FAKTOR- FAKTOR KEBERHASILAN PEMEKARAN WILAYAH KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA
OLEH FATMAWATI
H14070081
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN
FATMAWATI. Faktor-Faktor Keberhasilan Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia (dibimbing oleh D.S. PRIYARSONO)
Era reformasi telah membuat banyak perubahan khususnya dalam tata pemerintahan. Pemerintahan yang awalnya bersifat sentralistik, kini menjadi desentralistik. Desentralisasi membuat pemerintah daerah memiliki wewenang untuk mengatur daerahnya masing-masing sesuai Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 (telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004) dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 (telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004). Adanya desentralisasi membuat wilayah yang merasa tidak puas dengan kinerja pemerintahan daerahnya dapat membentuk daerah baru, yang disebut pemekaran wilayah. Sebelum disahkannya kedua undang-undang tersebut, pemekaran wilayah telah terlaksana. Namun kedua undang-undang tersebut membuat syarat pemekaran menjadi lebih jelas dan pemekaran semakin mudah untuk dilaksanakan. Hal ini mengakibatkan pemekaran wilayah, khususnya untuk pemekaran kabupaten dan kota menjadi semakin marak terjadi.
Tujuan pemekaran yaitu untuk meningkatkan kemandirian daerah dan meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, sehingga kondisi masyarakat dapat lebih baik. Namun kini tujuan dari pemekaran ditengarai telah berubah. Tidak jarang pemekaran dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan politik, sumber pembiayaan yang lebih, serta hal-hal lainnya yang dapat menggagalkan tujuan dari pemekaran itu sendiri. Hal inilah yang membuat banyaknya pemekaran menjadi belum berhasil. Penelitian ini dilakukan untuk menilai kinerja (khususnya berdasarkan ukuran ekonomi) bagi daerah yang telah minimal lima tahun menjadi daerah otonom baru dan menelaah faktor-faktor apa saja yang memengaruhi keberhasilan tersebut. Penilaian kinerja menggunakan teknik indeksasi, sementara dalam menentukan faktor-faktor keberhasilan pemekaran menggunakan metode regresi berganda dengan metode OLS untuk mengestimasi parameter. Variabel yang digunakan sebagai variabel dependen adalah selisih Indeks Kinerja Ekonomi (IKE) antara daerah otonom baru (DOB) dengan daerah induknya. Sedangkan yang menjadi variabel independennya adalah PDRB per kapita, PAD, DAU, IPM, angka kemiskinan, dan jenis pemekaran kabupaten ataukah kota. Berdasarkan penilaian keberhasilan, didapatkan hasil bahwa hanya 41 persen DOB yang berhasil mencapai tujuan ekonomi pemekaran. Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap keberhasilan pencapaian tujuan ekonomi pemekaran adalah PDRB per kapita, PAD, dan jenis pemekaran.
FAKTOR- FAKTOR KEBERHASILAN PEMEKARAN WILAYAH KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA
OLEH
FATMAWATI H14070081
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul Skripsi : Faktor-Faktor Keberhasilan Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia
Nama : Fatmawati
NRP : H14070081
Menyetujui, Dosen Pembimbing
D.S. Priyarsono, Ph.D
NIP. 19610501 198601 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2011
Fatmawati H14070081
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Fatmawati, lahir pada tanggal 10 September 1989 di
Rangkasbitung, Provinsi Banten. Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan
M. Ferdinand dan Anah. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan.
Penulis mengawali pendidikan di TK Kuncup Harapan dan menyelesaikannya
pada tahun 1995, kemudian melanjutkan ke SDN Bantarjati V Bogor dan lulus
pada tahun 2001. Penulis melanjutkan pendidikannya ke SMP Negeri 5 Bogor dan
lulus pada tahun 2004, kemudian melanjutkan ke SMA Negeri 3 Bogor dan lulus
pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian
Bogor (IPB) jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI). Semasa kuliah di IPB, penulis aktif pada kegiatan seni dan budaya,
seperti tergabung dalam kegiatan ekstrakulikuler Gentra Kaheman, dan
Community of Art Sport and Culture (COAST) FEM dibidang Seni Tari. Selama
tergabung dalam Gentra Kaheman dan COAST Tari FEM, penulis sering mengisi
acara dengan membawakan tarian tradisional Indonesia, diantaranya Saman,
Yapong, dan Jaipong.
Selain aktif di kegiatan seni, penulis sempat mengikuti kegiatan Program
Kreativitas Mahasiswa di bidang Pengabdian Masyarakat, dan lulus hingga tahap
monitoring dan evaluasi. Penulis juga merupakan anggota dari Onigiri Japan
Club, yaitu perkumpulan mahasiswa yang menyukai budaya Jepang. Pada tahun
2011 penulis melakukan penelitian dengan judul “Faktor-Faktor Keberhasilan
Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia” untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Judul skripsi ini adalah “Faktor-Faktor Keberhasilan Pemekaran Wilayah
Kabupaten/Kota di Indonesia”. Pemekaran wilayah merupakan sesuatu yang
sudah lama terlaksana, namun dalam perjalanannya pemekaran tersebut banyak
yang tidak berhasil, ditandai dengan tidak tercapainya tujuan pemekaran. Oleh
karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan tokpik ini dan
melihat faktor apa saja yang dapat memengaruhi keberhasilan pemekaran
khususnya di kabupaten dan kota. Sehingga diharapkan kedepannya kabupaten
dan kota yang belum berhasil dapat memeperbaiki kinerja perekonomiannya dan
menjadi daerah yang berhasil dalam pemekarannya. Selain itu, skripsi ini juga
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai
pihak yang telah membimbing dan membantu penulis dalam penyusunan skripsi
ini, sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik, terutama kepada:
1. Dominicus Savio Priyarsono, Ph.D, yang telah memberikan bimbingan baik
secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini, sehingga
dapat diselesaikan dengan baik.
2. Dr. Yeti Lis Purnamadewi yang telah menguji hasil karya ini. Semua kritik
dan saran yang beliau berikan merupakan hal yang sangat berharga dalam
penyempurnaan skripsi ini.
3. Dr. Wiwiek Rindayati atas masukan dan perbaikan mengenai tata cara
penulisan dari skripsi ini. Meskipun demikian, segala kesalahan yang ada
pada penelitian ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
ii
4. Seluruh dosen, staf, dan civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi FEM-
IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama
menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.
5. Keluarga tersayang, papih M. Ferdinand, mama Anah, dan segenap keluarga
besar yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, motivasi, dan
dukungan baik moril maupun material, serta doa sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dan pendidikan sarjana ini dengan baik.
6. Teman-teman satu bimbingan skripsi, Hesti Ayu Hapsari, Putri Nilam
Kencana, dan Ni Luh Putu Aria atas semangat, motivasi, doa, dan perjuangan
yang telah dilalui bersama.
7. Teman-teman dari Departemen Ilmu Ekonomi, Sari Rina Fitriyah, Ika
Mustika Sari, Pramita Kurnia W, Risya Utami, Ida Nur’Aini, Destia Harum,
Ajeng Endartrianti, Michelia Widya Agri, Nurul Andelisa dan lainnya yang
tidak bisa disebutkan satu persatu, atas bantuan, semangat dan doanya.
8. Sahabat-sahabatku M. Fahri Arfanto, Annita Arraafi R, Ryanda Agung W,
Ayu Azriani Azahari, Irena Titin Kartika, dan teman-teman Onigiri Japan
Club atas sharing, motivasi, dukungan, dan doanya kepada penulis.
10. Teman-teman peserta Seminar Hasil Penelitian Skripsi yang telah hadir dan
memberikan masukan demi perbaikan skripsi ini.
11. BPS Pusat, Kementerian Dalam Negeri, Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam
penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat
kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki.
Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain yang
membutuhkan.
Bogor, Juli 2011
Fatmawati H14070081
iii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. vii
I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ........................................................................ 6
1.3. Tujuan ............................................................................................. 7
1.4. Manfaat Penulisan .......................................................................... 7
1.5. Ruang Lingkup Penelitian .............................................................. 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 10
2.1. Tinjauan Teoritis ............................................................................ 10
2.1.1. Teori Pemekaran Wilayah .................................................... 10
2.1.2. Teori Pembangunan Ekonomi .............................................. 15
2.1.2.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ..................... 19
2.1.2.2. Kemiskinan .............................................................. 21
2.1.3. Desentralisasi Fiskal ............................................................. 23
2.1.3.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ............................... 24
2.1.3.2. Dana Perimbangan ................................................... 25
2.2. Tinjauan Empiris ............................................................................ 28
2.3. Kerangka Pemikiran ....................................................................... 31
2.4. Hipotesis ......................................................................................... 33
III. METODE PENELITIAN ...................................................................... 35
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................... 35
3.2. Jenis dan Sumber Data ................................................................... 35
3.3. Metode Analisis Data ..................................................................... 36
3.3.1. Analisis Deskriptif ................................................................ 36
3.3.2. Metode Indeksasi .................................................................. 36
iv
3.3.3. Analisis Regresi Berganda .................................................... 39
3.3.3. Pengujian Model dan Hipotesis ............................................ 40
3.3.3.1. Pengujian Kesesuaian Model (Goodness of Fit) ..... 40
3.3.3.2. Pengujian Asumsi Model ......................................... 41
IV. Kondisi Ekonomi Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran ........................... 47
4.1. Indeks Kinerja Ekonomi ................................................................. 47
4.2. PDRB per Kapita ............................................................................ 49
4.3. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ...................................................... 51
4.4. Dana Perimbangan ......................................................................... 52
4.5. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ............................................ 53
4.6. Angka Kemiskinan ......................................................................... 55
4.7. Perbandingan Kabupaten dan Kota ................................................ 57
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 59
5.1. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Pemekaran
Wilayah .......................................................................................... 59
5.2. Pengujian Model dan Hipotesis ..................................................... 68
5.2.1. Pengujian Kesesuaian Model (Goodness of Fit) ................. 68
5.2.2. Pengujian Hipotesis ............................................................. 68
5.2.3. Pengujian Asumsi Model .................................................... 69
5.2.3.1. Uji Normalitas ....................................................... 69
5.2.3.2. Uji Multikolinearitas .............................................. 69
5.2.3.3. Uji Heteroskedastisitas .......................................... 69
5.2.3.4. Uji Autokorelasi .................................................... 70
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 71
6.1. Kesimpulan ..................................................................................... 71
6.2. Saran ............................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 74
LAMPIRAN ................................................................................................... 79
v
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
3.1. Pengambilan Keputusan padaUji Durbin Watson................................ 45
4.1. Urutan Daerah Tertinggi dan Terendah Berdasarkan Hasil
Perhitungan Indeks Kinerja Ekonomi (IKE) ........................................
48
4.2. PDRB per Kapita Kabupaten/Kota Tertinggi dan Terendah................ 50
4.3. Persentase PAD terhadap Total Pendapatan pada DOB ...................... 51
4.4. Total Dana Perimbangan Daerah Otonom Baru .................................. 53
4.5. Jumlah PAD dan Dana Perimbangan Kabupaten/Kota Tertinggi
dan Terendah ........................................................................................ 53
4.6. IPM Kabupaten/Kota Tertinggi dan Terendah ..................................... 55
4.7. Angka Kemiskinan Beberapa DOB Kabupaten/Kota Tertinggi dan
Terendah ............................................................................................... 57
4.8. Perbandingan Kabupaten dan Kota Berdasarkan Rata-Rata
Variabel yang Dianalisis ......................................................................
58
5.1. Hasil Estimasi Model Faktor-Faktor yang Memengaruhi
Keberhasilan Pemekaran ...................................................................... 59
5.2. Nilai IPM DOB dan Komponen Pembentuknya .................................. 67
vi
DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman
1.1. Perkembangan Jumlah Kabupaten/Kota dan Propinsi di Indonesia .... 4
1.2. Alokasi PAD dan Dana Perimbagan di Daerah Otonom Baru ............ 5
2.1. Jumlah Pemekaran Provinsi, Kabupaten, dan Kota ............................. 15
2.2. Kurva Lorenz ........................................................................................ 18
2.3. Teori Lingkar Setan Kemiskinan G. Myrdal ....................................... 22
2.4. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 32
4.1 Jumlah PDRB per Kapita Seluruh Daerah Otonom Baru .................... 50
4.2. Rata-Rata Nilai IPM pada Daerah Otonom Baru ................................. 54
4.3. Jumlah Penduduk Miskin Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran ............. 56
5.1. Keberhasilan Pemekaran Kabupaten dan Kota .................................... 63
vii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman
1. Nilai IKE dan Tabel Keberhasilan Kabupaten/Kota .......................... 80
2. PDRB per Kapita ................................................................................ 85
3. Perkembangan PAD DOB .................................................................. 89
4. Perkembangan IPM DOB ................................................................... 93
5. Komponen Pembentuk IPM ............................................................... 97
6. Angka Kemiskinan DOB ................................................................... 104
7. Tabel Statistika Deskriptif .................................................................. 108
8. Matriks Korelasi Pearson ................................................................... 109
9. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan
Pemekaran Wilayah ............................................................................ 110
10. Uji Kenormalan Model Keberhasilan Pemekaran Wilayah
Kabupaten/Kota di Indonesia ............................................................. 110
11. Uji Homoskedastisitas Model Keberhasilan Pemekaran Wilayah
Kabupaten/Kota di Indonesia ............................................................. 111
12. Uji Autokorelasi Model Keberhasilan Pemekaran Wilayah
Kabupaten/Kota di Indonesia ............................................................. 111
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemekaran wilayah merupakan suatu proses pemecahan wilayah, dari
sebuah wilayah provinsi, kabupaten, ataupun kota menjadi lebih dari satu wilayah.
Tarigan (2010) menyebutkan bahwa pemekaran wilayah merupakan pembagian
kewenangan administratif suatu wilayah menjadi dua atau beberapa wilayah.
Pemekaran wilayah mencakup pembagian luas wilayah beserta potensi sumber
daya alam yang terkandung di dalamnya dan jumlah penduduk.
Pemekaran wilayah menunjukkan adanya suatu proses reformasi birokrasi
yang diwujudkan dengan adanya perubahan pola pemerintahan. Perubahan
tersebut terjadi dalam bentuk pemerintahan yang awalnya bersifat sentralistik,
menjadi diserahkan kepada pemerintah daerah masing-masing untuk mengatur
urusan pemerintahan daerah yang disebut desentralisasi. Desentralisasi mulai
dilaksanakan sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22/1999 (direvisi
menjadi Undang-Undang Nomor 32/2004). Tujuan utama desentralisasi adalah
mendukung terwujudnya efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan
daerah dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah
disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah
dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Suatu daerah dapat dimekarkan apabila memenuhi kriteria pemekaran
yang dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78/2007 tentang tata cara
pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah. Dilakukannya pemekaran
wilayah bertujuan untuk meningkatkan penyediaan pelayanan publik,
2
mempercepat pertumbuhan ekonomi penduduk setempat dengan pengembangan
perekonomian daerah yang berbasiskan potensi lokal, dan menyerap lebih banyak
tenaga kerja. Hal ini membuat pemekaran wilayah sering dianggap sebagai salah
satu jalan keluar untuk mencapai pemerataan pembangunan serta meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Padahal tujuan awal pemekaran wilayah berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 129/2000 (direvisi menjadi Peraturan Pemerintah
Nomor 78/2007) yaitu untuk membentuk dearah otonom baru yang mandiri.
Alasan dilakukannya pemekaran daerah seperti yang dituliskan oleh
Tarigan (2010), pertama adanya historical ethnic yaitu selain adanya faktor
sejarah dari etnis tertentu, juga adanya keinginan untuk membuat satu kelompok
etnis berada dalam satu wilayah yang sama sehingga kegiatan ekonomi dan politik
dapat dimanfaatkan dengan sebaik mungkin. Hal ini pun telah dibuktikan oleh
Fitriani et, al. (2005) dengan menggunakan model ekonometrika. Kedua yaitu
adanya fiscal spoil yang berupa jaminan dana transfer dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah berupa Dana Alokasi Umum (DAU). Jaminan ini membuat
daerah berkeyakinan bahwa pengeluaran daerahnya akan dibiayai melalui alokasi
untuk pegawai negeri sipil daerah sehingga akumulasi aktivitas ekonomi
diharapkan berimplikasi positif terhadap kesejahteraan masyarakat secara umum.
Sayangnya hal ini justru dijadikan suatu alat untuk mendapatkan anggaran
pendapatan yang besar, berupa DAU.
Ketiga, bureaucracy and political rent seeking yaitu munculnya wilayah
kekuasan politik baru sehingga aspirasi politik masyarakat jauh lebih dekat,
adanya kesempatan mendapatkan kekuasaan eksekutif maupun legislatif di
3
daerah, dan menjadi peluang untuk mendapat dukungan politik yang lebih besar.
Keempat, administrative dispersion yaitu, mengatasi masalah rentang kendali
pemerintahan. Rentang kendali pemerintahan yang telalu luas dapat menyebabkan
pelayanan publik yang sulit dijangkau, pembangunan yang tidak merata, dan
kemiskinan yang tinggi pada wilayah yang letaknya jauh dari ibu kota
pemerintahan. Sehingga posisi ibukota pemerintahan menjadi faktor penentu
mana wilayah yang akan memekarkan diri. Jika daerah mekar menjadi kabupaten
baru, maka daerah tersebut awalnya merupakan daerah yang letaknya jauh dari
ibu kota di kabupaten lama, sehingga sulit bagi masyarakat untuk mendapatkan
fasilitas dan sarana umum. Namun, jika daerah mekar menjadi kota, maka yang
memisahkan diri bukanlah daerah yang sulit dijangkau, melainkan pusat kota dari
kabupaten induk.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Ditjen Otonomi Daerah, Kemeterian
Dalam Negeri (2009), sebelum diberlakukannya otonomi daerah, yaitu tahun
1998, jumlah kabupaten dan kota di Indonesia hanya 298 kabupaten/kota. Namun
semenjak diberlakukannya otonomi daerah tahun 1999, yang ditandai dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22/1999, jumlah kabupaten/kota di
Indonesia terus meningkat. Terlihat pada Gambar 1.1 bahwa hingga bulan Juni
tahun 2009 telah terjadi penambahan jumlah kabupaten/kota dari 298 menjadi
497, yaitu sebesar 67 persen. Peningkatan jumlah kabupaten/kota terbesar terjadi
pada tahun 2003, yaitu sebanyak 49 kabupaten/kota.
4
298 341 341 353 391440 440 440 440 465 495 497
0100200300400500600
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jum
lah
Kab
upat
en/K
ota
Tahun Pemekaran
jumlah kabupaten/kota
Sumber : Ditjen Otonomi Daerah KEMDAGRI, 2009 (diolah) Gambar 1.1. Perkembangan Jumlah Kabupaten/Kota dan Provinsi di Indonesia
Perbedaan kondisi dan potensi dari masing-masing daerah terutama daerah
yang baru mekar dalam melaksanakan desentralisasi membuat kesiapan setiap
daerah berbeda-beda. Perbedaan ini diatasi oleh pemerintah dengan memberikan
Dana Perimbangan kepada setiap daerah agar dalam pelaksanaan desentralisasi
setiap daerah memiliki kondisi yang sama. Dana Perimbangan yang diberikan
oleh pemerintah diwujudkan dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana
Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) yang pemberiannya
disesuaikan dengan kondisi keuangan setiap daerah.
Pemekaran wilayah yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian
setiap daerah pada kenyataannya tidak berjalan dengan baik. Kemandirian setiap
daerah otonom baru yang ditunjukkan dengan jumlah Pendapatan Asli Daerah
(PAD) yang terus meningkat (Gambar 1.2) ternyata tidak diimbangi dengan
penurunan jumlah Dana Perimbangan yang diterima oleh setiap daerah. Dana
Perimbangan yang diterima pada kenyataannya juga terus meningkat dari tahun ke
tahun. Pemerintah pusat memang merencanakan adanya peningkatan Dana
5
Perimbangan setiap tahunnya. Peningkatan Dana Perimbangan dalam jangka
panjang diharapkan dapat meningkatkan investasi di daerah, sebab Dana
Perimbangan digunakan untuk membangun fasilitas-fasilitas di daerah seperti
fasilitas pelayanan publik dan infrastruktur. Meningkatnya jumlah Dana
Perimbangan yang diterima setiap tahunnya dan persentasenya yang besar
terhadap penerimaan daerah membuat ketergantungan daerah terhadap pendanaan
yang berasal dari pusat meningkat.
Sumber : DJPK Kemenkeu, 2005-2010 (diolah)
Gambar 1.2. Alokasi PAD dan Dana Perimbagan di Daerah Otonom Baru
Ketergantungan fiskal yang terjadi jika terus dibiarkan dapat mengganggu
perekonomian nasional, sebab sebagian besar pembiayaan daerah bergantung
kepada pendanaan yang berasal dari pusat, baik itu berbentuk DBH, DAU, dan
DAK. Untuk mengatasi hal tersebut, dalam Jurnal Otonomi Daerah (2009a)
disebutkan perlu adanya desain besar (grand design) penataan daerah yang
diantaranya berisi syarat jumlah maksimal kabupaten dan kota dalam suatu
provinsi serta jumlah provinsi di Indonesia. Desain besar penataan daerah ini
nantinya akan dijadikan sebagai acuan dalam menentukan apakah dalam suatu
provinsi masih diperbolehkan ada daerah yang dimekarkan atau tidak.
1034.21 1892.39 3245.89 3101.42 3611.73 4414.76
20153.76
45510.81 45416.2555571.11
61710.53 59655.24
0
20000
40000
60000
80000
2005 2006 2007 2008 2009 2010Tahun
Juta Rupiah
PAD
Dana Perimbangan
6
1.2. Rumusan Masalah
Desentralisasi telah berjalan lebih dari sepuluh tahun semenjak
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22/1999 (direvisi menjadi Undang-
Undang Nomor 32/2004) tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang
Nomor 25/1999 (direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 33/2004) tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Mulai saat itu setiap
daerah terkesan berlomba-lomba untuk memekarkan diri, dengan tujuan ingin
meningkatkan perekonomian daerahnya.
Tujuan pemekaran yaitu untuk meningkatkan kemandirian daerah ternyata
hingga saat ini belum tercapai. Banyak faktor yang dapat memicu
ketidakberhasilan ini, diantaranya seperti yang disebutkan dalam Jurnal Otonomi
Daerah (2009b) yaitu banyak terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur
pemerintahan, baik pelanggaran sendiri maupun bekerja sama dengan pihak lain
seperti pengusaha. Beberapa pelanggaran tersebut diantaranya adanya mark-up
ataupun mark-down harga aset pemda, pemberian izin pengelolaan sumber daya
alam kepada pihak yang tidak memiliki kemampuan yang sesuai guna
kepentingan pribadi, penyusunan APBD yang diatur Kepala Daerah, pemberian
dana kepada pejabat dengan dibebankan ke anggaran, dan hal lain yang tidak
diperkenankan. Hal ini tentu memengaruhi keberhasilan dari pemekaran dan
mungkin ini yang menjadi alasan mengapa banyak pemekaran dinyatakan belum
berhasil.
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka penelitian ini ingin mengevaluasi
keberhasilan pemekaran, kemudian melihat faktor-faktor apa saja yang
7
memengaruhi keberhasilan dari pemekaran wilayah yang telah berjalan hingga
saat ini. Sehingga dapat disimpulkan beberapa perumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimana keberhasilan pemekaran kabupaten/kota yang telah memekarkan
diri lebih dari lima tahun?
2. Apa saja faktor yang memengaruhi keberhasilan pemekaran kabupaten/kota?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis kondisi ekonomi kabupaten/kota selama lima tahun pertama
setelah pemekaran.
2. Menganalisis keberhasilan pemekaran kabupaten/kota yang telah memekarkan
diri lebih dari lima tahun.
3. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan pemekaran
kabupaten/kota.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Menjadi masukan bagi pemerintah pusat dalam menilai kinerja perekonomian
kabupaten dan kota yang telah memekarkan diri.
2. Menjadi masukan bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi
daerah.
3. Sebagai bahan pustaka dan referensi bagi pihak yang membutuhkan serta
rujukan untuk penelitian selanjutnya.
8
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menilai kinerja ekonomi dari setiap
kabupaten/kota hasil pemekaran yang biasa disebut Daerah Otonom Baru (DOB)
beserta daerah induknya. Penilaian tersebut dilakukan dengan menghitung Indeks
Kinerja Ekonomi (IKE). Perhitungan penilaian menggunakan metode IKE ini
mengikuti studi evaluasi pemekaran daerah yang dilakukan oleh BAPPENAS
bekerjasama dengan UNDP (2008). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian
yang dilakukan oleh BAPPENAS dan UNDP adalah hasil dari evaluasi hanya
merumuskan urutan DOB, namun dalam penelitian ini dihasilkan mana saja
daerah yang berhasil dalam pemekarannya.
Komponen pembentuk IKE adalah pertumbuhan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) non-migas, PDRB per kapita, rasio PDRB kabupaten
terhadap PDRB provinsi, dan angka kemiskinan. Nilai IKE ini menjadi dasar
penilaian keberhasilan dari pemekaran wilayah, yaitu jika DOB memiliki nilai
IKE yang lebih besar dari daerah induknya maka daerah tersebut telah berhasil
dalam melaksanakan otonomi. Namun jika nilai IKE daerah induk lebih besar
dibandingkan DOB maka pemekaran wilayah dinyatakan belum berhasil.
Alat yang digunakan dalam menganalisis faktor-faktor keberhasilan adalah
regresi berganda dengan metode estimasi Ordinary Least Square (OLS).
Penentuan faktor-faktor keberhasilan ditentukan berdasarkan tujuan dari
pemekaran itu sendiri. Pemekaran bertujuan untuk meningkatkan kemandirian
daerah, kemandirian ini dapat dilihat melalui besarnya PAD dan Dana
Perimbangan (yang diwakili dengan DAU karena memiliki persentase yang
9
tebesar) dalam total pendapatan daerah. Kemandirian daerah pun dibahas dalam
penelitian Santosa dan Rahayu (2005) yaitu dengan melihat PAD sebagai
indikator kemandirian di Kabupaten Kediri.
Pemekaran juga dianggap sebagai salah satu jalan keluar dari masalah
pembangunan ekonomi yang tidak merata. Indikator pembangunan yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah PDRB per kapita, Indeks Pembagunan
Manusia (IPM), dan angka kemiskinan. PDRB per kapita menunjukkan tingkat
kesejahteraan masyarakat, sementara IPM dan angka kemiskinan merupakan
indikator tingkat kemerataan pembangunan yang dirumuskan oleh BPS.
Daerah yang dianalisis dalam penelitian ini dikhususkan pada DOB
berstatus kota dan kabupaten. Pemekaran provinsi tidak masuk dalam daerah yang
akan dianalisis karena jumlah pemekaran provinsi hanya sedikit, dan tingkatan
provinsi lebih tinggi dari kabupaten dan kota, sehingga tidak bisa dibandingkan.
Tarigan (2010) merumuskan bahwa DOB yang lebih baik dibandingkan daerah
induknya merupakan daerah yang secara administratif adalah kota. Maka dari itu,
jenis pemekaran kabupaten dan kota juga dirumuskan sebagai faktor keberhasilan.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Konsep dan Teori
2.1.1. Konsep Pemekaran Wilayah
Pemekaran wilayah merupakan sebuah pembentukan daerah baru, baik
berbentuk provinsi, kabupaten, ataupun kota. Pembentukan daerah baru ini diatur
dalam Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang pemerintahan daerah.
Pembentukan daerah baru pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, melalui pelayanan yang lebih baik, kehidupan
demokratis yang semakin berkembang, pertumbuhan ekonomi yang semakin
cepat, keamanan dan tatanan yang semakin bagus serta hubungan yang selaras
antar daerah (USAID, 2006). Namun terdapat hal yang perlu diperhatikan dalam
pemekaran wilayah, yaitu mendorong daerah induk dan DOB dapat melaksanakan
otonomi daerah secara maksimal.
Tarigan (2010) menyebutkan bahwa pemekaran bisa dilakukan pada level
provinsi maupun level yang lebih kecil, yaitu kabupaten atau kota. Pada level
provinsi terdapat satu pola pemekaran, yaitu satu provinsi mekar menjadi satu
provinsi baru dan satu provinsi induk. Sementara pada level kabupaten/kota terdiri
dari tiga pola yaitu, pertama, dari satu kabupaten menjadi satu kabupaten baru
(DOB) dan kabupaten induk. Kedua, dari satu kabupaten menjadi satu kota baru
(DOB) dan kabupaten induk. Ketiga, dari satu kabupaten menjadi lebih dari satu
kabupaten baru (DOB) dan kabupaten induk.
Pemekaran wilayah di Indonesia sebenarnya telah dilaksanakan sebelum
tahun 1999, yaitu sebelum disahkannnya Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang
11
pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomor 25/1999 tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Pada masa tersebut, pemekaran
ditentukan oleh pemerintah pusat dan memerlukan tahap persiapan yang lama.
Namun setelah disahkannya undang-undang tersebut, pemerintah daerah yang
dapat mengusulkan pemekaran wilayah adalah daerah yang telah memenuhi
kriteria kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial-budaya, sosial-politik,
jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan
terselenggaranya otonomi daerah. Kriteria tersebut diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 129/2000 yang yang diperinci dalam 19 indikator dan 43 sub
indikator.
Menurut Wagiyo (2009) proses pembentukan daerah didasari pada tiga
syarat, yaitu administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Hal ini juga disebutkan
dalam Undang-Undang Nomor 32/2004 dimana dalam pembentukan daerah baru
(pemekaran wilayah), setiap daerah harus memenuhi tiga syarat, yaitu syarat
administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Syarat administratif untuk provinsi
meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang
akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan
Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Syarat administratif untuk
kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan
Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur
serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Syarat teknis meliputi faktor yang
menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi,
potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah,
12
pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya
otonomi daerah. Syarat fisik meliputi wilayah yang akan dimekarkan (dalam
pembentukan provinsi meliputi minimal lima kabupaten/kota, dalam pembentukan
kabupaten minimal lima kecamatan, dan dalam pembentukan kota minimal empat
kecamatan), lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurkholis dan Nazara (2007),
secara garis besar suatu daerah akan dimekarkan apabila daerah tersebut terletak
di luar Jawa dan Bali, daerah berstatus kabupaten, memiliki rasio pendapatan
daerah sendiri terhadap pengeluaran total yang besar, bukan daerah baru hasil
pemekaran, memiliki PDRB yang berkontribusi dominan terhadap PDRB total
(atas dasar harga berlaku), seluruh kabupaten/kota yang akan dimekarkan berada
dalam satu provinsi, mempunyai jumlah penduduk yang besar, mempunyai
wilayah yang cukup luas, mendapatkan alokasi DAU yang besar, dan memiliki
nilai PDRB yang relatif kecil. Tarigan (2010) juga menyebutkan bahwa ciri khas
dari suatu DOB yang dapat berhasil dalam pemekaran, bahkan lebih baik
dibandingkan daerah induknya yaitu merupakan daerah yang secara administratif
adalah kota, daerah dengan sumberdaya alamnya melimpah, khususnya migas,
untuk menopang sumber keuangan daerahnya, dan memiliki banyak inovasi di
bidang tata pemerintahan yang memungkinkan pelayanan publik jauh lebih baik
dibandingkan sebelumnya. Pada daerah-daerah tersebut akan terlihat sarana
pendidikan, kesehatan, tata ruang, kapasitas fiskal daerah, dan pertumbuhan
ekonomi berkembang dengan baik dan tumbuh lebih cepat, sehingga
kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik.
13
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32/2004, jenis pemekaran daerah
ada tiga, yaitu pemekaran provinsi, kabupaten, dan kota. Provinsi merupakan
wilayah administratif di bawah wilayah nasional. Provinsi dipimpin oleh seorang
Gubernur. Kabupaten dan kota merupakan wilayah administratif yang berada
dibawah provinsi. Kabupeten dipimpin oleh seorang Bupati, sementara kota
dipimpin oleh seorang Walikota. Dahulu sebelum disahkannya Undang-Undang
Nomor 22/1999 kabupaten dikenal dengan nama Daerah Tingkat II Kabupaten,
sementara kota dikenal dengan nama Daerah Tingkat II Kotamadya. Semenjak
disahkannya undang-undang tersebut, kabupaten dan kota menjadi daerah otonom
yang diberi wewenang untuk mengatur sendiri urusan pemerintahannya.
Kabupaten dan kota memiliki beberapa perbedaan, di antaranya:
1. Berdasarkan luas wilayahnya, wilayah kabupaten lebih luas daripada wilayah
kota (dalam satu provinsi). Sehingga banyak wilayah di kabupaten yang masih
tertinggal karena adanya permasalahan rentang kendali yang terlalu luas yang
mengakibatkan pemerataan pembangunan menjadi tidak tercapai.
2. Berdasarkan kependudukan, kepadatan penduduk di kabupaten lebih rendah
daripada kota. Kepadatan penduduk ini akan menjadi permasalahan manakala
pemerintah daerah belum mampu dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan,
pendidikan, kesehatan, dan penanggulangan masalah-masalah sosial. Berbagai
permasalahan yang mungkin timbul adalah pengangguran, angka putus sekolah
yang tinggi, tingkat kesehatan masyarakat yang buruk, tidak tersedianya
fasilitas seperti sekolah, pasar, rumah sakit, jalan aspal, air bersih, dan listrik,
serta meningkatnya tingkat kriminalitas. Namun kepadatan penduduk yang
14
tinggi apabila diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja yang memadai,
maka tidak akan lagi menjadi suatu permasalahan, bahkan dapat meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan penduduk.
3. Berdasarkan mata pencaharian penduduk, penduduk kabupaten umumnya
bergerak di bidang pertanian atau bersifat agraris, sementara penduduk
perkotaan lebih banyak bergerak di bidang perdagangan dan jasa. Sehingga
sesuai pasal 7 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 38/2007, dalam hal
pembuatan kebijakan pembangunan daerah harus disesuaikan dengan kondisi
dan potensi unggulan daerah, sehingga akan terdapat perbedaan prioritas
kebijakan antara kabupaten dan kota.
4. Berdasarkan struktur pemerintahan, di wilayah kota hanya dibentuk wilayah
kecamatan dan kelurahan. Sementara di wilayah kabupaten selain dibentuk
wilayah kecamatan dan kelurahan, terdapat pula wilayah desa. Kecamatan dan
kelurahan merupakan bagian dari pemerintah daerah kabupaten dan kota, yang
menyatu dalam hal pembuatan kebijakan dan anggaran dengan pemerintah
daerah, sementara desa merupakan daerah otonom tersendiri di wilayah daerah
kabupaten. Berdasarkan Permendagri Nomor 37/2007, wilayah desa memiliki
sumber pendapatan sendiri dan juga sumber pendapatan yang dialokasikan dari
APBD kabupaten.
5. Berdasarkan aspek sosial budaya, penduduk kota memiliki tingkat pendidikan
dan kesehatan yang lebih baik daripada kabupaten. Fasilitas pelayanan publik
juga lebih mudah dijangkau oleh masyarkat di kota dibandingka masyarakat di
kabupaten.
15
298 341 341 353 391440 440 440 440 465 495 497
26 28 31 31 32 32 33 33 33 33 33 33
0100200300400500600
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Tahun
Jumlah Pemekaran
Kabupaten dan Kota Provinsi
6. Berdasarkan aspek perekonomian, rata-rata PDRB di kabupaten lebih rendah
daripada PDRB kota.
Jika dilihat berdasarkan jumlah pemekaran, pemekaran provinsi jumlahnya
lebih sedikit dibandingkan pemekaran kabupaten dan kota (gambar 2.1). Sejak
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22/1999, provinsi haya bertambah
tujuh provinsi baru, sementara kabupaten dan kota bertambah 205 kabupaten/kota.
Tingkatan provinsi dalam pemerintahan pun berbeda dengan kabupaten/kota,
sehingga hanya pemekaran kabupaten dan kota saja yang akan dianalisis dalam
penelitian kali ini.
Sumber : Ditjen Otonomi Daerah KEMDAGRI, 2009 (diolah)
Gambar 2.1. Jumlah Pemekaran Provinsi, Kabupaten, dan Kota
2.1.2. Teori Pembangunan Ekonomi
Pemekaran wilayah merupakan salah satu jalan keluar dari permasalahan
pembangunan ekonomi yang tidak merata. Permasalahan ini timbul karena adanya
masalah rentang kendali yang terlalu luas dalam pemerintahan. Rentang kendali
yang terlalu luas mengakibatkan letak pusat pemerintahan sulit dijangkau oleh
16
seluruh masyarakat, baik itu karena jarak yang jauh maupun karena sarana
transportasi yang kurang memadai. Sehingga dampak akhirnya adalah
pembagunan pelayanan publik, seperti sekolah dan puskesmas menjadi tidak
merata, serta adanya ketimpangan penduduk akibat tingginya jumlah penduduk
miskin di wilayah tertentu saja.
Tambunan (2003) menyebutkan terdapat beberapa indikator yang dapat
digunakan untuk menganalisis pemerataan pembangunan ekonomi, yaitu PDRB
per kabupaten, distribusi PDRB kabupaten dalam pembentukan PDRB provinsi,
PDRB per kapita, kontribusi sektoral terhadap pembentukan PDRB, dan tingkat
kemiskinan. PDRB merupakan jumlah nilai tambah (value added) yang dihasilkan
oleh seluruh unit usaha atau jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan
oleh seluruh unit kegiatan ekonomi dalam suatu daerah (BPS, 2008). Terdapat dua
cara perhitungan PDRB, yaitu atas dasar harga berlaku (at current price) dan atas
dasar harga konstan (at constant price). PDRB atas dasar harga berlaku digunakan
untuk melihat perubahan struktur ekonomi, sedangkan PDRB atas dasar harga
konstan digunakan untuk melihat pertumbuhan ekonomi riil (Tambunan, 2003).
Pertumbuhan PDRB yang positif menunjukkan adanya penciptaan lapangan kerja
yang semakin banyak.
Distribusi PDRB provinsi menurut wilayah kabupaten/kota merupakan
indikator untuk menentukan derajat penyebaran hasil pembangunan. PDRB yang
relatif sama di setiap kabupaten/kota menunjukkan bahwa distribusi PDRB
provinsi relatif merata di setiap kabupaten/kota. Hal ini menunjukkan bahwa
kesenjangan yang terjadi di setiap kabupaten/kota di Indonesia semakin kecil.
17
Namun untuk menilai suatu pembangunan sudah berjalan baik atau belum tidak
cukup dengan melihat dari kesenjangan ekonomi yang terjadi, tetapi juga melihat
tingkat kesejahteraan masyarakatnya.
Penentuan keberhasilan pembangunan ekonomi selain dilihat dari
distribusi PDRB menurut wilayah, juga dapat dilihat dari besarnya PDRB per
kapita. PDRB per kapita merupakan pembagian antara PDRB dengan jumlah
penduduk pertengahan tahun yang tinggal disuatu wilayah. PDRB per kapita
menggambarkan pengeluaran konsumsi rumah tangga rata-rata per kapita. PDRB
per kapita yang semakin tinggi menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat
yang semakin tinggi pula, sejauh tingkat pemerataannya cukup merata. Tingkat
pemerataan ini dapat dilihat berdasarkan kurva Lorenz, indeks Gini, dan kriteria
Bank Dunia.
Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di
kalangan lapisan-lapisan penduduk, secara kumulatif pula (Dumairy, 1996).
Kemerataan dalam kurva Lorenz digambarkan dengan bentuk kurva yang semakin
dekat dengan diagonal atau semakin lurus (gambar 2.2). Indeks Gini merupakan
suatu koefisien yang angkanya berkisar dari nol hingga satu. Semakin kecil nilai
indeks Gini maka semakin merata tingkat pendistribusiannya. Kriteria
ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional
yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yaitu 40 persen dinikmati oleh
penduduk berpendapatan terendah, 40 persen dinikmati oleh penduduk
berpendapatan menengah, 20 persen dinikmati oleh penduduk berpendapatan
tertinggi.
18
Gambar 2.2. Kurva Lorenz
Perbedaan tingkat pembangunan antarwilayah kabupaten/kota juga dapat
dilihat dari perbedaan peranan sektoral dalam pembentukan PDRB. Sektor-sektor
ekonomi dapat dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu sektor primer, sektor
sekunder, dan sektor tersier. Sektor primer terdiri atas sektor pertanian dan
pertambangan (termasuk penggalian). Sektor sekunder terdiri atas sektor industri
manufaktur; listrik, gas dan air bersih; serta konstruksi dan bangunan. Sektor
tersier terdiri atas sektor perdagangan, hotel, dan restoran; transportasi dan
komunikasi; keuangan, penyewaan dan jasa bisnis; serta sektor jasa lainnya.
Sektor sekunder merupakan sektor yang memiliki nilai tambah terbesar,
sementara sektor primer memiliki nilai tambah terkecil.
Persentase penduduk miskin juga baik jika digunakan sebagai alat untuk
mengukur ketimpangan ekonomi antar daerah. Persentase penduduk miskin
menunjukkan seberapa besar proporsi penduduk miskin terhadap total penduduk
Persentase Jumlah Penduduk
0
80
20
40
60
100
80 20 40 60 100
19
di suatu wilayah. Tingkat kemiskinan yang tinggi bisa disebabkan kepadatan
penduduk yang tinggi dan juga tingkat pembangunan yang rendah. Jika suatu
daerah memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi maka lahan yang
digunakan untuk melakukan kegiatan ekonomi akan semakin berkurang artinya
kesempatan kerja semakin kecil. Hal ini mengakibatkan semakin besar jumlah
penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
Badan Pusat Statistik (BPS) telah merumuskan beberapa indikator yang
dapat digunakan untuk melihat tingkat kemerataan dari pembangunan, yaitu
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Angka Kemiskinan. Melalui dua
indikator ini, penentuan keberhasilan pemerataan pembangunan menjadi semakin
mudah. Jika nilai IPM semakin tinggi maka tingkat pembangunan manusia (yang
dilihat dari empat indikator, yaitu Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Melek
Huruf (AMF), Rata-Rata Lama Sekolah (RLS), dan pengeluaran riil per kapita)
menjadi semakin baik. Jika tingkat kemiskinan semakin rendah, maka tingkat
pembangunan semakin merata dan semakin banyak penduduk yang sejahtera
(berada diatas garis kemiskinan).
2.1.2.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
United Nations Development Programme (UNDP) mendefenisikan
pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan
bagi penduduk. Dalam konsep tersebut penduduk merupakan tujuan akhir (the
ultimated end) sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana
(principal means) untuk mencapai tujuan itu. Terdapat empat hal pokok yang
perlu diperhatikan untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan manusia,
20
yaitu produktivitas, pemerataan, kesinambungan, dan pemberdayaan (UNDP,
1995). Secara ringkas empat hal pokok tersebut mengandung prinsip-prinsip
sebagai berikut:
1. Produktivitas
Penduduk harus mampu meningkatkan produktivitas sehingga mampu
berpartisipasi penuh dalam proses penciptaan pendapatan dan nafkah.
Pembangunan ekonomi merupakan bagian dari model pembangunan manusia.
2. Pemerataan
Penduduk harus memiliki kesempatan atau peluang yang sama untuk
mendapatkan akses terhadap semua sumber daya ekonomi dan sosial. Semua
hambatan yang dapat memperkecil kesempatan untuk memperoleh akses tersebut
harus dihilangkan, sehingga mereka dapat mengambil menfaat dari kesempatan
yang ada dan berpartisipasi dalam kegiatan produktif yang dapat meningkatkan
kualitas hidup.
3. Kesinambungan
Akses terhadap sumber daya ekonomi dan sosial harus dipastikan dapat
dinikmati pula oleh generasi yang akan datang. Sehingga semua sumber daya
fisik, manusia, dan lingkungan harus selalu diperbaharui.
4. Pemberdayaan
Penduduk harus dapat berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan
dan proses yang akan menentukan kehidupan mereka, serta dapat mengambil
manfaat dari proses pembangunan.
21
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang digagas oleh UNDP bertujuan
untuk menghitung kemampuan dasar dari setiap penduduk. Kemampuan dasar itu
adalah umur panjang, pengetahuan dan daya beli. Umur panjang diidentifikasi
dengan menghitung umur harapan hidup saat lahir atau sering disebut Angka
Harapan Hidup (AHH). Pengetahuan meliputi kemampuan baca dan tulis yang
diidentifikasi dengan menghitung Angka Melek Huruf (AMF) dan Rata-Rata
Lama Sekolah (RLS). Daya beli merupakan kemampuan mengakses sumberdaya
yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup yang layak diidentifikasi dengan
menghitung pengeluaran riil per kapita.
Nilai IPM suatu negara atau wilayah menunjukkan seberapa jauh negara
atau wilayah itu telah mencapai sasaran yang ditentukan yaitu angka harapan
hidup 85 tahun, pendidikan dasar bagi semua lapisan masyarakat (tanpa kecuali),
dan tingkat pengeluaran dan konsumsi yang telah mencapai standar hidup yang
layak. Semakin dekat nilai IPM suatu wilayah terhadap angka 100, semakin dekat
jalan yang harus ditempuh untuk mencapai sasaran itu.
2.1.2.2. Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu masalah besar dalam upaya
pembangunan perekonomian Negara Sedang Berkembang (NSB). Damanhuri
(2010) menyebutkan bahwa salah satu teori yang berkaitan dengan kemiskinan
adalah teori lingkar setan kemiskinan (the vicious cyrcle of poverty) yang
dikemukakan oleh Gunnar Myrdal, seorang guru besar di Universitas Stockholm
sebelum Perang Dunia ke-II. Lingkar setan kemiskinan merupakan serangkaian
kekuatan yang saling memengaruhi satu sama lain, sehingga sangat sulit bagi
22
Negara Miskin
Pendapatan Rendah
Kualitas Gizi
Rendah
Kualitas Kesehatan Penduduk Rendah
Produktivitas Penduduk Rendah
Pendapatan Penduduk Rendah
NSB untuk terbebas dari masalah kemiskinan. Menurut G. Myrdal, kemiskinan
bukan disebabkan karena tidak tersediaannya modal, melainkan karena tidak
tercukupinya basic needs seperti kurangnya gizi, pendidikan, dan lain sebagainya.
Menurut G. Myrdal dalam Damanhuri (2010), keadaan miskin diawali dari
pendapatan penduduk yang rendah sehingga mengakibatkan rendahnya kualitas
gizi mereka. Rendahnya kualitas gizi penduduk membuat rendahnya kesehatan
penduduk dan menyebabkan produktivitas penduduk menjadi rendah. Karena
produktivitas penduduk rendah, maka pendapatan penduduk akan tetap rendah
sehingga nantinya dapat menyebabkan negara miskin.
Sumber : Damanhuri 2010 Gambar 2.3. Teori Lingkar Setan Kemiskinan G. Myrdal
Berdasarkan Gambar 2.3, jumlah penduduk miskin di suatu
kabupaten/kota menentukan tingkat produktivitas dari para pekerjanya. Jika
produktivitas menurun, maka perekonomian di kabupaten/kota akan berjalan
lambat. Jumlah PAD menjadi berkurang sehingga daerah tidak mampu membiayai
pengeluaran daerahnya, dengan kata lain desentralisasi fiskal tidak akan berjalan
23
dengan baik. Hal ini membuat pelaksanaan otonomi daerah menjadi terganggu
dan pemekaran wilayah dapat menjadi gagal.
Pengukuran kemiskinan yang digunakan oleh BPS menggunakan konsep
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Melalui
pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan (dari sisi
ekonomi) untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang
diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Headcount
Index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk.
Garis Kemiskinan digunakan sebagai suatu batas untuk menentukan
miskin atau tidaknya seseorang. BPS (2010) mendefinisikan penduduk miskin
sebagai penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di
bawah Garis Kemiskinan. Garis Kemiskinan terdiri dari dua komponen, yaitu
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan
(GKBM). Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran
kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkalori per kapita
per hari. Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum
untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.
2.1.3. Desentralisasi Fiskal
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32/2004, desentralisasi merupakan
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya masing-masing. Secara
umum desentralisasi terbagi atas empat bidang, yaitu desentralisasi di bidang
politik, desentralisasi di bidang administrasi, desentralisasi di bidang fiskal dan
24
desentralisasi di bidang ekonomi. Desentralisasi fiskal merupakan desentralisasi
di bidang keuangan yang diwujudkan dengan pembagian wewenang untuk
mengurus keuangan daerah (anggaran daerah) dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Sinaga dan Siregar (2005) mengartikan desentralisasi fiskal
sebagai pendelegasian kewenangan dan tanggung jawab fiskal dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah.
Mardiasmo (2009) menyebutkan bahwa tujuan desentralisasi fiskal adalah
untuk (1) mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah serta antar daerah; (2) meningkatkan kualitas pelayanan publik, sehingga
tidak terjadi kesenjangan pelayanan pubik antar daerah; (3) meningkatkan
efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional; dan (4) mendukung kesinambungan
fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Sebagai konsekuaensi dari adanya
desentralisasi fiskal, maka daerah memerlukan sumber pembiayaan yang cukup
untuk membiayai keperluan penyelenggaraan pemerintahannya. Sumber
pembiayaan tersebut dapat berasal dari pendapatan asli daerah (PAD), Dana
Perimbangan dari pemerintah pusat, ataupun pendapatan lainnya.
2.1.3.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Sesuai Undang-Undang Nomor 33/2004, PAD adalah pendapatan yang
diperoleh daerah, yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. PAD merupakan sumber pembiayaan yang
berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, keuntungan bersih perusahaan daerah,
dan sumber PAD lainnya yang sah. Sumber PAD lain-lain yang sah terdiri atas:
(1) hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; (2) jasa giro; (3)
25
pendapatan bunga; (4) keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing; dan (5) komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan
dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.
Sesuai tujuan awal pelaksanaan otonomi daerah, yaitu untuk
meningkatkan kemandirian daerah, maka PAD diharapkan dapat menjadi sumber
pendapatan utama dari suatu wilayah. Untuk itu, pemerintah daerah diberikan
kewenangan untuk meningkatan PAD setiap daerah yang dipimpinnya.
Kewenangan tersebut berupa kebebasan pemungutan pajak/retribusi, sistem
transfer, dan pemberian kewenangan untuk melakukan pinjaman (Sinaga dan
Siregar, 2005). Namun, dalam upaya peningkatan PAD tersebut, setiap daerah
dilarang untuk: (1) menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang dapat
menyebabkan biaya ekonomi menjadi tinggi; dan (2) menetapkan peraturan
daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas
barang dan jasa antar daerah, dan kegiatan impor/ekspor.
2.1.3.2. Dana Perimbangan
Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah ditunjukkan
dengan adanya Dana Perimbangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 33/2004, Dana Perimbangan
adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada
daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Dana Perimbangan ini bertujuan untuk mengurangi
ketidakmampuan daerah dalam membiayai kebutuhan pengeluarannya. Dana
Perimbangan ini terdiri atas Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus
26
(DAK), serta Dana Bagi Hasil (DBH) yang berasal dari pajak dan sumber daya
alam.
1. Dana Alokasi Umum (DAU)
Sesuai Undang-Undang Nomor 33/2004, DAU merupakan dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan untuk pemerataan
kemampuan keuangan daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi. Sesuai dengan laporan desentralisasi yang ditulis oleh
Percik (2007), DAU adalah hibah (block grant) dan merupakan sumber utama
anggaran pemerintah daerah, di mana jumlahnya sekitar 80 persen dari total
pendapatan kabupaten/kota dan sekitar 30 persen untuk tingkat provinsi.
DAU dialokasikan untuk setiap daerah berdasarkan celah fiskal dan
alokasi dasar masing-masing daerah (persamaan 2.1). Celah fiskal merupakan
selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal daerah. Sementara alokasi
dasar dihitung berdasarkan banyaknya jumlah PNS di suatu daerah.
DAU = Alokasi Dasar (AD) + Celah Fiskal (CF) .................................. (2.1)
Keterangan:
AD = Gaji PNS daerah
CF = Kebutuhan fiskal – kapasitas fiskal
Besarnya jumlah celah fiskal akan memengaruhi jumlah alokasi DAU
yang diperoleh suatu daerah. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan
nol menerima DAU sebesar alokasi dasar. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal
negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar, maka DAU yang
diterima sebesar alokasi dasar setelah dikurangi nilai celah fiskal. Sedangkan
27
daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama atau
lebih besar dari alokasi dasar tidak menerima DAU. Secara singkatnya, semakin
besar pendapatan yang dihasilkan suatu daerah untuk membiayai pengeluarannya
maka akan semakin kecil DAU yang diterima oleh daerah tersebut.
Daerah yang telah mampu membiayai pengeluaran daerahnya berarti
daerah tersebut merupakan daerah yang mandiri. Hal ini sesuai tujuan dari
pemekaran daerah yang ditulis dalam PP No. 78 tahun 2007, yaitu untuk
meningkatkan kemandirian daerah. Daerah yang mendapatkan alokasi DAU yang
terus menurun setiap tahunnya menunjukkan bahwa daerah tersebut telah berhasil
meningkatkan kemandirian serta pelaksanaan pemekarannya telah sesuai dengan
tujuan awal dari otonomi daerah.
2. Dana Alokasi Khusus (DAK)
DAK merupakan dana alokasi penyeimbang untuk membiayai kegiatan
yang berhubungan dengan prioritas nasional atau kebutuhan khusus yang tidak
bisa dimasukkan ke dalam DAU. Menurut Rosidin (2010) kebutuhan khusus
tersebut terdiri atas: (1) kebutuhan yang tidak bisa diperkirakan dengan
menggunakan rumus alokasi umum; dan (2) kebutuhan yang merupakan
komitmen yang berasal dari prioritas nasional.
Pembagian DAK diprioritaskan bagi pemerintah-pemerintah daerah yang
mempunyai kapasitas keuangan lebih rendah dari rata-rata. Berdasarkan penelitian
PSKN FH UNPAD (2009), DAK berbeda dengan Dana Perimbangan lainnya.
DAK tidak ditentukan berdasarkan presentase tertentu, melainkan sudah
ditetapkan setiap tahun dalam APBN. Dalam Undang-Undang Nomor 33/2004
28
disebutkan bahwa kebutuhan khusus mencakup pelayanan dasar bagi masyarakat.
Selain itu, perbedaan DAK dan Dana Perimbangan lainnya terletak pada
penggunaannya, dimana tujuan penggunaan DAK sudah ditentukan misalnya
untuk dana reboisasi.
3. Dana Bagi Hasil (DBH)
Komponen DBH menurut Undang-Undang Nomor 33/2004 terdiri atas
pembagian beberapa jenis pajak yang berasal dari pusat dan hasil pengelolaan
sumber daya alam. Pajak pusat yang menjadi sumber DBH adalah dari pajak bumi
dan bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB),
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 mengenai Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. Penerimaan sumber daya alam yang
menjadi sumber DBH berasal dari enam bidang sumber daya alam yaitu:
kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi,
pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi (PSKN FH UNPAD,
2009). DBH umumnya digunakan oleh daerah untuk membangun infrastruktur
dan fasilitas umum di daerah.
2.2. Tinjauan Empiris
Evaluasi efektivitas pelaksanaan pemekaran wilayah yang telah
berlangsung semenjak disahkannya Undang-Undang Nomor 22/1999 telah
dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri (KEMDAGRI). Pelaksanaan
evaluasi ini dimulai pada tahun 2010 dan perhitungannya selesai pada bulan April
2011. Evaluasi ini dilakukan terhadap DOB yang telah mekar lebih dari tiga
tahun, sehingga terdapat 205 daerah yang dievaluasi. Terdapat empat hal yang
29
akan dilihat dari evaluasi ini, yaitu kesejahteraan masyarakat, good governance,
pelayanan publik, dan daya saing. Evaluasi ini dilakukan dengan menyebarkan
kuesioner kepada setiap daerah yang akan dievaluasi kemudian perhitungannya
dilakukan dengan metode indeksasi. Dari hasil perhitungan didapatkan peringkat
urutan DOB kabupaten dan kota. Perbedaan evaluasi yang dilakukan oleh
KEMDAGRI dan penelitian ini terletak pada usia DOB yang dianalisis. Pada
penelitian ini usia DOB yang di analisis adalah lima tahun, sehingga jumlah DOB
yang dianalisis lebih sedikit. Metode evaluasi yang dilakukan juga berbeda,
KEMDAGRI melakukan evaluasi menggunakan data primer dan sekunder
mengenai kesejahteraan masyarakat, good governance, pelayanan publik, dan
daya saing, sementara penelitian ini menggunakan data sekunder untuk
menganalisis kinerja ekonomi DOB.
Penelitian yang dilakukan oleh BAPPENAS (2008) bekerja sama dengan
UNDP berjudul Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Wilayah tahun 2001-2007
merupakan acuan utama dalam penelitian ini. Metode evaluasi yang digunakan
adalah analisis kualitatif dan kuantitatif untuk mengevaluasi kinerja dan kondisi
DOB. Terdapat empat hal yang dievaluasi, yaitu kinerja ekonomi, keuangan
pemerintah, pelayanan publik, dan aparat pemerintah. Hasil evaluasi yang
didapatkan adalah setelah lima tahun pemekaran DOB yang menjadi sampel
memiliki kondisi yang tidak lebih baik dari daerah induknya. Hal ini digambarkan
dengan kondisi DOB yang tetap berada di bawah daerah induk. Dari keempat hal
yang dievaluasi oleh BAPPENAS dan UNDP, hanya kinerja ekonomi yang akan
digunakan sebagai dasar dalam penentuan keberhasilan pemekaran dalam
30
penelitian ini. Pemilihan kinerja ekonomi didasarkan atas ketersediaan data untuk
seluruh kabupaten/kota yang telah memekarkan diri.
Santosa dan Rahayu (2005) menganalisis mengenai PAD dan faktor-faktor
yang memengaruhinya dalam upaya pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten
Kediri. Dalam penelitian ini, PAD menjadi indikator untuk menganalisis
kemandirian daerah. Penelitian dilakukan menggunakan alat analisis regresi
berganda dengan data time series dari tahun 1989 hingga tahun 2002. Dari
penelitian ini didapatkan hasil faktor-faktor yang memengaruhi PAD adalah
pengeluaran pembagunan, jumlah penduduk, dan PDRB. Perbedaan penelitian
Santosa dan Rahayu dengan penelitian ini yaitu Santosa dan Rahayu
menggunakan PAD sebagai variabel dependen, sebab PAD menggambarkan
kemandirian daerah, sementara dalam penelitian ini PAD digunakan sebagai
variabel independen, sehingga dapat dilihat bagaimana pengaruh kemandirian
daerah terhadap keberhasilan pemekaran.
Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini sama dengan penelitian
Santosa dan Rahayu (2005) yaitu regresi berganda. Namun terdapat perbedaan
data yang digunakan, yaitu bukan menggunakan data time series, melainkan data
cross section, sebab terdapat perbedaan tahun pemekaran dari setiap
kabupaten/kota yang mekar sehingga akan sulit apabila menggunakan data time
series. Selain itu, sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yaitu untuk melihat
bagaimana kinerja daerah-daerah yang telah memekarkan diri lebih dari lima
tahun, sehingga dengan merata-ratakan data maka akan terlihat mana saja daerah
yang telah berhasil dalam lima tahun pertama pelaksanakan desentralisasi. Namun
31
untuk beberapa variabel independen tidak digunakan data rata-rata selama lima
tahun awal pemekaran, melainkan menggunakan data pada tahun ke lima.
Variabel-variabel tersebut adalah PAD, DAU, dan IPM. Hal ini disebabkan
adanya keterbatasan data dari beberapa kabupaten.
2.3. Kerangka Pemikiran
Pemekaran wilayah sudah berlangsung semenjak disahkannya Undang-
Undang Nomor 22/1999 dan Undang-Undang Nomor. 25/1999. Semenjak saat itu
pula telah terjadi banyak pemekaran baik itu pemekaran provinsi, kabupaten,
maupun kota. Namun ternyata banyak pemekaran yang dinyatakan kurang
berhasil terutama pada pemekaran kabupaten dan kota. Sehingga penelitian ini
dilakukan untuk membuktikan keberhasilan pemekaran kabupaten/kota
berdasarkan kinerja perekonomian yang dilakukan dengan metode indeksasi.
Pemekaran wilayah yang terjadi umumnya bertujuan untuk meningkatkan
kemandirian daerah dan mengatasi masalah rentang kendali yang menyebabkan
adanya ketidakmerataan pelayanan publik. Sehingga diharapkan setelah
dilakukannya pemekaran, kondisi DOB dapat lebih baik dibandingkan dengan
kondisi DOB apabila masih bergabung dengan daerah induknya. Namun untuk
membandingkan dengan kondisi DOB apabila masih bergabung dengan daerah
induk sulit untuk dilakukan sebab datanya tidak tersedia. Sehingga penentuan
keberhasilan dilakukan dengan membandingkan kondisi DOB dan daerah induk
pada tahun yang sama, dengan asumsi DOB akan berhasil dalam pemekarannya
(dari sisi ekonomi) jika kondisi perekonomiannya lebih baik dari daerah
induknya.
32
Kondisi DOB dan daerah induk dilihat melalui nilai IKE masing-masing
daerah, sehingga didapatkan IKE daerah induk dan IKE DOB. DOB yang berhasil
dalam lima tahun awal pemekarannya adalah DOB yang memiliki nilai IKE yang
lebih besar dibandingkan IKE daerah induknya. Setelah diketahui apakah suatu
daerah berhasil atau tidak dan didapatkan nilai selisih IKE DOB dan daerah induk
(sebagai variabel dependen), maka dapat dilihat faktor apa saja yang
memengaruhi keberhasilan menggunakan metode analisis regresi berganda.
Secara sistematis kerangka pemikiran dapat dijelaskan dalam Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran
Keterangan:
: Metode yang digunakan
: Alur analisis
33
2.4. Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan kerangka pemikiran,
maka hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. PDRB per kapita memiliki pengaruh yang positif terhadap keberhasilan
pemekaran wilayah, sebab PDRB per kapita menunjukkan tingkat
kesejahteraan suatu masyarakat, sejauh tingkat kemerataannya cukup merata.
Peningkatan kesejahteraan masyarakat ini merupakan salah satu tujuan dari
pemekaran.
2. PAD memiliki pengaruh yang positif terhadap keberhasilan pemekaran
wilayah, sebab PAD menunjukkan kemandirian daerah. Semakin tinggi
persentase PAD terhadap pemasukan daerah maka wilayah tersebut semakin
mandiri. Hal ini merupakan tujuan dari otonomi daerah.
3. DAU memiliki hubungan yang negatif terhadap keberhasilan pemekaran
wilayah sebab DAU menunjukkan mampu tidaknya sebuah daerah membiayai
pengeluaran daerahnya. Daerah yang semakin mampu membiayai
pengeluarannya, maka daerah tersebut akan mendapatkan DAU yang semakin
kecil. Hal ini berarti daerah tersebut telah berhasil dalam pelaksanaan
pemekaran wilayahnya.
4. IPM memiliki pengaruh yang positif terhadap keberhasilan pemekaran
wilayah. semakin tinggi nilai IPM, maka akan semakin tinggi kemampuan
dasar dari setiap penduduk. Selanjutnya peningkatan ini akan berdampak pada
meningkatnya produktivitas dari masyarakat, kemudian berlanjut pada
pembangunan yang semakin baik, dan daerah dapat semakin berkembang.
34
5. Angka kemiskinan memiliki hubungan yang negatif dengan keberhasilan
pemekaran wlayah, sebab semakin besar jumlah penduduk miskin berarti
semakin banyak jumlah penduduk yang tidak produktif, sehingga
ketergantungan DOB terhadap pemerintah pusat akan bertambah.
6. DOB yang berbentuk kota akan lebih berhasil dibandingkan DOB yang
berbentuk kabupaten. Hal ini sesuai dengan karakteristik kota yang secara
umum lebih baik dibandingkan kabupaten.
III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan terhadap semua kabupaten/kota di Indonesia yang
merupakan daerah hasil pemekaran semenjak dikeluarkannya Undang-Undang
No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999. Daerah yang
dianalisis adalah daerah yang mekar pada tahun 1999 hingga tahun 2003, sebab
telah melaksanankan otonomi daerah lebih dari lima tahun. Pemilihan waktu lima
tahun ini didasari atas terlaksananya Rencana Pembagunan Jangka Menengah
(RJPM) pada awal pemerintahan DOB, sehingga dapat dilakukan analisis
terhadap keberhasilan pelaksanakan pemekaran. Selain itu, data yang dibutuhkan
dari setiap daerah yang dianalisis sudah tersedia. Penilaian keberhasilan dilihat
melalui selisih kinerja perekonomian setiap DOB dengan daerah induknya.
Pengumpulan data dilakukan pada awal Maret hingga pertengahan April 2011.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder. Penentuan
daerah yang dianalisis berdasarkan data yang diperoleh dari Ditjen Otonomi
Daerah KEMDAGRI. Data-data lain yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
data PDRB, PDRB per kapita, rasio PDRB kabupaten atau kota terhadap PDRB
propinsi, IPM, dan angka kemiskinan. Seluruh data PDRB yang digunakan
menggunakan dasar harga berlaku dengan tujuan untuk menghindari perbedaan
harga dasar dan data berdasarkan harga berlaku tersedia untuk seluruh variabel.
36
Data-data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Selain itu
digunakan pula data APBD yang didapatkan dari DJPK Kementrian Keuangan.
3.3. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif, metode indeksasi,
dan model analisis regresi berganda. Teknik analisis deskriptif untuk memberikan
gambaran awal mengenai DOB. Metode indeksasi digunakan dalam penentuan
keberhasilan pemekaran dengan bantuan program Ms. Excel. Penentuan faktor-
faktor penentu keberhasilan digunakan model analisis regresi berganda dengan
metode Ordinary Least Square (OLS) menggunakan program Eviews 6.
3.3.1. Analisis Deskriptif
Analisis ini bertujuan untuk memberikan gambaran awal mengenai
keberhasilan pemekaran, IKE, PDRB per kapita, PAD, Dana Perimbangan, IPM,
dan angka kemiskinan di setiap DOB yang dianalisis. Selain itu dilihat pula
pengaruh perbedaan jenis pemekaran kabupaten dan kota, dengan
membandingkan besarnya nilai variabel-variabel yang dianalisis dikedua jenis
pemekaran tersebut. Selain itu, pada beberapa variabel dilihat perbedaan dari
kabupaten dan kota yang memiliki urutan IKE tertinggi dan terendah, sehingga
dapat dilihat apakah terdapat perbedaan yang signifikan terhadap daerah-daerah
tersebut.
3.3.2. Metode Indeksasi
Metode indeksasi selain dilakukan oleh KEMDAGRI (2011) dalam
evaluasi DOB hasil pemekaran dan BAPPENAS (2008) dalam evaluasi dampak
37
................................ (3.2)
......................................... (3.1)
pemekaran wilayah, juga digunakan oleh BPS dalam menentukan nilai IPM.
Adanya variabel yang kompleks dan kondisi yang berbeda antardaerah
mengharuskan dilakukan standarisasi data. Dilakukannya standarisasi data
membuat data yang dihasilkan berada dalam range nol sampai satu, sehingga saat
membandingkan antara daerah induk dengan DOB menjadi semakin mudah.
Keuntungan dari digunakannya metode ini yaitu cukup mudah untuk dilakukan
dan tidak membutuhkan peralatan dan keahlian khusus, sebab hanya
menggunakan operasi matematika sederhana. Metode perhitungan yang
digunakan untuk menstandarisasi data adalah:
′
Dimana:
′ = Nilai Kabupaten ke-i untuk variabel ke-j, yang terstandardisasi
= Nilai data asal kabupaten ke-i untuk variabel ke-j
= nilai minimum variabel ke-j
= nilai maksimum variabel ke-j
Dari hasil standardisasi data tersebut kemudian dihitung rata-rata pada
masing-masing kelompok variabel. Untuk mendapatkan hasil Indeks Kinerja
Ekonomi (IKE) di setiap daerah yang terdiri atas beberapa variabel, maka seluruh
variabel akan dirata-ratakan dengan mengunakan rumus:
Index ,
38
.......................................... (3.3)
................. (3.4)
Dimana:
Indeks = indeks yang akan dihitung untuk daerah ke-i
, = indeks variabel ke-n untuk daerah ke-i
= jumlah variabel
Dalam penyusunan indeks kinerja ekonomi perlu diperhatikan konsistensi
dari setiap variabel yang digunakan, artinya setiap variabel yang digunakan adalah
searah. Sehingga apabila terdapat variabel yang berbeda arahnya perlu dilakukan
penyesuaian dengan reverse index, yaitu dengan menggunakan rumus:
100
Dimana:
, = riverse index variabel untuk daerah ke-i
Variabel yang akan digunakan untuk menghitung IKE adalah PDRB
berdasarkan harga berlaku, PDRB per Kapita, rasio PDRB kabupaten terhadap
PDRB provinsi, dan persentase kemiskinan. Semua variabel kecuali persentase
kemiskinan memiliki pengaruh yang positif terhadap IKE, sehingga nilai IKE
dapat diperoleh dengan rumus:
IKE 4
Dimana:
IKE = indeks kinerja ekonomi untuk daerah i
= indeks variabel PDRB berdasarkan harga berlaku untuk daerah ke-i
= indeks variabel PDRB per Kapita bardasarkan harga berlaku untuk
daerah ke-i
39
= indeks variabel Rasio PDRB kabupaten/kota terhadap PDRB
propinsi untuk daerah ke-i
= rivers indeks variabel persentase kemiskinan untuk daerah ke-i
Berdasarkan hasil perhitungan IKE terhadap daerah induk dan DOB, maka
dapat dilihat tingkat keberhasilan dari pemekaran wilayah. Keberhasilan ini
didapatkan dengan menghitung selisih antara IKE DOB dengan IKE daerah
induk. Jika selisihnya adalah positif, maka DOB telah berhasil dalam pemekaran,
namun jika selisihnya adalah negatif, maka DOB belum berhasil dalam
pemekaran.
3.3.2. Analisis Regresi Berganda
Model persamaan regresi berganda mengenai faktor-faktor yang
memengaruhi pemekaran wilayah dirumuskan dari berbagai literatur mengenai
pemekaran wilayah. Metode pendugaan yang digunakan dalam analisis ini adalah
Ordinary Least Square (OLS). Pemilihan metode analisis ini didasari kemudahan
dalam penggunaannya dan model yang dihasilkan cukup menjawab tujuan yang
ingin dicapai (Juanda, 2009). Variabel yang digunakan dalam analisis ini adalah
Indeks Kinerja Ekonomi (IKE) sebagai variabel dependen dan yang menjadi
variabel independennya adalah PDRB per kapita, PAD, DAU, IPM, angka
kemiskinan, dan dummy jenis pemekaran kabupaten atau kota. Secara umum
persamaan regresi berganda dapat dirumuskan sebagai berikut:
....... (3.5)
Dimana :
= Selisih Indeks Kinerja Ekonomi DOB dengan daerah induk
40
= PDRB per kapita (juta rupiah)
= Pendapatan asli daerah (juta rupiah)
DAU = Dana Alokasi Umum (juta rupiah)
IPM = Indeks Pembangunan Manusia
= Jumlah penduduk penduduk miskin (jiwa)
= Dummy jenis pemekaran (0 jika pemekaran kabupaten, dan 1 jika
pemekaran kota)
= Konstanta (intercept)
= Parameter yang diduga (n = 1,2,…,5)
= daerah ke-i
= random error
PDRB per kapita digunakan untuk melihat tingkat kesejahteraan suatu
masyarakat. PAD digunakan untuk menunjukkan kemandirian daerah. DAU
menunjukkan ketergantungan suatu daerah terhadap pembiayaan yang berasal dari
pusat. Penggunaan data DAU berdasarkan persentase terhadap dana perimbangan,
dimana DAU memiliki persentase terbesar dibandingkan jenis dana perimbangan
lainnya. Angka kemiskinan menunjukkan seberapa besar jumlah penduduk yang
tidak produktif.
3.3.3. Pengujian Model dan Hipotesis
3.3.3.1. Pengujian Kesesuaian Model (Goodness of Fit)
Koefisien determinasi (R2) menunjukkan kesesuaian (goodness of fit) dari
model yang telah dibuat, sehingga model tersebut memiliki kualitas yang baik.
Winarno (2002) menyebutkan bahwa nilai R2 berada diantara nol (0) dan satu (1).
41
Semakin mendekati satu nilai R2 maka semakin baik model yang dibuat. Jika nilai
R2 sama dengan nol (R2 = 0), hal ini berarti variabel dependen tidak dapat
diterangkan oleh variabel independennya, atau dengan kata lain tidak ada
hubungan antara variabel dependen dan variabel independen. Jika nilai R2 sama
dengan satu (R2 = 1), maka variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel
independennya secara sempurna.
Namun nilai R2 yang tinggi tidak selalu membuktikan bahwa kualitas dari
suatu model sudah baik. Hal ini umumnya terjadi pada analisis time series,
dimana dalam setiap variabelnya cenderung mengalami kenaikan seiring
berjalannya waktu, sehingga akan menghasilkan nilai R2 yang cukup tinggi.
Tetapi dalam analisis cross section nilai R2 cenderung rendah, karena tidak terlalu
terpengaruh oleh kenaikan variabel setiap tahunnya. Secara umum R2 dapat
dihitung menggunakan rumus:
R2 = RSS/TSS ............................................. (3.6)
Dimana :
RSS = Jumlah kuadrat residual (Ressidual Sum Square)
TSS = Jumlah kuadrat total (Total Sum Square)
3.3.3.2. Pengujian Asumsi Model
Pengujian model dilakukan dengan kriteria statistik dan ekonometrika.
Pengujian kriteria statistik dilakukan dengan menggunakan uji-t dan uji-F. Uji-t
dapat dilihat dari nilai probabilitas t-statistiknya. Sedangkan uji-F dapat dilihat
dari nilai F-statistiknya. Jika nilai kedua probabilitas tersebut lebih kecil dari taraf
42
nyatanya, maka peubah bebas berpengaruh signifikan terhadap variabel
terikatnya.
Suatu variabel yang digunakan dalam sebuah model memerlukan adanya
pengujian asumsi yang terdapat pada metode OLS. Hal ini dimaksudkan agar
estimasi variabel penduga yang digunakan bersifat BLUE (Best, Linear,
Unbiased, Estimation), sehingga didapatkan kebenaran suatu model dalam
penelitian. Adapun uji asumsi yang dilakukan terdiri atas uji multikolinearitas, uji
heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi.
1. Uji Normalitas
Firdaus (2004) menyebutkan bahwa uji normalitas merupakan salah satu
asumsi statistik dimana error term terdistribusi secara normal. Model regresi
seperti itu disebut model regresi linear normal klasik. Regresi normal klasik
mengasumsikan bahwa setiap i didistribusikan secara normal dengan:
Rata-rata : E ( i) = 0 .............................................................................. (3.7)
Varians : E ( i) = ............................................................................... (3.8)
Cov ( i, j) : E ( i, j) = 0 i≠j ............................................................... (3.9)
Asumsi ini secara ringkas dapat dinyatakan:
i ~ N (0, ........................................................................................ (3.10)
Di mana ~ berarti “didistribusikan sebagai” dan N berarti “distribusi normal”.
Angka dalam tanda kurung menunjukkan rata-rata i = 0 dan varians i = . Perlu
ditegaskan bahwa dua variabel yang didistribusikan secara normal dengan
43
kovarian atau korelasi nol berarti dua variabel tersebut independen. Jadi, asumsi
itu berarti bahwa i dan ij bukan hanya tidak berkorelasi, tetapi juga independen.
Pada software Eviews 6, uji normalitas dilakukan dengan uji Jarque-Bera.
Apabila nilai probabilitas Jarque-Bera lebih besar dari taraf nyata (α), maka hasil
estimasi tersebut memenuhi asumsi kenormalan atau error term telah terdistribusi
dengan normal. Uji normalitas juga bisa dilakukan dengan melihat pola sisaan.
Apabila sisaan berpola linear, yaitu berbentuk lonceng terbalik maka bisa
dikatakan sisaan dalam model dianggap sudah terdistribusi dengan normal.
2. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas merupakan hubungan linear yang kuat antarvariabel
independen dalam analisis regresi berganda. Ciri-ciri terjadinya multikolinearitas
adalah sebagai berikut :
a. Nilai R2 tinggi, tetapi variabel independen banyak yang tidak signifikan.
b. Tanda koefisien banyak yang tidak sesuai dengan harapan.
c. Matriks korelasi antarvariabel tinggi (rij > │0,8│).
d. Nilai R2 lebih kecil dari nilai rij.
Multikolinearitas menyebabkan koefisien kuadrat terkecil tidak dapat
ditentukan, serta varians dan kovarians dari koefisien yang hampir sempurna
menyebabkan persamaan yang dibentuk secara statistik mempunyai standar error
yang besar dan menyebabkan selang kepercayaan menjadi lebih besar. Hal ini
mengakibatkan nilai estimasi koefisiennya menjadi tidak tepat.
44
3. Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas adalah varians kesalahan tidak sama untuk setiap
periode, padahal salah satu syarat model yang baik adalah varians kesalahannya
sama. Dampak dari adanya heteroskedastisitas adalah dugaan parameter koefisien
regresi dengan metode OLS tidak bias, tetapi masih konsisten, standar errornya
bias ke bawah, dan penduga OLS tidek efisien lagi (Juanda 2009).
Heteroskedastisitas dapat muncul karena beberapa sebab, diantaranya :
a. Sifat variabel yang diikutsertakan ke dalam model.
b. Sifat data yang digunakan dalam analisis, yaitu data cross section lebih sering
memunculkan masalah heteroskedastisitas dibandingkan data time series.
Pada Program Eviews 6, untuk mengetahui ada tidaknya
heteroskedastisitas dalam suatu model dapat digunakan uji Breusch Pagan
Godfrey. Jika nilai probabilitas obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata (nilai
probabilitas obs*R-squared > α) berarti tidak ada heteroskedastisitas. Namun jika
nilai probabilitas obs*R-squared lebih kecil atau sama dengan dari taraf nyata
(nilai probabilitas obs*R-squared ≤ α) berarti ada heteroskedastisitas.
4. Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah terjadinya hubungan antara anggota-anggota dari
serangkaian pengamatan. Autokorelasi terdeteksi ketika terjadi hubungan antara
galat estimasi suatu observasi dengan galat estimasi observasi lainnya. Masalah
autokorelasi umumnya terjadi pada data time series, namun tidak jarang pula
terjadi pada data cross section. Juanda (2009) menyebutkan autokorelasi pada
data cross section dengan obyek pengamatan kecamatan biasa disebut
45
autokorelasi spasial. Hal ini terjadi saat kecamatan yang menjadi sampel saling
berdekatan dan memiliki karakteristik yang mirip. Dampak dari adanya
autokorelasi yaitu dugaan variabel dari suatu model menjadi tidak bias, masih
konsisten, mempunyai standar error yang bias ke bawah atau lebih kecil dari nilai
sebenarnya, dan tidak efisien. Semua hal tersebut membuat hipotesis menjadi
tidak valid.
Penentuan ada tidaknya autokorelasi dapat ditentukan dengan dua cara
yaitu uji Durbin-Watson (DW) dan uji Breusch-Godfrey. Winarno (2002)
menyebutkan dalam mendeteksi autokorelasi dapat menggunakan nilai d (yang
menggambarkan nilai DW), dimana pengambilan keputusannya adalah :
Tabel 3.1 Pengambilan Keputusan pada Uji Durbin-Watson
Tolak H0 berarti ada
autokorelasi positif
Tidak dapat diputuskan
Tidak tolak H0 berarti tidak
ada autokorelasi
Tidak dapat diputuskan
Tolak H0 berarti ada
autokorelasi negative
0 dL du 4 - du 4 - dL 4 Sumber : Gujarati, 2004
Namun Uji DW memiliki kelemahan yaitu hanya berlaku pada variabel
independen yang bersifat stokastik (random) dan tidak dapat digunakan pada
model rata-rata bergerak (moving average). Sehingga untuk mengatasi
permasalahan ini dapat digunakan uji Breusch-Godfrey.
Uji autokorelasi Breusch-Godfrey dapat dilakukan apabila menggunakan
program eviews saat mengolah data. Uji autokorelasi ini dalam eviews dikenal
dengan nama Breusch-Godfrey Serial Correlation LM. Jika nilai probabilitas
obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata (nilai probabilitas obs*R-squared > α)
46
berarti tidak ada autokorelasi. Namun jika nilai probabilitas obs*R-squared lebih
kecil atau sama dengan dari taraf nyata (nilai probabilitas obs*R-squared ≤ α)
berarti terdapat autokorelasi.
IV. KONDISI EKONOMI KABUPATEN/KOTA HASIL PEMEKARAN
Tujuan dilakukannya pemekaran wilayah yaitu untuk memperkecil rentang
kendali pemerintahan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui
pembangunan daerah yang lebih baik lagi, serta meningkatkan kemandirian
daerah. Pemekaran wilayah sebenarnya merupakan sesuatu yang sudah lama
dilaksanakan, bahkan sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 22/1999
pemekaran sudah banyak terjadi. Namun semenjak disahkannya undang-undang
tersebut, pemekaran justu semakin banyak terjadi karena persyaratan pemekaran
menjadi semakin mudah. Padahal dulu sebelum adanya undang-undang
pemekaran, suatu daerah yang ingin dimemekarkan memerlukan perencanaan
yang cukup lama dan matang. Perbedaan trend inilah yang membuat maraknya
pemekaran, namun sayangnya pemekaran tersebut umumnya tidak diikuti oleh
kesiapan setiap daerah untuk mandiri, sehingga banyak daerah dinyatakan belum
berhasil dalam melaksanakan pemekaran wilayah.
4.1. Indeks Kinerja Ekonomi (IKE)
Penentuan keberhasilan pemekaran dalam skripsi ini lebih difokuskan
pada nilai IKE. DOB yang memiliki IKE yang lebih tinggi dibandingkan daerah
induknya merupakan DOB yang dianggap berhasil dalam melaksanakan
pemekaran wilayah. Sedangkan DOB yang memiliki IKE lebih rendah
dibandingkan daerah induknya disebut daerah yang belum berhasil dalam
pemekaran wilayah. Dari hasil penelitian terlihat bahwa dari 141 daerah yang
48
mekar, jumlah daerah yang berhasil setelah lima tahun pemekaran sebanyak 58
daerah atau 41 persen (Lampiran 1).
Tabel 4.1. Urutan Daerah Tertinggi dan Terendah Berdasarkan Hasil Perhitungan Indeks Kinerja Ekonomi (IKE)
No Urut Daerah Induk Nilai
IKE DOB Nilai IKE Kriteria
1 Kab. Fak-Fak 0.882 Kab. Mimika 2.890 Berhasil 2 Kab. Kep Riau (Bintan) 1.433 Kota Batam 2.369 Berhasil 3 Kab. Sumbawa 1.182 Kab. Sumbawa Barat 2.345 Berhasil 4 Kab. Bangka 1.737 Kab. Bangka Barat 1.973 Berhasil 5 Kab. Serang 1.528 Kota Cilegon 1.885 Berhasil
137 Kab. Manokwari 0.979 Kab. Teluk Wondama 0.688 Tidak Berhasil 138 Kab. Jayawijaya 0.615 Kab. Pegunungan Bintang 0.656 Berhasil 139 Kab. Jayawijaya 0.615 Kab. Yahukimo 0.608 Tidak Berhasil 140 Kab. Nabire 0.789 Kab. Paniai 0.565 Tidak Berhasil 141 Kab. Jayawijaya 0.619 Kab. Puncak Jaya 0.521 Tidak Berhasil
Berdasarkan hasil perhitungan IKE dari setiap daerah otonom baru (Tabel
4.1), maka kabupaten/kota yang memiliki IKE tertinggi adalah Kab. Mimika,
Kota Batam, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Bangka Barat, dan Kota Cilegon. Kelima
kabupaten/kota tersebut seluruhnya telah berhasil dalam pemekaran daerahnya,
sebab memiliki nilai IKE yang lebih besar disbanding daerah induknya.
Sedangkan yang memiliki IKE terendah adalah Kab. Teluk Wondama, Kab.
Pegunungan Bintang, Kab. Yahukimo, Kab. Paniai, dan Kab. Puncak Jaya. Kab.
Pegunungan Bintang merupakan daerah yang telah berhasil dalam pemekaran
wilayah, sedangkan keempat daerah lainnya merupakan daerah yang belum
berhasil dalam pelaksanaan pemekaran. Sehingga terlihat bahwa nilai IKE yang
kecil dari suatu wilayah tidak berarti daerah tersebut belum berhasil dalam
pelaksanaan pemekaran wilayah. Tetapi keberhasilan ini lebih disebabkan adanya
peningkatan kinerja perekonomian pada DOB setelah pemekaran, sehingga saat
49
dibandingkan dengan daerah induk, maka DOB akan memiliki nilai IKE yang
lebih tinggi.
Hasil perhitungan IKE jika dibandingkan dengan evaluasi yang dilakukan
oleh KEMDAGRI, maka terdapat perbedaan dari urutan DOB. Lima urutan
teratas dari hasil evaluasi yang dilakukan KEMDAGRI adalah Kota Banjarbaru,
Kota Cimahi, Kab. Dharmas Raya, Kab. Bangka Tengah, dan Kab. Samosir.
Sementara dari hasil penelitian ini daerah-daerah tersebut menempati urutan 27,
35, 56, 11, dan 99. Selain itu kelima urutan teratas tersebut dalam penelitian ini
tidak semuanya merupakan daerah yang berhasil dalam pemekaran. Hal ini
menunjukkan bahwa walaupun daerah berada dalam urutan teratas, namun tidak
semuanya memiliki kondisi yang lebih baik dari daerah induknya terutama saat
lima tahun pertama setelah pemekaran.
4.2. PDRB per Kapita
Pemekaran wilayah merupakan salah satu jalan keluar dari permasalahan
pembangunan ekonomi. Tambunan (2003) menyebutkan indikator pembangunan
ekonomi diantaranya PDRB per kapita. PDRB per kapita menggambarkan tingkat
kesejahteraan yang terjadi di suatu masyarakat, sejauh tingkat pemerataannya
cukup merata. Semakin tinggi nilai PDRB per kapita maka dapat dikatakan
masyarakat semakin sejahtera.
50
1122418 1272965 1379680 1525027 1647349
0
500000
1000000
1500000
2000000
1 2 3 4 5Tahun Pemekaran Ke-
PDRB per Kapita (ribu rupiah)
PDRB per kapita (ribu rupiah)
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2000-2009 (diolah)
Gambar 4.1. Jumlah PDRB per Kapita Seluruh Daerah Otonom Baru
Gambar 4.1. menunjukkan besarnya PDRB per kapita seluruh daerah hasil
pemekaran. Dari gambar tersebut terlihat bahwa PDRB per kapita di setiap tahun
pemekaran mengalami peningkatan. Hal ini berarti tingkat kesejahteraan
masyarakat secara agregatif meningkat, dan dapat dikatakan bahwa tingkat
pembangunan ekonomi juga meningkat.
Tabel 4.2. PDRB per Kapita Kabupaten/Kota Tertinggi dan Terendah (Ribu Rupiah)
No. Urut DOB
Tahun Ke- Rata-Rata 1 2 3 4 5
1 Kab. Mimika 142894 152855 135701 131899 119094 136488 2 Kota Batam 36570 38667 38303 36254 39974 37953 3 Kab. Sumbawa Barat 90152 99512 105938 131172 110337 107422 4 Kab. Bangka Barat 20392 22533 24289 26441 32154 25162 5 Kota Cilegon 22506 26259 30028 31564 35200 29111
137 Kab. Teluk Wondama 4829 5458 6184 7379 9204 6611
138 Kab. Pegunungan Bintang 2267 1657 1858 2075 2589 2089
139 Kab. Yahukimo 872 833 935 1000 1141 956 140 Kab. Paniai 2195 2489 2851 3067 3227 2766 141 Kab. Puncak Jaya 2513 2636 2761 4135 2939 2997
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2000-2009 (diolah)
51
Jika dilihat pada Tabel 4.2, lima urutan tertinggi DOB memiliki nilai rata-
rata PDRB per kapita yang besar pada lima tahun pertama setelah pemekaran.
Sementara lima urutan terendah DOB memiliki nilai rata-rata PDRB per kapita
yang kecil pada lima tahun pertama setelah pemekaran. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pada daerah-daerah yang memiliki IKE tertinggi memiliki
tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi pula.
4.3. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
PAD digunakan untuk menunjukkan kemandirian daerah. Persentase PAD
yang tinggi terhadap total pendapatan menunjukkan bahwa daerah tersebut
mampu membiayai sebagian besar pengeluaran daerahnya. Hal ini berarti daerah
sudah tidak terlalu bergantung pada pendanaan yang berasal dari pusat. Inilah
yang menjadi salah satu tujuan dari pemekaran wilayah, yaitu meningkatkan
kemandirian daerah.
Tabel 4.3. Persentase PAD terhadap Total Pendapatan pada DOB (Juta Rupiah)
2005 2006 2007 2008 2009 2010 PAD 1034.21 1892.39 3245.89 3101.42 3611.73 4414.76Total Pendapatan 22966.33 49972.87 50716.81 64502.27 71736.04 71095.30Persentase 5% 4% 6% 5% 5% 6%
Sumber: DJPK Kemenkeu, 2005-2010 (diolah)
Jika dilihat pada Tabel 4.3, maka persentase PAD untuk DOB masih
sangat kecil, yaitu kurang dari 10 persen. Hal ini berarti ketergantungan DOB
terhadap pusat tidak berkurang. Padahal pemerintah pusat telah memberikan
kewenangan kepada setiap pemerintah daerah untuk meningkatan PAD setiap
daerah yang dipimpinnya. Kewenangan tersebut berupa kebebasan pemungutan
52
pajak/retribusi, sistem transfer, dan pemberian kewenangan untuk melakukan
pinjaman (Sinaga dan Siregar, 2005). Hal ini menunjukkan keberhasilan
pemekaran belum tercapai.
4.4. Dana Perimbangan
Dana perimbangan menunjukkan ketergantungan suatu daerah terhadap
pembiayaan yang berasal dari pusat. Dana perimbangan terdiri atas DBH, DAU,
dan DAK. Jika dilihat pada Tabel 4.4, ketergantungan anggaran daerah terhadap
dana perimbangan sangat besar, yaitu lebih dari 80 persen. Sumber dana
perimbangan yang memiliki kontribusi terbesar adalah DAU. Hal ini
menunjukkan ketergantungan daerah yang masih tinggi terhadap pendanaan yang
berasal dari pusat (daerah belum mandiri dalam hal keuangan). Jika diteliti lebih
lanjut, hal ini disebabkan karena anggaran dasar yang besar di setiap daerah.
Seperti yang terlihat pada Tabel 4.5 bahwa PAD yang besar di suatu daerah tidak
menjamin dana perimbangan yang diterima akan kecil. Daerah yang memiliki
PAD yang tinggi seperti Kota Batam dan Kota Cilegon tetap mendapatkan dana
perimbangan, khususnya DAU yang besar.
Dana perimbangan setiap tahunnya memang direncanakan terus
meningkat oleh pemerintah pusat. Peningkatan ini terutama dari sisi DAK dan
DBH. Diharapkan dengan adanya peningkatan dana perimbangan ini (terutama
yang bersumber dari DBH), dapat dialokasikan untuk memperbaiki dan
meningkatkan infrastruktur setiap daerah, sehingga kedepannya dapat
meningkatkan iklim investasi. Peningkatan jumlah investasi dapat meningkatkan
jumlah PAD dan menjadi sumber PAD baru bagi daerah. Sehingga, adanya
53
peningkatan dana perimbangan diharapkan kedepannya dapat meningkatkan
jumlah PAD setiap daerah serta mengurangi tingkat ketergantungan fiskal setiap
daerah.
Tabel 4.4. Total Dana Perimbangan Daerah Otonom Baru (Juta Rupiah)
2005 2006 2007 2008 2009 2010 Total Pendapatan (TP) 22966.33 49972.87 50716.81 64502.27 71736.04 71095.30 PAD 1034.21 1892.39 3245.89 3101.42 3611.73 4414.76 Persentase PAD terhadap TP 5% 4% 6% 5% 5% 6% Dana Perimbangan (DP) 20153.76 45510.81 50188.07 55571.11 61710.53 59655.24 Persentase DP terhadap TP 88% 91% 99% 86% 86% 84%
Sumber: DJPK Kemenkeu, 2005-2010 (diolah)
Tabel 4.5. Jumlah PAD dan Dana Perimbangan Kabupaten/Kota Tertinggi dan Terendah (Juta Rupiah)
No. Urut DOB PAD Dana
Perimbangan DAU DAK DBH
1 Kab. Mimika 94.46 873.09 225.21 45.82 602.06 2 Kota Batam 141.87 599.59 214.25 21.23 304.75 3 Kab. Sumbawa Barat 22.14 274.53 157.64 37.52 70.31 4 Kab. Bangka Barat 18.45 285.97 207.96 34.84 40.12 5 Kota Cilegon 115.06 342.07 244.12 12.57 85.31
137 Kab. Teluk Wondama 80.48 297.01 213.82 42.56 40.62 138 Kab. Pegunungan Bintang 4.25 496.19 373.90 76.73 45.57 139 Kab. Yahukimo 3.51 511.24 379.89 66.20 36.91 140 Kab. Paniai 6.21 453.24 360.57 51.98 34.93 141 Kab. Puncak Jaya 9.06 445.74 339.23 53.44 48.47
Sumber: DJPK Kemenkeu, 2005-2010 (diolah)
4.5. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Nilai IPM menunjukkan seberapa jauh suatu wilayah dapat mencapai
sasaran yang ditentukan. Sasaran tersebut terdiri atas empat komponen, yaitu
angka harapan hidup mencapai 85 tahun, pendidikan dasar dan kemampuan baca
dan tulis bagi semua lapisan masyarakat (tanpa terkecuali), serta tingkat
54
67.2168.01
68.87 69.1869.63
65.0066.0067.0068.0069.0070.00
2005 2006 2007 2008 2009
Tahun
IPM (persen)
IPM
pengeluaran dan konsumsi yang telah mencapai standar hidup yang layak.
Semakin dekat nilai IPM suatu wilayah terhadap angka 100, maka semakin baik
kondisi pembangunan manusia di suatu wilayah.
Pada Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa secara agregatif terlihat nilai IPM
untuk DOB terus meningkat setiap tahun. Peningkatan ini menunjukkan bahwa
kondisi masyarakat di daerah-daerah tersebut semakin baik. Dapat dilihat pada
Lampiran 4 bahwa kondisi IPM hampir di semua daerah mengalami kenaikan.
Begitu pula dengan tiga komponen pembentuk IPM, yaitu angka melek huruf, rata
lama sekolah, dan angka harapan hidup.
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2005-2010 (diolah) Gambar 4.2. Rata-Rata Nilai IPM pada Daerah Otonom Baru
Terlihat pada Tabel 4.6 bahwa IPM kota lebih tinggi dibandingkan IPM
kabupaten. Sementara kabupaten urutan tertinggi dan terendah memiliki IPM
yang tidak jauh berbeda. Perbedaan IPM antara kabupaten dan kota ini sangat
terlihat terutama dari komponen rata lama sekolah (RLS). RLS sekolah untuk kota
lebih besar dari angka sembilan, yang berarti wajib belajar sembilan tahun sudah
terlaksana. Sementara di kabupaten, tingkat pendidikan masih sangat rendah,
55
khususnya untuk daerah yang berada di urutan terbawah, yang ditunjukkan
dengan angka RLS yang kecil.
Angka melek huruf (AMH) menunjukkan kemampuan baca dan tulis.
Berdasarkan nilai AMH pada setiap kabupaten/kota, dapat dilihat bahwa sebagian
besar masyarakat di setiap wilayah sudah cukup mengenal huruf. Hal ini
ditunjukkan dengan AMH yang cukup tinggi, kecuali untuk Kab. Pegunungan
Bintang dan Kab. Yahukimo.
Pada komponen IPM lainnya, yaitu angka harapan hidup (AHH), untuk
kabupaten/kota urutan tertinggi dan terendah tidak jauh berbeda, yaitu
kesemuanya berada diatas angka 60. Hal ini menunjukkan angka harapan hidup
setiap masyarakat adalah sekitar 60 tahun, sayangnya hal ini belum mencapai
sasaran AHH yang ditetapkan, yaitu 85 tahun.
Tabel 4.6. IPM Kabupaten/Kota Tertinggi dan Terendah (Persen)
No. Urut DOB AHH RLS AMH IPM 1 Kab. Mimika 69.276 6.662 86.438 67.532 Kota Batam 70.636 10.702 98.834 76.9583 Kab. Sumbawa Barat 60.502 7.012 90.25 65.1464 Kab. Bangka Barat 67.426 6.472 92.152 68.78565 Kota Cilegon 68.414 9.616 98.702 74.414
137 Kab. Teluk Wondama 66.786 6.084 79.506 63.208138 Kab. Pegunungan Bintang 65.11 2.25 31.592 47.6139 Kab. Yahukimo 65.942 2.404 31.782 54.346140 Kab. Paniai 66.85 6.202 62.882 58.842141 Kab. Puncak Jaya 66.938 6.102 86.722 67.382
Sumber: Badan Pusat Statistik (2005-2009)
4.6. Angka Kemiskinan
Angka kemiskinan menunjukkan banyaknya jumlah penduduk miskin
yang ada di suatu daerah. Jika dilihat dari jumlah penduduk miskin yang ada di
56
4828.14592
4355.34231.3
3800400042004400460048005000
1 2 3 4
Ribu Jiwa
Tahun pemekaran ke-
jumlah penduduk miskin daerah pemekaran
seluruh kabupaten dan kota, maka secara agregatif jumlah penduduk miskin terus
menurun. Hal ini berarti tujuan pemekaran untuk meningkatkan kondisi
masyarakat telah tercapai. Keberhasilan ini disebabkan banyaknya program
pengentasan kemiskinan yang dikeluarkan pemerintah, seperti Upah Minimum
Regional (UMR), Jaminan Kesehatan Mayarakat (Jamkesmas), Bantuan
Operasional Sekolah (BOS), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM), dan kebijakan-kebijakan lainnya.
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2002-2009 (diolah)
Gambar 4.3. Jumlah Penduduk Miskin Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran
Besarnya jumlah penduduk miskin tidak mencerminkan bahwa daerah
tersebut pasti berhasil dalam pemekaran. Jika dilihat pada Tabel 4.7, terlihat
bahwa hampir semua daerah tingkat kemiskinannya fluktuatif. Namun untuk
daerah Kab. Sumbawa Barat dan Kab. Bangka Barat jumlah penduduk miskinnya
terus turun. Hal ini berarti kebijakan pengentasan kemiskinan di daerah tersebut
sudah terlaksana dengan baik. Selain ketiga daerah tersebut terdapat 49 daerah
lainnya yang juga mengalami penurunan jumlah penduduk miskin selama lima
tahun awal pemekaran (Lampiran 6).
57
Pada daerah kab. Mimika dan kota Batam, jumlah penduduk miskin
mengalami peningkatan. Hal ini justru bertentangan dengan keberhasilan kedua
daerah tersebut, sebab kedua daerah tersebut merupakan daerah yang telah
berhasil dalam pemekaran, bahkan nilai IKE kedua daerah tersebut merupakan
urutan teratas. Sehingga dapat disimpulkan keberhasilan tidak hanya dilihat
melalui angka kemiskinan saja, tetapi bayak faktor lain yang memengaruhi
keberhasilan dari pemekaran wilayah. Selain kedua daerah tersebut masih ada
enam daerah lain yeng mengalami peningkatan jumlah penduduk miskin, yaitu
Kab. Aceh Singkil, Kab. Bireun, Kab. Simeuleu, Kab. Pelalawan, Kab. Tanjung
Jabung Timur, dan Kab. Lembata (Lampiran 6).
Tabel 4.7. Angka Kemiskinan Kabupaten/Kota Tertinggi dan Terendah (Ribu Jiwa)
DOB Tahun Pemekaran Ke- 1 2 3 4
Kab. Mimika* 33.2 38 38.8 42.3Kota Batam* 25.2 28.1 28.1 50.3Kab. Sumbawa Barat* 29.1 28.7 25.2 24.3Kab. Bangka Barat* 14.1 10.5 7.4 7.6Kota Cilegon* 19.9 17.5 14.5 18.7Kab. Teluk Wondama 11.9 11.5 12 11.1Kab. Pegunungan Bintang* 44.8 48 45 42Kab. Yahukimo 66.7 71 69.4 72.7Kab. Paniai 64.1 50.8 54.6 59Kab. Puncak Jaya 54.5 34.9 55.8 60
Keterangan : daerah yang diberi tanda * adalah daerah yang berhasil dalam pemekaran Sumber: BPS, 2002-2009 (diolah)
4.7. Perbandingan Kabupaten dan Kota
Kabupaten dan kota sama-sama merupakan wilayah administratif yang
berada di bawah provinsi. Namun kabupaten dan kota berbeda secara
58
karakteristik, baik itu dalam hal luas wilayah, kepadatan penduduk, mata
pencaharian mayoritas penduduk, struktur wilayah, sosial budaya, dan
perekonomian. Jika dilihat per variabel, secara umum kota lebih baik
dibandingkan daerah induk. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata kota untuk
tingkat keberhasilan (Y), IKE, PAD, dan IPM lebih tinggi dari kabupaten, serta
nilai rata-rata kota untuk dana perimbangan dan angka kemiskinan lebih kecil dari
kabupaten. Namun, nilai PDRB per kapita kabupaten lebih tinggi dari kota. Jika
dilihat berdasarkan sektor pembentuk PDRB, maka kabupaten didominasi oleh
sektor primer, yang terdiri atas pertanian dan pertambagan. Sementara kota
didominasi oleh sektor sekunder, yang terdiri atas industri manufaktur; listrik, gas
dan air bersih; serta konstruksi dan bangunan.
Tabel 4.8. Perbandingan Kabupaten dan Kota Berdasarkan Rata-Rata Variabel yang Dianalisis
Variabel Kabupaten Kota Y -0,04 0,15 IKE 1,27 1,50 PDRB per Kapita 9871,90 9781,15 PAD 18,70 167,50 DAU 260,12 208,58 DAK 36,50 26,86 DBH 86,24 70,90 IPM 67,78 73,07 AHH 67,12 69,03 RLS 7,06 9,33 AMH 89,98 97,57 Angka Kemiskinan 32,07 21,27 PDRB sektor primer 1112560,00 196878,63 PDRB sektor sekunder 226953,86 1401924,40 PDRB sektor tersier 317867,32 953738,93
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Pemekaran Wilayah
Analisis regresi berganda dengan menggunakan software Eviews 6
memberikan hasil yang dapat dilihat pada Tabel 5.1. Dengan melihat dari nilai
probabilitas yang dihasilkan, dapat ditarik kesimpulan mana saja variabel
independen yang berpengaruh secara signifikan terhadap keberhasilan pemekaran.
Selain itu dengan melihat nilai koefisien variabel dapat diketahui besarnya
pengaruh dari variabel independen terhadap keberhasilan pemekaran. Setelah
dilakukannya perhitungan dengan menggunakan software Eviews 6 didapatkan
hasil variabel-variabel yang berpengaruh signifikan terhadap keberhasilan
pemekaran adalah sebagai berikut:
Tabel 5.1. Hasil Estimasi Model Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Pemekaran
Variable Coefficient t-Statistic Probability C -0,137318 -0,517633 0,6056
PDRBK 1,38E-05 10,03624 0,0000* PAD 0,000225 2,192300 0,0301* DAU 0,000132 0,680270 0,4975 IPM -0,001115 -0,317227 0,7516 AK 3,11E-05 0,056558 0,9550
DKK 0,172543 3,857553 0,0002* R-squared 0,647381
Adjusted R-squared 0,631592 F-statistic 41,00218
Prob(F-statistic) 0,000000 Keterangan : tanda * menunjukkan signifikan pada α = 5%
Model persamaan regresi untuk faktor-faktor yang memengaruhi
keberhasilan pemekaran adalah sebagai berikut:
60
Y = -0,137318 + 1,38E-05*PDRBK + 0,000225*PAD + 0,000132*DAU –
0,001115*IPM – 3,11E-05*AK + 0,172543*DKK ............................... (5.1)
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan software Eviews 6
diperoleh variabel-variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap
keberhasilan pemekaran (Y) yaitu PDRB per kapita, PAD, dan dummy kabupaten
dan kota. Hal tersebut dapat dilihat dari besarnya probabilitas ketiga variabel
independen tersebut, yaitu 0,000 untuk PDRB per kapita, 0,0301 untuk PAD,
0,0002 untuk dummy kabupaten dan kota. Nilai-nilai probabilitas tersebut lebih
kecil dari taraf nyata (α) lima persen.
Nilai koefisien dari variabel PDRB per kapita adalah 1,38E-05, artinya
setiap terjadi penambahan PDRB per kapita sebesar seribu rupiah, akan
meningkatkan keberhasilan pemekaran sebesar 0,0000138 satuan, ceteris paribus.
Hipotesis penelitian ini adalah PDRB per kapita memiliki pengaruh yang positif
terhadap keberhasilan pemekaran wilayah, sebab PDRB per kapita menunjukkan
tingkat kesejahteraan suatu masyarakat, sejauh tingkat kemerataannya cukup
merata. Sehingga hasil penelitian ini sudah sesuai dengan hipotesisnya, yang
ditunjukkan dengan koefisien yang bernilai positif. Selain itu, tujuan dilakukannya
pemekaran wilayah yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Meningkatnya PDRB per kapita setiap tahunnya (lampiran 2) merupakan
gambaran bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat juga telah meningkat, terutama
apabila tingkat pemerataannya cukup merata.
Berdasarkan hasil Simposium Nasional Akuntansi yang diadakan di
Makassar tanggal 26-28 Juli 2007, disebutkan bahwa daerah yang memiliki
61
tingkat pertumbuhan PAD yang positif mempunyai kemungkinan untuk memiliki
tingkat PDRB per kapita yang lebih baik. PAD merupakan salah satu sumber
pembelanjaan daerah, sehingga peningkatan PAD mengakibatkan dana yang
dimiliki oleh pemerintah daerah akan lebih tinggi dan tingkat kemandirian daerah
akan meningkat pula, sehingga pemerintah daerah akan berinsisiatif untuk lebih
menggali potensi-potensi daerah dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan PAD secara berkelanjutan akan menyebabkan peningkatan
pertumbuhan ekonomi daerah itu. Peningkatan PAD harus berdampak pada
perekonomian daerah. Oleh karena itu, daerah tidak akan berhasil bila daerah
tidak mengalami pertumbuhan ekonomi yang berarti meskipun terjadi
peningkatan penerimaan PAD. Bila yang terjadi sebaliknya, maka bisa
diindikasikan adanya eksploitasi PAD terhadap masyarakat secara berlebihan
tanpa memperhatikan peningkatan produktifitas masyarakat itu
Variabel PAD memiliki nilai koefisien sebesar 0,000225, artinya setiap
terjadi peningkatan PAD sebesar satu juta rupiah, maka akan meningkatkan
keberhasilan pemekaran sebesar 0,000225 satuan, ceteris paribus. Hipotesis
penelitian ini adalah PAD memiliki pengaruh yang positif terhadap keberhasilan
pemekaran wilayah, sebab PAD menunjukkan kemandirian daerah. Hasil
penelitian ini sudah sesuai dengan hipotesis, yang ditunjukkan dengan koefisien
PAD yang positif.
Semakin tinggi persentase PAD terhadap total pemasukan daerah maka
wilayah tersebut semakin mandiri. Nilai PAD hampir di semua DOB terus
meningkat setiap tahunnya (lampiran 3). Sehingga persentase PAD terhadap
62
pemasukan daerah juga terus meningkat, walaupun peningkatan tersebut tidak
terlalu besar. Peningkatan ini menunjukkan adanya peningkatan kemandirian
daerah setiap tahunnya.
Sayangnya saat ini persentase PAD terhadap pendapatan daerah sangat
kecil, yaitu kurang dari sepuluh persen, sehingga tingkat ketergantungan daerah
terhadap pusat masih tinggi. Untuk itu setiap daerah perlu mengupayakan
peningkatan PAD melalui kewenangan yang telah diberikan oleh pusat, sehingga
PAD yang dihasilkan dapat meningkat. Namun perlu dicermati bahwa
peningkatan PAD ini harus sesuai dengan peraturan, terutama bila PAD tersebut
ditingkatkan melalui pajak dan retribusi. Hal ini karena banyak sekali peraturan
mengenai pajak dan retribusi di setiap daerah yang tidak sesuai dengan aturan dan
saling bertentangan dengan peraturan yang sudah ada. Keberadaan perda tersebut
dapat merugikan masyarakat terutama pihak pengusaha, karena beban biaya
produksi menjadi meningkat. Peningkatan PAD dapat dilakukan melalui
intensifikasi dan ekstensifikasi pendapatan, khususnya yang bersumber dari pajak
dan retribusi daerah yang dititikberatkan pada penerimaan Pajak Kendaraan
Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dan
meningkatkan kontribusi pendapatan dari Badan Usaha Milik Daerah terhadap
pendapatan daerah.
Jenis pemekaran ternyata berpengaruh secara signifikan terhadap
keberhasilan pemekaran. Dummy 0 (nol) dalam penelitian ini menggambarkan
bentuk daerah kabupaten, sedangkan dummy 1 (satu) menggambarkan bentuk
63
daerah kota. Sehingga dihasilkan persamaan keberhasilan pemekaran untuk
kabupaten adalah:
Y = -0,137318 + 1,38E-05*PDRBK + 0,000225*PAD + 0,000132*DAU –
0,001115*IPM – 3,11E-05*AK ............................................................... (5.2)
Sementara persamaan keberhasilan pemekaran untuk kota adalah :
Y = 0,035225 + 1,38E-05*PDRBK + 0,000225*PAD + 0,000132*DAU –
0,001115*IPM – 3,11E-05* AK .............................................................. (5.3)
Berdasarkan persamaan tersebut, maka dapat digambarkan grafik sebagai berikut :
Gambar 5.1. Keberhasilan Pemekaran Kabupaten dan Kota
Apabila dilihat dari persamaan 5.2 dan persamaan 5.3, dan diasumsikan bahwa
variabel independen lain bernilai sama, maka daerah kota yang akan memiliki
keberhasilan yang lebih tinggi (dalam grafik ditunjukkan dengan kurva kota yang
berada di atas kurva kabupaten). Hal ini sesuai dengan teori bahwa kota lebih
berhasil dibandingkan kabupaten.
Adapun variabel-variabel yang tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap keberhasilan pemekaran adalah:
Y
X
64
a. Dana Alokasi Umum (DAU)
DAU merupakan dana perimbangan yang bertujuan untuk mengurangi
kesenjangan fiskal antar daerah. Konsep kesenjangan fiskal untuk mengalokasikan
DAU menurut DJPK KEMENKEU dalam Grand Design Desentralisasi Fiskal di
Indonesia sudah tepat untuk diadopsi di Indonesia, karena memperhitungkan dua
aspek sekaligus, yaitu kebutuhan dan juga kemampuan fiskal pemerintah daerah.
Formula DAU yang diterapkan di Indonesia berbeda dengan model alokasi IRA
(Internal Revenue Allotment) yang merupakan bentuk dana transfer di Filipina,
dimana alokasi transfer hanya didasarkan kebutuhan fiskal saja (menggunakan
variabel luas wilayah dan jumlah penduduk). Formula DAU juga berbeda dengan
alokasi transfer di Kanada yang alokasi transfernya hanya berdasarkan
kemampuan pemungutan pajak daerah (sisi kapasitas fiskal daerah).
Disebutkan pula dalam Undang-Undang No. 33/2004 bahwa DAU
dibagikan dengan formula yang didasarkan atas alokasi dasar dan kesenjangan
fiskal (fiscal gap). Alokasi dasar ditetapkan terutama berdasarkan besarnya
belanja pegawai, sedangkan kesenjangan fiskal dihitung dari selisih antara
kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. Masih adanya belanja pegawai dalam
formula DAU, mendorong pemerintah daerah untuk terus menambah jumlah
pegawainya, dengan tidak mempertimbangkan efisiensi pegawai. Selain itu,
keberadaan variabel belanja pegawai dalam formula DAU dianggap pula sebagai
pencetus motivasi untuk melakukan pemekaran daerah, karena DOB beranggapan
bahwa sebagai daerah yang baru mekar membutuhkan pegawai yang banyak dan
65
pembiayaannya akan dijamin oleh alokasi DAU. Hal ini merupakan salah satu
alasan mengapa DAU tidak berpengaruh secara segnifikan.
Anggapan bahwa DOB memerlukan jumlah pegawai yang banyak
membuat pemekaran wilayah sering kali dianggap sebagai salah satu jalan keluar
dari masalah ketenagakerjaan dan memperluas kesempatan kerja. Sehingga
pemerintah daerah terus berusaha untuk menambah jumlah pegawai negerinya.
Penambahan jumlah pegawai negeri yang terus dilakukan oleh pemerintah daerah
membuat jumlah DAU yang diterima menjadi terus meningkat setiap tahunnya.
Akibatnya, akan sulit untuk mengurangi jumlah DAU sebab pemerintah
daerahnya pun terus berupaya agar DAU yang diterima terus meningkat
jumlahnya. Hal ini lah yang membuat DAU tidak sesuai dengan hipotesis, dimana
hipotesisnya yaitu DAU akan berpengaruh negatif, namun dari hasil regresi DAU
memiliki hubunga yang positif.
Selain itu, alasan lain yang membuat DAU tidak berpengaruh secara
segnifikan terhadap keberhasilan pemekaran adalah bahwa perhitungan kebutuhan
fiskal pada saat ini belum dilakukan dengan menggunakan pendekatan kebutuhan
belanja yang sesungguhnya. Seperti yang disebutkan disebutkan dalam Grand
Design Desentralisasi Fiskal di Indonesia, saat ini perhitungan kebutuhan fiskal
masih menggunakan beberapa variabel pendekatan (proxy variables), seperti
jumlah penduduk, luas wilayah, IPM dan PDRB.
b. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
IPM terdiri atas angka melek huruf, rata lama sekolah, angka harapan
hidup, dan besarnya pengeluaran riil per kapita. Jika dilihat dari nilai, maka IPM
66
memiliki nilai terus meningkat setiap tahunnya (Tabel 5.2). Namun jika dilihat
dari nilainya, maka IPM kabupaten/kota hasil pemekaran sekitar 60 persen. Nilai
ini masih jauh dari angka 100, sehingga dapat disimpulkan angka pembangunan
manusia masih kecil. Seperti yang disebutkan dalam Grand Design Desentralisasi
Fiskal di Indonesia, nilai IPM yang dikeluarkan oleh BPS merupakan angka
proxy. Angka ini bisa saja tidak sesuai dengan kondisi yang ada di masyarakat,
sehingga mengakibatkan hubungan IPM dan keberhasilan menjadi tidak sesuai
dengan hipotesis.
Jika dilihat dari masing-masing komponen pembentuknya, AMH
menggambarkan kemampuan masyarakat untuk membaca dan menulis. Namun
saat ini kemampuan membaca dan menulis saja bukan merupakan syarat cukup
untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Sehingga walaupun AMH
menunjukkan angka yang tinggi, namun hal ini tidak menjamin masyarakat bisa
mendapatkan pekerjaan yang layak bila tidak diimbangi dengan tingkat
pendidikan yang tinggi pula. Jika dilihat berdasarkan rata lama sekolah, maka
wajib belajar sembilan tahun belum terpenuhi. Sehingga dapat disimpulkan
tingkat pendidikan masyarakat masih rendah.
Standar AHH yang ditetapkan adalah 85 tahun. Apabila dilihat
berdasarkan Tabel 5.2, maka AHH dari DOB masih dibawah 70 setiap tahunnya,
sehingga nilai AHH belum mencapai standar pembangunan manusia. Dapat
disimpulkan dari ketiga variabel pembentuk IPM, maka hanya AMH yang
memiliki nilai yang tinggi, namun AMH yang tinggi saja bukan merupakan syarat
cukup bagi masyarakat untuk mendapatkan standar hidup yang layak. Dengan
67
kondisi seperti ini, wajar bila IPM bukan merupakan variabel yang berpengaruh
secara signifikan terhadap model.
Tabel 5.2. Nilai IPM DOB dan Komponen Pembentuknya (Persen)
Tahun IPM AHH RLS AMH 2005 67.21 66.89 7.22 90.21 2006 68.01 67.24 7.38 91.40 2007 68.87 67.46 7.94 91.87 2008 69.18 67.62 7.52 91.76 2009 69.63 67.81 8.07 92.12
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2005-2009 (diolah)
c. Angka Kemiskinan
Pada Lampiran 6 terlihat bahwa angka kemiskinan di setiap kabupaten
bersifat fluktuatif. Walaupun secara agregatif angka kemiskinan terus berkurang,
namun hanya sedikit daerah yang selalu berkurang jumlah penduduk miskinnya
setiap tahun. Selain itu, persentase perubahan angka kemiskinan di setiap
kabupaten/kota tidak terlalu tinggi. Jika dilihat dari program-program
pemberantasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah, maka tidak sedikit
program yang belum berhasil dilaksanakan. Contoh program tersebut adalah beras
miskin (Raskin) dan bantuan langsung tunai (BLT). Pada penyaluran kedua
proram tersebut masih banyak terjadi permasalahan seperti tidak tepat sasaran,
jumlah, waktu, maupun pelanggaran lain yang dilakukan oleh aparatur pemerintah
sebagai penyalur.
Banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan
daerah dalam penyaluran bantuan untuk masyarakat miskin menjadikan angka
kemiskinan menjadi tidak signifikan. Seperti yang disebutkan dalam Grand
Design Desentralisasi Fiskal di Indonesia, selain nilai IPM, nilai angka
68
kemiskinan yang juga dikeluarkan oleh BPS merupakan angka proxy. Angka ini
bisa saja tidak sesuai dengan kondisi yang ada di masyarakat, sehingga
mengakibatkan hubungan angka kemiskinan dan keberhasilan menjadi tidak
sesuai dengan hipotesis.
5.2. Pengujian Model dan Hipotesis
5.2.1. Pengujian Kesesuaian Model (Goodness of Fit)
Dari hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi pemekaran kabupaten/kota di
Indonesia pada Tabel 5.1, diperoleh koefisien determinasi (R2) sebesar 65 persen. Artinya
sebesar 65 persen variasi variabel dependen (keberhasilan pemekaran) dapat dijelaskan
oleh variasi variabel-variabel independennya, yaitu PDRB per kapita, PAD, DAU,
IPM, angka kemiskinan dan lokasi pemekaran. Sementara 35 persen dijelaskan
oleh faktor-faktor lain diluar persamaan atau model yang digunakan. Jika
dihubungkan sengan penelitian yang telah dilakukan oleh BAPPENAS, maka
faktor-faktor lain dapat berupa kinerja pemerintah daerah dan kinerja pelayanan
publik yang memang tidak dibahas dalam penelitian ini.
5.2.2. Pengujian Hipotesis
Nilai probabilitas F-statistik (0,0000) lebih besar dari taraf nyata lima persen
(Lampiran 9). Maka model yang digunakan dalam penelitian ini sudah lulus uji-F.
Artinya, variabel-variabel independen dalam model secara bersama-sama berpengaruh
nyata terhadap variabel dependennya, yaitu keberhasilan pemekaran.
Uji t-statistik dapat dilakukan dengan melihat nilai P value dari masing-masing
variabel independen yang lebih kecil dari taraf nyata lima persen. Hasilnya menunjukkan
PDRB per kapita, PAD, dan jenis pemekaran berpengaruh secara signifikan
terhadap model faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan pemekaran wilayah
69
kabupaten/kota di Indonesia. Sementara variabel DAU, IPM, dan angka
kemiskinan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap model faktor-faktor
yang memengaruhi keberhasilan pemekaran wilayah kabupaten/kota di Indonesia.
Hal tersebut dapat dilihat dari nilai probabilitas dari masing-masing variabel
tersebut yang lebih besar dari taraf nyata lima persen.
5.2.3. Pengujian Asumsi Model
5.2.3.1. Uji Normalitas
Uji Normalitas dilakukan dengan melihat nilai probability Jarque Bera. Pada
Lampiran 10 diperoleh bahwa nilai probability Jarque Bera sebesar 0,962157. Nilai ini
lebih besar dari taraf nyata lima persen, artinya error term terdistribusi normal.
5.2.3.2. Uji Multikolinearitas
Ciri-ciri dari adanya maslah multikolinearitas adalah nilai R2 tinggi tetapi banyak
variabel independen yang tidak signifikan. Dari Tabel 5.1. terlihat bahwa nilai R2 tidak
terlalu besar, yaitu 65 persen dan variabel yang signifikan jumlahnya sama dengan
variabel yang tidak signifikan. Selain itu jika dilihat pada Lampiran 8, tidak terlihat
korelasi antar variabel independen yang nilainya lebih dari │0.8│. Sehingga dapat
disimpulkan dalam model yang digunakan tidak terjadi masalah multikolinearitas.
5.2.3.3. Uji Heteroskedastisitas
Pengujian terhadap masalah heteroskedastisitas dapat dilkukan dengan
menggunakan uji Breusch Pagan Godfrey. Tujuan dari dilakukannya uji ini yaitu untuk
melihat apakah ragam sisaan (εi) sama atau homogen. Hasil pengujian pada Lampiran 11
dengan menggunakan uji tersebut menunjukkan nilai probabilitas obs*R-Squared sebesar
0.7894. Nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata lima persen, sehingga dapat
70
disimpulkan bahwa ragam pada model yang digunakan adalah homogen, atau tidak
mengalami masalah heteroskedastisitas.
5.2.3.4. Uji Autokorelasi
Salah satu asumsi dari model regresi linier adalah tidak ada autokorelasi atau
sisaannya menyebar bebas. Uji autokorelasi dapat dilakukan dengan menggunakan uji
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM. Dari hasil uji autokorelasi, didapatkan nilai
probabilitas obs*R-Squared pada model persamaan sebesar 0.0656. Nilai ini lebih
besar dari taraf nyata lima persen, artinya model persamaan yang digunakan tidak
mengalami masalah autokorelasi (Lampiran 12).
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Kondisi ekonomi DOB pada lima tahun awal pemekaran dianalis dengan
melihat perkembangan PDRB per kapita, PAD, Dana Perimbangan, IPM, dan
angka kemiskinan. PDRB per kapita meningkat setiap tahunnya, artinya tingkat
kesejahteraan masyarakat juga ikut meningkat. Di DOB, PAD meningkat namun
peningkatan ini tidak diimbangi dengan penurunan dana perimbangan. Bahkan
peningkatan PAD lebih kecil dibandingkan peningkatan Dana Perimbagan. Hal ini
menunjukkan tingkat ketergantungan fiskal DOB masih tinggi. IPM meningkat
dan angka kemiskinan berkurang, hal ini membuktikan tingkat pemerataan
semakin baik setiap tahunnya. Secara umum kota memang lebih berhasil
dibandingkan kabupaten, terutama dari sisi keberhasilan pemekaran, IKE, PAD,
DAU, IPM, dan Angka Kemiskinan. Jika dilihat dari sektor pembentuk PDRB,
maka kabupaten masih didominasi oleh sektor primer, sedangkan kota didominasi
oleh sektor sekunder.
Sejak tahun 1999 hingga bulan Juni tahun 2009, sebanyak 208 kabupaten
dan kota telah memekarkan diri. Penilaian keberhasilan dilakukan terhadap
daerah-daerah yang telah melaksanakan pemekaran lebih dari lima tahun,
sehingga didapatkan 141 daerah yang telah mekar pada tahun 1999-2003. Dari
hasil penelitian didapatkan daerah yang berhasil dalam pemekaran sebanyak 57
daerah, dan besar persentase keberhasilan seluruh kabupaten/kota hanya 40
persen. Hal ini berarti desentralisasi belum dapat berjalan dengan maksimal.
72
Berdasarkan hasil penelitian terhadap faktor-faktor yang memengaruhi
keberhasilan pemekaran, terdapat tiga variabel yang memengaruhi secara
signifikan terhadap keberhasilan pemekaran. Ketiga variabel tersebut adalah
PDRB per kapita, PAD, dan jenis pemekaran. Sementara variabel lain yang tidak
berpengaruh terhadap keberhasilan pemekaran adalah DAU, IPM, dan angka
kemiskinan.
6.2. Saran
Melihat dari hasil analisis regresi yang telah dilakukan, maka saran dari
penelitian ini yaitu:
1. Perlu ditingkatkan kinerja perekonomian dari daerah otonom baru, terutama
untuk daerah yang belum berhasil dalam pemekaran. Peningkatan kinerja ini
dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah PDRB per kapita dan PAD dari
daerah dengan menggunakan hak yang telah diberikan oleh pemerintah pusat.
Namun perlu diperhatikan aturan-aturan yang berlaku, sehingga apabila suatu
daerah ingin menerapkan kebijakan baru guna terjadinya penningkatan PDRB
per kapita dan PAD, maka aturan tersebut tidak akan saling bertentangan
dengan aturan lain yang sudah ada terlebih dahulu.
2. Pada penelitian selanjutnya, perlu dilakukan penilaian keberhasilan tidak
hanya dari sisi ekonomi saja. Evaluasi dan penilaian keberhasilan juga perlu
mencakup sisi keuangan, pelayanan publik, dan aparat pemerintah. Jika hal ini
dilakukan, maka penilaian keberhasilan akan lebih menyeluruh dan hasilnya
dapat digunakan sebagai acuan yang lebih tepat dalam menilai keberhasilan.
73
Namun pencarian data akan lebih sulit dilakukan terutama jika hanya
mengandalkan data sekunder.
3. Kegagalan dalam pemekaran wilayah juga disebabkan karena adanya
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur pemerintah. Sehingga,
apabila ingin meningkatkan keberhasilan dan kinerja daerah, perlu adanya
transparansi kebijakan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan
masyarakat, sehingga tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah
dapat berkurang.
DAFTAR PUSTAKA Adrian. Archie. 2 Maret 2010. Presiden: Desentralisasi Merupakan Amanah
Reformasi. http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2010/03/02/5177 .html [3 Pebruari 2010].
Agustiar, Dwi R. 14 Juli 2010. Presiden Ungkap 80% Pemekaran Wilayah Gagal.
http://www.tempointeraktif.com [30 November 2010]. Bachrul, Elmi. 2002. Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia,
Jakarta: UI-Press. Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyuasin dan BAPPEDA. 2008. Produk
Domestik Regional Bruto Kabupaten Banyuasin. Banyuasin: Badan Pusat Statistik. http://www.banyuasinkab.go.id [9 April 2011].
Badan Pusat Statistik. 2000 – 2008. Tabel Produk Domestik Regional Bruto per
Kabupaten atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha. (tidak diterbitkan).
__________________. 2002 – 2009. Data dan Informasi Kemiskinan Buku II:
Kabupaten. Jakarta: Badan Pusat Statistik. __________________. 2005 – 2010. Indeks Pembagunan Manusia. Jakarta:
Badan Pusat Statistik. __________________. 2010. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2010. Berita
Resmi Statistik No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010. BAPPENAS-UNDP. 2008. Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah. Jakarta:
BRIDGE. Damanhuri, Didin S. 2010. Ekonomi Politik dan Pembangunan. Bogor: IPB Press. Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan KEMENKEU. 2000-2009. Alokasi
DAU. http://www.djpk.depkeu.go.id [2 Maret 2011]. ________________________________________________. Grand Design
Desentralisasi Fiskal Indonesia. http://www.djpk.depkeu.go.id/ document.php/document/article/395/708/ [3 Juli 2011].
Ditjen Otonomi Daerah KEMDAGRI. 2009. Daftar Daerah Otonom Baru
Pembentukan Tahun 1999-2009 (205 Daerah). http://www.kppod.org [2 Pebruari 2011].
75
_________________________________. 2009a. Grand Strategi Penataan Daerah Sangat Urgen dan Mendesak. Jurnal Otonomi Daerah Vol. IX No. 1 Februari-Maret 2009 : 5-9.
_________________________________. 2009b. Modus TPK dalam Penyalahgunaan Anggaran Daerah. Jurnal Otonomi Daerah Vol. IX No. 1 Februari-Maret 2009 : 33-34.
_________________________________. 2009c. Perda-Perda “Ngawur” akan
Menggagalkan Cita-Cita Otonomi Daerah. Jurnal Otonomi Daerah Vol. IX No. 1 Februari-Maret 2009 : 46-50.
[DPR] Dewan Perwakilan Rakyat RI. 1999. Undang-Undang No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. ______________________________. 1999. Undang-Undang No. 25 tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. ______________________________. 2000. Peraturan Pemerintah No. 129 tahun
2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
______________________________. 2004. Undang-Undang No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. ______________________________. 2004. Undang-Undang No. 33 tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. ______________________________. 2007. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun
2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
______________________________. 2007. Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun
2007 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga. Effendy, Arif R. 19 Mei 2008. Pemekaran Wilayah Kabupaten dan Kota.
www.dsfindonesia.org [5 Pebruari 2010]. Firdaus, M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Jakarta: Bumi
Aksara.
76
Fitriani, Fitria, Hofman B. dan Kai K. 2005. Unity in Diversity ? The Creation of New Local Government in a Decentralising Indonesia. Bulletin of Indonesia Studies.
Gujarati, D.N. 2004. Basic Econometrics, 3th edition. New York: The McGraw-
Hill Companies. Harianto, David dan Adi, Priyo H. 2007. Hubungan antara Dana Alokasi Umum,
Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan Per Kapita. disampaikan dalam Simposium Nasional Akuntansi X tanggal 26-28 Juli 2007 di UNHAS Makassar. Salatiga: FE Universitas Kristen Satya Wacana.
Hastuti. Desember 2007. Efektivitas Pelaksanaan Raskin. Hasil evaluasi Lembaga
Penelitian SMERU. www.smeru.or.id [5 Oktober 2010]. Hermawan, Agus. 16 Agustus 2007. Kegamangan Otonomi Daerah. dalam:
Kompas. www.docstoc.com/docs/21399449/ Kegamangan-Otonomi-Daerah [4 Pebruari 2010].
Hirawan, Susiyati B. Desentralisasi Fiskal Sebagai Suatu Upaya Meningkatkan
Penyediaan Layanan Publik (Bagi Orang Miskin) di Indonesia. Pidato pengukuhan pada Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Ekonomi. Jakarta: FE Universitas Indonesia. http://web.mac.com/adrianpanggabean/Loose_Notes_on_Indonesia/Decentralization_and_Local_Finance_files/Prof%20Susiyati%20Hirawan%20(Pidato%20Pengukuhan).pdf [3 Juli 2011].
Irmawan, Riswandha. 2002. Desentralisasi, Demokratisasi dan Pembentukan
Good Governance. dalam: Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press.
Juanda, Bambang. 2009. Ekonometrika Permodelan dan Pendugaan. Bogor: IPB
Press. Karimi, Ahmad F. 1 Desember 2010. Desentralisasi Pasca Reformasi.
http://ahmadfk.wordpress.com/ [4 Pebruari 2010]. [KEMDAGRI]Kementerian Dalam Negeri. 2007. Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 37 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa.
____________________________________. 2010. Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 21 tahun 2010 tentang Pedoman Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
77
____________________________________. 2011. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 120-277 Tahun 2011 tentang Penetapan Peringkat Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom Hasil Pemekaran tahun 1999-2009.
Laode, Ida. 22 Maret 2005. Permasalahan Pemekaran Daerah di Indonesia. dalam:
Media Indonesia. Mardiasmo. 2009. Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Era Reformasi: 2005-2008.
dalam: Era Baru Kebijakan Fiskal hal 561-578. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Nurkholis dan Nazara S. 2007. Ukuran Optimal Pemerintaha Daerah di
Indonesia: Studi Kasus Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota dalam Era Desentralisasi. dalam Jurnal Ekonomi dan Pembagunan Indonesia, Vol. VII No. 02, Januari 2007. http://isjd.pdii.lipi.go.id [23 April 2011].
Percik, Institute for Social Research, Democracy, and Social Justice . 2007.
Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton. http://www.drsp-usaid.org [4 Pebruari 2011].
Ratnawati, Tri. 12 Februari 2010. Evaluasi Pemekaran Daerah dan Saran
Perbaikan ke Depan. www.jurnalnasional.com [4 Pebruari 2010]. Rosidin, Utang. 2010. Otonomi Daerah dan Desentralisasi. Bandung: Pustaka
Setia. Santosa, Purbayu B dan Rahayu R. 2005. Analisis Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dan Faktor-Faktor yang Memengaruhinya dalam Upaya Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Kediri. dalam: Dinamika Pembangunan Vol. 2 No.1/Juli 2005: 9-18. http://eprints.undip.ac.id [28 Januari 2011].
Sarundajang. 2003. Birokrasi dalam Otonomi Daerah : upaya mengatasi
kegagalannya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Sinaga, Bonar M. dan Siregar, H. 2005. Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal
terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah di Indonesia. Jakarta: Depdiknas. Tambunan, Tulus. 2003. Perekonomian Indonesia: Beberapa Permasalahan
Penting. Jakarta: Ghalia Indonesia. Tarigan, Antonius. 2010. Dampak Pemekaran Wilayah. dalam: Majalah
Perencanaan Pembangunan Edisi 01: 22-26. UNDP. 1995. Human Development Report. New York: Oxford University.
78
UNPAD-DPD. 2009. Pola Hubungan Antara Pusat dan Daerah. Bandung: Pusat Studi Kajian Negara Fakultas Hukum UNPAD.
USAID. 2006. Membedah Reformasi Desentralisasi di Indonesia. Jakarta:
Democratic Reform Support Program. Wagiyo. 2009. Tiga Syarat Pemekaran Wilayah. dalam: Lesung edisi Maret: 5-7.
http://desentralisasi.net/ [28 Januari 2011]. Winarno, Wing Wahyu. 2002. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan
EViews. Bogor: M-BRIO Press.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Nilai IKE dan Tabel Keberhasilan kabupaten/Kota
No. Daerah Induk IKE Daerah Otonom Baru IKE Kriteria 1 Kab. Aceh Selatan 1.018 Kab. Aceh Singkil 1.004 Tidak Berhasil 2 Kab. Aceh Utara 0.986 Kab. Bireun 1.078 Berhasil 3 Kab. Aceh Barat 0.830 Kab. Simeuleu 0.872 Berhasil 4 Kab. Aceh Utara 1.049 Kota Lhoksemawe 1.484 Berhasil 5 Kab. Aceh Timur 1.048 Kota Langsa 1.294 Berhasil 6 Kab. Aceh Barat 1.031 Kab. Aceh Jaya 1.040 Berhasil 7 Kab. Aceh Barat 1.031 Kab. Nagan Raya 1.054 Berhasil 8 Kab. Aceh Tenggara 1.244 Kab. Gayo Lues 0.996 Tidak Berhasil 9 Kab. Aceh Selatan 1.145 Kab. Aceh Barat Daya 1.069 Tidak Berhasil 10 Kab. Aceh Timur 1.146 Kab. Aceh Tamiang 1.175 Berhasil 11 Kab. Aceh Tengah 1.223 Kab. Bener Meriah 1.111 Tidak Berhasil
12 Kab. Tapanuli Selatan 1.138 Kota Padang Sidempuan 1.376 Berhasil
13 Kab. Nias 1.087 Kab. Nias Selatan 1.001 Tidak Berhasil 14 Kab. Dairi 1.354 Kab. Pak Pak Bharat 1.193 Tidak Berhasil
15 Kab. Tapanuli Utara 1.305Kab. Humbang Hasundutan 1.342 Berhasil
16 Kab. Deli Serdang 1.768 Kab. Serdang Bedagai 1.455 Tidak Berhasil 17 Kab. Toba Samosir 1.389 Kab. Samosir 1.157 Tidak Berhasil
18 Kab. Padang Pariaman 1.398 Kab. Kep Mentawai 1.262 Tidak Berhasil
19 Kab. Pariaman 1.445 Kota Pariaman 1.548 Berhasil
20 Kab. Sawah Lunto/Sijunjung 1.430 Kab. Dharmas Raya 1.421 Tidak Berhasil
21 Kab. Solok 1.429 Kab. Solok Selatan 1.331 Tidak Berhasil 22 Kab. Pasaman 1.378 Kab. Pasaman Barat 1.523 Berhasil 23 Indragiri Hulu 1.419 Kab. Kuantan Singingi 1.279 Tidak Berhasil 24 Kampar 1.474 Kab. Pelalawan 1.433 Tidak Berhasil 25 Kampar 1.474 Kab. Rokan Hulu 1.288 Tidak Berhasil 26 Bengkalis 1.655 Kota Dumai 1.489 Tidak Berhasil 27 Bengkalis 1.655 Kab. Rokan Hilir 1.609 Tidak Berhasil 28 Bengkalis 1.655 Kab. Siak 1.771 Berhasil 29 Kab. Kerinci 1.544 Kab. Sarolangun 1.308 Tidak Berhasil
30 Kab. Bungo Tebo (Bungo) 1.476 Kab. Tebo 1.461 Tidak Berhasil
31 Kab. Batanghari 1.360 Kab. Muaro Jambi 1.516 Berhasil
32 Kab. Tanjung Jabung (Barat) 1.501
Kab. Tanjung Jabung Timur 1.472 Tidak Berhasil
81
No. Daerah Induk IKE Daerah Otonom Baru IKE Kriteria 33 Kab. Muara Enim 1.369 Kota Prabumulih 1.437 Berhasil 34 Kab. Lahat 1.071 Kota Pagar Alam 1.338 Berhasil 35 Kab. Musi Rawas 1.005 Kota Lubuk Linggau 1.296 Berhasil
36 Kab. Musi Banyuasin 1.170 Kab. Banyuasin 1.365 Berhasil
37 Kab. Ogan Komering Ulu 1.410 Kab. OKU Selatan 1.304 Tidak Berhasil
38 Kab. Ogan Komering Ulu 1.410 Kab. OKU Timur 1.380 Tidak Berhasil
39 Kab. Ogan Komering Ilir 1.272 Kab. Ogan Ilir 1.264 Tidak Berhasil
40 Kab. Bengkulu Utara 1.381 Kab. Muko-Muko 1.345 Tidak Berhasil
41 Kab. Rejang Lebong 1.601 Kab. Lebong 1.380 Tidak Berhasil 42 Kab. Rejang Lebong 1.601 Kab. Kepahiang 1.401 Tidak Berhasil
43 Kab. Bengkulu Selatan 1.085 Kab. Kaur 0.999 Tidak Berhasil
44 Kab. Bengkulu Selatan 1.085 Kab. Seluma 1.048 Tidak Berhasil
45 Kab. Lampung Utara 1.076 Kab. Way Kanan 0.999 Tidak Berhasil
46 Kab. Lampung Tengah 1.431 Kab. Lampung Timur 1.171 Tidak Berhasil
47 Kab. Lampung Tengah 1.431 Kota Metro 1.404 Tidak Berhasil
48 Kab. Bangka 1.737 Kab. Bangka Selatan 1.660 Tidak Berhasil 49 Kab. Bangka 1.737 Kab. Bangka Tengah 1.669 Tidak Berhasil 50 Kab. Bangka 1.737 Kab. Bangka Barat 1.973 Berhasil 51 Kab. Belitung 1.589 Kab. Belitung Timur 1.530 Tidak Berhasil
52 Kab. Kep Riau (Bintan) 1.433 Kab. Karimun 1.564 Berhasil
53 Kab. Kep Riau (Bintan) 1.433 Kab. Natuna 1.566 Berhasil
54 Kab. Kep Riau (Bintan) 1.433 Kota Batam 2.369 Berhasil
55 Kab. Bintan 1.539 Kota Tanjung Pinang 1.500 Tidak Berhasil 56 Kab. Bintan 1.617 Kab. Lingga 1.138 Tidak Berhasil 57 Kab. Bogor 1.494 Kota Depok 1.539 Berhasil 58 Kab. Bandung 1.456 Kota Cimahi 1.510 Berhasil 59 Kab. Tasikmalaya 1.253 Kota Tasikmalaya 1.444 Berhasil 60 Kab. Ciamis 1.368 Kota Banjar 1.438 Berhasil 61 Kab. Malang 1.341 Kota Batu 1.422 Berhasil 62 Kab. Serang 1.528 Kota Cilegon 1.885 Berhasil 63 Kab. Bima 1.176 Kota Bima 1.344 Berhasil
82
No. Daerah Induk IKE Daerah Otonom Baru IKE Kriteria 64 Kab. Sumbawa 1.182 Kab. Sumbawa Barat 2.345 Berhasil 65 Kab. Flores Timur 1.326 Kab. Lembata 0.898 Tidak Berhasil 66 Kab. Kupang 1.056 Kab. Rote Ndao 0.982 Tidak Berhasil 67 Kab. Manggarai 0.992 Kab. Manggarai Barat 1.113 Berhasil 68 Kab. Sambas 1.449 Kab. Bengkayang 1.290 Tidak Berhasil 69 Kab. Pontianak 1.697 Kab. Landak 1.114 Tidak Berhasil 70 Kab. Bengkayang 1.411 Kota Singkawang 1.481 Berhasil 71 Kab. Sintang 1.383 Kab. Melawi 1.242 Tidak Berhasil 72 Kab. Sanggau 1.612 Kab. Sekadau 1.429 Tidak Berhasil
73 Kab. Kotawaringin Timur 1.705 Kab. Katingan 1.548 Tidak Berhasil
74 Kab. Kotawaringin Timur 1.705 Kab. Seruyan 1.518 Tidak Berhasil
75 Kab. Kotawaringin Barat 1.659 Kab. Sukamara 1.526 Tidak Berhasil
76 Kab. Kotawaringin Barat 1.659 Kab. Lamandau 1.506 Tidak Berhasil
77 Kab. Kapuas 1.720 Kab. Gunung Mas 1.453 Tidak Berhasil 78 Kab. Kapuas 1.720 Kab. Pulang Pisau 1.437 Tidak Berhasil 79 Kab. Barito Utara 1.540 Kab. Murung Raya 1.538 Tidak Berhasil 80 Kab. Barito Selatan 1.495 Kab. Barito Timur 1.443 Tidak Berhasil 81 Kab. Banjar 1.619 Kota Banjarbaru 1.528 Tidak Berhasil 82 Kab. Kotabaru 1.805 Kab. Tanah Bumbu 1.676 Tidak Berhasil
83 Kab. Hulu Sungai Utara 1.399 Kab. Balangan 1.528 Berhasil
84 Kab. Bulungan 1.200 Kab. Nunukan 1.230 Berhasil 85 Kab. Bulungan 1.200 Kab. Malinau 1.198 Tidak Berhasil 86 Kab. Kutai 1.578 Kab. Kutai Barat 1.439 Tidak Berhasil 87 Kab. Kutai 1.578 Kab. Kutai Timur 1.744 Berhasil 88 Kab. Kutai 1.578 Kota Bontang 1.681 Berhasil 89 Kab. Pasir 1.580 Kab. Panajam Paser Utara 1.299 Tidak Berhasil
90 Kab. Kep. Sangihe Talaud 1.277 Kab. Kepulauan Talaud 1.333 Berhasil
91 Kab. Minahasa 1.610 Kota Tomohon 1.524 Tidak Berhasil 92 Kab. Minahasa 1.610 Kab. Minahasa Selatan 1.439 Tidak Berhasil 93 Kab. Minahasa 1.610 Kab. Minahasa Utara 1.544 Tidak Berhasil
94 Kab. Buol Toli-Toli (Toli-Toli) 1.262 Kab. Buol 1.096 Tidak Berhasil
95 Kab. Poso 1.066 Kab. Morowali 1.169 Berhasil 96 Kab. Banggai 1.402 Kab. Banggai Kepulauan 1.096 Tidak Berhasil 97 Kab. Donggala 1.443 Kab. Parigi Moutong 1.439 Tidak Berhasil 98 Kab. Poso 1.191 Kab. Tojo Una-Una 1.068 Tidak Berhasil
83
No. Daerah Induk IKE Daerah Otonom Baru IKE Kriteria 99 Kab. Luwu 1.191 Kab. Luwu Utara 1.310 Berhasil
100 Kab. Luwu 1.255 Kota Palopo 1.389 Berhasil 101 Kab. Luwu Utara 1.346 Kab. Luwu Timur 1.651 Berhasil 102 Kab. Buton 1.193 Kota Bau-Bau 1.389 Berhasil
103 Kab. Kendari (konawe) 1.293 Kab. Konawe Selatan 1.421 Berhasil
104 Kab. Buton 1.285 Kab. Bombana 1.320 Berhasil 105 Kab. Buton 1.285 Kab. Wakatobi 1.245 Tidak Berhasil 106 Kab. Kolaka 1.556 Kab. Kolaka Utara 1.259 Tidak Berhasil 107 Kab. Gorontalo 1.536 Kab. Boalemo 1.209 Tidak Berhasil 108 Kab. Gorontalo 1.506 Kab. Bone Bolango 1.301 Tidak Berhasil 109 Kab. Boalemo 1.270 Kab. Pohuwato 1.348 Berhasil 110 Kab. Polmas 1.534 Kab. Mamasa 1.267 Tidak Berhasil 111 Kab. Mamuju 1.921 Kab. Mamuju Utara 1.667 Tidak Berhasil
112 Kab. Maluku Tengah 1.133 Kab. Buru 0.990 Tidak Berhasil
113 Kab. Maluku Tenggara 0.948
Kab. Maluku Tenggara Barat 0.863 Tidak Berhasil
114 Kab. Maluku Tengah 1.100 Kab. Seram Bagian Barat 0.947 Tidak Berhasil
115 Kab. Maluku Tengah 1.100 Kab. Seram Bagian Timur 0.847 Tidak Berhasil
116 Kab. Maluku Tenggara 0.919 Kab. Kepulauan Aru 0.882 Tidak Berhasil
117 Kab. Maluku Utara (Halmahera Barat) 1.748 Kota Ternate 1.703 Tidak Berhasil
118 Kab. Halmehera Tengah 1.144 Kota Tidore Kepulauan 1.558 Berhasil
119 Kab. Halmehera Barat 1.345 Kab. Halmehera Selatan 1.600 Berhasil
120 Kab. Halmehera Barat 1.345 Kab. Halmehera Utara 1.661 Berhasil
121 Kab. Halmehera Barat 1.345 Kab. Kepulauan Sula 1.526 Berhasil
122 Kab. Halmehera Tengah 1.144 Kab. Halmehera Timur 1.309 Berhasil
123 Kab. Sorong 0.969 Kota Sorong 1.008 Berhasil 124 Kab. Sorong 1.122 Kab. Sorong Selatan 1.105 Tidak Berhasil
125 Kab. Sorong 1.122Kab. Kepulauan Raja Ampat 1.133 Berhasil
126 Kab. Manokwari 0.979 Kab. Teluk Bintuni 0.779 Tidak Berhasil 127 Kab. Manokwari 0.979 Kab. Teluk Wondama 0.688 Tidak Berhasil 128 Kab. Fak-Fak 1.018 Kab. Kaimana 1.133 Berhasil 129 Kab. Nabire 0.789 Kab. Paniai 0.565 Tidak Berhasil
84
No. Daerah Induk IKE Daerah Otonom Baru IKE Kriteria 130 Kab. Fak-Fak 0.882 Kab. Mimika 2.890 Berhasil 131 Kab. Jayawijaya 0.619 Kab. Puncak Jaya 0.521 Tidak Berhasil 132 Kab. Jayapura 1.104 Kab. Sarmi 1.070 Tidak Berhasil 133 Kab. Jayapura 1.104 Kab. Keerom 1.122 Berhasil 134 Kab. Jayawijaya 0.615 Kab. Pegunungan Bintang 0.656 Berhasil 135 Kab. Jayawijaya 1.030 Kab. Yahukimo 0.608 Tidak Berhasil 136 Kab. Jayawijaya 0.615 Kab. Tolikara 0.734 Berhasil
137 Kab. Yapen Waropen 0.776 Kab. Waropen 0.721 Tidak Berhasil
138 Kab. Merauke 1.196 Kab. Boven Digoel 1.229 Berhasil 139 Kab. Merauke 1.196 Kab. Mappi 1.020 Tidak Berhasil 140 Kab. Merauke 1.196 Kab. Asmat 0.993 Tidak Berhasil 141 Kab. Biak Numfor 0.828 Kab. Supiori 0.787 Tidak Berhasil
Total DOB Berhasil 57 daerah Total DOB Belum Berhasil 84 daerah
Persentase 40% Persentase 60%
85
Lampiran 2. PDRB per Kapita (Ribu Rupiah)
DOB PDRB per kapita
1 2 3 4 5Kab. Aceh Singkil 3695.502 4090.776 4498.747 3443.03 4482.29Kab. Bireun 4658.889 5323.695 5758.56 6130.61 6818Kab. Simeuleu 2704.471 3072.08 3379.996 2886.99 3390.3Kota Lhoksemawe 11962.03 11736.14 14886.89 15207.41 17587Kota Langsa 6717.868 5862.4 6811.86 7279.37 7623Kab. Aceh Jaya 4412.59 5758.09 5914.32 6926 7893Kab. Nagan Raya 6078.12 10116.08 10168.57 12375 15353Kab. Gayo Lues 4084.84 5654.74 6063.33 7638 8041Kab. Aceh Barat Daya 4336.98 6585.78 6866.28 7366 8089Kab. Aceh Tamiang 4699.11 5407.62 5792.87 6546 6725Kab. Bener Meriah 8001.6 7990.87 10152 10318 11941Kota Padang Sidempuan 5812.56 6504.33 6388 7263 8166Kab. Nias Selatan 4746.77 5398 5725 6222 6797Kab. Pak Pak Bharat 4947.73 5470 5961 5967 6303Kab. Humbang Hasundutan 7317.82 9023 10052 11228 12770Kab. Serdang Bedagai 7850.01 8498 9386 10392 11848Kab. Samosir 7798.82 8433 9157 9813 10585Kab. Kep Mentawai 5609.853 6367.501 7228.567 7678.28 8431.86Kota Pariaman 8716.6 9585.66 12335.07 14497 15972Kab. Dharmas Raya 6707.44 7811.24 8884 10180 11663Kab. Solok Selatan 5126.77 5598.46 6359 7067 8074Kab. Pasaman Barat 7961.74 9413.33 10880 12556 14661Kab. Kuantan Singingi 6824.914 8908.625 11280.92 13552.34 17362.9Kab. Pelalawan 10371.07 15747.87 20523.32 21185.4 24474.64Kab. Rokan Hulu 4402.664 6007.783 9091.963 10583.58 12820.78Kota Dumai 5474.781 6911.881 7847.543 8191.51 9141.5Kab. Rokan Hilir 5593.927 7978.96 9107.865 10600.5 12982.05Kab. Siak 7906.174 13489.2 16303.65 19809.34 24476.67Kab. Sarolangun 3289.074 3610.203 4027.101 4955.2 5745.32Kab. Tebo 2401.056 2783.825 3228.326 3995.11 4610.49Kab. Muaro Jambi 2450.764 2605.735 2872.581 3382.18 4201.24Kab. Tanjung Jabung Timur 3487.214 4041.884 4518.274 5249.35 6095.95Kota Prabumulih 5881.134 6302.12 7047.48 8109.46 9364Kota Pagar Alam 4649.24 5140.16 5593.05 6197.45 6832Kota Lubuk Linggau 5061.325 5416.45 5968.62 6597.73 7289Kab. Banyuasin 4684.18 5074.11 5612.34 6471 7380Kab. OKU Selatan 3825.2 4324.84 5222 5916 6810
86
DOB PDRB per kapita
1 2 3 4 5Kab. OKU Timur 4135.99 4681.61 5434 6351 7404Kab. Ogan Ilir 4800.35 5328.71 5972 6664 7542Kab. Muko-Muko 4569.96 5437.72 5979 6540 7148Kab. Lebong 5978.2 7156.97 7899 8716 9616Kab. Kepahiang 6114.26 7581.67 8454 9428 10674Kab. Kaur 2692.85 3006.38 3212 3508 3876Kab. Seluma 2252.73 2760.79 3120 3488 3903Kab. Way Kanan 2479.209 2760.166 2957.154 3152.93 3463.05Kab. Lampung Timur 2779.983 3280.602 3631.115 3847.73 4211.65Kota Metro 2745.154 2997.278 3306.663 3632.32 3949.54Kab. Bangka Selatan 8901 10139 11107 12112 14271Kab. Bangka Tengah 11273 13443 14390 15603 18437Kab. Bangka Barat 20392 22533 24289 26441 32154Kab. Belitung Timur 10717 13570 15124 16786 19710Kab. Karimun 6881.584 8209.482 9424.87 9637.51 10922.78Kab. Natuna 5526.404 6977.508 8253.41 9297.54 11004.33Kota Batam 36569.81 38667.14 38302.72 36253.92 39973.73Kota Tanjung Pinang 11969.09 11890.61 13535.94 15658.27 17419Kab. Lingga 6563.84 7396.86 7870 8534 9491Kota Depok 3051.692 3470.917 3957.922 4216.01 4793.73Kota Cimahi 10874.8 11820.11 12178.95 13178.55 14678Kota Tasikmalaya 3937.337 6054.19 6574.86 7921.49 9413Kota Banjar 4262.2 4779.83 5955.57 6880 7759Kota Batu 5314.957 6039.74 6910.01 8298.05 9587Kota Cilegon 22506.17 26258.81 30027.94 31564.11 35199.87Kota Bima 3574.29 3916.11 4299 4708 5313Kab. Sumbawa Barat 90152.41 99512 105938 131172 110337Kab. Lembata 1236.44 1439.32 1705.12 1671.03 1860.34Kab. Rote Ndao 2936.42 3145.31 3182 3386 3702Kab. Manggarai Barat 2596.75 3007 3029 3453 4008Kab. Bengkayang 4009.392 4590.558 3992.047 4838.19 5445.33Kab. Landak 4431.487 4666.446 5394.319 4683.94 5113.11Kota Singkawang 6626.903 6619.65 7325.05 8364.76 9285Kab. Melawi 3274.18 3531.67 3829 4182 4598Kab. Sekadau 3477.74 3917.36 4355 4947 5472Kab. Katingan 9506.65 10117.74 11213.69 12920 14111Kab. Seruyan 11219.78 12565.98 14099.08 16653 16428Kab. Sukamara 16038.04 17139.36 19808.56 21950 21498Kab. Lamandau 10166.75 11098.56 12867.03 14220 14024
87
DOB PDRB per kapita
1 2 3 4 5Kab. Gunung Mas 7566.55 8414.02 9580.62 10306 10434Kab. Pulang Pisau 5554.84 5920.04 6416.53 7183 7781Kab. Murung Raya 11327.18 12775.81 14736.69 16238 16309Kab. Barito Timur 7530.31 8510.08 9677.22 11386 11932Kota Banjarbaru 4401.86 5159.543 5254.575 5537.61 5915.1Kab. Tanah Bumbu 14350.45 15871 16247 18490 20905Kab. Balangan 14578.52 15064 17111 18518 19963Kab. Nunukan 4555.366 5642.17 6184.997 6651.06 7462.7Kab. Malinau 9209.298 10974 13234.15 12486.08 13852.6Kab. Kutai Barat 11108.97 12336.13 14889.55 17048.34 19244.07Kab. Kutai Timur 35819.91 44336.18 41947.47 36828.1 56034.67Kota Bontang 19327.18 21084.57 22880.68 29318.37 29128.66Kab. Panajam Paser Utara 7393.45 7745.93 8224.38 9092 10073Kab. Kepulauan Talaud 4553.28 5263.81 6034 7024 7609Kota Tomohon 7242.89 8243 10143 10952 12638Kab. Minahasa Selatan 7015.77 8152 8476 9594 10890Kab. Minahasa Utara 7607.25 8477 9101 10164 11659Kab. Buol 3300.201 3923.558 4390.426 4541.02 4956.34Kab. Morowali 4585.975 5239.268 5830.132 6352.7 6985.43Kab. Banggai Kepulauan 2611.385 3071.768 3418.598 3609.16 3971.49Kab. Parigi Moutong 6412.6 7105.53 8415.83 9601 10994Kab. Tojo Una-Una 2848.57 3191.07 3479 3858 4423Kab. Luwu Utara 9157.101 8967.32 8421.139 9593.01 4331Kota Palopo 5589.06 6175 6912 7628 8412Kab. Luwu Timur 21562 24274 26358 29005 30152Kota Bau-Bau 4400.608 5257.79 6058.23 7495.4 8682Kab. Konawe Selatan 3953.72 4816.69 4817 5489 6290Kab. Bombana 3662.26 4878.3 4878 5641 6380Kab. Wakatobi 2456.44 3629.55 3630 4161 4624Kab. Kolaka Utara 9386.69 10889.91 11970 13267 13403Kab. Boalemo 2662.626 2891.313 3327.175 3223.32 2970.77Kab. Bone Bolango 3142.81 3677 4217 4738 5517Kab. Pohuwato 4173.14 4611 5337 6330 7755Kab. Mamasa 3635.8 3900.55 4357.92 4801 5431Kab. Mamuju Utara 5570.73 6149.38 6873 7936 9370Kab. Buru 1690.196 1867.904 2045.699 2281.02 2476.69Kab. Maluku Tenggara Barat 2142.339 2374.657 2755.561 3150.45 3353.64Kab. Seram Bagian Barat 2200.83 2567 2727 3013 3342
88
DOB PDRB per kapita
1 2 3 4 5Kab. Seram Bagian Timur 1690.42 1908 2120 2334 2521Kab. Kepulauan Aru 2994.8 3406 3757 4146 4567Kota Ternate 2081.108 2123.22 2487.132 2726.19 2808.4Kota Tidore Kepulauan 2845.39 3091.29 3240 3552 4176Kab. Halmehera Selatan 2718.83 2948.01 2991 3208 3783Kab. Halmehera Utara 2368.13 2636.84 2793 2975 3433Kab. Kepulauan Sula 2283.32 2465.16 2701 2953 3433Kab. Halmehera Timur 3611.14 3709.22 3793 4351 5203Kota Sorong 4660.084 5465.991 6473.099 5972.36 6617.33Kab. Sorong Selatan 4477.32 4414.57 4480 4941 5422Kab. Kepulauan Raja Ampat 8444.29 8032.66 7185 7627 8237Kab. Teluk Bintuni 7730.41 8681.68 9819 12037 13458Kab. Teluk Wondama 4829.31 5457.68 6184 7379 9204Kab. Kaimana 8117.02 9064.44 10467 11427 12926Kab. Paniai 2195.355 2489.012 2851.174 3067.15 3226.93Kab. Mimika 142893.6 152854.7 135701.3 131898.6 119093.5Kab. Puncak Jaya 2513.402 2635.988 2760.982 4134.75 2939.13Kab. Sarmi 6572.03 9384.92 10938.01 10427 11797Kab. Keerom 6707.67 7154.57 8245.82 10423 11684Kab. Pegunungan Bintang 2267.4 1657.44 1858.39 2075 2589Kab. Yahukimo 871.93 833.14 935.26 1000 1141Kab. Tolikara 2969.62 3189.73 3596.2 3980 4982Kab. Waropen 5082.17 5869.78 6695.41 10289 7162Kab. Boven Digoel 8831.09 13248 16324.5 21571 25693Kab. Mappi 2302.68 2613.93 3238.89 4537 5629Kab. Asmat 2096.55 2334.61 2954.66 4128 5356Kab. Supiori 7187.49 8313.28 14933 20703 24021Jumlah PDRB per kapita 1122418 1272965 1379680 1525027 1647349
89
Lampiran 3. Perkembangan PAD DOB (Juta Rupiah)
No. DOB PAD Rata-Rata 2006 2007 2008 2009 2010
1 Kab. Aceh Singkil 5.666 0.000 9.750 13.160 13.960 8.5072 Kab. Bireun 14.195 15.100 22.097 37.097 35.000 24.6983 Kab. Simeuleu 4.537 4.028 7.001 20.000 20.200 11.1534 Kota Lhoksemawe 19.012 20.356 25.211 25.010 26.081 23.1345 Kota Langsa 9.814 15.243 21.744 24.442 24.970 19.2436 Kab. Aceh Jaya 13.579 8.466 13.830 19.830 16.091 14.3597 Kab. Nagan Raya 8.346 0.000 16.437 16.791 17.507 11.8168 Kab. Gayo Lues 1.777 4.837 6.027 8.516 9.431 6.1189 Kab. Aceh Barat Daya 4.811 10.212 15.000 15.000 16.125 12.23010 Kab. Aceh Tamiang 7.241 20.650 20.644 22.896 22.010 18.68811 Kab. Bener Meriah 4.691 0.000 6.333 8.535 14.020 6.716
12 Kota Padang Sidempuan 7.262 10.081 11.400 12.061 16.200 11.401
13 Kab. Nias Selatan 8.894 3.347 8.383 9.437 14.075 8.82714 Kab. Pak Pak Bharat 0.000 2.415 3.200 4.778 4.379 2.954
15 Kab. Humbang Hasundutan 6.333 4.578 6.891 13.949 14.203 9.191
16 Kab. Serdang Bedagai 21.677 20.018 21.776 25.439 26.418 23.06517 Kab. Samosir 0.000 9.193 10.711 23.652 20.994 12.91018 Kab. Kep Mentawai 12.663 17.580 19.052 22.958 26.285 19.70719 Kota Pariaman 7.316 7.532 8.372 8.917 10.030 8.43320 Kab. Dharmas Raya 12.296 16.198 22.116 37.631 54.670 28.58221 Kab. Solok Selatan 7.566 5.979 8.656 15.938 15.591 10.74622 Kab. Pasaman Barat 14.293 18.312 21.021 24.320 28.068 21.20323 Kab. Kuantan Singingi 21.390 17.195 21.867 24.284 34.305 23.80824 Kab. Pelalawan 24.581 12.444 26.537 21.398 30.623 23.11625 Kab. Rokan Hulu 21.049 21.762 36.615 25.386 24.734 25.90926 Kota Dumai 40.867 41.469 43.268 37.106 49.001 42.34227 Kab. Rokan Hilir 71.615 59.037 67.041 105.793 110.891 82.87528 Kab. Siak 140.416 249.921 559.075 385.701 294.725 325.96829 Kab. Sarolangun 9.894 3.149 13.176 20.210 25.001 14.28630 Kab. Tebo 11.346 16.957 12.677 16.762 29.000 17.34831 Kab. Muaro Jambi 6.973 14.877 0.000 15.512 16.796 10.832
32 Kab. Tanjung Jabung Timur 9.908 11.863 14.484 17.946 17.067 14.254
33 Kota Prabumulih 14.904 12.093 15.009 16.826 21.146 15.99534 Kota Pagar Alam 5.670 4.683 6.277 10.000 12.502 7.82635 Kota Lubuk Linggau 15.920 15.515 22.071 25.378 28.830 21.543
90
No. DOB PAD Rata-Rata 2006 2007 2008 2009 2010
36 Kab. Banyuasin 15.904 12.197 15.194 20.005 20.005 16.66137 Kab. OKU Selatan 7.174 2.922 11.503 4.555 6.594 6.55038 Kab. OKU Timur 10.726 9.555 9.587 11.087 31.717 14.53439 Kab. Ogan Ilir 12.975 12.629 16.033 15.252 25.867 16.55140 Kab. Muko-Muko 0.000 12.000 12.058 12.000 25.789 12.36941 Kab. Lebong 2.402 8.001 8.001 11.420 23.895 10.74442 Kab. Kepahiang 3.768 6.511 9.581 10.666 15.097 9.12543 Kab. Kaur 2.738 2.637 4.861 7.641 11.001 5.77644 Kab. Seluma 3.977 21.969 21.918 9.857 12.465 14.03745 Kab. Way Kanan 8.404 7.668 8.000 10.423 15.600 10.01946 Kab. Lampung Timur 16.137 15.032 20.729 18.572 20.000 18.09447 Kota Metro 17.543 17.045 19.081 18.580 25.179 19.48648 Kab. Bangka Selatan 21.626 12.673 20.146 21.466 22.034 19.58949 Kab. Bangka Tengah 8.189 10.000 12.000 10.088 17.000 11.45550 Kab. Bangka Barat 17.156 18.202 15.600 19.421 21.847 18.44551 Kab. Belitung Timur 24.976 25.469 27.165 32.924 29.871 28.08152 Kab. Karimun 60.100 53.800 128.084 223.613 236.916 140.50253 Kab. Natuna 24.840 38.250 47.801 13.792 14.344 27.80554 Kota Batam 95.147 105.329 129.409 184.208 195.282 141.87555 Kota Tanjung Pinang 24.311 28.003 28.552 41.954 46.824 33.92956 Kab. Lingga 17.129 5.500 6.501 29.380 12.021 14.10657 Kota Depok 67.218 72.080 80.425 88.872 103.379 82.39558 Kota Cimahi 50.326 54.659 60.199 74.163 78.719 63.61359 Kota Tasikmalaya 0.000 0.000 58.129 60.880 79.762 39.75460 Kota Banjar 18.542 16.150 24.000 24.400 28.648 22.34861 Kota Batu 0.000 11.341 18.104 22.581 30.000 16.40562 Kota Cilegon 112.243 102.712 93.090 128.846 138.393 115.05763 Kota Bima 4.970 7.620 8.107 9.728 9.763 8.03864 Kab. Sumbawa Barat 11.124 18.456 21.984 22.631 36.526 22.14465 Kab. Lembata 9.099 9.478 9.819 11.425 12.508 10.46666 Kab. Rote Ndao 8.758 10.058 14.779 15.700 17.474 13.35467 Kab. Manggarai Barat 7.169 0.000 11.617 18.794 23.370 12.19068 Kab. Bengkayang 8.028 7.500 6.985 8.609 10.282 8.28169 Kab. Landak 13.046 4.011 5.237 6.820 6.828 7.18870 Kota Singkawang 16.164 19.273 22.686 24.286 28.369 22.15671 Kab. Melawi 5.448 7.279 15.195 17.737 22.141 13.56072 Kab. Sekadau 3.157 0.000 6.481 12.393 20.296 8.46573 Kab. Katingan 18.655 16.265 17.251 18.436 27.899 19.70174 Kab. Seruyan 9.821 8.335 13.321 13.591 14.719 11.957
91
No. DOB PAD Rata-Rata 2006 2007 2008 2009 2010
75 Kab. Sukamara 7.338 5.355 8.675 9.555 13.106 8.80676 Kab. Lamandau 5.466 7.269 8.068 10.334 11.317 8.49177 Kab. Gunung Mas 0.000 6.000 10.400 11.557 20.423 9.67678 Kab. Pulang Pisau 7.391 6.000 6.412 10.359 12.900 8.61279 Kab. Murung Raya 8.530 11.022 8.794 13.023 20.050 12.28480 Kab. Barito Timur 4.133 5.101 9.047 13.011 20.068 10.27281 Kota Banjarbaru 16.890 16.000 19.635 23.250 27.360 20.62782 Kab. Tanah Bumbu 0.000 114.888 104.581 32.623 52.713 60.96183 Kab. Balangan 6.820 3.228 4.044 11.621 13.653 7.87384 Kab. Nunukan 26.880 23.730 27.412 37.061 40.437 31.10485 Kab. Malinau 13.741 10.125 15.735 16.743 60.038 23.27686 Kab. Kutai Barat 18.901 29.948 34.452 39.458 52.344 35.02187 Kab. Kutai Timur 12.335 20.954 30.696 59.286 86.936 42.04188 Kota Bontang 0.000 21.363 21.581 42.241 42.744 25.586
89 Kab. Panajam Paser Utara 28.263 27.068 29.082 30.834 46.434 32.336
90 Kab. Kepulauan Talaud 5.769 10.061 15.421 7.226 4.487 8.59391 Kota Tomohon 4.808 3.319 3.538 6.992 7.137 5.15992 Kab. Minahasa Selatan 0.000 5.625 27.983 8.751 7.597 9.99193 Kab. Minahasa Utara 5.516 6.202 8.264 11.088 11.081 8.43094 Kab. Buol 4.637 7.901 10.613 15.539 21.777 12.09395 Kab. Morowali 17.088 8.767 18.603 16.368 35.637 19.293
96 Kab. Banggai Kepulauan 10.290 8.082 8.469 17.768 15.000 11.922
97 Kab. Parigi Moutong 7.214 5.696 7.599 7.745 12.812 8.21398 Kab. Tojo Una-Una 6.787 5.062 8.332 15.395 16.655 10.44699 Kab. Luwu Utara 14.042 13.500 14.054 18.831 26.706 17.427
100 Kota Palopo 15.496 16.788 19.422 19.032 26.310 19.410101 Kab. Luwu Timur 19.656 31.759 35.686 59.125 49.954 39.236102 Kota Bau-Bau 7.887 11.461 14.166 19.380 19.799 14.539103 Kab. Konawe Selatan 0.000 7.556 10.668 11.934 12.699 8.571104 Kab. Bombana 9.752 4.950 5.949 64.751 10.600 19.200105 Kab. Wakatobi 0.000 5.185 10.601 12.012 12.881 8.136106 Kab. Kolaka Utara 4.784 3.943 4.552 8.000 8.150 5.886107 Kab. Boalemo 8.986 7.769 10.423 15.099 15.493 11.554108 Kab. Bone Bolango 2.864 5.003 5.503 8.203 14.403 7.195109 Kab. Pohuwato 9.119 9.424 10.428 12.106 13.669 10.949110 Kab. Mamasa 0.000 4.515 5.303 5.094 5.399 4.062111 Kab. Mamuju Utara 5.446 3.927 4.279 4.654 5.285 4.718112 Kab. Buru 4.586 5.615 8.500 9.660 10.215 7.715
92
No. DOB PAD Rata-Rata 2006 2007 2008 2009 2010
113 Kab. Maluku Tenggara Barat 5.313 6.861 10.937 23.653 35.232 16.399
114 Kab. Seram Bagian Barat 5.110 6.241 11.754 14.483 15.314 10.580
115 Kab. Seram Bagian Timur 1.640 3.289 5.352 7.484 7.484 5.050
116 Kab. Kepulauan Aru 0.000 6.167 7.630 8.086 12.926 6.962117 Kota Ternate 16.765 17.845 23.075 29.205 31.010 23.580118 Kota Tidore Kepulauan 5.237 4.143 6.166 8.379 8.436 6.472
119 Kab. Halmehera Selatan 18.200 23.000 41.652 77.088 49.479 41.884
120 Kab. Halmehera Utara 6.101 6.134 22.000 40.247 156.479 46.192121 Kab. Kepulauan Sula 1.777 5.100 5.600 13.544 20.000 9.204122 Kab. Halmehera Timur 27.746 3.520 23.849 24.739 25.953 21.161123 Kota Sorong 14.886 11.618 11.619 17.581 17.607 14.662124 Kab. Sorong Selatan 5.498 2.533 5.641 4.436 5.398 4.701
125 Kab. Kepulauan Raja Ampat 3.366 2.968 4.141 8.227 9.268 5.594
126 Kab. Teluk Bintuni 4.389 5.934 11.241 17.282 35.353 14.840127 Kab. Teluk Wondama 2.979 370.000 10.173 7.681 11.544 80.475128 Kab. Kaimana 6.961 1.724 1.781 8.241 13.971 6.535129 Kab. Paniai 8.987 2.253 3.695 5.617 10.477 6.206130 Kab. Mimika 50.355 45.560 32.281 45.434 298.650 94.456131 Kab. Puncak Jaya 4.745 2.776 7.122 13.136 17.538 9.064132 Kab. Sarmi 2.799 2.472 2.605 5.205 4.292 3.475133 Kab. Keerom 2.723 1.650 4.650 5.000 20.000 6.805
134 Kab. Pegunungan Bintang 2.724 2.435 3.951 4.850 7.290 4.250
135 Kab. Yahukimo 3.901 0.000 2.500 3.500 7.638 3.508136 Kab. Tolikara 0.000 0.000 0.000 1.270 7.000 1.654137 Kab. Waropen 0.000 700.000 4.740 4.916 4.622 142.856138 Kab. Boven Digoel 19.290 5.326 7.463 8.827 6.417 9.464139 Kab. Mappi 0.000 5.790 6.659 6.534 12.799 6.356140 Kab. Asmat 0.000 8.696 7.207 12.298 16.526 8.945141 Kab. Supiori 3.996 5.990 6.000 9.625 2.434 5.609
Jumlah 1892.39 3245.89 3101.42 3611.73 4414.76 3253.24
93
Lampiran 4. Perkembagan IPM DOB
DOB IPM 2005 2006 2007 2008 2009
Kab. Aceh Singkil 66.5 67.17 67.97 68.12 68.29Kab. Bireun 71.5 72.2 72.45 72.6 72.86Kab. Simeuleu 65.2 66.38 67.97 68.6 68.92Kota Lhoksemawe 73.1 73.8 74.65 75 75.54Kota Langsa 70.4 71.51 72.22 72.79 73.2Kab. Aceh Jaya 66.8 67.77 68.23 68.94 69.39Kab. Nagan Raya 66.3 66.88 67.66 68.47 68.74Kab. Gayo Lues 66.1 66.16 67.08 67.17 67.59Kab. Aceh Barat Daya 66.9 67.52 68.37 69.38 69.81Kab. Aceh Tamiang 68.3 68.73 69.17 69.81 70.5Kab. Bener Meriah 67.4 68.12 68.88 69.77 70.38Kota Padang Sidempuan 73.3 73.61 73.79 74.26 74.77Kab. Nias Selatan 63.9 64.51 65.06 65.59 66.27Kab. Pak Pak Bharat 68.7 69.11 69.47 69.95 70.36Kab. Humbang Hasundutan 69.8 70.48 70.79 71.24 71.64Kab. Serdang Bedagai 71.2 71.55 72.2 72.59 72.94Kab. Samosir 72.2 72.75 72.87 73.24 73.42Kab. Kep Mentawai 67.4 67.46 67.72 67.97 68.42Kota Pariaman 71.3 72.6 72.82 73.43 74.05Kab. Dharmas Raya 64.5 66.43 67.48 67.99 68.6Kab. Solok Selatan 65.8 67.12 67.54 68.06 68.67Kab. Pasaman Barat 67 68.26 68.84 69.33 69.87Kab. Kuantan Singingi 71.6 71.89 72.47 72.95 73.38Kab. Pelalawan 69.2 69.96 71.43 72.07 72.69Kab. Rokan Hulu 70.1 71.01 71.43 71.84 72.29Kota Dumai 75.3 75.52 76.31 76.91 77.33Kab. Rokan Hilir 68.6 70.89 71.06 71.51 71.98Kab. Siak 73.5 74.55 75.15 75.64 76.05Kab. Sarolangun 70 70.3 70.74 71.36 72Kab. Tebo 70.1 70.68 70.81 71.08 71.34Kab. Muaro Jambi 70.4 70.89 71.59 71.99 72.18Kab. Tanjung Jabung Timur 69.4 69.49 70.23 70.61 71.17Kota Prabumulih 71.1 71.7 72.51 73.2 73.69Kota Pagar Alam 69.9 71.06 71.7 72.16 72.48Kota Lubuk Linggau 66.3 67.97 69.24 69.69 70.18Kab. Banyuasin 67.2 68.05 68.6 69.08 69.45Kab. OKU Selatan 68.8 70 70.28 70.66 71.02
94
DOB IPM 2005 2006 2007 2008 2009
Kab. OKU Timur 65.4 67.5 68.14 68.88 69.39Kab. Ogan Ilir 66 67.24 68.17 68.67 69.17Kab. Muko-Muko 67.7 68.56 69.19 69.62 70.11Kab. Lebong 66.5 67.59 68.38 69.08 69.63Kab. Kepahiang 63.8 65.35 66.36 67 67.59Kab. Kaur 67.4 67.58 67.99 68.63 69.21Kab. Seluma 63.6 64.97 65.66 66.11 66.48Kab. Way Kanan 67.4 68.08 68.46 68.98 69.46Kab. Lampung Timur 67.9 68.64 69.23 69.68 70.2Kota Metro 74.5 75.19 75.31 75.71 75.98Kab. Bangka Selatan 63 64.29 65.85 66.18 66.5Kab. Bangka Tengah 67.6 69.22 70.34 70.68 70.9Kab. Bangka Barat 67.6 67.998 69.06 69.5 69.77Kab. Belitung Timur 68.8 69.49 70.58 71.18 71.64Kab. Karimun 71.7 72 72.4 72.8 73.15Kab. Natuna 68.4 69.2 69.36 69.81 70.11Kota Batam 76.5 76.68 76.82 77.28 77.51Kota Tanjung Pinang 72.7 72.88 73.46 73.92 74.31Kab. Lingga 69.4 69.85 70.25 70.74 71.05Kota Depok 77.1 77.67 77.89 78.36 78.77Kota Cimahi 73.1 73.35 74.42 74.79 75.17Kota Tasikmalaya 72.1 72.27 72.75 73.35 73.96Kota Banjar 69.4 69.64 70.17 70.61 70.98Kota Batu 71 71.45 72.83 73.33 73.88Kota Cilegon 73.7 74.11 74.33 74.94 74.99Kota Bima 64.2 65.94 67.13 67.52 68.02Kab. Sumbawa Barat 63.4 65.01 65.52 65.64 66.16Kab. Lembata 65.1 65.6 66.1 66.61 67.15Kab. Rote Ndao 62.1 64.26 64.61 65.29 65.8Kab. Manggarai Barat 63.2 63.5 63.99 64.44 64.91Kab. Bengkayang 64.6 65.7 66.32 66.81 67.18Kab. Landak 64.2 66.08 66.43 66.74 67.21Kota Singkawang 64.7 65.46 67.61 68.02 68.47Kab. Melawi 63.8 65.97 67.61 67.91 68.45Kab. Sekadau 64.5 65.29 65.75 66.13 66.63Kab. Katingan 71.3 71.54 71.59 72.06 72.33Kab. Seruyan 70.9 71.44 71.62 72 72.28Kab. Sukamara 70 70.45 70.65 71 71.62Kab. Lamandau 70.2 70.9 71.54 71.98 72.08
95
DOB IPM 2005 2006 2007 2008 2009
Kab. Gunung Mas 71.5 72.27 72.4 72.85 73.13Kab. Pulang Pisau 69.3 69.87 70.1 70.63 71.18Kab. Murung Raya 71 71.6 71.62 72.18 72.46Kab. Barito Timur 70.1 71.57 71.66 72.17 72.72Kota Banjarbaru 73 73.2 73.58 74.09 74.43Kab. Tanah Bumbu 67.3 67.72 67.88 68.8 69.24Kab. Balangan 64.3 64.83 65.13 65.6 66.06Kab. Nunukan 71.7 72.02 72.17 72.86 73.48Kab. Malinau 70.3 71.45 71.68 71.78 72.3Kab. Kutai Barat 69.2 70.5 71.93 72.16 72.6Kab. Kutai Timur 69.3 69.84 70.46 70.84 71.23Kota Bontang 74.9 75.13 75.61 76.08 76.52Kab. Panajam Paser Utara 71.5 71.7 72 72.69 73.11Kab. Kepulauan Talaud 72.3 73.03 73.77 74.34 74.83Kota Tomohon 73.3 74.65 75.12 75.65 76.09Kab. Minahasa Selatan 71.6 72.34 73.32 73.79 74.18Kab. Minahasa Utara 73.7 74.23 74.9 75.33 75.75Kab. Buol 67.2 67.98 68.17 68.84 69.45Kab. Morowali 67.4 68.31 69.23 69.75 70.46Kab. Banggai Kepulauan 64.7 65.39 65.93 66.59 67.21Kab. Parigi Moutong 65.6 66.62 67.15 67.81 68.37Kab. Tojo Una-Una 65.9 66.79 67.28 67.81 68.38Kab. Luwu Utara 71.5 72 72.55 73.15 73.65Kota Palopo 73.8 74.45 75.37 75.8 76.11Kab. Luwu Timur 69.4 70.69 71.67 71.73 72.29Kota Bau-Bau 69.7 70.55 71.56 72.14 72.87Kab. Konawe Selatan 67.6 68.2 68.37 68.86 69.24Kab. Bombana 63.8 64.03 65.35 66.05 66.63Kab. Wakatobi 63 64.16 65.54 66.03 66.7Kab. Kolaka Utara 67.2 67.32 67.57 67.91 68.5Kab. Boalemo 65.9 66.4 67.24 67.75 68.03Kab. Bone Bolango 67.3 68.61 69.97 70.5 71.19Kab. Pohuwato 66 67.42 67.77 68.93 69.43Kab. Mamasa 67.5 68.72 69.16 69.79 70.18Kab. Mamuju Utara 64.5 67.88 68.84 69.27 69.55Kab. Buru 66.4 66.75 67.49 68.03 68.7Kab. Maluku Tenggara Barat 65.5 66.47 67.14 68.5 69.5Kab. Seram Bagian Barat 67.1 67.81 68.28 68.67 69.21Kab. Seram Bagian Timur 64.8 65.31 66.18 67.06 67.66
96
DOB IPM 2005 2006 2007 2008 2009
Kab. Kepulauan Aru 68.3 68.54 68.91 69.36 69.93Kota Ternate 74.2 74.63 74.93 75.66 76.13Kota Tidore Kepulauan 65.6 67.18 68.13 68.9 69.28Kab. Halmehera Selatan 65.6 66.16 66.93 67.25 67.62Kab. Halmehera Utara 65.7 66.02 66.58 67.18 67.57Kab. Kepulauan Sula 65.6 66.26 66.46 67.04 67.5Kab. Halmehera Timur 65.3 65.82 66.68 67.06 67.5Kota Sorong 74.3 74.89 75.59 76.52 76.84Kab. Sorong Selatan 63.1 63.88 65.38 65.77 66.09Kab. Kepulauan Raja Ampat 60.9 62.27 62.47 63.57 64.08Kab. Teluk Bintuni 60.1 62.93 64.4 65.29 65.65Kab. Teluk Wondama 60.1 62.48 63.4 64.79 65.27Kab. Kaimana 66.9 67.11 68.8 69.27 69.8Kab. Paniai 58.3 58.47 58.74 59.17 59.53Kab. Mimika 66.2 67.13 67.84 67.99 68.49Kab. Puncak Jaya 66.7 67.02 67.2 67.78 68.21Kab. Sarmi 64.8 65.17 65.9 66.35 66.65Kab. Keerom 66.5 66.93 67.99 68.55 68.89Kab. Pegunungan Bintang 46.9 47.24 47.38 47.94 48.54Kab. Yahukimo 47.4 47.95 78.31 48.85 49.22Kab. Tolikara 49.2 49.62 50.38 50.85 51.48Kab. Waropen 61.3 61.6 61.97 62.46 62.85Kab. Boven Digoel 47.6 48.33 48.65 49.2 49.56Kab. Mappi 47 47.95 49.53 49.59 49.88Kab. Asmat 47.2 48.27 49.53 50.27 50.86Kab. Supiori 65.9 66.23 66.92 67.55 68.06Rata-Rata IPM 67.21 68.01 68.87 69.18 69.63
97
Lam
pira
n 5.
Kom
pone
n Pe
mbe
ntuk
IPM
DO
B
Ang
ka H
arap
an H
idup
(AH
H)
Rat
a L
ama
Seko
lah
(RL
S)
Ang
ka M
elek
Hur
uf (A
MH
) 20
0520
0620
0720
0820
0920
0520
06
2007
2008
2009
2005
2006
2007
2008
2009
K
ab. A
ceh
Sing
kil
63.2
6464
.27
64.4
664
.69
7.7
7.7
7.7
7.7
7.74
96.2
96.2
96.2
96.2
96.2
2 K
ab. B
ireun
72
.272
.272
.22
72.2
872
.32
9.1
9.2
9.2
9.2
9.23
96.8
98.3
498
.34
98.3
498
.37
Kab
. Sim
eule
u 62
.562
.762
.75
62.8
462
.91
6.1
6.2
7.6
88.
394
.898
.398
.398
.398
.58
Kot
a Lh
okse
maw
e 68
.469
.269
.770
70.4
19.
79.
7 9.
79.
79.
9198
.698
.82
98.8
298
.82
99.2
2 K
ota
Lang
sa
68.9
69.7
69.9
670
.14
70.3
69.
39.
4 9.
79.
8810
.04
9798
.47
98.7
598
.75
99.1
K
ab. A
ceh
Jaya
67
67.8
67.8
467
.91
67.9
78.
78.
7 8.
78.
78.
7189
.991
.06
91.7
693
.73
93.7
8 K
ab. N
agan
Ray
a 69
.169
.269
.31
69.4
269
.53
6.4
6.7
7.32
7.32
7.34
89.7
89.7
89.7
89.7
89.7
8 K
ab. G
ayo
Lues
66
.266
.666
.73
66.8
466
.96
8.6
8.7
8.7
8.7
8.71
86.7
86.7
86.7
86.7
86.9
K
ab. A
ceh
Bar
at
Day
a 65
.466
66.3
66.4
966
.74
7.4
7.5
7.5
7.5
7.63
95.7
95.7
95.7
96.2
296
.25
Kab
. Ace
h Ta
mia
ng
67.8
6868
.09
68.1
868
.27
8.3
8.4
8.4
8.4
8.77
9898
9898
98.2
5 K
ab. B
ener
Mer
iah
66.4
67.2
67.3
167
.41
67.5
28
8.1
8.49
8.49
8.53
96.4
96.4
97.1
997
.19
97.4
5 K
ota
Pada
ng
Side
mpu
an
68.8
69.1
69.1
869
.35
69.4
79.
79.
8 9.
89.
810
.199
.699
.699
.699
.699
.62
Kab
. Nia
s Sel
atan
67
.968
.468
.85
69.2
69.6
6.2
6.3
6.3
6.3
6.32
84.8
84.8
84.8
84.8
85.1
9 K
ab. P
ak P
ak B
hara
t 66
.366
.566
.81
67.0
567
.32
8.1
8.1
8.1
8.1
8.14
95.3
96.2
296
.596
.596
.51
Kab
. Hum
bang
H
asun
duta
n 66
.867
.567
.64
67.6
967
.78
8.6
8.6
8.65
8.74
9.05
98.2
98.2
98.2
98.2
98.2
1 K
ab. S
erda
ng
Bed
agai
68
68.6
68.7
668
.79
68.8
98.
68.
6 8.
68.
68.
6396
.496
.497
.39
97.3
997
.44
Kab
. Sam
osir
68.5
69.3
69.4
669
.52
69.6
29.
59.
5 9.
59.
59.
5196
.696
.696
.696
.696
.61
Kab
. Kep
Men
taw
ai
68.1
68.1
68.2
468
.28
68.3
66.
56.
5 6.
56.
56.
5192
.292
.37
92.3
792
.37
92.4
4 K
ota
Paria
man
67
.768
.168
.15
68.5
668
.79
8.7
9.3
9.3
9.33
9.73
96.6
98.2
498
.24
98.2
498
.36
98
DO
B
Ang
ka H
arap
an H
idup
(AH
H)
Rat
a L
ama
Seko
lah
(RL
S)
Ang
ka M
elek
Hur
uf (A
MH
) 20
0520
0620
0720
0820
0920
0520
06
2007
2008
2009
2005
2006
2007
2008
2009
K
ab. D
harm
as R
aya
64.1
6565
.31
65.5
65.7
56.
87.
2 7.
347.
377.
6687
.792
.56
95.5
495
.54
95.8
3 K
ab. S
olok
Sel
atan
63
.264
.164
.32
64.3
564
.48
7.2
7.4
7.4
7.57
7.76
94.4
97.2
197
.21
97.2
497
.38
Kab
. Pas
aman
Bar
at
63.8
64.1
64.4
264
.62
64.8
87.
27.
9 7.
97.
97.
9895
.797
.83
97.8
397
.83
98.1
8 K
ab. K
uant
an
Sing
ingi
67
.667
.968
.05
68.1
168
.22
7.8
7.8
7.8
7.8
7.81
97.8
97.8
97.8
97.8
97.8
1 K
ab. P
elal
awan
67
.668
.368
.48
68.5
668
.69
77.
3 7.
677.
937.
9593
.693
.697
.697
.698
.44
Kab
. Rok
an H
ulu
66.3
6767
.08
67.0
967
.13
7.1
7.5
7.5
7.5
7.55
96.4
97.3
897
.38
97.3
897
.98
Kot
a D
umai
70
.370
.470
.77
71.0
271
.33
9.7
9.7
9.7
9.7
9.72
99.1
99.1
99.2
899
.28
99.3
K
ab. R
okan
Hili
r 66
.666
.967
.01
67.0
467
.11
77.
2 7.
27.
27.
4888
.897
.37
97.3
797
.37
97.8
K
ab. S
iak
70.9
7171
.23
71.3
471
.52
8.8
8.8
8.8
8.8
9.03
94.1
98.2
198
.21
98.2
198
.48
Kab
. Sar
olan
gun
68.6
68.8
68.9
369
.12
68.9
56.
66.
9 6.
96.
97.
493
.793
.793
.793
.793
.82
Kab
. Teb
o 68
.168
.668
.768
.86
68.9
86.
56.
8 6.
86.
86.
8894
.994
.994
.994
.994
.91
Kab
. Mua
ro Ja
mbi
68
.569
69.1
169
.13
69.1
97.
17.
1 7.
537.
537.
5593
.994
.46
95.8
995
.89
95.9
K
ab. T
anju
ng Ja
bung
Ti
mur
68
.969
69.3
369
.71
70.0
66.
26.
2 6.
26.
26.
2592
.492
.492
.492
.492
.42
Kot
a Pr
abum
ulih
70
70.3
70.7
171
.171
.51
8.3
8.4
8.88
8.88
997
.797
.797
.998
.29
98.6
6 K
ota
Paga
r Ala
m
69.2
69.3
69.5
269
.74
69.9
57.
68.
4 8.
428.
428.
5495
97.3
897
.82
98.2
198
.24
Kot
a Lu
buk
Ling
gau
64.7
65.1
65.2
465
.39
65.5
47.
67.
8 8.
988.
989.
1195
98.0
398
.03
98.0
398
.33
Kab
. Ban
yuas
in
66.6
66.7
66.8
867
.05
67.2
37
7 7
77.
0193
.595
.93
95.9
396
.08
96.2
4 K
ab. O
KU
Sel
atan
68
.969
.169
.16
69.2
469
.36.
97.
1 7.
17.
17.
1593
.797
.49
97.4
997
.49
97.8
K
ab. O
KU
Tim
ur
67.8
68.1
68.1
668
.23
68.2
96.
56.
8 6.
86.
86.
8791
.294
.47
94.6
394
.63
94.6
7 K
ab. O
gan
Ilir
64.8
65.1
65.4
65.6
865
.98
6.6
6.6
7.36
7.46
7.52
94.2
97.2
497
.24
97.3
297
.47
Kab
. Muk
o-M
uko
66.9
67.2
67.4
67.5
67.6
57
7 7
77.
3290
.893
.37
93.4
393
.43
93.4
5 K
ab. L
ebon
g 64
.365
.165
.55
65.8
766
.26
7.1
7.2
7.47
7.47
7.78
94.3
94.4
994
.49
95.1
995
. 2
99
DO
B
Ang
ka H
arap
an H
idup
(AH
H)
Rat
a L
ama
Seko
lah
(RL
S)
Ang
ka M
elek
Hur
uf (A
MH
) 20
0520
0620
0720
0820
0920
0520
06
2007
2008
2009
2005
2006
2007
2008
2009
K
ab. K
epah
iang
62
.563
63.3
763
.63
63.9
56.
97
7.16
7.16
7.44
92.8
95.1
295
.35
95.8
495
.88
Kab
. Kau
r 65
.766
66.3
666
.61
66.9
27.
57.
5 7.
57.
57.
5694
.394
.394
.395
95.0
3 K
ab. S
elum
a 63
.964
.765
65.2
65.4
57.
37.
3 7.
37.
57.
5693
.893
.893
.895
95.0
3 K
ab. W
ay K
anan
68
.568
.768
.93
69.0
769
.26
6.5
6.5
6.5
6.5
6.96
94.1
94.1
94.1
94.6
94.6
1 K
ab. L
ampu
ng T
imur
69
.469
.469
.65
69.8
170
.02
6.4
6.9
6.9
6.9
6.98
91.3
92.4
92.4
92.4
93.3
2 K
ota
Met
ro
71.9
71.9
72.1
172
.22
72.3
89.
49.
8 9.
89.
89.
8296
.497
.26
97.2
697
.26
97.3
6 K
ab. B
angk
a Se
lata
n 66
.266
.967
.22
67.3
167
.51
5.9
5.9
5.9
5.92
5.97
89.2
92.5
492
.54
92.5
592
.7
Kab
. Ban
gka
Teng
ah
67.2
67.4
67.6
467
.66
67.7
96
6.5
6.73
6.73
6.75
91.7
94.7
495
.71
95.7
995
.8
Kab
. Ban
gka
Bar
at
67.1
67.3
67.5
367
.54
67.6
66.
16.
2 6.
676.
676.
7291
.691
.692
.12
92.5
992
.85
Kab
. Bel
itung
Tim
ur
67.6
67.9
67.9
968
.36
68.6
77.
1 7.
457.
457.
4795
.496
.46
96.4
696
.62
96.6
3 K
ab. K
arim
un
69.5
69.7
69.7
669
.81
69.8
67.
87.
8 7.
87.
87.
8195
9595
9595
.19
Kab
. Nat
una
67.5
67.9
67.9
668
.168
.21
6.7
6.9
6.9
6.9
6.93
95.3
95.7
95.7
595
.75
95.9
2 K
ota
Bat
am
70.5
70.6
70.6
270
.770
.76
10.7
10.7
10
.710
.710
.71
98.8
98.8
498
.84
98.8
498
.85
Kot
a Ta
njun
g Pi
nang
69
.169
.469
.469
.51
69.5
69.
29.
2 9.
29.
29.
2497
.397
.397
.397
.397
.31
Kab
. Lin
gga
69.2
69.6
69.7
69.8
870
.02
7.1
7.2
7.2
7.2
7.22
90.9
90.9
90.9
90.9
91.1
1 K
ota
Dep
ok
72.5
72.6
72.7
272
.85
72.9
710
.210
.5
10.5
10.5
10.7
797
.298
.39
98.9
98.9
98.9
3 K
ota
Cim
ahi
68.7
68.9
68.9
769
.04
69.1
19.
69.
7 10
.26
10.2
610
.42
99.6
99.6
399
.63
99.6
399
.64
Kot
a Ta
sikm
alay
a 68
.368
.468
.78
69.1
369
.49
8.4
8.4
8.4
8.4
8.59
98.8
98.8
99.2
99.4
299
.45
Kot
a B
anja
r 65
.665
.865
.91
66.0
366
.15
7.8
7.8
7.8
7.8
7.97
96.2
96.2
96.4
396
.65
97.1
6 K
ota
Bat
u 68
.168
.368
.64
68.8
769
.16
88
8.19
8.2
8.34
94.9
94.9
97.3
97.3
97.7
8 K
ota
Cile
gon
68.2
68.4
68.4
568
.49
68.5
39.
59.
64
9.64
9.64
9.66
98.7
98.7
98.7
98.7
98.7
1 K
ota
Bim
a 61
.962
.562
.61
62.7
462
.86
8.3
8.84
9.
249.
249.
2586
.289
.96
92.4
992
.59
92.8
4 K
ab. S
umba
wa
Bar
at
59.1
60.6
60.7
660
.94
61.1
16.
97
77
7.16
88.6
90.6
190
.61
90.7
10.
72
100
DO
B
Ang
ka H
arap
an H
idup
(AH
H)
Rat
a L
ama
Seko
lah
(RL
S)
Ang
ka M
elek
Hur
uf (A
MH
) 20
0520
0620
0720
0820
0920
0520
06
2007
2008
2009
2005
2006
2007
2008
2009
K
ab. L
emba
ta
65.8
66.1
66.1
766
.34
66.4
66.
16.
34
6.34
6.47
6.5
91.3
91.3
92.5
792
.57
92.7
6 K
ab. R
ote
Nda
o 65
.866
.466
.78
67.2
267
.64
5.6
6.17
6.
176.
186.
282
.187
.52
88.1
488
.55
88.8
8 K
ab. M
angg
arai
B
arat
65
.465
.665
.75
65.9
966
.19
6.2
6.2
6.23
6.23
6.3
88.6
88.6
788
.788
.788
.75
Kab
. Ben
gkay
ang
6868
.368
.468
.57
68.7
5.2
6.03
6.
036.
036.
0985
.986
.79
88.6
888
.68
88.7
K
ab. L
anda
k 64
64.5
64.7
264
.98
65.2
26.
36.
86
6.86
6.86
8.92
89.2
91.4
591
.45
91.4
591
.48
Kot
a Si
ngka
wan
g 66
.466
.766
.866
.95
67.0
86.
26.
7 7.
37.
37.
3486
.786
.989
.62
89.6
289
.65
Kab
. Mel
awi
67.2
67.5
67.5
367
.63
67.6
95.
76.
26
7.2
7.2
7.21
84.9
90.5
892
.32
92.3
292
.36
Kab
. Sek
adau
67
67.2
67.2
267
.27
67.3
16
6.06
6.
066.
066.
0787
88.9
888
.98
88.9
889
.02
Kab
. Kat
inga
n
6767
.167
.18
67.3
67.4
7.8
7.76
7.
767.
767.
7799
.499
.499
.499
.499
.41
vKab
. Ser
uyan
67
.267
.867
.85
67.9
67.9
47.
77.
7 7.
77.
77.
7299
.399
.399
.399
.399
.31
Kab
. Suk
amar
a 67
.267
.667
.67
67.7
367
.79
6.8
7.02
7.
027.
027.
0594
.794
.83
95.5
395
.53
95.5
6 K
ab. L
aman
dau
66.8
66.9
66.9
367
.05
67.1
37.
67.
6 7.
67.
67.
6194
.495
.84
98.6
498
.64
98.6
5 K
ab. G
unun
g M
as
6767
.467
.55
67.6
867
.82
8.4
8.68
8.
688.
688.
798
.399
.399
.51
99.5
199
.53
Kab
. Pul
ang
Pisa
u 66
.967
.267
.367
.38
67.4
77
7 7.
227.
227.
2391
.693
.21
93.2
193
.84
93.8
5 K
ab. M
urun
g R
aya
67.6
67.8
67.8
367
.95
68.0
36.
66.
96
6.96
6.96
7.12
99.3
99.3
99.3
99.9
399
.94
Kab
. Bar
ito T
imur
67
.567
.667
.67
67.7
367
.79
7.6
8.44
8.
448.
448.
594
.697
.26
97.4
597
.95
97.9
7 K
ota
Ban
jarb
aru
66.6
66.8
66.9
467
.14
67.3
19.
39.
3 9.
549.
549.
7497
.297
.297
.75
97.7
598
.1
Kab
. Tan
ah B
umbu
63
.363
.763
.99
64.3
264
.63
6.8
6.8
6.8
77.
0993
.493
.493
.494
.08
94.2
7 K
ab. B
alan
gan
60.2
6161
.12
61.3
661
.55
6.3
6.3
6.3
6.3
6.48
94.9
94.9
94.9
94.9
94.9
1 K
ab. N
unuk
an
70.5
70.6
70.8
471
.07
71.3
7.4
7.4
7.4
7.4
7.42
93.3
93.3
93.3
93.3
93.9
4 K
ab. M
alin
au
67.8
67.9
68.0
168
.11
68.2
26.
77.
43
7.61
7.61
7.67
90.1
92.3
392
.33
92.3
392
.65
Kab
. Kut
ai B
arat
69
.469
.569
.769
.89
70.0
86.
87.
06
7.75
7.75
7.79
88.3
91.8
895
.49
95.4
995
.97
101
DO
B
Ang
ka H
arap
an H
idup
(AH
H)
Rat
a L
ama
Seko
lah
(RL
S)
Ang
ka M
elek
Hur
uf (A
MH
) 20
0520
0620
0720
0820
0920
0520
06
2007
2008
2009
2005
2006
2007
2008
2009
K
ab. K
utai
Tim
ur
67.8
67.9
68.0
868
.25
68.4
37.
37.
29
7.57
7.61
7.65
93.2
94.7
995
.48
95.4
895
.89
Kot
a B
onta
ng
71.7
71.8
71.8
972
.11
72.2
69.
99.
9 9.
99.
9710
.01
98.1
98.1
98.1
98.3
499
.08
Kab
. Pan
ajam
Pas
er
Uta
ra
70.9
70.9
71.4
71.1
871
.32
7.4
7.4
7.53
7.57
7.58
93.8
93.8
93.8
94.4
694
.93
Kab
. Kep
ulau
an
Tala
ud
70.3
70.7
70.8
671
.29
71.5
97.
98.
21
8.47
8.47
8.65
97.5
97.5
99.3
99.3
99.3
6 K
ota
Tom
ohon
69
.671
.771
.96
72.1
672
.39
9.2
9.6
9.6
9.6
9.89
99.6
99.8
399
.83
99.8
399
.84
Kab
. Min
ahas
a Se
lata
n 71
.471
.571
.72
71.8
972
.09
8.4
8.44
8.
548.
548.
5499
.499
.499
.499
.499
.42
Kab
. Min
ahas
a U
tara
71
.671
.872
.172
.272
.48.
79.
07
9.07
9.07
9.09
99.5
99.6
899
.68
99.6
899
.7
Kab
. Buo
l 64
.264
.564
.77
64.9
465
.16
7.9
7.9
7.9
8.15
8.18
98.2
98.2
98.2
98.2
98.2
2 K
ab. M
orow
ali
64.2
64.9
65.6
165
.22
65.3
87.
17.
23
7.59
7.63
7.85
94.2
94.8
297
.24
97.2
497
.44
Kab
. Ban
ggai
K
epul
auan
61
.562
.162
.66
63.0
963
.59
6.8
6.98
7.
097.
097.
394
.994
.92
94.9
294
.92
94.9
3 K
ab. P
arig
i Mou
tong
63
.763
.964
.27
64.5
364
.84
6.6
7.02
7.
027.
027.
189
.391
.67
93.0
693
.55
93.6
8 K
ab. T
ojo
Una
-Una
62
.563
.363
.39
63.5
963
.73
7.5
7.5
7.81
7.81
7.89
97.3
97.4
497
.44
97.4
497
.46
Kab
. Luw
u U
tara
70
.570
.770
.91
71.1
371
.34
77
77
7.04
90.5
91.1
392
.03
92.0
392
.05
Kot
a Pa
lopo
70
.971
.672
.02
72.0
372
.25
9.1
9.18
9.
669.
669.
7397
.397
.397
.397
.397
.32
Kab
. Luw
u Ti
mur
70
.370
.570
.61
70.7
270
.84
6.9
7.39
7.
477.
477.
7590
.192
.08
93.1
393
.13
93.2
4 K
ota
Bau
-Bau
69
69.2
69.5
69.7
970
.09
8.8
9.36
9.
559.
559.
7593
.895
.01
95.1
695
.16
95.3
K
ab. K
onaw
e Se
lata
n 66
.967
67.1
667
.31
67.4
77.
67.
6 7.
67.
67.
6294
.194
.194
.194
.194
.11
Kab
. Bom
bana
66
.766
.967
.167
.367
.51
5.9
5.94
6.
26.
236.
5985
.385
.387
.56
88.2
88.4
9 K
ab. W
akat
obi
6767
.667
.69
67.8
367
.95
5.8
6.25
6.
56.
526.
8584
.485
.45
88.7
888
.888
.13
Kab
. Kol
aka
Uta
ra
65.4
6565
.14
65.2
765
.41
7.4
7.4
7.4
7.4
7.51
92.3
92.3
93.0
293
.02
93.0
4
102
DO
B
Ang
ka H
arap
an H
idup
(AH
H)
Rat
a L
ama
Seko
lah
(RL
S)
Ang
ka M
elek
Hur
uf (A
MH
) 20
0520
0620
0720
0820
0920
0520
06
2007
2008
2009
2005
2006
2007
2008
2009
K
ab. B
oale
mo
66.9
6767
.32
67.5
267
.78
66
66
6.07
95.2
95.2
95.2
95.2
95.2
6 K
ab. B
one
Bol
ango
66
.967
.267
.667
.88
68.2
26.
36.
56
7.45
7.45
7.77
92.8
96.7
197
.197
.197
.15
Kab
. Poh
uwat
o 66
.666
.867
.07
67.2
367
.44
66.
05
6.05
6.05
6.42
94.5
97.0
397
.03
97.0
397
.04
Kab
. Mam
asa
70.5
70.7
70.7
870
.94
71.0
75.
86.
38
6.38
6.38
6.55
81.1
83.1
884
.184
.62
85.1
2 K
ab. M
amuj
u U
tara
67
.167
.467
.44
67.4
767
.51
5.7
6.45
6.
626.
626.
7182
.393
.17
95.3
395
.33
95.5
6 K
ab. B
uru
66.1
66.3
66.7
567
.17
67.6
17.
27.
2 7.
27.
27.
2192
.892
.892
.892
.892
.82
Kab
. Mal
uku
Teng
gara
Bar
at
62.9
63.7
63.7
363
.99
64.1
37.
88.
11
8.51
8.51
8.54
98.6
98.9
799
.34
99.3
499
.35
Kab
. Ser
am B
agia
n B
arat
65
.266
.166
.21
66.3
366
.45
88
8.2
8.2
8.23
9898
9898
98.2
2 K
ab. S
eram
Bag
ian
Tim
ur
64.6
6565
.21
65.4
365
.64
7.6
7.6
7.6
7.6
7.62
97.7
97.9
397
.93
97.9
398
.14
ab. K
epul
auan
Aru
66
.866
.967
.11
67.3
167
.52
7.5
7.5
7.5
7.5
7.52
98.8
98.8
98.8
98.8
99
Kot
a Te
rnat
e 68
.868
.969
.310
.210
.34
70.4
398
.498
.498
.43
Kot
a Ti
dore
K
epul
auan
63
.564
.364
.49
64.6
864
.87
7.9
7.94
8.
278.
458.
5592
.896
.82
96.8
297
.697
.61
Kab
. Hal
meh
era
Sela
tan
64.1
64.6
64.8
265
.03
65.2
57.
47.
4 7.
47.
47.
4495
.895
.895
.895
.895
.82
Kab
. Hal
meh
era
Uta
ra
63.6
64.6
64.9
265
.23
65.5
57.
67
7.23
7.23
7.33
95.9
95.9
95.9
95.9
95.9
1 K
ab. K
epul
auan
Sul
a 63
.463
.663
.96
64.3
64.6
57.
67.
6 7.
67.
77.
7295
.997
.33
97.3
397
.33
97.3
7 K
ab. H
alm
eher
a Ti
mur
63
.564
64.3
364
.66
64.9
97.
87.
8 7.
87.
87.
8192
.492
.495
.42
95.4
295
.44
Kot
a So
rong
70
.270
.370
.75
71.1
271
.53
10.1
10.1
10
.110
.52
10.5
499
.199
.199
.199
.199
.12
Kab
. Sor
ong
Sela
tan
65.5
6666
.19
66.3
366
.49
77
7.9
7.9
7.94
87.9
87.9
87.9
88.0
788
.2
103
DO
B
Ang
ka H
arap
an H
idup
(AH
H)
Rat
a L
ama
Seko
lah
(RL
S)
Ang
ka M
elek
Hur
uf (A
MH
) 20
0520
0620
0720
0820
0920
0520
06
2007
2008
2009
2005
2006
2007
2008
2009
K
ab. K
epul
auan
Raj
a A
mpa
t 64
.764
.865
.15
65.4
365
.75
77
77
7.26
86.3
89.9
389
.93
92.6
992
.77
Kab
. Tel
uk B
intu
ni
66.8
66.9
67.2
667
.55
67.8
85.
75.
84
6.44
6.85
6.88
7078
.53
80.8
482
.67
82.9
8 K
ab. T
eluk
Won
dam
a 66
.466
.566
.78
6767
.25
5.8
5.8
5.99
6.39
6.44
70.1
80.4
381
.02
82.8
583
.13
Kab
. Kai
man
a 68
.868
.869
.669
.26
69.4
87.
17.
1 7.
17.
17.
3291
.291
.295
.48
65.4
895
.49
Kab
. Pan
iai
66.4
66.5
66.8
567
.167
.46.
26.
2 6.
26.
26.
2162
.862
.962
.962
.962
.91
Kab
. Mim
ika
68.8
68.9
69.2
669
.55
69.8
76.
56.
7 6.
76.
76.
7184
.286
.986
.986
.987
.29
Kab
. Pun
cak
Jaya
66
.466
.666
.96
67.2
167
.52
6.1
6.1
6.1
6.1
6.11
86.4
86.8
86.8
86.8
86.8
1 K
ab. S
arm
i 65
.866
66.1
366
.17
66.2
66.
46.
4 6.
46.
46.
4187
87.1
87.1
87.1
87.1
1 K
ab. K
eero
m
66.2
66.4
66.6
266
.75
66.9
37.
37.
3 7.
37.
37.
3290
.991
.191
.191
.191
.12
Kab
. Peg
unun
gan
Bin
tang
64
.664
.965
.17
65.3
365
.55
2.2
2.2
2.2
2.2
2.45
31.4
31.6
31.6
31.6
31.7
6 K
ab. Y
ahuk
imo
65.2
65.7
66.0
366
.25
66.5
32.
42.
4 2.
42.
42.
4231
.731
.831
.831
.831
.81
Kab
. Tol
ikar
a 65
.465
.565
.66
65.7
265
.84
2.4
2.4
2.4
2.4
2.94
3232
32.8
632
.68
32.8
7 K
ab. W
arop
en
64.1
64.2
64.5
964
.86
65.1
96.
26.
2 6.
276.
276.
2976
76.5
76.5
76.5
76.8
8 K
ab. B
oven
Dig
oel
65.6
65.8
66.1
766
.43
66.7
52.
43
33
3.1
31.4
31.7
31.7
31.7
31.7
5 K
ab. M
appi
65
.265
.465
.64
65.7
965
.99
2.2
2.8
3.8
3.8
3.89
31.2
31.3
31.3
31.3
31.3
5 K
ab. A
smat
64
.565
65.6
266
.166
.66
3.1
3.7
3.86
3.86
3.94
30.9
3131
3131
.07
Kab
. Sup
iori
64.8
6565
.29
65.4
865
.72
7.7
7.7
7.7
7.7
7.97
93.5
94.1
95.3
795
.37
95.7
1 R
ata-
Rat
a 66
.89
67.2
467
.46
67.6
167
.81
7.22
7.38
7.
947.
528.
0790
.21
91.4
091
.87
91.7
692
.12
104
Lampiran 6. Angka Kemiskinan DOB (Juta Rupiah)
DOB Tahun Pemekaran Ke-
1 2 3 4 Kab. Aceh Singkil 36.6 50.9 41.9 43.1 Kab. Bireun 86.7 104.9 101.5 104.2 Kab. Simeuleu 21 26.7 24.3 26.6 Kota Lhoksemawe 20.7 24.4 22.2 19.4 Kota Langsa 20.5 20.6 19.4 19.1 Kab. Aceh Jaya 18.7 18.6 19.5 17.2 Kab. Nagan Raya 44.9 43.7 40 33.2 Kab. Gayo Lues 24.3 24.5 23.1 18.9 Kab. Aceh Barat Daya 32.8 33 33.5 27.4 Kab. Aceh Tamiang 57.5 56.7 50.8 50.8 Kab. Bener Meriah 30.2 28.1 31.3 28.5 Kota Padang Sidempuan 20.6 20.5 23.9 20 Kab. Nias Selatan 97.2 91.1 65.8 59.9 Kab. Pak Pak Bharat 9.2 8.6 6.1 5.9 Kab. Humbang Hasundutan 28.1 28.4 20 17.6 Kab. Serdang Bedagai 72.8 72.6 66.3 60.4 Kab. Samosir 31.2 36.1 24.4 22.8 Kab. Kep Mentawai 11.2 12.9 11.8 12.7 Kota Pariaman 6.2 5.5 3.9 3.5 Kab. Dharmas Raya 25.4 23.8 21.4 19.9 Kab. Solok Selatan 22.7 21.3 16.7 14.6 Kab. Pasaman Barat 45.5 42.7 34.4 30.4 Kab. Kuantan Singingi 64.4 63.5 61.6 58.8 Kab. Pelalawan 46.3 51.9 52.5 55.5 Kab. Rokan Hulu 82.2 92.7 95.9 91.4 Kota Dumai 22.9 21 21.3 19.6 Kab. Rokan Hilir 48.5 48.3 49.4 42.4 Kab. Siak 23.5 25.8 27 22.9 Kab. Sarolangun 40.5 38.9 39.6 39.6 Kab. Tebo 31.4 26 26.2 26.2 Kab. Muaro Jambi 25.2 27 26.5 26.5 Kab. Tanjung Jabung Timur 22.3 22.8 23.5 27.8 Kota Prabumulih 15.8 15.5 12.3 10 Kota Pagar Alam 16.9 15.2 13.7 11.2 Kota Lubuk Linggau 28 28.4 28.5 25.6 Kab. Banyuasin 149.5 149.9 165.6 122.4
105
DOB Tahun Pemekaran Ke-
1 2 3 4 Kab. OKU Selatan 67.8 61.2 47.7 42.1 Kab. OKU Timur 103.1 90.7 69.6 57.7 Kab. Ogan Ilir 82.7 79.6 67.1 60.1 Kab. Muko-Muko 27.9 28.7 23.5 23.6 Kab. Lebong 16.4 16.7 13.7 13.6 Kab. Kepahiang 20.8 21.2 21 20.7 Kab. Kaur 41 44.5 31.4 29.1 Kab. Seluma 60 60.9 42.5 40.1 Kab. Way Kanan 118 112.3 112.3 108.4 Kab. Lampung Timur 273.2 263.5 257.2 248.4 Kota Metro 12.5 11.3 10.7 8.6 Kab. Bangka Selatan 13.5 9.6 8.2 8.9 Kab. Bangka Tengah 16 13.4 11.2 10.4 Kab. Bangka Barat 14.1 10.5 7.4 7.6 Kab. Belitung Timur 15.1 12.6 10.4 9.3 Kab. Karimun 9.2 12.3 11.5 20.1 Kab. Natuna 3.8 4.8 4.5 8.8 Kota Batam 25.2 28.1 28.1 50.3 Kota Tanjung Pinang 17 23.5 25.8 23.7 Kab. Lingga 27.7 26.9 28.8 15.4 Kota Depok 68.5 65 64 39.6 Kota Cimahi 43.5 50.8 42.2 43.7 Kota Tasikmalaya 48.6 52.9 59.5 54.5 Kota Banjar 17.1 13 12.9 15.7 Kota Batu 20.2 17.2 21.2 17.3 Kota Cilegon 19.9 17.5 14.5 18.7 Kota Bima 16.9 17.5 15.7 19.5 Kab. Sumbawa Barat 29.1 28.7 25.2 24.3 Kab. Lembata 31.3 32.2 33.5 34.4 Kab. Rote Ndao 28 30.7 30.1 38.8 Kab. Manggarai Barat 58.9 53.5 48.3 45.9 Kab. Bengkayang 59.1 34 29.5 29 Kab. Landak 77.8 82.4 75.2 87.1 Kota Singkawang 16 18.6 14.3 13.1 Kab. Melawi 36 35 27.1 23.5 Kab. Sekadau 21.8 19.3 14.8 12.3 Kab. Katingan 17.4 13.4 13 11.9 Kab. Seruyan 14 12.8 13.4 13 Kab. Sukamara 4.2 3.8 3.7 3.4
106
DOB Tahun Pemekaran Ke-
1 2 3 4 Kab. Lamandau 5.4 4.9 4.8 4.6 Kab. Gunung Mas 10.2 9.3 9 8.7 Kab. Pulang Pisau 13.8 12.6 12 11.1 Kab. Murung Raya 9.8 8.9 8.7 8 Kab. Barito Timur 12 10.9 11.6 11 Kota Banjarbaru 6.4 8.1 6.6 6.6 Kab. Tanah Bumbu 22.1 17.8 12.9 13.5 Kab. Balangan 13.8 11.5 7.8 7.3 Kab. Nunukan 18.7 22.4 22.7 21.3 Kab. Malinau 10.1 11.2 11.3 10.8 Kab. Kutai Barat 21.3 19.8 19.9 20.1 Kab. Kutai Timur 27.7 28.5 27.9 26.6 Kota Bontang 8.7 8.2 7.9 7.6 Kab. Panajam Paser Utara 18.1 21.4 21.4 16.1 Kab. Kepulauan Talaud 10.1 11.7 11.9 9.7 Kota Tomohon 7.1 7 6.3 6.1 Kab. Minahasa Selatan 37.3 24.9 21.4 20.5 Kab. Minahasa Utara 17.5 17.5 14.7 14.2 Kab. Buol 29 29.8 29.5 34.1 Kab. Morowali 46.2 46.4 42.6 49.4 Kab. Banggai Kepulauan 94.6 42.9 40.1 42.1 Kab. Parigi Moutong 84.4 90.3 90.1 84.5 Kab. Tojo Una-Una 51 54 53.8 52.3 Kab. Luwu Utara 71.6 41.8 40.7 42.3 Kota Palopo 14.6 17.4 17.4 18.2 Kab. Luwu Timur 24.9 22.9 25.3 21 Kota Bau-Bau 22.1 21.3 23.1 22.6 Kab. Konawe Selatan 48.2 47.1 43.7 40.4 Kab. Bombana 24.2 23.6 21.8 20.2 Kab. Wakatobi 24.5 26 24.9 23 Kab. Kolaka Utara 26.7 26.8 29.3 28.4 Kab. Boalemo 63.7 33.8 34.3 32.5 Kab. Bone Bolango 39.1 36.1 27.1 24.1 Kab. Pohuwato 35.1 31.3 24.5 22.5 Kab. Mamasa 37.2 31.4 31 24.7 Kab. Mamuju Utara 10.9 9.2 7 7.1 Kab. Buru 48.7 38.3 38.3 41.8 Kab. Maluku Tenggara Barat 66.9 62.1 62.5 67.8
107
DOB Tahun Pemekaran Ke-
1 2 3 4 Kab. Seram Bagian Barat 55.7 53.6 50.7 48 Kab. Seram Bagian Timur 31.8 31.8 30.8 29.3 Kab. Kepulauan Aru 26.9 25.9 29.8 28.5 Kota Ternate 7.9 6 6 7.8 Kota Tidore Kepulauan 6.6 5.9 5.2 4.9 Kab. Halmehera Selatan 24 23.3 23 20.8 Kab. Halmehera Utara 18.5 17.5 16.6 15.2 Kab. Kepulauan Sula 19.3 17.7 17.4 14.7 Kab. Halmehera Timur 14.2 13.5 13.8 13.5 Kota Sorong 56.2 16.9 21.6 71 Kab. Sorong Selatan 17.1 16 16.4 16.3 Kab. Kepulauan Raja Ampat 12.2 11.4 10.4 9.7 Kab. Teluk Bintuni 27.5 25.9 30.1 28.5 Kab. Teluk Wondama 11.9 11.5 12 11.1 Kab. Kaimana 14.2 14.7 13.7 10.6 Kab. Paniai 64.1 50.8 54.6 59 Kab. Mimika 33.2 38 38.8 42.3 Kab. Puncak Jaya 54.5 34.9 55.8 60 Kab. Sarmi 9.5 10.4 10.2 8.3 Kab. Keerom 11.5 11.7 11 11.5 Kab. Pegunungan Bintang 44.8 48 45 42 Kab. Yahukimo 66.7 71 69.4 72.7 Kab. Tolikara 21.6 21.1 21.1 21.9 Kab. Waropen 10.5 10.3 9.9 6.7 Kab. Boven Digoel 9.8 9.6 9.1 9.3 Kab. Mappi 21.4 23.5 23 24.4 Kab. Asmat 21 22 21.5 25.7 Kab. Supiori 7.1 6.9 6.1 6.2
108
Lam
pira
n 7.
Tab
el S
tatis
tika
Des
krip
tif
Y
PD
RB
K
PAD
D
AU
IP
M
AK
D
KK
Mea
n -0
.000
206
985
4.52
3 4
7.19
347
250
.251
5 6
8.79
014
30.
0000
0 0
.191
489
Mea
n M
edia
n -0
.016
780
657
1.08
2 1
4.20
257
243
.041
6 6
9.28
000
22.
5000
0 0
.000
000
Med
ian
Max
imum
2
.007
851
136
488.
3 9
90.2
920
534
.223
0 7
7.10
000
248
.400
0 1
.000
000
Max
imum
M
inim
um
-0.5
8294
5 9
56.2
660
1.2
7000
0 2
2.70
800
47.
9400
0 3
.400
000
0.0
0000
0 M
inim
um
Std
. Dev
. 0
.275
538
150
24.5
0 1
35.0
695
85.
4812
0 5
.159
036
28.
9192
8 0
.394
876
Std
. Dev
. S
kew
ness
3
.340
502
6.3
9371
1 5
.413
320
0.3
7568
2 -2
.120
129
3.7
6781
4 1
.568
140
Ske
wne
ss
Kur
tosi
s 2
3.71
985
49.
4175
9 3
3.64
294
4.0
5155
4 9
.153
136
25.
4492
8 3
.459
064
Kur
tosi
s
Jarq
ue-B
era
278
4.44
6 1
3618
.90
620
5.21
1 9
.813
094
328
.065
1 3
294.
439
59.
0261
1 Ja
rque
-Ber
a P
roba
bilit
y 0
.000
000
0.0
0000
0 0
.000
000
0.0
0739
8 0
.000
000
0.0
0000
0 0
.000
000
Pro
babi
lity
S
um
-0.0
2899
8 1
3894
88.
665
4.27
9 3
5285
.47
969
9.41
0 4
230.
000
27.
0000
0 S
um
Sum
Sq.
Dev
. 1
0.62
899
3.1
6E+1
0 2
5541
29.
102
2985
. 3
726.
192
117
085.
4 2
1.82
979
Sum
Sq.
Dev
.
Obs
erva
tions
1
41
141
1
41
141
1
41
141
1
41
Obs
erva
tions
109
Lam
pira
n 8.
Mat
riks K
orel
asi P
ears
on
Cov
aria
nce
Ana
lysi
s: O
rdin
ary
D
ate:
06/
04/1
1 T
ime:
05:
48
Sa
mpl
e: 1
141
In
clud
ed o
bser
vatio
ns: 1
41
Cor
rela
tion
Prob
abili
ty
Y
PDR
BK
PA
D
DA
U
IPM
A
K
DK
K
Y
1.00
0000
--
---
PDR
BK
0.
7474
051.
0000
00
0.
0000
----
-
PAD
0.
2081
19-0
.001
206
1.00
0000
0.
0133
0.98
87--
---
DA
U
-0.1
0642
3-0
.112
228
-0.1
2749
21.
0000
00
0.
2091
0.18
520.
1319
----
-
IPM
0.
1268
890.
0650
540.
1557
61-0
.448
844
1.00
0000
0.
1338
0.44
340.
0651
0.00
00--
---
AK
-0
.077
479
-0.0
6461
6-0
.089
890
0.28
9875
-0.1
2093
31.
0000
00
0.
3611
0.44
650.
2891
0.00
050.
1532
----
-
DK
K
0.27
4749
-0.0
0238
50.
4350
01-0
.238
070
0.40
5449
-0.1
4742
91.
0000
00
0.00
100.
9776
0.00
000.
0045
0.00
000.
0811
----
-
110
0
2
4
6
8
10
12
-0.50 -0.25 0.00 0.25
Series: ResidualsSample 1 141Observations 141
Mean 4.62e-17Median -0.001657Maximum 0.425823Minimum -0.486082Std. Dev. 0.163619Skewness 0.020268Kurtosis 2.892809
Jarque-Bera 0.077156Probability 0.962157
Lampiran 9. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota
Dependent Variable: Y Method: Least Squares Date: 06/04/11 Time: 05:49 Sample: 1 141 Included observations: 141 White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
PDRBK 1.38E-05 1.38E-06 10.03624 0.0000 PAD 0.000225 0.000103 2.192300 0.0301 DAU 0.000132 0.000193 0.680270 0.4975 IPM -0.001115 0.003516 -0.317227 0.7516 AK 3.11E-05 0.000549 0.056558 0.9550
DKK 0.172543 0.044729 3.857553 0.0002 C -0.137318 0.265281 -0.517633 0.6056
R-squared 0.647381 Mean dependent var -0.000206 Adjusted R-squared 0.631592 S.D. dependent var 0.275538 S.E. of regression 0.167243 Akaike info criterion -0.690373 Sum squared resid 3.747987 Schwarz criterion -0.543981 Log likelihood 55.67130 Hannan-Quinn criter. -0.630884 F-statistic 41.00218 Durbin-Watson stat 1.453883 Prob(F-statistic) 0.000000
Lampiran 10. Uji Kenormalan Model Keberhasilan Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia
111
Lampiran 11. Uji Homoskedastisitas Model Keberhasilan Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia
Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey
F-statistic 0.510807 Prob. F(6,134) 0.7993 Obs*R-squared 3.152833 Prob. Chi-Square(6) 0.7894 Scaled explained SS 2.694941 Prob. Chi-Square(6) 0.8460
Lampiran 12. Uji Autokorelasi Model Keberhasilan Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 1.747592 Prob. F(10,124) 0.0774 Obs*R-squared 17.41713 Prob. Chi-Square(10) 0.0656