Untold History of Pangeran Diponegoro (1) – Edisi Rev Redaksi – Minggu, 9 Desember 2012 13:17 WIB CATATAN PENULIS***) Tahun 1647, Amangkurat I memancung kepala 6.000 ulama Jawa beserta keluarganya di alun-alun Kraton Plered, Yogyakarta. Syiar Islam di Tanah Jawa, paska era Wali Songo, pun mandeg. VOC, sekutu utama Raja Mataram itu, bergembira. Lebih satu abad kemudian, Diponegoro mengobarkan jihad fi sabilillah untuk mengusir kaum kafir Belanda dan menegakkan panji syahadat di Tanah Jawa, dalam bentuk sebuah negara merdeka berasaskan Islam. Jihad fi sabilillah ini oleh sejarawan Belanda direduksi hanya sebagai perang sakit hati, yang hanya disebabkan perebutan tahta dan persoalan tanah makam leluhur. Sejarah selalu berulang. Dan hari ini, episode Amangkurat I, Pangeran Diponegoro, Sentot Alibasyah, Kiai Modjo, dan Patih Danuredjo pun kembali terjadi. Dalam bentuk yang lebih canggih, tapi lakonnya tetaplah sama. Persis sama… [] Dengan penuh hormat dan kebanggaan, kupersembahkan kepada anak keturunan dan keluarga besar Pangeran Diponegoro, semoga kemuliaan perjuangan Beliau menginspirasi hidup kita semua… PROLOG Plered, Jawa Tengah, 1647 APA YANG SEKARANG DILIHAT DENGAN mata dan kepalanya sendiri sungguh-sungguh membuat Dyah Jayengsari ingin muntah. Dua jam lalu, kepala juru masak kraton menyuruhnya membakar panci besi tebal. Bentuknya seperti topi. Dyah Jayengsari tidak berani
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Untold History of Pangeran Diponegoro (1) – Edisi Rev
Redaksi – Minggu, 9 Desember 2012 13:17 WIB
CATATAN PENULIS***)Tahun 1647, Amangkurat I memancung kepala 6.000 ulama Jawa beserta keluarganya di alun-alun Kraton Plered, Yogyakarta. Syiar Islam di Tanah Jawa, paska era Wali Songo, pun mandeg. VOC, sekutu utama Raja Mataram itu, bergembira.
Lebih satu abad kemudian, Diponegoro mengobarkan jihad fi sabilillah untuk mengusir kaum kafir Belanda dan menegakkan panji syahadat di Tanah Jawa, dalam bentuk sebuah negara merdeka berasaskan Islam. Jihad fi sabilillah ini oleh sejarawan Belanda direduksi hanya sebagai perang sakit hati, yang hanya disebabkan perebutan tahta dan persoalan tanah makam leluhur.
Sejarah selalu berulang. Dan hari ini, episode Amangkurat I, Pangeran Diponegoro, Sentot Alibasyah, Kiai Modjo, dan Patih Danuredjo pun kembali terjadi. Dalam bentuk yang lebih canggih, tapi lakonnya tetaplah sama. Persis sama… []
Dengan penuh hormat dan kebanggaan,
kupersembahkan kepada anak keturunan
dan keluarga besar Pangeran Diponegoro,
semoga kemuliaan perjuangan Beliau
menginspirasi hidup kita semua…PROLOGPlered, Jawa Tengah, 1647
APA YANG SEKARANG DILIHAT DENGAN mata dan kepalanya sendiri sungguh-sungguh membuat Dyah Jayengsari ingin muntah. Dua jam lalu, kepala juru masak kraton menyuruhnya membakar panci besi tebal. Bentuknya seperti topi. Dyah Jayengsari tidak berani bertanya untuk apa panci besi itu dibakar. Sebagai orang baru di kraton, dia harus tahu diri. Walau diliputi tanda tanya besar, namun gadis dari Krapyak ini tidak berani bertanya macam-macam.
Setelah panci itu membara, berubah jadi pijar panas yang mengerikan, dua prajurit Mataram menggotongnya dengan sebuah gerobak kayu ke bagian selatan alun-alun yang tidak jauh dari tempat Dyah Jayengsari berdiri. Di sana berkerumun banyak orang. Para prajurit juga berjaga-jaga Menurut kabar burung, seorang pemberontak pengikut Pangeran Alit tertangkap. Dia akan segera dihukum. Gadis itu tidak tahu apa hubungannya dengan panci panas itu.
Didorong penasaran, dia berjalan mendekati kerumunan. Dengan susah payah Dyah Jayengsari menyibak kerumunan orang, hingga akhirnya dia berdiri dekat dengan seorang lelaki paruh baya, bertelanjang dada, yang sedang duduk bersimpuh dengan tangan terikat. Kedua matanya ditutup secarik kain hitam. Satu tombak di depan lelaki itu, terdapat sebuah lubang seukuran badan orang dewasa. Lima prajurit kraton berjaga di sampingnya.
Tanda tanya besar masih memenuhi kepala gadis itu.
Tiba-tiba seorang prajurit Mataram yang bertindak selaku algojo memerintahkan agar sang pesakitan dipendam di lubang yang ada di depannya. Lima orang prajurit bertubuh besar yang berjaga di sekeliling lelaki itu bergegas mengangkatnya. Dengan kasar mereka mengubur tubuh lelaki itu dari leher ke bawah.
Anehnya, lelaki itu tidak meronta-ronta. Ketika kain hitam dibuka, kedua matanya tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Sorot matanya begitu tenang, menyiratkan kepasrahan yang total pada kehendak Yang Maha Kuasa. Mulutnya terlihat komat-kamit membaca doa-doa dalam bahasa Arab.
Dari belakang, dua prajurit yang tadi ikut mengubur lelaki itu menggotong panci yang masih membara dan kemudian segera menangkupkan panci itu ke kepala sang pesakitan.
“Allahu Akbar!!!”
Lelaki itu melolong kesakitan. Begitu keras dan memilukan. Tak kuat menahan sengatan sakit yang luar biasa, lelaki itu langsung pingsan. ‘Topi besi panas’ itu melumerkan batok kepalanya. Suara gemerisik terdengar, seiring desis daging terbakar. Semua yang menonton menjerit ketakutan. Termasuk Dyah Jayengsari. Badan gadis itu menggigil hebat. Perutnya mual. Pandangan matanya berkunang-kunang. Kesadarannya mulai hilang. Dyah Jayengsari akhirnya jatuh tak sadarkan diri.
Gadis itu tiba-tiba tersadar. Dia menengok ke sekeliling ruangan. Tidak ada kerumunan orang. Dia ternyata sendirian di bilik tidurnya. Mimpi itu ternyata terulang kembali. Mimpi nyata yang pernah dilihatnya beberapa pekan lalu.
Dari atap rumbia yang bolong di sana-sini hingga menyisakan ruang bagi sorot matahari yang menerobos ke dalam, Dyah Jayengsari tahu bahwa hari masih siang. Arah sinarnya ke timur menandakan Sang Surya telah mulai tergelincir ke barat.
Entah mengapa, perasaan gadis itu tidak enak. Keringatnya mengucur deras membasahi bajunya. Jantungnya berdegup keras menggedor-gedor relung dadanya. Baru saja dia hendak berdiri, sebuah teriakan keras mengagetkan dirinya.
“Keluar! Atas nama Paduka Yang Mulia, semua yang ada di dalam rumah ini keluar!”
Dyah Jayengsari menggigil ketakutan. Gadis itu tahu, teriakan itu berasal dari prajurit kraton.
Gerangan apa yang membuat mereka ke sini?
“Cepat keluar! Atau kami dobrak!”
Sambil berjalan, Dyah Jayengsari merenggut kerudung yang tersampir di bilik bambu dinding kamar dan menutupi kepala sekadarnya. Gadis itu bergegas keluar. Rumah sepi. Hanya ada dirinya. Benar saja, di depan pintu telah berdiri tiga orang prajurit kraton lengkap dengan pedang dan tombak. Yang membuatnya kaget, ayahnya dan Wulung Ludhira-adik satu-satunya yang masih berusia sepuluh tahun-sudah berada di antara pasukan itu dengan pengawalan ketat.
“Siapa lagi yang ada di dalam!” hardik salah seorang prajurit. Tangan kanannya menggenggam tombak dengan ujung besi mirip trisula.
“Tidak ada lagi, Tuan. Saya sendirian…,” jawab Dyah pelan. Ketakutan segera menyergap dirinya. Tapi prajurit-prajurit kraton itu tidak percaya. Mereka mendobrak gubuk itu lalu menerabas ke dalam. Sesaat kemudian mereka keluar tanpa membawa siapa pun. Nihil.
“Dia benar. Tak ada lagi orang…”
Seorang prajurit yang sepertinya bertindak sebagai kepala regu memerintahkan semuanya pergi ke alun-alun. Dyah Jayengsari, ayah, serta adiknya hanya bisa mengikuti pasukan penjemputnya dengan menaiki seekor
kuda yang telah diikat tali. Untunglah gubuk mereka tidak begitu jauh dengan alun-alun, sehingga dalam waktu singkat mereka sudah tiba di lapangan yang luas, di mana di sebelah selatannya berdiri bangunan Kraton Plered yang belum rampung dibangun. Walau demikian, Raja Amangkurat I sudah menempatinya.
Kraton Mataram Plered merupakan kraton baru. Yang lama berada di Kerto, lima kilometer selatan Kotagede. Adalah Susuhunan Amangkurat I yang memindahkan pusat kerajaannya itu dari Kerto setelah dua tahun berkuasa.
Berbeda dengan kraton lama yang hanya berpagar kayu, maka kraton baru ini lebih mirip sebuah benteng. Bangunannya dikelilingi dinding batubata dan semen, dengan tinggi lima sampai enam meter. Tebalnya mencapai satu setengah meter. Sebuah parit buatan yang terhubung dengan Kali Opak dibuat mengelilingi kraton-benteng berbentuk belah ketupat ini, sehingga pusat kekuasaan Mataram di bawah Amangkurat I tampak seperti sebuah pulau di kelilingi daratan luas.
Alun-alun kraton ada dua, di utara dan selatan. Antara alun-alun dengan istana dihubungkan dengan sebuah jembatan yang selalu dijaga ketat prajurit kraton. Model keraton-benteng ini mengingatkan kita pada model istana-benteng raja-raja Eropa.
Hanya saja, bangunan Keraton Mataram di Plered tidak dibuat tinggi bertingkat-tingkat.
Dari atas kudanya yang berjalan lambat, Dyah Jayengsari, Wulung Ludhira, dan Ki Ageng Ludhira baru memasuki jalan utama menuju alun-alun kraton. Di sisi kanan dan kiri jalan utama yang lurus terbuat dari tanah yang dipadatkan, berjejer beringin putih setinggi empat sampai lima meteran. Di tiap pohon beringin, dua pasukan kraton bersenjatakan tombak berdiri dalam sikap siaga seolah tengah bersiap berperang.
“Ada apa gerangan, Nduk?” bisik Ki Ageng Ludhira kepada anaknya yang duduk di belakangnya mengapit Wulung.
Gadis itu menggelengkan kepalanya, “Aku ndak tahu, Pak. Tapi perasaanku ndak enak.”
“Berdoa saja ya, Nduk. Perasaanku juga tidak enak. Mudah-mudahan tidak terjadi suatu apa.”
Walau berkata begitu, tetapi kedua mata Ki Ageng Ludhira tidak bisa membohongi anaknya. Dyah Jayengsari tahu jika sesuatu yang buruk pasti
akan terjadi. Apa yang dilakukan prajurit-prajurit ini pasti atas perintah Susuhunan Amangkurat I. Dan semua yang dilakukan raja lalim ini semuanya pasti berakhir tragis. Karakter raja ini sangat buruk. Dia amat berbeda dengan ayahnya, Sultan Agung Hanyokrokusumah, dan juga dengan adik-adiknya. (bersambung/rz)
***) Para netters tercinta…Dengan sengaja redaksi tampilkan kembali seri novel Untold History of Pangeran Diponegoro, karena pada tampilan yang lalu kami masih gunakan frame work temporary yang kurang optimal dan baik. Dengan sistem IT kami yang hampir stabil, mohon maaf kami masukkan kembali serial tersebut agar kisah novel ini dapat dinikmati oleh lebih banyak netters..semoga saja kisah ini banyak diambil ibrah untuk tingkatkan keimanan, terimakasih…Redaksi
Di awal kekuasaannya, Amangkurat I melakukan pembersihan terhadap loyalis ayahnya
sendiri yang berada di dalam lingkungan kraton maupun di luar. Mereka dibunuh dengan
cara yang sangat keji. Jumlahnya mencapai tiga ribuan.
Menurut bisik-bisik orang kraton sendiri, Amangkurat I memiliki kegemaran yang tidak
lazim. Selain memiliki nafsu yang tak pernah terpuaskan terhadap perempuan-
perempuan muda, raja ini juga gemar menyiksa rakyatnya. Bahkan sang raja
menciptakan sendiri cara-cara penyiksaan yang teramat sadis, terlebih kepada orang-
orang yang dicurigai hendak melawan kekuasaannya. Cara-cara penyiksaan ala
Amangkurat I di antaranya adalah:
Pertama, dari bagian atas telinga, kepala pesakitan dikuliti sampai batok kepalanya terlihat. Orang-orang yang mendapat hukuman ini kebanyakan meninggal dunia. Namun ada pula yang masih bisa bertahan hidup walau kemudian akhirnya juga menemui ajal dengan amat menyakitkan.Kedua, kaki pesakitan diikat, lalu digantung dengan posisi kepala di bawah. Di bawah kepala, ditaruh panci panas berukuran besar berisi minyak yang mendidih. Kemudian, kepala orang itu dicelupkan ke dalam minyak yang bergolak sampai sebatas telinga hingga rambut dan kulit kepalanya mengelupas. Semua yang mengalami siksaan jenis ini menemui ajal karena sakit yang tak terperikan.Ketiga, siksaan yang tak kalah menakutkan adalah si terhukum diperintahkan untuk mengenakan topi besi yang tebal yang telah dipanaskan hingga menjadi merah membara. Rambut akan hangus, kulit kepala terkelupas dan
gosong, dan otaknya akan terbakar. Tak ada yang selamat dari jenis siksaan seperti ini.
Dan sore ini, sesuatu yang mengerikan sepertinya akan terjadi. Dyah Jayengsari
mendapati dirinya tidak sendirian. Dari berbagai arah, juga berdatangan—mengalir
bagai air bah—ribuan ulama, guru ngaji, anak-anak santri dan santriwati, beserta
seluruh keluarganya, yang seluruhnya digiring dan dijaga ketat pasukan Mataram ke
alun-alun. Semuanya dikumpulkan di lapangan yang luas hingga tercipta lautan jubah
putih.
Di tanah lapang itu mereka semua dikumpulkan menjadi satu. Semuanya, tanpa kecuali,
disuruh duduk bersila di atas tanah menghadap ke arah timur di mana sebuah bukit
yang tidak begitu tinggi tampak memanjang searah dengan aliran Kali Opak. Ribuan
orang itu, besar dan kecil, tua dan muda, duduk di atas tanah dalam barisan yang diatur
paksa oleh para prajurit.
Di sekeliling lapangan, tiga lapis pasukan Mataram bersenjata pedang dan tombak
mengepung orang-orang itu dalam formasi siaga. Agaknya Amangkurat I
memerintahkan semua pasukannya mengepung alun-alun dengan rapat, hingga tak ada
celah untuk meloloskan diri.
Ketika hari sudah mulai gelap, ribuan ulama, santri, dan keluarganya dilarang untuk
menunaikan sholat maghrib. Para prajurit mengancam, siapa pun yang ketahuan
mengerjakan sholat, akan langsung ditebas lehenya. Beberapa ulama tidak
mengindahkan ancaman itu dan tetap mengerjakan sholat, walau sambil duduk.
Celakanya, hal itu diketahui para prajurit. Tanpa ampun lagi, mereka memenggal leher
beberapa ulama tersebut dengan pedangnya. Jerit dan tangis segera pecah di tengah
kerumunan massa. Namun suasana dengan cepat jadi senyap kembali karena para
prajurit itu lagi-lagi mengeluarkan ancamannya akan melakukan hal yang sama jika ada
yang berani berteriak atau membuat ribut.
Dalam kesenyapan yang mencekam itu tiba-tiba semua mata melihat ke arah pintu
gerbang kraton yang menuju ke bukit di sebelah timur alun-alun yang tanpak bercahaya.
Dari gapura batu kali setinggi enam meteran, serombongan orang dengan membawa
tiang obor keluar dari dalam kraton. Di belakang pasukan obor terlihat sepuluh orang
anggota Trisat Kenya, pasukan khusus pengawal raja yang semuanya terdiri dari
perawan cantik dengan pakaian lelaki bersulam emas, terlihat menyandang pedang dan
tombak. Di bawah cahaya ratusan obor, pasukan itu terlihat begitu anggun dan gagah.
“Trisat Kenya…,” ujar Dyah Jayengsari lirih. Ayahnya hanya mengangguk-anggukan
kepalanya. Bibirnya yang sudah kering karena tidak diberi air minum sejak berada di
alun-alun, terus bergerak-gerak melantunkan doa kepada Yang Maha Kuasa. Bola kecil
di tenggorokannya terus bergerak-gerak tak pernah berhenti.
Ki Ageng Ludhira dan juga Dyah Jayengsari tahu, Trisat Kenya merupakan pasukan
khusus pengawal Susuhunan Amangkurat Agung I yang semuanya terdiri dari para
perawan cantik yang dibekali olah kanjuragan tingkat tinggi. Disebut sebagai pasukan
pengawal khusus karena tugas seorang Trisat Kenya bukan saja bertanggungjawab
terhadap keamanan dan keselamatan fisik sang raja, namun juga wajib menjaga
kewibawaan dan melindungi rahasia sang raja dalam hal yang paling pribadi sekali pun.
Pasukan ini merupakan hal yang baru dalam tradisi Mataram Islam. Adalah Kanjeng
Ratu Ibu yang membentuk pasukan ini untuk menjaga Amangkurat I. Sang Ibu sungguh-
sungguh paham jika sejak kecil Amangkurat I yang memiliki perangai buruk, memang
punya banyak musuh. Jauh di dalam hatinya, Kanjeng Ratu Ibu sesungguhnya
menyesal dan meratapi keberadaan Raden Mas Sayidin, nama kecil dari Susuhunan
Amangkurat I, yang bersifat kurang baik, beda dengan adiknya, Pangeran Alit.
Raden Mas Sayidin sangat temperamental, kekanak-kanakan, dan memiliki kegemaran
yang tidak masuk akal dan tidak terpuaskan terhadap perempuan. Pada tahun 1637,
ketika masih berstatus sebagai putra mahkota, Raden Mas Sayidin sudah terlibat dalam
skandal memalukan yang melibatkan isteri seorang abdi dalem senior, Tumenggung
Wiraguna. Tumenggung kepercayaan Sultan Agung ini melaporkan hal itu kepada
Sultan Agung. Akibatnya Raden Mas Sayidin dihukum. Untuk beberapa lama, dia
dibuang ke hutan larangan.
Kejadian ini kelak menimbulkan dendam membara di dada putera mahkota tersebut,
sehingga di awal kekuasaanya, Raden Mas Sayidin yang telah menjadi Susuhunan
Amangkurat I membunuh Tumenggung Wiraguna dan seluruh pengikutnya.
Namun sebagai seorang ibu, apa dan bagaimana pun juga perangai sang anak, dia
tetaplah harus menjaga dan melindungi anaknya, bahkan walau nyawanya sendiri jadi
taruhan. Itulah yang dilakukan Kanjeng Ratu Ibu yang berinisiatif membentuk pasukan
khusus pengawal raja.
Awalnya, Kanjeng Ratu Ibu—alias Ratu Wetan, puteri dari Tumenggung Upasanta yang
merupakan Bupati Batang keturunan dari Ki Juru Martani—menginginkan sang raja
dijaga prajurit lelaki pilihan. Namun Amangkurat I sendiri menolaknya dan mengatakan
dia tidak bisa mempercayai laki-laki sedikit pun. Anaknya itu meminta agar seluruh
anggota pasukan pengawal khususnya hanya terdiri dari para perempuan muda, masih
perawan, dan tentu saja harus cantik.
“Mereka harus dilatih dengan keras agar terampil menggunakan senjata, dan juga harus
dibekali olah kanuragan yang mumpuni,” ujar Amangkurat I kepada Kanjeng Ratu Ibu.
“…dan tugas atau keanggotaan setiap Trisat Kenya hanya akan berakhir manakala
mereka dihadiahkan kepada para adipati atau bawahanku.”
Sang ibu hanya bisa mengangguk. Setiap keinginan sang raja bagaimana pun
adalah sabda pandhita ratu, yang tidak bisa ditolak sedikit pun. Akhirnya terbentuklah
pasukan Trisat Kenya yang seperti sekarang tengah berjalan dengan langkah tegap
menaiki bukit di timur alun-alun.
Sepuluh Trisat Kenya yang berbaris paling depan adalah pembuka jalan. Di
belakangnya, sepuluh abdi dalem laki-laki bertelanjang dada tanpa dibekali senjata,
menggotong tandu besar berisi kursi raja yang terbuat dari jati yang berat, lengkap
dengan atapnya yang berumbai sutera dan bordiran benang emas. Di sekeliling raja,
tigapuluh anggota Trisat Kenya berjaga. Ada yang membawa pedang, keris, tombak,
dan juga tulup, sejenis sumpit panjang yang diisi dengan panah kecil yang ujungnya
beracun. Masing-masing Trisat Kenya punya keahlian berbeda dalam penggunaan
senjata dan juga ilmu kanuragannya.
Pelan tapi pasti, rombongan raja itu bergerak menaiki puncak perbukitan. Beberapa
lelaki tua pembawa tiang obor setinggi dua tombak berada paling depan membuka jalan.
Di bagian paling belakang juga ditutup sejumlah abdi dalem laki-laki sepuh memegang
tiang obor. Ketika singgasana diturunkan di tempat yang paling tinggi, para abdi dalem
laki-laki semuanya langsung turun kembali ke bawah bukit. Demikian pula dengan yang
membawa obor. Sehingga sekarang hanya ada sang raja yang duduk dengan
pongahnya di atas singgasana, dikelilingi empatpuluhan Trisat Kenya lengkap dengan
senjatanya.
Suasana kemudian bertambah hening. Kesenyapan selama beberapa menit itu
sungguh-sungguh meremas jantung. Semua mata memandang ke atas bukit, menanti
apa yang hendak dilakukan atau diperintahkan oleh sang raja. Untuk beberapa lama
sang raja hanya duduk diam di atas singgasananya. Mungkin dia tengah menikmati
lautan jubah putih yang memenuhi alun-alun yang berada di bawah kakinya. Entah apa
yang ada di dalam benaknya ketika itu.
Dyah Jayengsari, Ki Ageng Ludhira, dan ribuan orang lainnya yang masih duduk di alun-
alun melihat dari kejauhan ketika Susuhunan Amangkurat I mulai bergerak turun dari
singgasananya. Dia berjalan beberapa langkah ke depan, dan berdiri dengan kedua
tangan berkacak pinggang.
Raja lalim itu terus berdiri dengan tegak. Kedua tangannya masih berkacak pinggang.
Dia mengedarkan pandangan ke bawah kakinya, menyapu seluruh areal alun-alun
kratonnya. Bibirnya yang menghitam mencibir. Sorot matanya yang dipenuhi dendam
kesumat berbinar-binar tanda puas. Kepalanya mengangguk-angguk. Dengan tangan
kanan masih berkacak pinggang, tiba-tiba tangan kirinya diangkat ke atas tinggi-tinggi.
Sebuah perintah yang hanya dipahami seluruh pasukannya yang sedari sore telah siap
dengan senjatanya.(bersambung)
“Habisi !!!” teriak para komandan regu dengan suara yang menggelegar
Seketika itu juga berlompatanlah para prajurit itu dengan pedang terhunus ke tengah-tengah lapangan yang dipenuhi lautan manusia tanpa daya. Dengan teramat ganas, pasukan Mataram itu menyabetkan pedangnya ke kanan dan kiri, memenggal leher siapa pun yang ada di dekatnya tanpa pandang bulu, apakah itu laki-laki tua, perempuan, bahkan anak kecil. Jerit tangis, lolong kesakitan, dan kumandang doa memenuhi angkasa alun-alun kraton malam itu. Namun tak ada yang sanggup menghentikan kegilaan yang tengah dipertontonkan pasukan Mataram yang notabene kebanyakan juga sudah memeluk agama Islam.Di atas bukit, Amangkurat I masih berkacak pinggang menyaksikan pembantaian besar yang dilakukan prajuritnya terhadap enam ribuan ulama, santri, dan seluruh keluarganya. Kepalanya mengangguk-angguk puas. Sesekali jemarinya memilin kumisnya yang tebal melintang. Dia benar-benar menikmati pemandangan di bawahnya. Betapa ribuan orang yang tengah menanti ajal itu sebentar lagi akan lenyap dari muka bumi. Musuh-musuhnya akan semakin sedikit. Dan dia akan bisa berkuasa dengan tenang, tanpa diusik oleh siapa pun.
Raja Jawa itu merasa sangat aman berada di atas bukit. Di sekelilingnya berdiri dengan kewaspadaan penuh puluhan Trisat Kenya.Dalam waktu teramat singkat, ribuan nyawa melayang dengan kepala terpisah dari jasadnya. Tanah alun-alun yang begitu luas seketika berubah menjadi lautan darah. Dari cahaya ratusan tiang obor yang menyala di sekeliling alun-alun, terlihat pasukan Mataram yang sudah belepotan darah itu masih saja bergerak buas membunuh ke sana-kemari tanpa perlawanan. Pasukan yang sebagian pernah ikut menyerang VOC di Batavia semasa kekuasaan Sultan Agung itu kini berbalik menjadi mesin penjagal bagi bangsanya sendiri.
Pembantaian yang sangat mengerikan itu berlangsung tidak sampai setengah jam!
Tiba-tiba terdengar lengkingan peluit panjang tiga kali yang ditiup para pimpinan regu pasukan. Penyembelihan telah berakhir. Semua orang yang ada di dalam daftar berikut keluarganya sudah dihabisi. Mendengar isyarat peluit itu, Amangkurat I mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.
Buang semua mayat itu ke parit!Sebagian prajurit yang masih bersiaga dengan pedang terhunus berjajar satu lapis dalam jarak tiap lima tombak mengepung alun-alun. Pedang dan badan mereka belepotan darah. Prajurit yang lain menyambut datangnya gerobak-gerobak dorong yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Gerobak-gerobak itu segera saja diisi dengan mayat-mayat tanpa kepala dan kepala tanpa jasad hingga penuh. Setelah gerobak penuh, prajurit yang membawa gerobak itu mendorongnya ke arah parit buatan dan membuang semua isinya ke dalam parit yang berair deras menuju ke Kali Opak. Berkali-kali mereka melakukan itu, mondar-mandir bagai kereta maut, hingga tak satu pun jasad tersisa.
Air parit dan Kali Opak yang tadinya jernih berubah menjadi kental berwarna merah. Bau anyir darah tercium di mana-mana.
Tanpa diketahui siapa pun, Wulung Ludhira, bocah sepuluh tahun adik dari Dyah Jayengsari, ternyata masih hidup. Tubuhnya yang kecil tertutup oleh mayat-mayat tanpa kepala yang sebagiannya menindih tubuhnya. Anak yang sudah ditinggal ibunya sejak bayi itu menggigil ketakutan. Ayah dan kakak satu-satunya sudah meninggal dengan cara yang sangat mengerikan. Dia ingin menjerit dan menangis. Tapi suaranya tercekat oleh kengerian yang teramat sangat. Bocah itu hanya bisa diam tak bergerak. Tubuhnya dirasa amat lemas dan juga kaku. Seluruh badan, kepala, dan rambutnya basah oleh darah kental yang membanjir di sekitarnya.
Tiba-tiba Wulung Ludhira merasakan tubuh kecilnya ikut digotong dan dilempar ke dalam gerobak bersama belasan mayat lainnya. Ditumpuk begitu saja menjadi satu. Bocah itu sungguh-sungguh ketakutan. Tubuhnya tidak bisa bergerak. Dia nyaris tidak bisa bernafas.Tapi itu malah menyelamatkan nyawanya.
Bocah kecil itu bisa merasakan jika gerobaknya ditarik dengan kasar oleh sejumlah prajurit. Roda-rodanya yang terbuat kayu dilapis karet hitam berderak-derak sebentar, lalu berhenti. Wulung Ludhira bisa merasakan gerobak tiba-tiba miring. Dia bersama belasan mayat tanpa kepala dan kepala tanpa jasad yang masih hangat itu pun langsung meluncur bebas ke dalam parit yang deras airnya. Dia pun hanyut di parit yang sudah dipenuhi mayat.
Walau pandai berenang, namun bocah itu kesulitan menggerakkan tubuhnya disebabkan mayat dan kepala ada di mana-mana. Dengan menahan kengerian yang teramat sangat, dia berpegangan pada salah satu kaki jasad yang mengambang. Bocah kecil itu terus mengikut kemana air membawanya.
Pekatnya malam membuatnya tak terlihat oleh pasukannya Amangkurat I yang masih sibuk membersihkan alun-alun. Bocah kecil itu kelelahan. Semua kejadian malam itu menguras seluruh tenaga dan perasaannya. Akhirnya Wulung Ludhira pingsan. Dia terus hanyut dibawa air hingga jauh dari alun-alun. Hingga tubuhnya tersangkut akar beringin yang menjulur ke Kali Opak, beberapa kilometer ke selatan Kraton Plered.
Entah sudah berapa lama Wulung Ludhira tak sadarkan diri. Ketika siuman, matahari sudah berada di atas kepalanya. Bocah kecil itu mendapati dirinya masih tersangkut suluran akar beringin yang tumbuh di pinggir kali. Sebagian badannya masih terendam di bawah air kali. Di beberapa tempat, jasad tanpa kepala dan kepala tanpa badan juga tersangkut. Kengerian yang teramat sangat kembali menyergapnya. Walau seluruh tubuhnya sakit, dan juga lelah, dengan sisa-sisa tenaga bocah kecil itu berusaha merangkak naik ke pinggir kali, hingga dia tergeletak di atas rerumputan, satu meter dari air kali.
Entah kini dia berada di mana. Bocah itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tidak ada rumah barang satu pun. Yang ada hanya hamparan rumput dengan tiga pohon beringin besar yang tumbuh di dekat dirinya.
Lainnya hanya berupa semak dan tumbuhan perdu. Anak kecil itu tidak tahu nama tempat ini. Perutnya yang tidak terisi sejak kemarin terasa perih. Tubuhnya dirasa makin lemah. Dia menggigil kedinginan. Bocah itu akhirnya tak sadarkan diri kembali. Dia tergeletak begitu saja di atas rerumputan, dinaungi pohon beringin besar yang ada didekatnya.
Tak lama kemudian, seorang lelaki tua bertelanjang dada, dengan kepala ditutupi caping yang sudah kusam, mendekati bocah itu dengan hati-hati. Ketika mendapati ada bocah kecil yang menggeletak di atas rumput, lelaki tua itu mengusap kepala Wulung Ludhira dengan lembut. Bibirnya yang sudah sedikit keriput tersenyum tulus. Dengan penuh hati-hati akhirnya dia menggendong bocah itu dan bergegas pergi menghilang begitu saja ke arah barat… []
Bab 1178 tahun kemudian…Gua Selarong, Yogyakarta, 1825NYALI LEBIH PENTING KETIMBANG OTAK! Walau malam ini gelap gulita, tak ada bulan dan bintang yang menggantung di atas langit, namun Ki Singalodra tidak perduli. Lelaki kekar dengan wajah berewokan itu terus memacu kudanya seperti dikejar setan. Derap kaki kudanya menggetarkan bumi. Kepulan debu yang ditinggalkannya membentuk tabir pekat yang tak tembus pandang. Semua hewan malam menyingkir dari jalan jika tak ingin tergilas kegilaan kuda dan penunggangnya itu.
Jagoan dari Dusun Ngampilan ini memegang tali kekang hanya dengan sebelah tangan. Tangan yang satunya lagi memeluk seorang bocah kecil yang tubuhnya berlumuran darah. Bocah itu sudah tak bernyawa. Tubuh mungilnya bergerak-gerak, seirama gerak kuda yang terus berlari dengan amat cepat bagai terbang di atas tanah.
Dada Ki Singalodra sungguh-sungguh sesak, terbakar amarah. Setengah jam lalu dusunnya dibakar Belanda. Celakanya, saat itu dia tengah berada di dusun tetangga. Mendengar kabar mengejutkan itu, dia langsung pulang untuk menyelamatkan isteri dan anaknya. Namun terlambat. Gubuknya sudah terbakar habis. Seluruh isinya tlah jadi arang. Asap masih mengepul. Bara masih menyala merah di mana-mana. Dengan histeris tanpa memperdulikan bara yang terinjak kaki dan hawa panas yang masih menyengat kulit, lelaki itu terus mencari isteri dan anak semata wayangnya itu. Tapi nasi sudah jadi bubur. Isterinya ditemukan tergeletak tak bernyawa di dekat sumur. Perempuan yang sangat dicintainya itu terlihat sedang memeluk anaknya yang nyaris seluruh tubuhnya terbakar.
Dengan mata berkaca-kaca menahan kesedihan sekaligus kemarahan yang amat sangat, lelaki itu berteriak histeris.
Dia segera mengambil anak itu dan memeluknya. Setelah mencium kening isterinya untuk yang terakhir kali, Ki Singalodra langsung melompat ke atas kuda hitamnya. Dengan sekali gebrak, kuda itu melesat pergi meninggalkan dusunnya.
Londo anjing!!!
Belanda telah menggali kapak peperangan dengan dirinya! Sia-sia saja selama ini dia mengabdi pada mereka, jika balasan yang diterimanya ternyata seperti ini! Tekadnya telah bulat. Yang dulu kawan mulai malam ini menjadi lawan terbesarnya. Sekarang juga dia akan bergabung dengan pasukan Kanjeng Pangeran Diponegoro yang tengah menyusun kekuatan untuk memerangi Belanda dari Tegalredjo dan Selarong.
Aku akan menjadi pedang yang paling tajam bagi Gusti Kanjeng Pangeran!Bagi warga Merapi hingga sekitar Laut Kidul, nama Ki Singalodra sudah tak asing lagi. Sejak pulang dari bertapa dan berguru di berbagai gua, lembah, dan gunung beberapa tahun lalu, Ki Singalodra kembali ke dusunnya di Ngampilan dan menantang semua jagoan di sana. Tidak saja di Ngampilan, lelaki ini juga berkeliling untuk mengadu kesaktian melawan para jagoan lainnya di sekitar Merapi, Merbabu, Dieng, dan Lawu. Walau sempat beberapa kali kepayahan dan menderita luka dalam sejumlah perkelahian, namun kecerdikan dan kenekatannya membuat dirinya keluar sebagai pemenang. Sosok Ki Singalodra menjadi sosok yang ditakuti. Dia pun akhirnya bisa mempersunting gadis idaman hatinya, bunga Dusun Ngampilan, yang sejak kecil telah mencuri perhatiannya.
Ketenaran namanya didengar langsung Residen Yogyakarta. Pejabat Belanda ini akhirnya memerintahkan kepala pasukan setempat untuk merekrutnya. Tetapi karena Ki Singalodra tidak mau ditempatkan sebagai kepala regu pasukan reguler yang harus bekerja tiap hari dan wajib memiliki disiplin tinggi, akhirnya dia dipekerjakan sebagai tenaga khusus.
Sekarang, Ki Singalodra sama sekali tidak menyangka. Pengabdiannya yang total selama ini kepada Belanda, ternyata dibalas dengan sangat menyakitkan.
Ibarat pepatah, air susu dibalas dengan air tuba.
Sebab itu, tidak ada jalan lain. Mulai malam ini, dia akan mengubah haluan hidupnya seratus delapan puluh derajat. Dendamnya teramat sangat besar. Darah harus dibalas dengan darah. Nyawa harus diganti nyawa. Kedua matanya merah menyala-nyala.
Belanda, Patih Danuredjo, dan orang-orang kraton cecunguk asing itu sekarang menjadi musuh terbesarku!Kedua mata jagoan dari Dusun Ngampilan itu lagi-lagi melotot garang. Dadanya sesak oleh amarah dan dendam.
Jalan tanah selebar tiga meter di depannya mulai menanjak lurus. Sebentar lagi dia akan tiba di pelataran menuju Gua Selarong, di mana Kanjeng Pangeran tengah berada. Mengingat sosok Pangeran Diponegoro, hatinya diliputi perasaan yang aneh. Antara semangat yang membara dan kerinduan yang teramat sangat.
Inilah jalanku!Tiba-tiba kudanya berhenti dan mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi. Ringkikannya memecah keheningan malam yang sepi. Hampir saja Ki Singalodra terjatuh jika dia tidak kuat menahan tali kekangnya. Dia segera
merapatkan tubuhnya dengan leher kuda sehingga keseimbangannya tetap terjaga. Sebelah tangannya tetap kuat mendekap tubuh anaknya. Tak jauh di depannya, empat lelaki dengan mengenakan baju wulung hitam dan ikat kepala yang juga hitam mencegatnya dengan tombak dan pedang terhunus. Salah satunya membawa obor di tangannya.
“Berhenti!” teriak mereka.
“Hendak kemanakah kisanak dan siapa yang digendong itu!” teriak salah satunya. Dengan penuh kewaspadaan, lelaki yang satu itu mendekati Ki Singalodra dari sisi kanan. Sedangkan yang satunya lagi bergerak menyamping ke sisi yang berlainan. Dua lelaki lainnya masih berdiri menghadang dengan senjata terhunus.Ketika lelaki itu melihat wajah Ki Singalodra dengan jelas, wajah yang tak asing lagi dan sangat ditakuti orang-orang kampung, nyalinya agak bergetar. Namun bayangan sosok Kanjeng Pangeran Diponegoro yang setiap waktu memberinya nasehat keagamaan membuat dirinya kuat dan berani.
“Takutlah kalian hanya kepada Allah Subhana wa Ta’ala, bukan kepada mahluk-Nya. Allah Maha Kuat, sedang mahluknya sangatlah lemah…”Tangan lelaki itu memperkuat genggaman tangannya pada gagang pedangnya, “Ternyata kau Singalodra. Hendak kemana engkau malam ini dan siapa lagi itu yang kau bunuh!”
Dengan penuh amarah, Ki Singalodra menjawab, “Ini anakku! Minggir kalian semua! Isteri dan anakku mati malam ini dibunuh Belanda! Aku mau menghadap Gusti Kanjeng Pangeran!”
Keempat lelaki yang menghadangnya tak percaya.
“Apa katamu? Bukankah engkau pelayan kafir Belanda! Janganlah berdusta. Pulanglah sekarang. Kembalilah kepada tuanmu itu sebelum kami membunuhmu!”
“Wahai prajurit, aku bicara jujur. Aku sekarang ingin menghadap Gusti Kanjeng Pangeran. Aku mau bergabung dengan kalian. Jika kalian masih saja menghadangku, maka terpaksa tanganku ini yang akan berbicara!” bentak Ki Singalodra dengan suara mengguntur. Semua orang tahu, Ki Singalodra memiliki ajian Brajamusti, suatu ilmu pukulan yang sangat mematikan. Bahkan korbannya bisa hangus terkena pukulan itu.
Keempat lelaki bersenjata pedang dan tombak itu bergerak mundur sesaat, namun mereka masih mengepung Ki Singalodra dengan penuh kewaspadaan. Pedang dan tombak masih terhunus. Masing-masing terdiam sejenak dalam situasi saling menunggu. Namun tiba-tiba suara derap kuda terdengar mendekat dari arah Gua Selarong.
“Tunggu! Berhenti! Siapa itu!”
Dalam formasi masih mengepung Ki Singalodra, keempat prajurit itu menoleh ke arah datangnya suara. Dari pekatnya malam, muncul seorang penunggang kuda dengan wajah yang sangat berwibawa. Sorot matanya tajam dengan kumis melintang. Ki Singalodra tahu, lelaki ini pastilah Ki
Guntur Wisesa, seorang ulama yang juga pendekar dari lereng utara Gunung Merapi yang telah bergabung dengan barisan perlawanan Kanjeng Pangeran Diponegoro sejak dua tahun lalu. Dia belum pernah bertanding dengan orang ini karena Ki Guntur selalu saja menghindar dan sama sekali tidak tertarik untuk melakukan uji kesaktian melawannya.(Bersambung)
Ketika melihat Ki Singalodra yang berkuda sambil menggendong seorang bocah yang
berlumuran darah, Ki Guntur Wisesa menyapanya lembut,
Apa gerangan yang membawamu ke sini! Anak siapa yang kau bawa itu?”
Ketika mendengar sapaan yang lembut, hati Ki Singalodra yang tadinya panas
mendadak sejuk, bagai bara api tersiram air pegunungan.
“Wa’alaikumusalam… Aku ingin bergabung dengan barisan Kanjeng Gusti Pangeran,
wahai Ki Guntur Wisesa. Ini anakku, Surya Mandriga. Dia mati dibunuh Belanda tadi
malam, juga isteriku… Izinkan aku menghadap Kanjeng Gusti Pangeran sekarang juga.”
Ki Guntur Wisesa bergerak meminggirkan kudanya, memberi jalan pada tamunya.
“Silakan Kisanak. Kami akan mengawal Kisanak sampai di atas sana…”
“Terima kasih, Ki Guntur…”
Ki Singalodra mengangguk takzim pada ulama-pendekar itu dan kembali memacu
kudanya, namun tidak sekencang tadi. Kuda Ki Guntur Wisesa berjalan di depan.
Sedangkan keempat anak buahnya mengapit di kiri kanan dan belakangnya. Mereka
beriringan melintasi jalan utama yang terus menanjak menuju Gua Selarong yang
berada di bawah sebuah bukit batu yang besar.
Setibanya mereka di pelataran yang landai di mana di hadapan mereka terbentang batu
karang yang besar dengan sebuah tangga batu menuju ke atas, Ki Guntur Wisesa
memberi aba-aba dengan sebelah tangannya yang diangkat ke atas.
“Ya, kita berhenti sampai disini. Kita turun dan berjalan kaki ke atas sana.”
Ki Guntur yang mengenakan pakaian serba putih melompat dari kuda dan
menambatkannya pada salah satu pokok pohon yang ada di pinggir pelataran. Ki
Singalodra juga melompat turun dari kudanya sambil masih menggendong Surya
Mandriga.
“Mari Kisanak, ikut aku,” ajak Ki Guntur Wisesa. Dia menghampiri Ki Singalodra dan
menawarkan diri untuk membantu menggendongkan anaknya. Namun Ki Singalodra
menolaknya.
“Biar aku saja… Tolong tunjukkan saja jalannya.”
Kemudian Ki Guntur memerintahkan seorang anak buahnya berlari terlebih dahulu ke
atas untuk memberitahukan kedatangan Ki Singalodra kepada Kanjeng Pangeran
Diponegoro. Anak buah itu segera berlari ke atas.
“Sekarang kita tunggu dulu disini, Kisanak…,” ujar Ki Guntur.
Ki Singalodra menganggukkan kepala dan tetap berdiri dengan tegap di ujung bawah
susunan bebatuan yang membentuk anak tangga menuju ke gua yang ada di atasnya.
Tak lama kemudian, anak buah yang tadi ke atas tampak berlompatan menuruni anak
tangga yang sama. Dia langsung melapor kepada Ki Guntur yang berdiri di sisi kanan Ki
Singalodra.
“Kanjeng Gusti Pangeran siap menerimanya….”
Anak buah itu kemudian bergerak menggeserkan badannya ke samping, memberi jalan
kepada Ki Guntur dan Ki Singalodra. Keduanya lalu berlompatan bagai Kijang Kencana
menaiki tangga batu yang cukup curam. Hanya dengan beberapa kali hentakan
loncatan, badan mereka sudah melambung ke atas dengan cepat. Keempat prajurit
muda yang melihatnya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan takjub. Mereka
segera menyusul kedua orang itu dengan berlari menaiki tangga.
Setibanya di atas, Ki Singalodra tampak sedang diterima Pangeran Diponegoro. Ustadz
Muhammad Taftayani, Pangeran Ngabehi Jayakusuma alias Pangeran Bei[1], Ki Guntur
Wisesa, dan beberapa alim-ulama lainnya yang seluruhnya berpakaian putih-putih
tampak mendampinginya.
Semuanya menyandang senjata. Ada yang menyelipkan keris di pinggang, ada pula
yang memegang pedang.
Sebagaimana kawulo-alit yang bertemu dengan rajanya, sambil terus memeluk jasad
anaknya, Ki Singalodra segera berlutut. Dengan kepala menunduk, lelaki dengan
janggut dan cambang yang lebat ini berkata pelan, “Kanjeng Gusti Pangeran, hamba….”
Belum selesai lelaki itu mengucapkan perkataannya, Pangeran Diponegoro yang
mengenakan jubah serba putih lengkap dengan surban hijau lembut yang menutupi
sebagian kepalanya menyapa dengan lembut,
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh wahai Ki Singalodra… Semoga
Allah Subhana wa ta’alaselalu melindungi, merahmati, dan memberkati Kisanak…”
Badan Ki Singalodra menggigil mendengar suara yang sangat berwibawa itu. Entah
mengapa, mendengar salam dari orang-orang berjubah itu dia merasakan satu getaran
yang aneh di dalam dirinya. Getaran yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Ki
Singalodra tidak berani mengangkat wajahnya dari tanah. Dia tidak menjawab apa pun.
Bibirnya yang juga bergetar bagaikan terkunci rapat.
“Bangunlah saudaraku. Tidak perlu berlutut seperti itu. Kita adalah sama. Semua
manusia itu sederajat. Yang membedakan di antara manusia bukanlah keturunan,
pangkat, atau jabatan, melainkan ketakwaannya kepada Allah subhana wa ta’ala…,”
ujar Diponegoro lagi.
Lelaki dengan pakaian serba hitam itu perlahan bangun dan berdiri. Tangannya tetap
memeluk jasad anaknya dengan erat. Ki Singalodra masih saja tidak berani menatap
langsung wajah Diponegoro. Dia hanya melihat ke bawah.
“Gerangan apa yang membuatmu ke sini Kisanak?”
“Maafkan saya Kanjeng Gusti Pangeran… Saya ingin bergabung dengan Kanjeng Gusti
Pangeran…”
Diponegoro tersenyum. Ustadz Muhammad Taftayani yang berdiri di samping
Diponegoro membisikkan sesuatu ke telinga anak didiknya itu, “Sebaiknya kita urus
dahulu jenazah anak itu…”
Pangeran Diponegoro mengangguk dan memanggil dua pengawalnya untuk mengurus
jenazah anak dari Ki Singalodra itu.
“Maafkan saya Kisanak. Sebaiknya jenazah anak Kisanak diurus terlebih dahulu
dengan baik. Sebagai Muslim, kita wajib memperlakukan jenazah dengan layak.
Serahkan saja pada kita…”
Ki Singalodra segera menuruti perkataan Diponegoro. Dengan hati-hati dan berlinang
airmata dia menyerahkan jenazah puteranya itu kepada dua orang pengawal yang
segera menyambutnya.
Setelah jenazah anak itu dibawa, Pangeran Diponegoro berkata kembali, “Nah, apakah
seorang Ki Singalodra sungguh-sungguh ingin berjihad di sisi kami dalam menegakkan
kalimah tauhid di tanah Jawa ini? Mengusir kaum kafir Belanda dari negeri ini?”
Dengan mantap lelaki itu mengangguk, “Ya, Kanjeng Gusti Pangeran. Saya
bersungguh-sungguh.”
“Apakah Kisanak mengetahui apa yang sedang kami perjuangkan disini?”
“Melawan Belanda…?”
“Itu betul. Namun tujuan kami lebih mulia dari itu semua. Belanda bukanlah musuh kami.
Sebagaimana kami tidak memusuhi Danurejo dan orang-orangnya. Musuh kami adalah
kekufuran dan kezaliman. Itu yang kami perangi. Kami tidak memerangi orang, tapi kami
memerangi sistem yang melawan perintah Allah. Kami memerangi sistem thagut.”
“Thagut…?”
“Ya. Sebelum bergabung dengan kami, sebaiknya Kisanak bisa memahami dengan
benar apa yang harus diperjuangkan oleh kita semua, kaum Muslimin, di dalam
hidupnya. Untuk itu, jika tidak keberatan,Kisanak terlebih dahulu akan mengikuti
pengajian yang akan disampaikan Ki Guntur atau Ustadz Taftayani. Beliaulah yang akan
menerangkan kepada kita semua tentang apa dan bagaimana seharusnya berperang di
dalam Islam. Saya pun saat ini masih selalu belajar memperdalam ilmu agama. Mari kita
sama-sama belajar mendalami ilmu, karena itu adalah perintah agama.”
“Berperang di dalam Islam..?”
“Ya. Itu benar, Kisanak. Jihad fi sabilillah namanya. Semuanya nanti akan
diterangkan oleh ustadz-ustadz yang ada di sini. Dan satu lagi…”
Ki Singalodra mengkerutkan dahinya. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang
dimaksudkan dengan perang dalam Islam. Baginya perang adalah membunuh musuh
sebanyak-banyaknya, mengalahkannya, hingga musuh takluk. Itu saja.
Pangeran Diponegoro melanjutkan kalimatnya, “…semua yang ada disini harus
memperbaharui akidahnya. Jika Kisanak bersedia, silakan mengikuti perkataan saya
sekarang. Bagaimana?”
Lelaki berewokan itu menganggukkan kepalanya, “Baik Kanjeng Gusti Pangeran, saya
bersedia.”
“Nah, sekarang ikuti perkataan saya...”
Di depan gua yang gelap pekat tanpa penerangan obor, dengan perlahan namun jelas,
Pangeran Diponegoro berjalan mendekati Ki Singalodra yang masih berdiri mematung.
Tanpa ragu Diponegoro mengangkat kedua tangannya memegang kedua bahu lelaki itu.
Kemudian dia mulai mengucapkan dua kalimah syahadah yang diikuti kata demi kata
oleh Ki Singalodra.
“Asyhadu ala Ilaha Ilallah… wa asyhadu alla Muhammad ar-Rasulullahu... Saya
bersaksi, tiada tuhan yang patut disembah kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi
Muhammad adalah Rasul utusan Allah…”
Dengan terbata-bata, jagoan dari Dusun Ngampilan yang jika mendengar namanya saja
orang kebanyakan bisa gemetar itu mengucapkan dua kalimah syahadat. Ki Singalodra
cukup cerdas. Sekali saja Diponegoro menuntunnya, dia sudah bisa mengikutinya.
Setelah selesai, semuanya mengucapkan syukur.
“Alhamdulillahi Rabb al’Amien…“
Pangeran Diponegoro kemudian langsung memeluk Ki Singalodra dengan hangat.
Bagai pelukan seorang kekasih yang lama tak berjumpa. Sama sekali tidak ada
kecanggungan tampak di sana. Diponegoro, sang putera Sultan Hamengku Buwono III,
dengan sangat akrab dan hangat memeluk erat seorang jagoan yang tangannya banyak
berlumur darah orang lain. Hal ini langsung membuat hati Ki Singalodra luluh. Lelaki ini
lumer dan menangis terisak.
“Dosa-dosaku sudah banyak, Kanjeng Gusti Pangeran… Apakah ada cara untuk
menebusnya agar nanti saya bisa berkumpul dengan anak dan isteriku di surga?”
Pangeran Diponegoro masih memegang kedua bahu Ki Singalodra. Kedua matanya
yang tajam tapi menyejukkan menatap langsung ke dalam mata lelaki itu.
“Saudaraku, Allah Maha Pengampun dan Penyayang. Semua dosa umat-Nya akan
diampuni asalkan kita mau bersungguh-sungguh bertobat, terkecuali dosa syirik, yaitu
dosa karena menyekutukan Allah dengan sesuatu. Dosa syirik adalah dosa yang tak
terampuni.”
“Bagaimana caranya agar saya bisa kembali berkumpul nanti dengan keluargaku di
surga?” ulang Ki Singalodra.
“Berjihadlah dengan ikhlas, semata-mata demi tegaknya tauhid. Li ila kalimatillah. Asal kita tidak berhutang pada orang lain, setiap orang yang menemui
kematian di jalan jihad, syahid fi sabilillah, dijamin Allah langsung masuk surga…
tanpa dihisab.”
Kedua mata Ki Singalodra berbinar. Wajahnya menjadi cerah. “Terima kasih, Kanjeng
Gusti Pangeran. Terima kasih. Saya akan berjihad disamping Paduka.”
Ustadz Taftayani maju ke depan. Dia kemudian menyalami dan juga memeluk Ki
Singalodra. Setelah itu salah seorang guru dari Pangeran Diponegoro ini berdiri dan
memberikan sambutannya, “Dahulu ketika menghadapi kaum musyrikin Quraisy,
Allah subhana wa ta’ala mengirimkan seorang Hamzah bin Abdul Muthalib, untuk
memperkuat barisan kaum Muslimin. Hamzah adalah Singa Allah dan Rasul-Nya. Dialah
yang menjadi pahlawan Perang Badr dan Uhud. Dan sekarang, Allah subhana wa ta’ala mengirimkan bagi kita seorang Ki Singalodra yang gagah berani. Insya Allah,
dengan izin Allah, dengan bergabungnya Ki Singalodra, barisa kita akan bertambah
kuat. Cahaya kemenangan semakin dekat. Saya yakin, Ki Singalodra adalah Hamzah
yang dikirimkan Allah kepada kita. Allahu akbar!”“Amien ya Rabb! Allahu akbar!” teriak semua yang ada disitu. [] (Bersambung)
[1] Putera Sultan Hamengku Buwono II.
Bab 2ISLAM TIDAK PERNAH BERSEKUTU DENGANTHAGUT, sebagaimana air yang tidak
pernah bersatu dengan minyak, atau pun al-haq yang tidak akan pernah berdamai
dengan kebathilan. Ustadz Muhammad Taftayani menegaskan salah satu prinsip Islam
ini di dalam setiap pengajiannya. Seperti juga malam ini, digelar ‘taklim dadakan’ yang
hanya diikuti tujuh orang anggota pasukan baru, yakni Ki Singalodra dan enam orang
lainnya yang di antaranya para senopati terpilih yang sengaja dikirim oleh Raja
Surakarta, Kanjeng Susuhunan Paku Buwono VI[1] yang juga merupakan keponakan
Diponegoro. Hal ini dilakukan Paku Buwono VI untuk membantu persiapan
perjuangannya pamannya itu.
Selain sejumlah senopati pilihan, Susuhunan Paku Buwono VI juga mengirimkan
pasukan-pasukan kraton terlatih dan dana perang yang tidak sedikit.
Di dalam gua dengan penerangan sebuah obor kecil di sudut belakang, terhalang tiga
gundukan batu yang besar, Ustadz Taftayani duduk bersila di atas batu datar
menghadap ke bagian pintu gua. Dari tempat bersilanya, ulama dari Minangkabau yang
sudah menetap di Tegalredjo tersebut bisa melihat dua sosok prajurit yang berjaga di
pintu masuk gua. Walau hanya duduk, tidak berdiri seperti layaknya orang yang tengah
berjaga, namun mereka tetap waspada.
Malam ini, setelah bergabungnya Ki Singalodra ke dalam barisan Mujahidin, beserta
sejumlah orang baru, Ustadz Muhammad Taftayani segera menggelar pengajian yang
bertujuan untuk menyamakan persepsi tentang perjuangan yang tengah dipersiapkan
melawan kafir Belanda dan antek-anteknya. Semua anggota pasukan Diponegoro harus
memiliki persepsi yang sama di dalam jihad fi sabilillah, sebab itu, setiap ada anggota
baru yang bergabung, maka dia setidaknya harus melewati tiga tahapan penting:
bertobat dan memperbaharui syahadatnya, serta memiliki pemahaman yang lurus dan
benar tentang makna jihad di Jalan Allah.
Materi pertama malam ini adalah akidah atau Panji Syahadatain. Salah satu
bagiannya mengupas tentang Thagut atau ‘tuhan yang lain’.
Dengan suara yang pelan namun jelas, Ustadz Taftayani menerangkan, “…
Thaghut merupakan tuhan selain Allah subhana wa ta’ala. Segala pandangan
hidup, keyakinan, hukum, norma, peraturan, tradisi, dan sebagainya yang tidak berasal
dari hukum Allah, atau malah bertentangan dengan syariat dan akidah Allah, maka
itulah Thagut… Apakah ada yang ingin bertanya?”
Ki Singalodra mengacungkan tangannya, “Ustadz, apakah bea kerig-aji[2]juga bisa
dianggap sebagaiThagut?”
“Bea kerig aji, sama saja dengan bea pacumpleng[3], bea pangawang-awang[4], bea pajigar[5], bea wikah-welit[6], bea pajongket[7], bea bekti[8], bea jalan, bea pertunjukan[9], bea penimbangan[10], dan banyak lagi yang
lainnya. Semua ini merupakan sebagian kecil dari banyak sekali jenis-jenis pajak yang
dibebankan penjajah kafirin Belanda kepada rakyat kecil. Jika tidak salah, sekarang ini
ada lebih dari 34 jenis pajak yang harus dibayarkan rakyat kepada pemerintah kafir
Belanda. Berbagai pajak ini amat menyusahkan rakyat kecil yang memang hidupnya
melarat. Kezaliman ini tentu bertentangan dengan Islam. Dan sistem kekuasaan seperti
ini, dimana rakyatnya hidup susah, namun para pejabatnya hidup bermewah-mewah,
jelas merupakan sistem Thagut. Sistem ini harus diakhiri, dihancurkan, dan diganti
dengan sistem yang adil….”
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…” Tiba-tiba Pangeran
Diponegoro sudah berada di dalam gua bergabung dengan mereka.
“Wa’alaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh...,” jawab Ustadz Taftayani dan
seluruh yang hadir. Sang Pangeran kemudian duduk bersila di belakang Ki Singalodra.
Ketika menyadari siapa yang duduk di belakangnya, lelaki brewokan itu segera bergeser
untuk memberi ruang kepada Diponegoro. Dia benar-benar tidak enak hati jika harus
duduk membelakangi Kanjeng Pangeran. Tetapi Diponegoro dengan lembut malah
menahannya.
“Biarlah saya di sini saja. Kisanak tetap di situ…,” bisiknya sambil tersenyum.
Ki Singalodra tidak bisa berbuat apa-apa selain tetap duduk pada tempatnya semula.
Walau hatinya merasa teramat sungkan.
“Pangeran,” ujar Taftayani. “… kita disini sedang membahas pajak dan Thagut. Apakah
ada yang ingin ditambahkan?”
“Apakah soal pajak di Tanah Jawa ini sudah disinggung, Ustadz?”
“Sedikit. Silakan paparkan…”
Diponegoro terdiam seperti tengah mencari sesuatu. Mungkin kalimat pembuka. Dia
kemudian mulai berbicara. Suaranya terdengar halus, namun mengandung kekuatan.
“Pajak awalnya diniatkan sebagai salah satu cara untuk mengisi pundi-pundi kas suatu
negeri, agar negeri tersebut dapat mengelola dan membangun wilayahnya, termasuk
rakyatnya…,” paparnya.
Kemudian dia melanjutkan, “…Keberadaan pajak sangat penting, jika suatu negeri
memang tidak punya sumber lain yang bisa dimanfaatkan, misalnya sumber daya atau
kekayaan alam. Namun tidak di Tanah Jawa, tidak juga di Nusantara. Allah subhana wa ta’ala telah menitipkan sebagian kekayaan yang ada di surga di tanah ini. Tanah ini
sangat subur. Emas permata ada di mana-mana. Belum lagi kekayaan alam lainnya,
baik yang ada di darat, laut, maupun udara. Kalau dikelola dengan baik, negeri ini bisa
memakmurkan rakyatnya tanpa memungut pajak sedikit pun. Memungut pajak di negeri
yang kaya seperti di Tanah Jawa ini adalah haram hukumnya…”
Ki Singalodra dan keenam orang lainnya hanya tertegun mendengar kalimat yang
disampaikan Pangeran Diponegoro. Sangat jelas dan tegas.
“Lantas mengapa kafir Belanda memajaki rakyat kita seperti sekarang? Bahkan orang-
orangnya Patih Danuredjo juga memusuhi rakyatnya sendiri…” tanya Pangeran
Diponegoro. Kemudian dia sendiri yang menjawabnya, “Karena kafir Belanda adalah
penjajah bagi bangsa ini. Penjajah selalu melakukan perampokan terhadap bangsa
yang dijajahnya. Baik perampokan yang dilakukan terang-terangan, juga perampokan
yang dilakukan secara diam-diam, atau berkedok macam-macam, ya seperti pajak yang
sekarang ada. Pajak sekarang ini sudah menjadi sumber bagi pejabat untuk
memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Para pejabat di negeri ini kian hari kian rakus
dengan kelezatan dunia. Kegilaan mereka ini tidak pernah terpuaskan. Yang menjadi
korban adalah rakyat kebanyakan…”
“Apakah sebab itu kita harus memerangi mereka? Bagaimana berperang atau jihad fisabilillah itu?” tanya salah seorang senopati yang kemarin baru dikirim Paku Buwono
VI.
Diponegoro menengokkan wajahnya ke arah Ustadz Taftayani. Namun ustadz itu malah
mempersilakan Diponegoro untuk menanggapinya, “Silakan Pangeran…”
“Perang di dalam Islam bersifat membebaskan,” jawab Diponegoro, “…sebab itu, jika
suatu kota atau negeri telah ditaklukkan oleh kaum Muslimin, maka istilahnya bukanlah
penaklukan, kalah, dan sebagainya, tetapi Futuh. Futuh berasal dari bahasa arab yang
berarti ‘pembebasan’ atau ‘membebaskan’. Membebaskan dari apa? Yaitu
membebaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah subhana wa ta’ala,
baik itu ketundukan kepada hukum yang zalim, sistem yang salah, penguasa yang
korup, dan sebagainya. Itulah esensi perang di dalam Islam, membebaskan manusia
dari kebathilan dan kezaliman…”
Mendengar itu, Ustadz Taftayani tersenyum puas. Dia benar-benar menyayangi murid
yang satu ini. Ulama rendah hati dari tanah seberang ini tahu jika Pangeran Diponegoro,
yang terlahir dengan nama Bendoro Raden Mas Mustahar, yang kemudian dikenal
sebagai Bendoro Raden Mas Ontowiryo, pada 11 November 1785 di Kraton Yogyakarta
ini memiliki banyak keistimewaan.
Diponegoro[11] adalah anak tertua dari Sultan Hamengku Buwono III dan Raden Ayu
Mangkarawati. Ketika melihat dan memangku bayi Diponegoro, Sultan Hamengku
Buwono I haqul yaqin jika suatu hari nanti Diponegoro akan tumbuh menjadi
pembebas rakyat dari kezaliman dan kesengsaraan.
“Bayi ini akan menjadi orang yang memimpin perang besar untuk mengusir penjajah
Belanda dari tanah Jawa. Dia akan menimbulkan kerusakan yang sangat besar pada
kafir Belanda. Dia akan menjelma menjadi orang besar yang dicintai rakyatnya, melebihi
diriku,” tegas Sultan Hamengku Buwono I yang juga kakek buyut dari Diponegoro.
Sebab itu, Sultan secara khusus mengamanahkan agar bayi Diponegoro kelak diasuh
dan dididik permaisurinya sendiri, Ratu Ageng. (Bersambung)
[1] Kanjeng Susuhunan Paku Buwono VI lahir di Surakarta, 26 April 1807 dan meninggal
dalam pembuangan Belanda di Ambon, pada tanggal 2 Juni 1849. Nama aslinya Raden
Mas Sapardan. Beliau naik tahta dalam usia 16 tahun dan setahun kemudian, dalam
usia 17 tahun, beliau telah menjadi pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro yang
loyal walau terikat perjanjian dengan Belanda. Pakubuwana VI meninggal dunia di
Ambon pada tanggal 2 Juni 1849. Menurut keterangan resmi Belanda, beliau meninggal
karena kecelakaan saat berpesiar di laut.
Di tahun 1957, jasad Pakubuwana VI dipindahkan dari Ambon ke Astana Imogiri,
kompleks makam keluarga raja Mataram. Pada saat makamnya digali, ditemukan bukti
bahwa tengkorak Pakubuwana VI berlubang di bagian dahi. Menurut analisis Jenderal
TNI Pangeran Haryo Jatikusumo (putera Pakubuwana X), lubang tersebut seukuran
peluru senapan Baker Riffle. Ditinjau dari letak lubang, kematian Pakubuwana VI jelas
ditembak pada bagian dahi, bukan kecelakaan.
[2] Pajak atas kepala atau pajak yang dikenakan pada setiap orang, besar dan kecil
tanpa perkecualian.
[3] Pajak atas pintu rumah.
[4] Pajak atas pekarangan rumah.
[5] Pajak atas hewan ternak.
[6] Pajak atas kepemilikan lahan kebun atau sawah, walau luasnya hanya sedikit.
[7] Pajak yang dikenakan bila hendak pindah rumah.
[8] Pajak jika seseorang bertukar tuan tanah atau majikan.
[9] Pajak pertunjukkan resminya dikenakan pemerintah kepada warga desa jika ada
pertunjukkan kesenian atau hiburan lainnya. Namun nyatanya, walau tidak pernah ada
pertunjukkan hiburan, rakyat tetap diharuskan membayar jenis pajak ini.
[10] Pajak penimbangan padi dilakukan ketika panen. Tapi faktanya, seperti juga pajak
pertunjukkan, padi-padi hasil panen para petani tidak pernah ditimbang, namun tetap
dikenakan pajak. Bahkan banyak petani miskin diwajibkan kerja di lahan pertanian milik
bupati tanpa dibayar sepeser pun.
[11] Nama asli Diponegoro adalah Bendoro Raden Mas (BRM) Mustahar. Lahir di
keraton Jogyakarta, pada Jum’at Wage, 7 Muharram Tahun Be (11 Nopember 1785).
Tahun 1805, Sultan HB II mengganti namanya menjadi Bendoro Raden Mas (BRM)
Ontowiryo. Adapun nama Diponegoro dan gelar Pangeran baru disandangnya sejak
tahun 1812 ketika ayahnya naik takhta.
Di masa itu, perempuan-perempuan dan laki-laki Jawa-termasuk di kalangan
bangsawan kraton-lazim menikah di usia yang masih relatif sangat muda. Ketika
Diponegoro dilahirkan, Raden Ayu Mangkarawati, sang ibu, masih berusia 14 tahun, dan
ayahnya 16 tahun[1]. Dan sudah menjadi kelaziman jika sang anak kemudian diasuh
oleh nenek atau buyutnya. Hal ini merupakan tradisi leluhur agar sang anak
mendapatkan pendidikan dan pengasuhan yang benar dari seseorang kerabat yang
jauh lebih matang dan dewasa. Suatu konversi budaya yang saat ini sudah punah.
Sesuai amanah khusus dari Hamengku Buwono I, bayi Diponegoro diasuh oleh nenek
buyutnya, Ratu Ageng. Ratu Ageng dikenal sebagai seorang permaisuri yang sangat
taat pada agama dan luas ilmunya. Sampai tahun 1792, ketika suaminya masih
berkuasa, Ratu Ageng mengasuh Diponegoro di kraton dan kemudian meneruskannya
di Puri Tegalredjo setelah suaminya wafat.
Selain seorang pendidik, Ratu Ageng juga merupakan Panglima Bregada Langen Kesuma-kesatuan pasukan elit khusus perempuan pengawal raja, seperti hanya Trisat
Kenya di zaman Amangkurat I-pada masa kekuasaan Mangkubumi.
Bregada Langen Kesuma merupakan kesatuan khusus pengawal raja yang sangat
tangguh. Walau semua anggotanya perempuan, namun pasukan berkuda ini dilengkapi
dengan senjata api laras panjang dan pendek, pedang, keris, tombak, trisula, dwisula,
dan lain sebagainya. Keterampilan mereka dalam olah senjata dan olah kanuragan
jangan diragukan lagi.
Ada sebuah kisah yang terjadi pada bulan Juli 1809. Ketika itu Marshall Hermann
Wilhelm Daendels berkunjung ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam salah satu
jamuan penyambutan, diperlihatkan atraksi dari Bregada Langen Kesuma dan dia
terkagum-kagum melihat atraksi pasukan khusus perempuan ini. Sejarawan Carey
mengatakan jika Langen Kesuma merupakan satu-satunya kesatuan militer pribumi
yang mampu membuat Daendels berdecak kagum ketika melihatnya.
Selain Daendels, J. Greeve bersama Residen Surakarta Hartsinch juga pernah
menyaksikan Bregada Langen Kesuma ini. Mereka disambut dengan salvo senapan dan
meriam yang dipergilirkan dengan amat sempurna.
Markas dari kesatuan istimewa ini berada di Pesanggrahan Madyaketawang. Lapangan
latihan menembak bagi pasukan ini berada di alun-alun Pungkuran, di selatan kraton.
Serat Rerenggan Karaton, Pupuh XXII, Sinom, menyebutkan:
“Sanggrahan Madya Ketawang, lamun miyos Sri Bupati, pratameng Langenkusuma, lir priya praboting jurit, tinonton saking tebih, saengga priya satuhu, samya munggeng turangga, myang yen gladhi neng praja di, angreh kuda neng ngalun-alun pungkuran.”
Artinya lebih kurang sebagai: “Di Pesanggrahan Madyaketawang, dan datanglah Sri
Bupati (maksudnya Sri Sultan) untuk menyaksikan mereka, seorang perempuan yang
menjadi pemimpin pasukan Langen Kesuma, penampilannya mirip prajurit lelaki, dilihat
dari jauh, tampak seperti prajurit laki-laki sungguhan, semua naik kuda, menuju tempat
latihan di ibukota, yaitu di Alun-alun Pungkuran.”
Selain menempa pasukan khusus perempuannya dengan ilmu perang dan kanuragan,
Ratu Ageng juga membekali mereka dengan ilmu agama sehingga pakaian pasukan ini
terbilang sangat sopan, dengan tetap mengedepankan kebebasan gerak untuk
berperang. Ratu Ageng sebagai pengasuh Pangeran Diponegoro adalah panglima
pasukan khusus ini. Bukan hanya sebagai panglima, Ratu Ageng juga merupakan
seorang permaisuri raja yang sangat peduli dengan nilai-nilai keislaman. Sebab itulah,
selain menempa seorang Diponegoro dengan cara-cara seorang ksatria, Ratu Ageng
juga membekali cicit kesayangannya ini dengan ilmu agama yang cukup dalam.
Namun berbeda sikapnya dengan Diponegoro, terhadap anak kandungnya sendiri Ratu
Ageng malah tidak akur. Ini disebabkan karena Raden Mas Sundoro dianggap tidak taat
dalam menjalankan perintah agama, walau Raden Mas Sundoro sendiri dikenal sangat
anti terhadap penjajah Belanda.
Sebab itulah, ketika Hamengku Buwono I turun tahta dan digantikan oleh Raden Mas
Sundoro yang kemudian dikenal sebagai Hamengku Buwono II di tahun 1792, Ratu
Ageng memilih untuk keluar dari lingkungan kraton yang dianggapnya sudah cemar oleh
tradisi kafir Belanda. Ratu Ageng lebih memilih tinggal di sebuah dusun terpencil yang
kelak dikenal sebagai Tegalredjo, berjarak sekira tiga kilometer barat kraton. Diponegoro
ikut diboyong keluar dari kraton dan tinggal di dusun di tengah-tengah rakyatnya sendiri.
Dari Kraton, Puri Tegalredjo tepat berada di arah barat laut, arah yang dijadikan kiblat
bagi umat Islam di Nusantara untuk sholat. Di dalam kompleks puri, Ratu Ageng juga
membangun sebuah masjid di sebelah barat laut bangunan utama puri yang berupa
pendopo utama.
Karena dibesarkan dalam lingkungan kawulo alit atau rakyat kecil, maka dalam jiwa
seorang Diponegoro tumbuh rasa kepedulian yang sangat besar kepada orang-orang
kecil. Apalagi sejak kecil Diponegoro melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa
seorang Ratu Ageng, permaisuri seorang raja, tidak merasa rendah ketika harus bergaul
dengan kawulo alit. Bahkan Ratu Ageng ikut terjun langsung bercocok tanam di sawah
dengan kaki dan tangan penuh lumpur. Ratu Ageng harus bekerja, karena dia harus
menghidupi keluarganya sendiri disebabkan dia menolak bantuan keuangan dari kraton
yang dianggapnya sudah dikotori oleh kemaksiatan dan kezaliman.
“Akan jauh lebih mulia di hadapan Allah jika aku bekerja dengan tangan dan kakiku
sendiri, ketimbang hidup dengan bertumpu pada uang kotor yang berasal dari memeras
keringat dan darah rakyat!” tegasnya.
Diponegoro juga melihat betapa Ratu Ageng sangat gandrung pada literatur-literatur
keagamaan, sejarah, dan juga sastra, sehingga rumahnya yang sederhana di
Tegalredjo bagaikan sebuah perpustakaan kecil. Sebaliknya, terhadap harta benda,
Ratu Ageng tidak memiliki minat yang besar. Dia hanya memiliki barang-barang primer
yang memang dibutuhkan dalam rumah tangga seperti kebanyakan orang.
Semua pengajaran yang diberikan Ratu Ageng dan para ulama yang dipanggil maupun
yang didatangi langsung oleh Diponegoro muda menyebabkan Pangeran Diponegoro
menjadi seorang pemuda yang bersahaya. Seluruh kehidupannya diusahakan dengan
keras mengikuti teladan Rasulullah SAW. Dia sering menyamar sebagai orang
kebanyakan, mengenakan ikat kepala dan kain wulung dan berbaju hitam. Diam-diam
dia sering membaur bersama para santri di pondok-pondok pesantren di pedesaan
dengan menggunakan nama samaran Ngabdurakhim. Di saat samarannya hampir
terbongkar, dia akan segera pindah ke pondok pesantren yang lain. Selain itu,
Diponegoro juga senang mengembara, keluar masuk hutan, tinggal di gua-gua untuk
menyendiri, dan menatap lama-lama deburan ombak dan langit Laut Kidul.
Pangeran Diponegoro tahu betul, kehidupan para pembesar kraton yang sebagian besar
masih kerabatnya, kian hari malah kian jauh dari tuntunan agama. Para pejabat kraton
yang notabene sudah memeluk Islam, semakin hari malah semakin mesra dengan
kafir Belanda. Islam bagi mereka hanyalah identitas formal, sedangkan kelakuannya
sudah tidak ada beda lagi dengan kelakuan kaum kafir Belanda yang menyukai dansa-
dansi sampai pagi, minum-minuman keras, gila harta dan judi dengan taruhan gadis-
gadis penari.
Martabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang tadinya begitu tinggi dan mulia kini
sudah cemar, dikotori kafir Belanda dan sebagian besar pembesar kraton sendiri yang
sudah lupa dengan jatidirinya.
Sebab itu, ketika Hamengku Buwono III, ayah kandungnya, hendak menobatkannya
sebagai putera mahkota-walau Diponegoro bukan berasal dari permaisuri, namun selir-
dengan tegas dia menolaknya. Ustadz Taftayani tahu, penolakan Diponegoro lebih
disebabkan ketidaksukaannya terhadap campur tangan Belanda dalam kekuasaan
kraton. Bahkan pengangkatan seorang raja pun harus disetujui Belanda dan Residen
Belanda-lah yang melantik seorang raja. Diponegoro amat muak dengan semua ini.
Itulah yang melatarbelakangi penolakannya untuk menjadi raja di Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat.
Dengan penuh keikhlasan, dia menunjuk adiknya yang masih belia, Raden Mas Jarot,
untuk menerima posisi sebagai putera mahkota. Dihadapan orang-orang terdekatnya,
Diponegoro ketika itu mengatakan,
“Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau saya lupa, tolong
ingatkan pada saya, bahwa saya bertekad tidak mau dijadikan pangeran mahkota,
walau pun seterusnya akan diangkat menjadi raja, seperti ayah atau nenenda. Saya
sendiri tidak ingin itu terjadi. Cukuplah saya menjadi seperti apa yang ada sekarang,
dekat dengan Gusti Allah dan rakyatku. Saya bertobat kepada Allah Yang Maha Besar.
Hidup di dunia tiada akan lama dan saya tidak ingin hidup saya ini nantinya dikotori oleh
kafir Belanda. Saya tidak ingin hidup dengan menanggung dosa…”[2]
Bagi Diponegoro, kehidupan penuh glamor di dalam kraton sama sekali tidak menarik
hatinya. Baginya kraton adalah tempat yang penuh dengan dosa, dan dia tidak mau ikut
terkotori. Diponegoro lebih menyukai hidup dan berada di tempat yang sepi, untuk
mencari kesejatian dan makna hidup, menggali ilmu agama, dan pengetahuan yang
bermanfaat.
Seorang Diponegoro lebih menyukai menjalin silaturahim dengan para alim-ulama dan
rakyat biasa, ketimbang berdekat-dekatan dengan penguasa. Sejumlah ulama besar
yang dekat dengan Diponegoro antara lain Kiai Muhammad Bahwi, penghulu utama
kraton, lalu Haji Baharudin yang menjadi Komandan Pasukan Suronatan, Kiai
Kasongan, Kiai Papringan, juga dengan Kiai Baderan ayah dari Kiai Mojo, dan lain-lain.
Dan seorang Ustadz Muhammad Taftayani merasa bersyukur bisa menjadi salah satu
guru bagi orang yang berhati mulia ini.
“Ustadz… silakan lanjutkan paparannya. Saya hendak keluar dahulu,” ujar Pangeran
Diponegoro membuyarkan semua ingatan Muhammad Taftayani[3] tentang murid
kesayangannya itu.
“Astaghfirullah.. saya melamun. Silakan Pangeran. Dan karena hari sudah semakin
malam, pengajian kali ini kita cukupkan sampai disini dahulu. Mudah-mudahan iman
Islam yang kita miliki mampu untuk mengikat hati kita semua dalam perjuangan yang
sebentar lagi akan mendatangi kita. Cepat atau lambat, semuanya akan diuji oleh
perjuangan ini. Saya berdoa agar Allah subhana wa ta’ala nanti memasukkan dan
mengumpulkan kita semua di dalam jannah-Nya. Amien ya Rabb.
Apakah kisanak semua masih ada pertanyaan?”
Ketujuh lelaki dewasa yang ada di hadapan Ustadz Taftayani saling berpandangan dan
kemudian menggelengkan kepala.
“Baiklah. Nanti kita akan berkumpul kembali dalam pengajian berikutnya. Untuk saat ini
Pengajian telah berakhir malam itu. Para prajurit ada yang beristirahat, ada pula yang
bertugas jaga. Sedangkan dua senopati, sejumlah sesepuh, dan pimpinan pasukan
lainnya bergabung di sebuah rumah yang cukup besar di bagian bawah Gua Selarong.
Seperti yang dilakukan setiap malam, semuanya akan mendengar pemaparan
perkembangan terakhir situasi Yogyakarta dan juga kraton dari para telik sandiatau
mata-mata yang dikirim ke berbagai tempat. Pangeran Diponegoro akan langsung
memimpin pertemuan tersebut. [] (Bersambung)
[1] Bendoro Raden Mas Mustahar atau Bendoro Raden Mas Ontowiryo atau Pangeran
Diponegoro dilahirkan 11 November 1785. Ayahnya, Raden Mas Surojo atau yang
kemudian dikenal sebagai Hamengku Buwono III dilahirkan pada 20 Februari 1769.
[2] Kalimat yang diucapkan Pangeran Diponegoro ini tertulis di dalam Babad Diponegoro
jilid I hal.39-40.
[3] Menurut laporan Residen Belanda tahun 1805, Ustadz Taftayani yang berasal dari
Sumatera Barat itu mampu memberikan pengajaran dalam bahasa Jawa dan pernah
mengirimkan anak-anaknya ke Surakarta, pusat pendidikan agama pada waktu itu. Di
Surakarta, Taftayani menerjemahkan kitab fiqih Sirat Al-Mustaqim karya Nuruddin Ar
Raniri ke dalam bahasa Jawa. Ini mengindikasikan, Pangeran Diponegoro belajar Islam
dengan serius. (Dr. Kareel A. Steenbrink, 1984, “Beberapa Aspek Tentang Islam di
Indonesia Abad ke 19″, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta hal. 29
Bab 3
SUROMENGGOLO BERSAMA TIGA LELAKI LAINNYA sudah duduk bersila di ruangan
agak besar berdinding bambu yang tidak dilabur dengan kapur, sehingga bilik-biliki
bambu yang mengikat dengan saling-silang itu menampakkan keasliannya. Sebuah
pelita kecil sengaja diikatkan di pokok bambu, tepat di bagian tengah atas ruangan.
Keempat orang itu merupakan bagian dari pasukantelik sandi yang sengaja dikirim
Diponegoro ke daerah-daerah musuh untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya
tentang berbagai hal.
Di luar, suara hewan malam terdengar bersahut-sahutan. Sesekali di kejauhan,
lenguhan monyet menimpali. Suaranya begitu memilukan, bagai meneriakkan nasib
rakyat pribumi yang terus-menerus menderita di bawah kekejaman Belanda dan antek-
anteknya.
Suromenggolo sungguh-sungguh kagum dengan Susuhunan Paku Buwono IV.
Keponakan dari Pangeran Diponegoro inilah-bersama Pangeran Mangkubumi[1]-yang
menganjurkan agar pamannya memilih Gua Selarong sebagai basis perlawanan gerilya.
Wilayah Selarong dengan beberapa guanya memang sangat strategis. Tempatnya
berada di ketinggian sebuah bukit, dikelilingi hutan yang masih lebat walau tidak luas.
Jalan dari dan menuju gua hanya satu dan itu pun kecil sehingga sulit dilalui kereta yang
ditarik kuda. Walau berada di ketinggian, namun Gua Selarong yang berada di selatan
Yogyakarta ini tak begitu jauh dengan dengan garis pantai Laut Kidul, tempat yang
disukai Diponegoro untuk tafakur .
Di bawah Gua Selarong terdapat perkampungan yang sudah ramai oleh rumah
penduduk. Walau demikian, kontur daerah ini memang menjadikannya sangat cocok
untuk dijadikan markas komando dalam kacamata militer.
Setelah menyimak dan menimbang saran dari Paku Buwono VI, Pangeran Diponegoro
akhirnya mengakui jika usul keponakannya tersebut memang tepat. Gua Selarong
memang sebuah benteng alami yang cukup tangguh.
Sebagai seseorang yang dididik dan dibesarkan panglima pasukan khusus pengawal
raja, Pangeran Diponegoro tahu banyak soal strategi perang. Ratu Ageng tidak hanya
memberinya pengetahuan keagamaan, tetapi juga membekalinya dengan dasar-dasar
kepemimpinan dan kemiliteran, pengetahuan tentang taktik perang, penggunaan
senjata, manajemen pasukan, dan lain sebagainya.
Sebab itulah, walau tidak dilakukan tiap malam, selepas pengajian dan di saat yang lain
sudah beristirahat atau kembali berjaga di posnya masing-masing, Pangeran
Diponegoro selalu mengadakan pertemuan terbatas dengan para telik sandi terpilih
untuk memantau perkembangan di luar sana.
Pangeran Diponegoro percaya dengan informasi yang disampaikan para telik sandinya.
Di sisi lain, tanpa sepengetahuan para telik sandinya, Diponegoro juga membentuk unit
kontra intelijen yang mengawasi dan mengecek semua informasi yang diterima dari
bawahannya. Yang terakhir ini direkrut dari orang-orang yang sangat dipercayainya,
walau pun jumlahnya tidak banyak. Ustadz Taftayani sendiri yang telah membaiat
mereka dengan kitab suci al-Qur’an di atas kepala.
Tiba-tiba pintu bilik yang bagian luarnya terbuat dari bambu bergerak terbuka. Deritnya
terdengar pelan. Dari pintu yang terbuka tampak Ki Guntur Wisesa yang pertama
memasuki ruangan, diikuti Pangeran Diponegoro, Ustadz Taftayani, Pangeran Bei,
seorang pengawal khusus, dan kemudian barulah beberapa orang sesepuh dan para
senopati. Salam pun ditebarkan, dijawab kembali dengan salam saling mendoakan
kebaikan bagi semuanya. Mereka duduk melingkar di tengah ruangan, diterangi
temaram satu-satunya pelita kecil yang diikat di atas dekat wuwungan.
Tidak ada yang bersuara hingga Ustadz Taftayani membuka pertemuan.
“Bagaimana laporanmu Suromenggolo?” bisiknya langsung ke pokok pertemuan.
Lelaki yang disapa Suromenggolo mengangguk pelan. Murid sekaligus orang
kepercayaan Kiai Mojo, ulama kharismatik dari Desa Mojo yang berada di utara
Surakarta, ini tidak segera menjawab. Dia mengedarkan terlebih dahulu pandangannya
ke sekeliling ruangan. Walau nyaris gelap, namun dia bisa merasakan jika seluruh
pimpinan pasukan jihad fi sabilillah Kanjeng Gusti Pangeran berkumpul di sini.
Setelah mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, masih sambil duduk bersila,
Suromenggolo membungkukkan badan dan mulai mengeluarkan suaranya. Terdengar
seperti orang berbisik, namun bisa didengar dengan jelas.
“Alhamdulillah. Semakin banyak ulama dan para pendekar yang menyatakan dengan
tegas jika mereka akan bergabung dengan kita….”
Pangeran Diponegoro dan semua yang ada di dalam ruangan tersebut juga
mengucapkan hamdallahtanda syukur kepada Allah subhana wa ta’ala. Beberapa
tahun lalu, Pengeran Diponegoro dan yang lainnya memang bergerak di segenap
penjuru negeri untuk menggalang kekuatan untuk memerangi dan mengusir Belanda.
Orang pertama yang dikunjungi Diponegoro adalah Kiai Abdani dan Kiai Anom di Bayat,
Klaten. Kedua kiai ini tidak saja menyatakan dengan tegas kesanggupannya untuk
bergabung namun juga memberi Diponegoro tambahan ilmu bela diri. Dari Bayat,
Diponegoro bersama Pangeran Mangkubumi melanjutkan perjalanan ke Sawit, Boyolali,
untuk menemui Kiai Modjo, seorang Kiai kepercayaan Kanjeng Susuhunan Pakubuwono
VI. Kiai Modjo pun mendukung penuh Pangeran Diponegoro. Lalu dengan diantar Kiai
Modjo, Pangeran Diponegoro menemui Tumenggung Prawirodigdoyo di Gagatan.
Tumenggung ini adalah orang kepercayaan Susuhunan Paku Buwono VI.
Dan atas saran Kiai Modjo dan Tumenggung Gagatan inilah, Pangeran Diponegoro pun
menemui Paku Buwono VI, keponakan Diponegoro sendiri.
“Hampir semua ulama yang saya temui di sekitar Merapi, Dieng, Merbabu, Kulon Progo,
dan lainnya, semua siap bergabung dengan Kanjeng Pangeran. Bukan saja para ulama,
namun juga para pendekar dan jagoan-jagoan setempat. Mereka sudah muak dengan
Belanda. Mereka hanya tinggal menunggu perintah dari Kanjeng Pangeran.”
Ustadz Taftayani mengangguk-angguk. “Alhamdulillah, ini perkembangan yang baik.
Namun ketahuilah, jika perang yang akan kita lakukan ini adalah perang sabil, Jihad fi sabilillah. Perang yang semata-mata bertujuan untuk meninggikan kalimat Allah dan
menghapuskan segala kezaliman. Sebab itu, kita harus mengaktifkan pengajian-
pengajian di seluruh negeri, agar semua yang nantinya bergabung dengan kita
memahami apa tujuan dan hakikat perang ini. Bagaimana Pangeran?”
“Insya Allah, saya juga berpendapat sama. Kita akan memetik kemenangan. Tidak ada
sedikit pun rasa takut dan cemas menghadapi hari esok bagi orang-orang beriman.
Kematian adalah kepastian. Dan hanya orang-orang beriman dan tawakal yang
kematiannya akan benar-benar indah. Insya Allah, Ustadz, dan juga yang lainnya, para
senopati dan para ulama, mulai besok kita akan menggencarkan pengajian kepada
semua orang yang bersedia bergabung dalam kafilah tauhid ini. Insya Allah..,” ujar
Diponegoro.
“Lantas, bagaimana dengan Danuredjo, Kisanak?” tanya Ustadz Taftayani kembali
kepada Suromenggolo.
“Danurejo makin tak terkendali, Ustadz. Tadi pagi seorang ibu yang sedang hamil tua
bersama dua orang anak kecil yang dibawanya dilarang lewat jembatan di Desa
Jotawang, hanya karena uang yang dimiliki sang ibu tadi untuk bayar pajak jalannya
kurang. Danurejo ada di sana. Dia tengah menginspeksi pos-pos jalan utama. Dia
sendiri yang kemudian memerintahkan ibu itu dan anak-anaknya untuk menyeberangi
Kali Code yang berbatu-batu yang ada di bawah jembatan. Akhirnya ibu dan anak-
anaknya itu pun terpaksa menyeberangi kali. Dan celaka, mereka jatuh dan terbawa
hanyut air kali yang deras. Tidak ada yang berani menolongnya karena Danurejo dan
pasukannya melarang semua orang yang ada di situ untuk menolong mereka….”
“Astaghfirullah al-adziem....,” desis semua yang ada di sana.
“Dasar anjing Belanda!” umpat Ki Singalodra geram. Giginya sampai terdengar
[1] Pangeran Mangkubumi merupakan anak dari Sultan Hamengku Buwono II atau yang
lebih populer disebut sebagai Sultan Sepuh. Sultan Hamengku Buwono II ini sangat anti
penjajah Belanda. Sikap ini diwariskan oleh Pangeran Mangkubumi. Pangeran
Diponegoro sendiri lebih dekat kepada Sultan Sepuh ketimbang terhadap ayahnya
sendiri, Sultan Hamengkubu Buwono III yang tidak begitu tegas, bahkan beberapa kali
dengan jelas mendukung Belanda.
Oleh Rizki Ridyasmara
Suromenggolo melanjutkan paparannya, “Danurejo juga telah memerintahkan dua orang
kepercayaannya, Pangeran Murdaningrat dan Pangeran Ponular untuk menaikkan tarif
pajak di beberapa ruas jalan yang makin ramai. Siapa saja yang tidak sanggup bayar,
dilarang melintas di jalan itu…”
Pangeran Diponegoro bergumam, “Murdaningrat dan Ponular, jahat benar mereka…”
Suromenggolo mendengar gumamannya, “Ya, benar Kanjeng Gusti Pangeran. Mereka
berdua telah benar-benar menjadi kaki tangan bagi Danurejo dan juga kafir Belanda.
Bukankah mereka yang menggantikan Kanjeng Gusti Pangeran dan Pamanda Kanjeng
Gusti Mangkubumi di dewan perwalian?”
Diponegoro mengangguk. “Ya, mereka yang menggantikanku dan
Paman Mangkubumi di Dewan Perwalian Kraton.”
Ustadz Taftayani dan semua orang yang berkumpul di ruangan itu tahu benar jika
sesungguhnya Dewan Perwalian Kraton hanyalah alat bagi kepentingan Belanda untuk
menipu rakyat.
Awalnya adalah ketika Sultan Hamengku Buwono III wafat pada tahun 1814. Saat itu
Raden Mas Jarot, adik dari Pangeran Diponegoro, baru berusia sepuluh tahun. Rakyat
menginginkan agar Diponegoro yang menjadi raja. Namun Diponegoro sejak awal
menolak. Dan Belanda pun tidak menyukai Diponegoro yang tidak mau tunduk pada
kepentingannya. Akhirnya Raden Mas Jarot pun naik tahta, menjadi Sultan Hamengku
Buwono IV dalam usia belia. Belanda menunjuk Paku Alam I sebagai wali
pemerintahannya.
Pada tanggal 20 Januari 1820, ketika Hamengku Buwono IV sudah hampir berusia
enambelas tahun, Paku Alam I meletakkan jabatan sebagai wali raja. Namun
pemerintahan mandiri Hamengku Buwono IV hanya berjalan selama dua tahun, karena
pada tanggal 6 Desember 1822 tengah hari, ketika baru saja sepulangnya dari tamasya,
dia meninggal dunia. Sebab itulah Hamengku Buwono IV disebut juga sebagai Sultan Seda ing Pesiyar, Sultan yang meninggal dunia ketika tengah tamasya.
Menurut keterangan Belanda, sakitlah yang menjadi sebab kematiannya. Namun
banyak orang yang percaya, jika Belanda atau orang-orangnya telah meracuni Sultan.
Belanda berbuat itu agar kekuasaan Patih Danuredjo IV bisa lebih besar.[1] Patih
Danuredjo IV, yang berasal dari keluarga Danurejan yang memang sejak lama menjadi
kaki tangan Belanda, kemudian menempatkan saudara-saudaranya menduduki jabatan-
jabatan penting di kraton. Dengan meninggalnya Hamengku Buwono IV, maka otomatis,
Raden Mas Gatot Menol, anaknya yang baru berusia tiga tahun akan naik tahta. Dengan
adanya raja balita ini, maka Patih Danuredjo akan sangat leluasa untuk menguasai
seluruh kraton. Dan kepentingan Belanda pun akan terjamin dalam waktu yang lama.
Dan memang demikian adanya. Raden Mas Gatot Menol yang baru berusia tiga tahun
pun diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono V. Untuk mendampingi raja kecil ini,
Belanda bersama Patih Danuredjo IV membentuk Dewan Perwalian Kraton, yang terdiri
dari orang-orang terdekat dari sang raja. Dewan ini dibentuk salah satunya untuk
menghilangkan kecurigaan rakyat banyak soal sebab kematian Hamengku Buwono IV.
Dengan adanya Dewan Perwalian, maka Patih Danuredjo bisa berlindung di balik dewan
ini atas semua tindak-tanduknya.
Naiknya Raden Mas Gatot Menol menjadi Hamengku Buwono V dan dibentuknya
Dewan Perwalian Kraton menimbulkan dilema tersendiri bagi seorang Pangeran
Diponegoro. Dia sudah curiga jika Dewan Perwalian hanyalah hasil akal-akalan dari
seorang Danuredjo. Karena keputusan final pemerintahan tetap berada di tangan Patih
Danuredjo IV bersama-sama dengan Residen Belanda.
Namun jika dia tidak bergabung di dalamnya, maka kraton akan sepenuhnya dikuasai
Danuredjo dan para penjilat kafir Belanda lainnya. Setelah bertafakur cukup lama di
Parangkusumo, dengan mengucapkan Bismillah, maka Pangeran Diponegoro pun
memilih untuk mau bergabung sebagai anggota Dewan Perwalian, bersama dengan
Mangkubumi, pamannya yang sangat dihormati Diponegoro. Diponegoro berharap
dengan bergabungnya dia dan Mangkubumi di dalam Dewan Perwalian Kraton, maka
mereka bisa mewarnai kraton agar lebih memihak umat ketimbang memihak penguasa
kafir Belanda.
Namun kenyataan berkata lain. Hampir setiap hari rapat demi rapat berlangsung,
memutuskan ini dan itu terkait kebijakan kraton terhadap berbagai macam masalah
menyangkut rakyat banyak, namun segala keputusan Dewan Perwalian ternyata tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Semua kebijakan pemerintah ternyata tidak sejalan
dengan hasil musyawarah atau rekomendasi dari Dewan Perwalian. Patih Danuredjo
yang sangat licin dan mahir berbicara ini. bahkan dengan menyitir banyak ayat Qur’an,
hadits, dan juga siroh Rasul, selalu menelikung semua keputusan Dewan ini. Sehingga
keberadaan Dewan seolah tidak ada artinya, kecuali hanya sebagai panggung
sandiwara. Danuredjo bisa dengan mudah dan leluasa memutuskan segala hal walau itu
bertentangan dengan hasil musyawarah Dewan Perwalian Kraton. Patih Danuredjo lebih
berkuasa ketimbang Dewan Perwalian itu sendiri. Dewan yang berfungsi sebagaimana
layaknya Dewan Syuro ini tidak memiliki kekuatan apa-apa jika Danuredjo berkehendak
lain.
Semua ini membuat Pangeran Diponegoro bertambah muak. Maka dengan tegas,
Diponegoro-bersama Mangkubumi-menyatakan keluar dari dewan ini dan bersama-
sama umat berjuang dari luar lingkaran kekuasaan yang bertambah korup. Danuredjo
sendiri mengiming-imingi kedudukan dan uang yang banyak kepada Diponegoro, namun
Sang Pangeran tidak goyah dan tetap memilih berjuang dari luar tembok kraton
sepenuhnya.
Dengan tetap mengecilkan volume suara, Suromenggolo melaporkan semua informasi
yang diterimanya di lapangan, baik berkenaan dengan pergerakan pasukan Belanda
dan antek-anteknya, juga kebijakan baru yang diambil oleh Patih Danuredjo yang kian
menyusahkan rakyat.
Di akhir laporannya, Suromenggolo dan kedua rekan anggota pasukan telik sandi-nya
bersepakat jika perkembangan di luar semakin panas dan bukan tidak mungkin Belanda
dan Danuredjo akan mengambil suatu langkah untuk memprovokasi Pangeran
Diponegoro untuk memulai perang.
“Maaf Kanjeng Pangeran..,” ujar Suromenggolo. “…saat ini Kanjeng Pangeran dan
semua yang ada di sini harap lebih waspada dan hati-hati. Dari berbagai informasi yang
kami dapatkan di lapangan, kami yakin jika Belanda dan Patih Danuredjo tengah
menyusun siasat agar kita semua terpancing . Mereka ingin kita melawan mereka
secara terbuka terlebih dahulu. Semua ini agar mereka memiliki alasan untuk
menangkap dan membunuh kita semua di sini…” [] (Bersambung)
[1] Peter Carey di dalam The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the end of an old order in Java 1785-1855 (2007) menulis, “…bagaimana dia wafat sangat
mengerikan-tampaknya ia mendadak kena serangan penyakit ketika sedang makan-dan
tubuhnya langsung membengkak, suatu pertanda menurut dugaan beberapa orang
masa itu, bahwa dia telah diracuni… Kematian itu datang dengan tiba-tiba setelah
Hamengku Buwono IV menerima nasi dan makanan Jawa dari Patih Danuredja IV.”Oleh Rizki Ridyasmara
Bab 4
Pertengahan Juli 1825
MALAM TELAH TURUN MENYELIMUTI LANGIT Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Di aula kraton, musik Ratu Wilhelmina terdengar mendayu-dayu dari piringan hitam yang diputar. Gelak tawa para pembesar Belanda dan para pejabat kraton yang tengah dimabuk whisky dan Brandy dalam pesta jamuan makan malam yang mewah terdengar kencang. Diseling cekikikan genit para Noni Belanda dan perempuan-perempuan muda yang didatangkan orang-orangnya Patih Danuredjo entah dari mana.
Di salah satu ruangan utama kraton, Patih Dalem Danuredjo IV tampak duduk semeja dengan Anthonie Hendriks Smissaert, Residen Yogyakarta. Penggila pesta dan minuman keras itu, dan tentu saja juga wanita, merupakan Residen Belanda ke-18 untuk Yogyakarta. Sejak bertugas tahun 1823, hampir tiap pekan Smissaert menggelar pesta dansa-dansi dan minuman keras dengan mengundang koleganya, termasuk para pembesar kraton seperti halnya Patih Danuredjo IV dan sebagian pangeran serta pejabat lainnya.
Di hadapan meja yang dipenuhi abu cerutu dan beberapa botol Whisky yang sudah berkurang isinya, Patih Danuredjo tengah berembug dengan residen itu untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya yang makin lama makin mencemaskan mereka.
Dari para mata-mata yang disebar Belanda dan juga kraton, mereka mendapatkan keterangan jika kian hari kian banyak saja orang yang bergabung dengan Diponegoro. Apalagi di Puri Tegalredjo, tempat kediaman Diponegoro dan Ratu Ageng, sudah lama tercium adanya pelatihan-pelatihan ilmu bela diri bagi pribumi yang dipimpin oleh sejumlah ulama pendekar dan para jagoan yang menyatakan setia kepada Diponegoro. Pelatihan itu tidak
saja dilakukan dengan tangan kosong, namun juga menggunakan berbagai macam senjata.
“Patih, Kowe musti bisa bikin cara supaya Diponegoro itu bisa segera ditangkap!”
Patih Danuredjo tersenyum. Dengan suaranya yang lembut dan kalimat yang teratur rapi, dia menjawab, “Insya Allah, Tuan Residen tenang saja. Saya dan anak buah saya sedang mencari jalan supaya dia bisa sesegera mungkin ditangkap.”
“Kapan? Kowe tidak bisa berlama-lama begitu! Apa mau tunggu sampai pengikutnya banyak? Jadi susah kita nantinya!” sergah Smissaert sambil menenggak sebotol Whisky dari botolnya langsung. Jakunnya yang besar terlihat bergerak naik turun di lehernya. Dia kemudian menopangkan sebelah kakinya yang pendek naik di atas meja ke atas kaki yang lain. Tapak sepatu lars Smissaert kini menghadap lurus ke wajah Danuredjo. Patih Danuredjo benar-benar direndahkan olehnya. Tapi patih itu hanya berdiam diri sambil tetap tersenyum, walau hatinya serasa panas diperlakukan seperti itu.
Melihat Danuredjo yang belum juga menjawab pertanyaannya, dengan tidak sabaran lelaki kecil berwajah bulat dengan rambut tipis berwarna putih keperakan dan bermata biru itu berkata, “Aah, jangan-jangan kowe berkomplot dengan Diponegoro hah!”
Danuredjo yang ikut minum Whisky, hanya saja dia meminumnya dari sloki, tersedak. Airnya sampai tumpah membasahi pakaiannya.
“Tidak, bukan begitu, Tuan. Tuan salah besar jika sampai menduga hal itu. Saya sebenarnya sejak beberapa hari lalu berpikir jika kita sebenarnya punya cara yang bagus untuk menangkap Diponegoro itu…”
“Kenapa kowe dari tadi diam saja?” ketus Smissaert dengan sinis. Bekas Residen Rembang yang ditunjuk Gubernur Jenderal Van Der Capellen pada 3 Januari 1823 menjadi Residen Yogyakarta ini, walau bertubuh kecil dan kikuk, namun sikapnya sangat percaya diri.
“Saya baru mau cerita, Tuan…”
“Ya, cepatlah cerita!”
Danuredjo membetulkan posisi duduknya. Kini punggungnya ditegakkan tanpa bersandar ke bagian sandaran kursi rotan yang tinggi. Setelah terbatuk-batuk kecil sebentar dia mulai memaparkan rencana bulusnya.
“Tuan Residen, Tuan pasti tahu proyek jalan lurus dari Yogyakarta ke Magelang yang sedang kita kerjakan bukan?”
Smissaert mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, ya, saya tentu tahu. Ada apa dengan proyek itu?”
Wajah Danuredjo mendadak cerah. Dia memang selalu begitu jika sedang merencanakan sesuatu. Raut wajahnya yang sedemikian licik mengingatkan
Smissaert pada salah satu tokoh penasehat Kurawa dalam epik Bharata Yudha yang pernah dibacanya semasa masih kecil di Bataaf, kampung kelahirannya.
Ya, orang ini mirip sekali dengan Patih Sasngkuni!
“Tuan Residen, bagaimana jika jalan yang tadinya dibuat lurus itu, melewati Muntilan, dibelokkan sedikit ke barat, melewati Tegalredjo. Jalan itu kita buat sengaja menerabas tanah makam leluhur Diponegoro dan juga kebun miliknya. Kita tancapkan saja patok-patok proyek jalan di sana. Jika kita melakukan itu, Diponegoro pasti akan marah….”
Residen Smissaert menurunkan kedua kakinya dari atas meja. Wajahnya ikutan cerah. Kedua matanya yang biru terlihat berbinar-binar. “Ha! Ini baru namanya Patih Danuredjo! Tak sia-sia Belanda punya orang seperti kowe! Ayo, ayo, teruskan ceritamu!”
Disanjung demikian, Danuredjo tersenyum lebar. Dengan sikap yang dibuat-buat dia merendahkan diri dengan mengatakan jika dirinya biasa saja dan hanya bekerja semaksimal mungkin demi kemuliaan ratu Belanda.
“Tuan pasti sudah bisa menebak kemana arahnya. Kalau Diponegoro marah, dia pasti akan mengirim utusannya kesini untuk mengajukan protes. Kita acuhkan saja protesnya dan tetap mematoki tanah itu untuk dibuat jalan. Bahkan kita kirim saja para kuli ke Tegalredjo dan mulai mengerjakan proyek ini. Diponegoro pasti akan marah besar. Dia akan kehilangan akal sehatnya. Bisa jadi dia akan menyerang kuli-kuli kita itu. Atau bisa jadi pula dia akan menyerang langsung kita di sini. Kalau itu sampai terjadi, kita tinggal menangkapnya. Kita katakan saja jika Diponegoro mau memberontak terhadap pemerintah. Bukankah itu mudah?”
Smissaert tersenyum lebar, kedua matanya yang besar menyipit, “Ha..ha..ha.. betul. Betul itu. Nah, belokan saja jalan itu menuju tanah leluhurnya Diponegoro!”
“Kapan rencana kita bisa dilaksanakan, Tuan?”
“Secepatnya. Malam ini saja. Biar kita bisa cepat menangkap orang itu!”
“Baik, Tuan!”
Patih Danuredjo kemudian berdiri dari tempat duduknya. “Sebentar, Tuan. Saya akan panggil orang proyek jalan itu sekarang.”
“Ya, kowe harus bergerak cepat!”
Danuredjo membungkuk takzim pada Smissaert, kemudian dia keluar ruangan diiringi pandangan puas dari Smissaert. Dengan langkah agak limbung karena pengaruh minuman keras, Danuredjo pergi memanggil salah seorang anak buahnya yang sudah duduk menunggu di teras dekat dengan ruangan pertemuannya dengan Tuan Residen. Agaknya Danuredjo sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Melihat Patih Danuredjo
datang, lelaki yang duduk menunggu itu segera bangkit dan menyongsong tuannya.
“Joko!” panggil Danuredjo dari pintu ruangan.
“Dalem, Kanjeng Patih!” ujar lelaki yang dipanggil Joko seraya bergegas menghampiri Danuredjo sambil terbungkuk-bungkuk. Lelaki itu berhenti tepat dua meter di hadapan Danuredjo dengan sikap tubuh masih sedikit membungkuk dengan kedua tangannya ditangkupkan ke bawah perut.
“Tuan Residen sudah setuju dengan rencana kita. Bagaimana kalau malam ini juga rencana itu dilakukan?”
“Inggih, Kanjeng Patih. Saya siap…”
“Bagus. Kerjakan segera dan lapor setiap perkembangan yang ada padaku.”
“Inggih, Kanjeng Patih. Perintah segera saya laksanakan.”
Patih Danuredjo segera kembali ke dalam ruangan di mana Smissaert tengah asyik menenggak whisky-nya. Dia segera bergabung dengan orang Belanda nomor satu di Yogyakarta tersebut dan tenggelam dalam pesta minuman keras.
“Patih…, kowe sudah panggil itu Sari?” tanya Smissaert menyebut salah satu penari kraton dari Pacitan yang terkenal kecantikannya. Smissaert agaknya jatuh hati pada gadis yang usianya belum genap delapanbelas tahun itu. Danuredjo tersenyum lebar penuh arti ketika Smissaert menanyakan Sari. (Bersambung)
“Pasti, Tuan. Semuanya sudah saya siapkan, termasuk Sari.”
“Bagus, bagus. Tolong untuk perempuan itu kowe jangan suruh menari lama-lama.
Nanti diakecapekan. Aku tidak mau kalau dia nanti cepat capek. Untukmu sendiri pasti
sudah juga kan?”
Danuredjo tertawa keras sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Smissaert juga ikut
tertawa.
“Sriayu lagi…?” goda Smissaert.
Patih itu menggelengkan kepalanya, “Untuk malam ini yang lain saja. Bosan kalau
makan sayur asem terus, biar malam ini saya makan sayur lodeh…”
Smissaert sekarang yang tertawa keras. Danuredjo pun demikian. Keduanya memang
penggila perempuan. Bahkan di dalam urusan keputusan pengadilan pun, Patih
Danuredjo akan memenangkan pihak yang memberikan hadiah berupa perempuan
muda dan cantik kepadanya. Hanya Wakil Residen Chevallier yang mampu menandingi
mereka dalam urusan perempuan. Wakil Smissaert ini memiliki banyak kisah asmara,
termasuk dengan puteri-puteri kraton.
Di luar ruangan, musik Ratu Wihelmina masih mengalun dari phonograph, alat pemutar
piringan hitam dengan corong besar berwarna hitam. Botol minuman keras berserakan
di mana-mana. Laki-laki dan perempuan masih berpelukan di lantai mengikut alunan
suara musik. Yang lain duduk rapat menikmati Whisky sambil tertawa cekikikan. Aula
kraton malam itu tak ubahnya seperti bar atau rumah bordil. Aroma alkohol menyeruak
mendayu-dayu diteriakkan dari berbagai mushola dan masjid, besar dan kecil, yang
tersebar di seantero dusun di lembah dan gunung di kaki Merapi. Ayam jantan pun
berkokok bersahut-sahutan.
Masjid yang berada di pojok barat laut kompleks Puri Tegalredjo masih sunyi. Sejumlah
lampu teplok yang biasanya menyala saat waktu Maghrib dan Isya, juga saat-saat
pengajian diadakan, juga sudah padam. Di dalam masjid yang belum sepenuhnya
rampung dibangun ini, walau sudah difungsikan sebagaimana masjid lainnya, sesosok
lelaki berjubah putih dengan surban hijau pupus tengah asyik terpekur dalam zikirnya.
Dia benar-benar menikmati suasana dini hari yang hening sendirian. Baginya malam
adalah waktu yang tepat untuk berdialog dengan Sang Maha. Malam adalah selimut
bagi jiwa-jiwa yang sepi. Dan malam adalah wahana untuk mengantarkan ruhani yang
dahaga akan keabadian.
Suara derit pintu masjid berbunyi pelan. Seorang anak muda dengan jubah dan songkok
putih melangkahkan kakinya masuk ke dalam masjid. Dia lalu berdiri tidak jauh dari
lelaki itu yang masih saja asyik dengan zikirnya. Anak muda itu kemudian bertakbir dan
mulai menunaikan sholat tahiyatul masjid, dua rakaat.
Lelaki yang duduk bersila pun menghentikan zikirnya. Dia ikut berdiri, kemudian
melaksanakan sholat sunnah dua rakaat. Tak lama kemudian, beberapa orang lelaki
berpakaian putih-putih tampak mendatangi masjid. Mereka adalah warga sekitar Puri
Tegalredjo yang sering ikut pengajian pekanan. Tak sampai lima menit masjid kecil itu
sudah dipenuhi jamaah sholat subuh yang nyaris seluruhnya mengenakan baju wulung
atau jubah putih.
Lelaki yang tadi berzikir dan menunaikan sholat sunnah dua rakaat kemudian berdiri
paling depan di mihrab imam. Dia mempersilakan anak muda yang tadi bersamanya
untuk segera mengumandangkaniqamah.
Dengan suara yang elok, tidak terlalu keras dan juga tidak pelan, anak muda tadi
menangkupkan tangan ke sebelah telinganya dan mulai meneriakkan iqamah, tanda
sholat subuh berjamaah akan segera didirikan. Selesai iqamah, lelaki yang berdiri di
mihrab untuk sesaat berdiam diri. Lalu dia mengangkat kedua tangannya sebatas
telinga. Dengan penuh kekhusyukkan dia mengucapkan takbir, “Allahu Akbar!” Semua
yang ada di belakangnya serentak mengikuti takbir sang imam.
Pada rakaat pertama, Pangeran Diponegoro yang menjadi imam sholat membaca surat
Al-Ikhlas. Surat ini merupakan surat ke-112, termasuk surat al-Makiyah. Surat Al-Ikhlas
berisi tentang kemurnian tauhid. Pangeran Diponegoro selalu mengawali sholat subuh
dengan membaca surat ini. Seorang Muslim wajib memulai hari dengan tauhid yang
benar agar semua ibadah di hari itu mendapatkan keridhaan Allahsubhana wa ta’ala.
Itu salah satu prinsip Pangeran Diponegoro.
Di rakaat kedua, Diponegoro membaca surat At-Takaatsur yang merupakan surat ke-
102 yang menceritakan soal tabiat manusia kebanyakan yang sering lalai disebabkan
kecintaannya pada kemegahan dan kelezatan dunia yang sesungguhnya menipu.
Dengan suara yang lembut dan merdu, Diponegoro membaca delapan ayat surat
tersebut. Banyak dari jamaahnya yang terisak menangis mendengar suara Sang
Pangeran yang begitu menyayat hati.
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,Sampai kamu masuk ke liang kubur,
Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui,Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui,Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,Niscaya kamu akan sungguh-sungguh menyaksikan neraka jahim,Dan sesungguhnya kamu akan sungguh-sungguh akan melihatnya dengan yakin seyakin-yakinnya,Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu bangga-banggakan di dunia itu)…”Usai sholat, seperti biasanya, Pangeran Diponegoro mengisi tausiyah[1] subuh yang
berisi soal penguatan akidah dan sebagainya. Dia juga tak segan-segan menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan warga desa. Pagi ini, Diponegoro memberikan
tausiyah soal “Islam dan Negara”.
“…di dalam sirohnya[2], Rasulullah shallallahu wa allaihi wa salam memang tidak
secara eksplisit menyebut istilah Negara Islam. Inilah yang dijadikan senjata oleh orang-
orang kafir dan para pengikutnya yang menyatakan jika tidak pernah ada Negara Islam
di dunia ini, hatta di zaman Rasulullah hidup atau di masa kekuasaan
para sahabiyah pun tidak. Semua ini salah kaprah. Sebagai agama yang kaffah syumuliyah, lengkap dan melengkapi, Islam mengatur manusia dalam semua sisi
kehidupan, pribadi maupun sosial. Nah, sekarang apakah yang disebut suatu negara
itu? Ada yang tahu?”
Diponegoro menatap semua jamaahnya yang duduk bersila menghadap dirinya.
Seorang anak muda jebolan sekolah madrasah di Surakarta mengangkat tangannya.
“Ya, silakan jawab anak muda…”
“Maaf Kanjeng Pangeran. Setahu saya, yang dimaksudkan dengan istilah negara adalah
kumpulan manusia yang berdiam di suatu tempat, memiliki aturan atau hukum yang
disepakati semuanya. Maafkan saya kalau salah…”
Diponegoro tersenyum bangga, “Kisanak tidak salah. Jawaban Kisanak betul. Nah, jika
kita semua, umat Islam, berkumpul di suatu tempat, di suatu wilayah yang kita miliki,
dan di wilayah itu kita dengan kesadaran sendiri menerapkan hukum-hukum Islam,
hukum-hukum tauhid, maka itu sudah bisa disebut sebagai Negara Islam. Walau
wilayah yang kita diami atau miliki itu tidak luas. Inilah Daulah Islamiyah.”
Semua yang hadir di masjid itu mengangguk-anggukan kepalanya.
“Ada lagi yang ingin bertanya?”
Seorang lelaki tua mengangkat tangan.
“Ya, silakan Pak,” ujar Diponegoro.
“Dalem, Kanjeng Pangeran. Saya mau tanya bagaimana jika… apa itu… Daulah Islamiyah itu… belum ada… Apa yang harus kita lakukan?”
“Matur nuwun bapak… Iya, Daulah Islamiyah namanya. Atau Negara Islam. Jika
Daulah Islamiyah belum tercipta seperti yang kita inginkan bersama, maka mulailah
dengan menegakkan Daulah Islamiyah itu di dalam dada kita. Setelah itu tegakkanlah
Daulah Islamiyah itu di dalam keluarga kita, rumah tangga kita. Lalu setelah itu
sebarkanlah dengan damai, menyebar ke tetangga kita, dusun kita, kampung, desa, dan
terus menyebar dan meluas. Dengan sendirinya akan tercipta suatu Daulah Islamiyah
itu, walau mungkin tidak menamakan diri sebagai Negara Islam.”
“Maaf, Kanjeng Pangeran, bagaimana jika kita hidup seperti sekarang, dimana kaum
kafir yang berkuasa dan dengan kekuatan senjata pula. Dan bagaimana dengan orang-
orang Islam sendiri yang malah bersekutu dengan kafir Belanda itu?”
“Sekarang ini kita hidup di bawah paksaan hukum thagut. Thagut adalah hukum,
sistem kekuasaan, atau penguasa, yang aturan atau tindak-tanduknya bertentangan
dengan kalimat tauhid, bertentangan dengan perintah dan larangan Allah subhana wa ta’ala. Thagut adalah musuh Allah. Thagut adalah sekutu iblis. Sebab itu, orang yang
Islamnya benar, maka dia wajib memusuhi dan memerangi thagut sebagaimana dia juga
wajib memerangi iblis, dan bukan malah bersekutu dengannya dengan alasan atau dalih
apa pun. Orang Islam yang bersekutu dengan thagut adalah orang yang mengkhianati
perjanjiannya dengan Allah subhana wa ta’ala. Pasti ada balasan dari Allah terhadap
orang-orang seperti itu. Apakah sudah jelas sampai bagian ini..?” (Bersambung)
Bab 6
TIDAK SAMPAI SATU JAM KEMUDIAN masjid dan Paseban[1] Puri Tegalredjo telah
dipenuhi para sesepuh dan senopati pasukan pengikut Diponegoro. Sejumlah laskar
juga sudah berdatangan. Semuanya kebanyakan berjubah putih. Mereka menutupi
kepalanya dengan sorban yang juga berwarna putih, juga warna lainnya. Di dalam
masjid, Pangeran Diponegoro sedang menggelar pertemuan terbatas dengan sejumlah
sesepuh dan pimpinan pasukan.
“Bagaimana menurutmu, Paman?” tanya Diponegoro kepada Pangeran Mangkubumi
yang baru saja datang dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
“Ya, firasatku juga mengatakan demikian. Mereka telah terang-terangan menantang kita
dengan menodai tanah makam leluhur. Kita harus mempercepat persiapan pasukan dan
segala sesuatunya.”
“Apakah basis sudah dipersiapkan juga?” selidik Diponegoro. Basis adalah nama sandi
bagi Gua Selarong, wilayah yang akan dijadikan markas komando utama jika Puri
Tegalredjo tidak bisa dipertahankan. Mangkubumi dan Susuhunan Paku Buwono VI-lah
yang mengusulkan lokasi perbukitan yang sangat strategis tersebut. Dan Diponegoro
mengakui jika Gua Selarong memang pilihan yang tepat.
Pangeran Bei yang diberi amanah sebagai Generalismus[2] Laskar Diponegoro
menjawab, “Insya Allah Selarong sudah siap. Bukankah begitu Ki Guntur Wisesa?”
Ki Guntur Wisesa yang bertanggungjawab penuh terhadap Gua Selarong tersenyum
dan menganggukkan kepalanya, “Insya Allah siap. Demikian pula dengan jalur, sudah
kita amankan…”
“Paman dan semuanya, mulai sekarang kita aktifkan penjagaan duapuluh empat jam,
tidak saja di lingkar tiga, namun juga lingkar dua, dan satu.”
Pangeran Bei dan Mangkubumi mengangguk, juga yang lainnya. Sebagai pemuda yang
sejak kecil digembleng banyak hal oleh Ratu Ageng, termasuk dasar-dasar kemiliteran,
Pangeran Diponegoro sejak jauh hari sudah mempersiapkan sistem pertahanan
menghadapi pasukan Belanda jika sewaktu-waktu perang meletus dengan Puri
Tegalredjo sebagai poros utamanya. Hal itu telah ditetapkan Diponegoro tiga tahun lalu
ketika dia masih bergabung di dalam Dewan Perwalian Kraton bersama Pangeran
Mangkubumi.
Sistem pengaman dibuat seperti gelang-gelang dengan radius yang berbeda. Gelang
terluar berjarak empat kilometer dari Puri Tegalredjo yang disebut sebagai lingkar tiga,
gelang kedua berjarak dua sampai dua setengah kilometer dari Puri dengan sandi
lingkar dua. Dan lingkar satu sejauh satu setengah kilometer dari poros utama. Masing-
masing lingkar dijaga oleh pasukan-pasukan terlatih yang saling berkoordinasi satu
dengan yang lainnya. Dari satu lingkar ke lingkar lainnya dihubungkan dengan jalur
komunikasi dan juga logistik, sehingga memudahkan jika terjadi sesuatu.
Di luar pasukan reguler, Diponegoro juga memiliki pasukan telik sandi atau mata-mata
yang terdiri dari laki-laki dan juga perempuan dari berbagai macam usia. Pasukan telik
sandi ini dikirim berpencar ke seluruh penjuru mata angin mengepung Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Beberapa dari pasukan ini sengaja ditanam di pihak musuh.
“Firasatku mengatakan perang besar melawan kafir Belanda tidak akan lama lagi
meletus. Tolong perempuan dan anak-anak diamankan dahulu, keluarkan mereka dari
Tegalredjo. Namun itu harus dilakukan dengan diam-diam. Saya tidak ingin mereka
menjadi korban kebuasan pasukan kafir Belanda dan juga pasukannya Danuredjo.
Sedikit demi sedikit para perempuan dan anak-anak harus dikeluarkan dari desa ini,”
ujar Diponegoro kepada Joyokirno, seorang senopati yang bertanggungjawab terhadap
keamanan sebelah Lor[3] Desa Tegalredjo.
Joyokirno mengangguk pelan, “Inggih, Kanjeng Pangeran. Segera saya laksanakan.”
“Lakukan dengan hati-hati dan sedikit demi sedikit supaya pergerakan ini tidak
menimbulkan kecurigaan di pihak musuh. Tolong sampaikan pada para senopati yang
lain,” ujar Diponegoro lagi sambil menepuk-nepuk bahu Joyokirno.
“Inggih, Kanjeng Pangeran…”
“Baiklah. Sekarang pergilah kembali ke pasukanmu…”
Joyokirno segera memeluk Diponegoro. Setelah pamit, dia segera melompat ke atas
kudanya dan melesat meninggalkan Puri Tegalredjo untuk kembali ke pasukannya yang
berjaga tigaratusan meter setelah pintu desa di sebelah utara.
“Ustadz…,” panggil Diponegoro kepada Ustadz Taftayani yang sedang meneliti peta
sederhana kota Yogyakarta yang dihamparkan di atas lantai masjid. Ulama dari
Minangkabau yang sudah menetap di dekat Tegalredjo itu mendekat.
“Ustadz, bagaimana dengan Kiai Modjo dan yang lainnya?”
Taftayani mengangguk dan balas berbisik, “Insya Allah mereka juga sudah siap. Bahkan
saya dengar jika Kiai Modjo juga tengah mengadakan konsolidasi dengan pasukan-
pasukannya. Dan beliau juga telah mengontak para alim-ulama dan sesepuh desa ke
berbagai daerah di sekitar Surakarta dan Yogya hingga Magelang untuk bergabung
dengan kita.”
Pangeran Diponegoro mengangguk-anggukkan kepalanya, “Apakah kita akan tetap
dengan formasi sepuluh komandemen untuk Yogyakarta, Ustadz?”
Mendengar pertanyaan itu, Ustadz Taftayani tidak segera menjawab. Diponegoro
memang telah membagi wilayah Yogyakarta ke dalam sepuluh daerah komandemen,
yang masing-masing daerah dipimpin oleh seorang komandan. Khusus Madiun, wilayah
ini dibagi menjadi tiga komandemen. Diponegoro telah berhitung, satu daerah
komandemen memiliki lebih kurang 10.000 keluarga. Dari jumlah ini, diharapkan bisa
disiapkan sekira seribuan orang prajurit, lengkap dengan senjata. Mereka harus menjadi
pasukan yang mandiri dan terlatih dengan baik, walau tongkat komando tetap berada di
tangan Pangeran Diponegoro. “Bagaimana, Ustadz?” tanya Diponegoro lagi.
“Menurut hemat saya, Pangeran, pembagian itu sudah cukup. Nanti kita lihat
perkembangannya kemudian. Bukankah dalam peperangan organisasi hanyalah suatu
ikatan yang teramat lentur? Semuanya tergantung pada improvisasi para pemimpin di
lapangan dan kecepatan dalam bertindak tepat. Itu yang penting.”
“Ya, itu benar. Dan bagaimana pandangan Ustadz soal perang yang sebentar lagi akan
meletus?”
“Kanjeng Pangeran, sebaiknya kita menahan diri. Jangan sampai kita dituding sebagai
pihak yang memulai perang. Kita bertahan saja dahulu. Tentang pancingan atau
mungkin jebakan yang dilakukan Belanda dan Patih Danuredjo, yang menancapkan
patok-patok di tanah makam, sebaiknya Pangeran mengirim nota protes kepada
Residen Smissaert…”
“Ya, itu saya setuju, Ustadz. Saya akan mengirim nota protes dan minta agar kafir
Belanda menghentikan proyek itu atau mengubah arah jalan yang akan dibuat sehingga
tanah leluhur aman. Dan yang kedua, saya minta agar residen kafir itu segera memecat
Danuredjo.”
“Ya, itu bagus. Saya setuju…”
“Tolong panggilkan Ahmad Prawiro, Ustadz. Saya akan siapkan surat sekarang juga
untuk diantar ke residen kafir itu.”
Ahmad Prawiro merupakan salah satu kurir andalan Diponegoro. Pemuda keturunan
Cina ini asli Pekalongan yang telah bergabung dengan Diponegoro sejak awal
perekrutan pasukan pertama di sekitar tahun 1820-an.
Ustadz Taftayani mengangguk. Dia bergegas keluar masjid untuk memanggil pemuda
yang dimaksud. Tak lama kemudian guru ngaji itu datang bersama seorang pemuda
berkacamata bulat yang mengenakan baju koko dan songkok putih.
“Ahmad…,” ujar Diponegoro setelah menjawab salam pemuda itu, “…Saya akan tulis
surat. Nanti tolong antarkan langsung ke Residen Smissaert. Pastikan dia yang
menerimanya…”
“Inggih, Kanjeng Gusti Pangeran.”
“Tunggu sebentar disini.” (Bersambung)
Diponegoro kemudian berdiri dan berjalan ke bilik kecil yang terdapat di samping masjid.
Di ruangan sempit itu hanya ada sebuah ranjang kecil sederhana, sebuah meja kayu
kecil, dan bangku kayu yang sudah sedikit bergoyang jika diduduki. Di atas meja itulah
Pangeran Diponegoro menulis surat protes kepada Residen Yogyakarta A.H. Smissaert,
yang isinya antara lain meminta agar Residen Yogyakarta itu memecat Patih Danuredjo
yang dianggap sudah keterlaluan sikapnya sehingga hampir semua rakyat Yogyakarta
memusuhi dia.
Tidak lama kemudian Diponegoro keluar dari biliknya dan kembali ke dalam masjid.
Ahmad Prawiro masih duduk bersila di tempatnya didampingi Ustadz Taftayani.
“Ini suratnya, Ahmad. Pagi ini juga tolong berikan langsung kepada residen itu.
Berangkatlah dalam nama Allah…”
“Insya Allah, Kanjeng Pangeran. Bismillah…“
Pemuda itu berdiri dan menerima surat yang telah digulung rapi dan dimasukkan ke
dalam tabung bambu yang kemudian disimpan di dalam tas kulit yang disandangnya di
bahu. Setelah pamit minta diri, Ahmad keluar dari masjid dan langsung melompat ke
atas kudanya. Dengan sekali gebrak, kuda itu telah melesat keluar dari pekarangan Puri
Tegalredjo.
Sepeninggal Ahmad, Pangeran Diponegoro kembali melanjutan pembahasan rencana
perang dengan sejumlah sesepuh dan senopati. Setelah itu semua pasukan
diperintahkan untuk kembali ke posnya masing-masing dengan kesiagaan penuh di
sekeliling Puri Tegalredjo dalam radius berlapis. Demikian pula dengan pasukan telik sandi.
“Ustadz…”
“Ya, Kanjeng Gusti Pangeran…”
“Saya akan menulis beberapa surat perintah kepada orang-orang kita di pantai utara, di
Mancanegara[1], serta di Bagelen dan Sukawati. Mereka harus mulai bersiap
menyambut apa pun yang akan terjadi esok hari.”
“Surat perintah?”
“Benar, Ustadz. Saya menyerukan kepada semua rakyat Mataram, agar mulai saat ini
tidak lagi takut kepada kafir Belanda dan antek-anteknya. Orang-orang yang mengaku
Muslim tapi di dalam hidupnya menggantungkan diri dan keluarganya kepada thagut, yang menyerahkan loyalitasnya kepada thagut, bukan kepada Allah dan hukum-
hukum-Nya, juga harus diperangi. Hanya Allah subhana wa ta’ala yang layak dan
berhak ditakuti sekaligus dicintai. Saya hanya ingin mengatakan, jika terdengar meriam
berdentum sepanjang hari dan malam, maka semuanya harus siap siaga. Itu saja.”
“Baik, Kanjeng Pangeran. Itu sudah cukup.”
“Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati[2], Ustadz! Ini prinsip kita.”
Ustadz Taftayani hanya tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya. []
Bab 7
AHMAD TERUS MEMACU KUDANYA MELEWATI jalan utama dari Tegalredjo ke
Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang sudah dipenuhi berbagai macam penghalang
demi memperlambat gerak maju pasukan reguler Belanda yang biasanya menggunakan
kereta penarik meriam. Penghalang itu bisa berupa batang pohon yang sengaja
direbahkan melintang di jalan, batu-batu besar yang digulingkan secara acak, atau
penggalian sejumlah ruas jalan sedalam setengah meter dengan lebar satu tombak. Di
beberapa tempat yang hanya diketahui Laskar Diponegoro juga sudah dipasang
jebakan dan perangkap berupa lubang-lubang yang ditutup bilik yang kemudian
disamarkan dengan tanah. Siapa pun yang menginjak lubang itu akan jatuh dan tertusuk
belasan mata tombak atau panah yang telah ditanam menghadap ke atas. Sebab itu,
kurir dan rakyat kebanyakan sejak beberapa hari lalu menghindari jalan-jalan besar
sekitar Tegalredjo dan memilih untuk melewati ‘jalan tikus’ yang walau kecil dan berliku
namun aman.
Menurut informasi dari pasukan telik sandi, Residen Yogyakarta Smissaert pagi
menjelang siang ini masih berada di dalam kraton usai pesta besar tadi malam. Namun
beberapa kilometer sebelum pintu gerbang kraton, Ahmad terlebih dahulu mampir ke
sebuah rumah di gang sempit sekitar Sosrowijayan untuk berganti pakaian. Ini adalah
salah satu ‘rumah aman’ bagi pengikut Diponegoro yang tidak terlalu jauh dari jalan
utama menuju pusat kraton.
Di dalam rumah itu, Ahmad mengganti songkok dan baju koko putihnya, dengan baju
wulung hitam dengan penutup kepala yang berwarna gelap seperti kebanyakan
penduduk sekitar. Setelah itu dia kembali memacu kudanya menuju kraton melewati
jalan utama menuju gerbang kraton yang serupa garis lurus, yang sekarang dikenal
sebagai Jalan Malioboro.
Dari atas kudanya Ahmad bisa melihat dua prajurit kraton berjaga di sisi kanan dan kiri
pintu gerbang lengkap dengan tombak dan pedang. Namun pemuda itu bersikap
tenang, Di dalam lipatan tas kulitnya, telah dijahit sesobek kain merah putih biru dengan
lambang kraton di sisi kanannya sebagai tanda jika dirinya adalah kurir resmi bagi
keresidenan Belanda untuk Yogyakarta. Dengan simbol ini dia bebas keluar masuk
kraton dan gedung pemerintahan di wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat.
Ahmad terus memacu kudanya. Sepuluh meter di depan gerbang, dua prajurit kraton
menghunjamkan tombak ke arahnya.
“Berhenti! Turun!” bentak mereka.
Ahmad berhenti namun tidak turun dari pelana kudanya. Dia malah membentak prajurit
itu, “Minggir! Ada surat penting dari Gubernur Jenderal untuk Tuan Residen. Secepatnya
harus dibalas oleh Tuan Residen!”
Kedua prajurit itu saling berpandangan. Kemudian salah seorang di antaranya
menjawab dengan nada yang lebih sopan, “Coba perlihatkan kepada kami tanda
izin Kisanak!”
Dari atas kudanya, Ahmad memperlihatkan bagian dalam tas berisi sobekan kain merah
putih biru dengan simbol kraton di sisi kanannya. Melihat simbol tersebut, kedua prajurit
penjaga tersebut segera memberi ruang bagi Ahmad dan kudanya.
“Silakan lewat.”
“Tuan Residen ada di ruangan mana? Surat ini harus langsung sampai di tangannya
sekarang juga.”
“Di ruang kepatihan.”
“Baiklah, matur nuwun..!”
Ahmad kembali memacu kudanya memasuki pelataran halaman muka kraton dan
langsung menuju ruang kepatihan tempat Patih Danuredjo IV berkantor.
Setelah menambatkan kuda, Ahmad berjalan melintasi aula kraton bagian dalam.
Pemuda itu menahan nafasnya sejenak. Dia tidak tahan dengan aroma alkohol dan
tembakau yang begitu kuat menyeruak di aula itu. Beberapa puntung rokok masih
terlihat berserak di sudut-sudut kaki meja dan kursi. Namun ketika melihat seorang
prajurit jaga yang berdiri di depan ruangan kepatihan, Ahmad bisa bernafas lega.
Prajurit yang tengah jaga adalah Suryo Widhuro, salah seorang prajurit yang loyal
kepada Pangeran Mangkubumi. Ahmad kenal dengannya karena diam-diam Suryo juga
merupakan simpatisan Kanjeng Pangeran Diponegoro.
Walau demikian, sekadar untuk memenuhi formalitas kraton, Suryo segera
menggeledah Ahmad Prawiro. Setelah dianggap bersih, Suryo segera berbisik,
“Serahkan saja suratnya padaku, nanti aku sampaikan pada residen itu.”
Ahmad menyerahkan surat yang langsung ditulis tangan oleh Pangeran Diponegoro,
“Tolong sampaikan langsung sekarang juga. Tidak perlu dibalas…”
Suryo mengangguk. Ahmad segera berlalu darinya. Prajurit itu pun mengetuk pintu
kamar kepatihan tempat Smissaert bermalam. [] (Bersambung)
[1] Mancanegara adalah sebutan masa itu untuk wilayah Madiun, Kediri, dan Rembang).
[2] Bahasa Jawa: “Sejari sekepala, sejengkal tanah akan dibela sampai titik darah
penghabisan”.
Bab 8Kantor Residen Surakarta, 19 Juli 1825
DENGAN WAJAH YANG SANGAT SERIUS, Residen Surakarta Mac Gillavry terlihat
marah-marah sendiri di kantornya. Sekretarisnya hanya berdiam diri mendengar
atasannya mengomel tak menentu. Sebabnya, tak lain dan tak bukan, karena surat
peringatan akan bahaya Diponegoro yang ditulisnya-yang ditujukan bagi Residen
Yogyakarta Smissaert-mendapat tanggapan yang dingin. Bahkan Smissaert
menganggap Mac Gillavry terlalu berlebihan dan sedikit paranoid menghadapi Pangeran
Diponegoro dan pasukannya.
“Keparat Residen Yogyakarta itu! Sudah saya bantu tapi dia tidak perduli! Dasar orang
tak tahu berterimakasih! Kalau Yogya kacau, kita juga yang nanti kena getahnya.
Maunya apa Smissaert itu! Pesta dan pesta! Perempuan dan whisky melulu! Dia terlalu
“Kanjeng Pangeran… Terima kasih sudah menerima saya sebagai bagian dari barisan
ini. Saya sebenarnya punya satu permintaan, maaf jika Kanjeng Pangeran nantinya
tidak berkenan…”
“Katakan saja, Ki…”
“Saya ingin menjadi pengawal utama dari Kanjeng Pangeran. Biarkan saya menjaga
Kanjeng Pangeran setiap waktu…”
Pangeran Diponegoro tersenyum bijak. Dia lalu menepuk-nepuk bahu Ki Singalodra.
“Sebaik-baiknya penjaga kita adalah Allah subhana wa ta’ala, Kisanak…”
“Inggih, Kanjeng Pangeran. Saya juga paham. Tapi biarkanlah saya menjadi
perpanjangan tangan dari Allah subhana wa ta’ala untuk menjaga diri Kanjeng
Pangeran…”
“Terima kasih, Ki Singalodra… Apa yang menyebabkan Kisanak hendak menjadi
pengawal utamaku…”
Ki Singalodra tiba-tiba terdiam. Wajahnya dilempar jauh menghadap ke sawah dan
Gunung Merapi di kejauhan. Kedua matanya yang dilindungi alis yang tebal terlihat
basah. Dengan bergetar menahan haru, lelaki itu berkata lirih, “Aku ingin cepat-cepat
menggapai syahid fi sabilillah. Aku ingin cepat-cepat berkumpul kembali dengan isteri
dan anakku di surga. Bukankah orang yang syahid akan membawa syafaat kepada
keluarganya kelak?”
Diponegoro mengangguk pelan. Hatinya juga diliputih perasaan haru mendengar
pengakuan bekas penjahat itu. Dia kemudian memeluk Ki Singalodra yang masih
terisak. Orang itu agaknya benar-benar memendam rindu yang teramat sangat kepada
isteri dan anak satu-satunya.
“Kisanak, janganlah mengkhawatirkan anak dan isterimu yang sekarang sudah hidup
bahagia di surga. Mereka memang tengah menantikan hari di mana Kisanak bisa
berkumpul bersama-sama mereka. Dalam salah satu hadits Nabi shalallahu wa’allaihi
wasalam yang diriwayatkan dengan baik oleh Nasai, Rasululllah bersabda bahwa pada
hari kiamat, anak-anak kecil akan berdiri lalu dikatakan kepada mereka, ‘Masuklah ke
surga.’ Maka mereka mengatakan,’(Saya akan masuk) sehingga bapak-bapak kami
masuk (juga) ke surga.’ Lalu dikatakan kepada mereka,’Masuklah kalian dan bapak-
bapak kalian ke surga. Jadi anak Kisanak itu sudah menunggu Kisanak di pintu gerbang
surga. Janganlah cemas…”
Lalu Diponegoro membaca ayat-ayat Qur’an berkenaan dengan syahid fisabilillah.
Antara lain surat al-Baqarah ayat 154, “Janganlah kalian berkata bahwa orang yang
terbunuh di jalan Allah itu mati, sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kalian tidak
menyadarinya.” Lalu juga surat Ali Imron ayat 169.
“Ketahuilah Kisanak.., siapa pun yang menggapai mati syahid, maka dia akan dapat
memberikan syafaat bagi tujuhpuluh orang anggota keluarganya. Itu janji Rasulullah
yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud.”
“Inggih, Kanjeng Pangeran. Sebab itu saya ingin cepat-cepat meraih syahid itu. Izinkan
saya untuk menjaga Kanjeng Pangeran. Bagi saya dan teman-teman, pintu-pintu surga
sebentar lagi akan membentang di depan mata. Namun bagi Kanjeng Pangeran tidak.
Perjalanan Kanjeng Pangeran masih panjang. Kanjeng Pangeran harus membebaskan
negeri ini dahulu dari tangan kaum kafir dan para pelayannya sebelum menemui syahid.
Sebab itu izinkanlah saya mengawal Kanjeng Pangeran agar Kanjeng Pangeran bisa
menunaikan tugas dengan paripurna…”
Kedua mata Pangeran Diponegoro berkaca-kaca. Maha Besar Allah. Hidayah bisa
datang kapan saja dan kepada siapa saja. Dan hidayah bisa mengubah seorang jagoan
yang tangannya berlumuran darah seperti Ki Singalodra menjadi Singa Allah yang telah
bertekad untuk menghibahkan jiwa dan raganya semata-mata di jalan Allah. Suatu
perniagaan yang tidak akan pernah merugi hingga akhir dunia.
“Apa yang sebenarnya mendorong Kisanak untuk bergabung denganku melawan kafir
Belanda?” (Bersambung)
Ki Singalodra terdiam sejenak. Kemudian dia menjawab, “Mereka telah membunuh anak
dan isteriku, Kanjeng Pangeran…”
Diponegoro menganggukkan kepalanya, “Ya, soal itu saya sudah mendengarnya. Itu
saja?”
“Ya, Kanjeng Pangeran…”
“Jika demikian, kalau anak dan isterimu tidak dibunuh Belanda, makaKisanak masih
akan membela orang-orang kafir itu?” selidik Diponegoro dengan senyum tulus yang
mengembang di sudut bibirnya.
Ki Singalodra menundukkan kepalanya. “Maafkan saya, Kanjeng Pangeran… Saya
memang tidak banyak paham dengan agama Islam.”
Diponegoro memegang kedua bahu lelaki itu. “Tidak mengapa Kisanak. Apa yang
dilakukan Kisanakdengan membela kafir Belanda juga dilakukan oleh banyak saudara-
saudara kita. Itu disebabkan ketidaktahuan Kisanak akan agama Allah
ini. Kisanak khilaf dan jika bertobat maka Allah Maha Pengampun. Sayangnya, ada
banyak saudara-saudara kita yang mengerti tentang Islam, namun mereka malah
memilih untuk bersekutu dengan kafir Belanda. Mereka beralasan, jika mereka tidak
masuk ke dalam lingkaran pusat kekuasaan, maka akan semakin kotor dan zalimlah
kekuasaan itu. Namun nyatanya, ketika ikut-ikutan masuk ke dalam pusat kekuasaan,
tinggi sama tinggi dan duduk sama rendah dengan para pejabat kraton lainnya, makan
semeja dengan kaum kafir, yang terjadi bukannya pejabat kraton yang terwarnai
mereka, namun sebaliknya. Orang-orang yang tahu agama itu malah terwarnai oleh
pandangan dan sikap hidup orang-orang jahil dan orang-orang kafir itu. Mereka yang
tadinya memandang dunia hanya sebagai sarana untuk menuju keridhoan Allah,
sekarang banyak yang memandang dunia sebagai tujuan utama. Dunia sudah
menguasai hati dan pikiran mereka, bukan lagi panji syahadah… Dan Islam telah
menjadi sekadar alat untuk menipu umat dan memperkaya diri…”
“Itu benar, Kanjeng Pangeran. Orang-orang yang tahu agama itu, yang dulu hidup
sederhana, berpuasa Daud, sekarang malah suka hidup bermewah-mewah dengan
uang yang tidak jelas. Mereka tidak lagi memperdulikan umatnya. Tidak lagi peduli
dengan perjuangan menegakkan agama Allah ini. Yang mereka pikirkan hanyalah cara
agar mereka bisa bertambah kaya dan kaya…”
Diponegoro kembali tersenyum, “Benar, Kisanak. Sebab itu, apa yang Kisanak jalani di
masa lalu insya Allah akan diampuni Allah subhana wa ta’ala, karena
dahulu Kisanak jahil terhadap Islam. Ini sungguh berbeda dengan para ustadz dan
ulama yang sekarang sudah duduk semeja dengan penguasa. Mereka itulah kaum yang
Allah katakan sebagai orang-orang yang menukar agamanya dengan kehidupan
dunia….”
Diponegoro menarik nafas dalam-dalam. Perasaannya berat. Agaknya dia sungguh-
sungguh prihatin dengan sikap dan kelakuan sejumlah ulama yang seperti itu. Kemudian
dia bertanya lagi kepada Ki Singalodra, “Kisanak, motivasi Kisanak untuk memerangi
Belanda itu tidak lebih dari pelampiasan dendam. Itu bisa dimaklumi walau kurang
baik. Kisanak harus mengikhlaskan apa yang sudah menjadi suratan Allah. Satu-
satunya niat yang benar dan lurus di dalam berjuang adalah menegakkan panji tauhid
demi menggapai ridho Allah. Itu saja. Jangan campur-adukkan dengan motivasi-
motivasi yang lainnya. Sebab semua itu akan merusak keikhlasan kita di dalam berjihad.
Mengerti Kisanak?”
“Insya Allah, saya paham, Kanjeng Pangeran…”
“Alhamdulillah. Nah, sekarang apa yang ingin Kisanak lakukan?”
Ki Singalodra mengangkat wajahnya. Dengan takut-takut dia menatap wajah Pangeran
Diponegoro. “Maaf, beribu maaf, Kanjeng Pangeran. Saya ingin menjadi pengawal
utama dari Kanjeng Pangeran. Itu saja…”
Pangeran Diponegoro akhirnya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Dengan
izin Allah. Insya Allah, Kisanak akan selalu berada di sisiku di dalam perjuangan
menegakkan kalimat tauhid ini, siang dan malam. Bismillah, Kisanak….”
Ki Singalodra tidak dapat lagi menahan airmata yang kini akhirnya luruh di kedua
matanya. Dia yang kini gantian memeluk Diponegoro sambil menangis sesenggukan
bagai anak kecil.
“Semoga Allah subhana wa ta’ala selalu menyatukan hati kita di jalan lurus ini,
Kanjeng Pangeran, hingga kita nanti bisa berjumpa kembali di Jannah di dalam barisan
panjang kaum mujahidin…”
“Amien Ya Rabb al’amien….“
Ki Singalodra menatap langit yang membiru. Bibirnya tersenyum. Dia teringat masa
kecilnya, di mana sang kakek sering menceritakan jika buyutnya adalah orang-orang
hebat. “Kakek buyutmu itu, Singalodra, bernama Wulung Ludhira. Ketika Susuhunan
Amangkurat I membantai enamribuan ulama di Plered tahun 1647, kakek buyutmu itu
yang masih berusia sepuluh tahun adalah satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan
diri. Dari mulut kakek buyutmu itulah, kita semua tahu betapa Amangkurat I itu sangat
lalim. Aku yakin, engkau kelak juga menjadi orang besar. Yakinlah itu!”
Sekarang Ki Singalodra mengerti, Allah telah memilihnya untuk mendampingi dan
mengawal Pangeran Diponegoro. Ini adalah tanggungjawab besar yang hanya bisa
dilakukan oleh orang hebat. []
Bab 11
HARI BELUM BEGITU SIANG KETIKA Pangeran Mangkubumi tiba di Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Baru saja Mangkubumi turun dari kudanya, seorang prajurit
jaga dengan tergesa menghampiri dirinya dan mengatakan jika Patih Danuredjo dan
Residen Smissaert yang masih berada di kraton sedang menunggunya.
“Ada apa mereka menungguku, Suryo?”
“Maaf Pangeran, saya kurang tahu…”
Dengan langkah lebar-lebar, Pangeran Mangkubumi berjalan menuju ruang kepatihan.
Dia benar-benar muak mencium aroma alkohol dan tembakau yang begitu merebak di
aula kraton. Tiba di ruangan kepatihan, Mangkubumi langsung masuk tanpa mengetuk
pintu lagi. Benar saja, di dalam kamar kerja Danuredjo, kedua orang itu sudah
menunggunya.
“Darimana saja engkau Pangeran?” sapa Smissaert yang duduk di belakang meja milik
Danuredjo. Seperti biasa, kedua kakinya diangkat ke atas meja. Mangkubumi benar-
benar marah. Namun dia berusaha untuk bisa mengendalikan diri.
“Menengok sawah,” jawab Mangkubumi singkat. “Ada apa Tuan Residen
memanggilku?”
Smissaert tersenyum. Demikian pula dengan Danuredjo yang duduk di sampingnya.
“Duduk dulu Pangeran…”
“Tidak. Biar saya berdiri di sini saja.”
“Baguslah. Nah, ada tugas untukmu yang harus dikerjakan secepatnya…”
“Tugas? Secepatnya?”
“Ya.”
“Apa itu?”
“Temui Diponegoro sekarang. Suruh dia menghadapku disini. Dia harus
mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Dia sudah banyak mengganggu
ketertiban umum! Dia harus bertanggungjawab! Aku menunggunya di sini…”
“Ada surat undangannya?” tanya Mangkubumi tetap dingin. Kedua tangannya
bersedekap di depan dadanya yang sengaja dibusungkan. Baginya, bersikap sombong
di depan orang kafir adalah baik.
Anthonie Hendriks Smissaert menjentikkan jarinya, memberi isyarat pada Danuredjo
untuk mengambilkan surat pendek yang telah dilipat dan disegel dengan rapi. Patih
Dalem itu segera berdiri dan mengambil surat yang diletakkan di atas meja kecil yang
terbuat dari kayu jati dengan ukiran serong di sudut ruangan.
“Ini suratnya Tuan Residen…,” ujar Danuredjo sembari badannya membungkuk ke arah
Smissaert yang masih duduk dengan pongah.
“Berikan saja langsung ke dia…,” ujar Smissaert dengan acuh.
Dengan sikap hormat yang dibuat-buat, Danuredjo menyerahkan surat itu kepada
Pangeran Mangkubumi. Salah seorang paman dari Diponegoro itu merebut surat dari
Danuredjo tanpa mengucap sepatah kata pun. Surat itu langsung dimasukkan kedalam
saku bajunya. Danuredjo sendiri kembali duduk di samping Smissaert seperti anak
ayam berlindung di balik ketiak induknya.
“Saya berangkat,” ujar Mangkubumi seraya langsung balik badan dan keluar ruangan
begitu saja. Tanpa menghormat atau pun memberi salam.
Keluar dari kamar kepatihan, Mangkubumi memacu kudanya kembali ke arah
Tegalredjo. Jarak antara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Desa Tegalredjo
tidak begitu jauh. Jalannya pun sudah lebar, walau jika di musim hujan sangat
menyulitkan karena licin dan tanahnya banyak lubang. Namun bulan Juli adalah bulan
musim panas. Jadi Mangkubumi bisa memacu kudanya dengan lebih cepat.
Dari kraton menuju Tegalredjo terdapat tiga buah pos penjagaan di mana orang yang
lewat harus membayar bea jalan atau pajak jalan. Namun Mangkubumi terus saja
menggebrak kudanya dengan melompati portal penghalang yang ada sehingga dia
sama sekali tidak membayar pajak. Petugas jaga yang ada di pos jalan juga sudah
memakluminya. Tapi jangan coba-coba jika rakyat biasa yang lewat, mereka wajib
membayar bea jalan. Tidak ada cara lain. Peraturan biasanya memang hanya berlaku
untuk kawulo alit, namun tidak untuk para penggede… [] (Bersambung)
Bab 12
IKATAN TALI KEKANG KUDA YANG dikendarai Pangeran Mangkubumi agak
mengendur. Paman Diponegoro itu melambatkan kecepatan kudanya dan berhenti
terlebih dahulu di bawah batang kekar Delonix Regia[1] yang berdaun lebat dengan
bunga-bunga merah yang bermekaran di sana-sini. Tak sampai semenit dia sudah
mengencangkan ikatan itu. Dengan sekali gebrak, kudanya pun kembali melesat.
Usai melewati Kali Winongo di daerah Pringgokusuman, Mangkubumi melambatkan lari
kudanya. Sejauh mata memandang, hamparan sawah dan kebun terlihat begitu indah.
Tapi bukan itu yang membuat dia menurunkan kecepatan kudanya. Di berbagai mulut
gang dan jalan desa, para lelaki dewasa, bahkan banyak yang masih remaja belasan
tahun, tampak berkerumun lengkap dengan senjatanya masing-masing. Ada yang
membawa golok, keris, pisau panjang, clurit, tombak atau bambu yang yang
diruncingkan ujungnya, trisula, dan lain sebagainya.
“Ada apa ini?” tanya Mangkubumi di dalam hati.
Ketika mereka melihat siapa yang sedang berada di atas kuda, semuanya
membungkukkan badan dengan takzim. Pangeran Mangkubumi menyapa mereka
dengan hangat dan menghampiri salah satu dari mereka.
“Ada apa Kisanak bergerombol seperti ini lengkap dengan senjata?” tanyanya sambil
tetap berada di atas pelana kuda.
Salah seorang bapak yang menyelipkan keris di pinggangnya menjawab, “Beribu ampun
Kanjeng Pangeran. Kami ingin membela Kanjeng Pangeran Diponegoro. Kami dengar
Belanda akan menangkap beliau…”
Pangeran Mangkubumi tersenyum, “Siapa yang mengabarkan berita itu kepada kalian?”
“Demang[2], Kanjeng Pangeran…”
Mangkubumi kembali mengangguk-anggukan kepalanya, “Ya, Demang kalian benar…”
Lalu sebelum memacu kudanya kembali dia berpesan pada semuanya, “Saudara-
saudaraku, tanah makam leluhur memang telah dipatoki Belanda dan Patih Danuredjo
tadi malam. Pangeran Diponegoro sekarang memang tengah bersiap jika nanti terjadi
hal-hal yang buruk. Pesan saya, tetaplah bersiaga. Sampai ada perintah selanjutnya…”
“Inggih, Kanjeng Pangeran. Kami siap…,” sahut mereka serempak sembari
mengacungkan berbagai senjata yang mereka miliki. Mangkubumi menganggukkan
kepalanya kembali.
“Allah bersama kita! Allahu Akbar!” teriaknya.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar!!” teriak orang-orang di bawahnya dengan bergemuruh.
“Saya sekarang akan menemui Pangeran Diponegoro. Tunggu perkembangan
selanjutnya!”
Mangkubumi kembali memacu kudanya menuju Desa Tegalredjo yang sudah terlihat di
kejauhan. Semakin mendekati Tegalredjo, semakin banyak rakyat yang berkumpul di
pinggir jalan dan juga di bukit-bukit lengkap dengan senjatanya. Bahkan beberapa di
antaranya sudah menunggang kuda. Perasaan haru meliputi Mangkubumi. Rakyat
Yogya memang sungguh-sungguh mencintai Pangeran Diponegoro dengan
perjuangannya. Bagi rakyat Yogyakarta, Diponegoro bukan lagi seorang pangeran,
namun sudah menjadi sultan yang sesungguhnya. Kenyataan ini menjadikan semangat
di dalam dada seorang Mangkubumi untuk berjuang di sisi keponakannya semakin
besar.
“Aku akan berdiri di sisinya!” bathin Mangkubumi mantap. []
Bab 13
LANGIT SIANG BEGITU CERAH. ANGKASA terlihat biru. Di beberapa bagian ke arah
utara, awan tipis seputih kapas tampak berarak bagai gelombang prajurit berjubah putih
yang berbaris menyongsong ke medan laga. Berbeda seratus delapan puluh derajat
dengan raut wajah Patih Danuredjo siang itu. Usai Pangeran Mangkubumi pergi ke
Tegalredjo, membawa perintah Smissaert untuk membawa Pangeran Diponegoro ke
kraton, Residen Yogyakarta malah memarahi dirinya. Padahal dia sudah dengan
segenap tenaga melayaninya.
Pasalnya kabar pasukan bantuan dari Mangkunegaran belum juga ada kepastiannya.
Demikian pula yang dari Sumenep dan Tidore. Padahal dari sejumlah telik sandi
Belanda yang ditanam di dalam barisan Diponegoro diperoleh informasi, jika beberapa
hari lalu Diponegoro telah memberikan sejumlah uang yang tidak diketahui asal sumber
dananya, kepada dua orang kepercayaannya untuk dibelikan sejumlah senjata api.
Smissaert tahu, pasukan inti dari Diponegoro tidak bisa dianggap remeh. Diponegoro
memiliki jaringan yang sangat kuat tidak saja di wilayah Yogyakarta, tapi juga meluas
jauh melebihi garis pantai Pulau Jawa. Para pendukungnya terutama dari kalangan
ulama dan pondok pesantren. Belum lagi pasukan perempuannya yang dilatih sendiri
oleh Ratu Ageng. Kebanyakan dari laskar perempuannya adalah para desertir dari
Bregada Langen Kesuma, yang sangat mahir dalam olah kanuragan dan juga
penggunaan senjata. Semua itu ditambah dengan pasukan telik sandinya yang cukup
hebat dan dapat dukungan dari akar rumput, yakni rakyat Yogyakarta dan sekitarnya.
Sebab itu, ketika belum ada jawaban pasti dari berbagai pasukan lokal yang diharapkan
bisa membantu Belanda, Smissaert sangat gusar. Semua kegeraman itu
ditumpahkannya pada Patih Danuredjo yang dianggapnya hanya bisa menjilat namun
tidak berusaha maksimal.
“Patih, kowe sekarang sudah hidup enak. Kowe sudah menjadi sultan yang
sesungguhnya dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kowe bisa dengan mudah
menipu Sultan Menol yang masih lima tahun itu. Kowe punya banyak rumah, tanah,
hewan ternak, dan lainnya. Perempuan mana saja yang kowe mau pasti dapat, dari
yang masih gadis sampai janda kembang, dari yang masih bau kencur sampai yang
sudah seperti mangga masak. Tapi kowe masih saja bekerja setengah-setengah
membantu kita. Apa semuanya mau kita cabut lagi, hah!”
Dengan menyembah-nyembah tanpa memperdulikan harga diri, Patih Danuredjo
memohon-mohon kepada Smissaert agar Residen Yogya itu bersabar sedikit. “Sabar,
Tuan. Saya sudah berusaha sebaik-baiknya. Mereka pasti datang. Tunggulah sampai
sore, pasti ada berita baik buat kita…”
“Kowe menyuruh saya sabar. Enak saja. Sekarang begini saja, kalau sampai sore tidak
ada kabar beritanya, maka kowe jangan harap bisa hidup dengan enak lagi…”
“Aduuuh… Janganlah sekejam itu, Tuan. Pasti, Tuan. Pasti akan ada beritanya. Mereka
pasti datang…”
“Sudahlah! Cepat kowe atur itu orang-orang agar kowe bisa selamat!”
“Baik. Baik, Tuan. Saya akan atur semuanya.”
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Smissaert beranjak dari kursinya dan berjalan
keluar ruangan menuju kamar tidur. Dia agaknya masih mengantuk setelah semalaman
hingga dini hari berpesta pora. Patih Danuredjo sendiri keluar dari ruangan kerjanya dan
memerintahkan agar prajurit jaga memanggil Ki Sentono, salah seorang
kepercayaannya.
“Cari dia cepat! Suruh dia selekasnya menghadapku!” ujar Danuredjo.
Suryo Widhuro, sang prajurit jaga ruangan kepatihan siang itu, segera berlari. Danuredjo
kembali ke ruangannya dan mencoba untuk menenangkan diri. Hatinya benar-benar
panas mendapat omelan dari Smissaert. Dia mengutuk Belanda itu. Namun hanya itu
yang bisa dilakukannya. Hidupnya sepenuhnya tergantung pada orang itu. Segala
kenikmatan dan kelezatan hidupnya diperoleh berkat pengabdiannya kepada Belanda.
Duduk seorang diri di ruangan kerjanya membuat Danuredjo tidak kerasan. Dia lalu
berdiri dan membuka pintu samping yang langsung menuju kamar tidurnya. Dengan
perlahan tangannya memegang gagang kunci dan mendorong pintu itu kedalam. Dari
pintu yang terbuka, Danuredjo bisa mengintip seorang perempuan muda masih
berkemul di atas pembaringan. Kedua matanya masih tertutup. Pundaknya yang putih
mulus tersingkap. Juga betisnya. Pemandangan itu membuat darah Danuredjo naik
sampai ke ubun-ubun. Kelelakiannya serasa terbakar kembali. Dengan cepat dan hati-
hati dia segera mengunci pintu kamar. Lalu bagai seekor serigala kelaparan, dia
langsung melompat ke tempat tidur. Perempuan itu terbangun. Dia malah tersenyum
ketika melihat Danuredjo yang datang.
RESIDEN YOGYAKARTA A.H. Smissaert tidak langsung menuju kamar tidurnya. Wakil
Residen Chevallier mencegatnya beberapa tombak dari pintu kamar tidur residen
tersebut.
“Tuan memanggilku?” tanya Chevallier. Letnan Satu Kavaleri peraih medali kehormatan
Ridder M.W.O dalam Palagan Waterloo[3] ini memberikan military salute[4] dengan
sikap tubuh tegak sempurna. Residen Smissaert hanya menganggukkan kepalanya.
“Ya. Pagi ini juga kau siapkan pasukan kita di Yogyakarta. Cek juga bantuan dari
Magelang dan Semarang. Bila perlu hubungi langsung Kolonel Von Jett yang ada di
sana. Kita akan segera menangkap Diponegoro. Pemberontak itu sekarang sudah
punya pasukan bersenjata, kita harus bersiap menghadapi segala kemungkinan…”
Di dalam hatinya Chevallier tertawa. Dia sudah tahu semua perkembangan terkini dari
Residen Surakarta Mac Gillavry. Namun wajahnya tetap menunjukkan sikap
profesionalnya sebagai Wakil Residen.
“Siap, laksanakan!” [] (Bersambung)
[1] Nama latin untuk tumbuhan Bunga Flamboyan.[2] Semacam kepala desa.[3] Palagan atau Pertempuran Waterloo terjadi pada tahun…… antara pasukan Prancis di bawah komando Jenderal Napoleon Bonaperte melawan
[4] Military Salute adalah pemberian hormat secara militer dengan tangan kanan diangkat setinggi pelipis atau di atas mata kanan. Hampir seluruh pasukan di dunia modern sekarang masih menggunakan cara penghormatan seperti ini.Bab 14
MANGKUBUMI SUNGGUH-SUNGGUH TIDAK ENAK hati menyampaikan surat dari
Residen Smissaert kepada Pangeran Diponegoro. Untunglah, keponakannya itu sangat
bijaksana sehingga tidak timbul syak wasangka di antara mereka.
“Paman, katakan kepada kafir Belanda itu jika saya sama sekali tidak tertarik dengan
semua yang ditawarkannya. Tidak ada jabatan dan kedudukan yang lebih tinggi dan
yang lebih aku inginkan terkecuali menjadi hamba yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.
Saya hanya menginginkan itu. Saya juga ingin kafir Belanda itu segera angkat kaki dari
bumi Jawa ini, dari Nusantara ini, dan biarkanlah negeri yang indah dan kaya ini kembali
menjadi milik pewarisnya yang sah, yaitu kita semua. Kita sama sekali tidak memerlukan
kehadiran mereka sebagai penguasa di sini…”
“Mereka tidak akan sudi melakukan itu semua…”
“Tidak mengapa, paman. Jika mereka tetap bersikeras untuk meneruskan penjajahan ini
dan ingin terus menindas rakyat seperti sekarang ini, juga memerangi agama kita, maka
tiada jalan lain kecuali kita harus mengusir mereka dengan pedang. Allah telah
menyatakan itu di dalam kitab suci Al-Quran. Sebab itu, sejak jauh hari kita memang
telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Kita sangat cinta damai, tapi jika
musuh ingin berperang maka seribu pertempuran akan kita gelar!”
Kemudian Diponegoro mengutip salah satu ayat al-Quran, surat Al-Anfal ayat 60 yang
berbunyi, “Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedangkan Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah, niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya.”
Mendengar jawaban yang sangat tegas itu, Pangeran Mangkubumi seperti tersihir oleh
pesona seorang Diponegoro yang begitu agung.
Seharusnya memang dia yang menjadi sultan di tanah ini!
“Jadi apa keputusanmu, Pangeran?”
“Maaf, paman. Katakan kepada kafir Belanda itu bahwa aku sama sekali tidak tertarik
dengan semua tawarannya. Dan untuk undangannya menghadap residen kafir itu,
ucapkan terima kasih karena telah mengundangku, namun aku tidak akan datang
kepada dia sampai kapan pun. Itu saja.”
Mangkubumi sudah menduga jika keponakannya akan bersikap demikian. Dan itu
sangat dihargai olehnya. Dia segera pamit untuk menyampaikan jawaban itu kepada
Residen Smissaert.
“Pergilah paman. Semoga Allah subhana wa ta’ala melindungi dan mempermudah
semua urusan Paman…”
“Terima kasih, Pangeran….”
Usai mengucap salam, Mangkubumi pun pergi kembali ke kraton saat itu juga. Debu-
debu mengepul dari kaki kudanya yang terbang bagaikan angin. []
Bab 15
IBARAT PELURU YANG TIDAK BISA dihentikan jika sudah dimuntahkan dari laras
senapan, demikian pula dengan kehidupan seseorang di masa sekarang yang
sesungguhnya merupakan konsekuensi dari keputusan orang itu di dalam menjalani
hidup pada mulanya. Hidup, sebagaimana halnya dengan sang waktu, terus berjalan ke
depan, mustahil untuk bisa dimundurkan walau barang sekejap.
Berkali-kali sanubari seorang Patih Danuredjo merasakan hal itu dan sedikit banyak
menyesalinya. Namun berkali-kali pula, Danuredjo menyangkal suara hatinya sendiri
dengan mengatakan jika sesuatu itu sudah kehendak Yang Maha Kuasa. Manusia
hanya menjalani takdir yang sudah digariskan. Danuredjo selalu merasa gelisah. Namun
semua itu dengan kuat berusaha ditutupinya dengan senyum dan sikapnya yang sulit
ditebak.
Siang itu, usai kesekian kalinya melepaskan hasrat pada perempuan muda yang seakan
tiada pernah terpuaskan, Patih Danuredjo tampak termangu sendirian duduk di
belakang meja kerjanya. Tidak tampak Residen Smissaert yang sepertinya bersungguh-
sungguh meneruskan istirahatnya. Dan Danuredjo bersyukur atas hal itu.
Sudah hampir satu jam lamanya dia duduk di atas kursi di ruangan utama kepatihan,
namun Ki Sentono belum juga menampakkan batang hidungnya. Kemarin pagi,
Danuredjo memang memerintahkan salah satu orang kepercayaannya itu untuk
meminta konfirmasi dari pihak Mangkunegaran soal kesiapannya membantu pihak
Belanda dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, jika terjadi sesuatu yang buruk terkait
dengan pembangkangan Pangeran Diponegoro. Namun sampai sekarang orang itu
belum muncul-muncul juga untuk memberikan laporannya.
Tahun lalu ketika berkunjung ke Kraton Mangkunegaran, Danuredjo mendapat janji
bahwa Legiun Mangkunegaran akan membantu pemerintah Belanda dan juga kraton
jika diperangi musuh atau pun pemberontak. Danuredjo tadinya merasa aman posisinya
dengan dibentuknya Dewan Perwalian dimana Diponegoro mau bergabung. Namun
ketika tahun 1822 Pangeran Diponegoro mengundurkan diri dari Dewan Perwalian dan
memilih berjuang di luar struktur pemerintahan sama sekali, dengan membawa serta
Mangkubumi, maka Patih Danuredjo baru merasa cemas. Ini berarti pemerintah tidak
bisa lagi mengendalikan sepak terjang Diponegoro. Sosok yang satu ini telah semakin
sukar untuk diawasi. Apalagi di kemudian hari, banyak ulama, pangeran, kepala daerah,
dan sejumlah jagoan atau jawara bergabung dengannya. Mereka sama-sama ingin
mengusir Belanda dari Tanah Jawa dan itu berarti ‘celaka tiga belas’ bagi Patih
Danuredjo.
Ketukan pintu tiga kali terdengar cukup keras membuyarkan lamunan Danuredjo.
“Ya, masuk!”
Seorang prajurit jaga membuka pintu, “Maaf Kanjeng Patih Dalem, Ki Sentono sudah
ada di aula depan…”
“Bawa saja ke sini sekarang juga!”
“Inggih, Kanjeng Patih… Laksanakan!”
Tak lama kemudian terdengar langkah-langkah kaki yang berjalan dengan cepat di atas
lantai kraton. Ketukan kembali terdengar di pintu ruangan.
“Masuk saja!”
Seorang lelaki tua bertubuh pendek gempal dan berpakaian serba putih, dengan janggut
dan kumis yang juga sudah mulai memutih, masuk ke dalam ruangan kerja kepatihan
dan membungkukkan badannya menghormat Patih Danuredjo.
“Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh, Kanjeng Patih Dalem…”Danuredjo berdiri dan menyambut orangtua itu, “Wa’alaikumusalam Ki Sentono. Mari
duduk di sini dan bagaimana kabar dari teman-teman?”
Ki Sentono duduk di kursi yang berada di depan meja kerja Danuredjo. Dengan senyum
mengembang, lelaki tua yang jidatnya menghitam seperti bekas sujud itu mulai
melaporkan hasil kerjanya.
“Maafkan saya jika terlambat melapor kepada Tuan. Saya berhasil mendapatkan
konfirmasi dari Kraton Mangkunegaran jika Legiun mereka-termasuk pasukan khusus
Jayeng Sekar jika diperlukan-sudah sangat siap untuk bergerak merapat ke kita.
Demikian juga dengan Panembahan Sumenep Madura, Sultan Madura, Mayor Raja
Sulaiman dari Buton, Laskar Suku Alifuru-Tidore, dan Laskar Ternate. Beberapa
pangeran, kepala desa, dan yang lainnya juga sudah siap untuk membantu pemerintah.
Termasuk sejumlah korps pasukan yang berada langsung di bawah para Bupati.”
“Apakah semuanya pasti akan membantu kita, Ki Sentono? Kisanak bisa menjamin hal
itu?”
“Diri saya menjadi jaminannya, Tuan Patih. Bahkan Kanjeng Mangkunegara II sudah
menyatakan siap dipanggil kapan pun ke Yogyakarta jika diperlukan. Dari yang lainnya,
pasukan dari Mangkunegaran memang yang terdekat dengan kita. Mereka akan tiba di
Yogya dalam waktu yang tidak lama…”
“Ya. Kisanak benar…”
Danuredjo menghembuskan nafasnya lega. Dia tahu jika saat ini Belanda sedang dalam
keadaan lemah secara militer. Sebagian pasukan regulernya masih dalam penugasan
ekspedisi militer ke Celebes[1] dan Borneo. Satu-satunya harapan hanyalah bantuan
dari pasukan reguler Belanda yang ada di Surakarta dan Semarang yang berada di
bawah pimpinan Kolonel Von Jett. Perwira ini adalah komandan kesatuan militer
terbesar kedua di Jawa yang bermarkas di Semarang. Namun itu pun jumlahnya masih
dianggap kurang oleh Danuredjo. Sebab itu, ketika mendengar jaminan dari Ki Sentono,
Patih Danuredjo sangat bersuka cita. Wajahnya yang tadinya tegang kini sudah bisa
tersenyum kembali. (Bersambung)
[1] Celebes adalah nama lain dari Sulawesi.
“Ki Sentono, entah apa yang harus saya ucapkan kepadamu. Apa yang sudah Kisanak
kerjakan akan sangat berarti bagi kita semua, bagi pemerintahan yang kita sama-sama
berada di belakangnya. Aku berjanji, Kisanak akan mendapatkan hadiah dari
pemerintah. Dan kapan mereka semua akan bergerak?”
“Semuanya tinggal menunggu perintah Tuan Patih saja.”
Danuredjo mengangguk-anggukan kepalanya. Residen Smissaert harus segera
diberitahu hal ini. Tetapi dia agak jengkel juga terhadap Residen pengganti Baron de
Salis ini yang menurutnya tidak bisa bekerja dengan cepat. Danuredjo menggerutu.
Namun bagaimana pun, Smissaert sekarang adalah orang yang harus dilayaninya dan
dia harus bekerja dengan sebaik-baiknya agar posisinya sungguh-sungguh aman.
“Ki Sentono,” ujar Danuredjo. “…Kisanak sekarang saya perintahkan untuk ke
Tegalredjo. Membaurlah di sana dan laporkan dengan cepat perkembangan yang terjadi
di sana. Beberapa teman kita yang juga sudah berada di Tegalredjo akan membantu
Kisanak.”
“Apakah kodenya berubah, Tuan Patih?”
Danuredjo kembali tersenyum. Dia kemudian melihat ke kanan dan kiri ruangan. Sepi.
Dengan pelan Danuredjo menangkupkan kedua tangannya ke telinga Ki Sentono dan
berbisik, “Parangkusumo dan Progo.”
“Tanda?”
“Tali putih dan hijau pada ujung gagang senjata…”
Ki Sentono mengangguk. Ini berarti setiap pasukan telik sandi dari Danuredjo akan
mengikat ujung gagang senjatanya, apakah itu keris, pedang, kelewang, atau pun yang
lain, dengan tali putih dan hijau. Dan untuk konfirmasi, dia harus mengucapkan
“Parangkusumo” dan orang yang dimaksud harus menjawab, “Progo”.
“Sekarang pergilah Ki Sentono. Selamat bertugas.”
Ki Sentono membungkukkan badannya dan mengucap salam kembali. Setelah itu dia
keluar dari ruangan. Danuredjo kembali sendirian di dalam ruangannya. []
Bab 16
AKHIRNYA RESIDEN SMISSAERT KELUAR JUGA dari kamar tidurnya. Dengan kedua
mata yang masih sembab dan seluruh wajahnya kemerah-merahan bagai udang rebus,
pejabat Belanda itu membanting pantatnya di atas kursi kerja Danuredjo. Dan seperti
biasan, kedua kakinya diangkat ke atas meja.
“Bagaimana kabar Mangkubumi? Apakah dia sudah balik dari Tegalredjo?”
Danuredjo menggelengkan kepalanya, “Belum Tuan Residen… Tapi saya mendapat
kabar bahwa dia sedang menuju ke sini dengan membawa jawaban dari Diponegoro.”
“Well, kita tunggu saja di sini.”
Belum kering bibir Smissaert berbicara, pintu ruangan terbuka. Sosok Mangkubumi
sudah berada diambang pintu. Dengan langkah tegap dia masuk ke dalam ruangan.
Tanpa memberi salam dia langsung memberikan jawaban Diponegoro yang
disampaikan secara lisan.
“Pertama-tama Pangeran Diponegoro mengucapkan terima kasih atas undangan Tuan
Residen. Tapi dia menolak memenuhinya. Pangeran Diponegoro juga menolak semua
tawaran yang Tuan ajukan. Dia hanya ingin supaya Patih Danuredjo dipecat dan
Belanda angkat kaki dari Tanah Jawa. Baginya, tiada tawaran atau jabatan yang paling
utama kecuali mengharapkan kecintaan dan keridhaan Allah Yang Maha Kuasa. Dia
ingin supaya Tuan Residen menginsyafi kesalahannya dengan membuat jalan di atas
tanah makam leluhur tanpa izin. Itu saja.”
Wajah Smissaert merah padam. Dengan penuh amarah dia berteriak, “Diponegoro tidak
usah menceramahiku soal tuhannya! Dia benar-benar tidak tahu diuntung! Dia ingin
perang, maka kita akan beri dia perang yang besar!”
Danuredjo hanya berdiam diri. Dia menatap lantai ruangan kerjanya sendiri yang
sepertinya semakin lama entah mengapa semakin membuatnya gerah. Namun beda
dengan Mangkubumi. Lelaki ini tidak terpengaruh dengan kemarahan Smissaert yang
bagaikan letusan Gunung Merapi. Dia tetap berdiri dengan tenang dan menatap
langsung ke arah residen itu.
“Apalagi yang dikatakan pemberontak itu padamu?”
“Tidak ada lagi,” ujar Mangkubumi. “…Hanya saja, menurut hematku, pembangunan
jalan raya dengan menerabas tanah makam leluhur dan sebagian kebun milik
Diponegoro tanpa izin memang tidak bisa dibenarkan. Aku pun secara pribadi keberatan
karena itu adalah tanah makam leluhurku juga…”
“Aku tidak minta pendapatmu. Kowe hanya perlu menjawab pertanyaanku. Itu saja,” ujar
Smissaert ketus. Mukanya yang bulat masih merah padam.
“Bagaimana Patih? Apakah kowe punya rencana lagi?” tanya residen itu pada
Danuredjo.
“Kita beri peringatan terakhir saja kepada Diponegoro. Jika peringatan terakhir ini,
berikut batas waktunya, dia masih juga membangkang, maka itu berarti dia memang
menginginkan perang.”
Smissaert agaknya kurang berkenan dengan usulan Danuredjo kali ini. Dia sempat
berdiam agak lama. Setelah menimbang-nimbang sejenak, Smissaert akhirnya tidak
punya pilihan. Pihaknya bagaimana pun juga harus mengulur waktu karena pasukan
yang tersedia belum kuat, sedangkan pasukan bantuan belum datang. Sambil
menunggu datangnya pasukan bantuan, maka ada baiknya dia mengirim peringatan
terakhir kepada Diponegoro. Dan Mangkubumi sekarang juga harus kembali ke
Tegalredjo.
“Mangkubumi! Kowe sekarang juga kembali lagi ke Tegalredjo. Temui Diponegoro dan
katakan padanya jika nanti tengah malam dia masih bersikap seperti ini, maka tidak ada
jalan lain kecuali kami akan menangkapnya, dengan segala cara! Kami sudah benar-
benar habis kesabaran! Cepat jalan! Dan jika dia tidak mau juga kesini, kowe yang
harus jadi gantinya. Kowe akan kita tahan disini!”
Kedua geraham Mangkubumi bergemeretak menahan marah. Tapi dia tahu, tidak ada
gunanya menghadapi orang-orang seperti Smissaert dan Danuredjo. Keduanya adalah
sampah, dan dia benar-benar jijik untuk berlama-lama dengan keduanya di dalam satu
ruangan. Sebab itu dia segera berangkat kembali ke Tegalredjo bersama kudanya.
Tekadnya sudah bulat, dia akan bergabung secara terang-terangan dengan pasukannya
Diponegoro. Sebelum memacu kudanya, diam-diam dia segera memanggil Suryo
Widhuro, seorang prajurit jaga kraton yang bersimpati kepada perjuangan Pangeran
Diponegoro. Di bawah pohon beringin yang lebat, sambil berbisik Pangeran
Mangkubumi memberikan pesan kepada Suryo.
“Kisanak, inilah terakhir kali aku menginjak kraton sebagai seorang sahabat. Sore ini
aku akan bergabung dengan Pangeran Diponegoro di Tegalredjo dan tidak akan pernah
kembali lagi ke tempat ini sebagai kawan. Kisanak dan prajurit yang lain, para sahabat
kita, tetaplah disini. Bertugaslah seperti biasa. Sewaktu-waktu kami akan memerlukan
keberadaan Kisanak dan lainnya yang ada di sini…”
Wajah Suryo Widhuro terlihat tegang. Dia berkali-kali membungkukkan badannya
kepada Pangeran Mangkubumi. Namun Mangkubumi bukanlah seorang bangsawan
yang gila hormat. Dengan tangan kanannya dia memegang pundah prajurit itu dan
“Wa’alaikumusalam, Kanjeng Pangeran… Saya akan setia dan siap selalu!”
Mangkubumi segera menggebrak kudanya. Dalam sekejap, kuda hitam coklat itu
meringkik dan kemudian berlari kencang meninggalkan kraton. Sikap Mangkubumi
sudah bulat. Sore ini dia akan bergabung dengan barisan Diponegoro. Namun walau
bagaimana pun, kedua matanya berkaca-kaca. Hatinya haru harus meninggalkan kraton
untuk selama-lamanya dengan cara seperti ini.
Perjuangan menegakkan kebenaran memang selalu mensyaratkan pengorbanan.
Sebab itu, jalan ini adalah jalan sepi. Jalan yang hanya kuat dilalui oleh orang-orang
yang memiliki kemauan baja dan prinsip hidup yang tak tergoyahkan. [] (Bersambung)
Bab 17
MANGKUBUMI BARU SAJA PERGI MENINGGALKAN kraton untuk kembali ke
Tegalredjo. Residen Smissaert segera memerintahkan Patih Danuredjo agar
menghubungi setiap pasukan lokal yang ada yang telah menyatakan siap untuk
bergabung memperkuat pemerintah.
“Panggil seluruh pasukan bantuan yang sudah siap bergabung dengan kita secepatnya.
Terlebih-lebih Legiun Mangkunegaran. Mereka akan tiba terlebih dahulu, bersama
dengan pasukan reguler dari Surakarta. Ke sini itu Cuma mereka hanya perlu tiga jam
dari Surakarta. Setelah itu baru yang dari Semarang dan lainnya akan datang ke sini.”
“Betul, Tuan. Saya akan segera kontak agar Legiun Mangkunegaran segera
mengirimkan pasukannya ke sini.”
“Diponegoro pasti akan tetap tidak mau kesini… Orang koeppeg[1] itu memang harus
ditangkap secepatnya.”
“Betul, saya setuju, Tuan. Termasuk orang-orang yang dekat dengannya…”
“Apakah Mangkubumi bisa dipercaya, Patih?”
Danuredjo menggelengkan kepala, “Diponegoro hormat padanya, dan dia pun sangat
menghormati Diponegoro. Keduanya terikat satu tali keluarga. Saya yakin, Tuan
Residen, jika Mangkubumi itu diam-diam juga bersimpati padanya. Demikian pula
dengan sejumlah pangeran yang lain, seperti Joyokusumah itu…”
“Jika demikian, kalau dia pulang nanti, kita tangkap saja, atau jangan izinkan dia untuk
keluar kraton lagi…”
“Ya, ya, sangat bagus itu, Tuan.”
“Jika tidak ada aral melintang, satu jam lagi Mangkubumi akan tiba kembali di sini. Kita
akan dengar apa maunya Diponegoro itu. Apakah dia memang berani melawan kita atau
menyerah…”
“Saya tidak yakin kalau dia mau menyerah, Tuan. Tapi kita lihat saja nanti…”
Tiba-tiba pintu ruangan diketuk orang.
“Ya, masuk,” ujar Danuredjo.
Seorang anak buah Ki Sentono masuk. Setelah memberi salam dan penghormatan, dia
memberikan informasi jika Ki Sentono telah memanggil pasukan Mangkunegaran agar
secepatnya ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
“Mereka sudah dalam perjalanan ke sini, terdiri dari 10 orang kavaleri Eropa, 100
infanteri, dan limapuluhdragonder[2]. Selain itu, pasukan reguler dari Surakarta,
Magelang, dan Semarang juga sedang bersiap untuk berangkat ke Yogya…”
Danuredjo terdiam. Sepertinya dia baru saja berbicara hal itu pada Smissaert di ruangan
ini dan belum didengar siapa pun. Namun mengapa Ki Sentono sudah mengetahui hal
ini dan bergerak cepat? Danuredjo sungguh-sungguh heran sekaligus takjub.
Darimana Ki Sentono bisa mengetahui apa yang diinginkannya?
“Bagus, bagus. Tolong sampaikan pesanku untuk Residen Magelang bahwa kita juga
memerlukan dana yang besar untuk menghadapi Diponegoro…”
Senyum Danuredjo bertambah lebar mendengar Smissaert meminta dukungan dana.
Kepalanya mengangguk-angguk. Ya, semuanya memang butuh dana… Aku juga sangat memerlukannya…“Patih, kowe siapkan pasukanmu di sini agar bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Jangan tersenyum-senyum saja seperti itu. Aku muak melihatmu seperti itu!”
Senyum Danuredjo mendadak hilang dari wajahnya, berganti dengan keseriusan yang
dibuat-buat bagaikan badut.
“Ya, Tuan Residen. Saya akan siapkan pasukan disini.”
“Dan untukmu, prajurit. Terima kasih atas laporanmu dan kembalilah ke posmu.”
“Satu lagi Tuan-Tuan, patok-patok jalan raya yang ada di Tegalredjo telah dicabut oleh
pengikutnya Diponegoro. Mereka mengganti patok-patok jalan itu dengan ratusan
tombak. Para pekerjanya pun diusir…”
Smissaert dan Danuredjo mengangguk-anggukkan kepalanya. Ya, mereka agaknya memang mau berperang…
Prajurit itu pun segera keluar dari ruangan. Smissaert melihat Patih Danuredjo yang
masih saja duduk dengan pandangan mata yang merendahkan. Dengan penuh
kegeraman, orang Belanda itu berteriak kepada Danuredjo, “Patih, kowe mau apa lagi
di sini? Cepat siapkan pasukanmu sekarang juga! Panggil senopati-senopati terbaikmu
sekarang!”
Mendengar Smissaert berteriak seperti itu, Danuredjo segera lompat dari kursinya.
“Siap! Siap, Tuan Residen. Saya akan segera panggil para senopati untuk menyiapkan
pasukannya!” jawabnya sambil berkali-kali membungkukkan badan ke arah Smissaert
yang tengah duduk di belakang meja dengan kedua kaki dijulurkan tepat ke depan muka
Danuredjo. []
Bab 18
ISLAM AGAMA YANG CINTA DAMAI. Namun jika ada musuh yang memerangi agama
tauhid ini, maka Islam mewajibkan umat-Nya untuk balas memerangi. Walau demikian,
balasan yang dilakukan harus tetap mengindahkan kaidah-kaidah berperang di dalam
Islam, yakni tidak boleh melakukan pengrusakan yang tidak perlu, baik terhadap alam
dan juga terhadap lingkungan, tidak boleh membunuh perempuan dan anak-anak yang
bukan kombatan[3], tidak boleh membunuh dengan sadis, dan lain sebagainya. Berkali-
kali hal itu ditekankan Pangeran Diponegoro kepada pasukannya.
Siang menjelang sore, Mangkubumi telah tiba kembali di Puri Tegalredjo. Kepada
Pangeran Diponegoro dan para sesepuh yang lain, Pangeran Mangkubumi
menyampaikan pesan dari Residen Yogya Smissaert. Setelah itu dia menyatakan diri
bergabung sepenuhnya dengan barisan Diponegoro dan tidak ingin kembali lagi ke
kraton.
Dengan penuh haru Diponegoro memeluk pamannya ini. “Pamanda,
syukur alhamdulillah paman mau bergabung dengan kami. Mudah-mudahan
Allah subhana wa ta’ala memberikan kekuatan dan ketabahan pada paman di dalam
perjuangan ini. Ahlan wa sahlan, Paman…”
“Amien ya Rabb. Terima kasih, Pangeran. Semoga perjuangan kita menghadapi kafir
Belanda dan antek-anteknya bisa dimudahkan Allah subhana wa ta’ala. Semoga kafir
Belanda dapat segera terusir dari Tanah Jawa ini…”
“Amien ra Rabb al ‘amien…“
Pangeran Diponegoro kemudian mengajak Mangkubumi, Pangeran Bei, Ustadz
Taftayani, dan para sesepuh lainnya untuk menggelar musyawarah kecil di dalam
masjid. Rombongan jubah putih itu pun beranjak dari pendopo depan Puri Tegalredjo
menuju masjid yang berdekatan letaknya. Hanya Ki Singalodra yang tetap berpakaian
hitam-hitam dengan ikat kepala yang juga hitam. (Bersambung)
[1] Bahasa Belanda: Keras Kepala.
[2] Dragonder adalah istilah untuk kavaleri ringan atau infanteri berkuda.
[3] Kombatan adalah pasukan tempur. ‘Bukan Kombatan’ artinya adalah perempuan dan
anak-anak yang bukan bagian dari pasukan tempur.
Di dalam masjid, Diponegoro membuka musyawarah dengan memaparkan
perkembangan paling baru dari pergerakan musuh.
“Dari lapangan, saya mendapatkan informasi jika Residen Yogya dan Patih Danuredjo
sedang menyiapkan pasukan yang dipusatkan di kraton. Mereka juga memanggil
sejumlah pasukan bantuan, baik dari pasukan pribumi seperti Legiun Mangkunegaran,
suku Alifuru, Tidore, Ternate, Buton, maupun dari pasukan reguler kafir Belanda dari
Semarang, Magelang, dan Surakarta…”
Mangkubumi menarik nafas dalam-dalam. “Huffhhh…. ternyata banyak pula saudara-
saudara seiman kita, orang-orang Islam, yang mau mempertaruhkan nyawanya demi
membela kafir Belanda. Mereka ini nyata-nyata telah menukar agama Allah dengan
dunia, dengan harga yang amat murah…!”
“Ya, paman. Saya juga sedih dengan kenyataan ini. Tapi itulah faktanya. Banyak orang
yang mengaku Islam, namun ternyata loyalitasnya bukan kepada Allah dan Rasul-Nya,
melainkan kepada thagut. Mereka mengerjakan sholat, berpuasa di bulan Ramadhan,
membayar zakat, dan naik haji berkali-kali, namun semua itu ternyata belum cukup,
mereka belum memahami Islam secara kafaah-syumuliyah, sehingga mereka
sesungguhnya tetap dalam kejahilannya…,” jawab Diponegoro.
“Dan hal ini akan terus terjadi sepanjang sejarah umat manusia…”
“Benar, paman. Musuh kita bukan hanya kaum kafir, kaum musyrik, tetapi juga orang-
orang munafik dan orang-orang jahil. Orang-orang yang mengaku Islam namun
membela thagut, atau hidup dengan melayani kepentingan thagut, sesungguhnya
mereka kaum munafik dan jahil. Kita harus memerangi mereka juga jika dakwah kita
terhadap mereka tidak mereka perdulikan…”
Ustadz Taftayani menyela, “Kanjeng Pangeran, bagaimana dengan kesiapan pasukan
kita? Yang di sekitar sini maupun yang ada di luar Tegalredjo?”
Pangeran Diponegoro mengangguk kemudian berkata, “Insya Allah, Ustadz. Allah
akan selalu bersama kita. Sampai dengan sekarang, sudah banyak ulama, pangeran,
kepala desa, dan beberapa sesepuh masyarakat yang menyatakan siap menolong
agama Allah ini dengan bergabung ke dalam pasukan kita.”
“Apakah jumlah pasukan kita sudah setara dengan kekuatan musuh, Kanjeng
Pangeran?” tanya Senopati Mardhiko dari Magelang.
Pangeran Diponegoro tersenyum bijak. Dia kemudian menjawab, “Satu orang beriman
yang berjihad di jalan Allah, akan bisa menghancurkan sepuluh prajurit musuh. Sepuluh
orang beriman yang berjihad di jalan Allah, akan mampu menghancurkan seratus
musuh. Mengapa kita takut jika jumlah kita lebih sedikit dibandingkan jumlah pasukan
musuh Allah itu? Lupakah Kisanak dengan ibrah dari Perang Badr?”
“Astaghfirullah al adziiim...,” seru Senopati Mardhiko. “Maafkan saya Kanjeng
Pangeran…”
Diponegoro menggelengkan kepalanya, “Tidak mengapa Senopati. Khilaf dan lupa
adalah sifat kita semua sebagai manusia biasa. Apakah Kisanak masih ingat ibrah
Perang Badar?”
Mardhiko mengangguk, “Ya, saya masih ingat.”
“Coba Kisanak paparkan secara singkat saja.”
Senopati Mardhiko mulai bercerita, “Perang Badar adalah peperangan pertama
Rasulullah menghadapi Musyrikin Quraisy. Kala itu jumlah pasukan Islam hanya
tigaratus lebih sedikit, harus berhadapan dengan pasukan kaum Musyrikin Quraisy yang
jumlahnya jauh lebih banyak, sekitar seribuan lebih. Pasukan Muslim juga kalah jauh
dalam kelengkapan kuda, onta, dan persenjataan. Namun Allah telah berjanji
sebagaimana di dalam surat Al-Anfal ayat 65 yang berbunyi, “…Jika ada duapuluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh, dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu orang kafir…” Dan Maha Benar Allah dengan
segala firman-Nya. Dalam perang Badr, pasukan kaum Muslimin dapat menghancurkan
pasukan musyrikin Quraisy yang jumlah dan kelengkapannya lebih banyak…”
“Nah, sejarah sudah memperlihatkan kepada kita semua,” ujar Pangeran Diponegoro.
“…jika kita menolong agama Allah, maka Allah pun akan menolong kita. Yakinlah, kita
pasti menang.”
Semua yang ada di situ mengangguk-anggukkan kepalanya. Pangeran Diponegoro
melanjutkan, “Kafir Belanda dan antek-anteknya itu tidak punya kekuatan. Yang Maha
Kuat hanyalah Allah subhana wa ta’ala. Dan jangan takut, lebih dari setengah
pangeran, lebih dari setengah demang, dan sebagian besar rakyat ada di belakang kita.
Dari informasi yang disampaikan para telik sandi kita yang disebar di mana-mana,
mereka semua sudah mempersenjatai diri dan tinggal menunggu perintah. Dengan
pasukan yang sangat kuat dan bantuan serta ridho Allah, insya Allah, kita akan meraih
kemenangan!”
“Allahu Akbar!” teriak Ki Singalodra. Yang lainnya pun meneriakkan takbir tersebut
hingga memenuhi seluruh bagian masjid tersebut.
“Dan saudara-saudaraku semua, para ulama, para pangeran, para demang, dan
senopati, kita sudah menempatkan pasukan-pasukan kita di semua pos sekitar
Tegalredjo ini. Kita sekarang hanya menunggu mereka, karena kita tidak ingin dianggap
yang memulai perang…”
Pangeran Diponegoro kemudian membaca kembali ayat suci Al-Qur’an, kali ini surat Al-
Hajj ayat 39 dan 40,
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, Karena Sesungguhnya mereka Telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang Telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali Karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah Telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa’“
“Kalian semua, nanti malam beristirahatlah dengan cukup. Berjagalah bergantian.
Sebab aku punya firasat jika besok akan menjadi hari yang melelahkan bagi kita semua.
Bersiaga dan bersiaplah…”
“Siap, Kanjeng Pangeran!” ujar para senopati.
“Nah, sekarang kembalilah ke pos kalian masing-masing. Jika sesuatu yang paling
buruk menimpa Puri Tegalredjo, maka semuanya sudah tahu kemana aku dan pasukan
akan pergi.”
Para senopati dan sesepuh yang lain pun meninggalkan masjid. Mereka kembali ke
pasukannya masing-masing. Beberapa di antaranya menyebar ke seluruh wilayah
sekitar Tegalredjo. Satu jam lagi waktu maghrib akan tiba. Pangeran Diponegoro segera
mengambil wudhu untuk kembali berzikir menjelang saat pergantian siang ke malam di
dalam masjid. []
Bab 19
NAFAS PANGERAN DIPONEGORO BEGITU TENANG dan teratur. Bibirnya yang
selalu basah oleh zikir bergerak-gerak kecil. Kedua matanya dipejamkan. Tangan
kanannya begitu khusyuk memilin butiran biji tasbih yang terbuat dari kayu asam jawa
yang begitu langka. Putera Sultan Hamengku Buwono III ini kuat duduk bersila di dalam
masjidnya semalaman penuh, diseling sholat tahajud yang panjang. Perutnya juga
jarang diisi makanan dan minuman. Sejak remaja di bawah bimbingan Ratu Ageng,
permaisuri dari Hamengku Buwono I, Diponegoro telah terbiasa melakukan puasa
[2] Sri Susuhunan Pakubuwana III lahir di Kartasura tahun 1732 dan wafat tahun 1788
adalah raja kedua Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1749 – 1788. Dia
merupakan raja keturunan Mataram pertama yang dilantik oleh Belanda.
Bab 31
JARAK DARI TEGALREDJO KE DEKSO yang sudah masuk ke wilayah Kulon Progo[1]
memang tidak begitu jauh. Namun juga tidak bisa dibilang dekat. Apalagi rombongan
Pangeran Diponegoro selalu menghindari jalan besar. Rombongan ini selalu memilih
lewat jalan-jalan kecil, jalan setapak, bahkan harus menembus rapatnya belukar hutan,
pematang sawah, pinggir kali dan jurang, dan yang lainnya hanya dengan
mengandalkan cahaya bulan. Semua itu dilakukan untuk menghindarkan keberadaan
mereka dari intaian mata-mata Belanda dan Danuredjo.
Sebab itu, setelah beberapa kali berhenti untuk beristirahat, sholat, dan juga makan,
rombongan ini baru tiba di Dekso menjelang tengah malam. Setelah melepas anak-
anak, para emban, dan beberapa lainnya yang bukan kombatan, rombongan kembali
berjalan menerabas hutan menuju selatan. Sesuai dengan arahan Mangkubumi dan
Susuhunan Pakubuwono VI, mereka akan menuju wilayah Gua Selarong yang sangat
strategis.
Perjalanan dari Dekso ke Selarong juga tidak mudah. Mereka harus menyeberangi Kali
Progo yang di musim panas seperti bulan Juli ini airnya surut sehingga bisa dilalui,
walau tetap harus berhati-hati karena bebatuannya licin dan banyak ular. Mereka juga
harus menyeberangi beberapa kali kecil seperti Kali Konteng dan lainnya.
Mendekati Gua Selarong yang berada di wilayah Bantul, hari sudah menjelang pagi
walau matahari belum menampakkan wajahnya. Beberapa dari anggota rombongan
tampak kelelahan dan mengantuk, bahkan ada yang sampai tertidur di atas kudanya,
namun tidak demikian dengan Pangeran Diponegoro, Mangkubumi, Pangeran Bei,
Ustadz Taftayani, dan para sesepuh lainnya. Mereka sudah terbiasa di dalam hidupnya
menyedikitkan tidur dan memperbanyak sholat sunnah, zikir, dan ibadah lainnya.
Adzan subuh bergema tepat ketika mereka memasuki batas Desa Selarong di mana Ki
Guntur Wisesa dan banyak laskarnya sudah menunggu di kedua sisi jalan.
“Ahlan wa sahlan, Kanjeng Pangeran!” sambut Ki Guntur Wisesa ketika menyambut
kedatangan Pangeran Diponegoro dan yang lainnya. Kedua pasukan bertemu dan
saling berangkulan. Beberapa di antara mereka sampai menetaskan airmata haru.
Persaudaraan di dalam Islam memang sedemikian indah. Walau banyak yang tidak
saling mengenal, namun ukhuwah Islamiyah yang tlah tertanam di dalam dada
mereka membuat semuanya merasa sebagai satu bangunan yang kokoh, yang saling
melengkapi satu dengan yang lainnya.
“Kanjeng Pangeran, subuh telah tiba. Mari kita ke masjid terlebih dahulu,” ajak Ki Guntur
Wisesa yang segera membawa pasukan besar itu ke sebuah masjid sederhana yang
tidak begitu jauh dari gerbang desa. Walau masjid kecil, tapi halaman rumputnya luas
sehingga sebagian pasukan bisa turut mengikuti sholat subuh berjamaah di halaman
tersebut.
“Kanjeng Pangeran dan yang lainnya silakan sholat terlebih dahulu. Kami akan berjaga-
jaga di sini bergantian,” ujar Ki Guntur.
Setelah menunaikan sholat, semuanya berjalan beriringan menuju Gua Selarong yang
berada di ketinggian bukit, dikelilingi oleh pohon-pohon besar. Para senopati dan ulama
pendekar sendiri berkumpul untuk melakukan musyawarah mengenai pelaksanaan
strategi pertahanan dan penyerangan melawan pasukan kafir Belanda dan para
murtadin lainnya yang menjadi kaki tangan penjajah. []
Bab 32
ORANG-ORANG KAMPUNG BERLARIAN MENYAMBUT datangnya barisan panjang
laskar Pangeran Diponegoro di Selarong. Mereka, tua dan muda, berteriak-teriak
kegirangan.
“Kanjeng Pangeran Diponegoro datang! Kanjeng Pangeran Diponegoro datang!”
Pagi-pagi buta itu, di mana hawa masih terasa dingin mengigit tulang, kaum perempuan,
anak-anak, dan orang-orang tua, bergegas keluar dari rumahnya dan berdiri di pinggir
jalan. Takbir berulang-ulang diteriakkan memenuhi langit. Dari atas Kiai Gentayu, kuda
hitam dengan ‘kaus kaki’ putih di keempat kakinya, Pangeran Diponegoro dengan
mengenakan jubah dan sorban serba putih terus menebar senyum dan membalas takbir
dengan tak kalah semangat. Pangeran Bei dan Mangkubumi, disertai Senopati Ki
Guntur Wisesa, Ustadz Taftayani, dan Ki Singalodra, berkuda di sekeliling Diponegoro.
Di bagian belakang rombongan, tak kurang sekira limaratus meter dari keberadaan
Pangeran Diponegoro di depan, terlihat di kejauhan satu pasukan besar dipimpin dua
lelaki yang mengenakan jubah dan sorban putih, sebagaimana Pangeran Diponegoro
dan Mangkubumi pakai. Pasukan besar itu mengibarkan satu panji berwarna hitam.
“Siapa mereka?” ujar Abdullah pelan. Lelaki yang menjabat sebagai kepala regu yang
bertugas mengamankan bagian paling belakang barisan Diponegoro, bersama sepuluh
anak buahnya, langsung berbalik arah dan menunggu mereka. Sedangkan pasukan
yang lain melanjutkan perjalanan ke Gua Selarong dengan perlahan.
Abdullah menghela kudanya perlahan, diikuti anak buahnya. Mereka berjalan
berlawanan arah dengan rombongan Diponegoro untuk menyambut kedatangan
pasukan besar yang masih terlihat di kejauhan sedang memasuki gerbang desa dengan
sikap waspada. Ketika jarak di antara mereka sudah sekira seratusan meter, Abdullah
menarik nafas lega. Dari jauh dia sudah mengenali dua lelaki berjubah dan bersorban di
depan pasukan besar.
“Kanjeng Kiai Modjo dan Kiai Ghazali…,” desisnya gembira.
Kiai Ghazali adalah anak dari Kiai Modjo. Mereka berdua telah menyusul Diponegoro ke
Selarong membawa serta pasukan Boelkiyo, pasukan khusus yang
mendapat gemblengan dari Kiai Modjo dan ulama pendekar lainnya di Surakarta.
“Topo, cepat kau lapor pada Kanjeng Pangeran bahwa Kiai Modjo dan pasukannya
sudah menyusul kita di Selarong!” ujar Abdullah.
Sutopo, salah seorang laskar dari Sambiredjo segera memacu kudanya melewati
rombongan pasukan dari samping jalan menuju ke bagian depan di mana Pangeran
Diponegoro dan para sesepuh lainnya berada. Sedangkan Abdullah dan beberapa anak
buahnya tetap menunggu laskar Kiai Modjo yang menurut kabar memang sudah
berangkat dari Surakarta kemarin siang, sebelum terjadi penyerangan Belanda ke
Tegalredjo.
Pasukan besar itu kian dekat. Abdullah benar. Panji hitam yang dilihatnya sekarang
sudah menampakkan tulisan syahadatain di bagian tengahnya yang dibuat dari sulaman
benang emas sehingga tulisan arab itu bercahaya ditimpa sinar mentari pagi yang baru
saja muncul di ufuk timur. Sosok Kiai Modjo dan Kiai Ghazali pun sudah tampak jelas.
Dia segera menyongsong ke depan.
“Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh! Ahlan wa sahlan Kiai!” ujar
Abdullah lantang seraya menggebrak kudanya mendekati Kiai Modjo dan Kiai Ghazali.
Kiai Modjo tersenyum. Ulama besar dari daerah Modjo di Surakarta itu membalas salam
dari Abdullah. [] (Bersambung)
[1] Progo adalah nama sebuah sungai besar di sebelah barat Yogyakarta yang berhulu
di Puncak Gunung Merapi di utara Yogya dan bermuara di Pantai Selatan. Kulon Progo
berarti “sebelah barat Kali Progo”.
“Sebentar lagi Kanjeng Pangeran Diponegoro akan menemui Kanjeng Kiai..”
Belum kering bibir Abdullah mengucapkan kalimat itu, dari arah belakang terdengar
derap kaki kuda yang kian lama kian jelas. Pangeran Diponegoro, disertai Mangkubumi,
Ki Singalodra, dan Ustadz Taftayani terlihat memacu kudanya ikut menyambut Kiai
Modjo. Dari atas kudanya, mereka semua bersalaman dan berpelukan. Kedua pasukan
besar itu pun bergabung menjadi satu. Pangeran Diponegoro mengajak Kiai Modjo dan
Kiai Ghazali ke bagian depan. Mereka kemudian segera memacu kudanya menuju
pelataran yang terletak di bagian bawah Gua Selarong.
Ki Guntur Wisesa yang berada di depan barisan memanggil sejumlah kepala regu.
Kepada mereka semua, Senopati yang bertanggungjawab atas wilayah Selarong ini
memerintahkan agar mereka semua mengatur pasukannya masing-masing, untuk
mengisi pos-pos pertahanan yang sudah dipersiapkan.
“Tempati posisi kalian semua. Isi posnya masing-masing. Bersiagalah, jangan lengah!”
teriaknya.
Para kepala regu segera membubarkan diri kembali ke regunya masing-masing.
Setibanya di pelataran depan anak tangga menuju ke Gua Selarong, Pangeran
Diponegoro dan lainnya turun dari kudanya. Diponegoro bersama para sesepuh lainnya
menaiki tangga yang dibuat dari susunan bebatuan menuju ke gua yang berada di
bagian atas. Isteri dari Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih beserta puluhan
Laskar Puteri, menunggu di bawah membiarkan kaum laki-laki naik ke atas terlebih
dahulu. Setelah para sesepuh naik semua, barulah mereka menaiki tangga menuju gua
yang satunya lagi.
Gua Selarong seakan memang diciptakan berpasangan. Satu di sebelah barat dan satu
lagi di timur. Yang di sebelah barat di sebut Gua Kakung karena dipakai sebagai pusat
komando pasukan laki-laki, sedangkan yang di timur disebut Gua Puteri yang akan
dihuni oleh Raden Ayu Retnaningsih beserta pasukannya.
Pagi yang sama jauh di utara Selarong, tepatnya di Semarang,Residen Semarang dan
Kolonel Von Jett tengah melakukan persiapan untuk menginspeksi duaratusan pasukan
artileri dan infanteri di bawah pimpinan Kapten Kumsius yang akan segera berangkat ke
Yogyakarta siang atau sore harinya. Menurut rencana, pasukan ini akan transit terlebih
dulu ke Magelang untuk mengambil uang titipan dari residennya sesuai dengan
permintaan Residen Yogyakarta, A.H. Smissaert.
Kabar tentang pemberontakan yang meletus di Yogyakarta sendiri sangat mengejutkan
Semarang. Warga Semarang terbelah menjadi dua. Ada yang mendukungnya namun
lebih banyak yang cemas. Pemerintah jajahan sendiri menyebarkan fitnah jika yang
memberontak di Yogyakarta adalah para kriminal dan penjahat yang kabur setelah
menjebol berbagai penjara. Mereka ditampung oleh Pangeran Diponegoro dan dijadikan
anggota pasukannya. Kebanyakan warga Semarang, di antaranya banyak warga Cina
yang berprofesi sebagai pedagang, dilanda ketakutan yang teramat sangat. Mereka
takut jika pemberontakan itu akan menjalar ke Semarang. Mereka segera berkumpul
dan berencana membentuk satuan-satuan sipil bersenjata-mirip pamswakarsa-yang
akan mempertahankan kampungnya dari segala ancaman yang mungkin saja timbul.
Karesidenan Semarang sendiri, sama seperti karesidenan-karesidenan lainnya,
berusaha turut memadamkan pemberontakan Diponegoro dengan mengirimkan
pasukannya ke Yogyakarta. Duaratusan pasukan infanteri dan kavaleri yang dipimpin
Kapten Kumsius sedang bersiap berangkat. Komandan pasukan Belanda di Semarang,
Kolonel Von Jett, malah berinisiatif datang langsung ke Yogyakarta untuk bergabung
dengan para pembuat kebijakan secara langsung menghadapi pemberontakan itu. []
Bab 33
SALAH SEORANG PRAJURIT JAGA MELAPOR pada Ki Guntur Wisesa yang baru saja
hendak mendaki susunan tangga batu menuju Gua Kakung tempat di mana Diponegoro
akan melangsungkan musyawarah.
“Ada apa, Kisanak?” selidik senopati itu.
“Maaf Ki, ada kabar penting yang hendak disampaikan anggota pasukan telik sandi kita
dari Plered kepada Kanjeng Pangeran…”
“Kanjeng Pangeran hendak memimpin pertemuan terbatas. Sampaikan saja padaku,
nanti aku teruskan pada Kanjeng Pangeran…”
“Inggih, Ki….”
“Apakah itu orangnya?” Ki Guntur Wisesa menunjuk seorang lelaki muda berpakaian
wulung hitam-hitam yang tengah berdiri sekira tujuh tombak di belakang mereka. Prajurit
jaga itu mengangguk. Dia kemudian memanggil lelaki itu dan mempersilakan untuk
menyampaikan informasi yang dimiliki kepada Ki Guntur Wisesa.
“Apa yang hendak Kisanak sampaikan?”
Dengan perlahan, prajurit mata-mata itu menyampaikan laporan jika Sentot
Prawirodirdjo dengan limaratusan pasukannya sudah menyatakan akan bergabung di
Selarong. “Insya Allah, dalam waktu dekat…”
Ki Guntur Wisesa mengangguk-anggukkan kepalanya. Tapi dia sepertinya belum yakin
benar dengan kabar yang dibawa prajurit itu. “Kisanak dari Plered?”
Prajurit itu mengangguk, “Inggih, Ki…”
“Siapa nama pemimpinmu?” selidik Ki Guntur. Kalimat ini sesungguhnya adalah kata
sandi yang harus dijawab dengan sesuai oleh orang yang memang bagian dari pasukan
telik sandi yang ditempatkan di Plered. Ada dua kombinasi pertanyaan dan jawaban.
“Semarang Magelang…,” jawabnya pelan.
“Apa?”
“Magelang Yogyakarta…”
Ki Guntur tersenyum. Kombinasi jawaban prajurit itu sesuai. Baru dia yakin jika informasi
yang disampaikan prajurit itu benar adanya. Sambil menepuk-nepuk punggung prajurit
tersebut, Ki Guntur mengucapkan terima kasih.
“Terima kasih, Kisanak. Sekarang saya akan ke atas, melaporkan kabar ini kepada
Kanjeng Pangeran.”
Prajurit itu segera minta diri dan menghilang dalam kesibukan para laskar dan kepala
regu yang tengah mempersiapkan segala sesuatunya.
Ki Guntur sendiri bergegas menaiki susunan tangga batu menuju Gua Kakung dimana
Pangeran Diponegoro akan mengadakan tukar pikiran dengan Kiai Modjo, Ustadz
Taftayani, Pangeran Bei, dan Pangeran Mangkubumi. Setibanya di mulut gua,
semuanya sudah duduk melingkar.
Setelah memberi salam, Ki Guntur menyampaikan maaf karena datang terlambat. “Ndak
apa-apa, Ki Guntur. Kita baru saja akan mulai,” ujar Pangeran Diponegoro sembari
mempersilakan Senopati Selarong itu duduk di sampingnya.
Tukar pikiran dibuka dengan pembacaan beberapa ayat al-Qur’an yang dilakukan oleh
Kiai Modjo. Setelah itu, Pangeran Diponegoro mempersilahkan masing-masing untuk
bicara.
Ki Guntur Wisesa mengangkat tangan terlebih dahulu, “Kanjeng Pangeran, Kiai, dan
Ustadz, maafkan saya bila lancang berbicara terlebih dahulu. Saya hanya ingin
menyampaikan kabar gembira dari pasukan telik sandi kita yang ada di Plered. Dia
mengabarkan jika Sentot Prawirodirdjo dan pasukannya insya Allah akan bergabung
disini. Itu saja….” [](Bersambung)
Semua yang hadir di dalam gua tersebut mengucapkan syukur, “Alhamdulillah…“
Berita baik ini tentu menggembirakan semuanya. Bergabungnya Sentot dan pasukannya
merupakan suntikan darah segar pada barisan kaum mujahidin yang tengah
menggalang kekuatan untuk mengusir kekuatan penjajah kafir Belanda dan antek-
anteknya dari Bumi Mataram.
Bagi para sesepuh dan kerabat Kraton, sosok Sentot Prawirodirdjo yang dilahirkan pada
tahun 1807 tidaklah asing lagi. Ayahnya, Raden Ronggo Prawirodirjo III, merupakan ipar
Sultan Hamengku Buwono IV, dan sekaligus juga mertua Pangeran Diponegoro dimana
salah satu isterinya yang bernama Raden Ayu Citrowati, merupakan anak dari Raden
Ronggo namun beda ibu dengan Sentot.
Berbeda dengan keluarga Danuredjan, keluarga Raden Ronggo dikenal sebagai
keluarga yang gigih menentang penjajah kafir Belanda. Bahkan ayah Sentot
Prawirodirdjo sendiri akhirnya meninggal dibunuh Daendels. Hal ini memicu dendam
membara di dalam dada seorang Sentot yang sangat membanggakan ayahnya tersebut.
Inilah yang menjadi salah satu penyebab bergabungnya Sentot ke dalam pasukan
Diponegoro.
Beda dengan remaja seusianya, seorang Sentot Prawirodirjo sejak masih kanak-kanak
telah digemblengberbagai macam ilmu dan pengetahuan, seperti olah diri, cara
berkelahi, ilmu agama, hingga dasar-dasar kesatriaan atau ilmu perang.
Sebab itulah, walau masih terbilang remaja, namun Sentot tumbuh menjadi seorang
laki-laki yang berkepribadian matang dan dewasa. Salah satunya diwujudkan dalam
keberaniannya memilih cara berpakaian yang sungguh berbeda dengan orang
kebanyakan, yaitu jubah putih dengan surban, yang serupa dengan Pangeran
Diponegoro dan Kiai Modjo.
Sentot yang cerdas tahu jika sebuah pakaian bisa dijadikan sebagai identitas sekaligus
alat perlawanan. Jika kebanyakan rakyat Mataram hanya berpakaian wulung, atau para
pejabat kraton mulai mengenakan pakaian jas dan pantalon, seperti lazimnya orang-
orang kafir, maka Sentot menuruti jejak Pangeran Diponegoro dan Kiai Modjo yang
mengenakan pakaian jubah dan surban sebagai identitasnya. Ini juga sekaligus
maklumatnya kepada rakyat Mataram jika dirinya merupakan bagian dari kaum Muslimin
dunia, yang siap mati syahid demi tegaknya kalimat tauhid di seluruh muka bumi.
“Alhamdulillah, apa yang dikabarkan oleh Ki Guntur insya Allah benar…,” ujar Kiai
Modjo menanggapi. “…Saya mengenal Adinda Sentot dengan baik. Sejak lama dia
memang telah mempersiapkan diri dan juga menyusun pasukannya untuk bergabung
dengan kita, untuk mengusir penjajah kafir dari Bumi Mataram. Dengan adanya
Sentot, insya Allah kita akan semakin kuat. Anak muda itu memiliki wawasan dan
kecakapan perang yang hebat…”
Pangeran Diponegoro mengangguk-angguk. Demikian pula dengan Pangeran Bei yang
menjadi panglima tertinggi pasukan Diponegoro, dan juga yang lainnya.
“Ya, itu benar Kiai. Saya mengenalnya dan mengagumi banyak hal yang ada pada
dirinya. Jika semuanya berkenan, saya ingin Sentot memimpin pasukan kita semua di
dalam peperangan,” ujar Pangeran Bei dengan wajah bersungguh-sungguh. “Apakah
ada pendapat lain?”
Ustadz Taftayani menjawab, “Insya Allah, peperangan ini adalah peperangan untuk
menegakkan La Illaha ilallah, menegakkan ketauhidan, di bumi kita. Saya yakin,
seorang Sentot Prawirodirdjo akan menjadi Usamah bin Zaid bin Haritsah[1] di dalam
barisan ini. Bismillah…“
“Ya, bi idznillah, Ustadz. Dengan izin Allah..,” ujar Diponegoro.
“Paman Mangkubumi, bagaimana dengan perkembangan pasukan kita di lapangan?”
tanya Diponegoro kepada Pangeran Mangkubumi.
“Pertempuran masih berlangsung hingga pagi tadi di Tegalredjo. Rakyat di sana bangkit
melawan kafir Belanda. Bukan hanya yang ada di Tegalredjo dan sekitarnya, namun
banyak laskar yang terus mengalir ke sana untuk mengusir kafir Belanda dan antek-
anteknya itu. Di berbagai desa, laskar-laskar baru bermunculan. Mereka dipimpin para
ulama, pendekar, demang, atau jagoan setempat. Mereka telah berjanji setia pada garis
perjuangan di jalan Allah ini…”
Pangeran Mangkubumi terdiam sebentar. Setelah menegakkan punggungnya, dia
melanjutkan laporannya. “Pangeran, pasukan kita sendiri sudah berada di posisinya
masing-masing. Kafir Belanda yang ada di Yogyakarta juga sudah meminta bantuan
pasukan dari Semarang dan Magelang. Legiun Mangkunegaran juga sudah
mengirimkan kembali pasukannya untuk membantu kaum kafir itu.”
Pangeran Ngabehi Djayakusumah terlihat geleng-geleng kepala. Dia tidak habis pikir
dengan orang-orang Mataram sendiri, juga para pejabatnya, yang malah berpihak pada
kafir Belanda, bukan memihak pada rakyatnya sendiri dan Allah. Padahal banyak dari
para antek kafir Belanda itu yang sudah memeluk Islam sebagai agamanya.
“Pangeran Bei…,” ujar Mangkubumi.
“Ya, saudaraku…”
“Saya juga dapat kabar dari Pisangan, jika laskar yang dipimpin Mulyo Sentiko sudah
siap menghadang pasukan bantuan kafir Belanda yang datang dari arah Magelang.
Menurut kabar dari telik sandi kita, pasukan itu juga membawa uang dalam jumlah besar
yang diberikan Residen Magelang kepada Residen Yogyakarta. Beberapa orang kita
malah turut sebagai kuli angkut yang berada di dalam barisan kafirin itu..”
Pangeran Bei mengangguk-angguk senang, “Berapa jumlah pasukan bantuan kafir itu?”
“Sekitar duaratusan prajurit, terdiri dari pasukan infanteri dan kavaleri, dipimpin seorang
kapten Belanda.”
“Dan jumlah laskar Mulyo Sentiko?”
“Paling banyak seratusan. Tapi laskar-laskar setempat sudah menggabungkan diri
dengannya.”
Pangeran Bei terdiam sesaat. Kemudian dia berkata pada yang lainnya. “Saudara-
saudaraku semua, insya Allah, kita semua sudah siap dengan segala kemungkinan
yang terjadi. Kita akan menggunakan strategi perang Dhedhemitan atau Gebag ancat nrabas geblas[2]. Kita akan serbu atau sergap pasukan kafir itu, lalu dengan
cepat menghilang ke hutan-hutan. Kita akan gunakan hutan sebagai benteng
alam.Insya Allah, orang-orang kafir itu akan kalah!”
“Dan satu lagi Pangeran…,” ujar Kiai Modjo dengan suara yang berwibawa. Ulama yang
disegani dari wilayah Modjo, Surakarta, itu kemudian mengeluarkan secarik kertas yang
dilipat empat dari saku jubahnya dan membukanya.
“Selebaran ini saya dapat dari seorang prajurit saya. Dia bilang di Yogyakarta dan
sekitarnya sudah banyak tertempel selebaran seperti ini subuh tadi. Isinya mengatakan
jika Pangeran Diponegoro adalah penjahat dan pasukannya terdiri dari para kriminal dan
tahanan yang lari dari penjara, yang telah disulap seolah-olah pasukan santri dan
ulama. Kita dituding sebagai orang-orang yang memperalat agama demi mencapai
ambisi kekuasaan duniawi. Dan siapa pun yang bergabung dengan kita, akan dianggap
sebagai penjahat dan akan diperangi oleh Belanda. Ini jelas buatan Belanda atau antek-
anteknya semacam Danuredjo itu. Bagaimana pendapat sinuhun sendiri?”
Pangeran Ngabehi menerima selebaran itu yang diserahkan oleh Kiai Modjo kepadanya.
Setelah membacanya sebentar, selebaran itu kemudian diserahkannya kepada
Pangeran Diponegoro.
“Aku sudah menduga jika kafir Belanda tidak saja menyerang kita secara fisik, tetapi
juga berusaha menghancurkan kita lewat cara-cara seperti ini. Sejarah sudah
mengajarkan kepada kita jika musuh-musuh Allah senantiasa menggunakan berbagai
macam cara untuk melenyapkan api tauhid ini untuk selama-lamanya. Ini adalah bagian
dari Ghouz al fikri, perang urat syaraf. Allah subhana wa ta’ala di dalam al Qur’an
telah memperingatkan kita semua akan hal ini..,” papar Diponegoro yang kemudian
menyerahkan selebaran itu kepada Ustadz Taftayani. Setelah membacanya sebentar,
guru agama yang sudah mendidik Diponegoro sejak usia kanak-kanak di Pesantren
Mlangi dekat dengan Puri Tegalredjo itu berkata,
“Selebaran berisi fitnah seperti ini mengingatkan kita pada satu episode dalam siroh
Rasul shalallohu wa alaihi wassalam tentang berita dari kaum fasik. Adalah Al-Walid
bin Uqbah bin Abi Mu’ith, yang diutus Rasulullah untuk mengambil zakat dari Suku Bani
Al-Musththaliq yang dipimpin waktu itu oleh Al-Harits bin Dhirar, seperti diriwayatkan
Imam Ahmad. Al-Walid malah menyampaikan laporan kepada Rasulullah bahwa mereka
enggan membayar zakat, bahkan berniat membunuhnya. Padalah sesungguhnya al-
Walid tidak pernah sampai ke perkampungan Bani Musththaliq. Rasulullah marah.
Namun Beliau harus mengecek kebenaran berita itu. Rasulullah lalu mengutus Khalid
untuk mengecek kebenarannya. Ternyata al-Walid terbukti berdusta. Peristiwa ini
menyebabkan Allah subhana wa ta’ala menurunkan firman-Nya seperti yang tercatat
di dalam surat al-Hujurat ayat 6:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah (kebenarannya) dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Ayat ini, seperti yang dikemukakan Ibnu Katsir, termasuk ayat yang agung, karena berisi
pelajaran yang amat penting agar umat tidak mudah terprovokasi oleh fitnah atau berita
dusta, atau mudah menerima begitu saja berita yang tidak jelas sumbernya, atau berita
yang jelas sumbernya, tetapi sumber itu dikenal sebagai media penyebar fitnah. Apalagi
perintah Allah ini berada di dalam surat Al-Hujurat, surat yang sarat dengan pesan etika,
moral, dan prinsip-prinsip mu’amalah. Insya Allah Pangeran, para ulama kita akan
membimbing saudara-saudara kita, rakyat Mataram sampai ke desa-desa, agar tidak
mudah percaya dengan selebaran-selebaran yang dibuat oleh orang kafir dan kaum
murtadin semacam ini. Fitnah ini tidak akan mengurangi kekuatan kita sedikit pun!”
tabayun[3] merupakan perintah Allah, sementara sikap terburu-buru merupakan arahan
syaitan,” jawab Diponegoro. []
[1] Usamah bin Zaid bin Haritsah adalah panglima pasukan Rasulullah SAW yang masih
sangat muda, usianya belum 20 tahun ketika memimpin pasukan kaum Muslimin dalam
membebaskan beberapa negeri. Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Usama_ibn_Zayd
[2] Istilah ini merupakan prinsip-prinsip dari Perang Gerilya.
[3] (Bahasa Arab) Tabayyun lebih kurang berarti cek dan ricek.
Bab 34
ANGIN ADALAH PRAJURIT ALLAH DI medan perang. Dua orang anggota laskar Mulyo
Sentiko yang dikirim ke garis paling depan-sekira duaratusan meter di luar gerbang
Desa Lagorok, Pisangan-telah mencium kedatangan pasukan kafir dari arah utara.
Angin yang bertiup dari Merapi ke arah Laut Kidul membawa serta bebauan orang-orang
kafir tersebut lewat udara, sehingga keberadaan mereka bisa diketahui jauh sebelum
sosok mereka terlihat.
Djauhari serta Djamhadi, dua orang laskar kepercayaan Mulyo Sentiko segera memacu
kudanya kembali ke perkemahan induk pasukan yang berada di atas bukit kecil di tepi
jalan raya Desa Lagorok.
Perkemahan pasukan mereka juga berada di atas bukit di sisi kanan dan kiri jalan raya
yang terlindung lebatnya pohon dan semak. Jalan raya yang berada di bawah mereka
agak menanjak dan menikung. Mulyo Sentiko menganggap jalan dengan kondisi seperti
ini sangat bagus untuk dijadikan tempat penyergapan. Maka ketika dia menerima kabar
dari pasukan telik sandi jika pasukan Kapten Kumsius telah berangkat dari Magelang
menuju Yogyakarta lewat jalan ini, maka Mulyo Sentiko memerintahkan pasukannya
mendirikan kemah di tempat ini sekaligus menyusun strategi penyergapan.
Di kedua sisi bukit yang mengapit jalan di bawahnya, para laskar menghimpun batu-batu
kali dengan ukuran besar dan disusun sedemikian rupa sehingga terkesan alami. Batu-
batu kali ini akan digelontorkan ke bawah untuk menimbun pasukan kafir Belanda yang
akan lewat.
Selain batu-batu, pasukan panah juga disiapkan berjajar di kedua sisi bukit dalam jarak
tembak efektif. Mereka bersembunyi di dalam lubang-lubang yang sudah disamarkan
oleh ilalang dan semak, dan dilindungi oleh batang-batang pohon, baik yang masih
berdiri maupun yang sudah mati.
Di selatan jalan, Mulyo Sentiko membuat lubang jebakan selebar duameter dengan
kedalaman satu meter yang ditutup dengan ranting dan ditimbun dengan tanah kembali.
Kuda atau siapa pun yang lewat akan terperosok jatuh ke dalam lubang, di mana
dasarnya telah ditanami banyak ujung tombak yang ujungnya menghadap ke atas dan
telah diberi racun ular weling.
Di utara jalan, dimana nanti ekor pasukan kafir Belanda berada, sedianya akan ditutup
oleh gelondongan-gelondongan kayu dan batu-batu yang digelontorkan dari atas bukit
sehingga pasukan Belanda akan terkurung di jalan yang diapit dua bukit di kedua
sisinya, serta tidak bisa maju atau pun mundur. Dalam keadaan terkurung, laskar Mulyo
Sentiko akan menghabisi pasukan ini dengan mudah.
Semua pasukan sudah berada di tempatnya masing-masing. Mereka tinggal menunggu
datangnya dua pengintai yang memberi tanda jika rombongan pasukan kafir Belanda
sudah dekat.
Yang ditunggu-tunggu pun tiba. Dari arah utara dua pengendara kuda memacu kudanya
cepat-cepat. Debu beterbangan dan dengan cepat menghilang dibawa angin.
“Bersiap! Bersiap!” ujar Djauhari dan Djamhadi. Kedua pasukan pengintai itu segera
masuk ke dalam jalan setapak yang segera ditutup semak dan dedaunan kering oleh
prajurit yang bertugas menghapus jejak kedua pengintai tersebut.
Semuanya semakin waspada. Mereka tinggal menunggu aba-aba dari seorang
pengintai yang berada di puncak sebuah pohon beringin yang tinggi di puncak bukit.
Jika pasukan Belanda sudah tampak dan dekat, dia akan segera menirukan suara
monyet, tanda bahwa semua sudah harus benar-benar bersiap untuk menyergap
pasukan Belanda pimpinan Kapten Kumsius tersebut.
Detik demi detik berlalu dengan penuh ketegangan. Semuanya sudah memegang
dengan erat senjatanya masing-masing. Anak panah mulai diselipkan di tali busur.
Suasana begitu mencekam. Tak lama kemudian terdengar suara monyet melengking
tinggi tiga kali.
Belanda sudah tiba!
Mulyo Sentiko yang berada di atas bukit sebelah barat sudah memberi isyarat dengan
tangannya agar seluruh prajurit yang bertugas menggulingkan batu di bukit barat dan
timur bersiap. Bagian depan pasukan Belanda sudah terlihat mulai memasuki jalan yang
menyempit yang diapit bukit. Mulyo Sentiko menunggu agar inti pasukan tersebut benar-
benar berada di tengah agar konsentrasi pasukan mereka buyar. Mulyo Sentiko dan
pasukannya tahu jika sejumlah kuli pengangkut barang yang berada di ekor pasukan
merupakan anggota laskar Diponegoro yang sengaja disusupkan.
Semua menunggu tak sabar.
Tiba-tiba Mulyo Sentiko mendorong batu besar yang ada di depannya. Semua anggota
laskar yang bertugas menggelontorkan batu dan batang pohon ke bawah mengikutinya.
Suaranya menggemuruh bagai tanah longsor. Pasukan Belanda yang berada di bawah
seketika melihat ke atas. Sesaat mereka tertegun. Lalu mereka berlarian ke segala arah
mengindari longsoran batu-batu besar dan batang-batang pohon yang tiba-tiba saja
menghujani mereka. Beberapa prajurit yang tak sempat menghindar tertimbun hidup-
hidup. Dari ketinggian, Mulyo Sentiko dan laskarnya menyaksikan bagaimana pasukan
pimpinan Kapten Kumsius tersebut kacau-balau.
Ketika asap sudah agak mereda, Mulyo Sentiko mengibarkan panji berwarna merah
tinggi-tinggi. Kini giliran pasukan pemanah yang bertugas menghujani pasukan Belanda
yang masih kacau tersebut dari atas bukit. Bagai ratusan burung walet yang
beterbangan, meluncur lurus ke bawah dalam kecepatan tinggi, anak-anak panah yang
ujungnya telah dicelup racun tersebut berlomba untuk menancap dan masuk ke dalam
kulit pasukan kafir tersebut. Tak lama kemudian, setelah hujan panah usai, puluhan
pasukan penombak maju dari arah depan dan atas dengan meneriakkan takbir.
Pasukan Belanda yang sama sekali tidak siap berusaha membuat satu formasi
pertahanan. Namun sia-sia, jalan terlalu sempit dan musuh sudah terlalu dekat.
Pertarungan jarak dekat pun terjadi. Laskar Mulyo Sentiko yang dibantu laskar setempat
tanpa takut sedikit pun menerjang lawan. Dengan kekuatan seadanya, pasukan Belanda
membuang senjata api laras panjangnya dan mencabut pedang. Mereka berkelahi
dengan kalap dan tak lagi menghirakan kawan dan lawan. Kapten Kumsius sendiri
diiringi empat prajuritnya sejak dari awal penyerangan sudah melarikan diri dengan
memacu kudanya ke arah Yogyakarta, meninggalkan pasukannya yang semakin
terdesak dan bergelimpangan mati di sana-sini. Sejumlah kuli angkut yang membawa
berbagai barang-termasuk uang yang berada di dalam peti kecil yang berada di atas
kuda-sudah terlebih dahulu melarikan diri dan bergabung dengan laskar Mulyo Sentiko.
Pertempuran itu tidak sampai memakan waktu satu jam. Mulyo Sentiko dengan
bertelanjang dada berdiri di tengah-tengah jalan yang dipenuhi mayat pasukan Belanda.
Darah musuh memenuhi dada dan celananya. Pedangnya juga demikian.
Teriakan takbir kembali membahana tatkala mengetahui jika pasukan Belanda sudah
dikalahkan. Semuanya mati dan tak ada tawanan satu orang pun. Mulyo Sentiko
tersenyum dan menengadahkan kepalanya ke langit yang luas.
“Matur nuwun sanget ya Gusti Allah…”
Melihat hampir semua laskarnya juga bertelanjang dada, bahkan banyak yang
celananya robek terkena sabetan pedang dan tanah, serta belepotan darah musuh,
Mulyo Sentiko segera memerintahkan anak buahnya agar mengganti bajunya dengan
mengenakan seragam tentara Belanda yang masih sangat bagus. Tanpa diperintah dua
kali, anak buahnya berlomba melucuti seragam tentara Belanda tersebut dan
mengenakannya. Termasuk topi, pedang, senjata api laras panjang dan pendek, belati,
dan lainnya.
“Apakah semuanya sudah kebagian?” teriak Mulyo Sentiko.
Para anak buahnya ada yang menjawab sudah dan ada juga yang belum. Namun
disebabkan tidak ada lagi seragam Belanda yang tersisa, maka Mulyo Sentiko
memerintahkan agar semuanya berbaris kembali. Dia kemudian menaiki kudanya dan
mengambil posisi di depan barisan.
“Allahu Akbar!” teriaknya disambut takbir oleh seluruh laskarnya. “Alhamdulillah! Alhamdulillahi Rabb al’amin! Ini adalah kemenangan pertama kita terhadap penjajah
kafir Belanda.
Sekarang juga, kemenangan ini akan kita laporkan kepada Kanjeng Pangeran
Diponegoro di Selarong. Mari kita berbaris dengan tertib. Insya Allah, jika tidak ada aral
melintang, beberapa jam ke depan kita sudah tiba di sana!” [] (Bersambung)
Bab 35
NAFAS KAPTEN KUMSIUS TERDENGAR SEPERTI lokomotif tua yang kelebihan
beban. Setelah memacu kudanya sejauh lebih kurang 7 paal atau 10 kilometer, hingga
mencapai Yogyakarta, Kumsius tiba di Benteng Vredeburg dan langsung menghadap
Kolonel Von Jett yang sudah tiba terlebih dahulu dari Semarang. Dengan suara
tersengal, Kumsius melaporkan tragedi yang baru saja dialaminya.
Demi mendengar laporan anak buahnya, Kolonel Von Jett segera memerintahkan
Letnan Delatree untuk memimpin satu detasemen kavaleri untuk secepatnya membantu
pasukan Belanda yang sedang disergap pemberontak di Pisangan. Dalam waktu
singkat, Letnan Delatree pun berangkat bersama pasukan berkudanya meninggalkan
debu musim panas yang beterbangan sepanjang jalan.
Kolonel Vont Jett sendiri memerintahkan agar Kapten Kumsius beristirahat di salah satu
barak Benteng Vredeburg dan sesegera mungkin membuat laporan tentang kejadian
yang baru saja dialami.
Tak sampai satu setengah jam kemudian, Letnan Delatree dan pasukannya tiba
kembali. Sama seperti Kapten Kumsius, Letnan Delatree dengan nafas tersengal juga
melaporkan bahwa musuh yang sekarang sudah mengenakan seragam pasukan
Belanda tiba-tiba menyerangnya, sedangkan pasukan yang dipimpinnya benar-benar
tidak siap menghadapi musuh yang disangka ‘teman sendiri’.
“Para pemberontak itu mengenakan seragam pasukan kita. Semua senjata kita juga
sudah berada di tangan mereka. Dari jauh kami mengira jika mereka itu sisa-sisa dari
pasukan Kapten Kumsius yang berhasil lolos dari penyergapan. Ternyata kami keliru.
Mereka ternyata para pemberontak yang mengenakan seragam kita dan tiba-tiba saja
menyerang dengan membabi-buta. Kita tidak siap!”
Kolonel Von Jett sungguh-sungguh geram. “Berapa anggota pasukanmu yang tersisa!”
“Begitu kami menyadari musuh, kami hanya bertempur sebentar dan segera
menyelamatkan diri kembali ke sini. Korban di pihak kita tidak banyak, Kolonel. Mereka
terlalu kuat dan jumlahnya pun banyak sekali…”
Von Jett mengangguk-angguk. Dia baru sadar jika Belanda sekarang tidak bisa
menganggap remeh kekuatan pasukannya Diponegoro. Setelah menerima laporan dari
Letnan Delatree, Von Jett segera bertemu dengan Residen Yogyakarta Anthonie
Hendriks Smissaert, Asisten Residen Chevallier, dan juga Patih Dalem Danuredjo IV,
untuk membahas perkembangan terakhir. []
Bab 36
GURAT KEGEMBIRAAN TERPANCAR JELAS DI wajah seluruh laskar Mulyo Sentiko
yang dalam waktu seharian telah memetik sekaligus dua kemenangan gemilang:
menghancurkan kolonel pimpinan Kapten Kumsius dan memukul mundur detasemen
kavalerinya Letnan Delatree. Mulyo Sentiko yang juga mengenakan seragam pasukan
Belanda lengkap dengan pedang panjangnya memimpin di depan barisan. Sedangkan
seluruh laskarnya yang juga berseragam pasukan Belanda lengkap dengan topi dan
atributnya, juga semua senjata yang bisa direbut, mengikutinya dari belakang. Dengan
penuh kebanggaan, laskar ini terus bergerak menuju Gua Selarong.
Ba’da Asyar, ketika Pangeran Diponegoro, Kiai Modjo, Ustadz Taftayani, Pangeran
Mangkubumi, Pangeran Bei, dan lainnya tengah berkumpul di Gua Kakung, di batas
terluar wilayah Selarong sekira seratus meteran dari pelataran luas di bawah tangga
menuju gua, dua orang prajurit jaga-Luthfi dan Manto-yang sedang berada di posnya
tampak gugup. Mereka memicingkan mata, berusaha sekuat tenaga memperjelas
penglihatannya, jauh melampaui hamparan sawah dan kebun di ujung jalan, tampak
barisan panjang pasukan kavaleri dan infanteri Belanda tengah mendekati mereka
dengan perlahan.
“Jahanam! Londo wis uedan![1] Siang-siang begini mereka mau menyerang kita!”
jerit Luthfi. Laskar Selarong yang berasal dari Arab-Pekalongan ini kepalanya turun-naik
seperti burung onta dengan sebelah mata ditutup dan dipayungi sebelah tangannya
untuk memastikan apakah iring-iringan pasukan yang masih jauh itu sungguh-sungguh
Belanda atau bukan.
“Kowe ojo kesusu[2]. Lihat dulu baik-baik…,” ujar Manto yang juga memicingkan
matanya. Manto masih ragu apakah benar pasukan Belanda akan mendatangi Gua
Selarong siang-siang begini. Dia masih ragu. Tapi semakin dekat, tampaknya apa yang
dicemaskan Luthfi cukup beralasan juga. Apalagi dari kejauhan, seseorang dari
‘pasukan Belanda’ itu yang berada di paling depan tiba-tiba tampak memacu kudanya
sendirian kencang-kencang mendatangi mereka. Kontan, keduanya bersiaga. Baru saja
keduanya hendak melompat ke atas kuda, terdengar teriakan yang tidak asing di telinga
mereka.
“Assalamu’alaikum! Ini saya, Mulyo Sentiko!”
Luthfi yang sudah berada di atas kuda hendak mengambil langkah seribu menahan tali
kudanya. Sedangkan Manto yang masih berada di bawah menyambut kedatangan
Mulyo Sentiko yang sore itu tampak gagah dengan seragam kavaleri Belandanya.
Keduanya bernafas lega karena awalnya mereka menyangka jika pasukan Mulyo
Sentiko adalah pasukan Belanda yang hendak menyerang mereka.
“Uedan kowe, dapat dari mana seragam kafir londo itu?”
Mulyo Sentiko terkekeh, “Pasukanku baru saja mengalahkan wong kafir
itu. Ambrol mereka!”
Manto geleng-geleng kepala. Demikian pula dengan Luthfi.
“Alhamdulillah!” ujar Manto. Prajurit jaga itu kemudian menyuruh Luthfi yang
sudah kadung berada di atas kuda menghantarkan Mulyo Sentiko dan pasukannya ke
Gua Selarong agar tidak terjadi kesalahpahaman.
“Sebaiknya Paman terlebih dahulu masuk ke Selarong agar tidak terjadi
kesalahpahaman yang lainnya. Dan pasukan yang lain mengikuti dari belakang…” Ujar
Manto.
“Matur Nuwun…!” jawab Mulyo Sentiko yang kemudian langsung menggebrak
kudanya mengikuti Luthfi yang telah berlari duluan.
Kedatangan Mulyo Sentiko dan anggota pasukannya yang mengenakan seragam
Belanda dan membawa serta aneka persenjataan, serta uang yang cukup banyak,
sangat menggembirakan seluruh laskar Diponegoro yang berada di sekitar Selarong.
Mereka mengelu-elukan barisan laskar berseragam Belanda yang baru saja
memenangkan pertempuran melawan kaum kafir itu.
Mengetahui kedatangan laskar dari Pisangan ini, Pangeran Diponegoro dan para
sesepuh lainnya keluar dari gua dan menyambut Mulyo Sentiko dengan penuh haru.
“Insya Allah, kemenanganmu tadi merupakan awal dari kemenangan perjuangan kita
untuk mengusir kaum kafir penjajah dari Bumi Mataram yang kita cintai ini.”
“Amien Ya Rabb al’amien… Terima kasih Kanjeng Gusti Pangeran…,” jawab Mulyo
Sentiko. []
[1] (Bahasa Jawa kasar): “Jahanam! Belanda sudah gila!”
[2] (Bahasa Jawa kasar): “Kamu jangan terburu-buru” atau “Kamu jangan gegabah.”
Bab 37
KETAKUTAN MELANDA WARGA EROPA DAN Cina di Yogyakarta dan sekitarnya.
Pemberontakan Pangeran Diponegoro yang awalnya sempat dianggap remeh ternyata
malah membesar dan meluas. Banyak kepala desa, terutama di wilayah-wilayah
perdikan yang banyak terdapat sekolah agama, dengan terang-terangan memihak
Diponegoro. Bahkan para kepala desa itu membentuk laskarnya sendiri-sendiri dan
mulai mengganggu pos-pos jaga Belanda di sejumlah titik. Sejumlah pasukan kraton
juga bergabung dengan Diponegoro dengan membawa serta persenjataan dan
kudanya.
Dan di dalam kraton sendiri, terjadi perpecahan di kalangan kerabat kerajaan. Lebih dari
setengah pangeran dan bangsawan bergabung ke Selarong. Mereka ingin ber sama-
sama membebaskan Bumi Mataram dari tangan kotor kafir Belanda dan juga
menghukum Patih Danuredjo IV yang telah mengotori kraton dan memperdaya Sultan
Hamengku Buwono V yang masih bocah. Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang
dibangun Sultan Hamengku Buwono I dengan begitu berwibawa dan sakral, oleh
Danuredjo malah dicemari, hingga kini tak ubahnya bagai rumah bordil. Para pangeran
dan bangsawan bagaimana pun menghendaki kemuliaan kraton bisa kembali seperti
awalnya[1].
Semua perkembangan ini yang terjadi dengan begitu cepat membuat pihak Belanda
cemas. Dari Batavia, Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard Philip baron van der
Capellen menuding Residen Anthonie Hendriks Smissaert tidak becus mengurus Yogya.
Van der Capellen berjanji akan sangat serius memperhatikan salah satu anak buahnya
ini dan mengancam akan mengambil tindakan tegas jika Smissaert masih saja lemah.
Sore itu Kolonel Von Jett mondar-mandir di ruangan peta yang berada di dalam
kompleks Benteng Vredeburg. Residen Smissaert dan Danuredjo tampak duduk di atas
kursi kayu yang menempel di dinding ruangan dekat jendela. Keduanya tampak tegang
memperhatikan Von Jett yang tampak begitu serius, bahkan tak bisa menyembunyikan
sedikit kecemasannya.
“Gila! Ini sungguh gila jika dibiarkan. Baru tiga hari Diponegoro memberontak, tapi
dimana-mana sudah banyak orang yang bergabung dengannya. Pasukannya
bertambah kuat. Sedangkan pasukan yang mau membantu kita masih saja berada di
jalan. Lambat sekali mereka. Mana itu laskar Sumenep! Mana laskar Tidore! Mana
Legiun yang katanya mau mengirim pasukan tambahan lagi ke sini!”
Von Jett masih saja mondar-mandir. Dia kemudian menggeleng-gelangkan kepalanya.
Lalu dia berkata lagi. Masih dengan nada yang tinggi, “Mana Kapten Bouwensch!
Panggil dia!”
Smissaert dan Danuredjo saling berpandangan. Di ruangan hanya ada mereka berdua
selain Von Jett. Danuredjo akhirnya berdiri dengan kikuk. Dia bergegas keluar ruangan
memanggil salah seorang prajurit jaga dan menyuruhnya memanggil Kapten
Bouwensch, Komandan Garnisun Karesidenan Yogyakarta. Setelah itu Danuredjo
kembali masuk ke ruangan.
“Residen…,” ujar Von Jett. Smissaert menatap lelaki jangkung tersebut. Tatapan
matanya masih saja angkuh, walau dia menyadari jika pemberontakan Diponegoro yang
membesar dengan cepat merupakan kesalahannya. Von Jett tidak menghiraukan
semua itu sama sekali.
Kemudian Von Jett melanjutkan, “…tidak ada jalan lain bagi kita kecuali menghentikan
pemberontakan Diponegoro ini secepatnya. Dia orang harus ditangkap segera. Menurut
pasukan mata-mata kita, pemberontak itu bersama yang lainnya sekarang ini berada di
Selarong. Dan saya sudah menyiapkan satu koloni pasukan untuk menyerbu markasnya
di sana.”
Smissaert hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Von Jett agaknya tidak puas jika
residen tersebut hanya mengangguk-anggukkan kepalanya begitu saja.
“Bagaimana pandanganmu, Tuan Residen?” ujarnya dengan ketus.
Masih menganggukkan kepalanya, Smissaert menjawab, “Ya, tidak ada jalan lain,
memang. Dia orang secepatnya harus ditangkap.”
“Itu sudah pasti. Sekarang saya minta agar Yogyakarta menyiapkan dukungan logistik
bagi pasukan yang akan ke Selarong. Kiriman dari Magelang sudah direbut musuh,
Yogya harus menanggungnya.”
“Oke, oke… Chevallier yang akan menyiapkan…”
Tiba-tiba pintu ruangan diketuk orang, “Maaf, saya Kapten Bouwensch…”
“Ya. Masuk,” jawab Kolonel Von Jett datar.
Bouwensch masuk dan memberi hormat secara militer. Von Jett hanya menganggukkan
kepalanya dan tidak menyuruhnya duduk, sehingga orang nomor satu yang
bertanggungjawab atas keamanan Karesidenan Yogya ini terus saja berdiri dengan
sikap sempurna.
“Kapten…”
“Siap, Kolonel!”
“Sekarang juga siapkan pasukanmu dengan perbekalan tempur garis pertama. Besok
pagi-pagi sekali sebelum ayam berkokok, berangkatlah ke Selarong untuk menangkap
Diponegoro. Pimpin langsung pasukan itu.”
“Siap, Kolonel. Berapa kekuatan yang akan kita kerahkan ke Selarong?”
“Satu koloni, gabungan kavaleri dan invanteri, didukung artileri ringan. Seluruh Legiun
dari Mangkunegaran harus ikut.”
“Keamanan di dalam Yogya?”
“Serahkan pada prajurit Sultan dan beberapa regu pasukan reguler. Jika serangan esok
hari gagal, maka kita akan berada di dalam situasi yang sangat sulit. Bisa-bisa kita akan
bertahan di dalam benteng ini saja.”
Kapten Bouwensch mengamini pandangan komandannya itu. Keadaan dalam tiga hari
terakhir ini memang bertambah buruk bagi mereka. Pemberontak mendapat dukungan
dari mana-mana. Inlanderbangkit di hampir semua desa dan dusun. Dan semakin lama
Karesidenan Yogyakarta semakin terkepung oleh berbagai laskar yang muncul di mana-
mana. Perjalanan ke Kedu, Magelang, dan Surakarta sudah tidak aman lagi.
“Bagaimana perkembangan terakhir keamanan di sini?”
“Semua pasukan reguler bertugas mengamankan dalam kota, bersama-sama pasukan
kraton dengan tambahan Legiun…”
“Pasukan bantuan dari Tidore dan Sumenep?”
“Dalam waktu tak lama lagi mereka akan tiba.”
“Berapa hari lagi kita menunggu mereka?”
“Jika tidak ada halangan, paling lama dua hari lagi.”
“Apa rencanamu jika sewaktu-waktu pemberontak benar-benar mengepung dan
menyerang Yogya?”
“Sultan dan semua pembesar kraton harus diamankan di dalam benteng ini.”
Von Jett mengangguk-anggukkan kepalanya, “Bagus. Benteng ini adalah tempat
terakhir yang harus memberikan keamanan bagi Sultan dan yang lainnya. Batavia terus
memantau perkembangan di sini setiap waktu. Mereka tidak segan mengambil tindakan
yang tidak kita sukai jika itu memang diperlukan. Terhadap semuanya…,” ujar Von Jett
yang menatap Smissaert dengan tajam ketika mengucapkan kalimat terakhir yang
terdengar bagaikan ancaman.[] (Bersambung)
[1] Para putera Sultan Hamengku Buwono I, II, dan III yang berjumlah 23 orang
bergabung dengan Pangeran Diponegoro, demikian pula dengan cucu dan cicit mereka
yang jumlahnya tak kurang dari 54 orang. Itu diluar angka 74 bangsawan kraton yang
juga menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro di Selarong. Sedangkan para
ulama, hampir semuanya bergabung dengan Diponegoro, kecuali segelintir orang yang
memilih bersekutu dengan Danuredjo dan Belanda.
“Itu saja, Kapten. Kembalilah kepada pasukanmu dan siapkan mereka dengan baik.”
“Siap, Kolonel!”
Bouwensch kembali memberikan hormat dan bergegas meninggalkan ruangan.
Sepeninggal kapten tersebut, Kolonel Von Jett bertanya kepada Danuredjo.
“Patih, apa yang sudah kamu lakukan?” Von Jett kemudian duduk di atas meja,
menghadap Danuredjo yang masih duduk di kursi kayu dekat jendela bersebarangan
dengan Smissaert.
“Saya sudah mempersiapkan semuanya, Tuan Kolonel. Pasukan kraton sudah berada
di posnya masing-masing bersama Legiun dan pasukan Belanda. Selebaran sudah
tertempel di mana-mana. Dan sekarang kita tinggal menunggu datangnya pasukan
bantuan dari luar Yogya. Mereka semua sudah dalam perjalanan ke sini.”
“Dan untuk pasukan bantuan, apakah hanya dari Tidore dan Madura saja?”
“Tidak juga, Tuan Kolonel. Jayeng Sekar[1] juga sudah kita minta. Belum lagi dari Mayor
Raja Sulaiman dari Buton, laskar Alifuru Tidore, Ternate, dan sejumlah korps para
bupati di Jawa. Mereka semua sudah saya minta untuk mengirimkan pasukannya ke
sini, selain untuk memperkuat keberadaan mereka di daerahnya masing-masing.
Apakah kita juga mau merekrut para relawan?”
“Maksudmu?”
Danuredjo terkekeh, “Apakah Tuan lupa dengan sejarah perang salib?”
Kolonel Von Jett belum memahami apa yang hendak dimaksudkan Patih Danuredjo ini.