KEHIDUPAN PRIYAYI DAN WONG CILIK MASYARAKAT JAWA
DALAM ROMAN GADIS PANTAI
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
SUATU KAJIAN SOSIOLOGIS
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh :
Teguh Hartono
NIM : 004114052
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2008
iv
MOTTO
Apa yang ada di hadapan kita dan apa yang ada di belakang
kita, hanyalah hal-hal kecil bila dibandingkan dengan apa yang
ada di dalam diri kita
(Oliver Wendell Holmes)
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk :
Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberiku rahmat kasih-Nya.
Bapak dan Ibu tercinta, Djarot Susilo dan Agnes Sri Rejeki.
Adik-adikku tersayang, Nunik Wahyuningsih Susilowati dan Ririn Prihantini
Kartikasari
Francisca Dyah Kartikasari, S. Pd yang selalu menjadi semangatku.
Sahabat-sahabat dan semua orang yang kukasihi.
vi
Pernyataan Keaslian Karya
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, Agustus 2008
Penulis
Teguh Hartono
vii
ABSTRAK
Hartono, Teguh. 2008. Kehidupan Priyayi dan Wong Cilik Masyarakat Jawadalam Roman Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer : SuatuKajian Sosiologis. Skripsi S1. Yogyakarta : Sastra Indonesia,Universitas Sanata Dharma
Penelitian ini mengkaji kehidupan priyayi dan wong cilik dan adanyakontradiksi negatif praktik feodalisme Jawa. Perbedaan kehidupan sosialmasyarakat yang hidup di kampung nelayan dengan pembesar karesidenan, penuhdengan ketidakadilan kekuasaan priyayi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra yang berisikajian tentang kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam penelitian ini dianalisispula unsur-unsur intrinsik karya sastra, khususnya analisis alur, tokoh, dan latar.
Metode dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Metodeini dilakukan dengan mendeskripsikan fakta-fakta kemudian menganalisisnya.Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah pengamatan dan pencatatan.Setelah membaca roman Gadis Pantai dan menemukan unsur-unsur intrinsiknyayaitu alur, tokoh, dan latar kemudian dianalisis nilai-nilai sosial kehidupanmasyarakat Jawa khususnya kehidupan masyarakat di kampung nelayan dankehidupan kaum priyayi.
Dari hasil peneltian ini dapat disimpulkan bahwa pada kenyataannyakaum priyayi selalu berusaha menciptakan jarak dengan orang-orang yang ada disekelilingnya, terutama terhadap rakyat jelata atau yang biasa disebut denganistilah wong cilik. Bahkan kaum priyayi juga sering menggunakan kekuasaan dankekayaan yang dimilikinya untuk memperoleh segala sesuatu yang diinginkannya.Rakyat jelata atau wong cilik harus tunduk dan patuh terhadap priyayi. Hubungansosial di kalangan priyayi sangat terikat pada tatacara dan bersopan santun.Pergaulan pun sangat dibatasi sehingga menimbulkan kesenjangan sosial yangmencolok. Hal ini berbeda sekali dengan kehidupan masyarakat di desa atau didaerah pesisir pantai yang masih memegang erat tradisi gotong royong.
viii
ABSTRACT
Hartono, Teguh.2008. The life of Priyayis and Wong Cilik in Javanese society in theRomance of Promoedya Ananta Toer’sGadis Pantai: a Sociologic Study.S1 Degree Thesis. Yogyakarta: Indonesian Literature, Sanata DharmaUniversity
This research examines the life of priyayis and wong cilik, the existence ofnegative contradiction of Javanese feudalism practices. The difference of social lifeof the society living in the fisherman kampong from the rulers of regency is full ofinjustice.
This research uses sociology approach containing a study about societal-sociallife. In this research, intrinsic elements are also analyzed, especially the analysis ofplot, characters, and setting.
The method in this research is analytic descriptive method. This research wasdone by describing the facts and then analyzed them. The data collecting techniquesare observation and note taking. After reading the roman Gadis Pantai and findingout the intrinsic elements, those are plot, characters, and setting, then he analyzed thesocial values of the life of Javanese society, especially the society in the fishermankampong and the life of priyayis people.
From the result of this research, it can be concluded that in fact priyayisalways try to keep distance with the people surrounding them, especially withcommon people or those who are usually called with a term wong cilik. Even priyayisalso often use the power and wealth they have to get anything they want. Commonpeople or wong cilik must always follow and obey them. Social relationship amongpriyayis is always tightly bounded by norms and politeness matters. Their relation isalso limited, so it creates the uppermost social gap. This is very different from the lifeof society in village or coastal area which still holds the tradition of mutualassistance.
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya
kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Kehidupan Priyayi dan Wong Cilik Masyarakat Jawa dalam Roman Gadis Pantai
Karya Pramoedya Ananta Toer : Suatu Tinjauan Sosiologis dengan baik. Skripsi ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra pada
program studi Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan tentunya tidak lepas
dari bantuan, dukungan, dan bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan terima kasih kepada :
1. Dra. F. Tjandrasih Adji, M. Hum., selaku dosen pembimbing yang dengan sabar
dan teliti memberikan saran, kritik, dan nasihat kepada penulis selama menyusun
skripsi.
2. Drs. B. Rahmanto, M. Hum., selaku Kaprodi Sastra Indonesia dan juga dosen
pembimbing yang senantiasa memberi dorongan dan nasehat kepada penulis
selama menyusun skripsi.
3. Para dosen Sastra Indonesia dan karyawan sekretariat Sastra Indonesia yang
membantu penulis memperlancar urusan perkuliahan.
4. Bapak, Djarot Susilo dan Ibu, Agnes Sri Rejeki, serta adik-adikku Nunik
Wahyuningsih Susilowati dan Ririn Prihantini Kartikasari yang selalu memberi
semangat, dukungan, nasihat, dan cinta kasih kepada penulis selama ini.
v
5. Francisca Dyah Kartikasari, S. Pd atas cinta, perhatian, dukungan, dan doa kepada
penulis.
6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
memberikan bantuan dan semangat kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, penulis bersedia menerima kritik dan saran dengan senang hati untuk
penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.
Yogyakarta, Agustus 2008
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN...................................................................... iii
MOTTO ....................................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN.................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................................ vi
ABSTRAK................................................................................................... vii
ABSTRACT ................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR .................................................................................. ix
DAFTAR ISI ................................................................................................ xi
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................. 2
1.3 Tujuan Penelitian................................................................ 3
1.4 Manfaat Penelitian.............................................................. 3
1.5 Tinjauan Pustaka ............................................................... 3
1.6 Landasan Teori ................................................................... 5
1.6.1 Teori Strukturalisme ........................................................... 5
1.6.1.1 Tokoh ................................................................................. 6
1.6.1.2 Alur .................................................................................... 7
1.6.1.3 Latar................................................................................... 8
xii
1.6.2 Sosiologi Sastra .................................................................. 9
1.6.3 Kehidupan Sosial Masyarakat Jawa .................................... 10
1.7 Metode Penelitian............................................................... 12
1.7.1 Pendekatan ......................................................................... 12
1.7.2 Metode Deskriptif Analisis ................................................. 13
1.7.3 Teknik Penelitian................................................................ 13
1.7.4 Sumber Data....................................................................... 14
1.8 Sistematika Penyajian......................................................... 14
BAB II. ANALISIS STRUKTURAL ROMAN GADIS PANTAI ................. 14
2.1 Analisis Alur Roman Gadis Pantai ..................................... 16
2.2 Analisis Tokoh Roman Gadis Pantai .................................. 28
2.2.1 Tokoh Gadis Pantai............................................................ 29
2.2.2 Tokoh Bendoro................................................................... 33
2.2.3 Tokoh Bapak ...................................................................... 35
2.2.4 Tokoh Emak ....................................................................... 36
2.2.5 Tokoh Pelayan Wanita Tua................................................. 37
2.2.6 Tokoh Mardinah ................................................................. 38
2.3 Analisis Latar Roman Gadis Pantai ................................... 39
2.3.1 Latar Tempat Roman Gadis Pantai..................................... 40
2.3.2 Latar Waktu Roman Gadis Pantai ....................................... 41
2.3.3 Latar Sosial Roman Gadis Pantai ........................................ 42
BAB III. KEHIDUPAN PRIYAYI DAN WONG CILIK DALAM ROMAN
GADIS PANTAI ............................................................................. 45
xiii
3.1 Kehidupan Priyayi.............................................................. 45
3.2 Kehidupan Wong Cilik........................................................ 52
BAB IV. PENUTUP .................................................................................... 57
4.1 Kesimpulan ........................................................................ 57
4.2 Saran .................................................................................. 62
LAMPIRAN...................................................................................................... 63
SINOPSIS......................................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 67
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra atau karya sastra merupakan karya seni yang mempergunakan
bahasa sebagai mediumnya (Pradopo, 2003:121). Bahan sastra adalah bahasa yang
sudah berarti. Dalam karya sastra, arti bahasa ditentukan atau disesuaikan dengan
konvensi sastra.
Karya sastra, selain harus bisa dinikmati pembaca, juga harus bisa
mendidik sehingga orang tertarik untuk membaca atau menikmatinya. Pembaca
bisa menemukan sesuatu yang berguna untuk kehidupannya dari karya sastra itu.
Karya sastra tak lepas dari pengalaman hidup manusia. Karya sastra juga
dipengaruhi oleh keadaan atau kehidupan masyarakat.
Karya sastra diklasifikasikan ke dalam berbagai jenis atau genre. Hartoko
dan Rahmanto (via Wiyatmi, 2006:27) mengemukakan bahwa ada tiga jenis karya
sastra, yaitu puisi, drama, dan naratif. Karya sastra naratif meliputi novel, roman,
cerita pendek, dan novelet.
Kehidupan dalam sebuah novel atau roman pada dasarnya merupakan
sikap atau pandangan masyarakat terhadap realita kehidupan sosial. Latar
belakang sosial budaya bisa mempengaruhi pengarang dalam memandang
kehidupan tersebut.
Dalam penelitian ini dipilih roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta
Toer karena roman itu mempunyai kisah kehidupan yang menarik dan tidak jauh
2
dari realita. Berdasarkan jenisnya, roman Gadis Pantai adalah sastra jenis naratif.
Sastra naratif artinya teks-teks di dalamnya tidak bersifat dialog dan isinya
merupakan kisah sejarah atau sebuah peristiwa ( Wiyatmi, 2006:28).
Dari tokoh-tokoh yang terdapat dalam roman Gadis Pantai, dapat
diketahui tentang kehidupan sosial masyarakat Jawa yang hidup di kampung
nelayan dan juga seorang pembesar karesidenan. Roman Gadis Pantai merupakan
karya sastra yang berlatar belakang kebudayaan Jawa dengan adat istiadatnya.
Roman Gadis Pantai juga mengandung nilai-nilai budaya Jawa dan adanya
kontradiksi negatif praktik feodalisme Jawa.
Dalam penelitian ini dianalisis pula unsur-unsur intrinsik karya sastra.
Unsur intrinsik yaitu unsur pembangun karya sastra. Penelitian ini
mengkhususkan pada analisis alur, tokoh, dan latar. Untuk memahami karya sastra
baik novel maupun roman, analisis struktural mengenai alur, tokoh, dan latar
membantu memberikan data mengenai roman Gadis Pantai khususnya tentang
nilai-nilai sosial kehidupan masyarakat Jawa. Dalam hal ini berkaitan dengan
kajian sosiologis yaitu kajian tentang kehidupan sosial masyarakat Jawa.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana analisis strukural yaitu mengenai alur, tokoh, dan latar dalam
roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer ?
1.2.2 Bagaimana kehidupan masyarakat Jawa, khususnya priyayi dan wong
cilik dalam roman Gadis Pantai ?
3
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Mendeskripsikan analisis sturuktural mengenai alur, tokoh, dan latar
roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer.
1.3.2 Mendeskripsikan kehidupan masyarakat Jawa, khususnya priyayi dan
wong cilik dalam roman Gadis Pantai.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
1.4.1 Memberikan informasi kepada pembaca mengenai isi dari roman Gadis
Pantai karya Pramoedya Ananta Toer.
1.4.2 Memberikan informasi kepada pembaca mengenai kehidupan priyayi dan
wong cilik di masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah.
1.5. Tinjauan Pustaka
Roman Gadis Pantaikarya Pramoedya Ananta Toer ini merupakan roman
perjuangan sekaligus roman sosial-kritis di mana terdapat pembelaan terhadap
rasa keadilan. Hal ini dikemukakan Kurniawan (2002:12) dalam skripsinya yang
berjudul “Realisme Sosialis Pramoedya Ananta Toer : Sebuah Tinjauan Filsafat
Seni.”
Pramoedya banyak menulis novel atu roman yang isinya berani
menentang kehidupan priyayi yang menganggap rendah wong cilik. Selain itu
Pramoedya juga mengungkapkan bahwa paham feodalistik masih melekat kuat
dalam kehidupan masyarakat zaman penjajahan kolonial dulu. Tekanan kekuasaan
raja-raja dan bangsawan feodal juga tekanan kekuasaan pemerintah kolonial
4
mempunyai efek terhadap kehidupan rakyat petani di Jawa (Koentjaraningrat,
1979:343)
Menurut Rahman (2003:4) dalam artikelnya yang berjudul “Seru
Membaca Gadis Pantai” di majalah On/Off berpendapat bahwa Pramoedya
melukiskan sosok Gadis Pantai sebagai seorang perempuan yang sederhana,
polos, penuh penyerahan, dan tanpa cacat. Pramoedya dalam karyanya sering
melukiskan perempuan sebagai tokoh yang kuat namun terkesan pasrah.
Koentjaraningrat (1979:337) dalam bukunya yang berjudul “Manusia dan
Kebudayaan Indonesia” mengemukakan bahwa dalam kehidupan masyarakat
Jawa, masih dibedakan antara kaum priyayi dengan wong cilik, Kedua masyarakat
tesebut tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain.Kenyataan itulah yang ditulis
oleh Pramoedya yang menggambarkan kedudukan kaum priyayi jauh di atas wong
cilik.
Teeuw (1997:214-218) dalam bukunya yang berjudul “Citra Manusia
Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta toer”, berpendapat bahwa
hubungan antara cerita dengan kenyataan diadakan dalam roman itu sendiri.
Roman Gadis Pantai ini mengisahkan nasib perempuan dari kalangan rakyak
jelata yang dihadiahi ‘untung’ oleh seorang priyayi.
Rakyat jelata atau wong cilik harus patuh terhadap priyayi. Demikian
halnya dengan pernikahan, siapa saja yang diinginkannya harus bersedia untuk
dinikahinya walaupun pada akhirnya harus rela ‘diusir’ dari kehidupan priyayi.
Gadis Pantai sebagai seorang perempuan yang menerima status priyayi karena
5
menikah dengan Bendoro, harus memikul beban kebudayaan priyayi yang
dianutnya.
1.6. Landasan Teori
1.6.1 Teori Strukturalisme
Fungsi utama karya sastra adalah untuk melukiskan, mencerminkan
kehidupan manusia, sedangkan kehidupan manusia itu sendiri selalu mengalami
perkembangan. Hubungan karya sastra dengan masyarakat memberikan pengaruh
terhadap perkembangan teori sastra selanjutnya. Teori strukturalisme dianggap
sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa manusia pada
pemahaman secara maksimal (Ratna, 2004:75-76).
Pradopo (2003:118) mengatakan bahwa strukturalisme tidak dapat
dipisahkan dengan semiotik karena karya sastra itu merupakan struktur tanda-
tanda yang bermakna. Karya sastra merupakan struktur makna atau struktur yang
bermakna. Oleh karena itulah, analisis semiotik tidak dapat dipisahkan oleh
analisis struktural (Pradopo, 2003:141).
Sebuah teks sastra terdiri atas komponen-komponen seperti tokoh, alur,
latar, judul, sudut pandang, gaya dan nada, serta tema. Komponen-komponen
tersebut merupakan unsur intrinsik karya sastra. Unsur intrinsik adalah unsur yang
membangun karya sastra dari dalam. Strukturalisme sastra memberi keluasan pada
peneliti sastra untuk menetapkan komponen-komponen mana yang akan mendapat
prioritas signifikasi.
6
Dalam penelitian ini, akan dianalisis unsur intrinsik yang diprioritaskan
pada analisis struktural mengenai alur, tokoh, dan latar. Ketiga hal itu dianalisis
untuk mengetahui nilai-nilai sosial apa saja yang terkandung dalam roman Gadis
Pantai.
1.6.1.1 Tokoh
Tokoh adalah para pelaku yang terdapat sebuah fiksi (Wiyatmi, 2006:30).
Tokoh merupakan ciptaan pengarang, tapi kadang-kadang dapat juga merupakan
gambaran dari orang-orang di kehidupan nyata.
Sesuai dengan keterlibatannya dalam cerita, tokoh dibedakan menjadi
dua yaitu tokoh utama (sentral) dan tokoh tambahan (periferal). Tokoh disebut
sebagai tokoh sentral bila memenuhi syarat, (1) paling terlibat dengan makna atau
tema, (2) paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, (3) paling banyak
memerlukan waktu penceritaan (Sayuti dalam Wiyatmi, 2006:31).
Tokoh yang memegang peran pimpinan disebut sebagai tokoh protagonis
(Sudjiman, 1988:61). Protagonis selalu menjadi tokoh sentral dalam cerita.
Protagonis dapat juga ditentukan dengan memperhatikan hubungan antartokoh.
Tokoh yang merupakan penentang atau lawan dari protagonist disebut tokoh
antagonis. Jadi, tokoh protagonist dan antagonis bisa menjadi tokoh sentral
(Sudjiman, 1988:18-19).
Berdasarkan fungsinya, tokoh dibedakan antara tokoh sentral dan tokoh
bawahan. Tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam
cerita, tetapi kehadirannya diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh
utama.
7
Sama halnya dengan manusia dalam kehidupan nyata, tokoh dalam cerita
pun hendaknya memiliki dimensi fisiologis, sosiologis, dan psikologis. Dimensi
fisiologis meliputi usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, dan lain sebagainya.
Dimensi sosiologis meliputi status sosial, pekerjaan, peranan dalam masyarakat,
agama, aktivitas sosial, dan keturunan. Dimensi psikologis meliputi mentalitas,
ukuran moral, keinginan dan perasaan pribadi, sikap dan kelakuan, juga
intelektualitasnya (Wiyatmi, 2006:30-31).
Penelitian ini memprioritaskan pada analisis tokoh sentral dan tokoh
tambahan atau bawahan dalam roman Gadis Pantai. Dengan demikian dapat
diketahui karakter masing-masing tokoh, sedangkan kehadiran tokoh bawahan
dapat menunjang tokoh sentral. Selain itu, dimensi fisiologis, sosiologis, dan
psikologis masing-masing tokoh juga akan dipaparkan dalam penelitian ini.
1.6.1.2 Alur
Alur atau plot adalah rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan
hubungan kausalitas. Alur dibagi menjadi tiga bagian yaitu awal, tengah, dan
akhir. Bagian awal berisi tentang eksposisi yang mengandung instabilitas dan
konfliks. Bagian tengah berisi klimaks yang merupakan puncak konflik. Bagian
akhir berisi tentang penyelesaian atau pemecahan masalah
(Sayuti dalam Wiyatmi, 2006:36-37).
Alur dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Berdasarkan peristiwa
yang terjadi, alur dibedakan menjadi alur kronologis atau lebih dikenal dengan
nama alur progresif, alur regresif, dan alur flashback atau sorot balik
(Wiyatmi, 2006:39).
8
Dilihat dari akhir cerita, plot dibedakan menjadi plot terbuka dan
tertutup. Plot tertutup memiliki akhir cerita yang jelas. Dilihat dari kuantitasnya,
dikenal adanya plot tunggal dan plot jamak. Plot tunggal mengandung satu
peristiwa primer, sedangkan plot jamak memiliki berbagai peristiwa primer dan
peristiwa lain
Dilihat dari kualitasnya, dibedakan antara plot rapat dan plot longgar.
Plot rapat tidak memungkinkan adanya celah untuk disisipi plot lain sedangkan
plot longgar memiliki kemungkinan disisipi adanya plot lain
(Sayuti dalam Wiyatmi, 2006:39)
Unsur alur yang penting adalah konflik dan klimaks. Konflik terdiri dari
konflik internal dan konflik eksternal. Konflik internal merupakan konflik dalam
diri seorang tokoh sedangkan konflik eksternal merupakan konflik antara satu
tokoh dengan tokoh lain.
Klimaks terjadi saat konflik menjadi sangat hebat dan jalan keluar harus
ditemukan. Jadi, dapat dikatakan bahwa alur yang berhasil adalah alur yang
mampu menggiring pembaca menelusuri cerita secara keseluruhan
(Semi, 1993:45)
Dalam penelitian ini dipaparkan mengenai kronologis cerita roman Gadis
Pantai dari awal sampai akhir dengan jenis alur berdasarkan peristiwanya. Bagian
awal memaparkan perkenalan dan terjadinya konflik. Bagian tengah memaparkan
klimaks yang merupakan puncak konflik. Bagian akhir memaparkan penyelesaian
atau pemecahan masalah (Wiyatmi, 2006:37)
9
1.6.1.3 Latar
Latar dibedakan menjadi tiga yaitu latar tempat, waktu, dan sosial. Latar
tempat berkaitan dengan geografis, misalnya di lokasi mana, desa apa, kota apa,
dan sebagainya. Latar waktu berkaitan dengan waktu, yaitu hari, jam, maupun
histories. Latar sosial berkaitan dengan kehidupan masyarakat
(Sayuti dalam Wiyatmi, 2006:40)
Latar berfungsi untuk memberi konteks cerita. Latar juga memberikan
pijakan cerita secara konkret dan jelas. Sebuah cerita terjadi dan dialami oleh
tokoh di tempat tertentu, pada suatu masa, dan di lingkungan tertentu.
Dalam penelitian ini latar atau setting tempat, waktu, dan sosial dianalisis
satu persatu. Latar tempat, waktu, dan sosial itu menjadi petunjuk untuk
menganalisis nilai-nilai sosial kehidupan masyarakat Jawa dalam roman Gadis
Pantai.
1.6.2 Sosiologi Sastra
Sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam
masyarakat juga tentang sosial dan proses sosial. Sastra, juga berhubungan dengan
manusia bahkan sastra diciptakan oleh anggota masyarakat (dalam hal ini adalah
sastrawan) untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat
(Semi, 1984:52)
Sosiologi sastra merupakan telaah sosiologis terhadap suatu karya sastra.
Wellek dan Warren (dalam Semi, 1984:53) mengatakan bahwa sosiologi sastra itu
memasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Sastra menyajikan kehidupan, dan kehidupan terdiri dari kenyataan sosial,
10
walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia
(Wellek dan Warren, 1989:109) Jadi, dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra
merupakan pendekatan terhadap sastra dengan mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan serta menyangkut tentang pengarang, karyanya, dan juga
pembacanya.
Karya sastra mengandung informasi tentang masyarakat sampai ke batas-
batas tertentu. Informasi kemasyarakatan itu kadang-kadang terasa nyata dan
hidup karena adanya jalinan hubungan antartokoh dalam cerita. Dunia dalam
roman ada kalanya adalah dunia nyata yang disamarkan lewat nama-nama orang,
tempat, peristiwa yang dikhayalkan (Hardjana, 1994:72)
Hubungan karya sastra dengan masyarakat merupakan hubungan yang
hakiki. Karya sastra menjadi pelopor pembaharuan dan memberikan pengakuan
terhadap suatu gejala kemasyarakatan (Ratna, 2004:334)
Kajian sosiologis dalam penelitian ini merupakan suatu kajian tentang
kehidupan masyarakat Jawa. Tentu saja dalam kehidupan masyarakat Jawa
mengandung nilai-nilai sosial. Namun, yang dipaparkan dalam penelitian ini
adalah nilai sosial dalam kehidupan masyarakat Jawa khususnya priyayi dan wong
cilik.
1.6.3. Kehidupan Sosial Masyarakat Jawa
Dalam kehidupannya, manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan
sekitarnya. Sebagai individu dan makhluk sosial, mereka berhubungan langsung
dengan alam. Alam, individu, dan masyarakat mempunyai keterikatan yang kuat
11
satu sama lain. Oleh karena itu, individu harus mampu menyesuaikan dan
mengendalikan diri terhadap alam, individu lain, masyarakat, dan kekuasaan di
luar dirinya.
Di dalam kenyataan hidup masyarakat Jawa, orang masih membedakan
antara priyayi yang terdiri dari pegawai negeri dan kaum terpelajar dengan orang
kebanyakan yang disebut wong cilik, seperti petani, tukang, dan pekerja kasar
lainnya, di samping keluarga kraton dan keturunan bangsawan atau bendara-
bendara (Koentjaraningrat, 1979:337)
Kedua masyarakat tersebut tidak dapat dipisahkan dan dalam batas-batas
tertentu kedua masyarakat tersebut saling membutuhkan. Priyayi merupakan
pemasok kultural dan filsafat yang menjadi pegangan bagi wong cilik. Sebaliknya,
wong cilik menjadi pemasok hasil-hasil pertanian bagi hidup priyayi.
Tekanan kekuasaan dari raja-raja dan bangsawan-bangsawan feodal dari
zaman kejayaan kerajaan-kerajaan Jawa dahulu dan juga tekanan kekuasaan dari
pemerintah kolonial telah mempunyai efek yang dalam terhadap kehidupan rakyat
petani di Jawa (Koentjaraningrat, 1979:343)
Dalam kehidupan masyarakat Jawa, sikap hormat merupakan hal yang
wajib dilakukan oleh setiap orang, baik di lingkungan wong cilik maupun priyayi
(De Jong dalam Suwondo, 1994:129) Selain umumnya mudah terkesan oleh
kebangsawanan dan keterpelajaran orang, manusia (dalam hal ini masyarakat)
Jawa pun gampang terkesan oleh kekayaan orang.
Di dalam masyarakat Jawa yang masih feodalistik, orang berketurunan
ningrat atau orang berharta akan dihormati. Masih banyak sisa-sisa feodalistik di
12
dalam masyarakat Jawa yang tetap bertahan sehingga perlu kesabaran dan
ketahanan dalam mengatasi dan memberantasnya (Hardjowirogo, 1983:54)
Penelitian ini mengkaji tentang kehidupan masyarakat Jawa khususnya
kehidupan priyayi dan wong cilik. Yang dimaksud dengan wong cilik di sini
adalah sekelompok masyarakat yang tinggal di kampung nelayan di daerah
Rembang, Jawa Tengah sedangkan yang dimaksud dengan priyayi adalah
pembesar yang tinggal di daerah setempat.
1.7. Metode Penelitian
Pada bagian ini dipaparkan mengenai pendekatan, metode, teknik
penelitian, dan sumber data dalam roman Gadis Pantai.
1.7.1 Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
sosiologis. Pendekatan sosiologis menganalisis manusia dalam masyarakat dengan
proses pemahaman dari masyarakat ke individu. Pendekatan sosiologis
menganggap karya sastra sebagai milik masyarakat (Ratna, 2004:59)
Pendekatan ini mendasarkan pada hubungan yang hakiki antara karya
sastra dengan masyarakat. Model pendekatan ini adalah adanya pemahaman
dengan harapan akan terjadi perubahan perilaku masyarakat. Setiap hasil karya
memiliki aspek-aspek sosial tertentu yang dapat dibicarakan melalui model
pemahaman sosial. Selain itu, pendekatan sosiologis juga memiliki implikasi
13
metodologis berupa pemahaman mendasar mengenai kehidupan manusia dalam
masyarakat (Ratna, 2004:60-61)
1.7.2 Metode Deskriptif Analisis
Metode dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Metode
deskriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta kemudian
menganalisisnya.
Deskripsi analisis berarti menguraikan. Namun, tidak hanya menguraikan
saja melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya.
Metode ini digunakan untuk memaparkan secara keseluruhan hasil analisis yang
telah dilakukan (Ratna, 2004:53)
1.7.3 Teknik Penelitian
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah pengamatan dan
pencatatan. Pengamatan dilakukan dengan membaca roman Gadis Pantai karya
Pramoedya Ananta Toer untuk menemukan unsur intrinsiknya, yaitu alur, tokoh,
dan latar.
Penelitian pustaka pada umumnya menggunakan kartu data untuk
mencatat keseluruhan data yang diperoleh (Ratna, 2004:39) Maka, penelitian ini
pun menggunakan kartu data untuk mencatat data.
Roman atau novel yang diteliti diidentifikasi, dianalisis, dan dicatat
dalam kartu data. Kartu data digunakan untuk mencatat keseluruhan data yang
14
ditemukan. Unsur-unsur yang telah tercatat dalam kartu data tersebut selanjutnya
dimasukkan ke dalam kartu data lain untuk dianalisis.
1.7.4 Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah data pustaka, yaitu sumber tertulis yang
memuat informasi tentang topik penelitian. Sumber data penelitian ini adalah
karya sastra yang berupa roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer
dengan identitas sebagai berikut :
Judul : Gadis Pantai
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer.
Penerbit : Lentera Dipantara.
Kota terbit : Jakarta.
Tahun terbit : 2006.
Cetakan : ke-1 Juli 2003, ke-2 Maret 2005, ke-3 Juni 2006.
Tebal buku : 270 halaman.
1.8. Sistematika Penyajian
Bab I pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metode penelitian,
dan sistematika penyajiannya dalam roman Gadis Pantai karya Pramoedya
Ananta Toer.
Bab II berisi tentang analisis struktural mengenai alur, tokoh, dan latar
dalam roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer. Bab III berisi tentang
nilai-nilai sosial kehidupan masyarakat Jawa dalam roman Gadis Pantai karya
15
Pramoedya Ananta Toer. Bab IV penutup berisi tentang kesimpulan dan saran
mengenai roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer.
14
BAB II
ANALISIS STRUKTURAL ROMAN GADIS PANTAI
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
Pada bagian ini, unsur-unsur pembentuk karya sastra yang dipakai untuk
menganalisis roman Gadis Pantai adalah alur, tokoh, dan latar. Dengan demikian
diharapkan pembaca dapat dengan mudah memahami alur, tokoh, dan latar dalam
roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer ini.
2.1 Analisis Alur Roman Gadis Pantai
Roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer ini diawali dengan
deskripsi fisik tokoh Gadis Pantai dan berbagai aktivitas yang dilakukannya di
sebuah kampung nelayan di pantai keresidenan Rembang.
(1) Empat belas tahun umurnya waktu itu. Kulit langsat. Tubuh kecil mungil.Mata agak sipit. Hidung ala kadarnya. Dan jadilah ia bunga kampungnelayan sepenggal pantai keresidenan Rembang (Toer, 2006:11).
Selanjutnya diceritakan mengenai berbagai aktivitas Gadis Pantai yang
dilakukan sehari-hari di kampung nelayan itu.
(2) Hari demi hari batinnya diisi derai ombak dan pandangnya oleh perahu-perahu yang berangkat di subuh hari pulang di siang atau sore hari,berkabuh di muara, menurunkan ikan tangkapan, dan menunggu besoksampai kantor lelang buka (Toer, 2006:11).
Cerita berikutnya mengenai awal mula kehidupan Gadis Pantai yang
dinikahkan dengan seorang pembesar di kota, digambarkan di sini ia dinikahkan
dengan sebilah keris yang menjadi simbol dari pembesar tersebut.
(3) Kemarin malam ia telah dinikahkan. Dinikahkan dengan sebilah keris.Detik itu ia tahu: kini ia bukan anak bapaknya lagi. Ia bukan anak
17
emaknya lagi. Kini ia istri sebilah keris, wakil seorang yang tak pernahdilihatnya seumur hidup (Toer, 2006:12).
Peristiwa berikutnya menceritakan tentang pemberitahuan emaknya bahwa
ia sudah menjadi istri dari orang terhormat yang sering dipanggil Bendoro atau
sebagai Bupati.
(4) “Mulai hari ini, nak,” emaknya tak sanggup meneruskan, kemudian mengubah bicaranya: “Beruntung kau menjadi istri orang alim, dua kalipernah naik haji, entah berapa kali khatam Our’an. Perempuan, nak, kalau sudah kawin jeleknya laki jeleknya kita, baiknya laki baiknya kita.Apa yang kurang baik pada dia?” (Toer, 2006:14).
Bagian ini menceritakan Gadis Pantai dan keluarganya datang ke rumah
Bendoro. Mereka disambut oleh seorang bujang Bendoro. Bendoro masih tidur
ketika mereka datang. Tak lama kemudian, Bendoro bangun dan memerintahkan
kepala kampung untuk menghadapnya.
(5) Dokar mulai memasuki halaman dengan deretan toko orang Tionghoa.Semua itu pernah dilihatnya dua tahun yang lalu, waktu dengan orang-orang sekampung datang beramai ke kota, nonton pasar malam. Ia masihingat buaya yang dipajang di atas pintu toko sepatu. Ia masih ingat tokopabrik tegel dengan bunga-bunganya yang berwarna-warni. Ia masihingat gedung-gedung besar dengan tiang-tiang yang tak dapat dipeluknya,putih, tinggi, bulat selanjutnya Gadis Pantai dan keluarganya tiba dirumah bendoro. Sewaktu semua sudah turun, mereka menggeromboldipinggir jalan, tak tahu apa yang harus diperbuat. Pagar tembok terlalutinggi untuk dapat meninjau ke dalam. Emak menyentuh tangan bapak.Seperti berkata pada diri sendiri bapak berbisik, “Mari, mari,” tapi ia tetap tidak beranjak. Akhirnya emak yang mulai mengganjur langkah.Melihat tak ada yang mengikutinya, ia terhenti menatap bapak. Dalamkegugupannya bapak meraih tangan si Gadis Pantai tak ada yang tahusiapa sebenarnya yang terpapah. Dan bergeraklah iring-iringan pengantinitu, selangkah demi selangkah. Mereka melewati rumah tingkat yangsebenarnya tak lain dari sebuah paviliun gedung utama di sebelahnya.Mereka berhenti disebuah gang antara paviliun dan gedung utama.Seorang bujang berhenti mengamati mereka dari kaki sampai kepala.“Mau apa?” tanyanya.“Bendoro ada?”“Baru beradu,” kemudian pandangannya menjaamah Gadis Pantai
18
Suasana lengang, pemandangan di atas dihitami oleh puncak pohon-pohonberingin dan deburan ombak dari kejauhan, membuat hati iringanpengantin menjadi beku. Emak membuka mulut hendak bicara, tapi takada suara keluar dari mulutnya. “Kami datang menghadap Bendoro, kami baru datang dari kampung….”(Toer, 2006:15-16).
Tetapi Bendoro masih tidur tak lama kemudian terdengar suara Bendoro.Beliau sudah bangun. Kepala kampung pun dipanggil menghadap.“Bendoro sudah bangun,” kepala kampung memperingatkan. Semua tegang menegakkan tubuh. Pendengaran tertuju pada sepasang selop yangberbunyi berat sayup terseret-seret di lantai. Bunyi kian mendekat danakhirnya nyata terdengar: buuutt. “Apa itu?” emak bertanya pada kepalakampung. Ia kenal bunyi itu tapi ia tak yakin. Ia gelengkan kepala. Di sinitak mungkin terjadi. Tidak! Itu bukan bunyi yang biasa didengarnya, bunyiyang biasa membikin ia geram pada lakinya. Terdengar bunyi selopberhenti, kemudian, “Mengapa aku tak dibangunkan? Suruh kesini kepala kampung itu!” Sunyi-senyap dalam kamar. Mata pada melotot mengawasipintu. Tak seorang mendengar nafas kepala kampung yang terengah-engah. Ia bangkit. Sekali lagi menggapai-gapai kedalam bajukebesarannya. Dikeluarkannya keris bersarung kuningan bertangkai kayusawo tua berukiran tubuh katak. Dan keris diangkatnya tinggi sampaisegaris dengan hidungnya. Seorang datang menghampiri ruangan tempattamu-tamu dari kampung nelayan masih tetap gelisah menunggu. Orangitu menilik ke dalam dan tanpa sesuatu upacara langsung menyampaikan,“Bapak kepala kampung dititahkan menghadap!”(Toer, 2006:21-22).
Setelah selesai menghadap Bendoro, kepala kampung kembali pada Gadis
Pantai dan keluarganya. Kepala kampung menghampiri Gadis Pantai dan Emak
untuk menyampaikan pesan dari Bendoro, apakah Gadis Pantai sudah mengalami
haid atau belum. Hal ini penting karena Gadis Pantai akan dinikahkan dengan
Bendoro.
(6) Bendoro menanyakan apabila Gadis Pantai sudah mengalami haid ataubelum dan kepala kampung menyampaikannya pada Gadis Pantai danemak. Waktu itu Gadis Pantai masih terlalu muda dan dengan putus asaemak memaksa Gadis Pantai untuk menjawab bahwa ia sudah haid.Kepala kampung mengawasi emak dan anak berpandangan-pandanganputus asa. Tiba-tiba dengan gesitnya emak bangkit menarik Gadis Pantaidan menyeretnya ke ujung kamar, duduk di atas sofa. Mendadak emakterperanjat dan segera berdiri empuk sekali kasur sofa itu. Dipegang-pegangnya kasur itu sebentar dan cepat ia menatap anaknya, berbisik.Gadis Pantai menyusul duduk ia pun terperanjat berdiri, meraba-raba
19
kasur, tak jadi duduk. Ia tinggal berdiri, mendengarkan bisikan emak,menggeleng sambil memandangi emak. Menggeleng lagi. Emakmengerutkan kening, menggeleng menengok ke samping menatapsuaminya. Akhirnya dengan pandangan putus asa emak berjalanmenghampiri bapak, berbisik, “Bilang saja sudah.” (Toer, 2006:24).
Selanjutnya Gadis Pantai mulai dipanggil dengan nama Mas Nganten. Ia
mulai tinggal di rumah Bendoro dan sudah saatnya ia menyesuaikan diri dengan
kehidupan di sana yang tentu saja berbeda jauh dengan kehidupan di
kampungnya.
(7) Malam itu jam dinding jauh di ruang tengah telah berbunyi dua belaskali. Sunyi senyap di sekeliling. Dan ketak-ketik itu begitu menyiksapendengarannya. Namun, ia rasai tubuhnya nikmat tenggelam dalamkasur yang begitu lunak seperti lumpur hangat. Sedang bau wangi yangmembumbung dari sekujur badannya dan pakaiannya membawapikirannya malayang-layang ke kampung halaman. Tak pernah iaimpikan di dunia ada bau begitu menyegarkan. Di kampungnya kemanapun ia pergi dan di manapun ia berada yang tercium hanya satumacam bau: amis tepian laut (Toer, 2006:30).
Cerita selanjutnya adalah pertama kali bendoro menghampiri Gadis pantai
di kamarnya setelah mengaji. Tokoh Bendoro digambarkan sebagai seorang pria
yang begitu sempurna.
(8) Nampak seorang pria bertubuh tinggi kuning langsat berwajah agak tipisdan berhidung mancung. Ia berkopiah haji dan berbaju teluk belanga darisutera putih dan bersarung bugis hitam dengan beberapa genggang putihtipis-tipis (Toer, 2006:31)
Setiap pagi Mas Nganten atau si Gadis Pantai harus ikut bersembahyang.
Dengan dibantu oleh seorang bujang wanita, ia mulai belajar bersembahyang
dalam sebuah ruangan yang disebut khalwat. Di situlah Bendoro sembahyang dan
Gadis Pantai harus mengikutinya.
(9) Dari sebuah pojok bujang itu mengeluarkan selembar mukenah putih danmengenakannya pada Gadis Pantai. “Duduk ekarang diam-diam di sini.
20
Jangan bergerak, Bendoro duduk di sana Mas Nganten harusbersembahyang dengan beliau.”“Aku tak bisa.”“Ikuti saja apa Bendoro lakukan.”“Aku tak bisa.”“Wanita utama mesti belajar–mesti bisa melegakan hati Bendoro, ingat-ingatlah itu.”Gadis Pantai mulai merasa kesepian, ini pertama kalinya ia masuk kedalam khalawat ia merasakan suasana yang sangat berbedadengan kampungnya. Tertinggal Gadis Pantai seorang diri dalam ruanganbesar yang tidak pernah yang tak pernah diinjaknya semula, laksanaseekor tikus didalam perangkap. Suasana khalawat itu menakutkan,menyeramkan. Sekali-sekali seekor burung walet masuk dari lubangangin jauh pada dinding atas sana, kemudian pergi lagi. Gadis Pantaitersadar sekarang betapa takutnya ia pada kesunyian, pada keadaan takboleh bergerak. Ia tersedan-sedan seorang diri. Dan tak ada seorang punpeduli padanya (Toer, 2006:35).
Didalam khalawat, ia mengikuti segala gerakan sholat yang dipimpinoleh Bendoro. Pada hal tak pernah ia melaksanakan sholat dikampungnya dulu, tetapi ia sekarang harus melakukannya. Sepertidiperintah oleh tenaga gaib Gadis Pantai pun berdiri dan mengikutisegala gerak-gerik Bendoro dari permadani belakang. Pikirannyamelayang ke laut, pada kawan-kawan sepermainannya, pada bocah-bocahpantai berkulit dekil, telanjang bergolek-golek di pasir hangat pagi hari.Dahulu ia pun menjadi bagian dari gerombolan anak-anak telanjang bulatitu. Dan ia tak juga dapat mengerti, benarkah ia menjadi jauh lebih bersihkarena basuhan air wangi? Ia merasa masih seperti bocah yang dulu,menepi-nepi pantai sampai ke muara, pulang ke rumah kaki terbungkusamis. Bendoro didepan sana berukuk. Seperti mesin ia mengikutiBendoro di sana bersujud, ia pun bersujud, Bendoro duduk ia pun duduk.Ia pernah angkat sendiri seekor ikan pari 30 kg, tak dibawa ke lelang,buat sumbangan kampung waktu pesta. Ia bermandi keringat dan buntutikan itu mengganggu kakinya sampai barut berdarah. Tapi ia tahu ikan itubuat dimakan seluruh kampung. Dan kini. Hanya menirukan gerak rasnyabegitu berat. Dahulu ia selalu katakan apa yang dipikirkan, tangiskan, apayang ditanggungkan,teriakan ria kesukaan didalam hati remaja. Kini iaharus diam tak ada kuping sudi suaranya. Sekarang ia hanya bolehberbisik. Dan dalam khalawat ini, bergerak pun ikuti acuan yang telahtersedia (Toer, 2006:36-37).
Cerita berikutnya mengenai Gadis Pantai yang sedikit demi sedikit mulai
hafal dengan kata-kata yang harus diucapkan ketika menghadap Bendoro. Bujang
wanita tualah yang senantiasa membantu dan membimbingnya.
21
(10) “Dengarkan, sahaya ajari, katakan begini pada Bendoro nanti,’Ampuni sahaya Bendoro….’, hafalkan. Lantas Bendoro akan menegur,’Ya, Mas Nganten, ada yang kau inginkan?’”Gadis Pantai menyimak tanpa mengedip (Toer, 2006:48).
Gadis Pantai sekarang sudah menjadi istri pembesar dan ia menyadari
keadaannya sekarang. Wajahnya dirias setiap hari, ia benar-benar berbeda
sekarang. Kadang-kadang ia merasa ingin kembali ke kampungnya.
(11) Kembali Gadis Pantai menyadari keadaanya. Dan ia meriut kecut. Tapi iadiam saja waktu bujang menyisirinya kembali serta memasangkansanggul yang telah dipertebal dengan cemara, serta menyuntingkan bungacempaka di sela-sela. “Di kampung orang tak berhias bunga padasanggulnya,” Gadis Pantai memprotes.“Di kota, Mas Nganten, barangsiapa sudah bersuami, sanggulnyasebaiknya dihias kembang.”Sekali lagi Gadis Pantai menyadari keadaan dirinya:istri seorangpembesar.“Aku lebih suka di kampungku sana.” Ia mulai protes lagi(Toer, 2006:55).
Peristiwa selanjutnya adalah Gadis Pantai lama-lama terbiasa dengan
kehidupan yang dijalaninya sekarang. Ia mulai terbiasa dengan kehidupan yang
dilengkapi alat yang begitu banyak dan menggampangkan kerja. Ia belajar
membatik, memasak kue, dan tentu saja mengenai agama.
(12) Gadis Pantai mulai terbiasa pada kehidupan yang diperlengakapi alat-alatbegitu banyak dan menggampangkan kerja. Ia mulai terbiasa dengarsuara pemuda-pemuda yang bicara bahasa Belanda setelah meninggalkansurau di sebelahkiri rumah utama. …Kemudian Gadis Pantai pun belajar menyulam, merenda, menjahit.Kecerdasan dan ketrampilannya menyukakan semua gurunya(Toer, 2006:69-70).
Selanjutnya diceritakan bahwa Gadis Pantai mulai mengalami menstruasi
layaknya yang dialami oleh seorang wanita.
(13) “Apa yang sudah terjadi, mBok?”Dan setelah Gadis Pantai terpapah berdiri, bujang menunjuk pada sepreiyang dihiasi beberapa titik merah kecoklatan, berkata, “Sedikit kesakitan
22
Mas Nganten, dan beberapa titik darah setelah setengah tahun ini tidaklahapa-apa.” (Toer, 2006:73)
Pada bagian ini dikisahkan bahwa Gadis Pantai mulai merasakan artinya
rindu bila Bendoro tak datang kepadanya. Di sinilah terjadi nilai-nilai sosial dalam
roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer.
(14) Setahun telah lewat.Kini Gadis Pantai merasa sunyi bila semalam saja Bendoro tak datangberkunjung ke kamarnya. Bujang itu tak perlu membantunya lebihbanyak lagi. Di luar dugaan ia telah dapat menyesuaikan diri dengankehidupan barunya. Namun, wanita tua itu tetap menjadi sahabat dantempat bertanya yang bijaksana (Toer, 2006:75).
Peristiwa berikutnya mengenai Bendoro yang sering pergi. Paling sedikit
seminggu Bendoro pergi meninggalkan rumah untuk pergi ke luar kota. Gadis
Pantai pun mulai merasakan rasa rindu bila Bendoro tak kunjung mendatanginya.
(15) Pada suatu sore Bendoro memerintahkan Mardi menyiapkan bendi.Sesuatu terasa menyambar dalam hati Gadis Pantai. Paling sedikitseminggu Bendoro akan meninggalkan kota. Perintah pada Mardi itudengan sendirinya menyebabkan ia berkemas-kemas dan merapikan diri,kemudian menunggu di kursi dalam kamar sampai suaminya datang danmeminta diri. Selama setahun ini lebih sekali demikian terjadi –kali inibukanlah yang terakhir.
Langsung ia menuju bangku tempat ia pertama kali duduk bersandingdengan suaminya. Ia menginginkan sore segar dalam suasana hati takmenentu, keruh, dan kacau balau. Ia ingin seorang diri di tengah-tengahalam, seperti hampir selamanya bila ia ada di kampung nelayan dulu. Iaingin kenangkan segala yang indah dan memadamkan kekacauan hatisekarang ini. Betapa ia rindukan suaminya yang baru saja pergi, barusaja, belum lagi sepuluh menit. Betapa ia sesali nasibnya tak pernah lamatinggal bersama Bendoro, suaminya, terkecuali beberapa malam dalamseminggu (Toer, 2006:76).
Tak terasa sudah setahun Gadis Pantai meninggalkan kampung
halamannya. Di rumah Bendoro itulah ia mengabdikan diri menjadi seorang istri.
(16) Setahun sudah Gadis Pantai meninggalkan kampung halamannya. Dirumah Bendoro itulah ia mengabdikan sebagai seorang istri. Setahun
23
yang telah lewat merupakan perkisaran dari banyak perasaan dalam jiwaGadis Pantai. Meninggalkan kampung nelayan di tepi pantai berartimemasuki ketakutan dan hari depan tidak menentu. Memasuki kota dangedung tempat ia tinggal sekarang adalah memasuki dunia tanpaketentuan. Dahulu ia tahu harga sesuatu jasa, tak peduli kepada siapa. Disini jasa tak punya nilai, dia merupakan bagian pengabdian seorangsahaya kepadaDahulu ia dapat bicara bebas kepada siapa pun, bisa menyinggungmartabat Bendoro atau siapa saja. Kini tak dapat ia bicara dengan siapa iasuka (Toer, 2006:81-82).
Pada bagian ini diceritakan bahwa Bendoro sudah tiga hari pergi dan
Gadis Pantai mulai merasa cemburu. Namun, ketika Bendoro datang, Gadis Pantai
bertanya-tanya dalam hati, apakah Bendoro pulang dengan wanita lain.
(17) Gadis Pantai tahu benar: Bendoro telah tiga hari pergi. Dan ia tahu tepatpula: ia hanyalah hak milik Bendoro. Yang ia tak habis mengertimengapa ia harus berlaku sedemikian rupa sehingga sama nilainya dengameja, dengan kursi dan lemari, dengan kasur tempat ia dan Bendoro padamalam-malam tertentu bercengkrama.
Tiga hari telah lewat. Setiap hari semakin panjang saja cemburu yangmegerubuti dalam hatinya.
Hari keempat Bendoro datang.
Sore waktu itu, beberapa waktu setelah beduk asar bertalu. Ia dengarbendi berhenti, di depan pendopo. Ia dengar roda bendi dan telapak kudaitu berjalan perlahan di samping kamarnya. Ia mendengar selopmelangkah-langkah berat di ruang tengah. Ia dengar bunyi buutt terkenalitu. Ia tutup pintunya rapat-rapat, tetapi ia tiada menguncinya. Tidak!Bendoro tidak membawa wanita utama baru, ia menjerit dalam hati.Tidak! Tidak mungkin. Ia duduk di kursi dan meletakan kepalanya di atasmeja dengan mata melotot mengawasi pintu. Pintu harus terbukaperlahan, dan setelah itu wajah pucat berhidung bangir harus tersembul.Sosok tubuhnya yang langsing tinggi kurus menyelinap masuk ke dalammenghampirinya, meletakan tangan di atas pundaknya seperti biasa, danharus berbisik lunak seperti biasanya pula kepadanya, “Mas Nganten, kau sehat bukan?” Ia menunggu dan menunggu, menunggu dengan hati meriut dan jantung berdebaran. Tapi wajah pucat berhidung bangir itu takjuga menyembul di kirai pintu (Toer, 2006:88-89).
24
Hari makin hari pun berlalu. Hingga pada suatu ketika terjadi suatu
peristiwa yang menyebabkan pelayan wanita tua diusir oleh Bendoro. Gadis
Pantai kehilangan uang. Di sinilah konflik terjadi antara bujang wanita tua,
Bendoro, dan bangsawan-bangsawan muda yang tak lain adalah saudara Bendoro
yang tinggal di situ sejak kecil. Bujang wanita itu diusir oleh Bendoro karena
berani menuduh bangsawan-bangsawan muda sebagai pencuri.
(18) “Pergi kau. Sekarang juga tak perlu injakkan kaki di rumah ini, janganpula di pekarangannya.”“Sahaya, Bendoro.”“mBok, mBok!” Gadis Pantai meraih tangan pelayan tua itu. “Ampuni dia, Bendoro, ampuni dia.”“Jangan buat bising! Kembali kau ke kamarmu sendiri.”Pelayang wanita itu beringsut-ingsut mundur menyembah, kemudianmencapai pintu. Dan Gadis Pantai mengikuti contohnya. Di ruangbelakang kedua wanita itu berdiri. Dan di hadapannya telah menunggubangsawan-bangsawan muda dengan sikap yang masih juga menantang(Toer, 2006:120).
Pada bagian ini diceritakan adanya pelayan baru yang masih muda
bernama Mardinah, dia berasal dari Kabupaten Demak. Mardinah datang setelah
pelayan wanita tua itu diusir oleh Bendoro. Dia lebih terpelajar dari pada Gadis
Pantai. Gadis Pantai merasa cemburu pada Mardinah kalau-kalau Mardinah akan
merebut Bendoro dari tangannya.
(19) Melihat keadaan itu segera Mardinah menyerang. “Jadi Mas Nganten tahu siapa sahaya. Seorang yang kebangsawanannya lebih tinggi dariBendoro telah perintahkan sahaya kemari. Sudah waktunya Bendorokawin benar-benar dengan seorang gadis yang benar-benar bangsawanjuga. Di Demak sudah banyak gadis bangsawan menunggu. Siapa sajaboleh Bendoro ambil, sekalipun sampai empat.”
Nafas Gadis Pantai tidak lagi megap-megap tapi menyekat ditenggorokan. Dengan suara lemas ia berbisik lesu,”Sudah sudah. Pergi kau. Jangan dekat-dekat aku.” (Toer, 2006:132).
25
Pada suatu waktu Gadis Pantai bisa berdua dengan Bendoro, ia bertanya
tentang Mardinah sekaligus menyampaikan keinginannya kepada Bendoro. Ia
ingin melihat keadaan Emak dan Bapaknya yang tinggal di kampung nelayan.
Namun, Bendoro memerintahkan supaya Mardinah ikut serta. Hal ini membuat
Gadis Pantai merasa semakin benci terhadap Mardinah. Akhirnya ia dan Mardinah
pergi dengan dokar sewaan. Ketika ia tiba di kampungnya, orang-orang langsung
menyambutnya.
(20) Gadis Pantai terbangun dari sendunya. Ia rasai sesuatu menggerumutibulu tengkuknya. Dahulu tak pernah orang menyambutnya sepertisekarang. Ia merasa begitu asing. Dari kejauhan ia melihat bapak berjalanpaling depan membawa obor daun kelapa kering. Ia bertelanjang dada.Dan otot-ototnya yang perkasa berkilat-kilat setiap bergerak kena cahayaobor. Gadis Pantai lari, lari, lari. Pasir di bawah kakinya berhamburan.Gadis Pantai hanya melihat satu sosok tubuh saja di antara sekian banyak(Toer, 2006:164).
Rasa cemburu terhadap Mardinah terus saja ada di dalam hati Gadis
Pantai. Mardinah pun disuruh kembali ke kota oleh Gadis Pantai. Namun,
akhirnya Mardinah kembali lagi ke kampung untuk memberitahukan kepada
Gadis Pantai bahwa ia sudah saatnya kembali ke rumah Bendoro. Peristiwa
selanjutnya terjadi di rumah Bendoro dan Gadis Pantai mulai mengetahui bahwa
ia sedang mengandung.
(21) Tak kurang dari dua jam ia mengawasi bujang-bujang itu bekerja sampaikamar-kamar ruang tengah bersih dan kering seluruhnya. Baru kemudiania bangkit, meninggalkan kamar-kamar itu serta menguncinya danlangsung menuju ke kamarnya sendiri. Buru-buru direbahkannya dirinyadi ranjang. Dirasainya sekepal-sekepal udara yang padat membumbungke atas dari dasar perutnya–mendorong seluruh isi perutnya ke atas pula.Kadang-kadang udara itu ke luar tanpa berhasil mendorong isi perutnya,tapi tak jarang satu dua kepal dapat memompa benda-benda cair daribawah sampai ke tenggorokan, ke lidah, dan dirasainya udara yang taksedap dan tajam laksana air asam barcampur pahit empedu. Akumengandung, bisiknya (Toer, 2006:245).
26
Akhirnya Gadis Pantai melahirkan seorang bayi perempuan. Namun,
malang benar nasibnya. Ia diceraikan oleh Bendoro dan diusir tidak boleh
membawa bayinya. Gadis Pantai pulang kembali ke kampungnya bersama dengan
bapaknya. Ketika hampir sampai di kampungnya, Gadis Pantai meminta izin
kepada bapaknya untuk pergi jauh. Dia tidak mau kembali ke kampungnya. Gadis
Pantai mau pergi ke Blora, tempat pelayan tua yang dulu diusir Bendoro. Inilah
penyelesaian dari perjalanan hidup Gadis Pantai.
(22) Gadis Pantai melangkah dua tindak lagi. Tiba-tiba berseru pada kusir,“Jangan jalan dulu, man!”“Mengapa kau, nak?”“Tidak, bapak, aku tak kembali ke kampung. Aku mau pergi jauh!”“Nak.”Gadis Pantai bersimpuh mencium kaki bapak. Kakinya bergelimanganpasir basah.“Ampuni aku, bapak. Aku tak dapat tentang mata emak, para tetangga, dan semuanya. Ampuni aku, bapak. Aku akan pergi bawa diriku sendiri.”“Kau sudah janji takkan balik ke kota, nak?”“Aku akan balik ke kota, bapak, tapi tidak menetap. Besok aku pergi ke selatan.”“Kau mau ke mana?”“Ke Blora, bapak.”“Kau mau ikut siapa?”“Dulu aku punya pelayan. Dia sudah diusir. Mungkin ke sana dia pergi,bapak.”
Bapak juga masih tak tahu apa mesti diperbuat. Gadis Pantai mengambilcambuk dan melecut kuda dari bawah perutnya. Kuda pun melompat danlari. Roda-rodanya menggilas jalanan pasir, lari laju menuju jalan pos.Tanpa menengok lagi Gadis Pantai memusatkan mata ke depan.
Dalam satu bulan setelah itu sering orang melihat sebuah dokar berhentidi depan pintu pekarangan depan Bendoro dan sebuah wajah mengintipdari kiraian jendela dokar, tapi tak terjadi apa-apa di pekarangan itu.Lewat sebulan, tak pernah lagi ada dokar berhenti, tak ada lagi wajahmengintip dari kirainya (Toer, 2006:269-270).
Secara garis besar mengenai alur dalam roman Gadis Pantai dari karya
Pramoedya Ananta Toer ini adalah alur maju. Cerita ini diawali ketika Gadis
27
Pantai masih berusia 14 tahun dan ia tinggal di kampung nelayan di Kabupaten
Rembang. Pada usianya yang masih muda itulah, ia dinikahkan dengan seorang
pembesar di kota yang dikenal dengan sebutan Bendoro (1), (2), (3), (4). Gadis
Pantai beserta keluarganya datang mengunjungi rumah Bendoro dan di sanalah
Gadis pantai dinikahkan. Selanjutnya ia dipanggil dengan nama Mas Nganten (5),
(6), (7), (8). Sejak saat itulah ia harus tinggal di rumah Bendoro dan
menyesuaikan diri dengan kehidupan di rumah itu termasuk belajar sembahyang
yang ia tak pernah melakukan sebelumnya (9), (10).
Di rumah Bendoro itu ia laksana ratu yang memerintah segala dan hanya
ada seorang yang bisa memerintahnya yaitu Bendoro. Gadis Pantai belajar
segalanya mulai dari sembahyang, membatik, memasak, dan tak lupa wajahnya
harus dirias setiap hari (11), (12). Pada suatu hari, ia mengalami menstruasi yang
pertama yang ia pun tidak tahu apa artinya itu semua (13). Gadis Pantai mulai
merasakan rindu bila Bendoro tak mengunjunginya apalagi kalau Bendoro pergi
meninggalkan kota selama beberapa hari. Ia merasa kesepian di rumah sebesar itu
(14), (15), (16), (17). Ketika Gadis Pantai kehilangan uang, pelayan wanita tua
membelanya dan menuduh bangsawan-bangswan mudalah yang mencuri uang
Gadis Pantai. Oleh karena itulah pelayan wanita tua itu diusir oleh Bendoro. Tak
berapa lama, datanglah pelayan muda yang lebih pintar dan cantik dari pada Gadis
Pantai. Hal inilah yang membuat Gadis Pantai merasa cemburu (18), (19).
Pada saat Gadis Pantai mengungkapkan keinginannya pada Bendoro
bahwa ia ingin mengunjungi orang tuanya di kampung, Bendoro menyuruh
Mardinah untuk ikut serta. Kebencian pada Mardinah pun semakin meningkat di
28
hati Gadis Pantai. Ketika ia sudah tiba di kampungnya, orang-orang
menyambutnya dengan penuh suka cita. Ia pun merasa asing dan dilihatnya
bapaknya berada paling depan di antara orang-orang yang menyambutnya (20).
Sesudah agak lama ia di kampung, Mardinah yang dulu disuruhnya kembali ke
kota, kini datang lagi ke kampungnya untuk menyampaikan perintah Bendoro
bahwa Gadis pantai harus segera kembali ke kota. Di sanalah ia menyadari dirinya
telah mengandung dan ia pun melahirkan seorang bayi perempuan. Namun,
akhirnya Bendoro menceraikannya dan mengusirnya tidak boleh membawa bayi
itu. Malang benar nasib Gadis Pantai dan ia tidak mau kembali ke kampungnya. Ia
memilih pergi di suatu daerah di mana pelayan tua yang dulu diusir oleh Bendoro,
tinggal yaitu di Blora. Inilah akhir cerita dari perjalanan hidup Gadis Pantai (21),
(22).
2.2 Analisis Tokoh Roman Gadis Pantai
Tokoh adalah para pelaku yang terdapat pada sebuah fiksi
(Wiyatmi, 2006:30). Tokoh merupakan ciptaan pengarang, tapi kadang-kadang
dapat juga merupakan gambaran dari orang-orang dalam kehidupan nyata.
Dalam penelitian ini dianalisis tokoh berdasarkan fungsinya dalam cerita.
Berdasarkan fungsi dalam cerita, dibedakan antara tokoh sentral dan tokoh
bawahan. Tokoh sentral meliputi tokoh protagonis dan tokoh anatagonis. Tokoh
bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita tetapi
kehadirannya diperlukan untuk menunjang tokoh utama.
29
2.2.1 Tokoh Gadis Pantai
Gadis Pantai merupakan tokoh protagonis dalam roman ini. Secara fisik
tokoh Gadis Pantai digambarkan sebagai seorang anak perempuan yang berumur
empat belas tahun, kulitnya kuning langsat, tubuh kecil, dan mata agak sipit. Dia
menjadi bunga desa di kampung nelayan.
(23) Empat belas tahun umurnya waktu itu. Kulit langsat. Tubuh kecil mungil.Mata agak sipit. Hidung ala kadarnya. Dan jadilah ia bunga kampungnelayan sepenggal pantai keresidenan Rembang (Toer, 2006:11).
Perubahan yang sangat mencolok terhadap dirinya terjadi saat ia
dinikahkan dengan seorang Bendoro. Ia harus tinggal di rumah Bendoro yang
tentunya berbeda jauh dengan kehidupan di kampungnya. Sejak itu pulalah ia
dipanggil dengan nama Mas Nganten.
(24) Gadis Pantai merasa aneh sekujur tubuhnya setelah kembali ke kamardan ganti pakaian. Bau-bauan harum yang membumbung dari tubuhnyamembuat ia mula-mula agak pening. Ia merasa agak asing. Badannya takpernah seharum itu. Itu bukan bau badannya. Dan pakaian yang terlaluringan dan halus itu masih juga memberinya perasaan ia masih telanjangbulat. Tapi selop rumput itu memang menyenagkan tungkainya. Sedangsuara bujang tak henti-hentinya berdengung pada kupingnya: Nah ingat-ingat Mas Nganten, begini atau begitu … (Toer, 2006:29).
Gadis Pantai juga merasa heran atas perubahan dirinya. Ketika seorang
bujang merias wajahnya, ia merasa seolah-olah itu bukan dirinya.
(25) Dan waktu bujang itu menghias tepi-tepi mata Gadis Pantai dengan celakbuatan Arab terdengar lagi suaranya,”Biar mata kelihatan dalam, biar nampak punya perbawa.”
Sedikit demi sedikit Gadis Pantai melihat pada cermin bagaimanawajahnya berubah, sampai akhirnya ia tidak mengenalinya sama sekali
“Aku ini?” bisiknya pada cermin.“Cantik sekali.” (Toer, 2006:29).
30
Semakin lama Gadis Pantai semakin merasa bahwa setiap kali bercermin
yang nampak bukan dirinya. Ia telah berubah, bukan lagi seorang gadis kecil
lincah dan gesit. Ia tak bisa lagi tertawa lepas seperti dulu. Namun, seorang
bujang wanita terus menghiburnya.
(26) Pada cermin Gadis Pantai melihat wajahnya sendiri: itu bukandiriku!pekiknya dalam hati. Wajah itu memang bukan wajahnya yangkemarin dulu. Wajah itu seprti boneka, tak ada tanda-tanda kebocahannyalagi yang kemarin dulu. Sari kebocahan telah lenyap dari matanya, danuntuk selama-lamanya, Emaknya pun tak melihat nyala pada anaknyalagi. Belum lagi 3x24 jam, dan kelincahan dan kegesitan anaknya telahpadam.
Tiba-tiba Gadis Pantai mendengar tawanya sendiri beriak bergelumbang-gelumbang pada setiap kelucuan. Tapi itu tawa bocahnya dulu. Tawasemacam itu tak terdengar lagi olehnya di gedung Bendoro ini, danmungkin juga tidak buat selamanya.
“Bendoro manapun akan hasratkan wanita berwajah ini,” bujang meneruskan.”Lihat,” katanya kemudian pada emak,”tubuh yang kecil mungil seenteng kapas. Kulit langsat selicin tapak setrika. Cumatangannya yang harus direndam air asam, biar cepat jadi tipis. Dan matalindri terpancar dari tapuk yang setengah sipit seperti putri Cina. Siapatak memuji kecantikan putri Cina. Mas Nganten nanti malam sahaya akanceritakan kisah peperangan antara putri Cina melawan Amir Hamzah(Toer, 2006:49).
Setelah memasuki tahun perkawinan kedua, ia mendekati umur enam
belas. Sekarang ia harus bisa berpikir sendiri, membuat keputusan sendiri, dan
bertindak sendiri. Di sinilah ia menunjukan kedewasaannya.
(27) Ia telah memasuki tahun perkawinan kedua, mendekati umur enam belasdan keadaan tidak pernah berubah.
Kini ia harus lebih banyak berpikir sendiri, mengambil keputusan sendiri,bertindak sendiri. Wanita tua itu makin lama makin tak dapat memberiapa yang ia butuhkan. Ia tak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaannya,ia harus makin memikirkan dirinya sendiri. Malah pada suatu kali iamerasa jengkel, karena jawaban yang pendek tanpa sesuatu keterangan(Toer, 2006:109).
31
Setelah bujang wanita tua diusir Bendoro, Gadis Pantai mengerjakan
segala sesuatunya sendiri. Ketika itu dirasakannya badannya sakit. Ia pucat dan
lelah. Ia merasakan sesuatu yang aneh ada di perutnya. Ia mengandung.
(28) Tak kurang dari dua jam ia mengawasi bujang-bujang itu bekerja sampaikamar-kamar ruang tengah bersih dan kering seluruhnya. Baru kemudiania bangkit, meninggalkan kamar-kamar itu serta menguncinya danlangsung menuju ke kamarnya sendiri. Buru-buru direbahkannya dirinyadi ranjang. Dirasainya sekepal-sekepal udara yang padat membumbungke atas dari dasar perutnya–mendorong seluruh isi perutnya ke atas pula.Kadang-kadang udara itu keluar tanpa berhasil mendorong isi perutnya,tapi tak jarang satu dua kepal dapat memompa benda-benda cair daribawah sampai ke tenggorokan, ke lidah dan dirasainya udara yang taksedap dan tajam laksana air asam bercampur pahit empedu. Akumengandung, bisiknya (Toer, 2006:245).
Naluri keibuan Gadis Pantai muncul. Ia membayangkan masa depan yang
indah. Dan pada hari yang baik, ia melahirkan seorang bayi perempuan. Bayi itu
sempurna. Sekarang Gadis Pantai menunggu kedatangan Bendoro.
(29) Gadis Pantai menarik nafas panjang. Sekarang ia tunggu kedatanganBendoro, dan seperti halnya dengan wanita-wanita kampung nelayan, iaakan bilang: inilah anakmu, sembilan lamanya aku besarkan di bawah uluhatiku. Terimalah dia, ia ini anakmu sendiri, aku cuma sekedarmengandungnya (Toer, 2006:252).
Bendoro tak juga kunjung melihat bayinya. Hingga akhirnya, Bendoro
memerintahkan bapak Gadis Pantai untuk menghadapnya. Namun, kenyataan
pahit harus diterima oleh Gadis Pantai. Ia diusir oleh Bendoro. Bayi yang
dilahirkannya tak boleh ikut serta pulang ke kampungnya. Bayi itu akan dirawat
oleh pelayan-pelayan di rumah Bendoro.
(30) “Kau tinggalkan rumah ini!Bawa seluruh perhiasan dan pakaian. Semua yang telah kuberikan padamu. Bapakmu sudah kuberikan uang kerugian,cukup buat membeli dua perahu sekaligus dengan segalaperlengkapannya. Kau sendiri, ini …,”Bendoro mengulurkan kantong berat berisikan mata uang … pesangon. “Carilah suami yang baik, dan lupakan segala dari gedung ini.Lupakan aku, ngerti?”
32
Gadis Pantai pun berjalan berlutut mundur-mundur kemudian pergidiikuti oleh bapak. Sesampainya di kamar ia segera memeluk bayinya(Toer, 2006:257-258).
Secara garis besar mengenai tokoh Gadis Pantai yang diterangkan di atas
adalah anak seorang nelayan di kampung nelayan di Kabupaten Rembang. Ketika
itu umurnya 14 tahun dan ia harus menikah dengan seorang Bendoro yang tinggal
di kota. Ia masih terlalu muda untuk menikah, di saat-saat ia masih sering bermain
di pantai, ia sudah harus melayani suami. Sungguh, ia kehilangan masa-masa kecil
yang menyenangkan pada tahap seusianya. Di rumah Bendoro, ia dibantu oleh
seorang bujang wanita yang setia membimbingnya. Semakin lama Gadis Pantai
mulai bisa menyesuaikan diri dengan keadaan di rumah Bendoro (23), (24).
Gadis Pantai terkadang tidak mengenali dirinya sendiri kalau ia dirias dan
melihat dirinya di kaca (25). Ketika usianya menginjak 16 tahun dan usia
perkawinannya memasuki tahun kedua, ia harus bisa menjadi dewasa, berani
mengambil tindakan dan keputusan sendiri karena di rumah itu ia adalah seorang
Mas Nganten (25), (26), (27).
Gadis Pantai mulai menyadari bahwa ia sedang mengandung dan ia
melahirkan seorang bayi perempuan tanpa didampingi oleh Bendoro. Naluri
keibuannya pun muncul setelah ia melihat bayi perempuan yang dilahirkannya itu.
Ia ingin memperlihatkannya pada Bendoro, tetapi Bendoro tak kunjung
mendatanginya (28), (29). Sungguh malanglah ia, Bendoro menceraikan dan
mengusirnya (30).
33
2.2.2Tokoh Bendoro
Bendoro merupakan tokoh antagonis dalam roman ini. Bendoro adalah
seorang priyayi. Beliau adalah orang yang kaya dan berkuasa. Pengarang
menggambarkan tokoh Bendoro ini sebagai seorang lelaki yang tampan dan rajin
sembahyang.
(31) Nampak seorang pria bertubuh tinggi kuning langsat berwajah agak tipisdan berhidung mancung. Ia berkopiah haji dan berbaju teluk belanga darisutera putih dan bersarung bugis hitam dengan berbagai genggang putihtipis-tipis (Toer, 2006:31).
Waktu Bendoro terlelap tidur, dengan kepala pada lengannya, ia mencobamengamati wajahnya. Begitu langsat, pikirnya. Orang mulia, pikirnya,tak perlu terkelantang di terik matahari. Betapa lunak kulitnya dan selalutersapu selapis ringan lemak muda! Ingin ia rasai dengan tangannyabetapa lunak kulitnya, seperti ia mengemasi si adik kecil dulu. Ia takberani. Ia tergeletak diam-diam di situ tanpa berani bergerak, sampaijago-jago di belakang kamarnya mulai berkokok. Jam tiga. Dengan sigapBendoro bangun. Dan dengan sendrinya ia pun ikut serta bangkit (Toer,2006:33).Bendoro mengatakan bahwa orang kampung tak pernah sembahyang,kotor, dan miskin. Namun, itu hanyalah suatu nasihat untuk Gadis Pantaisupaya rajin sembahyang dan menjaga kebersihan. “Tak perlulah kalau kau tak suka. Aku tahu kampung-kampung sepanjang pantai sini. Samasaja. Sepuluh tahun yang baru lalu aku juga pernah datangkekampungmu. Kotor, miskin, orangnya tak pernah beribadah. Kotor itutercela, tidak dibenarkan oleh orang yang tahu agama. Di mana banyakterdapat kotoran, orang-orang disitu kena murka Tuhan, rezeki merekatidak lancar, mereka miskin.” (Toer, 2006:41).
Bendoro diceritakan suka bersemena-mena terhadap rakyat kecil. Bahkan
ketika Gadis Pantai kehilangan uang, Bendoro mengusir pelayan tua yang telah
berani menuduh Bendoro-bendoro muda yang tak lain adalah saudara-saudara
Bendoro.
(32) “mBok, kau mau lawan kejahatan ini dengan tanganmu, tapi kau takmampu. Maka itu kau lawan dengan lidahmu. Kau pun tak mampu.Kemudian kau pun cuma melawan dengan hatimu. Setidak-tidaknya kaumelawan.” (Toer, 2006:119).
34
“Pergi kau. Sekarang juga tak perlu injakkan kaki di rumah ini, janganpula di pekarangannya.” (Toer, 2006:120).
Bendoro sering pergi keluar kota. Dia meninggalkan Gadis Pantai seorang
diri. Kalaupun pulang, dia hanya sebentar saja di rumah.
(33) Gadis Pantai tahu benar: Bendoro telah tiga hari pergi. Dan ia tahu tepatpula: ia hanyalah hak milik Bendoro. Yang ia tak habis mengertimengapa ia harus berlaku sedemikian rupa sehingga sama nilainyadengan meja, dengan kursi dan lemari, dengan kasur tempat ia danBendoro pada malam-malam tertentu bercengkerama (Toer, 2006:88).
Ia segera tahu apa artinya:bendi harus segera disiapkan. Hatinya jadikecut. Bendoro hendak berangkat lagi. Berapa hari lagi ia harusmenunggu kedatangannya? (Toer, 2006:89).
Hingga pada akhirnya Gadis Pantai melahirkan, Bendoro pun tak di
sampingnya. Bendoro juga tak mau melihat bayi yang baru dilahirkan oleh Gadis
Pantai.
(34) Dan pada suatu hari yang baik, tanpa saksi Bendoro, bayi itu lahirlahdengan pertolongan seorang dukun bayi masyhur (Toer, 2006:250).
Bendoro memanggil bapak Gadis Pantai dan menceraikan Gadis Pantai
lalu mengusirnya tanpa boleh membawa serta bayi perempuan yang beru
dilahirkan oleh Gadis Pantai.Bendoro juga memberi pesangon kepada bapak dan
Gadis Pantai. Namun, ia melarang Gadis Pantai untuk menginjakkan kaki di kota
itu.
(35) “Kau tinggalkan rumah ini!Bawa seluruh perhiasan dan pakaian. Semuayang telah kuberikan padamu. Bapakmu sudah kuberikan uang kerugian,cukup buat membeli dua perahu sekaligus dengan segalaperlengkapannya. Kau sendiri ini …,”Bendoro mengulurkan kantong berat berisikan mata uang … pesangon. “Carilah suami yang baik, dan lupakan segala dari gedung ini.Lupakan aku, ngerti?”“Sahaya, Bendoro.”“Dan ingat. Pergunakan pesangon itu baik-baik. Dan tak boleh sekali-kalikau menginjakkan kaki di kota ini. Terkutuklah kau bila melanggarnya.Kau dengar?” (Toer, 2006:257-258).
35
Tokoh Bendoro dalam roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer
ini adalah sebagai seorang priyayi. Ia adalah orang yang kaya dan berkuasa, ia
adalah orang yang rajin sembahyang (31). Namun ternyata ia menggunakan
kekuasaannya untuk memperoleh apa yang diinginkannya, ia juga tega mengusir
pelayan wanita tua yang telah lama mengabdi padanya hanya karena pelayan itu
telah berani menuduh saudara-saudara Bendoro sebagai pencuri uang Mas
Nganten (32). Bendoro menikahi Gadis Pantai hanya untuk memenuhi kebutuhan
seksnya. Ia juga sering pergi keluar kota entah untuk keperluan apa. Tetapi, Gadis
Pantai dengan penuh kesetiaan dan pengabdian tetap menunggunya (33). Ia tega
membuang Gadis Pantai setelah Gadis Pantai melahirkan seorang perempuan,
Bendoro pun tidak menunggui ketika Gadis pantai melahirkan (34). Bendoro
menceraikan Gadis Pantai dan memberinya pesangon serta ia juga melarang Gadis
Pantai untuk menginjakkan kakinya di kota itu lagi (35).
2.2.3 Tokoh Bapak
Tokoh Bapak digambarkan sebagai seorang nelayan yang bekerja keras.
Bapak bekerja siang dan malam, menebarkan jala, menyelam, dan menebarkan
jala. Bapak juga seorang yang tegas.
(36) Gadis Pantai menitikkan air mata. Terbayang olehnya bapak sedangmenebarkan jala di dalam gelap. Angin beliung telah menderu-deru ndarikejauhan. Langit gelap gulita, dan jala tersangkut pada cabang karang.Ah, berapa kali saja bapak pulang bawa cerita semacam itu? Dan bapakbersama saudara-saudaranya melompat ke dalam air dingin, menyelam,melepaskan jala (Toer, 2006:163).
Bapak juga selalu menghibur Gadis Pantai ketika ia diusir oleh Bendoro.
Bapak berkata bahwa orang kampung tetap menerima Gadis Pantai seperti dulu
lagi meskipun sekarang ia bukan priyayi lagi.
36
(37) Kembali ia merenungi tanah dan mengamati bekas telapak kakinya yangbegitu besar. Waktu diangkat kepalanya ia lihat bapak berdiri dihadapannya.“Kampung kita akan terima kau seperti dahulu waktu kau dilahirkan, nak. Semua orang datang dan memberikan berkahnya.” (Toer, 2006:269).
Secara garis besar tokoh Bapak dalam roman Gadis Pantai karya
Pramoedya Ananta Toer ini merupakan tokoh bawahan yang kehadirannya sangat
mendukung tokoh sentral. Bapak digambarkan sebagai seorang nelayan, pekerja
keras (36). Ia orang yang tegas. Ia juga rela bekerja membanting tulang demi
kelangsungan hidup keluarganya. Bapak adalah seorang yang bertanggung jawab
karena sebagai kepala rumah tangga. Apapun yang terjadi pada anaknya ia akan
selalu rela menerima walaupun kini anaknya telah diceraikan oleh Bendoro, ia
yang senantiasa selalu menghibur putrinya itu (37).
2.2.4 Tokoh Emak
Emak adalah orang yang sabar dan senantiasa menghibur Gadis Pantai
ketika hari pernikahannya tiba. Emak hanya ingin melihat anak perempuannya itu
hidup bahagia sehingga dia rela anaknya menikah dengan Bendoro.
(38) “Sst. Jangan nangis. Jangan nangis. Hari ini kau jadi istri pembesar.”
“Sst. Jangan nangis. Mulai hari ini kau tinggal di gedung besar, nak. Tidak lagi di gubuk. Kau tak lagi buang air di pantai. Kau tak lagimenjahit layer dan jala, tapi sutera, nak. Sst, sst. Jangan nangis.” (Toer, 2006:12-13).
Emak sebenarnya sedih dan tidak tega untuk melepas anaknya. Tetapi, itu
semua demi kebahagiaan anaknya dan juga kehormatan di kampuingnya.
(39) “Aku dan bapakmu banting tulangbiar kau rasakan pakai kain, pakaikebaya, kalung, anting, seindah itu. Dan gelang ular itu…,”sekarang emaknya terhenti bicara, menahan sedan. Kemudian meneruskan,”Uh-uh-
37
uh-uh, tak pernah aku mimpi anakku pernah mengenakannya.”Dan sekarang meledak tangisnya yang tertahan (Toer, 2006: 13-14).
Secara garis besar mengenai tokoh Emak dalam roman Gadis Pantai karya
Pramoedya Ananta Toer ini merupakan tokoh bawahan. Emak adalah seorang ibu
yang sabar dan selalu memberi semangat menghibur untuk anak gadisnya (38).
Emak menginginkan melihat anaknya bahagia sehingga ia rela anaknya menikah
dengan seorang Bendoro. Emak sebetulnya tidak tega melepaskan anaknya tapi,
itu semua demi kebahagiaan anaknya semata, meskipun ia mengetahui anak
gadisnya itu sangat tertekan perasaan hatinya. Demi kehormatan di kampungnya,
ia pun rela anak gadisnya itu meninggalkan kampung nelayan sebagai tempat
tinggal Gadis Pantai itu (39).
2.2.5 Tokoh Pelayan Wanita Tua
Pelayan wanita tua atau disebut dengan istilah bujang adalah seorang yang
dengan setia membantu Gadis Pantai. Segala keperluan Gadis Pantai dan kesulitan
yang dialami olehnya selalu dibantu oleh bujang itu.
Pelayan wanita itu juga mengajarkan Gadis Pantai cara menjadi wanita
utama dan mengabdi pada Bendoro.
(40) “Ah, berapa kali sudahsahaya katakan. Mengabdi, Mas Nganten. Sujud,takluk sampai ke tanah pada Bendoro (Toer, 2006:99).
Bahkan ketika Gadis Pantai kehilangan uangnya, bujang tua itu membela
Gadis Pantai sampai-sampai ia diusir oleh Bendoro. Dia menuduh bangsawan-
bangsawan mudalah yang mencuri uang Gadis Pantai. Tetapi, akhirnya dia
jugalah yang justru menerima hukuman yakni diusir oleh Bendoro. Sebelum pergi
pun, dia memberi nasehat pada Gadis Pantai.
38
(41) Pelayan wanita itu beringsut-ingsut mundur menyembah, kemudianmencapai pintu. Dan Gadis Pantai mengikuti contohnya. Di ruangbelakang kedua wanita itu berdiri. Dan di hadapannya telah menunggubangsawan-bangsawan muda dengan sikap yang juga menantang(Toer, 2006:120).
“Tidak, Mas Nganten, tidak bakal lama lagi Mas Nganten bakalmenerima wejangan itu. Ayah sahaya teruskan wejanganitu pada sahaya,dan sahaya teruskan pada Mas Nganten. Sekarang Mas Nganten belummengerti, tapi pengalaman bakal membuat Mas Nganten memahaminyabaik-baik. Tuhan senantiasa melindungi Mas Nganten hendaknya.” Dan ia pun bergegas pergi (Toer, 2006:121).
Secara garis besar mengenai tokoh Pelayan Wanita Tua dalam roman
Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer ini merupakan tokoh bawahan. Ia
adalah seorang yang sangat setia mengabdi pada Bendoro. Ia juga setia membantu
dan membimbing Gadis Pantai selama tinggal di rumah Bendoro (40). Ketika
Gadis Pantai kehilangan uang, ia pun diusir oleh Bendoro karena membela Gadis
Pantai dan menuduh bangsawan-bangsawan muda (41).
2.2.6 Tokoh Mardinah
Secara fisik, Mardinah digambarkan sebagai seorang perempuan yang
cantik dan juga lebih pintar dari Gadis Pantai. Mardinah dilahirkan di kota
sedangkan Gadis Pantai di kampung.
(42) Bodohlah pria bila tak perhatikan dia. Mukanya bulat, dan mulitnyabegitu kecil, seakan sebuah bawang merah menempel pada sebuah cobek.Sepasang alisnya tebal, hampir-hampir bersambung, sedanga dagunyayang begitu tumpul seakan merupakan bagian dari dasar mukanya yangbulat. Wajah yang seindah itu (Toer, 2006:150).
Namun, Gadis Pantai cemburu pada Mardinah. Mardinah jauh lebih pintar
daripada Gadis Pantai, ia juga lebih cantik. Hal itulah yang membuat Gadis Pantai
cemburu, ia takut Bendoro akan menikahi Mardinah. Hingga pada suatu hari,
39
ketika Gadis Pantai pulang ke kampungnya, Mardinah pun ikut menemaninya
karena perintah Bendoro. Di sanalah Mardinah menikah dengan seorang pemuda
kampung bernama si Dul. Gadis Pantai pun senang, Mardinah tidak membayang-
bayanginya lagi.
(43) Si Dul pendongeng menggandeng Mardinah. Dipunggunginya kepalakampung dan dihadapinya para pengiring. Kepada orang banyak yangmengerumuninya ia berseru,”Inilah kami. Siapa mau pinjamkan bale dan atapnya?”Orang melompat-lompat kegirangan menyambut permintaannya, parapengiring pun bersukaria. Sorak sorai berjalan terus… (Toer, 2006:236).
Secara garis besar mengenai tokoh Mardinah dalam roman Gadis Pantai
karya Pramoedya Ananta Toer ini merupakan tokoh bawahan. Ia adalah seorang
yang lebih cantik dan lebih pintar dari pada Gadis Pantai. Ia datang ke rumah
Bendoro setelah nelayan tua diusir oleh Bendoro. Mardinah jauh lebih pintar dari
Gadis Pantai karena bapaknya adalah seorang juru tulis dan ia dilahirkan di kota
(42). Itulah sebabnya mengapa Gadis Pantai cemburu pada Mardinah, ia takut
Bendoro akan menikahi Mardinah. Sehingga pada akhirnya Mardinah ikut Gadis
Pantai ke kampung dan disanalah ia menemukan jodohnya, ia menikah dengan
pemuda yang bernama si Dul dan di kampung itulah ia tinggal (43).
2.3 Analisis Latar Roman Gadis Pantai
Latar berfungsi untuk memberi konteks cerita. Latar juga memberi pijakan
cerita secara konkret dan jelas. Dalam penelitian ini latar tempat, waktu, dan
sosial dianalisis satu persatu. Untuk membantu dalam pemahaman pembaca
tentang kehidupan sosial baik kampung nelayan maupun pembesar.
40
2.3.1 Latar Tempat Roman Gadis Pantai
Kisah Gadis Pantai ini terjadi di dua tempat yang berbeda latar
belakangnya. Cerita diawali dengan gambaran kehidupan di sebuah kampung
nelayan di pantai keresidenan Rembang.
(44) Hari demi hari batinnya diisi derai ombak dan pandangnya oleh perahu-perahu yang berangkat di subuh hari pulang di siang atau sore hari,berlabuh di muara, menurunkan ikan tangkapan dan menunggu besoksampai kantor lelang buka (Toer, 2006:11).
Latar kota digambarkan sebagai kota yang bagus dan di sanalah Bendoro
tinggal. Diceritakan bahwa di kota itu ada sekolah rakyat, mesjid, dan juga
gedung.
(45) Dokar membelok ke kanan. Ia masih dapat mengingat sekolah rakyatnegeri, kemudian mesjid raya. Di seberang alun-alun sana gedungkabupaten, di sampingnya sekolah rendah belanda, di samping lagisebuah rumah bertingkat (Toer, 2006:15).
Selanjutnya adalah peristiwa di rumah Bendoro. Rumah Bendoro sangat
kaya dan tentu saja berbeda jauh dengan rumah Gadis Pantai di kampung nelayan
yang sangat sederhana sekali.
(46) Mereka mengikutinya berjalan di bawah jendela-jendela besar, melintasipekarangan dalam yang ditumbuhi pohon-pohon delima serta pagarpohon kingkit. Mereka mendaki lantai, memasuki ruang belakang yangbegitu besar, empat kali lebih besar, empat kali lebih besar dari seluruhrumah mereka. Sebuah meja tinggi 40 cm berdiri di tengah-tengah ruang.Mereka melaluinya kemudian masuk ke dalam ruangan yang panjang(Toer, 2006:17).
Secara garis besar mengenai latar tempat dalam roman Gadis Pantai karya
Pramoedya Ananta Toer ini, memiliki perbedaan yang sangat jauh sekali jika di
nilai dalam segi sosial. Tokoh Gadis Pantai yang bertempat tinggal di kampung
nelayan yang sangat sederhana sekali (44). Berbeda sekali dengan keberadaan
41
tokoh Bendoro disini, yang memiliki segalanya dengan kekuasaannya, rumah
yang besar dan kaya berada di kota (45), (46).
2.3.2 Latar Waktu Roman Gadis Pantai
Peristiwa itu terjadi saat usia Gadis pantai masih sangat muda ketika ia
dinikahkan yakni empat belas tahun sampai enam belas tahun. Hingga pada suatu
hari, Gadis Pantai diusir oleh Bendoro dan ia tidak mau kembali ke kampungnya.
Ia memilih untuk pergi ke Blora, tempat pelayan tua dulu.
(47) Ia telah tinggalkan abad sembilan belas, memasuki abad dua puluh.Angin yang bersuling di puncak pohon-pohon cemara tidak membuatpertumbuhannya lebih baik. Ia tetap kecil mungil bermata jeli. Dan tidakdiketahuinya –di antara derai ombak abadi suling angin dan datang-perginya perahu, seseorang telah mencatatnya dalam hatinya(Toer, 2006:11)
Gadis Pantai tidak mau kembali ke kampung halamannya. Ia pergi ke kota
namun tidak ke rumah Bendoro. Selama sebulan, ia hanya melihat rumah Bendoro
dari luar saja dan sesudah lewat sebulan tak ada lagi orang yang melihat dokarnya
berhenti di sana.
(48) Dalam satu bulan setelah itu sering orang melihat sebuah dokar berhentidi depan pintu pekarangan depan Bendoro dan sebuah wajah mengintipdari kiraian jendela dokar, tapi tak terjadi apa-apa di pekarangan itu.Lewat sebulan, tak pernah lagi ada dokar berhenti, tak ada lagi wajahmengintip dari kirainya (Toer, 2006:270).
Sebagian besar mengenai latar waktu dalam roman Gadis Pantai karya
Pramoedya Ananta Toer ini menceritakan latar waktu yang berkaitan dengan usia
Gadis Pantai saat dinikahkan dan masa-masa perkawinannya dengan Bendoro.
Ketika itu umurnya 14 tahun dan ia harus menikah dengan seorang Bendoro yang
tinggal di kota (47). Ia masih terlalu muda untuk menikah, di saat-saat ia masih
42
sering bermain di pantai, ia sudah harus melayani suami. Sungguh, ia kehilangan
masa-masa kecil yang menyenangkan pada tahap seusianya. Di rumah Bendoro, ia
dibantu oleh seorang bujang wanita yang setia membimbingnya. Semakin lama
Gadis Pantai mulai bisa menyesuaikan diri dengan keadaan di rumah Bendoro.
Meskipun kadang-kadang rasa sepi hinggap di dirinya apa lagi pada saat Bendoro
pergi dalam beberapa hari. Sampai pada suatu ketika, Gadis Pantai mengandung.
Ia melahirkan seorang bayi perempuan tanpa didampingi suaminya. Namun, ia
sungguh malang ternyata Bendoro menceraikannya dan bayi perempuan itu tidak
boleh dibawanya. Akhirnya Gadis Pantai pergi tanpa membawa bayi
perempuannya. Dia pun tidak kembali ke kampungnya melainkan ke Blora,
tempat bujang wanita tua itu tinggal, setelah diusir oleh Bendoro sebagai sang
suaminya. Meskipun demikian, secara diam-diam ia masih sering melihat rumah
Bendoro. Namun, itu tidak berlangsung lama (48).
2.3.3 Latar Sosial Roman Gadis Pantai
Kisah roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer ini
dilatarbelakangi oleh kehidupan sosial nelayan di kampungnya dan kehidupan
priyayi atau pembesar, dan juga biasa disebut sebagai Bendoro di kota. Di
kampung nelayan orang hidup serba ada dan serba kecukupan yang semuanya
berasal dari laut sedangkan di kota, priyayi atau pembesar, dan juga biasa disebut
sebagai Bendoro, yang hidup dengan kekuasannya. Di samping itu, priyayi atau
pembesar, dan juga biasa disebut dengan sebutan Bendoro itu rajin
bersembahyang. Berbeda dengan di kampung nelayan masyarakatnya cenderung
jarang bersembahyang bahkan nyaris tidak pernah. Di kampung nelayan,
43
kehidupan suami istri sangatlah sederhana dan bebas. Mereka bebas mengkritik,
baik suami maupun istri.
(49) Pengalaman selama ini membuat ia banyak tahu tentang perbedaanantara kehidupan orang kebanyakan dan kaum Bendoro di daerah pantai.Seorang Bendoro dengan istri orang kebanyakan tidaklah dianggap sudahberistri, sekalipun telah beranak selusin. Perkawinan demikian hanyalahsatu latihan buat perkawinan sesungguhnya:dengan wanita dari karatkebangsawanan yang setingkat. Perkawinan dengan orang kebanyakantidak mungkin bisa menerima tamu dengan istri dari karatkebangsawanan yang tinggi, karena dengan istri orang kebanyakan –itupenghinaan bila menerimanya (Toer, 2006:80).
Digambarkan juga suatu keadaan yang menunjukkan adanya kebiasaan-
kebiasaan bersembahyang. Dalam kalangan priyayi, agama adalah penting
sehingga mereka rajin bersembahyang. Berbeda dengan kehidupan wong cilik,
dalam hal ini, adalah orang-orang yang tinggal di kampung nelayan, mereka tidak
punya waktu untuk bersembahyang karena setiap harinya selalu diisi untuk
mencari uang dengan berkerja keras membanting tulang demi kelangsungan hidup
keluarganya.
(50) Ia menggigil waktu Bendoro mengubah duduk menghadapinya,membuka bangku lipat tempat Qur’an, mengeluarkan bilah bambu kecil dari dalam kitab dan ia rasai pandangnya mengawasinya memberiperintah. Seumur hidup baru sekali ia menggigil. Kenangan pada belaiantangannya yang lembut dan lunak lenyap. Tiba-tiba didengarnya ayam dibelakang rumah pada berkokok kembali. Moga-moga matari sudah terbitseperti kemarin, ia mendoa. Dan Bendoro telah menyelesaikan“Bismillahirohmanirrohim”, sekali lagi menatapnya dari atas permadani sana. Ia tak mampu mengulang menirukan. Ia tak pernah diajarkandemikian. Tanpa setahunya air matanya telah menitik membasahi tepilubang rukuhnya (Toer, 2006:37).
Secara garis besar mengenai latar sosial dalam roman Gadis Pantai karya
Pramoedya Ananta Toer ini menceritakan kehidupan seorang priyayi atau
pembesar, biasa disebut dengan sebutan Bendoro dan kehidupan orang-orang
44
yang tinggal di kampung nelayan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Priyayi
mengganggap bahwa pernikahan dengan wong cilik bukanlah pernikahan yang
sesungguhnya. Mereka dianggap sudah beristri kalau sudah menikah dengan
wanita yang sederajat (49). Demikian juga dalam hal beragama, pryiayi sangat
patuh menjalankan perintah beragama. Mereka rajin bersembahyang, sedangkan
wong cilik tidak punya waktu untuk melakukan itu semua. Sehari-harinya hanya
diisi dengan bekerja keras untuk mencari uang demi kehidupan keluarganya yang
diterangkan pada nomor (50).
45
BAB III
KEHIDUPAN PRIYAYI DAN WONG CILIK
DALAM ROMAN GADIS PANTAI
Dalam bab IV ini dibahas kehidupan masyarakat Jawa, khususnya
priyayi dan wong cilik dalam roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer.
Dengan demikian pembaca dapat mengetahui kehidupan rakyat kecil atau wong
cilik dan kehidupan priyayi. Manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan
sekitarnya. Sebagai individu dan mahluk sosial, mereka berhubungan langsung
dengan alam. Alam, individu, dan masyarakat mempunyai keterkaitan yang sangat
kuat satu sama lain. Oleh karena itu, individu harus mampu menyesuaikan dan
mengendalikan diri terhadap alam, individu lain, masyarakat, dan kekuasaan di
luar dirinya. Hal ini dipaparkan pula oleh Pramoedya Ananta Toer dalam
karyanya roman Gadis Pantai.
4.1 Kehidupan Priyayi
Dalam kenyataan hidup masyarakat Jawa, mereka masih membedakan
antara golongan priyayi dengan rakyat kecil atau yang disebut wong cilik.
Golongan priyayi terdiri dari pegawai negeri dan kaum terpelajar, di samping itu
juga keturunan bangsaan atau bendoro-bendoro. Wong cilik terdiri dari petani,
tukang, dan pekerja kasar lainnya.
Gadis Pantai mewakili golongan rakyat kebanyakan wong cilik dan
mendapatkan predikat priyayi (Mas Nganten) sebagai achieved status, yaitu status
yang diperoleh karena usaha yang disengaja. Dengan kata lain, Gadis Pantai
46
mendapatkan predikat tersebut karena ia menjadi istri Bendoro. Sejak itulah status
sosialnya berubah lebih tinggi. Demikian juga dengan kedua orang tuanya yang
menjadi lebih terhormat di kalangan masyarakat di kampung nelayan.
(50) “Mas Nganten? Siapa itu Mas Nganten?”Bujang itu tertawa terkekeh ditekan. Dipandanginya majikannya yangbaru dan terlampau muda itu, dibelai-belai dagunya yang licin sepertikepala lele (Toer, 2006:15).
“Mas Nganten adalah wanita utama, segala apa yang terbawa karenaBendoro. Begitulah Mas Nganten, jalan kepada kemuliaan dankebangsawanan tak dapat ditempuh oleh semua orang.” (Toer, 2006:65).
“Aku ini, Mbokaku ini orang apa? Rendahan? Atasan?”“Rendahan, Mas Nganten, maafkanlah sahaya, tapi menumpang ditempat atasan” (Toer, 2006:79).
Aku sendiri orang bawahan, orang rendahan, orang kebanyakan(Toer, 2006:89).
“Besok kau mulai tinggal di kota, ndhuk, jadi bini seorang pembesar” (Toer, 2006:113).
Gadis Pantai hanyalah seorang anak nelayan dari kampung nelayan di
Kabupaten Rembang. Ia beserta keluarganya termasuk golongan wong cilik.
Kehidupan wong cilik dalam batas-batas tertentu memang tidak terpisah dari
kehidupan priyayi. Kedua golongan masyarakat itu saling membutuhkan. Namun,
seringkali priyayi menggunakan kekuasaannya untuk memperoleh apa yang
diinginkannya tanpa melihat kesengsaraan yang dihadapi wong cilik.
. Demikian halnya dengan pernikahan, priyayi menikahi seseorang dari
golongan wong cilik ternyata hanyalah untuk memenuhi kebutuhan biologisnya.
Lebih tepat lagi adalah percobaan menuju perkawinan yang sesungguhnya dengan
seseorang yang sederajat dengannya. Sehubungan dengan pernikahan, Gadis
Pantai sebagai seorang perempuan semata-mata hanya menjadi objek dan tidak
47
diperkenankan mempunyai inisiatif sendiri dalam hal perjodohan. Selain itu,
dalam perjodohannya, ia pun tidak mempunyai hak untuk melakukan pilihan dan
mengambil keputusannya sendiri.
(51) Dan tidak diketahuinya –diantara derai ombak abadi suling angin dandatang-perginya perahu, seseorang telah mencatatnya dalam hatinya.Maka pada suatu hari, perutusan seseorang itu datang ke rumah orangtua gadis. Dan beberapa hari setelah itu, sang gadis harus tinggalkandapurnya,suasana kampungnya, kampungnya sendiri dengan bau amisabadinya (Toer, 2006:1).
“Bapakmu benar, nak. Mana ada orang tua mau lemparkan anaknya pada singa? Dia ingin senang seumur hidup, nak” (Toer, 2006:3).
Dalam kehidupan priyayi, pernikahannya dengan orang kebanyakan
tidak dianggap sebagai suatu pernikahan meskipun sudah mempunyai anak. Itu
hanyalah suatu latihan untuk menuju pernikahan yang sesungguhnya dengan
wanita priyayi tentunya.
(52) Nampak bujang itu merasa kasihan kepada Gadis Pantai. Pengalamanselama ini membuat ia banyak tahu tentang perbedaan antara kehidupanorang kebanyakan dan kaum Bendoro di derah pantai. Seorang Bendorodengan istri orang kebanyakan tidaklah dianggap sudah beristri,sekalipun telah beranak selusin. Perkawinan demikian hanyalah satulatihan buat perkawinan sesungguhnya:dengan wanita dari karatkebangsawanan yang setingkat. Perkawinan dengan orang kebanyakantidak mungkin bisa menerima tamu dengan istri dari karatkebangsawanan yang tinggi, karena dengan istri asal orang kebanyakan–itu penghinaan bila menerimanya (Toer, 2006:80).
Kehidupan wong cilik yang penuh dengan kerja keras sungguh-sungguh
berbeda dengan priyayi yang hidup dengan kekayaan. Wong cilik terbiasa hidup
sulit sedangkan kaum priyayi bisa dengan mudah mencapai apa yang
diinginkannya.
(53) “Semua Mas Nganten, untuk mengabdi pada Bendoro.”Kerja mengabdi! Kerja mengabdi! Gadis Pantai masih juga kurangmemahami (Toer, 2006:69).
48
(54) “Mas Nganten jangan pikirkan sahaya. Sahaya ini orang kecil, orang kebanyakan, orang lata, orang rendah, kalaupun jatuh –ya sakitmemang, tak seberapa.. Bagi orang atasan, ingat-ingatlah itu, MasNganten, tambah tinggi tempatnya, tambah sakit jatuhnya. Orangrendahan ini setiap hari boleh jatuh, tetapi ia selalu berdiri lagi. Diaditakdirkan untuk sekian kali berdiri setiap hari (Toer, 2006:98).
“Ah, berapa kali sudah sahaya katakana. Mengabdi, Mas Nganten. Sujud, takluk sampai ke tanah pada Bendoro (Toer, 2006:99).
(55) Sementara itu dalam kepala Gadis Pantai mengaum-ngaum ceritapelayan tua itu., cerita tentang segala-galanya, tentang nasib orangbawahan dan kebesaran orang atasan, tentang kejatuhan orang ora ngbawahan dan kemuliaan orang atasan, tentang orang bawahan yangmenumpang diri kepada orang atasan, tentang kekuasaan dan tentangtakdir, tentang gusti Allah dan tentang kompeni. Jiwanya yang muda itutak peduli mengerti seluruhnya atau sebagian darinya (Toer, 2006:105).
Bendoro dalam roman Gadis pantai mewakili golongan priyayi dan
mendapatkan predikat priyayi sebagai ascribed status, yaitu status yang diperoleh
sejak lahir karena keturunan.
Sehubungan dengan itu pula, Bendoro termasuk golongan priyayi atau
pangeh-praja karena Bendoro merupakan keturunan bangsawan dan bekerja di
pemerintahan daerah.
(56) “Dia pembesar, nak, orang berkuasa, sering dipanggil Bendoro Bupati.Tuan besar Residen juga pernah datang ke rumahnya, nak.” (Toer, 2006:4).“Bendoro tidak pulang, Mas Nganten. Hari begini biasanya dipanggil Bendoro Bupati.” (Toer, 2006:31).
“Tuan tahu, saya dikirim kemari oleh Kanjeng Gubermen….”“Ah tuan?”“Benar, menurut keputusan Raad Hindia….”Bendoro terdiam dalam terkejutnya.“….buat cari ketepatan, tapi sebelumnya Gubermen mau dengar dulu bagaimana pendapat pembesar-pembesar negeri tentang huru-hara diLombok ini.” (Toer, 2006:72).
49
Suamiku! Ah, suamiku! Tidak, dia bukan suamiku, dia Bendoroku, yangdipertuanku, rajaku (Toer, 2006:211).
Dia akan dilahirkan dalam kerjaan Bendoro; bapaknya sendiri. Dia akanikut berkuasa bersama bapaknya, dia akan ikut memerintah(Toer, 2006:212).
Bendoro adalah seorang priyayi. Beliau adalah orang yang kaya dan
berkuasa. Kaum priyayi mempunyai banyak waktu untuk bersembahyang
sedangkan wong cilik hampir tak punya waktu untuk bersembahyang, kecuali
pada saat-saat tertentu saja mereka melakukan ritual khusus bersembahyang.
Hidupnya hanyalah diisi dengan bekerja demi sesuap nasi.
(57) Bendoro mengatakan bahwa orang kampung tak pernah sembahyang,kotor, dan miskin. Namun, itu hanyalah suatu nasihat untuk GadisPantai supaya rajin sembahyang dan menjagakebersihan. “Tak perlulah kalau kau tak suka. Aku tahu kampung-kampung sepanjang pantai sini.Sama saja. Sepuluh tahun yang baru lalu aku juga pernah datangkekampungmu. Kotor, miskin, orangnya tak pernah beribadah. Kotor itutercela, tidak dibenarkan oleh orang yang tahu agama. Di mana banyakterdapat kotoran, orang-orang disitu kena murka Tuhan, rezeki merekatidak lancar, mereka miskin.” (Toer, 2006:41).
(58) Sekarang aku harus pikirkan semua ini. Sekarang Mas Nganten belummengerti kata pekayan tua dulu, tapi pengalaman bakal membuat MasNganten memahami baik-baik! Pelayan itu telah pergi. Kini ia harusberpikir sendiri. Dan dalam usia tidak lebih dari 16 tahun. Ia mengertisemua itu dengan perasaannya, dengan tubuh, dengan jantungnya. Daniapun kenangkan kembali kampung nelayan nun jauh di tepi pantai,hari-hari yang penuh tawa, keringat yang mengucur rela, tangan-tanganyang coklat kuat, dan lemah lembut dan kasar yang pada salingmembantu. Ia tersedan-sedan di sini. Semua pada banting-mambanting.Buat apa? Buat apa? Ia merintih buat kehormatan dan nasi. Di sana dikampung nelayan tetesan deras keringat membuat orang tak sempatmembuat kehormatan, bahkan tak sempat mendapatkan nasi dalamhidupnya terkecuali jagung tumbik yang kuning. Betapa mahalnyakehormatan dan nasi! (Toer, 2006:133).
Golongan priyayi sebagai suatu kelompok sosial memiliki ciri-ciri
tertentu yang membedakannya dari kelompok sosial lainnya, terutama dari rakyat
50
kecil. Ciri-ciri yang menjadi simbol ke-priyayi-an seorang dapat melihat melalui
adat sopan-santun, etiket pergaulan, bahasa yang digunakan, bentuk rumah tempat
kediaman, pakaian resmi dan perlengkapan upacara kebesaran, serta gelar pada
nama.
Hubungan sosial di kalangan priyayi sangat terikat pada tatacara
bersopan-santun. Hal itu lebih mengarah pada sikap hormat terhadap orang yang
lebih tinggi kedudukannya. Semakin tinggi kedudukan seseorang, semakin ia
dihormati, sedangkan orang yang lebih rendah kedudukannya, seperti bawahan
dan abdi harus bersikap tunduk pada tuannya, demikian pula sikap Gadis Pantai
(Mas Nganten) terhadap Bendoro, suaminya sendiri.
(59) “Pada aku ini Mas Nganten tidak boleh sebut diri sahaya. Itu kata hinabagi penyebut di hadapan dan untuk Mas Nganten.” (Toer, 2006:15).
“Mereka hanya abdi, hanya sahaya. Tak layak jual senyum dan tawamereka pada Mas Nganten. Juga tak baik layani senyum dan tawamereka. Tahu, Mas Nganten, seorang wanita utama adalah laksanagunung. Dia tak terungkit dari kedudukannya, terkecuali oleh tanganBendoro. Bendoro lebih tak terungkit, terkecuali Gusti Allah sendiri.” (Toer, 2006:64).Diluar dugaannya, Bendoro muncul lebih cepat, langsung menujupadanya berbisik: “Ada tamu akan bersantap,” dan Bendoro berdiri tegak mengawasinya.Ia bangkit dari kursi, menunduk membungkuk dan pergi kembali masukke dalam sangkarnya (Toer, 2006:71-71).
Gadis Pantai mejatuhkan diri, mencium kaki Bendoro, kemudianmemeluknya. Waktu Bendoro duduk di atas kasur ranjang, ia angkatkedua-duanya, ia cium telapaknya.“Inilah sahaya, Bendoro.” (Toer, 2006).
Gadis Pantai mengangkat sembah danmeneruskan, “Ya, sahaya pergi.”Gadis Pantai bergerak mundur sambil berjongkok sampai menempuhjarak beberapa meter, kemudian baru sendiri, masuk kedalam salahsebuah kamar ruang tengah (Toer, 2006:205).
51
Sehubungan dengan itu, pergaulan di kalangan priyayi sangat dibatasi.
Seseorang dari kalangan priyayi tidak diperkenankan untuk bergaul dan berbicara
dengan semua orang. Keberadaan Gadis Pantai di dalam rumah Bendoro pun
sangat dibatasi sehingga ia merasakan adanya jarak antara dirinya dengan orang-
orang yang ada di dalam rumah besar itu. Kini, ia tidak dapat bebas bicara dengan
siapa pun yang ia suka karena yang diperkenankan. Di rumah Bendoro yang ada
hanyalah pengabdian, perintah, dan memerintah.
(60) Ia mulai mengerti, di sini ia tidak boleh punya kawan seorang pun yangsederajat dengannya. Ia merasai ada jarak yang begitu jauh, begitudalam antara dirinya dengan perempuan yang sebaik itu, yang hampir-hampir tak pernah tidak pernah tidur menjaga dan mengurusnya,…. Hatinya memekik: mengapa mengapa aku tak boleh berkawandengannya? Mengapa ia mesti mesti jadi sahaya bagiku?(Toer, 2006:32).
Ia rasai bagaimana dirinya seperti seekor ayam direnggut darirumpunnya. Tak boleh punya sahabat, cuma boleh menunggu perintah,cuma boleh memerintah. Betapa sunyi! Betapa dingin (Toer, 2006:32).
“Tidak semestinya wanita utama bicara dengan semua orang. Perintah saja orang-orang itu, jangan ragu-ragu. Tak ada gunanya Mas Ngantendengarkan pendapat atau keberatan mereka. Mereka di sini buatdiperintah. Sahaya ini begitu juga, Mas Nganten.” (Toer, 2006:64).
Kehidupan sosial antara Gadis Pantai yang mewakili wong cilik dengan
Bendoro yang mewakili priyayi mempunyai perbedaan yang sangat mencolok.
Dalam hal pernikahan pun demikian, priyayi yang menikah dengan wong cilik
dianggap belum menikah yang sesungguhnya (50), (51), (52).
Sikap tunduk dan penuh pengabdian harus ditunjukkan wong cilik
kepada priyayi. Wong cilik terbiasa hidup dengan situasi yang sulit sehingga
mereka bisa mengatasi masalahnya tanpa beban yang berarti sedangkan priyayi
hidup dalam kemewahan (53), (54), (55).
52
Status yang diperoleh Bendoro adalah status yang dibawa sejak lahir
dan ia menjadi penguasa di daerahnya. Bendoro adalah orang yang memegang
pemerintahan daerah dan wong cilik adalah bawahan yang siap diperintah (56).
Dalam hal beragama pun, terdapat perbeadaan yang mencolok. Kaum priyayi rajin
bersenbahyang dan taat pada perintah agama, sedangkan wong cilik hampir tak
punya waktu untuk melakukan itu semua, kecuali pada saat-saat tertentu saja
mereka melakukan ritual beragama (57), (58).
Hubungan sosial di kalangan priyayi mengacu pada tata cara bersopan
santun. Sikap tunduk dan patuh harus ditunjukkan wong cilik terhadap priyayi.
Pergaulan di kalangan priyayi pun terbatas. Gadis Pantai yang tinggal di rumah
Bendoro tidak boleh berbicara dengan sembarang orang karena ia adalah seorang
wanita utama. Ini menunjukkan bahwa kaum priyayi memiliki batasan-batasan
tertentu dalam bergaul dengan masyarakat, tidak bisa dengan sembarang orang
(59) dan (60).
4.2 Kehidupan Wong Cilik
Dalam hidup bermasyarakat dikenal adanya priyayi dan wong cilik.
Status sosial yang membedakan kedua golongan itu berpengaruh pada tradisi atau
kebiasaan, cara berbicara, bersikap, dan juga sapaan atau panggilan terhadap
seseorang.
Sebutan Mas Nganten ditujukan untuk wanita yang terhormat
sedangkan bujang untuk pembantu di rumah. Seorang bujang harus senantiasa
menyiapkan dan membantu segala keperluan wanita utama atau majikan.
(61) “Mas Nganten? Siapa itu Mas Nganten?”
53
Kembali bujang itu tertawa terkekeh ditekan. Dipandanginyamajikannya yang baru dan terlampau muda itu, dibelainya dagunyayang licin seperti kepala lele. Dan akhirnya dengan empu jarinyamenuding ke dada orang yang dilawannya bicara (Toer, 2006:27).
Sikap tunduk dan mengabdi pada priyayi harus dimiliki oleh bawahan.
Baik pembantu pada majikan maupun Mas Nganten pada Bendoro. Sikap hormat
harus ditunjukkan terhadap orang yang kedudukannya lebih tinggi.
(62) “Sahaya adalah sahaya. Dosa pada Bendoro, pada Allah, seperti sahayabegini menempatkan diri lebih tinggi dari lutut Bendoronya(Toer, 2006:64).
(63) “Semua mas Nganten, untuk mengabdi pada Bendoro.”Kerja mengabdi! Kerja mengabdi! Gadis Pantai masih juga kurangmemahami (Toer, 2006:69).
Masyarakat yang tinggal di desa pada umumnya mengenal budaya
gotong royong. Setiap kali ada warga yang mengadakan suatu acara pasti semua
ikut bekerja secara bersama-sama. Demikian diceritakan ketika Gadis Pantai
kembali ke kampungnya untuk menengok kedua orang tuanya. Kedatangannya
disambut seluruh warga di kampung nelayan itu. Mereka sangat menghormati
Gadis Pantai yang sekarang telah menjadi istri pembesar.
(64) Gadis Pantai terdiam dari sendunya. Tak pernah ia rasai sesuatumenggerumuti bulu tengkuknya. Dahulu tak pernah orangmenyambutnya seperti sekarang. Ia merasa begitu asing. Dari kejauhania lihat bapak berjalan paling depan membawa obor daun kelapa kering.Ia bertelanjang dada. Dan otot-ototnya yang perkasa berkilat-kilat setiapbergerak kena cahaya obor. Gadis Pantai lari, lari, lari. Pasir di bawahkakinya berhamburan. Gadis Pantai hanya melihat satu sosok tubuh sajadi antara sekian banyak (Toer, 2006:164).
Setiap kali ada tamu istimewa datang pastilah mereka membuat
masakan yang istimewa. Meskipun yang datang itu adalah anak sendiri yang
sudah berubah status menjadi priyayi.
54
(65) “Emak sediakan sate ayam siang ini.”Kata-kata itu membuat Gadis Pantai seakan terasa lengang. Tak pernahseumur hidup Emak buatkan dia sate. Ayam yang hanya beberapa ekor,hanya diambil telurnya buat obat kuat bapak. Entah berapa ekor dariyang sedikit itu kini harus membuktikan, bahwa ia memang laindaripada seluruh penduduk kampung selebihnya (Toer, 2006:182).
Ritual bersembahyang yang dilakukan warga di kampung nelayan atau
wong cilik hanya dilakukan pada saat-saat tertentu saja. Berbeda dengan kaum
priyayi yang rajin bersembahyang.
(66) Musim hujan datang lebih cepat dari seharusnya. Angina kencang antarasebentar mendesak dengan kekuatan besar dari timur laut, mengangkatsampah dan pasir pantai, pasir alun-alun yang mulai gundul karenakemarau menerobosi pintu dan jendela, masuk ke dalam kamar bahkanjuga ke dalam lemari pakaian dan makan. Masa demikian adalah masabanyak mendoa di kampung nelayan. Dahulu Gadis Pantai tak pernahbersungguh-sungguh mendoa. Tapi kini dirasanya hasrat untukmengucapkan permohonan pada Tuhan agar seluruh nelayan dilindungidari marabahaya, agar angina tidak terlaliu kencang, agar ombak takterlalu jahat, dan agar ikan menjadi jinak (Toer, 2006:122).Sebagai wanita Jawa dari kampung yang diperistri oleh Bendoro, Gadis
Pantai menjalani hari-harinya dengan kegiatan yang tak pernah ia lakukan
sebelumnya. Terutama sekali pelayanan dan pengabdian. Di kalangan masyarakat
Jawa, sikap tunduk dan patuh terhadap suami harus dimiliki oleh wanita, apalagi
kalau suaminya adalah pembesar dan wanita berasal dari golongan wong cilik.
(67) “Ah, berapa kali sudah sahaya katakan. Mengabdi, Mas Nganten. Sujud, takluk sampai ke tanah pada Bendoro. Mari sahaya dongengi. Tahubawang merah bawang putih?” (Toer, 2006:99).
(68) Gadis Pantai memasuki tahun perkawinan kedua. Kini setiap sebulansekali ia terpanggil ke ruang tengah. Bendoro suaminya, duduk padakursi yang terbalik arahnya., dengan ia sendiri dengan sebuah jepitanbamboo menjepit lintah-lintah seekor demi seekor dari stoples, dandiletakkan pada tengkuk, pelipis, kening, juga lengan Bendoro(Toer, 2006:106).
55
Sebagai seseorang yang berasal dari orang kebanyakan atau wong cilik,
wanita harus bisa menerima segala sesuatunya dengan ikhlas. Meskipun ia sudah
berkorban perasaan demi memenuhi keinginan pembesar, ia tetap harus bisa
menjunjung nama baik pembesar itu. Kaum priyayi tidak bisa menerima dengan
adanya wong cilik sebagai bagian dari hidup mereka. Namun, wong cilik tetap bisa
menerima semua meskipun status yang disandangnya sudah berbeda.
(69) “Aa, mengerti aku sekarang!” dan diteruskan dengan nada menggugat, “mengapa tak kau taruh dia di kamar dapur? Tidak patut!Tidak patut!Lihatlah aku. Kau kira patut kau tempatkan dia di bawah satu atapdengan aku?” (Toer, 2006:247).
(70) Seseorang memberitakan Bendoro memanggil Bapak. Bapakmenyerahkan si bayi pada Gadis Pantai dan menghadap. Tidakterdengar suara mereka di kamar belakang. Si bayi diletakkan kembalidi ranjang oleh emaknya. Gadis Pantai kemudian duduk terpekur dikursi. Ia merasa bahagia dapat memberikan seorang cucu kepada bapak.Kebahagiaan itu pun akan meningkat bila emak pun tahu akan kelahiranini. Dan juga seluruh kampung. Mereka akan bangga: seorang di antaramereka telah dilahirkan dalam gedung besar di kota, jadi keturunanBendoro (Toer, 2006:255).
Perbedaan kehidupan sosial antara kaum priyayi dan wong cilik dapat
dilihat dari tradisi, sapaan atau panggilan,dan cara bersikapnya. Sebutan bendoro
ditujukan bagi pemegang kekuasaan daerah, Mas Nganten ditujukan untuk istri
pembesar atau dikenal dengan wanita utama, dan bujang ditujukan bagi pelayan-
pelayan (61).
Sikap tunduk dan mengabdi harus dimiliki bawahan terhadap atasan. Di
kalangan priyayi sangat kuat tata cara bersopan santunnya. Sikap hormat harus
ditunjukkan kepada orang yang kedudukannya lebih tinggi (62), (63).
Masyarakat Jawa terutama yang tinggal di desa-desa maupun daerah
pesisir masih mengenal adanya bergotong royong dalam hal apapun. Mereka juga
56
memberikan sambutan dan perlakuan istimewa kepada tamunya. Terlebih bila
tamu itu dari kaum priyayi. Mereka tidak segan-segan menjamu dengan masakan
yang istimewa meskipun hidup mereka berkekurangan (64), (65).
Dalam hal beragama, masyarakat Jawa masih memegang tradisi
kepercayaan yang sangat kuat. Tetapi, terdapat perbedaan antara kaum priyayi
dengan orang kebanyakan atau wong cilik. Kaum priyayi rajin melaksanakan
kegiatan beragamanya sedangkan wong cilik hampir tak punya waktu untuk
melakukan itu. Hanya pada waktu-waktu tertentu saja mereka melakukan ritual
khusus (66).
Di kalangan masyarakat Jawa, istri harus senantiasa tunduk dan patuh
kepada suami, apalagi kalau suami itu adalah priyayi dan istri adalah orang
kebanyakan. Meskipun istri harus berkorban perasaan, dia harus tetap mengabdi
dan melayani suaminya (67). Kaum priyayi sulit sekali bahkan bisa dikatakan
tidak bisa menerima adanya wong cilik sebagai bagian dari kehidupannya.
Namun, wong cilik dengan senang hati menerima siapa saja dalam kehidupan
mereka (69), (70).
57
BAB IV
PENUTUP
Dalam bab IV ini akan dikemukakan dua hal, yaitu kesimpulan hasil
analisis dan saran bagi penelitian selanjutnya.
5.1 Kesimpulan
Di satu sisi, roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer
merupakan sebuah roman keluarga. Di sisi lain, novel ini merupakan roman
sosial-kritis menyangkut nasib gadis dari kalangan rakyat jelata yang dihadiahi
‘untung’ oleh seorang priyayi. Di balik semua itu, novel Gadis Pantai merupakan
hasil inspirasi pengalaman hidup pengarang, tentunya terkait pula dengan
kenyataan sosial-budaya masyarakat priyayi Jawa pada masa itu.
Pada kenyataannya, kaum priyayi selalu berusaha menciptakan jarak
dengan orang lain yang ada di sekelilingnya, terutama terhadap rakyat jelata
(wong cilik) yang dipandang tidak sederajat. Hal itu telah membuktikan bahwa
sesungguhnya dunia priyayi tidak terungkit oleh apa pun, tidak dapat tersentuh
oleh tangan-tangan rakyat jelata karena mereka memang tidak mempunyai hak
apa-apa dalam dunia priyayi itu. Bahkan kaum priyayi sering menggunakan
kekuasaan dan kekayaan yang dimilikinya hanya untuk memperoleh segala
sesuatu yang diinginkannya.
Rakyat jelata atau yang biasa disebut dengan wong cilik harus selalu
tunduk dan patuh terhadap priyayi. Apa yang diperintahkan priyayi harus
dipatuhinya, mereka tidak diperbolehkan membantah. Demikian juga, dalam hal
58
pernikahan, siapa yang diinginkannya harus bersedia dinikahinya walaupun pada
akhirnya harus ‘diusir’dari kehidupan priyayi. Dalam kehidupan priyayi, belumlah
dianggap menikah jika belum menikah dengan orang yang sederajat dengannya.
Tentu saja hal ini sangat merendahkan harga diri wong cilik yang menikah dengan
priyayi itu.
Kedudukan perempuan Jawa di kalangan priyayi tentu menanggung
konsekuensi yang berat karena segala aturan-aturan mengikat selalu dibebankan
pada setiap perempuan priyayi. Hal itu telah memperlihatkan bahwa
sesungguhnya terdapat perbadaan kedudukan antara perempuan dan laki-laki.
Dalam hal keluhuran budi, kaum perempuan justru dituntut untuk melebihi kaum
laki-laki. Karena alasan itulah, perempuan priyayi cenderung menjadi orang yang
harus memikul beban kebudayaan priyayi.
Seorang perempuan diharapkan selalu dapat memperlihatkan sifat-sifat
yang “sempurna” sebagai wanita. Mereka harus bisa mengatasi dan menempatkan
diri pada situasi apapun. Tak cukup itu saja, mereka juga harus tahan dan bisa
menghadapi segala persoalan dengan tersenyum, tanpa ada keluhan apapun.
Hasil analisis struktural novel Gadis Pantai adalah sebagai berikut.
Analisis alur meliputi perkenalan, konflik, klimaks, antiklimaks, dan
penyelesaian. Analisis tokoh meliputi tokoh sentral (protagonis dan antagonis),
dan tokoh bawahan. Analisis latar terdiri dan tiga bagian, yaitu latar sosial, latar
tempat, dan latar waktu. Latar sosial meliputi adat kebiasaan, keadaan masyarakat,
lingkungan agama, dan bahasa para tokoh.
59
Dalam adat kebiasaan, ditampilkan segala kebiasaan yang selama ini
diakui dan dilakukan oleh masyarakat Jawa. Sehubungan dengan hal itu,
ditampilkan pula keadaan masyarakat yang diwakili oleh dua golongan
masyarakat, yaitu golongan priyayi (kaum bangsawan) dan golongan wong cilik
(rakyat jelata). Oleh karena itulah terdapat suatu keadaan yang menunjukkan
adanya perbedaan yang sangat mencolok di antara kedua golongan masyarakat
tersebut. Dalam hal beragama, khususnya agama Islam yang dianut oleh kedua
golongan masyarakat dan dalam pelaksanaannya ternyata masing-masing
golongan menunjukkan orientasi yang berbeda. Kaum priyayi cenderung lebih
taat melaksanakan perintah agama sedangkan wong cilik hanya pada waktu-waktu
tertentu saja melaksanakan ritual bersembahyang. Bahasa yang ditampilkan pun
berlatar belakang budaya Jawa, seperti nama atau sapaan tokoh, nama tempat,
kosa kata Jawa, dan dialek masyarakat yang tinggal di pesisir pantai.
Latar tempat meliputi latar kampung nelayan dan gedung milik Bendoro.
Latar kampung nelayan di Pantai di Kabupaten Rembang mencakup tempat
tinggal keluarga Gadis Pantai beserta seluruh sanak saudaranya, tempat Gadis
Pantai dilahirkan dan dibesarkan, sekaligus menjadi tempat bagi keluarga
menerima lamaran dan melangsungkan pernikahan Gadis Pantai, sedangkan latar
gedung milik Bendoro mencakup gambaran letak gedung dan bagian-bagian
ruangan dalam gedung Bendoro.
Latar waktu meliputi gambaran waktu terjadinya suatu peristiwa dalam
cerita. Latar waktu dalam novel Gadis Pantai berisikan waktu terjadinya peristiwa
yang hanya disebutkan pagi, siang, sore, dan malam. Sebagian besar cerita
60
mengungkapkan latar waktu yang berkaitan dengan usia Gadis Pantai saat
dinikahkan dan masa-masa perkawinannya dengan Bendoro.
Tokoh utama dalam roman Gadis Pantai yang berlaku sebagai protagonis
adalah Gadis Pantai (Mas Nganten). Hal tersebut dinilai berdasarkan intensitas
keterlibatan tokoh Gadis Pantai sebagai tokoh utama di dalam cerita lebih banyak
dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya. Isi ceritanya pun lebih banyak
mengisahkan perjalanan hidup tokoh Gadis Pantai dengan berbagai persoalan
persoalan hidup yang harus dihadapi dan dijalaninya, sejak ia dinikahkan dengan
Bendoro hingga dirinya diceraikan dan terusir dan gedung Bendoro, suaminya
sendiri.
Hal itu dibuktikan pula pada bagian awal dan akhir cerita dalam roman
Gadis Pantai. Pada bagian awal cerita, ditampilkan pengenalan tokoh Gadis
Pantai sebagai gadis kampung nelayan di sepenggal Pantai di Kabupaten
Rembang. Roman ini diakhiri dengan kisah Gadis Pantai yang menjalani hidup
barunya setelah dirinya diusir oleh Bendoro, ia kembali menjadi seorang sahaya
dan memutuskan untuk hidup sendiri, jauh dan orang-orang yang dicintainya.
Dalam hal ini, judul ceritanya pun telah mengungkapkan siapa yang dimaksudkan
sebagai tokoh protagonis.
Kehadiran tokoh Gadis Pantai sebagai protagonis selalu dipertentangkan
dengan tokoh Bendoro, suaminya sendiri, sebagai tokoh antagonis. Tokoh
bawahan dalam novel Gadis Pantai ini antara lain Emak, Bapak, Pelayan wanita
tua (Mbok), dan Mardinah. Kehadiran masing-masing tokoh bawahan ini
berfungsi sebagai penunjang tokoh utama. Sehubungan dengan itu, tokoh pelayan
61
wanita tua (Mbok) yang menjadi orang kepercayaan bagi Gadis Pantai,
kehadirannya membantu keberadaan tokoh protagonis. Dalam hal ini, tokoh
pelayan wanita tua (Mbok) sebagai tokoh andalan yang berfungsi menyampaikan
pikiran dan perasaan tokoh utama.
Selain itu, metode penokohan atau penyajian watak tokoh yang digunakan
dalam roman Gadis Pantai adalah metode analitik dan dramatik. Kedua metode
tersebut digunakan berdasarkan kepentingannya dalam struktur. Dengan
demikian, dapat diketahui pula watak dan masing-masing tokohnya.
Selanjutnya, hasil analisis struktural tersebut digunakan sebagai dasar
untuk mendeskripsikan nilai-nilai sosial kehidupan masyarakat Jawa baik kaum
priyayi maupun wong cilik. Bendoro sebagai tokoh yang mewakili golongan
priyayi (kaum bangsawan), sedangkan Gadis Pantai disini sebagai tokoh yang
mewakili golongan rakyat jelata (wong cilik). Kenyataan tersebut telah
memberikan suatu gambaran pasti mengenai kedudukan Bendoro dan Gadis
Pantai, kesenjangan antara kaum priyayi dengan wong cilik. Kenyataan akan
perbedaan di antara dua golongan yang melatarbelakangi kedua tokoh tersebut
juga telah mengungkapkan apa yang dialami oleh Gadis Pantai selanjutnya.
Bagi rakyat jelata, menikah dengan seseorang dari golongan priyayi tentu
saja akan mengangkat status sosialnya di lingkungan tempat tinggalnya. Namun,
berbeda sekali dengan priyayi yang tidaklah dianggap sudah menikah bila belum
menikah dengan orang yang sekelas dengannya.
Kedudukan Gadis Pantai sebagai istri seorang priyayi ternyata penuh
dengan konsekuensi dan semuanya itu harus ditanggungnya seorang diri.
62
Akhirnya, keadaan telah membuat Gadis Pantai mengerti dan sadar akan
keberadaannya di dalam rumah Bendoro. Hal itu pulalah yang telah membawanya
pada suatu kenyataan baru yang harus diterimanya, yaitu kenyataan bahwa selama
ini dirinya hanya dianggap sebagai istri percobaan seorang priyayi.
Hubungan sosial di kalangan priyayi sangat terikat pada tatacara dan
bersopan santun. Pergaulan pun sangat dibatasi sehingga menimbulkan
kesenjangan yang mencolok sekali. Masyarakat Jawa terutama di desa ataupun
daerah pesisir pantai masih memegang erat tradisi bergotong royong. Mereka
senantiasa memberikan sambutan dan perlakuan istimewa bagi tamunya, apalagi
kalau tamu itu dari kalangan priyayi.
5.2 Saran
Adanya roman Gadis Pantai ini semakin melengkapi kesusastraan
Indonesia yang telah ada. Roman ini pun cukup menarik untuk dijadikan bahan
bacaan dan pembelajaran karena isi ceritanya banyak mengandung pesan-pesan
yang dapat dijadikan sebagai bahan permenungan.
Saran ini ditujukan pula untuk penelitian selanjutnya karena penulis
menyadari bahwa sebenarnya masih banyak hal yang dapat digali lebih mendalam
lagi dan roman Gadis Pantai ini. Penelitian mengenai nilai-nilai budaya Jawa
dilihat dari aspek peranan perempuan Jawa meskipun sikap bekti, hormat, dan
rukun di kalangan masyarakat Jawa, baik untuk dilakukan. Penelitian itu bisa
menambah pengetahuan pembaca untuk memahami isi dari roman Gadis Pantai
karya Pramoedya Ananta Toer.
67
DAFTAR PUSTAKA
Hardjana, Andre. 1994. Kritik Sastra : Sebuah Pengantar. Jakarta : GramediaPustaka Utama.
Hardjowirogo, Marbangun. 1983. Manusia Jawa. Jakarta : Yayasan Idayu.
Koentjaraningrat. 1979. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta : Djambatan.
Kurniawan, Eka. 2002. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis.Yogyakarta: Jendela.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode, Kritik, danPenerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Rahman, Lisabona. 2003. “Seru Membaca Gadis Pantai.” Majalah On/Off MediaOrang Biasa: Edisi Khusus Pramoedya Ananta Toer.
Semi, Attar. 1984. Kritik Sastra. Bandung : Angkasa.
1993. Anatomi Sastra. Bandung : Angkasa Raya.
Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta : Pustaka Jaya.
Suwondo, Tirto, dkk. 1994. Nilai-nilai Budaya Susastra Jawa. Jakarta : PusatPembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Teew, A. 1997. Citra Manusia Indonesia Dalam Karya Sastra PramoedyaAnanta Toer. Jakarta: Pustaka Jaya.
Toer, Pramoedya Ananta. 2006. Gadis Pantai. Jakarta : Lentera Dipantara.
Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta : Gramedia.
Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta : Pustaka.
63
LAMPIRAN
64
SINOPSIS
Gadis Pantai adalah seorang anak nelayan yang tinggal di pesisir pantai di
Kabupaten Rembang. Ia tumbuh menjadi gadis yang menarik dan menjadi bunga
di kampungnya. Ketika itu Gadis Pantai baru berusia 14 tahun dan tanpa
sepengetahuannya, seseorang telah mencatat di dalam hatinya. Beberapa waktu
kemudian ia pun dinikahkan dengan sebilah keris, wakil seseorang yang tidak
pernah ia kenal sebelumnya. Setelah dinikahkan, Gadis Pantai dibawa ke kota dan
tinggal dalam rumah yang besar.
Kehidupan baru Gadis Pantai telah dimulai. Nasibnya telah berubah, kini
ia menjadi Mas Nganten, istri seorang priyayi. Hidupnya kini penuh dengan harta
dan kemewahan. Ia dibimbing dan dibantu dengan pelayan-pelayan atau bujang.
Ada seorang bujang wanita tua yangt menjadi orang kepercayaannya dan
membantunya dalam segala hal.
Mulanya Gadis Pantai merasa asing dan tidak terbiasa dengan segala
kemewahan, kebiasaan-kebiasaan baru, dan kemudahan-kemudahan yang
ditawarkan padanya. Tanpa disadarinya, ia pun mulai membanding-bandingkan
kehidupan barunya itu dengan kehidupan masa lalunya di kampung nelayan. Ia
merindukan saat-saat bermainnya di pantai dulu.
Dahulu Gadis Pantai hanya tahu melaksanakan perintah kedua orang
tuanya, tapi kini ia sebagai seorang wanita utama, Gadis Pantai dituntut untuk
65
mengabdi pada Bendoro, suaminya dan memberi perintah pada para sahaya,
termasuk pada Emak dan Bapaknya sendiri.
Keberadaan Gadis Pantai di dalam rumah Bendoro tidak terlepas dari
bantuan seorang pelayan wanita tua yang selalu setia melayani dan membantu
segala keperluannya. Dalam waktu yang singkat, bujang tua itu telah berhasil
membimbing Gadis Pantai dan mengubahnya sebagai wanita utama lewat
pendekatan dan persahabatannya.
Pelayan wanita tua itu sering pula berbagi cerita dengan Gadis Pantai
tentang banyak hal. Lewat cerita-ceritanya itu pula, pelayan wanita itu ingin
mengingatkan Gadis Pantai akan nasibnya di masa depan, nasib wong cilik yang
hanya menumpang di tempat priyayi. Perlahan-lahan pikiran Gadis Pantai yang
masih bocah mulai bisa memahami kebiasaan-kebiasaan dan tatacara bersopan
santun priyayi yang ada di rumah besar itu.
Sejak memasuki kehidupan barunya sebagai priyayi, Gadis Pantai mulai
merasa kehilangan masa-masa di kampung nelayan bersama orang-orang yang ia
cintai. Ia rindu pada keluarganya, teman-temannya, dan suasana pantai di
kampung nelayan. Ia bahkan tidak diperkenankan mempunyai seorang sahabat
yang sederajat dengannya, yang ada hanyalah pengabdian, perintah, dan
memerintah.
Sebagai seorang istri, Gadis Pantai dituntut untuk selalu mengabdi pada
Bendoro. Sebagai bentuk pengabdiannya itu, Gadis Pantai harus bersikap tunduk
dan patuh pada Bendoro. Hal itu wajib dilakukan oleh Gadis Pantai karena
dirinya adalah hak milik Bendoro dan menjadi sahaya bagi suaminya sendiri.
66
Perlahan-lahan Gadis Pantai mulai sadar akan keberadaannya di dalam rumah
Bendoro tanpa hak apa pun dan hanya dipandang sama nilainya dengan barang-
barang di rumah itu.
Pengabdiannya itu tidak boleh terlihat cacat, baik dalam penglihatan
maupun perasaan Bendoro. Oleh karena itu, Gadis Pantai berusaha memendam
perasaannya sendiri terhadap orang tua dan kampung halamannya supaya tidak
merusak pengabdian yang dianggap kokoh tersebut.
Pada tahun perkawinan yang kedua, setelah pelayan wanita tua diusir oleh
Bendoro, Gadis Pantai rnendapatkan seorang abdi baru bernama Mardinah,
seorang janda muda dan masih kerabat jauh Bendoro. Mardinah sebenarnya
adalah utusan Bendoro Bupati Demak yang punya maksud mengusir Gadis Pantai
dari rumah Bendoro, dengan tujuan agar anaknya dapat segera menggantikan
posisi Gadis Pantai sebagai istri Bendoro yang sesungguhnya.
Kehadiran Mardinah ini mulai dirasakan Gadis Pantai sebagai suatu
ancaman bagi dirinya. Lewat sindiran-sindiran Mardinah, Gadis Pantai mulai
menyadari bahwa sebenarnya dirinya hanyalah seorang selir, istri percobaan
Bendoro. Ia pun mulai paham segala perangai para Bendoro di rumah-rumah
besar.
Setelah kelahiran anak pertamanya dan tanpa sepengetahuannya pula,
Gadis Pantai telah diceraikan oleh Bendoro secara sepihak dan hanya diberikan
uang pesangon. Gadis Pantai kini telah diusir oleh Bendoro dan tidak
diperbolehkan untuk membawa anak yang baru saja dilahirkannya itu. Ia juga
tidak diperbolehkan Bendoro untuk bertemu dengan anaknya. Kini, semuanya
67
telah berubah dan Gadis Pantai pun terpaksa merelakan semua hak pribadinya
sebagai seorang perempuan, baik hak atas anaknya sendiri maupun haknya
sebagai seorang ibu.
. Pada akhimya, Gadis Pantai memutuskan untuk menempuh jalan
hidupnya sendiri, hidup mandiri dan jauh dan orang tua, sanak-saudara, dan
kampung halamannya. Ia tidak mau kembali ke kampungnya, ia memilih pergi
jauh dari segala sesuatu yang telah dialaminya.
68