REFERAT
GASTROPARESIS DIABETIKA
Oleh:
Rani Tiyas Budiyanti G0006020
Muhammad Rasyid G0006111
Astrid Kusuma W G0007005
Annisa Nur Fadillah G0007187
Fathin Karimah G0007504
Pembimbing :
Dr.TY.Pramana, SpPD-KGEH.FINASIM
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U R A K A R T A
2012
HALAMAN PENGESAHAN
Refrat Ilmu Penyakit Dalam
dengan judul :
GASTROPARESIS DIABETIKA
Oleh:
Rani Tiyas Budiyanti G0006020
Muhammad Rasyid G0006111
Astrid Kusuma W G0007005
Annisa Nur Fadillah G0007187
Fathin Karimah G0007504
Tahun 2012
Telah di sahkan pada hari , tanggal Maret 2012
Pembimbing
Dr.TY.Pramana, SpPD-KGEH.FINASIM
2
DAFTAR ISI
A. PENDAHULUAN ........................................................................................... 5
B. ANATOMI, HISTOLOGI DAN FISIOLOGI LAMBUNG
1. ANATOMI LAMBUNG
a. Bagian dan batas-batas lambung ........................................................... 6
b. Vaskularisasi Lambung ......................................................................... 9
c. Sistem limfatik lambung ...................................................................... 10
d. Persyarafan Lambung ......................................................................... 11
2. HISTOLOGI LAMBUNG
a. Mukosa .......................................................................................... 13
b. Submukosa .................................................................................... 14
c. Muscularis eksterna ...................................................................... 14
d. Serosa atau Peritoneum ................................................................. 15
3. FISIOLOGI LAMBUNG
a. Peranan Sel Interstisial Cajal (ICCs) ........................................... 16
b. Regulasi Hormonal pada Pergerakan Gastrointestinal ............... 17
c. Fisiologi pengosongan lambung ................................................. 22
C. GASTROPARESIS DIABETIKA
1. DEFINISI ......................................................................................... 26
2. EPIDEMIOLOGI ............................................................................. 27
3. PATOFISIOLOGI ............................................................................. 27
4. PENEGAKKAN DIAGNOSA ......................................................... 29
5. DIAGNOSIS BANDING ................................................................. 33
6. KOMPLIKASI ............................................................................... 34
7. PENATALAKSANAAN .................................................................. 34
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 43
3
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Bagian-bagian lambung ....................................................................... 7
Gambar 2. Batas-batas Lambung ........................................................................... 9
Gambar 3. Sistem Saraf Otonom ........................................................................ 12
Gambar 4. Lapisan Mukosa Lambung ................................................................ 13
Gambar 5. Gambar 5. Efek GLP-1 pada Tubuh Manusia ................................... 20
Gambar 6. Proses Pengosongan Lambung .......................................................... 22
Gambar 7. Patogenesis gastroparesis diabetikum ............................................... 29
Gambar 8. Aktivitas Myoelektrik Gaster ........................................................... 31
Gambar 9. Perbandingan hasil pemeriksaan Scintigraphy ................................. 32
Gambar 10. Algoritme Penatalaksanaan Gastroparesis Diabetika ...................... 35
4
GASTROPARESIS DIABETIKA
A. PENDAHULUAN
Diabetes mellitus merupakan penyakit sistemik yang dapat
mengakibatkan disfungsi berbagai organ tubuh. Gangguan fungsi saluran cerna
ternyata merupakan masalah yang sering ditemui pada penderita-penderita
disbetes mellitus lanjut, dimana hal ini sebagian disangkakan berkaitan
dengan terjadinya disfungsi neurogenik dari saluran cerna tersebut.
Sering terjdi penderita diabetes mellitus mengeluhkan gejala
gangguan saluran cerna atas tanpa sebab yang jelas. Penderita seperti ini
bila dilakukan uji tertentu dapat menunjukkan adanya keterlambatan
pengosongan lambung, keadaan seperti ini dinamai gastroparesis diabetika.
Gastroparesis diabetika merupakan komplikasi dari diabetes mellitus yang
kini semakin dikenal.
Gastroparesis diabetika adalah suatu kelainan motilitas lambung yang
terjadi pada penderita diabetes yang dapat dimanisfestasikan oleh berbagai
macam gejala serta dijumpainya kelainan pada uji pengosongan lambung.
Istilah “gastroparesis diabeticorum” pertama sekali digunakan oleh Kassender
terhadap keadaan retensi lambung yang dijumpai pada penderita diabetes
mellitus yang asimptomatik. Gastroparesis diabetika dapat terjadi pada
penderita IDDM maupun NIDDM. Diperkirakan keterlambatan waktu
pengosongan lambung dijumpai pada sekitar 50% penderita IDDM maupun
NIDDM.
Selain dapat menimbulkan keluhan yang terkadang sampai berlarut-
larut dan sulit diatasi, Gastroparesis diabetika juga dapat menyulitkan
pengendalian gula darah. Namun dengan ditemukannya berbagai macam obat
gastrokinetik maka pengelolaan gastroparesis menjadi lebih efektif. Tulisan ini
bertujuan untuk memaparkan lebih lanjut mengenai gastroparesis diabetika dan
penanganannya.
5
B. ANATOMI, HISTOLOGI, DAN FISIOLOGI LAMBUNG
1. ANATOMI LAMBUNG
a. Bagian dan batas-batas lambung
Lambung merupakan bagian saluran pencernaan yang melebar dan
mempunyai 3 fungsi utama :
Menyimpan makanan; pada orang dewasa, lambung mempunyai
kapasitas sekitar 1500 ml.
Mencampur makanan dengan getah lambung untuk membentuk
kimus y/ang setengah padat.
Mengatur kecepatan pengiriman kimus ke usus halus sehingga
pencernaan dan absorpsi yang efisien dapat berlangsung.
Lambung terletak pada bagian atas abdomen, dari regio
hipochondrium kiri sampai regio epigastrium dan regio umbilikalis.
Sebagian besar lambung terletak di bawah iga-iga bagian bawah. Secara
kasar lambung berbentuk huruf J dan mempunyai dua lubang, ostium
cardiacum dan ostium pyloricum, dua curvatura yang dikenal sebagai
curvatura major dan minor, dan dua permukaan anterior dan posterior.
Lambung relatif terfiksasi pada kedua ujungnya, tetapi diantara ujung-
ujung tersebut sangat mobile. Lambung cenderung terletak tinggi dan
transversal pada orang yang pendek dan gemuk (lambung steer-horn)
dan memanjang secara vertikal pada orang yang tinggi dan kurus
(lambung berbentuk huruf J). Bentuk lambung sangat berbeda-beda
pada orang yang sama tergantung pada volume isinya, posisi tubuh dan
fase pernafasan.
Lambung terbagi atas beberapa bagian, yaitu sebagai berikut :
Fundus, berbentuk kubah dan menonjol ke atas dan terletak di
sebelah kiri ostium cardiacum. Biasanya fundus terisi penuh oleh
gas.
6
Corpus, dari setinggi ostium cardiacum sampai setinggi incisura
angularis, suatu lekukan yang selalu ada pada bagian bawah
curvatura minor.
Antrum pyloricum, adalah bagian lambung yang paling berbentuk
lambung. Dinding ototnya yang tebal membentuk sphincter
pyloricum. Rongga pylorus dinamakan canalis pyloricus.
Gambar 1. Bagian-bagian lambung
Pada lambung, terdapat curvatura minor yang membentuk pinggir
kanan lambung dan terbentuk dari ostium cardiacum sampai pylorus.
Omentum minus terbentang dari curvatura minor sampai hati. Curvatura
major jauh lebih panjang dari curvatura minor dan terbentang dari sisi kiri
ostium cardiacum, melalui kubah fundus dan kemudian mengitarinya dan
menuju ke kanan sampai bagian inferior pylorus. Ligamentum (omentum)
gastrolienalis terbentang dari bagian atas curvatura major sampai limpa, dan
omentum majus terbentang dari bagian bawah curvatura major sampai colon
transversum.
7
Ostium cardiacum merupakan tempat dimana oesophagus bagian
abdomen masuk ke lambung. Walaupun secara anatomis tidak ada sphincter,
diduga bahwa terdapat mekanisme fisiologis yang mencegah regurgitasi isi
lambung ke oesophagus.
Ostium pyloricum dibentuk oleh canalis pyloricus yang panjangnya
sekitar 2,5 cm. Otot sirkular yang meliputi lambung jauh lebih tebal di sini
dan secara anatomis dan fisiologi membentuk sphincter pyloricum. Pylorus
terletak pada bagian transpilorica dan posisinya dapat dikenali dengan
adanya sedikit kontraksi pada permukaan lambung. Sphincter pyloricum
mengatur kecepatan pengeluaran isi lambung ke duodenum.
Membran mukosa adalah tebal dan banyak pembuluh darah dan terdiri
atas banyak lipatan atau rugae yang terutama longitudinal arahnya. Lipatan
memendek bila lambung teregang.
Dinding otot lambung mengandung serabut longitudinal, serabut sirkular
dan serabut obliq. Serabut longitudinal terletak paling superfisial dan paling
banyak sepanjang curvatura. Serabut sirkular yang lebih dalam mengelilingi
fundus lambung dan sangat menebal pada pylorus untuk membentuk
sphincter pyloricum. Serabut sirkular jarang sekali ditemukan pada daerah
fundus. Serabut obliq membentuk lapisan otot yang paling dalam. Serabut
ini mengitari fundus dan berjalan turun sepanjang dinding anterior dan
posterior, berjalan sejajar dengan curvatura minor. Peritoneum mengelilingi
lambung secara lengkap dan meninggalkan curvatura sebagai lapisan ganda
yang dikenal sebagai omentum.
Batas-batas lambung :
Anterior
Dinding anterior abdomen, arcus costae kiri, pleura dan paru kiri, diafragma
dan lobus kiri hepar.
Posterior
Bursa omentalis, difragma, limfa, kelenjar suprarenal kiri, bagian atas ginjal
kiri, A.lienalis, pankreas, mesocolon transversum dan colon transversum.
8
Gambar 2. Batas-batas Lambung
b. Vaskularisasi Lambung
1. Pembuluh Arteri
A.gastrica sinistra, berasal dari A.coelica. Ia berjalan ke atas
dan kiri untuk mencapai oesophagus dan kemudian berjalan turun
sepanjang curvatura minor lambung. Ia memperdarahi sepertiga bawah
oesophagus dan bagian kanan atas lambung.
A.gastrica dextra, berasal A.hepatica pada pinggir atas pylorus
dan berjalan ke kiri sepanjang curvatura minor. Ia memperdarahi bagian
kanan bawah lambung.
A.gastrica brevis, berasal dari A.lienalis pada hillus limfa dan
berjalan ke depan dalam ligamentum gastrolienalis untuk memperdarahi
fundus.
A.gastroepiploica sinistra, berasal dari A.lienalis pada hillus
limfa dan berjalan ke depan dalam ligamentum gastrolienalis untuk
memperdarahi lambung sepanjang bagian atas curvatura major.
9
A.gastroepiploida dextra, berasal dari A.gastroduodenalis yang
merupakan cabang dari A.hepatica. Ia berjalan ke kiri dan
memperdarahi lambung sepanjang bagian bawah curvatura major.
2. Pembuluh Vena
Vena-vena ini mengalirkan darah ke sirkulasi portal. V.gastrica
sinistra dan dextra langsung mengalirkan darah ke V.porta. V.gastrica
brevis dan V.gastroepiploica sinistra bermuara dalam V.lienalis.
V.gastroepiploica dextra bermuara dalam V.mesenterica superior.
c. Sistem limfatik lambung
Pembuluh limfe yang mengalirkan cairan limfe ke kelenjar limfe
sepenjang A.V.gastrica sinistra. Efferent kelenjar limfe ini berjalan ke
nodulus lymphaticus coelica, yang terletak disekitar pangkal A.coelica.
Pembuluh limfe yang mengalirkan cairan limfe ke kelenjar limfe
sepanjang A.V.gastrica dextra. Efferent dari kelenjar limfe ini berjalan
sepanjang A.hepatica dan kemudian masuk ke nodus lymphaticus
coelica.
Pembuluh limfe yang mengalirkan cairan limfe ke kelenjar limfe
sepanjang A.gastrica brevis dan A.gastroepiploica sinistra dan
kemudian memasukkan cairan limfe ke kelenjar limfe pada hillus limfa.
Dari sini pembuluh limfe ini berjalan ke nodus lymphaticus
pancreticolienalis yang terletak sepanjang A.lienalis, yang selanjutnya
mengalirkan cairan limfe ke nodus lymphatici coelica.
Pembuluh limfe yang mengalirkan cairan limfe ke nodus lymphaticus
gastroepiploica dextra, yang terletak sepanjang bagian bawah curvatura
major lambung. Pembuluh limfe efferent bermuara pada kelenjar limfe
yang terletak sepanjang A.gastroduodenalis, yang selanjutnya
mengalirkan cairan limfe ke nodus lymphaticus coelica.
10
d. Persyarafan pada lambung
Lambung dan usus diinervasi oleh enteric nervus system ( ENS)
yang terdistribusi diantara dinding otot polos seperti nervus otonom, baik
parasimpatis ( terbanyak nervus vagus) maupun simpatis.
Inervasi intrinsik
Traktus gastrointestinal dapat melakukan fungsi motorik tanpa
adanya pengaruh atau input dari sistem saraf pusat, tetapi melalui ENS.
ENS terdistribusi sepanjang usus berupa plexus mienterykus yang terletak
antara lapisan sirkuler dan longitudinal otot, dan plexus submucosa yang
terletak antara lapisan sirkuler otot dengan lapisan muskularis mukosa.
Plexus mienterykus lebih dominan terdapat di lambung dan plexus
submukosa dominan di usus halus dan usus besar ( Scheman er al, 2001),
Neuron yang termasuk dalam ENS diantaranya adalah neuron primer
aferen intrinsik, interneuron, neuron motorik eksitator atau inhibitor,
vasomotor, dan secretomotor ( Di Nardo, et al, 2008). Neuron primer
aferen intrinsik sensitif terhadap stimulus kimiawi dan perubahan mekanik
seperti distensi. Interneuron menghubungkan neuron primer aferen
intrinsik dengan motor neuron eksitator maupun inhibitor. Neuron
eksitattor akan menggunakan asetilkolin, takiin, dan substansi P untuk
neurotransmisi, dimana transmisinya dapat dihambat oleh polipeptida
vasoaktif intestinal dan nitrit oxid.
Inervasi extrinsik
Traktus gastrointestinal diinervasi oleh sistem saraf otonom yaitu
parasimpatis dan simpatis. Inervasi parasimpatis berasal nucleus motoris
dorsalis n.X (DMV) di medulla spinalis (Travagli et al, 2006), sedangkan
simpatis berasal dari ganglia paravertebralis ( Furness, 2006).
Pergerakkan gaster terutama dikontrol oleh nervus vagus, yang merupakan
gabungan dari nervus sensorik dan motorik, Axon sensoris n. Vagus akan
11
menerima input aferen dari reseptor gastrointestinal kemudian
memproyeksikannya ke nucleus traktus solitarius ( Chang et al, 2003).
Gambar 3. Sistem Saraf Otonom
Neuron NTS akan mengaktifkan vagal motor neuron pada nucleus
ambiguus (NA) dan nucleus dorsomedial (DMN) untuk mengatur
kontraksi dari otot lambung dan duodenym yang dikenal dengan
vagovagal reflek ( Broussard and Altschuler, 2000)
12
2. HISTOLOGI LAMBUNG
Gambar 4. Lapisan Mukosa Lambung
Dinding lambung terdiri atas 4 lapisan, yaitu :
a. Mukosa
Mukosa merupakan lapisan tebal dengan permukaan halus dan
licin yangkebanyakan berwarna coklat kemerahan namun berwarna
pink di daerah pylorik. Pada lambung yang berkontraksi, mukosa
terlipat menjadi beberapa lipatan rugae, kebanyakan berorientasi
longitudinal. Rugae ini kebanyakan ditemukan mulai dari pinggir
daerah pyloric hingga kurvatur mayor. Rugae ini merupakan lipatan-
lipatan besar pada jaringan konektif submukosa dan bukan variasi
ketabalan mukosa yang menutupinya, dan rugae ini akan menghilang
jika lambung mengalami distensi.Seperti pada semua saluran cerna
lainnya, mukosa ini tersusun oleh epitel permukaan, lamina propria, dan
mukosa muskuler. Pemeriksaan mikroskopis dari mukosa
menampakkan lapisan epitel kolumna yang sederhana (sel permukaan
mukosa) mengandung banyak lubang sempit yang memanjang sampai
lamina propria yang disebut gastric pits. Pada bagian bawah lubang
adalah mulut atau lubang dari kelenjar lambung (gastric glands).
13
Lamina propria
Lamina propria membentuk kerangka jaringan konektif antara
kelenjar dan mengandung jaringan lymphoid yang terkumpul dalam
massa kecil folikel lymphatic gastrik yang membentuk folikel intestinal
soliter (terutama pada masa awal kehidupan). Lamina propria juga
memiliki suatu pleksus vaskuler periglanduler yang kompleks, yang
diperkirakan berperan penting dalam menjaga lingkungan mukosa,
termasuk membuang bikarbonat yang diproduksi pada jaringan sebagai
pengimbang sekresi asam. Pleksus neural juga ditemukan dan
mengandung ujung saraf motorik dan sensorik.
Mucosa Muskularis
Mukosa muskularis merupakan lapisan tipis dari serat otot halus
yang terdapat pada bagian eksternal dari kelenjar. Serat muskular ini
teratur dalam bentuk sirkuler di dalam, lapisan longitudinal di bagian
luar, terdapat pula lapisan sirkuler diskontinu bagian luar. Lapisan
dalam mengandung jelujur sel otot polos terletak di antara kelenjar dan
kontraksinya kemungkinan membantu dalam mengosongkan foveola
gastrik.
b. Submukosa
Submukosa merupakan lapisan bervariabel dari jaringan konektif
yang terdiri dari bundel kolagen tebal, beberapa serat elastin, pembuluh
darah, dan pleksus saraf, termasuk pleksus submukosa berganglion
(Meissner's) pada lambung.
c. Muscularis eksterna
Muscularis eksterna merupakan selaput otot tebal berada tepat
dibawah serosa, dimana keduanya terhubung melalui jaringan konektif
subserosa longgar. Dari lapisan terdalam keluar, jaringan ini memiliki
lapisan serat otot oblique, sirkuler, dan longitudinal, walaupun celah
antara tiap lapisan tidak berbeda satu sama lain. Lapisan sirkuler kurang
14
begiru berkembang pada bagian oesofagus namun semakin menebal
pada distal antrum pyloric untuk kemudian membentuk sphincter
pyloric annular. Lapisan longitudinal luar kebanyakan terdapat pada 2/3
bagian cranial lambung dan lapisan oblique dalam pada setengah bagian
bawah lambung. Kerja dari muskularis eksterna ini adalah
menghasilkan pergerakan adukan yang mencampur makanan dengan
produk sekresi lambung. Ketika otot berkontraksi, volume lambung
akan berkurang dan menggerakkan mukosa menjadi lipatan longitudinal
atau rugae (lihat atas). Rugae ini akan datar kembali dan menghilang
ketika lambung penuh akan makanan dan muskulatur berelaksasi dan
menipis. Aktivitas otot diatur oleh jaringan saraf autonom yang tidak
bermyelin, yang terdapat pada lapisan otot dalam plexus myenterik
(Auerbach's)
d. Serosa atau Peritoneum
Serosa merupakan perpanjangan dari peritoneum visceral
yang menutupi keseluruhan permukaan pada lambung kecuali
sepanjang kurvatura mayor dan minor pada pertautan omentum mayor
dan minor, dimana lapisan peritoneum meninggalkan suatu ruang
untuk saraf dan vaskler. Serosa juga tidak ditemukan pada bagian
kecil di posteroinferior dekat dengan orificium kardiak dimana
lambung berkontak dengan diafragma pada refleksi gastrophrenik dan
lipatan gastropancreatik. Serosa mengandung banyak lemak apabila
umur bertambah. Persarafan lambung sepenuhnya otonom. Suplai
saraf parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan
dari abdomen melalui saraf vagus. Trunkus vagus mempercabangkan
ramus gastrik, pilorik, hepatik dan seliaka. Persarafan simpatis adalah
melalui saraf splenikus major dan ganlia seliakum. Serabut-serabut
aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh peregangan,
dan dirasakan di daerah epigastrium. Serabut-serabut aferen simpatis
menghambat gerakan dan sekresi lambung. Pleksus saraf mesentrikus
15
(auerbach)dan submukosa (meissner) membentuk persarafan intrinsik
dinding lambung dan mengkordinasi aktivitas motorik dan sekresi
mukosa lambung.Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serat
hati, empedu, dan limpa)terutama berasal dari daerah arteri seliaka
atau trunkus seliaka, yang mempecabangkan cabang-cabang yang
mensuplai kurvatura minor dan mayor. Dua cabang arteri yang
penting dalam klinis adalah arteri gastroduodenalis dan arteri pankreas
tikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan sepanjang bulbus
posterior duodenum. Tukak dinding postrior duodenum dapat
mengerosi arteria ini dan menyebabkan perdarahan. Darah vena dari
lambung dan duodenum, serta berasal dari pankreas, limpa, dan
bagian lain saluran cerna, berjalan kehati melalui vena porta.
3. FISIOLOGI LAMBUNG
a. Peranan Sel Interstisial Cajal (ICCs)
Tanpa pengaruh hormonal maupun neural , sebagian besar daerah
pada traktus gastrointestinal akan menimbukan aktivitas dan mekanisme
elektrik. Aktivitas elektrik verasal dari sekumpulan sel yang disebut
dengan sel interstisal Cajal ( ICCs) yang terletak di lapisan submukosa,
intramuskular, dan intermuskular dari traktus gastrointestinal ( Ordog,
2008). Sel-sel ini akan menimbulkan mekanisme elektrik berupa
gelombang lambat atau ” slow waves’ dan kemudian mengkoordinir input
dari sistem saraf otonom untuk memacu sel otot polos ( Ordog, 2008).
ICCs terletak diabtara lapusan otot longitudinal dan sirkular dari plexus
mienterikus ( ICC-MY) ( Ward and Sander, 2006) yang penting untuk
memaksimalkan frekuensi dari fase kontraksi. ICC-IM erletak diantara
sel otot polos sirkular dan longitudinal dari lambung yang bertanggung
jawab untuk melakukan komunikasi langsung dengan akhir nervus enterik
( Ward and Sander, 2006). ICC- SEP terletak antara otot, yang akan
mentransmisikan depolarisasi antar serabut otot. Pada usus manusia, ICCs
16
sebagian besar terletak dalam lapisan sirkuler yang membentuk plexus
muskularis profunda ( ICC-DMP). ICC-DMP pada usus mempunyai
peranan yang sama dengan ICC-IM yang terdapat di lambung ( Ward and
Sanders, 2006)
b. Regulasi Hormonal pada Pergerakan Gastrointestinal
Sekresi dari hormon yaitu GLP-1, CCK, dan PYY, sebagai
respon terhadap nutrisi yang diserap usus mempunyai peranan penting
dalam regulasi pengosongan usus, efek inhibitor pada pengosongan
lambung dimainkan oleh ectreotide, sebuah inhibitor dari sekresi hormon
peptida.
Diantara makrinutrien, pengosongan lemak berjalan lebih lambat
pada lambung, hal ini dikaenakan kepadatan energinya timggi. Efek dari
pengeluaran hormon akibat adanya lemak pada usus dipengaruhi oleh
pencernaan lemak ( Feinle et al, 2003). Dibandingkan dengan isokalorik
triasilglisero, efek asam lemak pada pengeluaran CCK dan PYY dan
pengosongan lambung lebih besar ( Little et al, 2007). Ketika inhibitor
lipase, tetrahidrolipstatin ( orlistat) masuk ke dalam duodenum bersama
lemak, maka akan muncul stimulasi gelombang tekanan fasik dan tonus
pilorus, yang akan mensupresi kontaksi antrum dan mengeluarkan hormon
kenyang dan hormon tersebut dieliminasi oleh lemak itu sendiri
( Pilichiewicz, 2003).
Bukanlah hal yang mengejutkan, jika pengeluaran GLP-1, CCK,
dan PYY menjadi berkurang karena orlistat, dan malabsorbsi lemak .
Peranan lipase pada permukaan tets lemak penting untuk memunculkan
penernaan lemak. Emulsi dari dari lemak dan tetesan berukuran kecil akan
memperbesar efek pengeluaran hormon dan nafsu makan daripada tetesan
lemak yang berukuran besar ( Seimon et al, 2009). Stimulasi CCK oleh
asam lemak juga tergantung pada ukuran rantai asam lemak. C10 dan C12
17
akan meningkatkan CCK plasma, tetapi c12 memberikan efek lebih besar.
C12 akan menstimulasi sekresi GLP-1, sedangkan c10 tidak. ( Feltrin et al,
2004).
Hal ini serupa untuk karbohidrat, absorbsi monosakarida pada
intestinal diyakini akan memicu pelepasan GLP-1 (Gribble, 2003) dan
menurunkan kecepatan pengosongan lambung.
Pemicu pelepasan hormon yang disebabkan oleh protein masih
belum jelas, tetapi ditunjukkan bahwa pepton dan asam amino tubggal
berpotensi merangsang sekresi CCK dan GLP-1 (Hira et al, 2009).
GLP-1
GLP-1 dilepaskan dari sel L, yang sebagian besar terletak di
ileum dan colon, meskipun juga ditemukan ditemukan di bagian proximal
duodenum dan jejunum ( Theodorakis et al, 2006). Konsentrasi GLP-1
pada plasma saat puasa adalah rendah ( 5-10 pmol/L), ketika berespon
terhadap makanan yang kaya akan lemak dan karbohidrat, jumlah GLP-1
akan meningkat hingga 5 kali . Konsentrasi puncak di sirkulasi ( 20
pmol/L) biasanya terjadi dalam 30-45 menit, dan kemudian kembali ke
konsentrasi basal dalam 2-3 jam. GLP-1 disinitesi sebagai asam amino
peptida 37 inaktif yang merupakan derivat dari prekusor proglukagon.
Waktu paruh dari GLP-1 singkat ( kurang dari 2 menit), karena
didegradasai oleh enzim dipeptidylpeptidase IV( DPP-IV). DPP IV juga
dikenal sebagai CD26 yang akan membelah dari dipeptida N-terminal
menjadi GLP-1 inaktif .DPP-IV terletak di berbagai organ seperti ginjal,
paru, kelenjar adrenal, hati, lien, pankreas, dan usus. Proporsi GLP-1
dalam jumlah banyak akan didegradasi oleh DPP-IV. sebelum memasuki
sirkulasi sistemik ( Deacon, 2005).
GLP-1 merupakan satu dari dua hormon inkretin, bersama dengan
glukosa tergantung polipeptida insulin (GIP). Insulinotropic efek dari
GLP-1 adalah ketergantungan glukas, melalui interaksi dengana reseptor
18
yang spesifik yang diekspresikan oleh membran sel B. Reseptor GLB-1
ditemukan di sel B dan D pankreas, sel parietal , pilorus, ajringan lemak,
paru, dan otak. Pada hewan, ketiadaan reseptor GLP-1 akan menghasilkan
intoleransi glukosa dan hiperglikemia saat puasa. GLP-1 akan
menstimulasi proliferasi sel B dan menginduksi neogenesis islet,
menghabat apoptosis, dan berperan dalam diferensiasi sel B baru dari
progenitor di epitel duktus prankreas. GLP-1 juga memacu diferensiasi sel
B, dari sel kelenjar eksokrin atau progenitor islet yang imatur. ( Drucker,
2003)
Pada orang yang sehat, GLP-1 akan mengurangi pelepasan
glukagon dari sel α pankreas ( Schirra et al, 2006) dan GLP-1 intravena
akan menurunkan sekresi glukagon pada pasien DM tipe 2. Seperti efek
insulinotropik dari GLP-1 , penghambatan glukagon dilakukan oleh
glukosa bebas. Hal ini tidak terjadi selama keadaan euglikemia, dan tidak
berefek selama keadaa hipoglikemia ( Nauck et al, 2002).
GLP-1 eksogen menurunkan gula darah puasa bahkan pada pasien
diabetes tipe 1, hal ini mengindikasikan bahwa efek insulinotropik GLP-1
sangat penting dalam glukoganostatik (Baggio and Drucker, 2007).
Diantara beberapa efek fisiologis dari GLP-1, efeknya pada
pengosongan lambung terjadi diluar efek insulinotropik untuk mengontrol
gula darah post prandial. Telah lama diketahui bahwa pelepasan GLP-1
akan menghambat efek sekressi dan motilitas gastrointestinal. Sebagai
sebuah enterogastron, GLP-1 akan menurunkan gastrin yang akan
menginduksi sekresi asam dan pankreatik sebaik kemampuannya dalam
menyebabkan pengosongan lambung. Aktivitas motorik dari GLP-1
diantaranya adalah relaksasi dari fundus, inhibisi dari kontraksi antrum dan
duodenum, serta stimulasi kontraksi fasik dan tonus dari pilorus, sebagai
respon dari masuknya nutrisi ke dalam duodenum ( Schirra et al, 2006).
Mekanisme peranan GLP-1 dalam motilitas lambung sangatlah komplek
19
dan sulit dimengerti. Pada hewan, hal tersebut ditunjukkan bahwa hal
tersebut tergantung kepada inervasi n. Vagus di lambung, sedangkan pada
manusia regulasi jalur kolinergik akan berefek pada GLP-1 endogen pada
fundus, tetapi mekanisme alternatif tampak pada efeknya terhadap
pergerakan di antrum dan pilorus ( Schirra et al, 2009). Pada tikus, aksi
GLP-1 eksogen pada pergerakan usus halus saat puasa dimediasi oleh
nitrit oksid.
Penemuan reseptor GLP-1 pada jantung dan pembuluh darah
tikus serta manusia baru0baru ini menyebabkan fokus pada efek GLP-1
pada sistem kardiovaskuler. ( Grieve et al, 2009). GLP-1 akan
meningkatkan tekanan darah sistolik dan diastolik .
Gambar 5. Efek GLP-1 pada Tubuh Manusia
CCK (kolesistokinin)
CCK disekeresikan oleh sel L pada duodenum dan jejunum
bagian atas, serta ditemukan di otak, Terdapat beberapa bentuk CCK
diantaranya adalah CCK-8, CCK-22, CCK-33, dan CCK-58 dimana CCK-
33 merupakan bentuk yang dominan pada pada plasma dan usus. Waktu
20
paruh dari CCK selama 1-2 menit. Pada orang yang sehat, konsentrasi
CCK puasa mengalami peningkatan dari 1 pmol/L hingga 5-10pmol/L
ketika seseorang makan, waktu puncaknya kurang lebih 30 menit dan
kembali ke kadar puasa setelah 3-5 jam ( Moran and Kinzig, 2004).
Protein dan lemak merangsang kuat skresi dari CCK, sedangkan
karobohidrat hanya memberikan sedikit rangsangan.
Lemak oada usus halus mempunyai aksi dalam memperlambat
pengosongan lambung pada manusia yang diregulasi secara dominan oleh
CCK melalui reseptor CCK-1 , dan dihambat dengan antagomnis CCK-1,
loxiglumide. CCK memperlambat pengosongan lambung dengan
merelaksasi bagian proksimal lambung, meningkakan tekanan basal dan
fasik pilorus, serta menghambat pergerakan antrum yang dimediasi oleh
jalur reflek vagovagal. Berkebalikan dengan efeknya pada lambung, CCK
eksogen akan meningkatkan aktivitas motorik dari usus halus dan
memperpendek waktu transit pada usus.
PYY
PYY terletak sama dengan GLP-1 yaitu pada sel L di bagian
distal usus dan sering disebut dengan ” ileal brake”. Konsentrasi PYY
dalam plasma pada keadaan puasa rendah, dan meningkat kurang lebih 30
menit setelah nutrisi masuk ke dalam usus halus ( Vincent and le Roux,
2008). PYY disekresi dengan stimulus kuat dari lemak, dan karbohidrat
serta protein. Sekresi PYY merupakan respon dari adanya lemak pada usus
halus yang sebagian telah dimediasi oleh CCK. Karena kemampuannya
dalam memperlambat pengosongan lambung, PYY juga berperan dalam
meningkatkan gula darah post prandial, meskipun belum ada bukti yang
jelas terhadap efek insulinotropik tersebut.
21
c. Fisiologi Pengosongan Lambung
Gambar 6. Proses Pengosongan Lambung
Berdasarkan pada fungsinya, lambung di bagi menjadi dua
bagian yaitu bagian proximal dan distal. Bagian proximal
merupakan tempat penyimpanan makanan yang di makan. Bagian
ini terdiri dari fundus dan sepertiga proximal corpus. Pola aktivitas
22
motorik dari lambung lambat dan dilanjutkan dengan munculnya
tonus kontraksi, pergerakan ini akan mempengaruhi tekanan dalam
lambung dan menentukan gradien tekanan antara lambung dan
duodenum. Tekanan ini penting untuk mengosongkan cairan dalam
lambung. (Indireshkumar, et al , 2000). Tonus pada bagian
proximal lambung menurun ketika makanan masuk dari oesofagus
ke lambung, hal ini akan menyebabkan peningkatan volume
lambung, yang dikenal dengan relaksasi reseptif (Cullen and
Kelly, 2002). Hal ini diikuti dengan relaksasi yang lebih lama yang
disebut dengan akomodatif relatif yang akan menyebabkan
lambung dapat berfungsi sebagai tempat penyimpanan tanpa ada
zat yang menimbulkan tekanan pada lambung.
Pola pergerakan dari lambung sangatlah spesifik. Awalnya
akan terjadi kontraksi menyeluruh pada fundus dan cardiac, akibvat
munculnya pacemaker oleh sel interstisial cajal (ICCs), sedangkan
bagian bawah lambung dan antrum akan menghambat aktifitas
motorik. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
pengosongan lambung diantaranya adalah usia, jenis kelamin,
densitas dan osmolaritas kalori. 300ml garam yang diberikan
secara bolus akan mengosongkan lambung 2 kali lebih cepat
dibandingkan dengan bolus 150 ml garam. Pada umunya
pengosongan cairan akan berlangsung cepat yang memakan waktu
50% dari waktu pengosongan ( 8-18 menit). Cairan yang kaya
akan kalori akan dikosongkan lebih lambat daripada makanan yang
rendah kalori. Peningkatan osmolaritas akan menurunkan respon
kontraksi pada usus halus. Selain itu karakteristi dari nutrisi itu
sendiri akan mempengaruhi pengosongan isi lambung, Karbohidrat
dan sebagian besar asam amino akan diserap usus melalui
osmoreseptor mukosa usus halus yang berperan aktif dalam inhibisi
feedback jalur neral. L-triptofan, prekusor dari 5-HT yang berasal
23
dari asam amino lain efektif dalam menunda pengosongan
lambung. Efek dari trigliserida pada motilitas lambung tergantung
pada panjangnya rantai asam lemak yang berbeda dalam
mensekresi CCK. Namun demikian, pada suatu penelitian,
perubahan makanan yang drastis dan cepat tidak menunjukkan
perubahan pada pergerakan gastrointestinal(Boudry et al. 2001).
Keasaman lambung juga berperan penting. Omeperazol akan
mengurangi hubungan antara PH intragastrik dan jenis MMC yang
akan menginduksi penundaan pengosongan lambung. Selain itu,
suhu makanan yang dicerna juga mempengaruhi pergerakan
lambung, di mana makanan dingin akan mempelambat
pengosongan.
Pada pengosongan lambung, neurohormonal sangatlah
berperan termasuk peranan inervasi n. Vagus. Namun demikian n.
Vagus tidak dibutuhkan untuk menginisiasi pola pergerakan
gastroduodenal ketika puasa atau postprandial, tetapi dibutuhkan
untuk memodulasi pola kontraksi selama fase ke III. Berbagai
neurohormonal akan berperan dalam pengosongan lambung,
Perbedaan tipe neuron dengan perbedaan kombinasi transmisi akan
memberikan kontrol yang berbeda terhadap pergerakan lambung.
Plexus mienterikus yang terletak pada dinding lambung
mengandung berbagai neurotransmitter, diantaranya adalah Ach,
norepinefrin, 5-HT, SP, VIP, peptide histidine isoleucin (PHI) dan
enkefalin. Neuron eksitasi mengandung Ach, SP, atau keduanya
yang berperan langsung dalam mengontrol kontraksi dari lapisan
otot sirkuler. Motorneuron inhibitor terdiri dari VIP dan NO yang
akan mengontrol secara langsung relaksasi (Olsson and Holmgren
2001).
Selama puasa, tonus pada bagian proksimal lambung
dimediasi oleh input kolinergik. Setelah makan, bagian proksimal
24
dari lambung akan mengalami relaksasi melalui aktivasi dari
neuron nitregik pada dinding lambung. NO akan menginduksi
relaksasi dengan memproduksi c-GMP.Sildenafil ( inhibitor
selektif 5- fosfodiesterase) akan memperlama kerja cGMP dan
kemudian memodifikasi kontaksi dari esofagus dan menurunkan
tekanan LES, mengahambat aktivitas motorik interdigestif dari
antrum dan duodenum, meningkatkan volume intragastrik setelah
makan dan memperlambat pengosongan isi lambung. Sebalikya,
jalur nitrergik tidak tampak pada tonus gaster ketika puasa dan
sensitif terhadap distensi gaster pada manusia. Opiat dari subklas
reseptor yang berbeda mempunyai efek inhibisi dan eksitator . 5-
HT akan mempercepat pengosongan gaster melalui reseptor 5-HT3,
sedangkan somatostatin, neurotensin, oksitosi, PYY, GRP,
enteroglukagon, oksintomodulin dan PGE1 akan memperlambat
pengosongan isi lambung. Peranan CCK masih belum jelas.
Inervasi dari sistem saraf pusat (CNS) berperan dalam
regulasi aktivitas motorik dan pengosongan lambung. Tekanan
mental akan memperlama periode dari MMC. Kemarahan akan
meningkatkan aktivitas motorik dari lambung sedangkan
kecemasan dan depresi akan menurunkan kontraksi lambung.
Nyeri dan dingin, serta nyeri iskemik akan memperlambat
pengosongan lambung. Beberapa jalur saraf berperan dalam
tekanan tersebut. Mediator untuk otak-usus telah dievaluasi secara
intensif. Infus TRH intraventrikular akan mempercepat
pengosongan lambung, sedangkan CRF, CCK, opiat, bombesin,
takinin, somatostatin, faktor natriuretic atrial, GABA, kalsitonin,
dan CGRP akan memperlambat pengosongan lambung, sebagian
melalui mekanisme vagal. Untuk menurunkan LESP dan
menurunkan relaksasi spincter esofagus, GABA, dan agonis
25
reseptor 5HT-1 yang akan menginduksi pemneuhan gaster yag
diikuti oleh aktivasi neuron mienterik (Tack et al. 2001).
C. GASTROPARESIS DIABETIKA
1. Definisi
Tidak ada konsensus pasti yang menerangkan definisi gastroparesis
diabetika. Istilah gastroparesis diabetika sering berubah menjadi gastropati
diabetik. Bell et al mendefinisikan gastroparesis diabetik sebagai kelainan
neuropati traktus gastrointestinal yang sering terjadi pada pasien diabetes.
Talley et al menggunakan istilah gastropati diabetikum sebagai sindrom
klinis dari gangguan saluran cerna bagian atas akibat gangguan motilitas
pada pasien diabetes melitus dan didapatkan adanya keterlambatan
pengosogan lambung.
American Gastroenterological Association (AGA) membuat
kesepakatan bahwa diagnosis gastroparesis harus berdasarkan adanya
tanda dan gejala yang sesuai, keterlambatan pengosongan lambung, serta
tidak adanya lesi obstruktif pada lambung maupun usus halus. Dengan
demikian, gastroparesis diabetik dapat didefinisikan sebagai gastroparesis
yang terjadi pada pasien dengan diabetes melitus dengan kriteria
gastroparesis sesuai dengan yang dijelaskan AGA.
Sebagian besar pasien mengeluhkan adanya keluhan saluran cerna
bagian atas seperti mual, muntah, kembung, tetapi hubungan antara gejala
dengan gangguan fungsi motorik lemah, dan lebih mengarah pada etiologi
yang multifaktorial. Keluhan rasa penuh dan kembung sering sebagai
prediksi adanya keterlambatan pengosongan gaster, tetapi banyak pasien
dengan gastroparesis yang relative asimtomatik. Gastroparesis
asimtomatik sering timbul pada pasien dengan diabetes melitus.
.
26
2. Epidemiologi
Suatu studi menunjukkan bahwa diabetes mellitus merupakan
penyebab kedua tersering dari gastroparesis (24%) setelah idiopatik (33%),
sedang penyakit tersering lainnya adalah paska operasi lambung (19%).
Laporan mengenai prevalensi gangguan motilitas lambung pada
penderita diabetes memberikan hasil yang berbeda-beda, hal ini disebabkan
beberapa factor antara lain : tipe penderita diabetes yang diselidik (IDDM
atau NIDDM, diabetes yang lama dan berat, dengan atau tanpa gejala
gastroparesis), kriteria yang digunakan untuk diagnosa gastroparesis
(berdasarkan gejala-gejala saja, berdasarkan adanya kelainan motorik
ataupun elektrik lambung, atau berdasarkan keterlambatan pengosongan
lambung), dan metode yang digunakan untuk menilai, mengosongkan
lambung (pemeriksaan barium, radiopaque marker, USG, ataupun
scintography).
Dari hasil berbagai laporan disimpulkan bahwa sekitar 30-60%
penderita diabetes mengalami keterlambatan waktu pengosongan lambung,
dan bahwa prevalensi keterlambatan pengosongan lambung diperkirakan
sama pada penderita IDDM maupun NIDDM.
Hasil penelitian terhadap penderita IDDM menunjukkan adanya
keterlambatan waktu pengosongan lambung solid non digestible pada 62%
penderita, keterlambatan waktu pengosongan lambung liquid pada 25%
penderita, dan tidak ada yang mengalami keterlambatan pengosongan
lambung solid digistibel. Pada IDDM, uji scintigraphy terhadap 70 penderita
menunjukkan 27,5% mengalami keterlambatan pengosongan liquid dan
58,6% mengalami keterlambatan pengosongan solid. Pada NIDDM yang
baru terdiagnosa, ditemukan adanya keterlambatan pengosongan lambung
semisolid pada 36,6% dari 30 penderita.
3. Patofisiologi Gastroparesis Diabetika
Penyebab pasti penundaan pengosongan lambung belum
diketahui. Pengosongan lambung yang normal merupakan integrasi tonik
27
dari fundus, antrum, serta tahanan dari hasil kontraksi pilorus dan
duodenum. Proses ini merupakan interaksi yang kompleks dari otot polos,
sistem saraf otonom, sel enterik, dan sel-sel pacemaker khusus yang
disebut dengan sel intersetisial Cajal ( ICC). Neurotransmiter dan
neuroendokrin juga berperan dalam motilitas lambung. Nitrit okside ( NO)
merupakan senyawa yang penting dalam menghambat nonadrenergik,
nonkolinergik, dan neurotransmiter di usus yang ikut berperan dalam
mempengaruhi motilitas lambung. NO berperan dalam tonus otot sfingter
osefagus bagian bawah dan pilorus, mengtur reflek fundus, serta mengatur
reflek peristaltik pada usus. Disfungsi neuron NO pada pleksus
mienterikum akan menyebabkan terjadinya penyakit gastrointestinal,
termasuk gastroparesis. CRH ( Corticotropin Releasing Hormon) terbukti
dapat menurunkan motilitas lambung. Aktivitas mioelektrikal pertama kali
dicetuskan oleh ICC yang terdapat pada dinding otot antrum serta corpus
gaster selama kurang lebih 3 kali per menit. Gangguan pada fase ini dapat
menyebabkan terjadinya gastroparesis. Faktor lain yang juga
mempengaruhi pengosongan lambung adalah neuropati otonom, neuropati
enterik, kelainan ICC, fluktuasi gula darah yang terjadi tiba-tiba, dan
faktor psikosomatis. Selain itu pengosongan lanbung biasanya terjadi lebih
lambat pada keadaan hiperglikemia dan menjadi lebih cepat selama
hipoglikemia. Kelailan kadar elektrolit ( hipokalsemia, hipomagnesemia)
dan hormon gastrointestinal ( motilin, gastrin) juga berpengaruh terhadap
terjadinya gastroparesis. (Ajumobi, et al, 2008)
28
Gambar 7. Patogenesis gastroparesis diabetikum (Ajumobi, et al, 2008)
4. Penegakan Diagnosis
a. Gejala Klinis
Diagnosis gastroparesis ditegakkan dengan adanya penundaan
pengosongan lambung dengan gangguan obstruksi telah disingkirkan
melalui pemeriksaan endoskopi dan pencitraan radiologi. Gejala yang
muncul pada gastroparesis adalah muntah, mual, cepat kenyang,
kembung, tidak nyaman dan nyeri pada perut, serta bersendawa .
Gejala ini menyerupai dispepsia, akan tetapi pada dispepsia
pengosongan lambung terjadi lebih cepat. Oleh karena itu diperlukan
pengukuran terhadap kecepatan pengosongan lambung untuk
membedakan keduanya. Park, et al, 2006). Muntah yang terjadi pada
gastroparesis harus dibedakan dengan regurgitasi pada GERD . Pada
gastroparesis biasanya vomitus akan terjadi 30 menit setelah makanan
masuk ke dalam lambung ( postprandial regurgitasi).
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya nafas busuk,
tetapi tidak spesifik. Selain itu diperlukan pemeriksaan fisik terhadap
tanda-tanda malnutrisi dan penurunan berat badan.
29
c. Pemeriksaan Penunjang
Tes pengosongan lambung pada beberapa pasien yang
menunjukkan gejala gangguan gastrointestinal bagian atas diperlukan
untuk menegakkan diagnosa gastroparesis. Hal ini bertujuan untuk
membedakan dengan dengan dispepsia. Pengukuran tekanan dan profil
listrik dari fungsi lambung merupakan pilihan pada sebagian besar pasien
yang telah menderita diabetes.
Gastroparesis diabetik didiagnosis melalui adanya gejala saluran
cerna atas yang mendukung perlambatan pengosongan lambung pada
pasien diabetes, tanpa adanya obstruksi mekanik yang dapat
menyebabkan gejala saluran cerna atas, dan terdapat tanda-tanda
perlambatan pengosongan lambung. Obstruksi usus halus dan lambung
disebabkan oleh massa intraabdomen harus diekslusi menggunakan
radiografi abdomen, computed tomography, dan magnetic resonance
imaging. Endoskopi dibutuhkan untuk menyingkirkan adanya striktur,
massa, atau ulkus. Pemeriksaan yang dibutuhkan untuk menyingkirkan
infeksi, metabolik, dan penyebab imunologis menyebabkan gejala
saluran cerna atas yaitu pemeriksaan darah lengkap, pemantauan
metabolik komprehensif meliputi elektrolit dan tes fungsi hati, urinalisis,
tingkat sedimentasi eritrosit, dan pemeriksaan biokimia dan imunologis
untuk thyroid stimulating hormone. Setelah menyingkirkan etiologi lain
yang mungkin dan obstruksi dengan endoskopi dan pencitraan abdomen,
gastroparesis diabetik didiagnosis dengan menunjukkan adanya
perlambatan pengosongan lambung.
30
Gambar 8. Aktivitas Myoelektrik Gaster
Elektrogastrografi merupakan metode non invasive untuk
mengukur aktivitas mioelektris gaster dengan menempatkan elktrode
pada permukaan epigastrium. Pada pasien normal, elektrogastrografi
mengidentifikasi ritme elektrivitas fisiologis dari lambung pada 3 siklus
per menit. Pada beberapa pasien, dapat timbul disaritmia, takigastria (3.6
sampai 9.9 siklus per menit) dan bradygastria (1 sampai 2.4 siklus per
menit). Meskipun keluhan dyspepsia berkorelasi lebih baik dengan
elektrogastrografi dibandingkan dengan skintigrafi, tetapi
elektrogastrografi tidak dapat mengukur aktivitas kontraktilitas lambung
(Smith S., et al, 2003).
31
Gambar 9. Perbandingan hasil pemeriksaan Scintigraphy
Berbagai jenis penelitian pengosongan lambung
meliputi scintigraphy dengan gambar yang diambil pada jam pertama,
kedua dan keempat; tes napas, dan pemeriksaan ultrasonografi.
Pengosongan lambung dari makanan fase padat oleh scintigraphy
diperkirakan merupakan teknik terbaik yang diterima untuk
mendiagnosis perlambatan pengosongan lambung
karena scintigraphy dapat mengukur jumlah pengosongan makanan
berkalori fisiologis yang dapat menilai fungsi motorik lambung. Teknik
melibatkan pencampuran penanda radioisotop pada makanan standar dan
mengikuti jejaknya di dalam lambung menggunakan kamera gamma.
Untuk sebuah pemeriksaan yang dikatakan standar baku emas, perlu
diperhatikan bahwa tidak terdapat standarisasi teknik scintigraphy,
dibuktikan dengan adanya perbedaan zat yang digunakan antara pusat
yang satu dengan pusat yang lain, dan bahwa korelasi antara gejala
dengan gastroparesis diabetik dan tingkat pengosongan lambung tidak
jelas.
32
Pengukuran hidrogen pernapasan 12 jam setelah mengkonsumsi
makanan mengandung potatoes starch dan laktulosa berkaitan dengan
waktu transit disaluran cerna atas dan telah dinyatakan sebagai alat
skrining untuk gastroparesis sebelum menggunakan pemeriksaan yang
lebih mahal dan definitif. Tes pernapasan yaitu mengkonsumsi makanan
standar yang mengandung octanoat yang dilabeli radioisotop karbon,
suatu trogliseridemedium. 13C-octanoat diserap secara cepat di usus
halus dan dimetabolisme menjadi 13CO2 yang dikeluarkan oleh paru-
paru saat respirasi. Tingkat 13CO2terdeteksi di pernapasan sejalan
dengan tingkat pengosongan lambung, dan hasilnya berkaitan erat
dengan hasil scintigraphy. Namun, tes ini mengasumsikan tidak ada
kelainan pada usus besar, pankreas, hati, dan fungsi paru. Penelitian
menggunakan tes pernapasan pada pasien diabetes terbatas dan validasi
tambahan pada pasien dengan gastroparesis dibutuhkan sebelum
penggunaan secara luas dapat disosialisasikan.
Pengukuran ultrasonografi dari perubahan pada regio antral
lambung setelah konsumsi makanan cair sangat berhubungan dengan
tingkat pengosongan lambung. Pencitraan ultrasound dari pengosongan
makanan cair di lambung hanya untuk penelitian dan tidak digunakan di
klinik.
5. Diagnosis banding
Pada kebanyakan kasus, diagnosa gastroparesis dibuat
berdasarkan adanya mual dan muntah yang berlarut-larut pada
penderita diabetes yang lanjut, namun perlu diingat bahwa mual dan
muntah sering dialami penderita diabetes dan bukan seluruhnya
disebabkan oleh gastroparesis. Mual dan muntah lazim terjadi pada
ketoasidosis akut yang umumnya akan mereda setelah koreksi
kelainan metabolic tersebut.
Sebelum menyimpulkan adanya suatu gangguan motilitas harus
disingkirkan kemungkinan obstruksi mekanis, peradangan maupun
33
ulkus dengan endoskopi ataupun foto serial saluran cerna atas. Meskipun
agak jarang, obstruksi saluran cerna bagian tengah dan bawah dapat
menyerupai gastroparesis, bila tanda klinis mengarah ke kemungkinan
tersebut perlu dilakukan pemeriksaan seperti foto polos abdomen, barium
follow through ataupun CT scan. Harus pula diingat kemungkinan
adanya perforasi, appendicitis, pankreatitis,penyakit susunan syaraf
pusat, sindroma paraneoplastik, efek samping obat, kehamilan dan
psikogenik.
Banyak keadaan-keadaan lain yang dapat menyebabkan
gastroparesis, keadaan tersebut bisa menyebabkan gastroparesis yang
tak berkaitan dengan diabetiknya pada penderita diabetes, sehingga
sebelum memulai terapi keadaan-keadaan tersebut, terutama yang
reversible haruslah diatasi.
6. Komplikasi Gastroparesis Diabetika
Komplikasi gastroparesis diabetika sangat serius sehingga
sedapat mungkin harus dicegah. Akibat muntah-muntah ataupun
regurgitasi yang berulang-ulang sering terjadi esofagitis yang berat dan
luas yang menyebabkan perdarahan saluran cerna atas yang akut maupun
kronis, dapat pula terjadi robekan esophagus Mallory weiss, pneumonia
aspirasi, malnutrisi maupun gangguan keseimbangan air dan elektrolit.
Akibat terganggunya pengosongan lambung solid non digestible dapat
terjadi pembentukan bezoar di lambung.
Gastroparesis juga dapat menyebabkan terganggunya absorbsi
obat oral sehingga menyebabkan fluktuasi kadar obat dalam darah, hal ini
menjadi masalah yang penting bagi penderita diabetes dewngan obat
hipoglikemik oral.
7. Penatalaksanaan Gastroparesis
Tujuan penatalaksanaan gastroparesis adalah memperbaiki kualitas
hidup, mencegah komplikasi dan untuk gastroparesis diabetika disertai
terselenggaranya kendali diabetes yang lebih baik. Sampai saat ini
tindakan pengobatan lebih ditujukan kepada kasus-kasus yang
34
simptomatik, pada yang asimptomatik apalagi dengan kendali diabetes
yang baik belum diperlukan pengobatan, tetapi lebih ditujukan membantu
mencapai kendali gula darah yang lebih baik dan memperbaiki nutrisi,
pengobatan terhadap kasus asimptomatik dapat diberikan. Terhadap
penderita gastroparesis yang simptomatik sebaiknya dilakukan
penyesuaian diit, yang dianjurkan adalah porsi kecil namun sering, dengan
kadar lemak dan serat yang rendah dan tetap menjaga asupan kalori yang
cukup (John. 2001). Bila cara tersebut tidak menolong dapat diberikan
makanan cair ataupun yang dihomogenesisasi, dan pada kasus yang sangat
berat mungkin diperlukan suatu feeding tube ke jejunum untuk nutrisi
enternal.
Gambar 10. Algoritme Penatalaksanaan Gastroparesis Diabetika
a. Manajemen Diet
Secara alami, gejala gastroparesis dapat menyebabkan
berkurangnya intake oral, termasuk berkurangnya intake makronutrien,
penurunan berat badan, dehidrasi, dan defisiensi vitamin dan mineral.
Dengan demikian, tujuan manajemen diet adalah mengembalikan dan
mempertahankan status nutrisi dan secara bersamaan mengurangi
keluhan. Pada pasien diabetes, intervensi diet ditujukan pada untuk
35
mengontrol status glikemik pasien. Pada gejala sedang sampai
berat,kemungkinan dibutuhkan asupan nutrisi tambahan.
Komponen utama dalam diet yang perlu dievaluasi adalah ukuran
partikel, ukuran makanan, dan kandungan makanan dan lemak dalam
makanan. Alkohol dan minuman berkarbonasi dilarang. Secara
keseluruhan dapat disimpulkan saran untuk diet gastroparesis adalah
diet yang sering, ukuran kecil, makanan rendah serat dan rendah lemak
dengan peningkatan intake nutrisi dalam bentuk cairan.
Jika pengukuran diet dan terapi farmakologi gagal mengurangi
keluhan dan mempertahankan status nutrisi, beberapa bentuk support
rute pemberian makanan perlu dilakukan. Pemberian makanan dengan
pompa nasogastrik perlahan adalah pilihan terapi yang disarankan.
Walau dalam praktiknya, pasien dengan gastroparesis berat jarang yang
dapat mentoleransi volume yang dibutuhkan untuk menentukan
kebutuhan nutrisi mereka ketika makanan diberikan langsung ke dalam
lambung. Pemberian makanan langsung pada gaster dapat mengurangi
risiko aspirasi pada pasien dengan keterlambatan pengosongan
lambung. Pemberian makanan nasojejunum lebih dapat ditoleransi
karena melewatkan lambung yang malfungsi.
Kadar glukosa harus dipertahankan di bawah 180 mg/dl untuk
mencegah inhibisi dari kontrol mioelektris dan gerakan lambung.
Mempertahankan kontrol status glikemik penting karena hiperglikemia
menginhibisi aksi obat prokinetik seperti eritromisin.Obat oral
antidiabetik dapat digunakan pada pasien diabetes tipe 2 dan
gastroparesis ringan. Insulin dapat digunakan pada pasien diabetes
melitus tipe I dan pasien dengan gastroparesis berat.
b. Terapi prokinetik
Penggunaan obat-obat prokinetik untuk meningkatkan kecepatan
pengosongan lambung merupakan pendekatan paling efektif dalam
pengobatan penderita gastroparesis yang simptomatik. Sebelum terapi
36
prokinetik dimulai seharusnya waktu pengosongan lambung diukur,
namun karena tidak praktis dapat diberikan terapi pengobatan selama 4
minggu, bila symptom tidak berkurang ataupun muncul kembali
setelah terapi dihentikan maka waktu pengosongan lambung harus
diukur.
Ada berbagai bahan farmakologik yang memiliki efek prokinetik
lambung, namun obat-obat prokinetik yang secara luas digunakan,
dalam mengobati gastroparesis diabetika adalah metoclopramide,
domperidone, cisapride dan erythromycin. Karena sifat kelainan
motorik yang beraneka ragam ada gastroparesis diabetika maka tidak
mungkin untuk memperoleh perbaikan terhadap seluruh kelainan
motorik / sensorik dengan satu obat. Waktu pemberian obat prokinetik
haruslah sedemikian rupa sehingga kadar plasma obat. Waktu
pemberian obat prokinetik haruslah sedemikian rupa sehingga kadar
plasma puncak dan aktivitas terapeutik bertepatan dengan waktu
makan yaitu setidaknya 30 menit peprandial, selain itu juga perlu
diberikan dosis malam hari untuk mengurangi pembentukan bezzoar.
i. Metoclopramide
Metoclopramide adalah suatu derivat procainamide
merupakan antagonis reseptor dopamine D2 dan reseptor 5HT3,
pelepas acetylcholine dan inhibitor cholinesterase, memiliki
khasiat prokinetik lambung dan anti emetik dan dapat melewati
sawar darah otak. Aktivitas prokinetiknya diperkirakan berasal dari
antagonisme reseptor dopamine lambung peningkatan pelepasan
acetylcholine dari plexus myentericus. Adapun aksi prokinetiknya
antara lain meningkatkan tekanan sfingter esophagus bawah,
menghambat relaksasi fundus, meningkatkan kontraktilitas antrum
dan merelaksasi sfingter pylorus. Aksi metoclopramide pada
aktivitas IMMC masih belum jelas. Aktivitas antiemetiknya adalah
berdasarkan antago-nisme reseptor dopamine sentral pada
chemoreceptor trigger zone dan vomiting center. Metoclopramide
37
dapat menurangi symptom statis lambung dan memperbaiki
pengosongan lambung solid maupun liquid, namun antara
perbaikan symptom dengan pengosongan lambung tidak
berkorelasi. Pada pemakaian yang berke-panjangan efek
prokinetiknya akan menghilang meskipun perbaikan
simptomatiknya terus berlangsung. Metoclopramide dianggap
merupakan obat yang paling efektif dalam hal memperbaiki
symptom. Metoclopramide diberikan per oral dengan dosis 5 – 20
mg sebelum makan dan pada waktu tidur. Dapat pula diberikan
melalui intravena, intramuskuler, subkutan, intrarektal maupun
intraperitoneal. Efek samping metoclopramide setidak-tidaknya
mengenai 20% penderita, sifatnya tergantung dosis, dan yang
tersering adalah gangguan neurologik dan endokrinologik.
Gangguan neurologik berupa mengantuk, gelisah, cemas, depresi,
symptom dystonic (yaitu tardive dyskinesia, oculogyric crisis,
opisthotonus, trismus dan torticollis), dan symptom
parkinsonisme (yaitu tremor, rigidity dan akinesia). Gangguan
endokrinologik antara lain hiperprolaktinemia yang menyebabkan
gynecomastia, mastalgia, galactorrhea dan amenorrhea, selain itu
dapat terjadi peningkatan kadar aldosterone dan thyrotropin dan
penurunan kadar luteinizing hormone, follicle stimulating hormone
dan growth hormone.
ii. Domperidone
Domperidone merupakan derivat benzimidalzole, suatu
antagonis reseptor dopamine yang tidak melewati sawar darah
otak. Aksi prokinetik lambungnya adalah melalui penghambatan
reseptor dopamine pada lambung dan duodenum, sedangkan efek
antiemetiknya hanya terjadi pada chemoreceptor trigger zone.
Domperidone efektif dalam mengendalikan symptom dan
memperbaiki pengosongan lambung pada gastoparesis diabetika.
Pemberian secara akut pada pendderita diabetes akan
38
meningkatkan kecepatan pengosongan solid maupun liquid,
sesudah pengobatan 4 minggu peningkatan pengosongan liquid
tetap terjadi namun pengosongan solid tidak, sedangkan symptom
klinis membaik pada pengobatan akut maupun kronis.
Domperidone dapat diberikan melalui oral, intravena,
intramuskuler ataupun intrarektal. Dosis awal oral adalah 10 mg
sebelum makan dan malam sebelum tidur, dapat ditingkatkan
menjadi 4 kali 20 mg perhari, dan pada gastroparesis yang berat
dapat ditingkatkan menjadi 4 x 30 mg perhari.
Insidens efek samping domperidone bervariasi dari 2-7%,
umumnya adalah mulut kering, sakit kepala, ruam kulit, gatal,
diare, kegelisahan dan gangguan endokrin yang berkaitan dengan
hiperproklaktinemia.
iii. Cisapride
Cisapride merupakan suatu derivat benzamide yang tidak
memiliki sifat antidopaminergik, akan tetapi meningkatkan
pelepasan acetylcholine pada plexus myentericus intestinalis dan
juga bersifat antagonis terhadap reseptor 4 HT3 dan antagonis
5HT4. Cisapride tidak mempunyai efek antiemetik langsung,
namun dapat meningkatkan amplitudo kontraksi di seluruh bagian
saluran cerna sehingga menguntungkan bagi penderita. Obat ini
meningkatkan kontraksi antrum dan duodenum dan juga
meningkatkan koordinasi antroduodenal. Pada penderita
gastroparesis diabetika cisapride dapat memperbaiki
pengosongan lambung liquid, solid maupun non digestible solid,
dan efek perbaikan ini terjadi pada pemberian akut maupun kronis.
Dibanding dengan metoclopramide, cisapride lebih poten dan
dianggap sebagai obat pilihan utama untuk gastroparesis pada saat
ini. Cisapride diberikan melalui oral dengan dosis 5-20mg,
sebelum makan dan atau pada waktu tidur.
39
Efek samping cisapride jauh lebih sedikit dibanding
metoclopramide, umumnya adalah kram perut, diare dan sakit
kepala, biasanya bersifat sementara dan dapat diatasi dengan
pengurangan dosis.
iv. Erythromycin
Erythomycin merupakan antibiotik macrolide yang memiliki
efek menyerupai motilin terhadap motilitas saluran cerna, bekerja
sebagai agonis motilin dengan cara berkaitan dengan reseptor
motilin pada antrum dan duodenum bagaian atas, dan aktivitas
ini tidak berkaitan dengan efek antimikrobialnya. Studi inviro
menunjukkan bahwa selain merangsang kontraksi antrum dan
duodenum, erythromycin juga menginhibisi otot pylorus. Pada
manusia erythromycin dapat meningkatkan kontraksi antrum,
memperbaiki kontraksi antroduodenal, mengurangi waktu aktivitas
IMMC fase 2 dan merangsang serta memperpanjang aktivitas
IMMC fase 3 (5 kutip). Kao dkk menyimpulkan bahwa
erythromycin efektif terhadap gastroparesis diabetika karena
memperbaiki transit esophagus dan pengo-songan lambung.
Studi meta analisis mengenai penggunaan obat-obat
prokinetik pada penderita gastroparesis menunjukkan bahwa
erythromycin lebih unggul dibanding cisapride, metoclopramide
maupun domperidone dalam hal mempercepat pengosongan
lambung.
Pemberian erythromycin 200 mg intravena kepada penderita
gastroparesis diabetika akan memperbaiki pengosongan lambung
solid maupun liquid secara dramatis menjadi seperti yang terlihat
pada orang normal, bila diberi secara oral kali 250 mg selama 4
minggu, perbaikan juga terjadi namun hasilnya kurang dibanding
intravena. Erythromycin tersedia untuk penggunaan oral dalam
bentuk stearat dan etyl succinate. Dosis erythromycin stearst
adalah 3 kali 250 mg diberikan 30 – 60 menit sebelum makan.
40
Untuk penggunaan intravena dalam bentuk lactobionate diberikan
sebagai infus selama 30 menit dengan dosis 200 mg, diencerkan
dalam larutan garam fisiologis.
Pada orang normal erythromycin dapat menimbulkan efek
samping mual, muntah, kejang abdomen dan diare, sedangkan
pemberian yang berlama-lama sebagai prokinetik akan
meningkatkan resiko timbulnya strain bakteri resisten. Saat ini
dikembangkan derivat erythromycin, ER 523, suatu agonis reseptor
motilin yang 18 kali lebih kuat dari erythromycin namun
tidak memiliki aksi antibiotik, dan terbukti efektif
memperpendek waktu pengosongan lambung liquid maupun
solid pada penderita IDDM dengan gastroparesis yang berat.
v. Antiemetik
Ondansentron, antagonis reseptor 5-HT3 dapat digunakan
untuk mengontrol keluhan, tetapi tidak menunjukkan perbaikan
dalam pengosongan lambung. Mirtazipine adalah antidepresan
yang aktif pada resep 5-HT3 dan dilaporkan bermanfaat untuk
gastroparesis refrakter dibandingkan terapi lain. Antidepresan
trisiklik juga bermanfaat dalam sindrom muntah kronik. Ada
beberapa gabungan terapi yang sedang dalam evaluasi
penggunaannya untuk gastroparesis. Sebagai contoh, prokinetik
azithromycin dan mitemcinal dapat menstimulasi reseptor motilin.
Ghrelin, suatu hormone peptide yang diproduksi oleh sel entero-
endokrin dalam lambung yang menstimulasi nafsu makan dan
meningkatkan gerak lambung.
c. Terapi Endoskopi dengan injeksi botulinum
Pylorospasme berperan dalam berkembangnya Gastroparesis.
Toksin botulinum merupakan inhibitor yang poten untuk transmisi
neuromuskuler dan terbukti berefek dalam manajemen gastroparesis.
Pada studi yang melibatkan 8 pasien, nilai skoring keluhan menurun dari
27 menjadi 12.1, empat pasien meningkatkan dosis insulin 5 unit/ hari
41
dan 6 pasien mengalami peningkatan berat badan. Dalam penelitian yang
berbeda, pengosongan gaster dapat diperbaiki dengan injeksi botulinum,
tetapi keluhan tidak berbeda dengan pada grup yang diberi placebo
dengan botulinum (Ajumobi dan Griffin, 2008).
d. Terapi elektrostimulasi
Elektrostimulasi gaster dapat memperbaiki keluhan mual, muntah,
kualitas hidup, dan status nutrisi pada pasien dengan Gastroparesis
refrakter. Tiga prinsip dari elekstrostimulasi gaster antara lain arus listrik
bolak-balik, frekuensi tinggi, stimulasi berurutan. Elektrostimulasi gaster
dilakukan melalui electrode yang ditanam dalam lapisan serosa melalui
satu atau dua protocol stimulasi. Satu protokol merupakan stimulasi
dengan energi tinggi, durasi lama. Kelihatannya gastric pacing dapat
memperbaiki symptom gastroparesis dan mempercepat pengosongan
lambung pada penderita gastroparesis yang berat, sehingga pada masa
mendatang mungkin dapat merupakan pilihan terapi pada gastroparesis.
Elektrostimulasi gaster dapat diklasifikasikan sebagai single-
channel dan multichannel. Stimulasi dengan energy tinggi, frekuensi
rendah (pulsasi panjang) bertujuan mengembalikan gelombang ritme
perlahan 3 siklus per menit dari aktivitas normal myoelektris gaster dan
telah terbukti memperbaiki keluhan dan waktu pengosongan lambung
(Ajumobi dan Griffin, 2008).
e. Penanganan operatif
Tindakan operatif seperti loop gastroenterostomy, vagotomy dan
pyloroplasty terhadap gastroparesis diabetika umumnya
mengecewakan sehingga hampir tidak digunakan, kalaupun
digunakan hanya pada kasus yang sangat berat yang tidak respons
terhadap terapi medis lainnya.
42
DAFTAR PUSTAKA
Ajumobi A.B., Griffin R.A. Clinical Review Article of Diabetic Gastroparesis:
Evaluation and Management. Hospital Physician, 2008; 27-32.
Anne M. R. Agur; Moore, Keith L. 2007. Essential Clinical Anatomy (Point
(Lippincott Williams & Wilkins)). Hagerstown, MD: Lippincott Williams &
Wilkins.; p. 150.
Barrett K, Brooks H, Bitano S, Barman S. Ganong’s review of medical physiology.
23th edition. New York: McGraw Hill; 2010.
Cammillery M.. Diabetic Gastroparesis. N Engl J Med, 2007: 356;8.
Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology. 11th edition. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2006.
Herbst RS (2004). "Review of epidermal growth factor receptor biology".
International Journal of Radiation Oncology, Biology, Physics 59 (2 Suppl):
21–6.
John CR.; Jeffrey LB.; 2001. Management of the Patient with Gastroparesis.
http://journals.lww.com/jcge/Fulltext/2001/01000/Efficacy_of_Prolonged_A
dministration_of.5.aspx
Keld R., Kinsey L., Athwal V., Lal S. Review Pathogenesis, Investigation, and
Dietary and Medical Management of Gastroparesis. J Hum Nutr Diet, 2011;
24: 421-430.
Maryani, Sri. 2003. Gastroparesis Diabetika.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3370/1/penydalam-
srimaryani8.pdf (15 Maret 2012)
Omar F.,David M. Anatomy at a Glance. 2002 by Blackwell Science Ltd,
Blackwell Publishing company. p31_39
Park I.M., Camilleri M. Gastroparesis Clinical Update. American Journal of
Gastroenterology, 2006; 101: 1129-1139.
43
Parkman H.P., Hasler W.L., Barnett J.L.,Eaker E.Y. Electrogastrography: a
Document Prepared by the Gastric Section of The American Motility
Society Clinical GI Testing Task Force. Neurogastroenterol Motil, 2003; 15:
89-102.
Richard M. Gore; Marc S. Levine. 2007. Textbook of Gastrointestinal Radiology.
Philadelphia, PA.: Saunders.
Sherwood L. Human physiology: From cells to system. 7th edition. Toronto:
Brooks/Cole Cengage Learning; 2010.
Smith S., Williams C.S., Ferris C.D. Diagnosis and Treatment of Chronic
Gastroparesis and Chronic Intestinal Pseudo-Obstruction. Gastro Clin N
Am, 2003; 32: 619-658.
Venturi S.; Venturi M. 2009. "Iodine in evolution of salivary glands and in oral
health". Nutrition and Health 20 (2): 119–134.
Varon A.R., Zuleta J. From The Physiology of Gastric Emptying of The
Understanding of Gastroparesis. Rev Col Gastroenterol, 2010; 25: 207-212.
44