ANALISIS HUBUNGAN SIMULTAN ANTARA TINGKAT UPAH DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA SERTA
VARIABEL YANG MEMPENGARUHINYA
MOCHAMMAD RIZQAL NRP: H151080294
PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Hubungan Simultan antara Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja serta Variabel yang Mempengaruhinya adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2010
Mochammad Rizqal NRP. H151080294
ABSTRACT
MOCHAMMAD RIZQAL. Simultaneous Connection Analysis of Wage Rates and Labor Absorption as well as Variables that Influence it. Under the supervision of ARIEF DARYANTO and SUPRIYANTO
The economic crisis in 1997 in Indonesia led to complexities in labor
issues, particularly those that relate to low wages and labor absorption. Since 2000, the economy has improved and has given hope to better labor conditions in Indonesia. However, increased economic growth has been followed by high unemployment. This study aimed to examine the simultaneous connection among wage rates and labor absorption as well as variables that influence it. Simultaneous equations model were used in this study and data sources were investigated from panel data. The simultaneous test has shown that there was simultaneous connection between the wage rates and labor absorption. The 2SLS (two stage least squares) method with fixed effects was chosen as the best parameter estimation method. The test also revealed that the gross regional domestic product variable influenced the wage rates and labor absorption significantly. The regional minimum wage and education levels significantly affect the wage rates. While the variables of physical investment and the consumer price index significantly affects labor absorption. Keywords: wages, labor absorption, simultaneous equations model, two stage
least squares, fixed effects
RINGKASAN
MOCHAMMAD RIZQAL. Analisis Hubungan Simultan antara Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja serta Variabel yang Mempengaruhinya. Dibimbing oleh ARIEF DARYANTO dan SUPRIYANTO.
Masalah ketenagakerjaan tidak dapat dipisahkan dengan kondisi perekonomian suatu negara. Krisis ekonomi tahun 1997 di Indonesia menyebabkan semakin kompleksnya masalah ketenagakerjaan terutama yang berhubungan dengan rendahnya tingkat upah riil dan penyerapan tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi yang semakin membaik terutama mulai tahun 2000 memberikan harapan akan perbaikan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Namun, kenyataannya pertumbuhan ekonomi yang mulai meningkat tersebut masih diikuti dengan tingkat pengangguran yang tinggi.
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dalam bentuk panel periode tahun 1998-2007 dengan jumlah unit yang diteliti sebanyak 26 provinsi di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan simultan antara tingkat upah dan penyerapan tenaga kerja serta variabel yang mempengaruhinya menggunakan persamaan simultan (Simultaneous Regression), sedangkan metode 2SLS (two stage least squares) dengan fixed effect dipilih sebagai metode estimasi parameter terbaik.
Berdasarkan hasil uji simultanitas dan regresi data panel menunjukkan adanya hubungan simultan antara tingkat upah dan penyerapan tenaga kerja dengan arah negatif. Setiap kenaikan penyerapan tenaga kerja sebesar 1 persen akan menurunkan tingkat upah sebesar -1.51 persen dengan asumsi variabel yang lain tetap. Sedangkan setiap kenaikan tingkat upah sebesar 1 persen akan menurunkan penyerapan tenaga kerja sebesar -0.03 persen dengan asumsi variabel yang lain tetap.
Variabel pertumbuhan ekonomi regional signifikan mempengaruhi tingkat upah dan penyerapan tenaga kerja. Dalam nilai elastisitas, pengaruh pertumbuhan ekonomi regional terhadap tingkat upah lebih elastis dibandingkan pengaruhnya terhadap penyerapan tenaga kerja. Dari persamaan tingkat upah diperoleh bahwa setiap kenaikan variabel pertumbuhan ekonomi regional sebesar 1 persen akan menaikkan tingkat upah sebesar 0.39 persen (ceteris paribus), sedangkan dari persamaan penyerapan tenaga kerja diperoleh bahwa setiap kenaikan pertumbuhan ekonomi regional sebesar 1 persen akan menaikkan penyerapan tenaga kerja sebesar 0.07 persen (ceteris paribus).
Variabel upah minimum provinsi dan tingkat pendidikan pekerja signifikan berpengaruh positif terhadap tingkat upah. Setiap kenaikan upah minimum provinsi sebesar 1 persen akan menaikkan tingkat upah sebesar 0.71 persen (ceteris paribus), sedangkan setiap kenaikan jumlah pekerja berpendidikan tinggi sebesar 1 persen akan meningkatkan tingkat upah sebesar 0.72 persen (ceteris paribus).
Variabel investasi fisik dan tingkat perubahan harga signifikan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja. Setiap kenaikan investasi fisik sebesar 1 persen akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja sebesar 0.03 persen (ceteris paribus). Variabel tingkat perubahan harga yang dihitung
berdasarkan indeks harga konsumen (IHK) signifikan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja. Setiap kenaikan IHK sebesar 1 persen akan menaikkan penyerapan tenaga kerja sebesar 0.09 persen (ceteris paribus).
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan, maka dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut: (1) Pelaksanaan kebijakan pemerintah harus mengarah kepada peningkatan kualitas pendidikan dan keterampilan agar dapat menunjang keahlian dan skill pekerja sehingga produktivitas pekerja meningkat. Produktivitas merupakan faktor utama dalam mewujudkan perekonomian yang tangguh. Peningkatan upah yang disebabkan dari meningkatnya produktivitas pekerja akan menmberikan keuntungan baik bagi perusahaan dan juga pekerja. (2) Pembangunan ekonomi perlu diprioritaskan pada kegiatan ekonomi yang dapat menciptakan lapangan kerja yang bersifat padat karya sehingga, dapat menyerap tenaga kerja yang banyak sekaligus juga akan mengurangi jumlah pengangguran yang tinggi.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2 Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh
Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS HUBUNGAN SIMULTAN ANTARA TINGKAT UPAH DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA SERTA
VARIABEL YANG MEMPENGARUHINYA
MOCHAMMAD RIZQAL NRP: H151080294
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Noer Azam Achsani
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis : Analisis Hubungan Simultan antara Tingkat Upah dan
Penyerapan Tenaga Kerja serta Variabel yang
Mempengaruhinya
Nama : Mochammad Rizqal NRP : H151080294 Program Studi : Ilmu Ekonomi
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec Supriyanto, SE, MA Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 28 Juni 2010 Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini. Judul tesis ini adalah “Analisis Hubungan Simultan antara Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja serta Variabel yang Mempengaruhinya”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Supriyanto, SE, MA selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Noer Azam Achsani atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi dan Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.S selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi.
Ucapan terima kasih juga disampaikan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Dedikasi para dosen yang tinggi dan dukungan rekan-rekan kuliah, telah banyak membantu penulis dalam perkuliahan dengan baik.
Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Badan Pusat Statistik (BPS) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada teman-teman BPS baik di BPS Kota Batam serta BPS Jakarta yang telah banyak membantu penulis mulai dari proses kuliah hingga dalam menyelesaikan tesis ini.
Akhir kata penulis penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis.
Bogor, Juli 2010
Mochammad Rizqal
RIWAYAT HIDUP
Mochammad Rizqal, dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 September
1972 dari pasangan Adonis (alm) dan Yalihasni. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Puratatama I Jakarta pada tahun 1985, Sekolah Menengah Pertama Negeri 95 Jakarta pada tahun 1988 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 13 Jakarta pada tahun 1991. Pada tahun 1995 penulis menyelesaikan pendidikan di Akademi Ilmu Statistik (AIS) Jakarta dan Pada tahun 1996 penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Terbuka dengan mengambil jurusan statistik dan lulus tahun 1998.
Setelah tamat AIS, penulis menjalani ikatan dinas di BPS Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan dari tahun 1995 sampai tahun 1999, pada tahun 2000 sampai tahun 2005 dipindah tugaskan pada BPS Provinsi Sumatera Barat dan pada tahun 2006 bekerja di BPS Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau.
Pada tahun 2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Program S2 Penyelenggaraan Khusus BPS-IPB di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR TABEL ......................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. x
I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ....................................................................... 5
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 6
1.4. Kegunaan Penelitian ...................................................................... 6
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ................................. 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 9
2.1. Tinjauan Teori ................................................................................ 9
2.1.1. Pertumbuhan Ekonomi ....................................................... 9
2.1.2. Investasi Fisik .................................................................... 11
2.1.3. Upah.................................................................................... 12
2.1.4. Penyerapan Tenaga Kerja ................................................... 14
2.1.5. Pengangguran Terbuka ....................................................... 15
2.1.6. Upah Minimum................................................................... 15
2.1.7. Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja ...................................... 16
2.1.8. Indeks Harga Konsumen .................................................... 17
2.1.9. Studi Empiris Berkaitan dengan Pertumbuhan Ekonomi,
Upah dan Pengangguran ..................................................... 17
2.2. Kajian Teori ................................................................................... 20
2.2.1. Pasar Tenaga Kerja ............................................................. 20
2.2.2. Analisis Kurva Phillips ....................................................... 24
2.3. Kerangka Pemikiran ....................................................................... 25
2.3.1. Hubungan beberapa Variabel Makroekonomi dan
Ketenagakerjaan terhadap Tingkat Upah Riil .................... 26
2.3.2. Hubungan beberapa Variabel Makroekonomi dan
vi
Ketenagakerjaan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja ......... 27
2.3.3. Kerangka Penelitian ............................................................ 28
2.4. Hipotesis Penelitian ........................................................................ 30
III. METODE PENELITIAN ...................................................................... 31
3.1. Jenis dan Sumber Data ................................................................... 31
3.2. Metode Analisis Data ..................................................................... 31
3.2.1. Analisis Deskriptif .............................................................. 31
3.2.2. Analisis Persamaan Simultan .............................................. 32
3.2.3. Analisis Regresi Data Panel ............................................... 38
3.2.4. Uji Asumsi .......................................................................... 49
3.2.4.1. Uji Homokedastisitas .............................................. 49
3.2.4.2. Uji Autokorelasi ...................................................... 49
3.2.5. Evaluasi Model ................................................................... 50
3.2.5.1. Uji -F ....................................................................... 50
3.2.5.2. Uji -t ........................................................................ 50
3.2.5.3. Koefisien Determinasi (R2) ..................................... 50
3.2.5.4. Uji Normalitas ......................................................... 51
IV. GAMBARAN UMUM .......................................................................... 53
4.1. Tinjauan Perekonomian Indonesia ................................................. 53
4.2. Tinjauan Perekonomian Regional .................................................. 56
4.3. Tinjauan Ketenagakerjaan Indonesia.............................................. 61
4.4. Upah Tenaga Kerja ......................................................................... 64
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 67
5.1. Analisis Persamaan Simultan ......................................................... 67
5.1.1. Uji Simultanitas ................................................................... 67
5.1.2. Uji Endogenitas ................................................................... 69
5.1.3. Identifikasi Persamaan Simultan ......................................... 70
5.2. Pemilihan Regresi Data Panel ........................................................ 72
5.3. Estimasi Persamaan Tingkat Upah ................................................. 74
5.4. Estimasi Persamaan Penyerapan Tenaga Kerja .............................. 78
VI. SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 85
6.1. Simpulan ......................................................................................... 85
vii
6.2. Saran ............................................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 87
LAMPIRAN .................................................................................................. 91
viii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman 1.1. Pertumbuhan Upah Nominal, Upah Riil, Tingkat Pengangguran
dan Pertumbuhan Ekonomi .................................................................... 2
3.1. Kerangka Identifikasi Autokorelasi ........................................................ 49
4.1. Pertumbuhan Ekonomi, Pertumbuhan Angkatan Kerja dan Tingkat
Pengangguran di Indonesia Tahun 1997- 2007 ..................................... 53
4.2. Komposisi PDB dan Tenaga Kerja menurut Sektor di Indonesia
Tahun 1971- 2008 .................................................................................. 55
4.3. Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia 1997 dan 2007 .............. 58
4.4. Kontribusi Setiap Sektor terhadap PDRB menurut Provinsi, 2007 ........ 61
4.5. TPAK, TKK dan TPT menurut Provinsi di Indonesia
Tahun 2007 – 2008 .............................................................................. 62
5.1. Uji Simultanitas Persaman Penyerapan Tenaga Kerja ........................... 68
5.2. Uji Simultanitas Persaman Tingkat Upah .............................................. 68
5.3. Uji Endogen Persaman Penyerapan Tenaga Kerja ................................ 69
5.4. Estimasi Persamaan Tingkat Upah ......................................................... 75
5.5 Estimasi Persamaan Penyerapan Tenaga Kerja ....................................... 78
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman 1.1. Pertumbuhan Upah Nominal, Upah Riil, Tingkat Pengangguran
dan Pertumbuhan Ekonomi ................................................................... 2
2.1. Kurva Pemintaan Tenaga Kerja ............................................................. 21
2.2. Keseimbangan antara Kurva AD dan AS dalam Perekonomian ............ 23
2.3. Keseimbangan dalam Kurva LD dan LS Pasar Tenaga Kerja ............... 23
2.4. Hubungan antara Tingkat Upah dan Tingkat Pengangguran ................. 25
2.5. Kerangka Penelitian ............................................................................... 28
3.1. Estimasi dengan Pendekatan Pooled Least Square ................................ 42
3.2. Estimasi dengan Pendekatan Within Group ........................................... 43
4.1. Pertumbuhan Ekonomi, Pertumbuhan Angkatan Kerja dan Tingkat
Pengangguran di Indonesia Tahun 1997- 2007 ..................................... 54
4.2. Komposisi PDB menurut Sektor di Indonesia Tahun 1971- 2008 ......... 55
4.3. Komposisi Penyerapan Tenaga Kerja menurut Sektor di Indonesia
Tahun 1971- 2008 .................................................................................. 56
4.4. Laju Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia 1997 – 2007 ........ 57
4.5. Kontribusi Sembilan Sektor terhadap PDB Tahun 1991 – 2007 .......... 60
4.6. Rata-rata Upah Nominal dan Upah Riil Pekerja Menurut Provinsi
Tahun 2007 ............................................................................................ 65
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Estimasi Persamaan Reduce Form ............................................................ 91
2. Uji Simultanitas ......................................................................................... 92
3. Uji Endogenitas ......................................................................................... 93
4. Estimasi Persamaan Tingkat Upah ................................................... 100
5. Estimasi Persamaan Penyerapan Tenaga Kerja ................................ 101
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi yang berperan dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat mempengaruhi tinggi
rendahnya tingkat pendapatan nasional. Akan tetapi ada dua masalah utama yang
dihadapi tenaga kerja di Indonesia, yaitu rendahnya tingkat upah pekerja dan
tingginya tingkat pengangguran (Sumarsono, 2003). Hal tersebut disebabkan
karena jumlah peningkatan tenaga kerja baru jauh lebih besar dibandingkan
dengan pertumbuhan lapangan pekerjaan yang dapat disediakan.
Krisis ekonomi tahun 1997 telah menghancurkan sendi-sendi ekonomi
Indonesia, yang berakibat menurunnya pertumbuhan ekonomi secara drastis pada
tahun 1998 yang mencapai sekitar -13.13 persen. Selain itu krisis ini juga
menyebabkan lesunya iklim investasi di Indonesia dan rendahnya daya beli
masyarakat yang yang menyebabkan penurunan permintaan aggregat. Pada tahun
1998 pertumbuhan investasi di Indonesia mengalami penurunan yang relatif besar
hal ini diindikasikan dengan pertumbuhan PMDN sebesar -51.39 persen bahkan
pertumbuhan PMA mencapai -59.5 persen. Hal serupa terjadi juga pada
pengeluaran konsumsi rumah tangga yang menurun sebesar -6.57 persen.
Menurunnya investasi dan konsumsi masyarakat tersebut tentunya akan
menurunkan kapasitas produksi atau output nasional dan selanjutnya menurunkan
jumlah tenaga kerja yang terserap..
Pada tahun 1999 tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia positif sebesar
0.79 persen. Setelah itu, pada tahun 2000 keadaan perekonomian ekonomi
Indonesia membaik dengan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 4.92 persen.
Walaupun pertumbuhan ekonomi cenderung menaik dari tahun ketahun, dimana
pada tahun 2007 tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai 6.28 persen. Tetapi
yang menjadi masalah adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi ini tidak
mengurangi tingkat pengangguran di Indonesia. (Tabel 1.1)
Pada Tabel 1.1 dapat dilihat tingkat pengangguran yang rata - rata
cenderung meningkat dari tahun 1998-2007. Selain itu, masalah ini juga terjadi
pada tingkat upah riil dan nominal pekerja, dimana pada tahun 2004–2007
2
pertumbuhan upah riil dan nominal juga cenderung menurun. Bahkan penurunan
upah riil bernilai negatif pada tahun 2005-2007. Untuk lebih jelasmya dapat
dilihat pada Gambar 1.1
Tabel 1.1 Pertumbuhan upah nominal, upah riil, tingkat pengangguran dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, 1998- 2007
Tahun Pertumbuhan
Upah Nominal (%)
Pertumbuhan Upah Riil
(%)
Tingkat Pengangguran
(%)
Pertumbuhan Ekonomi
(%) (1) (2) (3) (4) (5)
1998 21.12 -27.76 5.46 -13.13 1999 23.23 6.91 6.36 0.79 2000 24.55 18.94 6.08 4.92 2001 35.75 21.14 8.10 3.83 2002 24.25 11.44 9.06 4.50 2003 10.01 3.58 9.67 4.78 2004 16.63 9.68 9.86 5.05 2005 8.55 -1.91 10.26 5.69 2006 6.25 -5.89 10.28 5.56 2007 4.92 -1.46 9.11 6.28
Sumber : Statistik Indonesia 1998-2007
Dari kondisi upah dan tingkat pengangguran tersebut, terlihat bahwa
pertumbuhan ekonomi yang meningkat saat ini belum bisa dijadikan indikator
membaiknya kondisi ketenagakerjaan di Indonesia.
Sumber : Statistik Indonesia 1998-2007
Gambar 1.1 Pertumbuhan upah nominal, upah riil, tingkat pengangguran dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, 1998- 2007
‐40
‐30
‐20
‐10
0
10
20
30
40
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Persen
UPAH NOMINAL UPAH RIIL PENGANGGURAN PDRB
3
Secara teori jika perekonomian mengalami pertumbuhan maka penyerapan
atau permintaan tenaga kerja akan meningkat. Namun kondisi menunjukkan
sebaliknya, di satu sisi perekonomian mengalami pertumbuhan sedangkan
pengangguran tetap persisten. Kecenderungan ke arah munculnya paradoks
tersebut telah mulai tampak dalam enam tahun terakhir di mana pertumbuhan
ekonomi meningkat dari 3.83 persen pada tahun 2001 menjadi 4.50 persen pada
tahun 2002, 4.78 persen pada tahun 2003 menjadi 5.05 persen pada tahun 2004
dan 5.56 persen pada tahun 2006 menjadi 6.28 persen pada tahun 2007. Namun di
sisi lain, tingkat pengangguran terbuka juga meningkat terus dari 8.10 persen, 9.06
persen, 9.67 persen, 9.86 persen dan akhirnya 9.11 persen pada pada tahun 2007.
(Gambar 1.1)
Paradoks antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran ini
mencerminkan bahwa tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi yang kita alami
selama ini masih bersifat semu (belum berkualitas). Ada beberapa hal yang perlu
dicermati mengapa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak diikuti dengan
penyediakan lapangan kerja, sehingga tidak mampu menyelesaikan masalah
pengangguran dan kemiskinan. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang tinggi di
Indonesia belum ditopang dengan sektor-sektor yang memiliki elastisitas lapangan
kerja yang tinggi. Sektor yang bersifat padat modal mengalami pertumbuhan
sedangkan sektor-sektor yang bersifat padat karya mengalami stagnasi. Untuk itu
kebijakan pemerintah harus lebih memberikan prioritaskan pada sektor yang
menyerap tenaga kerja lebih besar untuk tumbuh dan berkembang.
Menurut PTKI (Perencanaan Tenaga Kerja Indonesia) Depnakertrans
(2005), untuk mengurangi pengangguran di negara berkembang seperti Indonesia,
tingkat pertumbuhan ekonomi harus ramah terhadap tenaga kerja dan kalangan
orang miskin (a strategy of pro poor growth). Pada Pelita (Pembangunan Lima
Tahun) I dan II, perencana ekonomi Indonesia masih percaya bahwa tricle down
effects (efek menetes ke bawah) akan terjadi di Indonesia. Oleh karena itu strategi
pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah pada masa itu dipusatkan pada
pertumbuhan ekonomi yang tinggi (pro growth). Hal ini terlihat pada tahun 1970-
an, dimana kinerja perekonomian selama dua pelita pertama sangat memuaskan
dengan tumbuh rata-rata 7 persen per tahun sedangkan investasi meningkat dari
4
11 persen menjadi 24 persen selama sepuluh tahun. Namun kenyataannya
pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini menyebabkan disparitas (ketimpangan)
pertumbuhan ekonomi regional dan tidak diikuti dengan penurunan tingkat
pengangguran dan tingkat kemiskinan. Untuk mengurangi ketimpangan tersebut,
pemerintah mulai Pelita III mengubah strategi pembangunannya menjadi pro
poor. Namun sampai sekarang strategi pro poor belum berhasil, hal ini
ditunjukkan dengan masih tingginya disparitas atau ketimpangan perekonomian
regional dan belum terselesaikannya permasalahan ketenagakerjaan.
Pergerakan upah riil di Indonesia yang cenderung kaku juga perlu
mendapat perhatian pemerintah, karena hal ini berhubungan langsung dengan
tingkat kesejahteraan pekerja. Menurut Solikin dan Sugema (2004), upah riil yang
cenderung kaku bisa disebabkan oleh kontrak ketenagakerjaan yang mengikat
antara perusahaan dan pekerja yang memuat tingkat upah yang akan dibayarkan.
Sementara itu berdasarkan hukum permintaan dan penawaran, pertumbuhan
permintaan tenaga kerja di Indonesia yang masih rendah menyebabkan upah riil
pekerja susah untuk meningkat karena lemahnya bargaining possition pekerja.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan upah
pekerja diantaranya dengan kebijakan penetapan upah minimum. Dari hasil
penelitian SMERU Research Institute tentang pengaruh penerapan upah minimum
terhadap upah riil pekerja dan penyerapan tenaga kerja periode tahun 1988-2000
di Indonesia, diketahui bahwa upah minimum mampu meningkatkan rata-rata
upah riil pekerja, namun dampak kebijakan upah minimum ini hanya dirasakan
oleh beberapa kelompok tenaga kerja saja, sedangkan kelompok yang lain malah
dirugikan. Selain itu penetapan upah minimum sering tidak memperhatikan
mekanisme dalam pasar tenaga kerja sehingga berdampak turunnya penyerapan
tenaga kerja. Hubungan antara tingkat upah dan penyerapan tenaga kerja yang
saling mempengaruhi ini membuat semakin penting dan kompleksnya kajian
ketenagakerjaan di Indonesia.
Ketimpangan ekonomi antar wilayah mengakibatkan ketimpangan
besarnya upah regional, yang menggambarkan tingkat pendapatan yang diterima
oleh masyarakat di daerah tersebut. Besarnya tingkat upah erat kaitannya dengan
intensitas kegiatan ekonomi di suatu daerah, semakin tinggi intensitas kegiatan
5
ekonomi maka kebutuhan tenaga kerja pun semakin besar, hal ini akan
meningkatkan bargaining possition tenaga kerja, sehingga akan meningkatkan
upah tenaga kerja (Hall, 2005).
Perubahan kebijakan pemerintah kepada otonomi daerah berdasarkan
undang-undang nomor 12 tahun 1999 tentang pemerintah daerah mengarah
kepada perubahan budaya organisasi dan budaya kerja. Demikian juga dalam
bidang ketenagakerjaan, khususnya penyusunan dan pengembangan perencanaan
tenaga kerja. Pemerintah daerah perlu berperan aktif dalam menentukan kebijakan
dalam bidang ketenagakerjaan. Sehingga analisis ketenagakerjaan dengan melihat
dimensi regional juga menjadi sangat penting.
1.2. Perumusan Masalah
Masalah upah pekerja dan pengangguran merupakan masalah yang selalu
dihadapi Indonesia dari tahun ke tahun. Berbagai upaya telah dilakukan
pemerintah untuk mengatasinya, salah satunya dengan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan
akan tercipta lapangan kerja yang banyak dan mampu mengurangi pengangguran.
Namun kenyataannya pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum mampu
mengurangi tingkat pengangguran. Fenomena ini tidak sesuai dengan teori yang
dikemukakan Okun (1980) dalam Dornbusch (2004), tentang hubungan antara
pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pengangguran. Okun menyatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi yang solid dalam jangka panjang akan meningkatkan
penyerapan tenaga kerja yang tinggi.
Selain masalah pengangguran, pemerintah juga dihadapkan pada rendahnya
tingkat upah tenaga kerja. Selama ini langkah yang sering diambil pemerintah
untuk mengatasi masalah pengangguran dan rendahnya tingkat pendapatan tenaga
kerja yaitu, dengan meningkatkan tingkat upah melalui penetapan upah minimum
regional. Namun kebijakan ini juga menimbulkan dilema, di satu sisi mampu
meningkatkan upah pekerja, sementara di sisi lain akan mengurangi penyerapan
tenaga kerja. Hubungan yang saling mempengaruhi antara upah dan penyerapan
tenaga kerja inilah yang membuat permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia
menjadi semakin kompleks.
6
Menurut Wallis (2002), dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi
secara otomatis akan meningkatkan upah pekerja dan penyerapan tenaga kerja.
Berdasarkan teori yang dikemukakan dua ahli ekonom diatas, apakah benar
pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia yang semakin meningkat akan
menaikkan upah pekerja dan penyerapan tenaga kerja?. Variabel-variabel apa saja
yang mempengaruhi kenaikan upah riil dan penyerapan tenaga kerja?. Dan
seberapa besar pengaruh pertumbuhan ekonomi regional dan variabel-variabel
yang terkait terhadap tingkat upah riil dan penyerapan tenaga kerja?.
Penelitian ini menggunakan data panel dari 26 provinsi di Indonesia. pada
periode tahun 1998 - 2007. Adapun variabel-variabel penelitian yang dicakup
yaitu, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), upah riil regional, tingkat
pendidikan pekerja, upah minimum provinsi, jumlah tenaga kerja, investasi fisik
(PMTDB) dan tingkat perubahan harga (IHK).
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan
di atas, maka penelitian ini bertujuan:
1. Mengetahui adanya hubungan simultan antara tingkat upah dan penyerapan
tenaga kerja
2. Mengetahui pengaruh pertumbuhan ekonomi regional terhadap tingkat upah
dan penyerapan tenaga kerja.
3. Mengetahui pengaruh investasi fisik dan tingkat perubahan harga terhadap
penyerapan tenaga kerja.
4. Mengetahui pengaruh upah minimum provinsi dan tingkat pendidikan pekerja
terhadap tingkat upah.
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan kajian
lebih lengkap mengenai adanya hubungan simultan antara tingkat upah dan
penyerapan tenaga kerja serta variabel yang mempengaruhinya di wilayah
Indonesia. Bagi pemerintah hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dalam
mengatasi masalah ketenagakerjaan di Indonesia dengan upaya mengurangi
7
tingkat pengangguran, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari tiga tahap. Pertama, memberikan gambaran
secara umum hubungan simultan antara tingkat upah dan penyerapan tenaga kerja
serta variabel yamng mempengaruhinya. Kedua, melihat pengaruh pertumbuhan
ekonomi regional serta variabel ketenagakerjaan terhadap tingkat upah dan
penyerapan tenaga kerja. Ketiga, melakukan pembahasan dan analisis terhadap
hasil estimasi dari model ekonometrika yang dibangun serta memberikan
beberapa kesimpulan dan saran.
Penelitian dilakukan terhadap 26 provinsi di wilayah Indonesia dalam
kurun waktu dari tahun 1998 hingga tahun 2007. Untuk kesinambungan data,
jumlah provinsi mengikuti keadaan tahun 1998, dimana jumlahnya sebanyak 26
provinsi, sehingga provinsi yang terbentuk hasil pemekaran setelah itu datanya
diagregasikan ke provinsi induk
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori
2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi
Salah satu indikator yang digunakan untuk melihat kinerja ekonomi suatu
negara adalah Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan indikator yang
digunakan untuk melihat kinerja ekonomi suatu wilayah dalam suatu negara
adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), yang merupakan keseluruhan
nilai tambah yang timbul akibat adanya berbagai aktivitas ekonomi dalam suatu
wilayah dan periode waktu yang dikaitkan dengan kemampuan wilayah itu dalam
mengelola sumber dayanya. Disebut domestik karena menyangkut batas wilayah
dan dinamakan bruto karena telah memasukkan komponen penyusutan dalam
perhitungannya. PDRB Secara umum disebut juga agregat ekonomi, maksudnya
angka besaran total yang menunjukkan prestasi ekonomi suatu wilayah. Dari
agregat ekonomi ini selanjutnya dapat diukur pertumbuhan ekonomi.
Untuk menghitung pertumbuhan ekonomi riil terlebih dahulu harus
dihilangkan pengaruh perubahan harga yang melekat pada angka-angka agregat
ekonomi menurut harga berlaku sehingga terbentuk harga agregat ekonomi
menurut harga konstan (Dumairy, 1997). Untuk menghitung pertumbuhan
ekonomi per periode dalam persentase digunakan rumus:
Growtht 100 % ………………………..…… (2.1)
Dimana, Growtht adalah persentase pertumbuhan ekonomi periode (t),
PDRBt adalah PDRB harga konstan periode (t) dan PDRBt-1 adalah PDRB harga
konstan periode (t-1).
a. Teori Pertumbuhan Ahli-Ahli Ekonomi Klasik
Ahli-ahli ekonomi klasik lebih menekankan analisisnya pada pengaruh
pertambahan penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi, dengan mengasumsikan
bahwa luas tanah, kekayaan sumber daya alam dan tingkat teknologi tidak
mengalami perubahan. Aliran Klasik menggunakan teori law of the diminishing
return (teori pertambahan hasil yang semakin menurun) dalam merumuskan
10
hubungan antara jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Pada
permulaannya, apabila jumlah penduduk sedikit dan kekayaan alam relatif
berlebihan, tingkat pengembalian modal dari investasi yang dibuat akan tinggi.
Hal ini akan menimbulkan investasi baru dan pertumbuhan ekonomi akan terjadi.
Keadaan seperti itu tidak akan terus menerus berlangsung. Apabila penduduk
sudah terlalu banyak, pertambahannya akan menurunkan tingkat pertumbuhan
ekonomi karena produktivitas marginal penduduk telah menjadi negatif. Pada
keadaan ini kemakmuran masyarakat akan menurun, dan tingkat pendapatan
pekerja hanya bisa muncukupi kebutuhan hidup mereka (subsistence level).
Kondisi inilah yang sering disebut perekonomian dalam kondisi steady state.
Menurut teori klasik, suatu negara tidak akan mampu menghalangi terjadinya
keadaan tidak berkembang tersebut, melainkan hanya mampu menundanya.
b. Teori Schumpeter
Teori Schumpeter menekankan tentang pentingnya peranan pengusaha
dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi. Dalam mengemukakan teori
pertumbuhannya, Schumpter memulai analisisnya dengan memisalkan bahwa
perekonomian sedang dalam keadaan tidak berkembang. Tetapi keadaan ini tidak
akan berlangsung lama, karena sejumlah pengusaha akan menyadari pentingnya
melakukan inovasi untuk mendongkrak perekonomian. Didorong oleh keinginan
memperoleh keuntungan yang besar dari mengadakan pembaruan dalam proses
kegiatan ekonomi ini harus didukung juga dengan tersedianya faktor -faktor
produksinya. Untuk itu mereka akan meminjam modal dan melakukan penanaman
modal baru. Investasi yang baru ini akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
yang berdampak pada meningkatnya pendapatan masyarakat dan konsumsi.
Kenaikan tersebut akan mendorong perusahaan-perusahaan lain untuk
menghasilkan lebih banyak barang dan melakukan penanaman modal baru.
Keadaan perekonomian yang sedang meningkat ini akan menyebabkan
terbatasnya kemungkinan untuk mengadakan inovasi, sehingga pertumbuhan
ekonomi akan mencapai keadaan steady state. Berbeda dengan pandangan klasik,
Schumpter berpandangan bahwa keadaan steady state akan terjadi pada saat
tingkat pembangunan yang tinggi.
11
c. Teori Harrod-Domar
Dalam menganalisis masalah pertumbuhan ekonomi, teori Harrod-Domar
bertujuan untuk menerangkan syarat yang harus dipenuhi supaya suatu
perekonomian dapat mencapai pertumbuhan yang teguh (steady growth) dalam
jangka panjang. Dalam teorinya Harrod-Domar melihat persoalan pertumbuhan
dari segi permintaan, yaitu menekankan pentingnya peranan akumulasi kapital
dalam proses pertumbuhan. Apabila pada suatu waktu terdapat keseimbangan
pendapatan pada tingkat full employment, maka untuk memelihara keseimbangan
agar dapat bertahan dari tahun ke tahun dibutuhkan pengeluaran investasi untuk
menghisap kenaikan output yang ditimbulkan. Jadi investasi harus ada supaya
keseimbangan tidak terganggu. Tetapi apabila hasrat menabung marjinal
(marginal propensity to save) telah tertentu maka akan lebih banyak kapital yang
tersedia sehingga makin besar tabungan dan makin besar pula investasi. Oleh
karena itu bila kondisi full employment terjadi hendaknya perlu dipertahankan
tingkat investasi dan pendapatan nasional riil agar terus meningkat. Keadaan
pertumbuhan ekonomi yang perlu dipertahankan/dijamin ini sering disebut
warranted rate of growth. Apabila pembentukan kapital tidak dibarengi dengan
kenaikan pendapatan maka kapital dan tenaga kerja akan menganggur.
d. Teori Pertumbuhan Neo-Klasik
Teori pertumbuhan Neo-Klasik yang dikembangkan oleh Abramovits dan
Solow ini merumuskan teori pertumbuhan dari sudut pandang penawaran.
Menurut Abramovits dan Solow dalam Sukirno (2000) pertumbuhan ekonomi
bergantung pada perkembangan faktor-faktor produksi.
∆Y = f (∆K,∆L,∆T) ….……………………………. (2.2)
dimana ∆Y adalah tingkat pertumbuhan ekonomi, ∆K adalah tingkat pertambahan
barang modal, ∆L adalah tingkat pertambahan tenaga kerja, dan ∆T adalah tingkat
perkembangan teknologi.
2.1.2 Investasi Fisik
Untuk mendapatkan gambaran mengenai perkembangan investasi dari
waktu ke waktu, ada tiga macam cara yang bisa dilakukan yaitu :
12
1. Pertama, dengan menyoroti kontribusi Pembentukan Modal Tetap Bruto
(PMTB) dalam konteks permintaan agregat, dengan melihat dari sumbangan
dan perkembangan variabel investasi (I) dalam identitas pendapatan nasional
Y = C + I + G + (X − M)
2. Kedua, dengan mengamati data Penanaman Modal Asing (PMA) dan
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
3. Ketiga, dengan menelaah perkembangan dana investasi yang disalurkan oleh
dunia perbankan.
PMTB didefinisikan sebagai pengadaan, pembuatan dan pembelian barang
modal (capital goods) untuk keperluan usaha. Termasuk pula di sini peralatan
yang akan digunakan dalam proses produksi secara terus-menerus (repeatedly)
dan berkesinambungan (countinously). Barang modal yang dimaksud mempunyai
usia pakai lebih dari satu tahun dan akan mengalami penyusutan baik secara
teknis (usia pakai) maupun ekonomi (nilai). Disebut sebagai pembentukan modal
tetap bruto karena menggambarkan penambahan serta pengurangan barang modal
pada satu waktu tertentu. Istilah bruto mengindikasikan bahwa di dalamnya masih
termasuk unsur penyusutan. Dalam penyusunan Produk Domestik Bruto (PDB)
menurut komponen penggunaan, data investasi yang dicakup dapat berupa
investasi bruto yaitu Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) ataupun investasi
neto yaitu Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) yang didapatkan
dari nilai investasi bruto dikurangi stok. Untuk itu, data investasi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data PMTDB.
2.1.3 Upah
Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003, tentang ketenagakerjaan, upah
didefinisikan sebagai hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam
bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau
akan dilakukan.
Burtt (1963) didalam bukunya berjudul “Labor Market, Unions and
Government Policies” menyatakan beberapa teori upah diantaranya yaitu:
13
1. Teori Kebutuhan Hidup (Subsistence Theory)
Salah satu teori upah yang paling tua adalah teori kebutuhan hidup
(Subsistence Theory) yang dikemukakan David Ricardo. Teori ini secara
sederhana mengemukakan bahwa tingkat upah yang diterima oleh tenaga kerja
yang tidak memiliki keterampilan (unskilled worker) hanya dipengaruhi oleh
kepentingan untuk menutup biaya hidup kebutuhan pekerja dan keluarganya.
2. Teori Upah Besi (Iron Wage Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Ferdinand Lassalle, yang menyatakan bahwa
dengan adanya subsistence theory kepentingan pekerja tidak terlindungi. Oleh
karena itu peran serikat pekerja dalam melindungi kepentingan pekerja menjadi
hal yang sangat penting. Dengan adanya serikat pekerja tersebut, pekerja akan
berusaha menuntut upah yang melebihi kebutuhan hidupnya. Kenaikan upah
akibat desakan serikat pekerja akan menurunkan permintaan tenaga kerja akibat
dari kenaikan biaya produksi perusahaan.
3. Wage Fund Theory
Teori upah ini dikemukakan oleh John Stuart Mill. Menurut teori ini
tingkat upah tergantung pada permintaan dan penawaran tenaga kerja. Penawaran
tenaga kerja tergantung pada jumlah dana upah yaitu jumlah modal yang
disediakan oleh perusahaan untuk pembayaran upah. Peningkatan tabungan akan
meningkatkan nilai investasi pada sektor-sektor ekonomi sehingga sektor-sektor
ekonomi tersebut berupaya meningkatkan kapasitas produksinya, yaitu dengan
meningkatkan jumlah tenaga kerja. Peningkatan modal (capital) ini berakibat
meningkatnya upah pekerja karena permintaan tenaga kerja semakin meningkat.
4. Marginal Productivity Theory
Teori ini menyatakan bahwa dalam rangka memaksimumkan keuntungan,
tiap-tiap pengusaha menggunakan faktor-faktor produksi sedemikian rupa
sehingga tiap faktor produksi yang digunakan akan menerima atau diberi imbalan
sebesar nilai pertambahan hasil marginal dari faktor produksi tersebut. Pengusaha
akan mempekerjakan sejumlah pekerja atau karyawan sedemikian rupa sehingga
nilai prosuktivitas atau pertambahan hasil marginal seorang pekerja sama dengan
upah yang diterima pekerja tersebut. Teori ini menyatakan bahwa pekerja atau
14
karyawan memperoleh upah sesuai dengan produktivitas marginalnya terhadap
pengusaha.
2.1.4. Penyerapan Tenaga Kerja
Sesuai dengan The Labour Concept yang disarankan oleh ILO
(International Labor Organization) BPS mendefinisikan pekerja sebagai
seseorang yang melakukan kegiatan ekonomi dengan maksud memperoleh dan
membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak
terputus) dalam seminggu yang lalu.
Menurut Sumarsono (2003), ada beberapa faktor yang mempengaruhi
daya serap tenaga kerja antara lain:
1. Kemungkinan substitusi tenaga kerja dengan faktor produksi yang lain
2. Elastisitas permintaan terhadap barang yang dihasilkan
3. Proporsi biaya karyawan terhadap seluruh biaya produksi
4. Elastisitas persediaan faktor produksi pelengkap lainnya.
Rucker dalam Rencana Tenaga Kerja Nasional (RTKN) 2004-2009
(2004), menyatakan bahwa untuk menciptakan kesempatan kerja dalam jangka
panjang dapat dilakukan dengan tiga cara pokok yaitu memperlambat laju
pertumbuhan penduduk, meningkatkan intensitas pekerja dalam menghasilkan
output (labour-intensity of output) dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Cara
pertama dengan memperlambat laju pertumbuhan penduduk dirasa kurang
memadai karena angka kelahiran di Indonesia tidak relatif rendah. Sementara itu
cara kedua dalam jangka panjang tidak selalu berhasil karena tidak selalu kondusif
bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Dari ketiga cara pokok
tersebut, cara yang paling realistis dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun cara ketiga ini juga tergantung dari
struktur pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Karena dari beberapa studi empiris
pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja tidak memiliki hubungan otomatis,
maka peranan pemerintah menjadi strategis dan crusial untuk merancang strategi
pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi juga ramah terhadap ketenagakerjaan
(employment friendly-growth).
15
Untuk memperkirakan sampai seberapa besar laju pertumbuhan ekonomi
yang diperlukan untuk mengimbangi laju pertumbuhan angkatan kerja maka
sering digunakan analisis elastisitas kesempatan kerja.
E ∆ ⁄∆ ⁄ ………………………………….. (2.3)
dimana, E adalah elastisitas kesempatan kerja, GDPt adalah Produk Domestik
Bruto atas dasar harga konstan tahun t dan Lt adalah jumlah penduduk bekerja
tahun t.
2.1.5 Pengangguran Terbuka
Selama periode 1986-2005, konsep pengangguran yang dipakai pada
Sakernas telah mengalami perubahan. Konsep yang digunakan pada Sakernas
1986-2000 adalah mereka yang tidak bekerja dan mencari pekerjaan sedangkan
konsep pengangguran yang digunakan sejak Sakernas 2001 adalah mereka yang
mencari pekerjaan, mereka yang mempersiapkan usaha, mereka yang tidak
mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, mereka
yang sudah diterima bekerja tetapi belum memulai bekerja. Untuk mengeliminir
perubahan tingkat pengangguran yang diakibatkan perubahan konsep
pengangguran yang dipakai dalam Sakernas, maka konsep pengangguran yang
digunakan dalam penelitian ini adalah konsep pengangguran setelah diperluas
(Sakernas 2001). Sementara itu definisi tingkat pengangguran terbuka adalah rasio
antara jumlah penganggur dengan jumlah angkatan kerja.
TPT 100% ..…………………………… (2.4)
dimana, TPT adalah tingkat pengangguran terbuka, Unemployment adalah jumlah
penganggur dan LF adalah jumlah angkatan kerja (Labour Force).
2.1.6. Upah Minimum
Upah minimum sebagaimana yang telah diatur dalam PP No. 8/1981
merupakan upah yang ditetapkan secara minimum regional, sektoral regional
maupun sub sektoral. Dalam hal ini upah minimum adalah upah pokok dan
16
tunjangan. Upah pokok minimum adalah upah pokok yang diatur secara minimal
baik regional, sektoral maupun sub sektoral.
Menurut Sumarsono (2003) ada tiga komponen yang dianggap
mempengaruhi besarnya upah minimum yaitu Kebutuhan Hidup Minimum
(KHM), Indeks Harga Konsumen (IHK) dan pertumbuhan ekonomi regional.
2.1.7 Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja
Pendidikan merupakan suatu bentuk investasi sumber daya manusia yang
tidak kalah pentingnya dengan investasi modal fisik. Berbagai penelitian yang
dilaksanakan di sejumlah negara menunjukkan bahwa pendidikan memberikan
sumbangan yang sangat berarti terhadap pertumbuhan ekonomi. Schlutz dalam
Indikator Tingkat Hidup Pekerja, BPS (2005) menyatakan bahwa pendidikan
tenaga kerja terbukti mampu menjelaskan bagian yang sangat besar dari
pertumbuhan output di negara-negara maju maupun di negara-negara
berkembang. Selain itu tingkat pendidikan juga menentukan tinggi rendahnya
pendapatan yang diterima oleh masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan
yang ditamatkan maka upah/gaji yang diterima pekerja juga akan semakin tinggi.
Mengeluarkan biaya untuk pendidikan merupakan investasi di bidang
sumber daya manusia (human capital). Ada perbedaan antara investasi fisik
dengan human capital yaitu hasil dari human capital berupa peningkatan
produktivitas kerja akan memberikan tingkat penghasilan yang lebih tinggi,
namun pengaruh ini tidak langsung dapat dirasakan. Sedangkan hasil dari
investasi fisik adalah penghasilan usaha yang dapat dinikmati langsung hasilnya
(Sumarsono, 2003)
Salah satu model ekonometrik yang menjelaskan hubungan antara tingkat
pendidikan dengan tingkat upah adalah Mincer Wage Model. Model tersebut juga
sering digunakan untuk melihat pengaruh perbedaan gender dan lapangan
pekerjaan dalam penentuan upah. Belzil (2006) melakukan penelitian untuk
melihat pengaruh tingkat pendidikan (schooling) dan pengalaman kerja
(experience) terhadap penentuan upah dengan menggunakan Mincer Wage Model.
log wit = i + 1Sit + 2Pkit + it , i = 1,2,….,n t = 1,2,….,T ……… (2.5)
17
dimana w adalah tingkat upah, S adalah tingkat pendidikan dan Pk adalah
pengalaman kerja. Dengan model tersebut, Benzil menyimpulkan bahwa terjadi
perbedaan upah akibat perbedaan level pekerjaan dan tingkat pendidikan.
2.1.8 Indeks Harga Konsumen (IHK)
Kenaikan harga-harga yang terjadi dari satu periode ke periode lainnya
tidak berlaku secara seragam. Kenaikan tersebut biasanya berlaku atas
kebanyakan komoditas, tetapi kenaikannya berbeda antar komoditas. Ada yang
persentase kenaikannya tinggi ada pula yang rendah bahkan pada beberapa
komoditas tidak mengalami kenaikan sama sekali. Berlakunya tingkat perubahan
harga yang berbeda tersebut menyebabkan perlunya indeks harga dibentuk untuk
menggambarkan tingkat perubahan harga yang berlaku dalam suatu wilayah dan
pada periode tertentu.
Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan salah satu indikator ekonomi
yang populer digunakan untuk mengukur tingkat perubahan harga dan juga
tingkat inflasi.
2.1.9 Studi Empiris Berkaitan dengan Pertumbuhan Ekonomi, Upah dan Pengangguran
A. Okun dalam Dornbusch (1991)
Penelitian Okun (1980) di Amerika Serikat yang berdasarkan anggapan
bahwa dari waktu ke waktu angkatan kerja mengalami pertumbuhan sehingga
pengangguran akan naik kecuali jika output riil maupun kesempatan kerja
mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Dalam bentuk pertumbuhan, Okun
membuktikan bahwa tingkat pengangguran akan turun sebesar 0,4 persen setiap
laju pertumbuhan PDB riil sebesar 1 persen per tahun. Hukum Okun ini
merupakan hasil dari penelitian empiris sehingga hukum tersebut bukan
merupakan hukum yang tetap, karena angka estimasi atas hubungan antara trend
laju pertumbuhan output dan tingkat pengangguran akan berubah dari waktu ke
waktu.
B. Lars Calmfors dan Bertil Holmlund (2000)
Calmfors dan Holmlund dalam papernya yang berjudul “Unemployment
and Economic Growth: a partial survey”, menyatakan bahwa pengaruh
pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat pengangguran tergantung dari
18
karakteristik dari proses pertumbuhan ekonomi (character of the growth process).
Pertumbuhan ekonomi yang lebih banyak disebabkan oleh pertumbuhan investasi
akan mampu mengurangi tingkat pengangguran.
C. Asep Suryahadi (2001)
Suryahadi (2001) yang tergabung dalam lembaga penelitian SMERU
Research Institute melakukan penelitian tentang pengaruh kebijakan penetapan
upah minimum terhadap tingkat upah dan penyerapan tenaga kerja. Penelitian
tersebut menggunakan data panel sakernas periode 1988-2000. Beberapa variabel
yang digunakan dalam penelitian itu adalah tingkat upah riil, jumlah penyerapan
tenaga kerja, PDRB, jumlah angkatan kerja dan tingkat upah minimum.
Dengan menggunakan persamaan simultan terhadap data panel
ketenagakerjaan tersebut diperoleh temuan bahwa penetapan upah minimum yang
tidak mempertimbangkan mekanisme pasar akan mengakibatkan berkurangnya
penyerapan tenaga kerja. Sedangkan di satu sisi penetapan upah minimum akan
menaikkan upah pekerja terutama upah pekerja sektor formal. Berikut salah satu
model yang digunakan dalam penelitian tersebut.
logwageit = 1i + 11logMinwageit + 12logPop15^it + 13logPDRBit + 1it …….(2.6)
logempit = 2i + 21logMinwageit + 22logPop15^it + 23logPDRBit + 2it .....… (2.7)
dimana wage adalah rata-rata upah riil, Minwage adalah upah minimum provinsi
(UMP), Pop15^ adalah jumlah penduduk berumur 15 tahun ke atas, dan PDRB
adalah Produk Domestik Regional Bruto.
D. Gavin Wallis (2002)
Wallis (2002) dalam penelitiannya yang berjudul ”The Effects of Skill
Shortage on Unemployment and Real Wage Growth”, menggunakan persamaan
simultan untuk mengukur pengaruh skill pekerja terhadap upah dan pengangguran
di Inggris dengan menggunakan data triwulanan (periode 1976Q1-2002Q1).
Selain menggunakan variabel eksogen skill pekerja, Wallis juga menggunakan
beberapa variabel eksogen lain yaitu pertumbuhan ekonomi, Pembentukan Modal
Tetap Domestik Bruto (PMTDB), ratio stock terhadap PDRB, tingkat bunga dan
variabel lag upah dan pengangguran. Hasil estimasi persamaan struktural
mengindikasikan bahwa skill pekerja dan pertumbuhan ekonomi mempunyai
19
hubungan yang positif terhadap tingkat upah, sedangkan pertumbuhan ekonomi
mempunyai hubungan yang negatif terhadap tingkat pengangguran.
E. Robert E. Hall (2005)
Hall (2005) dalam penelitian yang berjudul “The Limited of
Unemployment Influence on the Wage Bargain” mengemukakan akan adanya
hubungan simultan antara upah dan pengangguran. Hall sependapat tentang
analisis Kurva Phillips yang menerangkan hubungan antara tingkat upah dan
pengangguran. Namun ia memberikan batasan bahwa penjelasan Kurva Phillips
tentang hubungan antara upah dan pengangguran tidak akan sepenuhnya berlaku
bila perekonomian dalam kondisi depresi dan resesi. Dari hasil penelitiannya
pengaruh tingkat pengangguran dalam mempengaruhi upah hanya terbatas
(limited) karena upah lebih banyak dipengaruhi oleh produktivitas tenaga kerja.
Sementara itu tingkat pengangguran lebih banyak dipengaruhi oleh variabel
makroekonomi pengeluaran pemerintah (government purchase).
F. Depnakertrans (2004)
Depnakertrans (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi) dan BPS
(Badan Pusat Statistik) pada tahun 2004 mengeluarkan Rencana Tenaga Kerja
Nasional (RTKN) 2004-2009 yang berisi perkiraan kondisi ketenagakerjaan pada
periode mendatang. Dalam RTKN tersebut dibuat suatu model proyeksi yang
digunakan untuk estimasi penyerapan tenaga kerja sektoral dengan menggunakan
variabel-variabel ekonomi dan demografi seperti pertumbuhan ekonomi, investasi,
jumlah angkatan kerja dan lag dari penyerapan tenaga kerja.
G. Daniel Suryadarma (2007)
Suryadarma (2007) melakukan penelitian yang berjudul ”Reducing
Unemployment in Indonesia: Result from a Growth-Employment Elasticity
Model”. Penelitian tersebut berusaha menjelaskan pengaruh pertumbuhan
ekonomi sektoral pada daerah desa dan kota dalam mengurangi tingkat
pengangguran di Indonesia dengan menggunakan model elastisitas pertumbuhan
ekonomi terhadap tenaga kerja. Hasil penelitian menunjukkan untuk mengurangi
tingkat pengangguran di wilayah perkotaan dan pedesaan memerlukan strategi
yang berbeda, dimana untuk daerah pedesaan cara terbaik adalah dengan
20
meningkatkan pertumbuhan disektor pertanian dan infrastruktur jalan raya yang
dapat menyerap banyak tenaga kerja.
H. Hermanto Siregar (2007)
Penelitian yang dilakukan Siregar, et al (2006) dengan judul “Paradoks
Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran : Identifikasi, Implikasi dan Solusi“.
Secara umum tujuan penelitian ini untuk mengetahui berabagai peristiwa penting
dalam perekonomian Indonesia yang menunjukan gejala paradoks antara
pertumbuhan ekonomi dan pengangguran. Model Structural Vector Auto
Reggression (SVAR) digunakan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab
kemunculan paradoks tersebut serta menelaah dampak sumber-sumber guncangan
perekonomian terhadap variabel utama makroekonomi.
I. Olivier Blanchard (2006)
Hasil studi literatur secara umum menjelaskan tentang berbagai penyebab
dari tingginya tingkat pengangguran. Blanchard menyatakan bahwa tingginya
tingkat pengangguran merupakan akibat dari berbagai faktor seperti shock
kenaikan harga minyak yang menurunkan pertumbuhan produktivitas, peran dari
akumulasi capital dan adanya peran insider terhadap para outsider. Selain itu,
institusi pasar tenaga kerja dari proteksi menuju asuransi turut andil dalam
meningkatkan persistensi pengangguran.
2.2 Kajian Teori
2.2.1 Pasar Tenaga Kerja
Terdapat dua pendekatan yang umum digunakan untuk membahas pasar
tenaga kerja, yaitu pendekatan neoklasik dan pendekatan Keynesian. Kedua
pendekatan ini membahas keterkaitan antara tingkat upah dan pengangguran di
pasar tenaga kerja. Pendekatan mikroekonomi neoklasik yang paling sederhana
untuk pasar tenaga kerja didasarkan pada dua prinsip yaitu : prinsip pertama
terkait dengan kurva permintaan tenaga kerja dan prinsip kedua terkait dengan
penawaran tenaga kerja.
A. Permintaan Tenaga Kerja
Perusahaan atau pengusaha akan menambah pekerja baru apabila pekerja
baru tersebut dianggap mampu menghasilkan lebih banyak penerimaan dari pada
pengeluara
perusahaa
marginal t
Sumber : DGambar 2
Ku
permintaa
tenaga ker
kontribusi
penyerapa
karena up
kerja L2 ,
tenaga ker
Perusahaa
kerja sebe
produk m
(Dornbusc
LD = MPL
dimana LD
tingkat har
B. Penawa
Ka
penawaran
an untuk b
an ketika pe
tenaga kerja
Dornbusch .1 Kurva p
urva dengan
an tenaga ke
rja pada saa
i penyerapa
an tenaga ke
pah riil mele
jumlah ten
rja tambaha
an akan men
esar L0 Pad
marginal
ch, 2004).
L = W/P
D adalah pe
rga
aran Tenaga
aum ekonom
n tenaga ke
biaya upah
erusahaan m
a (Marginal
2004 ermintaan t
n kemiringa
erja yang m
at MPL sam
an tenaga
erja L1 peru
ebihi MPL1
aga kerja te
an terhadap
ncapai keun
da tingkat p
tenaga ke
ermintaan te
a Kerja
m aliran kla
erja atas up
pekerja. T
menambah
l Productivi
tenaga kerja
an yang me
erupakan ku
ma dengan u
kerja tamb
usahaan men
1 . Sementa
ersebut tida
output MP
ntungan ma
penyerapan
erja (MPL
……
enaga kerja,
asik menyata
pah riil. Ole
Tambahan o
satu unit te
ity of Labou
a
enurun pada
urva MPL.
upah riil. K
bahan terha
nggunakan
ara itu pada
ak cukup ka
PL2 melebih
aksimum pa
n tenaga ker
L) akan s
……………
W adalah u
akan, bahw
eh karena i
output yang
enaga kerja
ur).
a Gambar 2
Perusahaan
Kurva MPL
adap outpu
terlalu ban
a tingkat pe
arena kontri
hi biaya upa
ada saat pe
rja yang op
sama den
……………
upah nomin
wa tenaga ke
itu, kenaika
g diperoleh
a disebut pr
2.1 adalah k
n akan meng
memperlih
ut. Pada tin
nyak tenaga
enyerapan te
ibusi penyer
ah riil tamb
enyerapan te
ptimum ters
ngan upah
…………
al, dan P ad
erja mendas
an upah nom
21
oleh
roduk
kurva
gupah
hatkan
ngkat
kerja
enaga
rapan
bahan.
enaga
sebut,
riil
(2.8)
dalah
arkan
minal
22
tidak akan mengubah penawaran tenaga kerja apabila kenaikan upah tersebut
disertai dengan kenaikan tingkat harga yang sepadan. Orang yang merasa lebih
kaya karena kenaikan upah nominal dan kenaikan tingkat harga yang sama
dikatakan terkena money illusion. Orang yang rasional tidak akan mengalami ilusi
uang, karena mereka hanya mau mengubah penawaran tenaga kerja apabila terjadi
perubahan dalam upah riil. Karena itu, kurva penawaran tenaga kerja menurut
kaum klasik adalah:
LS = W/P …………………………….............. (2.9)
C. Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja
Dalam melakukan analisis pasar tenaga kerja aliran klasik mengasumsikan
bahwa penawaran tenaga kerja akan meningkat sejalan dengan kenaikan upah riil
(W/P). Interaksi antara kurva permintaan dan penawaran tenaga kerja akan
menentukan jumlah tenaga kerja yang digunakan, yaitu jumlah tenaga kerja yang
ditawarkan (LS ) sama dengan jumlah tenaga kerja yang diminta (LD) pada
tingkat upah tertentu, atau:
LS=LD …………………………………….. (2.10)
Konsep dasar aliran klasik adalah semua harga-harga termasuk harga upah
tenaga kerja memiliki pergerakan yang fleksibel dan semua pelaku ekonomi
bereaksi secara cepat dan rasional terhadap perubahan harga tersebut.
Penyimpangan dari posisi full employment hanya bersifat sementara.
Berdasarkan Gambar 2.2 titik A merupakan titik ekuilibrium dalam
perekonomian dimana penyerapan tenaga kerja berada pada keadaan full
employment. Pada keadaan itu seluruh angkatan kerja dapat terserap dalam
perekonomian dititik D pada Gambar 2.3. Apabila permintaan aggregat turun dari
AD1 ke AD2 oleh sesuatu hal seperti krisis ekonomi yang menyebabkan
memburuknya perekonomian, maka akan terjadi penurunan output sebesar Y1 - Y2.
Penurunan output itu juga menyebabkan perubahan keseimbangan dalam pasar
tenaga kerja yaitu menurunnya permintaan tenaga kerja dari LD1 ke LD2.
Pergeseran kurva permintaan tenaga kerja tersebut menyebabkan dua akibat yaitu
turunnya upah riil dari (W/P)1 ke (W/P)2 dan terjadi pengangguran sebesar L1 - L2.
Menurut pandangan aliran klasik, pengangguran yang terjadi ini hanya bersifat
sementara karena perilaku harga-harga dan upah yang fleksibel dan reaksi spontan
dari pelak
menurunn
menurunn
dari AS1 k
Sumber : DGambar 2
Sumber : DGambar 2
Pe
permintaa
kembali.
mencapai
seperti sem
ku ekonomi
nya biaya m
nya biaya pr
ke AS2 sehin
Dornbusch .2 Keseimb
Dornbusch .3 Keseimb
ningkatan
an tenaga k
Hal ini ak
titik D (ful
mula
akan mend
marginal (ma
roduksi ters
ngga tercipta
2004 bangan anta
2004 bangan dala
output aki
kerja, sehing
kan menyeb
ll employme
dorong tingk
arginal cost
sebut akan
a titik kesei
ara kurva AD
am Kurva L
ibat perges
gga kurva
babkan pen
ent) kembal
kat upah tu
t) untuk me
menggeser
mbangan ba
D dan AS d
LD dan LS p
seran kurva
LD2 akan
ngangguran
i bila perm
urun. Turun
nghasilkan
r kurva pen
aru yaitu tit
dalam perek
pasar tenaga
a AS akan
bergeser m
akan berk
intaan tenag
nnya upah b
output. De
awaran agg
tik C.
konomian
a kerja
n meningk
menuju titik
kurang dan
ga kerja kem
23
berarti
engan
gregat
katkan
k LD1
akan
mbali
24
Menurut ekonom aliran Keynes, asumsi dasar aliran klasik tentang
fleksibilitas sempurna dari harga dan upah serta reaksi spontan dari para pelaku
ekonomi tidak selalu cocok dengan kenyataan. Proses menuju posisi
keseimbangan baru akan memakan waktu yang lama dan tergantung dari besar
kecilnya hambatan yang dihadapi, diantaranya:
(a) kekakuan upah nominal yang selalu terjadi meskipun perekonomian dalam
keadaan depresi dan pengangguran meningkat
(b) kelambatan para pelaku ekonomi dalam merespon situasi ekonomi yang baru
karena kurangnya informasi.
Atas dasar itulah aliran Keynes menyatakan bahwa kegiatan perekonomian
yang dicapai akan selalu lebih rendah dari tingkat full employment (penggunaan
tenaga kerja penuh), sehingga dalam perekonomian akan selalu terjadi masalah
pengangguran (Boediono, 1998).
Proses pergeseran kurva AS dari AS1 ke AS2 menurut aliran Keynes tidak
akan terjadi secara almiah, sehingga pengangguran akan tetap terjadi. Untuk
mengurangi pengangguran yang timbul aliran Keynes menyarankan agar
pemerintah berusaha meningkatkan permintaan aggregat dari AD2 ke AD1 dengan
proporsi tertentu karena kenaikan permintaan aggregat yang terlalu cepat juga
akan menyebabkan inflasi. Peningkatan permintaan aggregat tersebut dapat
dilakukan dengan mengkombinasikan kebijakan fiskal dan moneter secara efektif.
2.2.2 Analisis Kurva Phillips
Kurva Phillips menggambarkan hubungan negatif antara inflasi dengan
tingkat pengangguran. Penamaan tersebut diberikan oleh Samuelson dan Solow
pada tahun 1960, diambil dari nama seorang ahli yang pertama kali menganalisis
hubungan tersebut, yaitu Profesor A.W. Phillips. Dalam artikel yang berjudul
“The Relationship between Unemployment and the Rate of Change of Money
Wage in the United Kingdom, 1861-1957”. Profesor Phillips memperlihatkan
hubungan negatif antara tingkat kenaikan upah dengan tingkat pengangguran di
Inggris. Pada tahun-tahun yang mempunyai tingkat pengangguran rendah
cenderung memiliki inflasi yang tinggi. Dari penelitian ini juga dapat disimpulkan
sifat umum Kurva Phillips yaitu pada mulanya penurunan sangat curam, tetapi
semakin lama semakin bertambah landai.
25
Δ 1 Δ 0 UE0 UE1 Tingkat Pengangguran (%)
Sumber : Dornbusch 2004 Gambar 2.4 Hubungan antara tingkat upah dan tingkat pengangguran
Kurva Phillips pada Gambar 2.4 menggambarkan sifat keterkaitan antara
upah dan tingkat pengangguran, sebagai berikut:
1. Apabila tingkat pengangguran semakin rendah, tingkat upah semakin cepat
kenaikannya. Rendahnya tingkat pengangguran menunjukkan penurunan
penawaran tenaga kerja. Tenaga kerja mempunyai posisi kuat dalam
bargaining upah karena perusahaan tidak mau kehilangan faktor produksi
yang dimiliki maka balas jasa tenaga kerja akan meningkat.
2. Apabila tingkat pengangguran relatif tinggi, kenaikan upah relatif lambat
berlakunya. Dalam kondisi tingkat pengangguran yang relatif tinggi. Posisi
tenaga kerja lemah karena tingkat penawaran tenaga kerja yang melimpah.
Perusahaan dengan mudah mendapatkan tenaga kerja pengganti apabila
pekerja menuntut kenaikan upah. Namun, pihak perusahaan juga tidak mau
kehilangan tenaga kerja berpengalaman sehingga tidak bisa serta merta
memecat tenaga kerjanya.
2.3 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan teori-teori yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan
ketenagakerjaan serta studi-studi empiris terdahulu, maka dalam penelitian ini
penulis merumuskan hubungan beberapa variabel ketenagakerjaan sebagai
berikut:
Tingk
at Pe
ruba
han U
pah
(%)
26
2.3.1 Hubungan beberapa Variabel Makroekonomi dan Ketenagakerjaan terhadap Tingkat Upah Riil
A. Penyerapan tenaga kerja dan tingkat upah riil (hubungan simultan)
Berdasarkan teori pasar tenaga kerja yang menggunakan kurva permintaan
dan penawaran tenaga kerja, maka dapat dirumuskan adanya hubungan simultan
atau dua arah yang saling mempengaruhi antara tingkat upah riil dengan
penyerapan tenaga kerja, sebagai berikut:
1. Penyerapan tenaga kerja mempengaruhi tingkat upah riil. Apabila permintaan
tenaga kerja meningkat yang diindikasikan oleh peningkatan jumlah orang
yang bekerja, maka hal ini akan meningkatkan tingkat upah riil apabila supply
tenaga kerja tidak dapat mengimbangi peningkatan demand tenaga kerja,
begitu pula sebaliknya bila permintaan tenaga kerja menurun hal ini juga akan
menurunkan tingkat upah riil.
2. Tingkat upah riil mempengaruhi penyerapan tenaga kerja. Untuk menentukan
jumlah pekerja yang akan direkrut, tentunya pengusaha akan memperhatikan
upah dan gaji pekerja di pasar tenaga kerja. Apabila kenaikan biaya produksi
yang ditimbulkan oleh kenaikan upah tenaga kerja lebih tinggi dari tambahan
nilai output yang dihasilkan setiap pekerja maka perusahaan akan mengurangi
jumlah pekerjanya.
B. Pertumbuhan ekonomi dan tingkat upah riil
Pertumbuhan ekonomi yang meningkat akan membutuhkan faktor
produksi yang lebih banyak pula. Pekerja sebagai salah satu faktor produksi juga
akan memiliki bargaining possition yang lebih tinggi dari keadaan semula.
Kebutuhan faktor produksi tenaga kerja yang meningkat ini akan membuat
meningkatnya balas jasa faktor produksi tenaga kerja yaitu upah dan gaji.
C. Upah minimum dan tingkat upah riil
Kebijakan menaikkan upah minimum provinsi secara langsung akan
menaikkan upah riil pekerja, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja.
Akan tetapi bagi pengusaha atau perusahaan kenaikan upah minimum ini akan
menyebabkan kenaikan biaya produksi yang berasal dari kenaikan upah, sehingga
apabila total biaya produksi lebih besar dari pada total penerimaannya maka
pengusaha atau perusahaan akan mengurangi jumlah tenaga kerja dan
mempertahankan tenaga kerja yang lebih produktif.
27
D. Tingkat pendidikan pekerja dan tingkat upah riil
Tingkat pendidikan merupakan salah satu variabel yang dapat mengukur
skill pekerja disamping pengalaman kerja. Semakin tinggi tingkat pendidikan
pekerja semakin tinggi pula upah atau gaji yang akan diterima oleh pekerja
tersebut. Namun pengaruh tingkat pendidikan terhadap upah pekerja ini biasanya
hanya akan terjadi pada lapangan kerja sektor formal (Sumarsono, 2003).
2.3.2 Hubungan beberapa variabel makroekonomi dan ketenagakerjaan terhadap penyerapan tenaga kerja
A. Pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja
Pertumbuhan ekonomi yang meningkat akan memerlukan tenaga kerja
yang lebih banyak sebagai faktor produksi untuk memenuhi permintaan agregat
yang meningkat. Kondisi seperti ini terutama akan terjadi pada struktur
perekonomian yang memiliki corak padat karya (labour intensive). Apabila
struktur perekonomian suatu wilayah adalah padat modal (capital intensive), maka
pertumbuhan ekonomi hanya akan meningkatkan kebutuhan modal dan tidak akan
menyerap banyak tenaga kerja.
B. Investasi fisik (PMTDB) dan penyerapan tenaga kerja
Menurut Kirnadi (2005) diantara komponen pertumbuhan ekonomi,
investasi fisik yang memiliki pengaruh langsung terhadap daya serap tenaga kerja.
Pertumbuhan pada komponen PDB non investasi yang tinggi seperti konsumsi
rumah tangga belum bisa dijadikan indikator meningkatnya penyerapan tenaga
kerja karena meskipun permintaan akan barang dan jasa meningkat tetapi tanpa
dana investasi yang memadai, perusahaan tidak akan mampu menambah tenaga
kerja dan meningkatkan outputnya.
C. Perubahan harga dan penyerapan tenaga kerja
Pengaruh kenaikan harga bisa berakibat baik dan buruk bagi
perekonomian. Kenaikan harga yang tinggi dan tidak terkendali akan membuat
perekonomian lesu dan tidak berkembang. Namun kenaikan harga yang wajar
akan mendorong perusahaan untuk meningkatkan outputnya, dengan asumsi
kenaikan harga barang-barang output lebih besar dari kenaikan harga barang-
barang input. Keinginan untuk meningkatkan produksi tersebut tentunya harus
ditunjang oleh kenaikan jumlah tenaga kerja, sehingga kenaikan harga yang
terkendali akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja.
28
2.3.3 Kerangka Penelitian
Berikut skema kerangka penelitian analisis yang dibangun untuk
menemukan jawaban atas permasalahan dan tujuan penelitian ini.
Gambar 2.5 Kerangka penelitian
Definisi variabel operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan seseorang dengan maksud
memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling
sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu.
2. IHK merupakan salah satu indikator ekonomi untuk megukur tingkat
perubahan harga barang-barang secara umum.
3. Inflasi adalah perubahan indeks harga konsumen (IHK) antara suatu periode
dengan periode sebelumnya, periode dalam penelitian ini adalah tahunan.
4. Mencari Pekerjaan adalah kegiatan seseorang yang tidak bekerja dan pada saat
survei orang tersebut sedang mencari pekerjaan, seperti mereka yang belum
pernah bekerja dan sedang berusaha mendapatkan pekerjaan, mereka yang
29
sudah pernah bekerja tetapi karena sesuatu hal berhenti atau diberhentikan dan
sedang berusaha mendapatkan pekerjaan.
5. PDRB atas dasar harga berlaku (PDRB nominal) menggambarkan nilai
tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada
setiap tahun. PDRB ini dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur
ekonomi.
6. PDRB atas dasar harga konstan (PDRB riil) menggambarkan nilai tambah
barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu
waktu tertentu sebagai tahun dasar.
7. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) adalah semua barang modal baru
yang digunakan /dipakai sebagai alat untuk berproduksi. Pembentukan Modal
Tetap Domestik Bruto (PMTDB) adalah nilai neto dari investasi yang
besarnya didapatkan dari nilai investasi bruto (PMTB) dikurangi dengan stok.
PMTDB mencakup pengadaan, pembuatan dan pembelian barangbarang
modal baru ataupun bekas dari luar negeri.
8. Pengangguran adalah mereka yang tidak bekerja dan sedang mencari
pekerjaan, mereka yang sedang mempersiapkan usaha, mereka yang tidak
mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, dan
mereka yang sudah diterima bekerja tetapi belum mulai bekerja.
9. Sektor formal menurut konsep BPS adalah: (a) berstatus berusaha sendiri
tanpa bantuan orang lain atau berusaha dibantu buruh dibayar dan memiliki
jabatan profesonal, teknisi, kepemimpinan dan manajer, (b) berstatus berusaha
dengan buruh tetap (kecuali petani), dan (c) berstatus buruh/karyawan (tidak
termasuk pekerja lepas) di luar lapangan usaha pertanian. Diluar kategori
tersebut dimasukkan ke dalam sektor informal.
10. Tingkat Pendidikan sebagai salah satu indikator skill (ketrampilan) pekerja
yang digunakam mengukur kualitas pekerja tiap provinsi.
11. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk
uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh
yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan,
atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh
30
dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan
dilakukan.
12. Upah Nominal adalah upah yang diterima buruh secara nominal.
13. Upah Riil adalah upah yang diterima pekerja yang telah diperhitungkan
dengan daya beli dari upah nominal yang diterima. Upah Riil dihitung dengan
membagi nilai dari upah nominal dengan Indeks Harga Konsumen (IHK)
14. Upah Minimum Provinsi adalah upah minimum yang berlaku di suatu
provinsi.
2.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan simultan antara tingkat upah riil dan penyerapan tenaga
kerja
2. Terdapat pengaruh positif pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat upah riil
dan penyerapan tenaga kerja
3. Terdapat pengaruh positif peningkatan upah minimum dan tingkat pendidikan
terhadap tingkat upah riil
4. Terdapat pengaruh positif investasi fisik dan kenaikan harga terhadap
penyerapan tenaga kerja
III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dalam
bentuk panel periode tahun 1998-2007 dengan jumlah unit yang diteliti sebanyak
26 provinsi di Indonesia. Data yang diperoleh dari publiksai Badan Pusat Statistik
(BPS) terdiri atas:
• Data rata-rata upah/gaji bersih pekerja/karyawan selama sebulan menurut
provinsi, Upah Minimum Provinsi (UMP), dan Indeks Harga Konsumen
(IHK) dari tahun 1998-2007
• Data PDRB dan PMTDB tiap provinsi diperoleh dari publikasi Produk
Domestik Regional Bruto Provinsi di Indonesia menurut penggunaan dari
tahun 1998-2007
• Data jumlah tenaga kerja tiap provinsi berdasarkan pendidikan dari tahun
1998- 2007
Prosedur yang dipakai dalam pengumpulan data didasarkan pada
pencarian, pemilihan, pencatatan dan perhitungan sesuai dengan kategori data
yang diperlukan. Beberapa variabel tersedia dan langsung dapat digunakan untuk
pengolahan, sebagian lainnya perlu dilakukan perhitungn lebih lanjut. Semua data
yang digunakan terlebih dahulu diubah dalam nemtuk riil.
Pengolahan data yang telah dikumpulkan dilakukan menggunakan paket
program statistik, seperti: Microsoft Excel 2007, dan Eviews 6.0.
3.2 Metode Analisis Data
3.2.1 Analisis Deskriptif
Analisis ini merupakan analisis statistik yang menggambarkan atau
mendeskripsikan data menjadi informasi yang lebih jelas dan mudah dipahami,
dengan menggunakan bantuan grafik yang berhubungan dengan penelitian.
Analisis deskriptif yang disajikan dalam penelitian ini merupakan gambaran
umum keadaan perekonomian dan ketenagakerjaan di Indonesia dengan
menggunakan data pertumbuhan ekonomi, tingkat upah jumlah tenaga kerja
periode 1998-2007.
32
3.2.2 Analisis Persamaan Simultan
A. Pengertian Persamaan Simultan
Dalam regresi linear klasik, biasanya suatu variabel dependen Y
dipengaruhi oleh satu atau beberapa variabel independen X, namun dalam bidang
ekonomi sering terjadi interdependensi, dimana bukan hanya X yang
mempengaruhi Y, bahkan Y juga bisa mempengaruhi X, sehingga terjadi suatu
hubungan dua arah. Dalam keadaan dimana terdapat beberapa variabel yang
saling pengaruh mempengaruhi inilah digunakan model persamaan simultan
(Simultaneous Equation Model).
Menurut Chow (1983), model persamaan simultan baik digunakan karena
paling tidak, ada dua alasan yaitu :
1. sistem persamaan simultan merupakan suatu model yang cocok untuk banyak
aplikasi ekonomi.
2. sistem persamaan simultan merumuskan suatu model stokastik yang cocok
untuk menguji teori ekonomi serta menguji hubungan ekonomi tersebut
dengan uji statistik.
Model persamaan simultan dapat memberikan suatu gambaran yang lebih
baik tentang dunia nyata dibandingkan dengan model persamaan tunggal, hal ini
karena variabel-variabel antara satu persamaan dengan persamaan lainnya dapat
berinteraksi satu sama lain. Sebuah model ekonomi biasanya mengandung
beberapa hubungan yang bersifat saling mempengaruhi yang digambarkan dalam
sebuah sistem persamaan. Model persamaan simultan ini dapat menjelaskan
permasalahan ekonomi yang begitu komplek, dimana ada beberapa variabel dalam
suatu persamaan mempunyai keterkaitan dengan variabel yang sama, yang
terdapat di dalam persamaan lainnya. Dalam persamaan simultan dikenal dengan
istilah variabel endogen dan eksogen, variabel endogen adalah variabel yang
nilainya ditentukan didalam sistem persamaan, sedangkan variabel eksogen adalah
variabel yang nilainya ditentukan diluar persamaan model. Oleh karena itu dalam
model persamaan simultan tidak mudah menentukan dan membedakan antara
variabel bebas (eksogen) dengan variabel tak bebas (endogen).
Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara tingkat upah dan
penyerapan tenaga kerja serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka perlu
33
disusun suatu model yang tepat. Untuk itu pendekatan yang paling tepat adalah
dengan pendekatan model persamaan simultan. Model ini dicirikan dengan
adanya saling keterkaitan antara variabel- variabel ekonomi sehingga dalam
model akan dijumpai lebih dari satu persamaan.
Berdasarkan penelitian dan studi empiris terdahulu diduga terdapat
hubungan simultan antara variabel tingkat upah dan penyerapan tenaga kerja.
Selain itu variabel tingkat upah dan penyerapan tenaga kerja diduga juga
dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi regional. Berikut model persamaan
simultan yang digunakan dalam penelitian ini :
logUPit = 10i + 11logEMPit + 12logPDRBit + 13logUMPit
+ 14logEDUCit + 1it ……………………………….. (3.1)
logEMPit = 20i + 21logUPit + 22logPDRBit + 23logPMTDBit
+ 24logIHKit + 2it ……………………………………... (3.2)
dimana;
UP = rata-rata upah riil pekerja setiap bulan (rupiah)
EMP = jumlah orang yang bekerja (jiwa)
PDRB = Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan dalam
(juta rupiah)
PMTDB = Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto atas dasar harga
konstan (juta rupiah)
UMP = Upah Minimum Provinsi riil (rupiah)
EDUC = Rata-rata lama sekolah pekerja
IHK = Indeks Harga Konsumen
i = provinsi ke i
t = tahun ke t
ε1 ,ε2 = residual
Dari persamaan (3.1) upah riil sebagai variabel dependen sedangkan
penyerapan tenaga kerja sebagai variabel independen. Tetapi pada persamaan
(3.2) keadaan berbalik, dimana upah riil sebagai variabel independen, dan
34
penyerapan tenaga kerja sebagai variabel dependen. Dalam persamaan simultan,
kita tidak lagi menggunakan istilah variabel dependen dan independen, melainkan
variabel endogen dan eksogen.
B. Identifikasi Persamaan Simultan
Pada persamaan simultan kita akan berhadapan dengan suatu model
dimana terdapat saling keterkaitan antar variabel yang ada dalam model.
Diharapkan melalui penyelesaian suatu persamaan yang ada dalam model itu, kita
dapat menemukan koefisien-koefisien persamaan simultan. Tetapi penyelesaian
persamaan dalam sistem persamaan itu tergantung dari identifikasi.
Ada dua persamaan dalam model simultan, yaitu persamaan struktural dan
reduced form. Persamaan struktural yaitu persamaan asli yang menggambarkan
perilaku hubungan antar variabel dalam persamaan. Sedangkan persamaan
reduced form merupakan suatu persamaan yang diperoleh dari persamaan-
persamaan struktural yang telah dikaitkan. Dengan menyelesaikan persamaan
reduced form, kita dapat menghitung koefisien-koefisien dalam persamaan
struktural. Oleh karena itu, penaksiran terhadap persamaan struktural akan
tergantung dari hasil penaksiran pada persamaan reduced form. Dengan demikian
perlu dilakukan identifikasi model terlebih dahulu sebelum memilih metode untuk
menduga parameter pada setiap persamaan dalam model tersebut. Gujarati (2003)
mengemukakan bahwa untuk dapat diduga parameternya, suatu model persamaan
simultan harus teridentifikasi.
Indentifikasi model ditentukan atas dasar “order condition” sebagai syarat
keharusan dan “rank condition” sebagai syarat kecukupan. Menurut Gujarati
(2003), suatu model persamaan simultan, akan dinyatakan teridentifikasi
(identified) apabila jumlah variabel eksogen dalam model (seluruh persamaan
struktural) dikurangi jumlah variabel eksogen dalam persamaan struktural nilainya
harus lebih besar atau sama dengan jumlah variabel endogen yang ada dalam
persamaan struktural dikurangi satu (K − k ≥ m −1 ), dimana, m adalah jumlah
variabel endogen dalam suatu persamaan struktural, K adalah jumlah variabel
eksogen dalam model, dan k adalah jumlah variabel eksogen dalam suatu
persamaan struktural. Apabila nilai dari (K − k = m −1), maka persamaan
struktural itu disebut tepat teridentifkasi (just identified). Tetapi jika nilai
35
(K − k > m −1), maka persamaan struktural itu dinyatakan teridentifikasi secara
berlebih (overidentified). Apabila nilai (K − k < m −1), maka persamaan itu
dinyatakan tidak teridentifikasi (unidentified) yang tidak dapat diselesaikan
dengan model persamaan simultan.
C. Pengujian Variabel Endogen
Penentuan variabel eksogen dan endogen pada persamaan simultan dapat
dilakukan oleh peneliti dengan priori information (didasarkan oleh teori dan
penelitian empiris). Selain itu pengujian variabel yang dianggap endogen atau
eksogen juga dapat dilakukan dengan test statistik. Gujarati (2003) memberikan
prosedur pengujian endogenitas dengan test statistik. Prosedur itu diawali dengan
mengestimasi variabel yang dianggap endogen oleh peneliti melalui persamaan
reduce form-nya. Kemudian hasil estimasi variabel endogen tersebut diregresikan
bersama-sama dengan variabel bebas yang lain pada persamaan struktural.
Apabila variabel endogen hasil estimasi tersebut signifikan secara statistik, maka
variabel yang diduga endogen tersebut secara statistik terbukti mempunyai sifat
endogen. Tetapi apabila variabel tersebut tidak signifikan maka variabel tersebut
adalah variabel eksogen.
Prosedur pengujian variabel endogen upah
1. Mengestimasi variabel dependen upah dalam persamaan reduced form dengan
regresi data panel. Model regresi data panel yang dipakai adalah model fixed
effects karena menurut Greene (2005) apabila data yang digunakan bukan
merupakan random sample dari suatu populasi maka lebih baik menggunakan
model regresi panel fixed effects dibandingkan dengan random effects.
log UPFit = 10i + 11log PDRBit + 12log PMTDBit + 13log UMPit
+ 14log EDUCit + 15log IHKit ……………... (3.3)
2. Meregresikan variabel upah hasil estimasi dari persamaan reduced form, ke
dalam persamaan struktural penyerapan tenaga kerja.
log EMPit = 10i + 11log UPit + 12log PDRBit + 13log PMTDBit
+ 14log IHKit + 15log UPFit + 1it ……………. (3.4)
36
3. Menghitung t-statistic koefisien 15 , dan sekaligus menghitung p-value-nya.
Apabila koefisien 15 signifikan secara statistik maka variabel upah terbukti
memiliki sifat endogen. Apabila koefisien 15 tidak sifnifikan secara statistik
maka variabel upah memiliki sifat eksogen.
Prosedur pengujian variabel endogen penyerapan tenaga kerja
1. Mengestimasi variabel dependen penyerapan tenaga kerja dalam persamaan
reduced form dengan regresi data panel fixed effects.
log EMPFit = 20i + 21log PDRBit + 22log PMTDBit + 23log UMPit
+ 24log EDUCit + 25log IHKit ……………………. (3.5)
2. Meregresikan variabel penyerapan tenaga kerja hasil estimasi dari persamaan
reduced form, ke dalam persamaan struktural upah.
log UPit = 20i + 21log EMPit + 22log PDRBit + 23log UMPit
+ 24log EDUCit + 25log EMPFit + 2it ….......... (3.6)
3. Menghitung t-statistic koefisien 25 , dan sekaligus menghitung p-value-nya.
Apabila koefisien 25 signifikan secara statistik maka variabel penyerapan
tenaga kerja terbukti memiliki sifat endogen. Apabila tidak signifikan secara
statistik maka variabel penyerapan tenaga kerja memiliki sifat eksogen.
D. Uji Simultanitas Hausman
Tujuan uji simultanitas adalah untuk membuktikan secara empiris bahwa
suatu sistem persamaan benar-benar terdapat hubungan simultan antar persamaan
strukturalnya. Untuk itu dalam studi ini dilakukan uji simultanitas Hausman
dengan mengasumsikan bahwa persamaan (3.1) memiliki hubungan simultan
dengan persamaan (3.2), dan sebaliknya. Langkah uji simultan dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Untuk menguji upah memiliki pengaruh simultan terhadap penyerapan
tenaga kerja, perlu dilakukan langkah-langkah uji simultanitas yaitu:
1. Variabel upah hasil estimasi dan residual yang diperoleh dari persamaan (3.3)
digunakan untuk mensubstitusi variabel upah dalam persamaan struktural
penyerapan tenaga kerja.
37
1it = log UPit log UPFit ………………………………. (3.7)
log EMPit = 10 + 11log UPFit + 12log PDRBit + 13log PMTDBit
+ 14log IHKit + 15 1it + 1it ………………………. (3.8)
2. Menghitung t-statistic koefisien 15 , dan sekaligus menghitung p-value-nya.
Apabila koefisien 15 signifikan secara statistik maka upah memiliki pengaruh
simultan terhadap penyerapan tenaga kerja.
Dan sebaliknya untuk menguji penyerapan tenaga kerja memiliki pengaruh
simultan terhadap upah, perlu dilakukan langkah-langkah uji simultanitas yaitu: 1. Variabel penyerapan tenaga kerja hasil estimasi, dan residual yang diperoleh
dari persamaan reduced form digunakan untuk mensubstitusi log emp dalam
persamaan struktural upah
2it = log EMPit log EMPFit ……………………………………… (3.9)
log UPit = 20 + 21log EMPFit + 22log PDRBit + 23log UMPit
+ 24log EDUCIt + 25 2it + 2it ………………….. (3.10)
2. Menghitung t-statistic koefisien 25 , dan sekaligus menghitung p-value-nya.
Apabila koefisien 25 signifikan secara statistik maka penyerapan tenaga kerja
memiliki pengaruh simultan terhadap upah.
E. Estimasi Persamaan Simultan
Hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan estimasi
terhadap model persamaan simultan, adalah melakukan pengujian simultanitas.
Jika memiliki sifat simultan, maka satu atau lebih variabel penjelas akan menjadi
peubah endogen dan oleh karenanya akan berkorelasi dengan residualnya. Hal ini
tidak sesuai lagi dengan asumsi Gaus Markov pada metode OLS tentang
independensi antara variabel bebas dengan residualnya. Jika tidak ada simultanitas
maka metode OLS akan menghasilkan nilai penduga parameter yang konsisten
dan efisien. Sedangkan pendugaan parameter dengan metode instrument variable
(misalnya 2SLS) akan konsisten tetapi tidak efisien. Sebaliknya jika ada
hubungan simultan maka metode OLS akan tidak konsisten. Sedangkan metode
instrument variable akan menghasilkan penduga yang konsisten dan efisien
(Gujarati, 2003).
38
Ada beberapa metode yang bisa digunakan untuk menduga parameter
persamaan simultan yaitu metode ILS (Indirect Least Square), 2SLS
(Two Stage Least Square), LIML (Limited Information Maximum Likelihood) dan
3SLS (Three Stage Least Square). Apabila suatu persamaan dalam model
simultan ada yang overidentified, maka metode ILS (Indirect Least Square) tidak
dapat digunakan untuk menduga koefisien strukturalnya. Oleh karena itu, untuk
menduga suatu persamaan yang overidentified dapat dilakukan dengan 2SLS
(Two Stage Least Squares), 3SLS (Three Stage Least Squares), LIML
(Limited Information Maximum Likelihood) atau FIML (Full Information
Maximum Likehood).
Dalam penelitian ini metode pendugaan model yang digunakan adalah
2SLS, dengan beberapa pertimbangan, yaitu penerapan 2SLS menghasilkan
taksiran yang konsisten, lebih sederhana dan lebih mudah, sedangkan metode
3SLS dan FIML menggunakan informsi yang lebih banyak dan lebih sensitif
terhadap kesalahan pengukuran maupun kesalahan spesifikasi model
(Gujarati, 1999). Untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas secara
bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka
pada setiap persamaan digunakan uji statistik F, dan untuk menguji apakah
masing-masing variabel penjelas berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel
endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik t.
3.2.3 Analisis Regresi Data Panel
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif
dengan menggunakan metode ekonometrika melalui analisis regresi data panel.
Data panel (atau longitudinal data) adalah data yang memiliki dimensi ruang
(individu) dan waktu. Dalam data panel, data cross section yang sama diobservasi
menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time
series yang sama, maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya jika jumlah
observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel.
Penggabungan data cross section dan time series dalam studi data panel
digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak
dapat dijawab oleh model cross section dan time series murni.
39
Verbeek (2001) menjelaskan bahwa penggunaan model data panel akan
didapat dua keunggulan utama bila dibandingkan dengan model cross section dan
time series murni. Pertama, dengan mengkombinasikan data time series dan cross
section dalam data panel membuat jumlah observasi menjadi lebih besar. Dengan
menggunakan model data panel marginal effect dari peubah penjelas dilihat dari
dua dimensi (individu dan waktu) sehingga paramater yang diestimasi akan lebih
akurat dibandingkan dengan model lain. Menurut Hsiao (2003), jumlah data
dalam data panel meningkatkan jumlah derajat bebas (degree of freedom) dan
mengurangi kolinieritas di antara variabel penjelas, yang dalam hal ini
meningkatkan efisiensi dari penduga ekonometrik.
Kedua, penggunaan model data panel adalah dapat mengurangi masalah
identifikasi. Data panel lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek
yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data
time series saja. Data panel mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan
metode ini estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur
heterogenitas individu. Data panel juga lebih baik untuk studi dynamics of
adjustment. Hal ini berkaitan dengan observasi pada cross section yang sama
secara berulang, sehingga data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan
dinamis.
Secara umum keunggulan dari penggunaan data panel dalam analisis
ekonometrik antara lain:
1. mampu mengontrol heterogenitas individu
2. memberikan informasi yang lebih banyak dan beragam, meminimalkan
masalah kolinieritas (collinearity), meningkatkatkan jumlah derajat
bebas dan lebih efisien
3. data panel umumnya lebih baik bila digunakan dalam studi dynamics
of adjustment
4. data panel lebih baik dalam mengukur dan mengidentifikasi dan
mengukur efek yang tidak dapat dideteksi apabila menggunakan data
cross section atau time series murni.
40
5. data panel dapat digunakan untuk mengkonstruksi dan menguji model
perilaku yang lebih kompleks dibandingkan data cross section atau
time series murni.
Walaupun demikian, analisis data panel juga memiliki beberapa
kelemahan dan keterbatasan dalam penggunaannya khususnya apabila data panel
dikumpulkan atau diperoleh dengan metode survei. Permasalahan tersebut antara
lain:
1. relatif besarnya data panel karena melibatkan komponen cross section
dan time series yang dapat menimbulkan masalah disain survei panel,
pengumpulan dan manajemen data (masalah yang umumnya dihadapi
di antaranya: coverage, nonresponse, kemampuan daya ingat
responden, frekuensi, dan waktu wawancara
2. distorsi kesalahan pengamatan (measurement error) yang umumnya
terjadi karena kegagalan respon (contoh: pertanyaan yang tidak jelas,
ketidaktepatan informasi, dan lain-lain)
3. masalah selektivitas, yakni: self selectivity, nonresponse, attrition
(jumlah responden yang terus berkurang pada survey lanjutan)
4. Cross section dependence (contoh: apabila macro panel data dengan
unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang
mengabaikan cross-country dependence maka dapat mengakibatkan
kesimpulan-kesimpulan yang tidak tepat (miss leading inference).
Terdapat dua pendekatan yang umum diaplikasikan pada data panel, yaitu
Fixed Effects Model (FEM) dan Random effects Model (REM). Keduanya
dibedakan berdasarkan pada asumsi ada atau tidaknya korelasi antara komponen
error dengan peubah bebas (regresor).
Misalkan:
yit = αi + Xit β + εit ...................................................................................................................................... (3.11)
Pada one way error components model, komponen error dispesifikasikan dalam
bentuk:
εit = λi + uit ................................................................................................... (3.12)
Untuk two
bentuk:
iit += λε
Pa
yang mer
waktu (µt
terletak pa
A. Fixed
FE
korelasi d
membuat
intersep, y
Untuk one
Untuk two
Pend
1) Pendek
Pa
seluruh da
jumlah un
diregresik
yit = αi + X
dimana α
perhitunga
dimana
o way erro
itt u+µ .....
ada pendeka
rupakan efe
) ke dalam
ada ada atau
Effect Mod
EM muncul
dengan Xit
komponen
yaitu:
e way komp
o way error
duga pada F
katan Pooled
ada prinsipn
ata (pooled)
nit cross sec
kan dengan m
Xit β + uit ..
αi bersifat
an adalah:
...........
or compone
...................
atan one way
ek dari indi
m kompone
u tidaknya k
del (FEM)
ketika ant
atau memi
error dari e
ponen error
component
FEM dapat d
d Least Squ
nya, pende
), sehingga t
ction dan T m
model:
...................
konstan un
...................
...
ents model,
...................
y, error term
ividu (λi).
n error. Ja
korelasi anta
tara efek in
iliki pola y
efek individ
: yit = αi + λ
t: yit = αi +
dihitung de
are (PLS)
ekatan ini
terdapat N
menunjukk
...................
ntuk semu
...................
...................
dan
, komponen
...................
m hanya me
Pada two
adi perbeda
ara λi dan µt
ndividu dan
yang sifatny
du dan waktu
λi + Xit β +
λi + µt+ Xit
ngan bebera
adalah me
x T observa
an jumlah s
...................
ua observas
...................
...................
n error disp
...................
emasukkan
way dimasu
aan antara
t dengan Xit.
n peubah pe
ya tidak ac
u dapat men
uit
β + uit
apa teknik s
enggunakan
asi, dimana
series yang
...................
si, atau αi
...................
...................
pesifikasi d
.............. (
komponen
ukkan efek
FEM dan
.
enjelas mem
cak. Asum
njadi bagian
sebagai beri
gabungan
N menunju
digunakan,
.............. (
= α. For
.............. (
.............. (
41
dalam
(3.13)
error
k dari
REM
miliki
si ini
n dari
ikut:
n dari
ukkan
yang
(3.14)
rmula
(3.15)
(3.16)
42
dan
mem
Hal
regre
obser
obser
2). P
yang
dima
Dengan
data time
mberikan has
Pendeka
ini ditunjuk
esi dari mas
Sumbe GambaParamete
rvasi yang
rvasi yang s
endekatan W
Pendeka
g digunakan
ana:
mengkomb
series, dap
sil estimasi
atan ini mem
kkan dari a
ing-masing
er : Baltagi, ar 3.1 Estimer yang bia
berbeda pa
sama pada p
Within Grou
atan ini digu
n adalah den
.................
................
binasikan ata
pat mening
yang lebih
.............
miliki kelem
arah kemiri
g individu (G
2005 masi denganas ini diseba
ada periode
periode yan
up (WG)
unakan untu
ngan mengg
...................
...................
au mengum
gkatkan der
efisien, seh
...................
mahan yaitu
ingan PLS
Gambar 3.1
n pendekataabkan karen
yang sama
ng berbeda.
uk mengatas
gunakan da
...................
...................
mpulkan sem
rajat kebeb
hingga:
...................
u dugaan pa
yang tidak
).
an pooled lena PLS tida
a, atau tida
si masalah b
ata deviasi d
...................
...................
Slop yang bia
mua data cro
basan sehin
...................
arameter β
k sejajar den
east square ak dapat me
ak dapat me
bias pada PL
dari rata-rat
...................
...................
as ketika fixed e
oss section
ngga dapat
..... (3.17)
akan bias.
ngan garis
embedakan
embedakan
LS. Teknik
ta individu
..... (3.11)
..... (3.12)
effect diabaikann
Dalam hal
dan
Jika yit = α
atau
sehingga,
Be
WG tidak
bekerja da
S G
l ini
αi + xit β + u
......
erdasarkan p
memiliki i
apat dilihat p
Sumber : BaGambar 3.2
uit , maka di
...................
.............
persamaan
intersep. Un
pada Gamb
altagi, 2005 Estimasi d
iperoleh:
...................
...................
tersebut ter
ntuk mengi
bar 3.2.
5 engan Pend
..........
...................
...................
rlihat bahw
ilustrasikan
dekatan With
...................
...................
...................
wa FEM den
n bagaimana
hin Group
.............. (
.............. (
.............. (
ngan pende
a pendekata
43
(3.13)
(3.14)
(3.15)
ekatan
an ini
44
bias,
(βPLS
Untu
perta
=xxS
=wxxS
=bxxS
sehin
xxS
diket
sehin
Dari
var(β
Kelebiha
tetapi kele
S) sehingga
uk melihat h
ama, didefin
∑∑==
=T
ti
N
i
x11
(
∑∑==
=T
tit
N
i
x11
(
∑=
−=N
iixT
1
(
ngga dapat d
bxSw
xxS +=
tahui bahwa
ngga, varian
persamaan
β) pada PL
=
=
an dari WG
emahannya
dugaan WG
hal ini dapat
nisikan:
−t x 2) ......
− it x 2) ......
x 2) ...........
dilihat bahw
bxx ..............
a
ns dari pend
n tersebut d
LS. Kelemah
G ini adalah
adalah nila
G menjadi re
t dibuktikan
...................
...................
...................
wa:
...................
................
duga β deng
.......
..............
.......
dapat diliha
han lain da
dapat meng
ai var (βWG)
elatif lebih t
n dengan:
...................
...................
...................
...................
...................
gan pendeka
...................
...................
...................
at bahwa v
ari WG ada
ghasilkan pa
) cenderung
tidak efisien
...................
...................
...................
...................
...................
atan WG ada
...................
...................
...................
ar(β) pada
alah tidak
arameter β
g lebih besa
n.
...................
...................
...................
...................
...................
alah:
...................
...................
...................
WG lebih
dapat men
yang tidak
ar dari var
..... (3.16)
..... (3.17)
..... (3.18)
..... (3.19)
..... (3.20)
..... (3.21)
..... (3.22)
..... (3.23)
besar dari
gakomodir
karakterist
intersep ke
3). Pendek
Me
yaitu deng
persamaan
dgit = 1 (g
dengan me
persamaan
parameter
Ke
parameter
observasin
memang s
berikut:
H0 : α1 = α
H1 : satu d
Hipotesis
mengguna
mengguna
dimana:
= koe
= koef
k = ba
tik time-inv
e dalam mo
katan Least
etode ini be
gan dummy
n awal sep
= i).
emasukkan
n ini dapa
r βLSDV.
elebihan pe
r β yang tid
nya besar m
signifikan a
α2 = α3 = ....
dari α ada ya
ini dapat s
akan PLS a
akan F-stati
efisien deter
fisien determ
anyaknya pe
variant pada
odel.
Square Dum
ertujuan un
y variable.
perti pada p
...........
sejumlah d
t diestimas
endekatan i
dak bias da
maka terlih
atau tidak d
. = αN dan
ang tidak sa
ecara langs
ataulah LSD
stik yaitu
rminasi LSD
minasi Poole
eubah
a FEM, sep
mmy Variab
ntuk dapat m
Untuk men
persamaan
...................
dgit = 1 (g =
si dengan
ini (LSDV)
an efisien. T
hat cumbers
dapat mengg
ama
sung diguna
DV. Dasar p
DV
ed Least Sq
perti terliha
ble (LSDV)
merepresen
ngilustrasika
PLS dan k
...................
i), persama
pendekatan
) adalah da
Tetapi kele
some. Untu
gunkan f-tes
akan untuk
penolakan t
quare
t dari tidak
ntasikan per
an pendeka
kelompok d
...................
an awal me
..............
n OLS seh
apat mengh
mahannya j
uk menguji
st dengan h
menguji ap
terhadap H
k dimasukka
rbedaan inte
atan ini mis
dummy var
.............. (
enjadi:
.............. (
hingga dipe
hasilkan du
jika jumlah
apakah int
hipotesis se
pakah lebih
0 adalah de
45
annya
ersep,
alkan
riable
(3.24)
(3.25)
eroleh
ugaan
h unit
tersep
ebagai
h baik
engan
46
Jika nilai F-Stat hasil pengujian lebih besar dari F-tabel, maka cukup bukti
untuk melakukan penolakan terhadap hipotesis nol sehingga dugaan bahwa α
adalah sama untuk semua individu dapat ditolak.
4). Two Way Error Components Fixed Effect Model
Model ini disusun berdasarkan fakta bahwa terkadang fixed effects tidak
hanya berasal dari variasi antar individu (time invariants) tetapi juga berasal dari
variasi antar waktu atau time effect, sehingga model dasar yang digunakan adalah:
, …………………………. ........................ (3.26)
dimana merepresentasikan time effect.
Jika masing-masing pengaruh individu (αi) dan time-effect (γt)
diasumsikan berbeda, sehingga dengan menambahkan sejumlah zsit = 1 (s = t)
peubah dummy akan diperoleh persamaan:
,
....................................................................................................................... (3.27)
Penambahan sejumlah dummy variable ke dalam persamaan menyebabkan
masalah pada penggunaan two way fixed effect yaitu berkurangnya derajat
kebebasan, yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang
diestimasi.
B. Random effects Model (REM)
REM muncul ketika antara efek individu dan regresor tidak ada korelasi.
Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dimasukkan
ke dalam error, dimana:
Untuk one way error component:
yit = αi + Xit β + uit+ λi ................................................................................... (3.28)
Untuk two way error component:
yit = αi + Xit β + uit+ λi + µt ............................................................................ (3.29)
Beberapa asumsi yang biasa digunakan dalam REM, yaitu:
untuk i = j
untuk i = j
dimana:
Utuk one w
Untuk two
Da
adalah asu
0. Terdap
REM, yait
1). Pendek
Pe
individual
rata-rata i
untuk N ta
berkorelas
2). Pendek
Pe
dalam (be
rata-rata y
j dan t = s
j
way error c
o way error
ari semua a
umsi bahwa
pat dua jeni
tu between e
katan Betwe
ndekatan in
l), yang dite
individu y d
ak hingga, d
si atau E (xi
katan Gener
ndekatan G
etween dan
yang dibobo
component,
component
asumsi di a
a nilai harap
is pendekat
estimator da
een Estimato
ni berkaitan
entukan seb
dalam nilai
dengan asum
it, εi = 0) beg
ralized Leas
GLS mengk
within) dat
otkan dari e
τi = λi
t, τi = λi + µi
atas, yang p
pan dari xit u
tan yang di
an Generali
or
n dengan di
bagaimana O
i x secara i
msi bahwa p
gitu juga de
st Square (G
kombinasika
ta secara e
estimasi betw
i
paling penti
untuk setiap
igunakan u
ized Least S
imensi anta
OLS estimat
individu. B
peubah beba
engan nilai r
GLS)
an informa
fisien. GLS
ween dan w
ing dikaitka
p τi adalah 0
untuk mengh
Square (GLS
ar data (diff
tor pada seb
etween esti
as dengan e
rata-rata err
asi dari dim
S dapat dip
within dalam
an dengan
0, atau E(τi
hitung estim
S).
ferences bet
buah regres
imator kons
error tidak s
ror E (xit, ε
mensi antar
andang se
m sebuah re
47
REM
xit) =
mator
tween
si dari
sisten
saling
εi = 0)
r dan
ebagai
gresi.
48
Bila bobot yang dihitung tersebut tetap, maka estimator yang diperoleh disebut
random effectss estimator. Dalam bentuk persamaan hal ini dapat dinyatakan
sebagai berikut:
βRE = ωβBetween + (Ik - ω) βWithin .................................................................... (3.30)
C. Hausman Test
Dalam memilih apakah fixed atau random effectss yang lebih baik,
dilakukan pengujian terhadap asumsi ada tidaknya korelasi antara regresor dan
efek individu. Untuk menguji asumsi ini dapat digunakan Hausman Test.
Ide dasar dari uji Hausman adalah mengkomparasi dua penduga, yakni
penduga FEM dan REM. Hausman (1978) menyajikan bentuk uji hipotesis nol di
mana Xit dan αi tidak berkorelasi dan hipotesis alternatif untuk kondisi yang
sebaliknya. Hausman mengasumsikan bahwa E(uit Xis) = o untuk setiap s, dan t
sedemikian sehingga penduga FEM ( β̂ RE ) akan konsisten dan efisien manakala Xit
dan αi tidak berkorelasi dan penduga FEM ( β̂ FE ) konsisten bagi β manakala kondisi
bagi penduga REM ( β̂ RE ) yang konsisten tidak berlaku.
Dalam uji ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H0: E(τi xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat
H1: E(τi xit) = 0 atau FEM adalah model yang tepat
Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik Hausman dan
membandingkannya dengan Chi square. Statistik Hausman dirumuskan dengan:
H = (βREM – βfEM )’ (MFEM –MREM)-1 (βREM – βfEM ) ~ χ2 (k)
dimana:
M adalah matriks kovarians untuk parameter β
k adalah degrees of freedom
Jika nilai H hasil pengujian lebih besar dari χ2 tabel atau p-value signifikan
dari α, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap Hipotesis nol
sehingga model yang digunakan adalah model fixed effects, begitu juga
sebaliknya.
49
3.2.4. Uji Asumsi
Setelah kita memutuskan untuk menggunakan suatu model tertentu
(FEM atau REM), maka kita dapat melakukan uji asumsi.
3.2.4.1. Uji Homoskedastisitas
Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah
bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best Linier
Unbiased Estimate) maka var (ui) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua
residual atau error mempunyai varian yang sama. Kondisi itu disebut dengan
homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau berubah-ubah
disebut dengan heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas
dapat menggunakan metode General Least Square (Cross section Weights) yaitu
dengan membandingkan sum square Resid pada Weighted Statistics dengan sum
square Resid unweighted Statistics.
Jika sum square Resid pada Weighted Statistics lebih kecil dari sum square
Resid unweighted Statistics, maka terjadi heteroskedastisitas.
2.4.4.2. Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu
peubah atau korelasi antar error masa yang lalu dengan error masa sekarang. Uji
autokorelasi yang dilakukan tergantung pada jenis data dan sifat model yang
digunakan. Autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Untuk
mendeteksi adanya korelasi adalah dengan melihat nilai Durbin Watson (DW).
Tabel 3.1 Kerangka identifikasi autokorelasi
Nilai DW Hasil
4 – dl < DW < 4 Terdapat korelasi serial negatif
4 – du < DW < 4- dl Hasil tidak dapat ditentukan
2 < DW < 4 – du Tidak ada korelasi serial
Du < DW < 2 Tidak ada korelasi serial
dl < DW < du Hasil tidak dapat ditentukan
0 < DW < dl Terdapat korelasi serial positif
Sumber: Gujarati, 2004
50
Untuk mengetahui ada atau tidaknya autokorelasi, maka dilakukan dengan
membandingkan DW-statistiknya dengan DW-tabel. Adapun kerangka identifikasi
autokorelasi terangkum dalam Tabel 3.1. Korelasi serial ditemukan jika error dari
periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan
melihat pola random error dari hasil regresi.
3.2.5. Evaluasi Model
3.2.5.1. Uji-F
Uji-F digunakan untuk melakukan uji hipotesis koefisien (slope) regresi
secara bersamaan. Jika nilai probabilitas F-statistic < taraf nyata, maka tolak
hipotesis H0 dan itu artinya minimal ada satu peubah bebas yang berpengaruh
nyata terhadap peubah terikat, dan berlaku sebaliknya.
3.2.5.2. Uji-t
Setelah melakukan uji koefisien regresi secara keseluruhan, maka langkah
selanjutnya adalah menghitung koefisien regresi secara individu dengan
menggunakan uji-t.
Hipotesis pada uji-t adalah :
H0 : βi = 0
H1 : βi ≠ 0
Jika t-hitung > t-tabel maka H0 ditolak yang berarti peubah bebas secara statistik
nyata pada taraf nyata yang telah ditetapkan dalam penelitian, dan berlaku hal
yang sebaliknya. Jika nilai probabilitas t-statistic < taraf nyata, maka tolak H0
dan berarti bahwa peubah bebas nyata secara statistik.
3.2.5.3. Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (Goodness of Fit) merupakan suatu ukuran yang
penting dalam analisi regresi linear, karena dapat menginformasikan baik atau
tidaknya model regresi yang terestimasi. Nilai R2 mencerminkan seberapa besar
variasi dari peubah tak bebas Y yang dapat diterangkan oleh peubah bebas X.
Jika R2 = 0, maka variasi dari peubah tak bebas Y tidak dapat diterangkan oleh
peubah X sama sekali, jika R2 = 1, artinya bahwa variasi dari peubah tak bebas Y
secara keseluruhan dapat diterangkan oleh peubah bebas X.
51
3.2.5.4. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk memeriksa apakah error term mendekati
distribusi normal atau tidak. Jika asumsi tidak terpenuhi maka prosedur pengujian
menggunakan statistik t menjadi tidak sah. Uji normalitas error term dilakukan
dengan menggunakan uji Jarque Bera. Berdasarkan nilai probabilitas Jarque Bera
yang lebih besar dari taraf nyata 5%, maka dapat disimpulkan bahwa error term
terdistribusi dengan normal.
IV. GAMBARAN UMUM
4.1 Tinjauan Perekonomian Indonesia
Salah satu prioritas pembanguna nasional adalah mempercepat pemulihan
ekonomi dan memperluas landasan pembangunan yang berkelanjutan dan
berkeadilan yang berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan. Untuk mengukur
keberhasilan pencapaian sasaran itu digunakan indikator makroekonomi yang
mencakup antara lain pertumbuhan ekonomi, inflasi dan pengangguran.
Proses pembangunan yang dilakukan oleh suatu negara biasanya disertai
dengan perubahan dalam struktur perekonomiannya. Perubahan dalam struktur
perekonomian yang salah satunya ditandai dengan perubahan struktur
ketenagakerjaan baik menurut lapangan usaha, status maupun jenis pekerjaanya..
Krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1997, menyebabkan kondisi
perekonomian terpuruk dengan tingkat pertumbuhan –13.13 persen. Krisis ini
juga turut menyebabkan memburuknya kondisi ketenagakerjaan di Indonesia.
Tingkat pengangguran sebelum krisis ekonomi yang sudah tinggi, diperparah
dengan krisis ekonomi yang menyebabkan berkurangnya kesempatan kerja karena
banyaknya perusahaan-perusahan yang gulung tikar dan memberhentikan
pekerjanya. (Tabel 4.1)
Tabel 4.1 Pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan angkatan kerja dan tingkat pengangguran di Indonesia tahun 1997- 2007
Tahun Pertumbuhan
Ekonomi (%)
Pertumbuhan Angkatan Kerja
(%)
Tingkat Pengangguran
(%) (1) (2) (3) (4)
1997 4.70 1.60 4.69 1998 -13.13 3.48 5.46 1999 0.79 2.72 6.36 2000 4.92 1.62 6.08 2001 3.83 2.52 8.10 2002 4.50 1.99 9.06 2003 4.78 1.96 9.67 2004 5.05 1.19 9.86 2005 5.69 1.76 10.26 2006 5.56 0.55 10.28 2007 6.28 3.34 9.11
Sumber : Statistik Indonesia 1997-2007
54
Dari Gambar 4.1, setelah krisis ekonomi pada tahun 1998, tingkat
pertumbuhan ekonomi cenderung meningkat setiap tahunnya, akan tetapi
pertumbuhan ekonomi yang meningkat juga diikuti dengan meningkatnya tingkat
pengangguran di Indonesia. Tingkat pengangguran cenderung selalu mengalami
kenaikan, mulai tahun 2000 – 2006. Pada tahun 2007, peningkatan pertumbuhan
ekonomi berdampak langsung terhadap penurunan tingkat pengangguran,
walaupun pertumbuhan angkatan kerja juga relatif meningkat.
Sumber: Statistik Indonesia 1997-2007
Gambar 4.1 Pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan angkatan kerja dan tingkat pengangguran di Indonesia tahun 1997- 2007
Sejak tahun 1970-an perekonomian Indonesia mengalami pergeseran
struktural, terutama pengurangan share sektor pertanian dalam perekonomian.
Tabel 4.2. membandingkan share sektor pertanian, industri dan jasa dalam PDB
serta kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja selama periode 1971-2008.
Share sektor pertanian baik terhadap PDB maupun penyerapan tenaga kerja terus
menurun sepanjang waktu. Tetapi penurunan share sektor pertanian terhadap PDB
jauh lebih cepat dibanding penurunan share penyerapan tenaga kerja. Pada tahun
1971 share sektor pertanian terhadap PDB sebesar 45 persen dan share sektor
pertanian terhadap penyerapan tenaga kerja sebesar 67 persen. Sedangkan pada
tahun 2008 share sektor pertanian terhadap PDB turun drastis menjadi sebesar 14
‐15
‐10
‐5
0
5
10
15
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007Persen
Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan Angkatan Kerja
Tingkat Pengangguran
55
persen sedangkan share sektor pertanian terhadap penyerapan tenaga kerja masih
relatif tinggi yaitu sebesar 42 persen. Persentase penyerapan tenaga kerja pada
sektor pertanian yang relatif besar tersebut menunjukkan strategisnya lapangan
usaha sektor pertanian dalam penciptaan lapangan kerja.
Tabel 4.2 Komposisi PDB dan tenaga kerja menurut sektor di Indonesia tahun 1971 – 2008
Tahun
Pertanian Industri Jasa
Share PDB (%)
Share tenaga kerja (%)
Share PDB (%)
Share tenaga kerja (%)
Share PDB (%)
Share tenaga kerja (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1971 45 67 20 9 35 24 1980 25 55 43 13 32 32 1990 22 50 39 17 39 33 1995 17 44 42 18 41 38 2000 16 44 40 14 45 42 2003 15 46 39 13 46 41 2007 14 41 43 19 43 40 2008 14 42 42 18 44 40
Sumber: Statistik Indonesia 2008
Pada Gambar 4.2, juga terilihat share sektor pertanian terhadap PDB
menurun drastis sejak tahun 1971 – 1980 sebesar 20 persen. Tetapi sebaliknya
share sektor industri meningkat dengan cepat terhadap PDB sebesar 23 persen.
Sedangkan share sektor jasa hanya mengalami penurunan yang relatif kecil
terhadap PDB sebesar 3 persen.
Sumber: Statistik Indonesia 2008
Gambar 4.2 Komposisi PDB menurut sektor di Indonesia tahun 1971- 2008
0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%
100%
1971 1980 1990 1995 2000 2003 2007 2008
Sektor Jasa
Sektor Industri
Sektor Pertanian
56
Sumber: Statistik Indonesia 2008
Gambar 4.3 Komposisi penyerapan tenaga kerja menurut sektor di Indonesia tahun 1971- 2008
Pada Gambar 4.3 share sektor industri terhadap penyerapan tenaga kerja
pada tahun 1971 sebesar 9 persen dan sedikit meningkat menjadi 13 persen pada
tahun 1980. Kecilnya kontribusi penyerapan tenaga kerja di sektor industri
mengindikasikan pembangunan sektor industri di Indonesia lebih dominan pada
industri yang bersifat padat modal. Pada periode tahun 2000 – 2003, share sektor
industri terhadap penyerapan tenaga kerja kembali menurun, dan kemudian
meningkat lagi pada tahun 2007. Hal ini disebabkan adanya perubahan orientasi
pembangunan industri dari industri dengan orientasi substitusi impor yang padat
modal menjadi industri orientasi ekspor yang relatif lebih padat tenaga kerja.
4.2 Tinjauan Perekonomian Regional
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan dasar pengukuran
atas nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha yang
timbul akibat adanya aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah tertentu. PDRB
sering dianggap sebagai ukuran terbaik untuk kinerja perekonomian. Tujuan dari
penghitungan PDRB adalah meringkas aktivitas ekonomi di suatu wilayah dalam
suatu nilai uang tertentu selama periode waktu tertentu. Ada tiga pendekatan
untuk menghitung PDRB ini yaitu :
6755 50 44 44 46 41 42
9
13 1718 14 13 19 18
2432 33 38 42 41 40 40
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
1971 1980 1990 1995 2000 2003 2007 2008
Persen
Sektor Pertanian Sektor Industri Sektor Jasa
57
1. Dengan pendekatan produksi, yaitu dengan menghitung jumlah nilai barang
dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi.
2. Dengan pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang
diterima oleh faktor-faktor produksi.
3. Dengan pendekatan pengeluaran, dengan menghitung semua komponen
permintaan akhir.
Ukuran yang dihitung dari PDRB atas dasar harga konstan yang
menunjukkan peningkatan volume output ekonomi dari tahun ke tahun setelah
menghilangkan unsur inflasi (kenaikan harga secara terus-menerus) yaitu
pertumbuhan ekonomi. Ukuran ini masih digunakan sampai sekarang sebagai
ukuran kinerja pembangunan.
Sumber: PDRB 1997-2007, BPS
Gambar 4.4 Laju pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia tahun 1997-2007
Nilai PDRB atas dasar harga konstan yang menyatakan jumlah output dari
aktivitas ekonomi di Indonesia dalam jangka panjang secara umum meningkat
secara signifikan. Perkembangan nilai PDRB tidak dapat dipisahkan dari potensi
‐30
‐20
‐10
0
10
20
30
40
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
persen
D.I. Aceh Sumatera Utara Sumatera BaratRiau Jambi Sumatera SelatanBengkulu Lampung DKI JakartaJawa Barat Jawa Tengah D.I. YogyakartaJawa Timur Bali Nusa Tenggara BaratNusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan TengahKalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi UtaraSulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi TenggaraMaluku Papua
58
faktor-faktor produksi yang digunakan pada tahun yang bersangkutan. PDRB
masing-masing provinsi dari tahun 1997 sampai dengan 2007 berfluktuasi sesuai
dengan kondisi politik dan ekonomi yang mempengaruhinya (Gambar 4.4). Pada
tahun 1998, perekonomian Indonesia mengalami kontraksi akibat dari krisis
moneter yang berdampak di seluruh wilayah Indonesia. Secara nasional
pertumbuhan ekonomi turun hingga mencapai -13.13 persen, walaupun
dampaknya tidak merata di seluruh Indonesia, hanya dua provinsi yang
mengalami pertumbuhan positif pada tahun 1998, yaitu provinsi Sulawesi Selatan
dan Papua. Sedangkan pada tahun 1999, provinsi Sulawesi Selatan tetap
mengalami pertumbuhan yang positif sedangkan provinsi Papua negatif.
Tabel 4.3 Pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia tahun 1997 dan 2007 (persen)
No Provinsi 1997 2007 (1) (2) (3) (4) 1 D I Aceh ‐0.16 ‐2.79 2 Sumatera Utara 5.70 6.90 3 Sumatera Barat 5.09 6.34 4 Riau 3.16 4.42 5 Jambi 3.91 6.82 6 Sumatera Selatan 5.17 5.64 7 Bengkulu 3.07 6.03 8 Lampung 4.15 5.79 9 DKI Jakarta 5.11 6.44 10 Jawa Barat 5.28 6.34 11 Jawa Tengah 3.03 5.59 12 D I Yogyakarta 3.51 4.28 13 Jawa Timur 4.15 6.11 14 Bali 5.81 5.92 15 Nusa Tenggara Barat 5.26 4.49 16 Nusa Tenggara Timur 5.62 5.17 17 Kalimantan Barat 7.53 6.02 18 Kalimantan Tengah 6.29 6.06 19 Kalimantan Selatan 4.69 6.01 20 Kalimantan Timur 4.45 1.23 21 Sulawesi Utara 5.53 6.61 22 Sulawesi Tengah 22.94 7.99 23 Sulawesi Selatan 4.01 6.43 24 Sulawesi Tenggara 5.32 7.96 25 Maluku 3.89 5.78 26 Papua 7.16 4.90
Indonesia 4.70 6.28 Sumber: PDRB 1997 dan 2007, BPS
59
Berdasarkan Tabel 4.3. sebagian besar tingkat pertumbuhan ekonomi
regional di Indonesia pada tahun 2007 masih dibawah tingkat pertumbuhan
ekonomi nasional yang sebesar 6.28 persen. Provinsi Sulawesi Tengah merupakan
provinsi yang mempunyai pertumbuhan ekonomi tertinggi sebesar 7.99 persen.
sedangkan provinsi Aceh mempunyai pertumbuhan ekonomi terendah sebesar
– 2.79 persen.
Secara umum pendapatan setiap penduduk suatu wilayah dicerminkan oleh
pendapatan per kapita. Pendapatan per kapita dapat didekati dengan PDRB per
kapita yang dihitung dengan membagi nilai PDRB dengan jumlah penduduk pada
pertengahan tahun. PDRB perkapita dapat digunakan sebagai ukuran tingkat
kesejehteraan penduduk. Angka ini menunjukkan ukuran secara agregat, namun
sampai sekarang masih dianggap sebagai ukuran yang cukup relevan digunakan,
khususnya untuk membandingkan tingkat kesejahteraan wilayah-wilayah di
Indonesia.
Besaran pendapatan per kapita suatu daerah bergantung pada besaran
PDRB dan jumlah penduduk. Secara nasional besarnya pendapatan per kapita
pada tahun 2007 di Indonesia adalah 17.54 juta rupiah. Provinsi dengan PDRB per
kapita tertinggi yaitu DKI Jakarta. Kalimantan Timur dan Riau. Provinsi DKI
Jakarta memiliki PDRB per kapita yang tinggi karena sebagai ibukota DKI
Jakarta merupakan pusat perekonomian di Indonesia. Sedangkan Provinsi
Kalimantan Timur dan Riau merupakan provinsi penghasil migas terbesar di
Indonesia. Provinsi yang mempunyai PDRB per kapita terendah yaitu Provinsi
Nusa Tenggara Timur dan Maluku.
Secara nasional, sektor industri manufaktur mempunyai kontribusi yang
paling tinggi sejak tahun 1991, mengalahkan sektor pertanian yang sebelumnya
mendominasi perekonomian Indonesia (Gambar 4.5). Pada tahun tersebut, sektor
industri menyumbang 20.95 persen terhadap total PDB, sedangkan sektor
pertanian hanya 19.66 persen. Kontribusi sektor industri terus menunjukkan
peningkatan hingga tahun 1997. Krisis moneter yang berlanjut pada krisis
multidimensi membuat sektor industri terpuruk dan mengalami penurunan yang
paling tajam dibandingkan dengan sektor lainnya.
60
hingg
mula
palin
sejak
Indon
dalam
Sumb
Gam
setiap
sekto
Sulaw
sekto
Jakar
fung
maka
lainn
Pada m
ga tahun 20
ai mengalam
ng besar dib
k tahun 20
nesia. Dein
m perekono
ber: PDRB 1
mbar 4.5 Ko
Berdasar
p sektor ter
or pertanian
wesi Tenga
or pertanian
rta. Ini me
sinya. Jika d
a sektor per
Provinsi
nya adalah
masa pemul
002 dan sete
mi penuruna
bandingkan
002 hingga
ndustrialisas
omian secara
991-2007, B
ontribusi sem
rkan Tabel
rhadap PDR
n terhadap
ah, Nusa T
n terhadap P
enunjukkan
dilihat kont
rtanian dan s
i dengan pe
Provinsi Su
ihan, kontr
elah tahun 2
an sedikit d
n sektor lain
a 2007 me
si dapat dia
a menyeluru
BPS
mbilan sekto
4.4 terliha
RB untuk ma
PDRB tebe
Tenggara Ti
PDRB palin
n lahan unt
tribusi setiap
sektor perta
eranan sekt
umatera Ut
ribusi sekt
2002 sampa
demi sedikit
nnya. Penu
engindikasik
artikan seb
uh.
or terhadap
at bahwa p
asing-masin
esar sekitar
imur dan B
ng kecil sek
tuk pertani
p sektor pad
ambangan m
tor industri
tara, Riau, J
or industri
ai 2007 kon
t, walaupun
urunan kont
kan adanya
agai menur
PDB tahun
pada tahun
ng provinsi
r 40 persen
Bengkulu. S
kitar 0.10 pe
ian di Jaka
da provinsi-
mendominas
lebih besar
Jawa Barat
i kembali
ntribusi sekt
n kontribusi
tribusi sekt
a deindustr
runnya pera
n 1991 - 200
2007 kont
bervariasi.
n terdapat d
Sedangkan
ersen terdap
arta sudah
-provinsi di
si perekono
r dibanding
t, Jawa Ten
meningkat
tor industri
inya masih
or industri
rialisasi di
an industri
07
tribusi dari
Kontribusi
di propinsi
kontribusi
pat di DKI
berubah
luar Jawa,
mian.
gkan sektor
ngah, Jawa
61
Timur dan Kalimantan Timur. Walaupun hanya enam provinsi yang mempunyai
sektor industri dominan, secara total sektor industri mempunyai peranan yang
paling besar. Sementara itu, sektor keuangan dan jasa-jasa mempunyai kontribusi
yang lebih besar hanya di Provinsi DKI Jakarta.
Tabel 4.4 Kontribusi setiap sektor terhadap PDRB menurut provinsi tahun 2007 (persen)
Provinsi Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 D.I. Aceh 27.35 21.53 10.99 0.24 7.60 12.30 7.86 1.92 10.20 2 Sumatera Utara 22.56 1.36 25.04 1.02 5.59 19.25 9.00 6.41 9.77 3 Sumatera Barat 24.67 3.44 12.01 1.37 5.50 17.34 15.07 4.96 15.64 4 Riau 17.65 36.73 24.20 0.26 3.70 9.43 2.32 2.59 3.12 5 Jambi 26.08 18.96 11.94 0.90 4.59 14.88 7.31 4.18 11.16 6 Sumatera Selatan 18.36 24.30 22.95 0.55 6.10 12.53 4.03 3.30 7.88 7 Bengkulu 40.27 3.24 4.01 0.48 3.10 20.00 8.90 4.53 15.48 8 Lampung 38.12 3.54 13.45 0.65 4.98 14.01 8.24 5.93 11.07 9 DKI Jakarta 0.10 0.47 15.97 1.06 11.20 20.36 9.32 28.65 12.87
10 Jawa Barat 11.91 2.00 44.97 3.10 3.01 19.04 6.40 3.00 6.57 11 Jawa Tengah 19.92 1.00 32.33 1.10 5.83 20.06 5.91 3.48 10.37 12 D.I. Yogyakarta 15.05 0.75 13.63 1.28 10.35 19.29 10.11 9.71 19.84 13 Jawa Timur 16.72 2.11 28.75 1.92 3.36 28.81 5.55 4.62 8.15 14 Bali 19.41 0.66 8.99 2.00 4.43 28.98 12.33 7.34 15.86 15 Nusa Tenggara Barat 22.94 36.00 3.54 0.35 5.72 11.58 7.62 4.04 8.20 16 Nusa Tenggara Timur 40.27 1.37 1.70 0.44 7.06 15.92 6.22 3.97 23.05 17 Kalimantan Barat 26.92 1.40 18.17 0.58 8.69 22.83 6.77 4.93 9.71 18 Kalimantan Tengah 33.81 6.92 8.31 0.67 5.40 18.47 9.50 5.16 11.76 19 Kalimantan Selatan 22.45 21.79 11.73 0.50 6.47 14.58 8.90 4.28 9.28 20 Kalimantan Timur 5.63 41.62 34.80 0.30 2.69 6.54 3.71 2.04 2.67 21 Sulawesi Utara 22.36 4.01 7.62 0.82 15.41 14.62 10.44 6.35 18.36 22 Sulawesi Tengah 43.20 3.90 7.17 0.70 6.53 11.98 6.62 4.78 15.12 23 Sulawesi Selatan 31.99 7.87 12.79 0.99 4.55 15.58 7.84 6.07 12.33 24 Sulawesi Tenggara 38.42 4.84 7.97 0.94 6.98 15.34 8.23 5.08 12.19 25 Maluku 36.10 2.23 7.81 0.72 1.60 24.97 9.01 4.35 13.21 26 Papua 12.59 60.41 4.54 0.22 5.28 5.41 4.61 1.57 5.36 Indonesia 15.27 9.83 25.91 1.38 5.56 18.46 6.73 7.86 9.00
Sumber: PDRB 2007, BPS
Keterangan: (1) Pertanian, (2) Pertambangan & Penggalian, (3) Industri Pengolahan, (4) Listrik, Gas & Air Bersih, (5) Bangunan, (6) Perdagangan, Hotel & Restoran, (7) Pengangkutan & Komunikasi, (8) Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan, (9) Jasa-Jasa
4.3 Tinjauan Ketenagakerjaan di Indonesia
Tenaga kerja adalah modal bagi geraknya roda pembangunan. Jumlah dan
komposisi tenaga kerja akan terus mengalami perubahan seiring dengan
berlangsungnya proses demografi. Pada tahun 2007, di Indonesia terdapat 164.12
62
juta penduduk usia kerja, sekitar 60.67 persen dari mereka berada di Pulau Jawa.
Bagian dari tenaga kerja yang aktif dalam kegiatan ekonomi disebut angkatan
kerja.
Tabel 4.5 TPAK, TKK dan TPT menurut provinsi di Indonesia tahun 2007 – 2008
(persen)
Provinsi TPAK TKK TPT
2007 2008 2007 2008 2007 2008 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. NAD 62.12 60.32 90.16 90.44 9.84 9.56 2. Sumut 67.49 68.33 89.90 90.90 10.10 9.10 3. Sumbar 65.31 63.98 89.69 91.96 10.31 8.04 4. Riau 62.56 62.83 90.21 91.80 9.79 8.20 5. Jambi 65.18 65.95 93.78 94.86 6.22 5.14 6. Sumsel 69.03 69.79 90.66 91.92 9.34 8.06 7. Bengkulu 69.37 69.88 95.32 95.10 4.68 4.90 8. Lampung 69.60 68.00 92.42 92.85 7.58 7.15 9. DKI 64.95 68.68 87.43 87.84 12.57 12.16 10. Jabar 62.50 63.09 86.92 87.92 13.06 12.06 11. Jateng 70.16 68.37 92.30 92.65 7.70 7.35 12. DIY 68.56 70.51 93.90 94.62 6.10 5.38 13. Jatim 68.99 69.31 93.21 93.58 6.79 6.42 14. Bali 77.38 77.86 96.23 96.69 3.77 3.31 15. NTB 68.96 67.69 93.52 93.87 6.48 6.13 16. NTT 74.28 71.16 96.28 96.27 3.72 3.73 17. Kalbar 72.47 73.66 93.53 94.59 6.47 5.41 18. Kalteng 71.33 71.24 94.89 95.41 5.11 4.59 19. Kalsel 73.15 71.35 92.38 93.82 7.62 6.18 20. Kaltim 61.76 64.31 87.93 88.89 12.07 11.11 21. Sulut 61.97 61.16 87.65 89.35 12.35 10.65 22. Sulteng 69.43 69.76 91.61 94.55 8.39 5.45 23. Sulsel 61.07 62.02 88.75 90.96 11.25 9.04 24. Sultra 67.44 70.64 93.60 94.27 6.40 5.73 25. M aluku 63.01 62.82 87.80 89.33 12.2 10.67 26. Papua 76.54 76.70 94.99 95.61 5.01 4.39
Sumber: Statistik Indonesia 2007-2008
Keterangan: TPAK : Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja TKK : Tingkat Kesempatan Kerja TPT : Tingkat Pengangguran Terbuka
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), merupakan ukuran yang
menggambarkan jumlah angkatan kerja untuk setiap 100 penduduk usia kerja
(15+). TPAK Indonesia pada tahun 2007 sebesar 66.99 persen, berarti telah
63
mengalami peningkatan sebesar 0.83 persen dibandingkan dengan kondisi
Agustus 2006 yang besarnya 66.16 persen. Peningkatan TPAK ini antara lain
disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi nasional yang membaik, sehingga
memberikan pengaruh terhadap faktor-faktor produksi di Indonesia. Secara
langsung naik turunnya faktor produksi ini akan memberikan dampak terhadap
tinggi rendahnya faktor permintaan dan penawaran tenaga kerja. Sementara itu.
hasil Sakernas tahun 2008 menunjukkan TPAK Indonesia sebesar 67.33 dan
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 8.46 persen.
Pada Tabel 4.5, TPAK antar provinsi pada tahun 2007 mempunyai variasi
yang cukup besar, provinsi Sulawesi Selatan memiliki TPAK terendah 61.07
persen dan tertinggi provinsi Bali 77.38 persen. Pada periode tahun 2007 sampai
2008 terdapat beberapa provinsi yang mengalami peningkatan TPAK yang relatif
besar antara lain provinsi DKI Jakarta yang meningkat sebesar 3.73 persen dan
provinsi Kalimantan Timur yang meningkat sebesar 2.55 persen. Sedangkan
propinsi yang mengalami penurunan TPAK yang relatif besar adalah provinsi
Nusa Tenggara Timur sebesar –3.12 persen dan provinsi Jawa Tengah sebesar
–1.79 persen.
Pada Tabel 4.5, Tingkat Kesempatan Kerja (TKK) antar provinsi pada
tahun 1997 nilainya relatif besar. Provinsi yang memiliki TKK terbesar antara lain
provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 96.28 persen dan provinsi Bali sebesar
96.23 persen. Sedangkan provinsi yang memiliki TKK terendah pada tahun 1997
adalah provinsi Jawa Barat sebesar 86.92 persen. Selama periode 1997 sampai
1998, hampir semua provinsi mengalami kenaikan TKK. Provinsi yang
peningkatan TKK terbesar adalah provinsi Sulawesi Tengah yang meningkat
sebesar 2.94 persen dan diikuti dengan provinsi Sumatera Barat yang meningkat
sebesar 2.27 persen. Hanya ada dua provinsi yang mengalami penurunan TKK
pada periode 1997 sampai 1998, yaitu provinsi Bengkulu yang menurun sebesar
-0.22 persen dan provinsi Nusa Tenggara Timur yang turun sebesar -0.01 persen.
Berdasarkan Tabel 4.5, TPT antar provinsi pada tahun 2007 mempunyai
variasi yang cukup besar, persentase terendah dimiliki oleh Provinsi Nusa
Tenggara Timur sebesar 3.72 persen dan yang tertinggi dimiliki oleh provinsi
Jawa Barat sebesar 13.06 persen. Sedangkan pada tahun 2007 sampai 2008,
64
hampir semua provinsi mengalami penurunan TPT, kecuali provinsi Nusa
Tenggara Timur yang meningkat sebesar 0.01 persen. Provinsi yang mengalami
penurunan TPT relatif besar antara lain provinsi Sulawesi Tengah yang turun
sebesar -2.94 persen dan provinsi Sumatera Barat yang turun sebesar -2.27 persen.
4.4 Upah Tenaga Kerja
Upah merupakan salah satu indikator penting untuk menilai tingkat hidup
pekerja. Upah yang rendah mencerminkan masih perlunya upaya untuk lebih
meningkatkan kesejahteraan hidup pekerja.
Dalam pembahasan masalah upah biasanya terdapat perbedaan pandangan
dan kepentingan antara pengusaha dan pekerja. Bagi pekerja kenaikan upah
minimum akan memperbaiki daya beli pekerja yang akhirnya akan mendorong
kegairahan bekerja dan peningkatan produktivitas kerja. Bagi pengusaha, upah
merupakan salah satu biaya faktor produksi yang dipandang dapat mengurangi
tingkat keuntungan yang dihasilkan perusahaan. Ada suatu pendapat umum bahwa
kenaikan upah baru dapat dilakukan apabila sektor riil telah tumbuh secara nyata
melalui peningkatan produktivitas.
Adanya perbedaan kepentingan tersebut mendorong pemerintah
mengeluarkan kebijakan tentang penetapan upah minimum dengan tujuan untuk
melindungi taraf kesejahteraan pekerja. Kebijakan upah minimum yang sekarang
dikenal dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) ini ditetapkan pemerintah
melalui Dewan Pengupahan Nasional atau Dewan Pengupahan Provinsi, setelah
melalui proses kesepakatan antara pihak buruh dan perusahaan. UMP ini
mencerminkan besarnya upah buruh lajang dengan pengalaman kerja nol tahun,
yang dihitung berdasarkan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) dan faktor-faktor
lain yang relevan. Hal ini sesuai dengan standar internasional bahwa upah
minimum yang ditetapkan harus mampu memenuhi sekurang-kurangnya KHM.
Mengingat kebutuhan hidup berbeda antar daerah yang satu dengan daerah
yang lain maka UMP juga bervariasi, tergantung dimana perkerja tersebut berada.
Semakin mahal biaya hidup disuatu daerah maka UMP akan lebih tingg di daerah
tersebut.
Selain itu tingkat upah yang diterima pekerja juga tergantung dari
lapangan pekerjaan dan tingkat pendidikan pekerja. Perbedaan upah berdasarkan
65
lapangan pekerjaan misalnya terjadi antara pekerja di sektor formal dengan sektor
informal, dimana pekerja yang bekerja di sektor formal biasanya memiliki rata-
rata upah yang lebih tinggi dibandingkan sektor informal.
Kualitas pekerja berdasarkan tingkat pendidikan akan mempengaruhi
besarnya upah yang diperoleh. Rata-rata upah pekerja yang mempunyai
pendidikan tinggi besarnya tiga atau dua kali lipat upah pekerja berpendidikan
menengah. Fakta ini menunjukkan bahwa investasi pendidikan penting bagi
kesejahteraan hidup pekerja.
Berdasarkan Gambar 4.6, tingkat rata- rata upah nominal dan upah riil
pekerja pada tahun 2007 sangat bervariasi antar provinsi. Provinsi Kalimantan
Timur memiliki tingkat upah riil tertinggi pertama, kemudian disusul oleh
provinsi DKI Jakarta dan provinsi Papua yang meiliki tingkat upah riil tertinggi
ketiga. Tingginya upah di ketiga propinsi tersebut kemungkinan disebabkan oleh
tingginya biaya hidup dan rendahnya penawaran tenaga kerja terdidik. Sedangkan
provinsi yang memiliki upah riil terendah adalah provinsi Lampung.
Sumber: Statistik Indonesia 2007
Gambar 4.6 Rata-rata upah nominal dan upah riil pekerja menurut provinsi tahun 2007
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
D.I. Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Ba
rat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampu
ngDKI Jakarta
Jawa Ba
rat
Jawa Tengah
D.I. Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Tim
urKalim
antan Ba
rat
Kalim
antan Tengah
Kalim
antan Selatan
Kalim
antan Timur
Sulawesi U
tara
Sulawesi Ten
gah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Ten
ggara
Maluku
Papu
a
ribu
an
Upah Nominal Upah Riil
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Analisis Persamaan Simultan
5.1.1 Uji Simultanitas
Uji simultanitas merupakan salah satu prosedur yang harus dilakukan
dalam melakukan analisis estimasi persamaan simultan. Apabila hasil uji
simultanitas memberikan kesimpulan bahwa ada hubungan simultan, maka tidak
bisa menggunakan metode Ordinary Least Squares (OLS) untuk mengestimasi
persamaan tersebut. Hal ini karena satu atau lebih variabel penjelas atau
independen berkorelasi dengan variabel residual sehingga estimator yang didapat
tidak lagi konsisten atau bias. Metode yang digunakan untuk mengatasi masalah
simultanitas ini diantaranya dengan metode Indirect Least Squares (ILS) dan
metode Two Stage Least Squares (2SLS). Dengan menggunakan kedua metode ini
akan menghasilkan estimator yang konsisten dan effisien.
Untuk melakukan pengujian simultanitas antara persamaan tingkat upah
dan penyerapan tenaga kerja, maka harus dihitung residual dari masing-masing
persamaan reduced form tingkat upah dan penyerapan tenaga kerja terlebih
dahulu. Setelah itu variabel tingkat upah dan penyerapan tenaga kerja hasil
estimasi serta residual masing-masing persamaan reduced form yang didapat
digunakan untuk mensubstitusi variabel tingkat upah dan penyerapan tenaga kerja
pada masing-masing persamaan struktural tersebut.
setelah mendapatkan nilai variabel tingkat upah hasil estimasi (upf) dan
residualnya (residup) dari regresi persamaan reduced form, kemudian subsitusikan
kedalam persamaan struktural penyerapan tenaga kerja dimana,
up = upf + residup dan regresikan persamaan tersebut. hasil dari estimasi
parameter pada koefisien variabel residup, dengan menggunakan uji parsial
(t-statistic) apabila secara statistik signifikan menolak hipotesis nol berarti ada
masalah simultanitas, sebaliknya jika tidak signifikan maka menerima hipotesis
nol yang berarti tidak ada simultanitas.
Berdasarkan Tabel 5.1, dapat dilihat hasil pengujian simultanitas pada
persamaan struktural penyerapan tenaga kerja, nilai estimasi parameter untuk
residual upah (residup), signifikan pada tingkat α = 1 % dengan (p-value = 0.003
68
lebih kecil dari α = 0.01), sehingga kesimpulannya menolak hipotesis nol, yang
berarti terdapat pengaruh simultan tingkat upah terhadap penyerapan tenaga kerja.
Tabel 5.1 Uji simultanitas persaman penyerapan tenaga kerja
Dependent Variable: LOG(EMP)
Variable Coefficient t-Statistic Prob.
C 15.32560 2.510333 0.0128 LOG(UPF) -0.128118 -1.105218 0.2702
LOG(PDRB) -1.458306 -2.621440 0.0093 LOG(PMTDB) 1.607622 4.029748 0.0001
LOG(IHK) 0.180064 0.680029 0.4972
RESIDUP 0.351389 2.942383 0.0036*
R-squared 0.983914 Adjusted R-squared 0.981806 Prob(F-statistic) 0.000000
Keterangan : * signifikan taraf 1% *** signifikan taraf 10% ** signifikan taraf 5% tn tidak signifikan
Sementara itu dari hasil pengujian simultanitas persamaan tingkat upah
pada Tabel 5.2, diperoleh nilai koefisien residual penyerapan tenaga kerja
(residemp) signifikan secara statistik pada α = 5 persen (p-value = 0.05), sehingga
kesimpulannya menolak hipotesis nol, yang berarti terdapat pengaruh simultan
anatara variabel penyerapan tenaga kerja terhadap tingkat upah.
Tabel 5.2 Uji simultanitas persaman tingkat upah
Dependent Variable: LOG(UP)
Variable Coefficient t-Statistic Prob.
C 37.49164 7.126905 0.0000 LOG(EMPF) -2.205763 -4.449010 0.0000 LOG(PDRB) -0.170280 -1.229670 0.2201 LOG(UMP) 0.715005 16.39671 0.0000
LOG(EDUC) 0.713862 3.289781 0.0012 RESIDEMP -0.289259 -1.935876 0.0541**
R-squared 0.915975 Adjusted R-squared 0.904967 Prob(F-statistic) 0.000000
Keterangan : * signifikan taraf 1% *** signifikan taraf 10% ** signifikan taraf 5% tn tidak signifikan
69
Hasil uji simultanitas ini membuktikan secara empiris bahwa terdapat
hubungan simultan antara penyerapan tenaga kerja dan tingkat upah. Hasil ini
mendukung dan sesuai dengan hipotesis dalam penelitian ini.
5.1.2 Uji Endogenitas
Persoalan yang muncul dalam persamaan simultan adalah bagaimana
menentukan mana yang menjadi variabel endogen dan variabel eksogen. Selain
berdasarkan priori information dan studi empiris terdahulu, pada penelitian ini
juga dilakukan pengujian empiris pada variabel upah dan penyerapan tenaga kerja
dengan uji endogenitas untuk membuktikan bahwa kedua variabel tersebut adalah
variabel endogen.
Pada Tabel 5.3, dapat dilihat hasil pengujian sifat endogen pada persamaan
penyerapan tenaga kerja. Setelah mendapatkan nilai estimasi upah dari persamaan
reduced form, kemudian nilai estimasi upah ini dimasukkan ke persamaan
penyerapan tenaga kerja untuk diregresikan dan diuji bagaimana pengaruhnya
terhadap variabel penyerapan tenaga kerja. Hipotesis nol uji eksogenitas ini adalah
koefisien dari upah estimasi = 0. Jika kesimpulannya menolak hipotesis nol
dengan menggunakan uji t berarti variabel upah adalah variabel endogen dan
begitu sebaliknya jika menerima hipotesis nol maka variabel upah adalah variabel
eksogen.
Tabel 5.3 Uji endogen persaman penyerapan tenaga kerja
Dependent Variable: LOG(EMP)
Variable Coefficient t-Statistic Prob.
C 15.60768 26.82284 0.0000 LOG(UP) 0.021133 0.295795 0.7676
LOG(PDRB) 0.678139 45.42763 0.0000 LOG(PMTDB) -0.083811 -5.354482 0.0000
LOG(IHK) 0.047990 1.171071 0.2427 LOG(UPF) -0.984467 -14.01741 0.0000*
R-squared 0.910883 Adjusted R-squared 0.909128 Prob(F-statistic) 0.000000 Keterangan : * signifikan taraf 1% *** signifikan taraf 10% ** signifikan taraf 5% tn tidak signifikan
70
Dari hasil olah pada tabel 5.3 diketahui nilai variabel upah hasil estimasi
(upf) signifikan secara statistik pada α = 1 persen ( p-value lebih kecil dari 0.01),
sehingga terbukti bahwa variabel upah adalah variabel endogen. Sementara itu
dari pengujian endogenitas pada persamaan tingkat upah diperoleh bahwa variabel
penyerapan tenaga kerja hasil estimasi (empf) juga signifikan secara statistik pada
α = 1 persen ( p-value lebih kecil dari 0.01), sehingga terbukti bahwa variabel
penyerapan tenaga kerja juga merupakan variabel endogen.
5.1.3 Identifikasi Persamaan Simultan
Suatu persamaan simultan bisa diestimasi jika jumlah koefisien persamaan
strukturalnya sama dengan koefisien didalam persamaan reduced form. Namun
dengan metode ini butuh waktu yang banyak untuk mendapatkan persamaan
reduced form dan koefisiennya. Metode identifikasi merupakan metode yang
secara cepat dapat menentukan apakah suatu persamaan simultan dapat di estimasi
atau tidak, salah satu metodenya adalah dengan menggunakan order condition.
Ada aturan main didalam melakukan identifikasi model persamaan
simultan melalui order condition. Didalam model persamaan simultan dengan
jumlah variabel endogen sebanyak M dan variabel eksogen sebanyak K maka
sebuah persamaan yang memiliki m variabel endogen dan k variabel eksogen
adalah teridentifikasi jika jumlah variabel eksogen yang dikeluarkan dari
persamaan (K-k) tidak kurang dari jumlah variabel endogen yang dimasukan
dalam persamaan dikurangi satu (K – k ≥ m – 1 ), dimana :
M = jumlah variabel endogen dalam suatu model
K = jumlah seluruh variabel eksogen
k = jumlah variabel eksogen dalam suatu persamaan
m = jumlah variabel endogen dalam suatu persamaan
maka
jika K – k = m – 1 maka persamaan tersebut dikatakan exactly (just) identified
jika K – k > m – 1 maka persamaan tersebut over identified
jika K – k < m – 1 maka persamaan tersebut under identified.
Hasil identifikasi dengan order condition dalam model persamaan
simultan ini terdapat dua variabel endogen yaitu variabel tingkat upah (UP) dan
variabel penyerapan tenaga kerja (EMP) dan lima variabel eksogen (K=5). Dalam
71
persamaan upah ada tiga varaibel eksogen (k = 3) dengan dua variabel endogen
(m = 2) sehingga persamaan upah bersifat overidentified. (5 – 3 > 2 – 1 )
Dalam persamaan penyerapan tenaga kerja hasil identifikasinya juga
overidentified, dimana jumlah variabel eksogen dan endogen dalam persamaan itu
adalah tiga dan dua, sehingga hasil dari 5 – 3 > 2 – 1
Metode umum yang digunakan untuk mengestimasi model persamaan
simultan yang bersifat overidentified adalah dengan metode two stage least square
(2SLS). Keuntungan menggunakan two stage least square (2SLS) antara lain
karena metode ini dapat diterapkan pada suatu persamaan individual dalam sistem
secara tanpa langsung memperhitungkan persamaan lain dalam sistem. Selain itu
metodeini menawarkan model yang ekonomis, karena metode ini hanya
memberikan satu taksiran tiap parameter dalam persamaan yang overidentified.
Metode 2SLS juga mudah untuk diterapkan karena semua yang diperlukan untuk
mengetahui hanyalah banyaknya variabel eksogen atau predetermined variabel
yang ditetapkan lebih dahulu secara total tanpa mengetahui variabel manapun
dalam sistem.
Penggunaan sistem persamaan simultan pada tingkat upah dan penyerapan
tenaga di Indonesia menggunakan data panel. Data panel ini memiliki corak time
series dan cross section, dimana banyaknya unit inidividu yang diteliti sebanyak
26 propinsi dan 10 tahun pengamatan membuat jumlah data yang terkumpul
adalah 260 record data.
Penggunanan data panel menyebabkan penaksiran yang diperlukan untuk
proses estimasi persamaan simultan dengan 2SLS melibatkan metode regresi data
panel. Penggunaan metode 2SLS dengan fixed effects model untuk estimasi
parameter regresi data panel pada persamaan simultan dipandang tepat karena
akan menghasilkan parameter yang konsisten dan tidak bias. Sehingga informasi
yang diperoleh akan tidak jauh berbeda dari realita sebenarnya. Dengan
menggunakan fixed effects model, intersep yang dihasilkan dari estimasi akan
berbeda antar unit namun slope nya akan sama. Penggunaan metode 2SLS dengan
fixed effect model diharapkan akan mampu memberikan solusi yang mampu
menjelaskan hubungan antara tingkat upah dan penyerapan tenaga kerja serta
variabel yang mempengaruhinya.
72
5.2 Pemilihan Metode Regresi Data Panel
Secara umum hasil estimasi dengan menggunakan data panel akan
menghasilkan intersep dan slope koefisien yang berbeda pada setiap individu dan
setiap periode waktu. Ada beberapa kemungkinan yang akan muncul yaitu :
1. Diasumsikan intersep dan slope tettap sepanjang waktu,
2. Diasumsikan slope tetap tettapi intersep berbeda antar individu
3. Diasumsikan slope tetap tetapi intersep berbeda antar individu dan antar waktu
4. Diasumsikan intersep dan slope berbeda antar individu
5. Diasumsikan intersep dan slope berbeda antar individu dan antar waktu
Didalam pemilihan metode regresi data panel ini hanya menggunakan tiga
metode pendekatan yaitu : pendekatan antara common effects dengan fixed effects
kemudian dilanjutkan dengan pendekatan fixed effects dengan random effects.
Menurut Hsiao (2003) ketika uji pemilihan metode pendekatan antara
fixed effects dengan random effects tidak dapat ditentukan secara teoritis maka
sebaiknya menggunakan metode random effects jika data diambil dari sampel
individu atau beberapa individu yang dipilih secara acak untuk menarik
kesimpulan tentang populasinya. Namun jika data meliputi seluruh individu dalam
populasi atau hanya meliputi beberapa individu dengan penekanan pada individu-
individu tersebut maka lebih baik menggunakan fixed effects model. Dikarenakan
jumlah cross section dari persamaan yang akan diestimasi mencerminkan seluruh
populasi (26 propinsi di Indonesia), maka secara teori dapat langsung digunakan
fixed effects model.
Berdasarkan hasil pengujian fixed effects tests pada persamaan tingkat
upah diperoleh nilai p-value (probabilita) < 0.01, signifikan pada α = 1 persen,
dengan demikian hipotesis nol yang menyatakan intersep sama untuk setiap cross-
sections (propinsi) ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada persamaan
tingkat upah model fixed effects lebih baik dari model common effects. (lihat
lampiran 4).
Langkah selanjutnya adalah menguji metode pendekatan antara fixed
effects dengan random effects pada persamaan tingkat upah dengan uji Hausman.
Statistik uji Hausman mengikuti distribusi statistik Chi Square dengan derajat
bebas sebanyak jumlah variabel bebas dalam persamaan. Hasil uji Hausman (lihat
73
Lampiran 4) menunjukkan nilai p-value (probabilita) < 0.01, hal ini berarti fixed
effects model lebih baik dari random effects digunakan untuk mengestimasi
persamaan tingkat upah.
Hal yang sama juga terjadi dalam hasil pengujian fixed effects dan random
effects pada persamaan penyerapan tenaga kerja. Hasil uji didapatkan nilai p-value
(probabilita) < 0.01, signifikan pada α = 1 persen, dengan demikian hipotesis null
yang menyatakan intersep sama untuk setiap cross-sections (propinsi) ditolak,
sehingga dapat disimpulkan bahwa pada persamaan penyerapan tenaga kerja
model fixed effects lebih baik dari model common effects. (lihat lampiran 5)
Langkah selanjutnya adalah menguji metode pendekatan antara fixed
effects dengan random effects pada persamaan penyerapan tenaga kerja dengan uji
Hausman. Statistik uji Hausman mengikuti distribusi statistik Chi Square dengan
derajat bebas sebanyak jumlah variabel bebas dalam persamaan. Hasil uji
Hausman (lihat Lampiran 5) menunjukkan nilai p-value (probabilta) < 0.01, hal
ini berarti fixed effects model lebih sesuai digunakan untuk mengestimasi
persamaan penyerapan tenaga kerja.
Dari hasil pengujian fixed effects dan random effects sebenarnya kita
sudah mengetahui bahwa model fixed effects yang terbaik. Terpilihnya model
fixed effects sebagai model terbaik ini menandakan bahwa terjadi perbedaan
pengaruh pertumbuhan ekonomi dan variabel ketenagakerjaan terhadap tingkat
upah dan penyerapan tenaga kerja pada masing-masing propinsi yang tidak dapat
dijelaskan oleh model (unobservable effects) dan pengaruh tersebut bersifat tidak
acak (tergambar dari perbedaan intersepnya).
Asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa
estimasi parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best Linier Unbiased
Estimate) maka var (ui) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua error
mempunyai varian yang sama. Kondisi ini disebut dengan homoskedastisitas.
Sedangkan bila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut dengan
heteroskedastisitas. Metode estimasi data panel dengan menggunakan fixed effects
model secara umum dilakukan dengan Ordinary Least Squares (OLS). Namun
jika terjadi heteroskedastisitas dari data cross section maka dapat digunakan
estimasi dengan General Least Square (GLS) atau sering disebut sebagai cross
74
section weights. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat dilakukan
dengan membandingkan sum square resid pada GLS (weighted) dengan OLS
(unweighted).
Berdasarkan uji dan pengamatan hasil pengolahan, ditemukan adanya
heteroskedastisitas pada persamaan tingkat upah dan penyerapan tenaga kerja.
Oleh karena itu, estimasi dilakukan dengan cross section weights. Estimasi yang
dilakukan dengan fixed effect GLS menunjukkan hasil estimasi parameter yang
lebih baik dibandingkan fixed effect OLS. Model yang diestimasi dengan fixed
effect GLS lebih banyak menghasilkan parameter yang signifikan dengan nilai
adjusted R2 yang lebih tinggi dibanding dengan fixed effect OLS.
Pendeteksian adanya autokorelasi juga dilakukan pada model dengan
melihat nilai statistik Durbin-Watson. Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi
antar observasi dalam satu variabel atau korelasi antar error masa yang lalu
dengan error masa sekarang. Adanya autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi
dari estimatornya, walaupun estimatornya tetap tidak bias.
Untuk mendeteksi adanya kasus autokorelasi dapat dilihat dari nilai
Durbin Watson. Dengan membandingkan nilai DW-hitung dengan dL dan dU tabel
maka dapat diketahui ada tidaknya autokorelasi dalam persamaan. Jika nilai DW-
hitung berada pada daerah antara 4 – dU dan 4 – dL , maka hipotesis ada tidaknya
autokorelasi tidak dapat disimpulkan. Sehingga dapat diputuskan bahwa
autokorelasi tidak menjadi permasalahan serius dalam model ini.
5.3 Estimasi Persamaan Tingkat Upah
Setelah diketahui bahwa metode Two Stage Least Squares (2SLS) dengan
fixed effects terpilih sebagai metode estimasi terbaik untuk persamaan tingkat
upah yang diketahui struktur varians-covarians residual bersifat heteroskedastik,
maka estimasi untuk persamaan tingkat upah menggunakan metode Estimated
Generalized Least Squares (EGLS) dengan cross-sectional weights.
Pada Tabel 5.4 hasil estimasi persamaan tingkat upah memberikan nilai
koefisien determinasi (R2) sebesar 0.88. Hal ini menunjukkan bahwa variabel
bebas didalam model mampu menjelaskan 88 persen variasi setiap variabel
tingkat upah secara relatif baik. Variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh
nyata terhadap variabel tingkat upah pada α = 1 persen, yang ditunjukkan oleh
75
nilai statistik F dengan p-value < 0.01, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh
parameter yang diduga berbeda dengan nol atau model yang digunakan sudah
tepat. Selain itu, variabel tingkat upah juga secara nyata dipengaruhi oleh
variabel-variabel bebasnya pada taraf nyata α = 0.01 dan α = 0.05.
Hasil estimasi persamaan tingkat upah menunjukkan bahwa tingkat upah
pekerja secara nyata dipengaruhi oleh penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan
ekonomi (PDRB) pada taraf nyata α = 5 persen. Sedangkan variabel upah
minimum propinsi dan tingkat pendidikan pekerja berpengaruh nyata terhadap
tingkat upah pada taraf nyata α = 1 persen
Tabel 5.4 Estimasi persamaan tingkat upah
Dependent Variable: LOG(UP)
Variable Coefficient t-Statistic Prob.
C 31.22114 4.563246 0.0000 LOG(EMP) -1.511576 -2.397581 0.0173**
LOG(PDRB) 0.392091 2.033843 0.0202** LOG(UMP) 0.710806 13.46889 0.0000*
LOG(EDUC) 0.725352 2.914038 0.0039*
R-squared 0.880288 Adjusted R-squared 0.865194 Prob(F-statistic) 0.000000
Keterangan : * signifikan taraf 1% *** signifikan taraf 10% ** signifikan taraf 5% tn tidak signifikan
Variabel penyerapan tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap tingkat upah
pekerja, dengan arah negatif. Artinya setiap kenaikan 1 persen jumlah tenaga kerja
akan menyebabkan ratar-rata tingkat upah riil pekerja menjadi turun sebesar -1.51
persen. Hubungan yang saling meniadakan antara tingkat upah dan tenaga kerja
ini dapat dijelaskan dengan teori pasar tenaga kerja.
Pendekatan yang umum digunakan dalam membahas pasar tenaga kerja
adalah dengan pendekatan neoklasik dan pendekatan Keynesian. Menurut kaum
Neoklasik cara untuk menghilangkan pengangguran adalah melalui penurunan
upah riil. Jika upah riil mengalami penurunan maka permintaan tenaga kerja akan
meningkat sedangkan penawaran tenaga kerja akan turun. Dengan kata lain
menurut pandangan neoklasik, untuk menyerap jumlah tenaga kerja yang banyak
76
atau mengurangi tingkat pengangguran adalah melalui penurunan upah riil pada
kondisi keseimbangan pasar tenaga kerja.
Sebaliknya menurut kaum Keynesian, tingkat upah cenderung kaku
sehingga hampir mustahil untuk menurunkan upah tenaga kerja. Untuk itu,
menurut kaum Keynesian cara yang paling efektif untuk menurunkan tingkat
pengangguran adalah dengan meningkatkan permintaan tenaga kerja, yaitu dengan
cara menggeser kurva permintaan tenaga kerja ke atas.
Dalam bentuk elastisitas, secara rata-rata setiap 1 persen kenaikan
penyerapan tenaga kerja akan menurunkan tingkat upah sebesar -1.51 persen
dengan asumsi variabel yang lain konstan. Ini berarti pengaruh penyerapan tenaga
kerja terhadap tingkat upah negatif dan bersifat elastis.
Dengan meningkatnya tenaga kerja yang terserap, secara langsung juga
akan mengurangi pengangguran, sehingga hubungan antara tingkat pengangguran
dengan tingkat upah adalah searah. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Hall (2005), yang mengemukakan adanya hubungan simultan
antara tingkat upah dan pengangguran berhubungan negatif sependapat dengan
analisis Kurva Phillips. Namun ia memberikan batasan bahwa penjelasan Kurva
Phillips tentang hubungan antara upah dan pengangguran tidak akan sepenuhnya
berlaku bila perekonomian dalam kondisi depresi dan resesi. Dari hasil
penelitiannya pengaruh tingkat pengangguran dalam mempengaruhi upah hanya
terbatas (limited) karena upah lebih banyak dipengaruhi oleh produktivitas tenaga
kerja. Sementara itu tingkat pengangguran lebih banyak dipengaruhi oleh variabel
makroekonomi pengeluaran pemerintah (government purchase). Perbedaan hasil
analisis ini karena teori pasar tenaga kerja Neoklsik menggunakan variabel upah
riil sedangkan analisis Kurva Phillips menggunakan variabel upah nominal. Upah
riil dan upah nominal akan sama jika di pasar tenaga kerja terdapat stabilitas
harga-harga
Dampak dari penyerapan tenga kerja yang belum mampu meningkatkan
upah riil ini menjadi gambaran lemahnya bargaining possition pekerja di
Indonesia dalam penentuan upah. Masalah ini mungkin juga disebabkan jumlah
angkatan kerja di Indonesia yang masih banyak belum terserap dalam lapangan
pekerjaan dan rendahnya tingkat pendidikan pekerja.
77
Variabel pertumbuhan ekonomi regional (PDRB), berpengaruh nyata
positif terhadap tingkat upah riil. Dalam bentuk elastisitas, secara rata-rata setiap
kenaikan pertumbuhan ekonomi regional (PDRB) sebesar 1 persen akan
meningkatkan upah riil pekerja sebesar 0.39 persen, dengan asumsi variabel yang
lain konstan (ceteris paribus).
Menurut publikasi Laporan Perekonomian Indonesia yang dikeluarkan
Bank Indonesia, pertumbuhan ekonomi di Indonesia setelah krisis ekonomi
hampir selalu diikuti dengan inflasi yang cukup tinggi. Sementara itu kenaikan
inflasi yang juga meningkatkan kenaikan harga-harga barang umum ini sering
dimanfaatkan oleh serikat pekerja untuk menuntut kenaikan upah nominal
sehingga upah pekerja mempunyai kecenderungan yang terus meningkat.
Pemikiran ini memperjelas hubungan yang positif antara pertumbuhan ekonomi
dan upah pekerja.
Variabel upah minimum propinsi (UMP) berpengaruh nyata pada α = 1
persen terhadap tingkat upah riil. Dalam bentuk elastisitas, secara rata-rata setiap
kenaikan sebesar 1 persen akan meningkatkan upah riil pekerja sebesar 0.71
persen, dengan asumsi variabel yang lain konstan (ceteris paribus). Tingginya
nilai elastisitas upah minimum secara relatif ini menandakan bahwa kebijakan
upah minimum yang dilakukan pemerintah selama ini cukup berhasil mencapai
tujuannya yaitu meningkatkan upah riil pekerja. Permasalahan selanjutnya yang
dihadapi pemerintah dengan meningkatnya upah riil ini, akan menyebabkan
tingkat pengangguran meningkat.
Menurut Suryahadi (2001) dan Anonim (2002), dampak kenaikan upah
minimum dapat menguntungkan sebagian kelompok tenaga kerja di satu pihak
dan merugikan kelompok tenaga kerja pihak lainya. Menurut mereka, biasanya
yang akan direduksi dari kenaikan upah minimum adalah kelompok pekerja yang
memiliki skill yang rendah, sedangkan kenaikan upah minimum akan
meningkatkan permintan kerja bagi kelompok tenaga kerah putih.
Variabel tingkat pendidikan pekerja juga berpengaruh nyata pada α = 1
persen terhadap tingkat upah riil dengan elastisitas 0.72, yang berarti setiap 1
persen kenaikan rata-rata lama sekolah pekerja dapat meningkatkan upah riil
sebesar 0.72 persen dengan asumsi variabel yang lain konstan (ceteris paribus).
78
Elastisitas dari tingkat pendidikan pekerja relatif cukup tinggi, ini menunjukkan
bahwa pendidikan mempunyai peranan yang penting dalam peningkatan upah riil
pekerja.
Tingkat pendidikan menentukan keahlian dan ketrampilan atau skill
pekerja. Semakin tinggi tingkat pendidikan pekerja akan mendorong produktifitas
tenaga kerja. Perusahaan akan memperoleh hasil yang lebih banyak dengan
memperkerjakan tenaga kerja yang mempunyai produktivitas tinggi, sehingga
perusahaan akan bersedia memberikan upah/gaji yang lebih tinggi kepada pekerja
tersebut.
5.4 Estimasi Persamaan Penyerapan Tenaga Kerja
Metode yang sama pada estimasi persamaan tingkat upah juga digunakan
untuk mengestimasi persamaan penyerapan tenaga kerja. Metode Two Stage Least
Squares (2SLS) dengan fixed effects dipilih sebagai metode estimasi terbaik
persamaan penyerapan tenaga kerja yang diketahui struktur varians-covarians
residual bersifat heteroskedastik, maka estimasi persamaan penyerapan tenaga
kerja juga menggunakan metode Estimated Generalized Least Squares (EGLS)
dengan cross-sectional weights.
Tabel 5.5 Estimasi persamaan penyerapan tenaga kerja
Dependent Variable: LOG(EMP)
Variable Coefficient t-Statistic Prob.
C 12.62462 22.29150 0.0000 LOG(UP) -0.028672 -1.208294 0.0282**
LOG(PDRB) 0.072740 2.079748 0.0387** LOG(PMTDB) 0.032225 2.101299 0.0367**
LOG(IHK) 0.091141 4.840805 0.0000*
R-squared 0.997758Adjusted R-squared 0.997475Prob(F-statistic) 0.000000
Keterangan : * signifikan taraf 1% *** signifikan taraf 10% ** signifikan taraf 5% tn tidak signifikan
Berdasarkan Tabel 5.5, hasil estimasi persamaan penyerapan tenaga kerja
memberikan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.99. Hal ini menunjukkan
bahwa variabel bebas didalam model mampu menjelaskan 99 persen variasi setiap
79
variabel endogen secara relatif baik. Variabel bebas secara bersama-sama
berpengaruh nyata terhadap variabel endogen pada α = 1 persen yang ditunjukkan
oleh nilai statistik F dengan p-value < 0.01, maka dapat disimpulkan bahwa
seluruh parameter yang diduga berbeda dengan nol atau model yang digunakan
sudah tepat. Selain itu, variabel penyerapan tenaga kerja secara nyata dipengaruhi
oleh variabel-variabel bebasnya pada taraf nyata α = 0.01 dan α = 0.05.
Variabel tingkat upah, pertumbuhan ekonomi (PDRB), dan investasi
(PMTDB) berpengaruh nyata terhadap penyerapan tenaga kerja pada α = 0.05,
sedangkan variabel perubahan harga (IHK), berpengaruh nyata pada α = 0.01.
Variabel tingkat upah berpengaruh nyata terhadap penyerapan tenaga kerja
dengan nilai koefisien negatif, begitu pula sebaliknya variabel penyerapan tenaga
mempengaruhi tingkat upah juga dengan koefisien negatif.. Hal ini menunjukkan
bahwa terjadi hubungan dua arah yang saling meniadakan antara variabel tingkat
upah dan penyerapan tenaga kerja. Setiap 1 persen kenaikan upah riil, akan
menurunkan penyerapan tenaga kerja sebesar 0.028 persen dengan asumsi
variabel yang lain ceteris paribus.
Jika dibandingkan besarnya pengaruh variabel penyerapan tenaga kerja
terhadap tingkat upah lebih elastis dibandingkan pengaruh tingkat upah terhadap
penyerapan tenaga kerja. Masalah hubungan yang negatif antara upah dan
penyerapan tenaga kerja menjadi menarik untuk di kaji lebih dalam.
Upah dipengaruhi oleh struktur biaya, yaitu proporsi biaya untuk pekerja
(labour cost) terhadap seluruh biaya produksi (total cost). Pengusaha dapat
memutuskan untuk meningkatkan penggunaan tenaga kerja jika Marginal
Productivity of Labour (MPL) > w/P atau upah riil, karena tambahan output masih
lebih besar dari tambahan biaya tenaga kerjanya. Sebaliknya jika MPL < w/P atau
upah riil, maka perusahaan akan mengurangi penggunaan tenaga kerja, karena
tambahan output menjadi lebih kecil dibandingkan dengan tambahan biaya tenaga
kerjanya. Dengan demikian perusahaan tidak akan menambah maupun
mengurangi tenaga kerja jika tambahan produktivitas akibat penambahan tenaga
kerja sama dengan tingkat upah riilnya (MPL = w/P). Dengan kata lain
80
perusahaan akan mengurangi maupun menambah tenaga kerja ketika tambahan
outputnya tidak sama dengan tambahan biayanya.
Semua perusahaan mempunyai tujuan untuk memaksimumkan laba.
Perusahaan akan mengganti input lain yang relatif lebih mahal dengan input yang
relatif lebih murah. Apabila upah tenagakerja meningkat maka perusahaan akan
berusaha mengganti dengan input lain yang lebih murah agar keuntungan yang
diperoleh maksimal, hal ini disebut dengan efek substitusi. Selain itu peningkatan
upah akan meningkatkan biaya marjinal perusahaan, yang memungkinkannya
untuk mengurangi output sehingga perusahaan akan mengurangi penggunaan
seluruh input termasuk tenaga kerja. Hal ini merupakan efek output.
Terdapat beberapa bukti empiris bahwa perubahan upah (contohnya
dengan undang-undang upah minimum) mempunyai efek yang serius dalam
meningkatkan pengangguran remaja (mengurangi jumlah orang yang bekerja).
Kaum remaja adalah partisipan dipasar tenaga kerja yang paling mungkin
terpengaruh oleh undang-undang upah minimum, karena keterampilan mereka
biasanya berada pada spektrum yang paling rendah. Sebuah studi penting pada
tahun 1970-an menemukan bahwa setiap 1% kenaikan upah minimum akan
menyebabkan pengurangan 0.3% pangsa pasar kaum remaja dari total tenaga kerja
(Mankiw, 2007).
Dalam rangka menentukan upah riil pekerja, pemerintah dihadapkan pada
pilihan yang dilematis. Dimana pekerja menginginkan tingkat upah yang layak,
sedangkan perusahaan selalu berusaha untuk memaksimumkan keuntungan
dengan salah satu caranya meminimalkan tingkat upah. Oleh karena itu, dalam
menentukan tingkat upah ini pemerintah perlu mengkaji secara seksama antara
kepentingan pekerja dan keberlanjutan perusahaan. Untuk itu pemerintah perlu
menata kesesuaian kebijakan pasar tenaga kerja dengan kondisi nyata pasar tenaga
kerja dan seluruh institusi yang terkait.
Menurut Widianto (2006), agar negara memiliki peran yang kuat dalam
menata sistem pasar kerja yang aman secara sosial ekonomi bagi pekerja, maka
perlu dirumuskan secara tegas sejauh mana tingkat fleksibilitas pasar yang aman
bagi kondisi angkatan kerja dan pasar kerja yang ada. Selain itu, kebijakan pasar
81
kerja juga harus terintegrasi dengan institusi-institusi terkait, dan diletakkan
sebagai obyek dari kebijakan-kebijakan makro ekonomi lainnya
Menurut penelitian Suryahadi dampak dari kenaikan upah minimum untuk
semua pekerja dan seluruh segmen dari angkatan kerja adalah negatif, kecuali
pekerja kerah putih (white collar). Hasil ini konsisten dengan prediksi dari
kerangka teoritis bahwa upah minimum akan mereduksi kesempatan kerja dari
pekerja dengan skill yang rendah di sektor formal, akan tetapi sebaliknya kenaikan
dalam penetapan upah minimum akan meningkatkan kesempatan kerja dari
pekerja kerah putih atau pekerja dengan skill yang tinggi. Kesimpulan Suryahadi
secara umum sama dengan Anonim (2002). Anonim menambahkan bahwa
dampak negatif kenaikan upah minimum dapat meningkatkan pengangguran
untuk perempuan dan pekerja usia muda, pekerja berpendidikan rendah, pekerja
penuh waktu, dan pekerja paruh waktu.
Variabel pertumbuhan ekonomi regional (PDRB) berpengaruh nyata
terhadap penyerapan tenaga kerja dengan arah positif. Dalam bentuk elastisitas,
setiap 1 persen kenaikan PDRB akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja
sebesar 0.07 persen dengan asumsi variabel yang lain ceteris paribus. Hal ini
sesuai dengan logika ekonomi dimana, pertumbuhan ekonomi yang meningkat
pada suatu wilayah akan membutuhkan faktor-faktor produksi yang lebih banyak,
termasuk tenaga kerja.
Hasil ini sejalan dengan penelitian Okun (1980) di Amerika Serikat yang
dilatarbelakangi anggapan bahwa dari waktu ke waktu angkatan kerja mengalami
pertumbuhan sehingga pengangguran akan naik kecuali jika output riil maupun
penyerapan tenaga kerja mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Dalam
bentuk pertumbuhan, Okun membuktikan bahwa tingkat pengangguran akan turun
sebesar 0.4 persen setiap laju pertumbuhan PDB riil sebesar 1 persen per tahun.
Hukum Okun ini merupakan hasil dari penelitian empiris sehingga hukum
tersebut bukan merupakan hukum yang tetap, karena angka estimasi dari
hubungan antara laju pertumbuhan output dan tingkat pengangguran akan berubah
dari waktu ke waktu.
Variabel investasi fisik (PMTDB) berpengaruh nyata terhadap penyerapan
tenaga kerja dengan arah positif. Dalam bentuk elastisitas, setiap 1 persen
82
kenaikan investasi akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja sebesar 0.03
persen dengan asumsi variabel yang lain ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan
hipotesis dalam penelitian ini yang menduga ada pengaruh positif investasi fisik
terhadap penyerapan tenaga kerja.
Keberhasilan pembangunan yang dicerminkan dari tingginya tingkat
pertumbuhan ekonomi regional tidak dapat dipisahkan dari peran penting
meningkatnya investasi fisik. Variabel investasi fisik ini termasuk salah satu
faktor penentu pertumbuhan ekonomi, karena dengan meningkatnya investasi
fisik ini akan mendorong kenaikan output produksi yang juga secara otomatis
akan meningkatkan permintaan input produksi. Dengan demikian akan
meningkatkan penyerapan tenaga kerja sebagai salah satu input produksi yang
pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan masyarakat sebagai konsekuensi
meningkatnya pendapatan.
Variabel kenaikan harga yang ditunjukkan dengan kenaikan indeks harga
konsumen (IHK) secara statistik berpengaruh nyata terhadap penyerapan tenaga
kerja dengan arah positif. Dimana setiap kenaikan IHK sebesar 1 persen akan
meningkatkan penyerapan tenaga kerja sebesar 0.09 persen dengan asumsi
variabel yang lain ceteris paribus. Kenaikan harga barang-barang output ini akan
mendorong produsen meningkatkan outputnya untuk mendapatkan keuntungan
yang lebih besar lagi. Usaha produsen untuk meningkatkan outputnya ini harus
didukung oleh ketersediaan faktor-faktor produksi, salah satu faktor produksi itu
adalah tenaga kerja. Oleh karena itu semakin besar output yang dihasillkan
perusahaan maka semakin besar pula tenaga kerja yang diserap sehingga tingkat
pengangguran akan menurun.
Namun dampak negatif dari kenaikan harga yang tinggi dan tidak
terkendali ini akan menyebabkan inflasi dan dapat berakibat buruk terhadap
kelangsungan produksi karena inflasi yang tinggi ini akan menimbulkan efek
multiplier terhadap kenaikan biaya produksi, termasuk upah pekerja dan barang
input.
Peningkatan inflasi ini juga menyebabkan tingkat harga terutama harga
barang kebutuhan pokok melonjak, akibatnya daya beli masyarakat melemah dan
semakin banyak masyarakat yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya
83
dengan layak, sehingga jumlah penduduk miskin akan semakin bertambah. Selain
itu inflasi juga menyebabkan daya beli masyarakat menurun yang menyebabkan
permintaan terhadap barang dan jasa juga akan mengalami penurunan, akibatnya
banyak perusahaan mengurangi produksinya yang menyebabkan output menjadi
turun. Untuk mempertahankan kelangsungan perusahaannya agar tidak rugi, maka
pelaku usaha akan mengurangi input produksinya, yaitu salah satunya dengan cara
mengurangi tenaga kerjanya.
VI. SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, sesuai dengan tujuan
penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Adanya hubungan simultan antara tingkat upah dan penyerapan tenaga kerja
dengan arah negatif. Setiap kenaikan penyerapan tenaga kerja sebesar 1 persen
akan menurunkan tingkat upah riil sebesar -1.51 persen dengan asumsi variabel
yang lain tetap. Sedangkan setiap kenaikan tingkat upah sebesar 1 persen akan
menurunkan penyerapan tenaga kerja sebesar -0.02 persen dengan asumsi
variabel yang lain tetap.
2. Pertumbuhan ekonomi regional signifikan mempengaruhi tingkat upah dan
penyerapan tenaga kerja. Dalam nilai elastisitas, pengaruh pertumbuhan
ekonomi regional terhadap tingkat upah lebih elastis dibandingkan
pengaruhnya terhadap penyerapan tenaga kerja. Dari persamaan tingkat upah
diperoleh bahwa setiap kenaikan PDRB sebesar 1 persen akan menaikkan
tingkat upah sebesar 0.39 persen (ceteris paribus), sedangkan dari persamaan
penyerapan tenaga kerja diperoleh bahwa setiap kenaikan PDRB sebesar 1
persen akan menaikkan penyerapan tenaga kerja sebesar 0.07 persen
(ceteris paribus).
3. Upah minimum dan tingkat pendidikan pekerja signifikan mempengaruhi upah
riil. Kenaikan upah minimum dan tingkat pendidikan pekerja berpengaruh
positif terhadap upah riil pekerja. Setiap kenaikan upah minimum sebesar 1
persen akan menaikkan upah riil sebesar 0.71 persen (ceteris paribus),
sedangkan setiap kenaikan jumlah pekerja berpendidikan tinggi sebesar
1 persen akan meningkatkan upah riil sebesar 0.72 persen (ceteris paribus).
Variabel pendidikan pekerja ini merupakan variabel yang dominan dalam
mempengaruhi tingkat upah.
4. Investasi fisik signifikan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja. Setiap
kenaikan investasi fisik sebesar 1 persen akan meningkatkan penyerapan
tenaga kerja sebesar 0.03 persen (ceteris paribus).
86
5. Tingkat perubahan harga yang dihitung berdasarkan indeks harga konsumen
(IHK) signifikan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja, Setiap kenaikan IHK
sebesar 1 persen akan menaikkan penyerapan tenaga kerja sebesar 0.09 persen
(ceteris paribus).
6.2 Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang dirumuskan sebelumnya,
maka diberikan beberapa saran yang menyangkut penelitian ini, yaitu sebagai
berikut:
1. Kenaikan tingkat upah akan berpengaruh pada penurunan penyerapan tenaga
kerja, oleh karena itu pemerintah perlu melakukan kontrol dengan penetapan
upah minimum yang wajar sesuai dengan mekanisme pasar tenaga kerja.
Peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan produktivitas tenaga
kerja merupakan langkah yang tepat dalam meningkatkan kesejahteraan
pekerja.
2. Pelaksanaan kebijakan pemerintah harus mengarah kepada peningkatan
kualitas pendidikan dan keterampilan agar dapat menunjang keahlian dan skill
pekerja sehingga produktivitas pekerja meningkat. Produktivitas merupakan
faktor utama dalam mewujudkan perekonomian yang tangguh. Peningkatan
upah riil, akibat dari meningkatnya produktivitas ini akan menmberikan
keuntungan baik bagi perusahaan dan juga bagi pekerja
3. Pembangunan ekonomi perlu diprioritaskan pada kegiatan ekonomi yang
dapat menciptakan lapangan kerja yang bersifat padat karya sehingga, dapat
menyerap tenaga kerja yang banyak sekaligus juga akan mengurangi jumlah
pengangguran terbuka yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Aldhakil K. 1997. A Methods for Estimation Simultaneous Equation Models with
Time-series and Cross-section Data. Journal King Saud University 10: 13-28.
Anonim. 2002. The Impact of Minimum Wages on Employment.
www.smeru.or.id. Baltagi BH. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. John Wiley & Sons LTD.
England. [BI] Bank Indonesia. 2007. Laporan Perekonomian Indonesia 2007. BI. Jakarta [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Indikator Tingkat Hidup Pekerja 2004-2006.
BPS. Jakarta [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Indonesia 2007. BPS. Jakarta [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Indonesia 2008. BPS. Jakarta. Belzil C. 2006. Testing the Specification of the Mincer Wage Equation. Gate.
Perancis. Bellinger WK. 2007. The Economics Analysis of Public Policy. Routledge. Oxon. Blanchard O. 2006. Macroeconomics. Prentice Hall Business Publishing. New
York Burtt E. 1963. Labor Market, Unions, and Government Policies. St Martin’s
Press. New York Calmfors L. 2000. Unemployment and Economic Growth. Swedish Economic
Policy Review. Stockholm. Depnakertrans. 1996. Perkembangan Struktur Perekonomian dan Kesempatan
Kerja. Pusat Libang Tenaga Kerja Depnaker dan BPS. Departemen Tenaga kerja RI. Jakarta
Depnakertrans. 2004. Rencana Tenaga Kerja (2004-2009). Depnakertrans dan
BPS. Jakarta Dornbusch R, Fisher S, Startz R. 2004. Makroekonomi, Ed ke-8.Yusuf W, Roy
IM, penerjemah; Media Global. Terjemahan dari: Macroeconomics. Jakarta
Dumairy. 1999. Perekonomian Indonesia. Penerbit Erlangga. Jakarta
88
Enders W. 2004. Applied Econometrics Time Series. Ed ke-2. John Willey and
Sons, Inc. New York Falls C. 2004. Specification Testing In Panel Data Models by Fixed Effect with
Instrument Variables. Journal Michigan State University 13:21-35 Greene H. 2005. Econometric Analysis, 4th Edition. Prentice Hall. USA Gujarati DN. 2003. Basic Econometrics. MacGrow-Hill International Editions.
Singapore Hall RE. 2005. The Limited Influence of Unemployment on the Wage Bargain..
Stanford University. Stanford Hsiao C. 2003. Analysis of Panel Data 2nd Edition. Cambridge University Press.
Cambridge InterCAFE. 2008. Studi Empiris Persistensi Pengangguran di Indonesia dan
Upaya Penanggulangannya Berdasarkan Analisis Data Mikro. Institut Pertanian Bogor, Pusat Pendidikan dan Studi Kebangsentralan, Bank Indonesia, Bogor
Jhingan ML. 2008. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta. Khusaini. 2004. Analisis Disparitas antar Daerah Kabupaten/Kota dan
Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Provinsi Banten [tesis]. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Jakarta.
Kuncoro M. 2007. Ekonomika Industri Indonesia. Penerbit Andi. Yogyakarta. Mankiw NG. 2007. Teori Makroekonomi, Ed ke-6 Liza F, penerjemah; Penerbit
Erlangga. Terjemahan dari: Macroeconomics theory. Jakarta McCann P. 2006. Urban and Regional Economics. Oxford University Press.
Oxford Inc. New York. Nicholson W. 2002. Mikroekonomi Internediate, Ed ke-8 Mahendra, penerjemah;
Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Intermediate Microeconomics: Jakarta
Priyarsono DS, Sahara, Firdaus M. 2007. Ekonomi Regional 1-9. Universitas
Terbuka. Jakarta. Romer PM. 1986. Increasing Returns and Long-Run Growth. The Journal of
Political Economy 5:1002-1037.
89
Samad A, Ahmed H. 2007. A Simultaneous for The Demand for Money in Bangladesh. Journal Of Business and economics, Daffodil International University 2:2-20
Siregar H, et al. 2006. Paradoks Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran :
Identifikasi Implikasi dan Solusi. International Center for Applied Finance and Economics (Inter-CAFE), Institut Pertanian Bogor, Pusat Pendidikan dan Studi Kebangsentralan, Bank Indonesia, Bogor
Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Baduose Media, Padang. Solow RM. 1956. A Contribution to the Theory of Economic Growth. The
Quarterly Journal of Economics 70(1):65-94. Stiglitz JE. 2000. Economics of the Public Sektor. Third Ed. W.W. Norton &
Company. New York
Solikin, Sugema I. 2004. Rigiditas Harga-Upah dan Implikasinya Pada Kebijakan Moneter di Indonesia. Buletin Ekonomi dan Perbankan.
Sukirno S. 2000. Pengantar Teori Makroekonomi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
Sumarsono S. 2003. Ekonomi Manajemen Sumber Daya Manusia dan
Ketenagakerjaan. Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta. Suryadarma D. 2007. Reducing Unemployment in Indonesia: Result from
Growth-Employment Elasticity Model. SMERU Research Institute. Jakarta
Suryahadi A. 2001. Wage and Employment Effects of Minimum Wage Policy in
the Indonesian Urban Labor Market. SMERU Research Institute. Jakarta. Tambunan T. 2000. Perekonomian Indonesia. Penerbit Ghalia. Jakarta. Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid 1 Edisi Kesembilan .
Alih Bahasa. Penerbit Erlangga. Jakarta. Venus A. 2006. Analisis Hubungan Pembangunan Manusia dan Kinerja
Perekonomian di Indonesia Suatu Pendekatan Simultan pada Data Panel Propinsi. [Tesis]. Universitas Indonesia. Jakarta.
Verbeek M. 2000. A Guide to Modern Econometrics. John Wiley & Sons.
Chicester. Wallis G. 2002. The Effect of Skill Shortage on Unemployment and Real Wage
Growth: A Simultaneous Equation Approach. British National Statistics Office. Warwick.
90
Widarjono A. 2007. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis.
Penerbit Ekonisia. Yogyakarta.
Widianto B. 2006. Kebijakan untuk Memperluas Kesempatan Kerja. Bahan Presentasi dalam Sarasehan Bappenas dan Wartawan. 15 Desember 2006.
Williamson JG. 1965. Regional Inequality and the Process of National Development: A Description of the Patterns. Economic Development and Cultural Change 13(4):1-84.
LAMPIRAN 1 : ESTIMASI PERASMAAN REDUCE FORM
Dependent Variable: LOG(EMP) Method: Panel Two-Stage Least Squares Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 260 Instrument list: C LOG(PDRB) LOG(UMP) LOG(EDUC) LOG(PMTDB) LOG(IHK)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 12.33232 0.514340 23.97700 0.0000 LOG(PDRB) 0.085832 0.037695 2.277016 0.0237 LOG(UMP) -0.017110 0.019412 -0.881388 0.3790
LOG(EDUC) -0.101116 0.095039 -1.063944 0.2885 LOG(PMTDB) 0.035646 0.014701 2.424758 0.0161
LOG(IHK) 0.102724 0.022023 4.664401 0.0000
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.997756 Mean dependent var 14.55625 Adjusted R-squared 0.997462 S.D. dependent var 0.899078 S.E. of regression 0.045292 Sum squared resid 0.469763 F-statistic 3394.336 Durbin-Watson stat 1.479597 Prob(F-statistic) 0.000000 Second-Stage SSR 0.469763 Instrument rank 31.000000
Dependent Variable: LOG(UP) Method: Panel Two-Stage EGLS (Cross-section weights) Instrument list: C LOG(PDRB) LOG(UMP) LOG(EDUC) LOG(PMTDB) LOG(IHK)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 10.53481 1.393170 7.561754 0.0000 LOG(PDRB) -0.288904 0.112287 -2.572906 0.0107 LOG(UMP) 0.708984 0.047934 14.79086 0.0000
LOG(EDUC) 0.781189 0.241643 3.232827 0.0014 LOG(PMTDB) -0.142104 0.035156 -4.042078 0.0001
LOG(IHK) -0.169283 0.059165 -2.861221 0.0046
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.912913 Mean dependent var 14.43396 Adjusted R-squared 0.901504 S.D. dependent var 5.584745 S.E. of regression 0.130260 Sum squared resid 3.885578 F-statistic 80.01824 Durbin-Watson stat 1.223116 Prob(F-statistic) 0.000000 Second-Stage SSR 3.885578 Instrument rank 31.000000
92
LAMPIRAN 2 : UJI SIMULTANITAS Dependent Variable: LOG(EMP)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 15.32560 6.105006 2.510333 0.0128LOG(UPF) -0.128118 0.115921 -1.105218 0.2702
LOG(PDRB) -1.458306 0.556300 -2.621440 0.0093LOG(PMTDB) 1.607622 0.398938 4.029748 0.0001
LOG(IHK) 0.180064 0.264789 0.680029 0.4972RESIDUP 0.351389 0.119423 2.942383 0.0036
R-squared 0.983914 Mean dependent var 31.81503Adjusted R-squared 0.981806 S.D. dependent var 18.19178S.E. of regression 0.301556 Sum squared resid 20.82429F-statistic 1.59E+13 Durbin-Watson stat 1.055764Prob(F-statistic) 0.000000 Second-Stage SSR 6.21E-10Instrument rank 31.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.870225 Mean dependent var 14.55625Sum squared resid 27.16969 Durbin-Watson stat 0.856823
Dependent Variable: LOG(UP)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 37.49164 5.260578 7.126905 0.0000LOG(EMPF) -2.205763 0.495787 -4.449010 0.0000LOG(PDRB) -0.170280 0.138476 -1.229670 0.2201LOG(UMP) 0.715005 0.043607 16.39671 0.0000
LOG(EDUC) 0.713862 0.216994 3.289781 0.0012RESIDEMP -0.289259 0.149420 -1.935876 0.0541
Weighted Statistics
R-squared 0.915975 Mean dependent var 14.49871Adjusted R-squared 0.904967 S.D. dependent var 5.422965S.E. of regression 0.131059 Sum squared resid 3.933423F-statistic 83.21266 Durbin-Watson stat 1.212577Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.842235 Mean dependent var 12.11410Sum squared resid 4.168828 Durbin-Watson stat 1.076312
93
LAMPIRAN 3 : UJI ENDOGENITAS Dependent Variable: LOG(EMP) Method: Panel EGLS (Cross-section weights)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 15.60768 0.581880 26.82284 0.0000 LOG(UP) 0.021133 0.071446 0.295795 0.7676
LOG(PDRB) 0.678139 0.014928 45.42763 0.0000 LOG(PMTDB) -0.083811 0.015652 -5.354482 0.0000
LOG(IHK) 0.047990 0.040980 1.171071 0.2427 LOG(UPF) -0.984467 0.070232 -14.01741 0.0000
Weighted Statistics
R-squared 0.910883 Mean dependent var 22.14920 Adjusted R-squared 0.909128 S.D. dependent var 11.91394 S.E. of regression 0.359671 Sum squared resid 32.85833 F-statistic 519.2346 Durbin-Watson stat 0.202806 Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.801315 Mean dependent var 14.55625 Sum squared resid 41.59673 Durbin-Watson stat 0.105518
Dependent Variable: LOG(UP)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 37.49164 5.260578 7.126905 0.0000 LOG(EMP) -0.289259 0.149420 -1.935876 0.0541
LOG(PDRB) -0.170280 0.138476 -1.229670 0.2201 LOG(UMP) 0.715005 0.043607 16.39671 0.0000
LOG(EDUC) 0.713862 0.216994 3.289781 0.0012 LOG(EMPF) -1.916504 0.548752 -3.492477 0.0006
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.915975 Mean dependent var 14.49871 Adjusted R-squared 0.904967 S.D. dependent var 5.422965 S.E. of regression 0.131059 Sum squared resid 3.933423 F-statistic 83.21266 Durbin-Watson stat 1.212577 Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.842235 Mean dependent var 12.11410 Sum squared resid 4.168828 Durbin-Watson stat 1.076312
94
UJI COMMON, FIXED DAN RANDOM EFFECTS (UP)
Dependent Variable: LOG(UP) Method: Panel Two-Stage EGLS (Cross-section weights)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 13.65780 1.126515 12.12394 0.0000LOG(EMP) -0.637453 0.078901 -8.079200 0.0000
LOG(PDRB) 0.373735 0.056302 6.638075 0.0000LOG(UMP) 0.325509 0.058568 5.557822 0.0000
LOG(EDUC) -1.208440 0.205919 -5.868532 0.0000
Weighted Statistics
R-squared 0.576081 Mean dependent var 14.43520Adjusted R-squared 0.569432 S.D. dependent var 4.657036S.E. of regression 0.237830 Sum squared resid 14.42364F-statistic 148.3627 Durbin-Watson stat 0.591247Prob(F-statistic) 0.000000 Second-Stage SSR 10.22600Instrument rank 6.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.421989 Mean dependent var 12.11410Sum squared resid 15.27355 Durbin-Watson stat 0.465404
Dependent Variable: LOG(UP)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 19.67260 1.867063 10.53665 0.0000LOG(EMP) -0.464283 0.142914 -3.248683 0.0013
LOG(PDRB) -0.602557 0.084446 -7.135448 0.0000LOG(UMP) 0.699280 0.045502 15.36820 0.0000
LOG(EDUC) 0.750483 0.225992 3.320841 0.0010
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.905046 Mean dependent var 14.58720Adjusted R-squared 0.893073 S.D. dependent var 4.814566S.E. of regression 0.134607 Sum squared resid 4.167354F-statistic 75.59355 Durbin-Watson stat 1.215739Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.829767 Mean dependent var 12.11410Sum squared resid 4.498298 Durbin-Watson stat 1.015784
95
Redundant Fixed Effects Tests Equation: UPPOOL Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 12.160671 (25,230) 0.0000
Cross-section fixed effects test equation:
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 7.791709 0.482333 16.15421 0.0000 LOG(EMP) -0.224512 0.023135 -9.704638 0.0000
LOG(PDRB) 0.068069 0.018810 3.618744 0.0004 LOG(UMP) 0.605370 0.036367 16.64615 0.0000
LOG(EDUC) -0.261292 0.101951 -2.562912 0.0110
Weighted Statistics
R-squared 0.779534 Mean dependent var 14.58720 Adjusted R-squared 0.776075 S.D. dependent var 4.814566 S.E. of regression 0.194793 Sum squared resid 9.675814 F-statistic 225.4096 Durbin-Watson stat 0.623052 Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.685849 Mean dependent var 12.11410 Sum squared resid 8.301232 Durbin-Watson stat 0.613576
Dependent Variable: LOG(UP) Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 9.643870 0.543380 17.74793 0.0000 LOG(EMP) -0.257994 0.040058 -6.440542 0.0000
LOG(PDRB) 0.085851 0.031802 2.699577 0.0074 LOG(UMP) 0.475994 0.036479 13.04847 0.0000
LOG(EDUC) -0.356434 0.149765 -2.379950 0.0181
Effects Specification S.D. Rho
Cross-section random 0.089076 0.2950 Idiosyncratic random 0.137700 0.7050
Weighted Statistics
R-squared 0.503607 Mean dependent var 5.320261 Adjusted R-squared 0.495820 S.D. dependent var 0.210111 S.E. of regression 0.149190 Sum squared resid 5.675738 F-statistic 64.67643 Durbin-Watson stat 0.925678 Prob(F-statistic) 0.000000
96
Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: UPPOOL Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 48.332455 4 0.0000
Cross-section random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.
LOG(EMP) -0.493724 -0.257994 0.033277 0.1963LOG(PDRB) -0.442313 0.085851 0.010480 0.0000LOG(UMP) 0.643288 0.475994 0.001665 0.0000
LOG(EDUC) 0.193699 -0.356434 0.048067 0.0121
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: LOG(UP)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 19.11454 2.369191 8.067961 0.0000LOG(EMP) -0.493724 0.186766 -2.643536 0.0088
LOG(PDRB) -0.442313 0.107200 -4.126069 0.0001LOG(UMP) 0.643288 0.054737 11.75226 0.0000
LOG(EDUC) 0.193699 0.265512 0.729530 0.4664
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.834959 Mean dependent var 12.11410Adjusted R-squared 0.814149 S.D. dependent var 0.319413S.E. of regression 0.137700 Akaike info criterion -1.019310Sum squared resid 4.361103 Schwarz criterion -0.608462Log likelihood 162.5103 Hannan-Quinn criter. -0.854144F-statistic 40.12381 Durbin-Watson stat 1.056205Prob(F-statistic) 0.000000
97
UJI COMMON, FIXED DAN RANDOM EFFECTS (EMP) Dependent Variable: LOG(EMP) Method: Panel EGLS (Cross-section weights)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 14.02348 1.246055 11.25430 0.0000 LOG(UP) -0.792344 0.057007 -13.89897 0.0000
LOG(PDRB) 0.675620 0.036533 18.49328 0.0000 LOG(PMTDB) -0.056714 0.026347 -2.152602 0.0323
LOG(IHK) -0.095974 0.133152 -0.720785 0.4717
Weighted Statistics
R-squared 0.858423 Mean dependent var 20.94938 Adjusted R-squared 0.856202 S.D. dependent var 10.38440 S.E. of regression 0.383634 Sum squared resid 37.52963 F-statistic 386.5337 Durbin-Watson stat 0.299923 Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.774229 Mean dependent var 14.55625 Sum squared resid 47.26747 Durbin-Watson stat 0.120508
Dependent Variable: LOG(EMP) Method: Panel Least Squares
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 12.59583 0.541100 23.27817 0.0000 LOG(UP) -0.025897 0.017429 -1.485878 0.1387
LOG(PDRB) 0.072138 0.034799 2.073014 0.0393 LOG(PMTDB) 0.032790 0.014981 2.188780 0.0296
LOG(IHK) 0.090596 0.018560 4.881395 0.0000
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.997758 Mean dependent var 14.55625 Adjusted R-squared 0.997476 S.D. dependent var 0.899078 S.E. of regression 0.045172 Akaike info criterion -3.248522 Sum squared resid 0.469312 Schwarz criterion -2.837675 Log likelihood 452.3079 Hannan-Quinn criter. -3.083356 F-statistic 3530.110 Durbin-Watson stat 1.470445 Prob(F-statistic) 0.000000
98
Redundant Fixed Effects Tests Equation: EMPPOOL Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 846.931039 (25,230) 0.0000Cross-section Chi-square 1178.637191 25 0.0000
Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: LOG(EMP)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 18.49479 1.231170 15.02213 0.0000LOG(UP) -1.117524 0.083767 -13.34091 0.0000
LOG(PDRB) 0.664554 0.063918 10.39694 0.0000LOG(PMTDB) -0.109684 0.054987 -1.994720 0.0471
LOG(IHK) -0.021013 0.090065 -0.233307 0.8157
R-squared 0.791398 Mean dependent var 14.55625Adjusted R-squared 0.788125 S.D. dependent var 0.899078S.E. of regression 0.413844 Akaike info criterion 1.092390Sum squared resid 43.67312 Schwarz criterion 1.160865Log likelihood -137.0107 Hannan-Quinn criter. 1.119918F-statistic 241.8553 Durbin-Watson stat 0.214184Prob(F-statistic) 0.000000
Dependent Variable: LOG(EMP) Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 10.57961 0.475140 22.26628 0.0000LOG(UP) -0.036873 0.017375 -2.122176 0.0348
LOG(PDRB) 0.206009 0.030557 6.741844 0.0000LOG(PMTDB) 0.046116 0.014768 3.122666 0.0020
LOG(IHK) 0.029899 0.016778 1.782021 0.0759
Effects Specification S.D. Rho
Cross-section random 0.319249 0.9804Idiosyncratic random 0.045172 0.0196
Weighted Statistics
R-squared 0.413347 Mean dependent var 0.650657Adjusted R-squared 0.404145 S.D. dependent var 0.069833S.E. of regression 0.053905 Sum squared resid 0.740976F-statistic 44.91733 Durbin-Watson stat 1.142767Prob(F-statistic) 0.000000
99
Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: EMPPOOL Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 112.136921 4 0.0000
Cross-section random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.
LOG(UP) -0.025897 -0.036873 0.000002 0.0000 LOG(PDRB) 0.072138 0.206009 0.000277 0.0000
LOG(PMTDB) 0.032790 0.046116 0.000006 0.0000 LOG(IHK) 0.090596 0.029899 0.000063 0.0000
Cross-section random effects test equation:
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 12.59583 0.541100 23.27817 0.0000 LOG(UP) -0.025897 0.017429 -1.485878 0.1387
LOG(PDRB) 0.072138 0.034799 2.073014 0.0393 LOG(PMTDB) 0.032790 0.014981 2.188780 0.0296
LOG(IHK) 0.090596 0.018560 4.881395 0.0000
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.997758 Mean dependent var 14.55625 Adjusted R-squared 0.997476 S.D. dependent var 0.899078 S.E. of regression 0.045172 Akaike info criterion -3.248522 Sum squared resid 0.469312 Schwarz criterion -2.837675 Log likelihood 452.3079 Hannan-Quinn criter. -3.083356 F-statistic 3530.110 Durbin-Watson stat 1.470445 Prob(F-statistic) 0.000000
100
LAMPIRAN 4 : ESTIMASI PERSAMAAN TINGKAT UPAH Dependent Variable: LOG(UP) Instrument list: C LOG(PDRB) LOG(UMP) LOG(EDUC) LOG(PMTDB) LOG(IHK)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 31.22114 6.841871 4.563246 0.0000LOG(EMP) -1.511576 0.630459 -2.397581 0.0173
LOG(PDRB) 0.392091 0.167673 2.033843 0.0202LOG(UMP) 0.710806 0.052774 13.46889 0.0000
LOG(EDUC) 0.725352 0.248917 2.914038 0.0039
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.880288 Mean dependent var 13.80101Adjusted R-squared 0.865194 S.D. dependent var 4.108743S.E. of regression 0.144865 Sum squared resid 4.826774F-statistic 68.05268 Durbin-Watson stat 1.264437Prob(F-statistic) 0.000000 Second-Stage SSR 4.208523Instrument rank 31.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.810353 Mean dependent var 12.11410Sum squared resid 5.011301 Durbin-Watson stat 1.109617
Fixed Effects (Cross)
1 NAD -0.331437 14 BALI -0.371206 2 SUMUT 1.377793 15 NTB -0.65543 3 SUMBAR -0.332084 16 NTT -0.39982 4 RIAU 0.458365 17 KALBAR -0.161875 5 JAMBI -1.338853 18 KALTENG -1.603811 6 SUMSEL 0.867273 19 KALSEL -0.622113
7 BENGKULU -2.165256 20 KALTIM -0.427434 8 LAMPUNG 0.310598 21 SULUT -1.287933 9 DKI 1.396707 22 SULTENG -1.564786
10 JABAR 3.839301 23 SULSEL 0.766926 11 JATENG 3.383935 24 SULTRA -1.867003 12 DIY -0.615721 25 MALUKU -1.956963
13 JATIM 3.857216 26 PAPUA -0.556389
101
LAMPIRAN 5 : ESTIMASI PERSAMAAN PENYERAPAN TENAGA KERJA Dependent Variable: LOG(EMP) Instrument list: C LOG(PDRB) LOG(UMP) LOG(EDUC) LOG(PMTDB) LOG(IHK)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 12.62462 0.566342 22.29150 0.0000 LOG(UP) -0.028672 0.023729 -1.208294 0.0282
LOG(PDRB) 0.072740 0.034975 2.079748 0.0387 LOG(PMTDB) 0.032225 0.015336 2.101299 0.0367
LOG(IHK) 0.091141 0.018828 4.840805 0.0000
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.997758 Mean dependent var 14.55625 Adjusted R-squared 0.997475 S.D. dependent var 0.899078 S.E. of regression 0.045174 Sum squared resid 0.469364 F-statistic 3518.646 Durbin-Watson stat 1.473040 Prob(F-statistic) 0.000000 Second-Stage SSR 0.470838 Instrument rank 31.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.997716 Mean dependent var 14.55625 Sum squared resid 0.478201 Durbin-Watson stat 1.412863
Fixed Effects (Cross)
1 NAD -0.32305 14 BALI -0.08987 2 SUMUT 0.731040 15 NTB -0.06543 3 SUMBAR -0.15569 16 NTT 0.030342 4 RIAU -0.17608 17 KALBAR -0.10412 5 JAMBI -0.55365 18 KALTENG -0.83152 6 SUMSEL 0.427193 19 KALSEL -0.29996 7 BENGKULU -0.8596 20 KALTIM -0.78143 8 LAMPUNG 0.376643 21 SULUT -0.53589 9 DKI 0.259918 22 SULTENG -0.6282
10 JABAR 1.856073 23 SULSEL 0.379315 11 JATENG 1.808429 24 SULTRA -0.79684 12 DIY -0.1646 25 MALUKU -0.72332 13 JATIM 1.851678 26 PAPUA -0.63139