« Cara Perbanyakan Masal P. bactrae-bactarae Pengaruh Kalium dan Clhor Terhadap HasilTembakau »
Agens Hayati untuk Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman
Maret 30, 2010 oleh TOHARI YUSUF
Sebenarnya saya belum pernah berhasil menggunakan Agens Hayati untuk tanaman hortikultura, entah karena saya yang tidak bisa alias bodoh, ataukah saya yang kurang sabar, namun tidak ada salahnya saya memposting tentang agens hayati, siapa tahu dari sekian pembaca ada yang mencoba dan berhasil. Dan apabila anda salah satu yang berhasil mohon saya dikasih tahu lewat e-mail saya ( [email protected] ), saya akan belajar kepada anda. Dan karena pengetahuan dan pengalaman saya tentang agens hayati sangat sedikit saya mohon maaf bila ada koment atau pertanyaan yang tidak mampu saya jawab atau jelaskan. Artikel yang saya tulis ini bukanlah saya yang membuat melainkan saya hanya menulis dan menyebarluaskan informasi yang saya dapatkan dari Balai Proteksi tanaman pangan dan Hortikultura. Berikut artikel yang saya dapatkan dari Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) VI Jawa Timur (tulisan yang berwarna hijau adalah dari BPTPH sedangkan yang biru adalah tambahan dari saya):
Agen Pengenali Hayati yaitu semua organisme yang dalam tahap perkembangannya dapat dipergunakan untuk keperluan pengendalian hama dan penyaki, sementara Pengendalian Hayati adalah pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) oleh musuh alami (Agens pengendali hayati). Keuntungan dari pengendalian secara hayati yaitu selektifitas tinggi, hama tidak menjadi resisten atau kalau hal itu terjadi sangat lambat, serta tidak ada pengruh samping yang buruk seperti pada penggunaan pestisida. Dan beberapa kelemahan pengendalian hayati yaitu pegendalian berjalan lambat, tidak dapat diramalkan, dan memrlukan pengawasan yang ketat. Saat kita menggunakan agen hayati di lahan, kita harus berfikir bahwa kita menggunakan mahluk hidup dalam pengendalian hama penyakit / OPT, sehingga sebaiknya kita tidak menggunakan pestisida kimia karena hal itu akan membunuh agens hayati yang nota bene-nya adalah mahluk hidup, sebaliknya kita harus mengusakan hal-hal yang bisa mendukung perkembangbiakan agens hayati tersebut.
Beberapa jenis agens hayati yang dikembangkan di laboratorium-laboratorium di wilayah BPTPH Jatim yaitu:
PARASITOID Telur Trichogrammatoidea bactrae-bactrae untuk pengendalian hama penggerek polong Etiella zinkcinella.
Perbanyakan masal:
Digunakan inang pengganti, yaitu berupa telur Corcyra cephalonica yang sudah di mandulkan.
Telur-telur ini kemudian diletakkan pada pias-pias yang selanjutnya ditulasrkan dengan telur-telur yang berisi parasitoid T. bactre-bactrae
Telur yang tel;ah terparasit akan berwarna hitam da telah siap untuk dilepas di lahan.
Pelepasan
Dosis pelepasan: 100 pias/ha,di lepas 8 tahap dengan interval 1 minggu. pelepasan pertama 16 pias/ha, pelepasan berikutnya 12 pias/ha/minggu. jarak pelepasan antar pias 25-30 m, dan dilakukan secara merata.
Waktu pelepasan di pagi hari atau sore hari, satu harimenjelang imago T. bactrae-bactrae keluar dari inang yang terparasi (siklus T. bactre-bactrae dari telur diletakkan hingga munculnya imago sekitar 8 hari). Upayakan pelepasan parasitoid sejalan dengan awal periode peletakan telur hama sasaran.
Cara pemaangan yaitu dengan menyelipkan pias pada ketiak daun pucuk dengan bagian telur menghadap keatas. apabila diperkirakan akan turun hujan, pias dipasang secara tertelungkup. Selain itu, pemasangan pias dapat pula dilakukan dengan mengguanakan sutas tali yang teleh diolesi dengan lem/perekat untuk menghindari dari pemangsaan predator.
PATOGEN
Cendawan Beauveria bassiana dan metarhizium anisopliae untuk penegendalian wereng batang coklat, walang sangit dll.
Koloni cendawan B. bassiana berwarna putih seperti kapur sedangkan M. anisopliae berwarna hijau tua.
Perbanyakan masal
cendawan patogen ditumbuhkan di media padat dari jagung, beras atau campuran jagung/beras dengan dedak yang telah di sterilkan.
Miselium cendawan akan memenuhi kantung media padat ukuran 100 gr dalam waktu 3-4 minggu.
Aplikasi
Dosis: Jumalah spora cendawan yang efektif untuk aplikasidilapangan ialah 10 pngkat 6 spora/ml larutan, atau 10 pangkat 6 spora/g media padat.
Kebutuhan media padat untuk 1 tanki ukuran 14 lt yaitu 100 gr/tanki atau 3 kg media padat/ha.
Waktu aplikasi pagi atau sore hari
Cendawan Antagonis Trichoderma spp. dan Gliocladium spp.
Untuk mengedalikan penyakit tanaman yang disebabkan oleh cendawan fusarium spp. phytophtoraspp. atau Rhizoctonia spp. Mekanisme antagonis Trichoderma spp. dan Gliocladium spp. terhadap Fusarium spp. adalah menghambat sedangkan pada cendawan tanah yang lainnya adalah mematikan. Koloni cendawan trichoderma spp. berwarna hijau tua sedangkan gliocladium spp berwaarna hijau muda. Pemanfaatan cendawan ini akan lebih efektif bila dilakukan di persemaian (merupakan tidakan pecegahan)
Perbanyakan Masal
Untuk starter (biakan induk) cendawan antagonis ditumbuhkan pada media padat jagung atau serbuk gergaji kayu
Perbanyakan masal cendawan ini digunakan dalam bentuk kompos. kompos trichoderma/gliocladium terdiri dari: 1meter kubik Jerami/serbuk gergaji;
250 gr urea; Superphos (SP36) 500 gr; Kapur pertanian 300 gr, Pupuk kandang 50 gr dan biakan induk trichoderma/gliocladim 300 gr.
Campuran bahan-bahan ini ditumpuk menjadi menjadi 4 lapisan, kemudian dikomposkan selama 20 hari dan pembalikan dilakukan pada hari ke 12.
Aplikasi
Dosis: 5 gr kompospertanaman tomat atau cabai/ semangka dll. atau 100 gr kompos per runpin pisang,dan diberikan pada pagi hari atau sore hari.
Nuclear Polyhidrosis Virus (NPV)
Sl-NPV (Spodoptera litura-Nuclear polyhidrosis Virus) adalah virus yang digunakan untuk membasmi ulat grayak (spodotera litura) yang ada pada tomat, cabai,kedelai bawang, merah dll)
Perbanyakan Masal
Pemeliharaan inang berupa S. litura. Pakan ulat grayak (instar 3 atau 4) diolesi dengan suspensi SlNPV (cukup satukali
perlakuan), suspensi ini dibuat dengan cara melumat seekor ulat instar 4 yang mati terinfeksi SlNPV dengan 10 ml (2 sendok makan) air. Ulat selanjutnya dipelihara sampai mati. (pemberian pakan yang diolesi suspensi SlNPV hanya 1 kali selanjutnya diberi makanan biasa tanpa diolesi SlNPV).
Kematian pada ulat yang mati karena SlNPV biasanya terjadi pada hari ke 6-10 setelah pemberian pakan + SlNPV) dengan gejala kematian:
1. Terjadi perubahan warna tubuh, badan menjadi lebih besar dan mengkilap.2. Umenggantung dengan kaki palsu belakang.3. Tubuh menjadi lunak bila tersentuh akan keluar cairan seperti nanah.
Ulat-ulat yang mati karena SlNPV ini kemudian dilumatkan dan ditaambah air dan disaring, dan cairan ini siap diaplikasikan di lapangan. dan cairan ini bisa disimpan di dalam freezer sampai lima tahun, atau diawetkan dalam bentuk padat yaitu dengan mencampur suspensi dengan talk atau/kaolin.
Aplikasi
Aplikasi dilakukan pada senja hari dengan dosis aplikasi dilapangan diperlukan suspensi sediaan dengan konsentrasi 1.2 X 10 pangkat 8 PIBs/ml sebanyak 500 l/h atau setara dengan 1500 ekor ulat instar 4 yang mati terinveksi SlNPV dengan volume semprot 500 l/ha.
Frekwensi aplikasi (penyemprotan) sebaiknya dilakukan per 4 minggu sekali, tetapi untuk serangan yang berulang sebaiknya dilakukan 1-2 minggu sekali, dengan penyermprotan dilakukan pada pernukaan bawah daun.
Dan ulat yang mati dilahan akibat aplikasi (penyemprotan) ini juga bisa menularkan SlNPV kepada ulat yang lain, bisa juga ulat yang mati ini diambil dan dilumat dan dicampur dengan air dan disemprotkan lagi. diusahakan ulat yang kita ambil adalah ulat instar 4, karena instar yang paling kuat dan merusak adalah instar ke 3 dan 4 dan diharapkan dengan instar ke 4 mati berarti mampu membunuh instar di bawahnya karena instar 1-3 merupakan instar yang rentan terhadap SlNPV.
Ciri ulat grayak pada masing-masing instar yaitu instar
Instar pertama tubuh larva berwarna hijau kuning agak transparan, panjang 2,00 sampai 2,74 mm dan tubuh berbulu-bulu halus, kepala berwarna hitam dengan lebar 0,2-0,3 mm.
Instar kedua, tubuh berwarna hijau dengan panjang 3,75-10,00 mm, bulu-bulunya tidak terlihat lagi dan pada ruas abdomen (perut) pertama terdapat garis hitam meningkat pada bagian dorsal (punggung) terdapat garis putih memanjang dari toraks (dada) hingga ujung abdomen, pada toraks terdapat empat buah titik yang berbaris dua-dua.
Instar ketiga memiliki panjang tubuh 8,0 – 15,0 mm dengan lebar kepala 0,5 – 0,6 mm. Pada bagian kiri dan kanan abdomen (perut) terdapat garis zig-zag berwarna putih dan bulatan hitam sepanjang tubuh.
Instar keempat , kelima dan keenam agak sulit dibedakan. Untuk panjang tubuh instar ke empat 13-20 mm, instar kelima 25-35 mm dan instar ke enam 35-50 mm. Mulai instar keempat warna bervariasi yaitu hitam, hijau, keputihan, hijau kekuningan atau hijau keunguan. Namun biasanya untuk instar kelima dan keenam (terutama yang ke enam)biasanya ulat cenderung pendiam dan tidak banyak gerak bahkan tidak berpindah tempat. (Ardiansyah, 2007)
Dalam pengaplikasian agens hayati ini sebaiknya dilakukan pada pagi hari atau pada sore hari, ini dianjurkan karena agens hayati ini adalah mahluk hidup yang lemah dan
kemugkinan akan mati bila terkena sinar matahari langsung sebelum beradaptasi secara baik dengan inangnya.
Dan diharapkan apabila agens hayati ini bisa terus berkembang saat pengaplikasian dilahan maka agens hayati tersebut bisa menjaga tanaman yang kita budidayakan dengan menciptakan suasana yang kondusif untuk agens hayati tersebut dan menghilangkan/meminimalisir faktor yang bisa meracuni kehidupan agens tersebut semisal pengaplikasian pestisida.
Ditulis dalam Hama, Penyakit Tanaman | Bertanda Agens Hayati, Beauveria bassiana, Gliocladium spp., metarhizium anisopliae, Nuclear polyhidrosis Virus, SlNPV, spodotera litura, Trichoderma spp., Trichogrammatoidea bactrae-bactrae | 34 Komentar
« Pengaruh Nitrogen Dan Giberelin Pada Dua Sistim Pembudidayaan Tanaman Induk Krisan Induksi Mutasi Dengan Menggunakan Sinar Gamma Pada Varietas–Varietas Krisan »
Pemanfaatan Agen Hayati untuk Pengendalian Nematoda Bengkak Akar pada Tanaman Krisan
January 22, 2009 by wuryan
Nematoda Bengkak Akar (Meloidogyne spp.) merupakan kendala produksi dalam budidaya krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev). Pengendalian yang dilakukan selama ini ialah dengan menggunakan bahan kimia sintetik yang berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu perlu upaya alternatif pengendalian yang ramah lingkungan, murah dan mudah diaplikasikan. Di dalam penelitian ini cendawan Paecilomyces lilacinus digunakan sebagai agen pengendali hayati Meloidogyne spp. yang diaplikasikan dalam berbagai formula. Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan rumah kaca Balai Penelitian Tanaman Hias Segunung pada bulan Januari s/d Desember 2001. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan formulasi agen hayati yang efektif dan mudah diaplikasikan di lapangan. Formulasi agen hayati terdiri dari tiga macam yaitu pelet, kompos dan suspensi. Pengujian efikasi formulasi dilakukan pada pot-pot plastik yang diisi dengan 1 liter media tanah steril. Tiap formula agen hayati sesuai dengan dosis perlakuan yang
telah ditentukan diinfestasikan ke dalam tanah. Media tanah di dalam pot yang telah diberi formula agen hayati segera diinfestasi dengan 1000 ekor L-2 Meloidogyne spp. tiap pot, kemudian diinkubasikan pada suhu kamar. Setelah diinkubasikan selama 7 hari, kemudian pot-pot tersebut ditanami dengan bibit krisan. Perlakuan terdiri dari satu jenis agen hayati cendawan P. lilacinus, dalam tiga macam formula yaitu: pelet, kompos dan suspensi dengan 3 level dosis masing-masing formulasi pelet dan kompos 3, 6 dan 9 gram per pot serta dosis suspensi 3, 6 dan 9 ml/pot. Percobaan dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap dengan 3 ulangan. Penilaian aktivitas antagonistik agen hayati terhadap nematoda bengkak akar (Meloidogyne spp.) didasarkan pada jumlah bengkak akar yang terbentuk dalam tiap 10 gram akar segar setelah tanaman berumur 40 hari. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perlakuan formulasi kompos dengan dosis 9 gram/pot dan formulasi suspensi dengan dosis 9 ml/pot efektif menekan serangan bengkak akar pada tanaman krisan.
Kata kunci: Dendranthema grandiflora Tzvelev, Agen hayati, Formulasi, Meloidogyne spp., Paecilomyces lilacinus
ABSTRACT. Purbadi and Budi Marwoto.2004. The use of biological agent to control root knot nematodes (Meloidogyne spp.) on Chrysanthemums. Root knot nematode (Meloydogyne spp.) is one of production constraint in chrysanthemums cultivation. So far some efforts have been made to control the nematode by using synthetic chemicals which is potentially cause environmental damage. Therefore, other control measures which are more effective have to be determined. In this study P. lilacinus fungi was used as biological control of Meloidogyne spp which was applied in three formulae. The experiment was conducted in laboratory and green house of Segunung Research Institute of Ornamental Plant from January until to December 2001. The aim of the research are to obtain effective formulation and easy to applied in the field. The biological agent consist of three kind of formulations e.i. pellet, compost and suspension. Efficacy evaluation of the formulae were conducted in the plastic pots filled with one liter sterilized soil media. Every formula with certain dosage to be infested to the soil media. The soil media in the pot which have been infested with biological agent formulae were immediately infested with 1000 populations of second stage larvae of Meloidogyne spp. each pot and than incubated in the room temperature. After seven days incubation, Chrysanthemum seedling were planted in the pot. The experiment was conducted in a Completely Randomized Design (CRD) with three replications. P. lilacinus as biological agent applied in the three kind of formulations and three level of dosages. Evaluation of the antagonistic activities between the biological agent and Meloidogyne spp. based on the number of galls formation in every 10 gram of fresh root. The
number of galls were evaluated on 40 days after planting. The result showed that compost and suspension formulae with 9 gram/pot and 9 ml/pot were effective to reduce root knot nematode attack in chrysanthemum.
Keywords: Dendranthema grandiflora Tzvelev, Biological agent, Formulation, Meloidogyne spp., Paecilomyces lilacinus.
Peranan komoditas tanaman hias dalam pembangunan perekonomian
nasional makin meningkat sejak lima tahun terakhir. Dalam masa krisis ekonomi dan
moneter usaha tani tanaman hias mampu bertahan, bahkan mampu menunjukan
pertumbuhan yang positif (Nainggolan, 1995).
Di dalam usaha tani tanaman hias masih dijumpai berbagai
masalah. Salah satu masalah yang penting ialah serangan nematoda
bengkak akar (Meloidogyne spp.) (Hasim dan Reza, 1995). Menurut
Sasser dan Freeckman (1987) serangan Meloidogyne spp. dapat
menurunkan potensi hasil berbagai jenis tanaman hias sekitar 11%.
Penurunan potensi hasil terjadi akibat deformasi dan reduksi sistem
perakaran tanaman yang di induksi oleh Meloidogyne spp. selama
proses parasitisme (Dropkin, 1980). Pengamatan aspek-aspek fisiologi
pada tanaman sakit menunjukan bahwa serangan Meloidogyne spp.
mengakibatkan perubahan status fisiologi tanaman, antara lain
gangguan translokasi hara dan air dari akar ke tajuk, perubahan
keseimbangan dan sistem regulasi hormonal, stimulasi produksi enzim,
akumulasi senyawa sekunder, dan peningkatan aktivitas respirasi
(Gommers dan Dropkin, 1977). Kerugian akibat serangan Meloidogyne
spp. dapat berlipat ganda oleh pengaruh fenomena sinergisme dengan
fungi dan bakteri. Dalam beberapa kasus diketahui bahwa
Meloidogyne spp. dapat berperan sebagai faktor predisposisi yang
mengawali terjadinya infeksi Fusarium oxysporum dan Pseudomonas
solanacearum pada tanaman tomat (Bergeson et al., 1970). Oleh
karena itu kehadiran Meloidogyne spp. di lahan sentra produksi
tanaman hias perlu diwaspadai.
Sejauh ini petani dan pengusaha tanaman hias menggunakan
nematisida untuk mengendalikan Meloidogyne spp. Nematisida
umumnya digunakan sebagai soil sterilant (fumigan) yang
diaplikasikan sebelum tanam maupun pelindung tanaman (senyawa
kontak dan sistemik) yang diberikan saat tanam (Evan, 1973). Ada
kecenderungan bahwa penggunaan nematisida makin intensif sejalan
dengan makin kompleknya masalah Meloidogyne spp. Hal ini sangat
mengkhawatirkan sebab penggunaan nematisida secara terus
menerus dan intensif berdampak negatif bagi keseimbangan
lingkungan dan peningkatan biaya produksi. Disamping itu pemberian
nematisida akan merangsang pemunculan ras-ras baru yang resisten.
Dengan demikian perlu upaya alternatif pengendalian ramah
lingkungan, mudah diaplikasikan dan diperoleh dari sumber daya lokal.
Pengendalian Meliodogyne spp. secara hayati telah banyak
dilakukan oleh para ahli nematologi yang perduli terhadap kelestarian
lingkungan. Dari berbagai penelitian diketahui bahwa beberapa agen
hayati dapat mengendalikan populasi nematoda hingga di bawah
ambang kendali. Mankau dan Prasad (1977) melaporkan bahwa
Bacillus penetrans efektif menekan populasi Meloidogyne spp. hingga
di bawah 50%. Spora B. penetrans menempel pada kutikula larva,
betina, dewasa dan telur Meloidogyne spp. dan memparasit hingga
nematoda tersebut mati. Pada satu larva ditemukan lebih dari 250
spora. Dalam kondisi yang optimal, laju multiplikasi B. penetrans
mencapai ribuan kali lipat, sehingga kurang dari 48 jam mampu
membunuh larva Meloidogyne spp. Mikroorganisme lain yang efektif
sebagai musuh alami Meloidogyne spp. yaitu Dactilella sp., Dactylaria
sp., Artrobotrys sp., dan Botrytis sp. Semua spesies tersebut mampu
membentuk hifa perangkap yang dapat menangkap larva nematoda
setiap saat di daerah rhizosfer. Akhir-akhir ini banyak penelitian
ditujukan pada fungi oportunistik untuk mengendalikan nematoda.
Fungi tersebut antara lain Fusarium, Verticillium, Aspergillus,
Penicillium dan Paecilomyces, yang mudah ditemukan di dalam tanah
dengan kandungan bahan organik yang cukup tinggi. Sejauh ini
keefektifan fungi oportunistik dalam mengendalikan nematoda telah
banyak di laporkan. Mekanisme pengendalian diduga akibat pengaruh
toksin yang dihasilkan fungi yang berpengaruh negatif terhadap
kehidupan nematoda parasit. Namun peneliti lain membuktikan bahwa
fungi oportunistik dapat mengkolonisasi nematoda betina sebelum
nematoda tersebut bertelur (Sayre, 1971).
Indonesia yang terletak di daerah tropik diketahui memiliki
kekayaan mikroflora yang melimpah. Diantara mikroflora yang tumbuh
di alam indonesia ada yang potensial sebagai agen hayati untuk
mengendalikan Meloidogyne spp. pemanfaatan agen hayati dalam
industri florikultura perlu dikembangkan untuk memecahkan masalah
nematoda, sekaligus mengurangi ketergantungan penggunaan bahan
kimia yang berarti akan mengurangi biaya produksi, menghindari
pencemaran lingkungan dan menjamin kelangsungan sistem produksi
florikultura yang sesuai dengan tuntutan masyarakat global.
Secara alami mikroflora berperan secara aktif dalam dinamika
populasi nematoda parasit. Hal ini terjadi pada ekosistem yang
seimbang. Di dalam ekosistem pertanian, dimana manusia sering
melakukan perubahan lingkungan, peran musuh alami menjadi
terabaikan. Untuk meningkatkan peran musuh alami dalam
pengendalian populasi nematoda parasit, maka dibutuhkan upaya
inundasi isolat-isolat yang terbukti efektif ke dalam ekosistem
pertanian. Dalam beberapa kasus teknik inundassi musuh alami
tersebut mampu secara signifikan menekan populasi nematoda
bengkak akar. Namun hal tersebut perlu didukung oleh stabilitas
lingkungan yang optimal melalui proses amiliorasi bahan organik.
Beberapa jenis mikroflora yang tumbuh di alam Indonesia dan
potensial sebagai agen pengendali Meloidogyne spp. dapat
dikelompokan berdasarkan jenisnya, yaitu: (1) kelompok fungi,
misalnya Dactylaria, Dactylella, Arthrobotrys, Botrytis (pembentuk hifa
jerat), Paecillomyces, Aspergillus, Penicillium dan Fusarium (fungi
oportunistik) dan (2) kelompok bakteri, misalnya Pasteuria penetrans
(bersifat obligat). Setiap kelompok mikroflora tersebut hidup bebas di
dalam tanah dan dapat diisolasi masing-masing dengan menggunakan
teknik spesifik. Hasil penelitian menunjukan bahwa P. lilacinus yang
diisolasi dari tanah ternyata mampu mengendalikan populasi
nematoda bengkak akar pada tanaman kentang hingga mencapai 30%
(Jatala, 1985). Demikian pula P. penetrans sangat efektif menekan
populasi Meloidogyne spp. sekitar 57% dalam pengujian skala in vitro
maupun semi lapangan (Mustika dan Marwoto, 1997). Hasil penelitian
yang di lakukan oleh Adnan et al. (1993) menunjukan bahwa dari 16
isolat fungi penghuni tanah yang diinfestasikan ke dalam tanah, 12
isolat diantaranya dapat menekan tingkat serangan Meloidogyne spp.
pada tanaman tomat.
Untuk dapat diaplikasikan di lapangan, maka agen hayati perlu diformulasikan.
Formulasi yang ideal selayaknya memenuhi persyaratan sebagai berikut: mudah
larut dalam air, ringan, tidak mengurangi patogenisitas hayati, mudah diaplikasikan
dan mampu mempertahankan viabilitas agen hayati. Sehubungan dengan hal
tersebut, penelitian tentang formulasi agen hayati perlu dilakukan.
Di dalam penelitian ini agen hayati P. lilacinus telah
diformulasikan dan diuji keefektifannya.
Diharapkan dalam penelitian ini diperoleh satu formulasi P.
lilacinus yang efektif untuk mengendalian nematoda bengkak akar
pada tanaman krisan.
BAHAN DAN METODE
penelitian dilakukan di laboratorium nematologi, laboratorium
mikologi dan rumah kaca Balai Penelitian Tanaman Hias Segunung
pada bulan Januari s/d Desember 2001.
Persiapan percobaan:
Persiapan formulasi agen hayati. Di dalam penelitian ini
digunakan formula sebagai berikut (1) pelet, (2) kompos, (3) suspensi.
Adapun komponen bahan pelet adalah dedak dan tepung terigu,
sedangkan komponen bahan kompos adalah cacahan limbah tanaman
yang berasal dari humus bambu. Komponen bahan suspensi adalah air
steril. Konsentransi agen hayati dalam tiap komponen bahan adalah
107/ml formulasi suspensi dan 107/gram formulasi pelet dan kompos.
Persiapan inokulum nematoda. Massa telur Meloidogyne spp.
dikumpulkan dari perakaran tomat yang terserang nematoda bengkak
akar. Selanjutnya telur-telur tersebut diinkubasikan pada corong
Bearmenn yang dimodifikasi selama 2 hari. Larva instar kedua (L-2)
yang telah keluar dari telur digunakan sebagai inokulum untuk
menginfestasi tanah/media tumbuh dalam penelitian ini.
Pembuatan Formulasi. (1) Formulasi pelet. Tepung tapioka dan
tepung terigu dicampur, kemudian dilarutkan dalam air. Larutan
tersebut kemudian dipanaskan sambil diaduk hingga merata.
Pemanasan dihentikan sebelum larutan tersebut mendidih, yaitu ketika
larutan telah mengental. Selanjutnya ditambahkan dedak dan diaduk
hingga merata. Setelah bahan formulasi dingin, inokulum agen hayati
ditambahkan hingga merata. Setelah bahan formula dingin maka
dilakukan pencetakan dengan menggunakan penggilingan daging.
Akhirnya dilakukan pengeringan dengan sinar matahari tidak langsung.
Bahan formulasi selanjutnya disimpan ke dalam wadah yang diberi zat
higroskopis. (2). Formulasi kompos. Kompos dibuat dari humus bambu
yang telah masak. Selanjutnya ke dalam humus bambu tersebut
ditambahkan arang sekam dan biakan cendawan dalam media tepung
dedak. Setelah itu dikemas dalam kantong plastik. (3). Formulasi
suspensi. Biakan cendawan dilarutkan ke dalam 1 liter air destilata
hinga diperoleh konsentrasi yang diinginkan. Kemudian ke dalam
suspensi ditambahkan larutan fisiologis untuk mempertahankan
viabilitas cendawan. PH larutan selanjutnya diperiksa hingga mencapai
nilai 7. Untuk mencapai nilai pH 7 maka dilakukan penambahan bufer
fosfat.
Pelaksanaan Percobaan
Percobaan dilakukan pada pot-pot plastik yang diisi dengan 1 liter
media tanah steril. Tiap formula agen hayati sesuai dengan perlakuan
yang telah ditentukan diinfestasikan ke dalam tanah. Media tanah di
dalam pot yang telah diinfestasi dengan formula agen hayati segera
diinfestasi dengan 1000 ekor L-2 Meloidogyne spp. tiap pot, kemudian
diinkubasikan pada suhu kamar dan kelembabannya dipertahankan
dengan cara penyiraman. Setelah diinkubasi selama 7 hari,
kemudian pot-pot tersebut ditanami dengan bibit krisan yang berumur
2 minggu. Perlakuan terdiri dari satu jenis agen hayati yaitu cendawan
P. lilacinus, dalam tiga macam formulasi yaitu pelet, kompos dan
suspensi dan dengan tiga level dosis masing-masing formulasi pelet
dan kompos 3, 6, dan 9 gram per pot serta dosis suspensi 3, 6 dan 9
ml per pot. Tiap perlakuan terdiri dari 10 pot tanaman krisan.
Percobaan dilakukan dengan rancangan acak lengkap (RAL) dengan
tiga ulangan. Penilaian aktivitas antagonistik agen hayati terhadap
nematoda bengkak akar (Meloidogyne spp.) didasarkan pada jumlah
bengkak akar yang terbentuk dalam tiap 10 gram akar segar setelah
tanaman berumur 40 hari.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan pengamatan jumlah bengkak akar yang terbentuk pada tiap
perlakuan diperoleh data seperti tercantum pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Jumlah Bengkak Akar per 10 Gram Akar Segar (Number of root galls per 10 grams of fresh roots)
Perlakuan (Treatment)
Jumlah bengkak akar (Number of
root galls)
Pengaruh Penekanan (Suppression effect)
(%)
Pelet 3 gram/pot
Pelet 6 gram/pot
Pelet 9 gram/pot
Kompos 3 gram/pot
Kompos 6 gram/pot
Kompos 9 gram/pot
Suspensi 3 ml/pot
Suspensi 6 ml/pot
Suspensi 9 ml/pot
Kontrol
131,40 ab
90,73 ab
96,30 ab
127,07 ab
85,87 ab
74,97 a
84,00 ab
94,73 ab
59,40 a
162,30 b
19,04
44,10
40,70
21,70
47,10
53,80
48,24
41,84
63,40
0,00
Berdasarkan analisis ragam data hasil pengamatan menunjukkan
bahwa secara umum dapat dikatakan semua perlakuan dapat
menekan terbentuknya bengkak akar pada tanaman krisan. Namun
demikian penekanan yang nyata terjadi pada perlakuan formulasi
kompos dengan dosis 9 gram/pot dan formulasi suspensi dengan dosis
9 ml/pot (Tabel 1). Pada kedua perlakuan tersebut pembentukan
bengkak akar memperlihatkan perbedaan yang nyata jika
dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan-perlakuan lainnya walaupun
menunjukkan penekanan terbentuknya bengkak akar, tetapi tingkat
penekanannya tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan kontrol.
Gambar 1. memperlihatkan bahwa pemberian agen hayati P.
lilacinus dalam berbagai dosis dan formulasi dapat menekan
terbentuknya bengkak akar pada tanaman krisan. Pengaruh
penekanan berkisar antara 19, 04% sampai dengan 63,40% dan
pengaruh penekanan terbaik ditunjukkan oleh pemberian formulasi
suspensi dengan dosis 9 ml/pot, kemudian diikuti oleh kompos 9
gram/pot. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Gaspard (1986)
yang menyatakan bahwa P. lilacinus memberikan efek pengendalian
yang baik terhadap Meloidogyne spp. Jatala et al. (1980)
membandingkan kemanjuran P. lilacinus dengan nematisida dan bahan
organik untuk mengendalikan Meloidogyne spp. pada kentang.
Hasilnya menunjukkan bahwa bengkak akar yang terbentuk nyata
lebih rendah dihasilkan pada tanaman yang diinokulasi dengan P.
lilacinus dibandingkan dengan pemberian nematisida Temik 10% G
pada dosis 25 kg/ha, Nemacur 5% G pada dosis 50 kg/ha dan Furadan
5% G pada dosis 50 kg/ha serta pemberian bahan organik pada dosis
10 ton/ha.
Morgan –Jones et al. (1984) mempelajari mekanisme
paratisitisme P. lilacinus terhadap telur dan larva Meloidogyne arnearia
. Hipha cendawan P. lilacinus masuk ke dalam kulit telur melalui
lubang kecil. Cendawan kemudian tumbuh dan menghacurkan khitin
dan lipid dari lapisan kulit serta menghancurkan isi telur. Cara yang
sama terjadi pada larva stadium kedua . Menurut Jatala (1985) telur
Meloidogyne spp. yang terletak di dalam matrik gelatin sangat mudah
diserang oleh P. lilacinus. Cendawan yang menginfeksi massa telur,
tumbuh sangat cepat dan akhirnya memparasit semua telur yang ada
di dalam massa telur tersebut.
Gambar 1: Pengaruh penekanan P. lilacinus terhadap pembentukan bengkak akar (Suppression effect of P. lilacinus to root galls formation)
1/01/2009
Multiplikasi Metarhizium Multiplikasi MetarhiziumPENEMUAN BARU PARA ILMUAN TENTANG JAMUR SEBAGAI BIOPESTISIDA YANG LEBIH BAIK
Proses terbentuknya spora Jamur Metarhizium anisopliae pada a sugarbeet root maggot
Metarhizium anisopliae merupakan salah satu hal yang tidak pernah terfikir oleh anda. Metarhizium lebih suka tumbuh pada media serangga dan hama seperti rayap, belalang, lalat tsetse dan lain-lain daripada tumbuh pada media roti atau tempat-tempat lembab.
Metarhizium “F52” adalah pusat bahan aktif dalam empat kelompok termasuk produk-produk mikoinsektisida yang digunakan untuk mengendalikan softtick dan beberapa jenis kumbang seperti kumbang penggerek.Saat ini, kondisi mikoinsektisida telah lebih baik-ditargetkan pada tanah-sarang hama, terimakasih kepada ilmuan ARS ‘penemu Metarhizium' yang dapat menghasilakan koloni sel jamur khusus yang disebut dengan microsclerotia.Penemuan ini dilakukan oleh Mark A. Jackson, ahli microbiologi dari Agricultural Research Servis (ARS) dan ahli entomologi ARS Stefan Jaronski di tahun 2004 dan selanjutnya dikembangkan dengan metode patent-pending dari gabungan milyaran microsclerotia dalam tong yang disebut “fermentors.”
Ahli Microbiologi Mark Jackson mengevaluasi produksi spora dengan mikrosklerotia air-dried (diinkubasi pada media agar) diproduksi oleh
anisopliae.
Pembuatan Jamur Resisten dan Perbanyakannya
Sebelum penemuan kedua ahli tersebut, hanya penyakit tanaman-penyebab jamur seperti Sclerotinia sclerotiorum yang dikenal dapat menghasilkan mikrosklerotia-bukan serangga-menginfeksi jenis-jenisnya.“Kami menemukan bahwa dengan Metarhizium kita dapat memproduksi skerotial dalam bentuk cairan pada kondisi-kondisi tertentu.”ungkap Jackson, Pusat Nasional ARS bagian Penelitian Manfaat Pertanian di Peoria, Illinois. “Keuntungannya sekarang kita dapat membuat jamur yang mampu bertahan dalam kondisi kering dan penyimpanan sehingga memudahkan petani dalam pengaplikasiannya pada tanah untuk membunuh serangga.”Secara tradisional, bentuk-bentuk yang dapat dipilih untuk membuat mikoinsektisektisida adalah konidia atau spora, berupa pipa-pipa tipis yang menembus cangkang luar kepala atau kulit insekta. Jamur ini hanya menginfeksi bagian kepala serangga tertentu, tidak pernah menyerang manusia, hewan ternak maupun hewan peliharaan.“Kodia Metarhizium bagaikan bom waktu kecil” jelas Jaronski, bagian ARS Northern Plains Agricultural Research Laboratory di Sidney, Montana. “Mereka tidak akan berkecambah hingga bersentuhan dengan kulit serangga. Kemudian dengan menggunakan kombinasi tekanan mekanik dan enzim, Metarhizium menembus kulit dan menyerang sistem peredaran darah serangga. Serangga yang terinfeksi akan mati dalam beberapa hari.”Dalam pendekatan standar produksi, Metarhizium ditumbuhkan pada media bernutrisi disebut “solid substrat.” Jamur-jamur akan memproduksi kodia dalam jumlah melimpah, yang kemudian dikumpulkan, dikeringkan, dan dilapiskan pada butiran-butiran, terbuat dari butiran jagung, butiran pembawa lainnya atau dicampurkan langsung dalam tanah. Akan tetapi penggunaan solid substrat memerlukan cukup banyak waktu dan kinerja yang intensif guna tercapainya tujuan, tambah Jackson.
Mikrosklerotia- ikatan jaringan berpigmen yang menyerupai serpihan-serpihan merica-adalah bentuk jamur yang lebih resisten. Selain itu, mereka menjadi tempat yang aman untuk persiapan produksi konidia Metarhizium yang nantinya dapat menginfeksi serangga dari jarak yang sangat dekat selama berada dalam tanah.Peneliti-peneliti lain juga telah menghasilkan butiran dari air-dried (udara kering), mycelium (bagian utama jamur) atau miselium encapsulated dalam polimer, ungkap Jaronski. Tetapi bentuk ini memiliki ketahanan hidup yang rendah dan harganya terlampau mahal bagi kebanyakan petani.
Lebih Murah dan Cepat
Dalam penelitian Metarhizium F52 di Sidney, butiran konidia berkecambah setelah 7-10 hari sejak pengapilasian dalam tanah. Mikrosklerotia utama berkecambah dalam 4 hari kemudian menghasilkan spora dalam jumlah yang banyak.Jackson mengkelompokkan pembagian tahapan laju peningkatan perkecambahan mikrosklerotia sesuai toleransinya terhadap kelembapan tanah yang lebih rendah. Kemungkinan faktor lain adalah jumlah mikrosklerotia yang dapat dihasilakan dan digunakan pada tanah dengan menggunakan teknik cair yang ia kembangkan bersama Jaronski.Secara umum laju produksi mikrosklerotia mencapai 30 gram berat basah jamur (proses fermentasi berbahan sel jamur) per liter dalam waktu 4 hari. Sistem solid substrat, sebagai pembanding, membutuhkan waktu 2 minggu untuk menghasilkan konidia komersial yang berkualitas, dan membutuhkan lebih banyak waktu lagi untuk mempersipkan butiran-butiran. “Sistem solid substrat telah mendapat tempat dalam produksi beberapa jenis jamur namun sistem ini memerlukan lebih banyak dana,” kata Jackson.Mikrosklerotia juga dapat diformulasikan menjadi butiran-butiran berbentuk lebih sederhana daripada hasil formulasi konidia-utama. Hal ini menjadikan konidia lebih kompatibel bagi petani bibit dan penggunaannya bersama pestisida. Keuntungan lain biopestisida: “Penggunaan mikrosklerotia harus disertai dengan adanya perusahaan yang nantinya memasarkan mikrosinsektisida, dalam bentuk dan ukuran tertentu,” kata Jaronski. Butiran mikrosklerotia juga harus memenuhi syarat bagi pasar pertanian organik, dimana binders digunakan dengan butiran convensional dan membawa butiran yang tidak memnuhi syarat, tambahnya.
Kondisi Lembab Cocok untuk Maggot
Sejak 2004, Jaronski telah bekerjasama dengan ilmuan Universitas North Dakota State di Fargo untuk menganalisa konidia-lapisan jagung-butiran F52 pada spesies yang dapat terbang Tetanops mypaeformis, dimana fase Maggot menjadi hama utama bit gula secara nasional.Hasil analisa tersebut didorong khususnya ketika Metarhizium ditambahkan oat atau rye sebagai bagian dari pendekatan manajemen hama terpadu. (Lihat “Beeting Back the Enemy,” Agricultural Research, September 2006, halaman 16-17.)
Maggot akar bit gula sehat (panjang 1/4 inci), datar dan terkadang berbahaya bagi akar bit gula. Pada tahap ini, pupa terbentuk pada musim penghujan dan muncul pada
musim semi.
“Dibawah tekanan rendah serangga, jamur ini bekerja sebagai terbufos insektisida,” lapor Jaronski. “Pada tekanan tinggi, dapat kita lihat integritas jamur dengan live dover crop. Sejauh ini, keduanya memberikan perlindungan yang signifikan dengan tidak ada kehilangan pada lahan.”Tahun 2006, Jaronski mulai menggabungkan konidia-jagung-butiran dengan mikrosklerotia-berasal dari bentuk cair-dengan metode ARS yang telah dipatenkan pada September 2007.Dari hasil uji laboratorium, sekitar 25 persen akar sugarbeet berhama mengandung spora yang dihasilkan pada butiran jagung pada tanah berlempung mati dalam waktu 3 minggu. Mikrosklerotia-pada tanah terawat, 100 persen mati di minggu pertama. Observasi ini mencerminkan produksi konidia yang lebih cepat dan banyak dengan penggunaan mikrosklerotia dalam tanah. Pada uji lapang 2007, bit pada mikrosklerotia-pada plot terawat juga menunjukkan kondisi yang kurang menguntungkan bagi perkembangan maggot.Hal yang cukup aneh, para peneliti tidak berhasil menggunakan metode cair untuk memperoleh mikrosklerotia pada serangga lain-pembasmian jamur digunakan sebagai control agen hayati-terutama Beauveria bassiana dan Paecilomycetes fumosoroseus. Tetapi masih mampu untuk memproduksi mikrosklerotia pada beberapa tingkatan berbeda jamur Metarhizium.“Ini adalah suatu hal yang aneh tentang mikrosklerotia,”ungkap Jaronski. “Proses produksinya hanya bekerja bersama Metarhizium.” Hal ini tidak menahan pembuat biopestisida utama untuk bertindak, meskipun “Teknik tidak hanya digunakan pada akar sugarbeet berhama tapi juga pada beberapa tanah-sarang hama yang terserang oleh jamur,” kata jaronski. –Oleh Jan Suszkiw, ARS.
Penelitian ini merupakan bagian dari Perlindungan Tanaman dan Karantina (# 304) dan Kualitas dan Pemanfaatan Produk Pertanian (306 #), dua program nasional ARS dijelaskan pada World Wide Web di www.nps.ars.usda.gov.Mark A. Jackson is in the USDA-ARS Crop Bioprotection Research Unit, National Center for Agricultural Utilization Research , 1815 N. University St., Peoria, IL 61604; phone (309) 681-6283, fax (309) 681-6693.Mark A. Jackson termasuk dalam USDA-ARS Unit Penelitian Bioproteksi Tanaman, Pusat Penelitian Pemanfaatan Pertanian Nasioanl, Universitas 1815 N. St, Peoria, IL 61604; telepon (309) 681-6283, fax (309) 681-6693.Stefan Jaronski is in the USDA-ARS Pest Management Research Unit, Northern Plains Agricultural Research Laboratory , PO Box 463, Sidney, MT 59270; phone (406) 433-9486, fax (406) 433-5038. Stefan Jaronski termasuk dalam USDA-ARS Pest Management Unit Riset, Northern Plains Laboratorium Penelitian Pertanian, PO Box 463, Sidney, MT 59270; telepon (406) 433-9486, fax (406) 433-5038. e-mail [email protected]
KESIMPULAN
Saat ini telah ditemukan biopestisida baru dengan menggunakan metarizhium. Jamur Metarhizium lebih suka tumbuh pada media serangga dan hama seperti rayap, belalang, lalat tsetse dan lain-lain daripada tumbuh pada media roti atau tempat-tempat lembab. Dengan adanya penemuan ini kita dapat memudahkan petani dalam pengaplikasiannya pada tanah untuk membunuh serangga karena sifatnya yang mampu bertahan dalam kondisi kering dan penyimpanan.
Metarizhium bagaikan bom waktu kecil dimana tidak akan berkecambah hingga bersentuhan dengan kulit serangga. Kemudian dengan menggunakan kombinasi tekanan mekanik dan enzim, Metarhizium menembus kulit dan menyerang sistem peredaran darah serangga. Serangga yang terinfeksi akan mati hanya dalam waktu beberapa hari.
keterangan
OAT
Oat (Avena sativa) merupakan sejenis spesies biji-bijian, dan biji benih tumbuhan. Oats seringkali dihidangkan sebagai bubur yang dihasilkan daripada oatmeal, dan juga dibakar menjadi biskut (cookies). Dalam
bentuk tepung oat atau oatmeal, ia juga digunakan dalam berbagai biskut (baked goods) dan cereal, dan sebagai bahan dalam muesli dan granola. Oats juga boleh dimakan
mentah. (Anonymous 1.2002)
RYE
Rye adalah sejenis biji-bijian, masih satu keluarga dengan gandum, biasanya ditanam oleh orang-orang di Eropa Timur dan
Tengah. Biji ini biasanya dbuat tepung, whisky, bir, sampai vodka. (Anonymous 2.2008)Rye beasal dari Asia Tenggara sekitar tahun 6500 SM. (Anonymous 3.2005)
TICK
Tick bukanlah serangga seperti kutu, lalat, atau
lice (kutu caplak), namun merupakan arachnida seperti tungau (mites) dan laba-laba. Ada hampir 825 spesies tick diseluruh dunia. Peneliti
mengklasifikasikan tick menjadi 3 keluarga, yaitu: Ixodidae, Nuttalliellidae, dan Argasidae. Tick hidup dengan cara menyedot atau menghisap darah dan hanya darah. Tick menusukkan bagian mulutnya
kedalam kulit hewan atau manusia dan menyedot darahnya hingga tubuh tick menjadi bulat atau membesar bila sudah kenyang. (Mustikasari, Risma. 2008.)
MAGGOT
Maggot adalah nama umum dari larva, tahap pertumbuhan di serangga dari urutan Diptera (flies). (Anonymous 4.2008)
5:06 AM MASPARY
Pada beberapa waktu lalu saya telah memosting tentang manfaat Bacteri Corine (Coryne bacterium) untuk mengendalikan penyakit kresek pada tanaman padi. Kini saya ingin menulis sedikit tentang pengalaman saya memperbanyak bakteri corine tersebut hingga bisa dimanfaatkan petani untuk mengendalikan penyakit kresek tersebut.
Alat dan Bahan:
1. 3 buah toples yang ada tutupnya 2. 2 meter selang akuarium 3. Galon air mineral 4. Air bersih secukupnya 5. Ekstrak kentang 6. Glasswoll 7. PK (obat kulit) 8. Air pump (untuk akuarium) 9. Isolat bakteri korine (Coryne bacterium)
Cara Pembuatan:
1. Pasang alat-alat secara berurutan dan hubungkan dengan selang mulai dari Air pump, toples, toples, galon air mineral dan toples. cara pemasangan selang yang benar adalah selang harus menempel rapat di toples maupun galon. Jangan sampai ada lobang udara. Selang masuk udara harus menyentuh dasar toples sedangkan selang buangan udara hanya sedikit saja masuk kedalam toples. Selang jangan sampai terhimpit dan rapat ataupun tersumbat. Agar sambungan selang dengan
toples rapat gunakan lem bakar yang diteteskan pada sambungan tersebut.
2. Isi toples pertama dengan larutan PK kira-kira 3/4 tinggi toples ( 1 ujung sendok teh PK larutkan dalam satu liter air)
3. Isi toples kedua dengan glasswoll 4. Isi galon air mineral dengan ekstrak kentang dan isolat bakteri korine (Coryne
bacterium) 5. Isi toples terakhir dengan air bersih 6. Tutup rapat toples-toples tersebut hingga tidak tembus udara jika perlu rapatkan
dengan lakban ataupun isolasi. 7. Hubungkan air pump dengan stop kontak 8. Biarkan beberapa saat sampai ujung selang pada toples yang berisi air bersih
keluar gelembungnya. Jika ujung selang tersebut belum bergelembung udara berarti masih ada sambungan yang bocor.
9. Perbaiki lagi sambungan (Instalasi) sampai benar-benar rapat (Kunci utama keberhasilan pembuatan bakteri korine (Coryne bacterium) ini ada pada cara instalasi.
10. Jika sudah benar sambungan biarkan proses pembiakan terjadi selama 20 hari.
NB: untuk mengetahui cara pembuatan ekstrak kentang silakan baca Cara Pembuatan Ekstrak Kentang Untuk Pembiakan bacteri korine ( Coryne bacterium )
JIKA PEMBACA GERBANG PERTANIAN ADA YANG BERMINAT DENGAN CORYNE BACTERIUM (BAKTERI CORINE) YANG SIAP DIAPLIKASIKAN KE TANAMAN PADI KAMI MENYEDIAKAN DALAM BOTOL KEMASAN AIR MINERAL 600 ml DENGAN HARGA Rp10.000 / BOTOL. ANDA MINAT? SILAHKAN HUBUNGI SAYA MELALUI HP 08122630297 (MASPARY)
5:11 AM MASPARY
Setelah kita membaca cara pembiakan/ memperbanyak bakteri corine (Coryne bacterium) tentunya kita harus membuat ekstrak kentang sebagai media utama pembiakan tersebut. Ini adalah cara pembuatan ekstrak kentang untuk pembiakan bakteri corine (Coryne bacterium) :
Alat dan Bahan:
1. Air bersih 20 liter 2. Kentang 6 KG 3. Gula pasir 0,5 KG 4. Kompor 5. Panci besar 6. Pisau
Cara Pembuatan:
1. Kupas kentang 2. Cuci sampai bersih 3. Potong-potong sampai ukuran kira-kira 1 cm3 4. Rebus sampai kentang benar-benar lunak 5. Ambil kentang yang berada dalam panci 6. Biarkan dingin, setelah dingin campurkan dan larutkan gula pasir 0,5 kg kedalam
ekstrak kentang tadi. 7. Ekstrak kentang untuk pembiakan bakteri corine (Coryne bacterium) telah jadi
namun sebaiknya saring dahulu sebelum digunakan.
-by maspary-
Beberapa waktu lalu kita telah berbicara tentang cara memperbanyak bakteri corine dimana salah satu fungsi bakteri corine ini adalah untuk mengendalikan penyakit kresek pada tanaman padi kita. Untuk menjawab beberapa pertanyaan tentang aplikasi bakteri corine ini maka saya ingin sedikit menjelaskan cara penggunaan bakteri corine ini.
Sebenarnya cara aplikasi bakteri corine tidak jauh berbeda dengan aplikasi pestisida pada umumnya yaitu dengan cara disemprotkan menggunakan tangki sprayer, hanya ada beberapa perbedaan yang perlu dipahami. Adapun hal-hal yang perlu dipahami dalam pengaplikasian bakteri corine tersebut adalah:
1. Coryne bacterium hanya bersifat mencegah bukan mengobati tanaman padi yang telah terserang hama kresek. Oleh karena itu aplikasikan Coryne bacterium selagi tanaman padi anda belum terserang.
2. Konsentari penggunaan sebenarnya belum ada penelitian yang tepat dan efisien namun berdasarkan pengalaman petani konsentrasi yang umum digunakan adalah 100-200 ml/ tangki semprot 14-17 liter (0,5-1 gelas aqua/ tangki semprot)
3. Jangan dicampur dengan pestisida kimia. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga agar bakteri corine yang kita semprotkan tidak mati. Bagaimanapun juga bakteri corine adalah mahluk hidup jadi akan mati jika dicampur pestisida kimia
4. Aplikasikan pada pagi hari sebelum jam 9. Ketika masih pagi matahari belum terik sehingga panasnya tidak membunuh bakteri corine. Bisa juga disemprotkan pada sore hari setelah jam 4. Tapi perlu diingat jangan mengaplikasikan bakteri corine ketika hari akan hujan
5. Semprotkan secara merata pada seluruh bagian tanaman padi. Bagian tanaman padi baik itu, malai, daun maupun pelepah bisa saja sebagai sumber infeksi bakteri Xanthomonas penyebab penyakit kresek sehingga perlu sisemprot menggunakan larutan bakteri corine.
6. Lakukan aplikasi penyemprotan ketika tanaman padi berumur sekitar 15 hst dan ulangi lagi saat tanaman berumur 30 hst, 45 hst dan 60 hst.
KAMI MENYEDIAKAN CORYNE BACTERIUM YANG SIAP DIGUNAKAN UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT KRESEK/ BLB PADA TANAMAN PADI ANDA. HARGA CUMA Rp 10.000/ 600ML.HUB: MASPARY HP:08122630297
Trimakasih telah bersedia membaca artikel ini, dan semoga bermanfaat bagi kita semua. Pertanyaan, Kritik dan saran silahkan isikan pada kolom komentar dibawah ini. Semoga pertanian kita semakin maju dan petani semakin sejahtera. salam pertanian!!