AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA JAWA DALAM
TRADISI MUNGGAH MULUH DI DESA SIDOMUKTI
PEKALONGAN JAWA TENGAH
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh :
Muhammad Wahyu
NIM: 11140321000010
PRODI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2020 M
iv
ABSTRAK
Muhammad Wahyu
Judul Skripsi: “Akulturasi Islam dan Budaya Jawa Dalam Tradisi Munggah
Muluh di Desa Sidomukti Pekalongan”
Penelitian ini membahas tentang tradisi munggah muluh yang dilakukan
masyarakat desa Sidomukti Pekalongan. Tradisi maupun ritual merupakan
kebudayaan warisan nenek moyang yang keberadaannya tetap eksis dan dipercaya
masyarakat sekitar. Tradisi munggah muluh merupakan suatu prosesi acara dalam
pembangunan rumah. Muluh yang dimaksud adalah sebatang kayu besar yang
menjadi pusat pondasi atap di rumah yang akan dibangun. tradisi ini penulis
angkat karena memiliki banyak sekali hal unik yang layak untuk dibahas dan
dibedah ke khalayak ramai. Adanya perpaduan antara dua unsur budaya juga
menjadi perhatian penting dan salah satu alasan mengapa tradisi ini begitu
menarik. Hadirnya budaya Islam yang berbaur dengan budaya lokal masyarakat
setempat menjadi bukti bahwa harmonisasi antar budaya sesungguhnya ada dan
dapat kita hadirkan ke dalam ruang publik agar stigma negatif tentang budaya
kearifan lokal dapat terkikis perlahan bahkan mungkin hilang.
Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah antropologi dan
sosiologis. Metode antropologi digunakan untuk membedah makna yang
terkandung dari tradisi munggah muluh ini serta kaitannya dengan masyarakat.
Hubungan antara makna muluh atau tradisi munggah muluh secara keseluruhan
dengan keyakinan masyarakat bahwa ada sesuatu yang menjadi pegangan teguh
masyarakat dalam tradisi ini. Metode sosiologis digunakan karena dalam praktik
tradisinya melibatkan banyak unsur masyarakat baik mereka yang terlibat secara
langsung dalam tradisi maupun tidak.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa wujud dari akulturasi Islam dan
budaya Jawa begitu terlihat dalam upacara tradisi munggah muluh ini, dengan
indikasi adanya banyak unsur dan elemen dari dua kebudayaan itu yang menyatu
berbaur saling melengkapi utuhnya ritual munggah muluh. Sebagai contok dalam
kasus selametan, ada dua unsur yang berperan dalam prosesi ini yaitu doa yang
dipanjatkan merupakan wujud unsur Islam dan sesajen yang merupakan wujud
budaya lokal Jawa.
Kata kunci: Tradisi, Ritual, Munggah Muluh, Kepercayaan,
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Ahamdulilah segala puji dan puji syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT, Dia lah yang telah melimpahkan nikmat iman, nikmat Islam dan
nikmat sehat. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar sarjana Agama (S.Ag). Dalam bidang Studi Agama-
agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian skripsi ini,
banyak pihak yang senantiasa membimbing dan membantu serta tulus dengan
sepenuh hati meluangkan waktunya dalam memberikan kritik, saran dan inspirasi
hingga selesai dalam menulis skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak-pihak tersebut
khususnya kepada:
1. Dr. M. Amin Nurdin, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
banyak meluangkan waktu dan tenaganya serta kesabaran dalam memberikan
arahan dan bimbingan kepad apenulis sehingga penuis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
2. Syaiful Azmi, S.Ag, MA selaku Ketua Jurusan Studi Agama-Agama dan Lisfa
Sentosa Aisyah, MA selaku Sekretaris Jurusan Studi Agama-Agama UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu memberikan pelayanan yang terbaik
kepada mahasiswanya.
3. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Amany Lubis, MA atas
kesempatan belajar dan fasilitas yang diberikan kepada Fakultas Ushuluddin.
vi
4. Dr. Yusuf Rahman, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Kusmana, MA, Ph.D selaku Wadek I bidang Akademik Fakultas Ushuluddin.
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA selaku Wadek II bidang administrasi umum
Fakultas Ushuuddin. Dan Dr. Media Zainul Bahri, MA selaku Wadek III
bidang Kemahasiswaan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin, para Staf Akademik Fakultas
Ushuluddin, para staf Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan para staf
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Kedua orang tua ibu Rondiyah dan bapak Tayibin yang tercinta yang tiada
henti memberikan motivasi yang begitu kuat serta doa yang tidak pernah putus
sepanjang masa untuk keberhasilian penulis, semoga Allah menyayangi kalian
berdua di dunia maupun akhirat.
8. Keluarga penulis yang berada di Pekalongan khususnya kakak tercinta
Darmu’i dan Suroso yang turut membantu penulis dalam melakukan observasi
langsung di Desa Sidomukti Pekalongan.
9. Bapak Hasrito Aji selaku Kepala Desa Sidomukti kecamatan Karanganyar,
Kabupaten Pekalongan beserta seluruh staf dan jajarannya yang telah
membantu penulis terkait dengan data desa dan perizinan untuk observasi
sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.
10. Mbah Sejo selaku tetua Dusun Jurangmangu yang bersedia untuk penulis
wawancarai dan telah memberi banyak sekali informasi terkait budaya dan
tradisi adat di desa Sidomukti, sekaligus menjadi guru bagi penulis dalam
vii
memahami hakikat hidup masyarakat Jawa dengan segudang kisah dan
informasi yang diajarkan kepada penulis.
11. Seluruh Karyawan dan Staf Maarif Institute, terutama Mas Khelmy Pribadi
yang selalu menanyakan perkembangan skripsi dari waktu ke waktu. Kang
Pipit Aidul Fitriyana yang mau berbagi ilmu dan pengalaman semasa kuliah di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan tentunya memotivasi penulis untuk
segera menyelesaikan skripsi ini, dan Mas Pripih Utomo yang dengan
semangat selalu memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
12. Teman-teman main sekaligus Alumni SMA 29 Jakarta, Danang Permana,
Wahyudin Akbar, Nurman Novian, Nurjatmiko, Syaifullah, Hardiansyah,
Rudiansyah, Ikbal Kemal, Wanda Nur Abdullah, Refianta dan Yendra Abdihi
yang selalu memberi motivasi baik moril maupun materil kepada penulis
untuk segera merampungkan srkipsi ini.
13. Teruntuk teman-teman seperjuangan Studi Agama-Agama angkatan 2014,
kelas A khususnya yang selalu memberikan semangat juga motivasi dalam
menyelesaikan menemani melewati perkuliahan dari awal sampai Akhir.
Semoga kita semua sealu diberi kemudahan dan kelancaran agar dapat
menyelesaikan skripsi guna memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) yang
sama-sama sedang diperjuangkan.
14. Teman KKN 123, Rifqi Akbari, Abdullah Jawab, Neneng Unsara, Husnil
Mardiyah, Lusriadi dan teman-teman yang lain. Terimakasih atas motivasi dan
dukungannya selama ini.
15. Teman-teman yang menemani penulis menyelesaikan skripsi, Munip Akbar,
Ridwan Efendi, Endik Sudikna, Zikri Sulthoni, Samtoni, Wahyu Vebry,
viii
Rahmat Fajri, Tiara. Meskipun setiap kumpul jarang memberikan semangat
secara langsung lewat lisan, namun dukungan moril yang mungkin tersirat
karena jarang dari kita untuk mengucapkan selalu memotivasi penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini
16. Kepada semua masyarakat dusun Jurangmangu desa Sidomukti yang sudah
membantu penulis dalam melakukan penelitian.
17. Kepada semua orang yang penuis kenal maupun yang mengenal penulis yang
tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, terimakasih atas semua kebaikan,
ilmu dan pengalaman yang telah diberikan. Semoga kita semua mendapatkan
balasan atas kebaikan kita dan rahmat dari Allah SWT.
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa semoga skripsi ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis dan pada umumnya untuk perkembangan ilmu
pengetahuan di tanah air. Atas semua sumbangsih dan informasi yang telah
diberikan, semoga Allah memberikan balasan yang berlipat ganda. Amiin
Jakarta, 23 Desember 2019
Muhammad Wahyu
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ...............................................................................................i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ..................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................................. iii
ABSTRAK ................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
A. LATAR BELAKANG MASALAH ........................................................................ 1
B. RUMUSAN MASALAH ........................................................................................ 7
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN........................................................ 7
D. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 7
E. METODOLOGI PENELITIAN .............................................................................. 9
F. SISTEMATIKA PENULISAN ............................................................................. 11
BAB II GAMBARAN UMUM DESA SIDOMUKTI KECAMATAN KARANGANYAR
PEKALONGAN JAWA TENGAH ................................................................................... 12
A. Sejarah Desa Sidomukti ........................................................................................ 12
B. Kondisi Ekonomi Desa Sidomukti ........................................................................ 15
C. Kondisi Pendidikan desa Sidomukti ..................................................................... 16
D. Kondisi Kebudayaan dan Agama Desa Sidomukti ............................................... 18
BAB III AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA JAWA ....................................................... 21
A. Pengertian dan Teori Akulturasi ........................................................................... 21
B. Akulturasi Islam dan Budaya Jawa ....................................................................... 24
BAB IV RITUAL TRADISI MUNGGAH MULUH DAN AKULTURASI ISLAM DI DESA
SIDOMUKTI PEKALONGAN ........................................................................................ 30
A. Prosesi Ritual Munggah Muluh di Desa Sidomukti Kecamatan Karanganyar
Pekalongan Jawa Tengah .............................................................................................. 31
B. Makna simbolik setiap unsur yang terkandung dalam ritual Munggah Muluh ..... 43
BAB V PENUTUP ....................................................................................................... 51
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 51
x
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 53
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................................. 57
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa baru yang terdiri dari berbagai
suku bangsa, yang semua pada dasarnya adalah pribumi, artinya, semua adalah
suku-suku bangsa yang, meskipun dahulu kala bermigrasi dari tempat lain, secara
turun temurun telah tinggal di wilayah geografis Indonesia sekarang ini, dan
merasa bahwa itu adalah tanah airnya. Bangsa baru ini terbentuk karena suatu
kemauan politk untuk menyatukan diri, dan dengan itu membangun sebuah negara
serta membebaskan diri dari segala bentuk penjajahan oleh bangsa lain.1
Kebudayaan adalah jati diri suatu bangsa. Suatu bangsa dibedakan dari
yang lain melalui kekhasan kebudayaannya. suatu bangsa yang memiliki satu
kebudayaan, juga didukung oleh ciri-ciri itulah yang pada pandangan pertama
seolah menjadi jati dirinya.2
Indonesia dan Kebudayaannya memiliki konsekuensi yang besar dari
pengaruh luar, mengingat Indonesia yang terletak dalam posisi silang dunia.
Dalam hal ini, sejarah telah menggambarkanya dengan nyata. Selain pengaruh
luar, masalah waktu sebenarnya juga ikut berperan dalam pembentukan suatu
kebudayaan. Misalnya, dalam fase pertama, Indonesia mendapat pengaruh Hindu-
Buddha (abad V-X), dalam fase kedua, Indonesia mendapat pengaruh Islam (abad
XI-XVI), dan dalam fase ketiga mendapat pengaruh dari kebudayaan Barat (abad
XVI-XX).3
Indonesia, karena lokasinya, sejak awal sejarahnya telah bersinggungan
dengan budaya-budaya luar. Orang-orang Cina, India, Persi, Arab, Asia Tenggara,
Eropa, masuk perairan Indonesia, berinteraksi di kota-kota niaga Indonesia, dan
meninggalkan jejak-jejak budayanya, entah terbatas atau luas. Pluralisme budaya
primordial Indonesia, mengakibatkan perkenalan dengan budaya-budaya luar itu,
1 Edy Sedyawati, Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah (Jakarta:
Rajawali Press. 2006) h. 315. 2Edi Sedyawati, Kebudayaan di Nusantara (Depok: Komunitas Bambu. 2014) h. 11.
3Suprapto W, Ilmu Budaya Dasar (Bogor: Ghalia Indonesia.2004) h. 33.
2
membangun transformasi budayanya masing-masing. Dan budaya-budaya
transformatif di wilayah–wilayah primordial ini juga saling berinteraksi serta
menghasilkan bentuk-bentuk budaya transformasi baru di masing-masing lokasi.4
Bangsa Indonesia terkenal dengan masyarakat yang memiliki kebudayaan
yang beraneka ragam.5 kebudayaan yang satu berbeda dari yang lain yang
disebabkan oleh perjalanan sejarah yang berbeda.6
Salah satu wujud kebudayaan yang ada di Indonesia adalah kebudayaan
Jawa. Orang Jawa adalah satu kelompok etnik yang mempunyai kebudayaan dan
nilai-nilai maupun kebiasaan tentang sesuatu, yaitu kebudayaan Jawa. Masyarakat
atau suku bangsa Jawa adalah suku bangsa terbesar di Indonesia dan jumlahnya
mencapai lebih dari separuh warga negara Indonesia. Masyarakat Jawa berasal
dari pulau Jawa dan terutama ditemukan ditemukan di propinsi Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Pada masyarakat Jawa terdapat nilai hidup atau nilai kebudayaan
Jawa yang berisi konsep-konsep mengenai apa yang dianggap bernilai, berharga
dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman hidup
bagi masyarakat Jawa.7
Jawa merupakan pulau terbesar nomor lima diantara 13.466 pulau di
Indonesia. Kini merupakan pulau paling maju dan terpadat penduduknya. Sejak
kedatangan Bangsa Eropa, pulau Jawa telah menjadi sentral berbagai aktivitas
masyarakat. Dengan daya tarik tersendiri, pulau Jawa telah mendorong terjadinya
migrasi dari seluruh penjuru Indonesia. Berbagai suku bangsa di Indonesia bisa
dijumpai di pulau ini, meskipun pulau Jawa tetap memiliki suku atau penduduk
asli. Suku Jawa merupakan suku dengan jumlah populasi terbanyak sekitar 100
juta orang (data tahun 2011). Mereka kebanyakan menempati provinsi Jawa
Timur, Jawa Tengah, dan DIY. Sedangkan provinsi Jawa Barat kebanyakan
4Jacob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia (Yogyakarta: Qalam. 2002) h. 75.
5Suwardi Endraswara, Etnologi Jawa: Penelitian, Perbandingan, dan Pemaknaan
Budaya(Yogyakarta: CAPS, 2015) h. 42. 6Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia (Bandung: Alfabeta, 2014), h. 83.
7Ryan L. Rachim, “Nilai Budaya Jawa dan Perilaku Nakal Remaja Jawa,” Jurnal Ilmiah
BerkalaPsikologi, vol. 9, no. 1, h.34.
3
dihuni suku sunda, provinsi Banten mayoritas penduduknya suku banten dan DKI
Jakarta dihuni suku betawi.8
Jawa adalah kelompok etnik terbesar di Asia Tenggara. Etnik ini
berjumlah kurang lebih empat puluh persen dari dua ratus juta penduduk
Indonesia. Seperti sebagian besar penduduk Indonesia lainnya lebih dari delapan
puluh persen) mereka juga memeluk agama Islam. Tetapi, sudah bisa diduga,
pemeluk agama yang sedemikian masif itu berbeda-beda secara kultural, bukan
hanya sekedar keanekaragaman yang begitu besar di kalangan orang Indonesia.
Tetapi juga karena variasi subkultural di lingkungan orang Jawa sendiri. Sejak
dulu mereka mengenal dua arus besar komitmen keberagamaan: yaitu mereka
yang shalat dan mereka yang tidak. “Shalat” berarti menjalankan shalat wajib
lima waktu sehari. Orang-orang yang melakukannya disebut putihan, yaitu orang-
orang putih atau murni yang menjalankan kewajiban agama secara sungguh-
sungguh. Belakangan, kelompok ini sering disebut santri sebagai lawan dari
abangan, yaitu rakyat kebanyakan yang tidak religius secara keislaman, atau
mereka yang tidak melaksanakan peribadatan Islam.9
Ajaran Kejawen dianut oleh banyak kota dan daerah di pulau Jawa, tidak
terkecuali Kabupaten Pekalongan. Kabupaten Pekalongan merupakan salah satu
dari 35 Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Tengah, yang berada di daerah pantura
bagian barat sepanjang pantai utara Laut Jawa memanjang ke selatan dengan Kota
Kajen sebagai Ibu Kota pusat pemerintahan. Secara topografis, Kabupaten
Pekalongan merupakan perpaduan antara wilayah datar di wilayah bagian utara
dan sebagian merupakan wilayah dataran tinggi/pegunungan di wilayah bagian
selatan yaitu di antaranya Kecamatan Petungkriyono dengan ketinggian 1.294
meter di atas permukaan laut dan merupakan wilayah perbatasan dengan
Kabupaten Banjarnegara, Kecamatan Lebakbarang, Paninggaran, Kandangserang,
Talun, Doro, dan sebagian di wilayah Kecamatan Karanganyar serta Kajen.10
8Aristo Farela, A Short History Of Java(Surabaya: Ecosystem Publishing, 2017) h. 38.
9Niels Mulder, Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia (Yogyakarta: LKiS. 2001) h.2.
10http://www.pekalongankab.go.id/pemerintahan/deskripsi-wilayah/kondisi-geografis
(diakses pada 20 Agustus 2018, pukul 21.35).
4
Kabupaten Pekalongan merupakan sebuah daerah yang di pesisir utara
pulau Jawa yang sebagian besar masyarakatnya menganut kebudayaan asli atau
kebudayaan leluhur. Kebudayaan asli atau kebudayaan leluhur yang dimaksud
merupakan suatu kerohanian khas suatu bangsa atau suku bangsa yang
dikembangkan di tengah bangsa dan suku bangsa itu sendiri dan tidak dipengaruhi
oleh kerohanian bangsa lain.11
Kebudayaan asli itu adalah Kejawen.
Keyakinan hasil didikan alam terus dianut oleh orang Jawa secara turun-
temurun. Bahkan ketika zaman kolonial, ketika orang Jawa sudah banyak yang
menganut agama formal, seperti Islam, Hindu, Nasrani, dan pemujaan terhadap
kekuatan alam tidak ditinggalkan. Tampaknya, agama yang mereka anut tidak
mampu menghilangkan keyakinan terhadap adanya kekuatan alam. Kepercayaan
atau ritual yang dilakukan oleh orang Jawa ini disebut “Kejawen.” Ajaran
Kejawen merupakan keyakinan dan ritual campuran dari agama-agama formal
dengan pemujaan terhadap kekuatan alam. Sebagai contoh, orang Jawa banyak
yang menganut agama Islam, tetapi pengetahuan mereka tentang agamanya boleh
dikatakan masih kurang mendalam.12
Kejawen atau kejawaan dalam bahasa Indonesia adalah “kejawaan,” dan
“jawanisme”. Kata yang terakhir ini menjadi sebutan deskriptif bagi elemen-
elemen kebudayaan Jawa yang dianggap Jawa secara hakiki dan hal itu
didefinisikan sebagai suatu kategori unik.13
Kejawen bukanlah suatu kategori
religius. Namun, ia lebih menunjuk pada sebuah etika dan sebuah gaya hidup
yang diilhami oleh pemikiran Jawa. Sehingga, ketika sebagian orang mengungkap
kejawaan mereka dalam praktik beragama, seperti dalam mistisisme, pada
hakikatnya hal itu adalah suatu karakteristik yang secara kultural condong pada
kehidupan yang mengatasi keanekaragaman religius.14
Salah satu tradisi Kejawen yang masih berlaku sampai sekarang dan tetap
eksis dilaksanakan oleh masyarakat Jawa khususnya di Pekalongan adalah tradisi
Munggah Muluh. Tradisi munggah muluh merupakan suatu prosesi acara dalam
11
Sudarto, Religionisasi Indonesia: Sejarah Perjumpaan Agama Lokal dan Pendatang
(Jakarta: Gramedia, 2016) h. 11 12
Capt. R.P. Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa (Yogyakarta: LkiS, 2007) h. 2. 13
Niels Mulder, Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia, h.2. 14
Niels Mulder, Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia, h.10.
5
pembangunan rumah. Muluh yang dimaksud adalah sebatang kayu besar yang
menjadi pusat pondasi atap di rumah yang akan dibangun. Tradisi ini memiliki
prosesi yang unik karena melibatkan poses pembuatan rumah. Ini berarti, bagi
masyarakat Jawa yang akan membangun rumah sudah barang pasti menggunakan
tradisi ini dengan tujuan yang pertama adalah untuk mengikuti tradisi nenek
moyang dari kepercayaan daerah setempat, lalu tradisi ini juga dipercaya sebagai
pnghormatan terhadap para pendahulu desa dengan dipersembahkannya sesajen.
Dengan sistem kepercayaan yang melekat di masyarakat maka masyarakat
setempat yakin dan percaya bahwa dalam membangun rumah, kita tidak bisa
sembarangan utuk membangunnnya melainkan melalui perhitungan Jawa yang
sudah masyarakat percaya secara turun temurun.
Prosesi munggah muluh tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang,
melainkan oleh orang yang sudah faham betul dengan tradis ini. Tukang kayu atau
mandor proyek pembangunan rumah ini biasanya orang-orang yang sudah dipilih
yang tentu juga mengerti dan paham dengan tradisi ini. Masyarakat percaya jika
mandor atau tukang kayu bukan orang yang paham tentang tradisi ini, maka di
kemudian hari pemilik dan penghuni rumah tersebut akan selalu mendapat
musibah dan penuh kesengsaraan baik dari segi sosial maupun ekonomi.
Bagian awal dari prosesi ini adalah penentuan tanggal berdasarkan weton
dan primbon dari sistem penanggalan Jawa. Masyarakat pecaya bahwa setiap
tanggal, bulan dan tahun lahir memiliki makna yang berbeda-beda bagi masing-
masing orang termasuk dalam perhitungan membangun rumah. Melalui tetua desa
yang dipercaya dapat menghitung waktu dan tanggal baik sesuai perhitungan Jawa
yang mereka yakini, penentuan tanggal dan jam pembangunan rumah pun
ditentukan. Tentunya dengan berbagai macam pertimbangan, semisal weton15
si
pemilik rumah, posisi rumah yang menghadap ke mata angin mana, letak rumah
yang berdekatan dengan apa (sawah, pantai, lahan gambut, dll) dan masih banyak
lagi.
15
Weton merupakan perayaan hari kelahiran seseorang berdasarkan perhitungan hari dalam
kalender Jawa. Weton merupakan gabungan dari tujuh hari dalam kalender Islam dan lima hari
pasaran Jawa.
6
Bagian kedua adalah mempersiapkan sesajen semalam sebelum prosesi
dimulai. Bentuk sesajen ini sangat beragam dan bermacam-macam, mulai dari
makanan, minuman, buah-buahan, aneka palawija, bahkan hewan. Semuanya
dipersiapkan oleh pemilik rumah melalui bantuan dari si pembuat sajen yang
tentunya juga bukan sembarang orang yang bisa membuatnya. Sesajen ini
kemudian di letakkan di ruang tengah rumah yang akan di bangun dan harus
sebanyak isi ruang yang ada. Artinya jika ruang tengah berukuran tiga kali lima
meter, maka banyaknya sesajen pun harus memenuhi ukuran ruangan tersebut.
Bagian yang ketiga yang juga menjadi bagian inti dari prosesi ini adalah
proses pengangkatan si kayu utama kebagian atas rumah. Prosesi ini dilakukan
oleh si mandor dengan bantuan para asistennya untuk mengangkat kayu tersebut
sampai ke atas. Di sepanjang kayu tersebut diberi berbagai macam sesajen seperti
aneka palawija, kain sarung, pakaian baru, mukenah, dan bendera merah putih
yang sudah diisi oleh koin dan sesajen kecil di dalamnya. Kemudian kain yang
panjang yang dibawa dari bawah ke atas harus tetap berada di dalam tungku berisi
air kembang yang telah dipersiapkan sebelumnya. Dalam tradisi ini, dapat
dikatakan gagal jika kain yang dibawa keatas keluar dari tungku atau tidak bisa
menyambung antara air di tungku dan kayu yang berada diatas. Lalu kemudian si
mandor akan memaku bendera merah putih dengan macam-macam isian di
dalamnya itu dengan paku emas sebanyak tiga buah sehingga bendera secara
paten melekat pada kayu. Kehadiran bendera ini pun memiliki banyak arti yang
nanti penulis jelaskan lebih mendalam pada pembahasan selanjutnya.
Bagian akhir dari prosesi ini adalah diadakannya selametan langsung
setelah kayu sampai di atas. Selametan ini dipimpin oleh pemuka agama disana
yang juga seorang ustadz di desa tersebut. Selametan ini melibatkan banyak orang
terutama masyarakat desa maupun tetangga satu desa.
Tradisi Jawa adalah tradisi yang amat kaya dan dihimpun dari
kesusasteraan yang merentang selama ribuan tahun mulai dari sumber sanskerta
kuno hingga legenda kerajaan-kerajaan kuno. Salah satu di antara banyak tradisi
dan ritual dalam Kejawen yang menarik perhatian penulis adalah tradisi Munggah
Muluk yang juga mengnspirasi penulis untuk menulis skripsi dengan judul
7
“Wujud Akulturasi Islam dan Budaya Jawa: Tradisi Munggah Muluh di Desa
Sidomukti Pekalongan Jawa Tengah).”
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas, penulis merumuskan permasalahan dalam
bentuk pertanyaan “Bagaimana akulturasi Islam dan Budaya Jawa mewujud
dalam tradisi ritual Munggah Muluh di Desa Sidomukti Pekalongan?”
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
Dari rumusan masalah di atas, dapat diketahui bahwa tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui wujud akulturasi yang terkandung dalam setiap unsur
dalam ritual Munggah Muluh di Desa Sidomukti Pekalongan.
Adapun manfaat dan kegunaan dari penelitian ini dapat dilihat dari tiga
aspek sebagai berikut :
a. Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam
perkembangan pemikiran dan memperkaya wawasan tentang konsep-
konsep kebudayaan terutama kebudayaan Jawa bagi para peneliti di
kemudian hari
b. Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan minat pembaca
terhadap kebudayaan lokal demi terbentuknya pemahaman yang lebih
obyektif dalam menyikapi sesama yang berbeda budaya dalam
kehidupan bernegara yang baik dan toleran.
c. Akademik
Sebagai salah satu persyaratan guna mendapatkan gelar Sarjana
Agama (S.Ag).
D. TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian dan kajian tentang kebudayaan Jawa agaknya sudah
menginspirasi banyak penulis dan peneliti sehingga sudah banyak skripsi yang
membahas tentang kebudayaan Jawa secara umum maupun khusus. Dapat kita
8
jumpai di toko buku manapun selalu ada studi tentang agama dan kebudayaan,
karena tak dapat dipungkiri bahwa manusia sesungguhnya hidup dalam lingkup
kebudayaan yang menyertai kesehaiannya. Di antara hasil peneitian dan studi
tentang kebudayaan dan agama penulis menemukan beberapa data sebagai
berikut:
Pertama, dari buku Agama Jawa: abangan santri priyai dalam kebudayaan
Jawa karya Clifford Geertz terjemahan Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto terbitan
komunitas bambu tahun 2014. Buku ini berasal dari disertasi Clifford Geertz
berdasarkan penelitian di Jawa pada 1952-1954. Geertz mencoba menyimpang
dari tradisi antropologi umumnya yang memberi perhatian utama kepada
komunitas kecil petani atau penggembala, juga suku-suku terasing yang
cenderung menghilang. Suatu kota kecil di Jawa Timur, disebut Mojokuto,
dipilihnya untuk memberikan kontras terhadap kecenderungan tersebut, karena
kota kecil itu mempunyai penduduk yang melek huruf dengan tradisi yang tua,
urban, sama sekali tidak homogen serta sadar dan aktif secara politik. Di
Mojokuto terjadi benturan budaya, dimana Islam, Hinduisme, dan tradisi
animisme berbaur dalam satu sistem sosial.
Kedua, buku Islam Pesisir karya Prof. Dr. Nur Syam terbitan LkiS tahun
2005. Prof. Dr. Nur Syam dalam bukunya ini mengupas tentang tradisi
masyarakat Islam pesisir, tepatnya di daerah Palang Tuban Jawa Timur. Suatu
temuan dari disertasi Prof. Dr. Nur Syam adalah tradisi masyarakat Islam pesisir
yang sangat unik, tidak bercorak Islam murni tetapi juga tidak kejawen, namun
lebih kepada bentuk tradisi Islam yang khas. Yakni tradisi Islam yang berpusat
pada masjid, sumur, makam yang dikenal dengan medan budaya.
Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Marzuqi tentang “akulturasi Islam dan
budaya Jawa (studi terhadap praktek “laku spiritual” kadang padepokan gunung
lanag di desa Sidutan kcamatan Temon kabupaten Kulonprogo). Skripsi ini
membahas tentang akulturasi Islam dan budaya Jawa dalam tradisi laku spiritual
yang dilakukan oleh masyarakat desa setempat.16
Skripsi ini lah yang akan
16
Marzuqi merupakan mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2016. Skripsi ini menjadi
perbandingan dari skripsi yang akan penulis tulis. Ia membahas tentang akulturasi dalam tradisi
laku spiritual dan unsur-unsur yang ada didalamnya.
9
menjadi perbandingan bagi penulis karena objek kajian kita tentang budaya dan
lebih dalam lagi membahas unsur-unsur yang menjadi kategorisasi dari akulturasi
Islam dan budaya Jawa, namun antara Marzuqi dan penulis terdapat perbedaan
dalam tradisi dan daerah yang menjadi objek kajian. Dikarenakan kebudayaan di
negara ini sangalah banyak, penulis berharap tulisan tentang budaya ini dapat
menambah wawasan kebudayaan kita semua.
Berbeda dari ketiga sumber pustaka diatas, tema yang penulis bahas
adalah Akulturasi Islam dan Budaya Jawa dalam Tradisi Munggah Muluh di desa
Sidomukti Pekalongan. Penulis mencoba mengungkap lebih jauh tentang tradisi
munggah muluh dengan memfokuskan pada sejarah asal-usul, prosesi tradisi
munggah muluk, wujud akulturasi islam dan budaya dalam setiap unsur pada
tradisi munggah muluk, dan persepsi atau pandangan masyarakat desa seputar
tradisi ini serta apa dampak signifikan dilaksanakannya tradisi ini bagi mereka.
E. METODOLOGI PENELITIAN
Agar data yang penulis paparkan dapat dipertanggungjawabkan secara
akademis, maka diperlukan metode tertentu dalam melakukan penelitian. Dengan
adanya metode, diharapkan suatu penelitian dapat lebih terarah dan masalah-
masalah dapat terjawab secara tepat dan dapat dibuktikan kesahihannya.17
Adapun
metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Jenis atau Model Penelitian
Jenis peelitian yang penulis gunakan sebagai acuan dalam
melakukan penelitian adalah penelitian kualitatif, yang bersifat studi
lapangan dan diharapkan dapat menghasilkan data deskriptif mengenai
kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari
orang-orang yang diteliti.18
b. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
dengan dua model pendekatan yakni pendekatan sosiologis yang
bermaksud mencari relevansi dan pengaruh agama terhadap fenomena
17
Syamsir Alam, Meodologi Penelitian Sosial (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006) h. 134. 18
Bagong Suyanto dkk., Metodologi Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif
Pendekatan(Jakarta: Kencana, 2007) h. 166.
10
sosial. Pendekatan ini berfokus kepada masyarakat yang memahami dan
mempraktikan agama; bagaimana pengaruh masyarakat terhadap agama
dan pengaruh agama terhadap masyarakat.19
Pendekatan yang kedua
adalah Antropologis yang berupaya memahami kebudayaan-kebudayaan
produk manusia yang berhubungan dengan agama. Sejauh mana agama
memberi pengaruh terhadap budaya dan sebaliknya; sejauh mana budaya
suatu kelompok masyarakat memberi pengaruh terhadap agama.20
c. Sumber Penelitian
sumber data penelitian yang akan penulis gunakan dalam penelitian
ini adalah sumber data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data
yang diperoleh langsung dari objek yang akan diteliti.21
Atau sumber
tulisan yang berkaitan langsung dengan objek yang akan diteliti baik
berupa buku, jurnal, majalah, surat kabar, thesis maupun dokumen arsip.
Sumber primer yang berkaitan dengan judul skripsi ini diantaranya sebagai
berikut:
a. Niels Mulder, Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia
(Yogyakarta: LKiS, 2001).
b. Mark R Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif verus
Kebatinan (Yogyakarta: LKiS, 1999).
c. Andrew Beatty, Variasi Agama di Jawa (Bandung: Raja
Grafindo Perkasa, 2001).
d. Abdul Djamil, Islam dan Kebudayaan Jawa
(Yogyakarta:Gama Media, 2002).
e. Suwardi Endraswara, Etnologi Jawa: Penelitian,
Perbandingan, dan Pemaknaan Budaya (Yogyakarta: CAPS,
2015).
f. Aristo Farela, a short history of java (Surabaya: Ecosystem,
2017).
19
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015) h.
43 20
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, h. 47 21
Bagong Suyanto kk., Metodologi Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, h.
56.
11
g. Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Tangerang
Selatan: Alvabet, 2009).
h. Capt. R.P Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa, (Yogyakarta:
LKiS, 2007).
i. Darmanto Jatman, Psikologi Jawa, (Yogyakarta: Bentang
Budaya, 2000).
Selain sumber primer yang telah disebutkan, penulis juga berupaya
mendapatkan sumber primer lain melalui wawancara dengan bertatap
muka langsung dengan pelaku budaya di desa setempat. Sumber lainnya
juga penulis dapat dengan melakukan observasi tentang tradisi yang ingin
diteliti langsung di desa tersebut.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Demi mendapatkan gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai isi dan
pembahasan skripsi ini, maka penulis akan kemukakan sistematika penulisan yang
terdiri dari 5 (lima) bab beserta sub bab dari masing-masing bab dalam penulisan
skripsi ini.
BAB I : Bab yang pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka,
metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Bab yang kedua memaparkan tentang gambaran umum desa sidomukti
yang didalamnya juga dibahas tentang profil desa dan kondisi sosial budaya dan
keagamaan masyarakat di desa sidomukti
BAB III : Bab yang ketiga membahas tentang teori akulturasi mulai dari teori-
teorinya hingga pembahasan mengenai akulturasi Islam dan budaya Jawa itu
sendiri.
BAB IV : Bab yang keempat membahas tentang ritual dan wujud akulturasi islam
dan budaya jawa dalam tradisi munggah muluk yang didalamnya juga terdapat
sub bab yang membahas tentang prosesi ritual munggah muluk dan wujud
akuturasi islam dan budaya jawa dalam tradisi tersebut.
12
BAB II
GAMBARAN UMUM DESA SIDOMUKTI KECAMATAN
KARANGANYAR PEKALONGAN JAWA TENGAH
A. Sejarah Desa Sidomukti
Desa Sidomukti secara administrasi terletak di kecamatan Karanganyar
kabupaten Pekalongan Jawa Tengah. Desa Sidomukti terbentuk sekitar tahun
1928 yang memiliki dua dukuh yaitu dukuh Sentul dan dukuh Juragmangu. Nama
Sidomukti berarti “sido atau jadi, dan mukti atau makmur” yang dimaksudkan
kepada siapapun orangnya yang setia dan taat menjadi warga desa Sidomukti
diharapkan bisa berjaya hidupnya dan makmur secara ekonominya.22
Dukuh Jurangmangu merupakan sebuah dukuh yang letaknya berada di
paling belakang dan paling dalam jika dihitung dari jarak jalan utama provinsi
ataupun dari kantor kepala desa. Nama Jurangmangu diambil dari nama seorang
tokoh agama atau ulama yang diyakini masyarakat sebagai tokoh yang
membangun desa hingga maju dan berkembang secara kultur kebudayaan dan
agamanya sampai saat ini. Mbah Jurangmangu, begitu panggilan masarakat
terhadap tokoh yang diagungkan di dukuh tersebut hingga makamnya dibangun
tugu sebagai bentuk penghormatan terhadap beliau dan sebagai pengingat kepada
generasi selanjunya tentangnya.23
Sebagian pemuda desa meyakini bahwa makam mbah Jurangmangu
memiiki kekuatan magis hingga tidak sedikit dari mereka yang mencari ilmu di
sana. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu kejiawaan Jawa yang biasa kita sebut ilmu
tarekat Kejawen. Orang-orang yang ingin belajar demi bisa menguasai ilmu ini
memiliki beberapa syarat. Syarat-syarat itu harus terpenuhi demi terwujudnya
keinginan mereka yang ingin menguasai ilmu itu. Salah satu kegunaan dari ilmu
itu adalah diantaranya kebal dari serangan-serangan gaib, sebagai penenang jiwa
dan masih banyak lagi. Para penganut ilmu ini meyakini bahwa dengan memiliki
ilmu Kejawen dapat membut fikiran dan pola hidup menjadi tenang. Tenang
22
Wawancara pribadi dengan bapak hasrito aji selaku kepala desa sidomukti kecamatan
karanganyar kabupaten pekalongan, 2 Februari 2019. 23
Wawancara pribadi dengan bapak hasrito aji selaku kepala desa sidomukti kecamatan
karanganyar kabupaten pekalongan, 2 Februari 2019.
13
dalam menjalani hidup karena para penganut ilmu ini cenderung paham hakikat
dari kehidupan yang sebenarnya. Banyak diantara mereka yag memiliki ilmu ini
justru hidup sederhana. aneh rasanya, bisa saja mereka mengguunakan ilmu itu
untuk mencari uang baik secara gaib maupun secara nyata, namun ternyata tidak
dengan mereka. Mereka paham bahwasanya hakikat kehidupan bukanlah mencari
uang sebanyak-banyaknya, namun bagaimana mereka bisa berguna bagi sesama
serta ibadah kepada Tuhan demi kebaikan di kehidupan nanti.24
Kebudayaan Jawa di desa Sidomukti sangatlah kental. Kita biasa
menyebutnya sebagai Kejawen. Sebenarnya, Kejawen tidak serta merta dimaknai
sebagai agama orang Jawa. Lebih luas dari itu Kejawen adalah keseluruhan tata
hidup orang Jawa yang diyakini, dijalani, dan dikembangkan sebagai sikap dan
pandangan hidup orang Jawa. Mereka umumnya luruh dan total menghayati
perjalanan hidup Kejawen.25
Budaya-budaya Jawa yang masih tetap terjaga dan
masih dilaksanakan di desa Sidomukti seperti prosesi sunatan atau khitan,
pernikahan, sedekah bumi, wayang, Munggah Muluh, dan masih banyak lagi yang
lainnya. Ini mengindikasikan bahwa sebenarnya perilaku budaya Jawa masih
teramat kental dilaksanakan.
Salah satu tempat yang di keramatkan oleh masyarakat disana adalah
makam Mbah Jurangmangu yang diyakini memiliki kekuatan magis dan tidak
semua orang bisa merasakannya melainkan hanya orang-orang tertentu saja yang
memiliki kemampuan khusus yang dapat merasakannya. Selain namanya
dijadikan nama dukuh, nama Jurangmangu juga dijadikan nama tempat kolam air
mengalir di dukuh tersebut yang sehari-hari digunakan sebagai tempat mencuci
bagi ibu-ibu maupun sebagai tempat mandi bagi warga yang lain. Kolam mengalir
itu bernama kali Jurang, sebuah tempat yang pada hari-hari tertentu atau pada
waktu tertentu sesuai penanggalan jawa diberi sesajen oleh warga seperti malam
jumat kliwon ataupun malam satu suro26
. Menurut keyakinan warga desa, kali
Jurang tidak akan pernah surut sekalipun sedang musim kemarau. Ini karena
mereka yakin bahwa kali Jurang adalah tempat yang di berikan Mbah
24
Wawancara dengan suroso selaku pemuda dukuh Jurangmangu desa Sidomukti
Kecamatan Karanganyar Kabupaten Pekalongan, 2 Februari 2019. 25
Aristo Farela, A Short History Of Java, (Surabaya: Ecosystem. 2017) h. 74. 26
Dalam penanggalan Islam, satu suro berarti satu Muharam
14
Jurangmangu kepada warga desa untuk memenuhi kebutuhan airnya sehingga
masyarakat desa menganggap keramat tempat tersebut.27
Desa Sidomukti merupakan salah satu dari 15 desa di Kecamatan
Karanganyar dan salah satu dari 284 desa atau kelurahan di Kabupaten
Pekalongan yang terletak paling barat di wilayah Kecamatan Karanganyar yang
berbatasan dengan wilayah Kecamatan Kajen Ibukota Kabupaten Pekalongan.
Luas wilayah desa Sidomukti adalah 253.155 ha yang merupakan daerah dataran
rendah dngan ketinggian 25 meter diatas permukaan laut dengan batas wilayahnya
masing-masing adalah sebelah utara berbatasan dengan desa Jetak Kidul
Wonopringgo, sebelah timur berbatasan dengan desa Kayugeritan Karanganyar,
sebelah selatan berbatasan dengan desa Karangsari Karanganyar dan sebelah barat
berbatasan dengan desa Banjarejo Karanganyar.28
Desa sidomukti tergolong dalam tipe desa pesawahan karena sebagian
besar luas daerahnya merupakan lahan pesawahan. Terdapat 74% dari total 243,51
ha/m2 luas desa merupakan lahan pesawahan. Ini yang menjadikan sektor
pertanian menjadi potensi sumber daya alam di desa tersebut.29
Desa sidomuki ini tidak secara langsung dilewati oleh angkutan umum
ataupun bus kota karena letaknya yang berada lebih kedalam dari akses jalan
utama atau jalan provinsi. Sebagian warga yang memiliki kendaraan pribadi lebih
suka menggunakan kendarannya untuk mengakses tempat-tempat seperti pusat
ekonomi baik pasar, swalayan maupun pusat perbankan seperti bank. Bagi
sebagian yang lain memilih menggunakan angkutan umum atau bus kota untuk
menuju tempat-tempat perniagaan, namun mereka harus menggunakan
transportasi lain seperti ojek motor demi sampai ke tempat angkutan umum dan
bus kota mengambil penumpang.
27
Wawancara dengan Mbah Sejo selaku tetua desa sidomukti kecamatan Karanganyar
kabupaten Pekalongan, 2 Februari 2019. 28
Observasi, lihat dari Arsip desa Sidomukti Kecamatan Karanganyar Kabupaten
Pekalongan, 2 Februari 2019. 29
Observasi, lihat dari Arsip desa Sidomukti Kecamatan Karanganyar Kabupaten
Pekalongan, 2 Februari 2019.
15
B. Kondisi Ekonomi Desa Sidomukti
Sebagian besar masyarakat Desa Sidomukti memiliki mata pencaharian
sebagai petani dan buruh tani. Ada sekitar 683 orang yang terdiri dari laki-laki dan
perempuan bermata pencaharian sebagai petani dan sekitar 636 orang yg lain
bermata pencaharian sebagai buruh tani. Kondisi geografis desa Sidomukti yang
sebagian besar adalah pesawahan sangat memungkinkan masyarakatnya untuk
bekerja di bidang pertanian. Selain pertanian, banyak bidang lain yang juga
menjadi mata pencaharian warga desa Sidomukti, seperti peternakan, industri
rumah tangga, pedagang, nelayan, pengusaha maupun karyawan swasta. Di
bidang peternakan, warga desa memanfaatkan lahan kosong milik pribadi untuk
dijadikan sebagai tempat ternak hewan seperti ayam, bebek, sapi, kambing
maupun kerbau. Warga memanfaatkan hari-hari besar keagamaan maupun
perayaan adat di kabupaten Pekalongan untuk menjajahkan hewan ternaknya. Hari
raya Idul Adha dan Idul Fitri misalnya, saat-saat hewan ternak warga laku keras
dijajakan di pasar maupun rumahan. Di perayaan lain, nikahan dan munggah
muluh misalnya, para peternak ayam kampung diuntungkan karena dalam prosesi
adatnya menggunakan ayam kampung.30
Kondisi ekomoni secara garis besar belum bisa dikatakan baik, ini
dikarenakan rata-rata pendapatan masyarakat yang masih kecil. Ada sedikit
ketimpangan ekonomi di lingkugan masyarakat, dengan adanya beberapa keluarga
yang secara ekonomi dianggap mapan seperti pengusaha Vermak, pengusaha
kelontong di kota dan masyarakat yang bekerja di kota besar seperti Jakarta,
Bandung dan Surabaya dianggap sebagai keluarga yang mapan. Sementara
masyarakat di desa mayorits sebagai petani dan pekerja harian lepas, sehingga
dapat dikatakan bahwa kondisi ekonomi masyarakat desa belum merata.
Tingkat ekonomi yang cenderung rendah juga disebabkan oleh daya beli
masyarakat yang kurang. Mayoritas penduduk di desa itu ialah para orang tua dan
anak-anak usia sekolah, sementara usia muda produktif lebih banyak merantau ke
kota besar seperti jakarta. Banyak diantara mereka yang muda merantau ke kota-
kota besar untuk bekerja dan memulai usaha baru. Mereka yang sukses merantau
30
Observasi, lihat dari Arsip desa Sidomukti Kecamatan Karanganyar Kabupaten
Pekalongan, 2 Februari 2019.
16
di kota biasanya memiliki rumah yang bagus dengan bangunan yang apik dan
luas, sedangkan yang kurang beruntung merantau ke kota biasanya kehidupan di
kampung pun biasa-biasa saja. Indikasi masyarakat desa termasuk kelompok
ekonomi rendah atau tinggi biasanya dari rumah dan gaya hidupnya. Masyarakat
dengan ekonomi yang mapan biasanya lebih suka menggunakan perhiasan di
tangan, telinga dan leher yang lebih mencolok dari biasanya sedangkan yang
ekonominya biasa-biasa saja pun menggunakan perhiasannya biasa saja atau
sekedarnya. Namun ada hal yang menarik bahwa di desa ini ada segelintir orang
yang secra ekonomi biasa-biasa saja namun berpenampilan layaknya orang yang
memiliki tingkat ekomoni yang bagus, dengan mengenakan perhiasan yang sangat
mencolok meski haya dengan berpakaian layaknya ibu rumah tangga pada
umumnya. Ini menjadi fenomena ekonomi yang menarik yang ada di desa ini.
C. Kondisi Pendidikan desa Sidomukti
Desa Sidomukti jika ditinjau dari segi pendidikannya maka dapat
dikatakan sebagai desa yang sedang berkembang dalam hal dunia pendidikan. Hal
ini dapat kita lihat dengan masih banyaknya penduduk yang buta aksara dan huruf
latin yaitu sebanyak 204 orang yang masih terus diupayakan oleh pemerintah desa
agar sebisa mungkin masyarakat yang buta aksara dan huruf latin terus berkurang
bahkan hilang. Sebagian besar masyarakat desa Sidomukti adalah lulusan tingkat
sekolah dasar dengan jumlah 314 orang dan ada 305 orang lagi yang berstatus
sebagai pelajar sekolah dasar. Jumlah ini terbanyak jika dibandingkan dengan
masyarakat lulusan SMP, SMA atau bahkan lulusan S1. Jumlah penduduk yang
sedang mengikuti jenjang pendidikan tingkat SMP dan yang sudah lulus SMP
total sebanyak 316 orang dengan jumlah masing-masing ialah 160 dan 156,
sedangkan yang tidak tamat SMP sebanyak 168 orang. Untuk jenjang
SLTA/sederajat adalah sebanyak 321 orang dengan jumlah yang sedang
mengikuti jenjang pendidikan SLTA sebanyak 64 orang dan yang tamat SLTA
sebanyak 257 orang.31
31
Observasi, lihat dari Arsip desa Sidomukti Kecamatan Karanganyar Kabupaten
Pekalongan, 2 Februari 2019.
17
Meski begitu, tingkat kesadaran akan pendidikan bagi masyarakat desa
sangatlah tinggi, ini ditandai dengan begitu antusiasnya anak-anak usia sekolah
yang setiap pagi bergerombol dengan riang gembira menuju ke sekolah tempat
mereka belajar. Seperti tak ada beban rasanya jika dibandingkan dengan anak-
anak di kota besar yang hampir keseluruhan secara hidup lebih modern namun
kurang pasrisipatif dengan pendidikan. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi
anak-anak giat ke sekolah diantaranya adalah kebutuhan mereka akan kegiatan
sosial bersama teman-teman sebaya yang dilakukan di sekolah, atau bahkan
mungkin karena mereka dan tentunya para orang tua sadar bahwa pendidikan
adalah hal yang sangat penting bagi anak-anak mereka demi terbinanya moral dan
akhlak yang baik bagi kehidupan kelak.
Terdapat setidaknya 3 sekolah dasar di desa sidomukti dengan 2
diantaranya terletak di dusun sentul dan yang lainnya di dusun jurangmangu.
Meski bangunannya satu lantai dan tak bertingkat, namun fasilitas yang
disediakan di sekolah sudah jauh lebih baik dan lebih lengkap jika diandingkn
dengan 15 tahun silam. Kini bangunan sekolah dasar di dusun Jurangmangu sudah
memiliki toilet yang bersih dan layak untuk digunakan, sangat berbeda jauh
dengan kondisi gedung 15 tahun silam dimana siswa yang ingin buang air besar
harus jalan kaki sejauh kurang lebih 200 meter menuju sungai terdekat dan
melakukan aktivitas buang air besarnya disana. Ini merupakan bukti bahwa
pemerintah desa serius dalam meningkatkan kualitas pendidikan di desa
Sidomukti.32
Peningkatan kualitas pendidikan ditunjang oleh bangunan sekolah yang
semakin membaik tiap tahunnya. Selain itu faktor penunjang lain juga ada pada
guru-guru pengajar yang tercatat lumayan banyak, setidaknya dari data desa tahun
2017 ada 19 guru TK dan SD di desa Sidomukti dengan masing-masing adalah 6
orang guru TK dan 13 orang guru SD, yang tentunya akan terus ditingkatkan lagi
oleh pemerintah desa demi terciptanya pendidikan yang baik bagi seluruh warga
desa.
32
Observasi, pengamatan langsung di desa Sidomukti Kecamatan Karanganyar Kabupaten
Pkalongan, 2 Februari 2019.
18
Selain pendidikan formal, di desa sidomukti juga aktif kegiatan pengajian
rutin harian bagi anak-anak dan remaja yang biasa dilakukan pada sore hari dan
untuk yang remaja di malam hari. Terdapat dua musholla di dusun Jurangmangu
yang masing-masing memiliki Madrasah atau tempat ngaji anak-anak dan belajar
agama. Pendidikan agama bertujuan agar anak-anak dan kita pada umumnya dapat
memahami apa yang terkandung didalam Islam secara keseluruhan , menghayati
makna dan maksud serta tujuannya dan pada akhirnya dapat mengamalkan dan
menjadikan ajaran-ajaran agama Islam yang telah dianutnya itu sebagai
pandangan hidupnya sehingga dapat mendatangkan keselamatan dunia dan akhirat
kelak.33
Kesadaran masyarakat akan ilmu agama pada dasarnya tinggi, sebagian
besar masyarakat desa menyekolahkan anaknya di madrasah-madrasah yang ada
di desa guna mengikuti kegiatan belajar keagamaan setelah anak-anak belajar
formal di sekolah.
Meski kesadaran masyarakat akan pendidikan sudah tinggi, namun
fasilitas penunjang yang diberikan oleh pemerintah desa diluar fasilitas sekolah
dasar dirasa masih kurang. Ini ditandai degan kurangnya lembaga-lembaga
masyarakat yang bergerak dibidang pendidikan diluar sekolah sepeti halnya
rumah belajar, taman bacaan, perpustakaan desa, sanggar belajar, lembaga kursus
keterampilan dan lain-lain. Lembaga pendidikan masyarakat diluar sekolah dasar
dirasa perlu demi memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak usia sekolah di
desa. Sanggar belajar, keompok belajar maupun lembaga kursus keterampilan
dapat menunjang kegiatan anak-anak usia sekolah diluar jam sekolah formalnya.
Ini baik karena dapat membentuk karakter dan mendidik kebiasaan baik bagi
mereka dalam bermasyarakat nantinya.
D. Kondisi Kebudayaan dan Agama Desa Sidomukti
Agama merupakan bagian dari sistem kebudayaan. Agama merupakan
pedoman yang dijadikan sebagai kerangka interpretasi tindakan manusia. Selain
itu, agama juga merupakan pola dari tindakan, yaitu sesuatu yang hidup dalam diri
manusia yang tampak dalam kehidupan kesehariannya.34
33
Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 88. 34
Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKiS. 2011) h. 2.
19
Di desa Sidomukti kecamatan Karanganyar kabupaten Pekalongan
berdasarkan agama yang dianut mayoritasnya adalah Islam. Hampir 98 persen dari
total jumlah penduduknya adalah seorang Muslim, sedangkan sisanya adalah non
muslim. Terdapat satu masjid di desa Sidomukti dan tiga langgar atau mushola
masing-masing satu di dukuh Sentul dan dua lainnya di dukuh Jurangmangu. Di
dukuh Jurangmangu sendiri hanya ada dua bangunan langgar yang masing-masing
bangunannya sudah tua karena langgar-langgar tersebut sudah sejak lama di
bangun. Sedangkan untuk masjidnya berada di dukuh Sentul.35
Fasilitas penunjang kegiatan keagamaan di desa Sidomukti sudah cukup
memadahi dengan hadirnya satu masjid dan tiga mushola yang selain untuk
beibadah juga digunakan sebagai pusat pendidikan keagamaan maupun kegiatan
lain yang memiliki unsur keagamaan seperti pengajian ibu-ibu, kegiatan latihan
marawis dan gambus, dan perkumpulan remaja masjid. Kegiatan-kegiatan ini
rutin dilaksanakan oleh warga selain untuk menumbuhkan jiwa keislaman pada
diri mereka juga sebagai ajang silaturahmi antar warga bahkan antar dukuh dalam
satu komunitas keagamaan yang sama.36
Nilai-nilai keislaman sejatinya sudah tertanam dalam diri warga desa
Sidomukti. Kesadaran akan bergama ditunjukan dengan banyaknya masyarakat
yang tidak hanya menyekolahkan anaknya pada lembaga pendidikan formal
melainkan juga lembaga pendidikan keagamaan seperti madrasah yang ada di
masjid dan langgar maupun pada kegiatan pendidikan oleh komunitas pendidikan
tertentu seperti rumah tahsin yang diadakan oleh kelompok pemuda desa. Pada
dasarnya masyarakat desa menjalankan ritual keagamaan dalam Islam semenjak
dini sepeti sholat, mengaji, puasa dan lain sebagainya dan ritual kebudayaan
secara berdampingan.
Ritual keislaman biasanya dilakukan oleh semua masyarat terutama anak-
anak dan kalangan muda sedangkan ritual kebudayaan Jawa biasa dilakukan oleh
para orang tua meski tidak menutup kemunginan kalangan muda bahkan anak-
anak juga sudah mulai melakuan ritual kebudayaan Jawa tersebut. Inilah yang
35
Observasi, lihat dari Arsip desa Sidomukti Kecamatan Karanganyar Kabupaten
Pekalongan, 2 Februari 2019. 36
Observasi, pengamatan langsung di desa Sidomukti Kecamatan Karanganyar Kabupaten
Pkalongan, 2 Februari 2019.
20
membedakan sebetulnya bagaimana Islam dan budaya Jawa berlaku di masyarakat
jika ditinjau dari rentang usia para pelakunya. Para orang tua cenderung lebih
meyakini dan lebih paham mengapa mereka harus melakukan ritual ini. Alasan
utamanya ialah ritual kebudayaan yang sudah mereka anut ini diperoleh atau
diajarkan secara turun temurun dari generasi sebelumnya kepada mereka dan tidak
menuutp kemungkinan anak-anak mereka sekarang akan mewarisi kebudayaan
Jawa tersebut.
Terlepas dari berapa banyaknya para penganut kepercayaan Jawa atau
kebudayaan Jawa di desa Sidomukti, pada dasarnya mereka adalah seorang
muslim yang taat menjalankan ibadah dan kegiatan keagamaan tanpa ragu.
Mereka menghormati ustadz yang memiiki ilmu agama lebih tinggi untuk
menuntun mereka dengan mengajarkan ilmu agama pada masyarakat desa tanpa
ada rasa ragu sedikitpun. Jika dikategorikan kedalam masyarakat yang islami,
maka desa sidomukti bukanlah desa atau kampung yang islami namun
masyarakatnya menjalankan kegiatan keagamaannya dengan baik. Kategori desa
islami yang tidak bisa diandang oleh desa sidomukti ini juga didukung dengan
tidak adanya pesantren disana dan banyaknya masyarakat yang masih
melaksanakan ritual kebudayaan jawa peninggalan leluhur mereka.37
37
Observasi, pengamatan langsung di desa Sidomukti Kecamatan Karanganyar Kabupaten
Pkalongan, 2 Februari 2019.
21
BAB III
AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA JAWA
A. Pengertian dan Teori Akulturasi
Akulturasi merupakan perubahan kultural yang terjadi melalui pertemuan
yang terus menerus dan intensif atau saling mempengaruhi antara dua kelompok
kebudayaan yang berbeda. Dalam pertemuan ini, dapat terjadi tukar-menukar ciri
kebudayaan, yang merupakan pembaruan dari kedua kebudayaan tersebut atau
dapat juga ciri kebudayaan dari kelompok yang satu demikian dominannya,
sehingga menghapus ciri kebudayaan dari kelompok yang lain. Meskipun deikian
dalam penggunaannya akhir-akhir ini cenderung diartikan terbatas hanya pada
pengaruh satu kebudayaan atas kebudayaan yang lain (unilateral).38
Akulturasi atau acculturation atau culture contact diartikan oleh para
sarjana antropologi mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok
manusia dengan suau kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari
suatu kebudayaan asing dengan demikian, unsur-unsur kebudayaan asing itu
lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa hilangnya
kepribadian kebudayaan itu sendiri.39
Akulturasi digunakan untuk menggambarkan proses kontak antara budaya
yang berbeda dan juga hasil dari kontak tersebut. Sebagai proses kontak antar
budaya, akulturasi dapat melibatkan baik interaksi sosial langsung atau paparan
budaya lain melalui media komunikasi massa. Sebagai hasil dari kontak itu,
akulturasi mengacu pada asimilasi oleh satu kelompok budaya yang lain yang
memodifikasi yang telah ada sehingga terjadi perubahan identitas kelompok.
Mungkin ada ketegangan antara budaya lama dan baru yang mengarah kepada
adaptasi bagi kedua budaya tersebut.40
Akulturasi apabila kita lihat di kamus antropologi adalah pengembalian
atau penerimaan satu atau beberapa unsur kebudayaan yang saling berhubungan
38
Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 2000) h. 37 39
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru, 1980) h. 247 40
Nicholas Ambercrombie, dkk, “Acculturation” dalam The Penguin Dictionary of
Sociology (England:1994), h. 9
22
atau saling bertemu. Hal ini terjadi sebagai akibat dari muncunya kebudayaan
asing yang dihadapkan pada satu kelompok mausia dengan kebudayaan tertentu
sehingga secara perlahan kebudayaan asing tersebut diterima oleh suatu
kebudayaan satu kelompok tersebut.41
Berdasarkan apa yang disampaikan di atas, maka Islam diletakkan sebagai
kebudayaan asing dan masyarakat lokal sebagai penerima kebudayaan asing
tersebut. Misalnya dalam hal ini masyarakat Jawa yang memiliki tradisi munggah
muluh yang cukup kuat, ketika Islam datang maka tradisi tersebut tetap berjalan
dengan mengambil unsur-unsur Islam khususnya dalam doa-doa yang dibaca
ketika selametan. Wadah tradisi munggah muluh tetap ada namun isinya
mengambil ajaran Islam.
Kata akulturasi pertama kali muncul pada abad ke 19 oleh antropolog
Amerika Serikat yang tertarik pada budaya yang berubah dari Indian Amerika
Utara, kemudian antropolog Jerman juga menggunakan istilah itu. Seorang
antropolog mengatakan, seluruh cara kehidupan orang-orang, kebiasaan dan
transmisi ide telah dilakukan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi
selanjutnya yang kemudian menjadi sebuah budaya42
. Akulturasi dibedakan
menjadi dua tipe utama yaitu incorporation (penggabungan) dan direct change
(perubahan terarah).
Incorporation (penggabungan), tipe akulturasi ini terjadi akibat seseorang
yang berasal dari budaya yang berbeda berusaha mempertahankan dan kemudian
terjadi pertukaran budaya tanpa melibatkan militer atau dominasi politik oleh satu
kelompok. Contoh yang telah terjadi pada abad ke-18 antara kolonial Spanyol
dengan orang-orang Navaho yang sekarang disebut dengan New Mexico. Akan
tetapi Navaho tidak dapat di taklukkan oleh orang-orang Spanyol. Navaho tetap
menjadi suku yang bebas di perbatasan kolonial Spanyol. Kontak antara Navaho
dan orang-orang Spanyol sering terjadi mulai dari perdagangan di pasar yang
didirikan secara musiman sampai pertukaran di mana domba dan kuda yang di
ambil Navaho berasal dari pemukiman Spanyol dan orang-orang Spanyol
41
Nuryah, Jurnal Fikri, Vol. 1, No. 2, Desember 2016. Tedhak Siten: Akulturasi Budaya
Islam-Jawa (Studi Kasus desa Kedawung, Kecamatan Pejagoan, Kabupaten Kebumen) h. 321 42
Edward Holland Spicer, “Acculturation” dalam Encyclopaedia Britannica (Chicago:
2002), volume 1, h.83
23
membawa pergi Navaho sebagai budak. Akibat dari kondisi ini Navaho
mengintegrasikan pakaian, ternak dan teknik pengerjaan logam ke dalam budaya
mereka dengan cara mereka sendiri, sehingga menghasilkan budaya baru. 43
Directed change (perubahan terarah), sama seperti incorporation
(penggabungan), tipe ini melibatkan seleksi dan modifikasi, akan tetapi prosesnya
lebih bervariasi dan hasilnya lebih kompleks karena akulturasi budaya terjadi
akibat dari hasil campur tangan dari satu sistem budaya dengan budaya lainnya44
.
Menurut Koentjaraningrat, terdapat beberapa hal dalam proses akulturasi:
(1) Keadaan masyarakat penerima, sebelum proses akulturas mulai berjalan; (2)
Individu-individu yang membawa unsur kebudayaan asing itu; (3) Saluran-saluran
yang dipakai oleh unsur kebudayaan asing untuk masuk ke kebudayaan asing tadi;
dan (4) reaksi dari individu yng terkena kebudayaan asing.45
Dalam proses akulturasi budaya kita temukan dua pendekatan mengenai
bagaimana cara yang ditempuh supaya nilai-nilai Islam dapat diserap menjadi
bagian dari kebudayaan jawa yaitu: pertama, Islamisasi Kultur. Melalui
pendekatan ini budaya Jawa diarahkan supaya tampak bercorak Islam baik secara
formal maupun secara substansial yang ditandai dengan penggunaan istilah-istilah
Islam, nama-nama Islam, pengambilan peran tokoh Islam pada berbagai cerita
lama, sampai kepada penerapan hukum-hukum, norma-norma Islam dalam
berbagai aspek kehidupan. Kedua, Jawanisasi Islam. Sebagai upaya
penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan terhadap budaya-
budaya Jawa. Maksudnya disini ialah meskipun istilah dan nama Jawa tetap
dipakai, tetapi nilai yang dikandungnya ialah nilai Islam sehingga Islam menjadi
Njawani.46
43
spicer, “Acculturation” dalam Encyclopaedia Britannica ,h.83 44
Jacob E. Safra, dkk, “Acculturation” dalam Encyclopaedia Britannica Micropaedia
Ready Reference, h.57 45
Mundzirin Yusuf, dkk, Islam dan Budaya Lokal, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN
Suka, 2005) h. 16 46
Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000) h. 119
24
B. Akulturasi Islam dan Budaya Jawa
Jauh sebelum Islam datang ke Indonesia, di Indonesia telah berkembang
agama Hindu, Budha dan agama-agama primitif animistis lainnya, serta tradisi
sosial kemasyarakatan. Manusia yang hidup dalam masyarakat tersebut sudah
jelas dipengaruhi oeh berbagai paham dan tradisi yang ada di masyarakatnya.47
Masuknya Islam ke pulau Nusantara, tidak serta merta merubah tradisi dan
budaya yang sudah ada. Dakwah Islam hingga sampai sekarang ini membutuhkan
waktu yang panjang dan berliku. Hal ini disebabkan sudah adanya budaya yang
mengakar kuat didalam masyarakat. Budaya itu adalah budaya Hindu yang
dikembangkan menjadi sendi-sendi kehidupan politik kebudayaan, kerajaan-
kerajaan Kejawen sejak sebelum Islam hingga Kerajaan Mataram. Selain
mengakar kuat dilingkungan istana, budaya Hindu juga telah terserap kedalam
budaya pedesaan yang masih dalam bayang-bayang animisme dan dinamisme.48
Dalam proses Islamisasi Jawa, sebagian orang meyakini adanya pengaruh
sinkertik dengan agama lain, diantaranya agama Hindu, Buddha dan Islam.
Sebagian ada yang meyakini secara puritan bahwa mistik Kejawen adalah milik
masyarakat Jawa yang ada jauh sebelum budaya keagamaan muncul. Masing-
masing asumsi memiliki alasan yang amsuk akal. Esensi agama Jawa adalah
pemujaan pada nenek moyang dan leluhur. Pemujaan tersebut diwujudkan melalui
sikap mistik yang diantaranya adalah selametan. Meskipun secara lahiriyah
mereka memuja para roh, namun esensinya tetap terpusat pada Tuhan. Jadi,
agama Jawa yang dilandasi sikap dan perilaku mistik tetap tersentral kepada
Tuhan.49
Ajaran Islam, di negara-negara yang beragama Syiwa telah menyesuaikan
diri dengan kebiasaan penduduknya. Di negara-negara beragama Syiwa, seperti
India, kebiasaan dan cara orang Arab yang lebih menekankan pada mengambil
suatu tindakan, diubah secara adaptif menjadi lebih menekankan pada tindakan
47
Limyah al-Amri, Jurnal Kuriositas, vol. 11, no. 2, Desember 2017. Akulturasi Islam dan
Budaya Lokal, hal. 192 48
Agus Sriyanto, Jurnal Komunika, vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2007. Akulturasi Islam
dengan Budaya Lokal, hal. 157 49
Nuryah, Jurnal Fikri, Vol. 1, No. 2, Desember 2016. Tedhak Siten: Akulturasi Budaya
Islam-Jawa (Studi Kasus desa Kedawung, Kecamatan Pejagoan, Kabupaten Kebumen) h. 324
25
berfikir. Hal ini sesuai cara berfikir dan falsafah umum penduduk pulau Jawa.
Hubungan antara manusia dengan Tuhannya lebih dipentingkan dibandingkan
menjalankan seremoni keagamaan yang rumit.
Ajaran falsafahnya hampir mirip dengan ajaran Budha dan Syiwa di pulau
Jawa ini tidak dipandang sebagai sesuatu yang sama sekali asing. Mereka merasa
ajaran Islam sepertinya telah dikenal. Para ahli dengan mudah dapat menunjukkan
kesesuaian antara ajaran yang baru dan lama. Mistik dalam ajaran Islam,
menyerupai ajaran Tantri, ajaran rahasia dan mistik agama Syiwa. Aspek mistik
dalam Islam menjadi daya Tarik tersendiri bagi orang Jawa hingga sekarang.
Ada cerita mengenai kuatnya persamaan antara agama yang lama dengan
yang baru. Hal ini terjadi pada Kertawijaya, Raja Majapahit. Sewaktu Raden
Rahmat, keponakan permaisurinya tiba di Majapahit dengan seorang saudaranya
dari Campa, dua pemuda ini diterima dengan ramah tamah oleh raja. Raja
menanyakan kepada mereka mengenai peraturan-peraturan dalam agama Islam.
Ketika semuanya sudah menceritakan kepada raja, raja meyatakan sangat setuju
dengan isi ajaran yang baru ini. Akan tetapi, sang raja mengaku takut untuk
meinggalkan agama yang lama. Kemudian sang raja menyatakan dengan ramah
kepada para pemuda ini bahwa sebetulnya agama Islam dan Budha adalah sama,
hanya aturan seremoninya yang beda. Akan tetapi, hal ini tidaklah penting.
Sebagai hasil dari diskusi tersebut selanjutnya raja bertitah, “bagi penduduk
Majapahit yang ingin memeluk agama Islam akan saya beri kebebasan, asal
dilakukan tanpa paksaan. Mengenai saya sendiri, mungkin pada suatu saat saya
akan beralih agama, karena ternyata tujuan dari kedua agama ini adalah sama.50
Agama Islam di Jawa juga mengenal ajaran kekuatan magis. Inilah kisah
betapa kuatnya ajaran magis pada Islam di pulau Jawa. Pengikut Sunan Ampel
berusaha memayungi makam Sunan Ampel dengan kain teda. Aka tetapi, upaya
pertamaya gagal karena tenda penutupnya terbakar. Upaya tersebut terus
dilakukan hingga tiga kali, tetapi selalu berakhir dengan terbakarnya tenda
penutup. Pernah terjadi, salah satu kain penutup tertiup angin kencang
diseberangkan hingga ke pulau Madura. Oleh karena itu, sampai saat ini makam
50
Capt. R.P. Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa, (Yogyakarta: LKiS, 2007) h. 69
26
Sunan Ampel masih tetap terbuka, dipayungi oleh langit yang bebas. Hal ini
berbeda dengan makam wali-wali lainnya, yang atasnya selalu tetutup.51
Sunan Kalijaga memperkenalkan pertunjukan wayang kuno atau wayang
purwa sebagai upaya menarik penduduk Jawa yang berkumpul. Setelah
berkumpul, secara tidak langsung mereka diajak memeluk agama Islam.
Wayang berasal dari kata Jawa, dalam Bahasa Indonesia artinya bayang-
bayang. Mengapa demikian, karena dalam pertunjukan wayang yang dilihat hanya
bayang-bayangnya. Pertunjukan wayang sebagai simbol atau lambang kehidupan
manusia di dunia karena dalam pertunjukan wayang yang penting adalah yang
tersirat bukan tersurat. Simbolisme wayang tidak hanya terdapat didalam lakon
wayang tetapi terdapat juga dalam sarana atau piranti pertunjukan wayang.
Kelir52
, Blencong53
, Dalang54
, dan Cerita atau Lakon55
. Dalam sejarah
Sastrajenda Hayuningrat Dasamuka, Kumbakarna, Sarpakenaka dan Gunawan
Wibisono, bahwa lakon tersebut digambarkan sebagai ajaran untuk bersatu
dengan Tuhan harus melalui tingkat-tingkat.56
a. Syariat
b. Tarekat
c. Hakekat
d. Makrifat
Dalam penyebaran Islam di wilyah Jawa, walisongo menggunakan penekatan
tasawuf (mistik Islam).57
Dengan cara perlahan dan bertahap, dengan tanpa
menolak dengan keras terhadap budaya masyarakat Jawa, Islam memperkenalkan
51
Capt. R.P. Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa,h. 70 52
Adalah tabir sesuatu yang dibentangkan memanjang. Sebelum diisi wayang tabir itu
kosong, demikian pula dunia ini sebelum ada tumbuhan , hewan, dan manusia jagad ini kosong,
yang ada hanya awing-awang yang suwung. 53
Blencong atau petromak/senter yaitu lampu yang dipasangditengah kelir guna
menerangi pertunjukan wayang. Demikian juga jagad raya ini, tanpa matahari dunia gelap gulita. 54
Yaitu yang menjalankan lakon wayang. Hidup dan mati, kalah dan menang dalam cerita
wayang ditentukan ki Dalang, demikian juga hidup manusia ada yang menjalankan. Mengatur.
Mengatur menentukan yaitu Tuhan. 55
Adalah lambing kehidupan manusia. Misalnya lakon Dewa Ruci melambangkan
manusia dengan Tuhan yaitu manunggaling Kawulo Gusti. Lakon Wahyu Makutoromo
melambangkan ajaran “Sangkan Paraning Dumadi” 56
Soesilo, Ajaran Kejawen Sebagai Pedoman Hidup, (Surabaya: Medayu Agung, 2000) h.
187-188 57
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Amzah, 2013), hal. 316
27
toleransi dan persamaan derajat. Dalam masyarakat Hidu-Jawa yang menekankan
perbedaan derajat, ajaran Islam tentang persamaan derajat menarik bagi
masyarakat Jawa. Ditambah lagi kalangan pedagang yang mempunyai orientasi
cosmopolitan, panggilan Islam kemudian menjadi dorongan untuk mengambil alih
kekuasaan politik dari tangan penguasa Hindu-Jawa (Majapahit).58
Perkawinan juga menjadi salah satu metode dakwah para Walisongo.
Misalnya perkawinan putri Campa yang beragama Islam dengan putra mahkota
Raja Majapahit melahirkan putra yang kemudian hari menjadi pendiri kerajaan
Islam Demak, yaitu raden Fatah (berkuasa 1478-1518 M). Maulana Ishak
mengawini putri Blambangan dan melahirkan Sunan Giri (Gresik).
Pembentukan budaya menjadi pola penguatan Islam agar mengakar di
kalangan penduduk lokal Nusantara, terasuk juga di Jawa. Islam yang telah
menampakkan diri di pusat kerajaan Majapahit di Jawa, para pedagang muslim
telah memapankan diri di pusat-pusat politik semenjak abad ke-11 M. Namun
komunitas muslim baru mulai membesar pada abad ke-14 M. ketika posisi raja
melemah, para saudagar kaya di wilayah pesisir Jawa mulai mendapatkan peluang
untuk menjauhkan diri dari kekuasaan Majapahit. Mereka tidak hanya masuk
Islam tetapi juga mulai membangun pusat-pusat politik yang independen (keraton-
keraton kecil). Setelah keraton pusat Majapahit goyah dan semakin melemah,
keraton-keraton kecil ini mulai bersaing untuk menggantikan kedudukan
Majapahit. Demak akhirnya berhasil meggantikan kedudukan Majapahit sebagai
penguasa politik di Jawa. Dengan posisi baru ini, Demak tidak hanya menjadi
pemegang hegemoni politik di Jawa, tetapi juga menjadi “jembatan
penyeberangan Islam” yang paling penting di Jawa.59
Walaupun mencapai keberhasilan politik dengan cepat, Demak tidak
hanya dihadapkan pada persoalan legitimasi politik, tetapi panggilan kultural
untuk kontinuitas. Di Jawa, Islam tampil sebagai penantang, untuk kemudian
mengambil alih kekuasaan yang ada. Sehingga, yang muncul adalah dilema
kultural dari orang baru didalam bangunan politik yang lama. Wajar saja jika Reid
58
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Depok: Raja Grafindo
Perkasa, 2005), hal. 22 59
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 227
28
berpendapat bahwa revolusi gama di Jawa belum selesai. Salah satu faktornya
adalah bahwa Jawa mempunyai kebudayaan istana Keindia-Indiaan (Hindu) yang
paling mapan di banding dengan negara-negara lain Nusantara yang menerima
Islam. Di sinilah para Walisongo memainkan peran penting dalam melakukan
dakwah dengan pedekatan budaya. Islam yang bercorak sufi yang dibawa oleh
para Walisongo, menjadi Islam yang mampu “tampil dengan wajah yang ramah”.
Islam sufi mampu mentoleransi dengan baik dan menjaga kontinuitas budaya
yang telah ada dan mengakar di masyarakat Jawa.60
Dakwah para wali dengan memasukkan unsur-unsur pendidikan dan
pengajaran Islam dalam segala cabang kebudayaan hasilnya sangat memuaskan,
sehingga agama Islam tersebar ke seluruh pelosok pulau Jawa. Pada era Mataram
Islam, Sultan Agung juga mengeluarkan kebijakan dakwah Islam dengan basis
kebudayaan, yaitu dengan mengakulturasikan berbagai kebudayan lama Jawa (era
Hindu-Budha) dengan ajaran-ajaran Islam. Bentuk dakwah yang dilakukan oleh
para wali (pada era Demak), dan era Mataram Islam dengan pendekatan budaya
pada akhirnya mampu menanamkan nilai-nilai Islam ke dalam masyarakat Jawa
tanpa mereka harus tercerabut dari basis kebudayaannnya.61
Sasaran dakwah Walisongo sendiri sangat luas, dari golongan tinggi
sampai golongan rendah. Siasat yang dipakai pun sangat rapih. Cara
pendekatannya bukan dengan memaksaan orang untuk masuk Islam, melainkan
mengisi segala cabang hidup dan kehidupan lahir batin orang dengan serba Islam.
Disinilah terjadi akulturasi dan sinkretisasi antara tradisi Jawa dan kepercayaan
lokal di satu pihak, dengan ajaran kebudayaan Islam dilain pihak. Oleh karena itu,
muncul ritual-ritual asli Jawa yang diIslamkan, seperti upacara surtanah, nelung
ndina, mitung ndina, matangpuluh ndina, mendak, nyewu dan lain sebagainya.
Bentuk-bentuk sinkretis juga terjadi dalam peringatan hari-hari besar Islam,
seperti grebeg mulud, grebeg pasa (hari raya fitrah), grebeg besar dan tanggap
warsa (menyambut tahun baru Jawa). Sinkretisme Islam di Jawa bisa dilihat
60
Donny Khoirul Aziz, Jurnal Fikrah Vol 1 No. 2, Juli-Desember 2013. Akulturasi Islam
dan budaya Jawa. Hal. 265 61
Donny Khoirul Aziz, Jurnal Fikrah Vol 1 No. 2, Juli-Desember 2013. Akulturasi Islam
dan budaya Jawa. Hal. 266
29
secara umum kemasan ritualnya tetap ritual budaya Jawa, tetapi isinya telah
diganti dengan ajaran Islam.62
62
Agus Sriyanto, Jurnal Komunika, vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2007. Akulturasi Islam
dengan Budaya Lokal, hal. 160
30
BAB IV
RITUAL TRADISI MUNGGAH MULUH DAN AKULTURASI ISLAM DI
DESA SIDOMUKTI PEKALONGAN
Bab ini akan membahas tentang ritual tradisi munggah muluh dan
akulturasi Islam di desa Sidomukti Pekalongan Jawa Tengah. Tradisi munggah
muluh merupakan suatu prosesi acara dalam pembangunan rumah. Muluh yang
dimaksud adalah sebatang kayu besar yang menjadi pusat pondasi atap di rumah
yang akan dibangun.
Tradisi merupakan adat kebiasaan turun-temurun yang masih dijalankan
dalam masyarakat, penilaian, atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada
merupakan yang paling baik dan benar.63
Masuknya berbagai agama sebelum kedatangan Islam di Pulau Jawa,
berpengaruh besar pada adat istiadat, tata cara hidup maupun praktik keagamaan
sehari-hari orang Jawa. Keyakinan adanya Tuhan, dewa-dewa, utusan, malaikat,
setan, demit, roh-roh alam, roh-roh manusia, berbagai jenis hantu, dan kepercyaan
atas kekuatan alam mempengaruhi kehidupan orang-orang di pulau Jawa.64
Islam adalah sebuah tradisi yng berhubungan dengan tradisi lain.
Kadangkala hubungan tersebut memunculkan tradisi baru. Sebuah tradisi hasil
hibridasi atau perkawinan antara Islam di satu sisi dan tradisi lokal pada sisi yang
lain. Pada masyarakat Jawa hasil hibridasi ini kemudian dikenal dengan Islam-
Jawa yang merupakan wujud dari akulturasi dengan budaya lokal. Kenyataan ini
semakin memperkuat pandangan bahwa Islam tidaklah hanya berupa sekumpulan
doktrin. Akan tetapi juga, Islam dihayati dan diamalkan oleh para pemeluknya
menjadi sebuah realitas kebudayaan. maka, akulturasi budaya antara Islam dengan
kebudayaan lokal adalah bagian dari sekian banyak ekspresi Islam sebagai
pandangan hidup dan sumber inspirasi bagi tindakan para pemeluknya.65
63
Heppy El Rais, Kamus Ilmiah Populer (Yogyakarta: Pusat Belajar, 2012) hal. 686 64
Capt. R. P. Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa, (Yogyakarta: LKiS, 2007) hal. 131 65
Nuryah, “Tedhak Siten: Akulturasi Budaya Islam-Jawa”, Jurnal Fikri Volume 1 Nomor
2 Desember 2016 hal. 316
31
A. Prosesi Ritual Munggah Muluh di Desa Sidomukti Kecamatan
Karanganyar Pekalongan Jawa Tengah
Sinkretisme dalam masyarakat Jawa cenderung tidak hanya percaya
terhadap hal-hal ghaib dengan serangkaian ritual-ritualnya, akan tetapi juga
pandangannya bahwa alam diatur sesuai dengan hukum –hukumnya dengan
manusia selalu terlibat di dalamnya. Hukum-hukum itu disebut sebagai
numerologi. Melalui numerologi inilah manusia melakukan serangkaian tindakan
yang tidak boleh bertentangan dengannya. Hampir seluruh kehidupan orang Jawa
diatur berdasarkan hitungan-hitungan yang sudah mereka yakini secara turun-
temurun. Bahagia atau tidaknya manusia hidup di dunia ditentukan oleh besar atau
tidaknya pedoman tersebut dijalankan dalam kehidupan.66
Berdasarkan kepercayaan numerologi itulah, masih banyak orang Jawa
yang sebelum melakukan berbagai aktivitas selalu mencari hari baik berdasarkan
perhitungan weton dan lain-lain yang seringkali tidak masuk di akal tapi sangat
dipercaya. Berbagai kegiatan yang di hitung oleh sebagian kalangan Jawa ini
meliputi tanggal akad nikah, mendirikan rumah, melakukan pindah rumah,
sunatan, berdagang, mencari pekerjaan, dan lain sebagainya. Banyak orang Jawa
yang merasa perlunya mencari hari baik, yang tentu saja tujuannya agar kelak
semua urusan bisa lancar tanpa gangguan dan kendala.67
Untuk melaksanakan suatu hajat besar seperti pembangunan rumah,
tanggal pembelian barang sangat berharga misal mobil, rumah, memulai usaha,
menempati rumah baru, mencari pekerjaan. banyak orang Jawa yang merasa perlu
mencari hari baik. Tentu saja tujuannya agar kelak semua urusan bisa lancar tanpa
gangguan.68
Begitupun halnya dengan tradisi membangun rumah atau yang oleh
masyarakat desa Sidomukti lebih di kenal dengan nama Munggah Muluh.
Sebelum mulai membangun rumah, prosesi pertama yang wajib masyarakat
lakukan menghitung hari baik dilaksanakannya prosesi bangun rumah tersebut.
Perhitungan ini meliputi tanggal hari, dan bulan yang baik yang dihitung
66
Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKiS. 2011) h. 15. 67
Aristo Farela, A Short History Of Java, (Surabaya: Ecosystem. 2017), h. 15. 68
Aristo Farela, A Short History Of Java, h. 16.
32
berdasarkan weton sang empunya hajat. Dalam perhitungannya, tidak hanya
tentang hari baik dimulainya pembangunan rumah, namun juga tentang
menghadap kemana posisi rumahnya, tanaman apa yang baik ditanam di
pekarangan rumah dan terletak dilokasi dekat dengan apa demi bisa meramal akan
seperti apa keluarga yang mendiami rumah itu kelak.
Perhitungan hari baik dilakukan berdasarkan nilai hari lahir dan weton.
Masing-masing punya nilainya sendiri, artinya baik hari maupun weton punya
nilai di tiap-tiap jenisnya. Hari ada 7 sama sepert perhitungan masehi, sedangkan
untuk weton ada lima yaitu Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Pahing. Berikut adalah
tabel nilai dari hari dan weton tersebut:
a. Hari dan Weton
Hari/Weton Pon (7) Wage (4) Kliwon (8) Legi (5) Pahing (9)
Senin (4) 11 8 12 9 13
Selasa (3) 10 7 11 8 12
Rabu (7) 14 11 15 12 16
Kamis (8) 15 12 16 13 17
Jumat (6) 13 10 14 11 15
Sabtu (9) 16 13 17 14 18
Minggu (5) 12 9 13 10 14
Tabel weton ini menjadi rujukan dalam memilih metode perhitungn yang
mana yang akan digunakan, artinya jumlah dari weton kita ini menjadi acuan
dalam perhitungannya. Banyak sekali model perhitungan dalam tradisi Jawa,
namun yang akan kita bahas lebih dalam adalah perhitungan tentang hari baik
membangun rumah.
b. Hitungan munggah muluh
Angka analogi Nama analogi Arti dari analogy
1 Kerto Keselamatan (positif)
2 Yoso Rejeki ada di pribadi sendiri
(positif)
3 Rogoh Bakal dicuri orang (negatif)
33
4 Sempoyong Teler, membuat pusing (negatif)
Contoh perhitungan dalam pencarian hari baik untk membangun rumah,
misal kita akan melakukan kegiatan membangun rumah pada tanggal 25 Juni
2019. Apakah tanggal ini baik atau buruk untuk dimulainya suatu kegiatan?
Tanggal tersebut jatuh pada hari Selasa Legi, maka perhitungannya seperti dalam
tabel dibawah ini:
a B a+b (a+b)-kelipatan 4 Hasil hitung akhir
selasa Legi Selasa+legi 8-4 = 4 4
3 5 3+5 = 8 8-4 = 4 4
Angka hasil akhir yakni 4 dicocokkan dengan tabel hitungan munggah
muluh yang berfungsi untuk memperkirakan baik buruknya suatu hari/tanggal
yang di maksud. Perhitungannya ialah jumlah weton yang sudah disesuaikan
dengan tabel weton dikurangi kelipatan 4 karena jumlah analogi baik-buruk dalam
perhitungan munggah muluh ada 4. Kemudian hasilnya harus jumlah palig kecil
setelah dikurangi kelipatan 4 yaitu kemungkinannya hanya 1 sampai 4 dan tidak
boleh nol, lalu dicocokkan dengan analogi baik-buruk pada tabel hitungan
munggah muluh untuk mengetahui kira-kira pada tanggal yang sudah
direncanakan baik atau tidak untuk melakukan kegiatan membangun rumah.
Perhitungan ini tidak selalu mutlak kebenaranya karena ini hanya keyakinan
masyarakat yang berdasar pada ajaran turun temurun dari nenek moyang. Varian
dan model perhitungannya pun banyak, masing-masing daerah punya model
perhitungan sendiri dan analoginya sendiri, namun untuk weton rata-rata setiap
daerah di Jawa sama perhitungannya baik Jawa tengah maupun Jawa Timur, yang
membedakannya adalah cara perhitungan dari setiap kegiatan atau prosesi
adatnya.
Dalam penjelasannya, menurut Mbah Sejo sebagai tetua desa atau orang
yang dituakan di desa, arti kerto atau karta dalam bahasa Jawa biasa dikaitkan
dengan karyo atau karya yang merupakan kerja/pekerjaan, dalam konteks
perhitungan ini menurut tetua desa artinya pekerjaan yang telah usai sehingga
34
makmur, maju, selamat, sejahtera, dan lain sebagainya. Yoso atau yasa dalam
Bahasa Jawa memilik makna bangun, membangun yang artinya dalam setiap
kehidupan orang yang berada pada perhitungan ini akan senantiasa membangun.
Membangun disini terkait dengan pertumbuhan secara ekonomi yang cenderung
bagus sehingga akan terus membangun, rezeki yang terus mengalir hingga
mencapai sejahtera secara finansial. Rogoh dalam perhitungan ini memiliki arti
yaitu siapapun yang termasuk dalam perhitungan ini ketika membangun rumah
niscaya kedepannya akan sering kehilangan baik harta benda bahkan nyawa. Dari
kata Rogoh yang bermakna mengutil, mencuri, memasukan tangan kedalam saku
sehingga diyakini dalam kehidupannya di rumah yang sedang dibangun ini
pemilik rumah akan lebih banyak kehilangannya dibanding pemasukannya. Yang
terakhir adalah sempoyong, jika diterjemahkan maka menjadi doyong, teler,
sempoyongan, tidak beraturan. Masyarakat meyakini jika pemilik rumah
mendapat perhitungan tepat pada perhitungan ini maka kehidupan kedepannya
akan penuh dengan kesialan, baik dari makna sempoyong itu sendiri kesialan akan
menimpa diri pribadi maupun menimpa seluruh penghuni rumah. Dalam
perhitungan ini disarankan bagi siapapun yang akan membangun rumah untuk
meninjau kembali waktu pembangunannya mengikuti perhitungan yang beraku di
masyarakat.
c. Persiapan dan Proses Ritual Munggah Muluh
Persiapan prosesi ritual munggah muluh dimulai dengan yang punya hajat
atau orang yang akan membngun rumah untuk mempersiapkan berbagai macam
sesajen dan juga peralatan ritual yang dibutuhkan. Aneka sesajen itu ialah antara
lain kembang, kendi, sarung, baju baru, palawija, kain panjang yang membentang
dari tanah sampai ke atas kayu utama yang mejadi objek ritual, pisang, kopi, roti,
nasi, ketan, nasi tumpeng, air the, air putih, gula, perasan kunyit, ketupat, rokok,
aneka jajanan pasar, kain sarung, kain batik, bendera merah putih, koin, payung,
kemenyan, tebu dua batang yang masih panjang daunnya, janur kuning, dan paku
emas sebanyak 4 buah.
Ritual dimulai dengan selametan dari pemilik rumah bersama warga
sekitar. Selametan menurut keterangan dari Mbah Sejo boleh dilakukan malam
sebelumnya atau tepat sebelum ritual dimulai. ritual dimulai mengikuti jam yang
35
sudah ditentukan tidak bisa mundur ataupun dimajukan karena menurut
kepercayaan warga jam dimulainya ritual menjadi penentu kebahagiaan pemilik
rumah dimasa yang akan datang. Untuk waktu selametannya ada perbedaan antara
satu daerah dengan daerah lain, antar kota seperti Pekalongan dan Brebes ataupun
antar kecamatan dalam satu kabupaten karena masing-masing daerah punya ciri
dan aturan masing-masing. Selametan diikuti oleh pemilik rumah dengan
mengundang warga sekitar atau bisanya yang diundang adalah warga satu dusun
atau satu desa. Selametan ini ditujukan selain untuk perayaan seremonial juga
untuk menginformasikan bahwa sang pemilik rumah akan membangun rumah
disana sembari memohon doa kepada masyarakat.
Selametan merupakan upacara kecil di dalam sistem religiusitas Jawa.
Acara ini biasanya dihadiri para tetua desa, tetangga dekat, sanak saudara dan
keluarga inti.69
Setelah selamatan selesai, para tamu biasanya akan dibawakan
aneka panganan basah (nasi, lauk pauk, dan tambahan kudapan atau kue-kue) atau
makanan kering (mi, kecap, minyak goreng, saus tomat, saus sambal). Bingkisan
itu disebut besekan atau berkat, Karena dahulu makanan dibungkus dalam besek
(anyaman bambu berbentuk kubus sebagai tempat makanan).
Selametan pada umumnya isinya sama, baik dalam upacara keagamaan
maupun dalam upacara yang lain seperi kematian, kelahiran, khitanan, nikahan
maupun munggah muluh. Dalam tradisi munggah muluh ini, selametan yang
dilakukan yaitu doa bersama mendoakan kelancaran proses pembangunan rumah
maupun mendoakan keselamatan pemilik rumah juga mendoakan para leluhur
yang dipimpin oleh pemuka agama desa terkait yaitu ustadz yang sudah biasa
memimpin acara keagamaan disana. Doa yang dipanjatkan pada umumnya sama
dengan doa yang biasa kita dengar di masjid-masjid maupun majelis-majelis
disekitar kita. Doa yang dipanjatkan biasanya terkait acara apa yang sedang di
selameti namun dalam Bahasa Jawa yang halus guna melestarikan budaya leluhur
dan supaya semua warga atau warga yang hanya bisa Bahasa Jawa dapat mengerti
apa yang didoakan dan dirayakan dalam acara tersebut.
Selametan dimulai dengan berkumpulnya para tamu undangan yang pada
umumnya adalah laki-laki. Selametan dilaksanakan sekitar selepas maghrib atau
69
Clifford Geertz,Agama Jawa: Abangan Santri Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa
(Depok: Komunitas Bambu, 2013) h. 60
36
isya, jika acara selametannya hanya sebentar biasanya selepas maghrib sudah bisa
dimulai namun jika acara selametannya lama biasanya dimulai selepas isya.
Selametan yang sebentar ialah biasanya selametan untuk mengenang orang
meninggal baik tujuh harian, 40 harian dan seterusnya. Selametan yang lama
biasanya didalamnya dilakukan makan bersama selepas doa dan bincang-bincang
antar keluarga dan tetangga. Tuan rumah biasanya yang membuka acara atau bisa
juga diwakili oleh ustadz pemimpin doa, tuan rumah mengucapkan terimakasih
kepada para hadirin dan mengungkapkan tujuan atau maksud diselenggaraannya
selametan ini serta memohon keikhlasan dari hadirin untuk mendoakan demi
kebaikan tuan rumah kedepannya. Dihadapan para hadirin sudah tersedia berbagai
macam makanan kecil atau jajanan beserta teh atau kopi dan juga rokok tentunya.
Di belakang rumah atau di dapur rumah sudah bersiap ibu-ibu yang terdiri dari ibu
pemilik rumah beserta keluarga dan juga para tetangga yang membantu
menyedikan makanan dan besek atau bingkisan untuk dibawa pulang bagi para
hadirin yang mengikuti selametan ini ataupun tetangga dekat yang belum bisa
hadir. Pemimpin acara melanjutkan acara dengan mulai membaca yasin dan tahlil
bersama dengan para hadirin. Setelah selesai tahlil dilanjutkan dengan doa yang
dipimpin langsung oleh ustadz dengan para Jemaah atau hadirin mengamini doa
yang dipanjatkan.
Doa telah selesai dipanjatkan dan prosesi selametan berlanjut ke acara
makan-makan. Para ibu yang berada di dapur mulai membawakan makanan
berupa nasi, lauk pauk dan ayam bekakak yang masih utuh dimasak satu ekor
tanpa dipotong. Seluruh makanan mulai di letakkan di tengah-tengah para hadirin
yang hadir dengan beralaskan daun pisang, kertas nasi ataupun nampan. Ustadz
pemimpin doa sekaligus acara ataupun tuan rumah mulai memotong ayam
bekakak ke dalam potongan-potongan kecil menggunakan tangan kosong yang
kemudian dibagikan kepada masing-masing hadirin ataupun diletakkan di bagian
sudut dimana bisa dijangkau oleh para hadirin. Pemotongan ini tidak boleh
meggunakan pisau ataupun alat pemotong yang lain, harus menggunakan tangan
kosong. Pemotongan serta pembagian ayam bekakak ini dimaknai sebagai bagi-
bagi kebahagiaan dari pemilik hajat atau tuan rumah, bisa saja yang memotog
adalah ustadz yang memimpin doa jika saja sudah diberi kuasa oleh tuan rumah
37
untuk diwakilkan. Dari proses pemotongan ayam bekakak yang kemudian di
makan oleh semua tamu ini selain membagikan kebahagiaan kepada semua yang
hadir juga diharapkan dapat menularkan rezekinya seperti tuan rumah yang
sedang melaksanakan hajat besar.
Ibu-ibu yang berada di bagian dapur mulai menyiapkan besek atau
bingkisan untuk dibawa pulang oleh para tamu yang dating sambil menunggu
makan-makan selesai. Setelah selesai makan bersama kemudian para tamu mulai
bincang-bincang satu sama lain sambil menikmati hidangan jajanan, kopi dan
rokok yang disediakan tuan rumah. Para tamu tidak serta merta meninggalkan
tempat acara begitu saja setelah makan, akan tetapi menunggu ustadz pemimpin
acara pamit kepada tuan rumah yang kemudian diikuti oleh para tamu yang lain.
Sebelum pamit, tuan rumah akan memberikan amplop kepada ustadz yang
diletakkan di dalam mangkok berisi beras. Ustadz kemudian mengambil amplop
yang terkubur dalam bers tersebut dan kemudian para ibu yang telah menyiapkan
besek atau bingkisan tadi mulai membagikan bingkisan tersebut secara estafet
kepada para tamu yang hadir. Isi dari besek tersebut biasanya nasi dan lauk-pauk
berupa telor rebus atau ayam, sayur kacang atau bisa dengan tumisan sayur yang
lain, dan juga gorengan atau bisa juga peyek teri. Untuk sebagian acara selametan,
tuan rumah menyisipkan amplop ke dalam besek para tamu, meski untuk sebagian
acara selametan yang lain tidak ada amplop didalamnya. Bingkisan atau besek
untuk tetangga yang belum bisa hadir biasanya dititipkan kepada tamu yang hadir
ataupun diantar sendiri oleh pihak keluarga kerumah-rumah. Pembagian besek
atau bingkisan ini dimaksudkan agar apa yang dinikmati oleh tuan rumah dapat
dinikmati pula oleh tetangga sekitar, berbagi kebahagiaan serta mempererat tali
silaturahmi antar masyarakat desa.
Selametan pada umumya dilakukan di rumah orang yang punya hajat,
namun bisa juga di tempat lain. Dalam prosesi munggah muluh, selametan bisa
dilakukan di rumah maupun di tempat prosesi munggah muluh itu sendiri dan
waktunya bisa malam ataupun pagi sebelum proesi munggah muluh itu dimulai.
Jika dilakukan malam, maka tamu yang hadir biasanya tetangga dekat ataupun
masyarakat desa, dan jika dilakukan pagi hari tepat sebelum prosesi munggah
muluh dimulai maka yang hadir biasanya tetangga yang sangat dekat beserta para
38
pekerja bangunan. Pengisi acara atau pemimpin doanya pun berbeda, biasanya
jika malam hari adalah ustadz atau pemuka agama, maka pada pagi harinya
pengisi acara dan pemimpin doa adalah dia yang dituakan di desa serta yang
menentukan hari baik dan jam baik dilaksanakannya prosesi munggah muluh itu.
Untuk selametan pada pagi hari waktunya relatif singkat yaitu kurang dari satu
jam, itupun sudah di hitung waktu makan bersamanya dan doa pun relatif singkat
hanya mohon keselamatan dan kelancaran untuk prosesi munggah muluh yang
akan dijalankan.
Rentetan selametan pun sudah selesai dan kini masuk dalam prosesi
munggah muluh. Prosesi ini dilakukan di hari dan di jam yang telah ditentukan
tidak boleh kurang ataupun lebih harus tepat pada hari dan jamnya. Beberapa
komponen pelaksana prosesi munggah muluh ini ialah antara lain tuan rumah dan
sebisa mungkin anggota keluarga yang paling dituakan seperti kakek atau nenek
yang masih hidup dari keluarga penyelenggara, bilapun tidak ada maka kepala
keluarga sebagai komponen penyelenggara yang mewakili pihak keluarga.
Komponen lain ialah tukang bangunan, tukang bangunan yang dimaksud ialah
bukan tukang bangunan sembarangan melainkan mereka yang paham betul
dengan posesi munggah muluh karena nantinya peran mereka adalah yang paling
sentral dalam prosesi ini. Komponen selanjutnya ialah tetua desa yang oleh
masyarakat desa juga keluarga penyelenggara dimintai nasihat berupa tanggal
baik dan jam baiknya suatu prosesi adat dilaksanakan. Komponen terakhir
tentunya ialah masyarakat yang ikut serta dalam prosesi ini. Awal prosesi ini, para
tukang bangunan membawa kayu besar atau kayu utama yang dalam prosesi ini
disebut muluh ke dalam area bangunan untuk kemudian dilakukan prosesi
pengangkatannya.
Pihak keluarga besar yang diwakili kepala keluarganya mulai
mengumandangkan adzan kepada si kayu ini dengan lafadz adzan seperti biasa
yang sering terdengar di masjid-masjid dan mushola sekitar. Kemudian pihak
keluarga mulai menyiapkan parutan kunyit yang sudah diberi air secukupnya
beserta lap. Parutan kunyit diletakkan di mangkok dan lap yang digunakan boleh
lap apa saja, alangkah lebih baik lap yang baru yang belum pernah digunakan
sebelumnya. Kemudian kepala keluarga beserta salah satu keluarga yang dituakan
39
mulai menggosok-gosokkan kayu dengan lap yang dilumuri perasan kunyit
tersebut secara merata dari ujung kayu hingga ujung kayu yang lainnya. Selama
prosesi ini, pihak tukang bangunan maupun mandornya sudah memasang bendera
merah putih pada satu batang pohon yang ditancapkan di sekitar prosesi ini
berlangsung, juga membakar kemenyan disamping kayu. Setelah di lumuri
dengan parutan kunyit, kayu ini kemudian dipasangi bendera merah putih tepat
ditengah-tengah batang pohonnya. Bendera merah putih yang dipasang di pusat
kayu kemudian di patenkan dengan paku emas sebanyak empat buah pada
masing-masing bagian sisi bendera tersebut. Bendera yang dipasang bukan untuk
dikibarkan namun untuk dililit sesuai bentuk kayu, jadi bendera tidak akan
terbuka dan berkibar jika tertiup angin tetapi membentuk kantung sebanyak dua
buah di dua sisi kayu yang berbeda. Dua kantung ini nantinya akan diisi dengan
uang logam ataupun perhiasan dan bunga-bunga kemenyan seperti melati pada
tiap-tiap sisinya. Ungkap Mbah Sejo mengenai Prosesi muluh sebelum di angkat
ke atas.
Tahapan selanjutnya setelah pemasangan bendera pada kayu ialah
pemasangan kain panjang yang sebelumnya sudah di persiapkan yang panjangnya
mampu menjangkau tinggi tempat kayu akan dipasang dan tanah. Kain ini
dililitkan pada batang kayu di satu sisinya dan disisi yang lain dimasukkan
kedalam kendi yang sebelumnya sudah diisi macam-macam bunga dan koin. Jika
kendi tidak tersedia, dapat menggunakan media lain seperti ember maupun bak
kecil dengan isian yang sama yaitu bunga-bungaan dan koin. Kain yang dimaksud
ialah kain yang biasa disebut oleh warga sebagai bengkung, atau dengan
pengertian lain warga menyebutnya sebagai kain angkin atau stagen yang
digunakan oleh ibu-ibu setelah melahirkan, namun bukan yang berbahan karet
tetapi kain. Para tukang bangunan beserta mandor mulai mengangkat si kayu
besar keatas secara hati-hati sesuai aba-aba dari sang mandor. Kain yang terikat di
kayu dan terhubung dengan bak kecil atau kendi dibawah tidak boleh lepas dari
kayu maupun air yang dibawah, sampai kayu terpasang dengan sempurna kain
harus tetap terhubung.
Pak Suroso sebagai salah satu warga desa dan juga orang yang menggelar
hajat munggah muluh mengungkapkan macam barang pendukung ritual munggah
40
muluh. Macam-macam barang yang sudah dipersiapkan berupa palawija, pisang,
kain, aneka pakaian dan lain sebaginya mulai diangkat keatas untuk kemudian
dipasang masing-masing pada kayu utama yang telah dinaikkan. Barang-barang
tersebut antara lain adalah palawija yang terdiri dari kelapa, jagung dan singkong,
serta tanaman lain seperti padi yang sudah kecokelatan juga pisang beberapa
tandan. Bahan-bahan tanaman ini kemudian diletakkan diatas kayu bersandingan
dengan pakaian baru, sarung dan kain. Kemudian disekitar kayu penyanggah
dipasangi janur baik yang masih berwarna hijau maupun janur yang berwarna
kuning. Janur ini diikat dibawah dari kayu utama, tidak boleh diikat tepat di kayu
utama karena bukan peruntukannya. Pisang yang sudah dipersiapkan di awal
prosesi kemudian diikat dengan tali maupun kawat atau apapun pada kayu utama
dan posisinya menggantung bukan menempel. Kemudian payung dikembangkan
diikat dan diletakkan tepat diatas deretan kain dan pakaian. Payung ini wajib
keberadaannya karea punya makna dan filosofi sendiri, pun dengan barang-barang
lain yang juga wajib keberadaannya.
Mandor bangunan beserta rekan tukang bangunan yang lain setelah
membawa kayu keatas kemudian akan ditanya beberapa pertanyaan oleh pemilik
rumah atau si tuan rumah yang punya hajat sebagai satu syarat atau satu
kewajiban dalam prosesi ini. Pertanyaan yang dilontarkan ialah “di atas ada apa?”
dalam bahasa Jawa, kemudian mandor maupun tukang bangunannya akan
menjawab “di atas sudah penuh, pepek, gemah ripah loh jinawi” juga dalam
Bahasa Jawa. Pertanyaan-pertanyaan ini wajib diucapkan kepada mandor
bangunan yang berada diatas kayu oleh pemilik rumah. Ada hal menarik
mengenai proses penanyaan ini, yaitu bagi siapapun yang ingin membangun
rumah yang tahu dan paham jika harus melakukan prosesi ini tapi tidak mengerti
jika ada proses tanya jawab ini, maka masyarakat meyakini bahwa di masa yang
akan datang si pemilik rumah akan mendapat banyak musibah atau kerugian
dalam bentuk apapun. Ada dua tipe masyarakat di desa Sidomukti ini, yaitu
mereka yang paham betul akan prosesi munggah muluh dalam pembangunan
rumah dan mereka yang sama sekali tidak paham sehingga membangun rumah
hanya sekedar membangun tanpa mengikuti prosesi dan adat yang berlaku di
masyarakat. Oleh sebab itu, biasanya mandor bangunan terlebih dahulu
41
menanyakan kepada pemilik rumah terkait prosesi ini untuk kemudian jika
memang pemilik rumah adalah orang yang mengerti maka prosesi ini akan
dilanjutkan, namun apabila ternyata pemilik rumah sama sekali tidak tahu atau
belum begitu paham secara detail maka sang mandor wajib hukumnya untuk
menjelaskan bagaimana dan seperti apa prosesi ini akan berlangsung. Bagi
pemilik rumah dan masyarakat desa yang paham betul dengan tradisi ini dan
menjalaninya sesuai aturan adat yang berlaku, diyakini akan diberi kemudahan
oleh Tuhan dalam menjalani kehidupan kedepannya.
Berbagai macam sesajen dan jajanan yang dipersiapkan sebelum dan saat
prosesi munggah muluh ini kemudian dibiarkan saja berada disekitar prosesi
munggah muluh oleh mador bangunan dan pemilik rumah. Sesajen itu berupa
nampan yang berisi kopi, jajanan, rokok, buah, minuman dan juga bermacam
bunga juga kemenyan yang dibakar tepat dibawah kayu yang terpasang diatas.
Kain bengkung yang memanjang dari kayu ke bak kecil pun di biarkan hinggga
beberapa hari kedepan, pun dengan pakaian dan kain yang ada di kayu dibiarkan
begtu saja. Untuk palawija dan berbagai macam tanaman yang lain sebagian
dibawa ke bawah dan sebagian lain tetap di atas. Diantara tanaman yang dibawa
ke bawah adalah pisang sebagian, dan pisang yang sebagian lagi tetap berada di
atas untuk kemudian menjadi santapan para tukang bangunan yang setelah prosesi
ini masih terus melanjutkan pekerjaan membangun rumah.
d. Prosesi Pasca Ritual Munggah Muluh
Menurut mbah Sejo, selama prosesi munggah muluh, tuan rumah
menyiapkan aneka makanan dan jajanan juga sesajen yang dikumpulkan dalam
satu ruangan khusus seperi ruang tamu atau ruang tengah rumah yang ingin
dibangun ataupun rumah yang sudah ada. Jumlah makanan, jajanan dan sesajen
ini sebanyak ukuran ruangan yang ditempati, apabila menggunakan ruang tengah
maka jumlah makanannya harus memenuhi ruang tengah tersebut. Macam-macam
makanannya bervariasi sesuai kebutuhan dan kemampuan, biasanya berupa nasi
tumpeng, jajanan pasar, buah-buahan, telur bebek atau telur ayam sebanyak satu
bakul ukuran besar. Makanan yang dikumpulkan dalam satu tempat ini disiapkan
oleh tuan rumah sebelum prosesi munggah muluh dimulai dimana yang
menyiapkan biasanya para ibu dari pihak keluarga maupun dibantu oleh tetangga
42
sekitar rumah karena para suami atau yang laki-laki ikut membantu prosesi
munggal muluh diluar. Selain makanan juga ada peralatan rumah tangga ataupun
peralatan pribadi yang disiapkan bersamaan dengan makanan dan sesajen di
ruangan, diantara peralata pribadi itu ialah lipstik, bedak, pakaian pribadi bahkan
perhiasan yang jumlahnya tidak begitu banyak. Setelah prosesi munggah muluh
selesai kemudian makanan ini dibagikan kepada sanak saudara, tetangga rumah
juga kepada mereka yang ikut membantu jalannya prosesi ini seperti para tukang
bangunan dan juga mandornya.
Prosesi selanjutnya ialah penaburan uang receh atau koin yang telah
disediakan pemilik rumah kepada warga sekitar yang ikut menyaksikan jalannya
prosesi munggah muluh ini. Uang yang disebarkan bisa berasal dari uang pribadi
maupun dari bak kecil tempat kain bengkung berada. Yang melakukan sebaran
uang ini adalah anggota keluarga tertua yang biasanya diwakili oleh nenek dari
keluarga pemilik rumah. Kegiatan sebar-menebar uang koin ini mendapat antusias
yang sangat baik dari masyarakat sekitar, meski jumlahnya tidak banyak karena
yang disebar biasanya koin pecahan 200, 500 dan 1000 rupiah. Masyarakat
percaya dengan ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini, mereka akan ikut mendapat
berkah dari Tuhan karena turut serta mensukseskan kegiatan munggah muluh
yang diselenggarakan salah satu tetangga di desanya.
Prosesi sebar uang receh dalam tradisi Jawa sesungguhnya sudah umum
dilakukan, dalam banyak tradisi misalnya ada saja bagian dari prosesisnya
melakukan tebar uang koin baik sebelum acara maupun ditengah acara bahkan
diakhr acara. Satu dari banyak tradisi Jawa yang juga melakukan prosesi tebar
uang ini adalah khitan, dimana prosesi ini dilakukan tepat setelah si anak selesai
melakukan khitan dirumah atau jika khitan di rumah sakit atau klinik maka
prosesi ini dilakukan setelah si anak pulang kerumah. Dalam tradisi lain juga ada
seperti nikahan, dimana kedua mempelai akan menebarkan koin kepada para
hadirin yang hadir baik setelah akad ataupun sesaat sebelum naik keatas
pelaminan. Prosesi tebar uang ini dapat dilakukan oleh kedua memelai ataupun
orang tua mempelai tempat dimana acara resepsi dan akad dilaksanakan. Jumlah
nominal yang dikeluarkan untuk prosesi tebar koin ini tidak menentu karena
memang tidak ada ketentuan yang mengikat yang mengharuskan pelaksana acara
43
untuk mengeluarkan koin dalam jumlah berapa untuk prosesi ini tergatung dari
kemampuan dan kondisi saat acara berlansung saja, artinya sebagai syarat dalam
tradisi tetap harus terpenuhi meskipun tidak menentu nominalnya. Masyarakat
Jawa khususnya di Pekalongan sangat menjunjung tinggi nili-nilai adat yang
berlaku di masyarakat sehingga dalam setiap ritual dan tradisi yang akan
dilakukan selalu berusaha semaksimal mungkin agar terpenuhi seluruh syaratnya.
Setelah selesai prosesi sebar koin, selanjutnya para pekerja bangunan pun kembali
melanjutkan proses pembangunannya dan ritual munggah muluh pun berakhir
disini.
B. Makna simbolik setiap unsur yang terkandung dalam ritual Munggah
Muluh
Tradisi ritual munggah muluh di desa Sidomukti menggunakan komonen
pendukung yang sangat kompleks dalam setiap prosesinya mulai dari perhitungan
tanggal, selametan, persiapan ritual, saat ritual maupun pasca ritual.
a. Perhitungan :
Truko artinya pasek yang bermakna agar ayem tenterem bagi pemilik
rumah ketika menjalani hidup, begitupun dengan yoso yang artinya damai dan
banyar rezeki. Baik truko maupun yoso menurut mbah Sejo sama-sama positif,
artinya dalam perhitungan yang diasarkan pada weton pemilik rumah haruslah
sampai pada truko ataupun yoso yang positif bagi kehidupannya kelak. Rogo atau
rogoh yang secara bahasa diartikan sebagai memasukkan tangan kedalam saku
yang maknanya negatif ini dimaksudkan bahwa kelak penghuni rumah akan
mendapat musibah yang berhubungan dengan kehilangan, baik harta maupun
yang lainnya. Sempoyong yang dalam nahasa lain disebut doyong atau reot atau
goyang-goyang posisinya karena ringkih ini dimaksudkan nanti ketika disinggahi,
pemilik rumah maupun keluarga yang mendiami rumah tersebut akan selalu
sempoyong baik rumahnya yang sempoyongan atau doyong menuju kearah
ambruk, maupun fikirannya yang sempoyong yang juga berarti akan selalu
dihantui dengan pikiran pikiran yang aneh dan membuat hidupnya sengsara. Baik
rogoh maupun sempoyong merupakan dua analogi yang negatif dalam
perhitungan Jawa sehingga tidak disarankan bagi masyarakat yang akan
44
membangun rumah untuk mulai proses membangun pada perhitungan tersebut.
Perhitungan semacam ini bagi masyarakat desa sangatlah penting dan masyarakat
sangat mengikuti betul prosesi perhitungan ini, meskipun jika dilihat secara kasat
mata banyak juga orang diluar desa ini yang melakukan pembangunan rumah dan
ternyata hidupnya baik-baik saja bahkan cenderung sejahtera meski ada juga yang
sebaliknya bahkan lebih buruk dari itu hingga memakan korban nyawa.
Masyarakat desa menggunakan perhitungan ini sebagai antisipasi jika
perhitungannya salah, bagi mereka jikapun ada masyarakat yang membangun
rumah tanpa mealui proses perhitungan terlebih dahulu maka itu semata-mata
karena hari yang dipilihya pas menurut perhitungan Jawa meskipun si pemilik
rumah membangun tanpa perhitungan sebelumnya. Sebaliknya pun begitu bagi
masyarakat yang membangun rumah tanpa perhitungan sebelumnya dan ternyata
kehidupannya memburuk atau banyak ditimpa musibah maka masyarakat desa
meyakini jika hari dimana mereka membangun rumah tepat dalam hari yang salah
menurut perhitungan Jawa. Tidak begitu dipermasalahkan sebetulnya siapapun
yang mau menggunakan perhitungan ini atau tidak karena masayarakat percaya
bahwa membangun rumah harus pada hari yang tepat terlepas melalui proses
perhitungan seperti yang sudah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya
maupun tidak.
b. Sesajen
Dalam sesajen pada umumnya terdapat aneka minuman baik kopi yang
pahit maupun yang manis, teh yang manis maupun tawar juga ada air mineral
yang masing-masing diwadahi dalam gelas. Aneka minuman ini dimaknai sebagai
hidangan bagi para pendahulu yang sudah meninggal yang mereka memilki
hubungan kekeluargaan maupun mereka yang berjasa bagi keluarga, warga
maupun desa. Terdapat banyak varian minuman yang dihidangkan yang
dimaksudkan bahwa pada zaman dahulu para pendahulu mereka ada yang
menyukai kopi pahit maupun manis, ada juga yang suka teh manis maupun tawar
dan ada juga yang sukanya minum air putih saja. Masyarakat sendiri menurut
mbah Sejo kurang begitu mengerti yang disukai orang-orang yang sudah
meninggal semasa mereka hidup, jadi masyarakat desa menyediakan semua varian
minuman berharap dari kesemua varian itu semuanya disukai oleh mereka yang
45
sudah meninggal. Bukan hanya bagi arwah keluarga tetapi juga bagi arwah-arwah
penunggu tempat-tempat tertentu yang disajeni supaya dalam pelaksanaannya
tidak mendapat musibah karena ulah arwah atau jin yang mengganggu. Selain
aneka minuman, dalam sesajen juga terdapat aneka jajanan pasar juga rokok.
Jajanan pasar seperti biskuit, kue-kue, gorengan juga aneka roti yang juga
macamnya bervariasi. Jumlah banyaknya minuman maupun jajanan pasar tidak
ditentukan secara pasrti dalam aturan sesembahan sajen ini, melainkan sesuai
kemampuan asalkan syarat-syaratnya terpenuhi. Fungsi jajanan pasar ini sama
dengan minuman yang disajikan yaitu agar disukai dan dimakan oleh arwah-
arwah yang sudah tiada dan mendiami tempat tersebut, banyaknya jajanan pasar
juga dimaksudkan supaya arwah penunggu dapat memilih mana yang disukai.
Yang ketiga yang terdapat dalam sesajen adalah rokok. Masyarakat penganut
kepercayaan ini percaya bahwa orang-orang dahulu baik keluarga dekat maupun
mereka yang berjasa untuk desa gemar merokok layaknya orang-orang pada
umumnya pada zaman ini. Sehingga penempatan rokok ini diharapkan dapat
disukai oleh para arwah pendahulu agar tidak mengganggu selama proses ritual
berlangsung.
Penggunaan sesajen dalam tiap kegiatan maupun ritual di Jawa ada bukan
tanpa sebab, melainkan karena kepercayaan masyarakat akan ajaran nenek
moyang terdahulu yang melekat begitu kuat sehingga sudah seperti keharusan
bagi masyarakat untuk menjalankannya. Masyarakat percaya jika dalam sebuah
tradisi atau waktu-waktu tertentu yang mengharuskan dibuatkan sesajen namun
tidak dibuatkan maka si pemilik hajat akan tertimpa kesialan atau musibah di
kemudian hari. Sulit memang untuk dibuktikan, bahkan secara nalarpun
sepertinya hal-hal semacam ini sulit untuk diterima oleh akal fikiran. Dalam
perjalanan kehidupan masyarakat desa sidomukti banyak kejadian-kejadian yang
terjadi karena sebab banyak hal diantaranya karena sesajen, seperti kejadian salah
seorang warga yang dalam membuat rumah tidak menyertakan sesajen dalam
prosesi ritualnya maupun sesajennya yang kurang lengkap. Kejadiannya ialah
ketika salah seorang masyarakat desa yang kurang lengkap sesajennya kemudian
mendapat gangguan dari makhluk halus penunggu daerah setempat (baca: pohon,
kali, kuburan, sawah) yang mengakibatkan meninggal dunia. Masyarakat
46
meyakini kematian salah seorang warga itu adalah karena sesajen yang kurang
lengkap sehingga diganggu oleh penunggu disana, meskipun tidak secara mutlak
penyebabnya itu karena ada juga masyarakat yang percaya bahwa kematiannya
karena kehendak Tuhan. Kejadian-kejadian semacam ini agaknya membuat
masyarakat semakin yakin tentang pentingnya sesajen disediakan dalam setiap
upacara keagamaan maupun pada tanggal-tanggal tertentu.
Sesajen yang dibeli di pasar tradisional tidak boleh ditawar ketika ingin
membelinya. Proses tawar-menawar untuk sesajen tidak diperbolehkan dalam
tradisi masyarakat desa sidomukti karena pantang bagi mereka untuk mencari
keuntungan dari hal-hal atau barang-barang yang digunakan untuk prosesi adat
daerah setempat. Masyarakat meyakini bahwa dengan tidak menawar pada saat
membeli sesajen akan membuat pembeli dan pedagang sama-sama ikhlas dalam
bertransaksi dan ikhlas itulah yang dicari dalam tradisi ini. Masyarakat percaya
jika mereka menawar dagangan yang diperuntukan bagi sesajen maka akan timbul
rasa ketidak ikhlasan dari penjual dan dapat meruntuhkan makna dari prosesi yang
akan dilakukan, dalam hal ini adalah ritual munggah muluh.
c. Bendera di Muluh
Bendera yang dipasang pada muluh di atas membentuk dua kantung yang
masing-masing berisikan jamu kuat-kuat dan uang.
Jamu kuat-kuat yang dikatakan mbah Sejo dengan pengucapan khas Jawa
yang begitu unik merupakan ramuan jamu maupun ramuan sesajen yang disiapkan
tanpa di tumbuk terlebih dahulu, artinya bentuk dan macamnya masih utuh. Jamu
ini bermakna setiap rumah yang dibangun dan di muluhnya menggunakan jamu
ini disalah satu kantung benderanya diyakini rumah yang dibagunnya akan kuat,
kuat dalam arti fisik bangunannya maupun kuat fikiran penghuni rumahnya nanti.
Untuk mencari jamu ramuan ini tidaklah sulit, pasalnya sudah tersedia di paras-
pasar tradisional di Pekalongan dan paket penjualannya sudah komplit di
dalamnya terdapat semua barang yang diperlukan dalam ritual. Selain jamu
ramuan, di pasar tradisional juga biasanya terdapat paket penjualan barang-barang
keperluan ritual tradisi setempat seperti jajanan pasar untuk sesajen, kendi,
bengkung, kemenyan dan lain sebagainya.
47
Selain aneka sesajen yang dipersiapkan, ada hal lain yang juga penting
keberadaannya menurut mbah Sejo, yaitu uang receh. Uang receh merupakan
bentuk simbolis bagi pemilik rumah maupun masyarakat yang ingin memberikan
sumbangan uang kepada pemilik rumah untuk kemudian dimasukkan ke dalam
bendera merah putih yang dipasang tepat ditengah muluh yang ada diatas. Uang
yang dimasukkan ini dimaknai sebagai bentuk rezeki si pemilik rumah dalam
membangun rumah. Sejak zaman dahulu, tiap ada masyarakat yang membangun
rumah maka masyarakat yang lain berbondong-bondong memberikan uang
mereka untuk kemudian dimasukkan dalam bendera dengan maksud agar kelak
siapapun yang ikut menyumbangkan uang didalamnya bisa membangun rumah
juga. Uang yang dimasukkan oleh para tetangga ini hanya simbolis, artinya tdak
dipatok nominalnya. Jaman dahulu biasanya yang dimasukkan adalah uang
berbentuk koin, namun seiring perkembangan zaman penggunaan uang koin
semakin kurang bernilai sehingga masyarakat kini banyak pula yang
menggunakan uang kertas meskipun ada juga yang masih menggunakan koin.
Muluh tidak boleh dilangkahi karena dalam kepercayaan yang
berkembang di masyarakat, muluh dipandang layaknya kepala pada manusia yang
nilainya suci sekalipun untuk dilangkahi. Muluh yaang tidak boleh dilangkahi
adalah muluh yang telah dimandikan dan diadzani, sedangkan muluh yang belum
dimandikan dan di adzani merupakan kayu biasa yang hanya bernilai sebagai
kayu. Anggapan nilai muluh dengan kepala manusia yang suci bukanlah tanpa
alasan, melainkan masyarakat percaya bahwa selain layaknya kepala manusia juga
sebagai kepala dalam kehidupan keluarga yang mendiami rumah tersebut. Tugas
seorang kepala baik dalam rumah tangga maupun komunitas adalah mengayomi,
melindungi dan lain sebagainya, sehingga diyakini bahwa jika masyarakat
mensucikan muluh atau paling tidak memperlakukan muluh layaknya kepala
manusia maka kelak kehidupan keluarga yang menempati rumah tersebut akan
dilindungi baik harta, kesehatan maupun yang lainnya.
Janur kuning yang menempel pada muluh bermakna sebagai pertanda
kepada sanak saudara maupun tetangga yang lain bahwa rumah yang dibangun ini
adalah rumah saudara se kampung mereka bukan orang lain. Karena pada zaman
dahulu masa perang Diponegoro masyarakat menggunakan janur kuning sebagai
48
tanda bahwa itu adalah rumah maupun tempat berlindung dari saudara sebangsa
mereka, karena jika bukan janur kuning maka rumah itu merupakan rumah orang
Belanda maupun rumah penjajah yang lainnya. Selain sebagai petanda,
keberadaan janur kuning bermakna supaya siapapun yang memasuki rumah itu
kelak baik keluarga maupun tetangga yang bertamu akan dihinggapi rasa yang
adem tenteram tidak kepanasan.
Kembang tujuh rupa yang ditelakkan di baskom tempat bengkung berada
diartikan sebagai permohonan agar diberi segala kebaikan dan kelancaran baik
dalam tradisi munggah muluhnya maupun dalam menjalani kehidupan kelak.
Kembang tujuh rupa, kembang dimaknai sebagai media permohonan kepada sang
pencipta sedangkan tujuh bermakna bahwa kita mengenal jumlah hari dalam
masehi yaitu ada tujuh sehingga kembang tujuh rupa ini dimaknai agar diberikan
kebaikan dan kelancaran dalam hidup setiap hari selama tujuh hari dalam
seminggu selamanya. Makna tujuh dalam kembang ini adalah jumlah hari dalam
semingu. Ungkap Suroso perihal kembang tujuh rupa dalam prosesi yang
dilaksanakannya.
Muluh diadzani, setelah selesai dimandikan muluh kemudian di adzani.
Proses ini dilakukan ketika muluh masih berada di bawah, yang mengadzani ialah
pemilik rumah atau perwakilan keluarga yang biasanya diwakili oleh laki-laki
atau jika dari pihak keluarga tidak ada yang mampu maka akan dikuasakan
kepada tukang bangunannya maupun mandornya yang kemudian akan
mengadzani muluh tersebut. Setelah muluh sampai diatas maka harus di iqomah
kan, iqomah yang dilakukan sama seperti iqomah pada umumnya. Adzan dan
iqomah yang dilakukan kepada muluh bermakna pengharapan dari keluarga
maupun masyarakat yang menyaksikan prosesi ini agar keluarga yang menempati
rumah ini kelak diberikan keselamatan dan selalu dalam lindungan Tuhan yang
maha esa.
d. Selametan
Selamatan adalah suatu upacara makan bersama makanan yang telah diberi
doa sebelum dibagi-bagikan. Selamatan itu tidak terpisahkan dari pandangan alam
pikiran partisipasi tersebut di atas, dan erat hubungannya dengan kepercayaan
kepada unsur-unsur kekuatan sakti maupun makhluk-makhluk halus. Sebab
49
hampir semua selametan ditujukan untuk memperoleh keselamata hidup dengan
tidak ada gangguan –gangguan apapun.70
Selametan adalah versi Jawa dari apa yang barangkali merupakan upacara
keagamaan paling umum di dunia, pesta komunal. Sama sepert hapir di semua
tempat, ia melambangkan kesatuan mistik dan sosial dari mereka yang ikut serta
didalamnya.71
Selametan dilakukan masyarakat desa sebelum melaksanakan hajatan
besar maupun dalam mengenang orang meninggal ataupun perayaan ulang tahun
dan masih banyak lagi dimaknai sebagai rangkaian permohonan keselamatan
kepada sang pencipta. Dalam tradisi munggah muluh juga terdapat ritual
selametan yang tujuannya agar pemilik rumah sekeluarga selalu diberikan
keselamatan oleh Tuhan dalam menjalani hidup di rumah yang akan dibangun ini.
Keselamatan bukan hanya fisik manusianya, tetapi juga keselamatan fisik
bangunannya dan tidak lupa keselamatan fikiran dari penghuni rumah. Dalam
selametan biasanya ada sajian yang digunakan untk kemudian mejadi hidangan
bagi para tamu atau peserta selametan, hidangan itu boleh berupa nasi dan lauk
pauknya ataupun roti.
Pisang emas digunakan dalam upacara tradisi munggah muluh karena
dianggap sebagai pisang yang paling mahal, paling bagus dan terbaik di kelasnya.
Pisang emas yang dahulu banyak ditemukan dimaknai sebagai sesembahan
terbaik yang diharapkan dapat membawa keluarga pemilik rumah pada rezeki yag
melimpah. Sebagai syarat tradisi memang biasanya menggunakan pisang emas,
namun jika tidak ada lantaran sulit ditemukan di pasar, bisa juga menggunakan
pisang biasa yang sering kita temui. Seiring berjalannya waktu, masyarakat lebih
suka menggunakan pisang biasa yang jauh lebih murah ketimbang pisang emas
yang selain langka juga harganya masih tinggi bagi sebagian masyarakat. Pisang
ini selain digunakan sebagai bahan sesajen juga digunakan pada tiang-tiang
penyangga muluh maupun pada muluh itu sendiri sebagai cemilan bagi para
pekerja setelah tentunya dijadikan bahan ritual.
70
Koentjaraningrat, Manuisa dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1979)
h. 340 71
Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyai, (Depok: Komunitas Bambu,
2013) h. 3
50
Padi yang digunakan dalam ritual ini bukanlah padi yang sudah menjadi
butiran tetapi padi yang masih utuh beserta dengan gagangnya atau padi setelah di
panen namun belum di giling. Padi yang merupakan simbol pangan ini dimaknai
masyarakat desa sidomukti sebagai kesejahteraan pangan yang artinya apabila
terpenuhi sebagai syarat dalam ritual munggah muluh maka dipercaya keluarga
yang mendiaminya akan selalu dalam keadaan kenyang. Kenyang dalam arti
selalu dicukupkan oleh Tuhan, tidak pernah merasa kelaparan atau kekurangan.
Padi yang digunakan biasanya padi yang sudah kecokelatan atau yang sudah
panen.
Pakaian, sarung, kain, dan baju koko diletakkan di atas muluh juga
merupakan syarat dalam ritual munggah muluh. Macam-macam barangnya bisa
beraneka ragam asalkan masih sesuai dengan persetujuan tetua desa yang
memimpin ritual. Secara umum barang-barangnya berupa kain, pakaian, sarung,
dan baju koko. Pakaian yang disertakan yaitu pakaian laki-laki dan perempuan,
begitu juga dengan baju koko ataupun pakaian muslimah. Barang-barang yang
tergolong dalam kebutuhan sandang ini diyakini masyarakat sebagai bentuk
simbolik permohonan kepada yang maha kuasa agar kelak keluarga yang
mendiami rumah yang sedang dibangun ini selalu dicukupkan rezekinya terutama
dari segi kebutuhan sandang. Selain digunakan sebagai simbol permohonan akan
kesejahteraan sandang, benda-benda ini juga digunakan dengan maksud supaya
muluh terlindungi layaknya tubuh manusia yang menggunakan berbagai macam
pakaian. Ini dilakukan karena setelah muluh dimandikan dan diadzani menjadi
muluh yang dianggap suci sehingga bagi masyarakat yang mempercayai perlu
adanya semacam pakaian untuk menutupi maupun menyandingkannya dengan
muluh.
51
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tradisi munggah muluh merupakan suatu prosesi acara dalam
pembangunan rumah. Muluh yang dimaksud adalah sebatang kayu besar yang
menjadi pusat pondasi atap di rumah yang akan dibangun. Tradisi ini
dilaksanakan masyarakat desa sebagai salah satu syarat pembangunan rumah demi
keselamatan si pemilik rumah maupun warga desa karena dalam tradisinya
melibatkan seluruh elemen masyarakat. Tradisi Munggah Muluh yang dilakukan
masyarakat desa Sidomukti Pekalongan merupakan tradisi yang sudah di warisi
oleh nenek moyang mereka dari zaman dahulu kala dan tetap eksis hingga kini
lantaran tradisi ini tetap dilestarikan dan masih menjadi tradisi wajib masyarakat
desa ketika hendak membangun rumah, sehingga dengan penuh kesadaran
masyarakatnya sudah barang pasti akan melakukan tradisi ini ketika akan mulai
membangun rumah. Keyakinan masyarakat bukan hanya terfokus pada perayaan
seremonial ritual tradisinya saja, lebih dari itu ada kepercayaan dan harapan yang
mereka tanamkan dalam setiap elemen ritual tradisi munggah muluh yang harus
tetap mereka jaga selamanya. Bukan tanpa alasan mengapa dalam ritual tradisi ini
banyak sekali barang-barang maupun benda-benda yang masyarakat gunakan
dalam melengkapi prosesi ritual ini. Mereka percaya betul bahwa melalui media
benda tersebut dapat digantungkan harapan dan doa kepada sang pencipta.
Setiap elemen dalam tradisi Munggah Muluh punya simbol dan maknanya
masing-masing yang tentu dipercaya oleh masyarakat setempat. Bukan dari
sekedar simbol, masyarakat memberi kepercayaan lebih pada tiap benda dalam
prosesi Munggah Muluh. Bagi mereka tradisi yang telah diwarisi oleh nenek
moyag harus tetap dilestarikan, kendati pun banyak pihak yang menganggap
bahwa tradisi yang dilakukan sudah tidak relevan dengan arus perkembangan
zaman maupun aturan keagamaan yang berlaku. Dalam pelaksanaannya sudah
sangat jelas bahwa ritual tradisi ini tidak hanya mewakili satu kelompok, budaya
ataupun kepercayaan, tetapi semua unsur ada dalam ritual ini, mulai dari sesajen
52
sebagai kepercayaan lokal masyarakat Jawa maupun doa yang dipanjatkan yang
mewakili masyarakat Islam.
Akulturasi Islam dan budaya Jawa dalam tradisi Munggah Muluh terjadi
karena adanya percampuran antara budaya dengan kearifan lokalnya dengan
agama Islam yang kemudian bukan hanya memunculkan satu tradisi atau ritual
saja, melainkan banyak sekali tradisi. percampuran ini ditandai dengan hadirnya
kebudayaan baik dalam Islam maupun dalam ajaran masyarakat setempat seperti
selametan yang pada awalnya merupakan budaya lokal kemudian berkembang dan
seloah menjadi budaya bersama karena dalam praktiknya baik unsur Islam
maupun kearifan lokal membaur menjadi satu.
A. Saran
Berdasarkan uraian-uraian atau pembahasan dan kesimpulan yang sudah
dijelaskan dari hasil penelitian maka ada beberapa saran dari penulis diantaranya:
Pertama, minimnya informasi tentang tradisi ini baik informasi tertulis
maupun digital membuatnya tidak banyak diketahui masyarakat luas. Padahal
banyak potensi materil yang bisa diperoleh jika pemerintah daerah mau
mempubikasikan tradisi ini baik dalam bentuk buku maupun digital, yang salah
satunya adalah dari sektor pariwisata. Memunculkan minat masyarakat luar
daerah untuk mencari tahu tradisi yang unik dan menarik ini dengan datang
langsung ke Pekalongan yang kedepannya bisa dijadikan objek wisata yang
mendidik terutama bagi generasi muda untuk bisa mencintai budayanya.
Kedua, tradisi Munggah Muluh merupakan tradisi yang asli dimiliki
masyarakat desa Sidomukti Pekalongan, sudah sepatutnya bagi masyarakat untuk
terus melestarikan dan mengajarkannya pada generasi-generasi selanjutnya agar
warisan budaya ini tidak hilang digilas roda modernisasi. Dalam perjalannya
memang akan banyak bertentangan dengan masyarakat luar hingga terjadi
penolakan dengan stigma yang luar biasa menjatuhkan. Namun yang perlu diingat
bahwa dalam tradisi ini banyak bercampuran dengan unsur kebudayaan lain
seperti budaya doa dalam Islam, sehingga stigma yang nantinya akan diarahkan
pada masyarakat secara umum dan tradisi munggah muluh khususnya dapat
dibantah untuk kemudian tradisi ini bisa tetap eksis hingga peradaban masyarakat
Jawa musnah.
53
DAFTAR PUSTAKA
Alam, Syamsir. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: UIN Jakarta Press. 2006.
Ambercrombie, Nicholas. The Penguin Dictionary Of Sociology. England: 1994.
Amin, Darori. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media. 2000.
Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Amzah. 2013.
Bahri, Media Zainul. Wajah Studi Agama-Agama Dari Era Teosofi Indonesia
(1901-1940) Hingga Masa Reformasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2015.
Beatty, Andrew. Variasi Agama di Jawa. Bandung: Raja Grafindo Perkasa. 2001.
Daradjat, Zakiyah. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara. 2008.
Djamil, Abdul. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media. 2002.
Endraswara, Suwardi. Etnologi Jawa: Penelitian, Perbandingan, dan Pemaknaan
Budaya. Yogyakarta: CAPS. 2015.
Farela, Aristo. a short history of java. surabaya: ecosystem publishing. 2017.
Geertz, Clifford. Agama Jawa: Abangan Santri Priyai Dalam Kebudayaan Jawa.
Terjemahan Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto. Depok: Komunitas Bambu.
2014.
Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaan. Terjemahan Francisco Budi Hardiman.
Yogyakarta: Kanisius. 2014.
Geertz, Clifford. After The Fact. Terjemahan landung Simatupang. Yogyakarta:
LkiS. 2017.
Haviland, Wiliam A. Antropologi. terjemahan R.G. Soekadjio. Jakarta: Gelora
Aksara Pratama. 2006.
Koentjaraningrat. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. 1997.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. 1980.
54
Meinarno, Eko A. Dkk. Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat. Jakarta:
Salemba Humanika. 2011.
Mulder, Niels. Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia. Yogyakarta: LKiS. 2001.
Pranowo, Bambang. Memahami Islam Jawa. Tangerang Selatan: Alvabet. 2009
Ranjabar, Jacobus. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bandung: Alfabeta. 2014.
Rachim, Ryan L., Nilai Budaya Jawa dan Perilaku Nakal Remaja Jawa, dalam
jurnal yang berjudul,Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi, vol. 9, no. 1 tahun
2007.
Rais, Heppy El. Kamus Ilmiah Populer. Yogyakarta: Pusat Belajar. 2012.
Sedyawati, Edy. Budaya Indonesia: kajian arkeologi, seni dan sejarah. Jakarta:
Rajawali Press. 2006.
Sedyawati, Edi. Kebudayaan di Nusantara. Depok: Komunitas Bambu. 2014.
Shadily, Hasan. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve. 2000.
Soesilo. Ajaran Kejawen Sebagai Pedoman Hidup. Surabaya: Medayu Agung.
2000.
Spicer, Edward Holland. Encyclopedia Britannica. Chicago: 2002.
Sumardjo, Jacob.Arkeologi Budaya Indonesia.Yogyakarta: Qalam. 2002.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Depok: Raja Grafindo
Perkasa, 2005.
Suyanto, Bagong dkk. Metodologi Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif
Pendekatan. Jakarta: Kencana. 2007.
Suyono, Capt. R.P. Dunia Mistik Orang Jawa, Yogyakarta: LkiS. 2007.
Syam, Nur. Islam Pesisir, Yogyakarta: LKiS. 2011.
W, Suprapto. Ilmu Budaya Dasar. Bogor: Ghalia Indonesia. 2004.
Widagdho, Djoko dkk.Ilmu Budaya Dasar.Jakarta: Bumi Aksara. 2008.
55
Widianto, Bambang. Perspektif Budaya: Kumpulan Tulisan Koentjaraningrat.
Jakarta: Rajawali Pers. 2009.
Woodward, Mark R. Islam Jawa: Kesalehan Normatif verus Kebatinan.
Yogyakarta: LKiS. 1999.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers. 2010.
Yusuf, Mundzirin. Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN
Suka. 2005.
Jurnal:
al-Amri, Limyah. “Akulturasi Islam dan Budaya Lokal”, Jurnal Kuriositas, vol.
11, no. 2.
Aziz, Donny Khoirul. “Akulturasi Islam dan budaya Jawa”, Jurnal Fikrah Vol 1
No. 2.
Nuryah. Tedhak Siten: ”Akulturasi Budaya Islam-Jawa (Studi Kasus desa
Kedawung, Kecamatan Pejagoan, Kabupaten Kebumen)”, Jurnal Fikri, Vol.
1, No. 2.
Sriyanto, Agus. “Akulturasi Islam dengan Budaya Lokal”, Jurnal Komunika, vol.
1, No. 1.
Diakses dari:
Pekalongankab.go.id, http://www.pekalongankab.go.id/pemerintahan/deskripsi-
wilayah/kondisi-geografis diakses pada 20 Agustus 2018.
Observasi dan Wawancara
Observasi. Desa Sidomukti 15 September 2018.
Observasi. Di Rumah Suroso 16 September 2018.
Observasi. Lihat Arsip Desa Sidomukti Kecamatan Karanganyar Kabupaten
Pekalongan 17 September 2018.
56
Wawancara pribadi dengan Mbah Sejo sebagai tetua desa. Pada tanggal 2 Februari
2019.
Wawancara pribadi dengan Suroso sebagai pemuda desa dan pemilik hajat
Munggah Muluh. Pada tanggal 2 Februari 2019.
Wawancara pribadi dengan Pak Hasrito Aji selaku kepala desa Sidomukti. Pada
tanggal 2 Februari 2019.
Wawancara pribadi dengan Darmui sebagai penyelenggara tradisi. Pada tanggal 2
Februari 2019.
57
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat Seminar Proposal
58
Lampiran 2 : Surat Komprehensif
59
Lampiran 3 : Hasil Komprehensif
60
Lampiran 4 : Surat Penunjukan Pembimbing Skripsi
61
Lampiran 5 : Presensi Bimbingan
62
Lampiran 6 : Surat Izin Penelitian
63
Lampiran 7 : Sertifikat OPAK
64
Lampiran 8 : Sertifikat KKN
65
Lampiran 9 : Sertifikat Toafl
66
Lampiran 10 : Sertifikat Toefl
67
Lampiran 11 : Surat Bukti Wawancara
68
69
70
Lampiran 12: Hasil Wawancara
Hasil wawancara dengan Tetua Desa
Tanggal : 2 Februari 2019
Dirumah kediaman Mbah Sejo
Nama : Mbah Sejo
Alamat : Dukuh Jurangmangu
Pekerjaan : Petani
1. A : Bagaimana perhitungan pra membangun rumah atau sebelum
kita mulai membangun?
B : untuk mencari hari baik dilaksanakannya pembangunan, maka
perhitungannya adalah tidak sesuai wetonnya anda melainkan dengan
perhitungan Truko, Yoso, Rogoh, Sempoyong. Dalam perhitungannya
nanti harus ditanggal yang termasuk kedalam tanggal baik sesuai
perhitungan yaitu Truko dan Yoso. Jangan sampai tanggal pembangunan
jatuh pada hari dimana perhitungannya termasuk dalam hitungan Rogoh
ataupun sempoyong.
2. A : mengapa harus truko dan yoso ? dan tidak boleh rogoh ataupun
sempoyong?
B : karena Truko maupun yoso artinya baik dan nantinya yang menempati
pun akan diberikan kebaikan oleh Tuhan. Sedangkan Rogoh maupun
sempoyong artinya tidak baik, dikhawatirkan nantinya yang membangun
rumah itu atau yang menempatinya akan diberikan banyak musibah.
3. A : apa arti Truko, Yoso, Rogoh dan Sempoyong ?
B : Truko artinya roso atau kuat,ini berarti baik bagi yang menempati
rumah tersebut karena akan kuat dari segi apapun baik materi, kuat sehat
jasmani maupun rohani. Yoso juga artinya baik karena cocok dengan
71
Truko maka 2 perhitungan ini yang dianjurkan. Rogoh artinya tidak baik
yaitu nantinya akan banyak kehilangan baik materi maupun yang lainnya.
Sempoyong artinya doyong atau tak seimbang, yang berarti tidak baik juga
untuk kelangsugan hidup pemilik rumah karena dari segi apapun nantinya
tak akan seimbang baik materi ataupun yang lainnya.
4. A : siapa yang pertama kali mengenalkan tradisi munggah Muluh ini
kepada masyarakat ?
B : orang-orang tua terdahulu yang mewarisi secara turun temurun tradisi
ini, namun untuk siapa sosok tokohnya itu tidak ada yang tahu. Tradisi ini
bahkan sudah ada sejak saya masih kecil dan jauh ketika orang tua atau
bahkan kakek buyut saya masih kecil pun sudah ada tradisi ini.
5. A : Apa tujuan diadakannya tradisi Munggah Muluh ?
B : tujuan diadakan tradisi ini saata akan membangun rumah adalah
supaya sang pemilik rumah mendapat keselamatan, tidak ada halangan dan
dijauhkan dari godaan mahluk dari dunia lain maupun dijuhkan dari
musibah dan marabahaya. Terlebih dapat istiqomah dalam menjalankan
ibadah dan dijauhkan dari penyakit.
6. A : bagaimana jika tidak menggunakan tradisi ini ?
B : akan sama seperti pembangunan sekolah, rumah sakit dan fasilitas
umum lainnya yang membangun hanya sekedar membangun tanpa
menyertakan tradisi masyarakat yang ada dan dilaksanakan secara turun-
temurun. Jika yang kita bangun tujuannya adalah untuk kita tempai
bersama keluarga maupun sanak saudara, maka demi keselamatan bersama
tradisi munggah muluh disarankan untuk dilaksanakan. Meski dalam
praktiknya ada saja satu bahkan lebih masyarakat yang tidak
melaksanakan tradisi ini dengan bermacam alasan, namun warga dan
masyarakat percaya jika demi keselamatan keluarga mereka maka wajib
melaksanakan tradisi munggah muluh ini.
7. A : siapa yang memimpin prosesi ritual munggah muluh ?
B : prosesi munggah muluh ini dipimpin oleh orangtua dari yang akan
membangun. Jika dalam pelaksanaannya si pemilik rumah orang tuanya
sudah tiada, maka ritual akan dipimpin oleh tetua desa. Namun bila
72
pemilik rumah atau orang akan membangun rumah masih memiliki
orangtua, maka orang tuanya lah yang memimpin prosesi ritual ini dengan
tentunya bimbingan dan arahan dari tetua desa dan tetua desa posisinya
disini hanya membimbing bukan memimpin secara langsung prosei ini.
8. A : apa saja elemen yang diperlukan dalam persiapan ritual ini ?
B : pertama adalah persiapkan sesajen seperti bubur putih, bubur merah,
gula putih, gula merah, pisang emas, pisang hijau, kendi yang diisi telur
ayam kampung. Siapkan bengkung panjang untuk dililitkan pada muluh
dan sambungan lilitan tersebut ditarik sampai ke dasar dan dimasukkan
kedalam kendi. Payung untuk memayungi muluh supaya keluarga yang
menempati rumah selalu berada dalam keteduhan saat menjalani
kehidupan sehari-hari. Payung disandingkan dengan pakaian baru, sarung,
bahkan bantal supaya berkah dan pengharapannya tentang hal-hal duniawi
dikabulkan Tuhan. Pakaian, sarung dan lain sebagainya merupakan simbol
sandang dan duniawi, maka harapannya keluarga bisa tercukupi secara
duniawi. Kemudian ikat tebu pada tiang penyanggah muluh dan janur
kuning di sisi yang lainnya, yang bermakna sebagai pertanda bahwa di
tempat tersebut sedang diadakan ritual munggah muluh. Warga akan
mudah mengenali dengan adanya janur kuning tersebut.
9. A : Berapa lama biasanya ritual ini dilaksanakan mulai dari awal
sampai akhir ?
B : tidak ditentukan secara pasti berapa lama prosesi ini dilakukan, bisa
tiga hari atau bahkan lima hari dan ada juga yang sehari semalam saja
cukup. Meski begitu, yang ditekankan dalam tradisi ini adalah waktu
mulai pelaksanaannya yang tepat bukan berapa lama pelaksanaannya.
Waktu mulai pelaksanaannya sangatlah penting karena ini berkaitan
dengan perhitungan Jawa yang diyakini masyarakat dan dipercaya
konsekuensi baik-buruknya penggunakan penanggalan Jawa tersebut.
10. A : Kapan selametan diadakan dalam prosesimunggah muluh ?
B : selametan dilaksanakan sebelum ritual pengangkatan muluh
dilaksanakan atau bisa juga setelah dilaksanakan dan bahkan bisa
dilaksanakan di dua waktu tersebut.
73
11. A : Apa saja yang ada dalam selametan apa maknanya ?
B : selametan biasanya dengan media nasi yang dibungkus daun pisang.
Lauknya macam-macam dan boleh dikreasikan sesuai kemampuan yang
akan membangun rumah, namun yang wajib ada dalam selametan adalah
ayam kampung. Kehadiran ayam kampung dimaknai supaya semua warga
sekitar dapat merasakan makanan enak, karena makanan olahan ayam
pada zaman dahulu tergolong kedalam makanan mewah. Nasi yang
disiapkan untuk selametan pada awal pelaksanaannya adalah berjumalah
tiga puluh dua sesuai dengan perhitungan hari yang berjumlah tujuh
ditambah lima, kemudian jumlah bulan dalam setahun yaitu dua belas, dan
jumlah tahun dalam sewindu yaitu delapan. Dari hasil penjumlahan
perhitungan tersebutlah maka dihasilkan tiga puluh dua.
12. A : bagaimana hukumnya pelaksanaan Tradisi Munggh muluh ?
B : bagi warga desa ini hukumnya wajib. Wajib dalam arti bagi siapapun
yang percaya dan mempercayainya maka wajib hukumnya untuk
melaksanakannya saat akan membangun rumah. aturan ini berlaku di desa
ini saja, tidak tahu bagaimana jika di desa lain. Meski dalam
pelaksanaannya tidak memakai kayu atau muluh tetapi menggunakan baja
ringan misalnya, tetap melaksanakan tradisi ini saat membangun.
13. A : kayu apa yang digunakan dalam tradisi ini ?
B : kayu pohon salam dan kayu wisnu selain itu tidak boleh, pun dengan
kayu jati karena tidak umum digunakan karena mahal. Pohon salam
digunakan karena maknanya keselamatan dan kayu wisnu digunakan
karena nama wisnu yang diyakini penuh kesaktian.
74
Hasil wawancara dengan Kepala Desa
Tanggal : 2 Februari 2019
Dirumah kediaman Kepala desa
Nama : Hasrito Aji
Alamat : Dukuh Jurangmangu
Pekerjaan : Kepala Desa
1. A : Secara geografis, bagaimana letak desa Sidomukti ?
B : Desa Sidomukti merupakan salah satu dari 15 desa di kecamatan
Karanganyar yangletaknyaberadapaling barat dan berbatasan dengan
wilayah kecamatan Kajen ibukota kabupaten Pekalongan. desa Sidomukti
di sebelah utara berbatasan dengan desa jetak kidul kecamatan
Wonopringgo, sebelaha timurberbatasan dengan desa kayugeritan, sebelah
slatan dengan desa Karangsari dan sebelah barat dengan desa
Banjarejokecamatan Karanganyar.
2. A : Sumber daya alam apa saja yang dimiliki desa Sidomukti ?
B : Wilayah desa Sidomukti sebagian besar merupakan tanah pertanian
berupa tanah sawah yang meliputi irigasi teknis seluas 17.200 ha, irigasi
setengah teknis 11.019 ha, pekarangan 30.666 ha, dan lain-lain
(sungai/jalan/pemakaman) seluas 7.300 ha, dengan hasil pertanian utama
adalah padi, palawija dan buah-buahan.
3. A : apa mata pencaharian warga desa Sidomukti ?
B : sebagian besar masyarakat desa Sidomukti bermata pencahariaan di
bidang pertanian yaitu sebagai buruh tani maupun sebagai petani itu
sendiri. Sebagian yang lain banyak juga sebagai pengusaha kelas
menengah kebawah mulai dari usaha skala rumahan maupun pasar. Ada
pula masyarakat sebagai pedagang dengan jumlah yang tidak sedikit,
sebagian berdagang di lingkungan desa dan sebagian lain sebagai
75
pedagang di pasar. Tidak sedikit pula masyarakat desa yang merantau ke
kota dan bekerja di berbagai bidang pekerjaan di kota masing-masing.
4. A : bagaimana kondisi pendidikan masyarakat desa Sidomukti ?
B : mayoritas masyarakat desa sidomukti berpendidikan rendah yaitu tidak
tamat sekolah dasar yang sebagian besar adalah para orang tua yang sudah
sepuh. Sebagian besar yang lain berpendidikan sampai sekolahmenengah
pertama dan di atasnya bahkan sampai tingkatperguruan tinggi. Minimnya
minat pendidikan di desa Sidomukti adalah karena dahulu fasilitas
pendidikan yang kurang banyak. Jika pun ada, fasilitasnya yang kurang
memadahi. Di masa-masa sekarang sudah di tingkatkan lagi jumlah
fasilitas pendidikan dan fasilitas penunjangpendidikan supaya minat
masyarakat desaSidomuktiterhadap pendidikan semakin tinggi. Ini tentu
akan menguntungkan semua pihak baik pemerintah desa maupun
masyarakat itu sendiri , karena meningkatnyatarafpendidikan masyarakat
sejalan dengan pertuumbuhan ekonomi masyarakatdesa itu sendiri.
Diharapkan kedepan dengan semakin tinggi pendidikan masyarakat
semakin tinggi pula tingkat pperekonomian masyarakatsecara keseluruhan.
5. A : bagaimana sejarah desa Sidomukti ?
B : berdasarkan cerita yang dihimpun dari para sesepuh desa yang sampai
saat ini masih percaya, desa sidomukti terbentuk sekitar tahun 1928
dengan dipimpin oleh kesepakatan tunjukan seorang kepala suku. Wilayah
yang sekarang bernama Sidomukti awalnya bernama “sentul” yang dalam
sejarahnya merupakan nama sebuah tonggak kayu. Tonggak kayu sentul
sendiri berada di salah satu dukuh di desa Sidomukti, tepatnya berada di
salah satu aliran sungai yang cukup besar dan berada di bawahnya.
Masyarakat desa percaya bahwa sewaktu-waktu tonggak kayu itu akan
muncul ke permukaan, dimana masyarakat percaya bahwa setiap kali
tonggak kayu itu muncul akan membawa pesan tertentu yang ditujukan
kepada masyarakat desa. Tonggak kayu yang dimaksud merupakan bagian
ujung bawah pohon yang telah di tebang, posisinya ada di dasar sungai.
Nama desa Sidomukti berarti “Jadi Mukti/Makmur” yang pada saat itu
dimaksudkan siapapun orangnya yang taat dan setia menjadi warga desa
76
Sidomukti diharapkan bisa berjaya dan makmur dalam hidup. Secara
administrasi desa Sidomukti berdiri sekitar tahun 1928. Saat itu ada dua
wilayah yang bernama Sentul dan Jurangmangu yang masing-masing
memiliki pemimpin wilayah. Selanjutnya kedua wilayah tersebut sepakat
untuk bergabung menjadi satu dan damai. Desa Sidomukti kemudian
berkembang menjadi tiga perdukuhan yang antara lain adalah dukuh
Jurangmangu, Dukuh Sidomukti Tengah dan dukuh Sidomukti Timur.
77
Hasil wawancara dengan Pemuda Desa
Tanggal : 2 Februari 2019
Dirumah kediaman Suroso
Nama : Suroso
Alamat : Dukuh Jurangmangu
Pekerjaan : Pekerja Bangunan
1. A : apa itu munggah muluh ? dan apa artinya ?
B : munggah muluh adalah suatu prosesi acara dalam pembangunan rumah
masyarakat Jawa. Muluh yang dimaksud adalah sebatang kayu yang
dililiti bendera merah putih dan di paku dengan paku yang terbuat dari
paku emas. Bendera yang dipaku di tengah-tengah kayu memiliki dua
kantung. Kantung pertama berisi minyak melati, bunga, bedak, sisir,
cermin dan sawanan. Kantung kedua berisi uang yang diisi oleh pemilik
rumah, keluarga dan masyarakat sekitar atau tetangga rumah.
2. A : Mengapa bendera merah putih ? apa makna dari isinya ?
B : Bendera merah putih yang dipasang dan dipaku dengan paku emas
memiliki dua kantung yang masing-masing berisi minyak melati, bedak,
bunga, pasir, sisir dan sawanan. Kantung satunya berisi uang. Kantung
pertama bermakna bahwa kedepan keluarga yang mendiami rumah
tersebut akan dimudahkan secara sandang. Kantung kedua berisi uang
yang diisi oleh pemilik rumah beserta keluarga dan para tetangga
bertujuan agar kelak apabila keluarga pemilik rumah sudah benar-benar
tidak memilik uang atau penghasilan maka uang tersebut dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Paku emas yang digunakan
sebagai perekat antara bendera dan kayu bertujuan agar kelak jika uang di
kantung sudah habis maka paku tersebut bisa dijual. Bendera merah putih
yang digunakan bermakna pada zaman dahulu sewaktu masa penjajahan
78
apabila mengibarkan bendera merah putih maka sangat beresiko ditembak
ditempat, oleh sebab itu masyarakat hanya bisa meletakkan bendera diatas
muluh atau pada bagian muluh di atap rumah sebagai bentuk kecintaan
terhadap negara.
3. A : bagaimana tahapan prosei menaikkan Muluh dan apa saja yang
dibutuhkan ?
B : Munggah Muluh mengandung banyak acara dan memerlukan banya
sesajen. Prosesi yang pertama yaitu mengkramasi Muluh dengan sampo,
membersihkan kayu agar terlihat apik sebelum mulai dinaikkan yang
dimaksudkan sebagai simbol pembersihan hati bagi pemilik rumah dan
memberikan kenyamanan. Kedua adalah meluluri muluh dengan sawanan.
Sawanan yaitu sebuah penolak bala yang terbuat dari kunyit dan beras
kencur yang dihaluskan. Prosesi ketiga adalah memasang bendera.
Pemasangan bendera tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang, hanya
orangtertentu saja yang bisa karena ada doa-doa tertentu yang harus
dibaca. Setelah waktu atau jam pelaksanaan telah tiba, Muluh akan
diangkat oleh orang tua dan pemilik bersama-sama keatas dan selanjutnya
akan dilakukan oleh pekerja. Setelah muluh sampai diatas, salah seorang
pekerja yang dituakan atau mandornya akan ditanyai oleh si pemilik
rumah dengan sebuah pertanyaan, yaitu “diatas ada apa?” lalu si tukang
atau pekerja ini akan menjawab “diatas sudah penuh, pepek, gemah ripah
loh jinawi” dalam bahasa Jawa tentunya. Muluh yang telah sampaidiatas
kemudian diisi dengan berbagai macam barang untukdikaitkan diatasnya,
antara lain kelapa, janur, jagung, padi, pisang, tebu, payung, bantal baju
laki-laki dan perempuan, kain jarit, sarung, sajadah, bengkung. Semuanya
diikat diatas di kayu atau Muluh.
79
Lampiran 13 : Foto Hasil Kegiatan
Wawancara dengan Pak Hasrito Aji Kepala Desa Sidomukti
80
Wawancara dengan Mbah Sejo Tetua Desa
Aneka sesajen lengkap dengan palawija
81
Aneka palawija untuk kelengkapan ritual
Area pembangunan rumah sekaligus ritual munggah muluh
82
Muluh sedang dipersiapkan untuk prosesi
Muluh dipasangi bendera kemudian dipaku
Muluh dan sesajen lengkap dengan kemenyan
83
Muluh dimandikan dengan campuran air kunyit
Muluh di adzani
84
Muluh diangkat ke atas oleh tuan rumah dan para pekerja
Muluh sampai di atas
85
Muluh dipayungi
Sarung, palawija dan pakaian lainnya diletakkan pada muluh yang telah terpasang
86
Muluh dan banyak ornamennya tampak dari bawah
Bengkung yang direndam dalam air beserta perlengkapan lainnya
87
Muluh dan aneka sesajen yang lengkap