49
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil dan analisis deskriptif mengenai
persepsi dari Pemerintah Kota Malang dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Kota Malang yang didapatkan melalui kuisioner yang telah
disebar. Bab ini secara singkat juga akan menjelaskan mengenai profil
Pemerintahan kota Malang dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Kota Malang.
4.1 KOTA MALANG
4.1.1. Tinjauan Umum Kota Malang
Kota Malang merupakan salah satu kota yang berada di Provinsi Jawa
Timur, Indonesia. Kota Malang berada di dataran tinggi terletak kurang lebih 90
km di sebelah selatan kota Surabaya dan wilayahnya dikelilingi oleh Kabupaten
Malang. Di provinsi Jawa Timur, kota Malang merupakan kota terbesar kedua
setelah Kota Surabaya.
Pada akhir abad ke-18, Kota Malang dipilih para tuan dan nyonya Belanda
menjadi tempat peristirahatan. Selain karena Malang merupakan kota terdekat dari
perkebunan di daerah sekitarnya, kota ini memang layak menjadi tempat
peristirahatan. Letaknya yang berada pada ketinggian 440 sampai 667 meter
memberi hawa sejuk dengan suhu rata-rata 24,5 derajat Celcius. Selain itu, di kota
ini terdapat pemandangan yang indah dari Gunung Semeru, Kawi, Arjuna, dan
puncak pegunungan Tengger.
50
Pada masa tersebut, Kota Malang mendapat julukan Zwitserland of
Indonesia. Memiliki luas 110,06 km², Malang tumbuh menjadi kota terbesar
kedua di Jawa Timur. Dari segi geografis, Kota Malang diuntungkan oleh
keindahan alam daerah sekitarnya seperti; Batu dengan agrowisatanya, pemandian
Selecta, Songgoriti atau situs-situs purbakala peninggalan Kerajaan Singosari.
Jarak tempuh yang tidak jauh dari kota membuat para pelancong menjadikan kota
ini sebagai tempat singgah dan sekaligus tempat belanja.
Pilihan itu tidak berlebihan karena kemampuan ekonomi perdagangan di
kota ini sangat besar. Kawasan perdagangan seperti Jalan Merdeka Timur atau
Jalan Pasar Besar mampu melayani kebutuhan warga. Tidak hanya kebutuhan
warga Kota Malang yang dilayani, melainkan juga warga sekitar seperti dari
Blitar, Kediri, dan Tulungagung. Perdagangan ini mampu mengubah konsep
pariwisata kota Malang dari kota peristirahatan menjadi kota wisata belanja.
4.1.2. Sejarah Kota Malang
Wilayah cekungan Malang telah ada sejak masa purbakala menjadi
kawasan pemukinan. Banyaknya sungai yang mengalir di sekitar tempat ini
membuatnya cocok sebagai kawasan pemukiman. Wilayah Dinoyo dan Tlogomas
diketahui merupakan kawasan pemukiman prasejarah. Berbagai prasasti (misalnya
prasasti Dinoyo), bangunan percandian dan arca-arca, bekas-bekas pondasi batu-
bata, bekas saluran drainase, serta berbagai gerabah yang ditemukan dari periode
akhir Kerajaan Kanjuruhan (abad ke-8 dan ke-9) juga ditemukan di wilayah yang
berdekatan.
Seperti halnya kebanyakan kota-kota lain di Indonesia pada umumnya,
kota Malang tumbuh modern dan berkembang setelah hadirnya administrasi
51
kolonial Hindia Belanda. Fasilitas umum direncanakan sedemikian rupa agar
memenuhi kebutuhan keluarga Belanda. Kesan diskriminatif masih berbekas
hingga sekarang, misalnya ‘Ijen Boulevard’ dan kawasan sekitarnya yang pada
mulanya hanya boleh dinikmati oleh keluarga-keluarga Belanda dan bangsa Eropa
lainnya, sementara penduduk pribumi harus puas bertempat tinggal di pinggiran
kota dengan fasilitas yang kurang memadai. Kawasan perumahan itu sekarang
menjadi monumen hidup dan seringkali dikunjungi oleh keturunan keluarga-
keluarga Belanda yang pernah bermukim disana.
Pada masa penjajahan kolonial Hindia Belanda, daerah Malang dijadikan
kota. Sebelum tahun 1964, dalam lambang kota Malang terdapat tulisan “Malang
Namaku, Maju Tujuanku” terjemahan dari “Malang Nominor, Sursum Moveor”.
Ketika kota ini merayakan hari ulang tahunnya yang ke-50 pada tanggal 1 April
1964, kalimat-kalimat tersebut berubah menjadi “Malangkucecwara”. Semboyan
baru ini diusulkan oleh almarhum Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka, karena kata
tersebut sangat erat hubungannya dengan asal-usul kota Malang yang pada masa
Ken Arok 7 abad yang lampau telah menjadi nama dari tempat di dekat candi
yang bernama Malangkucecwara.
Kota Malang mulai tumbuh dan berkembang setelah hadirnya pemerintah
kolonial Belanda, terutama ketika mulai dioperasikannya jalur kereta api pada
tahun 1879. Berbagai kebutuhan masyarakatpun semakin meningkat terutama
akan ruang gerak melakukan berbagai kegiatan. Akibatnya terjadilah berubahan
tata guna tanah, daerah yang terbangun bermunculan tanpa kendali. Perubahan
fungsi lahan mengalami perubahan sangat pesat, seperti dari fungsi pertanian
menjadi perumahan dan industri.
52
4.1.3. Sosial dan Budaya Kota Malang
Sosial dan Budaya masyarakat yang berada di kota Malang secara umum
cukup heterogen (terdiri dari berbagai macam jenis) dalam hal etnis dan latar
belakang budayanya, sehingga membuat kota Malang menjadi kota yang
cenderung dinamis dengan adanya interaksi dari berbagai macam suku etnis dan
budaya tersebut. Sebagai salah satu kota pendidikan, masyarakat Malang dengan
budaya lokalnya telah lama berinteraksi dan berasimilasi dengan adat kebiasaan
dan budaya berbagai macam suku bangsa yang datang dan dibawa oleh para
pelajar, mahasiswa, dan pedagang yang berasal dari luar kota Malang. Dari
beberapa suku di kota Malang, mayoritas penduduk kota Malang berasal dari etnis
Jawa dan Madura dan sebagian kecil berasal dari etnis Arab dan Cina.
Masyarakat Malang mayoritas adalah pemeluk agama Islam dan
selebihnya adalah sebagian kecil pemeluk agam Kristen, Katolik, Hindu, dan
Budha. Umat beragama di kota Malang terkenal rukun dan saling bekerjasama
dalam memajukan kotanya. Bangunan tempat ibadah banyak yang telah berdiri
semenjak masa kolonial Belanda antara lain adalah Masjid Jami’ (Masjid Agung),
Gereja di kawasan Kayutangan, Alun-alun, dan Ijen, serta Klenteng di kawasan
Kotalama. Malang juga menjadi pusat pendidikan keagamaan dengan banyaknya
pondok pesantren dan seminari Alkitab yang sudah terkenal di seluruh Indonesia.
Masyarakat kota Malang juga menggunakan beberapa jenis bahasa.
Bahasa Indonesia, bahasa Jawa dialek Jawa Timuran dan bahasa Madura adalah
bahasa sehari-hari masyarakat Malang. Dikalangan generasi muda, terdapat suatu
dialek khas Malang yang disebut ‘boso walikan’ yaitu cara pengungkapan kata
secara terbalik, misalnya kata Malang menjadi Ngalam. Gaya bahasa di Malang
53
terkenal kaku tanpa unggah-ungguh sebagaimana bahasa Jawa kasar pada
umumnya. Hal ini menunjukkan sikap masyarakatnya yang tegas, lugas, dan tidak
mengenal basa-basi.
4.2. PEMERINTAHAN KOTA MALANG
4.2.1. Sejarah Pemerintahan Kota Malang
Pada tahun 1767 daerah Malang diduduki Belanda, dimana pada saat itu
dipimpin oleh Adipati Moeljo Koesoemo yang terpaksa menyerah kepada
Belanda. Kemudian pada tahun 1812 Malang masuk dalam wilayah Residensi
Pasuruan dengan Bupati Raden Tumenggung Kartonegoro dan baru pada tahun
1824 Malang dipimpin oleh seorang Asisten Residen.
Pada tahun 1903 lahirlah Undang-undang Desentralisasi dan dua tahun
kemudian yaitu pada tahun 1905 untuk pertama kalinya Pemerintah Kotamadya
dibentuk di Indonesia. Tanggal 1 April 1914 Kotamadya (Gemeentle) Malang
terbentuk dan hingga tahun 1919 masih dipimpin oleh Pamong Praja, dan pada
tahun 1919 Kota Malang mulai dipimpin oleh Walikota (Burgemeester) bernama
H.I. Bussemaker. Namun sampai dengan tahun 1930 Kota Malang masih belum
memiliki Dewan Perwakilan Rakyat dan pada tahun tersebut Kantor Balaikota
diresmikan. Beberapa desa dirubah menjadi lingkungan serta mulai dibentuk
Dewan Pimpinan Daerah (Wethouderschap) dengan anggota R. Soekardjo
Wirjopranoto.
Pada tanggal 7 Maret 1942 Kota Malang dan sekitarnya diduduki
balatentara Jepang. Pengambilan alih pemerintah pada prinsipnya meneruskan
sistem lama, hanya sebutan-sebutan dalam jabatan diganti dengan Bahasa Jepang.
54
Selama penjajahan Jepang yang relatif pendek itu, Kotamadya Malang berhasil
membuat 33 Peraturan Daerah.
Peristiwa penting sesudah Proklamasi Kemerdekaan, tepatnya pada
tanggal 21 September 1945, Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah dibentuk
dan mengeluarkan pernyataan bahwa daerah Malang menjadi Daerah Republik
Indonesia. Kemudian pada tanggal 3 Oktober 1945 dilakukan pengambilan alih
senjata dan pemerintahan dari Residen (Syutyokan) ke tangan Pemerintah Darurat
yang dipimpin oleh Pejabat Residen yaitu Bupati R.A.A Sam, sedangkan
Walikotanya adalah M. Sardjono Wirjohardjono.
Pada tanggal 22 Juli 1947 Belanda berusaha untuk kembali menjajah, dan
meletuslah perang yang menyebabkan Pemerintah Daerah dengan perangkatnya
mengungsi ke luar kota, kemudian sampai dengan tahun 1950 berlangsung
pemerintah federasi. Baru pada tanggal 2 Maret 1950 Pemerintah Daerah
Republik Indonesia yang dipimpin oleh Walikota M. Sardjono Wirjohardjono
kembali dari pengungsian dan menempati Balai Kota Malang. Sejak masa itu
Pemerintah Kotamadya Malang berlangsung kembali di naungan Pemerintah
Republik Indonesia dan diatur dengan Undang-undang Pemerintah Daerah yang
terus berkembang hingga berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah sampai sekarang ini. (Pemerintah
Kotamadya Daerah Tingkat II Kota Malang: 4)
4.2.2. Visi dan Misi Kota Malang
Dalam menjalankan program pemerintahan di periode 2013-2018,
pemerintah Kota Malang menjadikan visi Kota Malang sebagai acuan dalam
55
menjalankan setiap kewajiban dan tanggung jawab yang diembannya. Visi Kota
Malang periode 2013-2018 adalah:
“Menjadikan Kota Malang Sebagai Kota Yang Bermartabat”
Selain Visi tersebut, pemerintah Kota Malang juga memiliki suatu
semboyan yang tak kalah pentingnya yaitu ditentukannya Peduli Wong Cilik
sebagai semangat dari pembangunan Kota Malang periode 2013-2018. Hal ini
mencerminkan semboyan tersebut adalah sebagai semangat dan kepedulian
terhadap wong cilik menjadi jiwa dari pencapaian visi.
Penjelasan yang tertera dalam situs resmi dari pemerintah kota Malang
tersebut mencerminkan bahwa seluruh aktivitas dan program pembangunan di
Kota Malang harus benar-benar membawa kemaslahatan bagi wong cilik. Dan
seluruh hasil pembangunan di Kota Malang harus dapat dinikmati oleh wong cilik
yang notabene adalah rakyat kecil yang mayoritas jumlahnya di Kota Malang.
Dalam visi Kota Malang, terdapat suatu istilah yaitu MARTABAT yang
menunjuk pada harga diri kemanusiaan, yang memiliki arti kemuliaan. Sehingga,
dengan visi 'Menjadikan Kota Malang sebagai Kota BERMARTABAT'
diharapkan dapat terwujud suatu kondisi kemuliaan bagi Kota Malang dan seluruh
masyarakatnya.
Untuk dapat disebut sebagai Kota BERMARTABAT, maka akan
diwujudkan Kota Malang yang aman, tertib, bersih, dan asri, dimana masyarakat
Kota Malang adalah masyarakat yang mandiri, makmur, sejahtera, terdidik dan
berbudaya, serta memiliki nilai religiusitas yang tinggi dan dilandasi dengan sikap
toleransi terhadap perbedaan-perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakat,
dengan Pemerintah Kota Malang yang bersih dari KKN dan sungguh-sungguh
56
dalam melayani masyarakatnya. Sehingga, Kota Malang secara umum akan
memiliki keunggulan-keunggulan dan berdaya saing tinggi untuk dapat
menempatkan diri sebagai kota yang terkemuka dengan berbagai prestasi di
berbagai bidang.
Selain itu, visi BERMARTABAT dapat menjadi akronim dari beberapa
prioritas pembangunan yang menunjuk pada kondisi-kondisi yang hendak
diwujudkan sepanjang periode 2013-2018, yaitu; BERsih, Makmur, Adil,
Religius-toleran, Terkemuka, Aman, Berbudaya, Asri, dan Terdidik.
Untuk mencapai visi yang diemban tersebut, pemerintah Kota Malang
periode 2013-2018 memiliki misi-misi yang hendak diwujudkan, yaitu:
1. Menciptakan masyarakat yang makmur, berbudaya, dan terdidik
berdasarkan nilai-nilai spiritual yang agamis, toleran, dan setara.
2. Meningkatkan kualitas pelayanan publik yang adil, terukur, dan akuntabel.
3. Meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat Kota Malang sehingga
dapat bersaing di era global.
4. Meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Kota Malang baik fisik,
maupun mental untuk menjadi masyarakat yang produktif.
5. Membangun Kota Malang sebagai kota tujuan wisata yang aman, nyaman,
dan berbudaya.
6. Mendorong pelaku ekonomi sektor informal agar lebih produktif dan
kompetitif.
7. Mendorong produktivitas industri dan ekonomi skala besar yang berdaya
saing, etis, dan berwawasan lingkungan.
57
8. Mengembangkan sistem transportasi terpadu dan infrastruktur yang
nyaman untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
4.2.3. Pemerintah Daerah Kota Malang
Dalam mengatur dan menjalankan fungsi pemerintahan, terdapat 2 elemen
utama yang memiliki fungsi dan perannya masing-masing, yaitu Eksekutif Kota
Malang dan Legislatif Kota Malang.
a) Eksekutif Kota Malang
Eksekutif kota Malang terdiri dari kabinet yang diusung oleh Walikota
Malang dalam menjalankan roda pemerintahan. Secara garis besar, fungsi
utamanya adalah untuk menjalankan undang-undang yang dibuat oleh
legislatif serta menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintahan secara
langsung.
b) Legislatif Kota Malang
Legislatif kota Malang merupakan wakil dari masyarakat Kota Malang
yang dipilih secara umum untuk menjaring aspirasi dari masyarakat Kota
Malang. Secara garis besar, fungsi utamanya adalah untuk merancang
undang-undang yang akan dilaksanakan oleh Eksekutif Kota Malang,
mengawasi kinerja Eksekutif Kota Malang, serta menjaring aspirasi dari
masyarakat Kota Malang.
4.3. DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA
4.3.1. Data Hasil Penyebaran Kuisioner
Dalam proses penelitian, peneliti menyebarkan 71 kuisioner ke masing-
masing objek penelitian yang dituju. Kuisioner tersebut disebarkan secara manual,
berbentuk cetak pada masing-masing penelitian. Dari 71 kuisioner yang disebar
58
tersebut, kuisioner yang kembali sejumlah 37 kuisioner dengan rincian kuisioner
yang ditujukan kepada Kepala Dinas dan Inspektur Kota Malang seluruhnya
kembali berjumlah 17 kuisioner; kuisioner yang ditujukan ke masing-masing
Kepala Bagian di Balaikota Malang dengan total 9 kuisioner berhasil kembali
sejumlah 6 buah kuisioner; dan kuisioner yang ditujukan kepada anggota DPRD
Kota Malang sejumlah 45 kuisioner, yang berhasil kembali sejumlah 14 kuisioner.
Proses penyebaran kuisioner penelitian ini dimulai pada bulan Maret
hingga bulan Mei 2014. Selama proses penyebaran tersebut, peneliti mengalami
beberapa kendala terutama dalam melakukan penyebaran kuisioner di DPRD kota
Malang. Pada periode tersebut, DPRD kota Malang sedang menjalani masa reses
dimana para anggota DPRD Kota Malang melakukan kegiatan diluar gedung
DPRD untuk melaksanakan kunjungan kerja baik secara berkelompok maupun
secara perseorangan. Selain itu, pada periode penyebaran kuisioner penelitian
tersebut bertepatan dengan masa persiapan pemilihan umum DPRD Kota Malang.
Sebagian besar dari para anggota DPRD Kota Malang masa jabatan 2009-2014
mencalonkan diri kembali untuk menjadi anggota DPRD di periode selanjutnya,
sehingga peneliti mengalami kesulitan untuk mengumpulkan data dari anggota
DPRD Kota Malang karena mayoritas anggota dewan tidak berada di gedung
DPRD Kota Malang.
4.3.2. Deskripsi Responden
Dari total 71 kuisioner penelitian yang disebar, 37 kuisioner telah kembali
dan diolah untuk mendapatkan analisis secara deskriptif. Berikut adalah beberapa
grafik yang mendeskripsikan responden.
59
Gambar 4.1
Gambar 4.2
59.5%
40.5%
Jenis Kelamin Responden
Laki Laki
Perempuan
2.7%
38.5%
70.3%
Rentang Usia Responden
36-40 tahun
41-45 tahun
> 46 tahun
60
Gambar 4.3
Gambar 4.4
Dari total frekuensi 37, sebagian besar responden yaitu 59,5% berjenis
kelamin laki-laki dan sisanya berjenis kelamin perempuan. Kemudian untuk
rentang usia dari responden, sebagian besar berada dalam usia diatas 46 tahun
yaitu sebesar 70,3%, sisanya sebesar 38,5% berada dalam rentang usia 41-45
29.7%
67.6%
2.7%
Pendidikan Terakhir Responden
S1
S2
S3
5.4%
10.8%
32.4%
51.4%
Masa Kerja Responden
< 1 tahun
1-2 tahun
3-4 tahun
> 5 tahun
61
tahun serta 2,7% berada dalam rentang usia 36-40 tahun. Tidak ada responden
yang berusia di bawah 36 tahun.
Sebagian besar dari responden yaitu sejumlah 67,6% telah menempuh
pendidikan terakhir S2 dan menyandang gelar Magister. Sejumlah 29,7% dari
responden menempuh pendidikan terakhir S1 atau Sarjana dan sebagian kecil
yaitu sejumlah 2,7% responden telah menyandang gelar Doktor atau S3. Dari data
yang berhasil diolah, tidak ada responden yang menempuh pendidikan terakhir
SD, SMP, maupun SMA.
Mengenai masa kerja dari responden pada instansi terkait, sebagian besar
responden yaitu sejumlah 51,4% telah bekerja pada instansi terkait selama lebih
dari 5 tahun. Lalu, 32,4% responden telah bekerja pada instansi terkait selama
kurang lebih 3 hingga 4 tahun. Dan sisanya, sejumlah 10,8% responden telah
bekerja selama 1 hingga 2 tahun dan 5,4% dari responden baru bekerja pada
instansi terkait selama kurang dari 1 tahun.
4.3.3. Pemahaman Responden Mengenai Fraud Dalam Sektor Publik
Analisis yang dilakukan dalam bagian ini adalah mengenai pemahaman
responden terhadap makna dari fraud dalam Sektor Publik yaitu pertanyaan poin
pertama dalam kuisioner penelitian. Pada opsi jawaban yang tersedia adalah opsi
jawaban “Ya” untuk responden yang memahami makna dari istilah tersebut dan
opsi jawaban “Tidak” untuk responden yang tidak memahami makna dari istilah
tersebut. Berikut adalah tabel yang akan memperjelas data yang diolah.
62
Tabel 4.1
Pertanyaan 1. Apakah Bapak/Ibu mengetahui makna fraud dalam Sektor Publik?
Jawaban Frekuensi Prosentase
Ya 30 81.1%
Tidak 7 18.9%
Total 37 100%
Berdasarkan tabel 4.1, hampir seluruh responden memahami makna fraud
dalam Sektor Publik, yaitu sejumlah 81,1%. Sisanya sejumlah 18,9% responden
menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui makna fraud dalam Sektor Publik.
Data tersebut menjelaskan bahwa hampir seluruh responden memiliki
pemahaman dasar yang baik mengenai istilah fraud dalam Sektor Publik,
sehingga dengan adanya pemahaman dasar tersebut, diperkirakan setidaknya para
responden dapat membedakan hal-hal apa saja yang disebut dengan fraud dalam
Sektor Publik. Pemahaman dasar yang baik tentu akan menjadi pondasi yang baik
dalam menjalankan pemerintahan.
4.3.4. Persepsi Mengenai Fraud Sebagai Tindakan Melanggar Hukum
Pada bagian ini akan mendeskripsikan mengenai pemahaman dari
responden terhadap fraud sebagai tindakan yang melanggar hukum dan juga
konsekuensinya. Pemahaman responden mengenai hal ini terdapat pada
pertanyaan kuisioner poin ke-4 dan poin ke-6. Pilihan jawaban yang disediakan
pada poin ke-4 yaitu:
1. Pilihan jawaban “Ya” untuk responden yang menganggap fraud
merupakan tindakan yang melanggar hukum.
2. Pilihan jawaban “Tidak” untuk responden yang menganggap fraud bukan
merupakan tindakan yang melanggar hukum.
63
3. Pilihan jawaban “Lain-lain” untuk responden yang memiliki pendapat
sendiri terhadap hal tersebut serta diperkenankan untuk menuliskan
pendapatnya.
Sedangkan untuk pilihan jawaban pada poin ke-6 yaitu:
1. Pilihan jawaban “Ya” untuk responden yang setuju apabila pelaku korupsi
patut untuk diberi hukuman seberat-beratnya.
2. Pilihan jawaban “Tidak” untuk responden yang tidak setuju apabila pelaku
korupsi tidak patut untuk diberi hukuman seberat-beratnya.
3. Pilihan jawaban “Lain-lain” untuk responden yang memiliki pendapat
sendiri terhadap hal tersebut serta diperkenankan untuk menuliskan
pendapatnya.
Tabel 4.2
Pertanyaan 4. Menurut Bapak/Ibu apakah fraud merupakan tindakan yang
melanggar hukum?
Jawaban Frekuensi Prosentase
Ya 36 97.3%
Tidak 0 0%
Lain Lain 1 2.7%
Total 37 100%
Tabel 4.3
Pertanyaan 6. Apakah Bapak/Ibu setuju apabila pelaku korupsi (fraud) diberikan
hukuman seberat-beratnya?
Jawaban Frekuensi Prosentase
Ya 27 73.0%
Tidak 1 2.7%
Lain Lain 9 24.3%
Total 37 100.0%
64
Berdasarkan tabel 4.2, hampir seluruh responden yaitu sebesar 97,3%
menyatakan bahwa fraud merupakan tindakan yang melanggar hukum. Sisanya
sejumlah 2,7% responden menjawab lain-lain dan menuliskan alasan bahwa tidak
semuanya melanggar hukum.
Pernyataan seluruh responden bahwa fraud merupakan tindakan yang
melanggar hukum menunjukkan bahwa para responden memahami hukum yang
berlaku di Indonesia. Dengan demikian, Pemerintahan di Indonesia yang
berlandaskan hukum diharapkan dapat berjalan dengan baik dan menjadi acuan
seluruh masyarakan dalam menjalani kehidupan bernegara.
Berdasarkan tabel 4.3, sebagian besar dari responden yaitu sejumlah 73%
menyatakan bahwa mereka setuju apabila pelaku korupsi diberikan hukuman
seberat-beratnya. Sejumlah 2,7% responden menyatakan bahwa mereka tidak
setuju apabila pelaku korupsi diberikan hukuman seberat-beratnya. Sedangkan
sisanya sebesar 24,3% responden memiliki pendapat sendiri dengan memilih opsi
jawaban lain-lain. Sebagian besar dari responden yang menjawab opsi lain-lain
menuliskan alasan bahwa mereka lebih setuju apabila para pelaku korupsi
diberikan hukuman yang setimpal/sepantasnya sesuai dengan tindakan yang
dilakukannya dan peraturan yang berlaku. Selain itu ada pula alasan dari
responden yang menyatakan bahwa para pelaku korupsi lebih baik diberikan
hukuman yang dapat memberikan efek jera pada para pelaku agar tidak
mengulanginya kembali. Selain itu, salah seorang responden menyampaikan
alasan bahwa hukuman seberat-beratnya diberikan apabila memang terbukti
secara nyata korupsi yang dilakukannya.
65
Data yang ditunjukkan oleh tabel 4.3 dapat mengacu pada suatu
permasalahan yaitu kesesuaian sanksi dari hukum yang berlaku di Indonesia.
Selama ini, banyak pihak yang menganggap bahwa para pelanggar hukum di
Indonesia belum mendapatkan hukuman yang setimpal dengan tindakan
pelanggaran yang dilakukannya terutama dalam kasus-kasus korupsi pemerintah.
Oleh karena itu, hal ini menjadi suatu pertanda bahwa perlu adanya tindakan
pengadilan yang benar-benar adil dalam artian tindakan pelanggaran yang
dilakukan akan diberikan hukuman yang sesuai dan hal tersebut berlaku bagi
seluruh lapisan masyarakat mulai dari masyarakat biasa hingga para petinggi
negara tak terkecuali aparatur pemerintah, menteri, presiden, dan lain.
4.3.5. Pemahaman Mengenai Contoh Kasus Fraud
Dalam kuisioner penelitian yang disebarkan, terdapat beberapa contoh
kondisi dan kasus yang dapat ditemukan dalam sektor pemerintahan berkaitan
dengan fraud. Kondisi dan kasus tersebut digunakan untuk melihat sejauh mana
persepsi dan pemahaman dari para responden mengenai fraud. Kondisi dan kasus
tersebut terdapat dalam pertanyaan kuisioner poin ke-2, 3, 5, 7, dan 9. Pilihan
jawaban yang disediakan pada poin tersebut adalah:
1. Pilihan jawaban “Ya” untuk responden yang setuju terhadap pernyataan
dan pertanyaan yang ada pada poin tersebut.
2. Pilihan jawaban “Tidak” untuk responden yang tidak setuju terhadap
pernyataan dan pertanyaan yang ada pada poin tersebut.
3. Pilihan jawaban “Lain-lain” untuk responden yang memiliki pendapat
sendiri terhadap pertanyaan dan pernyataan pada poin tersebut serta
diperkenankan untuk menuliskan pendapatnya.
66
Tabel 4.4
Pertanyaan 2. Dalam suatu kondisi apabila Bapak/Ibu menerima hadiah setelah
melakukan kunjungan ke daerah tertentu, apakah hal tersebut dapat dikatakan
sebagai fraud berupa gratifikasi?
Jawaban Frekuensi Prosentase
Ya 17 45.9%
Tidak 15 40.5%
Lain Lain 5 13.5%
Total 37 100.0%
Berdasarkan tabel 4.4 yang menjelaskan jawaban atas suatu kondisi
dimana dalam tugas untuk melakukan kunjungan ke daerah tertentu responden
menerima hadiah, hampir setengah dari responden sejumlah 45,9% menyatakan
bahwa hal tersebut termasuk gratifikasi. Selain itu, 40,5% responden menyatakan
bahwa hal tersebut bukanlah suatu fraud berupa gratifikasi. Sisanya sejumlah
13,5% responden menjawab dengan pilihan lain-lain dan beberapa diantaranya
menuliskan pendapatnya tentang hal tersebut.
Beberapa responden memberikan pendapat bahwa hal tersebut belum tentu
gratifikasi, karena apabila sifat dari hadiah tersebut jelas, maka hal tersebut bisa
digolongkan sebagai ucapan terimakasih atas jasa yang diberikan atau
cinderamata. Selain itu, ada pula pendapat dari seorang responden yang
menyatakan apabila hal tersebut untuk kepentingan organisasi bukan kepentingan
perseorangan, maka tidak dapat dikatakan sebagai gratifikasi. Ada juga pendapat
yang hanya mengatakan bahwa belum tentu hal tersebut merupakan gratifikasi
serta ada juga pendapat yang menyatakan bahwa responden tidak pernah
melakukan kunjungan.
67
Penting bagi pemerintah untuk memperjelas kententuan dari hal yang
disebut dengan gratifikasi karena dari data diatas dapat dianalisis bahwa selama
ini banyak pihak yang menganggap bahwa gratifikasi itu wajar dalam batas
tertentu. Padahal, untuk mempertahankan integritas dan independensi dari
aparatur pemerintah, sepantasnya pemberian suatu hadiah atau sejenisnya tidak
diperbolehkan, karena hal tersebut dapat mengarah pada tindakan fraud yang
selama ini masih ditoleransi dalam suatu ukuran tertentu. Suatu tindakan fraud
yang besar dimulai dari tindakan-tindakan fraud yang disepelekan.
Tabel 4.5
Pertanyaan 3. Ketika Bapak/Ibu menerima uang dari pihak yang bekerjasama
dengan Bapak/Ibu dalam menjalankan suatu proyek tertentu, apakah hal tersebut
dapat dikatakan sebagai fraud berupa suap?
Jawaban Frekuensi Prosentase
Ya 29 78.4%
Tidak 4 10.8%
Lain Lain 4 10.8%
Total 37 100.0%
Tabel 4.5 menjelaskan mengenai jawaban atas salah satu pertanyaan dalam
kuisioner mengenai suatu kondisi apabila responden menerima uang dari pihak
yang bekerjasama dalam menjalankan suatu proyek. Hampir seluruh responden
sejumlah 78,4% menjawab hal tersebut dapat digolongkan sebagai fraud berupa
suap, sedangkan sebagian kecil dari responden sejumlah 10,8% menyatakan
bahwa hal tersebut bukan merupakan fraud berupa suap. Sisanya sebesar 10,8%
responden menjawab dengan pilihan lain-lain dan beberapa diantaranya
menuliskan pendapatnya.
68
Salah seorang responden menuliskan pendapatnya, yaitu anggota DPRD
tidak boleh menjalankan proyek dari Pemerintah. Selain itu, ada juga pendapat
yang menyatakan bahwa hal tersebut belum bisa dinyatakan sebagai fraud berupa
suap, karena bisa jadi merupakan provisi, administrasi, ataupun uang titipan untuk
membayar pajak. Salah seorang responden memberikan pendapat bahwa tidak ada
yang memberinya semacam hal tersebut. Pendapat yang lain yang dituliskan yaitu
melihat dulu uang tersebut untuk apa.
Hampir sama dengan kasus berupa gratifikasi, perlu adanya suatu aturan
yang tegas dimana pemerintah sudah seharusnya tidak menerima hal-hal yang
dapat memperbesar kecenderungan melakukan tindakan fraud. Adanya responden
yang menjawab kasus tersebut bukan merupakan suap maupun memiliki jawaban
yang lain menunjukkan bahwa selama ini masih terdapat perbedaan pemahaman
para responden tentang kasus suap. Hal ini dapat berakibat adanya kecenderungan
para responden untuk melakukan fraud terutama terkait dengan hal rasionalisasi
yaitu selama masih dalam batas-batas kewajaran, maka hal tersebut bukan
tergolong tindakan fraud.
Tabel 4.6
Pertanyaan 5. Dalam suatu kondisi setelah Bapak/Ibu menuntaskan sebuah
pekerjaan kemudian menerima honorarium. Apakah hal tersebut dapat dikatakan
sebagai fraud berupa korupsi?
Jawaban Frekuensi Prosentase
Ya 1 2.7%
Tidak 34 91.9%
Lain Lain 2 5.4%
Total 37 100.0%
69
Tabel 4.6 menjelaskan mengenai jawaban atas salah satu pertanyaan dalam
kuisioner mengenai suatu kondisi apabila responden telah menuntaskan suatu
pekerjaan dan menerima honorarium. Hampir seluruh responden sejumlah 91,9%
menjawab tidak, yang artinya hal tersebut bukan merupakan fraud berupa korupsi,
sedangkan sebagian kecil dari responden sejumlah 2,7% menyatakan bahwa hal
tersebut merupakan fraud berupa korupsi. Sisanya sebesar 5,4% responden
menjawab dengan pilihan lain-lain dan terdapat 2 pendapat yang dituliskan, yaitu
yang pertama; menuliskan tidak, karena honor sesuai dengan ketentuan tidak
masalah dan pendapat yang kedua menuliskan dilihat dari pekerjaan yang
dilakukannya.
Adanya honorarium setelah menunaikan suatu tugas merupakan hal yang
wajar dan berlaku di Indonesia. Pemberian honorarium ini merupakan timbal
balik atas jerih payah yang telah dilakukan oleh seseorang. Honorarium bukan
merupakan tindakan fraud dan hampir seluruh responden memahami hal tersebut.
Dalam Pemerintahan, perlu adanya ketentuan yang adil mengenai pemberian
honorarium, apabila seseorang melakukan tugasnya dengan baik maka sepatutnya
diberikan honorarium yang sesuai, karena adanya ketidakadilan dalam pemberian
honorarium dapat mengacu pada terjadinya fraud.
Tabel 4.7
Pertanyaan 7. Apabila dalam suatu kepentingan pribadi Bapak/Ibu menggunakan
mobil dinas, apakah menurut Bapak/Ibu hal tersebut tergolong fraud berupa
penyalahgunaan aset?
Jawaban Frekuensi Prosentase
Ya 28 75.7%
Tidak 6 16.2%
70
Lain Lain 3 8.1%
Total 37 100.0%
Berdasarkan tabel 4.7 yang menjelaskan jawaban atas suatu kondisi
apabila dalam suatu kepentingan pribadi responden menggunakan mobil dinas,
sebagian besar dari responden sejumlah 75,7% menyatakan bahwa hal tersebut
merupakan fraud berupa penyalahgunaan aset. Selain itu, sebagian kecil sejumlah
16,2% responden menyatakan bahwa hal tersebut bukanlah suatu fraud berupa
penyalahgunaan aset. Sisanya sejumlah 8,1% responden menjawab dengan pilihan
lain-lain dan salah seorang menuliskan pendapatnya yaitu tergantung dari
keperluannya.
Dari jawaban para responden, dapat dilihat bahwa masih ada yang
menganggap bahwa mobil dinas yang digunakan untuk keperluan pribadi bukan
merupakan suatu tindakan fraud, padahal hal tersebut merupakan penyalahgunaan
aset negara yang selama ini seringkali terjadi. Pemerintah seharusnya
mempertegas bahwa penggunaan mobil dinas untuk kepentingan pribadi
merupakan suatu tindakan fraud karena aset negara yang disediakan tersebut tidak
digunakan untuk kepentingan pribadi melainkan untuk mengabdi kepada
masyarakat.
Tabel 4.8
Pertanyaan 9. Ketika dalam suatu tes Calon Pegawai Negeri/Swasta, Bapak/Ibu
memberikan janji kepada seseorang untuk meloloskan orang tersebut dalam tes
dengan imbalan suatu hal. Apakah hal tersebut tergolong fraud berupa
penyalahgunaan wewenang?
71
Jawaban Frekuensi Prosentase
Ya 36 97.3%
Tidak 0 0.0%
Lain Lain 1 2.7%
Total 37 100.0%
Tabel 4.8 menjelaskan mengenai jawaban atas pertanyaan dalam kuisioner
mengenai suatu kondisi apabila responden memberikan janji kepada seseorang
untuk meloloskan orang tersebut dalam tes dengan imbalan suatu hal. Hampir
seluruh responden sejumlah 97,3% menjawab ya yang artinya hal tersebut
tergolong fraud yang berupa penyalahgunaan wewenang, sedangkan sisanya
sejumlah 2,7% menjawab dengan pilihan lain tanpa menuliskan alasannya.
Informasi yang terdapat dalam tabel 4.8 menjelaskan bahwa hampir
seluruh responden memahami hal tersebut merupakan penyalahgunaan
wewenang. Hal ini menjadi suatu dasar asumsi bahwa para responden yang
merupakan orang-orang pilihan masyarakat dapat menunjukkan bahwa praktik
penyalahgunaan wewenang terutama dalam kasus tes Pegawai Negeri dapat
diminimalisir.
4.3.6. Persepsi Mengenai Penyebab Terjadinya Fraud
Salah satu dari pertanyaan yang terdapat dalam kuisioner penelitian
mempertanyakan mengenai persepsi dari responden mengenai penyebab
terjadinya fraud, yaitu pertanyaan ke-8. Pilihan jawaban yang disediakan untuk
menjawab pertanyaan ini adalah sebagai berikut.
1. Pilihan jawaban A adalah adanya kesempatan
2. Pilihan jawaban B adalah tidak terpenuhi kebutuhannya
3. Pilihan jawaban C adalah dimilikinya suatu wewenang atau kuasa
72
4. Pilihan jawaban D adalah lain lain untuk responden yang memiliki
pendapatnya sendiri dan responden diperkenankan untuk menuliskan
pendapatnya.
Tabel 4.9
Pertanyaan 8. Menurut Bapak/Ibu apakah alasan seseorang melakukan suatu
tindakan fraud?
Jawaban Frekuensi Prosentase
Adanya Kesempatan 22 48.9%
Tidak Terpenuhinya Kebutuhan 4 8.9%
Dimilikinya suatu wewenang atau kuasa 15 33.3%
Lain Lain 4 8.9%
Total 45 100.0%
Tabel 4.9 menjelaskan mengenai jawaban responden atas pertanyaan
kuisioner terkait dengan penyebab seseorang melakukan suatu tindakan fraud.
Dalam pertanyaan ke-8 ini terdapat 5 responden yang memilih lebih dari 1 opsi
jawaban. 2 responden memilih 2 opsi jawaban, 2 responden memilih 3 opsi
jawaban, dan 1 responden memilih seluruh opsi jawaban yang disediakan. Hal
tersebut mengakibatkan adanya peningkatan frekuensi jawaban yang dipilih dari
37 menjadi 45.
Hampir setengah dari responden sejumlah 48,9% menjawab bahwa adanya
kesempatan merupakan penyebab utama seseorang melakukan fraud. Sejumlah
33,3% responden menjawab dimilikinya suatu wewenang atau kuasa merupakan
penyebab seseorang melakukan fraud. Sebagian kecil dari responden sejumlah
8,9% menjawab tidak terpenuhinya kebutuhan merupakan alasan seseorang
melakukan fraud dan sisanya 8,9% responden menjawab dengan pilihan jawaban
lain-lain dan ada 2 responden yang menyatakan pendapatnya yaitu salah
73
responden menyatakan belum tahu alasan seseorang melakukan tindakan fraud
dan responden yang selanjutnya menyatakan bahwa seluruh jawaban tersebut
merupakan alasan seseorang melakukan tindakan fraud.
Jawaban dari para responden yang tersaji dalam tabel 4.9 menunjukkan
bahwa sebenarnya para responden memahami penyebab mengapa seseorang
melakukan tindakan fraud. Jawaban yang tersedia dalam kuisioner merupakan
elemen dari segitiga fraud, bahkan beberapa responden menjawab lebih dari 1
jawaban. Jawaban yang melebihi dari 1 opsi itu menandakan adanya responden
yang memahami konsep tentang peyebab terjadinya fraud. Pemahaman dasar
terkait segitiga fraud ini dapat membantu meningkatkan kesadaran dari para
responden terkait dengan tindakan fraud yang terjadi. Oleh karena itu,
pemahaman dasar mengenai konsep fraud sudah seharusnya dimiliki oleh aparatur
Pemerintah baik Eksekutif maupun Legislatif.
4.3.7. Pengalaman Responden
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai pengalaman responden berfokus
pada pengalaman apakah responden pernah melihat suatu tindakan fraud selama
bekerja di instansi terkait. Selain itu, pertanyaan mengenai tindakan responden
apabila melihat suatu tindakan fraud juga diajukan dalam kuisioner penelitian.
Pilihan jawaban yang disediakan pada pertanyaan ke-10 adalah:
1. Pilihan jawaban “pernah” untuk responden yang pernah melihat suatu
tindakan fraud dalam berbagai macam bentuk pada instansinya.
2. Pilihan jawaban “tidak” untuk responden yang tidak pernah melihat suatu
tindakan fraud dalam berbagai macam bentuk pada instansinya.
Sedangkan untuk pilihan jawaban yang disediakan pada pertanyaan ke-11 adalah:
74
1. Pilihan jawaban “Ya” untuk responden yang tidak akan diam saja apabila
melihat suatu tindakan fraud.
2. Pilihan jawaban “Tidak” untuk responden yang akan diam saja apabila
melihat suatu tindakan fraud.
3. Pilihan jawaban “Lain-lain” untuk responden yang memiliki pendapat
sendiri terhadap pertanyaan pada poin tersebut serta diperkenankan untuk
menuliskan pendapatnya.
Hasilnya akan dijelaskan melalui tabel 4.10 dan 4.11 berikut.
Tabel 4.10
Pertanyaan 10. Apakah Bapak/Ibu pernah melihat suatu tindakan fraud dalam
berbagai macam bentuk pada instansi tempat Bapak/Ibu bekerja?
Jawaban Frekuensi Prosentase
Pernah 13 35.1%
Tidak Pernah 24 64.9%
Total 37 100.0%
Tabel 4.11
Pertanyaan 11. Ketika anda melihat terjadi tindakan fraud, apakah Bapak/Ibu akan
bertindak (tidak diam saja) terhadap hal tersebut?
Jawaban Frekuensi Prosentase
Ya 20 54.1%
Tidak 12 32.4%
Lain Lain 5 13.5%
Total 37 100.0%
Tabel 4.10 dan 4.11 menjelaskan mengenai pengalaman responden
mengenai pernahkah responden melihat suatu tindakan fraud dan apakah
responden akan melakukan sesuatu apabila melihat suatu tindakan fraud.
Sebagian besar responden yaitu sejumlah 64,9% mengaku tidak pernah melihat
75
tindakan fraud dan sisanya sebesar 35,1% responden mengaku pernah melihat
suatu tindakan fraud.
Pengalaman yang disampaikan oleh para responden ini menunjukkan
bahwa responden telah memahami tindakan seperti apa yang tergolong fraud.
Selain itu, hal ini menunjukkan fakta bahwa memang benar tindakan fraud dalam
Sektor Publik hingga saat ini masih terjadi. Namun apabila dilihat secara
menyeluruh, tidak semua pihak yang melakukannya, hanya pihak-pihak tertentu
saja yang melakukan tindakan fraud yang masih belom secara resmi terbongkar.
Kemudian pada pertanyaan poin selanjutnya, dibahas pula mengenai
tindakan yang akan diambil oleh para responden apabila melihat suatu tindakan
fraud. Sebagian besar responden sejumlah 54,1% menyatakan akan tidak tinggal
diam apabila melihat suatu tindakan fraud terjadi. Sedangkan 32,4% responden
menyatakan akan diam saja apabila melihat tindakan fraud terjadi. Sisanya
sebesar 13,5% responden menjawab lain-lain dan beberapa diantaranya
menuliskan alasannya. 2 diantara 3 responden yang menuliskan alasannya
menyatakan bahwa tindakan akan dilakukan apabila pelaku fraud tersebut berada
di dalam wewenangnya bukan berada di wewenang yang lebih tinggi lagi. Salah
seorang responden juga menyatakan pendapat, yaitu apabila masih dapat
diberikan teguran, ia akan menegur apabila tindakan fraud terjadi.
Jawaban dari responden pada tabel 4.11 menunjukkan lebih dari separuh
responden yang akan bertindak apabila melihat suatu tindakan fraud. Aparatur
pemerintah yang baik seharusnya akan bertindak apabila melihat tindakan fraud
sekecil apapun terjadi serta memberi contoh yang baik kepada orang-orang yang
berada di bawah posisinya. Apabila hal seperti ini terus terjadi, dikhawatirkan
76
pemerintah tidak akan bersih dari tindakan fraud dan Good Governance tidak
akan terwujud. Ketika seluruh aparatur pemerintah saling bekerjasama dan
bersedia melakukan pemberantasan fraud, maka Sektor Publik di Indonesia akan
berkembang semakin baik lagi untuk kedepannya.
4.3.8. Pemahaman Mengenai Whistleblowing
Pada bagian selanjutnya, kuisioner akan berfokus mengenai persepsi dari
para responden terhadap whistleblowing. Pertanyaan mengenai persepsi terhadap
whistleblowing terdapat dalam pertanyaan ke-12 pada kuisioner. Pilihan jawaban
yang disediakan pada pertanyaan ke-12 adalah:
1. Pilihan jawaban “Ya” untuk responden yang memahami pengertian dari
istilah whistleblowing.
2. Pilihan jawaban “Tidak” untuk responden yang tidak memahami
pengertian dari istilah whistleblowing.
Hasil yang telah diolah akan dijelaskan dalam tabel berikut.
Tabel 4.12
Pertanyaan 12. Apakah Bapak/Ibu memahami pengertian dari whistleblowing?
Jawaban Frekuensi Prosentase
Ya 32 86.5%
Tidak 5 13.5%
Total 37 100.0%
Tabel 4.12 menjelaskan mengenai jawaban responden terhadap pertanyaan
tentang pemahaman terhadap istilah whistleblowing. Hampir seluruh responden
sejumlah 86,5% menyatakan bahwa responden memahami pengertian dari
whistleblowing. Sisanya sebesar 13,5% responden menyatakan bahwa mereka
tidak memahami pengertian dari whistleblowing.
77
Hampir sebagian besar responden telah memahami istilah whistleblowing
yang beberapa tahun terakhir ini semakin mencuat. Masih adanya responden yang
belum memahahi istilah tersebut menunjukkan bahwa tidak semua aparatur
pemerintahan mengerti tentang kejadian-kejadian teraktual yang terjadi. Sebagai
aparatur pemerintahan yang baik tentu sudah sepatutnya mereka mengerti tentang
informasi-informasi terkini yang terjadi serta peduli dengan hal-hal teraktual
terutama terkait dengan Sektor Publik.
4.3.9. Persepsi Mengenai Manfaat dan Pentingnya Whistleblowing Dalam
Suatu Instansi
Peneliti mengajukan pertanyaan dalam kuisioner penelitian mengenai
manfaat dan pentingnya whistleblowing bagi suatu instansi yang terdapat pada
pertanyaan ke-13 dan 16. Pilihan jawaban yang disediakan pada pertanyaan ke-13
adalah:
1. Pilihan jawaban “Ya” untuk responden yang setuju bahwa sistem
whistleblowing (sistem pelaporan pelanggaran) memiliki manfaat bagi
kemajuan suatu instansi.
2. Pilihan jawaban “Tidak” untuk responden yang tidak setuju bahwa sistem
whistleblowing (sistem pelaporan pelanggaran) memiliki manfaat bagi
kemajuan suatu instansi.
Sedangkan untuk pertanyaan ke-16 pilihan jawaban yang diberikan adalah:
1. Pilihan jawaban “sangat penting” untuk responden yang merasa bahwa
sistem whistleblowing sangat penting manfaatnya untuk suatu instansi.
2. Pilihan jawaban “penting” untuk responden yang merasa bahwa sistem
whistleblowing cukup penting manfaatnya untuk suatu instansi.
78
3. Pilihan jawaban “netral” untuk responden yang memilih untuk tidak
menyatakan seberapa penting manfaat sistem whistleblowing untuk suatu
instansi.
4. Pilihan jawaban “tidak penting” untuk responden yang merasa bahwa
sistem whistleblowing tidak penting manfaatnya (tidak bermanfaat) untuk
suatu instansi.
5. Pilihan jawaban “lain-lain” untuk responden yang memiliki pendapat
sendiri terhadap pertanyaan pada poin tersebut serta diperkenankan untuk
menuliskan pendapatnya.
Hasil dari data yang telah diolah akan dijelaskan dalam tabel berikut.
Tabel 4.13
Pertanyaan 13. Menurut Bapak/Ibu apakah sistem whistleblowing (sistem
pelaporan pelanggaran) memiliki suatu manfaat bagi kemajuan suatu instansi?
Jawaban Frekuensi Prosentase
Ya 30 81.1%
Tidak 1 2.7%
Lain Lain 6 16.2%
Total 37 100.0%
Tabel 4.14
Pertanyaan 16. Seberapa pentingkah sistem whistleblowing bermanfaat bagi suatu
instansi?
Jawaban Frekuensi Prosentase
Sangat Penting 11 29.7%
Penting 22 59.5%
Netral 4 10.8%
Tidak Penting 0 0.0%
Lain Lain 0 0.0%
Total 37 100.0%
79
Tabel 4.13 menjelaskan bahwa hampir seluruh responden sejumlah 81,1%
menyatakan bahwa sistem whistleblowing (sistem pelaporan pelanggaran)
memiliki manfaat bagi kemajuan suatu instansi. Sedangkan 2,7% responden
menyatakan bahwa sistem whistleblowing (sistem pelaporan pelanggaran) tidak
memiliki manfaat bagi kemajuan suatu instansi. Sisanya sebesar 16,2% responden
memilih jawaban lain-lain dan beberapa responden menuliskan pendapatnya.
Salah satu pendapat yang ada yaitu bahwa sistem whistleblowing masih belum ada
di instansi responden. Selain itu ada juga responden yang menjawab jawaban ya,
namun menuliskan alasan bahwa manfaat tersebut ada secara teori saja.
Pentingnya whistleblowing ditunjukkan dari jawaban para responden yang
hampir seluruhnya merasa bahwa whistleblowing dapat memajukan suatu instansi.
Kaitannya adalah dengan adanya whistleblowing system yang berjalan dengan
baik, maka suatu instansi dapat terhindar dari tindakan fraud yang dapat
merugikan suatu instansi tersebut. Namun jawaban dari salah seorang responden
yang menyatakan bahwa hal tersebut merupakan sebatas teori menunjukkan
bahwa pemerintah memang perlu untuk mulai menerapkan whistleblowing system
secara formal dan menyeluruh agar bisa dirasakan manfaat sesungguhnya dari
whistleblowing system tersebut.
Lain halnya tabel 4.14 yang menjelaskan jawaban responden terkait
dengan seberapa penting manfaat sistem whistleblowing untuk suatu instansi.
Sebagian besar responden sejumlah 59,5% menyatakan bahwa bahwa sistem
whistleblowing cukup penting manfaatnya untuk suatu instansi. Sebagian kecil
sejumlah 29,7% menyatakan bahwa sistem whistleblowing sangat penting
manfaatnya untuk suatu instansi. Sisanya sebesar 10,8% responden memilih untuk
80
tidak menyatakan seberapa penting manfaat sistem whistleblowing untuk suatu
instansi.
Jawaban dari para responden pada tabel 4.14 tersebut menunjukkan bahwa
apabila kelak ketika Pemerintah akan memberlakukan whistleblowing system
secara terstruktur dan menyeluruh, maka aparatur Pemerintahan terutama Kota
Malang akan berusaha melaksanakan dan memanfaatkan sebaik-baiknya
whistleblowing system tersebut untuk kemajuan instansi. Selain itu, jawaban
tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Malang ingin untuk memerangi
fraud yang terjadi dengan adanya whistleblowing system.
4.3.10. Persepsi Mengenai Peran Whistleblowing Sebagai Upaya Pencegahan
dan Pendeteksian Fraud
Bagian ini akan menjelaskan mengenai persepsi responden mengenai peran
whistleblowing sebagai upaya pencegahan dan pendeteksian fraud. Pertanyaan
terkait dengan bahasan ini terdapat pada pertanyaan ke-14 dan 15 dalam
kuisioner. Pilihan jawaban yang disediakan pada pertanyaan ke-14 adalah:
1. Pilihan jawaban “Ya” untuk responden yang setuju bahwa whistleblowing
dapat secara efektif mencegah terjadinya tindakan fraud pada instansi.
2. Pilihan jawaban “Tidak” untuk responden yang tidak setuju bahwa
whistleblowing dapat secara efektif mencegah terjadinya tindakan fraud
pada instansi.
3. Pilihan jawaban “Lain-lain” untuk responden yang memiliki pendapat
sendiri terhadap pernyataan pada poin tersebut serta diperkenankan untuk
menuliskan pendapatnya.
Sedangkan untuk pilihan jawaban yang disediakan pada pertanyaan ke-15 adalah:
81
1. Pilihan jawaban “Ya” untuk responden yang setuju bahwa whistleblowing
dapat secara efektif mendeteksi terjadinya tindakan fraud pada instansi.
2. Pilihan jawaban “Tidak” untuk responden yang tidak setuju bahwa
whistleblowing dapat secara efektif mendeteksi terjadinya tindakan fraud
pada instansi.
3. Pilihan jawaban “Lain-lain” untuk responden yang memiliki pendapat
sendiri terhadap pernyataan pada poin tersebut serta diperkenankan untuk
menuliskan pendapatnya.
Data yang telah diolah akan dijelaskan dalam tabel berikut.
Tabel 4.15
Pertanyaan 14. Menurut Bapak/Ibu apakah whistleblowing dapat secara efektif
mencegah terjadinya tindakan fraud pada suatu instansi?
Jawaban Frekuensi Prosentase
Ya 25 65.8%
Tidak 9 23.7%
Lain Lain 4 10.5%
Total 38 100.0%
Tabel 4.16
Pertanyaan 15. Menurut Bapak/Ibu apakah whistleblowing dapat secara efektif
mendeteksi terjadinya tindakan fraud pada suatu instansi?
Jawaban Frekuensi Prosentase
Ya 26 70.3%
Tidak 8 21.6%
Lain Lain 3 8.1%
Total 37 100.0%
Tabel 4.15 menjelaskan tentang jawaban dari para responden tentang
persepsinya terhadap peran whistleblowing sebagai upaya pencegahan fraud. Pada
82
tabel ini frekuensi jawaban yang dipilih bertambah dari 37 menjadi 38 karena ada
1 kuisioner yang pada pertanyaan ini memilih 2 jawaban, yaitu jawaban “Ya” dan
“Tidak”, serta memberikan penjelasan untuk jawaban “Ya” secara teori efektif
dan untuk jawaban “Tidak” secara praktis tidak efektif.
Lebih dari sebagian besar responden sejumlah 65,8% menyatakan bahwa
bahwa whistleblowing dapat secara efektif mencegah terjadinya tindakan fraud
pada instansi. Sedangkan sejumlah 23,7% responden menyatakan kebalikannya,
bahwa whistleblowing tidak dapat secara efektif mencegah terjadinya tindakan
fraud pada instansi. Sisanya sebesar 10,5% menjawab lain-lain dan menuliskan
beberapa alasan mengapa memilih pilihan tersebut. Salah seorang responden
memberikan alasan bahwa hal tersebut belum tentu karena juga harus ada
pengawasan ketat karena whistleblowing yang dilakukan bisa juga berupa
manipulasi atau kebohongan. Responden yang lain menjawab lain-lain karena
belum ada sistem whistleblowing pada instansi tempatnya bekerja.
Perbedaan pendapat yang muncul dari jawaban responden terkait dengan
whistleblowing sebagai upaya pencegahan fraud ini terjadi dengan wajar karena
tentu saja responden perlu untuk membuktikan secara langsung apakah memang
whistleblowing dapat mencegah terjadinya fraud. Responden yang menjawab
bahwa diperlukan pengawasan juga benar adanya, oleh karena itu perlu adanya
whistleblowing system yang terstruktur dengan baik dan berjalan dengan efektif
dalam upaya pencegahan fraud secara efektif.
Tabel 4.16 menjelaskan tentang jawaban dari para responden tentang
persepsinya terhadap peran whistleblowing sebagai upaya pendeteksian fraud.
Lebih dari sebagian besar responden sejumlah 70,3% menyatakan bahwa
83
whistleblowing dapat secara efektif mendeteksi terjadinya tindakan fraud pada
instansi. Sedangkan sejumlah 21,6% responden menyatakan kebalikannya bahwa
whistleblowing tidak dapat secara efektif mendeteksi terjadinya tindakan fraud
pada instansi. Sisanya, sebanyak 8,1% responden memilih lain-lain dan beberapa
memaparkan alasan atas pilihannya. Salah seorang responden memaparkan bahwa
sistem whistleblowing dapat berjalan efektif jika disertai dengan komitmen dari
pejabat daerah (Walikota dan Sekretaris Daerah) untuk mengeliminir atau
menghapus tindakan fraud pada instansi. alasan dari responden yang lain
menyatakan bahwa tidak tahu karena belum ada pada instansinya.
Informasi pada tabel 4.16 tersebut mengacu pada persepsi responden yang
hampir sebagian besar menganggap whistleblowing dapat mendeteksi fraud.
Adanya perbedaan jawaban dapat dikarenakan responden yang hampir seluruhnya
belum pernah mengalami secara langsung aplikasi dari whistleblowing system
pada instansi masing-masing. Dengan demikian untuk memberikan gambaran dan
pemahaman yang lebih baik mengenai hal tersebut, perlu diaplikasikan
whistleblowing system pada pemerintahan.
4.3.11. Penerapan Sistem Whistleblowing pada Instansi Pemerintah
Pada bagian ini akan dibahas mengenai persepsi dari para responden
mengenai penerapan sistem whistleblowing pada instansi Pemerintah. Pada bagian
ini terdapat 2 pertanyaan yang diajukan kepada para responden, yaitu pertanyaan
ke-17 dan 18. Pilihan jawaban yang disediakan pada pertanyaan ke-17 adalah:
1. Pilihan jawaban “Ya” untuk responden yang pada instansi tempatnya
bekerja terdapat sistem whistleblowing yang berjalan dengan baik.
84
2. Pilihan jawaban “Tidak ada” untuk responden yang pada instansi
tempatnya bekerja tidak terdapat sistem whistleblowing yang berjalan
dengan baik.
3. Pilihan jawaban “Lain-lain” untuk responden yang memiliki pendapat
sendiri terhadap pertanyaan pada poin tersebut serta diperkenankan untuk
menuliskan pendapatnya.
Sedangkan pilihan jawaban yang disediakan untuk pertanyaan ke-18 adalah:
1. Pilihan jawaban “perlu” untuk responden yang setuju bahwa Indonesia
perlu untuk memberlakukan kebijakan mengenai penerapan sistem
whistleblowing pada instansi-instansi pemerintah.
2. Pilihan jawaban “tidak perlu” untuk responden yang tidak setuju bahwa
Indonesia perlu untuk memberlakukan kebijakan mengenai penerapan
sistem whistleblowing pada instansi-instansi pemerintah.
3. Pilihan jawaban “lain-lain” untuk responden yang memiliki pendapat
sendiri terhadap pertanyaan pada poin tersebut serta diperkenankan untuk
menuliskan pendapatnya.
Data yang telah diolah akan dijelaskan dalam tabel berikut.
Tabel 4.17
Pertanyaan 17. Apakah dalam instansi tempat Bapak/Ibu bekerja terdapat sistem
whistleblowing yang berjalan dengan baik?
Jawaban Frekuensi Prosentase
Ada 11 29.7%
Tidak Ada 20 54.1%
Lain Lain 6 16.2%
Total 37 100.0%
85
Tabel 4.18
Pertanyaan 18. Menurut Bapak/Ibu perlukah Indonesia memberlakukan kebijakan
mengenai penerapan sistem whistleblowing pada instansi-instansi Pemerintah?
Jawaban Frekuensi Prosentase
Perlu 34 91.9%
Tidak Perlu 2 5.4%
Lain Lain 1 2.7%
Total 37 100.0%
Tabel 4.17 menjelaskan mengenai jawaban dari responden terkait dengan
ada tidaknya sistem whistleblowing yang berjalan dengan baik pada instansi
tempatnya bekerja. Sebagian besar responden sejumlah 54,1% menjawab bahwa
pada instansi tempatnya bekerja tidak terdapat sistem whistleblowing yang
berjalan dengan baik. Sedangkan sebanyak 29,7% responden menjawab bahwa
pada instansi tempatnya bekerja terdapat sistem whistleblowing yang berjalan
dengan baik. Sisanya, sebanyak 16,2% responden menjawab dengan pilihan lain-
lain dan 1 orang responden memberikan alasan atas jawabannya yaitu responden
belom mengetahui penerapan dari sistem whistleblowing tersebut.
Jawaban dari 54,1% responden mengenai tidak adanya sistem
whistleblowing yang berjalan dengan baik perlu untuk diteliti lebih dalam lagi,
karena hal tersebut dapat memiliki makna bahwa dalam instansi yang terkait
terdapat whistleblowing system yang berjalan, namun kurang efektif maupun
dalam instansi yang terkait tidak terdapat whistleblowing system. Selain itu perlu
adanya kesamaan pemahaman antara aparatur pemerintah mengenai
whistleblowing system, seperti apakah suatu sistem yang dibentuk dapat disebut
sebagai whistleblowing system.
86
Tabel 4.18 menjelaskan mengenai jawaban dari para responden terhadap
pertanyaan apakah Indonesia perlu untuk memberlakukan kebijakan mengenai
penerapan sistem whistleblowing instansi-instansi Pemerintah. Hampir seluruh
responden sejumlah 91,9% menyatakan bahwa Indonesia perlu untuk
memberlakukan kebijakan mengenai penerapan sistem whistleblowing instansi-
instansi Pemerintah. Sedangkan 5,4% responden menyatakan bahwa Indonesia
tidak perlu untuk memberlakukan kebijakan mengenai penerapan sistem
whistleblowing pada instansi-instansi Pemerintah. Sisanya, sebanyak 2,7%
menjawab lain-lain dan memberikan alasan atas jawabannya yaitu bukan sistem
whistleblowing yang perlu untuk diterapkan namun yang perlu diadakan adalah
pembinaan mental atau rohani.
Jawaban dari hampir seluruh responden menunjukkan bahwa aparatur
Pemerintah membutuhkan penerapan whistleblowing system dalam instansi-
instansi Pemerintah. Namun, jawaban salah satu responden terkait dengan perlu
adanya pembinaan rohani dapat berarti bahwa dalam aparatur pemerintahan
sangat rentan dengan adanya tindakan fraud, apabila para aparatur pemerintah
tidak memiliki rohani yang kuat maka kecenderungan untuk melakukan tindakan
fraud akan semakin besar.
4.3.12. Kemauan Untuk Melakukan Whistleblowing
Dalam penelitian yang dilakukan, selain untuk memahami persepsi dari
para responden, penelitian juga dilakukan terhadap kemauan dari para responden
untuk melakukan whistleblowing. Pertanyaan terkait hal ini terdapat di dalam
kuisioner penelitian pertanyaan ke-19. Pilihan jawaban yang disediakan pada
pertanyaan ke-17 adalah:
87
1. Pilihan jawaban “Ya” untuk responden yang apabila melihat suatu
tindakan fraud pada instansi tempatnya bekerja akan melakukan
whistleblowing.
2. Pilihan jawaban “Tidak” untuk responden yang apabila melihat suatu
tindakan fraud pada instansi tempatnya bekerja tidak akan melakukan
whistleblowing.
3. Pilihan jawaban “Lain-lain” untuk responden yang memiliki pendapat
sendiri terhadap pertanyaan pada poin tersebut serta diperkenankan untuk
menuliskan pendapatnya.
Data yang diolah akan dijelaskan dalam tabel berikut.
Tabel 4.19
Pertanyaan 19. Apabila Bapak/Ibu melihat suatu tindakan fraud terjadi pada
instansi tempat Bapak/Ibu bekerja, apakah Bapak/Ibu akan melakukan
whistleblowing?
Jawaban Frekuensi Prosentase
Ya 28 75.7%
Tidak 5 13.5%
Lain Lain 4 10.8%
Total 37 100.0%
Tabel 4.19 menjelaskan mengenai kemauan dari para responden untuk
melakukan tindakan whistleblowing apabila melihat suatu tindakan fraud yang
terjadi di instansi tempatnya bekerja. Hampir seluruh responden sejumlah 75,7%
menyatakan bahwa apabila melihat suatu tindakan fraud pada instansi tempatnya
bekerja akan melakukan whistleblowing. Sedangkan sebanyak 13,5% responden
menyatakan bahwa apabila melihat suatu tindakan fraud pada instansi tempatnya
bekerja tidak akan melakukan whistleblowing. Sisanya, sejumlah 10,8%
88
responden memilih pilihan jawaban lain-lain dan 2 diantaranya memberikan
alasan atas pilihannya. Alasan yang pertama adalah tergantung dari seberapa
parah fraud yang terjadi dan alasan selanjutnya adalah berdasarkan dari
pengaduan.
Melihat adanya jawaban responden yang tidak ingin melakukan
whistleblowing tentu saja memunculkan suatu pertanyaan mengapa mereka tidak
ingin melakukan whistleblowing, karena jika dilihat hampir seluruh responden
menyatakan akan melakukan whistleblowing apabila melihat suatu tindakan fraud.
Kemungkinan besar rasa iba juga berperan besar mengurangi niat whistleblowing,
karena ketika seseorang melihat rekannya melakukan tindakan fraud tentu harus
berpikir lebih jauh terlebih dahulu apakah akan melaporkan rekan tersebut
ataukah membiarkannya selama tidak menyangkut orang-orang lain karena
adanya rasa pertemanan yang dapat menghapuskan profesionalitas. Oleh karena
itu perlu adanya rasa profesionalitas yang tinggi pada aparatur pemerintahan
untuk dapat melaksanakan whistleblowing system dengan efektif.