15
BAB II
BIOGRAFI DANIEL GOLEMAN DAN PEMIKIRANNYA TENTANG
KECERDASAN EMOSI
A. Biografi Daniel Goleman
1. Biografi dan Aktivitas Intelektualnya
Daniel Goleman adalah seorang psikolog yang ikut berkiprah dalam
perkembangan dunia pendidikan dan juga di dunia usaha yang sangat
kompetitif dan penuh tantangan. Ia adalah seorang otodidak yang belajar
langsung dari lapangan dan dunai usaha. Ia juga penulis buku The Best Seller
EQ.
Goleman lahir di Stockton California, dan sekarang tinggal di
Berkshires Massachasetts bersama istrinya Tara Bennet Goleman seorang ahli
psikoterapi dan mempunyai dua anak yang sudah dewasa.
Setelah menamatkan sekolah lanjutan tingkat atas, ia melanjutkan
pendidikannya di universitas Amherst, dimana ia mendapat gelar sarjana Al
Fred Sloan dan lulus dengan predikat cumlaude. Setelah itu ia melanjutkan
pada program S2 dan S3 nya di Harvard, dimana ia menjadi seorang anggota
“ford” dan mendapat gelar MA dan Ph.D untuk mengembangkan klinik
Psikologi dan Personaliti.
Ia termasuk salah seorang pendiri pembelajaran Collaborative untuk
kampus-kampus. Pembelajaran sosial dan emosi di Universitas Yale pusat
studi anak (sekarang di Universitas Illionis Chicago), dengan misi untuk
membantu sekolah-sekolah untuk memperkenalkan pelajaran-pelajaran
kiterasi emosi. Satu kelebihan dari dampak pembelajaran Colaborative adalah
banyak ribuan sekolah diseluruh dunia yang telah mulai mengaplikasikan
program-program tersebut. Di samping itu Goleman merupakan mantan ketua
perkumpulan penelitian mengenai kecerdasan emosi dalam organisasi-
organisasi, yang sesuai dengan sekolah-sekolah lulusan psikologi penerapan
16
dan professional di Universitas Rutgers yang merekomendasikan praktek-
praktek terbaik dalam mengembangkan kompetensi emosi.
Pada tahun 2003, ia menerbitkan Destruction Emotions (emosi-emosi
yang merusak), yaitu sejumlah dialog ilmiah antara kelompok psikolog, ahli
saraf dan para filosof. Ia adalah anggota dewan komisaris institut “mind and
life” yang mensponsori serial yang sedang berlangsung dalam dialog-dialog
tersebut dan membuat penelitian yang relevan.
Selain itu juga aktif sebagai pengajar kelompok-kelompok peserta
bisnis, kaum professional dan juga mengajar di kampus-kampus Universitas.
Dan telah menulis banyak pengetahuan mengenai kecerdasan dan perilaku di
majalah “The New York Times” selama bertahun-tahun. Goleman dulunya
adalah seorang anggota pengunjung kepustakaan di Harvard dan ia juga
seorang jurnalistik yang bekerja sebagai wartawan di surat kabar “The New
York Times”.
Selama kurang lebih sepuluh tahun, Goleman meliputi ilmu-ilmu otak
dan perilaku pada “The New York Times” dan artikel-artikelnya di muat di
seluruh dunia dalam sindikat surat kabar ini. Ia pernah mengajar di Harvard
(tempat ia meraih gelar doktornya) dan juga pernah menjadi editor senior
dipsychology Today. Untuk itu, ia telah menerima banyak penghargaan
jurnalistik untuk karya-karya tulisan.
Termasuk dua nominasi penghargaan yaitu “Prizer” untuk artikel-artikelnya
di majalah “Times” dan sebuah penghargaan “Career Achieve Ment” (prestasi
karir) untuk jurnalistik dari asosiasi psikologi Amerika. Dalam pengenalan
terhadap usaha-usahanya untuk mengkomunikasikan ilmu-ilmu pengetahuan
sikap kepada publik. Oleh karena itu ia telah terpilih menjadi seorang anggota
persekutuan Amerika untuk ilmu pengetahuan yang tinggi.
Selain Emotional Intelligence, buku-bukunya yang telah diterbitkan
adalah Vital Lies, Simple Truths, The Meditative Mind, Working With
Emotional Intelligence dan menjadi penulis pendamping buku The Creative
17
Spirit. Dan buku terbarunya adalah primal Leadership Realizing The Power
Of Emotional Intelligence.
Buku-bukunya termasuk menjadi salah satu daftar “The New York Times”
selama 1,5 tahun dengan lebih dari 5 juta cetakan eksemplar di seluruh dunia.
Buku-buku tersebut telah menduduki peringkat penjualan terlaris hampir
seluruh benua, Eropa dan Amerika latin dan telah di terjemahkan kedalam
kurang belih 30 bahasa.
2. Karya-karya Pemikiran Daniel Goleman
Keseriusan Daniel Goleman pada masalah kecerdasan dan perilaku
dapat dilihat dari penelitian-penelitian yang dilakukan dan juga buku-buku
yang ditulis. Adapun karya-karya ilmiyah yang monumental yang mewakili
gagasan dasar pemikiran Goleman tentang kecerdasan emosi adalah sebagai
berikut:
a. Emotional Intelligence (Kecerdasan emosi, mengapa EI lebih penting dari
IQ).
Daniel goleman dalam bukunya Emotional Intelligence
berpendapat bahwa pandangan kita tentang kecerdasan manusia itu
terlampau sempit, mengabaikan serangkaian penting kemampuan yang
sangat besar pengaruhnya dalam menentukan keberhasilan kita dalam
kehidupan.
Dengan memanfaatkan penelitian yang menggemparkan tentang
otak dan perilaku, Goleman memperlihatkan faktor–faktor yang terkait
mengapa orang yang ber-IQ tinggi gagal dan orang yang ber-IQ sedang
sedang menjadi sangat sukses. Faktor–faktor ia mengacu pada suatu cara
lain untuk menajdi cerdas. Cara yang disebutnya “kecerdasan emosional”.
Kecerdasan emosional mencakup kesadaran diri dan pengendalian
18
dorongan hati, ketekunan, semangat dan motivasi diri, empati dan
kecakapan sosial.1
Ini merupakan ciri-ciri yang menandai orang-orang yang menonjol
dalam kehidupan nyata: yang memiliki hubungan dekat yang hangat, yang
menjadi bintang di tempat kerjanya. Ini merupakan ciri-ciri utama karakter
dan disiplin diri, altruisme dan belas kasih. Kemampuan-kemampuan
dasar yang dibutuhkan apabila kita mengharapkan terciptanya masyarakat
yang sejahtera.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Goleman, kerugian pribadi
akibat rendahnya kecerdasan emosional dapat berkisar mulai dari
kesulitan perkawinan dan mendidik anak hingga buruknya kesehatan
jasmani. (penilitian baru memperlihatkan bahwa resiko besar bagi
kesehatan seperti halnya merokok berantai). Rendahnya kecerdasan emosi
dapat menghambat pertimbangan intelektual dan menghancurkan karier.
Barangkali kerugian terbesar diderita oleh anak-anak yang mungkin dapat
terjerumus dalam resiko terserang depresi, gangguan makan dan
kehamilan yang tak diinginkan, agresivitas serta kejahatan dengan
kekerasan.
Tetapi yang menggembirakan adalah bahwa kecerdasan emosi
tidaklah ditentukan sejak lahir. Argumen Goleman didasarkan pada
sintesis yang benar-benar orisinil dan penelitian terbaru, termasuk
pengetahuan baru mengerani arsitektur otak yang melandasi emosi dan
rasionalitas. Dengan cermat ia memperlihatkan bagaimana kecerdasan
emosional dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri kita semua.dan karena
pelajaran-pelajaran emosional yang diperoleh seorang anak akan
membentuk sirkuit otaknya. Goleman memberikan pedoman mendetail
1 Daniel Goleman (a), Emotonal Intelligence: Kecerdasan Emosional, Terj. T. Hermaya,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. Xiii.
19
tentang bagaimana orang tua dan sekolah-sekolah dapat memanfaatkan
kesempatan emas masa kanak-kanak itu dengan sebaik-baiknya.2
Pesan buku yang membuka perspektif baru yang harus dicamkan
dalam hati: kehidupan normal yang sejati bagi sebuah masyarakat harus
mengukur kecerdasan emosional.
Daniel Goleman menawarkan suatu pandangan baru terhadap
keunggulan dan kurikulum baru yang penting bagi kehidupan yang dapat
mengubah masa depan kita dan anak-anak kita.
b. Working With Emotional Intelligence (kecerdasan emosi untuk mecapai
puncak prestasi)
Dalam karya ini mengubah karangka pikir untuk mengenal karier
dan bagaimana bisnis memahami prioritas krusialnya Goleman
mendefinisikan kembali ukuran berhasil dalam pekerjaan.
Dengan akses yang tak terbatas kepelaku bisnis utama diseluruh
dunia, dan juga penelitian yang dilakukan di lebih dari 500 perusahaan.
Disini Goleman mendapatkan gambaran mengenai ketrampilan yang
dimiliki oleh para bintang kinerja disegala bidang, yang membuat mereka
berbeda dari yang lainnya. Dari pekerjaan tingkat bawah sampai posisi
eksekutif, faktor satu-satunya yang paling penting bukanlah IQ.
Pendidikan tinggi dan ketrampila teknis tapi yang paling penting adalah
kecerdasan emosi (emotional intelligence, El atau EQ) dan sosial yang
bersangkutan.
Kesadaran diri kepercayaan diri dan pengendalian diri: Komitmen,
integritas, kemampuan, berkomunikasi dan mempengaruhi, berinisiatif
dan menerima perubahan. Goleman memperlihatkan bahwa kemampuan-
kemampuan ini dinilai paling tinggi dalam pesan kerja masa kini. Semakin
2 Ibid, hlm. xiv
20
tinggi anak tangga kepemimpinan yang anda daki, semakin penting semua
aspek kecerdasan emosi dan sering menentukan siapa di pekerjaan dan
siapa dipecat, siapa ditiggalkan dan siapa dipromosikan.
Bintang kinerja menonjol bukan hanya karena prestasi
kepribadiannya sendiri tetapi juga karena mampu bekerja sama dengan
baik antara tim dan masyarakat. Dan mereka memaksimumkan
produktivitas kelompok mereka yang tidak dapat bekerja sama atau
gampang meledak tidak mampu mengelola perubahan atau konflik dan
dapat meracuni seluruh perusahaan.
Kabar baiknya adalah seperti yang dibuktikan oleh peneliti
mengenai ilmu-ilmu otak dan tingkah laku manusia, kita semua memiliki
potensi untuk memperbaiki kecerdasan emosi pada setiap jenjang karier
kita. Disini Goleman memberikan petunjuk yang spesifik dan ilmiah untuk
menumbuhkan kemampuan yang sangat berharga ini.
c. Primal Leadership Realizing The Power Emotional Intelligence
(Kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan Emosi)
Dalam Karya ini, Goleman menelaah masalah peran penting
kecerdasan emosi dalam kepemimpinan. Model Primal leadership ini
merupakan trobosan baru dalam memberikan kekuatan kepemimpinan
yang cerdik secara emosi untuk menginspirasi, membangkitkan gairah,
dan antusiasisme, serta membuat orang tetap termotifasi dan
berkomitmen.
Keistimewaan dari pembelajaran keterampilan kepemimpinan itu
akan menjadi bagian dari operasi sehari-hari, dan seluruh organisasi akan
menjadi tempat dimana orang-orang tersebut berkembang dengan bekerja
21
secara bersama, bukan hanya sebagai pemimpin dalam pekerjaan tetapi
juga bagi kehidupan priadi dan keluarga.3
B. Konsep Daniel Goleman Tentang Kecerdasan Emosi (Emotional Intelligence)
1. Pengertian Kecerdasan Emosi
Istilah Emotional Quotien (EQ) dan Emotional Intelligence (EI) dalam
penggunaannya sering disamakan. Namun secara garis besar ada berbedaan
titik tekan dari penggunaan kata tersebut. Intelligensi adalah potensi yang
dimiliki seseorang untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Adapun Quotient
adalah satuan ukuran yang digunakan untuk intelligensi. Jadi, kalau panjang
di ukur dengan meter, berat di ukur dengan gram, maka kercerdasan di
ukur dengan quotient. Karenanya tingkat kecerdasan selama ini dikenal
dengan IQ.4
Berbicara mengenai masalah kecerdasan emosi, tidak lepas dari kata
emosi, istilah yang makna tepatnya masih membingungkan baik para ahli
psikologi maupun ahli filsafat selama lebih dari satu abad. Secara harfiah,
Oxford English Dictionary, mendefinisikan emosi sebagai setiap kegiatan atau
pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat atau
meluap-luap. Akar kata emosi adalah movere, kata kerja bahasa latin yang
berarti “menggerakkan”, “bergerak” di tambah awalan “e” untuk memberi arti
“bergerak menjauh” menyiaratkan kecenderungnya bertindak merupakan hal
mutlak dalam emosi.5 Hal tersebut sebagai akibat dari suatu stimulan yang
menyebabkan munculnya suatu keinginan untuk bertindak.
3 Daniel Goleman (d), et.al., Primal Leadership Realizing The Power Emotional
Intelligence: Kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan Emosi, Terj. Susi Purwoko, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. x-xiiii
4 Monty P. Satiadarma dan Fidelis E. Warrawu, Mendidik Kecerdasan, (Jakarta: Pustaka Pelajar Obor, 2003), hlm. 26.
5 Daniel Goleman (a), Emotional Intelligence, Kecerdasan Emosional, Terj T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 7.
22
Emotion are the effective states of feeling we experience when our needs are satisfied or frustated and as such, that influence all other aspects of our behavior.6 Emosi diartikan sebagai perasaan atau perkataan efektif yang kita alami manakala kebutuhan kita tercukupi atau terhalang dan hal tersebut mempengaruhi segala aspek tingkah laku kita yang lain.
Sebenarnya gambaran tentang emosi itu mengandung watak dan
kondisi lebih jelas. Oleh karena itu Syamsu Yusuf memandang emosi sebagai
suatu peristiwa psikologis yang mengandung ciri-ciri sebagai berikut:
a. Lebih bersifat subjektif dari pada peristiwa psikologi lainnya, seperti
pengamatan dan berfikir.
b. Bersifat fluktuatif (tidak tetap)
c. Banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indra.7
Dengan demikian gejala-gejala seperti senang, sedih, marah, takut,
tegang dan relaxs itu merupakan beberapa proses manifestasi dari keadaan
emosi pada diri seseorang.
Bahkan para ahli sosiologi menunjuk keunggulan perasaan di banding
nalar. Emosi merupaan pusat jiwa manusia. Emosi menuntun kita menghadapi
saat-saat kritis dan tugas-tugas yang terlampau riskan bila diserahkan pada
otak. Semua emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak, rencana
seketika untuk mengatasi masalah, yang telah ditanamkan berangsur-angsur
oleh evolusi.
Kecerdasan emosional adalah menunjuk pada suatu kemampuan
memahami perasaan diri masing-masing dan perasaan orang lain, kemampuan
untuk memotivasi dirinya sendiri dan menata dengan baik emosi-emosi yang
muncul dalam dirinya dan dalam berhubungan dengan orang lain. Kecerdasan
6 Roger H. Hermanson, (ed)., Programed Learning Aid For Developmental Psychology,
(Amerika: United States of America, 1972), P. 84. 7 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2000), hlm. 116.
23
emosi menggambarkan yang walaupun berbeda namun berfungsi melengkapi
kecerdasan kognisi seseorang.8
Sedangkan menurut Patricia Patton, kecerdasan emosi adalah kekuatan
di balik singgasana kecerdasan emosi yang mencakup ketrampilan-
ketrampilan untuk:
a. Menunda kepuasan dan mengendalikan impuls b. Tetap optimis terhadap kemalangan dan ketidakpastian
c. Menyalurkan emosi-emosi yang kuat secara efektif
d. Mampu memotivasi dan menjaga semangat disiplin diri dalam usaha
mencapai tujuan.
e. Menangani kelemahan-kelemahan diri.
f. Menunjukkan rasa empati kepada orang lain.
g. Membangun kesadaran diri dan pemahaman diri.9
Pendapat Patricia di atas, bahwa kecerdasan emosi diartikan sebagai
kemampuan individu selama IQ yang didalamnya berupa pengungkapan
emosi secara efektif.
Ada juga yang mengatakan bahwa kecerdasan emosi sebagai suatu
kemampuan khusus memahami yang diungkapkan secara langsung apa yang
diharapkan sendiri dan orang lain dengan berusaha memberikan terbaik tanpa
merasa terbebani.10
Menurut Robert K. Cooper yang dikutip oleh Ary Ginanjar Agustian
mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan,
8 Daniel Goleman (b), Working With Emotional, Intelligence: Kecerdasan Emosi Untuk
Mencapai Puncak Prestasi, Terj. Alex Trikantjono Widodo, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 512.
9 Particia Patton, EQ: Pengembangan Sukses Lebih Bermakna, Terj. Hermer, (Jakarta: Mitra Media, 2002), hlm. 1.
10 Steven J. Stein dan Howard E. Book, Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses. Terj. Trinanda Rainy Januarsari dan Yudhi Murtanto, (Bandung: Kaifa, 2002), hlm. 31.
24
memahami dan secara efektif menerapkan daya kepekaan emosi sebagai
sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi. 11
Dan menurut Daniel Goleman mengenali konsep kecerdasan emosi
dapat dilihat dalam buku “Emotional intelligence” yang menyatakan
“emotional intelligence: abilities such as being able to motivate oneself and persist in the face of frustrations, to control impulse and delay gratification, to regulate one’s moods and keep distress from swamping the ability to think, to empathize and to hope”.12
Kecerdasan emosi adalah kemampuan-kemampuan seperti kemampuan memotivasi diri sendiri dan bertahan dalam menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak berlebihan, mengatur suasana hati dan menjaga agar tetap berfikir jernih, berempati dan berdoa.
Inilah hakekat kecerdasan emosi yang ditawarkan, oleh Daniel
Goleman menurutnya inti konsep yang menjadi titik tekan dalam
pandangannya adalah merujuk pada kecerdasan diri dan kecerdasan sosial.
Pendapat Goleman ini serupa dengan dua kecerdasan yang tercantum dalam
multiple intelligence yang dikembangkan oleh Howar Gardner lewat project
spectrum, yakni interpersonal intelligence dan intrapersonal intelligence.
Dalam penelitian ini Gardner mendapatkan bahwa otak manusia
memungkinkan untuk memiliki sampai delapan jenis kecerdasan, yaitu
sebagai berikut:
a. Kecerdasan linguistik, yaitu kemampuan dalam hal membaca, menulis dan
berkomunikasi dengan kata-kata.
b. Kecerdasan logika dan matematika, yaitu kemampuan untuk menalar dan
berhitung.
c. Kecerdasan musikal
d. Kecerdasan spasial dan visual
11 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual
ESQ: Emotional Spiritual Quotien Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, ( Jakarta: Arga Wijaya Persada, 2001), hlm. 199.
12 Daniel Goleman (c), Emotional Intelligence, (New York: Bantam Books, 1995), P. 35.
25
e. Kecerdasan kinestik atau kecerdasan fisik.
f. Kecerdasan interpersonal yaitu kemampuan untuk berhubungan dengan
orang lain.
g. Kecerdasan intrapersonal atau kecerdasan instrospektif, yaitu kemampuan
untuk memiliki wawasan, mengetahui jati diri. Jenis kecerdasan ini
memungkinkan manusia untuk mengeluarkan informasi-informasi yang
disimpan dalam pikiran bawah sadar.
h. Kecerdasan Naturalis, yaitu kemampuan untuk bekerja sama dan
menyelaraskan diri dengan alam. 13
Perbedaan antara keduanya itu terletak pada titik tekannya. Pandangan
Goleman lebih mengeksplorasi wilayah emosi manusia, sedangkan Gardner
kesemua multiple intelligence hanya berkutat pada kognitif atau rasio
manusia.
Namun apabila dilihat dari kacamata Islam, kecerdasan emosi atau
yang lebih dikenal dengan Emotional Quotient (EQ) sangat terkait dengan
ajaran Islam yang terangkum dalam konsep rukun Iman dan rukum Islam.
Ary Ginanjar memandang bahwa rukun Iman dan rukun Islam di
samping sebagai petunjuk ritual bagi umat Islam. ternyata pokok pikiran
dalam rukun Iman dan rukun Islam tersebut juga memberikan bimbingan
untuk mengenali dan memahami perasaan kita sendiri dan perasaan orang
lain. Dalam pandangannya rukun Islam di samping berfungsi sebagai tatanan
ritual dalam beragama, juga merupakan metode pengasahan atau pelatihan EQ
yang telah di pahami dalam rukun Iman, mulai dari syahadat yang berfungsi
sebagai mission statement, sholat yang berfungsi sebagai character building,
puasa sebagai self controlling, serta zakat dan haji yang berfungsi untuk
meningkatkan social intelligence atau kecerdasan sosial .14
13 Aida Husna, “Kecerdasan Emosional (Pengertian dan Pentingnya Dalam Pendidikan)”,
Jurnal Pendidikan Islami, Vol. 11 No. 1., Mei, 2002, hlm. 17 14 Ary Ginanjar Agustian, Op.Cit.,hlm. 286.
26
Kecerdasan emosi mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda,
tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan akademik (academic
intelligence), yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur
dengan IQ.
Meskipun IQ tinggi, tetapi bila kecerdasan emosi rendah tidak banyak
membantu. Banyak orang cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi tidak
mempunyai kecerdasan emosi, ternyata bekerja menjadi bawahan orang yang
IQ-nya lebih rendah tetapi unggul dalam kecerdasan emosi. Ini berarti bahwa
EI tidak mengungguli IQ.15 Begitu pula sebaliknya, karena keduanya bersifat
komplementer (saling melengkapi). Ibaratnya tanpa EQ, IQ hanya merupakan
pengetahuan tanpa tenaga dan gairah.
Dua macam kecerdasan yang berbeda ini akan menjadikan makna
hidup lebih berarti apabila diikuti dengan SQ. Ketiga komponen ini
merupakan sebuah metode paripurna untuk membangun tiga dimensi
kecerdasan manusia sekaligus. Semuanya mengungkapkan aktivitas-aktivitas
bagian yang berbeda dalam otak.
Kecerdasan intelektual berada di lapisan luar otak manusia yang
didasarkan pada kerja neo-cortex dalam bentuk aplikasi. Sedangkan EQ
berada pada lapisan otak lebih dalam dari neo-cortex yaitu limbic system
(lapisan tengah). Pada otak tengah ini terletak pengendali emosi dan perasaan
kita. Kecerdasan inilay yang lebih dikonstruksikan oleh Daniel Goleman
dalam bukunya Emotional Intelligence. Pemikirannya cenderung
menitikberatkan pada mentalitas, bagaimana mengembangkan emosi supaya
cerdas dan tidak cenderung marah. Adapun mengenali SQ mengambil tempat
15 Agus Nggermanto, Quantum Quotient (Kecerdasan Quantum): Cara Praktis Melejitkan IQ,
EQ dan SQ yang Harmonis, (Bandung: Nuansa, 2002), hlm. 98.
27
seputar jiwa (hati) yang merupakan wilayah spirit, karenanya dikenal dengan
The Souls Intelligence (kecerdasan hati).16
Hubungan antara ketiga dimensi tersebut dapat diilustrasikan dalam
bentuk sebagai berikut:
1 Dimensi fisk (IQ)
2 Dimensi emosi (EQ)
3 Dimensi spiritual (SQ)
Melihat berbagai uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa kecerdasan
emosi adalah suatu kemampuan untuk mengetahui dan mengenali serta
memenejnya sehingga emosi-emosi yang berdampak negatif tidak
melimpuhkan kemampuan-kemampuan yang lain yaitu kemampuan berfikir
(IQ), sehingga seseorang akan tetap berfikir jernih, berempati serta optimis.
2. Dimensi-dimensi Kecerdasan Emosi
Untuk mengetahui EQ yang dimiliki seseorang dapat dilihat dari sikap
dan perilakunya. Sekilas dapat terlihat unsur-unsur EQ melalui penjelasan EQ
di atas. Namun hal tersebut di bahas lebih mendalam oleh para pakar
psikologi, diantaranya pendapat Goleman juga Salovey dan Mayer
menjelaskan bahwa EQ mencakup lima dasar, namun Goleman
mengelompokkan menjadi dua bagian antara lain:17
a. Kecakapan pribadi
Kecakapan ini menentukan bagaimana mengelola diri sendiri.
Adapun kecakapan ini mencakup:
1) Kesadaran diri (self - Awareness); mengetahui apa yang kita rasakan
pada suatu saat dan menggunakannya untuk memenuhi pengambilan
16 Ary Ginanjar Agustian, ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan, (Jakarta:
Arga, 2003), hlm. 60. 17 Daniel Goleman (b), hlm.42-43.
28
keputusan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas
kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat, dengan ciri-cirinya:
a) Kesadaran diri: mengenali emosi diri sendiri dan efeknya, mereka
yang memiliki kompetensi ini:
- Mengetahui emosi mana yang sedang mereka rasakan dan
mengapa terjadi.
- Menyadari keterkaitan antara perasaan mereka dengan yang
mereka pikirkan.
- Mengetahui bagaimana perasaan mereka mempengaruhi
kinerja.
- Mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk nilai-nilai
dan sasaran mereka.18
b) Pengukuran diri secara akurat: mengetahui kekuatan dan batas-
batas diri sendiri, mereka yang memiliki komptensi ini:
- Sadar tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahannya.
- Menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari pengalaman
- Terbuka terhadap umpan balik yang tulus, perspektif baru, mau
terus belajar dan mengembangkan diri.
- Mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang
diri sendiri dengan perspektif yang luas.19
c) Kepercayaan diri: keyakinan tentang harga diri dan kemampuan
sendiri, mereka yang memiliki kompetensi ini:
- Berani tampil dengan keyakinan diri, berani menyatakan
keberadaannya.
- Berani menyatakan pandangan yang tidak populer dan bersedia
berkorban demi kebenaran.
18 Ibid., hlm. 84. 19 Ibid., hlm. 96.
29
- Tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam
keadaan tidak pasti dan tertekan.20
2) Pengaturan diri (self-regulation): Menangani emosi kita sedemikian
rupa sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka
terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum
tercapainya suatu sasaran mampu segera pulih kembali dari tekanan
emosi. Dengan ciri-cirinya:
a. Mengendalian diri: mengelola emosi-emosi dan desakan-desakan
hati yang merusak, mereka yang memiliki kompetensi ini:
- Mengelola dengan baik perasaan-perasaan impulsif dan emosi-
emosi yang menekan mereka
- Tetap teguh, tetap postif dan tidak goyah bahkan dalam situasi
yang paling berat.
- Berfikir dengan jernih dan tetap terfokus kendali dalam
tekanan.21
b. Sifat dapat dipercaya: memelihara norma kejujuran dan integritas,
mereka yang memiliki kompetensi ini:
- Bertindak menurut etika dan tidak pernah mempermalukan
orang.
- Membangun kepercayaan lewat keandalan diri dan otentisitas.
- Mengakui kesalahan sendiri dan berani menegur perbuatan
tidak etis orang lain.
- Berpegang pada prinsip secara teguh.
c. Sifat bersungguh-sungguh: bertanggung jawab atas kinerja pribadi,
mereka yang memiliki kompetensi ini:
- Memenuhi komitmen dan mematuhi janji
20 Ibid., hlm. 107. 21 Ibid., hlm. 130-131.
30
- Bertanggung jawab sendiri untuk memperjuangkan tujuan
mereka.
- Terorganisasi dan cermat dalam bekerja22
d. Inovasi: mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan,
pendekatan dan informasi-informasi baru, mereka yang memiliki
kompetensi ini:
- Selalu mencari gagasan baru dari berbagai sumber
- Menciptakan gagasan-gagasan baru
- Berani mengubah wawasan dan mengambil risiko akibat
pemikiran baru mereka.
e. Adaptabilitas: keluwesan dalam menghadapi perubahan, mereka
yang memiliki kompetensi ini:
- Terampil menangani beragamnya kebutuhan, bergesernya
prioritas dan pesatnya perubahan.
- Siap mengubah tanggapan dan taktik untuk menyesuaikan diri
dengan keadaan.
- Luwes dalam memandang situasi 23
Pengendalian diri ini terkait dengan kemampuan kita untuk
tahan menghadapi cobaan, kemampuan untuk tetap tenang dan
berkonsentrasi, tahan menghadapi kejadian yang gawat dan tetap
tegar menghadapi konflik.
3) Motivasi (motivation): menggunakan hasrat kita yang paling dalam
untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, membantu kita
mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif, serta untuk bertahan
menghadapi kegagalan dan frustasi, dengan ciri-cirinya.
22 Ibid., hlm. 142-143. 23 Ibid., hlm. 151.
31
a. Dorongan untuk berprestasi; dorongan untuk menjadi lebih baik
atau memenuhi standar keberhasilan, mereka yang memiliki
kompetensi ini:
- Berorientasi kepada hasil, dengan semangat juang tinggi untuk
meraih tujuan dan memenuhi standar.
- Menetapkan sasaran yang menantang dan berani mengambil
resiko yang telah diperhitungkan.
- Mencari informasi sebanyak-banyaknya guna mengurangi
ketidakpastian dan mencari cara yang lebih baik.
- Terus berjalan untuk meningkatkan kinerja mereka.24
b. Komitmen: menyesuaikan diri dengan sasaran kelompok atau
perusahaan mereka yang memiliki kompetensi ini:
- Siap berkorban demi pemenuhan sasaran organisasi yang lebih
penting.
- Merasakan dorongan semangat dalam misi yang lebih besar.
- Menggunakan nilai-nilai kelompok dalam pengambilan
keputusan dan penjabaran pilihan-pilihan.
- Aktif mencari peluang guna memenuhi misi kelompok.25
c. Inisiatif: kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan, mereka yang
memiliki kompetensi ini:
- Siap memanfaatkan peluang
- Mengejar sasaran lebih dari pada yang dipersyaratkan atau
diharapkan dari mereka.
- Berani melanggar batas-batas yang tidak prinsip bila perlu agar
tugas dapat dilaksanakan.
- Mengajak orang lain melakukan sesuatu yang tidak lazim dan
bernuansa petualangan
24 Ibid., hlm. 151. 25 Ibid., hlm. 190.
32
d. Optimisme: kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada
halangan dan kegagalan, mereka yang memiliki kompetensi ini:
- Tekun dalam mengejar sasaran kendati banyak halangan dan
kegagalan.
- Bekerja dengan harapan untuk sukses bukannya takut gagal.
- Memandang kegagalan dan kemunduran sebagai situasi yang
dapat dikendalikan ketimbang sebagai kekurangan pribadi.26
b. Kecakapan Sosial
Kecakapan ini menentukan bagaimana menangani suatu hubungan.
Adapun kecakapan ini meliputi dua dimensi, antara lain:
1. Empati (empathy): merasakan yang dirasakan orang lain, mampu
memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling
percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang,
dengan ciri-cirinya:
a. Memahami orang lain: mengindra perasaan dan perspektif orang
lain, dan menunjukkan minat aktif terhadap kepentingan mereka,
mereka yang memiliki kompetensi ini:
- Memperhatikan isyarat-isyarat emosi dan mendengarkannya
dengan baik.
- Menunjukkan kepekaan dan pemahaman terhadap perspektif
orang lain.
- Membantu berdasarkan pemahaman terhadap kebutuhan-
kebutuhan dan perasaan orang lain.27
b. Mengembangkan orang lain: merasakan kebutuhan perkembangan
orang lain dan berusaha menumbuhkan kemampuan mereka,
mereka yang memiliki kompetensi ini:
26 Ibid., hlm. 196. 27 Ibid., hlm. 220.
33
- Mengakui dan menghargai kekuatan, keberhasilan dan
perkembangan orang lain.
- Menawarkan umpan balik yang bermanfaat dan
mengidentifikasi kebutuhan orang lain untuk berkembang.
- Menjadi montir, memberikan pelatihan pada waktu yang tepat,
dan penugasan yang menantang serta melaksanakan
dikeraskannya ketrampilan seseorang.28
c. Orientasi pelayanan: mengantisipasi, mengenali dan berusaha
menumbuhkan kemampuan mereka, mereka yang memiliki
kompetensi ini:
- Memahami kebutuhan-kebutuhan anggota dan menyesuaikan
semua itu dengan pelayanan yang tersedia.
- Mencari berbagai cara untuk meningkatkan kepuasan dan
kesetiaan anggota.
- Dengan senanghati menawarkan bantuan yang sesuai.
- Menghayati prespektif anggota, bertindak sebagai penasehat
yang dapat dipercaya.29
d. Mendayagunakan keragaman: menumbuhkan peluang melalaui
pergaulan dengan bermacam-macam orang, mereka yang memiliki
kompetensi ini:
- Hormat dan mau bergaul dengan orang-orang dari bermacam-
macam latar belakang.
- Memahami beragamnya pandangan dan peka terhadap
perbedaan antara kelompok.
- Memandang keragaman sebagai peluang, menciptakan
lingkungan yang memungkinkan semua orang sama-sama maju
kendati berbeda-beda.30
28 Ibid., hlm. 234. 29 Ibid., hlm. 241-242.
34
- Berani menentang sikap membeda-bedakan dan intoleransi.
e. Kesadaran politik: mampu membaca arus-arus emosi sebuah
kelompok dan hubungannya dengan kekuasaan, mereka yang
memiliki kompetensi ini:
- Membaca dengan cermat hubungan kekerasan yang paling
tinggi.
- Mengenal dengan baik semua jaringan sosial yang penting.
- Membaca dengan cermat realitas organisasi.31
2. Ketrampilan sosial (social skills) menangani emosi dengan baik ketika
berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi
dan jaringan sosial , berinteraksi dengan lancar, menggunakan
ketrampilan-ketrampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin,
bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, serta untuk bekerja
sama dan bekerja dalam tim, dengan ciri-cirinya:
a. Pengaruh: memiliki taktik-taktik untuk melakukan persuasi,
mereka yang memiliki kompetensi ini:
- Terampil dalam persuasi
- Menyesuaikan persentasi untuk menarik hati pendengar
- Menggunakan strategi yang kuat seperti memberi pengaruh,
tidak langsung untuk membangun consensus dan
dukungannya.32
b. Komunikasi: mengirimkan pesan yang jelas dan meyakinkan,
mereka yang memiliki kompetensi ini:
30 Ibid., hlm. 248. 31 Ibid., hlm. 257. 32 Ibid., hlm. 271.
35
- Efektif dalam memberi dan menerima menyertakan isyarat
emosi dalam pesan-pesan mereka.
- Menghadapi masalah-masalah yang sulit tanpa ditunda
- Mendengarkan dengan baik, berusaha saling memahami dan
bersedia berbagi informasi secara utuh.
- Menggalakkan komunikasi terbuka dan tetap bersedia
menerima kabar buruk sebagaimana kabar baik.33
c. Manajemen konflik: negosiasi dan pemecahan silang pendapat,
mereka yang memiliki kompetensi ini:
- Menangani orang-orang sulit dan situasi tegang dengan
diplomasi dan taktik.
- Mengidentifikasi hal-hal yang berpotensi menjadi konflik,
menyelesaikan perbedaan pendapat secara terbuka dan
membantu mendinginkan situasi.
- Menganjurkan dekat dan diskusi secara terbuka.
- Mengantar kesolusi menang-menang.34
d. Kepemimpinan: membangkitkan inspirasi dan memandu kelompok
dan orang lain, mereka yang memiliki kompetensi ini:
- Mengartikulasi dan membangkitkan semangat untuk meraih
visi serta misi bersama.
- Melangkah di depan untuk memimpin bila diperlukan, tidak
peduli sedang dimana.
- Memandu kinerja orang lain namun tetap memberikan
tanggung jawab kepada mereka.
- Memimpin lewat teladan.35
33 Ibid., hlm. 280-281. 34 Ibid., hlm. 286 35 Ibid., hlm. 295.
36
e. Katalisator perubahan: memulai dan mengelola perubahan, mereka
yang memiliki kompetensi ini:
- Menyadari perlunya perubahan dan dihilangkannya hambatan.
- Menantang status quo untuk menyatakan perlunya perubahan.
- Menjadi pelapor perubahan dan mengajak orang lain kedalam
perjuangan ini.
- Membuat model perubahan seperti yang diharapkan oleh orang
lain.36
Dari bahasan di atas menggambarkan bahwa pada dasarnya
EQ mencakup lima aspek yakni kesadaran diri, pengaturan diri,
motivasi, empati dan hubungan sosial. Antara kelima aspek
tersebut, saling terkait satu sama lain sehingga kecerdasan
seseorang pada satu dimensi juga mencerminkan dan
mempengaruhi dimensi lain.
Disamping itu Daniel Goleman juga mendaftar tujuh unsur
utama kemampuan yang sangat penting yang berkaitan dengan
kecerdasan emosi, yaitu:
1) Keyakinan atau perasaan kendali tentang penguasaan
seseorang terhadap tubuh, perilaku dan dunia. Perasaan anak
bahwa ia lebih cenderung berhasil dari pada tidak dalam apa
yang dikerjakan, bahwa orang-orang dewasa akan bersedia
menolong.
2) Rasa ingin tahu, Perasaan bahwa menyelidiki segala sesuatu ini
bersifat positif dan menimbulkan kesenangan.
3) Niat, hasrat dan kemampun untuk berhasil dan untuk bertindak
berdasarkan niat itu dengan tekun. Ini berkaitan dengan
perasaan terampil dan perasaan efektif.
36 Ibid., hlm. 312
37
4) Kendali diri, kemampuan untuk menyesuaikan dan
mengendalikan. Mengendalikan tindakan dengan pola yang
sesuai usia, suatu rasa kendali batiniyah.
5) Keterkaitan kemampuan untuk melibatkan diri dengan orang
lain berdasarkan pada perasaansaling memahami.
6) Kecakapan berkomunikasi, keyakinan dan kemampuan verbal
uuntuk bertukar gagasan, perasaan dan konsep dengan orang
lain.
7) Koperatif, kemampuan untuk menyeimbangkan kebutuhannya
sendiri dengan kebutuhan orang lain dalam kegiatan
kelompok.37
Sedangkan Agustian mengemukakan hal-hal yang dapat
dijadikan sebagai tolak ukur kecerdasan emosi diantaranya:
konsistens (istiqamah), kerendahan hati (tawadlu), berusaha dan
berserah diri (tawakal), ketulusan atua sincerety (keikhlasan),
totalitas (kaffah), keseimbangan (tawazun), integritas dan
penyempurnaan (ihsan). Dalam Islam hal-hal tersebut dinamakan
akhlakul karimah.38
Secara khusus, EQ meliputi ketrampilan manusia dan
kekuatan-kekuatan emosional yang dibutuhkan untuk berhasil
dalam hidup ini tanpa memandang prestasi-prestasi pendidikan dan
skor IQ yang dimiliki. Hal ini berarti EQ adalah mencakup
kecakapan-kecakapan sosial yang cenderung memiliki pengaruh
paling besar dalam kehidupan sehari-hari.39
Kecerdasan emosi menuntut seseorang untuk belajar
mengakui dan menghargai perasaan yang ada pada diri kita dan
37 Daniel Goleman (a), Op.Cit., hlm.274. 38 Ary Ginanjar Agustian, Op.Cit., hlm.199. 39 Harry Alder, Boost Your Intelligence. Terj Cristina P. (Jakarta: Erlangga, 2001), hlm. 32.
38
orang lain dan menanggapinya dengan tepat, menerapkannya
dengan efektif informasi dan energi emosi dalam kehidupan dan
pekerjaan sehari-hari.40
Untuk mengembangakan EQ. Menurut Agus Nggermanto
yang merujuk hasil penelitian Daniel Goleman yaitu ada dua
langkah: pertama, menyadari dan meyakini bahwa emosi itu benar-
benar ada dan riil. Kedua, mengelola emosi menjadi kekuatan
untuk mencapai prestasi terbaik.41
Menyadari emosi, diperlukan kejujuran dan keberanian
untuk melakukannya, terutama yang berhubungan dengan emosi
negatif. Misalnya, pada saat seseorang frustasi, sering ia tidak
menyadari atau mengakui bahwa ia sedang frustasi. Karena tidak
sadar, orang tersebut lebih senang mengambil jalan pintas
keminuman keras misalnya. Tetapi sebaliknya, bila orang tersebut
menyadari bahwa dirinya sedang frustasi dan menerima apa
adanya, maka terbuka peluang kelangkah kedua: mengelola emosi
untuk menjadi lebih baik. Menyadari emosi juga berhubungan
dengan emosi-emosi positif seperti semangat, gembira dan
bahagia.
Mengelola emosi sebagai tindak lanjut menyadari,
merupakan langkah yang sangat penting. Misalnya setelah
seseorang menyadari bahwa dirinya sangat frustasi, dia dapat
mengubah even frustasi itu menjadi kekuatan. Ia memutuskan
langkah pertama adalah relaksasi, untuk menjernihkan, pikiran dan
jiwanya. Selanjutnya ia dapat merenungkan apakah yang benar-
benar telah terjadi mungkin kegagalan, pelajaran apa yang dapat di
40 Robert K. Cooper, Ph.D., dan Ayman Sawaf, Executive EQ: Kecerdasan Emosional Dalam Kepemimpinan dan Organisasi, Terj. Alex Trikantjono Widodo, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. XV.
41 Agus Nggermanto, Op.Cit., hlm. 50.
39
petik dan dengan kejadian itu menjadikan dia lebih teguh dan hati-
hati, dan peluang positif apa yang dihasilkan oleh peristiwa itu
sehingga seseorang menemukan alternatif baru.42 Dengan
demikian kecerdasan emosi memungkinkan seseorang untuk bisa
berinteraksi dengan lingkungan dimana dia tinggal, beradaptasi
dan menghadapi berbagai macam masalah hidup.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang
yang mempunyai kecerdasan emosi tinggi adalah mereka yang
mempunyai kemampuan untuk mengetahui apa yang dirasakannya
pada suatu saat, mampu mengatur dirisendiri sehingga berdampak
positif pada pelaksanaan tugas (dapat di percaya, jujur dan
bertanggung jawab), mampu memotivasi diri sendiri sehingga
mampu bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi, mampu
merasakan apa yang dirasakan orang lain (empati) serta mampu
menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang
lain atau mempunyai kesempatan berkomunikasi dengan baik.
Dengan demikian bahwa seseorang yang mempunyai
kecerdasan emosi tinggi adalah mereka yang berakhlakul karimah,
bertingkahlaku yang baik, berbudi pekerti yang luhur dalam
kehidupan sehari-hari.
3. Fungsi Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi atau Emotional Quotien (EQ) bukan
didasarkan pada kepintaran seorang anak melainkan pada karakteristik
pribadi atau karakter. Penelitian-penelitian sekarang menemukan
bahwa ketrampilan sosial dan emosional ini lebih penting bagi
keberhasilan hidup ketimbang kemampuan intelektual.43]
42 Ibid. 43 Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak, Terj. Alex
Trikantjono Widodo, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 4.
40
IQ kita mungkin membantu kita memehami dan menghadapi
dunia pada satu tingkat tetapi kita membutuhkan emosi kita untuk
menghadapi orang lain. Tanpa kesadaran emosi, tanpa kemampuan
untuk mengenali dan menghargai perasaan sendiri serta bertindak
jujur sesuai dengan perasaan tersebut, kita tidak dapat berhubungan
baik dengan orang lain, kita tidak dapat berhasil didunia ini (tak peduli
sebarapa cerdas kita), kita tidak dapat membuat keputusan dengan
mudah, kita sering terombang-ambing tanpa pernah bersentuhan
dengan perasaan kita.44
Emosi dan akal adalah dua bagian darisatu keseluruhan.
Liberarti kecerdasan emosi sesungguhnya membentuk pikiran rasional
(akal). Itulah sebabnya istilah yang digunakan untuk menggambarkan
kecerdasan hati adalah EQ.
IQ dan EQ adala sumber-sumber daya sinergis, tanpa yang satu
yang lain menjadi tidak sempurna dan tidak efektif. IQ tanpa EQ dapat
membuat seseorang berhaisl meraih nilai A dalam ujian, tetapi tidak
akan membuat seseorang berhasil dalam kehidupan. Inti dari EQ
adalah hubungan pribadi dan atar pribadi. EQ bertanggung jawab atas
harga diri kepekaan sosial dan kemampuan adaptasi sosial
seseorang.45
Untuk menjadikan anak mempunyai kecerdasan emosional
yang tinggi dan sekaligus memiliki kualitas kepribadian yang baik
serta sebagai bekal untuk masa dewasanya kelak dibutuhkan kesadaran
diri, keluarga, sekolah dan masyarakat.
Agar anak mempunyai kepekaan mental yang sukses,
mengendalikan diri secara seimbang, menjalin komunikasi, berempati
44 Jeanne Segal, Melejitkan Kepekaan Emosional, Terj. Ary Nilandari, (Bandung: Kaifa,
2002), Cet. I., hlm. 24. 45 Ibid, hlm. 26.
41
dengan orang lain secara baik, kesemuanya itu harus di tekankan pada
upaya pendidikan lewat keluarga dan sekolah.
Keterlibatan antara keluarga dan sekolah dalam menciptakan
ketrampilan emosional sangat penting adanya.
a) Keluarga
Keluarga merupakan faktor pertama untuk mempelajari
emosi. Melalui lingkungan inilah anak belajar bagaimana
merasakan perasaannya sendiri dan bagaimana perasaan orang lain
menangani perasaannya, bagaimana berfikir tentang perasaan ini
dan langkah-langkah apa yang diambil untuk bertindak, serta
bagaimana membaca dan mengungkapkan harapan dan rasa takut.
Pembelajaran emosi ini bukan halnya melalui hal-hal yang
diucapkan dan dilakukan orang tua secara langsung kepada anak-
anaknya, melainkan juga melalui contoh-contoh yang mereka
berikan dalam sehari-hari. Ada penelitian yang memperlihatkan
bahwa perlakuan orang tua pada anak sejak kecil akan terekam
dalam benak anak. jika itu berulang terus menerus perlakuan baik
maupun buruk, maka akan menimbulkan sejumlah peran
emosional yang mendasar seumur hidup dan merupakan pelajaran
yang dapat menentukan arah kehidupan anak.46
Bahkan banyak orang tua gagal untuk mengajarkan
emosional pada anak-anak mereka. Berikut beberapa tipe orang tua
yang gagal mencerdaskan emosional anak-anak mereka lebih
disebabkan karena: pertama, orang tua yang mengabaikan, tidak
menghiraukan, meremehkan emosi-emosi negatif anak; kedua
orang tua yang tidak menyetujui, memarahi atau menghukum
mereka karena mengungkapkan emosinya dan ketiga orang tua
46 Daniel Goleman (a), Op.Cit., hlm. 268.
42
yang terlalu membebaskan (Laissez-faire), yang menerima emosi
anak mereka dan berempati dengan mereka tetapi tidak
memberikan bimbingan atau memberikan batas-batas pada tingkah
laku mereka.47
Dampak pendidikan keluarga semacam itu terhadap anak-
anak sangatlah luas. Salah satunya dalah munculnya berbagai
kenakalan, emosi yang tak terkendali dan kriminalitas diri yang
terjadi pada usia anak mungkin memiliki latar belakang dan setting
keluarga yang tidak harmonis atau memang terpicu oleh kekerasan
sosial itu sendiri.
Untuk itu keluarga memiliki peran yang sangat penting
dalam upaya mengembangkan pribadi anak. Perawatan orang tua
yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai
kehidupan baik agama maupun sosial budaya yang diberikannya
merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak
menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat.48
Keluarga yang bahagia merupakan suatu hal yang sangat
penting bagi perkembangan emosi para anggotanya (terutama
anak). Kebahagiaan ini diperoleh apabila keluarga dapat
menerapkan fungsinya secara baik. Fungsi dari keluarga adalah
memberikan rasa aman, kasih sayang dan mengembangkan
hubungan yang baik diantara anggota keluarga.49
Kaitannya dengan hal ini John Gottman dan Joan De Claire
memberikan lima langkah penting dalam mendidik emosi anak
yaitu:50
47 John Gottman dan Joan De Claire, Kiat-kiat Membesarkan Anak Yang Memilik Kecerdasan
Emosional, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,1998), hlm. 4-5. 48 Syamsu Yusuf, Op.Cit., hlm. 37. 49 Ibid, hlm. 38 50 John Gottman dan Joan De Claire, Op.Cit., hlm. 65-114.
43
1- Menyadari emosi anak-anak
Dalam hal ini sebagai orang tua maka harus sadar secara
emosional, sehingga siap menjadi pelatih emosi. Kesadaran
emosional berarti mengenali kapan merasakan suatu emosi,
mengidentifikasi perasan-perasaan dan peka akan hadirnya
emosi pada orang lain.
2- Mengakui emosi sebagai peluang untuk kedekatan dan
mengajar. Sebagai orang tua harus mengenali emosi negatif
anak mereka sebagai peluang untuk menjalin ikatan dan
mengajar, muncul sebagai suatu kelegaan dan suatu
pembebasan.
3- Mendengarkan dengan empati dan menggunakan perasaan
anak.
4- Menolong anak memberi nama emosi dengan kata-kata
membantu anak-anak menentukan kata-kata untuk melukiskan
apa yang sedang mereka rasakan. Ini berarti membantu mereka
menyusun kata-kata yang dapat mereka gunakan untuk
mengungkapkan emosi mereka.
5- Menentukan batas-batas sambil membantu anak memecahkan
masalah.
Dengan demikian orang tua yang terampil emosional
memiliki anak cenderung bergaul lebih baik dengan teman-
temannya, tidak banyak mengalami masalah tingkah laku dan tidak
begitu gampang melakukan tindak kekerasan. Secara keseluruhan
anak-anak yang dilatih emosinya mengalami jumlah perasaan
negatif yang kurang dan merasakan lebih banyak perasaan positif.
Pendek kata secara keseluruhan mereka lebih sehat.51
51 Ibid, hlm. 8
44
b) Sekolah
Sekolah merupakan lembagan pendidikan formal yang
secara sistematik melaksanakan program bimbingan, pengajaran
dan latihan dalam rangka membantu siswa agar mampu
mengembangkan potensinya, baik yang menyangkut aspek moral
spiritual, intelektual, emosional maupun sosial.52
Mengenai peran sekolah selain sebagai penentu bagi
perkembangan kepribadian anak, baik dalam cara berpikir bersikap
maupun cara berperilaku, juga berperan sebagai substansi
keluarga.
Sebagaimana pendapat Goleman yang dikutip oleh
Zamroni menyatakan bahwa emosi tidak bersifat statis tetapi
berkembang sejalan dengan perkembangan usia seseorang,
semakin dewasa perkembangan usia seseorang semakin dewasa
emosi yang dimiliki akan semakin matang. Namun kecerdasan
emosi juga bisa berkembang sebagai hasil interaksi dengan
lingkungannya baik di sengaja atau tidak. Dengan demikian guru
bisa berperan sebagai faktor lingkungan.53
Keberhasilan guru mengembangkan kemampuan anak
mengendalikan emosi akan menghasilkan perilaku siswa yang
baik. Pertama, emosi yang terkendali akan memberikan dasar bagi
otak untuk dapat berfungsi secara optimal. Kedua emosi yang
terkendali akan menghasilkan perilaku yang baik..54
Ketrampilan emosional menyiaratkan lebih diperluasnya
lagi tugas sekolah, dengan memikul tanggung jawab atas
52 Syamsu Yusuf, Op.Cit., hlm. 54. 53 Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta: Biografi Publishing, 2000),
hal, 138 54 Ibid.
45
kegagalan keluarga dalam mensosialisasikan anak. oleh karena itu
orang tua dan guru sebagai pendidik di sekolah haruslah menjadi
pelatih yang efisien, mereka harus mempunyai pemahaman yang
cukup baik tentang dasar-dasar kecerdasan emosional.
Selain itu lingkungan sekolah adalah sebuah wadah untuk
belajar bersama karena belajar merupakan salah faktor yang
penting dalam perkembangan emosi. Hal ini dikarenakan belajar
adalah faktor yang dapat dikendalikan sekaligus mudah dievaluasi
dalam perbaikan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungai
kecerdasan emosi yaitu sebagai penileian yang bisa mencegah
munculnya perilaku buruk. Meningkatnya EQ pada anak dapat
membantu mengurangi risiko tabiat keras berlebihan dan
membantu mencegah kebrutalan yang terjadi di dalam keluarga,
sekolah maupun masyarakat. Karena itu agar terealisasikan
dengan baik dibutuhkan pembelajaran emosi dari keluarga dan
sekolah sebagai hasil pendidikan.