Page 1
YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP
EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH
(Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun 2009 dan Pasal 61 UU Nomor 30 Tahun
1999 Terhadap Pasal 13 PERMA Nomor 14 Tahun 2016)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Fikrotul Jadidah
11140460000049
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439H / 2018M
Page 5
v
ABSTRAK
Fikrotul Jadidah. NIM 11140460000049. YURISDIKSI KEWENANGAN
PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH
(KAJIAN PASAL 59 AYAT (3) UU NO. 48 TAHUN 2009 DAN PASAL 61 UU
NO. 30 TAHUN 1999 TERHADAP PASAL 13 PERMA NO. 14 TAHUN 2016).
Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalat), Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/ 2018 M. x
+ 96 halaman + 80 halaman lampiran.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan ketentuan dan aturan hukum yang
mengatur tentang wewenang eksekusi putusan arbitrase syariah dalam peraturan
perundang-undangan, dan implementasi eksekusi putusan arbitrase syariah pasca
lahirnya PERMA No. 14 Tahun 2016. PERMA tersebut menyatakan secara tegas
bahwa Pengadilan Agama yang berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan
badan arbitrase syariah, namun peraturan ini dianulir dengan adanya UU No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 59 UU ini dalam penjelasannya
secara jelas menyatakan bahwa eksekusi putusan arbitrase termasuk arbitrase
syariah, dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri, selanjutnya
UU No. 30 Tahun 1999 secara jelas menyatakan bahwa eksekusi putusan arbitrase
syariah dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri. Akar
permasalahannya yakni Pasal 59 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009 dan Pasal 61
UU No. 30 Tahun 1999. Oleh karena itu selama pasal tersebut masih eksis, maka
ketentuan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase syariah akan dipahami menjadi
kewenangan Pengadilan Negeri, sehingga hal tersebut menghilangkan
kewenangan absolut Pengadilan Agama.
Penelitian ini menggunakan metode library research dengan pendekatan
yuridis normatif dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-
undangan, buku-buku, yang berkaitan dengan judul skripsi ini dan pendapat pakar
hukum dan arbiter di BASYARNAS. Dalam penelitian hukum dapat
menggunakan pendekatan yuridis normatif, maka bahan hukum primer, sekunder
dan tersier yang telah dikumpulkan untuk kemudian dianalisis secara normatif
kualitatif,
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pada level kajian akademik
hampir keseluruhan akademisi menyatakan bahwa secara hierarki peraturan
perundang-undangan PERMA No 14 Tahun 2016 tidak boleh menyalahi UU No
48 Tahun 2009 dan UU Nomor 30 Tahun 1999. Akan tetapi, dilihat dari fakta saat
ini ternyata putusan arbitrase syariah dalam hal ini BASYARNAS yang telah
dilangsungkan pada akhir tahun 2017 setelah adanya PERMA No 14 Tahun 2016
yang kemudian diajukan penetapannya kepada Pengadilan Agama telah
memperoleh penetapan.
Kata Kunci : Arbitrase Syariah, Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, PERMA.
Pembimbing : Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag
Daftar pustaka : 1994 s.d. 2016
Page 6
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmmatullahi Wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan begitu banyak
nikmat bagi kita, khususnya nikmat iman, Islam, dan nikmat sehat sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi ini dengan baik. Shalawat serta
salam semoga tetap Allah curahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad
SAW, juga kepada keluarganya, para sahabatnya, serta umatnya hingga akhir
zaman nanti. Amiin.
Alhamdulillah segala Puji Syukur Kehadirat Allah SWT, yang selalu
memberikan kemudahan dan kelancaran sehingga penyusun dapat menyelesaikan
tugas akhir skripsi yang berjudul “Yurisdiksi Kewenangan Pengadilan
Terhadap Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah Dan Implementasi Pasca
Lahirnya PERMA Nomor 14 Tahun 2016”. Yang disusun untuk memenuhi
syarat dalam memperoleh gelar Strata 1 (S1) di jurusan Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Selama masa penelitian, penyusunan, penulisan dan sampai masa
penyelesaian skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Dukungan datang diantaranya dari civitas akademika UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, keluarga, teman-teman, maupun berbagai pihak lainnya
yang telah banyak berjasa dan mendukung penulis dalam menyelesaikan tugas
akhir skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA,.
2. Ketua dan Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak A.M. Hasan Ali, M.A, dan Bapak
Dr. Abdurrauf, Lc., MA.
3. Pembimbing skripsi penulis yang sekaligus dosen pembimbing
akademik, Bapak AH. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H., yang telah
Page 7
vii
membimbing, mengarahkan, dan menyemangati penulis untuk dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
4. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta khusunya dosen program studi Hukum Ekonomi Syariah yang
telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berarti dan
bermanfaat bagi penulis.
5. Kepada staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Tim penguji sidang skripsi pada tanggal 30 April 2018, Bapak
7. Kepada kedua orang tua tercinta Abah Ahmad Zainul Abidin, MS dan
Ibu Syafa’ah, terimakasih atas segala doa, kasih sayang, nasehat,
dukungan, motivasi, perhatian, dan bantuan yang telah dicurahkan
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi ini. Penulis
percaya bahwa penulis bisa sampai pada titik ini itu karena ridha dan
doa dari Abah dan Ibu.
8. Kepada kakakku tercinta Laili Nafilah dan nenek Zulaikha terimakasih
untuk support, kasih sayang, doa, dan sebagai alarm agar penulis cepat
menyelsaikan tugas akhir skripsi ini.
9. Kepada Hafiz Kamil yang selalu sabar menemani dan mendukung
penulis selama dalam proses penyelesaian tugas akhir skripsi ini.
10. Kepada sahabatku Robi’atul Adawiyah, yang selalu memberi semangat
dan motivasi dalam menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.
11. Teman-teman Hukum Ekonomi Syariah (Muamalat) angkatan 2014,
khususnya sahabat-sahabatku tercinta Mumtaz Chairunnisa Iris
Putranti, Siti Khodijah, dan teman-teman seperjuangan kelas A yang
telah sama-sama berjuang dan saling memberikan motivasi serta
semangat dalam menyelesaikan studi demi meraih cita-cita.
12. Teman seperjuangan selama 1 (satu) bulan KKN “Bambusa mellifera”
yang telah memberikan semangat dan motivasi dalam menyelesaikan
tugas akhir skripsi ini.
Page 8
viii
13. Teman-teman pondok putri asy-Syifa Tetty Juwairiyah, Febri
Handayani, Nida Hanifah, Fella Suffah Diniyah, Nike Nila Sari, Bapak
Deddy dan Ibu Deddy yang selalu menemani, mendukung, dan
menghibur penulis selama dalam penyusunan tugas akhir skripsi ini.
14. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas
akhir skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan semuanya satu
persatu.
Semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan pihak-pihak yang telah
mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, untuk itu
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga skripsi ini
bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi semua
pembaca.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ciputat, 25 Maret 2018
Fikrotul Jadidah
Page 9
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI iii
LEMBAR PERNYATAAN iv
ABSTRAK v
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Identifikasi Masalah 5
C. Batasan dan Rumusan Masalah 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 7
E. Kajian (riview) Studi Terdahulu 5
F. Kerangka Teori dan Konseptual 11
G. Metode Penelitian 15
H. Sistematika Penulisan 19
BAB II TINJAUAN UMUM ARBITRASE DAN HIERARKI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. Ruang Lingkup Arbitrase 21
1. Pengertian Arbitrase 21
2. Dasar Hukum Arbitrase 23
3. Prosedur Penyelesaian Sengketa Arbitrase 25
4. Kewenangan Arbitrase 27
5. Eksekusi Putusan Arbitrase 29
6. Arbitrase Syariah 34
B. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan 39
1. Pengertian Undang-Undang 39
2. Asas Perundang-Undangan 40
3. Tata Urutan Perundang-undangan dalam Sistem
Hukum di Indonesia 42
Page 10
x
4. Kedudukan PERMA Dalam Hierarki Peraturan
Perundang-Undangan 45
BAB III KEWENANGAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE
SYARIAH DI INDONESIA
A. Kewenangan Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah
Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan 48
1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 48
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 49
3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 53
4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 54
5. SEMA Nomor 8 Tahun 2008 56
6. SEMA Nomor 8 Tahun 2010 60
7. PERMA Nomor 14 Tahun 2016 62
B. Analisa Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan 63
1. Analisa Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah
Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan 63
2. Kewenangan Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syariah 72
BAB IV IMPLEMENTASI PENETAPAN EKSEKUSI PUTUSAN
ARBITRASE SYARIAH PASCA PERMA NOMOR 14
TAHUN 2016
A. Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah di Lembaga Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) 75
B. Argumentasi Ahli Hukum Setelah Adanya Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 Tentang
Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah 83
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 91
B. Saran 92
DAFTAR PUSTAKA 93
LAMPIRAN
Page 11
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai makhluk sosial, manusia dalam berinteraksi satu sama lain
seringkali tidak dapat menghindari adanya bentrokan-bentrokan
kepentingan (conflict of interest) di antara mereka. Konflik yang terjadi
dapat menimbulkan kerugian, karena biasanya disertai pelanggaran hak
dan kewajiban dari pihak satu terhadap pihak lain. Konflik-konflik
semacam itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi memerlukan
sarana hukum untuk menyelesaikannya. Dalam keadaan seperti itulah,
hukum diperlukan kehadirannya untuk mengatasi berbagai persoalan yang
terjadi. Di mana ada masyarakat maka di situ ada hukum, maka eksistensi
hukum sangat diperlukan dalam mengatur kehidupan manusia. Tanpa
hukum, kehidupan manusia akan liar, siapa yang kuat dialah yang menang.
Tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingannya manusia dalam
mempertahankan hak dan kewajibannya.
Seiring dengan tumbuh kembangnya aktivitas ekonomi yang pesat
dan kompleks, melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama yang
semakin kompleks dalam berbisnis. Mengingat kegiatan bisnis yang
semakin meningkat, maka tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa
diantara para pihak yang terlibat. Pada sektor bisnis syariah misalnya,
tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya sengketa. Sengketa muncul
dikarenakan berbagai alasan dan masalah yang melatar belakanginya,
terutama karena adanya conflict of interest diantara para pihak. Dalam
rangka mengantisipasi hal tersebut, para pelaku bisnis dan pakar hukum
bisnis mencari bentuk penyelesaian sengketa yang efektif dan efesien.
Dari segi yurisdiksi, choice of forum akan menjadi penting terkait
penyelesaian sengketa. Pada dasarnya terhadap suatu sengketa, peraturan
perundang-undangan yang berlaku di negara ini telah mengakomodir
Page 12
2
bentuk-bentuk penyelesaiannya yang bisa dipilih oleh para pihak, yaitu
dalam bentuk litigasi (peradilan) dan non litigasi (diluar pengadilan).
Kekuasaan kehakiman dalam Islam diurai menjadi tiga bagian,
pertama kekuasaan Al-Qadla, yaitu lembaga yang berwenang untuk
menyelesaikan perkara-perkara perdata dan pidana. Kedua, kekuasaan Al-
Hisbah, yakni lembaga resmi pemerintah yang diberi kewenangan untuk
menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran ringan yang menurut sifatnya
tidak memerlukan proses peradilan, Dan ketiga, kekuasaan Al-Madzalim,
yaitu lembaga yang dibentuk untuk membela dan menyelesaikan perkara
akibat kesewenangan penguasa, pejabat, hakim, atau lainnya.1 Sementara
penyelesaian perkara diluar kekuasaan kehakiman dapat dilakukan
melalui as-sulhu (perdamaian) atau at-tahkim (arbitrase).2
Tujuan dari tahkim adalah penyelesaian secara damai. Perdamaian
merupakan jalan terbaik dalam pandangan Islam, sehingga untuk itu
masing-masing pihak harus rela meskipun para pihak tersebut mesti
melepaskan haknya. Penyelasaian secara litigasi hanya dilaksanakan
bilamana jalan damai tidak disepakati. Kehadiran tahkim (arbitrase)
membantu peradilan pemerintah dalam mewujudkan perdamaian di tengah
masyarakat.
Membahas lebih lanjut mengenai penyelesaian sengketa melalui
jalur non litigasi (di luar pengadilan) yang diatur dalam UU No. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 60 UU
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa menyatakan bahwa putusan arbitrase bersifat final dan
mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Dalam
penjelasannya, kata final ini dimaksudkan bahwa atas putusan arbitrase
tidak bisa diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.3 Putusan
1 Rahmat Rosyadi, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2002), h. 29-39. 2 Rika Delfa Yona, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Indonesia, Economic:
Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 4, No. 1 2014, h. 61 3 Penjelasan Undang-undang R.I. Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase danAlternatif
Penyelesaian Sengketa, Pasal 60
Page 13
3
arbitrase hanya bisa dilaksanakan atau mempunyai kekuatan eksekusi jika
sudah didaftarkan di pengadilan. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal
59 ayat (3) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasannya
bahwa, dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase
(termasuk arbitrase syariah) secara sukarela, putusan dilaksanakan
berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu
pihak yang bersengketa.
Diskusi mengenai peradilan mana yang berwenang mengeksekusi
putusan arbitrase syariah, apakah Peradilan Agama atau Peradilan Negeri,
masih terus menimbulkan perdebatan. Awalnya, melalui Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan
Arbitrase Syariah dinyatakan secara tegas bahwa Pengadilan Agama lah
yang berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan badan arbitrase
syariah jika tidak dilaksanakan secara sukarela berdasarkan permohonan
salah satu pihak yang bersengketa.
Namun peraturan ini dianulir dengan direvisinya Undang-Undang
No. 4 Tahun 2004 dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Pasal 59 UU ini dalam penjelasannya secara jelas
menyatakan bahwa eksekusi putusan arbitrase, termasuk arbitrase syariah,
dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri. Kemudian
berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman ini, bulan Mei 2010, Mahkamah Agung
mengeluarkan SEMA No. 8 Tahun 2010 tentang Penegasan Tidak
Berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun 2008
tentang Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah. SEMA No. 08 Tahun 2010
tersebut diberlakukan atas dasar telah diundangkannya Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Akar permasalahannya adalah bukan pada SEMA No. 8 Tahun
2010 tersebut, akan tetapi justru dasar hukum yang digunakan dalam
pengeluaran SEMA tersebut, yakni pasal 59 ayat (3) UU No. 48 tahun
2009. Oleh karena itu selama pasal tersebut masih eksis, maka ketentuan
Page 14
4
pelaksanaan eksekusi maupun pembatalan putusan Basyarnas akan
dipahami menjadi kewenangan Pengadilan Negeri, sehingga hal tersebut
menghilangkan kewenangan absolut Pengadilan Agama yang telah
diberikan kewenangan berdasarkan pasal 49 huruf (i) UU No. 3 tahun
2006. Hal ini menggambarkan adanya tarik menarik kewenangan antar dua
lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung RI.
Pembahasan eksekusi putusan arbitrase syariah (Basyarnas) belum
terbahas bahkan pasal 59 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman masih eksis
sampai sekarang, sedangkan perkara yang ditangani di Basyarnas tidak
hanya perbankan syariah melainkan mencakup semua wilayah perkara
ekonomi syariah. Dengan keeksisan Pasal 59 Ayat (3) tersebut, maka
memberikan pengaruh terhadap Peradilan Agama.
Rentang waktu terakhir ini, bulan Desember 2016 Mahkamah
Agung telah mengeluarkan PERMA (Peraturan Mahkamah Agung)
Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi
Syariah. Disebutkan pada Pasal 13 ayat (2), bahwa pelaksanaan putusan
arbitrase syariah dan pembatalannya dilaksanakan oleh Pengadilan
Agama. Kembali peraturan mengenai eksekusi putusan arbitrase syariah
mengalami inkonsistensi.
Membahas lebih lanjut mengenai PERMA Nomor 14 Tahun 2016
tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah yang
memberikan kewenangan terhadap Peradilan Agama untuk membatalkan
putusan arbitrase terdapat ketidaksinkronan dengan UU Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang memberikan kewenangan
kepada Peradilan Negeri untuk membatalkan putusan arbitrase yang
tertuang pada Penjelasan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa
“Yang dimaksud dengan “arbitrase” dalam ketentuan ini termasuk juga
arbitrase syariah” dan lebih lanjut pada Pasal 59 Ayat (3) yang berbunyi
:“Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara
sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan
Page 15
5
negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”. Selain itu,
peraturan perundang-undangan lain yang bertentangan dengan PERMA
Nomor 14 Tahun 2016 yaitu UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa pada Pasal 61 yang berbunyi :
“Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara
sukarela, putusan dilaksankan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan
Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”.
Begitu banyaknya peraturan yang berlaku, membuat Indonesia
ibarat belantara hukum yang kemudian rentan melahirkan persoalan.
Tumpang tindih regulasi dianggap sebagai penyebab utama ketidakpastian
hukum di negara ini. Situasi ini serba multitafsir, konfliktual, dan tidak
taat asas. Akibatnya, efektivitas implementasi regulasi menjadi lemah.
Berangkat dari permasalahan tersebut di atas guna mendapatkan
kepastian hukum dan regulasi yang lebih baik di level Undang-Undang
maupun di level Peraturan Perundang-undangan serta dalam rangka
digunakan untuk memenuhi kewajiban tugas akhir perkuliahan sebagai
syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada tingkat pendidikan
perkuliahan Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, maka penulis tertarik dan perlu kiranya membahas lebih lanjut
mengenai peraturan Arbitrase Syariah khususnya masalah tumpang
tindihnya peraturan perundang-undangan terkait eksekusi putusan
Arbitrase Syariah dan bagaimana implementasinya pasca lahirnya
PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa
Ekonomi Syariah dengan judul “Yurisdiksi Kewenangan Pengadilan
Terhadap Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah Dan Implementasi Pasca
Lahirnya PERMA Nomor 14 Tahun 2016”.
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana bisa terjadi antara peraturan perundang-undangan terjadi
pro dan kontra dalam pengaturannya ?
Page 16
6
2. Apakah antara peraturan perundang-undangan terkait eksekusi putusan
arbitrase syariah perlu di tarjih/ dinilai mana yang lebih kuat/
berwenang ?
3. Bagaimana akibat hukum adanya dualisme peraturan terkait dengan
eksekusi putusan arbitrase syariah ?
4. Pengadilan manakah yang lebih berwenang dalam melaksanakan
eksekusi putusan arbitrase syariah ditinjau dari aspek yuridisnya ?
5. Bagaimana pengaruh Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Peradilan Agama ?
6. Bagaimana pengaruh Pasal 61 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terhadap Peradilan
Agama ?
7. Apakah ketentuan Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun 2009 dan
Pasal 61 UU Nomor 30 Tahun 1999 secara otomatis dengan Peradilan
Agama ?
8. Bagaimana hubungan yuridis antara UU Nomor 48 Tahun 2009, UU
Nomor 30 Tahun 1999 dan PERMA Nomor 14 Tahun 2016 ?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Definisi kewenangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) adalah: “hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan
sesuatu”. Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan diatas dan
untuk menghindari meluasnya pembahasan dalam penelitian ini, maka
penulis membatasai masalah yang akan diteliti dan hanya fokus pada
titik pembahasan kewenangan peradilan terhadap eksekusi putusan
arbitrase syariah kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun 2009
dan Pasal 61 UU Nomor 30 Tahun 1999 terhadap Pasal 13 PERMA
Nomor 14 Tahun 2016.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka
penulis merumuskan beberapa pokok permasalahan yang akan menjadi
Page 17
7
pembahasan dalam skripsi ini. Adapun pokok permasalahan tersebut
adalah:
a. Bagaimana pengaturan wewenang eksekusi putusan arbitrase
syariah dalam peraturan perundang-undangan ?
b. Bagaimana implementasi eksekusi putusan arbitrase syaiah pasca
lahirnya PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan masalah-masalah yang telah dijelaskan
diatas, maka penelitian ini mempunyai tujuan untuk menyelesaikan
dan mencari jawaban atas masalah-masalah tersebut dengan upaya
sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui ketentuan dan aturan hukum yang mengatur
tentang wewenang eksekusi putusan arbitrase syariah dalam
peraturan perundang-undangan.
b. Untuk mengetahui implementasi eksekusi putusan arbitrase syaiah
pasca lahirnya PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian akan lebih bermanfaat apabila mempunyai data yang
akurat dan dapat menambah wawasan pembaca, oleh karena itu,
penulis merumuskan manfaat penelitian sebagai berikut :
a. Manfaat Teoritis
1) Penelitian ini digunakan untuk sumber data dan informasi yang
dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
sebagai bahan menambah ilmu pengetahuan di bidang ilmu
Hukum khususnya Hukum Ekonomi Syariah.
2) Sebagai suatu wacana akademik di bidang ilmu hukum yang
perlu ditindaklanjuti melalui pengembangan lebih mendalam
agar dapat diaplikasikan pada masyarakat luas.
Page 18
8
3) Sebagai acuan untuk pembelajaran dan pembuatan karya
ilmiah khususnya yang berkaitan dengan kewenangan
(kompetensi absolute) Pengadilan Agama dan Pengadilan
Negeri dan penerapannya setelah lahirnya peraturan
Mahkamah Agung yang mengatur tentang eksekusi putusan
arbitrase syariah.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat
dipergunakan sebagai sumber kajian bagi yang berkepentingan,
terutama bagi praktisi hukum. Dan juga diharapkan dapat berguna
sebagai jawaban dari berbagai persoalan yang terjadi dalam
lingkup penyelesaian sengketa Lembaga Keuangan Syariah.
E. Kajian (riview) Studi Terdahulu
Kajian pustaka adalah deskripsi tentang kajian atau penelitian yang
sudah pernah dilakukan. Kajian Pustaka ini bertujuan untuk memperoleh
suatu gambaran yang memiliki hubungan topik yang akan diteliti dari
beberapa penelitian terdahulu yang sejenis atau memiliki keterkaitan,
sehingga tidak ada pengulangan penelitian dan duplikasi.
Untuk menghindari kesamaan judul dalam penelitian ini penulis
telah melakukan penelusuran studi terdahulu yang berkaitan dengan
penelitian ini dari beberapa kepustakaan. penelitian tersebut adalah sebagai
berikut :
No Judul/ Penyusun/ Tahun Substansi Perbedaan dengan
Penulis
1. Judul Skripsi :
Kewenangan Peradilan
Agama dan Peradilan
Umum Dalam Memeriksa
dan Memutus Sengketa
Perbankan Syariah (Studi
Pasal 55 UU No. 21 Tahun
2008 Tentang Perbankan
Syariah)
Skripsi ini membahas
tentang implikasi adanya
UU No 21 Tahun 2008
terhadap kewenangan
Peradilan Agama dan
Peradilan Umum dalam
sengketa perbankan syariah
dan penerapan prinsip
syariah dalam hal
Perbedaan penelitian
ini dengan penelitian
skripsi penulis yaitu
pada skripsi ini lebih
fokus kepada
sengketa perbankan
syariah, sedangkan
penelitian penulis
lebih fokus kepada
Page 19
9
Penulis :
ACHMAD RIF’AN
Program Studi :
Al- Akhwal Al-Syakhsiyah
(2013)
Universitas :
UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
penyelesaian sengketa
perbankan syariah
pengaturan
wewenang eksekusi
putusan arbitrase
syariah dalam
peraturan perundang-
undangan dan
implementasinya
pasca lahirnya
PERMA Nomor 14
Tahun 2016.
2. Judul Thesis :
Dualisme Peraturan
Tentang Kewenangan
Pengadilan Terhadap
Eksekusi Putusan Badan
Arbitrase Syariah
(BASYARNAS)
Penulis :
FRISKA MUTHI
WULANDARI
Program Studi :
Magister Hukum Islam
(2017)
Universitas :
UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
Thesis ini membahas
tentang terjadinya dualisme
peraturan tentang
kewenangan pengadilan
dalam mengeksekusi
putusan BASYARNAS dan
akibat hukumnya dengan
adanya dualisme peraturan
terkait dengan eksekusi
putusan BASYARNAS
Titik letak perbedaan
thesis yang akan
diteliti oleh penulis
dengan skripsi ini
yaitu pada skripsi ini
membahas tentang
mengapa terjadi
dualisme peraturan
tentang kewenangan
pengadilan dalam
mengeksekusi
putusan
BASYARNAS dan
akibat hukumnya,
sedangkan skripsi
yang dibahas pada
penelitian penulis
yaitu terkait
hubungan yuridis
antara UU yang
mengatur tentang
eksekusi putusan
arbitrase syariah, dan
implementasinya
pasca lahirnya
PERMA Nomor 14
Tahun 2016.
3. Judul Thesis :
Implikasi Tugas dan
Kewenangan Badan
Thesis ini membahas
tentang kewenangan
Basyarnas terhadap
Yang membedakan
penelitian ini dengan
penelitian yang akan
Page 20
10
Arbitrase Syariah Nasional
dalam Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah
Pasca Putusan MK No.
93/PUU-X/2012 Tentang
Pengujian Konstitusional
UU No 21 Tahun 2008
Tentang Perbankan
Syariah
Penulis :
RATNA SOFIANA
Program Studi :
Magister Hukum Islam
(2015)
Universitas :
UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
penyelesaian sengketa
ekonomi syariah sebelum
dan setelah adanya putusan
MK No.93/PUU-X/2012
dan implikasi tugas dan
kewenangan Basyarnas
tentang pengujian
konstitusional UU No 21
Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah
dilakukan oleh
penulis yaitu pada
objek penelitiannya,
objek pada penelitian
ini yaitu putusan MK
No.93/PUU-X/2012
sedangkan objek
penelitian penulis
adalah PERMA
Nomor 14 Tahun
2016 tentang Tata
Cara Penyelesaian
Sengketa Ekonomi
Syariah.
4. Judul Skripsi :
Tinjauan Yuridis Terhadap
Putusan
No.792/PDT.G/2009/PA
Jakarta Pusat Tentang
Pembatalan Putusan Badan
Arbitrase Syariah Nasional
Penulis :
HAKAM RIZQI
Program Studi :
Hukum Bisnis Syariah (2013)
Universitas :
UIN Maulana Malik Ibrahin
Malang
Skripsi ini membahas
tentang pertimbangan
hukum penerimaan dan
pengabulan pembatalan
putusan BASYARNAS dan
tijauan yuridis terhadap
pertimbangan hukum
penerimaan dan pengabulan
pembatalan putusan
Basyarnas dalam putusan
Pengadilan Agama Jakarta
Pusat dengan nomor
perkara792/PDT.G/2009/PA
Penelitian ini lebih
menitikberatkan pada
analisis pertimbangan
hukum putusan
Pengadilan Agama
Jakarta Pusat dengan
nomor perkara
792/PDT.G/2009/PA
sedangkan penelitian
penulis lebih kepada
peraturan perundang-
undangan yang
membahas mengenai
kewenangan
pengadilan terhadap
eksekusi putusan
arbitrase syariah.
Page 21
11
F. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Kerangka teori bertujuan untuk memberikan gambaran atas
batasan-batasan tentang teori-teori yang dipakai sebagai landasan
penelitian yang akan dilakukan.
Fokus kajian teori kewenangan adalah berkaitan dengan
sumber kewenangan dari pemerintah dalam melakukan perbuatan
hukum, baik dalam hubungannya dengan hukum public maupun
hubungannya dengan hukum privat.
Kewenangan dapat dibedakan menurut sumbernya,
kepentingannya , teritoria, ruang lingkupnya, dan menurut urusan
pemerintahan. Kewenangan menurut sumbernya dibedakan menjadi
dua macam, yaitu wewenang personal dan wewenang ofisial.
Wewenang personal yaitu wewenang yang bersumber pada intelegensi,
pengalaman, nilai atau norma, dan kesanggupan untuk memimpin.
Sedangkan wewenang ofisial merupakan resmi yang diterima dari
wewenang yang berada diatasnya.
Max Weber membagi kewenangan menjadi empat macam,
yang meliputi :
a. Wewenang kharismatis, tradisional dan rasional (legal);
b. Wewenang resmi dan tidak resmi;
c. Wewenang pribadi dan territorial; dan
d. Wewenang terbatas dan menyeluruh.
Wewenang kharismatis merupakan wewenang yang didasarkan
pada kharisma yang merupakan suatu kemampuan khusus yang
melekat pada diri seseorang, kemampuan mana yang diyakini sebagai
pembawaan seseorang sejak lahir. Wewenang tradisional merupakan
wewenang yang dapat dipunyai oleh seseorang atau kelompok orang.
Wewenang rasional atau legal, yaitu wewenang yang
disandarkan pada sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat,
sistem hukum mana dipahamkan sebagai kaidah-kaidah yang telah
Page 22
12
diakui serta ditaati oleh masyarakat, dan bahkan yang telah diperkuat
oleh negara.
Wewenang tidak resmi merupakan hubungan-hubungan yang
timbul antar pribadi yang sifatnya situasional, dan sifatnya sangat
ditentukan pihak-pihak yang saling berhubungan tadi. Wewenang
resmi sifatnya sistematis, dapat diperhitungkan dan rasional. Biasanya
wewenang ini dapat dijumpai pada kelompok-kelompok besar yang
memerlukan aturan tata tertib yang tegas dan bersikap tetap.
Wewenang pribadi lebih didasarkan pada tradisi, dan/ atau
kharisma. Wewenang teritorial merupakan wewenang dilihat dari
wilayah tempat tinggal. Wewenang terbatas adalah wewenang yang
sifatnya terbatas, dalam arti tidak mencakup semua sektor atau bidang
kehidupan, akan tetapi hanya terbatas pada salah satu sektor atau
bidang saja. Wewenang menyeluruh merupakan wewenang yang tidak
dbatasi oleh bidang-bidang kehidupan tertentu.4
Menurut Roihan Rasyid, kompetensi seringkali juga dimaknai
kewenangan, dan juga dimaknai dengan kekuasaan. Adapun
kompentensi yang dimaksud disini adalah kewenangan mengadili oleh
lembaga peradilan. Roihan Rasyid membagi kompetensi menjadi dua;
Kompetensi Relatif dan Kompetensi Absolut.
Kompetensi Relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan
yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan
kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya.
Atau dengan kata lain bahwa setiap lembaga Peradilan mempunyai
wilayah hukum tertentu, dalam hal ini meliputi satu kotamadya atau
satu kabupaten.
Kompetensi Absolut artinya kekuasaan pengadilan yang
berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan, atau tingkatan
pengadilan, dalam perbedaanya dengan jenis perkara atau jenis
4 H. Salim HS dan Erlis Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Tesis dan Disertasi, Cet. 3, (Jakarta : Rajawali Pers, 2014), h. 188
Page 23
13
pengadilan, atau tingkatan pengadilannya. Misalnya, pengadilan Agama
berkompeten atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam,
sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kompetensi Peradilan Umum.5
2. Kerangka Konseptual
Dalam pembahasan konseptual, akan diuraikan beberapa
konsep-konsep terkait terhadap beberapa istilah yang akan sering
digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
a. Arbitrase menurut Pasal 1 angka 1 UU nomor 30 Tahun 1999
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan
umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
b. Kewenangan menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI)
adalah kekuasaan membuat keputusan memerintah dan
melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Kewenangan
adalah merupakan hak menggunakan wewenang yang dimiliki
seorang pejabat atau institusi menurut ketentuan yang berlaku,
dengan demikian kewenangan juga menyangkut kompetensi
tindakan hukum yang dapat dilakukan menurut kaedah-kaedah
formal, jadi kewenangan merupakan kekuasaan formal yang
dimiliki oleh pejabat atau institusi.6
c. Yurisdiksi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
memiliki 2 (dua) pengertian, yaitu: Kekuasaan mengadili; lingkup
kekuasaan kehakiman; peradilan; dan Lingkungan hak dan
kewajiban, serta tanggung jawab di suatu wilayah atau lingkungan
kerja tertentu; kekuasaan hukum.
d. Pengadilan Agama (biasa disingkat PA) adalah pengadilan tingkat
pertama yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan
5 Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta; Raja Grafindo Persada,
2007), h. 26-28 6 Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2013),
h. 99.
Page 24
14
Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau
kota.7
e. Kewenangan Pengadilan Agama menyelenggarakan penegakan
hukum dan keadilan di tingkat pertama bagi rakyat pencari
keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shadaqah, dan ekonomi syari'ah. Kewenangan penegakan hukum
ekonomi syari'ah oleh Pengadilan Agama disebutkan dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
f. Pengadilan Negeri (biasa disingkat: PN) merupakan sebuah
lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Umum yang
berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan
Tingkat Pertama, Pengadilan Negeri berfungsi untuk memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata bagi
rakyat pencari keadilan pada umumnya.8
g. Peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan yaitu peraturan tertulis yang memuat norma hukum
yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh
lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur
yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
h. Peraturan MA atau PERMA pada dasarnya adalah bentuk
peraturan yang berisi ketentuan bersifat hukum acara.9 Fungsi
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) adalah untuk
menyelenggarakan aturan lebih lanjut atau mengisi kekosongan
7 https://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Agama diakses pada tanggal 30 Desember
2017 Pukul 2.33. 8 https://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Negeri diakses pada tanggal 30 Desember
2017 Pukul 2.38. 9 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6102/kekuatan-hukum-produk-produk-
hukum-ma-perma--sema--fatwa--sk-kma diakses pada tanggal 30 Desember 2017 Pukul 2.55.
Page 25
15
aturan yang berkaitan dengan lembaga peradilan dan hukum
acaranya.
G. Metode Penelitian
Penelitian pada umumnya bertujuan untuk menemukan,
mengembangkan atau menguji kebenaran suatu pengetahuan. Menemukan
berarti memperoleh sesuatu untuk mengisi kekosongan atau kekurangan.
Mengembangkan berarti memperluas dan menggali lebih dalam sesuatu
yang sudah ada. Menguji kebenaran dilakukan jika apa yang sudah ada
masih menjadi diragu-ragukan kebenarannya. Oleh karena itu, setiap tahap
dalam penelitian harus didasari pada suatu metode penelitian yang
berfungsi sebagai arah yang tepat untuk mencapai tujuan dari penelitian
yang dilakukan.
Metodologi adalah suatu sarana pokok pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi oleh karena suatu penelitian bertujuan untuk
mengungkap kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten
dengan mengadakan analisis.10
Sedangkan penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari,
mencatat, merumuskan dan menganalisis suatu hal sampai menyusun
laporannya.11
Oleh karena itu guna mendapatkan hasil yang mempunyai
nilai yang tinggi serta dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka
diperlukan suatu metode penelitian yang tepat.
Pada bagian ini akan dijelaskan secara rinci hal-hal yang terkait
dengan metode penelitian pada proposal penelitian ini, yaitu :
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian normatif. Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif dengan pendekatan yuridis normatif, dikatakan demikian
karena dalam penelitian ini digunakan cara-cara pendekatan terhadap
10
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 1. 11
Cholid Narbuko, H Abu Ahmad, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Bumi Angkasa,
2002), h. 2.
Page 26
16
masalah yang diteliti dengan cara meninjau dari segi peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada suatu waktu dan tempat
tertentu sebagai produk dari suatu kekuasaan yang berdaulat dan
dengan meneliti bahan pustaka yang ada.12
2. Jenis Pendekatan
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan.
Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari
berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari
jawabnya. Macam-macam pendekatan-pendekatan yang digunakan di
dalam penelitian hukum adalah13
:
Pendekatan undang-undang (statute approach)
Pendekatan kasus (case approach)
Pendekatan historis (historical approach)
Pendekatan komparatif (comparative approach)
Pendekatan konseptual (conceptual approach)
Penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih ditujukan kepada
pendekatan undang-undang. Pendekatan undang-undang dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut
paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.14
Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk meneliti
aturan-aturan yang berkaitan dengan Undang-undang No 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang No 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan
PERMA No 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Ekonomi
Syariah.
12
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 13-14. 13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2009), h. 93. 14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2009), h. 93.
Page 27
17
3. Sumber Data
Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang
diperoleh secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan
pustaka. Yang diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan data
primer (atau data dasar), sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan
pustaka lazimnya dinamakan data sekunder.15
Data dalam penulisan ini adalah data sekunder, yaitu bahan
pustaka yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku
perpustakaan, peraturan perundang-undangan, karya ilmiah, artikel-
artikel, serta dokumen yang berkaitan dengan materi penelitian. Dari
bahan hukum sekunder tersebut mencakup tiga bagian, yaitu16
:
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
dari wawancara langsung yang dilakukan kepada pihak
BASYARNAS dan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-undang
No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-
undang No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, dan PERMA No 14 Tahun 2016 tentang
Tata Cara Penyelesaian Ekonomi Syariah, Undang-Undang No 12
Tahun 2011 tentang Hierarki Peraturan Perundang-undangan.
b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti, rancangan undang-undang, hasil-
hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.
c. Bahan Hukum Tertier Bahan hukum tertier, yakni bahan yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer
dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks
kumulatif dan seterusnya.
15
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 12. 16
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 13.
Page 28
18
4. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan
dengan studi pustaka, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan
melakukan penelusuran dan menelaah bahan pustaka (literatur, hasil
penelitian, majalah ilmiah, buletin ilmiah, jurnal ilmiah dsb).
5. Pengolahan dan Analisis Data
Bahan hukum yang sudah terkumpul akan dianalisis
menggunakan beberapa metode, yaitu:
a. Vertikal, melihat apakah suatu peraturan perundang-undangan
yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling
bertentangan antara satu dengan yang lain jika dilihat dari hirarki
peraturan perundang-undangan yang ada.17
b. Horizontal, apabila yang ditinjau adalah peraturan perundang-
undangan yang kedudukannya sederajat dan mengatur bidang yang
sama.18
c. Metode Komparasi yaitu membandingkan teori yang satu dengan
teori yang lain dan hasil penelitian yang satu dengan hasil
penelitian yang lain.
Dalam hal ini peneliti melakukan perbandingan diantara
undang-undang dan peraturan-peraturan terkait yang penulis kaji yang
dijadikan dasar kewenangan pengadilan dalam eksekusi putusan
arbitrase syariah dan implementasinya pasca lahirnya PERMA Nomor
14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syariah.
Dalam penelitian hukum dapat menggunakan pendekatan
yuridis normatif, maka bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
dan bahan non hukum yang telah dikumpulkan untuk menganalisis
data, kemudian dianalisis secara normatif kualitatif, yaitu suatu cara
17
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta.:Rajawali Press,2010), h.
94. 18
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta.:Rajawali Press,2010), h.
96
Page 29
19
menganalisa yang menghasilkan logika penalaran kualitatif. Sehingga
ditampilkan penulis dalam penulisan yang lebih sistematis untuk
menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
6. Metode Penulisan Skripsi
Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode
penulisan Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2017.
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan dan penyajiannya, penulis
menjabarkan dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-
masing bab terdiri atas beberapa sub bab sesuai dengan pembahasan dan
materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut :
Bab I PENDAHULUAN
Pada bab awal memuat latar belakang masalah, dilanjut dengan
identifikasi masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, tinjauan (Review) kajian terdahulu,
metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.
Bab II TINJAUAN UMUM ARBITRASE DAN HIERARKI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pada bab dua ini memuat kajian teori tentang arbitrase dan
hierarki peraturan perundang-undangan yang kemudian dibagi
menjadi dua sub bab yaitu ruang lingkup arbitrase yang terdiri
dari : pengertian arbitrase, dasar hukum arbitrase, prosedur
penyelesaian sengketa arbitrase, kewenangan arbitrase, eksekusi
putusan arbitrase, dan arbitrase syariah. Kemudian yang kedua
yaitu hierarki peraturan perundang-undangan yang terdiri dari :
Pengertian undang-undang, teori pembentukan peraturan
perundang-undangan, dan tata urutan perundang-undangan
dalam sistem hukum di Indonesia
Page 30
20
Bab III KEWENANGAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE
SYARIAH DI INDONESIA
Bab tiga menjelaskan tentang kewenangan eksekusi putusan
arbitrase syariah di Indonesia yang kemudian dibagi menjadi
dua sub bab. Yang pertama yaitu kewenangan eksekusi putusan
arbitrase syariah di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang mana didalamnya ada Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 dan
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012,
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Surat Edaran Ketua
Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 8 Tahun 2008, Surat Edaran
Ketua Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 8 Tahun 2010,
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 14 Tahun 2016.
Yang kedua yaitu membahas mengenai Analisa Eksekusi
Putusan Arbitrase Syariah di Indonesia Berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan yang telah disebutkan diatas.
Bab IV IMPLEMENTASI PENETAPAN EKSEKUSI PUTUSAN
ARBITRASE SYARIAH PASCA PERMA NOMOR 14
TAHUN 2016
Berpijak dari bab sebelumnya maka untuk mempertajam fokus
penelitian ini, penyusun melanjutkan pada bab keempat yang
merupakan implementasi penetapan eksekusi putusan arbitrase
syariah oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
pasca PERMA Nomor 14 Tahun 2016 beserta Argumentasi Ahli
Hukum Setelah Adanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14
Tahun 2016.
BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan bab yang terakhir dari penulisan skripsi,
untuk itu penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil
penelitian, selain itu penulis menengahkan beberapa saran yang
dianggap penting dan perlu.
Page 31
21
BAB II
TINJAUAN UMUM ARBITRASE DAN HIERARKI PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
A. Ruang Lingkup Arbitrase
1. Pengertian Arbitrase
Penyelesaian sengketa secara konvensional dilakukan melalui
sebuah badan yang disebut dengan pengadilan. Sudah sejak ratusan
bahkan ribuan tahun badan-badan pengadilan ini telah berkiprah. Akan
tetapi, lama kelamaan badan pengadilan ini semakin terpasung dalam
tembok-tembok yuridis yang sukar ditembusi oleh para justitiabelen
(pencari keadilan), khususnya jika pencari keadilan tersebut adalah
pelaku bisnis, dengan sengketa yang menyangkut dengan bisnis. Maka
mulailah dipikirkan alternative-alternatif lain untuk menyelesaikan
sengketa, diantaranya adalah lewat badan arbitrase.
Kata arbitrase berasal dari bahasa latin arbitrare yang artinya
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut “kebijaksanaan”.
Dikaitkannya istilah arbitrase dengan kebijaksanaan seolah-olah
memberi petunjuk bahwa majelis arbitrase tidak perlu memperhatikan
hukum dalam menyelesaikan sengketa para pihak, tetapi cukup
mendasar pada kebijaksanaan. Pandangan tersebut keliru karena arbiter
juga menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan oleh hakim
pengadilan.1
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa , definisi arbitrase pada
pasal 1 yang berbunyi “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa”. Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa
1 Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama, 2006), h., 24.
Page 32
22
sengketa yang dapat dibawa pada arbitrase adalah sengketa yang
bersifat keperdataan. Para pihak telah menyepakati secara tertulis
bahwa mereka, jika terjadi perkara mengenai perjanjian yang telah
mereka buat, akan memilih jalan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase dan tidak berpekara di depan peradilan umum.
Mengenai arbitrase, para ahli hukum juga memberikan
definisinya, sebagai berikut :
Pertama, Priyatna Abdurrasyid memberikan definisi arbitrase
adalah suatu tindakan hukum dimana ada pihak yang menyerahkan
sengketa atau selisih pendapat antara dua orang (atau lebih) maupun
dua kelompok (atau lebih) kepada seorang atau beberapa ahli yang
disepakati bersama dengan tujuan memperoleh satu keputusan final
dan mengikat.2
Kedua, Munir Fuady memberikan pengertian yang dimaksud
dengan arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata yang
bersifat swasta di luar pengadilan umum yang didasarkan pada kontrak
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa,
di mana pihak penyelesai sengketa (arbiter) tersebut dipilih oleh para
pihak yang bersangkutan, yang terdiri dari orang-orang yang tidak
berkepentingan dengan perkara yang bersangkutan, orang-orang mana
akan memeriksa dan memberi putusan terhadap sengketa tersebut.
Orang yang bertindak untuk menjadi penyelesai sengketa dalam
arbitrase disebut dengan “arbiter”.3
Ketiga, menurut Mertokusumo arbitrase adalah suatu prosedur
penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para
pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka
kepada seorang wasit atau arbiter.4
2 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) ; Suatu
Pengantar, (Jakarta : PT Fikahati Aneska, 2011), h., 61. 3 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2012), h.,
311-312. 4 Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama, 2006), h., 25.
Page 33
23
Banyak penulis mencoba mendefinisikan arbitrase dari sudut
pandang dan pemikiran masing-masing. Secara umum arbitrase adalah
suatu proses di mana dua pihak atau lebih menyerahkan sengketa
mereka kepada satu orang atau lebih untuk memperoleh suatu putusan
yang final dan mengikat. Dari pengertian itu terdapat tiga hal yang
harus dipenuhi, yaitu :
a) Adanya suatu sengketa;
b) Kesepakatan untuk menyerahkan ke pihak ketiga; dan
c) Putusan final dan mengikat akan dijatuhkan.
2. Dasar Hukum Arbitrase
Di Indonesia, saat ini undang undang yang mengatur tentang
arbitrase adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, LN No. 138 Tahun
1999 TLN No.3872 yang diundangkan tanggal 12 Agustus
1999. Jauh sebelumnya, arbitrase sudah berlaku di Indonesia sejak
zaman kolonial Belanda. Ketentuan arbitrase zaman kolonial Belanda
di atur dalam Pasal 615 sampai dengan 651 Reglement op de
Rechtsvordering (RV), yang mengatur hal-hal sebagai berikut:
- Persetujuan arbitrase dan pengangkatan para arbiter (Pasal 615 s/d
623 RV)
- Pemeriksaan di muka arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
- Putusan Arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
- Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase (Pasal 641 s/d 674 RV)
- Berakhirnya acara arbitrase (Pasal 648-651 RV)
RV merupakan Kitab Undang Undang Hukum Acara yang
berlaku untuk golongan Eropa, namun Pasal 377 Het Herziene
Indonesisch Reglement (HIR), dan Pasal 705 Rechtsreglement
Bitengewesten (RBG) menyatakan:
“Jika orang Bumiputera dan orang Timur Asing menghendaki
perselisihan mereka diputus oleh arbitrase (juru pisah), maka
mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku bagi
orang Eropa”.
Page 34
24
Sebagaimana dijelaskan di atas, peraturan pengadilan yang
berlaku bagi Bangsa Eropa yang dimaksud Pasal 377 HIR ini adalah
semua ketentuan tentang Acara Perdata yang diatur dalam RV.
Mengenai arbitrase, Indonesia telah lama membahas tentang
perubahan pedoman arbitrase yang sesuai dan dapat diterima, baik
secara nasional dan internasional serta perlunya pelembagaan
alternatif penyelesaian sengketa, maka melalui perangkat perundang-
undangan pada tanggal 12 Agustus 1999 pemerintah mengesahkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif penyelesaian sengketa.5
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa pasal 5,
objek sengketa arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan dan
mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-
undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa
dan sengketa yang dapat diselesaikan melalui perdamaian.
Selain Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, sumber
hukum berlakunya arbitrase dalam tata hukum di Indonesia diatur
juga dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman. UU
Nomor 48 Tahun 2009 pada Bab Pelaku Kekuasaan Kehakiman
Bagian Kesatu Umum Pasal 18 menyebutkan :
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Selain produk hukum Indonesia, dalam hukum arbitrase di
Indonesia juga berlaku produk hukum dari luar negeri
yaitu Convention on the Recognition and Enforcement of
5 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa : Arbitrase Nasional Indonesia
dan Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h., 7.
Page 35
25
Foreign atau sering disebut Konvensi New York 1958. Konvensi
New York 1958 dengan tambahan pernyataan yang dibuat Indonesia
menjadi hukum positif Indonesia karena sudah diratifikasi melalui
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun
1981, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 40.
Pada saat melakukan ratifikasi, Indonesia membuat deklarasi
bahwa bagi Indonesia Konvensi New York 1958 hanya berlaku
terhadap perselisihan-perselisihan yang timbul dari hubungan
hukum, baik hubungan hukum yang bersifat kontraktual maupun
hubungan hukum yang tidak bersifat kontraktual, yang dianggap
bersifat komersial berdasar hukum Indonesia. Bahwa atas dasar
prinsip resiproritas, Indonesia akan memberlakukan Konvensi New
York 1958 untuk pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase yang
dibuat di negara anggota Konvensi lainnya.6
3. Prosedur Penyelesaian Sengketa Arbitrase
Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
menyatakan bahwa :
“para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas
untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam
pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Undang-undang ini”.
Ini merupakan prinsip party autonomy yang memberi para
pihak kebebasan penuh untuk memutuskan prosedur beracara arbitrase,
penggunaan arbitrase institusi nasional atau internasional, dan pilihan
hukum. Ayat 3 menyebutkan bahwa :
“Dalam hal para pihak telah memilih acara arbitrase sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), harus ada kesepakatan mengenai ketentuan
jangka waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase dan jika jangka
waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan, arbiter atau majelis
arbitrase yang akan menentukan”.
Penyelesaian sengketa melalu jalur arbitrase relative singkat
dibandingkan dengan pengadilan nasional. Di Indonesia telah mengatur
6 Ramlan Ginting, Hukum Arbitrase, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2016), h., 85.
Page 36
26
tahap-tahap penyelesaian sengketa dalam arbitrase yaitu dalam UU No. 30
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
dalam Pasal 6 yaitu:
a. Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para
pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan
pada iktikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara
litigasi di Pengadilan Negeri.
b. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternative
penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam
waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan
dalam suatu kesepakatan tertulis.
c. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternative
penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak,
sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang
atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.
d. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli
maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata
sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah
pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga
arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk
menunjuk seorang mediator.
e. Setelah penunjukkan mediator atau lembaga alternatif penyelesaian
sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi
harus sudah dapat dimulai.
f. Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator
sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan memegang teguh
kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus
Page 37
27
terapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh
semua pihak yang terkait.
g. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara
tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan
dengan iktikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
penandatanganan.
h. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
i. Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sampai ayat (6) tidak dapatdicapai, maka para pihak berdasarkan
kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha
penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc.
4. Kewenangan Arbitrase
Kewenangan arbitrase pada dasarnya lahir dari suatu perjanjian
arbitrase yang dibuat oleh para pihak sehingga menghapuskan
kewenangan dari pengadilan untuk menyelesaikan setiap perselisihan
atau yang sengketa yang timbul dari perjanjian yang memuat klausula
arbitrase tersebut atau yang telah timbul sebelum ditandatanganinya
perjanjian arbitrase oleh para pihak.7 Hal tersebut senada dengan pasal
3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi :
“Pengadilan Negeri tidak berwenang tidak berwenang untuk
mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian
arbitrase”.
Mengenai objek sengketa arbitrase, dalam hal ini telah diatur
dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa, yang berbunyi :
7 Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis; Arbitrase VS Pengadilan
Persoalan Kompetensi (Absolute) yang Tidak Pernah Selesai, (Jakarta : Kencana, 2008), h., 117.
Page 38
28
Pasal 5 ayat (1) : “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase
hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang
menurut hukum dan peraturan perundnag-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”.
Pasal 5 ayat (2) : “Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui
arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-
undangan tidak dapat diadakan perdamaian”.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan antara lain :
perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industry dan hak
milik intelektual. Jadi, suatu sengketa bidang perdagangan, dan
mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-
undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa dan suatu
sengketa yang dapat diadakannya perdamaian, dapat diselesaikan
melalui arbitrase jika telah disepakati melalui perjanjian arbitrase yang
mereka buat. Dengan demikian telah lahir kewenangan arbitrase dan
menghapuskan kewenangan pengadilan untuk menyelesaikan sengketa
yang timbul.
Namun, dalam penyelesaian melaui arbitrase, pengadilan
mempunyai beberapa keterkaitan yakni dapat dilihat dari Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa yang mencantumkan beberapa keterkaitan serta
peranan pengadilan untuk memperkuat proses arbitrase dari awal
proses arbitrase dimulai sampai pelaksanaan putusan arbitrase.8
Keterkaitan diawali dengan kewenangan arbitrase dengan
penegasan pengadilan wajib menolak dan tidak turut campur dalam
penyelesaian sengketa, yang termaktub dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan dalam proses pemilihan arbiter
khususnya untuk arbitrase ad hoc yang diatur dalam pasal 13 ayat (1)
dan pasal 15 ayat (4), serta diatur pula pada Pasal 22 sampai dengan
8 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa – Arbitrase Nasional Indonesia
& Internasional, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), h., 65.
Page 39
29
Pasal 25 untuk arbitrase ad hoc mengenai hak ingkar. Peranan lain dari
pengadilan dalam arbitrase yaitu pengadilan merupakan tempat
pendaftaran putusan arbitrase dalam rangka pelaksanaan putusan
arbitrase nasional yang dinyatakan dalam pasal 59 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Dari uraian diatas, dapat diketengahkan bahwa kewenangan
arbitrase dilandasi pada perjanjian arbitrase dengan objek sengketa
bidang perdagangan. Dengan adanya perjanjian arbitrase tersebut
menghapus kewenangan pengadilan, namun penyelesaian arbitrase
tetap terkait dengan pengadilan dalam hal pelaksanaan atau
pengeksekusian dari putusan arbitrase.
5. Eksekusi Putusan Arbitrase
Undang-undang menetapkan bahwa putusan akan mengikat
hanya terhadap para pihak yang terlibat secara langsung dan terhadap
pihak ketiga yang mempunyai klaim. Yang dimaksud dengan
pelaksanaan suatu putusan adalah pelaksanaan substansi putusan.
Pelaksanaan putusan harus diselesaikan dengan cara-cara jujur dan
benar, sebaliknya setiap upaya untuk melaksanakan putusan yang
cenderung menyimpang, akan menjadikan pelaksanaannya gugur
menurut hukum.
Bila suatu putusan memerintahkan pembayaran sejumlah uang
di tempat dan waktu tertentu, maka pihak yang diperintahkan itu harus
menyerahkan pada waktu dan tepat yang telah ditentukan pihak
penerima pembayaran. Adalah kewajiban dari pihak yang melakukan
pembayaran untuk mencari para pihak yang harus menerima
pembayaran.9
9 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), ( Jakarta:
Fikahati Aneska, 2011), h., 120.
Page 40
30
Dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase, dapat dilaksanakan
sesuai dari jenis putusan arbitrase yaitu putusan arbitrase nasional atau
arbitrase internasional, yang akan dijelaskan sebagai berikut:
Pada pelaksanaan putusan arbitrase nasional, para pihak harus
memenuhi apa yang telah diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, yang berbunyi:
a. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik
putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau
kuasanya kepada panitera pengadilan negeri.
b. Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada
bagian akhir atau di pinggir putusan oleh panitera pengadilan
negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan
tersebut merupakan akta pendaftaran.
c. Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli
pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada
panitera pengadilan negeri.
d. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.
e. Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta
pendaftaram dibebankan kepada para pihak.
Jadi, agar putusan arbitrase dapat dilaksanakan harus
memenuhi pasal 59 yakni dengan mendaftarkan putusan arbitrase
berupa lembar asli atau salinan otentik, dalam waktu paling 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, kepada panitera
Pengadilan Negeri.
Putusan arbitrase pada dasarnya harus dilakukan secara
sukarela, namun jika tidak putusan dilaksanakan berdasarkan peritah
ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak
sebagaimana yang disebutkan pada pasal 61, namun dengan memenuhi
pasal 62 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi:
Page 41
31
a. Perintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 diberikan dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan
eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri.
b. Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih
dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan pasal 4 dan
Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban
umum.
c. Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri
menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan
Ketua Pengadilan Negeri tersebut tdak terbuka upaya hukum apa
pun.
d. Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau
pertimbangan dari putusan arbitrase.
Pelaksanan putusan arbitrase yang didasarkan atas permohonan
salah satu pihak agar dapat dapat dieksekusi atas perintah Ketua
Pengadilan Negeri, Pada permohonan tersebut, harus diperiksa terlebih
dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi kriteria, sebagai berikut:10
a. Para pihak menyutujui bahwa sengketa di antara mereka akan
diselesaikan melalui arbitrase.
b. Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimuat
dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.
c. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya di bidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan.
d. Sengketa lain yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah yang
tidak bertentangan dengan kesusilan dan ketertiban umum.
Jika permohonan memenuhi ketentuan tersebut, perintah Ketua
Pengadilan dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam
perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Namun, apabila pada putusan arbitrase tidak memenuhi
10
Fitriana,“Upaya Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional”, Skripsi Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (2015), h., 42-43.
Page 42
32
ketentuan-ketentuan pasal 62 ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri dapat
menolak permohonan pelaksanaan eksekusi, atas penolakan yang
menjadi putusan Ketua Pengadilan Negeri tidak dapat dilakukan upaya
hukum apapun.
Agar suatu putusan arbitrase benar-benar bermanfaat bagi para
pihak, maka putusan tersebut mestilah dapat dieksekusi. Eksekusi
tersebut dapat dilakukan oleh badan pengadilan yang berwenang. Cara
melakukan eksekusi terhadap suatu putusan arbitrase adalah sebagai
berikut :
a) Eksekusi Secara Sukarela
Yang dimaksud dengan eksekusi secara sukarela adalah
eksekusi yang tidak memerlukan campur tangan dari pihak ketua
Pengadilan Negeri mana pun, tetapi para pihak melaksanakan
sendiri secara sukarela terhadap apa-apa yang telah diputuskan
oleh arbitrase yang bersangkutan.11
b) Eksekusi Secara Paksa
Sedangkan eksekusi putusan arbitrase secara paksa adalah
bilamana pihak yang harus melakukan eksekusi, tetapi secara
sukarela tidak mau melaksanakan isi putusan tersebut. Untuk itu,
perlu dilakukan upaya-upaya paksa. Dalam hal ini campur tangan
pihak pengadilan diperlukan, yaitu dengan memaksa para pihak
yang kalah untuk melaksanakan putusan tersebut. Misalnya,
dengan melakukan penyitaan-penyitaan.
Agar suatu putusan pengadilan dapat dieksekusi secara
paksa maka perlu terlebih dahulu dibuat suatu “akta pendaftaran”.
Dengan akta pendaftaran yang dimaksudkan adalah suatu
pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir
dari putusan arbitrase asli atau salinan otentik yang ditandatangani
11
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2012), h.,
324.
Page 43
33
bersama oleh panitera pengadilan dan arbiter atau kuasanya yang
menyerahkan putusan arbitrase tersebut.
Namun demikian, pengadilan yang berwenang dapat
menolak suatu permohonan pelaksanaan putusan arbitrase jika ada
alasan untuk itu. Terhadap penolakan tersebut, tersedia upaya
hukum kasasi. Sedangkan terhadap putusan ketua pengadilan yang
mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase tidak tersedia upaya
hukum apa pun. Alasan-alasan yang dapat digunakan oleh
pengadilan (dalam hal ini ketua pengadilan) untuk penolakan
eksekusi putusan arbitrase adalah sebagai berikut :
1. Arbiter memutus melebihi kewenangan yang diberikan
kepadanya.
2. Putusan arbitrase bertentangan dengan kesusilaan.
3. Putusan arbitrase bertentangan dengan ketertiban umum.
4. Putusan tidak memnuhi syarat-syarat sebagai berikut : sengketa
tersebut mengenai perdagangan, sengketa tersebut mengenai hak
yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa dan sengketa tersebut mengenai hal-hal yang
menurut hukum dapat dilakukan perdamaian.
Suatu sengketa dianggap masuk ke dalam bidang
perdagangan sehingga terhadapnya dapat diputuskan oleh arbitrase
adalah manakala terjadi sengketa dalam bidang-bidang perniagaan,
perbanakan, keuanagan, penanaman modal, industri dan ha katas
kekayaan intelektual.12
Adakalanya dalam praktek perlu untuk diperhitungkan
bilamana suatu putusan tidak dapat dilaksanakan. Disebabkan
sebagai berikut:
1. Putusan diterbitkan secara tidak tertulis, dan dengan demikian
nyata-nyata menyalahi ketentuan arbitrase.
12
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2012), h.,
325-326.
Page 44
34
2. Jika putusan itu hanya berbentuk suatu pernyataan/
pengumuman.
3. Putusan tidak jelas, juga tata cara melaksanakannya.
4. Putusan merupakan putusan “asing/internasional” fatwa MA
harus diperoleh berdasarkan Undang-Undang.
Bagaimana ketentuan atau isi putusan arbitrase diatur dalam
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 54 UU tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa menentukan bahwa putusan harus
memuat hal-hal sebagai berikut :
a. Kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. Nama lengkap dan alamat para pihak;
c. Uraian singkat sengketa;
d. Pendirian para pihak;
e. Nama lengkap dan alamat arbiter;
f. Pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase
mengenai keseluruhan sengketa;
g. Pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat
dalam majelis arbitrase;
h. Amar putusan;
i. Tempat dan tanggal putusan; dan
j. Tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase.
6. Arbitrase Syariah
Pengertian Arbitrase menurut Black „s law Dictionary yaitu “
Arbitration, a process of dispute resolution in which a neutral third
party (arbitrator) renders a decision after a hearing at which both
parties have an opportunity to be heard. Where arbitration is
voluntary, the disputing parties select the arbitrator who has the
power to render a binding decision.”13
Sedangkan Kamus Hukum
Ekonomi memberikan pengertian bahwa arbitrase adalah metode
penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan memakai jasa wasit
13
Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, dalam Muhammad Arifin , Arbitrase
Syariah sebagai Forum Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2016), h., 230.
Page 45
35
atas persetujuan para pihak yang bersengketa dan keputusan wasit
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Arbitrase dalam studi hukum Islam (fiqh) dikenal dengan
istilah tahkim. Secara literal, tahkim berarti mengangkat sebagai wasit
atau juru damai sehingga dapat diartikan menjadikan seseorang
sebagai penengah suatu sengketa.14
Fathurrahman Djamil mengartikan
tahkim sebagai pengangkatan seseorang atau lebih sebagai wasit atau
juru damai oleh dua orang atau lebih yang bersengketa guna
menyelesaikan perkara yang mereka perselisihkan secara damai.15
Arbitrase syariah di Indonesia dapat dikatakan sebagai
perkembangan dari tahkim yang telah ada atau dikenal dalam hukum
Islam. Keberadaan arbitrase syariah memang hanya dikhususkan untuk
penyelesaian sengketa di bidang muamalah yang dilakukan secara
syariah. Sehingga arbitrase syariah hanya menangani dan
menyelesaikan sengketa yang muncul atas akad yang dibuat
berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Meskipun sifatnya hanya sektoral,
arbitrase syariah tetap merupakan bagian dari arbitrase nasional di
Indonesia.
Mengenai arbitrase syariah, di Indonesia memang belum ada
aturan khusus yang mengatur sehingga secara prinsip juga harus tetap
tunduk pada pedoman-pedoman dalam UUAAPS sebagai umbrella act
di bidang arbitrase. Untuk kelembagaannya, dalam UUAAPS dapat
dibentuk lembaga arbitrase adhoc yang dibentuk khusus untuk
penyelesaian perkara-perkara tertentu dan lembaga arbitrase
institusional yang sudah eksis terbentuk sehingga secara praktek
muncul berbagai jenis lembaga arbitrase yang berkutat khusus di
berbagai bidang-bidang tertentu misalnya bidang pasar modal,
14
Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, (Bandung : Refika Aditama, 2011),
h., 98. 15
Fathurrahman Djamil, Arbitrase dalam Perspektif Sejarah Islam, dalam Satria Effendi
M.Zein,et.al, Arbitrase Islam di Indonesia, (Jakarta : Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, 1994),
h., 31.
Page 46
36
hubungan industrial, lingkungan hidup, dll termasuk juga di bidang
syariah. Kesemuanya itu secara normatif tidak melanggar aturan yang
ada di UUAAPS.
Salah satu peraturan yang mengatur tentang penyelesaian
sengketa di sektor jasa keuangan adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
yang menetapkan kebijakan bahwa penyelesaian sengketa di sektor
jasa keuangan diselesaikan melalui 2 (dua) tahapan. Tahapan pertama
lembaga jasa keuangan menyelesaikan pengaduan yang disampaikan
oleh konsumen. Tahapan kedua, apabila tidak tercapai kesepakatan
dalam penyelesaian pengaduan tersebut, konsumen dan lembaga jasa
keuangan dapat menyelesaikan sengketanya melalui pengadilan atau di
luar pengadilan. Lembaga alternatif penyelesaian sengketa adalah
lembaga yang melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
OJK menetapkan kebijakan bahwa apabila penyelesaian sengketa
dilakukan melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa, maka
lembaga yang digunakan adalah lembaga alternatif penyelesaian
sengketa yang dimuat dalam Daftar Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa di Sektor Jasa Keuangan yang ditetapkan OJK.
Disebutkan dalam BAB III Pasal 4 Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan (POJK) Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan yang
berbunyi :
Pasal 4
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimuat dalam Daftar
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang ditetapkan oleh OJK
meliputi Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang:
a. mempunyai layanan penyelesaian Sengketa paling kurang berupa:
1) mediasi;
2) ajudikasi; dan
3) arbitrase.
Dalam penjelasannya Pasal 4 menjelaskan bahwa yang
dimaksud “mediasi” adalah cara penyelesaian Sengketa melalui pihak
ketiga yang ditunjuk oleh pihak yang bersengketa untuk membantu
Page 47
37
pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan. Yang dimaksud
dengan “ajudikasi” adalah cara penyelesaian Sengketa melalui pihak
ketiga yang ditunjuk para pihak yang bersengketa untuk menjatuhkan
putusan atas Sengketa yang timbul diantara pihak dimaksud. Putusan
ajudikasi mengikat kepada Lembaga Jasa Keuangan. Apabila
Konsumen menyetujui putusan ajudikasi meskipun Lembaga Jasa
Keuangan tidak menyetujuinya, maka Lembaga Jasa Keuangan wajib
melaksanakan putusan ajudikasi. Sebaliknya apabila Konsumen tidak
menyetujui putusan ajudikasi walaupun Lembaga Jasa Keuangan
menyetujuinya maka putusan tidak dapat dilaksanakan, dan yang
dimaksud dengan “arbitrase” adalah cara penyelesaian suatu Sengketa
perdata di luar peradilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa syariah melalui lembaga arbitrase tidak
hanya monopoli oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS), Pasal 10 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
Di Sektor Jasa Keuangan disebutkan bahwa “Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa dibentuk oleh Lembaga Jasa Keuangan yang
dikoordinasikan oleh asosiasi masing-masing sektor jasa keuangan”.
Yang dalam penjelasannya memberikan Contoh pembentukan
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di sektor Perbankan
dibentuk oleh bank-bank yang dikoordinasikan oleh asosiasi di sektor
Perbankan, misalnya Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas),
Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), Perhimpunan Bank
Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), Asosiasi Bank
Pembangunan Daerah (Asbanda), Asosiasi Bank Syariah Indonesia
(Asbisindo), dan Asosiasi Bank Asing Indonesia.
Pada tanggal 18 Desember 2017 Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
telah memperbaharui daftar lembaga alternatif penyelesaian sengketa
di sektor jasa keuangan berdasarkan Keputusan Nomor KEP-
Page 48
38
4/D.07/2017. Daftar lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor
jasa keuangan tersebut adalah sebagai berikut :16
No. Nama LAPS Sektor
1. Badan Mediasi dan Arbitrase
Asuransi Indonesia (BMAI)
Peransurasian
2. Badan Arbitrase Pasar Modal
Indonesia (BAPMI)
Pasar Modal
3. Badan Mediasi Dana Pensiun
(BMDP)
Dana Pensiun
4. Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa Perbankan Indonesia
(LAPSPI)
Perbankan
5. Badan Arbitrase dan Mediasi
Perusahaan Penjaminan Indonesia
(BAMPPI)
Penjaminan
6. Badan Mediasi Pembiayaan
Pegadaian dan Ventura Indonesia
(BMPPVI)
Pembiayaan
Pegadaian dan Modal
Ventura
Lembaga alternatif penyelesaian sengketa tersebut merupakan
wadah penyelesaian sengketa antara konsumen dengan lembaga jasa
keuangan di sektor peransuransian, pasar modal, dana pensiun,
perbankan, penjaminan, pembiayaan, pegadaian dan modal ventura
yang memenuhi prinsip aksesibilitas, independensi, keadilan, efesiensi,
dan efektifitas serta diawasi oleh OJK. Lembaga alternatif
penyelesaian sengketa tersebut selain menyelesaikan sengketa
konvensional juga dapat menyelesaikan sengketa syariah, Tidak ada
perbedaan lembaga antara sengketa konvensional maupun sengketa
syariah.
16
http://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/pengumuman/Pages/Daftar-Lembaga-
Alternatif-Penyelesaian-Sengketa-di-Sektor-Jasa-Keuangan-.aspx diakses pada tanggal 05 Maret
2018 pukul 11:07.
Page 49
39
Lembaga arbitrase untuk menyelesaikan berbagai sengketa
di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa yang berada di Indonesia diantaranya adalah Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang khusus menyelesaikan
sengketa bisnis konvensional (sektor perdagangan, industry, dan
keuangan). Selain BANI, Kemudian juga ada BASYARNAS
yang merupakan lembaga Arbitrase yang berperan menyelesaikan
sengketa antara pihak-pihak yang melakukan akad dalam ekonomi
syariah. Oleh karena itu, lembaga atau badan arbitrase yang khusus
menangani sengketa ekonomi syariah di Indonesia adalah
BASYARNAS.
B. Hierarki Peraturan Perundang-undangan
1. Pengertian Undang-undang
Undang-undang dalam arti formil ialah keputusan penguasa
yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya. Sedangkan dalam arti
materiil merupakan keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat
dari isinya disebut undangundang dan mengikat setiap orang secara
umum.17
Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Mengenal Hukum
(suatu pengantar) menyebutkan bahwa pengertian undang-undang
dapat dikategorikan kedalam 2 (dua) pengertian, diantaranya :18
a. Undang-undang dalam arti materiil
b. Undang-undang dalam formil
Istilah “perundang-undangan” (legislation atau gezetsgebung)
mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu :19
17
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
2008), h., 89. 18
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
2008), h., 83. 19
Azis Syamsudin, Praktek dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2011), h., 13.
Page 50
40
a. Perundang-undangan sebagai sebuah proses pembentukan atau
proses membentuk peraturan-peeraturan negara baik ditingakt
pusat maupun di tiingkat daerah ; dan
b. Perundang-undangan sebagai segala peraturan negara,yang
merupakan hasil proses pembentukan peraturan-peraturan baik
ditingkat pust maupun di tingkat daerah.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa apabila
berbicara tentang Ilmu perundang-undangan maka dalam prosesnya
akan membahas pula mengenai pembentukan peraturan-peraturan
negara dan sekaligus semuaperaturan negara yang merupakan hasil
dari pembentukan peraturanperaturan negara baik yang ada ditingkat
pusat maupun yang ada ditingkat daerah.
2. Asas Perundang-undangan
Peraturan-peraturan negara di dalam keberlakuannya
berpedoman pada asas-asas perundang-undangan. Asas adalah dasar
atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat dan
bertindak. Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan berarti
dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan
perundang-undangan. Padanan kata asas adalah prinisip yang berarti
kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berpikir, berpendapat dan
bertindak.20
Asas dapat diartikan sebagai aksioma yang memberi jalan
pemecahannya jika sesuatu aturan diperlakukan atau aturan yang mana
harus diperlakukan bila terjadi bentrokan beberapa aturan dalam
pelaksanaannya atau dapat diartikan sebagai suatu kesepakatan
universal yang berupa pemikiran-pemikiran dasar untuk dijadikan
landasan pengaturan bersama dalam membuat peraturan perundang-
undangan.21
20
http://jokopas.blogspot.co.id/2013/09/asas-asas-dalam-peraturan-perundang.html
diakses pada tanggal 3 Maret 2018 pukul 01:02 WIB. 21
Ali Faried, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2007), h., 197.
Page 51
41
Dalam menyusun peraturan perundang-undangan banyak para
ahli yang mengemukakan pendapatnya. Meskipun berbeda redaksi,
pada dasarnya beragam pendapat itu mengarah pada substansi yang
sama. Asas-asas sebagai dimaksud dapat disebutkan sebagai berikut :
1. Asas lex specialis derogat lex generalis. Yaitu Peraturan
perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan
peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Jika dikaitkan
dengan teori ini maka Undang-Undang Arbitrase yang secara
khusus mengatur ketentuan arbitrase-nya, namun secara materilnya
Pengadilan Agama yang lebih berwenang dalam menyelesaikan
sengketa ekonomi syariah.
2. Asas lex superior derogat legi inferior. Yaitu peraturan perundang-
undangan yang ada di jenjang yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada
pada jenjang lebih tinggi. Dan seterusnya sesuai dengan hirarkhi
norma dan peraturan perundang-undangan. Jika dikaitkan dengan
teori ini maka Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 dan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang tingkatannya lebih
tinggi dari pada Peraturan Mahkamah Agung.
3. Asas lex posterior derogat legi priori. Yaitu yaitu pada peraturan
yang sederajat, peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan
yang lama. Jadi peraturan yang telah diganti dengan peraturan yang
baru, secara otomatis dengan asas ini peraturan yang lama tidak
berlaku lagi. Biasanya dalam peraturan perundangan-undangan
ditegaskan secara ekspilist yang mencerminkan asas ini. Dalam
setiap peraturan perundang-undangan biasanya terdapat klausul
yang menegaskan keberlakuan peraturan perundang-undangan
tersebut dan menyatakan peraturan perundang-undangan sejenis
yang sebelumnya digunakan, kecuali terhadap pengaturan yang
tidak bertentangan. Jika dikaitkan dengan teori ini maka PERMA
No 14 Tahun 2016 yang didahulukan jika terjadi sengketa
Page 52
42
ketimbang Undang-Undang Arbitrase dan Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman.
4. Asas undang-undang tidak boleh berlaku surut (non-retroaktif)/
Asas Legalitas. Yaitu peraturan perundang-undangan yang dibuat
hanya berlaku pada peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi setelah
peraturan perundang-undangan itu lahir. Namun demikian,
mengabaikan asas ini dimungkinkan terjadi dalam rangka untuk
memenuhi keadilan masyarakat.
Asas-asas peraturan perundang-undangan di Indonesia yang
berdasarkan ketentuan terbaru dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
menjelaskan bahwa :
“Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu :
- Kejelasan Tujuan;
- Kesesuaian antara jenis , hierarki dan materi muatan;
- Dapat dilaksanakan;
- Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
- Kejelasan Rumusan; dan
- Keterbukaan”.
3. Tata Urutan Perundang-undangan dalam Sistem Hukum di
Indonesia
Peraturan perundang-undangan di negara Republik Indonesia
tersusun dalam suatu hierarki atau tingkatan. Konsekuensi hukum dari
bentuk hierarki/bertingkat tersebut adalah peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah harus sesuai (tidak boleh bertentangan)
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Tata urutan
peraturan perundang-undangan mengandung makna bahwa peraturan
perundang-undangan yang berlaku memiliki hierarki atau tingkatan.
Peraturan yang satu memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan
peraturan yang lain.
Tata urutan perundang-undangan di negara Republik Indonesia
mengalami beberapa kali pergantian. Dari beberapa pergantian tersebut
Page 53
43
terlihat unsur yang masih sama, yaitu bahwa UUD 194 selalu berada
dalam posisi tertinggi sehingga tetap merupakan sumber hukum
tertinggi di dalam tata urutan perundang-undangan. Hal tersebut dapat
berarti dua hal. Pertama, bahwa peraturan perundang-undangan
(peraturan hukum) yang ada di Indonesia harus sesuai (Tidak boleh
bertentangan) dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kedua, bahwa peraturan perundang-undangan di bawah UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan pencerminan dan
peraturan pelaksana dari ketentuan yang ada di dalam UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Dasar hukum dari tata urutan peraturan perundang-undangan
yang pernah berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR
Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata
Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia:
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Keputusan Presiden; dan
6. Peraturan-peraturan Pelaksana lainnya seperti Peraturan
Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lainnya.
b. Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Perundang-undangan:
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia;
3. Undang-undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden; dan
7. Peraturan Daerah.
c. Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan :
Page 54
44
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Keputusan Presiden; dan
5. Peraturan Daerah:
i. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama
dengan Gubernur;
ii. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh
Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya
bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.
d. Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 merupakan penyempurnaan terhadap
kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan pada pasal 7 ayat 1 disebutkan
bahwa jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun
1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dan pada pasal 7 ayat 2 menegaskan bahwa "kekuatan
hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)". Pada pasal 8 ayat 1
menjelaskan bahwa "Jenis Peraturan Perundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan
yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Page 55
45
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi
Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi
yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa sejak
tahun 1966 sampai 2011 telah terjadi empat kali pengubahan
terhadap jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan merupakan suatu hal yang sangat
mendasar dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan
Republik Indonesia.
4. Kedudukan PERMA Dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan
Secara yuridis, Pasal 7 Ayat (1) UU No 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan menyebutkan
apa saja yang termasuk sebagai peraturan perundang-undangan, jenis
dan hirarkisnya sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Dari sisi jenis dan hirarkis peraturan perundang-undang
tersebut, maka PERMA jelas tidak termasuk. Namun dalam konteks
Page 56
46
ini perlu dicermati ketentuan Pasal 8 ayat 1 UU No 12 Tahun 2011
yang menyebutkan:
“Jenis peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 Ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaran Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala
Desa atau yang setingkat”.
Dari ketentuan Pasal 8 Ayat (1) UU No 12 Tahun 2011
tersebut, dapat disimpulkan bahwa : Pertama, PERMA diakui
keberadaannya sebagai jenis peraturan perundang-undangan; Kedua,
Keberadaan PERMA sebagai jenis dari peraturan perundang-undangan
yang ditetapkan Mahkamah Agung diakui keberadannya dan
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperlukan oleh
Undang-Undang yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan.
Dari ketentuan di atas, terdapat dua syarat agar peraturan-
peraturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12
Tahun 2011 memiliki kekuatan mengikat sebagai peraturan
perundang-undangan, yaitu:
1. diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi; atau
2. dibentuk berdasarkan kewenangan.
Frasa „kekuatan hukum‟ di sini, menurut Yuliandri adalah
sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan, yaitu
perjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang
didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Yuliandri berpendapat jenis peraturan lain
Page 57
47
(dalam konteks ini peraturan yang diterbitkan MA) seharusnya juga
tunduk pada prinsip hierarki.22
Dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya, Mahkamah
Agung cukup banyak menerbitkan PERMA (Peraturan Mahkamah
Agung). PERMA merupakan peraturan yang diterbitkan dengan
tujuan untuk memperlancar jalannya peradilan, sedangkan produk
yang dikeluarkan oleh pembentuk undang-undang merupakan norma
hukum yang mengatur secara lebih luas dan bersifat umum tidak
proseduriil seperti PERMA. PERMA tidak mengatur ketentuan-
ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, dan status atau suatu
tatanan berdasarkan Penjelasan Pasal 79 UU No 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung yang menyatakan :
“Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau
kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang
membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau
kekosongan tadi. Dengan Undang-undang ini Mahkamah Agung
berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu
soal yang belum atau tidak diatur dalam Undang-undang ini.
Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung
dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh pembentuk Undang-
undang. Penyelenggaraan peradilan yang dimaksudkan Undang-
undang ini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara
keseluruhan. Dengan demikian Mahkamah Agung tidak akan
mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban
warga negara pada umumnya dan tidak pula mengatur sifat, kekuatan,
alat pembuktian serta penilaiannya atau- pun pembagian beban
pembuktian.”
Atas pengaturan tersebut jelas bahwa PERMA tidaklah
mengatur hak, kewajiban, fungsi, dan status atau suatu tatanan dalam
masyarakat pada umumnya, melainkan hanya terkait penyelenggaraan
pengadilan sebagai bagian dari hukum acara saja (lebih sempit bila
dibandingan perundang-undangan pada umumnya). Selain itu dari segi
22
Yuliandri. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik:
Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010),
h., 67-68.
Page 58
48
tujuan, dikeluarkannya PERMA itu adalah untuk mengisi kekosongan
hukum acara yang mengatur tentang pelaksanaan peradilan sehingga
penyelenggaraan peradilannya menjadi lancar.23
Oleh sebab itu jelas
bahwa PERMA tidak berisikan tentang hak, kewajiban, maupun fungsi
dalam masyarakat melainkan hanya pengaturan yang bersifat
proseduriil di pengadilan.
23
H.R. Sri Soemantri M, Hak Uji Material di Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 1997),
h.,88.
Page 59
48
BAB III
KEWENANGAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH
DI INDONESIA
A. Kewenangan Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah di Indonesia
Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan
1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa
Arbitrase diperkenalkan di Indonesia melalui Pasal 377 Het
Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan Pasal 705 Rechtsreglement
Bitengewesten (RBg) yang menentukan Buku Pertama, Bagian
Ketiga Reglement op de Rechtsvordering (RV) Pasal 615 sampai
dengan Pasal 651 berfungsi menjadi aturan umum penyelesaian
sengketa melalui arbitrase di Indonesia. Ketentuan-ketentuan tersebut
sekarang ini sudah tidak berlaku lagi dengan diundangkannya Undang
Undang Nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3872).
Peraturan yang mengatur tentang eksekusi putusan arbitrase
yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa yang terdapat pada pasal 61 yang
menyatakan bahwa :
“Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara
sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua
Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang
bersengketa”.
Di dalam UU No. 30 Tahun 1999, aturan hukum mengenai
Pendaftaran Putusan dan Pelaksanaan atau Eksekusi putusan arbitrase,
hanya memuat kewenangan Pengadilan Negeri, tidak memuat
kewenangan Pengadilan Agama, oleh karenanya ada dua pendapat
mengenai hal ini. Pertama, kewenangan tersebut merupakan
Page 60
49
wewenang Pengadilan Negeri, berdasar Pasal 59, Pasal 61, Pasal 62,
Pasal 63 dan Pasal 64 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, sehingga putusan Badan Arbitrase
Syariah Nasional menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Kedua,
berpendapat bahwa semua yang berkaitan dengan penyelesaian
ekonomi syariah berdasar Pasal 49 huruf (i) Undang- Undang tentang
Peradilan Agama merupakan kewenangan Pengadilan Agama,
pendapat ini didasarkan kepada asas hukum lex posteriori derogat legi
priori dan lex specialis derogat legi generali. Berdasarkan asas lex
posteriori derogat legi priori, peraturan perundang-undangan yang
lebih baru didahulukan berlakunya daripada peraturan perundang-
undangan yang lebih lama/terdahulu. Sedangkan menurut asas lex
specialis derogat legi generali, yaitu peraturan perundang-undangan
yang sifatnya khusus didahulukan berlakunya daripada peraturan
perundang- undangan yang sifatnya umum.
Namun perlu diingat bahwa kewenangan Pengadilan Agama
untuk menyelesaikan perkara ekonomi syariah sebatas jika hanya
terjadi sengketa anatar konsumen dengan lembaga keuangan syariah,
namun dalam kasus ini pendaftaran eksekusi putusan arbitrase syariah
tidak mengandung adanya sengketa antara konsumen dengan lembaga
keuangan syariah, dapat diambil kesimpulan bahwa yang berwenang
untuk mengeksekusi putusan arbitrase syariah sesuai dengan
pengaturan Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa yaitu Pengadilan Negeri.
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah dan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi NOMOR
93/PUU-X/2012
Saat ini Indonesia memiliki Peraturan Perundang-undangan
mengenai Mahkamah Konstitusi, yaitu Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 10
Page 61
50
Undang-undang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa
Mahkamah kontitusi memiliki wewenang pertama untuk menguji
Undang-undang terhadap UUD 1945, kedua untuk memutus sengketa
wewenang lembaga Negara dimana kewenangannya telah diberikan
oleh UUD 1945, ketiga untuk pembubaran Partai Politik, keempat
untuk menyelesaikan perselisihan mengenai hasil Pemilu, dan kelima
untuk memberikan putusan mengenai pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang telah terdapat pada
UUD 1945.1
Pengujian Undang-undang terhadap UUD 1945, merupakan
tugas yang mendominasi kewenangan Mahkamah Konstitusi, salah
satunya adalah perkara Nomor 93/PUU-X/2012. Perkara Nomor
93/PUU-X/2012 ini diajukan oleh Bapak Dadang sebagai pemohon,
yang merupakan Nasabah Bank Muamalat Kantor Cabang Bogor.
Pemohon mengajukan permohonan uji materiil kepada Mahkamah
Konstitusi terkait dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (selanjutnya disebut sebagai
Undang-undang Perbankan Syariah, khususnya Pasal 55 ayat (2) dan
ayat (3) yang mengatur mengenai Penyelesaian Sengketa. Pemohon
menilai bahwa Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang
Perbankan tidak memberikan kepastian hukum sebagaimana yang
telah diamanatkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Penyelesaian sengketa Perbankan syariah, menurut Pasal 55
Undang-undang Perbankan Syariah, dapat diselesaikan dengan cara
sebagai berikut:
(1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Agama.
1 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2012), h., 8.
Page 62
51
(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian
sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.
(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
boleh bertentangan dengan prinsip syariah.
Penjelasan isi pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah
berbunyi sebagai berikut:
“yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai
dengan isi akad” adalah upaya sebagai berikut:
a. Musyawarah;
b. Mediasi perbankan;
c. Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)
atau lembaga arbitrase lain; dan/atau
d. Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.”
Berdasarkan isi pasal 55 Undang-undang Perbankan syariah
tersebut, maka terlihat bahwa penyelesaian sengketa Perbankan
Syariah dapat diselesaikan melalui Pengadilan Agama, Pengadilan
Negeri, serta Alternative Dispute Resolution (ADR) yang dapat
ditempuh melalui Musyawarah, Mediasi Perbankan dan Melalui
Basyarnas atau lembaga arbitrase lainnya.
Penyelesaian sengketa sebagaimana yang terdapat pada pasal
55 Undang-undang Perbankan tersebut dinilai terdapat kontradiktif
antara Pasal 55 ayat (1) yang secara tegas mengatur jika terjadi
sengketa dalam perbankan syariah, maka harus diselesaikan melalui
Pengadilan Agama, sedangkan Pasal 55 ayat (2) memberi pilihan
kepada para pihak untuk memilih lingkungan peradilan lain untuk
menyelesaikan sengketa dan dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri.
Pilihan hukum yang terdapat pada Pasal 55 ayat (2) ini tidak
memberikan kepastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28 D
ayat (1) UUD 1945 yang mengamatkan bahwa setiap warga Negara
Indonesia berhak mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan
serta kepastian hukum dan juga perlakuan yang sama di hadapan
hukum.
Page 63
52
Hal ini senada dengan pendapat dari Abdul Ghofur Anshori,
yang menyatakan bahwa terdapatnya opsi penyelesaian sengketa dapat
diselesaikan di Pengadilan Negeri pada huruf (d) Penjelasan Pasal 55
ayat (2) UU Perbankan akan berpotensi menimbulkan konflik antar
dua lingkungan peradilan dan mereduksi kewenangan absolut
Peradilan Agama sebagaimana yang terdapat pada Pasal 49 huruf (i)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2009 Tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut dengan Undang-
Undang Peradilan Agama), yang berisi sebagai berikut:2
“Pengadilan Agama bertugas dan Berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.”
Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Peradilan agama
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Ekonomi Syariah, salah
satunya adalah Perbankan Syariah.
Mahkamah Konstitusi mengadili mengabulkan permohonan
untuk sebagian, yang pada intinya berisi Penjelasan Pasal 55 ayat (2)
UU Perbankan Syariah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut dengan
UUD 1945) dan Penjelasan tersebut dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final and binding
tersebut memiliki implikasi hukum tersendiri bahwasannya
kewenangan untuk menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah saat ini
merupakan wewenang Pengadilan Agama. Isi Pasal 55 ayat (2) kini
tidak memiliki penjelasan khusus, dan dalam penjelasannya kini telah
beralih menjadi “cukup jelas”.
2 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perbankan Syariah, (Bandung : Refika Aditama, 2009),
h., 110.
Page 64
53
3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas
UU No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Setelah diundangkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama perubahan pertama dari Undang-Undang No.
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, terjadi perubahan besar bagi
kewenangan Peradilan Agama. Kewenangan Peradilan Agama
diperluas dengan memasukkan bidang ekonomi syariah sebagai salah
satu bidang kompetensinya yang tercantum dalam pasal 49. Undang-
Undang No. 3 Tahun 2006 ini menegaskan secara eksplisit bahwa
masalah ekonomi syariah telah menjadi kompetensi absolut Peradilan
Agama.
Peradilan agama yang memiliki kompetensi absolut menjadi
tidak lagi absolut menurut pendapat beberapa para ahli yakni dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah. Pendapat tersebut didasari pada Pasal 55 Undang-
Undang Perbankan Syariah yang memberikan pengaturan tersendiri
tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah.3
Bunyi Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah ditegaskan bahwa: (1) Penyelesaian sengketa
Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama; (2) Dalam hal pada pihak telah memperjanjikan
penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad; (3)
Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah. Dalam penjelasan Pasal 55
Ayat (2) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “penyelesaian
sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya melalui: a.
Musyawarah; b. Mediasi perbankan; c. Badan Arbitrase Syariah
3 Chairul Lutfi, Kewenangan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) Terhadap
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Pasca Putusan MK No. 93/Puu-X/2012, h. 18.
Page 65
54
Nasional (BASYRANAS) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d.
Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Sudah jelas bahwa dalam sengketa ekonomi syariah yang
mencakup di dalamnya adalah persoalan perbankan syariah menjadi
kewenangan Pengadilan Agama menurut Undang-Undang Nomor 3
tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Setelah diundangkan undang-undang
tersebut, pengadilan agama tidak saja berwenang dalam menerima,
memeriksa, memutus mengadili dan menyelesaikan sengketa di bidang
perkawinan dan kewarisan, melainkan juga di bidang ekonomi syariah.
Dalam Pasal 49 huruf i disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan “Ekonomi Syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: a. Bank
syariah; b. Lembaga keuangan mikro syariah; c. Asuransi syariah; d.
Reasuransi syariah; e. Reksa dana syariah; f. Obligasi syariah dan surat
berharga berjangka menengah syariah; g. Sekuritas syariah; h.
Pembiayaan syariah; i. Pegadaian syariah; j. Dana pensiun lembaga
keuangan syariah; dan k. Bisnis syariah.
Berdasarkan pada Pasal 49 huruf (i) yang menjelaskan
beberapa kegiatan usaha dengan prinsip syariah, dapat disimpulkan
bahwa Pengadilan Agama mempunyai kompetensi absolut dalam
perkara di bidang ekonomi syariah, antara lain yakni sengketa di
bidang perbankan syariah. Kompetensi absolut berarti bicara mengenai
kewenangan lingkungan peradilan tertentu terhadap suatu jenis
sengketa.4
4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kekuasaan
Kehakiman No.48 Tahun 2009 lahir sebagai penyempurna Undang-
Undang Kekuasaan Kehakiman sebelumnya yakni Undang-Undang
4 Khotibul Umam, Opini Konstitusi, Majalah Konstitusi edisi No. 79 September 2013 h. 6
Page 66
55
No. 4 Tahun 2004. Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman
dibuat untuk menjalankan amanat UUD RI 1945 yang menyatakan
bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang sudah seharusnya
dalam penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman tersebut merdeka, dan
bebas dari kepentingan manapun. Hal ini lebih terperinci dikatakan
dalam pasal 24 UUD Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kekuasaan
Kehakiman No.48 tahu 2009 ini lebih lanjut menyempurnakan
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman terdahulu, dimana
Mahkamah Konstitusi No.005/PUU2006 yang telah mengeluarkan
putusan membatalkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang
lama tersebut.
Arbitrase diperkenalkan di Indonesia melalui Pasal 377 Het
Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan Pasal 705 Rechtsreglement
Bitengewesten (RBg) yang menentukan Buku Pertama, Bagian
Ketiga Reglement op de Rechtsvordering (RV) Pasal 615 sampai
dengan Pasal 651 berfungsi menjadi aturan umum penyelesaian
sengketa melalui arbitrase di Indonesia. Ketentuan-ketentuan tersebut
sekarang ini sudah tidak berlaku lagi dengan diundangkannya Undang
Undang Nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3872). Keberadaan arbitrase dalam Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5076) diatur pada Bab XII
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan dari Pasal 58 sampai Pasal
61. Pasal 58 menentukan bahwa “upaya penyelesaian sengketa
perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase
atau alternatif penyelesaian sengketa”. Pasal 59 terdiri dari 3 ayat
yang menentukan bahwa :
Page 67
56
(1) Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengket perdata di
luar pengadilan yang didasarkan pad perjanjian arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh par pihak yang bersengketa.
(2) Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum
tetap dan mengikat para pihak.
(3) Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase
secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua
pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang
bersengketa.
Dalam ketentuan Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa
kewenangan mengeksekusi putusan arbitrase apabila para pihak tidak
melaksanakan putusan arbitrase diberikan kepada Pengadilan Negeri.
Dalam penjelasannya Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 59
ayat (1) menyatakan bahwa “yang dimaksud dengan "arbitrase" dalam
ketentuan ini termasuk juga arbitrase syariah”. Dapat diambil
kesimpulan bahwa Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman memberikan wewenang kepada Pengadilan
Negeri untuk mengeksekusi putusan arbitrase, termasuk juga arbitrase
syariah.
5. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 8 Tahun
2008 Tentang Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah
Merujuk kepada ketentuan dalam Pasal 60 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 yang menetapkan bahwa putusan arbitrase
bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para
pihak, maka para pihak yang bersengketa diharuskan untuk segera
melaksanakan putusan BASYARNAS secara sukarela. Namun
bilamana putusan BASYARNAS tersebut tidak dapat dilaksanakan
secara sukarela, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 61 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka putusan BASYARNAS
dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan atas permohonan
Page 68
57
salah satu pihak yang bersengketa. Ketentuan dalam Pasal 61 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 menetapkan sebagai berikut :
“Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara
sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua
Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang
bersengketa”.
Bilamana merujuk kepada ketentuan dalam Pasal 61 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka lembaga eksekutorial terhadap
putusan BASYARNAS, putusan BANI, atau putusan arbitrase lainnya,
baik yang kelembagaan maupun perorangan adalah Pengadilan
Negeri.5 Namun bilamana merujuk kepada Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, yang menetapkan
bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah,
maka dengan sendirinya dapat ditafsirkan bahwa lembaga eksekutorial
terhadap putusan BASYARNAS adalah Pengadilan Agama.
Sehubungan dengan perbedaan tersebut, Mahkamah Agung
akhirnya mengeluarkan sebuah “beleid” dalam bentuk surat edaran
sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8
Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah.
Dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008,
Mahkamah Agung memberi kewenangan kepada Pengadilan Agama
bertindak sebagai eksekutor pelaksanaan putusan BASYARNAS.
Pemberian kewenangan eksekutor bagi Pengadilan Agama terhadap
pelaksanaan putusan BASYARNAS didasarkan pada ketentuan dalam
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, yang
menetapkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
5 Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2012), h., 418.
Page 69
58
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi
syariah, yang di dalam termasuk bank syariah.
Selain menegaskan kewenangan Pengadilan Agama sebagai
eksekutor putusan BASYARNAS, Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 8 Tahun 2008 juga mempertegaskan bahwa putusan
BASYARNAS bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap
dan mengikat para pihak, karenanya para pihak harus melaksanakan
putusan BASYARNAS secara sukarela. Dalam hal putusan
BASYARNAS tidak dilaksanakan secara sukarela, maka putusan
tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Agama
atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Putusan
BASYARNAS tidak dapat serta-merta dilaksanakan, terkecuali telah
memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008 telah
menetapkan beberapa persyaratan pelaksanaan putusan
BASYARNAS. Persyaratan pertama mengenai waktu, bahwa dalam
waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan
BASYARNAS diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan
BASYARNAS diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya
kepada Panitera Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi
domisili termohon dalam penyelesaian sengketa melalui
BASYARNAS. Selanjutnya, penyerahan dan pendaftaran pelaksanaan
putusan BASYARNAS, dilakukan dengan pencatatan dan
penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir putusan
BASYARNAS, oleh Panitera Pengadilan Agama dan arbiter atau
kuasanya yang menyerahkan dan catatan tersebut merupakan akta
pendaftaran. Persyaratan ketiga, arbiter atau kuasanya wajib
menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter
atau salinan otentiknya kepada Panitera Pengadilan Agama.
Persyaratan permohonan pelaksanaan putusan BASYARNAS
Page 70
59
sebagaimana dikemukakan tersebut, wajib dipenuhi, sebab bila tidak
dipenuhinya, berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.
Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran
permohonan pelaksanaan eksekusi putusan BASYARNAS dibebankan
kepada para pihak.
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008
ditegaskan, bahwa perintah pelaksanaan putusan BASYARNAS
diberikan dalam waktu paling lama 30 hari setelah permohonan
eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Agama yang daerah
hukumnya meliputi tempat tinggal termohon dalam penyelesaian
sengketa melalui BASYARNAS. Sebelum memberikan persetujuan
atas permohonan pelaksanaan eksekusi putusan BASYARNAS, Ketua
Pengadilan Agama diwajibkan memeriksa terlebih dahulu hal-hal yang
berkaitannya dengan permohonan pelaksanaan eksekusi putusan
BASYARNAS. Pertama, ketua Pengadilan Agama akan memeriksa
terlebih dahulu apakah persetujuan untuk menyelesaikan sengketa
melalui BASYARNAS dimuat dalam suatu dokumen yang
ditandatangani oleh para pihak. Kemudian kedua, Ketua Pengadilan
Agama memastikan sengketa yang diselesaikan tersebut adalah
sengketa dibidang ekonomi syariah dan mengenai hak yang menurut
hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh
pihak yang bersengketa. Selain itu, Ketua Pengadilan Agama juga
memeriksa apakah putusan BASYARNAS tidak bertentangan dengan
prinsip syariah. Dengan demikian dapat diketahui, bahwa Ketua
Pengadilan Agama dilarang atau tidak memeriksa alasan atau
pertimbangan dari putusan BASYARNAS.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008
menegaskan, bahwa perintah Ketua Pengadilan Agama ditulis dalam
lembar asli dan salinan otentik putusan BASYARNAS yang
dikeluarkan. putusan BASYARNAS yang telah dibubuhi perintah
Page 71
60
Ketua Pengadilan Agama dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
6. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 8 Tahun
2010 Tentang Penegasan Tidak Berlakunya SEMA Nomor 8
Tahun 2008
Memperhatikan ketentuan pada angka 4 (em pat) Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor : 08 Tahun 2008 yang intinya berisi bahwa
Ketua Pengadilan Agama berwenang memerintahkan pelaksanaan
putusan Badan Arbitrase Syariah.
Bahwa berdasarkan Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasannya
ditentukan bahwa, dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan
arbitrase (termasuk arbitrase syari'ah) secara sukarela, putusan
dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas
permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
Bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka
diberitahukan kepada Saudara, bahwa terhitung sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 08 Tahun 2008
tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syari'ah tersebut
berdasarkan Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasannya, dinyatakan
tidak berlaku.
Diatas merupakan isi kentuan dari Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 8 Tahun 2010 yang menegaskan bahwa Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008 tidak berlaku.
Berdasarkan catatan hukumonline, salah satu perkara ekonomi
syariah yang bersinggungan dengan eksekusi adalah gugatan BPR
Syariah Buana Mitra Perwira terhadap Herman Rasno Wibowo di
Pengadilan Negeri Kelas 1 B Purbalingga, Jawa Tengah. Dalam
perkara ini, tergugat dianggap wanprestasi atas pembiayaan
musyarakah sebesar Rp 30 juta. Perkara ini akhirnya masuk ke
Pengadilan Agama Purbalingga. Lantaran tergugat tidak mau
melaksanakan putusan secara sukarela padahal putusan sudah
berkekuatan hukum tetap, penggugat mengajukan eksekusi lelang.
Page 72
61
Eksekusi lelang itu akhirnya dilaksanakan setelah Pengadilan Agama
Purbalingga bekerja sama dengan Kantor Kekayaan dan Lelang
Negara.
Berhubung Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang
menjadi dasar rujukan pendirian BASYARNAS, maka eksekusi
putusan BASYARNAS tetap menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.
Pelaksanaan eksekusi putusan BASYARNAS tidak dapat dilakukan
oleh Pengadilan Agama, karena berdasarkan Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 yang mempunyai kewenangan memberikan perintah
pelaksanaan putusan arbitrase, termasuk arbitrase syariahyang
diputuskan oleh BASYARNAS adalah Pengadilan Negeri. Bilamana
hendak mengalihkan kewenangan memberikan perintah pelaksanaan
putusan BASYARNAS tersebut kepada Pengadilan Agama, maka
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 perlu diubah dengan
memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk
memberikan perintah pelaksanaan putusan BASYARNAS yang tidak
dilaksanakan secara sukarela. Dengan demikian, sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka pelaksanaan putusan
arbitrase, termasuk putusan arbitrase syariah (BASYARNAS)
sepenuhnya menjadi wewenang Pengadilan Negeri, bukan Pengadilan
Agama, karena itu tidak dapat ditafsirkan secara lain.
Mengenai kewenangan Pengadilan Negeri dalam
memerintahkan pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah
Nasional tersebut, kembali dipertegas dalam ketentuan Pasal 59 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan penjelasannya. Berdasarkan ketentuan ini, dalam hal
para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase (termasuk arbitrase
syariah) secara sukarela, maka putusan dilaksanakan berdasarkan
perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak
yang bersengketa. Sehubungan dengan ketentuan ini, Mahkamah
Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun
Page 73
62
2010 tentang Penegasan tidak berlakunya Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan
Arbitrase Syariah.
7. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 14 Tahun 2016
Tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah
Pada 22 Desember 2016, Peraturan Mahkamah Agung Nomor
14 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah
ditetapkan Ketua MA Hatta Ali. Regulasi tersebut berlaku sejak
ditetapkan.
Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA Nomor 14 Tahun
2016 setelah mempertimbangkan signifikannya perkembangan dunia
usaha yang menggunakan akad-akad syariah. Faktanya, tidak sedikit
terjadi sengketa di antara para pelaku ekonomi syariah. Mahkamah
Agung menyadari, masyarakat membutuhkan prosedur penyelesaian
sengketa yang lebih sederhana, cepat dan biaya ringan. Namun
sayangnya, ketentuan hukum acara yang ada saat ini, baik dalam HIR
maupun RBg, tidak membedakan tata cara pemeriksaan antara nilai
objek materiil yang jumlahnya besar dan kecil, sehingga penyelesaian
perkaranya memerlukan waktu yang lama. Karena terdapat hal-hal
yang belum cukup diatur dengan Undang-Undang, untuk mengisi
kekurangan atau kekosongan hukum acara perdata di bidang ekonomi
syariah, Mahkamah Agung pun akhirnya mengeluarkan PERMA ini.
Secara garis besar, ada tiga aspek yang dibedah dalam peraturan ini,
yaitu :
1. Penegasan kewenangan Peradilan Agama;
2. Teknis peradilan; dan
3. Administrasi perkara ekonomi syariah.
Penegasan kewenangan Peradilan Agama di bidang ekonomi
syariah paling gamblang terdapat di Pasal 13 ayat (2) dan (3), yang
menyatakan :
Pasal 13
Page 74
63
(2) Pelaksanaan putusan arbitrase syariah dan pembatalannya,
dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.
(3) Tata cara pelaksanaan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Dari isi ketentuan Pasal diatas, bahwa pelaksanaan putusan
perkara ekonomi syariah, putusan arbitrase syariah dan
pembatalannya, dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama. Demikian juga dengan dengan mengacu kepada
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Mengenai pelaksanaan putusan arbitrase syariah dan
pembatalannya, sesungguhnya kewenangan itu pernah diberikan
kepada Peradilan Agama melalui SEMA Nomor 8 Tahun 2008.
Namun kewenangan tersebut lantas dialihkan ke Peradilan Umum,
setelah MA menerbitkan SEMA Nomor 8 Tahun 2010. Dengan
demikian, ketentuan yang terdapat di SEMA Nomor 8 Tahun 2010 itu
kini tidak berlaku lagi, setelah adanya PERMA Nomor 14 Tahun 2016
tentang Tata Cara Penyelesian Perkara Ekonomi Syariah.
B. Analisa Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan
1. Analisa Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah Berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan
Ekonomi syariah merupakan usaha atau kegiatan ekonomi yang
dilakukan oleh orang perorang, kelompok orang, badan usaha yang
berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi
kebutuhan yang bersifat komersial menurut prinsip syariah, oleh
karena itu lembaga peradilan yang dimaksud untuk menyelesaikan
sengketa ekonomi syariah adalah lembaga peradilan yang dalam
penyelesaian sengketa tersebut menerapkan hukum berdasarkan pada
prinsip-prinsip syariah Islam.
Dalam ketentuan Pasal 49 huruf (i) UU No. 3 Tahun 2006
Tentang Perubahan Pertama atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Page 75
64
Peradilan Agama, menyatakan secara tegas bahwa Peradilan Agama
bertugas dan berwenang menerima, memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara sengketa di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.
Beberapa waktu yang lalu, banyak terjadi polemik baik
dikalangan pengamat hukum bahkan praktisi hukum sendiri tentang
siapa sebenarnya yang berhak atau memiliki kewenangan untuk
melakukan eksekusi atas putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional.
Perkara yang ditangani oleh BASYARNAS sendiri adalah
perkara sengketa ekonomi syariah dan proses penyelesaiannya
berdasarkan prinsip syariah, yang putusannya bersifat final dan
mengikat, akan tetapi oleh karena BASYARNAS bukan merupakan
lembaga yudikatif, sehingga tidak bisa melaksanakan eksekusi
putusannya tersebut, oleh karena itu diperlukan lembaga litigasi yang
diberi kewenangan oleh UNDANG-UNDANG untuk itu, namun
problem peradilan mana yang berwenang melaksanakan (eksekusi)
putusan Basyarnas masih dualisme.
Dalam UU 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase disebutkan
bahwa dalam hal salah satu pihak tidak mau melaksanakan secara
sukarela putusan badan arbitrase maka pengadilan yang berwenang
untuk melakukan eksekusi adalah Pengadilan Negeri. Hal ini menjadi
kerancuan, sebab ketika sengketa ekonomi syariah menjadi
kewenangan Pengadilan Agama, tentu saja seharusnya Pengadilan
Agama pula yang memiliki hak eksekutorial atas putusan Basyarnas.
Pada saat diundangkan UU No. 3 Tahun 2006 hal ini sempat menjadi
polemik di kalangan para praktisi ekonomi syariah. Oleh karena itu
pada tahun 2008 Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran
Mahkamah Agung RI No. 8 Tahun 2008 Tentang Eksekusi Putusan
Badan Arbitrase Syariah. Dalam SEMA tersebut tertulis Dalam hal
putusan Badan Arbitrase Syariah tidak dilaksanakan secara sukarela,
maka putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua
Page 76
65
Pengadilan yang berwenang atas permohonan salah satu pihak yang
bersengketa, dan oleh karena sesuai dengan Pasal 49 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006, Pengadilan Agama juga bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang
ekonomi syariah, maka ketua Pengadilan Agama lah yang berwenang
memerintahkan pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah.
Terkait dengan kewenangan absolut Peradilan Agama terhadap
perkara ekonomi syariah berdasarkan SEMA tersebut diatas,
sayangnya masih terdapat perundang-undangan yang muncul yang
kemudian menimbulkan ketidakpastian hukum dalam isi pasalnya.
Perundang-undangan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 59 ayat (3)
tentang Pelaksanaan Eksekusi Putusan Badan Arbitrase, yang
menyebutkan bahwa dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan
arbitrase (termasuk juga arbitrase syariah) secara sukarela, maka
putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri
atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Berdasarkan
ketentuan pasal tersebut maka secara tidak langsung mengandung
makna hukum bahwa Pengadilan Agama tidak berwenang terhadap
penyelesaian eksekusi putusan BASYARNAS.
Keberadaan Pasal 59 Ayat (3) tersebut telah dianggap sebagai
problem kewenangan, oleh karena itu Dr. Drs. Dadang Muttaqien,
S.H., M.Hum sempat mengajukan peninjauan kembali (judicial
review) pasal tersebut pada tanggal 18 Februari 2010 bersamaan
dengan uji materil Pasal 55 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 beserta penjelasannya, akan tetapi justru dicabut tanggal 10
Maret 2010 dengan alasan mengingat Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut masih sangat baru
dan belum operasional serta belum tersosialisasi secara luas di tengah
masyarakat.
Page 77
66
Akan tetapi telah disayangkan oleh banyak pihak bahwa pada
bulan Mei 2010 Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan
kebijakan yang baru melalui SEMA No. 8 Tahun 2010 tentang
Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah. Wakil Ketua Mahkamah
Agung (MA) Bidang Yudisial Abdul Kadir Mappong menerbitkan
Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 8 Tahun 2010 yang mengatur
eksekusi putusan badan arbitrase syariah nasional (Basyarnas). Dalam
SEMA tertanggal 20 Mei 2010 itu, MA membatalkan SEMA No. 8
Tahun 2008 yang menyatakan eksekusi putusan Basyarnas adalah
kewenangan Pengadilan Agama. MA mendasarkan pada Pasal 59 ayat
(3) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Undang-
Undang Kekuasaan Kehakiman) yang menyatakan para pihak yang
tidak melaksanakan putusan arbitrase (termasuk arbitrase syariah)
secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua
Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang
bersengketa. “Bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka
diberitahukan kepada saudara, bahwa terhitung sejak berlakunya UU
No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, SEMA No.8 Tahun
2008 dinyatakan tidak berlaku,” demikian bunyi SEMA No. 8 Tahun
2010 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua
Pengadilan Tinggi Agama, Ketua Pengadilan Negeri, dan Ketua
Pengadilan Agama di seluruh Indonesia.
Akar permasalahannya adalah bukan pada SEMA Nomor 8
Tahun 2010 tersebut, akan tetapi justru dasar hukum yang digunakan
dalam pengeluaran SEMA tersebut, yakni Pasal 59 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009. Oleh karena itu selama pasal tersebut
masih eksis, maka ketentuan pelaksanaan eksekusi maupun
pembatalan putusan BASYARNAS akan dipahami menjadi
kewenangan Pengadilan Negeri, sehingga hal tersebut menghilangkan
kewenangan absolut Pengadilan Agama yang telah diberikan
kewenangan berdasarkan Pasl 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 3
Page 78
67
Tahun 2006 Jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Hal ini
menggambarkan adanya tarik menarik kewenangan antar dua lembaga
peradilan di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia. Selain itu
bagi Peradilan Agama sendiri adanya ketentuan tersebut, maka
terdapat pereduksian kewenangan, sehingga membentuk opini kepada
publik untuk menangani perkara ekonomi syariah Peradilan Agama
belum siap dan mampu.
Pada tahun 2012 lahirlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013 atas peninjauan
kembali (judicial Review) terhadap penjelasan Pasal 55 ayat (2), yang
pada pokoknya menyatakan bahwa penjelasan Pasal 55 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
tidak berkekuatan hukum mengikat, sehingga putusan Mahkamah
Agung tersebut mempertegas kewenangan Peradilan Agama sebagai
satu-satunya lembaga litigasi yang berwenang menangani sengketa
perbankan syariah.
Rentang waktu terakhir ini, bulan Desember 2016 Mahkamah
Agung telah mengeluarkan PERMA (Peraturan Mahkamah Agung)
Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara
Ekonomi Syariah. Disebutkan pada Pasal 13 ayat (2), bahwa
pelaksanaan putusan arbitrase syariah dan pembatalannya dilaksanakan
oleh Pengadilan Agama. Kembali peraturan mengenai eksekusi
putusan arbitrase syariah mengalami inkonsistensi.
Membahas lebih lanjut mengenai PERMA Nomor 14 Tahun
2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah yang
memberikan kewenangan terhadap Peradilan Agama untuk
membatalkan putusan arbitrase terdapat ketidaksinkronan dengan UU
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
memberikan kewenangan kepada Peradilan Negeri untuk membatalkan
putusan arbitrase yang tertuang pada Penjelasan Pasal 59 ayat (1)
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Page 79
68
Kehakiman, yang menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan
“arbitrase” dalam ketentuan ini termasuk juga arbitrase syariah” dan
lebih lanjut pada Pasal 59 Ayat (3) yang berbunyi :“Dalam hal para
pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan
dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas
permohonan salah satu pihak yang bersengketa”. Selain itu, peraturan
perundang-undangan lain yang bertentangan dengan PERMA Nomor
14 Tahun 2016 yaitu UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa pada Pasal 61 yang berbunyi :
“Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara
sukarela, putusan dilaksankan berdasarkan perintah Ketua
Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang
bersengketa”.
Dengan lahirnya PERMA Nomor 14 Tahun 2016 yang
menyatakan kewenangan eksekusi bahkan pembatalan putusan
arbitrase syariah yang dalam hal ini BASYARNAS, tidak begitu saja
permasalahan yang terdapat dalam Pasal 59 Ayat (3) Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman menjadi selesai. Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman dan PERMA merupakan bagian dari peraturan perundang-
undangan di Indonesia sebagaimana terdapat dalam ketentuan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan terjadi pro kontra dalam pengaturannya, dengan
memberikan kewenangan eksekusi putusan arbitrase syariah kepada
lembaga peradilan berbeda yang sama-sama dibawah Mahkamah
Agung Republik Indonesia. Apakah antara peraturan perundang-
undangan tersebut perlu ditarjih/dinilai yang mana yang lebih kuat ?
atau apakah ketentuan dalam Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman redaksi Pengadilan Negeri secara otomatis
dengan Pengadilan Agama.
Berdasarkan isi Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 61
Undang-undang tentang arbitrase maka yang berwenang untuk
Page 80
69
melakukan eksekusi putusan Arbitrase adalah Pengadilan Negeri.
Kewenangan Pengadilan Negeri untuk melakukan eksekusi
BASYARNAS ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan
masyarakat. Pendapat pertama mengatakan bahwa kewenangan
tersebut berada dalam ruang lingkup Pengadilan Negeri. Pendapat
kedua berpandangan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan
penyelesaian sengketa ekonomi syariah termasuk pelaksanaan eksekusi
yang berkaitan dengan perjanjian ekonomi syariah merupakan
kewenangan Pengadilan Agama. Hal ini di didasarkan pada tanggal 20
Maret 2006 telah di sahkan Undang-undang Peradilan Agama, dengan
demikian peraturan yang lebih baru akan lebih didahulukan berlakunya
dibandingkan peraturan yang lebih lama (lex posteriori derogate legi
priori). Selain itu Undang-undang tentang Peradilan Agama juga lebih
khusus mengatur penyelesaian sengketa ekonomi syariah.
Terjadinya benturan peraturan Perundang-undangan pada Pasal
59 ayat (3) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman dengan Pasal 49
Undang-undang Peradilan Agama tersebut dapat diselesaikan dengan
asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis. Arti dari asas Lex Specialis
Derogat Lex Generalis ini adalah apabila terjadi konflik hukum antara
peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus (special) dengan
peraturan Perundang-undangan yang bersifat umum (general), maka
peraturan perundang-undangan yang bersifat umum akan
dikesampingkan.
Asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis dapat dipakai
apabila kedua peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan
tersebut memiliki derajat yang sama, seperti halnya Undang-undang
Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-undang Peradilan Agama,
sehingga penyelesaian konflik pengundang-undangan terkat
kewenangan pelaksanaan putusan BASYARNAS dapat diberlakukan
asas ini.
Page 81
70
Menurut Faturrahman Djamil, Undang-undang Peradilan
Agama merupakan Undang-undang yang bersifat khusus dalam
penyelesaian sengketa ekonomi syariah, yang sebelumnya merupakan
bagian dari kewenangan Pengadilan Negeri/ Niaga yang berada dalam
lingkungan Peradilan Umum.6
Namun perlu diingat bahwa kewenangan Pengadilan Agama
untuk menyelesaikan perkara ekonomi syariah sebatas jika hanya
terjadi sengketa anatar konsumen dengan lembaga keuangan syariah,
namun dalam kasus ini pendaftaran eksekusi putusan arbitrase syariah
tidak mengandung adanya sengketa antara konsumen dengan lembaga
keuangan syariah, dapat diambil kesimpulan bahwa yang berwenang
untuk mengeksekusi putusan arbitrase syariah sesuai dengan
pengaturan Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa yaitu Pengadilan Negeri.
Secara yuridis, Pasal 7 Ayat (1) UU No 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan menyebutkan
apa saja yang termasuk sebagai peraturan perundang-undangan, Dari
sisi jenis dan hirarkis peraturan perundang-undang tersebut, maka
PERMA jelas tidak termasuk. Namun Dari ketentuan Pasal 8 Ayat (1)
UU No 12 Tahun 2011, dapat disimpulkan bahwa : Pertama, PERMA
diakui keberadaannya sebagai jenis peraturan perundang-undangan;
Kedua, Keberadaan PERMA sebagai jenis dari peraturan perundang-
undangan yang ditetapkan Mahkamah Agung diakui keberadannya dan
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperlukan oleh
Undang-Undang yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan.
Kesimpulan yang kedua menjelaskan bahwa keberadaan
PERMA sebagai jenis dari peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan Mahkamah Agung diakui keberadaannya dan mempunyai
6 Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2012) h., 171.
Page 82
71
kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperlukan oleh Undang-
Undang, namun dalam hal ini Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak memberikan kewenangan
kepada Mahkamah Agung untuk membuat pengaturan hukum acara
terkait eksekusi putusan arbitrase syariah, kemudian selanjutnya
PERMA dibentuk berdasarkan kewenangan, yang menjadi pertanyaan
selanjutnya yaitu jika berdasarkan wewenangnya, PERMA berwenang
atau tidak membuat hukum acara yang menyalahi atau tidak sinkron
dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, terutama Undang-
Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesian sengketa ?.
Dalam suatu Undang-Undang sering tidak mengatur secara
tuntas tentang hukum acara dari Undang-Undang tersebut. Mahkamah
Agung dengan wewenang yang dimiliki mengeluarkan PERMA untuk
memberikan pengaturan yang lebih rinci dan lebih jelas jika
diperintahkan oleh Undang-Undang untuk mengatur secara rinci
mengenai hukum acara di pengadilan.
PERMA adalah peraturan dari prinsip Mahkamah Agung yang
ditujukan ke seluruh jajaran peradilan tertentu yang berisi ketentuan
bersifat hukum acara peradilan. Menurut Saleh, menjadi suatu fakta
bahwa dalam suatu undang-undang sering tidak mengatur secara tuntas
tentang hukum acara dari undang-undang tersebut, sehingga
memerlukan peraturan pelaksana. Dan itupun, kata Saleh, tidak
kunjung datang sehingga menimbulkan kesulitan di dalam praktik
peradilan. Untuk itu, MA dengan wewenang yang dimiliki
mengeluarkan PERMA untuk memberikan pengaturan yang lebih rinci
dan lebih jelas.7
Dalam Pasal 79 Undang-Undang Mahkamah Agung juga
menyatakan Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal
7 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55dd7d17d0e7d/perma-masih-jadi-solusi-
hukum-acara-perdata-di-indonesia diakses pada 3 Maret 2018 Pukul 15:19 WIB.
Page 83
72
yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila
terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam UU MA tersebut.
Dalam penjelasan Pasal 79 ini disebutkan bahwa :
“penyelenggaraan peradilan yang dimaksud dalam undang-undang ini
hanya merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan.
Dengan demikian Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan
melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada
umumnya dan tidak pula mengatur sifat, kekuatan, alat pembuktian
serta penilaiannya ataupun pembagian pembebanan pembuktian”.
Peraturan perundang-undangan diatas secara eksplisit
memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk membuat
peraturan. Kewenangan ini diberikan dalam hal terjadi kekosongan
hukum tentang suatu hal dan peraturan itu diperlukan untuk kelancaran
penyelenggaraan peradilan. Dilihat dari konteks ini, maksud
diberikannya kewenangan Mahkamah Agung untuk membuat
peraturan adalah untuk menjamin terlaksananya sistem peradilan yang
berkeadilan dan memenuhi kebutuhan masyarakat.8
2. Kewenangan Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006
tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama Pasal 49 menentukan bahwa Pengadilan Agama
berwenang memeriksa dan memutus sengketa tentang ekonomi
Syariah. Penjelasan Pasal 49 menyebutkan rincian bidangbidang yang
termasuk dalam lingkup ekonomi Syariah adalah 11 bidang. Adapun
yang dimaksud dengan Ekonomi Syari‟ah adalah perbuatan atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari‟ah antara lain
meliputi : bank syari‟ah, lembaga keuangan mikro syari‟ah, asuransi
syari‟ah, reasuransi syari‟ah, reksa dana syari‟ah, obligasi syari‟ah dan
surat berharga berjangka menengah syari‟ah, sekuritas syari‟ah,
pembiayaan syari‟ah, penggadaian syari‟ah, dana pensiun lembaga
keuangan syari‟ah dan bisnis syari‟ah.
8 Majalah Peradilan Agama, “Memperkuat Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah”.
(Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, 2015, Edisi 8) h., 9.
Page 84
73
Penyebutan 11 bidang tersebut di atas, tentulah tidak bersifat
limitatif hal ini dikarenakan sebelumnya didahului oleh kata „antara
lain‟, sehingga tentunya tidak tertutup kemungkinan diluar 11 bidang
dimaksud masih ada bidang kegiatan ekonomi Syariah lainnya yang
masuk. Demikian misalnya masih terbuka pada bentuk kegiatan usaha
seperti perusahaan Syariah, kepailitan Syariah, persaingan usaha
Syariah, dan lain sebagainya. Walaupun menurut Abdurrahman
(Hakim pada Mahkamah Agung Republik Indonesia), hal- hal tersebut
dalam kaitannya dengan kewenangan Peradilan Agama masih terdapat
perbedaan pendapat. 18 Perbedaan pendapat menyangkut bidang yang
belum disebutkan dalam 11 bidang dimaksud tentu selalu saja
menimbulkan pertanyaan apakah Pengadilan Agama berwenang untuk
memeriksa dan mengadilinya atau tidak. Tetapi berangkat dari
Penjelasan Pasal 49 tersebut di atas, yang tidak memberikan
pengecualiaan maka lingkup kewenangan Peradilan Agama bidang
ekonomi Syariah adalah meliputi seluruh perbuatan atau kegiatan
usaha yang dilaksanakan menurut prinsip Syariah. Dalam rancangan
semula kewenangan ini hanya terbatas pada persoalan Perbankan
Syariah, tetapi kemudian ditambah menjadi ekonomi Syariah.
Karenanya, dalam Penjelasan Pasal 49 tersebut dikatakan bahwa
penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang Perbankan
Syariah melainkan juga di bidang ekonomi Syariah lainnya.9
Maka semua perkara atau sengketa ekonomi Syariah di bidang
perdata merupakan kewenangan mutlak lingkungan Peradilan Agama
untuk menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikannya, kecuali
kalau secara tegas ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara-perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam
9 Diana Rahmi, Ruang Lingkup Kewenangan Peradilan Agama Dalam Mengadili
Sengketa Ekonomi Syariah, (Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, IAIN Antasari), h. 9.
Page 85
74
Undang-undang ini”. Frase “perkara-perkara tertentu”, merupakan
perubahan dari frase “perkara perdata tertentu” dalam Pasal 2 UU No 7
Tahun 1989. Hal ini sebagai konsekuensi yuridis adanya
perkembangan dan kebutuhan hukum bidang ekonomi syariah. Jaenal
Aripin menyebut UU 3/2006 sebagai “perubahan fundamental”
Peradilan Agama.10
Keberadaan KHES memiliki keterkaitan erat dengan pemberian
kewenangan kepada Pengadilan Agama di bidang ekonomi syariah,
kewenangan membuat peraturan yang diberikan oleh undang-undang,
serta realitas akan masih adanya kekosongan hukum di bidang
ekonomi syariah dan kebutuhan masyarakat terhadap peraturan
tersebut dalam penegakan hukum ekonomi syariah.
Lahirnya KHES berarti mempositifkan dan mengunifikasikan
hukum ekonomi syariah di Indonesia. Seandainya KHES tidak disusun
maka hakim pengadilan agama memutus perkara ekonomi syariah
dengan merujuk kepada kitab-kitab fiqh yang tersebar dalam berbagai
mazhab, karena tidak ada rujukan hukum positif yang bersifat
unifikatif, sehingga terjadilah disparitas dalam putusan antar suatu
pengadilan dengan pengadilan yang lain, antar hakim yang satu dengan
hakim yang lain. Benar-benar berlaku ungkapan different judge
different sentence, lain hakim lain pendapat dan putusannya.11
10
Majalah Peradilan Agama, “Memperkuat Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah”.
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, 2015, Edisi 8, h. 6. 11
Majalah Peradilan Agama, “Memperkuat Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah”.
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, 2015, Edisi 8, h. 10.
Page 86
75
BAB IV
IMPLEMENTASI PENETAPAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE
SYARIAH PASCA PERMA NOMOR 14 TAHUN 2016
A. Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah di Lembaga Badan Arbitrase
Syariah Nasional (BASYARNAS)
1. Sejarah Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
BASYARNAS merupakan lembaga arbitrase yang berperan
menyelesaikan sengketa antara pihak-pihak yang melakukan akad
dalam ekonomi syariah, di luar jalur pengadilan, untuk mencapai
penyelesaian terbaik ketika upaya musyawarah tidak menghasilkan
mufakat. Putusan BASYARNAS bersifat final dan mengikat (binding),
untuk melakukan eksekusi atas putusan tersebut, penetapan
eksekusinya diberikan oleh Pengadilan Negeri setempat.1
Sejarah berdirinya Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) tidak terlepas dari konteks perkembangan kehidupan
sosial ekonomi umat islam, kontekstual ini jelas dihubungkan dengan
berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank Perkreditan
Rakyat berdasarkan Syariah (BPRS) serta Asuransi Takaful yang lebih
dulu lahir.
Pada tahun 1993 dibentuk Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) yang sekarang bernama BASYARNAS (Badan
Arbitrase Syariah Nasional) sebagai salah satu upaya untuk melakukan
penyelesaian sengketa di bidang mu’amalat khususnya perekonomian
syariah. Berdirinya BAMUI ini dimaksudkan sebagai antisipasi
terhadap permasalahan hukum yang mungkin timbul akibat penerapan
hukum mu’amalah oleh lembaga keuangan syariah yang pada waktu
itu telah berdiri. Kemudian selain berpedoman pada UUAAPS,
validitas arbitrase syariah juga diperkukuh melalui Fatwa DSN-MUI
1 Imam Jauhari, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Menurut Hukum Islam,
(Yogyakarta : CV Budi Utama, 2017), h., 127.
Page 87
76
(Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia). Pendirian
BASYARNAS merupakan bentuk hakam yang dilembagakan secara
permanen. Sebagai lembaga permanen, BASYARNAS memiliki
peraturan prosedur yang dijadikan pedoman beracara untuk
menyelesaikan sengketa yang diputus. Sesuai keputusan MUI nomor
Kep.09/MUI/XII/2003, tanggal 30 Syawal 1424/24 Desember 2003,
menetapkan bahwa :
a. Mengubah nama BAMUI menjadi BASYARNAS.
b. Mengubah bentuk badan hukum BAMUI dari Yayasan menjadi
badan yang berada di bawah MUI, dan merupakan perangkat
organisasi MUI.
c. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai lembaga hakam,
BASYARNAS bersifat otonom dan independen.
d. Mengangkat pengurus BASYARNAS dengan susunan pengurus
yang baru.2
BASYARNAS merupakan lembaga hakam (arbitrase syariah)
satu-satunya di Indonesia yang merupakan perangkat organisasi MUI
yang pengurusnya diangkat dan diberhentikan oleh MUI namun
demikian dalam menjalankan tugasnya BASYARNAS tetap bersifat
otonom dan independen.3
Adapun yang menjadi dasar arbitrase syariah adalah anjuran al-
Qur’an tentang perlunya perdamaian, yaitu QS. Al-Hujarat ayat 9 yang
berbunyi :
2 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa – Arbitrase Nasional Indonesia
& Internasional, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), h., 146. 3 Muhammad Arifin, Arbitrase Syariah Sebagai Forum Penyelesaian Sengketa
Perbankan Syariah, (Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2016), h., 315.
Page 88
77
“Artinya :Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau
yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang
melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada
perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya
menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.”
Ayat di atas menjelaskan tentang perselisihan antara kaum
muslimin yang antara laindisebabkan oleh adanya isu yang tidak jelas
kebenarannya. Jika perselihan tersebut terjadi, makaharus didamaikan
dengan cara yang adil. Adapun kata ashlihu pada ayat di atas, diambil
dari kata ashlaha yang asalnya shaluha. Dalam kamus-kamus bahasa,
kata ini dimaknai dengan antonim darikat fasada yakni rusak. Ia
diartikan juga dengan manfaat. Dengan demikian, shuluha berarti
tiadanya atau terhentinya kerusakan atau diraihnya manfaat,
sedangkan ishlah adalah upaya menghentikan kerusakan atau
meningkatkan kualitas sesuatu sehingga manfaatnya lebih banyak
lagi.4
Dasar yang kedua adalah QS. An-Nisa ayat 35 yang berbunyi :
“Artinya : Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu
bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal.”
Ayat di atas menjelaskan bahwa apabila ada dua pihak terjadi
persengketaan, maka hendaknya diantara kedua belah pihak yang
bersengketa menunjuk seorang juru damai yang bijaksana untuk
menyelesaikan persengketaan keduanya dengan baik. Oleh karean itu,
4 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keselarasan Al
Qur’an, jilid 13, (Jakarta: Lintera Hati, 2002), h., 244.
Page 89
78
fungsi utama hakam di sini adalah mendamaikan dan berhak
menetapkan hukum sesuai dengan kemaslahatan, baik disetujui oleh
pasangan yang bertikai maupun tidak.5 Dengan demikian, melihat
tafsir ayat diatas, maka sangat memungkinkan dan relevan untuk
dijadikan dasar terkait dengan pembahasan arbitrase syariah yang
sedang berkembang dewasa ini.
Selain landasan ayat di atas, kita mengetahui bahwa
pelaksanaan syariat Islam di Indonesia didasarkan atas Undang-
Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (2), implementasi adanya landasan
konstitusional tersebut, beberapa perundang-undangan telah lahir yang
berkaitan dengan kedudukan Basyarnas yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang diubah
dengan Undang-UndangNomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan
Agama, dan terakhir dirubah dengan Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009.
2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Dalam undang-undang tersebut keberadaan BASYARNAS
dianggap sebagai alternative penyelesaian sengketa perdata di luar
peradilan (non ligitasi) yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa ketika
melakukan akad perjanjian. Dengan demikian, adanya badan arbitrase
sangat dianjurkan dalam Islam guna mencapai kesepakatan yang
maslahah dalam penyelesaian suatu sengketa berbagai bidang
kehidupan termasuk sengketa-sengketa dalam bidang muamalah
5 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keselarasan Al
Qur’an, jilid 13, (Jakarta: Lintera Hati, 2002), h., 433.
Page 90
79
(perdata). Hal itu dimaksudkan agar umat Islam terhindar dari
perselisihan yang dapat memperlemah persatuan dan kesatuan
ukhuwah Islamiyah.
BASYARNAS merupakan sebuah lembaga yang berfungsi
dalam penyelesaian sengketa bisnis syariah. Kehadiran BASYARNAS
sangat diharapkan oleh umat Islam Indonesia, bukan saja karena dilatar
belakangi oleh kesadaran dan kepentingan umat untuk melaksanakan
syariat Islam secara kaffah, malainkan juga lebih dari itu adalah
menjadi kebutuhan riil sejalan dengan perkembangan kehidupan
ekonomi dan keuangan di kalangan umat Islam pada khususnya dan
penyebaran sistem ekonomi syariah pada umumnya.
Kehadiran BASYARNAS juga merupakan salah satu upaya
pemerintah Republik Indonesia dalam mewujudkan keadilan,
ketentraman dan kedamaian dikalangan umat Islam. BASYARNAS
memiliki fungsi di antaranya adalah:
a. Menyelesaikan perselisihan atau sengketa keperdataan dengan
prinsip mengutamakan usaha-usaha perdamaian (ishlah).
b. Menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis yang operasionalnya
menggunakan hukum islam.
c. Menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata di antara
bank-bank syariah dengan para nasabahnya atau pengguna jasa
mereka pada khususnya dan antara sesama umat islam yang
melakukan hubungan-hubungan keperdataan yang menjadikan
syariat islam sebagai dasarnya.
d. Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-
sengketa muamalah yang timbul dalam bidang perdagangan,
industri, jasa dan lain-lain.6
Keberadaan BASYARNAS di Indonesia semakin mempertegas
pengakuan prinsip syariah dalam dalam sistem hukum Indonesia.
6 https://yuokysurinda.wordpress.com/2016/01/21/eksistensi-basyarnas-dalam-
penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah/ diakses pada tanggal 21 Februari 2018 pukul 11:30
WIB.
Page 91
80
BASYARNAS yang ada saat ini merupakan lembaga arbitrase
institusional yang sah berdasarkan payung hukum arbitrase yaitu
UUAAPS 1999 yang berimplikasi terhadap kemajuan hukum Islam di
Indonesia dalam artian para pihak yang menginginkan putusan atas
suatu sengketa ataupun pendapat mengikat (binding opinion) dari
sebuah lembaga arbitrase nasional yang sah dapat memilih
BASYARNAS sebagai lembaganya.
2. Implementasi Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah di
BASYARNAS Pasca PERMA Nomor 14 Tahun 2016
Secara historis proses perkembangan pengaturan eksekusi
putusan arbitrase syariah mengalami tarik ulur antara kewenangan
Pengadilan Negeri dengan kewenangan Pengadilan Agama. Melalui
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi
Putusan Badan Arbitrase Syariah dinyatakan secara tegas bahwa
Pengadilan Agama lah yang berwenang memerintahkan pelaksanaan
putusan badan arbitrase syariah jika tidak dilaksanakan secara sukarela
berdasarkan permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
Namun peraturan ini dianulir dengan direvisinya Undang-
Undang No. 4 Tahun 2004 dengan Undang-Undang No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 59 UU ini dalam
penjelasannya secara jelas menyatakan bahwa eksekusi putusan
arbitrase, termasuk arbitrase syariah, dilaksanakan berdasarkan
perintah Ketua Pengadilan Negeri. Kemudian berdasarkan Pasal 59
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
ini, bulan Mei 2010, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA No. 8
Tahun 2010 tentang Penegasan Tidak Berlakunya Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan
Arbitrase Syariah. SEMA No. 08 Tahun 2010 tersebut diberlakukan
atas dasar telah diundangkannya Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Page 92
81
Rentang waktu terakhir ini, bulan Desember 2016 Mahkamah
Agung telah mengeluarkan PERMA (Peraturan Mahkamah Agung)
Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara
Ekonomi Syariah. Disebutkan pada Pasal 13 ayat (2), bahwa
pelaksanaan putusan arbitrase syariah dan pembatalannya dilaksanakan
oleh Pengadilan Agama. Kembali peraturan mengenai eksekusi
putusan arbitrase syariah mengalami inkonsistensi.
Perlu diketahui bahwa eksekusi putusan arbitrase syariah
maupun arbitrase institusional itu sudah di luar kewenangan badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), maupun lembaga
arbitrase lain seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI),
Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), Badan Arbitrase
dan Mediasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (BAMPPI), dan lain-
lain. Lembaga arbitrase hanya berkewajiban sampai pada ketok palu
putusan, permasalahan nanti dilaksanakan dengan suka rela atau tidak
itu sudah menjadi di luar kewenangan badan lembaga arbitrase. Tugas
lembaga arbitrase hanya sebatas sampai ketok palu putusan saja
kemudian dilanjutkan dengan mendaftarkan salinan resmi putusan
arbitrase syariah kepada pengadilan yang menjadi kompetensi
kewenangannya.
Hasil wawancara dengan Achmad Djauhari, SH, MH. Yang
merupakan dosen tetap fakultas hukum Universitas Muhammadiyah
Jakarta sekaligus Sekretaris Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) menjelaskan bahwa dalam kurun waktu setelah
lahirnya PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS) hanya menyelesaikan 1 (satu) sengketa
arbitrase syariah yang kemudian telah mendaftarkan salinan resmi
putusan arbitrase syariah di Pengadilan Agama Jakarta Timur pada
bulan November 2017. Terlepas apakah para pihak pihak bisa
menerima putusan Pengadilan Agama atau tidak jika salah satu dari
Page 93
82
kedua belah pihak ada yang tidak setuju dengan putusan
BASYARNAS. Namun sampai saat ini belum ada kelanjutan dari
pendaftaran penetapan putusan arbitrase syariah di Pengadilan Agama
Jakarta Timur.
Dalam kurun waktu tahun 2016 Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS) juga mendaftarkan salinan resmi putusan
arbitrase syariah di Pengadilan Negeri Surabaya sebelum efektifnya
PERMA Nomor 14 Tahun 2016 yang memberikan kewenangan
kepada Pengadilan Negeri. Namun, setelah lahirnya Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS) mendaftarkan salinan resmi putusan
arbitrase syariah di Pengadilan Agama dengan merujuk pada Peraturan
Mahkamah Agung yang telah disebutkan diatas.
Namun, dengan munculnya Peraturan Mahkamah agung yang
baru ada indikasi bahwa PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata
Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah belum tersosialisasikan
dengan baik pada level Pengadilan Agama sehingga saat pihak
BASYARNAS mengajukan pendaftaran putusan arbitrase syariah,
pihak pengadilan pun masih bertanya-tanya apakah pada saat ini
menjadi wewenang pengadilan agama atau tidak. Hingga pada
akhirnya pihak BASYARNAS perlu menjelaskan terlebih dahulu
kepada pihak Pengadilan Agama terkait adanya PERMA Nomor 14
Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syariah yang memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama
untuk mengeksekusi putusan arbitrase syariah, baru kemudian pihak
Pengadilan Agama menerima pendaftaran putusan arbitrase syariah
tersebut. Dengan adanya fakta tersebut menunjukkan bahwa pada saat
ini permasalahan eksekusi putusan arbitrase syariah belum selesai
secara akademisi.
Page 94
83
B. Argumentasi Ahli Hukum Setelah Adanya Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah
Menurut Nur Habibi, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta bidang Ilmu Hukum Tata Negara Lahirnya
PERMA Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa
Ekonomi Syariah ini menyalahi aturan, kecuali jika dibuat masa berlaku
terbatas itupun harus mendapatkan persetujuan parlemen karena
menempatkan PERMA setara dengan Undang-Undang. Dalam peraturan
perundang-undangan sudah jelas bahwa hukum yang dibawah tidak boleh
bertentangan dengan hukum yang diatas, dalam hal ini yaitu seharusnya
PERMA tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya dalam hal
ini taitu Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang
Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengekta. Jika berdasarkan pada
asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis ini adalah apabila terjadi konflik
hukum antara peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus
(Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama)
dengan peraturan Perundang-undangan yang bersifat umum (Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999), maka peraturan perundang-
undangan yang bersifat umum akan dikesampingkan, Namun perlu diingat
bahwa kewenangan Pengadilan Agama untuk menyelesaikan perkara
ekonomi syariah sebatas jika hanya terjadi sengketa anatar konsumen
dengan lembaga keuangan syariah, namun dalam kasus ini pendaftaran
eksekusi putusan arbitrase syariah tidak mengandung adanya sengketa
antara konsumen dengan lembaga keuangan syariah, dapat diambil
kesimpulan bahwa yang berwenang untuk mengeksekusi putusan arbitrase
syariah sesuai dengan pengaturan Undang-Undang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa yaitu Pengadilan Negeri.7
7 Nur Habibi, Dosen FSH UIN Jakarta, interview Pribadi, Ciputat, 5 Maret 2018.
Page 95
84
Selanjutnya menurut Ismail Hasani, dosen Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah jakarta bidang Ilmu Hukum Tata Negara
bahwa dengan lahirnya PERMA Nomor 14 Tahun 2016 merupakan
kontradiksi antara norma hukum yang lebih rendah terhadap norma hukum
yang lebih tinggi yang dalam hal ini yaitu Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman dan Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Secara formil Mahkamah Agung punya wewenang membentuk
sebuah peraturan (PERMA) akan tetapi tidak dengan konten yang
menyimpang. Conflicting norm dalam kasus yang terjadi pada masalah ini
maka batal demi hukum. Menurutnya lagi jika ingin mengalihkan
kewenangan peradilan manakah yang berhak, maka yang seharusnya
diubah adalah Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-
Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Konflik norma
semacam ini tidak bisa diberlakukan asas lex spesialis derogate lex
generalis karena asas tersebut hanya dimungkinkan dengan jenis
Peraturan Perundang-Undangan yang sederajat. Lanjutnya lagi, jika
basisnya terjadi sengketa maka dibenarkan bahwa Peradilan Agama yang
berwenang untuk menyelesaikan sengketa tersebut ini sesuai dengan
Undang-Undang Peradilan Agama, Undang-Undang Perbankan Syariah
dan PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian
Ekonomi Syariah, akan tetapi jika tanpa adanya sengketa atau yang dalam
hal ini penetapan eksekusi arbitrase syariah maka berlaku norma hukum
yang limitative ditegaskan dalam Undang-Undang yang mengaturnya
karena penetapan itu bukan sengketa yang hakim tidak berhak memeriksa
perkara lagi.8
Namun berbeda pendapat dengan Zarkasyi, Hakim Pengadilan
Agama Jakarta Selatan berpendapat bahwa tidak terjadi kontradiktif antara
Peraturan Perundang-undangan yang dalam hal ini Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian sengketa dengan PERMA Nomor 14 Tahun 2016 Tentang
8 Ismail Hasani, Dosen FSH UIN Jakarta, interview Pribadi, Ciputat, 13 Maret 2018.
Page 96
85
Tata Cara Penyelesian Sengketa Ekonomi Syariah karena dilihat dari
terbitnya peraturan tersebut, yang mana hukum yang baru menghapus
hukum yang lama. Zarkasyi juga menjelaskan bahwa unsur kemunculan
peraturan Mahkamah Agung tersebut karena berdasar pada judicial
Riview Undang-Undang Perbankan Syariah yang memberikan dualisme
kewenangan kepada Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri untuk
menyelesaikan penyelesaian sengketa ekonomi syariah yang kemudian
diputus oleh Mahkamah Konstitusi No 93/PUU-X/2012 . Semua
penyelesaian perkara atau sengketa yang menggunakan akad syariah
sudah menjadi kewenangan Pengadilan Agama, termasuk juga penetapan
eksekusi arbitrase syariah yang mana hakim sudah tidak berhak
memeriksa perkara lagi. Zarkasyi, Menuturkan bahwa mahkota dari
proses penyelesaian sengketa secara litigasi atau non litigasi yaitu dengan
adanya eksekusi, jadi sudah jelas bahwa yang berwenang mengeksekusi
putusan arbitrase syariah yaitu Pengadilan Agama dengan merujuk
Undang-Undang Nomor Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Perbankan Syariah, putusan
Mahkamah Konstitusi No 93/PUU-X/2012, dan Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah.9
Menurut Djauhari, dosen Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Jakarta yang juga sekaligus sekretaris Badan Arbitrase
Syariah Nasional (BASYARNAS) menuturkan bahwa menarik untuk
dikaji terkait terbitnya Peraturan Mahkamah Agung tersebut, karena
dilihat dari sisi historisnya Mahkamah Agung tidak konsisten dengan
peraturan eksekusi putusan arbitrase syariah yang telah dikeluarkannya
yang mana PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah bertentangan dengan Undang-
9 Zarkasyi, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, interview Pribadi, Pasar Minggu,
29 Maret 2018.
Page 97
86
Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menjadi dasar atau payung hukum
dengan terlaksananya penyelesaian sengketa secara non litigasi yang
dalam hal ini yaitu arbitrase. Namun secara praktisi hukum, Djauhari
sebagai sekretaris Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
tunduk dan mengikuti Peraturan Mahkamah Agung tersebut dengan
mendaftarkan salinan resmi putusan arbitrase syariah kepada Pengadilan
Agama Jakarta Timur.10
Menurut Achmad Guntur, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan berpendapat bahwa Peraturan Mahkamah Agung pasti diikuti oleh
pengadilan yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung meskipun di
dalam Peraturan Undang-Undang dibagi menjadi 2 (dua) pengaturan yang
artinya bisa menyelesaikan sengketa melalui Pengadilan Agama atau
Pengadilan Negeri, karena dengan adanya penegasan peraturan dari
Mahkamah Agung untuk menghindari dualisme dari Peraturan Perundang-
Undangan yang lebih tinggi yang jelas mengatur peraturan yang sama
yang dalam hal ini yaitu pengaturan wewenang eksekusi putusan arbitrase
syariah. Achmad Guntur juga menuturkan bahwa Peraturan Mahkamah
Agung yang dalam hal ini PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata
Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah bukan mengalahkan
peraturan undang-undang yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Arbitrase yang secara
hierarki peraturan perundang-undangan kedudukan Undang-Undang
tersebut tidak bisa dikalahkan oleh Peraturan Mahkamah Agung, namun
dalam hal ini termasuk suatu penegasan dari Mahkamah Agung terhadap
peradilan yang berada dibawahnya agar masyarakat tidak bingung dan
terjadi multi tafsir dengan adanya ketentuan undang-undang yang
mengatur peraturan yang sama namun pengaturan tersebut saling bertolak
belakang. Maka, pengadilan yang berada dibawah naungan Mahkamah
10
Djauhari, Sekretaris Badan Arbitrase Syariah Nasional, interview Pribadi, Ciputat, 27
Maret 2018.
Page 98
87
Agung harus tunduk kepada Peraturan yang telah dikeluarkan oleh
Mahkamah Agung karena bersifat wajib. Achmad Guntur juga
menjelaskan bahwa dengan adanya peraturan Mahkamah Agung tersebut
merupakan suatu kemajuan hukum karena memang harus dipisahkan
antara sengketa ekonomi syariah dengan sengketa yang konvensional dan
sudah jelas bahwa apapun bentuk transaksi bisnis dan ekonomi jika
menggunakan akad syariah sudah menjadi kewenangan Pengadilan Agama
jika suatu saat terjadi sengketa atau wan-prestasi.11
Menurut Mukhtar Lutfi, Direktur Pasca Sarjana Universitas
Muhammadiyah Jakarta yang sekaligus sebagai pengurus Badan Arbitrase
Syariah Nasional (BASYARNAS) menjelaskan bahwa adanya PERMA
Nomor 14 Tahun 2016 berlandaskan kepada Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang memberikan kewenangan
kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan semua sengketa yang
menggunakan akad syariah. Selanjutnya, adanya PERMA tersebut
merupakan suatu diskresi.12
Menurut Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan yang dimaksud Diskresi adalah
keputusan dan/ atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh
pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi
dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-
undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau
tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Namun,
penggunaannya harus oleh pejabat yang berwenang dan sesuai dengan
tujuannya.
Lebih lanjut Mukhtar Lutfi memaparkan bahwa yang seharusnya di
amandemen karena rawan terjadinya konflik baru adalah Undang-Undang
11
Achmad Guntur, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, interview Pribadi, Pasar
Minggu, 2 April 2018. 12
Mukhtar Lutfi, Direktur Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta, interview
Pribadi, 2 April 2018.
Page 99
88
Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa dengan merujuk atau mengikuti Undang-Undang Peradilan
Agama dan Undang-Undang Perbankan Syariah yang secara tegas
memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk melaksanakan
sengketa ekonomi syariah yang termasuk juga pelaksanaan eksekusi
putusan tersebut sehingga tidak lagi terjadinya disharmonisasi antara
peraturan perundang-undangan.
Mukhtar Lutfi berpendapat dan memposisikan diri sebagai ahli
hukum bahwa sebenarnya PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tersebut tidak
sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, namun sebagai praktisi hukum harus mengikuti ketentuan
peraturan Mahkamah Agung yang mana puncak kekuasaan lembaga
peradilan adalah Mahkamah Agung, dan wajib bagi praktisi hukum atau
lembaga peradilan untuk taat dan patuh terhadap peraturan yang telah
dikeluarkan oleh Mahkamah Agung.
Berdasarkan uraian mengenai pendapat para ahli baik secara
akademisi maupun praktisi, Pada level kajian akademik hampir
keseluruhan akademisi menyatakan bahwa secara hierarki peraturan
perundang-undangan PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah tidak boleh menyalahi Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Akan tetapi, dilihat dari fakta saat ini ternyata
putusan arbitrase syariah dalam hal ini Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) yang telah dilangsungkan pada akhir tahun 2017 setelah
adanya PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah yang kemudian diajukan penetapannya kepada
Pengadilan Agama telah memperoleh penetapan, terlepas apakah para
pihak bisa menerima putusan Pengadilan Agama atau tidak jika salah satu
dari kedua belah pihak ada yang tidak setuju dengan putusan
BASYARNAS.
Page 100
89
Namun, ada indikasi bahwa PERMA Nomor 14 Tahun 2016
tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah belum
tersosialisasikan dengan baik pada level Pengadilan Agama sehingga saat
pihak BASYARNAS mengajukan pendaftaran putusan arbitrase syariah,
pihak pengadilan pun masih bertanya-tanya apakah pada saat ini menjadi
wewenang pengadilan agama atau tidak, sehingga pihak BASYARNAS
lebih dulu menjelaskan kepada pihak Pengadilan Agama Jakarta Timur
terkait adanya PERMA Nomor 14 Tahun 2016 yang memberikan
kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk melaksanakan eksekusi
putusan arbitrase syariah. Dengan adanya fakta tersebut menunjukkan
bahwa pada saat ini permasalahan eksekusi putusan arbitrase syariah
belum selesai secara akademisi.
Penyelesaian konflik antar Peraturan perundang-undangan dengan
Peraturan Mahkamah Agung diatas masih menimbulkan perbedaan
pendapat dari berbagai pihak, namun dapat disimpulkan bahwa
kewenangan pelaksanaan putusan/ eksekusi arbitrase syariah yang dalam
hal ini BASYARNAS menjadi kewenangan Pengadilan Negeri
berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sesuai dengan hierarki peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, juga berdasar pada asas
perundang-undangan yaitu asas lex superiori derogate legi inferiori yaitu
peraturan perundang-undangan yang ada di jenjang lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada
pada jenjang lebih tinggi. Dan seterusnya sesuai dengan hierarki norma
dan peraturan perundang-undangan.
Namun Pengadilan Agama juga mempunyai kewenangan
melaksanakan putusan arbitrase syariah tersebut dengan adanya Peraturan
Mahkamah Agung yang memberikan wewenang tersebut, yang mana
adanya PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tersebut berlandaskan kepada
Page 101
90
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Oleh karena itu, demi kemajuan ekonomi syariah, Sudah saatnya
reformasi fundamental sistem alternative dispute resolution, maka harus
diupayakan adanya perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, karena
dengan adanya PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah para praktisi hukum telah
mengikuti dan mendaftarkan putusan arbitrase syariah kepada Pengadilan
Agama meskipun pada implementasinya hanya ada satu putusan yang
telah didaftarkan. Maka PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata
Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah dengan Peraturan
Perundang-Undangan yang lebih tinggi tidak lagi terjadi disharmonisasi,
karena mahkota dari proses penyelesaian sengketa secara litigasi atau non
litigasi yaitu dengan adanya eksekusi, jadi yang berwenang mengeksekusi
putusan arbitrase syariah yaitu Pengadilan Agama dengan merujuk pada
Undang-Undang Nomor Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah,
Putusan Mahkamah Konstitusi No 93/PUU-X/2012. Selain itu juga agar
tidak terjadi perbedaan antara de facto dan de jure yang mana bahwa
secara de facto para praktisi hukum sudah mengimplementasikan PERMA
Nomor 14 Tahun 2016 namun secara de jure terjadi perdebatan antara para
akademisi dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung tersebut.
Page 102
91
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, penulis dapat
memberikan kesimpulan dan saran, sebagai berikut :
A. Kesimpulan
1. Eksekusi putusan arbitrase syariah diatur berdasarkan peraturan
perundang-undangan yaitu Pasal 61 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal
59 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 13 PERMA Nomor 14 Tahun 2016
Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah. Dari
peraturan yang ada terdapat ketidaksinkronan antara Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
terhadap PERMA Nomor 14 Tahun 2016. Dilihat secara hierarkis
peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang No
12 Tahun 2011 tentang Hierarki Peraturan Perundang-undangan jelas
bahwa PERMA tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, dalam hal ini berlaku juga
asas lex superior derogat legi inferior. Yaitu peraturan perundang-
undangan yang ada di jenjang yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada pada
jenjang lebih tinggi. Namun jika dikaitkan dengan asas lex specialis
derogat lex generalis maka Undang-Undang Arbitrase yang
dimenangkan karena secara khusus mengatur ketentuan arbitrase-nya,
namun secara materilnya Pengadilan Agama yang lebih berwenang
dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
2. Sejak adanya PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, dari sekian lembaga mediasi
yang ada baru satu yang mengajukan pendaftaran penetapan salinan
resmi arbitrase syariah ke Pengadilan Agama, dan telah mendapatkan
Page 103
92
penetapan dari Pengadilan Agama. Fakta ini menunjukkan bahwa
meskipun secara hierarki peraturan perundang-undangan PERMA
Nomor 14 Tahun 2016 bertentangan dengan Undang-Undang namun
secara implementasi lembaga mediasi yang ada telah mengikuti apa
yang ditetapkan oleh Peraturan Mahkamah Agung.
B. Saran
Model piranti hukum untuk menentukan langkah kedepan demi
kemajuan hukum maka harus diupayakan adanya amandemen atau
perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, karena secara idealisme hukum
yang tepat menangani sengketa syariah sampai dengan eksekusinya adalah
Pengadilan Agama. Dengan adanya PERMA Nomor 14 Tahun 2016
tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah para praktisi
hukum telah mengikuti dan mendaftarkan salinan putusan arbitrase syariah
kepada Pengadilan Agama. Dengan dilakukannya amandemen terhadap
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 maka antara Peraturan Perundang-Undangan dengan
Peraturan Mahkamah Agung tidak lagi terjadi disharmonisasi.
Selain itu juga agar tidak terjadi perbedaan antara de facto dan de
jure yang mana bahwa secara de facto para praktisi hukum sudah
mengimplementasikan PERMA Nomor 14 Tahun 2016 namun secara de
jure terjadi perdebatan antara para akademisi dengan adanya Peraturan
Mahkamah Agung tersebut.
Saran tersebut penulis sampaikan mengingat undang-undang
Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa merupakan payung hukum dari terselenggaranya penyelesaian
sengketa melalui arbitrase yang dalam hal ini juga termasuk arbitrase
syariah.
Page 104
93
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perbankan Syariah, Bandung : Refika Aditama,
2009.
Ali Faried, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2007.
Azis Syamsudin, Praktek dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, Jakarta: Sinar
Grafika, 2011.
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta.: Rajawali Press,
2010.
Cholid Narbuko dan H Abu Ahmad, Metodologi Penelitian, Jakarta : Bumi
Angkasa, 2002.
Chairul Lutfi, Kewenangan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)
Terhadap Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Pasca Putusan MK
No. 93/Puu-X/2012, UIN Maulana Malik Ibrahim.
Diana Rahmi, Ruang Lingkup Kewenangan Peradilan Agama Dalam Mengadili
Sengketa Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, IAIN
Antasari.
Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah,
Jakarta : Sinar Grafika, 2012.
Fathurrahman Djamil, Arbitrase dalam Perspektif Sejarah Islam, dalam Satria
Effendi M.Zein,et.al, Arbitrase Islam di Indonesia, Jakarta : Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia, 1994.
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa : Arbitrase Nasional
Indonesia dan Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama, 2006.
Gunawan widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2000.
Page 105
94
Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis; Arbitrase VS Pengadilan
Persoalan Kompetensi (Absolute) yang Tidak Pernah Selesai, Jakarta :
Kencana, 2008.
Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, dalam Muhammad Arifin ,
Arbitrase Syariah sebagai Forum Penyelesaian Sengketa Perbankan
Syariah, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2016.
H.R. Sri Soemantri M, Hak Uji Material di Indonesia, Bandung: PT Alumni,
1997.
H. Salim HS dan Erlis Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, Cet. 3, Jakarta : Rajawali Pers, 2014.
Imam Jauhari, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Menurut Hukum Islam,
Yogyakarta : CV Budi Utama, 2017.
Khotibul Umam, Opini Konstitusi, Majalah Konstitusi edisi No. 79 September
2013.
Majalah Peradilan Agama, “Memperkuat Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah”.
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, 2015,
Edisi 8.
Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, Bandung : Refika Aditama,
2011.
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Jakarta : Sinar Grafika, 2012.
Muhammad Arifin, Arbitrase Syariah Sebagai Forum Penyelesaian Sengketa
Perbankan Syariah, Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2016.
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2012.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keselarasan Al
Qur’an, jilid 13, Jakarta: Lintera Hati, 2002.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Media
Group, 2009.
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) ;
Suatu Pengantar, Jakarta : PT Fikahati Aneska, 2011.
Page 106
95
Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta : Sinar
Grafika, 2012.
Rahmat Rosyadi, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif , Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2002.
Ramlan Ginting, Hukum Arbitrase, Jakarta: Universitas Trisakti, 2016.
Rika Delfa Yona, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di
Indonesia, Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 4, No. 1
2014
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2013.
Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta; PT Raja Grafindo
Persada, 2007.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,
2008.
Yuliandri. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik:
Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2010.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Hierarki Peraturan Perundang-
undangan.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan
Nasional (Lembaran Negara Nomor 206 Tahun 2000).
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Page 107
96
Putusan Mahkamah Konstitusi No 93/PUU-X/2012
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan
Badan Arbitrase Syariah.
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2010 tentang Penegasan Tidak
Berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun 2008
tentang Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah.
PERMA No 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Ekonomi Syariah.
Internet
https://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Agama
https://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Negeri
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6102/kekuatan-hukum-produk-
produk-hukum-ma-perma--sema--fatwa--sk-kma
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55dd7d17d0e7d/perma-masih-jadi-
solusi-hukum-acara-perdata-di-indonesia
http://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/pengumuman/Pages/Daftar-Lembaga-
Alternatif-Penyelesaian-Sengketa-di-Sektor-Jasa-Keuangan-.aspx
http://jokopas.blogspot.co.id/2013/09/asas-asas-dalam-peraturan-perundang.html
https://yuokysurinda.wordpress.com/2016/01/21/eksistensi-basyarnas-dalam-
penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah/
Wawancara
Ismail Hasani, Dosen FSH UIN Jakarta, interview Pribadi, Ciputat, 13 Maret
2018.
Achmad Guntur, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, interview Pribadi,
Pasar Minggu, 2 April 2018.
Djauhari, Sekretaris Badan Arbitrase Syariah Nasional, interview Pribadi,
Ciputat, 27 Maret 2018.
Mukhtar Lutfi, Direktur Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta,
interview Pribadi, 2 April 2018.
Nur Habibi, Dosen FSH UIN Jakarta, interview Pribadi, Ciputat, 5 Maret 2018.
Zarkasyi, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, interview Pribadi, Pasar
Minggu, 29 Maret 2018.