1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai salah satu pilar utama dari sebuah
proses akumulasi kehendak masyarakat. Pemilu sekaligus merupakan prosedur
demokrasi untuk memilih pemimpin. Diyakini pada sebagian besar masyarakat
beradab di muka bumi ini, Pemilu adalah mekanisme pergantian kekuasaan
(suksesi) yang paling aman, bila dibandingkan dengan cara-cara lain. Sudah
barang pasti, Pemilu merupakan pilar utama dari sebuah negara demokrasi.1
Surbakti sebagaimana dikutip Fitriyah menyebutkan ada empat alasan
mengapa Pemilu dipandang sebagai unsur penting sistem politik demokrasi.2
Pertama, merupakan prosedur dan mekanisme pendelegasian sebagian kedaulatan
rakyat kepada penyelenggara negara, yakni bertindak atas nama rakyat dan
mempertanggungjawabkannya kepada rakyat. Kedua, merupakan prosedur dan
mekanisme pemindahan perbedaan aspirasi dan pertentangan kepentingan dari
masyarakat ke dalam lembaga penyelenggara negara, untuk kemudian dibicarakan
dan diputuskan secara beradab. Ketiga, merupakan prosedur dan mekanisme
perubahan politik secara tertib dan periodik baik perubahan sirkulasi elit politik
maupun perubahan arah dan pola kebijakan publik. Keempat, dapat digunakan
1 Nur Hidayat Sardini, Restorasi Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia (Yogyakarta: Fajar Media
Press, 2011), hal. 1. 2 Fitriyah, Teori dan Praktik Pemilihan Umum di Indonesia (Yogyakarta: Deepublish, 2013), hal.
1.
2
sebagai prosedur dan mekanisme untuk mewujudkan tatanan politik dan pola
perilaku politik yang disepakati bersama.
Greenberg menyatakan bahwa Pemilu merupakan sarana melalui mana
masyarakat memonitor atau mengamati serta mengarahkan tindakan orang-orang
yang bertanggung jawab dalam membuat kebijakan. Dari pandangan tersebut
dapat dicatat bahwa melalui Pemilu yang diselenggarakan oleh negara,
masyarakat tidak semata-mata memilih dan menentukan kebijakan apa yang layak
dilaksanakan pada masa mendatang akan tetapi mereka juga menentukan siapa
yang dianggap mampu melaksanakan kebijakan tersebut.3
Pengertian Pemilu yang disampaikan oleh Greenberg searah dengan
pendapat Franklin yang mengemukakan bahwa Pemilu merupakan peristiwa-
peristiwa ketika pemerintah mempertahankan kebijakan-kebijakan mereka dan
para pemilih memberikan pilihan. Andaikata kebijakan pemerintah dapat
dipertanggungjawabkan, mereka tetap berkuasa; apabila tidak, mereka harus
segera mundur. Pemilu sendiri mengabsahkan pemerintah dengan cara memberi
mandat untuk bertindak selanjutnya. Mengacu pada pendapat Franklin, diperoleh
gambaran bahwa Pemilu berfungsi sebagai legitimasi atau berfungsi
mengabsahkan pemerintah dengan cara memberi mandat kepada mereka untuk
berkuasa.4
Pemilu merupakan sarana kedaulatan rakyat dan pemenuhan hak asasi
warga negara dalam bidang politik yang dilaksanakan secara Langsung, Umum,
Bebas, Rahasia, serta Jujur dan Adil (Luber dan Jurdil) dalam Negara Kesatuan
3 Ari Pradhanawati dan Tri Cahyo Utomo, Pemilu dan Demokrasi (Semarang: FISIP UNDIP,
2008), hal. 2. 4 Ibid., hal. 3.
3
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dengan tujuan untuk memilih anggota DPR RI,
DPD RI, dan DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah, yang kelak mengisi jabatan-jabatan eksekutif baik di
tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, yang disebut para penyelenggara
negara.5 Pada tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakilnya dimasukkan
sebagai bagian dari Pemilu dan disahkan pada tahun 2011 dalam bentuk Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota. Pada tahun 2015, pemerintah menyepakati pemilukada
serentak dan diresmikan oleh KPU yang direncanakan dilakukan serentak dalam
tiga gelombang sesuai dengan berakhirnya masa jabatan kepala daerah di
Indonesia.
Selain sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat, Pemilu juga dapat
dikatakan sebagai proses pengujian kedaulatan rakyat, untuk itu harus dilihat
Pemilu sebagai sarana untuk seleksi kepemimpinan, dalam pengertian bahwa
melalui Pemilu masyarakat dapat memilih tokoh-tokohnya yang dapat diandalkan
untuk dijadikan wakil-wakilnya dalam lembaga negara, yang dinilai mampu
memperjuangkan kepentingan-kepentingan masyarakat.6 Dari sekian banyak
masyarakat Indonesia yang sudah memiliki hak untuk ikut serta berpartisipasi
dalam Pemilu, tentu tidak semuanya memiliki kemampuan yang sama atau setara.
Terdapat masyarakat yang memiliki keterbatasan baik secara fisik maupun mental
5 Nur Hidayat Sardini, Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu
(Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan Anak Bangsa, 2015), hal. 1. 6 J Kristiadi, Penyelenggarakan Pemilu Yang Bersifat Luber Dan Jurdil (Jakarta: Centre for
Strategic, 1997), hal. 16.
4
yang menyebabkan mereka sedikit berbeda dalam berkomunikasi atau
bersosialisasi di dalam masyarakat. Mereka yang memiliki keterbatasan dalam
masyarakat dapat juga disebut sebagai penyandang disabilitas atau kaum yang
memiliki perbedaan kemampuan (different ability, sering disingkat diffable)7.
Pengertian penyandang disabilitas dapat dicermati dalam Konvensi
Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Person
with Disabilities, CRPD). Dalam konvensi tersebut, penyandang disabilitas
diartikan sebagai mereka yang memiliki kerusakan fisik, mental, intelektual, atau
sensorik jangka panjang. Interaksinya dipenuhi dengan berbagai hambatan yang
dapat merintangi partisipasi mereka saat berbaur dengan masyarakat. Sebutan
yang lebih familiar dan dianggap lebih manusiawi dalam Bahasa Indonesia adalah
ditulis difabel (differently able), yakni orang-orang yang memiliki kemampuan
berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Penyandang disabilitas pasti akan
beragam, bergantung pada jenis disabilitasnya. Mereka membutuhkan sarana dan
prasarana serta proses komunikasi yang berbeda-beda sesuai dengan hambatan-
hambatan yang terjadi.8
Jika melihat pada pengertian tersebut secara lebih seksama, maka
disabilitas merupakan sebuah hasil dari interaksi antara keterbatasan fungsi fisik
atau mental, faktor personal di luar keterbatasan fungsi, dan respon sosial. Faktor
7 Pemakaian kata difabel memiliki maksud tersirat sebagai upaya untuk merubah persepsi
masyarakat bahwa penyandang disabilitas juga memiliki potensi dan mampu melakukan aktivitas
sesuai dengan potensi dan kemampuannya tanpa ada pandangan kondisi cacat atau tidak normal
adalah kekurangan. Memperhalus istilah penyandang cacat. (Agus Imam Wahyudi. 2014.
Pemberdayaan Difabel Dalam Rangka Pemberian Pengetahuan dan Pelatihan Ketrampilan. Skripsi.
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga). 8 Hari Kurniawan, dkk., Aksesibilitas Peradilan Bagi Penyandang Disabilitas (Yogyakarta:
PUSHAM UII, 2015), hal. 1.
5
yang disebutkan terakhir tadi telah melahirkan respon sosial yang lebih luas, yang
mendukung hambatan atas ketidakmampuan tersebut. Lingkungan sosial di sekitar
penyandang disabilitas memang masih belum dapat sepenuhnya mendukung
setiap aktivitas yang akan dilakukan oleh penyandang disabilitas. Masih banyak
kendala yang dihadapi oleh kaum penyandang disabilitas yang menyebabkan
mereka secara terpaksa meminta bantuan kepada orang lain.
Selain pada masalah sosial yang masih terdapat beberapa hambatan,
dalam aspek politik pun penyandang disabilitas masih menemui beberapa kendala.
Mereka yang juga adalah warga negara dan sudah memenuhi syarat untuk ikut
serta berpartisipasi dalam Pemilu, seperti enggan untuk memberikan suara mereka
pada saat Pemilu. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Pasal
25 menekankan konsep dasar Pemilu inklusif sebagai penyelenggaraan Pemilu
yang setara dan aksesibel bagi setiap warga negara tanpa pembeda, sehingga
Pemilu yang inklusif memberikan ruang bagi setiap warga negara untuk turut
andil dalam proses Pemilu tanpa pengecualian. Disabilitas pemilih masih
dianggap tidak penting bagi sebagian penyelenggara Pemilu, meski hak politik
kelompok disabilitas telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2011.
Sebagai contoh, lembaga pembela hak politik kaum difabel menyatakan
tidak kurang dari sebelas juta pemilih difabel absen dalam Pemilukada dan Pemilu
di Indonesia.9 Ini dapat dikategorikan sebagai praktik diskriminasi jika merujuk
pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang disabilitas
9 “Jutaan penyandang disabilitas absen dalam pemilu dan Pilkada” -
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/01/150129_indonesia_difabel_pemilu.
Diunduh 31 Oktober 2016. Pukul 10.24 WIB.
6
dengan tidak disediakannya fasilitas atau alat bantu yang memudahkan akses
difabel ketika memilih. Perlu adanya perlakuan khusus bagi pemilih difabel.
Sosialisasi mengenai Pemilu pun masih dirasa kurang maksimal dalam menyentuh
pemilih difabel dan aksesibilitas TPS juga perlu diperhatikan karena masih kurang
maksimal dirasakan. Dengan keadaan yang seperti ini, dapat dimungkinkan
adanya absen dari pemilih difabel dalam Pemilu atau dapat dikatakan golput.
Pemerintah eksekutif dan legislatif telah menyepakati pelaksanaan
Pemilukada Tahun 2015 yang digelar secara serentak untuk daerah-daerah yang
akan habis masa jabatannya pada tahun 2015 dan semuanya diselenggarakan pada
9 Desember 2015. Pemilukada serentak tersebut dilaksanakan di 269 daerah
terdiri atas 9 provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten. Sekitar 53 persen dari total
537 jumlah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia yang telah melaksanakan
Pemilukada serentak gelombang pertama. Salah satu kota yang melaksanakan
Pemilukada serentak adalah Kota Surakarta yang terletak di Jawa Tengah.
Pelaksanaan Pemilukada di Surakarta dengan jumlah keseluruhan Daftar
Pemilih Tetap (DPT) 400.134 pemilih dan jumlah pemilih difabel mencapai 1.085
pemilih10, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surakarta membukukan tingkat
partisipasi pemilih difabel sebesar 38,25% di Pemilukada serentak 2015. Dari
total 1.085 pemilih, hanya 415 pemilih yang menggunakan hak suaranya. Hasil ini
terbilang rendah dibandingkan dengan target dari KPU Surakarta terhadap
partisipasi pemilih difabel yang mencapai 75%. Hasil tersebut juga jauh dari
tingkat partisipasi pemilih secara umum di Surakarta yaitu sebesar 73,68%.
10 Agus Sulistyo dkk, Solo Ramah Demokrasi; The New City Identity (Surakarta: KPU Kota
Surakarta, 2016), hal. 121.
7
Tabel 1.1
Pengguna Hak Pilih dan Partisipasi
No. Pemilih dan Pengguna Hak Pilih Laki-laki Perempuan Total Difabel
1. Pemilih 185.397 196.148 398.126 1.085
2. Pengguna Hak Pilih 130.303 148.784 293.341 415
3. Partisipasi (%) 70,28 75,85 73,68 38,25
Sumber: Data KPU Kota Surakarta, (2015)
Masih belum jelas apa yang membuat pemilih difabel enggan untuk
datang ke TPS menggunakan hak suaranya. Karena letak TPS yang cukup jauh,
karena kesuitan dalam memberikan suara, atau karena hal lainnya yang
menyebabkan pemilih difabel memutuskan untuk golput. Jika karena letak TPS
dan kesulitan dalam memberikan suara, pemerintah dan KPU sendiri sudah
menerbitkan undang-undang dan peraturan yang bertujuan untuk meminimalkan
kekhawatiran tersebut. Mungkin dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan
informasi yang didapatkan oleh pemilih difabel mengenai undang-undang dan
peraturan tersebut.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang tidak mengatur secara
pasti atau lebih detail mengenai seperti apa dan harus bagaimana dalam
mengakomodir kebutuhan pemilih difabel, hanya membahas secara umum dan
menyisipkan kalimat ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan KPU. Dalam
Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2015 tentang Pemungutan Dan Penghitungan
Suara Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati,
dan/atau Walikota Dan Wakil Walikota diatur lebih lanjut mengenai pemilih
kaum difabel. Pemilih kaum difabel mendapat perhatian khusus dalam Peraturan
8
ini, seperti akses TPS yang memudahkan pengguna kursi roda, adanya template
braille untuk tunanetra, hingga bilik suara yang dibentuk sedemikian rupa guna
akses bagi setiap pemilih.11
KPU Kota Surakarta pun mengklaim sudah menggencarkan sosialisasi
dengan melibatkan kalangan difabel di Tim Penggerak Partisipasi (Gerak Pasti).
Sarana sosialisasi seperti video pun sudah dibuat untuk menjangkau semua
kalangan difabel. Di TPS, kemudahan akses dan penyediaan template braille bagi
pemilih tunanetra juga sudah disiapkan. Walaupun demikian, KPU mengakui
cukup sulit mendorong kalangan difabel seperti tunadaksa dan tunagrahita untuk
ke TPS.
Peraturan telah dibentuk sedemikian rupa untuk memberikan dasar
hukum yang kuat dan jelas terhadap aksesibilitas pemilih kaum difabel pada
Pemilukada, dan keadaan di lapangan juga telah disiapkan bagi pemilih kaum
difabel dengan tujuan memberikan kemudahan pada saat pemilihan, tetapi pemilih
kaum difabel masih kurang aktif berpartisipasi pada Pemilukada. Pemilih kaum
difabel dianggap masih belum mendapat pendidikan politik yang cukup hingga
saat ini. Padahal pendidikan politik yang cukup dapat memberikan pemahaman
kepada pemilih kaum difabel terhadap peta politik saat Pemilukada berlangsung
dan pendidikan politik juga dianggap penting dimiliki agar pemilih kaum difabel
tidak mudah dipengaruhi oleh calon-calon tertentu. Terlebih lagi pendidikan
11 Ketentuan Pasal 17, Pasal 18, Pasal 21, dan Pasal 40 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2015
tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
9
politik merupakan hak politik bagi pemilih kaum difabel yang telah tertuang dalan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang disabilitas.12
Memberikan pendidikan politik dengan tepat mampu menarik partisipasi
pemilih kaum difabel. Karena dengan pengetahuan yang didapatkan, pemilih
kaum difabel sudah dapat menentukan pilihannya secara mandiri, telah
mengetahui visi dan misi masing-masing calon serta mengetahui alasan mengapa
memilih calon tersebut tanpa adanya keraguan atau hambatan. Peraturan telah
dibuat, keadaan di lapangan telah diusahakan untuk memberi kemudahan dan
sosialisasi pun telah digencarkan. Hanya saja, hasil dari partisipasi pemilih kaum
difabel pada Pemilukada tahun 2015 lalu di Kota Surakarta sendiri masih kurang
dari harapan. Seperti apa pandangan pemilih difabel terhadap Pemilu merupakan
salah satu faktor yang mendorong pemilih difabel untuk ikut serta menggunakan
hak pilihnya dalam Pemilu, karena pandangan tersebut merupakan hasil
pendidikan politik yang didapat. Dengan mengacu pada uraian di atas, maka
penulis mengangkat judul “Persepsi Politik Pemilih Kaum Difabel (Different
Ability) Terhadap Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Surakarta
Tahun 2015” untuk penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi dalam
masalah partisipasi pemilih difabel (different ability) dalam pelaksanaan
Pemilukada/Pemilu.
12 Ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
10
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, bahwa masalah utama atau
pokok dalam penelitian ini merupakan persepsi politik pemilih difabel (different
ability) dalam pelaksanaan Pemilukada, sehingga dapat dilihat bahwa ada sesuatu
yang menarik untuk dibahas dan diteliti yaitu:
Bagaimana persepsi politik pemilih kaum difabel (different ability) dalam
pelaksanaan Pemilu Walikota dan Wakil Walikota Surakarta tahun 2015?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan di atas, penelitian ini memiliki tujuan untuk
mengetahui dan memahami persepsi politik berdasarkan pengetahuan,
keterlibatan, aksesibilitas, dan penilaian pemilih kaum difabel (different ability)
dalam Pemilu Walikota dan Wakil Walikota Surakarta tahun 2015.
1.4. Manfaat Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian tersebut diatas
maka bisa diperoleh manfaat. Karena hakekatnya setiap penelitian pasti mencakup
permasalahan, tujuan, serta juga manfaat yang diperoleh dari penelitian tersebut.
Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu:
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat dan
kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan memperluas
wawasan bagi kita semua mengenai perspektif pemilih difabel
11
terhadap pemilihan umum. Perkembangan tersebut diharapkan dapat
menjadi bahan referensi bagi pengayaan materi pengajaran dan
penelitian-penelitian selanjutnya.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan
berupa rekomendasi kepada para pemangku kebijakan dan
penyelenggara pemilu, sebagai bahan untuk menyusun kebijakan yang
dapat meningkatkan partisipasi politik pemilih difabel. Sedangkan
untuk penulis sendiri, penelitian ini sebagai proses pengembangan
ilmu pengetahuan yang diperoleh dari bangku kuliah.
1.5. Landasan Teori
Landasan teori disebut juga sebagai tinjauan kepustakaan, yang diperoleh
dari buku-buku ataupun literature-literatur yang ada hubungannya dengan masalah
yang ingin diteliti.
1.5.1. Persepsi Politik Pemilih Difabel
1.5.1.1. Persepsi Politik
Persepsi politik merupakan salah satu faktor yang membuat individu
pemberi suara menyaring semua pengaruh dari luar, berasal dari 2 (dua) kata yaitu
persepsi dan politik. Kata persepsi menurut Jalaluddin Rakhmat yang dikutip oleh
Anwar Arifin dalam bukunya yang berjudul Politik Pencitraan – Pencitraan
Politik didefinisikan sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-
hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan
12
pesan.13 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, persepsi adalah tanggapan
(penerimaan) langsung dari sesuatu. Proses seseorang mengetahui beberapa hal
melalui panca indra.
Pengertian persepsi menurut Japri sebagaimana dikutip oleh Muhammad
Bawono adalah kemampuan individu untuk mengamati (mengenal) perangsang
(stimulus) sesuatu sehingga berkesan menjadi pemahaman, pengetahuan, sikap
dan tanggapan-tanggapan. Persepsi itu ada hubungan antara pengamatan dan
perangsang dimana keduanya harus ada kesesuaian. Sedangkan menurut Robbins,
persepsi adalah proses individu dalam menyeleksi, mengorganisir dan
menginterprestasikan stimulasi kedalam gambaran yang berarti dan koheren
dengan dunia sekitarnya.14
Sedangkan politik diserap dari istilah politics (Inggris) yang pertama kali
diperkenalkan oleh Aristoteles. Istilah itu berasal dari kata polis (Yunani) yang
berarti kota (city) yang berkembang menjadi negara kota (city state) pada zaman
Yunani klasik. Aristoteles menyebut bahwa politik merupakan hakikat keberadaan
manusia dalam kehidupan bermasyarakat.15 Meriam Budiardjo menyatakan bahwa
politik adalah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima
baik oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan
yang harmonis.16
13 Anwar Arifin, Politik Pencitraan – Pencitraan Politik (Yogyakarta: GRAHA ILMU, 2014), hal.
86. 14 Muhammad Bawono, Persepsi dan Perilaku Pemilih Terhadap Partisipasi Politik dalam
Pemilihan Umum Legislatif 2004 di Kabupaten Nganjuk, Tesis Derajat Magister Program Studi
Penyuluhan Pembangunan, UNS, 2008, hal. 36-37. 15 Anwar Arifin, Politik Pencitraan… op. cit., hlm. 7. 16 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal.
15.
13
Anwar Arifin menyimpulkan dari berbagai definisi oleh beberapa ilmuan,
bahwa politik merupakan aktivitas-aktivitas manusia dalam masyarakat, terutama
tentang perjuangan mengangkat atau memilih penguasa yang berfungsi
menetapkan kebijakan pemerintah. Politik meliputi bermacam-macam aktivitas
dalam suatu negara yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dan
pelaksanaan tujuan itu sehingga politik meliputi negara, kekuasaan, pengambilan
keputusan, kebijaksanaan, dan pembagian atau alokasi. Demikian juga terdapat
pandangan yang menyebut aturan, kekuasaan, pengaruh, wewenang, kepentingan,
dan pemerintahan sebagai cakupan politik.17
Dari beberapa pengertian mengenai persepsi dan politik di atas, dapat
disimpulkan bahwa persepsi politik dalam hal ini adalah kemampuan atau proses
individu dalam mengamati, menyeleksi, mengorganisir dan menginterprestasikan
informasi yang didapat mengenai aktivitas-aktivitas manusia dalam pemilihan
umum.
1.5.1.2. Difabel (Different Ability)
Disabilitas atau difabel adalah istilah yang meliputi gangguan,
keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Ada beragam cara memahami
disabilitas, sebagian orang memahami disabilitas sebagai apa yang dulu dikenal
sebagai kecacatan. Kata disabilitas tak jarang digunakan untuk menggambarkan
atau menggantikan sebuah kondisi. Seseorang yang mengalami kehilangan fungsi
(fungsi dan mental), baik sebagian maupun keseluruhan, bisa digantikan
menggunakan kata “disabilitas”.
17 Anwar Arifin, Politik Pencitraan… op. cit., hlm. 7.
14
Sebagai contoh adalah penggunaan kata “disabilitas netra” yang
digunakan untuk menyebutkan yang tidak melihat. Kemudian kata “disabilitas
fisik” untuk menyebut yang mempunyai perbedaan bentuk dan fungsi fisik. Ada
juga kata “disabilitas mental” untuk menyebut mereka dengan perbedaan fungsi
mental atau intelektual. Dalam studi disabilitas, pandangan ini disebut model
medis.
Secara sederhana, model pendekatan ini berdasar pada pendapat bahwa
setiap orang seharusnya “normal”. Mereka yang mempunyai perbedaan bentuk
fisik maupun mental, dikategorisasikan sebagai “tidak normal”. Perbedaan
tersebut kemudian ditangani melalui rehabilitasi, penyembuhan serta perlakuan
khusus untuk menjadi senormal mungkin. Pandangan ini beranggapan bahwa
disabilitas disebabkan ketidakberesan fisik maupun mental, baik sebagian maupun
secara keseluruhan.
Pandangan lain tentang disabilitas adalah apa yang disebut sebagai model
sosial tentang disabilitas. Menurut perspektif model ini, disabilitas bukan
disebabkan semata-mata oleh gangguan fisik maupun mental. Mengapa muncul
disabilitas? Penyebabnya adalah kegagalan lingkungan serta masyarakat sekitar
saat memberikan respon terhadap keberadaan orang-orang dengan keterbatasan
fisik atau mental.
Kata “penyandang disabilitas” merupakan istilah pengganti dari kata
“penyandang cacat” yang dulu lebih banyak digunakan. Istilah ini resmi
dipergunakan setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Mengenai Hak-Hak
Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities/
15
CRPD) dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention
on the Rights of Persons with Disabilities).
Penyandang disabilitas adalah mereka yang memiliki kerusakan fisik,
mental, intelektual, atau sensorik jangka panjang yang dalam interaksinya
dengan berbagai hambatan dapat merintangi partisipasi mereka dalam
masyarakat secara penuh dan efektif berdasarkan pada asas kesetaraan.18
Jika kita melihat pengertian tersebut secara lebih seksama, maka
disabilitas merupakan sebuah hasil dari interaksi antara; keterbatasan fungsi fisik
atau mental, faktor personal di luar keterbatasan fungsi, dan respon sosial. Faktor
yang disebutkan terakhir tadi melahirkan respon sosial yang lebih luas, yang
mendukung hambatan atas ketidak mampuan tersebut.
Definisi disabilitas yang ada dalam konvensi terinspirasi dari pendekatan
sosial, tidak lagi melihat permasalahan disabilitas sebagai masalah seseorang.
Bahkan saat ini, model sosial yang diterapkan sangat erat hubungannya dengan
kerangka hak asasi manusia. Gabungan pendekatan sosial dan hak asasi manusia
menerapkan sebuah pandangan baru. Kecacatan (impairment) maupun
keterbatasan fungsional, sesungguhnya tidak berhubungan dengan
ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas maupun partisipasi sosial.
Masyarakat, lingkungan, bahkan Negara dianggap gagal memenuhi kebutuhan
penyandang disabilitas.
Isu disabilitas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari isu hak asasi
manusia. Berangkat dari kenyataan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang
melekat pada setiap manusia. Maka, pengecualian atau pengucilan sosial yang
18 Pasal 1 Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas
16
dialami oleh penyandang disabilitas adalah pelanggaran hak. Jaminan atas
kesetaraan, kesamaan hak dan partisipasi penuh juga seharusnya melekat pada
penyandang disabilitas.
Cara sederhana dalam memahami disabilitas adalah dengan
mengenalinya dalam 3 (tiga) faktor. Masing-masing adalah faktor kerusakan
fungsi; baik fisik maupun mental, kemudian faktor kondisi personal, serta faktor
lingkungan dan masyarakat. Kerusakan fungsi; baik fisik atau mental merupakan
sesuatu yang paling mudah kita kenali. Contohnya, buta, tuli, amputasi tangan
atau kaki, baik sebagian maupun keseluruhan. Adapun kondisi personal
merupakan faktor individu di luar terjadinya kerusakan fungsi fisik atau mental
yang dialami. Hal ini disadari atau tidak akan berpengaruh terhadap terjadinya
disabilitas. Sementara faktor lingkungan dan masyarakat dapat berupa sarana dan
prasarana fisik. Bisa juga karena perlakuan dan penerimaan masyarakat, ataupun
keberadaan kebijakan serta aspek peraturan.
A. Klasifikasi Difabel
Pembagian kategori dan klasifikasi penyandang disabilitas yang telah
banyak dipergunakan di Indonesia salah satunya merujuk pada Peraturan Daerah
Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan
Pemenuhan Hak-Hak Penyandang disabilitas, mengenalkan klasifikasi kaum
difabel, meliputi gangguan penglihatan (tunanetra) yaitu hilangnya fungsi
penglihatan baik sebagian maupun keseluruhan. Bisa disebabkan oleh berbagai
hal, baik permanen maupun sementara atau temporer. Selanjutnya gangguan
pendengaran (tunarungu) merupakan hilangnya fungsi atau tingkat pendengaran,
17
baik sebagian atau keseluruhan (dari berbagai sumber). Tingkat kehilangan
pendengaran antar telinga yang satu dengan yang lain bisa jadi berbeda. Bisa jadi
orang dengan gangguan pendengaran, dapat mendengar lebih baik dengan salah
satu telinga. Salah satu mitos yang tidak benar adalah bahwa orang dengan
gangguan pendengaran selalu tidak dapat bicara, dan sebaliknya. Pada
kenyataannya, mereka tetap dapat berkomunikasi dengan bahasa oral atau isyarat,
atau bahkan keduanya.
Klasifikasi selanjutnya yaitu gangguan wicara (tunawicara) yang juga
dikenal dengan sebutan “bisu”. Merupakan gangguan pada fungsi organ wicara
yang menyebabkan hilangnya fungsi wicara, baik total maupun sebagian.
Selanjutnya gangguan motorik adalah gangguan pada otot-otot gerak. Gangguan
ini berakibat pada perbedaan kemampuan motorik pada organ-organ gerak tubuh.
Situasi ini menghambat aktivitas yang memerlukan gerak anggota tubuh. Dan
klasifikasi lainnya adalah cerebral palsy, gangguan pemusatan perhatian dan
hiperaktif, autis, epilepsi, tourette’s syndrome, gangguan sosialitas, emosional dan
perilaku, dan retardasi mental.
Pengklasifikasian tersebut berdasarkan penggolongan kerusakan fungsi.
Dalam tataran praktis, informasi awal mengenai disabilitas misalnya jenis
kerusakan fungsi yang dialami, menjadi sangat penting. Ini akan digunakan
sebagai data awal untuk mengukur tingkat hambatan. Data tersebut akan dipakai
untuk menentukan akomodasi atau layanan yang sesuai dengan kebutuhan
penyandang disabilitas. Dengan begitu, hambatan berinteraksi bagi penyandang
disabilitas bisa dihilangkan.
18
B. Kategori Hambatan
Tidaklah mudah merumuskan kategori hambatan bagi penyandang
disabilitas. Sangat dimungkinkan konsep disabilitas akan terus berkembang. Akan
diuraikan beberapa jenis hambatan yang kerap kali muncul dan dialami oleh
penyandang disabilitas. Selain didasarkan pada pengalaman penyandang
disabilitas identifikasi atas pengkategorian ini juga lewat diskusi.
1. Hambatan Sarana Prasarana Fisik dan Mobilitas
Keberadaan sarana dan prasarana fisik merupakan hal penting. Hal ini
akan sangat mendukung aktivitas penyandang disabilitas. Kita akan mengambil
contoh mereka yang mengalami kaki layu. Mereka akan dapat melakukan
aktivitas secara mandiri apabila didukung kursi roda atau kruk dan ditambah
dengan sarana prasarana yang memadai
Beberapa contoh penunjang untuk meminimalkan hambatan ini
diantaranya adalah aksesibilitas bangunan; jalan masuk, ruangan dan fasilitas
gedung, serta jalan keluar gedung harus didesain untuk memudahkan semua
pengguna. Termasuk bagi mereka yang menggunakan kursi roda. Tersedianya lift
yang menghubungkan antar lantai pada bangunan bertingkat. Tersedianya toilet
bagi penyandang disabilitas dengan merujuk desain yang mudah diakses bagi
pengguna kursi roda. Ukuran pintu dan lorong yang memberikan keleluasaan bagi
pengguna kursi roda, maupun alat bantu berjalan lainnya.
Penerangan yang cukup bagi pengguna dengan tingkat penglihatan rendah.
Lokasi dan desain penempatan loket pelayanan yang mudah dijangkau bagi
penyandang disabilitas, termasuk bagi pengguna kursi roda. Ketersediaan alat
19
bantu seperti kursi roda atau kruk pada bangunan-bangunan maupun gedung
pelayanan umum. Ketersediaan staf gedung yang tanggap dalam memberikan
bantuan kepada penyandang disabilitas.
2. Hambatan Perilaku
Keberadaan penyandang disabilitas seringkali direspon dengan perilaku
yang berlebihan. Terkadang terlalu baik, termasuk pemberian bantuan yang
berlebihan. Sebaliknya muncul juga perilaku penolakan atau keengganan untuk
berinteraksi dengan penyandang disabilitas. Perilaku tersebut bisa muncul karena
kurangnya pemahaman terhadap keberadaan penyandang disabilitas.
3. Hambatan Hukum dan Prosedurnya
Hambatan ini terjadi lantaran adanya kebiasan aturan hukum atau prosedur
yang merugikan penyandang disabilitas. Tidak ada aturan yang jelas untuk
memberikan jaminan atas pemenuhan hak penyandang disabilitas juga masuk
dalam kategori ini. Sedapat mungkin aturan yang ada harus memberikan
kesetaraan pada penyandang disabilitas.
4. Hambatan Teknologi, Informasi, dan Komunikasi
Dewasa ini, akses terhadap informasi dan komunikasi melalui teknologi
merupakan sebuah kebutuhan. Hal yang sama tentunya dirasakan oleh
penyandang disabilitas. Bagi mereka dengan gangguan wicara dan pendengaran,
serta yang mengalami gangguan penglihatan, membutuhkan media informasi serta
cara berkomunikasi yang berbeda.
Hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi hambatan ini diantaranya
adalah adanya ketersediaan informasi pada ruang publik, seperti pengumuman
20
antrian dan sebagainya, dikemas dalam bentuk audio dan visual yang mudah
dijangkau. Informasi cetak sebaiknya tersedia dalam beragam format. Bisa
mempergunakan cetak yang diperbesar, cetak braille, maupun versi audio.
Ketersediaan staf yang menguasai keterampilan serta etiket berinteraksi dengan
penyandang disabilitas. Adanya penerjemah bahasa isyarat dan danya aturan yang
memperbolehkan penggunaan penerjemah. Penerjeman disini adalah penerjemah
yang dekat secara psikologis dengan penyandang disabilitas.
5. Hambatan Sumber Daya
Berbeda dengan gambaran sebelumnya, hambatan sumber daya ini
mungkin tidak terkait langsung dengan interaksi penyandang disabilitas dengan
lingkungannya. Meskipun begitu, akumulasi beragam hambatan tersebut akan
mengakibatkan penyandang disabilitas berhadapan dengan keterbatasan sumber
daya.
Sumber daya, secara bebas dapat diartikan sebagai ketersediaan
pengetahuan, informasi, keberanian, semangat, dan faktor lain, yang dapat
dipergunakan untuk melakukan upaya tertentu. Sumber daya pada lain sisi juga
bisa diartikan sebagai kemampuan ekonomi, baik yang berasal dari individu
maupun dukungan dari pihak lainnya. Ada 2 (dua) level hambatan yang akan
diuraikan, yaitu:
a. Hambatan Sumber Daya dari Penyandang Disabilitas
Ada hubungan yang erat antara disabilitas dan kemiskinan. Hubungan
tersebut itu berasal dari beberapa hal. Sedari awal memang jarang kita temukan
adanya kebijakan pada level penyelenggara negara untuk mempermudah akses
21
terhadap berbagai layanan, jaminan, serta informasi dan komunikasi. Hal yang
lain, yang juga turut menjadi perhatian serius adalah soal stigma negatif yang
diperoleh. Berbagai hambatan tersebut kemudian membuat posisi penyandang
disabilitas dekat dengan garis kemiskinan. Sebagai contoh nyata, ternyata
penyandang disabilitas tidak menjadi kriteria dalam skema penerima jaminan
sosial. Di samping itu, tidak ada kejelasan tentang penyandang disabilitas yang
memperoleh pembiayaan bantuan hukum.
b. Hambatan pada Tingkat Penyedia Layanan
Penyedia layanan untuk lembaga pelayanan publik belum memiliki
pengetahuan yang memadai soal penyandang disabilitas. Hal ini kemudia
berimbas kepada pelayanan yang diberikan, termasuk aspek teknis yang
melingkupinya. Diantara aspek teknis yang dimaksud ialah minimnya anggaran
untuk dipergunakan bagi kepentingan penyandang disabilitas.19
1.5.1.3. Konsep Persepsi Politik Pemilih Difabel
Dengan mengacu pada pengertian mengenai persepsi politik dan difabel
sebelumnya, maka persepsi politik pemilih difabel, yaitu kemampuan atau proses
pemilih difabel dalam mengamati, menyeleksi, mengorganisir dan
menginterprestasikan informasi yang didapat mengenai aktivitas-aktivitas
manusia dalam pemilihan umum.
Persepsi politik yang telah tertanam dalam masing-masing individu dapat
menentukan sikap individu tersebut terhadap sistem politik yang ada dan juga
mempengaruhi peranan yang dapat dimainkan oleh individu tersebut dalam sistem
19 Hari Kurniawan dkk, Aksesibilitas Peradilan… op. cit., hlm. 51-65.
22
politik. Sikap individu terhadap sistem politik tersebut selanjutnya oleh Almond
dan Verba disebut sebagai budaya politik, yaitu sikap individu terhadap sistem
politik dan komponen-komponennya juga sikap individu terhadap peranan yang
dapat dimainkan dalam sebuah sistem politik. Dengan memahami budaya politik,
akan diperoleh paling tidak dua manfaat, yaitu:
a) Sikap-sikap warga negara terhadap sistem politik akan memengaruhi
tuntutan-tuntutan, tanggapan, serta orientasinya terhadap sistem
politik itu.
b) Dengan memahami hubungan antara budaya politik dan sistem politik,
dapat dimengerti maksud-maksud individu yang melakukan kegiatan
sistem politik atau faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya
pergeseran politik.
Almond dan Verba selanjutnya juga menyatakan terjadinya dalam
pandangan tentang objek politik, terhadap komponen kognitif, afektif, dan
evaluatif20 mengukur bagaimana sikap individu atau masyarakat terhadap sistem
politik. Ketiga komponen ini saling terkait atau saling memengaruhi. Misalnya,
seorang warga negara dalam melakukan penilaian terhadap seorang pemimpin, ia
harus mempunyai pengetahuan yang memadai mengenai pemimpin tersebut.
Pengetahuan itu tentu saja sudah dipengaruhi atau dibentuk oleh perasaan ia
sendiri.
Agar dapat diperoleh pola yang cukup tepat dan petunjuk yang relevan
mengenai orientasi terhadap kehidupan politik maka harus dikumpulkan berbagai
20 Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di
Lima Negara (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hal. 16.
23
informasi yang meliputi pengetahuan, keterlibatan, dan penilaian seseorang
terhadap salah satu objek pokok orientasi politik. Objek orientasi politik meliputi
keterlibatan seseorang terhadap hal-hal berikut:
a) Sistem politik secara keseluruhan, meliputi intensitas pengetahuan, ungkapan
perasaan ditandai oleh aspirasi terhadap sejarah, ukuran lingkup lokasi,
persoalan kekuasaan, karakteristik konstitusional Negara atau sistem
politiknya.
b) Proses input, meliputi intensitas pengetahuan dan perbuatan tentang proses
penyaluran segala tuntutan yang diajukan atau diargonisasi oleh masyarakat,
termasuk prakarsa untuk sifatnya otoritatif. Dengan demikian proses input
meliputi pula pengamatan atas partai politik, kelompok kepentingan, dan alat
komunikasi massa yang berpengaruh nyata dalam kehidupan politik sebagai
alat (sarana) penampung berbagai tuntutan.
c) Proses output, meliputi intensitas pengetahuan dan perbuatan tentang proses
aktivitas berbagai cabang pemerintahan yang berkenaan dengan penerapan
dan pemaksaan keputusan-keputusan otoritatif. Singkatnya, berkenaan
dengan fungsi pembuatan aturan/perundang-undangan oleh badan legislatif,
fungsi pelaksanaan aturan oleh eksekutif (termasuk birokrasi), dan fungsi
peradilan.
d) Diri sendiri, meliputi intensitas pengetahuan dan frekuensi perbuatan
seseorang dalam mengambil peranan (partisipasi politik) di arena sistem
politik dengan mempersoalkan apa yang menjadi hak, kekuasaan, dan
kewajibannya.
24
Berdasarkan penjelasan di atas, persepsi politik pemilih difabel dalam
sebuah Pemilu dapat ditentukan dari:
1) Pengetahuan
Tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan pemilih sangat menentukan
bagaimana pandangan pemilih terhadap Pemilu. Tingkat pendidikan
mengenai sampai dalam tingkat apa pemilih mengikuti pendidikan dalam
bangku sekolah. Tingkat pengetahuan mengenai pengetahuan pemilih
tersebut terhadap Pemilu (kapan dilaksanakan, dimana, siapa saja
kandidatnya, seperti apa latar belakangnya, dari partai politik mana, dan lain
sebagainya). Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan
mempengaruhi pengetahuan yang dimilikinya, dan juga mempengaruhi
keinginan untuk lebih dalam mencari informasi dan menentukan pilihan.
Selain itu, menjadi anggota dalam suatu organisasi atau memiliki status
tertentu dalam masyarakat juga dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang.
2) Keterlibatan
Motivasi individu untuk berpartisipasi dalam Pemilu sangat mempengaruhi
keinginannya untuk menggunakan hak suara. Seseorang tidak akan
mendengar apa yang tidak ingin dia dengar. Seseorang mau melakukan
sesuatu jika itu berguna bagi dirinya, oleh karena setiap orang mempunyai
kepentingan dan keperluan yang berbeda antara yang satu dengan yang
lainnya. Pengalaman dalam mengikuti Pemilu juga menjadi salah satu faktor,
pemilih yang sudah terbiasa atau sudah mengetahui seperti apa gambaran atau
suasana pada saat pemilihan lebih banyak memiliki peluang untuk
25
memberikan hak suaranya dibandingkan dengan seseorang yang baru pertama
kali atau tidak pernah sama sekali memberikan hak suara dan terlalu
mengkhawatirkan kondisi di TPS dengan keterbatasan yang dimilikinya.
3) Penilaian
Penilaian adalah proses sistematis meliputi pengumpulan informasi (angka
atau deskripsi verbal), analisis, dan interpretasi untuk mengambil keputusan.
Penilaian pemilih terhadap Pemilu sangat mempengaruhi keputusan dari
pemilih tersebut, apakah harus ikut berpartisipasi dalam memberikan hak
suaranya atau memilih untuk tidak berpartisipasi atau tidak memberikan hak
suaranya.
1.6. Hipotesis
Pengujian Hipotesis adalah suatu prosedur yang akan menghasilkan suatu
keputusan, yaitu keputusan menerima atau menolak hipotesis tersebut. Dalam
pengujian hipotesis, keputusan yang dibuat mengandung ketidakpastian. Artinya,
keputusan bisa benar atau salah sehingga menimbulkan risiko. Besar kecilnya
risiko dinyatakan dalam bentuk probabilitas.21 Dalam penelitian ini menggunakan
bentuk rumusan hipotesis statistik, yaitu pernyataan atau dugaan mengenai
keadaan populasi yang sifatnya masih sementara atau lemah tingkat
kebenarannya. Hipotesis yang penulis ajukan adalah sebagai berikut:
21 Misbahuddin dan Iqbal Hasan, Analisis Data Penelitian dengan Statistik (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2014), hal. 36.
26
Ho: Persepsi politik pemilih kaum difabel (different ability) dalam pelaksanaan
Pemilu Walikota dan Wakil Walikota Surakarta tahun 2015 adalah kurang baik.
H1: Persepsi politik pemilih kaum difabel (different ability) dalam pelaksanaan
Pemilu Walikota dan Wakil Walikota Surakarta tahun 2015 adalah baik.
1.7. Definisi Konsep
Konsep merupakan unsur penelitian yang sangat penting dan juga
digunakan sebagai definisi yang dipakai untuk menggambarkan secara abstrak
suatu variabel penelitian yang ingin diteliti. Dalam suatu penelitian, pada dasarnya
definisi konsep digunakan untuk mendefinisikan variabel-variabel yang ada dalam
penelitian (sesuai konsep yang dikehendaki oleh peneliti). Tujuannya agar tidak
menimbulkan kekaburan atau perbedaan penafsiran antara pembaca dengan
peneliti mengenai konsep-konsep. Adapun definisi konsep dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Persepsi politik adalah kemampuan atau proses individu dalam
mengamati, menyeleksi, mengorganisasi, dan menginterprestasikan
informasi yang didapat mengenai aktivitas-aktivitas manusia dalam
Pemilu, dalam hal ini Pemilukada serentak tahun 2015.
b. Penyandang disabilitas adalah mereka yang memiliki kerusakan fisik,
mental, intelektual, atau sensorik jangka panjang yang dalam interaksinya
dengan berbagai hambatan dapat merintangi partisipasi mereka dalam
masyarakat secara penuh dan efektif berdasarkan pada asas kesetaraan.
Dalam penelitian ini, disabilitas yang diambil menjadi sampel adalah
27
tunadaksa, tunanetra dan tunarungu dikarenakan keterbatasan kemampuan
interaksi dari peneliti.
c. Pemilukada adalah pemilihan Gubernur dan pemilihan Bupati/Walikota
beserta wakilnya yang merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat
dalam tingkat provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam
penelitian ini berfokus pada Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota
Surakarta Tahun 2015.
1.8. Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan suatu definisi yang memberikan
petunjuk bagaimana suatu variabel dapat diukur. Dengan adanya konsep yang
masih bersifat abstrak, masih sulit untuk diukur, maka konsep tersebut perlu
diubah dalam bentuk yang lebih khusus lagi sehingga lebih operasional, maka
dibuat suatu definisi operasional sebagai berikut:
1) Persepsi politik adalah kemampuan atau proses individu dalam mengamati,
menyeleksi, mengorganisasi dan menginterprestasikan informasi yang
didapat mengenai aktivitas-aktivitas manusia dalam pemilihan umum. Agar
dapat diperoleh pola yang cukup tepat dan petunjuk yang relevan mengenai
orientasi terhadap kehidupan politik maka harus dikumpulkan berbagai
informasi yang meliputi pengetahuan, keterlibatan, dan penilaian seseorang
terhadap salah satu objek pokok orientasi politik. Selain ketiga poin di atas,
penulis juga menambahkan poin aksesibilitas guna mengetahui bagaimana
28
dan seperti apa pelayanan dan sarana prasarana yang telah disiapkan oleh
penyelenggara pemilihan untuk pemilih kaum difabel.
a. Aksesibilitas
Bagaimana dan seperti apa pelayanan dan sarana prasarana yang telah
disediakan untuk pemilih kaum difabel, apakah mengetahui dan hadir pada
saat sosialisasi, apakah TPS mudah untuk dijangkau, dan apakah sarana
dan prasarana yang disediakan sudah sesuai atau memadai.
1.9. Metode Penelitian
1.9.1. Tipe dan Analisis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian survei,
yaitu penelitian yang dilakukan untuk mencari keterangan yang faktual,
memperoleh fakta, dan mendapatkan data dari gejala yang ada. Dalam hal ini
adalah mengenai persepsi politik pemilih kaum difabel terhadap pemilihan umum
Walikota dan Wakil Walikota Surakarta tahun 2015. Dengan adanya penelitian
ini, penulis ingin menggali informasi mengenai persepsi pemilih kaum difabel
terhadap pemilihan umum Walikota dan Wakil Walikota Surakarta tahun 2015.
Dalam penelitian ini, analisis yang digunakan penulis adalah analisis
kuantitatif. Analisis kuantitatif merupakan analisis numerik atau berdasarkan data
dalam bentuk angka. Analisis kuantitatif dalam penelitian ini adalah berdasarkan
hasil dari kuesioner, yaitu peneliti menyebarkan angket berupa daftar pertanyaan
kepada pemilih difabel yang berada di Kota Surakarta.
29
1.9.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Surakarta, yaitu pada setiap
kecamatan yang ada, sesuai dengan kajian yang akan diteliti yaitu mengenai
persepsi politik pemilih kaum difabel terhadap pemilihan umum Walikota dan
Wakil Walikota Surakarta tahun 2015. Lima kecamatan yang ada di Kota
Surakarta dijadikan lokasi penelitian karena sampel dari penelitian ini adalah
pemilih kaum difabel dari masing-masing kecamatan yang diambil secara
proporsional. Lima kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Banjarsari, Kecamatan
Jebres, Kecamatan Pasarkliwon, Kecamatan Laweyan, dan Kecamatan Serengan.
Selain pada 5 (lima) kecamatan tersebut, peneliti juga mengambil KPU Kota
Surakarta sebagai lokasi penelitian guna memperkaya data yang didapatkan.
1.9.3. Populasi dan Sampel Penelitian
A. Populasi
Populasi merupakan keseluruhan dari subjek atau objek yang akan
dipelajari untuk diteliti dan diambil kesimpulan. Dalam penelitian ini yang
menjadi populasi adalah seluruh pemilih kaum difabel Kota Surakarta.
Berdasarkan data KPU Kota Surakarta pada tahun 2015 jumlah pemilih kaum
difabel adalah 1.085 pemilih, dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 1.2
Jumlah Pemilih Kaum Difabel Setiap Kecamatan
No. Kecamatan Jumlah Pemilih
1. Banjarsari 338
2. Jebres 269
3. Laweyan 234
4. Pasarkliwon 154
5. Serengan 90
Total 1.085
Sumber: Data KPU Kota Surakarta, (2015)
30
Setelah mengetahui jumlah populasi pemilih difabel dan dari data jumlah
pemilih difabel di atas, selanjutnya dilakukan penghitungan sampel dengan
mengacu pada jumlah pemilih difabel pada setiap kecamatan. Untuk teknik
pengambilan sampel menggunakan teknik sampel acak stratifikasi (stratified
random sampling). Sampel diambil sesuai dengan jumlah pemilih difabel pada
tiap kecamatan, sehingga jumlah yang didapatkan proporsional untuk masing-
masing kecamatannya.
B. Sampel
Sampel merupakan sebagian atau bertindak sebagai perwakilan dari
populasi, sehingga hasil penelitian yang berhasil diperoleh dari sampel dapat
digeneralisasikan pada populasi. Pengambilan sampel dalam penelitian ini
mempertimbangkan kemampuan dari peneliti sendiri, sehingga pemilihan kaum
difabel yang akan menjadi sampel dalam penelitian ini adalah pemilih kaum
difabel tunadaksa, tunanetra dan tunarungu, yang bertujuan untuk mempermudah
dalam pengambilan data di lapangan.
C. Teknik Pengambilan Sampel
Dalam menentukan pemilih kaum difabel yang digunakan untuk sampel
penelitian, perlu menggunakan teknik-teknik dalam pengambilan sampel. Teknik
pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik sampel acak
stratifikasi (stratified random sampling). Sampel yang diambil dilakukan dengan
membagi populasi menjadi beberapa strata, yang dimaksud strata disini peneliti
menggunakan pembagian berdasarkan masing-masing kecamatan di Kota
Surakarta.
31
n = NZ². S²
Nd² + Z² . S²
Menentukan unit sampel merupakan langkah untuk menentukan siapa
saja atau berapa jumlah dari anggota populasi yang harus dijadikan sampel.
Suliyanto22, mengemukakan beberapa pendapat rumus dalam menentukan berapa
ukuran sampel minimal yang harus diambil dalam penelitian. Dalam penelitian ini
akan dipergunakan penghitungan sampel menurut pendapat rumus dari Isacc dan
Michel. Perhitungan sampel menggunakan rumus dari Isacc dan Michel, sebagai
berikut:
Keterangan:
n = jumlah sampel
N = jumlah populasi
Z = nilai variabel normal
1. Nilai variabel normal (2,58) untuk tingkat kepercayaan 99%
2. Nilai variabel normal (1,96) untuk tingkat kepercayaan 95%
3. Nilai variabel normal (1,65) untuk tingkat kepercayaan 90%
S = variasi populasi (harga patokan tertinggi yang ditentukan yaitu 0,25)
d = sampling eror (kesalahan yang dikehendaki)
1. 0,01 untuk Z = 2,58
2. 0,05 untuk Z = 1,96
3. 0,10 untuk Z = 1,65
22 Suliyanto, Metode Riset Bisnis (Yogyakarta: CV.Andi, 2009), hal. 100.
32
Dengan mengacu pada data yang sudah penulis terangkan sebelumnya,
Diketahui nilai dari “N” (jumlah pupulasi pemilih difabel tahun 2015) sebesar
1.085 jiwa. Kemudian penulis menetapkan nilai “Z” dengan nilai variabel normal
1,96. Dan apabila nilai “Z” sebesar 1,96 maka “d” atau sampling eror yang
digunakan adalah 0,50. Sehingga penghitungan dalam menentukan berapa jumlah
sampel yang akan diambil dalam penelitian ini dimasukkan rumus sebagai
berikut:
n = NZ² . S²
Nd² + Z² . S²
= 1.085 (1,96)² x 0,25²
1.085 (0,05)² + (1,96)² . 0,25²
= 1.085 (3,8416) x (0,0625)
1.085 (0,0025) + (3,8416).0,625
= 4168,136 x 0,0625
2,7125 + 2,401
= 260,5085
5,1135
= 50,945243
= 51
Dari hasil penghitungan tersebut, dapat diketahui bahwa jumlah sampel
yang didapat dalam penelitian ini adalah 50,945243 atau 51. Jumlah sampel yang
ditetapkan atau diambil dalam penelitian ini adalah sebesar 51 orang. Karena
teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik sampel acak
33
stratifikasi (stratified random sampling), sampel yang diambil dilakukan dengan
membagi berdasarkan masing-masing kecamatan di Kota Surakarta, maka
didapatkan jumlah di masing-masing kecamatan dengan total 51 pemilih sebagai
berikut:
1. Kecamatan Banjarsari dengan total pemilih difabel 338 pemilih.
Jumlah sampel: atau 16 pemilih
2. Kecamatan Jebres total pemilih difabel 269 pemilih.
Jumlah sampel: atau 13 pemilih
3. Kecamatan Laweyan total pemilih difabel 234 pemilih.
Jumlah sampel: atau 11 pemilih
4. Kecamatan Pasarkliwon total pemilih difabel 154 pemilih.
Jumlah sampel: atau 7 pemilih
5. Kecamatan Serengan total pemilih difabel 90 pemilih.
Jumlah sampel: atau 4 pemilih
1.9.4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik pengumpulan data antara
lain:
A. Kuesioner
Teknik ini disebut juga sebagai daftar pertanyaan. Teknik pengumpulan
data ini dilakukan dengan cara memberikan daftar pertanyaan kepada responden
untuk dijawab agar dapat memberikan keterangan-keterangan yang ada
34
hubungannya dengan penelitian ini. Kuesioner yang telah disusun oleh penulis
kemudian diberikan kepada pemilih difabel yang diambil atau dijadikan objek
penelitian secara acak dan kemudian dijadikan sebagai sampel penelitian.
B. Interview
Disebut juga sebagai wawancara. Wawancara adalah pengumpulan
informasi dengan cara memberikan pertanyaan secara langsung dan dijawab
langsung oleh responden. Tujuannya adalah untuk memperoleh informasi atau
data yang mendukung terkait dengan permasalahan dan memperkuat data dalam
penelitian. Wawancara ini peneliti lakukan kepada pemilih kaum difabel dan KPU
Kota Surakarta.
C. Studi Dokumenter
Studi dokumenter adalah penghimpunan, mengkaji berbagai literatur,
pendapat para ahli, peraturan perundang-undangan, dan buku-buku yang berkaitan
dengan pemilih difabel dalam Pemilu terutama dalam Pemilukada Kota Surakarta
tahun 2015. Studi ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi yang lebih
berkaitan dengan fokus penelitian. Dokumentasi tersebut berasal dari literatur
catatan-catatan, kebijakan, berita di surat kabar, majalah, internet (website),
dokumen-dokumen atau segala bentuk tulisan lainnya.
1.9.5. Sumber Data
Sumber data terbagi menjadi dua, yakni:
A. Data Primer
Data primer adalah data yang memberikan informasi secara langsung
kepada peneliti. Dalam penelitian ini data primer diperoleh dengan cara
35
wawancara langsung kepada responden dan juga kuesioner yang diambil dari
sebagian pemilih kaum difabel yang diambil sebagai sampel dalam penelitian.
B. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang memberikan informasi secara tidak
langsung kepada peneliti. Data ini meliputi buku-buku, dokumen, ataupun artikel
yang berhubungan dengan penelitian.
1.9.6. Skala Pengukuran Kategori Jawaban dan Skor
Skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala
ordinal. Skala ordinal adalah data yang berasal dari kategori yang disusun secara
berjenjang mulai dari tingkat terendah sampai ke tingkat tertinggi atau sebaliknya
dengan jarak/rentang yang tidak harus sama. Sedangkan skala pengukuran
instrumen dalam penelitian menggunakan skala Likert. Skala Likert adalah skala
yang dapat digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang
tentang suatu objek atau fenomena tertentu.
Dengan menggunakan skala Likert, maka variabel yang diukur
dijabarkan dari variabel menjadi dimensi, dari dimensi dijabarkan menjadi
indikator, dan dari indikator dijabarkan menjadi sub-indikator yang dapat diukur.
Sehingga sub-indikator dapat dijadikan tolok ukur untuk membuat suatu
pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab. Adapun jawaban dan skor yang
digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
36
Tabel 1.3
Kategori atau Alternatif Jawaban dan Skor
No Kategoriatau Alternatif Jawaban Skor
1 Pilihan jawaban A/ Sangat benar/ Sangat memadai/ Sangat mendapatkan/
Sangat sesuai/ Sangat mudah/ Sangat penting/ Sangat berpengaruh/ Sangat
percaya/ Sangat ada
5
2 Pilihan jawaban B/ Benar/ Memadai/ Mendapatkan/ Sesuai/ Mudah/
Penting/ Berpengaruh/ Percaya/ Ada
4
3 Pilihan jawaban C/ Kurang benar/ Kurang memadai/ Kurang mendapatkan/
Kurang sesuai/ Kurang mudah/ Kurang penting/ Kurang berpengaruh/
Kurang percaya/ Kurang ada
3
4 Pilihan jawaban D/ Tidak benar/ Tidak memadai/ Tidak mendapatkan/
Tidak sesuai/ Tidak mudah/ Tidak penting/ Tidak berpengaruh/ Tidak
percaya/ Tidak ada
2
5 Pilihan jawaban E/ Sangat tidak benar/ Sangat tidak memadai/ Sangat tidak
mendapatkan/ Sangat tidak sesuai/ Sangat tidak mudah/ Sangat tidak
penting/ Sangat tidak berpengaruh/ Sangat tidak percaya/ Sangat tidak ada
1
Berdasarkan tabel 1.3 di atas, dapat dilihat apabila responden menjawab
pilihan jawaban A, sangat benar, sangat memadai, sangat mendapatkan, sangat
sesuai, sangat mudah, sangat penting, sangat berpengaruh, sangat percaya, sangat
ada, dan pendapat bebas maka diberi skor 5. Selanjutnya responden yang
menjawab pilihan jawaban B, benar, memadai, mendapatkan, sesuai, mudah,
penting, berpengaruh, percaya, dan ada diberi skor 4. Responden dengan jawaban
pilihan jawaban C, kurang benar, kurang memadai, kurang mendapatkan, kurang
sesuai, kurang mudah, kurang penting, kurang berpengaruh, kurang percaya, dan
kurang ada diberi skor 3. Responden dengan jawaban pilihan jawaban D, tidak
benar, tidak memadai, tidak mendapatkan, tidak sesuai, tidak mudah, tidak
penting, tidak berpengaruh, tidak percaya, dan tidak ada diberi skor 2. Jawaban
dengan skor 1 diberikan untuk jawaban pilihan jawaban E, sangat tidak benar,
sangat tidak memadai, sangat tidak mendapatkan, sangat tidak sesuai, sangat tidak
37
mudah, sangat tidak penting, sangat tidak berpengaruh, sangat tidak percaya, dan
sangat tidak ada.
1.9.7. Teknik Analisis dan Interpretasi Data
A. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan kuesioner yang pada masing-masing
pertanyaan disertai pilihan jawaban yang salah satunya harus dipilih oleh
responden. Dari jawaban yang didapatkan, kemudian disusun perhitungan
penilaian untuk setiap pertanyaan berdasarkan persentase dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1) Nilai kumulatif adalah jumlah nilai dari setiap pertanyaan yang merupakan
jawaban dari 51 responden
2) Menghitung presentase sebagai berikut:
Presentase = x 100%
3) Menghitung jumlah kumulatif terbesar dan terkecil, yaitu:
Jumlah kumulatif terbesar: 51 x 5 = 255
Jumlah kumulatif terkecil: 51 x 1 = 51
4) Menentukan nilai presentase terbesar dan terkecil, yaitu:
Nilai presentase terbesar:
Nilai presentase terkecil:
5) Menghitung rentang skor
Nilai rentang =
38
Nilai rentang =
6) Menghitung nilai rentang
Nilai rentang =
Nilai rentang =
Dari hasil perhitungan tersebut kemudian dapat diketahui klasifikasi
penilaian presentase seperti pada tabel dibawah ini.
Tabel 1.4
Klasifikasi Kriteria Penilaian Presentase
No Presentase Skor Kriteria Penilaian
1 20% - 36% 51-91,8 Sangat Tidak Baik
2 36,1% - 52% 91,9-132,7 Tidak Baik
3 52,1% - 68% 132,8-173,6 Kurang Baik
4 68,1% – 84% 173,7-214,5 Baik
5 84,1% - 100% 214,5-255 Sangat Baik
Sumber: Penghitungan Penilaian, diolah
B. Teknik Interpretasi Data
Data primer atau kuesioner yang telah didapatkan dari hasil penelitian
kemudian diolah dan dianalisis. Dalam menginterprestasikan data, diperlukan data
yang sah atau valid yang tujuannya dapat digunakan untuk mengungkapkan
sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner. Untuk mendapatkan data yang valid
atau sah tentu diperlukan suatu progam untuk mengukur hal tersebut, salah
satunya dengan menggunakan progam SPSS. Pengolahan data menggunakan
progam SPSS mencakup uji validitas dan realibilitas, yang penjelasannya dapat
dilihat sebagai berikut:
39
• Uji Validitas dan Realibilitas
A. Uji Validitas Kuesioner Penelitian
Uji validitas atau kesahihan menunjukkan sejauh mana alat ukur mampu
mengukur apa yang diukur. Adapun dalam perhitungan yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah menggunakan alat bantu perangkat lunak yaitu progam
SPSS. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Buka progam SPSS pada perangkat perconal computer (PC) lalu
masukkan data yang akan digunakan ke dalam data view, pada progam
SPSS.
2. Pada variabel view isi kedalam kolom sebagai berikut:
a. Name: sesuai yang diperlukan (responden)
b. Type: untuk baris pertama klik kotak kecil string, baris kedua tidak
diubah
c. Decimals: ubah menjadi “0” jika ditanya tidak menggunakan decimals
d. Measure: baris pertama klik skala pengukuran, yaitu skala nominal dan
baris kedua sampai akhir klik skala ordinal
3. Pengisian data
Dengan cara klik data view pada progam SPSS data editor kemudian
masukan data yang telah ditabulasi.
4. Pengolahan data
Kembali pada data view, klik analyze - scale – realibility analysis
40
5. Pengisian
Dari bivariate coelaration, masukan skor jawaban a,b,c,d,e pada kolom
corelation coefficient pilih pearson dan pada test of significance klik two-
tailed
6. Pengisian statistik
Klik option, kemudian pada statistic pilih statistic and standart devations.
Pada missing value pilih casses paireise
7. Kemudian klik ok untuk memproses data
Setelah nilai koefisien alpha didapatkan maka nilai tersebut
dibandingkan dengan r=hitung pada tabel nilai r. Jika alpha > r hitung maka
pertanyaan itu reliable. Sebaliknya jika nilai alpha < maka pertanyaan tersebut
tidak reliable.
B. Uji Realibilitas Kuesioner Penelitian
Realibilitas adalah alat ukur untuk mengukur suatu indikator dari
variabel. Analisis reabilitas atau reability analysis adalah analisis yang banyak
digunakan untuk mengetahui konsistensi alat ukur yang menggunakan skala,
kuesioner atau angket. Maksudnya untuk mengetahui apakah alat ukur tersebut
akan mendapatan pengukuran yang tetap konsisten jika pengukuran diulang
kembali23.
Kuesioner dapat dikatakan relabel atau handal jika jawaban seseorang
terhadap pertanyaan adalah konsisten dari waktu ke waktu. Kriteria angket atau
kuesioner dikatakan reliabel apabila nilai r alpha lebih besar dari nilai r tabel.
23Priyatno, Duwi. (2009). Belajar Olah Data dengan SPSS 17. Yogjakarta. CV. Andi Offset. Hal
167.
41
Menurut Sekaran (1992)24 nilai pengukuran realibilitas kurang dari 0,6 adalah
kurang baik, sedangkan 0,7 dapat diterima dan diatas 0,8 adalah baik. Sehingga
nilai standarisasi yang ditentukan dalam penelitian adalah 0,6. Untuk menghitung
realibilitas alat ukur dalam penelitian ini adalah rumus alpha cronbach pada
progam SPSS.
Adapun langkah-langkah pengujian realibilitas menggunakan SPSS yaitu:
1. Klik analize – scale – realibility analyze
2. Masukan semua variabel dalam kolom items
3. Klik ok
Kriteria pengambilan keputusan:
1. Instrumen dinyatakan realibilitas apabila nilai cronchbach’s alpha lebih
besar dari 0,6.
2. Instrumen dinyatakan tidak realibilitas apabila nilai cronchbach’s alpha
kurang dari nilai standardisasi yaitu 0,6.
Kemudian dalam pengolahan data ini, tahap selanjutnya yang digunakan
dalam penelitian ini meliputi proses-proses sebagai berikut:
a. Reduksi, yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,
pengabstrakan dan tranformasi data “kasar” yang muncul dari catatan atau
kegiatan dilapangan. Hasil kuesioner ataupun wawancara kemudian direduksi
data agar mendapatkan data yang sesuai dan valid. Reduksi data merupakan
bagian dan bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan,
membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara
24Ibid., hal. 172.
42
sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat dicari dan
diverifikasi.
b. Editing, yaitu proses pemeriksaan kembali jawaban atau data yang telah
diperoleh dari responden dan meneliti kembali apakah data tersebut sudah
sesuai dengan yang diharapkan atau belum.
c. Koding, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan dengan cara pemberian tanda
atau kode tertentu terhadap jawaban yang diperoleh dari responden menurut
kategori-kategori tertentu, dengan tujuan agar lebih memudahkan
penganalisaan.
d. Tabulating, yaitu pengelompokan data dalam bentuk table-tabel, dan
mengolah frekuensi jawaban kedalam masing-masing kategori.