Mencret Berkepanjangan
MENCRET BERKEPANJANGAN
Seorang laki-laki, 25 tahun, mengeluh diare yang hilang timbul
sejak 3 bulan yang lalu. Selain itu pasien juga mengeluh sering
demam, sariawan, tidak nafsu makan dan berat badan menurun 10 kg
dalam waktu 3 bulan terakhir. Dari riwayatnya dikatakan pasien
sering melakukan hubungan seksual secara bebas.
Pada pemeriksaan fisik pasien terlihat kaheksia, mukosa lidah
kering dan terdapat bercak-bercak putih. Pemeriksaan laboratorium
darah rutin LED 50 mm/jam. Pemeriksaan feses terdapat sel ragi.
Pada pemeriksaan srening antibodi HIV didapatkan hasil (+) kemudian
dokter menganjurkan pemeriksaan konfirmasi HIV dan hitung jumlah
limfositT CD4 dan CD8.
Dari data tersebut dokter menyimpulkan bahwa penderita ini
mengalami gangguan defisiensi imun akibat terinfeksi virus HIV.
Dokter menganjurkan pasien untuk dating ke dokter lain dengan
alasan yang tidak jelas.
Sasaran Belajar
LO 1. Memahami dan Menjelaskan Respon Imun
LI. 1.1 Pengertian Respon Imun
LI. 1.2 Mekanisme Respon ImunLI. 1.3 Klasifikasi Respon Imun
LO 2. Memahami dan Menjelaskan tentang Defisiensi ImunLI. 2.1.
Definisi Defisiensi Imun
LI. 2.2.Etiologi Defisiensi Imun
LI. 2.3.Klasifikasi Defisiensi Imun
LO 3. Mampu Memahami Penyakit Akibat Infeksi Virus HIVLI.
3.1.Definisi Infeksi HIVLI. 3.2.Epidemiologi Infeksi HIVLI.
3.3.Etiologi Infeksi HIVLI. 3.4.Patofisiologi Infeksi HIVLI.
3.5.Manifestasi Infeksi HIVLI. 3.6.Diagnosis Infeksi HIVLI. 3.7.
Pemeriksaan Infeksi HIVLI. 3.8.Penatalaksanaan Infeksi HIVLI.
3.9.Komplikasi Infeksi HIVLI. 3.10.Penceghan Infeksi HIVLI.
3.11.Prognosis Infeksi HIVLO 4. Mampu Menjelaskan Hukum dan Etika
Islam Terkait dengan Penderita HIV/AIDSLI 1. Memahami dan
Menjelaskan Respon Imun
LO .1 Pengertian Respon Imun
Merupakan sistem pertahanan internal yang berperan dalam
mengenal dan menghancurkan benda-benda di dalam tubuh yang asing
bagi diri normal.Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul
dan bahan lainnya terhadap mikroba.
Respon Imun adalah respon yang ditimbulkan oleh sel-sel dan
molekul yang menyusun sistem imunitas setelah berhadapan dengan
substansi asing. Respon imun bertanggung jawab mempertahankan
kesehatan tubuh, yaitu mempertahankan tubuh terhadap serangan sel
patogen maupun sel kanker.
LO 2.2 Mekanisme Respon Imun
Mekanisme efektor adalah cara bagaimana respons imun spesifik
dan non spesifik menghancurkan dan menyingkirkan patogen dari
tubuh. Fase efektor adalah bagian respons imun setelah pengenalan
antigen dan fase aktivasi selama antigen asing seperti mikroba
diinaktifkan atau dihancurkan. Inflamasi merupakan respons kompleks
terhadap cedera lokal atau trauma lain dan melibatkan berbagai
komponen sistem imun dan sejumlah mediator.
a. Sistem Imun Nonspesifik Merupakan komponen normal tubuh.
Tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu, telah ada dan siap
berfungsi sejak lahir.
Mekanismenya tidak menunjukan spesifitas terhadap benda asing
dan mampu melindungi tubuh terhadap banyak patogen potensial.
Pertahan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan
dapat memberikan respon langsung
Pertahanan fisik/mekanik: kulit, selaput lendir, silia saluran
nafas, batuk dan bersin adalah pertahanan terdepan terhadap
infeksi.
Pertahanan biokimia: beberapa mikroba bisa masuk melalui,
Kelenjar sebaseus dan folikel rambut, pH asam keringat dan
sekresi sebaseus, berbagai asam lemak yang dilepas kulit mempunya
efek denaturasi terhadap protein membrane sel sehingga dapat
mencegah infeksi. Lizosim pada keringat,ludah, air mata dan air
susu ibu melindungi tubuh dari kuman Gram (+) dengan menghancurkan
lapisan peptidoglikan. Laktooksidase dan asam neuraminik di air
susu ibu mempunyai sifat antibacterial terhadap E.coli dan
stafilokokus. Di saliva mengandung laktooksidase yang merusak
dinding sel mikroba dan menimbulkan kebocoran sitoplasma dan
mengandung antibody yang komplemen yang berfungsi sebagai opsonin
dalam lisis sel mikroba. Asam hidroklorida dalam lambung, enzim
proteolitik, antibody dan empedu dalam usus halus membantu
menciptakan lingkungan yang mencegah infeksi mikroba. pH yang
rendah dalam vagina, spermin dalam semen dan jaringan lain dapat
mencegah tumbuhnya bakteri positif-Gram.
Pembilasan oleh urin dapat menyingkirkan kuman patogen.
Laktoferin dan transferin dalam serum mengikat besi yang
merupakan metabolit esensial untuk hidup beberapa jenis
mikroba.
Bahan yang disekresi mukosa saluran napas (enzim dan antibodi)
dan telinga dalam pertahanan secara biokimiawi.
Pertahanan humoral: sistem imun nonspesifik menggunakan berbagai
molekul larut, diantaranya adalah peptida antimikroba seperti
defensin, katelisidin dan IFN dengan efek antiviral.
Komplemen Rusak pada pemanasan 56oC selama 30 menit.
Terdiri atas sejumlah besar protein yang bila diaktifkan dapat
memberikan efek proteksi terhadap infeksi dan berperan dalam respon
inflamasi. Komplemen dengan spektrum aktivitas yang luas diproduksi
oleh hepatosit dan monosit serta langsung dapat diaktifkan oleh
mikroba atau produknya. Komplemen berperan sebagai opsonin yang
meningkatkan fagositosis, sebagai faktor kemotaktik, menimbulkan
destruksi/lisis bakteri dan parasit.
Antibodi dengan bantuan komplemen dapat menghancurkan membran
lapisan LPS dinding sel yang akhirnya berujung pada kematian
mikroba.
Protein fase akut (PFA)
Selama fase akut infeksi, terjadi perubahan pada kadar protein
dalam serum yang disebut APP. Protein yang meningkat atau menurun
selama fase akut disebut juga APRP yang berperan dalam pertahanan
dini. Diinduksi oleh sinyal yang berasal dari tempat cedera atau
infeksi melalui darah. Hati merupakan tempat sintesis APRP.
C-reactive protein (CRP)
Merupakan salah satu PFA, termasuk golongan protein yang
kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut sebagai respon
imunitas nonspesifik. Sebagai opsonin, CRP mengikat berbagai
mikroorganisme. Pengukuran CPR digunakan untuk, menilai aktivitas
penyakit inflamasi dan jika tetap tinggi maka menunjukkan infeksi
yang persisten. CRP dapat meningkat dengan bantuan Ca++.
Lektin/kolektin merupakan molekul larut dalam plasma yang dapat
mengikat manan/manosa dalam polisakarida (karenanya disebut MBL)
yang merupakan permukaan banyak bakteri seperti galur pneumokokus
dan banyak mikroba, tetapi tidak pada sel vertebrata. Lektin
berperan sebagai opsonin yang mengaktifkan komplemen. Protein fase
akut lainnya adalah 1-antitripsin, amilod serum A, haptoglobin, C9,
factor B dan fibrinogen yang juga berperan pada peningkatan laju
endap darah akibat infeksi, namun dibentuk jauh lebih lambat dari
CRP. Mekanisme fosfolipid diperlukan untuk produksi PG dan LTR yang
berguna untuk meningkatkan respons inflamasi melalui peningkatan
permeabilitas vaskular dan vasodilatasi. Sitokin IL-1, IL-6, TNF-
disebut sitokin proinflamasi, merangsang hati untuk mensintesis dan
melepas sejumlah protein plasma.
Pertahanan selular: fagosit, sel NK, sel mast dan eosinofil
berperan dalam sistem imun nonspesifik selular. Sel-sel tersebut
dapat ditemukan di jaringan atau di dalam sirkulasi dan dapat
mengenal produk mikroba esensial yang diperlukan untuk
hidupnya.
b. Sisten Imun Spesifik
Mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing
bagi dirinya. Pajanan tersebut menimbulkan sensitasi, sehingga
antigen yang sama dan masuk tubuh untuk kedua kali akan dikenal
lebih cepat dan kemudian dihancurkan. Sistem imun spesifik humoral:
yang berperan adalah limfosit B atau sel B yang berasal dari sel
asal multipoten di sumsum tulang. Sel B yang dirangsang oleh benda
asing akan berpoliferasi, berdefisiensi dan berkembang menjadi sel
plasma yang memproduksi antibodi. Antibodi yang dilepas ditemukan
didalam serum, berfungsi untuk pertahanan terhadap infeksi
ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralkan toksinnya.
Sistem imun spesifik selular: yang berperan adalah limfosit T
atau sel T yang dibentuk dalam sumsum tulang, tetapi poliferasi dan
diferensiasinya terjadi di dalam kelenjar timus. Faktor timus
disebut timosin yang dapat ditemukan dalam peredaran darah sebagai
hormon asli dan dapat mempengaruhi diferensiasi sel T diperifer.
Fungsi utama sistem imun spesifik selular adalah pertahanan
terhadap bakteri yang hidup intraselular,virus, jamur, parasit dan
keganasan. (Karnen, Iris, 2012)
LO 2.3 Klasifikasi Respon Imun
a. Imunitas alamiah
Diperoleh tanpa didahului oleh kontak dengan antigen, bersifat
nonspesifik.
b. Imunitas adaptif
Didapat setelah terjadi paparan terhadap antigen, bersifat
spesifik. Imunitas pasif : diperankan oleh antibody atau limfosit
yang telah dibentuk sebelumnya didalam tubuh pejamu yang lain,
diberikan dalam antiserum.
Imunitas aktif : diinduksi setelah kontak (klonik atau
subklinis) dengan antigen.
LO 2. Memahami dan Menjelaskan tentang Defisiensi Imun
LI. 2.1. Mempelajari Definisi Defisiensi ImunDefesiensi imunitas
merupakan penurunan atau gagalnya fungsi dari salah satu atau lebih
komponen sistem imun. Penyakit defisiensi imun adalah sekumpulan
aneka penyakit yang karena memiliki satu atau lebih ketidaknormalan
sistem imun, dimana kerentanan terhadap infeksi meningkat.
LI. 2.2.Mempelajari Etiologi Defisiensi Imun
Penyebab defisiensi imun sangat beragam dan penelitian berbasis
genetik berhasil mengidentifikasi lebih dari 100 jenis defisiensi
imun primer dan pola menurunnya terkait pada X-linked recessive,
resesif autosomal, atau dominan autosomal.Penyebab Defsiensi
Imun
Defek GenetikDefek gen-tunggal yang diekspresikan di banyak
jaringan (misal ataksia-teleangiektasia, defsiensi deaminase
adenosin)Defek gen tunggal khusus pada sistem imun ( misal defek
tirosin kinase pada X-linked agammaglobulinemia; abnormalitas
rantai epsilon pada reseptor sel T) Kelainan multifaktorial dengan
kerentanan genetik (misal common variable immunodeficiency)
Obata tau ToksinImunosupresan (kortikosteroid, siklosporin)
Antikonvulsan (fenitoin)
Penyakit Nutrisi dan MetabolikMalnutrisi (misal kwashiorkor)
Protein losing enteropathy (misal limfangiektasia
intestinal)Defisiensi vitamin (misal biotin, atau transkobalamin
II)
Defisiensi mineral (misal Seng pada Enteropati
Akrodermatitis)
Kelainan KromosomAnomali DiGeorge (delesi 22q11)Defisiensi IgA
selektif (trisomi 18)
InfeksiImunodefisiensi transien (pada campak dan varicella)
Imunodefisiensi permanen (infeksi HIV, infeksi rubella
kongenital)
(Dikutip dengan modifikasi dari Stiehm dkk, 2005)
LI. 2.3.Klasifikasi Defisiensi Imun
1. Defisiensi Imun Non-Spesifik
a) Komplemen
Dapat berakibat meningkatnya insiden infeksi dan penyakit
autoimun (SLE), defisiensi ini secara genetik.
Kongenital
Menimbulkan infeksi berulang /penyakit kompleks imun (SLE dan
glomerulonefritis). Fisiologik
Ditemukan pada neonatus disebabkan kadar C3, C5, dan faktor B
yang masih rendah. Didapat
Disebabkan oleh depresi sintesis (sirosis hati dan malnutrisi
protein/kalori)b) Interferon dan lisozim
Interferon kongenital
Menimbulkan infeksi mononukleosis fatal Interferon dan lisozim
didapat
Pada malnutrisi protein/kaloric) Sel NK
Kongenital
Pada penderita osteopetrosis (defek osteoklas dan monosit),
kadar IgG, IgA, dan kekerapan autoantibodi meningkat. Didapat
Akibat imunosupresi atau radiasi.
d) Sistem fagosit
Menyebabkan infeksi berulang, kerentanan terhadap infeksi
piogenik berhubungan langsung dengan jumlah neutrofil yang menurun,
resiko meningkat apabila jumlah fagosit turun < 500/mm3. Defek
ini juga mengenai sel PMN.
Kuantitatif
Terjadi neutropenia/granulositopenia yang disebabkan oleh
menurunnya produksi atau meningkatnya destruksi. Penurunan produksi
diakibatkan pemberian depresan (kemoterapi pada kanker, leukimia)
dan kondisi genetik (defek perkembangan sel hematopioetik).
Peningkatan destruksi merupakan fenomena autoimun akibat pemberian
obat tertentu (kuinidin, oksasilin).
Kualitatif
Mengenai fungsi fagosit seperti kemotaksis, fagositosis, dan
membunuh mikroba intrasel.
Chronic Granulomatous Disease (infeksi rekuren mikroba gram dan
+)
Defisiensi G6PD (menyebabkan anemia hemolitik)
Defisiensi Mieloperoksidase (menganggu kemampuan membunuh benda
asing)
Chediak-Higashi Syndrome (abnormalitas lisosom sehingga tidak
mampu melepas isinya, penderita meninggal pada usai anak)
Job Syndrome (pilek berulang, abses staphylococcus, eksim
kronis, dan otitis media. Kadar IgE serum sangat tinggi dan
ditemukan eosinofilia).
Lazy Leucocyte Syndrome (merupakan kerentanan infeksi mikroba
berat. Jumlah neutrofil menurun, respon kemotaksis dan inflamasi
terganggu)
Adhesi Leukosit (defek adhesi endotel, kemotaksis dan
fagositsosis buruk, efeks sitotoksik neutrofil, sel NK, sel T
terganggu. Ditandai infeksi bakteri dan jamur rekuren dan gangguan
penyembuhan luka)
2. Defisiensi Imun Spesifik
a) Kongential/primer (sangat jarang terjadi)
Sel B
Defisiensi sel B ditandai dengan penyakit rekuren (bakteri)
1. X-linked hypogamaglobulinemia
2. Hipogamaglobulinemia sementara
3. Common variable hypogammaglobulinemia
4. Disgamaglobulinemia
Sel T
Defisensi sel T ditandai dengan infeksi virus, jamur, dan
protozoa yang rekuren
1. Sindrom DiGeorge (aplasi timus kongenital)
2. Kandidiasis mukokutan kronik
Kombinasi sel T dan sel B
1. Severe combined immunodeficiency disease
2. Sindrom nezelof
3. Sindrom wiskott-aldrich
4. Ataksia telangiektasi
5. Defisiensi adenosin deaminase
b) Fisiologik
Kehamilan
Defisiensi imun seluler dapat diteemukan pada kehamilan.Hal ini
karena pningkatan aktivitas sel Ts atau efek supresif faktor
humoral yang dibentuk trofoblast. Wanita hamil memproduksi Ig yang
meningkat atas pengaruh estrogen
Usia tahun pertama
Sistem imun pada anak usia satu tahun pertama sampai usia 5
tahun masih belum matang.
Usia lanjut
Golongan usia lanjut sering mendapat infeksi karena terjadi
atrofi timus dengan fungsi yang menurun.c) Defisiensi imun
didapat/sekunder
Malnutrisi
Infeksi
Obat, trauma, tindakan, kateterisasi, dan bedah
Obat sitotoksik, gentamisin, amikain, tobramisin dapat
mengganggu kemotaksis neutrofil. Kloramfenikol, tetrasiklin dapat
menekan antibodi sedangkan rifampisin dapat menekan baik imunitas
humoral ataupun selular.
Penyinaran
Dosis tinggi menekan seluruh jaringan limfoid, dosis rendah
menekan aktivitas sel Ts secara selektif
Penyakit berat
Penyakit yang menyerang jaringan limfoid seperti Hodgkin,
mieloma multipel, leukemia dan limfosarkoma. Uremia dapat menekan
sistem imun dan menimbulkan defisiensi imun.Gagal ginjal dan
diabetes menimbulkan defek fagosit sekunder yang mekanismenya belum
jelas. Imunoglobulin juga dapat menghilang melalui usus pada
diare
Kehilangan Ig/leukosit
Sindrom nefrotik penurunan IgG dan IgA, IgM norml.Diare
(linfangiektasi intestinal, protein losing enteropaty) dan luka
bakar akibat kehilangan protein.
Stres
Agammaglobulinmia dengan timoma
Dengan timoma disertai dengan menghilangnya sel B total dari
sirkulasi. Eosinopenia atau aplasia sel darah merah juga dapat
menyertaid) AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)
LO 3. Mampu Memahami Penyakit Akibat Virus HIV
LI. 3.1.Definisi Infeksi HIV
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan
AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang
bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama
limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang
berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4
dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih
atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang
masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang
baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang
dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang
terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan
pada beberapa kasus bisa sampai nol).
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome,
yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya
kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia
mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar
seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak
sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah
berbagai jenis penyakit lain.
Struktur HIV terdiri atas : 2 untaian RNA yang identik dan
merupakan genom virus yang berhubungan dengan P17 dan P24 berupa
inti polipeptida. Semua komponen tersebut diselubungi envelop
membran fosfolipid yang berasal dari sel pejamu. Protein gp120 dan
gp41 yang disandi virus ditemukan dalam envelop. RNA-directed DNA
polymerase (reverse transcriptase) : polimerase DNA dalam
retrovirus seperti HI V. Transverse transcriptase diperlukan dalam
teknik rekombinan DNA yang diperlukan dalam sintesis first stand
cDNA. Antigen p24 : core antigen virus HIV, yang merupakan pertanda
dini adanya infeksi HIV-1, ditemukan beberapa hari minggu sblm
terjadi serokonversi sintesis antibodi terhadap HIV-1. Antigen
gp120 : gilkoprotein permukaan HIV-1 yang mengikat reseptor CD4+
ini telah digunakan untuk mencegah antigen gp120 menginfeksi sel
CD4+. Protein envelop : produk yang menyandi gp120, digunakan dalam
usaha memproduksi antibodi yang efektif dan produktif oleh
pejamu.
Menurut spesies terdapat dua jenis virus penyebab AIDS, yaitu
HIV-1 dan HIV-2 . HIV-1 paling banyak ditemukan di daerah barat,
Eropa, Asia, dan Afrika Tengah, Selatan, dan Timur. HIV-2 terutama
ditemukan di Afrika Barat. HIV-1 maupun HIV-2 mempunyai struktur
hampir sama, HIV-1 mempunyai gen VPU, tetapi tidak mempunyai gen
VPX, sedangkan HIV-2 sebaliknya.
a. HIV-1
Merupakan penyebab utama AIDS diseluruh dunia. Genom HIV
mengkode sembilan protein esensial untuk setiap aspek siklus hidup
virus. Pada HIV-1 terdapat protein Vpu yang membantu pelepasan
virus. Terdapat 3 tipe dari HIV-1 berdasarkan alterasi pada gen
amplopnya yaitu tipe M, N, dan O.
b. HIV-2Protein Vpu pada HIV-1 digantikan dengan protein Vpx
yang dapat meningkatkan infektivitas (daya tular) dan mungkin
merupakan hasil duplikasi dari protein lain (Vpr). Walaupun
sama-sama menyebabkan penyakit klinis dengan HIV-2 tetapi kurang
patogenik dibandingkan dengan HIV-1.
LI. 3.2.Epidemiologi Infeksi HIV
Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan dari Bali pada bulan
April tahun 1987. Penderitanya adalah seorang wisatawan Belanda
yang meninggal di RSUP Sanglah akibat infeksi sekunder pada
paru-parunya. Sampai dengan akhir tahun 1990, peningkatan kasus
HIV/AIDS menjadi dua kali lipat (Muninjaya, 1998).
Sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam
akibat penggunaaan narkotika suntik. Fakta yang mengkhawatirkan
adalah pengguna narkotika ini sebagian besar adalah remaja dan
dewasa muda yang merupakan kelompok usia produktif. Pada akhir
Maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan (Djauzi dan
Djoerban, 2007). Berdasarkan data Departemen Kesehatan (Depkes)
pada periode Juli-September 2006 secara kumulatif tercatat pengidap
HIV positif di Indonesia telah mencapai 4.617 orang dan AIDS 6.987
orang.Sampai akhir Desember 2008, jumlah kasus sudah mencapai
16.110 kasus AIDS dan 6.554 kasus HIV. Sedangkan jumlah kematian
akibat AIDS yang tercatat sudah mencapai 3.362 orang. Dari seluruh
penderita AIDS tersebut, 12.061 penderita adalah laki-laki dengan
penyebaran tertinggi melalui hubungan seks (Depkes RI, 2008).
Perkembangan epidemi HIV di Indonesia, termasuk yang tercepat di
kawasan Asia, meskipun secara nasional angka prevalensinya masih
termasuk rendah. Diperkirakan pada tahun 2006 prevalensi HIV
sekitar 0,16% pada orang dewasa. Salah satu masalah dalam
epidemiologi HIV di Indonesia adalah variasi antar wilayah, baik
dalam hal jumlah kasus maupun factor-faktor yang mempengaruhi.
Epidemic HIV di Indonesia berada pada kondisi epidemic
terkonsentrasi dengan kecenderungan menjadi epidemic meluas pada
beberapa provinsi.
Seperti diketahui, pasien HIV/AIDS adalah orang yang sangat
rentan dengan berbagai penyakit termasuk TB. Dari data yang
diketahui bahwa epidemik HIV menunjukan pengaruhnya terhadap
peningkatan epidemic TB di seluruh dunia yang berakibat
meningkatnya jumlah kasus TB di masyarakat.pandemi ini merupakan
tantangan terbesar dalam pengendalian TB dan banyak bukti
menunjukan bahwa pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik
tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Sebliknya TB merupakan infeksi
oportunistik terbanyak dan penyebab utama kematian pada ODHA (Orang
dengan HIV/AIDS).
Tiap tahun diperkirakan terjadi 239 kasus TB baru per 100.000
penduduk dengan perkiraan prevalensi HIV diantara pasien TB sebesar
0,8% secara nasional (WHO Report 2007). Sammpai saat ini belum ada
angka nasional yang menunjukkan gambaran HIV di antara psien TB.
Hasil studi tentang sero prevalensi yang dilaksanakan di Yogyakarta
pada tahun 2006 menunjukan angka prevalensi HIV sebesar 2% diantara
pasien TB. Sedangkan survey yang sama di propinsi Papua menunjukan
angka sebesar 15,4% Jawa Timur sebesar 1,8% dan di Bali sebesar
3,9%. Berdasarkan Laporan Triwulan, pengidap Inveksi HIV dan Kasus
AIDS sampai dengan 31 Maret 2008 (Kemkes RI), infeksi oportunistik
terbanyak dilaporkan adalah TB, yaitu sebesar 6367 kasus di antara
118.868 kasus AIDS.(Depkes RI, 2010)
LI. 3.3.Etiologi Infeksi HIV
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA.Virus
ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di
Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated
Virus (LAV). Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun
1986 nama virus dirubah menjadi HIV.
Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak
dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel
target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai
reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T,
virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat
tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun
demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious
yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup
penderita tersebut.
Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian
inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk
silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim
reverce transcriptase dan beberapa jenis protein. Bagian selubung
terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120
berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena
bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV
termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air
mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai
desinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan
sebagainya, tetapi relatif resisten terhadap radiasi dan sinar
utraviolet.
Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata, cairan
vagina dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam
sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak
(Siregar,2008).
HIV dapat ditularkan melalui berbagai cara, yaitu :
1. Hubungan seks (anal, oral, vaginal) yang tidak terlindungi
dengan orang yang telah terinfeksi HIV
2. Transfusi darah atau penggunaan jarum suntik secara
bergantian
3. Melalui alat suntik4. Melalui silet, pisau atau alat pencukur
jenggot yang digunakan bergantian
5. Melalui transplantasi orang pengidap HIV
6. Penularan ibu ke anak, biasanya infeksi HIV pada anak didapat
dari ibunya yang mengidap HIV, dapat juga ditularkan melalui
ASISebelum HIV berubah menjadi AIDS, penderitanya akan tampak sehat
dalam waktu kira-kira 5-10 tahun. Walaupun tampak sehat, mereka
dapat menularkan HIV pada orang lain melalui hubungan seks yang
tidak aman, transfusi darah atau penggunaan jarum suntik secara
bergantian.LI. 3.4.Patofisiologi Infeksi HIV
HIV tergolong ke dalam kelompok virus yang dikenal sebagai
retrovirus yang menunjukkan bahwa virus tersebut membawa materi
genetiknya dalam asam ribonukleat (RNA). Virion HIV (partikel virus
yang lengakp dibungkus oleh selubung pelindung) mengandung RNA
dalam inti berbentuk peluru dimana p24 merupakan komponen
strukturan yang utama. Setelah virus masuk, target utamanya adalah
limfosit CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul
permukaan CD4. Virus HIV akan menginjeksikan dua utas benang RNA
yang identik ke dalam sel CD4+ dengan menggunakan enzim reverse
transcriptase dan virus akan melakukan pemrograman ulang materi
genetic sel yang terinfeksi untuk membuat DNA. DNA ini akan
dsatukan ke dalam nukleus sel sebagai provirus dan kemudian
menginfeksi permanen, sehingga orang yang terinfeksi HIV akan
seumur hidup terinfeksi HIV. Sebagian pasien memperlihatkan gejala
tidak khas seperti demam, nyeri menelan, atau batu pada 3-6 minggu
setelah terinfeksi. Kondisi ini dikenal dengan infeksi
primer.Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu dimana HIV
pertama kali masuk ke dalam tubuh. Pada fase awal proses infeksi
(imunokompeten) akan terjadi respon imun berupa peningkatan
aktivitas imun, yaitu pada tingkat seluler. Setelah infeksi primer,
terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan viremia permulaan
yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa ini, virus
tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada
tahap ini telah terjadi penurunan jumlah sel-T CD4. Respon imun
terhadap HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi,
viremia plasma menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat namun
tidak mampu menyingkirkan infeksi secara sempurna. Masa laten
klinis ini bisa berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini akan
terjadi replikasi virus yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10
milyar partikel HIV dihasilkan dan dihancurkan setiap harinya.
Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6 jam, dan siklus
hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T- CD4 yang terinfeksi
memiliki waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi virus
ini dan angka kesalahan reverse transcriptase HIV yang berikatan,
diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin
bermutasi dalam basis harian (Brooks, 2005).
Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan
penyakit klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau
neoplasma. Level virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam
plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV yang dapat
terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut dan
lebih virulin daripada yang ditemukan pada awal infeksi (Brooks,
2005).
Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV
terjadi penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat
rendah, sehingga beberapa jenis mikroorganisme dapat menyerang
bagian-bagian tubuh tertentu. Bahkan mikroorganisme yang selama ini
komensal bisa jadi ganas dan menimbulkan penyakit (Zein, 2006).LI.
3.5.Manifestasi Infeksi HIV
Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu
gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum
terjadi):Gejala Klinis
Gejala Mayora. Berat badan menurun lebih dari 10%
dalam 1 bulanb. Diare kronis yang berlangsung lebih
dari 1 bulanc. Demam berkepanjangan lebih dari 1
buland. Penurunan kesadaran dan gangguan
neurologise. Demensia/ HIV ensefalopati
Gejala Minora. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster
berulang
d. Kandidiasis orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Renitis virus Sitomegalo
Gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.
a. Fase awal Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan
gejala dan tanda-tanda infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala
mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam dan
pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak mempunyai gejala
infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang
lain.
b. Fase lanjutPenderita akan tetap bebas dari gejala infeksi
selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi seiring dengan
perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita
HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti
pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang
khas), diare, berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan
pendek.
c. Fase akhirSelama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10
tahun atau lebih setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai
timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang
disebut AIDS.
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2
hal antara lain:
a. Manifestadi tumor diantaranya; 1) Sarkoma kaposi ; kanker
pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi kejadiannya
36-50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual, dan jarang
terjadi pada heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian
primer. 2) Limfoma ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan
menyerang syaraf, dan bertahan kurang lebih 1 tahun.
b. Manifestasi Oportunistik diantaranya
1) Manifestasi pada Parua) Pneumonia Pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan
infeksi paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit
bernafas dalam dan demam.
b) Cytomegalo Virus (CMV)Pada manusia virus ini 50% hidup
sebagai komensial pada paru-paru tetapi dapat menyebabkan
pneumocystis. CMV merupakan penyebab kematian pada 30% penderita
AIDS.
c) Mycobacterium Avilum Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada
stadium akhir dan sulit disembuhkan.
d) Mycobacterium TuberculosisBiasanya timbul lebih dini,
penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke organ lain
diluar paru.
2) Manifestasi pada GastroitestinalTidak ada nafsu makan, diare
khronis, berat badan turun lebih 10% per bulan.
3) Manifestasi NeurologisSekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan
manifestasi Neurologis, yang biasanya timbul pada fase akhir
penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis,
demensia, mielopati dan neuropari perifer (Siregar, 2008).
LI. 3.6.Diagnosis Infeksi HIV
Banyak orang yang terinfeksi HIV tidak mengetahui bahwa mereka
terinfeksi karena mereka tidak mengalami gejala setelah mereka
pertama kali terinfeksi HIV. Sebagian dari mereka memiliki gejala
mirip flu dalam beberapa hari sampai beberapa minggu setelah
terpapar virus. Mereka mengeluh demam, sakit kepala, kelelahan, dan
terjadi pembesaran kelenjar getah bening di leher. Gejala-gejala
ini biasanya hilang dengan sendirinya dalam beberapa minggu.
Setelah itu, orang tersebut merasa normal dan tidak memiliki
gejala. Fase ini sering berlangsung tanpa gejala selama
bertahun-tahun. Pemeriksaan darah adalah cara paling umum untuk
mendiagnosis HIV. Tes ini bertujuan untuk mencari antibodi terhadap
virus HIV. Orang yang terkena virus harus segera dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Tindak lanjut tes mungkin diperlukan,
tergantung pada waktu awal paparan.Sebelum dilakukan tes,
pemeriksaan anamnesis juga perlu dilakukan untuk mengetahui gaya
hidup pasien apakah termasuk gaya hidup berisiko tinggi.Pemeriksaan
primer untuk mendiagnosis HIV dan AIDS meliputi:
ELISA
ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) digunakan untuk
mendeteksi infeksi HIV. Jika tes ELISA positif, tes Western blot
biasanya dilakukan untuk mengkonfirmasikan diagnosis. Jika tes
ELISA negatif, tetapi ada kemungkinan pasien tersebut memiliki HIV,
pemeriksaan harus diulang lagi dalam satu sampai tiga bulan. ELISA
sensitivitasnya tinggi yaitu sebesar 98,1-100%, cukup sensitif pada
infeksi HIV kronis, tetapi karena antibodi tidak diproduksi segera
setelah infeksi, hasil tes mungkin negatif selama beberapa minggu
untuk beberapa bulan setelah terinfeksi. Meskipun hasil tes mungkin
negatif selama periode ini, pasien mungkin memiliki tingkat
penularan tinggi. Biasanya tes ini memberikan hasil positif setelah
2-3 bulan terinfeksi. Pemeriksaan Air Liur
Pad kapas digunakan untuk memperoleh air liur dari bagian dalam
pipi. Pad ditempatkan dalam botol dan diserahkan ke laboratorium
untuk pengujian. Hasil dapat diperoleh dalam tiga hari. Hasil
positif harus dikonfirmasi dengan tes darah.
Viral Load Test
Tes ini bertujuan untuk mengukur jumlah virus HIV dalam darah.
Umumnya, tes ini digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan atau
mendeteksi dini infeksi HIV. Tiga teknologi yang digunakan untuk
mengukur viral load HIV dalam darah: Reverse Transcription
Polymerase Chain Reaction (RT-PCR), Branched DNA (bDNA) and Nucleic
Acid Sequence-Based Amplification Assay (NASBA). Prinsip-prinsip
dasar dari tes ini sama. HIV dideteksi menggunakan urutan DNA yang
terikat secara khusus pada virus. Penting untuk dicatat bahwa hasil
dapat bervariasi antara tes.
Western Blot
Ini adalah pemeriksaan darah yang sangat sensitif sebesar
99,6-100%, yang digunakan untuk mengkonfirmasi hasil tes ELISA
positif. Tetapi pemeriksaan ini cukup sulit, mahal, dan membutuhkan
waktu sekitar 24 jam. Western Blot merupakan elektroporesis gel
poliakrilamid yang digunakan untuk mendeteksi rantai protein yang
spesifik terhadap DNA. Jika tidak ada rantai protein yang ditemukan
berarti tes negatif. Sedangkan bila hampir atau semua rantai
protein ditemukan berarti western blot positif. Tes ini harus
diulangi lagi setelah 2 minggu dengan sampel yang sama. Jika
western blot tetap tidak bisa disimpulkan maka tes western blot
harus diulangi lagi setelah 6 bulan. Jika tes tetap negatif maka
pasien dianggap HIV negatif LI. 3.7. Pemeriksaan Infeksi HIV
Strategi I
Hanya dilakukan satu kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan
reaktif, maka dianggap sebagai kasus terinfeksi HIV dan bila hasil
pemeriksaan nonreaktif dianggap tidak terinfeksi HIV. Reagensia
yang dipakai untuk pemeriksaan pada strategi ini harus memiliki
sensitivitas yang tinggi (>99%). Strategi II
Menggunakan dua kali pemeriksaan jika serum pada pemeriksaan
pertama memberikan hasil reaktif. Jika pada pemeriksaan pertama
hasilnya nonreaktif, maka dilaporkan hasilnya negatif. Pemeriksaan
pertama menggunakan reagensia dengan sensitivitas tertinggi dan
pada pemeriksaan kedua dipakai reagensia yang lebih spesifik serta
berbeda jenis antigen atau tekniknya dari yang dipakai pada
pemeriksaan pertama. Bila hasil pemeriksaan kedua juga reaktif,
maka disimpulkan sebagai terinfeksi HIV. Namun jika hasil
pemeriksaan yang kedua adalah nonreaktif, maka pemeriksaan harus
diulang dengan kedua metode. Bila hasil tetap tidak sama, maka
dilaporkan sebagai indeterminate. Strategi III
Menggunakan tiga kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan
pertama, kedua, dan ketiga reaktif, maka dapat disimpulkan bahwa
pasien tersebut memang terinfeksi HIV. Bila hasil pemeriksaan tidak
sama, misalnya hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan
tes ketiga nonreaktif, atau tes pertama reaktif, sementara tes
kedua dan ketiga nonreaktif, maka keadaan ini disebut sebagai
equivokal atau indeterminate bila pasien yang diperiksa memiliki
riwayat pemaparan terhadap HIV atau berisiko tinggi tertular HIV.
Sedangkan bila hasil seperti yang disebut sebelumnya terjadi pada
orang tanpa riwayat pemaparan terhadap HIV atau tidak berisiko
tertular HIV, maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai nonreaktif.
Perlu diperhatikan juga bahwa pada pemeriksaan ketiga dipakai
reagensia yang berbeda asal antigen atau tekniknya, serta memiliki
spesifisitas yang lebih tinggi.Jika pemeriksaan penyaring
menyatakan hasil yang reaktif, pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan
pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh HIV,
yang paling sering dipakai saat ini adalah teknik Western Blot
(WB).Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan
diagnosis harus mendapatkan konseling pra tes. Hal ini dilakukan
agar ia bisa mendapat informasi yang sejelas-jelasnya mengenai
infeksi HIV/AIDS sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik
untuk dirinya serta lebih siap menerima apapun hasil tesnya nanti.
Untuk keperluan survei tidak diperlukan konseling pra tes karena
orang yang dites tidak akan diberi tahu hasil tesnya.Untuk memberi
tahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes, baik hasil tes
positif maupun negatif. Jika hasilnya positif akan diberikan
informasi mengenai pengobatan untuk memperpanjang masa tanpa gejala
serta cara pencegahan penularan. Jika hasilnya negatif, konseling
tetap perlu dilakukan untuk memberikan informasi bagaimana
mempertahankan perilaku yang tidak berisiko. Seseorang dinyatakan
terinfeksi HIV apabila dengan pemeriksaan laboratorium terbukti
terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibodi atau
pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh.Skrining
HIV
Mempunyai makna melakukan pemeriksaan HIV pada suatu populasi
tertentu, sementara uji diagnostik HIV berarti melakukan
pemeriksaan HIV pada orang-orang dengan gejala dan tanda yang
konsisten dengan infeksi HIV. CDC menyatakan bahwa infeksi HIV
memenuhi seluruh kriteria untuk dilakukan skrining, karena:
a. Infeksi HIV merupakan penyakit serius yang dapat didiagnosis
sebelum timbulnya gejala.
b. HIV dapat dideteksi dengan uji skrining yang mudah, murah,
dan noninvasif.
c. Pasien yang terinfeksi HIV memiliki harapan untuk lebih lama
hidup bila pengobatan dilakukan sedini mungkin, sebelum timbulnya
gejala.
d. Biaya yang dikeluarkan untuk skrining sebanding dengan
manfaat yang akan diperoleh serta dampak negatif yang dapat
diantisipasi. Di antara wanita hamil, skrining secara substansial
telah terbukti lebih efektif dibandingkan pemeriksaan berdasarkan
risiko untuk mendeteksi infeksi HIV dan mencegah penularan
perinatal. CDC merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan HIV
secara rutin untuk setiap orang berusia 13-64 tahun yang datang ke
sarana pelayanan kesehatan meskipun tanpa gejala. Selain itu, CDC
juga merekomendasikan agar pemeriksaan HIV dimasukkan dalam
pemeriksaan rutin antenatal bagi wanita hamil.11 Sementara
pemeriksaan wajib HIV lebih ditekankan untuk dilakukan pada donor
darah dan organ. Pemeriksaan wajib HIV juga dapat dilakukan pada
bidang perekrutan tentara atau tenaga kerja imigran.
Panduan WHO mengenai PITC tahun 2007 menyebutkan bahwa metode
ini dapat diterapkan pada wilayah dengan tingkat epidemiologi HIV
yang berbeda- beda, yaitu daerah dengan epidemi HIV yang rendah,
daerah dengan tingkat epidemi HIV yang terkonsentrasi, dan daerah
dengan tingkat epidemi yang meluas. Yang dimaksud dengan epidemi
yang rendah adalah infeksi HIV hanya ditemukan pada beberapa
individu dengan perilaku berisiko (WPS, pengguna narkoba suntik,
laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki); angka prevalensinya
tidak melebih 5% pada subpopulasi tertentu. Sementara itu, yang
dimaksud dengan tingkat epidemi yang terkonsentrasi adalah infeksi
HIV telah menyebar di subpopulasi tertentu, namun tidak ditemukan
di populasi umum. Hal ini menunjukkan aktifnya hubungan antara
risiko dengan subpopulasi; angka prevalensi pada subpopulasi
melebihi 5%, namun tidak sampai 1% pada wanita hamil. Kemudian,
yang dimaksud tingkat epidemi yang meluas adalah infeksi HIV telah
ditemukan pada populasi umum, dengan prevalensi pada wanita hamil
melebihi 1%.
Pada semua tingkat epidemi, PITC direkomendasikan untuk
dilakukan kepada orang dewasa, remaja, atau anak dengan gejala dan
tanda klinis yang sesuai dengan infeksi HIV; anak yang terpapar HIV
atau anak yang lahir dari ibu yang HIV positif; anak dengan
pertumbuhan suboptimal atau malnutrisi, di daerah dengan epidemi
yang meluas, yang tidak membaik dengan terapi yang optimal; serta
pria yang menginginkan untuk dilakukan sirkumsisi sebagai
pencegahan penularan HIV.
Pada daerah dengan epidemi yang meluas, PITC direkomendasikan
untuk diterapkan kepada pasien rawat inap dan rawat jalan, termasuk
pasien TB; pelayanan kesehatan antenatal, persalinan dan post
partum; pelayanan infeksi menular seksual; pelayanan kesehatan
untuk populasi yang berisiko; pelayanan kesehatan untuk anak usia
dibawah 10 tahun; pelayanan kesehatan untuk remaja; pelayanan
pembedahan; dan layanan kesehatan reproduksi, termasuk keluarga
berencana.
Untuk daerah dengan tingkat epidemi rendah atau terkonsentrasi,
PITC dapat dipertimbangkan untuk diaplikasikan pada tempat
pelayanan infeksi menular seksual; pelayanan kesehatan untuk
populasi paling berisiko; pelayanan antenatal, persalinan, dan
pascamelahirkan; serta pelayanan untuk TB.
Panduan nasional Inggris tahun 2008 tentang pemeriksaan HIV
merekomendasikan pemeriksaan HIV secara rutin kepada orang-orang
berikut:a. Semua pasien yang datang ke sarana pelayanan kesehatan
di mana HIV, termasuk infeksi primer HIV, menjadi salah satu
diagnosis banding.
b. Semua pasien yang didiagnosis dengan infeksi menular
seksual.
c. Semua partner seksual dari laki-laki atau wanita yang
diketahui HIV positif.
d. Semua laki-laki dengan riwayat berhubungan seksual dengan
laki-laki
e. Semua wanita partner seksual dari laki-laki yang berhubungan
seks dengan laki-laki.
f. Semuapasiendenganriwayatpenggunaannarkobasuntik.
g. Semua laki-laki dan wanita yang diketahui berasal dari
negara/daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi (>1%).
h. Semua laki-laki dan wanita yang berhubungan seksual di luar
atau di dalam Inggris dengan pasangan yang diketahui berasal dari
negara/daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi.
Uji Konfirmasi HIV
Pemeriksaan Anti-HIV konfirmasi merupakan pemeriksaan tahap
kedua setelah uji saring. Pemeriksaan ini diperlukan ketika hasil
uji saring positif atau positif palsu (hasil uji saring menyatakan
positif, namun sebenarnya tidak terinfeksi HIV). Bila pada
pemeriksaan ini menunjukkan hasil positif, maka hampir dapat
dipastikan bahwa seorang individu terinfeksi HIV.
LI. 3.8.Penatalaksanaan Infeksi HIV
Pengobatan suportif Yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan
umum penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang
baik, obat sintomatik, vitamin dan dukungan psikososial agar
penderita dapat melakukan aktivitas seperti semula/seoptimal
mungkin.
Pengobatan infeksi oportunistikYaitu pengobatan yang ditujukan
untuk infeksi oportunistik dan dilakukan secara empiris. Pengobatan
untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretrovira
(ARV)TERAPI ANTIRETROVIRAL
Pengobatan ODHA dewasa dengan antiretroviral dibagi menjadi dua
kelompok:
1. Regimen ARV Lini Pertama
a. Golongan Nucleoside RTI (NRTI):
Abacavir (ABC) 400 mg sekali sehari
Didanosine (ddl) 250 mg sekali sehari (BB