54
Analisa Faktor Intensitas Tegangan Modus I pada Compact Tension
Specimen 2D dan 3D dengan Menggunakan Metode Elemen Hingga
Agus Sigit Pramono, I Wajan Berata, Agus Kumiawan,
Laboratorium Mekanika Benda Padat, Jurusan Teknik Mesin FTI - ITS
Abstrak
Faktor intensitas tegangan (K) sebagai salah satu parameter untuk memprediksi pertumbuhan
retak dapat dihitung secara analitis, numeris, maupun eksperimental. Dalam makalah ini akan
dikemukakan validasi software ANSYS Rel. 5.4 dalam menghitung range faktor intensitas tegangan
(∆K) pada Compact Tension Specimen (CTS) 2 dimensi (2D) dan 3 dimensi (3D). Alat yang
digunakan sebagai validasi adalah hasil eksperimen perambatan retak pada CTS di udara hampa
dengan tujuan untuk mengeliminasi pengaruh lingkungan, yang artinya hasil tersebut murni dari
karakteristik "intrinsic" material. Pemodelan CTS 2D menggunakan elemen quadrilateral
isoparametrik 8 node, sedangkan CTS 3D dimodelkan dengan menggunakan elemen heksa-hedron
isoparametrik 20 node. Temyata analisa software ANSYS Rel. 5.4 memberikan hasil ∆K yang cukup
dekat dengan hasil eksperimen. Dalam makalah ini juga akan ditinjau kembali dasar teori
pembentukan elemen ujung retak.
Kata kunci : fatique, faktor intensitas tegangan, perambatan retak, pengaruh lingkungan, metode
elemen hingga.
Pendahuluan
Metode dalam menentukan faktor
intensitas tegangan (K) berkembang dengan
pesat baik melalui metode analitis, eksperimen,
maupun melalui metode numerik Dengan
metode analitis akan didapatkan harga K yang
akurat, tetapi untuk bentuk geometri spesimen,
pola pembebanan dan pola retak yang rumit,
metode ini akan menemui kesulitan.
Sedangkan dengan eksperimen, salah satu
kendala utamanya adalah mahalnya biaya dan
lamanya waktu yang diperlukan dalam
pengujian. Sehingga dalam dekade terakhir ini
banyak dikembangkan metode numerik yang
salah satunya adalah Metode Elemen Hingga.
Sejumlah teknik telah diusulkan untuk
mengevaluasi K, tapi representasi yang
memadai dari singularitas tegangan-regangan
di ujung retak yang memiliki gradien yang
sangat tinggi merupakan masalah rata-rata dari
Metode Elemen Hingga. Dengan memakai
elemen konvensional masih memerlukan
pembagian elemen yang sangat halus di sekitar
ujung retak [3]. Teknik yang lain adalah
metode integral J, metode elemen hingga
hibrid, maupun pemakaian elemen singular.
Dari teknik-teknik yang ada pemakaian
elemen singular merupakan teknik yang paling
banyak dipakai karena lebih menguntungkan
dengan secara langsung memodelkan
singularitas tegangan-regangan di ujung retak.
Banks-Sills dan Bortman [41 melakukan
peninjauan terhadap penggunaan elemen
quadrilateral quarter-point dan prosedur
ekstrapolasi perpindahan untuk mengevaluasi
K pada Centre Crack Specimen (CCS) dengan
hasil akurat, dimana hasil yang didapat tidak
terpengaruh oleh ukuran elemen.
Legowo dan Soeharto [2] menggunakan
software NASTRAN dalam menghitung K
pada kasus plat dengan retak tengah.
Pemodelan singularitas ujung retak dilakukan
dengan mengembangkan elemen yang dibentuk
dari gabungan 8 elemen singular segitiga. Hasil
yang didapat memberikan harga, yang sangat
dekat dengan referensi, dimana dalam
memodelkan singularitas ujung retak
disimpulkan tidak memerlukan ukuran elemen
yang terialu kecil.
Dari latar belakang tersebut diatas,penulis
mencoba menggunakan software ANSYS Rel.
5.4 untuk mengevaluasi K pada CTS 2D dan
3D, dimana penekanan penulisan makalah ini
adalah untuk menguji validitas software
tersebut. Tingkat ketelitian yang diperoleh
akan terlihat ketika hasil software ANSYS
dibandingkan dengan hasil eksperimen yang
ada (Berata, Wajan, 1992).
Jurnal Teknik Mesin, Volume 1, Nomor 2, September 2001 55
Permasalahan
Permasalahan yang timbul dari uraian
prndahuluan diatas adalah:
1. Bagaimanakah pemodelan CTS di software
ANSYS dalam menentukan K?
2. Bagaimanakah transformasi konsep Metode
Elemen Hingga dan Fracture Mechanics
dalam evaluasi K ke dalam software
ANSYS untuk mendapatkan hasil dengan
error seminimal mungkin ?
3. Bagaimanakah perbandingan hasil analisa
software ANSYS dengan hasil eksperimen
yang ada ?
Batasan Masalah
Batasan masalah yang dipakai dalam
penulisan makalah ini adalah :
1. Pemodelan CTS dilakukan hanya separuh
bagian struktur karena terdapat kesimetrian
geometri, pembebanan, kondisi batas dan
material properti.
2. Singularitas tegangan-regangan di ujung
retak hanya dapat ditampilkan oleh elemen
yang berorde quadratik. Oleh sebab itu
pemodelan CTS 2D menggunakan elemen
quadrilateral isoparametrik 8 node dan yang
menampilkan singularitas disebut elemen
quadrilateral quarter-point. Sedangkan
pemodelan CTS 3D menggunakan elemen
heksahedron isoparamotrik 20 node dan
yang menampilkan singularitas disebut
elemen heksahedron quarter-point.
3. Evaluasi K dilakukan dengan prosedur
ekstrapolasi perpindahan.
4. Material diasumsikan homogen dan
isotropik.
5. Pembebanan yang digunakan yaitu beban
statik maksimum dan minimum dengan
rasio tegangan R = 0,1 (tarik-tarik).
6. Analisa dilakukan dalam daerah Paris dan
modus pembebanan I (Opening Mode).
7. Tidak memperhitungkan adanya pengaruh
lingkungan seperti korosi dan temperatur
diasumsikan temperatur kamar.
Dasar Teori Elemen Singular
Usaha untuk mengembangkan elemen
yang mampu menampilkan singularitas di
ujung retak telah banyak dilakukan. Kondisi
singular di ujung retak dapat diperoleh dengan
menggunakan elemen yang fungsi bentuknya
melibatkan kondisi singular. Secara sederhana
kondisi singular dapat diperoleh dengan
menggunakan elemen isoparametrik yang
dimodifikasi. Kondisi singular akan terjadi jika
determinan dari Jacobian menjadi nol [3].
Elemen singular dibentuk dengan menggeser
node tengah dari elemen isoparametrik
quadratik ke posisi seperempat panjang sisi
elemen dari node ujung retak. Dalam makalah
ini akan digunakan elemen isoparametrik
quadrilateral 8 node untuk masalah CTS 2D
dan digunakan elemen isoparametrik
heksahedron 20 node untuk masalah CTS 3D
seperti yang ditunjukkan pada gambar 1 dan 2.
Singularitas di ujung retak dapat
ditampilkan dengan elemen quadrilateral.
isoparametrik 8 node dengan cara
memindahkan node 5 dan 8 ke posisi
seperempat panjang sisi elemen dari node 1
(node di ujung retak). Dari penggeseran
tersebut terbentuk suatu elemen singular
quadrilateral quarter-point seperti yang terlihat
dalam gambar 3a.
Gambar 1. Elemen quadrilateral
isoparametrik 8 node.
Gambar 2. Elemen heksahedron
isoparametrik 20 node.
Pramono, Analisa Faktor Intensitas Tegangan 56
Dari gambar 3a, fungsi bentuk untuk node
1, 5 dan 2 setelah dimodifikasi dengan t = -1
sebagai berikut:
N1 = -s(l-s)/2 N5 =(1-s2) N2 = s(l +s)/2 (1)
Dari fungsi interpolasi geometri didapat:
( ) ( ) ( ) 25
5
1
3
1
12
11
2
11
2
1xssxsxssxNx
i
ii −+−+−−==∑=
(2)
Dengan menempatkan sumbu koordinat
pada node 1 dan memberikan panjang sisi
1-5-2 sebesar L, maka xl = 0, x5 = L/4, dan
x2 = L, maka:
x = (1-s2 )L/4 + s(l+s)L/2 (3)
atau ditampilkan dalam s yaitu :
L
xs 21+−= (4)
Dari salah satu komponen matrik
Jacobian yaitu s
x∂
∂ dan memasukan harga s
dari persaman (4) akan diperoleh:
LxsL
s
x=+=
∂
∂)1(
2 (5)
Sehingga matrik Jacobian akan singular
pada, node 1 dimana x = 0. Perpindahan u pada
sisi 1-5-2 yaitu:
( ) ( ) ( ) 25
5
1
3
1
12
11
2
11
2
1ussusussuNu
i
ii −+−+−−==∑=
(6)
substitusi s pada persamaan (6) akan
didapatkan:
3
51
2212
1
422212
1
uL
x
L
x
uL
x
L
xu
L
x
L
xu
+−+
−+
−−
+−−= (7)
Regangan pada arah x adalah:
s
u
x
s
x
ux
∂
∂
∂
∂=
∂
∂=ε
251
41
2
14243
2
1u
LxLu
LxLu
LxLx
+−+
−+
−−=ε (8)
Tampak bahwa komponen εx
menunjukkan singularitas r
1 . Dengan
mengganti x dengan jarak radial dari ujung
retak r maka perpindahan arah u sepanjang sisi
1-5-2 akan menjadi:
L
ruuu
L
ruuuuu )422()34( 5121251 −++−−+= (9)
Hal yang sama dapat dilakukan pada
perpindahan arah v.
Singularitas regangan juga, dapat
ditampilkan dengan menggunakan elemen
heksahedron isoparametrik 20 node yaitu
dengan menggeser node 17 dan 20 ke posisi
seperempat panjang sisi elemen dari node 5
dan menggeser node 9 dan 12 ke posisi
seperempat panjang sisi elemen dari node 1.
Node 5 dan node 1 adalah node yang terletak
di ujung retak. Dari penggeseran tersebut
terbentuk suatu elemen yang disebut elemen
heksahedron quarterpoint seperti yang terlihat
dalam gambar 3b.
Setelah medan perpindahan dan tegangan
seluruh bentuk retak (terutama pada sekitar
ujung retak) telah ditentukan, berarti evaluasi
faktor intensitas tegangan akan dapat
ditemukan. Pendekatan yang paling jelas
adalah menghubungkan solusi analitik
tegangan dan perpindahan pada ujung retak
dari harga yang didapatkan dari metode elemen
hingga. Hal tersebut memerlukan prosedur
ekstrapolasi untuk mendapatkan faktor
intensitas tegangan pada ujung retak.
Variasi perpindahan secara analitis sekitar
ujung retak adalah :
Gambar 3. Elemen singular
Jurnal Teknik Mesin, Volume 1, Nomor 2, September 2001 57
( )
( )
++−
−−=
2
3sin
2sin32
24
2
3cos
2cos12
24
θθκ
π
θθκ
π
r
G
K
r
G
Ku
II
I
(10)
( )
( )
++−
−−=
2
3cos
2cos32
24
2
3sin
2sin12
24
θθκ
π
θθκ
π
r
G
K
r
G
Kv
II
I
dimana :
KI, KII = faktor intensitas tegangan modus I
dan II
κ = 3 - 4v untuk kondisi regangan
bidang
= (3 - v)/(1 + v) untuk kondisi
tegangan bidang
v = poisson's ratio
sehingga faktor intensitas tegangan dapat
dievaluasi dengan menyamakan koefisien r
pada persamaan (9) dan (10) dengan harga θ
merupakan sudut polar dari sisi elemen 1-5-2,
maka:
−−
−−=
−+
−−
125
125
34
3424
2
3sin
2ins)12(
2
3cos
2cos)12(
vvv
uuu
LGK I
π
θθκ
θθκ
(11)
−−
−−=
+−
−+−
125
125
34
3424
2
3cos
2cos)312(
2
3sin
2ins)32(
vvv
uuu
LGK II
π
θθκ
θθκ
Terlihat bahwa faktor intensitas tegangan
dapat dihitung dari salah satu dari komponen
perpindahan arah u maupun arah v. Untuk
harga θ = 0O atau 180
O maka salah satu
denominator pada persamaan di atas akan
berharga nol sehingga faktor intensitas
tegangan dievaluasi dengan komponen
perpindahan yang tidak menghasilkan harga
nol.
Prosedur ekstrapolasi perpindahan
dilakukan dengan melihat hubungan dari
persamaan (9) sehingga dapat diperoleh :
=
−+
−−
1
24
2
3sin
2ins)12(
2
3cos
2cos)12(
v
u
rGK I
π
θθκ
θθκ
=
+−
−+−
v
u
rGK II
π
θθκ
θθκ
24
2
3cos
2cos)312(
2
3sin
2ins)32( (12)
Substitusi harga u, v, dan r pada titik node
sepanjang garis radial pada sekitar ujung retak,
dapat diperoleh hubungan antara K dengan
jarak radial r. Kemudian dengan
menghilangkan hasil pada titik yang sangat
dekat dengan ujung retak sehingga solusi dapat
diekstrapolasi pada r = 0 dengan memakai
regressi linear. Teknik ini dapat dipakai bila
digunakan elemen konvensional maupun
elemen singular.
Dari hasil penelitian terhadap elemen
Blackburn tampak bahwa harga faktor
intensitas tegangan yang dihitung berdasarkan
perpindahan lebih akurat daripada yang
dihitung atas dasar tegangan, yang dievaluasi
pada variasi harga θ.
Pemakaian elemen quadrilateral quarter-
point untuk memodelkan singularitas ujung
retak telah diuji oleh BanksSills [4] dengan
hasil yang meyakinkan menggunakan prosedur
ekstrapolasi perpindahan pada ujung retak r =
0, dimana ukuran elemen tidak mempengaruhi
hasil K.
Data Masukan Pemodelan CTS
Masukan yang dibutuhkan dalam
pemodelan CTS di software ANSYS adalah
sebagai berikut :
1. Material properties dari bahan Ti-6Al-4V
(sesuai eksperimen yang telah dilakukan
oleh Wajan Berata, 1992),
� Modulus Elatisitas bahan (E) = 123.000
MPa
� Angka poisson (v) = 0,306
2. Ukuran geometri CTS yang digunakan
(sesuai eksperimen) seperti yang terlihat
dalam gambar 4.
3. Kondisi batas model elemen hingga CTS
yang ditetapkan sebagai berikut:
• Node ujung retak untuk kasus 2D
terletak pada titik B (lihat gambar 5),
sedangkan untuk kasus 3D node-node
ujung retak terletak pada garis BF (lihat
gambar 6).
• Untuk analisa 2D, node-node yang
terletak pada garis AB dikekang ke
arah-v. Sedangkan node yang terletak
Pramono, Analisa Faktor Intensitas Tegangan 58
pada titik A diberi tambahan kondisi
batas yaitu dikekang ke arah-u. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat dalam
gambar 5.
• Untuk analisa 3D, node-node yang
terletak pada bidang FGAB dikekang ke
arah-v. Sedangkan node-node yang
terletak pada garis GA diberi tambahan
kondisi batas yaitu dikekang ke arah u.
Lihat gambar 6.
4. Pembebanan yang diterapkan pada model
elemen hingga CTS: Beban yang
diterapkan dianggap sebagai beban statik
terpusat (Pmax dan Pmin) dengan nilai beban
Pmax dan Pmin yang berbeda-beda unluk tiap
panjang retak tertentu yang disesuaikan
dengan eksperimen. Untuk analisa 2D,
beban terpusat tersebut bekerja pada node
yang terletak pada titik C (lihat gambar 5).
Sedangkan untuk analisa 31), beban statik
dianggap terdistribusi merata sepanjang
ketebalan CTS, dari titik C ke E (lihat
gambar 6).
5. Interval pengukuran retak yang igunakan
dsesuaikan dengan data eksperimen dengan
panjang retak mula ao sebesar 8,441 mm
(lihat gambar 4).
6. Pemodelan perambatan retak dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
a. Mencatat perpindahan node-node hasil
deforma.. ,ang terletak pada titik-titik
luar A5 B, J, K, L. M, N, m 0, P, dan Q
dari pemodelan elemen hingga dengan
panjang retak ao (lihat gambar 7).
Perpindahan hasil deformasi ini akan
ditambahkan pada titik-titik terluar dari
geometri CTS berikutnya dengan
panjang retak yang baru a1. Panjang
retak yang dipakai sebagai acuan dalam
analisa diambil dari data eksperimen
yang sebenarnya merupakan panjang
retak rata-rata akibat jalannya retak
yang kadang berbeda pada kedua sisi
permukaan (sisi depan dan belakang)
spesimen.
b. Membuat model elemen hingga CTS
dengan posisi ujung retak yang baru a1
(lihat gambar 8) Dan memasukkan
elemen singular yang menampilkan
ujung retak yang baru tersebut dengan
perintah KSCON.
c. Dari model elemen hingga tersebut,
dihitung faktor intensitas tegangan yang
baru dengan perintah KCALC.
d. Langkah-langkah a - c diulang sampai
semua data panjang retak dianalisa.
Gambar 4. Ukuran CTS yang digunakan dalarn
ekperimen dan pemodelan di software ANSYS
Gambar 5. Model separuh bagian CTS 2D
Gambar 6. Model separuh bagian CTS 3D
Gambar 7. Node-node pada titik-titik luar geometri
CTS dengan panjang retak ao
Jurnal Teknik Mesin, Volume 1, Nomor 2, September 2001 59
Hasil Dan Analisa
Compact Tension Specimen 2D
Dari hasil penelitian-penelitian [1], [2]
dan [4] memperlihatkan bahwa ukuran dan
jumlah elemen singular disekitar ujung retak
tidak terlalu mempengaruhi hasil K karena
elemen singular mampu secara langsung
memodelkan singularitas ujung retak. Dalam
makalah ini penulis menggunakan ukuran
elemen singular sebesar r = 0,025 cm dan
jumlah sebanyak N = 8 elemen karena ukuran
dan jumlah tersebut memberikan hasil K yang
optimal.
Sebagai perbandingan hasil perhitungan
rentang faktor intensitas tegangan ∆K pada
kondisi awal retak ao = 8,66 mm dan beban ∆P
= 3,772 kN yang didapat dari eksperimen,
analisa ANSYS (kondisi plane strain), dan cara
analitis sebagai berikut :
a. Dengan data eksperimen dimana harga AK
untuk CTS dapat diperoleh dari rumusan
ASTM E-647:
( )( )
−
+
−
+
−
+∆=∆
43
2
5,1
6,572,14
32,1364,4866,0
1
2
W
a
W
a
W
a
W
a
Wa
Wa
WB
PK
b. Dengan cara menghubungkan solusi
analitis tegangan dan perpindahan pada
ujung retak seperti yang ditunjukkan pada
persamaan (11) dengan data sebagai
berikut:
v = 0,306 E = 123.000 MPa
θ = 0O L= 0,025 cm κ = (3-4v)=1,776
G =E/[2(1 +v)]= 47.090,4 MPa
ul = 0,000018106 cm
u2= 0,006271193 cm
u3= 0,025024414 cm
c. Dengan analisa ANSYS melalui perintah
KCALC yang menggunakan prosedur
ekstrapolasi perpindahan.
Hasil dari ketiga metode tersebut dapat
dilihat dalam tabel 1. Bila hasil eksperimen
dianggap sebagai acuan untuk pembanding
maka tingkat kesalahan (error) yang dimiliki
software ANSYS sebesar :
%203,3%100100,11
745,10100,11=
−= xError
Tabel 1. Hasil perhitungan AK dgn 3 metode
Metode yang dipakai Harga ∆K
Rumusan ASTM E-647 11,100
Solusi analitik tegangan dan
perpindahan 11,618
Hasil ANSYS (r=0,025 dan N=8) 10,745
Dari hasil analisa Metode Elemen Hingga
dengan bantuan ANSYS Rel 5.4 (baik dalam
kondisi plane strain dan plane stress) dibuat
kurva hubungan range faktor intensitas
tegangan ∆K dan panjang retak a serta
dibandingkan dengan data hasil eksperimen.
Dari gambar 9 tampak bahwa hasil analisa
Metode Elemen Hingga mendekati hasil
eksperimen dengan error yang terjadi sebesar
3,203 %, sehingga dapat disimpulkan prosedur
yang dipakai dalam analisa dengan ANSYS
Rel 5.4 cukup valid untuk digunakan sebagai
suatu metode mengevaluasi faktor intensitas
tegangan. Dapat juga dilihat dari gambar 9,
bahwa untuk analisa 2D dalam kondisi plane
strain maupun plane stress ternyata
memberikan hasil yang hampir sama (plane
strain lebih besar sedikit dibanding plane stress
dengan selisih 0,042 %).
Hasil yang didapat dengan ANSYS
mendekati hasil eksperimen dimana
penyimpangan yang terjadi dimungkinkan oleh
adanya hal-hal sebagai berikut :
1. Dari aspek pemodelan Metode Elemen
Hingga
Dari penelitian-penelitian sebelumnya,
variasi ukuran dan jumlah elemen singular di
ujung retak cenderung tidak mempengaruhi
hasil perhitungan faktor intensitas tegangan.
Untuk itu perlu dikaji lebih lanjut pemilihan
Gambar 8. Node-node pada titik-titik luar geometri
CTS dengan panjang retak a1
Pramono, Analisa Faktor Intensitas Tegangan 60
model 2 Dimensi dalam memodelkan CTS
dibandingkan dengan model 3 Dimensi. Selain
itu pemodelan beban yang dipakai masih
diasumsikan berada tetap dalam kondisi lurus
ke arah sumbu y, sedangkan dalam pengujian
yang sebenarnya dapat dimungkinkan bergeser
tidak dalam kondisi tetap lurus.
2. Dari aspek metalografi
a. Asumsi yang dipakai dalam pemodelan
yaitu sifat material homogen, isotropik dan
kontinyu, sedangkan pada kenyataannya
material spesimen yang dipakai tidak
mungkin mempunyai sifat ideal tersebut.
b. Analisa yang dilakukan masih memakai
konsep LEFM (Linear Elastic Fracture
Mechanics) yang meniadakan munculnya
daerah plastis setempat pada ujung retak,
ini karena fasililitas yang diberikan ANSYS
dalam menghitung faktor intensitas
tegangan dengan perintah KCALC hanya
terbatas pada masalah elastis linier dengan
material homogen dan isotropik.
c. Terdapat faktor-faktor yang berpengaruh
pada daerah I (perambatan retak mikro),
seperti inklusi yang dapat membantu
menghambat retak yang belum bisa
dimodelkan dengan Metode Elemen
Hingga. Sehingga asumsi model yang
dipakai hanya akan valid pada daerah II
(daerah Paris) karena tidak
memperhitungkan faktor-faktor yang
menghambat atau mempercepat
pertumbuhan retak.
d. Pada eksperimen ditemukan rambatan retak
yang bercabang (secondary cracks),
sehingga retak utama akan merambat
dengan kecepatan perambatan yang
menurun (dengan ∆K yang sama, hasil
eksperimen mempunyai panjang retak yang
lebih pendek daripada hasil ANSYS).
Sedangkan bentuk komparasi antara
analisa ANSYS dan hasil eksperimen yang lain
dapat ditampilkan dalam bentuk kurva laju
perambatan retak fatik ∂a/∂N terhadap range
faktor intensitas tegangan AK seperti yang
diperlibatkan pada gambar 10. Dalam gambar
tersebut sengaja diikutkan data hasil
eksperimen di udara laboratorium terbuka
(yang juga dilakukan oleh Wajan Berata,
1992), meskipun data panjang retaknya
berbeda dengan yang dipakai dalam analisa
ANSYS, tujuannya adalah untuk mengetahui
perbedaan laju perambatan retak di udara
terbuka dengan di udara hampa.
Kurva dalam gambar 10 berbentuk
sigmoidal yang dapat dibagi dalarn tiga daerah.
Daerah 1 dibatasi oleh harga batas ∆Kth. Di
bawah harga ini pertumbuhan retak tidak
berarti dan retak merupakan retak yang tidak
merambat. Daerah II adalah daerah dengan
hubungan linear antara. Log ∂a/∂N dan Log ∆K
dengan rumusan Paris ∂a/∂N = C (∆K)m. Daerah
III adalah daerah dengan pertumbuhan retak
yang dipercepat.
Gamba 9. Kurva hubungan ∆K dan a.
Gambar 10. Kurva hubungan ∂α/∂Ν dan ∆K
dari hasil eksperimen di udara hampa, di udara
laboratorium dan hasil ANSYS.
Jurnal Teknik Mesin, Volume 1, Nomor 2, September 2001 61
Gambar 12. Kurva hubungan ∂α/∂Ν -∆K dari hasil
eksperimen di hampa udara pada daerah Paris.
Dari kedua data hasil penelitian Wajan
Berata (1992), tampak terdapat perbedaan yaitu
laju perambatan retak di udara laboratorium
yang lebih cepat dibandingkan dengan di
hampa udara. Atau dengan kata lain ketahanan
material terhadap perambatan retak fatik di
udara laboratorium lebih rendah jika
dibandingkan dengan di hampa udara., Hal ini
dapat disebabkan oleh penggetasan material
akibat dari proses penyerapan uap air atau
oksigen yang terkandung di udara bebas, yang
selanjutnya mempercepat laju perambatan
retak. Dimana beraksi secara dominan terutama
pada daerah laju perambatan retak yang
rendah.
Sedangkan kurva ∂a/∂N = ∆K hasil
ANSYS mendekati hasil eksperimen di udara
hampa karena sesuai dengan asumsi yang
diambil dalam pemodelan.
Rumusan persamaan Paris
∂a/∂N = C (∆K)m dalam daerah II dari kurva
∂a/∂N-∆K hasil eksperimen dan analisa
ANSYS pada range ∂a/∂N = 10-8
s/d 10-9
sebagai berikut :
• Kondisi udara, laboratorium:
∂a/∂N = 4 x 10-13
(∆K)4,3735
dimana C = 4 x 10-13
dan m = 4,3735
• Kondisi hampa udara:
∂a/∂N = 3 x 10-16
(∆K)6,772
dimana C = 3 x 10-16
dan m = 6,772
• Hasil ANSYS kondisi plane strain:
∂a/∂N = 2 x 10-16
(∆K)6,929
dimana C = 2 x 10-16
dan m = 6,929
Ketiga grafik ∂a/∂N-∆K dalam daerah Paris di
atas dapat dilihat dalam gambar 11 sampai
gambar 13.
Konstanta Paris yang didapat dari hasil
eksperimen di kondisi hampa udara dan hasil
ANSYS tersebut hampir sama sedangkan di
kondisi udara, laboratorium mempunyai hasil
yang agak berbeda tapi sangat dekat dengan
referensi yang ada (untuk Titanium : C = 6,8 x
10-12
dan m = 4,4). Dari kedua harga m yang
merupakan slope dari kurva ∂a/∂N-∆K tampak
bahwa harga m untuk kurva di kondisi udara
laboratorium lebih kecil dari ada kedua hasil
lainnya, yang menunjukkan laju perambatan
retak di daerah Paris pada kondisi udara
laboratorium lebih cepat akibat adanya
pengaruh lingkungan. Untuk dasar verifikasi
konstanta Paris adalah didekati dengan
beberapa hasil pengujian yang terdahulu,
dimana C dan m merupakan parameter
material. Harga konstanta m pada beberapa
material lain berkisar antara 2 s/d 4.
Compact Tension Specimen 3D
Model elemen hingga CTS 3D dibuat
dengan mengextrude model elemen hingga
CTS 2D sebesar tebal spesimen 0,98 cm. Cara
ini diambil untuk memudahkan pemodelan
elemen hingga CTS 3D yang terbagi dalam 8
elemen ke arah ketebalan (sumbu z) seperti
yang terlihat dalam gambar 14.
Gambar 11. Kurva hubungan ∂α/∂Ν -∆K dari hasil
eksperimen di udara laboratorium pada daerah Paris.
Pramono, Analisa Faktor Intensitas Tegangan 62
Gambar 13. Kurva hubungan ∂α/∂Ν -∆K dari hasil
ANSYS kondisi plane strain pada daerah Paris.
Gambar 14. Model Elemen Hingga CTS 3D
Gambar 15. Lima lokasi perhitungan K (path 1, path 2,
path 3, path 4 dan path 5) dalam elemen singular
Dengan demikian akan terbentuk ukuran
elemen dalam arah sumbu z sebesar 0,1225
cm.
Untuk mengetahui variasi harga K di
sekitar ujung retak sepanjang ketebalan
spesimen maka perhitungan K dilakukan di
lima lokasi, yang disimbolkan dengan path 1
(di permukaan spesimen), path 2, path 3, path
4, dan path 5 (di tengah spesimen), dimana
jarak antara path sebesar 0,1225 cm. Kelima
lokasi tersebut dapat dilihat dalam gambar 15.
Ternyata ∆K semakin ke dalam dari arah
ketebalan spesimen nilainya semakin
bertambah besar (gambar 16), tetapi kenaikkan
yang tajam hanya terjadi dari path 1
(pemukaan spesimen) ke path 2.
Sedangkan dari path 3 ke path 5 (tengah
spesimen), kenaikkan ∆K hanya kecil sekali.
Karena ∆K dalam modus 1 merupakan fungsi
tegangan (σy) dan panjang retak (∆a) dan
dengan Aa yang sama maka juga dapat
disimpulkan bahwa semakin ke dalam,
tegangan ke arah sumbu Y (σy) nilainya juga
bertambah besar. Dari persamaan hubungan
tegangan-regangan diperoleh harga
{ }yxy v
v
Eεεσ +
−=
21 untuk kondisi plane
stress (terjadi di permukaan spesimen) dan dari
persamaan yang sama diperoleh harga
{ }yxy vv
vv
Eεεσ )1(
)21)(1(−+
−+=
untuk kondisi plane strain (terjadi di tengah
spesimen), dengan memasukkan harga E dan v
yang sama maka secara teoritis bisa dibuktikan
bahwa tegangan (σy) yang terjadi di tengah
spesimen alcan lebih besar daripada tegangan
(σy) yang terjadi di permukaan spesimen.
Tegangan yang lebih besar ini yang
menyebabkan terjadinya perambatan retak di
bagian tengah spesimen menjadi lebih cepat.
Kenaikkan ∆K dari bagian permukaan ke
bagian tengah spesimen tidak menyebabkan
daerah plastis (ry) yang terbentuk di bagian
tengah menjadi lebih besar (terdapat hubungan
∆K2 = ry), karena kenaikkan itu belum sampai
tiga kalinya. Sebagai contoh untuk panjang
Jurnal Teknik Mesin, Volume 1, Nomor 2, September 2001 63
Gambar 16. Variasi ∆K disepanjang ketebalan
spesimen (mm) Gambar 17. Komparasi kurva ∆K-a
Gambar 18.Bentuk daerah plastis tiga dimensi di
ujung retak
retak ao, pada path 1 terjadi ∆K = 10,07
MPa m , seclangkan pada path 5 terjadi ∆K =
11,756 MPa m , jadi cuma ada kenaikkan
sebesar 1,686 Mpa m .
Kenaikkan ∆K dari bagian permukaan ke
bagian tengah spesimen tidak menyebabkan
daerah plastis (ry) yang terbentuk di bagian
tengah menjadi lebih besar (terdapat hubungan
∆K2 = ry), karena kenaikkan itu belum sampai
tiga kalinya. Sebagai contoh untuk panjang
retak ao, pada path 1 terjadi ∆K = 10,07
MPa m , seclangkan pada path 5 terjadi ∆K =
11,756 MPa m , jadi cuma ada kenaikkan
sebesar 1,686 Mpa m . Berdasarkan persamaan
ukuran daerah plastis, dimana 2
16
1
=
ys
y
Kr
σuntuk kondisi plane strain dan
2
2
1
=
ys
y
Kr
σπuntuk kondisi plane stress,
terdapat perbedaan penyebut dari kedua
persamaan tersebut sebesar tiga kali. Bila
kenaikkan ∆K hanya dalam bilangan bulat satu
digit meskipun dikuadratkan maka kenaikkan
itu tidak akan berarti bila dibandingkan dengan
perbedaan angka penyebut dari kedua
persamaan di atas yang berselisih tiga kalinya.
Jadi daerah plastis yang terjadi di bagian
permukaan spesimen (kondisi plane stress)
akan menjadi lebih besar daripada daerah
plastis yang terjadi di bagian tengah spesimen
(kondisi plane strain). Secara kuantitatif dapat
dihitung daerah plastis yang terjadi di bagian
permukaan sebesar ry = 1,7x 10-5
m dan di
bagian tengah sebesar ry = 7,72x 10-6
m. Jika
daerah plastis ini pada tiap-tiap path
digambarkan maka bentuknya akan seperti
pada gambar 18.
Sedangkan bentuk komparasi analisa
ANSYS 3D dengan hasil eksperimen dan
analisa ANSYS 2D kondisi plane strain berupa
suatu grafik hubungan ∆K-a, seperti yang
terlihat dalam gambar 17. Tampak dari gambar
tersebut, harga ∆K pada path 2 lebih mendekati
hasil analisa ANSYS 2D maupun hasil
eksperimen. Path 2 tersebut lebih mendekati
kondisi plane stress.
Pramono, Analisa Faktor Intensitas Tegangan 64
Kesimpulan Dan Saran
Kesimpulan
Dari analisa dan komparasi range faktor
intensitas tegangan (∆K) dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Ternyata analisa ANSYS 2D mernberikan
hasil yang cukup dekat dengan hasil
eksperimen yang dilakukan Wajan Berata
(1992) dengan tingkat kesalahan (error) yang
dimiliki sebesar 3,203 %. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa analisa software ANSYS
Rel. 5.4 cukup valid untuk digunakan sebagai
suatu alat dalam mengevaluasi faktor intensitas
tegangan.
2. Penentuan kondisi plane strain dan plane stress
dalam analisa ANSYS 2D tidak perlu
dilakukan karena kedua kondisi tegangan
tersebut ternyata memberikan hasil yang
hampir sama (perbedaannya tidak signifikan,
dalam kondisi plane strain lebih besar sedikit
0,042% daripada dalam kondisl plane stress).
3. Harga ∆K semakin ke dalam/tengah dari arah
ketebalan spesimen nilainya semakin
bertambah besar, tetapi kenaikan yang tajam
hanya terjadi dari path I (pemukaan spesimen)
ke path 2. Sedangkan dari path 3 ke path 5
(tengah spesimen), kenaikkan ∆K hanya kecil
sekali (tiap-tiap path jaraknya sebesar 1,225
mm). Range faktor intensitas tegangan (∆K)
merupakan fungsi dari tegangan ∆a, dan
panjang retak (σy), bila ∆a tetap maka semakin
ke dalam tegangan σy yang terjadi semakin
besar. Itulah yang menyebabkan retak cepat
merambat di bagian tengah spesimen.
4. Menurut persarnaan ukuran terjadi kenaikkan
harga ∆K dari bagian permukaan ke bagian
tengah spesimen, hal ini tidak mengakibatkan
daerah plastis yang terbentuk di bagian tengah
menjadi lebih besar daripada daerah plastis
yang terbentuk di bagian permukaan spesimen.
Karena kenaikkan ∆K masih lebih kecil bila
dibandingkan dengan perbedaan penyebut dari
kedua persamaan di atas. Sehingga ukuran
daerah plastis yang terbentuk di bagian
permukaan masih lebih besar daripada yang
terbentuk di bagian tengah spesimen.
Saran
Beberapa saran yang perlu dikemukakan
dalam penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Perlu dikembangkan meshing secara otornatis
pada tiap-tiap perambatan retak yaitu mulai
dari penghapusan elemen singular di sekitar
ujung retak awal dan pembuatan meshing
elemen singular yang baru di ujung retak
berikutnya.
2. Perlu dikembangkan kemampuan software
ANSYS dalam menghitung faktor intensitas
tegangan tidak hanya sebatas masalah elastis
linier dengan material homogen dan isotropik.
Dan perlunya dikaji lebih lanjut tentang
pemasukkan pengaruh lingkungan ke dalarn
analisa agar didapatkan hasil analisis yang
sesuai dengan kenyataan di lapangan atau
udara terbuka.
Referensi
[1] Berata, W., 1998, "Pengaruh Struktur Mikro
Dan Lingkungan Pada Karak-teristik
Rambatan Retak Ti-6A14V Oleh
Pembebanan Dinamis ", ITS Surabaya.
[2] Legowo, Dibyo, dan Soeharto, Djoko,, 1993,
"Penentuan Faktor Intensitas Tegangan Pada
Compact Tension Specimen Dengan Metode
Elemen Hingga". Bandung : SITRA 93-6506.
[3] Zienkiewicz, O. C, 1997, "The Finite Element
Method", McGraw-Hill, London.
[4] Banks-Sills, Leslie, and Bortman, Yaacov,
Reappraisal Of The Quarter-point
Quadrilateral Element In Elastic Fracture
Mechanics., International Journal Of Fracture,
1984, vol. 25, pp. 169-180
[5] Bleackly, M. H., and Luxmoore, A. R. ,
Comparation Of Finite Ele-ment With
Analytical And Experimental Data For
Elastic-Plastic Cracked Problems.
International Journal Of Fracture, 1983, vol.
22, pp. 15-39
[6] Broek, David, 1989, "The Practical Use Of
Fracture Mechanics", Kluwer Academic
Publisher, Netherlands.
[7] ANSYS, Inc. , 1997, "ANSYS Basic
Analysis Procedure Guide".
[8] ANSYS, Inc. , 1997, "ANSYS Modeling and
Meshing Guide".
[9] ANSYS, Inc. , 1997, "ANSYS Structural
Analysis Guide".
[10] Choiron, M. A. , 2001, "Evaluasi faktor
Intensitas Tegangan Pada Compact Tension
Specimen Dengan Metode Elemen Hingga",
ITS Surabaya.