Analisis penerimaan pendapatan asli daerah (pad) kabupaten karanganyar sebelum dan Pada era otonomi daerah Skipsi Disusun untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh: Wahyu Warastuti NIM F 0102072 FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2006
131
Embed
Wahyu Warastuti - digilib.uns.ac.id/Analisis-penerimaan... · depan. Selain itu, penelitian ini juga menghitung perbedaan penerimaan PAD antara sebelum dan pada saat Otonomi Daerah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Analisis penerimaan pendapatan asli daerah (pad) kabupaten karanganyar
sebelum dan
Pada era otonomi daerah
Skipsi Disusun untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat
untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
Wahyu Warastuti
NIM F 0102072
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2006
ABSTRAK
ANALISIS PENERIMAAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KABUPATEN KARANGANYAR SEBELUM DAN
PADA ERA OTONOMI DAERAH
WAHYU WARASTUTI F0102072
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penerimaan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) Kabupaten Karanganyar, yaitu dengan membandingkan penerimaan PAD sebelum diberlakukannya Otonomi Daerah (mengambil data dari tahun anggaran 1995/1996 sampai dengan tahun 2000) dan pada era pelaksanaan Otonomi Daerah (data tahun 2001 sampai dengan tahun 2005). Data yang dibutuhkan adalah data sekunder dari Badan Pusat Statistik dan instansi-instansi yang terkait seperti Dinas Pendapatan dan Sekretaris Daerah Bagian Anggaran. Hipotesis penelitian ini antara lain mengukur efisiensi, efektivitas, elastisitas PAD dan matrik potensi PAD. Penelitian ini juga menganalisis kontribusi PAD terhadap penerimaan Anggaran Pendapatan dalam keuangan daerah Kabupaten Karanganyar dengan melihat seberapa besar kontribusi PAD terhadap APBD, serta menganalisis prospek penerimaan PAD lima tahun ke depan. Selain itu, penelitian ini juga menghitung perbedaan penerimaan PAD antara sebelum dan pada saat Otonomi Daerah dilaksanakan.
Penelitian ini merupakan survey atas data sekunder yang mengambil lokasi di Kabupaten Karanganyar dengan menggunakan data-data yang telah diolah dan dikumpulkan oleh suatu instansi pemerintah tertentu, dari tahun anggaran 1995/1996 sampai tahun 2005 dan data dari sumber-sumber lain yang terkait yang relevan. Data yang dikumpulkan akan diolah menggunakan beberapa rasio seperti rasio efisiensi, efektivitas, elastisitas, matrik potensi PAD dan rasio kontibusi PAD terhadap penerimaan APBD.
Dari penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa kinerja PAD Kabupaten Karanganyar dapat dilihat dari berbagai rasio yang diuji. PAD Kabupaten Karanganyar baik sebelum Otonomi Daerah maupun pada era Otonomi Daerah sudah dilaksanakan secara efektif dan efisien, elastisitas PAD terhadap PDRBnya pun bersifat elastis. Namun kontribusi PAD terhadap Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar masih kecil, sehingga ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat masih cukup besar. Pertumbuhan PAD selama tahun penelitian yaitu dari tahun anggaran 1996/1997-2005 menunjukkan pertumbuhan yang positif, serta prospek penerimaan PAD 5 tahun kedepan juga menunjukkan kecenderungan yang meningkat.
Pelaksanaan Otonomi Daerah yang sudah berjalan selama kurang lebih 5 tahun ternyata belum mampu meningkatkan potensi penerimaan PAD, walaupun penerimaan PAD terus mengalami peningkatan setiap tahun namun ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat masih tinggi. Hal ini bisa dilihat dari besarnya Dana Perimbangan yang terdapat dalam APBD Kabupaten Karanganyar. Oleh karena itu, upaya peningkatan penerimaan PAD harus terus dilakukan dengan berbagai cara baik intensifikasi maupun ektensifikasi. Kata Kunci: efisiensi, efektivitas, elastisitas, matrik potensi dan kontribusi.
MOTTO
Hidup tidak selalunya indah.. Langit tak selalu cerah...
2) Prospek dan Pertumbuhan PAD.............................. 102
d. Hipotesis 4: Uji Beda Dua Means................................. 103
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan................................................................................ 105
B. Saran.......................................................................................... 108
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Matrik Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) ................................ 66 Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kabupaten Karanganyar menurut Jenis
Kelamin dan Kecamatan Tahun 2004 ............................................ 75 Tabel 4.2 Luas Wilayah, Distribusi, Kepadatan dan Pertumbuhan
dirinci menurut Kecamatan di Kabupaten Karanganyar Tahun 2004........................................................................................ 76
Tabel 4.3 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Karanganyar
Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1996/1997-2000 dalam persen. ............................................................................................... 76
Tabel 4.4 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Karanganyar
Sebelum Otonomi Daerah Tahun 2001-2005 dalam persen ........... 77 Tabel 4.5 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga
Konstan Tahun 1993 Kabupaten Karanganyar Tahun 1996/1997-2004 ................................................................................ 77
Tabel 4.6 Kontribusi Sektor-Sektor Ekonomi terhadap Pembentukan
PDRB di Kabupaten Karanganyar Sebelum Otda Tahun 1996/1997-2000 (dalam persen)........................................................ 78
Tabel 4.7 Kontribusi Sektor-Sektor Ekonomi terhadap Pembentukan
PDRB di Kabupaten Karanganyar Saat Otda Tahun 2001-2005 (dalam persen) .......................................................................... 79
Tabel 4.8 Rata-Rata Pendapatan Per Kapita Penduduk Kabupaten
Karanganyar Tahun 1996/1997-2004................................................ 80 Tabel 4.9 Realisasi Penerimaan Pos Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kabupaten Karanganyar Tahun 1996/1997-2005 ............................. 82 Tabel 4.10 Target dan Realisasi Pajak Daerah Kabupaten Karanganyar
Sebelum Otda (1996/1997-2000) dan Pada Saat Otda (2001-2005) ....................................................................................... 83
Tabel 4.11 Target dan Realisasi Retribusi Daerah Kabupaten
Karanganyar Sebelum Otda (1996/1997-2000) dan Pada Saat Otda (2001-2005) ...................................................................... 84
Tabel 4.12 Realisasi Penerimaan Anggaran Pendapatan Daerah
Kabupaten Karanganyar Sebelum Otda ............................................ 85 Tabel 4.13 Realisasi Penerimaan Anggaran Pendapatan Daerah
Kabupaten Karanganyar Saat Otda ................................................... 86 Tabel 4.14 Efisiensi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kabupaten Karanganyar Sebelum dan Pada Saat Otda (Tahun 1996/1997-2005)................................................................... 88
Tabel 4.15 Efektivitas Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kabupaten Karanganyar Sebelum dan Pada Saat Otda (Tahun 1996/1997-2005)................................................................... 90
Tabel 4.16 Rata-Rata Efektivitas PAD Kabupaten Karanganyar
Sebelum dan Pada Saat Pelaksanaan Otda (1996/1997-2005).................................................................................................. 91
Tabel 4.17 Elastisitas Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kabupaten Karanganyar Sebelum dan Pada Saat Otda (Tahun 1996/1997-2005)................................................................... 92
Tabel 4.18 Kontribusi PAD terhadap Penerimaan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) Kabupaten Karanganyar Sebelum dan Pada Saat Otda (Tahun 1996/1997-2005) .................................................. 99
Tabel 4.19 Pertumbuhan Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kabupaten Karanganyar Sebelum dan Pada Saat Otda (Tahun 1996/1997-2005)................................................................. 101
Tabel 4.20 Perhitungan Trend PAD Kabupaten Karanganyar Sebelum
dan Pada Saat Pelaksanaan Otda (1996/1997-2005)....................... 102 Tabel 4.21 Prospek Penerimaan PAD Kabupaten Karanganyar 5 Tahun
Mendatang....................................................................................... 103 Tabel 5.1 Tabel Kesimpulan Analisis Penerimaan PAD Kabupaten
Karanganyar Sebelum Otonomi Daerah (1996/1997-2000) dan Pada Era Otonomi Daerah (2001-2005).......................... 105
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran..................................................... 56 Gambar 3.1 Kurva Distribusi Normal Efisiensi........................................... 62 Gambar 3.2 Kurva Distribusi Normal Efektivitas....................................... 63 Gambar 3.3 Kurva Distribusi Normal Elastisitas........................................ 65 Gambar 3.4 Kurva Distribusi Normal Kontribusi....................................... 68 Gambar 3.5 Kurva Distribusi Normal Pertumbuhan................................... 70 Gambar 3.6 Kurva Distribusi Normal ........................................................ 72
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Realisasi Perhitungan Anggaran Pendapatan Daerah
Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 1996/1997. Lampiran 2 Realisasi Perhitungan Anggaran Pendapatan Daerah
Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 1997/1998. Lampiran 3 Realisasi Perhitungan Anggaran Pendapatan Daerah
Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 1998/1999. Lampiran 4 Realisasi Perhitungan Anggaran Pendapatan Daerah
Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 1999/2000. Lampiran 5 Realisasi Perhitungan Anggaran Pendapatan Daerah
Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 2000. Lampiran 6 Realisasi Perhitungan Anggaran Pendapatan Daerah
Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 2001. Lampiran 7 Realisasi Perhitungan Anggaran Pendapatan Daerah
Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 2002. Lampiran 8 Realisasi Perhitungan Anggaran Pendapatan Daerah
Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 2003. Lampiran 9 Realisasi Perhitungan Anggaran Pendapatan Daerah
Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 2004 Lampiran 10 Realisasi Perhitungan Anggaran Pendapatan Daerah
Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 2005. Lampiran 11 Matrik Potensi Pajak Daerah Sebelum Otonomi Daerah. Lampiran 12 Matrik Potensi Pajak Daerah Saat Era Otonomi Daerah. Lampiran 13 Matrik Potensi Retribusi Daerah Sebelum Otonomi
Daerah. Lampiran 14 Matrik Potensi Retribusi Daerah Saat Era Otonomi
Daerah.
Lampiran 15 Surat Ijin Penelitian
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pelaksanaan pembangunan nasional tidak bisa lepas dari pembangunan
yang dilaksanakan di daerah-daerah yang ada di seluruh Indonesia. Sejak
Kemerdekaan Republik Indonesia merdeka sampai dengan keruntuhan Orde
Baru, pembangunan yang dilaksanakan atas dasar Otonomi Daerah belum
terlaksana sebagaimana mestinya. Hal ini karena pelaksanaan pemerintahan
yang terpusat, sehingga kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri belum
dimiliki oleh pemerintah daerah. Padahal sejak tahun 1974 telah ada Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah,
dimana didalamnya mengatur tentang pelaksanaan Desentralisasi.
Berdasarkan konsepnya, penerapan desentralisasi pada masa lalu
menitikberatkan pada peranan dan tanggungjawab pemerintah daerah kepada
pemerintah pusat untuk menjalankan pembangunan nasional. Sehingga
pemerintah daerah cenderung memegang ketaatan penuh terhadap instruksi
pemerintah pusat daripada memperjuangkan aspirasi masyarakat di daerahnya.
Hal tersebut terjadi karena tujuan pelaksanaan otonomi daerah pada masa itu
adalah untuk meningkatkan koordinasi dan integrasi nesional untuk
memantapkan stabilitas dan pembangunan nasional.
Di Era Reformasi, untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang
mandiri maka Pemerintah Pusat mengambil kebijakan desentralisasi atau yang
biasa dikenal dengan Otonomi Daerah. Untuk mendukung legalitas kebijakan
Otonomi Daerah pemerintah menetapkan 2 (dua) Undang-Undang, yaitu
Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-
Undang No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah. Momentum reformasi adalah saat yang tepat bagi
realisasi Otonomi Daerah, dan merupakan kesempatan menentukan pilihan
yang tepat mengenai bentuk pemerintahan di daerah serta mengupayakan
pengembangan potensi sumber daya daerah agar dapat terangkat dalam era
globalisasi.
Berdasarkan undang-undang tersebut, pemerintah pusat dan pemerintah
daerah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Misi Otonomi
Daerah dijabarkan dalam Penjelasan Umum UU No. 22/1999 dan UU No.
25/1999:
Misi utama dari kedua undang-undang tersebut bukan hanya pada keinginan untuk melimpahkan kewenangan dan pembiayaan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya Keuangan Daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu semangat desentralisasi, demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas menjadi sangat dominan dalam mewarnai proses penyelenggaraan pemerintah pada umumnya dan proses pengelolaan Keuangan Daerah pada khususnya. Dari kedua Undang-Undang tersebut diatur tentang titik berat Otonomi
Daerah yaitu terletak pada Pemerintah Daerah Kabupaten dan Daerah Kota,
dengan pertimbangan bahwa Pemerintah Daerah dan Kota yang lebih
langsung berhubungan dengan masyarakat. Sehingga diharapkan aspirasi
masyarakat di Daerah atau Kota dapat tersampaikan dan terpenuhi.
Penyerahan urusan-urusan pemerintahan kepada Pemerintah Daerah atau Kota
dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan
Daerah atau Kota yang bersangkutan. Dengan demikian, isi Otonomi itu
berbeda antara daerah/kota yang satu dengan lainnya.
Selain titik berat diatas, otonomi juga memberikan dampak yang besar
terhadap peran pemerintah daerah. Karena dengan otonomi maka pemerintah
daerah mempunyai kewenangan dalam mengatur rumah tangganya sendiri
dalam otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Kewenangan otonomi
luas adalah keleluasaan daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan yang
mencakup kewenangan semua bidang luar negeri, pertahanan, keamanan,
peradilan moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang
akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Selain itu keleluasaan otonomi
mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya
mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Otonomi nyata merupakan keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang hidup dan berkembang di
daerah. Sedang otonomi yang bertanggungjawab maksudnya ialah berupa
perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekwensi pemberian hak dan
kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus
dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, yaitu berupa
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,
pengembangan kehidupan demokrasi keadilan dan pemerataan, serta
pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Mardiasmo (2002) kebijakan pemberian otonomi daerah dan
desentralisasi merupakan langkah strategis Pemerintah Pusat dalam
mengatasi permasalahan lokal bangsa Indonesia yang berupa kemiskinan,
pemerataan distribusi pendapatan yang tidak merata, dan masalah peningkatan
kualitas sumber daya manusia di daerah. Selain hal itu, otonomi daerah dan
desentralisasi juga ditujukan dalam rangka menyongsong era globalisasi
ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian daerah.
Dengan ditetapkan kedua undang-undang diatas, Pemerintah Daerah
kabupaten/kota dituntut untuk lebih proaktif dan kreatif dalam membangun
daerahnya masing-masing. Selain itu, Otonomi Daerah merupakan sebuah
peluang dan tantangan baru bagi pemerintah kabupaten/kota untuk
membangun daerahnya secara optimal setelah peran pemerintah pusat mulai
berkurang. Masyarakat diharapkan juga lebih aspiratif dalam memberikan
kontribusinya dalam pembangunan di daerahnya masing-masing.
Pemerintah harus mempunyai kesiapan untuk melaksanakan kedua
undang-undang tersebut. Otonomi Daerah merupakan jalan terbaik dalam
rangka mendorong pembangunan daerah menggantikan konsep pembangunan
terpusat yang oleh beberapa pihak dianggap sebagai penyebab lambannya
pembangunan daerah dan membesarnya ketimpangan antar daerah. Otonomi
Daerah berarti adanya keleluasaan dan wewenang bagi daerah untuk
mengembangkan potensi penerimaan daerah pada satu sisi dan keleluasaan
untuk menyusun daftar prioritas pembangunan disisi lainnya, yang mana hal
itu akan dapat mendorong percepatan pembangunan daerah.
Menurut UU No. 22 Tahun 1999, tujuan dari Otonomi Daerah diarahkan
untuk meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan
terpadu. Sedangkan menurut UU No. 25 Tahun 1999, penyelenggaraan
pemerintahan oleh daerah diharapkan mampu untuk meningkatkan efektifitas
dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada
masyarakat.
Salah satu pertimbangan yang ada dalam Undang-Undang No. 22 Tahun
1999 yang menyangkut masalah penyelenggaraan Otonomi daerah, yaitu
perlunya penekanan pada pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi, serta
penggalian potensi dan keanekaragaman daerah.
Berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah adalah suatu sistem
pembiayaan pemerintah dalam kerangka negara kesatuan yang mencakup
perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah secara
proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi,
kondisi dan kebutuhan daerah. Sejalan dengan kewajiban dan pembagian
kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut termasuk
pengelolaan dan pengawasan keuangannya.
Dengan demikian, peran Pemerintah Pusat masih diperlukan dalam
kerangka pengawasan jalannya Otonomi Daerah di daerah. Hanya saja bentuk
campur tangan Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah jauh berkurang
karena kewenangan keuangan dan pengelolaan sepenuhnya berada di tangan
Pemerintah Daerah.
Sebagaimana penjelasan dalam kedua Undang-Undang diatas maka
pelaksanaan Otonomi Daerah ditandai dengan adanya desentralisasi
kewenangan (power sharing) dan desentralisasi keuangan (fiscal
decentralization) yang dilaksanakan secara penuh sejak 1 Januari 2001.
Pelaksanaan Otonomi Daerah dapat diwujudkan dengan adanya pemberian
kewenangan yang luas, nyata serta bertanggungjawab kepada Pemerintah
Daerah secara proporsional yang dilengkapi dengan berbagai petunjuk
mengenai peraturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta
aspek Perimbangan antara Pusat dan Daerah.
Seiring dengan perkembangan kebutuhan dalam pelaksanaan Otonomi
Daerah, kedua undang-undang tersebut disempurnakan dan diganti dengan
undang-undang yang baru, yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Masih kecilnya kontribusi Pendapatan Asli Derah (PAD) sebagai
barometer tingkat kemandirian daerah dalam menjalankan amanat Otonomi
Daerah, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
mengharuskan Pemerintah Daerah secara terus menerus berupaya
meningkatkan PAD sebagai sumber utama pendapatan daerah, secara wajar
dan dapat dipertanggungjawabkan dengan memperhatikan kondisi masyarakat
yang menjadi subyek PAD.
Otonomi Daerah menuntut adanya hubungan harmonis antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. Menurut Davey (1982) dalam Sri Kaniyati
(2001) dikatakan terjalin hubungan antara keduanya apabila:
a. Adanya pembagian wewenang yang rasional antara tingkat-tingkat
pemerintahan mengenai peningkatan sumber-sumber pendapatan dan
penggunaannya.
b. Pemerintah Daerah memiliki sumber-sumber dana yang cukup, sehingga
dapat menjalankan tugas atau fungsi dengan baik (penyediaan dana untuk
menutup kebutuhan rutin dan pembangunan).
c. Pembagian yang adil antara pembelanjaan daerah yang satu dengan yang
lain.
d. Pemerintah Daerah dalam mengusahakan pendapatan melalui Pajak dan
Retribusi Daerah sesuai dengan pembagian yang adil terhadap
keseluruhan beban pengeluaran pemerintah.
Implementasi pelaksanaan Otonomi Daerah akan dapat berhasil jika
memperhatikan 5 (lima ) kondisi strategis berikut: (i) Self Regulatoring
Power, yaitu kemampuan mengatur dan melaksanakan Otonomi Daerah demi
kepentingan masyarakat di daerahnya; (ii) Self Modifying Power, berupa
kemampuan menyesuaikan terhadap peraturan yang telah ditetapkan secara
nasional sesuai dengan kondisi daerah, termasuk terobosan inovatif ke arah
kemajuan dalam menyikapi potensi daerah; (iii) Creating Local Political
Support, dalam arti penyelenggaraan pemerintah daerah yang mempunyai
legitimasi kuat dari masyarakatnya baik dari Kepala Daerah eksukutif maupun
DPRD sebagai pemegang kekuasaan legislatif; (iv) Managing Financial
Resource, dalam arti mampu mengembangkan kompetensi dalam mengelola
secara optimal sumber penghasilan dan keuangan guna pembiayaan aktivitas
pemerintahan pembangunan dan pelayanan masyarakat, serta (v) Developing
Brain Power, dalam arti membangun Sumber Daya Manusia yang handal dan
selalu bertumpu pada kapabilitas penyelesaian masalah (Rasyid dan Paragoan
dalam Mulyanto, 2003:3).
Selain kondisi strategis diatas, keberhasilan Otonomi Daerah menurut
pengurangan kesenjangan sosial dan pemberantasan kemiskinan
absolut.
Pembangunan ekonomi adalah proses yang akan berdampak
terjadinya kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara
dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem
kelembagaan yang ada (Lincolin Arsyad, 1996:16).
b. Perencanaan Pembangunan Daerah
Dalam suatu pemerintahan, sudah selayaknya Pemerintah
Daerah membuat perencanaan matang baik jangka pendek maupun
jangka panjang. Dengan perencanaan tersebut diharapkan untuk dapat
memperbaiki penggunaan sumber daya publik yang tersedia di daerah
yang bersangkutan dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta
dalam menciptakan nilai sumber daya swasta secara
bertanggungjawab.
Perencanaan Ekonomi Daerah setidaknya membawa tiga
implikasi pokok (Lincolin Arsyad, 1999:133):
1) Perencanaan pembagunan ekonomi daerah yang realistis
memerlukan pemahaman tentang hubungan antar daerah dengan
lingkungan nasional secara nasional (vertikal dan horisontal)
dimana daerah tersebut merupakan bagian darinya, keterkaitan
secara mendasar antar keduanya dan konsukuensi akhir dari
interaksi tersebut.
2) Perencanaan yang baik secara nasional belum tentu baik untuk
digunakan di daerah dan sebaliknya.
3) Perbedaan perangkat kelembagaan yang tersedia untuk
pembangunan daerah dan pusat, selain itu derajat pengambilan
kebijakan yang sangat berbeda. Oleh karena itu, perencanaan
daerah yang efektif harus bisa membedakan apa yang seyogyanya
dilakukan dan apa yang dapat dilakukan dengan menggunakan
sumber daya yang dimilikinya agar diperoleh manfaat maksimal.
c. Pembangunan Daerah di Era Otonomi Daerah
Pembangunan Ekonomi Daerah merupakan suatu proses dimana
Pemerintah Daerah dan masyarakat secara bersama-sama mengelola
sumber daya yang ada di daerah tersebut dan membentuk suatu pola
kemitraan dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan
kerja baru dan merangsang perkembangan aktivitas ekonomi dalam
wilayah tersebut (Lincolin Arsyad, 1999:108)
Dengan Otonomi Daerah memungkinkan daerah untuk
mendapatkan keleluasaan dan kewenangan pemerintahan mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian hingga
evaluasinya secara nyata dan bertanggungjawab. Dengan
pembangunan ekonomi yang efisien dan efektif daerah ini diharapkan
dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat di
daerah menuju kemandirian daerah dan kemajuan daerah.
2. Otonomi Daerah dan Tujuannya
a. Otonomi Daerah
Otonomi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani autos yang
berarti sendiri dan nomos yang berarti aturan. Sedang menurut istilah
otonomi adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan
kemampuannya. Amran Muslimin mengatakan otonomi itu termasuk
salah satu dari asas-asas pemerintahan negara, dimana pemerintah
suatu negara dalam pelaksanaan kepentingan umum untuk mencapai
tujuan. Disamping itu, Ateng Syafruddin mengemukakan bahwa
otonomi mempunyai makna kebebasan atas kemandirian tetapi bukan
kemerdekaan. Kemerdekaan terbatas atau kemandirian itu merupakan
wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan Pasal 1 UU No. 32/2004, Otonomi Daerah adalah
hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan
yang dimaksud Daerah Otonom berdasarkan Pasal 1 UU No. 34/2004
selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
b. Sistem Otonomi Daerah
Peninjauan dan telaah tentang Otonomi Daerah terus dilakukan
oleh para ahli, sehingga teridentifikasi empat sistem pembentuk
Otonomi Daerah (Josef Riwu Kaho dalam Rina Ika Sari, 2001):
1) Sistem Residu (Teori Sisa)
Menurut Josef Riwu kaho (1997) karakteristik sistem residu
ini yaitu telah ditentukannya tugas-tugas yang menjadi wewenang
Pemerintah Pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah
tangga Pemerintah Daerah. Sistem ini dianut oleh beberapa
negara-negara di Kawasan Eropa seperti Perancis, Belgia, Belanda
dan sebagainya.
Sistem ini mempunyai keunggulan dan kelemahan. Adapun
kelebihannya adalah bahwa Pemerintah Daerah tidak perlu
menunggu perintah dari Pemerintah Pusat apabila timbul
permasalahan yang dihadapi daerah. Pemerintah Daerah dapat
dengan sigap dan cepat mengambil keputusan mengenai persoalan
yang dihadapi ataupun dalam menentukan kebijakan baru sesuai
kebutuhan daerah.
Sedangkan kelemahannya adalah kondisi obyektif dari
masing-masing daerah yang tidak bisa disamaratakan. Bagi daerah
yang mempunyai kemampuan lebih, bisa terjadi tugas-tugas yang
diberikan terlalu sempit dibandingkan potensi yang dimiliki
daerah itu. Sebaliknya, bagi daerah yang kemampuannya terbatas
akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persoalan yang
sama.
2) Sistem Formal
Karakteristik sistem ini yaitu adanya pembagian tugas
berdasarkan pertimbangan efisiensi. Dalam sistem formal ini,
urusan rumah tangga daerah tidak secara apriori ditetapkan dengan
undang-undang. Daerah diperbolehkan mengatur dan mengurus
segala sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya, asalkan
tidak mencakup urusan yang telah diatur dan diurus oleh
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang lebih tinggi
tingkatannya. Sehingga ada pembagian tugas dan kewenangan.
Urusan yang telah diatur dan diurus oleh pemerintah yang lebih
tinggi tingkatannya, tidak dapat diatur dan diurus lagi oleh daerah.
Dengan perkataan lain, urusan rumah tangga daerah dibatasi oleh
peraturan perundang-undangan pemerintah yang lebih tinggi
tingkatannya.
3) Sistem Material
Dalam sistem ini, tugas Pemerintah daerah ditetapkan satu
per satu secara limitatif atau rinci. Tugas/urusan di luar garis yang
telah ditentukan merupakan urusan Pemerintah Pusat. Sistem ini
banyak diterapkan oleh negara-negara Anglo Saxon, terutama
Inggris dan Amerika Serikat.
Indonesia pernah menerapkan sistem material ini pada masa
berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 dan Staatblad
Indonesia Timur Nomor 44 Tahun 1950. Dalam sistem ini, setiap
perubahan tugas dan wewenang daerah, baik yang bersifat
pengurangan maupun penambahan harus dilakukan melalui
prosedur yang lama dan berbelit-belit. Sistem ini dianggap kurang
fleksibel karena memungkinkan suatu urusan menjadi terbengkalai
disebabkan Pemerintah Daerah harus menunggu penyerahan yang
nyata bagi setiap urusan. Padahal pada saat Pemerintah Daerah
menunggu proses penyerahan secara resmi, Pemerintah Pusat
sudah tidak menangani atau melepaskan urusan tersebut.
4) Sistem Otonomi Riil
Dalam sistem ini, faktor yang nyata atau riil kebutuhan dan
kemampuan daerah yang dijadikan landasan dalam pembagian
urusan, tugas dan kewenangan kepada Pemerintah Daerah.
Pemerintah Pusat juga melihat pertumbuhan yang terjadi di daerah
sehingga dapat diketahui perkembangan jalannya pemerintahan di
daerah. Hal ini memungkinkan adanya pelimpahan wewenang
yang selama ini menjadi kewenangan Pemerintah Pusat untuk
dijalankan Pemerintah Daerah sesuai dengan kapabilitasnya.
Demikian pula sebaliknya, suatu saat tugas yang menjadi
wewenang Pemerintah Daerah bisa diserahkan kembali kepada
Pemerintah Pusat.
Sistem inilah yang diterapkan di Indonesia sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden
Nomor 6 Tahun 1959 yang disempurnakan dengan PenPres
Nomor 5 Tahun 1960 kemudian disempurnakan lagi dangan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965.
c. Tujuan Otonomi Daerah
Tujuan Otonomi Daerah dibedakan dari dua sisi kepentingan,
yaitu kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dari
kepentingan Pemerintah Pusat tujuan utamanya adalah pendidikan
politik, pelatihan kepemimpinan, menciptakan stabilitas politik, dan
mewujudkan demokratisasi sistem pemerintahan di daerah. Sementara,
bila dilihat dari kepentingan Pemerintah Daerah ada tiga tujuan, yaitu
(Smith, 1985 dalam Abdul Halim, 2004:23):
1) Untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai political equality,
artinya melalui Otonomi Daerah diharapkan akan lebih membuka
kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai
aktivitas politik di tingkat lokal atau daerah.
2) Untuk menciptakan local accountability, artinya dengan Otonomi
Daerah akan meningkatkan kemampuan daerah dalam
memperhatikan hak-hak masyarakat.
3) Untuk mewujudkan local responsiveness, artinya dengan Otonomi
Daerah diharapkan akan mempermudah antisipasi terhadap berbagai
masalah yang muncul sekaligus meningkatkan akselerasi
pembangunan sosial dan ekonomi daerah.
Tujuan ini juga hampir sama dengan yang termaktub dalam UU
No. 22/1999 yaitu Otonomi Daerah diarahkan untuk memacu
pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran
aktif masyarakat serta peningkatan pendayagunaan potensi daerah
secara optimal dan terpadu secara nyata, dinamis dan bertanggungjawab
sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, mengurangi
beban pemerintah pusat dan campur tangan di daerah yang akan
memberikan peluang untuk kordinasi tingkat lokal.
Sedangkan menurut Jimi Moh. Ibrahim (1990) dalam Rina Ika
Sari (2001) tujuan Otonomi daerah adalah untuk memungkinkan daerah
yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan
pelaksanaan pembangunan.
Mardiasmo (2005:59) memaparkan tujuan Otonomi Daerah adalah
untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dan memajukan
perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama
pelaksanaan Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu: (1)
meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan
masyarakat, (2) menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan
sumber daya daerah, dan (3) memberdayakan dan menciptakan ruang
bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses
pembangunan.
Kesemua tujuan itu tentunya menuntut Pemerintah Daerah untuk
menyiapkan sumber daya atau potensi daerah, terutama Sumber Daya
Manusia (SDM) yang handal yang akan berperan sebagai motor
penggerak jalannya pemerintahan daerah. Oleh karena itu, penting bagi
Pemerintah Daerah untuk menyiapkan SDM yang mampu menjalankan
peran penting ini dengan berbagai bentuk pelatihan.
d. Prinsip Otonomi Daerah
Pada hakikatnya prinsip pelaksanaan Otonomi Daerah adalah
demokrasi, partisipasi masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta
memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Menurut penjelasan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, prinsip
penyelenggaraan Otonomi Daerah adalah:
1) Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan
memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi
dan keanekaragaman daerah.
2) Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata
dan bertanggungjawab.
3) Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada
Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota, sedang Otonomi Propinsi
merupakan otonomi yang terbatas.
4) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara
sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pemerintah
Pusat dan Daerah serta antar daerah.
5) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan
kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam Daerah
Kabupaten dan Kota tidak ada lagi wilayah administrasi, demikian
pula di wilayah-wilayah khusus yang dibina oleh Pemerintah atau
pihak lain, yang berlaku adalah ketentuan peraturan Daerah Otonom.
6) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan
fungsi badan Legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif,
pengawas, maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
7) Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan tidak hanya dari
Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah
kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana,
serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskannya.
3. Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah
Hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah timbul
karena adanya pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan oleh badan-badan
yang disusun secara bertingkat. Hal ini didorong oleh kebutuhan nyata
ketatanegaraan dan administrasi negara, karena tugas-tugas pemerintah
yang semakin banyak dan menjangkau daerah yang luas kemungkinan
kecil akan diselesaikan dengan baik apabila hanya dipusatkan ditangan
satu tingkat pemerintahan saja.
Pembentukan undang-undang tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk
mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada Pemerintahan
Daerah yang diatur dalam undang-undang tentang Pemerintahan Daerah.
Pendanaan tersebut menganut prinsip money follows function, yang
mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan
yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing- masing tingkat
pemerintahan.
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan
dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah.
Perimbangan keuangan dilaksanakan sejalan dengan pembagian
kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah. Dengan
demikian, pengaturan perimbangan keuangannya bukan hanya mencakup
aspek Pendapatan Daerah tetapi juga mengatur aspek pengelolaan dan
pertanggungjawabannya.
4. Pemerintahan Daerah
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan Pemerintahan
oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah(DPRD)
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik
Indonesia tahun 1945.
Asas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Undang-
Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yaitu:
a. Asas Dekonsentrasi
Yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat
kepada Pemerintah Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
b. Asas Dekonsentrasi
Merupakan pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada
Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat di
daerah.
c. Asas Tugas Pembantuan
Yaitu penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari
pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari
pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas
tertentu.
Terdapat enam elemen utama yang membentuk pemerintahan
daerah, yaitu (Made Suwandi, 2000):
a. Adanya urusan otonomi yang merupakan dasar dari kewenangan
daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
b. Adanya kelembagaan yang merupakan wadah dari otonomi yang
diserahkan kepada daerah.
c. Adanya personil, yaitu pegawai yang mempunyai tugas untuk
menjalankan urusan otonomi yang menjadi isi rumah tangga daerah
yang bersangkutan.
d. Adanya sumber-sumber keuangan untuk membiayai pelaksanaan
Otonomi Daerah.
e. Adanya unsur perwakilan yang merupakan perwujudan dari wakil-
wakil rakyat yang telah mendapatkan legitimasi untuk memimpin
penyelenggaraan pemerintah daerah.
f. Adanya manajemen urusan otonomi, yaitu penyelenggaraan otonomi
daerah agar dapat berjalan secara efisien, efektif, ekonomis, dan
akuntabel.
Tujuan utama dari penataan tersebut adalah untuk memberdayakan
Pemerintah Daerah agar mampu menjalankan tugas pokok dan fungsinya
secara ekonomis, efektif, efisien, dan akuntabel. Ekonomis adalah
bagaimana Pemerintah Daerah mampu menjalankan urusan otonominya
dengan berbagai pertimbangan ekonomis yaitu memilih dari berbagai
alternatif yang terbaik dari sudut total pembiayaan. Tujuan ekonomis ini
akan menghilangkan kesan pemborosan dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, baik dalam kegiatan rutin maupun pembangunan
dari setiap urusan. Hal ini akan menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah
bersikap kompetitif dalam upaya memberikan nilai tertinggi bagi setiap
rupiah uang rakyat yang dipergunakan.
Efektif mengandung arti bahwa dalam menjalankan tugas pokok dan
fungsinya Pemerintah Daerah dapat mencapai sasaran yang direncanakan,
di mana sasaran dan tujuan yang ingin dicapai oleh Pemerintah Daerah
harus terukur dan ada standar yang jelas. Tujuan dalam konteks efektif ini
adalah meningkatkan kepekaan Pemerintah Daerah dalam menentukan
tujuan atau sasaran dari setiap urusan otonomi yang dilaksanakannya.
Kejelasan sasaran tersebut akan menunjukkan sejauh mana Pemerintah
Daerah dapat menangkap aspirasi dan mengimplementasikan tuntutan dan
dukungan masyarakat daerah yang bersangkutan.
Efisien mengandung arti bahwa output yang dihasilkan dari setiap
penyelenggaraan urusan otonomi tercapai dengan sumber daya yang
minimal. Tujuannya adalah menciptakan citra bahwa Pemerintah Daerah
akan selalu hemat dalam mempergunakan sumber daya baik yang berupa
pegawai, uang, peralatan dan tata kerja dalam menjalankan tugas
pokoknya.
Akuntabel mengandung makna bahwa Pemerintah Daerah
mengutamakan kepentingan warganya dengan jalan
mempertanggungjawabkan pelaksanaan otonominya kepada masyarakat
melalui wakil-wakil rakyat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan
pendidikan politik masyarakat lokal yang pada gilirannya secara
menyeluruh menyumbangkan pendidikan politik secara nasional.
Menurut Lincolin Arsyad (1999:170) sedikitnya terdapat empat
peran serta Pemerintah Daerah terhadap pembangunan daerahnya:
a. Wirausaha (Enterpeneur)
Sebagai wirausaha, Pemerintah Daerah bertanggungjawab dalam
menjalankan dan mengembangkan usaha bisnis, dalam hal ini yaitu
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Aset-aset yang dimiliki BUMD
dikelola dengan lebih baik secara ekonomis dan menguntungkan.
b. Kordinator
Pemerintah Daerah sebagai kordinator dapat menetapkan kebijakan
atau mengusulkan strategi dalam pembangunan di daerahnya. Dalam
peranannya ini Pemerintah Daerah dapat melibatkan lembaga-lembaga
pemerintah lainnya, dunia usaha dan masyarakat dalam penyusunan
sasaran, perencanaan dan strategi dalam pembangunan daerah.
c. Fasilitator
Pemerintah Daerah dapat mempercepat pembangunan melalui
perbaikan lingkungan perilaku atau budaya masyarakat di daerahnya.
Hal ini akan mempercepat proses pembangunan dan prosedur
perencanaan serta pengaturan penetapan daerah yang lebih baik.
d. Stimulator
Sebagai stimulator Pemerintah Daerah memberikan
stimulasi/rangsangan dalam penciptaan dan pengembangan usaha
melalui tindakan-tindakan khusus yang akan mempengeruhi
perusahaan-perusahaan untuk masuk dan berinvestasi di daerah
tersebut.
Berdasarkan kedua undang-undang tentang otonomi daerah, maka
pemerintah daerah kabupaten/kota diberi kewenangan yang utuh dan bulat
untuk merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan dan
mengevaluasi kebijakan-kebijakan daerah. Dengan semakin besarnya
partisipasi masyarakat ini, desentralisasi kemudian akan mempengaruhi
komponen kualitas pemerintahan lainnya. Salah satunya berkaitan dengan
pergeseran orientasi pemerintah, dari command and control menjadi
berorientasi pada tuntutan dan kebutuhan publik. Orientasi ini akan
menjadi dasar bagi pelaksanaan peran pemerintah diatas, yaitu sebagai
strimulator, fasilitator, kordinator, dan enterpreneur (wirausaha) dalam
proses pembangunan.
Dalam era Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah dihadapkan pada
tantangan untuk meningkatkan efisiensi dan profesionalitas aparaturnya.
Hal ini sangat penting untuk mengantisipasi perubahan-perubahan faktor
eksternal yang akan terjadi. Untuk itu, Pemerintah Daerah perlu
memperbaiki mekanisme rekruitmen pegawai, meninjau kembali metode
pendidikan dan pelatihan pegawai, memperbaiki reward and punishment
system, meningkatkan gaji dan kesejahteraan pegawai.
5. Pendapatan Daerah dan Aspek-aspeknya
a. Sumber-Sumber Penerimaan Daerah
Berdasarkan ketentuan pasal 79 Undang-Undang No.22 Tahun
1999 junto pasal 3 Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 menyatakan
bahwa sumber pendapatan dan penerimaan daerah bersumber dari:
1) Pendapatan Asli Daerah (PAD)
PAD terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil
perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan , serta lain-lain PAD yang sah. Peningkatan
penerimaan PAD merupakan upaya pemerintah daerah dalam
rangka desentralisasi fiskal. Dengan peningkatan PAD ini
ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat dapat berkurang,
sehingga meningkatkan otonomi dan keleluasaan daerah (local
discretion). Langkah penting yang harus dilakukan Pemerintah
Daerah adalah menghitung potensi riil PAD yang dimiliki daerah.
Untuk itu diperlukan metode penghitungan potensi PAD yang
sistematis dan rasional.
2) Dana Perimbangan
Sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 25 Tahun 1999 Pasal 1
Ayat 14 Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari
penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN)
yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Sumber-sumber dana yang berasal dari pos Dana Perimbangan,
antara lain:
a) Bagian Hasil Daerah
Bagian Hasil Daerah dapat berasal dari Penerimaan pajak
Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah
(BPHTB) dan penerimaan dari sumber daya alam.
b) Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari
APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan
antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya
dalam rangka palaksanaan desentralisasi.
DAU digunakan Untuk menjaga pemerataan antar daerah
yang besarnya minimal 25% dari penerimaan Dalam Negeri
dalam APBN dengan perimbangan 10% untuk Propinsi dan
90% untuk Kabupaten/Kota. Penentuan besarnya DAU untuk
masing-masing daerah dilakukan dengan memperhatikan: (1)
kebutuhan daerah yang tercermin dari jumlah penduduk, luas
wilayahnya, keadaan geografis, dan tingkat pendapatan
masyarakat dan (2) potensi ekonomi daerah yang tercermin
dari potensi penerimaan daerah seperti potensi industri, SDA,
SDM, dan PDRB.
c) Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang dialokasikan
kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus
tertentu. Kebutuhan khusus yang dimaksud menggunakan
kriteria: (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan
menggunakan rumus Dana Alokasi Umum; dan/atau (ii)
kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.
DAK dialokasikan untuk membantu pembiayaan kebutuhan
tertentu, yaitu yang merupakan program nasional, atau
merupakan kegiatan/program yang tidak terdapat di daerah
lain. Dana ini termasuk yang berasal dari dana reboisasi
sebesar 40% untuk daerah. Program yang dibiayai dengan
Dana Alokasi Khusus harus disertai dengan dana pendamping
yang bersumber dari APBD.
3) Pinjaman Daerah
Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan
daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat
bernilai uang sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk
membayar kembali. Daerah dapat melakukan pinjaman dari
sumber dalam negeri maupun luar negeri untuk membiayai
anggarannya. Pinjaman dalam negeri dapat bersumber dari
Pemerintah Pusat, Lembaga Keuangan Bank, Lembaga Keuangan
Bukan Bank, masyarakat, dan sumber lainnya.
4) Sumber Lain Pendapatan Daerah yang Sah
Lain-lain penerimaan daerah yang sah, antara lain bersumber dari:
hibah, dana darurat dan penerimaan lainnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Pengelolaan Pendapatan Daerah
Pendapatan Daerah merupakan sumber utama penerimaan
daerah kabupaten/kota setempat, oleh karena itu diperlukan beberapa
kriteria standar penilaian sumber penerimaan tersebut, yaitu:
1) Kriteria bagi hasilnya harus mencukupi
Yaitu mengoptimalkan penerimaan sehingga bisa mencukupi
keperluan pemerintah daerah.
2) Kriteria adil dan pemerataan
Kriteria ini dapat dilihat dari beberapa dimensi, yaitu: a) tegak
lurus (tingkat atau besar pendapatan); b) mendatar (sumber
pungutan dikenakan); c) geografis (menyangkut lokasi dimana
pungutan itu dikenakan). Kriteria ini mempertimbangkan
kemanfaatan penerimaan yang diterima dan memperhatikan
kemampuan membayar seseorang terhadap suatu pungutan.
3) Kriteria kemampuan administrasi
Kriteria ini disesuaikan dengan kemampuan masing-masing
daerah kabupaten/kota dalam mengelola penerimaan daerah.
Untuk penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah masih
menggunakan perangkat-perangkat yang sederhana.
4) Kriteria pengaruh pajak terhadap ekonomi
Yang perlu diperhatikan adalah efek terhadap alokasi sumber
penerimaan, sebab ada beberapa pungutan yang dapat mengurangi
kemampuan berproduksi dan investasi, ada pula yang mendorong
kegiatan produksi dan investasi. Segi efisiensinya adalah pungutan
yang mendorong kegiatan ekonomi.
Selain kriteria diatas, ada beberapa hal yang dapat digunakan
sebagai indikator untuk menilai Pajak dan Retribusi Daerah sebagai
komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam Modul PUOD,
1998:16-17 yaitu:
1) Hasil (Yield)
Yaitu memadai tidaknya hasil suatu pajak dalam kaitannya dengan
bebagai layanan yang dibiayainya, stabilitas dan mudah tidaknya
memperkirakan besarnya hasil pajak/retribusi tersebut.
2) Keadilan (Equity)
Yaitu adanya prinsip adil baik secara vertikal maupun horisontal
dari pungutan yang ditetapkan. Adil secara horisontal yaitu beban
pajak harus sama antara berbagai kelompok yang berbeda tetapi
dengan kedudukan ekonomi yang sama, sedangkan adil secara
vertikal yaitu beban pajak harus lebih banyak ditanggung oleh
kelompok yang memiliki sumber daya yang lebih besar.
3) Efisiensi Ekonomi
Pajak/Retribusi Daerah harus dapat mendorong adanya efisiensi
dan efektivitas dalam kehidupan ekonomi.
4) Kemampuan melaksanakan (Ability to implement)
Yaitu kemampuan pemerintah daerah untuk melaksanakan
program-program dalam pemungutan Pajak/Retribusi Daerah.
5) Kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah (Suitability as local
revenue source)
c. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh dari
daerah itu sendiri dengan memberdayakan potensi daerah yang ada
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PAD
terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan
milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan ,
serta lain-lain PAD yang sah.
Peningkatan penerimaan PAD merupakan alat untuk meningkat
kan Pendapatan Asli Masyarakat (PAM). Terkait dengan hal ini, maka
pemerintah daerah kabupaten/kota harus saling membantu untuk
mengembangkan berbagai cara dan pendekatan supaya dapat
meningkatkan kemampuan dan kapasitas daerahnya sehingga
meningkatkan aktivitas perekonomian daerahnya. Hal ini didasarkan
pada pengertian bahwa pembangunan daerah, peningkatan PAD dan
pada akhirnya peningkatan PAM tidak terlepas dari konteks
pembangunan ekonomi daerah tersebut. Beberapa program yang dapat
dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota untuk mencapai
tujuan di atas (Mulyanto, 2003) antara lain:
1) Menyiapkan berbagai bentuk dan produk berupa Peraturan Daerah
(Perda) guna merangsang aktivitas ekonomi di daerahnya, baik
yang dilakukan oleh masyarakat setempat maupun mengundang
pelaku ekonomi atau investor dari luar daerahnya.
2) Membentuk dan membangun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
sebagai alat untuk meningkatkan aktivitas ekonomi di daerah, dan
juga sebagai sarana untuk mendorong peningkatan PAD di
daerahnya.
3) Memanfaatkan setiap peluang untuk meningkatkan aktivitas
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat secara optimal termasuk
upaya menjalin kerjasama dengan pihak lain seperti
badan/lembaga usaha melalui penyertaan modal/aset daerah.
4) Sosialisasi program peningkatan aktivitas ekonomi daerah dalam
rangka peningkatan PAD pada khususnya dan peningkatan PAM
pada umumnya melalui berbagai bentuk pelatihan dan diskusi
yang relevan dan mendukung sesuai dengan tujuan yang
diharapkan.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang
diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang
dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang terdiri dari:
a). Hasil Pajak Daerah
Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran
wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada
Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat
dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah (Pasal 1 UU No.
34 Tahun 2000). Menurut Kaho pajak daerah adalah peralihan
kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai
pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk Public
Investment. Penentuan tarif dan tata cara pemungutan pajak daerah
ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) sesuai perundang-
undangan yang berlaku.
Sedangkan Davey (1982) dalam Erlita Dewi (2003)
mengemukakan pendapatnya tentang pajak daerah yaitu :
1) Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dengan
peraturan daerah sendiri.
2) Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tapi
pendapatan tarifnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
3) Pajak yang dipungut atau ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
4) Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh Pemerintah
Pusat tetapi pungutannya kepada, dibagi hasilkan dengan atau
dibebani pungutan tambahan (opsen) oleh Pemerintah Daerah.
Untuk sumber penerimaan Pajak Daerah Kabupaten
Karanganyar diperoleh dari:
i) Pajak Hotel
ii) Pajak Restoran
iii) Pajak Hiburan
iv) Pajak Reklame
v) Pajak Penerangan Jalan
vi) Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Gol. C
vii) Pajak Parkir
b). Hasil Retribusi Daerah
Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah
pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian
izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
Sebagaimana pajak daerah, penentuan tarif dan tata cara
pemungutan retribusi daerah juga ditetapkan berdasarkan Perda
yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Rochmat Sumitra mengatakan bahwa retribusi adalah
pembayaran kepada negara yang dilakukan kepada mereka yang
menggunakan jasa-jasa negara, artinya retribusi daerah sebagai
pembayaran atas pemakain jasa atau kerena mendapat pekerjaan
usaha atau milik daerah bagi yang berkepentingan atau jasa yang
diberikan oleh daerah, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Oleh karena itu, setiap pungutan yang dilakukan oleh
pemerintah daerah senantiasa berdasarkan pelayanan dan jasa
yang diberikan kepada masyarakat, sehingga keluasaan retribusi
daerah terletak pada yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Jadi
retribusi sangat berhubungan erat dengan jasa layanan yang
diberikan pemerintah kepada yang membutuhkan. Apabila
pemerintah meningkatkan tarif retribusi maka harus diimbangi
dengan peningkatan kualitas pelayanan.
Pembayaran retribusi oleh masyarakat menurut Davey
(1982) dalam Sri Kaniyati (2002) adalah :
1) Dasar untuk mengenakan retribusi biasanya harus didasarkan
pada biaya total (total cost) dari pada pelayanan-pelayanan
yang disediakan
2) Dalam beberapa hal retribusi biasanya harus didasarkan pada
kesinambungan harga jasa suatu pelayanan, yaitu atas dasar
mencari keuntungan.
Disamping itu menurut Kaho, ada beberapa ciri-ciri retribusi
yaitu :
1) Retibusi dipungut oleh negara.
2) Dalam pungutan terdapat pemaksaan secara ekonomis.
3) Adanya kontraprestasi yang secara langsung dapat ditunjuk.
4) Retribusi yang dikenakan kepada setiap orang/badan yang
menggunakan/mengenyam jasa-jasa yang disediakan oleh
negara.
Obyek Retribusi Daerah sendiri terdiri atas tiga golongan
seperti yang disebutkan dalam pasal 18 Undang-Undang No. 34
Tahun 2000 sebagai pengganti Undang-Undang 18 Tahun 1997
yaitu:
1) Jasa Umum, yaitu jasa yang disediakan atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan atau
kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi
atau badan usaha.
2) Jasa Usaha, adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah
Daerah dengan menganut prinsip-prinsip komersial, karena
pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor usaha/swasta.
3) Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah
dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan
yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan,
pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan
ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana,
sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan
umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Sedangkan sumber penerimaan Retribusi Daerah Kabupaten
Karanganyar diperoleh dari:
i) Retribusi Pelayanan Kesehatan
ii) Retribusi Kebersihan
iii) Retribusi Penggantian Cetak KTP
iv) Retribusi Cetak Akte Catatan Sipil
v) Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat
vi) Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum
vii) Retribusi Pasar
viii) Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor
ix) Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah
x) Retribusi Jasa Usaha Terminal
xi) Retribusi Jasa Usaha Tempat Khusus Parkir
xii) Retribusi Jasa Usaha Penyedotan Kakus
xiii) Retribusi Jasa Usaha Rumah Potong Hewan
xiv) Retribusi Jasa Usaha Tempat Rekreasi dan Olah Raga
xv) Retribusi Ijin Mendirikan Bangunan
xvi) Retribusi Ijin Gangguan
xvii) Retribusi Ijin Trayek
xviii) Retribusi Ijiin Peruntukan Penggunaan Tanah
xix) Retribusi Ijin Lembaga Pelatihan Kerja
xx) Retribusi Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja
xxi) Retribusi Ijin Usaha Perdagangan
xxii) Retribusi Ijin Usaha Industri
xxiii) Retribusi Tanda Daftar Gudang
xxiv) Retribusi Tanda Daftar Perusahaan
xxv) Retribusi Ijin Penggilingan Padi
xxvi) Retribusi Ijin Usaha Jasa Konstruksi
xxvii) Retribusi Ijin sarana Kesehatasn Swasta
xxviii) Retribusi Pemeriksaan Kualitas Lingkungan Lab. DKK
xxix) Retribusi Pelayanan Administrasi
Retribusi bagi daerah merupakan sumber penerimaan yang penting
dalam komponen PAD, bahkan di beberapa jenis penerimaan ini
memberikan hasil yang lebih besar dibandingkan pajak.
c). Hasil Perusahaan Milik Daerah
Penerimaan ini berasal dari laba Perusahaan Air minum (PDAM),
Perusahaan Daerah Bank Pasar, Perusahaan Daerah Badan Kredit
Kecamatan (BKK), Perusahaan Daerah Bank Kredit Desa (BKD)
dan berasal dari laba Perusahaan Daerah Apotik Sukowati.
d). Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
Penerimaan ini antara lain bersumber dari laba peneyertaan modal
pada koperasi dan bagian laba atas perkuatan modal pada usaha
kecil.
e). Sumber-Sumber Lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah
Lain-lain PAD yang sah antara lain bersumber dari hasil penjualan
aset tetap daerah, jasa giro, sumbangan pihak ketiga, penerimaan
bunga deposito, dan lain sebagainya.
Untuk penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah biasanya
memberikan pemasukan terbesar terhadap penerimaan PAD. Antara
kedua jenis penerimaan ini mempunyai persamaan maupun perbedaan.
Persamaannya yaitu terletak pada balas jasa yang diberikan pada wajib
bayar (pajak/retribusi) pungutan tersebut. Pada pungutan Pajak, si
wajib pajak tidak secara langsung mendapatkan balas jasa/imbalan
dari pemerintah, karena biasanya bentuk imbalannya berupa
penambahan sarana prasarana. Sedang pada retribusi bagi wajib bayar
secara langsung memperoleh balas jasa dari adanya pungutan yang
dikenakan padanya.
Persamaan antara kedua jenis pungutan baik Pajak maupun
Retribusi Daerah antara lain sebagai berikut:
1) Retribusi dan Pajak sama-sama berfungsi budgetair terhadap
penerimaan Pemerintah Daerah, sehingga tanpa memperhatikan
ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh kedua jenis pungutan tersebut
maka keduanya merupakan bagian dari penerimaan untuk mengisi
keuangan atau kas daerah.
2) Seperti halnya pajak, bagi Pemerintah Daerah retribusi juga
berfungsi sebagai pengatur, sehingga penetapan retribusi sedapat
mungkin mempunyai arah yang dikehendaki.
3) Sebagai pungutan terhadap masyarakat, baik retribusi maupun
pajak mempunyai dasar hukum pemungutannya, sehingga wajib
bayar dapat dikenakan sanksi apabila tidak membayar pungutan
dari pihak berwenang menurut ketentuan yang berlaku.
6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Berdasarkan penjelasan Pasal 1 PP N0. 105 Tahun 2000 Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana pelaksanaan
semua Pendapatan Daerah dan semua Belanja Daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Dengan
demikian, pemungutan semua Penerimaan Daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi bertujuan untuk memenuhi target yang
ditetapkan dalam APBD. Semua Pengeluaran Daerah yang membebani
Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah
dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD, sehingga APBD menjadi dasar
bagi kegiatan pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan Keuangan
Daerah.
Dalam rangka pelaksanaan anggaran daerah PAD merupakan
komponen yang diharapkan memberikan kontribusi terbesar dalam
penerimaan Anggaran Pendapatan Daerah. Penggunaan anggaran daerah
khususnya dalam pengelolaan keuangan daerah ini pada hakekatnya
merupakan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) yang meliputi tiga kegiatan berikut: (i) Penyusunan Rancangan
APBD; (ii) Pengesahan APBD dan (iii) Pelaksanaan APBD.
Pemerintah daerah merupakan pelaku pokok terpenting dalam upaya
pengembangan potensi ekonomi daerah. Dengan demikian pemerintah
daerah diberi kebebasan untuk menentukan prioritas pembangunan daerah
selama tetap memperhatikan keseimbangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD).
Anggaran daerah pada hakekatnya merupakan salah satu alat untuk
meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan tujuan Otonomi Daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab.
Dengan demikian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) harus benar-benar dapat mencerminkan kebutuhan masyarakat
dengan memperhatikan potensi keanekaragaman daerah. Atas dasar
tersebut, penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
hendaknya mengacu pada norma dan prinsip anggaran sebagai berikut:
a. Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran
Transparansi tentang anggaran daerah merupakan salah satu
persyaratan untuk mewujudkan pemerintah yang baik, bersih dan
bertanggungjawab. Hal ini karena anggaran daerah merupakan sarana
evaluasi atas pencapaian kinerja dan tanggungjawab pemerintah
menyejahterakan masyarakat, maka APBD haruslah dapat
memberikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, hasil dan
manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan yang
dianggarkan. Selain itu, penggunaan dana yang diperoleh harus dapat
dipertanggungjawabkan.
b. Disiplin Anggaran
Anggaran yang disusun harus berlandaskan asas efisiensi, tepat guna,
tepat waktu dan dapat dipertanggungjawabkan. Pemilahan antara
belanja rutin dan pembangunan harus diklasifikasikan secara jelas agar
tidak terjadi pemborosan dan kebocoran dana. Pendapatan yang
direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang
dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja
yang dianggarkan di setiap pos merupakan batas tertinggi pengeluaran
belanja. Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya
kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup.
c. Keadilan Anggaran
Pembiayaan pemerintah daerah harus dilakukan melalui mekanisme
pajak dan retribusi yang dipikul oleh segenap lapisan masyarakat.
Untuk itu, pemerintah wajib mengalokasikan penggunaannya secara
adil dan merata agar dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat tanpa
adanya diskriminasi dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat.
d. Efisiensi dan Efektivitas Anggaran
Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk
dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat. Untuk dapat mengendalikan tingkat efisiensi dan
efektivitas anggaran, maka dalam perencanaan perlu ditetapkan secara
jelas tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang akan diperoleh
masyarakat dari suatu kegiatan yang diprogramkan.
e. Format Anggaran
Pada dasarnya APBD disusun berdasarkan format anggaran defisit
(deficit budget format). Selisih antara pendapatan dan belanja
mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit anggaran. Apabila
terjadi surplus, daerah dapat membentuk dana cadangan, sedangkan
bila terjadi defisit maka dapat ditutupi melalui sumber pembiayaan
pinjaman dan atau penerbitan obligasi daerah sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Melalui reformasi anggaran, diharapkan terjadi perubahan struktur
anggaran dan perubahan proses penyusunan APBD. Perubahan struktur
anggaran dilakukan untuk mengubah struktur anggaran tradisional yang
bersifat line item dan inkrementalisme sehingga dapat menciptakan
transparansi dan meningkatkan akuntabilitas publik.
Dengan struktur anggaran yang baru, akan tampak secara jelas
besarnya surplus dan defisit anggaran serta strategi pembiayaan apabila
terjadi defisit fiskal sehingga publik lebih mudah melakukan analisis,
evaluasi, dan pengawasan atas pelaksanaan dan pengelolaan APBD.
Reformasi anggaran juga berkaitan dengan perubahan proses
penyusunan APBD menjadi lebih partisipatif. APBD dalam era otonomi
daerah berdasarkan PP No. 105 Tahun 2000 disusun dengan pendekatan
kinerja, artinya sistem anggaran yang mengutamakan pencapaian hasil
kinerja atau luaran (output) dari perencanaan alokasi biaya yang telah
ditetapkan. Dengan demikian, diharapkan penyusunan dan pengalokasian
anggaran dapat lebih disesuaikan dengan skala prioritas dan preferensi
daerah yang bersangkutan.
Penerapan anggaran kinerja secara normatif ditetapkan melalui
Kepmendagri No. 29 Tahun 2002, namun pada kenyataannya belum
menunjukkan hasil yang menggembirakan. Dalam beberapa hal,
penerapan sistem anggaran kinerja telah memberikan celah bagi
masyarakat untuk melihat proses penyusunan anggaran, namun daerah
masih tetap bergantung pada pusat dalam penyusunannya. Di sisi lain,
penentuan skala prioritas dalam penyusunan anggaran belum tampak
secara jelas. Anggaran kinerja pada dasarnya merupakan sistem
penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada
pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja tersebut harus mencerminkan
efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, yang berarti harus berorientasi
pada kepentingan masyarakat.
APBD juga seharusnya dapat menumbuhkan profesionalisme kerja
di setiap unit kerja Pemerintah Daerah. Dalam anggaran kinerja, unit kerja
pemerintah daerah diharuskan untuk mengidentifikasi secara spesifik
output dan hasil (outcome) yang akan dicapai dari program. Pada
praktiknya, hal ini mungkin sudah dilakukan oleh setiap unit kerja dewasa
ini.
Anggaran kinerja juga memungkinkan pengalokasian anggaran bagi
program-program yang secara signifikan terkait dengan pencapaian visi
dan misi daerah. Penggunaan anggarannya bisa saja dipusatkan pada satu
unit kerja sebagai leading sector, tetapi dalam pelaksanaan program,
aparat dari unit kerja lain yang terkait bisa saja diperbantukan pada
leading sector tersebut.
Dengan demikian, diharapkan anggaran kinerja juga berperan dalam
merasionalisasikan birokrasi Pemerintah Daerah sehingga jumlah
aparaturnya dapat disesuaikan dengan beban kerja dari setiap program.
Upaya ini dapat membantu mengatasi kemungkinan defisit anggaran
sehingga pertimbangan pengalokasian anggaran benar-benar didasarkan
pada value for money, bukan sekadar bagi-bagi anggaran bagi setiap unit
kerja jika memang programnya tidak terlampau signifikan dengan skala
prioritas (Dede Marliana, 2005)
B. Hasil Penelitian Sebelumnya
Penelitian Sebelumnya dilakukan oleh Drs. Thamrin Simanjuntak
(1999) dalam Abdul Halim (2001) dengan penelitiannya yang berjudul
Analisis Potensi PAD Kabupaten Simalungun Sumatra Utara. Adapun
kesimpulan dari penelitian tersebut adalah bahwa setiap daerah mempunyai
wewenang untuk menggali sumber keuangannya sendiri dengan melakukan
berbagai upaya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)nya.
Dalam rangka peningkatan PAD perlu dihitung dengan indikator keuangan
yang terdiri dari: Daya Pajak, Efektivitas, Efisiensi dan Elastisitas. Sedangkan
untuk menganalisa potensi sumber-sumber PAD perlu juga diketahui beberapa
variabel yang tidak dapat dikendalikan seperti: kondisi awal daerah,
peningkatan cakupan, perkembangan PDRB perkapita riil, pertumbuhan
penduduk, tingkat inflasi, penyesuaian tarif, pembangunan baru, sumber
pendapatan baru dan perubahan peraturan. Dan perhitungan potensi PAD
dapat dilakukan dengan menganalisa potensi tersebut baik dari segi makro
maupun mikro.
Ramdan Ruhadi Dedy (2000) dalam Abdul Halim (2001) juga
mengadakan penelitian serupa dengan judul Upaya Intensifikasi dan
Ekstensifikasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Sumedang Jawa
Barat. Diperoleh kesimpulan bahwa pengelolaan PAD yang baik adalah
pengelolaan PAD yang mampu meningkatkan penerimaan daerah secara
berkesinambungan. Upaya intensifikasi pendapatan daerah dapat dilaksanakan
melalui berbagai kegiatan yang mencakup aspek kelembagaan,
ketatalaksanaan dan personal. Sedangkan upaya ekstensifikasi masih
dimungkinkan sepanjang tidak bertentangan dengan kebijaksanaan pokok
nasional dari Undang-Undang No. 34 Tahun 2000.
Penelitian tentang peranan PAD dilakukan oleh Raksaka Mahi (2005).
Dari penelitiannya dapat diketahui bahwa dengan peningkatan PAD
seharusnya mampu mengurangi ketergantungan pemerintah daerah terhadap
bantuan dana dari Pemerintah Pusat. Sedangkan besarnya penerimaaan PAD
yang diperoleh tergantung dari kemampuan manajemen pemungutan Pajak
dan Retribusi Daerah.
Dyah Arsih Purwanti (2003) mengadakan Studi mengenai Potensi,
Efisiensi dan Efektivitas Pajak Hotel dan Restoran dalam Upaya Peningkatan
PAD Karanganyar 2003. Diperoleh kesimpulan bahwa pemungutan pajak
hotel dan restoran belum mencapai tingkat efisiensi sebagaimana yang
diharapkan karena pemungutan Pajak Hotel dan Restoran yang belum optimal.
Dan tingkat efektivitas dari kedua potensi Pajak Hotel dan Restoran juga
kurang efektif karena pemerintah daerah setempat belum mengetahui secara
pasti potensi yang ada.
Sedangkan Titik Wijayanti (2004) dalam penelitiannya yang berjudul
Analisis Efektivitas dan Efisiensi Pemungutan Retribusi Daerah Kabupaten
Sukoharjo Periode 1994/1995-1999/2000 menyimpulkan bahwa pemungutan
Retribusi Daerah selama tahun penelitian di Kabupaten Sukoharjo sudah
efektif dan efisien. Namun, perkembangan upaya Retribusi Daerah
menunjukkan kecenderungan perubahan setiap tahun yang bersifat negatif.
Dan elastisitas perubahan penerimaan Retribusi Daerah terhadap PAD secara
kseseluruhan bersifat inelastis.
C. Kerangka Teoritis
Untuk memudahkan menguraikan permasalahan yang akan diteliti maka
diperlukan suatu kerangka pemikiran yang tersusun rapi dan terarah dengan
kerangka pembahasan yang sistematis.
Pelaksanaan Otonomi Daerah merupakan amanat yang terkandung
dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. Berdasarkan Kedua Undang-Undang tersebut
pemerintah mulai mengimplementasikan Otonomi Daerah sejak 1 Januari
2001. Beberapa peraturan pendukung disiapkan untuk menyempurnakan
aturan yang jelas dan terarah tentang Otonomi Daerah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sarana untuk mengukur
kemampuan daerah dalam membiayai aktivitas ekonomi daerah yang
bersangkutan. Pemerintah Daerah diharapkan mampu untuk menggali potensi
yang ada di daerahnya masing-masing dan meningkatkan penerimaan PAD
tanpa mengurangi kualitas pelayanan dan tanpa eksploitasi yang berlebihan
kepada masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang
No. 25 tahun 1999 diketahui sumber-sumber penerimaan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) adalah berasal dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil
Perusahaan Daerah, Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan dan
Sumber penerimaan PAD lain yang sah.
Untuk mengukur kinerja PAD dilakukan penilaian terhadap potensi
PAD dengan berbagai indikator keuangan seperti: efisiensi, efektivitas,
elastisitas, matrik potensi dan kontribusinya terhadap Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD).
Efisiensi merupakan perbandingan antara input yang digunakan dengan
output yang dihasilkan, dalam hal efisiensi PAD maka efisiensi ini
menghitung perbandingan antara biaya pemungutan PAD dan hasil
penerimaan PAD yang diperoleh. Efektivitas PAD merupakan rasio antara
realisasi penerimaan PAD dengan target yang diharapkan, sehingga efektivitas
PAD mengukur sejauh mana kemampuan pemerintah daerah merealisasikan
target penerimaan PAD yang telah direncanakan. Sedangkan elastisitas PAD
merupakan ukuran derajat kepekaan terhadap suatu perubahan dari salah satu
komponen yang mempengaruhinya. Elastisitas PAD dihitung dari
perbandingan antara perubahan penerimaan PAD dengan perubahan Produk
Domestik Regional Bruto sebagai salah satu komponen yang berpengaruh
terhadap penerimaan PAD. Dan tidak ketinggalan pula untuk mengukur
potensi penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah dengan menggunakan Matrik
Potensi PAD dengan mengetahui pertumbuhan dan proporsi ayat Pajak Dan
Retribusi Daerah terlebih dahulu kemudian diklasifikasikan berdasarkan
ketentuan yang telah ditetapkan. Dari beberapa penilaian tersebut dapat
diketahui apakah penerimaan PAD yang diperoleh sudah optimal ataukah
belum.
Berdasarkan penerimaan PAD maka akan dapat diketahui tingkat
ketergantungan daerah tersebut terhadap bantuan dari Pemerintah Pusat.
Penerimaan PAD yang tinggi akan mencerminkan kemandirian daerah dalam
memenuhi kebutuhan keuangan daerahnya. Dengan kemampuan mengelola
keuangan daerah yang baik maka akan dapat menjalankan pembangunan
daerah dengan baik pula.
Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran
Sumber-Sumber Penerimaan PAD: 1. Pajak Daerah
2. Retribusi Daerah 3. Hasil Perusahaan Daerah
4. Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan
5. Sumber penerimaan lain yang sah
Evaluasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Efisiensi PAD Elastisitas PAD
Efektivitas PAD Matrik Potensi PAD
Kontribusi PAD terhadap APBD
Penerimaan PAD Optimal
Dasar Hukum: - Undang-Undang No.22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.
- Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah diganti dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004.
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian dan
manfaat penelitian, maka hipotesis yang dalam penelitian ini adalah:
1. Kabupaten Karanganyar diduga mempunyai tingkat efisiensi, efektivitas,
elastisitas dan Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi baik
sebelum maupun pada saat era Otonomi Daerah yang diuji secara statistik.
2. Pendapatan Asli Daerah (PAD) diduga memberikan kontribusi yang besar
terhadap Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten
Karanganyar yang diuji secara statistik.
3. Tingkat pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten
Karanganyar dari tahun ke tahun diduga mengalami peningkatan dan
prospek pertumbuhan penerimaan PAD selama 5 tahun ke depan juga
meningkat.
4. Diduga tidak ada perbedaan berarti antara tingkat penerimaan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) sebelum dan pada saat Otonomi Daerah di Kabupaten
Karanganyar.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan survey atas data sekunder yang mengambil
lokasi di Kabupaten Karanganyar dengan menggunakan data-data yang telah
diolah dan dikumpulkan oleh suatu instansi pemerintah tertentu, seperti Badan
Pusat Statistik (BPS), Dinas Pendapatan Daerah dan Sekretaris Daerah Bagian
Anggaran/Keuangan. Data yang digunakan meliputi data Karanganyar Dalam
Angka dari tahun anggara 1996/1997 sampai tahun 2005, data Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku dan harga konstan
Kabupaten Karanganyar periode tahun anggaran 1996/1997 sampai dengan
tahun 2005, data Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari tahun anggaran
1996/1997 sampai tahun 2005 dan data Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) tahun anggaran 1996/1997 sampai tahun 2005 dan data dari
sumber-sumber lain yang terkait dan relevan.
B. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan adalah data sekunder yang telah diolah dan
diperoleh dari berbagai sumber yang diambil dari badan/instansi pemerintah
Kabupaten Karanganyar seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Badan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Bagian Anggaran
Sekretaris Daerah dan Dinas Pendapatan Daerah.
C. Definisi Operasional Variabel
Ada beberapa indikator yang digunakan dalam penelitian ini untuk
melihat keuangan daerah. Definisi operasional masing-masing variabel adalah
sebagai berikut:
1. Pajak Daerah
Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau
badan kepala Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat
dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang digunakan untuk membiayai pemerintah daerah dan pembangunan
daerah yang dinyatakan dengan satuan rupiah.
2. Retribusi Daerah
Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembiayaan atas jasa
atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau yang
diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau
badan yang dinyatakan dengan satuan rupiah.
3. Target Pajak/Retribusi Daerah
Target Pajak/Retribusi Daerah adalah angka yang ditentukan oleh
pemerintah daerah sebagai angka yang harus dicapai oleh Pajak/Retribusi
Daerah pada suatu tahun anggaran tertentu yang dinyatakan dengan satuan
rupiah.
4. Realisasi Pajak/Retribusi Daerah
Realisasi Pajak/Retribusi Daerah adalah angka yang didapat setelah
dilakukan pemungutan Pajak/Retribusi Daerah terhadap wajib
Pajak/Retribusi Daerah selama tahun anggaran tertentu yang dinyatakan
dengan satuan rupiah.
5. Biaya Pemungutan/Insentif
Biaya Pemungutan PAD merupakan pengeluaran yang dikeluarkan oleh
Dinas Pendapatan Daerah untuk merealisasikan PAD yang dihitung dalam
satuan rupiah.
Berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 903/2429/SJ perihal
Pedoman Penyususunan APBD Tahun Anggaran 2006 Dan
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2005, biaya
pemungutan hanya dibebankan pada pendapatan pajak daerah.
Sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001
tentang Pajak Daerah Pasal 76 ayat 1 yang telah menegaskan bahwa
dalam rangka kegiatan pemungutan Pajak Daerah dapat diberikan biaya
pemungutan paling tinggi sebesar 5 %.
6. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah nilai dari seluruh
produksi barang dan jasa yang dihasilkan dari berbagai aktivitas ekonomi
dari suatu daerah sendiri dalam suatu kurun waktu satu tahun yang
dihitung dalam satuan rupiah.
7. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang berasal dari
sumber-sumber pendapatan daerah yang terdiri dari Pajak Daerah,
Retribusi Daerah, Bagian Laba Badan Usaha Milik Daerah dan lain-lain
PAD yang sah yang dinyatakan dengan satuan rupiah.
8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana
keuangan tahunan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan ditetapkan
berdasarkan Peraturan Daerah yang berlaku yang dinyatakan dengan
satuan rupiah.
D. Teknik dan Model Analisis Data
1. Analisis Deskriptif
Dengan menggunakan analisis deskriptif diharapkan akan memberikan
gambaran dan informasi yang jelas tentang variabel-variabel yang
digunakan dalam menganalisis kinerja penerimaan Pendapatan Asli
Daerah (PAD).
2. Analisis Kuantitatif
Analisis kuantitatif digunakan untuk mengkaji penerimaan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) Kabupaten Karanganyar.Untuk tujuan tersebut
digunakan beberapa hipotesis seperti yang telah diuraikan diatas dengan
menggunakan beberapa alat analisis berikut:
1) Hipotesis 1
Hipotesis 1 menguji kinerja Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan
menggunakan berbagai rasio, adapun formula yang digunakan
adalah sebagai berikut:
a) Efisiensi = Biaya Pemungutan PAD X 100 % Hasil Penerimaan PAD
Secara statistik diuji dengan uji beda dua means (Djarwanto PS,
1993:211):
(i) Hipotesis Ho : m1 = m2
Jika tidak terdapat perbedaan tingkat efisiensi sebelum dan
pada era Otonomi Daerah
Hipotesis H1 : m1 ¹ m2
Jika terdapat perbedaan berarti mengenai tingkat efisiensi
sebelum dan pada era Otonomi Daerah.
(ii) Menentukan level of Significance (a) = 0,05 dan t (a/2;n-1)
(iii) Kriteria Pengujian
Gambar 3.1 Kurva Distribusi Normal Efisiensi
Jika –ttabel £ thitung £ ttabel, berarti Ho diterima dan H1 ditolak
juga sebaliknya jika thitung > ttabel atau thitung < -ttabel maka Ho
ditolak dan H1 diterima.
(iv) Perhitungan nilai t
`D = S D n SD = S (D - `D)2 n – 1 maka t = `D___ SD / Ön Dimana:
`D = mean dari harga D1 / harga setiap pasang nilai
H0 diterima
H0
ditolak H0
ditolak
t(a/2;n-1)
-t(a/2;n-1)
SD = deviasi standar dari harga-harga D1 / harga perbedaan
setiap pasang nilai
n = banyaknya pasangan nilai
(v) Kesimpulan
Apakah H0 diterima dan H 1 ditolak ataukah sebaliknya Ho
ditolak dan H1 diterima.
b) Efektivitas = Realisasi X 100 % Target
Secara statistik diuji dengan uji beda dua means (Djarwanto PS,
1993:211):
(i) Hipotesis Ho : m1 = m2
Jika tidak terdapat perbedaan tingkat efektivitas sebelum dan
pada era Otonomi Daerah
Hipotesis H1 : m1 ¹ m2
Jika terdapat perbedaan berarti mengenai tingkat efektivitas
sebelum dan pada era Otonomi Daerah.
(ii) Menentukan level of Significance (a) = 0,05 dan t (a/2;n-1)
(iii) Kriteria Pengujian
Gambar 3.2 Kurva Distribusi Normal Efektivitas
H0 diterima
H0
ditolak H0
ditolak
t(a/2;n-1)
-t(a/2;n-1)
Jika –ttabel £ thitung £ ttabel, berarti Ho diterima dan H1 ditolak
juga sebaliknya jika thitung > ttabel atau thitung < -ttabel maka Ho
ditolak dan H1 diterima.
(iv) Perhitungan nilai t
`D = S D n SD = S (D - `D)2 n – 1 maka t = `D___ SD / Ön Dimana:
`D = mean dari harga D1 / harga setiap pasang nilai
SD = deviasi standar dari harga-harga D1 / harga perbedaan
setiap pasang nilai
n = banyaknya pasangan nilai
(v) Kesimpulan
Apakah H0 diterima dan H 1 ditolak ataukah sebaliknya Ho
ditolak dan H1 diterima.
c) Elastisitas = % Penerimaan PAD % PDRB
Secara statistik diuji dengan uji beda dua means (Djarwanto PS,
1993:211):
(i) Hipotesis Ho : m1 = m2
Jika tidak terdapat perbedaan tingkat elastisitas sebelum dan
pada era Otonomi Daerah
Hipotesis H1 : m1 ¹ m2
Jika terdapat perbedaan berarti mengenai tingkat elastisitas
sebelum dan pada era Otonomi Daerah.
(ii) Menentukan level of Significance (a) = 0,05 dan t (a/2;n-1)
(iii) Kriteria Pengujian
Gambar 3.3 Kurva Distribusi Normal Elastisitas
Jika –ttabel £ thitung £ ttabel, berarti Ho diterima dan H1 ditolak
juga sebaliknya jika thitung > ttabel atau thitung < -ttabel maka Ho
ditolak dan H1 diterima.
(iv) Perhitungan nilai t
`D = S D n SD = S (D - `D)2 n – 1 maka t = `D___ SD / Ön Dimana:
`D = mean dari harga D1 / harga setiap pasang nilai
SD = deviasi standar dari harga-harga D1 / harga perbedaan
setiap pasang nilai
n = banyaknya pasangan nilai
H0 diterima
H0
ditolak H0
ditolak
t(a/2;n-1)
-t(a/2;n-1)
(v) Kesimpulan
Apakah H0 diterima dan H 1 ditolak ataukah sebaliknya Ho
ditolak dan H1 diterima.
d) Matrik Potensi PAD
Untuk melihat potensi PAD dengan Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah dapat dilihat pada matrik potensi PAD dengan
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai berikut :
Tabel 3.1 Matrik Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Proporsi
Pertumbuhan 1
rata21 >
X 1
rata21 <
X
11 >DD
totalXX
Prima Berkembang
11 <DD
totalXX
Potensial Terbelakang
Catatan: X1 : Nilai Pajak dan Retribusi Daerah X : Jumlah Total Pajak dan Retribusi Daerah D : Pertumbuhan Sumber: Wihana kirana dalam Dirjen PUOD. (1997/1999). Modul Manajemen Madya: Penataran Manajemen Sektor Ekonomi Strategis. Yogyakarta: P3EB-UGM, hal 29.
Hasil perhitungan Matrik Potensi PAD akan dikelompokkan
berdasarkan kategori sebagai berikut:
1) Prima, yaitu apabila Pajak/Retribusi Daerah tersebut
mempunyai rasio tingkat pertumbuhan terhadap pertumbuhan
total Pajak/Retribusi Daerah dan rasio proporsi nilai
Pajak/Retribusi Daerah terhadap rata-ratanya yang lebih besar
dari satu.
2) Berkembang, yaitu apabila Pajak/Retribusi Daerah mempunyai
rasio tingkat pertumbuhan terhadap total Pajak/Retribusi
Daerah lebih besar dari satu dan mempunyaio proporsi nilai
Pajak/Retribusi Daerah terhadap rata-ratanya kurang dari satu.
3) Potensial, yaitu manakala Pajak/Retribusi Daerah tersebut
mempunyai rasio tingkat pertumbuhan terhadap pertumbuhan
total Pajak/Retribusi Daerah yang kurang dari satu dan
memiliki rasio proporsi nilai Pajak/Retribusi Daerah terhadap
rata-ratanya yang lebih besar dari satu.
4) Terbelakang apabila Pajak/Retribusi Daerah mempunyai rasio
tingkat pertumbuhan terhadap pertumbuhan total
Pajak/Retribusi Daerah dan proporsi nilai Pajak/Retribusi
Daerah terhadap rata-ratanya kurang dari satu atau bernilai
negatif.
2) Hipotesis 2
Hipotesis 2 yaitu menguji kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD)
terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan
menggunakan formula berikut:
Rasio kontribusi PAD terhadap APBD = %PAD x 100% % APBD
Diuji secara statistik dengan menggunakan uji beda dua means
(Djarwanto PS, 1993:211):
(i) Hipotesis Ho : m1 = m2
Jika tidak terdapat perbedaan tingkat kontribusi PAD sebelum
dan pada era Otonomi Daerah
Hipotesis H1 : m1 ¹ m2
Jika terdapat perbedaan berarti mengenai tingkat kontribusi PAD
sebelum dan pada era Otonomi Daerah.
(ii) Menentukan level of Significance (a) = 0,05 dan t (a/2;n-1)
(iii) Kriteria Pengujian
Gambar 3.4 Kurva Distribusi Normal Kontribusi
Jika –ttabel £ thitung £ ttabel, berarti Ho diterima dan H1 ditolak juga
sebaliknya jika thitung > ttabel atau thitung < -ttabel maka Ho ditolak dan
H1 diterima.
(iv) Perhitungan nilai t
`D = S D n SD = S (D - `D)2 n – 1 maka t = `D___ SD / Ön Dimana:
`D = mean dari harga D1 / harga setiap pasang nilai
H0 diterima
H0
ditolak H0
ditolak
t(a/2;n-1)
-t(a/2;n-1)
SD = deviasi standar dari harga-harga D1 / harga perbedaan
setiap pasang nilai
n = banyaknya pasangan nilai
(v) Kesimpulan
Apakah H0 diterima dan H 1 ditolak ataukah sebaliknya Ho
ditolak dan H1 diterima.
3) Hipotesis 3
Sedangkan untuk menguji hipotesis 3 yaitu menghitung pertumbuhan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) setiap tahun digunakan formula
berikut :
G =Xit – Xit-1 X 100 % Xit-1
Dimana, G = Growth (Pertumbuhan)
Xit = data PAD pada tahun ke-i
Xit-1 = data PAD pada tahun sebelumnya
Secara statistik diuji dengan menggunakan uji beda dua means
(Djarwanto PS, 1993:211):
(i) Hipotesis Ho : m1 = m2
Jika tidak terdapat perbedaan tingkat pertumbuhan PAD sebelum
dan pada era Otonomi Daerah
Hipotesis H1 : m1 ¹ m2
Jika terdapat perbedaan berarti mengenai tingkat pertumbuhan
PAD sebelum dan pada era Otonomi Daerah.
(ii) Menentukan level of Significance (a) = 0,05 dan t (a/2;n-1)
(iii) Kriteria Pengujian
Gambar 3.5 Kurva Distribusi Normal Pertumbuhan
Jika –ttabel £ thitung £ ttabel, berarti Ho diterima dan H1 ditolak juga
sebaliknya jika thitung > ttabel atau thitung < -ttabel maka Ho ditolak dan
H1 diterima.
(iv) Perhitungan nilai t
`D = S D n SD = S (D - `D)2 n – 1 maka t = `D___ SD / Ön Dimana:
`D = mean dari harga D1 / harga setiap pasang nilai
SD = deviasi standar dari harga-harga D1 / harga perbedaan
setiap pasang nilai
n = banyaknya pasangan nilai
(v) Kesimpulan
Apakah H0 diterima dan H 1 ditolak ataukah sebaliknya Ho
ditolak dan H1 diterima.
H0 diterima
H0
ditolak H0
ditolak
t(a/2;n-1)
-t(a/2;n-1)
Sedangkan untuk menghitung prospek penerimaan PAD 5 tahun
mendatang dengan menggunakan analisis trend linier dengan metode
least square:
Y = a + b X
Dimana: Y = Jumlah Penerimaan PAD
a = Jumlah PAD
b = Koefisien Trend Linier
X = Besarnya perubahan variabel Y yang terjadi pada
setiap perubahan unit perubahan variabel X.
4) Hipotesis 4
Hipotesis ini menguji apakah ada perbedaan yang berarti antara
tingkat penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebelum Otonomi
Daerah dan pada saat Otonomi Daerah dilaksanakan.
Untuk dapat mengetahuinya digunakan analisis Uji Hipotesis Beda
Dua Means (Djarwanto PS, 1993:211)
(i) Hipotesis Ho : m1 = m2
Jika tidak terdapat perbedaan tingkat penerimaan PAD sebelum
dan pada era Otonomi Daerah.
Hipotesis H1 : m1 ¹ m2
Jika terdapat perbedaan berarti mengenai tingkat penerimaan PAD
sebelum dan pada era Otonomi Daerah.
(ii) Menentukan level of Significance (a) = 0,05 dan t (a/2;n-1)
(iii) Kriteria Pengujian
Gambar 3.6 Kurva Distribusi Normal
Jika –ttabel £ thitung £ ttabel, berarti Ho diterima dan H1 ditolak juga
sebaliknya jika thitung > ttabel atau thitung < -ttabel maka Ho ditolak dan
H1 diterima.
(iv) Perhitungan nilai t
`D = S D n SD = S (D - `D)2 n – 1 maka t = `D___ SD / Ön Dimana:
`D = mean dari harga D1 / harga setiap pasang nilai
SD = deviasi standar dari harga-harga D1 / harga perbedaan
setiap pasang nilai
n = banyaknya pasangan nilai
v) Kesimpulan
Apakah H0 diterima dan H 1 ditolak ataukah sebaliknya Ho ditolak
dan H1 diterima.
H0 diterima
H0
ditolak H0
ditolak
t(a/2;n-1)
-t(a/2;n-1)
Dengan beberapa alat uji tersebut diharapkan dapat menjawab
berbagai permasalahan yang diuraikan dalam penelitian ini, termasuk
dalam memberikan jawaban terhadap hipotesis yang telah dirumuskan.
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Obyek Penelitian
Kabupaten Karanganyar merupakan bagian dari Eks-Karisidenan
Surakarta atau yang sekarang lebih dikenal sebagai kawasan pembangunan
SUBOSUKAWONOSRATEN. Nama ini merupakan istilah singkatan dari 1
kota dan 6 kabupaten di kawasan tersebut, Kota Surakarta, Kabupaten
Boyolali, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten
Wonogiri, Kabupaten Sragen dan Kabupaten Klaten. Berikut gambaran
singkat tentang Kabupaten Karanganyar:
1. Keadaan Geografis
Kabupaten Karanganyar merupakan salah satu kabupaten di Propinsi
Jawa Tengah yang terletak di ketinggian rata-rata 511 meter di atas
permukaan laut yang beriklim tropis dengan temperatur 22° – 31° Celcius
dengan luas wilayah 77.378,6374 Ha.
Wilayah Kabupaten Karanganyar berbatasan langsung dengan
Propinsi Jawa Timur di sebelah timur, sebelah selatan berbatasan dengan
Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Wonogiri, berbatasan dengan Kota
Surakarta dan Kabupaten Boyolali di sebelah barat, serta berbatasan
dengan Kabupaten Sragen di sebelah utara.
Berdasarkan pembagian wilayah administrasi, Kabupaten
Karanganyar terdiri dari 17 Kecamatan yang meliputi 15 kalurahan dan
162 desa. Klasifikasi desa pada tahun 2004 terdiri dari 14 desa/kalurahan
swadaya, 125 desa/kalurahan swakarya dan 38 desa/kalurahan
swasembada.
2. Keadaan Penduduk
Jumlah penduduk di Kabupaten Karanganyar berdasarkan regristrasi
tahun 2004 sebanyak 830.640 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki
sebanyak 410.985 orang dan 419.655 orang penduduk perempuan.
Dibandingkan tahun sebelumnya laju pertumbuhan penduduk mengalami
pertumbuhan sebesar 0,90 %. Dengan kepadatan penduduk mencapai
1.073 jiwa/km2.
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kabupaten Karanganyar menurut Jenis Kelamin dan Kecamatan Tahun 2004
Bagian PAD 6.030.943.089 7.086.940.570 8.021.252.027 9.418.350.336 9.095.283.164
Bagian Bagi
Hasil Pajak/
Bukan Pajak
4.414.217.871 4.768.967.094 - - -
Bagian
Sumbangan
dan Bantuan
18.767.576.327 25.988.560.002 - - -
Bagian
Penerimaan
Pembangunan
390.097.941 720.890.603 - - -
Bagian
Pendapatan
Imbangan
- - 57.437.767.468 78.200.387.080 71.938.376.684
Catatan: Pada tahun anggaran 1998/1999 Penerimaan dari Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak, Bagian Sumbangan dan Bantuan serta Bagian Penerimaan Pembangunan dijadikan satu pos menjadi pos Bagian Pendapatan Imbangan yang berasal dari Pemberian dan atau Instansi yang lebih tinggi.
Sumber: Data Sekunder Sekretaris Daerah Bagian Anggaran Diolah
Penerimaan Anggaran Pendapatan Daerah terbesar diperoleh
dari Bagian Dana Perimbangan, hal itu membuktikan bahwa peran
PAD belum memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan
daerah. Hal itu semakin diperkuat dengan penerimaan PAD yang juga
masih dibawah penerimaan Bagian Sumbangan dan Bantuan. Dari
tabel diatas dapat diketahui bahwa penerimaan di tiap pos penerimaan
Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan.
Saat era otda komponen pendapatan daerah berbeda dengan saat
sebelum otda. Penerimaan dari bagian sumbangan dan bantuan
dihilangkan. Komponen yang lain merupakan penggabungan dari
penyusun komponen sebelumnya.
Tabel 4.13 Realisasi Penerimaan Anggaran Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar Pada Era OTDA (dalam rupiah)
Sumber: Perhitungan Trend Data Sekunder Dinas Pendapatan Diolah.
Dari hasil analisis prospek penerimaan PAD 5 tahun mendatang
diperkirakan bahwa penerimaan PAD terus mengalami peningkatan
dan pertumbuhan setiap tahunnya positif dengan pertumbuhan
tertinggi sebesar 9,44 % dan pertumbuhan terendah 1,57 %.
d. Hipotesis 4: Uji Analisis Beda Dua Mean Penerimaan PAD
sebelum dan Pada Era Otonomi Daerah
Penerimaaan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Karanganyar
dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan yang mengalami
peningkatan. Akan tetapi, untuk mengetahui rata-rata penerimaan
PAD sebelum OTDA dan pada saat pelaksanaan OTDA dapat di
analisis dengan menggunakan uji analisis Beda Dua Mean. Dari
analisis ini akan diketahui apakah ada perbedaan berarti penerimaan
PAD antara era sebelum OTDA dan pada saat pelaksanaan OTDA.
Berdasarkan analisis Uji Beda Dua Mean yang dilakukan
diperoleh hasil bahwa nilai thitung yaitu sebesar -6,92. Maka H0 ditolak
karena thitung -6,92 < -ttabel -2,776. Maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan berarti antara penerimaan PAD sebelum Otonomi
Daerah dan pada era Otonomi Daerah.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada Bab terakhir, akan disajikan ringkasan dari uraian penelitian yang telah
dilakukan. Selain kesimpulan, penulis akan mengajukan beberapa saran untuk
masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar terkait dengan
kebijakan dalam penggalian potensi penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
pada saat sebelum Otonomi Daerah (1996/1997) dan pada era Otonomi Daerah
(2001-2005).
A. Kesimpulan
Dari hasil analisis pembahasan dan uji hipotesis yang telah dilakukan
terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Karanganyar,
baik pada saat sebelum melaksanakan Otonomi Daerah (OTDA) maupun pada
saat diberlakukannya Otonomi Daerah dapat diperoleh berbagai kesimpulan
sebagai berikut:
Tabel 5.1 Tabel Kesimpulan Analisis Penerimaan PAD Kabupaten Karanganyar Sebelum Otonomi Daerah (1996/1997-2000) dan Pada Era Otonomi Daerah (2001-2005)
Penerimaan PAD Rupiah 7.943.153.837,2 25.566.185.748,0
Sumber : Data Dinas Pendapatan diolah
1. Evaluasi penerimaan PAD Kabupaten Karanganyar dapat dilihat dari
penilaian rasio-rasio efisiensi, efektivitas, elastisitas dan matrik potensi
PAD serta melihat kontribusinya terhadap Anggaran Pendapatan Daerah.
a. Pada tahun penelitan sebelum Otonomi Daerah (1996/1997-2000)
rata-rata efisiensinya sebesar 1,88 %, lebih baik dari pada saat
pelaksanaan Otonomi Daerah (2001-2005) dimana tingkat rata-rata
efisiensinya sebesar 2,18 %. Jadi dapat disimpulkan bahwa efisiensi
penerimaan PAD sebelum OTDA lebih baik dari pada saat OTDA.
Sehingga dapat dikatakan pada saat OTDA, Pemerintah Daerah
Kabupaten Karanganyar belum mampu meningkatkan efisiensinya
dengan biaya pemungutan yang sama untuk meningkatkan penerimaan
PAD.
b. Rata-rata efektivitas PAD Kabupaten Karanganyar pada saat sebelum
OTDA lebih rendah dari pada saat sudah ditetapkan OTDA. Sebelum
OTDA rata-rata efektivitas PAD hanya sebesar 104,85 %, sedangkan
pada saat OTDA mencapai 107,97 %. Sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa setelah diberlakukannya OTDA Pemerintah Daerah
Kabupaten Karanganyar mampu meningkatkan efektivitas penerimaan
PAD.
c. Dari hasil penelitian diperoleh rata-rata elastisitas PAD ADHB
sebelum OTDA yaitu hanya sebesar 1,182 lebih kecil bila
dibandingkan dengan rata-rata elastisitas PAD setelah OTDA
ditetapkan yang mencapai 6,009. Sedangkan elastisitas PAD ADHK
sebelum OTDA hanya sebesar 1,673 yang sangat kecil dibandingkan
pada era OTDA yang mencapai 19,43.
d. Dari hasil perhitungan matrik potensi PAD terhadap Pajak dan
Retribusi Daerah baik sebelum maupun saat Otonomi Daerah dapat
diketahui bahwa sebagian besar ayat Pajak dan Retribusi Daerah di
Kategori potensial, dan sisanya termasuk dalam kategori terbelakang.
Tidak ada Pajak Daerah yang termasuk dalam kategori berkembang
baik sebelum otda maupun pada era otda, dan hanya Retribusi
Tebasan Hasil Bumi yang termasuk dalam kategori berkembang saat
sebelum otda ditetapkan, sementara pada era otda tidak ada ayat
Retribusi Daerah yang tergolong dalam kategori berkembang.
Sedangkan yang tergolong dalam kategori prima yaitu Pajak Hotel dan
Restoran Sebelum Otonomi Daerah. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa dengan Otonomi Daerah belum mampu menggeser beberapa
ayat Pajak/Retribusi Daerah ketingkat pertumbuhan maupun proporsi
yang lebih baik.
2. Kontribusi PAD terhadap penerimaan Anggaran Pendapatan pada saat
sebelum OTDA sebesar 14,09 %, dua kali lebih besar dari pada saat
pelaksanaan OTDA yang hanya 7,59 %. Jadi disimpulkan bahwa
pelaksanaan OTDA belum mampu meningkatkan potensi penerimaan
PAD karena kontribusi yang diberikan terhadap Pendapatan Daerah masih
sangat kecil. Hal ini dikarenakan tingginya bagian perimbangan dari
Pemerintah Pusat.
3. Pertumbuhan PAD selama 10 tahun penelitian (1996/1997-2005)
mengalami pertumbuhan positif kecuali tahun 2000 yang mengalami
pertumbuhan negatif, hal ini dikarenakan proses transformasi dari era
sebelum OTDA ke era pelaksanaan OTDA. Prospek penerimaan PAD
selama 5 tahun mendatang juga menunjukkan kecenderungan yang
meningkat dan pertumbuhan yang positif.
4. Berdasarkan analisis Hipotesis Uji Beda Dua mean dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan yang berarti antara penerimaan sebelum dan
saat era Otonomi Daerah. Hal ini disebabkan penerimaan PAD saat era
Otonomi Daerah cukup tinggi.
Secara Umum dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah
masih belum memberikan perubahan berarti dari era sebelumnya. Hal ini
dapat terlihat dari kinerja PAD yang masih belum memberikan kontribusi
besar terhadap Pendapatan Daerah, atau dapat dikatakan bahwa
ketergantungan Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar masih tinggi. Hal
ini dapat disebabkan karena kurangnya kesiapan Pemerintah Darah Kabupaten
Karanganyar dalam menghadapi era Otonomi Daerah.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dan dalam rangka
meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Karanganyar,
maka penulis merekomendasikan beberapa langkah strategis dalam upaya
intensifikasi dan ekstensifikasi PAD Kabupaten Karanganyar. Saran tersebut
antara lain:
1. Membuat peraturan-peraturan pendukung seperti Peraturan Daerah (Perda)
yang dapat menopang Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33
Tahun 2004. Perda ini sangat diperlukan dalam rangka mendukung
pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Karanganyar, karena Perda
akan dibuat berdasarkan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah
tersebut.
2. Mengoptimalkan potensi daerah dengan menggali potensi-potensi yang
selama ini belum/kurang diberdayakan sehingga peluang baru untuk
sumber penerimaan baru dapat dicari, asalkan tidak mengekploitasi
masyarakat dengan sosialisasi yang cukup. Hal ini juga bisa dilakukan
dengan mengoptimalkan peran BUMD yang masih sangat potensial untuk
dikembangkan untuk meningkatkan penerimaan daerah.
3. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia Pengelola PAD dengan
mengadakan seminar, pelatihan dan training, seperti seminar tentang GCG
(Good Corporate Governance), training Pengeloaan Keuangan Daerah
maupun training ESQ (Emotional Spiritual Quotient). Pelatihan ini juga
akan berguna untuk mengurangi pelanggaran dan penyelewengan dalam
pengelolaan PAD. Untuk memenuhi kebutuhan SDM yang berkualitas
dapat dilakukan dengan seleksi yang ketat dalam perekrutan pegawai baru
sesuai dengan kapabilitasnya.
4. Mengevaluasi penerimaan PAD setiap tahunnya agar dapat diketahui
perkembangan PAD pada tahun itu dan untuk merencanakan langkah-
langkah stratejik untuk meningkatkan penerimaan PAD ke depannya.
5. Mengembangkan strategi kemampuan keuangan daerah yang baru,
misalkan melalui perintisan bentuk kerjasama baru baik dengan
pemerintah maupun dengan badan swasta (domestik maupun asing)
sehingga dapat menjadi alternatif sumber PAD yang lebih prospektif dan
dinamis variatif. Kerjasama ekonomi tersebut bisa jadi mengarah pada
bentuk kontrak-kontrak usaha bersama yang saling menguntungkan.
Dalam rangka mewujudkan tujuan Otonomi Daerah dan mendukung
pelaksanaan Otonomi Daerah yang efektif, diperlukan kelembagaan yang
demokratis, efisiensi pengelolaan sumber daya, aparatur yang berkualitas,
potensi ekonomi daerah yang dapat digerakkan sebagai sumber pendapatan
daerah, dan pemberian insentif fiskal/non fiskal guna menciptakan iklim usaha
yang kondusif bagi para pelaku ekonomi (BUMN, BUMD, Koperasi, dan
Swasta) serta pengaturan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah yang adil dan proporsional.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim. 2001. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Edisi
Revisi. Yogyakarta: AMP YKPN. Abdullah, Piter; Armida S. Alisjahbana; Nury Effendi; dan Boediono. 2002. Daya
Saing Daerah: Konsep dan Pengukurannya di Indonesia. Edisi pertama, cetakan pertama. Yogyakarta: BPFE UGM.
Anita Widyaningrum. 2004. Analisis Realisasi dan Prospek Pendapatan Asli Daerah Surakarta. Skripsi Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi UNS. Tidak dipublikasikan.
BAPPEDA-BPS Kabupaten Karanganyar. (Beberapa Terbitan). Karanganyar Dalam Angka. Karanganyar: BAPPEDA-BPS Kabupaten Karanganyar.
BAPPEDA-BPS Kabupaten Karanganyar. (Beberapa Terbitan). Pendapatan Regional Domestik Bruto Karanganyar. Karanganyar: BAPPEDA-BPS Kabupaten Karanganyar.
Dhinaryati. 2003. Analisis Efektivitas dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah Kota Surakarta. Skripsi Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi UNS. Tidak dipublikasikan.
Djarwanto, P S. 1998. Statistik Induktif. Edisi Keempat. Yogyakarta: BPFE-Universitas Gajah Mada.
Dyah Arsih Purwanti. 2003. Studi mengenai Potensi, Efisiensi dan Efektitivitas
Pajak Hotel dan Restoran dalam Upaya Peningkatan PAD Karanganyar Tahun 2003. Skripsi Mahasiswa Fakultas Ekonomi UNS. Tidak dipublikasikan.
Erlita Dewi. 2003. Identifikasi Sumber Pendapatan Asli Daerah dalam rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah. Skripsi Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Uneversitas Sumatera Utara.
Made Suwandi. 2000. Isu-isu Strategis Penataan Otonomi Daerah.
(Disampaikan dalam Lokakarya Agenda pemukiman dan Pengembangan Wilayah Indonesia 2000-2005)
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta:
Penerbit ANDI.
Mubyarto. 2001. Prospek Otonomi Daerah dan perekonomian Indonesia Pasca Krisis Ekonomi. Yogayakarta: BPFE UGM.
Mudrajad Kuncoro. 2000. Ekonomi Pembangunan : Teori, Masalah dan
Kebijakan. Jakarta: LP3ES. Mulyanto. 2003. Identifikasi dan Analisis Sektor Ekonomi Unggulan di
Kawasan Subosukawonosraten Propinsi Jawa Tengah. Usul Penelitian Dosen Muda. Surakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret.
M. Suparmoko. 1992. Keuangan Daerah dalam Teori dan Praktek. Edisi
Keempat, Cetakan Ketiga. Yogyakarta:PFE UGM. Raksaka Mahi. 2005. Peran Pendapatan Asli Darah di Era Otonomi. Jurnal
Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Volume VI. Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. ________________. Peraturan Pemerintah No. 106 Tahun 2000 tentang
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
________________. Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan
Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839).
. Undang-Undang No. 25/1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848).
. Undang-Undang No. 32/2004 tentang Pemerintah
Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437).
. Undang-Undang No. 34/2000 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 No. 246, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4048).
Rina Ika Sari. 2004. Analisis Pelaksanaan Otonomi Daerah Ditinjau dari
Aspek Keuangan Daerah. Skripsi Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi UNS. Tidak dipublikasikan.
Riwu Kaho, Yosef. 1985. Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di
Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
_______________. 1991. Otonomi Daerah dan Titik Beratnya di Letakkan Pada Daerah Tingkat II. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Karanganyar. APBD Kabupaten
Karanganyar Tahun Anggaran 1996/1997 sampai dengan Tahun 2005. Titik Wijayanti. 2004. Analisis Efektifitas dan Efisiensi Pemungutan Retribusi
Daerah Kabupaten Sukoharjo Periode 1994/1995 – 1999/2000. Skripsi Mahasiswa Ekonomi Pembanunan UNS. Tidak dipublikasikan.
Todaro, M. P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Ketujuh.
Jakarta: Erlangga. Yunastiti Purwaningsih. 2003. Buku Pedoman Penulisan Skripsi. Surakarta:
Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret. Yuswandi A Tumenggung dan Ahmad Kamil. 2001. Pemanfaatan Data Spasial
Sosial Ekonomi dalam rangka Mendukung Otonomi Daerah.
Ayat Retribusi 1996 1997 1998 1999 2000 Rerata R. Leges Potensial Potensial Terbelakang - - Potensial R. Uang Dispensasi Jalan Potensial Potensial - - - Potensial R. Uang Parkir Kendaraan Potensial Potensial Terbelakang Terbelakang Terbelakang Terbelakang R. Uang Penambangan Potensial Potensial Potensial - - Potensial R. Uang Pemeriksaan Pembantaian
R. Uang Pengujian Kentator Potensial Potensial - - - Potensial R. Terminal Potensial Potensial Potensial Potensial Terbelakang Potensial R. Pelayanan Kesehatan Terbelakang Terbelakang Potensial Potensial Potensial Potensial R. Tempat Rekreasi dan Olah Raga
R. Pasar Terbelakang Terbelakang Potensial Potensial Potensial Potensial R. Ricemills Potensial Potensial Terbelakang - - Potensial R. Pendaftaran Perush. Angkutan
Potensial Potensial - - - Potensial
R. Pendaftaran Kelahiran Potensial Potensial Terbelakang - - Potensial R. Pemeriksaan Calon Pengantin
Potensial Potensial Terbelakang - - Potensial
R. Tebasan Hasil Bumi Berkembang Berkembang Terbelakang - - Berkembang R. Kebersihan Potensial Potensial Terbelakang Terbelakang Terbelakang Terbelakang R. Cetak Kartu Keluarga Dan KTP
R. Ijin HO Terbelakang Terbelakang Potensial Terbelakang Potensial Terbelakang R. IPAIR Potensial Potensial - Potensial Potensial R. Ijin Tempat Pemakaman Terbelakang Terbelakang Potensial Potensial Potensial Potensial R. Penyebrangan Jalan di Atas Air