ETIKA SOSIAL DALAM AGAMA ISLAM DAN
BUDDHA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana (S.Ag)
Oleh:
Abdur Rahman Ashari
NIM: 1112032100047
PRODI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/2019 M
iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Abdur Rahman Ashari
NIM : 1112032100047
Program Studi : Studi Agama-Agama
Fakultas : Ushuluddin
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 07 Oktober 1994
Menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Etika Sosial dalam
Agama Islam Dan Buddha” adalah benar-benar asli karya saya yang di
ajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1
di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terkecuali kutipan-kutipan yang telah
di sebutkan sumbernya.
Kesalahan dan kekurangan dalam skripsi ini sepenuhnya menjadi
tanggung jawab saya. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini
bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya
orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 07 Juli 2019
Abdur Rahman Ashari
v
ABSTRAK
Abdur Rahman Ashari
“ETIKA SOSIAL DALAM AGAMA ISLAM DAN BUDDHA”
Etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya
pikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup baik.
Akal budi itu ciptaan Allah dan tentu di berikan kepada Manusia
untuk di pergunakan dalam semua dimensi kehidupan. Etika sering
dipadankan dengan kata moral, dalam bahasa Latin Mos yang
bentuk jamaknya mores yang berarti adat atau cara hidup.
Sedangkan dalam arti luas etika adalah sarana orientasi bagi usaha
manusia untuk menjalani hidup di dunia. Antara etika dan agama
jelasm emiliki hubungan yang saling terkait antara satu dengan yang
lainnya. Banyak nilai dan norma etis yang berlaku di masyarakat
berasal dari semangat (ideal-moral) agama. Mengingat agama
merupakan suatu kepercayaan yang mengandung nilai-nilai tentang
norma yang dapat mengatur hubungan antara manusia dengan
manusia lainnya juga hubungan antara manusia dengan makhluk lain
serta hubungan manusia dengan Tuhannya. Penelitian ini merupakan
penelitian pustaka. Pada penelitian ini penulis menggunakan
pendekatan Teologis. Pendekatan Teologis dalam mengkaji agama
merupakan suatu proses rasional. Pilihan objek konsep etika sosial
Buddha dan Islam dalam bingkai komparatif dalam penelitian ini
mengingat kedua agama ini memiliki akar historis dan tradisi yang
berbeda. Baik Agama Buddha maupun Islam memandang bahwa
etika merupakan inti dari ajaran agamanya, ada tuntutan bagi
pemeluknya untuk senantiasa berbuat baik kepada sesamanya, segala
perbuatan manusia ada pertanggung jawabannya kelak. Di sisi lain
Islam memandang bahwa segala perbuatan manusia baik aktifitas
individual maupun kolektif dianggap sebagai suatu bentuk ibadah
vi
kepada Tuhan. Sementara Agama Buddha meyakini bahwa segala
perbuatan baik manusia bemula dari adanya watak sejati yang sudah
ada di dalam diri manusia sebagai kodratnya. Kedua agama tersebut
sama-sama berpandangan bahwa pada hakikatnya manusia itu sama
di depan Tuhan, namun yang membedakannya adalah tingkat
kebajikannya atau dalam Islam tingkat ketaqwaanya.
Setelah menelaah, memperhatikan dan mempelajari terkait
Etika ini, penulis memiliki Alasan sebagaimana yang telah di
jelaskan di atas, bahwasanya banyak sekali problem-problem yang
selalu menjadi jadi dari hari ke hari, bahkan banyak nya
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam lingkungan sosial
yang berakhir pada kesenjangan dalam bermasyarakat. Temuan yang
penulis dapatkan terkait Etika ini adalah banyak ancaman-ancaman
juga tindakan yang merugikan baik induvidu maupun kelompok
masyarakat, penting adanya Etika ini adalah untuk mewujudkan
nilai-nilai moral atau Ahlak yang telah mengatur manusia untuk
selalu berbuat baik, berkata baik juga berprilaku baik.
Agama Islam maupun agama Buddha memilki peraturan dan
tujuan yang sama yaitu mewujudkan nilai-nilai etika dan
membimbing manusia untuk menjadi lebih baik, adapun konsep dan
proses dalam memahami Etika yang terdapat dalam agama Islam
maupun agama Buddha kita pelajari dalam pengertian lebih luas,
sehingga kita semua dapat memahami apa itu Etika dan bagaimana
seharusnya memberlakukan Etika dalam kehidupan bermasyarakat.
vii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puja dan puji serta rasa syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT, yang telah memberikan beribu-ribu nikmat jasmani
maupun rohani, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan lancar. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi
Muhammad Saw, nabi serta rasul terakhir yang membawa mukjizat
yaitu Al-qur’an sehingga menjadi pedoman bagi umat manusia
hingga akhir zaman.
Alhamdulillah saya ucapkan kepada Allah SWT atas nikmatnya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas skripsi dengan judul “
Etika Sosial dalam Agama Islam dan Buddha”.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Oleh Karena itu
kritik serta saran kiranya sedikit banyak mampu meningkatkan
pemahaman serta pengetahuan penulis dalam menuntut ilmu dan
dalam menempuh perjalanan hidup di dunia yang fana ini.
Ucapkan banyak terimakasih kepada seluruh pihak yang telah
memberikan arahan serta bimbingan dan segala bentuk bantuan
lainnya yang tentu nya sangat berarti bagi penulis. Ucapan
terimakasih ini ditujukan terutama kepada:
1. Bapak Dekan Dr. Yusuf Rahman, MA, Bapak Wakil Dekan I
Kusmana, Ph.D, Ibu Wakil Dekan II Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA,
Bapak Wakil Dekan III Dr. Media Zainul Bahri, MA.
2. Bapak Syaiful Azmi, MA, selaku Ketua Prodi Studi Agama-
Agama dalamm emberi kan motivasi serta dukungan dalam
menyelesaikan perkuliahan ini.
viii
3. Ibu Lisfa Sentosa Aisyah, MA, selaku Sekertaris Prodi Studi
Agama-Agama, yang dalam hal ini telah memberikan arahan serta
binaan dalam menyelesaikan Mata Kuliah.
4. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, MA, selakuDosenPembimbingskripsi
yang dengan sabar dan konsisten meluangkan waktunya untuk
memberikan motivasi, konsultasi serta arahan yang sangat
bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi dan
perkuliahan ini.
5. Bapak Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si, sebagai Dosen Pembimbing
Akademik yang telah memberikan perhatian kepada seluruh
mahasiswa khususnya mahasiswa Prodi Studi Agama-Agama 2012.
6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya Bapak dan Ibu
Dosen di Prodi Studi Agama-Agama yang dengan sabar telah
berbagi ilmu dan pengalaman yang insya allah bermanfaat
kedepannya.
7. Pimpinan dan Karyawan Perpustakaan Umum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, dan Perpustakaan Ushuluddin yang banyak
membantu penulis dalam memberikan referensi buku-buku dalam
menyelesaikan skripsi ini.
8. Kedua orang tua saya yaitu bapak Hidri Rafai Malik yang selalu
berdoa untuk kebaikan anaknya dan terus memberikan motivasi
tujuan saya sebagai Mahasiswa dan tanggung jawab saya sebagai
anak laki-lakinya, serta ibunda Sri Maria Wais Napitupulu yang
sampai saat ini menuggu anak terakhirnya di wisuda yang selalu
menceramahi saya ketika saya lalai dan selalu memeluk saya ketika
saya berangkat dari rumah menuju Jakarta untuk menyelesaikan
masa Studi saya, Teteh (kaka kedua) merangkap juga Ibu ke dua
(Raisa Rahmi Sari) yang telah mensupport saya setiap detik dan
menjadi Panutan saya di keluarga yang tidak pernah bosan
ix
memberikan apapun yang adiknya butuhkan, kaka pertama saya
(AbdurRaufRafli) yang selama ini menjaga saya, melingdungi saya,
memberikan arahan dan motivasi bagaimana cara menajadi laki-laki
yang bertanggung jawab baik kepada diri sendiri juga keluarga,
kepada kaka ipar saya (Ilhamy Ilyasa Gunadi Putra) yang selama ini
selalu memberikan nasihat dan dukungan dalam hal apapun,
sehingga Alhamdulillah saya bisa menyelesaikan skripsi ini. Kepada
seluruh keluarga besar yang telah memberikan motivasi serta
semangat baik secara moral maupun materil, terutama hal terpenting
dalam hidup yaitu Do’a yang selalu diucapkan dalam kalbu di
hadapan Sang Pencipta dikala malam nan gelap gulita serta
kesunyian yang melanda dunia tapi disukai oleh-Nya beserta
Malaikat-Nya.
9. Seluruh teman-teman Prodi Studi Agama-Agama, Deni Iskandar
(Goler) yang beralih profesi menjadi supir tembak (Grab Bike) demi
memenuhi kebutuhan dalam proses menyelesaikan skripsi, Gilang
Ramadhan selaku donatur kopi tetap, Chuan Papua (Fajar Kuban)
teman seperjuangan di GMNI dan menjadi malaikat penjaga saya
ketika saya berada dalam urusan Urgent, khususnya Zamil teman
seperjuangan yang membantu saya dalam menyelesaikan Studi dan
seluruh teman-teman yang tidak bias saya sebutkan satu persatu
yang selama ini telah menemani serta menerima keberadaan seorang
pengembara kehidupan. Motivasi serta dukungan selalu diberikan.
10. Kawan-kawan Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) Candra
yang sudah membantu dalam menyelesaikan skripsi yang tanpa
bantuan nya tidak akan dapat tuntas dan juga kawan-kawan yang
lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) yang telah menerima keberadaan saya
sehingga menjadi bagian dari keluarga.
x
Akhir kalam, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pembaca dalam memperkaya Khazanah Ilmu di kalangan
mahasiswa Prodi Studi Agama-Agama maupun masyarakat luas.
Penulis berharap para pembaca dapat memberikan kritik serta saran
demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga segala amal baik yang telah
diberikan dapat diterima oleh Allah SWT dan mendapat limpahan
sertaridho-Nya Amiin.
Jakarta, 25 juli 2019
Abdur Rahman Ashari
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………. ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI……………………….. iii
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………… iv
ABSTRAK……………………………………………………….. v
KATA PENGANTAR…………………………………………… ix
DAFTAR ISI…………………………………………….... ...........xxi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………….. 1
B. Rumusan Masalah……………………………………… 14
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………… 14
D. Metodologi Penelitian…………………………………. 14
E. Tinjauan Pustaka ……………………………………… 16
F. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data………………. 17
G. Sistematika penulisan………………………………….. 18
BAB II ETIKA SOSIAL DALAM PANDANGAN TEOLOGIS
A. Etika Sosial Dalam Perspektif Teologis……………….. 21
B. Aspek-Aspek Etika Secara Umum……………………... 22
BAB III ETIKA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN
BUDDHA
A. Hubungan etika sosial dan agama……………………… 37
B. Pengertian dan fungsi Etika sosial……………………… 39
C. Etika Sosial Dalam Agama Islam……………………… 41
D. Etika Sosial Dalam Agama Buddha……………………. 46
xii
BAB IV ANALISIS KOMPARASI ETIKA SOSIAL AGAMA
ISLAM DAN AGAMA BUDDHA
A. Persamaan Etika Sosial Agama Islam dan
Agama Buddha…………………………………………… 55
B. Perbedaan Etika sosial Agama Islam dan
Agama Buddha……………………………………………. 59
C. Karakteristik Dalam Agama Islam dan
Agama Buddha……………………………………………. 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………….. 71
B. Saran-Saran……………………………………………. 74
Daftar Pustaka…………………………………………….. 76
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1. Alasan Dalam Memilih Judul
Sebelum masuk lebih jauh dalam pembahasan selanjutnya,
penulis hendak menjelaskan apa alasan dan tujuan dalam pemilihan
judul yang terkait dalam skripsi ini.
Dalam kehidupan sosial seseorang haruslah memiliki Etika
yang baik sehingga hubungan induvidu atau pun kelompok bisa
berjalan dengan baik pula dan dapat di terima dalam lingkungan
sosial. Agama merupakan seperangkat aturan dan peraturan yang
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan
manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia
dengan lingkungannya1.
Agama merupakan suatu sistem keyakinan yang dianut oleh
suatu kelompok atau masyarakat2. Perkembangan zaman di era
modern seperti ini banyak sekali peran dari luar dan dalam yang
mampu merusak kepribadian seseorang, juga dalam aspek hubungan
antar sosial yang cenderung dapat merusak nilai-nilai norma yang
berlaku dalam kehidupan sosial.
1 Betty R. Scharf, Sosiologi Agama, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 34-35
2 H.Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2006), h. 129
2
Manusia sendiri merupakan makhluk hidup yang sangat
istimewa, karena manusia berbeda dengan makhluk yang lainnya.
Manusia diberi akal pikiran untuk dapat bertindak sesuai dengan
nilai dan norma yang berlaku dilingkungan serta agama yang
dianutnya. Nilai dan norma yang dapat mengatur perilaku seseorang
salah satunya yaitu melalui agama, sehingga dapat mengatur
perilaku manusia untuk dapat memilih sesuatu yang dianggap benar
dan mana sesuatu yang dianggap salah.
Banyak sekali peyimpangan yang terjadi dalam masyarakat
dan berefek pada kesenjangan sosial, yang di akibatkan oleh
ketidaktahuan seseorang tentang bagaimana cara berinteraksi antar
sesama manusia per induvidu maupun kelompok, dengan adanya
ketidaktahuan itu terjadi beberapa kasus dari timbul nya perkataan
yang tidak baik, prilaku yang tidak baik sampai tindak kekerasan dan
pembunuhan. Interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya
aktivitas manusia yang bertujuan untuk mempersatukan semangat
moral antar sesama, yang di bangun melalui kesadaran idologi dan
fitrah sebagai manusia dimana akan selalu membutuhkan
pertolongan antar sesama.
Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan
sosial karena tanpa interaksi sosial, tidak akan mungkin ada
kehidupan bersama. Manusia yang hanya bertemu secara badaniah
tidak akan menghasilkan suatu pergaulan dalam kehidupan
3
bermasyarakat. Pergaulan tersebut baru akan terjadi apabila
perorarang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia saling
berbicara, saling bekerja sama secara terus menerus untuk mencapai
tujuan bersama.
Dengan adanya penjelasan seperti ini, penulis menyimpulkan
bahwa penting nya peran Etika dalam setiap diri seseorang yang
dapat membantu proses penyesuaian yang baik dan juga interaksi
yang lebih baik.
Secara etimologi kata “etika” berasal dari bahasa Yunani
yang terdiri dari dua kata yaitu Ethos dan ethikos. Ethos berarti sifat,
watak kebiasaan, tempat yang biasa. Ethikos berarti susila,
keadaban, kelakuan dan perbuatan yang baik.3 Istilah moral berasal
dari kata latin yaitu mores, yang merupakan bentuk jama‟ dari mos,
yang berarti adat istiadat atau kebiasaan watak, kelakuan, tabiat, dan
cara hidup. Sedangkan dalam bahasa Arab kata etika dikenal dengan
istilah akhlak, artinya budi pekerti. Sedangkan dalam bahasa
Indonesia disebut tata susila.4 Dalam arti ini, etika berkaitan dengan
kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri
seseorang atau kepada masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini
dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain.
3 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT Gramedia pustaka, 2000) , h.217
4 Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat ( Jakarta: Wijaya, 1978), h.9.
4
Kebiasaan hidup yang baik ini lalu dibekukan dalam bentuk
kaidah, aturan atau norma yang disebarluaskan, dikenal, dipahami,
dan diajarkan secara lisan dalam masyarakat. Kaidah, norma atau
aturan ini pada dasarnya, menyangkut baik-buruk perilaku manusia.
Atau, etika dipahami sebagai ajaran yang berisikan perintah dan
larangan tentang baik-buruknya perilaku manusia, yaitu perintah
yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dihindari.5
Banyak nilai dan norma etis yang berlaku di masyarakat
berasal dari semangat (ideal-moral) agama. Tidak bisa diragukan,
agama merupakan salah satu sumber nilai dan norma yang paling
penting. Kebudayaan merupakan suatu sumber yang lain, walaupun
perlu dicatat bahwa dalam hal ini kebudayaan sering kali tidak bisa
dilepaskan dari agama.6 Dengan demikian, gugusan nilai keagamaan
merupakan sentra persemaian nilai-nilai etis. Etika mempunyai
tujuan untuk menerangkan hakikat kebaikan dan kejahatan. Hal ini
penting karena manusia senantiasa dikuasai oleh gagasan-gagasan
mengenai yang benar dan yang salah.
Persoalan etika sosial selalu dibentuk oleh suatu komunitas
masyarakat sepanjang sejarah dalam rangka menciptakan suatu
interaksi sosial yang lebih tertib dan lebih teratur. Nilai etika
diterima oleh generasi pendahulunya yang disertai dengan adanya
perubahan- perubahan dalam bentuk proses penyesuaian,
5 Keraf. A. Sonny. Etika Lingkungan, (Jakarta: Buku Kompas, 2002), h.2 6 K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 29-30.
5
penggantian dan penambahan nilai-nilai etika yang menyesuaikan
dengan kondisi dan situasi pada zamannya di mana nilai tersebut
diberlakukan.
Faktor lingkungan dan tatanan sosial budaya masyarakat juga
akan mempengaruhi sebuah proses usaha pembentukan nilai-nilai
etika yang berlaku dalam sebuah komunitas masyarakat. Maka,
selain akan terjadi sebuah persamaan-persamaan nilai etika dalam
kelompok tersebut, juga akan terjadi adanya ketidaksesuaian atau
adanya perbedaan terhadap nilai yang telah berlaku.7
Adalah sangat naif jika pada era globalisasi seperti saat ini
peran akal di dalam mengunyah dan menginternalisasikan aturan dan
tata nilai moral keagamaan dieliminasi. Kegelisahan anak muda era
globalisasi yang mencari bentuk spiritualitas “baru“ jangan-jangan
disebabkan oleh adanya penyempitan ventilasi ruang gerak akal
untuk merumuskan etika keagamaan mereka yang sesuai dengan
tantangan yang dihadapinya. Dalam era globalisasi, ilmu dan
budaya berpengaruh besar dalam sikap keberagamaan manusia
kontemporer. Perkembangan masalah-masalah dalam masyarakat
dan ilmu pengetahuan telah mendorong lahirnya etika sosial.
Dewasa ini peran etika sosial semakin mendapat tempat yang
penting dalam masyarakat, karena tercabutnya masyarakat dari
budaya asal dan hidup dalam masyarakat yang heterogen, tidak
7 M.Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1994), h. 152.
6
mudah menemukan kaedah agama bagi pemecahan masalah,
perkembangan masalah dalam kehidupan masyarakat,
perkembangan pemahaman nilai, dan munculnya sikap permisif.8
Adapun tokoh yang membahas tentang etika sosial atau
moralitas diantaranya, Imam al-Ghozali ia mengatakan, sebagaimana
diikuti oleh Muh. Ardani dalam bukunya Akhlak Tasawuf “akhlak
adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir
berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada
pikiran dan pertimbangan”. Jika sikap itu yang darinya lahir
perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal dan syara’, maka
disebut akhlak yang baik. Dan jika lahir dari dirinya perbuatan
tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk.9
Tokoh lain Immanuel Kant, Ia memandang etika bersifat fitri.
menurut Kant, apabila manusia menggunakan nalarnya dalam
berusaha merumuskan etika, ia dengan sendirinya tidak akan sampai
pada etika sesungguhnya. Di samping bakal berselisih satu sama lain
mengenai mana baik dan mana buruk, “etika” yang bersifat rasional
bukan lagi etika, melainkan bisa terjebak dalam perhitungan untung-
rugi. Dengan kata lain, perubahan etis dapat menghasilkan
keuntungan bagi pelakunya, tetapi juga dapat mengakibatkan
kerugian baginya. Kant mengataan bahwa etika merupakan urusan
“nalar praktis”. Artinya, pada dasarnya nilai-nilai moral itu telah
8 Tri Nugroho, Etika Sosial dalam makalah yang disampaikan pada pelatihan
History of Thought di USC-Satunama, 24 Februari 2006. 9 Muh. Ardani, Akhlak Tasawuf, PT Mitra Cahaya Utama, Cet ke-2, 2005. h. 29
7
tertanam pada diri manusia sebagai kewajiban. Kecenderungan
untuk berbuat baik, sebenarnya telah ada pada diri manusia. Manusia
pada intinya hanya menunaikan kecenderungan diri dalam setiap
perbuatan. Dengan kata lain, perbuatan etis bersifat deontologis dan
berada dibalik nalar.10
Dalam Islam moralitas maupun etika dikenal dengan sebutan
akhlak, akhlak sendiri terkatagori dalam dua bentuk, yaitu akhlak
terpuji (akhlakul karimah) dan akhlak tercela (akhlakul
mazdmumah). Adapun definisi akhlak yaitu:
Secara etimologi akhlak berasal dari bahasa arab jama’ dari
bentuk mufradnya “Khuluqun”( خلق )yang menurut logat diartikan:
budi pekerti,perangai,tingkah laku atau tabi’at. kalimat tersebut
mengandung segisegi persesuain dengan perkataan “Khalkun” ( خلق
) yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan “Khaliq”(
yang berarti ( هخلوق ) ”yang berarti pencipta dan “makhluk ( خالق
diciptakan.11
Agama Islam dikenal juga sebagai agama etika. Konsep etika
sosial dalam Islam terangkum dalam Iman, Islam dan Taqwa dan
Ikhlas12
Dijelaskan dalam al-Quran bahwa tujuan para Rasul Allah
10
Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung, PT Mizan Pustaka, 2005).
h.200 11
Zahruddin AR, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004),h. 1 12
Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman mengenai etika
al- Qur’an, Fazlur Rahman, “Beberapa Konsep Kunci Tentang Etika al-Qur’an” dalam
Taufiq Adnan Amal (ed), Neo Modernisme Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1987), h.
92-93.
8
ialah mewujudkan masyarakat yang berketuhanan (rabbaniyyin)
sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat al-Imran ayat 79.13
Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang
anggotanya dijiwai oleh semangat mencapai perkenaan (ridho)
Allah, melalui perbuatan baik bagi sesamanya dan kepada seluruh
makhluk. Inilah dasar pandangan etis kaum beriman. Sehingga
dipercaya oleh umat Islam bahwa iman yang kuat pasti melahirkan
budi pekerti yang kuat pula. Sebaliknya rusaknya budi pekerti pasti
akibat dari lemahnya iman, atau hilangnya iman disebabkan oleh
terlampau besarnya perbuatan jahat dan kebodohan seseorang.14
Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia diharapkan dapat
memberikan bimbingan kepada umat manusia dalam hidup dan
kehidupan mereka. Dengan kata lain, al-Qur’an merupakan sumber
yang mempunyai makna dan nilai bagi umat yang mempercayainya.
Maka untuk mendukung fungsi al-Qur’an sebagai kitab yang
berdimensi dan berwawasan luas, kandungan isinya tidak terbatas
pada bidang-bidang yang berkaitan hubungan manusia dan
khaliknya, yaitu kode etik tata pergaulan antara manusia dengan
khaliknya, tetapi juga meliputi bidang-bidang yang berkaitan dengan
hubungan manusia dengan sesama manusia, yaitu kode etik
pergaulan manusia dengan sesama manusia dalam berbagai aspek
13
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Semarang, Al-Waah:
1989), h. 89. 14
Muhammad Al-Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, Terj. Abu Laila &
Muhammad Tohir (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1995), h. 16-17.
9
dan dimensinya. Dengan fungsinya sebagai hudan linnas (Q.S.Al-
Baqarah [2]: 185), maka al-Qur'an harus dipahami dan diamalkan
secara total dalam hidup dan kehidupan manusia. Pemahaman dan
pengamalannya itu tidak hanya terbatas pada bidang yang berkaitan
dengan hubungan dengan Allah,tetapi juga bidang yang berkaitan
dengan hubungan antar manusia (Q.S. Ali Imroñ [3]: 112).15
Sedangkan Etika Sosial yang dijelaskan dalam hadis adalah
suatu aturan yang diberlakukan dengan tujuan untuk menertibkan
hubungan dengan orang lain agar bisa terjalin komunikasi dengan
baik. Jadi, etika sosial adalah peraturan yang dianut oleh tatanan
sosial yang merupakan hasil dari kreasi manusia.
Pentingnya etika sosial adalah bertujuan untuk menjaga
keharmonisan hubungan antara masyarakat. Setiap tindakan kita
harus sesuai dengan etika sosial. Adapun hadis yang memberikan
penerangan mengenai tentang etika sosial adalah:
، وكل بيوينك ا يلييا غلام سن الله ، وكل هوه
“Wahai lelaki, ucaplah bismillah dan makanlah dengan tangan
kananmu, serta ambil makanan yang berada di dekatmu”
يسلن الره كب على الوا شئ و الوا شئ على القا عد والقليل على الكثير
“Seyogyanya orang yang berkendara memberi salam pada orang
yang jalan kaki, dan orang yang jalan kaki memberi salam pada
orang orang yang sedang duduk, dan orang yang sedikit memberi
salam pada orsng yang lebih banyak.”16
15
Muhammad Yusuf Musa,(Kairo: Mu'assassah al-Mat'butat al-Haditsah,
1960), h. 23 16
Muhammad Hasbi Ash-shiddieqy, mutiara hadis 6
10
شد بعد ه بعضاالوؤ هي للوؤ هؤهنيي كا لبنيا ى ي
"Seorang mukmin dengan mukmin lainya seperti sebuah bangunan,
bagian yang satu dan yang lainya saling menguatkan”.17
Selanjutnya adalah pembahasan etika sosia di dalam ajaran Agama
Buddha.
Budaya bangsa Indonesia mengenal istilah yang disebut
“etika” yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai “tata
susila”. Dalam agama Buddha, sila (moralitas Buddhis) merupakan
dasar utama dalam pelaksanaan ajaran agama, mencakup semua
perilaku dan sifat-sifat baik yang termasuk dalam ajaran moral dan
etika agama Buddha. Menurut kosakata bahasa Pali, istilah moralitas
Buddhis (sila) mempunyai beberapa arti yaitu:
a. Sifat, karakter, watak, kebiasaan, perilaku, kelakuan.
b. Latihan moral, pelaksanaan moral, perilaku baik, etika
Buddhis, dan kode moralitas.
Moralitas Buddhis (sila) disebut manussa-dhamma (ajaran
untuk manusia), karena pelaksanaan moralitas ini akan
mengakibatkan seseorang berbahagia. Kadar dari pelaksanaan
moralitas ini menentukan apakah seseorang terlahir sebagai dewa
atau manusia yang beruntung atau manusia yang sengsara.18
17 Imam Abi Husain Muslim Bin Hajjaj, Shohih Muslim, ( Beirut: Maktabah
dalan, t.th), h.152 18
Ronald Satya Surya, 5 Aturan-Moralitas Buddhis,(Yogyakarta: Vidyasena
Production, Vihara Vidyaloka,2009), h.3
11
Buddhisme menawarkan dan mengajarkan tata tertib,
perdamaian dan harmoni baik di tingkat personal mau sosial yang
dapat dicapai melalui praktik Lima Moral (panca-sila) seperti
terdapat dalam kitab Angutara Nikaya yang mengikat dalam
keseharian bagi penganut ajaran Buddha. Lima Moral ini adalah
a. Menghindari pembunuhan
b. Menghindari pencurian
c. Menghindari perbuatan seksual yang tidak pantas
d. Mengindari berbicara yang tidak benar
e. Menghindari minuman keras, minuman beralkohol, atau
yang menyebabkan hilangnya kesadaran.
Oleh karena itu dengan 5 aturan-moralitas Buddhis tersebut
dapat dikatakan besar ruangnya bagi manusia untuk menanam jiwa
toleransi dalam dirinya. Karena memang dalam agama Buddha
sendiri juga diajarkan untuk membuang rasa benci dalam diri
manusia, seperti yang disabdakan oleh Sang Buddha “dia
menganiaya saya, dia menyakiti saya, dia mengalahkan saya, dia
merampok saya, Mereka yang mempunyai pikiran-pikiran seperti ini
tidak akan terbebas dari kebencian. Namun sebaliknya, mereka yang
tidak mempunyai pikiran demikian akan terbebas dari kebencian”.
Dalam alur sejarah agama-agama, khususnya di India, zaman
agama Buddha dimulai sejak tahun 500 SM hingga tahun 300 M.
Secara historis agama tersebut mempunyai kaitan erat dengan agama
12
yang mendahuluinya, namun mempunyai beberapa perbedaan
dengan agama yang didahuluinya dan yang datang sesudahnya, yaitu
agama Hindu. Sebagai agama, ajaran Buddha bertitik-tolak dari
Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta dan seluruh isinya,
termasuk manusia. Tetapi dari keadaan yang dihadapi manusia
dalam kehidupan sehari-hari, khususnya tentang tata susila yang
harus dijalani manusia agar terbebas dari lingkaran dukkha yang
selalu mengiringi hidupnya.19
Tujuan pengembangan etika dalam ajaran agama Budha tidak
lain hanyalah untuk menyempurnakan manusia sebagi makhluk yang
paling sempurna. Dengan melatih etika pada diri manusia dengan
menjadi lebih baik maka, akan mampu mencapai kebebasan
(moksa). Menurut doktrin Budhisme seseorang menyadari
pentingnya perilaku dalam mengaplikasikan etika dalam
kehidupannya. Apabila seseorang tidak menggunakan etika dalam
perilaku kehidupan sehari-harinya maka, seseorang tersebut diangap
belum matang secara mental.20
Dalam ajaran Buddha, etika sangat berkaitan dengan ajaran
karma. Dengan demikian akibat yang ditimbulkan dari kehidupan
beretika akan memperoleh sesuai dengan karmanya dalam
kehidupan itu sendiri. Jika etikanya baik maka akan baik pula yang
19
Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,
1988), h. 101 20
Piyadasi Mahatera, Budhisme A. Living Massage, Terjemahan. Suprianti
Poernomo, (Jakarta: Dhamadipa, 2010), h. 12.
13
didapatkannya. Selain itu etika yang disusun oleh Sidarta Gautama
pada para pengikutnya yaitu Delapan Jalan Kebenaran untuk
melepaskan duka.21
Selama hidupnya Buddha rela melepas kemewahan yang
menjadi hak miliknya di lingkungan kerajaan, namun ia tinggalkan
semua itu demi menyelamatkan banyak orang. Salah satu cara yang
ia tempuh adalah hidup dalam penderitaan. Hidup dalam penderitaan
sebagaimana dilakukan sang Buddha adalah perbuatan yag baik,
yang dipusatkan pada pembebasan penderitaan diri sendiri dan orang
lain. Kebijaksanaan memfokuskan pada melihat sesuatu melalui
hayalan yang merupakan pengalaman yang luar biasa dalam hidup
manusia, dengan demikian menjadi bebas dari penderitaan diri
sendiri.22
Dari pemaparan diatas dapat dipahami bahwa dalam agama
Buddha telah mengajarkan keharmonisan, dimana setiap umat
manusia diajak dalam perbuatan yang baik dengan tuntunan lima
moralitas dan delapan jalan kebenaran. Didalam menjalankan ajaran
tersebut adalah untuk membina diri sendiri untuk dapat membentuk
pribadi sehingga akan jauh dari perbuatan jahat, terutama dalam sifat
kekerasan. Pendidikan moral baik dalam agama Islam maupun
21
Delapan Jalan Kebenaran tersebut yaitu; 1. Pengertian benar, 2. Pikiran
benar, 3. Ucapan benar, 4. Perbuatan benar, 5. Penghidupan benar, 6. Usaha benar, 7.
Perhatian benar, dan 8. Konsentrasi yang benar. Lihat S. Widyadharma, Intisari Ajaran
Budha, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidkan Budhis, 1991), h. 12. 22
Sri Dammananda, Keyakinan Umat Budha, (Jakarta: Karaniya, 2005), h. 210-
213.
14
agama Buddha sama-sama mengajarkan bersikap baik antar sesama,
oleh karena itu pendidikan moral mempunyai peranan penting dalam
kehidupan dan memuliakan manusia serta martabat manusia. Karena
manusia tidak sebatas sebagai makhluk individu namun juga sebagai
makhluk sosial dimana harus memahami kondisi sosial disekitarnya.
Pembentukan moral yang baik menjadi bekal dalam
berinteraksi dimana akan menciptakan hubungan yang harmoni antar
sesama. Karena dalam kehidupan masyarakat terdapat hak dan
kewajiban yang harus dijaga maupun dilaksanakan oleh setiap
anggota masyarat. Hak dan kewajiban harus berjalan seimbang
untuk menciptakan keharmonisan atau perdamaian. Sebagaimana
dijelaskan dalam ajaran agama Buddha bahwa setiap makhluk
mempunyai hak dan setiap manusia wajib menghormati dan
menghargai hak-hak orang lain. Hak orang dalam meyakini
keimanan, status sosial,hak hidup dll.
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, maka yang
menjadi titik tolak permasalahan penelitian dalam kajian ini disusun
ke dalam pertanyaan penelitian adalah :
1. Bagaimanan konsep etika sosial dalam ajaran agama Islam dan
ajaran agama Buddha?
15
C. Tujuan dan Manfaat penelitian
Tujuan Penelitian ini dilakukan dengan beberapa maksud,
adapun tujuannya adalah untuk mengetahui Konsep etika sosial
dalam ajaran agama Islam dan agama buddha.
Dan manfaat yang bisa kita ambil dalam penilitian ini adalah
sebuah gambaran umum dan khusus tentang apa itu etika sosial,
bagaimana konsep etika dan cara mengaplikasikan dalam sebuah
lingkungan sosial, sehingga kita dapat mengetahui dan memahami
bagaimana cara bersosial yang baik dan sesuai dengan aturan yang di
telah di tetapkan dalam norma-norma susila juga Agama khususnya
yang terdapat dalam Islam dan Buddha.
D. Metodologi penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian yang bersifat
kualitatif, metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
perilaku seseorang yang dapat diamati.
Adapun dalam metodologi penelitian ini, penulis akan
menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk kedalam penelitian kepustakaan
(library research), yaitu suatu pengkajian yang dilakukan dengan
cara membahas suatu permasalahan dengan menelaah terhadap
16
karya-karya yang ada di perpustakaan baik berupa buku-buku,
ensiklopedia, kamus, majalah, maupun jurnal yang ada
relevansinya dengan tema penulisan yang berhubungan dengan
pokok bahasan kajian yang serupa dengan ini. Data-data tersebut
disebut literature. Jenis penelitian ini bertujuan untuk melukiskan
objek dan peristiwa.
2. Pendekatan Penelitian
a. Teologis
Pendekatan ini menggunakan pendekatan teologis dalam
menilai baik buruk suatu tindakan berdasarkan tujuan atau akibat
dari tindakan tersebut. suatu tindakan dinilai baik kalau bertujuan
baik dan mendatangkan akibat baik. Jadi, terhadap pertanyaan,
bagaimana harus bertindak dalam situasi kongkret tertentu,
jawaban teologis adalah pilihlah tindakan yang membawa akibat
baik.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa etika teologis
lebih bersifat situasional dan subyektif. Kita bisa bertindak
berbeda dalam situasi yang lain tergantung dari penilaian kita
tentang akibat dari tindakan tersebut. demikian pula, suatu
tindakan yang jelas-jelas bertentangan dengan norma dan nilai
moral bisa di benarkan oleh teologis hanya karena tindakan itu
membawa akibat yang baik.
17
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini berasal dari literature
kepustakaan. Oleh karena itu sumber tersebut diklasifikasikan
menjadi dua data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer
adalah data yang menjadi bahan pokok dalam pembahasan etika
agama Islam dan etika dalam agama Budha.
Sumber primernya bagi ajaran Islam adalah Al-Quran dan
Hadits, dan bagi ajaran Budha adalah dari kitab Suci Udana, kitab
Suci Sutta Pitaka, kitab Suci Dhammapada.
Adapun data sekunder adalah data yang menyokong data
primer dalam membahas etika agama Islam dan Budha baik berupa
buku-buku, koran, jurnal dan dari internet yang berkaitan dengan
penelitian.
E. Tinjauan Pustaka
Setiap penelitian harus berpegang teguh pada asas
orisinalitas, autentisitas, dan kontekstualitas (baru dan belum pernah
diteliti). Melihat hal-hal tersebut, maka penulis melakukan kajian
kepustakaan untuk menguji bahwa penelitian ini benar-benar baru
dan autentik. Dari hasil penelusuran penulis, ditemukan beberapa
hasil penelitian yang terkait dengan tema ini. Di antaranya adalah
sebagai berikut:
18
1. Buku yang ditulis oleh Toshiko Isutzu yang berjudul Konsep-
konsep Etika Religius dalam Quran, yang diterjemahkan oleh
Agus Fahri Husein23
.
2. Buku yang ditulis oleh Majid Fachry yang berjudul Etika dalam
Islam yang telah diterjemahkan oleh Zakiyuddin Baidhawy24
.
3. Buku yang ditulis oleh K. Bertens, dengan judul Etika25
.
Sedangkan penelitian yang berupa Skripsi di antaranya
adalah sebagai berikut:
1. Skripsi yang ditulis Yuli Irfan Zundi, dengan judul “Konsep
Etika dalam Kitab al-Akhlaq Ahmad Amin“26
.
2. Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Fauzi dengan judul “Etika Islam
dan Hak Asasi Manusia”27
.
F. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara
mengumpulkan data-data yang sesuai dengan tema penelitian.
Metode ini dimaksudkan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih
luas serta wawasan yang obyektif dan ilmiah tentang tema
penelitian. Setelah semua data tersusun sistematis dan lengkap.
23
Toshiko Isutzu, Konsep-konsep Etika Religius dalam Quran, terj. Agus Fahri
Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), h. 1-12 24
Majid Fachry, Etika dalam Islam. Terj. Zakiyuddin Baidhawy (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), h. 1-5. 25
K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia, 2004), h. 1. 26
Yuli Irfan Zundi, "Konsep Etika dalam Kitab al-Akhlaq Ahmad Amin",
Skripsi, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001, h. 1-5 27
Ahmad Fauzi, "Etika Islam dan Hak Asasi Manusia", Skripsi Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 1998, h. 1-3.
19
Maka, langkah yang selanjutnya dalam melakukan analisis penulis
menggunakan metode Descriptif Analitis, yaitu dengan menjelaskan
ajaran etika Islam dan Buddha yang kemudian membandingkan
kedua ajaran tersebut dan menjelaskan persamaan-persamaan
dengan memusatkan pemecahan masalah yang ada dan dianalisis
secara mendalam.
Dalam teknik pengumpulan data penulis mengadakan
penelaahan terhadap literatur yang didapatkan diperpustakaan, lalu
dibaca, diteliti, dan kemudian diklasifikasikan sesuai dengan
kebutuhan yang memiliki pokok permasalahan yang sama.
Selanjutnya, disusun dalam suatu kerangka yang sistematis agar
menjadi suatu kerangka yang mudah dipahami dan dimengerti agar
dapat mudah dalam menganalisis.
G. Sistematika penulisan
Untuk mengetahui lebih jelas tentang penelitian ini, maka
diuraikan sistematika pembahasannya sebagai berikut:
BAB I.
Merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodelogi
penelitian, kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, sistematika
penulisan.
20
BAB II.
Tinjauan Umum Etika Sosial dalam Perspektif Teologi, Filsafat dan
Sosiologi.
BAB III.
Bagaimanan konsep etika dalam ajaran agama Islam dan ajaran
agama Buddha
BAB IV.
Persamaan dan perbedaan antara etika dalam ajaran agama Islam dan
etika dalam ajaran agama Budha?
BAB V.
Kesimpulan dan penutup
21
BAB II
ETIKA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF TEOLOGIS
A. Etika Teologis
Etika pertama kali ada mulai sejak abad pertama, namun etika
terebut tidak secara khusus dipelajari. Namun seiring berjalannya waktu,
pokok-pokok etikapun dibuat. Tokoh-tokoh yang mulai memberikan
pemikiran pada pembuatan pokok-pokok itu seperti; Tertullianus yang
menulis tentang hal-hal apa saja yang boleh dilakukan oleh seorang
Kristen, Ambrosius yang fokus pada etika yang mengatur tentang
kewajiban-kewajiban para pejabat, dan Agustinus yang fokus pada etika
tertentu yaitu;tentang kesabaran, tentang dusta karena terpaksa, dan
sebagainya.28
Kemudian dalam abad pertengahan, hal-hal tentang etika
dibicarakan lagi dalam “Libri poenitentiales” (kitab-kitab mengenai
pengakuan dosa) Di masa reformasi, ketiga tokoh reformator (Luther,
Calvin, dan Zwingi) juga memberikan suaranya mengenai etika politik
dan etika jabatan.
Selain tokoh reformator, ada juga Schleiermacher yang baginya
etika mencoba menerangkan tentang kehidupan orang-orang beriman. Di
abad ke-19 dan awal 20, banyak orang yang mengikutinya. Berbeda
dengan Kuyper yang menurutnya etiak itu termasuk golongan dogmatika
28
Abineno, J.L.Ch. Sekitar Etika dan Soal-soal Etis. (Jakarta: BPK GM, 1996.)
22
dan dapat diuraikan secara khusus. Dan pendirian ini dipertahankan oleh
Prof. Dr. W. Geesink dan Prof. Karl Bath.
Bertolak dari sejarah yang diuraikan, dapat disimpulkan bahwa
etika teologis adalah sebuah etika yang bertolak dari praanggapan-
praanggapan tentang Allah/ilahi. Sehingga, secara singkat dapat
dikatakan bahwa etika teologis adalah sebuah etika yang didasarkan atas
unsur-unsur agama.29
Berbeda dengan etika flosofis, etika teologis memiliki sifat
transempiris yaitu pengalaman manusia dengan Allah yang melampaui
kesusilaan tidak dapat diamati manusia dengan pancainderanya. Karena
etika teologis berhubungan dengan yang ilahi, maka sumber utama yang
dijadikan bagi etika ini ialah Alkitab dan alat bantu lainnya.
B. Etika Sosial
Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia
baik secara langsungmaupun secara kelembagaan (keluarga, masyarakat,
negara), sikap kritis terhadap pandangan-pandangan dunia dan idiologi-
idiologi maupun tanggung jawab umatmanusia terhadap lingkungan
hidup.
Adapun dalam mempelajari etika terdapat beberapa aspek yang
wajib penulis sebutkan, diantaranya :
29
Bertens, Kees. Etika. Jakarta: Gramedia, 1993.
23
1. Etika Deskriptif
Etika Deskriptif merupakan usaha menilai tindakan atau
prilaku berdasarkan pada ketentuan atau norma baik buruk yang
tumbuh dalam kehidupan bersama di dalam masyarakat. Kerangka
etika ini pada hakikatnya menempatkan kebiasaan yang sudah ada di
dalam masyarakat sebagai acuan etis. Suatu tindakan seseorang
disebut etis atau tidak. Tergantung pada kesesuaiannya dengan yang
dilakukan kebanyakan orang.
Etika deskriptif mempunyai dua bagian yang sangat penting.
Yang pertama ialah sejarah kesusilaan. Bagian ini timbul apabila
orang menerapkan metode historik dalam etika deskriptif. Dalam hal
ini yang di selidiki adalah pendirian-pendirian mengenai baik dan
buruk, norma-norma kesusilaan yang pernah berlaku, dan cita-cita
kesusilaan yang dianut oleh bangsa-bangsa tertentu apakah terjadi
penerimaan dan bagaimana pengolahannya. Perubahan-perubahan
apakah yang di alami kesusilaan dalam perjalanan waktu, hal-hal
apakah yang mempengaruhinya, dan sebagainya. Sehingga
bagaimanapun sejarah etika penting juga bagi sejarah kesusilaan.
Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap
dan perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam
hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya Etika deskriptif
tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni
mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait
24
dengan situasi dan realitas yang membudaya. Dapat disimpulkan
bahwa tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai
dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu
memungkinkan manusia dapat bertindak secara etis.30
2. Normatif
Kelompok ini mendasarkan diri pada sifat hakiki kesusilaan
bahwa di dalam perilaku serta tanggapan- tanggapan kesusilaannya,
manusia menjadikan norma- norma kesusilaan sebagai panutannya.
Etika normatif tidak dapat sekedar melukiskan susunan -susunan
formal kesusilaan. Ia menunjukkan prilaku manakah yang baik dan
prilaku manakah yang buruk. Yang demikian ini kadang- kadang
yang disebut ajaran kesusilaan, sedangkan etika deskriptif disebut
juga ilmu kesusilaan. Yang pertama senantiasa merupakan etika
material. Etika normatif memperhatikan kenyataan-kenyataan, yang
tidak dapat di tangkap dan diverifikasi secara empirik.Etika yang
berusaha menelaah dan memberikan penilaian suatu tindakan etis
atau tidak, tergantung dengan kesesuaiannya terhadap norma-norma
yang sudah dilakukan dalam suatu masyarakat. Norma rujukan yang
digunakan untuk menilai tindakan wujudnya bisa berupa tata tertib,
dan juga kode etik profesi.
30
H. De vos, Pengantar Etika, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1987), h.
8-10
25
3. Deontologi
Etika Deontologi adalah suatu tindakan dinilai baik buruk
berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban.
Dengan kata lain, suatu tindakan dianggap baik karena tindakan itu
memang baik pada dirinya sendiri, sehingga merupakan kewajiban
yang harus kita lakukan.
Sebaliknya suatu tindakan dinilai buruk secara moral karena
tindakan itu memang buruk secara moral sehingga tidak menjadi
kewajiban untuk kita lakukan. Bersikap adil adalah tindakan yang
baik, dan sudah kewajiban kita untuk bertindak demikian.Etika
deontologi sama sekali tidak mempersoalkan akibat dari tindakan
tersebut: baik atau buruk. Akibat dari suatu tindakan tidak pernah
diperhitungkan untuk menentukan kualitas moral suatutindakan.
Atas dasar itu, etika deontologi sangat menekankan motivasi,
kemauan baik dan watak yang kuat untuk bertindak sesuai dengan
kewajiban.31
Etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk
bertindak secara baik. Jadi, etika Deontologi yaitu tindakan
dikatakan baik bukan karena tindakan itu mendatangkan akibat baik,
melainkan berdasarkan tindakan itu baik untuk dirinya sendiri.
C. Etika Sosial dalam Filsafat
Etika adalah filsafat tentang nilai, kesusilaan, tentang baik dan
buruk. Selain etika mempelajari nilai-nilai, juga merupakan pengetahuan
31
Keraf. A. Sonny. Etika Lingkungan,(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), h.8-9
26
tentang nilai-nilai itu sendiri.32
Etika adalah bagian dari filsafat yang
mengajarkan keseluruhan budi (baik dan buruk). Etika ialah tentang
filsafat moral, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak
mengenai tindakan manusia, tetapi tentang idenya. Etika ialah studi
tentang tingkah laku manusia, tidak hanya menentukan kebenarannya
sebagaimana adanya, tetapi juga menyelidiki manfaat atau kebaikan dari
seluruh tingkah laku manusia.
Disebutkan di atas, jelas bahwa etika itu merupakan sebagaian
ilmu pengetahuan. Ragam ilmu pengetahuan salah satunya adalah
filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan cabang filsafat yang secara
khusus diminati semenjak abad ke-17, namun semenjak pertengahan
abad-20 ini telah mengalami perkembanganSedemikian sehingga tidak
seorang sanggup mengikuti langkah-langkah perkembangannya yang
begitu beragam kearah berbagai jurusan. Hal ini disebabkan oleh jumlah
ilmu pengetahuan yang masing-masing cabangnya selalu tumbuh terus.
Perkembangan itu sendiri meningkatkan implikasi-implikasi
ilmu pengetahuan yang sangat beragam dan meresapi segala bidang
kehidupan manusia secara mendalam.33
Salah satunya adalah
mempelajari etika dalam kehidupan manusia secara individual maupun
bermasyarakat dan bernegara.
Secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari
kegiatan berfilsafat atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena
32
Suhrawadi K Lubis. Etika Profesi Hukum. Penerbit Sinar Grafika. Jakarta, 1994, h. 2. 33
C. Verhaak & R, Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Telaah Atas Cara Kerja
Ilmu-Ilmu), Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, h. 11
27
itu, etika termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara etika tidak dapat
dilepaskan dari filsafat. Bila ingin mengetahui unsur-unsur etika maka
kita harus bertanya juga mengenai unsur-unsur filsafat. Berikut akan
dijelaskan dua sifat etika.
1. Non-empiris
Filsafat digolongkan sebagai ilmu non-empiris. Ilmu empiris
adalah ilmu yang didasarkan pada fakta atau yang konkret. Namun
filsafat tidaklah demikian, filsafat berusaha melampaui yang konkret
dengan seolah-olah menanyakan apa di balik gejala-gejala konkret.
Demikian pula dengan etika. Etika tidak hanya berhenti pada apa
yang konkret yang secara faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang
apa yang seharusnya dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
2. Praktis
Cabang-cabang filsafat berbicara mengenai sesuatu “yang
ada”. Misalnya filsafat hukum mempelajari apa itu hukum. Akan
tetapi etika tidak terbatas pada itu, melainkan bertanya tentang “apa
yang harus dilakukan”. Dengan demikian etika sebagai cabang
filsafat bersifat praktis karena langsung berhubungan dengan apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan manusia. Tetapi ingat bahwa
etika bukan praktis dalam arti menyajikan resep-resep siap pakai.
Etika tidak bersifat teknis melainkan reflektif. Maksudnya etika
hanya menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan,
hak dan kewajiban, dsb, sambil melihat teori-teori etika masa lalu
28
untuk menyelidiki kekuatan dan kelemahannya. Diharapakan kita
mampu menyusun sendiri argumentasi yang tahan uji.
Filsafat sebagai dasar dari ilmu pengetahuan, melahirkan
cabang cabang ilmu yang perkembangannya sangat pesat
sebagaiman kita rasakan dewasa ini,majunya ilmu peetahuan dan
teknologi, membawa perubahan dalam masyarakat, perubahan
tersebut dapat berdampak positif maupun negatif, untuk mengatasi
dampak negatif diperlukan ilmu pengetahuan lain, diantaranya
adalah etika.34
Etika sebagai cabang dari filsafat menempatkan tingkah laku
manusia sebagai objeknya, etika adalah suatu ilmu untuk menjawab
pertanyaan tentang apayang baik kita kerjakan, menjadi bahan
perenungan, karena adanya penyimpangan penyimpangan terhadap
ilmu dan teknologi tersebut yang dilakukan oleh manusia yang
menjadi objek kajian etika.35
Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Meuwissen yaitu
etika terarah pada pengaturan dan penataan hubungan-hubungan
manusiawi. Dari pengaturan terhadap hubungan-hubungan yang
manusiawi tersebut, memberikan arahan kepada manusia untuk
menentukan tindakannya sebagai perbuatan baik atau buruk.
Kehidupan masyarakat dewasa ini di jejali oleh bayak tawaran dan
berbagai pilihan hidup mulai dari pemilihan menu makanan,
34
Poedjawiatna. 1996 Etika Filsafat Tingkah laku, Rineka Cipta, Jakarta. 35
Amsal Bakhtiar. 2004 Filsafat ilmu, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.
29
pakaian, gaya hidup cara bersikap, selain itu etika mencari
kebenaran dan sebagai cabang filsafat ia mencari keterangan (benar)
yang sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu bagi etika, ia
mencari ukuran baik buruknya bagi tingkah laku manusia, etika
hendak mencari tindakan manusia manakah yang baik.
Von Magnis dalam Achman Chariis Subair ( 1990: 9-11)
mengemukakan bahwa: Hidup kita seakan-akan terentang dalam
sutu jaringan norma yang berupa ketentuan, kewajiban, larangan,
dan sebagainya. Jaringan itu seolah-olah membelenggu kita,
mencegah kita bertindak dari sesuatu dengan segala
keinginan,mengikat kita untuk melakukan sesuatu yang sebetulnya
kita benci. Maka timbullah pertanyaan: Dengan hak apa orang
mengharapkan kita tunduk terhadap norma itu? dan bagaimana dapat
menilai norma itu? Tugas etika mencari jawaban atas pertanyaan itu,
etika merupakan penyelidikan filsafat tentang bidang moral, yaitu
mengenai kewajiban manusia serta tentang yang baik dan yang
buruk, sehingga etika didefinikan sebagai filsafat bidang moral.36
Dari semua cabang filsafat, etika dibedakan karena tidak
mempersoalkan keadaan manusia melainkan bagaiman ia harus
bertindak. Etika adalah filsafat tentang praxis manusia, etika adalah
praksiologik, sifat dasar etika adalah sifat kritis, etikabertugas untuk
mempersoalkan norma yang dianggap berlaku. Diselidikinya
36
Von Magnis dalam Achman Chariis Subair ( 1990: 9-11)
30
apakahdasar suatu norma itu dan apakah dasar itu membenarkan
ketaatan yang dituntut oleh norma itu terhadap norma yang de facto
berlaku, etika mengajukan pertanyaantentang legitimasinya (apakah
berlaku de jure pula). Norma yang tidak dapat mempertahankan diri
akan kehilanagan haknya.37
Etika mempersoalkan pula hak setiap lembaga seperti: orang
tua, sekolah,negara dan agama untuk memberi perintah dan larangan
yang harus ditaati. Bukanseakan-akan etika menolak adanaya norma,
atau menyangkal hal dari berbagai lembaga dalam masyarakat untuk
menuntut ketaatan, tetapi terlibat jauh menuntutpertanggung
jawaban. Tak ada lembaga atau perseorangan yang berhak
menentukan begitu saja bagaimana orang lain harus bertindak.
Etika dapat mengantarkan orang kepada kemampuan untuk
bersikap kritis dan rasional, untuk membentuk pendapatnya sendiri
dan bertindak sesuai dengan apa yang dapat dipertanggung
jawabkannya sendiri. Etika manyanggupkan orang untukmengambil
sikap yang rasional terhadap semua norma, baik norma tradisi
maupunlainnya, sekaligus etika membantu orang menjadi otonom.
Otonomi manusia tidakterletak dalam kebebasan dari segala norma
dan tidak sama dengan kesewenangan wenangan wenangan,
melainkan tercapai dalam kebebasan untuk mengakui norma yang
dinyakininya sendiri sebagai kewajibannya. Justru dalam persaingan
37
Acmad Charris Subair. 1990 Kuliah Etika, Rajawali Pers, Jakarta.
31
ideologi dan berbagai sistem normatif, serta berhadapan dengan
berbagai lembaga yang kian hari kian berkuasa, seolah-olah begitu
saja menuntut agar masyarkat tunduk terhadap ketentuan mereka,
etika diperlukan sebagai pengantar pemikiran kritis dan dewasa yang
dapat membedakan apa yang sah dan apa yang palsu, dengan
demikian memungkinkan kita untuk mengambil sikap sendiri serta
ikut menentukan arah perkembangan masyarakat.38
Etika dapat juga menjadi alat pemikiran rasional dan
bertanggung jawab bagi si ahli ilmu masyarakat, pendidik, politikus
dan pengarang serta siapa aja yang tidak reladiombang-ambing oleh
kegoncangan norma-norma masyarakat sekarang.39
D. Etika sosial dalam sosiologi
Sosiologi ialah ilmu kemasyarakatan, ilmu yang
mempelajari segala sesuatu yangberhubungan dengan masyarakat
atau sifat masyarakat. Sosiologi mendefinisikan secara luassebagai
bidang penelitian yang tujuannya meningkatkan pengetahuan
melalui pengamatandasar manusia, kebiasaaan-kebiasaan, ritual-
ritual dan pola organisasi secara hukum-hukumnya. Sosiologi ialah
ilmu yangmempelajari hidup bersama dalam masyarakat,
danmenyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai
hidupnya.
38
Burhanuddin Salam. 1997 Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral, Rineka
Cipta, Jakarta. 39
Jujun S Suryasumantri 2005, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta.
32
Hubungan etika dengan ilmu social ialah sama-sama
mempelajari dan mengupasmasalah prilaku dan perbuatan manusia
yang timbul dari kehendak ilmu sosiologimempersoalkan tentang
kehidupan bermasyarakat dan etika dari sisi tingkah laku.Hubungan
keduanya sangat erat sekali dimana kedua-duanya sama-sama
mempelajari tingkah laku masyarakat dari kehendaknya. Ini menjadi
pokok persoalan etika, mendorong untuk mempelajari bagaimana
sosiologi di masyarakat. Hubungan ini merupakan yang paling
menonjol karena semua ajaran etika dibidang social ditunjukkan
untuk kesejahteraan masyarakat.
Perubahan hubungan etika dengan ilmu social didasarkan padatiga
hal yaitu: (1) cita-cita kemanusiaan (2) liberasi (3) transendensi.
Dengan ilmu social yang demikian,umat manusia dapat meluruskan
gerakan langkah perkembangan ilmu pengetahuan yang tejadi saat
ini, juga dapat meredam berbagai kerusuhan social dan tindakan
criminal lainnya yangsaat ini mewarnai kehidupan.
Persoalan Etika selalu menjadi wacana yang menarik dan tak pernah
gersang untuk ditelaah dalam setiap pemikiran tentang baik dan
buruk perilaku manusia. Baik buruk suatu perilaku manusia
mengarah pada setiap tindakan yang senantiasa dilakukannya. Di
mana perbuatan akan dikatakan bermoral jika tindakannya sesuai
dengan aturan, sebaliknya perbuatan akan dianggap buruk atau tidak
bermoral apabila tindakannya tidak sesuai aturan.Pembahasan
33
mengenai perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari seringkali
disebut dengan istilah “etika” atau moral. Etika pada umumnya di
identikan dengan moral (moralitas).
Istilah moral berasal dari kata latin mores, bentuk jamak dari mos,
yang berarti adat istiadat, watak, kelakuan.40
Keduanya memiliki arti
yang sama, perbedaannya hanya terletak pada kedua asal kata
itu.Etika merupakan cabang aksiologi yang pada pokoknya
membicarakan masalah “benar” (right) dan “salah” (wrong) dalam
arti “susila” (moral) dan “asusila”(immoral).41
Menurut Drs. Wahyudi Kumorotomo dalam bukunya yang berjudul
Etika Administrasi Negara mengatakan bahwa etika adalah ilmu
pengetahuan tentang kesusilaan atau moral. Sedangkan moral adalah
hal-hal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan-
tindakan yang baik sebagai “kewajiban atau norma”42
Pada hakikatnya, manusia diciptakan oleh Tuhan dengan suatu
kelebihan diantaranya diberi akal budi yang merupakan pembeda
dengan makhluk hidup lainnya. Melalui akal budinya manusia
berpikir untuk menentukan tujuan hidup serta mengarahkan tingkah
lakunya dalam bertindak. Hal tersebut menggambarkan bahwa akal
manusia akan senantiasa menghasilkan kebaikan dan kebajikan
moral yang dapat mengantarkan subjeknya pada
40
Jan Hendrik Rapar. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta : Kanisius. h. 62 41
Louis O Kattsoff. 1992. Pengantar Filsafat. Yogyakarta : Tiara Wacana
Yogya. h. 349 (Dialihbahasakan Soejono Soemargono) 42
Moekijat. 1995. Asas-asas Etika. Bandung : Mandar maju. h. 44
34
kebahagiaan(sa’adah). Kebahagiaan sebagai tujuan dalam moral
terfokus pada bagaimana manusia harus hidup yang baik dan bajik
sehingga kebahagiaan adalah standar bagi perbuatan yang baik dan
bajik.43
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan
orang lain dan tidak bisa mengandalkan hidup sendiri. Oleh karena
itu, manusia selalu memadukan kontak dengan manusia lainnya agar
tidak terjadi kekacauan dalam kehidupan bermasyarakat, segala
tindakan manusia yang satu dengan yang lain harus dilandasi dengan
kode etik dan secara konkret diatur oleh norma-norma hukum
tertentu. Oleh karena itu, permasalahan mengenai moral tidak luput
pembahasannnya dari konteks sosiologis.
Emile Durkheim merupakan salah satu tokoh sosiologi abad
pertengahan yang hidup di masa peralihan dan suasana krisis yang
sedang melanda Eropa. Di mana pada masa itu bangsa Eropa sedang
mengalami kemerosotan moral. Maka Durkheim berusaha mencari
suatu alternatif lain untuk dapat menyatukan masyarakat Prancis
melalui suatu pendidikan moral. Lebih dari itu, Durkheim adalah
pemikir yang sangat bercorak sosiologistik dan tanpa henti ingin.
mendapatkan “ilmu moralitas” yang bersifat deduktif, obyektif,
rasional, dan positivistis.44
43
Ayi Sofyan. 2010. Kapita Selekta Filsafat. Bandung: Pustaka Setia. h. 357 44
Taufik Abdullah dan A.C Van Der Leeden. 1986. Durkheim dan Pengantar
Sosiologi Moralitas. Jakarta : Yayasan obor Indonesia. h. 2
35
Durkheim berargumen, dengan adanya suatu pendidikan
moral maka masyarakat di Prancis dapat memadu kehidupan sosial
mereka. Selain itu, cita-cita Durkheim untuk membentuk suatu
masyarakat yang damai, teratur, dan bebas konflik akan mudah
tercipta dengan sendirinya. Sehingga sangatlah jelas, Durkheim
memandang pengajaran moralitas umum bagi warga di masa
mendatang dalam tahun-tahun pembentukannya merupakan hal yang
sangat penting untuk memperkuat dasar-dasar masyarakat dan
meningkatkan integrasi serta solidaritas sosialnya.45
Menurut Dagobert D. Runes, istilah moral terkadang dipergunakan
sebagai kata yang sama artinya dengan etika. Lebih sering istilah
moral dipergunakan untuk menunjukkan kode, tingkah laku, atau
kebiasaan dari individu atau kelompok.46
Ahmad Amin mengartikan etika sebagai ilmu yang menjelaskan arti
baik dan buruk menerangkan apa yang seharusnya dilakukan. Hal
serupa dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara yang mendefinisikan
etika sebagai ilmu yang mempelajari kebaikan dan keburukan dalam
hidup manusia sesamanya.
45
Soedjono Dirdjosisworo. 1996. Esensi Moralitas dalam Sosiologisme.
Bandung : Mandar Maju. h. 26 46
M. Yatimin Abdullah. 2006. Pengantar Studi Etika. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.
36
Sedangkan Sosiologi berasal dari kata latin socius yang
berarti “kawan” dan kata Yunani logos yang berarti “kata”. Jadi
sosiologi berbicara mengenai masyarakat.47
J.A.A. Van Doorn dan C.J. Lammers berpendapat bahwa
sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur dan proses
kemasyarakatan yang bersifat stabil. Hal serupa dikemukakan oleh
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi menyatakan bahwa
sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses
sosial termasuk perubahan sosial.
47
Soerjono Soekanto.Op cit.
37
BAB III
ETIKA SOSIAL DALAM PERSPETIF ISLAM DAN BUDDHA
A. Hubungan Etika dan Agama
Etika dan agama merupakan dua hal yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Meskipun manusia dilahirkan terpisah dari individu
lain. Namun ia tidak dapat hidup sendiri terlepas dari yang lain,
melainkan selalu hidup bersama dalam kelompok atau masyarakat yang
oleh para filosof diartikan sebagai al-Insanu Madaniyyun bi ath-Thab‟i
(zoon politicon.)48
Di dalam masyarakatlah manusia mengembangkan
hidupnya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan membangun
peradaban. Hai ini menunjukkan bahwa seseorang tidak dapat hidup
sendiri tanpa bantuan orang lain, begitu pula sebaliknya. Dengan kata
lain manusia salingmemerlukan satu sama lain, apapun status dan
keadaannya.49
Sebagai makhluk sosial, tentunya manusia selalu hidup bersama
dalam interaksi dan interdepedensi dengan sesamanya. Untuk menjamin
keberlangsungan kehidupan bersama tersebut, di dalam masyarakat
terdapat aturan, norma atau kaidah sosial sebagai sarana untuk mengatur
roda pergaulan antar warga masyarakat. Dalam rangka mengembangkan
sifat sosialnya tersebut, manusia selalu menghadapi masalah-masalah
sosial yang berkaitan dekat dengan nilai-nilai. Itulah sebabnya, selain
48
Lihat Osman Raliby, Ibnu Khaldun tentang Masyarakat dan Negara (Cet. III;
Jakarta: Bulan Bintang, 1965), h. 153 49
H. Nursid Sumatmadjl , Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya, dan
Lingkungan Hidup (Cet. II; Bandung: Alfabeta, 1998), h. 34
38
ada agama, hukum, politik, adat istiadat, juga ada akhlak, moral dan
etika.50
Manusia merupakan salah satu makhluk hidup yang sudah
ribuan abad lamanya menghuni bumi.
Dalam prosesnya, pembinaan kepribadian manusia dipengaruhi
oleh lingkungan dan didukung oleh faktor pembawaan manusia sejak
lahir. Terkait dengan itu, manusia sebagai makhluk sosial, tidaklah
terlepas dari nilai-nilai kehidupan sosial. Oleh karena nilai akan selalu
muncul apabila manusia mengadakan hubungan sosial atau
bermasyarakat dengan manusia lain. Dalam pandangan sosial, etika dan
agama merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
K. Bertens mengatakan etika dapat dipakai dalam arti nilai-nilai
dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, arti ini disebut juga
sistem nilai dalam hidup manusia perseorangan atau hidup
bermasyarakat. Misalnya, etika orang Jawa. Etika dipakai dalam arti
kumpulan asas atau nilai moral yang biasa disebut kode etik. Kemudian
etika dipakai dalam arti ilmu tentang yang baik dan buruk. Arti etika di
sini sama dengan filsafat moral.51
Amsal Bakhtiar mengemukakan bahwa etika dipakai dalam dua
bentuk arti: pertama, etika merupakan suatu kumpulan mengenai
pengetahuan, mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia. Kedua,
suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-
50
H. De Vos, Inleiding Ethick, Terj. Soejono, Pengantar Etika (Jakarta: Tiara
Wacana, 1987), h. 42. 51
8K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 2.
39
perbuatan atau manusia-manusia yang lain.9 Secara spesifik, Ahmad
Amin mengatakan etika adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik
dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian
orang kepada lainnya, mengatakan tujuan yang harus dituju oleh
manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk
melakukan apa yang harus diperbuat.52
Berdasarkan pemahaman di atas, etika merupakan ilmu yang
menyelidiki mana yang baik dan buruk dengan melihat pada amal
perbuatan manusia, sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran dan
hati nurani manusia.Agama merupakan suatu realitas yang eksis di
kalangan masyarakat, sejak dulu ketika manusia masih berada dalam
fase primitif, agama sudah dikenal oleh mereka. Meskipun hanya dalam
taraf yang sangat sederhana sesuai dengan tingkat kesederhanaan
masyarakat waktu itu. Dari masyarakat yang paling sederhana sampai
kepada tingkat masyarakat yang modern, agama tetap dikenal dan dianut
dengan variasi yang berbeda. Dengan demikian agama tidak dapat
dilepaskan dari kehidupan manusia, kapan dan dimanapun.
B. Fungsi Etika dan Agama Dalam Kehidupan Sosial
Berbicara masalah etika dan agama tidak terlepas dari masalah
kehidupan manusia itu sendiri. Etika adalah sebuah tatanan perilaku
berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu masyarakat tertentu yang
berfungsi mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang
52
Ahmad Amin, Al Akhlak, Terj. K.H. Farud Ma‟ruf, Etika (Ilmu Akhlak), (Cet.
VII; Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 3.
40
baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk, etika mengatur
dan mengarahkan citra manusia kejenjang akhlak yang luhur dan
meluruskan perbuatan manusia. Etika menuntut orang agar bersikap
rasional terhadap semua norma. Sehingga etika akhirnya membantu
manusia menjadi lebih otonom. Etika dibutuhkan sebagai pengantar
pemikiran kritis yang dapat membedakan antara yang sah dan tidak sah,
apa yang benar dan apa yang tidak benar.53
Etika memberi kemungkinan kepada kita untuk mengambil sikap
sendiri serta ikut menentukan arah perkembangan masyarakat.
Sedangkan agama yang kebenarannya absolut (mutlak) berfungsi
sebagai petunjuk, pegangan serta pedoman hidup bagi manusia dalam
menempuh kehidupannya dengan harapan penuh keamanan, kedamaian,
sejahtera lahir dan batin54
.
Agama sebagai sistem kepercayaan, agama sebagai suatu sistem
ibadah, agama sebagai sistem kemasyarakatan. Agama merupakan
kekuatan yang pokokdalam perkembangan umat manusia.55
Agama sebagai kontrol moral. Sebagai contoh dalam kehidupan
modern yang serba pragmatis dan rasional, manusia menjadi lebih
gampang kehilangan keseimbangan, mudah kalap dan brutal serta
terjangkiti berbagai penyakit kejiwaan. Akhirnya manusia hidup dalam
53
Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Ed. I (Cet. 2; Jakarta:
Kencana, 2005), h. 59-60. 54
Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat (Cet. 3; Jakarta: Bumi Aksara, 1995),
h. 176 55
Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, (Bandung: Mizan,
1991), Cet. I, h. 53
41
kehampaan nilai dan makna. Ketika itu agama hadir untuk memberikan
makna. Ibarat orang tengah kepanasan di tengah Padang Sahara. Agama
berfungsi sebagai pelindung yang memberikan keteduhan dan
kesejukan, serta memiliki ketentraman hidup.56
Dengan demikian, ajaran
agama mencakup berbagai dimensi kehidupan manusia (multi
dimensional) senantiasa dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan
dan tidak pernah mengenal istlah ketinggalan zaman.
Kedua fungsi tersebut tetap berlaku dan dibutuhkan dalam
kehidupan sosial. Etika mendukung keberadaan agama, dimana etika
sanggup membantu manusia dalam menggunakan akal pikiran untuk
memecahkan masalah. Etika mendasarkan diri pada argumentasi
rasional sedangkan agama mendasarkan pada wahyu Tuhan. Dalam
agama ada etika dan sebaliknya. Agama merupakan salah satu norma
dalam etika.57
Berdasarkan kedua fungsi tersebut di atas, manusia dapat
meningkatkan dan mengembangkan dirinya menjadi manusia yang
memiliki yang peradaban yang tinggi.
C. Etika Sosial dalam perspektif Islam
Etika Sosial agama Islam didasarkan pada nilai-nila humanis
yang meliputi keadilan, kebebasan, kebenaran, kesetaraan, persaudaraan,
kedamaian, kasih sayang, toleransi, dan saling tolong menolong dalam
kebenaran dan kesalehan. Nilai kemanusiaan pertama yang dimiliki oleh
56
Haidar Nashir, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern (Cet. II; Yogyakarta:
Pustaka Pelajara, 1999), h. 41. 57
Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, Ed. I (Cet. I; Jakarta:
Kencana, 2009), h. 180.
42
seluruh umat manusia sebagai makhluk termulia seperti digambarkan
dalam Q.S al-Israa’ [17]:70:
Terjemahnya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-
anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami
beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan.”
Di dalam ayat tersebut digambarkan bahwa Allah memuliakan
manusia. Ia tidak membedak-bedakan memberikan sifat kemulian
kepada umat manusia. Semua manusia baik itu islam maupun nonislam
dan berbangsa apapun adalah mulia dibandingkan dengan makhluk
lain.58
Secara tersurat al-Quran tidak pernah menyinggung tentang apa
dan bagaimana itu etika. Akan tetapi secara tersirat banyak ayat-ayat al
Quran yang menyinggung tentang etika, yaitu terkait dengan perbuatan
baik dan buruk. Hal ini sebagaimana digambarkan oleh Tshihiko Izutsu
yang mendeskripsikan dalam al Qur’an terdapat banyak kosakata
tentang “baik-buruk.” Meski banyak dari kata-kata tersebut secara
indipenden hanya mengindikasikan dari salah satu atau gabungan dari
beberapa fungsi deskriptif, implikafit, indikatif, serta evaluatif. Di mana,
berdasar kacamata eskatologis “posisi” akhir manusia (setelah mati)
tergantung pada apa yang dilakukannya saat di dunia. Tentunya hal itu
58
Fawzia Asymawi, “Nilai-nilai Kemanusiaan; Antara Islam dan Barat,” dalam
http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=100
0:nilai-nilai-kemanusiaan-antara-islam-dan-barat&catid=36:jahane-
eslam&Itemid=143, Rabu 26 Oktober 2011, diakses tanggal 16 Desember 2014.
43
juga dilihat dari apakah perbuatan manusia tersebut menyebabkan
kelancaran (bermakna baik) atau keterhambatan (bermakna buruk) bagi
kemajuan Islam di muka bumi.59
Pada awal perkembangan pemahaman terhadap wahyu, bahwa
seluruh kandungan Qur’an membentuk etika sosial dalam Islam yang
melibatkan kehidupan moral, keagamaan, dan sosial muslim. Hal ini
dipertegas bahwa seluruh risalah kenabian Muhammad tidak lain demi
terciptanya kesempurnaan Akhlak bagi seluruh umat manusia.60
Selain
itu tugas manusia di muka bumi ini adalah mengabdi (menghamba) atau
beribadah untuk Allah (Surah Adz Dzaariyaat [51]:56).61
Ayat tersebut bermakna “Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” Artinya,
Allah menciptakan mereka untuk memerintah merika beribadah, bukan
karena Allah butuh kepada mereka. Oleh karena itu, mereka harus
mengakui Allah dengan bentuk beribadah kepada-Nya. Baik dalam
keadaan suka maupun terpaksa. Sebagaimana menurut Imam Ahmad
meriwayatakan dari Abu Hurairah, ia mengatakan bahwa Rasul bersabda
yang artinya:
“Hai anak Adam! Fokuskanlah dirimu sepenuhnya untuk beribadah
kepada-Ku, niscaya Aku penuhi dadamu dengan kekayaan (batin)
dan Aku tutup kefakirannmu. Dan jika kamu tidak melakukannya
59
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an (Montreal: McGill
Queen’S , 2012), h. 203 60
Suparman Syukur, Etika Religius (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 185 61
Al Qur’an Digital Versi 2.0 dalam http://www.alquran-digital.com.
44
maka Aku akan memenuhi dadamu dengan kesibukan, dan aku tidak
akan menutup kefakiranmu.”62
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap apa
yang dilakukan (terkait etika) manusia semuanya dilakukan karena
menghamba (ibadah) untuk-Nya. Oleh karena itu, semua yang diperbuat
setiap individu harusnya diniatkan untuk mencarai Ridha Allah SWT.
Artinya, dalam menjalankan kewajiban (perintah) untuk melakukan
kebaikan itu semata-mata untuk Allah. Sebaliknya, dalam meninggalkan
keharaman (larangan) untuk tidak melakukan keburukan itu juga semata-
mata untukk Allah.
Pernyataan tersebut sebagaimana menurut Sudarsono, bahwa
ukuran kebaikan dan ketidak baikan dalam etika sosial Islam bersifat
mutlak, yakni pedomannya adalah al Quran dan hadith. Dengan
demikian,etika sosial dalam Islam tergolong etika teologis. Sebagaimana
menurut Hamzah Ya’qub bahwa etika Islam memandang ajaran Tuhan
sebagai dasar ukuran kebaikan dan keburukan. Segala perbuatan yang
dilarang oleh Tuhan itulah perbuatan buruk, begitupula sebaliknya,
sebagaimana yang dijelaskan dalam Kitab Suci. Lebih lanjut, nilai-nilai
luhur (kebaikan) yang tercakup dalam etika Islam sebagai sifat terpuji
(mahmudah) antar lain: berlaku jujur (al-amanah), berbuat baik kepada
kedua orang tua (birrul waalidaini), memelihara kesucian diri (al-Iffah),
kasih sayang (ar-Rahmah), dan al-barr, berlaku hemat (al-iqtishad)
62
“Shahih Tafsir Ibnu Katsir,” dalam al-Misbaahul Muniir fii Tahdziibi Tafsiiri
Ibni Katsiir, terj. Tim Pustaka Ibnu Katsir (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2011) h. 555-
556.
45
menerima apa adanya, dan sederhana (qona‟ah dan zuhud), perlakuan
baik (ihsan), kebenaran (shiddiq), pemaaf („afw), keadilan („adl),
keberanian (syaja‟ah), malu (haya‟), kesabaran (shabr), berterima kasih
(syukur), penyantun (hilm), rasa sepenanggungan (muwasat), kuat
(quwwah), dan sebagainya.63
Abd. Haris menyimpulkan bahwa etika Islam erat kaitannya
dengan istilah “akhlak” dan “adab.” Secara detail akhlak menjadi kata
kunci dalam pembahasan etika Islam. Dalam al Quran sendiri pada Surah
al Qalam ayat 4 terdapat kata “khuluq” yang berarti budi pekerti. Dan
dalam surah as Syu’ara ayat 137 terdapat kata “akhlaaq” yang artinya
adat kebiasaan. Sedangkan istilah “adab” berarti kebiasaan dan adat.
Dengan demikian kata adab juga dapat berarti etika.64
Etika dalam al Quran erat kaitanya dengan iman, hal ini berarti
tidak adanya akhlak atau etika sesuai dengan ajaran agama berarti tidak
lengkapnya iman seseoarang. Kenyataannya hampir seluruh ajaran Islam
tertuju pada pembinaan akhlaq.65
Hal ini karena, dengan beretika islam
yang utuh maka bisa terwujudlah suatu perdamaian hakiki antar seluruh
umat manusia. yakni, manusia yang memiliki moralitas baik pada Allah,
rasul, orang lain, dan terhadap dirinya sendiri serta alam sekitarnya .
Sebagaimana hadith Rosul, yang artinya “tidak beriman salah seorang di
63
Sudarsono, Etika Islam Tentang, h. 41-42 64
Abd. Haris, Etika Hamka: Konstruksi Etik Berbasis Rasional-Religius (Yogyakarta:
Lkis, 2010), h. 41 65
Pada hakikatnya khuluq (budi pekerti) atau akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang
telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepbriadian. Dari sini timbullah berbagai macam
perbuatan dengan cara spontan tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pikiran.” Lihat, M.
Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif al-Qur‟an (Jakarta: Amzah, 2007), h. 4
46
antaramu, sehingga mencintai saudaranya (sesama mukmin) seperti
halnya mencintai dirinya sendiri.” (riwayat bukhari). Namun demikian,
pada kenyataannya Akhlak tidak dapat diukur secara kuantitaif dan
matematis, karena lebih bercorak rohaniyah untuk senantiasa semangat
beramal kebajikan dan melakukan amal sholeh dengan ikhlas.
Sebagaimana pendapat Maskawaih bahwa etika erat kaitannya dengan
psikologi dan akhlak.66
D. Etika Sosial dalam Agama Buddha
Etika merupakan ilmu yang menyelidiki dan memberikan norma
dan pedoman tentang bagaimana manusia bertingkah laku yang baik
dalam seluruh aspek kehidupan sehari-hari. Etika dalam hidup beragama
sangatlah penting dan sangat diperlukan karena merupakan faktor
motivasi yang mendorong dan melandasi cita-cita dan amal perbuatan.
Namun pada kenyataannya manusia tidaklah sempurna maka ia harus
melatih dirinya untuk lebih baik. Dalam pembahasan kali ini kita akan
melihat dengan jelas bagaimana sebenarnya sistem etika dalam Buddha.
1. Sumber Ajaran Buddha
Pandangan hidup dan Etika Agama Buddha dapat dipelajari
dalam Kitab Suci Tripitaka, yang terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a. Sutta Pitaka : berisi ajaran Buddha kepada para muridnya.
b. Winaya Pitaka : berisi peraturan-peraturan yang mengatur
tata tertib Sangha (jemaat).
66
Sudarsono, Etika Islam Tentang, h. 128-129
47
c. Abbidhamma Pitaka : berisi ajaran lebih mendalam tentang
hakekat dantujuan hidup manusia, ilmu pengetahuan yang
membawa kepada kelepasan.67
Kitab suci Tripitaka dipakai baik oleh Buddhisme Theravada
maupun oleh Buddhisme Mahayana. Aliran Theravada dalam Kitab
Sucinya Pali Canon, menekankan bahwa Buddha hanyalah seorang
manusia, seorang yang telah mencapai pencerahan; dan bahwa
pencerahan dapat dicapai dengan mengikuti teladan dan
pengajarannya. Sementara Buddhisme Mahayana menekankan
bahwa orang tidak boleh bergantung pada usaha mereka sendiri
untuk mencapai nirwana. Untuk menuju pencerahan orang perlu
dibantu oleh mereka yang sudah mencapai pencerahan tetapi masih
tinggal di bumi supaya dapat menolong orang lain mencapai
nirwana.68
2. Sitem Etika Sosial Buddha
Etika (Sila) dalam buku agama Buddha sering diterjemahkan
sebagai “moral, kebajikan, atau perbuatan baik”. Ajaran Buddha
tentang sila adalah etika Buddhis, petunjuk dan latihan moral yang
membentuk perilaku baik. Menurut bahasa Pali, “Sila” dalam
pengertian luas padannya adalah “etika” dan dalam pengertian
67
Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia,
2010), h. 63 68
Jacobus Tarigan, Religiositas, Agama & Gereja Katolik, (Jakarta: Grasindo,
2007), h.34
48
sempit padannya adalah “moral”.69
Etika timbul dari kenyataan
bahwa tidak ada satu pun manusia yang sempurna maka ia sangat
memerlukan latihan. Etika umat Buddha tidak berlandaskan pada
adat sosial yang berubah tetapi pada hukum alam yang tidak
berubah. Etika umat Buddha pada hakikatnya adalah bagian dari
alam dan hukum tetap sebab akibat moral. Misi Buddha adalah
untuk mencerahkan manusia akan sifat keberadaan dan untuk
menasihatkan bagaimana cara terbaik untuk kebahagiaan mereka dan
keuntungan orang lain.70
Etika yang dibangun sang Buddha adalah cinta kasih dan
kasih sayang yang diwujudkan oleh sabda sang Buddha:
“Penderitaanmu adalah penderitaanku, dan kegembiraanmu adalah
kegembiraanku”.71
Empat ikrar yang berdasarkan cinta kasih dan
kasih sayang yang tidak terbatas adalah:
a. Berusaha menolong semua makhluk.
b. Menolak semua keinginan nafsu keduniawian.
c. Mempelajari, menghayati dan mengamalkan dharma (aturan
dan kebenaran).
d. Berusaha mencapai pencerahan sempurna.
69
Krishnanda Wijaya Mukti, Wacana Buddha-Dharma, (Jakarta: Yayasan
Dharma Pembangunan, 2003), h.176 70
Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha,h. 210-211 71
Sutradharma Tj. Sudarman, Menjalani Kehidupan Buddhisme Confuciusme
dan Taoisme, (Jakarta: Sunyata, 1998),h. 23
49
Etika (Sila) dapat digolongkan ke dalam tiga kategori yaitu:72
a. Pancasila
Bertekad untuk menjalani aturan latihan untuk
menghindarkan diri dari:
1) Membunuh
2) Mengambil yang tidak diberikan
3) Berperilaku menyimpang dalam kenikmatan indrawi
4) Mengucap dusta
5) Mengkonsumsi zat yang menyebabkan ketidakwaspadaan.
Tujuan dilakukannya latihan di atas adalah untuk
menghilangkan nafsu kasar yang diwujudkannya melalui pikiran,
perkataan, dan perbuatan.
b. Delapan sila
Tujuan menjalani delapan sila ini adalah untuk
mengembangkan relaksasi dan ketenangan, melatih batin, dan
mengembangkan diri secara spiritual. Delapan sila yang harus
dihindari adalah:
1) Membunuh
2) Mengambil yang tidak diberikan
3) Melakukan tindakan seksual
4) Mengucap dusta
5) Mengkonsumsi zat yang menyebabkan ketidakwaspadaan
72
Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha, h.231-234
50
6) Makan selewat tengah hari sampai fajar berikutnya
7) Menari, Menyanyi, bermain musik, menonton pertunjukan
yang tak pantas, mengenakan kalung, wewangian, dan benda
yang mengarah untuk merias diri
8) Menggunakan tempat duduk yang tinggi dan mewah.
c. Dasar sila73
Sang Buddha melatih diri untuk melaksanakan amal
kebajikan kepada semua makhluk dengan menghindarkan diri dari
sepuluh tindakan buruk yang diakibatkan oleh badan jasmani,
ucapan dan pikiran yaitu:
1) Badan Jasmani: Pembunuhan, pencurian, perbuatan jinah.
2) Ucapan: penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan yang
kasar, percakapan yang tidak berguna.
3) Pikiran: Kemelekatan, niat buruk dan kepercayaan yang
salah.74
4) Nilai-nilai Etika Buddha
3. Jalan Mulia Berunsur Delapan dalam Etika Sosial Agama
Buddha
a. Memiliki Pandangan yang Benar
Pandangan benar adalah seseorang memahami sifat karma
yang bermanfaat (baik) dan karma yang tidak bermanfaat
73
Dhammavisarada Teja S.M. Rashid, Sila dan Vinaya, (Jakarta: Buddhis
BODHI, 1997), h.3-4 74
Sutradharma Tj. Sudarman, Menjalani Kehidupan Buddhisme Confuciusme
dan Taoisme, h.24
51
(buruk) dan bagaimana hal itu dapat dilakukan oleh pikiran,
ucapan dan tubuh. Dengan memahami karma, seseorang akan
belajar untuk menentang keburukan dan melakukan kebaikan
demi menciptakan hasil yang diinginkan dalam hidup,
b. Berpikir yang Benar
Yang membawa kepada sifat mencintai semua bentuk-
bentuk kehidupan, bahkan juga kepada kehidupan yang
tingkatnya paling rendah sekalipun.
c. Berbicara yang Benar
Berbicara yang benar ini bertujuan yang murni, mulia,
dan baik.
d. Berbuat yang Benar
Menyangkut tindakan yang bermoral, penuh perhatian
kepada sesama, dan melakukan kebaikan terhadap semua
makhluk hidup.
e. Mata Pencaharian yang Benar
Maksudnya ialah supaya umat Buddha jangan mencari
mata pecaharian dari hal-hal yang mengakibatkan kekerasan, atau
harus mengikuti ajaran agamanya; rahib Buddha harus diurus
oleh umat Buddha.
f. Usaha yang Benar
Usaha yang benar ini untuk mengusir semua semua
pikiran jahat.
52
g. Perhatian yang Benar
Yang menyangkut kesadaran terhadap kebutuhan-
kebutuhan orang lain.
h. Konsentrasi yang Benar
Dengan menggunakan meditasi yang dapat
menciptakan ketenangan batin seseorang dan rasa damai dengan
diri sendiri maupun dengan dunia.
Upasaka dan Upasika75
Upasaka (laki-laki) dan Upasika (perempuan). Sila
merupakan dasar dalam pengalaman ajaran agama Buddha dan
pelaksanaan sila dalam bentuk peraturan-pelatihan. Maka Umat
Buddha tidak menghendaki adanya kasta dalam masyarakat.
Pancasila-Pancadhamma76
Seorang Upasaka dan upasika hendaknya dapat melatih sila
dalam kehidupan sehari-hari. Umat Buddha yang menghayati konsep
ke-Tuhanan Sanghyang Adi Buddha, diharapkan memiliki perilaku
berikut ini:
Metta : kasih sayang terhadap semua makhluk.
Karuna : sikap sedia meringankan makhluk lain.
Muditasi : turut berbahagia dengan kebahagiaan makhluk lain tanpa
bencidan tanpa iri hati.
75
Dhammavisarada Teja S.M. Rashid, Sila dan Vinaya, h. 8 76
Jacobus Tarigan, Religiositas, Agama & Gereja Katolik, h. 32
53
Upeka : bersikap adil, diam, tenang dan penuh dengan kebijaksanaan
yangseimbang.
4. Tujuan Etika Sosial Buddha77
a. Pelenyapan Penderitaan
Pelenyapan penderitaan adalah tujuan utama ajaran sang
Buddha. Untuk melenyapkan penderitaan secara tuntas seseorang
harus menghilangkan nafsu keinginan, kebencian dan
ketidakpedulian.
b. Kebahagiaan
Dalam Buddha pelenyapan penderitaan adalah kebahagiaan
yang sempurna. Dengan kata lain mereka yang mengikuti ajaran
Sang Buddha akan hidup bahagia tanpa keserakahan di antara
mereka yang masih dikuasai oleh nafsu keinginan. Makin banyak
nafsu keinginan yang dapat dijauhkan, maka makin besarlah
kebahagiaan yang akan diperoleh.
c. Pencerahan
Dengan adanya ajaran sang Buddha maka kebijaksanaan dan
kasih sayang adalah yang paling utama. Dengan begitu maka akan
mampu menolong seluruh makhluk mengatasi penderitaan.
d. Kebenaran Nirvana
Pelenyapan penderitaan diuraikan sebagai kebahagiaan
sempurna dan pencerahan. Maka kebenarana Nirvana itu haruslah
77
Sutradharma Tj. Sudarman, Menjalani Kehidupan Buddhisme Confuciusme
dan Taoisme, h. 37-40
54
dialami sendiri. Dengan kata lain “ Jika seseorang ingin mengetahui
tentang keadaan pikiran Buddha, dia harus mengembangkan
pikirannya seperti ruang kosong.”Ringkasan seluruh ajaran Buddha
adalah :
Hindarilah yang jahat,Banyak berbuat kebaikan,Sucikan hati dan
pikiran.78
78
Dorothy C. Donath, Pengenalan Agama Buddha, h. 62
55
BAB IV
ANALISIS KOMPARASI TERHADAP ETIKA ISLAM
DENGAN BUDDHA
Terdapat persamaan dan perbedaan yang mendasar dalam
membandingkan Etika Agama Islam dan Agama Buddha. Di bawah ini akan
diuraikan perbandingan antara etika Islam dan Buddha dari segi persamaan
maupun perbedaannya.
A. Persamaan Konsep Etika dalam Buddha dan Islam
Tidak dapat disangkal bahwa dalam setiap ajaran agama tentunya
ada persamaan dengan ajaran agama lainnya, terutama tentang etika. Ada
beberapa persamaan antara etika Islam dan etika Buddha yang dapat
dipaparkan seperti berikut:
Etika mengacu kepada ajaran atau gambaran tentang perbuatan,
tingkahlaku, sifat dan perangai yang baik. Sesungguhnya walaupun manusia
itu sangat berbeda-beda dalam segala hal temasuk juga dalam masaalah
agama, tetapi mereka ingin selalu kepada kemuliaan, kebenaran, kejujuran
dan keutamaan yang lainnya, keinginan itu berbeda diantara mereka ada
yang kuat dan ada yang lemah.79
Dari pernyataan tersebut setiap agama baik
barasal dari dunia (agama ardhi) maupun agama (samawi). Dalam ajaran
agama tersebut tentang etika mempunyai kesamaan dalam konsep yang
universal dan fokus kajiannya pada diri manusia. Implikasinya persamaan
79
Ahmaad Amin, Al-Akhlak, Terj. K.H. Farid Ma’ruf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998).h.
13.
56
etika Buddha dan Islam sama-sama menggunakan hati nurani, akan tetapi
sebagai landasan dan asasnya berpandu kepada kitab dan ajaran agama
masing- masing, dalam mengukur setiap perbuatan manusia.
Etika merupakan prinsip atau aturan hidup manusia untuk melakar
martabat dan harkat dan martabat kemanusiaan. Agama pada umumnya
menerangkan fakta-fakta bukan nilai-nilai yang ada dalam hampir semua
masyarakat bukan semata-mata kumpulan nilai yang bercampur tetapi
membentuk tingkatan (hirakhi). Semakin tinggi moral atau etika yang
dimiliki seseorang, semakin tinggi harkat dan martabat kemanusiaannya.
Sebaliknya semakin rendah nilai moral atau etika seseorang atau kelompok,
maka semakin rendah pula kualitas kemanusiaannya. Nilai-nilai yang
tertinggi berikut implikasinya terlihat dalam bentuk tingkah laku.80
Secara komprehensif adanya kesamaan konsep etika soal ajarannya
dalam suatu agama, karena manusia pada hakikatnya adalah sama-sama
membutuhkan apa yang yang dinamakan kebahagiaan baik sewaktu dia
hidup di dunia ini maupun setelah manusia itu meninggal dunia.81
Kercederungan manusia pada kebaikan terbukti adanya persamaan konsep-
konsep etika atau moral pada setiap peradaban dan pada setiap zaman.
Nilai-nilai moral atau etika seseorang atau kelompok orang tidak
semata-mata merupakan faktor keturunan yang bersifat tetap, statis, dan
konsistan, tetapi merupakan potensi positif yang dimiliki setiap orang.
80
Abdul Muis Naharong, Religion and Sosiety , (CV.Rajawali Preess: Jakarta, 1995).
h.38. 81
Ibnu Maskawih, Tahzib Al-Akhlaq wa That-hir Al-‘Araq, Terj. Helmi Hidayat,
(Mizan:Bandung, 1994). h. 94.
57
Untuk perkembangan ini, diperlukan pendidikan, pembiasan, dan
keteladanan, sertadukungan lingkungan, mulai dari lingkungan keluarga,
sekolah, dan masyarakat secara terus menerus.
Seperti yang dibicarakan etika dan prinsip yang ditemukan dalam
Kitab Suci Tripitaka yang diterangkan bahwa penganut Agama Buddha
Harus Memiliki nilai-nilai Berunsur Delapan
1. Memiliki Pandangan yang Benar. Pandangan benar adalah
seseorang memahami sifat karma yang bermanfaat (baik) dan
karma yang tidak bermanfaat (buruk) dan bagaimana hal itu
dapat dilakukan oleh pikiran, ucapan dan tubuh. Dengan
memahami karma, seseorang akan belajar untuk menentang
keburukan dan melakukan kebaikan demi menciptakan hasil
yang diinginkan dalam hidup,
2. Berpikir yang Benar, Yang membawa kepada sifat mencintai
semua bentuk-bentuk kehidupan, bahkan juga kepada kehidupan
yang tingkatnya paling rendah sekalipun.
3. Berbicara yang Benar, Berbicara yang benar ini bertujuan yang
murni, mulia, dan baik.
4. Berbuat yang Benar, Menyangkut tindakan yang bermoral,
penuh perhatian kepada sesama, dan melakukan kebaikan
terhadap semua makhluk hidup.
5. Mata Pencaharian yang Benar, maksudnya ialah supaya umat
Buddha jangan mencari mata pecaharian dari hal-hal yang
58
mengakibatkan kekerasan, atau harus mengikuti ajaran
agamanya.
6. Usaha yang Benar, Usaha yang benar ini untuk mengusir semua
semua pikiran jahat.
7. Perhatian yang Benar, Yang menyangkut kesadaran terhadap
kebutuhan-kebutuhan orang lain.
8. Konsentrasi yang Benar
Penerangan tersebut mengukapkan bahwa pada prinsipnya
ajaran agama Buddha menentang hal-hal yang bertentangan dengan
sifat-sifat yang tidakbaik.82
Hal ini senada dengan apa yang dideskripsikan oleh ajaran
Islam, Sebagaimana menurut Al-Qur‟an dan Hadits bahwa etika
Islam memandang ajaran Tuhan sebagai dasar ukuran kebaikan dan
keburukan. Segala perbuatan yang dilarang oleh Tuhan itulah
perbuatan buruk, begitupula sebaliknya, sebagaimana yang
dijelaskan dalam Kitab Suci. Lebih lanjut, nilai-nilai luhur
(kebaikan) yang tercakup dalam etika Islam sebagai sifat terpuji
(mahmudah) antar lain : berlaku jujur (al-amanah), berbuat baik
kepada kedua orang tua (birrul waalidaini), memelihara kesucian
diri (al-Iffah), kasih sayang (ar-Rahmah).
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam ajaran Buddha
maupun Islampada dasarnya terdapat kesamaan yaitu apa yang
82
Sutradharma Tj. Sudarman, Menjalani Kehidupan Buddhisme Confuciusme
dan Taoisme, h.24
59
dipandang secara komprehensif, jika bertentangan dengan hati
nurani tetap tidak diterima didalam diri setiap manusia.83
B. Perbedaan Konsep Etika dalam Buddha dan Islam
Selain dari persamaan antara etika Islam dan Buddha, terdapat
jugabeberapa perbedaannya, antara yang menyangkut sasaran (ruang
lingkup) etikaitu sendiri, sumber ajaran yang dipergunakan dalam
menentukan sesuatu perbuatan.
Dalam meneliti kesamaan setiap ajaran agama termasuk masalah
etika yang timbul perbedaan antara kedua ajaran tersebut. Pada hakikatnya
perbedaan tersebut menyangkut kepada pengertian, tujuan maupun materi
akhlak serta jangkauan etika dan moral masing-masing mengikut agama itu
sendiri. Hal ini dikarenakan setiap persamaan sesuatu tentu ada perbedaan
walaupun tidak nampak dengan jelas.
Pertama ialah dari segi sumber asasnya. Asas etika Islam adalah
bersumberkan ketuhanan (dalil naqli) Yaitu al-Qur‟an dan al-Hadits. Dalam
masa yang sama, Islam turut mengiktiraf sumber kemanusiaan (dalilaqli)
yang terdiri daripada pemikiran akal, naluri dan juga pengalaman manusia.
Namun, akal, naluri dan pengalaman ini mestilah digunakan dengan
bimbingan wahyu al-Qur‟an dan al-Hadits itu sendiri. Etika Islam meliputi
setiap bidang dan segi kehidupan manusia.84
Kombinasi sumber ketuhanan
83
Sudarsono, Etika Islam Tentang, h. 41-42 84
Kebajikan sosial yang pokok menjadi dasar tindakan moral seorang muslim,
Implikasinya
60
dan sumber kemanusiaan ini menghasilkan etika Islam yang mantap bagi
segala aktivitas kehidupan manusia.
Dalam ajaran Buddha tidak banyak membicarakan tentang
ketuhanan. Meskipun mereka mengakui bahwa adanya tuhan tetapi tidak
dapat diuji melalui penalaran, penjelasan, dan diupayakan secara langsung.
Hal ini merupakan konsekuensi logis dari kepercayaan atau keimanan dalam
ajaran Buddha yang memang kurang penjelasan yang mendalam sama
sekali, berbanding dengan ajaran Islam contohnya yang mempunyai
pembahasan yang lebih terperinci terhadap ketuhanan. Pandangan etika
dalam ajaran agama Buddha banyak menyangkut kepada pribadi manusia
itu sendiri dalam upaya menjadikan seseorang itu mempunyai kebaikan
dalam kehidupan.
Dalam Agama Buddha, ajaran agama Buddha tidak bertolak dari
ajaran ketuhanan, melainkan berdasarkan kenyataan kenyataan hidup. Pada
umumnya ajaran agama Buddha berlandaskan atas lima pokok, yaitu :
1. Tri ratna (buddha – dharma – sangha).
2. Catur arya satyani dan hasta arya marga.
3. Hukum karma dan tumimbal lahir.
4. Tilakhana yaitu tiga corak umum yang terdiri dari antya
anatman dan dukkha.
5. Hukum pratya samuppada yaitu hukum sebab akibat yg
saling bertautan.
61
Adapun ajaran tentang manusia. Oleh karena titik tolak ajaran budha
bukan dari kenyakinan adanya Tuhan(yang mutlak), tetapi pada kenyataan-
kenyataan yang dihadapi manusia sehari-hari, maka dalam ajaran agama ini
manusia mempunyai tempat khusus, karena manusia merupakan unsur yang
dominan dalam keseluruhan ajaran keagamaannya. Sebagaimana yang
diuraikan dalam “trilakhana” ada 3 corak yang umum dalam membicarakan
tentang manusia, yaitu :
1. Catur arya satyani (4 kesunyatan)
2. Hukum karma (hukum sebab akibat)
3. Tumimbal lahir (kelahiran kembali)
Kemudian manusia dalam ajaran buddha merupakan kesatuan
kelompok energi fisik dan mental yang terus bergerak yang disebut
“punchakhanda” yang mempunyai beberapa kegemaran, yaitu:
1. Rupakhanda. Kegemaran terhadap wujud/bentuk yang dapat diserap
dan dibayangkan dengan panca indra (didengar,dilihat,dirasa,dicium
dan disentuh).
2. Wedana khanda. Kegemaran terhadap perasaan dalam hubungan
panca indra dengan dunia luar seperti timbulnya rasa senang,susah
dsb.
3. Sannakhanda. Kegemaran penyerapan terhadap intensitaas indra
dalam menanggapi rangsanagn yang datang dari luar seperti bentuk
suara, bau, cita rasa, sentuhan dan pikiran.
62
4. Sankharakhanda. Kegemaran terhadap bentuk-bentuk pikiran yang
sampai 50 macam banyaknya yang timbul dari kegiatan mantal.
5. Vinnanakhanda. Kegemaran terhadap kesadaran, reaksi atau jawaban
berdasarkan salah satu dari keenam indra dengan objeknya. Misal
kesadaran mata (cakkhuvinana) adalah untuk melihat benda-benda
yang disadari baik, buruk atau netral.
Pancakhanda tersebut saling berkaitan satu sama lain. Kelimanya
dapat diringkas menjadi dua, yaitu “nama” dan “rupa”. Nama kumpulan dari
perasaan, pikiran, penyerapan dan unsur rohaniah. Sedangkan rupa adalah
bersifat jasmaniah yang terdiri dari tanah, air api dan udara/hawa. Jadi
manusia itu merupakan kumpulan dari lima “khanda” tanda adanya atma
atau roh. Sebagaimana diajarkan dalam catur arya satyani hakikat dukkha
ada 3 :
1. Dukkha, Yaitu penderitaan biasa yang dialami, Misal : peristiwa
lahir, usia tua, berpisah dari sesuatu yang dicintai dsb.
2. Dukkha sebagai viparmadukkha. Yaitu akibat terjadinya perubahan-
perubahan (fisik, mental dll).
3. Dukkha sebagai sankharadukkha. Yaitu akibat kebergantungan yang
satu sama lain.
Tujuan akhir umat budha dalam hidup dan sesudah mati adalah
nirwana, untuk itu umat buddha harus memahami “HASTA ARYA
MARGA” yaitu delapan jalur sikap dan perilaku untuk membebaskan diri
dari dukkha. Kasunyatan ini juga merupakan “majjhima pattipada” yaitu
63
jalan tengah diantara dua hal yang ekstrim yaitu : Mencari kebahagiaan
dengan mengikutihawa nafsu yang rendah mencari kebahagiaan dengan
menyiksa diri dalam berbagai cara. Dari 8 jalur perilaku untuk mencapai
nirwana tersebut dapat dibagi dalam 3 kelompok ajaran yaitu :
1. Sila, Ialah ajaran kesusilaan yang didasarkan atas cinta dan
welaskasih kepada semua makhluk. Termsauk dalam sila ini ada 3
jalur:
a. Sammavaca: berbicara benar,
b. Sammakamanta: berbuat yang benar,
c. Sammaajiva: bermatapencaharian yang benar.
Tujuan ajaran ini adalah untuk mengembangkan perilaku yang
seimbang dan bahagia baik untuk diri sendiri maupun bagi orang lain
disekitarnya.
2. Samadi, Ialah ajaran disiplin mental yang meliputi 3 unsur:
a. Sammavayama : bedaya upaya benar
b. Sammasati : menaruh perhatian yang benar,
c. Samma samadhi : berkonsentrasi yang benar,
Panna, Ialah ajaran kebijaksanaan yang luhur yang terdiri dari dua
unsur :
a. Sammadithi : berpengertian yang benar
b. Sammasankappa : berfikiran yang benar
Kedelapan perilaku utama yang terdir dari 8 unsur tersebut secara
keseluruhan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan harus
64
dikembangkan bersama-sama yang seimbang. Oleh karena “sila” adalah
landasan “semadi” dan “semadi” adalah landasan “panna”. Jika pana
berkembang maka “sila” dan “semadi” akan menjadi lebih mantab, maka
jika “panna” sudah sempurna “sila” bukan lagi sebagai “sikkha” (latihan),
melainkan akan terwujud dengan wajarnya.
Kedua Etika Islam meliputi aspek teori (majalal-nazar) dan praktis
(majal al-`amal). Ia tidak hanya melibatkan pemikiran teoritis para ulama‟
silam dalam berbagai bidang ilmu, bahkan turut diperincikan dalam bentuk
praktikal berhubung kelakuan manusia itu sendiri. Akhlak yang dipamerkan
oleh Rasulullah Swt. merupakan model ikutan yang paling tepat. Baginda
mempraktikkan tuntutan akhlak Islam dalam pengurusan diri, rumah tangga,
masyarakat maupun negara. Perbandingan aspekteori dan praktis ini
menjadikan etika Islam cukup lengkap untuk dilaksanakan dalam segenap
aspek kehidupan.
Ketiga ialah dari segi rangkuman nilainya. Nilai-nilai dalam etika
Islam merangkumi berbagai aspek dan dimensi. Bersesuaian dengan sifat
Penciptanya yang memiliki segala kesempurnaan, maka nilai-nilai yang
digubal-Nya melambangkan keagungan-Nya, menepati fitrah semula jadi
manusia. Sesuatu yang dikategorikan sebagai baik atau buruk, betul atau
salah itu akan kekal dan diterima oleh umat manusia sepanjang masa. Dari
sudut kategori nilai, etika Islam meliputi nilai positif (ijabiyah) dan nilai
negatif (salbiyah). Nilai positif merujuk kepada nilai yang memberi kesan
baik kepada hati dan diri manusia serta dituntut untuk diamalkan. Nilai
65
negatif pula meninggalkan kesan yang kurang baik dan wajar dihindari
kerana mendatangkan kemudharatan kepada banyak pihak. Dari aspek
hubungan, etika Islam mengambil nilai-nilai dalam hubungan manusia
dengan Pencipta (habl min Allah), hubungan sesama manusia (habl min al-
nas) dan hubungan dengan alam sejagat.
Dari segi skop nilai, etika Islam meliputi dimensi zahir (kelakuan)
dan batin (kejiwaan) manusia. Etika Islam diinterpretasikan melalui
pendekatan lahiriah iaitu melalui penampilan, sikap, perlakuan dan bahasa,
maupun pendekatan batiniah yaitu melalui hati.
Ketiga kriteria di atas memperlihatkan keunikan dan keunggulan
etika yang sejajar dengan ajaran Islam maupun Buddha. Paling menarik, ia
memperlihatkan keupayaan etika Islam untuk mengurus multidimensi
kehidupan manusia. Di samping memperoleh kebaikan di dunia, ia turut
menjanjikan kebahagiaan di akhirat kelak.
C. Etika Sosial Dalam Agama Islam dan Agama Buddha
Setiap Agama memiliki aturan tersendiri yang menjadi dasar
pedoman bagi penganutnya, persoalan Etika ini menjadi sorotan penting
bagi keberlangsungan mahluk hidup yang di dalamnya terdapat hubungan
antar sosial, baik dalam lingkungan sosialnya, dunia kerja, pendidikan dan
keluarga.
Seperti pada pembahasan bab sebelumnya, peran Etika amatlah
penting baik dalam sudut pandang sosial maupun agama. Dalam setiap
66
agama baik Islam maupun Buddha memiliki karakter Etika yang berbeda,
adapun penjelasan karakteristik yang terdapat dalam agama Islam maupun
Buddha adalah sebagia berikut :
1. KARAKTERISTIK ETIKA ISLAM
Etika yang diajarkan dalam Islam berbeda dengan etika
dalam Filsafat, adapun karakteristik Etika Islam :
Mengajarkan dan menuntun manusia mengenai tingkah laku yang
baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
a. Menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik
dan buruknya perbuatan seseorang didasarkan kepada ajaran
Allah SWT (Al-Quran) dan ajaran Rasul-Nya.
b. Bersifat Universal dan Komprehensif, dapat diterima dan
dijadikan pedoman oleh seluruh umat manusia kapanpun dan
dimanapun berada di segala waktu dan tempat.
c. Dengan ajaran-ajarannya yang praktis dan tepat, cocok
dengan fitrah (naluri) dan akal pikiran manusia (manusiawi),
maka Etika Islam dapat dijadikan pedoman oleh seluruh
manusia.
d. Mengatur dan mengarahkan fitrah manusia kejenjang akhlak
yang luhur dan mulia serta meluruskan perbuatan manusia di
bawah pancaran sinar petunjuk Allah SWT. menuju
keridhaan-Nya. Dengan melaksanakan Etika Islam niscaya
akan selamat lah manusia dari pikiran-pikiran dan perbuatan-
67
perbuatan yang keliru dan menyesatkan sebagai upaya
memanusiakan manusia.
2. KARAKTERISTIK AGAMA BUDDHA
a. Pengertian Karma
Karma dalam bahasa Sanskerta: karma, (Karman ”bertindak,
tindakan, kinerja), (Pali, kamma) adalah konsep “aksi” atau
“perbuatan” yang dalam agama India dipahami sebagai sesuatu yang
menyebabkan seluruh siklus kausalitas yaitu, siklus yang disebut
“samsara”. Konsep ini berasal dari India kuno dan dijaga
kelestariannya di filsafat Hindu, Jain, Sikh, dan Buddhisme. Dalam
konsep “karma”, semua yang dialami manusia adalah hasil dari
tindakan kehidupan masa lalu dan sekarang. Efek karma dari semua
perbuatan dipandang sebagai aktif membentuk masa lalu, sekarang,
dan pengalaman masa depan. Hasil atau „buah‟ dari tindakan disebut
karma-phala.
Karena pengertian karma adalah pengumpulan efek-efek
(akibat) tindakan/perilaku/sikap dari kehidupan yang lampau dan
yang menentukan nasib saat ini, maka karma berkaitan erat dengan
kelahiran kembali (reinkarnasi). Segala tindakan/perilaku/sikap baik
maupun buruk seseorang saat ini juga akan membentuk karma
seseorang dikehidupan berikutnya.
68
Ciri-ciri atau sifat khas ajaran Buddha, yakni :
1) Dukkha, ketidakpuasan, hal ini adalah menjadi ajaran utama
Buddha Gotama di dalam pembeberan Dhamma yang
pertama. Buddha tidak menyembunyikan fakta hidup bahwa
hidup ini penuh dengan ketidakpuasan. Dengan fakta ini,
maka Buddha menjelaskan dengan terperinci tentang
ketidakpuasan, dasar-dasar ketidakpuasan, sebab-sebab akhir
atau lenyapnya ketidakpuasan dan kemudian cara-cara untuk
melenyapkan ketidakpuasan. Jadi dalam hal ini banyak orang
yang tidak memahami atau mempelajari keseluruhan dari
ajaran tentang dukkha, sehingga banyak yang salah mengerti
dan salah memandang tentang ajaran Buddha. Karena
kesalah pandangan dan kesalah pahaman tersebut
menyebabkan banyak orang berpandangan bahwa Buddha
tidak pernah mengajarkan tentang kebahagiaan, sehingga
ajaran Buddha digolongkan menjadi ajaran pesimis.
2) Buddha, seorang yang objektif, Buddha adalah seorang yang
Rasionalis dan Objektif, pernyataan ini dapat dilihat dari apa
yang Beliau ajarakan kepada kita. Beliau dengan bijaksana
menunjukkan kepada kita tentang perbuatan baik lengkap
dengan buah-buah yang akan dinikmati oleh si pelaku,
demikian pula tentang perbuatan buruk serta akibat yang
akan dialami oleh mereka yang melakukan kejahatan.
69
Dengan demikian, Buddha menyerahkan remote control
kepada kita masing-masing, mana yang akan kita pergunakan
“apakah yang baik atau yang buruk.
3) Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri, tidak ada
tempat bagi siapa pun untuk pergi berlindung selain
berlindung pada dirinya sendiri. Para Buddha hanyalah
sebagai penunjuk Jalan, kita-lah yang harus menapaki Jalan
tersebut. Buddha dhamma mengandalkan diri sendiri
daripada diluar diri sendiri. Dalam tradisi Buddhis tidak
mengenal sistem permohonan atau permintaan untuk menjadi
bahagia, sehat, kuat, maupun kaya ataupun enteng jodoh.
Menurut Dhamma, kebahagiaan, kesehatan, kekuatan, kaya
maupun enteng jodoh tidak dapat diperoleh dengan cara
meminta dan memohon, namun dapat diperoleh dengan
membuat sebab-sebabnya agar menimbulkan akibat.
4) Pemberi berterima kasih kepada penerima, pada umumnya si
penerima berterima kasih kepada pemberi. Berbeda halnya
dalam Buddhism, si pemberilah yang mengucapkan terima
kasih, alasannya karena penerima dana telah memberi
kesempatan kepada pemberi dana untuk membuat kamma
baik. Kendati demikian bukan berarti bahwa pemberi dana
tidak perlu mengucapkan terima kasih. Mengucapkan terima
kasih adalah merupakan perbuatan balas jasa. Hal ini juga
70
merupakan hal yang baik. Namun bukan karena seseorang
telah memberi lantas berkeinginan untuk menjadi penguasa
atau bertindak angkuh dan sombong. Jadi karena orang yang
menerima telah memberi peluang kepada pemberi melakukan
jasa kebajikan, sepantasnya-lah si pemberi mengucapkan
terima kasih.
71
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah penulis deskripsikan tentang
konsep etika dalam perspektif Buddha dan Islam dapat diberikan
konkluasi sebagai berikut:
1. Bahwa di dalam kehidupan ini, yang sangat berharga adalah
nilai akhlak,moral dan etika dalam meniti kehidupan
beragama. Ini karena ajaran Buddha maupun Islam bila
diperhatikan secara cermat dan benar serta teliti, terdapat
kesamaan terutama dalam pemahaman dimana hatinurani dan
nilai murni sebagai panduan dalam menjalani kehidupan.
Kenyataan ini terlihat dari sudut etika Buddha yang
mengetengahkan kepada penganutnya supaya menghindari
dari pada melakukan kejahatan, demikian pula dalam ajaran
Islam yang memerintahkan pemeluknya supaya selalu
berakhlak mulia. Namun dalam Islam derajat manusia
ditentukan oleh kadar ketakwaannya kepada Allah Swt.
2. Disamping itu, etika dalam berkeluarga, perkembangannya
sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Orang tua
merupakan peran yang amat penting. Oleh karena itu, Etika
memberi anak-anak orientasibagaimana ia menjalani
hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari, dimana
72
etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan
bertindaksecara tepat dalam menjalani hidup ini.
3. Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil
keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan
yang perlu kita pahami bersama bahwa etika ini dapat
diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita,
dengan demikian etika ini dapat dibagi menjadi beberapa
bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya.
4. Setiap agama senentiasa mengajarkan kebaikan, terutama
dalam hidup bersosial manusia tidak pernah lepas dari orang
lain, baik itu anatara ras, suku, budaya dan agama. Apabila
bila bisa menjaga prilaku dengan baik di kehidupan sosial
maka akan merasakan kedamain. Karena manusia tidak bisa
hidup tanpa bantuaan dari orang lain. Dengan cara
bergotong-royong dan saling membantu sesama bagi yang
membutuhkan, baik berupa jasa maupun materi. Dalam hal
ini untuk membiasakan menjaga dan memperbaiki etika
dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan
masyarakat maupun dalam kehidupan keluarga, maka harus
menjalankan ajaran-ajaran yang telah di tentukan.
5. Moral yang diajarkan dalam agama masing-masing telah
menyokong dalam kehidupan manusia untuk membentuk
sebuah perdamaian. Kedamaian yang di ekspresikan melalui
73
perbuatan-perbuatan yang terpuji, yangdimulai dari diri
sendri dan akan berpengaruh positif terhadap yang lain.
Islamdan Buddha telah memiliki ajaran moralitas yang sudah
sangat cukup memberi sumbangan dalam terbentuknya
perdamaian. Hanya saja kembali lagi terhadap individu
masing-masing, atas kesadaran manusia itu sendiri. Jika
manusia cintaakan kehidupan yang diberi oleh Tuhan, maka
sudah sepatutnya kita menjaga anugerah yang telah
diberikanNya. Yaitu dengan cara menjaga perbuatan kita,
menjaga tingkah laku kita, menjaga bumi ini, menjaga
sesama manusia, menjaga hewan dan lingkungan. Cinta
kasih yang tertanam dalam diri kita hendaknya kita
aplikasikan dalam menjalani kehidupan ini dan
memberikannya terhadap semua makhluk, terhadap manusia
tanpa memandang identitas agama. Tiada lagi alasan
berperang atasnama agama, kekerasan atas nama agama,
kerusakan atas nama agama, karena Allah pun tidak suka
manusia yang melakukan kerusakan di bumi ini. Allah
memerintahkan kita utnuk menjaga bumi dan kehidupan ini,
dengan mengutusnabi Muhammad sebagai penyempurna
akhlak manusia. Umat Islam sudahmempunyai bekal dan
mempunyai contoh akhlak yang baik dari nabi Muhammad,
yaitu akhlakuk karimah. Begitu juga dengan umat Buddha,
74
dimana Sang Buddha yang mengajarkan cinta kasih dengan
cara melaksanakan sila atau 5 aturan moral dalam kehidupan
manusia. Buddha juga memberi ajaran rasa toleransi terhadap
orang lain. Yang paling penting dalam ajaran Buddha ialah
membuang rasa benci karena jika rasa benci masi ada dalam
hati kita, maka akan sulit untuk melaksanakan 5 moral
tersebut.
B. Saran-Saran
Dalam kesempatan ini penulis ingin memberikan beberapa
saran yangnantikan dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam berbagai halyang berhubungan dengan masaalah etika.
Adapun saran tersebut sepertiberikut:
1. Hendaklah pengkajian terhadap masaalah keaagama ini
terutamaberhubungan dengan kesamaan dan perbedaan suatu
konsep yangdiuraikan dalam ajaran secara intensif kajian secara
mendalam supaya diperoleh hasil yang lebih valid sekaligus
dapat mencapai titik persamaandalam menciptakan suatu
komunitas harmonis dalam masyarakat yang pluralistik. Di
samping itu hendaklah dalam mengetengahkan berbagai masalah
yang harus diteliti secara jujur tampa ada sikap apologis terhadap
ajaran yang ada diluar agamanya sebagai peneliti, sehingga ia
dapat bersikap obyektif tampa dipengaruhi unsur-unsur
75
subyektif, yang dapat menyebabkan kurangnya keberanian
menaktualisasikan di dalam tulisannya.
2. Diharapkan dengan adanya kajian tentang pandangan etika dari
ajaran agama masing-masing berguna untuk mencari titik temu
guna membentuk suatu komunitas yang beretika dan harmoni,
supaya terhindar dari masalah gejala sosial yang dewasa ini
semakin meningkat.
3. Diharapkan masyarakat Islam lebih menghayati dan mendalami
ajaranIslam karena apabila kita mengkaji ajaran agama lain
mengenai etika kita seharusnya sedar bahwa umat Islam juga
hidup dalam landasan etika seharian yang bersumberkan Al-
Quran dan Hadits yang memiliki hubungan dengan iman dan
syari’at.
4. Mendalami tentang etika dapat beri kesedaran kepada umat
manusia keseluruhannya akan penting etika yang memberi
keamanan hidup didunia ini, sehingga setiap agama mempunyai
etika tersendiri hanya semata-mata untuk mendapatkan
kesempurnaan mengikut ajaran masing-masing.
76
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Haris, Etika Hamka: Konstruksi Etik Berbasis Rasional-
Religius Yogyakarta: Lkis, 2010,
Abdul Muis Naharong, Religion and Sosiety , CV.Rajawali Preess:
Jakarta, 1995,
Acmad Charris Subair, Kuliah Etika, Rajawali Pers, Jakarta, 1990,
Ahmaad Amin, Al-Akhlak, Terj. K.H. Farid Ma’ruf, Bulan Bintang:
Jakarta, 1998,
Ahmad Amin, Al Akhlak, Terj. K.H. Farud Ma’ruf, Etika Ilmu
Akhlak, Cet. VII; Jakarta: Bulan Bintang, 1995
Ahmad Fauzi, "Etika Islam dan Hak Asasi Manusia", Skripsi
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 1998
Amsal Bakhtiar. Filsafat ilmu, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2004,
Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat. Bandung: Pustaka Setia, 2010
Burhanuddin Salam, Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral,
Rineka Cipta, Jakarta, 1997,
Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat Cet. 3; Jakarta: Bumi
Aksara, 1995,
C. Verhaak & R, Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan Telaah
Atas Cara Kerja Ilmu-Ilmu, Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1997,
Delapan Jalan Kebenaran tersebut yaitu; 1. Pengertian benar, 2.
Pikiran benar, 3. Ucapan benar, 4. Perbuatan benar, 5.
Penghidupan benar, 6. Usaha benar, 7. Perhatian benar, dan
8. Konsentrasi yang benar. Lihat S. Widyadharma, Intisari
Ajaran Budha, Jakarta: Yayasan Dana Pendidkan Budhis,
1991
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya Semarang, Al-
Waah: 1989
Dhammavisarada Teja S.M. Rashid, Sila dan Vinaya, Jakarta:
Buddhis BODHI, 1997,
Dorothy C. Donath, Pengenalan Agama Buddha, TT
77
H. De Vos, Inleiding Ethick, Terj. Soejono, Pengantar Etika,
Jakarta: Tiara Wacana, 1987
H. De vos, Pengantar Etika, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya,
1987
H. Nursid Sumatmadjl , Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya,
dan Lingkungan Hidup Cet. II; Bandung: Alfabeta, 1998
Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, PT Mizan Pustaka,
Bandung, 2005.
Haidar Nashir, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern Cet. II;
Yogyakarta: Pustaka Pelajara, 1999
Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: BPK-
Gunung Mulia, 2010
Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat, Jakarta: Wijaya, 1978
Ibnu Maskawih, Tahzib Al-Akhlaq wa That-hir Al-‘Araq, Terj.
Helmi Hidayat, Mizan: Bandung, 1994
Imam Abi Husain Muslim Bin Hajjaj, Shohih Muslim, Beirut:
Maktabah dalan, t.th
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat. Yogyakarta : Kanisius,1996
Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Ed. I Cet. 2;
Jakarta: Kencana, 2005
Jujun S Suryasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005,
K. Bertens, Etika Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004
Kebajikan sosial yang pokok menjadi dasar tindakan moral seorang
muslim, Implikasinya etika dan moral Islam merupakan
bahagian yang tak terpisahkan dari agama. Lihat, Marcela
A.Boisard, L’humanisme De L’islam, Terj. M.Rasyidi, Bulan
Bintang: Jakarta, 1980
Keraf. A. Sonny. Etika Lingkungan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2002
Krishnanda Wijaya Mukti, Wacana Buddha-Dharma, Jakarta:
Yayasan Dharma Pembangunan, 2003
Lihat Osman Raliby, Ibnu Khaldun tentang Masyarakat dan Negara
Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1965,
78
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia pustaka, 2000
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2006,
M.Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994
Majid Fachry, Etika dalam Islam. Terj. Zakiyuddin Baidhawy
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Michael Keene, Agama-agama Dunia, Yogyakarta: Kanisius, 2006,
Moekijat, Asas-asas Etika. Bandung : Mandar maju, 1995,
Muh. Ardani, Akhlak Tasawuf, PT Mitra Cahaya Utama, Cet ke-2,
2005
Muhammad Al-Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, Terj. Abu Laila &
Muhammad Tohir Bandung: PT. Al Ma’arif, 1995
Muhammad Hasbi Ash-shiddieqy, mutiara hadis 6
Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, Ed. I Cet. I;
Jakarta: Kencana, 2009,
Muhammad Yusuf Musa, Kairo: Mu'assassah al-Mat'butat al-
Haditsah, 1960
Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga Press, 1988
Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam Cet. I;
Bandung: Mizan, 1991,
Pada hakikatnya khuluq (budi pekerti) atau akhlak ialah suatu
kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi
kepbriadian. Dari sini timbullah berbagai macam perbuatan
dengan cara spontan tanpa dibuat-buat dan tanpa
memerlukan pikiran.” Lihat, M. Yatimin Abdullah, Studi
Akhlak dalam Perspektif al-Qur’an Jakarta: Amzah, 2007
Piyadasi Mahatera, Budhisme A. Living Massage, Terjemahan.
Suprianti Poernomo, Jakarta: Dhamadipa, 2010
Poedjawiatna. 1996 Etika Filsafat Tingkah laku, Rineka Cipta,
Jakarta.
Ronald Satya Surya, 5 Aturan-Moralitas Buddhis, Yogyakarta:
Vidyasena Production, Vihara Vidyaloka,2009
79
Soedjono Dirdjosisworo, Esensi Moralitas dalam Sosiologisme.
Bandung : Mandar Maju, 1996,
Sri Dammananda, Keyakinan Umat Budha, Jakarta: Karaniya, 2005
Suhrawadi K Lubis. Etika Profesi Hukum. Penerbit Sinar Grafika.
Jakarta, 1994,
Suparman Syukur, Etika Religius Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Sutradharma Tj. Sudarman, Menjalani Kehidupan Buddhisme
Confuciusme dan Taoisme, Jakarta: Sunyata, 1998
Taufik Abdullah dan A.C Van Der Leeden, Durkheim dan Pengantar
Sosiologi Moralitas. Jakarta : Yayasan obor Indonesia, 1986
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an
Montreal: McGill Queen’S , 2012,
Toshiko Isutzu, Konsep-konsep Etika Religius dalam Quran, terj.
Agus Fahri Husein Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993
Tri Nugroho, Etika Sosial dalam makalah yang disampaikan pada
pelatihan History of Thought di USC-Satunama, 24 Februari
2006.
Von Magnis dalam Achman Chariis Subair 1990: 9-11
Yuli Irfan Zundi, "Konsep Etika dalam Kitab al-Akhlaq Ahmad
Amin", Skripsi, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2001
Zahruddin AR, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta:RajaGrafindo
Persada 2004 Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh
Fazlur Rahman mengenai etika al- Qur’an, Fazlur Rahman,
“Beberapa Konsep Kunci Tentang Etika al-Qur’an” dalam
Taufiq Adnan Amal, Neo Modernisme Fazlur Rahman
Bandung: Mizan, 1987