah berproduksi dan memiliki ternak sapi Bali. Pelepah sawit dapat menggantikan rumput lapangan sampai 50% untuk pakan ternak sapi Bali tanpa berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan. Pemberian pakan solid juga tidak berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan. Pemanfaatan kotoran ternak dapat meningkatkan penggunaan pupuk organik dan mengurangi penggunaan pupuk anorganik sampai 50% tanpa mengurangi produksi TBS.
Kata kunci: integrasi, sapi Bali, kelapa sawit, limbah sawit, kotoran sapi
PENDAHULUAN
Data tahun 2010 Provinsi Bengkulu mempunyai luas perkebunan rakyat untuk
tanaman kelapa sawit mencapai 205.324 ha dengan produksi 424.617,01 ton (BPS,
2011). Sedangkan Kabupaten Seluma mempunyai luas tanaman kelapa sawit rakyat
telah mencapai 31.174 ha dengan produksi 67.097,79 ton tandan buah segar (TBS)
(BPS, 2011). Data tahun 2010 jumlah ternak sapi di Provinsi Bengkulu sebanyak
103.262 ekor. Populasi sapi di Kabupaten Seluma tahun 2010 mencapai 16.744
ekor. Sapi potong merupakan salah satu komoditas unggulan yang dapat
memenuhi kebutuhan protein hewani dan telah berkembang dengan baik di
Kabupaten Seluma. Sapi Bali banyak dipelihara oleh peternak di wilayah Provinsi
Bengkulu terutama di wilayah perkebunan kelapa sawit. Sapi Bali menjadi pilihan
peternak karena mempunyai kelebihan dibandingkan dengan bangsa sapi yang lain.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
186
Sapi Bali mempunyai daya adaptasi baik terhadap berbagai kondisi lingkungan baik
kering maupun hujan. Bisa hidup liar dengan mencari makanan sendiri, di areal
pembuangan sampah sekalipun. Sapi Bali dikenal sangat responsif terhadap
perlakuan serta memiliki tingkat kesuburan reproduksi tinggi yaitu antara 80-82
persen. Sapi induk (betina) mampu melahirkan setahun sekali. Selain itu, kualitas
dagingnya sangat baik dengan persentase karkas (daging dan tulang dalam, tanpa
kepala, kaki dan jeroan) mencapai 60 persen (Suryana, 2007).
Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa sapi Bali cukup responsif dalam
upaya perbaikan pakan. Pemberian hasil samping kelapa sawit pada sapi di
peternakan rakyat pada umumnya masih dalam kondisi segar, belum banyak upaya
sentuhan teknologi.
Ketersediaan pakan untuk kecukupan konsumsi selama terjadinya proses
perkembangan dan penggemukan ternak sapi juga harus terpenuhi dan belum
berbasiskan sumberdaya lokal, begitu juga dengan penggalian sumber pakan lokal
terutama untuk sapi potong belum dilakukan secara maksimal. Sehingga
penyediaan hijauan untuk kebutuhan ternak sapi semakin terbatas dan perlu
didukung dengan pemberian pakan melalui pengoptimalan pemanfaatan limbah
tanaman sebagai salah satu bahan penyusun pakan yang dapat meningkatkan
produktivitas ternak selain pemberian hijauan. Selama ini petani mengandalkan
rumput alam yang terdapat di sekitar desa dengan disabitkan. Pemanfaatan limbah
industri sawit berupa solid sebagai pakan ternak sapi memberikan hasil positif dan
memberikan peluang kepada masyarakat yang memelihara ternak sapi untuk
memanfaatkan solid bagi kecukupan dan kebutuhan pakan ternak sapinya. Akan
tetapi solid masih belum banyak dimanfaatkan untuk pakan sapi, terbukti masih
banyaknya solid yang dibuang oleh pabrik pengolahan kelapa sawit.
Sistem integrasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan nilai tambah
karena ada timbal balik yang saling menguntunkan. Salah satu yang telah
dilaksanakan di Provinsi Bengkulu adalah Sistem Integrasi Sapi-Kelapa Sawit
(SISKA) yang diprakarsai oleh PT.Agricinal, yang secara nyata telah memberi
manfaat terhadap peningkatan pendapatan petani. Pola ini terus dikembangkan di
Provinsi Bengkulu. Hasil studi Gunawan et al (2004a) tentang model
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
187
pengembangan sistem integrasi sapi kelapa sawit menyatakan bahwa, program
SISKA dapat dikembangkan tidak hanya di perusahaan besar, tetapi juga di
perkebunan kelapa sawit rakyat. Dengan adanya SISKA, maka peternak
mempunyai sumber pakan yang potensial untuk ternak sapi dan tanaman sawit
mendapatkan pupuk untuk meningkatkan hasil sawit. Sistem ini sederhana
sehingga dapat dikembangkan di perkebunan kelapa sawit rakyat.
METODOLOGI
Kegiatan pengkajian integrasi kelapa sawit rakyat dan sapi Bali dilaksanakan
di Desa Lokasi Baru, Kecamatan Air Periukan, Kabupaten Seluma, Provinsi
Bengkulu. Waktu pelaksanaan pengkajian dimulai Bulan September 2011 sampai
Desember 2011.
Kegiatan yang pertama yaitu pengkajian pemanfaatan limbah kelapa sawit
sebagai pakan ternak sapi Bali dengan komposisi pakan perlakuan disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi pakan perlakuan pada pengkajian pemanfaatan limbah kelapa sawit sebagai pakan ternak ternak sapi Bali.
No Perlakuan Pakan Rumput
Lapangan (%)
Pelepah Sawit (%)
Solid (% Berat Badan)
1. A (Kontrol) 100 - -
2. B 100 - 2,5
3. C 50 50 -
4. D 50 50 2,5
Data yang diambil yaitu pertambahan bobot badan setiap 2 minggu sekali.
Kegiatan kedua yaitu potensi kotoran sapi dan pemanfaatannya untuk
pemupukan tanaman kelapa sawit dengan perlakuan pupuk kompos kotoran sapi
dan pupuk NPK yang disajikan pada Tabel 2.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
188
Tabel 2. Komposisi pupuk pada pengkajian tanaman kelapa sawit.
No Perlakuan Pupuk Pupuk NPK (%)
Kompos Kotoran Sapi (%)
1. A (Kontrol) 100 0
2. B 75 25
3. C 50 50
Pengamatan tanaman sawit dilakukan pada produksi kelapa sawit. Data yang
diambil merupakan hasil penimbangan panen sawit yang dilakukan setiap 20 hari
sekali, kemudian dibandingkan pada masing-masing perlakuan. Pengamatan
dirancang selama 4 bulan.
Analisis data untuk perlakuan dilakukan dengan uji statistik beda nyata,
dilanjutkan dengan DMRT.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi limbah kelapa sawit dan pemanfaatannya untuk pakan ternak sapi Bali
Pakan adalah semua bahan yang bisa diberikan dan bermanfaat bagi ternak
serta tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap tubuh ternak. Pakan yang
diberikan harus berkualitas tinggi yaitu mengandung zat-zat yang diperlukan oleh
tubuh ternak dalam hidupnya seperti air, karbohidrat, lemak, protein, mineral, dan
air (Parakkasi, 1995).
Dalam ilmu pakan ternak, faktor keseimbangan yang dimaksud adalah
kesesuaian antara kuantitas maupun kualitas zat gizi pakan dan kebutuhan ternak.
Prinsipnya faktor yang menjadi pedoman pakan ruminansia adalah kandungan
protein, energi, karbohidrat, dan bahan kering pakan, serta ketepatan proporsi
masing-masing sehingga sesuai dengan kebutuhan ternak sapi (McDonald dkk.,
1992). Dalam hal ini para petani kebanyakan tidak memperhitungkan secara
lengkap karena tidak paham tentang ilmu pakan ternak sapi.
Limbah dari perkebunan kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan sebagai
pakan ternak antara lain pelepah daun sawit. Hasil pengamatan pada PT. Agrisinal
menunjukkan bahwa setiap pohon kelapa sawit TM dapat menghasilkan 22 pelepah
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
189
per tahun (Diwyanto et al., 2004) dengan rataan berat pelepah per buah mencapai
7 kg. Jumlah ini setara dengan 20 ribu kg (22 x 130 pohon x 7 kg) pelepah segar
yang dihasilkan dalam satu tahun untuk setiap satu hektar kebun kelapa sawit.
Jumlah ini diperoleh dengan asumsi bahwa semua bagian pelepah dapat
dimanfaatkan dan total bahan kering yang dihasilkan dalam setahun 5.214 kg.
Dengan asumsi bahwa luas perkebunan kelapa sawit yang telah berproduksi 5 juta
ha (Sekretariat Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008), maka jumlah bahan kering
pelepah yang tersedia untuk dimanfaatkan sebagai sumber pakan serat/hijauan
adalah sejumlah 26,4 juta ton. Komposisi nutrisi pelepah daun sawit sebagai
berilkut: PK 6,5%, TDN 56%, Serat Kasar 32,55%, Lemak Kasar 4,47%, Bahan
Kering 93,4% (Lab. Ilmu Makanan Ternak, Departemen Peternakan FP USU (2005).
Limbah dari industri pengolahan kelapa sawit antara lain solid. Solid dalam
bahasa jawa disebut ” blondho sawit ” adalah limbah padat hasil samping prosesing
pengolahan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit menjadi minyak mentah kelapa
sawit atau Crude Palm Oil (CPO). Bentuk dan konsistensinya seperti ampas tahu
namun berwarna coklat gelap, berbau asam-asam manis, masih mengandung
minyak CPO sekitar 1,5%. Kandungan nutrisi Solid ini berdasarkan hasil analisis
proksimat laboratorium nutrisi ternak Fakultas Peternakan Universitas Bengkulu,
adalah berupa; Bahan kering (BK) 49,57%., Protein kasar (PK) 10,16%., Lemak
kasar (LK) 12,90%., Serat kasar (SK) dan Bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN)
sebesar 23,17%.
Pemanfaatan solid untuk pakan sapi oleh peternak di Desa Lokasi Baru,
Kecamatan Air Periukan, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu dengan cara
diberikan ternak sebelum pemberian hijauan. Dengan penyimpanan yang baik solid
tetap dalam kondisi baik untuk diberikan sapi sampai 5 hari. Setelah 5 hari solid
akan berbau tajam dan mulai tumbuh jamur sehingga sapi juga tidak mau
memakannya.
Hasil pengkajian pemanfaatan limbah kelapa sawit sebagai pakan ternak sapi
Bali di Desa Lokasi Baru, Kecamatan Air Periukan, Kabupaten Seluma, Provinsi
Bengkulu disajikan pada Tabel 3.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
190
Tabel 3. Rata-rata pertambahan bobot badan pada pengkajian ternak sapi Bali.
No Perlakuan Pakan Rata-rata pertambahan bobot badan/hari (kg)
1. A (Kontrol) 0,667
2. B 0,584
3. C 0,411
4. D 0,425
Rata-rata pertambahan bobot hidup sapi perlakuan A 0,667 kg/ekor/hari,
sedangkan yang terendah pada perlakuan C (0,411 kg/hari). Namun dari hasil uji
varian (uji F) menunjukan tidak berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 5% pada
peubah penambahan bobot badan sapi. Hasil ini menunjukkan bahwa pelepah
sawit dapat menggantikan rumput lapangan sampai 50% untuk pakan ternak sapi
Bali tanpa berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan. Pemberian pakan
solid juga tidak berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan.
Potensi kotoran sapi dan pemanfaatannya untuk pemupukan tanaman kelapa sawit
Pemanfaatan kotoran ternak sebagai sumber pupuk organik sangat
mendukung usaha perkebunan kelapa sawit. Dari sekian banyak kotoran ternak
yang terdapat di daerah sentra produksi ternak banyak yang belum dimanfaatkan
secara optimal, sebagian di antaranya terbuang begitu saja, sehingga sering
merusak lingkungan yang akibatnya akan menghasilkan bau yang tidak sedap.
Tabel 4. Kandungan unsur hara pada pupuk dari kotoran sapi.
Kadar Hara (%) Kotoran sapi
Nitrogen Phospor Kalium air
1. padat 2. cair
0.40 1.00
0.20 0.50
0.10 1.50
85 92
Sumber Yusuf (2009).
Satu ekor sapi dewasa dapat menghasilkan 23,59 kg kotoran tiap harinya.
Pupuk organik yang berasal dari kotoran ternak dapat menghasilkan beberapa
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
191
unsur hara yang sangat dibutuhkan tanaman, seperti terlihat pada Tabel 1.
Disamping menghasilkan unsur hara makro, pupuk kandang juga menghasilkan
sejumlah unsur hara mikro, seperti Fe, Zn, Bo, Mn, Cu, dan Mo. Jadi dapat
dikatakan bahwa, pupuk kandang ini dapat dianggap sebagai pupuk alternative
untuk mempertahankan produksi tanaman.
Hasil pengkajian pemanfaatan kotoran sapi untuk pemupukan tanaman
kelapa sawit di Desa Lokasi Baru, Kecamatan Air Periukan, Kabupaten Seluma,
Provinsi Bengkulu disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Rata-rata panen kelapa sawit.
No Perlakuan Pupuk
Panen kelapa sawit/perlakuan
(kg)
Panen kelapa sawit /ha (kg)
1. A (Kontrol) 290.0 1.667,4
2. B 317.6 1.828,5
3. C 290.1 1.667,5
Rata-rata hasil penimbangan tandan buah sawit perlakuan A, B, dan C
masing-masing 290.0 kg, 317.6 kg, dan 290.1 kg. Dari hasil penimbangan, produksi
TBS kelapa sawit tertinggi pada perlakuan B (1.828,5 kg/ha/panen) dan terendah
pada perlakuan A (1.667,4 kg/ha/panen). Dari hasil uji varian (uji F) menunjukan
tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan pada taraf 5% pada peubah
produksi TBS kelapa sawit.
Integrasi tanaman kelapa sawit dengan sapi Bali di perkebunana rakyat
Integrasi tanaman kelapa sawit dengan sapi Bali dapat dilakukan oleh petani
yang memiliki tanaman kelapa sawit yang sudah berproduksi dan memiliki ternak
sapi Bali. Petani memanfaatkan pelepah kelapa sawit hasil ikutan dari pemanenan
kelapa sawit untuk pakan sapi Bali. Pemanfaatan pelepah sawit untuk pakan sapi
telah lama dilaksanakan oleh peternak di Desa Lokasi Baru, Kecamatan Air
Periukan, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Pelepah sawit hasil ikutan pada
saat pemanenan kelapa sawit dikupas kulitnya dan dipotong kecil-kecil dengan
mesin pencacah rumput sehingga memudahkan pada saat dimakan sapi. Pelepah
sawit diberikan sapi sebelum pemberian hijauan lain.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
192
Kotoran sapi dimanfaatkan untuk pemupukan tanaman kelapa sawit. Petani di
Desa Lokasi Baru telah banyak yang mengkomposkan kotoran sapi terlebih dahulu
selama 21 dengan aktifator sebelum digunakan untuk pemupukan tanaman sawit.
Pemberian pupuk kompos dilakukan setiap 3 - 4 bulan sekali sehingga dalam
setahun dilakukan pemupukan 3 – 4 kali dengan rata-rata setiap pemberian 40 –
50 kg per tanaman. Pemanfaatan kotoran ternak dapat meningkatkan penggunaan
pupuk organik dan mengurangi penggunaan pupuk anorganik sampai 50% tanpa
mengurangi produksi TBS.
KESIMPULAN
Integrasi tanaman kelapa sawit dengan sapi Bali dapat dilakukan oleh petani
yang memiliki tanaman kelapa sawit yang sudah berproduksi dan memiliki ternak
sapi Bali. Perkebunan kelapa sawit dapat mendukung peternakan rakyat, yaitu
sebagai penyedia pakan yang berasal dari limbah tanaman sawit yaitu pelepah
daun. Pelepah sawit dapat menggantikan rumput lapangan sampai 50% untuk
pakan ternak sapi Bali tanpa berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan.
Pemberian pakan solid juga tidak berpengaruh terhadap pertambahan bobot
badan. Pemanfaatan kotoran ternak dapat meningkatkan penggunaan pupuk
organik dan mengurangi penggunaan pupuk anorganik sampai 50% tanpa
mengurangi produksi TBS.
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2011. Provinsi Bengkulu Dalam Angka 2011.
Diwyanto, K., D. Sitompul, I. Manti, I-W Mathius dan Soentoro. 2004. Pengkajian Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Departemen Pertanian bekerjasama dengan PemProp. Bengkulu dan PT. Agricinal.
Gunawan, B. Hermawan, Sumardi dan E.P. Praptanti. 2004a. Keragaan Model Pengembangan Integrasi Sapi–Sawit pada Perkebunan Rakyat di Propinsi Bengkulu. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman–Ternak di Denpasar, Bali pada Tanggal 20–22 Juli 2004.
Laboratorium Ilmu Makanan Ternak. 2005. Departemen Peternakan, FP USU, Medan.
Laboratorium Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Pertanian UNIB, Bengkulu.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
193
McDonald, P, Edwards, R.A., and Greenhalgh., J.F.D. 1992. Animal nutritiuon (4th Ed.). Longman Scientific & Technical. John Wiley & Sons, Inc. Nerw York.
Parakkasi, A. 1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Suryana. 2007 . Pengembangan integrasi temak ruminasia pada perkebunan kelapa sawit. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 26 (l) :35-40. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Sekretariat Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008.
Yusuf. T. 2009. Kandungan Hara Pupuk Kandang. http://tohariyusuf.wordpress .com diakses 14 juni 2012 jam 9.15.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
194
OPTIMASI PEMANFAATAN LIMBAH TANAMAN SAWIT UNTUK PAKAN DI PROVINSI BENGKULU
Dedi Sugandi, Harwi Kusnadi dan Yahumri
ABSTRAK
Perkembangan populasi ternak ruminansia di Indonesia menunjukkan hal yang kurang menggembirakan, sehingga produksi daging dan susu nasional saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Salah satu faktor yang mempengaruhi terkendalanya pengembangan populasi ternak ruminansia di Indonesia adalah semakin terbatasnya lahan pertanian, baik sebagai basis pengembangan ternak maupun sebagai sumber pakan hijauan, sehingga jumlah dan nilai gizi pakan yang diberikan peternak belum mencukupi kebutuhan gizi, sehingga penampilan sapi belum sesuai dengan potensi genetiknya. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang perkembangannya cukup pesat terutama di Sumatera dan Kalimantan. Kelapa sawit menghasilkan limbah berupa pelepah sawit dan solid yang belum dimanfaatkan secara optimal untuk pakan ternak. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui optimasi pemanfaatkan limbah kelapa sawit sebagai pakan ternak sapi. Pengkajian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 (tiga perlakuan) yaitu: (B) pakan rumput + solid 2,5% bobot badan, (C) pakan rumput 50% + pelepah sawit 50%, dan (D) pakan rumput 50% + pelepah sawit 50% + solid 2,5% bobot badan dengan 4 (empat) ulangan. Sebagai kontrol (A) pakan rumput. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan sapi perlakuan A, B, C, dan D masing-masing 0,667 kg/hari, 0,584 kg/hari, 0,411 kg/hari, dan 0,425 kg/hari. Pertambahan bobot tertinggi terdapat pada perlakuan A (0,667 kg/hari), sedangkan yang terendah pada perlakuan C (0,411 kg/hari).
Kata kunci: sapi, rumput, pelepah sawit, solid, pertambahan bobot badan
PENDAHULUAN
Laju pertumbuhan penduduk Indonesia selama periode 2000 – 2008
mencapai rataan 1,36% per tahun, populasi Indonesia mencapai lebih dari 228 juta
jiwa dengan rataan kepadatan mencapai 123 jiwa per km2 (BPS, 2008).
Pertambahan populasi menuntut ketersediaan pangan yang memadai, termasuk
produk peternakan (daging dan susu). Disisi lain pertumbuhan ternak ruminansia
cenderung melambat (6-8%) per tahun. Sumbangan peternakan terhadap
pengadaan daging nasional pada tahun 2002 adalah 1,9 juta ton, sementara
kebutuhan pada tahun yang sama 1,95 juta ton (Direktorat Jenderal Bina Produksi
Peternakan, 2003). Dari angka tersebut terlihat ada kekurangan daging yang perlu
diimpor. Kondisi tersebut tidak dapat dipertahankan dan perlu diambil langkah-
langkah untuk mengatasinya.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
195
Data tahun 2010 Provinsi Bengkulu mempunyai luas perkebunan rakyat untuk
tanaman kelapa sawit mencapai 205.324 ha dengan produksi 424.617,01 ton (BPS,
2011). Sedangkan Kabupaten Seluma mempunyai luas tanaman kelapa sawit rakyat
telah mencapai 31.174 ha dengan produksi 67.097,79 ton tandan buah segar (TBS)
(BPS, 2011). Data tahun 2010 jumlah ternak sapi di Provinsi Bengkulu sebanyak
103.262 ekor. Populasi sapi di Kabupaten Seluma tahun 2010 mencapai 16.744
ekor. Ketersediaan pakan untuk kecukupan konsumsi selama terjadinya proses
perkembangan dan penggemukan ternak sapi juga harus terpenuhi dan belum
berbasiskan sumberdaya lokal, begitu juga dengan penggalian sumber pakan lokal
terutama untuk sapi potong belum dilakukan secara maksimal. Sehingga
penyediaan hijauan untuk kebutuhan ternak sapi semakin terbatas dan perlu
didukung dengan pemberian pakan melalui pengoptimalan pemanfaatan limbah
tanaman sebagai salah satu bahan penyusun pakan yang dapat meningkatkan
produktivitas ternak selain pemberian hijauan. Selama ini petani mengandalkan
rumput alam yang terdapat disekitar desa dengan disabitkan. Pelepah sawit
merupakan sumber pakan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Komposisi
nutrisi pelepah daun sawit sebagai berilkut: PK 6,5%, TDN 56%, Serat Kasar
32,55%, Lemak Kasar 4,47%, Bahan Kering 93,4% (Lab. Ilmu Makanan Ternak,
Departemen Peternakan FP USU, 2005). Solid dalam bahasa jawa disebut ” blondho
sawit ” adalah limbah padat hasil samping prosesing pengolahan tandan buah
segar (TBS) kelapa sawit menjadi minyak mentah kelapa sawit atau Crude Palm Oil
(CPO). Bentuk dan konsistensinya seperti ampas tahu namun berwarna coklat
gelap, berbau asam-asam manis, masih mengandung minyak CPO sekitar 1,5%.
Kandungan nutrisi Solid ini berdasarkan hasil analisis proksimat laboratorium nutrisi
ternak Fakultas Peternakan Universitas Bengkulu, adalah berupa; Bahan kering
(BK) 49,57%, Protein kasar (PK) 10,16%, Lemak kasar (LK) 12,90%, Serat kasar
(SK) dan Bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) sebesar 23,17%. Pemanfaatan
limbah industri sawit berupa solid sebagai pakan ternak sapi memberikan hasil
positif dan memberikan peluang kepada masyarakat yang memelihara ternak sapi
untuk memanfaatkan solid bagi kecukupan dan kebutuhan pakan ternak sapinya.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
196
Akan tetapi solid masih belum banyak dimanfaatkan untuk pakan sapi, terbukti
masih banyaknya solid yang dibuang oleh pabrik pengolahan kelapa sawit.
METODOLOGI
Kegiatan pengkajian optimasi pemanfaatan limbah tanaman sawit untuk
pakan dilaksanakan di Desa Lokasi Baru, Kecamatan Air Periukan, Kabupaten
Seluma, Provinsi Bengkulu. Waktu pelaksanaan pengkajian dimulai Bulan
September 2011 sampai Desember 2011.
Pengkajian optimasi pemanfaatan limbah tanaman sawit untuk pakan
menggunakan ternak sapi Bali jantan. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian
sebelumnya dimana sapi tersebut telah lama beradaptasi dengan lingkungan
setempat dan digunakan untuk berbagai program pengembangan ternak sapi di
Provinsi Bengkulu. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui optimasi
pemanfaatkan limbah kelapa sawit sebagai pakan ternak sapi.
Pengkajian optimasi pemanfaatan limbah tanaman sawit untuk pakan
dirancang melalui pendekatan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga jenis
perlakuan dan diulang sebanyak 4 ulangan. Komposisi pakan perlakuan pada
pengkajian tersebut disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi pakan perlakuan pada pengkajian ternak sapi.
No Perlakuan Pakan
Rumput Lapangan (%)
Pelepah Sawit (%)
Solid (% Bobot Badan)
1. A (Kontrol) 100 - -
2. B 100 - 2,5
3. C 50 50 -
4. D 50 50 2,5
Jumlah pakan yang diberikan setiap hari sebanyak 10% dari bobot badan
sapi. Sedangkan pakan tambahan diberikan dalam bentuk solid. Masing-masing
perlakuan dilaksanakan oleh 4 petani kooperator. Jadi, jumlah petani kooperator
sebanyak 16 orang.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
197
Pengamatan ternak sapi Bali dilakukan terhadap data pertambahan bobot
badan harian (PBBH) ternak setiap 15 hari. Pengamatan dilaksanakan selama 2,5
bulan.
Analisis data untuk perlakuan dilakukan dengan uji statistik beda nyata,
menggunakan analisis uji lanjut DMRT dan juga ditampilkan analisis secara
deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Lokasi Pengkajian
Desa Lokasi Baru merupakan desa baru hasil pemekaran dari Desa Talang
Benuang di Kecamatan Air Periukan, Kabupaten Seluma. Luas wilayah Desa Lokasi
Baru mencapai 503 ha dengan topografi dataran. Perbatasan desa di sebelah utara
dengan Desa Talang Benuang, sebelah timur dengan Desa Suka Maju, sebelah
selatan dengan Desa Dermayu dan sebelah barat dengan Desa Suka Sari. Jumlah
penduduk Desa Lokasi Baru 2010 mencapai 1.453 jiwa dengan 713 KK. Dari 503 ha
seluas 232 ha dimanfaatkan sebagai lahan pertanian persawahan, perkebunan
karet dan sawit serta lahan tidur, 155 ha digunakan sebagai pemukiman dan 166
ha lain-lain. Iklim dalam setahun ada 2 macam yaitu kemarau dan hujan.
Wilayah Desa Lokasi Baru terdiri dari 2 dusun yaitu Dusun Sumber Rukun dan
Dusun Sumber Rejo. Mata pencaharian penduduk desa antara lain petani,
pedagang, buruh tani, PNS, honorer, guru, dan tenaga medis. Desa Lokasi Baru
juga dikenal dengan ternaknya antara lain ayam/itik dengan jumlah 890/150 ekor,
kambing 140 ekor, sapi PO 105 ekor dan sapi Bali 175 ekor.
Ternak sapi menjadi andalan bagi masyarakat Desa Lokasi Baru untuk
meningkatkan kesejahteraan. Hal ini ditunjukkan dengan seringnya sapi keluar
masuk desa baik bangsa sapi PO maupun Bali. Pemeliharaan sapi ditujukan untuk
pengembangan dan penggemukan. Kandang dibuat terpisah dengan rumah
penduduk. Sapi dikeluarkan dari kandang pada siang hari dan masuk kandang lagi
pada malam hari. Pakan yang diberikan berupa rumput lapang. Sedangkan pakan
tambahan yang diberikan berupa dedak padi dan solid. Akan tetapi intensitas
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
198
pemberiannya tidak secara rutin. Pelepah sawit dimanfaatkan untuk pakan sapi
pada saat panen dan pada saat tidak sempat mencari rumput.
Optimasi Pemanfaatan Limbah Tanaman Sawit Untuk Pakan
Dari pengkajian optimasi pemanfaatan limbah tanaman sawit untuk pakan
diperoleh data rata-rata pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi Bali yang
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata pertambahan bobot badan harian sapi bali per perlakuan.
No Perlakuan Rata-rata (kg)
Rata-rata/hari (kg)
1. A 46,68 0,667
2. B 40,87 0,584
3. C 28,80 0,411
4. D 29,76 0,425
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa pertambahan bobot badan sapi perlakuan A,
B, C, dan D masing-masing 0,667 kg/hari, 0,584 kg/hari, 0,411 kg/hari, dan 0,425
kg/hari. Pertambahan bobot badan tertinggi terdapat pada perlakuan A (0,667
kg/hari), sedangkan yang terendah pada perlakuan C (0,411 kg/hari). Namun dari
hasil uji varian (uji F) menunjukan tidak berbeda nyata antar perlakuan pada taraf
5% pada peubah penambahan bobot badan sapi.
Hasil pengkajian ini menunjukkan bahwa pemberian pelepah sawit dan solid
tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan. Pelepah sawit pada dasarnya
dapat menggantikan rumput. Menurut Suryani (2011) bahwa pelepah daun sawit
dapat menggantikan rumput sampai 80 persen tanpa mengurangi laju
pertumbuhan bobot badan sapi yang sedang tumbuh. Sapi yang diberi pakan
rumput 100% pada perlakuan A dan B hasil pertambahan bobot badan lebih tinggi
dibandingkan dengan sapi yang diberi pakan rumput 50% dan pelepah sawit 50%
pada perlakuan C dan D. Hal ini diduga kandungan serat kasar yang tinggi pada
pelepah daun sawit mempengaruhi pertambahan bobot badan. Menurut Sutardi
(1980) kandungan serat kasar yang tinggi mempengaruhi kecernaan bahan pakan.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
199
Jumlah pemberian pelepah sawit pada sapi perlu dibatasi pada tingkat yang efisien
sehingga tidak menurunkan pertambahan bobot badan.
Pada pengkajian ini solid sebagai pakan tambahan tidak berpengaruh secara
nyata terhadap pertambahan bobot badan sapi. Hal ini diduga karena kandungan
nutrisi solid yang tidak terlalu tinggi sehingga perlu diolah terlebih dahulu. Menurut
Ilham (2009) bahwa kandungan nutrisi lumpur sawit (solid) tidak terlalu tinggi dan
kaya kadar serat, sehingga diperlukan teknologi pengolahan lumpur sawit,
diantaranya melalui pembuatan pakan blok, ammoniasi dan fermentasi. Proses
fermentasi meningkatkan nilai gizi lumpur sawit antara lain: protein kasar dari
11,9% menjadi 22,7%, protein sejati dari 10,4% menjadi 17,1%, energi metabolis
(TME) dari 1593 Kkal menjadi 1717 Kkal/ kg, asam amino metionin dari 0,14%
menjadi 0,16%, lisin dari 0,31 % menjadi 0,36% serta menurunkan serat kasar
dari 29,8% menjadi 18,6%, ADF dari 44,3% menjadi 33,9% dan NDF dari 62,8%
menjadi 54 % (Sinurat,2007).
KESIMPULAN
1. Hasil pengamatan pertambahan bobot badan sapi tertinggi terdapat pada
perlakuan A (0,667 kg/hari), sedangkan yang terendah pada perlakuan C
(0,411 kg/hari).
2. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata perlakuan
pakan terhadap pertambahan bobot badan.
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2011. Provinsi Bengkulu Dalam Angka 2011.
Direktoral Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2003. Integrasi Ternak dengan Perkebunan Kelapa Sawit. Departemen Pertanian.
Laboratorium Ilmu Makanan Ternak. 2005. Departemen Peternakan, FP USU, Medan.
Laboratorium Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Pertanian UNIB, Bengkulu.
Sinurat. A.P., 2007. http: //www.sinartani.com/index.php?option= com_ content &view =article&id=2712&catid= 315:kebun&Itemid =573 diakses pada tanggal 30 Juni 2011.
Suryani, S. 2011. Uji Daun dan Pelepah Kelapa Sawit Jadi Pakan Sapi http: // www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/06/23/41269/, diakses pada tanggal 1 juli 2011.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
200
Sutardi, T., 1980. Landasan Ilmu Nutrisi Jilid I. Departemen Ilmu Makanan Ternak Fakultas Pertanian, IPB Bogor.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
201
MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (M-KRPL) SEBAGAI IMPLEMENTASI SPEKTRUM DISEMINASI MULTI CHANEL (SDMC)
Umi Pudji Astuti dan Dedi Sugandi
ABSTRAK
Kegiatan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) yang diinisiasi oleh Badan Litbang Pertanian diharapkan mampu memicu lahirnya pemikiran dan konsep bagi optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan, utamanya melalui pemanfaatan berbagai inovasi yang telah dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian dan lembaga penelitian lainnya. Ke depan diharapkan melalui inisiatif ini akan semakin berkembang upaya-upaya kreatif di tengah masyarakat dalam pemanfaatan lahan dan ruang yang ada di sekitar mereka. Model ini perlu cepat disebarluaskan kepada masyarakat di seluruh kabupaten/kota sehingga diperlukan saluran diseminasi. Hasil review menunjukkan bahwa Kerjasama instansi terkait sebagai chanel diseminasi mampu mempercepat tereplikasinya model penataan lahan pekarangan di kabupaten/kota. Chanel diseminasi yang berdampak positif adalah demplot dan display yang dapat langsung dilihat pengguna.
Kata kunci: lahan pekarangan, inovasi, chanel diseminasi
PENDAHULUAN
Berdasarkan pengamatan, perhatian petani terhadap pemanfaatan lahan
pekarangan relatif masih terbatas, sehingga pengembangan berbagai inovasi yang
terkait dengan lahan pekarangan belum banyak berkembang sebagaimana yang
diharapkan. Kementerian Pertanian melihat potensi lahan pekarangan ini sebagai
salah satu pilar yang dapat diupayakan untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga,
baik bagi rumah tangga di pedesaan maupun di perkotaan.
Kementerian Pertanian menyusun suatu konsep yang disebut dengan “Model
Kawasan Rumah Pangan Lestari” yang dibangun dari Rumah Pangan Lestari (RPL)
dengan prinsip pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan untuk
pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, serta peningkatan pendapatan
yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Badan Litbang
Pertanian, 2011).
Kegiatan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) yang diinisiasi oleh
Badan Litbang Pertanian diharapkan akan memicu lahirnya pemikiran dan konsep
bagi optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan, utamanya melalui pemanfaatan
berbagai inovasi yang telah dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian dan lembaga
penelitian lainnya. Kedepan diharapkan melalui inisiatif ini akan semakin
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
202
berkembang upaya-upaya kreatif di tengah masyarakat dalam pemanfaatan lahan
dan ruang yang ada di sekitar mereka.
Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) di Bengkulu dilaksanakan
melalui pendekatan partisipatif di 6 kabupaten dan Kota. Kegiatan dimulai pada
bulan Oktober 2011 di Kota Bengkulu sebanyak 2 unit (37 KK) yang mewakili Model
Perkotaan, dan di Kabupaten Bengkulu Tengah sebanyak 1 unit (11 KK) yang
mewakili Model Perdesaan (Astuti, 2011).
Pada tahun 2012, kegiatan M-KRPL dilaksanakan di 6 Kabupaten dan Kota
sebanyak 13 unit. Agar replikasi model berjalan cepat perlu dilakukan kerjasama
dengan instansi Pemerintah Daerah maupun swasta sebagai chenel diseminasi.
Tujuan penulisan ini untuk menggambarkan keterlibatan instansi terkait dalam
rangka memperluas diseminasi M-KRPL.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Diseminasi Inovasi
Inovasi yang disebarluaskan/didiseminasikan dalam kegiatan M-KRPL di
Bengkulu antara lain:
1. Model penataan lahan pekarangan berdasarkan administratif yaitu perdesaan
dan perkotaan masing-masing berdasarkan strata luas lahan yaitu lahan sempit
dan luas.
2. Pemilihan komoditas berdasarkan survey pasar/konsumen ditetapkan;
a. Komoditas sayuran dataran rendah (cabe, terung, kangkung, bayam, tomat,
dan sawi), disamping itu terdapat pilihan komoditas berdasarkan kesesuaian
lahan antara lain bunga kool, daun bawang, kacang panjang, dan timun.
b. Aneka buah: papaya, jeruk kalamansi, mangga Bengkulu, sirsak, dan pisang.
c. Peternakan/Perikana: budidaya ternak ayam kampung/buras, ikan lele dan
nila.
3. Teknologi pembuatan kompos, pestisida nabati, dan media tanam.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
203
Chanel Diseminasi yang dilaksanakan
Untuk mempercepat replikasi model dan inovasi introduksi dilakukan melalui
beberapa saluran seperti:
1. Display dan Demplot di setiap Unit kawasan: Display dan demplot yang
dibangun disetiap unit dan model menjadi tempat kunjungan stakeholders dan
petani yang ingin mengembangkan Rumah Pangan Lestari (RPL).
Display di kawasan kantor BPTP dan perumahan: telah dikunjungi oleh Pemda
Kota, Pemda Kabupaten Kaur, Bengkulu Utara yang masing-masing pemerintah
daerah membawa beberapa ketua kelompok tani yang akan membangun KRPL
di kabupaten/kota. Disamping itu, kunjungan di unit BPTP setiap hari selalu
dikunjungi oleh petani ataupun masyarakat swadaya.
Demplot di setiap unit di Kabupaten dan Kota: sebagai tempat belajar dan
kunjungan masyarakat yang ingin mengembangkan RPL di rumahtangganya dan
wilayahnya.
2. Petani yang telah melakukan kegiatan KRPL tahun 2011, melalui 5 orang petani
RPL yang ditunjuk sebagai pendamping kelompok baru di desanya oleh
Pemerintah Daerah (SK Bupati) akan memperluas KRPL di desa.
3. Kerjasama dengan Pemerintah Daerah:
• Badan Pemberdayaan Perempuan, Masyarakat dan Keluarga Berencana Kota:
melalui anggaran APBD II mereplikasi model Perekotaan untuk seluruh
Kelurahan yang berada di Kota Bengkulu melalui Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat (LPM) Desa. Dari LPM yang membangun RPL, diharapkan akan
memotivasi rumahtangga di sekitarnya untuk memanfaatkan lahan
pekarangannya menjadi produktif.
• Badan Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten: melalui anggaran APBD I
dan II (Pengembangan Lahan Pekarangan Terpadu) telah ditetapkan 1 desa
(50 – 75 KK) setiap kabupaten membentuk KRPL yang mereplikasi model
yang telah disusun oleh BPTP.
• PKK atau Darmawanita
• Balai Penyuluhan Pertanian di tingkat Kecamatan: melalui penyuluh yang
mendampingi kegiatan KRPL, dapat menyebarluaskan model dan inovasi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
204
kepada sesame penyuluh yang berada di wilayah kerjanya serta setiap
penyuluh akan menyampaikan kepada kelompok tani binaannya.
• Universitas Negeri Bengkulu dan Universitas Hazairin: melalui penelitian yang
dilakukan oleh mahasiswa akan mempercepat inovasi model yang dibangun
4. Sekolah
• SMK-Pertanian (SPP) negri Kelobak, Bengkulu Selatan dan SMK–Pertanian
Lebong, 31 siswa magang di kegiatan M-KRPL: setelah pulang diharapkan
mengembangkan di sekolahnya dan siswa akan menyebarkan kepada teman-
temannya di Sekolahnya.
• SMPN 10 Bengkulu: telah mengembangkan pemanfaatan lahan sekolah
produktif, dan mengembangkan menjadi muatan local sekolah.
• SMPN 2 Bengkulu akan mengembangkan menjadi pelajaran ekstrakulikuler
muatan lokal. Melalui Sekolah akan berkembang di rumah tangga setiap guru
dan orang tua murid.
• SD N Pondok Kubang: sedang dirintis melalui penataan halaman depan
sekolah.
5. Kerjasama dengan Jasaraharja: akan dikembangkan M-KRPL dengan anggaran
instansi Jasaraharja. Saat ini sedang diusulkan proposal ke pusat.
Spektrum Diseminasi
Spektrum diseminasi yang dilaksanakan melalui:
1. Penunjukan LO di setiap kabupaten dan kota
2. Sosialisasi kepada seluruh stakeholders di provinsi dan kabupaten
3. Sosialisasi di TVRI, WEB,
4. Penerbitan media informasi
5. Pelatihan petani
6. Nara sumber di Kabupaten
7. Pameran M-KRPL telah dilaksanakan 3 kali: dampaknya cukup positif dengan
indikator display BPTP dan demplot di perdesaan banyak dikunjungi masyarakat
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
205
Hasil
Diseminasi model penataan lahan pekarangan melalui siaran TV, WEB BPTP
dan pameran/display tanaman berdampak cukup baik, hal ini ditunjukkan oleh: 1)
tanggapan Walikota Bengkulu akan mengembangkan RPL model perkotaan di
seluruh kelruhanan (63 Kelurahan) melalui program Ekonomi Kerakyatan Berbasis
Pertanian Perkotaan di Kota. Dari program Ekonomi Kerakyatan Berbasis Pertanian
Perkotaan, diharapkan akan mempercepat inovasi KRPL model perkotaan di setiap
rumahtangga; 2) pemanfaatan lahan pekarangan melalui tanaman sayuran, buah-
buahan dan kompos akan diangkat menjadi muatan lokal di SMPN 10 dan SMPN 2
Kota Bengkulu. Dari program sekolah ini akan mempercepat inovasi lahan
pekarangan di setiap Rumah tangga; 3) Pemerintah Provinsi Bengkulu akan
mengembangkan KRPL melalui program “Pemanfaatan Lahan Pekarangan Terpadu”
yang direncanakan akan dilaksanakan di 3 kabupaten terpilih di Provinsi Bengkulu.
KESIMPULAN
Kerjasama instansi terkait sebagai chanel diseminasi mampu mempercepat
tereplikasinya model penataan lahan pekarangan di kabupaten/kota.
Chanel diseminasi yang berdampak positif adalah demplot dan display yang
dapat langsung dilihat pengguna.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti. P.umi, 2011. Laporan Akhir Kegiatan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, Bengkulu.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2011. Pedoman Umum Model Kawasan Kawasan Rumah Pangan Lestari. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
206
KAJIAN KELEMBAGAAN FORMAL DAN INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN INOVASI SPESIFIK LOKASI UNTUK MENDUKUNG
PEMBANGUNAN DI PROPINSI BENGKULU Wahyuni Amelia Wulandari, Afrizon, Zul Efendi dan Wilda Mikasari
ABSTRAK
Kajian kelembagaan formal dan informal dalam pengembangan inovasi spesifik lokasi untuk mendukung pembangunan pertanian di Propinsi Bengkulu dilaksanakan di Bengkulu Utara dan Kaur pada tahun 2011. Tujuan pengkajian ini untuk mengetahui peran system kelembagaan baik formal maupun informal dalam pengembangan inovasi spesifik lokasi untuk mendukung pembangunan pertanian di Propinsi Bengkulu. Secara khusus tujuannya yaitu: 1) Mengetahui sistem kelembagaan formal dalam pengembangan inovasi spesifik lokasi; 2) Mengetahui sistem kelembagaan informal dalam pengembangan inovasi spesifik lokasi; 3) Memformulasikan sistem kelembagaan formal dan informal dalam pengembangan inovasi teknologi spesifik lokasi. Prosedur kegiatan ada 3 yaitu: a) Kajian Kelembagaan Formal melalui survei dengan kuisioner dan workshop; b) Kajian Kelembagaan Informal melalui survei dan workshop; c) Formulasi sistem kelembagaan formal dan informal. Kelembagaan formal tingkat Provinsi adalah BPTP, Diperta, Bakorluh, BPSB, BPTPH, PT. Petani, PT. Pupuk Sriwijaya, PT. Petrokimia Gresik yang berperan sesuai tupoksi masing masing. Di Kabupaten Bengkulu Utara yang berperan adalah Dispertanak dan BKP3. Sedangkan di Kabupaten Kaur adalah Dispertanak dan Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BKP5K). Untuk tingkat kecamatan di Bengkulu Utara adalah Balai Penyuluhan Pertanian yang berjumlah 12 buah yang membina 14 kecamatan. Sedangkan tingkat kecamatan di Kabupaten Kaur yaitu BPP yang hanya berjumlah 3 BPP yang membina 15 kecamatan sehingga tiap 5 kecamatan dibina oleh 1 BPP. Kelembagaan informal tingkat Provinsi yaitu KTNA dan swasta sebagai distributor pestisida. Untuk Bengkulu Utara dan Kaur adalah Koperasi dan KTNA. Untuk tingkat kecamatan/desa di Kabupaten Kaur adalah Gapoktan dan Kelompok Tani, serta KTNA. Sedangkan di Kabupaten Bengkulu Utara selain tersebut diatas juga ada subak atau Kelompok Pemakai dan Pengguna Air (KP2A) yang berjumlah 4 kelompok. Koordinasi yang intensif antara lembaga formal dan informal di tingkat propinsi dan kabupaten serta kecamatan telah mampu mengembangkan inovasi teknologi spesifik lokasi dalam rangka meningkatkan produktivitas padi di daerah masing masing.
Kata Kunci: kelembagaan formal, kelembagaan informal, inovasi, padi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan pertanian adalah suatu rangkaian kegiatan untuk
meningkatkan pendapatan petani, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan
kemiskinan, memantapkan ketahanan pangan dan mendorong pertumbuhan
ekonomi wilayah (Badan Litbang Pertanian, 2004a). Inovasi teknologi pertanian
merupakan salah satu cara mempercepat pembangunan pertanian. Oleh karena itu
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
207
peran penelitian dan pengembangan (Litbang) pertanian menjadi penting artinya
sebagai salah satu pendukung pembangunan pertanian.
Guna mewujudkan pembangunan pertanian yang maju, efisien dan
berkelanjutan, diperlukan dukungan teknologi pertanian yang telah teruji sesuai
dengan kebutuhan pengguna dan kemampuan wilayah. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian telah banyak melakukan kegiatan penelitian yang
hasilnya sebagian besar telah diterapkan oleh pengguna secara luas. Namun
disadari, masih banyak informasi teknologi hasil penelitian yang belum diketahui
oleh para pengguna dan pembuat kebijakan. Hal ini terlihat dari cukup tingginya
senjang hasil yang dicapai oleh pengguna dengan hasil yang dicapai oleh lembaga
penelitian, bahkan tingkat teknologi yang diterapkan oleh pengguna masih relatif
rendah. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa informasi teknologi dari sumber
inovasi ke pengguna belum berjalan lancar.
Dalam pembangunan pertanian dibutuhkan kerjasama antar lembaga yang
sudah terbentuk selama ini baik kelembagaan formal maupun kelembagaan
informal. Kelembagaan informal di tingkat petani yang ada saat ini diantaranya
adalah gapoktan (gabungan kelompok tani), kelompok tani, kelompencapir
(kelompok pendengar, pembaca, dan pirsawan) cenderung hanya diposisikan
sebagai alat untuk mengimplementasikan proyek belaka, belum sebagai upaya
untuk pemberdayaan dalam pengembangan inovasi teknologi spesifik lokasi.
Pengembangan kelembagaan merupakan salah satu komponen pokok dalam
keseluruhan rancangan Revitalisasi Pertanian. Selama ini pendekatan kelembagaan
formal dan informal telah menjadi komponen pokok dalam pembangunan pertanian
di perdesaan terutama dalam pengembangan inovasi spesifik lokasi. Mengamati
perubahan yang terjadi dan pentingnya peranan lembaga formal informal, maka
penataan ataupun penumbuhan kelembagaan pertanian perlu dilakukan. Upaya
penataan di antaranya dapat dilakukan dengan memperkuat peran kelembagaan
yang ada dari pusat sampai daerah.
Tujuan : 1) Mengetahui sistem kelembagaan formal dalam pengembangan inovasi
spesifik lokasi; 2) Mengetahui sistem kelembagaan informal dalam pengembangan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
208
inovasi spesifik lokasi; 3) Memformulasikan sistem kelembagaan formal dan
informal dalam pengembangan inovasi teknologi spesifik lokasi.
METODOLOGI
Metodologi
Kajian dilaksanakan dari bulan Maret sampai Nopember 2011 dengan
menghimpun data sekunder dan primer. Data secunder dihimpun dari berbagai
sumber antara lain Biro Pusat Statistik, Dinas Pertanian dll. Data primer diperoleh
dari wawancara langsung dengan staekholder melalui Fokus grup diskusi (FGD) di
daerah yang dijadikan sampel.
a. Kajian Kelembagaan Formal Dalam Pengembangan Inovasi Spesifik Lokasi
Survei dilakukan pada seluruh kelembagaan formal di tingkat provinsi,
kabupaten sampel serta BPP yang mewakili melalui FGD kepada pemimpin
lembaga. Dalam survei diinventarisir kebijakan pembangunan pertanian, jumlah
dan bentuk kelembagaan formal yang berhubungan dengan pengembangan inovasi
padi, mandat dan ruang lingkup kegiatan, jenis dan sumber inovasi yang tersedia,
bentuk dan cara pengembangan inovasi, sasaran pengguna inovasi, dan
permasalahan dalam pengembangan inovasi.
b. Kajian Kelembagaan Informal Dalam Pengembangan Inovasi Spesifik Lokasi
Survei di kelompok tani dan gapoktan diambil 30% dari total kelompok tani
dan gapoktan di tiap kecamatan. FGD bersama ketua, sekretaris dan bendahara
pada kelompok tani dan gapoktan. Survei menginventarisir jumlah dan bentuk
kelembagaan informal yang berhubungan dengan pengembangan inovasi padi,
ruang lingkup kegiatan, jenis dan sumber inovasi yang tersedia, bentuk dan cara
pengembangan inovasi, dan permasalahan dalam pengembangan inovasi.
c. Formulasi sistem kelembagaan formal dan informal dalam pengembangan inovasi spesifik lokasi
Dari sub kegiatan satu dan dua di atas, teridentifikasi sistem eksisting
kelembagaan formal dan informal dalam pengembangan inovasi teknologi spesifik
lokasi. Kondisi eksisting tersebut akan ditelaah bersama pelaku kelembagaan formal
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
209
dan informal lokasi pengkajian diikuti oleh pengambil kebijakan melalui kegiatan
workshop/konsinyasi. Dari kegiatan workshop ini dapat diformulasikan sistem
kelembagaan formal dan informal sesuai kebutuhan agar dapat mendukung
pembangunan pertanian di daerah.
Analisis Data
Data sekunder dan primer yang didapatkan di analisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif.
Mekanisme Difusi
Tahap pengembangan
teknologi
Inovasi teknologi
Adaptasi Teknologi
Pemanfaatan teknologi
Diseminasi Adopsi
Intensitas penelitian inovasi teknologi
Proses adopsi
teknologi
Penyedia/ Pelaku
Balit BPTP Direktorat
teknis/Diperta prov/kab
Unit kerja penyuluhan
Petani
Gambar 1. Tahap pengembangan inovasi teknologi untuk diadopsi oleh petani.
Menurut Sumarno (2008), pengembangan inovasi sampai diadopsi oleh
petani membutuhkan lima tahap kegiatan, yaitu penyediaan inovasi teknologi,
adaptasi teknologi, pemanfaatan (pembuktian) teknologi, diseminasi teknologi dan
adopsi teknologi (Gambar 1).
Dari tahapan ini, mekanisme difusi inovasi teknologi antar kelembagaan
dapat dijelaskan sbb: komponen inovasi teknologi yang dihasilkan oleh Balit,
diujiadaptasikan pada lingkungan spesifik oleh BPTP untuk menghasilkan rakitan
teknologi spesifik lokasi. Rakitan teknologi ini dimanfaatkan oleh Diperta, apabila
memenuhi persyaratan adopsi maka didesiminasikan oleh unit kerja penyuluh agar
diadopsi oleh petani. Apabila rakitan teknologi tersebut tidak memenuhi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
210
persyaratan adopsi, rakitan teknologi dikembalikan kepada BPTP untuk
disempurnakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelembagaan Formal dalam Pengembangan Inovasi teknologi
A. Tingkat Provinsi
Kelembagaan formal tingkat provinsi serta tupoksi dan outputnya seperti
tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Tupoksi dan Output Kelembagaan Formal Tingkat Propinsi Bengkulu.
No Nama Kelembagaan Formal di Provinsi
Tupoksi Output
1. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Menetetapkan peneliti pendamping SL PTT, merekomendasikan : VU yang sesuai di tiap Kab/kota, pemupukan, pola tanam
Pendampingan SL PTT Padi melalui demfarm, display varietas, narasumber PL I,II,III
2. Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Mengidentifikasi : ketersediaan lahan sawah di Kab/kota, VUB, kebutuhan pupuk, mengawasi peredaran benih dan pupuk, menggerakkan POPT
Mendistribusikan : bantuan langsung benih unggul (BLBU), pupuk BLP), monev, Pelatihan PL SL PTT Padi
3. Badan Koordinasi Penyuluhan
Memobilisasi : penyuluh provinsi untuk menerapkan teknologi SL PTT, penyusunan RDKK, memonitor kegiatan penyuluhan
Pelatihan dan penyuluhan kegiatan SL PTT kepada penyuluh, dan petani di 10 Kab/Kota
4. Badan Pengawasan dan Sertifikasi Benih Pertanian dan Hortikultura
Melakukan pengawasan benih beredar, membantu mensertifikasi benih petani dan lembaga
Teknis penilaian kultivar, sertifikasi dan pelabelan benih, pengawasan mutu benih, koordinasi teknis, pertemuan produsen dan pedagang benih
5. PT. Pertani Mendistribusikan benih unggul padi, pupuk dan pestisida
Mensuplai benih unggul, pupuk dan pestisida
6. PT. Pupuk Sriwijaya Mendistribusikan pupuk dan pestisida
Mensuplai pupuk subsidi dan pestisida di Bengkulu
7. PT. Petrokimia Gresik
Mendistribusikan pupuk dan pestisida
Mensuplai pupuk subsidi dan pestisida di Bengkulu
8 PT. Sang Hyang Sri Mendistribusikan benih unggul padi, pupuk dan pestisida
Mensuplai benih unggul, pupuk dan pestisida
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
211
B. Tingkat Kabupaten
Kabupaten Bengkulu Utara
Dinas Pertanian dan Peternakan
Dinas Pertanian dan Peternakan sebagai lembaga formal di kabupaten dalam
pelaksanaan pekerjaannya bertanggung jawab kepada Bupati, dalam
pengembangan inovasi spesifik lokasi untuk peningkatan produksi padi mempunyai
tupoksi: 1) Mengidentifikasi ketersediaan lahan sawah, 2) mengidentifikasi
kebutuhan VU, 3) mengidentifikasi kebutuhan pupuk, 4) mengawasi peredaran
benih dan pupuk, 5) menggerakkan POPT. Untuk menjabarkan tupoksi tersebut
output yang dilakukan adalah: pelaksanan SL PTT padi, Pelatihan PL I, II, III,
pemberian bantuan benih padi.
Tujuan utama seperti 1) Meningkatkan produktivitas mutu dan daya saing, 2)
meningkatkan ketahanan pangan masyarakat, 3) meningkatkan sumber daya
pertanian. Beberapa program pendukung peningkatan produksi padi seperti
membantu penyediaan alat-alat mesin pertanian dan penyediaan sarana benih
unggul dan penyebaran informasi pertanian (IPTEK) dengan mitra kerja seperti
PT.Pertani, PT.Sang Hyang Seri, PT.Agrindo, BPSB dan BPTP.
Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan (BKP3)
Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan (BKP3) di Kabupaten
Bengkulu Utara memiliki aparatur sebanyak 179 orang terdiri dari 79 penyuluh
PNS, 76 penyuluh THL dan TKS 24 orang. Jumlah petugas penyuluh 155 orang
dengan jumlah desa binaan 183 desa. Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana
Penyuluhan Kabupaten Bengkulu Utara sebagai lembaga ketahanan pangan dan
pelasana penyuluhan (pertanian, perikanan dan kehutanan) memiliki 14 Balai
Penyuluhan Pertanian (BPP) yang berada di 14 kecamatan se-Kabupaten Bengkulu
Utara dan 1 (satu) Lumbung Pangan Modern yang terletak di Desa Kuro Tidur
Kecamatan Arga Makmur. Selain kelembagaan penyuluhan pertanian, BKPPP
melalui penyuluh pertanian yang tersebar di 14 kecamatan juga melakukan
penumbuhan, pengembangan dan pembinaan terhadap kelembagaan petani
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
212
nelayan di Kabupaten Bengkulu Utara. Saat ini terdapat 1094 Kelompok Tani, 176
Gapoktan tersebar di 14 kecamatan dalam Kabupaten Bengkulu Utara.
Kabupaten Kaur
Dinas Pertanian dan Peternakan
Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kaur berdiri pada tahun 2003
seiring dengan pemekaran pembentukan Kabupaten Kaur. Tujuan Utama organisasi
seperti peningkatan produksi pertanian, sarana prasarana serta pendapatan petani.
Program kegiatan yang telah dilakukan seperti membantu pendistribusian alsintan
dari Dinas Pertanian Propinsi serta bantuan sarana produksi berupa benih dan
pupuk. Mitra kerja Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kaur seperti BPTP,
BPTPH, BPSB, PT.Pertani, PT.Sang Hyang Seri dan PT.PUSRI
Badan Ketahanan Pangan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BKP5K)
Badan Ketahanan Pangan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan (BKP5K) dalam pengembangan inovasi spesifik lokasi untuk peningkatan
produksi padi mempunyai tupoksi: 1) Meningkatkan pengetahuan, keterampilan
dan kemampuan petani dan penyuluh dalam pengendalian HPT, 2) pengolahan
hasil padi, dan 3) pemupukan berimbang. Output yang akan diperoleh adalah
melakukan pelatihan bagi petani dan penyuluh pada komoditas padi. BKP5K dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya menggunakan BPP sebagai instansi/sarana
kegiatan Penyuluhan Pertanian. Saat ini Kabupaten Kaur memiliki 15 kecamatan
dan 3 buah Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang membina 3 kelurahan dan 153
desa.
Sistem Kelembagaan Informal dalam Pengembangan Inovasi Spesifik Lokasi
Kelompok kelembagaan informal yang melakukan inovasi pertanian pada
komoditas padi di tingkat Provinsi Bengkulu ada yaitu KTNA provinsi dan swasta
sebagai distributor pestisida. Kelompok kelembagaan informal yang melakukan
inovasi pertanian pada komoditas padi di tingkat Kabupaten Bengkulu Utara dan
Kaur adalah Koperasi dan KTNA Kabupaten. Kelompok kelembagaan informal yang
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
213
melakukan inovasi pertanian pada komoditas padi di tingkat kecamatan/desa di
Kabupaten Kaur adalah Gapoktan dan Kelompok Tani, serta KTNA Kecamatan,
sedangkan di Kabupaten Bengkulu Utara selain tersebut diatas juga ada subak atau
Kelompok Pemakai dan Pengguna Air (KP2A) yang berjumlah 4 subak.
Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA)
Kelompok tani yang menjadi anggota KTNA Provinsi Bengkulu berjumlah
4.425 kelompok tani. Anggota KTNA sebagian ada yang menjadi pengurus koperasi
(KUD/Koptan). KTNA yang menjadi pengurus koperasi tersebut sebagian ada belum
berfungsi sebagaimana mestinya dan KUD/Koptan itu sendiri belum maksimal
dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam menyalurkan benih padi dan
saprotan sehingga masih perlu pembinaan secara intensif dan koordinasi dengan
pihak terkait terutama kelembagaan formal untuk memfungsikan kembali lembaga
informal tersebut.
Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)
Di tingkat kelembagaan informal telah dibentuk beberapa lembaga baru,
misalnya Pos Penyuluhan Desa dan gapoktan. Kementerian Pertanian menargetkan
membentuk satu gapoktan di setiap desa khususnya yang berbasis pertanian. Ini
merupakan satu lembaga andalan baru, meskipun semenjak awal 1990-an
gapoktan telah dikenal. Saat ini gapoktan diberi pemaknaan baru, termasuk bentuk
dan peran yang baru. Gapoktan menjadi lembaga gerbang (gateway institution)
yang menjadi penghubung petani satu desa dengan lembaga-lembaga lain di
luarnya. Gapoktan diharapkan berperan untuk fungsi-fungsi pemenuhan
permodalan pertanian, pemenuhan sarana produksi, pemsaran produk pertanian,
dan termasuk menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan petani (Syahyuti,
2004).
Jumlah Gapoktan di Kabupaten Kaur yang yaitu sebanyak 56 buah,
sedangkan di Kabupaten Bengkulu Utara berjumlah 176 Gapoktan. Kelembagaan
gapoktan sebagian besar terbentuk karena ada program pemerintah seperti BLM
PUAP.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
214
Kelompok Tani
Jumlah masyarakat tani yang menjadi anggota kelompok tani baru mencapai
10.566 orang dari jumlah penduduk 110.322 jiwa atau 9,57% di kabupaten Kaur.
Jumlah kelompok Tani dalam wilayah Kabupaten Kaur sebanyak 441 kelompok tani,
yang terdiri dari 384 kelompok tani pemula (87,03%) 56 kelompok tani kelas lanjut
(12,7%), 28 kelompok wanita kelas pemula (6,3%) dan 1 kelompok pemuda tani
(0,2%). Pada tahun mendatang akan ditingkatkan kemampuannya berdasarkan
pada lima jurus kemampuan kelompok tani. Di Kabupaten Bengkulu Utara jumlah
kelompok tani saat ini terdapat 1.094 Kelompok Tani, yang tersebar di 14
kecamatan di Kabupaten Bengkulu Utara.
Tingkat pendidikan dan keterampilan serta pengetahuan yang dimiliki para
petani pada umumnya masih rendah (rata-rata SD dan SLTP). Hal ini tentu
menghambat proses alih teknologi, sehingga memerlukan pembinaan yang lebih
intensif dan kesinambungan melalui berbagai metode penyuluhan. Sehubungan
dengan sasaran produksi pertanian yang harus meningkat maka peranan petani
selaku pelaku utama usaha tani sangat menentukan terhadap tujuan tersebut. Oleh
karena itu petani-nelayan dapat mengelola usahataninya secara baik, maka para
petani nelayan tentu harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi
tepat guna mengembangkan dan memecahkan masalah yang dihadapi.
Subak (KP2A)
Subak di Provinsi Bengkulu berada di kabupaten Bengkulu Utara yang
berjumlah 4 kelompok. Sejarah subak ini di Bengkulu berawal dari transmigrasi
penduduk Bali ke Bengkulu pada tahun 1976, saat Gunung Agung di Bali meletus.
Dari Bali diberangkatkan 3 desa. Pembentukan subak diketahui oleh Kepala Desa
setempat dan disyahkan oleh BIPP (sekarang BKP3). Subak ini terbentuk oleh tokoh
masyarakat yang beranggotakan warga etnis Bali, Jawa, dan penduduk lokal
Bengkulu Utara. Prestasi dari lembaga informal subak ini adalah pada tahun 1990
juara I tingkat Nasional kelompok tani. Prestasi yang diperoleh adalah dalam
penanggulangan hama babi, pencetakan lahan sawah baru, membuat saluran
irigasi swadaya. Bantuan dari Pemda Bengkulu Utara dan Pemda Provinsi Bengkulu,
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
215
dan BPTP adalah handtraktor, mesin pengolah kompos, sapi Bali, pupuk bersubsidi,
Lokasi LL dan SL-PTT, benih padi Ciherang, Ciliwung dan Inpari 10. Pertemuan
kelompok berjalan dengan rutin tiap bulan. Hasil dari subak ini adalah sebagai
penangkar padi bekerjasama dengan PT. Pertani.
Berdasarkan uraian diatas maka sistem kelembagaan informal di tingkat
propinsi, kabupaten hingga kecamatan dalam pengembangan inovasi spesifik
lokasi untuk peningkatan produksi padi disajikan pada Gambar 3 di bawah ini.
Gambar 2. Sistem Kelembagaan Informal dalam Pengembangan Inovasi Spesifik Lokasi.
Berdasarkan tupoksi dan output dari kelembagaan formal dan informal dalam
pengembangan inovasi spesifik lokasi untuk peningkatan produksi padi maka
dibuatlah formulasi sistem kelembagaan formal dan informal sebagai berikut:
Gapoktan
Kelompok
Tani/KWT/Subak
KTNA
Kelembagaan Formal
BPTP, Dinas Pertanian Provinsi, BPSB, Bakorluh, Dinas Pertanian Kabupaten, Bapeluh, BPP, PT Pusri, PT. Pertani, PT Petro, PT. Sang Hyang Sri
Kelembagaan Informal
KTNA, Gapoktan, Kelompok Tani/Subak, Swasta (distributor saprotan)
Memberikan
Bimbingan teknis berupa: pelatihan informasi IPTEK, bantuan saprotan, bantuan pembuatan dan perbaikan saluran irigasi, plot percontohan VUB
Membutuhkan
Bimbingan teknis berupa: pelatihan informasi IPTEK, bantuan saprotan, bantuan pembuatan dan perbaikan saluran irigasi, plot percontohan VUB
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, 2011
216
KESIMPULAN
1. Sistem kelembagaan formal di Propinsi Bengkulu telah mendukung
pengembangan inovasi spesifik lokasi khususnya dalam peningkatan
produktivitas padi.
2. Sistem kelembagaan informal di Propinsi Bengkulu telah mengacu pada Rencana
Usaha Bersama kelompok dalam pengembangan inovasi spesifik lokasi dan
peningkatan produksi padi.
3. Koordinasi yang intensif antara lembaga formal dan informal di Propinsi
Bengkulu telah mampu mengembangan inovasi teknologi spesifik lokasi dalam
rangka meningkatkan produktivitas padi.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 2004a. Prosiding Lokakarya Sinkronisasi Program Hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Badan Litbang Pertanian. 2004b. Rancangan Dasar Prima Tani (Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian). Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Mangkuprawira sjafri, 2008. SDM dan Revitalisasi Kelembagaan Pertanian. Dalam website
Sumarno. 2008. Memfasilitasi petni agar responsif terhadap inovasi teknologi. Prosiding Seminar Pemberdayaan Petani melalui Informasi dan Teknologi. Kerjasama BPTP Jatim, Fak. Pertanian UB, Bappeda dan Diperta Prop. Jatim. Mojokerto. 1-15.
Syahyuti. 2004. Model kelembagaan penunjang pengembangan pertanian di lahan lebak. Whorshop Nasional Pengembangan Lahan Rawa Lebak. Banjarbaru 11-12 Oktoebr 2004. Balitra. Kalsel.