PROPOSAL
EKSTRAK PASTA UBI JALAR UNGU (Ipomea batatas L )
MEMPERCEPAT ANGIOGENESIS DAN MENINGKATKAN
JUMLAH FIBROBLAS SOKET MANDIBULA PADA
PENYEMBUHAN LUKA PASCA PENCABUTAN GIGI
MARMUT JANTAN (CAVIA COBAYA)
I GUSTI AYU ARI WIDIASTUTI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu pelayanan kesehatan gigi yang sering dijumpai pada tempat praktek
dokter gigi, klinik swasta, poliklinik, puskesmas maupun rumah sakit adalah pencabutan
gigi. Hal ini disebabkan karena di Indonesia, tingkat pengetahuan dan kesadaran dari
masyarakat tentang pemeliharaan kesehatan gigi masih rendah. Pencabutan gigi
dilakukan pada gigi yang rusak karena infeksi bakteri, trauma, penyakit tertentu yang
tidak memungkinkan untuk dilakukan perawatan, atau karena ketidaknormalan posisi
tumbuh gigi (impaksi) yang sering menimbulkan gangguan.
Pencabutan gigi merupakan tindakan yang menimbulkan luka pada soket gigi.
Luka dapat dengan cepat sembuh akan tetapi tidak jarang pula mengalami berbagai
macam komplikasi yang akan memperlambat proses penyembuhan (Marwadi dkk.,
2002). Komplikasi yang sering terjadi adalah timbulnya dry socket. Hal ini dapat
disebabkan adanya gangguan pada proses penyembuhan luka, akibat dari tidak
terbentuknya fibroblas, pembuluh darah kapiler, dan komponen penyembuhan luka
lainnya (Lestari, 2013; Dharmawan, 2013). Luka adalah hilangnya kontinuitas jaringan
yang merupakan akibat dari trauma mekanis, pengaruh termal, rusaknya suplai darah ke
jaringan atau prosedur pembedahan. Setelah terjadi perlukaan akan terjadi respon
inflamasi yang menyebabkan sel-sel di sekitar luka mulai bekerja meningkatkan produksi
kolagen dan melakukan regenerasi jaringan. Waktu penyembuhan luka dipengaruhi oleh
tipe luka dan perluasan luka. Luka yang dalam dan melibatkan kerusakan pembuluh
darah membutuhkan waktu penyembuhan luka yang lebih lama. Walaupun proses
penyembuhan luka merupakan proses yang natural dan secara alamiah dimiliki makhluk
hidup, namun untuk mempercepat proses penyembuhan luka diperlukan kondisi tertentu
yang mendukung keberlangsungan proses penyembuhan luka (Arun dkk., 2013).
Pencabutan gigi dilakukan dengan cara memisahkan perlekatan tulang alveolar melewati
puncak alveolar dan serat fiber dari ligamen periodontal disertai proses pelebaran soket
gigi. Setelah gigi di ekstraksi, soket gigi ditekan dengan telunjuk dan ibu jari. Perdarahan
di hentikan dengan menekan tampon yang sudah diberi povidon iodin atau pack pada
soket gigi, agar luka soket gigi diikuti dengan pengisian gumpalan darah (Laskin, 1985;
Putra dkk., 2012).
Pasca pencabutan gigi, penyembuhan luka adalah hal yang penting, terutama jika
setelah pencabutan gigi akan dilakukan perawatan lanjutan seperti pembuatan gigi tiruan
maupun perawatan kawat gigi. Disamping osteoblas dan osteoklas, proses regenerasi
soket juga melibatkan proses fibroblas. Selama proses perbaikan tulang yang rusak secara
aktif berproliferasi dan membentuk serat kolagen baru yang akan memberikan
kemampuan pada jaringan untuk melakukan perbaikan dan pembentukan jaringan baru
(Firdaus, 2013).
Proses penyembuhan pada soket bekas ekstraksi gigi melibatkan proses
penyembuhan jaringan lunak, yaitu jaringan ikat dan epitel gingiva serta pada jaringan
keras yaitu tulang alveolar (Widyasari dan Ula, 2012). Penyembuhan luka merupakan
proses dinamis yang meliputi fase inflamasi, fase proliferasi, dan fase maturasi. Fase
inflamasi terjadi segera setelah timbulnya luka meliputi terjadinya vasokontriksi dan
pelepasan mediator peradangan. Pada fase proliferasi ditandai dengan terbentuknya
jaringan granulasi yang tersusun dari fibroblas dan angiogenesis (Panda dkk., 2011).
Proses penyembuhan luka melibatkan banyak unsur sel, sel utama yang terlibat
adalah fibroblas. Sel fibroblas merupakan elemen selular yang paling khas, banyak
ditemukan pada sel jaringan ikat rongga mulut dan berperan penting dalam
perkembangan dan pembentukan struktur jaringan (Pradita dkk., 2013). Fibroblas sangat
diperlukan dalam menentukan prognosis penyembuhan luka. Fibroblas mensintesis
fibronektin yang kaya akan ECM segera setelah memasuki hematoma luka. Fibronektin
yang larut dalam plasma dapat meningkatkan pembekuan darah, membantu proses
penyembuhan luka dan meningkatkan fagositosis (Widyasari dan Ula, 2012).
Pada proses penyembuhan luka, angiogenesis mempunyai peranan yang sangat
penting. Angiogenesis merupakan proses alami yang diperlukan untuk menjaga aliran
darah ke jaringan setelah terjadi luka. Segera setelah terjadi luka, angiogenesis diinisiasi
oleh multiple molecular signals yang meliputi faktor hemostatis, inflamasi, cytokine
growth factors, cell-matrix interactions. Proliferasi kapiler baru ini melalui peristiwa
biologi yang berurutan membentuk jaringan granulasi pada dasar luka. Proses ini
didukung hingga tahap akhir pada proses penyembuhan, ketika angiogenesis dihentikan
oleh level growth factors yang berkurang, inflamasi, stabilisasi matriks jaringan dan
endogenous inhibitor of angiogenesis. Kerusakan pada jalur angiogenesis akan merusak
granulasi dan menunda proses penyembuhan, sehingga akan menjadi luka kronis
(Widyasari dan Ula, 2012).
Apabila terjadi gangguan pada salah satu fase ini, maka proses penyembuhan luka
jaringan tidak dapat berjalan secara optimal atau bahkan berpotensi menimbulkan suatu
masalah baru, seperti perdarahan, pembengkakan, atau infeksi akibat banyaknya
mikroorganisme yang terdapat di dalam rongga mulut (Lestari, 2013). Beberapa peneliti
berpendapat bahwa penggunaan obat pasca pencabutan gigi dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya komplikasi dan diharapkan dapat mempercepat proses
pembekuan darah sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan luka (Khoswanto,
2010).
Proses penyembuhan luka dapat dibantu baik dengan pengobatan secara kimiawi
dan alami. Saat ini perkembangan teknologi farmasi kesehatan di seluruh dunia memang
telah memusatkan perhatiannya pada bahan yang berasal dari alam karena lebih aman
digunakan bila dibandingkan dengan obat yang mengandung bahan kimia. Penelitian
tentang obat alami yang dapat digunakan untuk mempercepat penyembuhan luka pasca
pencabutan gigi telah banyak dilakukan, karena bahan alami memiliki zat aktif yang
sangat bermanfaat dalam penyembuhan luka (Arun dkk., 2013). Zat aktif yang sering
ditemukan pada tumbuhan yaitu senyawa fenol (flavonoid, asam fenolat, polifenol/tanin).
Flavonoid dipercaya sebagai salah satu komponen penting dalam proses penyembuhan
luka dan merupakan antioksidan yang poten (Agarwal dkk., 2008). Jenis flavonoid antara
lain flavonol, flavon, flavan, flavanon, asoflavon, dan antosianin. Senyawa flavanoid ini
terdapat dalam tanaman buah ubi jalar ungu. Ubi jalar ungu memiliki kandungan
antosianin dan senyawa fenol yang tinggi, yang berasosiasi dengan aktivitas
antioksidannya (Ginting dkk., 2011).
Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa beberapa flavonoid yang terdapat
dalam ubi jalar ungu (Ipomea batatas L ) memiliki khasiat antioksidan dan antiinflamasi
(Jawi dan Yasa, 2012; Suda dkk., 2003). Flavonoid bekerja dengan mengurangi lipid
peroksidase, meningkatkan kecepatan epitelisasi dan berfungsi sebagai antimikroba.
Penurunan lipid peroksidase akan mencegah terjadinya nekrosis, memperbaiki
vaskularisasi, dan meningkatkan viabilitas serabut kolagen (Khan, 2012). Kandungan
flavonoid mampu mengatur fungsi sel dengan cara merangsang produksi TGF-β
(Transforming Growth Factor-β) yang dapat meningkatkan migrasi dan proliferasi
fibroblas di daerah jejas luka dan menginduksi VEGF (Vascular Endothelial Growth
Factor) yang berperan dalam pembentukan pembuluh darah baru. Semakin banyak
pembuluh darah baru maka proses penyembuhan luka dapat berlangsung lebih cepat
(Sabir dkk., 2005). Senyawa polifenol/tanin memiliki kemampuan sebagai antimikroba,
dapat meningkatkan epitelisasi, serta meningkatkan pembentukan pembuluh darah
kapiler juga fibroblas. Flavonoid dan tanin juga bertanggung jawab dalam proses wound
contraction (Kalsum dkk., 2012; James dkk., 2010).
Selain kandungan flavanoid dan tanin, umbi ubi jalar ungu (Ipomea batatas L )
memiliki banyak kandungan nutrisi yang sangat bermanfaat bagi tubuh, seperti sumber
vitamin A (β-karoten), vitamin C, vitamin E, thiamin, riboflavin dan K serta mineral dan
banyak trace element serta phytochemical alami lainnya yang telah menunjukkan efek
penyembuhan luka (Bellail dkk., 2012). Berdasarkan hasil penelitian dari Fakultas
Pertanian Unud ditemukan tumbuhan ubi jalar ungu (Ipomea batatas L ) yang umbinya
mengandung antosianin cukup tinggi yaitu berkisar antara 110 mg-210 mg/100 gram3
(Jaya, 2013). Intensitas warna ungu pada umbi ubi jalar ungu (Ipomea batatas L ) berasal
dari akumulasi dari antosianin. Antosianin yang terdapat pada ubi jalar ungu antara lain
cyanidin, pelargonidin, peonidin, dan malvidin (Santoso dan Estiasih, 2014).
Penggunaan umbi ubi jalar ungu (Ipomea batatas L ) untuk menyembuhkan luka
pasca pencabutan dapat dipermudah dengan membuat dalam bentuk sediaan seperti pasta,
dan gel. Pada penelitian ini menggunakan sediaan pasta karena memiliki beberapa
kelebihan seperti bekerja dengan efek lokal, sebagai pelindung untuk pasta mengikat
cairan sekret, pasta lebih baik dari unguentum untuk luka akut dengan tendensi
mengeluarkan cairan, bahan obat dalam pasta lebih melekat sehingga meningkatkan daya
kerja lokal, stabil dalam penggunaan dan penyimpanan, mudah dipakai, mudah
terdistribusi merata, sebagai efek antiinflamasi dalam inflamasi akut, dan sebagai efek
proteksi terhadap kontak makanan dan iritasi mekanik, panas, dan kimia, lebih melekat
pada jaringan sehingga kontaknya dengan jaringan lebih lama. (Ansel, 1985).
Pasta merupakan sediaan semi padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat
yang ditujukan untuk pemakaian luar/topikal. Biasanya dibuat dengan mencampurkan
bahan obat yang berbentuk serbuk dalam jumlah besar dengan vaselin atau paraffin cair
atau dengan bahan dasar tidak berlemak yang dibuat dengan gliserol, mucilago, atau
sabun. Pasta mengandung lebih dari 50% zat padat (serbuk) karena itu pasta merupakan
salep padat, kaku, keras, dan tidak meleleh pada suhu badan maka digunakan sebagai
penutup atau pelindung (Anief, 1993).
Menurut Dewi (2014), di Indonesia, konsumsi ubi jalar ungu di masyarakat cukup
besar, 89% produksi ubi jalar ungu digunakan sebagai bahan pangan dengan tingkat
konsumsi 7,9 kg/kapita/ tahun, sedangkan sisanya dimanfaatkan untuk bahan baku
industri, terutama saus, dan pakan ternak. Penelitian tentang pengaruh pasta ubi jalar
ungu dalam mempercepat angiogenesis dan meningkatkan jumlah fibroblas soket
mandibula pada penyembuhan luka pasca pencabutan gigi pada marmut belum pernah
dilakukan. Berdasarkan hal tersebut maka dari itu timbul keingintahuan peneliti untuk
mengetahui pengaruh ekstrak pasta ubi jalar ungu (Ipomea batatas L ) mempercepat
angiogenesis dan jumlah fibroblas soket mandibula pada penyembuhan luka pasca
pencabutan gigi pada marmut jantan (Cavia cobaya).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas timbul suatu permasalahan :
1. Apakah pemberian pasta ekstrak pasta ubi ungu (Ipomea batatas L ) 10% dapat
mempercepat angiogenesis dan marmut jantan (Cavia cobaya) pasca ekstraksi gigi?
2. Apakah pemberian ekstrak pasta ubi ungu (Ipomea batatas L ) 10% meningkatkan jumlah
fibroblas jumlah marmut jantan (Cavia cobaya) pasca ekstraksi gigi?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pemberian ekstrak pasta ubi jalar ungu (Ipomea batatas L ) 10%
terhadap pencabutan luka setelah tindakan pencabutan gigi marmut jantan (Cavia
cobaya) dapat mempercepat angiogenesis dan meningkatkan jumlah fibroblas.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Pasta ekstrak ubi ungu lebih mempercepat angiogenesis daripada soket mandibula
pasca pencabutan gigi marmut jantan.
2. Pasta ekstrak ubi ungu meningkatkan jumlah fibroblas pada soket mandibula pasca
pencabutan gigi marmut jantan.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi bahwa ekstrak pasta ubi jalar ungu (Ipomea batatas L )
sebagai bahan ilmiah yang digunakan untuk mempercepat penyembuhan luka yang
efektif, mudah digunakan, dan aman khususnya pada penyembuhan luka pasca
pencabutan gigi.
2. Penelitian ini dapat digunakan sebagai pengembangan obat herbal ubi jalar ungu
(Ipomea batatas L ) yang dimanfaatkan sebagai bahan alternatif dalam membantu
penyembuhan luka, khususnya luka setelah pencabutan gigi.
3. Menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya untuk mengembangkan pemanfaatan ubi
jalar ungu (Ipomea batatas L ) di bidang kedokteran gigi.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Luka
Luka didefinisikan sebagai suatu keadaan hilang atau rusaknya sebagian dari jaringan
tubuh. Keadaan tersebut disebabkan oleh multifaktor, seperti trauma benda tajam, benda tumpul,
perubahan fisik, suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, gangguan hewan, radiasi, koloni
mikroba, imunologi yang mengenai jaringan. Luka yang biasa terjadi pada mukosa yaitu abrasi
(lecet), kontusio (memar), hematoma, laserasi, luka tembus (Putra, 2012). Luka dapat merupakan
luka yang sengaja dibuat untuk tujuan tertentu, seperti luka insisi pada operasi atau luka akibat
trauma seperti luka akibat kecelakaan. Beberapa dampak luka yang terjadi yaitu hilangnya
sebagian atau bahkan seluruh fungsi organ yang terkena luka, perdarahan juga pembekuan darah
pada tubuh, timbulnya respon stres simpatis, kemungkinan terjadi kontaminasi bakteri, dan dapat
terjadi kematian sel (Panda, 2011).
Gambar 2.1 Luka (Anonim, 2015)
2.2 Penyembuhan Luka
Penyembuhan adalah proses yang kompleks dan dinamis yang menghasilkan pemulihan
kontinuitas anatomi dan fungsi terputusnya kontinuitas atau hubungan anatomis jaringan sebagai
akibat dari ruda paksa. Respon organisme terhadap kerusakan jaringan/organ serta usaha
pengembalian kondisi homeostasis sehingga dicapai kestabilan fisiologis jaringan atau organ.
Tanpa memandang penyebab, tahapan penyembuhan luka terbagi atas :
a. Fase Hemostasis
Fase awal, kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya platelet yang
berfungsi hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot) dan juga
mengeluarkan substansi vasokonstriksi yang mengakibatkan pembuluh darah kapiler
vasokonstriksi, selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan menutup pembuluh
darah. Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit, dan setelah itu akan terjadi
vasodilatasi kapiler stimulasi saraf sensoris (local sensoris nerve ending), local reflex
action dan adanya substansi vasodilator : histamin, serotonin dan sitokins. Histamin
kecuali menyebabkan vasodilatasi juga mengakibatkan meningkatnya permeabilitas
vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah
luka dan secara klinis terjadi edema jaringan. Eksudasi ini juga mengakibatkan migrasi
sel lekosit terutama neutrofil ke ekstra vaskuler (Sedlarik, 2004).
Pada fase awal setelah pembuluh darah terputus dan mengalami kontriksi dan retraksi
disertai dengan reaksi hemostasis. Komponen hemostasis ini akan melepaskan dan
mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth Factor (EGF), Insuli-like
Growth Factor (IGF), Platelet-derived Growth Factor (PDGF) dan Tranforming
Growth Factor beta (TGF-β) yang berperan untuk terjadinya kemotaksis netrofil,
makrofag, sel mast, sel endotelial, dan fibroblas yang pada tahap selanjutnya keadaan
ini disebut fase inflamasi (Perdanakusuma, 2007).
Gambar 2.2 Fase Hemostasis (Pereira dkk., 2013)
b. Fase Inflamasi
Fase inflamasi berlangsung pada hari ke 0-5 setelah terjadi cedera. Kerusakan sel
memicu reaksi vaskuler kompleks pada jaringan ikat yang terdapat pada pembuluh
darah. Hal ini berguna sebagai proteksi terhadap jaringan yang mengalami kerusakan
untuk tidak mengalami infeksi serta meluasnya luka secara tidak terkendali. Tanpa
adanya proses inflamasi maka tidak akan terjadi suatu proses penyembuhan luka
(wound healing). Luka (wound) mengakibatkan diskontinuitas/kerusakan suatu
struktur jaringan dan menimbulkan perdarahan. Darah keluar dari pembuluh darah
yang rusak sehingga mengisi jaringan yang cedera dan terjadi degranulasi trombosit
serta diikuti oleh pengaktifan faktor Hageman. Kemudian terjadi pengaktifan
komponen kinin, kaskade pembekuan dan pembentukan plasmin (Sarabahi dkk.,
2010).
Situasi ini memperkuat sinyal (kemotaktik) dari daerah terluka yang tidak saja
mengaktifkan pembentukan pembekuan darah yang menyatukan tepi luka tetapi juga
akumulasi dari beberapa mitogen dan menarik zat kimia ke daerah luka. Pembentukan
kinin dan prostaglandin menyebabkan efek vasodilatasi yang diikuti oleh peningkatan
permeabilitas dari pembuluh darah berlanjut kepada suatu keadaan yang bernama
edema atau pembengkakan. Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan akumulasi
leukosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat trombosit akan mengeluarkan mediator
inflamasi Transforming Growth Factor beta 1 (TGF β1) yang juga dikeluarkan oleh
makrofag. Adanya TGF β1 akan mengaktivasi fibroblas untuk mensintesis kolagen.
(Perdanakusuma, 2007).
Sel PMN netrofil adalah sel pertama yang menuju ke daerah luka yang berperan
sebagai peran utama dalam mekanisme early inflamation. Netrofil meningkat dengan
cepat dan mencapai puncak 24-48 jam. Netrofil ini akan memfagositosis debris dan
bakteri serta membunuh bakteri dengan cara melepaskan radikal bebas, membersihkan
luka dan jaringan mati dengan mensekresi protease. Kondisi yang steril/tidak terjadi
infeksi, netrofil berumur pendek dan jumlahnya menurun dengan cepat setelah hari
ketiga (Jayanto, 2012). Netrofil akan mengalami apoptosis dan didegradasi oleh
makrofag. Leukosit lainnya yang memasuki lokasi luka adalah sel T-helper yang
mensekresi sitokin. Sitokin menyebabkan sel T-helper membelah lebih banyak lagi
sehingga terjadi proses inflamasi, vasodilatasi, dan peningkatan permeabilitas kapiler
lebih hebat. Sel T-helper juga akan meningkatkan aktivitas makrofag. Makrofag akan
menggantikan peran PMNs sebagai sel predominan. Platelet dan faktor-faktor lainnya
menarik monosit dari pembuluh darah. Ketika monosit mencapai lokasi luka, maka ia
akan dimatangkan menjadi makrofag. Peran makrofag adalah memfagositosis bakteri
dan jaringan yang rusak dengan melepaskan protease, melepaskan growth factors dan
sitokin yang kemudian menarik sel-sel yang berperan dalam fase proliferasi luka,
memproduksi faktor yang menginduksi dan mempercepat angiogenesis, menstimulasi
sel-sel yang berperan dalam proses re-epitelisasi luka, membuat jaringan granulasi,
dan menyusun matriks ekstraselular (Grabbs dan Smith’s, 2006).
Elemen imun seluler berikutnya termasuk dalam late inflammation adalah makrofag
dan limfosit. Makrofag merupakan turunan dari monosit bersirkulasi, terbentuk karena
proses kemotaksis dan migrasi. Muncul pertama pada 48-96 jam setelah terjadi luka
dan mencapai puncak pada hari ke-3. Makrofag akan tetap ada dalam luka sampai
proses penyembuhan berjalan sempurna. Sesudah makrofag akan muncul limfosit T
dengan jumlah bermakna pada hari ke 5 dan mencapai puncak pada hari ke 7.
Makrofag dan limfosit T penting keberadaannya pada penyembuhan luka normal.
Makrofag melepas faktor pertumbuhan dan substansi lain yang mengawali dan
mempercepat pembentukan jaringan granulasi (Jayanto, 2012).
Fase inflamasi sangat penting dalam proses penyembuhan luka karena berperan
melawan infeksi pada awal terjadinya luka serta memulai fase proliferasi. Inflamasi
dapat terus berlangsung hingga terjadi kerusakan jaringan yang kronis (Grabbs dan
Smith’s, 2006)
Gambar 2.3 Fase Inflamasi (Pereira dkk., 2013)
c. Fase Proliferasi
Fase ini terjadi pada hari ke 3-14 dan ditandai dengan adanya fibroblas di sekitar luka.
Pada fase ini terjadi angiogenesis. Angiogenesis disebut juga sebagai neovaskularisasi,
yaitu proses pembentukan pembuluh darah baru. Aktvitas fibroblas dan epitelial
membutuhkan oksigen, angiogenesis adalah hal yang penting sekali dalam langkah-
langkah penyembuhan luka. Jaringan dimana pembentukan pembuluh darah baru
terjadi, terlihat berwarna merah (eritema) karena terbentuknya kapiler-kapiler di
daerah itu. Seiring dengan terjadinya proliferasi fibroblas, populasi sel keratinosit dan
endotelial ke daerah luka sehingga terjadi angiogenesis. Pembuluh darah yang baru
terbentuk ini mengawali peningkatan jumlah fibroblas ke daerah luka untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi dan untuk memproduksi plasminogen activator dan collagenase.
Setelah pembentukan jaringan yang cukup adekuat, migrasi dan proliferasi sel-sel
endotelial menurun, dan sel yang berlebih akan mati dalam proses apoptosis.
Seiring dengan proses angiogenesis, fibroblas mulai terkumpul di dalam luka.
Fibroblas mulai memasuki daerah luka 2-5 hari setelah fase inflamasi luka berakhir,
dan jumlahnya mencapai puncak pada 1-2 minggu setelah terjadinya luka. Pada akhir
minggu pertama, fibroblas adalah sel utama dalam luka. Fibroplasia berakhir 2 sampai
4 minggu setelah luka terjadi. Pada 2-3 hari setelah terjadinya luka, fibroblas
berproliferasi dan bermigrasi, sehingga nantinya menjadi sel utama yang menjadi
matriks kolagen di dalam area luka. Fibroblas dari jaringan normal bermigrasi ke
dalam area luka. Awalnya fibroblas menggunakan benang fibrin pada fase inflamasi
untuk bermigrasi, melekat ke fibronektin kemudian fibroblas mengendapkan substansi
dasar ke dalam area luka yang selanjutnya akan ditempati kolagen. Salah satu peranan
penting fibroblas adalah menghasilkan kolagen. Fibroblas mulai menghasilkan
kolagen pada hari ke-2 sampai hari ke-3 setelah terjadinya luka, dan mencapai kadar
puncak pada minggu ke-1 hingga minggu ke-3. Produksi kolagen terus berlanjut
secara cepat hingga 2 sampai 4 minggu (Grabbs dan Smith’s, 2006). Fibroblas muncul
pertama kali secara bermakna pada hari ke-3 dan mencapai puncak pada hari ke-7.
Peningkatan jumlah fibroblas pada daerah luka merupakan kombinasi dari proliferasi
dan migrasi. Fibroblas ini berasal dari sel-sel mesenkimal lokal yang berhubungan
dengan lapisan adventisia, pertumbuhannya dipacu oleh sitokin yang diproduksi oleh
makrofag dan limfosit. Fibroblas merupakan elemen utama pada proses perbaikan
untuk pembentukan protein struktural. Fibroblas juga memproduksi kolagen dalam
jumlah besar, kolagen ini merupakan glikoprotein berantai tripel, unsur utama matriks
ekstraseluler yang berguna membentuk kekuatan pada jaringan parut. Kolagen
pertama kali di deteksi setelah hari ke-3 setelah luka, meningkat sampai minggu ketiga
(Grabbs dan Smith’s, 2006). Deposisi kolagen sangatlah penting mengingat kolagen
berperan dalam peningkatan kekuatan luka, sebelum jumlahnya menurun, satu-satunya
yang membuat luka dapat berdekatan satu sama lain adalah fibrin-fibrinectin clot,
yang tidak terlalu kuat untuk menahan suatu luka karena trauma. Kolagen terus
menumpuk sampai tiga bulan. Proses proliferasi fibroblas dan aktivasi sintetik ini
dikenal dengan fibroplasia (Perdanakusuma, 2007).
Revaskularisasi dari luka terjadi secara bersamaan dengan fibroplasia. Tunas kapiler
tubuh baru dari pembuluh darah yang berdekatan dengan luka. Pada hari ke-2 sel
endothelial pembuluh darah mulai bermigrasi sebagai respon stimuli angiogenik.
Proses ini terjadi dari kombinasi proliferasi dan migrasi. Sitokin merupakan stimulant
potensial pada neovaskularisasi, termasuk asidic fibroblast growth factor (aFGF),
epidermal fibroblast growth factor (eFGF), bFGF dan TGT α β.
Pada permukaan luka juga terjadi pembentukan epitel beberapa jam setelah luka. Sel
epitel tumbuh dari tepi luka, bermigrasi ke jaringan ikat yang masih hidup. Epidermis
segera mendekati tepi luka dan menebal dalam 24 jam setelah luka. Ikatan sel basal
dari dermis di dekatnya menjadi longgar. Sel basal membesar dan bermigrasi ke
permukaan luka. Sel basal membelah cepat dan bermigrasi dengan pergerakan
menyilang satu dengan yang lain sampai defek yang terjadi tertutup semua. Ketika
sudah terbentuk jembatan, sel epitel berubah menjadi lebih kolumner dan
meningkatkan aktifitas miotiknya. Proses reepitalisasi sempurna terjadi kurang dari 48
jam pada luka sayat yang tepinya saling berdekatan dan memerlukan waktu lebih
panjang pada luka dengan defek lebar. Stimulator reepitalisasi ini belum diketahui
secara lengkap. Faktor yang diduga berperan adalah EGF, TGFβ, bFGF, PDGF, dan
insulin like growth factor (IGF λ).
Gambar 2.4 Fase Proliferasi (Pereira, 2013)
d. Fase Maturasi
Fase maturasi terjadi saat kadar produksi dan degradasi kolagen mencapai
keseimbangan. Fase ini berlangsung dari hari ke-7 sampai dengan 1 tahun. Segera
setelah matriks ekstrasel terbentuk dimulailah reorganisasi. Pada mulanya matriks
ekstrasel kaya akan fibronektin. Terjadi migrasi sel substratum dan pertumbuhan sel
ke dalam penumpukan kolagen oleh fibroblas. Terbentuk asam hialuronidase dan
proteoglikan dengan berat molekul besar berperan dalam pembentukan matriks
ekstraseluler dengan konsistensi seperti gel dan membantu infiltrasi seluler. Kolagen
berkembang cepat menjadi faktor utama pembentuk matriks. Serabut kolagen pada
permulaan terdistribusi acak membentuk persilangan dan beragregasi menjadi bundle
fibril yang secara perlahan menyebabkan penyembuhan jaringan dan meningkatkan
kekakuan dan kekuatan tegangan. Sesudah 5 hari periode jeda, dimana saat ini
bersesuaian dengan pembentukan jaringan granulasi awal dengan matriks sebagian
besar tersusun dari fibronektin dan asam hialuronidase, terjadi peningkatan cepat dari
kekuatan tahanan luka karena fibrogenesis kolagen. Pencapaian kekuatan tegangan
luka berjalan lambat. Sesudah 3 minggu kekuatan penyembuhan luka mencapai 20%
dari kekuatan akhir. Kekuatan akhir luka lebih lemah dibanding dengan kekuatan kulit
utuh, dengan tahanan maksimal jaringan parut hanya 70% dari kulit tubuh.
Menurut Perdanakusuma (2007), pengembalian kekuatan tegangan berjalan perlahan
karena deposisi jaringan kolagen terus menerus, remodeling serabut kolagen
membentuk bundle kolagen lebih besar dan perubahan dari cross linking inter
molekuler. Remodeling kolagen selama pembentukan jaringan parut tergantung pada
proses sintesis dan katabolisme kolagen. Degradasi kolagen pada luka dikendalikan
oleh enzim kolagenase. Kecepatan sintesis kolagen mengembalikan luka ke jaringan
normal terjadi dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun. Remodeling aktif jaringan parut
akan terus berlangsung sampai 1 tahun dan tetap berjalan dengan lambat seumur
hidup. Pada proses remodeling terjadi reduksi secara perlahan pada vaskularisasi dan
selularitas jaringan yang mengalami perbaikan sehingga terbentuk jaringan parut
kolagen yang relatif avaskuler dan aseluler.
Gambar 2.5 Fase Maturasi (Pereira, 2013)
Gambar 2.6 Fase Penyembuhan Luka (Hutchinson, 1992)
2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
Menurut Grabbs dan Smith’s (2006), faktor-faktor ini secara garis besar dibagi menjadi 2
kelompok yaitu faktor lokal dan faktor sistemik.
1. Faktor lokal meliputi besarnya luka, jenis jaringan yang mengalami luka, lokasi,
bersih dan kotornya luka (kontaminasi) serta kecepatan penatalaksanaannya.
2. Faktor sistemik meliputi keadaan umum penderita beserta kelainan kronik
sebelumnya yang telah di derita, keadaan gizi, penyakit sistem imun, infeksi
bakteri, usia, diabetes, kanker, penyakit genetik, terapi kemoterapi, konsumsi
rokok dan alkohol.
2.4 Angiogenesis
Angiogenesis merupakan proses alami yang sangat penting yang diperlukan pada
penyembuhan luka dan untuk menjaga aliran darah ke jaringan setelah terjadi luka.
Segera setelah terjadi luka, angiogenesis diinisiasi oleh multiple molecular signals yang
meliputi faktor hemostasis, inflamasi, cytokine growth factors, cell matrix interactions.
Proliferasi kapiler baru ini melalui peristiwa biologi yang berurutan membentuk jaringan
granulasi pada dasar luka. Proses ini di dukung hingga tahap akhir pada proses
penyembuhan, ketika angiogenesis dihentikan oleh level growth factors yang berkurang,
inflamasi, stabilisasi matriks jaringan, dan endogenous inhibitor of angiogenesis.
Kerusakan pada jalur angiogenesis akan merusak granulasi dan menunda proses
penyembuhan, sehingga akan menjadi luka kronis.
Menurut William, tahap angiogenesis terdiri dari :
1. Tahap 1 : Angiogenesis Initiation
Kerusakan jaringan menyebabkan pelepasan fibroblast growth factor dasar (bFGF)
biasanya diasingkan dalam sel utuh dan matriks ekstraseluler. Perdarahan dan hemostasis
pada luka juga memulai angiogenesis. Salah satu sel pertama dalam luka akut adalah
trombosit. Trombosit mengandung dan melepaskan pertumbuhan beberapa faktor,
termasuk platelet-derived growth factor (PDGF), VEGF, transforming growth factor
(TGF-α, TGF-β), bFGF, platelet-derived endotel cell growth factors (PD-ECGF), dan
angiopoietin-1 (Ang-1). Faktor-faktor ini merangsang proliferasi endotel, migrasi, dan
pembentukan pembuluh.
2. Tahap 2 : Angiogenesis Amplification
Angiogenesis luka diperkuat oleh peradangan. Makrofag dan monosit, melepaskan
banyak sekali faktor angiogenik yang bermarginasi ke dasar luka, termasuk PDGF,
VEGF, Ang-1, TGF-α, bFGF, interleukin-8 (IL-8), dan tumor necrosis factor alpha
(TNF-α). Beberapa faktor pertumbuhan (PDGFVEGF, dan bFGF) bersinergi dalam
kemampuan mereka untuk vaskularisasi jaringan.
3. Tahap 3 : Proliferasi Vaskular
Granulasi luka menjadi terbukti secara klinis adanya angiogenesis. Hipoksia adalah
pendorong penting berlaku untuk angiogenesis luka. Gradien hipoksia yang ada antara
luka dan jaringan sehat menyebabkan ekspresi gen HIF-1α yang memicu VEGF. VEGF
hadir di kedua jaringan luka dan cairan luka. VEGF memiliki kemampuan untuk
menginduksi menginduksi edema melalui hypermeabilitas, maka nama alternatifnya,
vascular permeability factor (VPF). Hipoksia juga menyebabkan produksi sel endotel
oksida nitrat (NO). NO mempromosikan vasodilatasi dan angiogenesis untuk
meningkatkan aliran darah.
4. Tahap 4 : Stabilisasi vaskular
Pembuluh darah baru terbentuk harus stabil atau matang.
5. Tahap 5 : Angiogenesis Suppression
Pada tahap akhir penyembuhan, angiogenesis ditekan. Tingkat growth faktor menurun
sabagai jaringan normoxia dipulihkan dan meredakan inflamasi. Inhibitor angiogenesis
endogen menjadi dominan. Pericytes yang menstabilkan sel-sel endotel mengeluarkan
bentuk-bentuk penghambatan yang diaktifkan TGF-β yang menghambat proliferasi
vascular. Epidermal interferon-β juga menghambat angiogenesis. Endostatin, hasil
pembelahan kolagen XVIII, hadir sekitar membran dasar dan menghambat vaskularisasi
luka, seperti halnya molekul lain disebut vasostatin.
Gambar 2.7 Tahap-tahap proses angiogenesis (Frisca dkk., 2009)
2.5 Fibroblas
Penyembuhan luka bedah bergantung pada kemampuan perbaikan jaringan ikat.
Penyembuhan luka merupakan proses kompleks yang terdiri dari beberapa tahap dan
dipengaruhi oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal. Proses penyembuhan
diawali dengan proses inflamasi diikuti proses fibroplasia kemudian remodeling jaringan
dan pembentukan jaringan parut. Pada proses inflamasi terjadi pada proses inflamasi
terjadi perubahan vaskuler yang mempengaruhi besar, jumlah, dan permeabilitas
pembuluh darah dan perubahan selular yang menyebabkan kemotaksis ke daerah jejas.
Pada 24 jam pertama setelah perlukaan mukosa terjadi peningkatan sel jaringan
ikat yang baru terutama angioblas tepat di bawah lapisan daerah yang mengalami
keradangan. Setelah proses inflamasi berkurang, dilanjutkan dengan proses fibroplasias
tahap awal yaitu migrasi dan proliferasi fibroblas di daerah jejas. Pada hari ke-3,
sejumlah fibroblas muda terlokalisir pada daerah jejas. Fibroblas dalam jaringan
berpindah dari tepi luka sepanjang benang-benang fibrin di luka. Sintesis kolagen oleh
fibroblas dimulai relatif awal pada proses penyembuhan yaitu pada hari ke 3-5 dan
berlanjut terus sampai beberapa minggu tergantung ukuran luka. Sintesis kolagen oleh
fibroblas mencapai puncaknya pada hari ke-5 sampai hari ke-7. Selanjutnya proses
penyembuhan luka memasuki fase remodeling pada hari ke-14.
Dalam proses penyembuhan luka, sel utama yang terlibat adalah fibroblas.
Fibroblas merupakan elemen selular yang banyak ditemukan pada jaringan ikat gingiva
yang berproliferasi dan aktif mensintesis komponen matriks pada proses penyembuhan
luka dan perbaikan jaringan yang rusak. Fibroblas merupakan bahan dasar pembentuk
jaringan parut dan kolagen yang memberikan kekuatan daya rentang pada penyembuhan
luka jaringan lunak. Pada saat jaringan mengalami keradangan, maka fibroblas akan
segera bermigrasi ke arah luka, berproliferasi dan memproduksi matriks kolagen untuk
memperbaiki jaringan yang rusak.
2.5.1 Definisi fibroblas
Fibroblas (L. fibra, serat: Yunani. blatos, benih: Latin) adalah sel yang
menghasilkan serat dan substansi dasar amorf jaringan ikat biasa. Pada saat sedang aktif
menghasilkan substansi internal, sel ini memiliki juluran sitoplasma lebar atau tampak
kumparan. Sitoplasmanya yang banyak bersifat basofil dan anak intinya sangat jelas,
yang menandakan adanya sintesis protein secara aktif. Fibroblas merupakan salah sel
jaringan ikat dalam rongga mulut yang khas dan berperan penting dalam perkembangan
dan pembentukan struktur jaringan.
2.5.2 Struktur Fibroblas
Fibroblas paling banyak terdapat dalam ligament periodontal dan secara rapat
memenuhi populasi, bentuknya gelondong atau disk flat (pipih) dan mempunyai inti yang
panjang dan ovoid, serta banyak proses sitoplasmik yang panjangnya bervariasi. Struktur
sitoplasmiknya berhubungan dengan fibroblast lain dalam jaringan penghubung manusia.
Fibroblas membawa banyak vakuola sitoplasmik yang berisi serat-serat kolagen yang
pendek dan enzim proteolytic, dimana bukti bahwa fibroblast juga turut serta dalam
pembentukan badan serat melalui resorpsi dari kolagen yang telah dibentuk.
Fibroblas merupakan sel dengan bentuk tidak beraturan, agak gepeng dengan banyak
cabang dan dari samping terlihat berbentuk gelondong atau fusiform. Sitoplasmanya
bergranula halus dan mempunyai inti lonjong, besar di tengah dengan satu atau dua anak
inti jelas.
Pengamatan menggunakan mikroskop electron menampakan aparat golgi secara
jelas dan banyak sekali reticulum endoplasma kasar dalam fibroblas, terutama jika sel
secara aktif memproduksi matrik, seperti pada proses penyembuhan luka. Aktin dan α-
aktinin terletak di sekeliling sel dan miosin terdapat di seluruh sitoplasma. Fibroblas aktif
lebih kecil dan lebih ovoid serta mempunyai sitoplasma asidofilik, nucleus lebih kecil,
memanjang, dan lebih berwarna gelap.
Gambar 2.8 Fibroblas (Mescher, 2009)
2.5.3 Fungsi fibroblas
Fibroblas adalah sel yang paling banyak terdapat dalam jaringan ikat, berfungsi
menghasilkan serat dan substansi interseluler aktif amorf. Fibroblas merupakan sel induk
yang berperan membentuk dan meletakkan serat-serat dalam matrik, terutama serat
kolagen. Sel ini mensekresi molekul tropokolagen kecil yang bergabung dalam substansi
dasar membentuk serat kolagen. Kolagen akan memberikan kekuatan dan integritas pada
semua luka yang menyembuh dengan baik.
Fibroblas merupakan sel yang menghasilkan serat-serat kolagen, reticulum,
elastin, glikosaminoglikan, dan glikoprotein dari substansi interseluler amorf. Pada orang
dewasa, fibroblas dalam jaringan mengalami perubahan. Mitosis hanya tampak jika
organism memerlukan fibroblas tambahan, yaitu jika jaringan ikat cedera. Fibroblas lebih
aktif mensintesis komponen matriks sebagai respon terhadap luka dengan berproliferasi
dan peningkatan fibrinogenesis. Oleh sebab itu, fibroblas menjadi agen utama dalam
proses penyembuhan luka.
2.5.4 Peran Fibroblas pada Penyembuhan Luka
Pada saat jaringan mengalami jejas yang menyebabkan terbentuknya lesi atau
perlukaan, maka proses penyembuhan luka tersebut merupakan fenomena yang kompleks
dan melibatkan beberapa proses. Penyembuhan luka sebagai salah satu prototip dari
proses perbaikan jaringan merupakan proses yang dinamis, secara singkat meliputi proses
inflamasi, diikuti oleh proses fibrosis atau fibroplasia, selanjutnya remodeling jaringan
dan pembentukan jaringan parut.
Proses fibrosis atau fibroplasia dan pembentukan jaringan parut merupakan proses
perbaikan yang melibatkan jaringan ikat yang memiliki empat komponen, yaitu : (a)
pembentukan pembuluh darah baru, (b) migrasi dan proliferasi fibroblas, (c) deposisi
ECM (extracellular matrix), dan (d) maturasi dan organisasi jaringan fibrous
(remodeling). Dari keseluruhan proses yang telah disebutkan diatas, fibroblas memiliki
peran penting pada proses fibrosis yang melibatkan dua dari keempat komponen diatas
yaitu migrasi dan proliferasi fibroblas serta deposisi ECM oleh fibroblas.
Pada proses inflamasi terjadi perubahan vaskuler yang mempengaruhi besar,
jumlah, dan permeabilitas pembuluh darah dan perubahan seluler yang menyebabkan
kemotaksis ke arah jejas setelah proses inflamasi berkurang, dilanjutkan dengan proses
fibrosis tahap awal yaitu migrasi dan proliferasi fibroblas terutama dipacu oleh
transforming growth factor-β, yaitu faktor pertumbuhan yang dihasilkan oleh jaringan
granulasi yang terbentuk selama proses inflamasi. Migrasi dan peningkatan proliferasi
fibroblas di darah jejas akan meningkatkan sintesis kolagen dan fibronektin, serta
peningkatan deposisi matriks ekstraselular.
Pada tahap selanjutnya terjadi penurunan proliferasi sel endotel dan sel fibroblas,
namun fibroblas menjadi lebih progresif dalam mensintesis kolagen dan fibronektin
sehingga meningkatkan jumlah matriks ekstraselular yang berkurang selama inflamasi.
Selain TGF-β, beberapa faktor pertumbuhan lain yang ikut mengatur proliferasi fibroblas
juga membantu menstimulasi sintesis matriks ekstraselular. Pembentukan serabut
kolagen pada daerah jejas merupakan hal yang penting untuk meningkatkan kekuatan
penyembuhan luka. Sintesis kolagen oleh fibroblas dimulai relatif awal pada proses
penyembuhan (hari ke 3-5) dan berlanjut terus sampai beberapa minggu tergantung
ukuran luka. Menurut Sodera dan Saleh (1999), sintesis kolagen oleh fibroblas mencapai
puncaknya pada hari ke-5 sampai ke-7. Proses sintesis ini banyak bergantung pada
vaskularisasi dan perfusi di daerah lunak, dan mencapai hasil optimal dalam lingkungan
yang sedikit asam.
Proses akhir dari penyembuhan luka adalah pembentukan jaringan parut, yaitu
jaringan granulasi yang berbentuk spindle, kolagen, fragmen dari jaringan elastik dan
berbagai komponen matriks ekstraselular. Jadi, pada saat jaringan mengalami perlukaan,
maka fibroblas yang akan segera bermigrasi ke arah luka, berproliferasi dan
memproduksi matriks kolagen dalam jumlah besar yang akan membantu mengisolasi dan
memperbaiki jaringan yang rusak.
2.6 Pencabutan Gigi
2.6.1 Definisi Pencabutan Gigi
Pencabutan gigi atau sering disebut ekstraksi gigi merupakan suatu proses
pengeluaran gigi yang melibatkan satu gigi utuh atar akar gigi dari alveolus dengan alat-
alat pencabutan (forceps), dimana pada gigi tersebut sudah tidak dapat dilakukan
perawatan lagi. Pencabutan gigi juga merupakan operasi bedah yang melibatkan jaringan-
jaringan dari rongga mulut serta keseluruhan, akses yang dibatasi oleh bibir dan pipi. Pada
tindakan ekstraksi gigi perlu dilaksanakan prinsip-prinsip asepsis dan prinsip-prinsip
pembedahan (surgery). Kesatuan dari jaringan lunak dan jaringan keras gigi dalam cavum
oris dapat mengalami kerusakan yang menyebabkan adanya jalur terbuka untuk terjadinya
infeksi yang menyebabkan komplikasi dalam penyembuhan dari luka ekstraksi. Maka,
definisi ekstraksi gigi yang ideal adalah ekstraksi tanpa rasa sakit dengan trauma minimal
terhadap jaringan pendukung gigi, sehingga bekas pencabutan dapat sembuh dengan
sempurna dan tidak terdapat masalah prostetik di masa mendatang (Balaji, 2008).
2.6.2 Indikasi Pencabutan Gigi dan Kontraindikasi Pencabutan Gigi
Gigi perlu di ekstraksi untuk berbagai alasan seperti pada nyeri gigi itu sendiri,
nyeri pada gigi yang mempengaruhi jaringan di sekitarnya, karies sehingga dapat
merugikan gigi tersebut maupun gigi tetangga bila terus dipertahankan atau letak gigi yang
salah. Berikut adalah indikasi dari pencabutan gigi yaitu : (Robinson, 2005)
a) Karies yang parah
Alasan paling umum dan yang dapat diterima secara luas untuk pencabutan gigi
adalah karies yang parah dan melebar. Sejauh ini gigi yang karies merupakan alasan
yang tepat bagi dokter gigi dan pasien untuk melakukan tindakan pencabutan
(Robinson, 2005).
b) Nekrosis pulpa
Sebagai dasar pemikiran, ini berkaitan erat dengan ekstraksi gigi adalah nekrosis
pulpa atau pulpitis irreversibel yang tidak diindikasikan untuk perawatan endodontik.
Mungkin dikarenakan jumlah pasien yang menurun atau perawatan endodontik
saluran akar yang berliku-liku, klasifikasi dan tidak dapat dilakukan perawatan
dengan teknik endodontik standar. Dengan kondisi ini, perawatan endodontik yang
telah dilakukan ternyata gagal untuk menghilangkan nyeri sehingga diindikasikan
untuk dilakukan ektraksi (Peterson, 2003).
c) Alasan orthodontik
Pasien yang akan menjalani perawatan ortodonsi sering membutuhkan pencabutan
gigi untuk memberikan ruang untuk keselarasan gigi. Gigi yang paling sering
diekstraksi adalah premolar satu rahang atas dan bawah, tapi premolar kedua dan gigi
insisivus juga kadang-kadang memerlukan ekstraksi dengan alasan yang sama
(Robinson, 2005).
d) Gigi yang mengalami malposisi
Gigi yang mengalami malposisi dapat diindikasikan untuk ekstraksi dalam situasi
yang parah. Jika gigi mengalami trauma jaringan lunak dan tidak dapat ditangani
oleh perawatan ortodonsi, gigi tersebut harus diekstraksi. Contoh umum ini adalah
gigi molar ketiga rahang atas yang keluar kearah bukal yang parah dan menyebabkan
ulserasi dan trauma jaringan lunak pipi. Dalam situasi gigi yang mengalami
malposisi ini dapat dipertimbangkan untuk dilakukan ekstraksi (Peterson, 2003).
e) Gigi impaksi
Gigi yang impaksi harus dipertimbangkan untuk dilakukan ekstraksi gigi yang
bersifat surgical. Jika terdapat sebagian gigi yang impaksi maka fungsi oklusal
fungsional tidak akan optimal karena ruang tidak memadai, maka harus dilakukan
odontektomi (Peterson, 2003).
f) Gigi pada garis fraktur rahang
Pasien yang mengalami fraktur mandibula atau tulang alveolar seringkali mengalami
pencabutan gigi. Dalam sebagian besar kondidi gigi yang terlibat dalam garis fraktur
dapat dipertahankan, tetapi jika gigi terluka maka pencabutan mungkin diperlukan
untuk mencegah infeksi (Peterson, 2003).
g) Estetik
Terkadang pasien memerlukan pencabutan gigi untuk alasan estetik. Contoh kondisi
seperti ini adalah gigi yang mengalami pewarnaan karena tetracycline atau fluorosis
atau mungkin malposisi yang berlebihan sangat menonjol. Meskipun ada teknik lain
seperti bonding yang dapat meringankan masalah pewarnaan dan prosedur ortodonsi
atau osteotomy dapat digunakan untuk memperbaiki tonjolan yang parah, namun
pasien lebih memilih untuk rekonstruksi ektraksi dan prostetik (Peterson, 2003).
Menurut Wray dkk., 2003, kontra indikasi pencabutan gigi meliputi faktor sistemik
dan faktor lokal. Faktor sistemik dibedakan menjadi kontra indikasi absolut (absolute
contraindications) dan kontra indikasi relatif (relative contraindications).
1. Kontra indikasi absolut mencakup : diabetes yang tidak terkontrol, leukemia, gagal
ginjal, sirosis hati dan gagal jantung (cardiac failure).
2. Kontra indikasi relatif mencakup diabetes terkontrol, hipertensi, penyakit jantung,
pasien dengan terapi steroid, kehamilan, penyakit kuning, toxic goitre, pasien dengan
terapi antikoagulan, nefritis, hipersensitivitas dan pasien dengan pertimbangan medis
(medically compromised patients).
Kontra indikasi lokal meliputi :
1. Infeksi gingival akut
2. Infeksi perikoronal akut
3. Sinusitis maksilaris akut
4. Radiasi
2.6.3 Teknik Pencabutan Gigi
Menurut Balaji (2008), pencabutan gigi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
1. Close or intra-alveolar technique, pada teknik ini gigi dikeluarkan dengan hanya
menggunakan tang atau elevator.
2. Open or trans-alveolar technique, gigi dikeluarkan secara bedah dengan jalan
membuat flap mukoperiosteal serta pengambilan tulang.
2.6.4 Proses Penyembuhan Luka Pencabutan Gigi
Proses penyembuhan luka pada soket pasca pencabutan gigi secara histologi dibagi
dalam beberapa tahap (Andreasen, 1997 ; Pagni dkk., 2012) :
1. Tahap I Koagulum
Segera setelah gigi diekstraksi dari soket gigi, maka pada soket akan terisi dan
membentuk gumpalan darah yang sering disebut dengan mekanisme hemostasis,
terdiri dari eritrosit dan leukosit dengan jumlah yang sama seperti pada peredaran
darah.
2. Tahap II Jaringan Granulasi
Jaringan granulasi terbentuk pada dinding soket 2-3 hari setelah pencabutan yang
merupakan proliferasi dari sel-sel endothelial, kapiler-kapiler dan beberapa leukosit
dan selama 7 hari jaringan granulasi menggantikan tempat dari koagulum.
3. Tahap III Jaringan Konektif
Jaringan konektif awalnya berada pada bagian tepi soket, selama 20 hari setelah
pencabutan menggantikan jaringan granulasi. Jaringan konektif yang baru terdiri dari
sel-sel, kolagen dan serat-serat fiber.
4. Tahap IV Pertumbuhan Tulang
Proses ini dimulai pada hari ke-7 setelah pencabutan, dimulai dari tepi dasar soket,
pada hari ke 38 setelah pencabutan biasanya sudah terisi dengan tulang muda, selama
2-3 bulan tulang telah menjadi mature dan terbentuk trabekula, setelah 3-4 bulan
maturasi tulang telah lengkap seluruhnya.
5. Tahap V Perbaikan Epithelial
Penutupan luka terjadi 4 hari setelah pencabutan gigi dan akan selesai setelah 24 hari.
Penyembuhan soket secara signifikan dipengaruhi oleh usia dan individual, pada
individu berusia 2 dekade aktifitas histologi penyembuhan soket yaitu sekitar 10 hari
setelah pencabutan dan pada individu berusia 6 dekade atau lebih yaitu sekitar 20
hari setelah pencabutan.
Menurut Wray dkk., 2003, kesembuhan luka cabut gigi termasuk pergantian jaringan baru
dan sehat. Adapun secara berurutan prosesnya berlangsung sebagai berikut :
1. Segera setelah pencabutan gigi terjadi perdarahan pada soket gigi dan diikuti oleh
terbentuknya bekuan darah. Dalam sehari pinggiran bekuan darah nampak terjadi
oedema dan infiltrasi neutrofil PMN.
2. Pada hari ke-2 sampai hari ke-4, aktivitas dimulai dari tepi bekuan darah, fibroblas,
dan endotel masuk ke tengah dari tepi soket gigi. Proses ini disebut sebagai
organisasi dari bekuan darah. Perubahan tersebut diikuti oleh kegiatan sel-sel
neutrofil, makrofag, dan osteoklas untuk memusnahkan sel-sel yang nekrotik,
serpihan tulang atau fragmen tulang yang tajam.
3. Pada hari ke-7, epitel akan tumbuh menutupi permukaan soket gigi, diikuti
penurunan jumlah sel radang dan disertai peningkatan jumlah jaringan ikat
4. Pada hari ke-10 sampai ke-15, tepian soket gigi mulai terbentuk osteoid dan
immature bone. Pada saat tersebut dimulai pembentukan osteoid dan jaringan tulang
primer dari dasar soket menuju ke permukaan koronal luka, dan dari tepian soket
menuju ke tengah soket.
5. Pada minggu ke-3 hingga ke-6, organisasi trabekula tulang pasa soket gigi telah
terjadi kemudian diisi dengan jaringan tulang sekunder dan diikuti pembentukan
jaringan tulang primer pada keseluruhan soket gigi sebagai parameter tercapainya
kesembuhan luka bekas pencabutan gigi.
Kriteria tercapainya proses penyembuhan luka pada soket bekas pencabutan diawali
dengan pembentukan bekuan darah pada soket tersebut, karena kualitas dan kuantitas
bentukan bekuan darah mempengaruhi kelanjutan proses penyembuhan seperti
reepitelisasi, angiogenesis, deposisi matriks, dan remodelling, yang mendukung proses
penyembuhan luka pada soket bekas pencabutan gigi. Kualitas dan kuantitas bekuan
darah yang terbentuk pada soket bekas pencabutan di pengaruhi baik faktor lokal
maupun sistemik (Astika, 2012).
2.7 Ubi Jalar Ungu
2.7.1 Deskripsi dan Taksonomi Tanaman Ubi Jalar Ungu
Ubi jalar atau disebut ketela rambat atau “sweet potato” diduga berasal dari Benua
Amerika. Para ahli botani dan pertanian memperkirakan daerah asal tanaman ubi jalar adalah
Selandia Baru, Polinesia, dan Amerika bagian tengah. Nikolai Ivanovich Vavilov, seorang ahli
botani Soviet, memastikan daerah sentrum primer asal tanaman ubi jalar adalah Amerika
Tengah. Ubi jalar mulai menyebar ke seluruh dunia, terutama negara-negara beriklim tropika
pada abad ke-16. Orang-orang Spanyol menyebarkan ubi jalar ke kawasan Asia, terutama
Filipina, Jepang, dan Indonesia (Sarwono, 2005).
Di Asia, negara produsen ubu jalar terbesar adalah negara Cina. Umbi dari tanaman ubi
jalar merupakan salah satu dari sumber karbohidrat terpenting di dunia terutama Asia dan Afrika.
Warna kulit umbi beragam mulai dari putih, kuning, coklat, merah, hingga ungu. Seperti hanya
kulit umbi, daging ubi jalar juga beragam warnanya, yaitu putih, kuning, oranye, merah, atau
ungu. Ubi jalar dengan warna daging ungu banyak digunakan sebagai sumber pewarna alami
(Seafast, 2012).
Tanaman ubi jalar termasuk tumbuhan semusim. Ubi jalar terdiri atas batang, daun,
bunga, buah (umbi), dan biji. Batang tanaman berbentuk bulat, berbuku-buku, dan tumbuh tegak
atau merambat (menjalar).panjang batang tanaman tipe tegak antara 1 m - 2 m, sedangkan pada
tipe merambat (menjalar) antar 2 m – 3 m. Ukuran batang terdiri dari tiga jenis, yaitu besar,
sedang, dan kecil. Biasanya batang berwarna hijau tua sampai keungu-unguan (Rukmana, 1997).
Menurut ilmu taksonomi, tanaman ubi jalar berwarna ungu dimasukkan dalam klasifikasi
sebagai berikut (Juanda dan Cahyono, 2000) :
Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji)
Subdivisi : Angiospermae (berbiji tertutup)
Kelas : Dicotyledonae (biji berkeping dua)
Ordo : Convolvulales
Famili : Convolvulaceae (suku kangkung-kangkungan)
Genus : Ipomea
Spesies : Ipomea batatas L. sin batatas edulis choisy
Ubi jalar yang nama latinnya Ipomea batatas adalah merupakan tanaman yang menjalar.
Tanaman ini termasuk keluarga Convoloulaceae dan satu keluarga dengan tanaman kangkung.
Ubi jalar merupakan jenis tanaman tropis. Untuk setiap daerah memiliki nama sesuai dengan
bahasa daerah setempat. Misalnya telo rambat, telo elung, ubi jendral dan sebagainya (Suparman,
2010).
Umbi ubi jalar ada yang berbentuk bulat atau lonjong dengan warna kulit umbi juga
bervariasi yaitu putih, kuning, ungu atau jingga. Warna daging umbinya juga bervariasi antara
putih, kuning, jingga dan ungu muda. Tekstur dagingnya ada yang masir (empuk) dan ada yang
berair. Rasanya ada yang manis. Bila umbinya disimpan dalam waktu yang lama rasanya akan
semakin manis (Danarti dan Najiyati, 1999).
Tanaman ubi jalar dapat dipanen bila umbi-umbinya sudah tua (matang fisiologis). Ciri
fisik ubi jalar matang, antara lain bila kandungan tepungnya sudah maksimum, ditandai dengan
kadar serat yang rendah dan bila direbus (dikukus) rasanya enak serta tidak berair. Penentuan
waktu panen ubi jalar didasarkan atas umur tanaman. Jenis atau varietas ubi jalar berumur
pendek (genjah) dipanen pada umur 3-3,5 bulan (Sonhaji, 2007).
Gambar 2.9 Ubi Jalar Ungu dan Tanaman Ubi Jalar Ungu
2.7.2 Komposisi Kimia Ubi Jalar Ungu
Ubi jalar mengandung kalori yang tinggi. Kandungan bahan kering rata-rata 30%, yang
terdiri dari atas karbohidrat 75-95%, lemak sekitar 0,4%, kandungan protein selitar 1,5% - 2,5%.
Ubi jalar ungu merupakan sumber vitamin C yang baik. Ubi jalar ungu mentah mengandung
penghambat tripsin yang mengurangi ketercernaan protein, namun proses pengolahan ubi jalar
sebelum di konsumsi dapat menghilangkan penghambat tripsin (Rubatzky dan Yamaguchi,
1998).
Ubi jalar ungu merupakan sumber vitamin dan mineral. Vitamin yang terkandung dalam
ubi jalar adalah vitamin A (β-karoten), vitamin C 22,7 mg, vitamin E, thiamin (vitamin B1),
riboflavin (vitamin B2), B6, dan K serta tidak mengandung kolesterol. Mineral yang terkandung
dalam 100 g ubi jalar segar adalah zat besi (Fe) 0,61 mg, fosfor (P), kalsium (Ca) 30 mg,
magnesium (Mg) 25 mg, seng (Zn) 0,30 mg, selenium (Se) 0,6 mg, kalium (K) 337 mg dan
natrium (Na). kandungan gizi lainnya yang terdapat dalam 100g ubi jalar segar yaitu 76 kalori
yang terdiri atas karbohidrat 17,6 g, protein 1,57 g, lemak 0,07 g, serat 3 g, dan abu (Juanda dan
Cahyono, 2000 ; Hidayat, 2006).
Ubi jalar mengandung antioksidan yang menguntungkan bagi kesehatan. Menurut Juanda
dan Cahyono (2000), ubi jalar mengandung β-karoten yang cukup tinggi dibanding dengan jenis
tanaman lainnya yaitu mencapai 7100 IU. Selain itu ubi jalar merupakan sumber karbohidrat dan
sumber kalori yang cukup tinggi. Total kandungan antosianin ubi jalar varietas Ayamurasaki
bervariasi pada setiap tanaman, yaitu berkisar antara 20mg/100mg sampai 924 mg/100 g berat
basah. Pigmennya lebih stabil dibandingkan antosianin dari sumber lain, seperti kubis merah,
elderberi, bluberi, dan jagung merah. Kandungan nutrisi ubi jalar ungu juga lebih tinggi dari ubi
jalar varietas lain, terutama kandungan lisin, Cu, Mg, K, Zn yang berjumlah rata-rata 20%.
Kestabilan dan kandungan antosianin yang lebih tinggi pada ubi jalar ungu daripada
sumber lain, menjadikannya sebagai pilihan alternatif pewarna alami. Beberapa industri
pewarna dan minuman beralkohol di Jepang menggunakan ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki
sebagai bahan baku penghasil antosianin. Ubi jalar ungu juga telah dikembangkan dalam bentuk
es krim, sirup, mie, pia, dan yogurt (Koswara, 2013). Kandungan antosianin (zat warna pada
tanaman) dari ubi jalar ungu berkisar antara 14,68-210 mg/ 100 gram bahan. Besar kandungan
antosianin dalam ubi jalar ungu tergantung pada intensitas warna pada umbi tersebut. Semakin
ungu warna umbinya, maka kandungan antosianinnya semakin tinggi (….). Komposisi kimia ubi
jalar ungu dapat dilihat pada tabel, yaitu sebagai berikut :
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Ubi Jalar Ungu
2.7.3 Kandungan dan Khasiat Ubi Jalar Ungu (Ipomea batatas L.)
Dilihat dari kandungan gizinya yang cukup lengkap, ubi jalar dapat memenuhi kebutuhan
gizi bagi kesehatan tubuh. Zat-zat yang terkandung dalam ubi jalar dapat mencegah berbagai
penyakit, membangun sel-sel tubuh, menghasilkan energi, dan meningkatkan proses
metabolisme tubuh (Juanda dan Cahyono, 2000). Ubi jalar mengandung senyawa yang berfungsi
sebagai antioksidan (β-karoten dan antioksidan) pada daging umbinya. Antioksidan adalah
senyawa yang penting bagi kesehatan karena dapat mengurangi resiko terkena berbagai penyakit
(Suhartini, 2009).
Antosianin yang terkandung dalam ubi jalar juga memiliki fungsi fisiologis seperti
antioksidan, antikanker, antibakteri, perlindungan terhadap kerusakan hati, pencegah penyakit
jantung, dan stroke. Ubi jalar ungu bisa menjadi antikanker karena mengandung zat aktif berupa
selenium dan iodine, serta jumlahnya dua puluh kali lipat lebih tinggi dari jenis ubi jalar lainnya.
Ubi jalar ungu memiliki aktivitas antioksidan 2,5 kali dan antibkateri 3,2 kali lebih tinggi
daripada beberapa varietas bluberi (Koswara, 2013)
Menurut Setyawan 2015, kandungan serat pangan yang terdapat pada ubi jalar sangat
baik untuk antiinflamasi dan anti perdarahan.
Ubi jalar ungu merupakan bahan pangan sumber energi dalam bentuk gula dan
karbohidrat, mengandung vitamin dan mineral yang dibutuhkan tubuh antara lain kalsium dan
zat besi, vitamin A dan C. Ubi jalar ungu juga banyak mengandung serat pangan sehingga
dengan mengkonsumsi ubi jalar dapat mengurangi penyakit pencernaan seperti kanker usus dan
lever (BPTPY, 2008).
Ubi jalar ungu mengandung antosianin yang merupakan zat warna pada tanaman.
Kandungan antosianin dalam ubi jalar ungu tergantung pada intensitas warna ungu pada
umbinya, makin ungu warna umbi, maka kandungan antosianin makin tinggi (BPTPY, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian, umbi ubi jalar ungu mengandung antosianin cukup tinggi yaitu
berkisar antara 110 mg sampai 210 mg/100 gram (Jawi, dkk., 2008).
Senyawa antosianin pada ubi jalar ungu merupakan pigmen yang berfungsi sebagai
komponen pangan sehat. Antosianin yang terkandung dalam ubi jalar ungu mampu menghambat
laju perusakan sel radikal bebas akibat nikotin, polusi udara dan bahan kimia lainnya. Antosianin
berperan dalam mencegah terjadinya penuaan, kemerosotan daya ingat dan kepikunan, polyp,
asam urat, asam lambung, penyakit jantung koroner, penyakit kanker dan penyakit degenerative,
seperti arterosklerosis. Selain itu, antosianin juga memiliki kemampuan sebagai antimutagenik
dan antikarsinogenik terhadap mutagen dan karsinogen yang terdapat pada bahan pangan dan
olahannya, mencegah gangguan pada fungsi hati, anti hipertensi dan menurunkan kadar gula
darah. Hampir semua zat gizi yang terkandung dalam ubi jalar ungu mendukung kemampuannya
memerangi serangan jantung koroner (Hasyim dan Yusuf, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian Jawi dkk., (2008), dapat diketahui bahwa ekstrak ubi jalar
ungu atau sirup umbi jalar ungu dapat menurunkan kadar MDA (Malon Dialdehyde) darah dan
hati setelah pemberian beban maksimal pada mencit. Selain itu, pemberian ekstrak ubi jalar ungu
dapat mencegah kerusakan hati akibat aktivitas fisik maksimal pada mencit. Konsumsi
antosianin yang diperbolehkan per hari menurut ADI (Acceptable Daily Intake) sebesar 0-0,25
mg/kg berat badan, apabila dikonsumsi secara berlebihan dapat menyebabkan keracunan
(BPTPY, 2008).
Komposisi kimia ubi jalar ungu secara kimia dapat dilihat pada tabel 2.1 kandungan
nutrisi ubi jalar ungu lebih tinggi bila dibandingkan ubi jalar golongan lain, terutama lisin, Cu,
Mg, K, Zn rata-rata 20%.
2.7.3.1 Senyawa Fenol
Tiga jenis senyawa fenol yang umum adalah flavonoid, asam fenolat, polifenol (tanin)
dan biasanya dianalisis sebagai total fenol. Jenis flavonoid antara lain flavonol, flavon, flavan,
flavanon, asoflavon, dan antosianin. Asam fenolat terdiri atas golongan asam benzoat (seperti
asam galat) dan golongan asam sinamat (seperti asam kafeat dan asam klorogenat). Angka total
fenol biasanya dinyatakan setara dengan asam galat, jenis asam fenolat yang banyak terdapat
pada buah-buahan, bunga, dan daun tanaman.
Bentuk ester fenol yang menyusun sebagian besar umbi jalar ungu adalah asam
klorogenat dan asam isokloregenat. Secara struktural, asam klorogenat adalah ester asam kafeat
yang memiliki unit 3-hidroksil dengan rumus C16H18O9. Telah dilaporkan total fenol yang lebih
tinggi pada delapan klon ubi jalar ungu dengan kisaran 1.120-2.779 mg setara asam galat/100 g
bb. Kandungan fenol pada ubi jalar ungu 4,9-6,7 kali lebih tinggi dibanding ubi jalar kuning dan
putih serta 2,5-3,2 kali lebih tinggi daripada blueberry. Tingginya kandungan antosianin dan
senyawa fenol pada ubi jalar ungu berasosiasi dengan aktivitas antioksidannya yang tinggi.
Asam klorogenat sebagai penyusun utama senyawa fenol pada ubi jalar yang termasuk golongan
asam sinamat, juga memiliki kemampuan antioksidan lebih tinggi daripada golongan asam
benzoat.
2.7.3.2 Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan suatu
tanaman dan bisa dijumpai pada bagian umbi, daun, akar, kayu, kulit, tepung sari bunga, dan biji.
Kandungan flavonoid berfungsi sebagai antioksidan, antimikroba, dan juga antinflamasi pada
luka bakar. Flavonoid dapat membantu penyembuhan luka dengan meningkatkan pembentukan
kolagen, menurunkan makrofag, dan edema jaringan serta meningkatkan jumlah fibroblas. Onset
nekrosis sel dikurangi oleh flavonoid dengan mengurangi lipid peroksidasi. Penghambatan lipid
peroksidasi dapat meningkatkan viabilitas serat kolagen, sirkulasi darah, mencegah kerusakan sel
dan meningkatkan sintesis DNA (Reddy dkk., 2011)
2.7.3.2 Antosianin
Antosianin merupakan kelompok pigmen yang dapat larut di dalam air dan berperan
memberi warna ungu pada tumbuhan. Secara kimia antosianin merupakan turunan suatu struktur
aromatik tunggal, yaitu sianidin dan semuanya terbentuk dari pigmen sianidin ini dengan
penambahan dan pengurangan gugus hidroksil atau dengan metilasi. Antosianin tidak mantap
dalam larutan netral atau basa. Karena itu antosianin harus diekstraksi dari tumbuhan dengan
pelarut yang mengandung asam asetat atau asam hidroklorida (misalnya methanol yang
mengandung 1% HCL pekat) dan larutannya harus disimpan di tempat gelap serta sebaiknya
didinginkan. Antosianin adalah aglikon antosianin yang terbentuk bila antosianin dihidrolisis
dengan asam. Antosianin terdapat enam jenis secara umum, yaitu : sianidin, pelargonidin,
peonidin, petunidin, malvinidin, dan delfinidin.
Antosianin merupakan senyawa berwarna yang bertanggung jawab untuk kebanyakan
warna merah, biru, dan ungu pada buah, sayur, dan tanaman hias. Senyawa ini termasuk dalam
golongan flavonoid. Struktur utamanya ditandai dengan adanya dua cincin aromatik benzena
(C6H6) yang dihubungkan dengan tiga atom karbon yang membentuk cincin. Antosianin disusun
dari sebuah aglikon (antosianidin) yang teresterefikasi dengan satu atau lebih gugus gula
(glikon). Kebanyakan antosianin ditemukan dalam enam bentuk antosianidin, yaitu pelargonidin,
sianidin, peonidin, delfinidin, petunidin, dan malvidin. Gugus gula pada antosianin bervariasi,
namun kebanyakan dalam bentuk glukosa, ramnosa, galaktosa, atau arabinosa. Gugus gula ini
bisa dalam bentuk mono atau disakarida dan dapat diasilasi dengan asam fenolat atau asam
alifatis. Terdapat sekitar 539 jenis antosianin yang telah diekstrak dari tanaman. Secara visual,
rumus struktur antosianin disajikan pada gambar 2.11 (Seafast, 2012).
Gambar 2.10 Struktur Antosianin (Seafast, 2012).
Substitusi beberapa gugus kimia pada rangka antosianin dapat mempengaruhi warna yang
diekspresikan oleh antosianin dan kestabilannya. Penambahan gugus glikosida atau peningkatan
jumlah gugus hidroksi bebas pada cincin A (Gambar 2.11) menyebabkan warna cenderung biru
dan relatif tidak stabil (Seafast, 2012).
Antosianin memiliki kemampuan yang tinggi sebagai antioksidan karena kemampuannya
menangkap radikal bebas dan menghambat peroksidasi lemak, penyebab utama kerusakan sel
yang berasosiasi dengan terjadinya penuaan dan penyakit degeneratif. Pada penelitian yang telah
dilaporkan bahwa antosianin sebagai antimutagenik dan antikarsinogenik dan dapat mencegah
gangguan pada fungsi hati, hipertensi, dan antihiperglikemik (Suda dkk., 2003)
2.7.3.3 Polifenol (Tanin)
Tanin merupakan senyawa phenolic yang larut air. Tanin berpotensi sebagai antioksidan
yang melindungi dari kerusakan oksidatif seperti kanker, arthritis dan penuaan. Kandungan tanin
berguna sebagai astringen atau menghentikan perdarahan, mempercepat penyembuhan luka dan
inflamasi membran mukosa, serta regenerasi jaringan baru. Selain itu kandungan tanin
mempunyai kemampuan antioksidan dan antibakteri. Kandungan tanin mempercepat
penyembuhan luka dengan beberapa mekanisme seluler yaitu membersihkan radikal bebas dan
oksigen reaktif, meningkatkan penutupan luka serta meningkatkan pembentukan pembuluh darah
kapiler juga fibroblas (Kalsum, 2012).
2.7.3.4 Vitamin B dan Vitamin C
Vitamin B1 dalam ubi jalar ungu berperan sebagai koenzim penting dalam tubuh selama
jalannya proses metabolik dalam penyembuhan luka melalui produksi adenosine trifosfat (ATP)
dalam metabolisme karbohidrat yang menghasilkan energi untuk respon inflamasi. Sementara
vitamin B2 yang juga merupakan koenzim dalam metabolisme karbohidrat, juga menjalankan
fungsi sebagai antioksidan (Gray dan Cooper, 2001). Vitamin C juga terdapat dalam ubi jalar
ungu, berperan dalam mensintesis kolagen, proteoglikan, dan matriks ekstraseluler jaringan baik
tulang, kulit, pembuluh darah, maupunjaringan ikat lainnya (McKay dan Miller, 2003). Vitamin
C akan membantu menyediakan komponen serabut kolagen dan elastin yang diperlukan untuk
kekuatan tarik jaringan baru yang terbentuk dari proses penyembuhan luka (Falanga, 2008).
2.8 Iodine Povidon
2.8.1 Definisi Iodin Povidon
Iodin povidon merupakan salah satu antiseptik dari golongan halogen. Senyawa ini
merupakan kompleks antara iodin dengan polivinilpirolidon. Bentuk kompleks ini merupakan
bentuk iodofor, yaitu campuran iodin dengan surfaktan yang bekerja sebagai pembawa dan
pelarut iodin. Golongan ini berdaya aksi dengan cara oksidasi, namun tidak efektif untuk
membunuh beberapa jenis bakteri. Iodin povidon merupakan polimer larut air yang mengandung
sekitar 10% iodin. Iodin povidon ditoleransi kulit dengan baik, tidak memperlambat
penyembuhan luka, dan dapat meninggalkan deposit iodin aktif yang dapat menciptakan efek
berkelanjutan. Keuntungan antiseptik berbasis iodin adalah memiliki cakupan aktivitas
antimikroba yang luas. Iodin dapat membunuh semua patogen utama berikut spora-sporanya,
yang sulit diatasi oleh desinfektan dan antiseptik lain (Burks, 1998).
Iodin povidon (povidone-iodine, PVP-I) adalah sebuah polimer larut air yang
mengandung sekitar 10% iodin aktif, jauh lenih ditoleransi kulit, tidak memperlambat
penyembuhan luka, dan meninggalkan deposit iodin aktif yang dapat meninggalkan deposit iodin
aktif yang dapat menciptakan efek berkelanjutan. Keuntungan antiseptik berbasis iodin adalah
cakupan luas aktifitas mikrobanya. Iodin mematikan semua patogen utama berikut spora-
sporanya, yang sulit diatasi oleh desinfektan dan antiseptik lain (Sneader, 2005).
Iodin povidon merupakan antiseptik yang telah digunakan dalam perawatan luka selama
lebih dari 150 tahun. Formulasi tradisional yodium memiliki keterbatasan serius yang berkurang
dalam produk nanti. Banyak yang telah ditulis tentang iodin, dan opini tentang kemanjuran klinis
dibagi. Ada review dari sifat kimia iodin, aktivitas antimikroba yang, fisiologi manusia,
sitotoksisitas dan efektivitas klinis, tetapi hanya sedikit yang ditangani semua aspek. Dengan
perkembangan terbaru dari produk perawatan luka yang mengandung iodin dan publikasi terus
laboratorium dan studi klinis, tampaknya tepat untuk menilai kembali bukti yang berkaitan
dengan efektivitas iodin untuk mengobati luka. Tinjauan pustaka ini mencoba untuk memberikan
kimia yang tepat dan latar belakang fisiologis karakteristik iodin dalam rangka memberikan
dasar yang kuat untuk memahami data mikrobiologi dan klinis yang tersedia. Ini akan
menunjukkan bahwa memahami faktor-faktor yang berkontribusi terhadap aktivitas dan
sitotoksisitas potensi iodin yang penting dalam mengevaluasi bukti klinis. Meskipun studi
definitif diperlukan, pengiriman berkelanjutan dosis rendah yodium bebas menawarkan potensi
untuk menghambat berbagai spesies mikroba tanpa memilih untuk strain resisten atau
menginduksi efek sitotoksik (Sibbald dkk., 2011).
2.8.2 Struktur Kimia Iodin Povidon
Iodin povidon adalah senyawa larut air yang merupakan komplek senyawa iodine dengan
polyvinylpyrrolidone, dengan konsentrasi iodine mulai dari 9 5 sampai dengan 12 % dihitung
berdasarkan berat kering. Iodin povidon mempunyai rumus bangun (C6H9NO)n.xl (Kapten,
2013). Struktur kimia dari iodin povidon dapat dilihat pada gambar 2.11.
Gambar 2.11 Struktur Kimia Iodin Povidon (Kapten, 2013).
2.8.3 Mekanisme Kerja Iodin Povidon
Iodine povidon bekerja dengan menghancurkan dinding sel iodin povidon bersifat
bakteriostatik dengan kadar 640 μg/ml dan bersifat bakterisid pada kadar 960 μg/ml.
Mikobakteria tuberkulosa bersifat resisten terhadap bahan ini. Iodine povidon memiliki toksisitas
rendah pada jaringan, tetapi detergen dalam larutan pembersihnya akan lebih meningkat
toksisitasnya (Peter dkk., 1992). Dalam 10% iodin povidon mengandung 1% iodiyum yang
mampu membunuh bakteri dalam 1 menit dan membunuh spora dam waktu 15 menit
(Ganiswara, 1995).
2.8.4 Keuntungan dan Kerugian Iodin Povidon
Iodin povidon memiliki aktivitas antimikroba yang paling luas karena dapat membunuh
semua pathogen yang penting, bahkan dapat membunuh spora di mana spora merupakan salah
satu bentuk dari mikroorganisme yang paling sulit dibunuh oleh desinfektan dan antiseptik.
Iodine povidon merupakan antiseptik golongan iodin yang menyebabkan sedikit iritasi kulit dan
jarang menimbulkan reaksi alergi jika dibandingkan dengan antiseptik iodin lainnya, namun
lebih sering menyebabkan dermatitis kontak iritan jika digunakan untuk pencuci tangan (Kapten,
2013). Keuntungan dari zat aktif povidon iodin sebagai antiseptik yaitu tidak merangsang,
mudah dicuci karena larut dalam air dan stabil karena tidak menguap. Penggunannya yang
berulang kali akan mengendap sehingga efeknya bertahan lama (Tjay dan Raharjadja, 2007).
Keuntungan lainnya yaitu povidon iodin akan tetap aktif pada luka yang terdapat darah, nanah,
serum dan jaringan neukrotik (Lukmanto, 1986). Warna coklat dan baunya merupakan sifat obat
ini yang kurang menguntungkan (Gunawan, 2007).
2.9 Aplikasi Topikal
Obat topikal merupakan salah satu bentuk obat yang sering dipakai dalam terapi, yang
terdiri dari vehikulum (bahan pembawa) dan zat aktif. Saat ini banyak sediaan topikal yang
tersedia ditujukan untuk mendapat efikasi maksimal zat aktif obat dan menyediakan alternative
pilihan bentuk sediaan yang terbaik. Kata topikal berasal dari bahasa Yunani topikos yang
artinya berkaitan dengan daerah permukaan tertentu. Dalam literatur lain disebutkan kata topikal
berasal dari kata topos yang berarti lokasi atau tempat. Secara luas obat topikal didefinisikan
sebagai obat yang dipakai di tempat lesi.
Sediaan semi padat adalah bentuk sediaan dengan konsistensi semi padat (setengah
padat) yang digunakan untuk pemakaian luar, diaplikasikan pada kulit (kulit sehat, sakit, atau
terluka) atau membran mukosa (mulut, hidung, mata, rektal) biasanya mengandung bahan obat
atau zat aktif. Bahan obat harus larut atau terdispers homogen di dalam basis pembawa. Sediaan
semi padat dapat ditujukan untuk pengobatan lokal atau sistemik (Sulaiman dan Rina, 2008).
Pasta ialah campuran salep dan bedak sehingga komponen pasta terdiri dari bahan salep
misalnya vaselin dan bahan bedak seperti talcum, oxydum zindicum. Pasta merupakan salep
padat, kaku yang tidak meleleh pada suhu tubuh dan berfungsi sebagai lapisan pelindung pada
bagian yang diolesi. Pasta pada dasarnya merupakan salep yang mengandung prosentase tinggi
bahan padat tapi tidak larut, yaitu bisa mencapai 50% sistem menjadi kaku akibat adanya
interaksi langsung partikel terdispersi. Pasta cocok digunakan sebagai media penyangga bahan
obat yang aktif resorptif. Efek pasta lebih melekat dibandingkan salep, mempunyai daya
penetrasi dan daya maserasi lebih rendah dari salep (Agoes, 2012). Pasta diindikasikan untuk
penggunaan pada lesi akut dan superfisial. Mekanisme kerja dari pasta yaitu melalui penetrasi ke
lapisan kulit. Bentuk sediaan ini lebih dominan sebagai pelindung karena sifatnya yang tidak
meleleh pada suhu tubuh. Pasta berlemak saat diaplikasikan diatas lesi mampu menyerap lesi
yang basah seperti serum. Pasta topikal diformulasikan berdasarkan prinsip dengan kosentrasi
kandungan padatan yang tinggi dapat menyerap eksudat dan melindungi kulit (Yanhendri dan
Yenny, 2012)
2.10 Marmut (Cavia cobaya)
Toksonomi marmut (Cavia Cobaya) menurut Vanderlip (2003) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Pylum : Chordota
Class : Mammalia
Ordo : Rodentia
Sub Ordo : Caviomorpha
Famili : Caviidae
Genus : Cavia
Spesies : Cavia Cobaya
Marmut merupakan salah satu hewan coba yang mudah diperiksa secara klinis. Mereka
mudah dipegang, dikendalikan, dan jarang menggigit. Marmut sangat bermanfaat sebagai hewan
coba karena dapat digunakan untuk penelitian ekstensif dalam bidang imunologi, genetika,
penyakit infeksius, dan nutrisi (Kusumawati, 2004).
Marmut termasuk kelompok hewan rodentia. Hewan jenis ini senantiasa mengerat benda-
benda keras untuk menjaga giginya agar tidak terus bertambah panjang. Semua hewan rodentia
termasuk marmut memiliki 4 gigi incisivus, yaitu 2 incisivus atas, dan 2 incisivus bawah
(incisivus bawah lebih panjang daripada incisivus atas). Marmut tidak memiliki gigi caninus atau
premolar anterior sehingga terdapat celah luas (diastema) antara gigi anterior dan gigi
posteriornya (Vanderlip, 2003).
Gambar 2.12 Marmut (Cavia Cobaya), (Vanderlip, 2003)
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang dapat disebabkan oleh
trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, sengatan listrik dan gigitan hewan,
dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang. Luka harus ditangani
dengan baik untuk mencegah atau menghentikan perdarahan serta mencegah infeksi selama
proses penyembuhan luka. Penyembuhan luka merupakan pross pergantian jaringan yang rusak
atau mati oleh jaringan yang baru melalui proses degenerasi. Penyembuhan luka merupakan
proses yang kompleks karena terjadi interaksi bermacam-macam sel yang berbeda dengan
mediator sitokin dan matrik ekstraseluler. Proses penyembuhan luka dibagi ke dalam fase, yaitu
inflamasi, proliferasi, dan remodelling jaringan. Proses penyembuhan luka juga dipengaruhi
oleh faktor umur, nutrisi, lingkungan, obat-obatan dan lain lain.
Pasca pencabutan gigi, penyembuhan luka cabut dapat berisiko menimbulkan infeksi
apabila tidak diberikan perawatan yang baik karena bisa terkontaminasi oleh berbagai macam
bakteri yang ada dalam rongga mulut, dan terkontaminasi melalui makanan yang dikonsumsi
oleh pasien. Penyembuhan luka pasca pencabutan gigi perlu dipercepat terutama bagi pasien
yang ingin dibuatkan gigi tiruan atau pada pasien orthodontik yang memerlukan pencabutan gigi.
Penyembuhan luka yang baik akan memberikan kenyamanan bagi pasien dalam beraktivitas
sehari-hari.
Penyembuhan luka secara histologis memperlihatkan gambaran berupa peningkatan sel
radang, pembentukan serabut kolagen, pembentukan jaringan granulasi serta terjadi peningkatan
jumlah pembuluh darah (angiogenesis). Secara histologis, penyembuhan luka dapat diamati
melalui pengamatan peningkatan jumlah pembuluh darah (angiogenesis) dan jumlah sel
fibroblas. Pada fase proliferasi, fibroblas memegang peranan penting. Fibroblas berasal dari sel
mesenkim yang belum berdiferensiasi. Proliferasi dari fibroblas akan menentukan hasil akhir dari
penyembuhan luka. Fibroblas akan menghasilkan kolagen yang akan menautkan tepi luka, dan
fibroblas juga akan mempengaruhi proses reepitelisasi yang akan menutup luka. Meningkatnya
jumlah sel fibroblas akan mempercepat proses penyembuhan luka.
Angiogenesis merupakan pertumbuhan atau pembentukan pembuluh darah baru yang
terjadi secara alami di dalam tubuh, baik dalam kondisi sehat maupun patologi (sakit). Proses
angiogenesis berperan dalam mempertahankan kelangsungan fungsi berbagai jaringan dan organ
yang terkena saat terjadi kerusakan jaringan. Terjadinya hal ini melalui terbentuknya pembuluh
darah baru yang menggantikan pembuluh darah yang rusak.
Penyembuhan luka pasca pencabutan gigi dapat dipercepat dengan pemberian obat-
obatan baik secara oral maupun topikal. Obat-obatan ini bisa didapat dari berbagai macam
tanaman obat yang berkhasiat, salah satunya adalah buah ubi jalar ungu. Buah ubi jalar ungu
(Ipomea batatas L.) mengandung zat bioaktif antara lain flavonoid, antosianin, tanin dan vitamin
B dan C. Dalam senyawa flavonoid merupakan substansi kimia alami yang tergolong senyawa
polyphenolic. Kandungan flavonoid, antosianin, dan tanin dapat membantu proses penyembuhan
luka karena dapat berfungsi sebagai zat anti inflamasi, anti perdarahan, antioksidan dan
antimikroba yang mempengaruhi penyambungan luka juga mempercepat epitelisasi. Dasar
pemikiran diindikasikannya pemberian ekstrak ubi jalar ungu secara topikal sebagai penunjang
meningkatnya angiogenesis dan jumlah fibroblas adalah karena adanya flavonoid yang mampu
meningkatkan pembentukan kolagen, menurunkan makrofag, dan edema jaringan serta
meningkatkan julah fibroblas. Onset nekrosis sel dikurangi oleh flavonoid dengan mengurangi
lipid peroksidasi. Penghambatan lipid peroksidasi dapat meningkatkan viabilitas serat kolagen,
sirkulasi darah, mencegah kerusakan sel dan meningkatkan sintesis DNA. Kandungan tanin
mempercepat penyembuhan luka dengan beberapa mekanisme seluler yaitu membersihkan
radikal bebas dan oksigen reaktif, meningkatkan penutupan luka serta meningkatkan
pembentukan pembuluh darah kapiler (angiogenesis) juga fibroblas.
3.2 Konsep Penelitian
Berdasarkan permasalahan dan kajian pustaka yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat
dibuat suatu kerangka konsep yang terkait dengan masalah penelitian seperti di bawah ini :
Gambar 3.1 Konsep Penelitian
Faktor Eksogen :
Lingkungan
- Stress
- Infeksi
- Obat-obatan
Faktor Endogen :
Hormonal
- Psikologis
- Genetik
- Sistem
kekebalan
Luka
Pencabutan
Gigi
Pasta ubi jalar ungu :
- bekerja lokal pada
daerah luka.
- mampu berpenetrasi
dengan baik.
- barier untuk melindungi
ujung saraf yang terpajan.
- lebih melekat di jaringan
- Mempercepat angiogenesis
- Meningkatkan jumlah fibroblas
- Penyembuhan luka lebih cepat
Povidon Iodin :
- bersifat
bakteriostatik.
- tidak memperlambat
penyembuhan luka.
- toksisitas rendah pada
jaringan.
Keterangan : = faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka
= faktor yang dapat mempercepat penyembuhan luka
3.3 Hipotesis Penelitian
1. Pemberian pasta ekstrak ubi ungu 10% lebih mempercepat angiogenesis pada soket
mandibula pasca pencabutan gigi marmut jantan.
2. Pemberian pasta ekstrak ubi ungu 10% lebih meningkatkan jumlah fibroblas pada soket
mandibula pasca pencabutan gigi marmut jantan.
3. Pemberian povidon iodin dan pasta ekstrak ubi ungu 10% lebih mempercepat
angiogenesis pada soket mandibula pasca pencabutan gigi marmut jantan.
4. Pemberian povidon iodin dan pasta ekstrak ubi ungu 10% lebih meningkatkan jumlah
fibroblas pada soket mandibula pasca pencabutan gigi marmut jantan.
5. Pemberian povidon iodin dan pasta ekstrak ubi ungu 10% lebih mempercepat
angiogenesis dibandingkan dengan pasta ubi ungu 10% pada soket mandibula pasca
pencabutan gigi marmut jantan.
6. Pemberian povidon iodin dan pasta ekstrak ubi ungu 10% lebih meningkatkan jumlah
fibroblas dibandingkan dengan pasta ubi ungu 10% pada soket mandibula pasca
pencabutan gigi marmut jantan.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian eksperimental, dengan menggunakan rancangan penelitian eksperimental
Randomized Post Test Only Control Group Design (Pocock, 2008). Skema rancangan
penelitian sebagai berikut :
RA
P S
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian
Keterangan :
P : Populasi
S : Sampel
RA : Random Alokasi
P1 : Perlakuan pada Kelompok I (kelompok kontrol) diberikan povidon iodin 10%
P2 : Perlakuan pada Kelompok II diberikan povidon iodin 10% dan pasta ubi jalar ungu
10%
P3 : Perlakuan pada Kelompok III diberikan pasta ubi jalar ungu 10%
P3
P2
O2
O3
P1
O1
O1 : Pengukuran angiogenesis dan jumlah fibroblas kelompok I setelah diberikan povidon
iodin 10%
O2 : Pengukuran angiogenesis dan jumlah fibroblas kelompok II setelah diberikan
povidon iodin 10% dan pasta ubi jalar ungu 10%
O3 : Pengukuran angiogenesis dan jumlah fibroblas kelompok III setelah diberikan pasta
ubi jalar ungu 10%
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat : LPPT (Laboratorium Penelitian & Pengujian Terpadu) Unit I, II, dan IV dan
Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Penelitian ini dilakukan di LPPT UGM karena keterbatasan sarana dan prasarana dalam
memotong mandibula marmut di FKH Universitas Udayana Denpasar.
Waktu : September 2015 - Desember 2015
4.3 Sumber Data
Sesuai dengan rancangan penelitian, maka sampel marmut (cavia cobaya) dalam penelitian
ini berjumlah 38 ekor dan dibagi dalam 3 kelompok yang tidak berpasangan, yaitu kelompok I
kontrol diberikan povidon iodin 10%, kelompok II perlakuan diberikan povidon iodin 10% dan
pasta ubi jalar ungu 10%, kelompok III perlakuan diberikan pasta ubi jalar ungu 10%.
4.3.1 Besar Sampel :
Perhitungan besar sampel dihitung berdasarkan rumus Frederer (Hanafiah, 2004).
Rumus :
(n – 1) (r – 1) ≥ 15
(n – 1) (3 – 1) ≥ 15
(n – 1) (2) ≥ 15
(n – 1) ≥ 8
n ≥ 9
Keterangan :
n : jumlah ulangan (replikasi)
r : jumlah perlakuan
Besar sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah 9 per kelompok. Untuk
menghindari drop out pada sampel ditambahkan 20 % sehingga jumlah sampel menjadi 10,8 dan
dibulatkan menjadi 11 ekor per kelompok. Jadi jumlah sampel seluruhnya adalah 33 ekor.
4.3.2 Kriteria Sampel
Sampel yang digunakan sebagai objek penelitian ini adalah marmut jantan (Cavia
Cobaya) yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
4.3.2.1 Kriteria Inklusi :
1. Marmut jantan dewasa (Cavia Cobaya)
2. Umur marmut 3 bulan
3. Berat badan 250-350 gram
4. Sehat
4.3.2.2 Kriteria Eksklusi : Marmut memiliki kelainan pada giginya atau mempunyai cacat
fisik.
4.3.2.3 Kriteria Drop out : Marmut tidak mau makan, sakit atau marmut mati saat penelitian.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Klasifikasi dan identifikasi variabel
Variabel pada penelitian ini adalah semua faktor yang mempengaruhi angiogenesis dan
fibroblas antara lain :
4.4.1.1 Variabel Bebas :
1. Pasta ekstrak ubi jalar ungu 10% dan povidon iodin 10%
4.4.1.2 Variabel Tergantung :
1. Angiogenesis.
2. Jumlah fibroblas.
4.4.1.3 Variabel Kendali :
1. Makanan dan kandang marmut.
2. Umur marmut 3 bulan
3. Jenis kelamin marmut jantan
4. Berat badan marmut 250-350 gram
5. Kelembaban
6. Suhu
7. Cahaya.
4.4.1.4 Hubungan antar variabel :
Gambar 4.2 Hubungan antar variabel
4.4 Definisi Operasional
1. Pasta ubi jalar ungu adalah pasta yang mengandung zat aktif, yang diperoleh secara
maserasi dengan menggunakan larutan metanol 40% dan diencerkan dengan akuades
steril. Pasta ini dibuat dengan menambahkan zat aktif dengan amylum tritici diaduk
hingga homogen dan menambahkan vaselin flavum yang sudah terlebih dahulu di
lelehkan kemudian diaduk sampai homogen.
2. Iodin povidon (povidone-iodine, PVP-I) adalah sebuah polimer larut air yang
mengandung sekitar 10% iodin aktif, jauh lebih ditoleransi kulit, tidak memperlambat
penyembuhan luka, dan meninggalkan deposit iodin aktif yang dapat menciptakan
efek berkelanjutan. Keuntungan antiseptik berbasis iodin adalah cakupan luas
Variabel Bebas : pasta
ekstrak ubi jalar ungu 10%
dan povidon iodin 10%
Variabel Tergantung :
angiogenesis dan jumlah
fibroblas
Variabel Kendali : makanan,
kandang marmut, umur marmut,
jenis kelamin marmut, berat badan
marmut, kelembaban, suhu, cahaya
aktivitas antimikrobanya. Iodin menewaskan semua patogen utama berikut spora-
sporanya, yang sulit diatasi oleh desinfektan dan antiseptik lain.
3. Tampon adalah massa silinder yang dibentuk dengan gulungan kapas serta kasa steril
yang mampu menyerap darah pasca pencabutan gigi.
4. Luka pencabutan gigi adalah luka pada soket gigi daerah dilakukannya pencabutan
gigi. Pencabutan pada gigi incisivus kanan atas dilakukan dengan menggunakan tang
hemostat.
5. Jumlah fibroblas dinilai dengan menghitung fibroblas yang aktif (memiliki sitoplasma
yang besar, kromatin halus, nukleus ovoid dan tampak nyata), di sekitar daerah
perlukaan gingiva labial yang telah dibuat preparat dengan pengecatan Harris
Hematoxylin-Eosin, dan dilihat pada lima lapang pandang yang dihitung
menggunakan mikroskop binokuler (Olympus Type CX31), dengan pembesaran 400
X yang di periksa di Lab Patologi Anatomi UGM, 2015.
6. Angiogenesis merupakan pembentukan pembuluh darah yang dinilai dengan
menghitung jumlah pembuluh darah di daerah soket gigi pasca pencabutan gigi
marmut jantan menggunakan mikroskop binokuler (Olympus Type CX31) pada 5
lapang pandang dengan pembesaran 400x (Lab Patologi Anatomi UGM, 2014).
7. Makanan marmut adalah AD II pellet serta daun kacang tanah dan minumnya RO
(Reverse Osmosis), (LPPT IV UGM, 2014).
8. Kandang marmut terbuat dari bahan stainless dengan ukuran panjang 50 cm x lebar
40 cm x tinggi 40 cm, (LPPT IV UGM, 2014).
9. Jenis kelamin marmut : jantan.
10. Berat badan marmut : 250 – 350 gram.
11. Kelembaban udara : 70 – 75 %, (LPPT IV UGM, 2014).
12. Cahaya : 12 jam terang dan 12 jam gelap, (LPPT IV UGM, 2014).
13. Suhu : 25 ⁰C – 27 ⁰C, (LPPT IV UGM, 2014).
4.5 Bahan dan Alat Penelitian
1. Bahan penelitian :
1. Pasta ekstrak ubi jalar ungu 10%
2. Iodin povidon 10%
3. Anestesi (xylonor pellets, chlorofom)
4. Akuades steril (kontrol)
5. Cat Harris Hematoxylin –Eosin
6. Cat Mallory
7. Alkohol 70 %
8. Larutan buffer formalin 10 %
2. Alat Penelitian
a. Alat untuk pembuatan ekstrak kulit manggis
1. Almari pengering
2. Penggiling dan penyaring
3. Timbangan elektrik
4. Corong
5. Homogenizer
6. Tabung Erlenmeyer
7. Vacuum Rotary Evaporator
8. Cawan porselen
9. Water Bath
10. Botol kaca dan tutupnya.
b. Alat untuk perlakuan subjek penelitian
1. Nampan plastik
2. Syringe
3. Ekskavator
4. Tang Hemostat
5. Bengkok
6. Kertas saring
7. Toples
8. Gunting bedah
9. Pinset
c. Alat untuk pembuatan preparat histologis
1. Tabung kaca
2. Automatic tissue processor
3. Cetakan blok parafin
4. Freezer
5. Mikrotom
6. Water bath
7. Hot Plate
8. Staining jar
9. Objek glass
10. Deck glass
d. Alat untuk pengamatan
1. Mikroskop Binokuler (Olympus Type CX31).
4.6 Prosedur Penelitian
4.7.1 Pembuatan ekstrak ubi ungu (Ipomea batatas L.)
Ekstrak ubi ungu (Ipomea batatas L.) diproses di Laboratorium Penelitian dan Pengujian
Terpadu (LPPT) Unit II Yogyakarta. Ekstrak ubi ungu didapat dari maserasi dengan
menggunakan pelarut metanol 40% karena dapat menghasilkan suatu hasil yang optimal, sebab
bahan pengotor yang larut dalam cairan hanya dalam skala kecil. Metanol merupakan pelarut
yang dapat menyari senyawa yang dapat bersifat polar, semipolar, maupun non polar sehingga
memungkinkan zat aktif pada ubi jalar ungu tersari melalui metode maserasi.
Ubi jalar ungu dipotong-potong kecil, lalu dikeringkan didalam almari pengering dengan
suhu 50⁰C selama 4 hari. Ubi jalar ungu kering tersebut kemudian diserbuk menggunakan mesin
penyerbuk dan disaring. Metanol 40% ditambahkan hasil penyerbukan ubi jalar ungu kering,
kemudian diaduk dengan pengaduk listrik selama 30 menit dan didiamkan 24 jam lalu disaring
menggunakan corong Buchner. Perlakuan ini diulang sampai 3 kali sehingga didapatkan hasil
berupa ampas dan filtrat. Filtrat yang diperoleh diuapkan dengan menggunakan vacuum rotary
evaporator sehingga didapatkan ekstrak kental. Ekstrak kental kemudian diuapkan dengan
pemanas water bath 70⁰C. Hasilnya kemudian dituangkan ke dalam cawan porselin lalu
dipanaskan kembali pada suhu 70⁰C sehingga didapatkan ekstrak ubi jalar ungu (LPPT Unit II
UGM, 2014).
1.7.2 Pembuatan pasta ekstrak ubi jalar ungu (Ipomea batatas L.)
Pasta ekstrak ubi jalar ungu adalah ekstrak ubi jalar ungu sebanyak 10 mg ditambah
dengan amylum tritici digerus hingga homogen kemudian ditambahkan vaselin flavum yang
sudah dilelehkan terlebih dahulu diaduk hingga homogen.
1.7.3 Perlakuan pada marmut
Semua hewan marmut yang akan dipakai sebagai hewan coba diadaptasikan selama 3
hari sampai 1 minggu dalam kandang sebelum dilakukan penelitian sesuai dengan prosedur tetap
di LPPT Unit IV UGM Yogyakarta. Marmut 33 ekor dibagi menjadi 3 kelompok (masing-
masing 11 ekor) yaitu kelompok I, kelompok II dan kelompok III. Masing-masing kelompok
nantinya akan didekapitasi pada hari ke-7. Sebelum dilakukan perlakuan semua marmut
dianestesi menggunakan ketamin dengan dosis 0,2 ml/kgBB secara intramaskuler pada paha atas.
Gigi incisivus kanan rahang bawah diluksasi dengan menggunakan ekskavator kemudian dicabut
menggunakan tang hemostat. Pada kelompok I soket gigi bekas pencabutan diaplikasi iodin
povidon 10% secara topikal, kelompok II diaplikasi iodin povidon 10% dan pasta ekstrak ubi
jalar ungu 10% secara topikal dan pada kelompok III diaplikasi pasta ekstrak ubi jalar ungu 10%
secara topikal.
1.7.4 Pembuatan Sediaan Histologis
Marmut dikorbankan pada hari ke-7 pasca cabut gigi. Sebelum dilakukan
pengorbanan, marmut-marmut tersebut dianestesi menggunakan dietil eter dengan cara
memasukkan marmut ke dalam toples kemudian dimasukkan kapas yang telah diberi dietil eter.
Pengorbanan dilakukan dengan cara dekapitasi. Soket pasca cabut gigi beserta tulang
disekitarnya dipotong, dibersihkan dengan larutan NaCl fisiologis dan difiksasi menggunakan
beffered formalin 10% selama 24 jam untuk mempertahankan struktur jaringan sehingga menjadi
stabil secara fisik dan kimiawi. Jaringan tersebut kemudian didekalsifikasi untuk menghilangkan
atau melarutkan ion kalsium dari jaringan dengan menggunakan formic acid HCl selama 4 hari.
Proses selanjutnya yaitu jaringan dimasukkan ke dalam automatic tissue processor.
Dalam proses ini, dilakukan fiksasi ulang sekiranya fiksasi yang telah dilakukan sebelumnya
kurang sempurna. Tahap selanjutnya adalah dehidrasi jaringan untuk menghilangkan kadar air
dalam jaringan dengan menggunakan alkohol mulai konsentrasi rendah sampai konsentrasi
tinggi (70%, 80%, 95%, dan 100%) secara bertahap. Pada jaringan yang telah didehidrasi
selanjutnya dilakukan clearing menggunakan xylol. Proses ini berfungsi untuk menarik keluar
kadar alkohol yang berada dalam jaringan dan memberikan warna bening pada jaringan serta zat
perantara masuknya ke dalam parafin. Tahap selanjutnya adalah infiltrasi parafin cair pada suhu
57⁰C-59⁰C yang berfungsi mengisi rongga-rongga yang ada setelah ditinggalkan oleh cairan
sebelumnya.
1.7.5 Perhitungan Jumlah Fibroblas
Indikator yang dipakai untuk mengetahui pengaruh dari aplikasi ekstrak ubi ungu
terhadap kecepatan proses penyembuhan soket gigi pasca cabut gigi adalah jumlah fibroblas.
Perhitungan jumlah fibroblas dilakukan pada daerah soket gigi marmut dari apeks kearah
servikal. Daerah soket ini cukup luas maka sel fibroblas dilihat dengan mikroskop binokuler
(Olympus Type CX31) perbesaran 400x, serta perhitungan dilakukan dengan 5 lapang pandang
kemudian hitung berapa jumlah fibroblas tiap lapang pandang sehingga terlihat jelas. Dari lapang
pandang 1 sampai lapang pandang 5 dijumlahkan, dan diambil rata-ratanya (Lab Patologi
Anatomi UGM,2014).
1.7.6 Pengukuran Angiogenesis
Pengukuran dilakukan dengan menghitung jumlah pembuluh darah pada daerah soket
mandibula yang sudah dibuat sediaan histologi dan dibagi menjadi 5 lapang pandang dengan
menggunakan mikroskop binokuler (Olympus Type CX31) pembesaran 400x. Dalam penelitian
ini dihitung jumlah pembuluh darah tiap lapang pandang lalu dijumlahkan semua kemudian
dibagi 5 sehingga dapat mewakili semua lapang pandang (Permatasari dkk., 2012).
4.7 Prosedur Penelitian
Gambar 4.3 Alur Penelitian
Marmut
24 ekor marmut
Random Alokasi
Kelompok I
Kontrol
Diolesi iodin povidon 10%
2x sehari selama 7 hari
Dekapitasi marmut hari ke-7 pada masing-masing kelompok
Kelompok III
Diolesi ekstrak pasta
ubi jalar ungu 10%
2x sehari selama 7
hari
Pembuatan preparat dengan Pewarnaan Harris H-E
Penghitungan jumlah fibroblas dan jumlah pembuluh darah
Analisis Data
Pencabutan gigi insisivus bawah kanan
Kelompok II
Diolesi iodin povidon 10% dan
ekstrak pasta ubi jalar ungu
10%
2x sehari selama 7 hari
4.8 Analisis Data
Data dianalisis secara statistik dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Analisis Deskriptif : analisis data untuk memberikan gambaran tentang karakteristik data
(fibroblas dan pembuluh darah) yang didapatkan dari hasil penelitian yaitu rerata, standar
deviasi, nilai minimum dan nilai maksimum
2. Uji Normalitas dan Homogenitas
a. Distribusi data diuiji dengan uji Shapiro-Wilk oleh karena sampelnya < 30. Data
yang diuji yaitu fibroblas dan angiogenesis pada kelompok I, kelompok II dan
kelompok III. Sebaran data adalah normal bila p>0,05.
b. Homogenitas data diuji dengan Levene’s test. Data yang diuji yaitu angiogenesis dan
fibroblas. Data adalah homogen bila p>0,05.
3. Uji Efek Perlakuan
3.1 Jika distribusi data normal dan homogen maka data dianalisis dengan uji One Way
Anova.
3.2 Jika distribusi data tidak normal maka data dianalisis dengan Kruskal Walis.