URGENSI EKSAMINASI PUBLIK TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN GUNA MEWUJUDKAN PERADILAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA Zulkarnain . Abstrak: Penegakan hukum memiliki tujuan utama untuk memberikan keadilan kepada masyarakat, namun tidak jarang putusan pengadilan mengandung banyak kontroversi dan menyimpang jauh dari rasa keadilan. Oleh karena itu, maka terhadapnya perlu dilakukan eksaminasi untuk mengetahui kesalahan dan kebenaran secara formal atau materiil dari putusan tersebut. Eksaminasi tersebut bisa dilakukan secara internal examination atau bisa juga lewat partisipasi publik melalui eksaminasi yang bersifat external/public examination. Eksaminasi Publik yang menguji kebenaran putusan pengadilan yang inkracht van gewisjde secara akademik-ilmiah merupakan hal yang sangat urgen dalam mewujudkan lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa. Sifatnya yang eksternal, menjadikan eksaminasi publik lebih terjamin netralitas dan keluhurannya dalam menunjang tegaknya supremasi hukum yang berkeadilan. Kata-kata kunci: putusan pengadilan, eksaminasi publik, peradilan berwibawa Pada akhir tahun 2002, perdebatan mengenai eksaminasi publik menjadi marak setelah Indonesia Corruption Watch (ICW) memfasilitasi kalangan Perguruan Tinggi untuk melembagakan eksaminasi yang dilakukan oleh publik ini. Hal itu tidak lepas dari prihatinnya kalangan Perguruan Tinggi dan masyarakat . Zulkarnain adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang dan Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Brawijaya 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Abstrak: Penegakan hukum memiliki tujuan utama untukmemberikan keadilan kepada masyarakat, namun tidakjarang putusan pengadilan mengandung banyak kontroversidan menyimpang jauh dari rasa keadilan. Oleh karenaitu, maka terhadapnya perlu dilakukan eksaminasi untukmengetahui kesalahan dan kebenaran secara formal ataumateriil dari putusan tersebut. Eksaminasi tersebutbisa dilakukan secara internal examination atau bisa jugalewat partisipasi publik melalui eksaminasi yangbersifat external/public examination. Eksaminasi Publik yangmenguji kebenaran putusan pengadilan yang inkracht vangewisjde secara akademik-ilmiah merupakan hal yang sangaturgen dalam mewujudkan lembaga peradilan yang bersihdan berwibawa. Sifatnya yang eksternal, menjadikaneksaminasi publik lebih terjamin netralitas dankeluhurannya dalam menunjang tegaknya supremasi hukumyang berkeadilan.
Pada akhir tahun 2002, perdebatan mengenai eksaminasi publik
menjadi marak setelah Indonesia Corruption Watch (ICW)
memfasilitasi kalangan Perguruan Tinggi untuk melembagakan
eksaminasi yang dilakukan oleh publik ini. Hal itu tidak lepas
dari prihatinnya kalangan Perguruan Tinggi dan masyarakat
. Zulkarnain adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang dan MahasiswaProgram Pascasarjana Universitas Brawijaya
1
terhadap banyaknya putusan pengadilan yang kian menjauhkan
diri dari rasa keadilan. Di Malang yang juga difasilitasi oleh
ICW sudah dibentuk Lembaga Eksaminasi Publik yang
merepresentasikan perwakilan dari beberapa Perguruan Tinggi di
Jawa Timur.
Namun kehadiran Lembaga Eksaminasi Publik yang tergolong
baru tersebut masih belum teruji kiprah dan perannya untuk
ikut mewujudkan peradilan yang bersih dan berwibawa. Selain
itu, belum bisa dikonklusikan bagaimana respon dari pihak
yudikatif terhadap keberadaan lembaga yang notabene mengontrol
diri dan lembaganya. Oleh karena itu keberadaan Lembaga
Eksaminasi Publik perlu dikaji dan dievaluasi terus menerus
sebagai bentuk support dalam mewujudkan cita-cita luhur
tersebut. Kajian secara mendalam terhadap keberadaan
eksaminasi publik ini pun masih langka (jika tidak mau
dikatakan tidak ada).
Sudah menjadi communis opinio, bahwa lembaga pengadilan
(rechtank atau court) dan peradilan (rechtspraak atau judiciary) di
Indonesia mulai dari tingkat pertama atau Pengadilan Negeri
(judex factie) sampai pada lembaga peradilan tingkat Mahkamah
Agung (judex jurist) sarat dengan penyimpangan-penyimpangan yang
secara akademis-ilmiah dan konstitusional bertentangan dengan
nurani hukum. Peradilan di sini adalah yang digunakan untuk
menunjuk pada fungsi, proses atau cara memberikan keadilan
seperti dilakukan oleh pengadilan, sehingga karena itu
pengertian pengadilan mencakup pengertian peradilan (Marbun,
1987: 38-39). Kondisi tersebut jelas terbukti dengan
2
banyaknya praktek peradilan yang secara kasat mata ditunjukkan
oleh para penegak hukum itu sendiri.
Banyaknya putusan pengadilan yang kontroversial dan
menyimpang dari substansi hukum telah memporak-porandakan
sistem hukum yang ada di negara hukum Indonesia ini. Seperti
yang dikemukakan Marbun (1997: 9) manakala negara hukum
diibaratkan sebatang pohon nan rindang dan indah, maka
pengadilan adalah akarnya. Akar itulah yang menopang bagi
tegak dan tumbuh suburnya pohon negara hukum. Jika pengadilan
sebagai pilar utama dari sistem hukum rapuh, maka tumbanglah
pohon negara hukum itu.
Putusan pengadilan yang kontroversial tidak lepas dari
adanya praktek-praktek ‘jahat’ dari penegak hukum yang justru
lebih jahat dari kejahatan yang diadili. Persoalan tersebut
menjadi sangat kompleks ketika begitu banyak aspek-aspek non-
yuridis yang dimasukkan pada proses peradilan dengan cara
memasukkan variabel status sosial, kemampuan ekonomi, visi
politik dan variabel yang lain dengan tujuan untuk melakukan
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme atau tujuan lain yang
bertentangan dengan hukum. Sehingga hal tersebut mengkaburkan
makna hukum yang semestinya mengedepankan keadilan bagi semua
(justice for all).
Dari hasil penelitian Tim ICW (2002: 117) menyimpulkan:
“Maraknya korupsi di peradilan pidana, mulai dari tahappenyelidikan sampai eksekusi menunjukkan bahwa institusiperadilan masih belum berubah. Reformasi yang salah satuamanatnya adalah pembersihan Korupsi, Kolusi danNepotisme, tidak mendapat sambutan di lingkunganperadilan. Karenanya wajar apabila dikatakan bahwa
3
peradilan pidana tidak disebut dengan integrated criminal justicesystem akan tetapi integrated corruption system. Apabiladiterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, bukanlah sistemperadilan pidana terpadu melainkan sistem korupsiterpadu.”
Tentu saja suatu proses penegakan hukum yang tidak benar
pasti akan menghasilkan produk hukum yang juga tidak benar.
Proses peradilan yang tidak dilakukan secara baik dan benar
akan melahirkan keputusan yang tidak benar pula baik secara
prosedural maupun secara substantif.
Namun celakanya, apapun kesalahan dan keburukan dari
putusan pengadilan yang sudah ditetapkan, haruslah dianggap
benar kendatipun secara formal dan materiil putusan tersebut
sangat bertentangan dengan undang-undang. Asas hukum res judicata
pro veritate habetur, yang memiliki maksud bahwa suatu putusan
pengadilan haruslah dianggap benar sampai ada putusan
pengadilan yang lebih tinggi menyatakan putusan tersebut
salah. Artinya, buruknya suatu putusan pengadilan harus
diterima sebagai kenyataan hukum yang absah.
Eksistensi Lembaga Eksaminasi
Dalam proses penegakan hukum di lembaga peradilan, ada
banyak tingkatan pengadilan, yaitu mulai dari pengadilan
tingkat pertama (Pengadilan Negeri), pengadilan tingkat
banding (Pengadilan Tinggi), dan pengadilan tingkat kasasi
(Mahkamah Agung), bahkan masih ada proses Peninjauan Kembali
apabila putusan kasasi Mahkamah Agung dipandang ada
kekurangan. Namun tidak jarang putusan pengadilan yang sudah
4
memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde) yang masih
jauh dari rasa keadilan. Sehingga masih diperlukan upaya
lanjut yang berupa pengujian atau eksaminasi terhadap putusan
pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap
tersebut.
Eksaminasi berasal dari bahasa Inggris examination yang
berarti ujian atau pemeriksaan. Apabila dihubungkan dengan
konteks eksaminasi terhadap produk peradilan (putusan
pengadilan), maka eksaminasi berarti melakukan pengujian atau
pemeriksaan terhadap produk-produk tersebut. Eksaminasi sering
juga disebut dengan legal annotation yaitu pemberian catatan-
catatan hukum terhadap putusan pengadilan maupun dakwaan
jaksa, yang pada dasarnya prosesnya hampir sama dengan
eksaminasi (Anonim, 2002:10). Sedangkan Lembaga Eksaminasi
Publik adalah lembaga baru yang berkembang di kalangan
masyarakat Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat
sebagai bentuk partisipasi publik dalam turut mewujudkan
peradilan yang bersih dan berwibawa.
Putusan-putusan pengadilan yang dieksaminasi atau diuji
adalah putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum
tetap (inkracht van gewisjde) yang dianggap mengandung; (1)
kontroversi, (2) memiliki social impact yang tinggi, dan (3)
menjadi perhatian dunia internasional (international image).
Dalam sejarah perkembangan peradilan di Indonesia,
pengujian terhadap keputusan pengadilan dilakukan oleh
internal lembaga peradilan itu sendiri melalui wadah Lembaga
Eksaminasi yang dibentuk berdasarkan Surat Edaran Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA) Nomor 1 tahun 1967
5
(Laica Marzuki, 2002: 2). Namun dengan lahirnya Orde Baru
dengan produk hukumnya yang berupa Undang-undang Nomor 14
tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, keberadaan
Lembaga Eksaminasi tidak lagi dipertahankan. Bahkan kekuasaan
kehakiman yang merdeka dirubah sedemikian rupa menjadi
kekuasaan negara yang merdeka di bawah kekuasaan presiden.
Dicabutnya lembaga eksaminasi internal serasa semakin
menambah kepincangan proses penegakan hukum. Namun masyarakat
tidak bisa berbuat apa-apa terhadapnya karena seluruh saluran
ke arah partisipasi publik ditutup rapat-rapat demi amannya
kekuasaan Orde Baru.
Idealnya, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan, sebagaimana dituangkan pada hasil amandemen UUD
1945 pasal 24 ayat (1) memang merupakan cita-cita hukum untuk
menjamin netralitas peradilan dalam mengadili suatu perkara.
Namun hal itu tidak bisa dijadikan tameng untuk selamanya
mengenyampingkan dan menjauhkan diri dari partisipasi publik
dalam rangka bersama-sama membangun sistem hukum yang terbuka
dan partisipatif.
Dalam konteks menuju kepada terwujudnya penyelenggaraan
negara yang bersih dan bebas KKN, keterlibatan masyarakat
sangat terbuka lebar. Dalam pasal 8 ayat (1) UU No. 28 tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dinyatakan bahwa “Peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggungjawab
masyarakat untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bersih.” Lebih
lanjut dalam pasal 9 ayat (1) juga dinyatakan bahwa “Peran serta
6
masyarakat diwujudkan dalam bentuk: (a) mencari, memperoleh dan memberikan
imformasi tentang penyelenggaraan negara; (b) hak untuk memperoleh pelayanan
yang sama dan adil dari penyelenggara negara; (c) hak menyampaikan saran dan
pendapat secara bertanggungjawab terhadap kebijakan penyelenggara negara;
dan (d) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan dan di sidang
pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi dan saksi ahli sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.”
Partisipasi publik dalam rangka turut serta mewujudkan
penegakan supremasi hukum tidaklah hanya sebatas pada
ketentuan di atas. Masih banyak ranah publik yang bisa
dimanfaatkan. Salah satunya adalah ikut memberikan
pertimbangan hukum melalui kajian akademik demi pengembangan
ilmu pengetahuan hukum. Kajian akademik tersebut bisa berupa
pengujian atau eksaminasi (legal annotation) terhadap putusan
pengadilan yang diduga banyak penyimpangan hukumnya. Sehingga
secara akademis bisa menjadi rekomendasi bagi penegak hukum di
kemudian hari untuk memperbaiki kinerjanya. Namun bukan
berarti hanya terhadap putusan yang kontroversial saja yang
perlu dieksaminasi, tetapi terhadap putusan yang sudah
dianggap baik dan benar juga bisa dilakukan eksaminasi untuk
mendukung kebenarannya sehingga bisa menjadi acuan
(jurisprudence) bagi penegak hukum di masa mendatang.
Diaktifkannya kembali Lembaga Eksaminasi oleh Mahkamah
Agung walupun dengan wajah lain yaitu Tim Klarifikasi terkait
dengan hasil Peninjauan Kembali (PK) kasus Tommy Soeharto,
setidaknya sedikit membawa angin segar bagi terciptanya sistem
hukum yang kokoh. Namun sampai detik ini pun, Tim Klarifikasi
tersebut belum menyampaikan hasil kajiannya kepada publik (Ali
7
Aspandi, 2002: 101-102). Sehingga manfaat dari eksaminasi
internal tersebut belum bisa dirasakan, dan evaluasi terhadap
hasil eksaminasi internal lembaga peradilan juga belum bisa
dilakukan.
Untuk turut serta dalam mewujudkan supremasi hukum
melalui pembaharuan sistem peradilan yang terbuka dan
partisipatif, maka terdapat space yang bisa dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk melakukan eksternal control terhadap proses
peradilan, yaitu dengan melakukan eksaminasi publik terhadap
putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Memang hasil dari eksaminasi publik ini tidak akan bisa
merubah keputusan yang sudah ditetapkan oleh majelis hakim,
akan tetapi hasil eksaminasi tersebut bisa menjadi cambuk bagi
hakim-hakim di masa mendatang untuk memperbaiki kinerjanya.
Perlu diketahui, bahwa putusan pengadilan yang terdahulu
seringkali dijadikan acuan (menjadi yurisprudensi) oleh hakim
berikutnya dalam memutus perkara yang sama atau serupa.
Kewenangan Lembaga Pengadilan dalam Memeriksa dan Memutus
Suatu Perkara
Sebagaimana dituangkan dalam Pasal 84 ayat (1) Undang
Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) bahwa Pengadilan Negeri berwenang
mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan
dalam daerah hukumnya. Kemudian dalam Pasal 87 dinyatakan
bahwa Pengadilan Tinggi berwenang mengadili perkara yang
diputus oleh Pengadilan Negeri dalam daerah hukumnya yang
dimintakan banding. Sedangkan Mahkamah Agung disebutkan dalam
8
Pasal 88 bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili semua
perkara pidana yang dimintakan kasasi. Sudah pasti bahwa apa
yang dimaksud dengan kata ‘mengadili’ adalah kewenangan untuk
memeriksa dan memutus suatu perkara pidana yang diajukan untuk
diadili kepadanya sesuai hukum yang berlaku dan sesuai dengan
rasa keadilan.
Dalam upaya mewujudkan keadilan, Menurut Bismar Siregar
(1995: 34-35) bahwa penegak hukum bukan sekadar berperan
memantapkan kepastian hukum, melainkan juga keadilan. Bismar
Siregar lebih tegas mengatakan ketika memutus suatu perkara
bahwa hukum adalah sarana sedangkan keadilan adalah tujuannya.
Jika sarana harus dikorbankan demi tercapainya tujuan, maka
akan saya korbankan sarana itu. Jika demi keadilan harus
mengorbankan kepastian hukum, maka keadilanlah yang harus
diutamakan. Oleh karena itu dalam kaitan dengan ini, peran
hakim bersifat spiritual, bukan lahiriah. Karenanya, tidak
salah jika dalam Penjelasan Umum Undang Undang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman dengan tegas dicantumkan peran dan
tanggung jawab hakim dalam mewujudkan keadilan. Pada
hakikatnya segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan
tugas-tugas badan penegak hukum sangat bergantung pada diri
manusia-manusia pelaksananya, in caso para hakim, untuk itu
ditentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang
hakim, yaitu; jujur, merdeka, berani mengambil keputusan dan
bebas dari pengaruh, baik dari dalam maupun dari luar.
Dalam Algemeene Bepallingen van Wetgeving (AB) pasal 20 yang
dikutip oleh Mr. R. Tresna (1978:108) juga disyaratkan bahwa
“Hakim harus memberikan keputusan menurut undang-undang. Terkecuali dalam
9
apa yang ditetapkan pada pasal 11, maka ia tidak sekali-kali diperkenankan
mengeluarkan pendapatnya tentang nilai dari maksud atau tentang adilnya sesuatu
undang-undang.”
Lebih lanjut Tresna (ibid.: 142) mengemukakan bahwa untuk
menyelenggarakan peradilan yang utama (suatu peradilan yang
dicita-citakan yaitu: bersih dari kecurangan, mencerminkan
keadilan, mengedepankan kepentingan masyarakat, mandiri dan
merdeka, serta bebas dari kepentingan-kepentingan pribadi),
diperlukan bentukan-bentukan pengadilan yang kokoh, rapi dan
dijalankan oleh petugas-petugas yang sengaja diangkat untuk
itu. Namun meski diangkat oleh pemerintah, kekuasaan peradilan
harus terpisah dari kekuasaan pelaksana perundang-undangan
(pemerintah) dan kepentingan di luar kepentingan hukum.
Dimasukkannya kepentingan-kepentingan non-hukum seperti
variabel status sosial, kemampuan ekonomi, visi politik dan
variabel yang lain ke dalam proses penegakan hukum menjadi
persoalan penegakan hukum yang semakin kompeks yang kemudian
mengalahkan atau mengkaburkan kepentingan hukum dan keadilan
(Mudzakkir, 2003: 1-2).
Kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan memutus perkara
pidana berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa memang menjadi
sebuah kewenangan yang mandiri dan merdeka dari lembaga
peradilan yang memegang kekuasaan kehakiman. Namun tanggung
jawab untuk menegakkan hukum sesuai peruntukannya bukan saja
menjadi tanggung jawab hakim. Karena seperti yang dikemukakan
Wisnubroto (1997: 65) semua aparat penegak hukum berkewajiban
berkewajiban untuk mewujudkan cita hukum secara utuh yaitu
keadilan (gerechttigheid/equality), kegunaan menurut tujuan
10
(zweckmaessigkeit/utility), dan kepastian hukum (rechtsicherheit/certainty),
namun harus diakui bahwa hakim mempunyai posisi yang lebih
istimewa. Hakim adalah konkretisasi hukum dan keadilan yang
bersifat abstrak, bahkan ada yang menggambarkan hakim sebagai
wakil Tuhan di bumi untuk menegakkan hukum dan keadilan,
buktinya hakim adalah satu-satunya penegak hukum yang berani
mengatasnamakan Tuhan pada setiap putusannya.
Penyimpangan Pelaksanaan Kewenangan Peradilan, Telah
Melahirkan Keputusan Kontroversial yang Perlu di Eksaminasi
Dalam pelaksanaan kewenangan di atas, dalam prakteknya
tidak jarang bahkan sebagian besar dari putusan pengadilan
tidak mengedepankan rasa keadilan bagi masyarakat, sehingga
dalam banyak kasus putusan pengadilan sesungguhnya tidak lebih
dari sebuah akumulasi dari proses ketidakadilan. Celakanya
ketika keputusan itu dimintakan banding atau kasasi yang
diharapkan lebih mencerminkan rasa keadilan, justru Pengadilan
Tinggi atau Mahkamah Agung dalam putusannya banyak yang
mengambil alih putusan-putusan tingkat pertama begitu saja
untuk dikuatkan atau ditolak tanpa alasan dan pertimbangan
hukum yang jelas. Kalaupun ada pertimbangan, tetap saja
putusan itu tidak bergeser dan tidak representatif mewakili
rasa keadilan (Eka Iskandar, 2003: 2).
Oleh kerena itu, Karni Ilyas (2000, 29) menyatakan bahwa
sebenarnya orang yang kalah berperkara di pengadilan tidak
perlu mengajukan banding atau kasasi, kalau saja sebuah
putusan hakim sudah sesuai dengan rasa keadilan dan hukum,
tidak keliru dan tidak memihak. Dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP
11
diatur formalitas yang harus dipenuhi suatu putusan hakim, dan
menurut ayat (2) Pasal itu, apabila ketentuan tersebut tidak
terpenuhi kecuali yang tersebut pada huruf g dan i, maka
putusan tersebut batal demi hukum (lihat Penjelasan Pasal 197
dalam Andi Hamzah, 1993: 240-241). Buat apa lagi ada lembaga
banding, kasasi atau peninjauan kembali, dan untuk apa pula
pencari keadilan bersusah payah membuang waktu, biaya dan
tenaga kalau keadilan yang dicarinya sudah didapatkan melalui
pengadilan tingkat pertama. Sama halnya dengan zaman dahulu
masyarakat Indonesia tidak perlu menjalani proses peradilan
yang berbelit-belit karena semua persoalan hukum cukup
diselesaikan secara bijak oleh kepala adatnya masing-masing.
Itulah fakta mengenai hakim dan peradilan di Indonesia
yang mendeklarasikan diri sebagai rechtstaat yang seharusnya
menjadi pengayom dan pelindung rasa keadilan masyarakat. Tidak
bisa dipungkiri, semakin perkembangan masyarakat semakin maju
pada reformasi ini, praktek ‘jahat’ aparat di lembaga
peradilan semakin berkembang pula. Bahkan Harian Kompas
tanggal 1 Desember 2001 membeberkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh ICW bekerjasama dengan YLBHI dan ICM di 6
(enam) wilayah peradilan di Indonesia (Jakarta, Surabaya,
Yogyakarta, Medan, Samarinda, dan Makassar) yang menemukan
tingkat korupsi dan kolusi di pengadilan sudah sedemikian
parah yang dilakukan secara sistematis, terorganisir,
konspiratif, sehingga menyerupai ‘mafia peradilan’. Tentu saja,
proses yang tidak adil tersebut akan melahirkan putusan yang
juga tidak mencerminkan keadilan.
12
Beberapa contoh kasus kontroversial yang tidak
mencermikan rasa keadilan bisa diketengahkan untuk menjadi
bahan kajian. Seperti kasus putusan bebas terhadap Hutomo
Mandalaputra melalui Peninjauan Kembali (PK) No.
78/PK/PID/2000 yang telah membatalkan keputusan Mahkamah Agung
(MA) tanggal 22 September 2000 No. 1K/PID/2000, (Anonim, 2002:
5), kasus Arifin Wardiyanto yang diputus bersalah oleh
Pengadilan Negeri Yogyakarta, yang kemudian diputus tidak
bersalah (bebas) oleh Pengadilan Tinggi Yogyakarta, tetapi
kemudian putusan Pengadilan Tinggi dibatalkan oleh Mahkamah
Agung melalui kasasi.
Di Malang, putusan lepas yang dijatuhkan oleh majelis
hakin di Pengadilan Negeri Malang terhadap Dakwaan Korupsi
Dana KUT yang besarnya Milyaran Rupiah, juga menjadi catatan
buruk bagi lembaga peradilan. Selain itu beberapa kasus yang
putusannya kontroversial adalah, kasus terbunuhnya Masrinah,
putusan pidana mati Sumiarsih dan lain-lain.
Urgensi Lembaga Eksaminasi Publik dalam Mewujudkan Lembaga
Peradilan yang Bersih dan Berwibawa
Terhadap putusan yang kontroversial itulah, perlu
dilakukan eksaminasi secara akademik-normatif untuk mendapat
suatu kepastian hukum masalah kebenaran dan kesalahan secara
hitam putih. Eksaminasi terhadap putusan pengadilan tersebut
bisa dilakukan oleh lembaga eksaminasi internal maupun oleh
lembaga eksaminasi eksternal.
Lembaga eksaminasi internal sudah dikenal pada tahun
1967, ketika Mahkamah Agung dijabat oleh Soerjadi, yang
13
mengeluarkan SEMA No. 1 Tahun 1967 sebagaimana dikutip oleh
Laica Marzuki (2002: 2) berikut:
“Mengenai eksaminasi:1. Hendaknya dalam waktu singkat:
a. Masing-masing Ketua Pengadilan Tinggi menyerahkankepada Mahkamah Agung perkara-perkara untukdieksaminasi
b. Masing-masing Ketua Pengadilan Negeri menyerahkankepada Pengadilan Tinggi yang bersangkutan perkara-perkara untuk dieksaminasi.
c. Masing-masing Ketua Pengadilan Negerimengeksaminasi perkara-perkara yang telah diputusoleh para hakim dalam lingkungannya.
2. Masing-masing eksaminasi tersebut mengenai:a. Sekaligus 3 (tiga) perkara perdata dan 3 (tiga)
perkara pidana yang telam memperoleh kekuatan hukumtetap
b. Hingga kini telah diselesaikan sebagai hakimtunggal di sana dimuat pertimbangan-pertimbanganyang terperinci.
3. Eksaminasi dalam pokoknya mengandung penilaiantentang tanggapan hakim yang bersangkutan terhadapsurat tuduhan/surat gugat, pembuatan berita-beritaacara persidangan dan susunan serta isi putusan.
4. ....... sampai angka 6.”
Eksaminasi internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung
terhadap suatu putusan hakim yang dipandang kontroversial
merupakan wujud dari fungsi pengawasan (toeziende functie) Mahkamah
Agung yakni melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya
peradilan (rechtsgang) di semua lingkungan peradilan (rechtspraad)
yang dilakukan pengadilan-pengadilan diselenggarakan secara
seksama (nawnkewring) dan wajar (fair) dengan berpedoman kepada
asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Mahkamah Agung melakukan pengawasan terhadap tingkah laku dan
14
perbuatan para pejabat pengadilan (nechterlijke ambtemaen) dalam
menjalankantugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok
kekuasaan kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa dan
menyelidiki serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya (MA, 1994:14).
Namun peran lembaga eksaminasi internal di atas dalam
sejarah perkembangan peradilan di Indonesia tidak berperan
sebagaimana mestinya. Bahkan selam Orde Baru berkuasa, lembaga
eksaminasi tersebut tidak lagi ada. Dan baru pada era
reformasi ini diaktifkan kembali oleh mahkamah agung dengan
nama baru yaitu, Tim Klarifikasi. Akan tetapi hal tersebut
hanya bersifat kasuistis terhadap perkara putusan bebas Tommy
Soeharto. Sehingga praktis peran lembaga eksaminasi internal
sampai sekarang belum terbukti.
Selain bisa dilakukan dengan eksaminasi internal, putusan
pengadilan yang diduga kontroversial itu bisa dilakukan oleh
lembaga eksaminasi eksternal yang pada akhir tahun 2002 mulai
digiatkan, yaitu Lembaga Eksaminasi Publik.
Eksaminasi publik ini menjadi penting, karena selama ini
pihak-pihak yang melakukan eksaminasi secara resmi dan
terorganisir sangat langka. Hal inilah yang menjadi salah satu
alasan mengapa eksaminasi putusan peradilan oleh masyarakat
perlu didorong dan ditumbuhkan, selain karena eksaminasi yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung tidak dapat diketahui masyarakat
guna kajian ilmiah.
Eksaminasi publik terhadap suatu putusan hakim pada
hakikatnya merupakan social control terhadap substansi putusan
badan-badan peradilan. Sementara putusan badan-badan peradilan
15
merupakan wujud rechtsprekende functie dalam melakukan amanah
kekuasaan kehakiman. Eksaminasi publik terhadap putusan hakim
merupakan eksternal control terhadap badan-bdan peradilan. Hasil
telaah eksaminasi publik tersebut merupakan masukan bagi
Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada
dibawahnya (Laica Marzuki, op.cit.: 1-2).
Pentingnya keberadaan Lembaga Eksaminasi Publik menurut
Silaban (2002: 2) bisa terlihat apabila terlebih dahulu
ditempuh dengan cara mensosialisasikan keberadaannya kepada
masyarakat, kemudian mengumumkan hasil eksaminasi tersebut
kepada publik sehingga menjadi bahan kajian ilmiah dan
evaluasi bagi masyarakat terhadap penegak hukum yang
bersangkutan. Lebih bermanfaat lagi apabila dilakukan secara
two way traffict communication dengan masyarakat memberi tanggapan
terhadap hasil eksaminasi. Sehingga hasil eksaminasi bisa
dilengkapi dengan pendapat umum yang menginginkan adanya
perbaikan di tubuh pelaksana peradilan.
Dalam modul eksaminasi yang dirumuskan oleh Workshop
Monitoring Peradilan (2002: 4), menyebutkan bahwa tujuan dari
eksaminasi yang dilakukan oleh Lembaga Eksaminasi Publik
antara lain: (a) melakukan analisis terhadap pertimbangan
hukum atas putusan majelis hakim, atau dakwaan serta jalannya
pengadilan. Harapannya dapat diketahui sejauh mana
pertimbangan hukum dimaksud sesuai atau bertentangan dengan
prinsip-prinsip hukumd, dengan prosedur hukum acara dan juga
dengan legal justice, moral justice dan social justice; (b) mendorong dan
memberdayakan partisipasi publik untuk terlibat lebih jauh di
dalam mempersoalkan proses suatu perkara dan putusan atas
16
perkara itu yang dinilai kontroversial dan melukai rasa
keadilan rakyat; (c) mendorong dan mensosialisasikan lembaga
eksaminasi dengan membiasakan publik mengajukan penilaian dan
pengujian terhadap sesuatu proses peradilan dan putusan
lembaga pengadilan serta keputusan-keputusan lembaga penegak
hukum lainnya yang dirasakan dan dinilai bertentangan dengan
prinsip hukum dan rasa keadilan masayarakat; (d) mendorong
terciptanya independensi lembaga penegakan hukum, termasuk
Mahkamah Agung agar mempunyai akuntabilitas dan transparansi
kepada publik; dan (e) mendorong para hakim untuk meningkatkan
integritas moral, kredibilitas dan profesionalitasnya di dalam
memeriksa dan memutus suatu perkara agar tidak menjadi putusan
yang kontroversial, sehingga melukai rasa keadilan masyarakat.
Selanjutnya dalam Modul Eksaminasi tersebut dikemukakan,
bahwa manfaat dari eksaminasi publik ini antara lain: (a) bagi
mahasiswa (khususnya mahasiswa Fakultas Hukum), maka sebagai
sebuah studi, hasil eksaminasi akan bermanfaat sebagai
tambahan materi keilmuan yang selama ini hanya mengenal hukum
pada tataran law in book semata; (b) bagi Akademisi, eksaminasi
dapat menjadi ajang peningkatan kapasitas dan proses
pengabdian bagi para akademisi, yang sekaligus sebagai bahan
kuliah atau diskusi telaah kritis; (c) bagi Jaksa dan Hakim,
dengan eksaminasi dari publik, dapat dilihat profesionalitas
dan kredibilitas atas penguasaan hukumnya, kemampuan filosofis
dan pertimbangan hukum yang digunakan. Hasil dari eksaminasi
bisa menjadi rekomendasi untuk perbaikan kinerja aparat hukum
di masa mendatang dalam rangka mewujudkan lembaga peradilan
yang bersih dan berwibawa; dan (d) bagi publik pemantau
17
peradilan, jika ditemukan adanya penyimpangan yang dilakukan
oleh Hakim atau Jaksa, maka lembaga-lembaga swadaya masyarakat
atau pemantau peradilan lainnya dapat menindak lanjuti untuk
melakukan ivestigasi sebagai upaya mwujudkan peradilan yang
bersih dan berwibawa.
Secara spesifik, Zaidun (2003: 6) mengemukakan pentingnya
eksaminasi publik yang terbuka dan pratisipatif yang membawa
implikasi luas bagi pendidikan hukum di Indonesia. Pertama,
karena sifatnya yang terbuka, memberi peluang bagi siapapun
yang memiliki kompetensi dalam bidang hukum untuk ikut serta
dalam suatu proses eksaminasi publik. Selain itu, karena
sifatnya yang terbuka, maka proses eksaminasi sesungguhnya
dapat merupakan suatu gambaran nyata tentang proses
laboratorium hukum yang secara empirik prosesnya dapat diamati
dan diikuti oleh publik. Sehingga publik, termasuk lembaga
pendidikan hukum dapat memanfaatkan realitas proses tersebut
sebagai wahana pembelajaran. Kedua, karena sifatnya yang
partisipatif, maka secara langsung maupun tida langsung
mengundang para expertise di lembaga pendidikan hukum itu untuk
secara aktif melibatkan diri dalam proses eksaminasi putusan
peradilan.
Dari beberapa eksaminasi yang telah dilakukan oleh
Lembaga Eksaminasi Publik terhadap putusan peradilan, memang
ditemukan beberapa kekurangan dalam putusan tersebut baik
secara prosedural maupun dalam substansi hukumnya. Dari
sinilah, jelas bahwa keberadaan Lembaga Eksaminasi Publik
sangat diperlukan sebagai wujud partisipasi publik dalam
mewujudkan peradilan yang bersih dan berwibawa. Namun peran
18
eksaminasi publik pun tidak akan bisa mengubah citra buruk
penegakan hukum di Indonesia, apabila eksaminasi yang
dilakukan hanyalah mencari kesalahan secara hitam putih dari
setiap putusan yang dieksaminasi.
Oleh karena itu, eksaminasi publik hendaknya diarahkan
untuk terciptanya supremasi hukum yang mengedepankan tujuan
keadilan tanpa menyisihkan keberadaan hukum yang harus dijamin
kepastiannya. Melakukan eksaminasi terhadap proses hukum
dengan hanya melihat sisi keadilan yang ‘sangat subyektif’ dan
melupakan hukum sebagai suatu sistem asas yang terstruktur,
maka ‘sama saja’ dengan menggerogoti pilar-pilar hukum yang
pada gilirannya akan merobohkan sendi-sendi supremasi hukum.
Mengingat urgensi dari keberadaan lembaga eksaminasi di
atas (baik eksaminasi internal maupun eksaminasi publik) dalam
ikut mendorong terwujudnya lembaga peradilan yang berkeadilan,
bersih dan berwibawa, maka penulis merekomendasikan: perlunya
diaktifkan kembali Lembaga Eksaminasi di Mahkamah Agung.
Kepada publik (khususnya kalangan Perguruan Tinggi) untuk
menggalakkan kegiatan eksaminasi terhadap putusan pengadilan
yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai kajian
akademik dan kajian yuridis yang bisa dipublikasikan guna
mewarnai perbaikan sistem peradilan di masa-masa mendatang.
Kesimpulan
Tujuan dari penegakan hukum adalah memberikan keadilan
kepada masyarakat, yang pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga
peradilan sebagai lembaga yang memiliki kompetensi
melaksanakan fungsi yudikasi. Implementasi dari kewenangan dan
19
fungsi lembaga peradilan tersebut dituangkan dalam putusan
pengadilan yang memberi diktum terhadap suatu perkara yang
diadilinya.
Namun tidak jarang putusan pengadilan tersebut mengandung
banyak kontroversi dan menyimpah jauh dari keadilan sebagai
substansi dari tujuan penegakan hukum. Oleh karena itu, maka
terhadapnya perlu dilakukan pengujian (eksaminasi) untuk
mengetahui kesalahan dan kebenaran secara formal atau materiil
dari putusan tersebut. Eksaminasi tersebut bisa dilakukan
secara internal (internal examination) atau bisa juga lewat
partisipasi publik melalui eksaminasi yang bersifat eksternal
(external/public examination).
Eksaminasi Publik yang menguji kebenaran putusan pengadilan
yang inkracht van gewisjde secara akademik-ilmiah merupakan
terobosan maju dalam mewujudkan lembaga peradilan yang bersih
dan berwibawa. Karena sifatnya yang eksternal, maka eksaminasi
publik lebih terjamin netralitas dan keluhurannya dalam
menunjang tegaknya supremasi hukum yang berkeadilan.
Daftar Rujukan
Buku-buku:
Aspandi, Ali. 2002. Menggugat Sistem Hukum Peradilan Indonesia yangPenuh Ketidakpastian. Surabaya: LeKSHI dan Lutfansah Mediatama
Baringbing, RE. 2001. Catur Wangsa yang Bebas Kolusi: SimpulMewujudkan Supremasi Hukum. Jakarta: Pustaka KajianReformasi
Faisal, Sanapiah, 1990. Penelitian Kualitatif : Dasar-dasar dan Aplikasi.Malang: YA3
20
Hamzah, Andi. 1993. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: ArhikaMedia Cipta
Harahap, Yahya. 1993. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.Jakarta: Pustaka Kartini
Ilyas, Karni. 2000. Catatan Hukum II. Jakarta: Pustaka SinarHarapan
Miles, M. B. dan M. Huberman.1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta:Penerbit UI Press
Siregar, Bismar. 1995. Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan. Jakarta:Gema Insani Press
Anonim. 2002. Menerobos Kebuntuan Hukum di Indonesia dalamHitamputih. edisi 5 Tahun 2002
----------. 2002. Sekilas Tentang Eksaminasi Kasus Tommy dalamHitamputih. edisi 5 Tahun 2002
Firdaus, Kamal. 2002. Pola Praktek Mafia Peradilan makalahdalam Proceeding Workshop Monitoring Peradilan, diselenggarakanoleh ICW Jakarta, tanggal 1 – 2 Nopember 2002
Iskandar, S. Eka. 2003. Monitoring Peradilan Melalui EksaminasiPublik Putusan Peradilan yang Terbuka dan Partisipatifmakalah dalam Workshop Nasional Meningkatkan Kapasitas Eksaminasi
21
Publik, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UniversitasBrawijaya Malang, tanggal 19 Pebruari 2003
Marbun, S.F. 1997. Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman dalamJurnal HUKUM No. 9 Vol. 4 – 1997. Yogyakarta: Fakultas HukumUniversitas Islam Indonesia
Marzuki, H.M. Laica. 2002. Monitoring Peradilan MelaluiEksaminasi Publik Putusan Peradilan yang Terbuka danPartisipatif makalah dalam Proceeding Workshop MonitoringPeradilan, diselenggarakan oleh ICW Jakarta, tanggal 1 – 2Nopember 2002
Mudzakkir. 2002. Eksaminasi: Pengalaman dan Catatan di MasaDatang makalah dalam Proceeding Workshop Monitoring Peradilan,diselenggarakan oleh ICW Jakarta, tanggal 1 – 2 Nopember2002
---------------. 2003. Eksaminasi Publik: Kasus ArifinWardiyanto makalah dalam Workshop Nasional Meningkatkan KapasitasEksaminasi Publik, diselenggarakan oleh Fakultas HukumUniversitas Brawijaya Malang, tanggal 19 Pebruari 2003
Silaban, M.H. 2002. Beberapa Catatan Mengenai Eksaminasi Publikmakalah dalam Proceeding Workshop Monitoring Peradilan,diselenggarakan oleh ICW Jakarta, tanggal 1 – 2 Nopember2002
Winarta, Frans Hendra. 2002. Monitoring Peradilan MelaluiEksaminasi Publik Putusan Peradilan yang Terbuka danPartisipatif makalah dalam Proceeding Workshop MonitoringPeradilan, diselenggarakan oleh ICW Jakarta, tanggal 1 – 2Nopember 2002
Zaidun, Muhammad. 2003. Monitoring Peradilan Melalui EksaminasiPublik terhadap Putusan Peradilan yang Terbuka danPartisipatif: Manfaatnya bagi Pengembangan Pendidikan Hukumdi Indonesia makalah dalam Workshop Nasional MeningkatkanKapasitas Eksaminasi Publik, diselenggarakan oleh Fakultas HukumUniversitas Brawijaya Malang, tanggal 19 Pebruari 2003
Zakiyah, Wasingatu. 2002. Eksaminasi Publik: Salah SatuPengawasan Lembaga Peradilan dalam Hitamputih. edisi 5 Tahun2002
Undang-undang:
22
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945: Susunandalam Satu Naskah Sampai Perubahan Keempat. Surabaya: BinaPustaka Tama
Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang UndangHukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang PenyelenggaraanNegara yang Bersih dan Bebas KKN beserta PeraturanPelaksanaannya. Jakarta: Sinar Grafika