PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2013
ANALISIS PENGGUNAAN ALAT-ALAT UKUR, TAKAR, TIMBANG DAN PERLENGKAPANNYA (UTTP) DALAM
PERDAGANGAN BARANG
i
RINGKASAN EKSEKUTIF
Latar belakang
1. Dalam rangka penguatan pasar dalam negeri, Kementerian Perdagangan
melaksanakan berbagai upaya yang bertujuan meningkatkan perlindungan
kepada konsumen dan menjaga kualitas barang beredar dan jasa, salah satunya
melalui peningkatan pengawasan terhadap UTTP (Laporan Kinerja Menteri
Perdagangan Tahun 2011).
2. Hasil pengawasan UTTP pada 2010 yang dilakukan di 66 pasar tradisional oleh
Kementerian Perdagangan terdapat 21.814 UTTP. Ditemukan UTTP yang tidak
bertanda tera sah sebanyak 9.843 (45,1%) atau rata-rata 149 UTTP di setiap
pasar. Dengan demikian di 66 pasar tersebut masih ada 9.843 UTTP yang di
gunakan walaupun tidak bertanda tera sah yang berlaku.
3. Alat UTTP harus ditera ulang sebagai alat kontrol secara periodik untuk
mengetahui apakah alat tersebut masih layak pakai. Alat UTTP yang tidak ditera
mengakibatkan tidak adanya jaminan kebenaran hasil pengukuran. Kesalahan
hasil pengukuran atau penimbangan tidak hanya akan merugikan konsumen
melainkan juga akan merugikan pelaku usaha.
4. Data mengenai alat UTTP yang dipergunakan di pasar tradisional tersebut perlu
dikoleksi dan diolah. Dari pengolahan data tersebut diharapkan bisa dianalisis
penggunaan alat-alat UTTP dalam perdagangan di pasar tradisional. Analisis
mengenai penggunaan alat-alat UTTP dalam perdagangan di pasar tradisional
berguna bagi pengambil kebijakan dalam rangka mendorong terciptanya
perdagangan yang adil, khususnya di pasar tradisional.
5. Dengan latar belakang masalah tersebut, maka tujuan analisis ini adalah untuk (i)
mengevaluasi pelaksanaan wajib tera dan tera ulang UTTP di pasar tradisional;
(ii) menganalisis gap pelayanan tera/tera ulang UTTP dengan perkembangan
penggunaan alat UTTP di pasar tradisional; (iii) merumuskan usulan kebijakan
tertib ukur dalam rangka perlindungan konsumen.
Metode Penelitian
6. Sebagian besar data diolah dengan menggunakan analisis deskriptif, seperti
menggunakan perhitungan proporsi, distribusi frekuensi, grafik, dan penyajian
dalam bentuk matriks sebaran atau tabulasi silang (crosstab). Pada beberapa
bagian, data diolah dan dianalisis secara inferensial, terutama untuk melihat
ii
pengaruh perbedaan wilayah, jenis pasar, tingkat kapasitas UPT metrologi
daerah. Analisis inferensial yang digunakan adalah analisis Chi-square, dan uji
beda dua rata-rata melalui ANOVA.
Pembahasan dan Kesimpulan
7. Secara umum pelayanan tera/tera ulang UTTP sebagai bagian dari Metrologi
Legal di Indonesia mengalami penurunan kapasitas sejak masa otonomi daerah,
akibat: (i) kurangnya kepedulian pemerintah propinsi/ kabupaten/ kota dalam
mengembangkan unit metrologi, yang ditunjukkan dengan besaran APBD yang
kurang memadai, (ii) adanya persepsi bahwa unit metrologi legal semata-mata
sebagai sumber retribusi PAD, (iii) penurunan jumlah SDM akibat pensiun atau
rotasi kerja lintas instansi, dan keterbatasan pengembangan kompetensi SDM
metrologi daerah, (iv) peralatan dan standar kerja yang kurang memadai jika
dibandingkan dengan perkembangan jumlah UTTP yang pesat di masyarakat,
serta (v) kerjasama antar unit metrologi daerah dinilai pada tingkat yang sangat
rendah, padahal dunia kemetrologian menuntut intensitas kerjasama dan saling
pengakuan yang tinggi antar unit metrologi.
8. Terdapat beberapa gap antara penggunaan UTTP, khususnya timbangan,
dengan kapasitas UPT Metrologi Legal di daerah, terutama pada bagian-bagian:
• Pemahaman dan dukungan dari pembuat kebijakan
• Keterbatasan Anggaran untuk operasional dan pengadaan standar
• Kondisi sarana memerlukan banyak perbaikan seperti peralatan uji lab kurang,
sehingga tidak seluruh jenis UTTP dapat ditera/tera ulang
• Pertumbuhan pedagang tradisional dan modern membuat sebaran pedagang
menjadi lebih luas
• Tidak ada pengawasan terhadap timbangan. Hal ini karena UPT Metrologi Legal
hanya memiliki tugas untuk melakukan pelayanan tera dan tera ulang.
• Tidak ada sanksi jika ada pelanggaran yang ditemukan. Hal ini karena UPT tidak
memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dan tindakan. Pelanggaran
besar dilaporkan kepada pihak kepolisian.
• Pemerintah daerah dan UPT tidak memiliki data Wajib Tera dan UTTP di wilayah
kerjanya. Perhitungan potensi dan perencanaan didasarkan pada data pelayanan
tahun sebelumnya.
• Koordinasi dalam pendataan, pengawasan dan penindakan belum dilaksanakan.
iii
9. Kegiatan pelayanan tera/tera ulang UTTP masih mengandalkan Pemerintah
Pusat yang saat ini masih menghadapi permasalahan seperti keterbatasan jumlah
dan kompetensi SDM, anggaran, serta sarana dan prasarana tera/tera ulang.
Sedangkan pemerintah daerah belum memprioritaskan kegiatan tersebut, karena
semata-mata hanya sebagai sumber PAD bukan tugas yang sifatnya mandatory
dalam rangka perlindungan konsumen.
10. Pengamatan terhadap pelaksanaan tera dan tera ulang di daerah kajian
menunjukkan kapasitas pelayanan tera/tera ulang UTTP masih lebih kecil
dibandingkan potensi jumlah pelayanan tera/tera ulang yang seharusnya
dilaksanakan setiap tahun Secara umum, kapasitas pelayanan tera/tera ulang
hanya dapat menjangkau sekitar 24,7% dari estimasi populasi timbangan yang
ada.
Rekomendasi kebijakan
11. Perlu mendorong pemerintah Provinsi dan Kabupaten /kota bahwa pelayanan
tera/tera ulang UTTP bersifat mandatory dalam upaya perlindungan konsumen.
12. Perlu mendorong dan memfasilitasi koordinasi antara pemerintah Provinsi dengan
pemerintah Kabupaten/Kota dalam upaya meningkatkan pelayanan tera/tera
ulang UTTP khususnya timbangan antara lain : membentuk UPT dan UPTD-
UPTD yang dilengkapi jumlah dan kompetensi SDM (penera dan pegawai yang
berhak) yang memadai; ketersediaan sarana dan prasarana (gedung, peralatan
standar, alat transportasi, dll), kegiatan pengawasan dan penyuluhan tera/tera
ulang. Sedangkan koordinasi Pemerintah Kabupaten dengan pengelola pasar
adalah dalam upaya untuk meningkatkan akses pelayanan tera/tera ulang
termasuk update data UTTP yang valid di pasar tradisional.
13. Diperlukan upaya untuk meningkatkan kapasitas pelayanan tera/tera ulang UTTP
agar dapat menjangkau seluruh populasi timbangan yang ada di pasar tradisional
melalui:
1) Membentuk standar operasi dan prosedur (SOP) pelayanan tera ulang yang
lebih baik dan teratur sehingga jangkauan pelayanan dapat lebih banyak dan
dilakukan secara periodik serta tidak ada komplain timbangan rusak sesudah
di tera ulang. Berdasarkan SOP ini akan diketahui kebutuhan jumlah hari
pelayanan tera ulang di setiap pasar.
2) Memetakan kebutuhan tenaga penera/PPNS Metrologi Legal di masing-masing
provinsi dan kabupaten/kota ;
iv
3) Menambah dan memperbaiki kondisi sarana/prasara pelayanan relatif sudah
tua.
14. Perlu ada penegakan aturan dalam penerapan sanksi terhadap pelanggaran yang
merugikan konsumen.
15. Upaya sosialisasi masih terus ditingkatkan baik dalam bentuk langsung kepada
pedagang dan konsumen maupun dalam bentuk tayangan iklan, pos ukur ulang,
bantuan timbangan pengganti seperti di pasar tertib ukur dan konsumen cerdas
termasuk pro-aktif dalam layanan pengaduan.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat serta hidayahNya, sehingga
laporan “Analisis Penggunaan Alat-Alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya
(UTTP) Dalam Perdagangan Barang” dapat diselesaikan. Analisis ini dilatarbelakangi
akan pemahaman mengenai pentingnya penguatan pasar dalam negeri. Sejalan
dengan hal tersebut, Kementerian Perdagangan melaksanakan berbagai upaya yang
bertujuan meningkatkan perlindungan kepada konsumen dan menjaga kualitas barang
beredar dan jasa, salah satunya melalui peningkatan pengawasan terhadap UTTP.
Namun dari hasil pengawasan UTTP pada 2010 yang dilakukan di 66 pasar
tradisional oleh Kementerian Perdagangan menemukan bahwa sekitar 45,1% UTTP
yang digunakan di pasar tradisional tidak bertanda tera sah, yang menunjukkan tidak
adanya jaminan terhadap akurasi dan reliabilitas UTTP yang digunakan dalam
perdagangan barang di pasar tradisional. Padahal akurasi dan reliabilitas alat-alat
UTTP ini diperlukan agar masing-masing pihak memperoleh perlindungan yang setara
Pedagang dilindungi dari kerugian karena memberikan barang yang melebihi
massa atau volume yang disepakati, sedangkan konsumen dilindungi dari kerugian
karena menerima jumlah barang yang lebih rendah dari massa atau volume yang
diminta/dibayarkannya. Analisis ini diselenggarakan secara swakelola oleh Pusat Kebijakan
Perdagangan Dalam Negeri, dengan tim penelitian yang terdiri dari Yudha Hadian Nur
sebagai koordinator dan peneliti terdiri dari Heny Sukesi, Bagus Wicaksena, Erizal
Mahatama dan Azis Muslimin. Penelitian ini dibantu oleh tenaga ahli Lomi Hija.
Disadari bahwa laporan ini masih terdapat berbagai kekurangan baik ditinjau
dari aspek substansi, analisa, maupun data-data yang sifatnya pendukung, oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Dalam
kesempatan ini tim peneliti menyampaikan terima kasih terhadap semua pihak yang
membantu terselesaikannya laporan ini. Sebagai akhir kata semoga penelitian ini
dapat menjadi bahan masukan bagi pimpinan dalam merumuskan kebijakan di bidang
standardisasi dan perlindungan konsumen.
Jakarta, September 2013 Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri
vi
DAFTAR ISI
RINGKASAN EKSEKUTIF .............................................................................................................i KATA PENGANTAR .................................................................................................................... iv DAFTAR ISI .................................................................................................................................. v DAFTAR TABEL .......................................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................................... x BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ..................................................................................................................... 1 1.2. Tujuan Analisis ..................................................................................................................... 3 1.3. Keluaran Analisis ................................................................................................................. 4 1.4. Dampak Analisis .................................................................................................................. 4 1.5. Ruang Lingkup ..................................................................................................................... 4 1.6. Sistematika Penulisan .......................................................................................................... 5 1.7. Organisasi ............................................................................................................................ 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................... 7 2.1. Kalibrasi Dan Peneraan ....................................................................................................... 8 2.2. Otoritas Metrologi ............................................................................................................... 10 2.3. SDM Metrologi ................................................................................................................... 11 2.4. Penelitian Terdahulu .......................................................................................................... 13
BAB III. METODE PENELITIAN .................................................................................................. 17 3.1. Kerangka Pemikiran ........................................................................................................... 17 3.2. Data dan Sumber Data....................................................................................................... 20 3.3. Responden dan Sampling .................................................................................................. 20 3.4. Sampling ............................................................................................................................ 21 3.5. Metode Pengumpulan Data ................................................................................................ 22 3.6. Metode Pengolahan Data Dan Analisis Data ...................................................................... 23
a. Tabulasi dan Metode Pengolahan Data ........................................................... 23
b. Analisis Data ..................................................................................................... 23
3.7. Tahapan Pelaksanaan Penelitian ....................................................................................... 25
vii
BAB IV. GAMBARAN PELAYANAN TERA/TERA ULANG UTTP DI DAERAH ANALISIS ........ 27 4.1. Gambaran Responden Survey ........................................................................................... 27 4.2. Gambaran Pelayanan Tera/Tera Ulang di Daerah ............................................................. 36
a. Denpasar-Bali ................................................................................................... 36
b. Bandung-Jawa Barat ........................................................................................ 46
c. Ternate-Maluku Utara ....................................................................................... 51
BAB V. EVALUASI PELAYANAN TERA/TERA ULANG UTTP .................................................. 56 BAB VI. GAP PELAYANAN TERA/TERA ULANG DENGAN PERKEMBANGAN
PENGGUNAAN ALAT UTTP DI PASAR TRADISIONAL .................................................. 61 6.1. Gambaran Komponen Gap Pelaksanaan Tera/Tera ulang UTTP di Pasar Tradisional ...... 62 6.2. Pengelompokan Masalah Pelayanan Tera/Tera Ulang UTTP ............................................ 76 6.3. Analisis Gap ....................................................................................................................... 79
BAB VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ........................................................................ 84 7.1. Kesimpulan ........................................................................................................................ 84 7.2. Rekomendasi ..................................................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA
viii
DAFTAR TABEL Tabel Halaman
3. 1. Key Person/Responden, Instrumen, dan Metode Pengumpulan Data ................................. 20 3. 2. Daftar Pasar Sampel ........................................................................................................... 22 3. 4. Metode Analisis dan Sumber Data ...................................................................................... 24 4. 1. Proporsi Sudah dan Belum Tera Ulang, Menurut Wilayah Survey ...................................... 31 4. 2. Tabulasi Silang Sudah Tera Ulang vs Hasil Pemeriksaan Ulang Timbangan Meja Beranger32 4. 3. Tabulasi Silang Sudah Tera Ulang vs Hasil Pemeriksaan Ulang Timbangan Pegas........... 32 4. 4. Tabulasi Silang Hasil Ukur Ulang vs Apakah Sudah Tera Ulang, Pada Timbangan Meja
Beranger dan Pegas Dengan Persentasi Menurut Kolom dan Baris. .................................. 33 4. 5. Rata-Rata Waktu Pemilikan Timbangan (Tahun) ............................................................... 36 4. 6. Jumlah Jenis UTTP Bali, Tahun 2012 ................................................................................ 38 4. 7. Jumlah SDM UPT Metrologi Legal Provinsi Bali ................................................................. 38 4. 8. Gambaran Sarana UPT Metrologi Legal Bali, Tahun 2013 ................................................. 40 4. 9. Komposisi Pegawai di Balai Kemetrologian Bandung ......................................................... 47 4. 10. Pelayanan Balai Kemetrologian Bandung Terhadap Jenis UTTP ....................................... 48 4. 11. Data Pelayanan Tera/Tera Ulang Maluku Utara tahun 2012 .............................................. 51 4. 12. Jenis UTTP Yang Mendapatkan Pelayanan Tera/Tera Ulang tahun 2012 .......................... 52 4. 13. Tabel Estimasi Jumlah UTTP di Prov. Maluku Utara ......................................................... 53 4. 14. Komposisi SDM Menurut Jabatan UPTD Balai Metrologi di Provinsi Maluku Utara, Tahun
2011-2013 .......................................................................................................................... 53 4. 15. Komposisi SDM UPTD Balai Metrologi di Provinsi Maluku Utara Menurut Pendidikan,
Tahun 2011-2013 ............................................................................................................... 54 4. 16. Tabel Komposisi SDM UPTD Balai Metrologi di Provinsi Maluku Utara Menurut Umur ...... 54 6. 1. Lembaga Pelaksana Pelayanan Tera/Tera Ulang UTTP di Daerah Survey ........................ 63 6. 2. Jumlah SDM UPT Metrologi Legal Wilayah Denpasar, Bandung, Ternate Tahun 2013 ...... 68 6. 3. Gap SDM Metrologi Legal Wilayah Denpasar, Bandung, dan Ternate ............................... 69 6. 4. Catatan Mengenai Sarana UPT Bali, Bandung, dan Ternate. ............................................. 72 6. 5. Catatan Mengenai Anggaran UPT Bali, Bandung, dan Ternate. ......................................... 74 6. 6. Jangkauan Pelayanan Tera Ulang Timbangan ................................................................... 75 6. 7. Analisis Gap Pelaksanaan Tera/Tera Ulang UTTP Dengan Perkembangan Penggunaan
Alat UTTP Di Pasar Tradisional .......................................................................................... 80
ix
DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman
2. 1. Rantai Ketertelusuran ........................................................................................................... 9 2. 2. Tanda Peneraan ................................................................................................................. 11 3. 1. Kerangka Pemikiran ............................................................................................................ 18 4. 1. Jenis Kelamin, Usia Pedagang dan Lama Berdagang ......................................................... 27 4. 2. Tempat Berdagang, Status Tempat Berdagang, dan Lokasi Berdagang ............................ 28 4. 3. Penggunaan Timbangan di Denpasar, Bandung, dan Ternate ........................................... 30 4. 4. Alasan Penggunaan Timbangan ........................................................................................ 32 5. 1. Pelayanan dan Pengawasan Tera Ulang UTTP ................................................................. 56 5. 2. Faktor Penyumbang Gap Pelayanan UTTP Timbangan Meja dan Pegas........................... 58 5. 3. Posisi Reparatur Timbangan Dalam Prosedur Tera Ulang ................................................. 60 6. 1. Faktor Pendorong Supply dan Demand Pelayanan Tera/Tera Ulang UTTP Pada
Timbangan ......................................................................................................................... 62 6. 2. Struktur Organisasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali............................ 64 6. 3. Struktur Organisasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat ................ 65 6. 4. Struktur Organisasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Maluku Utara ............ 66 6. 5. Pohon Masalah Pelayanan UTTP ...................................................................................... 78
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sektor perdagangan memainkan peranan penting dalam perekonomian
nasional baik secara kuantitas maupun kualitas. Secara kuantitas, pentingnya
peran sektor perdagangan terlihat dari peningkatan kontribusi PDB Sektor
Perdagangan, Hotel dan Restoran. Untuk meningkatkan peranannya dalam
perekonomian nasional, Kementerian Perdagangan menetapkan beberapa sasaran
strategis, salah satu yang menjadi fokus adalah stabilisasi penguatan pasar dalam
negeri.Dalam rangka penguatan pasar dalam negeri, Kementerian Perdagangan
melaksanakan berbagai upaya yang bertujuan meningkatkan perlindungan kepada
konsumen dan menjaga kualitas barang beredar dan jasa, salah satunya melalui
peningkatan pengawasan terhadap UTTP (Laporan Kinerja Menteri Perdagangan
Tahun 2011).
Dalam kegiatan perekonomian, keberadaan pasar merupakan salah satu
faktor yang paling penting karena merupakan tempat untuk melakukan kegiatan jual
beli barang bagi kebutuhan masyarakat.Keberadaan pasar juga menjadi salah satu
indikator paling nyata kegiatan ekonomi masyarakat di suatu wilayah.Dalam
perkembangannya pasar yang ada di masyarakat dapat dibagi menjadi pasar
modern dan pasar tradisional. Pasar tradisional saat ini kalah bersaing dibanding
dengan pasar modern dalam memberikan pelayanan ke masyarakat sebagai
konsumen. Konsumen terutama di perkotaan merasa lebih nyaman berbelanja di
pasar modern dibanding dengan pasar tradisional.
Untuk meningkatkan pelayanan pasar tradisional pemerintah mencanangkan
program perbaikan pengelolaan dan pemberdayaan pasar tradisional. Salah satu
tujuannya adalah terciptanya pasar tradisional yang tertib, teratur, aman, bersih dan
sehat seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20
tahun 2012 tentang Pengelolaan Dan Pemberdayaan Pasar Tradisionaldan
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 86/M-DAG/PER/12/2012 tentang Petunjuk
Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Sarana Perdagangan Tahun
Anggaran 2013.
2
Salah satu indikator pasar yang tertib tersebut adalah penggunaan alat UTTP
yang benar dan perilaku pedagang dalam pengukuran dan penimbangan dengan
tepat dalam rangka melayani konsumen dengan baik. Sedangkan tujuan
pembentukan Pasar Tertib Ukur tersebut adalah: (1) Meningkatkan citra pasar
tradisional melalui kebenaran hasil pengukuran; (2) Meningkatkan pemahaman dan
kesadaran pedagang/pengguna dan pemilik UTTP serta pengelola pasar dalam
membangun kepercayaan masyarakat; dan (3) Mendorong pemerintah daerah untuk
meningkatkan pelayanan kemetrologian dalam rangka perlindungan konsumen.
Untuk saat ini tujuan pembentukan pasar tertib ukur belum tercapai. Hal ini
dapat dibuktikan dengan sedikitnya alat UTTP yang digunakan sejumlah pelaku
usaha terutama pedagang pasar tradisional sudah ditera. Hasil pengawasan UTTP
pada 2010 yang dilakukan di 66 pasar tradisional terdapat 21.814 UTTP.Ditemukan
UTTP yang tidak bertanda tera sah sebanyak 9.843 (45,1%) atau rata-rata 149
UTTP di setiap pasar. Dengan demikian di 66 pasar tersebut masih ada 9.843 UTTP
yang di gunakan walaupuntidak bertanda tera sah yang berlaku
(http://citraindonesia.com/43313/). Padahal, kesalahan hasil pengukuran atau
penimbangan akibat belum diteranya UTTP ini dapat merugikan konsumen. Alat
UTTP yang digunakan setiap saat akan mengalami perubahan pada bagian tertentu,
yang dapat mengakibatkan kesalahan pada hasil pengukuran atau penimbangan.
Tahun 2012 telah terbentuk 4 Daerah Tertib Ukur (Kota Singkawang, Kota
Surakarta, Kota Balikpapan dan Kota Batam) serta 91 Pasar Tertib Ukur yang
tersebar di 57 kabupaten/kota. Untuk tahun 2013, direncanakan akan dibentuk tiga
DaerahTertib Ukur dan 30 Pasar Tertib Ukur1.
Untuk tercapainya pasar tertib ukur pemerintah sudah mengeluarkan
kebijakan-kebijakan. Dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1985 tentang Wajib
dan Pembebasan Untuk Ditera dan/atau Ditera Ulang Serta Syarat-Syarat Bagi Alat-
Alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya,dan Peraturan Menteri
Perdagangan No. 08/M-DAG/PER/3/2010 tentang Alat-Alat Ukur, Takar, Timbang,
1http://ditjenspk.kemendag.go.id/index.php/public/information/articles-
detail/berita/92)
3
dan Perlengkapannya (UTTP) Yang Wajib Ditera dan Ditera Ulang, dan Surat
Edaran Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Nomor
01/SPK/SE/5/2011 tentang Tera UTTP mengamanatkan agar UTTP yang secara
langsung atau tidak langsung digunakan atau disimpan dalam keadaan siap pakai
untuk keperluan menentukan hasil pengukuran, penakaran, atau penimbangan wajib
ditera atau ditera ulang. Kedua kebijakan tersebut sebagai regulasi turunan dari
Undang-Undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.
Alat UTTP harus ditera ulang sebagai alat kontrol secara periodik untuk
mengetahui apakah alat tersebut masih layak pakai. Alat UTTP yang tidak ditera
mengakibatkan tidak adanya jaminan kebenaran hasil pengukuran. Kesalahan hasil
pengukuran atau penimbangan tidak hanya akan merugikan konsumen melainkan
juga akan merugikan pelaku usaha.
Jenis alat UTTP yang paling banyak digunakan di pasar tradisional adalah
timbangan pegas dan timbangan meja beranger serta anak timbangan. Jenis alat
UTTP yang banyak digunakan di 66 pasar tradisional yang menggunakan timbangan
pegas sebanyak 9,5%, timbangan meja 15,15% dan anak timbangan sebesar 69,9
% (Sucofindo, 2011).
Data mengenai alat UTTP khususnya timbangan yang banyak dipergunakan di
pasar tradisional tersebut perlu dikoleksi dan diolah. Dari pengolahan data tersebut
diharapkan bisa dianalisis penggunaan alat-alat UTTP dalam perdagangan di pasar
tradisional.Analisis mengenai penggunaan alat-alat UTTP dalam perdagangan di
pasar tradisional berguna bagi pengambil kebijakan dalam rangka mendorong
terciptanya perdagangan yang adil, khususnya di pasar tradisional. Analisis tersebut
dilakukan untuk menjawab pertanyaan penyebab belum optimalnya penggunaan
alat-alat UTTP apakah erat kaitannya dengan kapasitas pelayanan kemetrologian,
rendahnya kesadaran pedagang dan rendahnya kepedulian konsumen.
1.2. Tujuan Analisis Sejalan dengan permasalahan di atas, maka perlu dilakukan suatu analisis
dengan tujuan sebagai berikut :
a. Mengevaluasi pelaksanaan wajib tera dan tera ulang UTTP di pasar tradisional
4
b. Menganalisis gap pelaksanaan pelayanan tera/tera ulang alat UTTP dengan
perkembangan penggunaan alat UTTP di pasar tradisional.
c. Merumuskan usulan kebijakan tertib ukur dalam rangka perlindungan
konsumen.
1.3. Keluaran Analisis Analisis yang dilakukan diharapkan dapat menghasilkan keluaran sebagai
beruikut :
a. Evaluasi pelaksanaan wajib tera dan tera ulang UTTPdi pasar tradisional;
b. Analisis gap pelaksanaan pelayanan tera/tera ulang alat UTTP dengan
perkembangan penggunaan alat UTTP di pasar tradisional;
c. Rumusan usulan kebijakan tertib ukur dalam rangka perlindungan konsumen.
1.4. Dampak Analisis Hasil analisis ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pengambil
kebijakan dan lembaga terkait dalam membantu tercapainya perdagangan yang adil
bagi pedagang dan perlindungan konsumen melalui penerapan tera dan tera ulang
alat-alat UTTP.
1.5. Ruang Lingkup a. Jenis UTTP yang dianalisis adalah timbangan pegas dan timbangan meja
beranger serta anak timbangan. Alasan pemilihan alat tersebut adalah alat
timbangan yang paling banyak digunakan dalam perdagangan di pasar
tradisional.
b. Aspek yang dianalisis :
1) Kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan mengenai metrologi
legal, tera dan tera ulang UTTP;
2) Kapasitas instansi yang membawahi Metrologi Legal di daerah dalam
melakukan pelayanan tera/tera ulang timbangan, penyuluhan, dan
pengawasannya;
3) Implementasi wajib tera dan tera ulang UTTP di pasar tradisional;
4) Kesadaran dan pemahaman pedagang pasar tradisional dalam tertib ukur.
5
c. Daerah Analisis
Analisis ini dilakukan di tiga kota, yaitu di Bandung, Denpasar, dan Ternate.
Dipilihnya daerah penelitian tersebut dengan pertimbangan, antara lain
perkembangankegiatan usaha perdagangan di pasar tradisional dan jumlah UTTP
yang beredar relatif besar yaitu Bandung dan menengah yaitu Denpasar.
Sedangkan Ternate dipilih sebagai representasi daerah dengan jumlah penggunaan
alat UTTP relatif rendah.
1.6. Sistematika Penulisan Laporan analisis ini terdiri dari lima bab sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan. Bab ini mendeskripsikan latar belakang, tujuan,
keluaran, dampak dan ruang lingkup analisis yang dilakukan.
BAB II Tinjauan Pustaka. Bab ini menjelaskan tinjauan literatur yang
digunakan sebagai referensi dalam analisis ini.
BAB III Metodologi Penelitian menjelaskan metode yang digunakan dalam
analisis ini meliputi kerangka pemikiran, kebutuhan informasi,
responden dan sampling, metode pengumpulan data, metode analisis
data, sumber data, dan tahapan pelaksanaan analisis.
BAB IV Gambaran Pelayanan Tera/Tera Ulang. Bab ini menguraikan hasil
temuan-temuan lapangan/survey di daerah analisis
BAB V Evaluasi Pelayanan Tera/Tera Ulang UTTP. Pada bab ini memuat
hasil temuan lapangan, analisis deskriptif dan kuantitatif dari
pelayanan tera/tera ulang UTTP di daerah analisis.
BAB VI Gap Pelaksanaan Tera/Tera Ulang UTTP Dengan Perkembangan Penggunaan Alat UTTP di Pasar Tradisional. Menjelaskan
mengenai perbedaan yang terjadi antara pelaksanaan pelayanan
kemetrologian dan penggunaan alat UTTP di pasar tradisional dan
menganalisisnya dengan menggunakan alat analisis gap BAB VII Kesimpulan dan Rekomendasi. Memberikan kesimpulan dan saran
untuk usulan kebijakan terkait upaya peningkatan pelayanan tera/tera
ulang UTTP di pasar tradisional.
6
1.7. Organisasi Analisis ini dilaksanakan oleh peneliti dan staf Pusat Kebijakan Perdagangan
Dalam Negeri yang terdiri dari peneliti pertama, peneliti non fungsional, dan
pembantu peneliti.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Secara umum masyarakat masih belum memahami arti metrologi walaupun
manfaatnya telah dirasakan secara luas. Menurut studi UNCTAD (2004) masih
banyak masyarakat yang tidak dapat membedakan pengertian metrologi (ilmu
pengetahuan tentang ukur-mengukur) dengan meteorologi (ilmu mengenai cuaca
dan prakiraan cuaca).Walau begitu dalam transaksi perdagangan misalnya
masyarakat menggunakan pengukuran sebagai dasar penentuan kuantitas
transaksi.
Dalam studinya UNCTAD (2004) menyatakan bahwa Metrologi adalah ilmu
tentang pengukuran, termasuk didalamnya satuan ukuran beserta standarnya,
instrumen pengukuran dan penerapannya, serta teori dan permasalahan dalam
aplikasi yang berkaitan dengan pengukuran. Pengukuran sangat penting dan
menjadi bagian dari berbagai aktivitas manusia, mulai dari pengawasan produksi,
pengukuran kualitas lingkungan, persyaratan kesehatan dan keselamatan,
persyaratan kesesuaian produk dalam melindungi konsumen dan jaminan
terselenggaranya perdagangan yang terbuka.
Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
1981 tentang Metrologi Legal, definisi dari metrologi adalah ilmu pengetahuan
tentang ukur mengukur secara luas. Metrologi meliputi semua aspek pengukuran
praktis dan teoritis, termasuk juga ketidakpastian pengukuran di bidang aplikasinya.
Manfaat Metrologi dalam kehidupan manusia seperti yang diungkapkan oleh
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Dalam Negeri, BPPP,
Departemen Perdagangan dan Arah Cipta Guna (2007) dapat dijumpai dalam
berbagai bidang antara lain perdagangan, kesehatan, keselamatan dan lingkungan2.
Dalam bidang perdagangan, kegiatan metrologi sangat erat terkait didalamnya.
Dalam transaksi jual beli. Dalam bidang kesehatan misalnya penggunaan monitor
klinis, termometer, alat tekanan darah, electrocardiographs, alat untuk mengukur
irama denyut nadi. Alat-alat ukur kesehatan tersebut harus benar karena
2 Dikutip dari: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Dalam Negeri, BPPP,
Departemen Perdagangan dan Arah Cipta Guna. 2007. Kajian Sistem Metrologi Legal.
8
akanberdampak pada hasil diagnosis yang dilakukan yang pada akhirnya akan
berdampak pada jiwa manusia. Peran Metrologi Legal dalam keselamatan publik
antar lain dalam bidang lalu lintas, yaitu ketepatan ukuran tekanan ban, sistem
kemudi, sistem pengereman, sistem elektrik, isyarat keadaan darurat, dan lain-
lain.Metrologi dapat berperan dengan menyediakan alat ukur yang dapat mengukur
tingkat polusi yang ditimbulkan oleh hal-hal tersebut di atas sehingga pengendalian
polusi dapat lebih efektif dilakukan.
2.1. Kalibrasi Dan Peneraan
Gambar 2.1.Rantai Ketertelusuran
Sumber: Puslitbang Dagri (2007)
Gambar 2.1. memperlihatkan bahwa alat ukur yang digunakan sebagai alat
bantu (misalnya alat bantu transaksi perdagangan) harus mengacu pada standar
tertentu yang lebih akurat. Puncak piramida adalah standard Internasional dimana
Standar Internasional
Standard Primer Nasional
Standard Sekunder
Standard Kerja
Alat Ukur
Standard Primer Negara Lain
Ketidakpastian Pengukuran semakin besar
9
seluruh alat ukur yang ada di dunia ini seharusnya mengacu pada standar tertinggi
ini. Dari standar ini standar yang ada di setiap negara diturunkan. Standar Nasional
digunakan sebagai acuan alat ukur yang ada di suatu negara.
Untuk menjamin ketertelusuran suatu hasil pengukuran, maka alat ukur dan
bahan ukur yang digunakan harus dikalibrasi. Kalibrasi adalah proses
membandingkan hasil pengukuran suatu alat ukur dengan hasil pengukuran alat
ukur standard/acuan. Proses kalibrasi dapat menentukan nilai-nilai yang berkaitan
dengan kinerja suatu alat ukur atau bahan acuan. Hal ini dicapai dengan
perbandingan langsung terhadap suatu standar ukur atau bahan acuan bersertifikat.
Keluaran dari kalibrasi adalah sertifikat kalibrasi. Selain sertifikat, biasanya juga ada
label atau stiker yang disematkan pada alat yang sudah dikalibrasi.
Ada tiga alasan penting mengapa sebuah alat ukur perlu dikalibrasi:
a. Memastikan bahwa penunjukkan alat tersebut sesuai dengan hasil pengukuran
lain.
b. Menentukan akurasi penunjukkan alat.
c. Mengetahui keandalan alat, yaitu bahwa alat tersebut dapat dipercayai.
Gambar 2.2.Tanda Peneraan
Sumber: http://ditjenspk.kemendag.go.id/index.php/public/home/info-linkmetrologi/
Menera adalah hal menandai dengan tanda tera sah atau tanda tera batal,
atau memberikan keterangan-keterangan tertulis yang bertanda tera sah atau tanda
tera batal, dilakukan oleh pegawai-pegawai yang berhak melakukannya berdasarkan
pengujian yang dijalankan atas alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya.
Tera Ulang adalah hal menandai berkala dengan tanda tera sah atau tanda tera
10
batal, atau memberikan keterangan-keterangan tertulis yang bertanda tera sah atau
tanda tera batal, dilakukan oleh pegawai-pegawai yang berhak melakukannya
berdasarkan pengujian yang dijalankan atas alat-alat ukur,takar, timbang dan
perlengkapannya yang telah ditera. Jika alat ukur tersebut memenuhi syarat tertentu
maka pegawai yang berhak akan menandai alat ukur tersebut dengan tanda tera
sah. Sebaliknya, jika alat ukur tersebut tidak memenuhi syarat tertentu maka
pegawai yang berhak akan menandai alat ukur tersebut dengan tanda tera batal.
Bentuk tanda tera dapat dilihat di Gambar 2.2.
2.2. Otoritas Metrologi Untuk mendapatkan hasil pengukuran yang benar telah ditetapkan Otoritas
Metrologi yang diakui sebagai rujukan. Otoritas metrologi terbagi dalam tiga bidang:
bidang metrologi ilmiah dalam hal kebenaran ilmiah menjadi tanggung jawab Pusat
Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi dan Metrologi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (Puslit KIM-LIPI); bidang metrologi legal dalam hal pengukuran yang
berkaitan dengan regulasi menjadi tanggung jawab Direktorat Metrologi Kementerian
Perdagangan, dan bidang akreditasi laboratorium dalam hal menentukan
kompetensi suatu laboratorium untuk melakukan pengukuran (baik pengujian
maupun kalibrasi) menjadi wewenang Komite Akreditas Nasional (KAN).
Direktorat Metrologi Kementerian Perdagangan Republik Indonesia memiliki
tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standardisasi dan
bimbingan teknis, pengawasan serta evaluasi di bidang Kemetrologian. Adapun
fungsinya meliputi3: a) penyiapan perumusan kebijakan; b) penyiapan perumusan
standar, norma, kriteria, dan prosedur; c) bimbingan dan pelaksanaan teknis; d)
pengawasan dan evaluasi pelaksanaan di bidang sarana dan tenaga, standar
ukuran dan laboratorium, teknik, pengawasan dan penyuluhan serta kerjasama
kemetrologian; e) pelaksanaan urusan tata persuratan dan rumah tangga Direktorat.
Dengan demikian secara garis besar, tugas pokok dan fungsi Direktorat Metrologi
adalah mengelola standar ukuran dan satuan ukuran, melaksanakan tera dan tera
3www.djpdn.go.id.Tupoksi Direktorat Metrologi.
11
ulang UTTP, melakukan pengawasan UTTP dan BDKT serta penyuluhan
kemetrologian.
Pada era otonomi daerah dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kewenangan dalam pelaksanaan dan
pengawasan metrologi legal berada di daerah (Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/
Kota). Untuk memfasilitasi pelayanan kemetrologian legal di daerah dibentuk Unit
Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Metrologi Legal sebagai unsur pelaksana tugas
teknis di bidang metrologi legal di daerah.
Pada era otonomi ini terdapat permasalahan umum pelayanan metrologi legal.
Pemerintah Daerah menganggap kegiatan tera dan tera ulang sebagai sumber PAD,
sehingga penganggaran untuk dinas atau UPT yang membidangi metrologi legal
didasarkan pada besarnya penerimaan retribusi dari kegiatan tera ulang UTTP. Hal
ini mengakibatkan investasi dan pemeliharaan laboratorium atau peralatan menjadi
sangat terbatas, dan pada akhirnya akan menurunkan kapasitas institusi tersebut
untuk melakukan pengawasan penggunaan UTTP yang digunakan oleh pelaku
usaha di wilayahnya. Perlu ada perubahan paradigma dari pemerintah Propinsi/
Kabupaten/ Kota bahwa kegiatan Metrologi Legal harus ditekankan pada upaya
untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dan sekaligus menumbuhkan
iklim berusaha yang sehat4.
2.3. SDM Metrologi Dalam rangka mewujudkan pelayanan yang prima di bidang kemetrologian
perlu didukung pengembangan sumber daya manusia kemetrologian yang kompeten
dan memadai. Menurut Suparno (2001:27), Kompetensi adalah kecakapan yang
memadai untuk melakukan suatu tugas atau memiliki ketrampilan dan kecakapan
yang disyaratkan. Dikaitkan dengan kemetrologian, SDM kemetrologian yang
kompeten adalah SDM yang memiliki kecakapan yang memadai untuk melakukan
suatu tugas atau memiliki ketrampilan dan kecakapan kemetrologian yang
disyaratkan. SDM kemetrologian yang memadai diartikan upaya untuk memenuhi
persyaratan kuantitas dan kualitas pelayanan kemetrologian.
4Kajian Sistem Metrologi Legal, 2007
12
Menurut Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor
48/M.DAG/PER/12/2010 tentang pengelolaan sumber daya kemetrologian jenis
SDM kemetrologian meliputi: Penera, Pegamat Tera, Pranata Laboratorium
Kemetrologian dan Penyidik Pegawai Negerei Sipil (PPNS) Metrologi Legal. penera
adalah pegawai berhak dalam proses menandai dengan tanda tera sah atau tanda
tera batal yang berlaku ataumemberikan keterangan tertulis yang bertanda tera sah
atau tanda terabatal yang berlaku berdasarkan pengujian yang dijalankan atas
UTTP. Pengamat tera bertugas melakukan pengawasan terhadap UTTP,BDKT, dan
SI. Pranata laboratorium kemetrologian bertugas melakukan pengelolaan standar
ukuran dan laboratorium kemetrologian untuk menjamin kesesuaian dengan
peraturan dan persyaratan yang berlaku serta ketertelusuran standar di tingkat
nasional atau internasional.PPNS Metrologi Legal bertugas melakukan penyidikan
tindak pidanaUndang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal5.
Kompetensi SDM dinilai memadai untuk melaksanakan tugas rutin
kemetrologian, tapi sulit untuk melakukan inovasi dalam rangka pengembangan
sistem Metrologi Legal. Hal ini disebabkan pola rekruitmen tenaga fungsional kurang
maksimal, karena direkruit dari pegawai dinas yang ada, sehingga pilihan kandidat
menjadi sangat terbatas. Untuk itu, pada masa mendatang pola rekruitmen tenaga
fungsional dilakukan dari kandidat umum dengan kualifikasi yang tinggi, sehingga
tenaga penera yang dihasilkan memiliki daya inovasi yang lebih baik
Pengembangan SDM metrologi selama ini dinilai kurang memadai, baik diukur
dari jumlah dan intensitasnya. Kurangnya pengembangan SDM disertai
berkurangnya jumlah SDM fungsional karena memasuki usia pensiun
mengakibatkan kinerja unit metrologi daerah relatif mengalami penurunan. Hal inilah
yang menjadi penyebab para pemangku kepentingan menilai pengembangan SDM
metrologi sangat mendesak untuk dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah
Propinsi dan Kabupaten/ Kota.
Permasalahan SDM dalam melaksanakan kegiatan tera dan tera ulang tentu
akan berdampak pada layanan yang sanggup diberikan. Sebagai informasi bahwa di
tahun 1998 kemampuan penera dalam menera atau tera ulang mencapai 19.000 5Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 48/M.DAG/PER/12/2010 tentang
pengelolaan sumber daya kemetrologian.
13
UTTP per penera per tahun sedangkan tahun 2006 turun menjadi 6.739 UTTP per
penera per tahun6.
2.4. Penelitian Terdahulu Di negara berkembang seperti Indonesia, pertumbuhan populasi masih cukup
besar. Pertumbuhan ini akan berdampak pada perdagangan dan pasar sebagai
fasilitas untuk mempertemukan pedagang dan konsumen.
Di daerah perkotaan, pertumbuhan akibat urbanisasi juga menambah
kontribusi bagi pertumbuhan penduduk. Pendapatan penduduk perkotaan relatif
didominasi oleh bertumbuhnya pendapatan penduduk golongan menengah atas.
Pertumbuhan golongan menengah atas ini telah memberikan insentif bagi para
pelaku usaha untuk mengembangkan pasar modern. Bagi golongan menengah atas
pasar modern lebih menarik karena alasan kualitas, keamanan, dan pelayanan yang
lebih baik (Mc Cullough et al, 2009).
Walaupun saat ini perkembangan pasar tradisional relatif lebih kecil
dibandingkan pasar modern namun hampir 80% rumah tangga Indonesia
memperoleh bahan kebutuhan pokoknya melalui transaksi perdagangan barang di
pasar tradisional (KPPU dikutip dari AC Nielsen, 2009). Kontribusi yang besar untuk
pemenuhan kebutuhan konsumen ini memberikan alasan bagi pemerintah untuk
tetap mendukung keberadaan pasar tradisional. Dukungan ini dapat dilihat dari
dikeluarkannya beberapa kebijakan di sektor perdagangan terutama yang terkait
dengan pasar tradisional, serta program-program yang ditujukan untuk
merealisasikan regulasi yang dibuat.
Salah satu kebijakan yang mendukung pasar tradisional yaitu kebijakan
Kementerian Perdagangan mengenai Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi
Khusus Sarana Perdagangan (Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 86/M-
DAG/PER/12/2012). Realisasi kebijkan ini adalah dibuatnya beberapa program
perkuatan sarana perdagangan seperti program Pasar Tertib Ukur, pasar
percontohan, dan program peningkatan sarana Metrologi Legal.
6Kajian Sistem Metrologi Legal, 2007
14
Pelaksanaan tertib ukur akan memberikan dampak positif bagi perkembangan
pasar tradisional. Sucofindo (2013) sedikitnya menyebutkan ada tiga manfaat yang
diperoleh dari pembentukan pasar tertib ukur antara lain: (1) Meningkatkan citra
pasar tradisional melalui kebenaran hasil pengukuran; (2) Meningkatkan
pemahaman dan kesadaran pedagang/pengguna dan pemilik UTTP serta pengelola
pasar dalam membangun kepercayaan masyarakat; dan (3) Mendorong pemerintah
daerah untuk meningkatkan pelayanan kemetrologian dalam rangka perlindungan
konsumen.
Untuk tercapainya pasar tertib ukur pemerintah sudah mengeluarkan
kebijakan-kebijakan. Dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1985 tentang Wajib
dan Pembebasan Untuk Ditera dan/atau Ditera Ulang Serta Syarat-Syarat Bagi Alat-
Alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya, dan Peraturan Menteri
Perdagangan No. 08/M-DAG/PER/3/2010 tentang Alat-Alat Ukur, Takar, Timbang,
dan Perlengkapannya (UTTP) Yang Wajib Ditera dan Ditera Ulang, dan Surat
Edaran Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Nomor
01/SPK/SE/5/2011 tentang Tera UTTP mengamanatkan agar UTTP yang secara
langsung atau tidak langsung digunakan atau disimpan dalam keadaan siap pakai
untuk keperluan menentukan hasil pengukuran, penakaran, atau penimbangan wajib
ditera atau ditera ulang. Kedua kebijakan tersebut sebagai regulasi turunan dari
Undang-Undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.
Dari peraturan tersebut di atas secara tersirat terlihat bahwa peran metrologi
untuk mendukung peningkatan pelayanan di pasar tradisional adalah hal yang
penting. Pasar Tertib Ukur, serta peningkatan sarana Metrologi Legal sebagai
program kerja membuktikan hal tersebut. Pada sebuah pasar (khususnya pasar
tradisional) perlindungan tertib ukur arahnya bukan hanya ke konsumen namun juga
ke produsen. Untuk itu pelayanan pemerintah untuk mendukung terciptanya tertib
ukur harus terlaksana. Pemerintah yang memangku tugas kemetrologian baik pusat
maupun daerah tentu harus memiliki kapasitas yang cukup dan dapat mengikuti
perkembangan UTTP di pasar tradisional sebagai salah satu beban kerjanya.
Untuk mengetahui seberapa besar layanan yang harus dilakukan pemerintah
yang dalam hal ini kemetrologian, dalam melayani kemetrologian untuk pasar
tradisional, tentu harus didukung data perkembangan UTTP di daerah. Namun yang
15
menjadi kendala hingga saat ini ternyata tidak ada data perkembangan UTTP di
pasar tradisional.
Namun demikian survey yang dilakukan oleh Sucofindo di tahun 2011 telah
menghasilkan perhitungan dugaan jumlah UTTP yang beredar di pasar tradisional.
Informasi survey Sucofindo menyatakan bahwa dari 11 jenis UTTP diperkirakan
sebanyak 7.737.904 UTTP terdapat di pasar tradisional. Dugaan jumlah UTTP
terbanyak dapat dijumpai pada pasar tradisional di wilayah Jawa Barat yakni
2.007.397 unit atau sekitar 26% dari dugaan nasional. Jenis UTTP yang paling
banyak beredar adalah anak timbangan dengan dugaan berjumlah 5.411.338 unit
atau sekitar 69,93% dari total UTTP. Jenis kedua yang banyak beredar yakni
timbangan meja beranger dengan hasil dugaan sebanyak 1.172.042 unit atau sekitar
15.15% dari total UTTP dan paling banyak beredar pada pasar tradisional di Jawa
(Sucofindo; 2013).
Dari 7.737.904 UTTP yang beredar di pasar tradisional, hasil sucofindo
menunjukkan 53% tanda tera dari UTTP ditemukan dalam kondisi bagus. Sementara
selebihnya dalam kondisi tidak tampak (38.67%), rusak (3.74%), bahkan ada
beberapa yang sudah putus (1.67%) dan sekitar 3% tidak ada keterangan.
Berdasarkan tanda tera akhir, hanya sekitar 40% UTTP yang bertanda tera sah
(bertanda setahun terakhir), sementara sisanya ditera lebih dari setahun yang lalu
(Sucofindo; 2013).
Penerbitan sejumlah regulasi di bidang kemetrologian secara tersirat
menunjukkan bahwa metrologi memiliki peran yang signifikan dalam mendukung
peningkatan pelayanan di pasar tradisional. Dengan demikian, pemerintah yang
memangku tugas kemetrologian baik pusat maupun daerah tentu harus memiliki
kapasitas yang cukup dan dapat mengikuti perkembangan UTTP di pasar
tradisional.
Namun, Secara umum pelayanan unit Metrologi Legal di Indonesia (khususnya
di luar Jawa) mengalami penurunan kapasitas sejak masa otonomi daerah, akibat:
a. Kurangnya kepedulian pemerintah Propinsi/ Kabupaten/ Kota dalam
mengembangkan unit metrologi, yang ditunjukkan dengan besaran APBD yang
kurang memadai,
b. Adanya persepsi bahwa unit metrologi legal semata-mata sebagai sumber
retribusi PAD,
16
c. Penurunan jumlah SDM akibat pensiun atau rotasi kerja lintas instansi, dan
keterbatasan pengembangan kompetensi SDM metrologi daerah,
d. Peralatan dan standar kerja yang kurang memadai jika dibandingkan dengan
perkembangan jumlah UTTP yang pesat di masyarakat, serta
e. Kerjasama antar unit metrologi daerah dinilai pada tingkat yang sangat rendah,
padahal dunia kemetrologian menuntut intensitas kerjasama dan saling
pengakuan yang tinggi antar unit metrologi.
Banyaknya kelembagaan metrologi daerah yang berbentuk UPTD mendorong
unit metrologi daerah lebih fokus pada layanan tera dan tera ulang UTTP, dan
meminimalkan kegiatan pengawasan terhadap pelanggaran UUML. Pemerintah
daerah berkecenderungan melakukan kegiatan yang dapat menghasilkan PAD
secara langsung daripada kegiatan yang hanya membebani keuangan daerah,
seperti: penyuluhan, bimtek, dan pengawasan kemetrologian.
Penurunan kegiatan pengawasan ini dipicu oleh berbagai faktor antara lain: (1)
interpretasi terhadap SK Menteri PAN Nomor 106 yang membatasi UPTD
melakukan kegiatan pengawasan, (2) interpretasi terhadap SK Menteri Dalam
Negeri Nomor 6 tahun 2003 tentang Pembinaan PPNS Daerah yang hanya
mengijinkan untuk menyidik pelanggaran Peraturan Daerah, bukan pelanggaran
undang-undang, (3) adanya eforia reformasi yang membuat masyarakat ’merasa’
lebih berdaya dan ’aparat menjadi ragu bertindak’, (4) pimpinan daerah dan kepala
dinas yang lebih menekankan sisi penerimaan PAD yang dapat dihasilkan oleh
kegiatan tera dan tera ulang UTTP, sehingga kurang memprioritaskan kegiatan
pengawasan, (5) keterbatasan personil, sarana dan anggaran untuk kegiatan
pengawasan kemetrologian, dan (6) tidak adanya tupoksi pengawasan dalam UPTD
Metrologi di banyak daerah.
Berlakunya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan aturan pelaksanaannya berupa Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun
2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2007 dinilai berdampak besar
terhadap kelembagaan unit metrologi daerah pada masa mendatang. Peraturan
pemerintah ini memberikan kemungkinan bagi pemerintah Kabupaten/ Kota untuk
membentuk unit metrologinya, sehingga penataan kelembagaan metrologi daerah
sangat strategis dalam pengembangan sistem metrologi legal di Indonesia pada
masa mendatang (Kajian Sistem Metrologi Legal, 2007).
17
BAB III METODOLOGI
3.1. Kerangka Pemikiran Kendati jumlah pasar modern dan retail modern semakin banyak, terutama di
kota-kota besar Indonesia, namun Pasar Tradisional masih merupakan tempat
berbelanja barang yang utama bagi masyarakat Indonesia. AC Nielsen, seperti
dikutip oleh KPPU pada tahun 2009 menunjukkan bahwa masih sekitar 80% rumah
tangga Indonesia terlibat dengan pasar tradisional untuk memperoleh barang dan
bahan kebutuhan pokoknya. Hal ini menunjukkan besarnya peran pasar tradisional
dalam transaksi perdagangan barang dan kehidupan masyarakat Indonesia sehari-
hari.
Jika kenyataan ini dihubungkan dengan Undang-Undang nomor 2 Tahun 1981
tentang Metrologi Legal yang mewajibkan kebenaran ukuran, takaran, timbangan
atau jumlah barang yang diperdagangkan untuk umum7 , dan Peraturan Menteri
Perdagangan R.I. Nomor : 08/M-DAG/PER/3/2010 tentang Alat-Alat Ukur, Takar,
Timbang, Dan Perlengkapannya (UTTP) Yang Wajib Ditera Dan Ditera Ulang, Pasal
2 ayat (1) dan Pasal 6 yang mewajibkan mengenai tera/tera ulang dari UTTP yang
digunakan untuk kepentingan umum8 , maka akan tampak bahwa masalah-masalah
yang berhubungan dengan pelayanan tera/tera ulang, penggunaan, dan
pengawasan alat UTTP di pasar tradisional, masih amat relevan untuk terus
diamati/dikaji dalam kerangka perdagangan barang dan perlindungan konsumen.
7Dilarang menjual, menawarkan untuk dibeli, atau memperdagangkan dengan cara apapun
juga, semua barang menurut ukuran, takaran, timbangan atau jumlah selain menurut ukuran yang sebenarnya, isi bersih, berat bersih atau jumlah yang sebenarnya
8UTTP yang wajib ditera dan ditera ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a adalah UTTP yang secara langsung atau tidak langsung digunakan atau disimpan dalam keadaan siap pakai untuk keperluan menentukan hasil pengukuran, penakaran, atau penimbangan untuk: a. kepentingan umum; b. usaha; c. menyerahkan atau menerima barang; d. menentukan pungutan atau upah; e. menentukan produk akhir dalam perusahaan; atau f. melaksanakan peraturan perundang-undangan
18
Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran
Pasar Tradisional
Perdagangan Barang
Pembeli/ Konsumen
Pedagang
Penggunaan UTTP
Tera, Tera Ulang, Pengawasan, Kebenaran
Akurasi dan Reliabilitas UTTP
Tujuan: Keadilan
Tujuan: Perlindungan
konsumen
UPTD Provinsi/ UPTD Kabupaten/Kota
• Pengetahuan • Kesadaran
• Pengetahuan • Kepedulian
Kapasitas: • Peralatan/ Sarana
Prasarana • Kecukupan UTTP
Pengganti • Jumlah dan kompetensi
SDM
Sanksi dan penegakan
aturan
• UU no. 2/81 tentang Metrologi Legal
• Peraturan perundangan lain
Permintaan terhadap Pelayanan Tera/Tera Ulang UTTP Timbangan Meja dan Pegas
Pasokan terhadap Pelayanan Tera/Tera Ulang UTTP Timbangan Meja dan Pegas
GAP Pelayanan Tera/Tera Ulang UTTP Timbangan Meja dan Pegas
• Hambatan –hambatan
• Faktor pasokan
• Faktor permintaan
• Permendag no. 86/2012 tentang DAK Sarana Perdagangan; mengenai peningkatan sarana metrologi legal
19
Sesuai dengan tujuan analisis yang ingin mengevaluasi dan menganalisis gap
pelaksanaan pelayanan tera/tera ulang UTTP di pasar tradisional, maka analisis ini
diharapkan memperoleh gambaran-gambaran mengenai:
1. Jumlah UTTP, khususnya timbangan meja dan timbangan pegas, di pasar
tradisional. Informasi ini digunakan untuk menggambarkan jumlah dan
perkembangan timbangan yang digunakan oleh pedagang di pasar
tradisional.Informasi-informasi ini berasal dari data sekunder yang diperoleh dari
Dinas Perdagangan, UPTD metrologi legal, dan pengelola pasar setempat.
2. Kapasitas UPTD metrologi legal daerah untuk melaksanakan pelayanan
tera/tera ulang UTTP, pengawasan, dan penyuluhan di pasar tradisional.
Informasi ini diperoleh dari UPTD Metrologi Legal.
3. Gap/Selisih antara permintaan dan kapasitas pelayanan tera/tera Ulang UTTP di
pasar tradisional.
Gap pelayanan tera/tera ulang UTTP pada suatu wilayah ditentukan oleh
selisih antara Permintaan dan Pasokan terhadap pelayanan tera/tera ulang UTTP di
wilayah tersebut. Secara umum, Permintaan pelayanan tera/tera ulang ditentukan
oleh jumlah UTTP yang ada di wilayah tersebut, sedangkan jumlah pasokan
pelayanan tera/tera ulang ditentukan oleh kapasitas instansi UPTD Metrologi Legal
dan Dinas Perdagangan di daerah dalam menyediakan pelayanan tera/tera ulang
tersebut.
Disamping ketiga informasi tersebut, analisis juga diarahkan untuk
memperoleh informasi-informasi tambahan mengenai:
1. Hambatan yang dihadapi oleh daerah dalam upaya pelayanan, pengawasan dan
penegakan aturan metrologi legal, khususnya berkenaan dengan kegiatan
tera/tera ulang UTTP timbangan di daerah.
2. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi jumlah permintaan dan kapasitas
pasokan pelayanan tera/tera ulang UTTP di daerah.
3. Pendapat UPTD Metrologi Legal terhadap implementasi Peraturan Menteri
Perdagangan RI No. 86/M-DAG/PER/12/2012 tentang Petunjuk Teknis
Penggunaan Dana Alokasi Khusus Sarana Perdagangan di daerah sampel.
Apakah implementasi Peraturan Menteri Perdagangan ini dinilai meningkatkan
20
kapasitas daerah dalam melakukan pengawasan, penyuluhan, dan pelayanan
metrologi legal (khususnya tera/tera ulang UTTP) di daerahnya.
3.2. Data dan Sumber Data Data dan informasi yang dibutuhkan dalam analisis ini kemudian diolah
menjadi petunjuk dalam melakukan: Menurunkan butir pertanyaan yang akan
muncul dalam instrumen analisis; Mengidentifikasikan sumber informasi yang perlu
didatangi; dan Menyusun strategi untuk memperoleh data/informasi tersebut. Hasil
penurunan butir kuesioner kemudian didokumentasikan dalam 3 buah kuesioner
yaitu: 1) Kuesioner UPTD Metrologi Legal, 2) Kuesioner Pengelola Pasar, dan 3)
Kuesioner Pedagang.
3.3. Responden dan Sampling Memperhatikan elaborasi kebutuhan informasi diatas, tampak bahwa sumber
informasi adalah UPTD Metrologi Legal di daerah Kajian, Pengelola Pasar
Tradisional yang diamati di daerah kajian, dan Pedagang Pasar Tradisional
pengguna timbangan yang ada di pasar yang diamati.
Tabel 3.1. Key Person/Responden, Instrumen, dan Metode Pengumpulan Data
Key Person/Responden
Instrumen Metode
• Unit pelayanan teknis daerah (UPTD) pelayanan metrologi legal Provinsi
• Kuesioner UPTD Metrologi Legal
• Wawancara
• FGD
• Instansi/Lembaga yang membawahi pengelolaan Pasar tradisional di Kabupaten/Kota
• Kuesioner Pengelola Pasar • Wawancara
• FGD
• Pedagang pasar • Kuesioner pedagang • Wawancara
• Uji ulang timbangan menggunakan anak timbangan standar 1 kg
21
3.4. Sampling
a. Daerah Sampel Analisis ini dilakukan di tiga daerah, yaitu di Bandung, Denpasar, dan Ternate.
Dipilihnya daerah penelitian tersebut dengan pertimbangan, antara lain
perkembangan kegiatan usaha perdagangan di pasar tradisional dan jumlah UTTP
yang beredar relatif besar yaitu Bandung dan Denpasar. Sedangkan Ternate dipilih
sebagai representasi daerah dengan jumlah penggunaan alat UTTP relatif rendah.
b. Metode sampling
• Daerah sampel ditentukan secara purposive dengan memperhatikan ragam dan
jumlah UTTP di masing-masing daerah. Secara umum, daerah sampel dipilih
mewakili daerah dengan kapasitas perdagangan dan jumlah UTTP relatif tinggi
(Bandung), menengah (Denpasar), dan daerah dengan kapasitas perdagangan
dan jumlah UTTP relatif rendah (Ternate).
• Key Person Unit Pelayanan Teknis Daerah dan Pengelola Pasar dipilih secara
purposive.
• Responden Pedagang, jika pengelola pasar memiliki data yang lengkap, maka
responden Pedagang akan dipilih secara proporsional acak. Dimana proporsi
pedagang diharapkan mewakili jumlah kategori barang daging, ikan, sayur, dan
bahan kering. Responden pedagang dalam masing-masing kategori kemudian
dipilih menggunakan angka acak. Namun jika pengelola pasar tidak ada, atau
tidak memiliki data pedagang, maka responden pedagang akan dipilih secara
purposive dengan tetap memperhatikan keterwakilan kategori barang tersebut.
c. Ukuran Sampel
Key Person Instansi: Diwakili oleh Direktur/ Kepala/ perwakilan yang ditunjuk
dari instansi yang bersangkutan.
Responden Pasar: Pada satu Kota akan dipiih 2 pasar tradisional. Jika di
daerah tersebut telah ada pasar dengan predikat Pasar Tertib, maka salah satu
pasar diupayakan merupakan perwakilan dari pasar tertib tersebut. Pasar yang
dipilih merupakan pasar yang tetap (memiliki pengelola pasar, bukan pasar
22
berpindah, pasar “kaget”, atau pasar sementara).Daftar pasar terpilih pada masing-
masing wilayah survey dapat dilihat dalam tabel 3.3.
Responden Pedagang: Jumlah pedagang pasar tradisional amat bervariasi
antara 50 hingga bisa lebih dari 3000 pedagang, dengan status pedagang yang
berbeda-beda (Kios, Los/Emper, dan Pedagang Kaki Lima-PKL). Untuk itu, mungkin
pasar perlu dibagi menurut ukuran jumlah pedagang menjadi pasar kecil (jumlah
pedagang kurang dari 200), pasar menengah (jumlah pedagang antara 200-600,
dan pasar besar (jumlah pedagang antara 600-1000), dan pasar Induk (jumlah
pedagang lebih dari 1000). Pada pasar Kecil dan Menengah, ukuran sampel
ditetapkan 10% dari populasi pedagang yang menjual ikan, daging, sayur, dan
bahan kering, yang ada di Kios, Los, dan PKL. Sedangkah pada pasar Besar dan
Induk, ukuran sampel ditetapkan 5% dari populasi.
Tabel 3.2. Daftar Pasar Sampel
Daerah Nama Pasar Kategori Pasar Jumlah sampel pedagang
Denpasar-Bali 1. Pasar Agung Pasar Tertib 11 2. Pasar Badung Pasar Biasa 37
Bandung-Jawa Barat 1. Pasar Kosambi Pasar Biasa 20 2. Pasar Anyar Pasar Biasa 22
Ternate-Maluku Utara 1. Pasar Kie Raha Pasar Tertib 18 2. Pasar Bastiong Pasar Tertib 35
3.5. Metode Pengumpulan Data Data terdiri dari data sekunder dan data primer. Sebagian data yang
menjelaskan dimensi Kapasitas UPT Metrologi dalam melakukan penyuluhan,
pengawasan, dan tera timbangan merupakan data sekunder yang diambil dari profil
kelembagaan UPTD metrologi di daerah.
Sedangkan data primer merupakan data yang diperoleh melalui survey
(pengamatan atau wawancara dengan menggunakan kuesioner yang dipersiapkan
terlebih dahulu) langsung kepada responden. Data primer yang dikumpulkan
meliputi (1) dari UPT Metrologi Legal Daerah: update terhadap data kapasitas UPT
Metrologi Legal daerah terutama dari sisi kapasitas SDM dan sarana, serta informasi
23
mengenai hambatan dalam pelaksanaan pelayanan, pengawasan, dan penyuluhan
metrologi legal di wilayah kerjanya; (2) Dari Pedagang: profil identitas pedagang,dan
kondisi, status, dan pemenuhan standar timbangan milik pedagang; (3) Dari
Pengelola Pasar: profil pasar.
Untuk menjamin data yang dikumpulkan mudah ditabulasi, diolah dan
dianalisis, maka digunakan instrumen pengumpulan data berupa wawancara dengan
panduan Kuesioner dan pengamatan langsung terhadap penggunaan alat UTTP di
pasar tradisional. Data primer juga dikumpulkan melalui pelaksanaan FGD (focus
group discussion) di daerah kajian yang dihadiri oleh pemangku kepentingan (1)
UPT Metrologi Legal Provinsi/Kabupaten/Kota sebagai penyedia layanan, (2) Dinas
Perdagangan sebagai mitra penyedia pengawasan dan penyuluhan serta urusan
perdagangan secara umum, (3) Pengelola pasar, (4) Konsumen yang diwakili oleh
Yauasan Lembaga Konsumen setempat.
3.6. Metode Pengolahan Data Dan Analisis Data
a. Tabulasi dan Metode Pengolahan Data
Data yang terkumpul kemudian diklasifikasikan berdasarkan kategori
responden, daerah penelitian dan wilayah penelitian, dan selanjutnya dilakukan
tabulasi data berdasarkan klasifikasi yang ditetapkan. Tabulasi dilakukan dengan
bantuan spreadsheet untuk memudahkan pengolahan data lebih lanjut
b. Analisis Data
Memperhatikan kebutuhan informasi yang ada, maka sebagian besar data
diolah secara deskriptif, seperti menggunakan perhitungan proporsi, distribusi
frekuensi, grafik, dan penyajian dalam bentuk matriks sebaran atau tabulasi silang
(crosstab). Pada beberapa bagian, data diolah dan dianalisis secara inferensial,
terutama untuk melihat pengaruh perbedaan wilayah, jenis pasar, tingkat kapasitas
UPT metrologi daerah. Analisis inferensial yang digunakan adalah analisis Chi-
square, dan uji beda dua rata-rata melalui ANOVA.
24
Tabel 3.3. Metode Analisis dan Sumber Data
Tujuan Analisis Sumber Informasi Sumber Keluaran Alat Bantu/Analisis
Mengevaluasi pelaksanaan wajib tera dan tera ulang UTTP.di pasar tradisional
Pedagang • Data primer: Pengamatan, wawancara, Pengamatan tanda tera sah, hasil uji beban
• Jenis timbangan yang digunakan.
• Status tera timbangan saat pengamatan
• Proporsi timbangan sudah ditera namun tidak memenuhi standar
• Hambatan dalam melakukan tera ulang timbangan
• Statistik deskriptif (distribusi frekuensi, diagram batang, tabel, tabulasi silang)
• Statistik inferensial uji beda 2 rata-rata, uji Chi Square.
UPTD metrologi legal daerah
• Data primer Survey-wawancara: kuesioner bagi pengelola UPTD metrologi legal
• Focus Group Discussion bersama pemangku kepentingan di daerah.
• Data sekunder profil kelembagaan UPT Metrologi daerah pada Dir Metrologi dan Balai Metrologi
• Gambaran kapasitas SDM, anggaran, sarana prasarana pelayanan tera/tera ulang UTTP
• Pelaksanaan pembinaan, pengawasan dan pelayanan tera/tera ulang UTTP
• Pendapat berhubungan dengan kelembagaan, harmonisasi peraturan, kapasitas UPT, koordinasi
• Hambatan dalam pelayanan tera/tera ulang
•
Menganalisis gap pelaksanaan metrologi legal dengan perkembangan penggunaan alat UTTP di pasar tradisional.
Hasil Evaluasi • Hasil pengolahan data
• Diskusi
• Gambaran pertumbuhan UTTP di daerah
• Gambaran arah pertumbuhan kapasitas UPTD dalam melaksanakan tera/tera ulang UTTP
• Perbandingan kapasitas dengan pertumbuhan UTTP
• Matriks Analisis gap antara populasi dan kapasitas UPT Metrologi Legal di daerah kajian
25
Tujuan Analisis Sumber Informasi Sumber Keluaran Alat Bantu/Analisis
Merumuskan usulan kebijakan tertib ukur dalam rangka perlindungan konsumen.
Analisis gap • Masukan dari survey-wawancara: kuesioner bagi pengelola UPT metrologi legal dan dinas yang membawahi urusan perdagangan di daerah.
• Focus Group Discussion bersama pemangku kepentingan di daerah.
• Hasil analisis gap
• Usulan solusi, kebijakan, yang dapat ditempuh untuk mengatasi gap pelaksanaan tera/tera ulang UTTP
•
3.7. Tahapan Pelaksanaan Analisis Berdasarkan tujuan dan ruang lingkup penelitian, serta kerangka pemikiran di
atas, maka langkah-langkah penelitian sebagai berikut:
a. Tahap persiapan mencakup rangkaian kegiatan: melakukan koordinasi tim
peneliti, melakukan pendalaman kajian literaratur sebagai landasan teoritis dan
akademis pelaksanaan penelitian, dan perumusan dan mempertegas tujuan
penelitian dengan berkonsultasi dengan Direktorat Metrologi serta inventarisasi
permasalahan dalam pelaksanaan tera dan tera ulang UTTP.
b. Tahap penyusunan desain analisis dan penyusunan instrumen penelitian,
termasuk melakukan uji kuesioner dan uji kesesuaian instrumen dengan tujuan
penelitian serta melakukan pembahasan desain analisis.
c. Tahap pengumpulan data, baik data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data dilakukan di 6 kota yang memiliki unit pelayanan metrologi
daerah di 6 propinsi yang dipilih berdasarkan potensi ekonomi, klasifikasi unit
metrologi daerah (besar, menengah dan kecil) yang dapat merepresentasikan
kegiatan ekonomi di wilayah Indonesia (barat, tengah dan timur).
d. Tahap pengolahan data, yang mencakup kegiatan tabulasi dan pengolahan
data observasi dan survei lapangan, data dan informasi hasil diskusi kelompok,
serta data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai instansi.
26
e. Tahap analisis dan interpretasi data. Hasil pengolahan data dianalisis
dengan menggunakan pendekatan analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif
serta melakukan interpretasi dan pembahasan hasil analisis data.
f. Tahap perumusan kesimpulan dan rekomendasi. Berdasarkan hasil analisis
data dan interpretasinya ditarik kesimpulan serta penyusunan rekomendasi.
27
BAB IV GAMBARAN PELAYANAN TERA/TERA ULANG UTTP
4.1.Gambaran Responden Survey Secara umum, responden pedagang berimbang antara yang berjenis kelamin
laki-laki (45,5%) dan yang perempuan (54,5%). Sebagian besar pedagang di pasar
tradisional berusia diatas 35 tahun (86%). Dan lebih dari separuhnya sudah
berdagang lebih dari 10 tahun (66,3%).
Dari sisi jenis kelamin, meskipun secara umum, jumlah responden pedagang
laki-laki realtif sama dengan pedagang perempuan, namun pandangan kepada
masing-masing pasar menunjukkan bahwa di Denpasar pedagang didominasi oleh
perempuan, di Bandung relatif lebih banyak pedagang Laki-laki, sedangkan di
Ternate relatif seimbang jumlahnya.
Sumber: Data diolah
Gambar 4.1. Jenis Kelamin, Usia Pedagang, dan Lama Berdagang
28
Barang dagangan responden adalah ikan (14,3%), daging ayam, sapi, dan
babi (17,9%), sayuran (25,7%) dan bahan kering lainnya seperti bumbu, ikan kering,
beras, kerupuk, dll sebesar (42,1%).
Tempat berjualan responden secara umum ada di kios dan los, status tempat
berjualan ini kebanyakan adalah sewa (72%) dan sisanya adalah milik.Semua
responden berada di dalam lingkungan pasar (100%).
Sumber: Data Diolah
Gambar 4.2. Tempat Berdagang, Status Tempat Berdagang, dan Lokasi Berdagang
a. Penggunaan Timbangan
Secara umum, timbangan yang paling populer untuk digunakan di pasar
tradisional adalah Timbangan Meja Beranger dan Timbangan Pegas. Namun jika
dilihat data per daerah, maka akan tampak bahwa masing-masing daerah memiliki
karakteristik sendiri-sendiri. Pedagang di Denpasar dan Bandung tampak lebih
29
menyukai timbangan meja beranger, sedangkan pedagang di Ternate tidak
menggunakan timbangan meja beranger dan lebih memilih timbangan pegas.
Sumber: Data Diolah
Gambar 4.3. Penggunaan Timbangan di Denpasar, Bandung, dan Ternate
Alasan penggunaan timbangan dapat dilihat dalam gambar 4.6.Secara umum,
faktor yang mempengaruhi pemilihan timbangan adalah (1) kemudahan
pengoperasian dan (2) kesesuaian/ kecukupan kapasitas.
Jika dilihat masing-masing jenis timbangan, maka tampak bahwa:
Alasan pemilihan timbangan Meja beranger adalah (1) kemudahan pengoperasian,
(2) kecukupan kapasitas, (3) keawetan, (4) harga, (5) sudah lebih dulu dimiliki.
Alasan pemilihan timbangan Pegas adalah (1) kemudahan pengoperasian.
Alasan pemilihan timbangan Dacin adalah (1) kecukupan kapasitas.
Alasan pemilihan timbangan Bobot Ingsut adalah (1) kecukupan kapasitas, (2)
keawetan.
Alasan pemilihan timbangan Sentisimal adalah (1) kecukupan kapasitas, (2)
kemudahan pengoperasian.
Alasan pemilihan timbangan Elektronik adalah (1) kemudahan pengoperasian, (2)
ketelitian, dan (3) kecukupan kapasitas.
Secara umum tampak bahwa pedagang telah menyesuaikan kebutuhan
dengan jenis timbangannya.
30
Sumber: Data Diolah
Gambar 4.4. Alasan Penggunaan Timbangan
b. Jangkauan Pelayanan Tera Ulang Di Dalam Pasar
Hasil survey menunjukkan, secara umum, baru sekitar 77,9% timbangan yang
digunakan di pasar tradisional sudah ditera ulang. Keterangan langsung pedagang
memang menunjukkan hanya 66,2% timbangan yang sudah di tera ulang, namun
mempertimbangkan alasan belum tera ulang karena timbangan masih baru (dari
34,7% dari pedagang yang belum tera ulang), maka proprosi timbangan yang sudah
di tera ulang bertambah menjadi 77,9%.
31
Ada beberapa alasan pedagang mengapa timbangan mereka belum ditera
ulang, yaitu: (1) timbangan masih baru (dikonfirmasi dari tanda tera), sehingga
belum wajib di tera ulang (34,7%), (2) tidak ada petugas yang datang/pemberitahuan
(10,2%), (3) pada saat tera ulang berlangsung, pedagang sedang tidak berjualan
karena ada acara/upacara, dan lain-lain (10,2%), (4) tidak menjawab.
Tabel 4.1. Proporsi Sudah dan Belum Tera Ulang, Menurut Wilayah Survey
Sumber: Data Diolah
Hasil uji chi square menunjukkan tidak ada perbedaan dalam melakukan tera
ulang antara wilayah, jenis barang dagangan, lokasi berjualan, lama berjualan, dan
karakteristik personal pedagang lainnya. Artinya proporsi umum sudah tera ulang
sebesar 66,2% - 77,9% berlaku sama di semua tempat. Angka ini menunjukkan
jangkauan pelayanan tera ulang di pasar tradisional di kota kajian.
c. Uji Ulang Ketepatan Ukur Timbangan
Pengujian ketepatan ukur dilakukan dengan menguji keseimbangan timbangan
pada saat tanpa beban dan dengan menggunakan beban standar 1 kilogram. Hasil
uji ulang ketepatan dapat memberikan hasil (1) timbangan memberikan hasil
“kurang”, (2) “tepat”, (3) atau “lebih”. Timbangan yang memberikan hasil “kurang”
berarti menunjukkan sisi baki barang yang lebih berat, atau pembacaan hasil yang
lebih tinggi dari seharusnya. Hal ini berarti berpotensi merugikan pembeli karena
berat barang yang diberikan kurang dari kesepakatan. Sedangkan jika hasilnya
“lebih”, maka sisi baki anak timbangan lebih berat, atau hasil pembacaan lebih
rendah dari seharusnya. Hal ini berarti merugikan penjual karena berat barang yang
diberikan melebihi kesepakatan.
Pengujian ketepatan ukur timbangan pada timbangan meja dan pegas
menunjukkan pentingnya kegiatan tera ulang. Dari hasil pemeriksaan ulang
76,6% 61,9% 60,4% 66,2%23,4% 38,1% 39,6% 33,8%
100,0% 100,0% 100,0% 100,0%
yatidak
apakah timbangansudah ditera ulangTable Total
Col %Denpasar
Col %Bandung
Col %Ternate
kode wilayah
Col %
TableTotal
32
timbangan, tampak bahwa timbangan yang telah ditera ulang, memiliki proporsi hasil
tepat ukur yang lebih tinggi dibandingkan timbangan yang belum ditera
ulang.Demikian pula pada timbangan yang belum ditera ulang, memberikan proporsi
hasil yang menyimpang yang lebih tinggi dibandingkan timbangan yang sudah ditera
ulang. Pada timbangan meja beranger 87,2% timbangan yang tepat ukur adalah
timbangan yang sudah ditera ulang, sedangkan yang memberikan hasil kurang,
52,0% nya belum ditera ulang. Pada timbangan pegas, 66,0% timbangan yang
tepat ukur sudah ditera ulang, sedangkan 75,0% timbangan yang belum ditera ulang
memberikan hasil kurang/menyimpang.
Tabel 4.2. Tabulasi Silang Sudah Tera Ulang vs Hasil Pemeriksaan Ulang Timbangan Meja Beranger
Sumber: Data Diolah
Tabel 4.3. Tabulasi Silang Sudah Tera Ulang vs Hasil Pemeriksaan Ulang Timbangan Pegas
Sumber: Data Diolah
Hasil ini jika diuji dengan uji Chi Square, ternyata memberikan hasil yang
signifikan pada tingkat kepercayaan 95% bagi timbangan meja beranger, dan pada
tingkat kepercayaan 90% pada timbangan pegas. Hasil ini menunjukkan kegiatan
tera ulang memiliki pengaruh yang nyata terhadap ketepatan ukur timbangan yang
digunakan pedagang di pasar tradisional.
Crosstab
% within timbang ulang tmb
48,0% 87,2% 75,0% 72,1%52,0% 12,8% 25,0% 27,9%
100,0% 100,0% 100,0% 100,0%
yatidak
apakah timbangansudah ditera ulangTotal
kurang tepat lebihtimbang ulang tmb
Total
Chi-Square Tests
11,633a 2 ,00311,579 2 ,003
8,174 1 ,004
68
Pearson Chi-SquareLikelihood RatioLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)
2 cells (33,3%) have expected count less than 5. Theminimum expected count is 1,12.
a.
Crosstab
% within timbang ulang tp
25,0% 66,0% 25,0% 60,0%75,0% 34,0% 75,0% 40,0%
100,0% 100,0% 100,0% 100,0%
yatidak
apakah timbangansudah ditera ulangTotal
kurang tepat lebihtimbang ulang tp
Total
Chi-Square Tests
4,778a 2 ,0924,750 2 ,093
,000 1 1,000
55
Pearson Chi-SquareLikelihood RatioLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)
4 cells (66,7%) have expected count less than 5. Theminimum expected count is 1,60.
a.
33
d. Kerusakan Sesudah Tera Ulang
Informasi dari tabel 3 dan 4 juga dapat menunjukkan proporsi timbangan yang
menjadi tidak tepat ukur setelah ditera ulang. Pada timbangan meja, ada 72,1%
timbangan yang sudah ditera ulang. Dari yang telah ditera ulang tersebut 30,6%
diantaranya ketika diperiksa ulang ternyata memberikan hasil ukur ulang yang tidak
tepat. Sedangkan dari timbangan yang belum ditera ulang, 57,4% diantaranya
ternyata memberikan hasil pengukuran yang tepat.
Pada timbangan pegas, dari 60% timbangan yang sudah ditera ulang, hanya
6,1% yang memberikan hasil tidak tepat. Sedangkan dari timbangan yang belum
ditera ulang, diketahui 85,5% diantaranya memberikan hasil pengukuran yang tepat.
Hal ini menunjukkan, proprosi timbangan meja yang menjadi rusak setelah
ditera adalah lebih banyak dibandingkan timbangan pegas.
Tabel 4.4.Tabulasi Silang Hasil Ukur Ulang vs Apakah Sudah Tera Ulang, Pada Timbangan Meja Beranger dan Timbangan Pegas, Dengan Persentasi Menurut
Kolom dan Baris. (a) Timbangan Meja Beranger
(b) Timbangan Pegas
Sumber: Data Diolah
Wawancara dengan pedagang menunjukkan beberapa hambatan dalam
mejaga timbangan meja untuk tetap berfungsi baik setelah ditera ulang. Hambatan
yang paling banyak disampaikan/ditemukan adalah (1) timbangan meja menjadi
apakah timbangan sudah ditera ulang * timbang ulang tmb Crosstabulation
% within apakah timbangan sudah ditera ulang
24,5% 69,4% 6,1% 100,0%68,4% 26,3% 5,3% 100,0%36,8% 57,4% 5,9% 100,0%
yatidak
apakah timbangansudah ditera ulangTotal
kurang tepat lebihtimbang ulang tmb
Total
apakah timbangan sudah ditera ulang * timbang ulang tp Crosstabulation
% within apakah timbangan sudah ditera ulang
3,0% 93,9% 3,0% 100,0%13,6% 72,7% 13,6% 100,0%
7,3% 85,5% 7,3% 100,0%
yatidak
apakah timbangansudah ditera ulangTotal
kurang tepat lebihtimbang ulang tp
Total
apakah timbangan sudah ditera ulang * timbang ulang tmb Crosstabulation
% within timbang ulang tmb
48,0% 87,2% 75,0% 72,1%52,0% 12,8% 25,0% 27,9%
100,0% 100,0% 100,0% 100,0%
yatidak
apakah timbangansudah ditera ulangTotal
kurang tepat lebihtimbang ulang tmb
Total
apakah timbangan sudah ditera ulang * timbang ulang tp Crosstabulation
% within timbang ulang tp
25,0% 66,0% 25,0% 60,0%75,0% 34,0% 75,0% 40,0%
100,0% 100,0% 100,0% 100,0%
yatidak
apakah timbangansudah ditera ulangTotal
kurang tepat lebihtimbang ulang tp
Total
34
rusak setelah kembali dari tempat tera ulang, (2) ketidaktahuan/kemampuan
pedagang merawat timbangan mejanya, dan (3) ketiadaan pengawasan.
Timbangan meja menjadi rusak setelah tera ulang dapat disebabkan oleh:
Kesalahan penanganan ketika memindahkan timbangan. Pedagang biasanya
meminta bantuan “buruh” untuk membawa timbangan mereka ke lokasi tera ulang.
Kebiasaan ini disebabkan oleh antrian pelayanan yang panjang dan lama, atau jarak
yang jauh, sehingga mereka memilih tetap mejaga dagangan dan menyerahkan
urusan tera ulang kepada buruh. Dalam mengangkut timbangan, seorang buruh
dapat membawa timbangan milik 4 hingga 6 pedagang sekaligus. Mereka
membawa dengan cara saling ditumpuk dalam keranjang. Dengan cara membawa
seperti ini, besar kemungkinan timbangan yang telah tepat, menjadi menyimpang
karena ada bagian timbangan meja yang bergeser, tidak terletakkan secara benar,
tertekuk, terganjal, atau tertukar kelengkapannya.
Ketika survey dilakukan, petugas UPT Metrologi pendamping dapat dengan
segera memperbaiki kesalahan yang terjadi akibat salah penempatan atau
pergeseran ini. Namun untuk yag tertekuk atau berubah bentuk harus melalui
kegiatan reparasi.
Hasil ini menunjukkan UPT perlu mempertimbangkan untuk
merubah/memperbaiki alur pelaksanaan pelayanan tera ulang ketika
dilaksanakan di lokasi pasar, seperti: menetapkan tempat pelayanan yang lebih
lega/baik, memperbaiki tata cara antrian untuk memudahkan pemilik timbangan,
bersedia melakukan pemeriksaan ulang singkat ditempat pedagang untuk
memastikan tidak ada timbangan yang mejadi rusak dalam perjalanan
Kesalahan dalam reparasi. Alur pelayanan tera ulang menunjukkan UTTP yang
gagal di tahapan pemeriksaan awal, akan masuk ke tahapan reparasi/perbaikan
sebelum dinilai kembali kelayakannya. Tindakan reparasi tidak dilakukan oleh
petugas UPT sendiri. UPT biasanya merujuk pedagang kepada rekanan pelaksana
reparasi timbangan (reparatur) yang ada diluar kelembgaan UPT. Dalam
pelaksanaan tera ulang di lokasi, perusahaan reparatur juga hadir bersama-sama
UPT di pasar.
Kualitas timbangan hasil perbaikan amat bergantung pada kualitas kerja
reparatur ini.Diskusi yang dilakukan menunjukkan kemungkinan reparatur
35
bekerja terburu-buru karena waktu pelayanan tera ulang di setiap pasar adalah
terbatas (antara 1 hingga 7 hari tergantung ukuran pasar), atau reparatur kurang
ahli dalam menangani reparasi yang diperlukan.
Hal ini menunjukkan UPT dan Pemerintah Daerah perlu menambah waktu
pelayanan agar pelaksanaan tera ulang dan reparasi tidak terburu-buru,
menyediakan perusahaan rekanan untuk reparasi yang lebih kompeten, dan
memastikan sertifikasi dan penilaian reparatur yang lebih ketat dan
berkelanjutan.
Ketidaktahuan cara perawatan timbangan. Kebersihan timbangan mempengaruhi
ketepatan ukur timbangan. Jenis barang dagangan tertentu seperti daging, ikan, dan
sayur cenderung membuat timbangan menjadi cepat kotor. Pedagang perlu
melakukan perawatan berkala untuk memastikan timbangannya selalu dalam kondisi
tepat. Untuk bisa melakukan perawatan, pedagang perlu memahami cara kerja
komponen-komponen timbangan, kapasitas timbangan, dan tata cara menimbang
yang benar. Hal ini menunjukkan pengelola pasar perlu secara terus menerus
melakukan pengawasan dan pendidikan pedagang.
e. Umur Timbangan
Umur timbangan adalah lama pemilikan timbangan oleh pedagang yang diukur
dalam tahun.Kajian menduga, umur timbangan mempengaruhi ketepatan ukur.Jika
dibandingkan umur timbangan antara timbangan meja dan timbangan pegas,
tampak bahwa umur timbangan meja relatif lebih tua dibanding timbangan pegas.
Rata-rata umur timbangan meja adalah 10,84 tahun. Sedangkan rata-rata umur
timbangan pegas adalah 2,08 tahun.
Keterangan dari pedagang memang menunjukkan bahwa timbangan pegas
relatif lebih cepat rusak dibandingkan timbangan meja beranger. Keterangan dari
pedagang pasar di Denpasar, menunjukkan bahwa setelah 1-1,5 tahun, timbangan
pegas akan mulai rusak.
36
Tabel 4.5. Rata-Rata Waktu Pemilikan Timbangan (Tahun)
Jika diperhatikan hasil uji ketepatan ukur yang menunjukkan timbangan meja
memiliki proporsi penyimpangan yang lebih besar dibanding timbangan pegas, maka
gejala ini kemungkinan disebabkan karena umur timbangan. Usia Timbangan pegas
relatif lebih baru, sehingga tingkat kerusakannya relatif lebih rendah dibanding
timbangan meja.Hasil ini tidak bermaksud menunjukkan bahwa timbangan meja
lebih buruk dibandingkan timbangan pegas, karena beberapa timbangan meja yang
berusia lebih dari 20 tahun tetap berfungsi baik dan tepat ukur.
4.2. Gambaran Pelayanan Tera/Tera Ulang di Daerah Berikut ini gambaran evaluasi pelaksanaan Metrologi Legal di daerah kajian:
Denpasar Bali, Bandung Jawa Barat, dan Ternate Maluku Utara.
a.Denpasar-Bali
Pengamatan dilakukan di 2 pasar: (1) pasar Agung (98 pengguna timbangan),
dan (2) Pasar Badung (300 pengguna timbangan), keduanya di kota
Denpasar.Pasar Agung adalah pasar Adat yang telah menjadi pasar tertib
ukur.Sedangkan Pasar Badung adalah pasar milik Pemerintah Daerah yang ada di
bawah pengelolaan PD Pasar Denpasar, dan belum menjadi pasar tertib
ukur.Sampel: 48 pedagang, 2 pengelola pasar, 1 UPT Metrologi legal.
Hasil umum adalah: Ada gap antara penggunaan UTTP, khususnya
timbangan, dengan kapasitas UPT Metrologi Legal di Bali, terutama pada bagian-
bagian:
Pemahaman dan dukungan pembuat kebijakan
Keterbatasan anggaran untuk operasional dan pengadaan standar
Kondisi sarana gedung yang mulai rusak
Report
pemilikan tahun
2,08 39 1,9522,08 39 1,952
timbangan pegasadaTotal
Mean N Std. Deviation
Report
pemilikan tahun
10,84 56 8,14620,00 1 .11,00 57 8,164
timbangan ada
0Total
Mean N Std. Deviation
37
Sarana lab kurang, sehingga tidak seluruh UTTP dapat ditera/tera ulang
Pertumbuhan pedagang tradisional dan modern membuat sebaran pedagang
menjadi lebih luas
Ketidakhati-hatian dan kekurang pengetahuan mengenai cara perawatan dan
pemeliharaan timbangan oleh pedagang membuat timbangan yang telah ditera
ulang, menjadi tidak seimbang kembali dalam waktu cepat.
Tidak ada pengawasan terhadap timbangan. Hal ini karena UPT Metrologi Legal
hanya memiliki tugas untuk melakukan pelayanan tera dan tera ulang. Sehingga
menurut peraturan, pengawasan harus diletakkan di UPT yang lain. Namun UPT ini
belum ada, dan kebutuhan SDM nya pun berbeda.
Tidak ada sanksi jika ada pelanggaran yang ditemukan. Hal ini karena UPT tidak
memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dan tindakan. Pelanggaran besar
dilaporkan kepada pihak kepolisian.
Sudah ada sharing anggaran dari beberapa Kabupaten sehingga menambah
jangkauan UPT dalam melakukan pelayanan tera ulang.
Pemerintah daerah dan UPT tidak memiliki data Wajib Tera dan UTTP di wilayah
kerjanya. Perhitungan potensi dan perencanaan didasarkan pada data pelayanan
tahun sebelumnya.
Koordinasi dalam pendataan, pengawasan dan penindakan belum dilaksanakan.
Pertumbuhan SDM yang cenderung negatif dan tidak lengkap. UPT memerlukan
tenaga administrasi dan keuangan, dan tenaga PPNS agar dapat melakukan
penyidikan atas pelanggaran yang ditemukan.
1) Jumlah UTTP Timbangan Meja dan Pegas Data daerah sampel menunjukkan jumlah dan jenis UTTP sebagai berikut:
38
Tabel 4.6. Jumlah Jenis UTTP Bali, 2012
Sumber Pelayanan 2012
Jangkauan Pelayanan
Estimasi 2012
Estimasi Grow (+/-)
Pasar/Desa 49.796 30% 165.987 5% Loko 427 100% 427 5% Pompa Ukur BBM1 3.812 100% 3.812 0% Meter Taksi2 1.800 90% 2.000 0% Tangki ukur mobil 110 100% 110 0% Meter Arus Kerja 18 100% 18 1% SPBE 7 100% 7 15% Total 55.969 172.360
Catatan: Ada moratorium pembangunan SPBU. Pada 2011 Ada moratorium Penambahan Pengusaha/Armada Taxi. Pada 2011 Sumber: UPT Metrologi Legal Provinsi Bali
2) Kapasitas SDM Pada tahun 2012, UPT Metrologi Legal Provinsi Bali memiliki jumlah SDM
sebanyak 28 orang.Dari jumlah tersebut, 22 orang adalah Penera, dan 6 orang
merupakan tenaga keuangan dan pembantu teknik.
Kepala UPT menilai jumlah dan kompetensi SDM yang ada saat ini dinilai
sudah mencukupi untuk melakukan pelayanan tera ulang seluruh jenis UTTP yang
ada di provinsi Bali pada saat ini, terutama untuk UTTP timbangan meja dan pegas.
Namun perkembangan UTTP di masa depan, seperti UTTP yang bersifat digital
perlu mendapatkan perhatian. Kekurangan jumlah SDM terjadi pada tenaga
keuangan dan pembantu teknik.
Tabel 4.7.Jumlah SDM UPT Metrologi Legal Provinsi Bali
2011 2012 2013 Jumlah SDM keseluruhan 30 28 28 Jumlah Penera 22 20 20 Jumlah Pengawas - - - Jumlah Penyuluh - - - Komposisi SDM-diatas 45 th 60% 71,4% 71,4%
39
Untuk menjawab tantangan perkembangan UTTP di masa depan, UPT
merasa perlu melakukan peningkatan kapasitas (upgrade) penera berkala agar
sesuai perkembangan UTTP, terutama untuk meningkatkan kompetensi di bidang
alat ukur/UTTP digital. Pendidikan keahlian penera diperoleh melalui Balai Diklat
Metrologi. Mengenai Balai ini, Kepala UPT menilai Kurikulum Balai Diklat dinilai
sudah sesuai, namun demikian Sertifikasi SDM belum rutin dilaksanakan.
Sistem tata kerja dinilai sudah jelas. Koordinasi dengan instansi terkait dalam
menangani kasus pelanggaran masih lemah.UPT Metrologi Legal Provinsi Bali,
karena berbentuk Unit Pelayanan Teknis, hanya memiliki tugas melaksanakan
pelayanan tera/tera ulang terhadap UTTP yang ada di lingkupprovinsi Bali, dan tidak
dapat melakukan tugas pengawasan. Padahal tugas kemetrologian, disamping
pelayanan, juga pengawasan dan penyuluhan. Untuk itu perlu dibantuk unit teknis
untuk melaksanakan pengawasan ini.
Dari 34 provinsi baru sekitar 7 yang memiliki unit pengawasan, Direktorat
Metrologi sudah mengharapkan agar unit pengawasan ini dapatsegera diwujudkan
di provinsi lainnya. Terdapat ketentuan terkait SDM jika ingin membentuk unit
pengawasan karena dibutuhkan minimal 1 orang pengamat UTTP, dengan
spesifikasi pendidikan S1 dan sudah bekerja di unit teknis. Untuk itu, tahun 2014
mendatang akan ada Diklat pengamat UTTP oleh Direktorat Metrologi untuk
mempercepat terciptanya unit pengawasan tersebut.
Masalah yang belum terpecahkan adalah pada saat penindakan.Yang memiliki
kewenangan memberikan sanksi adalah PPNS. Dengan demikian, harus ada penera
yang memiliki kwalifikasi PPNS, agar pelanggaran yang ditemukan dapat
ditingkatkan menjadi penyidikan.
3) Sarana Prasarana
Bangunan, Tanah, Peralatan Lab, dan Kendaraan Operasional Secara umum, UPT Metrologi Legal Provinsi Bali memiliki sarana fisik yang
kurang untuk melaksanakan semua tugas pelayanan metrologi legal terhadap UTTP
yang ada di Bali. Namun untuk pelayanan timbangan meja dan pegas saja,
kondisinya ini dinilai masih mencukupi, meskipun sarana berada dalam keadaan
yang tidak fit/prima.
40
Dari sisi tanah dan bangunan, UPT memiliki:
1 gedung UPT dan lab massa, volume, panjang, dan arus di Denpasar
1 gedung instalasi ukur air dan taxi di Denpasar
1 gedung UPT di Singaraja
Bangunan dinilai sangat kurang dan perlu diperbaiki karena rusak.
Tabel 4.8. Gambaran Sarana UPT Metrologi Legal Bali, Tahun 2013
Jumlah 2013 Keterangan Sarana Tanah dan
Bangunan 1 gedung UPT dan lab massa, volume, panjang, dan arus di Denpasar 1 gedung instalasi ukur air dan taxi di Denpasar 1 gedung UPT di SIngaraja
Tanah dan bangunan dinilai sangat kurang dan perlu diperbaiki karena rusak. Untuk timbangan dinilai mencukupi
Peralatan laboratorium
Beberapa jenis UTTP tertentu tidak dapat diuji Penyangga TUM belum dibangun Akreditasi lab = B Belum ada master untuk beberapa UTTP (thermometer, alat ukur tekanan)
Peralatan lab/pendukung dinilai sangat kurang Neraca tera sudah rusak. Timbangan eletronik belum memadai Untuk pelayanan timbangan dinilai mencukupi
Kendaraan operasional
2 Truk roda 6 (sering rusak, sudah tua) 1 Elf (berfungsi) 1 Station wagon Strada (berfungsi)
Truk sering rusak sehingga menghambat operasional Jumlah dan kondisi dinilai sangat kurang
Anggaran Anggaran Total APBD
Rp 544.498.000 Anggaran dinilai sangat kurang Untuk timbangan dinilai sangat kurang Tidak semua titik sidang dapat dilayani
Anggaran APBN Rp 125.916.000 Pengawasan dan penyidikan kemetrologian (Rp 67, 323 jt) Fasilitasi pembentukan pasar tertib ukur (58,593 jt)
Anggaran hanya dapat digunakan untuk melaksanakan 32 hari pelayanan. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun 2007 yang bisa mencapai 210 hari pelayanan
Data Data Wajib Tera dan UTTP
- Belum ada data UTTP dan wajib tera yang valid untuk masing-masing Kabupaten/Kota
Sumber: UPT Metrologi Legal Provinsi Bali
41
Dari sisi peralatan laboratorium, secara umum peralatan lab/pendukung dinilai
sangat kurang, keterangan yang ada menunjukkan
Beberapa jenis UTTP tertentu tidak dapat diuji karena ketiadaan master dan alat uji
(untuk thermometer dan alat ukur tekanan). Neraca tera sudah rusak. Timbangan
eletronik yang dimiliki kapasitasnya dinilai belum memadai.
Penyangga TUM (Timbangan Ukur Mobil) belum dibangun
Hasil Akreditasi lab adalah B.
Kendati demikian, jika untuk pelayanan timbangan saja, maka peralatan
laboratorium yang ada dinilai telah mencukupi kebutuhan saat ini.
Dari sisi kendaraan operasional, UPT Metrologi Legal Bali memiliki
2 Truk roda 6 untuk mengangkut peralatan ke lokasi pelayanan. Kedua truk ini
kondisinya sudah tua dan sering rusak sehingga acap menghambat pelaksanaan
tugas pelayanan yang sudah dijadwalkan.
1 mobil Isuzu Elf yang masih berfungsi baik.
1 Station wagon Strada yang masih berfungsi baik.
Jumlah kendaraan operasional ini dinilai kurang untuk melaksanakan pelayanan
Metrologi Legal di Bali.
Anggaran Anggaran total yang berasal dari APBD pada tahun 2012 adalah sebesar Rp
544.498.000.Untuk melaksanakan pelayanan Metrologi Legal bagi Timbangan,
jumlah anggaran ini dinilai sangat kurang.Akibatnya tidak semua titik sidang dapat
dilayani.
UPT juga memperoleh anggaran dari APBN sebesar Rp 125.916.000.
Anggaran ini digunakan untuk membantu anggaran untuk pengawasan dan
penyidikan kemetrologian (Rp 67, 3 juta), dan Fasilitasi pembentukan pasar tertib
ukur (58,6 juta). Anggaran hanya dapat digunakan untuk melaksanakan 32 hari
pelayanan.Jumlah ini menurun dibandingkan tahun 2007 yang bisa mencapai 210
hari pelayanan.
42
UPT bekerjasama dengan beberapa Pemerintah Daerah (seperti Kota
Denpasar, Kab.Badung, Gianyar, dan Tabanan) melakukan sharing dalam
pembiayaan pelayanan tera ulang di pasar-pasar tradisional masing-masing
Kab/Kota. Sharing ini sifatnya menambah jumlah pasar diluar pasar target UPT.
Jadi, jika anggaran UPT untuk sebuah kabupaten hanya bisa meliputi 4 pasar, maka
pemerintah daerah kemudian menambah jumlah pasar diluar pasar sasaran dengan
anggaran pemerintah daerah
Data UTTP dan Wajib Tera Belum ada data UTTP dan wajib tera yang valid untuk masing-masing
kabupaten/kota. Hal ini membuat proses perencanaan operasi dan perhitungan
potensi menjadi sulit dilakukan.
2)Pelayanan Tera Ulang Timbangan di Pasar Tradisional Bali
Waktu Pelayanan Provinsi Bali memiliki 8 Kabupaten dan 1 Kotamadya.Untuk meliputi pelayanan
di 9 wilayah tersebut, anggaran yang dimiliki UPT hanya dapat digunakan untuk
melakukan pelayanan sidang tera sebanyak 32 hari.Dengan pengaturan setiap
kabupatenakan didatangi bergiliran setiap bulannya, dengan waktu pelayanan per
kunjungan yaitu selama 4 hari. Jadi jika bulan Januari adalah jadwal bagi kabupaten-
1 selama 4 hari, bulan Februari adalah waktu untuk Kabupaten-2 selama 4 hari, dan
seterusnya.Dengan demikian, untuk 8 kabupaten yang ada, alokasi waktu pelayanan
per tahun adalah 8 x 4 = 32 hari. Kota Denpasar tidak dihitung, karena berada satu
lokasi dengan UPT.
Dengan jumlah pelayanan seperti itu, UPT hanya dapat dilayani sekitar 50
pasar per tahun, dengan jangkauan pelayanan sekitar 80% timbangan di masing-
masing pasar. Tera ulang dilaksanakan bergantian dari tahun ke tahun.Jika sebuah
kabupaten memiliki 16 pasar, maka ke-16 pasar tersebut tidak dapat selesai dilayani
dalam waktu 1 tahun. Jadi, sebuah pasar di Kabupaten tersebut, sesudah didatangi
pada tahun 2013, maka pasar tersebut baru akan didatangi lagi tahun 2017.
Tampak bahwa pelaksanaan tera ulang tidak dapat dilakukan setiap tahun sesuai
UU yang ada.
43
Provinsi Bali memiliki 233 pasar tradisional.Jika 1 pasar membutuhkan waktu
pelayanan rata-rata 3 hari, maka Bali membutuhkan waktu pelayanan sekitar 699
hari.Jika jumlah hari pelayanan dalam setahun dapat maksimal (200 hari
pelayanan), maka dengan jumlah SDM penera yang ada pelayanan ini masih dapat
diselesaikan dalam tenggat waktu 1 tahun.Namun tentunya jumlah anggaran perlu
ditambah. Karena menaikkan pelayanan dari 32 hari menjadi 200 hari tentunya
menagkibatkan kebutuhan anggaran bertambah, setidaknya 5 kali dibanding
anggaran saat ini.
Dengan jumlah hari pelayanan yang terbatas, maka pedagang pemilik
timbangan yang ada diluar pasar tradisional dan PKL belum dapat dijangkau.
Penggunaan Timbangan Pedagang lebih menyukai timbangan meja beranger dibanding timbangan
pegas. Jumlah timbangan pegas rata-rata hanya 9,2% dari pedagang pasar yang
diamati. Pedagang rata-rata memiliki 1 timbangan meja beranger.Alasan pemilihan
timbangan meja karena (1) kemudahan penggunaan/kebiasaan, (2) lebih bisa
dipercaya, (3) keawetan.Sumber perolehan timbangan dari (1) beli di toko peralatan
(jl Gajah Mada dan Jl Kartini), (2) pemberian/warisan/lungsuran.
Ketika membeli timbangan, pedagang tidak memperhatikan apakah timbangan
sudah ditera oleh Direktorat Metrologi atau belum.Alasannya karena tidak tahu, bagi
pedagang yang penting timbangan ketika dicoba dalam keadaan imbang (center).
Timbangan meja relatif awet.Hasil sampel menunjukkan umur timbangan rata-
rata antara 5 hingga 10 tahun.Kondisi timbangan rata-rata kotor dan sudah usang.
Dari seluruh sampel, 75% timbangan sudah ditera ulang, 25% belum tera ulang.
Alasan belum tera ulang karena (1) timbangan masih baru, (2) saat sidang dilakukan
sedang tidak berjualan/ada upacara.
Ketika dilakukan pengukuran ulang, dari timbangan yang sudah melakukan
tera ulang, ternyata 22,2% diantaranya memberikan hasil pengukuran yang lebih
rendah dari seharusnya (berat benda yang diukur lebih ringan dari seharusnya-
berpotensi merugikan pembeli). Sedangkan dari yang belum tera ulang, ada 33,3%
timbangan yang memberikan hasil pengukuran yang lebih rendah dari
seharusnya.Melihat tingkat penyimpangan yang lebih besar pada timbangan yang
44
belum ditera ulang, maka hal ini menunjukkan bahwa kegiatan tera ulang penting
untuk menjaga kondisi timbangan dan perlindungan konsumen.
Pelaksanaan Tera Ulang Pedagang mengeluhkan antrian saat tera berlangsung. Di pasar Agung, dimana
telah disediakan timbangan pengganti mungkin akan lebih baik, namun karena
timbangan penggantinya adalah timbangan elektronik yang tidak familiar pada
pedagang pasar tradisional maka mungkin tetap ada masalah disana.
Biaya tera dinilai tidak memberatkan, karena setahun sekali. Meskipun ada
pertanyaan mengenai biaya reparasi yang menurut pedagang kadang tidak jelas.
Dalam wawancara dengan pedagang, banyak keluhan dari pedagang (di pasar
belum tertib ukur, terutama dari pedagang ikan dan daging), bahwa proses tera ulang
malah merusak timbangan mereka. Apakah (1) reparatir tidak bekerja baik, (2) waktu
kurang sehingga penera dan reparatir bekerja terburu-buru, (3) karena antri
pedagang biasa mengupah buruh untuk membawa timbangan ke tempat tera ulang,
mungkin penanganan yg tidak tepat membuat timbangan rusak dalam pemindahan,
(4) perlu penyuluhan cara memelihara dan mempersiapkan timbangan secara baik,
atau (5) alasan pedagang untuk menutupi timbangannya yang rusak.
Pengawasan Tidak ada pengawasan dan penyuluhan, kecuali pada saat Kir/tera ulang dilakukan.
Kegiatan pengawasan dan wawancara biasanya dilakukan bersamaan dengan
pekan tera ulang. Jadi 2 hari sebelum pelayanan tera dilaksanakan di suatu pasar,
maka ada petugas dari Dinas Perdagangan, Pengeloal Pasar, dan UPT Metrologi
yang melakukan semacam sosialisasi kepada para pedagang bahwa tera ulang akan
dilakukan.
Pada rentang waktu 2011-2013, tidak ada kegiatan pengawasan yang dilakukan. Di
kota Denpasar, ada kegiatan pengawasan dan penyuluhan bersamaan dengan
pelaksanaan pengawasan barang beredar. Biasanya dilakukan setiap hari Rabu,
namun dilakukan secara acak. Pengawasan umum dilakukan oleh pengelola pasar.
terutama jika ada keluhan dari pembeli.
45
Belum ada tempat mengadu bagi pembeli dan penjual, sehubungan dengan UTTP
khususnya timbangan.
Tidak ada sanksi atas pelanggaran.
Menurut keterangan PD Pasar, tidak ada keluhan yang masuk ke BPSK
berhubungan dengan timbangan di pasar tradisional. Kemungkinan karena nilai
transaksi yang rendah, konsumen cenderung memaafkan pedagang dengan
menganggap sebagai ketidak tahuan pedagang, atau permasalahan dapat
diselesaikan pada tingkat pengelola pasar.
Penyuluhan Pada rentang waktu 2011-2013, tidak ada kegiatan penyuluhan yang
dilakukan.Penyuluhan dilakukan pada saat tera ulang berlangsung di pasar. Menurut
keterangan Pengelola pasar Agung dan Badung, jika ada pedagang yang
melakukan kecurangan timbangan, maka pertama akan dilakukan pembinaan. Jika
berulang, maka izin sewa pedagang akan dihentikan.
Sistem dan Kelembagaan Tupoksi lembaga sudah jelas, namun masih harus ada perbaikan. Karena bentuk
lembaga menjadi UPT yang fokus pada pelayanan tera/tera ulang, maka perlu ada
unit kerja di bidang pengawasan.
SOP untuk melaksanakan tugas sudah sangat jelas.
Koordinasi antara unit pada tingkatan pemerintahan yang berbeda masih rendah,
khususnya dalam pengawasan dan penindakan pelanggaran.
Pentingnya Metrologi Legal belum dipahami secara baik oleh pengambil kebijakan di
daerah, sehingga hanya dianggap sebagai pelengkap.
Peraturan perundang-undangan: perda yang diberlakukan oleh Pemda hendaknya
tidak berbeda jauh antara satu daerah dengan daerah lain.
Tidak ada alokasi dana DAK peningkatan kemetrologian di Bali.
46
Kerjasama Pelayanan Tera Ulang Pemerintah Kabupaten/Kota
Karena pelayanan kemetrologian bersifat mandatori, maka beberapa
kabupaten dan Kota di Provinsi Bali sudah membentuk UPT Metrologi Legal
Kabupaten.Misalnya di Kabupaten Badung, serta di Kota Denpasar.
Unit kerja Seksi Metrologi Legal untuk kota Denpasar sudah dibentuk sejak tahun
2008. Namun hingga saat ini belum memiliki SDM Metrologi Legal yang cukup dan
sesuai spesifikasi. Seksi Metrologi belum memiliki anggaran. Anggaran baru dalam
tahap pengajuan.
Sementara di Kabupaten Badung sudah memiliki rencana pendirian UPTD Metrologi
Legal di Kabupaten Badung.Lahan dan anggaran sudah disediakan, namun SDM
belum ada.
Pembangunan UPT di tingkat Kabupaten/Kota ini jelas akan membantu UPT
Provinsi dalam melaksanakan tugas pelayanan metrologi legal di Bali. Namun
beberapa kekhawatiran tetap muncul karena pendirian unit pelayanan teknis ini
kadang lebih diarahkan sebagai sarana untuk meningkatkan PAD, daripada untuk
melaksanakan tugas perlindungan konsumen dan pedagang. Pertanyaan
berikutnya adalah, seperti apa peran UPT Provinsi di masa depan, jika setiap
Kabupaten/Kota di Provinsi Bali telah memiliki UPT Metrologi Legal masing-masing.
Apakah UPT Provinsi akan bertindak sebagai koordinator, penjaga mutu, pendidikan
SDM penera, lembaga sertifikasi bagi perusahaan rekanan reparatur, atau
mengalihkan fungsinya menjadi pengawasan dan penyuluhan Metrologi Legal.
b. Bandung-Jawa Barat
Survey yang dilakukan oleh Sucofindo di tahun 2011 menunjukkan jumlah
UTTP yang beredar di pasar tradisional diperkirakan sebanyak 7.737.904 dimana
sekitar 26% berada di Jawa Barat (Sucofindo, 2011). Untuk melayani perkembangan
UTTP sebanyak itu Balai Kemetrologian Bandung dalam melaksanakan tugasnya
dibantu oleh 5 balai kemetrologian di daerah. Balai-balai tersebut memiliki wilayah
kerja sebagai berikut:
1) Balai Bandung dengan wilayah Cimahi, Bandung, Bandung Barat, Kabupaten
Bandung dan Sumedang
47
2) Balai Tasik dengan wilayah Kabupaten Tasik, Kota Tasik, Ciamis, Banjar dan
Garut
3) Balai Cirebon dengan wilayah Cirebon, Kabupaten Cirebon, Indramayu,
Kuningan, dan Majalengka
4) Balai Karawang dengan wilayah Kabupaten Karawang, Purwakarta, Bekasi,
Kabupaten Bekasi, dan Subang
5) Balai Bogor dengan wilayah Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Cianjur, Depok,
Kabupaten Sukabumi, dan Kota Sukabumi
Jumlah sumberdaya yang dimiliki oleh Balai Kemetrologian Bandung adalah
sebagai berikut:
Tabel 4.9.Komposisi Pegawai di Balai Kemetrologian Bandung
Kriteria 2012 2013 Jumlah SDM 38 38 Jumlah Penera 21 18 Tenaga Pelaksana 15 16 Jumlah Pengawas - - Jumlah Penyuluh - - Lainnya (Administrasi & Struktural) 2 4 Komposisi di atas 45 Tahun > 70% > 70%
Sumber: Data Primer, (diolah)
Dengan komposisi SDM seperti itu jumlah pelayanan yang dapat diberikan
oleh Balai Kemetrologian Bandung baru sekitar 30% dari perkiraan jumlah UTTP
yang beredar. Terdapat ketimpangan antara pengawas dan penera. Untuk
pengawasan, Dinas Perindag masih menggunakan tenaga UPTD yang pada
dasarnya juga melakukan pembinaan dan peneraan. Dalam hal ini, SDM memang
menjadi persoalan.
Terkait dengan permasalahan SDM, Direktorat Metrologi menjelaskan bahwa
ada informasi yang tidak diterima oleh Pemerintah Daerah bahwa saat ini, Direktorat
Metrologi telah mendapat persetujuan dari Badan Kepegawaian Nasional (BKN)
untuk tetap menyiapkan formasi tenaga penera sebanyak 2000 orang yang dapat
dimanfaatkan oleh Pemda. Jika Pemda dapat memanfaatkan kesempatan tersebut,
48
maka manajemen SDM antara pelayanan kemetrologian dengan pengawasan akan
lebih mudah dilakukan.
Saat ini, kecenderungan penggunaan timbangan elektronik semakin besar
karena pedagang dapat menggunakan sistem kredit yang ditawarkan produsen.
Pedagang juga sudah mendapatkan edukasi bahwa timbangan elektronik lebih
akurat dan mudah. Selain itu, timbangan elektronik juga akan lebih transparan
sehingga diperkirakan ke depannya timbangan elektronik akan menjadi alternatif
preferensi pedagang.
Berikut jenis UTTP yang telah mendapatkan pelayanan oleh Balai
Kemetrologian berdasarkan jadwal tera/tera ulang setiap tahunnya:
Tabel 4.10.Pelayanan Balai Kemetrologian Bandung Terhadap Jenis UTTP
Jenis UTTP 2012 2013 Tera Sah Tera Ulang Tera Sah Tera Ulang
Meja 0 1313 2 583 Pegas 43 352 3 278 Dacin 5 885 0 183 Elektronik 623 2118 286 1816 BBI 18 904 8 481 Sentisimal 16 1882 16 1100
Sumber: Dit Metrologi berdasarkan laporan bulanan UPTD (2012 – 2013), diolah
Pelayanan kemetrologian dilakukan dengan beberapa cara, yaitu sidang
tera/tera ulang ke pasar (lokasi pemilik dan pengguna UTTP), pelayanan tera/tera
ulang di Balai Kemetrologian Bandung, serta kunjungan ke lokasi tertentu di mana
alat UTTP tidak dapat dipindahkan (seperti SPBU).
Jumlah hari yang diperlukan untuk sidang tera adalah sebanyak 151 hari
selama setahun untuk masa peneraan di wilayah pembinaan dengan anggaran
sekitar Rp 1,5 miliar dengan 4 (empat) orang penera. Peneraan tidak dilakukan
door-to-door tetapi dikumpulkan di suatu tempat, seperti di pos pasar atau kantor
kecamatan. Pada tahun 2012 dilakukan sidang tera pada 14 pasar, tahun 2013
ditargetkan sebanyak 24 pasar dan tahun 2014 diharapkan mencapai 37 pasar.
49
Hasil diskusi dengan pemangku kepentingan kemetrologian Jawa Barat
didapatkan informasi permasalahan dalam penerapan regulasi kemetrologian.
Permasalahan tersebut dikelompokkan menjadi beberapa bagian, antara lain:
a. SDM: fungsi pembinaan dan pengawasan belum berjalan optimal. Pembinaan
dan pelayanan peneraan dilakukan oleh Balai (UPTD) sedangkan fungsi
pengawasan dilakukan oleh Dinas Perindag Propinsi melalui PPNS-PK. Namun
demikian, pelaksanaan pengawasan menjadi sulit dilakukan karena kapasitas
SDM yang terbatas.
b. Anggaran: keterbatasan anggaran akan berdampak pada jumlah pelayanan
tera/tera ulang, termasuk pada alat UTTP di pasar.
c. Pedagang/pemilik alat UTTP: tidak ditemukan kesengajaan dari pedagang untuk
membuat UTTP-nya menjadi tidak akurat karena hal itu lebih banyak
disebabkan pedagang lalai melakukan tera ulang serta dipengaruhi pula
keterlambatan dinas untuk melakukan operasi tera ulang.
d. Minimnya informasi yang diterima oleh pedagang tentang kewajiban tera/tera
ulang dan biaya tera. Pedagang mengeluhkan biaya tera yang relatif besar dan
tidak transparan. Padahal, biaya tera untuk timbangan tradisional hanya sebesar
Rp 3.000,-. Jika terdapat biaya lain, dapat diduga pedagang menggunakan jasa
reparatir dalam melakukan peneraan.
Dalam dinamikanya, terdapat usulan yang dapat dipertimbangkan dalam
peraturan dimana tera/tera ulang bagi pedagang/UKM dapat disubsidi silang oleh
tera/tera ulang perusahaan besar. Sehingga, pelayanan tera/tera ulang bagi UKM
tidak akan dikenakan retribusi.
Beberapa kesimpulan yang didapatkan dari diskusi dengan pemangku
kepentingan kemetrologian Jawa Barat adalah:
a. UTTP terus tumbuh namun sampai saat ini kemampuan instansi kemetrologian
dalam memberikan pelayanan baru mencapai 20-30% dari jumlah UTTP yang
ada.
b. Selain pertumbuhan jumlah alat UTTP, perubahan preferensi pedagang dalam
penggunaan UTTP juga menjadi hal yang perlu dipertimbangkan mengingat
pelaksanaan tera/tera ulang setiap jenis alat UTTP memerlukan keahlian yang
berbeda
50
c. Pengawasan belum dapat diimplementasikan mengingat perubahan fungsi dan
tugas satuan kerja di daerah yang berkaitan dengan kemetrologian. Balai
Metrologi bertugas sebagai institusi yang memberikan pembinaan dan
pelayanan kemetrologian sedangkan fungsi pengawasan dilakukan oleh Dinas
Perindag Propinsi. Namun kapasitas SDM di bidang kemetrologian pada Dinas
Perindag belum memadai
d. Lemahnya pengawasan berdampak pada lemahnya pemberian sanksi
e. Minimnya anggaran yang dapat dialokasikan dalam kegiatan kemetrologian.
f. Peran BPSK sebagai perwakilan konsumen cukup penting sebagai lembaga
pendukung program pemerintah dalam program edukasi konsumen, khususnya
dalam hal kemetrologian
g. Sosialisasi tentang kemetrologian sudah melibatkan organisasi keagamaan
yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran pelaku usaha dan konsumen
bahwa metrologi adalah bagian dari norma agama (religious teaching). Metode
ini sudah dilaksanakan di Palembang dan pada tahun ini akan dilaksanakan di
Mataram.
h. Pemda dapat memanfaatkan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk kegiatan
kemetrologian, seperti bantuan pembangunan pos ukur di setiap pasar
percontohan.
Sedangkan rekomendasi yang didapatkan dari diskusi dengan pemangku
kepentingan kemetrologian Jawa Barat adalah: a. Pemda dihimbau segera memanfaatkan DAK dan sharing retribusi untuk
pelayanan kemetrologian di daerah dengan mengajukan rencana kerja sesuai
mekanisme daerah.
b. Terkait dengan permasalahan SDM, Pemda dapat memanfaatkan ketersediaan
formasi untuk penera yang telah diprogramkan oleh Badan Kepegawaian
Negara.
c. BPSK dapat berperan untuk mengakomodasi kepentingan konsumen
d. Penyesuaian peraturan sudah dilakukan, antara lain dengan melakukan
amandemen Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal.
Proses revisi sudah dalam tahap prolegnas di Dewan Perwakilan Rakyat.
e. Perlu ada sosialisasi dari tingkat pimpinan sebagai penggerak political will.
51
f. Edukasi konsumen terkait kemetrologian juga dapat dilakukan melalui pendirian
pos ukur ulang di setiap pasar percontohan.
4.2.3. Ternate-Maluku Utara
Pelayanan dibidang Metrologi Legalk hususnya pelayanan tera/tera ulang dan
pengawasan kemetrologian di wilayah Maluku Utara dilaksanakan secara rutin oleh
UPTD Balai Metrologi Provinsi Maluku Utara. Wilayah Provinsi Maluku Utara yang
tersebar diantara pulau-pulau dengan sebagian besar wilayahnya dipisahkan oleh
laut, menyebabkan pelaksanaan kegiatan pelayanan tera/tera ulang membutuhkan
sumber daya manusia dan biaya operasional yang sangat besar. Kegiatan
pelayanan tera/tera ulang yang telah dilaksanakan selama ini telah menjangkau ke 9
(sembilan) Kabupaten/Kota namun berhubung berbagai keterbatasan kegiatan
tera/tera ulang hanya dilaksanakan di ibu kota Kabupaten, belum sampai
menjangkau seluruh wilayah kerja. Untuk tahun 2012 melalui anggaran APBN dan
anggaran APBD, UPTD Balai Metrologi Propinsi Maluku Utara telah melaksanakan
kegiatan pelayanan tera/tera ulang dan pengawasan kemetrologian. Berdasarkan
data laporan pelayanan tera/tera ulang UTTP dari bulan Januari sampai bulan
Desember tahun 2012 per kabupaten dapat dilihat sebagai berikut :
Tabel 4.11. Data Pelayanan Tera/Tera Ulang pada tahun 2012
No Nama Kabupaten/Kota Jumlah 1 Kab. Halmahera Barat (Jailolo) 71 2 Kab Halmahera Tengah (Weda) 89 3 Kab. Halmahera Selatan (Labuha) 191 4 Kab. Halmahera Timur (Mata) 107 5 Kab. Halmahera Utara (Tobelo) 216 6 Kab. Pulau Morotai (Morotai) 62 7 Kab. Kepulauan Sula (Sanana) 182 8 Kab Ternate (Ternate) 439 9 Kab Tidore Kepulauan 55 Total 1.412
Sumber: UPTD. Balai Metrologi Maluku Utara, 2012
Dari tabel diatas terlihat bahwa jumlah UTTP yang mendapatkan pelayanan
tera/tera ulang terbanyak berada di Kota Ternate yakni sebesar 439 UTTP. Hal
52
tersebut selain lokasinya merupakan tempat UPTD Balai Metrologi berada yaitu di
Ternate dimana saat ini masih dalam proses perpindahan ke Sofifi, Ibukota Prov.
Maluku Utara juga dikarenakan kota Ternate merupakan pusat bisnis dan
perdagangan di Prov. Maluku Utara. Berbeda dengan Kabupaten Morotai dan Tidore
yang masing-masing mendapatkan pelayanan tera/tera ulang sebanya 62 dan 55
UTTP menjadikan kedua wilayah tersebut mendapatkan pelayan tera/tera ulang
terkecil karena disebabkan wilayahnya terletak jauh dari UPTD Balai Metrologi untuk
Kabupaten Morotai dan dikarenakan aktivitas ekonomi tidak seramai kota dan
kabupaten lainnya pada Kota Tidore.
Tabel 4.12. Jenis UTTP Yang Mendapatkan Pelayanan Tera/Tera Ulang tahun 2012
No Jenis UTTP Jumlah 1 Anak Timbangan (set) 122 2 Aspalt Mixing Plant 1 3 Badan Ukur 12 4 Batching Plant 1 5 Bejana Ukur 3 6 Dacin Logam 14 7 Depth Stick 2 8 Flow Meter 11 9 Meteran 29 10 Pompa Ukur BBM 46 11 Roll Meter 1 12 Stop Watch 16 13 Takaran Basah 45 14 Takaran Kering 84 15 Tangki Urkur Mobil 20 16 Timbangan B. Ingsut 4 17 Timbangan Elektronik 22 18 Timbangan Meja 8 19 Timbangan Pegas 853 20 Timbangan Sentisimal 111 21 Tutsida 2 22 Tutsit 2 23 Ukuran Tinggi 3 Total 1412
Sumber: UPTD. Balai Metrologi Maluku Utara, 2012
53
Berdasarkan laporan tahunan UPTD Balai Metrologi Provinsi Maluku Utara
pada tahun 2012, dapat diketahui bahwa jumlah UTTP yang telah dilayani oleh
UPTD Balai Metrologi Provinsi Maluku Utara adalah sebanyak 1412 UTTP atau
hanya sekitar 41% dari jumlah estimasi keseluruhan UTTP di seluruh pasar yang
berada di wilayah Provinsi Maluku Utara.
Tabel 4.13. Tabel Estimasi Jumlah UTTP di Prov. Maluku Utara
Jumlah Pasar Estimasi UTTP 2012 Pelayanan UTTP 2012 Jangkauan Pelayanan
73 3438 1412 41% Sumber: UPTD. Balai Metrologi Maluku Utara, 2012
Minimnya jumlah pelayanan UTTP yang telah dilakukan oleh UPTD Balai
Metrologi di Provinsi Maluku Utara, salah satunya disebabkan oleh terbatasnya
jumlah SDM Penera dimiliki oleh UPTD Balai Metrologi Provinsi Maluku Utara
seperti yang tertera pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.14. Kompisisi SDM Menurut Jabatan UPTD Balai Metrologi di Provinsi Maluku Utara, Tahun 2011-2013
SDM Menurut Jabatan 2011 2012 2013 Pranata Laboratorium - - - Penera Terampil - - - Penera Ahli 3 3 3 Pengawas - - - PPNS Metrologi 1 1 1 Penyuluh - - - Penguji - - - Pembantu Teknik 3 3 3 Administrasi 7 7 6 Jumlah SDM Keseluruhan 14 14 13
Sumber: UPTD. Balai Metrologi Maluku Utara, 2012
Berdasarkan hasil survey lapangan, dari tahun 2011 sampai dengan 2013
hanya terdapat 3 (tiga) orang penera ahli di UPTD Balai Metrologi Provinsi Maluku
54
Utara. Jumlah ini tidak cukup memadai terutama jika dibandingkan dengan luas dan
sebaran wilayah Maluku Utara yang terdiri dari 395 pulau besar dan kecil. Disamping
itu SDM penera yang dimiliki oleh Prov. Maluku Utara hanya berada di Kota Ternate
sementara kabupaten dan kota lain yang berada di Prov. Maluku Utara sama sekali
tidak memiliki SDM Penera.
Tabel 4.15.Komposisi SDM UPTD Balai Metrologi di Provinsi Maluku UtaraMenurut Pendidikan, Tahun 2011-2013
SDM Menurut Pendidikan 2011 2012 2013 SMA 5 5 5 Diploma 1 1 - S1 8 8 7 S2/S3 - - 1 Pendidikan Kedinasan - - - Jumlah SDM Keseluruhan 14 14 13
Sumber: UPTD. Balai Metrologi Maluku Utara, 2012
Berdasarkan tingkat pendidikan dari SDM UPTD balai metrologi terlihat bahwa
SDM yang dimiliki oleh Balai cukup memadai, karena mayoritas SDM yang berada di
balai memiliki tingkat pendidikan setara dengan S1 dan S2. Selain itu, mayoritas rata
– rata usia SDM juga berada pada rentang usia produktif, yakni 25 – 35 tahun,
namun tetap perlu dilakukan peningkatan kemampuan para penera secara berkala,
disamping penambahan SDM Pengawas dan SDM PPNS Metrologi.
Tabel 4.16.Tabel Komposisi SDM UPTD Balai Metrologi di Provinsi Maluku Utara Menurut Umur
SDM Menurut Umur 2011 2012 2013 ≤ 25 tahun 2 2 2 25 – 35 tahun 7 7 6 35 – 45 tahun 1 1 2 45 – 55 tahun 4 4 3 ≥ 55 tahun - - - Jumlah SDM Keseluruhan 14 14 13
Sumber: UPTD. Balai Metrologi Maluku Utara, 2012
55
Wilayah Maluku Utara yang mempunyai keunikan tersendiri dengan lokasi
yang berjauhan dan sebagian besar terpisah oleh laut menyebabkan kegiatan
tera/tera ulang membutuhkan biaya operasional yang sangat besar. Terbatasnya
anggaran APBN dan APBD dalam pembiayaan kegiatan pelayanan kemetrologian
(pelayanan, pengawasan dan penyuluhan) dan terbatasnya sarana dan prasarana
baik peralatan standar uji maupun peralatan yang mendukung mobilitas (sampai
saat ini tidak memiliki mobil operasional metrologi) menyebabkan pelayanan
metrologi di Maluku Utara kurang optimal
Keterbatasan anggaran dan SDM perlu ditanggapi dengan adanya
pemahaman yang baik antara Disperindag Prov. Maluku Utara sebagai yang
membawahi UPTD Balai Metrologi dan Disperindag Kabupaten/Kota dalam hal
pembagian tugas dan wewenang antara diantara mereka dalam memberikan
pelayanan kemetrologian. Juga jangan melupakan Dinas Pasar sebagai pembina
para pedagang di pasar-pasar tradisional untuk diikutsertakan dalam hal
pengawasan dan penyuluhan pelaksaan tera dan tera ulang UTTP. Saat ini
keinginan pendirian UPTD Balai Metrologi Disperindag Kota Ternate sedang
bergulir, namun disarankan sebaiknya pihak Disperindag Kota Ternate lebih
memperkuat pelayanan kemetrologian dari segi pengawasan dan
mengesampingkan keinginan pendirian UPTD karena mengingat pendirian UPTD
baru memerlukan biaya yang tidak sedikit dan SDM penera yang mencukupi. Saat
ini di Disperindag Kota Ternate tidak memiliki SDM penera.
Kurangnya kesadaran para wajib tera/pemilik/pengguna UTTP dalam
menera/menera ulangkan UTTP dan masih rendahnya pengetahuan tentang masa
berlaku tanda tera merupakan hambatan lain yang ditemui di lapangan terutama
para pedagang eceran di pasar tradisional, sehingga dirasa penting sosialisasi
mengenai pentingnya penggunaan alat UTTP yg telah ditera/tera ulang.
56
BAB V EVALUASI PELAYANAN TERA / TERA ULANG UTTP
Metrologi Legal memiliki 3 fungsi umum yang perlu dilaksanakan yaitu (1)
pelayanan Tera/Tera Ulang UTTP, (2) Pengawasan UTTP dan penegakan hukum,
serta (3) Penyuluhan dan pembinaan (UU No 2 Tahun 1981 tentang Metrologi
Legal). Kejadian yang ditemui didaerah survey menunjukkan bahwa fungsi yang
telah berjalan barulah fungsi pelayanan saja, sedangkan fungsi
pengawasan/penegakan hukum dan penyuluhan/pembinaan relatif belum berjalan
secara baik.
Sumber: UU No 2 Tahun 1981, Peraturan Menteri Perdagangan R.I. Nomor : 08/M-DAG/PER/3/2010
Gambar 5.1. Pelayanan dan Pengawasan Tera / Tera UlangUTTP
UPTD/SeksiPengawasan Metrologi Legal-
Pembeli
Pedagang
Transaksi perdagangan
Timbangan
Tanda tera sah
UPTD Metrologi Legal-Pelayanan
Pelayanan Tera/ Tera Ulang
Pengawasan UTTP
Reparatir UTTP
Peyuluhan Pedagang
Relatif Belum Berjalan
Relatif Sudah Berjalan
57
Belum berjalannya fungsi pengawasan dan penyuluhan terlihat dari masih
rendahnya jumlah kegiatan pengawasan, jumlah pengawas dan PPNS metrologi
legal di daerah, tidak adanya kegiatan pengawasan Metrologi Legal terhadap
timbangan secara benar, dan rendahnya penindakan terhadap pelanggaran
metrologi legal, khususnya pada timbangan, yang ada di pasar tradisional.
Pada saat ini fungsi pelayanan ini dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis
Daerah (UPTD) Metrologi Legal yang ada di Provinsi. Beberapa Kabupaten/Kota
tampak sudah membentuk UPTD metrologi Legal, tapi karena belum ada alokasi
anggaran dan formasi SDM yang sesuai, maka UPTD-UPTD metrologi legal
kabupaten/kota ini belum beroperasi memberikan pelayanan tera/tera ulang di
wilayah kerjanya. Pelaksanaan pelayanan masih dilakukan bekerjasama dengan
UPTD Provinsi.
Dari fungsi pelayanan yang relatif sudah dijalankan ini, pengamatan terhadap
pelaksanaan tera dan tera ulang di daerah kajian menunjukkan bahwa secara
umum, masih ada jeda (gap) yang negatif antara kebutuhan pelayanan tera/tera
ulang, dengan kapasitas pelayanan tera/tera ulang. Secara umum, kapasitas
pelayanan tera/tera ulang hanya dapat menjangkau sekitar 24,7% dari estimasi
populasi timbangan yang ada. Dari sisi perlindungan konsumen, nilai ini tergolong
sangat rendah.
Hasil survey dan FGD mengidentifikasikan beberapa hal yang dianggap
sebagai masalah yang dihadapi dalam melaksanakan pelayanan Metrologi Legal di
daerah (Gambar 5.2), yaitu Pemahaman dan dukungan pembuat kebijakan,
Anggaran terbatas, Kondisi sarana gedung rusak, Sarana lab dan standar yang
kurang, Pertumbuhan pedagang tradisional dan modern, Pengetahuan perawatan
dan pemeliharaan, Ketidakhati-hatian dalam pemindahan, Tidak ada pengawasan,
Tidak ada sanksi pelanggaran, sharing anggaran dari kabupaten, Data Wajib Tera
dan UTTP per kabupaten tidak ada, Koordinasi dalam pendataan, pengawasan dan
penindakan rendah, bentuk kelembagaan, pertumbuhan jumlah penera, dan
pertumbuhan jumlah layanan diberikan.
58
Gambar 5.2. Faktor Penyumbang Gap Pelayanan UTTP (Timbangan Meja dan Pegas)
Gejala utama yang tampak di daerah kajian adalah menurunnya jumlah
pelayanan tera ulang yang disediakan oleh UPT Metrologi Legal di daerah. Dari sisi
penyedia layanan (UPTD Metrologi Legal), tampak bahwa jumlah waktu pelayanan
yang dapat disediakan telah turun hampir sebesar 82% dalam 5 tahun terakhir.
Gejala tersebut diduga disebabkan oleh rendahnya prioritas urusan tera dan tera
ulang bagi pedagang dan pemerintah daerah. Dari pedagang, hal ini tampak dari
sikap pedagang terhadap kegiatan tera ulang, dan keberadaan tanda tera sah pada
timbangannya. Sedangkan sikap pemerintah daerah tampak dalam alokasi
anggaran, SDM, dan kelembagaan untuk penegakan urusan Metrologi Legal
khususnya kegiatan tera ulang timbangan yang ada di wilayah kerja mereka.Hasil ini
menunjukkan bahwa sebagai sebuah sistem, perlindungan konsumen melalui
jaminan ukuran dan takaran dalam perdagangan barang yang dilaksanakan melalui
kegiatan tera dan tera ulang UTTP, tampak tetap belum berjalan secara baik.
Jika tera ulang tahunan adalah kewajiban pemilik timbangan yang
menggunakan timbangannya untuk melakukan transaksi perdagangan dengan
GAP
59
masyarakat, maka idealnya arus permintaan tera ulang adalah dari pedagang
kepada UPT, bukan dalam arah yang sebaliknya, dimana tera ulang hanya
dilakukan oleh pedagang yang pasarnya didatangi oleh penera UPT. Hal ini
disebabkan karena pedagang tidak tahu kewajiban tersebut, tidak ada fungsi
pengawasan dan penindakan sehingga pedagang tidak merasa itu bukan kegiatan
yang penting, dan waktu pelayanan dari UPT yang terlalu pendek sehingga lepas
dari masa pelayanan, pedagang tidak dapat lagi melakukan tera ulang.
Ketiadaan fungsi pengawasan dan penindakan, membuat kewajiban tera ulang
tidak menjadi prioritas pemilik timbangan. Tidak seperti STNK (Surat Tanda Nomor
Kendaraan), misalnya, yang sangat diperhatikan oleh pengendara kendaraan
bermotor, keberadaan Tanda Sah hasil tera/tera ulang bukanlah hal yang
dipentingkan oleh pedagang karena tanpa tanda itu pun, mereka masih bisa
menggunakan timbangannya untuk berdagang.
Saat ini, pelaksana fungsi pengawasan ada pada Seksi Pengawasan dan
Perlindungan Konsumen yang ada dibawah Bidang Perdagangan Dalam Negeri.
Namun seksi ini lebih memfokuskan diri pada pengawasan terhadap barang, bukan
kepada alat UTTP yang digunakan. Seksi juga belum memiliki Pengawas Metrologi
Legal dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Metrologi Legal yang memiliki
wewenang untuk melakukan pengawasan UTTP dan penyidikan (berkoordinasi
dengan penyidik Polri) jika ditemukan pelanggaran. Saat ini, jika Seksi
Pengawasan dan Perlindungan Konsumen akan melakukan pengawasan, maka
mereka akan meminta tenaga Penera dari UPT Provinsi untuk bertindak sebagai
Pengawas dalam kegiatan pengawasan barang yang akan dilakukan.
Bagian penting dalam pelaksanaan kegiatan tera ulang UTTP adalah
keberadaan perusahaan reparatur UTTP yang kompeten dan profesional. Dalam
pelayanan tera ulang timbangan, misalnya jika sebuah timbangan dinyatakan tidak
standar, maka timbangan tersebut pada hakikatnya adalah tidak boleh dipergunakan
dan dikembalikan kepada pemiliknya. Pemilik kemudian dapat memperbaiki atau
mengganti timbangan dengan yang masih standar. Jika ingin diperbaiki, maka
Pemilik harus membawa timbangan tersebut ke perusahaan reparatur timbangan
untuk diperbaiki sebelum dapat menera ulang kembali timbangannya. Namun dalam
pelaksanaanya, untuk mempermudah pelayanan, ketika tera ulang dilaksanakan,
UPTD biasanya sudah menyediakan perusahaan reparatur yang dirujuk oleh UPTD
60
untuk memperbaiki timbangan yang dinyatakan tidak standar (lihat gambar
5.3).Dengan demikian keberadaan perusahaan reparatur yang kompeten amat
diperlukan untuk mendukung pelaksanaan tera ulang yang berhasil.Hasil
pengamatan menunjukkan beberapa keluhan pedagang berkenaan dengan kinerja
reparatur dalam memperbaiki timbangan.
Gambar 5.3. Peran Reparatur Dalam Prosedur Tera Ulang
Mulai Pendaftaran administrasi
Tera-1
Lulus?
Tera-2
Bisa reparasi?
Stempel tanda Sah
Stempel tanda Batal
Pembayaran biaya tera dan reparasi
Selesai
Reparasi (Oleh Perusahaan Reparatir ditunjuk)
ya
tidak
ya
tidak
Lulus?
ya
tidak
61
BAB VI GAP PELAYANAN TERA/TERA ULANG DENGAN PERKEMBANGAN
PENGGUNAAN ALAT UTTP DI PASAR TRADISIONAL
Seperti telah disampaikan di bab 4 dan 5, hasil survey dan FGD
mengidentifikasikan beberapa hal yang dianggap sebagai masalah dalam
pelaksanaan tera/tera ulang di daerah (Gambar 5.2), yaitu: pemahaman dan
dukungan pembuat kebijakan; keterbatasan anggaran; kondisi sarana prasarana
yang rusak atau tidak lengkap; sarana laboratorium dan standar yang sudah
tua/kurang; pertumbuhan pedagang tradisional dan modern yang lebih tinggi dari
pertumbuhan peralatan yang dimiliki; pengetahuan dan kesadaran pedagang
mengenai metrologi legal dan cara-cara perawatan dan pemeliharaan timbangan;
ketidakadaan pengawasan UTTP; tidak ada sanksi terhadap pelanggaran yang
dilakukan; adanya sharing anggaran dari Kabupaten/Kota; belum lengkapnya Data
Wajib Tera (WT) dan UTTP per kabupaten; rendahnya koordinasi dalam pendataan,
pengawasan dan penindakan Metrologi Legal; bentuk kelembagaan yang kurang
mendukung wewenang yang diperlukan; jumlah SDM penera dan SDM pendukung;
serta keberadaan reparatur timbangan yang handal dan profesional.
Jika permasalahan-permasalahan diatas dikelompokkan, maka sebagian
masalah tersebut termasuk sebagai pendorong penyediaan pelayanan pelayanan
tera/tera ulang UTTP, dan sebagian merupakan pembentuk permintaan terhadap
pelayanan metrologi legal. Permasalahan seperti: Jumlah dan kapasitas SDM;
Jumlah Sarana Prasarana pendukung; Anggaran; Kelembagaan; Sistem/Tata kerja/
SOP; Peraturan perundangan; dan keberadaan SDM pendukung adalah hal-hal
yang dapat digolongkan sebagai pembentuk supply dari pelayanan tera/tera ulang
UTTP. Sedangkan hal-hal seperti: pertumbuhan dan Jumlah UTTP timbangan meja
dan pegas; keberadaan fungsi Pengawasan dan Penegakan peraturan; serta
kesadaran pedagang dan pembeli, sebagai hal yang mendorong permintaan
terhadap pelayanan metrologi legal. Sedangkan perhatian dan prioritas pemerintah
terhadap urusan metrologi legal merupakan faktor yang mempengaruhi kedua sisi
permintaan dan penawaran dalam pelayanan tera/tera ulang. Perubahan dan kondisi
62
dari masing-masing faktor tersebut mempengaruhi besarnya gap pelayanan
metrologi legal yang mungkin terjadi.
Gambar 6.1. Faktor Pendorong Supply dan Demand Pelayanan Tera/Tera Ulang UTTP Pada Timbangan
6.1. Gambaran Komponen Gap Pelaksanaan Pelayanan Tera/Tera Ulang UTTPDi Pasar Tradisional
a. Kelembagaan Pelaksana Pelayanan Tera/Tera Ulang UTTP
Pelaksanaan Metrologi Legal setidaknya harus meliputi 3 fungsi utama yaitu:
(1) Pelayanan tera/tera ulang, (2) Pengawasan UTTP, dan (3) Penyuluhan
masyarakat. Secara umum, bentuk kelembagaan yang ada di wilayah survey pada
saat ini hanya menjawab fungsi pelayanan tera dan tera ulang, namun tidak
menjawab kebutuhan pengawasan dan penyuluhan.
Pelayanan Tera/Tera Ulang UTTP Timbangan
• Jumlah UTTP timbangan meja dan pegas (+)
• Pelaksanaan fungsi pengawasan UTTP(+)
• Penegakan peraturan (+)
• Kesadaran dan pengetahuan pedagang (+)
• Kemajuan perdagangan daerah (-)
• Jumlah dan kapasitas SDM penera (+)
• Jumlah Sarana Prasarana pendukung (+)
• Anggaran (+) • Kewenangan Kelembagaan
(+) • Perusahaan reparatur (+) • SDM pendukung (+) • Sistem/Tata kerja/ SOP (0) • Peraturan perundangan (0) • Nilai transaksi UTTP (-) • Prioritas pemerintah daerah
(-) • Kemajuan perdagangan
daerah (-)
63
Pelaksana pelayanan metrologi legal kebanyakan berada di bawah Unit
Pelaksana Teknis Metrologi Legal yang berada di bawah Dinas yang membidangi
Perdagangan pada pemerintah Provinsi.
Tabel 6.1. Lembaga Pelaksana Pelayanan Tera/Tera Ulang UTTP di Daerah Survey
Daerah Bentuk Dibawah Koordinasi Bali (UPTD) Unit Pelaksana Teknis
Metrologi Denpasar Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali
Bandung (UPTD) Balai Kemetrologian Bandung, Cirebon, Bogor, Karawang, Tasikmalaya
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat
Ternate Bidang Kemetrologian Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Maluku Utara
Sumber: Data Diolah
Sebagai UPTD, pelaksanaMetrologi Legal yang ada saat ini hanya bertugas
sebagai pelaksafungsi Pelayanan Metrologi Legal (melakukan tera dan tera ulang),
sedangkan fungsi Pengawasan dan Penyuluhan tidak berada dibawah kewenangan
UPTD. Dari sisi pelayanan tera dan tera ulang, hal ini dinilai sudah mencukupi.
Di daerah kajian, fungsi pengawasan dan penyuluhan biasanya dilaksanakan
oleh aparatur dari Dinas Perindustrian Perdagangan, melalui seksi Perlindungan
Konsumen disamping karena ketiadaan unit yang melaksanakan pengawasan,
Fungsi pengawasan tidak optimal dijalankan karena satuan kerja pelaksana
pengawasan UTTP di daerah kajian tidak memiliki tenaga pengawas dan penyelidik
(PPNS) yang dibutuhkan untuk melakukan pengawasan ini.
Di Bali, pelaksanaan pengawasan dan penyuluhan dilakukan bersamaan
dengan pengawasan barang beredar oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kabupaten/Kota. Dalam kegiatan ini, tim pengawas mendatangi pasar-pasar yang
ada di dalam wilayah kerjanya secara bergiliran untuk mengawasi bahan makanan
dari penggunaan zat berbahaya bagi kesehatan konsumen, barang dalam kemasan
tertutup, dan lainnya. Dalam kesempatan tersebut, petugas penera dari UPT
Metrologi legal biasanya disertakan untuk membantu memberi masukan
berhubungan dengan penggunaan timbangan dan alat UTTP lainnya.
64
Sumber: UPT Metrologi Legal Prov Bali
Gambar 6.2. Struktur Organisasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali
Kegiatan pengawasan seperti ini tidak dapat rutin dlaksanakan pada setiap
pasar yang ada karena keterbatasan jumlah SDM yang ada, dan ketika ditemukan
pelanggaran, maka tidak dapat dilakukan penyidikan karena daerah belum memiliki
PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) yang berwenang melakukan penyidikan.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Sekretariat
Sub bagian penyusunan program
Sub bagian Umum dan Kepegawaian
Sub bagian Keuangan
Bidang Perindustrian Bidang pengkajian dan pengembangan
Bidang Perdagangan Dalam Negeri
Bidang Perdagangan Luar Negeri
Seksi Industri Kecil dan Menengah
Seksi Pengumpulan dan Pengolahan
Data
Seksi Pembinaan Usaha dan Sarana
Perdagangan
Seksi Impor
Seksi Industri Besar Seksi Pengkajian Data
Seksi Pengadaan dan Penyaluran
Seksi Ekspor
Seksi Standarisasi dan Pengendalian
Industri
Seksi Evaluasi dan Pelaporan
Seksi Pengawasan dan Perlindungan
Konsumen
Seksi Kerjasama dan Promosi Ekspor
UPT
Kelompok Jabatan Fungsional
UPT Usaha Mikro Kecil dan Menengah
UPT Metrologi UPT Balai Pengujian dan Sertifikasi mutu
barang
Kelompok Jabatan Fungsional
Sub Bagian Tata Usaha
Kelompok Jabatan Fungsional
Sub Bagian Tata Usaha
Kelompok Jabatan Fungsional
Sub Bagian Tata Usaha
65
Sumber: Dinas Perindustrian Perdagangan Prov Jawa Barat
Gambar 6.3. Struktur Organisasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat
Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Bagian Tata Usaha
Sub bagian Keuangan
Sub bagian Kepegawaian
Sub bagian Umum
Sub Dinas Industri Logam, Kimia dan
Aneka
Sub Dinas Bina Program
Sub DinasPerdagangan
Dalam Negeri
Sub DinasPerdagangan
LuarNegeri
Seksi Logam dan Mesin
Seksi Data dan Informasi
Seksi Usaha Perdagangan dan Perlindungan Kons
Seksi Ekspor Hasil Industri
Seksi Kimia Seksi Penyusunan Program
Seksi Pengadaan dan Penyaluran
Seksi Ekspor Hasil Non-Industri
Seksi AgroIndustri Seksi Evaluasi dan Pelaporan
Seksi Pendaftaran Perusahaan
Seksi Impor
UPTD
Kelompok Jabatan Fungsional
Seksi Promosi dan Kerja Sama Luar
Neger
Balai Kemetrologian Tasikmalaya
Seksi Sarana dan Promosi Dagan
Seksi Aneka Industri
Sub DinasIndustri Kecil Menengah
Seksi Kimia dan Agro
Seksi Sandang dan Kulit
Seksi Logam, Mesin dan Elektronika
Seksi Kerajinan
Balai Kemetrologian Cirebon
Balai Kemetrologian Bandung
Balai Kemetrologian Karawang
Balai Kemetrologian Bogor
66
Sumber: UPTD Balai Metrologi Provinsi Maluku Utara
Gambar 6.4. Struktur Organisasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Maluku Utara
Hasil diskusi kelompok terarah (FGD) yang dilakukan menunjukkan pentingnya
keberadaan unit kerja pengawasan UTTP di daerah yang mampu melakukan
pengawasan secara benar dan meningkatkan hasil pengawasan menjadi
penyidikan. Satuan kerja yang diusulkan adalah UPT Pengawasan UTTP yang
masih berada dibawah Dinas Perdagangan Provinsi.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kelompok Jabatan Fungsional
Sekertaris Dinas
Sub Bagian Keuangan
Sub Bagian Program Sub Bagian Kepegawaian &
Umum
Bidang Perdagangan Dalam Negeri
Bidang Perdagangan Luar Negeri
Bidang Kemetrologian Bidang Industri
Seksi Perdagangan dan Penyaluran
Seksi Fasilitas Ekspor Hasil Industri dan Non
Industri
Seksi Metrologi Seksi IKM
Seksi Sarana Perdagangan
Seksi Fasilitasi Impor dan Kerjasama Luar Negeri
Seksi Perlindungan Konsumen
Seksi Agro
Balai Pengembangan dan Promosi
67
1) Kelembagaan Pelaksana Pelayanan Tera/Tera Ulang UTTPPadaPemerintah Kabupaten/Kota
Pada saat ini beberapa Kabupaten/Kota sudah memiliki satuan kerja
pemerintah daerah yang menangani masalah Metrologi Legal juga, namun
pelaksanaan tugasnya masih terbatas pada fungsi Pengawasan dan Penyuluhan,
belum pada fungsi Pelayanan. Kelembagaan Metrologi Legal di tingkat
Kabupaten/Kota sesungguhnya dapat menjadi jawaban bagi kekurangan kapasitas
UPT metrologi legal Provinsi dalam melaksanakan pelayanan, pengawasan dan
penyuluhan metrologi legal.
Kotamadya Denpasar di Bali, misalnya, telah memiliki Seksi Metrologi dan
Standarisasi, serta Seksi Perlindungan Konsumen, yang ada dibawah Bidang
Kerjasama dan Perlindungan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota
Denpasar. Pada saat ini, satuan kerja tersebut sudah mulai melaksanakan fungsi
Pengawasan secara terbatas dan Penyuluhan, namun belum bisa melakukan fungsi
Pelayanan Metrologi Legal. Dalam melaksanakan pelayanan, seksi metrologi masih
menumpukan diri pada UPT Metrologi Legal provinsi Bali dengan jalan melakukan
bagi/sharing anggaran bagi pelaksanaan tera ulang di pasar tradisional yang ada di
kotamadya Denpasar. Kota Denpasar belum memiliki SDM penera untuk dapat
melakukan fungsi pelayanan sendiri.
Pemerintahan Kabupaten Badung di Bali, melalui Bidang Pembinaan dan
Perlindungan, juga telah memiliki Seksi Perlindungan Konsumen, Seksi Metrologi,
dan Seksi Perselisihan Konsumen. Hanya saja pada saat ini, unit kerja ini belum
berfungsi karena belum memiliki alokasi formasi SDM.
Kelembagaan Metrologi Legal di tingkat Kabupaten/Kota sesungguhnya dapat
menjadi jawaban bagi kekurangan kapasitas UPT Metrologi Legal Provinsi dalam
melaksanakan pelayanan, pengawasan dan penyuluhan Metrologi Legal, sepanjang
koordinasi, pembagian tugas kewenangan, dan alokasi anggaran dapat didefinisikan
secara jelas diantara pemerintahan Provinsi dengan pemerintahan Kabupaten/Kota.
a. Jumlah dan Kapasitas SDM Metrologi Legal
Hasil survey menunjukkan bahwa secara umum, jumlah dan kapasitas SDM
Metrologi Legal relatif mencukupi untuk melaksanakan pelayanan Metrologi Legal
bagi timbangan meja dan pegas. Namun hasil survey menunjukkan bahwa jumlah
68
dan kapasitas ini harus ditingkatkan seiring waktu terutama untuk menghadapi
pertumbuhan penggunaan alat ukur dan timbangan elektronik/digital.
Tabel 6.2. Jumlah SDM UPT Metrologi Legal Wilayah Denpasar, Bandung, Ternate Tahun 2013
Denpasar Bandung Ternate Jumlah Grow Jumlah Grow Jumlah Grow
Jumlah SDM keseluruhan 28 -3,4% 38 0% 13 Jumlah Penera 20 -4,6% 18 -7,4% 3 0% Jumlah Pengawas - - - - - Jumlah Penyuluh - - - - - - PPNS Metrologi - - - - 1 0% Komposisi SDM-diatas 45 th 71,4% 9,1% 70% 0%
Sumber: Data Diolah
Pada tahun 2013, UPT Metrologi Legal Provinsi Bali memiliki jumlah SDM
sebanyak 28 orang.Dari jumlah tersebut, 22 orang adalah Penera, dan 6 orang
merupakan tenaga keuangan dan pembantu teknik. Wilayah Jawa Barat memiliki
total SDM metrologi sebanyak 38 orang, dengan 18 penera, 16 tenaga pelaksana,
dan 6 tenaga administrasi. Wilayah Ternate memiliki jumlah SDM metrologi total
sebanyak 13 dengan komposisi: penera 3 orang, PPNS metrologi 1 orang, tenaga
pembantu teknis 3 orang, dan tenaga administrasi 6 orang.
Dari data yang diberikan, tampak bahwa komposisi SDM metrologi legal
cenderung menurun dari tahun ke tahun, terutama dari sisi tenaga penera.Baik di
Denpasar dan Bandung, tenaga penera mengalami tingkat pertumbuhan yang
negatif.
69
Tabel 6.3. Gap SDM Metrologi Legal Wilayah Denpasar, Bandung, dan Ternate
Denpasar Bandung Ternate Dugaan populasi UTTP timbangan 165.987 unit 1.172.042 unit 3.438 unit Jumlah pelayanan maksimal yang mungkin dilakukan tahun 2012
52.500 unit – 78.750 unit
425.250-567.000 unit
4.200-6.300 unit
Jumlah Pelayanan 2012 49.796 unit 37.270 unit 1.412 unit Jangkauan pelayanan maksimal 31,6% - 47,4% 36,3% - 48,4% 100% Gap pelayanan maksimal 52,6% - 68,4% 51,6% - 63,7% 0% Jangkauan pelayanan 2012 29,9% 3,2% 41,1% Gap pelayanan 2012 70,1% 96,8% 58,9% Kebutuhan SDM 40 – 60 orang 224-297 orang 0 orang Jumlah SDM penera saat ini 20 orang
(di Denpasar dan Singaraja) Growth= - 4,6%
108 orang (di Bandung, Tasik, Cirebon, Karawang, dan Bogor) Growth= - 7,4%
3 orang (di Ternate) Growth= 0,0%
Gap SDM penera 20 – 40 orang 116-189 orang 0 orang Gap SDM penunjang 12 – 22 orang 68 orang 0 orang Kategori SDM saat ini* C C A Kategori SDM 5 tahun kedepan D
(memperhatikan pertumbuhan negatif)
D (memperhatikan pertumbuhan negatif)
A
Keterangan: *Kategori A=4=100% saat ini hingga 5 tahun ke depan B=3=Hingga 100% timbangan dapat dilayani saat ini C=2=Hingga 75% timbangan dapat dilayani saat ini D=1=Hingga 50% timbangan dapat dilayani saat ini E=0=Hingga 25% timbangan dapat dilayani saat ini
1) Bali Jumlah pelayanan maksimal wilayah Bali dihitung dari jumlah penera dikalikan
dengan jumlah pelayanan tera ulang timbangan yang dapat dilakukan dalam 1 hari,
dikalikan dengan jumlah hari pelayanan. Dalam wawancara diketahui bahwa
pelaksanaan tera ulang timbangan dilakukan dengan mengirim tim tera ulang ke
pasar tempat pedagang berada. Dalam suatu kunjungan, satu tim beranggotakan 6
orang, terdiri dari 4 orang Penera dan 2 orang petugas administrasi/ keuangan,
biasanya dapat menangani antara 50 hingga 90 tera ulang timbangan per hari
pelayanan. Rata-ratanya adalah sebesar sekitar 75 timbangan per hari pelayanan.
Berdasarkan hal tersebut, maka UPT Bali, dengan jumlah SDM yang dimilikinya
hanya dapat membentuk 4 tim tera, sehingga jumlah timbangan yang dapat dilayani
70
maksimal adalah 4 tim x 75 timbangan x 210 hari pelayanan per tahun, atau sama
dengan 78.750 unit timbangan per tahun. Jumlah ini dapat berkurang jika tim harus
dipecah untuk melayani juga tera ulang UTTP lain di wilayah Bali. Dengan
demikian, pelayanan timbangan yang dapat diberikan mungkin berkisar antara
52.500 – 78.750 timbangan per tahunnnya.
Jika diperhatikan, jumlah ini masih lebih kecil dari dugaan jumlah UTTP
timbangan yang ada di Bali.Wawancara dan data UPT Bali menunjukkan bahwa
diduga Bali memiliki jumlah UTTP timbangan sebanyak 165.987 unit pada tahun
2012. Dengan demikian jangkauan pelayanan UPT Bali hanya berkisar antara
31,6%-47,4%. Yang berarti menyisakan gap pelayanan sebesar 52,6%-68,4%.
Jika gap ini ingin ditutup, maka dari sisi SDM, setidaknya Bali harus memiliki
10 hingga 15 tim tera yang dapat bergerak bersamaan. Dengan demikian
kebutuhan jumlah tenaga Penera adalah antara 40 hingga 60 orang.Jika saat ini
UPT sudah memiliki SDM penera sebanyak 20 orang, maka jumlah penera masih
perlu ditambah sebanyak antara 20-40 orang lagi. Jumlah ini dapat ditutupi dengan
menggunakan tenaga SDM yang ada di UPT Kabupaten/Kota yang akan dibentuk di
masa depan.
SDM administrasi yang dibutuhkan idealnya berjumlah antara 20 hingga 30
orang. Jika saat ini UPT Bali baru meiliki 8 tenaga administrasi/keuangan, maka
dimasa depan jumlah ini perlu ditambah sebanyak 12-22 orang lagi. Sama dengan
penera, jumlah ini dapat diisi juga dengan SDM yang berasal dari UPT
Kabupaten/Kota.
2) Bandung Jumlah timbangan yang dihadapi oleh UPT Metrologi Legal Jawa Barat lebih
banyak lagi.Menurut catatan dari Sucofindo tahun 2011, diduga jumlah UTTP
timbangan di Jawa Barat adalah sebesar 1.172.042 unit. Hasil wawancara
menunjukkan bahwa jangkauan pelayanan tera ulang di Jawa Barat diduga sebesar
36,3% - 48,4%. Jumlah ini tidak berbeda terlalu jauh dengan hasil di provinsi Bali.
Kebutuhan Jawa Barat, jika dilihat dari jumlah UTTP timbangannya adalah
sebanyak 224-297 orang penera (1.172.042 unit timbangan, dibagi 210 hari
pelayanan, dibagi 75 timbangan per hari pelayanan oleh satu tim, dikalikan 3-4
penera per tim). Sedangkan kebutuhan tenaga pendukung diperkirakan berjumlah
71
68 orang (asumsi dihitung dari kebutuhan pembentukan 74 tim tera, dikurangi jumlah
tenaga pendukung yang ada saat ini).
3) Ternate Wilayah Ternate memiliki kondisi geografis yang khas dibanding 2 wilayah
survey lainnya.Wilayah pelayanan UPT tersebar dalam 9 kabupaten pulau yang
beberapa diantaranya dipisahkan oleh lautan. Kondisi ini membuat pelayanan tera
ulang menjadi relatif lebih sulit untuk dilakukan. Pada saat ini, pelayanan tera ulang
hanya dilaksanakan di ibukota provinsi, yaitu di kota Ternate, mengingat aktivitas
perdagangan lebih banyak di kota ini. Mempertimbangkan kondisi geografis ini,
faktor pengali jumlah pelayanan untuk wilayah Ternate telah disesuaikan, dari 50-75
unit per tim per hari di wilayah Bali dan Jawa Barat, menjadi 10-20 unit per tim per
hari. Dengan demikian, dugaan pelayanan maksimal yang dapat diberikan oleh
jumlah SDM yang ada berkisar antara 4.200-6.300 unit timbangan per tahun.
Jika dihitung, maka SDM yang ada sesungguhnya cukup untuk melayani
seluruh kebutuhan pelayanan tera/tera ulang timbangan yang ada di wilayah
ini.Secara teoritis, coverage pelayanan Ternate adalah 100%. Namun berbagai
kendala, terutama transportasi, membuat jangkauan sesungguhnya hanya pada
tingkat 41,1%.
Untuk pelayanan tera/tera ulang timbangan, hasil wawancara di seluruh
daerah menunjukkan kompetensi SDM yang ada masih sesuai dengan kebutuhan
yang ada.Kurikulum pendidikan penera yang dilaksanakan oleh Balai Diklat
Metrologi dinilai masih sesuai dengan pelayanan yang perlu dilakukan.
c.Sarana Prasarana
Faktor sarana prasarana secara umum berbeda-beda diantara wilayah
survey.Bali tampak memiliki kekurangan dalam kualitas peralatan laboratorium dan
pendukung. Kondisinya yang sudah lama, kapasitasnya kurang, dan ada yang
belum tersedia, membuat kegiatan tera/tera ulang timbangan di masa depan
menjadi tidak mengikuti perkembangan UTTP-nya.
72
Table 6.4.Catatan Mengenai Sarana UPT Bali, Bandung, dan Ternate.
Wilayah Bidang Tanah dan Bangunan Peralatan laboratorium Kendaraan operasional Bali Sarana • 1 gedung UPT dan lab
massa, volume, panjang, dan arus di Denpasar
• 1 gedung instalasi ukur air dan taxi di Denpasar
• 1 gedung UPT di SIngaraja
• Laboratorium Kimia, lab. Mikrobiologi, Lab. Massa dan Timbangan, Lab. Ukur Arus.
• Timbangan Ukur Mobil (TUM) (belum dibangun)
• Akreditasi lab = B
• 2 Truk roda 6 (sering rusak, sudah tua)
• 1 Elf (berfungsi) • 1 Station wagon Strada
(berfungsi)
Kondisi • Tanah dan bangunan dinilai sangat kurang dan perlu diperbaiki karena rusak.
• Untuk timbangan dinilai mencukupi
• Peralatan lab/pendukung dinilai sangat kurang sehingga Beberapa jenis UTTP tertentu tidak dapat diuji
• Belum ada master untuk UTTP thermometer, dan alat ukur tekanan
• Penyangga TUM belum dibangun
• Neraca tera sudah rusak. Timbangan eletronik belum memadai
• Untuk pelayanan timbangan dinilai mencukupi
• Truk sering rusak sehingga menghambat operasional
• Jumlah dan kondisi dinilai sangat kurang
Kategori* • C, saat ini • D, 5 tahun lagi
• B (timbangan), saat ini • D, 5 tahun lagi
• D, saat ini • E, 5 tahun lagi
Bandung Sarana • UPT Bandung memiliki tanah keseluruhan 5000m2, bangunan kantor 1400m2, lab 70m2, bangunan pendukung lainnya 95m2
• Perlatan Lab dibeli tahun 2003-2006.
• UPT memiliki 5 mobil dan 1 sepeda motor
Kondisi • Bangunan dan tanah yang ada dalam kondisi baik dan dinilai mencukupi
• Peralatan dinilai mencukupi • Jumlah kendaraan ini dinilia mencukupi untuk melayani wilayah kerja
Kategori* • A saat ini • A, 5 tahun lagi
• B, saat ini • B, 5 tahun lagi
• C, saat ini • D, 5 tahun lagi
Ternate Sarana • Tanah bangunan termasuk gedung kantor seluas 650 m2
• Gedung dan Lab bergabung dalam satu bangunan
• Lab memiliki peralatan standard ukur massa, panjang, volume dan suhu
• Tidak memiliki kendaraan operasional
Kondisi • Dinilai mencukupi untuk melaksanakan pelayanan metrologi
• Kondisi bangunan relatif kurang terawat mengingat ada rencana pemerintah
• Lab dinilai kurang luas untuk menampung aktivitas pelayanan
• Kondisi alat standard kurang mutakhir untuk mengimbangi jenis-jenis UTTP baru
• Padahal keberadaan kendaraan operasional sangat ddibutuhkan dalam menjakau daerah pelayanan
73
Wilayah Bidang Tanah dan Bangunan Peralatan laboratorium Kendaraan operasional daerah Maluku Utara untuk memindahkan semua kantor pelayanan ke Sofifi dari Ternate
• Namun bagi pelayanan timbangan dinilai masih mencukupi
Kategori* • C saat ini • A 5 tahun lagi (karena
pindah ke gedung baru)
• B saat ini • C 5 tahun lagi
• E saat ini • E 5 tahun lagi
Keterangan: * Kategori A=4=Jumlah dan kondisi sarana mendukung penuh pelayanan tera/tera ulang timbangan hingga 5 tahun mendatang B=3=Jumlah dan kondisi sarana mendukung penuh pel. tera/tera ulang timbangan saat ini C=2=Jumlah dan kondisi sarana mendukung hingga 75% jenis timbangan saat ini D=1=Jumlah dan kondisi sarana mendukung hingga 50% jenis timbangan saat ini E=0=Jumlah dan kondisi sarana mendukung hingga 25% jenis timbangan saat ini
4) Anggaran
Anggaran menentukan jumlah pelayanan yang dapat disediakan oleh
UPT.Anggaran UPT dapat bersumber dari APBN dan APBD. Secara rata-rata,
anggaran yang ada hanya dapat mendukung sekitar 30% jangkauan UPT saat ini.
Dimasa depan, UPT metrologi Provinsi perlu bekerja sama dengan UPT metrologi
Kabupaten/Kota untuk berbagi pelayanan sehingga mengoptimalkan anggaran yang
ada. Dalam hal ini, peran koordinasi Gubernur terhadap Kabupaten, dalam
pelayanan publik perlindungan konsumen melalui tera ulang timbangan, perlu
ditingkatkan.Hambatannya adalah, pada saat ini, masalah tera/tera ulang belum
menjadi prioritas bagi kepala daerah.
Kementerian Perdagangan, melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
86/2012 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang
Sarana Perdagangan Tahun Anggaran 2013, sesungguhnya telah mencoba
mengangkat masalah perdagangan ini. Namun dana ini di tahun 2012 ditujukan
untuk Pemerintah Kabupaten/Kota. Padahal UPT saat ini lebih banyak berada di
bawah Pemerintah Provinsi.Menurut beberapa keterangan, di tahun 2014, DAK
Bidang Sarana Perdagangan ini dapat juga dialokasikan untuk Provinsi.Untuk itu
dalam jangka pendek mungkin Kementerian Perdagangan perlu memperkenankan
agar di tahun 2014, DAK Bidang Sarana Perdagangan ini dapat juga dialokasikan
untuk Provinsi, sambil menunggu kesiapan Kabupaten/Kota untuk melaksanakan
pelayanan metrologi legal di daerahnya.
74
Tabel 6.5.Catatan Mengenai Anggaran UPT Bali, Bandung, dan Ternate.
Wilayah Jumlah Anggaran Keterangan Kategori anggaran* Bali • Anggaran APBD Rp
544.498.000 • Anggaran APBN Rp
125.916.000
• Anggaran dinilai sangat kurang • Untuk pelayanan timbangan dinilai
sangat kurang • Tidak semua titik sidang dapat dilayani • Anggaran hanya dapat digunakan
untuk melaksanakan 32 hari pelayanan. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun 2007 yang bisa mencapai 210 hari pelayanan
• Anggaran APBN digunakan untuk: Pengawasan dan penyidikan kemetrologian (Rp 67, 323 jt), dan Fasilitasi pembentukan pasar tertib ukur (58,593 jt)
• D, saat ini
Bandung • Jumlah anggaran dari APBD Provinsi Jawa Barat sebesar Rp 1,5 Milyar
• Anggaran mencukupi untuk pelayanan selama 151 hari pelayanan untuk beragam UTTP.
• Proporsi alokasi anggaran untuk pelayanan tera/tera ulang timbangan diduga lebih kecil dibandingkan untuk UTTP meter SPBU dan taksi.
• C, saat ini
Ternate • Anggaran untuk melakukan pelayanan kemetrologian pada tahun 2013 ditiadakan dialokasi untuk kegatan Pilkada Ulang Propinsi
• Kebutuhan anggaran relatif berbeda karena wilayah/geografis yang berbentuk kepulauan.
• E, saat ini
Keterangan: A=4=Mencukupi untuk pelayanan timbangan dan seluruh UTTP lainnya B=3=Mencukupi untuk pelayanan 100% timbangan C=2=Mencukupi untuk pelayanan 75% timbangan D=1=Mencukupi untuk pelayanan 50% timbangan E=0=Mencukupi untuk pelayanan 25% timbangan
e. Jangkauan Pelayanan Tera/Tera Ulang Timbangan
Pengamatan menunjukkan bahwa UPTD di daerah kajian memiliki perbedaan
fokus perhatian terhadap timbangan meja dan Pegas yang mempengaruhi jumlah
pelayanan Metrologi Legal terhadap timbangan ini UPTD Bandung misalnya, tampak
tidak lagi memfokuskan diri pada pelayanan metrologi legal bagi timbangan meja
dan pegas. Dalam pandangan UPTD Bandung, populasi timbangan meja dan pegas
di wilayah kerja mereka sudah semakin kecil dan mulai ditinggalkan. Pedagang,
menurut keterangan yang diberikan, sudah mulai beralih ke timbangan elektronik.
Karena itu, jika dilihat dari data pelayanan, pelayanan kepada timbangan meja dan
75
pegas di Bandung relatif sangat rendah dibandingkan jumlah anggaran yang dimiliki.
UPTD Bandung tampak lebih memprioritaskan pelayanan kepada UTTP yang lebih
besar nilai resiko dan transaksinya kepada masyarakat, seperti timbangan industri di
pabrik, meter, dan SPBU. Hal ini juga didukung oleh pertumbuhan perdagangan di
kota Bandung dimana pertumbuhan pasar dan retail modern relatif cepat dibanding
keberadaan pasar tradisional.
Tabel 6.1. Jangkauan Pelayanan Tera/Tera Ulang UTTP
Wilayah Tingkat Kemajuan Perdagangan
Karakteristik Prioritas UPTD Terhadap Timbangan
Jangkauan pelayanan
Bandung Maju • Pasar modern dan tradisional relatif berimbang dalam melayani masyarakat.
• Jumlah dan pertumbuhan pasar dan retail modern lebih cepat dibandingkan pasar tradisional
• Konsumen terbiasa menggunakan ukuran dan takaran dalam satuan metrik.
• Jumlah UTTP besar • Nilai transaksi dan resiko UTTP
selain timbangan relatif lebih besar.
Rendah 3,2%
Bali Cukup Maju • Pasar tradisional masih dominan untuk memenuhi kebutuhan bahan pokok masyarakat.
• Konsumen terbiasa menggunakan ukuran dan takaran dalam satuan metrik.
• Jumlah UTTP sedang
Relatif Tinggi 29,9%
Ternate Belum Maju • Pasar tradisional masih dominan untuk memenuhi kebutuhan bahan pokok masyarakat.
• Konsumen terbiasa menggunakan ukuran dan takaran dalam satuan budaya/kebiasaan (bukan metrik).
• Jumlah UTTP kecil
Rendah 41,1%
Bali merupakan contoh wilayah dengan kemajuan perdagangan yang
menengah, dimana pasar tradisional masih menjadi pusat perolehan bahan pokok,
dan jumlah pasar/retail modern belum tumbuh sepesat di Jakarta dan Bandung.
76
Dalam lingkungan yang seperti itu, tampak bahwa timbangan meja dan pegas masih
menjadi fokus bagi UPTD.
Di sini, perdagangan barang seperti sayur dan ikan terkadang belum
menggunakan satuan harga berdasarkan berat. Dalam banyak transaksi
perdagangan masih menentukan harga berdasarkan satuan atau kumpulan yang
ditentukan melalui kebiasaan. Baik pedagang maupun pembeli tidak merasa perlu
untuk mengetahui beratnya secara tepat. Dalam wilayah dengan kebutuhan
ketepatan ukuran yang rendah seperti ini, prioritas UPTD terhadap pelayanan
Metrologi Legal bagi timbangan meja dan pegas juga menjadi rendah.
Hal ini menunjukkan masalah UTTP di wilayah yang perdagangannya relatif
maju, seperti Bandung, akan berbeda dengan wilayah yang perdagangannya relatif
belum maju seperti Bali. Dan perbedaan tuntutan konsumen juga mempengaruhi
prioritas pelaksanaan pelayanan metrologi legal terhadap UTTP timbangan meja
dan pegas.
Meskipun tampak bahwa prioritas tidak mempengaruhi jangkauan pelayanan,
namun tampak prioritas UPTD dalam pelayanan metrologi legal terhadap timbangan
relatif tinggi di daerah yang pasar tradisionalnya masih mendominasi sebagai tempat
belanja barang kebutuhan pokok masyarakatnya. Jika diperhatikan, tampak bahwa
jumlah UTTP di suatu wilayah lebih tepat sebagai prediktor dari tingkat prioritas ini.
Tampak bahwa semakin banyak UTTP yang beredar di suatu wilayah, maka
semakin kecil prioritas UPTD untuk melayani UTTP timbangan karena menghasilkan
nilai transaksi yang relatif kecil.
6.2. Pengelompokan Masalah Pelayanan Tera/Tera Ulang UTTP Pelaksanaan diskusi kelompok terbatas mengidentifikasikan beberapa
masalah yang menjadi kendala bagi pemenuhan pelayanan Metrologi Legal di
daerah.
Masalah pokok yang paling sering disebutkan adalah masalah anggaran yang
tidak mencukupi (kotak ditengah berwarna merah). Berdasarkan masalah pokok
tersebut, semua masalah yang teridentifikasi kemudian dikelompokkan sebagai
Sebab dan Akibat dari masalah pokok tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka
77
saat ini dapat diidentifikasikan wilayah permasalahan yang perlu mendapatkan
perhatian terutama dalam penyusunan kebijakan.
Tampak bahwa hal-hal mendesak yang harus segera diselesaikan adalah
permasalahan yang ada di bagian Sebab, seperti:
Pembentukan Koordinasi antara pemerintah Provinsi dan Kabupaten untuk berbagi
dalam melaksanakan fungsi Metrologi Legal (pelayanan, pengawasan, dan
penyuluhan) sedemikian rupa sehingga jangkauan pelayanan dapat mendekati
100% per tahun.
Pembentukan UPT Pengawasan di Provinsi atau Kabupaten/kota untuk
melaksanakan fungsi pengawasan dan penyidikan dengan lebih baik.
Meningkatkan komunikasi dan kerjasama antara Direktorat Metrologi dengan
pemerintah daerah untuk memenuhi formasi SDM penera, pengawas, dan PPNS
metrologi legal di daerah.
Mendorong dan memastikan Dana Alokasi Khusus Pengembangan Sarana
Perdagangan dapat digunakan untuk pengembangan pelayanan Metrologi Legal di
daerah. Karena pelaksanaan pelayanan metrologi legal masih berada di bawah
pemerintahan Provinsi, maka jika dimungkinkan pada tahun 2014-2015, penggunaan
DAK Pengembangan Sarana Perdagangan ini dapat dilakukan oleh pemerintah
provinsi melalui pemerintahan Kabupaten/Kota dengan koordinasi yang baik dengan
pemerintah provinsi.
Melakukan seleksi, sertifikasi, dan peningkatan kompetensi perusahaan Reparatur
UTTP secara berkala dan ketat, untuk memastikan reparatur bekerja secara baik dan
profesional.
Memperbaiki metode pelaksanaan tera ulang di tempat, khususnya untuk mencegah
antrian yang terlalu lama dan panjang.
Mempersuasi Kepala Daerah secara berkala untuk memperhatikan/ meletakkan
prioritas yang cukup pada masalah-masalah dan keutamaan Metrologi Legal di
daerah, khususnya bagi perlindungan konsumen.
78
Gambar 6.2. Pohon Masalah Pelayanan UTTP
Jumlah SDM penera menurun
Jumlah pelayanan tera ulang menurun
Jumlah pengawas tera kurang
Belum seluruh pasar dapat dilayani dalam waktu 1 tahun
Koordinasi Dirmet dengan Pemda dalam penyediaan SDM
UPT tdk dpt menggunakan DAK sarana perdagangan
Jumlah anggaran tidak mencukupi keb.pelayanan
UPT terlambat melaksanakan tera ulang
Partisipasi Pedagang melakukan tera ulang
Transparansi biaya tera (reparasi)
Pengetahuan pedagang
Tidak ada UPT untuk pengawasan UTTP
Koordinasi dalam pelayanan & pengawasan UTTP
Belum ada PPNS utk penyidikan
Standar yang dimiliki sudah lama dan kurang mutakhir
Belum memilikiStandar utk UTTP digital
Kinerja reparatur rendah
Tempat pelaksanaan tera ulang di pasar seadanya
SEBAB
AKIBAT
Kondisi geografis daerah kepulauan
Prioritas Metrologi Legal di daerah
79
5.3. Analisis Gap Analisis gap dari pelaksanaan Metrologi Legal di pasar tradisional dapat diikuti
dalam tabel 6.7 berikut ini.
Pengamatan terhadap pelaksanaan tera dan tera ulang di daerah kajian
menunjukkan bahwa secara umum, masih ada jeda (gap) yang negatif antara
kebutuhan pelayanan tera/tera ulang, dengan kapasitas pelayanan tera/tera ulang.
Gap negatif, atau kekurangan pasokan pelayanan ini, menunjukkan kapasitas untuk
melakukan pelayanan relatif masih lebih kecil dari kebutuhan pelayanan yang
seharusnya dilakukan. Secara umum, kapasitas pelayanan tera/tera ulang hanya
dapat menjangkau sekitar 24,7% dari estimasi populasi timbangan yang ada. Dari
sisi perlindungan konsumen, nilai ini tergolong rendah.
80
Tabel 6.2. Analisis Gap Pelaksanaan Tera/Tera Ulang Dengan Perkembangan Penggunaan Alat UTTP Di Pasar Tradisional
Kondisi saat ini Kondisi yang diharapkan (2 tahun kedepan)
Gap Deskripsi Gap Faktor Penyebab Tindakan Yang Dapat dilakukan
Waktu pelayanan 36 hari per provinsi per tahun
Waktu pelayanan 210 hari per Provinsi per tahun
Ya • Kekurangan anggaran operasi untuk melakukan pelayanan di daerah
• Dianggap bukan urusan prioritas • Karena terbatas waktu
pelaksanaannya maka pada saat pelayanan, terjadi antrian yang panjang
• Pelayanan metrologi legal bukan dipandang sebagai urusan prioritas
• Ukuran prioritas anggaran dihubungkan dengan sumbangan terhadap PAD
• Waktu pelayanan terlalu singkat sehingga pelayanan terburu-buru
• Timbangan terlalu rusak • Pedagang tidak mengetahui cara
memelihara timbangan
• Memfasilitasi koordinasi perencanaan pembangunan dan sharing anggaran antara pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, agar dapat berbagi anggaran dan sumberdaya bagi pelaksanaan pelayanan Metrologi Legal yang lebih banyak dan merata bagi perlindungan konsumen.
• Mendorong Kabupaten/Kota yang memiliki perdagangan dan jumlah UTTP yang tinggi untuk memanfaatkan dana DAK Bidang Sarana Perdagangan untuk secara terencana membuat UPTD/Unit pelayanan Metrologi Legal dengan tujuan perlindungan konsumen ( bukan hanya PAD)
• Kementerian Perdagangan dalam jangka pendek memperkenankan UPTD provinsi untuk memanfaatkan dana DAK Bidang Sarana Perdagangan sambil mempersiapkan UPTD atau unit pelayanan Metrologi Legal Kabupaten/Kota
• UPTD Provinsi perlu mempersiapkan strategi untuk membangun kemampuan Kabupaten/Kota yang telah memiliki unit pelayanan Metrologi Legal agar secara bertahap dapat bermitra melaksanakan fungsi pelayanan Metrologi Legal timbangan
Jangkauan pelayanan 24,7% per tahun
Jangkauan pelayanan 100% per tahun
Ya • Jumlah anggaran tidak mencukupi biaya operasi untuk menjangkau pelayanan 100% .
• Permintaan terhadap tera ulang masih rendah karena dianggap bukan urusan prioritas
• Jumlah SDM penera dan administrasi pendukung baru 50% dari kebutuhan yang ada.
• Jumlah anggaran operasi kurang • UPTD Provinsi sebagai
pelaksana pelayanan metrologi legal tidak dapat mengakses dana DAK Bidang Sarana Perdagangan, karena dana diperuntukkan bagi kabupaten/kota
• Tidak ada koordinasi pelaksanaan kegiatan pelayanan Metrologi Legal antara provinsi dan Kabupaten/Kota yang menjadi wilayah kerja UPTD
81
Kondisi saat ini Kondisi yang diharapkan (2 tahun kedepan)
Gap Deskripsi Gap Faktor Penyebab Tindakan Yang Dapat dilakukan
di daerahnya • Mendorong kerjasama antara UPTD
Provinsi, dinas perdagangan Kabupaten/Kota, dan pengelola pasar untuk merevitalisasi cara pelaksanaan pelayanan Metrologi Legal agar jumlah akses dan jangkauan pelayanan menjadi lebih banyak dan luas
• Mendorong daerah untuk secara berkala menyusun basis data, dan melakukan pemetaan serta inventarisasi data Wajib Tera dan UTTP di wilayah kerjanya masing-masing untuk membantu proses perencanaan dan perhitungan potensi
Jangkauan pengawasan 5% per tahun
Jangkauan pengawasan 45% per tahun
Ya • Belum semua daerah memiliki tenaga pengawas.
• Tenaga pengawas masih diambil dari tenaga penera.
• Pengawasan lebih kepada pengawasan barang beredar (gabungan), bukan untuk Metrologi Legal.
• Tidak ada kelembagaan untuk mewadahi tupoksi pengawasan dan penegakan hukum
• Fungsi Metrologi Legal yang dilaksanakan baru fungsi pelayanan
• Tidak semua kepala daerah memahami bahwa Metrologi Legal memiliki fungsi pengawasan/ penegakan hukum, dan penyuluhan
• Tidak ada permintaan SDM Pengawas dan PPNS Metrologi Legal dari daerah kepada Direktorat Metrologi Legal
• Secara berkelanjutan membangun komunikasi dengan pemerintah provinsi dan Kabupaten/Kota dan pemangku kepentingan lain di daerah untuk meningkatkan pemahaman mengenai pentingnya masalah perlindungan konsumen, terutama melalui Metrologi Legal, dan mempersuasi pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota untuk meletakkan prioritas yang cukup terhadap Metrologi Legal.
• Memfasilitasi pembentukan unit pelaksana teknis daerah bagi pengawasan dan penyuluhan Metrologi Legal pada tingkat provinsi, di provinsi yang dinilai sudah membutuhkan
Jangkauan penegakan hukum 0%
Jangkauan penegakan hukum 10%
Ya • Belum semua daerah memiliki PPNS metrologi legal
• Kasus timbangan biasanya dimaafkan oleh konsumen/ hilang begitu saja
• Penyidikan hanya dilakukan pada kasus dengan nilai resiko transaksi
82
Kondisi saat ini Kondisi yang diharapkan (2 tahun kedepan)
Gap Deskripsi Gap Faktor Penyebab Tindakan Yang Dapat dilakukan
tinggi • Metrologi legal belum dipandang sebagai masalah perlindungan konsumen
• Meningkatkan kompetensi tenaga Pengawas dan PPNS metrologi legal yang telah ada melalui pelatihan penyegaran dan/atau pelatihan ulang
• Memetakan kebutuhan tenaga Pengawas dan PPNS Metrologi Legal dari masing-masing Provinsi dan Kabupaten/Kota yang telah memiliki UPTD metrologi legal
• Mengalokasikan pengawas dan PPNS yang sudah dimiliki untuk memenuhi formasi kebutuhan pengawas dan PPNS Mentrologi Legal
Jangkauan penyuluhan 24,7% per tahun
Jangkauan penyuluhan 100% per tahun
Ya • Tidak ada program penyuluhan. • Penyuluhan dilakukan hanya pada
saat pelaksanaan tera ulang di pasar tradisional yang menjadi tempat pelaksanaan tera ulang
Belum memiliki kelembagaan pengawasan Metrologi Legal
Sudah memiliki kelembagaan pengawasan Metrologi Legal pada tingkat provinsi
Ya • Idealnya pelaksana pengawasan terpisah dari pelaksana pelayanan.
• Pengawasan dan penegakan hukum memerlukan spesidikasi SDM yang berbeda dari pelayanan
Prioritas tera ulang masih rendah
Urusan tera ulang memiliki prioritas yang cukup
Ya • Pedagang tidak menganggap tera ulang sebagai urusan penting
• Pemerintah daerah menempatkan urusan tera/ tera ulang bukan sebagai urusan perlindungan konsumen
• Tidak ada pengawasan dan penegakan hukum membuat tera ulang dan tanda tera sah bukan urusan penting
• Pemerintah daerah menempatkan urusan tera/ tera ulang bukan sebagai urusan perlindungan konsumen, tetapi hanya sebagai penghasil PAD
• Bekerja sama dengan pemerintah Kabupaten/Kota dan pengelola pasar untuk secara bertahap dan konsisten melakukan penertiban dan penegakan hukum terhadap pelanggaran Metrologi Legal timbangan di pasar tradisional
Kondisi sarana prasarana kurang (D)
Kondisi sarana prasarana cukup (C)
Ya • Kendaraan operasional sering rusak sehingga menghambat pelayanan
• Kondisi geografis kepulauan mempersulit pelayanan tera ulang
• Anggaran • Melalui Direktorat Metrologi memetakan kebutuhan sarana prasarana bagi pelayanan Metrologi Legal bagi timbangan, dengan pendekatan klaster
• Kementerian Perdagangan dalam jangka pendek memperkenankan UPTD Provinsi untuk memanfaatkan dana DAK Bidang Sarana Perdagangan untuk melakukan penambahan dan perbaikan sarana bagi
83
Kondisi saat ini Kondisi yang diharapkan (2 tahun kedepan)
Gap Deskripsi Gap Faktor Penyebab Tindakan Yang Dapat dilakukan
pelayanan metrologi legal
Komplain hasil tera ulang (timbangan rusak sesudah tera)
Tida ada komplain
Ya • Banyak komplain dari pedagang bahwa timbangan menjadi rusak sesudah kegiatan tera ulang
• Waktu pelayanan terlalu singkat sehingga pelayanan terburu-buru
• Reparatur tidak handal/ kompeten
• Mendorong kerjasama antara UPTD provinsi, dinas perdagangan kabupaten/kota, dan pengelola pasar untuk memperbanyak jumlah akses dan jangkauan pelayanan Metrologi Legal bagi pedagang
• Membentuk standar operasi dan prosedur pelayanan tera ulang yang lebih baik dan teratur
• Direktorat Metrologi atau UPTD Provinsi yang maju dapat melakukan pelatihan dan sertifikasi tenaga reparatur di daerah agar kompeten sehingga dapat beroperasi dengan baik dan profesional
• Melakukan sertifikasi perusahaan reparasi timbangan untuk memastikan perusahaan layak dijadikan rekanan
Biaya tera dan reparatsi dianggap tidak transparan
Transparansi biaya tera
Ya • Pedagang merasa tidak tahu dasar pengenaan tarif tera atau reparasi yang harus mereka bayarkan
• Biaya reparasi tidak dirinci menurut kegiatan
• Membentuk standar perhitungan dan bentuk slip penagihan biaya reparasi timbangan yang transparan menjelaskan biaya yang dibebankan kepada pedagang
84
BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan a. Kegiatan pelayanan tera/tera ulang UTTP masih mengandalkan Pemerintah
Pusat yang saat ini masih menghadapi permasalahan seperti keterbatasan
jumlah dan kompetensi SDM, anggaran, serta sarana dan prasarana
tera/tera ulang. Sedangkan pemerintah daerah belum memprioritaskan
kegiatan tersebut, karena semata-mata hanya sebagai sumber PAD melalui
retribusi bukan tugas yang sifatnya mandatory dalam rangka perlindungan
konsumen.
b. Selain pelayanan tera/tera ulang UTTP, kegiatan pengawasan dan
penyuluhan relatif tidak dilaksanakan karena belum semua kabupaten/kota
yang sudah memiliki unit/seksi pelayanan dan pengawasan memperoleh
alokasi SDM yang sesuai dengan persyaratan (requirement) dan kompetensi
di bidang pelayanan dan pengawasan tera/tera ulang UTTP.
c. UPTD pelaksana dan satuan kerja yang menangani pelayanan tera/tera
ulang UTTP di daerah tidak memiliki data UTTP yang lengkap dan valid.
d. Pelaksanaan tera dan tera ulang UTTP di daerah, secara umum kapasitas
pelayanan tera/tera ulang hanya dapat menjangkau sekitar 24,7% dari
estimasi populasi timbangan yang ada di pasar tradisional. Hal ini
disebabkan antara lain:
1) Jumlah hari pelayanan dalam 5 tahun terakhir rata-rata turun hampir
sebesar 82%/tahun. Saat ini pelayanan Metrologi Legal di kabupaten
hanya dapat dilayani 1 kali setiap 3 tahun per pasar, seharusnya wajib
tera ulang dilakukan setiap tahun. Kondisi ini disebabkan keterbatasan
anggaran;
2) Jumlah petugas penera turun sebesar 5% dalam 2 tahun terakhir;
3) kondisi sarana pelayanan tidak memadai dan relatif sudah tua seperti
peralatan standar, gedung laboratorium, alat transportasi,dll.
e. Tidak ada sanksi jika ada pelanggaran yang ditemukan. Hal ini karena UPT
tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dan tindakan.
85
Tindakan pelanggaran yang sangat merugikan dilaporkan kepada pihak
kepolisian.
5.2. Rekomendasi a. Perlu mendorong pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota bahwa
pelayanan tera/tera ulang UTTP bersifat mandatory dalam upaya
perlindungan konsumen.
b. Meningkatkan koordinasi antara pemerintah Provinsi dengan
Kabupaten/Kota dalam kegiatan pelayanan tera/tera ulang timbangan dan
mendorong terbentuknya UPT dan UPTD-UPTD termasuk unit pengawasan
dan penyuluhan. Selanjutnya, UPT/UPTD perlu kerjasama dengan
pengelola pasar dalam upaya meningkatkan akses pelayanan tera/tera
ulang, memperbanyak pos-pos pelayanan dan update data UPTD.
c. Diperlukan upaya untuk meningkatkan kapasitas pelayanan tera/tera ulang
UTTP agar dapat menjangkau seluruh populasi timbangan yang ada di
pasar tradisional melalui:
1) Membentuk standar operasi dan prosedur (SOP) pelayanan tera ulang
timbangan di pasar tradisional sehingga jangkauan pelayanan dapat
lebih banyak dan dilakukan secara periodik serta tidak ada komplain
timbangan rusak sesudah di tera ulang. Berdasarkan SOP ini akan
diketahui kebutuhan jumlah hari pelayanan tera ulang di setiap pasar.
2) Memetakan kebutuhan tenaga penera/PPNS Metrologi Legal di masing-
masing Provinsi dan Kabupaten/Kota ;
3) Menambah dan memperbaiki kondisi sarana/prasarana pelayanan relatif
sudah tua.
d. Perlu ada penegakan aturan dalam penerapan sanksi terhadap pelanggaran
yang merugikan konsumen.
e. Upaya sosialisasi masih terus ditingkatkan baik dalam bentuk langsung
kepada pedagang dan konsumen maupun dalam bentuk tayangan iklan,
pos ukur ulang, bantuan timbangan pengganti seperti di pasar tertib ukur
dan konsumen cerdas termasuk pro-aktif dalam layanan pengaduan.
86
DAFTAR PUSTAKA
Citra Indonesia.com. (2012, Mei 4). Dirjen SPK: UTTP Wajib Tera Ulang. Citra Indonesia.com. Diunduh dari :http://citraindonesia.com/43313/
Direktorat Metrologi Kementerian Perdagangan, 2013. Statistik Metrologi. Bandung
International Organization For Standardization. (2004). International Vocabulary of Basic and General Terms in Metrology (VIM). Geneva: Switzerland
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. (2012). Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 86/M-DAG/PER/12/2012 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Sarana Perdagangan
_________. (2011). Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 38/M-DAG/PER/12/2011 tentang Pengalihan Pelaksanaan Kewenangan Di Bidang Standarisasi, Perlindungan Konsumen, Metrologi Legal dan Pengawasan Barang Beredar dan Jasa. Jakarta
_________. (2011). Surat Edaran Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Nomor 01/SPK/SE/5/2011 tentang Tera UTTP
_________. (2010). Peraturan Menteri Perdagangan No. 08/M-DAG/PER/3/2010 tentang Alat-Alat Ukur, Takar, Timbang, dan Perlengkapannya (UTTP) Yang Wajib Ditera dan Ditera Ulang
_________. (2010). Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 48/M.DAG/PER/12/2010 tentang pengelolaan sumber daya kemetrologian jenis SDM kemetrologian
_________. (2009). Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/10/2009 tentang Penilaian Terhadap Unit Pelaksana Teknis dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Metrologi Legal. Jakarta
Legal Metrology and International Trade, Buletin No. 74, June, 2004, International Trade Centre, UNCTAD/WTO, Geneva, Switzerland
Nurmalasari, Devi. (2007). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Saing Dan Preferensi Masyarakat Dalam Berbelanja di Pasar Tradisional.Skripsi.Fakultas Ekonomi dan Manajemen.Institut Pertanian Bogor. Bogor
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Dalam Negeri, BPPP, Departemen Perdagangan, dan Arah Cipta Guna.(2007). Kajian Sistem Metrologi Legal.Jakarta
Republik Indonesia. (2007). Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
87
_________. (2007). Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah
_________. (2004). Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan aturan pelaksanaannya
_________. (1985). Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1985 tentang Wajib dan Pembebasan Untuk Ditera dan/atau Ditera Ulang Serta Syarat-Syarat Bagi Alat-Alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya
_________. (1981). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.
Soliha, Euis. (2008). Analisis Industri Ritel Di Indonesia. Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE).No. 2.Vol. 15.Hal 128.
Sucofindo.(2011). Kegiatan Evaluasi dan Efektifitas Alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya (UTTP) dalam Rangka Pencegahan Praktek-Praktek Penyimpangan Perdagangan yang Merugikan Masyarakat. Jakarta
http://ditjenspk.kemendag.go.id/index.php/public/home/info-linkmetrologi.
1
MEMO KEBIJAKAN UPAYA PENINGKATAN PELAYANAN TERA/TERA ULANG
ALAT UKUR, TAKAR, TIMBANG DAN PERLENGKAPANNYA (UTTP) DI PASAR TRADISIONAL
Isu Kebijakan
1. Dalam rangka penguatan pasar dalam negeri, Kementerian Perdagangan melaksanakan berbagai upaya yang bertujuan meningkatkan perlindungan kepada konsumen dan menjaga kualitas barang beredar dan jasa, salah satunya melalui peningkatan pengawasan terhadap UTTP (Laporan Kinerja Menteri Perdagangan Tahun 2011).
2. Dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1985 tentang Wajib dan Pembebasan Untuk Ditera dan/atau Ditera Ulang Serta Syarat-Syarat Bagi Alat-Alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya, dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 08/M-DAG/PER/3/2010 tentang Alat-Alat Ukur, Takar, Timbang, dan Perlengkapannya (UTTP) Yang Wajib Ditera dan Ditera Ulang, dan Surat Edaran Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Nomor 01/SPK/SE/5/2011 tentang Tera UTTP mengamanatkan agar UTTP yang secara langsung atau tidak langsung digunakan atau disimpan dalam keadaan siap pakai untuk keperluan menentukan hasil pengukuran, penakaran, atau penimbangan wajib ditera atau ditera ulang. Kedua kebijakan tersebut sebagai regulasi turunan dari Undang-Undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.
3. Hasil pengawasan UTTP pada 2010 yang dilakukan di 66 pasar tradisional terdapat 21.814 UTTP, ditemukan UTTP yang tidak bertanda tera sah sebanyak 9.843 (45,1%). Sebagai alat untuk mengukur volume yang diperdagangkan, maka akurasi dan reliabilitas alat-alat UTTP diperlukan agar masing-masing pihak memperoleh perlindungan yang setara. Pedagang dilindungi dari kerugian karena memberikan barang yang melebihi volume yang disepakati, sedangkan konsumen dilindungi dari kerugian karena menerima jumlah barang yang lebih rendah dari volume yang diminta/dibayarkannya.
Evaluasi Pelayanan Ter/Tera Ulang UTTP
4. Kegiatan pelayanan tera/tera ulang UTTP masih mengandalkan Pemerintah Pusat yang saat ini masih menghadapi permasalahan seperti keterbatasan jumlah dan kompetensi SDM, anggaran, serta sarana dan prasarana tera/tera ulang. Sedangkan pemerintah daerah belum memprioritaskan kegiatan tersebut, karena semata-mata hanya sebagai sumber PAD melalui retribusi bukan tugas yang sifatnya mandatory dalam rangka perlindungan konsumen.
5. Selain pelayanan tera/tera ulang UTTP, kegiatan pengawasan dan penyuluhan relatif tidak dilaksanakan karena belum semua kabupaten/kota yang sudah memiliki unit/seksi pelayanan dan pengawasan memperoleh alokasi SDM yang sesuai dengan persyaratan (requirement) dan kompetensi di bidang pelayanan dan pengawasan tera/tera ulang UTTP.
6. UPTD pelaksana dan satuan kerja yang menangani pelayanan tera/tera ulang UTTP di daerah tidak memiliki data UTTP yang lengkap dan valid.
2
7. Pelaksanaan tera dan tera ulang UTTP di daerah, secara umum kapasitas pelayanan tera/tera ulang hanya dapat menjangkau sekitar 24,7% dari estimasi populasi timbangan yang ada di pasar tradisional. Hal ini disebabkan antara lain: a. Jumlah hari pelayanan dalam 5 tahun terakhir rata-rata turun hampir sebesar
82%/tahun. Saat ini pelayanan metrologi legal di kabupaten hanya dapat dilayani 1 kali setiap 3 tahun per pasar, seharusnya wajib tera ulang dilakukan setiap tahun. Kondisi ini disebabkan keterbatasan anggaran;
b. Jumlah petugas penera turun sebesar 5% dalam 2 tahun terakhir;
c. kondisi sarana pelayanan tidak memadai dan relatif sudah tua seperti peralatan standar, gedung laboratorium, alat transportasi,dll.
8. Tidak ada sanksi jika ada pelanggaran yang ditemukan. Hal ini karena UPT tidak memiliki
kewenangan untuk melakukan penyidikan dan tindakan. Tindakan pelanggaran yang sangat merugikan dilaporkan kepada pihak kepolisian.
Rekomendasi
9. Perlu mendorong pemerintah Provinsi dan Kabupaten /kota bahwa pelayanan tera/tera ulang UTTP bersifat mandatory dalam upaya perlindungan konsumen.
10. Meningkatkan koordinasi antara pemerintah Provinsi dengan Kabupaten/Kota dalam kegiatan pelayanan tera/tera ulang timbangan dan mendorong terbentuknya UPT dan UPTD-UPTD termasuk unit pengawasan dan penyuluhan. Selanjutnya, UPT/UPTD perlu kerjasama dengan pengelola pasar dalam upaya meningkatkan akses pelayanan tera/tera ulang, memperbanyak pos-pos pelayanan dan update data UTTP
11. Diperlukan upaya untuk meningkatkan kapasitas pelayanan tera/tera ulang UTTP agar dapat menjangkau seluruh populasi timbangan yang ada di pasar tradisional melalui:
a. Membentuk standar operasi dan prosedur (SOP) pelayanan tera ulang timbangan di
pasar tradisional sehingga jangkauan pelayanan dapat lebih banyak dan dilakukan secara periodik serta tidak ada komplain timbangan rusak sesudah di tera ulang. Berdasarkan SOP ini akan diketahui kebutuhan jumlah hari pelayanan tera ulang di setiap pasar.
b. Memetakan kebutuhan tenaga penera/PPNS Metrologi Legal di masing-masing provinsi dan kabupaten/kota ;
c. Menambah dan memperbaiki kondisi sarana pelayanan relatif sudah tua.
12. Perlu ada penegakan aturan dalam penerapan sanksi terhadap pelanggaran yang merugikan konsumen.
13. Upaya sosialisasi masih terus ditingkatkan baik dalam bentuk langsung kepada pedagang dan konsumen maupun dalam bentuk tayangan iklan, pos ukur ulang, bantuan timbangan pengganti seperti di pasar tertib ukur dan konsumen cerdas termasuk pro-aktif dalam layanan pengaduan.