7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis terhadap konsepsi human security (keamanan manusia) 1 yang mulai populer di tahun 1990an dan semakin memperolah gaungnya dalam berbagai forum internasional maupun perbincangan di kalangan akademisi saat ini 2 . Kritisme yang dimaksud ialah menggugat pembacaan konsepsi tersebut yang cenderung mengandaikannya sebagai konsep yang normatif dan nir kepentingan 3 . 1 Gagasan Human Security yang dibahas dalam penelitian ini dalam artian gagasan Human Security di level global bukan lokal (level nasional sebuah negara). Adanya perbedaan level global-lokal (nasional) ini perlu ditegaskan mengingat potensi tumpang tindih dalam memahami gagasan Human Security ini. Sejatinya pada keduanya ada titik hubungnya, yakni terkait dengan perbandingannya dengan konsepsi keamanan lama yakni state security. Dalam konsepsi state security, yang menjadi referent object (obyek yang harus dilindungi) ialah negara, sehingga mekanisme keamanan dirancang untuk memastikan survivalitas negara. Berbeda dengan Human Security yang menempatkan referent object pada manusia, bukan lagi negara. Adanya perubahan pada referent object inilah yang melahirkan implikasi di level global-lokal. Pertama, Di level global perubahan referent object ini menjadikan negara bangsa yang dalam konsepsi westphalia memegang kuasa penuh atas wilayahnya (prisip non intervensi) menjadi tidak lagi relevan . Karena hakikatnya meskipun kedaulatan secara formal masih diakui, namun dalam konsepsi Human Security negara tidak lagi dianggap sebagai aktor tunggal dalam menjamin keamanan manusia. Komunitas internasional dalam derajat tertentu dapat terlibat dalam menjamin keamanan manusia ini. Bahkan dalam konteks penelitian ini yakni kasus R2P, dapat dikatakan di pundak komunitas internasional itulah kuasa tertinggi atas keamanan manusia diberikan. Sehingga dapat dikatakan relevansi konsepsi Westphalia secara terselubung telah dihilangkan maknanya. Pada konteks inilah penelitian ini dilakukan, dan peneliti memegang asumsi yang negatif tentang konsepsi Human Security dalam konteks ini. Kedua, Di level “lokal”, perubahan ini dapat dikatakan (potensial) lebih bernuansa positif. Sebagai contoh dalam ketika negara dahulu menjadi referent object dari keamanan, eksistensi intelejen, militer, polisi, dan aparat keamanan lainnya lebih difungsikan untuk melindungi survivalitas negara. Sebagai contoh implikasinya misalnya intelejen tidak segan melakukan berbagai aksi penyadapan, penangkapan, bahkan pembunuhan pada warga yang dianggap berbahaya bagi negara. Ketika referent object berubah akibat penerimaan konsep Human Security, maka berbagai perubahan secara otomatis terjadi. Intelejen harus diformat sedemikian rupa (misalnya dengan pengawasan dan transparansi tertentu) agar tidak berbuat semena-mena pada warga yang seharusnya menjadi obyek yang dilindungi oleh intelejen. Konteks “lokal” ini tidak menjadi fokus pada penelitian ini, sehingga pembahasan tentangnya tidak dimuat. Perlu ditekankan bahwa meskipun ada perbedaan nuansa di dua level tersebut, penulis meyakini bahwa keduanya seperti dua sisi koin mata uang dalam artian akan muncul bersamaan. Karena sebagaimana ditegaskan di atas adanya dua level muncul akibat perubahan referent object dari negara ke manusia, yang suka atau tidak mengubah secara fundamental konsepsi keamanan dalam level “lokal” (nasional) dan juga “global”. Sehingga dalam konteks ini mungkin dapat dikatakan bahwa Human Security potensial melahirkan anugerah dan bencana. Lebih jauh tentang bergesernya konsep keamanan dari model State security ke Human Security dapat disimak pada Bab II. 2 Tentang munculnya wacana Human Security sejak tahun 1990an dan popularitasnya hingga kini misalnya dapat disimak pada: Chandler, David. 2013. Rethinking the Subject of Human Security. Dalam Pasha, Mustapha Kamal (ed). Globalization, Difference, and Human Security. Abingdon: Routledge,hlm. 40; Barrett, Hazel R. 2010. The Securitisation of HIV/AIDS: Human Security, Global Health Security, and The Rise of Biopolitics. Dalam McIntosh,Malcolm &Alan Hunter (ed). New Perspectives on Human Security. Sheffield: Greenleaf Publishing,hlm. 51; Thomas,Caroline. 2007. Globalization and Human Security. Dalam McGrew,Anthony &Nana K. Poku (ed). Globalization, Development and Human Security. Cambridge: Polity Press,hlm. 109; Dedring, Jurgen. Human Security and UN Security Council. Dalam Hans Günter Brauch et al (ed). Globalization and Environmental Challenges: Reconceptualizing Security in 21st Century. Berlin: Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan Human Security Versi Mazhab Kanada NURUDDIN AL AKBAR Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
53
Embed
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
7
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis terhadap konsepsi human security
(keamanan manusia)1 yang mulai populer di tahun 1990an dan semakin memperolah
gaungnya dalam berbagai forum internasional maupun perbincangan di kalangan akademisi
saat ini2. Kritisme yang dimaksud ialah menggugat pembacaan konsepsi tersebut yang
cenderung mengandaikannya sebagai konsep yang normatif dan nir kepentingan3.
1 Gagasan Human Security yang dibahas dalam penelitian ini dalam artian gagasan Human Security di level global bukan lokal (level nasional sebuah negara). Adanya perbedaan level global-lokal (nasional) ini perlu
ditegaskan mengingat potensi tumpang tindih dalam memahami gagasan Human Security ini. Sejatinya pada
keduanya ada titik hubungnya, yakni terkait dengan perbandingannya dengan konsepsi keamanan lama yakni
state security. Dalam konsepsi state security, yang menjadi referent object (obyek yang harus dilindungi) ialah
negara, sehingga mekanisme keamanan dirancang untuk memastikan survivalitas negara. Berbeda dengan
Human Security yang menempatkan referent object pada manusia, bukan lagi negara. Adanya perubahan pada
referent object inilah yang melahirkan implikasi di level global-lokal. Pertama, Di level global perubahan
referent object ini menjadikan negara bangsa yang dalam konsepsi westphalia memegang kuasa penuh atas
wilayahnya (prisip non intervensi) menjadi tidak lagi relevan. Karena hakikatnya meskipun kedaulatan secara
formal masih diakui, namun dalam konsepsi Human Security negara tidak lagi dianggap sebagai aktor tunggal
dalam menjamin keamanan manusia. Komunitas internasional dalam derajat tertentu dapat terlibat dalam
menjamin keamanan manusia ini. Bahkan dalam konteks penelitian ini yakni kasus R2P, dapat dikatakan di pundak komunitas internasional itulah kuasa tertinggi atas keamanan manusia diberikan. Sehingga dapat
dikatakan relevansi konsepsi Westphalia secara terselubung telah dihilangkan maknanya. Pada konteks inilah
penelitian ini dilakukan, dan peneliti memegang asumsi yang negatif tentang konsepsi Human Security
dalam konteks ini.
Kedua, Di level “lokal”, perubahan ini dapat dikatakan (potensial) lebih bernuansa positif. Sebagai contoh
dalam ketika negara dahulu menjadi referent object dari keamanan, eksistensi intelejen, militer, polisi, dan
aparat keamanan lainnya lebih difungsikan untuk melindungi survivalitas negara. Sebagai contoh implikasinya
misalnya intelejen tidak segan melakukan berbagai aksi penyadapan, penangkapan, bahkan pembunuhan pada
warga yang dianggap berbahaya bagi negara. Ketika referent object berubah akibat penerimaan konsep Human
Security, maka berbagai perubahan secara otomatis terjadi. Intelejen harus diformat sedemikian rupa (misalnya
dengan pengawasan dan transparansi tertentu) agar tidak berbuat semena-mena pada warga yang seharusnya menjadi obyek yang dilindungi oleh intelejen. Konteks “lokal” ini tidak menjadi fokus pada penelitian ini,
sehingga pembahasan tentangnya tidak dimuat. Perlu ditekankan bahwa meskipun ada perbedaan nuansa di dua level tersebut, penulis meyakini bahwa
keduanya seperti dua sisi koin mata uang dalam artian akan muncul bersamaan. Karena sebagaimana ditegaskan
di atas adanya dua level muncul akibat perubahan referent object dari negara ke manusia, yang suka atau tidak
mengubah secara fundamental konsepsi keamanan dalam level “lokal” (nasional) dan juga “global”. Sehingga
dalam konteks ini mungkin dapat dikatakan bahwa Human Security potensial melahirkan anugerah dan bencana.
Lebih jauh tentang bergesernya konsep keamanan dari model State security ke Human Security dapat
disimak pada Bab II. 2Tentang munculnya wacana Human Security sejak tahun 1990an dan popularitasnya hingga kini misalnya dapat
disimak pada: Chandler, David. 2013. Rethinking the Subject of Human Security. Dalam Pasha, Mustapha
Kamal (ed). Globalization, Difference, and Human Security. Abingdon: Routledge,hlm. 40; Barrett, Hazel R. 2010. The Securitisation of HIV/AIDS: Human Security, Global Health Security, and The Rise of Biopolitics.
Dalam McIntosh,Malcolm &Alan Hunter (ed). New Perspectives on Human Security. Sheffield: Greenleaf
Publishing,hlm. 51; Thomas,Caroline. 2007. Globalization and Human Security. Dalam McGrew,Anthony
&Nana K. Poku (ed). Globalization, Development and Human Security. Cambridge: Polity Press,hlm. 109;
Dedring, Jurgen. Human Security and UN Security Council. Dalam Hans Günter Brauch et al (ed).
Globalization and Environmental Challenges: Reconceptualizing Security in 21st Century. Berlin:
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
Berbeda dengan pembacaan tersebut, peneliti memandang human security sebagai
konsepsi yang sangat bernuansa politis, dan layak disebut sebagai arena dan wujud kuasa.
Secara spesifik dalam penelitian ini terkait dengan pendefinisian ancaman dan pembuatan
strategi/ instrumentasi untuk memastikan ancaman tersebut sirna. Dalam konteks arena kuasa,
definisi ancaman dan instrumentasi dapat disusun oleh berbagai pihak untuk kepentingan
terselubung tertentu4. Ketika instrumen telah terbentuk secara baku dan diterima secara luas
maka secara otomatis area kuasa telah bertransformasi menjadi wujud kuasa. Penelitian ini
akan membatasi diri untuk mencermati definisi ancaman ala Mazhab Kanada dan
instrumentasinya bernama Responsibility to Protect (R2P)5.
Poin penting dari kuasa pendefinisian ialah dampak yang menyertainya di dunia nyata
(ketika telah menjadi wujud kuasa). Sebagai contoh nyata dalam sejarah AS tercatat ada
sebuah instrumen identifikasi tindak kejahatan unik dengan memasukkan bentuk fisik –dalam
hal ini warna kulit- sebagai kriterianya. Dimana orang-orang yang berkulit hitam
didefinisikan dalam instrumen tersebut sebagai kalangan yang “sangat potensial” melakukan
tindak kejahatan6.
Springer,hlm. 605; Turner, Mandy, Neil Cooper & Michael Pugh. 2011. Institutionalized and co-opted: Why
Human Security has Lost its Way. Dalam Chandler,David &Nik Hynek (ed). Critical Perspectives on Human
Security: Rethinking Emancipation and Power in International Relations. Abingdon: Routledge,hlm. 83; Beier, J. Marshall. 2011. Introduction: Everyday Zones of Militarization. Dalam Beier, J. Marshall(ed). The
Militarization of Childhood: Thinking Beyond the Global South. New York: Palgrave Macmillan,hlm. 20;
Mykal, Olena.2011. The EU-Japan Security Dialogue: Invisible But Comprehensive. Amsterdam : Amsterdam
University Press,hlm.20 3Tidak hanya dipanang normatif dan nir kepentingan, bahkan gagasan Human Security cenderung dipuja-puja
setinggi langit karena diimajinasikan menciptakan model keamanan baru yang berorientasi pro-manusia (people
centered security). Lihat wacana positif semacam ini misalnya di: Ribot, Jesse. 2013. Vurnerability Does Not
Fall From The Sky: Toward Multi-Sclae Pro-Poor Climate Policy. Dalam Redclift, Michael R &Marco Grasso
(ed). Handbook on Climate Change and Human Security. Cheltenham: Edward Elgar Publishing,hlm. 169;
MacFarlane, S. Neil& Yuen Foong Khong. 2006. Human Security and the UN A Critical History. Bloomington,
IN: Indiana University Press,hlm.159-160; Peou, Sorpong. 2009. Critical Challenges for Globalism in Human Security Studies. Dalam Peou, Sorpong (ed). Human Security in East Asia: Challenges for Collaborative
Action. Abingdon: Routledge,hlm. 14-15 4 Hal ini dapat terjadi karena meskipun Human Security menjadikan manusia sebagai entitas yang harus
dilindungi dari berbagai ancaman yang potensial mengancam namun perlu didudukkan secara seksama bahwa
manusia dalam konsepsi Human Security hanyalah berkedudukan sebagai obyek yang pasif. Manusia bukan
sebagai subyek aktif yang dapat menegartikulasikan pandangannya sendiri tentang ancaman dan cara
melindunginya. Sehingga dapat dikatakan model keamanan ini sifatnya top down, bukan bottom up. Atas yang
dimaksud ialah mazhab dalam Human Security (menenetukan definisi ancaman dan instrumentasi) dan
komunitas internasional (pelaksana lapangan instrumentasi) . Lebih detail mengenai permasalahan ini akan
dibahas pada bab II. 5 Secara singkat R2P memungkinkan intervensi asing ke dalam teritorial sebuah negara bangsa ketika negara
tersebut dirasa tidak mampu menegakkan kemanan warganya dari ancaman konflik kekerasan. Opsi intervensi asing mencakup pula operasi militer (yang diklaim berdasarkan kaedah perang Humanitarian). Mengenai
penjabaran secara detail mekanisme R2P dapat disimak dalam Bab III 6Poindeter, Paula M. 2011. African-American Images in The News: Understanding the Past to Improve Future
Potrayals. Dalam Ross, Susan Denta &Paul Martin Lester (ed). Images That Injure: Pictorial Stereotypes in the
Media. California: ABC-CLIO,LLC,hlm.110-111; Unnever, James D. 2014. Race, Crime, and Public Opinion.
Dalam Bucerius, Sandra M. &Michael Tonry (ed). The Oxford Handbook of Ethnicity, Crime, and Immigration.
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
Gambar 1.1
Orang Berkulit Hitam Identik dengan Kriminalitas
Sumber: DNA Learning Centre, no date
Tentu saja pendefinisian seperti ini akan berimplikasi negatif dalam pergaulan antar ras di
AS. Semisal orang kulit hitam potensial mendapatkan diskriminasi, kecurigaan berlebihan
dari sebagian masyarakat atau aparat keamanan saat di tempat umum, bahkan tindakan
kekerasan terhadapnya, karena dianggap sebagai penjahat7.
Oxford: Oxford University Press,hlm. 82-83;Williams, Francis M. 2014. Racial Hoaxes and Media
Representations. Dalam Jones-Brown, Delores D., Beverly D. Frazier &Marvie Brooks (ed). African Americans
and Criminal Justice: An Encyclopedia. California: Greenwood,hlm.437; Cotton, Allison M & Rhonda Ntepp.
2009. Media Potrayals of African Americans. Dalam Greene, Helen Taylor (ed). Encyclopedia of Race and
Crime. California: SAGE Publications,Inc,hlm. 495 7Wacana ini secara fakta tidak benar karena yang terbanyak melakukan kejahatan di AS justru kulit putih. Akan
tetapi wacana ini nyatanya mampu mempengaruhi banyak orang, sebagaimana tergambar dalam Social Survey Question di tahun 1990 yang menyatakan 54% orang AS (warga kulit putih) meyakini wacana semacam itu.
Bahkan wacana ini mampu mempengaruhi warga kulit hitam di AS sendiri, sebagaimana tergambar dalam
National Race Survey di tahun 1991 yang menyatakan mayoritas warga kulit putih dan kulit hitam sepakat
bahwa warga kulit hitam itu agresif dan kasar/bengis (aggressive or violent). Lihat Welch, Kelly. 2007. Black
Criminal Stereotypes and Racial Profiling. Dalam Journal of Contemporary Criminal Justice Volume 23
Number 3, hlm.277-278
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
Tentunya menjadi pertanyaan siapa yang diuntungkan dengan adanya instumentasi rasis
semacam itu? Jawabannya ialah warga kulit putih AS. Pendefinisian kejahatan dengan
instrumen warna kulit sangat menguntungkan bagi terus berlangsungnya ideologi supremasi
ras kulit putih (white supremacy) yang sudah terbentuk di AS sejak zaman perbudakan warga
kulit hitam di sana. Ketika pada akhirnya perbudakan berakhir di AS, maka perlu
dikembangkan teknologi kuasa untuk memastikan relasi tidak setara antara kulit putih dan
kulit hitam terus berlangsung. Disinilah instrumen identifikasi kejahaan berbasis warna kulit
memainkan peranannya8.
Kemunculan gagasan human security sendiri tidak dapat dilepaskan dari nama Dr.
Mahbub Ul Haq. Ia merupakan otak di balik munculnya Human Development Report (HDR)
di tahun 1994 yang dikeluarkan oleh UNDP yang menegaskan tentang konsep human
security. Konsep ini sendiri sejatinya berpijak pada gagasan seorang Presiden AS bernama
Roosevert yang mendambakan dunia dimana manusia dapat hidup bebas dari ancaman
fisik/rasa takut (freedom from fear) dan bebas dari kekurangan (freedom from want)9. Tentu
saja rilis laporan UNDP tersebut tidak hanya mengajak untuk merenungi impian Roosevelt,
tetapi juga seruan nyata (dengan modifikasi tentunya) untuk memikirkan bagaimana dapat
mewujudkan impian tersebut.
Berpijak pada gagasan Roosevelt tentang bebas dari ketakutan dan kekurangan
(freedom from fear and want) sebagai prasyarat mencapai dunia yang “indah”, maka
dokumen UNDP mencoba menganalisa berbagai potensi ancaman yang seharusya menjadi
perhatian bagi konsep keamanan ala human security. Proses analisis tersebut akhirnya
berujung pada sejumlah kategorisasi penting, yang dapat disebut sebagai pilar dari human
security.
8 Thompson, Sherwood (ed). 2015. Encyclopedia of Diversity and Social Justice. Lanham: Rowman &
Littlefield, hlm. 588. Lihat pula Oklopcic, Biljana. 2009. “The Nigger that’s going to Sleep with your sister”:
Charles Bon and Joe Christmas As Balack Rapist in William Faulkner’s Oeuvre. Dalam Plath, Lydia & Sergio
Lussana (ed). Black and White Masculinity in the American South, 1800-2000. Newcastle Upon Tyne:
Cambridge Scholars Publishing,hlm. 136 9 Wellman Jr, James K&Clark B Lombardi.2012. Religion and Human Security: A Global Perspective. New
York: Oxford University Press, hlm.4. Sebenarnya masih ada dua gagasan lain dari Roosevet yang terkait
namun tidak disebut dalam laporan UNDP yaitu kebebasan berbicara (freedom of speech) dan kebebasan
beragama (freedom of religion). Keempat ide tersebut termuat dalam buku Roosevelt yang berjudul The Four
Freedoms. Lihat Darmodiharjo, Darji & Shidarta. 1995. Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa Dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,hlm.170. Penting juga untuk disebutkan
pengertian kebebasan dari rasa takut (freedom from fear) dan bebas dari kekurangan (freedom from want)
menurut Roosevelt sendiri, yakni dimana kebebasan dari rasa takut terkait dengan impian penghapusan senjata
dari dunia secara bertahap sehingga ada satu masa dimana sebuah negara tak dapat melakukan agresi ke negara
lain. Sedangkan bebas dari kekurangan terkait dengan impian adanya keadaan dimana seluruh negara di dunia
memiliki masa damai yang sehat bagi seluruh rakyatnya. Lihat Ibid
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
Kategorisasi tersebut secara lengkap yakni, pertama, keamanan ekonomi (economic
security), kedua, keamanan lingkungan (environment security), ketiga, keamanan kesehatan
(health security), keempat, keamanan politik (political security), kelima, keamanan personal
10United Nations Development Programme (UNDP). 1994. Human Development Report 1994. New York: Oxford University Press, hlm. 24-25. Lihat penjelasan detail mengenai 5 kategori tersebut pada Ibid,hlm.25-33 11
Haq, Mahbub ul. 1995. Reflections on Human Development. Oxford: Oford University Press,hlm. 116. Lihat
pula Taylor, Viviane. 2004. From State Security to Human Security and Gender Justice. Dalam Agenda:
Empowering Women for Gender Equity No. 59, hlm. 65; Valasek, Kristin. 2014. Please Leave Your Weapon at
the Door: Re-Gendering Human Security from Human Security Now to Disarment. Dalam Boyd, Rosalind (ed).
The Search for Lasting Peace: Critical Perspectives on Gender-Responsive Human Security. England: Ashgate
Publishing Limited,hlm. 28; Taylor, Viviane. 2015. Human Right & Human Security: Feminists Contesting The
Terrains. Dalam Baksh, Rawwida &Wendy Harcourt (ed). The Oxford Handbook of Transnational Feminist
Movements. Oford: Oford University Press,hlm.355 12 Mazhab inilah yang menjadi pokok pembahasan pada penelitian ini, terkhusus dengan
instrumentasinya yang bernama R2P 13 Mazhab ini disebut mazhab Jepang/mazhab freedom from want. Perlu ditekankan bahwa sejatinya mazhab ini juga menyimpan kuasa tertentu yang tak kalah membahayakannya dengan mazhab Kanada, salah satunya
mengenai penekannaya pada masalah iklim (Climate Change). Namun dikarenakan mazhab ini bukan menjadi
pokok pembahasan dari penelitian, yang secara spesifik hanya akan berbicara terkait R2P dan mazhab di
belakang gagasan tersebut (yakni Kanada), maka pembahasan mazhab Jepang hanya berupa tambahan informasi
saja untuk memberikan gambaran utuh adanya dua poros besar mazhab dalam gagasan Human Security. Terkait
sisi kelam mazhab Jepang tidak akan disinggung dalam penelitian ini.
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
dengan pendefinisian khasnya dapat dikatakan berhasil mengunci jenis/bentuk ancaman
seperti apa yang seharusnya menjadi perhatian utama human security. Tentu saja
pendefinisian baku ancaman tersebut berimplikasi pula pada kewenangan masing-masing
mazhab untuk “berkreasi” menciptakan strategi/instrumentasi untuk menjamin tegaknya
kemanan manusia dari ancaman yang potensial melandanya. Salah satu instrumen penting
yang berhasil dikembangkan oleh mazhab Kanada dan menjadi fokus peneitian ini ialah
Responsibility to Protect (R2P)14
.
Mazhab Kanada -juga sering disebut mazhab freedom of fear-, yang menekankan pada
ancaman fisik, tentunya memformulasikan strategi yang sifatnya semi-militeristik dan lebih
bersifat paksaan. Dimana unsur diplomasi, sanksi, bahkan operasi militer bisa dipergunakan
untuk mengatasi masalah keamanan tersebut (sebagaimana tercermin dari R2P)15
. Ruang
lingkup penerapan strategi ala mazhab ini juga tidak jauh dari persoalan konflik dan
kekerasan seperti resolusi konflik, pencegahan konflik, dan pembangunan perdamaian16
.
Dengan wajah semacam itu tidak salah jika dikatakan mazhab ini lebih dekat dengan
pengertian keamanan tradisional yang notabene terkait militer. Hanya saja jika keamanan
tradisional fokusnya negara, human security versi mazhab freedom of fear berfokus kepada
keamanan manusia yang terancam oleh berbagai aksi kekerasan dan konflik17
.
Dari sisi pendefinisian ancaman saja nampak jelas kepentingan politik di baliknya.
Adalah Gunhild Hoogensen Gjørv misalnya yang membongkar alasan mengapa mazhab
Kanada18
memilih mendefinisikan ancaman terkait dengan soal kekerasan dan konflik.
Alasan terselubungnya menurut Gjørv, tidak lain terkait dengan kepentingan nasional negara
Kanada itu sendiri. Kanada bersama dengan Norwegia (yang juga pendukung mazhab ini)
merupakan negara middle power. Middle power sendiri merupakan negara yang tidak dapat
dikategorisasikan sebagai negara yang besar yang pengaruhnya dalam percaturan
Lebih jauh mengenai terciptanya mazhab Jepang dan Kanada akan dibahas pada Bab II 14 Perlu ditegaskan bahwa meskipun eksistensi dua mazhab seakan menegasikan satu dengan yang lainnya,
namun keduanya berakar dari titik tolak yang sama yakni redefinisi ulang peran utama negara bangsa sebagai
penyedia keamanan di dalam negerinya masing-masing. Kedua mazhab sama-sama beranggapan komunitas
internasional menjadi aktor penting utama menggantikan negara bangsa sebagai penjamin (baru) keamanan
masyarakat internasional. Negara bangsa dalam skema baru tersebut tidaklah hilang akan tetapi didudukkan
sebagai “bawahan” dari komunitas internasional.
Lihat penjelasan secara lebih rinci pada Bab II 15Okubo,Shiro. 2011. Globalization, Human Security, and The Right to Live in Peace. Dalam Okubo,Shiro
&Louise Shelley (ed). Human Security, Transnational Crime and Human Trafficking: Asian and Western
Perspectives. Abingdon: Routledge,hlm. 21 16 Akpenino, James Ohwofasa. 2013. Modern Concepts of Security. Bloomington, IN: AuthorHouse,hlm..64 17 Tentu saja ini sekedar klaim. Realitasnya di lapangan inilah yang menjadi fokus penelitian ini. 18 Mazhab yang menjadi fokus dalam penelitian ini
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
internasional sangat kuat seperti AS, tetapi juga bukan negara kecil yang pengaruhnya
terbilang kecil dalam percaturan internasional19
.
Dengan statusnya sebagai middle power tersebut, konsepsi human security versi
mazhab freedom from fear digunakan Kanada sebagai senjata diplomasinya untuk
mengangkat pamornya di level internasional. Hal ini dapat dilakukan mengingat fear
(ketakutan) berada di luar lingkup negara Kanada, seperti di negara-negara dunia ketiga.
Sedangkan dalam negeri Kanada sendiri tidak bermasalah. Sehingga dengan pendefinisian
semacam itu Kanada menjadi punya legitimasi untuk turut campur dalam penanganan
berbagai ancaman terhadap human security di level internasional20
. Terbukti dengan sejumlah
inisiasi Kanada untuk mengaluarkan draf konvensi anti ranjau di tahun 1997 dan terlibat
dalam pendirian International Criminal Court (ICC)21
.
Dari keterangan diatas terungkap jelas bahwa ada motif politik di balik dukungan
Kanada dan sekutunya pada gagasan human security, yakni sebagai basis bagi negara middle
power untuk lebih meningkatkan pengaruhnya di level internasional secara positif. Namun
keterangan tersebut dirasa belum cukup, karena tidak menunjukkan adanya masalah serius
yang melekat (inheren) dalam gagasan human security. Karena pada hakikatnya tidak ada
masalah jika kepentingan pribadi sebuah negara tercapai bersamaan dengan suksesnya
penjaminan kemanan manusia dari ancaman.
Sebagai contoh apakah salah ketika Indonesia menyatakan berkomitmen menjaga
lingkungan hidup dengan menadatangani perjanjian dengan Norwegia guna implementasi
REDD di Indonesia22
, karena didorong keinginan Indonesia untuk “bersinar” di pergaulan
Internasional23
? Jika penelusuran berhenti sampai di pada penyingkapan ambisi terselubung
Indonesia tersebut, tentunya sama sekali tidak menafikkan implikasi positif dari perjanjian
Indonesia-Norwegia yang berorientasi pro lingkungan hidup.
19 Capie, David H&Paul M. Evans. 2002. The Asia-Pacific Security Lexicon. Singapore: Institute of Souheast
Asian Studies,hlm. 162 20Gjørv, Gunhild Hoogensen. 2014. Virtuous Imperialism or a Shared Global Objective? The Relevance of
Human Security in Global North. Dalam Gjørv, Gunhild Hoogensen, Dawn R. Bazely, Marina Goloviznina and
Andrew J.Tanentzap (ed). Environmental and Human Security in the Arctic. New York: Routledge,hlm.65 21Ibid,hlm.63 22Lima, Mairon Bastos et al. 2013. Case Study Indonesia. Dalam Gupta,Joyeeta, Nicolien van der Grijp &Onno
Kuik (ed). Climate Change, Forests and REDD: Lessons for Institutional Design. Abingdon: Routledge,hlm. 133; Alcorn, Janis B. & Antoinette G. Royo. 2015. Best REDD Scenario: Reducing Climate Change in Alliance
with Swidden Communities and Indigeneous Peoples in Southeast Asia. Dalam Cairns, Malcolm F. (ed).
Shifting Cultivation and Environmental Change: Indigenous People, Agriculture, and Forest Conservation.
Abingdon: Routledge,hlm. 299 23Jotzo, Frank. 2012. Can Indonesia Lead on Climate Change? Dalam Reid, Anthony (ed). Indonesia Rising:
The Repositioning of Asia's Third Giant. Singapore: ISEAS,hlm. 94-95
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
Senada dengan penandatanganan Indonesia-Norwegia, tidak ada yang salah dengan
gagasan human security jika penelusuran behenti sampai pada penemuan fakta adanya
keinginan Kanada dan sekutunya untuk lebih “bersinar” dalam pergaulan internasional,
karena tidak merubah sama sekali esensi gagasan Human Security yakni menjamin keamanan
manusia. Yang menjadi permasalahan serius ketika kepentingan pribadi tersebut justru
mengalahkan atau berposisi diatas upaya penjaminan keamanan manusia yang dipersyaratkan
Human Security, dimana dalam konteks penelitian ini keamanan manusia dari kekerasan dan
konflik -sebagaimana digaungkan sendiri oleh mazhab Kanada-. Jika kepentingan pribadi
justru berada diatas kepentingan penegakan kemanan manusia maka secara terang benderang
menunjukkan bahwa Human Security tidak lebih dari teknologi kuasa untuk melegitimasi
atau sarana mewujudkan kepentingan tertentu, tentunya dengan “topeng” dan “janji manis”
akan penciptaan kondisi lebih baik bagi manusia global yang bebas dari berbagai ancaman
keamanan (dalam hal ini kekerasan).
Studi ini secara khusus menyoroti secara kritis terhadap gagasan Responsibility to
Protect (R2P) yang merupakan instrumentasi penegakan Human Security ala mazhab
Kanada, dan hingga kini dikenal sebagai instrumen paling utama guna memastikan
penciptaan human security di level global24
. Guna kepentingan penelitian yang ingin
membongkar R2P sebagai teknologi kuasa untuk melegitimasi kepentingan tertentu,
bukannya demi penegakan keamanan manusia, maka diperlukan penelusuran kritis akan
realitas penerapan R2P di lapangan. Ada dua pedoman penting untuk membaca R2P secara
kritis yang dipergunakan dalam peneitian ini, yakni: pertama, kepentingan terselubung apa di
balik penerapan penerapan R2P, kedua, bagaimana realitas penegakan keamanan manusia
yang seharusnya menjadi sentralitas dilangsungnya operasi R2P di negara tertentu25
.
1.2. Rumusan Masalah
24Tatah, Mentan. 2014. Africa: Facing Human Security Challenges in the 21st Century. Bamenda: Langaa
RPICG,hlm. 476. Lihat pula: Janzekovic,John &Daniel Silander. 2014. Responsibility to Protect and Prevent:
Principles, Promises and Practicalities. Lodon: Anthem Press,hlm. 55; Peltonen, Hannes. 2013. International
Responsibility and Grave Humanitarian Crises: Collective Provision for Human Security. Abingdon:
Routledge,hlm. 27-28 25 Apakah penerapan R2P di lapangan benar-benar “seideal” yang dipropagandakannya atau tidak, dimana seharusnya penerapan R2P membuahkan keamanan manusia dalam wilayah yang diinisasi operasi tersebut.
Dalam penelitian ini asumsi “ideal” tersebut diuji apakah benar-benar terbukti di lapangan atau tidak. Jika yang
terjadi justru sebaliknya, dimana R2P tidak menjamin keamanan manusia (dari aksi kekerasan) di wilayah
operasi R2P tersebut maka sangat jelas menunjukkan bahwa operasi R2P hakikatnya tidak dimaksudkan untuk
menegakkan keamanan manusia tetapi hanyalah justifikasi kepentingan tertentu yang “bertopeng” atau berkedok
penegakan keamanan manusia di wilayah tersebut.
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penelitian ini ditujukan untuk menjawab
pertanyaan:
1. Bagaimana implikasi negatif penerapan Responsibility to Protect (R2P) di lapangan?
1.3. Tujuan dan Signifikansi Penelitian
Penelitian yang mengambil fokus kajian tentang instrumen penegakan Human
Security versi mazhab kanada bernama R2P yang hingga kini dikenal secara internasional
sebagai “wajah nyata” Human Security, Apakah instumentasi R2P benar-benar
membebaskan manusia dari ketidakmanan? Ataukah justru panggang daripada api, dimana
eksistensi R2P sama sekali tidak berpotensi menjaga keamanan manusia atau bahkan
potensial memperburuk keamanan manusia global26
?
Adapun signifikansi penelitian ini dapat berkontribusi secara teoritik terhadap
pengembangan gagasan human security, dalam konteks memberikan perspektif yang lebih
kritis dalam memahami atau memandang konsepsi human security itu sendiri, maupun
memberikan perspektif kritis secara khusus –yang menjadi fokus penelitian ini-
mengenai instrumentasi penegakannya di lapangan yang bernama R2P.
Sikap kritis haruslah dibangun untuk melakukan penilaian kritis apakah berbagai
asumsi dan klaim yang diwacanakan R2P tersebut hakikatnya berkesesuaian dengan
realitas penerapannya di lapangan ataukah justru bertentangan dengan klaimnya sendiri?
Tentunya studi ini diharapkan dapat memicu berbagai penelitian kritis lanjutan terkait
gagasan human Security, baik mendalami instumen R2P atau instumen-instumen lain yang
muncul sebagai akibat dari eksistensi ide Human Security, terkhusus di level global27
.
1.4. Literatur Review
Terkait dengan misi kajian yang mencoba melakukan telaah kritis pada gagasan
human security, literatur review akan dibagi menjadi dua kategori yang saling terkait.
Kategori pertama, telaah pada literatur yang mengungkap mengenai relasi antara ilmu
(mencakup teori, paradigma, dan semisalnya) dan kekuasaan. Penelusuran literatur dalam
kategori ini menjadi penting sebab sejalan dengan misi tulisan ini yang berupaya melakukan
analisis kritis terkait gagasan human security yang merupakan teori/paradigma yang telah
berkembang luas di kalangan akademis.
26 Khususnya manusia dunia ketiga 27 Tawaran penelitian lebih lanjut guna membangun kritisme terhadap ide Human Security secara umum
(baik di level global maupun lokal) dapat dicermati pada bab IV
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
Kategori kedua, telaah pada literatur yang membahas mengenai human security.
Penelusuran ini menjadi penting untuk melihat bagaimana corak dan pandangan yang telah
berkembang di kalangan akademisi selama ini dalam melihat gagasan human security.
Penelusuran juga menjadi penting untuk memastikan kebaharuan yang coba ditawarkan
dalam tulisan ini. Diharapkan kebaharuan yang disumbangkan dalam tulisan ini dapat
berfungsi pula sebagai pelengkap karya-karya yang telah dipublikasikan sebelumnya,
sehingga semakin berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan ke depan, khususnya dalam
kajian kritis terhadap human security.
Kategori pertama, yakni terkait literatur yang membahas mengenai relasi antara ilmu
dan kekuasaan. Literatur dalam kategori ini dapat dipilah menjadi dua rumpun besar
berdasarkan model Foucauldian28
. Rumpun pertama, literatur yang menekankan pada
pelacakan episteme29
dalam bidang keilmuan tertentu. Istilah episteme sendiri secara bebas
dapat diartikan sebagai batas, sekat, belenggu yang tidak nampak namun memiliki daya
menstruktur pemikiran yang berkembang dalam satu periode tertentu. Dalam kaitannya
dengan relasi ilmu dan kekuasaan, episteme memberikan batas-batas pemikiran yang “boleh”
atau “sah” dikembangkan, sebaliknya “menghapus”, “merepresi” pemikiran yang “tidak sah”
dikembangkan. Sangat jelas implikasi kuasa yang dihasilkan akibat eksistensi episteme ini,
karena pada hakikatnya mampu membuat manusia secara umum, dan akademisi secara
khusus terpenjara dalam kerangka berfikir tertentu tanpa ia sadari.
Diantara contoh literatur yang menekankan pada pelacakan misalnya dapat ditemui
pada karya Farid Alatas berjudul Diskurus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan
Terhadap Eurosentrisme. Melalui karyanya tersebutAlatas memberikan penegasan bahwa
ilmu sosial yang berkembang di Asia tersekat oleh epsiteme eurosentrisme. Sehingga
penyembangan ilmu sosial yang becorak Asia sulit untuh tumbuh dan berkembang di
wilayahnya sendiri. Sebaliknya karena pengaruh eksistensi episteme eurosentrisme,banyak
diantara akademisi ilmu sosial Asia yang terjangkiti penyakit mimesis (peniruan tanpa kritis
28Karya Foucault yang membahas mengenai ilmu dan kekuasaan tidak lepas dari dua corak: pembahasan
mengenai epsiteme atau pembahasan mengenai teknik/strategi/teknologi kuasa. 29Episteme dalam gagasan Foucault mirip makananya dengan worldview. Dapat juga disebut sebagai rezim
wacana yang menentukan wacana (termasuk ilmu pengetahuan) seperti apa yang dapat berkembang. Perlu
diingat bahwa dalam term Foucauldian, episteme sesungguhnya tidak hadir hanya dalam satu bidang keilmuan
saja (misal sosiologi, ilmu politik) tetapi lingkupnya sangat luas, termasuk keseluruhan ilmu pengetahuan
tercakup di dalamnya dan dalam jangka waktu yang relatif lama. Lihat Naugle, David K.. 2002. Worldview: The History of a Concept. Cambridge: Wm. B. Eerdmans Publishing,hlm.181. Lihat pula O’ Quinn, Daniel.
1995. Episteme. Dalam Encyclopedia of Contemporary Literary Theory: Approaches, Scholars, Terms.
Toronto: University of Toronto Press,hlm. 544; Werner Sollors. 1993. The Return of Thematic Criticism.
Cambridge,MA: Harvard University Press,hlm.143
Namun dalam tulisan ini epsiteme dipakai dalam ruang lingkup yang lebih sempit, dapat dipergunakan untuk
menandai satu era rezim tertentu dalam sebuah negara, atau dalam lingkup keilmuan tertentu secara lebih mikro.
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17
sedikitpun) terhadap model ilmu sosial Barat30
. Dampak dari penyakit tersebut menurut
Alatas sangat merugikan pengembangan ilmu sosial di Asia itu sendiri. Semisal karya-karya
akademisis Asia justru menjadi kepanjangan suara cara berfikir orientalis yang menyematkan
label barbar, terbelakang, irasional kepada dirinya (masyarakat Asia) sendiri31
.
Kesimpulan serupa juga disampaikan oleh Purwo Santoso dalam tulisannya berjudul
Ilmu Sosial Transformatif. Santoso sendiri berupaya menyoroti pengembangan ilmu sosial
yang berkembang di Indonesia, sembari secara khusus menyoroti pengembangan ilmu politik
di Indonesia. Sebagaimana Alatas yang menyatakan tentang penyakit mimesis pada ilmuan
sosial Asia, Santoso menggunakan istilah sintaksis, yang diambil dari gagasan tiga derajat
learning organization32
. Sintasksis sendiri menitikberatkan pada peniruan, bukan
pada Barat ini potensial berimplikasi negatif pada pengembangan keilmuan sosial di
Indonesia. Santoso misalnya mencontohkan efek negatif episteme ini pada teori demokrasi
yang menjadi salah satu pembahasan penting dalam kajian ilmu politik di Indonesia (dan
dunia).
Menurut Santoso tercatat pemerintah Indonesia (Orde Baru) giat mengkampanyekan
gagasan musyawarah mufakat. Gagasan ini ditolak mentah-mentah oleh para ilmuan ilmuan
politik bahkan mencibirnya34
. Alasan mencibir menurut Santoso sebenarnya sangat ironis,
hanya karena tidak menjadi “tren” teori demokrasi yang dikembangkan di Barat. Akan tetapi
ilmuan politik seakan “kena batunya” karena pada akhirnya di era kontemporer (paska Orde
Baru) merebak luas gagasan teori demokrasi baru di Barat yang secara inti sejalan dengan
konsep musyarawah mufakat. Gagasan tersebut di Barat dikenal dengan nama demokrasi
deliberatif atau deliberative democracy35
. Sesuatu yang terbilang “baru” di Barat tetapi
sejatinya sudah melekat atau berkembang secara luas di Indonesia sejak lama. Dengan kata
30Dalam istilah Chakrabharty, kalangan ilmuan sosial non Barat tidak mampu berfikir lepas dari framework
teoritik Barat. Padahal menurutnya berbagai konsep, teori, ketegorisasi, dan genealogi yang menjadi bahan
“copy paste” amat bias tradisi Barat. Lihat Chakrabharty, Dipesh. Provincializing Europe: Postcolonial
Thought and Historical Difference (2000). Dalam Jenkins,Keith &Alun Munslow (ed). The Nature of History
Reader. London: Routledge,hlm. 191. Lihat pula Mandair, Arvind-pal Singh. 2009. Religion and the Specter of
the West: Sikhism, India, Postcoloniality, and the Politics of Translation. New York: Columbia University
Press,hlm. 383 31Alatas, Syed Farid. 2010. Diskurus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan Terhadap Eurosentrisme.
Jakarta: Mizan,hlm. 15 32Dalam gagasan learning organization ada tiga derajat pembelajaran yakni sintaksis (tahap awal), semantik
(tahap kedua), dan transformatif (tahap final). 33Santoso, Purwo. 2011. Ilmu Sosial Transformatif. Dipresentasikan pada Rapat Terbuka Majelis Guru Besar
Universitas Gadjah Madapada tanggal19 April 2011di Yogyakarta,hlm. 4 34Ibid,hlm.6 35Ibid
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18
lain sintaksis justru menghasilkan kemunduran besar dalam pengembangan teori demokrasi
di Indonesia karena harus mundur jauh ke belakang (pra demokrasi deliberatif), dan
kemudian pada akhirnya harus perlahan-lahan mempelajarinya kembali (demokrasi
deliberatif). Itupun bukan mengambil atau memperkaya dengan “kearifan lokal” yang ada,
tetapi tetap “mengimpor” dari Barat secara mentah.
Karya lain yang lebih kontemporer dalam memotret episteme dalam ilmu sosial
Indonesia dilakukan oleh Hamzah Fansuri dalam karyanya yang berjudul Sosiologi
Indonesia: Diskursus Pengetahuan dan Reproduksi Kekuasaan. Secara khusus Fansuri
menyoroti eksistensi episteme dalam pengembangan ilmu sosiologi di Indonesia dan berhasil
memetakan tiga episteme yang berbeda sejak masa kolonialisme hingga era kontemporer.
Pertama, episteme kolonial. Kedua, episteme pasca kolonial I, dengan penekanan pada
pengembangan sosiologi di masa Orde Baru. Ketiga, episteme paska kolonial II, dengan
penekanan pada pengembangan sosiologi di era paska Orde Baru.
Menurut Fansuri ada titik temu dantara tiga episteme tersebut yakni sama sama tidak
membumi, asing, tidak indegenous. Dapat dikatakan gagasan Fansuri ini mirip dengan Alatas
dan Santoso yang menjabarkan mengenai epsiteme mimesis/sintaksis di tingkat Asia dan
Indonesia (khususnya ilmu politik) yang tidak memungkinkan gagasan “indegenous”
dikembangkan secara luas. Menurut Fansuri keberadaan epsiteme tersebut membuat gagasan
sosiologi yang “khas” Indonesia berbasis Pancasila, Kerakyatan, Populisme hingga saat ini
tidak pernah menjadi mainstream di negeri sendiri. Padahal sudah dikembangkan sejak masa
kolonial36
.
Selain karya Alatas, Farid, dan Santoso, ada pula karya Hilmar Farid berjudul
Masalah Kelas dalam Ilmu Sosial Indonesia. Senada dengan tiga penulis sebelumnya, artikel
yang ditulis Farid juga menyoroti implikasi negatif dari eksistensi episteme yang mampu
“menyensor” dan “meminggirkan” gagasan lain yang dianggap “tidak sah”37
. Secara khusus
Farid menyoroti zaman Orde baru di Indonesia,dimana menurutnya epsiteme yang eksis pada
saat itu cenderung anti pendekatan kelas dalam ilmu sosial. Sehingga menurutnya kajian
analisis kelas cenderung minoritas bahkan dapat dikatakan menghilang dalam studi ilmu
sosial semasa Orde Baru38
. Sebaliknya dikarenakan eksistensi episteme anti pendekatan
36Fansuri, Hamzah. 2015. Sosiologi Indonesia: Diskursus Kekuasaan dan Reproduksi Pengetahuan. Jakarta:
LP3ES,hlm.190 37Hanya saja berbeda dengan penulis sebelumnya yang diangkat, Farid tidak memfokuskan pembahasan pada
hilangnya ilmu yang “indigeneous”. 38Farid. Hilmar. 2006.Masalah Kelas dalam Ilmu Sosial Indonesia . Dalam Hadiz, Vedi R & Daniel dakhidae.
(ed). Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: PT. Equinox,hlm. 187
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
19
kelas, memungkinkan analis bercorak lain –khususnya teori modernisasi- berkembang
dengan cepat dalam kultur akademik ilmu sosial Indonesia. Bahkan Farid secara berani
menyebutkan kepopuleran teori modernisasi di kalangan akademisi ilmu sosial indonesia
sampai menjadikan teori modernisasi itulah yang disebut ilmu sosial39
. Sehingga teori lain
yang bertentangan dengan teori modernisasi mungkin saja muncul dan berkembang secara
terbatas, namun tidak akan mendapatkan tempat berarti karena tidak masuk dalam “definisi
resmi” ilmu sosial yang berlaku saat itu.
Rumpun kedua, literatur yang menekankan pada pelacakan mekanisme, strategi,
teknik, teknologi kuasa40
. Literatur semacam ini lebih menonjolkan telaah pada sebuah teori
atau paradigma tertentu yang ditengarai menyimpan kuasa pendisiplinan guna mencapai
tujuan politis tertentu. Telaah pada berbagai macam teori atau paradigma tertentu tersebut
umumnya dilakukan dengan menganalisis secara kritis klaim-klaim yang diwacanakan oleh
teori atau paradigma yang seolah netral. Penelusuran juga meliputi analisis terhadap kuasa
apa di balik eksistensi teori atau paradigma tersebut, serta bagaimana dampak yang
dihasilkan dari eksistensi tersebut (secara negatif tentunya). Diantara contoh model literatur
semacam ini dapat ditemui pada literatur yang menggugat teori modernisasi Rostow dan good
governance. Kedua teori tersebut sempat dipersepsikan secara mainstream bebas nilai, nir
kepentingan, netral, dan bertujuan mulia41
.
Kehadiran teori modernisasi Rostow yang ditandai dengan peluncuran karyanya yang
monumental berjudul The Stages of Economic Growth. Dalam karyanya tersebut Rostow
menjelaskan mengenai 5 tahapan pertumbuhan ekonomi yang bermula dari fase tradisional
menuju modern. Secara detail 5 tahapan tersebut ialah the traditional society (masyarakat
tradisonal), the procondition for take off (prasyarat untuk lepas landas), the take off (lepas
landas),the drive to maturity (gerakan kearah kedewasaan), dan the age of high mass
consumption (masa konsumsi tinggi)42
. Perkembangan dari fase tradisional ke modern
39Ibid,hlm. 191 40Mekanisme atau teknologi kuasa ini memiliki tujuan utama yakni mendisiplinkan perilaku individu dan
memastikan ketundukan total mereka kepada sebuah tujuan tertentu. Kepatuhan ini pada akhirnya dalam istilah
Foucault menghasilkan docile body (tubuh yang jinak). Sarana pendisiplinan itu sendiri beraneka regam.
Foucault misalnya menelusuri teknologi kuasa ini dalam bentuk sekolah dan penjara. Ilmu pengetahuan sendiri
merupakan salah satu bentuk teknologi kuasa. Sebagai contoh Foucault secara khusus menyinggung sains dan
psikoanalisis sebagai teknologi kuasa yang membentuk kedisiplinan individu tentang seksualitas. Lihat
Peraino,Judith A. 2006. Listening to the Sirens: Musical Technologies of Queer Identity from Homer to Hedwig. California: University of California Press,hlm. 195 41Dalam kasus good governance bahkan hingga kini klaim netralitas dan bebas nilai masih terus didengungkan
dan masih menjadi mainstream berfikir di kalangan akademisi 42Rostow, W.W. 1959. The Stages Of Economic Growth. The Economic History Review, New Series, Volume
12 No 1,hlm.4-13. Dalam karyanya Rostow merinci ciri khas masing-masing tahapan dan perubahan seperti apa
yang harus ditempuh untuk beranjak dari satu kondisi (yang lebih tradisional) menuju kondisi lain (yang lebih
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
20
dibayangkan Rostow ditandai dengan perubahan masyarakat dari yang tadinya miskin
menjadi berkecukupan. Sehingga pada hakekatnya upaya transformasi fase tradisional ke fase
modern merupakan strategi pembangunan manusia guna meningkatkan harkat dan martabat
manusia. Terlebih teori Rostow sendiri diyakini dapat berlaku universal di seluruh dunia,
dimana setiap negara dapat diposisikan dalam sebuah tahapan ekonomi yang tergambar
dalam teori tersebut43
, sehingga dapat direkayasa untuk mencapai fase teratas.
Kehadiran teori modernisasi dengan segera menjadi perbincangan hangat di kalangan
intelektual dan secara nyata coba diimplementasikan di sejumlah negara berkembang dengan
dukungan dari pemerintah AS. Tercatat Presiden AS Kennedy mengangkat Rostow untuk
menduduki posisi penting di dalam lembaga National Security Council guna menjadikan teori
modernisasi ujung tombak kebijakan pemerintahan Kennedy terhadap negara dunia ketiga44
.
Lebih jauh sebuah lembaga khusus bernama Agency for International Development (AID)
untuk mengaplikasikan teori modernisasi secara nyata45
.
Di kemudian hari barulah sejumlah analisa kritis mengungkap berbagai kelemahan
dalam teori tersebut. Sejumlah kalangan yang sering dijuluki sebagai pengusung teori
ketergantungan (dependensi) mengungkap ketidaksinkronan antara klaim yang diusung
pendukung teori modernisasi bahwa pengaplikasian teori modernisasi sebagai model
pembangunan akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi menuju kesejahteraan dengan
realitas. Realitas yang terjadi dalam level makro, yakni perbedaan antara negara berkembang
(dicirikan ekonomi tradisional) dan negara maju (dicirikan ekonomi modern), justru semakin
jauh jaraknya46
.
Dari temuan tersebut, muncullah berbagai analisis kritis terhadap teori Rostow dari
kalangan pengusung teori ketergantungan, seperti gugatan terhadap ahistorisnya teori
Rostow. Perkembangan teori modernisasi mengandaikan sejarah semua negara itu sama,
padahal pada hakikatnya berbeda-beda, sehingga tidak bisa dibuat resep yang sama untuk
semua negara47
. Lebih jauh kalangan teori ketergantungan juga mengkritisi teori modernisasi
modern). Sebenarnya Rostow juga menambahkan satu tahapan lanjutan dari the age of high mass consumption,
walaupun kajian tentang fase ini dapat dikatakan masih terbilang hipotesis awal. Menurut Rostow fase ini
terlihat jelas di AS yang ditandai dengan naiknya angka kelahiran di negara tersebut (lihat Ibid, hlm. 13) 43 Waters JR, Robert Anthony.2009. Historical Dictionary of United States-Africa Relations. Maryland:
Scarecrow Press, hlm.174 44Ibid 45Ibid 46Bauzon, Kenneth E. Development Studies: Contending Approaches and Research Trends. Dalam Bauzon,
Kenneth E (Ed). 1992. Development and Democratization in the Third World: Myths, Hopes, and Realities.
Washington: Taylor dan Francis,hlm.38 47Leonard, Thomas M. 2006. Encyclopedia of the Developing World. New York: Routledge, hlm.460
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
21
yang gagal melihat dampak kolonialisme pada negara berkembang yang sedikit banyak tidak
menguntungkan posisi negara berkembang untuk melakukan pembangunan48
.
Kritik lain yang muncul ialah pada hakekatnya teori modernisasi modernisasi
menjadikan barat sebagai tolak ukur pembangunan (eurosentrisme). Sebagaimana tercermin
jelas dari pembedaan antara tradisional dan modern dalam teori modernisasi, dimana yang
tradisional haruslah lenyap demi modernisasi. Tentu saja teori modernisasi mengabaikan
adanya kompleksitas keterkaitan antara tradisionalisme dengan kemodernan49
. Bahkan teori
modernisasi seakan mengaggap remeh secara politis kekuatan dari tradisionalisme yang bisa
berbentuk banyak hal seperti agama, klientelisme, dan etnisitas50
. Padahal jika dicermati
secara kritis sejumlah bentuk tradisionalisme yang disebutkan diatas merupakan prinsip asasi
bagi kalangan masyarakat non barat tertentu, sehingga menjadi hal yang dipertanyakan
ketika pembangunan yang diklaim akan mensejahterakan masyarakat justru bertabrakan
dengan identitas yang dianggap asasi dan penting dari masyarakat tersebut.
Sejumlah kritik tersebut menunjukkan bahwa berbeda jauh dari slogan yang dielu-
elukan oleh teori modernisasi yang menjanjikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi dunia
ketiga, pada kenyataannya teori ini justru merusak dunia ketiga. Namun sebagaimana
ditegaskan oleh Graham Ellison & Nathan Pino, memang hakikat terselubung dari teori ini
bukan murni kajian akademik semata, namun berisikan kuasa terselubung yang
menguntungkan negara Barat, terkhusus AS. Dikarenakan di masa teori ini muncul, terjadi
pertentangan antara Blok Barat (dipimpin AS) dan Blok Timur (dipimpin Soviet). AS
diuntungkan melalui teori ini sebab dunia ketiga secara tidak sadar akan mengikuti nilai yang
diusung AS saat itu51
. Sehingga dapat dikatakan teori ini memberi jalan bagi hegemoni AS di
negara dunia ketiga secara terselubung.
Teori good governanceyang hingga saat ini masih mainstream dibicarakan dan
dijadikan resep jitu guna mensukseskan pembangunan manusia secara global juga tidak
seindah yang dibayangkan. Gagasan good governance sendiri dapat dilacak kemunculannya
hingga tahun 1989, dimana muncul laporan dari Bank Dunia (World Bank) berjudul Sub-
Saharan Africa: From Crisis to Sustainable Growth. Di dalam laporan inilah terdapat sitilah
governance yang intinya mengenai perlunya arah baru reformasi pemerintahan. Reformasi
yang dimaksud ialah konsensus dan legitimasi politik menjadi prasyarat keberhasilan
48Ibid 49Haynes, Jefferey. 2008. Development Studies: Short Introduction. Cambridge: Polity Pres, hlm.23 50Ibid 51 Ellison,Graham&Nathan Pino. 2012. Globalization, Police Reform and Development: Doing it the Western
Way?New York: Palgrave Macmillan,hlm. 44
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
22
pembangunan berkelanjutan52
. Reformasi ini mencakup pendefinisian ulang peran negara
yang sifatnya reduktif (dari bersifat regulatif ke fasilitatif), serta dilibatkannya aktor non
negara dalam pembangunan53
. Selain mensyaratkan pelibatan aktor non negara (dalam hal ini
pasar dan civil society) dan reduksi peran negara, gagasan ini menekankan bahwa
pembangunan haruslah menyesuaikan dengan konteks negara tertentu alias memperhatikan
lokalitas, baik sejarah, budaya, atau kondisi sosial-politik-ekonomi setempat54
. Sehingga
berbeda dengan modernisasi ala Rostow yang dikritik karena abai dan cenderung antipati
terhadap lokalitas masyarakat, good governance justru memandang lokalitas (atau dalam
istilah Rostow “tradisional”) sebagai hal yang positif bagi pembangunan55
, karena hakikatnya
pembangunan untuk kepentingan masyarakat setempat.
Sejumlah klaim yang nampaknya menjanjikan bagi masyarakat di negara berkembang
atau dunia ketiga tersebut ternyata menyimpan kuasa terselubung yang pada hakikatnya
justru kontreproduktif bagi pengembangan kesejahteraan masyarakat. Rita Abrahamsen yang
melakukan studi kritis tentang gagasan good governance, dengan telaah secara khusus di
Afrika, mememukan fakta penting bahwa good governance mendelegitimasi negara di mata
rakyatnya sebagai entitas yang “asing”, “berseberangan dengan rakyat” ,bahkan negara tidak
lebih dari “produk barat”. Sebaliknya entitas pasar justru lebih dekat dengan sejarah Afrika56
.
Jelas sekali arah pewacanaan semacam ini akan memuluskan jalan bagi liberalisasi ekonomi,
yang belum tentu berdampak positif bagi rakyat.
Sejalan dengan Rita yang kritis memandang good governance, Massimo De Angelis
juga sampai pada kesimpulan menarik setelah mencermati sejarah good governance, dimana
gagasan ini menurutnya sangat dipengaruhi oleh paham neoliberal. Dimana good governance
adalah model penyelenggaraan pemerintahan yang mengakomodasi gagasan dari konsensus
Washington. Konsensus Washington sendiri memiliki tiga resep penting, yakni pertama,
negara harus mundur dari sektor sosial, kedua, pasar harus diberikan kemudahan atau akses
ke seluruh elemen kelidupan masyarakat, dan ketiga, rakyat harus melepaskan
ketergantungan sosial ekonominya dari negara57
.
52Ibid 53Ibid 54Sangita,S.N. 2002. Administrative Reform for Good Governance. Dalam The Indian Journal of Political Science Volume 63 No 4 ,hlm.325 55Abrahamsen, Rita. 2004. Sudut Gelap Kemajuan: Relasi Kuasa dalam Wacana Pembangunan. Yogyakarta:
Lafadl,hlm. 99 56Ibid,hlm.84-85 57Angelis, Massimo De. 2005. The Political Economy of Global Neoliberal Governance. Dalam
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
23
Jelaslah dari temuan Massimo bahwa sejatinya yang paling diuntungkan dari
penerapan good governance adalah pasar dan bukannya rakyat. Karena sebagaimana
dinyatakan dalam konsensus Washington, negara seakan tidak bleh lagi hadir dengan
berbagai pelayanan publiknya, karena rakyat tidak boleh tergantung pada negara. Sebaliknya
pasar dengan mudah menggantikan peran negara sebagai penyedia layanan dan rakyat
dipaksa menjadi pembeli dari produk pasar. Konseksuensinya uang menjadi penentu
seseorang dapat mengakses produk pasar, jika tidak maka akses tidak akan diberikan. Sangat
jelas yang dirugikan adalah rakyat, terkhusus di negara berkembang yang butuh akan
kehadiran negara. Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Massimo bahwa penerapan good
governance justru menimbulkan jarak yang melebar antara yang berpunya dan tidak
berpunya dalam lingkup sebuah negara ataupun antar negara58
. Dengan kata lain klaim yang
disusung good governance tidak berkesesuaian dengan realitas yang justru menguntungkan
negara industri maju ataupun korporasi internasional bukan rakyat ataupun negara dunia
ketiga.
Terkait posisi tulisan ini cenderung mengikuti model kedua, dengan penekanan
menganalisis strategi/teknik/teknologi kuasa, dimana pilihan ini dirasa tepat sebab Human
Security layaknya good governance dan teori mdoernisasi merupakan sebuah teknologi kuasa
untuk “mendisiplinkan” populasi manusia global. Tentu saja sebagaimana good governance
dan teori modernisasi yang berkedok “netral” plus dengan berbagai klaim menjanjikannya
namun hakikatnya merusak, human security sejatinya memiliki potensi sama merusaknya
dengan dua teori tersebut.
Tabel 1.1
Rumpun Literatur yang membahas mengenai Ilmu dan Kekuasaan
No Corak Literatur
Episteme Mekanisme/Teknik/strategi/Teknologi kuasa
Penulis
literatur
Intisari Gagasan Penulis Literatur Intisari Gagasan
1 Hamzah
Fansuri
Tiga episteme dalam
ilmu sosiologi
indonesia, dimana:
pertama. Episteme
Rita Abrahamsen Good governance
(teori) mengandung
kuasa pendisiplinan
cara berfikir
58Ibid
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
24
kolonial. Kedua,
Episteme Pasca
kolonial I (Orde
Baru/Perang dingin).
Ketiga, Episteme paska
Kolonial II
(globalisasi/pasar
bebas). Tiga episteme
tersebut memiliki titik
temu yakni cenderung
latah terhadap gagasan
“impor” dari barat,
meminggirkan
gagasanindigeneous.
Episteme tersebut
menghalangi/merepresi
ilmu/teori yang
bercorak indigenous
dalam pengembangan
sosiologi Indonesia
terhadap negara pada
masyarakat dunia
ketiga. Gagasan ini
mendelegitimasi
eksistensi negara
khususnya di mata
masyarakat dunia
ketiga sebagai
sesuatu entitas yang
“tidak indegeneous”.
Sebaliknya pasar
(korporasi)
diwacanakan sebagai
entitas yang
“indegeneous” ,
lekat dengan sejarah
masyarakat dunia
ketiga. Tujuannya
guna memuluskan
liberalisasi ekonomi
di negara dunia
ketiga.
2 Farid Alatas Episteme eurosentris di
Asia (khususnya pada
pengembangan ilmu
sosial). Episteme ini
menjadikan
pengembangan ilmu
sosial di Asia
cenderung bercorak
eurosentris. Dengan
kata lain tidak bisa
lepas dari gagasan
Massimo De Angelis Good governance
(teori) mengandung
kuasa pendisiplinan
dunia ketiga dalam
memandang negara.
Gagasan ini relatif
menghapus peran
negara khususnya di
pelayanan publik.
Tujuannya guna
memuluskan
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
25
Barat yang sejatinya
bias. Upaya
pengembangan ilmu
sosialbercorak non
eurosentris menjadi
minim atau
termarginalkan.
Dampaknya:
akademisi dunia ketiga
layaknya “beo” yang
tidak kritis terhadap
berbagai pemikiran
“impor” dari Barat
masuknya paham
neoliberalisme di
dunia ketiga,
menguntungkan
negara industri maju
sebagai pemasok
kebutuhan ke negara
dunia ketiga.
3 Hilmar Farid Episteme anti
pendekatan kelas pada
ilmu sosial Indonesia
masa orde Baru.
Episteme ini
menjadikan
pengembangan kajian
berbasis analisis kelas
menjadi minim, jika
tidak menyatakan
direpresi sedemikian
rupa. Sebaliknya
epsiteme ini memberi
ruang subur bagi
analisis non kelas,
secara khusus gagasan
developmentalisme ala
AS
Graham Ellison &
Nathan Pino
Teori Modernisasi
mengandung kuasa
penisiplinan
pembangunan di
dunia ketiga.
Pembangunan di
dunia ketiga
ditundukkan dengan
cara menjadikan
Barat sebagai kiblat
pembangunan
(eurosentris).
Tujuannya
memuluskan
hegemoni Blok Barat
(AS) atas dunia
ketiga/memudahkan
format dunia ketiga
sesuai imajinasi AS
dan sekutunya
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
26
4 Purwo Santoso Episteme sintaksis
pada ilmu sosial
Indonesia (termasuk
ilmu politik). Episteme
tersebut menjadikan
pengembangan ilmu
sosial-politik di
Indoensia hanya
mampu meniru segala
gagasan yang ada di
Barat, tanpa
memungkinkan
pengembangan ilmu
sosial-politik yang
“indigeneous”.
Episteme tersebut juga
tak ramah dan sangat
antipati dengan
gagasan
“indegeneous”.
Padahal gagasan
“indegeneous” bisa
jadi lebih “maju”
dibandingkan gagasan
yang selalu ditiru dari
Barat.
Kategori kedua, yakni terkait literatur yang membahas mengenai hakikat human
security. Mengenai literatur terkait Human Security sejatinya dapat dipilah menjadi dua
kategori besar, yakni pertama memandang Human Security dalam level global. Sedangkan
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
27
kategorisasi kedua, yakni memandang Human Security dalam level lokal (di dalam wilayah
sebuah negara bangsa)59
.
Kategorisasi lokal-global menjadi menarik untuk ditelusuri guna mengungkap seperti
apa implikasi gagasan yang lahir dari ide Human Security baik di tingkat global maupun
lokal. Pembahasan menjadi penting untuk menegaskan kedudukan penelitian ini yang
mengambil posisi mengkaji secara spesifik gagasan Human Security di level global. Namun
perlu ditegaskan kembali bahwasanya kategorisasi lokal-global berpijak pada akar yang sama
yakni pemindahan referent object (obyek yang harus dilindungi) dari negara ke manusia
(individu), sehingga dapat dikatakan lokal dan global akan muncul beriringan dalam satu
waktu dan tidak terpisahkan.
Terkait dengan naskah yang menekankan pada Human Security dalam konteks lokal,
setidaknya masih dapat dibagi lagi ke dalam dua kategorisasi yang berbeda60
, yakni
rumpun yang banyak berbicara mengenai persoalan security sector reform (SSR)61
dan
rumpun yang berbicara mengenai kesejahteraan sebagai wujud keamanan baru. Perbedaan
tersebut sebenarnya terkait erat dengan corak dua mazhab besar dalam gagasan Human
Security yakni mazhab Jepang dan Kanada.
Gagasan SSR sejatinya terpengaruh kuat oleh corak mazhab Kanada. Sebagaimana
disinggung sebelumnya mazhab ini menakankan pada kemaanan manusia dari ancaman
59 Perlu ditegaskan kembali di sini bahwasanya lokal dan global terkait dengan perubahan yang terjadi di
level lokal dan global sebagai implikasi eksistensi gagasan Human Security. Dalam konteks global
perubahan yang terjadi terkait dengan konsepsi negara westphalia yang berasaskan non intervensi. Paska
Human Security, konsepsi tersebut mengalami perubahan karena negara bukan lagi dianggap sebagai satu-
satunya penyedia keamanan warganya di dalam negeri. Komunitas internasional menjadi aktor lain –bahkan
lebih penting dari negara bangsa- yang juga “bertanggung jawab” atas keamanan warga global. Sedangkan
dalam konteks lokal, Human Security memicu redefinisi konsepsi keamanan nasional yang tadinya bersifat
negara sentris menjadi masyarakat sentris. Perubahan di level lokal inipun masih dapat dibedakan lagi menjadi dua bagian yakni konsepsi keamanan nasional baru (masyarakat sentris) yang berorientasi “non tradisional/non
militer” yakni berbasis kesejahteraan (terkena pengaruh corak mazhab Jepang) dan keamanan nasional
“tradisional/militer” namun lebih pro rakyat (terkena pengaruh corak mazhab Kanada). Perlu ditambahkan
dalam konteks Indonesia dua orientasi tersebut (corak mazhab Jepang & Kanada) diupayakan berjalan
beriringan. Dengan kata lain keamanan nasional Indonesia sejatinya ingin dibentuk dengan menggabungkan dua
corak mazhab tersebut.
Lihat penjabaran model baru konsep keamanan Indonesia yang berbasis dua corak mazhab human Security ini
ini dalam Sekretaris Jendral Dewan Ketahanan Nasional. 2010. Keamanan Nasional : Sebuah Konsep Dan
Sistem Keamanan Bagi Bangsa Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasional,hlm. 53, 65 60 Dua kategorisasi tersebut bukan bermaksud membatasi. Hanya saja merujuk pada berbagai pengembangan
literatur terkait Human Security di tingkat lokal sampai saat ini peneliti mendapati adanya pengembangan
keilmuan dan wacana ke arah tersebut. 61 Yang dimaksud dengan sektor keamanan mencakup segala institusi negara yang memiliki otoritas sah
menggunakan, mengotorisasi, dan mengancam menggunakan kekuatan (fisik) demi melindungi warga negara.
Lihat Perwita, Anak Agung Banyu. 2005. Dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 9 Nomor 1,hlm.
54
Berbasis definisi tersebut maka sektor keamanan memeiliki lingkup yang luas, diantaranya meliputi militer,
kepolisian, kehakiman, dan intelejen.
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
28
kekerasan fisik, yang notabene berasal dari senjata. Dalam konteks SSR, sebagaimana
keyakinan mazhab Kanada negara bangsa yang tadinya dalam bayangan paradigma state
security menjadi pelindung utama warga kini dipandang dengan penuh kecurigaan. Hal ini
muncul dikarenakan tidak jarang justru negara itu sendirilah yang dianggap sebagai biang
keladi kekerasan pada manusia di sebuah negara62
. Sehingga perubahan paradigma keamanan
berkonsekuensi pula pada pentingnya perombakan fundamental pada eksistensi aparat
keamanan yang potensial menjadi ancaman bagi keamanan warganya sendiri, seperti polisi,
intelejen, kehakiman, dan militer. Harapannya dengan diadakannya reformasi pada aparat
keamanan akan menjamin eksistensi mereka bermanfaat bagi penjagaan keamanan manusia
secara konsekuen, dan bukannya keamanan rezim sehingga bukannya rasa aman yang didapat
oleh warga melainkan ketakutan dan tindakan sewenang wenang akibat eksistensi aparat
keamanan tersebut.
Perlu ditegaskan bahwasnaya tidak semua referensi yang membahas mengenai SSR
memberikan penjelasan yang ekspisit tentang akar Human Security di balik gagasan tersebut.
Namun ada pula referensi yang secara eksplisit memberikan penjelasan keterkaitan erat
antara gagasan Human Security dan SSR. Referensi yang dimaksud berjudul Panduan Media
Dan Reformasi Sektor Keamanan yang diterbiitkan melalui kerjasama Geneva Centre for the
Democratic Control of Armed Forces (DCAF) dengan Lembaga Studi Pertahanan dan Studi
Strategis Indonesia (LESPERSSI)63
. Dalam salah satu artikel yang terdapat dalam buku
62 Popovski, Vesselin. 2010. Responsibility to Protect. Dalam Hodges, Adrian, Malcolm McIntosh & Alan
Hunter (ed). New Perspectives on Human Security. Sheffield: Greenleaf Publishing,hlm. 205
Alasan negara gagal melindungi rakyatnya dari ancaman kekerasan fisik yang diakibatkan kelompok tertentu
dalam negara tersebut atau negara sendiri yang berperan menjadi pelaku kekerasan terhadap warganya sendiri
inilah dalam konteks Human security versi global menjadi alasan bagi penciptaan mekanisme R2P, yang
menjadi intisari pembahasan dalam penelitian ini. 63 Kerjasama DCAF merupakan salah satu contoh dukungan internasional terhadap penerapan SSR di Indonesia.
Sebagai informasi tambahan saja, gagasan SSR sendiri juga didukung kuat oleh komunitas internasional. Salah
satu manifestasi nyatanya tergambar dari eksistensi UN SSR unit, lembaga internasional di bawah payung PBB
yang membidangi SSR. Tugas lembaga tersebut ialah membantu pelaksanaan SSR di berbagai negara dunia.
“Bantuan” yang ditawarkan PBB diformalkan secara tegas dalam resolusi dewan keamanan PBB no 2151 tahun
2014: “Stresses the importance of the relevant bodies of the United Nations undertaking mission planning
processes for security sector reform, where mandated, that gives full consideration to supporting national
security sector reform efforts, taking into account the specific needs of the host country, and collaborating with
other relevant international and regional actors providing security sector reform assistance to the national
government”. Lihat UNSC. 2014. Resolution 2151 (2014). Diakses di
cuments/resolutions/2014.shtml&Lang=E pada tanggal 22 November 2015 pukul 10.51 WIB Fakta diatas menunjukkan bahwa meskipun wajah Human Security di level lokal dan global berjalan pada relnya
masing masing (antara format baru keamanan nasional versus format baru relasi antar negara), namun tetap
tidak menutup peluang bagi global untuk turut mengintervensi yang lokal, salah satunya melalui mekanisme
SSR ini yang notabene merupakan wajah Human Security di level lokal. Tentunya dibutuhkan kajian lebih
serius dan mendalam mengenai implikasi intervensi asing dalam upaya implementasi SSR di berbagai negara
termasuk Indonesia.
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Media Dan Reformasi Sektor Keamanan. Jakarta/ Jenewa: Lesperssi, IDSPS & DCAF,hlm. 3 65 A, Mufti Makaarim. No date. Akuntabilitas Reformasi Sektor Keamanan Paska 1998. Jakarta: Elsam,hlm. 7 66 Lay, Cornelis. 2005. Menjaring Bayang-bayang: Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis.
Dalam Widjajanto, Andi (ed). Reformasi Intelijen Negara. Jakarta: Pacivis,hlm. 236-237 67 Ibid,hlm.235 68 Contoh fiksi yang mungkin menggambarkan gawatnya bila seorang agen yang tidak memiliki (atau tidak mematuhi) aturan baku seorang agen adalah film agen rahasia kenamaan Inggris 007 James Bond. Dalam film
tersebut nampaknya kaedah “menghalalkan segala cara” demi tercapainya tujuan agen nampaknya dapat
dilakuan. Dalm berbagai adegan film 007 nampak jelas perilaku agen yang membahayakan keamanan
masyarakat seperti aksi kejar kejaran dengan menggunakan kendaraan disertai tembak menembak di tempat
umum, menghancurkan bangunan, dan aksi kekerasan lain tentunya membahayakan keamanan masyarakat luas
di tempat operasi dilakukan.
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
30
ombusdman atau lembaga pengawasan eksternal lainnya untuk memantau kinerja Polisi dan
menerima berbagai pengaduan yang berhubungan dengan tindakan oknum polisi. Selain
pengawasan eksternal yang sifatnya berupa lembaga negara, ICG juga mendorong penguatan
kelompok masyarakat sipil untuk mengawasi kinerja kepolisian69
. Sejumlah rekomendasi
tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks kepolisian Indoesia yang selama ini dinilai
korup, tidak efisien dan efektif70
.
Sebagai contoh misalnya diberikan oleh ICG yakni dengan adanya pepatah umum
yang beredar di kalangan masyarakat Indonesia bahwa jika melaporkan ayam hilang, bisa-
bisa sapi hilang71
. Pepatah tersebut menyiratkan perilaku korup polisi yang meminta upah
pada masyarakat jika ingin dilakukan penindakan sebuah kasus. Itupun dalam artian upah
guna penindakan, belum pasti penindakan berujung pada selesainya permasalahan secara
menggembirakan. Misal dalam kasus kecurian ayam belum tentu ayamnya kembali, sehingga
sudah susah-susah membayar mahal (sapi hilang) tetapi ayam tetap hilang. Hal ini
menggambarkan potret buram aparat keamanan yang seharusnya melindungi masyarakat dari
ancaman kemananan namun pada kenyataaanya tidak berhasil menegakkannya72
.
Selain Lay dan ICG yang berkonsentrasi membahas SSR di sektor intelejen dan
kepolisian, artikel Dimas P Yudha dapat menjadi salah satu contoh karya yang membahas
SSR di sektor militer. Menurut Yudha reformasi di tubuh militer Indonesia hingga era
Yudhoyono73
telah menunjukkan sejumlah perkembangan positif. Perkembangan tersebut
diantaranya dihapuskannya dwifungsi ABRI dan netralitas TNI dalam pilkada74
. Akan tetapi
ada masalah krusial yang menurut Yudha haruslah dibenahi agar reformasi TNI dapat
berjalan dengan baik di masa mendatang yakni penaturan bisnis TNI. Menurut Yudha salah
Lebih parah lagi ketika polisi justru menjadi penyebab ketidakamanan warga. Dalam kasus Densus 88
misalnya –yang notebene di bawah kendali kepolisian- tidak jarang orang tidak bersalah menjadi korban salah
tangkap bahkan penembakan yang dilakukan aparat keamanan tersebut. Mislanya Nur Iman, seorang warga
yang ditembak Densus ketika melakukan pengejaran terhadap para terduga teroris di Sukoharjo. Densus juga
pernah menangkap dua warga tidak bersalah bernama Mugi Hartanto dan Sapai di Jawa Timur. Keduanya
menjalani penahanan tanpa bukti selama tujuh hari berturut turut dan pada akhirnya dibebaskan. Selain Densus
88, kepolisian secara umum juga kerap melakukan tindakan fisik kepada warga yang diduga pelaku kejahatan
namun pada akhirnya tidak terbukti (salah tangkap). Salah satu contohnya ialah JJ Rizal yang dituduh membawa
narkoba. Rizal sempat ditangkap dan dipukuli selama 15 menit. Selain Rizal, Tartusi mengalami peristiwa
serupa (bahkan mungkin lebih buruk). Tartusi dituduh sebagai pelaku kejahatan. Betisnya menjadi sasaran
tembak polisi dan dipaksa mengakui kejahatan yang tidak dilakukannya. Akhirnya Tartusi dibebaskan setelah tuduhan padanya tidak bisa dibuktikan. Lihat: Kontras. No date. Data Kasus Kekerasan Polisi Okt - Des 2009.
Jakarta: Kontras,hlm.1; Kontras. No date. Potret Buram Densus 88 Anti Teror dalam Bingkai Hak Asasi
Manusia. Jakarta: Kontras,hlm. 2; Kontras. No date. Data Penyiksaan Januari-Juni 2014. Jakarta: Kontras,hlm.1 73 Saat ini pemerintahan Indonesia berada di bawah kendali Joko Widodo dan Jusuf Kalla 74 Yudha, Dimas P. 2010. Reformasi Sektor Keamanan Pemerintahan SBY 2004-2009: Sebuah Review. Dalam
Indonesian Review Volume I Agustus,hlm.46
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
31
satu alasan krusial dari pengaturan bisnis TNI ini untuk memastikan supremasi sipil75
, yang
pada hakekatnya adalah penjaminan penegakan Human Security.
Keterkaitan bisnis dengan supremasi sipil dan Human Security dapat dilihat dari sisi
anggaran TNI. Jika TNI hanya mengandalkan anggaran –untuk bergaai aktivitasnya, seperti
baik bagi prajurit mauapun pembelian persenjataan- maka fungsi kontrol akan dapat
dilakukan secara lebih baik, karena secara formal yang memegang kuasa anggaran ialah
sipil76
. Jikalau TNI mememiliki pendanaan lain non anggaran maka perilakunya akan lebih
sulit dikontrol dan memungkinkan bagi mereka untuk bertindak “semau gue”. Terlebih lagi,
bisnis TNI kerap kali justru menghadapkan TNI sebagai penyebab ancaman keamanan fisik
bagi warga di sejumlah wilayah. Hal ini misalnya terjadi dalam kasus sengketa Alastlogo
pada tahun 200777
. Pada kasus tersebut TNI berposisi berhadap-hadapan dengan warga
karena TNI memiliki kepentingan bisnis di wilayah tersbeut yakni dengan adanya kerjasama
antara Induk koperasi TNI AL dengan PT Rajawali Nusantara Indonesia78
. Implikasinya
warga menjadi korban kekerasan yang dilakukan anggota TNI AL. Tercatat dalam laporan
Kontras sebanyak 4 warga tewas terkena peluru aparat TNI AL sedangkan 8 warga lainnya
mengalami luka-luka. Selain korban, sejumlah fasilitas umum dan rumah warga juga
mengalami kerusakan79
.
Berbeda dengan corak referensi yang menekankan pada SSR, ada pula referensi yang
berbicara mengenai model keamanan baru berbasis kesejahteraan. Salah satu literatur yang
memiliki corak seperti ini dapat ditemukan pada karya Yohanes Sanak. Sanak sendiri
berupaya membuat arumentasi mengenai pentingnya integrasi gagasan Human Security –
dalam artian keamanan berbasis kesejahteraan- dalam pengelolaan daerah perbatasan di
Indonesia80
. Selama ini gaya pengelolaan perbatasan menurut Sanak masih bercorak state
security yang mengandalkan kapasitas militer di perbatasan, terlebih lagi orientasi militer
75 Ibid,hlm.47 76 Ibid 77 Sebenarnya kasus Alastlogo telah dimulai sejak 1960an, dimana areal tersebut direbut paksa dari tangan
warga oleh TNI AL dengan alasan guna kepentingan latihan militer. Tercatat pengambilalihan lahan dilakukan
dengan mekanisme jual beli secara curang, karena TNI AL menggunakan pemalsuan cap jempol dan tanda
tangan. Sektika tanah berpindah tangan kepada TNI secara otomatis warga yang menempati lahan tersebut harus
mengikuti aturan main TNI AL. Tercatat jenis tanaman yang wajib dibudidayakan warga di wilayah tersebut
ialah wijen dan jarak. Itupun dengan catatan para warga harus membayar sewa lahan pada TNI AL. Lebih
parahnya jika warga gagal memenuhi target penen yang ditetapkan TNI AL maka warga bersangkutan dapat
ditahan atau dapat dipekerjakan secara paksa. Lihat Sri Endah Kinasih, Bambang Budiono, Sarkawi B. Husain. 2010. Model Resolusi Konflik dan Pembentukan Negara: Pemahaman Budaya Hukum secara Holistik di
Masyarakat Rawan Konflik. Dalam Masyarakat, Kebudayaan dan Politik Th 31 no 1,hlm. 31 78 Ibid 79 Kontras. No date. Laporan Sementara Insiden Alas Tlogo, Lekok, Pasuruhan (6 Juni 2007). Jakarta:
Kontras,hlm.1 80 Dalam konteks Sanak secara khusus perbatasan Indonesia dengan Timor Leste
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
32
yang utama ialah untuk menjaga kedaulatan teritorial dari kemungkinan serangan negara lain.
Sehingga jelas yang sedang dilindungi oleh militer ialah negara, dalam hal ini keutuhan
wilayahnya. Aspek manusia, tidak menjadi penting dalam penempatan militer di perbatasan.
Sanak sendiri mencontohkan misalnya dilakukan pembangunan gapura yang megah di
pintu perbatasan, padahal realitas masyarakat di wilayah tersebut relatif memprihatinkan dari
sisi kesehatan, ekonomi, dan pendidikannya. Sehingga Sanak berseimpulan bahwa Gapura
hanyalah diperuntukkan untuk semakin menambah “citra kuat” eksistensi militer di daerah
tersebut81
. Sanak sendiri mencoba menawarkan kebaharuan pengelolaan perbatasan dengan
mengintergasikan gagasan Human Security yang lebih berorientasi pembangunan (keamanan
berbasis kesejahteraan/seide dengan mazhab Jepang). Dengan agenda pembanguan di daerah
perbatasan, menurut Sanak hasil yang dicapai sesungguhnya justru lebih meyakinkan. Pada
satu sisi rakyat akan mendapatkan kebutuhan yang diperlukannya sehingga diharapkan terjadi
peningkatan nasionalisme warga perbatasan untuk siap mempertahankan negerinya82
. Disisi
lain Sanak berkeyakinan bahwa pembngunan wilayah perbatasan sebagai strategi keamanan
akan mengubah pola “defensif” keamanan menjadi “ofensif”. Dalam artian “defensif” karena
membayangkan militer sebagai penjaga ancaman yang mungkin datang dari luar, bukan
menyerang areal lawan. Sebaliknya dengan paradigma Human Security yang berbasis
pembangunan maka keamanan perbatasan menjadi “ofensif” karena diharapkan masjunya
wilayah perbatasan akan menambah citra positif Indonesia di hadapan negara lain, sehingga
mereka akan kagum bahkan segan dengan Indonesia83
.
Terkait dengan model literatur yang membahas Human Security dalam konteks global
sejatinya berpusat pada ide redefinisi kedaulatan negara bangsa yang dalam konteks
pergaulan internasional disebut prinsip non intervensi (non interference)84
. Dengan datangnya
ide Human Security konsepsi ini mendapatkan gugatan yang kuat sekaligus tawaran redefinisi
kedaulatan negara yang sama sekali baru (khas Human Security)85
.
Referensi yang secara jelas menegaskan implikasi Human Security dalam level global
ini (dan juga mendukungnya) ialah karya Paul Heinbecker. Heinbecker menegaskan secara
jelas impilasi eksistensi paradigma Human Security terhadap konsepsi kedaulatan negara
81 Sanak, Yohanes. 2012. Human Security & Politik Perbatasan. Yogyakarta: Polgov,hlm.102 82 Ibid,hlm.137 83 Dalam bahasa Sanak: “tampilan masyarakat di wilayah perbatasan lebih menarik daripada tampilan
masyarakat di wilayah perbatasan tetangga”. Lihat Ibid,hlm.136 84 Kedua mazhab dalam Human Security (Kanada dan Jepang) sepakat dalam permasalahan ini, hanya saja
mereka berbeda soal ruang lingkup ancaman dan -tentunya sebagai implikasinya- solusi apa yang dapat
ditempuh untuk menolak ancaman tersebut. 85 Model baru kedaulatan negara ini akan dibahas secara lebih rinci pada bab II
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
33
bangsa. Menurut Heinbecker negara bangsa yang sejak lama dilekatkan padanya kuasa untuk
menjamin keamanan di dalam negerinya sudah tidak memungkinkan lagi untuk
dipertahankan. Heinbecker menjelaskan contoh kasus negara gagal (failed state) yang
menyebabkan negara tersebut tidak mampu menjamin keamanan rakyatnya. Jika dalam
kondisi semacam itu Heinbecker menegakan bahwa harus ada skema khusus yang
memungkinkan penjaminan keamanan manusia86
. Secara spesifik ia menyebut Kanada87
menawarkan gagasan menarik untuk merancang suatu skema dan instrumen khusus yang
memungkinkan aktor lain (komunitas inetrnasional berkontribusi menciptakan keamanan
pada kondisi semacam itu di sebuah negara bangsa88
.
Dari pemaparan Heinbecker diatas sangat jelas menyiratkan perubahan besar yang
muncul paska munculnya paradigna Human Security, yakni yakni: pertama, ternadinya
redefinisi konsep kedaulatan negara bangsa. Kedua, eksistensi skema khusus yang
memungkinkan “bantuan bagi penciptaan kemanan” dilakukan oleh komunitas
internasional89
. Sebuah perubahan yang tentunya mengubah drastis relasi antar negara yang
sebelumnya sangat dipengaruhi prinsip non intervensi ala Westphalian. Jelas dengan
eksistensi Human Security intervensi menjadi sebuah barang “halal” –atas nama keamanan
global-, bukan lagi barang “haram” sebagaimana dibayangkan konsepsi Westphalia di masa
lampau.
Selain Heinbecker ada sejumlah argumentasi lain yang sejalan dengannya, yang misi
utamanya membenarkan perubahan konsep negara bangsa demi penciptaan keamanan
manusia di dalam negara tersebut dalam konteks negara gagal90
. Sebut saja karya Commision
on Human Security (CHS)91
berjudul Human Security Now yang diberi kata pengantar oleh
akademisi terkemuka dunia Amartya Sen. Sebagaimana gagasan Heinbecker (dan Kanada)
Menurut karya tersebut, pemberian kewenangan penuh kepada negara untuk memastikan
86 Heinbecker, Paul. 2000. Human Security The Hard Edge. Dalam Canadian Military Journal Spring
Edition,hlm. 13 87 Jika membaca secara keseluruhan artikel Heinbecker jelas menunjukkan dirinya merupakan pendukung
mazhab Kanada 88 Ibid 89 Dua perubahan ini termanifestasi sangat jelas dalam konsepsi R2P, bahakan dapat dikatakan menjadi pondasi
dasar pendirian R2P. Lebih jauh mengenai pembahasan R2P akan dibahas pada Bab III 90 Gagal dalam artian negara dianggap berada dalam kondisi tidak bisa menjaga keamanan rakyatnya
(kelemahan pada dirinya) ataupun negara dianggap tidak mau menjaga keamanan rakyatnya (negara kontra rakyat). 91 Lembaga ini berorientasi kepada mazhab Jepang. Namun sebagaimana ditegaskan dalam sejumlah tempat
dalam penelitian ini kedua mazhab berada pada pijakan yang sama yakni redefinsi konsep kedaulatan negara
bangsa sekaligus menekankan pada aktor baru non negara (komunitas internasional) sebagai aktor utama
penegakan keamanan global. Jadi kedua mazhab sebenarnya saling memperkuat satu sama lain dalam konteks
ini.
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
34
keamanan warganya sudah tidak relevan lagi di era kontemporer (abad 21)92
. Sama dengan
alasan Heinbecker, CHS juga menekankan realitas adanya sejumlah negara yang dianggap
gagal dalam melakukan tugas penyediaan keamanan sehingga merugikan warganya. Solusi
yang ditawarkan oleh CHS sangat jelas yakni mengubah referent object (obyek yang harus
dilindungi) dari negara ke individu. Sehingga individu dapat lebih dijamin keamannya93
.
Perubahan tersebut tentunya otomatis meredefinisi kedaulatan negara bangsa dan perlunya
pembuatan skema khusus yang memungkinkan bantuan penciptaan kemanan dilakukan oleh
aktor non negara (komunitas internasional)94
Berbeda dengan cara pandang yang ditawarkan oleh literatur ala Heinbecker dan
CHS, disadari atau tidak telah muncul literatur yang memberikan informasi penting adanya
gugatan terhadap implikasi konsepsi Human Security terhadap konsepsi westphalia tersebut.
Namun perlu ditegaskan kembali bahwa dapat dikatakan banyak karya yang mengandung
informasi penting ini sejatinya juga tidak bermaksud mengkritik human security, namun
justru membelanya.
Salah satu literatur yang memenuat informasi penting ini misalnya karya Shahrbanou
Tadjbakhsh &Anuradha Chenoy. Dalam karyanya sejatinya Tadjbakhsh & Chenoy
bermaksud mendukung gagasan human security. Namun sadar atau tidak dalam karya dua
akademisi tersebut memuat opini lain yang mempertanyakan implikasi dari gagasan human
security tersebut. Opini lain yang dimaksud ialah kedasaran diantara kedua akademisi
tersebut bahwa sejatinya gagasan human security potensial bias barat (terkhusus yang
berorientasi freedom from fear/ mazhab Kanada). Bahkan Tadjbakhsh & Chenoy
memberikan informasi penting mengenai sikap negara G77 yang pernah menyatakan
kecurigaan akan gagasan human security yang dianggap dapat menjadi teknologi kuasa baru
bagi Barat untuk mengintervensi dunia ketiga95
. Namun dalam artikel tersebut Tadjbakhsh &
Chenoy berupaya menepis opini lain tersebut, seraya menyatakan gagasan human security
sebenarnya justru menguntungkan dunia ketiga yang menginginkan agar masalah non militer
92 Commission on Human Security. 2003. Human Security Now. New York: Commission on Human
Security,hlm. 2 93Ibid 94 Dalam istilah CHS: “The security of one person, one community, one nation rests on the decisions of many
others”. Lihat Ibid Many others disini tentunya bermakna komunitas internasional, sebagaimana tercermin dengan jelas di dalam
karya CHS yang berulangkali disebut. Selain istilah komunitas internasional dalam karya CHS juga digunakan
istilah “interlinked world” yang tentunya semakin menambah keyakinan akan bangkitnya orde keamanan baru
yang berbasis kesepakatan di level internasional, bukan lagi urusan negara per negara. 95 Tadjbakhsh, Shahrbanou &Anuradha Chenoy. 2007. Human Security: Concepts and implications. New York:
Routledge,hlm. 35
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
35
lebih diperhatikan dalam pembicaraan keamannan internasional -secara khusus persoalan
pembangunan dunia ketiga-96
.
Dari keterangan diatas terlihat jelas bahwa Tadjbakhsh & Chenoy berusaha
memadamkan kecurigaan dan kekhawatiran negara G77 akan potensi negatif dari
kemunculan gagasan Human Security. Dengan lihau Tadjbakhsh & Chenoy berupaya
mengalihkan dan kemudian memframing pembicaraaan dengan menekankan soal non militer
(pembangunan dunia ketiga) sebagai isu keamanan yang lebih diinginkan untuk dibicarakan
dunia ketiga dalam forum internasional, tidak melulu soal militer. Agumen Tadjbakhsh &
Chenoy yang seakan membela negara dunia ketiga sejatinya mengandung kekeliruan besar.
Memang benar Human Security membuka peluang bagi pembicaraan keamanan yang
berspespektif non militer. Namun bukankan Human Security di level global berpijak di atas
redefinisi konsep kedaulatan negara bangsa? Jika peluang ini dibuka bukankah potensial
memberi ruang bagi berkembangnya mazhab freedom from fear yang Tadjbakhsh & Chenoy
sendiri memandang bias barat? Apakah ada jaminan pembahasan non militer yang akhirnya
mendominasi pembicaraan keamanan global diantara negara bangsa dunia?97
. Permasalahan
itulah yang seharusnya menjadi titik pembahasan terlebih dahulu, tidak sebagaimana
dilakukan Tadjbakhsh & Chenoy dengan memindah pembicaraan ke isu keamanan yang
bercorak non militer. Bahkan jikalau pembahasan berhasil diarahkan ke isu kemanan non
militer -dalam hal ini pembangunan98
-, maka apakah secara otomatis negara dunia ketiga
menjadi diuntungkan dengan hal tersebut? Sekali lagi perlu ditegaskan implikasi gagasan
Human Security di level global adalah meredefinisi konsep kedaulatan negara bangsa.
Dimana aktor luar (komunitas internasional) bahkan diposisikan lebih linggi dari negara
bangsa. Maka apakah bisa dijamin pembangunan ala komunitas internasional bakal
bermanfaat bagi dunia ketiga? Sisi kelam teori modernisasi dan governance -yang telah
dibahas dalam paper ini- menjadi pelajaran penting untuk selalu kritis terhadap berbagai
gagasan asing yang mengusung tema pembangunan bagi negara dunia ketiga99
.
96Ibid 97 Faktanya hingga hari ini justru wajah Human Security yang dianggap paling nyata di dunia internasional ialah
mazhab Kanada yang notebene dekat dengan isu militer lewat instrumennya bernama Responsibility to Protect
(R2P) 98 Model pembangunan (non militer) inilah yang menjadi pusat perhatian mazhab Jepang 99 Paper ini tidak membicarakan mengenai sisi non militer (khsuusnya pembangunan) dari gagasan Human
Security yang notabene masuk dalam domain mazhab Jepang. Tentunya ini merupakan tema penelitian
menarik yang dapat dikembangkan di masa depan untuk mengkaji secara kritis arah pembangunan ala
mazhab Human Security versi Jepang/ freedom from want yang juga didukung oleh lembaga
internasional semacam UNDP
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
36
Meskipun peneiti tidak sepakat dengan argumen pribadi yang diwacanakan
Tadjbakhsh & Chenoy, namun tidak bisa dipungkini nilai penting dari karya Tadjbakhsh &
Chenoy yang membuka mata mengenai adanya suara lain yang menggugat klaim netralitas
yang diusung oleh gagasan Human Security. Penelitian ini sendiri mengambil sikap sejalan
dengan “suara lain” yang hadir dalam karya Tadjbakhsh & Chenoy, dimana memandang
human Security secara umum di level global secara kritis. Namun sebagaimana misi awal
penelitian, studi ini akan dibatasi hanya pada telaah kritis salah satu instrumen penegakan
Human Security bernama Responsibility to Protect (R2P), yang hingga kini berkedudukan
sebagai instrumen utama penegakan human security secara global.
Tabel 1.2
Rumpun Literatur yang membahas Human Security
N
o
Penulis Corak Literatur Human Security
Konteks Global KonteksLokal
Pro (Redefinisi
konsep
kedaulatan
negara
bangsa)
Memuat
suara lain
(kritis
terhadap
redefinisi
konsep
kedaulata
n negara
bangsa)
Security Sector
Reform (SSR)
Keamanan
berbasis
Kesejahteraan
(non militer)
1 Cornelis
Lay
Membahas
mengenai SSR di
sektor intelejen.
Intelejen menjadi
penting untuk
dibenahi agar
eksistensinya
jangan
disalahgunakan
untuk
membahayakan
keamanna
manusia. Lay
menawarkan
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
37
reformasi intelejen
(indonesia)
dengan dua
mekanisme yakni:
1.) pembenahan
pada level
organisasi,misalny
a penegasan ranah
mana yang
merupakan hak
intelejen dan
ranah mana yang
merupakan hak
penegak
keamanan lain
semisal polisi.
Tidak boleh
masing-masing
pihak melanggar
batasan ranah
tersebut. lewat 2.)
pembenahan pada
level individu,
meislanya
merencang standar
baku kerja seorang
agen. Agar di
lapangan tidak
bertindak semena-
mena
2 Internationa
l Crisis
Group
(ICG)
Membahas
mengenai SSR di
sektor kepolisian.
Kepolisian
menjadi penting
untuk dibenahi
agar eksistensinya
benar-benar
memberikan rasa
aman pada rakyat
(konteks
indonesia). ICG
menawarkan
reformasi intelejen
(indonesia)
dengan dua
mekanisme yakni:
1.) pembenahan
pada level
organisasi,misalny
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
38
a penegasan ranah
mana yang
merupakan hak
intelejen dan
ranah mana yang
merupakan hak
penegak
keamanan lain
semisal polisi.
Tidak boleh
masing-masing
pihak melanggar
batasan ranah
tersebut. lewat 2.)
pembenahan pada
level individu,
meislanya
merencang standar
baku kerja seorang
agen. Agar di
lapangan tidak
bertindak semena-
mena. ICG salah
satunya
menawarkan
solusi pengawasan
polisi oleh
lembaga eksternal
(yang tentunya
juga harus
diperkuat) semaca
ombudsman dan
kelompok
masyarakat sipil
lain
3 Dimas P
Yudha
Membahas
mengenai SSR di
sektor militer.
Militer menjadi
penting untuk
dibenahi agar
eksistensinya
mendukung
keamanan rakyat,
bukan sebaliknya
menjadi musuh
rakyat. Yudha
mengapresiasi
langkah reformasi
yang telah
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
39
dilakukan selama
ini seperti
penghapusan
dwifungsi ABRI,
pemisahan tugas
kepolisian dan
TNI, netralitas
TNI dalam
pilkada. Namun
Yudha juga
mendorong
reformasi tidak
cukup sampai di
level itu saja.
Misalnya ia
menegaskan
pentingnya
pendisiplinan
bisnis-bisnis
militer. Dimana
alasan bisnis
itulah yang
potensial
menyebabkan
militer justru
berhadapan
bahkan
menggunakan
keekrasan kepada
rakyat di berbagai
wilayah. Atau
dengan kata lain
militer justru aktor
penyebab
ketidakamanan
warga.
4 Yohanes
Sanak
Human Security
(versi mazhab
Jepang/berbasis
pembangunan)
menjadi gagasan
esensial yang harus
diintegrasikan dalam
konsep keamanan
nasional (dalam hal
ini Indonesia),
terkhusus mengenai
konsep keamanan
perbatasan. Jika
diterapkan secara
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
40
khusus di wilayah
perbatasan akan
meningkatkan
ketahanan
Indonesia, karena
dengan kondisi
rakyat yang
sejahtera
dibayangkan akan
meningkatkan rasa
cinta tanah air
mereka. Kekuatan
rakyat inilah yang
diharapkan mampu
menjadi benteng
kuat penegakan
kemanan di
Indonesia,khususnya
a perbatasan.
5 Paul
Heinbecker
(pro
mazhab
Kanada)
Perlunya
redefinisi ulang
konsep
kedaulatan
negara bangsa
di era
kontemporer.
Alasannya
akibat
fenomena
negara gagal
yang notebene
tidak mampu
lagi
menyediakan
fungsi
keamanan bagi
warganegarany
a. Redefinisi
inilah yang
mampu
ditawarkan
Human
Security,
dimana
memungkinkan
terbukanya
ruang bagi
aktor non
negara untuk
terlibat aktif
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
41
menyediakan
keamanan
warga dunia.
6 Commision
on Human
Security
(pro
Mazhab
Jepang)
Sejalan dengan
Heinbecker.
Human Security
dinyatakan
sebagai konsep
kemanan abad
21.
Eksistensinya
penting untuk
memastikan
perlindungan
pada individu
yang seringkali
tidak mendapat
perlindungan
memadahi dari
negara
7 Tadjbakhsh
&Chenoy
Kedua akademisi
sadar adanya
potensi bias
kepentingan Barat
pada gagasan
Human Security
terkhusus dalam
gagasan freedom
from fear, bahkan
memberikan
informasi
kekhawatran
serupa juga pernah
dilontarkan negara
G77. Namun
keduanya sepakat
untuk mengajak
pada pembacanya
tetap optimis
terhadap
eksisitensi Human
Security.
1.5. Kerangka Teori
Guna melakukan telaah kritis terhadap gagasan Human Security yang dipandang
nirkepentingan dan normatif, namun sejatinya menyimpan aspek kuasa terselubung dapat
dijelaskan dengan bantuan teori Foucault tentang kuasa/pengetahuan ditambah dengan
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
42
konsepsi biopower. Sebelum membahas mengenai penggabungan dua teori yang sama-sama
dicetuskan oleh Foucault tersebut ada baiknya menjelaskan secara ringkas apa yang menjadi
gagasan utama kedua teori tersebut. Setelah penjelasan masing-masing teori kemudian
dilanjutkan dengan pemaparan penggunaan dua teori tersebut untuk kepentingan riset dalam
tulisan ini.
1.5.1 Kuasa/Pengetahuan Foucault
Salah satu sumbangan berharga Foucault dalam dunia akademik adalah idenya
tentang kuasa/pengetahuan. Bagi Foucault kuasa dan pengetahuan memiliki hubungan yang
saling mengisi atau saling terkait, dalam artian pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari kuasa
tertentu dan pengetahuan juga membentuk kuasa tertentu100
. Sebuah poin penting terkait
pengetahuan ini cenderung terlihat netral, tidak menyimpan kuasa, dan normatif. Foucault
sendiri menganalisis kelahiran pemerintahan liberal yang muncul di Eropa tidak dapat
dilepaskan dari kemunculan pengetahuan tertentu, dimana salah satu pilarnya adalah
perkembangan ilmu-ilmu sosial101
.
Sebuah contoh menarik mengenai kuasa yang mampu mendorong perubahan sosial
ditunjukkan dalam penelitian Walter d. Mignolo mengenai upaya dekolonialisasi konsep
tanah yang dilakukan di Amerika Latin. Menurut Mingono selama ini konsep yang
berkembang secara global dan juga berpengaruh besar di Amerika latin tentang tanah
didominasi gagasan kapitalis liberal dan komunisme. Konsepsi tanah dalam dominasi
paradigma liberal mengandaikan tanah adalah properti privat dari individu atau korporasi.
Sedangkan tanah dalam paradigma komunisme diyakini sebagai milik negara, dan tidak ada
hak kepemilikan di tangan individu. Walaupun negara dapat mengalokasikan tanah kepada
komunitas tertentu, tetapi tetap hak milik masih berada di tangan negara102
.
Keberadaan dua konsepsi tersebut dianggap bertentangan dengan konsepsi tradisional
masyarakat Amerika Latin dalam memandang tanah. Menurut mereka tanah bukan
merupakan milik negara ataupun individu, karena tanah tidak bisa menjadi hak milik
100 Konsepsi ini secara tegas dinyatakan oleh Foucault: “power and knowledge directly imply one another; that
there is no power relation without the correlative constitution of a field of knowledge, nor any knowledge that
does not presuppose and constitute at the same time power relations”. Lihat Foucault, Michel. 1995. Discipline
and Punish: The Birth of the Prison. New York: Vintage Books, hlm.27 101Lihat Howe, Adrian. 1994. Punish and Critique: Towards a Feminist Analysis of Penality. New York:
Routledge,hlm.72-73 dan Hindess, Barry. 1998. Knowledge and Political Reason. Dalam Nola, Robert (ed).
Foucault. New York: Routledge,hlm. 64 102Mignolo, Walter D. 2008. Preamble: The Historical Foundation of Modernity/Coloniality and the Emergence
of Decolonial Thinking. Dalam Klaren, Sara Castro (ed). A Companion to Latin American Literature and
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
43
siapapun. Mignolo menambahkan bahwa secara realitas, upaya mengubah konsepsi ini sudah
dicoba oleh Evo Morales yang melakukan renegosiasi dengan sejumlah perusahaan gas alam
dan Cola mengenai masalah lahan yang ditempatinya103
.
Poin penting dari kajian Mignolo ialah bahwasanya wacana mengenai tanah yang
didominasi paradigma liberal atau komunis berimplikasi pada banyak hal. Sebagai contoh
jika paradigma yang berkembang tentang tanah didominasi komunis tentunya berimplikasi
pada banyak hal terkait seperti kewenangan negara, relasi negara-rakyat, dan hak milik.
Negara memiliki kewenangan yang kuat karena sebagai satu-satunya aktor yang memiliki
hak atas tanah. Tentunya kondisi ini memicu bentuk relasi negara-rakyat yang khas. Begitu
juga dengan model liberal, tentunya akan menimbulkan berbagai realitas baru, seperti
munculnya berbagai institusi terkait sertifikasi tanah.
Dalam konteks Bolivia misalnya, sebelum Morales memimpin, konsepsi dominan
tentang tanah (dipengaruhi paradigma liberal) dengan jelas merubah drastis realitas sosial
yang ada di negara tersebut. Dimana masyarakat tradisional yang memiliki konsepsi tanahnya
sendiri, menjadi terpinggirkan karena tanah yang dulu tidak dimiliki sia-siapa kini menjadi
rebutan kalangan berpunya (individu atau peruasahaan) untuk kepentingan mereka104
. Namun
karena adanya wacana yang membentuk rezim kebenaran maka seakan akan proses tersebut
absah.
Foucault juga memberikan penekanan bahwa pengetahuan tidaklah lahir dari ruang
hampa. Pengetahuan itu juga dibentuk oleh kuasa yang memiliki historisitas tertentu. Sebagai
contoh nyata adalah wajah ilmu sosial Indonesia terkhusus di Era Orde Baru yang dapat
dikatakan didominasi pandangan Amerika sentris. Wajah ilmu sosial tesebut tidak dapat
dilepaskan dari kepentingan AS yang dalam percaturan internasional tengah menghadapi
lawan besarnya yakni Uni Soviet. Kedua negara tersebut berupaya berebut pengaruh agar
makin banyak negara dunia yang berhasil masuh dalam pengaruhnya. AS sendiri melihat
bahwa dunia ketiga, temasuk Indonesia menjadi penting untuk dirangkul agar tidak jatuh ke
tangan komunis Uni Soviet105
. Salah satu langkah yang ditempuh AS ialah memberikan
sejumlah beasiawa kepada intelektual Indonesia untuk menempuh studinya di sejumlah
universitas terkemuka di AS. Perlu dicatat bahwa stetagi ini tidak hanya dilakukan melalui
103Ibid,hlm.19 104Sebagai contoh tercatat hanya sekitar 50.000 keluarga yang mampu mengakses 90% tanah produktif di
Bolivia. Jutaan lainnya tidak memiliki akses kepada tanah tersebut, kalaupun ada hanya memiliki akses yang
relatif kecil. Lihat Veltmeyer, Henry. 2007. On the Move: The Politics of Social Change in Latin America.
Ontario: Broadview Press, hlm.159-160 105Samuel, Hanneman. 2010. Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial Indonesia Dari Kolonoalisme Belanda hingga
Modernisme Amerika. Depok: Penerbit Buku Kepik Ungu,hlm.101
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
44
pemerintah, tetapi juga berkat kerja yang dilakukan lembaga non pemerintah seperti Ford
Foundation106
.
Pemberian beasiswa tesebut tebukti berhasil, dimana sejak masa Sukarno upaya
Amerikanisasi ilmu sosial telah mulai dirintis. Sebagai contoh di kalangan sosiolog Indonesia
sejumlah pandangan khas Amerika seperti parsoanian dan teori modernisasi mulai
disebarluaskan. Di masa Orde Baru proses ini semakin masif karena jaringan yang solid
sudah terbentuk, salah satunya melalui jaringan pusat studi Indonesia di tiga universitas AS
(Yale, Cornell, dan MIT)107
. Salah satu dampak dari Amerikasisasi ini salah satunya nampak
mempengaruhi cara pandang tentang pembangunan ekonomi yang banyak dipengaruhi
“mafia Berkeley”.
1.5.2 Biopower Foucault
Pembicaraan mengenai biopower tidak dapat dilepaskan pula dari nama Michel
Foucault, yang karya-karyanya tidak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang masalah
kekuasaan dan pendisiplinan. Terkait dengan definisi biopower dari Foucault sendiri dapat
dikatakan kurang jelas, namun sebagaimana dikatakan oleh Jen Pylypa, istilah biopower
berkonotasi menggambarkan sebuah kekuasaan yang cakupannya sangat luas sebagai berikut:
“power as dispersed throughout society, inherent in social relationships, embedded in a
network of practices, institutions, and technologies--operating on all of the "microlevels" of
everyday life”108
. Istilah ini dipakai Foucault untuk menggambarkan model kekuasaan baru
yang tumbuh di Eropa pada abad modern yang berbeda dengan kekuasaan model militer109
.
Istilah biopower sendiri seringkali mengalami kekaburan karena bersinggungan
dengan istilah Biopolitics yang sama-sama dinyatakan oleh Foucault. Sebagai ilustrasi dalam
catatan kali buku Security, Territory, Population dinukilkan ucapan Foucault dalam buku
“La Volonté de savoir” (Sejarah Seksualitas), dimana ia menggunakan kedua istilah tersebut
secara bersamaan dalam konteks pemaknaan yang sama: “What does this new technology of
power, this biopolitics, this bio-power that is beginning to establish itself, involve110
?”.
Bertolak dari pemakaian Foucault sendiri yang tumpang tindih maka dalam penelitian ini
istilah Biopower atau Biopolitics dianggap sama.
106Ibid,hlm.109-110 107Ibid,hlm.116 108 Pylypa, Jen. 1998. Power And Bodily Practice: Applying the Work of Foucault to an Anthropology of The
Body. Dalam Arizona Antropologist Volume 13,hlm.21 109Ibid 110 Foucault, Michel. 2007. Security, Territory, Population (Lectures at the College de France). New York:
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
45
Lalu apakah Biopower atau Biopolitic itu? Dapat dikatakan Biopower ialah teknologi
kuasa yang objeknya adalah masyarakat (society)111
. Stategi ini sebenarnya lebih tepat
dinyatakan sebagai perluasan teknologi kuasa “lama” yang pernah diperbincangkan Foucault
dalam sejumlah karyanya yakni teknologi kekuasaan pada level individu (yang sering
diistilahkan sebagai “anatomo-politics” atau “disciplines”)112
.
Jika fokus anatomo-politics pada upaya penciptaan identitas, norma, bahkan hasrat
tertentu yang berfungsi menciptakan individu yang patuh113
, atau seringkali diistilahkan
“docile body” (tubuh yang jinak) maka biopower bertujuan menciptakan sebuah equirilibium
(homoeostatis) atau “kenormalan” dalam sebuah populasi. Diantara contoh biopower ini
seperti kebijakan pro-natalis dan pencegahan endemi dalam sebuah populasi114
.
Sebagai ilustrasi bekerjanya biopower digambarkan secara menarik oleh Clare
Hanson yang memotret bekerjanya biopower di Inggris di tahun 1949. Paska Perang dunia II,
Inggris mengalami masalah kependudukan dimana laju pertumbuhan penduduk mengalami
penurunan. Pemerintah Inggris yang khawatir tentang masalah pertumbuhan membuat sebuah
badan yang dianmakan Royal Commision on Population. Menarik mencermati apa yang
diwacanakan oleh lembaga tersebut di bawah payung sebuah slogan besar yaitu “vitalitas
populasi Inggris”115
. Slogan tersebut memiliki dua katogorisasi spesifik untuk mendefinisikan
apa yang disebut “vitalitas populasi”, yaitu vitalitas secara kualitatif dan kuantitafif.
Guna mewujudkan impian “vitalitas populasi Inggris”, Royal Commision on
Population menyebarkan wacana bahwa dibandingkan dengan populasi Inggris, populasi di
negara oriental (timur) meningkat pesat, dan dapat menjadi tantangan bagi dunia Barat116
.
Asumsinya karena bangsa barat (termasuk warga Inggris) merasa “terancam” akan segera
berfikir untuk meningkatkan populasi mereka dengan semakin memperbanyak keturunan117
.
Apabila mencermati penjelasan Clare Hanson diatas dapat disimpulkan bagaimana
dampak pewacanaan tersebut pada masyarakat Inggris. Masalah berapa jumlah anak atau
111 Biebricher, Thomas. 2011. The Biopolitics of Ordoliberalism. Dalam Foucault Studies No 12,hlm. 174 dan
Friedner, Michele. 2010. Biopower, Biosociality, and Community Formation: How Biopower is Constitutive of
the Deaf Community. Dalam Sign Language Studies Vol.10 No.3 ,hlm. 340 112 Biebricher, Thomas. 2011.Op.cit 113 Takeshita,Chikako. 2012. The Global Biopolitics Of The IUD : How Science Constructs Contraceptive Users
And Women’s Bodies. London: The MIT Press,hlm. 21 114Hanson, Clare. Biopolitics, Biological Racism and Eugenics. Dalam Morton, Stephen and Stephen Bygrave
(ed). 2008. Foucault in an Age of Terror: Essays on Biopolitics and the Defence of Society. New York: Palgrave Macmillan. hlm.106-107 115Ibid. hlm. 109 116Ibid.hlm. 108-109 117 Sebaliknya cara berfikir terbalik juga dapat muncul dari pewacanaan semacam ini, yakni bagaimana Inggris
(dan Barat) berupaya menciptakan “normalitas” populasi bangsa non Barat agar gap diantara kedua populasi
(Barat-non Barat) tidak semakin melebar dan potensial mengancam dunia Barat.
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
46
masalah kehamilan yang semula dalam ruang privat berubah menjadi masalah pubik ketika
wacana Royal Commision muncul. Tentunya sebagai dampak dari wacana tersebut
pemerintah dilekatkan hak (kuasa) guna menginfiltrasi kehidupan masyarakat ke level yang
lebih dalam, baik masyarakat Inggris sendiri atau masyarakat Timur yang diposisikan sebagai
“ancaman”. Nyatanya dalam konteks campur tangan pemerintah terhadap masalah kehamilan
di luar negeri hingga saat ini masih terjadi.
Satu fakta menarik yang patut untuk dikaji ialah hingga saat ini Inggris mendanai
proyek strelisiasi paksa yang dilakukan oleh pemerintah India. Fakta ini salah satunya
dijelaskan secara terperinci oleh seorang peneliti London School of Economics and Political
Science (LSE) bernama Kalpana Wilson. Menurut kajian Wilson, kebijakan yang telah
berlangsung sejak tahun 1970an tersebut dipenuhi oleh sejarah kekerasan, kematian, dan
berbagai penipuan. Semisal di tahun 70an, banyak lelaki India yang menjadi korban
“penculikan” oleh aparat negara dan dipaksa untuk melakukan vaksetomi di kamp-kamp
sterilisasi118
.
Tidak hanya laki-laki, perempuan juga menjadi korban –bahkan dapat dikatakan lebih
parah-. Seringkali mereka menjadi korban penipuan dengan diiming-imingi sejumlah reward
jika melakukan sterilisasi, dalam keadaan lain mereka diancam tidak mendapatkan sejumlah
akses program pemerintah terkait kesejahteraan (welfare), bahkan tidak jarnag sebagaimana
kaum laki-laki disana mereka dibawa paksa ke kamp untuk kemudian dilaksanakan
sterilisasi119
. Lebih menyedihkan lagi menurut temuan Wilson, kondisi kamp tidaklah baik
sehingga tidak jarang banyak wanita yang menjalani operasi di sana berakhir dengan
kematian120
. Tentu saja kenyataan semacam ini tidak diperlihatkan oleh Inggris. Wajah
“kehidupanlah” yang diperlihatkannya. Semisal dengan mewacanakan “hak-hak reproduksi”,
padahal menurut Wilson sejatinya rasisme dan partiarkal121
.
Kenyataan menyedihkan tersebut menurut Wilson tidak menyurutkan Inggris terus
menggelontorkan dana kepada pemerintah India melalui The Department for International
Development (DFID) guna membiayai kebijakan tersebut122
. Alasan pembiayaan terus
menerus ini tentunya sangat terkait dengan ketakutan demografi yang dihadapi Inggris pasca
118 Wilson, Kalpana. 2014. Britain Must End Its Support For Sterilisation In India Diakses di
sterilisation-camp-deaths/ pada tanggal 25 November 2015 pukul 10.41 WIB 119 Ibid 120 Ibid 121 Wilson, Kalpana. 2014. Britain’s Population Policies Are Fuelling Atrocities Like India’s Sterilisation Camp
Deaths. Diakses di http://blogs.lse.ac.uk/southasia/2014/11/20/britains-population-policies-are-fuelling-
atrocities-like-indias-sterilisation-camp-deaths/ pada tanggal 25 November 2015 pukul 10.42 WIB 122 Ibid
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
perang dunia II. Sebagaimana dibahas sebelumnya, Inggris ketakutan jika populasi dunia
Timur, termasuk India yang merupakan negara bekas jajahannya dapat menjadi pesaing bagi
dunia Barat123
. Selain itu meningkatnya populasi dunia tentunya akan semakin berimplikasi
pada pemakaian sumber daya alam dunia. Tentunya Inggris akan lebih memilih populasi
Inggris yang menikmati sumber daya itu dibandingkan dengan warga dunia Timur124
.
Kasus diatas menunjukkan bagaimana mengerikannya kuasa biopower. Seakan
muncul dengan wajah “kehidupan” yang berupaya membenahi populasi Inggris paska perang
dunia II yang tentunya mengalami penurunan drastis dan kualitas yang buruk akibat perang.
Namun wajah “kematian” sekaligus menyertainya, dimana salah satunya terbukti dari
kebijakan bantuan sterilisasi Inggris untuk menghalangi sebisa mungkin meningkatnya
populasi di dunia Timur (termasuk India yang merupakan wilayah jajahannya) agar tercipta
demografi yang “normal” antara warga Inggris (dan Barat lain) dengan warga Timur.
Poin penting yang perlu ditekankan pada biopower ini ialah pembacaannya yang kritis
dalam melihat kuasa besar di balik pengaturan populasi. Sebagaimana dipahami bahwa
biopower memiliki tujuan menciptakan homoeostatis atau “kenormalan” di level masyarakat
(populasi). “Kenormalan” yang dimaksud seakan bernuansa positif, yakni meningkatkan
kualitas populasi, yang dalam istilah Foucault “power to make live125
”. Dalam kasus Inggris
diatas, pemerintah punya hak memastikan kuantitas dan kualitas populasi Inggris. Guna
mencapai tujuan tersebut maka dibutuhkan intervensi di tingkat populasi. Padahal intervensi
ini hakikatnya bagai dua sisi koin, dimana satu sisi terkait dengan wajah “kehidupan” namun
pada sisi lain terkait dengan wajah “kematian”. Maksud dari dua sisi tersebut ialah guna
menjamin “kenormalan” pada populasi maka berbagai intervensi yang notabene bertentangan
dengan “kehidupan”, seperti penolakan, hukuman, bahkan memusnahkan menjadi legal untuk
123 Tidak heran AS sebagai aktor kuat dunia Barat saat ini menggantikan Inggris juga terlibat aktif mendanai
sterilisasi paksa di India ini lewat mekanisme USAID. AS sendiri melalui mekanisme USAID hanya
mementingkan hasil (melalui sistem kuota). Sehingga dapat dikatakan keadaan manusia (khususnya wanita)
India tidak lain diyakini layaknya benda mati, tidak punya pilihan. Ukuran kuota berapa banyak yang sanggup
disterilisasi dalam kurun waktu tertentu yang menjadi ukuran. Bukan mau tidaknya sang pasien, bagaimana
kondisi kamp, cara seperti apa yang harus dilakukan agar target kuota terpenuhi tidak menjadi hal yang penting
bagi AS. Lihat Celeste McGovern. No date. USAID Funding of Sterilization Camps in India. Shenandoah
Valley: The Population Research Institute,hlm.14-15
Perlu ditambahkan, tentunya AS maupun Inggris beserta “partnernya”, yakni pemerintah India tidak
menunjukkan wajah “kematian”nnya dalam melakukan sterilisasi paksa ini. Sebagaimana yang ditegaskan 124 Menariknya program pengurangan populasi global lewat program sterilisasi (yang dalam konteks
indonesia dikenal dengan nama KB) termasuk instrumentasi penegakan Human Security yang diusung dalam
laporan UNDP tahun 1994. Sehingga menarik pula untuk menjadi topik penelitian ke depan untuk
mencermati proyek sterilisasi ini. 125Foucault, Michel. 2003. Society Must Be Defended Lectures At The College De France 1975-1976. New
York: Picador,hlm. 247
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
48
memastikan kehidupan tersebut126
. Menjadi sebuah ancaman yang menakutkan ketika kuasa
“kematian” ini pada hakikatnya dilakukan oleh si pemegang kuasa (dalam konteks Inggris
pemerintah Inggris). Dialah yang memiliki kuasa penuh menentukan apa yang dianggap
membahayakan kondisi “kenormalan” populasi inggris sehingga bisa ditindak dengan
berbagai kebijakan yang “relevan”.
Sebuah contoh sederhana dapat memberikan gambaran mengenai dua wajah kuasa
biopower sebagaimana diisustrasikan oleh Foucault sendiri. Menurut Foucault kuasa
biopower secara nyata termanifestasi dalam negara Jerman Nazi. Kekuasaan Nazi sendiri
berpijak pada gagasan besarnya yakni meningkatkan taraf hidup populasi Jerman/bangsa
Arya. Tujuan tersebut jelas sejalan dengan konsepsi biopower yang bertujuan mengontrol
populasi agar mencapai homoeostatis. Dibungkus tujuan “mulia” tersebut (yang dapat
disebut “wajah” kehidupan) rezim NAZI secara otomatis terlekati kuasa “kematian”127
.
Dampaknya tentu dapat disaksikan bahwa Jerman Nazi berupaya menghapus sejumlah
“ketidaknormalan” pada sejumlah kalangan masyarakat–menurut anggapan rezim- dengan
cara membinasakannya agar tidak merusak populasi Jerman secara keseluruhan.
Contoh nyata Jerman dalam menghapus “ketidaknormalan” ini ialah kebijakannya
pada kalangan difabel. Kalangan difabel dianggap “mengotori” populasi “normal” bangsa
Arya, dan meningkatnya jumlah difabel tentunya akan semakin mempengaruhi komposisi
“normal” dan “tidak normal” dalam populasi Arya Jerman. Maka sejumlah kebijakan diambil
oleh Nazi untuk mengembalikan “kenormalan” populasi Arya dengan sejumlah cara, seperti:
pertama, sterilisasi bagi kalangan difabel. Langkah ini guna menghambat peningkatan
populasi difabel di masa mendatang. Kedua, eliminasi bagi kalangan difabel. Sejumlah cara
ditempuh Nazi untuk mengeliminasi difabel. Tercatat pembunuhan bayi yang lahir dalam
keadaan difabel sebagai langkah utama, dibarengi dengan sejumlah langkah lain seperti
memberi obat atau suntikan racun (euthanasia) bahkan memebiarkannya kelaparan sampai
mati128
.
Tidak terbatas pada kaum difabel saja, sejumlah kalangan yang mengidap penyakit
tertentu juga dianggap “membahayakan” populasi, sehingga perlu diambil tindakan dengan
mengeliminasi mereka. Tercatat Nazi menganggap sejumlah penyakit seperti sipilis, epilepsi,
126Ibid,hlm.254-256 127Ibid,hlm.256-260 128 Friedlander, Henry. 1995. The Origins Of Nazi Genocide : From Euthanasia To The Final Solution. Chapel
Hill ; London : University North Carolina Press, hlm. 151 dan Branson, Jan & Don Miller. 2002. Damned For
Their Difference : The Cultural Construction Of Deaf People As "Disabled" : A Sociological History.
Washington, D.C. : Gallaudet,hlm. 33
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
49
dan shizophernia sebagai “perusak” populasi, dan individu yang dianggap mengidapnya akan
dihabisi. Langkah ini direalisasikan Nazi dengan nama operasi T4, dimana dilaksanakan di
ibukota Jerman Berlin. Cap “normal” atau “tidak” akan diberikan oleh dokter-dokter T4 pada
individu, dan siapa yang mendapat cap “tidak” maka akan dihabisi dengan menggunakan
kamar gas129
.
Tindakan Nazi tersebut dapat dikatakan sebagai perwujudan yang dapat ditemukan
sebagai manifestasi biopower di dunia ini, dimana ia memiliki kuasa “kehidupan” yang
berada pada sisi depan sebuah koin (yang nampak di permukaan) dan kuasa “kematian” yang
berada pada sisi belakang sebuah koin (yang tidak nampak di permukaan). Maka tidak heran
Foucault memberikan penekanan penting pada kuasa terselubung yang hadir di balik wajah
“indah” biopower dengan ungkapan “if you want to live, the other must die130
”, yang
mengambarkan relasi tak terpisahkan dari dua kuasa tersebut.
Secara mudah kuasa biopower sebagaimana dijelaskan panjang lebar diatas ialah
sebuah kuasa yang berbeda dengan model kuasa masa lalu (pra modern) yang “berwajah”
kematian. Contoh dari model kuasa model ini ialah kekuasaan ditandai dengan tentara,
hukuman mati, penjara, upeti, dan mekanisme lain yang sangat menyeramkan. Sehingga
ketundukan pada kuasa dikarenakan ketakutan seseorang pada mekanisme-mekanisme kuasa
tersebut. Berbeda dengan kuasa masa lalu, biopower yang memiliki wajah yang berbeda 180
derajat. Kuasa biopower merupakan jenis kuasa masa kontemporer (modern). Kuasa ini justru
menampilkan “wajah” kehidupan, bukannya kematian. Walaupun secara hakikat “wajah”
kematian tetap hadir di balik “wajah” kehidupan.
Contoh dari model kuasa ini terlihat dari cara NAZI membangun kekuasaannya.
NAZI berpijak pada gagasan perbaikan bangsa Jerman sehingga menjapai fase yang lebih
baik. Sebuah gagasan yang nampaknya indah di permukaan. Namun sebagaimana dinyatakan
Foucault, “wajah” kehidupan ini sejatinya sekaligus membawa “wajah” lain yakni kematian.
Karena itulah NAZI dengan mudah mendapatkan legitimasi luas dari rakyat Jerman untuk
membinasakan berbagai kelompok ras/individu yang tidak “normal” agar tujuan “mulia”
perbaikan bangsa Jerman tercapai. Istilahnya pengorbanan diperlukan demi kemajuan.
Dua teori yang telah dipaparkan diatas terbukti sangat bermenfaat untuk memudahkan
analisa terhadap gagasan Human Security secara kritis. Namun tentunya sebagaimana janji di
awal kedua terori tersebut haruslah dirangkai sedemikian rupa agar dapat membantu
129Poore, Carol. 2007. Disability in Twentieth-century German Culture. Ann Arbor : University of Michigan
Press,hlm.87 130Foucault, Michel. 2003. Society Must Be Defended Lectures At The College De France 1975-1976. New
York: Picador,hlm. 255
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
50
menghasilkan pembacaan yang kritis mengenai Human Security. Secara detail penggabungan
dua teori tersebut dapat disimak pada skema 1.1
Skema 1.1
Alur Berfikir
Human Security [konteks global]
sebagai bentuk pengetahuan
yang melahirkan kuasa ala
Foucault: Dimana termanifestasi
dari redefinisi konsep kedaulatan
negara bangsa dan hak bagi aktor
non negara (komunitas
internasional) untuk terlibat aktif
“memastikan kemanan” di suatu
negara
Implikasinya: Memungkinkan
negara yang memiliki power untuk
menjalankan ambisinya memformat
dunia berkedok perlindungan
keamanan manusia global dengan
justifikasi negara gagal menjaga
keamanan wilayahnya sendiri
Tantangan: Harus ada skema/
mekanisme/instumentasi yang
jelas untuk memastikan ambisi
negara yang memiliki power
tersebut terlaksana, namun
dengan “wajah” yang bersahabat
(Sebagai contoh saja: eksistensi
tambang diklaim sebagai
instumentasi kesejahteraan rakyat di
berbagainegara dunia ketiga
(termasuk Indonesia). Namun
faktanya demi elit lokal dan asing
saja. Rakyat menderita. Terjadi
kutukan sumber daya alam )
Responsibility to Protect (R2P) sebagai salah
satu instumentasi untuk mewujudkan ambisi
negara yang memiliki power tersebut dan
menjadi fokus penelitian ini
Instumen R2P sendiri merupakan hasil karya dari
mazhab Human Security ala Kanada yang
menekankan pada perlindungan manusia dari
ancaman konflik kekerasan
Melalui R2P opsi operasi militer dan pendudukan
wilayah oleh komunitas internasional atas nama keamanan manusia di sebah negara terbuka lebar
Misi Penelitian:
Melucuti “topeng” R2P:
Membuktikan bahwa
kepentingan negara yang
memiliki power menjadi
prioritas utama. Keselamatan
manusia di wilayah penerapan
R2P bukan merupakan
prioritas bahkan sama sekali
tidak dianggap penting jika
tidak berkesesuaian dengan
upaya mewujudkan
kepentingan negara yang
memiliki power.
Staretgi Penelitian: “Melucuti
topeng R2P”:
1.Menyingkap kepentingan
terselubung apa di balik suatu
misi R2P
2. Mencermati secara kritis
penerapan di lapangan apakah
kepentingan terselubung itu
yang menjadi prioritas atau
keamanan rakyat di wilayah
yang dilanda konflik-kekerasan
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
51
1.6. Metode Penelitian
1.6.1 Desain Penelitian, Teknik pengumpulan& Analisa data
Penelitian meilih menggunakan metode studi kasus sebagai desain penelitiannya.
Alasannya studi kasus dianggap sebagai meode yang sesuai dengan misi penelitian yakni
mengungkap sudut gelap penerapan salah satu Instrumen penegakan Human Security yakni
Responsibility to Protect (R2P) yang hingga kini menjadi manifestasi paling nyata atau dapat
pula dikatakan “wajah” dari Human Security global kontemporer. Studi kasus yang dimaksud
dalam penelitian ini mengikuti pendefinsian kasus yang dinyatakan oleh George & Bennet131
yakni “an instance of a class of events of interest to the investigator”132
. Dari pengertian
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya ada dua hal mendasar dalam penelitian studi
kasus merujuk pada mengertian George & Bennet, yakni: 1.) instance of a class of events,
yang mendakan bahwa dalam penelitian studi kasus diperlukan contoh kejadian yang jamak
namun saling terkait satu sama lain (ada benang merah pada kasus tersebut). 2.) interest to
the investigator, yang menandakan pemilihan kasus yang saling terkait itu ditentukan
sepenuhnya oleh subjektivitas sang investigator/ peneliti dengan alasan tertentu. Dimana
dalam hal ini tentunya terkait dengan tujuan peneitiannya.
Mencermati keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa studi kasus amat relevan
dengan tujuan peneitian ini yang ingin mengungkap sudut gelap penerapan R2P di lapangan.
Tentunya untuk memenuhi tujuan tersebut dibutuhkan sejumlah penenusuran aktivitas R2P di
lapangan yang tentunya terjadi dalam lingkup geografis yang beragam. Dengan skema studi
kasus sebagaimana didefinsikan oleh George & Bennet maka misi penelitian yang ingin
dicapai penulis dapat dikerangkai dengan baik. Dimana: Pertama, instance of a class of
events yang dimaksud oleh George & Bennet merujuk pada episode historis (sejarah) suatu
fenomena ilmiah yang terdefinisikan dengan baik133
. Dalam konteks penelitian ini berbagai
131 Bennet sejatinya menukil dari George. Namun dalam sejumlah referensi belakangan kedua nama tersebut
tidak dipisahkan karena Bennet sendiri mengafirmasi dan ikut serta mempopulerkan ide George. Sehingga
dalam penelitan ini nama George & Bennet dipakai secara bersama-sama. 132 Bennett, Andrew. 2002. Case Study Methods: Design, Use, and Comparative Advantages. Dalam Sprinz, D.
F., & Wolinsky, Yael. Cases, Numbers, Models: International Relations Research Methods. Ann Arbor:
University of Michigan Press,hlm. 28 133 ; George, Alexander L. & Andrew Bennett. 2004. Case Studies and Theory Development in the Social
Sciences. Cambridge: MIT Press,hlm. 18 Lihat pula: Levy, Jack S. 2009. Case Studies and Conflict Resolution.
Dalam Bercovitch, Jacob, Victor Kremenyuk & I William Zartman (ed). The SAGE Handbook of Conflict
Resolution. London: Routledge,hlm. 73; Llacay, Barbara & Gilbert Peffer. 2009. Foundation for A Framework
for Multiagent-Based Simulation of Macrohistorical Episodes in Financial markets. Dalam Hernandez, Cesareo,
Marta Posada& Adolfo Lopez-Paredes (ed). Artificial Economics. Heidelberg: Springer,hlm. 135
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
52
kasus lapangan penerapan R2P sejatinya dapat dimasukkan dalam satu ikatan (class) yang
berciri episode historis, dimana beragam penerapan R2P di lapangan yang sangat luas secara
geografis (Afrika, Asia, Eropa) merupakan sebuah narasi besar dari proses evolusi R2P dari
penciptaannya menuju proses mencapai “kesempurnaan”134
. Kedua, soal interest to the
investigator maka membuka peluang bagi peneliti untuk memasukkan kasus mana saja dalam
proses evolusi R2P tersebut yang dirasa sangat penting untuk membuktikan misi penelitian,
yakni menyingkap sisi gelap (implikasi negatif) eksistensi R2P. Tentunya pilihan yang
sifatnya subjektif tersebut haruslah dijustifikasi alasannya. Termasuk juga variabel apa yang
dipakai untuk mengamati kasus tersebut dan relasinya dengan teori yang digunakan dalam
peneitian ini.
Berbekal pendefinisian studi kasus ala George & Bennet maka dibutuhkan
rasionalisasi mengenai instance of a class of events apa untuk dipergunakan sebagai fokus
penelitian ini berikut alasannya. Sebagaiman dibahas dalam paragraf sebelumnya, peneitian
ini akan berfokus pada sebuah realitas bernama Responsibility to Protect (R2P), secara
spesifik mengenai penerapannya di lapangan. Dikarenakan misi penitian yang ingin
membuktikan bahwasanya R2P dalam penerapannya di lapangan tidak seindah yang
dipropagandakan selama ini (berimplikasi negatif) alias ingin mengungkap sisi gelap R2P
maka diperlukan sejumlah kasus yang cukup representatif untuk membuktikan hipotesis
tersebut. Sebagaimana ditegaskan oleh George & Bennet bahwa studi kasus terkait erat
dengan episode historis (sejarah) sedangkan penerapan R2P di lapangan secara faktual juga
terkait erat dengan episode historis tertentu yakni sejarah evolutif R2P menuju proses
“kesempurnaan” (1999-2011)135
, maka haruslah dipilih peristiwa penerapan R2P yang
“menonjol” atau mempunyai andil besar dalam mentukan sejarah evolusi R2P hingga fase
“kesempurnaan”. Penelitian ini sendiri akan mengambil sejumlah peristiwa historis
penerapan R2P sejak awal kelahirannya hingga tahap kesempuran dengan alasannya sebagai
berikut:
134 Satu tonggak besar dalam proses kesempurnaan ini ialah penerimaan luas dunia internasional di tahun 2005
dan pada akhirnya R2P dikenal sebagai wajah dari Human Security di level global. Sehingga R2P seakan telah
menjadi sinomin dari Human Security itu sendiri padahal sejatinya ia merupakan salah satu instumentasi Human
Security di level global. Dari sisi tersebut saja sudah sangat layak untuk menyebut R2P telah memasuki fase
kesempurnaan. Lihat secara lebih detail proses evolusi R2P hingga mencapai tahap “kesempurnaan” pada
bab III 135 Sebagai informasi penting, R2P dianggap mulai terbentuk atau lahir ketika terjadi intervensi NATO pada perang Kosovo pada tahun 1999. Sementara fase “kesempurnaan” R2P dapat dikatakan dimulai pada tahun 2005
ketika secara resmi dunia internasional menerima doktrin ini sebagai norma yang disepakai secara global. Fase
kesempurnaan menjadi utuh ketika terjadi krisis Libya di tahun 2011 yang berujung pada penerapan operasi R2P
di wialyah tersebut sebagai test case paska formalisasi R2P di tahun 2005, dan dianggap berhasil dengan
gemilang. Lihat secara lebih detail proses evolusi R2P hingga mencapai tahap “kesempurnaan” pada bab
III
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
53
Tabel 1.3
Lokasi Misi Responsibility to Protect (R2P) yang menjadi Fokus Kajian
Lokasi
Penerapan
Tahun Alasan
Kosovo 1999 Merupakan tonggak awal dimana ide
R2P muncul. Diklaim perang Kosovo
menajdi tonggak dimulainya era baru
perang humanitarian bukan
sebagimana perang lama -yang
bersifat destruktif, demi kepentingan
kejayaan bangsa tertentu-. Perang
bukan soal mengalahkan musuh tapi
keselamatan manusia136
Indonesia/Timor
Leste137
1999 Merupakan sebuah peristiwa penting
dalam sejarah evolusi R2P dimana
R2P diklaim mampu mengadirkan
kembali nuansa perang demi
humanitarian ala Kosovo. Peristiwa
Timor Leste ini sebagaimana
Kosovo, juga menandai bagaimana
komunitas internasional berfungsi
sebagai pemutus perselisihan
Indonesia-rakyat Timor Leste
136 Mary Kaldor memberikan strategi membedakan apa yang disebut sebagai “perang baru” yang bercorak
humanitarian dengan “perang lama”. Menurutnya cara membedakan perang tersebut pada tujuannya. Pada
“perang baru” tujuan utama perang adalah:1.) mencegah pelanggaran terhadap hak asasi manusia (keamanan
manusia dari konflik kekerasan). Perang tidak dimaksudkan untuk menghabisi musuh. 2.) Perang bersifat
defensif bukan ofensif. Termasuk juga perang coba diminimalisir eksalasinya. Bukannya perang model lama
yang notabene justru “gandrung” dengan eskalasi misal dengan mencoba membuka berbagai macam front demi
memperoleh kemenangan. Lihat Kaldor, Mary. 2012. Introduction. Dalam Kaldor, Mary (ed). Global Insecurity.
London: Bloomsbury Continuum,hlm. 21 137 Perlu diingat R2P dilaksanakan pada sebuah wilayah negara bangsa yang dianggap gagal atau bertindak sebagai pelanggar kemanan manusia. Bukan dalam konteks negara lain yang melakukan invasi dan kemudian
melakukan pelanggaran kemanan manusia (seperti msial NAZI yang menginfasi berbagai negara Eropa dan
melakukan kekejaman terhadap warganya). Dalam konteks penelitian R2P ini Timor Leste bukan sebagai
negara merdeka sebagaimana Kosovo hingga sebelum misi R2P dilaksanakan tetapi bagian dari entitas
besar bernama negara Indonesia (dalam kasus Kosovo, wilayah itu merupakan bagaian dari negara
Serbia-Yugoslavia).
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
54
mengenai masa depan wilayah
tersebut lewat Referendum, dan
nation bulider negara baru Timor
Leste yang lepas dari wilayah
Indonesia yang sukses
Libya 2011 Merupakan pelaksanaan R2P secara
resmi pertama kali oleh komunitas
internasional paska pengesahan
norma R2P di tahun 2005. Diklaim
secara luas sebagai bukti sukses
penerapan R2P di lapangan
Dari pemaparan dalam tabel diatas dapat dilihat secara jelas lokasi penerapan R2P yang
menjadi fokus penelitian ini beserta alasannya. Dikarenakan peneitian ini membatasi rentang
waktu penelitian yakni sejak 1999 hingga 2011 maka sejumlah kasus yang terkait dengan
misi R2P paska fase “kesempurnaan” di tahun 2011 tidak menjadi fokus penelitian. Karena
asumsinya ketika R2P memasuki fase “kesempurnaan” doktrin tersebut telah memiliki posisi
kuat sebagai norma internasional sehingga sulit digugat. Alasanya ketika fase
“kesempurnaan” telah tercapai tidak butuh lagi “pembuktian” yang diperlukan bagi
pengusung R2P kepada dunia internasional bahwa doktrin tersebut tidak bermasalah.
Faktanya saat ini R2P dianggap sebagai wajah Human Security itu sendiri. Bukti tersebut saja
sudah menunjukkan bahwa tahap “kesempurnaan” R2P telah berhasil tercapai dengan baik.
Dengan alasan tersebut maka kasus R2P paska 2011 tidak menjadi pembahasan dalam
penelitian ini, misal kasus Suriah yang kondisinya semestinya membutuhkan campur tangan
komunitas internasional lewat doktrin R2P138
.
Perlu ditambahkan bahwa Pemilihan kasus ini juga merujuk pada kasus yang secara
umum sudah disepakati sebagai bagian dari operasi R2P139
. Sedangkan kasus yang tidak
138 Kasus Suriah sendiri menjadi unik karena warga tidak hanya dihadapkan pada kekerasan yang dilakukan oleh
rezim Bashar Al Assad tetapi juga oleh milisi anti rezim terkhusus ISIS. Keberadaan ISIS bahkan tidak hanya
mengancam Human Security warga Suriah saja tetepi juga Iraq karena wilayah ISIS melebar sampai wilayah
Iraq. Bahkan tercatat pimpinan ISIS saat ini memang berasal dari wilayah Iraq bernama Abu Bakr Al Baghdadi. Situasi ini seharusnya jelas mengisyaratkan R2P namun hingga saat ini tidak terdengar adanya inisiasi R2P di
wilayah tersebut. Kasus Suriah dapat menjadi topik menarik untuk agenda penelitian ke depan mengenai
R2P, sebagai pelengkap atas penelitian ini (yang dibatasi rentang waktu: tahun 1999-2011) 139 Lihat misalnya Hall, Lucy & Lara J. Shepherd. WPS and R2P: Theorising Responsibility and Protection.
Dalam Davies, Sara E. , Zim Nwokora & Eli Stamnes,Sarah Teitt (ed). Responsibility to Protect and Women,
Peace and Security: Aligning the Protection Agendas. Leiden: Brill,hlm. 55 (Timor Leste & Kosovo); Branch,
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
55
dianggap secara umum sebagai bagian dari sejarah R2P maka tidak dimasukkan dalam
penelitian ini seperti Perang Iraq tahun 2003. Sejatinya perang Iraq potensial untuk dikaji
dikarenakan AS mendasarkan pijakan operasi militernya salah satunya dengan retorika
penegakan keamanan manusia Iraq. Di mata AS Saddam telah gagal menjamin keamanan
manusia Iraq, bahkan rezimnya itulah biang keladi ketidakamanan rakyat Iraq sehingga patut
bagi AS untuk mengintervensi Iraq140
. Namun karena kasus Iraq ini dianggap bukan bagian
dari sejarah R2P maka tidak disertakan141
.
Sebagai sebuah informasi tambahan guna menghilangkan pertanyaan yang mungkin
muncul terkait mengapa ada jeda waktu yang cukup lama antara tahun 1999 hingga 2005 saat
R2P resmi disahkan dunia internasional? Sehingga kasus yang diambil terkesan melompat?
Jawabannya ialah semenjak tahun 2001 hingga tahun 2003 dunia internasional dihebohkan
oleh peristiwa 9/11 yang menandai era baru dunia yang dikenal dengan “zaman teror”. Paska
9/11 dunia dapat dikatakan disibukkan dengan sejumlah aksi unilateral yang dilakukan AS
dan sekutunya ke sejumlah negara yang dicurigai membantu terorisme internasional di bawah
Adam. 2014. Responsibility to Protect and Africa’s International Relations. Dalam Murithi, Tim (ed). Handbook
of Africa's International Relations. Abingdon: Routledge,hlm. 192 (Libya) 140 Salah satu wacana yang dimunculkan Bush misalnya pada 26 Februari 2003 saat menghadiri acara makan
malam di American Enterprise Institute: “The First benefit of Free Iraq would be the Iraqi People, themselves.
Today they live in scarcity and fear, under a dictator who has bought them nothing but war, misery, and torture.
Their lives and freedom matter little for Saddam Hussein –but their lives and freedom matter greatly for us”.
Lihat Bush, George W. 2003. Iraq is Fully Capable of Living in Freedom. Dalam Sifry, Micah L & Christopher
Cerf (ed). The Iraq War Reader: History, Documents, Opinions. New York: Touchstone,hlm. 557
Sangat jelas wacana ini menyiratkan pesan pentingnya penjaminan keamanan manusia Iraq dan
ketidakmampuan rezim Saddam menyediakan keamanan ini. Sehingga AS berhak mengintervensi Iraq demi
kepentingan warga Iraq sendiri. 141 Diantara sebab kasus Iraq tidak dianggap sebagai bagian dari R2P misalnya: 1.) tidak ada peristiwa
kekejaman massal yang terjadi secara real time di tahun 2013. 2). Ada tumpang tindih alasan perang Iraq
dilaksanakan, seperti alasan humanitarian, kepemilikan senjata penusnah massal, dan perang melawan teror.
Lihat Hashemi, Nader & Danny Postel (ed). The Syria Dilemma. Cambridge: The MIT Press,hlm. 267;
DiMaggio, Anthony R. 2015. Selling War, Selling Hope: Presidential Rhetoric, the News Media, and U.S
Foreign Policy Since 9/11. Albany: State University of New York Press,hlm. 81-82
Terkait dengan argumen pertama, dapat dikatakan sangat lemah, mengingat R2P tidak hanya bersifat reaktif
(jika ada kasus kekejaman massal yang real time) tapi juga mencakup pencegahan. Jika menerima asumsi bahwa
Saddam adalah sosok tiran kejam penindas rakyatnya sendiri secara brutal maka sejatinya tidak ada alasan untuk
tidak menindak Saddam melalui mekanisme R2P sedini mungkin, bukan menunggu ia akan melakukan
kekejaman layaknya di tahun 1990an terhadap Kurdi dengan menggunakan senjata kimia. Terkait alasan no 2,
maka menurut peneliti dapat diterima karena misi R2P haruslah berpijak pada misi utama penegakan keamanan manusia bukan penghancuran musuh. Jika ada berbagai retorika yang menjadi basis perang, terlebih lagi alasan
perang melawan teror dimana Saddam berkoalisi dengan Al Qaeda maka mau tidak mau perang haruslah
ditujukan untuk menghancurkan rezim Saddam. Tentunya dengan misi yang secara eksplisit sangat bernuansa
“perang lama” guna menghancurkan musuh ini sangat sulit untuk didamaikan dengan “perang baru” yang corak
idealnya bernuansa defensif, non eskalatif, dan berorientasi perlindungan pada keamanan manusia di wilayah
tersebut.
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
56
komando Al Qaeda, seperti Afghanistan dan Iraq dengan sandi “perang melawan teror (war
on terror)142
.
Dari realitas diatas dapat disimpulkan bahwasanya perhatian dunia sempat teralihkan
kepada permasalahan terorisme global. Perang melawan teror sendiri dapat dikatakan lebih
bernuansa “perang lama” yang sangat jelas bernuansa menghabisi musuh sehancur-
hancurnya. Atau dapat dikatakan masa “perang melawan teror” ini nuansa “bermain cantik”
tidak termanifestasi secara baik sebagaimana dalam konsepsi R2P yang mengusung gagasan
“perang baru”. Guantanamo misalnya, merupakan salah satu bukti paling nyata dimana
pelanggaran HAM ala “perang melawan teror” terpampang dengan jelas di mata dunia
internasional dan hingga kini merusak citra AS di mata dunia143
.
Mungkin dapat dikatakan ketakukan akan terus berlangsungnya “perang lama”
dengan slogan “melawan teror” yang sifatnya unilateral tanpa mempertimbangkan
“kehendak” komunitas internasional secara umum itulah yang juga menjafi faktor pendorong
penerimaan dunia internasional terhadap gagasan R2P. Dimana gagasan R2P diimajinasikan
menawarkan konsep “perang baru” yang humanis demi menjamin tegaknya keamanan
manusia global dari berbagai konflik kekerasan. R2P sendiri dilakukan dengan
memperhatikan “kehendak” komunitas internasional sehingga dapat meredam fenomena
unilateralisme ala AS dengan “perang melawan terornya”144
.
Paska penetapan kasus yang menajdi fokus penelitian dan alasannnya, maka perlu
menentukan variabel apa yang dipakai untuk mengamati kasus tersebut dan relasinya dengan
teori yang digunakan dalam peneitian ini. Dikarenakan teori yang dipakai dalam penelitian
142 Kaldor, Mary. 2012. A Decade of the War on Terror and The ‘Responsibility to Protect. Dalam Kaldor,
Mary, Henrietta L. Moore & Sabine Selchow (ed). Global Civil Society 2012: Ten Years of Critical Reflection.
London: PalgraveMacmillan,hlm. 88 143 Ibid 144
Namun tentunya itu hanyalah ilusi belaka karena sejatinya R2P sama saja dengan perang melawan teror,
dalam artian bukan bertujuan demi menegakkan kemanan manusia (atau dalam konteks perang melawan teror
ialah membasmi teroris) tetapi lebih pada upaya format dunia sesuai keinginan negara yang memiliki power,
seperti AS. Dalam kasus perang Iraq dengan pijakan melawan teror (Saddam dianggap memiliki relasi dengan
Al Qaeda), Iraq di bawah Saddam yang dianggap ikon anti AS di Timur Tengah dapat diruntuhkan. Pasca
Saddam, AS dapat mengontrol negeri itu demi kepentingan nasionalnya, khususnya terkait masalah minyak.
Fenomena perang demi minyak ini sangat jelas terlihat selama berjalannya perang. Tentara AS terbukti
berupaya menduduki kilang minyak di Iraq sejak perang resmi dimulai. Selain kilang minyak saat memasuki
Baghdad sasaran utama pendudukan tentara AS salah satunya adalah kantor kementrian minyak Iraq. Sementara
berbagai aksi penjarahan di kota Baghdad yang merugikan warga Iraq dibiarkan saja oleh tentara AS. Jadi
pernag tersebut bukan untuk menumpas teroris, untuk membebaskan rakyat Iraq, atau untuk mendemokratisasikan Iraq. Misi utama pernag ialah memastikan kepentingan AS terpenuhi. Perlu ditambahkan
dengan penguasaan minyak Iraq oleh AS, negara tersebut dapat memastikan keamanan energinya dari
kemungkinan tekanan OPEC soal harga minyak -karena Iraq adalah anggota OPEC yang signifikan
kontribusinya- dan ketergantungan dari minyak Rusia (musuh AS). Lihat James DeFronzo. 2010. The Iraq War:
Origins and Consequences. Boulder, CO: Westview Press,hlm.132; McGoldrick, Dominic. 2004. From '9-11' to
the 'Iraq War 2003': International Law in an Age of Complexity. Oregon: Oxford and Portland,hlm.19
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
57
ini ialah teori kuasa/pengetahuan dan biopower ala Foucault yang pada intinya melihat
doktrin R2P instrumen kuasa negara yang memiliki power untuk memformat dunia sesuai
kepentingan mereka namun dengan kedok kebaikan, maka ada dua variabel penting yang
sekiranya menjadi pokok penelusuran kasus-kasus diatas yakni: 1.) kepentingan non
keamanan manusia (humanitarian) apa yang tersembunyi di balik lahirnya misi R2P di
sebuah wilayah. 2.) Bagimana wujud keamanan manusia di wilayah yang menjadi target misi
R2P. Apakah benar-benar terwujud pasca kehadiran misi R2P? Hipotesis yang ingin
dibangun sangat sederhana. Apakah misi R2P benar benar sesuai dengan yang
diimajinasikan/diidealkan benar terjadi ataukah tidak. Jika R2P lebih memprioritaskan
kepentingan terselubung non keamanan manusia (humanitarian) dalam pelaksanaan misinya
terlebih lagi jika kondisi keamanan manusia di wilayah yang menjadi target misi R2P tidak
membaik (atau justru memburuk) maka sangat jelas R2P pada hakikatnya merupakan
instrumen kuasa ala biopower sebagaimana hipotesis peneliti dengan berbekal konsepsi
Foucault.
Terkait dengan data yang dipakai untuk kepentingan peneitian ini dan teknik
pengumpulannya maka secara penuh data yang dipakai ini berupa data kepustakaan.
Sehingga teknik pengumpulannya juga mengandalkan teknik studi pustaka. Terkait dengan
pustaka yang dimaksud dalam penelitian ini ialah segala literatur yang terkait dengan misi
peneitian, yakni pustaka yang memuat gagasan Responsibility to Protect (R2P), Human
Security, penerapan R2P di berbagai wilayah yang diteliti, serta berbagai literatur lain yang
relevan dengan penelitian ini. Perlu ditambahkan bahwa jenis literatur utama yang dipakai
dalam penelitian ini mengandalkan buku atau jurnal ilmiah yang relevan. Penggunaan
sumber-sumber elektronik, seperti artikel online diupayakan yang dipublikasikan oleh
lembaga kredibel seperti lembaga penelitian atau think thank. Peneitian ini berupaya
menghindari penggunaan jenis literatur yang masih diperselisihkan penggunaanya di dunia
akademik seperti wikipedia dan blog pribadi145
.
Fase analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini sendiri setidaknya terbagi dalam
dua tahapan penting yakni: 1.) menjabarkan konstruksi ideal misi R2P yang secara
mainstream dibangun mengenai penerapan R2P di sejumlah wilayah yang menjadi fokus
penelitian. Penjabaran ini menjadi penting sebagai basis untuk melangkah pada fase
145 Khususnya yang menggunakan akhiran wordpress. Namun jika blog itu resmi milik universitas atau lembaga
penelitian kredibel dan penulisnya merupakan pihak yang kompeten maka dapat dipergunakan dalam penelitian
ini.
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
58
selanjutnya, yakni telaah kritis terhadapnya. Mustahil melakukan telaah kritis dilakukan jika
tidak ada penggambaran konstruksi yang akan dikritik. Fokus penelitian dalam fase ini ialah
mengungkap argumen yang menjadi landasan berpijak untuk menyatakan penerapan R2P
sukses sesuai dengan prinsip yang digembar-gemborkannya sendiri, yakni perlindungan
manusia dari konflik kekerasan. 2.) kritik terhadap konstruksi mainstream tersebut. Tolak
ukur kritik didasarkan pada penelusuran realitas di lapangan: apakah benar keamanan
manusia menjadi prioritas penerapan R2P atau tidak? Jika yang terjadi adalah tidak apa
alasannya? Pasal alasan inilah yang coba ditelusuri dengan pencarian kepentingan politik-
ekonomi di balik penerapan misi R2P tersebut.
Secara lebih ringkas fase analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini dapat
disimak pada tebel berikut:
Tabel 1.4
Fase Analisis Data
Fase I Menjabarkan Konstruksi
mainstream yang terkesan
“ideal” menyangkut
penerapan R2P di
lapangan
Tolak ukur:
Mengapa dapat dikatakan misi sukses?
Fase II Melakukan kritik terhadap
pembacaan mainstream
Tolak ukur:
Benarkah manusia menjadi prioritas
penerapan R2P?
Jika tidak: apa alasan politik ekonomi di
baliknya?
Agar tidak menimbulkan kesalahpahaman perlu ditegaskan fase analisa data tidak
berbanding lurus dengan alur penulisan yang dilakukan pada peneitian ini. Fase analisa data
digunakan sebagai kerangka berfikir yang logis untuk melakukan telaah kritis pada R2P.
Sementara alur penulisan sendiri sifatnya lebih cair.
1.7. Sistematika Bab
Penelitian ini terdiri atas empat bab, yang disajikan dengan sistematika sebagai berikut :
Bab Judul Isi Bab
Bab I Pendahuluan Menjelaskan tentang
penelitian itu sendiri hingga
sampai pada sistematika Bab
ini
Diantara poin penting pada
bab ini mencakup:
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
59
1. Misi Penelitian: Telaah
kritis R2P sebagai
instrumen penegakan
Human Security: apakah
benar R2P menjamin
penegakan keamanan
manusia global atau justru
alat kuasa negara yang
memiliki power sehingga
justru menjadi masalah
kemanan baru?
2. Lokasi Penelitian:
Penerapan R2P di Kosovo,
Timor Leste/Indonesia,
Libya (1999-2011)
3. Basis Teoritik: Kuasa
Pengetahuan & Biopower
Foucault
4. Hipotesis: R2P alat kuasa
negara yang memiliki
power sehingga justru
menjadi masalah kemanan
baru
Bab II Kelahiran Rezim Human Security Global Menjelaskan tentang
perubahan paradigma
keamanan global: dari State
security menjadi Human
Security dan konsekuensi
penting perubahan tersebut
pada posisi negara bangsa
dalam pergaulan internasional
Bab III Memikir Ulang Responsibility to Protect146
Menjelaskan tentang
implikasi negatif dari
penerapan R2P
Bab IV Kesimpulan dan Agenda Penelitian Ke Depan
146 Terinspirasi judul artikel Mahmoud Mamdani berjudul: Responsibility to Protect or Responsibility to
Punish?
Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/