Untold History of Pangeran Diponegoro (1) – Edisi Rev Share on facebook Share on twitter Share on email Share on print More Sharing Services 30 Redaksi 1 – Minggu, 9 Desember 2012 13:17 WIB BERITA TERKAIT Kisah Da’i Pedalaman : Ustadz Mawardi Mendadak Haji Muallaf Krakow Berbagi Kisah (4) : Saya Yakin Bahwa Tuhan Pasti Ada Muallaf Krakow Berbagi Kisah (3) : I Want to be a Muslimah Today! Muallaf Krakow Berbagi Kisah (2) : Tertarik Islam Karena Senang Membaca Muallaf Krakow Berbagi Kisah (1) : Tertarik Islam Karena Hijab Muslimah CATATAN PENULIS***)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Untold History of Pangeran Diponegoro (1) – Edisi Rev
Share on facebook Share on twitter Share on email Share on
print More Sharing Services 30
Redaksi 1 – Minggu, 9 Desember 2012 13:17 WIB
BERITA TERKAIT
Kisah Da’i Pedalaman : Ustadz Mawardi Mendadak Haji
Muallaf Krakow Berbagi Kisah (4) : Saya Yakin Bahwa Tuhan
Pasti Ada
Muallaf Krakow Berbagi Kisah (3) : I Want to be a Muslimah
Today!
Muallaf Krakow Berbagi Kisah (2) : Tertarik Islam Karena
Senang Membaca
Muallaf Krakow Berbagi Kisah (1) : Tertarik Islam Karena Hijab
Muslimah
CATATAN PENULIS***)Tahun 1647, Amangkurat I memancung kepala 6.000 ulama Jawa beserta keluarganya di alun-alun Kraton
Plered, Yogyakarta. Syiar Islam di Tanah Jawa, paska era Wali Songo, pun mandeg. VOC, sekutu utama Raja Mataram itu, bergembira.
Lebih satu abad kemudian, Diponegoro mengobarkan jihad fi sabilillah untuk mengusir kaum kafir Belanda dan menegakkan panji syahadat di Tanah Jawa, dalam bentuk sebuah negara merdeka berasaskan Islam. Jihad fi sabilillah ini oleh sejarawan Belanda direduksi hanya sebagai perang sakit hati, yang hanya disebabkan perebutan tahta dan persoalan tanah makam leluhur.
Sejarah selalu berulang. Dan hari ini, episode Amangkurat I, Pangeran Diponegoro, Sentot Alibasyah, Kiai Modjo, dan Patih Danuredjo pun kembali terjadi. Dalam bentuk yang lebih canggih, tapi lakonnya tetaplah sama. Persis sama… []
Dengan penuh hormat dan kebanggaan,
kupersembahkan kepada anak keturunan
dan keluarga besar Pangeran Diponegoro,
semoga kemuliaan perjuangan Beliau
menginspirasi hidup kita semua…PROLOGPlered, Jawa Tengah, 1647
APA YANG SEKARANG DILIHAT DENGAN mata dan kepalanya sendiri sungguh-sungguh membuat Dyah
Jayengsari ingin muntah. Dua jam lalu, kepala juru masak kraton menyuruhnya membakar panci besi tebal. Bentuknya seperti topi. Dyah Jayengsari tidak berani bertanya untuk apa panci besi itu dibakar. Sebagai orang baru di kraton, dia harus tahu diri. Walau diliputi tanda tanya besar, namun gadis dari Krapyak ini tidak berani bertanya macam-macam.
Setelah panci itu membara, berubah jadi pijar panas yang mengerikan, dua prajurit Mataram menggotongnya dengan sebuah gerobak kayu ke bagian selatan alun-alun yang tidak jauh dari tempat Dyah Jayengsari berdiri. Di sana berkerumun banyak orang. Para prajurit juga berjaga-jaga Menurut kabar burung, seorang pemberontak pengikut Pangeran Alit tertangkap. Dia akan segera dihukum. Gadis itu tidak tahu apa hubungannya dengan panci panas itu.
Didorong penasaran, dia berjalan mendekati kerumunan. Dengan susah payah Dyah Jayengsari menyibak kerumunan orang, hingga akhirnya dia berdiri dekat dengan seorang lelaki paruh baya, bertelanjang dada, yang sedang duduk bersimpuh dengan tangan terikat. Kedua matanya ditutup secarik kain hitam. Satu tombak di depan lelaki itu, terdapat sebuah lubang seukuran badan orang dewasa. Lima prajurit kraton berjaga di sampingnya.
Tanda tanya besar masih memenuhi kepala gadis itu.
Tiba-tiba seorang prajurit Mataram yang bertindak selaku algojo memerintahkan agar sang pesakitan
dipendam di lubang yang ada di depannya. Lima orang prajurit bertubuh besar yang berjaga di sekeliling lelaki itu bergegas mengangkatnya. Dengan kasar mereka mengubur tubuh lelaki itu dari leher ke bawah.
Anehnya, lelaki itu tidak meronta-ronta. Ketika kain hitam dibuka, kedua matanya tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Sorot matanya begitu tenang, menyiratkan kepasrahan yang total pada kehendak Yang Maha Kuasa. Mulutnya terlihat komat-kamit membaca doa-doa dalam bahasa Arab.
Dari belakang, dua prajurit yang tadi ikut mengubur lelaki itu menggotong panci yang masih membara dan kemudian segera menangkupkan panci itu ke kepala sang pesakitan.
“Allahu Akbar!!!”
Lelaki itu melolong kesakitan. Begitu keras dan memilukan. Tak kuat menahan sengatan sakit yang luar biasa, lelaki itu langsung pingsan. ‘Topi besi panas’ itu melumerkan batok kepalanya. Suara gemerisik terdengar, seiring desis daging terbakar. Semua yang menonton menjerit ketakutan. Termasuk Dyah Jayengsari. Badan gadis itu menggigil hebat. Perutnya mual. Pandangan matanya berkunang-kunang. Kesadarannya mulai hilang. Dyah Jayengsari akhirnya jatuh tak sadarkan diri.
Gadis itu tiba-tiba tersadar. Dia menengok ke sekeliling ruangan. Tidak ada kerumunan orang. Dia ternyata
sendirian di bilik tidurnya. Mimpi itu ternyata terulang kembali. Mimpi nyata yang pernah dilihatnya beberapa pekan lalu.
Dari atap rumbia yang bolong di sana-sini hingga menyisakan ruang bagi sorot matahari yang menerobos ke dalam, Dyah Jayengsari tahu bahwa hari masih siang. Arah sinarnya ke timur menandakan Sang Surya telah mulai tergelincir ke barat.
Entah mengapa, perasaan gadis itu tidak enak. Keringatnya mengucur deras membasahi bajunya. Jantungnya berdegup keras menggedor-gedor relung dadanya. Baru saja dia hendak berdiri, sebuah teriakan keras mengagetkan dirinya.
“Keluar! Atas nama Paduka Yang Mulia, semua yang ada di dalam rumah ini keluar!”
Dyah Jayengsari menggigil ketakutan. Gadis itu tahu, teriakan itu berasal dari prajurit kraton.
Gerangan apa yang membuat mereka ke sini?
“Cepat keluar! Atau kami dobrak!”
Sambil berjalan, Dyah Jayengsari merenggut kerudung yang tersampir di bilik bambu dinding kamar dan menutupi kepala sekadarnya. Gadis itu bergegas keluar. Rumah sepi. Hanya ada dirinya. Benar saja, di depan pintu telah berdiri tiga orang prajurit kraton lengkap dengan pedang dan tombak. Yang membuatnya kaget, ayahnya dan Wulung Ludhira-adik satu-satunya yang
masih berusia sepuluh tahun-sudah berada di antara pasukan itu dengan pengawalan ketat.
“Siapa lagi yang ada di dalam!” hardik salah seorang prajurit. Tangan kanannya menggenggam tombak dengan ujung besi mirip trisula.
“Tidak ada lagi, Tuan. Saya sendirian…,” jawab Dyah pelan. Ketakutan segera menyergap dirinya. Tapi prajurit-prajurit kraton itu tidak percaya. Mereka mendobrak gubuk itu lalu menerabas ke dalam. Sesaat kemudian mereka keluar tanpa membawa siapa pun. Nihil.
“Dia benar. Tak ada lagi orang…”
Seorang prajurit yang sepertinya bertindak sebagai kepala regu memerintahkan semuanya pergi ke alun-alun. Dyah Jayengsari, ayah, serta adiknya hanya bisa mengikuti pasukan penjemputnya dengan menaiki seekor kuda yang telah diikat tali. Untunglah gubuk mereka tidak begitu jauh dengan alun-alun, sehingga dalam waktu singkat mereka sudah tiba di lapangan yang luas, di mana di sebelah selatannya berdiri bangunan Kraton Plered yang belum rampung dibangun. Walau demikian, Raja Amangkurat I sudah menempatinya.
Kraton Mataram Plered merupakan kraton baru. Yang lama berada di Kerto, lima kilometer selatan Kotagede. Adalah Susuhunan Amangkurat I yang memindahkan
pusat kerajaannya itu dari Kerto setelah dua tahun berkuasa.
Berbeda dengan kraton lama yang hanya berpagar kayu, maka kraton baru ini lebih mirip sebuah benteng. Bangunannya dikelilingi dinding batubata dan semen, dengan tinggi lima sampai enam meter. Tebalnya mencapai satu setengah meter. Sebuah parit buatan yang terhubung dengan Kali Opak dibuat mengelilingi kraton-benteng berbentuk belah ketupat ini, sehingga pusat kekuasaan Mataram di bawah Amangkurat I tampak seperti sebuah pulau di kelilingi daratan luas.
Alun-alun kraton ada dua, di utara dan selatan. Antara alun-alun dengan istana dihubungkan dengan sebuah jembatan yang selalu dijaga ketat prajurit kraton. Model keraton-benteng ini mengingatkan kita pada model istana-benteng raja-raja Eropa.
Hanya saja, bangunan Keraton Mataram di Plered tidak dibuat tinggi bertingkat-tingkat.
Dari atas kudanya yang berjalan lambat, Dyah Jayengsari, Wulung Ludhira, dan Ki Ageng Ludhira baru memasuki jalan utama menuju alun-alun kraton. Di sisi kanan dan kiri jalan utama yang lurus terbuat dari tanah yang dipadatkan, berjejer beringin putih setinggi empat sampai lima meteran. Di tiap pohon beringin, dua pasukan kraton bersenjatakan tombak berdiri dalam sikap siaga seolah tengah bersiap berperang.
“Ada apa gerangan, Nduk?” bisik Ki Ageng Ludhira kepada anaknya yang duduk di belakangnya mengapit Wulung.
Gadis itu menggelengkan kepalanya, “Aku ndak tahu, Pak. Tapi perasaanku ndak enak.”
“Berdoa saja ya, Nduk. Perasaanku juga tidak enak. Mudah-mudahan tidak terjadi suatu apa.”
Walau berkata begitu, tetapi kedua mata Ki Ageng Ludhira tidak bisa membohongi anaknya. Dyah Jayengsari tahu jika sesuatu yang buruk pasti akan terjadi. Apa yang dilakukan prajurit-prajurit ini pasti atas perintah Susuhunan Amangkurat I. Dan semua yang dilakukan raja lalim ini semuanya pasti berakhir tragis. Karakter raja ini sangat buruk. Dia amat berbeda dengan ayahnya, Sultan Agung Hanyokrokusumah, dan juga dengan adik-adiknya. (bersambung/rz)
***) Para netters tercinta…Dengan sengaja redaksi tampilkan kembali seri novel Untold History of Pangeran Diponegoro, karena pada tampilan yang lalu kami masih gunakan frame work temporary yang kurang optimal dan baik. Dengan sistem IT kami yang hampir stabil, mohon maaf kami masukkan kembali serial tersebut agar kisah novel ini dapat dinikmati oleh lebih banyak netters..semoga saja kisah ini banyak diambil ibrah untuk tingkatkan keimanan, terimakasih…Redaksi
Di awal kekuasaannya, Amangkurat I melakukan pembersihan terhadap loyalis ayahnya sendiri yang berada di dalam lingkungan kraton maupun di luar. Mereka dibunuh dengan cara yang sangat keji. Jumlahnya mencapai tiga ribuan.
Menurut bisik-bisik orang kraton sendiri, Amangkurat I memiliki kegemaran yang tidak lazim. Selain memiliki nafsu yang tak pernah terpuaskan terhadap perempuan-perempuan muda, raja ini juga gemar menyiksa rakyatnya. Bahkan sang raja menciptakan sendiri cara-cara penyiksaan yang teramat sadis, terlebih kepada orang-orang yang dicurigai hendak melawan kekuasaannya. Cara-cara penyiksaan ala Amangkurat I di antaranya adalah:
Pertama, dari bagian atas telinga, kepala pesakitan dikuliti sampai batok kepalanya terlihat. Orang-orang yang mendapat hukuman ini kebanyakan meninggal dunia. Namun ada pula yang masih bisa bertahan hidup walau kemudian akhirnya juga menemui ajal dengan amat menyakitkan.Kedua, kaki pesakitan diikat, lalu digantung dengan posisi kepala di bawah. Di bawah kepala, ditaruh panci panas berukuran besar berisi minyak yang mendidih. Kemudian, kepala orang itu dicelupkan ke dalam minyak yang bergolak sampai sebatas telinga hingga rambut dan kulit kepalanya mengelupas. Semua yang
mengalami siksaan jenis ini menemui ajal karena sakit yang tak terperikan.Ketiga, siksaan yang tak kalah menakutkan adalah si terhukum diperintahkan untuk mengenakan topi besi yang tebal yang telah dipanaskan hingga menjadi merah membara. Rambut akan hangus, kulit kepala terkelupas dan gosong, dan otaknya akan terbakar. Tak ada yang selamat dari jenis siksaan seperti ini.
Dan sore ini, sesuatu yang mengerikan sepertinya akan terjadi. Dyah Jayengsari mendapati dirinya tidak sendirian. Dari berbagai arah, juga berdatangan—mengalir bagai air bah—ribuan ulama, guru ngaji, anak-anak santri dan santriwati, beserta seluruh keluarganya, yang seluruhnya digiring dan dijaga ketat pasukan Mataram ke alun-alun. Semuanya dikumpulkan di lapangan yang luas hingga tercipta lautan jubah putih.
Di tanah lapang itu mereka semua dikumpulkan menjadi satu. Semuanya, tanpa kecuali, disuruh duduk bersila di atas tanah menghadap ke arah timur di mana sebuah bukit yang tidak begitu tinggi tampak memanjang searah dengan aliran Kali Opak. Ribuan orang itu, besar dan kecil, tua dan muda, duduk di atas tanah dalam barisan yang diatur paksa oleh para prajurit.
Di sekeliling lapangan, tiga lapis pasukan Mataram bersenjata pedang dan tombak mengepung orang-orang itu dalam formasi siaga. Agaknya Amangkurat I memerintahkan semua pasukannya mengepung alun-
alun dengan rapat, hingga tak ada celah untuk meloloskan diri.
Ketika hari sudah mulai gelap, ribuan ulama, santri, dan keluarganya dilarang untuk menunaikan sholat maghrib. Para prajurit mengancam, siapa pun yang ketahuan mengerjakan sholat, akan langsung ditebas lehenya. Beberapa ulama tidak mengindahkan ancaman itu dan tetap mengerjakan sholat, walau sambil duduk. Celakanya, hal itu diketahui para prajurit. Tanpa ampun lagi, mereka memenggal leher beberapa ulama tersebut dengan pedangnya. Jerit dan tangis segera pecah di tengah kerumunan massa. Namun suasana dengan cepat jadi senyap kembali karena para prajurit itu lagi-lagi mengeluarkan ancamannya akan melakukan hal yang sama jika ada yang berani berteriak atau membuat ribut.
Dalam kesenyapan yang mencekam itu tiba-tiba semua mata melihat ke arah pintu gerbang kraton yang menuju ke bukit di sebelah timur alun-alun yang tanpak bercahaya. Dari gapura batu kali setinggi enam meteran, serombongan orang dengan membawa tiang obor keluar dari dalam kraton. Di belakang pasukan obor terlihat sepuluh orang anggota Trisat Kenya, pasukan khusus pengawal raja yang semuanya terdiri dari perawan cantik dengan pakaian lelaki bersulam emas, terlihat menyandang pedang dan tombak. Di bawah cahaya ratusan obor, pasukan itu terlihat begitu anggun dan gagah.
“Trisat Kenya…,” ujar Dyah Jayengsari lirih. Ayahnya hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Bibirnya yang sudah kering karena tidak diberi air minum sejak berada di alun-alun, terus bergerak-gerak melantunkan doa kepada Yang Maha Kuasa. Bola kecil di tenggorokannya terus bergerak-gerak tak pernah berhenti.
Ki Ageng Ludhira dan juga Dyah Jayengsari tahu, Trisat Kenya merupakan pasukan khusus pengawal Susuhunan Amangkurat Agung I yang semuanya terdiri dari para perawan cantik yang dibekali olah kanjuragan tingkat tinggi. Disebut sebagai pasukan pengawal khusus karena tugas seorang Trisat Kenya bukan saja bertanggungjawab terhadap keamanan dan keselamatan fisik sang raja, namun juga wajib menjaga kewibawaan dan melindungi rahasia sang raja dalam hal yang paling pribadi sekali pun.
Pasukan ini merupakan hal yang baru dalam tradisi Mataram Islam. Adalah Kanjeng Ratu Ibu yang membentuk pasukan ini untuk menjaga Amangkurat I. Sang Ibu sungguh-sungguh paham jika sejak kecil Amangkurat I yang memiliki perangai buruk, memang punya banyak musuh. Jauh di dalam hatinya, Kanjeng Ratu Ibu sesungguhnya menyesal dan meratapi keberadaan Raden Mas Sayidin, nama kecil dari Susuhunan Amangkurat I, yang bersifat kurang baik, beda dengan adiknya, Pangeran Alit.
Raden Mas Sayidin sangat temperamental, kekanak-kanakan, dan memiliki kegemaran yang tidak masuk
akal dan tidak terpuaskan terhadap perempuan. Pada tahun 1637, ketika masih berstatus sebagai putra mahkota, Raden Mas Sayidin sudah terlibat dalam skandal memalukan yang melibatkan isteri seorang abdi dalem senior, Tumenggung Wiraguna. Tumenggung kepercayaan Sultan Agung ini melaporkan hal itu kepada Sultan Agung. Akibatnya Raden Mas Sayidin dihukum. Untuk beberapa lama, dia dibuang ke hutan larangan.
Kejadian ini kelak menimbulkan dendam membara di dada putera mahkota tersebut, sehingga di awal kekuasaanya, Raden Mas Sayidin yang telah menjadi Susuhunan Amangkurat I membunuh Tumenggung Wiraguna dan seluruh pengikutnya.
Namun sebagai seorang ibu, apa dan bagaimana pun juga perangai sang anak, dia tetaplah harus menjaga dan melindungi anaknya, bahkan walau nyawanya sendiri jadi taruhan. Itulah yang dilakukan Kanjeng Ratu Ibu yang berinisiatif membentuk pasukan khusus pengawal raja.
Awalnya, Kanjeng Ratu Ibu—alias Ratu Wetan, puteri dari Tumenggung Upasanta yang merupakan Bupati Batang keturunan dari Ki Juru Martani—menginginkan sang raja dijaga prajurit lelaki pilihan. Namun Amangkurat I sendiri menolaknya dan mengatakan dia tidak bisa mempercayai laki-laki sedikit pun. Anaknya itu meminta agar seluruh anggota pasukan pengawal
khususnya hanya terdiri dari para perempuan muda, masih perawan, dan tentu saja harus cantik.
“Mereka harus dilatih dengan keras agar terampil menggunakan senjata, dan juga harus dibekali olah kanuragan yang mumpuni,” ujar Amangkurat I kepada Kanjeng Ratu Ibu. “…dan tugas atau keanggotaan setiap Trisat Kenya hanya akan berakhir manakala mereka dihadiahkan kepada para adipati atau bawahanku.”
Sang ibu hanya bisa mengangguk. Setiap keinginan sang raja bagaimana pun adalah sabda pandhita ratu, yang tidak bisa ditolak sedikit pun. Akhirnya terbentuklah pasukan Trisat Kenya yang seperti sekarang tengah berjalan dengan langkah tegap menaiki bukit di timur alun-alun.Sepuluh Trisat Kenya yang berbaris paling depan adalah pembuka jalan. Di belakangnya, sepuluh abdi dalem laki-laki bertelanjang dada tanpa dibekali senjata, menggotong tandu besar berisi kursi raja yang terbuat dari jati yang berat, lengkap dengan atapnya yang berumbai sutera dan bordiran benang emas. Di sekeliling raja, tigapuluh anggota Trisat Kenya berjaga. Ada yang membawa pedang, keris, tombak, dan juga tulup, sejenis sumpit panjang yang diisi dengan panah kecil yang ujungnya beracun. Masing-masing Trisat Kenya punya keahlian berbeda dalam penggunaan senjata dan juga ilmu kanuragannya.Pelan tapi pasti, rombongan raja itu bergerak menaiki puncak perbukitan. Beberapa lelaki tua pembawa tiang obor setinggi dua tombak berada paling depan
membuka jalan. Di bagian paling belakang juga ditutup sejumlah abdi dalem laki-laki sepuh memegang tiang obor. Ketika singgasana diturunkan di tempat yang paling tinggi, para abdi dalem laki-laki semuanya langsung turun kembali ke bawah bukit. Demikian pula dengan yang membawa obor. Sehingga sekarang hanya ada sang raja yang duduk dengan pongahnya di atas singgasana, dikelilingi empatpuluhan Trisat Kenya lengkap dengan senjatanya.Suasana kemudian bertambah hening. Kesenyapan selama beberapa menit itu sungguh-sungguh meremas jantung. Semua mata memandang ke atas bukit, menanti apa yang hendak dilakukan atau diperintahkan oleh sang raja. Untuk beberapa lama sang raja hanya duduk diam di atas singgasananya. Mungkin dia tengah menikmati lautan jubah putih yang memenuhi alun-alun yang berada di bawah kakinya. Entah apa yang ada di dalam benaknya ketika itu.
Dyah Jayengsari, Ki Ageng Ludhira, dan ribuan orang lainnya yang masih duduk di alun-alun melihat dari kejauhan ketika Susuhunan Amangkurat I mulai bergerak turun dari singgasananya. Dia berjalan beberapa langkah ke depan, dan berdiri dengan kedua tangan berkacak pinggang.
Raja lalim itu terus berdiri dengan tegak. Kedua tangannya masih berkacak pinggang. Dia mengedarkan pandangan ke bawah kakinya, menyapu seluruh areal alun-alun kratonnya. Bibirnya yang menghitam mencibir. Sorot matanya yang dipenuhi dendam kesumat berbinar-
binar tanda puas. Kepalanya mengangguk-angguk. Dengan tangan kanan masih berkacak pinggang, tiba-tiba tangan kirinya diangkat ke atas tinggi-tinggi. Sebuah perintah yang hanya dipahami seluruh pasukannya yang sedari sore telah siap dengan senjatanya.(bersambung)
“Habisi !!!” teriak para komandan regu dengan suara
yang menggelegar
Seketika itu juga berlompatanlah para prajurit itu dengan
pedang terhunus ke tengah-tengah lapangan yang
dipenuhi lautan manusia tanpa daya. Dengan teramat
ganas, pasukan Mataram itu menyabetkan pedangnya
ke kanan dan kiri, memenggal leher siapa pun yang ada
di dekatnya tanpa pandang bulu, apakah itu laki-laki tua,
perempuan, bahkan anak kecil. Jerit tangis, lolong
kesakitan, dan kumandang doa memenuhi angkasa
alun-alun kraton malam itu. Namun tak ada yang
sanggup menghentikan kegilaan yang tengah
dipertontonkan pasukan Mataram
yang notabene kebanyakan juga sudah memeluk agama
Islam.
Di atas bukit, Amangkurat I masih berkacak pinggang
menyaksikan pembantaian besar yang dilakukan
prajuritnya terhadap enam ribuan ulama, santri, dan
seluruh keluarganya. Kepalanya mengangguk-angguk
puas. Sesekali jemarinya memilin kumisnya yang tebal
melintang. Dia benar-benar menikmati pemandangan di
bawahnya. Betapa ribuan orang yang tengah menanti
ajal itu sebentar lagi akan lenyap dari muka bumi.
Musuh-musuhnya akan semakin sedikit. Dan dia akan
bisa berkuasa dengan tenang, tanpa diusik oleh siapa
pun.
Raja Jawa itu merasa sangat aman berada di atas bukit.
Di sekelilingnya berdiri dengan kewaspadaan penuh
puluhan Trisat Kenya.
Dalam waktu teramat singkat, ribuan nyawa melayang
dengan kepala terpisah dari jasadnya. Tanah alun-alun
yang begitu luas seketika berubah menjadi lautan darah.
Dari cahaya ratusan tiang obor yang menyala di
sekeliling alun-alun, terlihat pasukan Mataram yang
sudah belepotan darah itu masih saja bergerak buas
membunuh ke sana-kemari tanpa perlawanan. Pasukan
yang sebagian pernah ikut menyerang VOC di Batavia
semasa kekuasaan Sultan Agung itu kini berbalik
menjadi mesin penjagal bagi bangsanya sendiri.
Pembantaian yang sangat mengerikan itu berlangsung
tidak sampai setengah jam!
Tiba-tiba terdengar lengkingan peluit panjang tiga kali
yang ditiup para pimpinan regu pasukan. Penyembelihan
telah berakhir. Semua orang yang ada di dalam daftar
berikut keluarganya sudah dihabisi. Mendengar isyarat
peluit itu, Amangkurat I mengangkat tangan kanannya
tinggi-tinggi.
Buang semua mayat itu ke parit!
Sebagian prajurit yang masih bersiaga dengan pedang
terhunus berjajar satu lapis dalam jarak tiap lima tombak
mengepung alun-alun. Pedang dan badan mereka
belepotan darah. Prajurit yang lain menyambut
datangnya gerobak-gerobak dorong yang sudah
dipersiapkan sebelumnya. Gerobak-gerobak itu segera
saja diisi dengan mayat-mayat tanpa kepala dan kepala
tanpa jasad hingga penuh. Setelah gerobak penuh,
prajurit yang membawa gerobak itu mendorongnya ke
arah parit buatan dan membuang semua isinya ke dalam
parit yang berair deras menuju ke Kali Opak. Berkali-kali
mereka melakukan itu, mondar-mandir bagai kereta
maut, hingga tak satu pun jasad tersisa.
Air parit dan Kali Opak yang tadinya jernih berubah
menjadi kental berwarna merah. Bau anyir darah tercium
di mana-mana.
Tanpa diketahui siapa pun, Wulung Ludhira, bocah
sepuluh tahun adik dari Dyah Jayengsari, ternyata masih
hidup. Tubuhnya yang kecil tertutup oleh mayat-mayat
tanpa kepala yang sebagiannya menindih tubuhnya.
Anak yang sudah ditinggal ibunya sejak bayi itu
menggigil ketakutan. Ayah dan kakak satu-satunya
sudah meninggal dengan cara yang sangat mengerikan.
Dia ingin menjerit dan menangis. Tapi suaranya tercekat
oleh kengerian yang teramat sangat. Bocah itu hanya
bisa diam tak bergerak. Tubuhnya dirasa amat lemas
dan juga kaku. Seluruh badan, kepala, dan rambutnya
basah oleh darah kental yang membanjir di sekitarnya.
Tiba-tiba Wulung Ludhira merasakan tubuh kecilnya ikut
digotong dan dilempar ke dalam gerobak bersama
belasan mayat lainnya. Ditumpuk begitu saja menjadi
satu. Bocah itu sungguh-sungguh ketakutan. Tubuhnya
tidak bisa bergerak. Dia nyaris tidak bisa bernafas.Tapi
itu malah menyelamatkan nyawanya.
Bocah kecil itu bisa merasakan jika gerobaknya ditarik
dengan kasar oleh sejumlah prajurit. Roda-rodanya yang
terbuat kayu dilapis karet hitam berderak-derak
sebentar, lalu berhenti. Wulung Ludhira bisa merasakan
gerobak tiba-tiba miring. Dia bersama belasan mayat
tanpa kepala dan kepala tanpa jasad yang masih hangat
itu pun langsung meluncur bebas ke dalam parit yang
deras airnya. Dia pun hanyut di parit yang sudah
dipenuhi mayat.
Walau pandai berenang, namun bocah itu kesulitan
menggerakkan tubuhnya disebabkan mayat dan kepala
ada di mana-mana. Dengan menahan kengerian yang
teramat sangat, dia berpegangan pada salah satu kaki
jasad yang mengambang. Bocah kecil itu terus mengikut
kemana air membawanya.
Pekatnya malam membuatnya tak terlihat oleh
pasukannya Amangkurat I yang masih sibuk
membersihkan alun-alun. Bocah kecil itu kelelahan.
Semua kejadian malam itu menguras seluruh tenaga
dan perasaannya. Akhirnya Wulung Ludhira pingsan.
Dia terus hanyut dibawa air hingga jauh dari alun-alun.
Hingga tubuhnya tersangkut akar beringin yang menjulur
ke Kali Opak, beberapa kilometer ke selatan Kraton
Plered.
Entah sudah berapa lama Wulung Ludhira tak sadarkan
diri. Ketika siuman, matahari sudah berada di atas
kepalanya. Bocah kecil itu mendapati dirinya masih
tersangkut suluran akar beringin yang tumbuh di pinggir
kali. Sebagian badannya masih terendam di bawah air
kali. Di beberapa tempat, jasad tanpa kepala dan kepala
tanpa badan juga tersangkut. Kengerian yang teramat
sangat kembali menyergapnya. Walau seluruh tubuhnya
sakit, dan juga lelah, dengan sisa-sisa tenaga bocah
kecil itu berusaha merangkak naik ke pinggir kali, hingga
dia tergeletak di atas rerumputan, satu meter dari air kali.
Entah kini dia berada di mana. Bocah itu mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Tidak ada rumah barang
satu pun. Yang ada hanya hamparan rumput dengan
tiga pohon beringin besar yang tumbuh di dekat dirinya.
Lainnya hanya berupa semak dan tumbuhan perdu.
Anak kecil itu tidak tahu nama tempat ini. Perutnya yang
tidak terisi sejak kemarin terasa perih. Tubuhnya dirasa
makin lemah. Dia menggigil kedinginan. Bocah itu
akhirnya tak sadarkan diri kembali. Dia tergeletak begitu
saja di atas rerumputan, dinaungi pohon beringin besar
yang ada didekatnya.
Tak lama kemudian, seorang lelaki tua bertelanjang
dada, dengan kepala ditutupi caping yang sudah kusam,
mendekati bocah itu dengan hati-hati. Ketika mendapati
ada bocah kecil yang menggeletak di atas rumput, lelaki
tua itu mengusap kepala Wulung Ludhira dengan
lembut. Bibirnya yang sudah sedikit keriput tersenyum
tulus. Dengan penuh hati-hati akhirnya dia
menggendong bocah itu dan bergegas pergi menghilang
begitu saja ke arah barat… []
178 tahun kemudian…
Gua Selarong, Yogyakarta, 1825
NYALI LEBIH PENTING KETIMBANG OTAK! Walau
malam ini gelap gulita, tak ada bulan dan bintang yang
menggantung di atas langit, namun Ki Singalodra tidak
perduli. Lelaki kekar dengan wajah berewokan itu terus
memacu kudanya seperti dikejar setan. Derap kaki
kudanya menggetarkan bumi. Kepulan debu yang
ditinggalkannya membentuk tabir pekat yang tak tembus
pandang. Semua hewan malam menyingkir dari jalan
jika tak ingin tergilas kegilaan kuda dan penunggangnya
itu.
Jagoan dari Dusun Ngampilan ini memegang tali kekang
hanya dengan sebelah tangan. Tangan yang satunya
lagi memeluk seorang bocah kecil yang tubuhnya
berlumuran darah. Bocah itu sudah tak bernyawa. Tubuh
mungilnya bergerak-gerak, seirama gerak kuda yang
terus berlari dengan amat cepat bagai terbang di atas
tanah.
Dada Ki Singalodra sungguh-sungguh sesak, terbakar
amarah. Setengah jam lalu dusunnya dibakar Belanda.
Celakanya, saat itu dia tengah berada di dusun
tetangga. Mendengar kabar mengejutkan itu, dia
langsung pulang untuk menyelamatkan isteri dan
anaknya. Namun terlambat. Gubuknya sudah terbakar
habis. Seluruh isinya tlah jadi arang. Asap masih
mengepul. Bara masih menyala merah di mana-mana.
Dengan histeris tanpa memperdulikan bara yang terinjak
kaki dan hawa panas yang masih menyengat kulit, lelaki
itu terus mencari isteri dan anak semata wayangnya itu.
Tapi nasi sudah jadi bubur. Isterinya ditemukan
tergeletak tak bernyawa di dekat sumur. Perempuan
yang sangat dicintainya itu terlihat sedang memeluk
anaknya yang nyaris seluruh tubuhnya terbakar.
Dengan mata berkaca-kaca menahan kesedihan
sekaligus kemarahan yang amat sangat, lelaki itu
berteriak histeris.
Dia segera mengambil anak itu dan memeluknya.
Setelah mencium kening isterinya untuk yang terakhir
kali, Ki Singalodra langsung melompat ke atas kuda
hitamnya. Dengan sekali gebrak, kuda itu melesat pergi
meninggalkan dusunnya.
Londo anjing!!!
Belanda telah menggali kapak peperangan dengan
dirinya! Sia-sia saja selama ini dia mengabdi pada
mereka, jika balasan yang diterimanya ternyata seperti
ini! Tekadnya telah bulat. Yang dulu kawan mulai malam
ini menjadi lawan terbesarnya. Sekarang juga dia akan
bergabung dengan pasukan Kanjeng Pangeran
Diponegoro yang tengah menyusun kekuatan untuk
memerangi Belanda dari Tegalredjo dan Selarong.
Aku akan menjadi pedang yang paling tajam bagi Gusti
Kanjeng Pangeran!
Bagi warga Merapi hingga sekitar Laut Kidul, nama Ki
Singalodra sudah tak asing lagi. Sejak pulang dari
bertapa dan berguru di berbagai gua, lembah, dan
gunung beberapa tahun lalu, Ki Singalodra kembali ke
dusunnya di Ngampilan dan menantang semua jagoan
di sana. Tidak saja di Ngampilan, lelaki ini juga
berkeliling untuk mengadu kesaktian melawan para
jagoan lainnya di sekitar Merapi, Merbabu, Dieng, dan
Lawu. Walau sempat beberapa kali kepayahan dan
menderita luka dalam sejumlah perkelahian, namun
kecerdikan dan kenekatannya membuat dirinya keluar
sebagai pemenang. Sosok Ki Singalodra menjadi sosok
yang ditakuti. Dia pun akhirnya bisa mempersunting
gadis idaman hatinya, bunga Dusun Ngampilan, yang
sejak kecil telah mencuri perhatiannya.
Ketenaran namanya didengar langsung Residen
Yogyakarta. Pejabat Belanda ini akhirnya
memerintahkan kepala pasukan setempat untuk
merekrutnya. Tetapi karena Ki Singalodra tidak mau
ditempatkan sebagai kepala regu pasukan reguler yang
harus bekerja tiap hari dan wajib memiliki disiplin tinggi,
akhirnya dia dipekerjakan sebagai tenaga khusus.
Sekarang, Ki Singalodra sama sekali tidak menyangka.
Pengabdiannya yang total selama ini kepada Belanda,
ternyata dibalas dengan sangat menyakitkan.
Ibarat pepatah, air susu dibalas dengan air tuba.
Sebab itu, tidak ada jalan lain. Mulai malam ini, dia akan
mengubah haluan hidupnya seratus delapan puluh
derajat. Dendamnya teramat sangat besar. Darah harus
dibalas dengan darah. Nyawa harus diganti nyawa.
Kedua matanya merah menyala-nyala.
Belanda, Patih Danuredjo, dan orang-orang kraton
cecunguk asing itu sekarang menjadi musuh terbesarku!
Kedua mata jagoan dari Dusun Ngampilan itu lagi-lagi
melotot garang. Dadanya sesak oleh amarah dan
dendam.
Jalan tanah selebar tiga meter di depannya mulai
menanjak lurus. Sebentar lagi dia akan tiba di pelataran
menuju Gua Selarong, di mana Kanjeng Pangeran
tengah berada. Mengingat sosok Pangeran Diponegoro,
hatinya diliputi perasaan yang aneh. Antara semangat
yang membara dan kerinduan yang teramat sangat.
Inilah jalanku!
Tiba-tiba kudanya berhenti dan mengangkat kedua
kakinya tinggi-tinggi. Ringkikannya memecah
keheningan malam yang sepi. Hampir saja Ki Singalodra
terjatuh jika dia tidak kuat menahan tali kekangnya. Dia
segera merapatkan tubuhnya dengan leher kuda
sehingga keseimbangannya tetap terjaga. Sebelah
tangannya tetap kuat mendekap tubuh anaknya. Tak
jauh di depannya, empat lelaki dengan mengenakan
baju wulung hitam dan ikat kepala yang juga hitam
mencegatnya dengan tombak dan pedang terhunus.
Salah satunya membawa obor di tangannya.
“Berhenti!” teriak mereka.
“Hendak kemanakah kisanak dan siapa yang digendong
itu!” teriak salah satunya. Dengan penuh kewaspadaan,
lelaki yang satu itu mendekati Ki Singalodra dari sisi
kanan. Sedangkan yang satunya lagi bergerak
menyamping ke sisi yang berlainan. Dua lelaki lainnya
masih berdiri menghadang dengan senjata terhunus.
Ketika lelaki itu melihat wajah Ki Singalodra dengan
jelas, wajah yang tak asing lagi dan sangat ditakuti
orang-orang kampung, nyalinya agak bergetar. Namun
bayangan sosok Kanjeng Pangeran Diponegoro yang
setiap waktu memberinya nasehat keagamaan membuat
dirinya kuat dan berani.
“Takutlah kalian hanya kepada Allah Subhana wa Ta’ala,
bukan kepada mahluk-Nya. Allah Maha Kuat, sedang
mahluknya sangatlah lemah…”
Tangan lelaki itu memperkuat genggaman tangannya
pada gagang pedangnya, “Ternyata kau Singalodra.
Hendak kemana engkau malam ini dan siapa lagi itu
yang kau bunuh!”
Dengan penuh amarah, Ki Singalodra menjawab, “Ini
anakku! Minggir kalian semua! Isteri dan anakku mati
malam ini dibunuh Belanda! Aku mau menghadap Gusti