1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan dunia informasi global pada era ini menunjukkan peningkatan
yang sangat cepat. Keterbukaan dan perluasan pendidikan menyebabkan masyarakat
membutuhkan lebih banyak fakta dan informasi (Atiyah, 2007: 34). Hal tersebut
mendorong media massa untuk berkembang dengan menjaga ketersediaan informasi
yang up-to-date. Pada zaman terdahulu media massa hanya terbatas pada media cetak
yang kemudian berkembang pada media audio, hingga kemunculan televisi sebagai
media audiovisual dan pada era 90–an muncul media baru, yakni internet yang kini
semakin luas digunakan oleh masyarakat global.
Seiring dengan perkembangan internet yang menjelma sebagai medium “serba
bisa”, media konvensional lama seperti televisi, radio, dan surat kabar juga harus
melakukan perubahan agar tidak tergerus zaman. Pasca runtuhnya rezim orde baru,
semakin banyak media-media massa yang bermunculan, baik media cetak maupun
elektronik mengalami lonjakan yang tajam. Data Dewan Pers tahun 2002
menyebutkan bahwa pada tahun 1994 terdapat 287 media massa yang beredar di
Indonesia, kemudian menjadi 1.315 media massa pada tahun 2001 (Wibowo, 2009:
6). Hal tersebut menandakan bahwa kehadiran internet di Indonesia bukanlah akhir
dari media konvensional. Meskipun begitu, jumlah media massa terus mengalami
penurunan dan hingga kini tercatat sebanyak 751 media cetak dan elektronik yang
tersebar dan masih digunakan oleh masyarakat Indonesia (dewanpers.or.id)1.
Dalam banyak hal, surat kabar adalah media komunikasi massa yang
diharapkan mampu memenuhi kebutuhan informasi. Namun perkembangan internet
yang tidak pernah berhenti, surat kabar melakukan konvergensi, yakni
menggabungkan berbagai berbagai media sebagai medium pembawa pesan, sehingga
1 http://www.dewanpers.or.id/page/data/perusahaan/?provinsi=Yogyakarta#focus
2
surat kabar masa kini memiliki versi cetak, versi digital, atau bahkan memilik i
website. Meskipun dalam 3 medium yang berbeda, namun informasi yang dimuat
didalamnya sama. Konvergensi adalah respons surat kabar terhadap kemajuan
teknologi. Melalui intergasi berbagai media tersebut, audience memiliki pilihan-
pilihan lebih banyak untuk mengkonsumsi berita. Pada negara -negara maju dengan
fasilitas internet yang baik, surat kabar versi cetak mulai ditinggalkan perlahan -lahan
oleh generasi mudanya. Kaum -kaum pekerja umumnya tidak memiliki waktu untuk
membeli dan membaca lembaran-lembaran surat kabar cetak. Mereka lebih suka
membeli versi elektronik dan dibaca melalui gadget mereka, atau mengunjungi
halaman web surat kabar melalui gadget mereka untuk mendapatkat informasi
terbaru, meskipun hanya sebatas preview atau ulasan sederhana sehingga penjualan
surat kabar cetak mengalami penurunan.
Perkembangan teknologi adalah sesuatu yang tidak terhindarkan, sehingga
surat kabar harus dapat hidup secara berdampingan dengan teknologi digital atau
sepenuhnya akan tergantikan. Munculnya surat kabar dalam 3 medium tersebut secara
langsung telah mengubah pola konsumsi surat kabar masyarakat. Surat kabar adalah
medium informasi yang dihadapkan pada perubahan teknologi serta demografi
pembacanya. Adanya anggapan bahwa surat kabar cetak adalah bacaan para orang tua
adalah sesuatu yang nyata pada masa ini. Di berbagai negara maju, khususnya
Amerika, surat kabar cetak dibayangi oleh permasalahan berkurangnya pembaca serta
minimnya minat remaja untuk mengkonsumsi surat kabar sebagai media penyedia
informasi (voaindonesia.com)2. Tak ubahnya di Indonesia, perilaku konsumsi
informasi remaja pada masa ini menunjukkan tendensi peralihan media informasi.
Hal tersebut tersirat dalam paparan profil pengguna internet yang diterbitkan oleh
APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) yang menyebutkan bahwa
pengguna internet dengan usia 14-21 tahun memiliki porsi sebesar 32,4% dari total
2 http://www.voaindonesia.com/content/media -di-as-kesulitan-tarik-minat-pembaca-usia-
muda/1903694.html
3
pengguna internet Indonesia, sebagian besar dari mereka mengakses internet untuk
mencari informasi menggunakan komputer tablet maupun smartphone (APJII, 2012).
Sebuah hal yang tidak mengherankan apabila usia tersebut memiliki porsi
yang cukup besar dalam persebaran pengguna internet di Indonesia. Pasalnya, mereka
adalah generasi yang lahir era internet atau disebut dengan generasi Digital native.
Mereka terlahir kedalam dunia yang telah terhubung secara digital, penggunaan
teknologi berjalan sangat natural bagi mereka karena pada dasarnya mereka tum buh
dan berkembang bersama dengan teknologi yang memiliki berbagai kemudahan
dalam akses informasi, minim effort, praktis dan paperless. Oleh karena perilaku
tersebut, surat kabar di Indonesia juga telah menggunakan saluran-saluran lain
sebagai medium pesan mereka. Meskipun belum optimal, upaya tersebut dilakukan
untuk menjembatani media analog dan digital, karena generasi digital native inilah
yang akan menjadi konsumen surat kabar mereka di masa yang akan datang.
Pada Daerah Istimewa Yogyakarta, persaingan surat kabar di provinsi ini
sedikit banyak merefleksikan tentang apa yang terjadi pada industri surat kabar
nasional. Hingga tahun 2014, Yogyakarta memiliki 13 surat kabar yang terbit setiap
harinya meliputi 6 surat kabar berskala nasional dan 7 surat kabar berskala regional,
beberapa diantaranya dimiliki oleh korporasi berjaringan nasional dan hampir
seluruhnya memiliki 3 platform yang berbeda yakni cetak, surat kabar elek tronik dan
halaman web. Surat kabar tersebut beredar dalam wilayah DIY yang memiliki
populasi penduduk kurang lebih sebesar 425 juta. Keadaan ini berbeda jauh dengan 2
dekade lalu, saat persaingan surat kabar di Yogyakarta hanya diramaikan oleh
Kompas dan Kedaulatan Rakyat yang telah memiliki segmen pembaca masing-
masing serta penggunaan internet yang belum luas. Beberapa surat kabar telah
melakukan terobosan dengan menghadirkan rubrik dan desain-desain yang menarik
perhatian pembaca remaja, serta mengadakan event-event berbasis remaja. Ini
menandakan bahwa bisnis surat kabar juga berusaha menarik minat pembaca remaja
yang kini semakin menurun. Hal tersebut sejalan dengan yang diungkapkan Rupert
Murdoch dalam Sularto (2011: 270) bahwa media cetak akan tetap bertahan di era
4
digital apabila memberikan perhatian pada kepentingan kaum muda. Urgensi untuk
memikat pembaca remaja menjadi menarik untuk diamati ketika pola konsumsi
media remaja pada era digital ini seakan bergerak meninggalkan media analog
menuju ke ruang digital. Sedangkan mereka yang kini berusia 14-21 tahun adalah
calon-calon konsumen surat kabar di masa yang akan datang.
Meskipun ditengah-tengah era digital, perkembangan surat kabar di
Yogyakarta tidak terhenti, namun hal tersebut bukannya tidak me ngindikasikan suatu
permasalahan. Menurunnya jum lah pembaca generasi digital pada surat kabar telah
dialami oleh berbagai negara maju yang memiliki fasilitas internet baik. Sebuah hal
yang menarik apabila kita kembali melihat pada fakta tingginya penggunaan internet
untuk mencari informasi berdampak pada berkurangnya pembaca surat kabar cetak
pada golongan remaja. Dengan segala kemudahan dan penggunaan teknologi yang
ada pada masa kini, apakah pembaca remaja masih memiliki minat untuk
mengkonsumsi surat kabar? Bagaimanakah pola konsumsi surat kabar mereka?
Beranjak dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis merasa tertarik dan perlu untuk
meneliti perilaku konsumsi surat kabar pada pembaca remaja di Yogyakarta dengan
fokus kelompok umur 14-21 tahun.
B. Rumusan Masalah
Dari jabaran pada latarbelakang permasalahan di atas, maka rumusan masalah
pada penelitian ini adalah bagaimana perilaku konsumsi surat kabar pada digital
native di Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku konsum si surat kabar pada
digital native, yakni remaja di Yogyakarta pada kelompuk umur 14-21 tahun.
5
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi yang bermanfaat
bagai penelitian sejenis, serta dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu komunikasi.
b. Meningkatkan pengetahuan yang berkaitan dengan perencanaan
serta implementasi strategi komunikasi pemasaran berdasarkan
perilaku konsumen.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan gambaran tentang karakter remaja sebagai pembaca
surat kabar.
b. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dan
masukan yang membangun bagi perusahaan-perusahaan surat
kabar, Sehingga kedepannya dapat membantu dalam penyusunan
dan implementasi strategi komunikasi pemasaran.
c. Memberikan prediksi perilaku konsumsi surat kabar pada masa
yang akan datang
E. Objek Penelitian
Objek dari penelitian ini adalah perilaku konsumsi surat kabar pada digital native.
Penelitian ini akan melihat secara umum bagaimana digital native mengkonsumsi
surat kabar sebagai media penyedia informasi.
F. Kerangka Teori
1. Perilaku Konsumsen
Dalam melakukan penelitian tentang perilaku konsumen, hal mendasar yang
harus kita lakukan adalah mengidentifikasi konsumen secara jelas sehingga dalam
kepentingan untuk melakukan pembahasan tehadap konsep tersebut terdapat batasan
6
batasan yang jelas. C.N Krishna Naik et.al (1999: 2) menjelaskan terminologi
konsumen secara mudah dipahami sebagai seseorang yang membeli barang dan jasa
atas pertimbangan ekonomi, pada tempat yang dianggapnya nyaman, dan untuk
memuaskan kebutuhannya. Definisi lain yang terdapat pada kamus oxford online
(oxforddictionaries.com)3 menjelaskan bahwa terminologi konsumen memiliki arti “a
person who purchase goods and service for personal use”
Secara luas, konsumen memiliki berbagai macam bentuk mulai dari anak kecil
yang membeli mainan dengan tabungannya atau sebuah korporasi yang membeli
perangkat komputer dalam jumlah besar. Mereka adalah konsumen. Namun tentunya
dengan perilaku yang saling berbeda dalam menentukan keputusan pembelian. Pada
kenyataan sehari-hari, konsumen memiliki perbedaan antara satu dengan lainnya,
bagaimana mereka memandang suatu permasalahan dan memecahkannya melalui
pembelian inilah yang kemudian disebut dengan perilaku konsumen.
John C. Mowen dan Michel Minor dalam Rangkuti (2009: 91) menjelaskan
bahwa perilaku konsumen adalah sebuah studi tentang unit pembelian (buying unit)
dan proses pertukaran yang melibatkan perolehan, konsumsi berbagai produk, jasa,
pengalaman serta ide-ide. Selain itu, M. Khan (2007: 2) juga memiliki kesamaan
dalam mendefinisikan perilaku konsumen yakni sebagai berikut: “the decision-
making process and physical activity involved in acquiring, evaluating, using and
disposing of goods and service”. Dalam pendapat kedua ahli tersebut, terlihat bahwa
kunci dari perilaku konsumen adalah adanya proses pengambilan keputusan dalam
menentukan pembelian yang melibatkan berbagai aspek pembantu guna memenuhi
kebutuhan seseorang. Hal tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan Michael R.
Solomon (2007 : 7) mengenai perilaku konsumen:
“It is the study of the processes involved when induviduals or group select,
purchase, use or dispose of product, service, idea or experiences to satisfy
needs and desires.”
3 http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/consumer?searchDictCode=all
7
Proses pencarian informasi mengenai produk menjadi landasan konsumen
dalam menentukan keputusan pembelian. Apakah produk tersebut telah memenuhi
kebutuhan, apakah harga yang ditawarkan sesuai dengan yang didapatkan,
bagaimanakah kualitasnya. Apakah lebih baik dengan produk kompetitor? Pertanyaan
dalam benak tersebut mungkin sering kita alami dalam keseharian, hal tersebut adalah
salah satu hal yang membantu konsumen dalam memutuskan pembelian. Dalam
proses keputusan pembelian (buying decision process) konsumen umumnya melewati
5 fase yang saling berkaitan. Secara berurutan, kelima fase tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Problem Recognition
Problem recognition (pengenalan masalah) adalah fase pertama dari buying
decision process. Pengenalan masalah akan terjadi ketika konsumen
menyadari bahwa terdapat perbedaan antara kondisi yang ia inginkan dengan
kondisi yang sebenarnya. Tahapan ini meliputi opportunity recognition dan
need recognition
b. Information Search
Setelah mengetahui permasalahan atau kebutuhan, konsumen akan m ulai
mencari informasi berkaitan dengan produk yang dapat memenuhi keinginan
atau kebutuhannya. Pencarian informasi ini terbagi dua bagian yakni internal
& external search serta deliberate & incidental search.
c. Evaluation of Alternatives
Pencarian informasi akan menghasilkan pilihan-pilihan produk sejenis yang
lainnya sebagai alternatif. Konsumen akan mengevaluasi pilihan -pilihan
tersebut berdasarkan kriteria-kriteria yang ia inginkan. Evaluasi tersebut
melalui 2 cara yakni objektif yang meliputi fungsi serta kegunaan produk,
serta subjektif yang meliputi gaya dan style produk yang dianggapnya
penting.
8
d. Purchase
Konsumen yang telah mencapai fase pembelian berarti te lah menentukan
produk mana yang akan ia gunakan berdasarkan fase evaluasi. Pada tahap
pembelian, konsumen juga memungkinkan untuk mengganti produk yang
diinginkan dengan alternatif la in apabila produk yang diinginkan tidak
tersedia.
e. Post Purchase Evaluation
Setelah pembelian, konsumen akan mengevaluasi produk tersebut, apakah
telah sesuai dengan ekspektasi dan memenuhi kebutuhannya. Evaluasi
melibatkan berbagai kriteria yang berujung pada pernyataan puas dan tidak
puas yang selanjutnya menyebabkan reaksi konsumen seperti komplain dan
pembelian ulang. (Solomon, 2007: 305) (Pride & Farrel, 2010: 195).
Setiap proses tersebut tidak selalu menghasilkan keputusan membeli produk. bisa
jadi konsumen berhenti pada fase tertentu, melewati fase-fase tertentu, atau bahkan
membalik proses pengambilan keputusan. Hal tesebut sangat tergantung pada produk
yang akan dibeli (Michman & Edward, 2003: 42). Sehingga, kelima fase tersebut
tidak saling mempengaruhi satu sama lain.
2. Remaja
Istilah “remaja” (Adolescence) berasal dari bahasa latin “Adolescere” yang
memiliki makna “tumbuh” atau tumbuh kearah kematangan. Selain secara fisik,
kematangan yang dimaksud adalah kematangan sosial-psikologis (Sarwono, 1989: 8).
Adolescence adalah suatu periode perkembangan manusia , sebuah fase trasnsisi dari
masa kanak-kanak (childhood) ke masa dewasa (adulthood) yang meliputi perubahan
fisik, dan psikologis (Merriam-Webster Dictionary)4. Dalam pemahaman konseptual
mengenai remaja sangat tergantung dari perspektif keilmuan yang digunakan, seperti
4 http://www.merriam -webster.com/dictionary/adolescence
9
psikologi, biologi, sosiologi, dan antropologi. Namun dari seluruh perspektif
keilmuan tersebut menyatakan bahwa secara umum masa remaja adalah masa transisi
dari anak-anak ke masa dewasa, yang sejatinya memiliki fungsi sebagai masa
persiapan anak untuk menjalankan peran orang dewasa di kemudian hari (Larson &
Wilson, 2004), sehingga didalam fase ini akan terdapat berbagai transisi seperti
pendidikan, pekerjaan, serta kepelatihan untuk menjalani hidup pada sebuah profesi
di masa mendatang (Coleman, 1998: 593)
Lerner & Steinberg (2004) dalam buku berjudul Handbook of Adolescence
Psycology mengemukakan bahwa masa remaja pada dasarnya adalah waktu gangguan
dan kebingungan psikologis seseorang. Kebanyakan ilmuan hingga dekade 60-an
hanya berfokus pada penggambaran pola perilaku remaja namun mengabaikan aspek -
aspek lain yang mempengaruhinya seperti hubungan pertemanan, peer group, dan
pengaruh budaya. Masa remaja adalah masa dimana seseorang berintegras i dengan
masyarakat dewasa, meskipun secara morfologis mereka masih seperti anak-anak
namun secara psikologis mereka tidak lagi merasa dibawah tingkatan orang-orang
yang lebih tua, namun dalam tingkatan yang setara. (Piaget, 1969).
Masyarakat secara luas memahami bahwa remaja adalah masa pencarian jati
diri. Menurut Carlson & Heth (2010), hal ini dikarenakan egosentris pada masa
remaja membentuk keinginan untuk merasa penting, diakui, dan diunggulkan dalam
peer group mereka, dan juga menyukai penerimaan sosial a tas perilaku mereka.
Steinberg (2011: 259) mendeskripsikan hal tersebut sebagai identity development.
Sehingga pada masa tersebut secara bersamaan mereka mampu memahami keinginan
lingkungan sosial sekitar atas dirinya sekaligus menginginkan kebebasan,
kemandirian, dan otonomi. Hal inilah yang mendorong mereka unuk membentuk
kebudayaan tersendiri, yang dikenal dengan istilah “youth culture” (Coleman, dalam
Sarwono, 1989: 38).
Pembagian fase perkembangan manusia tersebut bukanlah sesuatu yang pasti,
namun hanya sebatas pendapat ahli-ahli ilmu psikologi yang berdasarkan pada 3
aspek, yakni perkembangan fisik, seksual, maupun psiko-sosial (Monks, 1985: 221).
10
Kenyaataannya, terdapat beragam variasi atas 3 aspek perkembangan tersebut dan
juga tidak adanya batasan yang jelas antara satu fase dengan lainnya. sehingga sampai
saat ini tidak ada konsensus dalam mendefinisikan remaja, baik pada karakteristik
jenis kelamin, kemampuan kognitif, kriteria sosial dan umur.
Mengenai istilah remaja (adolescence) terdapat berbagai definisi menurut para
ahli di bidang ilmu psikologi. Menurut Soetjiningsih (2004) Masa remaja merupakan
masa peralihan antara masa anak-anak yang dimulai saat terjadinya kematangan
seksual yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun, yakni masa
menjelang dewasa muda. Pada tahun 1974, World Health Organization (WHO)
memberikan definisi terperinci mengenai remaja dengan sifat konseptual. Dalam
paparannya tersebut, WHO mengungkapkan 3 kriteria yakni biologis, psikologis, dan
sosial ekonom i (Muangman, 1980: 9) Definisi tersebut terus mengalami
perkembangan pada tahun-tahun berikutnya seiring perkembangan lingkungan
remaja. Berangkat dari hal tersebut, WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai
batasan usia remaja (Wirawan, 1989: 9).
Selain definisi yang telah dipaparkan diatas, berbagai ahli dalam ilmu
psikologi juga memiliki pendapat tersendiri dalam hal batasan usia remaja. Hurlock
(1981) menyatakan bahwa remaja adalah mereka yang berada pada usia 12-18 tahun.
Monks et.al. (2000) memberikan batasan usia untuk remaja adalah 12-21 tahun.
Sedangkan Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) menyatakan bahwa remaja adalah
mereka yang sedang berada dalam rentang usia 12-23 tahun. Berdasarakan batasan-
batasan usia yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, dapat kita lihat bahwa
umumnya masa remaja dimulai pada usia 12 tahun namun berakhir pada usia yang
bervariasi. Perbedaan awal dan akhir masa adolescence ini disebabkan tahap
perkembangan manusia memiliki rentang waktu yang berbeda-berbeda antara satu
individu dengan lainnya, seseorang mungkin membutuhkan waktu yang lama untuk
beranjak dari masa adolescence ke adulthood, sedangkankan lainnya membutuhkan
waktu yang lebih singkat. Namun kebanyakan peneliti ilmu psikologi menyatakan
bahwa masa adolescence dapat berlangsung setidaknya 10 tahun (Steinberg, 2011: 6).
11
Meskipun begitu, demi mendapatkan batasan penelitian yang jelas, penulis
menggunakan definisi S teinberg (2011: 5) yang menjelaskan bahwa: “adolescence
begins around age 10 and ending in the early 20s” dan membaginya kedalam 3
tahap, yang berdasar pada tingkat pendidikan. Selain Steinberg, Sarwono (1989: 24)
juga menjelaskan 3 tahapan adolescence yang serupa, namun dilengkapi penjelasan
dengan pendekatan sosiologis, yakni sebagai berikut:
a. Early Adolescence
Usia 10-13 tahun yang pada umumnya menempuh pendidikan menengah
pertama (SMP). Pada tahapan ini remaja masih dalam dalam tahap
penjajakan sehingga masih terheran-heran akan perubahan yang terjadi
pada dirinya sendiri. Mereka mampu mengembangkan pikiran-pikiran
baru dan berkurangya kendali a tas “ego” nya sendiri membuat para remaja
awal ini sulit mengerti dan dimengerti oleh orang dewasa.
b. Middle Adolescence
Usia 14-17 tahun yang pada umumnya menempuh pendidikan menengah
atas (SMA). Pada tahapan ini remaja sangat membutuhkan kawan. Mereka
senang jika memiliki banyak kawan. Sehingga pada fase ini seringkali
terdapat kelompok-kelompok remaja. Perilaku tersebut adalah bagian dari
upaya sosialisasi mereka.
c. Late Adolescence
Usia 18-21 tahun yang telah menyelesaikan pendidikan menengah atas
atau umumnya sedang menempuh pendidikan pada perguruan tinggi.
Tahapan ini adalah masa konsolidasi menuju periode remaja (adulthood)
yang umumnya ditandai dengan 5 hal yaitu: semakin berminat terhadap
fungsi-fungsi intelek, keinginan untuk mencari pengalaman-pengalaman
baru, mampu mengendalikan ego, serta tumbuhnya self barrier, antara
kehidupan pribadi (private life) dan kehidupan sosial (social life).
12
Dalam penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa adolescence tidak
hanya sebatas perubahan morfologi maupun fungsi-fungsi fisik dari seseorang atau
sebuah kelom pok umur tertentu. Namun juga terkait pada perubahan sosiologis dan
psikologis, yakni ketika seorang anak (childhood) menginginkan kebebasan, tidak
lagi merasa tertekan oleh orang dewasa, serta menginginkan peran-peran orang
dewasa (adulthood). Pada akhirnya, masa remaja dim ulai dari kematangan fisik
individu, desakan dari lingkungan sosialnya, serta motivasi individu itu sendiri
(Jensen, 1895: 12).
3. Digital native
Pada dekade ini, remaja dan media adalah dua hal yang sangat sulit untuk
dipisahkan. Sebuah penelitian mengenai remaja dan media pada 2009 di Los Angeles
meminta siswa kelas 10 untuk tidak menggunakan media apapun selama satu minggu.
Hanya beberapa dari mereka yang dapat melewatinya, sebagian besar menyerah
sebelum tenggat waktu yang ditentukan. Meskipun beberapa diantara siswa dapat
melewatinya, namun mereka juga tidak sabar untuk kembali pada ipod, televisi dan
internet (Lopez, 2009 dalam Steinberg, 2011). Studi lain menyebutkan bahwa remaja
di Amerika menghabiskan hingga setengah dari waktu bangunnya un tuk
mengkonsumsi media (Brown, Steele & Walsh-Childers, 2002). Berdasarkan dua
studi tersebut, seakan-akan media disekitar remaja memberi efek aditif, membuat
remaja-remaja masa kini tidak bisa lepas tanpa media.
Keadaan remaja yang tidak dapat dipisahkan dari media ini banyak
dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang semakin pesat, terlebih pada era
2000an, ketika teknologi portabel dan nirkabel mulai dikembangkan secara besar-
besaran. Televisi dan handphone diproduksi secara besar-besaran dan terjangkau.
Begitu juga dengan akses internet yang semakin mudah didapatkan. Pada tahun 2000-
an, hampir setiap rumah memiliki televisi. Kemudian pada masa kini, banyak rum ah-
rumah telah memiliki akses internet, atau setidaknya seseorang dapat menggunakan
internet di ruang-ruang publik, tempat kerja maupun institusi pendidikan. Seakan-
13
akan semua informasi telah terintegrasi dan bisa dengan mudah didapatkan dari mana
saja dan kapan saja dengan internet. Apabila kita membandingkan dengan remaja
pada periode silam, akan didapati perilaku konsumsi media yang berbeda.
Remaja yang hidup pada masa penelitian ini dilakukan (2014) adalah mereka -
mereka yang terlahir antara tahun 1993-2003. Don Tapscott (2009: 16) membagi
kehidupan manusia dalam 4 generasi berikut: The Baby Boom Generation (lahir dari
Januari 1946 – Desember 1964), Generation X (lahir dari Januari 1965 – Desember
1976), The Net Generation (lahir dari Januari 1977 – Desember 1997), Generation
Next (lahir dari Januari 1998 – sekarang). Setiap generasi memiliki karakter konsumsi
media yang berbeda, utamanya hal ini disebabkan oleh perkembangan dan
ketersediaan teknologi di sekitar mereka. Masa remaja pada generasi Baby Boom
lebih familiar dengan surat kabar dan radio, sebagian dari mereka melakukan migrasi
media seperti pada masa remaja Generation X yang lebih familiar dengan televisi
meskipun tidak meninggalkan media yang sebelumnya . Kemunculan teknologi baru
ini secara langsung mengakibatkan perubahan pola konsumsi media. Masa remaja
The Net Generation sangat familiar dengan “Internet” sebagai media yang tengah
berkembang pada akhir masa itu. Oleh karenanya, Net Generation umumnya adalah
generasi yang melakukan migrasi media yang sebelumnya sangat dekat dengan
televisi hingga mengkonsumsi internet. Ketika sebagian remaja pada Net Generation
memerlukan penyesuaian dengan internet, Generation Next telah hidup dengan
internet sejak mereka dilahirkan, sehingga penggunaan internet pada Generation Next
adalah sesuatu yang wajar (Tapscott, 2009)
Konsep Net generation dan Generation Next yang diungkapkan Tapscott
tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan Marc Prensky (2001) mengenai
Digital native dan Digital Immigrant. Digital native adalah generasi yang lahir pada
era digital dan mengisi kehidupannya dengan penggunaan komputer, video game, alat
pemutar musik digital, kamera digital, dan handphone. Bagi digital native,
lingkungan disekitar mereka telah dipenuhi dengan teknologi seperti itu sehingga
penggunaan terhadap hal tersebut bukanlah sesuatu yang baru. Sedangkan Digital
14
Immigrant adalah mereka yang lahir sebelum era digital, akan tetapi mengadopsi
teknologi digital tersebut. John Palfrey dan Urs Gasser (2008: 3) menyebutkan bahwa
secara global, digital native dimulai sejak era 1980–an ketika email telah dapat
digunakan di kalangan masyarakat, dan penggunaannya semakin meluas ketika pada
era 1990–an World Wide Web dilincurkan untuk pertamakali. Namun apa yang
dikemukakan oleh Palfrey dan Gasser tersebut tidak dapat dijadikan acuan karena hal
tersebut akan jauh berbeda apabila kita melihat pada keadaan negara-negara dengan
perkembangan teknologi yang tidak pesat. Di Indonesia sendiri, perkembangan
internet baru dimulai pada tahun 1990-an, (Yuhefiza, 2000: 6) terpaut 10 tahun dari
perkembangan global yang dikemukakan oleh Palfrey dan Gesser. Secara langsung,
hal tersebut mempengaruhi kem unculan generasi digital native di Indonesia.
Sehingga dengan pemahaman tersebut, secara kronologis kemunculan digital native
di Indonesia baru dimulai pada era 1990-an. Artinya, seluruh remaja yang menjadi
subyek dalam penelitian ini adalah digital native, yang tentunya memiliki pola
konsumsi media tersendiri apabila dibandingkan dengan digital immigrant.
Pola konsumsi media yang terjadi pada generasi remaja saat ini adalah hasil
dari akumulasi perkembangan teknologi yang muncul pada masa sebelum mereka
dilahirkan. Ketersediaan media di lingkungan remaja masa kini sangat tinggi,
Steinberg (2011: 231) mengemukakan bahwa remaja tidak lagi hidup dalam
lingkungan yang kaya akan media (media-rich) akan tetapi setiap aspek kehidupan
mereka telah diwarnai oleh media (media-saturated). Hal ini didasari pada 3 fakta
yakni; pertama, hampir setiap rumah memiliki televisi dan kebanyakan remaja telah
menggunakan internet baik dirumah maupun di sekolah. Kedua, rata -rata remaja
menghabiskan 6 jam waktunya untuk mengkonsumsi satu media atau lebih, beberapa
diataranya mempraktekkan multi-tasking yakni dengan mengkonsumsinya secara
bersamaan, apabila hal ini diakumulasikan akan didapati bahwa remaja
mengkonsumsi media hingga 9 jam perhari. Ketiga, terdapat lonjakan jumlah
perbandingan waktu yang dihabiskan remaja untuk menggunakan komputer dan
media lain dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Komputer dan internet
15
adalah hal yang tidak dapat dipisahkan. Komputer adalah sarana utama untuk
mengakses internet, kini dalam perkembangannya telah muncul tablet komputer
maupun smartphone dengan ukuran yang jauh lebih kecil yang semakin memudahkan
akses penggunanya kepada internet.
Lonjakan perbandingan waktu tersebut disebabkan karena generasi digital
native lebih sedikit menonton televisi dibandingkan dengan digital immigrant, namun
tentu saja mereka lebih banyak menghabiskan waktunya pada internet (Tapscott,
2011: 42). Saat ini internet mendominasi dalam kehidupan sehari-hari remaja.
Mereka menjadikan internet sebagai sumber informasi utama tentang dunia dan
pergaulan sekitar, bukan lagi surat kabar, radio, bahkan televisi.
Ahli psikologi perkembangan, Elizabeth Hurlock menjelaskan bahwa remaja
mempunyai karakteristik suka mengeksplorasi hal-hal baru dan mencari tahu segala
informasi, menginginkan sesuatu yang menyenangkan dan menjadi bagian dari
kegiatan rekreasi mereka (Hurlock, 2004), Sehingga internet adalah tempat yang
dianggap tepat untuk memenuhi hal tersebut. Selain itu, karena kebanyakan remaja
sedang menempuh pendidikan, sekolah juga mendorong penggunaan internet secara
besar-besaran di kalangan remaja dengan mengajarkan remaja untuk peka dan
mengikuti perkembangan dunia, sehingga internet menjadi saluran utama dalam
upaya remaja untuk mencari informasi karena cepat, mudah dan dapat dilakukan di
mana saja dengan teknologi porta bel dan nirkabel yang tersedia hampir di seluruh
dunia pada saat ini.
Di Indonesia menurut Menkominfo Tifatul Sembiring dalam kuliah umum di
Universitas Gadjah Mada (8/3/2014) hingga tahun 2014 terdapat 270 juta pengg una
ponsel (ugm.ac.id)5. Artinya, hampir setiap orang di negeri ini memiliki ponsel,
termasuk para remaja. APJII dalam Profil Internet Indonesia 2012, menyebutkan
bahwa wabah smartphone telah menggeser cara akses internet masyarakat. Pada masa
kini, mayoritas pengguna internet mengakses internet dari mobile device (perangkat
5 http://ugm.ac.id/id/berita/8776-menkominfo%3A.270.juta.pengguna.ponsel.di.indonesia
16
bergerak) mereka, hingga mencapai angka 65,7%. Dalam mencari informasi, situs
yang paling sering dikunjungi adalah yahoo, google, detik.com, youtube,
kompas.com, okezone.com, dan vivanews.
Tingginya penggunaan internet dalam pencarian informasi ini sedikit banyak
berimplikasi pada minat baca remaja pada media cetak. Padahal, media cetak
memiliki kedalaman informasi yang jauh lebih baik dari pada Internet. Kemerosotan
minat baca remaja ini te lah dirasakan oleh beberapa penerbit surat kabar
(riaupos.co)6, Bahkan VOA Indonesia mengabarkan bahwa berbagai surat kabar di
Amerika telah kehilangan pembaca-pembacanya, sedangkan pembaca muda mencari
berita lewat internet. Lebih jauh, remaja cenderung mencari berita dalam bentuk yang
singkat, mereka tidak meyukai tulisan dengan format panjang , namun konten serius
dapat merebut hati mereka (voa.indonesia.com)7. Hal tersebut serupa dengan yang
termuat dalam situs BBC bahwa generasi muda tidak lagi menggunakan surat kabar
sebagai saluran utama dalam sumber informasi, melainkan internet.
(bbc.co.uk/indonesia)8
4. Industri Surat Kabar di Era Digital
Surat Kabar atau yang dalam bahasa Inggris disebut dengan Newspaper,
terdefinisi dalam Oxford Dictionaries sebagai “a printed publication (usually issued
daily or weekly) consisting of folded unstapled sheets and containing news, articles,
advertisements and correspondence” (oxforddictionaries.com)9. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, surat kabar terdefinisi sebagai “lembaran -lembaran kertas
bertulisakan berita dan sebagainya” , di Indonesia, surat kabar juga bisa disebut
dengan istilah “koran” yang memiliki definisi serupa yakni “lembaran( -lembaran)
kertas bertulisakan kabar (berita) dsb, terbagi dalam kolom -kolom (8-9 kolom), terbit
6 http://www.riaupos.co/36574-berita-pembaca-muda-tentukan-nasib-koran.html#.U-NBI_mSySo
7 http://www.voaindonesia.com/content/media -di-as-kesulitan-tarik-minat-pembaca-usia-
muda/1903694.html 8 http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2010/03/100312_mediainternet.shtml
9 http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/newspaper
17
setiap hari a tau secara berkala” (Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam
http://kbbi.web.id)10
.
Surat kabar adalah media massa tertua di dunia, terlahir pada abad ke-17
sebagai buah dari ditemukannya mesin cetak oleh Johann Gutenberg pada tahun 1450
(Briggs & Burke, 2006: 21). Sebelum penemuan tersebut, telah muncul lembaran -
lembaran berisi berita-berita namun dengan kuantitas yang sangat kecil dan lingkup
peredaran yang sangat sempit, hal ini dikarenakan lembar -lembar tersebut masih
ditulis menggunakan tangan, sehingga memiliki berbagai keterbatasan. Sejak
penemuan mesin cetak Gutenberg tersebut, berbagai inovasi terhadap mesin tersebut
telah dilakukan banyak orang, terlebih pasca kemunculan mesin uap guna
mengoptimalkan produksi surat kabar (Briggs & Burke, 2006: 27). Selama lebih dari
300 tahun surat kabar beredar di dunia, surat kabar terus mengala mi perkembangan
dari segi teknologi pendukung, organisasi yang melatarbelakanginya, maupun konten
surat kabar itu sendiri. Perkembangan tersebut, menurut Conrad Fink (1988: 278)
mengubah surat kabar menjadi bisnis padat modal yang berarti aspek finansial akan
menjadi pertim bangan penting.
Surat kabar melayani masyarakat dengan menjual komoditi yang berupa
informasi, sehingga membedakan dengan industri lainnya. M edia massa adalah
industri yang unik, berkaitan erat dengan gagasan-gagasan, informasi, dan tradisi,
dimana media massa memberikan informasi kepada audience, menghibur mereka,
dan memberi pengaruh kepada audience tentang cara pandangnya terhadap sebuah
isu (Croteau & Hoynes, 2001: 1). Sebuah produk yang melewati rangkaian proses
produksi, proses pemasaran, dan proses finansial, senantiasa penuh perhitungan
sehingga sosok surat kabar sebagai industri pun terlihat dengan jelas pada era ini
(Oetama, 2001: 314).
Liberasi surat kabar yang terjadi pada masa kini secara otomatis akan
menciptakan situasi kompetisi antar surat kabar dalam menyajikan produknya sebaik
10
http://kbbi.web.id/surat%20kabar
18
mungkin kepada khalayak. Sehingga adanya kompetisi antar surat kabar ini akan
membuat produk surat kabar semakin membaik pada segala aspeknya dari waktu ke
waktu (Sudibyo, 2001: 14). Hal tersebut dapat kita rasakan apabila kita melihat surat
kabar masa kini dengan desain yang lebih menarik serta munculnya lini surat kabar
elektronik dan halaman web. Umumnya, kegiatan yang terjadi pada lembaga surat
kabar tidak pernah berubah sejak dahulu, mekanisme pencarian dan pengumpulan
informasi, mengolahnya menjadi berita, kemudian mencetaknya diatas lembar -lembar
kertas telah dilakukan sejak dahulu, namun pada 2 dekade terakhir kegiatan tersebut
mengalami pergeseran sedikit demi sedikit karena kemunculan Internet
Pada awal kemunculan internet di Amerika di awal era 70-an, telah muncul
bentuk pertama dari surat kabar elektronik atau yang kini dikenal luas dengan istilah
e-paper. Bentuk pertama dari surat kabar online tersebut masih menyerupai telegraf
elektonik yang dikirimkan kepada pembaca, namun semenjak World Wide Web
diluncurkan pada awal 90-an, surat kabar online telah berbasis web (Greer &
Mensing, 2006: 13). Surat kabar elektronik merupakan inovasi yang dilakukan oleh
perusahaan dengan mengadaptasi fungsi-fungsi internet. Melalui surat kabar online,
jurnalis, web designer, dan programmer komputer dapat mengaplikasikan berbagai
format dan konten ketimbang surat kabar cetak yang statis dan minim perubahan
(Greer & Mensing, 2006: 14).
Perkembangan surat kabar yang semakin menarik tersebut sedikit
mengkhawatirkan penerbit surat kabar cetak, karena terjadi kekhawatiran bila edisi
cetakan tidak laku dipasaran dan pembaca lebih memilih surat kabar online (Garrison,
2005: 3). Kekhawatiran tersebut cukup wajar mengingat pada masa lampau, Laswell
(1948) telah memprediksi terjadinya substitusi media ketika kemunculan media
televisi ditengah-tengah era emas radio, selain itu Lin et.al. (2005: 239) menyatakan
bahwa pengguna internet telah mengurangi jam menonton televisi mereka.
Untuk menghindari hal tersebut, surat kabar melakukan apa yang disebut
dengan konvergensi, yang merujuk pada perkembangan teknologi digital yakni
bersatunya media dan telekomunikasi (Brigss & Burke, 2006: 326). Konvergensi
19
secara mudah dipahami sebagai upaya surat kabar untuk memperluas lini distribusi
informasi dengan cara penggunaan saluran-saluran lainnya yang mengarah kepada
digitalisasi dan internet sebagai saluran dengan potensi yang hampir tak terbatas.
Secara langsung, penambahan lini distribusi informasi tersebut memberikan efek
yang baik bagi kegiatan jurnalisme dan surat kabar itu sendiri. Surat kabar dapat
kembali fokus pada jurnalisme itu sendiri untuk menginformasi khalayak dengan
saluran terbaik, tapi saat ini ada banyak saluran yang baik m isalnya televisi, radio,
atau internet. sehingga, cara yang terbaik adalah dengan berbagai cara (K olodzy,
2006 dalam Hill & Lashmar, 2014: 11). Robert Peston, BBC Bussiness Editor dalam
Edinburg International Television Festival 2009, mengungkapkan bahwa d engan
adanya integrasi berbagai media informasi tersebut, membuat bahwa hampir tidak
adanya batasan antara versi cetak, audiovisual, maupun online news. Perilaku
konsumen berita masa kini tidak mempedulikan dari mana berita tersebut berasal,
apakah dari edisi ceta k atau online asalkan mereka mendapatkan informasi yang
mereka inginkan. Digitalisasi te lah melahirkan berbagai platform media yang
mempengaruhi dan mengubah pasar surat kabar cetak (Berte & De Bens, 2009: 65).
Hampir 90% surat kabar di Amerika aktif menggunakan teknologi online dan
membuat situs online demi memperluas pangsa pasar sejak 1999 (Garrison, 2000).
Hingga saat ini, beberapa media-media cetak di negara maju sudah mampu
menggantungkan keberlangsungan hidupnya melalui internet. Mereka memiliki versi
surat kabar versi elektronik yang berbayar atau bahkan memilih untuk tidak
memproduksi versi cetak dan hanya terbit dalam versi elektronik. Fenomena serupa
terjadi secara endemik di berbagai negara, tak terkecuali Indonesia meskipun belum
mampu dimanfaatkan secara optimal.
Di Indonesia, keberadaan surat kabar dalam platform elektronik (e-paper) dan
halaman web adalah sebagai komplementer yang mengiringi platform cetak.
Kebanyakan surat kabar di Indonesia menerbitkan e-paper secara cuma-cuma yang
terbit pada tengah hari, meskipun beberapa diantaranya telah mene rbitkan e-paper
20
berbayar. Hal lain yang dilakukan adalah mempromosikan halaman web pada
platform cetak maupun e-paper.
G. Kerangka Konsep
Penelitian ini berada pada wilayah perilaku konsumsi yang berhubungan
dengan pengambilan keputusan konsumen dalam mengkonsumsi produk barang
maupun jasa. Perilaku remaja masa kini yang merupakan Digital native dalam
mengkonsumsi informasi melalui berbagai media disekitarnya menarik perhatian
peneliti untuk melakukan penelitian mengenai perilaku konsum si surat kabar pada
pembaca remaja dalam kategori middle adolescence dan late adolescence , yakni
mereka yang berusia 14-21 tahun di Yogyakarta. Penelitian deskriptif ini meliputi
platform yang dipilih serta alasan yang mendasari konsumsi baik yang berasal dari
diri mereka sendiri maupun dari produk surat kabar tersebut.
Digital native memiliki pola konsumsi informasi yang jauh berbeda dengan
generasi terdahulu. Mereka sangat dekat dengan penggunaan teknologi digital yang
serba mudah dan terintegrasi (Prensky, 2001). Selain itu, minat membaca teks-teks
tercetak terbilang cukup rendah pada generasi ini. Sehingga tidak mengherankan
apabila surat kabar sebagai salah satu media penyedia informasi cetak terus
mengalami penuruan pembaca, khususnya pembaca-pembaca muda. Meski demikian,
industri surat kabar tidak serta merta mengalami degradasi. Mereka mengembangkan
platform baru dengan pemanfaatan teknologi intenet, sehingga terdapatlah surat kabar
dalam 3 platform yakni cetak, elektronik, serta halaman web.
Motif pengambilan keputusan untuk mengkonsum si surat kabar melalui ketiga
platform tersebut didasari oleh berbagai aspek penilaian konsumen sebagai bagian
dari konsep pengambilan keputusan. Dalam penelitian deskriptif ini, penulis tidak
melakukan pembuktian adanya hubungan kausalitas dan korelasi antara berbagai
aspek tersebut dengan perilaku konsumsi surat kabar. Peneliti menggunakan konsep
Consumer‟s Buying Decision Process yang telah disesuaikan dengan tujuan
21
penelitian untuk memetakan permasalahan dalam penelitian ini. Se lengkapnya dalam
tabel berikut.
Consumer’s Buying Decision Process
Tabel 1.1 : Consumer‟s Buying Decision Process
Sumber : Consumer Behavior, Michael R. Solomon (2007)
Melalui konsep consumer‟s buying decision process ini,dapat kita pahami
bahwa terdapat 4 aspek yang mendasari keputusan pemilihan produk. A spek-aspek
tersebut selanjutnya menjadi variabel penelitian yang memiliki berbagai dimensi,
yakni tipe-tipe pengenalan masalah pada variabel problem recognition, asal informasi
pada information search, jenis evaluasi yang digunakan pada evaluation of
alternatives, serta berkhir pada penentuan platform surat kabar pada product choice.
Penelitian ini menggunakan variabel tunggal yakni perilaku konsumsi (X),
yang diturunkan pada 4 variabel turunan yakni problem recognition (X1), information
search (X2), evaluation of alternative (X3) serta product choice (X4) yang merupakan
keputusan konsumen dalam memilih 3 platform surat kabar. Untuk memahami
variabel-variabel dari konsep diatas, peneliti telah menurunkannya kedalam bentuk
operasionalisasi konsep pada tabel di bawah ini:
22
Tabel 1.2
Operasionalisasi Konsep
Konsep Variable Dimensi Item Skala
Consumer‟s
Buying
Decision
Process
Problem
Recognition
Need
recognition
Kebutuhan akan informasi
Kebutuhan untuk membaca surat kabar /
mengunjungi situs surat kabar likert
Opportunity
recognition
Keinginan untuk mendapatkan informasi
Keinginan untuk membaca surat kabar /
mengunjungi situs surat kabar
Information
Search
Internal Pengalaman pribadi
likert External
Rekomendasi orang lain
Iklan
Event
Evaluation of
Alternatives
Objective Desain
Fitur likert
Subjective Kualitas informasi
Style surat kabar
Product Choice
Cetak Berlangganan
Membeli secara lepas
Hanya membaca
Mengunjungi situs-situs surat kabar
likert Elektronik
Halaman Web
23
H. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah cara untuk menyatakan seperangkat petunjuk atau
kriteria yang lengkap tentang apa yang harus diamati dan bagaimana mengamatiny a
dengan memiliki rujukanrujukan yang empiris (S ilalahi, 2010 : 120). Bagi peneliti,
definisi operasional variabel berfungsi untuk memperjelas data yang akan dicari dan
membantu orang lain mengerti maksud konsep yang akan peneliti gunakan dalam
penelitian ini. Dalam penelitian ini terdapat variabel tunggal yang diturunkan dalam 4
variabel turunan.
1. Variabel Problem Recognition
Variabel problem recognition (X1) dengan dimensi need & opportunity
recognition, diukur menggunakan indikator:
- kebutuhan informasi
- kebutuhan untuk membaca surat kabar / mengunjungi situs surat kabar
- keinginan untuk mendapatkan informasi
- keinginan untuk membaca surat kabar / situs surat kabar
2. Variabel Information Search
Variabel information search (X2) diturunkan kedalam dimensi internal
dan external search, diukur menggunakan indikator:
diukur menggunakan indikator:
- Pengalaman pribadi
- Rekomendasi orang lain
- Iklan surat kabar
- event surat kabar
3. Variabel evaluation of alternatives
Variabel evaluation of alternatives (X3) diturunkan kedalam dimensi
objective dan subjective, diukur menggunakan indikator:
- Desain surat kabar/situs surat kabar
- Fitur surat kabar/situs surat kabar
24
- Kualitas informasi
- Style surat kabar
4. Variable Product Choice
Variabel product choice (X4) dengan dimensi platform surat kabar yang
terdisi atas cetak, elektronik dan halaman web yang diukur menggunakan
indikator:
- berlangganan
- membeli secara lepas
- hanya membaca
- mengunjungi situs surat kabar
I. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan perilaku konsumsi
surat kabar pada remaja. Oleh karena itu, penelitian ini harus dapat
menjangkau remaja baik yang hanya membaca maupun, melakukan
pembelian, maupun mengunjungi halaman web surat kabar. Hal ini dilakukan
agar data-data yang luas dapat digeneralisasi berdasarkan perilaku konsumen,
sehingga data yang didapatkan akan lebih mudah ditafsirkan dan akurat
sebagaimana kondisi yang sebenarnya. Dalam proses generalisasi tersebut,
penulis akan melakukan penelitian kuantitatif.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey. Metode
survey adalah bentuk pengumpulan data yang menggunakan kuisioner yang
disebarkan pada sekelom pok orang (West & Turner, 2008: 79). Metode ini
digunakan sebagai teknik untuk menggambarkan karakteristik atas dasar
variabel-variabel yang telah ditentukan sebelumnya sesuai dengan kasus yang
diteliti berdasarkan dengan respon yang diberikan oleh responden. Dengan
adanya respon tersebut, penulis dapat menarik kesimpulan mengenai
25
karakteristik-karakteristik dari sebuah populasi yang diwakili oleh responden,
khususnya berkenaan dengan sikap, tingkah laku, serta aspek-aspek sosial lain
yang mempengaruhi perilakunya.
Penelitian ini bertipe deskriptif, yaitu suatu jenis penelitian yang
berusaha menjelaskan melalui gambaran-gambaran tentang suatu gejala,
peristiwa atau kejadian yang terjadi pada saat sekarang. Budiarto (2004: 28)
menjelaskan bahwa penelitian deskriptif merupakan penelitian sederhana
berupa sampling survey dan merupakan penelitian nonexperimental. Oleh
karenanya penelitian ini tidak membutuhkan kelompok kontrol dan hipothesis
yang spesifik. Tipe penelitian ini digunakan karena penulis ingin menjelaskan
lebih lanjut mengenai pola perilaku konsumsi surat kabar pada remaja di
Yogyakarta.
2. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini, populasi akan dibatasi khusus pada remaja pada
kelompok umur 14-21 tahun di Yogyakarta, baik yang sedang menempuh
pendidikan pada jenjang SMP (atau yang setara), SMA (atau yang setara),
tingkat Diploma, Strata 1 ataupun tidak. Pemilihan lokasi penelitian ini
didasarkan pada alasan bahwa Yogyakarta adalah kota pelajar, memiliki
berbagai institusi pendidikan, memiliki kesadaran akan pentingnya
pendidikan, sehingga memiliki kebutuhan akan informasi yang tinggi. Dari
segi industri surat kabar, terjadi pertum buhan yang drastis dan semakin
heterogen. Selain itu, Yogyakarta dapat dikatakan sebagai miniatur Indonesia
karena didalamnya dapat kita lihat keberagaman demografi, baik secara
kesukuan, ras, dan agama maupun status ekonomi sosial.
26
3. Populasi dan Sampel
Populasi adalah kumpulan dari keseluruhan pengukuran, objek, atau
individu yang sedang dikaji (Harinaldi, 2005 : 2), secara mudah dapat
dipahami sebagai kesuluruhan objek yang akan diteliti. Dalam penelitian
ini, populasi yang digunakan adalah remaja di Yogyakarta pada umumnya
dalam kategori middle dan late adolescence. Yakni dengan rentang usia
14-21 tahun. Kategori tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa
middle dan late adolescence telah mampu memanfaatkan media-media
secara optimal untuk mendapatkan informasi. Berikut adalah tabel yang
memuat jumlah penduduk remaja dengan usia 10-17 tahun di Yogyakarta
yang berasal dari survey penduduk BPS tahun 2010. Karena survey
tersebut dilakukan pada tahun 2010, maka dengan asumsi tidak adanya
perubahan demografi, penulis menganggap kelompok usia tersebut telah
mencapai usia 14-21 tahun pada tahun 2014.
Tabel 1.3
Jumlah Penduduk Usia Remaja Yogyakarta
Usia Persentase Usia Persentase
10 12,98% 14 12,64%
11 11,24% 15 12,97%
12 12,09% 16 12,82%
13 12,63% 17 12,62%
Jumlah 410.210
Sumber: sp.2010.bps.go.id
Sampel adalah sebagian atau subset (himpunan bagian) dari suatu
populasi (Harinaldi, 2005 : 2). sampel dalam penelitian yang berbasis
survei memungkinkan peneliti untuk melakukan pengkajian terhadap
27
fenomena populasi. Untuk mendapatkan akurasi data serta
menggambarkan kondisi yang sebenarnya, pengambilan sampel perlu
dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah ilmiah, sehingga sampel
menjadi representatif terhadap populasi. Penentuan jumlah sampel pada
penelitian ini berdasarkan rumus Slovin, yakni sebagai berikut:
N
n =
1 + N (e)2
Berdasarkan jumlah populasi pada tabel diatas, maka
410.210
n =
1 + 410.210 (0,1)2
410.210
n =
4103
n = 99.97
Keterangan
n = Ukuran Sampel
N = Ukuran Populasi
e = Presentase kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan (batas
kesalahan) pengambilan sampel yang masih dapat ditolelir. Dalam
penelitian ini batas kesalahan adalah 10 %
Berdasarkan perhitungan di atas didapatkan sampel sebanyak 99,97
yang dibulatkan menjadi 100 orang untuk memperoleh angka genap.
28
Maka dapat disimpulkan bahwa sampel dari penelitian ini adalah 100
orang remaja usia 14-21 tahun di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
4. Metode Pengambilan Sampel
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode pengambilan
sampel purposive sampel, yakni teknik sampling dengan pertimbangan
tertentu. Sedangkan teknik yang digunakan untuk pengambilan sampel
adalah simple random sampling (sampling acak sederhana), yakni teknik
pengambilan sampel dari semua anggota populasi yang dilakukan secara
acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi tersebut. Cara
tersebut dilakukan karena populasi dianggap homogen dan tidak
terstratifikasi. Teknik pengambilan sampel tersebut digunakan dalam
penelitian ini karena remaja dianggap sebagai populasi yang homogen
5. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini,
teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah:
c. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber data
pertama di lokasi / objek penelitian. Istijanto menjelaskan lebih
lanjut bahwa data primer adalah data asli yang dikumpulkan oleh
periset untuk menjawab masalah risetnya secara khusus. Data ini
tidak pernah ada sebelumnya, sehingga penulis perlu melakukan
pengumpulan data sendiri (Istijanto, 2005 : 45). Dalam hal ini,
penulis akan menyebarkan kuisioner kepada sampel yang telah
ditentukan sebelumnya. Kuisioner tersebut berisi sejum lah
pertanyaan yang tersusun dan berhubungan berdasarkan kebutuhan
penelitian yang dilakukan.
29
d. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang telah dikumpulkan pihak lain,
bukan oleh periset sendiri, untuk tujuan lain (Istijanto, 2010 : 33).
Data penunjang penelitian tersebut bisa berupa teori-teori yang
berasal dari kajian ilmu komunikasi, periklanan, brand dan
psikologi yang diambil penulis dari studi pustaka. Selain itu, data
sekunder juga bisa berupa pendapat ahli yang berasal dari jurnal,
artikel atau literatur lain dan juga data-data lapangan lainnya yang
telah dikumpulkan sebelumnya. Data sekunder yang menjadi
referensi penulis berasal dari berbagai sumber baik cetak maupun
digital.
6. Uji Validitas dan Realibilitas
Metode uji validitas pada penelitian ini akan dilakukan terhadap 30
kuisioner awal yang terkumpul (pilot test) dengan menggunakan pearson test,
yakni membandingkan nilai angka rhitung dengan nilai korelasi tabel (r tabel)
dimana derajat kebebasan = n – 2. Dengan sampel awal 30 responden, maka
derajat kekebasan (dk) = 28. Selang kepercayaan (α) ditentukan sebesar 5%
maka didapatkan nilai dari r tabel adalah 0.239. Apabila angka rhitung > 0.239
maka item kuisioner dapat dinyatakan valid. Namun apabila angka r hitung ≤
0.239, maka item kuisioner dapat dinyatakan tidak valid. Selanjutnya, hasil uji
validitas tersebut akan ditampilkan pada BAB IV.
Uji reliabilitas juga dilakukan terhadap 30 kuisioner awal yang
terkumpul. Reliabilitas adalah suatu nilai yang menunjukkan konsistensi suatu
alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama (Umar, 2002 : 13).
Dengan melakukan pengujian reliabilitas, penulis dapat melihat konsistensi
kuisioner dalam mengkur konsep. Pengujian ini didasarkan pada nilai
Cronbach Alpha, dimana item kuisioner dinyatakan reliabel apabila nilai
30
Cronbach Alpha > 0.6. Selanjutnya hasil uji reliabilitas ini akan ditampilkan
pada BAB IV.
7. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses akhir dari suatu penelitian. Analisa
data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah
dibaca dan diinterpretasikan. Setelah mengetahui metode penelitian, populasi,
penentian sampel dan teknik pengambilan data yang akan digunakan,
selanjutnya dibutuhkan pula teknik analisis data. Dalam penelitian ini hanya
akan menggunakan teknik analisis data secara deskriptif.
a. Analisis Deskriptif
Untuk melakukan analisis deskriptif, dapat dilakukan dengan
menerapkan statistika deskriptif (descriptive statistic). Yakni
metode-metode yang berkaitan dengan pengumpulan atau
penyajian suatu gugus data (Christianus, 2010 : 45). Secara umum,
statistika deskriptif bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang
keadaan yang berkaitan dengan masalah penelitian. Kegiatan yang
dilakukan pada statistika deskriptif ini meliputi pengum pulan data,
pengolahan data, penyajian data, dan analisis sederhana berupa
penghitungan nilai tengah, variasi, rata-rata, rasio atau proporsi
dan presentase (Budiarto, 2001 : 4).