I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di bidang kesehatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari pembangunan kesejahteraan bangsa secara berkesinambungan, terus menerus dilakukan bangsa Indonesia untuk menggapai cita-cita luhur, yakni terciptanya masyarakat yang adil dan makmur, baik spiritual maupun material. GBHN 1999 mengamanatkan perlunya meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung melalui pendekatan paradigma sehat, dengan memberikan prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, penyembuhan , pemulihan, dan rehabilitasi (Aditama dan Hastuti, 2002). Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta 1
127
Embed
Web viewAda tendensi di mana, adanya penyakit infeksi, malnutrisi ... adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan di bidang kesehatan pada hakikatnya merupakan bagian
integral dari pembangunan kesejahteraan bangsa secara berkesinambungan, terus
menerus dilakukan bangsa Indonesia untuk menggapai cita-cita luhur, yakni
terciptanya masyarakat yang adil dan makmur, baik spiritual maupun material.
GBHN 1999 mengamanatkan perlunya meningkatkan mutu sumber daya manusia
dan lingkungan yang saling mendukung melalui pendekatan paradigma sehat,
dengan memberikan prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan,
penyembuhan , pemulihan, dan rehabilitasi (Aditama dan Hastuti, 2002).
Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik
yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti
empiris menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi yang baik.
Status gizi yang baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi.
Masalah gizi kurang dan buruk dipengaruhi langsung oleh faktor konsumsi
pangan dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola asuh,
ketersediaan pangan, faktor sosial ekonomi, budaya dan politik. Apabila gizi
kurang dan gizi buruk terus terjadi dapat menjadi faktor penghambat dalam
pembangunan nasional. Secara perlahan kekurangan gizi akan berdampak pada
tingginya angka kematian ibu, bayi, dan balita, serta rendahnya umur harapan
1
hidup. Selain itu, dampak kekurangan gizi terlihat juga pada rendahnya partisipasi
sekolah, rendahnya pendidikan, serta lambatnya pertumbuhan ekonomi (Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007 ).
Kesepakatan global berupa Millenium Development Goals (MDGS) yang
terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator, menegaskan bahwa pada tahun
2015 setiap negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi
pada tahun 1990. Untuk Indonesia, indikator yang digunakan adalah peresentase
anak berusia di bawah 5 tahun (balita) yang mengalami gizi buruk (severe
underweight) dan persentase anak-anak berusia 5 tahun (balita) yang mengalami
gizi kurang (moderate underweight) (Ariani, 2007).
Kurang gizi atau gizi buruk dinyatakan sebagai penyebab tewasnya 3,5
juta anak di bawah usia lima tahun (balita) di dunia. Mayoritas kasus fatal gizi
buruk berada di 20 negara, yang merupakan negara target bantuan untuk masalah
pangan dan nutrisi. Negara tersebut meliputi wilayah Afrika, Asia Selatan,
Myanmar, Korea Utara, dan Indonesia. Hasil penelitian yang dipublikasikan
dalam jurnal kesehatan Inggris The Lanchet ini mengungkapkan, kebanyakan
kasus fatal tersebut secara tidak langsung menimpa keluarga miskin yang tidak
mampu atau lambat untuk berobat, kekurangan vitamin A dan zinc selama ibu
mengandung balita, serta menimpa anak pada usia dua tahun pertama. Angka
kematian balita karena gizi buruk ini terhitung lebih dari sepertiga kasus kematian
anak di seluruh dunia (Malik, 2008).
2
Berbagai penelitian membuktikan lebih dari separuh kematian bayi dan
balita disebabkan oleh keadaan gizi yang jelek. Resiko meninggal dari anak yang
bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak yang normal. WHO
memperkirakan bahwa 54% penyebab kematian bayi dan balita didasari oleh
keadaan gizi anak yang jelek (Irwandy, 2007).
Prevalensi nasional Gizi Buruk pada Balita adalah 5,4%, dan Gizi Kurang
pada Balita adalah 13,0%. Keduanya menunjukkan bahwa baik target Rencana
Pembangunan Jangka Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi
(20%), maupun target Millenium Development Goals pada 2015 (18,5%) telah
tercapai pada 2007. Namun demikian, sebanyak 19 provinsi mempunyai
prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang diatas prevalensi nasional, yaitu
Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara,Sumatera Barat, Riau, Jambi, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara,
Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua
(Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, 2008).
Di provinsi Sulawesi Tenggara jumlah kasus gizi buruk pada balita
mengalami kenaikan dari tahun 2006 ke tahun 2007. Berdasarkan data yang
diperoleh dari Dinas Kesehatan provinsi Sulawesi Tenggara, jumlah kasus gizi
buruk pada balita di Sulawesi Tenggara pada tahun 2006 yaitu terdapat 803 balita
3
yang mengalami gizi buruk, dan pada tahun 2007 jumlah kasus gizi buruk pada
balita meningkat menjadi 1.113 balita yang mengalami gizi buruk
Pada daerah Kota Kendari dalam tiga tahun terakhir jumlah kasus gizi
buruk pada balita mengalami perubahan yang berfluktuasi. Berdasarkan data yang
diperoleh dari Dinas Kesehatan kota Kendari bagian UKM dan Gizi, jumlah kasus
gizi buruk pada balita di kota Kendari pada tahun 2006 yaitu 107 kasus balita
yang mengalami gizi buruk dan mengalami peningkatan menjadi 139 balita yang
mengalami gizi buruk pada tahun 2007, serta terjadi penurunan pada tahun 2008
yaitu 108 balita yang mengalami gizi buruk.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan kota Kendari
bagian UKM dan Gizi untuk tahun 2008 jumlah kasus gizi buruk pada balita yang
tertinggi berada pada wilayah kerja Puskesmas Mata yaitu 23 balita yang
mengalami gizi buruk. Sedangkan, pada wilayah kerja Puskesmas lainnya seperti
di wilayah kerja Puskesmas Perumnas jumlah kasus gizi buruk pada balita yaitu
19 balita yang mengalami gizi buruk dan pada wilayah kerja Puskesmas Benu-
benua terdapat 16 balita yang mengalami gizi buruk. Selain itu, pada wilayah
kerja Puskesmas Mata berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan kota
Kendari untuk tiga tahun terakhir jumlah kasus gizi buruk pada balita di wilayah
kerja Puskesmas Mata terus mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2006,
jumlah kasus gizi buruk pada balita yaitu 8 balita yang mengalami gizi buruk,
kemudian meningkat pada tahun 2007 menjadi 22 balita yang mengalami gizi
4
buruk dan terus meningkat pada tahun 2008 menjadi 23 balita yang mengalami
gizi buruk.
Penyebab gizi buruk dan gizi kurang di Indonesia sesuai hasil penelitian
bermula dari krisis ekonomi, politik dan sosial menimbulkan dampak negatif
seperti kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan rendah, kesempatan kerja
kurang, pola makan, ketersediaan bahan pangan pada tingkat rumah tangga
rendah, pola asuh anak yang tidak memadai, pendapatan keluarga yang rendah,
sanitasi dan air bersih serta pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai
(Unicef, 1999 dalam Khomsan, dkk (2004)).
Berdasarkan data yang diperoleh dari profil Puskesmas Mata tahun 2007,
pada wilayah kerja Puskesmas Mata yang terdiri dari 9 Kelurahan yang ada pada
Kecamatan Kendari, penduduk yang tergolong penduduk miskin melebihi
setengah dari keseluruhan jumlah penduduk pada wilayah kerja Puskesmas Mata
yaitu berjumlah 14.258 penduduk miskin dari 22.310 penduduk yang ada pada
wilayah kerja Puskesmas Mata. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya pengaruh
tingkat pendapatan, yang tentunya akan berpengaruh pada pola makan balita dan
pengetahuan ibu tentang gizi yang merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya
kasus gizi buruk pada balita. Selain itu, pada wilayah kerja ini terdapat penyakit
ISPA dan diare pada balita yang juga merupakan salah satu masalah penyakit
infeksi yang terjadi pada wilayah kerja Puskesmas Mata.
5
Berdasarkan uraian dan permasalahan yang ada dengan melihat faktor-
faktor penyebab terjadinya kejadian gizi buruk dan masih adanya kasus gizi buruk
pada balita di wilayah kerja Puskesmas Mata, maka menarik untuk dilakukan
suatu penelitian analisis faktor risiko kejadian gizi buruk pada balita di wilayah
kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka yang menjadi masalah
adalah seberapa besarkah faktor risiko kejadian gizi buruk pada balita di wilayah
kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008 ditinjau dari pola makan, tingkat
pengetahuan gizi ibu, tingkat pendapatan, dan penyakit infeksi.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor risiko kejadian gizi buruk pada balita di wilayah
kerja Puskesmas Mata Kota Kendari tahun 2008 ditinjau dari pola makan,
tingkat pengetahuan gizi ibu, tingkat pendapatan, dan penyakit infeksi.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui faktor risiko pola makan terhadap kejadian gizi buruk
pada balita di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari tahun 2008.
b. Untuk mengetahui faktor risiko tingkat pengetahuan gizi ibu terhadap
kejadian gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota
Kendari tahun 2008.
6
c. Untuk mengetahui faktor risiko tingkat pendapatan terhadap kejadian gizi
buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari tahun
2008.
d. Untuk mengetahui faktor risiko penyakit infeksi terhadap kejadian gizi
buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari tahun
2008.
D. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini bermanfaat sebagai data dan informasi tentang faktor-faktor
risiko kejadian gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota
Kendari .
2. Hasil penelitian ini bermanfaat dalam menentukan kebijakan penanggulangan
gizi buruk pada balita di Dinas Kesehatan Kota Kendari.
3. Sebagai salah satu referensi untuk studi lebih lanjut bagi para peneliti lain
yang tertarik pada masalah gizi buruk pada balita di masa yang akan datang.
4. Bagi peneliti merupakan pengalaman yang berharga dalam rangka
memperluas wawasan serta pengetahuan melalui penelitian yang dilakukan di
lapangan.
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Status Gizi
1. Pengertian status gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan
dan penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik,
dan lebih. Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang .
Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup
zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan
pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan
secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi kurang terjagi bila
tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Status gizi
lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan,
sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan. Gangguan gizi
terjadi baik pada status gizi kurang, maupun status gizi lebih (Almatsier,
2004).
2. Penilaian status gizi
Penilaian status gizi terbagi atas penilaian secara langsung dan
penilaian secara tidak langsung. Adapun penilaian secara langsung dibagi
menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik.
Sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung terbagi atas tiga yaitu
survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi.
8
a. Penilaian secara langsung
1) Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia.
Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan
dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi
tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (Supariasa, dkk.,
2001).
Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan
dengan mengukur beberapa parameter. Parameter antropometri
merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa
parameter disebut indeks antropometri.
Rekomendasi dalam menilai status gizi anak di bawah lima
tahun yang dianjurkan untuk digunakan di Indonesia adalah baku
World Health Organization-National Centre for Health Statistic
(WHO-NCHS).
Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu
berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur
(TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).
9
Tabel 1. Klasifikasi Status Gizi Anak (Balita)
INDEKS STATUS GIZI AMBANG BATAS
Berat badan menurut umur (BB/U)
Gizi lebih >+ 2 Standar Deviasi (SD)
Gizi baik - 2 SD Sampai + 2 SD
Gizi kurang < -2 SD Sampai -3 SD
Gizi buruk < -3 SD Tinggi badan menurut umur (TB/U)
Normal -2 SDPendek (Stunted) < -2 SD
Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
Gemuk > + 2 SDNormal + 2 SD
Sampai - 2 SDKurus (Wasted) < -2 SD Sampai
-3 SDKurus sekali < -3 SD
Sumber : Keputusan Menkes RI No. 920/Menkes/SK/VII/2002
a) Indeks berat badan menurut umur (BB/U)
Merupakan pengukuran antropometri yang sering
digunakan sebagai indikator dalam keadaan normal, dimana
keadaan kesehatan dan keseimbangan antara intake dan kebutuhan
gizi terjamin. Berat badan memberikan gambaran tentang massa
tubuh (otot dan lemak). Massa tubuh sangat sensitif terhadap
perubahan keadaan yang mendadak, misalnya terserang infeksi,
kurang nafsu makan dan menurunnya jumlah makanan yang
dikonsumsi. BB/U lebih menggambarkan status gizi sekarang.
10
Berat badan yang bersifat labil, menyebabkan indeks ini lebih
menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Current Nutritional
Status) (Supariasa, dkk., 2001).
b) Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U)
Indeks TB/U disamping memberikan status gizi masa
lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status ekonomi (Beaton
dan Bengoa (1973) dalam Supariasa, dkk. (2001)).
c) Indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi
badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan
searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan
tertentu (Supariasa, dkk., 2001).
Berbagai indeks antropometri, untuk menginterpretasinya
dibutuhkan ambang batas. Penentuan ambang batas yang paling
umum digunakan saat ini adalah dengan memakai standar deviasi
unit (SD) atau disebut juga Z-Skor.
Rumus perhitungan Z-Skor adalah :
Z-Skor = Nilai individu subyek-Nilai median Baku Rujukan Nilai Simpang Baku Rujukan
2) KlinisPemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk
menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-
11
perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat
gizi . Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial epithelial
tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-
organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid
(Supariasa, dkk.,2001).
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan fisik secara
menyeluruh, termasuk riwayat kesehatan. Bagian tubuh yang harus
lebih diperhatikan dalam pemeriksaan klinis adalah kulit, gigi,
gusi,bibir, lidah, mata (Arisman dalam Yuliaty, 2008).
3) Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan
spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai
macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain :
darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan
otot (Supariasa, dkk., 2001).
4) Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan
status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan)
dan melihat perubahan struktur dari jaringan (Supariasa, dkk., 2001).
12
b. Penilaian secara tidak langsung
1) Survei konsumsi makanan
Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi
secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang
dikonsumsi. Metode survei konsumsi makanan untu individu antara
lain :
a) Metode recall 24 jam
b) Metode esthimated food record
c) Metode penimbangan makanan (food weighting)
d) Metode dietary history
e) Metode frekuensi makanan (food frequency).
2) Statistik vital
Pengukuran gizi dengan statistik vital adalah dengan
menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian
berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian sebagai akibat
penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi
(Supariasa, dkk., 2001).
3) Faktor ekologi
Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi
beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Jumlah
13
makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti
iklim, tanah, irigasi dan lain-lain (Supariasa, dkk., 2001).
B. Tinjauan Tentang Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Gizi Buruk
Berdasarkan hasil studi kepustakaan yang telah ditemukan sebelumnya
yaitu beberapa variabel bebas (independen) yang merupakan faktor- faktor yang
berhubungan dengan kejadian gizi buruk pada balita.
1. Tinjauan Tentang Pola Makan
Pola makan adalah gambaran pola menu, frekuensi, dan jenis bahan
makanan yang dikonsumsi setiap hari dimana merupakan bagian dari gaya
hidup atau ciri khusus suatu kelompok (Astawan, 1998).
Pola makan adalah cara individu atau kelompok individu memilih
bahan makanan dan mengkonsumsinya sebagai tanggapan dari pengaruh
fisiologi, sosial dan budaya diukur dengan frekuensi, jenis dan jumlah bahan
makanan yang dikonsumsi setiap hari (Suhardjo, 2003).
Pola makan merupakan ciri khas untuk status kelompok masyarakat
tertentu. Pola makan suatu daerah dapat berubah-ubah. Pola makan
masyarakat pedesaan di Indonesia pada umumnya diwarnai oleh jenis-jenis
bahan makanan yang umum dan diproduksi setempat. Misalnya pada
masyarakat nelayan di daerah-daerah pantai ikan merupakan makanan sehari-
hari yang dipilih karena dapat dihasilkan sendiri. Daerah-daerah pertanian
padi , masyarakat berpola makan pokok beras. Daerah-daerah dengan produk
14
utama jagung seperti pulau Madura dan Jawa Timur bagian selatan,
masyarakatnya berpola pangan pokok jagung. Gunung Kidul dan beberapa
daerah lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur masyarakatnya berpola pangan
pokok ubi kayu karena produksi tanaman pangan utama adalah ubi kayu
(Khumaidi, 1994).
Pengertian pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan
gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap
hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok
masyarakat tertentu. Pola makan ini dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain
adalah : kebiasaan kesenangan, budaya, agama, taraf ekonomi, lingkungan
alam, dan sebagainya. Sejak zaman dahulu kala, makanan selain untuk
kekuatan/pertumbuhan, memenuhi rasa lapar, dan selera, juga mendapat
tempat sebagai lambang yaitu lambang kemakmuran, kekuasaan, ketentraman
dan persahabatan. Semua faktor di atas bercampur membentuk suatu ramuan
yang kompak yang dapat disebut pola konsumsi (Santoso dan Ranti, 2004).
Pola makan di suatu daerah dapat berubah-ubah sesuai dengan
perubahan beberapa faktor ataupun kondisi setempat, yang dapat dibagi dalam
tiga kelompok yaitu pertama adalah faktor yang berhubungan dengan
persediaan atau pengadaan bahan pangan. Termasuk di sini faktor geografi,
iklim, kesuburan tanah berkaitan dengan produksi bahan makanan, sumber
daya perairan, kemajuan teknologi, transportasi, distribusi, dan persediaan
15
suatu daerah. Kedua, adalah faktor-faktor dan adat kebiasaan yang
berhubungan dengan konsumen. Taraf sosio-ekonomi dan adat kebiasaan
setempat memegang peranan penting dalam pola konsumsi penduduk. Ketiga,
hal yang dapat berpengaruh di sini adalah bantuan atau subsidi terhadap
bahan-bahan tertentu. Selain itu, pola makan setempat juga dapat diperkaya
dengan pengaruh budaya asing yang datang dari India, Arab, Cina, dan Eropa
(Santoso dan Ranti, 2004).
Pemilihan bahan makanan ternyata dipengaruhi oleh unsur-unsur
tertentu. Pertama, sumber-sumber pengetahuan masyarakat dalam memilih
dan mengolah pangan mereka sehari-hari. Termasuk dalam sumber
pengetahuan dalam memilih dan mengolah pangan adalah : sistem sosial
keluarga secara turun temurun, proses sosialisasi dan interaksi anggota
keluarga dengan media massa. Kedua, aspek aset dan akses masyarakat
terhadap pangan mereka sehari-hari. Unsur aset dan akses terhadap pangan
adalah berkenaan dengan pemilikan dan peluang upaya yang dapat
dimanfaatkan oleh keluarga guna melakukan budidaya tanaman pangan dan
atau sumber nafkah yang menghasilkan bahan pangan atau natura (uang).
Ketiga, pengaruh tokoh panutan atau yang berpengaruh. Pengaruh tokoh
panutan terutama berkenaan dengan hubungan bapak anak, jika keluarga yang
memperoleh pangan atau nafkah berupa uang kontan melalui usaha tani
majikan (Santoso dan Ranti, 2004).
16
Kebiasaan makan adalah cara-cara individu dan kelompok individu
memilih, mengkonsumsi, dan menggunakan makanan-makanan yang tersedia,
yang didasarkan kepada faktor-faktor sosial dan budaya di mana ia/mereka
hidup. Kebiasaan makan individu, keluarga dan masyarakat dipengaruhi oleh :
a) Faktor perilaku termasuk di sini adalah cara berpikir, berperasaan,
berpandangan tentang makanan. Kemudian dinyatakan dalam bentuk
tindakan makan dan memilih makanan. Kejadian ini berulang kali
dilakukan sehingga menjadi kebiasaan makan.
b) Faktor lingkungan sosial, segi kependudukan dengan susunan, tingkat, dan
sifat-sifatnya.
c) Faktor lingkungan ekonomi, daya beli, ketersediaan uang kontan, dan
sebagainya.
d) Lingkungan ekologi, kondisi tanah, iklim, lingkungan biologi, system
usaha tani, sistem pasar, dan sebagainya.
e) Faktor ketersediaan bahan makanan, dipengaruhi oleh kondisi-kondisi
yang bersifat hasil karya manusia seperti sistem pertanian (perladangan),
prasarana dan sarana kehidupan (jalan raya dan lain-lain), perundang-
undangan, dan pelayanan pemerintah.
f) Faktor perkembangan teknologi, seperti bioteknologi yang menghasilkan
jenis-jenis bahan makanan yang lebih praktis dan lebih bergizi, menarik,
awet dan lainnya.
17
Pola makan masyarakat atau kelompok di mana anak berada, akan
sangat mempengaruhi kebiasaan makan, selera, dan daya terima anak akan
suatu makanan. Oleh karena itu, di lingkungan anak hidup terutama keluarga
perlu pembiasaan makan anak yang memperhatikan kesehatan dan gizi
(Santoso dan Ranti, 2004).
2. Tinjauan Tentang Pengetahuan Ibu Tentang Gizi
Pengetahuan adalah merupakan hasil ”tahu”, dan ini terjadi setelah
orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo,
2003).
Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6
tingkat, yakni :
a. Tahu (Know)
Diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh
bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
b. Memahami (Comprehension)
Diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang
objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara
benar.
18
c. Aplikasi (Aplication)
Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).
d. Analisis (Analysis)
Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur
organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (Synthesis)
Menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru.
e. Evaluasi (Evaluation)
Berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan
suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria
yang telah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek
penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui
atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut di atas
(Notoatmodjo, 2003).
19
Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi
didasarkan pada tiga kenyataan :
a) Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan.
b) Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya
mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh
yang optimal, pemeliharaan dan energi.
c) Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat
belajar menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi.
Kurangnya pengetahuan dan salah konsepsi tentang kebutuhan pangan
dan nilai pangan adalah umum dijumpai setiap negara di dunia. Kemiskinan
dan kekurangan persediaan pangan yang bergizi merupakan faktor penting
dalam masalah kurang gizi. Lain sebab yang penting dari gangguan gizi
adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk
menerapkan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Rendahnya
pengetahuan gizi dapat mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga,
yang selanjutnya mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan.
Rendahnya kualitas dan kuantitas konsumsi pangan, merupakan penyebab
langsung dari kekurangan gizi pada anak balita (Suhardjo, 2003).
3. Tinjauan Tentang Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan adalah total jumlah pendapatan dari semua
anggota keluarga , termasuk semua jenis pemasukan yang diterima oleh
20
keluarga dalam bentuk uang, hasil menjual barang, pinjaman dan lain-lain
(Thaha, 1996 dalam Rasifa 2006).
Rendahnya tingkat pendapatan keluarga, akan sangat berdampak
rendahnya daya beli keluarga tersebut. Pada masyarakat nelayan, rendahnya
tingkat pendapatan keluarga , sangat berdampak terhadap rendahnya rata-rata
tingkat pendidikan, yang pada gilirannya akan berimplikasi terhadap
rendahnya tingkat pengetahuan dan perilaku (khususnya pengetahuan dan
perilaku gizi). Rendahnya pengetahuan gizi dapat mempengaruhi ketersediaan
pangan dalam keluarga , yang selanjutnya mempengaruhi kuantitas dan
kualitas konsumsi pangan. Rendahnya kualitas dan kuantitas konsumsi
pangan, merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak balita
(Suhardjo, 2003).
Kehidupan di kota-kota pada dewasa ini, terutama dalam pemberian
atau penyajian makanan keluarga pada kebanyakan penduduk dapat dikatakan
masih kurang mencukupi yang dibutuhkan oleh tubuh masing-masing.
Kebanyakan keluarga telah merasa lega kalau mereka telah dapat
mengkonsumsi makanan pokok (nasi, jagung) dua kali dalam sehari dengan
lauk pauknya kerupuk dan ikan asin, bahkan tidak jarang mereka juga telah
merasa lega kalau mereka telah dapat mengkonsumsi nasi atau jagung cukup
dengan sambal dan garam. Menurut penelitian, keadaan yang umum ini
dikarenakan rendahnya pendapatan yang mereka peroleh dan banyaknya
21
anggota keluarga yang harus diberi makan dengan jumlah pendapatan yang
rendah. Penduduk kota dan penduduk pedesaan yang kebanyakan
berpenghasilan rendah, selain memanfaatkan penghasilannya itu untuk
keperluan makan keluarga, juga harus membagi-baginya untuk berbagai
keperluan lainnya (pendidikan, transportasi, dan lain-lain), sehingga tidak
jarang persentase penghasilan untuk keperluan untuk keperluan penyediaan
makanan hanya kecil saja. Mereka pada umumnya hidup dengan makanan
yang kurang bergizi (Kartasapoetra, 2002).
Tingkat pendapatan keluarga akan mempengaruhi mutu fasilitas
perumahan, penyediaan air bersih dan sanitasi yang pada dasarnya sangat
berperan terhadap timbulnya penyakit infeksi. Selain itu, penghasilan keluarga
akan menentukan daya beli keluarga termasuk makanan, sehingga
mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan yang tersedia dalam rumah
tangga dan pada akhirnya mempengaruhi asupan zat gizi (Suhardjo dalam
Yuliati, 2008).
Berkaitan dengan besarnya pendapatan keluarga, pemerintah Kota
Kendari berdasarkan Peraturan Gubernur No. 35 Tahun 2008, tanggal 5
Desember Tahun 2008 menetapkan Upah Minimum Kota (UMK) Kendari
tahun 2009 sebesar Rp. 810.000,- per bulan (Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kota Kendari, 2009).
22
4. Tinjauan Tentang Penyakit Infeksi
Infeksi adalah masuknya, bertumbuh dan berkembangnya agent
penyakit menular dalam tubuh manusia atau hewan. Infeksi tidaklah sama
dengan penyakit menular karena akibatnya mungkin tidak kelihatan atau
nyata. Adanya kehidupan agent menular pada permukaan luar tubuh, atau
pada barang, pakaian atau barang-barang lainnya, bukanlah infeksi, tetapi
merupakan kontaminasi pada permukaan tubuh atau benda (Noor, 1997).
Infeksi berat dapat memperjelek keadaan gizi melalui gangguan
masukan makanannya dan meningkatnya kehilangan zat-zat gizi esensial
tubuh. Sebaliknya malnutrisi walaupun ringan berpengaruh negatif terhadap
daya tahan tubuh terhadap infeksi (Pudjiadi, 2003).
Ada hubungan yang sangat erat antara infeksi (bakteri, virus dan
parasit) dengan malnutrisi. Mereka menekankan interaksi yang sinergis antara
malnutrisi dengan penyakit infeksi, dan juga infeksi akan mempengaruhi
status gizi dan mempercepat malnutrisi. Mekanisme patologisnya dapat
bermacam-macam, baik secara sendiri-sendiri maupun bersamaan, yaitu :
a. Penurunan asupan zat gizi akibat kurangnya nafsu makan, menurunnya
absorpsi, dan kebiasaan mengurangi makan pada saat sakit.
b. Peningkatan kehilangan cairan/zat gizi akibat diare, mual/muntah dan
pendarahan yang terus menerus.
23
c. Meningkatnya kebutuhan, baik dari peningkatan kebutuhan akibat sakit
(human host) dan parasit yang terdapat dalam tubuh.
Pada umumnya baik infeksi umum maupun infeksi lokal, dapat respon
metabolik bagi penderitanya, yang disertai dengan kekurangan zat gizi.
Penelitian yang dilakukan, ditemui bahwa kurang gizi, dapat menyebabkan
gangguan pada pertahanan tubuh. Di lain pihak, pada infeksi akan
memberikan efek berupa gangguan pada tubuh, yang dapat menyebabkan
kekurangan gizi. Penyakit infeksi dapat menyebabkan kurang gizi sebaliknya
kurang gizi juga menyebabkan penyakit infeksi. Ada tendensi di mana,
adanya penyakit infeksi, malnutrisi (gizi lebih dan gizi kurang), yang terjadi
secara bersamaan di mana akan bekerjasama (secara sinergis), hingga suatu
penyakit infeksi yang baru akan menyebabkan kekurangan gizi yang lebih
berat. Ini dikenal dengan siklus sinergis (vicious cycle) yang banyak dan
sering terjadi di negara-negara berkembang, menyebabkan tingginya angka
kematian di negara tersebut (Supariasa, 2001).
Terjadinya hubungan timbal balik antara kejadian infeksi penyakit dan
gizi kurang maupun gizi buruk.Anak yang menderita gizi kurang dan gizi
buruk akan mengalami penurunan daya tahan, sehingga rentan terhadap
penyakit infeksi. Di sisi lain anak yang menderita sakit infeksi akan
cenderung menderita gizi buruk (Depkes dalam Yuliaty 2008).
24
C. Tinjauan Umum Tentang Gizi Buruk
1. Pengertian gizi buruk
Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan
nutrisi, atau nutrisinya di bawah standar rata-rata. Status gizi buruk dibagi
menjadi tiga bagian, yakni gizi buruk karena kekurangan protein (disebut
kwashiorkor), karena kekurangan karbohidrat atau kalori (disebut marasmus),
dan kekurangan kedua-duanya. Gizi buruk ini biasanya terjadi pada anak
balita (bawah lima tahun) dan ditampakkan oleh membusungnya perut
(busung lapar). Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan
kekurangan nutrisi, atau dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di
bawah standar rata-rata. Nutrisi yang dimaksud bisa berupa protein,
karbohidrat dan kalori. Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah
teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran.
Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi
menahun (Nency, 2005).
2. Faktor-faktor penyebab gizi buruk
Gizi buruk disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama adalah faktor
pengadaan makanan yang kurang mencukupi suatu wilayah tertentu. Hal ini
bisa jadi disebabkan oleh kurangnya potensi alam atau kesalahan distribusi.
Faktor kedua, adalah dari segi kesehatan sendiri, yakni adanya penyakit kronis
terutama gangguan pada metabolisme atau penyerapan makanan. Selain itu,
25
ada tiga hal yang saling kait mengkait dalam hal gizi buruk, yaitu kemiskinan,
pendidikan rendah dan kesempatan kerja rendah. Ketiga hal itu
mengakibatkan kurangnya ketersediaan pangan di rumah tangga dan pola
asuh anak keliru. Hal ini mengakibatkan kurangnya asupan gizi dan balita
sering terkena infeksi penyakit (Mardiansyah, 2008).
Gizi buruk dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Secara
garis besar penyebab anak kekurangan gizi disebabkan karena asupan
makanan yang kurang atau anak sering sakit/terkena infeksi.
a. Asupan yang kurang disebabkan oleh banyak faktor antara lain :
1) Tidak tersedianya makanan secara adekuat, Tidak tersedianya
makanan yang adekuat terkait langsung dengan kondisi sosial
ekonomi. Kadang kadang bencana alam, perang, maupun
kebijaksanaan politik maupun ekonomi yang memberatkan rakyat
akan menyebabkan hal ini. Kemiskinan sangat identik dengan tidak
tersedianya makan yang adekuat. Data Indonesia dan negara lain
menunjukkan bahwa adanya hubungan timbal balik antara kurang gizi
dan kemiskinan. Kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar
masalah gizi buruk. Proporsi anak malnutrisi berbanding terbalik
dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi
persentasi anak yang kekurangan gizi.
26
2) Anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang, Makanan
alamiah terbaik bagi bayi yaitu Air Susu Ibu, dan sesudah usia 6 bulan
anak tidak mendapat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat,
baik jumlah dan kualitasnya akan berkonsekuensi terhadap status gizi
bayi. MP-ASI yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan
protein, tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat,
vitamin B serta vitamin dan mineral lainnya. MP-ASI yang tepat dan
baik dapat disiapkan sendiri di rumah. Pada keluarga dengan tingkat
pendidikan dan pengetahuan yang rendah seringkali anaknya harus
puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi
balita karena ketidaktahuan.
3) Pola makan yang salah, Pola pengasuhan anak berpengaruh pada
timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih
Gambar 3. Grafik Balita Menurut Umur di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008
Pada gambar 3 telihat bahwa dari 46 balita yang menjadi
sampel, jumlah balita yang menjadi sampel lebih banyak pada
kelompok umur 12-23 bulan yaitu sebanyak 20 balita (43,5%) dan
tidak ditemukan balita pada kelompok umur 48-59 bulan (0%).
b. Distribusi balita menurut jenis kelamin
56
Jenis kelamin adalah kata yang umumnya digunakan untuk
membedakan seks seseorang seperti laki-laki dan perempuan
(Komsiah, 2008).
Penentuan matching sampel (kasus dan kontrol) berdasarkan
jenis kelamin dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Distribusi Matching Sampel berdasarkan Jenis Kelamin
Kelompok Sampel
Jenis Kelamin JumlahLaki-Laki Perempuan
Kasus 11 12 23Kontrol 11 12 23Jumlah 22 24 46
Sumber : Data Primer Diolah Tahun 2009
Tabel 4 memperlihatkan bahwa dari 46 balita yang menjadi
sampel, jumlah balita yang menjadi sampel lebih banyak pada jenis
kelamin perempuan yaitu sebanyak 24 balita (12 balita pada kasus dan
12 balita pada kontrol) dan balita dengan jenis kelamin laki-laki yaitu
22 balita (11 balita pada kasus dan 11 balita pada kontrol).
Karakteristik balita menurut jenis kelamin dalam penelitian ini
dapat dilihat pada gambar 4.
57
0
20
40
60
Grafik Balita Menurut Jenis Kelamin di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun
2008
Jumlah 22 24
% 47.8 52.2
Laki – Laki Perempuan
Sumber : Data Primer Diolah Tahun 2009
Gambar 4. Grafik Balita Menurut Jenis Kelamin di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008
Gambar 4 menunjukkan bahwa dari 46 balita yang menjadi
sampel, sebagian besar balita berjenis kelamin perempuan sebanyak
24 orang (52,2%), dan sebanyak 22 balita (47,8%) berjenis kelamin
laki-laki.
c. Distribusi balita menurut jenis penyakit infeksi
Infeksi adalah masuknya, bertumbuh dan berkembangnya
agent penyakit menular dalam tubuh manusia atau hewan. Infeksi
tidaklah sama dengan penyakit menular karena akibatnya mungkin
tidak kelihatan atau nyata. Adanya kehidupan agent menular pada
permukaan luar tubuh, atau pada barang, pakaian atau barang-barang
58
lainnya, bukanlah infeksi, tetapi merupakan kontaminasi pada
permukaan tubuh atau benda (Noor, 1997).
Jenis penyakit infeksi yang diderita oleh balita dalam
penelitian ini dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Distribusi Balita Berdasarkan Jenis Penyakit Infeksi di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008
No Penyakit Infeksi Jumlah %1234
ISPADiareCacarTidak Menderita Penyakit Infeksi
32527
69,610,94,315,2
Total 46 100Sumber : Data Primer Diolah Tahun 2009
Tabel 5 memperlihatkan bahwa dari 46 balita yang menjadi
sampel, sebagian besar sampel menderita penyakit infeksi yaitu 39
orang (84,8%), 32 orang (69,6%) diantaranya menderita ISPA, 5 orang
(10,9%) menderita diare dan 2 orang (4,3%) menderita cacar.
Sedangkan yang tidak menderita penyakit infeksi sebanyak 7 orang
(15,2 %). Data diperoleh dari keterangan responden dan diagnosa
penyakit didasarkan pada catatan medik (medical record) Puskesmas
Mata.
d. Distribusi balita menurut pola makan
Gambaran pola makan balita dalam penelitian ini dapat dilihat
pada tabel 6.
59
Tabel 6. Distribusi Sampel Berdasarkan Pola Makan di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008
Kelompok Sampel
Pola Makan JumlahKurang Cukup
Kasus 21 2 23Kontrol 10 13 23Jumlah 31 15 46
Sumber : Data Primer Diolah Tahun 2009
Tabel 6 memperlihatkan bahwa dari 46 balita yang menjadi
sampel, jumlah balita yang menjadi sampel lebih banyak yang pola
makannya kurang yaitu sebanyak 31 balita (21 balita pada kasus dan
10 balita pada kontrol) dan balita dengan pola makan cukup yaitu 15
balita (2 balita pada kasus dan 13 balita pada kontrol).
e. Distribusi balita menurut pengetahuan ibu tentang gizi
Gambaran pengetahuan ibu tentang gizi dalam penelitian ini
dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Distribusi Sampel Berdasarkan Pengetahuan Gizi Ibu di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008
Kelompok Sampel
Pengetahuan Ibu Tentang Gizi JumlahKurang Cukup
Kasus 13 10 23Kontrol 2 21 23Jumlah 15 31 46
Sumber : Data Primer Diolah Tahun 2009
Tabel 7 memperlihatkan bahwa dari 46 sampel, jumlah sampel
yang banyak yang memiliki pengetahuan ibu tentang gizi yang cukup
yaitu sebanyak 31 balita (10 balita pada kasus dan 21 balita pada
kontrol) dan balita dengan pengetahuan ibu tentang gizi yang kurang
yaitu 15 balita (13 balita pada kasus dan 2 balita pada kontrol).
60
f. Distribusi balita menurut tingkat pendapatan
Gambaran tingkat pendapatan keluarga balita dalam penelitian
ini dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8. Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendapatan Keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008
Kelompok Sampel
Pendapatan Keluarga JumlahKurang Cukup
Kasus 21 2 23Kontrol 20 3 23Jumlah 41 5 46
Sumber : Data Primer Diolah Tahun 2009
Tabel 7 memperlihatkan bahwa dari 46 sampel, jumlah sampel
yang banyak yang memiliki pendapatan kelarga yang kurang yaitu
sebanyak 41 balita (21 balita pada kasus dan 20 balita pada kontrol)
dan balita dengan pendapatan kelarga yang cukup yaitu 5 balita (2
balita pada kasus dan 3 balita pada kontrol).
g. Distribusi responden menurut tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan adalah suatu proses jangka panjang yang
menggunakan prosedur sistematis dan terorganisir, yang mana tenaga
kerja manajerial mempelajari pengetahuan konsepsual dan teoritis
untuk tujuan tujuan umum (Mangkunegara, 2003).
Karakteristik responden menurut tingkat pendidikan dalam
penelitian ini dapat dilihat pada gambar 5 berikut :
61
0
10
20
30
40
50
Grafik Responden Menurut Tingkat Pendidikan di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008
Jumlah 7 21 14 4
% 15.2 45.7 30.4 8.7
SD SMP SMA PT
Sumber : Data Primer Diolah Tahun 2009
Gambar 5. Grafik Responden Menurut Tingkat Pendidikan di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008
Gambar 5 menunjukkan bahwa dari 46 responden, sebagian
besar responden mempunyai tingkat pendidikan SMP sebanyak 21
orang (45,7%) dan hanya 4 responden (8,7%) yang mempunyai tingkat
pendidikan perguruan tinggi.
h. Distribusi responden menurut jenis pekerjaan kepala keluarga
Pekerjaan adalah suatu kegiatan yang dil;akukan untuk
menafkahi diri dan keluarganya dimana pekerjaan tersebut tidak ada
yang mengatur dan dia bebas karena tidak ada etika yang mengatur
(Cookeyzone, 2009).
Karakteristik ibu balita menurut jenis pekerjaan kepala
keluarga dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 6 berikut :
62
0
10
20
30
40
50
60
Grafik Responden Menurut Jenis Pekerjaan Kepala Keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari
Tahun 2008
Jumlah 6 22 12 1 4 1
% 13.0 47.8 26.1 2.2 8.7 2.2
PNS Wira swasta
Buruh Tukang Kayu
Ojek Nelayan
Sumber : Data Primer Diolah Tahun 2009
Gambar 6. Grafik Responden Menurut Jenis Pekerjaan Kepala Rumah Tangga di Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008
Gambar 6 menunjukkan bahwa dari 46 responden, sebagian besar
kepala keluarga mempunyai mata pencaharian sebagai wiraswasta yaitu
sebanyak 22 orang (47,8%). Sedangkan sebagian kecil mempunyai
pekerjaan sebagai buruh, PNS, ojek, tukang kayu dan nelayan .
2. Analisis bivariat
a. Faktor risiko pola makan dengan kejadian gizi buruk pada balita
Pola makan adalah gambaran pola menu, frekuensi, dan jenis
bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari dimana merupakan
bagian dari gaya hidup atau ciri khusus suatu kelompok (Astawan,
1998).
63
Distribusi balita berdasarkan pola makan di Wilayah Kerja
Puskesmas Mata Kota Kendari dapat dilihat pada tabel 9.
Tabel 9. Distribusi Frekuensi Menurut Pola Makan Di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008
No Pola Makan
Status Balita OR CI 95 %
Kasus Kontrol
13,6 2,57 - 72,39
n % n %
1
2
Kurang
Cukup
21
2
91,3
8,7
10
13
43,5
56,5
Total 23 100 23 100
Sumber : Data Primer Diolah Tahun 2009
Tabel 9 menunjukkan bahwa dari 23 balita yang termasuk
kelompok kasus, sebagian besar balita yaitu 21 (91,3%) balita pola
makannya kurang dan 2 (8,7%) balita dengan pola makan cukup.
Sedangkan pada kelompok kontrol dari 23 balita yang termasuk
kelompok kontrol, terdapat 10 (43,5%) balita pola makannya kurang,
dan 13 (56,5%) balita yang pola makannya cukup. Hasil uji statistik
bermakna pada tingkat kepercayaan 95%, karena lower limit dan
upper limit tidak mencakup nilai 1, dengan nilai OR=13,6
(2,57<OR<72,39).
Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa balita dengan
pola makan kurang memiliki risiko kejadian gizi buruk 13,6 kali
64
daripada balita dengan pola makan cukup. Hal tersebut dapat
dikatakan bahwa sampel yang pola makannya kurang, memiliki
peluang 13,6 kali berisiko untuk menderita gizi buruk dibanding balita
yang pola makannya cukup. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Manjilala (2007) yang dari penelitiannya berkesimpulan
bahwa status gizi balita di Wilayah Kerja Puskesmas Mamajang
dipengaruhi oleh pola makan balita.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pada kelompok
kasus sebagian besar balita memiliki pola makan yang kurang hal ini
disebabkan oleh karena pola hidangan sehari-hari yang tidak tepat dan
frekuensi makan balita dalam sehari terhadap bahan makanan yang
mengandung zat-zat gizi seperti makanan pokok,lauk pauk, sayuran
dan buah masih kurang yang pada umumnya diberikan tidak tentu, hal
inilah yang menjadi pemicu terjadinya gizi buruk pada balita.
Pada kelompok kasus juga terdapat balita yang pola makannya
cukup sebanyak 2 (8,7%) balita. Balita tersebut pola makannya telah
cukup, tetapi masih menderita gizi buruk. Hal ini di duga disebabkan
karena pola makan yang cukup bukan satu-satunya faktor yang
menjadikan balita terhindar dari kejadian gizi buruk, tetapi ada
beberapa faktor lain seperti salah satunya adalah penyakit infeksi.
Adanya penyakit infeksi seperti ISPA maupun diare pada balita
65
menyebabkan makanan yang dikonsumsi balita akan terhambat
penyerapannya dan energi didapatkan dari makanan akan habis atau
berkurang.
b. Faktor risiko pengetahuan ibu tentang gizi dengan kejadian gizi buruk pada balita
Pengetahuan adalah merupakan hasil ”tahu”, dan ini terjadi
setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari
subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin
kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat
tersebut di atas (Notoatmodjo, 2003).
Distribusi balita berdasarkan pengetahuan ibu tentang gizi di
Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari dapat dilihat pada tabel
10.
Tabel 10. Distribusi Frekuensi Menurut Pengetahuan Ibu Tentang Gizi Di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008
No Pengetahuan Ibu Tentang
Gizi
Status Balita OR CI 95%
Kasus Kontrol 13,6 2,57 - 72,39
n % n %
1
2
Kurang
Cukup
13
10
56,5
43,5
2
21
8,7
91,3
Total 23 100 23 100
66
Sumber : Data Primer Diolah Tahun 2009
Dari tabel 10 menunjukkan bahwa dari 23 ibu balita yang
termasuk kelompok kasus, terdapat 13 (56,5%) ibu balita dengan
tingkat pengetahuan yang kurang dan 10 (43,5%) ibu balita dengan
tingkat pengetahuan cukup. Sedangkan pada kelompok kontrol, dari
23 ibu balita yang termasuk kelompok kontrol, sebagian besar (91,3%)
ibu balita mempunyai tingkat pengetahuan cukup dan 2 (8,7%) ibu
balita dengan tingkat pengetahuan yang kurang. Hasil uji statistik
bermakna pada tingkat kepercayaan 95% karena lower limit dan upper
limit tidak mencakup nilai 1, dengan nilai OR = 13,6
(2,57<OR<72,39).
Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pengetahuan gizi
ibu merupakan faktor risiko kejadian gizi buruk di wilayah kerja
Puskesmas Mata Kota Kendari. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa
ibu yang kurang pengetahuan gizinya berisiko mengalami kejadian
gizi buruk pada balita 13,6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ibu
yang berpengetahuan gizi cukup.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Yuliati (2008) yang dari
hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pengetahuan ibu tentang gizi
merupakan faktor risiko kejadian gizi buruk pada balita di Kecamatan
Mandonga tahun 2008. Pengetahuan ibu tentang gizi yang cukup akan
membantu ibu khususnya dalam hal pemenuhan zat-zat gizi dalam
67
penyediaan makanan sehari-hari, karena dengan hal itu ibu akan
mengetahui pola pemberian makanan yang memiliki gizi kepada balita
maupun keluarga sehingga pemenuhan gizi bagi keluarga akan terjadi
dan dengan hal ini akan membuat kecukupan gizi bagi balita dan
keluarga akan terpenuhi.
Pengetahuan ibu tentang gizi yang cukup akan memberikan
pengaruh pada status gizi anak yang lebih baik jika dibandingkan
dengan ibu yang memiliki pengetahuan tentang gizi yang kurang. Hal
ini disebabkan karena ibu yang memiliki pengetahuan gizi yang cukup
akan lebih memiliki informasi yang terkait dengan pemenuhan gizi
balita dengan baik dan tentunya akan berpengaruh pada proses praktek
pengelolaan makanan di rumahnya mulai dari persiapan sampai
dengan pendistribusiannya pada setiap anggota rumah tangga
khusunya kepada balitanya, bila dibandingkan dengan ibu yang
memilki pengetahuan tentang gizi yang kurang.
Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang
dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk
pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan dan energi. Banyak
para peneliti menemukan masalah gizi buruk disebabkan karena
ketidaktahuan terhadap gizi sehingga banyak jenis-jenis bahan
makanan yang tidak dimanfaatkan untuk konsumsi anak .
68
c. Faktor risiko tingkat pendapatan keluarga dengan kejadian gizi buruk pada balita
Tingkat pendapatan adalah total jumlah pendapatan dari semua
anggota keluarga , termasuk semua jenis pemasukan yang diterima
oleh keluarga dalam bentuk uang, hasil menjual barang, pinjaman dan
lain-lain (Thaha, 1996 dalam Rasifa 2006).
Distribusi balita berdasarkan Tingkat Pendapatan di Wilayah
Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari dapat dilihat pada tabel 11.
Tabel 11. Distribusi Frekuensi Menurut Tingkat Pendapatan Keluarga Di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008
No Pendapatan Keluarga
Status Balita OR CI 95%
Kasus Kontrol
1,57 0,23 – 10,43
n % n %
1
2
Kurang
Cukup
21
2
91,3
8,7
20
3
87,0
13,0
Total 23 100 23 100
Sumber : Data Primer Diolah Tahun 2009
69
Dari tabel 11 menunjukkan bahwa dari 23 balita yang termasuk
kelompok kasus, sebagian besar (91,3%) tingkat pendapatan keluarga
responden masih kurang dan hanya 2 (8,7%) responden dengan tingkat
pendapatan yang cukup. Sedangkan dari 23 balita yang termasuk
kelompok kontrol, sebagian besar (87,0%) responden dengan tingkat
pendapatan yang kurang dan hanya 3 (13,0%) responden dengan
tingkat pendapatan yang cukup. Hasil uji statistik tidak bermakna
secara signifikan pada tingkat kepercayaan 95% karena lower limit
mencakup nilai 1, sedangkan nilai OR = 1,57 (0,23<OR<10,43).
Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tingkat
pendapatan keluarga merupakan faktor risiko kejadian gizi buruk di
wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari. Hal tersebut dapat
dikatakan bahwa responden yang kurang tingkat pendapatan
keluarganya kurang berisiko mengalami kejadian gizi buruk pada
balita 1,57 kali lebih tinggi dibanding dengan responden yang
mempunyai tingkat pendapatan keluarganya cukup. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian Yuliati (2008) yang dari hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa tingkat pendapatan keluarga merupakan faktor
risiko kejadian gizi buruk pada balita di Kecamatan Mandonga tahun
2008.
Dari hasil penelitian juga terdapat responden yang mempunyai
tingkat pendapatan yang cukup tetapi balita berstatus gizi buruk, ini
70
disebabkan karena faktor lain seperti balita yang malas makan,
kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi, pemberian makanan yang
tidak tentu pada balita anak, serta balita menderita penyakit infeksi.
Tingkat pendapatan keluarga akan mempengaruhi mutu
fasilitas perumahan, penyediaan air bersih dan sanitasi yang pada
dasarnya sangat berperan terhadap timbulnya penyakit infeksi. Selain
itu, penghasilan keluarga akan menentukan daya beli keluarga
termasuk makanan, sehingga mempengaruhi kualitas dan kuantitas
makanan yang tersedia dalam rumah tangga dan pada akhirnya
mempengaruhi asupan zat gizi (Suhardjo dalam Yuliati, 2008).
d. Faktor risiko penyakit infeksi dengan kejadian gizi buruk pada balita
Infeksi adalah masuknya, bertumbuh dan berkembangnya
agent penyakit menular dalam tubuh manusia atau hewan. Infeksi
tidaklah sama dengan penyakit menular karena akibatnya mungkin
tidak kelihatan atau nyata. Adanya kehidupan agent menular pada
permukaan luar tubuh, atau pada barang, pakaian atau barang-barang
lainnya, bukanlah infeksi, tetapi merupakan kontaminasi pada
permukaan tubuh atau benda (Noor, 1997).
71
Distribusi balita berdasarkan faktor risiko penyakit infeksi di
Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari dapat dilihat pada tabel
12.
Tabel 12. Distribusi Frekuensi Menurut Penyakit Infeksi Di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008
No Penyakit Infeksi
Status Balita OR CI 95%
Kasus Kontrol
2,9 0,50 – 16,89
n % n %
1
2
Ya
Tidak
21
2
91,3
8,7
18
5
78,3
21,7
Total 23 100 23 100
Sumber : Data Primer Diolah Tahun 2009
Data tabel 12 menunjukkan bahwa dari 23 balita yang
termasuk kelompok kasus, sebagian besar (91,3%) sampel menderita
penyakit infeksi dan hanya 2 (8,7%) tidak menderita penyakit infeksi.
Sedangkan dari 23 balita yang termasuk kelompok kontrol, sebagian
besar (78,3%) yang menderita penyakit infeksi dan hanya 5 (21,7%)
yang tidak menderita penyakit infeksi. Hasil uji statistik tidak
bermakna secara signifikan pada tingkat kepercayaan 95% karena
lower limit mencakup nilai 1, sedangkan nilai OR = 2,9
(0,50<OR<16,89).
Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penyakit infeksi
merupakan faktor risiko kejadian gizi buruk di wilayah kerja
72
Puskesmas Mata Kota Kendari. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa
sampel yang menderita penyakit infeksi berisiko mengalami kejadian
gizi buruk 2,9 kali lebih tinggi dibanding dengan sampel yang tidak
menderita penyakit infeksi.
Data penyakit infeksi diperoleh melalui keterangan dari
responden dan didukung oleh data dari catatan medik (medical record)
sampel Puskesmas Mata. Adapun jenis penyakit infeksi yang diderita
oleh sampel adalah ISPA sebanyak 32 (69,6%) balita, diare sebanyak
5 (10,9%) balita dan cacar sebanyak 2 (4,3%) balita .
Terjadinya hubungan timbal balik antara kejadian infeksi
penyakit dan gizi kurang maupun gizi buruk.Anak yang menderita gizi
kurang dan gizi buruk akan mengalami penurunan daya tahan,
sehingga rentan terhadap penyakit infeksi. Di sisi lain anak yang
menderita sakit infeksi akan cenderung menderita gizi buruk (Depkes
dalam Yuliaty 2008).
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Yuliati (2008) yang dari
hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penyakit infeksi merupakan
faktor risiko kejadian gizi buruk pada balita di Kecamatan Mandonga
tahun 2008. Penelitian yang dilakukan oleh Asni (2006) di Kecamatan
Sangia Wambulu juga menunjukkan bahwa anak balita yang
menderita penyakit infeksi, memiliki resiko 4,49 kali untuk menderita
73
kekurangan gizi dibandingkan dengan anak balita yang tidak
menderita penyakit infeksi.
Penyakit infeksi banyak diderita oleh balita pada saat
penelitian disebabkan adanya perubahan cuaca sehingga sangat
mempengaruhi kondisi kesehatan. Hal ini karena daya tahan tubuh
menurun, sehingga banyak balita dan juga orang dewasa kebanyakan
menderita batuk dan pilek terutama pada anak yang berstatus gizi
buruk, sehingga terdapat balita pada kelompok kontrol yang menderita
penyakit infeksi juga.
Pada anak yang menderita infeksi terjadi gangguan pada
pertahanan tubuh dan sebagai akibatnya akan terjadi penurunan berat
badan dalam waktu yang singkat sehingga menyebabkan kekurangan
gizi. Di lain pihak, infeksi akan memberikan efek berupa gangguan
pada tubuh, yang dapat menyebabkan kekurangan gizi. Penyakit
infeksi dapat menyebabkan kurang gizi sebaliknya kurang gizi juga
menyebabkan penyakit infeksi.
Berdasarkan pengamatan lapangan yang dilakukan pada saat
penelitian diketahui bahwa balita berstatus gizi buruk pada umumnya
ditemui dari keluarga yang kurang mampu secara ekonomi dengan
berbagai kondisi yang dapat menyebabkan status kesehatan yang jelek
74
dan menyebabkan penyakit infeksi seperti sanitasi lingkungan
perumahan yang sangat tidak memadai.
V. PENUTUP
A. Simpulan
Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Pola makan merupakan faktor risiko kejadian gizi buruk pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008. Pola makan yang
kurang, berisiko mengalami kejadian gizi buruk pada balita 13,6 kali jika
dibandingkan dengan balita yang pola makannya cukup.
75
2. Pengetahuan ibu tentang gizi merupakan faktor risiko kejadian gizi buruk
pada balita di wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008. Ibu
dengan pengetahuan gizi yang kurang, berisiko mengalami kejadian gizi
buruk pada balita 13,6 kali jika dibandingkan dengan ibu dengan pengetahuan
gizi yang cukup.
3. Tingkat pendapatan merupakan faktor risiko kejadian gizi buruk pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008. Pendapatan
keluarga yang kurang pada responden, berisiko mengalami kejadian gizi
buruk pada balita 1,57 kali jika dibandingkan dengan pendapatan keluarga
yang cukup pada responden.
4. Penyakit infeksi merupakan faktor risiko kejadian gizi buruk pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008. Balita yang
menderita penyakit infeksi, berisiko mengalami kejadian gizi buruk 2,9 kali
jika dibandingkan dengan balita yang tidak menderita penyakit infeksi.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, dibuat saran penelitian sebagai berikut :
1. Bagi masyarakat yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari,
agar meningkatkan konsumsi makanan balita baik secara kuantitas maupun
kualitas sesuai dengan kebutuhannya, dan juga menggalakkan sadar gizi
dalam keluarga guna memperbaiki pola makan bagi balita.
76
2. Bagi ibu-ibu balita yang ada di wilayah kerja Puskesmas Mata agar
senantiasa meningkatkan pengetahuannya tentang gizi bagi keluarga dan
balita melalui berbagai media maupun dengan mengikuti penyuluhan
kesehatan tentang gizi oleh tenaga kesehatan agar menambah pengetahuan
dalam hal pemenuhan gizi keluarga dan balita.
3. Bagi masyarakat yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari,
agar mengatur pendapatan keluarga guna mendukung pemenuhan gizi yang
baik dalam keluarga khususnya bagi balitanya.
4. Bagi masyarakat yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari,
agar senantiasa meningkatkan upaya preventif (pencegahan) terhadap
penyakit infeksi dengan menerapkan PHBS (Pola Hidup Bersih dan Sehat)
dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat.
5. Bagi peneliti lain yang tertarik dengan masalah gizi buruk pada balita dapat
mengambil variabel lain sebagai variabel bebas penelitian karena masih
banyak faktor-faktor yang berkaitan dengan terjadinya gizi buruk pada balita.
77
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, T.Y dan Tri Hastuti, 2002. Kesehatan dan Keselamatan Kerja. UI-Press. Jakarta.
Almatsier, S, 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Ariani, M, 2007. Wilayah Rawan Pangan dan Gizi Kronis di Papua, Kalimantan Barat dan Jawa Timur. Pusat Analisis dan Kebijakan Pertanian Departemen Pertanian.Bogor.
Astawan, M, 1998. Gizi dan Kesehatan Manula. Medyatama Sarana Pustaka. Jakarta.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta.
78
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, 2008. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Jakarta.
Chandra, 1996. Pengantar Prinsip dan Metodologi Epidemiologi. Penerbit EGC. Jakarta.
Cookeyzone, 2009. Pengertian Profesi dan Pekerjaan. www. Cookeyzone. Blogspot. Com.
Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Kendari, 2009. UMK (Upah Minimum Kota) Kendari. Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Kendari. Kendari.
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Serang, 2008. Profil Penduduk
Kabupaten Serang. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Serang. Banten.
Irwandy, 2007. Sulawesi Selatan Daerah Penghasil Pangan dan Gizi Buruk. Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Makassar.
Kartasapoetra, G, 2002. Ilmu Gizi (Korelasi Gizi, Kesehatan dan Produktivitas Kerja). PT. Rineka Cipta. Jakarta.
Khomsan, dkk, 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Khumaidi, M, 1994. Gizi Masyarakat. PT. BPK Gunung Mulia. Jakarta.
Komsiah, S, 2008. Pengantar Sosiologi. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana. Jakarta.
Malik, A, 2008. Gizi Buruk Tewaskan 3,5 Juta Balita Per tahun. www.lifestyle.okezone.com.
Mangkunegara, A.P, 2003. Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Refika Aditama. Bandung.
Mardiansyah, L, 2008. Gizi Buruk di Indonesia. SMP 167. Jakarta.
Multono, 2000. Ilmu Kebidanan Edisi 3. Gramedia. Jakarta.
Nency, Y., 2005, Gizi Buruk Ancaman Generasi Yang Hilang,http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=113, 5 November 2005
Noor, N, 1997. Epidemiologi Penyakit Menular. Rineka Cipta. Jakarta.
Notoadmodjo, S, 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Pudjiadi, S, 2003. Ilmu Gizi Khusus Pada Anak. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Rasifa, 2006. Hubungan Sosial Ekonomi Keluarga dengan Status Gizi Balita
Berdasarkan Indeks Tinggi Badan Menurut Umur di Wilayah Kerja Puskesmas Betoambari, Kec. Betoambari Kota Bau Bau Tahun 2006. Skripsi yang tidak diterbitkan Universitas Haluoleo. Kendari.
Sadewa, A.L., 2008, Makalah KEP,http://ayahaja.wordress.com, 28 November 2008.
Santoso, S dan Anne Lies Ranti, 2004. Kesehatan dan Gizi. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Suhardjo, 2002. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta.
, 2003. Perencanaan Pangan dan Gizi. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta.
Supariasa, dkk, 2001. Penilaian Status Gizi. Penerbit EGC. Jakarta.
Yuliati, 2008. Faktor Risiko Kejadian Gizi Buruk Pada Balita di Kecamatan Mandonga Kota Kendari Tahun 2008. Skripsi yang tidak diterbitkan Universitas Haluoleo. Kendari.
NASKAH PENJELASAN UNTUK MENDAPATKAN PERSETUJUAN SUBJEK DAN FORMULIR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN
(INFORMED CONSENT)
Kami meminta anda untuk turut mengambil bagian dalam suatu penelitian berjudul : ” Faktor- Faktor Resiko Kejadian Gizi Buruk Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Mata Kota Kendari Tahun 2008 ”.
WAWANCARADalam penelitian ini dilakukan wawancara untuk mengetahui pola makan, pengetahuan ibu tentang gizi, tingkat pendapatan dan penyakit infeksi. Pelaksanaan wawancara hanya dilaksanakan 3 (tiga) hari saja.
MANFAATInformasi yang anada berikan akan sangat bermanfaat sebagai salah satu sumber pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan upaya pencegahan dan perbaikan status gizi buruk pada balita dan merupakan sumber informasi bagi pembuat kebijakan khususnya Dinas Kesehatan Kota Kendari dan instansi terkait lainnya dalam upaya menanggulangi masalah gizi balita di Kota Kendari.
82
KERAHASIAANCatatan mengenai kerahasiaan dan keterlibatan anda dalam penelitian ini akan dirahasiakan.
PARTISIPASI SUKARELAAnda tidak akan dipaksa untuk ikut dalam penelitian ini bila anda tidak menghendakinya . Anda hanya boleh ikut atas kehendak anda sendiri. Anda berhak sewaktu-waktu menolak melanjutkan partisipasi anda tanpa perlu memberikan alasan.
TANDA TANGANSaya telah membaca, atau dibacakan pada saya apa yang telah tetera di atas ini dan saya telah diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan dan membicarakan penelitian ini dengan peneliti. Dengan membubuhkan tanda tangan saya di bawah ini, saya menegaskan keikutsertaan saya secara sukarela dalam penelitian ini.