AKUAKULTUR BERKELANJUTAN(Tugas Mata Kuliah Akuakultur Berkelanjutan)
Oleh :M. Nurul Fajri
1214111044
JURUSAN BUDIDAYA PERAIRANFAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG2015
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................iii
I. PENDAHULUAN...............................................................................................1
1.1. Latar Belakang........................................................................................................1
1.2. Tujuan.....................................................................................................................2
II. PEMBAHASAN................................................................................................3
2.1. Daya Dukung Lingkungan......................................................................................3
2.1.1. Definisi.............................................................................................................3
2.1.2. Faktor Penentu.................................................................................................3
2.1.3. Analisis.............................................................................................................4
2.2. Dampak Negatif Akuakultur Terhadap Lingkungan................................................5
2.2.1. Limbah Nitrogen..............................................................................................5
2.2.2. Limbah H2S......................................................................................................6
2.2.3. Permasalahan Tepung Ikan dalam Pakan.........................................................6
2.2.4. Dampak Lingkungan Lain................................................................................6
2.2.5. Dampak Sosial.................................................................................................7
2.3. Hubungan Akuakultur dan Iklim.............................................................................7
2.3.1 Akuakultur Tropis.............................................................................................8
2.3.2 Akuakultur Sub-Tropis......................................................................................8
2.4 Model Integrated Multitrophic Aquaculture (IMTA)...............................................8
III. KESIMPULAN..............................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Sketsa Sistem Integrated Multi-Trophic Aquaculture (IMTA).............9
iii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki tradisi panjang mengenai akuakultur,
terutama akuakultur perairan tawar dan payau. Perkembangan akuakultur di
sekitar tahun 80-an masih bersifat minim teknologi dan lebih berorientasi pada
perluasan lahan budidaya atau sistem ekstensif. Pengembangan marikultur mulai
dilakukan dengan peningkatan produksi jenis-jenis udang dan ikan laut akibat
dilarangnya penggunaan trawl sebagai alat tangkap oleh pemerintah sekitar tahun
1980-1981. Posisi geografik yang strategis dan luasnya perairan antar pulau
membuat Indonesia menjadi salah satu negara dengan potensi prospek akuakultur
terbesar di dunia (Yusuf, 1995).
Akuakultur merupakan suatu kegiatan produksi biota akuatik yang bertujuan
untuk tujuan komersial. Aktivitas akuakultur dapat meliputi pembenihan,
pendederan, pembesaran, pemanenan, handling dan transportasi, serta pengolahan
dan pemasaran. Usaha di bidang akuakultur sangat menjanjikan dan memiliki
potensi yang besar untuk dijadikan suatu usaha bertingkat industri (Ahmed &
Lorica, 2002). Akuakultur saat ini merupakan salah satu sistem pangan yang
sangat pesat pertumbuhannya di dunia. Pada tahun 1997, produksi berbagai
macam organisme akuakultur telah dibudidayakan di dunia seperti ikan, udang,
dan moluska mencapai 24,4 juta ton (Naylor, et al., 2000).
Peningkatan produksi dalam akuakultur yang terus berkembang menyebabkan
terjadinya ekspansi lahan tanah dan air yang semakin meluas. Penggunaan
teknologi dan intensifitas tinggi pada budidaya ikan dan udang menyebabkan
peningkatan input air, pakan, pupuk, dan bahan-bahan kimia lainnya. Akibatnya,
akuakultur kini dianggap berpotensi besar menjadi polutan bagi lingkungan
perairan serta menyebabkan degradasi pada lahan basah (Anthony & Philip,
1
2006). Oleh karena itu, perlu dilakukan analisa lebih mendalam mengenai dampak
lingkungan yang diberikan sektor akuakultur, serta menemukan solusi untuk
menangani berbagai permasalahan tersebut sebagai bagian dari mendukung
terlaksananya akuakultur yang berkelanjutan.
1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari ulasan ini adalah mempelajari efek lingkungan dari aktivitas
akuakultur dan menangani permasalahan lingkungan tersebut untuk terciptanya
akuakultur berkelanjutan.
2
II. PEMBAHASAN
2.1. Daya Dukung Lingkungan
2.1.1. Definisi
Berdasarkan UU no. 23 tahun 1997, pengertian (Konsep) daya dukung lingkungan
hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan
manusia dan makhluk hidup lain. Daya dukung lingkungan merupakan batas
teratas dari pertumbuhan suatu populasi saat jumlah populasi tidak dapat
didukung lagi oleh sarana, sumber daya dan lingkungan yang ada (Mahmudi,
2005).
2.1.2. Faktor Penentu
Daya dukung lingkungan berkelanjutan ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu
faktor biofisik dan faktor sosial budaya. Kedua kelompok faktor ini saling
mempengaruhi satu sama lain :
a) Faktor biofisik : yaitu faktor yang bersifat kesesuaian lahan suatu aktivitas
pembangunan terhadap faktor lingkungan. Faktor ini menilai apakah aktivitas
akuakultur sesuai dilakukan di tempat tersebut atau tidak. Hal ini lebih
banyak berorientasi pada keadaan fisik suatu tempat, misalnya suhu udara,
pH air, ketinggian tanah, kemiringan tanah, kepadatan substrat, kekuatan arus
air, kekuatan daya tampung lingkungan, keberadaan hewan pengganggu,
ketersediaan sumber energi, dan berbagai faktor biofisik lainnya (Mahmudi,
2005).
b) Faktor sosial budaya : yaitu faktor yang menilai apakah suatu aktivitas
pembangunan dapat diterima oleh masyarakat atau tidak. Faktor ini
mempunyai peranan yang sangat penting, bahkan menentukan dalam daya
dukung yang berkelanjutan. Pada akhirnya, manusia yang menentukan
apakah pembangunan akan berjalan terus atau terhenti. Penerimaan
3
masyarakat terhadap suatu aktivitas pembangunan berpengaruh terhadap
keberlanjutan aktivitas tersebut. Aktivitas yang merugikan justru akan
menimbulkan keresahan bagi orang-orang sekitar yang merasa terganggu
akibat aktivitas tersebut, misalnya limbah hasil akuakultur yang menimbulkan
pencemaran udara (Putri, Priadi, & Sriati, 2014).
Faktor-faktor yang dapat menentukan daya dukung lingkungan dalam kondisi
baik atau tidak antara lain, adalah ketersedian bahan baku dan energi, akumulasi
limbah dari aktivitas produksi (termasuk manajemen limbahnya) dan tentu
interaksi antar makhluk hidup yang ada di dalam lingkungan. Dengan kata lain
daya dukung harus mampu mencakup daya dukung lingkungan fisik, biologi dan
persepsi atau psikologis (Sachoemar, 2006).
2.1.3. Analisis
Tahapan analisis daya dukung sebenarnya sangat fleksibel dan dinamis, artinya
langkah yang dapat ditempuh untuk menganalisis daya dukung sangat beragam
dan tidak ada yang tetap (Arifin, Bohari, & Arlyza, 2014). Menurut Tri Supratno
(2006) tingkat kesesuaian lahan budidaya ikan dibagi menjadi empat kelas, yaitu :
a. Sangat Sesuai (S1) : Daerah yang sangat potensial dan tidak mempunyai faktor
penghambat untuk pengembangannya.
b. Sesuai (S2) : Daerah yang cukup potensial karena memenuhi persyaratan
minimal untuk pengembangan budidaya.
c. Sesuai Bersyarat (S3) :Daerah kurang potensial yang memerlukan perlakuan
khusus untuk meningkatkan kemampuannya dalam pemanfaatan lahan.
d. Tidak Sesuai (N) :Daerah tidak potensial yang tidak dapat dikembangkan
karena terlalu banyak penghambat.
Tingkat kesesuaian lahan ini membutuhkan nilai (value) untuk keperluan analisis.
Dalam hal ini dapat kita misalkan sebagai berikut: S1: 10, S2: 6, S3: 3, dan N: 0.
Penganalisisan kesesuaian lahan dapat menggunakan rumus:
TKL= Σ(S1 + S2 + S3)
Σparameter yang diukur
4
Ket: TKL= Tingkat Kelayakan Lahan
S1: 10; S2: 6,; S3: 3; dan N: 0.
Hasil dari perhitungan dijadikan persentase berdasarkan nilai kesesuaian yang
dimisalkan di atas. Indikator penilaian adalah sebagai berikut:
S1= 80-100 %; S2= 60-79 %; S3= 40-59 %; N= <40 %
Nilai di atas dapat disesuaikan kembali dengan situasi, sehingga nilai tersebut
bukanlah sebuah patokan yang pasti (Supratno, 2006).
2.2. Dampak Negatif Akuakultur Terhadap Lingkungan
2.2.1. Limbah Nitrogen
Pemanfaatan perairan danau/waduk untuk kegiatan budidaya ikan di KJA telah
memberikan dampak positif yaitu terciptanya sumber pertumbuhan ekonomi yang
dapat meningkatkan kesejahteraan dari pelaku usaha budidaya serta penduduk
sekitar danau secara berkelanjutan. Sifat perairan danau yang masih dianggap
sebagai common property dan open access menyebabkan pertumbuhan KJA di
berbagai tempat berkembang sangat pesat dan cenderung tidak terkontrol dan tak
terkendali (Ahmed & Lorica, 2002). Maraknya keramba apung juga menghasilkan
permasalahan tersendiri bagi lingkungan yaitu akan menghasilkan sejumlah
limbah organik (terutama yang mengandung unsur nitrogen dan fosfor) yang besar
akibat pemberian pakan yang tidak efektif dan efisien sehingga terjadi sisa pakan
yang menumpuk di dasar perairan (Anthony & Philip, 2006).
Pada saat jumlahnya melampaui batas tertentu, limbah tersebut akan
menyebabkan penurunan kualitas perairan yang pada akhirnya mempengaruhi
hewan yang dipelihara. Sisa pakan dan metabolisme dari aktifitas pemeliharaan
ikan dalam KJA serta limbah domestik yang berasal dari kegiatan pertanian
maupun dari limbah rumah tangga menjadi penyebab utama menurunnya fungsi
ekosistem danau yang berakhir pada terjadinya pencemaran danau, mulai dari
eutrofikasi yang menyebabkan ledakan (blooming) fitoplankton dan gulma air
seperti enceng gondok (Eichornia crassipes), upwelling dan lain-lain yang yang
dapat mengakibatkan organisme perairan (terutama ikan-ikan budidaya) serta
5
diakhiri dengan makin menebalnya lapisan anaerobik di badan air danau (FAO,
2015).
2.2.2. Limbah H2S
Pada bagian dasar perairan darat dan pantai dimana dekomposisi bahan organik
yang mengandung sulfur (Biasanya bersifat dekomposisi anaerobik), kadar
hidrogen sulfida (H2S) dapat sangat tinggi. Gas H2S akan lebih tinggi pada
perairan yang terkontaminasi kotoran dan polutan. Gas ini dapat dideteksi
keberadaannya dengan karakteristiknya yang bau dan sering berasosiasi dengan
lumpur hitam dalam kondisi anoksik. Gas ini sangat toksik bagi ikan, sehingga
pelaku akuakultur harus mengatasi sumber permasalahannya yaitu akumulasi
kotoran. Akumulasi gas H2S umumnya terjadi pada kolam yang berdasar tanah,
seperti tambak udang (Anthony & Philip, 2006).
2.2.3. Permasalahan Tepung Ikan dalam Pakan
Pesatnya perkembangan akuakultur membuat munculnya sebuah isu penting yang
perlu dibahas, yaitu ‘Fish Meal Issue’ atau isu tepung ikan. Beberapa kegiatan
akuakultur yang populer antara lain budidaya udang dan salmon merupakan
contoh kegiatan akuakultur yang banyak membutuhkan tepung ikan dalam pakan
dalam jumlah yang banyak. Sumber tepung ikan ini tiada lain merupakan hasil
dari tangkapan ikan di alam. Produksi tepung ikan dunia yang saat ini digunakan
oleh industri akuakultur telah mencapai 35% dan diperkirakan terus meningkat
pengunaannya (FAO(2), 2015).
Pakan telah menjadi tantangan utama dalam akuakultur mengingat sumber protein
dalam pakan saat ini masih bergantung pada tepung ikan. Untuk mengurangi
tekanan terhadap sumberdaya ikan laut (sebagai sumber tepung ikan), perlu untuk
ditelaah kembali mengenai alternatif sumber protein baru dalam pakan yang tidak
bersinggungan dengan kebutuhan manusia (Cho & Bureau, 2001).
2.2.4. Dampak Lingkungan Lain
Limbah lain adalah bahan-bahan kimia (antibiotik, desinfektan dll. yang
digunakan usaha akuakultur). Situasi terkini memang banyak usaha budidaya
6
yang telah mengurangi efluen dengan sistem resirkulasi atau manajemen pakan
yang lebih baik. Pengunaan bahan-bahan kimia pun tidak sebanyak 10 tahun silam
mengingat berkembangnya teknologi akuakultur (FAO, 2015).
Penyakit ikan merupakan isu yang penting mengingat kompleksnya permasalahan
penyakit. Penyakit atau pathogen ikan dapat berpindah dari ikan budidaya ke ikan
di alam maupun sebaliknya. Pathogen pun kini menyebar dikarenakan translokasi
ikan akibat akuakultur, perdagangan dsb. Penyakit ikan pun menjadi lebih
berbahaya arena pengaruh obat-obatan. Introduksi spesies ikan eksotik juga
bagian dari lingkaran permasalahan dalam bidang akuakultur karena spesies yang
feral (kabur) ke perairan bisa saja menjadi masalah pelik dan mengganggu
keseimbangan ekosistem (Yusuf, 1995).
2.2.5. Dampak Sosial
Perikanan budidaya yang diusahakan masyarakat pada suatu wilayah tentu akan
disertai pengaruh terhadap lingkungan sekitar dan kondisi sosial ekonomi
masyarakat. Pada satu sisi, adanya usaha perikanan pada suatu wilayah akan
menjadi sumber pendapatan tambahan serta membuka lapangan pekerjaan baru
bagi masyarakat, namun di sisi lain usaha perikanan dapat mempengaruhi keadaan
lingkungan sekitar yang dahulu seimbang menjadi terganggu akibat dari beberapa
proses budidaya itu sendiri. kerusakan lingkungan akibat masuknya usaha
budidaya perikanan darat umumnya diawali oleh pembukaan lahan yang
diperuntukkan untuk usaha budidaya yang tidak memperhatikan aspek lingkungan
sekitar serta rangkaian proses budidaya yang dilakukan tidak tepat sehingga
mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan sekitar. Hal ini dapat
mempengaruhi penerimaan masyarakat terhadap usaha tersebut sehingga usaha
akuakultur tidak akan berjalan dengan baik dan berkelanjutan (Putri, Priadi, &
Sriati, 2014).
2.3. Hubungan Akuakultur dan Iklim
Sejumlah spesies akuakultur dibudidayakan sesuai dengan iklim dari wilayah
tersebut. Terdapat organisme yang hanya dapat atau lebih utama dibudidayakan di
musim-musim tertentu, seperti salmon, rumput laut, dan udang kuruma. Hal
7
tersebut menunjukkan bahwa aktivitas akuakultur berhubungan erat dengan iklim
wilayahnya. Pada umumnya, hal ini dipengaruhi oleh fluktuasi suhu yang terjadi.
Adapun iklim dunia terbagi menjadi dua, yaitu iklim tropis dan iklim sub tropis.
2.3.1 Akuakultur Tropis
Akuakultur di wilayah beriklim tropis biasanya paling banyak dilakukan di dunia.
Iklim tropis dengan fluktuasi suhu yang cenderung tidak tinggi dan lebih stabil
membuat organisme lebih mudah dibudidayakan tanpa harus takut adanya efek
negatif dari cuaca (Iwama, 1991). Selain faktor suhu, lamanya cahaya matahari
bersinar per hari dalam setahun selalu sama dan tidak memiliki perbedaan yang
signifikan (12 jam). Mayoritas spesies akuakultur dapat dibudidayakan di iklim
tropis, baik ikan air tawar, payau, maupun laut. Namun, pemanasan global saat ini
mulai mempengaruhi iklim tropis dunia. Terjadinya perubahan iklim baik secara
nasional maupun global (La Nina dan El Nino) sangat mempengaruhi pola
budidaya, terutama komoditas rumput laut seperti Kappaphycus alvarezii
(Radiarta, Erlania, & Rusman, 2013).
2.3.2 Akuakultur Sub-Tropis
Sejumlah negara maju di wilayah sub tropis mulai melakukan akrivitas akuakultur
beberapa spesies ikan perairan dingin dan hangat, seperti tuna, salmon, flounder,
dan sea bream (Satoshi, 1988). Budidaya ikan-ikan tersebut biasanya dilakukan
didalam ruangan yang telah memiliki rekayasa teknologi yang mumpuni. Iklim
sub tropis terkenal dengan fluktuasi suhunya yang beragam tiap tahun, sehingga
sangat jarang suatu organisme dibudidayakan dalam satu periode penuh di
lingkungan terbuka (Petrell & Alie, 1996).
2.4 Model Integrated Multitrophic Aquaculture (IMTA)
IMTA (Integrated Multi Trophic Aquaculture) adalah suatu metode untuk
mengoptimalkan hasil perikanan melalui pemanfaatan sistem budidaya dengan
pendekatan alamiah ekosistem laut sehingga mengopimalkan hasil, efesiensi
pakan dan diversifikasi produk (Váradi, 2012). IMTA adalah salah satu bentuk
dari budidaya laut dengan memanfaatkan penyediaan pelayanan ekosistem oleh
8
organisme trofik rendah (seperti kerang dan rumput laut) yang disesuaikan
sebagai mitigasi terhadap limbah dari organisme tingkat trofik tinggi
(seperti ikan) IMTA diterapkan sebagai solusi terhadap mitigasi limbah yang
dikeluarkan dalam marikultur dan peningkatan efesiensi dari pakan sehingga tidak
mencemari lingkungan (Wibisono, 2011).
Penerapan IMTA di Indonesia memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan,
mengingat areal budidaya yang masih sangat luas untuk dimanfaatkan serta jenis
organisme ekosistem skala kecil sangat banyak dan beragam Pengembangan
IMTA dapat dilaksanakan pada daerah budidaya laut yang memanfaatkan
karamba jaring apung dan karamba jaring tancap. Salah satu tempat yang telah
menerapkannya dan terbukti berhasil adalah Bali terutama pada bagian teluk yang
memiliki arus yang tenang dan sesuai untuk budiddaya KJA. Sistem IMTA
yang diterapkan di Bali menggunkan ikan, rumput laut, oyster pada budidaya
KJA dan memberikan hasil baik serta optimalisasi dalam pemanfaatan pakan
(Váradi, 2012).
Gambar 1. Sketsa Sistem Integrated Multi-Trophic Aquaculture (IMTA) (Váradi,
2012)
Keunggulan IMTA di antaranya dapat mereduksi limbah yang dihasilkan dari
budidaya laut, efisiensi pakan, ramah lingkungan, serta mampu mengoptimalkan
diversifikasi perikanan dalam waktu yang sama. Budidaya ini sudah berjalan di
negara-negara seperti Kanada dan Cina. Penerimaan masyarakat umum dan
industri terhadap penerapan IMTA pada budidaya salmon Atlantik lebih besar
9
daripada budidaya salmon monokultur, masing-masing sekitar 90% dan 89%
sedangkan untuk monokultur hanya sekitar 60% untuk kedua pihak (Petrell &
Alie, 1996).
10
III. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari ulasan pustaka ini adalah berikut :
Akuakultur merupakan kegiatan yang memiliki efek terhadap lingkungan, seperti
penyumbang limbah nitrogen, H2S, dan limbah lain. Hal tersebut harus ditangani
dengan sistem akuakultur yang baik yang berorientasi pada teknologi sehingga
dapat meminimalisir efek negatif yang ditimbulkan.
11
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, M., & Lorica, M. (2002). Improving developing country food security through aquaculture development—lessons from Asia. Food Policy , 27, 125-141.
Anthony, S., & Philip, R. (2006). Bioremediation in Shrimp Culture Systems. WorldFish Center Quarterly , 29 (3), 62-66.
Arifin, T., Bohari, R., & Arlyza, I. (2014). Analisis kesesuaian ruang berbasis budidaya laut di pulau-pulau kecil Makassar : Aplikasi sistem informasi geografis. Forum Geografi , 28 (1), 91-102.
Cho, C., & Bureau, D. (2001). A review of diet formulation strategies and feeding systems to reduce excretory and feed wastes in aquaculture. Aquaculture Research , 32, 349-360.
FAO. (2015, 10 10). Waste management of fish and fish products. Retrieved 11 16, 2015, from Food and Agriculture Organization of the United Nations: http://www.fao.org/fishery/topic/12326/en
FAO(2). (2015). Fish Meal. Retrieved 11 16, 2015, from FAO Corporate Document Repository: http://www.fao.org/wairdocs/tan/x5926e/x5926e01.htm
Iwama, G. (1991). Interaction between aquaculture and the environment. Critical Reviews in Environmental Control , 21 (2), 177-216.
Mahmudi, M. (2005). Produktivitas Perairan. Malang: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya.
Naylor, R., Goldburg, R., Primavera, J., N.Kautsky, Beveridge, M., Clay, J. (2000). Effects of Aquaculture in world fish supplies. Nature , 405, 1017-1024.
Petrell, R., & Alie, S. (1996). Integrated cultivation of salmonids and seaweeds in open sistems. Hydrobiologia , 398, 469-472.
Putri, T., Priadi, D., & Sriati. (2014). Dampak usaha perikanan budidaya terhadap kondisi lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat pada lahan pasang surut Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia , 2 (1), 43-54.
Radiarta, I., Erlania, & Rusman. (2013). Pengaruh iklim terhadap musim tanam rumput laut Kappaphycus alvarezii di Teluk Gerupuk Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. J. Ris. Akuakultur , 8 (3), 453-464.
Sachoemar, S. (2006). Analisis daya dukung lingkungan perairan marikultur Batam Estet (BME) Batam. Jurnal Hidrosfir , 1 (2), 52-60.
Satoshi, M. (1988). Aquaculture development in Japan. Aquaculture development in Southeast Asia , 1, 39-71.
Supratno, T. (2006). Evaluasi Lahan Tambak Pesisir Jepara Untuk Pemanfaatan Budidaya Ikan Kerapu. Semarang: Universitas Diponegoro.
Váradi, L. (2012). Newly discovered form of aquaculture: Integrated Multitrophic Aquaculture (IMTA). NACEE Workshop on some specific issues of freshwater aquaculture (pp. 1-20). Rétimajor: Hungarian Aquaculture Association.
Wibisono, R. (2011). Aplikasi IMTA. Bogor: Institur Pertanian Bogor.
Yusuf, D. (1995). Aquaculture in Indonesia. Proceedings of the Seminar-Workshop on Aquaculture Development in Southeast Asia, Iloilo City, Philippines, 26-28 July, 1994 (pp. 109-115). Ilolio City: The Philippines.