38
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kandungan Metabolit Sekunder Daun Rhizophora mucronata Lamk.
Kandungan metabolit sekunder pada daun Rhizophora mucronata Lamk.
diidentifikasi melalui uji fitokimia. Uji fitokimia yang dilakukan meliputi uji
alkaloid, flavonoid, triterpenoid dan steroid, saponin dan tanin. Berikut data hasill
uji fitokimia yang diperoleh (Tabel 2):
Tabel 2. Hasil Uji Fitokimia Sampel Daun Rhizophora mucronata Lamk.
Uji Fitokimia Sampel Daun Rhizophora mucronata Lamk.
Alkaloid
P. Meyer ++
P. Wagner ++
Flavonoid
HCL Pekat +
H2SO4 2 N +
NaOH 10% ++
Steroid ++
Triterpenoid -
Saponin ++
Tanin ++
Keterangan tabel :
- : negatif
+ : positif lemah, warna/busa/endapan terlihat samar
++ : positif kuat, warna/busa/endapan terlihat jelas
4.1.1 Uji Alkaloid
Hasil positif uji alkaloid sampel daun Rhizophora mucronata Lamk.
dengan menggunakan pereaksi meyer dan pereaksi wagner ditunjukkan dengan
adanya endapan putih kekuningan pada Gambar 13 (a) pereaksi meyer dan
39
endapan coklat merah namun samar pada pereaksi wagner (b). Dari sampel yang
diuji menggunakan dua pereaksi tersebut memperlihatkan bahwa sampel daun
Rhizophora mucronata Lamk. positif mengandung alkaloid.
a. Hasil Positif Pereaksi Meyer b. Hasil Positif Pereaksi Wagner
Gambar 13. Hasil Positif Uji Senyawa Alkaloid
4.1.2 Uji Flavonoid
Hasil uji flavonoid ditunjukkan dengan menggunakan tiga jenis pereaksi.
Pereaksi pertama yang digunakan adalah asam klorida (HCl), sampel daun
Rhizophora mucronata Lamk. menunjukkan perubahan warna menjadi
orange/jingga samar setelah ditambahkan pereaksi sehingga dikatakan positif
lemah mengandung senyawa flavonoid (Gambar 14).
Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji
Gambar 14. Hasil Positif Lemah Senyawa Flavonoid dengan Pereaksi HCl
Pereaksi yang kedua adalah menggunakan asam sulfat (H2SO4). Pada uji
ini sampel daun Rhizophora mucronata Lamk. menunjukkan perubahan warna
40
menjadi kuning merah/coklat, maka sampel dikatakan positif mengandung
senyawa flavonoid (Gambar 15).
Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji
Gambar 15. Hasil Positif Uji Senyawa Flavonoid dengan Pereaksi H2SO4
Pereaksi terakhir menggunakan Natrium Hidroksida (NaOH) 10%. Pada
uji ini sampel daun Rhizophora mucronata Lamk. menunjukkan perubahan warna
menjadi kuning merah/coklat sehingga dikatakan bahwa sampel positif
mengandung senyawa flavonoid. Berikut hasil uji senyawa flavonoid dengan
menggunakan pereaksi NaOH 10% (Gambar 16) dan ketiga hasil uji flavonoid
(Gambar 17):
Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji
Gambar 16. Hasil Positif Uji Senyawa Flavonoid dengan
Pereaksi NaOH 10%
41
Gambar 17. Hasil Uji Senyawa Flavonoid dari Tiga Pereaksi
Robinson (1991) dalam Naiborhu (2002) mengatakan bahwa salah satu
fungsi flavonoid dari tumbuhan adalah sebagai kerja antimikroba dan antivirus.
Senyawa flavonoid dapat merusak membran sitoplasma yang dapat menyebabkan
bocornya metabolit penting dan menginaktifkan sistem enzim bakteri. Kerusakan
ini memungkinkan nukleotida dan asam amino merembes keluar dan mencegah
masuknya bahan-bahan aktif ke dalam sel, keadaan ini dapat menyebabkan
kematian bakteri (Volk dan Wheeler 1988 dalam Prajitno 2008).
4.1.3 Uji Triterpenoid dan Steroid
Hasil uji triterpenoid dan steroid ditunjukkan dengan timbulnya warna
merah jika positif triterpenoid dan timbul warna biru atau ungu jika positif steroid.
Pada hasil uji menggunakan sampel daun Rhizophora mucronata Lamk. dapat
dilihat bahwa sampel positif mengandung senyawa steroid (Gambar 18):
Gambar 18. Hasil Positif Uji Senyawa Steroid
42
Steroid merupakan salah satu golongan senyawa non polar. Senyawa
steroid ini memiliki aktivitas antibakteri. Steroid yang diperoleh dari organisme
telah terbukti penggunaannya untuk pengobatan yang bervariasi, diantaranya
sebagai antibiotik (Kristanti dkk, 2008 dalam Tania 2011).
4.1.4 Uji Saponin
Hasil positif dari uji saponin pada sampel daun Rhizophora mucronata
Lamk. ditunjukkan dengan terbentuknya busa yang stabil tidak kurang dari 10
menit setinggi 3 cm dan tidak hilang pada penambahan satu tetes HCL 2 N
(Gambar 19).
Gambar 19. Hasil Positif Uji Senyawa Saponin
Saponin merupakan salah satu golongan senyawa yang rumit dan terdapat
pada berbagai jenis organisme, bersifat larut dalam air, larut dalam etil asetat dan
butanol serta digolongkan dalam senyawa polar. Selain memiliki aktivitas
antibakteri dan antijamur, saponin juga memiliki sifat yaitu aktivitas yang
berhubungan dengan kanker seperti sitotoksik, antitumor, antimutagen dan yang
menyangkut aktivitas antialergenik, antivirus, antidiabetes dan antifungi (Lacaille-
Dubois dan Wagner 1996 dalam Tania 2011).
4.1.5 Uji Tanin
Hasil positif untuk uji tanin ditunjukkan dengan perubahan warna menjadi
hijau kehitaman. Sampel daun Rhizophora mucronata Lamk. yang diujikan positif
mengandung tanin. Berikut hasil uji fitokimia dari senyawa tanin (Gambar 20):
43
Gambar 20. Hasil Positif Uji Senyawa Tanin
Kemampuan tanin dalam menghambat pertumbuhan bakteri menurut
(Masduki 1996 dalam Fatiqin 2009) yaitu dengan cara mempresipitasi protein,
karena diduga tanin juga mempunyai efek yang sama dengan senyawa fenolik.
Efek antibiotik tanin antara lain melalui reaksi dengan membran sel, inaktivasi
enzim dan inaktivasi fungsi materi genetik.
4.2. Isolasi Metabolit Sekunder
Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan komponen yang diinginkan
dari suatu bahan dengan cara pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu
bahan yang merupakan komponennya. Ekstraksi dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu lama ekstraksi, suhu dan jenis pelarut yang digunakan (Achmadi
1992 dalam Yulian 2011).
Proses ekstraksi dengan menggunakan metode maserasi bertingkat
berdasarkan tingkat kepolarannya dilakukan dengan menggunakan tiga jenis
pelarut yang mewakili. Hal ini didasarkan pada tingkat kepolaran dari masing-
masing pelarut, yaitu n-heksan dengan titik didih 69°C sebagai pelarut nonpolar,
etil asetat dengan titik didih 77°C sebagai pelarut semipolar dan butanol dengan
titik didih 118°C sebagai pelarut polar. Maksud dari penggunaan berbagai pelarut
ini adalah untuk memisahkan jenis bahan aktif yang mungkin dimiliki oleh daun
Rhizopora mucronata Lamk. sesuai dengan kepolarannya.
Ekstraksi daun Rhizophora mucronata Lamk. dilakukan dengan metode
maserasi berdasarkan tingkat kepolaran pelarut. Perbandingan berat sampel
dengan pelarut pada saat maserasi adalah 1 : 4 (500 g : 2000 ml). Maserasi
44
dilakukan dengan menggunakan pelarut non polar terlebih dahulu, yaitu pelarut n-
heksan selama 1 x 24 jam dengan pengulangan sebanyak tiga kali.
Pengulangan maserasi ini dilakukan untuk mengikat sisa senyawa
metabolit sekunder yang mungkin masih tertinggal pada serbuk sampel yang
direndam. Semakin lama waktu maserasi yang digunakan, maka akan semakin
banyak jumlah senyawa yang terekstraksi. Filtrat dari rendaman n-heksan
kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring dan kemudian diuapkan
menggunakan rotary evaporator pada suhu 40°C, sehingga didapatkan ekstrak
kasar (pasta) berwarna hijau pekat.
Setelah tiga kali pengulangan maserasi n-heksan kemudian dilanjutkan
dengan maserasi menggunakan pelarut semi polar yaitu etil asetat. Dilakukan
prosedur dan suhu yang sama pada saat evaporasi hingga didapat ekstrak pekat.
Begitu juga dengan pelarut polarnya yaitu butanol, dilakukan tiga kali
pengulangan maserasi hingga didapat ekstrak pekat hasil evaporasi. Ekstrak pekat
dari ketiga hasil maserasi berdasarkan tingkat kepolaran tersebut kemudian
disimpan di lemari pendingin untuk digunakan pada analisis selanjutnya. Ekstrak
daun Rhizopora mucronata Lamk. hasil evaporasi dapat dilihat di bawah ini
(Gambar 21):
Gambar 21. Hasil Ekstrak daun Rhizophora mucronata Lamk. Berdasarkan
Kepolarannya dari Kiri ke Kanan (Ekstrak n-heksan, etil asetat, dan
butanol)
Menurut Harborne (1987), beberapa senyawa fenol terutama flavonoid
akan mengalami kerusakan pada suhu tinggi karena senyawa tersebut tidak tahan
45
panas dan mudah teroksidasi. Berikut data yang diperoleh dari ekstrak daun
Rhizophora mucronata Lamk. dengan metode maserasi bertingkat (Tabel 3):
Tabel 3. Data Hasil Ekstraksi daun Rhizopora mucronata Lamk.
BK
(gram)
VP
(ml) Sampel
Suhu
Evaporasi
VF
(ml)
BE
(gram)
R
(%)
Warna
dan
Bentuk
Ekstrak
500 2000
Ekstrak
n-heksan 40°C 5143 14,7502 2,95
Hijau Pekat
Pasta
Ekstrak
Etil Asetat 40°C 5377 43,0281 8,61
Hijau Pekat
Pasta
Ekstrak
Butanol 40°C 4000 13,7616 2,75
Hijau Pekat
Pasta
Keterangan:
*BK = Berat Kering, VP = Volume Pelarut, VF = Volume Filtrat, BE = Berat
Ekstrak, R= Rendemen
* Setiap ekstrak masing-masing dilakukan 3 kali pengulangan maserasi
Rendemen tertinggi terdapat pada ekstrak etil asetat yaitu sebesar 8,61%
(Lampiran 4). Sesuai dengan penelitian Suciati et. al., (2012), bahwa senyawa etil
asetat merupakan pelarut semi polar sehinga dimungkinkan banyaknya zat aktif
daun Rhizophora mucronata yang bisa terlarut di dalamnya yang menyebabkan
tingginya nilai rendemen yang dihasilkan.
Harborne (1987) dalam Suciati et. al., (2012), mengatakan bahwa senyawa
etil asetat mampu mengekstrak senyawa fenol dan terpenoid, dan senyawa non
polar n-heksan dapat mengekstrak golongan triterpenoid/steroid. Bahan yang
mampu larut dalam etil asetat juga berupa senyawa flavonoid. Sedangkan
senyawa polar (butanol) mampu mengekstrak fenolik dan tanin.
46
4.3. Kandungan Metabolit Sekunder Hasil Ekstraksi
Ekstrak daun Rhizophora mucronata Lamk. hasil ekstraksi diuji
kandungan metabolit sekundernya sesuai dengan kepolarannya. Berikut hasil uji
kandungan metabolit sekunder (Tabel 4).
Tabel 4. Uji Fitokimia Hasil Ekstraksi Daun Rhizophora mucronata Lamk.
Ekstrak Uji Fitokimia Hasil
n-heksan Steroid +
Flavonoid
HCL Pekat -
Etil Asetat H2SO4 2 N -
NaOH 10% +
Butanol Flavonoid
HCL Pekat -
H2SO4 2 N -
NaOH 10% -
Fenolik +
Tanin +
a. Ekstrak n-heksan
Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji
Gambar 22. Hasil Positif Steroid Ekstrak n-heksan
47
b. Ekstrak Etil Asetat
Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji
Gambar 23. Hasil Negatif Flavonoid Ekstrak Etil Asetat
Reagen HCl pekat + Mg
Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji
Gambar 24. Hasil Negatif Flavonoid Ekstrak Etil Asetat
Reagen H2SO4 2N
Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji
Gambar 25. Hasil Positif Flavonoid Ekstrak Etil Asetat
Reagen NaOH 10%
c. Ekstrak Butanol
Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji
Gambar 26. Hasil Negatif Flavonoid Ekstrak Butanol Reagen H2SO4 2N
48
Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji
Gambar 27. Hasil Negatif Flavonoid Ekstrak Butanol Reagen NaOH 10%
Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji
Gambar 28. Hasil Negatif Flavonoid Ekstrak Butanol
Reagen HCl pekat + Mg
Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji
Gambar 29. Hasil Positif Uji Fenolik Ekstrak Butanol
Sampel sebelum diuji Sampel setelah diuji
Gambar 30. Hasil Positif Uji Tanin Ekstrak Butanol
49
4.4. Hasil Uji In Vitro (Uji Sensitivitas Bakteri)
Uji in vitro bertujuan untuk menentukan jenis ekstrak daun Rhizophora
mucronata Lamk. yang paling efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri
Vibrio harveyi secara in vitro. Ketiga ekstrak daun Rhizophora mucronata Lamk.
meliputi ekstrak n-heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak butanol kemudian
diencerkan dengan menggunakan akuades untuk menentukan konsentrasi pada
masing-masing ekstrak yaitu 10.000 ppm sebagai larutan stok, 1000 ppm, 100
ppm, dan 10 ppm serta larutan kontrol positif menggunakan antibiotik
kloramfenikol sebesar 30 ppm (Lampiran 5).
Pengukuran zona bening dilakukan dengan menggunakan jangka sorong.
Pengamatan dilakukan setelah 24 jam masa inkubasi bakteri Vibrio harveyi pada
suhu 37°C. Bakteri Vibrio harveyi yang telah diremajakan kemudian disamakan
kekeruhannya dengan larutan Mc Farland 0,5 atau senilai dengan kekeruhan 1,5 x
108 CFU/ml (Lampiran 6, 7, 8 dan 9).
Berdasarkan uji aktivitas antibakteri dari ketiga ekstrak daun Rhizophora
mucronata Lamk. yang meliputi ekstrak n-heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak
butanol terhadap bakteri Vibrio harveyi memperlihatkan bahwa ketiga ekstrak
daun Rhizophora mucronata Lamk. tersebut dapat menghambat pertumbuhan
bakteri Vibrio harveyi. Hal ini dibuktikan dengan adanya zona bening disekitar
paper disk yang berukuran 6 mm sebagai zona hambat.
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa setiap konsentrasi pada masing-masing
ekstrak menghasilkan zona hambat yang berbeda, hal ini dikarenakan setiap
ekstrak memiliki kandungan metabolit sekunder yang berbeda meliputi ekstrak n-
heksan yang mengandung senyawa steroid, ekstrak etil asetat mengandung
senyawa flavonoid dan ekstrak butanol yang mengandung senyawa fenolik dan
tanin yang merupakan senyawa antibakteri. Adanya zona hambat menunjukkan
bahwa ketiga ekstrak daun Rhizophora mucronata Lamk. mengandung zat
antibakteri sebagai penghambat bagi pertumbuhan Vibrio harveyi (Tabel 5).
50
Tabel 5. Diameter Zona Hambat Hasil Uji In Vitro Ekstrak Daun Rhizophora
mucronata Lamk. terhadap Bakteri Vibrio Harveyi
Keterangan: Diameter paper disk = 6 mm
Pada tabel 5 di atas, perlakuan kontrol positif yang digunakan adalah
kloramfenikol dengan konsentrasi 30 ppm. Hal ini dikarenakan pengobatan
penyakit pada udang windu yang terserang Vibrio harveyi biasanya menggunakan
konsentrasi kloramfenikol sebesar 30 ppm. Dan dapat dilihat bahwa kontrol
positif menggunakan kloramfenikol membentuk zona hambat sebesar 13.49 mm.
Sedangkan ekstrak dengan diameter zona hambat terbesar diperoleh dari
ekstrak butanol pada konsentrasi 1000 ppm sebesar 8,69 mm dan diameter zona
Konsentrasi
Ekstrak
Diameter Zona Hambat (mm) Diameter
Rata-rata
Zona Hambat
yang
Terbentuk Pengulangan
ke-1
Pengulangan
ke-2
Pengulangan
ke-3
n-heksan
10 ppm
7.09
7.41
7.21
7.24
Bening +
100 ppm 7.57
6.82
7.74
7.38
Bening +
1000 ppm 7.27
7.3
7.66
7.41
Bening +
10000 ppm 7.55
7.78
9.55
8.29
Agak bening
Etil asetat
10 ppm
8.05
7.48
8.47
8.00
Agak keruh
100 ppm 7.31
7.44
6.19
6.98
Agak bening
1000 ppm 8.14
7.67
9.40
8.40
Bening +
10000 ppm 7.61
7.30
8.74
7.88
Bening +
Butanol
10 ppm
8.11
8.37
7.40
7.96
Agak bening
100 ppm 8.73
7.61
8.60
8.31
Agak bening
1000 ppm 8.26
9.41
8.40
8.69
Bening +
10000 ppm 8.49
8.68
8.76
8.64
Agak bening
Kloramfenikol
30 ppm
(Kontrol +)
11.56
15.56
13.34
13.49
Bening ++
51
hambat terkecil diperoleh dari ekstrak etil asetat dengan konsentrasi 100 ppm
sebesar 6,98 mm. Rata-rata zona hambat terbaik pada semua konsentrasi terdapat
pada ekstrak butanol. Oleh karena itu ekstrak terbaik yang akan digunakan untuk
uji selanjutnya yaitu ekstrak polar butanol daun Rhizophora mucronata Lamk.
(Lampiran 10).
Sesuai dengan hasil penelitian Suciati et. al., (2012), hasil uji in vitro
ekstrak Rhizophora mucronata terhadap Vibrio harveyi menunjukkan bahwa jenis
sampel daun pucuk metanol (DPM) memiliki diameter zona hambat yang paling
besar yaitu 14,8 mm dibandingkan zona hambat jenis sampel n-heksan dan etil
asetat. Berikut perbandingan diameter rata-rata zona hambat antibakteri pada
masing-masing perlakuan (Gambar 31).
Gambar 31. Diagram Perbandingan Diameter Rata-rata Zona Hambat
ekstrak Daun Rhizophora mucronata Lamk.
Cara kerja antibakteri dibedakan menjadi bakteristatik dan bakterisidal.
Ekstrak daun Rhizophora mucronata Lamk. diduga bersifat bakteristatik, hal ini
dikarenakan ekstrak hanya mampu menghambat bakteri uji, tidak sampai
membunuh. Terlihat dari keruhnya zona hambat ekstrak setelah diinkubasi lebih
dari 24 jam (Jamaludin 2005 dalam Yulian 2011).
0
2
4
6
8
10
12
14
16
Dia
mete
r z
on
a h
am
ba
t (m
m)
Konsentrasi ekstrak (ppm)
Diagram perbandingan diameter rata-rata zona hambat
ekstrak daun Rhizophora mucronata Lamk.
ekstrak n-heksan
ekstrak etil asetat
ekstrak butanol
Kloramfenikol (+)
52
4.5. Pengamatan Konsentrasi Letal (LC50) Ekstrak Butanol Daun Rhizophora
mucronata Lamk. terhadap Larva Udang Windu
Ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. merupakan ekstrak
yang terbaik sebagai antibakteri terhadap Vibrio harveyi berdasarkan uji aktivitas
antibakteri (in vitro). Dalam konsentrasi yang besar, ekstrak dapat mengakibatkan
larva udang mengalami keracunan, oleh karena itu perlu diketahui besaran
maksimum konsentrasi ekstrak yang masih dapat diterima tubuh larva udang
windu yaitu dengan menggunakan uji konsentrasi letal (LC50).
Pada uji LC50 dilakukan perendaman dengan 12 ekor larva udang windu
yang direndam dalam ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. yang
dilarutkan menggunakan air laut dengan variasi konsentrasi sebesar 0, 10, 100,
1000 dan 10.000 ppm selama 48 jam (Lampiran 11). Hasil pengamatan LC50
selama 48 jam, ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. dengan
konsentrasi 1000 ppm dan 10.000 ppm menghasilkan kelangsungan hidup yang
lebih rendah dibandingkan dengan larva udang yang direndam pada konsentrasi
10 ppm dan 100 ppm (Lampiran 12).
Hasil analisis LC50 menggunakan program EPA Probit 1.5 memberikan
nilai sebesar 455.772 ppm (dengan batas ambang bawah sebesar 192.028 dan
batas ambang atas sebesar 1087.165 ppm) (Lampiran 13). Dari hasil EPA Probit
ini dapat ditunjukkan bahwa larva udang windu hanya dapat mentolerir ekstrak
butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. pada konsentrasi 455.772 ppm.
Sehingga hasil tersebut dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengambilan kisaran
konsentrasi ekstrak pada saat uji tantang untuk melihat tingkat kelangsungan
hidup larva udang windu (uji in vivo).
53
4.6. Gejala Klinis
Sebelum pengujian tingkat kelangsungan hidup larva udang windu
terhadap penyakit vibriosis dengan menggunakan ekstrak butanol daun
Rhizophora mucronata Lamk., dilakukan penginfeksian dengan menggunakan
Vibrio harveyi dengan kepadatan 106 CFU/ml. Berikut gambar koloni bakteri
Vibrio harveyi dengan perbesaran 100x menggunakan mikroskop (Gambar 32).
Gambar 32. Koloni Bakteri Vibrio harveyi
(Sumber: Dokumen pribadi)
Penginfeksian dilakukan dengan cara perendaman ke dalam larutan bakteri
selama 15 menit. Diamati gejala klinisnya, meliputi morfologi maupun perubahan
tingkah laku udang setelah diinfeksi. Pengamatan dilakukan selama 3 jam sampai
larva udang windu menunjukkan gejala klinis. Menurut Sunaryo et. al. (1987)
dalam Yulian (2011), ciri-ciri udang windu yang terserang vibriosis adalah
lemahnya kondisi tubuh, berenang lambat, nafsu makan hilang, badan mempunyai
bercak merah-merah. Pada kaki renang dan kaki jalan menunjukkan melanisasi.
Gambar 33. Nekrosis pada Kaki Renang Larva Udang Windu yang
Terinfeksi Vibrio harveyi (Perbesaran 40x)
(Sumber: Dokumen pribadi)
54
Larva udang windu yang terserang bakteri Vibrio harveyi mengalami
penurunan nafsu makan, dilihat dari banyaknya sisa pakan pada media
pemeliharaan. Selain itu larva udang windu mengalami pergerakan yang abnormal
ketika diinfeksi dengan bakteri Vibrio harveyi. Warna tubuh larva udang windu
yang terinfeksi dapat dilihat dengan munculnya bercak-bercak merah.
Permukaan tubuh juga merupakan tempat media masuknya bakteri ke
dalam tubuh dan daerah ini dapat menjadi gerbang utama untuk menyebabkan
infeksi. Pada saat kulit inang (kutikula) atau permukaan tubuh lainnya mengalami
luka, maka sangat memungkinkan bakteri patogen untuk masuk (Sukenda dan
Wakabayashi 2001).
Gambar 34. Kerusakan pada Ekor Larva Udang Windu
(Perbesaran 4x10=40)
(Sumber: Dokumen pribadi)
Selama 7 hari pemeliharaan, aktivitas makan dan gerak larva udang windu
yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi mulai meningkat. Perubahan signifikan
terlihat pada aktivitas makan yang terlihat dari sedikitnya sisa pakan yang
tertinggal, isi usus mulai penuh dan banyaknya feses di dasar akuarium. Hal ini
membuktikan bahwa dengan perendaman ekstrak butanol daun Rhizophora
mucronata Lamk. pada larva udang windu dapat mengobati infeksi bakteri Vibrio
harveyi. Berikut data pengamatan respon makan udang windu selama uji in vivo
(Tabel 7).
55
Tabel 7. Pengamatan Respon Makan Larva Udang Windu Terinfeksi Vibrio
harveyi pada Pemaparan Ekstrak Butanol Daun Rhizophora
mucronata Lamk. (Uji In Vivo)
Hari
ke-
Konsentrasi Ekstrak Butanol Daun Rhizophora mucronata Lamk.
A
Kontrol
B
113,943 ppm
C
227,86 ppm
D
341,829 ppm
E
455,772 ppm
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
1 + + + + + + + + + +
2-4 + + ++ ++ ++ ++ ++ +++ ++ ++
5-7 + + ++ ++ +++ ++ +++ +++ +++ +++
Keterangan:
+ : tidak responsif
++ : kurang responsif
+++ : responsif
++++ : sangat responsif
Pada Tabel 7, dapat dilihat bahwa pada hari pertama setelah pemaparan
ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk., larva udang windu pada
setiap perlakuan respon makannya masih tidak responsif, hal ini dikarenakan
bakteri Vibrio harveyi menyerang saluran pencernaan sehingga nafsu makan larva
udang windu menurun. Pada hari kedua sampai keempat mulai terjadi peningkatan
nafsu makan, dan terus meningkat pada hari kelima sampai hari ketujuh, terutama
pada perlakuan D dan E nafsu makan larva udang windu sudah mulai responsif
dengan dilihat dari keberadaan sisa pakannya.
Selain pengamatan respon makan, dilakukan pengamatan pergerakan larva
udang windu. Larva udang windu yang tidak terinfeksi biasanya berenang di
dinding akuarium atau bergerak aktif di dasar. Larva udang windu akan bergerak
cepat menjauh ketika disentuh. Berbeda halnya dengan larva udang windu yang
terinfeksi bakteri Vibrio harveyi, larva akan diam dan bergerak lemah di dasar
kolam. Berikut data pengamatan respon makan dan pergerakan udang windu
selama uji in vivo (Tabel 8).
56
Tabel 8. Pengamatan Pergerakan Larva Udang Windu Terinfeksi Vibrio
harveyi pada Pemaparan Ekstrak Butanol Daun Rhizophora
mucronata Lamk. (Uji In Vivo)
Hari
ke-
Konsentrasi Ekstrak Butanol Daun Rhizophora mucronata Lamk.
A
Kontrol
B
113,943 ppm
C
227,86 ppm
D
341,829 ppm
E
455,772 ppm
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
1 + + + + + + + + + +
2-4 ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++
5-7 ++ ++ ++ ++ ++ ++ +++ +++ ++ ++
Keterangan:
+ : abnormal
++ : diam di dasar
+++ : aktif
Pada tabel 8, dapat dilihat bahwa pada hari pertama kondisi pergerakan
larva udang windu masih abnormal, terutama pada perlakuan A. Sampai hari
ketujuh udang windu pada perlakuan A masih diam di dasar. Hal ini dikarenakan
perlakuan A tidak dipaparkan ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk.,
sehingga larva udang windu tidak mengalami pemulihan. Sedangkan pada
perlakuan B sampai E, pergerakan larva udang windu sudah semakin aktif.
Semakin banyak konsentrasi ekstrak yang diberikan, semakin cepat larva udang
windu mengalami pemulihan, namun masih dalam batas tolerir konsentrasi LC50.
Pada hari kelima sampai ketujuh, pada perlakuan D larva udang windu sudah
mulai aktif dan mulai berenang di dinding akuarium. Hal ini membuktikan bahwa
dengan perendaman ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. pada
larva udang windu mampu mengendalikan infeksi bakteri Vibrio harveyi melalui
pengobatan.
57
4.7 Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Udang Windu pada Uji In Vivo
Pengamatan kelangsungan hidup udang windu selama 7 hari setelah
pemaparan ekstrak didasarkan pada mortalitas udang yang diinfeksi bakteri Vibrio
harveyi sampai adanya gejala klinis dan kemudian direndam selama 15 menit
dalam masing-masing perlakuan ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata
Lamk. (Lampiran 14). Data kelangsungan hidup udang windu yang diperoleh
dapat dilihat pada Tabel 9 berikut ini.
Tabel 9. Mortalitas dan Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Larva Udang
Windu Setelah Pemaparan Ekstrak Butanol Daun Rhizophora
mucronata Lamk.
Perlakuan
Jumlah
Udang
Awal
Mortalitas Udang Uji
Pengamatan (Hari ke-) Jumlah
Mortalitas
Udang
Jumlah
Udang
Akhir
SR
(%)
Rerata
SR
(%) 1 2 3 4 5 6 7
A1 30 13 7 2 1 0 0 0 23 7 23,33 25
A2 30 11 6 3 1 1 0 0 22 8 26,67
B1 30 14 3 0 1 1 0 0 19 11 36,67 30
B2 30 13 5 4 1 0 0 0 23 7 23,33
C1 30 3 7 5 1 0 0 0 16 14 46,67 45
C2 30 8 6 2 1 0 0 0 17 13 43,33
D1 30 6 6 1 0 0 0 0 13 17 56,67 51,67
D2 30 9 6 1 0 0 0 0 16 14 46,67
E1 30 12 5 1 1 0 0 0 19 11 36,67 46,67
E2 30 7 5 1 0 0 0 0 13 17 56,67
Keterangan:
A1, 2 = Tanpa pemberian ekstrak (kontrol) dengan 2 kali ulangan
B1, 2 = Konsentrasi ekstrak 113,943 ppm (25%) dengan 2 kali ulangan
C1, 2 = Konsentrasi ekstrak 227,86 ppm (50%) dengan 2 kali ulangan
D1, 2 = Konsentrasi ekstrak 341,829 ppm (75%) dengan 2 kali ulangan
E1, 2 = Konsentrasi ekstrak 455,772 ppm (100%) dengan 2 kali ulangan
Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa mortalitas larva udang windu terjadi
pada pengamatan hari pertama setelah diinfeksi bakteri Vibrio harveyi selama 15
menit dan kemudian direndam dalam ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata
Lamk. selama 15 menit. Mortalitas larva udang windu pada hari pertama cukup
banyak pada setiap konsentrasinya, begitu juga pada hari kedua. Sedangkan pada
hari ketiga sampai hari kelima masih terjadi kematian udang windu pada
perlakuan A dan B, namun mortalitasnya tidak sebanyak hari pertama dan kedua.
58
Pada perlakuan C dan E kematian udang windu terjadi sampai hari
keempat, sedangkan pada perlakuan D, kematian udang windu hanya sampai hari
ketiga sehingga tingkat kelangsungan hidup udang windunya lebih tinggi
dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan larva udang mampu
mengeliminasi serangan bakteri dengan cara meningkatkan sifat pertahanan
tubuhnya sehingga kematian tidak terjadi.
Setelah direndam ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk.,
tingkat kelangsungan hidup larva udang windu lebih besar dibandingkan dengan
larva udang windu kontrol (tanpa perendaman). Semakin tinggi konsentrasi
ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. menunjukkan tingkat
kelangsungan hidup yang semakin tinggi pula, namun pada batas tertentu
(Gambar 35).
Gambar 35. Grafik Kelangsungan Hidup Larva Udang Windu Uji in vivo
Gambar diagram di atas menunjukkan bahwa kelangsungan hidup larva
udang windu tanpa perendaman (kontrol) ekstrak butanol daun Rhizophora
mucronata Lamk. yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi memberikan tingkat
kelangsungan hidup yang rendah. Rendahnya kelangsungan hidup udang windu
pada perlakuan A (kontrol/tanpa perendaman ekstrak) dikarenakan larva udang
windu yang diinfeksi bakteri Vibrio harveyi tidak dilakukan pengobatan sehingga
daya tahan tubuh dan metabolismenya terganggu, hal ini disebabkan bakteri
25 30
45
51.67 46.67
0
10
20
30
40
50
60
A (0) B (113,943) C (227,86) D (341,829) E (455,772)
Kel
angs
un
gan
Hid
up
(%)
Konsentrasi (ppm)
Grafik Kelangsungan Hidup (SR)
Ekstrak Butanol
59
Vibrio harveyi masuk ke hepatopankreas dan menyebabkan kerusakan sehingga
lama-kelamaan larva udang windu mengalami kematian. Hepatopankreas
merupakan kelenjar pencernaan yang berfungsi untuk memproduksi enzim
pencernaan, termasuk pula menyerap makanan, transportasi, sekresi dari enzim
pencernaan serta menyimpan lemak, glikogen dan beberapa mineral (Harrison &
Humes, 1992 dalam Yulian 2011). Jika organ hepatopankreasnya terganggu maka
akan mengganggu sistem fisiologis larva udang sehingga menyebabkan kematian.
Tingkat kelangsungan hidup udang windu pada perlakuan B (30%), C
(45%) dan E (46,67%) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A (25%),
namun lebih rendah dibandingkan perlakuan D (51,67%), hal ini terjadi karena
perlakuan B (113,943 ppm) dan C (227,86 ppm) dengan pemberian konsentrasi
ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. sudah mampu mencegah
pertumbuhan bakteri Vibrio harveyi namun belum maksimal. Sedangkan pada
perlakuan E (455,772 ppm) sudah dapat dikatakan mencegah pertumbuhan bakteri
Vibrio harveyi namun konsentrasi tersebut masih berada dalam kisaran LC50.
Konsentrasi perlakuan E berada pada batas tolerir udang windu terhadap ekstrak
pada hasil uji LC50. Kemungkinan pada konsentrasi tersebut kandungan dari zat
aktif ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. bersifat toksik sehingga
memberikan efek kematian pada larva udang windu uji.
Hal ini sesuai dengan penelitian Hidayat (2011), mengenai efektivitas
ekstrak beberapa jenis rumput laut dari perairan Pangandaran sebagai agen
antibakteri Vibrio harveyi yang menyerang udang windu (Penaeus monodon).
Hasil penelitian Hidayat menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup
tertinggi terdapat pada perlakuan D sebesar 56,67% dengan pemberian
konsentrasi ekstrak Sargassum sp. pada konsentrasi 237,102 ppm yang efektif
menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio harveyi.
Dari data hasil uji tantang (in vivo) pada udang larva udang windu di atas,
dapat diketahui bahwa rata-rata tingkat kelangsungan hidup tertinggi terdapat
pada perlakuan D dengan konsentrasi (341,829 ppm) mencapai 51,67%. Hal ini
disebabkan serangan bakteri Vibrio harveyi pada larva udang windu dapat
dihambat oleh ekstrak butanol daun Rhizophora mucronata Lamk. Kandungan
60
metabolit sekunder yang terdapat dalam ekstrak butanol daun Rhizophora
mucronata Lamk. meliputi fenolik dan tanin. Hal ini memperlihatkan bahwa
kandungan metabolit sekunder seperti golongan fenolik dan tanin dapat bekerja
sebagai antibakteri. Hal ini sesuai dengan pendapat Pelezar et. al., (1993) dalam
Maryani (2003), bahwa beberapa senyawa kimia yang memiliki sifat sebagai
antimikroba diantaranya fenol dengan mekanisme kerja senyawa fenol sebagai
antimikroba terjadi dengan cara merusak dan menembus dinding sel bakteri,
kemudian mengendapkan protein sel mikroba sehingga merupakan racun bagi
protoplasma. Menurut Co (1989) dalam Maryani (2003), efek dari senyawa yang
mengandung fenol mampu melawan bakteri gram negatif termasuk Vibrio harveyi
dan kandungan tanin yang diketahui mampu mengobati luka.
4.8. Kualitas Air
Pada kegiatan budidaya udang windu, kondisi perairan merupakan suatu
faktor penting keberhasilan kegiatan pembudidayaan. Perairan merupakan suatu
habitat dimana udang hidup dan saling berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya,
baik yang bersifat abiotik maupun biotik. Pada kegiatan budidaya udang, suatu
lingkungan perairan harus sesuai dengan habitat alami udang. Oleh karena itu
kualitas air pada saat pemeliharaan larva udang windu pada waktu uji tantang (in
vivo) harus dalam keadaan terkontrol.
Pengukuran kualitas air dilakukan pada awal, tengah dan akhir percobaan.
Selama penelitian, kondisi air atau media pemeliharaan larva udang windu diukur
kualitasnya, meliputi suhu, salinitas, DO (oksigen terlarut) dan pH (derajat
keasaman). Kisaran suhu rata-rata pada awal, tengah sampai akhir penelitian 28-
29°C, salinitas dengan kisaran 30-35 ppm, DO dengan kisaran 6,2-7,8 dan pH
dengan kisaran 7,5-8,0 (Tabel 10)
61
Tabel 10. Nilai Kualitas Air Udang Windu pada Saat Uji in vivo
Kondisi Paramaeter Kualitas Air
Suhu Salinitas DO pH
Kisaran pada penelitian 28-29°C 30-35 ppm 6,2-7,8 7,5-8,0
Kisaran yang aman 28°C-32°C* 5-40 ppm* >3* 7,5-8,5*
Keterangan: *) SNI Produksi udang windu (Penaeus monodon) di tambak dengan
teknik sederhana (2009)
Dilihat dari tabel parameter kualitas air di atas, dapat diketahui bahwa
kualitas air selama penelitian berada dalam keadaan terkontrol pada kisaran
toleransi yang masih aman dalam standar pembudidayaan udang windu mulai dari
suhu, salinitas, DO (oksigen terlarut), dan pH (derajat keasaman). Dengan
demikian, dapat dikemukakan bahwa kualitas air selama penelitian memenuhi
syarat optimum untuk budidaya udang sehingga kematian larva udang bukan
disebabkan oleh kualitas air tetapi oleh aktivitas bakteri Vibrio harveyi.