BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ide negara hukum, terkait dengan konsep the rule of law dalam istilah
Inggris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey. Tiga ciri penting setiap negara
hukum atau yang disebutnya dengan istilah the rule of law oleh A.V. Dicey,
yaitu: 1) supremacy of law; 2) equality before the law; 3) due process of law.
Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum.
Undang-undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara Republik Indonesia itu
suatu negara hukum (rechstsaat) dibuktikan dari ketentuan dalam Pembukaan,
Batang Tubuh, dan Penjelasan Undang-undang Dasar 1945.1
Dalam Amandemen Undang-undang Dasar 1945, teori equality before the
law termaktub dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan “Segala warga Negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Teori
dan konsep equality before the law seperti yang dianut oleh Pasal 27 (1)
Amandemen Undang-undang Dasar 1945 tersebut menjadi dasar perlindungan
bagi warga negara agar diperlakukan sama di hadapan hukum dan pemerintahan.
Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar 1945
sering dikatakan menganut sistem presidensiil, akan tetapi sifatnya tidak murni,
karena bercampur baur dengan elemen-elemen sistem parlementer. Namun
dengan empat perubahan pertama Undang-undang Dasar 1945, khususnya 1 Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta, Aksara Baru, 2001, hlm.10
dengan diadopsinya sistem pemilihan presiden secara langsung, dan
dilakukannya perubahan struktural maupun fungsional terhadap kelembagaan
MPR, maka sistem pemerintahannya menjadi makin tegas menjadi sistem
pemerintahan presidensiil murni2. Dalam sistem presidensiil yang murni, tidak
perlu lagi dipersoalkan mengenai pembedaan atau pemisahan antara fungsi kepala
negara dan kepala pemerintahan, karena dalam pemerintahan presidensiil murni
cukup memiliki presiden dan wakil presiden saja tanpa mempersoalkan kapan ia
berfungsi sebagai kepala negara dan kapan sebagai kepala pemerintahan.
Di negara dengan tingkat keanekaragaman penduduknya yang luas seperti
Indonesia, sistem presidensiil ini efektif untuk menjamin sistem pemerintahan
yang kuat dan efektif. Namun seringkali, karena kuatnya otoritas yang
dimilikinya, timbul persoalan berkenaan dengan dinamika demokrasi3. Oleh
karena itu, dalam perubahan Undang-undang Dasar 1945, kelemahan sistem
presidensiil seperti kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi
kekuasaan di tangan presiden, diusahakan untuk dibatasi. Misalnya, Pasal 14 ayat
(1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa
“Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan
MA”. Hal ini bertujuan agar hak preogratif presiden dibatasi dan tidak lagi
bersifat mutlak.
Mengenai kewenangan presiden meberikan grasi, disebut kewenangan
presiden yang bersifat judicial, atau disebut juga sebagai kekuasaan presiden
dengan konsultasi. Kekuasaan dengan kosultasi adalah kekuasaan yang dalam
2 Jimly Ashiddiqe, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta, Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm.161
3 Ibid, hlm.164
2
pelaksanaannya memerlukan usulan atau nasehat dari institusi-institusi yang
berkaitan dengan materi kekuasaan tersebut. Selain grasi dan rehabilitasi, amnesti
dan abolisi juga termasuk dalam kekuasaan presiden dengan konsultasi. Seperti
tercantum dalam Pasal 14 ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945,
“Presiden memberikan amnesti dan abolisi atas pertimbangan DPR”.
Kewenangan Presiden memberikan grasi terkait dengan hukum pidana
dalam arti subyektif. Hukum pidana subyektif membahas mengenai hak negara
untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana. Hak negara yang demikian ini
merupakan hak negara yang besar, sehingga perlu dicari dasar pijakannya melalui
teori pemidanaan. Oleh karena itu, Presiden dalam memberikan grasi harus
didasarkan pada teori pemidanaan.
Dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 22/G tahun 2012 dan
Keputusan Presiden Nomor 23/G Tahun 2012 tentang Pemberian Grasi Kepada
Scaplle Leigh Corby dan Peter Achim Franz Grobmaan memulai timbulnya
masalah grasi mulai banyak diperbincangkan akhir-akhir ini, sejak pertengahan
2012 lalu presiden Susilo Bambang Yudoyono telah mengabulkan permohonan
Grasi kepada Keduanya. Mereka adalah dua orang terlibat kasus narkoba.
Pemberian grasi bukan suatu hal yang baru. Grasi berupa perubahan status
terpidana mati menjadi seumur hidup, pernah diberikan kepada Soebandrio dan
Omar Dhani. Demikian pula terhadap sembilan terpidana lain (1980), setelah itu,
tidak kurang dari 101 permohonan grasi diberikan oleh presiden Soeharto. Tentu
saja hal ini bukanlah jumlah yang sedikit, mengingat kekuasaan Orde Baru telah
bertengger selama 32 tahun.
3
Beberapa resiko yang dikhawatirkan sebagai akibat dari vonis yang
dijatuhkan oleh hakim, khususnya untuk pidana maksimal, yaitu adanya
kemungkinan terjadi eksekusi terhadap innocent people. Selain itu, adanya
kekhilafan dalam proses hukum, meliputi proses penuntutan, penangkapan yang
salah, atau keterangan dari saksi yang tidak dapat dipercaya, bisa saja terjadi4.
Boleh dibilang grasi merupakan salah satu lembaga yang bisa mengkoreksi
dan mengatasi resiko tersebut. Itulah sebabnya mengapa grasi berada di luar
lingkup peradilan pidana. Hal ini memberikan indikasi bahwa, meskipun grasi
merupakan kewenangan presiden yang berada dalam lingkup Hukum Tata
Negara, hukum pidana juga memandang tentang keberadaan grasi dalam hal
upaya dari terpidana untuk menghindarkan dari eksekusi putusan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dengan mengingat fenomena pro dan
kontra terhadap pemberian grasi, khususnya hukum pidana nasional maka penulis
tertarik mengemukakan judul: “ANALISIS KEPUTUSAN PRESIDEN NO.
22/G TAHUN 2012 DAN KEPUTUSAN PRESIDEN NO. 23/G TAHUN 2012
TENTANG PEMBERIAN GRASI KEPADA SCHAPELLE LEIGH CORBY
DAN PETER ACHIM FRANZ GROBMAAN”.
B. Identifikasi Masalah
Bertitik tolak dari uraian diatas, maka dapat penulis identifikasi
beberapa masalah yang penulis temukan, yaitu:
1. Apakah bentuk kesalahan yang dilakukan Schapelle Leigh Corby dan
Peter Achim Franz Grobmaan.
4 Muladi (Makalah), Op.Cit, hlm.12
4
2. Apakah faktor dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 22/G dan
Keputusan Presiden No. 23/G tahun 2012 tentang Pemberian Grasi
Schapelle Leigh Corby dan Peter Achim Franz Grobmaan ditinjau dari
hukum formal.
C. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan
beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Keputusan Presiden No. 22/G dan Keputusan Presiden No.
23/G tahun 2012 tentang Pemberian Grasi Schapelle Leigh Corby dan
Peter Achim Franz Grobmaan ditinjau dari hukum formal?
2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan presiden memberikan grasi
kepada Schapelle Leigh Corby dan Peter Achim Franz Grobmaan.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui Keputusan Presiden No. 22/G dan Keputusan
Presiden No. 23/G tahun 2012 tentang Pemberian Grasi Schapelle Leigh
Corby dan Peter Achim Franz Grobmaan ditinjau dari hukum formal.
b. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang menyebabkan presiden
memberikan grasi kepada Schapelle Leigh Corby dan Peter Achim Franz
Grobmaan.
5
2. Manfaat Penelitian
Sebagaimana yang dikemukakan diatas, maka penulisan ini juga
bermanfaat untuk:
a. Manfaat secara teoritis
Secara teoritis diharapkan dapat memberikan masukkan
terhadap perkembangan ilmu hukum pidana, sekaligus pengetahuan
tentang hal-hal yang berhubungan dengan “bagaimana sebuah grasi
dapat diberikan.”
b. Manfaat secara praktis
Secara praktis diharakan tulisan ini dapat menjadi referensi
pemikiran kepada:
1) Para praktisi hukum;
2) Masyarakat;
3) Pemerintah; dan
4) Aparat penegak hukum.
Disamping itu juga, melalui skripsi ini diharapkan dapat
memperoleh gambaran tentang pemberian grasi khususnya bagi pelaku
pidana kelas berat dalam rangka penegakkan hukum di Indonesia.
E. Kerangka Teori
6
Grasi menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi
menyebutkan:
Pasal 1 Angka 1Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.
Pasal 1 Angka 2Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sedangkan grasi, dalam Kamus Hukum berarti wewenang dari kepala
negara untuk memberi pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan
oleh hakim untuk menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merobah sifat atau
bentuk hukuman itu5.
Ditinjau dari sudut bahasa, kata “grasi” berasal dari bahasa latin, yaitu
kata gratia yang berarti pengampunan. Grasi dikenal dalam seluruh sistem
hukum di seluruh dunia. Di Belgia grasi dikenal dengan istilah genade.6
R. Soesilo memberikan pendapat mengenai grasi sebagai berikut:
“Pemberian grasi merupakan salah satu dari wewenang prerogatif Kepala Negara untuk membatalkan untuk seluruhnya atau sebagian pidana yang telah dijatuhkan atau untuk merubah pidana itu menjadi suatu pidana yang lebih ringan sifatnya (lebih berat tidak dimungkinkan)”.7
Sedangkan grasi menurut J. C. T. Simorangkir sebagai berikut:
Grasi berasal dari kata gratie, yang berarti wewenang dari Kepala Negara untuk memberikan pengampunan terhadap hukuman yang telah
5 JCT. Simorangkir (et-al), Kamus Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, hlm.586 J. E. Sahetapy, “Mekanisme Pengawasan Atas Hak-Hak Presiden”, <http://www.
Komisi Hukum.go.id / atice_Opinion_Php ? mode = detil & id = 16 >, diakses 27 Novembe 2006.7 R. Soesilo, Hukum Acara Pidana Posedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut
Kitab Undang-Undang hukum Pidana Bagi Penegak Hukum, cet. 1, Bandung: PT. Karya Nusantara, 1982, hal. 137.
7
dijatuhkan oleh hakim, untuk menghapus seluruhnya, sebagian atau merubah sifat atau bentuk hukuman itu.8
Definisi yang diberikan oleh Utrecht yaitu “mengugurkan menjalani
hukuman atau sebagian hukuman”. Sedangkan menurut pendapat Soetomo,
“Grasi merupakan pengampunan dari Presiden Kepala terpidana”9.
Hasbullah F. Sjawie memberikan pendapat mengenai grasi sebagai
berikut:
Grasi yang sering juga disebut pengampunan adalah hak khusus atau hak prerogatif yang dimiliki oleh Presiden dalam kedudukannya atau fungsinya sebagai Kepala Negara. Grasi adalah tindakan Presiden untuk meniadakan atau mengurangi atau merubah hukuman yang telah dijatuhkan oleh keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan demikian grasi adalah salah satu alasan yang dapat mengakibatkan batalnya keharusan untuk melaksanakan hukuman yang diatur di luar Kitab Undang-Undang hukum Pidana10.
Menurut M.P. Pangaribuan yang menyatakan bahwa:
“Grasi adalah Wewenang dari Kepala Negara untuk memberikan pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim, untuk menghapus seluruhnya, sebagian, atau mengubah sifat atau bentuk hukuman itu.11
Menurut M. Yahya Harahap, yang menyatakan bahwa: “Grasi adalah
Pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan
pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.12
Menurut C.S.T. Kansil, dan Christine S.T. Kansil yang menyatakan
bahwa:8 Simorangkir, dkk, Op. Cit., hal. 42.9 Soetomo, Hukum Acara Pidana Dalam Praktek, cet. 1, Surakarta: Pustaka Kartini,
1990), hal.89.10 Hasbullah F. Sjawie, “Lembaga Grasi Menurut Hukum Positif Di Indonesia”, Varia
Peadilan Tahun IX No. 102 (Maret 1994): 14711 Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, Surat-Surat Resmi Di Pengadilan
Oleh Advokat, Jakarta: Penerbit Djambatan, 2002, hal. 76.12 Harahap, M. Yahya, 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta.
8
“Grasi adalah Hak yang diserahkan kepada kepala Negara untuk membebaskan seseorang dari pada hukuman yang dijatuhkan kepadanya dengan keputusan Hakim, atau untuk mengurangi hukuman itu dengan sejenis hukuman yang lebih ringan.”13
Sementara itu subyek dan kewenangan dalam pemberian grasi telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung,
dalam undang-undang ini disebutkan:
Pasal 35Mahkamah Agung memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi.
Subyek dan kewenangan dalam pemberian grasi juga diatur dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, dalam undang-undang ini
menyebutkan:
Pasal 2(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.
Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Kata "dapat" dalam ketentuan ini
dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada terpidana untuk
menggunakan atau tidak menggunakan hak untuk mengajukan permohonan
grasi sesuai dengan Undang-undang ini.
Yang dimaksud dengan "putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap" adalah:1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding
atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;
13 C.S.T Kansil dan Cristine S.T Kansil, Sistem pemerintahan Indonesia, Jakarta: Bumi aksara, 2003, hal. 8
9
2. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau
3. Putusan kasasi. Yang dimaksud dengan "pengadilan" adalah pengadilan di lingkungan
peradilan umum atau pengadilan di lingkungan peradilan militer yang
memutus perkara pidana.
Pasal 4(1) Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung.
Pasal 6A(1) Demi kepentingan kemanusiaan dan keadilan, menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dapat meminta para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 untuk mengajukan permohonan grasi.
Tata Cara dalam mengajukan grasi menurut Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, berbunyi sebagai berikut:
Pasal 196 (3) Segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan, bahwa hakim
ketua sidang wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang segala apa yang menjadi haknya, yaitu:c. hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang
waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan;
Penjelasan Pasal 196 Ayat (3) Dengan pemberitahuan ini dimaksudkan
supaya terdakwa mengetahui haknya. Dengan demikian jarak antara
pemberian grasi dengan putusan pemidanaan tidak akan berselang lama.
Sementara menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi
menyebutkan:
10
Pasal 2(2) Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun.(3) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali.
Penjelasan Pasal 2 Ayat (3) Ketentuan ini dimaksudkan untuk
memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan pengajuan permohonan
grasi dan menghindari pengaturan diskriminatif.
Pasal 3Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.
Pasal 4(2) Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa:a. peringanan atau perubahan jenis pidana;b. pengurangan jumlah pidana; atauc. penghapusan pelaksanaan pidana.
Pasal 5 (1) Hak mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama.(2) Jika pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana tidak hadir, hak terpidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama.
Penjelasan Pasal 5 Ayat (2) Kewajiban panitera untuk memberitahukan
secara tertulis hak terpidana untuk mengajukan grasi, berlaku pula dalam hal
putusan dijatuhkan pada tingkat banding atau kasasi.
Pasal 6(1) Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya diajukan kepada Presiden.(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh keluarga terpidana, dengan persetujuan terpidana.(3) Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasidapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana.
11
Penjelasan Pasal 6 Ayat (2) Yang dimaksud dengan “keluarga” adalah
isteri atau suami, anak kandung, orang tua kandung, atau saudara sekandung
terpidana.
Pasal 6A(2) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang meneliti dan melaksanakan proses pengajuan Grasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 6A ayat (1) dan menyampaikan permohonan dimaksud kepada Presiden.
Pasal 7(1) Permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.(2) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 8(1) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden.(2) Salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung.(3) Permohonan grasi dan salinannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat disampaikan oleh terpidana melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.(4) Dalam hal permohonan grasi dan salinannya diajukan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada Presiden dan salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan salinannya.
Pasal 9 Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung.
Penjelasan Pasal 9 Yang dimaksud dengan “berkas perkara” adalah
termasuk putusan pengadilan tingkat pertama, serta putusan pengadilan
tingkat banding atau kasasi jika terpidana mengajukan banding atau kasasi.
12
Pasal 10Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Presiden.
Pasal 11 (1) Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.(2) Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi.(3) Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung.
Pasal 12(1) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) disampaikan kepada terpidana dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak ditetapkannya Keputusan Presiden.(2) Salinan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada:a. Mahkamah Agung;b. Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama;c. Kejaksaan negeri yang menuntut perkara terpidana; dand. Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana. Penjelasan Pasal 12 Ayat (2) Huruf b dan c: Dalam hal terpidana
anggota Tentara Nasional Indonesia, salinan keputusan grasi disampaikan
kepada pengadilan di lingkungan Peradilan Militer yang memutus perkara
pidana pada tingkat pertama dan oditurat militer yang menuntut perkara
terpidana. Huruf d, Dalam hal terpidana anggota Tentara Nasional Indonesia,
salinan keputusan grasi disampaikan kepada Kepala Lembaga
Pemasyarakatan Militer tempat terpidana menjalani pidana.
Pasal 13Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana.
13
Pasal 14(1) Dalam hal permohonan grasi diajukan dalam waktu bersamaan dengan permohonan peninjauan kembali atau jangka waktu antara kedua permohonan tersebut tidak terlalu lama, maka permohonan peninjauan kembali diputus lebih dahulu.(2) Keputusan permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak salinan putusan peninjauan kembali diterima Presiden.
F. Metode Penelitian
Sifat penulisan ini adalah deskriptif analistis, yaitu untuk
mendapatkan deskripsi mengenai jawaban atas masalah yang diteliti. Penulis
ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif penelitian
hukum normatif (legal research) terdiri dari inventarisasi hukum positif,
penemuan asas-asas dan dasar falsafah hukum positif, serta penemuan hukum
in concreto.14 Penelitian hukum normatif yang dipakai dalam penulisan ini
adalah hukum in concreto. Dalam penelitian ini, norma-norma hukum ini
abstracto di perlukan mutlak untuk berfungsi sebagai premis mayor,
sedangkan fakta-fakta yang relevan dalam perkara (legal facts) dipakai
sebagai premis minor melalui proses silogisme akan diperolehlah sebuah
konklusi, yaitu hukum in concreto yang dimaksud.15
1. Metode Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data yang diperlukan teknik penelitian
kepustakaan (library research) serta penelitian kasus terhadap Keputusan
14 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal 13.15 Bambang Sunggono, Metodeologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006), hal 91-92
14
Presiden RI Nomor 22/G dan nomor 23/G tahun 2012, alat yang digunakan
untuk mengumpulkan data adalah studi dokumen.
2. Metode Analisa Data
Setelah data terkumpul, dianalisis dengan menggunakan analisis
isi. Bernald Barelson merumuskan “content analysis is a research
technique for the objective, systematic, and quantitative description of the
manifest contenct of communication” (kajian isi sebagai teknik penelitian
untuk mendiskripsikan secara objektif, sistematis dan kuanlitatif tentang
manifestasi komunikasi). Sedangkan menurut Holsti kajian isi adalah
teknik apapun yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha
menemukan karakteristik pesan, dan dilakukan secara objektif dan
sistematis.16 Secara keseluruhan analisis diatas dilakukan dengan
menggunakan analisis kualitatif untuk mengungkap secara mendalam
tentang pandangan dan konsep yang diperlukan.
G. Sistematika Penulisan
Untuk lebih sistematisnya terlebih dahulu dikemukakan sistematika
penulisan skripsi ini meliputi:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah,
identifikasi masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat
16 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung Remaja Karya, 1989), hal 179. Dalam Soejono dan Abdurahman, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta 2003) hal 13.
15
penelitian landasan teori metode penelitian serta sistematika
penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TENTANG GRASI
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai pengertian pidana dan
pemidanaan, serta mengemukakan mengenai definisi grasi.
BAB III TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2010
TENTANG GRASI
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai muatan tuntutan umum
tentang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi,
ketentuan umum tentang grasi.
BAB IV ANALISIS KEPUTUSAN PRESIDEN RI NOMOR 22/G DAN
NOMOR 23/G TAHUN 2012
Dalam bab ini akan diuraikan tentang Tinjauan Tentang Pemidanaan
Terhadap Schapelle Leigh Corby dan Peter Achim Franz Grobmaan,
Analisis Keputusan Presiden Nomor 22/G dan Nomor 23/G Tahun
2012, Relevansi Dikeluarkannya Putusan Presiden Nomor 22/G dan
Nomor 23/G Tahun 2012.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini akan ditarik kesimpulan serta akan diberikan saran.
H. Outline
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN
16
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Identifikasi Masalah
C. Perumusan Masalah
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
E. Landasan Teori
F. Metode Penelitian
G. Sistematika Penulisan
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GRASI
A. Pidana dan Pemidanaan
B. Definisi Grasi
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR
5 TAHUN 2010 TENTANG GRASI
A. Gambaran Umum Undang-undang Nomor 5 tahun 2010 tentang
Grasi
B. Ketentuan Umum Tentang Grasi
BAB IV ANALISIS KEPUTUSAN PRESIDEN RI NOMOR 22/G DAN
NOMOR 23/G TAHUN 2012
17
A. Analisis Tentang Pemidanaan Terhadap Schapelle Leigh Corby
dan Peter Achim Franz Grobmaan
B. Analisis Keputusan Presiden Nomor 22/G dan Nomor 23/G
Tahun 2012
C. Relevansi Dikeluarkannya Putusan Presiden Nomor 22/G dan
Nomor 23/G Tahun 2012.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU REFERENSI
Adami Chazawi, 2005. Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Adami Chazawi, 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Agus Sulistyo dan Adi Mulyono. 2000. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surakarta: Penerbit Ita.
Andi Hamzah, 2001. Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.
Bambang Poernomo, 2006. Azas-Azas Hukum Pidana, Gahlia Indonesia, Yogyakarta
Bambang Sunggono, 2006. Metodeologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.
Burhan Ashshofa, 2000. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta,
18
CST. Kancil, 2006. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
E. Utrecht, 2005. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Universitas, Bandung.
E. Utrecht. 2006. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : PT. Penerbit Universitas.
Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Aksara Baru, Jakarta, 2001
J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan.
Jan Remmelink, 2003. Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Gramedia Pustaka, Jakarta.
Jan Smith, 2001. Komputer: Suatu Tantangan Baru di Bidang Hukum, Airlangga University Press, Surabaya.
JCT. Simonangkir (et-al), 2004. Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Jimly Ashiddiqe, 2006. Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
Lamintang. 2004. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru.
Leden Marpaung, 2000. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh: Pemberantasan dan Prevensinya, Jakarta: Sinar Grafika.
ANALISIS KEPUTUSAN PRESIDEN NO. 22/G TAHUN 2012DAN KEPUTUSAN PRESIDEN NO. 23/G TAHUN 2012
TENTANG PEMBERIAN GRASI KEPADA SCHAPELLE LEIGH CORBY DAN PETER ACHIM FRANZ GROBMAAN
19
PROPOSAL SKRIPSI
Oleh
Afrianty Mandasary 2009020013
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
BANTEN
2012
Surat Permohonan Pengajuan Proposal Skripsi
UNIVERSITAS PAMULANG
Kepada Yth :
20
Bapak Ketua Jurusan
Fak. Hukum UNPAM
Di
Tempat
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Dengan hormat,
Yang bertanda tangan dibawah ini saya :
Nama : Afrianty MandasaryFakultas : Hukum Jurusan : Hukum Pidana NIM : 2009020013
Dengan ini menyampaikan suatu permohonan pengajuan proposal skripsi yang
berjudul :
ANALISIS KEPUTUSAN PRESIDEN NO. 22/G TAHUN 2012DAN KEPUTUSAN PRESIDEN NO. 23/G TAHUN 2012
TENTANG PEMBERIAN GRASI KEPADA SCHAPELLE LEIGH CORBY DAN PETER ACHIM FRANZ GROBMAAN
Diajukan untuk memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum di
Universitas Pamulang. Atas perhatiannya saya haturkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Tangerang Selatan, Desember 2012
Pemohon
Afrianty Mandasary
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................................. i
ii
21
Surat Permohonan Pengajuan Proposal Skripsi ............................................... ii
Daftar Isi .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah.................................................................. 4
C. Perumusan Masalah ................................................................. 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................. 5
E. Kerangka Teori ........................................................................ 6
F. Metode Penelitian .................................................................... 13
G. Sistematika Penulisan............................................................... 14
H. Outline...................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 17
22