Analisis Fenomena Produk Oreo Mengandung Melamin Menggunakan Teori Atribusi dan Situational Crisis Communication Theory Disusun dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Teori-Teori Public Relations Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Dosen : Rachmat Kriyantono , S.Sos., M.Si., Ph.D dan Maulina Pia Wulandari, S.Sos.,M.Kom., Ph.D Disusun oleh: 1. Arini Dina Yasmin - 155120201111016 2. Aulia Rachma W.P. - 155120207111005 1
31
Embed
file · Web viewMakalah ini berisi mengenai penjabaran Teori Atribusi dan . Situational Crisis Communication Theory . serta analisis menggunakan teori tersebut terhadap
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Analisis Fenomena Produk Oreo Mengandung Melamin Menggunakan Teori Atribusi dan Situational Crisis Communication
Theory
Disusun dalam rangka memenuhi tugas
Mata Kuliah Teori-Teori Public Relations Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya
Dosen :
Rachmat Kriyantono , S.Sos., M.Si., Ph.D dan Maulina Pia Wulandari, S.Sos.,M.Kom., Ph.D
Disusun oleh:
1. Arini Dina Yasmin - 155120201111016
2. Aulia Rachma W.P. - 155120207111005
Kelas : A KOM 4
ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
1
2017
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................3
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................3
Makalah ini berisi mengenai penjabaran Teori Atribusi dan Situational Crisis
Communication Theory serta analisis menggunakan teori tersebut terhadap suatu
fenomena yang terjadi di masyarakat. Yaitu fenomena yang terjadi sekitar tahun 2008,
mengenai produk Oreo yang mengandung melamin Kedua teori tersebut menjadi penting
untuk dipahami lebih dalam, karena memiliki peran yang penting nantinya bagi praktisi
Public Relations, karena khususnya terkait dengan bagaimana mengelola krisis (crisis
management) dan opini publik (Kriyantono, 2014).
Situasi krisis dalam sebuah organisasi merupakan hal yang biasa terjadi. Tidak
mungkin suatu organisasi tidak mengalami krisis. Situasi krisis di sebuah organisasi tidak
memandang seberapa besar atau kecil organisasi itu. Steven Fink (dalam
Purwaningwulan, 2013) mengatakan bahwa “A crisis is an unstable time or state of
affairs in which a decisive change is impending-either one with the distinct possibility of
a highly desirable and extremely positibe outcome, or one with the distinct possibility of a
highly undesirable outcome. It is usually a 50-50 proposition, but you can improve the
odds”. Maka dari itu, situasi krisis pada sebuah organisasi tidak dapat diprediksi, karena
situasi krisis dapat terjadi kapan saja, dimana saja, dan kepada siapa saja.
Pasific Telesis (dalam Wisudani, 2009) mengatakan bahwa “A crisis is an
extraordinary event or series of events that adversely affects the integrity of the product,
the reputation or financial stability of the organization; or the health or well-being of
employees, the community, or the public at large”. Sebuah krisis adalah peristiwa luar
biasa atau bagian dari peristiwa yang secara bertahap akan memberikan pengaruh yang
berkaitan dengan produk, reputasi, atau stabilitas keuangan perusahaan; atau kesehatan
atau kesejahteraan karyawan, komunitas, atau publik secara keseluruhan. Selain itu,
Fearn-Banks (dalam Purwaningwulan, 2013) juga mendefinisikan krisis sebagai “A major
occurrence with a potentially negative outcome affecting an organization, company or
industry, as well as its publics, products, services or good name”.
Dari pernyataan di atas, maka dapat dikatakan bahwa situasi krisis yang dialami oleh
sebuah organisasi dapat membahayakan dan mengancam citra dan reputasi perusahaan
3
tersebut. Tetapi, situasi krisis yang dialami oleh sebuah organisasi tersebut merupakan
situasi yang negatif, walaupun sebagian besar publik beranggapan bahwa situasi krisis
yang terjadi lebih banyak memiliki implikasi negatif terhadap organisasi tersebut.
Pada dasarnya, situasi krisis dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan atau mencapai
tujuan yang positif. Apabila sebuah organisasi memiliki manajemen krisis yang baik,
akan dapat meningkatkan citra dan reputasi yang baik pula di mata publik maupun
stakeholder-nya. Tetapi, apabila sebuah organisasi tidak memiliki manajemen krisis yang
baik, citra dan reputasi organisasi akan menjadi turun dan dapat memberikan dampak
yang buruk terhadap publik maupun stakeholder-nya.
Maka dari itu, seorang Public Relations dituntut untuk memiliki rasa awareness yang
tinggi dan tanggap dalam menghadapi suatu masalah yang terjadi di sebuah organisasi.
Seorang PR tidak hanya harus mempunyai technical skill dan managerial skill dalam
keadaan normal, tapi PR juga harus memiliki kemampuan dalam mengantisipasi,
menghadapi atau menangani situasi krisis yang dapat membahayakan organisasinya.
Sehingga, Public Relations sebagai ujung tombak dari sebuah organisasi penting kiranya
untuk memahami kedua teori yang akan dibahas pada makalah ini, yaitu Teori Atribusi
dan Situational Crisis Communication Theory.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah mengetahui dan memberikan pemahaman
mengenai Teori Atribusi dan Situational Crisis Communication Theory serta berupaya
lebih memperdalam daya nalar kritis dengan menganalisis suatu fenomena di masyarakat
dengan menggunakan kedua teori tersebut.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori Atribusi
Teori Atribusi (attribution theory) yang dipelopori oleh Bernard Weiner dan Fritz
Heider ini membahas tentang bagaimana individu menarik kesimpulan tentang penyebab dari
suatu perilaku, baik itu perilaku dirinya maupun perilaku seseorang (termasuk organisasi)
lainnya (Kriyantono, 2014). Teori atribusi ini juga kerap kali mempengaruhi komunikasi
yang dilakukan oleh komunikator dengan komunikannya. Sehingga, komunikasi yang
dihasilkan komunikator dengan komunikan tidaklah efektif, disebabkan adanya atribusi yang
membuat salah satu dari komunikator dan komunikan melakukan kesalahan dalam
menginterpretasikan pesan-pesan yang masuk.
Heath dan McDermott (dalam Kriyantono, 2014) mengatakan bahwa teori atribusi
menurut Weiner dan Heider dapat dideskripsikan dalam beberapa asumsi, yaitu:
1. Individu cenderung ingin mengetahui penyebab yang mereka lihat.
2. Individu menggunakan proses sistematik dalam menjelaskan perilaku.
3. Sekali atribut dibuat, atribut itu mempengaruhi perasaan dan perilaku berikutnya.
4. Individu memiliki alasan untuk membangun impresinya terhadap orang lain.
Impresi yang dihasilkan ini muncul melalui 3 tahapan, yaitu mengamati perilaku,
menentukan apakah perilaku tersebut dilakukan dengan sengaja atau tidak, dan
mengategorikan perilaku tersebut sebagai perilaku yang didorong oleh motivasi internal atau
eksternal (Kriyantoto, 2014).
Dalam perkembangannya, Teori Atribusi tidak lagi hanya digunakan untuk membahas
fenomena komunkasi interpersonal saja. Tetapi, Teori Atribusi dewasa ini, juga dapat
digunakan untuk membahas fenomena-fenomena yang lainnya, seperti perilaku organisasi.
Oleh karena itu, tak heran apabila Teori Atribusi dalam makalah kali ini lebih mengarah
kepada teori atribusi dalam organisasi.
Teori ini dapat digunakan untuk menganalisa situasi krisis pada suatu organisasi karena
dapat melihat apakah dengan pemberian atribusi akan berdampak pada situasi krisis yang
sedang dialami oleh suatu organisasi tersebut. Teori Atribusi menjelaskan bahwa stakeholder
cenderung membuat atribusi tentang penyebab krisis, siapa yang mesti bertanggung jawab
terhadap situasi krisis, apakah organisasi terlibat, dan situasi sekitar krisis (Coombs, 2010
dalam Kriyanoto, 2014).
5
Teori Atribusi beranggapan bahwa setiap individu memiliki karakteristik emosional.
Tetapi, emosi inti yang dimiliki oleh seorang individu adalah kemarahan (anger) dan simpati
(sympathy) (Kriyantono, 2014). Atribusi dan rasa emosional pada seorang individu
mempunyai keterkaitan, dimana atribusi dan rasa emosional itulah yang dapat mendorong
seseorang untuk melakukan tindakan tertentu dalam merespons situasi krisis. Weiner (dalam
Kriyantono, 2014) menjelaskan bahwa teori atribusi ini beranggapan apabila respons (aksi
atau tindakan) seseorang akan cenderung negatif jika organisasi diatribusikan sebagai pihak
yang mesti bertanggung jawab atas terjadinya krisis dan memicu kemarahan publik.
Sebaliknya, apabila organisasi diatribusikan sebagai pihak yang bebas dari tanggung jawab
dan memicu simpati publik, respons yang dihasilkan akan cenderung positif.
Weiner (dalam Kriyantono, 2014) menjelaskan bahwa emosi pada awalnya terbentuk
melalui proses menginterpretasikan situasi atau peristiwa yang sedang terjadi. Terdapat dua
jenis emosi yang dapat dihasilkan dari proses interpretasi. Pertama yaitu “emosi atribusi
independen”. Emosi atribusi independen dihasilkan dari proses interpretasi awal dan tidak
dipengaruhi oleh situasi atau peristiwa yang sedang terjadi. Individu cenderung terdorong
oleh keinginannya untuk mencari tahu situasi atau peristiwa apa yang sedang terjadi. Jenis
emosi yang selanjutnya adalah “emosi atribusi dependen”. Proses interpretasi pada emosi
jenis ini cenderung untuk menghasilkan informasi yang negatif, tidak terduga, dan penting.
Sehingga, atribusi pada emosi jenis ini mengarah kepada penyebab situasi atau peristiwa, dan
mendorong munculya emosi afektif. Bentuk umum dari emosi atribusi dependen adalah
kemarahan (anger) dan simpaty (sympathy). Kedua jenis emosi tersebut (emosi atribusi
independen dan emosi atribusi dependen) biasanya terjadi secara bersamaan.
Proses komunikasi yang terjadi antara komunikator dengan komunikan sangat ditentukan
oleh interpretasi masing-masing pihak terhadap perilaku dirinya sendiri dan lawan bicaranya,
yang dalam hal ini adalah komunikator dan komunikan. Dalam teori atribusi, proses
menginterpretasikan ini disebut sebagai pemberian atribusi atau sebuah tanda terhadap
perilaku dirinya dan lawan bicaranya. Kriyantono (2014) mengatakan bahwa terdapat dua
jenis atribusi dalam Teori Atribusi, yaitu:
1. Atribusi Internal (Atribusi Disposisi)
Atribusi ini terjadi jika seseorang menginterpretasi perilaku orang lain disebabkan
oleh sesuatu dari diri orang lain itu, seperti kepribadiannya, sikapnya, atau latar belakang
(pendidikan, budaya, atau kebiasaan di masa lalu).
2. Atribusi Eksternal (Atribusi Situasi)
6
Atribusi ini terjadi ketika seseorang menginterpretasi perilaku orang lain
disebabkan situasi di luar diri orang lain itu.
Sehingga dapat dikatakan bahwa, atribusi bukanlah merupakan proses yang tunggal.
Proses atribusi yang terjadi berdasarkan beberapa pertimbangan-pertimbangan tertentu
terhadap orang tersebut, yang dihasilkan dari kejadian atau peristiwa yang terjadi sebelumnya
terhadap orang tersebut.
Harrold Kelley (dikutip di McDermott, 2009; dalam Kriyantono, 2014) dan juga Robbins
(2001, dalam Santi 2011) menyebutkan bahwa terdapat tiga faktor yang memengaruhi
seseorang untuk memberikan atribusi terhadap orang lain. Faktor-faktor tersebut ialah:
1. Kekhususan (Kesendirian atau Distinctiveness)
Kekhususan artinya seseorang akan mempersepsikan perilaku individu lain secara
berbedabeda dalam situasi yang berlainan. Apabila perilaku seseorang dianggap suatu hal
yang tidak biasa, maka individu lain yang bertindak sebagai pengamat akan memberikan
atribusi eksternal terhadap perilaku tersebut dan sebaliknya.
2. Konsensus
Konsensus artinya jika semua orang mempunyai kesamaan pandangan dalam
merespon perilaku seseorang jika dalam situasi yang sama. Apabila konsensusnya tinggi,
maka termasuk atribusi eksternal. Sebaliknya jika konsensusnya rendah, termasuk atribusi
internal.
3. Konsistensi
Konsistensi yaitu jika seseorang menilai perilaku-perilaku orang lain dengan
respon sama dari waktu ke waktu. Semakin konsisten perilaku itu, orang akan
menghubungkan hal tersebut dengan sebab-sebab internal, dan sebaliknya.
Dari penjabaran di atas, dapat diasumsikan bahwa teori atribusi memiliki pengaruh
terhadap situasi atau kondisi krisis bagi sebuah organisasi. Faktor-faktor pada Teori Atribusi
dapat menjadikan citra dan reputasi perusahaan semakin turun dan buruk di mata publik, atau
bahkan dapat meningkatkan citra dan reputasi perusahaan tersebut dimata publiknya. Tetapi,
hal-hal tersebut juga bergantung pada bagaimana publik menanggapi krisis yang terjadi di
sebuah organisasi. Weiner (1995, dalam Kriyantono, 2014: 172) berpendapat bahwa “Teori
Atribusi meyakini adanya keterkaitan antara atribusi seseorang dengan respons yang bersifat
menghukum atau punitive respons”. Maka dari itu, tingkatan level pada faktor internal dan
eksternal sangat mempengaruhi citra dan reputasi sebuah organisasi.
7
Teori Atribusi dalam Praktik Public Relations
Komunikasi tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusisa, begitupula dalam
organisasi atau perusahaan. Komunikasi sangat dibutuhkan dalam organisasi, terutama saat
sedang mengalami situasi kriris. Komunikasi yang dimaksud disini bukanlah hanya sekedar
komunikasi antara komunikator dengan komunikan saja, melainkan komunikasi dua arah
yang bersifat terbuka, jujur, dan tidak ada upaya untuk menutup-nutupi fakta adalah kunci
yang dapat mendorong terbentuknya atribusi publik yang positif (Kriyantono, 2014). Selain
itu, seorang Public Relations dalam sebuah organisasi juga harus mempunyai informasi dan
wawasan yang luas (well-informed) sehingga publik juga akan mendapatkan informasi yang
cukup.
Terjadinya krisis pada suatu organisasi pasti menyebabkan terjadinya krisis informasi.
Kriyantono (2014) menjelaskan bahwa krisis informasi tidak hanya disebabkan oleh
kurangnya informasi mengenai organisasi yang diterima oleh publik, tetapi juga disebabkan
karena banyaknya informasi yang beredar (overload) dari saluran informal, sehingga sulit
membedakan informasi yang benar dan tidak, serta munculnya rumor atau grapevine. Adanya
situasi seperti ini, praktisi Public Relations diharuskan untuk mengoptimalkan saluran
komunikasi formal atau saluran resmi dari organisasi. Apabila informasi yang tersebar
didominasi oleh informasi informal, maka akan mengakibatkan (Kriyantono, 2014):
1. Organisasi tidak sehat, karena sistem komunikasi organisasi formal tidak berjalan.
2. Informasi yang berkembang bisa dianggap sebagai suatu “kebenaran”, apalagi bila
dijadikan sumber berita oleh media.
3. Menjadi informasi bagi publik dalam menginterpretasi situasi. Akibatnya, atribusi yang
muncul mungkin tidak sesuai dengan realitas yang sebenarnya, seandainya sumber
informasinya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Oleh karena itu, praktisi Public Relations haruslah memiliki dan menyediakan informasi
yang benar, sehingga atribusi yang dibuat oleh publik akan sesuai dengan kenyataan. Selain
itu, praktisi Public Relations juga harus memonitor dan mengontrol bagaimana atribusi yang
berada dan berkembang di publiknya. Jenis-jenis atribusi seharusnya juga menjadi perhatian
oleh praktisi Public Relations, terutama dalam kondisi dan situasi krisis pada sebuah
organisasi. “Ancaman terbesar datang dari persepsi publik tentang siapa pihak yang mesti
bertanggung jawab mengatasi dampak krisis” (Coombs, 2007a: 136; dalam Kriyantono,
2014: 173).
8
2.2 Situational Crisis Communication Theory (SCCT)
The Situational Crisis Communication Theory (SCCT) merupakan sebuah teori yang
digagas oleh Tymothy W. Coombs dan Holladay S.J. (Coombs, 2007a, 2007b; Coombs &
Holladay, 2002; Kriyantono, 2014). Teori SCC ini dapat digunakan untuk menjelaskan reaksi
publik terhadap situasi krisis dan reputasi yang terjadi pada suatu organisasi. Selain itu, teori
SCC ini juga dapat digunakan untuk memahami bagaimana respon stakeholder strategi krisis
(crisis response) yang dibuat oleh praktisi Public Relations. Kriyantono (2014) mengatakan
bahwa respon yang didapat oleh stakeholder akan digunakan sebagai bahan evaluasi
stakeholder terhadap organisasi, sehingga para stakeholder dapat memutuskan apakah
mereka tetap berinteraksi dengan organisasi tersebut di masa yang akan datang atau tidak.
Dengan demikian, SCCT dapat mengantisipasi reaksi publik terhadap krisis yang dapat
mengancam reputasi organisasi.
Teori SCC ini beranggapan bahwa pada dasarnya, publik mempunyai atribusi-atribusi
tertentu mengenai krisis, dan hal tersebut menjadi penentu bagi reputasi sebuah organisasi
(Kriyantono, 2014). Selain itu, reputasi organisasi juga sangat dipengaruhi oleh bentuk-
bentuk pilihan pertanggung jawaban respon krisis (Coombs & Holladay, 2002; dalam
Wulandari, 2011). Atribusi pada dasarnya merupakan persepsi publik terhadap organisasi.
Persepsi yang dihasilkan tidak muncul begitu saja, tetapi terdapat beberapa hal yang
mempengaruhi munculnya sebuah persepsi terhadap organisasi. Persepsi tersebut juga
digunakan sebagai evaluasi terhadap reputasi organisasi, yang selanjutnya persepsi ini akan
menjadi dasar pertimbangan-pertimbangan publik untuk memutuskan apakah mereka tetap
akan berhubungan atau berinteraksi dengan organisasi di masa yang akan datang atau tidak.
Teori ini berusaha untuk menjelaskan beberapa aspek dari krisis yang dapat
mempengaruhi atribusi yang diberikan oleh publik terhadap organisasi. Kriyantono (2014)
mengatakan bahwa titik berat teori ini adalah upaya untuk melindungi publik dan stakeholder
dari kerugian dan kerusakan daripada melindungi reputasi organisasi. Teori ini juga
menekankan bahwa menjamin keseamatan publik dan stakeholder adalah prioritas utama
dalam menghadapi situasi krisis (Kriyantono, 2014). Dengan menjadikan publik dan
stakeholder prioritas organisasi tersebut, maka untuk kedepannya organisasi tersebut dapat
dengan mudah menaikkan citra dan reputasinya kembali karena adanya dampak positif dari
menjadikan publik dan stakeholder sebagai proritas mereka. Coombs (2007b: 165; dalam
Kriyantono, 2014: 188) menyatakan:
9
“Akan menjadi sesuatu yang tidak bertanggung jawab jika mengawali strategi komunikasi dalam krisis dengan fokus pada reputasi organisasi. Agar etis, manajer krisis harus memulai upaya-upayanya dengan menggunakan komunikasi yang ditujukan untuk memperhatikan kepentingan fisik dan psikologis korban. Baru setelah itu manajer krisis dapat memfokuskan perhatiannya pada aset-aset reputasional organisasi”.
The Situational Crisis Communication Theory (SCCT) dapat membantu praktisi Public
Relations dalam mengukur situasi krisis untuk menguji tingkatan ancaman (sejumlah
kerusakan yang ditimbulkan krisis terhadap reputasi jika mengambil tindakan menyelesaikan
krisis dengan baik) terhadap reputasi organisasi (Kriyantono, 2014). Dalam teori ini, konsep
utama yang mendasarinya adalah “reputasi”, dimana pada teori SCC ini berfokus pada upaya
menyelamatkan reputasi organisasi akibat terpaan krisis. Reputasi dapat dikatakan sebagai
evaluasi publik mengenai kualitas organisasi dalam memenuhi harapan publiknya, seperti
yang dikatakan oleh Coombs (2007b: 164; dalam Kriyantono, 2014; 188) bahwa “aset yang
bersifat dan bernilai intangible atau tak terlihat secara fisik”.
Reputasi sebuah organisasi sangat bergantung pada informasi yang tersebar dan diterima
dikalangan publik, sehingga reputasi ini dapat dikatakan memiliki sifat yang evaluatif
(Kriyantono, 2014). Kebanyakan dari informasi yang tersebar dan diterima dikalangan publik
berasal dari berita di media massa, word of mouth (WOM), atau bahkan di jejaring sosial
media. Sehingga, publik dapat membanding-bandingkan berbagai informasi yang telah
didapat dan diterima. Publik berusaha membandingkan antara satu organisasi dengan
organisasi lainnya adalah untuk mengetahui apakah organisasi tersebut telah memenuhi
harapan publik atau tidak. “Kegagalan organisasi dalam memenuhi harapan publik akan
memunculkan kesenjangan pengharapan (expectation gap)” (Coombs, 2007b; dalam
Kriyantono, 2014: 189).
Dalam teori SCC, dapat diartikan bahwa reputasi berkorelasi dengan legitimasi. Metzler
(2001, dikutip di Veil, Liu, Erickson, & Sellnow, 2005: 19; dalam Kriyantono, 2014: 189)
dan Culbertson, dkk. (1993: 18; dalam Kriyantono, 2014: 189) menyatakan bahwa
“legitimasi adalah hak suatu organisasi untuk eksis (organization’s right to exist)”.
Legitimasi didapatkan atau diperoleh berdasarkan persetujuan komunitas di sekitar organisasi
(Habermas, 1975, dikutip di Culbertson, dkk., 1993; dalam Kriyantono, 2014) dan dibangun
berdasarkan dua aspek, yakni kompetensi yang dimiliki organisasi (organization’s
competence) dan karakter organisasi (organization’s character) (Hearit, K.M., 1995; Veil,
dkk., 2005; dalam Kriyantono, 2014). Karakter organisasi dapat dicapai apabila publik
mempunyai persepsi bahwa organisasi tersebut memiliki program yang menunjukkan
kepedulian terhadap komunitas sosialnya (Veil, dkk., 2005; Zyglidopoulus, 1999; dalam
10
Kriyantono, 2014). Asumsi karakter ini mengacu pada pendapat Hearit (1995: 3, dalam
Kriyantono, 2014: 189), yang dapat disebut “commuunity requirement”. Dengan kata lain,
agar suatu organisasi memiliki legitimasi, organisasi atau perusahaan tersebut harus
melakukan aktivitas yang dinilai dapat memenuhi standar kualitas yang telah dikonstruksi
secara sosial dan membuktikan bahwa kehadirannya dapat memberikan manfaat bagi
stakeholder-nya.
Oleh karena itu, apabila suatu organisasi ingin mendapatkan reputasi dari publiknya,
aktivitas-aktivitasnya juga harus diarahkan untuk memberi manfaat bagi komunitas sosialnya,
selain juga berupaya memperoleh keuntungan finansial. Dalam hal ini, suatu organisasi dapat
melakukan sebuah program yang biasa disebut dengan tanggung jawab sosial korporasi atau
corporate scial responsibility (CSR). Karena, kompetensi sebuah organisasi berasal dari
publik yang memiliki interpretasi tertentu terhadap organisasi yang menjadi perhatiannya,
sehingga agar mendapatkan interpretasi yang baik dari publiknya, suatu organisasi juga harus
harus berupaya utuk memuaskan publiknya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tinggi
rendahnya level karakter organisasi ditetukan oleh tinggi rendahnya perhatian organisasi
terhadap publiknya (Kriyantono, 2014).
Teori Situational Crisis Communication ini menjelaskan bahwa ada tiga variabel dalam
teorinya. Variabel-variabel ini dapat membentuk reputasi positif maupun negatif bagi
organisasi. Pada dasarnya, variabel ini digunakan praktisi Public Relations untuk membantu
mereka dalam mengetahui dan menentukan situasi aktual dalam suatu krisis yang menjadi
dasar penentuan strategi respons untuk mengatasi krisis (Kriyantono, 2014). Ketiga variabel
tersebut, yaitu (Coombs, 2007b; dalam Kriyantono, 2014):
1. Penanggung jawab krisis pertama (initial crisis responsibility)
Tingkat tinggi rendahnya atribusi publik terhadap tanggung jawab organisasi atau
seberapa besar kepercayaan publik bahwa krisis yang terjadi merupakan murni karena
kesalahan perilaku yang dilakukan oleh organisasi. Dalam hal ini termasuk persepsi
mengenai siapa yang seharusnya bertanggung jawab dalam krisis.
2. Sejarah krisis (crisis history)
Variabel ini melihat apakah organisasi tersebut mempunyai pengalaman situasi krisis
yang sama di masa lalu atau tidak.
3. Reputasi organisasi sebelumnya (prior relational reputation)
Variabel ini melihat persepsi publik tentang bagaimana perlakuan organisasi terhadap
korban yang dalam hal ini adalah publik pada situasi sebelumnya. Menurut teori ini, apabila
sebuah organisasi tidak memperlakukan publik dengan baik pada beberapa situasi
11
sebelumnya, dapat dipastikan bahwa organisasi itu memiliki prior relational reputation yang
buruk.
Atribusi publik mengenai siapa yang bertanggung jawab terhadap krisis yang terjadi pasa
orgaisasi sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga. Tiga kelompok tersebut juga dapat
disebut sebagai klaster krisis (crisis-cluster), yaitu:
1. Klaster korban (victim cluster)
Suatu organisasi dikategorikan ke dalam klaster atau kelompok korban jika publik
meyakini bahwa organisasi bukanlah penyebab dari adanya krisis. Dengan kata lain,
organisasi dianggap dan dipercaya sebagai korban dari krisis.
2. Klaster kecelakaan atau tanpa kesengajan (accidental cluster)
Klaster ini muncul ketika publik menyakini bahwa peristiwa yang terjadi bukanlah
kesengajaan yang dilakukan oleh organisasi. Dengan kata lain, organisasi tidak
mempunyai maksud sengaja yang menyebabkan adanya situasi krisis.
3. Klaster kesengajaan (intentional cluster)
Terjadi pabila suatu organisasi diatribusikan sebagai penyebab dari adaya situasi
krisis. Artinya, krisis yang dihasilkan merupakan murni kesalahan organisasi.
Coombs (2007a; dalam Kriyantono, 2014) menyimpulkan bahwa atribusi tentang
penanggung jawan situasi krisis berapa pada level sangat rendah atau sangat lemah apabila
organisasi tersebut masuk ke dalam klaster korban. Pada klaster kecelakaan atau tanpa
kesengajaan, tingkat atribusi yang dihasilkan berada pada tingkat yang minimal atau rendah.
Sedangkan apabila suatu organisasi digolongkan ke dalam klaster kesengajaan, akan
mempunyai tingkat atribusi yang sangat kuat atau sangat tinggi mengenai penanggung jawab
krisis.
Teori SCC juga dapat disederhanakan dalam suatu model. Coombs (2007a, 2007b; dalam
Kriyantono, 2014) menjelaskan bahwa model dari teori SCC dapat membantu praktisi Public
Relations dalam mengevaluasi ancaman terhadap reputasi organisasi melalui dua langkah.
Pertama, menentukan bagaimana level dari variabel penanggung jawab krisis (crisis
responsibility). Artinya, apakah organisasi tersebut dipersepsikan atau diatribusikan sebagai
pihak yang bertanggung jawab atas timbulnya situasi krisis atau tidak. Langkah ini akan
mengategorisasikan organisasi terhadap ketiga klaster (crisis cluster/types of cluster). Klaster
tersebut akan mencerminkan atribusi publik tentang siapa pihak yang menyebabkan
timbulnya atau penyebab adanya situasi krisis. Selanjutnya, pihak yang sudah ditentukan
haruslah bertanggung jawab terhadap situasi krisis yang terjajdi. Pada langkah kedua, teori
SCC mengadaptasi teori yang dikemukakan oleh Harrold Kelley tentang faktor-faktor yang
12
menentukan atribusi seseorang terhadap orang lain, yaitu konsistensi dan distinctiveness. Hal
ini semakin membuktikan keterkaitan teori SCC dengan teori atribusi. Langkah kedua yang
harus dilakukan oleh praktisi Public Relations adalah mengukur ancaman reputasi yang
disebabkan oleh sejarah krisis (crisis history) dan reputasi sebelumnya (prior relational
reputation).
Setiap organisasi pasti memiliki tim manajemen krisis yang bertugas untuk mengatasi
krisis dan memperbaiki reputasi pasca krisis. Tim manajemen krisis ini berupaya untuk
merancang strategi yang dapat merespons situasi krisis yang menjadi jawaban atas harapan
publik. Karena pada dasarnya, publik akan menunggu tindakan yang akan dilakukan
organisasi terutama apabila publik mengatribusikan organisasi sebagai penyebab timbulnya
situasi krisis. Respons situasi krisis yang akan dipublikasikan ke publik bergantung pada tipe-
tipe atau jenis-jenis dari krisis yang dialami oleh perusahaan. Terdapat dua tipe prioritas
dalam teori SCC ini, yaitu strategi respons primer dan strategi respons sekunder (Coombs,
Pemahaman praktisi Public Relations mengenai teori Situational Crisis Communication
dapat menjadi pedoman dasar yang sangat penting untuk menerapkan strategi komunikasi
dalam situasi krisis (Kriyantono, 2014). Teori ini dapat diterapkan untuk melindungi dan
mengatasi reputasi suatu organisasi apabila mengalami masalah. Reputasi suatu organisasi
dihasilkan karena organisaasi mampu untuk memenuhi harapan publik. Asumsi ini mengacu
pada pemikiran Zyglidopoulus (1999, dalam Kriyantono, 2014) bahwa publik pada umumnya
berharap agar organisasi mempunyai program yang fokus pada kepentingan komunitas sosial
(community concern). Selain itu, dapat dikatakan bahwa organisasi yang mempunyai reputasi
yang baik adalah organisasi yang mempunyai legitimasi di publik atau masyarakat.
Untuk mendapatkan legitimasi di mata publik atau masyarakat, organisasi harus memberi
perhatian yang besar pada interpretasi publik karena sangat penting untuk mendukung
kompetensi organisasi. Dengan demikian, organisasi yang dinilai berkarakter adalah
organisasi yang memperhatikan kepentingan komunitasnya. Karakter tersebut semakin
terlihat atau tampak ketika organisasi berada dalam situasi krisis. Seperti yang telah
disampaikan di awal, bahwa teori SCC ini lebih mengutamakan publiknya ketimbang reputasi
organisasi saat mengalami situasi krisis. Meskipun begitu, teori ini tetap berupaya untuk
melindungi organisasi. Dalam upayanya tersebut, terdapat satu model yang ditawarkan.
13
Model ini merepresentasikan hubungan dari tiga variabel yang dapat menjadi ancaman bagi
organisasi selama melalui situasi krisis (initian crisis responsibility, crisis history, dan prior
relational reputation) (Kriyantono, 2014).
Model tersebut dapat digunakan oleh praktisi Public Relations untuk mengevaluasi atau
mengukur seberapa besar ancaman terhadap reputasi organisasi, khususnya pada saat
organisasi tersebut mengalami krisis. Ancaman tersebut dapat diidentifikasi melalui dua
langkah, seperti yang sudah dijelaskan diatas, yaitu mengidentifikasi bagaimana posisi initial
crisis responsibility dari organisasi dan mengukur crisis history serta prior relational
reputation. Setelah mengetahui posisi organisasi berdasarkan ketiga klaster tersebut,
selanjutnya Public Relations sebagai tim manajer krisis dapat langsung untuk menyusun
strategi respons yang akan digunakan untuk mengatasi krisis dan menjaga reputasi organisasi
tersebut.
Teori SCC ini juga menunjukkan bagaimana pentingnya untuk mengatur strategi pesan
(messages re-engineering), agar dapat mempengaruhi frame media dan publik sehingga
cenderung memiliki pandangan yang positif terhadap organisasi. Karena informasi yang
tersebar di masyarakat juga dipengaruhi oleh pihak-pihak eksternal dari orgaanisasi.
Selanjutnya, praktisi public relations dapat melakukan scanning media melalui tracking
media dan agenda setting, serta mengukur opini publik untuk mengetahui apakah strategi
pesan tersebut berhasil mempengaruhi frame bertia atau tidak. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa teori SCC ini mempunyai andil atau kontribusi yang besar bagi
kehidupan public relations.
2.3 Deskripsi Fenomena
Saat ini, masyarakat semakin banyak mengonsumsi produk makanan jadi. Hal ini terlihat
dari total jumlah penduduk Indonesia yakni sebesar 231 juta jiwa dengan tingkat
pertumbuhan mencapai 1,45 % (BPS, 2009 dalam Julaeha, 2010). Kemudian ternyata, tingkat
pengeluaran masyarakat untuk mengonsumsi produk makanan sebesar 50 % lebih. Selain itu,
tingkat rata-rata konsumsi kalori per kapita untuk produk makanan jadi yaitu sebesar 278,46
persen pada tahun 2009. Dan produk makanan yang cukup digemari yaitu biskuit.
Berdasarkan penelitian AC Nielsen di tahun 2008 (Julaeha, 2010) bahwa pasar biskuit di
Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan yakni sebesar 19,45 % atau senilai
2,5 triliun rupiah. Produk biskuit yang banyak digemari masyarakat adalah Oreo yang
diproduksi oleh PT. Kraft Foods Inc. Di wilayah Benua Asia sendiri, Kraft memiliki
portofolio yang lengkap dengan merk-merk produk yang tersebar di seluruh kategori biskuit,
seperti Oreo, Ritz, Chip’s Ahoy, Jacob’s, Chipsmore, Twisties, Biskuat, Milk Biscuit, Hi
14
Calcium Soda, Tuc, dan Tiki. Pangsa pasar biskuit susu dikuasai oleh Danone dan Oreo
berdasarkan survei AC Nielsen (Julaeha, 2010).
Hasil pemeriksaan Badan Pengawas Obat-Obatan dan Makanan (BPOM) pada
September 2008 (Julaeha, 2010) menemukan bahwa semua produk yang mengandung susu
dan berasal dari Cina positif mengandung melamin sebesar 8.51 mg/kg sampai dengan
945.86 mg/kg. Salah satu produk yang terbukti mengandung melamin adalah Oreo Wafer
Sticks produksi PT. Nabisco Food (Suzhou) Co. Ltd, China sebesar 366.08 mg/kg dan 361.69
mg/kg.
Namun, dengan adanya pemberitaan di media massa yang kurang mendetail dan sarat
informasi, dan adanya kesalahan pemaknaan yang diterima masyarakat, kemudian membuat
masyarakat menganggap seluruh produk Oreo berbahaya. Seperti pada pemberitaan di CNN
(gambar 2.1).
Gambar 2.1 Pemberitaan mengenai Produk Oreo Mengandung Melamin
Padahal, sebenarnya produk Oreo buatan dalam negeri (PT. Kraft Foods Indonesia) bebas
melamin. Hal ini tentu akan mempengaruhi persepsi dan tingkat kepercayaan konsumen
terhadap produk Oreo. Sehingga, PT. Kraft Indonesia memanajemen krisis tersebut dengan
mengeluarkan sebuah iklan dengan Ferdi Hasan sebagai spokepersonnya. Iklan tersebut
berusaha meyakinkan publik bahwa produk Oreo yang dipasarkan di Indonesia adalah
produksi dalam negeri sehingga aman dikonsumsi, karena tidak mengandung melamin.
Juga terdapat press release dari BPOM yang menyebutkan bahwa Oreo yang
mengandung melamin merupakan produk yang diproduksi di China, bukan Indonesia.
15
Gambar 2.2 Press Release BPOM tentang Produk Cina Bermelamin
2.4 Analisis Fenomena
Berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan di atas, ketika Badan Pengawas Obat
dan Makanan (BPOM) menemukan adanya produk yang dipasarkan di Indonesia dan
mengandung melamin, membuat masyarakat shock dan panik. Mereka menganggap produk-
produk yang terdapat dalam daftar yang dirilis BPOM, secara keseluruhan merupakan produk
yang berbahaya.
Hal tersebut berkaitan erat dengan Teori Atribusi, yang menyebutkan bahwa individu
menarik kesimpulan tentang penyebab dari suatu perilaku, baik itu perilaku dirinya maupun
perilaku seseorang (termasuk organisasi) lainnya (Kriyantono, 2014). Penarikan kesimpulan
itu meskipun dipengaruhi beberapa faktor, namun tentu yang dilihat paling pertama adalah
hal yang paling besar. Dalam hal ini adalah pencantuman kata Oreo dalam produk yang
mengandung melamin.
Sementara, jika dilihat dari Situational Crisis Communication Theory, bahwa menurut
Kriyantono (2014) menyebutkan bahwa respon yang didapat oleh stakeholder akan
digunakan sebagai bahan evaluasi stakeholder terhadap organisasi, sehingga para stakeholder
dapat memutuskan apakah mereka tetap berinteraksi dengan organisasi tersebut di masa yang
akan datang atau tidak. Isu ini merupakan isu yang besar sehingga begitu penting untuk
dikelola. Karena, dikhawatirkan jika tidak dikelola dengan baik, maka publik akan
meninggalkan produk Oreo. Begitu pula dengan para stakeholder.
Oleh karena itu, SCCT menjadi penting untuk diterapkan agar dapat mengantisipasi
reaksi publik terhadap krisis yang dapat mengancam reputasi organisasi.
16
Publik menurut teori SCC ini pada dasarnya, memiliki atribusi-atribusi tertentu
mengenai krisis, dan hal tersebut menjadi penentu bagi reputasi sebuah organisasi
(Kriyantono, 2014). Bisa jadi publik beranggapan produk Oreo sudah tidak aman dan
saatnya untuk beralih ke produk lain yang lebih sehat dan bergizi. Ditambah lagi, pangsa
pasar utama produk Oreo adalah anak-anak. Dimana apa yang dikonsumsi anak-anak tentu
sedikit banyak dipengaruhi oleh keputusan, pengetahuan, dan pengalaman orang tua.
Oleh karena itu, menurut kami langkah-langkah yang dilakukan Oreo dalam hal ini
dinaungi PT. Kraft Indonesia dalam memanajemen krisis ini sudah cukup tepat. Setidaknya
terdapat tiga hal yang telah dilakukan, yaitu:
1. Mengirimkan press release ke detik.com
Gambar 2.3 Press Release yang dimuat di detik.com
Detik.com sebagai salah satu portal berita online yang selalu menghadirkan berita-berita
terupdate dalam dan luar negeri, dipercaya oleh PT. Kraft Indonesia untuk memuat berita
mengenai press release produk Oreo tidak mengandung melamin.
2. Membuat iklan bertema keluarga
Ferdi Hasan dipilih sebagai spokeperson sekaligus brand ambassador pada iklan ini.
Dengan konsep keluarga, Ferdi melihat secara langsung di pabrik bagaimana proses
pembuatan Oreo, yang ternyata terbukti aman dan higienis. Serta, menunjukkan dan
meyakinkan masyarakat bahwa produk Oreo di Indonesia dijamin tidak mengandung
melamin atau zat berbahaya yang lain.
17
Gambar 2.4 Iklan Oreo dengan Ferdi Hasan sebagai Spokeperson
3. Didukung dengan keterangan resmi dari BPOM yang menyebutkan bahwa produk Oreo
bermelamin adalah produk yang berasal dan diproduksi di China, bukan di Indonesia.
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Rekomendasi
Berdasarkan pemaparan mengenai
19
DAFTAR PUSTAKA
Julaeha. (2010). Analisis persepsi dan sikap konsumen terhadap produk Oreo setelah adanya isu melamin (kasus : mahasiswa tingkat persiapan bersama Institut Pertanian Bogor) (Skripsi Sarjana, Institut Pertanian Bogor, 2010). Diakses dari http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/27311/H10jul.pdf?sequence=4&isAllowed=y
Kriyantono, R. (2014). Teori public relations perspektif barat & lokal: Aplikasi penelitiandan praktik. Jakarta: Kencana.
POM. (2008). Keterangan pers tentang isu produk Cina mengandung melamin. Diakses pada 10 Maret 2017, dari http://www.pom.go.id/new/index.php/view/pers/45/KeteranganPers-tentang-Isu-Produk-Cina-mengandung-Melamin.html
Purwaningwulan, M., M. (2013). Public relations dan manajemen krisis. Majalah Ilmiah
UNIKOM, 11 (2).
Santi, N., A. (2011). Analisis Pengaruh Kesadaran Perpajakan, Sikap Rasional, Lingkungan,
Sanksi Denda dan Sikap Fiskus terhadap Kepatuhan Wajib Pajak. Diakses pada
tanggal 11 Maret 2017 dari http://eprints.undip.ac.id/35025/1/JURNAL_-
_ANISA_NIRMALA_SANTI.pdf
Wisudani, N., A. (2009). Manajemen Krisis Public Relations PT Pertamina (Persero)Unit Pengolahan IV Cilacap. Diakses pada tanggal 11 Maret 2017 dari http://repository.unair.ac.id/17056/1/gdlhub-gdl-s1-2009-wisudaninu-17931-abstrak-0.pdf
Wulandari, T., D. (2011). Pengaruh tanggung jawab perusahaan dalam menaggulangi krisis
terhadap reputasi perusahaan. Jurnal Ilmu Komunikasi, 8 (2).