10
BAB II
KAJIAN TEORITIS
2.1. Definisi Health Belief Modal
Secara bahasa, Health Belief Model (HBM) memilki tiga kata utama
sebagai sebuah konsep, yakni health, believe, dan modal. Health diartikan
sebagai keadaan sempurna baik fisik, mental, maupun social, dan tidak hanya
bebas dari penyakit dan catat World Health Organization (WHO, 2017).
Belief dalam bahasa inggris memiliki arti percaya atau keyakinan.
Sehingga belief yaitu sebuah keyakinan terhadap sesuatu yang menimbulkan
tindakan atau perilaku tertentu, misalnya seseorang percaya bahwa mandi
akan membuat tubuh bersih dari kotoran. Sedangkan menurut Hayden (2017)
mengatakan bahwasanya keyakinan sangat erat kaitannya dengan budaya
yang dianut dimana seseorang mempresepsikan tentang sesuatu benar
meskipun tidak benar dari suatu kebenaran. Sehingga dari kedua pendapat
tersebut dapat disimpulkan bahwa belief merupakan suatu keyakinan terhadap
sesuatu baik benar atau salah yang dipengaruhi oleh budaya sehingga dari
keyakinan tersebut akan menimbulkan suatu tidakan atau perilaku dari
seseorang.
Model adalah representasi dari suatu objek, benda, atau ide-ide dalam
bentuk yang disederhanakan dari kondisi atau fenomena alam yang ada
(Mahmud, 2008). Sedangkan pengertian model yang mengacu pada Health
11
Belief Model ini adalah suatu representasi dari suatu ide dalam suatu kondisi
yang dirasakan oleh seseorang.
Sejauh ini Health Belief Model adalah teori yang paling umum
digunakan dalam pendidikan kesehatan dan promosi kesehatan (Glanz &
Lewis, 2010; National Cancer Institute /NCI, 2010). Health Belief Model ini
juga menjadi salah satu dari teori perilaku kesehatan (Maulana, 2010).
Dimana teori kesehatan perilaku adalah kombinasi antara pengetahuan,
pendapat, dan tindakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang
mengacu pada kesehatan mereka (Kennedy, 2011).
Hubungan antara keyakinan terhadap kesehatan dan perilaku sangat
berkaitan erat terhadap kepercayaan dan perilaku dimana yang diyakini
seseorang dalam mengambil tindakan positif atau negatif Lewin(1951 dalam
Charles Abraham dan Paskah Sheeran 2015). Teori Health belief model
merupakan suatu konsep yang mengungkapkan alasan dari individu untuk
mau atau tidak mau berperilaku sehat (Becker, 1984).
Health belief model merupakan model kognitif, yang digunakan untuk
meramalkan perilaku dari seseorang dalam upaya meningkatan kesehatan
(Putri, 2016). Menurut teori Health belief model, kemungkinan seseorang
melakukan tindakan pencegahan dipengaruhi secara langsung dari hasil tiga
keyakinan atau penilaian kesehatan (helath beliefs), antara lain sebagai
berikut (Maulana, 2010)
1. Ancaman yang dirasakan dari sakit atau luka (perceived threat of injury
or illness)
12
Hal ini mengacu pada sejauh mana seorang berpikir bahwa penyakit atau
kesakitan betul-betul merupakan ancaman bagi dirinya. Oleh karena itu,
jika ancaman yang dirasakan meningkat, perilaku pencegahan juga akan
meningkat (Maulana, 2010).
2. Keuntungan dan kerugian (benefit and costs)
Pertimbangan antara keuntungan dan kerugian perilaku untuk
memutuskan melakukan tindakan pencegahan atau tidak (Maulana,
2010).
3. Petunjuk berperilaku juga diduga tepat untuk memulai proses perilaku,
yang disebut sebagai keyakinan terhadap posisi yang menonjol (salient
position). Hal ini berupa berbagai informasi dari luar atau nasihat
mengenai permasalahan kesehatan (misalnya media massa, kampanye,
nasihat orang lain, penyakit dari anggota keluarga yang lain atau teman)
(Maulana, 2010).
2.2. Komponen Dasar Health Belief Model
Komponen dasar HBM, dibagi menjadi 6 teori, dimana empat presepsi
berikut berfungsi sebagai konstruksi utama model HBM ini, yakni: (1)
perceived seriousness, (2) perceived susceptibility, (3) perceived benefits,
dan (4) perceived barriers. Masing-masing presepsi ini, baik secara
individu maupun berkombinasi, dapat digunakan untuk menjelaskan
perilaku kesehatan. Baru-baru ini komponen lain telah ditambahkan ke
HBM, yakni: (1) cues to action, (Notoatmodjo, 2012).
1. Perceived seriousness/severity
13
Perceived seriousness disebut juga sebagai keparahan/keseriusan
yang dirasakan. Keparahan / keseriusan yang dirasakan bermaksud
sebagai presepsi seseorang terhadap tingkat keparahan penyakit yang
diderita individu (Anies, 2016). Sehingga perceived seriousness juga
memiliki hubungan dengan perilaku sehat, jika presepsi keparahan
individu tinggi maka ia akan berperilaku sehat (Conner, dkk, 2013).
Perceived seriousness ini juga mengacu pada tingkat keparahan
kondisi (konsekuensi medis yang meliputi kecacatan, rasa sakit, atau
kematian) dan dampaknya terhadap gaya hidup (konsekuensi social
yang meliputi kemampuan kerja, hubungan social, dan lain-lain).
Contohnya individu percaya bahwa merokok dapat menyebabkan
kanker (Subagiyo, 2014).
2. Perceived susceptibility
Perceived susceptibility disebut juga sebagai kerentanan yang
dirasakan atau sebagai presepsi subyektif seseorang tentang risiko
terkena penyakit (Anies, 2016). Perceived susceptibility ini juga
mengacu pada keyakinan tentang kemungkinan mendapatkan suatu
penyakit, misalnya, seorang wanita pasti percaya ada kemungkinan
mendapatkan penyakit kanker payudara sebelum dia mendapatkan
mammogram (Hayden, 2017).
3. Perceived benefits
Perceived benefits disebut juga sebagai manfaat yang dirasakan.
Ini mengacu pada persepsi seseorang tentang efektivitas berbagai
14
tindakan yang tersedia untuk mengurangi ancaman penyakit atau
penyakit (atau untuk menyembuhkan penyakit) (Lamorte, 2016).
Jalannya tindakan yang dilakukan seseorang untuk mencegah (atau
menyembuhkan) penyakit atau penyakit bergantung pada pertimbangan
dan evaluasi dari yang dirasakan dan manfaat yang dirasakan, sehingga
orang tersebut akan menerima tindakan kesehatan yang disarankan jika
dianggap bermanfaat.
Ketika seseorang yakin bahwa ia rentan terhadap sesuatu penyakit
dan juga sudah mengetahui bahaya penyakit tersebut, ia tidak akan
begitu saja menerima tindakan kesehatan yang dianjurkan kepadanya,
kecuali bila ia yakin bahwa tindakan tersebut dapat mengurangi
ancaman penyakit dan ia sanggup melakukannya (Anies, 2016).
Contohnya individu yang sadar akan keuntungan deteksi
dinipenyakit akan terus melakukan perilaku sehat seperti medical check
up rutin. Contoh lain adalah kalau terdapat seseorang tidak merokok,
maka dia tidak akan terkena kanker (Subagiyo, 2014).
4. Perceived barriers
Perceived barriers disebut juga sebagai rintangan yang dirasakan.
Ini mengacu pada perasaan seseorang terhadap hambatan untuk
melakukan tindakan kesehatan yang disarankan (Lamorte, 2016). Ada
variasi yang luas dalam perasaan penghalang, atau hambatan, yang
menghasilkan analisis biaya/manfaat. Orang tersebut
mempertimbangkan keefektifan tindakan terhadap persepsi bahwa hal
15
itu mungkin mahal, berbahaya (misalnya, efek samping), tidak
menyenangkan (misalnya menyakitkan), menyita waktu, atau
merepotkan (Glanz, 2010).
5. Cues to action
Cues to action adalah mempercepat tindakan yang membuat seseorang
merasa butuh mengambil tindakan atau melakukan tindakan nyata
untuk melakukan perilaku sehat. Cues to action juga berarti dukungan
atau dorongan dari lingkungan terhadap individu yang melakukan
perilaku sehat disebut juga sebagai strategi untuk mengaktifkan
kesiapan. Inilah rangsangan yang dibutuhkan untuk memicu proses
pengambilan keputusan untuk menerima tindakan kesehatan yang
direkomendasikan (Lamorte, 2016).
2.3. Persepsi perawat
Persepsi pada hakikatnya merupakan proses kognitif yng dialami oleh
setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik
lewat penglihatan, pendengaran, perasaan, maupun penciuman. Kunci untuk
memahami persepsi terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan
suatu penafsiran yang unik terhadap situasi dan bukannya suatu pencatatan
yang benar terhadap situasi (Thoha, 2008).
Menurut Gibson (2001), persepsi sebagai proses seseorang untuk
memahami lingkungan yang meliputi orang, objek, symbol, dan sebagainya
yang melibatkan proses kognitif. Proses kognitif merupakan proses
pemberian arti yang melibatkan tafsiran pribadi terhadap rangsangan yang
16
muncul dari objek tertentu. Oleh karena tiap-tiap individu memberikan
makna yang melibatkan tafsiran pribadinya pada objek tertentu, maka
masing-masing individu akan memiliki persepsi yang berbeda meskipun
melihat objek yang sama.
Menurut Robbins (2008) ada tiga faktor yang mempengaruhi persepsi
seseorang, yaitu sebagai berikut yaitu: 1) perceiver atau ciri orang
yangbersangkutan 2) target atau sasaran yang dilihat oleh orang tersebut 3)
kontekstual situasi. Perciver atau ciri orang yang bersangkutan yang
berhubungan dengan karakter individu. Jika seseorang melihat sesuatu dan
berusaha memberikan interpretasi tentang apa yang dilihatnya, ia
dipengaruhi oleh karakteristik dividu yang turut berpengaruh, seperti sikap,
motif, kepentingan, minat, pengalaman, dan harapannya. Target adalah
persepsi seseorang yang tergantung pada sasaran yang dilihat oleh orang
tersebut. Target dapat berupa orang, benda, atau peristiwa. Sedangkan
Situasi harus dilihat secara kontekstual yang berarti dalam situasi mana
persepsi itu timbul perlu pula memperoleh perhatian. Situasi merupakan
faktor yang turut berperan serta dalam pertumbuhan persepsi seseorang.
Dari definisi diatas bisa disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu penafsiran
terhadap situasi atau obyek tertentu yang dipengaruhi oleh proses kognitif
yang dipengaruhi oleh diri individu dan lingkungan. Setiap orang bisa
mempersepsikan sesuatu berbeda dengan orang lain tergantung faktor-faktor
yang mempengaruhinya.
17
2.4. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit
Pelaksanaan program perencanaan dan pengendalian infeksi di rumah
sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya harus dikelola dan
diintegrasikan antara struktural dan fungsional dari semua departemen/
instalasi/ divisi/ unit di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya
sesuai dengan falsafah dan tujuan pencegahan dan pengendalian infeksi
(Depkes RI, 2008).
Infeksi yang terjadi di rumah sakit tidak saja dapat dikendalikan tetapi
juga dapat dicegah dengan melakukan langkah – langkah sesuai dengan
prosedur yang berlaku. Untuk meminimalkan resiko terjadinya infeksi di
rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya perlu diterapkan program
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI), yaitu adapun kegiatan meliputi
perencanaan, pelaksanaan, pembinaan, pendidikan dan pelatihan serta
monitoring dan evaluasi (Depkes RI, 2008).
2.5. Infeksi Nosokomial
Infeksi yang terjadi di rumah sakit di sebut juga infeksi nosokomial atau
Health-care Associted Infection (HAIs) merupakan problem yang serius bagi
kesehatan masyarakat. Menurut WHO (2011) HAI’s merupakan infeksi yang
didapat pasien selama menjalani prosedur perawatan dan tindakan medis di
pelayanan kesehatan setelah ≥ 48 jam dan ≤ 30 hari setelah keluar dari
fasilitas kesehatan.
18
Depkes RI (2013) juga menyatakan infeksi nosokomial adalah infeksi
yang terjadi atau didapat di rumah sakit. Suatu infeksi didapat di rumah sakit
apabila :
1. Pada saat masuk rumah sakit tidak ada tanda/ gejala atau tidak dalam
merasa inkubasi infeksi tersebut.
2. Infeksi terjadi 3x24 jam setelah pasien di rawat di rumah sakit.
3. Infeksi pada lokasi sama tetapi disebabkan oleh mikroorganisme yang
berbeda dari mikroorganisme pada saat masuk rumah sakit atau
mikroorganisme penyebab sama tetapi lokasi infeksi berbeda.
2.6. Penyebab Infeksi Nosokomial
Adanya mikrorganisme yang menyebabkan infeksi nosokomial biasanya
datang dari tubuh pasien sendiri (flora endogen). Dan juga dapat diperoleh
dari kontak dengan staf (kontaminasi silang), serta dari instrumen dan jarum
yang terkontaminasi dengan lingkungan (flora eksogen). Pada Kenyataannya
sebagian besar infeksi nosokomial yang terjadi pada pasien menjadi nyata
setelah mereka pulang. Akibatnya sering susah menentukan apakah sumber
orgnisme yang menyebabkan infeksi endogen atau eksogen.
2.7. Rantai Penularan
Menurut Kemenkes RI, 2011 untuk melakukan tindakan pencegahan
dan pengendalian infeksi perlu mengetahui rantai penularan. Apabila suatu
rantai dihilangkan atau dirusak, maka infeksi dapat dicegah atau dihentikan.
Adapun faktor - faktor yang menyebabkan terjadi penularan infeksi tersebut
adalah :
19
1. Agen Infeksi (infectious agent) adalah mikroorganisme yang dapat
menyebabkan infeksi. Agen infeksi yang dapat terjadi Pada manusia
dapat berupa bakteri, virus, riketsia, jamur dan parasit. Ada tiga
faktor pada agen penyebab yang mempengaruhi terjadinya infeksi
yaitu : patogenesis, virulensi dan jumlah (dosis).
2. Reservoir atau tempat dimana agen infeksi dapat hidup, tumbuh,
berkembang biak dan siap ditularkan kepada orang. Reservoir yang
paling yang umum adalah manusia, binatang, tumbuh – tumbuhan,
tanah, air dan bahan – bahan organik lainnya.
3. Pintu keluar (portal of exit) adalah jalan dari mana agen infeksi
meninggalkan reservoir. Pintu keluar meliputi saluran pernafasan,
saluran pencernaan, saluran kemih dan kelamin, kulit dan membran
mukosa, transplasenta dan darah serta cairan tubuh lain.
4. Transmisi (cara penularan) adalah mekanisme bagaimana transport
agen infeksi dari reservoir ke penderita. Ada beberapa cara penularan
yaitu : (a) kontak : langsung dan tidak langsung; (b) droplet; (c)
airborne; (d) melalui vehikulum : makanan, air/minuman, darah; (e)
melalui vektor biasanya serangga dan binatang pengerat.
5. Pintu masuk (portal of entry) adalah tempat dimana agen infeksi
memasuki pejamu (yang suseptibel). Pintu masuk bisa melalui saluran
pernafasan, pencernaan, saluran kemih dan kelamin, selaput lendir,
serta kulit yang tidak utuh (luka).
20
6. Pejamu (host) yang suseptibel adalah orang yang tidak memiliki daya
tahan tubuh yang cukup kuat untuk melawan agen infeksi serta
mencegah terjadinya infeksi atau penyakit. Faktor yang khusus dapat
mempengaruhi adalah umur, status gizi, status imunisasi, penyakit
kronis, luka bakar yang luas, trauma atau pembedahan. Faktor lain
yang mungkin berpengaruh adalah jenis kelamin, ras atau etnis
tertentu, status ekonomi, gaya hidup, pekerjaan dan herediter.
Gambar 2.1 Skema Rantai Penularan Infeksi
Sumber : Pedoman Pencegahan dan pengendalian Infeksi di Rumah Sakit
dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya (Kemenkes RI, 2011).
Menurut CDC (2017) tindakan pencegahan infeksi dibagi menjadi
Isolation Pecautions (Kewaspadaan Isolasi) yang terdiri dari 2 (dua)
tingkatan yaitu :
a. Standar Precautions (Kewaspadaan Standar)
Kewaspadaan standar dirancang untuk mengurangi resiko penularan
mikroorganisme di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan baik
dari sumber infeksi yang diketahui maupun yang tidak diketahui.
21
Kewaspadaan Standar meliputi : kebersihan tangan (hand hygiene),
Alat Perlindungan Diri (APD) yaitu sarung tangan, masker, google
(kacamata pelindung), face shield (pelindung wajah), gaun, peralatan
perawatan pasien, penanganan linen, manajemen limbah dan benda
tajam, pengendalian lingkungan, pemrosesan peralatan pasien dan
penatalaksanaan linen, kesehatan karyawan atau perlindungan petugas
kesehatan, penempatan pasien, hgiene respirasi/ etika batuk, praktek
menyuntik yang aman, praktek untuk lumbal punksi.
b. Transmission-based Precautions (Kewaspadaan berdasarkan cara
penularan). Tiga jenis kewaspadaan berdasarkan penularan/ transmisi
menurut Depkes RI, 2013 adalah sebagai berikut :
- Kewaspadaan penularan melalui kontak
- Kewaspadaan penularan melalui percikan (droplet)
- Kewaspadaan penularan melalu udara (airborne)
2.8. Pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi
Pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi wajib dilaksanakan oleh
semua petugas kesehatan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya menurut Kemenkes (2011) yaitu :
1. Kebersihan Tangan
Cuci tangan adalah cara sederhana yang efektif dan murah dalam
upaya pencegahan infeksi yang penting dilakukan pada saat sebelum
dan sesudah melakukan kegiatan. Cuci tangan merupakan proses
secara mekanik melepaskan kotoran dan debris dari kulit tangan
22
dengan menggunakan sabun dan air (Kemenkes, 2011). Adapun
moment yang wajib dilakukan oleh tenaga kesehatan ada lima momen
yaitu sebelum kontak dengan pasien, sebelum tindakan aseptic,
sesudah kontak dengan cairan tubuh pasien, setelah kontak dengan
pasien dan setelah kontak dengan lingkungan pasien. Adapun cara
melakukan cuci tangan bisa dengan menggunakan handrub dan hand
wash (dengan air mengalir).
2. Penggunaan Alat Pelindung Diri
Pelindung barrier yang secara umum disebut sebagai alat pelindung diri
(APD), alat pelindung diri sangat diperlukan oleh tenaga kesehatan
dalam melaksanakan aplikasi di rumah sakit. APD telah digunakan
selama bertahun-tahun untuk melindungi pasien dari mikroorganisme
yang ada pada petugas kesehatan. Namun dengan munculnya AIDS dan
hepatitis C, serta meningkatnya kembali tuberkulosis dibanyak negara,
pemakaian APD menjadi sangat penting untuk melindungi petugas
kesehatan. Seiring munculnya infeksi baru seperti flu burung, SARS
dan penyakit infeksi lainnya (Emerging Infectious Diseases), pemakaian
APD yang tepat dan benar semakin penting. Adapun jenis – jenis APD
adalah sebagai berikut :
a) Sarung Tangan, adapn guna sarung tangan adalah untk melindungi
tangan dari bahan yang dapat menularkan penyakit dan melindungi
pasien dari mikroorganisme yang berada ditangan petugas
kesehatan. Sarung tangan merupakan penghalang (barrier) fisik
23
paling penting untuk mencegah penyebaran infeksi. Sarung tangan
harus diganti antara setiap kontak dengan satu pasien ke pasien
lainnya, untuk menghindari kontaminasi silang. Tergantung
keadaan, sarung tangan periksa atau serbaguna bersih harus
digunakan oleh semua petugas ketika :
1. Kemungkinan kontak tangan dengan darah atau cairan tubuh
lain, membran mukosa atau kulit yang terlepas.
2. Melakukan prosedur medis yang bersifat invasif misalnya
menusukkan sesuatu kedalam pembuluh darah, seperti
memasang infus.
3. Menangani bahan – bahan bekas pakai yang telah
terkontaminasi atau menyentuh permukaan yang tercemar
4. Menerapkan kewaspadaan berdasarkan penularan melalui
kontak (yang diperlukan pada kasus penyakit menular melalui
kontak yang telah diketahui atau dicurigai) yang
mengharuskan petugas kesehatan menggunakan sarung
tangan bersih, tidak steril ketika memasuki ruangan pasien.
Petugas kesehatan harus melepas sarung tangan tersebut
sebelum meninggalkan ruangan pasien dan mencuci tangan
dengan air dan sabun atau dengan handrub berbasis alkohol.
b). Masker, kriteria masker yang baik adalah harus cukup besar untuk
menutup hidung, mulut, bagian bawah dagu dan rambut pada wajah
(jenggot). Masker digunakan untuk menahan cipratan yang keluar
24
pada saat petugas kesehatan atau petugas bedah berbicara, batuk
atau bersin serta untuk mencegah percikan darah atau cairan tubuh
lainnya yang masuh melalui hidung atau mulut petugas kesehatan.
c). Alat pelindung mata, berguna untuk melindungi petugas dari
percikan darah atau cairan tubuh lain dengan cara melindungi mata.
Pelindung mata mencakup kaca mata goggle plastik bening,
kacamata pengaman, pelindung wajah dan visor. Petugas kesehatan
harus menggunakan masker dan pelindung mata atau pelindung
wajah, jika melakukan tugas yang memungkinkan adanya percikan
cairan secara tidak sengaja kearah wajah. Bila tidak tersedia
pelindung wajah, petugas kesehatan dapat menggunakan kacamata
pelindung atau kacamata biasa atau masker.
d) Topi digunakan untuk menutup rambut dan kulit kepala
sehingga dapat mencegah serpihan kulit dan rambut tidak masuk
ke dalam luka selama pembedahan berlangsung. Topi harus
cukup besar untuk menutup semua rambut.
f) Gaun pelindung, digunakan untuk menutupi atau mengganti
pakaian biasa atau seragam lain, pada saat merawat pasien yang
diketahui atau dicurigai menderita penyakit menular melalui
droplet/ airborne. Pemakaian gaun pelindung terutama adalah
untuk melindungi baju dan kulit petugas kesehatan dari sekresi
respirasi. Ketika merawat pasien yang diketahui atau dicurigai
menderita penyakit menular tersebut, petugas kesehatan harus
25
mengenakan gaun pelindung setiap memasuki ruangan untuk
merawat pasien karena ada kemungkinan terpercik atau
tersemprot darah, cairan tubuh, sekresi atau ekskresi. Setelah
gaun dilepas, pastikan bahwa pakaian dan kulit tidak kontak
dengan bagian yang potensial tercemar, lalu cuci tangan segera
untuk mencegah berpindahnya organisme.
g) Pelindung kaki atau sepatu boot digunakan untuk melindungi
kaki dari cedera akibat terjatuhnya benda tajam atau benda berat
yang mungkin jatuh secara tidak sengaja di atas kaki. Oleh
karena itu, sandal, “sandal jepit”atau sepatu yang terbuat dari
bahan lunak (kain) tidak boleh dikenakan. Sepatu boot karet atau
sepatu kulit tertutup memberikan lebih banyak perlindungan,
tetapi harus dijaga tetap bersih dan bebas kontaminasi darah atau
tumpahan cairan tubuh lain. Sepatu yang tahan terhadap benda
tajam atau kedap air harus tersedia dikamar bedah.
3. Pemrosesan peralatan pasien dan penatalaksanaan linen
Proses pencegahan infeksi dasar yang dianjurkan untuk
mengurangi penularan penyakit dari instrumen yang kotor, langkah
pertama yang dilakukandalam pemerosesan alat adalah
precleaning/prabilas, kemudian pencucian dan pembersihan, lalu
dilakukan sterilisasi atau desinfeksi tingkat tinggi (DTT).
Pracleaning/prabilas adalah proses yang membuat benda mati
lebih aman untuk ditangani oleh petugas sebelum dibersihkan dan
26
mengurangi, tetapi tidak menghilangkan jumlah mikroorganisme
yang mengkontaminasi.
Proses Pracleaning/prabilas ini adalah terdiri dari mencuci
sepenuhnya dengan sabun atau deterjen-deterjen dan air atau
enzimatik, membilas dengan air bersih dan mengeringkannya.
Desinfeksi Tingkat Tinggi (DTT) : proses menghilangkan semua
mikroorganisme, kecuali beberapa endospora bakterial dari objek,
dengan merebus, menguapkan atau memakai desinfektan kimiawi.
Sterilisasi : proses menghilangkan semua mikroorganisme (bakteri,
virus, fungi dan parasit) termasuk endospora bakterial dari benda
mati dengan uap tekanan tinggi (otoklaf), panas kering (oven),
sterilan kimiawi atau radiasi.
Pengelolaan linen : dalam penanganan linen yang sudah digunakan
oleh pasien harus dengan hati-hati dengan menggunakan APD yang
sesuai dan membersihkan tangan secara teratur. Kehati-hatian ini
mencakup penggunaan perlengkapan APD yang sesuai dan
membersihkan tangan secara teratur sesuai dengan pedoman
kewaspadaan standar. Linen dibedakan menjadi dua bagian yaitu
linen infeksius dan linen non infeksius.
4. Pengelolaan limbah
Tujuan pengolahan limbah adalah untuk melindungi petugas
pembuangan limbah dari perlukaan, melindungi penyebaran infeksi
terhadap para petugas kesehatan, mencegah penularan infeksi pada
27
masyarakat sekitarnya, membuang bahan-bahan berbahaya (bahan
toksik dan radioaktif) dengan aman.
Tumpukan limbah terbuka harus dihindari karena menjadi objek
pemulung yang akan memanfaatkan limbah yang terkontaminasi,
dapat menyebabkan perlukaan, menimbulkan bau busuk,
mengundang lalat dan hewan penyebar penyakit lainnya.
Pengelolaan limbah dapat dilakukan mulai dari identifikasi limbah
(padat, cair, tajam, infeksius, non infeksius), pemisahan (pemisahan
dimulai dari awal penghasil limbah, memisahkan limbah sesuai
dengan jenis limbah, limbah terbagi menjadi dua, limbah infeksius :
dimasukan kedalam plastik kantong kuning, kantong warna lain tapi
diikat tali warna kuning, limbah padat non infeksius : plastik kantong
warna hitam, limbah benda tajam : wadah harus tahan tusuk dan air),
kantong pembuangan diberi label biohazard atau sesuai jenis limbah,
packing (ditempatkan dalam wadah limbah tertutup, tutup muka
dibuka, sebaiknya bisa dengan menggunakan kaki, kontainer dalam
keadaan bersih, kontainer terbuat dari bahan yang kuat, ringan dan
tidak berkarat, menempatkan setiap kontainer limbah pada jarak 10-
20 meter, mengikat limbah jika sudah terisi ¾ penuh, kontainer
limbah harus dicuci setiap hari), penyimpanan limbah di tempat
penampungan sementara dan khusus, menempatkan limbah dalam
kantong plastik dan ikat dengan kuat, memberi label pada kantong
plastik limbah, setiap hari limbah diangkat dari tempat penampungan
28
sementara, tempat penampungan sementara harus di area terbuka,
terjangkau (oleh kendaraan), aman dan selalu dijaga kebersihannya
dan kondisi kering), pengangkutan (mengangkut limbah harus
menggunakan kereta dorong khusus, kereta dorong harus kuat,
mudah dibersihkan, tertutup, tidak boleh ada yang tercecer,
sebaiknya lift pengangkut limbah berbeda dengan lift pasien,
menggunakan alat pelindung diri ketika menangani limbah),
treatment (limbah infeksius dimasukkan dalam incinerator, limbah
non infeksius dibawa ke tempat pembuangan limbah umum, limbah
benda tajam dimasukkan dalam incinerator, limbah cair dalam
wastafel di ruang spoelhok, limbah feses, urine ke dalam WC).
Penanganan limbah benda tajam yaitu jangan menekuk atau
mematahkan benda tajam, jangan meletakkan limbah benda tajam
sembarang tempat, limbah benda tajam segera dibuang ke kontainer
yang tersedia tahan tusuk dan tahan air dan tidak bisa dibuka lagi,
selalu dibuang sendiri oleh si pemakai, tidak menyarungkankembali
jarum suntik habis pakai, kontainer benda tajam diletakkan dekat
lokasi tindakan.Limbah yang ada di rumah sakit dapat dibagi dua
yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah padat yang berasal dari
rumah sakit secara umum dibedakan atas limbah medis, yaitu limbah
yang kontak dengan darah atau cairan tubuh pasien dan
dikategorikan sebagai limbah resiko tinggi. Limbah medis terdiri dari
limbah klinis dan limbah laboratorium. Contoh limbah klinis antara
29
lain kasa, pembalut wanita, potongan tubuh, jarum bekas pakai dan
alat infus bekas pakai, dan kantong drain bekas pakai. Limbah non
medis atau limbah rumah tangga yaitu limbah yang tidak kontak
dengan darah atau cairan tubuh pasien, sehingga disebut sebagai
limbah resiko rendah.
5. Pengendalian lingkungan rumah sakit
Tujuan pengendalian lingkungan rumah sakit atau fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya adalah untuk menciptakan lingkungan yang bersih
aman dan nyaman sehingga dapat meminimalkan atau mencegah
terjadinya transmisi mikroorganisme dari lingkungan kepada pasien,
petugas, pengunjung dan masyarakat di sekitar rumah sakit dan
fasilitas kesehatan sehingga infeksi nosokomial dan kecelakaan kerja
dapat dicegah
6. Kesehatan karyawan/perlindungan petugas kesehatan
Petugas kesehatan beresiko terinfeksi bila terekspos saat bekerja,
juga dapat mentransmisikan infeksi kepada pasien maupun petugas
kesehatan yang lain. Fasilitas kesehatan harus memiliki program
pencegahan dan pengendalian infeksi bagi petugas kesehatan. Saat
menjadi karyawan baru seorang petugas kesehatan harus diperiksa
riwayat pernah infeksi apa saja, status imunisasinya.
Imunisasi yang dianjurkan untuk petugas kesehatan adalah hepatitis
B dan bila memungkinkan A, influenza, campak, tetanus, difteri,
rubella. Mantoux test untuk melihat adakah infeksi Tuberculosis
30
(TB) sebelumnya, sebagai data awal. Pada kasus khusus dapat
diberikan varicella.
7. Penempatan pasien
a. Kamar terpisah bila dimungkinkan kontaminasi luas terhadap
lingkungan, misal : luka lebar dengan cairan keluar, diare,
perdarahan tidak terkontrol.
b. Kamar terpisah dengan pintu tertutup diwaspadai transmisi
melalui udara ke kontak, misalnya luka dengan infeksi kuman
gram positif
c. Kamar terpisah atau kohort dengan ventilasi dibuang keluar
dengan exhaust ke area tidak ada orang lalu lalang, misalnya
TBC
d. Kamar terpisah dengan udara terkuci bila diwaspadai transmisi
airborne luas, misal varicella.
e. Kamar terpisah bila pasien kurang mampu menjaga kebersihan
(anak gangguan mental)
8. Higiene respirasi/etika batuk
Kebersihan pernapasan dan etika batuk adalah dua cara penting
untuk mengendalikan penyebaran infeksi di sumbernya. Semua
pasien, pengunjung dan petugas kesehatan harus dianjurkan untuk
selalu mematuhi etika batuk dan kebersihan pernapasan untuk
mencegah sekresi pernapasan. Saat batuk atau bersin : tutup hidung
31
dan mulut, segera buang tisu yang sudah dipakai, lakukan kebersihan
tangan.
9. Praktek menyuntik yang aman
a. Menggunakan jarum yang steril, sekali pakai pada setiap
suntikan untuk mencegah kontaminasi pada peralatan injeksi
dan terapi
b. Bila memungkinkan sekali pakai vial walaupun multidose.
Jarum atau spuit yang dipakai ulang untuk mengambil obat
dalam vial multidose dapat menimbulkan kontaminasi mikroba
yang dapat menyebar saat obat dipakai untuk pasien lain
10. Praktek untuk lumbal punksi
Pemakaian masker pada insersi kateter atau injeksi suatu obat ke
dalam area spinal/epidural melalui prosedur lumbal punksi misal saat
melakukan anastesi spinal dan epidural, myelogram, untuk mencegah
transmisi droplet flora orofaring.
2.9. Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit
Tujuan program pencegahan dan pengendalian infeksi rumah sakit
adalah untuk melindungi pasien, petugas dan pengunjung. Program
pencegahan dan pengendalian infeksi dapat tercapai perlu dilakukan
perencanaan secara rinci dalam membuat strategi dan langkah yang
memerlukan koordinasi dari banyak pihak, baik individu, bagian maupun
unit pelayanan di sarana kesehatan tersebut.
32
Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) di rumah sakit
menurut Scheckler dkk, 1998; Palmer, 1984; Kemenkes RI, 2011;
Depkes RI, 2004; Depkes, 2008; dan Perdalin, 2015 yaitu :
1. Surveilans infeksi di rumah sakit
Surveilans infeksi rumah sakit adalah suatu proses yang dinamis,
sistematis, terus-menerus, dalam mengumpulkan, identifikasi,
analisa dan interpretasi dari data kesehatan yang penting pada
suatu populasi spesifik yang didiseminasikan secara berkala
kepada pihak-pihak yang memerlukan untuk digunakan dalam
perencanaan, penerapan dan evaluasi suatu tindakan yang
berhubungan dengan kesehatan (Kemkes RI 2011).
Adapun tujuan surveilans infeksi rumah sakit terutama adalah :
a. Mendapatkan data dasar infeksi rumah sakit. Dengan demikian
dapat diketahui berapa resiko yang dihadapi oleh setiap psien
yang dirawat di rumah sakit. Sebagian besar (90-95%) dari
infeksi rumah sakit adalah endemik dan ini di luar dari KLB yang
dikenal. Kegiatan surveilan ditujukan untuk menurunkan laju
angka endemik tersebut.
b. Menurunkan laju infeksi rumah sakit
Dengan surveilans ditemukan faktor resiko infeksi rumah sakit
yang akan diintervensi sehingga dapat menurunkan laju angka
infeksi rumah sakit. Untuk mencapai tujuan ini surveilans harus
33
didasarkan cara penggunaan data, sumber daya manusia dan
dana yang tersedia.
c. Identifikasi dini Kejadian Luar Biasa (KLB) infeksi rumah sakit
Bila laju angka dasar telah diketahui, maka kita dapat segera
mengenali bila terjadi suatu penyimpangan dari laju angka
dasar tersebut, yang mencerminkan suatu peningkatan kasus
atau kejadian luar biasa (outbreak) dari infeksi rumah sakit.
d. Meyakinkan para tenaga kesehatan tentang adanya masalah yang
memerlukan penanggulangan. Data surveilans yang diolah
dengan naik dan disajikan secara rutin dapat menyakinkan
tenaga kesehatan untuk menerapkan Pencegahan dan
Penangglangan Infeksi (PPI). Data ini dapat melengkapi
pengetahuan yang didapat karena lebih spesifik, nyata dan
terpercaya. Umpan balik mengenai informasi seperti itu
biasanya sangat efektif dalam menggiring tenaga kesehatan
untuk melakukan upaya PPI RS.
e. Mengukur dan menilai keberhasilan suatu program PPIRS
Setelah permasalahan dapat teridentifikasi dengan adanya data
surveilans serta upaya pencegahan dn pengendalian telah
dijalankan, maka masih diperlukan surveilans secara
berkesinambungan guna menyakinkan bahwa permasalahan
yang ada benar-benar telah terkendali.
34
f. Memenuhi standar mutu pelayanan medis dan keperawatan
Penatalaksanaan pasien yang baik dan tepat dalam
hal mengatasi dan mencegah penularan infeksi serta
menurunkan angka resistensi terhadap antimikroba akan
menurunkan angka infeksi rumah sakit. Surveilans yang baik
dapat menyediakan data dasar pendukung rumah sakit dalam
upaya memenuhi standar pelayanan rumah sakit.
g. Salah satu unsur pendukung untuk memenuhi akreditasi RS
Surveilans infeksi rumah sakit merupakan salah satu unsur untuk
memenuhi akreditasi RS yaitu Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi.
Jenis – jenis infeksi rumah sakit yang didata surveilans yaitu :
a) Infeksi Aliran Darah Primer (IADP)
Infeksi Aliran Darah Primer merupakan jenis infeksi yang
terjadi akibat masuknya mikroba melalui peralatan yang
masuk langsung ke sistem pembuluh darah yang biasa di
sebut juga Blood Steam Infection (BSI) Contohnya adalah
pemasangan vena sentral, vena perifer, hemodialisa.
b) Infeksi Saluran Pernafasan/ Pnemonia/ Ventilator
Associated Pneumonia (VAP)
Infeksi saluran nafas bawah yang mengenai parenkim paru
akibat pemasangan alat dengan tirah baring lama.
35
Contohnya adalah pemasangan enteral feeding, prosedur
suction, pemasangan ventilator.
c) Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Merupakan jenis infeksi yang terjadi pada saluarn kemih
murni (urethra dan permukaan kandung kemih) atai
melibatkan bagian yang lebih dalam dari organ - organ
pendukung saluran kemih (ginjal, ureter, uretra, kandung
kemih). Populasi utama surveilans adalah pasien yang
terpasang kateter menetap.
d) Infeksi Luka Operasi (ILO)
Infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari setelah
tindakan operasi tanpa pemasangan implant atau dalam
waktu 1 tahun bila operasi dengan pemasangan implant dan
diduga ada kaitannya dengan prosedur operasi.
e) Hosptital Acquired Pnemonia (HAP)
HAP (Hosptital Acquired Pnemonia) adalah infeksi yang
didapat pada pasien yang mengalami tirah baring lama.
2. Kewaspadaan isolasi (Isolation precaution)
Kewaspadaan standar atau standar precaution disusun oleh CDC
(Center for disease control) tahun 1996 dengan menyatukan
universal precauiton atau kewaspadaan terhadap darah dan cairan
tubuh yang telah dibuat tahun 1985 untuk mengurangi risiko
terinfeksi patogen yang berbahaya melalui darah dan cairan tubuh
36
lainnya dan body subtance isolation (BSI) atau isolasi dua tubuh.
(Kementrian Kesehatan RI.2011). kewaspadaan isolasi dibagi
menjadi dua lapis yaitu : 1) kewaspadaan standar 2) kewaspadaan
berdasar transmisi.
Kewaspadana standar untuk pelayanan semua pasien meliputi : 1)
kebersihan tangan/ hand hygiene, 2) alat pelindung diri (APD)
yang terdiri dari sarung tangan, masker, googgle (kacamata
pelindung), pelindung wajah, gaun 3) peralatan perawatan pasien
4) pengendalian lingkungan 5) pemerosesan peralatan psaien dan
penatalaksanaan linen 6) Kesehatan karyawan/perlindungan
petugas kesehatan 7) Penempatan psaien 8) hygiene respirasi/etika
batuk 9) praktek menyuntuk yang aman 10) praktek untuk lumbal
punksi.
Kewaspadaan berdasarkan transmisi dibagi sesuai dengan jenis
kewaspadaan berdasarkan transmisi : 1) kontak 2) melalui droplet 3)
melalui udara 4) melalui makanan, air, obat, alat dan petralatan 5)
melalui vektor ( lalat, nyamuk, tikus).
3. Penggunaan anti mikroba rasional
Menjadi pertimbangan khusus dalam pemberian antibiotik karena
kesalahan penggunaan antibiotik yang kurang tepat dan mahal akan
memberi kontribusi atas masalah yang terus berkembang tentang
resistensi antibiotik. Pemberian antibiotik 5 – 7 hari untuk mencegah
infeksi setelah bedah tidak berfungsi baik dan ini bukan termasuk
37
penggunaan antibiotik profilaksis. Pengunaan antimikroba yang
rasional sebaiknya berdasarkan indikasi, profilaksis (teraupetik) dan
empirik (definitif). Dalam pelaksanaan program pencegahan dan
pengendalian infeksi memerlukan koordinasi dari berbagai pihak
oleh karena itu diperlukan jalur komunikasi dan garis komando yang
tergambar jelas di dalam struktur organisasi dan dikomunikasikan
kepada seluruh staf.
4. Pencegahan infeksi
Pencegahan infeksi dapat berupa menerapkan bundles - bundles
dari pencegahan infeksi nosokomia diantaranya dengan penerapan
bundle infeksi aliran darah primer, infeksi saluran kemih, infeksi
luka operasi, dan ventilator associated pnemonia (VAP).
5. Pendidikan dan pelatihan
Pada dasarnya seluruh petugas kesehatan harus mengetahui
mengapa pencegahan infeksi penting. Pendidikan dan pelatihan yang
diberikan merupakan kegiatan untuk menambah ilmu pengetahuan
dan keterampilan petugas dalam mencegah infeksi. Pendidikan dan
pelatiha ini diberikan kepada semua petugas kesehatan yang bekerja
di lingkungan rumah sakit, Pendidikan dan pelatihan dapat dilakukan
didalam rumah sakit itu sendiri atau diluar rumah sakit.
38
Gambar 2.2 Program PPI
Sumber : Program pencegahan dan pengendalian infeksi (Perdalin, 2015)
1.10. Teori keperawatan
Teori keperawatan yang mendasari dari health belief model
adalah teori keperawatan dari Dorothy E. Johnson dilahirkan pada
tanggal 21 agustus 1919 di savannah,Georgia. Teori system perilaku
menurut Johnson tumbuh dari keyakinan Nightingale yakni tujuan
perawatan adalah membantu individu-individu untuk mencegah atau
mengobati dari penyakit atau cidera (Oanne Patzek DaCunha,2014)
Johnson memanfaatkan hasil kerja ilmu perilaku dalam psikologi,
sosiologi dan etnologi untuk membangun teorinya . ia menyandarkan
sepenuhnya pada toeri system-sistem dan menggunakan konsep dan
definisi dari A. Rapoport,R. Chin dan W.Buckley. struktur teori system
perilaku dipolakan sesudah model system; system dinyatakan terdiri dari
bagian yangberkaitan untuk melakukan fungsi bersama-sama untuk
39
membentuk keseluruhan. Dalam tulisanya, Johnson mengkonseptualkan
manusia sebagai system perilaku dimana fungsi adalah observasi perilaku
adalah teori system biologi, yang menyatakan bahwa manusia merupakan
system biologi yang terdiri dari bagian biologi da penyakit adalah hasil
gangguan system biologi (Oanne Patzek DaCunha,2014).
Dorthy E. Johnson meyakini bahwa asuhan keperawatan dilakukan
untuk membantu individu memfasilitasi tingkah laku yang efektif dan
efisien untuk mencegah timbulnya penyakit. Manusia adalah makhluk
yang utuh dan terdiri dari 2 sistem yaitu sistem biologi dan tingkah laku
tertentu. Lingkungan termasuk masyarakat adalah sistem eksternal yang
berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Seseorang diakatan sehat jika
mampu berespon adaptif baik fisik, mental, emosi dan sosial terjadap
lingkunagn internal dan eksternal dengan harapan dapat memelihara
kesehatannya. Asuhan keperawatan dilakukan untuk membantu
kesimbangan individu terutama koping atau cara pemecahan masalah
yang dilakukan ketika ia sakit.
Menurut Johnson ada 4 tujuan asuhan keperawatan kepada
individu, yaitu agar tingkah lakunya sesuai dengan tuntutan dan harapan
masyarakat, mampu beradaptasi terhadap perubahan fungsi tubuhnya,
bermanfaat bagi dirinya dan orang lain atau produktif serta mampu
mengatasi masalah kesehatan yang lainnya (Oanne Patzek
DaCunha,2014).
40
Kerangka teori adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau kaitan
antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara variabel
yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti
(Notoatmodjo, S, 2012). Kerangka konep penelitian merupakan landasan
berfikir untuk melakukan penelitian yang dikembangkan berdasarkan
daftar pustaka.
Skema 3.1. kerangka teori
1. Kerentanan yang
dirasakan (Preceived
susceptibility)
2. Keseriusan yang dirasakan
( Preceived seriousness)
3. Manfaat yang dirasakan
(Preceived benefit )
4. Rintangan/hambatan yang
dirasakan (Preceived
barier )
5. Mempercepat tindakan
yang akan dilakukan (Cues
to action)
(Notoatmodjo, S, 2012)
Kejadian infeksi
Program PPI
1. Kewspadaan
isolasi
2. Surveilasns
3. Pendidikan dan
pelatihan
4. Pencegahan
infeksi
5. Penggunaan AB
Pelilaku sehat
(Dorthy E Jonson)