Modul 7
HUBUNGAN ANTARKELOMPOKProf.Dr. M. Enoch Markum
Manusia, dalam kehidupan sehari-harinya, tidak dapat
dilepaskan dari kelompok. Sekecil apa pun kelompoknya manusia
selalu terikat dalam kelompok, seperti dalam keluarga, kelompok
bermain, sekolah, tempat bekerja, dan sebagainya. Kelompok-
kelompok tersebut ternyata juga tidak dapat berdiri sendiri
sepenuhnya, karena antara kelompok-kelompok tersebut, disadari
atau tidak disadari, mau - tidak mau, akan muncul saling
mempengaruhi dan berhubungan.
Hubungan antarkelompok dapat memunculkan kerjasama,
tetapi juga dapat memunculkan persaingan atau kompetisi. Dalam
modul 7 ini akan dibahas secara rinci hal-hal yang berkaitan
dengan hubungan antarkelompok. Secara garis besar materi yang
akan dibahas dalam modul ini meliputi: pengertian hubungan
antarkelompok, teori Psikologi Sosial tentang hubungan
antarkelompok, kerjasama dan kompetisi, dan penanganan konflik
antarkelompok.
Setelah mempelajari modul ini, secara umum Anda
diharapkan memiliki :
a. menjelaskan pengertian hubungan antarkelompok
PENDAHULUAN
1.2 Psikologi Sosial
b. menjelaskan teori-teori dalam psikologi sosial tentang
hubungan antarkelompok
c. menjelaskan pengertian kerjasama dan kompetisi
d. menerapkan cara-cara penanganan konflik
antarkelompok
ADPU4218/MODUL 7 1.3
Kegiatan Belajar 1
PENGERTIAN HUBUNGAN ANTARKELOMPOK
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan berbagai
bentuk hubungan antarkelompok baik yang bersifat kerjasama
(cooperation) maupun persaingan (competitive). Bentuk hubungan
antarkelompok yang bersifat kerjasama dapat kita lihat misalnya,
pada organisasi yang berbagai komponen dari organisasi itu
bekerjasama untuk mencapai tujuan organisasi. Sedangkan bentuk
hubungan antarkelompok yang bersifat persaingan dapat kita
saksikan pada peristiwa pertandingan olahraga, lomba pidato dalam
bahasa Inggeris, perang antar suku atau antar Negara, dan lain-lain.
Bila pada kerjasama, berbagai pihak yang terlibat satu sama lain
melihat mereka sebagai mitra kerja dan saling berbagi (sharing),
maka yang terjadi pada kompetisi justru antara berbagai pihak yang
terlibat saling menghambat atau menghalang-halangi gerak pihak
lain. Dengan kata lain, pada kompetisi senantiasa ada pihak yang
menang dan ada pihak yang kalah.
Dimensi lain dari hubungan antarkelompok adalah
tingkatannya, mulai dari hubungan antar individu sampai hubungan
antar negara. Bentuk hubungan antar negara bisa bersifat kerjasama
misalnya, kerjasama di bidang ekonomi, pendidikan, kebudayaan,
dan militer, sedangkan hubungan antar negara yang berbentuk
1.4 Psikologi Sosial
konflik adalah pemutusan hubungan diplomatik, embargo, dan
perang antar negara.
Mengapa atau kapan hubungan antarindividu
(interpersonal relationship) merupakan hubungan antarkelompok?
Bukankah “individu” tidak sama dengan “kelompok”?. Untuk
menjawab pertanyaan ini, berikut dikemukakan suatu ilustrasi
mengenai dua remaja - putra dan putri - yang sedang asyik
menikmati suasana romantis di suatu kafe yang lengang
pengunjung. Suasana romantis ini memang dirasakan benar oleh
kedua remaja ini, sampai suatu ketika sang remaja putri
mengucapkan suatu kalimat yang sebenarnya tidak ditujukan kepada
remaja putra, namun ditujukan kepada kaum pria umumnya. Sang
remaja putri berkata: “Wah, jaman sekarang jarang ada laki-laki
yang setia, kalau pun ada yang setia, bisa dihitung pakai jari”.
Mendengar ucapan remaja putri ini, sang remaja putra menjawab:
“Nanti dulu, cari perempuan yang setia juga tidak gampang.
Buktinya, perempuan juga banyak yang selingkuh”. Meskipun
nampaknya illustrasi ini menggambarkan hubungan antarindividu
(interpersonal relationship), namun tatkala remaja putra membalas
ucapan remaja putri dengan melibatkan “perempuan” juga banyak
yang tidak setia, maka hubungan antarindividu tersebut berubah
menjadi hubungan antarkelompok. Hal ini disebabkan karena dalam
percakapan mereka, baik remaja putra maupun remaja putri telah
melibatkan kelompok mereka masing-masing, yakni kaum pria dan
kaum perempuan.
Sebaliknya, dalam suatu pesta resepsi pernikahan yang
dihadiri oleh banyak tamu, belum tentu dapat dikatakan suatu
hubungan antarkelompok manakala masing-masing kelompok tamu
ADPU4218/MODUL 7 1.5
undangan tidak berinteraksi satu sama lain, di samping topik
pembicaraan pada setiap kelompok tamu undangan tidak melibatkan
unsur kelompok seperti pada contoh hubungan romantis dua remaja
terdahulu. Lain halnya, apabila salah satu “anggota” kelompok tamu
undangan tertentu berkata: “Itu undangan yang bergerombol dekat
meja makan adalah adik-adik kelas kita di SMA dulu. Kalau tidak
salah mereka dua tahun di bawah kita”. Dari ucapan terakhir ini
tampak bahwa meskipun mereka tidak berinteraksi satu sama lain,
namun dapat digolongkan sebagai hubungan antarkelompok, sebab,
di sini telah terjadi in-group (kakak kelas) dan out-group (adik
kelas),
Kedua ilustrasi di atas - remaja putra dan putri di kafe dan
pesta resepsi pernikahan - dikemukakan untuk membantu
pemahaman batasan hubungan antarkelompok yang diajukan oleh
Taylor dan Moghaddam (1994), yakni (terjemahan bebas)
“Hubungan antarkelompok diartikan sebagai setiap hubungan yang
melibatkan sejumlah individu yang menganggap diri mereka atau
dianggap oleh individu lain sebagai bagian dari suatu kategori
sosial” (h. 6). Definisi lain dikemukakan oleh Sherif dan Sherif
(1969): “Serangkaian tindakan yang dilakukan oleh sejumlah
individu dari suatu kelompok yang baik secara individual maupun
kolektif ditampilkan pada saat berinteraksi dengan sejumlah orang
dari kelompok tertentu” (h. 6).
Dari kedua definisi ini tampak bahwa hubungan
antarkelompok tidak senantiasa merujuk pada dua kelompok dengan
jumlah anggota kelompok yang besar. Hubungan antarkelompok
dapat terjadi manakala dua individu yang berinteraksi merupakan
representasi dari kelompoknya masing-masing. Dua Perdana
1.6 Psikologi Sosial
Menteri yang mewakili negara masing-masing pada saat
penandatanganan naskah kesepahaman merupakan bentuk hubungan
antarkelompok (dalam hal ini antar negara) karena sebenarnya
interaksi yang terjadi di sini adalah interaksi antara dua negara.
Setelah membicarakan pengertian hubungan
antarkelompok, selanjutnya kita akan membicarakan perilaku
antarkelompok. Sebagaimana telah dikemukakan, hubungan
antarkelompok adalah hubungan antara dua atau lebih kelompok
atau hubungan antar anggota dalam kelompok. Ketika anggota suatu
kelompok, baik seorang diri, maupun secara berkelompok,
berhubungan dengan kelompok lain maupun anggotanya, maka telah
terjadi perilaku antarkelompok. Perilaku antarkelompok pada
dasarnya terbagi menjadi dua, yaitu kerjasama dan kompetisi yang
seringkali menimbulkan konflik. Yang dimaksud dengan perilaku
kelompok adalah persepsi, kognisi, atau perilaku yang dipengaruhi
oleh pengetahuan seseorang bahwa ia dan orang lain adalah bagian
dari suatu kelompok sosial yang berbeda. Jelas bahwa baik
hubungan yang nyata maupun hubungan yang dipersepsikan oleh
suatu kelompok akan mempengaruhi perilaku anggota kelompok
tersebut. Dengan demkian, mayoritas perilaku sosial pada dasarnya
dipengaruhi oleh kategori sosial sesuai dengan keanggotaan individu
yang bersangkutan. Konflik internasional, konflik dalam negeri,
konfrontasi politik, revolusi, negosiasi, demonstrasi, semuanya
merupakan bentuk perilaku antarkelompok.
Ciri-ciri utama dari perilaku antarkelompok adalah
etnosentrisme (ethnocentrism), yaitu suatu anggapan bahwa
kelompok kita lah yang merupakan pusat dari segala-galanya,
sedangkan kelompok lain dinilai berdasarkan kelompok kita.
ADPU4218/MODUL 7 1.7
Etnosentrisme mengakibatkan individu melebih-lebihkan dan
memusatkan segala hal mengenai kelompoknya dan hal tersebut
dijadikan pembeda dengan kelompok lain.
.
Buatlah kelompok diskusi dengan rekan anda. Kemudian masing-masing
anggota kelompok membuat daftar keanggotaan kelompok apa saja yang
mereka miliki. Dari daftar tersebut sebutkan hubungan antarkelompok
apa saja yang terjalin. Tentukan mana yang hubungan antarkelompok
yang berbentuk kerjasama dan mana yang berbentuk kompetisi.
Diskusikan jawaban tersebut dalam kelompok dan uraikan perilaku
masing-masing kelompok itu.
Petunjuk Jawaban Latihan
Pelajarilah dengan seksama pengertian hubungan antarkelompok dan
perilaku kelompok.
Setelah berlatih menjawab pertanyaan di atas, bacalah rangkuman di bawah ini supaya pemahaman Anda tentang hakekat pengetahuan dan penelitian menjadi lebih mantap.
LATIHAN
Setelah membaca materi kegiatan belajar 1 di atas dengan cermat, untuk memantapkan pemahaman anda, cobalah kerjakan latihan berikut. Anda dapat mengerjakannya berama-sama dengan teman-teman kelompok belajar sehingga Anda dapat saling bertukar pendapat.
Coba diskusikan dengan teman-teman Anda persamaan dan perbedaan pengetahuan dengan ilmu pengetahuan. Buatlah daftar persamaan dan perbedaan tersebut.Di sekitar Anda tentu banyak fakta, atau konsep yang secara turun-temurun dipercaya kebenarannya. Pilihlah satu saja, kemudian cobalah kaji, apakah fakta atau konsep tersebut merupakan hasil suatu kajian ilmiah atau pemikiran non-ilmah.
Petunjuk Jawaban Latihan
Baca kembali materi pembahasan tentang hakekat pengetahuan.Baca kembali materi pembahasan tentang hakekat ilmu pengetahuan
1.8 Psikologi Sosial
Kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari kelompok, mulai
dari kelompok dalam keluarga sampai dengan kelompok yang lebih
besar, seperti masyarakat atau bahkan negara. Antarkelompok-kelompok
itu terjadi hubungan, yang dapat berbentuk kerjasama atau persaingan.
Hubungan antarkelompok itu memunculkan perilaku kelompok.
Perilaku kelompok adalah persepsi, kognisi, atau perilaku yang
dipengaruhi oleh pengetahuan seseorang bahwa ia dan orang lain adalah
bagian dari suatu kelompok sosial yang berbeda. Hubungan yang nyata
maupun hubungan yang dipersepsikan oleh suatu kelompok akan
mempengaruhi perilaku anggota kelompok tersebut. Perilaku antar-
kelompok pada dasarnya terbagi menjadi dua, yaitu kerjasama dan
kompetisi yang seringkali menimbulkan konflik. Ciri utama dari perilaku
antar-kelompok adalah etnosentrisme (ethnocentrism), yaitu suatu
anggapan bahwa kelompok kita lah yang merupakan pusat dari segala-
galanya, sedangkan kelompok lain dinilai berdasarkan kelompok kita.
1. Hubungan antarkelompok ditandai dengan adanya:
1. kelompok in-group 2. kelompok outsider
3. kelompok out-group
RANGKUMAN
TES FORMATIF 1
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
ADPU4218/MODUL 7 1.9
2. Situasi berikut yang menggambarkan terjadinya hubungan antarkelompok adalah..
A. sekelompok mahasiswa bergerombol membicarakan tragedi Situ Gintung
B. Rektor UT dan Direktur Utama BRI menandatangani naskah kerjasama
C. para pendukung Persija berebut memasuki stadion utama senayan
D. seorang tukang sayur dorong sibuk melayani pelanggannya
3. Ethnocentrism adalah suatu anggapan bahwa:
A. kelompok lain lebih baik dibanding kelompok kitaB. kelompok kita sama baiknya dengan kelompok lainC. kelompok etnik lebih baik dari kelompok biasaD. kelompok kita paling baik di antara kelompok-kelompok
lain
4. Menurut Sheriff, hubungan antarkelompok adalah serangkaian tindakan yang dilakukan saat berinteraksi dengan kelompok tertentu , oleh:
1. satu individu atas nama kelompok 2. sejumlah individu dari suatu kelompok 3. sejumlah individu secara kolektif
5. Perilaku kelompok muncul karena seseorang merasa
A. berbeda dengan kelompok lainB. menjadi bagian dari anggota kelompokC. persepsi dan kognisinya sama dengan anggota
kelompokD. sebagai pemimpin kelompok
1.10Psikologi Sosial
Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.
Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang
Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.
Tingkat penguasaan =
Kegiatan Belajar 2
TEORI PSIKOLOGI SOSIAL tentang HUBUNGAN
ANTARKELOMPOK
Dalam kaitannya dengan hubungan antarkelompok, ada
beberapa teori yang dapat digunakan untuk membahasnya.
Selengkapnya, ikuti uraian materi berikut:
1. Teori Hipotesis Frustrasi-Agresi (Frustration-Aggression
Hyphotesis Theory)
Pada dasarnya teori hipotesis Frustrasi-Agresi beranggapan
bahwa:
(a) Frustrasi (kondisi terhalangnya suatu tujuan) selalu
menyebabkan agresi (intensi untuk menyakiti orang lain), dan
(b) Agresi selalu merupakan hasil dari kondisi frustrasi.
Hipotesis Frustrasi-Agresi yang dipelopori oleh Dollard,
dan kawan-kawan (1939) ini bertahan untuk beberapa waktu.
Namun, dalam perkembangannya hipotesis ini dikoreksi oleh
pendukungnya sendiri, yakni Miller (1941) yang mengemukakan
bahwa agresi tidak selalu didahului oleh keadaan frustrasi dan
frustrasi tidak selalu mengakibatkan agresi. Di jalan raya,
pengendara mobil sedan pribadi yang dipepet oleh minibus,
sehingga jalannya terhalang (keadaan frustrasi) misalnya, bisa tidak
menyerang sopir minibus karena fisik sang sopir minibus yang
kekar. Demikian pula tentara dalam peperangan, boleh jadi sangat
agresif, tetapi tindakannya itu karena diperintah oleh komandannya.
Meskipun hipotesis ini digugurkan, namun dalam keadaan tertentu
teori ini memfasilitasi tindak kekerasan individu terhadap individu
lain (Geen & Berkowitz, 1967, dalam Baron & Byrne, 1997).
Dalam contoh sopir sedan tadi, sangat boleh jadi ia tidak akan
tinggal diam manakala sopir minibus memaki-makinya,
mengeluarkan kata-kata kasar atau menantangnya berkelahi.
Hipotesis Frustrasi-Agresi (Frustration - Aggression
Hypothesis) merupakan salah satu penjelasan mengenai prasangka,
diskriminasi, dan agresi antarkelompok. Selanjutnya, berdasarkan
revisi Berkowitz (1962), hanya frustrasi subjektif (mis, cuaca
panas) yang meningkatkan kecenderungan untuk bertindak agresif,
dan kemudian diperkuat oleh asosiasi agresif (mis, pengalaman
sebelumnya, tanda-tanda dari lingkungan). Cuaca panas sudah
terbukti sebagai suatu kondisi tidak menyenangkan (aversive events)
yang mendukung perilaku agresif individual dan kolektif. Selain
cuaca, Berkowitz menambahkan bahwa di bawah kondisi yang
dipersepsikan tidak adil (relative deprivation), orang akan merasa
frustrasi.
Prakondisi penting sebelum terjadinya agresi
antarkelompok adalah adanya persepsi kondisi yang tidak adil
(relative deprivation). Kondisi ini bukan suatu kondisi yang absolut,
tapi selalu relatif terhadap kondisi lain. Pada dasarnya perasaan
tidak adil ini muncul ketika individu membandingkan kondisi nyata
dirinya dengan harapannya, dan ternyata terjadi kesenjangan. Selain
itu, suatu keberhasilan yang dicapai oleh kelompok lain bisa
dipersepsikan sebagai kondisi yang tidak adil. Hal ini bisa dilihat
dari konflik antarapenduduk lokal dengan pendatang (transmigran),
dimana biasanya keberhasilan yang dicapai oleh para pendatang,
yang kemungkinan besar karena kerja keras, diartikan sebagai
ketidakadilan oleh penduduk setempat. Maka persepsi kondisi tidak
adil merupakan inti perbedaan antara harapan seseorang dengan
keadaan sebenarnya.
Menurut Berkowitz, dari persepsi kondisi yang tidak adil
sampai menjadi tindak kekerasan kolektif, ada beberapa tahap yang
harus dilalui, yaitu:
Mula-mula, persepsi kondisi yang tidak adil menyebabkan
frustrasi. Kondisi lingkungan, seperti panas yang berkepanjangan,
meningkatkan frustrasi; individu cenderung menunjukkan perilaku
agresif. Hal ini diperburuk dengan hadirnya tokoh otoriter, seperti
polisi, tentara dan lain-lain, sehingga agresi mulai menyebar dan
menjadi tingkah laku utama. Selanjutnya, kondisi ini didukung oleh
fasilitasi sosial (merasa mendapat dukungan dari individu lain)
sehingga menjadi kekerasan kolektif.
Penelitian menunjukkan bahwa, dari dua macam jenis
deprivasi relatif (relative deprivation) yang terdiri dari deprivasi
egoistik (egoistic deprivation) dan deprivasi fraternalistik
(fraternalistic deprivaition), ternyata deprivasi fraternalistik lah
yang menimbulkan agresi sosial. Deprivasi relatif fraternalistik
adalah rasa ketidakadilan ketika membandingkan kondisi
individu/kelompok dengan anggota kelompok lain. Selanjutnya,
perasaan deprivasi relatif muncul ketika terjadi perubahan kondisi
yang mendadak setelah periode dimana keadaan terus meningkat,
pola ini dikenal sebagai pola Kurva-J.
Contoh kondisi ini adalah ketika krisis moneter melanda
Indonesia pada tahun 1998. Pada saat itu, terjadi penurunan kualitas
hidup secara mendadak setelah bertahun-tahun pertumbuhan
ekonomi yang baik, individu-individu kembali membandingkan
kondisi warga “pribumi” dengan anggota kelompok etnis Cina
(“non-pribumi”). Kemudian individu-individu tersebut merasa ada
ketidakadilan yang bersumber dari deprivasi relatif fraternalistik,
khususnya deprivasi secara ekonomi.
Walaupun deprivasi relatif fraternalistik berhubungan erat
dengan perilaku kompetitif antarkelompok, terdapat empat faktor
lain yang perlu diperhitungkan, yaitu:
a. Identifikasi yang kuat dari individu terhadap
kelompok.
Hal ini dapat dilihat dari terjadinya identifikasi
yang kuat oleh individu-individu yang terlibat dalam
kerusuhan melawan kelompok “non-pribumi” oleh
kelompok “pribumi”. Mereka secara terang-terangan
menunjukkan keanggotaannya sebagai kelompok
“pribumi” baik dengan tulisan, graffiti, maupun
teriakan dan yel-yel.
b. Kelompok hanya akan melakukan aksi kolektif
ketika mereka merasa tindakan tersebut akan
membuahkan perubahan sosial.
Contoh yang baik adalah banyaknya masyarakat
yang turun ke jalan untuk menjatuhkan pemerintahan
pada tahun 1998. Dalam kejadian ini kelompok yang
melakukan aksi kolektif adalah kelompok “anti status-
quo”, yang terdiri dari gabungan berbagai elemen
masyarakat, melawan kelompok “status quo” yang
diwakili oleh pemerintah dan masyarakat “non-
pribumi” yang dianggap sebagai bagian dari kelompok
“status-quo”. Kelompok “anti status-quo” yakin bahwa
aksi massa akan berhasil menjatuhkan kelompok
“status quo”.
c. Adanya persepsi ketidakadilan yang berkenaan
dengan ketidakadilan distributif (distributive
injustice) dan ketidakadilan prosedural (procedural
injustice).
Ketidakadilan distributif adalah perasaan bahwa
kita memiliki lebih sedikit dari yang seharusnya kita
dapatkan dibandingkan dengan harapan kita maupun
kelompok lain. Sementara ketidakadilan prosedural
adalah ketika individu merasa dirinya telah menjadi
korban prosedur yang tidak adil.
Penelitian menujukkan bahwa rasa ketidakadilan
secara prosedural menjadi motivator yang lebih kuat
untuk melakukan aksi kolektif. Contohnya adalah aksi
buruh dan pekerja menentang kebijakan pemerintah
mengenai Undang-undang Upah Kerja.
d. Deprivasi relatif fraternalistik bergantung pada
kelompok mana yang dijadikan kelompok
pembanding.
Biasanya rasa ketidakadilan muncul ketika
kelompok yang dijadikan pembanding sangat kontras
dengan kelompok kita sendiri. Ketika terjadi
kerusuhan, kelompok “pribumi” yang rata-rata dari
kelas menengah ke bawah, membandingkan
kelompoknya dengan kelompok “non-pribumi” yang
berada pada kelas menengah ke atas, bahkan dengan
para konglomerat yang “non-pribumi”.
2. Teori Konflik Realistis (Realistic Conflict Theory).
Dasar Teori Konflik Realistis yang dipelopori oleh
Muzafer Sherif (1967) adalah bahwa konflik antarkelompok
disebabkan oleh konflik kepentingan untuk memperebutkan
berbagai sumber – ekonomi, nilai, dan kekuasaan - yang memang
terbatas atau langka (scarce). Oleh karena sumber yang serba
terbatas ini, maka harus diperebutkan melalui persaingan yang
sering berakhir dengan salah satu pihak menjadi pemenang dan
pihak lain menjadi pencundang (win – lose orientation).
Menurut Sherif, hubungan antarkelompok dilandasi oleh
keterhubungan atau keterkaitan tujuan masing-masing kelompok.
Dalam Realistic Conflict Theory, Sherif menjelaskan bahwa jenis
“hubungan tujuan” (goal relations) antara kelompok menentukan
hubungan antara kelompok tersebut (h.266). Pada tingkat kelompok,
keberadaan tujuan yang berseberangan akan menimbulkan konflik
antarkelompok dan etnosentrisme. Sementara tujuan yang
membutuhkan kerjasama antarkelompok akan mengurangi
kemungkinan terjadinya konflik dan meningkatkan kerjasama serta
hubungan yang harmonis antarkelompok.
Etnosentrisme merupakan pandangan bahwa kelompok
“kita” adalah segalanya, dan dijadikan pembanding untuk segala hal
di luar kelompok tersebut. Contoh dari etnosentrisme adalah
pandangan bahwa suku Padang “pelit”, sementara menurut suku
Padang, sebagai pedagang dan pengusaha, mereka adalah kelompok
yang pandai mengatur keuangan. Penilaian suku Padang pelit
merupakan bentuk etnosentrisme dari kelompok lain. Sementara
pandangan bahwa mereka hemat, dan kelompok lain boros dan tidak
bisa mengatur uang adalah bentuk etnosentrisme dari kelompok
suku Padang. Jelas bahwa untuk suatu perilaku yang sama, sebagai
anggota kelompok atau in-group perilaku tersebut dianggap positif,
tapi sebagai out-group, perilaku tersebut dianggap negatif. Teori ini
diteliti dalam eksperimen dengan menggunakan beberapa metode,
seperti ; The Prisoner’s Dilemma Game, The Trucking Game, dan
The Commons Dilemma.
3. Teori Identitas Sosial (Social Identity Theory)
Berbeda dengan dua teori konflik antarkelompok yang
terdahulu, teori Identitas Sosial yang dipelopori oleh Tajfel (1978,
1981) beranggapan bahwa konflik antarkelompok bukan disebabkan
oleh frustari atau karena perebutan sumber yang langka, tetapi
menyangkut soal identitas kelompok. Dalam kehidupan nyata,
individu dapat dikategorisasikan atas dasar jender (pria-wanita),
pendidikan (pelajar, mahasiswa), pekerjaan (PNS, swasta), suku
(Jawa, Sunda), dan agama (Islam, Kristen, Budha, Hindu), dan lain-
lain. Di antara berbagai kategori ini, individu akan secara selektif
menentukan kategori sosial (social categorization) yang dapat
memenuhi kebutuhan identitas sosial yang positif (positive social
identity). Itulah sebabnya ada orang yang bangga menjadi warga
DKI Jakarta, karena DKI dapat memenuhi identitas sosialnya yang
positif dibandingkan dengan menjadi warga luar DKI. Demikian
pula, ada orang yang bangga dengan agama yang dianutnya, bahkan
fanatik, karena melalui agama yang dianutnya itu membuat identitas
sosialnya positif. Identitas sosial positif ini harus dipelihara dengan
cara mengikatkan dan menyatukan diri (identifikasi) dengan
agamanya. Di sinilah awal dari terbentuknya pola pikir in-group -
out-group yang sering menganggap bahwa kelompok agamanyalah
yang benar dan agama lain salah (in-group favouritism bias).
Selanjutnya, dalam upaya untuk mencapai identitas sosial
yang “positif”, individu dan kelompok dapat mengadopsi berbagai
macam strategi perilaku, berdasarkan kepercayaan akan hubungan
antarkelompoknya dengan kelompok lain. Misalnya, suatu
kelompok pendukung perkumpulan sepakbola yang memiliki
identitas sebagai “musuh kelompok sepakbola B”, maka identitas
sosial yang dimiliki oleh anggotanya adalah bahwa semua anggota
kelompok B merupakan musuh mereka. Maka hubungan antara
kedua kelompok yang jelas saling bermusuhan itu akan diwujudkan
dalam bentuk perilaku yang tidak bersahabat.
Menarik untuk dikemukakan di sini adalah gejala
etnosentrisme yang kuat di berbagai wilayah Indonesia akhir-akhir
ini, yang tampaknya bukan semata-mata berkenaan dengan isu
dikurasnya kekayaan alam daerah oleh pemerintah pusat (Teori
Konflik Realistis: perebutan sumber), namun juga berkaitan dengan
identitas kedaerahan yang, antara lain, diwujudkan dalam sejumlah
jabatan pemerintah daerah yang harus diisi oleh putera daerah.
4. Teori Kognisi Sosial (Social Cognition Theory)
Memberikan kategori terhadap orang akan menimbulkan
efek tertentu, yakni orang-orang dalam kategori yang sama dianggap
lebih mirip, sementara orang-orang dari kategori lainnya dianggap
berbeda. Efek ini menimbulkan stereotipi, yaitu individu memiliki
kecenderungan untuk menganggap individu-individu dari kelompok
lain memiliki karakteristik yang homogen dibandingkan dengan
individu-individu dalam kelompoknya. Dengan kata lain, anggota
kelompok dianggap lebih heterogen. Penelitian menunjukkan bahwa
individu akan lebih sulit untuk membedakan muka orang dari
kelompok yang lain (mis: ras). Efek homogenitas relatif ( relative
homogeneity) akan dipertajam berdasarkan berbagai dimensi yang
menjadi ciri khas kelompok dan ketika kelompok berada dalam
kompetisi. Penelitian lanjutan menunjukkan bahwa kelompok
mayoritas menganggap anggotanya lebih beragam dibandingkan
dengan anggota kelompok lain. Sedangkan kelompok minoritas
justru lebih homogen, dibandingkan kelompok luar. Sebagai
konsekuensinya, anggota kelompok minoritas mengidentifikasi
dirinya lebih sebagai kelompok sedangkan individunya dianggap
tidak sebagai pribadi yang berbeda dengan pribadi lainnya
(depersonalised)
Penelitian juga menunjukkan adanya kecenderungan untuk
menggeneralisasikan karakteristik seluruh anggota kelompok
berdasarkan interaksi dengan salah satu individu yang unik
(distinctive). Kecenderungan ini terjadi terutama ketika kita tidak
mengenal kelompok tersebut dan tidak memiliki harapan atau
asumsi mengenai kelompok tersebut. Hal ini akan menimbulkan apa
yang disebut sebagai distinctivenes-based illusory correlation, yakni
hal-hal yang bersangkutan dengan keunikan individu dari satu
kelompok dianggap mewakili keseluruhan keunikan kelompok. Efek
ini terutama kuat pada hal-hal yang bersifat negatif.
5. Teori Emosi Antarkelompok (Intergroup Emotions Theory)
Anggota kelompok yang menganggap penting
kelompoknya cenderung memiliki keterlibatan emosional yang kuat
terhadap kelompoknya. Berdasarkan Intergroup Emotions Theory
(Mackie & Smith, 2002b, dalam Vaughn & Hogg, 2000), emosi
individu dalam kelompok mencakup kondisi apakah situasi akan
menyakiti atau menguntungkan kelompoknya. Dalam hal ini,
ancaman terhadap kelompok akan dinilai sebagai ancaman pribadi,
dan akan memunculkan perasaan negatif terhadap kelompok luar
yang memicunya. Emosi tersebut akan diwujudkan dalam bentuk
tindakan, bisa berupa diskriminasi terhadap pihak luar dan
munculnya emosi kelompok (in-group emotion), dan ke dalam
kelompok dalam bentuk keeratan dan solidaritas. Jika diaplikasikan
pada konteks nyata, misalnya pertikaian antara kelompok pendatang
dengan penduduk asli, dapat dilihat bahwa seringkali keberadaan
kelompok pendatang diasosiasikan ”perebutan lahan pekerjaan”
sehingga menimbulkan kecemasan ekonomi pada individu dari
kelompok penduduk asli. Dari kecemasan ini muncul berbagai sikap
diskriminasi, seperti steriotipi negatif terhadap pendatang, perlakuan
berbeda terhadap pendatang dengan penduduk asli, hingga kontak
fisik antarkelompok.
6. Teori Dominasi Sosial (Social Dominance Theory)
Teori Dominasi Sosial dipelopori oleh Sidanius dan
Pratto yang dalam kurun waktu panjang melakukan berbagai kajian
mengenai konflik antarkelompok. Hasil kajian itu dituangkan dalam
buku “Social Dominance An Intergroup Theory of Social Hierarchy
and Oppression” (2001). Pertanyaan pokok yang diajukan oleh
Sidanius dan Pratto adalah mengapa di dunia ini selama beratus-
ratus tahun senantiasa ditemukan fenomena diskriminasi,
penindasan, kekerasan, dan tirani. Fenomena ini mereka gambarkan
dalam berbagai fakta kerusuhan mulai dari kerusuhan jalanan di Los
Angeles dan Brooklyn sampai bukit-bukit di Bosnia dan hutan-hutan
di Rwanda. Berbagai teori psikologi sosial yang menjelaskan gejala
konflik antarkelompok (prasangka, stereotipi, persepsi dan kognisi
manusia yang terbatas) dianggap oleh mereka tidak memadai karena
merupakan pendekatan parsial yang hanya menekankan unsur
individu. Oleh karenanya Sidanius dan Pratto mengajukan
pendekatan integratif, mensintesiskan antara unsur individu dan
berbagai pranata sosial (social institutions) yang didasari oleh
hierarki sosial berbasis kelompok (group-based social hierarchies).
Hirarki sosial berbasis kelompok ini, menurut Sidanius dan
Pratto, mempunyai struktur, yakni stratifikasi sosial yang disebut
trimorphic yang dapat dipisahkan atas tiga basis, yaitu :
(1) berbasis usia (orang dewasa mempunyai hak yang lebih besar
daripada orang nuda/anak-anak) (2) berbasis jender (kaum pria
mempunyai prioritas untuk mendapatkan pendidikan tinggi dan hak
politik yang lebih besar dari wanita)
(3) berbasis arbitrer (individu atau kelompok yang memiliki status
tinggi karena struktur negara, suku, organisasi, kasta, dan agamanya
memungkinkan basis arbitrer).
Singkatnya struktur trimorphic diatur atas dasar hegemonik
yang disahkan (legitimize). Perang Irak-Amerika dan perak Irak-Iran
adalah contoh dari perang berbasis hegemonis. Oleh karena
pimpinan kedua belah pihak orientasinya dominan (tidak
demokratis), sementara pranata sosial yang ada mendukung nilai
yang berorientasi kekuasaan. Konflik antar-umat beragama terjadi,
menurut Teori Dominasi Sosial, karena para pemuka agama
memiliki hasrat untuk mendominasi di satu pihak dan agama
dipersepsikan sebagai keyakinan yang hegemonik (harus menguasai
dunia) dan hal ini dianggap benar dan sah (halal darahnya umat X,
melakukan genocide, pembersihan etnis, dan lain-lain).
Menggunakan latihan dalam kegiatan belajar tentang
hubungan antarkelompok yang sudah Anda identifikasi bentuknya,
jelaskanlah teori mana yang paling tepat untuk menganalisis hubungan
antarkelompok tersebut. Anda dapat mendiskusikan latihan ini bersama
kelompok belajar Anda, tetapi mengerjakan sendiri juga boleh.
Petunjuk Jawaban Latihan
Bacalah kembali dengan seksama materi kegiatan belajar 2.
Dalam menjelaskan hubungan antarkelompok, ada 6 teori Psikologi Sosial yang dapat dipergunakan. Ke enam teori tersebut adalah (1) teori hipotesis-frustrasi, (2) teori konflik – realistik, (3) teori identitas sosial, (4)
LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,
kerjakanlah latihan berikut!
RANGKUMAN
teori kognisi sosial, (5) teori emosi antarkelompok, dan (6) teori dominasi kelompok.
Teori hipotesis – frustrasi yang dikemukakan oleh Dollard berpandangan bahwa frustrasi selalu menyebabkan agresi, dan agresi selalu merupakan hasil dari kondisi frustrasi. Sementara Miller, yang mengoreksi pandangan Dollard, berpendapat bahwa agresi tidak selalu didahului oleh frustrasi, da frustrasi tidak selalu menghasilkan agresi. Berkowitz yang meneliti lanjut teori ini, menemukan bahwa hanya frustrasi subjektif yang diperkuat oleh asosiasi agresif lah yang akan menimbulkan agresi. Teori konflik – realistik yang dikemukakan oleh Muzafer Sherif berpandangan bahwa konflik antarkelompok muncul karena konflik kepentingan yang memperebutkan sumber-sumber yang memang sudah langka. Jadi selalu ada win-lose orientation.
Teori identitas sosial, berpandangan bahwa konflik antarkelompok berkaitan dengan identitas kelompok. Identitas kelompok inilah yang memunculkan in-group dan out-group.
Teori identitas sosial, berpendapat bahwa pemberian kategori terhadap orang akan menimbulkan stereotipi , yaitu anggota kelompok lain dipandang lebih heterogen sementara anggota kelompok sendiri dipandang homogen. Efek homogenitas relatif ini akan dipertajam oleh adanya ciri khas kelompok dan kondisi ketika mereka berkompetisi.
Teori emosi antarkelompok, berpendapat bahwa anggota kelompok yang menganggap penting kelompoknya memiliki keterlibatan emosional yang kuat terhadap kelompoknya.
Teori dominasi kelompok menganggap bahwa teori-teori psikologi yang melibatkan prasangka, stereotipi, persepsi, dan kognisi – tidak memadai karena merupakan pendekatan parsial yang hanya menekankan unsur manusia. Teori ini menawarkan pendekatan yang integratif, yaitu mensintesakan unsur individu dengan berbagai pranata sosial yang memiliki stratifikasi sosial yang disebut trimorphic. Stratifikasi sosial ini dipisahka oleh 3 basis, yaitu usia, jender, dan arbitrer.
1. Sidanius dan Pratto memandang teori-teori psikologi yang melibatkan prasangka, stereotipi, persepsi, dan kognisi itu tidak memadai karena:
1. hanya menekankan unsur individu2. pendekatannya parsial3. bersifat subjektif
2. Jika dikaitkan dengan teori konflik realistik, tawuran antar warga yang sering terjadi di berbagai daerah, muncul karena:
A. agresi selalu merupakan hasil dari kondisi frustrasiB. frustrasi subjektif yang diperkuat oleh asosiasi agresif akan
meningkatkan kecenderungan agresiC. konflik antarkelompok muncul karena memperebutkan
sumber-sumber yang langkaD. konflik antarkelompok berkaitan dengan identitas
kelompok
3. Jika dikaji dari teori identitas sosial, sentimen pribumi – non pribumi yang sempat memanas pada saat krisis 1997 – 1998 yang melanda Indonesia, disebabkan karena:
A. agresi selalu merupakan hasil dari kondisi frustrasiB. frustrasi subjektif yang diperkuat oleh asosiasi agresif akan
meningkatkan kecenderungan agresiC. konflik antarkelompok muncul karena memperebutkan
sumber-sumber yang langkaD. konflik antarkelompok berkaitan dengan identitas
kelompok
4. Jika dikaji dari teori hipotesis frustrasi - agresi, penembakan yang dilakukan oleh seorang warga sipil terhadap sekelompok warga sipil
TES FORMATIF 2
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
lainnya, muncul karena:
A. agresi selalu merupakan hasil dari kondisi frustrasiB. frustrasi subjektif yang diperkuat oleh asosiasi agresif akan
meningkatkan kecenderungan agresiC. konflik antarkelompok muncul karena memperebutkan
sumber-sumber yang langkaD. konflik antarkelompok berkaitan dengan identitas
kelompok
5. Menurut Sidanius dan Pratto, hirarki sosial yang berbasis kelompok dipisahkan oleh unsur:
1. usia2. jender3. arbitrer
Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.
Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang
Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 3. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Tingkat penguasaan =
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum dikuasai.
Kegiatan Belajar 3
Kerjasama dan Kompetisi
Kerjasama (cooperation) terjadi ketika dua kelompok saling
membantu untuk suatu tujuan yang menjadi kepentingan bersama
keduabelah pihak. Kerjasama sangat bermanfaat bagi pihak yang
terlibat, akan tetapi hal ini tidak dapat selalu dilakukan karena
seringkali suatu tujuan tidak dapat dibagi dengan pihak lain.
Situasi yang diperkirakan akan menghasilkan kerjasama, namun
kenyataannya tidak menghasilkan kerjasama disebut sebagai dilema
sosial (social dilema). Dilema sosial adalah situasi dimana masing-
masing individu dapat meningkatkan pencapainnya dengan bersikap
egois, namun apabila semua atau kebanyakan pihak melakukan hal
yang sama, maka hasil yang dicapai bagi masing-masing individu
akan berkurang. Dalam situasi ini individu dihadapkan pada pilihan
untuk bekerjasama dengan tujuan menghindari hasil yang negatif
untuk semua pihak, atau menentukan pilihan untuk menentang
upaya memaksimalkan hasil individual. Contoh yang sering
digunakan dalam eksperimen psikologi sosial adalah prisoners
dilema game.
Hasil penelitian mengenai dilema sosial menunjukkan
bahwa ketika kepentingan pribadi dihadapkan pada manfaat
bersama, hasilnya adalah kompetisi dengan sumberdaya yang
berujung pada kehancuran. Pengecualian terjadi ketika individu
mengidentifikasikan dirinya dengan ”manfaat bersama”. Ketika
individu mendapatkan identitas sosial dari kelompok yang berhak
mendapatkan akses terhadap sumberdaya, maka individu tersebut
akan mengedepankan kepentingan kelompok. Akan tetapi, bila
perebutan terhadap pengelolaan sumberdaya terjadi antara dua
kelompok maka tindakan etnosentris akan muncul dan akan terjadi
konflik, contohnya adalah perebutan lahan antara petani dengan
perusahaan.
Ilmuwan psikologi sosial telah mengidentifikasi tiga faktor
utama yang paling menentukan apakah individu akan bekerjasama
atau bertindak demi kepentingan pribadi.
Faktor pertama adalah reciprocity, yaitu mempertimbangkan efek
pada diri atas perilaku yang ditampilkan. Faktor ini dijelaskan
dengan baik dalam slogan ”lakukanlah pada orang apa yang ingin
orang lakukan pada anda”. Dalam menentukan apakah kita akan
bekerjasama atau berkompetisi, seringkali individu melihat tindakan
orang lain terlebih dahulu. Apabila individu tersebut
mengesampingkan kepentingan pribadi untuk kebaikan kita, maka
kita akan membalas tindakan individu tadi. Demikian pula apabila
individu bertindak demi kepentingannya, maka kita akan membalas
sesuai dengan tindakannya.
Faktor kedua adalah orientasi pribadi (personal orientation)
terhadap prilaku kerjasama atau mengedepankan kepentingan
pribadi. Dalam kasus dilema sosial, individu memiliki dua macam
jenis orientasi untuk mengatasi situasi tersebut yaitu :
(1) Kerjasama (cooperation), individu memfokuskan diri untuk
mencapai suatu hasil bersama yang bisa dinikmati oleh semua
pihak.
(2) Individualistis (individualistic), fokus individu adalah untuk
mengalahkan orang lain dengan mencapai hasil yang lebih baik
dari orang lain.
Faktor ketiga adalah komunikasi. Komunikasi seringkali sulit untuk
dijalankan karena munculnya ancaman-ancaman antar individu
dalam komunikasi. Komunikasi hanya dapat bermanfaat apabila
kondisi-kondisi tertentu dipenuhi. Kondisi utama adalah muculnya
komitmen untuk bekerjasama dalam mencapai suatu tujuan bersama,
yang kemudian dijalankan dengan didukung oleh nilai pribadi yang
kuat dari individu yang bersangkutan untuk memenuhi kesepakatan
tersebut. Dalam upaya mencapai perdamaian antara kelompok yang
bertikai, misalnya dalam pertikaian antara pemerintah dengan
gerakan separatis, dibutuhkan komunikasi antara perwakilan yang
mengedepankan kerjasama, dan didukung oleh sikap pribadi
perwakilan tersebut. Seringkali kita amati dalam pertemuan antara
pihak yang bertikai komunikasi tidak efektif karena diwarnai oleh
kondisi saling mengancam dari kedua belah pihak.
Faktor-faktor di atas juga berlaku dalam kelompok. Namun,
kerjasama antar-kelompok jauh lebih sulit untuk diwujudkan karena
adanya discontinuity effect, kecenderungan bagi kelompok untuk
saling berkompetisi dalam situasi yang memiliki berbagai macam
motif (mis: dilema sosial). Hal ini terjadi karena orang cenderung
lebih curiga terhadap kelompok lain dibandingkan dengan individu
lain. Penelitian menunjukkan bahwa individu lain akan bekerjasama
dengannya, namun mereka tidak mengharapkan hal yang serupa dari
kelompok lain. Kemudian, ketika kelompok melakukan tindakan
yang hanya menguntungkan sepihak, individu dalam kelompok
dapat saling meyakinkan bahwa mereka melakukan hal yang benar,
dan individu mendapatkan dukungan sosial dari anggota kelompok
lainnya. Ketiga, dengan berada dalam kelompok individu memiliki
derajat anonimitas yang lebih besar, sehingga merasa lebih aman
untuk bertindak secara kompetitif ataupun individualis.
Menggunakan latihan 1 dan 2 (pada kegiatan belajar 1 dan 2), cobalah diskusikan bagaimana dinamika yang terjadi pada kelompok yang telah Anda identifikasi tersebut. Untuk mengerjakan latihan ini, Anda bisa mengerjakannya sendiri, tetapi lebih disarankan Anda mendiskusikannya dalam kelompok belajar.
Petunjuk Jawaban Latihan
Pelajari kembali dengan baik keseluruhan materi dalam kegiatan belajar 2.
Dinamika kelompok adalah suatu bidang ilmu pengetahuan yang
memusatkan diri pada pengkajian ilmiah mengenai perilaku individu dalam
kelompok. Hal-hal yang menjadi pusat perhatian dinamika kelompok adalah
LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,
kerjakanlah latihan berikut!
RANGKUMAN
karakterisitik kelompok dan perkembangan kelompok. Secara garis besar
karakter kelompok ada 4, yaitu tujuan, pola komunikasi, prosedur
penanganan masalah, dan adaptasi. Selain itu, sebagai suatu cabang ilmu,
dinamika kelompok juga meneliti pengaruh kelompok (group influence)
yaitu hubungan antara kelompok dengan individu, kelompok dengan
kelompok lain, dan kelompok dengan entitas lain di luar kelompok.
Dinamika kelompok akan memunculkan perubahan kelompok. Ada
3 teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan perubahan kelompok, yaitu
teori perubahan kelompok melalui perubahan yang berulang-ulang (recurring
phase theory), sequential stage theory, dan teori tentang perkembangan
kelompok yang dikemukakan oleh Tuckman..
Konsep dinamika kelompok berasal dari Kurt Lewin yang
dicetuskan pada tahun 1940-an. Menurut Lewin, pada dasarnya setiap
kelompok memiliki struktur tertentu yang mencakup norma dan peran.
Norma dan peran adalah bagian dari karakteristik kelompok. Kelompok juga
berubah dan berkembang seiring dengan berjalannya waktu, melalui
beberapa tahap, yang mempengaruhi produktivitas kelompok tersebut.
1. proses penerimaan dalam kelompok D Menyukai anggota
kelompok lainnya karena individu tersebut
berada dalam kelompok yang sama, adalah salah satu alasan
terjadinya:
A. adjourning
TES FORMATIF 3
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
B. performing
C. depersonalized attraction
D. storming C
2. Pengukuhan nilai-nilai dan struktur kelompok terjadi pada
tahap:
A. forming
B. storming
C. performing
D. norming D
3. Anggota DPR yang kembali mencalonkan dirinya, jika dilihat
dari tahapan keanggotaan kelompok dapat dikatakan sudah
masuk dalam tahap:
A. forming
B. storming
C. performing
D. norming C
4. Perhatian utama dinamika kelompok adalah:
1. perkembangan kelompok
2. karakteristik kelompok
3. interaksi kelompok A
5. Kohesivitas kelompok dipengaruhi oleh:
1. struktur kelompok
2. status anggota
3.
Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 3 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 3.
Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang
Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 3, terutama bagian yang belum dikuasai.
Tingkat penguasaan =
Kegiatan Belajar 4
Penanganan Konflik Antarkelompok
Solusi Struktural
Konflik yang muncul karena dilema sosial memerlukan solusi
struktural. Solusi struktural termasuk pembatasan penggunaan
sumberdaya yang menjadi sumber konflik dengan menggunakan
surat/kartu ”izin guna”, membatasi jumlah yang dapat digunakan,
dengan menentukan kuota. Atau dengan menunjuk individu atau
kelompok tertentu sebagai pengelola sumberdaya, yang berfungsi
memfasilitasi komunikasi antara kelompok-kelompok yang bertikai.
Individu/kelompok menentukan hak guna akan lebih besar apabila
kelompok bersedia untuk bekerjasama, dibandingkan dengan
apabila mereka bertikai.
Kesulitan menggunakan solusi struktural adalah dibutuhkan otoritas
yang berwibawa dan kuat untuk menjalankan kebijakan yang telah
ditetapkan, mengatur birokrasi, dan mengawasi pelangaran, serta
sanksi pelanggaran.
Mengurangi Frustasi
Meskipun frustasi tidak selalu mengakibatkan tindak kekerasan,
namun ada dua kondisi yang mendorong individu menjadi agresif.
Yakni, apabila individu mengalami keadaan frustasi yang luar biasa
(Harris, 1974 dalam Baron & Byron, 1977) dan penyebab frustasi
yang tidak masuk akal (Wavekel 1974; Zillman & Carter, 1976
dalam Baron & Byren, 1977). Ini berarti, segala kebijakan,
perlakuan, dan tindakan yang dapat berdampak pada ketidakadilan
yang selanjutnya akan memicu frustasi harus dihindari.
Selanjutnya dari sudut pandang teori frustrasi – agresi atau
teori deprivasi relatif, prasangka dan konflik antar-kelompok dapat
diminimalisasikan dengan menghindari terjadinya frustasi,
mengurangi harapan individu, menjaga individu agar tidak
menyadari bahwa ia mengalami frustasi, individu beraktivitas
alternatif untuk menyalurkan frustasinya, dan meminimalisasikan
asosiasi agresif pada orang-orang yang frustasi. Meningkatkan cues
non-aggresive dan mengurangi cues aggresive menjadi sangat
penting. Misalnya, dengan mengurangi penayangan kekerasan dan
benda-benda yang diasosiasikan dengan kekerasan (pisau, pistol,
dan lain-lain). Penelitian juga menunjukkan bahwa pemunculan cues
non aggrresive, seperti bayi, orang tertawa, dapat mengurangi
agresi.
Menciptakan Tujuan Luhur
Sumber utama konflik antar-kelompok, menurut teori ini adalah
masalah keterbatasan sumber, khususnya yang berkenaan dengan
nilai (value) dan kekuasaan (power). Solusi yang ditawarkan oleh
teori ini menciptakan sasaran bersama yang menuntut kerjasama
atau mengandung unsur saling ketergantungan di antara pihak yang
bertikai (super-ordinate goals).
Berdasarkan penelitian Sherif (1966), adanya suatu tujuan bersama
yang membutuhkan kerjasama antar-kelompok yang bertikai, dapat
menghilangkan konflik di antara mereka. Tujuan utama yang sangat
efektif adalah resistensi terhadap ancaman musuh dari luar. Hal ini
dapat terlihat ketika terjadi perang., kelompok-kelompok yang
bertikai akan meninggalkan pertikaiannya dan bersatu melawan
ancaman dari luar. Akan tetapi, tujuan luhur bersama tidak dapat
mengurangi konflik antar-kelompok apabila tujuan gagal tercapai,
kecuali apabila kelompok luar dapat disalahkan dan dianggap
sebagai penyebab kegagalan dalam mencapai tujuan luhur bersama.
Mencairkan Polarisasi Ingroup-Outgroup
Sebagaimana telah dikemukakan sumber konflik antar-kelompok,
menurut Teori Identitas Sosial bukan memperebutkan sumber
(resources), melainkan berkenaan dengan identitas sosial kelompok.
Solusi yang ditawarkan adalah mencairkan polarisasi ingroup-
outgroup. Dalam hubungan ini, pendapat Hassan (1999) mengenai
modus kebersamaan -kita dan –kami dapat dijadikan jalan keluar
dalam upaya mencairkan gejala ingroup-outgroup. Semangat yang
sangat menonjolkan ke-kami-an dari kelompok tertentu akan
mengancam ke-kita-an. Kebiasaan memberikan apresiasi terhadap
kelompok lain yang membuat kelompok lain merasa dihargai
merupakan unsur perekat yang perlu dikembangkan dalam upaya
mengurangi konflik antar kelompok yang bertikai (Ancok, 2004).
Mengurangi Orientasi Dominan
Konflik antar-kelompok terjadi karena orientasi dominan dari para
pemimpin kelompok dan pelembagaan dominasi yang disahkan.
Oleh karenanya pendidikan di rumah dan di sekolah hendaknya
mencegah terbentuknya authoritarian personality (Adorno dkk.
1950) dengan cara antara lain, menerapkan pola asuh authoritative
(Baumarind, D. 1987). Demikian pula berbagai praktik diskriminatif
yang melembaga dan didukung oleh ideologi hendaknya dihindari
dengan cara menganut ideologi terbuka.
Kontak Antar-Kelompok
Pada dasarnya prasangka dan konflik antar-kelompok terjadi karena
adanya sikap steriotipi terhadap kelompok luar yang negatif
(unfavourable streotypic outgroup attitudes). Sikap seperti itu ada
dan tersebar dalam berbagai macam ideologi sosial, serta
dipertahankan karena kurangnya akses terhadap informasi yang
dapat menyanggah anggapan-anggapan tersebut. Hal ini sering
terjadi karena kurangnya kontak antar-kelompok karena faktor
lingkungan, jarak yang jauh, dan terisolasi. Selain itu, kelompok
dapat terpisah karena perbedaan pendidikan, ekonomi, dan budaya,
atau kecemasan akan melakukan kontak dengan kelompok luar.
Contohnya adalah asumsi-asumsi prasangka mengenai orang
Indonesia bagian Timur, yakni dianggap sebagai orang-orang keras,
kasar dan pada umumnya berbahaya. Jarak yang sangat jauh dari
kota-kota besar di bagian Indonesia bagian Barat mengakibatkan
minimnya kontak dengan individu-individu tersebut. Selain itu
muncul asumsi prasangka yang hanya berdasarkan beberapa contoh
individu yang berasal dari Indonesia Timur. Asumsi tersebut turut
memperbesar rasa kecemasan pada individu di Barat untuk bertemu
dengan individu di Timur.
Menurut Hipotesi Kontak (Contact Hypothesis), kontak
yang tepat dapat mengurangi kecemasan antar-kelompok. Terdapat
beberapa kondisi yang perlu diperhatikan, yaitu kontak yang harus
berkesinambungan, dan melibatkan kerjasama antar-kelompok,
kontak terjadi berdasarkan kerangka-kerja dari lembaga dan institusi
yang memang ditujukan untuk integrasi, dan kontak melibatkan
kelompok dari status sosial yang sama. Walaupun uji coba selama
ini menunjukkan hasil yang beragam, pada umumnya kontak yang
melibatkan kerjasama, tujuan bersama, status yang sama, dan
didukung oleh pihak berwenang dan norma, dapat mengubah sikap
antar-kelompok menjadi lebih positif.
Salah satu bentuk kontak antar-kelompok yang dapat
meminimalisasikan prasangka stereotipi adalah metode desegregasi:
The Jigsaw Classroom. Dua atau lebih kelompok anak dari etnis
yang berbeda disatukan dalam satu kelas. Mereka harus bekerja
sama untuk mempelajari materi pelajaran. Materi dibagi-bagikan
kepada masing-masing anak sedemikian rupa sehingga setiap murid
hanya mempelajari sebagian dari materi. Kemudian masing-masing
murid harus mengajarkan materi yang diberikan kepadanya ke
murid-murid lainnya. Sehingga setiap murid bergantung pada murid
lainnya. Dalam metode ini setiap anak memiliki tujuan yang sama,
dan mereka harus bekerjasama untuk mencapai tujuan tersebut.
Kesamaan
Prasangka muncul karena ketidaktahuan dan anggapan bahwa
terdapat perbedaan antara kelompok yang tidak akan pernah dapat
menjembatani. Kontak antar-kelompok dapat menunjukkan bahwa
ternyata terdapat kesamaan di antara kedua kelompok. Akan tetapi
ada beberapa masalah dengan pendekatan ini. Karena kelompok-
kelompok memang pada dasarnya berbeda, kontak justru dapat
mempertajam perbedaan yang ada. Anggapan bahwa pada dasarnya
”sama” memberikan harapan yang belum tentu terbukti. Selain itu,
prasangka juga dipengaruhi oleh konflik tujuan dan adanya kategori
sosial.
Generalisasi
Metode lain dikemukakan oleh Wber dan Crocker (1983, dalam
Vaugh & Hogg, 2000). Menurut mereka, kontak antara individu
yang berbeda kelompok bertujuan untuk memperbaiki hubungan
antar-kelompok secara keseluruhan, tidak hanya antara individu
yang bertemu. Terdapat tiga model yang dapat menjelaskan
bagaimana ini dapat terjadi.
Pertama, bookeeping, mengumpulkan semua informasi positif
mengenai kelompok luar, sehingga secara perlahan-lahan akan dapat
memperbaiki stereotipi. Kedua, conversion, informasi yang sangat
berlawanan dengan steriotipi yang berlaku dapat mengubah sikap
secara tiba-tiba. Ketiga, subtyping, informasi yang tidak konsisten
dengan steriotipi dapat menghasilkan sub-stereotipi, sehingga
stereotipi menjadi lebih kompleks.
Beberapa metode kontak lainnya, mutual-differential model,
decategorisation model, dan extended contact effect. Gaertner dan
rekan (1996) menunjukkan bahwa apabila anggota kelompok yang
bertikai diminta untuk recategorise dirinya sebagai anggota dari
kelompok yang sama, maka sikap antar-kelompok akan membaik
dan perlahan menghilang. Walaupun terdapat kelemahan dalam
asumsi ini, penelitian menunjukkan bahwa metode multiculturalism,
di mana berbagai kelompok yang berbeda berada dalam satu
kelompok kenegaraan yang satu, efektif dalam mengurangi konflik
antar-kelompok.
Berdasarkan penelitian Sherif (1966), adanya suatu tujuan
bersama yang membutuhkan kerjasama antar-kelompok yang
bertikai, dapat menghilangkan konflik di antara mereka. Tujuan
utama yang sangat efektif adalah resistensi terhadap ancaman musuh
dari luar. Hal ini dapat terlihat ketika terjadi perang, kelompok-
kelompok yang bertikai akan meninggalkan pertikaianya dan
bersatu melawan acaman dari luar. Akan tetapi, tujuan luhur
bersama tidak dapat mengurangi konflik antar-kelompok apabila
tujuan gagal tercapai, kecuali kegagalan dapat disalahkan terhadap
kelompok luar.
Pluralisme dan Keberagaman
Pada dasarnya suatu kelompok terdiri dari berbagai macam sub-
kelompok. Konflik muncul ketika sebagian, atau satu kelompok,
tertentu mendapatkan perhatian yang lebih, sehingga kelompok lain
merasa sebagai bawahan dari kelompok tersebut. Salah satu
hipotesis mengajukan bahwa kerjasama yang intensif dengan waktu
yang lama dapat mengaburkan perbedaan antar-kelompok. Namun
penelitian juga menunjukkan bahwa kelompok superordinate
dengan keunikan sub-kelompok yang positif (Hornsey & Hogg,
2000).
Komunikasi
Kelompok yang bertikai dapat memperbaiki hubungan dengan cara
mengkomunikasikan secara langsung masalah yang terjadi dan
upaya untuk menyelesaikannya. Dengan kata lain, kelompok yang
bertikai dapat melakukan tawar-menawar, meditasi, arbitrasi, dan
konsiliasi.
Tawar-menawar
Negosiasi antar-kelompok biasanya dilakukan antar perwakilan dari
masing-masing kelompok. Misalnya, perwakilan demonstran
dengan perwakilan pemerintah. Penelitian menunjukkan bahwa,
ketika individu melakukan negosiasi sebagai wakil dari kelompok,
maka ia akan menawar lebih keras dan lebih sulit untuk mengalah
dibandingkan apabila ia hanya mewakili dirinya sendiri. Hal ini
menyulitkan proses negosiasi, cara yang lebih efektif adalah dengan
saling mengajukan konsesi.
Mediasi
Dalam situasi menghadapi jalan buntu (deadlock), pihak ketiga atau
mediator dapat menjadi solusi. Syaratnya mediator harus berada
dalam posisi yang kuat dan diterima oleh kedua kelompok yang
bertikai. Fungsi dari mediator adalah mengurangi emotional heat,
mengurangi persepsi yang keliru dan mendukung saling pengertian
dan mewujudkan rasa percaya, dapat mengajukan novel
compromise, membantu masing-masing pihak untuk ”mundur”
secara terhormat, memberikan tekanan terhadap masing-masing
kelompok, dan mengurangi konflik antar-kelompok.
Arbitrasi
Seringkali perbedaan antar-kelompok terlalu besar sehingga sulit
untuk mencapai kesamaan. Pada kondisi seperti ini dibutuhkan
pihak ketiga untuk memaksakan kondisi penyelesaian yang
mengikat. Metode ini hanya dilakukan sebagai upaya terakhir
karena dapat berbalik arah apabila salah satu kelompok merasa
pihak ketiga tidak bersikap adil terhadap kelompoknya.
Konsiliasi
Ada kalanya komunikasi tidak mungkin dilakukan, karena besarnya
ketegangan dan rasa curiga antar-kelompok. Pada situasi seperti ini
perlu dilakukan konsiliasi. Salah satu metodenya adalah Graduated
and reciprocated initiatives intension reduction (GRIT) (Osgood,
1962). Pada tahap pertama, salah satu kelompok melakukan
tindakan kooperatif yang memberikan pernyataan mengenai sedikit
konsesi yang akan diberikan kepada pihak lawan, dan mengajak
lawan untuk melakukan hal yang sama. Pada tahap kedua, kelompok
yang membuat pernyataan melakukan tindakan kooperatif, sehingga
pihak lawan mendapat tekanan yang besar untuk melakukan hal
yang sama.
Propaganda dan Edukasi
Pesan-pesan propaganda, seperti spanduk pemerintah ”damai itu
indah”, mengacu pada standar moralitas yang absolut. Individu-
individu yang mengacu pada standar itu akan mengakui, selain itu,
dapat menekan bentuk diskriminasi yang lebih ekstrim karena
adanya penolakan sosial terhadap perilaku tersebut.
Berdasarkan premis bahwa ketidaktahuan dan rasa takut
sebagai sumber prasangka stereotipi, maka pendidikan yang
mempromosikan toleransi, dapat mengurangi sikap rasialis dan
prasangka. Pendidikan dapat berupa informasi mengenai berbagai
macam kelompok (mis: sejarah kelompok etnis minoritas), dan
dampak dari diskriminasi pada individu. Masalah dari pendekatan
ini, ketika individu (mis: anak-anak sekolah) berada di luar
lingkungan belajar, berbagai macam bentuk diskriminasi kembali
muncul.
Masalah lain dari pendidikan yang hanya mengedepankan
informasi, adalah individu dapat dengan mudah menghindar atau
mengabaikan informasi tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa
pemberian materi akan lebih efektif apabila dilakukan dalam bentuk
terapi kelompok, dan dengan menggabungkan materi informasi
tersebut dengan menunjukkan terjadinya kesalahan berpikir
(cognitive inconsistencies) yang ada pada berbagai macam pola pikir
yang dilandasi stereotipi.
Bentuk ”pendidikan” yang dapat diterapkan adalah dengan
memberikan individu pengalaman menjadi ”korban” diskriminasi.
Pada umumnya, dengan mengajarkan kemampuan untuk berempati,
dan menilai seseorang sebagai individu yang kompleks, dan tidak
hanya secara stereotipi, dapat mengurangi bentuk kekerasan secara
fisik, verbal, atau secara tidak langsung melalui keputusan dan
institusi.
. LATIHAN
Setelah membaca materi kegiatan belajar 1 di atas dengan cermat, untuk memantapkan pemahaman anda, cobalah kerjakan latihan berikut. Anda dapat mengerjakannya berama-sama dengan teman-teman kelompok belajar sehingga Anda dapat saling bertukar pendapat.
Coba diskusikan dengan teman-teman Anda persamaan dan perbedaan pengetahuan dengan ilmu pengetahuan. Buatlah daftar persamaan dan perbedaan tersebut.Di sekitar Anda tentu banyak fakta, atau konsep yang secara turun-temurun dipercaya kebenarannya. Pilihlah satu saja, kemudian cobalah kaji, apakah fakta atau konsep tersebut merupakan hasil suatu kajian ilmiah atau pemikiran non-ilmah.
Petunjuk Jawaban Latihan
Baca kembali materi pembahasan tentang hakekat pengetahuan.Baca kembali materi pembahasan tentang hakekat ilmu pengetahuan
Menggunakan kelompok yang sudah Anda identifikasi pada latihan kegiatan belajar 1, jelaskanlah gaya kepemimpinan apa yang ditunjukkan oleh pemimpin kelompok tersebut? Apa alasan Anda menyatakan pendapat itu?
Petunjuk Jawaban Latihan
Pelajari kembali dengan baik materi kegiatan belajar 4, terutama yang berkaitan dengan perilaku pemimpin
Menurut ahli psikologi sosial, kepemimpinan adalah suatu proses
yang merujuk pada adanya satu anggota kelompok (seorang pemimpin) yang
mempengaruhi anggota kelompok lainnya dalam mencapai suatu tujuan
bersama (Baron and Byren, 1997 :13). Dengan kata lain, seorang pemimpin
adalah anggota kelompok dengan pengaruh yang paling besar dalam
kelompok tersebut.
Pengertian tersebut didasarkan pada great person theory (toeri orang
hebat), yang berpendapat bahwa seorang pemimpin adalah yang memiliki
karakteristik paling hebat dalam semua hal dibanding yang dipimpin. Namun,
penelitan-penelitian kritis terhadap teori tersebut menunjukkan bahwa
hubungan antara kareakteristik atau sifat kepribadian pemimpin dengan
efektivitas kepemimpinan kecil. Hanya ketika dilakukan rangkuman terhadap
penelitian-penelitian serupa ditemukan bahwa pemimpin yang efektif
cenderung memiliki kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement),
RANGKUMAN
kepercayaan diri (self-esteem), motivasi (motivation), orisinalitas
(originality), dan toleransi terhadap stres (stress tolerance) yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pemimpin yang kurang efektif.
Sedangkan tentang gaya kepemimpinan, ada 2 macam gaya
kepemimpinan yaitu pemimpin kerja (task leader) dan pemimpin sosio-
emosinal (socio-emotional leader). Pemimpin kerja mengontribusikan ide-
ide, mencari dan memberikan informasi dan opini, mengoordinasi aktivitas
kelompok, memberikan ’energi’ kedalam kelompok, dan mengeveluasi
kinerja kelompok. Sementara, pemimpin sosio-emosional memberikan
pujian, memediasi konflik, mendorong partisipasi, dan juga memberikan
umpan balik terhadap kelompok dan proses kelompok.
Penelitian lain juga membagi perilaku pemimpin menjadi dua
dimensi. Dimensi pertama adalah initiating structure/production orientation,
yaitu pemimpin yang fokus pada penyelesaian tugas. Pemimpin akan
mengorganisasi kerja, mendorong bawahan untuk mengikuti peraturan,
menetapkan target, dan memperjelas perbedaan peran pemimpin dan
bawahan. Dimensi kedua adalah consideration/person orientation,
pemimpin dengan gaya kepemimpinan ini lebih fokus pada menjalin
hubungan baik dengan bawahannya agar disukai. Mereka akan membantu
bawahannya, memberikan penjelasan kepada bawahan, dan meperhatikan
kesejahteraan bawahannya.
1. Perilaku pemimpin dalam organisasi militer, jika kita amati, cenderung ke arah:
TES FORMATIF 1
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
A. task leaderB. person orientationC. production orientationD. socio-emotional leader
2. Pemimpin berikut yang lebih tepat menggambarkan pendekatan great person theory adalah:
A. Barrack ObamaB. Kaisar HirohitoC. Soesilo Bambang YudhoyonoD. Sultan Hasanal Bolkiah
3. Pada hakekatnya, seorang pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan lebih tinggi dibanding yang dipimpin dalam hal:
A. berorasiB. mempertahankan argumentasiC. melobi D. mempengaruhi
4. Pemimpin yang dalam memimpin lebih senang melakukan kompromi demi untuk menumbuhkan kehidupan kelompok yang harmonis, adalah pemimpin yang bergaya kepemimpinan:
A. task leaderB. person orientationC. production orientationD. socio-emotional leader
5. Pemimpin yang lebih cocok untuk situasi negara seperti Irak dan Afganistan adalah pemimpin:
A. task leaderB. production orientationC. karismatik D. transactional
Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.
Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang
Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.
Tingkat penguasaan =
Kunci Jawaban Tes Formatif
Tes Formatif 11) A2) B3) D4) A5) B
Tes Formatif 21) A2) C3) D4) B5) D
Tes Formatif 31) C2) D3) C4) A5) D
Tes Formatif 41) C2) B3) D4) B5) C
Daftar Pustaka
Allport, G.W. (1958). The nature of prejudice. New York: Addison Wesley.
Baron, R.A., & Byrne, D. (1997). Social psychology. Boston: Allyn and Bacon.
Hogg, M.A., & Vaughn, G.M. (2002). Social psychology. Harlow: Printice Hall.
Moskowitz, G.B. (2005). Social Cognition. New York: The Guilford Press.
Myers, D.G. (1999). Social psychology. Boston: McGraw – Hill.
Sarwono, S.W. (1996). Psikologi sosial. Individu dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta: Balai Pustaka.