YURISDIKSI EKSTRATERITORIAL SEBAGAI PERLUASAN KEWENANGAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DALAM MENANGANI SENGKETA PERSAINGAN USAHA ERA GLOBALISASI DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh MURSYIDA HELNAZ NIM: 11160480000056 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H / 2021 M
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
YURISDIKSI EKSTRATERITORIAL SEBAGAI PERLUASAN
KEWENANGAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DALAM
MENANGANI SENGKETA PERSAINGAN USAHA ERA GLOBALISASI
DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh
MURSYIDA HELNAZ
NIM: 11160480000056
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2021 M
i
YURISDIKSI EKSTRATERITORIAL SEBAGAI PERLUASAN
KEWENANGAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DALAM
MENANGANI SENGKETA PERSAINGAN USAHA ERA GLOBALISASI
DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh
MURSYIDA HELNAZ
NIM: 11160480000056
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2021 M
ii
YURISDIKSI EKSTRATERITORIAL SEBAGAI PERLUASAN
KEWENANGAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DALAM
MENANGANI SENGKETA PERSAINGAN USAHA ERA GLOBALISASI
DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh
MURSYIDA HELNAZ
NIM: 11160480000056
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Abdullah Sulaiman S.H, M.H.
NIP. 19591231 198609 1 003
Fitriyani, S.A.g. M. H.
NIP. 19740321 2002122 005
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2021 M
iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “YURISDIKSI EKSTRATERITORIAL SEBAGAI
PERLUASAN KEWENANGAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
DALAM MENANGANI SENGKETA PERSAINGAN USAHA ERA
GLOBALISASI DI INDONESIA” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas
Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal Oktober 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program
Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, 27 Januari 2021
Mengesahkan
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. ( )
NIP. 19670203 201411 1 101
2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. ( )
NIP. 19650908 199503 1 001
3. Pembimbing I : Prof. Dr.Abdullah Sulaiman, S.H,M.H. ( )
NIP. 19591231 198609 1 003
4. Pembimbing II : Fitriyani, S.A.g. M. H. ( )
NIP. 19740321 200212 2 005
5. Penguji I : Dr. Kamarusdiana, M.H. ( )
NIP. 19720224 199803 1 003
6. Penguji II : Dr. Soefyanto, S.H., M.M., M.H. ( )
NUPN. 9903 0190 57
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : Mursyida Helnaz
NIM : 11160480000056
Program Studi : Ilmu Hukum
Alamat : Jl. Radar Utara rt 001/009 no 73 Jakarta Timur
penegakan-hukum-persaingan-usaha-sebuah-keniscayaan/ di akses pada: selasa 26 juni 2020 6 Dita kepada hukumonline setelah menjadi pembicara dalam Diskusi Panel
mengenai Urgensi Revisi UU No 5 Tahun 1999, di Kampus Pascasarja Universitas Indonesia,
pengadilan di berbagai perpustakaan publik maupun erpustakaan
universitas.
Teknik Pengolahan Data
Di dalam penelitian hukum normatif memusatkan aktivitas
penelitian pada (library research) atau yang lebih dikenal studi
pustaka9 komponen aturan perundang-undangan, beserta berbagai
artikel ilmiah yang menurut peniliti saling berkorelasi satu sama lain
sehingga keseluruhan aspek tersebut tersaji lebih sistematis di dalam
8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada media Group, 2005),
h. 204. 9 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum, ( Jakarta:
Sinar Grafika, 2010). h. 89.
15
menjawab isu dan inti permasalahan yang telah di tuangkan. Bahwa
metode pengolahan materi hukum dikerjakan dengan cara
menyimpulkan suatu pemahaman masalah yang tadinya bersifat umum
terfokus pada inti permasalhan koknkret yang dihadapi (umum-khusu)
atau yang biasa dikenal metode penarikan kesimpulan deduktif.
5. Metode Analisis Data
Kumpulan data yang sudah di dapatkan dan di himpun,
selanjutnya di proses menggunakan metode analisis kualitatif, diaman
metode analisis kualitatif memiliki corak proses deskripsi data yang
diperolah dalam format untaian kalimat yang ilmiah dilakukan
penafisran dan penarikan kesimpulan oleh peneliti. Adapun target
pemakaian metode ini untuk memberikan pemahaman lebih detail dan
rinci terhadap isu hukum yang sedang dikaji. Metode analisis ini
memnentingkan kualitas substansi penelitian yang dikaji secara
spesifik dan komperhensif.
6. Teknik Penarikan Kesimpulan
Dalam melaksanakan pengkajian data dan kemudian
menafsirkan sebuah pemahaman, Penulis menggunakan metode
penafsiran atau yang lebih dikenal sebagai hermeneutic .Hal ini
dikarnakan metode penafsiran memiliki kaitan erat dengan corak
penelitian hukum normatif.10 Adapun jenis interprestasi yang dipakai
merupakan interpretasi fungsional dimana jenis interpretasi ini
berusaha untuk mengetahui tujuan filosofis dari sekumpulan peraturan
yang secara terbuka menggunakan sumber lain yang dapat mendukung
adanya kejelasan.11 Lebih lanjut jenis interpretasi komparatif dengan
10 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab - Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti,1993), h. 13.
11 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,2006) h. 95.
16
kata lain interpretasi perbandingan adalah metode penafsiran yang
dipakai dengan menggunakan perbandingan diantara peraturan hukum
yang bertujuan menemukan kejalasan dari suatu ketentuan peraturan
hukum.12 Dari penggunaan penafsiran-penafsiran tersebut penulis
menyusunnya sehingga terbentuk penjelasan yang sistematis dan
melahirkan dan dibuat sebuah kesimpulan.
Kemudian untuk teknik penarikan kesimpulan pada penulisan
ini dicapai dengan melakukan pola penarikan umum ke khusu
(deduktif) . Menurut Philipus M. Hadjon, proses penerapan asas
hukum dapat dilakukan dengan dua penalaran, yaitu melalui penalaran
hukum induksi dan deduksi.13 Dalam penelitian ini, digunakan cara
berpikir deduktif (deductive reasoning). Cara berpikir tersebut dimulai
dari hal yang bersifat umum menuju kesimpulan yang bersifat khusus.
E. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah penulis dalam mengkaji dan
menelaah penelitian maka, dirasa perlu untuk memaparkan terlebih
dahulu sistematika penulisan sebagai gambaran singkat penelitian ini.
Penulisan penelitian ini pada buku Pedoman Penelitian Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Hidayatullah Jakarta yang
terbit pada 2017, yang terbagi dalam lima bab dan pada setiap bab
terdiri dari sub bab yang digunakan untuk memperjelas ruang lingkup
dan inti dari permasalahan yang diteliti. Berikut sistematika yang akan
digunakan dalam penelitian ini :
BAB I : PENDAHULUAN terdiri dari latar belakang masalah
dan rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian hukum ini.
12 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab - Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 1993), h. 17-18.
13Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum, (Jakarta:
Sinar Grafika,2010), h. 89.
17
Selain itu terdiri pula dari tujuan serta manfaat diadakannya
penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II: TINJAUAN UMUM MENGENAI PRINSIP
EKSTRATERITORIAL SEBAGAI PERLUASAN
KEWENANANGAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN
USAHA DALAM MENANGANI SENGKETA PERSAINGAN
USAHA LINTAS NEGARA dalam bab ini peneliti membahas
kerangka teori dan kerangka konsepetual yang peneliti gunakan,
konsep-konsep hukum, landasan hukum serta peraturan perunndang-
undangan pada beberapa kasus persaingan usaha lintas Negara yang
melibatkan pelaku usaha dalam negri dengan perusahaan asing.
BAB III : PERAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN
USAHA DI DALAM MEMUTUSKAN KASUS PERSAINGAN
USAHA LINTAS NEGARA Mengupas lebih dalam mengenai sejarah
awal terbentuknya hukum persaingan usaha secara internasional dan
juga nasional, asas dan tujuan yang menjadi marwah dalam hukum
persaingan usaha beserta analisa yurisdiksi kewenangan KPPU di
dalam menangani kasus persaingan usaha lintas Negara era globalisasi
di Indonesia.
BAB IV : ANALISIS YURISDIKSI EKSTRATERITORIAL
EKSTRATERITORIALITAS DALAM 3 PUTUSAN KOMISI
PENGAWAS PERSAINGAN USAHA berisi penjabaran dan analisa 3
putusan KPPU yakni putusan no 07/KPPU-L/2007 mengenai adanya
pelanggaran oleh kelompok usaha temasek, putusan no 17/KPPU-
I/2010 mengenai Industri farmasi kelas terapi Amlodipine, putusan
No 17/KPPU-M/2015 mengenai pengambilalihan (akuisisi)
perusahaaan woongjjin chemical co oleh Toray Advanced Materials,
Korea Inc. dimana tiga putusan KPPU ini diputus secara
ekstrateritorial di luar kewenangan KPPU sebagaimana yang
18
diamanatkan undang-undang persaingan usaha, analisa pun juga
termasuk bagiamana perspektif doktrin single economic entity
memandang hal tersebut. Pada bab ini pun juga akan membahas studi
komprasi penerapan prinsip ekstrateritorialitas dalam hukum
persaingan usaha di Amerika Serikat sebagaimana Amerika Serikat
merupakan Negara tertua yang menerapkan hukum persaingan usaha
dan sebagai salah satu kiblat hukum persaingan usaha di dunia.
BAB V : PENUTUP bab ini merupakan penutup dan akhir dari
penelitian. Dalam bab ini peneliti membuat kesimpulan hasil
penelitian dari analisis bab – bab sebelumnya secara sistematis dan
rekomendasi. Kesimpulan ini berisi jawaban terhadap inti masalah
penelitian berdasarkan data yang diperoleh. dan juga saran yang
sekiranya akan bermanfaat untuk kepentingan umum.
19
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PRINSIP EKSTRATERITORIAL
SEBAGAI PERLUASAN KEWENANANGAN KOMISI PENGAWAS
PERSAINGAN USAHA DALAM MENANGANI SENGKETA
PERSAINGAN USAHA ERA GLOBALISASI DI INDONESIA
A. Kerangka Konseptual
1. Yurisdiksi Ekstrateritorial
Di dalam kerangka hukum persaingan usaha, penggunaan dan
formasi pertanggungjawabannya dapat berlaku secara ekstrateritorial
dikarnakan pelaku usaha dapat dikenakan ketentuan hukum atas perbuatan
yang dijalankan oleh badan usaha sebagaiman yang disebut sebagai pelaku
usaha pelaku usaha lain sebagai entitas ekonomi walaupun salah satu
badan usaha tersebut berkedudukan di luar wilayah kedaulatan sebuah
negara.
Pada dasanrnya yurisdiksi ekstrateritorial merupakan suatu
keadaan dimana negara melalui otoritasnya mempunyai kekuasaan
sepenuhnya atas wilayahnya namun ada pengecualian dimana sesuatu
negara dapat melaksanakan yurisdiksinya di negara lain, walaupun dalam
beberapa hal terdapat batasan-batasannya14
Dikenalnya yurisdiksi ekstrateritorial dalam dunia persaingan
usaha dikenalkan pertama kali dalam hukum persaingan usaha Amerika
Serikat yang kala itu di era perkembangannya berbentuk sebuah “effects
doctrine” dalam antitrust law. Doktrin ini pada dasarnya mengatur
mengenai ketentuan, seluruh pelaku anti persaingan di negara Amerika
Serikat tidak luput dari ketentuan hukum persaingan usaha yang berlaku di
Amerika Serikat atau berkedudukan dibawah yurisdiksi hukum Amerika
14 Sumaryo Suryokusumo, Yurisdiksi Negara vs Yurisdiksi Ekstrateritorial, vol 04 2005 h.687.
20
Serikat apabila terbukti menimbulkan dampak seperti: praktek monopoli di
area yurisdiksinya baik itu secara kebetulan atau direncanakan.
Pengaturan hukum persaingan usaha pada dasarnya merupakan
kewajiban yang ditanggung oleh yurisdiksi pemerintahan pusat, termasuk
di dalamnya yurisdiksi legislatif, eksekutif, yudikatif yang secara konsep
dapat diterapkan dalam secara ekstrateritorial. Namun, dalam konteks
implementasinya perlu diadakan riset lebih lanjut kiranya apakah
berpotensi melanggar kedaulatan otonomi negara lain atau tidak.
2.Peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha beserta kewenangannya
Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau biasa disingkat menjadi
KPPU, merupakan institusi mandiri yang diberi mandat oleh Undang-
Undang No. 5 Tahun 1999, sebagai institusi yang menjalankan fungsi
pengawasan, penegakan, dan pelaksanaan undang-undang persaingan
usaha yang berlaku. Komisi Pengawas Persaingan Usaha lahir
berlandaskan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 75 Tahun
1999. Pada realitanya dalam rangka menjaga iklim persaingan usaha yang
sehat adil, dan berimbang dapat dilaksanakan oleh institusi lain seperti
kejaksaan, kepolisian beserta pengadilan. Dimana pada konteks ini
pengadilan menajalankan fungisnya sebagai corong untuk memecahkan
masalah yang resmi terlegitimasi kekuatan negara. Tetapi,dalam ranah
hukum persaingan usaha, penyelesaian sengketa pada tahap awal tidak
diselesaikan melalui jalur litigasi (pengadilan). Hal ini disebabkan hukum
persaingan usaha memerlukan tenaga ahli atau spesialis yang berlatar
belakang maupun mengetahui celah dalam dunia bisnis beserta mekanisme
pasar. Adapun peran negara yang termanifestasi dalam pembentukan
sebuah lembaga negara dimana melakukan tugas di dalam penegakan
hukum persaingan usaha haruslah di skong oleh pihak-pihak yang tidak
hanya mengenyam pendidikaan di bidang hukum, tetapi juga manajemen,
21
bisnis dan sekonomi. Hal ini didasarkan akan adanya kertrikatan yang kuat
diantara dunia persaingan usaha dengan ekonomi dan bisnis.15
Adapun faktor lain, urgensi adanya lembaga yang secara distingtif
dibuat untuk menyelesaikan sengketa persaingan usaha dan praktek
monopoli dimana bertujuan untuk efisiensi mengurangi penumpukan
perkara di pengadilan. Lembaga khusus yang dapat menyelesaikan
sengketa persaingan usaha tidak sehat diluar jalur litigasi dinilai menjadi
alternatif di dalam penyelesaian sengketa dimana di indonesia dikenal
sebagai kuasi yudikatif.16
Pasal 35 Undang-Undaang Persaingan Usaha memandatkan
Komisi Penagawas Persaingan Usaha memiliki tugas tertentu
berupa:
a. Melakukan penilaian terhadap tindakantindankan yang
dilarang berdasarkan tiga katagori yang ada (perjanjian
yang dilarang, kegiatan yang dilarang dan posisi dominan);
b. Mengambil tindakan sesuai dengan kewenangan komisi;
c. Memberi saran dan pertimbangan terhadap competition
policy pemerintah;
d. Menyusun pedoman dan atau publikasi yangberkaitan
dengan undang-undang ini;
e. Melaporkan hasil kerja komisi secara berkala kepada
DPR dan Presiden
di undang-undang yang sama, Pasal 36 Undang-Undang No 5 Tahun
1999 juga memberi mandat mengenai kewenangan Komisi Pengawas
15 Prayoga Ayudha D, (2000), Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia, Jakarta: Proyek Elips. H. 16 16 Prayoga Ayudha D, (2000), Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia, Jakarta: Proyek Elips. H 18
22
Persaingan Usaha di awali dengan menerima aduan dari publik atau pelaku
bisnis mengenai adanya praktik persaingan usaha tidak sehat hingga
memberi sanksi administratif bagi pelanggar ketentuan undang-undang.
Secara rinci mengenai kewenangan KPPU diatur di dalam Pasal 36
Undang-Undang No 5Tahun 1999 adalah sebagai berikut:
a. Meminta keterangan dari instansi Pemerintahdalam
kaitannya dengan penyelidikandan/atau pemeriksaan
terhadap pelaku usahayang melanggar ketentuan
undangundangini;
b. Menerima laporan dari masyarakat dan/ataupelaku usaha
tentang dugaan terjadinya praktek monopoli atau
persaingan usaha tidak sehat;
c. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan
keleluasaan berpindah tempat kerja, bebas dalam menentukan domisili,
dan kebabasan lalu lintas jasa dan modal.21
Dalam lingkup region Asia hukum persaingan usaha pun juga
diterapkan di beberapa Negara bahkan jauh sebelum Indonesia yang
menerapkannya, seperti salah satunya Negara jepang yang pada saat itu
menerapkan The Anti Monopoly Law atau yang lebih dikenal AML pada
tahun 1947.
AML merupakan salah satu perangkat penting yang digunakan
pemerintah jepang di dalam menata dan membenahi ekonomi jepang
dalam rangka membuatnya setara dan dapat mampu bersaing dengan
Negara lain. Ketika berakhirnya perang dunia ke II terdapat adanya
batasan di dalam memahami gagasan persaingan usaha tanpa batas di
jepang. Kehadiran pasukan sekutu di kala itu yang tidak hanya melakukan
ekspansi tetapi juga memperkenalkan kebijakan dalam sektor ekonomi
yang bersifat demokratis yang berwujud pembubaran zaibatsu22 dan
pemberlakuan AML.
19 EURATOM merupakan singkatan dari European Atomic Energy Community 20 EEC merupakan singkatan dari Economic European Community 21 Valentine Kotah, An Introductory Guide to EC Competition Law and Practice, 7 th
Edition, Portland Oregon, oxford, 2000, h. 40 22 Zaibatsu merupakan kepemilikan secara ekslusif oleh keluarga
26
Pada dasarnya Undang-Undang Monopoli Jepang mengharamkan
adanya dominasi kegiatan bisnis yang dilakukan sektor swasta (private
monopolization), batasan tidak lazim kegiatan jual-beli (unreasonable
restraint of trade) beserta aktivitas bisnis yang tidak menjunjung nilai
keadilan (Unfair Bussniss Practice).23 Sedangkan dalam konteks nasional
undang-undang anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat lahir
dengan latar belakang keadaan dimana kebijakan negara di keseluruhan
bidang ekonomi yang dikaji kurun waktu tiga dasawarsa terakhir tebukti
tidak mendapatkan perhatian masyarakat sama sekali, hanya segelintir
golongan masyarakat yang merasakan dampak dari kebijakan tersebut,
sehingga berakibat curamnya kesenjangan sosial.24
Diberlakukannya AML pada tahun 1947 dalam rangka penegakan
persaingan usaha yang sehat di jepang dan menggunakan anti trust Law di
Amerika Serikat sebagai model, di waktu yang sama pun Jepang
mendirikan Japan Fair Trade Commission atau lebih dikenal JFTC sebagai
institusi yang berwenang mengawal hukum anti monopoli. Di masa akhir
kedudukan sekutu di jepang pemerintah jepang yang dikala itu berbentuk
parlemen merevisi undang-undang monopoli sebanyak dua kali di tahun
1949 dan tahun 1953, menyertakan ketentuan baru dan membuatnya
berbeda dengan hukum persaingan usaha di Amerika Serikat.25
Perbedaan mendasar antara Anti Trust Law Amerika Serikat
dengan jepan adalah AML merupakan hukum administrasi yang di
tangguhkan oleh Pemerintah selaku pemangku kepentingan melalui
konsultasi secara pribadi para pihak yang bersangkutan dengan pegawa
sipil.
23 Ayudya D Prayoga, Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia,
(Jakarta: proyek elis, 1999), h. 35 24 Penjelasan Undang-Undang nomor 5 tahun 1999 25 Toshiaki Takigawa, The Prospect of Antitrust Law and the policy in The Twenty First
Century:in Reference to the Japanesse Anti Monopoly Law and Japan Fair Trade Comission,
Washington University Global Studies Law Review, Vol 1, 2002, h. 276.
27
Fase awal di implementasikannya Undang-Undang Anti monopoli
di Jepang di selenggarakan secara ketat namun seiring berjalannya waktu
menjadi longgar dan cenderung setengah hati apabila dibandingkan
dengan hukum persaingan yang diterapkan Amerika Serikat. Bahkan
keadaanya manjadi lebih buruk manakala penegakan AML oleh JFTC
yang ketika itu di bawah instruksi kebijakan pada bidang industry yang
dinyatakan oleh Kementrian Perdagangan Internasional dan Industri
(MITI). Tetapi, di tahun 1970 AML menunjukan adanya indikasi
kebangkitan dengan adanya klausul baru yang memperkuat jepang,
dimana ketentuan ini merupakan tolak ukur untuk mengatasi inflasi yang
di pengaruhi oleh krisis minyak di Jazirah Arab. Di masa itu di berlakukan
pula support anggaran ekstra yang ditujukan memusnahkan praktik kartel
tidak resmi. Pungutan anggaran ekstra ini memiliki role penting di dalam
membuat mekanisme larangan yang efektif terhadap kartel yang menjadi
kewenangan JFTC. Sebelum tahun 1977 JFTC tidak mampu melakukan
sanksi bagi para pelaku kartel, tetapi adanya tuntutan dari erksternal,
terutama Amerika Serikat memberikan pengaruh bagi Jepang di dalam
membenahi dan memperkokoh fondasi AML dan JFTC.26
AML itu sendiri dibentuk untuk membatasi 3 jenis praktik
persaingan usaha, yakni:
a. Kartel
b. Monopoli
c. Praktik persaingan usaha tidak adil.
Adapun kategori lain yang juga diatur oleh AML ialah praktik
mengenai merger dan akuisisi. Pada kategori merger dan akuisis ini
bahkan diberlakakukan undang-undang khusus yang berdampingan
26 Toshiaki Takigawa, The Prospect of Antitrust Law and the policy in The Twenty First
Century:in Reference to the Japanesse Anti Monopoly Law and Japan Fair Trade Comission,
Washington University Global Studies Law Review, Vol 1, 2002, h. 277.
28
melengkapi AML, yakni the Law to Regulate Unreasonable Premium and
Unreasonable Delav in Payment of Subcintractors and Related Matters.
Dimana instrument hukum ini masih berlaku sampai sekarang.27
Dalam konteks sejarah hukum persaingan usaha di Indonesia, lahir
pada saat terjadi nya perkembangan di sektor bisnis yang dikelola swasta
sebagian besarnya merupakan sebuah refleksi daeri perwujudan persaingan
usaha tidak sehat.28 Posisi monopoli hadir dikarnakan fasilitas yang
diberikan pemerintah29 (salah satunya melalui tata niaga) beserta jalur lain
yakni, praktek bisnis yang tidak sehat (unfair business practices)
contohnya: persekongkolan untuk menetapkan harga (price fixing) melalui
perjanjian terlarang (kartel).30 Melahirkan mekanisme dan juga sistem
yang mencegah adanya kompetsi yang sehat hinga adanya hambatan untuk
memasuki pasar.31 Dan lahirnya penyatuan baik secara horizontal maupun
vertical.
Pemilik sektor privat yang akrab dengan elit oligarki diberikan
berbagai keistimewaan dan akses yang berlebihan32 atas dasar untuk
memproteksi “industry bayi”. Dimana pada saat itu industry bayi
dimaksudkan sebagai jenis aktivitas bisnis yang baru muncul atau sedang
di bangun di Indonesia. Proteksi ini diberi negara terhadap jenis aktivitas
bisnis yang bersangkutan supaya insvestor berkeinginan menaruh
27 Mitsuo Matshusita, Reforming the Enforcment of the Japanesse Antimonopoly law,
Loyola University Chicago Law Journal h. 523. 28 Penjelasan Undang-Undang Bagian Umum UU No.5/1999. 29 Ahmad Yani dan Gunawan Wijaya, Anti Monopoli, cet.1.(Jakarta: Raya Grafindo
Persada, 1999), h.7. 30 Kartel adalah Persekutuan antara perusahaan industri yang menghasilkan komoditas
yang sama (swasta atau BUMN), untuk mengatur pembelian, produksi atau pemasaran komoditas
bersangkutan. Sering disertai dengan penetapan kuota produksi dan investasi. Jika persekutuan tersebut menghasilkan kekuatan monopoli, maka ia akan berusaha menaikan harga dan membatasi
pasokan untuk memperoleh laba maksimal. 31 Barrier to entry adalah hambatan yang dibuat untuk mencegah masuknya pesaing
potensial, barrier to entry ini biasa dilakukan melalui perizinan usaha dari pemerintah 32 hal ini terjadi menurut karena adanya prilaku individu ataupun perusahaan tertentu
(oknum) yang mempengaruhi kebijakan pemerintah, untuk kepentingan sendiri atau juga dapat
dikatakan sebagai rent seeking behavior, dikutip dari A Tony Prasetiantono, Agenda Ekonomi
Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), h. 305.
29
modalnya pada jenis industri tersebut33 dimana terdapat pula alasan lain
yakni “demi stabilisasi harga”34
Lahirnya konglomerasi dan gabungan pengusaha kuat yang tidak di
topang dengan nawacita kewirausahaan sejati, alih-alih hanya bertopang
pada fondasi hutang tanpa di imbangi dengan pembaharuan kreativitas.35
Yang dimana kreativitas itu sendiri mendukung kinerja pengusaha di
dalam menggerakan badan usaha. Hal ini melahirkan dampak landasan
dasar ekonomi Indonesia menjadi lemah36 dan tidak bisa berkompetisi.
Dalam menggodok sebuah kebijakan, pemerintah selaku pemangku
kepentingan seharusnya mendukung atmosfer usaha yang sehat37, adil dan
sarat kompetisi. Sehingga mendukung adanya peluang yang adil bagi
setiap masyarakat untuk berperan dalam mekanisme produksi, distribusi
barang dan jasa. Namun realita di lapangan justru saling kontradiktif .
pemerintah justru melahirkan iklim persaingan usaha yang destruktif dan
tidak kompetitif dengan cara pembentukan dan penggarapan kebijakan
yang hanya memberi profit bagi segelintir pihak tertentu yang
menyebabkan lahirnya praktik monopoli.
Rangkaian bukti dan kejadian di lapangan memperlihatkan negara
memiliki peran dominan sehingga menyebabkan adanya praktik monopoli
dalam iklim persaingan usaha di saat itu, seperti:
1. Negara mengeluarkan izin satu perusahaan unuk mendominasi
pangsa pasar di atas ambang batas 50% dalam satu produk,
33 Sutan Remy Sjahdeini, “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat,” Jurnal Hukum Bisnis(Volume 10, 2000) , h. 4. 34 Banu Astono, “Gejolak Rupiah Menyingkap Keropos industri Nasional,” KOMPAS (22 Agustus
1997), h. 17. 35 Djisman S. Simanjuntak, “Bisnis Indonesia 2020: Terbuka dan Kompetitif” dalam
Indonesia 2020: Wawasan Ekonomi, Sosial Budaya, dan Politik. Hadi Soesastro dan Iwan P.
Hutajulu, ed.,(Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1996). H. 28 36A. Tony Prasetiantono, Keluar dari Krisis: Analisis Ekonomi Indonesia (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2000), h.179 37 Sjahrir, Meramal Ekonomi Indonesia di Tengah Ketidakpastian (Jakarta; Gramedia
Pustaka Utama, 1995), h.256.
30
contoh: PT Indofood yang mendominasi bidang makanan jenis
mie instan di Indonesia lebih dari 50%.38
2. Negara secara sengaja melahirkan barrier to entry yang
ditujukan bagi pelaku usaha baru pada aktivitas bisnis khusus,
contoh: Kebijakan Mobil Nasional39
3. Negara membagikan sebuah privillage (keistimewaan) berupa
proteksi terhadap aktivitas bisnis yang berada di hulu yang
menciptakan benda khusus menggunakan mekanisme kenaikan
bea loading barang yang sama hasil diimpor dari luar negeri,
contoh: perlindungan terhadap PT Chandra Asri40
Keadaan demikian tercipta disebabkan pembangunan ekonomi di
Indonesia mengutamakan perumbuhan ekonomi, maka, seluruh kebijakan
yang diibuat, dikaji dan dikelola haruslah menyokong kepentingan
pertumbuhan ekonomi tersebut.
Badan-badan usaha baik yang dikelola oleh pemerintah maupun
dikelolah oleh swasta diberikan kebebasan akses untuk membangun
bisnisnya melalui pinjaman baik dari instansi keuangan asing ataupun
lembaga keuangan domestik tanpa adanya tenggat waktu, kontrol beserta
regulasi yang jelas dari pemerintah. akibat fatal yang ditimbulkan
terjadinya krisis moneter yang menyebabkan terdepresiasinya nilai mata
uang rupiah kepada mata using asing terutama dollar dan hal ini lah yang
akhirnya membuka kondisi asli betapa buruknya kegiatan usaha di NKRI.
38 Partnership for Business Competition, Persaingan Usaha: Potret Beberapa Pasar di
Indonesia, (Laporan penelitian disampaikan pada seminar sehari Partnership for Business
Competition, Jakarta, Juli, 2000),Lihat Bisnis Indonesia, “ 8 Perusahaan diduga lakukan
monopoli,” (20 Desember 2000)., h. 18-19. 39 Yose Rizal dan Pande Radja Silalahi, Industri Mobil Indonesia: Suatu Tinjauan dalam
Transformasi Industri Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas, cet.1. Marie Pangestu, Raymon
Atje dan Julius Mulyadi, ed., (Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1996), h.200-
203. 40 Abdul Hakim G. Nusantara dan Benny K. Harman, Analisa dan Perbandingan
Undang-Undang Antimonopoli: Undang-Undang larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat (Jakarta : Elex Media komputindo, 1999) , h. 19-20
31
Pada akhirnya memaksa negara agar segera menata ulang
penyelenggaraan aktivitas bisnis di Indonesia yang sempat salah dan
menyimpang di masa lalu. Dengan tujuan agar dunia usaha dapat
berkembang subur, stabil, berimbang dan terhindar dari adanya sentralisasi
kekuatan pasar yang berpusat pada segelintir orang dan pihak tertentu
seperti dalam wujud praktik monopoli, kartel ataupun persaingan usaha
tidak sehat lainnya yang berpotensi merusak tatanan ekonomi Negara,
serta bersebrangan dengan nawacita keadilan sosial sebagaimana
termaktub dalam Pancasila.
Selain adanya gejolak dan tekanan dari dalam negri untuk segera
membenahi iklim persaingan usaha dari luar tekanan pun juga datang dari
pihak luar, dimana IMF yang dikala itu merupakan pihak yang bersedia
memberikan bantuan di dalam menganggulangi krisis yang terjadi di
Indonesia memberikan sebuah syarat berupa strategi inovasi struktural,
termasuk di dalamnya meminimalisir regulasi kegiatan yang terjadi di
dalam negri, yang bermaksud merombak aktivitas bisnis dengan anggaran
tinggi di Indonesia sehingga bertransformasi menjadi kegiatan ekonomi
yang lebih inklusif, dan kompetitif.
Maka dari itu dalam rangka memerangi praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat yang merusakan tatanan ekonomi Negara dan
bertentangan dengan Pancasila beserta adanya berbagai tekanan dan
gejolak baik dari dalam maupun dari luar yang akhirnya melatarbelakangi
lahir Undang-undang Persaingan Usaha no 5 tahun 1999.
4 Sengketa
Suatu kondisi pihak yang merasa dicederai oleh pihak lain, yang
dimana pihak tersebut meenyuarakan keresahannya kepada pihak kedua.
Apabila kondisi memperlihatkan perbedaan pendapat, maka terjadi lah
sengketa. Dalam konteks hukum khususnya hukum kontrak, sengketa
memiliki definisi; perselisihan yang timbul dari para pihak disebabkan
32
adanya peingkaran terhadap kesepakatan yang sudah teralisasi dalam
wujud kontrak, baik separuhnya ataupun secara utuh. Ataupun dengan
istilah lain telah timbul wanprestasi oleh seluruh atau salah satu pihak.
5 Globalisasi
Globalisasi adalah fenomena indepndensi antara satu bangsa
dengan bangsa lain, antara satu individu dengan individu lain melalui
aktivitas jual-beli, ekspedisi, pariwisata, pertukaran budaya, informasi, dan
interaksi yang masif sehingga kaburnya batas-batas negara.
6 Single Economic Entity
Merupakan doktrin yang menafsirkan bahwa relasi antar induk
perusahaan maupun anak cabang beserta pemegang saham mayoritas
berada pada satu kesatuan entitas ekonomi yang tidak saling berpisah.
7 Separate Legal Entity
Doktrin yang menyatakan bahwa di dalam perusahaan pemegang
saham, direksi beserta anak dan induk perusahaan merupakan identitas
yang terpisah satu sama lain.
B. Kerangka Teori
1 Teori Kewenangan
Secara konseptual terminologi “kewenangan” atau
“wewenang” dalam bahasa belanda diketahui sebagai “bevoegdheid”
(wewenang atau berkuasa) teori ini bertujuan untuk menganlisis peran
KPPU selaku lembaga negara yang dimandatkan oleh presiden dan
undang-undang di dalam menciptakan terselenggaranya persaingan
usaha yang sehat sebagaimana hal tersebut adalah marwah utama
undang-undang nomor 5 tahun 1999.
33
Lebih lanjut wewenang dan kewenangan menyandang makna
yang lebih luas, dalam hukum publik wewenang berkorelasi dengan
kekuasaan formal yang menjadi otoritas eksekutif, legislative dan
yudikatif. Kekuasaan adalah unsur yang essensial dari adanya
kegiatan pemerintahan dalam suatu Negara disamping unsur-unsur
penyokong lainnya seperti: hukum kewenangan (wewenang),
kebajikan, kejujuran, keadilan, kebijakbestarian, dan kebijakan.41
Pendapat lain yang memuat mengenai kewenangan dan
wewenang dijabarkan lebih lanjut oleh Ateng Syafrudin.42Dimana
kewenangan (authority, gezag) dimaknai sebagai kekuasaan formal
yang dimandatkan oleh hukum positif berupa undang-undang. Namun
Berbeda dengan kata wewenang yang hanya dimaknai berupa unsur
yang hadir di dalam sebuah kewenangan.
Wewenang melingkupi tindakan hukum publik, membuat
keputusan pemerintah, beserta wewenang ketika pelaksanaan tugas
yang wewenang utamanya ditetapkan oleh undang-undang.
Sehingga dapat dikatakan kewenangan memiliki perbedaan
makna dibandingkan wewenang dimana kewenangan ialah kekuasaan
formal berdasar dari hukum tertulis yang berlaku sedangkan
wewenang merupakan kekhususan tertentu dari sebuah kewenangan.
2 Teori Kepastian Hukum
Kepastian merupakan keadaan yang kongrit, dan bersifat
ketetapan. Secara mendasar hukum menjamin adanya kepastian dan
keadilan. “Pasti” yang dimaknai sebagai acuan dasar kelakuan dan
adil dikarenkan acuan dasar kelakuan itu menyokong satu landasa
41 Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, (Yogyakarta:Univesitas Islam
Indonesia), 1998, h. 37. 42 Ateng Syarifufudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintah Negara yang Bersih
dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justitia Edisi IV , Bandung, Universitas Parah
yangan, 2000, h. 22.
34
yang dianggap lazim. Hanya karna bersifat adil dan di
implementasikan dengan pasti hukum dapat berfungsi secara
maksimal. Kepastian hukum merupakan bagian dari pertanyaan yang
hanya bisa direspon secara normatif bukan sosiologi.43
Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sekumpulan
norma yang membentuk sistem. Norma adalah pernyataan yang di
garisbawahi oleh aspek “seharusnya” atau das sollen yang
menyertakan sekumpulan peraturan tentang kewajiban yang harus
dilakukan. Norma-norma adalah kumpulan produk dan saksi manusia
yang deliberative. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang
bersifat general menjadi acuan bagi individu dalam menentukan sikap
dalam hubungan bermasyarakat (kolektif) maupun tindakan terhadap
individu. Adapun aturan itu dan pelaksanaan turunannya tersebut
haruslah memiliki kepastian hukum.44
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
1. Skripsi yang ditulis oleh Kristian Hutapea.45
Dalam skripsi ini membahas Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) yang merupakan institusi mandiri yang dimandatkan
untuk mengawasi dan menangani berjalannya Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. Adapun kewenangan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha adalah wilayah hukum Negara Republik Indonesia.
43 Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami,
Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010), h.59. 44 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta:Kencana, 2008), h. 58. 45 Kristian Hutapea, Penerapan Prinsip Ekstrateritorialitas dalam Penegakan
Hukum Persaingan Usaha (Studi Putusan KPPU Nomor: 7/KPPU-L/2007 tentang Kasus
Temasek), Skripsi Fakultas Hukum, Universitas Sumatra Utara, 2018, h.80.
35
Persamaanya skripsi ini sama sama membahas kasus putusan
temasek yang diputus KPPU menggunakan prinsip ekstrateritorial
namun yang menjadi pembeda di dalam penelitian ini tidak hanya
meneliti putusan KPPU pada kasus holding namun juga tender
(persekongkolan) dan juga akusisi (pengambilalihan)
2. Jurnal yang ditulis oleh M. Irfan Islami Rambe.46
Dalam jurnal ini membahas mengenai membahas tentang
kedudukan hukum Perusahaan Dalam Negeri “PMDN” setelah
Sahamnya dibeli (Diakuisisi) oleh warga negara asing atau badan
hukum asing. Penulisan makalah ini menggunakan metode tinjauan
literatur (library research). Pembelian saham secara akuisisi pada
peruasahaan bukan PMA oleh warga negara asing atau badan hukum
asing dapat dilakukan dengan memperhatikan anggaran dasar serta
UndangUndang Perseroan Terbatas. Akusisi yang dilakukan terhadap
perusahaan bukan PMA ini tentunya harus dapat memperhatikan
persetujuan atau izin-izin oleh instansi terkait dalam hal ini BKPM,
BPDPPM, BPDKPM, dan memperhatikan Perpres No. 39 Tahun 2014
yang mana didalamnya mengatur tentang besaran saham (% saham)
yang dapat dimiliki oleh warga negara asing maupun badan hukum
asing, serta bentuk usaha apa yang di perbolehkan menggunakan
modal asing tersebut.
Akibat hukum dari akuisisi yaitu beralihnya hak dan kewajiban
suatu perusahaan yang diakuisisi kepada pengakuisisi dalam
pengambilalihan (akuisisi) biasanya pihak pengakuisisi memiliki
ukuran yang lebih besar maupun lebih kecil dibanding dengan pihak
46 M. Irfan Islami Rambe, KEDUDUKAN HUKUM PERUSAHAAN DALAM NEGERI
“PMDN” SETELAH SAHAMNYA DIBELI (DIAKUISISI) OLEH WARGA NEGARA ASING ATAU BADAN HUKUM ASING, Jurnal Pionir LPPM Universitas Asahan , Januari-Juni 2018,Vol. 2, N0.4, h 20.
36
yang diakuisisi. Dengan lebih besarnya pengambilalihan pihak
pngakuisisi dalam Perseroan Terbatas sangat berpengaruh dengan
pengendalian Perseroan terbatas.
3. Jurnal yang ditulis oleh Meita Fadhilah.47
Dalam jurnal ini membahas adanya usaha pemerintah dalam
mengupayakan penegakan hukum persaingan usaha dengan melahirkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Eksistensi Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini pada kenyataan yang tetap
memunculkan permasalahan hukum salah satunya dalam bidang
pelaksanaan kerangka ekstrateritorial.
Persamaannya jurnal ini memiliki paradigma yang sama
bagaimana sempitnya penalaran pada undang-undang nomor 5 tahun
1999 mendefinisikan pelaku usaha yang memunculkan problema di
dalam kerangka ekstrateritorial namun yang membedakan manakala
putusan yang dikeluarkan KPPU turut serta menyeret perusahaan asing
di sebagai aktor utama dalam kasus persaingan usaha lintas Negara
Namun jurnal ini hanya menyoroti kasus persaingan usaha
lintas Negara pada bidang akuisisi (pengambilalihan) saja sedangkan
penelitian ini menyoroti kasus persaingan usaha lintas Negara pada
bidang kartel dan juga kepemilikan saham mayoritas.
4. Artikel Ilmiah yang ditulis oleh Beta Wulansari dan Adi
Sulistiyono
47 Meita Fadhilah, Penegakan Hukum Persaingan Usaha Tidak Sehat Oleh Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Dalam Kerangka Ekstrateritorial, Jurnal Yayasan Wuridika, Maret 2019, Vol. 3, No.1,h.14
37
Dalam artikel ilmiah ini membahas fenomena terkini terkait
perkembangan dalam sektor bisnis yakni akuisisi lintas Negara yang
dilakukan oleh badan usaha asing terhadap badan usaha dalam negri
dalam perspektif hukum penanaman modal. Hasil dari penelitian dalam
artikel ini menunjukan bahwa tindakan dalam strategi bisnis berupa
akuisisi lintas Negara yang dilakukan oleh suatu badan usaha terhadap
badan usaha asing diluar dari yursidiksi negaranya mewajibkan badan
usaha terkait tunduk kedalam hukum Negara yang menjadi sasarannya
melakukan kegiatan akuisis tersebut.
Perbedaan di dalam artikel ilmiah ini dengan penulisan skripsi
adalah artikel ini menulis dan meneliti fenomena akusisi lintas negara
melalui kacamata perspektif hukum penanaman modal yang berlaku di
Indonesia sedangkan skripsi yang diteliti oleh peneliti adalah
menganalisis fenomena terkait akusisi lintas Negara oleh badan usaha
asing terhadap badan usaha dalam negri yang dimana memunculkan
potensi tindakan persaingan usaha tidak sehat dalam perspektif hukum
persaingan usaha di Indonesia.
Persamaan dalam artikel ilmiah ini dengan penulisan skripsi
sama-sama menunjukan hasil penelitian baik dalam ranah hukum
persaingan usaha tidak sehat dan hukum penanaman modal sama-sama
belum mengatur secara komperhensif baik mekanisme pelaksanaan
akuisis lintas Negara maupun dampak akan adanya persaingan usaha
tidak sehat dari adanya kegiatan akuisis lintas Negara.
5. Jurnal yang ditulis oleh Baiq Ervinna Sapitri
Jurnal ini membahas mengenai kewenangan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha dalam penanganan perkara persaingan usaha
dimana di dalam jurnal terdapat adanya studi komparasi kewenangan
lembaga terkait di dalam penegakan hukum persaingan usaha di
Negara-negara yang menganut sistem hukum Common Law.
38
Perbedaan di dalam jurnal ini dengan penelitian dalam skripsi
adalah penelitian ini meneliti secara khusus kewenangan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha dalam melakukan penggeledahan dimana
terkait kewenangan tersebut terdapat adanya. Perbedaan di dalam
jurnal ini dengan penelitian dalam skripsi adalah penelitian ini meneliti
secara khusus kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam
melakukan penggeledahan dimana terkait kewenangan tersebut
terdapat adanya kesenjangan antara aspek realitas dengan norma
hukum yang berlaku sedangkan di dalam penelitian skripsi ini
membahas mengenai efektivitas Komisi Penagawas Persaingan Usaha
di dalam memindak lanjuti kasus persaingan usaha lintas Negara yang
melibatkan badan usaha asing beserta kewenangan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha di dalam menggunakan indirect evidence atau bukti
tidak langsung, dimana penggunaan hal ini belum diatur oleh undang-
undang persaingan usaha yang berlaku di Indonesia.
Persamaan jurnal ini dengan penelitian skripsi hasil penelitian
menunjukan bahwasanya diantara aspek realitas kewenangan dan
kinerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam menegakan hukum
persaingan usaha belum diatur secara komperhensif dengan norma
hukum positif yang berlaku.
39
BAB III
PERAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DALAM
MEMUTUS SENGKETA PERSAINGAN USAHA LINTAS NEGARA
YANG MELIBATKAN BADAN USAHA ASING.
A. Efektivitas Komisi Pengawas Persaingan Usaha Dalam
Memeriksa, Mengadili dan Memutus Perkara Persaingan Usaha
Lintas Negara.
Impelementasi hukum persaingan usaha merupakan
kewajiban setiap Negara yang menganut sistem ekonomi
kontemporer. Hampir seluruh Negara yang menganut sistem
ekonomi demikian walaupun tidak dengan formulasi legislasi
khsusus, nyatanya telah mengimplementasikan hukum persaingan
usaha. Sejatinya memang gelombang pembentukan baru terjadi di
banyak Negara maju baru terjadi tahun 1980-an menyusul adanya
agenda liberalisasi aktivitas jual beli di dunia.48
Kehadiran Negara dalam perannya di bidang hukum
termasuk hal-hal yang bersinggungan dalam bidang perdata di
laksanakan selama ada kelompok rentan dan lemah yang sekiranya
sangat berurgensi untuk diberikan proteksi supaya tidak terjadi
praktik eksploitasi oleh kelompok yang dominan.49
Sebagaimana sejarah Indonesia di masa lampau
menggambarkan latar belakang krisis moneter yang mengguncang
perekonomian Negara disaat itu, disebabkan oleh adanya monopoli
usaha yang berpusat di industri tertentu dan menyadarkan akan
diperlukannya reformasi hukum yang mengatur adanya perbaikan
ekonomi, direalisasikan dengan dilahirkannya undang-undang
mengenai anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
48 Abdul Hakim G. Nusantara, Litigasi Persaingan Usaha (Tangerang: Telaga Ilmu
Indonesia, 2010), h. 59 49 K. Harjono Dhaniswara, Pemahaman Hukum Bisnis Bagi Pengusaha (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2006), h. 103
40
Tidak cukup dengan hanya melahirkan undang-undang saja
untuk menanggulangi perkara yang muncul di dalam aktivitas bisnis
di Indonesia di bentuklah Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU).
Dalam ranah ketatanegaraan KPPU merupakan institusi
Negara kompelementer atau yang dikenal dengan istilah (state
auxiliary organ)50. Lembaga Negara komplementer merupakan
lembaga yang lahir diluar dari konstitusi dan merupakan lembaga
yang mendukung tugas lembaga Negara utama yang dikenal sebagai
lembaga independen semu Negara (quasi). Dimana fungsi lembaga
quasi sangat essensial sebagai upaya responsive bagi Negara-negara
yang tengah berada di transisi dari otoriterisme ke demokrasi51
KPPU itu merupakan suatu lembaga Negara yang dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 75 tahun 1999 tentang
Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Sebagai institusi yang dimandatkan dalam Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, KPPU memiliki fungsi tugas yang
kompleks dan menyuluruh di dalam mengontrol dan menyelidik
adanya praktik monopoli tidak sehat dalam dunia bisnis. Pada
dasarnya praktik monopoli lahir di akibatkan semakin massive-nya
kegiatan jual-beli dalam segala bidang dengan variasi strategis di
dalam mejuarai kompetisi antar kompetitor52
Konteks kewenangan KPPU itu sendiri tidak hanya berupa
kontrol terhadap praktik monopoli namun juga termasuk proses
pemeriksaan adanya indikasi praktik persaingan usaha tidak sehat
50 Jimly Ashddiqiie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta:Tim Konpress), 2006, h.145. 51 Andi Fahmi Lubis, et. Al, Hukum Persaingan Usaha Atara Teks dan Konteks,
(Jakarta:ROV Creative Media, 2009), h.312. 52 Rai Mantili, Hazar Kusmayanti, Anita Afriana, Problematika Penegakan Hukum
Persaingan Usaha di Indonesia dalam Rangka Menciptakan Kepastian Hukum, PJIH: Padjadjaran
Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3 Nomor 1 (Tahun 2016), h. 117
41
yang dilakukan oleh pelaku usaha. Disamping itu juga berwenang
sebagai pemberi keputusan. Sepak terjangya di dalam menegakan
hukum persaingan usaha membuat keberadaan KPPU menjadi
ditakuti oleh para pelaku usaha dan KPPU sebagai sebuah komite
yang dinisiasi pemerintah dalam memberikan pengabdiaan kepada
masyarakat yang berupa layanan (public service) telah
melaksanakan kewajibannya.53
Pada dasarnya KPPU adalah lembaga pengawas pelaksanaan
undang-undang anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
bukan lembaga penegak hukum dalam bidang pidana seperti jaksa
atau polisi yang memiliki kuasa dan wewenang untuk membawa
tersangka memberi kesaksian di pengadilan .
Tetapi, di dalam memahami pasal 36 Undang-undang Nomor
5 Tahun 1999 yang menegaskan kewenangan KPPU sebagai
penyidik dan penyelidik yang dilakukan oleh KPPU merupakan
kewenangan yang berada di yurisdiksi hukum pidana, sering kali hal
ini dijadikan pembenaran bagi KPPU ketika meneliti,serta
mengungkap kebenaran materiil bagi para pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran persaingan usaha sebagaimana yang
tercantum dalam Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999.54
Di dalam penegakan hukum persaingan usaha merupakan
kewenangan KPPU. Namun melihat pada perspektif yang lebih luas
bukan berarti tidak ada lembaga lain yang juga turut serta berperan
di dalam penegakan hukum persaingan usaha tersebut. Sebut saja
Pengadilan Negri (PN) dan juga Mahakamah Agung (MA) juga
memiliki peran dan wewenang dalam ranah menegakan hukum
persaingan usaha yang berwujud mengadili tindakan persaingan
53 Isis Ikhwansyah, Hukum Persaingan Usaha Dalam Implementasi Teori dan Praktik
(Bandung: UNPAD PRESS, 2010), h. 12. 54 Rai Mantili, Hazar Kusmayanti, Anita Afriana. Problematika Penegakan Hukum
Persaingan Usaha di Indonesia dalam Rangka Menciptakan Kepastian Hukum. PJIH: Padjadjaran
Jurnal Ilmu Hukum Volume 3 Nomor 1 (Tahun 2016), h. 18.
42
usaha seperti monopoli, kartel dan lain-lain. Pengadilan Negri diberi
kuasa untuk menyelesaikan adanya keberatan terhadap putusan
KPPU dan menagani munculnya indikasi pelanggaran hukum
persaingan yang masuk ke dalam ranah pidana karna kelalaian tidak
menjalankan putusan KPPU yang sudah tetap atau in kracht. Sistem
pengadilan di Indonesia sejatinya berjenjang apabila putusan yang
sudah diputus oleh Pengadilan Negri tidak memuaskan bagi salah
satu pihak masih ada jalan lain yakni pengajuan kasasi ke
Mahkamah Agung.
Mengenai struktural kelembagaanya KPPU itu sendiri
tersusun atas seorang pimpinan sekaligus sebagai anggota, wakil
pimpinan sekaligus anggota dan setidak-tidaknya tujuh orang
anggota lainnya. Pimpinan dan wakil pimpinan komisi ditunjuk dari
dan oleh anggota komisi. Keseluruhan anggota Komisi ini ditunjuk
dan ditangguhkan masa kerjanya oleh kepala Negara (Presiden)
dengan izin dari parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat. Adapun
masa kerja KPPU ini hanya 2 (dua) periode dengan masing-masing
periode selama 5 (lima) tahun.55
Di keseluruhan wewenang beserta tugas pokok dan fungsi
KPPU di dalam pasal 35 dan 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat melegitimasi bahwa segala tindak-tanduk pelaku usaha
yang melanggar Undang-undang tersebut menjadi kewenangan
KPPU di dalam menanganinya. KPPU memiliki wewenang
melaksanakan pemeriksaan lebih lanjut, melaksanakan fungsi
penyelidikan dan penyidikan, hingga memformulasi sebuah putusan
yang nantinya dibaca dan dinyatakan secara terbuka di muka publik
dan segera di beritahukan kepada pelaku usaha yang terbukti
membuat pelanggaran terkait monopoli. Adapun putusan KPPU ini
55 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli, Cetakan
Kedua, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2000), h. 53.
43
wajib dilaksanakan dan pelaku usaha yang terbukti tindakannya
wajib memberikan uraian pelaksanaanya kepada komisi.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sejatinya
berorientasi terhadap prinsip territorial. Hal ini terwujud dari perihal
menerjemahkan pengertian “perjanjian” yang terdapat pada Pasal 1
angka 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang berisi:
“perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih
pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis,
maupun tidak tertulis”.
Sebagaimana prinsip territorial ini juga berlaku di dalam
fondasi dasar dan tujuan hukum undang-undang persaingan
usaha yang hanya berakar dan berorientasi kepada keadaan dan
kepentingan secara domestik. Prinsip territorial pun juga terjadi
di dalam menerjamahkan aktor pelaku persaingan usaha dimana
pada konteks ini subjek pelaku usaha menjadi penting
dikarnakan subjek tersebutlah yang menentukan suatu hukum
dapat berlaku dan sejauh mana KPPU memliki kewenangan di
dalam mangadili perkara praktik persaingan usaha tidak sehat.
Mengenai konteks definisi pelaku usaha di undang-
undang persaingan usaha pasal 1 ayat 5 memberikan definisi
berupa:
“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan
atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum
atau badan bukan hukum yang didirikan dan berked
udukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
44
bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan
berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi”
Dari definisi pelaku usaha di atas dapat ditafsirkan pihak
yang dapat dikatakan pelaku usaha adalah badan usaha yang
berdomisili, berkedudukan dan melakukan kegiatan di Indonesia.
Apabila kita mengkaitkan mengenai asas dan tujuan
KPPU dan juga kedua pasal yakni pasal 1 angka 5 dan pasal 1
angka 7 yang mendefinisikan perjanjian dan pelaku praktik
persaingan usaha yang melakukan kegiatannya di dalam wilayah
kedaulatan Negara Republik Indonesia maka dapat dikatakan
lanadasan dasar penyusunan Undang-undang Nomor 5 Tahun
1999 adalah Prinsip Teritorial.56
Namun, Melihat pada perkembangan kasus persaingan
usaha yang ada sejatinya landasan dasar penyusunan yang hanya
meliputi pelaksanaan kegiatan usaha dan pelaku usaha yang
berkedudukan di Indonesia, tersebut telah memberikan limitasi,
hingga berdampak pada peran KPPU di dalam menjatuhkan
putusannya keluar dari norma hukum yang ada berupa,
diputusnya secara bersalah para pelaku usaha yang
berkedudukan di luar wilayah Negara Republik Indonesia.
Sebut saja pada kasus Temasek Holdings dimana pada
perkara tersebut KPPU memutus bersalah Singapore
Technologies Telemedia Pte. Ltd., STT Communication Ltd.,
Asia Mobile Holding Company Pte. Ltd., Singapore
Telecommunication Ltd., dan Singapore Telecom Mobile Pte.
Ltd dimana ke 5 badan usaha ini berkedudukan diluar Indonesia
tepatnya di Negara Singapore.57
56 Ahmad Alfa Oktaviano, Dampak Prinsip Ekstrateritorialitas terhadap Regulasi Merger,
Konsolidasi, dan Akuisisi dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, http://www.lib.ui.ac.id/
naskahringkas/2016-06/S56456-Ahmad%20Alfa%20Oktaviano, diakses tanggal 2 Februari 2019. 57 Halaman 1 putusan perkara nomor: 07/KPPU-L/2007.
45
Adapun semisal pada perkara lain dalam kasus
penyelahgunaan posisi dominan obat-obatan tahun 2010 dimana
mengenai kartel pasal 16 mengenai 16 mengenai perjanjian dengan pihak luar negri dan pasal 25 ayat 1 huruf a memuat mengenai pelarangan pelaku usaha menggunakan posisi dominan untuk menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas.
diakses pada: 21 september 2020. 69 Sebagimana pasal 29 memuat aturan mengenai : Penggabungan atau peleburan
badan usaha, atau pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 yang berakibat nilai aset dan atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan atau pengambilalihan tersebut.
55
Persaingan Usaha)
c. Memerintahkan Terlapor melakukan pembayaran
denda, melaporkan dan menyerahkan salinan bukti
pembayaran denda tersebut ke KPPU.70
Secara umum dapat di tarik kesimpulan di dalam
menyertakan badan usaha asing yang tidak ber-alamat di wilayah
negara Indonesia namun melakukan praktik monopoli atau
persaingan usaha tidak sehat sehingga berdampak pada iklim
persaingan usaha dan kondisi ekonomi di Indonesia, Komisi
Pengawas Persaingan Usaha memberi justifikasi berupa, badan
usaha asing tersebut sekira-kiranya mempunyai anak cabang
yang ada di Indonesia atau melihat pada putusan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha, badan usaha asing tersebut
merupakan pemilik saham dominan kepada badan usaha yang
beroperasi melakukan aktivitas bisnis secara langsung di
Indonesia.
Dapat dilihat pada ketiga putusan ini Komisi Pengawas
Persaingan Usaha mengedepankan doktrin single economic
entity. Doktrin ini sejatinya memang lumrah di gunakan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha di beberapa putusannya ketika
berhadapan dengan badan hukum asing selaku terlapor pada
praktik persaingan usaha tidak sehat.
Namun, perlu dicermati bahwasanya penerapan doktrin
Single Economic Entitiy seringkali bertabrakan apabila di
dudukan secara bersama-sama pada prinsip dasar badan hukum
sebagai entitas hukum yang terpisah (separate legal entity) hal
ini disebabkan badan hukum sebagai separate legal entity
memiliki corak utama berupa adanya pemisahan yang tegas
70 Putusan Perkara Nomor 17/KPPU-M/2015, h. 79.
56
antara pihak pihak sebagai pengelola perusahaan dengan
kekuasaan para pemiliknya.71
Terlebih lagi apabila dicermati beberapa pelaku usaha
yang terlibat didalam praktik persaingan usaha tidak sehat
merupakan badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas
yang memiliki karakteristik melakukan kegiatan usaha dengan
modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dimana dalam
hal ini pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi
atas perikatan yang dibuat atas nama PT dan tidak bertanggung
jawab atas kerugian PT melebihi nilai saham yang telah
diambilnya.72
Maka dari itu dapat disimpulkan terafiliasinya anak
perusahaan dengan sebuah induk raksasa perusahaan tidaklah
menghilangkan status dan kewajiban hukum yang melekat pada
anak-anak perusahaan. Di dalam konsepsi Single economic
Entity memang keseluruhan pihak yang berada di dalam
manajemen perusahaan baik pemegang saham, direksi, induk
perusahaan, anak perusahaan dipandang dalam satu relasi dan
satu entitas. Namun di dalam konsepsi doktrin Separate Legal
Entity Sebagai badan hukum, maka perusahaan cabang dan
perusahaan utama selaku induk serta pemegang saham dan
perusahaannya menyandang hak dan kewajibannya masing-
masing.
Kontradiksi antara penerapan doktrin Single Economic
Entity dengan prinsip dasar badan hukum yang mengedepankan
doktrin Separate Legal Entity juga mendapat sorotan dari
Sulistiowati, sebagaimana beliau berpendapat bahwa kedua
konsep ini telah menciptakan kontradiksi antara aspek yuridis
71 Don Hofstrand, Corporation, 2016.
www.extension.iastate.edu/agdm/wholefarm/pdf/c4-47.pdf, h. 04. Diakses pada 20 september
2019 72 Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Perseroan Terbatas.
Usaha No. 13 Tahun 2010 (PKPPU No. 3 tahun 2012) tentang
Pedoman Pelaksanaan tentang Penggabungan atau Peleburan
Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang
Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat mendalilkan bahwasanya Komisi
Pengawas Persaingan Usaha menerapkan extra territoriality
jurisdiction dengan meregulasi adanya keharusan proses
notifikasi untuk kegiatan merger atau akusisi yang di lakukan
oleh perusahaan asing di luar negri, jika proses merger tersebut
melahirkan dampak dekstruktif terhadap iklim persaingan usaha
di Indonesia, sebagimana lampiran tersebut berbunyi:
“Pada prinsipnya Komisi berwenang untuk
mengendalikan Penggabungan, Peleburan dan
Pengambilalihan yang mempengaruhi kondisi
persaingan pada pasar domestik Indonesia.
Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan asing
yang terjadi di luar wilayah yurisdiksi Indonesia tidak
menjadi perhatian Komisi selama tidak mempengaruhi
kondisi persaingan domestik. Namun Komisi memiliki
wewenang dan akan melaksanakan kewenangannya
terhadap Penggabungan, Peleburan dan
Pengambilalihan tersebut seandainya Penggabungan,
Peleburan dan Pengambilalihan tersebut mempengaruhi
pasar domestik Indonesia dengan memperhatikan
efektivitas pelaksanaan kewenangan yang dimiliki oleh
Komisi”80
Berdasarkan pada hal tersebut tergambar jelas bahwa
KPPU berusaha menormakan "effect doctrine” seperti yang
diadopis oleh hukum persaingan usaha di Amerika Serikat.
80 Peraturan KPPU No. 3 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha No. 13 Tahun 2010 (PKPPU No. 3 tahun 2012).
64
Meskipun, ditemukan adanya perbedaan fundamental antara
pembentukan norma hukum persaingan usaha di Indonesia
dengan Amerika Serikat. Adanya ketidak selarasan relasi
hubungan anak dan induk dalam suatu perusahaan sebagimana
yang sebutkan Undang-Undang Perseroan Terbatas nomor 40
tahun 2007, Peraturan KPPU No. 3 Tahun 2012 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha No. 13 Tahun 2010 (PKPPU No. 3 tahun 2012) tentang
Pedoman Pelaksanaan tentang Penggabungan atau Peleburan
Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham mengenai di
tegakannya prinsip ekstrateritorialitas dalam pengaturan merger
dan juga definisi pelaku usaha sebagaimana yang tertulis dalam
undang-undang nomor 5 tahun 1999 mengenai Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menunjukan sinyal
urgensitas untuk segera mereformasi ulang Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 hingga dapat mengakodomasi kebutuhan
tersebut guna penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia
kedepannya.
Dampak lain yang timbul akibat pendefinisian pelaku
usaha dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, nyatanya
berdampak kepada, keniscayaan untuk dapat diberikannya
hukuman terhadap badan usaha asing yang berkedudukan di luar
negara republik Indonesia, walaupun tindakan dan aktivitas
badan usaha asing tersebut secara tidak kasat mata berakibat
terhadap iklin bisnis dan menimbulkan praktik monopoli di
Indonesia. Bilamana, interpretasi pelaku usaha dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 di tuntut berlaku terhadap badan
usaha asing yang tidak berkedudukan di wilayah negara
Indonesia dan tidak memiliki anak perusahaan maupun anak
cabang dapat memicu adanya silang pendapat hingga penolakan
65
dari badan asing yang tersebut. Adapun, bentuk penolakan
tersebut dapat terlihat dari beberapa perkara.
Semisal pada kasus Toray Advanced Material Korea Inc,
Toray yang berpendapat bahwa Komisis Pengawas Persaingan
Usaha tidak mempunyai wewenang kepaadanya dikarnakan,
bukan termasuk badan usaha yang dilahirkan di Indonesia dan
melakukan aktivitas bisnis di Indonesia. Sebab apa yang
dilakukannya hanyalah melakukan investasi saham pada Indosat
dan Telkomsel.
Di dalam meyakinkan legalitas serta mengurangi
penolakan dari badan usaha asing yang tidak memiliki kantor
perwakilan dalam wilayah Republik Indonesia tetapi dapat di
kategorikan sebagai pelaku usaha sebagaimana sejalan dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, maka perlu diadakannya
reformasi definisi pelaku usaha dalam undang-undang tersebut.
United Nations Conference on Trade and Development
(UNCTAD) dalam Model Law on Competition, sebuah non-
binding code sebuah tatanan yang diformulasikan di dalam
menginstruksikan panduan pembentukan peraturan teknis dan
prinsip-prinsip dasar yang dianjurkan untuk diformulasikan
dalam sistem hukum persaingan usaha dalam bentuk:
a) Applies to all enterprises in regard to all their
commercial agreements, actions or transactions
regarding goods, services or intellectual property.
b) Applies to all natural persons who, acting in a
private capacity as owner, manager or employee of an
enterprise, authorize, engage in or aid the commission of
restrictive practices prohibited by the law.
Yang dimana kedua poin tersebut apabila di terjemahkan,
hukum persaingan usaha berlaku untuk semua perusahaan terkait
dengan semua perjanjian komersial, tindakan atau transaksi
66
mengenai barang, jasa atau kekayaan intelektual dan berlaku
untuk semua orang yang bertindak dalam kapasitas pribadi
sebagai pemilik, pengelola atau karyawan suatu perusahaan,
otorisasi,terlibat dalam atau membantu komisi praktik
pembatasan yang dilarang oleh hukum. Tidak ada batasan secara
territorial sehingga hukum persaingan usaha dapat dapat
ditegakan secara maksimal.
Adapun dalam Dalam Chapter II point (a),
“enterprises” atau pelaku usaha didefinisikan
sebagai: “firms, partnerships, corporations,
companies, associations and other juridical
persons, irrespective of whether created or
controlled by private persons or by the State,
which engage in commercial activities, and
includes their branches, subsidiaries, affiliates or
other entities directly or indirectly controlled by
them”
Serupa dengan interpretasi tersebut intrepretasi pelaku
usaha perlu memberi penegasan dan merinci secara kompleks
serta komperhensif termasuk di dalamnya: firma, kemitraan,
korporasi, perusahaan, asosiasi, dan terlibat di dalamnya cabang,
anak perusahaan, afiliasi atau entitas lain. Sehingga penerapan
prinsip ekstrateritorialitas tidak sokong menggunakan tafsir
doktrin single economic entity tetapi disokong yang memuat
norma hukum yang memberi ruang pengecualian doktrin
separate legal entity.
Di dalam melaksanakan putusan yang melibatkan badan
usaha asing dalam praktik persaingan usaha tidak sehat
kerjasama internasional menjadi sangat penting, seperti adanya
67
perjanjian bilateral dua Negara ataupun multilateral dengan
banyak Negara. Dikarnakan pada praktiknya, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha tidak dapat melakukan eksekusi dikarnakan
tidak mempunyai kumpulan aktiva pelapor yang berkedudukan
di luar negri. Praktik di lapangan memperlihatkan bahwa selama
ini KPPU bertindak dengan secara langsung melacak benda
termohon untuk di amankan dan disita. Terlebih dalam waktu
yang terbatas tidak mudah bagi Komisi Pengawas Persaingan
Usaha untuk mencari harta benda terlapor.
Di sisi lain proses eksekusi yang berunsur ekstateritorial
dimana melibatkan badan hukum asing tidak mudah dilaksankan
dikarnakan putusan pengadilan di Indonesia hanya memiliki
legalitas dan memiliki kekuatan eksekusi di dalam negara
Indonesia. Ketiadaan ketentuan dalam undang-undang yang
berlaku untuk mengeksekusi putusan di luar negri sangatlah
mustahil dilakukan, memandang eksekusi adalah bagian yang
sangat essensial dikarnakan penggugat mengharapakan putusan
pengadilan yang dapat memenangkan tuntutannya untuk dapat
dilaksanakan.
Maka dari itu kerjasama internasional menjadi komponen
yang sangat penting di dalam meningkatkan penanggulangan
perkara persaingan usaha yang efektif dan tepat guna. Dalam
kurun waktu terakhir Komisi Pengawas Persaingan Usaha telah
menjalani kerjasama internasional dengan sejumlah lembaga
persaingan usaha di region ASEAN/Asia Tenggara dan juga di
luar Asia Tenggara., contoh: Japan Federal Trade Commission
atau yang dikenal dengan JFTC Jepang, dan Korean Federal
68
Trade Commision atau KFTC, Korea. Dalam lingkup notifikasi,
pertukaran informasi.81
B.Studi Komparasi Prinsip Ekstarteritorialitas dalam Undang-
Undang Persaingan Usaha di Amerika Serikat
Penulisan ini pada khususnya menyorot pengaturan
subjek pelaku usaha yang belum secara komperhensif diatur
dalam Undang-Undang Persaingan Usaha Tidak Sehat. Subjek
hukum sangatlah penting dikarnakan ialah yang menjadi penentu
suatu hukum berlaku. Penerjemahan subjek hukum berupa
pelaku usaha dalam undang-undang berlaku, pasal 1 angka 5
yang mendefinisikan pelaku usaha adalah badan usaha yang
berkedudukan di Indonesia dengan rumusan demikian maka
undang-undang ini tidak bisa menjerat badan usaha asing yang
melakukan praktik persaingan usaha tidak sehat yang berdampak
pada perekonomian Indonesia. belumlah cukup untuk
mengakomodasi kepentingan penegakan iklim persaingan usaha
yang sehat di Indonesia untuk kedepannya.
Rumusan yang ada pada definisi pelaku usaha pada
undang-undang yang berlaku di Indonesia berbeda dengan
rumusan undang-undang persaingan usaha di Negara-negara
seperti: Uni eropa, Australia dan Amerika.
Melihat hal-hal yang diatur yang ada di Australia,
“apabila kegiatan pelaku usaha mempunyai dampak
81 Irma Ambarini, Isis Ikhwansyah, Pupung Faisal. 2018. CROSS-BORDER BUSINESS COMPETITION: KEABSAHAN DAN HAMBATAN PENERAPAN PRINSIP EKSTRATERITORIAL DALAM PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA. Bandung:Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3, h. 12.
69
terhadap persaingan di Australia, maka dapat diadili di
Australia”.82
Dalam ketentuan tersebut dapat terlihat bagaimana
undang-undang persaingan usaha di Australia memberikan ruang
untuk mengadili badan usaha asing yang melakukan praktik
persaingan usaha tidak sehat di Australia dikarnakan undang-
undangnya menerjemahkan pelaku usaha tidak hanya
berorientasi pada pelaku usaha di dalam Negaranya namun juga
diluar yurisdiksi negaranya.
Adapun melihat ketentuan subjek pelaku usaha dalam
undang-undang persaingan usaha di Negara-negara Asia seperti:
Singapura, Jepang dan Korea Selatan. Bahwa pihak yang dapat
dikenai hukum persaingan usaha bukan hanya pelaku usaha di
dalam negeri, namun, memiliki legalitas terhadap pelaku usaha
di luar negeri yang memiliki efek terhadap perekonomian
nasional.83
Berbicara lebih dalam mengenai studi komparasi prinsip
ekstrateritorial bahwa hukum Antitrust di Amerika juga
mengadopsi prinsip demikian dikarnakan undang-undang
memberikan wewenang untuk dapat menginvestigasi individu
maupun pihak tertentu tanpa memandang personal jurisdiksi dari
pihak tersebut.84
Dimana prinsip ekstrateritorial tersebut sudah digunakan
dalam Sherman acts 1890. Yang menegaskan mengenai
yurisdiksi atas perdagangan yang dilakukan dengan Negara-
negara asing.85 The Clayton and Federal Trade Commision Acts
juga memiliki ketentuan yang memberlakukan ketentuan
82 S.G. Corones, Competition Law In Australia, fourth Edition, 2007, h. 237. 83 Kurnia Toha, URGENSI AMANDEMEN UU TENTANG PERSAINGAN USAHA DI
INDONESIA: PROBLEM DAN TANTANGAN, Vol 49 no 1, 2019, h. 4.. 84 Phillip Areeda, Antitrust Analysis, third edition, 1981, h. 137-138. 85 Griffin, Extrateritoriality in US and EU Antiturt Enforcement. 67 Antitrust L.J 159
(1999), h. 85.
70
substantive untuk perdagangan terhadap antarnegara bagian yang
terdapat di dalam amerika serikat serta perdagangan yang
dilakukan dengan Negara-negara asing86. Lebih jauh lagi, prinsip
ekstrateritorial di Amerika Serikat disinggung dalam putusan
Alcoa Tahun 1945.87 Dimana Pengadilan Banding Amerika
Serikat (2nd Disctrict) menyatakan bahwa sesuai dengan dictum
Hakim Leraned Hand, dalam hal hukum persaingan, Amerika
Serikat memiliki yurisdiksi penuh terhadap segala kegiatan asing
jika kegiatan tersebut memiliki efek terhadap Amerika Serikat.88
Dalam konteks kelembagaan yang berwenang
menegakan hukum persaingan usaha di Negara amerika serikat
memiliki dua lembaga terpisah yakni kasus perkara persaingan
usaha pada ranah perdata yaitu FTC dan pada kasus perkara
persaingan usaha bidang pidana ditangani DOJ-AD, pemisahan
kelembagaan Negara ini dinilai lenih efisien dikarnakan ranah
pengadilan yang menangani kasus persaingan usahanya menjadi
lebih jelas,
Adapun otoritas yang dimiliki Federal Trade Commision
di dalam mengangani kasus Persaingan Usaha di Amerika
Serikat yaitu:89
1) Aksi preventif berupa pencegahan munculnya
sistem persaingan usaha ekslusif yang tidak
memiliki keadilan, beserta aktivitas yang
menagdung unsur kecurangan maupun penipuan
atau aktivitas yang berdampak pada aktivitas jual-
beli;
86 Canenbly, Enforcing Antitrust Against Foreign Enterprises. (Deventer:Kluwer, 1981),
h.7. 87 United States vs. Aluminium Co Of am. 148 F 2d416 (2d Cir.1945), h. 9. 88 Canenbly, Enforcing Antitrust Against Foreign Enterprises. (Deventer:Kluwer, 1981),
h.8. 89 Legal Resources, Statutes Relating to Both Missions, diakses dari www.ftc.gov, tanggal
15 September 2020
71
2) Pencarian ganti rugi dan pertolongan lain atas
aktivias yang merugikan pelanggan;
3) Menginformasikan aturan perundang-undangan
perdagangan dengan menjelaskan bentuk atkivitas
yang tidak adil maupun penipuan, dan
memberikan ketetapan kaidah pokok syarat-syarat
untuk menghalau tindakan tersebut;
4) Menjalankan pelacakan terkait dengan komunitas,
aktivitas jual beli, praktik, dan manajemen
perusahaan yang berjalan dalam lingkup
perdagangan:
5) menuliskan daftar dan rekomendasi legislatif
yang tertuju kepada kongres.
Adapun yang menjadi target pokok dan unsur yang
berbeda perihal kewenangan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha dan Federal Trade Comission yakni: yurisdiksi
kewenangan Komsisi Pengawas Persaingan Usaha terbatas pada
penegakan hukum persaingan usaha, sedangkan Federal Trade
Comission memiliki otoritas lain yakni memproteksi hal-hal
yang menjadi hak konsumen. Unsur yang berbeda lainnya di
antara masing-masing Federal Trade Comission dan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha, FTC dalam melakukan
penyelidikan terkait dengan komunitas, aktivitas dan menejemen
perusahaan memiliki otoritas untuk dapat melakukan
penggeledahan, dibdandingkan di Indonesia Komisi Penagawas
72
Persaingan Usaha tidak berotoritas secara mendiri dalam
melaksanakan penggeledahan. Adapun, Keputusan pengadilan
merupakan hal yang final dan tidak dapat di ganggu gugat,
dengan pengecualian hal serupa dapat ditinjau kembali oleh
Mahkamah Agung90
Tugas Biro dari Federal Trade Comission yang menyokong
penegakan persaingan usaha memiliki otoritas dan peran yang
tidak serupa, yakni91:
a) Biro Perlindungan Konsumen
Memproteksi konsumen dari adanya aktivitas
penipuan maupun tindakan curang yang dilakukan oleh
para pelaku usaha. Misalnya melalui strategi bisnis
berupa iklan yang ternyata mengandung unsur penipuan
dan atas suatu produk atau jasa dan atas klaim layanan
palsu.
b) Biro Ekonomi
Melakukan kolaborasi dan aksi kooperatif dengan
biro persaingan untuk menganalisis akan adanya dampak
atau efek ekonomi dari prakarsa pembuatan undang-
undang yang mengatur bidang persaingan usaha oleh
FTC. Contoh: regulasi pengumuman merger yang
berefek kepada aktivitas perdagangan tanpa hambatan
atau penetapan harga dari adanya praktik monopoli yang
berefek bagi keadaan perkeonomian secara makro.
c) Biro Persaingan.
90 Mac Davis, History of the US FTC, www.investopedia.com, diakses tanggal 27
November 2012, dalam Akira Mairilia, Perbandingan Peran Komisis Persaingan Usaha di
Amerika Serikat, Australia, Perancis, Jepang, Dan Indonesia dalam Penyelesaian Perkara
Persaingan Usaha”,(Tesis Universitas Indonesia, 2013), h. 30-31. 91 Mac Davis, History of the US FTC, www.investopedia.com, diakses tanggal 27
November 2012, dalam Akira Mairilia, Perbandingan Peran Komisis Persaingan Usaha di
Amerika Serikat, Australia, Perancis, Jepang, Dan Indonesia dalam Penyelesaian Perkara
Persaingan Usaha”,(Tesis Universitas Indonesia, 2013), h. 30-31.
73
Adapun kewenangan dan peran dari biro persaingan
yaitu:
1. Memberikan tanggapan mengani aktivitas
merger dan akusisi, beserta di dalamnya
tantangan yang akan dihadapi, yakni:
melamungnya harga menjadi lebih tinggi,
pilihannya menjadi terbatas dan tidak variatif
dan berkurangnya inovasi
2. Mengupayakan perlawanan terhadap aktivitas
anti persaingan usaha termasuk praktik
monopoli dan kartel.
3. Mengupayakan tercipatanya persaingan dalam
ranah industri yang melahirkan dampak efek
terhadap konsumen seperti layanan perawatan
kesehatan, kepemilikan property atau
perumahan, minyak dan gas, teknologi, dan
suplai barang-barang kebutuhan sehari-hari
(consumer goods).
4. Adanya transparansi dan komunikasi yang baik
dengan publik dengan menyelenggarakan
konfrensi dan lokakarya dimana lebih spesifik
target audiesnya adalah konsumen dan pebisnis
selaku pelaku usaha dan mengelola kebijakan-
kebijakan dalam bidang persaingan usaha dan
melakukan analisis pasar.92
FTC pada dasarnya berwenang didalam penanganan
persaingan usaha dalam ranah perdata. Dalam kerangka
92 FTC, Welcome to the Berau Of Competition, www. ftc.gov, diakses tanggal 27
November 2012, dalam Akira Mairilia, Perbandingan Peran Komisis Persaingan Usaha di Amerika
Serikat, Australia, Perancis, Jepang, Dan Indonesia dalam Penyelesaian Perkara Persaingan
Usaha”,(Tesis Universitas Indonesia, 2013), h. 31.
74
penangan persaingan usaha di bidang pidana merupakan ranah
dari Antitrust Division Departement of Justice (DOJ-AD). Untuk
menciptakan efisiensi dan terhindar dari adanya tumpang-tindih
dalam pelaksanaan kewenangan penegakan persaingan usaha
maka FTC dan DOJ-AD melakukan separasi yurisdiksinya atas
dasar klasifikasi jenis industry dan melakukan pembagian
komunikasi intensif tentang penanganan perkara persaingan
usaha secara perdata.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil uraian pembahasan, masalah dan penelitian yang
telah penulis kaji di dalam setiap bagian bab pembahasan, maka kemudian
peneliti menarik kesimpulan sebagai berikut:
Berdasarkan hasil uraian pembahasan, masalah dan penelitian yang
telah penulis kaji di dalam setiap bagian bab pembahasan, maka kemudian
peneliti menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha di dalam menindaklanjuti
kasus persaingan usaha yang melibatkan badan usaha asing nyatanya
bertentangan, dikarenakan badan usaha asing bukanlah subjek yang
dapat terkena sebagai pelaku usaha di dalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, beserta di perlukan adanya pengaturan yang lebih
komperhensif mengenai penggunaan barang bukti tidak langsung di
dalam pembuktian kasus persaingan usaha, dikarenakan terdapat
putusan yang didasarkan melalui indirect evidence (bukti tidak
langsung) dimana bukti tidak langsung belum diatur dalam peraturan
hukum yang berlaku
2. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat belum mampu merespon
kebutuhan yang ada, hal ini dilihat dari definisi pelaku usaha yang hanya
memberikan keterangan bahwa pihak yang dapat dikatakan sebagai
pelaku usaha ialah badan hukum yang berdomisili di wilayah Republik
Indonesia. Melihat pada kenyataanya, sering kali pelaku praktik
persaingan usaha tidak sehat ialah badan hukum asing yang tidak
berkedudukan di Indonesia. Hal ini membuat Komisi Pengawas
Persaingan Usaha menerapkan impelementasi dari yurisdiksi
76
ekstratreitorial di dalam 3 putusan KPPU yang melibatkan badan usaha
asing yang di teliti namun sebetulnnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 belum mengenal adanya yurisdiksi ekstrateritorial di dalam kasus
persaingan usaha yang melibatkan badan usaha asing, hal ini pun
berdampak putusan yang dikeluarkan oleh Komisi Pengawas Persaingan
Usaha sering kali tidak di jalankan oleh pelaku usaha yang
bersangkutan, maka dari itu dibutuhkannya revisi mengenai ketentuan
subjek pelaku usaha yang dapat dikenakan Undang Undang persaingan
usaha tidak sehat untuk meminimalisir praktik monopoli maupun
persaingan usaha tidak sehat di masa mendatang.
77
B. Rekomendasi
Berdasarkan terhadap permasalahan yang telah peneliti kaji
sebelumya, maka peneliti mencoba memberi beberapa rekomendasi berupa:
1. Revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dengan memperluas
keterangan “pelaku usaha” yang tidak hanya badan usaha yang
berkedudukan di dalam wilayah Indonesia tetapi juga badan usaha yang
berkedudukan di luar wilayah indonesia sehingga memungkinkan
diadilinya badan hukum asing yang melakukan praktik persaingan usaha
di Indonesia sebagai upaya penegakan hukum persaingan usaha secara
maksimal.
2. Mengadakan perjanjian bilateral maupun multilateral dengan Negara-
negara lain ataupun organisasi internasional sehingga badan usaha asing
yang terlibat dalam praktik persaingan usaha tidak sehat yang berdampak
pada iklim persaingan usaha di Indonesia dapat menjalankan putusan
KPPU, memandang putusan pengadilan hanya memiliki daya eksekusi di
wilayah Indonesia .
3. Revisi Undang-Undang no 5 tahun 1999 untuk dapat mengaktegorikan
dan menggunakan indirect evidence alat bukti tidak langsung di dalam
memutus perkara persaingan usaha tidak sehat.
78
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Areeda Philip.1981. Antitrust Analysis third edition. New York,
United States: Little, Brown and Company.
Ashddiqiie, Jimly. 2006,Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga
Negara Pasca Reformasi.Jakarta:Tim Konpress.
Astono, Banu. 1997. Gejolak Rupiah Menyingkap Keropos industri
Nasional.Jakarta: KOMPAS.
Andi, Fahmi Lubis dkk. 2017. Hukum Persaingan Usaha (buku teks),
2017. Jakarta:diterbitkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Basri, Faisal. 2002. Perekonomian Indonesia: Tantangan dan
Harapan Bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia.Jakarta: Erlangga.
Fuady, Munir. 1999. Hukum Tentang Merger. Jakarta: Citra Aditya
Bakti.
G.Corones.S. 2007. Competition Law In Australia, fourth Edition.
Australia: Lawbook.co
Hakim, Abdul G. Nusantara dan Benny K. Harman.1999. Analisa dan
Perbandingan Undang-Undang Antimonopoli: Undang-Undang
larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Jakarta : Elex Media komputindo.
Harjono, K Dhaniswara. 2006. Pemahaman Hukum Bisnis Bagi
Pengusaha. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Johnny, Ibrahim.2017. Hukum Persaingan Usaha:Filosofi, Teori dan
Implikasi Penerapannya di Indonesia. Cetakan Kedua. Malang: Bayu
Media.
79
Marzuki. Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta:
Prenadamedia Group.
Mertokusumo. Sudikno dan A. Pitlo. 1993. Bab-Bab Tentang
Penemuan Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Prayoga D Ayudya.1999. Persaingan Usaha dan Hukum yang
Mengaturnya di Indonesia. Jakarta, proyek elis:
Rahardjo. Satjipto. 2006, Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti.
Rajagukguk Erman.2011. Butir-butir Hukum Ekonomi. Jakarta:
Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi.
Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif
Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Rato Dominiko .2010. Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan
Memahami. Yogyakarta: Laksbang Pressindo.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum
Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sjahrir. 1995. Meramal Ekonomi Indonesia di Tengah Ketidakpastian
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sulistiowati.2010. Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan
Group di Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Tony, A Prasetiantono.2000. Keluar dari Krisis: Analisis Ekonomi
Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka.
V Daniel., et.all. 1987. Comprehensive Business Law: principles and
cases., U.S.A: Kent publishing Company.
80
Yani, Ahmad dan Gunawan Wijaya. 1999. Anti Monopoli cet.1. Jakarta: