Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1 2013
60 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi
ISSN: 2088-6365
GOOD CORPORATE GOVERNANCE DI BANK SYARI’AH
Ali Syukron
STAI Darul Ulum Banyuwangi
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mengelaborasi pengetahuan tentang
bagaimana implementasi GCG pada perbankan syariah. Dari sisi regulasi,
penerapan GCG pada perbankan syariah telah tertuang dalam pasal 34 Undang-
undang No 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, di mana GCG pada
perbankan syariah tidak saja menitikberatkan pada implementasi prinsip-prinsip
dasar GCG, tetapi pelaksanaan GCG di dalam perbankan syariah harus memenuhi
prinsip syariah, sehingga implementasi GCG pada bank syariah akan mampu
menciptakan iklim usaha yang sehat dan berkesinambungan, mewujudkan
perusahaan yang lahir dari budaya governance yang berdasar pada akhlak al-
karimah dan memberikan kemaslahatan yang lebih luas.
Keyword: GCG, Bank Syariah, Good Governance Bisnis Syariah.
A. Pendahuluan
Industri perbankan syariah yang merupakan bagian dari penopang sektor
rill, memiliki kewajiban pula dalam menerapkan good corporate governance
(GCG).1 Kewajiban ini merupakan amanah dari Pasal 34 Undang-Undang No.21
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang mewajibkan perbankan syariah untuk
melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik berdasarkan prinsip GCG, karena
ketidaksesuaian tata kelola bank dengan prinsip syariah akan berpotensi
menimbulkan berbagai resiko terutama resiko reputasi bagi perbankan syariah.
Untuk itu, Bank Indonesia secara spesifik membuat aturan dalam
Peraturan Bank Indonesia No. 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan GCG bagi
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Aturan ini dikeluarkan dilatar
1 Muh. Ghafur Wibowo, Potret Perbankan Syariah Terkini: Kajian Kritis Perkembangan
Perbankan Syariah Terkini (Yogyakarta: Biruni Press, 2007), 138.
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1 2013
61 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi
ISSN: 2088-6365
belakangi bahwa pelaksanaan GCG di dalam industri perbankan syariah harus
memenuhi prinsip syariah. Pelaksanaan GCG yang memenuhi prinsip syariah yang
dimaksudkan dalam PBI ini tercermin dengan adanya pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah dalam pengelolaan kegiatan perbankan
syariah.
Dengan demikian, dapat dikatakan implementasi Good Corporate
Governance (GCG) di lembaga perbankan syari‟ah adalah sebuah keniscayaan
yang tak terbantahkan. Bahkan bank-bank syariah harus tampil sebagai pionir
terdepan dalam mengimplementasikan GCG tersebut. Dalam kerangka itulah,
KNKG (Komite Nasional Kebijakan Governance) membentuk Tim Kerja
Penyusunan Pedoman Umum Good Governance Bisnis Syariah (GGBS) dengan
keanggotaan yang terdiri dari berbagai pakar terkait bersama-sama dengan
sejumlah institusi (Masyarakat Ekonomi Syariah, Bank Indonesia, Dewan Syariah
Nasional MUI dan sebagainya) menyusun konsep Pedoman tersebut.
Pada 3 November 2011, KNKG meluncurkan Pedoman GGBS. Dengan
diluncurkannya GGBS, maka pedoman ini akan menjadi pedoman pelaksanaan tata
kelola perusahaan lembaga keuangan syariah khususnya bank syariah di Indonesia.
Dengan menjalankan GGBS ini diharapkan bisnis yang dijalankan oleh bank
syariah akan lebih efektif dan memungkinkan bank syariah untuk tetap
sustainable.2
Tanpa adanya penerapan corporate governance yang efektif, bank syariah
akan sulit untuk bisa memperkuat posisi, memperluas jaringan, dan menunjukkan
kinerjanya dengan lebih efektif. Kebutuhan bank syariah akan corporate
governance menjadi lebih serius lagi seiring dengan makin kompleksnya masalah
yang dihadapi, dimana permasalahan ini akan mengikis kemampuan bank dalam
menghadapi tantangan dalam jangka panjang. Dengan demikian, adalah suatu
keharusan bagi bank syariah untuk memakai semua ukuran yang dapat membantu
meningkatkan perannya.3
2 Keberlangsungan bisnis syariah dengan menerapkan Good Governance terefleksi bagaimana
perusahaan memperhatikan stakeholders perusahaan, memberikan nilai tambah (add value) dari produk
dan jasa bagi stakeholders perusahaan, dan memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya.
Lihat Moh Ghofur Wibowo, Potret Perbankan Syariah Terkini, 130. 3 Umer Chapra dan Habib Ahmed, Corporate Governance Lembaga Keuangan Syariah,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 13
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1 2013
62 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi
ISSN: 2088-6365
B. Sejarah Perkembangan GCG
Berbagai isu yang berhubungan dengan Corporate Governance menjadi
populer di Indonesia di penghujung abad ke-20, tepatnya setelah terjadinya krisis
ekonomi dalam bulan Juni 1997.4 Isu ini semakin menguat kembali setelah
bangkrutnya beberapa perusahaan-perusahaan ternama seperti Enron dan
WorldCom di Amerika Serikat,5 HH dan One-tel di Australia. Collaps-nya
perekonomian di negara-negara Asia Selatan pada pertengahan 1997 yang
berdampak pada negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur diindikasi sebagai
akibat belum menerapkan corporate governance yang direpresentasikan dalam
kerangka etik dalam pengambilan keputusan oleh manajemen.6 Begitu juga yang
terjadi di Indonesia, banyak perusahaan bangkrut yang diindikasi sebagai akibat
belum menerapkan Prinsip-prinsip GCG, disamping banyaknya praktik Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (KKN).7
Sebagaimana dijelaskan di atas, sejarah corporate governace Indonesia
berhubungan erat dengan krisis finansial Asia Selatan 1997. Krisis mulai dari
Thailand, terus menyerbu Philipina, Indonesia, Malaysia dan Korea Selatan. Untuk
menghadapi kondisi buruk itu, pemerintah Indonesia membutuhkan suntikan dana
segar dan International Monetary Funds (IMF) pun datang membawa bantuan.
Lembaga ini menawarkan bantuan bersyarat. Mereka berkenan memberikan
4 Lawrence D. Brown dan Marcus L, “Caylor, Corporate Governance and Firm Performance”,
Georgia State University, Desember 2004 www.ssrn.com 5 Menyusul skandal beberapa perusahaan besar di Amerika Serikat, pemerintah A.S.
mengeluarkan aturan baru yang dikenal dengan The Sarbanes-Oxley Act of 2002 (SOA Act) pada tanggal
30 Juli 2002. Aturan baru ini dianggap sebagai „the most seeping change in corporate governance and the
regulator of accounting practices‟ semenjak dikeluarkannya the Securities and Exchange Act of 1934.
SOA Act ini pada intinya memberikan penekanan pada prinsip keterbukaan (disclosure), perlunya komite
audit (audit committees) yang beranggotakan komisaris independen, serta larangan untuk memberikan
pinjaman kepada dewan komisaris perusahaan. Aturan ini menekankan (imposes) hukuman yang lebih
berat untuk setiap tingkat pelanggaran yang dikategorikan sebagai corporate wrongdoing seperti:
criminal, fraud dan other wrongful act. Lihat Niki Lukviarman, “Etika Bisnis Tak Berjalan di Indonesia:
Ada Apa Dalam Corporate Governance?, Jurnal Siasat Bisnis, No. 9 Vol. 2, Desember 2004 6 N Vittal, Coruption in Corporate Governance, dalam Y.R.K. Reddy dan Yerram Raju,
Corporate Governance in Banking dan Finance, (New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Company
Ltd, 2000), 105. 7Joni Emirzon, “Regulatory Driven dalam Implementasi Prinsip-Prinsip Good Corporate
Governance Pada Perusahaan di Indonesia” Jurnal Manajemen & Bisnis Sriwijaya Vol. 4, No 8,
Desember 2006
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1 2013
63 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi
ISSN: 2088-6365
pinjaman asalkan pemerintah Indonesia bersedia memenuhi beberapa persyaratan.
Satu diantaranya, komitmen untuk memperbaiki sistim corporate governance.
Akhirnya, pemerintah Indonesia setuju untuk menandatangani Nota Kesepakatan
(Letter of Intent) dengan International Monetary Fund (IMF). Setelah itu,
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi,
Keuangan dan Industri mendirikan satu lembaga khusus yang bernama Komite
Nasional mengenai Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) yang mengadopsi
corporate governance ala IMF.8
Melalui KNKCG muncul pertama kali pedoman Umum GCG di tahun
2001, pedoman CG bidang Perbankan tahun 2004 dan Pedoman Komisaris
Independen dan Pedoman Pembentukan Komite Audit yang Efektif. Pada tahun
2004 Pemerintah Indonesia memperluas tugas KNKCG melalui surat keputusan
Menteri Koordinator Perekonomian RI No. KEP-49/M.EKON/II/TAHUN 2004
tentang pembentukan Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG).
Terakhir diperbaharui dengan Keputusan Menko Bidang Perekonomian RI No:
KEP-14/M.EKON/03/TAHUN 2008 tentang Komite Nasional Kebijakan
Governance (KNKG) yang memperluas cakupan tugas KNKG bukan hanya di
sektor korporasi tapi juga di sektor pelayanan publik.9
KNKG pada tahun 2006 menyempurnakan pedoman CG yang telah
diterbitkan pada tahun 2001 agar sesuai dengan perkembangan. Pada Pedoman
GCG tahun 2001 hal-hal yang dikedepankan adalah mengenai pengungkapan dan
transparansi, sedangkan hal-hal yang disempurnakan pada Pedoman Umum GCG
tahun 2006 adalah: 10
1. Memperjelas peran tiga pilar pendukung (Negara, dunia usaha, dan
masyarakat) dalam rangka penciptaan situasi kondusif untuk melaksanakan
GCG.
2. Pedoman pokok pelaksanaan etika bisnis dan pedoman perilaku.
8 Miko Kamal, “Konsep Corporate Governance di Indonesia: Kajian atas Kode Corporate
Governance”, Jurnal Manajemen Teknologi , Volume 10 No. 2, 2011 9 http://www.knkg-indonesia.com, diakses pada 2 Januari 2012.
10 Gusti Amri, http://gustiphd.blogspot.com/2011/10/sejarah-lahir-gcg-dan-
perkembangannya.html, diakses pada 20 Desember 2011
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1 2013
64 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi
ISSN: 2088-6365
3. Kelengkapan Organ Perusahaan seperti komite penunjang dewan komisaris
(komite audit, komite kebijakan risiko, komite nominasi dan remunerasi,
komite kebijakan corporate governance);
4. Fungsi pengelolaan perusahaan oleh Direksi yang mencakup lima hal dalam
kerangka penerapan GCG yaitu kepengurusan, manajemen risiko,
pengendalian internal, komunikasi, dan tanggung jawab sosial;
5. Kewajiban perusahaan terhadap pemangku kepentingan lain selain pemegang
saham seperti karyawan, mitra bisnis, dan masyarakat serta pengguna produk
dan jasa.;
6. Pernyataan tentang penerapan GCG;
7. Pedoman praktis penerapan Pedoman GCG;
Secara keseluruhan penegakan aturan untuk penerapan CG belum ada
sanksi yang memberikan efek jera bagi perusahaan yang tidak menerapkannya,
namun di sektor perbankan telah dicoba untuk dimasukkan beberapa hal yang
terkait dengan kewajiban Bank dalam menerapkan CG yang berujung pada sanksi
bagi bank-bank yang tidak mengikuti aturan tersebut, yaitu pada tahun 2000 Bank
Indonesia mengeluarkan PBI No. 2/27/PBI/2000 tanggal 15 Desember 2000 tentang
Bank Umum, yang mana di dalamnya diatur kriteria yang wajib dipenuhi calon
anggota direksi dan komisaris bank umum, serta batasan transaksi yang
diperbolehkan atau dilarang dilakukan oleh pengurus bank. Kemudian
dikeluarkanlah PBI No. 5/8/PBI/2003 tentang penerapan manajemen resiko bagi
Bank Umum, yang selanjutnya ditinjaklanjuti dengan diterbitkannya SE No.
5/21/DPNP tanggal 29 September 2003.
Kemudian PBI yang lebih spesifik menekankan perlunya penerapan GCG
pada perbankan, yaitu PBI No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan GCG bagi Bank
Umum. PBI ini juga berlaku bagi bank syariah yang artinya perbankan syariah juga
diwajibkan menerapkan prinsip GCG dalam pengoperasian kegiatannya. Namun
sejak tahun 2010, PBI No. 8/4/PBI/2006 sudah tidak berlaku lagi bagi bank syariah.
Sebagai gantinya, telah dikeluarkan PBI No. 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksaan
GCG bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Latar belakang
dikeluarkannya PBI ini adalah bahwa pelaksaan GCG di dalam industri perbankan
syariah harus memenuhi prinsip syariah.
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1 2013
65 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi
ISSN: 2088-6365
Pelaksanaan GCG yang memenuhi prinsip syariah yang dimaksudkan dalam
PBI ini tercermin dengan adanya pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan
Pengawas Syariah dalam pengelolaan kegiatan perbankan syariah. Selain itu,
pelaksanaan GCG yang diatur dalam PBI ini juga merupakan amanah dari Pasal 34
Undang-Undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang mewajibkan
perbankan syariah untuk melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik
berdasarkan prinsip GCG karena ketidaksesuaian tata kelola bank dengan prinsip
syariah akan berpotensi menimbulkan berbagai resiko terutama resiko reputasi bagi
perbankan syariah.
C. Defenisi Corporate Governance
Istilah corporate governance telah dikenal luas sejak dua dekade terakhir ini.
Pada dua dekade ini, isu tentang corporate gonernance menjadi perdebatan sengit
tidak hanya dalam literatur akademis, tetapi berkembang pada kebijakan publik.11
Walaupun perdebatan ini mengerucut apakah corporate governance berusaha hanya
untuk melindungi kepentingannya shareholder atau meluas untuk melindungi
kepentingan stakeholders lainnya.12
Istilah corporate governance telah banyak didefinisikan tetapi beberapa
definisi tersebut berbeda satu sama lain bergantung kecenderungan pihak yang
mendefiniskannya. Cadbury Comitte (1992) dalam Lewis dan Algoud (2001)
mendefinisikan corporate governance sebagai sistem hak, proses, dan kontrol
perusahaan secara keseluruhan yang ditetapkan secara internal dan eksternal atas
manajemen sebuah entitas bisnis untuk melindungi kepentingan semua stakeholder.
13 Definisi ini menunjukkan bahwa corporate governance dapat berfungsi untuk
membangun kepercayaan, menjalin kerja sama, dan menciptakan visi bersama
antara semua pihak yang terlibat dalam perusahaan sehingga masalah keagenan
dapat diantisipasi.
11
Luigi Zingales, Corporate Governance. The New Palgrave Dictionary of Economics and the
Law, 1997. www.ssrn.com 12
Jonathan R. Macey and Maureen O‟Hara, The Corporate Governance of Banks,2003
www.ssrn.com 13
Mervin K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah; Prinsip, Praktik dan Prospek,
(Jakarta: Serambi, 2007), 76.
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1 2013
66 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi
ISSN: 2088-6365
Sedangkan The Organization of Economic Corporation and Development
(OECD) mendefinisikan GCG sebagai serangkaian hubungan antara manajemen
perusahaan, pengurus, pemegang saham dan pihak lain yang mempunyai
kepentingan dengan perusahaan (stakeholders).14
Presiden Bank Dunia, J. Wolfensohn berpendapat pada Financial Times 21
Juni 1999, bahwa corporate governance adalah bentuk mempromosikan tentang
corporate fairness, transparency dan accountability, sedangkan Sir Adrian Cadbury
pada forum Global Corporate Governance World Bank, berpendapat:
“Corporate Governance is concerned with holding the balance between economic
and social goals and between individual and communal goals. The corporate
governance framework is there to encourage the efficient use of resources and
equally to require accountability for the stewardship of those resources. The aim is
to align as nearly as possible the interests of individuals, corporations and society”
15
Sharman dan Copnell (2002) dalam Martin Fahi, dkk (2005)
mendefinisikan corporate governance sebagai sistem dan proses untuk
mengarahkan dan mengendalikan organisasi dalam rangka meningkatkan
kinerja dan mencapai nilai pemegang saham berkelanjutan.16
Menurut Dick (2000) dalam Chapra dan Ahmed (2008) mendefinisikan
corporate governance sebagai sekumpulan batasan sosial yang sangat luas dan
kompleks yang dapat memengaruhi keinginan untuk berinvestasi pada perusahaan
dengan harapan tertentu. Corporate governance dalam tataran lebih luas
didefinisikan sebagai sekumpulan mekanisme dimana para investor dari luar
berusaha melindungi kepentingannya dari pengambilalihan yang dilakukan oleh
pihak dalam.17
George S. Dallas mendefinisikan Corporate Governance adalah interaksi
manajemen perusahaan yaitu antara Dewan Direksi (Board Direction) dan
14
Hamid Yunis, “Corporate Governance for Bank”, dalam Simon Archer dan Rifaat Ahmed
Abdel Karim (ed.), Islamic finance: The Regulatory Challege, Singapore: John Wiley and Sons (Asia) Pte
Ltd), 299 15
http://heritageinstitute.com/governance/definitions.html 16
Martin Fahy, et all, Beyond Governance: Creating Corporate Value, Conformance and
Responsibility, (Chicester : John Wiley & Sons Ltd), 163 17
Umer Chapra dan Habib Ahmed, Corporate Governance Lembaga Keuangan Syariah, 18
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1 2013
67 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi
ISSN: 2088-6365
shareholder untuk mengarahkan dan mengontrol perusahaan sekaligus memastikan
bahwa semua keuangan stakeholders (Shareholder dan creditor) meneriman
pembagian secara adil dari laba dan aset perusahaan.18
Bacelius Ruru (2007) dalam Nur Hidayati (2010)memberikan pengertian
GCG atau tata kelola usaha adalah suatu mekanisme yang mengatur tentang tata
cara pengelolaan perusahaan berdasarkan rules yang menaungi perusahaan, seperti
anggaran dasar (articles of association) serta aturan-aturan tentang perusahaan
(UUPT), dan aturan-aturan yang mengatur tentang kegiatan perusahaan dalam
menjalankan usahanya. Dengan demikian, sebenarnya good corporate governance
bukan saja berkaitan dengan hubungan antara perusahaan dengan pemiliknya
(pemegang saham), tapi juga (dan terutama) dengan para pihak yang mempunyai
kepentingan dengan perusahaan (stakeholders).19
Bank Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia No. 11/33/PBI/2009
mendefiniskan GCG adalah suatu tata kelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip
keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban
(responsibility), profesional (professional) dan kewajaran (fairness).20
D. Tujuan dan Manfaat GCG di Indonesia
Tujuan penerapan GCG yaitu mendorong pengelolaan perusahaan menjadi
lebih professional dengan menerapkan prinsip-prinsip transparency, accountability,
responsibility, independence, dan fairness.21
Tujuan dan Manfaat GCG dijelaskan
pada Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia, yaitu:22
1. Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan yang
didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi
serta kewajaran dan kesetaraan.
18
George S. Dallas, Governance and Risk: An Analytical Handbook for Investor, Managers,
Directors, and Stakeholders, (New York: McGraw-Hill, 2004), 21 19
Nur Hidayati Setyani, “Kebijakan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Prinsip ”Good Corporate
Governance” Bagi Bank Umum Dalam Praktek Perbankan Syari‟ah”, Tesis Program Magister Ilmu
Hukum UNDIP, 2010 20
Peraturan Bank Indonesia No. 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan GCG bagi Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah 21
Mas Achmad Daniri, “Memperkuat Governance BUMN Lewat Go Public”, Majalah
Manajemen Risiko: Stabilitas Perbankan, No. 65 November 2011 22
Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia dikeluarkan oleh Komite Nasional
Kebijakan Governance, 2006
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1 2013
68 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi
ISSN: 2088-6365
2. Mendorong pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing organ
perusahaan, yaitu Dewan Komisaris, Direksi dan Rapat Umum Pemegang
Saham.
3. Mendorong pemegang saham, anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi
agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh
nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
4. Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab sosial perusahaan
terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan.
5. Mengoptimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham dengan tetap
memperhatikan pemangku kepentingan lainnya.
6. Meningkatkan daya saing perusahaan secara nasional maupun internasional,
sehingga meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus investasi
dan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan.
E. Prinsip Dasar GCG pada Perbankan Syariah
Sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Bank Indonesia No.
11/33/PBI/2009 bahwa prinsip-prinsip dalam GCG bahwa harus menerapkan
prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), profesional
(professional), kewajaran (fairness), dan pertanggungjawaban (responsibility).
Selain itu Prinsip dasar pelaksanaan GCG ini juga dijelaskan dalam pedoman Good
Governance Bisnis Syariah (GGBS). Prinsip ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 23
1. Keterbukaan
Berdasarkan prinsip syariah yang ditegaskan dalam surat al-Baqarah/2:
282 “...dan transparankanlah (persaksikanlah) jika kalian saling bertransaksi...”,
dan berdasarkan hadits yang menyatakan “... barang siapa yang melakukan ghisy
(menyembunyikan informasi yang diperlukan dalam transaksi) bukan termasuk
umat kami”, maka semua transaksi harus dilakukan secara transparan.
Tranparansi (transparency) mengandung unsur pengungkapan (disclosure) dan
penyediaan informasi yang memadai dan mudah diakses oleh pemangku
kepentingan. Transparansi diperlukan agar pelaku bisnis syariah menjalankan
bisnis secara objektif dan sehat. Pelaku bisnis syariah harus mengambil inisiatif
23
Pedoman Umum Good Governance Bisnis Syariah (GGBS) dikeluarkan oleh KNKG (2011)
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1 2013
69 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi
ISSN: 2088-6365
untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan
perundangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan yang
sesuai dengan ketentuan syariah. Oleh karena itu, maka:
a. Pelaku bisnis syariah harus menyediakan informasi tepat waktu, memadai,
jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh semua
pemangku kepentingan sesuai dengan haknya.
b. Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak terbatas pada, visi,
misi, sasaran usaha dan strategi organisasi, kondisi keuangan, susunan
pengurus, kepemilikan, sistem manajemen risiko, sistem pengawasan dan
pengendalian internal, sistem dan pelaksanaan GGBS serta tingkat
kepatuhannya, dan kejadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi
entitas bisnis syariah.
c. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh pelaku bisnis syariah tidak
mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan organisasi
sesuai dengan peraturan perundangan, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi.
d. Kebijakan organisasi harus tertulis dan secara proporsional
dikomunikasikan kepada semua pemangku kepentingan.
2. Akuntabilitas
Akuntabilitas merupakan asas penting dalam bisnis syariah sebagaimana
tercermin dalam surat al-Isra/17: 84 yang artinya “Katakanlah setiap entitas
bekerja sesuai dengan posisinya dan Tuhan kalian yang lebih mengetahui siapa
yang paling benar jalanya diantara kalian”. dan dalam ayat 36 yang artinya
“...dan janganlah kamu berbuat sesuatu tanpa pengetahuan atasnya,
sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan dimintai
pertanggungjawaban”. Akuntabilitas (accountability) mengandung unsur
kejelasan fungsi dalam organisasi dan cara mempertanggungjawabkannya.
Pelaku bisnis syariah harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan dan wajar. Untuk itu bisnis syariah harus dikelola secara benar,
terukur dan sesuai dengan kepentingan pelaku bisnis syariah dengan tetap
memperhitungkan pemangku kepentingan dan masyarakat pada umumnya.
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1 2013
70 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi
ISSN: 2088-6365
Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja
yang berkesinambungan. Oleh karena itu, maka:
a. Pelaku bisnis syariah harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab
masing-masing organ dan semua karyawan secara jelas dan selaras dengan
visi, misi, nilai-nilai, dan strategi bisnis syariah.
b. Pelaku bisnis syariah harus meyakini bahwa semua elemen organisasi dan
semua karyawan mempunyai kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung
jawab, dan perannya dalam pelaksanaan GGBS.
c. Pelaku bisnis syariah harus memastikan adanya sistem pengendalian yang
efektif dalam pengelolaan organisasi.
d. Pelaku bisnis syariah harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran
organisasi yang konsisten dengan sasaran bisnis yang digeluti, serta
memiliki sistem penghargaan dan sanksi (reward and punishment system).
e. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap elemen
organisasi dan semua karyawan harus berpegang pada etika bisnis syariah
dan pedoman prilaku (code of conduct) yang telah disepakati.
f. Pelaku bisnis syariah harus meyakini bahwa semua prosedur dan
mekanisme kerja dapat menjamin kehalalan, tayib, ikhsan dan tawazun atas
keseluruhan proses dan hasil produksi
3. Responsibilitas
Dalam hubungan dengan asas responsibilitas (responsibility), pelaku
bisnis syariah harus mematuhi peraturan perundangan dan ketentuan bisnis
syariah, serta melaksanakan tanggung-jawab terhadap masyarakat dan
lingkungan. Tanggungjawab atas perbuatan manusia dilakukan baik di dunia
maupun di akhirat, yang semuanya direkam dalam catatan yang akan
dicermatinya nanti, sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-Isra/17: 14
yang artinya: “Bacalah kitabmu (laporan pertanggungjawabanmu). Cukuplah
kamu pada waktu itu mengevaluasi dirimu sendiri.” Dengan
pertanggungjawaban ini maka entitas bisnis syariah dapat terpelihara
kesinambungannya dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai
pelaku bisnis yang baik (good corporate citizen). Oleh karena itu, maka:
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1 2013
71 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi
ISSN: 2088-6365
a. Pelaku bisnis syariah harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan
memastikan kepatuhan terhadap ketentuan bisnis syariah dan perundangan,
anggaran dasar serta peraturan internal pelaku bisnis syariah (by-laws).
b. Pelaku bisnis syariah harus melaksanakan isi perjanjian yang dibuat
termasuk tetapi tidak terbatas pada pemenuhan hak dan kewajiban yang
yang disepakati oleh para pihak.
c. Pelaku bisnis syariah harus melaksanakan tanggung jawab sosial antara lain
dengan peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di
sekitar tempat berbisnis, dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan
yang memadai. Pelaksanaan tanggung jawab sosial tersebut dapat dilakukan
dengan cara membayar zakat, infak dan sadaqah.
4. Independensi
Dalam hubungan dengan asas independensi (independency), bisnis
syariah harus dikelola secara independen sehingga masing-masing pihak tidak
boleh saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun.
Independensi terkait dengan konsistensi atau sikap istiqomah yaitu tetap
berpegang teguh pada kebenaran meskipun harus menghadapi risiko,
(Fushshilat/41: 30). Independen merupakan karakter manusia yang bijak (ulul
al-bab) yang dalam al-Qur‟an disebutkan sebanyak 16 kali, yang diantara
karakternya adalah “Mereka yang mampu menyerap informasi (mendengar
perkataan) dan mengambil keputusan (mengikuti) yang terbaik (sesuai dengan
nuraninya tanpa tekanan pihak manapun).” Oleh karena itu, maka:.
a. Pelaku bisnis syariah harus bersikap independen dan harus menghindari
terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan
tertentu, bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan dari
segala pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat
dilakukan secara obyektif.
b. Masing-masing organ Perusahaan harus melaksanakan fungsi dan tugasnya
sesuai dengan peraturan perundangan dan ketentuan syariah, tidak saling
mendominasi dan atau melempar tanggung jawab antara satu dengan yang
lain.
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1 2013
72 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi
ISSN: 2088-6365
c. Seluruh jajaran bisnis syariah harus melaksanakan fungsi dan tugasnya
sesuai dengan uraian tugas dan tanggung jawabnya.
5. Kewajaran dan Kesetaraan
Kewajaran dan kesetaraan (fairness) mengandung unsur kesamaan
perlakuan dan kesempatan. Allah Swt berfirman dalam surat al-Maidah/5: 8,
yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang
yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap orang (golongan) lain menyebabkan
kamu tidak berlaku adil. berlaku adillah kamu karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. Dan bertakwalah kepada Allah karena Allah Maha Mengetahui apa yang
kalian kerjakan.” Fairness atau kewajaran merupakan salah satu manifestasi adil
dalam dunia bisnis. Setiap keputusan bisnis, baik dalan skala individu maupun
lembaga, hendaklan dilakukan sesuai kewajaran dan kesetaraan sesuai dengan
apa yang biasa berlaku, dan tidak diputuskan berdasar suka atau tidak suka. Pada
dasarnya, semua keputusan bisnis akan mendapatkan hasil yang seimbang
dengan apa yang dilakukan oleh setiap entitas bisnis, baik di dunia maupun di
akhirat. Dalam usul fikih terdapat sebuah kaidah yang diturunkan dari sabda
Rasulullah Saw, al-kharaj bidh-dhaman yang artinya bahwa usaha adalah
sebanding dengan hasil yang akan diperoleh, atau dapat pula dimengerti sebagai
risiko yang berbanding lurus dengan pulangan (return). Dalam melaksanakan
kegiatannya, Pelaku bisnis syariah harus senantiasa memperhatikan kepentingan
semua pemangku kepentingan, berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. Oleh
karena itu, maka:
a. Pelaku bisnis syariah harus memberikan kesempatan pada pemangku
kepentingan untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi
kepentingan organisasi serta membuka akses terhadap informasi sesuai
dengan prinsip transparansi dalam lingkup kedudukan masing-masing.
b. Pelaku bisnis syariah harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar
kepada pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang
diberikan.
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1 2013
73 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi
ISSN: 2088-6365
c. Pelaku bisnis syariah harus memberikan kesempatan yang sama dalam
penerimaan pegawai, berkarir, dan melaksanakan tugasnya secara
profesional tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin
(gender) dan kondisi fisik.
d. Pelaku bisnis syariah harus bersikap tawazun yaitu adil dalam pelayanan
kepada para nasabah atau pelanggan dengan tidak mengurangi hak mereka,
serta memenuhi semua kesepakatan dengan para pihak terkait dengan harga,
kualitas, spesifikasi atau ketentuan lain yang terkait dengan produk yang
dihasilkannya.
Dengan adanya penerapan prinsip ini secara baik maka hal ini akan
menjadi nilai tambah bagi perbankan syariah dalam mengembangkan usahanya
di masa mendatang.
F. Menuju Model Corporate Governance Bank Syariah di Indonesia
Telah dijelaskan di atas bahwa penerapan Good Corporate Governance
Bank Syariah merupakan amanat UU No 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah.
UU ini menyebut GCG sebagai tata kelola yang baik yang mencakup prinsip
transparansi, akuntabilitas, pertanggung jawaban, professional, dan kewajaran
dalam menjalankan kegiatan usaha. UU ini juga mewajibkan bank yang
bersangkutan untuk menyusun prosedur internal mengenai pelaksanaan prinsip-
prinsip tersebut. 24
Namun, UU ini tidak menjelaskan pengertian dari prinsip-prinsip
governance tersebut satu persatu. Untuk itu, Bank Indonesia secara spesifik
membuat aturan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 11/33/PBI/2009 tentang
Pelaksanaan GCG bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dan
dilengkapi oleh KNKG dengan Pedoman GCG Perbankan Indonesia dan Pedoman
Good Governance Bisnis Syariah.
Dalam konteks pelaksanaan GCG Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah, PBI-2009 tampaknya mempunyai dasar pemikiran yang sama dengan PBI-
2006. Namun dalam PBI-2009 tidak saja mengatur komposisi, karakteristik,
struktur, dan mekanisme dasar yang harus dimiliki oleh Dewan Komisaris dan
24
Pasal 34 Undang-Undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1 2013
74 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi
ISSN: 2088-6365
Direksi.25
Selain itu, diatur juga tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas
Syariah.
Untuk itu, dalam PBI-2009 dijelaskan jumlah, tugas dan tanggung jawab
dari Dewan Komisaris, Direksi, dan Dewan Pengawas Syariah. Dewan Komisaris.
Jumlah anggota dewan Komisaris paling kurang 3 (tiga) orang dan paling banyak
sama dengan jumlah anggota Direksi, terdiri dari Komisaris dan Komisaris
Independen.26
Jumlah Komisaris Independen Paling kurang 50% (lima puluh
perseratus) dari jumlah anggota dewan Komisaris. Semua Anggota dewan
Komisaris harus memenuhi persyaratan telah lulus Penilaian Kemampuan dan
Kepatutan (Fit and Proper Test) sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia tentang
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test). Selain itu, Anggota
dewan Komisaris hanya dapat merangkap jabatan sebagai anggota dewan
Komisaris, Direksi, atau Pejabat Eksekutif pada 1 (satu) lembaga/perusahaan bukan
lembaga keuangan dan tidak memiliki hubungan keluarga dengan anggota dewan
Komisaris dan/atau anggota Direksi.
Selanjutnya, mengenai tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris pada
perbankan sebagaimana diatur dalam PBI-2009, antara lain:
1. Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan atas terselenggaranya
pelaksanaan GCG dalam setiap kegiatan usaha BUS pada seluruh tingkatan atau
jenjang organisasi
2. Dewan Komisaris wajib melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas
dan tanggung jawab Direksi, serta memberikan nasihat kepada Direksi.
3. Dalam melakukan pengawasan, Dewan Komisaris wajib memantau dan
mengevaluasi pelaksanaan kebijakan strategis BUS dan Dewan Komisaris
dilarang terlibat dalam pengambilan keputusan kegiatan operasional BUS,
kecuali pengambilan keputusan untuk pemberian pembiayaan kepada Direksi
25
Mal An Abdullah, Corporate Governance Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2010), 75 26
Komisaris Independen dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi
diantara para manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasihat kepada
manajemen. Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar
tercipta perusahaan yang good corporate governance. Lihat Muh. Arief Ujiyantho dan Bambang Agus
Pramuka, “Mekanisme Corporate Governance, Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan (Studi Pada
Perusahaan Go Publik Sektor Manufaktur ) , Simposium Nasional Akuntansi, Makasar 26-28 Juli 2007
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1 2013
75 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi
ISSN: 2088-6365
sepanjang kewenangan Dewan Komisaris tersebut ditetapkan dalam Anggaran
Dasar BUS atau dalam Rapat Umum Pemegang Saham.
4. Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa Direksi telah menindaklanjuti
temuan audit dan/atau rekomendasi dari hasil pengawasan Bank Indonesia,
auditor intern, Dewan Pengawas Syariah dan/atau auditor ekstern.
5. Dewan Komisaris wajib memberitahukan secara tertulis kepada Bank Indonesia
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditemukannya, baik itu pelanggaran
peraturan perundang-undangan di bidang keuangan dan perbankan maupun
suatu kondisi yang dapat membahayakan kelangsungan usaha BUS.
6. Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung
jawabnya, Dewan Komisaris wajib membentuk Komite Pemantau Risiko,
Komite Remunerasi dan Nominasi, dan Komite Audit. Pengangkatan anggota
komite ditetapkan oleh Direksi berdasarkan keputusan rapat Dewan Komisaris.
7. Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa komite yang telah dibentuk
menjalankan tugasnya secara efektif dan wajib memiliki pedoman dan tata tertib
kerja. Pedoman dan tata tertib kerja komite harus dievaluasi dan dilakukan
pengkinian secara berkala, dan pedoman dan tata tertib kerja ini sifatnya
mengikat bagi setiap anggota Dewan Komisaris. Dalam pedoman dan tata tertib
ini harus mencantumkan waktu kerja dan pengaturan rapat.
8. Dewan Komisaris wajib menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan
tugas dan tanggung jawabnya secara optimal. Minimal rapat dilakukan 1 (satu)
kali dalam 2 (dua) bulan dan wajib dihadiri paling kurang oleh 2/3 (dua per
tiga) dari jumlah anggota Dewan Komisaris.
9. Rapat Dewan Komisaris wajib dipimpin oleh Komisaris Utama. Jika Komisaris
Utama berhalangan hadir maka rapat Dewan Komisaris dapat dipimpin oleh
salah seorang anggota Dewan Komisaris. Seluruh keputusan Dewan Komisaris
yang dituangkan dalam risalah rapat merupakan keputusan bersama seluruh
anggota Dewan Komisaris dan hasil rapat Dewan Komisaris wajib dituangkan
dalam risalah rapat dan didokumentasikan dengan baik. Jika terjadi perbedaan
pendapat (dissenting opinions) atas hasil keputusan rapat Dewan Komisaris,
maka perbedaan pendapat tersebut wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah
rapat beserta alasannya.
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1 2013
76 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi
ISSN: 2088-6365
Direksi. Mengenai tugas dan tanggung jawab Direksi pada perbankan
syariah sebagaimana diatur dalam PBI-2009, antara lain:
1. Direksi bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan pengelolaan BUS
berdasarkan prinsip kehati-hatian dan Prinsip Syariah.
2. Direksi wajib mengelola BUS sesuai dengan kewenangan dan tanggung
jawabnya sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar BUS dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Direksi wajib melaksanakan GCG dalam setiap kegiatan usaha BUS pada
seluruh tingkatan atau jenjang organisasi, Direksi wajib menindaklanjuti temuan
audit dan/atau rekomendasi dari hasil pengawasan Bank Indonesia, auditor
intern, Dewan Pengawas Syariah dan/atau auditor ekstern.
4. Dalam rangka melaksanakan GCG, Direksi wajib memiliki fungsi paling
kurang: a. Audit Intern; b. Manajemen Risiko dan Komite Manajemen Risiko;
dan c. Kepatuhan.
5. Direksi wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada
pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham.
6. Direksi harus mengungkapkan kepada pegawai kebijakan BUS yang bersifat
strategis di bidang kepegawaian.
7. Anggota Direksi dilarang memberikan kuasa umum kepada pihak lain yang
mengakibatkan pengalihan tugas dan fungsi Direksi.
8. Direksi hanya dapat menggunakan jasa konsultan, penasihat, atau yang dapat
dipersamakan dengan itu sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a.
proyek bersifat khusus yang sangat diperlukan untuk kegiatan usaha BUS; b.
didasari oleh kontrak yang jelas, yang sekurang-kurangnya mencakup tujuan,
ruang lingkup kerja, tanggung jawab, jangka waktu pelaksanaan pekerjaan dan
biaya; dan c. konsultan merupakan pihak independen yang profesional dan
memiliki kualifikasi yang cukup untuk melaksanakan proyek secara efektif dan
efisien.
9. Direksi wajib menyediakan data dan informasi yang akurat, relevan dan tepat
waktu kepada Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas Syariah.
10. Setiap anggota Direksi wajib memiliki kejelasan tugas dan tanggung jawab
sesuai dengan bidang tugasnya.
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1 2013
77 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi
ISSN: 2088-6365
11. Direksi wajib memiliki pedoman dan tata tertib kerja yang bersifat mengikat
bagi setiap anggota Direksi. Pedoman dan tata tertib kerja paling kurang
mencantumkan: a. waktu kerja; dan b. pengaturan rapat.
12. Setiap keputusan Direksi bersifat mengikat dan menjadi tanggung jawab seluruh
anggota Direksi.
13. Setiap kebijakan dan keputusan strategis wajib diputuskan melalui rapat Direksi.
Hasil rapat Direksi wajib dituangkan dalam risalah rapat dan didokumentasikan
dengan baik. Dalam hal terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinions) atas
hasil keputusan rapat Direksi, maka perbedaan pendapat tersebut wajib
dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat beserta alasannya.
Dewan Pengawas Syariah. Khusus bagi bank yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah, harus memiliki Dewan Pengawas Syariah, yaitu
badan independen yang bertugas melakukan pengarahan (directing), pemberian
konsultasi (consulting), melakukan evaluasi (evaluating), dan pengawasan
(supervising) kegiatan bank syariah dalam rangka memastikan bahwa kegiatan
usaha bank syariah tersebut mematuhi (compliance) terhadap prinsip syariah
sebagaimana telah ditentukan oleh fatwa dan syariah islam.27
Hal inilah yang
membedakan antara bank konvensional dan bank syariah. Dalam pelaksanaan
tugasnya, diatur dalam pasal 46 PBI-2009. Berikut Tugas dan Tanggung Jawab
Dewan Pengawas Syariah
1. Dewan Pengawas Syariah wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawab
sesuai dengan prinsip-prinsip GCG.
2. Tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah adalah memberikan
nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai
dengan Prinsip Syariah.
3. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah meliputi:
menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas pedoman operasional
dan produk yang dikeluarkan Bank, mengawasi proses pengembangan produk
baru Bank agar sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama
Indonesia, meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama
27
Pedoman Good Corporate Governance Perbankan Indonesia, dikeluarkan oleh Komite
Nasional Kebijakan Corporate Governance, Januari 2004
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1 2013
78 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi
ISSN: 2088-6365
Indonesia untuk produk baru Bank yang belum ada fatwanya, melakukan
review secara berkala atas pemenuhan Prinsip Syariah terhadap mekanisme
penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank, dan
Meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah dari satuan kerja
Bank dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
4. Dewan Pengawas Syariah wajib menyampaikan Laporan Hasil Pengawasan
Dewan Pengawas Syariah secara semesteran yang disampaikan kepada Bank
Indonesia paling lambat 2 (dua) bulan setelah periode semester dimaksud
berakhir.
Untuk melengkapi PBI-2009 dalam mengimplementasikan GCG di
Perbankan Syariah, KNKG (Komite Nasional Kebijakan Governance) membentuk
Tim Kerja Penyusunan Pedoman Umum Good Governance Bisnis Syariah (GGBS)
dengan keanggotaan yang terdiri dari berbagai pakar terkait bersama-sama dengan
sejumlah institusi (Masyarakat Ekonomi Syariah, Bank Indonesia, Dewan Syariah
Nasional MUI dan sebagainya) menyusun konsep Pedoman tersebut. Pada 3
November 2011, KNKG meluncurkan Pedoman GGBS. Dengan diluncurkannya
GGBS, maka pedoman ini akan menjadi pedoman pelaksanaan tata kelola entitas
bisnis syariah khususnya bank syariah di Indonesia.
cmendorong:28
1. Kesadaran dan komitmen untuk meningkatkan ketakwaan, manfaat, dan
keberkahan dalam berbisnis.
2. Pengambilan keputusan bisnis didasarkan pada nilai akhlak islam dan
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan;
3. Kesinambungan entitas bisnis syariah melalui pengelolaan yang didasarkan
pada praktik-praktik bisnis dengan karakter dan sifat-sifat Rasulullah SAW.
4. Pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing organ kelembagaan dari
entitas bisnis syariah yang bersangkutan.
5. Kesadaran dan tanggung jawab sosial pelaku bisnis syariah terhadap
kemaslahatan ummat manusia dan kelestarian lingkungan.
6. Optimalisasi nilai bisnis syariah bagi pemangku kepentingan.
28
Pedoman Good Governance Bisnis Syariah, dikeluarkan oleh KNKG
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1 2013
79 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi
ISSN: 2088-6365
7. Pengembangan ekonomi Islam secara kuantitas maupun kualitas serta
kemanfaatan yang universal.
Tujuan di atas menunjukkan perbedaan antara GCG konvensional dan
GGBS. Selain itu, letak perbedaan lainnya terletak pada prinsip dasar GGBS yang
berorientasi pada spiritual dan penciptaan pra kondisi operasional. Berikut beberapa
penjelasan perbandingan pedoman GCG dan GGBS: 29
Aspek/Kriteria Pedoman GCG Pedoman GGBS
Penciptaan Pra
Kondisi/ Penciptaan
Situasi Kondusif
Terciptanya pasar yang efisien,
transparan, dan konsisten
dengan Undang-undang yang
didukung Tiga Pilar, yaitu
Negara, Dunia Usaha, dan
Masyarakat.
Terwujudnya bisnis yang
berkembang dengan tetap
berlandaskan pada kaidah-kaidah
syariah yang tidak hanya
ditujukan untuk keberhasilan
materi, akan tetapi juga
keberhasilan spiritual.
1. Prakondisi Spiritual untuk
menegakkan taq-wa dalam
kegiatan bisnis melalui
komit-men taqwa, kesung-
guhan dan konsistensi.
2. Prakondisi operasional
melalui Empat Pilar yaitu
Negara, Ulama, Dunia
Usaha, dan Masyarakat.
Asas
Transparency, Accoun-tability,
Responsibility, Independency,
dan Fairness (disingkat TARIF)
Dua pijakan dasar yaitu Spiritual
dan Operasional.
1. Secara spiritual ber-asaskan
pada Iman dan Taqwa yang
diwujud-kan dalam bentuk
komitmen pada dua aspek
yakni Halal dan Tayib
2. Secara operasional sama
dengan GCG yaitu,
Transparency,
Accountability, Res-
ponsibility, Indepen-dency,
dan Fairness yang
dilengkapi dengan landasan-
landasan dalam Al-Qur‟an
dan Hadist yang berkaitan
dengan masing-masing asas
tersebut.
Etika dan Pedoman Setiap perusahaan harus Etika bisnis syariah merupakan
29
Binhadi, “Pokok-pokok Pedoman GGBS dan Urgensi Kehadiran Pedoman GGBS”, Presentasi
pada Seminar Peluncuran Pedoman Umum Good Governance Bisnis Syariah, 3 November 2011.
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1 2013
80 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi
ISSN: 2088-6365
Perilaku memiliki rumusan nilai-nilai
perusahaan (terpercaya, adil,
dan jujur) yang
menggambarkan sikap moral,
etika bisnis yang disepakati
oleh organ perusahaan dan
karyawan serta pedoman
perilaku bagi organ perusahaan
dan semua karyawan.
acuan moral sebagai bagian dari
wujud akhlak al-karimah
sehingga didsarkan itikad baik
dan saling ridho.
1. Bisnis syariah harus
memenuhi empat nilai dasar,
yaitu jujur, adil, amanah,
dan ihsan
2. Masing-masing pelaku
bisnis dapat merumuskan
nilai-nilai bisnis, etika
bisnis, dan pedoman
perilaku yang terdiri dari
nilai-nilai bisnis secara
umum, etika bisnis syariah,
dan pedoman perilaku bisnis
syariah.
G. Penutup
Penerapan Good Corporate Governance (GCG) di bank syariah telah
didorong dari sisi regulasi. Dorongan tersebut adalah dengan dituangkannya
prinsip-prinsip dasar GCG ke dalam pasal 34 Undang-undang No 21 tahun 2008
tentang perbankan syariah. GCG pada perbankan syariah tidak saja menitikberatkan
pada implementasi prinsip-prinsip dasar GCG, tetapi pelaksanaan GCG di dalam
perbankan syariah harus memenuhi prinsip syariah. Namun, UU ini tidak
menjelaskan pengertian dari prinsip-prinsip dasar GCG tersebut satu persatu. Untuk
itu, Bank Indonesia secara spesifik membuat aturan dalam Peraturan Bank
Indonesia No. 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan GCG bagi Bank Umum Syariah
dan Unit Usaha Syariah dan dilengkapi oleh Komite Nasional Kebijakan
Governance (KNKG) dengan Pedoman GCG Perbankan Indonesia tahun 2004 dan
Pedoman Good Governance Bisnis Syariah (GGBS) tahun 2011. Dengan
dukungan regulasi di atas, diharapkan bank-bank syariah harus tampil sebagai
pionir terdepan dalam mengimplementasikan GCG tersebut.
Dengan mengimplementasikan GCG, bank syariah akan mampu
menciptakan iklim usaha yang sehat dan berkesinambungan, mewujudkan
perusahaan yang lahir dari budaya governance yang berdasar pada akhlak al-
karimah sehingga memberikan kemaslahatan dan kemanfaatan serta menghindari
kemudharatan. Selain itu, implementasi GCG dalam tinjauan islam adalah sebagai
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1 2013
81 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi
ISSN: 2088-6365
salah satu manifestasi ibadah atau amal saleh yang berasaskan ketakwaan sehingga
bisnis yang dilakukan oleh bank syariah memperoleh keberkahan.
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1 2013
82 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi
ISSN: 2088-6365
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Mal An, Corporate Governance Perbankan Syariah di Indonesia,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010
Binhadi, “Pokok-pokok Pedoman GGBS dan Urgensi Kehadiran Pedoman GGBS”,
Presentasi pada Seminar Peluncuran Pedoman Umum Good Governance Bisnis
Syariah, 3 November 2011.
Brown, Lawrence D. dan Marcus L, “Caylor, Corporate Governance and Firm
Performance”, Georgia State University, Desember 2004 www.ssrn.com
Chapra Umer, dan Habib Ahmed, Corporate Governance Lembaga Keuangan Syariah,
Jakarta: Bumi Aksara, 2008
Dallas, George S, Governance and Risk: An Analytical Handbook for Investor,
Managers, Directors, and Stakeholders, New York: McGraw-Hill, 2004
Daniri, Mas Achmad, “Memperkuat Governance BUMN Lewat Go Public”, Majalah
Manajemen Risiko: Stabilitas Perbankan, No. 65 November 2011
Emirzon, Joni, “Regulatory Driven dalam Implementasi Prinsip-Prinsip Good Corporate
Governance Pada Perusahaan di Indonesia” Jurnal Manajemen & Bisnis
Sriwijaya Vol. 4, No 8, Desember 2006
Fahy, Martin, et all, Beyond Governance: Creating Corporate Value, Conformance and
Responsibility, Chicester : John Wiley & Sons Ltd
Gusti Amri, http://gustiphd.blogspot.com/2011/10/sejarah-lahir-gcg-dan-
perkembangannya.html, diakses pada 20 Desember 2011
http://heritageinstitute.com/governance/definitions.html, diakses pada 2 Januari 2012
http://www.knkg-indonesia.com, diakses pada 2 Januari 2012
Jonathan R. Macey and Maureen O‟Hara, The Corporate Governance of Banks, 2003,
www.ssrn.com
Kamal, Miko, “Konsep Corporate Governance di Indonesia: Kajian atas Kode
Corporate Governance”, Jurnal Manajemen Teknologi, Volume 10 No. 2 2011
Lewis, Mervin K. dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah; Prinsip, Praktik dan
Prospek, Jakarta: Serambi, 2007
Lukviarman, Niki “Etika Bisnis Tak Berjalan di Indonesia: Ada Apa Dalam Corporate
Governance?, Jurnal Siasat Bisnis, No. 9 Vol. 2, Desember 2004
Muh. Arief Ujiyantho dan Bambang Agus Pramuka, “Mekanisme Corporate
Governance, Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan (Studi Pada Perusahaan
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 1 2013
83 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi
ISSN: 2088-6365
Go Publik Sektor Manufaktur ) , Simposium Nasional Akuntansi, Makasar 26-
28 Juli 2007
Pedoman Good Corporate Governance Perbankan Indonesia, dikeluarkan oleh Komite
Nasional Kebijakan Corporate Governance, Januari 2004
Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia dikeluarkan oleh Komite
Nasional Kebijakan Governance, 2006
Pedoman Umum Good Governance Bisnis Syariah (GGBS) dikeluarkan oleh KNKG
(2011)
Peraturan Bank Indonesia No. 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan GCG bagi Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
Setyani, Nur Hidayati, “Kebijakan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Prinsip ”Good
Corporate Governance” Bagi Bank Umum Dalam Praktek Perbankan Syari‟ah”,
Tesis Program Magister Ilmu Hukum UNDIP, (2010)
Undang-Undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Vittal, N, Coruption in Corporate Governance, dalam Y.R.K. Reddy dan Yerram Raju,
Corporate Governance in Banking dan Finance, New Delhi: Tata McGraw-Hill
Publishing Company Ltd, 2000
Wibowo, Muh. Ghafur, Potret Perbankan Syariah Terkini: Kajian Kritis Perkembangan
Perbankan Syariah Terkini, Yogyakarta: Biruni Press, 2007
Yunis, Hamid, “Corporate Governance for Bank”, dalam Simon Archer dan Rifaat
Ahmed Abdel Karim (ed.), Islamic finance: The Regulatory Challege,
Singapore: John Wiley and Sons (Asia) Pte Ltd, 2007.
Zingales, Luigi, Corporate Governance. The New Palgrave Dictionary of Economics
and the Law, 1997. www.ssrn.com