Wujud Akulturasi Kebudayaan Islam Dan Kebudayaan
Indonesia(1)
Pengertian Akulturasi:Akulturasi adalahfenomenayang timbul
sebagai hasil jika kelompok-kelompok manusia yang mempunyai
kebudayaan yang berbeda-beda bertemu dan mengadakan kontak secara
langsung dan terus-menerus; yang kemudianmenimbulkan perubahan
dalam pola kebudayaan yang original dari salah satu kelompok atau
kedua-duanya (Harsoyo).Lebih jelasnya dapat dilihat pada
:http://togapardede.wordpress.com/2013/02/20/wujud-akulturasi-kebudayaan-hindu-budha-dengan-kebudayaan-indonesia/Wujud
Akulturasi Kebudayaan Hindu-Budha dengan KebudayaanIndonesiaBudaya
Nusantara sebelum Islam datangSebelum Islam masuk ke bumi
Nusantara, sudah terdapat banyak suku bangsa, organisasi
pemerintahan, struktur ekonomi, sosial dan budaya di Nusantara yang
berkembang. Semua itu tidak terlepas dari pengaruh sebelumnya,
yaitu kebudayaan nenek moyang (animisme dan dinamisme), dan Hindu
Budha yang berkembang lebih dulu daripada Islam.Seperti halnya
kondisi masyarakat daerah pesisir pada waktu itu, bisa dikatakan
lebih maju daripada daerah lainnya. Terutama pesisir daerah
pelabuhan. Alasannya karena daerah pesisir ini digunakan sebagai
pelabuhan dan pusat perdagangan. Penduduk pesisir tekena
percampuran budaya (akulturasi) dengan pedagang asing yang singgah.
Secara tidak langsung, dalam perdagangan yang dilakukan antara
keduanya, mereka menjadi mengerti kebudayaan pedagang asing.
Pedagang asing ini seperti pedagang dari Arab, Persia, China, India
dan Eropa.Berbeda dengan daerah pedalaman yang lebih tertutup
(konservatif) dari budaya luar. Sehingga mereka lebih condong pada
kebudayaan nenek moyang mereka dan sulit menerima kebudayaan dari
luar. Awalnya Islam masuk dari pesisir kemudian menuju daerah
pedalaman. Masuknya Islam masih sudah terdapat kerajaan-kerajaan
bercorak Hindu Budha yang masih eksis, diantaranya adalah kerajaan
Majapahit dan kerajaan Sriwijaya. Selain itu terdapat
kerajaan-kerajaan kecil yang tidak tersentuh oleh pengaruh Hindu
dari India. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi misalnya Gowa, Wajo, Bone
dan lainnya. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi tidak menunjukkan adanya
pengaruh Hindu. Contohnya dalam penguburan pada masyarakat Gowa
masih berdasarkan tradisi nenek moyang, yaitu dilengkapi dengan
bekal kubur.Hindu Budha lebih dulu masuk di Nusantara daripada
Islam. Islam masuk ke Nusantara bisa dengan mudah dan lebih mudah
diterima masyarakat pada waktu itu dengan berbagai alasan. Pertama,
situasi politik dan ekonomi kerajaan Hindu, Sriwijaya dan Majapahit
yang mengalami kemunduran. Hal ini juga disebabkan karena perluasan
China di Asia Tenggara, termasuk Nusantara.
Penyebab akulturasi budaya Nusantara dengan nilai-nilai
IslamAkibat dari kemunduran situasi politik. adipati-adipati
pesisir yang meklakukan perdagangan dengan pedagang muslim. Dan
akhirnya mereka menjadi penerima Agama Islam. Situasi politik
seperti itu mempengaruhi masuknya Islam ke Nusantara lebih mudah.
Karena kekacauan politik, mengakibatkan kacauan pada budaya dan
tradisi masyarakat. Kedua, kekacauan budaya ini digunakan oleh
mubaligh-mubaligh dan pedagang muslim yang sudah mukim untuk
menjalin hubungan yang lebih dekat. Yaitu melalui perkawinan.
Akibatnya pada awal Islam di Nusantara sudah ada keturunan arab
atau India. Misalnya di Surakarta terdapat perkampungan Arab,
tepatnya di para Kliwon (kampung Arab).Setelah masuknya Islam di
Nusantara, terbukti budaya dan ajaran islam mulai berkembang. Hal
ini tidak bisa terlepas dari peran Mubaligh-mubaligh dan peran
Walisongo di Jawa. Bukti bahwa ajaran islam sudah dikerjakan
masyarakat Nusantara. Di kota-kota besar dan kecil yang sudah
islam, terdapat bangunan-banguna masjid yang digunakan untuk
berjamaah. Hal itu merupakan bukti budaya yang telah berkembang di
nusantara.Kesejahteraan dan kedamaian tersebut dimantapkan secara
sosio-religius dengan ikatan perkawinan yang membuat tradisi Islam
Timur Tengah menyatu dengan tradisi Nusantara atau Jawa. Akulturasi
budaya ini tidak mungkin terelakkan setelah terbentuknya keluarga
muslim yang merupakan nucleus komunitas muslim dan selanjutnya
memainkan peranan yang sangat besar dalam penyebaran Islam.
Akulturasi budaya ini semakin menemukan momentumnya saat para
pedagang ini menyunting keluarga elit pemerintahan atau keluarga
kerajaan yang berimplikasi pada pewarisan kekuatan politik di
kemudian hari.
Tiga daerah asal para pedagang tersebut dari Arab (Mekah-Mesir),
Gujarat (India), dan Persia (Iran) tersebut menambah varian
akulturasi budaya Islam Nusantara semakin plural. Hal ini bisa
dirujuk adanya gelar sultan al-Malik bagi raja kesultanan Samudra
Pasai. Gelar ini mirip dengan gelar sultan-sultan Mesir yang
memegang madzhab syafiiah, gaya batu nisan menunjukkan pengaruh
budaya India, sedangkan tradisi syuroan menunjukkan pengaruh budaya
Iran atau Persia yang syiah. Budaya Islam Nusantara memiliki warna
pelangi.
Di saat para pedagang dan kemunitas muslim sedang hangat
memberikan sapaan sosiologis terhadap komunitas Nusantara dan
mendapatkan respon yang cukup besar sehingga memiliki dampak
politik yang semakin kuat, di Jawa kerajaan Majapahit pada abad
ke-14 mengalami kemunduran dengan ditandai candra sangkala, sirna
ilang kertaning bumi (1400/1478 M) yang selanjutnya runtuh karena
perang saudara. Setelah Majapahit runtuh daerah-daerah pantai
seperti Tuban, Gresik, Panarukan, Demak, Pati, Yuwana, Jepara, dan
Kudusmendeklarasikan kemerdekaannya kemudian semakin bertambah
kokoh dan makmur.
Dengan basis pesantren daerah-daerah pesisir ini kemudian
mendaulat Raden Fatah yang diakui sebagai putra keturunan Raja
Majapahit menjadi sultan kesultanan Demak yang pertama. Demak
sebagai simbol kekuatan politik hasil akulturasi budaya lokal dan
Islam menunjukkan dari perkawinan antara pedagang Muslim dengan
masyarakat lokal sekaligus melanjutkan warisan kerajaan Majapahit
yang dibangun di atas tradisi budaya Hindu-Budhis yang kuat
sehingga peradaban yang berkembang terasa bau mistik panteistiknya
dan mendapat tempat yang penting dalam kehidupan keagamaan Islam
Jawa sejak abad ke 15 dan 16. Hal ini bisa ditemukan dalam karya
sastra Jawa yang menunjukkan dimensi spiritual mistik yang
kuat.Islam yang telah berinteraksi dengan budaya Arab, India, dan
Persia dimatangkan kembali dengan budaya Nusantara yang
animis-dinamis dan Hindu-Budhis. Jika ditarik pada wilayah lokal
Jawa masyarakat muslim Jawa menjadi cukup mengakar dengan budaya
Jawa Islam yang memiliki kemampuan yang kenyal (elastis) terhadap
pengaruh luar sekaligus masyarakat yang mampu mengkreasi berbagai
budaya lama dalam bentuk baru yang labih halus dan
berkualitas.Asimilasi budaya dan akomodasi pada akhirnya
menghasilkan berbagai varian keislaman yang disebut dengan Islam
lokal yang berbeda dengan Islam dalam great tradition. Fenomena
demikian bagi sebagian pengamat memandangnya sebagai penyimpangan
terhadap kemurnian Islam dan dianggapnya sebagai Islam sinkretis.
Meskipun demikian, banyak peneliti yang memberikan apresiasi
positif dengan menganggap bahwa setiap bentuk artikulasi Islam di
suatu wilayah akan berbeda dengan artikulasi Islam di wilayah
lain.Untuk itu gejala ini merupakan bentuk kreasi umat dalam
memahami dan menerjemahkan Islam sesuai dengan budaya mereka
sendiri sekaligus akan memberikan kontribusi untuk memperkaya
mozaik budaya Islam. Proses penerjemahan ajaran Islam dalam budaya
lokal memiliki ragam varian seperti ritual suluk bagi masyarakat
Minangkabau yang mengikuti tarekat Naqsyabandiyyah, sekaten di
Jogjakarta, lebaran di Indonesia, dan lain sebagainya.Persinggungan
Islam di Jawa dengan budaya kejawen dan lingkungan budaya istana
(Majapahit) mengolah unsur-unsur hinduisme dan budaya pedesaan
(wong cilik) yang tetap hidup meskipun lambat laun penyebaran dan
tradisi keislaman semakin jelas hasilnya. Budaya Islam masih sulit
diterima dan menembus lingkungan budaya Jawa istana yang telah
canggih dan halus itu.Penolakan raja Majapahit tidak terhadap agama
baru, membuat Islam tidak mudah masuk lingkungan istana. Untuk itu
para dai agama Islam lebih menekankan kegiatan dakwahnya dalam
lingkungan masyarakat pedesaan, terutama daerah pesisiran dan
diterima secara penuh oleh masyarakat pedesaan sebagai peningkatan
budaya intelektual mereka. Dalam kerja sosial dan dakwahnya, para
Wali Songo juga merespon cukup kuat terhadap sikap akomodatif
terhadap budaya tersebut. Di antara mereka yang sering disebut
adalah Sunan Kalijaga.
Demoralisasi yang terjadi di Jawa karena perang saudara
tersebut, kalangan muslim, lewat beberapa tokohnya seperti Sunan
Kalijaga mampu menampilkan sosok yang serba damai dan rukun. Jawa
sebagai negeri pertanian yang amat produktif, damai, dan tenang.
Sikap akomodatif yang dilakukan oleh para dai ini melahirkan
kedamaian dan pada gilirannya menumbuhkan simpati bagi masyarakat
Jawa. Selain karena proses akulturasi budaya akomodatif tersebut,
menurut Ibnu Kholdun, juga karena kondisi geografis seperti
kesuburan dan iklim atau cuaca yang sejuk dan nyaman yang
berpengaruh juga terhadap perilaku penduduknya. Pandangan serupa
juga dikemukakan oleh Syahrastani, dalam al-Milal wa al-Nihal yang
menyebutkan ada pengaruh posisi atau letak geografis dan suku
bangsa terhadap pembentukan watak atau karakter penduduknya.Faktor
fisiologis mempengaruhi watak psikologis dan sosialnya. Begitu juga
letak geografis, tingkat kesuburan, dan kesejukan pulau Jawa akan
mempengaruhi seseorang dalam berperilaku dan bersikap. Siapapun
yang ingin sukses di Jawa ia harus memperhatikan karakteristik ini
sehingga strategi dan pendekatan yang digunakan bisa berjalan
dengan baik dan efektif.Akulturasi dan adaptasi keislaman orang
Jawa yang didominasi keyakinan campuran mistik konsep Hindu-Budha
disebut kejawen atau juga dinamakan agama Jawi. Sementara
penyebaran Islam melalui pondok pesantren khususnya di daerah
pesisir utara belum mampu menghilangkan semua unsur mistik sehingga
tradisi Islam kejawen tersebut masih bertahan. Pemeluk kejawen
dalam melakukan berbagai aktivitasnya dipengaruhi oleh keyakinan,
konsep pandangan, dan nilai-nilai budaya yang berbeda dengan para
santri yang mengenyam pendidikan Islam lebih murni.Pengaruh
nilai-nilai Islam dalam budaya NusantaraSejak awal perkembangannya,
Islam di Indonesia telah menerima akomodasi budaya. Karena Islam
sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan tentang
kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila dilihat kaitan
Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu
diperjelas: Islam sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam
sebagai realitas budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh
para ahli sering disebut dengan great tradition (tradisi besar),
sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut dengan little
tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi local) atau
juga Islamicate, bidang-bidang yang Islamik, yang dipengaruhi
Islam.Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam
yang permanen, atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang
melekat ketat pada ajaran dasar. Dalam ruang yang lebih kecil
doktrin ini tercakup dalam konsepsi keimanan dan syariah-hukum
Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan pola bertindak umat
Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan center
(pusat) yang dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran).Tradisi
kecil (tradisi local, Islamicate) adalah realm of influence-
kawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam (great
tradition). Tradisi local ini mencakup unsur-unsur yang terkandung
di dalam pengertian budaya yang meliputi konsep atau norma,
aktivitas serta tindakan manusia, dan berupa karya-karya yang
dihasilkan masyarakat.Dalam istilah lain proses akulturasi antara
Islam dan Budaya local ini kemudian melahirkan apa yang dikenal
dengan local genius, yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan
seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing,
sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak
terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya. Pada
sisi lain local genius memiliki karakteristik antara lain: mampu
bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi
unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur
budaya luar ke dalam budaya asli; dan memiliki kemampuan
mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya
selanjutnya.Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas
masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola anutan
masyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai agama sekaligus
telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain
budaya-budaya local yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang
dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya local ini sebagian terus
dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini
kemudian melahirkan akulturasi budaya, antara budaya local dan
Islam.Budaya-budaya local yang kemudian berakulturasi dengan Islam
antara lain acara slametan (3,7,40,100, dan 1000 hari) di kalangan
suku Jawa. Tingkeban (nujuh Hari). Dalam bidang seni, juga dijumpai
proses akulturasi seperti dalam kesenian wayang di Jawa. Wayang
merupakan kesenian tradisional suku Jawa yang berasal dari agama
Hindu India. Proses Islamisasi tidak menghapuskan kesenian ini,
melainkan justru memperkayanya, yaitu memberikan warna nilai-nilai
Islam di dalamnya.tidak hanya dalam bidang seni, tetapi juga di
dalam bidang-bidang lain di dalam masyarakat Jawa. Dengan kata lain
kedatangan Islam di nusantara dalam taraf-taraf tertentu memberikan
andil yang cukup besar dalam pengembangan budaya local.Pada sisi
lain, secara fisik akulturasi budaya yang bersifat material dapat
dilihat misalnya: bentuk masjid Agung Banten yang beratap tumpang,
berbatu tebal, bertiang saka, dan sebagainya benar-benar
menunjukkan ciri-ciri arsitektur local. Sementara esensi Islam
terletak pada ruh fungsi masjidnya. Demikian juga dua jenis pintu
gerbang bentar dan paduraksa sebagai ambang masuk masjid di Keraton
Kaibon. Namun sebaliknya, wajah asing pun tampak sangat jelas di
kompleks Masjid Agung Banten, yakni melalui pendirian bangunan
Tiamah dikaitkan dengan arsitektur buronan Portugis,Lucazs Cardeel,
dan pendirian menara berbentuk mercu suar dihubungkan dengan nama
seorang Cina: Cek-ban Cut.Dalam perkembangan selanjutnya
sebagaimana diceritakan dalam Babad Banten, Banten kemudian
berkembang menjadi sebuah kota. Kraton Banten sendiri dilengkapi
dengan struktur-struktur yang mencirikan prototype kraton yang
bercorak Islam di Jawa, sebagaimana di Cirebon, Yogyakarta dan
Surakarta. Ibukota Kerajaan Banten dan Cirebon kemudian berperan
sebagai pusat kegiatan perdagangan internasional dengan ciri-ciri
metropolitan di mana penduduk kota tidak hanya terdiri dari
penduduk setempat, tetapi juga terdapat perkampungan-perkampunan
orang-orang asing, antara lain Pakoja, Pecinan, dan kampung untuk
orang Eropa seperti Inggris, Perancis dan sebagainya.Dalam bidang
kerukunan, Islam di daerah Banten pada masa lalu tetap memberikan
perlakuan yang sama terhadap umat beragama lain. Para penguasa
muslim di Banten misalnya telah memperlihatkan sikap toleransi yang
besar kepada penganut agama lain. Misalnya dengan mengizinkan
pendirian vihara dan gereja di sekitar pemukiman Cina dan Eropa.
Bahkan adanya resimen non-muslim yang ikut mengawal penguasa
Banten. Penghargaan atau perlakuan yang baik tanpa membeda-bedakan
latar belakang agama oleh penguasa dan masyarakat Banten terhadap
umat beragama lain pada masa itu, juga dapat dilisaksikan di
kawasan-kawasan lain di nusantara, terutama dalam aspek
perdagangan. Penguasa Islam di berbagai belahan nusantara telah
menjalin hubungan dagang dengan bangsa Cina, India dan lain
sebagainya sekalipun di antara mereka berbeda keyakinan.Aspek
akulturasi budaya local dengan Islam juga dapat dilihat dalam
budaya Sunda adalah dalam bidang seni vokal yang disebut seni
beluk. Dalam seni beluk sering dibacakan jenis cirita (wawacan)
tentang ketauladanan dan sikap keagamaan yang tinggi dari si tokoh.
Seringkali wawacan dari seni beluk ini berasal dari unsur budaya
local pra-Islam kemudian dipadukan dengan unsur Islam seperti pada
wawacan Ugin yang mengisahkan manusia yang memiliki kualitas
kepribadian yang tinggi. Seni beluk kini biasa disajikan pada
acara-acara selamatan atau tasyakuran, misalnya memperingati
kelahiran bayi ke-4- hari (cukuran), upacara selamatan syukuran
lainnnya seperti kehamilan ke-7 bulan (nujuh bulan atau tingkeban),
khitanan, selesai panen padi dan peringatan hari-hari besar
nasional.Akulturasi Islam dengan budaya-budaya local nusantara
sebagaimana yang terjadi di Jawa didapati juga di daerah-daearah
lain di luar Jawa, seperti Sumatera Barat, Aceh, Makasar,
Kalimantan, Sumatera Utara, dan daerah-daerah lainnya. Khusus di
daerah Sumatera Utara, proses akulurasi ini antara lain dapat
dilihat dalam acara-acara seperti upah-upah, tepung tawar, dan
Marpangir.
Pengaruh Islam kepada Kebudayaan AsiaTenggaraFiled under:
ARTIKEL, Pengaruh Islam kepada Kebudayaan Leave a comment July 12,
2012
PengenalanKetika membahas tentang pengaruh India dalam
kebudayaan dan tamadun di Asia Tenggara, kita mengetahui bagaimana
kesannya begitu besar sehingga merangkumi berbagai-bagai kehidupan,
meskipun ia bersifat elitisme. Mengenai pengaruh Islam pula, dari
suatu segi ia masih meneruskan budaya tradisi seumpama dalam
aspek-aspek politik, sosial, ekonomi dan sebagainya. Tetapi dari
segi yang lain ia membawa perubahan yang besar, sehingga
mempengaruhi rakyat jelata umumnya. Dalam bidang pendidikan serta
bahasa dan sastera, pengaruh Islam telah mengubah sifat elitisme
warisan Hindu kepada sifat kerakyatan, yakni dari budaya istana
(court culture) yang eksklusif kepada budaya yang meresap kepada
semua peringkat masyarakat, sungguhpun istana masih merupakan pusat
kegiatan.Politik dan PerundanganDari segi budaya politiknya,
perubahan yang ketara hasil daripada pengaruh Islam ialah
penggunaan nama Sultan atau Malik pada raja-raja Melayu. Juga ialah
pada bentuk kerjasama ulama dengan umara (pemerintah). Malah ada
ulama yang menjadi Raja seperti di Acheh dan Jawa. Bagaimanapun
konsep Dewaraja dari warisan Hindu-Buddha yang meletakkan golongan
raja di atas manusia biasa (yakni sebagai inkarnasi Dewa) itu tetap
tidak tergugat. Cumanya ia disesuaikan dengan ajaran Islam yang
mengatakan bahawa Raja-Raja itu adalah bayangan Allah di muka bumi
(zillullah fil-alam) seumpama pada gelaran raja Pattani Sultan
Ismail Zillullah fil-Alam. Asalnya hadis ini ditujukan pada
raja-raja yang adil serta melaksanakan hukum-hukum Allah s.w.t.,
tetapi ia telah diselewengkan pengertiannya sehingga terhadap
raja-raja yang zalim pun dianggap sebagai bayangan atau wakil Allah
s.w.t. yang wajib ditaati setiap perintahnya.Pengesahan keagungan
raja tidak hanya melalui hadis yang disalahgunakan, bahkan juga
dengan menghubungkan nasab keturunan mereka dengan tokoh-tokoh
besar Islam. Kalau dulunya mereka dianggap sebagai inkarnasi atau
penitisan para dewa, kini asal-usul mereka dikaitkan dengan
Iskandar Zulkarnain atau Nabi Khidir seperti di Melaka, serta
dengan Nabi Adam atau Nabi Syith seperti di Jawa. Dan kemudiannya
akibat dari pengaruh Syiah dan tasawuf tentang konsep imam dan wali
sebagai Qutb Alam, lalu didakwa pula raja-raja sebagai Paku Buwono,
yakni Paku Alam ini, atau Amangkurat, yakni yang memangku dunia
(rat) ini.Selain kedudukan raja sebagai superhuman, sistem
feudalisme warisan Hindu-Buddha juga mementingkan keturunannya
sahaja dalam pemilihan bakal seorang raja. Baik di Pasai, di
Melaka, atau di Acheh dan di Jawa, sistem monarki tetap menjadi
kriteria utama dalam pemilihan seorang raja baru atau seorang
pembesar istana. Memang ada kalanya seorang raja itu bukannya
berasal dari keturunan raja sebelumnya, tetapi ia jarang berlaku,
dan kalaupun berlaku, biasanya ia mendapat kuasanya melalui
rampasan kuasa atau pembunuhan terhadap raja yang sedang
memerintah. Jadi sama juga seperti sistem monarki, kekuasaan
melalui tindakan coup de tat ini tidaklah melalui persetujuan
rakyat.Kedatangan Islam juga tidak banyak mengubah sistem politik
feudal yang sedia ada. Jika didasarkan kepada ajaran Islam,
ketaatan hanyalah dalam soal-soal yang makruf sahaja, bukannya yang
bersifat maksiat atau bertentangan dengan hukum Allah s.w.t. Tetapi
sistem feudal tidak menggalakkan sikap kritikal dalam menerima
sesuatu arahan, kerana raja adalah penitisan dewa-dewa atau
keturunan orang-orang mulia yang tidak akan membuat sebarang
kesilapan. Titahnya adalah hukum yang mesti ditaati, walhal dalam
Islam seorang raja adalah juga berperanan sebagai khalifah yang
bertugas melaksanakan hukum-hukum Allah s.w.t. Sekiranya hukum yang
hendak dilaksanakan itu tidak terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah,
maka terdapat pula prinsip ijtihad bersama melalui syura di mana
seseorang pemimpin perlu bermesyuarat dengan wakil-wakil rakyat
yang disebut sebagai Ahlu halli wal-aqdi. Malangnya ajaran-ajaran
asas Islam seperti ini tidak diamalkan oleh kerajaan-kerajaan Islam
di Nusantara secara sepenuhnya. Oleh kerana itu agak sukar untuk
mengatakan sistem politik Islam mempunyai pengaruh di
Nusantara.Berasaskan sistem politik yang mengiktiraf perbezaan
darjat tersebut maka wujud undang-undang dan adat istiadat yang
bertujuan untuk menjaga taraf dan kepentingan golongan
bangsawan.Dari segi undang-undangnya kita dapati betapa taraf
sosial sese-orang mempengaruhi bentuk hukuman yang akan
diterimanya. Semakin tinggi kedudukannya semakin besarlah
kemungkinan terlepas dari hukuman, sedangkan bagi rakyat jelata
hukumannya lebih berat. Misalnya tindakan Sultan Mahmud Syah yang
menganiaya orang, malahan keluarga pembesarnya sendiri,
perbuatannya itu tidak dikenakan hukuman oleh kerana raja berada di
atas undang-undang atau kebal di sisi undang-undang..Demikian juga
keistimewaan yang dimiliki oleh golongan pembesar istana seumpama
Bendahara atau Temenggung yang membolehkan mereka turut terlepas
dari hukuman. Pernah berlaku Bendahara enggan merajakan Sultan
Zainal Abidin di Pasai, dan Sultan Mahmud sekadar murka serta tidak
menegur selama tiga hari. Tetapi jika yang enggan itu ialah rakyat
biasa sudah pasti hukuman yang lebih berat akan menimpanya. Bahkan
sama seperti undang-undang Hindu di mana hukumannya adalah
berasaskan kastanya, dalam Undang-undang Melaka Fasal 8 menegaskan
bahawa hukuman terhadap kesalahan menetak dan menampar orang adalah
ringan bagi orang merdeka yang bersalah berbanding dengan golongan
hamba yang bersalah.Sosial dan EkonomiDari segi teorinya sistem
sosial dalam Islam menolak sebarang perbezaan darjat dan kedudukan,
kecuali atas dasar ilmu dan taqwa. Tetapi dalam praktiknya sistem
sosial selepas kedatangan Islam juga tidak banyak berubah kerana
masih berasaskan semangat kesedaran kelas (class consciousness).
Jika pada masa sebelumnya susun lapis menyarakat terbahagi kepada
dua golongan, iaitu golongan pemerintah dan yang diperintah, maka
selepasnya juga kedudukan seperti ini terpelihara dengan baiknya.
Dengan merujuk kepada kerajaan Melaka, hierarki sosial
masyarakatnya dapat dibuat dalam bentuk piramid kerana golongan
yang teratas sangat sedikit bilangannya, sedangkan golongan paling
bawah sangat ramai bilangannya.Dengan wujudnya hierarki sosial yang
berbentuk superior-inferior seperti ini melahirkan social barrier
antara golongan atasan dengan golongan bawahan, apalagi golongan
atasan tinggal di kawasan supra-village sphere yang terasing dari
golongan bawahan. Dengan adanya social barrier inilah yang
menjadikan mobiliti sosial ke atas terlalu sukar, oleh kerana yang
dipentingkan ialah keturunan atau kebangsawanan seseorang.
A = Golongan pemerintahB = Golongan yang diperintahErtinya
golongan bawahan mempunyai peluang yang sangat tipis dan sukar
untuk memperbaiki taraf sosialnya. Meskipun pernah berlaku mobiliti
menegak kepada tokoh seumpama Hang Tuah yang dapat meninggikan
tarafnya yang rendah ke peringkat tinggi, tetapi ini adalah suatu
pengecualian memandangkan jasa-jasanya yang amat banyak dan
kesetiaannya yang bulat terhadap sultan. Pencapaian Hang Tuah tidak
dapat menjadi teladan bagi orang lain untuk menjadi sepertinya,
oleh kerana jawatan Laksamana yang dipegangnya itu akhirnya
dimonopoli oleh keturunan atau keluarganya.Dari segi adat
istiadatnya apa yang nyata ia diatur semata-mata untuk memisahkan
dan menjarakkan lagi jurang di antara kedua-dua kelas tersebut.
Sebab itu terdapatlah larangan-larangan tertentu terhadap rakyat,
seperti larangan memakai warna kuning, membuat anjung atau serambi
bertiang gantung, keris dan gelang kaki yang diperbuat dari emas
meskipun ia seorang kaya. Adat istiadat ini pun sebenarnya suatu
undang-undang juga, oleh kerana sesiapa yang melanggarnya dengan
memakai benda-benda warna kuning misalnya, akan dihukum bunuh.Dari
segi bahasa juga kita dapati wujudnya dasar perbezaan darjat ini,
di mana terdapat perkataan-perkataan seperti patik, duli, beta,
santap, beradu, bersiram, mangkat dan sebagainya. Sebenarnya,
istilah patik itu bermaksud anak anjing. Sedangkan, istilah duli
pula bererti debu yang berada di bawah tapak kaki untuk diletakkan
di atas batu jemala patik!Keadaan yang sama juga berlaku pada
kerajaan Brunei dengan wujudnya sistem perhambaan sebagai suatu
institusi sosial yang rasmi. Memang sistem hamba abdi telahpun
wujud di Brunei sebelum abad ke-17 lagi, tetapi baru memainkan
peranan penting selepas kemangkatan Sultan Bulkiah.Ada tiga jenis
hamba abdi di Brunei, iaitu anak emas, ulun ulih beli dan hamba
berhutang. Mengenai anak emas, ia merupakan hamba yang menjadi
orang suruhan dalam rumahtangga, di mana dirinya dan keturunannya
menjadi hak milik dan pusaka tuan rumahnya. Tugasnya tidak setakat
menguruskan rumah tangga tetapi juga menjalankan perdagangan di
tempat-tempat merbahaya. Tidak seperti hamba-hamba lain, dia
mempunyai sedikit keistimewaan serta hak sendiri, boleh memberi
cadangan atau membantah pendapat tuan rumahnya. Jadi sungguhpun ia
bertaraf hamba, namun ia tidak dipandang hina oleh
masyarakat.Mengenai ulun ulih beli pula ialah hamba abdi yang
diperoleh melalui pembelian dengan wang, yang boleh dijualkan pula
kepada orang lain. Dia tidak mempunyai hak atau suara dalam
kehidupannya, kerana itu hidupnya sentiasa sengsara dan
ketakutan.Adapun hamba berhutang merupakan orang bebas yang
dijadikan hamba abdi lantaran tidak mampu membayar hutangnya kepada
si piutang. Bahkan ada golongan bangsawan yang jatuh menjadi
golongan yang rendah, atau ditawan dan dijadikan hamba abdi. Mereka
yang lemah menjadi mangsa kepada golongan yang lebih kuat.
Kebanyakan hamba abdi ini wujud di tepi laut dan di lembah-lembah
sungai, dan sumber untuk mendapatkannya ialah dari kawasan
pedalaman. Mereka hidup dalam ketakutan dan kebimbangan.Tidak syak
lagi sistem sosial seumpama ini adalah bertentangan dengan Islam.
Ia bercanggah bukan sahaja dari segi zahirnya bahkan pada akar
umbinya sekali kerana ia ditegakkan atas semangat kesedaran kelas.
Percanggahan dalam Islam adalah nyata, kerana sistem sosial Islam
berasaskan konsep bahawa Allah memuliakan setiap anak Adam
(al-Isra: 70). Islam juga mengiktiraf perbezaan seseorang umatnya,
tetapi kerana ketakwaan atau amal solehnya (al-Hujurat: 13).Dalam
bidang sosial, kedatangan Islam tidak banyak membawa perubahan,
demikian juga dalam bidang ekonomi. Ekonomi masyarakat Nusantara
masih bersifat agraria dengan menjalankan kegiatan pertanian,
perikanan, penternakan dan yang seumpamanya yang masih lagi
bergantung kepada pemberian alam.Memang dengan kedatangan Islam
kegiatan perdagangan menjadi lebih rancak dan aktif daripada
sebelumnya. Di sana sini tumbuh pasar-pasar dan kota-kota yang
bersifat internasional, di mana terdapat pedagang-pedagang asing
dari China, India, Arab, Farsi, Turki dan sebagainya. Kalau dulunya
sistem jual-beli dijalankan melalui barter trade dan juga melalui
mata wang, tetapi dengan pertambahan pedagang-pedagang asing sudah
tentu ia lebih banyak dijalankan melalui sistem mata wang.Meskipun
demikian tidak ada bukti yang menunjukkan bahawa sistem ekonomi
Islam ada diamalkan. Jika dirujuk kepada sistem ekonomi Islam,
terdapat Bait al-Mal atau perbendaharaan negara yang dikutip dari
punca-punca zakat yang diwajibkan atau dari sedekah yang disunatkan
serta daripada punca-punca lain seperti jizyah, ghanimah, al-fai
dan sebagainya. Semuanya itu harus digunakan untuk kepentingan
rakyat yang memerlukannya, terutama dari golongan miskin dan
fakir.Tetapi apa yang berlaku bukan sahaja punca-punca kewangan
negara tidak dikutip secara sah menurut hukum Islam, malah ia tidak
digunakan untuk kepentingan pihak yang benar-benar memerlukannya.
Sebab itulah sejarah menunjukkan wujudnya jurang kekayaan dan
kemewahan yang luas di antara golongan pemerintah dengan yang
diperintah. Semuanya ini adalah kenyataan sejarah belaka tentang
tidak berjalannya sistem ekonomi Islam di Nusantara, walaupun
kegiatan perdagangan berkembang pesat.Kesenian dan HiburanPengaruh
Islam dalam kesenian di Nusantara dapat diperhatikan pada makam
atau batu nisan, masjid dan perhiasan-perhiasan padanya, khususnya
penulisan seni khat atau kaligrafi. Mengenai batu nisan, sebenarnya
ia merupakan karya seni Islam yang awal sekali masuk ke Nusantara.
Antaranya ialah batu nisan Syeikh Abdul Qadir Hussain Syah Alam
yang bertarikh 903 M. yang dijumpai di Langgar, Kedah, batu nisan
seorang Arab yang dijumpai di Pekan, Pahang yang bertarikh 1082 M,
batu nisan Sultan Malik al-Salih di Pasai yang bertarikh 1297 M,
batu nisan yang ditemui di Kuala Brang, Terengganu yang bertarikh
1303 M, makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa yang bertarikh
1417 M, dan batu nisan seorang puteri di Pasai yang bertarikh 1428
M.Kesenian batu nisan dan makam ini dapat dilihat pada bentuk dan
juga hiasannya. Pada bentuknya kalau diteliti batu nisan Maulana
Malik Ibrahim itu mempunyai bentuk seperti badan kapal terbalik
yang mengesankan pengaruh Farsi. Dari segi perhiasannya terdapat
tulisan yang dipetik dari ayat-ayat suci Al-Quran yang membuktikan
kemahiran pengukirnya dalam seni khat Arab. Setengahnya ada pula
tulisan-tulisan syair Farsi, atau pola hiasan daun-daunan yang juga
menyamai gaya buatan Farsi.Selepas makam, masjid merupakan karya
seni Islam yang ter-penting di Nusantara. Dari segi bentuk dan
coraknya memang ia masih dipengaruhi oleh kesenian Hindu, apalagi
setengahnya dihiaskan dengan ukiran-ukiran seperti bunga teratai,
daun-daunan, bukit-bukit karang, pemandangan dan garis-garis
geometri. Bagaimanapun pada keselu-ruhannya ia merupakan simbol
yang mempunyai maksud-maksud tertentu bagi penganut Islam, dengan
mihrab atau mimbar, malah dipenuhi dengan seni kaligrafi Islam yang
dipetik dari ayat-ayat Al-Quran tersebut.Seperti dinyatakan dulu,
satu daripada aspek kesenian ialah hiburan yang termasuk
kegiatan-kegiatan drama, tarian dan muzik. Pada zaman Bani Abbasiah
misalnya, para seniman dalam bidang-bidang ini mendapat tempat yang
terhormat di sisi pemerintah, hingga ia mencapai kemajuan yang
pesat. Dari segi muzik, terdapat pengarang-pengarang teori muzik
seperti al-Kindi dan al-Farabi, malah terdapat sekolah muzik yang
didirikan oleh Safiuddin Mukmin. Dalam bidang nyanyian pula
penyanyi-penyanyi yang terkenal, yang antaranya ialah biduanita
yang ternama Bazel dan Zatul Khal di istana Harun al-Rasyid, Neam
di istana al-Makmun, Basbad di istana al-Mahdi, Fitna di istana
Jaafar al-Barmaki dan sebagainya. Dalam bidang tarian pula,
pengarang kitab senitari yang pertama ialah al-Farabi sendiri.Sama
seperti kerajaan Abbasiah, kerajaan Acheh juga turut me-mainkan
peranan penting dalam perkembangan hiburan. Di kota Banda Acheh
Darussalam terdiri sebuah taman kebudayaan yang dinamakan Taman
Ghairah yang di tengah-tengahnya mengalir sungai kecil yang bernama
Darul Isyki (loka asmara). Tentang betapa indahnya Taman Ghairah
dan Darul Isyki ini telah dilukiskan sebaik-baiknya dengan penuh
sanjungan dalam kitab Bustan al-Salatin oleh Nuruddin
al-Raniri.Perkara yang patut direnungkan di sini ialah bahawa
sungguhpun Acheh dikenali sebagai pusat agama yang dihormati, namun
ia juga mengamalkan nilai double-standard kerana mempunyai Taman
Kesenian yang mengghairahkan yang selalu menghidangkan pelbagai
tarian dan nyanyian pada waktu-waktu tertentu, terutama ketika
menyambut tetamu luar. Misalnya, sewaktu General Beaulieu, iaitu
utusan khas raja Perancis mengadap Sultan Iskandar Muda maka
tampillah 15 orang gadis masing-masing dengan gendang kecil,
berkeliling menari dan berdendang mengikut irama gendang.
Kemudiannya tampil pula dua orang gadis rupawan dengan hiasan
rambutnya disungkup semacam topi, serta seluruh pakaiannya bertenun
benang emas.Jika di Acheh yang terkenal dengan kuatnya dalam
beragama itupun masih ghairah dalam kegiatan hiburannya maka apatah
lagi di Jawa yang sebelumnya memang terkenal dalam kegiatan
pewayangan itu. Malah para Wali Songo itupun setengahnya seumpama
Sunan Giri dan Sunan Bonang dikatakan cuba menyesuaikan permainan
wayang ini dengan ajaran Islam. Umpamanya cerita Hikayat Pandawa
Lima itu dianggap sebagai simbol Rukun Islam yang lima. Permainan
wayang kulit yang asalnya bersifat ritual itu, semakin berkembang
dengan pesatnya dengan munculnya Kerajaan Pajang, diikuti oleh
Mataram II, Kartasura, Surakarta dan Jogjakarta.Dari Jawa permainan
wayang kulit menjadi terkenal pula di Kelantan. Tetapi di samping
itu Kelantan juga mempunyai bentuk-bentuk hiburan lain seperti Mak
Yong yang juga melibatkan kegiatan drama, tarian dan nyanyian,
dengan cerita-cerita tentang dewa-dewi. Juga terdapat Dikir Barat,
permainan layang-layang, gasing, rebana, ketuk, selampit sabung
ayam dan lain-lain.Di Kedah juga permainan wayang kulit turut
berkembang. Tetapi seperti di Kelantan, di Kedah juga terdapat
permainan muzik lain seumpama Mek Mulung dan Gendang Keling. Antara
alat-alat muzik yang digunakan dalam permainan ini ialah seperti
gendang geduk, gong dan mong, serunai dan kerecek.Bahasa dan
SasteraKedatangan Islam membawa perubahan yang besar terhadap nasib
Bahasa Melayu, dengan meletakkannya sebagai lingua franca di
Nusantara. Sebelum kedatangan Islam, terdapat dua bahasa tempatan
yang dominan, iaitu bahasa Jawa Kuno dan Bahasa Melayu Kuno. Tetapi
bahasa ilmu yang digunakan adalah bahasa asing, iaitu Sanskrit.
Oleh kerana Bahasa Sanskit itu sendiri merupakan bahasa elit baik
di India mahupun di Nusantara, maka karya-karya atau tokoh-tokoh
yang menggunakan bahasa tersebut begitu terbatas pengaruhnya, cuma
setakat lingkungan kraton sahaja. Tetapi dengan kedatangan Islam ia
bukan sahaja berjaya menggulingkan bahasa sarjana sebelumnya, iaitu
Sanskrit, dengan menggantikannya dengan bahasa Melayu, bahkan
berjaya pula mengangkat taraf Bahasa Melayu itu sebagai bahasa
pengantar di kawasan Nusantara yang mempunyai antara 150 hingga 200
bahasa daerah. Oleh yang demikian peranan Islam secara tidak
langsung adalah seperti menyatupadukan dan mengeratkan
penduduk-penduduk kawasan ini yang sejak lama dipisahkan oleh
perbezaan bahasa mereka.Serentak dengan pemasyhuran bahasa Melayu
sebagai bahasa sarjana dan bahasa pengantar itu ialah pengenalan
abjad Arab-Jawi. Sebelum itu bahasa Melayu sudah mempunyai tulisan
Palava, tetapi ia tidaklah praktis. Setelah menggunakan abjad Arab
kemudiannya menjadikan bahasa Malayu mendapat kedudukan sebagai
bahasa sastera yang popular, hingga sastera yang berasal dari
warisan Hindu juga ditulis dengan tulisan Arab atau Jawi
kemudiannya.Pada umumnya sastera Melayu selepas kedatangan Islam
dapat dibahagikan kepada dua kelompok besar, iaitu:1. Sastera
non-Islam2. Sastera IslamMengenai yang pertama, ia merupakan
karya-karya yang berasal dari zaman pra-Islam, tetapi baru ditulis
dalam tulisan Jawi selepas kedatangan pengaruh Islam. Antaranya
ialah sastera rakyat baik yang berbentuk puisi mahupun prosa, dan
juga hikayat-hikayat yang berasaskan epik-epik
RamayanadanMahabharataSastera Islam dapat dibahagikan kepada dua
jenis, iaitu:1. Prosa(a) Hikayat Nabi Muhammad s.a.w. Dalam
bahagian ini terdapat cerita-cerita tentang kelahirannya seperti
Hikayat Nur Muham-mad, atau cerita tentang mukjizatnya
sepertiHikayat Bulan Berbelah, Hikayat Nabi Bercukur, Hikayat Israk
dan Mikraj, cerita tentang ajaran Islam seperti Hikayat Raja
Handaq, Hikayat Raja Lahaddan juga cerita tentang Nabi wafat.(b)
Hikayat para nabi dan rasul. Dalam kumpulan ini ada karya yang
menceritakan kisah nabi-nabi secara keseluruhannya seperti Qisas
al-Anbiya, atau hikayat-hikayat nabi yang ditulis secara
berasingan.(c) Hikayat para sahabat Nabi. Dalam bahagian ini
terdapat cerita-cerita tentang Abu Bakar al-Siddiq, Umar
al-Khattab, Ali bin Abi Talib, cerita perkahwinan Ali dengan
Fatimah, serta tentang putera-putera mereka Hassan dan Hussain.(d)
Hikayat para pahlawan Islam. Antara tokoh-tokohnya dalam bahagian
ini ialah Iskandar Zulkarnain, Amir Hamzah, Muhammad Ali Hanafiah
dan sebagainya.(e) Hikayat ahli-ahli sufi dan orang yang soleh.
Antara mereka ialah Luqman al-Hakim, Ibrahim bin Adham, Abu Yazid
al-Bistami, Rabiah al-Adawiyah dan lain-lain lagi.2. Puisi(a)
Karya-karya Hamzah Fansuri, seperti Syair Perahu, Syair Burung
Pingai, Syair Dagang dan sebagainya.(b) Karya Abdul Rauf Fansuri,
iaitu Syair Makrifat.(c) Karya-karya Tuk Shihabuddin bin Zainal
Abidin (1729-1797) seperti Syair Asyikin, Syair Ghafilah, Syair
Sifat 20 dan sebaginya.(d) Dan syair-syair lain seperti Syair Nur
Muhammad, Syair Nabi Ayub, Syair Nabi Yusuf, Syair Qiamat, Syair
Neraka, Syair Rukun Haji, Syair Rukun Ibadat, Syair Rukun Nikah dan
sebagainya.Pendidikan dan Ilmu PengetahuanJika dalam soal bahasa
kedatangan Islam membawa pengaruh besar, maka pengaruh yang
terbesar akibat kedatangan Islam di Nusantara ialah dari segi
pendidikan dan ilmu pengetahuan. Pendidikan Islam ini meliputi
aspek institusi-institusi pendidikan dan strukturnya, guru-guru dan
murid-muridnya dan terutamanya tentang ilmu pengetahuan yang
diajarkan.Di Melaka, biasanya aktiviti pendidikan berlangsung di
istana yang sekali gus berfungsi sebagai perpustakaan atau tempat
penyalinan dan terjemahan. Di samping itu tempat-tempat lain yang
digunakan sebagai tempat pengajian ialah seperti rumah-rumah
maulana atau ulama, masjid, madrasah dan surau.Mengenai guru-guru
agama, kebanyakan mereka terdiri dari bangsa Arab. Dan dalam
hierarki sosial di Melaka kedudukan mereka adalah setaraf dengan
golongan pembesar di istana. Tentang murid-muridnya pula memang
sedia difahami yang mereka dari kaum bangsawan dan raja, tetapi
tidak kurang pula dari kalangan rakyat jelata umumnya. Selain
golongan tempatan terdapat juga murid-murid asing yang belajar di
Melaka, seperti dari Jawa misalnya.Mengenai pendidikan Islam di
Acheh, sejarahnya bermula sejak zaman kerajaan Perlak lagi, yang
mencapai kemuncaknya pada zaman kerajaan Acheh pada abad ke-17 dan
18. Bermula dengan pendidikan dasar di masjid dan madrasah
(meunasah), lalu meneruskan pelajaran menengah di rangkang, dan
akhirnya menamatkan pengajian tinggi di Balee dan di Dayah.
Bagaimanapun masjid juga berperanan sebagai pusat pengajian tinggi,
yang antaranya ialah seperti Masjid Bait al-Rahim, Masjid Bait
al-Rahman dan Masjid Bait al-Musyahadah.Mengenai para guru dan
ulama, kebanyakan mereka adalah orang-orang asing seperti dari
Tanah Arab, Parsi, Turki, India dan sebagainya. Bagaimanapun Acheh
juga mempunyai barisan ulamanya sendiri yang tidak kurang
handalnya. Di Acheh kedudukan ulama sangat tinggi, hingga ada
kalanya dia dapat bertindak sebagai wakil sultan sementara waktu
sebelum dipilih seorang sultan baru. Tentang murid-muridnya pula,
pendidikan Islam di Acheh benar-benar bersifat kerakyatan di mana
kebanyakan mereka terdiri dari kalangan rakyat jelata. Mereka sama
ada berasal dari orang-orang tempatan sahaja ataupun dari
orang-orang luar Acheh, seperti dari Melaka, Pattani dan
sebagainya.Selepas zaman kegemilangan Acheh itu pendidikan Islam
tersebar melalui pusat-pusat pengajian yang lain seperti di Jawa,
Banjar, Riau, Pattani, Terengganu, Kelantan dan lain-lainnya.Dalam
aspek ilmu pengetahuan, sudah pasti keutamaan diberikan kepada ilmu
syariyah atau naqliyah yang merangkumi tiga sendi ajaran Islam,
iaitu Ilmu Tauhid, Ilmu Fiqh dan Ilmu Tasawuf. Pertama sekali dalam
bidang Ilmu Tauhid, seawal-awal kitab yang telah ditemui ialah
Kitab Tauhid oleh Ahmad bin Aminuddin dari Kedah. Kitab yeng
bertarikh 1032 H./1622 M ini membahaskan tentang ajaran Sifat 20.
Di Acheh pula, antara tokoh yang terkenal ialah Nuruddin al-Raniri
yang bersal dari Gujerat, India. Dalam bidang tauhid beliau pernah
menerjemahkan kitab Syarh al-Aqaid al-Nasafiyah oleh al-Taftazani,
serta mengarang kitab Hidayat al-Iman. Kemudiannya terdapat tokoh
tempatan, iaitu Abdul Rauf Fansuri yang mula mempopularkan ajaran
Sifat 20 dalam karya puisinya, Syair Makrifat, dan juga dalam kitab
tasawufnya, Umdat al- Muhtajin. Selepas itu muncullah ulama lain
yang mengembangkan lagi ajaran Sifat 20 ini seperti Muhammad Zain
Faqih Jalaluddin dalam kitabnya Bidayat al-Hidayah, dan juga ulama
sezaman dari Palembang seperti Abdus Samad al-Falimbani dengan
kitabnya Zuhrat al-Murid, serta Tuk Shihabuddin Palembang dengan
kitabnya Aqidah al-Bayan.Dalam bidang fiqh pula, di Melaka pernah
digunakan kitab Minhaj al-Talibin oleh al-Nawawi sebagai rujukan.
Di Acheh, kitab fiqh pertama yang pernah ditulis ialah Sirat
al-Mustaqim oleh Nuruddin al-Raniri, dan selepas itu muncul pula
kitab Mirat al-Tullab oleh Abdul Rauf al-Fansuri dan Safinat
al-Hukkam oleh Jalaluddin al-Tursani.Sezaman dengan kerajaan Acheh
ini, terdapat juga ulama Terengganu, iaitu Abdul Malik bin Abdullah
yang telah mengarang dua buah kitab fiqh, Risalah Kaifiyyah Niyyah
dan Risalah Naql. Di Banjar pula terdapat nama tokoh besarnya
Muhammad Arsyad al-Banjari yang menulis kitab fiqh yang sangat
terkenal, Sabil al-Muhtadin. Dari Pattani terkenal pula tokohnya
yang bernama Dawud bin Abdullah al-Fatani yang terkenal dengan
karya besar fiqhnya iaitu Furu al-Masail.Suatu hakikat yang perlu
diperhatikan dalam pemikiran fiqh yang ditulis adalah bertolak dari
kitab Minhaj al-Talibinoleh Imam al-Nawawi dan kitab-kitab lain
yang merupakan syarah atau hasyiah terhadapnya.Akhirnya dalam
bidang tasawuf, perkembangannya sangat pesat sekali ekoran dari
kegiatan dakwah tokoh-tokoh sufi di Nusantara sejak abad ke-13 itu.
Seawal-awal kitab tasawuf yang pernah dijumpai di Nusantara ialah
Bahr al-Lahut oleh Syeikh Abdullah Arif, seorang mubaligh sufi yang
menyebarkan Islam ke Sumatera pada tahun 1165 M. Di Melaka, selain
kitab Ihya Ulumiddin oleh al-Ghazali, juga digunakan kitab Insan
al-Kamil oleh Abdul Karim al-Jili dan kitab al-Durr al-Manzun oleh
Abu Ishak al-Syirazi sebagai rujukan dalam ilmu
tasawuf.Perkembangan tasawuf mencapai kemuncaknya pada zaman Acheh.
Bertolak dari aliran tasawuf falsafah Ibn Arabi, Hamzah Fansuri
menulis kitab-kitab prosa dan puisi, seperti Syarah al-Asyiqin,
Asrar al-Ariffindan al-Muntahi. Dan bertolak dari kitabTuhfah
al-Mursalah oleh Muhammad ibn Fadhlullah al-Burhanpuri yang
membahas tentang ilmu Martabat Tujuh (Maratib al-Sabah), lalu
Shamsuddin al-Sumatrai menulis beberapa kitab tasawuf yang
membicarakan tentangnya, seperti Nur al-Haqaiq misalnya.
Kemudiannya Nuruddin al-Raniri mengikuti jejak langkah mereka
dengan kitab-kitabnya Ain al-Alam, Hill al-Zilldan juga Marifah
al-Saniyah, meskipun sejarah mencatatkan berlakunya konflik
intelektual dengan mereka. Demikian juga ajaran Martabat Tujuh itu
berkembang melalui kitab Muzhar al-Ajlaoleh Jalaluddin
al-Tursani.Di samping tasawuf falsafah yang disalurkan melalui
kitab-kitab tersebut, juga berkembang tasawuf akhlak dan tasawuf
tarikat. Antara tarikat-tarikat awal yang berkembang di Acheh ialah
Rifayyah, Samaniyah, dan Syatariyyah.Ilmu tasawuf yang tersiar dan
berkembang di Acheh, terus mengalami kemajuan di negeri-negeri lain
meskipun kerajaan Acheh sudah mulai lemah mulai abad ke-18. Di
Banten terkenallah seorang ulama tarikat dari Makasar, iaitu Syeikh
Yusuf Tajul Khalwati, di Terengganu atau Kelantan terkenal pula
barisan ulama dari Pattani yang antaranya ialah Syeikh Dawud bin
Abdullah al-Fatani, sedang di Palembang dan Kedah terdapat seorang
ulama yang berasal dari Palembang iaitu Syeikh Abdus Samad
al-Falimbani.Mengenai perkembangan ilmu syariyyah di Filipina,
kebanyakan rujukannya adalah bersal dari Semenanjung Tanah Melayu
dan juga Indonesia. Antaranya ialah Minhaj al-Talibin, Tafsir
al-Baidawi, Daqaiq al-Akhbar dan juga Qisas al-Anbiya. Malah di
sana juga berkembang ajaran tasawuf Martabat Tujuh tersebut.Melalui
perkembangan ilmu syariyyah atau naqliyyah dalam bahasa Melayu dan
bertulisan Jawi itu, maka berubahlah konsep pendidikan elitisme
kepada corak kerakyatan. Begitu rapatnya hubungan ulama dengan
rakyat terbukti jelas ketika berlakunya Perang Acheh-Belanda
(1873-1904) di mana para ulama bukan sahaja dianggap sebagai orang
berilmu tinggi bahkan sebagai pemimpin rakyat dan panglima perang
bagi masyarakat Acheh. Satu daripada cara hubungan yang lazim
digunakan oleh mereka ialah melalui syair-syair hikayat yang
dialunkan di madrasah-madrasah, terutamanya Hikayat Prang Sabi oleh
Teungku Cik Muhammad Pante Kulu yang membangkitkan semangat
berjuang dan rela berkorban. Jadi kalau pada zaman Hindu-Budhha
dahulu golongan agama adalah merupakan golongan elit yang terasing
daripada rakyat, kini pada zaman Islam para ulama dan ilmu itu
sendiri sudah menjadi hak bersama dan tersebar di merata-rata.Di
samping perkembangan Ilmu Syariyah atau Naqliyah (Ilmu Tauhid, Ilmu
Fiqh, dan Ilmu Tasawuf) yang semuanya tergolong sebagai karya-karya
turath Islami atau warisan tradisi Islam, sebenarnya terdapat pula
karya-karya dari genre atau golongan kepustakaan Ilmu tradisional
yang tidak berasaskan turath Islami, tetapi berasaskan tradisi
pra-Islam. Jelasnya di samping berlaku perubahan besar dengan
kedatangan Islam, berlaku juga persambungan tradisi ilmu-ilmu dari
warisan pra-Islam. Antara bidang-bidang ilmu tradisional ialah
seperti berikut:1. Ilmu bintang (astrologi)2. Ilmu firasat3. Ilmu
perbomohan4. Ilmu perkahwinan5. Ilmu perwayangan6. Ilmu
pertukangan7. Ilmu birahi8. Ilmu tanaman9. Ilmu senjata10. Ilmu
bahasaPENILAIANBerdasarkan bab yang lalu, nyatalah bahawa
kedatangan Islam ke Asia Tenggara memang membawa perubahan
(taghyir), tetapi tidak berubahnya beberapa aspek kehidupan adalah
lebih nyata lagi. Jika dari segi aqidah, pegangan masyarakat Islam
di Nusantara lebih bercorak talbis atau mencampuradukkan antara
yang hak dengan yang batil, maka dari segi syariat atau
kebudayaannya umat Islam hanya menerima beberapa bahagian (badhun)
sahaja dari hukum Islam, yakni menerima setengah prinsip Islam
tetapi menolak setengah prinsip yang lain. Sungguhpun syariat Islam
bersifat syumul atau menyeluruh dan lengkap, tetapi mereka hanya
tertarik kepada beberapa serpihan (juzi) ajaran Islam sahaja, tidak
semuanya sekali (kaffah). Terhadap pendirian seperti ini Al-Quran
mengatakan: Apakah kamu beriman kepada sebahagian (badhun) al-kitab
dan engkar kepada sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang
yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam
kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan kepada
seksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu
perbuat (al-Baqarah: 85).Dalam penilaian tentang pengaruh Islam,
dua orang tokoh Islam yang terkemuka, iaitu Prof. Dr. Hamka (mantan
Ketua Majlis Ulama Indonesia dan Imam Masjid Agung al-Azhar) dan
Dr. M. Natsir (mantan Perdana Menteri Indonesia dan Ketua Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia), menjelaskan bahawa corak gerakan
dakwah Islamiah di Nusantara yang terlalu menekankan sikap damai
dan menyesuaikan diri telah menimbulkan sinkretisme. Untuk
perbahasan yang lanjut tentang gejala sinkretisme di Asia Tenggara,
sila rujuk makalah F.P. Briggs, The Syncretism of Religion in
Southeast Asia, JAOS, LXXI (1951).Pendapat HamkaSebelum Islam kita
sudah mempunyai berbagai-bagai kepercayaan, dan kepercayaan itu
lebih jelas bersifat musyrik, belum mendapat tuntunan tauhid.
Setelah agama Islam, tidaklah mudah menghabiskan pengaruh
kepercayaan lama itu dengan sekali gusTerutama di Jawa, masuknya
agama Islam dengan damai itu tidaklah akan memperlekas proses
penggantian agama. Sehingga walaupun Islam telah masuk, bekas
ajaran agama yang dahulu belumlah hilang, malahan timbullah
sinkretisme, iaitu usaha mencari kecocokan dan penyesuaian. Dengan
demikian pergantian agama tidaklah banyak berkesan (Lihat bukunya,
Perkembangan Kebatinan di Indonesia, hal. 15).Pendapat M.
NatsirHikmah kebijaksanaan dalam mengadakan kontak pemikiran
pertama, dan membawa orang yang dihadapi kepada titik pertemuan
(kalimat al-sawa) yang akan jadi tempat bertolak tidaklah bisa
disamakan (lantaran memang berbeza) dengan apa yang disebut
menyesuaikan diri. Yakni menyesuaikan diri dengan apa yang
kebetulan sedang disenangi orang, sehingga isi atau zat dakwah
sendiri berubah lantarannya. Atau menyesuaikan diri menyembunyikan
sebahagian apa yang harus disampaikan, yakni, yang disebut kitman
yang tegas dilarang (al-Baqarah: 159).Yang semacam itu bukan
hikmah, bukan kebijaksanaan. Ini adalah menurutkan kemahuan orang,
yang oleh Al-Quran diperingatkan dengan tegas (al-Baqarah: 120).
Cara semacam ini, sebenarnya timbul dari keinginan yang
tersembunyi, hendak mengelakkan konfrontasi, sama ada disedari atau
tidak.Walaupun bagaimana, taktik semacam ini paling banyak dapat
menghasilkan semacam agama gado-gado, sinkretisme, kombinasi
pelbagai kepercayaan dan pemikiran bercampur-aduk, tidak jantan dan
tidak betina. Dalam istilah Al-Quran, talbis al-haq bil-batil,
percampur-adukan yang hak dengan yang batil.Ada bermacam-macam cara
yang bisa menimbulkan talbis. Adakalanya para pendokong dakwah
Islam yang menemui satu atau lebih macam kepercayaan dalam suatu
masyarakat, bersama-sama dengan para penganut kepercayaan lain itu
saling konfrontasi sama sekali malah juga dalam soal pokok yang
esensil yang Arkanul-Iman dan Arkanul Islam satu dan lainnya atas
nama toleransi.Hasilnya antara lain, seperti yang dikenal di negeri
kita ini, sebagai agama Kejawen. Hindu tidak, Buddha tidak, Islam
pun bukan. Tetapi dari ketiga-tiganya bercampur-aduklah serba
sedikit dalam jiwa seseorang penganutnya, sedangkan unsur yang satu
saling meneutralisir unsur yang lain. Di samping itu antara
penganutnya ada yang mengaku Islam atau beragama Kristian (Lihat
bukunya,Fiqhud-Dawah, hal 178-182).RumusanDakwah Islam sebenarnya
bersifat mengubah; (taghyir), bukan berkompromi atau menyesuaikan
diri dengan sasaran dakwah (madu). Memang dalam aapek-aspek yang
berubah-ubah (mutaghayyir) hukumnya berdasarkan nas-nas yang zhanni
atau tidak jelas, kita boleh bertolak ansur atau menyesuaikan siri
dengan amalan-amalan tempatan. Tetapi dalam aspek-aspek yang tetap
(thabat) yang berdasarkan nas-nas yang qati atau jelas dan tegas
(seumpama soal-soal aqidah, akhlak dan hudu), tidaklah boleh
bertolak ansur dengannya.Fenomena budaya sinkretisme (syncretic
culture) berlaku apabila umat Islam tidak emmahami ajaran yang
qatiyyah yang tidak ada kompromi dalam melaksanakannya, dan ajaran
yang zhanniyah yang masih boleh bertolak ansur dalam
melaksanakannya. Terutama dari segi aqidah, gejala sinkretisme di
mana berlakunya percampuran ajaran tauhid dengan kepercayaan
tenpatan yang berunsur syirik inilah yang disebutkan oleh Hamka dan
M. Natsir sebagai masih wujud di Nusantara, walaupun sudah menerima
pengaruh Islam. Ini bermakna dakwah Islamiyah di Nusantara belum
benar-benar berjaya menghakis warisan tradisi yang bercanggah
dengan aqidah (tauhid), syariat dan akhlak Islam.Oleh: Dr. Abdul
Rahman Hj. Abdullah.
Rumah Warisan Mariam Othman Kampung MortenRumah Warisan Mariam
Othman Kampung
Morten:http://rumahwarisanmariamothmankampungmorten.blogspot.com/
Rumah warisan Mariam Othman ini sudah berusia lebih daripada
seratus tahun lamanya, Rumah yang pada asalnya dimiliki oleh Sidang
Mahmood ini adalah diantara deretan rumah yang masih mengekalkan
nilai-nilai tradisi dan sejarah yang terkandung di Negeri Melaka.
Walau pun sudah dinaik taraf beberapa kali namun ini nilai sejarah
dan seni yang melekat di rumah ini tidak pernah pudar ditelan arus
kemodenan. Ada diantara bahagian rumah yang sudah wujud dan masih
kekal daripada zaman penjajahan British lagi seperti atap
rumah.Dicatat olehrumah warisan melakadi00:41No comments:Email
ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to
PinterestLabel:rumah warisan melakaSunday, 22 April 2012Rumah
Warisan Yaacob Buang Bukit GodekRumah Warisan Yaacob Buang Bukit
Godek:http://rumahwarisanyaacobbuangbukitgodek.blogspot.com/
Rumah milik Encik Yaacob bin Buang dan Puan Zaleha bt Kasim yang
terletak di 4801-Batu 3, Jalan Bukit Godek, Kampung Semabok Dalam
ini merupakan rumah yang mempunyai nilai senibina yang menarik.
Rumah ini didirikan pada tahun 1909 telah diduduki oleh beberapa
generasi namun keunggulan senibinanya masih kekal hingga ke hari
ini sebagai tatapan kehalusan seni ukiran Melayu untuk generasi
hari ini.
Maklumat dari akhbar
tempatan:http://www.kosmo.com.my/kosmo/content.asp?y=2012&dt=0325&pub=Kosmo&sec=Rencana_Utama&pg=ru_04.htmRumah
Busu Dolah tiada Pendua
FALSAFAH reka bentuk rumah tradisi Melayu Melaka sememangnya
sangat unik. Ia adalah garapan apresiasi pemiliknya terhadap budaya
Melayu, keindahan alam dan kehidupan bermasyarakat yang
diterjemahkan melalui ilham seni bina. Justeru, identiti rumah
Melayu Melaka begitu mudah dikenali. Bumbungnya panjang memayungi
bahagian serambi rumah dan binaan tangga batunya pula seakan-akan
wajib diberi kemasan jubin bermotif flora.
Bagi Yaakob Buang, 54, jendela yang dipasang rendah dan ukiran
kayu turut dijadikan tanda pengenalan. Lebih dikenali sebagai Busu
Dolah, penjawat awam ini merupakan pemilik satu-satunya rumah
tradisional Melayu Melaka yang ada di negara ini.
Kemewahan rumah yang diwarisi daripada datuknya, Hitam Buntal
ini bukan dilihat pada perabot atau hiasan dalaman sebaliknya
dinilai berdasarkan kehalusan ukiran dan seni binanya. Tersergam
indah di Jalan Bukit Godek, Kampung Semabok Dalam, Melaka, rumah
warisan tersebut sudah berusia 103 tahun.
TANGGA rumah Melayu Melaka seakan-akan wajibdihias dengan jubin
warna-warni dengan motif flora.
Menurut arwah bapa, rumah ini mula dibina pada tahun 1909 oleh
tukang rumah tempatan. Pembinaannya tidak menggunakan paku
sebaliknya memakai pasak dan tanggam sahaja, kata Busu Dolah. Mewah
dengan ukiran kerawang jenis tebuk tembus dan tebuk timbul di
keseluruhan serambi dan rumah ibu, ternyata ia melahirkan rasa
kagum yang bukan sedikit. Biarpun sudah didiami selama empat
generasi, keunggulan seni binanya yang masih kukuh sekali gus
membuktikan seni bina budaya Melayu suatu masa dahulu benar-benar
berkualiti.
Menurut Busu Dolah, rumahnya itu sering menjadi tumpuan
pelancong, arkitek, jurutera dan penuntut universiti tempatan.
Malah, ia juga menjadi pilihan pelbagai syarikat produksi serta
stesen penyiaran dari dalam mahupun luar negara untuk dijadikan
lokasi penggambaran.
Selain seni bina rumah, ukiran kerawang turut menggamit
pengunjung bertandang ke mari. Daripada kajian yang dijalankan,
semuanya berpendapat ukiran yang ada di rumah ini tiada penduanya
di tempat lain. Rumah ini juga dianggap sebagai satu-satunya rumah
warisan Melayu Melaka yang masih ada, katanya.
TERDAPAT 12 jendela kayu lengkap dengan kayu ram yang mengawal
kemasukan cahaya dan udara di serambi rumah.
Bercerita lanjut tentang ukiran yang menjadi penyeri
kediamannya, Busu Dolah memberitahu, sekeping ukiran kayu mengambil
masa selama tiga hari untuk disiapkan. Arwah datuk mengupah orang
kampung untuk mengukir kerawang dengan motif flora dan geometri
dengan upah 10 sen sehari. Diukir menggunakan pahat dan penukul,
hasil kerja tangan ini memang halus buatannya, ujarnya.Selain untuk
tujuan hiasan, kepelbagaian ukiran berlubang di atas jendela, muka
pintu dan dinding turut menggalakkan kemaskan udara dan cahaya ke
dalam rumah.
Memetik kata-kata Penolong Pengurus Projek, Badan Warisan
Malaysia, Intan Syaheeda Abu Bakar, ukiran penuh kerawang bukan
sahaja dipandang sebagai aksesori tetapi turut menunjukkan status
pemilik rumah. Boleh jadi juga, pintas Busu Dolah. Suatu masa
dahulu, arwah datuknya merupakan peniaga yang cukup disegani.
Selain mempunyai tanah bendang yang luas, beliau turut dikenali
sebagai pengeksport telur ikan terubuk Melaka ke Thailand.
Beliau juga menghasilkan baja sawah daripada tulang lembu yang
dibakar dan ditumbuk sebelum dijual kepada penduduk kampung, ujar
Busu Dolah lagi. Meneliti reka bentuk rumah yang berusia lebih
seabad ini, identiti rustik, canggih dan bistari yang diserap
melalui teknik pembinaannya nyata masih relevan untuk dipraktikkan
dalam seni bina masa kini. Selain berfungsi sebagai tempat
berlindung, binaannya tidak lari daripada perincian khusus bagi
memastikan keselesaan penghuni tanpa melupakan pengaruh adat dan
alam. Serambi adalah bahagian hadapan rumah di mana tuan rumah
menyambut kedatangan tetamu.
Jika ada yang bermalam di sini, kaum lelaki akan tidur
beramai-ramai di serambi sementara anak dara akan berehat dan tidur
di loteng atas rumah, ujar isteri Busu Dolah, Zainab Mat Yasin, 51.
Rumah ini pada asalnya memanjang ke belakang dan tidak mempunyai
rumah bawah. Namun, selepas lebih 70 tahun digunakan, bahagian
dapurnya dibuka dan diganti dengan rumah bawah yang dibina
menggunakan batu. Kos untuk membaiki rumah kayu sangat tinggi,
lagipun rumah asal mempunyai sebuah bilik sahaja, tambah Busu
Dolah. KEMEWAHAN rumah Busu Dolah dilihat dari aspekseni bina
tradisional dan ukiran kerawang yang halus buatannya.
Dicatat olehrumah warisan melakadi23:55No comments:Email
ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to
PinterestLabel:rumah warisan melakaFriday, 13 April 2012Rumah
Warisan Rabiah Mat Klebang BesarRumah Warisan Rabiah Mat Klebang
Besar:http://rumahwarisanrabiahmatklebangbesar.blogspot.com/
Rumah yang beralamat di no. 3764-C batu 3 1/2 Klebang besar,
75200 Melaka terletak berhampiran dengan Pantai Klebang yang kini
menjadi tarikan utama pelancong dari dalam dan luar negara. Rumah
ini diwariskan oleh Allahyarhammah Rabiah Binti Hj Mat kepada
anak-anak dan keturunannya. Sebenarnya rumah diwarisi oleh
Allahyarhammah daripada ayahandanya yang merupakan tulang belakang
kepada pembinaan rumah yang memilik 1001 keunikan dan nilai seni
dan budaya. Usia rumah ini dikhabarkan telah melebihi 100 tahun,
namun begitu oleh kerana aspek kehalusan dan ketelitian pembina
rumah ini telah menjadikan rumah ini masih utuh berdiri sehingga ke
hari ini. Rumah ini dijangka telah dibina sekitar tahun 1920an.
Dicatat olehrumah warisan melakadi02:36No comments:Email
ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to
PinterestLabel:rumah warisan melakaRumah Warisan Ariffin Ali Bukit
PalahRumah Warisan Ariffin Ali Bukit
Palah:http://rumahwarisanariffinalibukitpalah.blogspot.com/
Rumah yang dimiliki oleh Encik Ariffin Ani beralamat di No.
4024-C Lorong Haji Ariffin Ali, Jalan Bukit Palah, Melaka. Lokasi
rumah adalah berhampiran dengan Masjid Al-Azim dan juga Melaka
Sentral.
Maklumat dari PERZIM:
Rumah tradisional Melayu Melaka sememangnya merupakan daya
tarikan kepada para pelancong yang singgah ke Melaka. Sebagai
langkah pemuliharaan maka dua buah rumah tradisional yang terdapat
di Bukit Palah telah dipilih untuk dijadikan model dan
dinaiktaraf.
Rumah milik Encik Hamid bin Sidek dan Encik Ariffin bin Ali
dipilih berdasarkan kedudukannya yang srategik dan keunggulan
senibina rumah Melayu yang telah diwarisinya sejak turun temurun.
Kedua-dua buah rumah Melayu ini dibina sekitar tahun 1923 dan telah
melalui beberapa perubahan yang sedikitpun tidak mengganggu ataupun
merubah fasad hadapannya.
Rumah-rumah ini didapati mempunyai lanskap dan ciri-ciri asal
rumah Melayu yang perlu dipulihara mengikut garis panduan yang
telah ditetapkan di bawah Enakmen Pemuliharaan dan Pemugaran
Warisan Budaya 1988 (Pindaan 1993). Rumah Melayu ini juga mempunyai
daya tarikan yang tersendiri di mana setiap binaan dan struktur
asas rumah seperti tiang, bumbung, bendul, tingkap dan tangganya
dikatakan dibina dengan mewakili pelbagai maksud yang
tersendiri.
Bahan-bahan yang digunakan juga adalah terdiri daripada kayu
yang mudah diperolehi. Kerja-kerja baiikpulih semula kedua-dua
rumah tersebut telah dilaksanakan oleh pihak Perbadanan Muzium
Melaka melalui peruntukan Kerajaan Negeri Melaka. (sumber dari -
http://www.perzim.gov.my)Dicatat olehrumah warisan melakadi02:20No
comments:Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare
to PinterestLabel:rumah warisan melakaRumah Warisan Abu Hassan Mat
Pengkalan Batu
Rumah Warisan Abu Hassan Mat Pengkalan
Batu:http://rumahwarisanabuhassanmatpengkalanbatu.blogspot.com/
Rumah tradisional berbumbung limas ini terletak di Pengkalan
Batu, Melaka. Adalah milik En. Mat bin Wahab telah diwariskan
kepada Encik Abu Hassan. Rumah tersegam indah ini menggunakan
ukiran kayu merbau telah wujud sekitar tahun 1940an lagi.
Disebabkan rumah ini dibina berteraskan seni bina rumah lama
maka rumah warisan ini amat sesuai untuk dijadikan latar belakang
bagi sesebuah filem atau drama yang berunsurkan kisah Melayu
klasik. Antara filem yang pernah disunting berlatarbelakangkan
rumah lama ini ialah filem Hati Malaya:
1957 Hati MalayaPlot era kini menceritakan lima sahabat iaitu
Hali, Salmi, Rafik, Ani dan Ang Lee berusaha keras untuk
menerbitkan sebuah buku ilustrasi tentang kemerdekaan yang bertajuk
"1957 - Hati Malaya". Hali berperanan sebagai editor menjadikan
bekas rumah datuknya sebagai pejabat mereka. Dalam pada masa yang
sama, Hali berusaha mengumpulkan wang sekurang-kurangnya RM 2 juta
untuk mendapatkan semula rumah yang penuh kenangan itu.Sambil
mereka cuba menyiapkan buku tersebut, imbasan bermula dengan tiga
orang dari tahun 1940-an iaitu Normala, Muzafar dan Khalilah
berpindah untuk membuka Warung Asam Laksa. Kemudian dipaparkan
perbincangan Anwar Malekiaitu seorang ketua kerani Jabatan Kerja
Raya, dan Dato' Onn yang ketika itu merupakan Pegawai Daerah Batu
Pahat, tentang kerisauan mereka dengan penubuhan Malayan Union.
Mereka kemudian mengusulkan satu persatuan untuk mengumpul
orang-orang Melayumenentang gagasan tersebut dan Anwar menamakan
"United Malays National Organisation" (UMNO).Dicatat olehrumah
warisan melakadi01:34No comments:Email ThisBlogThis!Share to
TwitterShare to FacebookShare to PinterestLabel:rumah warisan
melakaThursday, 12 April 2012Rumah Warisan Jaafar Hasim Kampung
SerkamRumah Warisan Jaafar Hasim Kampung
Serkam:http://rumahwarisanjaafarhasimkampungserkam.blogspot.com/
Rumah yang terletak di Jalan Datuk Andak, Kampung Serkam Timur
ini dimiliki oleh Haji Jaafar Hahim. Ianya telah dibina lebih dari
100 tahun dan berada di kawasan yang terkenal dengan masakan ikan
bakar dan ianya juga berhampiran dengan balai polis serta balai
raya Kampung Serkam.Maklumat dari
akhbar:http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2012&dt=0308&pub=Utusan_Malaysia&sec=Selatan&pg=ws_01.htm
ARKIB : 08/03/2012Serkam syurga makanan halalOleh AMRAN
[email protected]
Gerai ikan di Sempang menyediakan pelbagai jenis ikan segar
untuk pelangganyang datang dari kawasan sekitar dan luar dengan
harga yang berpatutan.JASIN 7 Mac - Kampung Serkam adalah sebuah
kampung antara yang tertua di negeri ini dan selalu mendapat
kunjungan pedagang Islam dari Arab dan India. Mereka datang
berdagang dan mengembangkan ajaran Islam dan kawasan ini juga
menjadi tempat persembunyian pahlawan-pahlawan dari Palembang yang
kalah berperang. Ini menjadikan Kampung Serkam mempunyai banyak
rahsia.
Asal usul kampung ini berasal dari perkataan Arab 'Sir'
bermaksud rahsia dan 'Kam' bermaksud banyak. Sirkam bermaksud
'kampung banyak rahsia dan ia diubah menjadi Serkam. Dulu, Kampung
Serkam terkenal dengan gelaran 'Serambi Mekah' kerana ramai anak
muda pergi mempelajari bidang agama Islam di Mekah dan pulang
menjadi guru agama dan mendirikan pondok-pondok agama. Kampung
Serkam mempunyai kawasan yang luas merangkumi Kampung Umbai, Pulai,
Tedong dan Sempang tetapi setelah Tanah Melayu mencapai kemerdekaan
pada 31 Ogos 1957 ia telah dipecah-pecahkan bagi memudahkan ia
diurus dan ditadbir.
Kini kawasan Dewan Undangan Negeri (DUN) Serkam meliputi Kampung
Bukit Tembakau, Umbai Pantai, Berangan Enam, Tanjung, Seri Minyak,
Pulai, Serkam Darat, Tedong, Sempang dan kampung Serkam. Masa sudah
berlalu dari sebuah perkampungan terpencil, Serkam kini membangun
di mana penduduknya menikmati pelbagai infrastruktur kemudahan awam
di setiap kampung di DUN tersebut.
Komitmen dan kesungguhan kerajaan negeri dapat dilihat dengan
terbinanya kemudahan asas untuk masyarakat di Serkam seperti
kemudahan balai raya, dewan serba guna, surau, masjid, sekolah
menengah dan rendah, gerai-gerai perniagaan, tandas awam dan
sebagainya. Terdapat dua buah sekolah menengah, tujuh sekolah
rendah serta sebuah sekolah jenis kebangsaan Cina dan Tamil di
samping mempunyai sepuluh buah masjid serta 53 surau di seluruh DUN
Serkam.
Di bawah Ahli Dewan Undangan Negeri (ADUN) Serkam, Datuk Ghazale
Mohamad yang juga Pengerusi Jawatankuasa Pengangkutan, Penerangan,
Perpaduan dan Pengguna negeri, Serkam membangun dengan mempunyai
tarikan tersendiri berbanding beberapa daerah yang lain di negeri
ini. Tidak hairanlah Serkam boleh dilabelkan sebagai syurga makanan
halal di negeri ini. Mercu tanda utama di kawasan ini ialah Serkam
Halal Hub yang menjadi kawasan hab industri terbesar di negeri ini
selain berdaya saing di peringkat antarabangsa.
Dibangunkan di kawasan seluas 53. 4 hektar di Kawasan
Perindustrian Serkam, kini menjadi hab pengedaran produk halal bagi
mempelbagaikan ekonomi di DUN tersebut selain membuka peluang
perniagaan dan pekerjaan baru kepada penduduk setempat. Serkam
Halal Hub mempunyai 58 usahawan Bumiputra terlibat dalam industri
seperti pembuatan sarung tangan getah, kotak telor, mayonis,
makanan ternakan, roti putar, jus, minuman dan makanan ringan,
acar, koko minda serta herba.Dicatat olehrumah warisan
melakadi03:11No comments:Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare
to FacebookShare to PinterestLabel:rumah warisan melakaSunday, 8
April 2012Rumah Warisan Omar Md Nawi Tanjung KlingRumah Warisan
Omar Md Nawi Tanjung
Kling:http://rumahwarisanomarmdnawitanjungkling.blogspot.com/
Rumah ini dipunyai oleh Encik Omar Md Nawi terletak di Tanjung
Kling Melaka telah berusia lebih dari 30 tahun ianya telah
dipindahkan daripada kedudukan asal rumah tersebut pada tahun 1980
dengan cara mengangkat rumah tersebut beramai-ramai.
Rumah ini menjadi tumpuan pembuat filem dan drama untuk menjadi
lokasi pengambaran filem atau drama mereka antaranya adalah 'Asmara
Pontianak K-Pop', 'Pabila Syaitan Berbisik', 'Noktah Pilu' dan
'Sapu Tangan Merah':
Asmara Pontianak K-PopMengisahkan tentang dua pemuda kampung
yang selalu mahu menyaingi diantara satu sama lain. Jejai atau nama
sebenarnya Sujaiman Jupri adalah seorang konduktor bas di Bandar
Kuala Selangor. Seorang yang baik, mesra, lucu dan jujur. Suka
melaram dan bergaya walaupun hanya seorang konduktor bas. Manakala
pesaingnya Rain atau nama sebenarnya Tamirin Seeron adalah seorang
pemuda berwajah jambu yang berlagak cool, trendy dan fanatikkan
muzik k-pop dan fesyen korea.
Pabila Syaitan BerbisikDisiarkan Radio Televisyen Malaysia (RTM)
pada 22 April 2011 meletakkan barisan pelakon terkenal Dato'
Jalaludin Hasan, Dian P.Ramlee, Remy Ishak, Ayu Raudah dan
Hafizudin. Ayu Raudah membawakan watak jahat sebgai gadis kampung
lupa daratan yang sanggup menghancurkan rumahtangga orang lain demi
mengejar kemewahan hidup.
Dicatat olehrumah warisan melakadi23:00No comments:Email
ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to
PinterestLabel:rumah warisan melakaRumah Warisan Wahab Arshad
SelandarRumah Warisan Wahab Arshad
Selandar:http://rumahwarisanwahabarshadselandar.blogspot
Rumah yang dimiliki oleh Encik Wahab Arshad ini telah dibina
pada tahun 1924, kerja-kerja penambahan bagi bahagian belakang
rumah ini telah dilakukan pada tahun 1940. Rumah ini kini didiami
oleh Puan Normala Ali iaitu waris kepada pemilik rumah ini.Dicatat
olehrumah warisan melakadi04:20No comments:Email ThisBlogThis!Share
to TwitterShare to FacebookShare to PinterestLabel:rumah warisan
melakaRumah Warisan Rabiah Luwy Pengkalan BatuRumah Warisan Rabiah
Luwy Pengkalan
Batu:http://rumahwarisanrabiahluwypengkalanbatu.blogspot.com
Rumah ini adalah milik En. Tapah bin Umar telahdibina sebelum
tahun 1960 telah diwariskan kepada menantu beliau iaitu Puan Rabiah
Luwy. Rumah limas ini terletak di Pengkalan Batu, Melaka turut
menjadi pilihan para produserfilem dan dramauntuk melakukan
pengambaran bagi filem dan drama mereka di sini antaranya 'Anak
Kerak', "Burger Layang Diri', 'Bomoh Temberang' dan 'Ustaz
Cokelat'.
Burger Layan Diri
Telefilem Burger Layan Diri ini mengisahkan tiga sahabat yang
malas bekerja dan suka berangan-angan untuk memiliki hati Salmah
yang merupakan seorang gadis cantik di kampung mereka. Pada suatu
hari mereka mendapat idea untuk membuka gerai burger bagi mengubah
kehidupan mereka. Pada mulanya perniagaan mereka sangat maju,
didorong dengan sifat kemalasan yang sedia ada mereka
memperkenalkan teknik burger layan diri.
Bomoh Temberang
Telemovie Bomoh Temberang mengisahkan seorang budak kampung
bernama Samad yang ingin hidup mewah dengan cara yang mudah iaitu
menjadi bomoh. Disebabkan cinta pada anak pengusaha kedai makan dia
sanggup untuk menjadi bomoh temberang yang akhirnya memakan diri
sendiri. Saksikan Jepp Sepah, Liza Abdullah, Rosnah Mat Aris dan
ramai lagi.
Ustaz Cokelat
Drama ini mengisahkan Hj Kassim yang pulang ke kampung bersama
anak perempuannya, Hasnah. Hj Kassim cuba mentarbiahkan Geng Abot
dan Geng Sidek untuk 'meminati' aktiviti surau. Bagi menjayakan
misi tersebutUstaz Kassim menggunkan coklat dengan memasak coklat
untuk semua penduduk kampung. Hasrat Hj Kassim untuk
berdakwahdengan menggunakan coklattelah menerima ejekan daripadaHj
Shuib.
Dicatat olehrumah warisan melakadi03:44No comments:Email
ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to
PinterestLabel:rumah warisan melakaMonday, 2 April 2012Rumah
Warisan Joret Ali Kampung MortenRumah Warisan Joret Ali Kampung
Morten:http://rumahwarisanjoretalikampungmorten.blogspot.com/
http://www.kosmo.com.my/kosmo/content.asp?y=2009&dt=0130&pub=Kosmo&sec=Rencana_Utama&pg=ru_02.htm
Legasi Kampung MortenKampung tradisional Melayu ini seperti
muzium hidup.RAMAI pelancong yang melawat Kampung Morten menganggap
kampung tradisional Melayu ini sebagai muzium hidup.Ini tidak
menghairankan kerana ramai penduduk kampung itu masih mengamalkan
cara hidup lama, di samping mempamerkan keunikan reka bentuk rumah
mereka. Kampung Morten yang diambil sempena nama seorang
Pesuruhjaya Tanah Inggeris, Frederick Joseph Morten, mempunyai 85
buah rumah termasuk 52 rumah tradisional Melaka. Morten dipercayai
memainkan peranan penting bagi membina kampung itu pada tahun
1920-an, sementara pengasasnya dikenali sebagai Allahyarham Othman
Mohd Noh. Kampung itu terletak di kawasan paya yang diliputi hutan
pokok nipah di pinggir Sungai Melaka.
Kampung Morten merupakan satu-satunya kampung Melayu di bandar
bersejarah Melaka yang masih memiliki identiti tersendiri.
Antaranya reka bentuk rumah, cara menghias rumah dan landskapnya.
Rumah tradisional Melaka dibina dengan reka bentuk warisan
masyarakat Melayu bercirikan bumbung atap yang panjang dan tangga
batu bersalut jubin. Tangga batu merupakan ciri-ciri utama, di
samping ukiran kayu di bahagian serambi yang unik. Halaman rumah
tradisional tersebut biasanya dihiasi dengan pelbagai jenis pokok
bunga. Ini menjadikan Kampung Morten begitu istimewa dan berupaya
menarik pelancong dari dalam dan luar negara.
Pengunjung berpeluang melihat kesemua deretan rumah tradisional
yang tersusun dari segi bentuk bumbung, tangga dan hiasan dalaman.
Ia seolah-olah membawa pengunjung kembali ke zaman kerajaan Melayu
Melaka. Kampung Morten mendapat perhatian penuh kerajaan Melaka dan
diwartakan di bawah Enakmen Pemuliharaan dan Pemugaran Warisan
Budaya pada tahun 1988 sebagai kawasan perkampungan tradisional
Melayu dan pusat tarikan pelancong. Kini, perkampungan itu
dikelilingi bangunan moden dan aliran air Sungai Melaka yang bersih
dengan kedua-dua tebing sungai diperindah oleh kerajaan negeri.
Mereka yang menaiki Melaka River Cruise, berpeluang menyusuri
kira-kira empat kilometer di sungai berkenaan, tentunya terpegun
melihat rumah tradisional Melayu yang terdapat di kampung
tersebut.
BernamaDicatat olehrumah warisan melakadi19:24No comments:Email
ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to
PinterestLabel:rumah warisan melakaRumah Warisan Rahimah Tompang
Pengkalan BatuRumah Warisan Rahimah Tompang Pengkalan
Batu:http://rumahwarisanrahimahtompangpgklnbatu.blogspot.com/
Rumah yang beralamat di No. C 8481 Batu 3 1/2 Pengkalan Batu,
Batu Berendam, Melaka ini dimiliki oleh Puan Rahimah binti Tompang.
Rumah telah berusia lebih dari seratus tahun terus mengekalkan
keindahan seni bina rumah limas melaka dengan ukiran dan seni taman
yan sungguh indah.
Kawasan ini turut mengekalkan suasa perkampungan Melayu Melaka
di mana pada setiap hujung minggu kawasan perkampungan Pengkalan
Batu ini sentiasa bersedia untuk menerima kunjungan pelancong dari
luar dan juga pengunjung tempatan.
Maklumat melalui akhbar
:http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2000&dt=1001&pub=Utusan_Malaysia&sec=Gaya_Hidup&pg=ls_01.htm
ARKIB : 01/10/2000 Utusan MalaysiaKeunikan rumah kayu Melaka
RAHIMAH Tompang menunjukkan salah sebuah bakul antik peninggalan
keluarganya.
Rata-rata pelancong asing ini tertarik dengan keunikan cara
hidup dan budaya masyarakat Melayu serta keindahan reka bentuk
rumah Melayu Melaka yang jelas dilihat di Malacca Kampung House
yang terletak kira-kira 5.6 kilometer dari bandar Melaka.Pemilik
rumah berkenaan, Rahimah Tompang, 49, berkata, sejak dibuka kepada
pelancong pada bulan Mei 1998, hampir 5,000 pelawat asing dan
tempatan telah mengunjungi rumah tersebut.
Kebanyakan mereka yang datang dari Eropah, Asia Timur dan
Amerika Syarikat dapat menyaksikan sendiri cara hidup dan budaya
masyarakat Melayu di negara ini. "Melalui lawatan itu mereka lebih
memahami dan mengetahui adat resam, kebudayaan dan kehidupan
keluarga Melayu,'' katanya ketika ditemui di rumahnya baru-baru
ini.
Di rumah yang berusia hampir 100 tahun itu, para pelancong
berpeluang menyaksikan keindahan reka bentuk rumah Melayu Melaka
yang terdiri daripada serambi, rumah ibu dan dapur. "Mereka juga
berpeluang menyaksikan barang-barang untuk upacara perkahwinan
masyarakat Melayu seperti pelamin, bilik pengantin, barang-barang
hantaran dan pakaian pengantin. "Mereka boleh juga memakai pakaian
pengantin yang disediakan untuk dirakamkan sebagai kenangan,''
katanya. Rahimah yang merupakan ibu kepada 14 orang anak
memberitahu, pelancong juga merasa seronok apabila diberi peluang
mencuba memakai kain pelikat dan kain batik.
Selain barangan pengantin, rumah tersebut juga mempamerkan
barang-barang antik seperti tempat bara, seterika lama, pinggan
mangkuk lama, pengisar beras, tempayan dan sebagainya. Di luar
rumah pula, selain pelbagai pokok bunga, Rahimah turut menanam
tumbuhan yang digunakan untuk masakan kaum Melayu seperti lengkuas,
daun pandan dan pelbagai jenis ulam-ulaman. Menurutnya, usaha
mempertahankan rumah tradisional itu adalah sejajar dengan langkah
kerajaan untuk memajukan sektor pelancongan di negeri ini. Rahimah
berharap mendapat bantuan daripada kerajaan untuk menambah koleksi
barangan antik seperti replika rumah Melayu Melaka dan gong untuk
dipamerkan di rumah tersebut.
Sementara itu, seorang pemandu pelancong yang sering membawa
pelancong ke rumah itu, A. Shanti, 31, berkata, kebanyakan
pengunjung kagum dengan kehidupan masyarakat Melayu dan perpaduan
penduduk Malacca Kampung House. "Mereka juga terkejut melihatkan
saya yang berbangsa India begitu memahami cara hidup kaum Melayu
dan mampu memberi penjelasan kepada mereka. "Menurut mereka, ini
jauh berbeza dengan maklumat yang mereka terima sebelum ini yang
menyatakan rakyat negara ini tidak hidup dalam harmoni,''
katanya.Dicatat olehrumah warisan melakadi03:54No comments:Email
ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to
PinterestLabel:rumah warisan melakaThursday, 29 March 2012Rumah
Warisan Hajah Kamarbee Kampung MortenRumah Warisan Hajah Kamarbee
Kampung Morten
:http://rumahwarisankamarbeekampungmorten.blogspot.com
Rumah warisan yang beralamat di No. 135-A Kampung Morten, Melaka
ini telah dibina pada tahun 1945. Rumah ini kini menjadi milik Puan
Hajjah Kamarbee binti KM Abu Bakar.
Rumah ini pernah menjadi johan rumah tradisional tercantik bagi
kategori rumah tradisional di Kampung Morten. Pemilik rumah ini
juga mempunyai kepakaran di dalam seni kerja tangan membuat
buah-buahan dan kuih muih tradisional seramik.
Maklumat mengenai Kampung
Morten:http://ww2.utusan.com.my/utusan/special.asp?pr=merdeka2008&y=2008&dt=0820&pub=merdeka2008&sec=Berita&pg=md_05.htm
Utusan Malaysia 28/08/2002Contohi semangat patriotik penduduk
Kampung Morten
Mohd. Aboobaker Yaakob (kiri) bersama anaknya, Zaeed Aboobaker
ceria setelah berjaya menyiapkankerja-kerja mengecat bumbung rumah
mereka dengan warna Jalur Gemilang, baru-baru ini.
MELAKA 19 Ogos - Penduduk negeri ini diminta meningkatkan
semangat patriotik dengan menghiasi premis kediaman dan bangunan
masing-masing bagi menyemarakkan sambutan kemerdekaan ke-51 yang
bakal disambut pada 31 Ogos ini.
Pengerusi Jawatankuasa Pelancongan, Kebudayaan dan Warisan
negeri, Datuk Seet Har Cheow berkata, usaha penduduk Kampung Morten
menghiasi tempat tinggal dan sekeliling kampung tersebut dengan
bendera serta replika Jalur Gemilang wajar dicontohi masyarakat
lain. Katanya, usaha seperti itu penting digerakkan bagi
memeriahkan lagi sambutan kemerdekaan selain bergantung kepada
acara yang dianjurkan oleh kerajaan negeri.
''Kerajaan negeri amat berterima kasih kepada penduduk khususnya
keluarga di Kampung Morten yang mengambil inisiatif mengecat rumah
mereka dengan bendera Jalur Gemilang bagi memeriahkan sambutan
bulan kemerdekaan tahun ini. ''Biarpun tiada peruntukkan atau
bantuan diberikan kepada keluarga ini namun mereka tetap
bersungguh-sungguh melaksanakan kempen sambutan kemerdekaan
walaupun terpaksa mengeluarkan belanja sendiri," katanya ketika
dihubungiUtusan Malaysiadi sini hari ini.
Beliau berkata demikian ketika ditanya mengenai usaha penduduk
Kampung Morten menggerakkan program sambutan kemerdekaan di kampung
tersebut yang juga merupakan kampung tradisional masyarakat Melayu
yang terletak di tengah- tengah pusat bandar Melaka.Kata Har Cheow,
setakat ini, kerajaan negeri tidak mempunyai peruntukan khas untuk
disalurkan kepada penduduk Kampung Morten yang terlibat menjayakan
program dan kempen bulan kemerdekaan memandangkan ia dijalankan
secara sukarela. Menurutnya, masyarakat tidak perlu mengharap
bantuan daripada kerajaan negeri sekiranya ingin terlibat
menjayakan program bulan kemerdekaan kerana ia juga merupakan bukti
tanda cinta dan sayangnya rakyat kepada negara.Katanya,
tanggungjawab menyemarak sambutan hari kemerdekaan tidak seharusnya
juga diserahkan sepenuhnya kepada kerajaan sebaliknya ia perlu
dijayakan bersama oleh masyarakat dan pihak bukan kerajaan (NGO).
''Rakyat jangan bersikap hanya tunggu, mengharap dan seolah-olah
tidak berdaya membuat suatu apa pun, paling kurangnya pun keluar
beramai-ramai menyaksikan perarakan Hari Kemerdekaan," katanya.
Beliau berkata, masyarakat diharap tidak terlalu berkira wang
ringgit semata-mata hanya untuk membeli Jalur Gemilang bagi tujuan
untuk memasang bendera pada kenderaan dan rumah kediaman. ''Semua
ini memerlukan pengorbanan dan semangat nasionalisme yang tinggi di
kalangan masyarakat tetapi tidak semua di antara kita yang memiliki
sifat-sifat ini," katanya.
Dicatat olehrumah warisan melakadi20:43No comments:Email
ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to
PinterestLabel:rumah warisan melakaWednesday, 28 March 2012Rumah
Warisan Penghulu Md Natar MerlimauRumahWarisan Penghulu Md Natar
Merlimau
:http://rumahwarisanpenghulumdnatarmerlimau.blogspot.com/
warisan terindah seni bina melayuRumah ini telah dibina pada
tahun 1831 dengan anggaran kos sebanyak RM23,000 ini dibangunkan
oleh Penghulu Demang Abdul Ghani. Rumah ini telah diwariskan kepada
anak beliau iaitu Penghulu Md Natar mempunyai pelbagai unsur alam
dalam seni binaan sebagai lambang kemahiran, keunikan
danwarisanseni bina orang Melayu dahulu.
Maklumat dari akhbar
:http://www.kosmo.com.my/kosmo/content.asp?y=2011&dt=0510&pub=Kosmo&sec=Urban&pg=ur_02.htm
Rumah Melayu asli Penghulu NatarOleh MAZLINA ABDUL
[email protected]
TANGGA di rumah ini dihiasi dengan jubin yang diimport dari
negara China.
RUMAH Penghulu Natar yang terletak di Merlimau, Melaka sudah
berusia hampir dua abad. Namun, ia masih tegap dan gah di tapak
asalnya. Sesungguhnya, ia kekal tersergam atas titik peluh dan
kemahiran tukang kayu pada zaman dulu sangat mengagumkan.Pewaris
rumah bersejarah itu, Md. Ramli Md. Natar, 66, berasa bertuah. Dia
telah mewarisi satu hasil seni bina yang dikatakan melampaui zaman
dan warisan budaya.Rumah persis Istana Melaka itu mula dibina pada
tahun 1895 sebelum menjalani siri proses ubah suai dan siap
sepenuhnya pada tahun 1918. Sesetengah penduduk Merlimau memberi
jolokan rumah itu sebagai Istana Merlimau atau Rumah Merlimau.Datuk
saya, Datuk Demang Haji Abdul Ghani Haji Abdul Majid dan ayah saya,
Penghulu Natar berjaya melahirkan nilai-nilai estetika dan
kehalusan pada rumah yang kami anggap sebagai satu yang luar biasa,
kata Md. Ramli. Ketika kedatangan Kosmo!, anaknya, Rizal, 37, yang
merupakan pewaris seterusnya turut serta.
Mahkamah rakyat
Md. Ramli dengan rela hati membawa penulis meninjau isi dalam
rumah yang penuh nostalgia itu. Rumah yang mempunyai pengaruh
Palembang, Kemboja, Champa dan Filipina itu boleh disimpulkan
sebagai unik. Bentuk rumah itu mempunyai ciri Melayu tetapi
anjungnya berbumbung limas. Rumahnya besar dua sebandung dengan
dapur masaknya berbumbung lintang dan ruangnya juga sangat luas.
Rumah besar dan dapurnya dipisahkan oleh sebuah pelantar simen,
tiga buah anjung, serambi, dapur memasak dan perigi. Perkara yang
menarik dalam rumah itu ialah tiang serinya. Ia mempunyai tiang
asas tetapi tiang tersebut telah dilapik dengan papan berlorek yang
hiasi kelopak bunga. Tangga di hadapan rumah pula dihiasi dengan
jubin yang diimport dari China. Rumah Penghulu Natar mematuhi
prinsip rumah Melayu asli yang mengekalkan tradisi seni bina alam
Melayu. Rumah itu cukup luas tetapi tidak berbilik. Kata Md. Ramli,
jika ia berbilik, rumah itu akan bertentangan dengan elemen rumah
Melayu tulen. Pada era dahulu, rumah tradisional bukan semata-mata
dijadikan kawasan kediaman tetapi fungsinya umpama istana.
RUANG luas serambi rumah dijadikan sebagai Mahkamah Rakyatyang
membicarakan kes-kes jenayah di Melaka pada zaman dulu.
Antara peranan penting ialah rumah itu juga bertindak sebagai
Mahkamah Rakyat. Demang Abd. Ghani ketika itu telah diberi kuasa
oleh pihak British untuk menyelesaikan dan membicarakan masalah
sosial rakyat. Antara kes yang dibicarakan mengikut pertimbangan
ialah kes mencuri, melarikan anak dara dan masalah tanah. Lazimnya,
Mahkamah Rakyat akan bersidang pada sebelah malam. Dibelakang rumah
itu juga, terdapat lokap untuk penahanan sementara, sebelum pesalah
dihantar kepada pihak polis.
Pelamin kekal dan loteng
Md. Ramli menambah, rumah tersebut juga pernah dijadikan sebagai
Pejabat Daerah dan Pejabat Memungut Cukai. Mesyuarat rasmi kerajaan
selalu diadakan di sini. Pegawai British biasanya akan menaiki kuda
untuk datang ke sini dan selalu akan bermalam di rumah ini,
katanya. Perang Naning (1831-1832) dan Perang Rokam (1887) yang
meletus di Serkam, Melaka telah menyebabkan British memaksa orang
Melaka membayar cukai. Cukai yang dibayar dalam bentuk tunai atau
hasil tanaman seperti padi dan kelapa turut berpusat di rumah
bersejarah itu. Setiap hari ada saja cukai yang dihantar melalui
kereta lembu ke rumah itu. Sepanjang tinjauan Kosmo! di kawasan
rumah tradisional itu, tumpuan jadi terarah ke kawasan tengah
rumah. Itulah pelamin yang dibina secara kekal. Ia digunakan ketika
masyarakat Merlimau melangsungkan perkahwinan, terang Md. Ramli.
Pelamin itu mempunyai dua aras dan lengkap dengan pagarnya sekali.
Ukirannya begitu menarik dan teliti. Pada masa dulu, di kiri kanan
pelamin itu terdapat ukiran dua ekor naga yang dicat dengan warna
emas. Satu lagi ciri rumah Melayu yang terdapat di rumah Penghulu
Natar ialah loteng. Lotengnya sangat luas. Untuk naik ke loteng
berkenaan, sebuah tangga kayu disediakan.Menurut Md. Ramli,
biasanya ruang loteng itu menempatkan anak-anak gadis ketika majlis
perkahwinan.
Inap desa
Baru-baru ini, Kerajaan negeri Melaka berhasrat menjadikan rumah
tradisional Penghulu Natar menjadi produk pelancongan inap desa.
Memetik kenyataan Ketua Menteri, Datuk Seri Mohd. Ali Rustam,
keunikan dan populariti rumah tersebut wajar dikomersialkan.
Menurutnya, usaha itu selain meningkatkan pencapaian industri
pelancongan negeri, turut menyumbang kepada pendapatan negeri dalam
sektor berkenaan. Amat wajar keunikan dan keistimewaan rumah ini
diketengahkan kepada masyarakat luar terutama pelancong asing yang
belum pernah melihat sendiri rumah kampung tradisional, kata
beliau. Mohd. Ali sendiri terpesona dengan keunikan jubin lama dan
saiz rumah itu yang boleh menampung kehadiran pelancong, termasuk
mereka yang ingin bermalam. Sementara itu, tokoh sejarah Melaka,
Baharam Azit, 69, berkata, rumah itu perlu diawasi dan dijaga
sebaik-baiknya supaya tidak lenyap ditelan zaman. Sejarah rumah ini
harus dipelihara supaya terus menjadi kenangan bangsa dan
kebanggaan negara, katanya.