9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian dan Klasifikasi Sampah
Sampah adalah istilah umum yang sering digunakan untuk menyatakan
limbah padat. Sampah merupakan sisa-sisa bahan yang mengalami perlakuan-
perlakuan, baik karena telah diambil bagian utamanya, karena pengolahan,
maupun karena sudah tidak memberikan manfaat dari segi sosial ekonomi serta
dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan terhadap lingkungan hidup
(Hadiwiyoto, 1983).
Menurut Gelbert et al. (1996), sumber-sumber timbulan sampah terdiri
dari:
1. Sampah pemukiman, yaitu sampah rumah tangga berupa sisa pengolahan
makanan, perlengkapan rumah tangga bekas, kertas, kardus, gelas, kain,
sampah kebun atau halaman, dan lain-lain;
2. Sampah pertanian dan perkebunan, terdiri dari sampah organik, sampah
bahan kimia, dan sampah anorganik seperti plastik penutup tempat tumbuh-
tumbuhan;
3. Sampah dari sisa bangunan dan konstruksi gedung, seperti kayu, triplek,
semen, pasir, spesi, batu bata, ubin, besi, baja, kaca, dan kaleng;
4. Sampah dari perdagangan dan perkantoran, berupa bahan organik, kardus,
pembungkus, kertas, toner fotokopi, pita printer, baterai, pita mesin ketik,
klise film, komputer rusak, dan lain-lain;
5. Sampah industri, yaitu sampah yang berasal dari seluruh rangkaian proses
produksi berupa bahan-bahan kimia serpihan atau potongan bahan, serta
10
perlakuan dan pengemasan produk berupa kertas, kayu, plastik, atau lap yang
jenuh dengan pelarut untuk pembersihan.
Sedangkan berdasarkan tingkat penguraian, sampah pada umumnya dibagi
menjadi dua macam (Hadiwiyoto, 1983):
1. Sampah organik, yaitu sampah yang mengandung senyawa-senyawa organik,
karena tersusun dari unsur-unsur seperti C, H, O, N, dan sebagainya. Sampah
organik umumnya dapat terurai secara alami oleh mikroorganisme, contohnya
sisa makanan, karton, kain, karet, kulit, sampah halaman.
2. Sampah anorganik, yaitu sampah yang bahan kandungannya bersifat
anorganik dan umumnya sulit terurai oleh mikroorganisme. Contohnya kaca,
kaleng, alumunium, debu, dan logam lainnya.
2.2. Sistem Pengelolaan Sampah
Pengelolaan sampah adalah pengaturan yang berhubungan dengan
pengendalian timbulan, penyimpanan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan,
pengolahan, dan pembuangan sampah dengan cara yang merujuk pada dasar-dasar
terbaik mengenai kesehatan masyarakat, ekonomi, teknik, konservasi, estetika,
dan pertimbangan lingkungan lainnya serta tanggap terhadap perilaku massa
(Yones, 2007). Sistem pengelolaan sampah terdiri dari lima aspek yang saling
mendukung dimana antara satu dengan yang lainnya saling berinteraksi untuk
mencapai tujuan. Kelima aspek tersebut terdiri dari aspek teknis operasional,
kelembagaan, hukum dan peraturan, pembiayaan, dan peran serta masyarakat.
Dalam pengelolaan sampah, kelima aspek tersebut saling terkait, tidak dapat
berdiri sendiri (Artiningsih, 2008).
11
2.3. Standar Pengelolaan Sampah
2.3.1. Standar Teknis Operasional Pengelolaan Sampah
Standar teknis operasional pengelolaan sampah untuk kawasan
permukiman diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 3242-2008
tentang Pengelolaan Sampah di Permukiman dan SNI Nomor 19-2454-2002
tentang Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan. Menurut
kedua SNI tersebut, pengelolaan sampah kawasan permukiman terdiri dari
serangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara integral dan terpadu, meliputi:
1. Pewadahan
Pewadahan adalah aktivitas menampung sampah sementara dalam suatu
wadah individual atau komunal di tempat sumber sampah. Pewadahan terdiri
dari dua macam, yaitu pewadahan individual dan pewadahan komunal. Tiap
rumah minimal memiliki 2 buah wadah sampah untuk memisahkan sampah
organik dengan anorganik.
2. Pengumpulan
Pengumpulan sampah adalah aktivitas penanganan yang tidak hanya
mengumpulkan sampah dari wadah individual dan atau wadah komunal,
melainkan juga mengangkutnya ke terminal tertentu. Pola pengumpulan
sampah dibedakan menjadi empat pola, yaitu: 1) pola individual tidak
langsung dari rumah ke rumah, 2) pola individual langsung dengan truk untuk
jalan dan fasilitas umum, 3) pola komunal langsung untuk pasar dan daerah
komersial, 4) pola komunal tidak langsung untuk permukiman padat.
Diagram jenis pola pengumpulan sampah secara lengkap dapat dilihat pada
Gambar 1.
12
Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2002)
Gambar 1. Diagram Pola Pengumpulan Sampah Menurut SNI 19-2454-2002
3. Pengolahan dan Daur Ulang di Sumber dan TPS
Mekanisme pengolahan dan daur ulang sampah di sumber dan TPS dapat
dilakukan dengan: 1) pengomposan skala rumah tangga dan daur ulang
sampah anorganik, sesuai dengan tipe rumah atau luas halaman yang ada; 2)
pengomposan skala lingkungan di TPS; 3) daur ulang sampah anorganik di
TPS.
4. Pemindahan
Pemindahan sampah adalah proses memindahkan sampah hasil pengumpulan
ke dalam alat pengangkut untuk dibawa ke tempat pembuangan akhir.
Pemindahan sampah dapat dilakukan di TPS atau TPST dan di lokasi wadah
sampah komunal.
5. Pengangkutan
Pengangkutan adalah kegiatan pengangkutan sampah dari TPS atau wadah
komunal ke TPST atau TPA dengan frekuensi pengangkutan disesuaikan
dengan jumlah sampah yang ada. Pengangkutan sampah residu dari TPS atau
13
wadah komunal dilakukan bila kontainer8 telah penuh dan sesuai jadwal
pengangkutan yang telah dikonfirmasikan dengan pengelola sampah kota.
Menurut SNI 19-2454-2002, terdapat tiga metode pembuangan akhir yang
dapat dilakukan pada TPST atau TPA, yaitu: (1) penimbunan terkendali
(controlled landfill) yang dilengkapi pengolahan dan gas; (2) lahan urug
saniter (sanitary landfill) yang diengkapi pengolahan lindi dan gas; (3)
penimbunan dengan sistem kolam (fakultatif, maturasi) untuk daerah pasang-
surut.
2.3.2. Spesifikasi Peralatan dan Bangunan
Standar peralatan dan bangunan untuk pengelolaan sampah perumahan
diatur dalam SNI 3242-2008. Spesifikasi peralatan dan bangunan menurut SNI
3242-2008 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Spesifikasi Peralatan dan Bangunan Menurut SNI 3242-2008
No. Peralatan/Bangunan Kapasitas Pelayanan
Volume KK Jiwa
1. Wadah komunal 0,5 - 1,0 20-40 100-200
2. Komposter komunal 0,5 - 1,0 10-20 50-100
3. Alat pengumpul 1 128 640
4. Kontainer truk armroll 6
10
640
1.375
3.200
5.330
5. TPS
Tipe I
Tipe II
Tipe III
100
±300
±1000
500
6.000
24.000
2.500
30.000
120.000
6. Bangunan pendaur ulang sampah
skala lingkungan 150 600 3.000
Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2008)
Secara matematis, rumus untuk menghitung luas bangunan pendaur ulang skala
lingkungan luas 150 adalah sebagai berikut:
8 Wadah sampah komunal yang terbuat dari besi dan digunakan untuk menampung sampah selama
periode tertentu
14
Keterangan:
C = Jumlah Rumah Sederhana
Vbk = Volume 1 cetakan bahan kompos
2.4. Kompos
Pengomposan adalah sistem pengolahan sampah organik dengan bantuan
mikroorganisme, sehingga membentuk pupuk organik (Artiningsih, 2008).
Sampah kota bisa digunakan sebagai kompos dengan catatan sampah kota harus
dipilah dengan memisahkan sampah yang sukar membusuk terlebih dahulu
sebelum diproses menjadi kompos. Jadi, sampah yang diolah menjadi kompos
hanya sampah yang mudah membusuk (Wied dalam Sulistyorini, 2005).
Beberapa manfaat kompos menurut Isroi antara lain9: (1) menghemat
biaya transportasi dan penimbunan limbah; (2) mengurangi kebutuhan lahan
untuk penimbunan; (3) mengurangi volume atau ukuran limbah; (4) memiliki nilai
jual yang lebih tinggi dari pada bahan asalnya; (5) mengurangi polusi udara
karena pembakaran limbah; (6) meningkatkan kesuburan tanah; (7) memperbaiki
struktur dan karakteristik tanah.
2.5. Pengertian Daya Dukung Lingkungan
Menurut Soerjani et al. (1987), daya dukung lingkungan adalah batas
teratas dari pertumbuhan suatu populasi saat jumlah populasi tidak dapat
didukung lagi oleh sarana, sumber daya dan lingkungan yang ada. Menurut Khana
dalam KLH (2010) daya dukung lingkungan dapat didefinisikan sebagai
kemampuan untuk mendapatkan hasil atau produk di suatu daerah dari
9 Isroi. http://www.ipard.com/art_perkebun/KomposLimbahPadatOrganik.pdf diakses pada tangga
12 Oktober 2011
15
sumberdaya alam yang terbatas dengan mempertahankan jumlah dan kualitas
sumberdayanya.
Sesuai dengan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa daya dukung
lingkungan tidak hanya diukur dari kemampuan lingkungan dan sumberdaya alam
dalam mendukung kehidupan manusia, tetapi juga dari kemampuan menerima
beban pencemaran dan bangunan. Dengan demikian, daya dukung lingkungan
hidup terbagi menjadi dua komponen yaitu kapasitas penyediaan (supportive
capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity), seperti yang
teruang pada Gambar 2 (KLH, 2010).
Sumber: Khana dalam KLH (2010) Gambar 2. Daya Dukung Lingkungan Sebagai Dasar Pembangunan
Berkelanjutan
2.6. Hubungan Daya Dukung Lingkungan dengan Pengetahuan dan
Teknologi
Masuknya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) serta energi dalam
cara pemanfaatan suatu sumberdaya dapat meningkatkan daya dukung suatu
Hasil/Output
Limbah/Residu
Kapasitas Penyediaan
Sumberdaya Alam
Kegiatan Pembangunan
Lingkungan
Input
Sumberdaya Alam
Kapasitas Tampung
Limbah
(Supportive Capacity) (Assimilative Capacity)
Pertumbuhan Ekonomi
Kualitas Hidup
Daya Dukung Lingkungan
(Carrying Capacity)
16
lingkungan. Akan tetapi, karena keterbatasan dari potensi sumberdaya alam,
ekosistem, dan IPTEK yang dikuasai manusia itu sendiri menyebabkan
peningkatan daya dukung juga dapat bersifat signoid, bahkan pada ujung grafik
signoid dapat menurun seperti pada Gambar 3 (KLH, 2010).
Sumber: KLH (2010)
Gambar 3. Hubungan Peningkatan Daya Dukung dan Penggunaan IPTEK
2.7. Penentuan Daya Dukung Lingkungan
Penentuan daya dukung lingkungan hidup dalam pengendalian
perkembangan kawasan didasarkan pada tiga komponen, yaitu kesesuaian dan
ketersediaan lahan, kesesuaian mutu dan ketersediaan air, dan ketersediaan sarana
prasarana. Apabila salah satu dari ketiga komponen tersebut terlampaui, maka
dapat diindikasikan bahwa daya dukung lingkungan di kawasan tersebut telah
terlampaui (KLH, 2010).
Penentuan daya dukung lingkungan dapat dilakukan dengan mendasarkan
tingkat ketersediaan sarana prasarana untuk pemenuhan kebutuhan pada setiap
jenis kawasan sesuai peruntukannya. Apabila terdapat kesesuaian, maka dapat
diindikasikan bahwa daya dukung lingkungan berada dalam keadaan belum
terlampaui. Tetapi apabila sebaliknya, maka dapat diindikasikan bahwa daya
dukung lingkungan telah terlampaui (KLH, 2010). Untuk lebih jelasnya,
Ken
aikan
Day
a D
uk
un
g
Penambahan IPTEK dan Energi
batas kenaikan daya dukung
17
penentuan daya dukung lingkungan berdasarkan ketersediaan sarana prasarana
dapat dilihat pada Gambar 4.
Sumber: KLH (2010)
Gambar 4. Diagram Penentuan Daya Dukung Lingkungan dengan Pendekatan
Kesesuaian Ketersediaan Sarana Prasarana
2.8. Analisis Kelayakan Ekonomi
Perhitungan biaya dan manfaat proyek pada dasarnya dapat dilakukan
melalui dua pendekatan, tergantung pada pihak yang berkepentingan langsung
dalam proyek. Suatu perhitungan dikatakan privat atau analisis finansial jika yang
berkepentingan langsung dalam biaya dan manfaat proyek adalah individu atau
pengusaha. Dalam hal ini, yang dihitung sebagai manfaat adalah apa yang
diperoleh orang-orang atau badan-badan swasta yang menanamkan modalnya
dalam proyek tersebut. Sebaliknya, suatu perhitungan dikatakan sosial atau
ekonomi jika yang berkepentingan langsung dalam biaya dan manfaat proyek
adalah pemerintah atau masyarakat. Dalam hal ini, yang dihitung adalah seluruh
manfaat yang terjadi dalam masyarakat sebagai hasil dari proyek dan semua biaya
yang terpakai terlepas dari siapa saja yang menikmati manfaat dan siapa saja yang
mengorbankan sumber-sumber tersebut (Gray, 2007).
Setiap kebijakan program atau keputusan ekonomi harus dianalisis dalam
rangka melihat pengaruh-pengaruh yang ada. Analisis ekonomi adalah suatu alat
yang digunakan oleh para ahli untuk memberikan arahan dalam proses-proses
Ya
Ketersediaan sarana
prasarana
Tidak Indikasi daya dukung
lingkungan terlampaui
Jumlah kebutuhan
Indikasi daya dukung
lingkungan belum terlampaui
Kebutuhan terpenuhi
sesuai standar?
Dibandingkan
18
pengambilan keputusan secara nasional serta menganalisis kebijakan ekonomi.
Analisis ekonomi juga digunakan untuk mengevaluasi kontribusi dari kebijakan-
kebijakan yang ada, keputusan-keputusan atau proyek yang memberikan
kemakmuran bagi masyarakat. Nilai dari setiap barang atau sumberdaya yang
digunakan atau dihasilkan oleh proyek dinilai berdasarkan kontribusinya terhadap
kemakmuran negara (Maturana, 2005).
Menurut Gray (2007) pada dasarnya perhitungan dalam analisis privat dan
analisis ekonomi berbeda menurut lima hal, yaitu:
1. Harga
Dalam analisis ekonomi, harga yang digunakan adalah harga bayangan yang
merupakan nilai tertinggi suatu produk atau faktor produksi dalam
penggunaan alternatif terbaik. Menurut Husnan dan Suwarsono (2000),
beberapa cara penggunaan harga bayangan antara lain sebagai berikut10
:
a) Harga bayangan yang digunakan untuk input output diperdagangkan
adalah harga internasional atau border price yang dinyatakan dalam
satuan moneter setempat pada kurs pasar. Menurut Djamin (2003),
border price yang relevan untuk input dan output impor adalah harga
CIF (Cost, Insurance and Freight). Sementara untuk input dan output
ekspor, border price yang relevan digunakan adalah harga FOB (Free
On Board) pada titik masuk pelabuhan ekspor;
b) Harga bayangan dari input tidak diperdagangkan adalah consumer
willingness to pay (WTP) atau kesediaan konsumen untuk membayar,
10
Soetriono. http://irtusss.blogspot.com/2011/02/analisis-finansial-dan-ekonomi.html diakses pada
tanggal 9 Oktober 2011
19
dalam hal ini adalah kesediaan pihak yang berkepentingan dalam proyek
untuk membayar;
c) Harga bayangan untuk biaya tenaga kerja adalah berapa sektor lain
bersedia membayar untuk tenaga kerja tersebut. Jika proyek tersebut
menciptakan tenaga kerja, maka harga bayangan tenaga kerja jauh lebih
rendah dibandingkan dengan upah yang dibayarkan perusahaan kepada
tenaga kerja;
d) Harga bayangan modal untuk lahan diperhitungkan dari biaya
pengorbanan produksi (production foregone), yaitu hasil produksi dari
tanah apabila tidak digunakan untuk proyek. Untuk tanah yang tidak
menghasilkan, harga bayangan dapat berupa harga sewa dari tanah
tersebut;
e) Harga bayangan untuk nilai valuta asing adalah nilai resmi yang
ditentukan oleh lembaga pemerintah yang berwenang dikali dengan
faktor konversi.
2. Pajak
Analisis ekonomi menganggap pajak sebagai transfer, yaitu bagian dari
manfaat proyek yang diserahkan kepada pemerintah, sehingga tidak dikurangi
dari komponen manfaat. Dengan kata lain, pajak tidak termasuk dalam
sumber-sumber riil yang penggunaannya dalam proyek menyebabkan
timbulnya biaya penggunaan alternatif terbaik dari segi masyarakat. Pajak
langsung berupa pajak perusahaan yang dibayarkan atas laba perusahaan
tidak dikurangi dari harga yang dibayarkan konsumen. Sementara itu, pajak
tidak langsung yang dibayarkan ke pemerintah dan merupakan bagian harga
20
yang dibayarkan konsumen, harus dikurangi dalam menghitung harga
ekonomi.
3. Subsidi
Pada analisis ekonomi, subsidi dianggap sebagai sumber-sumber yang
dialihkan dari masyarakat untuk digunakan dalam proyek. Oleh karena itu
subsidi yang diterima proyek adalah beban masyarakat, sehingga dari segi
perhitungan ekonomi tidak mengurangi biaya proyek.
4. Biaya Investasi dan Pelunasan Pinjaman
Pada analisis ekonomi, seluruh biaya investasi baik yang berasal dari modal
yang dihimpun dari dalam atau luar negeri maupun dari modal saham atau
pinjaman, dianggap sebagai biaya proyek pada saat dikeluarkannya. Jadi,
pelunasan pinjaman yang digunakan untuk membiayai sebagian investasi
tersebut diabaikan dalam perhitungan biaya ekonomi demi menghindari
perhitungan ganda (double-counting). Terdapat pengecualian jika bagian
investasi dibiayai dengan pinjaman luar negeri yang diperuntukkan hanya
untuk proyek itu sendiri. Dana pinjaman tidak boleh dipakai untuk proyek
lain apabila proyek tersebut tidak jadi dilaksanakan. Sama halnya dengan
perhitungan privat, biaya pinjaman luar negeri yang diperuntukkan hanya
untuk proyek termaksud diperhitungkan dalam bentuk arus pelunasan
pinjaman.
5. Bunga
Bunga atas pinjaman dalam negeri ataupun luar negeri tidak dianggap sebagai
biaya pada analisis ekonomi. Hal tersebut dikarenakan modal dianggap
sebagai modal masyarakat sehingga bunganya pun dianggap sebagai bagian
21
dari manfaat ekonomi. Akan tetapi, jika bunga berasal dari peminjaman luar
negeri yang terikat dan tersedia hanya untuk proyek tertentu, bunga
dibayarkan sebagai biaya proyek pada tahun pertama.
2.9. Penelitian Terdahulu
Evaluasi terhadap daya dukung lingkungan telah dilakukan sebelumnya
oleh Wibowo pada tahun 2005. Daya dukung yang diteliti meliputi fungsi
ekologis vegetasi dalam memperbaiki suhu (ameliorasi iklim) dan menyerap air
hujan (hidrologis) di Jakarta. Penelitian dilakukan secara kuantitatif dengan
menggunakan metode expost facto yang dibahas menggunakan analisis deskriptif.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa daya dukung Jakarta dalam
memperbaiki suhu turun dari diatas 100 persen pada tahun 1940 menjadi 86,76
persen pada tahun 2003, sedangkan kapasitas daya dukung menyerap air turun
dari 100 persen menjadi 66,25 persen. Inkantriani (2008) juga telah melakukan
analisis daya dukung lingkungan dengan studi kasus zona industri Genuk yang
berlokasi di Semarang. Teknik analisis yang digunakan adalah deskriptif dan
kuantitatif dengan pembobotan dan distribusi frekuensi. Variabel daya dukung
lingkungan yang dianalisis meliputi sarana dan prasana yang dimiliki zona
industri Genuk, yaitu jaringan jalan dan drainase. Hasil dari analisis menunjukkan
bahwa tingkat daya dukung lingkungan pada kawasan industri Terboyo Semarang,
Terboyo Megah, dan LIK Buangan termasuk rendah karena nilainya berada pada
kisaran 20-46, sedangkan tingkat daya dukung lingkungan untuk wilayah industri
sepanjang jalan Kaligawe termasuk sedang karena nilainya berada pada kisaran
47-73.
22
Penelitian mengenai analisis kelayakan finansial telah dilakukan oleh
Kurniawan (1999) dengan mengambil studi kasus usaha pengolahan sampah yang
terdapat di TPST Bantargebang. Kurniawan menyimpulkan bahwa dengan
kapasitas produksi 540 ton kompos per tahun dan harga jual Rp 1.000 per kg,
usaha pengolahan sampah memperoleh penerimaan total sebesar Rp 540.000.000
per tahun. Nilai Benefit Cost Ratio (B/C) yang diperoleh adalah 1,05 yang berarti
setiap Rp1,00 biaya yang dikeluarkan akan diperoleh keuntungan sebesar Rp 1,05.
Payback periode hasil perhitungan adalah 0,28 tahun atau tiga bulan lebih 4 hari,
yang artinya modal usaha pembuatan kompos akan kembali dalam jangka waktu 3
bulan lebih 4 hari.
Cahyani (2009) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah
timbulan sampah yang dihasilkan Perumahan Cipinang Elok. Hasil analisis
dengan menggunakan regresi berganda menunjukkan bahwa jika luas tempat
tinggal dimasukkan sebagai variabel, maka variabel yang mempengaruhi jumlah
timbulan adalah pola hidup, jumlah anggota keluarga, pendapatan rumah tangga,
pengeluaran konsumsi rumah tangga, jenis sampah dan retribusi kebersihan.
Sementara jika luas tempat tinggal tidak dimasukkan sebagai variabel, maka
variabel yang mempengaruhi jumlah timbulan adalah pola hidup, jumlah anggota
keluarga, pendapatan rumah tangga, pengeluaran konsumsi rumah tangga dan
retribusi kebersihan dan jenis sampah. Cahyani juga melakukan analisis untuk
menilai kelayakan UPS “Mutu Elok” yang berlokasi di wilayah Perumahan
Cipinang Elok. Berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa pada tingkat suku
bunga rata-rata 10 persen, UPS “Mutu Elok” memiliki nilai Net Present Value
(NPV), Net B/C dan Internal Rate of Return (IRR) masing-masing sebesar Rp
23
1.306.187,50, 1,22 dan 12 persen, sehingga layak untuk dijalankan. Pemberian
subsidi harga kompos, peningkatan alokasi dana dari kas warga, dan peningkatan
tarif retribusi kebersihan akan meningkatkan kelayakan finansial dari UPS “Mutu
Elok”. Sebaliknya, penurunan alokasi dana dari kas warga dan penurunan tarif
retribusi kebersihan akan menurunkan kelayakan finansial UPS “Mutu Elok”.
Penjelasan selengkapya mengenai penelitian terdahulu yang terkait dengan
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.
Meskipun penelitian mengenai daya dukung lingkungan dan analisis
kelayakan sampah telah dilakukan sebelumnya, penelitian ini memiliki perbedaan,
sehingga tetap penting untuk dilakukan. Perbedaan penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya adalah sebagai berikut:
1. Analisis kelayakan UPS dilakukan dari sudut pandang ekonomi dengan
memperhitungkan manfaat dan biaya eksternal11
;
2. Penelitian ini menganalisis daya dukung lingkungan UPS “Mutu Elok”
dengan memfokuskan analisis pada kemampuan lingkungan dalam menerima
beban sampah;
3. Penelitian menganalisis pengaruh UPS “Mutu Elok” terhadap daya dukung
lingkungan Perumahan Cipinang Elok.
11
Dampak negatif yang diterima oleh suatu pihak akibat tindakan yang dilakukan oleh pihak lain.
Biaya eksternal juga biasa disebut eksternalitas negatif
24
Tabel 3. Matriks Penelitian Terdahulu
Penulis Judul Metode Hasil
1. Wibowo Evaluasi Daya Dukung
Lingkungan Hidup Kota
Jakarta
Expost facto Daya dukung Jakarta dalam memperbaiki suhu turun dari diatas 100
persen pada tahun 1940 menjadi 86,76 persen pada tahun 2003,
sedangkan kapasitas daya dukung menyerap air turun dari 100 persen
menjadi 66,25 persen
2. Inkantriani Evaluasi Daya Dukung
Lingkungan Zona Industri
Genuk Semarang
Pembobotan dan
distribusi
frekuensi
Kawasan industri Terboyo Semarang, Terboyo Megah, dan LIK
Buangan memiliki tingkat daya dukung yang rendah karena nilainya
berada pada kisaran 20-46, sedangkan wilayah industri sepanjang jalan
Kaligawe memiliki tingkat daya dukung lingkungan sedang karena
nilainya berada pada kisaran 47-73
3. Kurniawan Analisis Kelayakan Usaha
Pengolahan Sampah Kota
Menjadi Produk yang
Berguna di TPA
Bantargebang
Analisis
penerimaan, Net
B/C dan
payback periode
Usaha pengolahan sampah memiliki penerimaan total sebesar Rp
540.000.000 per tahun dan Net B/C sebesar 1,05. Payback periode
usaha ini adalah 0,28 tahun atau 3 bulan lebih 4 hari, yang artinya
modal usaha pembuatan kompos akan kembali dalam jangka waktu 3
bulan lebih 4 hari
4. Cahyani
Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Produksi
Sampah dan Kelayakan
Finansial Usaha
Pengelolaan Sampah
Rumahtangga (Studi Kasus
di Perumahan Cipinang
Elok, Jakarta Timur)
Analisis regresi
berganda dan
analisis
kelayakan
finansial dengan
menggunakan
kriteria NPV,
Net B/C dan
IRR
Jika luas tempat tinggal dimasukkan sebagai variabel, maka variabel
yang mempengaruhi jumlah timbulan adalah pola hidup, jumlah
anggota keluarga, pendapatan rumah tangga, pengeluaran konsumsi
rumah tangga, jenis sampah dan retribusi kebersihan. Sementara jika
luas tempat tinggal tidak dimasukkan sebagai variabel, maka variabel
yang mempengaruhi jumlah timbulan adalah pola hidup, jumlah
anggota keluarga, pendapatan rumah tangga, pengeluaran konsumsi
rumah tangga dan retribusi kebersihan dan jenis sampah. Pada tingkat
suku bunga 10 persen, UPS “Mutu Elok” layak dijalankan dengan nilai
NPV, Net B/C dan IRR masing-masing sebesar Rp 1.306.187,50, 1,22
dan 12 persen
24