Top Banner
7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis terhadap konsepsi human security (keamanan manusia) 1 yang mulai populer di tahun 1990an dan semakin memperolah gaungnya dalam berbagai forum internasional maupun perbincangan di kalangan akademisi saat ini 2 . Kritisme yang dimaksud ialah menggugat pembacaan konsepsi tersebut yang cenderung mengandaikannya sebagai konsep yang normatif dan nir kepentingan 3 . 1 Gagasan Human Security yang dibahas dalam penelitian ini dalam artian gagasan Human Security di level global bukan lokal (level nasional sebuah negara). Adanya perbedaan level global-lokal (nasional) ini perlu ditegaskan mengingat potensi tumpang tindih dalam memahami gagasan Human Security ini. Sejatinya pada keduanya ada titik hubungnya, yakni terkait dengan perbandingannya dengan konsepsi keamanan lama yakni state security. Dalam konsepsi state security, yang menjadi referent object (obyek yang harus dilindungi) ialah negara, sehingga mekanisme keamanan dirancang untuk memastikan survivalitas negara. Berbeda dengan Human Security yang menempatkan referent object pada manusia, bukan lagi negara. Adanya perubahan pada referent object inilah yang melahirkan implikasi di level global-lokal. Pertama, Di level global perubahan referent object ini menjadikan negara bangsa yang dalam konsepsi westphalia memegang kuasa penuh atas wilayahnya (prisip non intervensi) menjadi tidak lagi relevan . Karena hakikatnya meskipun kedaulatan secara formal masih diakui, namun dalam konsepsi Human Security negara tidak lagi dianggap sebagai aktor tunggal dalam menjamin keamanan manusia. Komunitas internasional dalam derajat tertentu dapat terlibat dalam menjamin keamanan manusia ini. Bahkan dalam konteks penelitian ini yakni kasus R2P, dapat dikatakan di pundak komunitas internasional itulah kuasa tertinggi atas keamanan manusia diberikan. Sehingga dapat dikatakan relevansi konsepsi Westphalia secara terselubung telah dihilangkan maknanya. Pada konteks inilah penelitian ini dilakukan, dan peneliti memegang asumsi yang negatif tentang konsepsi Human Security dalam konteks ini. Kedua, Di level “lokal”, perubahan ini dapat dikatakan (potensial) lebih bernuansa positif. Sebagai contoh dalam ketika negara dahulu menjadi referent object dari keamanan, eksistensi intelejen, militer, polisi, dan aparat keamanan lainnya lebih difungsikan untuk melindungi survivalitas negara. Sebagai contoh implikasinya misalnya intelejen tidak segan melakukan berbagai aksi penyadapan, penangkapan, bahkan pembunuhan pada warga yang dianggap berbahaya bagi negara. Ketika referent object berubah akibat penerimaan konsep Human Security, maka berbagai perubahan secara otomatis terjadi. Intelejen harus diformat sedemikian rupa (misalnya dengan pengawasan dan transparansi tertentu) agar tidak berbuat semena-mena pada warga yang seharusnya menjadi obyek yang dilindungi oleh intelejen. Konteks “lokal” ini tidak menjadi fokus pada penelitian ini, sehingga pembahasan tentangnya tidak dimuat. Perlu ditekankan bahwa meskipun ada perbedaan nuansa di dua level tersebut, penulis meyakini bahwa keduanya seperti dua sisi koin mata uang dalam artian akan muncul bersamaan. Karena sebagaimana ditegaskan di atas adanya dua level muncul akibat perubahan referent object dari negara ke manusia, yang suka atau tidak mengubah secara fundamental konsepsi keamanan dalam level “lokal” (nasional) dan juga “global”. Sehingga dalam konteks ini mungkin dapat dikatakan bahwa Human Security potensial melahirkan anugerah dan bencana. Lebih jauh tentang bergesernya konsep keamanan dari model State security ke Human Security dapat disimak pada Bab II. 2 Tentang munculnya wacana Human Security sejak tahun 1990an dan popularitasnya hingga kini misalnya dapat disimak pada: Chandler, David. 2013. Rethinking the Subject of Human Security. Dalam Pasha, Mustapha Kamal (ed). Globalization, Difference, and Human Security. Abingdon: Routledge,hlm. 40; Barrett, Hazel R. 2010. The Securitisation of HIV/AIDS: Human Security, Global Health Security, and The Rise of Biopolitics. Dalam McIntosh,Malcolm &Alan Hunter (ed). New Perspectives on Human Security. Sheffield: Greenleaf Publishing,hlm. 51; Thomas,Caroline. 2007. Globalization and Human Security. Dalam McGrew,Anthony &Nana K. Poku (ed). Globalization, Development and Human Security. Cambridge: Polity Press,hlm. 109; Dedring, Jurgen. Human Security and UN Security Council. Dalam Hans Günter Brauch et al (ed). Globalization and Environmental Challenges: Reconceptualizing Security in 21st Century. Berlin: Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan Human Security Versi Mazhab Kanada NURUDDIN AL AKBAR Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
53

Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

Jul 12, 2019

Download

Documents

ngoliem
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

7

Bab I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis terhadap konsepsi human security

(keamanan manusia)1 yang mulai populer di tahun 1990an dan semakin memperolah

gaungnya dalam berbagai forum internasional maupun perbincangan di kalangan akademisi

saat ini2. Kritisme yang dimaksud ialah menggugat pembacaan konsepsi tersebut yang

cenderung mengandaikannya sebagai konsep yang normatif dan nir kepentingan3.

1 Gagasan Human Security yang dibahas dalam penelitian ini dalam artian gagasan Human Security di level global bukan lokal (level nasional sebuah negara). Adanya perbedaan level global-lokal (nasional) ini perlu

ditegaskan mengingat potensi tumpang tindih dalam memahami gagasan Human Security ini. Sejatinya pada

keduanya ada titik hubungnya, yakni terkait dengan perbandingannya dengan konsepsi keamanan lama yakni

state security. Dalam konsepsi state security, yang menjadi referent object (obyek yang harus dilindungi) ialah

negara, sehingga mekanisme keamanan dirancang untuk memastikan survivalitas negara. Berbeda dengan

Human Security yang menempatkan referent object pada manusia, bukan lagi negara. Adanya perubahan pada

referent object inilah yang melahirkan implikasi di level global-lokal. Pertama, Di level global perubahan

referent object ini menjadikan negara bangsa yang dalam konsepsi westphalia memegang kuasa penuh atas

wilayahnya (prisip non intervensi) menjadi tidak lagi relevan. Karena hakikatnya meskipun kedaulatan secara

formal masih diakui, namun dalam konsepsi Human Security negara tidak lagi dianggap sebagai aktor tunggal

dalam menjamin keamanan manusia. Komunitas internasional dalam derajat tertentu dapat terlibat dalam

menjamin keamanan manusia ini. Bahkan dalam konteks penelitian ini yakni kasus R2P, dapat dikatakan di pundak komunitas internasional itulah kuasa tertinggi atas keamanan manusia diberikan. Sehingga dapat

dikatakan relevansi konsepsi Westphalia secara terselubung telah dihilangkan maknanya. Pada konteks inilah

penelitian ini dilakukan, dan peneliti memegang asumsi yang negatif tentang konsepsi Human Security

dalam konteks ini.

Kedua, Di level “lokal”, perubahan ini dapat dikatakan (potensial) lebih bernuansa positif. Sebagai contoh

dalam ketika negara dahulu menjadi referent object dari keamanan, eksistensi intelejen, militer, polisi, dan

aparat keamanan lainnya lebih difungsikan untuk melindungi survivalitas negara. Sebagai contoh implikasinya

misalnya intelejen tidak segan melakukan berbagai aksi penyadapan, penangkapan, bahkan pembunuhan pada

warga yang dianggap berbahaya bagi negara. Ketika referent object berubah akibat penerimaan konsep Human

Security, maka berbagai perubahan secara otomatis terjadi. Intelejen harus diformat sedemikian rupa (misalnya

dengan pengawasan dan transparansi tertentu) agar tidak berbuat semena-mena pada warga yang seharusnya menjadi obyek yang dilindungi oleh intelejen. Konteks “lokal” ini tidak menjadi fokus pada penelitian ini,

sehingga pembahasan tentangnya tidak dimuat. Perlu ditekankan bahwa meskipun ada perbedaan nuansa di dua level tersebut, penulis meyakini bahwa

keduanya seperti dua sisi koin mata uang dalam artian akan muncul bersamaan. Karena sebagaimana ditegaskan

di atas adanya dua level muncul akibat perubahan referent object dari negara ke manusia, yang suka atau tidak

mengubah secara fundamental konsepsi keamanan dalam level “lokal” (nasional) dan juga “global”. Sehingga

dalam konteks ini mungkin dapat dikatakan bahwa Human Security potensial melahirkan anugerah dan bencana.

Lebih jauh tentang bergesernya konsep keamanan dari model State security ke Human Security dapat

disimak pada Bab II. 2Tentang munculnya wacana Human Security sejak tahun 1990an dan popularitasnya hingga kini misalnya dapat

disimak pada: Chandler, David. 2013. Rethinking the Subject of Human Security. Dalam Pasha, Mustapha

Kamal (ed). Globalization, Difference, and Human Security. Abingdon: Routledge,hlm. 40; Barrett, Hazel R. 2010. The Securitisation of HIV/AIDS: Human Security, Global Health Security, and The Rise of Biopolitics.

Dalam McIntosh,Malcolm &Alan Hunter (ed). New Perspectives on Human Security. Sheffield: Greenleaf

Publishing,hlm. 51; Thomas,Caroline. 2007. Globalization and Human Security. Dalam McGrew,Anthony

&Nana K. Poku (ed). Globalization, Development and Human Security. Cambridge: Polity Press,hlm. 109;

Dedring, Jurgen. Human Security and UN Security Council. Dalam Hans Günter Brauch et al (ed).

Globalization and Environmental Challenges: Reconceptualizing Security in 21st Century. Berlin:

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 2: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

8

Berbeda dengan pembacaan tersebut, peneliti memandang human security sebagai

konsepsi yang sangat bernuansa politis, dan layak disebut sebagai arena dan wujud kuasa.

Secara spesifik dalam penelitian ini terkait dengan pendefinisian ancaman dan pembuatan

strategi/ instrumentasi untuk memastikan ancaman tersebut sirna. Dalam konteks arena kuasa,

definisi ancaman dan instrumentasi dapat disusun oleh berbagai pihak untuk kepentingan

terselubung tertentu4. Ketika instrumen telah terbentuk secara baku dan diterima secara luas

maka secara otomatis area kuasa telah bertransformasi menjadi wujud kuasa. Penelitian ini

akan membatasi diri untuk mencermati definisi ancaman ala Mazhab Kanada dan

instrumentasinya bernama Responsibility to Protect (R2P)5.

Poin penting dari kuasa pendefinisian ialah dampak yang menyertainya di dunia nyata

(ketika telah menjadi wujud kuasa). Sebagai contoh nyata dalam sejarah AS tercatat ada

sebuah instrumen identifikasi tindak kejahatan unik dengan memasukkan bentuk fisik –dalam

hal ini warna kulit- sebagai kriterianya. Dimana orang-orang yang berkulit hitam

didefinisikan dalam instrumen tersebut sebagai kalangan yang “sangat potensial” melakukan

tindak kejahatan6.

Springer,hlm. 605; Turner, Mandy, Neil Cooper & Michael Pugh. 2011. Institutionalized and co-opted: Why

Human Security has Lost its Way. Dalam Chandler,David &Nik Hynek (ed). Critical Perspectives on Human

Security: Rethinking Emancipation and Power in International Relations. Abingdon: Routledge,hlm. 83; Beier, J. Marshall. 2011. Introduction: Everyday Zones of Militarization. Dalam Beier, J. Marshall(ed). The

Militarization of Childhood: Thinking Beyond the Global South. New York: Palgrave Macmillan,hlm. 20;

Mykal, Olena.2011. The EU-Japan Security Dialogue: Invisible But Comprehensive. Amsterdam : Amsterdam

University Press,hlm.20 3Tidak hanya dipanang normatif dan nir kepentingan, bahkan gagasan Human Security cenderung dipuja-puja

setinggi langit karena diimajinasikan menciptakan model keamanan baru yang berorientasi pro-manusia (people

centered security). Lihat wacana positif semacam ini misalnya di: Ribot, Jesse. 2013. Vurnerability Does Not

Fall From The Sky: Toward Multi-Sclae Pro-Poor Climate Policy. Dalam Redclift, Michael R &Marco Grasso

(ed). Handbook on Climate Change and Human Security. Cheltenham: Edward Elgar Publishing,hlm. 169;

MacFarlane, S. Neil& Yuen Foong Khong. 2006. Human Security and the UN A Critical History. Bloomington,

IN: Indiana University Press,hlm.159-160; Peou, Sorpong. 2009. Critical Challenges for Globalism in Human Security Studies. Dalam Peou, Sorpong (ed). Human Security in East Asia: Challenges for Collaborative

Action. Abingdon: Routledge,hlm. 14-15 4 Hal ini dapat terjadi karena meskipun Human Security menjadikan manusia sebagai entitas yang harus

dilindungi dari berbagai ancaman yang potensial mengancam namun perlu didudukkan secara seksama bahwa

manusia dalam konsepsi Human Security hanyalah berkedudukan sebagai obyek yang pasif. Manusia bukan

sebagai subyek aktif yang dapat menegartikulasikan pandangannya sendiri tentang ancaman dan cara

melindunginya. Sehingga dapat dikatakan model keamanan ini sifatnya top down, bukan bottom up. Atas yang

dimaksud ialah mazhab dalam Human Security (menenetukan definisi ancaman dan instrumentasi) dan

komunitas internasional (pelaksana lapangan instrumentasi) . Lebih detail mengenai permasalahan ini akan

dibahas pada bab II. 5 Secara singkat R2P memungkinkan intervensi asing ke dalam teritorial sebuah negara bangsa ketika negara

tersebut dirasa tidak mampu menegakkan kemanan warganya dari ancaman konflik kekerasan. Opsi intervensi asing mencakup pula operasi militer (yang diklaim berdasarkan kaedah perang Humanitarian). Mengenai

penjabaran secara detail mekanisme R2P dapat disimak dalam Bab III 6Poindeter, Paula M. 2011. African-American Images in The News: Understanding the Past to Improve Future

Potrayals. Dalam Ross, Susan Denta &Paul Martin Lester (ed). Images That Injure: Pictorial Stereotypes in the

Media. California: ABC-CLIO,LLC,hlm.110-111; Unnever, James D. 2014. Race, Crime, and Public Opinion.

Dalam Bucerius, Sandra M. &Michael Tonry (ed). The Oxford Handbook of Ethnicity, Crime, and Immigration.

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 3: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

9

Gambar 1.1

Orang Berkulit Hitam Identik dengan Kriminalitas

Sumber: DNA Learning Centre, no date

Tentu saja pendefinisian seperti ini akan berimplikasi negatif dalam pergaulan antar ras di

AS. Semisal orang kulit hitam potensial mendapatkan diskriminasi, kecurigaan berlebihan

dari sebagian masyarakat atau aparat keamanan saat di tempat umum, bahkan tindakan

kekerasan terhadapnya, karena dianggap sebagai penjahat7.

Oxford: Oxford University Press,hlm. 82-83;Williams, Francis M. 2014. Racial Hoaxes and Media

Representations. Dalam Jones-Brown, Delores D., Beverly D. Frazier &Marvie Brooks (ed). African Americans

and Criminal Justice: An Encyclopedia. California: Greenwood,hlm.437; Cotton, Allison M & Rhonda Ntepp.

2009. Media Potrayals of African Americans. Dalam Greene, Helen Taylor (ed). Encyclopedia of Race and

Crime. California: SAGE Publications,Inc,hlm. 495 7Wacana ini secara fakta tidak benar karena yang terbanyak melakukan kejahatan di AS justru kulit putih. Akan

tetapi wacana ini nyatanya mampu mempengaruhi banyak orang, sebagaimana tergambar dalam Social Survey Question di tahun 1990 yang menyatakan 54% orang AS (warga kulit putih) meyakini wacana semacam itu.

Bahkan wacana ini mampu mempengaruhi warga kulit hitam di AS sendiri, sebagaimana tergambar dalam

National Race Survey di tahun 1991 yang menyatakan mayoritas warga kulit putih dan kulit hitam sepakat

bahwa warga kulit hitam itu agresif dan kasar/bengis (aggressive or violent). Lihat Welch, Kelly. 2007. Black

Criminal Stereotypes and Racial Profiling. Dalam Journal of Contemporary Criminal Justice Volume 23

Number 3, hlm.277-278

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 4: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

10

Tentunya menjadi pertanyaan siapa yang diuntungkan dengan adanya instumentasi rasis

semacam itu? Jawabannya ialah warga kulit putih AS. Pendefinisian kejahatan dengan

instrumen warna kulit sangat menguntungkan bagi terus berlangsungnya ideologi supremasi

ras kulit putih (white supremacy) yang sudah terbentuk di AS sejak zaman perbudakan warga

kulit hitam di sana. Ketika pada akhirnya perbudakan berakhir di AS, maka perlu

dikembangkan teknologi kuasa untuk memastikan relasi tidak setara antara kulit putih dan

kulit hitam terus berlangsung. Disinilah instrumen identifikasi kejahaan berbasis warna kulit

memainkan peranannya8.

Kemunculan gagasan human security sendiri tidak dapat dilepaskan dari nama Dr.

Mahbub Ul Haq. Ia merupakan otak di balik munculnya Human Development Report (HDR)

di tahun 1994 yang dikeluarkan oleh UNDP yang menegaskan tentang konsep human

security. Konsep ini sendiri sejatinya berpijak pada gagasan seorang Presiden AS bernama

Roosevert yang mendambakan dunia dimana manusia dapat hidup bebas dari ancaman

fisik/rasa takut (freedom from fear) dan bebas dari kekurangan (freedom from want)9. Tentu

saja rilis laporan UNDP tersebut tidak hanya mengajak untuk merenungi impian Roosevelt,

tetapi juga seruan nyata (dengan modifikasi tentunya) untuk memikirkan bagaimana dapat

mewujudkan impian tersebut.

Berpijak pada gagasan Roosevelt tentang bebas dari ketakutan dan kekurangan

(freedom from fear and want) sebagai prasyarat mencapai dunia yang “indah”, maka

dokumen UNDP mencoba menganalisa berbagai potensi ancaman yang seharusya menjadi

perhatian bagi konsep keamanan ala human security. Proses analisis tersebut akhirnya

berujung pada sejumlah kategorisasi penting, yang dapat disebut sebagai pilar dari human

security.

8 Thompson, Sherwood (ed). 2015. Encyclopedia of Diversity and Social Justice. Lanham: Rowman &

Littlefield, hlm. 588. Lihat pula Oklopcic, Biljana. 2009. “The Nigger that’s going to Sleep with your sister”:

Charles Bon and Joe Christmas As Balack Rapist in William Faulkner’s Oeuvre. Dalam Plath, Lydia & Sergio

Lussana (ed). Black and White Masculinity in the American South, 1800-2000. Newcastle Upon Tyne:

Cambridge Scholars Publishing,hlm. 136 9 Wellman Jr, James K&Clark B Lombardi.2012. Religion and Human Security: A Global Perspective. New

York: Oxford University Press, hlm.4. Sebenarnya masih ada dua gagasan lain dari Roosevet yang terkait

namun tidak disebut dalam laporan UNDP yaitu kebebasan berbicara (freedom of speech) dan kebebasan

beragama (freedom of religion). Keempat ide tersebut termuat dalam buku Roosevelt yang berjudul The Four

Freedoms. Lihat Darmodiharjo, Darji & Shidarta. 1995. Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa Dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,hlm.170. Penting juga untuk disebutkan

pengertian kebebasan dari rasa takut (freedom from fear) dan bebas dari kekurangan (freedom from want)

menurut Roosevelt sendiri, yakni dimana kebebasan dari rasa takut terkait dengan impian penghapusan senjata

dari dunia secara bertahap sehingga ada satu masa dimana sebuah negara tak dapat melakukan agresi ke negara

lain. Sedangkan bebas dari kekurangan terkait dengan impian adanya keadaan dimana seluruh negara di dunia

memiliki masa damai yang sehat bagi seluruh rakyatnya. Lihat Ibid

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 5: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

11

Kategorisasi tersebut secara lengkap yakni, pertama, keamanan ekonomi (economic

security), kedua, keamanan lingkungan (environment security), ketiga, keamanan kesehatan

(health security), keempat, keamanan politik (political security), kelima, keamanan personal

(personal security), keenam, keamanan komunitas (community security), ketujuh, keamanan

pangan (food security)10

.

Semenjak digulirkannya dokumen UNDP, kajian mengenai human security terus

dikembangkan, terkhusus mengenai ruang lingkup/definisi ancaman seperti apa yang

seharusnya menjadi prioritas perhatian dalam konsep keamanan baru tersebut. Diantara

wacana yang muncul ke permukaan disuarakan oleh Mahbub Ul Haq, yang merupakan otak

di balik keluarnya dokumen UNDP 1994. Menurut Mahbub Ul Haq, human security

menyangkut/ perhatian terhadap harkat manusia11

. Sehingga human security secara luas dapat

dimaknai sebagai apa saja yang terkait dengan martabat manusia. Hal ini sesuai dengan

penjabaran sejumlah ancaman yang disebutkan dalam dokumen UNDP, dimana diyakini

segala ancaman tersebut merupakan penghalang krusial bagi terwujudnya kehidupan manusia

yang bermartabat.

Gagasan Mahbub Ul Haq mengenai definisi ancaman tersebut tidak serta merta

diterima, karena pembahasan human security. Mazhab pertama yang sering juga disebut

mazhab Kanada12

, berpijak pada posisi mengenai definisi ancaman terus berlanjut hingga

akhirnya melahirkan dua mazhab besar di dalam memaknai mengutamakan perlindungan atas

keamanan manusia dari ancaman fisik/rasa takut (karena eksistensi senjata). Sementara di sisi

lain muncul mazhab kedua yang mengutamakan perlindungan atas keamanan manusia dari

ancaman kekurangan (non militeristik/orientasi pembangunan)13

. Eksistensi dua mazhab

10United Nations Development Programme (UNDP). 1994. Human Development Report 1994. New York: Oxford University Press, hlm. 24-25. Lihat penjelasan detail mengenai 5 kategori tersebut pada Ibid,hlm.25-33 11

Haq, Mahbub ul. 1995. Reflections on Human Development. Oxford: Oford University Press,hlm. 116. Lihat

pula Taylor, Viviane. 2004. From State Security to Human Security and Gender Justice. Dalam Agenda:

Empowering Women for Gender Equity No. 59, hlm. 65; Valasek, Kristin. 2014. Please Leave Your Weapon at

the Door: Re-Gendering Human Security from Human Security Now to Disarment. Dalam Boyd, Rosalind (ed).

The Search for Lasting Peace: Critical Perspectives on Gender-Responsive Human Security. England: Ashgate

Publishing Limited,hlm. 28; Taylor, Viviane. 2015. Human Right & Human Security: Feminists Contesting The

Terrains. Dalam Baksh, Rawwida &Wendy Harcourt (ed). The Oxford Handbook of Transnational Feminist

Movements. Oford: Oford University Press,hlm.355 12 Mazhab inilah yang menjadi pokok pembahasan pada penelitian ini, terkhusus dengan

instrumentasinya yang bernama R2P 13 Mazhab ini disebut mazhab Jepang/mazhab freedom from want. Perlu ditekankan bahwa sejatinya mazhab ini juga menyimpan kuasa tertentu yang tak kalah membahayakannya dengan mazhab Kanada, salah satunya

mengenai penekannaya pada masalah iklim (Climate Change). Namun dikarenakan mazhab ini bukan menjadi

pokok pembahasan dari penelitian, yang secara spesifik hanya akan berbicara terkait R2P dan mazhab di

belakang gagasan tersebut (yakni Kanada), maka pembahasan mazhab Jepang hanya berupa tambahan informasi

saja untuk memberikan gambaran utuh adanya dua poros besar mazhab dalam gagasan Human Security. Terkait

sisi kelam mazhab Jepang tidak akan disinggung dalam penelitian ini.

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 6: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

12

dengan pendefinisian khasnya dapat dikatakan berhasil mengunci jenis/bentuk ancaman

seperti apa yang seharusnya menjadi perhatian utama human security. Tentu saja

pendefinisian baku ancaman tersebut berimplikasi pula pada kewenangan masing-masing

mazhab untuk “berkreasi” menciptakan strategi/instrumentasi untuk menjamin tegaknya

kemanan manusia dari ancaman yang potensial melandanya. Salah satu instrumen penting

yang berhasil dikembangkan oleh mazhab Kanada dan menjadi fokus peneitian ini ialah

Responsibility to Protect (R2P)14

.

Mazhab Kanada -juga sering disebut mazhab freedom of fear-, yang menekankan pada

ancaman fisik, tentunya memformulasikan strategi yang sifatnya semi-militeristik dan lebih

bersifat paksaan. Dimana unsur diplomasi, sanksi, bahkan operasi militer bisa dipergunakan

untuk mengatasi masalah keamanan tersebut (sebagaimana tercermin dari R2P)15

. Ruang

lingkup penerapan strategi ala mazhab ini juga tidak jauh dari persoalan konflik dan

kekerasan seperti resolusi konflik, pencegahan konflik, dan pembangunan perdamaian16

.

Dengan wajah semacam itu tidak salah jika dikatakan mazhab ini lebih dekat dengan

pengertian keamanan tradisional yang notabene terkait militer. Hanya saja jika keamanan

tradisional fokusnya negara, human security versi mazhab freedom of fear berfokus kepada

keamanan manusia yang terancam oleh berbagai aksi kekerasan dan konflik17

.

Dari sisi pendefinisian ancaman saja nampak jelas kepentingan politik di baliknya.

Adalah Gunhild Hoogensen Gjørv misalnya yang membongkar alasan mengapa mazhab

Kanada18

memilih mendefinisikan ancaman terkait dengan soal kekerasan dan konflik.

Alasan terselubungnya menurut Gjørv, tidak lain terkait dengan kepentingan nasional negara

Kanada itu sendiri. Kanada bersama dengan Norwegia (yang juga pendukung mazhab ini)

merupakan negara middle power. Middle power sendiri merupakan negara yang tidak dapat

dikategorisasikan sebagai negara yang besar yang pengaruhnya dalam percaturan

Lebih jauh mengenai terciptanya mazhab Jepang dan Kanada akan dibahas pada Bab II 14 Perlu ditegaskan bahwa meskipun eksistensi dua mazhab seakan menegasikan satu dengan yang lainnya,

namun keduanya berakar dari titik tolak yang sama yakni redefinisi ulang peran utama negara bangsa sebagai

penyedia keamanan di dalam negerinya masing-masing. Kedua mazhab sama-sama beranggapan komunitas

internasional menjadi aktor penting utama menggantikan negara bangsa sebagai penjamin (baru) keamanan

masyarakat internasional. Negara bangsa dalam skema baru tersebut tidaklah hilang akan tetapi didudukkan

sebagai “bawahan” dari komunitas internasional.

Lihat penjelasan secara lebih rinci pada Bab II 15Okubo,Shiro. 2011. Globalization, Human Security, and The Right to Live in Peace. Dalam Okubo,Shiro

&Louise Shelley (ed). Human Security, Transnational Crime and Human Trafficking: Asian and Western

Perspectives. Abingdon: Routledge,hlm. 21 16 Akpenino, James Ohwofasa. 2013. Modern Concepts of Security. Bloomington, IN: AuthorHouse,hlm..64 17 Tentu saja ini sekedar klaim. Realitasnya di lapangan inilah yang menjadi fokus penelitian ini. 18 Mazhab yang menjadi fokus dalam penelitian ini

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 7: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

13

internasional sangat kuat seperti AS, tetapi juga bukan negara kecil yang pengaruhnya

terbilang kecil dalam percaturan internasional19

.

Dengan statusnya sebagai middle power tersebut, konsepsi human security versi

mazhab freedom from fear digunakan Kanada sebagai senjata diplomasinya untuk

mengangkat pamornya di level internasional. Hal ini dapat dilakukan mengingat fear

(ketakutan) berada di luar lingkup negara Kanada, seperti di negara-negara dunia ketiga.

Sedangkan dalam negeri Kanada sendiri tidak bermasalah. Sehingga dengan pendefinisian

semacam itu Kanada menjadi punya legitimasi untuk turut campur dalam penanganan

berbagai ancaman terhadap human security di level internasional20

. Terbukti dengan sejumlah

inisiasi Kanada untuk mengaluarkan draf konvensi anti ranjau di tahun 1997 dan terlibat

dalam pendirian International Criminal Court (ICC)21

.

Dari keterangan diatas terungkap jelas bahwa ada motif politik di balik dukungan

Kanada dan sekutunya pada gagasan human security, yakni sebagai basis bagi negara middle

power untuk lebih meningkatkan pengaruhnya di level internasional secara positif. Namun

keterangan tersebut dirasa belum cukup, karena tidak menunjukkan adanya masalah serius

yang melekat (inheren) dalam gagasan human security. Karena pada hakikatnya tidak ada

masalah jika kepentingan pribadi sebuah negara tercapai bersamaan dengan suksesnya

penjaminan kemanan manusia dari ancaman.

Sebagai contoh apakah salah ketika Indonesia menyatakan berkomitmen menjaga

lingkungan hidup dengan menadatangani perjanjian dengan Norwegia guna implementasi

REDD di Indonesia22

, karena didorong keinginan Indonesia untuk “bersinar” di pergaulan

Internasional23

? Jika penelusuran berhenti sampai di pada penyingkapan ambisi terselubung

Indonesia tersebut, tentunya sama sekali tidak menafikkan implikasi positif dari perjanjian

Indonesia-Norwegia yang berorientasi pro lingkungan hidup.

19 Capie, David H&Paul M. Evans. 2002. The Asia-Pacific Security Lexicon. Singapore: Institute of Souheast

Asian Studies,hlm. 162 20Gjørv, Gunhild Hoogensen. 2014. Virtuous Imperialism or a Shared Global Objective? The Relevance of

Human Security in Global North. Dalam Gjørv, Gunhild Hoogensen, Dawn R. Bazely, Marina Goloviznina and

Andrew J.Tanentzap (ed). Environmental and Human Security in the Arctic. New York: Routledge,hlm.65 21Ibid,hlm.63 22Lima, Mairon Bastos et al. 2013. Case Study Indonesia. Dalam Gupta,Joyeeta, Nicolien van der Grijp &Onno

Kuik (ed). Climate Change, Forests and REDD: Lessons for Institutional Design. Abingdon: Routledge,hlm. 133; Alcorn, Janis B. & Antoinette G. Royo. 2015. Best REDD Scenario: Reducing Climate Change in Alliance

with Swidden Communities and Indigeneous Peoples in Southeast Asia. Dalam Cairns, Malcolm F. (ed).

Shifting Cultivation and Environmental Change: Indigenous People, Agriculture, and Forest Conservation.

Abingdon: Routledge,hlm. 299 23Jotzo, Frank. 2012. Can Indonesia Lead on Climate Change? Dalam Reid, Anthony (ed). Indonesia Rising:

The Repositioning of Asia's Third Giant. Singapore: ISEAS,hlm. 94-95

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 8: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

14

Senada dengan penandatanganan Indonesia-Norwegia, tidak ada yang salah dengan

gagasan human security jika penelusuran behenti sampai pada penemuan fakta adanya

keinginan Kanada dan sekutunya untuk lebih “bersinar” dalam pergaulan internasional,

karena tidak merubah sama sekali esensi gagasan Human Security yakni menjamin keamanan

manusia. Yang menjadi permasalahan serius ketika kepentingan pribadi tersebut justru

mengalahkan atau berposisi diatas upaya penjaminan keamanan manusia yang dipersyaratkan

Human Security, dimana dalam konteks penelitian ini keamanan manusia dari kekerasan dan

konflik -sebagaimana digaungkan sendiri oleh mazhab Kanada-. Jika kepentingan pribadi

justru berada diatas kepentingan penegakan kemanan manusia maka secara terang benderang

menunjukkan bahwa Human Security tidak lebih dari teknologi kuasa untuk melegitimasi

atau sarana mewujudkan kepentingan tertentu, tentunya dengan “topeng” dan “janji manis”

akan penciptaan kondisi lebih baik bagi manusia global yang bebas dari berbagai ancaman

keamanan (dalam hal ini kekerasan).

Studi ini secara khusus menyoroti secara kritis terhadap gagasan Responsibility to

Protect (R2P) yang merupakan instrumentasi penegakan Human Security ala mazhab

Kanada, dan hingga kini dikenal sebagai instrumen paling utama guna memastikan

penciptaan human security di level global24

. Guna kepentingan penelitian yang ingin

membongkar R2P sebagai teknologi kuasa untuk melegitimasi kepentingan tertentu,

bukannya demi penegakan keamanan manusia, maka diperlukan penelusuran kritis akan

realitas penerapan R2P di lapangan. Ada dua pedoman penting untuk membaca R2P secara

kritis yang dipergunakan dalam peneitian ini, yakni: pertama, kepentingan terselubung apa di

balik penerapan penerapan R2P, kedua, bagaimana realitas penegakan keamanan manusia

yang seharusnya menjadi sentralitas dilangsungnya operasi R2P di negara tertentu25

.

1.2. Rumusan Masalah

24Tatah, Mentan. 2014. Africa: Facing Human Security Challenges in the 21st Century. Bamenda: Langaa

RPICG,hlm. 476. Lihat pula: Janzekovic,John &Daniel Silander. 2014. Responsibility to Protect and Prevent:

Principles, Promises and Practicalities. Lodon: Anthem Press,hlm. 55; Peltonen, Hannes. 2013. International

Responsibility and Grave Humanitarian Crises: Collective Provision for Human Security. Abingdon:

Routledge,hlm. 27-28 25 Apakah penerapan R2P di lapangan benar-benar “seideal” yang dipropagandakannya atau tidak, dimana seharusnya penerapan R2P membuahkan keamanan manusia dalam wilayah yang diinisasi operasi tersebut.

Dalam penelitian ini asumsi “ideal” tersebut diuji apakah benar-benar terbukti di lapangan atau tidak. Jika yang

terjadi justru sebaliknya, dimana R2P tidak menjamin keamanan manusia (dari aksi kekerasan) di wilayah

operasi R2P tersebut maka sangat jelas menunjukkan bahwa operasi R2P hakikatnya tidak dimaksudkan untuk

menegakkan keamanan manusia tetapi hanyalah justifikasi kepentingan tertentu yang “bertopeng” atau berkedok

penegakan keamanan manusia di wilayah tersebut.

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 9: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

15

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penelitian ini ditujukan untuk menjawab

pertanyaan:

1. Bagaimana implikasi negatif penerapan Responsibility to Protect (R2P) di lapangan?

1.3. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

Penelitian yang mengambil fokus kajian tentang instrumen penegakan Human

Security versi mazhab kanada bernama R2P yang hingga kini dikenal secara internasional

sebagai “wajah nyata” Human Security, Apakah instumentasi R2P benar-benar

membebaskan manusia dari ketidakmanan? Ataukah justru panggang daripada api, dimana

eksistensi R2P sama sekali tidak berpotensi menjaga keamanan manusia atau bahkan

potensial memperburuk keamanan manusia global26

?

Adapun signifikansi penelitian ini dapat berkontribusi secara teoritik terhadap

pengembangan gagasan human security, dalam konteks memberikan perspektif yang lebih

kritis dalam memahami atau memandang konsepsi human security itu sendiri, maupun

memberikan perspektif kritis secara khusus –yang menjadi fokus penelitian ini-

mengenai instrumentasi penegakannya di lapangan yang bernama R2P.

Sikap kritis haruslah dibangun untuk melakukan penilaian kritis apakah berbagai

asumsi dan klaim yang diwacanakan R2P tersebut hakikatnya berkesesuaian dengan

realitas penerapannya di lapangan ataukah justru bertentangan dengan klaimnya sendiri?

Tentunya studi ini diharapkan dapat memicu berbagai penelitian kritis lanjutan terkait

gagasan human Security, baik mendalami instumen R2P atau instumen-instumen lain yang

muncul sebagai akibat dari eksistensi ide Human Security, terkhusus di level global27

.

1.4. Literatur Review

Terkait dengan misi kajian yang mencoba melakukan telaah kritis pada gagasan

human security, literatur review akan dibagi menjadi dua kategori yang saling terkait.

Kategori pertama, telaah pada literatur yang mengungkap mengenai relasi antara ilmu

(mencakup teori, paradigma, dan semisalnya) dan kekuasaan. Penelusuran literatur dalam

kategori ini menjadi penting sebab sejalan dengan misi tulisan ini yang berupaya melakukan

analisis kritis terkait gagasan human security yang merupakan teori/paradigma yang telah

berkembang luas di kalangan akademis.

26 Khususnya manusia dunia ketiga 27 Tawaran penelitian lebih lanjut guna membangun kritisme terhadap ide Human Security secara umum

(baik di level global maupun lokal) dapat dicermati pada bab IV

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 10: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

16

Kategori kedua, telaah pada literatur yang membahas mengenai human security.

Penelusuran ini menjadi penting untuk melihat bagaimana corak dan pandangan yang telah

berkembang di kalangan akademisi selama ini dalam melihat gagasan human security.

Penelusuran juga menjadi penting untuk memastikan kebaharuan yang coba ditawarkan

dalam tulisan ini. Diharapkan kebaharuan yang disumbangkan dalam tulisan ini dapat

berfungsi pula sebagai pelengkap karya-karya yang telah dipublikasikan sebelumnya,

sehingga semakin berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan ke depan, khususnya dalam

kajian kritis terhadap human security.

Kategori pertama, yakni terkait literatur yang membahas mengenai relasi antara ilmu

dan kekuasaan. Literatur dalam kategori ini dapat dipilah menjadi dua rumpun besar

berdasarkan model Foucauldian28

. Rumpun pertama, literatur yang menekankan pada

pelacakan episteme29

dalam bidang keilmuan tertentu. Istilah episteme sendiri secara bebas

dapat diartikan sebagai batas, sekat, belenggu yang tidak nampak namun memiliki daya

menstruktur pemikiran yang berkembang dalam satu periode tertentu. Dalam kaitannya

dengan relasi ilmu dan kekuasaan, episteme memberikan batas-batas pemikiran yang “boleh”

atau “sah” dikembangkan, sebaliknya “menghapus”, “merepresi” pemikiran yang “tidak sah”

dikembangkan. Sangat jelas implikasi kuasa yang dihasilkan akibat eksistensi episteme ini,

karena pada hakikatnya mampu membuat manusia secara umum, dan akademisi secara

khusus terpenjara dalam kerangka berfikir tertentu tanpa ia sadari.

Diantara contoh literatur yang menekankan pada pelacakan misalnya dapat ditemui

pada karya Farid Alatas berjudul Diskurus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan

Terhadap Eurosentrisme. Melalui karyanya tersebutAlatas memberikan penegasan bahwa

ilmu sosial yang berkembang di Asia tersekat oleh epsiteme eurosentrisme. Sehingga

penyembangan ilmu sosial yang becorak Asia sulit untuh tumbuh dan berkembang di

wilayahnya sendiri. Sebaliknya karena pengaruh eksistensi episteme eurosentrisme,banyak

diantara akademisi ilmu sosial Asia yang terjangkiti penyakit mimesis (peniruan tanpa kritis

28Karya Foucault yang membahas mengenai ilmu dan kekuasaan tidak lepas dari dua corak: pembahasan

mengenai epsiteme atau pembahasan mengenai teknik/strategi/teknologi kuasa. 29Episteme dalam gagasan Foucault mirip makananya dengan worldview. Dapat juga disebut sebagai rezim

wacana yang menentukan wacana (termasuk ilmu pengetahuan) seperti apa yang dapat berkembang. Perlu

diingat bahwa dalam term Foucauldian, episteme sesungguhnya tidak hadir hanya dalam satu bidang keilmuan

saja (misal sosiologi, ilmu politik) tetapi lingkupnya sangat luas, termasuk keseluruhan ilmu pengetahuan

tercakup di dalamnya dan dalam jangka waktu yang relatif lama. Lihat Naugle, David K.. 2002. Worldview: The History of a Concept. Cambridge: Wm. B. Eerdmans Publishing,hlm.181. Lihat pula O’ Quinn, Daniel.

1995. Episteme. Dalam Encyclopedia of Contemporary Literary Theory: Approaches, Scholars, Terms.

Toronto: University of Toronto Press,hlm. 544; Werner Sollors. 1993. The Return of Thematic Criticism.

Cambridge,MA: Harvard University Press,hlm.143

Namun dalam tulisan ini epsiteme dipakai dalam ruang lingkup yang lebih sempit, dapat dipergunakan untuk

menandai satu era rezim tertentu dalam sebuah negara, atau dalam lingkup keilmuan tertentu secara lebih mikro.

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 11: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

17

sedikitpun) terhadap model ilmu sosial Barat30

. Dampak dari penyakit tersebut menurut

Alatas sangat merugikan pengembangan ilmu sosial di Asia itu sendiri. Semisal karya-karya

akademisis Asia justru menjadi kepanjangan suara cara berfikir orientalis yang menyematkan

label barbar, terbelakang, irasional kepada dirinya (masyarakat Asia) sendiri31

.

Kesimpulan serupa juga disampaikan oleh Purwo Santoso dalam tulisannya berjudul

Ilmu Sosial Transformatif. Santoso sendiri berupaya menyoroti pengembangan ilmu sosial

yang berkembang di Indonesia, sembari secara khusus menyoroti pengembangan ilmu politik

di Indonesia. Sebagaimana Alatas yang menyatakan tentang penyakit mimesis pada ilmuan

sosial Asia, Santoso menggunakan istilah sintaksis, yang diambil dari gagasan tiga derajat

learning organization32

. Sintasksis sendiri menitikberatkan pada peniruan, bukan

pengembangan secara mandiri33

. Tentunya sebagaimana pandangan Alatas, episteme sintaksis

pada Barat ini potensial berimplikasi negatif pada pengembangan keilmuan sosial di

Indonesia. Santoso misalnya mencontohkan efek negatif episteme ini pada teori demokrasi

yang menjadi salah satu pembahasan penting dalam kajian ilmu politik di Indonesia (dan

dunia).

Menurut Santoso tercatat pemerintah Indonesia (Orde Baru) giat mengkampanyekan

gagasan musyawarah mufakat. Gagasan ini ditolak mentah-mentah oleh para ilmuan ilmuan

politik bahkan mencibirnya34

. Alasan mencibir menurut Santoso sebenarnya sangat ironis,

hanya karena tidak menjadi “tren” teori demokrasi yang dikembangkan di Barat. Akan tetapi

ilmuan politik seakan “kena batunya” karena pada akhirnya di era kontemporer (paska Orde

Baru) merebak luas gagasan teori demokrasi baru di Barat yang secara inti sejalan dengan

konsep musyarawah mufakat. Gagasan tersebut di Barat dikenal dengan nama demokrasi

deliberatif atau deliberative democracy35

. Sesuatu yang terbilang “baru” di Barat tetapi

sejatinya sudah melekat atau berkembang secara luas di Indonesia sejak lama. Dengan kata

30Dalam istilah Chakrabharty, kalangan ilmuan sosial non Barat tidak mampu berfikir lepas dari framework

teoritik Barat. Padahal menurutnya berbagai konsep, teori, ketegorisasi, dan genealogi yang menjadi bahan

“copy paste” amat bias tradisi Barat. Lihat Chakrabharty, Dipesh. Provincializing Europe: Postcolonial

Thought and Historical Difference (2000). Dalam Jenkins,Keith &Alun Munslow (ed). The Nature of History

Reader. London: Routledge,hlm. 191. Lihat pula Mandair, Arvind-pal Singh. 2009. Religion and the Specter of

the West: Sikhism, India, Postcoloniality, and the Politics of Translation. New York: Columbia University

Press,hlm. 383 31Alatas, Syed Farid. 2010. Diskurus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan Terhadap Eurosentrisme.

Jakarta: Mizan,hlm. 15 32Dalam gagasan learning organization ada tiga derajat pembelajaran yakni sintaksis (tahap awal), semantik

(tahap kedua), dan transformatif (tahap final). 33Santoso, Purwo. 2011. Ilmu Sosial Transformatif. Dipresentasikan pada Rapat Terbuka Majelis Guru Besar

Universitas Gadjah Madapada tanggal19 April 2011di Yogyakarta,hlm. 4 34Ibid,hlm.6 35Ibid

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 12: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

18

lain sintaksis justru menghasilkan kemunduran besar dalam pengembangan teori demokrasi

di Indonesia karena harus mundur jauh ke belakang (pra demokrasi deliberatif), dan

kemudian pada akhirnya harus perlahan-lahan mempelajarinya kembali (demokrasi

deliberatif). Itupun bukan mengambil atau memperkaya dengan “kearifan lokal” yang ada,

tetapi tetap “mengimpor” dari Barat secara mentah.

Karya lain yang lebih kontemporer dalam memotret episteme dalam ilmu sosial

Indonesia dilakukan oleh Hamzah Fansuri dalam karyanya yang berjudul Sosiologi

Indonesia: Diskursus Pengetahuan dan Reproduksi Kekuasaan. Secara khusus Fansuri

menyoroti eksistensi episteme dalam pengembangan ilmu sosiologi di Indonesia dan berhasil

memetakan tiga episteme yang berbeda sejak masa kolonialisme hingga era kontemporer.

Pertama, episteme kolonial. Kedua, episteme pasca kolonial I, dengan penekanan pada

pengembangan sosiologi di masa Orde Baru. Ketiga, episteme paska kolonial II, dengan

penekanan pada pengembangan sosiologi di era paska Orde Baru.

Menurut Fansuri ada titik temu dantara tiga episteme tersebut yakni sama sama tidak

membumi, asing, tidak indegenous. Dapat dikatakan gagasan Fansuri ini mirip dengan Alatas

dan Santoso yang menjabarkan mengenai epsiteme mimesis/sintaksis di tingkat Asia dan

Indonesia (khususnya ilmu politik) yang tidak memungkinkan gagasan “indegenous”

dikembangkan secara luas. Menurut Fansuri keberadaan epsiteme tersebut membuat gagasan

sosiologi yang “khas” Indonesia berbasis Pancasila, Kerakyatan, Populisme hingga saat ini

tidak pernah menjadi mainstream di negeri sendiri. Padahal sudah dikembangkan sejak masa

kolonial36

.

Selain karya Alatas, Farid, dan Santoso, ada pula karya Hilmar Farid berjudul

Masalah Kelas dalam Ilmu Sosial Indonesia. Senada dengan tiga penulis sebelumnya, artikel

yang ditulis Farid juga menyoroti implikasi negatif dari eksistensi episteme yang mampu

“menyensor” dan “meminggirkan” gagasan lain yang dianggap “tidak sah”37

. Secara khusus

Farid menyoroti zaman Orde baru di Indonesia,dimana menurutnya epsiteme yang eksis pada

saat itu cenderung anti pendekatan kelas dalam ilmu sosial. Sehingga menurutnya kajian

analisis kelas cenderung minoritas bahkan dapat dikatakan menghilang dalam studi ilmu

sosial semasa Orde Baru38

. Sebaliknya dikarenakan eksistensi episteme anti pendekatan

36Fansuri, Hamzah. 2015. Sosiologi Indonesia: Diskursus Kekuasaan dan Reproduksi Pengetahuan. Jakarta:

LP3ES,hlm.190 37Hanya saja berbeda dengan penulis sebelumnya yang diangkat, Farid tidak memfokuskan pembahasan pada

hilangnya ilmu yang “indigeneous”. 38Farid. Hilmar. 2006.Masalah Kelas dalam Ilmu Sosial Indonesia . Dalam Hadiz, Vedi R & Daniel dakhidae.

(ed). Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: PT. Equinox,hlm. 187

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 13: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

19

kelas, memungkinkan analis bercorak lain –khususnya teori modernisasi- berkembang

dengan cepat dalam kultur akademik ilmu sosial Indonesia. Bahkan Farid secara berani

menyebutkan kepopuleran teori modernisasi di kalangan akademisi ilmu sosial indonesia

sampai menjadikan teori modernisasi itulah yang disebut ilmu sosial39

. Sehingga teori lain

yang bertentangan dengan teori modernisasi mungkin saja muncul dan berkembang secara

terbatas, namun tidak akan mendapatkan tempat berarti karena tidak masuk dalam “definisi

resmi” ilmu sosial yang berlaku saat itu.

Rumpun kedua, literatur yang menekankan pada pelacakan mekanisme, strategi,

teknik, teknologi kuasa40

. Literatur semacam ini lebih menonjolkan telaah pada sebuah teori

atau paradigma tertentu yang ditengarai menyimpan kuasa pendisiplinan guna mencapai

tujuan politis tertentu. Telaah pada berbagai macam teori atau paradigma tertentu tersebut

umumnya dilakukan dengan menganalisis secara kritis klaim-klaim yang diwacanakan oleh

teori atau paradigma yang seolah netral. Penelusuran juga meliputi analisis terhadap kuasa

apa di balik eksistensi teori atau paradigma tersebut, serta bagaimana dampak yang

dihasilkan dari eksistensi tersebut (secara negatif tentunya). Diantara contoh model literatur

semacam ini dapat ditemui pada literatur yang menggugat teori modernisasi Rostow dan good

governance. Kedua teori tersebut sempat dipersepsikan secara mainstream bebas nilai, nir

kepentingan, netral, dan bertujuan mulia41

.

Kehadiran teori modernisasi Rostow yang ditandai dengan peluncuran karyanya yang

monumental berjudul The Stages of Economic Growth. Dalam karyanya tersebut Rostow

menjelaskan mengenai 5 tahapan pertumbuhan ekonomi yang bermula dari fase tradisional

menuju modern. Secara detail 5 tahapan tersebut ialah the traditional society (masyarakat

tradisonal), the procondition for take off (prasyarat untuk lepas landas), the take off (lepas

landas),the drive to maturity (gerakan kearah kedewasaan), dan the age of high mass

consumption (masa konsumsi tinggi)42

. Perkembangan dari fase tradisional ke modern

39Ibid,hlm. 191 40Mekanisme atau teknologi kuasa ini memiliki tujuan utama yakni mendisiplinkan perilaku individu dan

memastikan ketundukan total mereka kepada sebuah tujuan tertentu. Kepatuhan ini pada akhirnya dalam istilah

Foucault menghasilkan docile body (tubuh yang jinak). Sarana pendisiplinan itu sendiri beraneka regam.

Foucault misalnya menelusuri teknologi kuasa ini dalam bentuk sekolah dan penjara. Ilmu pengetahuan sendiri

merupakan salah satu bentuk teknologi kuasa. Sebagai contoh Foucault secara khusus menyinggung sains dan

psikoanalisis sebagai teknologi kuasa yang membentuk kedisiplinan individu tentang seksualitas. Lihat

Peraino,Judith A. 2006. Listening to the Sirens: Musical Technologies of Queer Identity from Homer to Hedwig. California: University of California Press,hlm. 195 41Dalam kasus good governance bahkan hingga kini klaim netralitas dan bebas nilai masih terus didengungkan

dan masih menjadi mainstream berfikir di kalangan akademisi 42Rostow, W.W. 1959. The Stages Of Economic Growth. The Economic History Review, New Series, Volume

12 No 1,hlm.4-13. Dalam karyanya Rostow merinci ciri khas masing-masing tahapan dan perubahan seperti apa

yang harus ditempuh untuk beranjak dari satu kondisi (yang lebih tradisional) menuju kondisi lain (yang lebih

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 14: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

20

dibayangkan Rostow ditandai dengan perubahan masyarakat dari yang tadinya miskin

menjadi berkecukupan. Sehingga pada hakekatnya upaya transformasi fase tradisional ke fase

modern merupakan strategi pembangunan manusia guna meningkatkan harkat dan martabat

manusia. Terlebih teori Rostow sendiri diyakini dapat berlaku universal di seluruh dunia,

dimana setiap negara dapat diposisikan dalam sebuah tahapan ekonomi yang tergambar

dalam teori tersebut43

, sehingga dapat direkayasa untuk mencapai fase teratas.

Kehadiran teori modernisasi dengan segera menjadi perbincangan hangat di kalangan

intelektual dan secara nyata coba diimplementasikan di sejumlah negara berkembang dengan

dukungan dari pemerintah AS. Tercatat Presiden AS Kennedy mengangkat Rostow untuk

menduduki posisi penting di dalam lembaga National Security Council guna menjadikan teori

modernisasi ujung tombak kebijakan pemerintahan Kennedy terhadap negara dunia ketiga44

.

Lebih jauh sebuah lembaga khusus bernama Agency for International Development (AID)

untuk mengaplikasikan teori modernisasi secara nyata45

.

Di kemudian hari barulah sejumlah analisa kritis mengungkap berbagai kelemahan

dalam teori tersebut. Sejumlah kalangan yang sering dijuluki sebagai pengusung teori

ketergantungan (dependensi) mengungkap ketidaksinkronan antara klaim yang diusung

pendukung teori modernisasi bahwa pengaplikasian teori modernisasi sebagai model

pembangunan akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi menuju kesejahteraan dengan

realitas. Realitas yang terjadi dalam level makro, yakni perbedaan antara negara berkembang

(dicirikan ekonomi tradisional) dan negara maju (dicirikan ekonomi modern), justru semakin

jauh jaraknya46

.

Dari temuan tersebut, muncullah berbagai analisis kritis terhadap teori Rostow dari

kalangan pengusung teori ketergantungan, seperti gugatan terhadap ahistorisnya teori

Rostow. Perkembangan teori modernisasi mengandaikan sejarah semua negara itu sama,

padahal pada hakikatnya berbeda-beda, sehingga tidak bisa dibuat resep yang sama untuk

semua negara47

. Lebih jauh kalangan teori ketergantungan juga mengkritisi teori modernisasi

modern). Sebenarnya Rostow juga menambahkan satu tahapan lanjutan dari the age of high mass consumption,

walaupun kajian tentang fase ini dapat dikatakan masih terbilang hipotesis awal. Menurut Rostow fase ini

terlihat jelas di AS yang ditandai dengan naiknya angka kelahiran di negara tersebut (lihat Ibid, hlm. 13) 43 Waters JR, Robert Anthony.2009. Historical Dictionary of United States-Africa Relations. Maryland:

Scarecrow Press, hlm.174 44Ibid 45Ibid 46Bauzon, Kenneth E. Development Studies: Contending Approaches and Research Trends. Dalam Bauzon,

Kenneth E (Ed). 1992. Development and Democratization in the Third World: Myths, Hopes, and Realities.

Washington: Taylor dan Francis,hlm.38 47Leonard, Thomas M. 2006. Encyclopedia of the Developing World. New York: Routledge, hlm.460

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 15: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

21

yang gagal melihat dampak kolonialisme pada negara berkembang yang sedikit banyak tidak

menguntungkan posisi negara berkembang untuk melakukan pembangunan48

.

Kritik lain yang muncul ialah pada hakekatnya teori modernisasi modernisasi

menjadikan barat sebagai tolak ukur pembangunan (eurosentrisme). Sebagaimana tercermin

jelas dari pembedaan antara tradisional dan modern dalam teori modernisasi, dimana yang

tradisional haruslah lenyap demi modernisasi. Tentu saja teori modernisasi mengabaikan

adanya kompleksitas keterkaitan antara tradisionalisme dengan kemodernan49

. Bahkan teori

modernisasi seakan mengaggap remeh secara politis kekuatan dari tradisionalisme yang bisa

berbentuk banyak hal seperti agama, klientelisme, dan etnisitas50

. Padahal jika dicermati

secara kritis sejumlah bentuk tradisionalisme yang disebutkan diatas merupakan prinsip asasi

bagi kalangan masyarakat non barat tertentu, sehingga menjadi hal yang dipertanyakan

ketika pembangunan yang diklaim akan mensejahterakan masyarakat justru bertabrakan

dengan identitas yang dianggap asasi dan penting dari masyarakat tersebut.

Sejumlah kritik tersebut menunjukkan bahwa berbeda jauh dari slogan yang dielu-

elukan oleh teori modernisasi yang menjanjikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi dunia

ketiga, pada kenyataannya teori ini justru merusak dunia ketiga. Namun sebagaimana

ditegaskan oleh Graham Ellison & Nathan Pino, memang hakikat terselubung dari teori ini

bukan murni kajian akademik semata, namun berisikan kuasa terselubung yang

menguntungkan negara Barat, terkhusus AS. Dikarenakan di masa teori ini muncul, terjadi

pertentangan antara Blok Barat (dipimpin AS) dan Blok Timur (dipimpin Soviet). AS

diuntungkan melalui teori ini sebab dunia ketiga secara tidak sadar akan mengikuti nilai yang

diusung AS saat itu51

. Sehingga dapat dikatakan teori ini memberi jalan bagi hegemoni AS di

negara dunia ketiga secara terselubung.

Teori good governanceyang hingga saat ini masih mainstream dibicarakan dan

dijadikan resep jitu guna mensukseskan pembangunan manusia secara global juga tidak

seindah yang dibayangkan. Gagasan good governance sendiri dapat dilacak kemunculannya

hingga tahun 1989, dimana muncul laporan dari Bank Dunia (World Bank) berjudul Sub-

Saharan Africa: From Crisis to Sustainable Growth. Di dalam laporan inilah terdapat sitilah

governance yang intinya mengenai perlunya arah baru reformasi pemerintahan. Reformasi

yang dimaksud ialah konsensus dan legitimasi politik menjadi prasyarat keberhasilan

48Ibid 49Haynes, Jefferey. 2008. Development Studies: Short Introduction. Cambridge: Polity Pres, hlm.23 50Ibid 51 Ellison,Graham&Nathan Pino. 2012. Globalization, Police Reform and Development: Doing it the Western

Way?New York: Palgrave Macmillan,hlm. 44

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 16: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

22

pembangunan berkelanjutan52

. Reformasi ini mencakup pendefinisian ulang peran negara

yang sifatnya reduktif (dari bersifat regulatif ke fasilitatif), serta dilibatkannya aktor non

negara dalam pembangunan53

. Selain mensyaratkan pelibatan aktor non negara (dalam hal ini

pasar dan civil society) dan reduksi peran negara, gagasan ini menekankan bahwa

pembangunan haruslah menyesuaikan dengan konteks negara tertentu alias memperhatikan

lokalitas, baik sejarah, budaya, atau kondisi sosial-politik-ekonomi setempat54

. Sehingga

berbeda dengan modernisasi ala Rostow yang dikritik karena abai dan cenderung antipati

terhadap lokalitas masyarakat, good governance justru memandang lokalitas (atau dalam

istilah Rostow “tradisional”) sebagai hal yang positif bagi pembangunan55

, karena hakikatnya

pembangunan untuk kepentingan masyarakat setempat.

Sejumlah klaim yang nampaknya menjanjikan bagi masyarakat di negara berkembang

atau dunia ketiga tersebut ternyata menyimpan kuasa terselubung yang pada hakikatnya

justru kontreproduktif bagi pengembangan kesejahteraan masyarakat. Rita Abrahamsen yang

melakukan studi kritis tentang gagasan good governance, dengan telaah secara khusus di

Afrika, mememukan fakta penting bahwa good governance mendelegitimasi negara di mata

rakyatnya sebagai entitas yang “asing”, “berseberangan dengan rakyat” ,bahkan negara tidak

lebih dari “produk barat”. Sebaliknya entitas pasar justru lebih dekat dengan sejarah Afrika56

.

Jelas sekali arah pewacanaan semacam ini akan memuluskan jalan bagi liberalisasi ekonomi,

yang belum tentu berdampak positif bagi rakyat.

Sejalan dengan Rita yang kritis memandang good governance, Massimo De Angelis

juga sampai pada kesimpulan menarik setelah mencermati sejarah good governance, dimana

gagasan ini menurutnya sangat dipengaruhi oleh paham neoliberal. Dimana good governance

adalah model penyelenggaraan pemerintahan yang mengakomodasi gagasan dari konsensus

Washington. Konsensus Washington sendiri memiliki tiga resep penting, yakni pertama,

negara harus mundur dari sektor sosial, kedua, pasar harus diberikan kemudahan atau akses

ke seluruh elemen kelidupan masyarakat, dan ketiga, rakyat harus melepaskan

ketergantungan sosial ekonominya dari negara57

.

52Ibid 53Ibid 54Sangita,S.N. 2002. Administrative Reform for Good Governance. Dalam The Indian Journal of Political Science Volume 63 No 4 ,hlm.325 55Abrahamsen, Rita. 2004. Sudut Gelap Kemajuan: Relasi Kuasa dalam Wacana Pembangunan. Yogyakarta:

Lafadl,hlm. 99 56Ibid,hlm.84-85 57Angelis, Massimo De. 2005. The Political Economy of Global Neoliberal Governance. Dalam

Review(Fernand Braudel Center) Volume 28 No. 3,hlm.238

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 17: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

23

Jelaslah dari temuan Massimo bahwa sejatinya yang paling diuntungkan dari

penerapan good governance adalah pasar dan bukannya rakyat. Karena sebagaimana

dinyatakan dalam konsensus Washington, negara seakan tidak bleh lagi hadir dengan

berbagai pelayanan publiknya, karena rakyat tidak boleh tergantung pada negara. Sebaliknya

pasar dengan mudah menggantikan peran negara sebagai penyedia layanan dan rakyat

dipaksa menjadi pembeli dari produk pasar. Konseksuensinya uang menjadi penentu

seseorang dapat mengakses produk pasar, jika tidak maka akses tidak akan diberikan. Sangat

jelas yang dirugikan adalah rakyat, terkhusus di negara berkembang yang butuh akan

kehadiran negara. Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Massimo bahwa penerapan good

governance justru menimbulkan jarak yang melebar antara yang berpunya dan tidak

berpunya dalam lingkup sebuah negara ataupun antar negara58

. Dengan kata lain klaim yang

disusung good governance tidak berkesesuaian dengan realitas yang justru menguntungkan

negara industri maju ataupun korporasi internasional bukan rakyat ataupun negara dunia

ketiga.

Terkait posisi tulisan ini cenderung mengikuti model kedua, dengan penekanan

menganalisis strategi/teknik/teknologi kuasa, dimana pilihan ini dirasa tepat sebab Human

Security layaknya good governance dan teori mdoernisasi merupakan sebuah teknologi kuasa

untuk “mendisiplinkan” populasi manusia global. Tentu saja sebagaimana good governance

dan teori modernisasi yang berkedok “netral” plus dengan berbagai klaim menjanjikannya

namun hakikatnya merusak, human security sejatinya memiliki potensi sama merusaknya

dengan dua teori tersebut.

Tabel 1.1

Rumpun Literatur yang membahas mengenai Ilmu dan Kekuasaan

No Corak Literatur

Episteme Mekanisme/Teknik/strategi/Teknologi kuasa

Penulis

literatur

Intisari Gagasan Penulis Literatur Intisari Gagasan

1 Hamzah

Fansuri

Tiga episteme dalam

ilmu sosiologi

indonesia, dimana:

pertama. Episteme

Rita Abrahamsen Good governance

(teori) mengandung

kuasa pendisiplinan

cara berfikir

58Ibid

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 18: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

24

kolonial. Kedua,

Episteme Pasca

kolonial I (Orde

Baru/Perang dingin).

Ketiga, Episteme paska

Kolonial II

(globalisasi/pasar

bebas). Tiga episteme

tersebut memiliki titik

temu yakni cenderung

latah terhadap gagasan

“impor” dari barat,

meminggirkan

gagasanindigeneous.

Episteme tersebut

menghalangi/merepresi

ilmu/teori yang

bercorak indigenous

dalam pengembangan

sosiologi Indonesia

terhadap negara pada

masyarakat dunia

ketiga. Gagasan ini

mendelegitimasi

eksistensi negara

khususnya di mata

masyarakat dunia

ketiga sebagai

sesuatu entitas yang

“tidak indegeneous”.

Sebaliknya pasar

(korporasi)

diwacanakan sebagai

entitas yang

“indegeneous” ,

lekat dengan sejarah

masyarakat dunia

ketiga. Tujuannya

guna memuluskan

liberalisasi ekonomi

di negara dunia

ketiga.

2 Farid Alatas Episteme eurosentris di

Asia (khususnya pada

pengembangan ilmu

sosial). Episteme ini

menjadikan

pengembangan ilmu

sosial di Asia

cenderung bercorak

eurosentris. Dengan

kata lain tidak bisa

lepas dari gagasan

Massimo De Angelis Good governance

(teori) mengandung

kuasa pendisiplinan

dunia ketiga dalam

memandang negara.

Gagasan ini relatif

menghapus peran

negara khususnya di

pelayanan publik.

Tujuannya guna

memuluskan

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 19: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

25

Barat yang sejatinya

bias. Upaya

pengembangan ilmu

sosialbercorak non

eurosentris menjadi

minim atau

termarginalkan.

Dampaknya:

akademisi dunia ketiga

layaknya “beo” yang

tidak kritis terhadap

berbagai pemikiran

“impor” dari Barat

masuknya paham

neoliberalisme di

dunia ketiga,

menguntungkan

negara industri maju

sebagai pemasok

kebutuhan ke negara

dunia ketiga.

3 Hilmar Farid Episteme anti

pendekatan kelas pada

ilmu sosial Indonesia

masa orde Baru.

Episteme ini

menjadikan

pengembangan kajian

berbasis analisis kelas

menjadi minim, jika

tidak menyatakan

direpresi sedemikian

rupa. Sebaliknya

epsiteme ini memberi

ruang subur bagi

analisis non kelas,

secara khusus gagasan

developmentalisme ala

AS

Graham Ellison &

Nathan Pino

Teori Modernisasi

mengandung kuasa

penisiplinan

pembangunan di

dunia ketiga.

Pembangunan di

dunia ketiga

ditundukkan dengan

cara menjadikan

Barat sebagai kiblat

pembangunan

(eurosentris).

Tujuannya

memuluskan

hegemoni Blok Barat

(AS) atas dunia

ketiga/memudahkan

format dunia ketiga

sesuai imajinasi AS

dan sekutunya

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 20: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

26

4 Purwo Santoso Episteme sintaksis

pada ilmu sosial

Indonesia (termasuk

ilmu politik). Episteme

tersebut menjadikan

pengembangan ilmu

sosial-politik di

Indoensia hanya

mampu meniru segala

gagasan yang ada di

Barat, tanpa

memungkinkan

pengembangan ilmu

sosial-politik yang

“indigeneous”.

Episteme tersebut juga

tak ramah dan sangat

antipati dengan

gagasan

“indegeneous”.

Padahal gagasan

“indegeneous” bisa

jadi lebih “maju”

dibandingkan gagasan

yang selalu ditiru dari

Barat.

Kategori kedua, yakni terkait literatur yang membahas mengenai hakikat human

security. Mengenai literatur terkait Human Security sejatinya dapat dipilah menjadi dua

kategori besar, yakni pertama memandang Human Security dalam level global. Sedangkan

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 21: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

27

kategorisasi kedua, yakni memandang Human Security dalam level lokal (di dalam wilayah

sebuah negara bangsa)59

.

Kategorisasi lokal-global menjadi menarik untuk ditelusuri guna mengungkap seperti

apa implikasi gagasan yang lahir dari ide Human Security baik di tingkat global maupun

lokal. Pembahasan menjadi penting untuk menegaskan kedudukan penelitian ini yang

mengambil posisi mengkaji secara spesifik gagasan Human Security di level global. Namun

perlu ditegaskan kembali bahwasanya kategorisasi lokal-global berpijak pada akar yang sama

yakni pemindahan referent object (obyek yang harus dilindungi) dari negara ke manusia

(individu), sehingga dapat dikatakan lokal dan global akan muncul beriringan dalam satu

waktu dan tidak terpisahkan.

Terkait dengan naskah yang menekankan pada Human Security dalam konteks lokal,

setidaknya masih dapat dibagi lagi ke dalam dua kategorisasi yang berbeda60

, yakni

rumpun yang banyak berbicara mengenai persoalan security sector reform (SSR)61

dan

rumpun yang berbicara mengenai kesejahteraan sebagai wujud keamanan baru. Perbedaan

tersebut sebenarnya terkait erat dengan corak dua mazhab besar dalam gagasan Human

Security yakni mazhab Jepang dan Kanada.

Gagasan SSR sejatinya terpengaruh kuat oleh corak mazhab Kanada. Sebagaimana

disinggung sebelumnya mazhab ini menakankan pada kemaanan manusia dari ancaman

59 Perlu ditegaskan kembali di sini bahwasanya lokal dan global terkait dengan perubahan yang terjadi di

level lokal dan global sebagai implikasi eksistensi gagasan Human Security. Dalam konteks global

perubahan yang terjadi terkait dengan konsepsi negara westphalia yang berasaskan non intervensi. Paska

Human Security, konsepsi tersebut mengalami perubahan karena negara bukan lagi dianggap sebagai satu-

satunya penyedia keamanan warganya di dalam negeri. Komunitas internasional menjadi aktor lain –bahkan

lebih penting dari negara bangsa- yang juga “bertanggung jawab” atas keamanan warga global. Sedangkan

dalam konteks lokal, Human Security memicu redefinisi konsepsi keamanan nasional yang tadinya bersifat

negara sentris menjadi masyarakat sentris. Perubahan di level lokal inipun masih dapat dibedakan lagi menjadi dua bagian yakni konsepsi keamanan nasional baru (masyarakat sentris) yang berorientasi “non tradisional/non

militer” yakni berbasis kesejahteraan (terkena pengaruh corak mazhab Jepang) dan keamanan nasional

“tradisional/militer” namun lebih pro rakyat (terkena pengaruh corak mazhab Kanada). Perlu ditambahkan

dalam konteks Indonesia dua orientasi tersebut (corak mazhab Jepang & Kanada) diupayakan berjalan

beriringan. Dengan kata lain keamanan nasional Indonesia sejatinya ingin dibentuk dengan menggabungkan dua

corak mazhab tersebut.

Lihat penjabaran model baru konsep keamanan Indonesia yang berbasis dua corak mazhab human Security ini

ini dalam Sekretaris Jendral Dewan Ketahanan Nasional. 2010. Keamanan Nasional : Sebuah Konsep Dan

Sistem Keamanan Bagi Bangsa Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasional,hlm. 53, 65 60 Dua kategorisasi tersebut bukan bermaksud membatasi. Hanya saja merujuk pada berbagai pengembangan

literatur terkait Human Security di tingkat lokal sampai saat ini peneliti mendapati adanya pengembangan

keilmuan dan wacana ke arah tersebut. 61 Yang dimaksud dengan sektor keamanan mencakup segala institusi negara yang memiliki otoritas sah

menggunakan, mengotorisasi, dan mengancam menggunakan kekuatan (fisik) demi melindungi warga negara.

Lihat Perwita, Anak Agung Banyu. 2005. Dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 9 Nomor 1,hlm.

54

Berbasis definisi tersebut maka sektor keamanan memeiliki lingkup yang luas, diantaranya meliputi militer,

kepolisian, kehakiman, dan intelejen.

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 22: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

28

kekerasan fisik, yang notabene berasal dari senjata. Dalam konteks SSR, sebagaimana

keyakinan mazhab Kanada negara bangsa yang tadinya dalam bayangan paradigma state

security menjadi pelindung utama warga kini dipandang dengan penuh kecurigaan. Hal ini

muncul dikarenakan tidak jarang justru negara itu sendirilah yang dianggap sebagai biang

keladi kekerasan pada manusia di sebuah negara62

. Sehingga perubahan paradigma keamanan

berkonsekuensi pula pada pentingnya perombakan fundamental pada eksistensi aparat

keamanan yang potensial menjadi ancaman bagi keamanan warganya sendiri, seperti polisi,

intelejen, kehakiman, dan militer. Harapannya dengan diadakannya reformasi pada aparat

keamanan akan menjamin eksistensi mereka bermanfaat bagi penjagaan keamanan manusia

secara konsekuen, dan bukannya keamanan rezim sehingga bukannya rasa aman yang didapat

oleh warga melainkan ketakutan dan tindakan sewenang wenang akibat eksistensi aparat

keamanan tersebut.

Perlu ditegaskan bahwasnaya tidak semua referensi yang membahas mengenai SSR

memberikan penjelasan yang ekspisit tentang akar Human Security di balik gagasan tersebut.

Namun ada pula referensi yang secara eksplisit memberikan penjelasan keterkaitan erat

antara gagasan Human Security dan SSR. Referensi yang dimaksud berjudul Panduan Media

Dan Reformasi Sektor Keamanan yang diterbiitkan melalui kerjasama Geneva Centre for the

Democratic Control of Armed Forces (DCAF) dengan Lembaga Studi Pertahanan dan Studi

Strategis Indonesia (LESPERSSI)63

. Dalam salah satu artikel yang terdapat dalam buku

62 Popovski, Vesselin. 2010. Responsibility to Protect. Dalam Hodges, Adrian, Malcolm McIntosh & Alan

Hunter (ed). New Perspectives on Human Security. Sheffield: Greenleaf Publishing,hlm. 205

Alasan negara gagal melindungi rakyatnya dari ancaman kekerasan fisik yang diakibatkan kelompok tertentu

dalam negara tersebut atau negara sendiri yang berperan menjadi pelaku kekerasan terhadap warganya sendiri

inilah dalam konteks Human security versi global menjadi alasan bagi penciptaan mekanisme R2P, yang

menjadi intisari pembahasan dalam penelitian ini. 63 Kerjasama DCAF merupakan salah satu contoh dukungan internasional terhadap penerapan SSR di Indonesia.

Sebagai informasi tambahan saja, gagasan SSR sendiri juga didukung kuat oleh komunitas internasional. Salah

satu manifestasi nyatanya tergambar dari eksistensi UN SSR unit, lembaga internasional di bawah payung PBB

yang membidangi SSR. Tugas lembaga tersebut ialah membantu pelaksanaan SSR di berbagai negara dunia.

“Bantuan” yang ditawarkan PBB diformalkan secara tegas dalam resolusi dewan keamanan PBB no 2151 tahun

2014: “Stresses the importance of the relevant bodies of the United Nations undertaking mission planning

processes for security sector reform, where mandated, that gives full consideration to supporting national

security sector reform efforts, taking into account the specific needs of the host country, and collaborating with

other relevant international and regional actors providing security sector reform assistance to the national

government”. Lihat UNSC. 2014. Resolution 2151 (2014). Diakses di

http://www.un.org/en/ga/search/view_doc.asp?symbol=S/RES/2151(2014)&referer=http://www.un.org/en/sc/do

cuments/resolutions/2014.shtml&Lang=E pada tanggal 22 November 2015 pukul 10.51 WIB Fakta diatas menunjukkan bahwa meskipun wajah Human Security di level lokal dan global berjalan pada relnya

masing masing (antara format baru keamanan nasional versus format baru relasi antar negara), namun tetap

tidak menutup peluang bagi global untuk turut mengintervensi yang lokal, salah satunya melalui mekanisme

SSR ini yang notabene merupakan wajah Human Security di level lokal. Tentunya dibutuhkan kajian lebih

serius dan mendalam mengenai implikasi intervensi asing dalam upaya implementasi SSR di berbagai negara

termasuk Indonesia.

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 23: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

29

tersebut Rizal Darma Putra menyebutkan bahwa SSR tidak dapat dilepaskan dari konteks

paska perang dingin dimana lahir paradigma kemanan baru bernama human security64

.

Senada dengan Putra, Mufti Makaarim juga menyatakan dengan tegas menyatakan eksistensi

SSR memiki akar pada kemunculan gagasan Human Security paska perang dingin65

.

Tentunya gagasan Human Security yang secara spesifik dimaksud di sini ialah mazhab

Kanada, yang menekankan perlindungan manusia dari ancaman kekerasan fisik.

Referensi yang membicarakan mengenai SSR sendiri dapat dikatakan cukup

melimpah, dikarenakan luasnya pembahasan yang dibicarakan. Dalam konteks Indonesia

misalnya -sebagai salah satu contoh lokalitas-, referensi mengenai SSR pada umumnya

membahas mengenai SSR dalam konteks militer, intelejen, dan kepolisian. Cornelis Lay

misalnya, mencoba membahas mengenai SSR dalam konteks intelejen. Dalam artikelnya,

Lay menawarkan sebuah mekaniske reformasi intelejen pada tataran lembaga dan individu.

Pada level lembaga Lay misalnya menyarankan agar dibuat batas yang tegas antara tugas

intelejen dan Yustisia. Intelejen harus berjalan pada relnya saja, dalam artian menghimpun

berbagai informasi penting terkait ancaman kemanan yang mungkin terjadi. Sedangkan di

ranah penindakan (yustisia) maka intelejen tidak boleh menerobos garis ini. Penindakan

haruslah dilaksanakan instutusi lain yang membidanginya, yakni polisi dan lembaga penegak

hukum lain66

. Sementara pada level individu, Lay misalnya memberikan tawaran agar

dibuat sebuah tata aturan teknis baku yang mengikat kepada setiap individu agen67

.

Diharapkan dengan adanya tata aturan tersebut perilaku agen dapat didisiplinkan sedemikian

rupa agar tetap dalam tata aruran yang berlaku68

.

Selain masalah intelejen, ada pula contoh referensi yang memfokuskan

pembahasaannya pada kepolisian, misalnya laporan yang disusun lembaga International

Crisis Group (ICG). Dalam laporan lembaga tersebut ada sejumlah rekomendasi bagi

reformasi polisi sejalan dengan misi SSR. Sebagai contoh ICG menyerukan dibentuknya

64 Putra, Rizal Darma.2010. Pengantar. Dalam Sukadis, Beni, Aditya Batara & Amdy Hamdani (ed). Panduan

Media Dan Reformasi Sektor Keamanan. Jakarta/ Jenewa: Lesperssi, IDSPS & DCAF,hlm. 3 65 A, Mufti Makaarim. No date. Akuntabilitas Reformasi Sektor Keamanan Paska 1998. Jakarta: Elsam,hlm. 7 66 Lay, Cornelis. 2005. Menjaring Bayang-bayang: Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis.

Dalam Widjajanto, Andi (ed). Reformasi Intelijen Negara. Jakarta: Pacivis,hlm. 236-237 67 Ibid,hlm.235 68 Contoh fiksi yang mungkin menggambarkan gawatnya bila seorang agen yang tidak memiliki (atau tidak mematuhi) aturan baku seorang agen adalah film agen rahasia kenamaan Inggris 007 James Bond. Dalam film

tersebut nampaknya kaedah “menghalalkan segala cara” demi tercapainya tujuan agen nampaknya dapat

dilakuan. Dalm berbagai adegan film 007 nampak jelas perilaku agen yang membahayakan keamanan

masyarakat seperti aksi kejar kejaran dengan menggunakan kendaraan disertai tembak menembak di tempat

umum, menghancurkan bangunan, dan aksi kekerasan lain tentunya membahayakan keamanan masyarakat luas

di tempat operasi dilakukan.

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 24: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

30

ombusdman atau lembaga pengawasan eksternal lainnya untuk memantau kinerja Polisi dan

menerima berbagai pengaduan yang berhubungan dengan tindakan oknum polisi. Selain

pengawasan eksternal yang sifatnya berupa lembaga negara, ICG juga mendorong penguatan

kelompok masyarakat sipil untuk mengawasi kinerja kepolisian69

. Sejumlah rekomendasi

tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks kepolisian Indoesia yang selama ini dinilai

korup, tidak efisien dan efektif70

.

Sebagai contoh misalnya diberikan oleh ICG yakni dengan adanya pepatah umum

yang beredar di kalangan masyarakat Indonesia bahwa jika melaporkan ayam hilang, bisa-

bisa sapi hilang71

. Pepatah tersebut menyiratkan perilaku korup polisi yang meminta upah

pada masyarakat jika ingin dilakukan penindakan sebuah kasus. Itupun dalam artian upah

guna penindakan, belum pasti penindakan berujung pada selesainya permasalahan secara

menggembirakan. Misal dalam kasus kecurian ayam belum tentu ayamnya kembali, sehingga

sudah susah-susah membayar mahal (sapi hilang) tetapi ayam tetap hilang. Hal ini

menggambarkan potret buram aparat keamanan yang seharusnya melindungi masyarakat dari

ancaman kemananan namun pada kenyataaanya tidak berhasil menegakkannya72

.

Selain Lay dan ICG yang berkonsentrasi membahas SSR di sektor intelejen dan

kepolisian, artikel Dimas P Yudha dapat menjadi salah satu contoh karya yang membahas

SSR di sektor militer. Menurut Yudha reformasi di tubuh militer Indonesia hingga era

Yudhoyono73

telah menunjukkan sejumlah perkembangan positif. Perkembangan tersebut

diantaranya dihapuskannya dwifungsi ABRI dan netralitas TNI dalam pilkada74

. Akan tetapi

ada masalah krusial yang menurut Yudha haruslah dibenahi agar reformasi TNI dapat

berjalan dengan baik di masa mendatang yakni penaturan bisnis TNI. Menurut Yudha salah

69 ICG. 2001. Indonesia: Reformasi Kepolisian Nasional. Brussels/Jakarta: ICG,hlm.iii 70 Ibid,hlm.1 71 Ibid,hlm.11 72

Lebih parah lagi ketika polisi justru menjadi penyebab ketidakamanan warga. Dalam kasus Densus 88

misalnya –yang notebene di bawah kendali kepolisian- tidak jarang orang tidak bersalah menjadi korban salah

tangkap bahkan penembakan yang dilakukan aparat keamanan tersebut. Mislanya Nur Iman, seorang warga

yang ditembak Densus ketika melakukan pengejaran terhadap para terduga teroris di Sukoharjo. Densus juga

pernah menangkap dua warga tidak bersalah bernama Mugi Hartanto dan Sapai di Jawa Timur. Keduanya

menjalani penahanan tanpa bukti selama tujuh hari berturut turut dan pada akhirnya dibebaskan. Selain Densus

88, kepolisian secara umum juga kerap melakukan tindakan fisik kepada warga yang diduga pelaku kejahatan

namun pada akhirnya tidak terbukti (salah tangkap). Salah satu contohnya ialah JJ Rizal yang dituduh membawa

narkoba. Rizal sempat ditangkap dan dipukuli selama 15 menit. Selain Rizal, Tartusi mengalami peristiwa

serupa (bahkan mungkin lebih buruk). Tartusi dituduh sebagai pelaku kejahatan. Betisnya menjadi sasaran

tembak polisi dan dipaksa mengakui kejahatan yang tidak dilakukannya. Akhirnya Tartusi dibebaskan setelah tuduhan padanya tidak bisa dibuktikan. Lihat: Kontras. No date. Data Kasus Kekerasan Polisi Okt - Des 2009.

Jakarta: Kontras,hlm.1; Kontras. No date. Potret Buram Densus 88 Anti Teror dalam Bingkai Hak Asasi

Manusia. Jakarta: Kontras,hlm. 2; Kontras. No date. Data Penyiksaan Januari-Juni 2014. Jakarta: Kontras,hlm.1 73 Saat ini pemerintahan Indonesia berada di bawah kendali Joko Widodo dan Jusuf Kalla 74 Yudha, Dimas P. 2010. Reformasi Sektor Keamanan Pemerintahan SBY 2004-2009: Sebuah Review. Dalam

Indonesian Review Volume I Agustus,hlm.46

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 25: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

31

satu alasan krusial dari pengaturan bisnis TNI ini untuk memastikan supremasi sipil75

, yang

pada hakekatnya adalah penjaminan penegakan Human Security.

Keterkaitan bisnis dengan supremasi sipil dan Human Security dapat dilihat dari sisi

anggaran TNI. Jika TNI hanya mengandalkan anggaran –untuk bergaai aktivitasnya, seperti

baik bagi prajurit mauapun pembelian persenjataan- maka fungsi kontrol akan dapat

dilakukan secara lebih baik, karena secara formal yang memegang kuasa anggaran ialah

sipil76

. Jikalau TNI mememiliki pendanaan lain non anggaran maka perilakunya akan lebih

sulit dikontrol dan memungkinkan bagi mereka untuk bertindak “semau gue”. Terlebih lagi,

bisnis TNI kerap kali justru menghadapkan TNI sebagai penyebab ancaman keamanan fisik

bagi warga di sejumlah wilayah. Hal ini misalnya terjadi dalam kasus sengketa Alastlogo

pada tahun 200777

. Pada kasus tersebut TNI berposisi berhadap-hadapan dengan warga

karena TNI memiliki kepentingan bisnis di wilayah tersbeut yakni dengan adanya kerjasama

antara Induk koperasi TNI AL dengan PT Rajawali Nusantara Indonesia78

. Implikasinya

warga menjadi korban kekerasan yang dilakukan anggota TNI AL. Tercatat dalam laporan

Kontras sebanyak 4 warga tewas terkena peluru aparat TNI AL sedangkan 8 warga lainnya

mengalami luka-luka. Selain korban, sejumlah fasilitas umum dan rumah warga juga

mengalami kerusakan79

.

Berbeda dengan corak referensi yang menekankan pada SSR, ada pula referensi yang

berbicara mengenai model keamanan baru berbasis kesejahteraan. Salah satu literatur yang

memiliki corak seperti ini dapat ditemukan pada karya Yohanes Sanak. Sanak sendiri

berupaya membuat arumentasi mengenai pentingnya integrasi gagasan Human Security –

dalam artian keamanan berbasis kesejahteraan- dalam pengelolaan daerah perbatasan di

Indonesia80

. Selama ini gaya pengelolaan perbatasan menurut Sanak masih bercorak state

security yang mengandalkan kapasitas militer di perbatasan, terlebih lagi orientasi militer

75 Ibid,hlm.47 76 Ibid 77 Sebenarnya kasus Alastlogo telah dimulai sejak 1960an, dimana areal tersebut direbut paksa dari tangan

warga oleh TNI AL dengan alasan guna kepentingan latihan militer. Tercatat pengambilalihan lahan dilakukan

dengan mekanisme jual beli secara curang, karena TNI AL menggunakan pemalsuan cap jempol dan tanda

tangan. Sektika tanah berpindah tangan kepada TNI secara otomatis warga yang menempati lahan tersebut harus

mengikuti aturan main TNI AL. Tercatat jenis tanaman yang wajib dibudidayakan warga di wilayah tersebut

ialah wijen dan jarak. Itupun dengan catatan para warga harus membayar sewa lahan pada TNI AL. Lebih

parahnya jika warga gagal memenuhi target penen yang ditetapkan TNI AL maka warga bersangkutan dapat

ditahan atau dapat dipekerjakan secara paksa. Lihat Sri Endah Kinasih, Bambang Budiono, Sarkawi B. Husain. 2010. Model Resolusi Konflik dan Pembentukan Negara: Pemahaman Budaya Hukum secara Holistik di

Masyarakat Rawan Konflik. Dalam Masyarakat, Kebudayaan dan Politik Th 31 no 1,hlm. 31 78 Ibid 79 Kontras. No date. Laporan Sementara Insiden Alas Tlogo, Lekok, Pasuruhan (6 Juni 2007). Jakarta:

Kontras,hlm.1 80 Dalam konteks Sanak secara khusus perbatasan Indonesia dengan Timor Leste

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 26: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

32

yang utama ialah untuk menjaga kedaulatan teritorial dari kemungkinan serangan negara lain.

Sehingga jelas yang sedang dilindungi oleh militer ialah negara, dalam hal ini keutuhan

wilayahnya. Aspek manusia, tidak menjadi penting dalam penempatan militer di perbatasan.

Sanak sendiri mencontohkan misalnya dilakukan pembangunan gapura yang megah di

pintu perbatasan, padahal realitas masyarakat di wilayah tersebut relatif memprihatinkan dari

sisi kesehatan, ekonomi, dan pendidikannya. Sehingga Sanak berseimpulan bahwa Gapura

hanyalah diperuntukkan untuk semakin menambah “citra kuat” eksistensi militer di daerah

tersebut81

. Sanak sendiri mencoba menawarkan kebaharuan pengelolaan perbatasan dengan

mengintergasikan gagasan Human Security yang lebih berorientasi pembangunan (keamanan

berbasis kesejahteraan/seide dengan mazhab Jepang). Dengan agenda pembanguan di daerah

perbatasan, menurut Sanak hasil yang dicapai sesungguhnya justru lebih meyakinkan. Pada

satu sisi rakyat akan mendapatkan kebutuhan yang diperlukannya sehingga diharapkan terjadi

peningkatan nasionalisme warga perbatasan untuk siap mempertahankan negerinya82

. Disisi

lain Sanak berkeyakinan bahwa pembngunan wilayah perbatasan sebagai strategi keamanan

akan mengubah pola “defensif” keamanan menjadi “ofensif”. Dalam artian “defensif” karena

membayangkan militer sebagai penjaga ancaman yang mungkin datang dari luar, bukan

menyerang areal lawan. Sebaliknya dengan paradigma Human Security yang berbasis

pembangunan maka keamanan perbatasan menjadi “ofensif” karena diharapkan masjunya

wilayah perbatasan akan menambah citra positif Indonesia di hadapan negara lain, sehingga

mereka akan kagum bahkan segan dengan Indonesia83

.

Terkait dengan model literatur yang membahas Human Security dalam konteks global

sejatinya berpusat pada ide redefinisi kedaulatan negara bangsa yang dalam konteks

pergaulan internasional disebut prinsip non intervensi (non interference)84

. Dengan datangnya

ide Human Security konsepsi ini mendapatkan gugatan yang kuat sekaligus tawaran redefinisi

kedaulatan negara yang sama sekali baru (khas Human Security)85

.

Referensi yang secara jelas menegaskan implikasi Human Security dalam level global

ini (dan juga mendukungnya) ialah karya Paul Heinbecker. Heinbecker menegaskan secara

jelas impilasi eksistensi paradigma Human Security terhadap konsepsi kedaulatan negara

81 Sanak, Yohanes. 2012. Human Security & Politik Perbatasan. Yogyakarta: Polgov,hlm.102 82 Ibid,hlm.137 83 Dalam bahasa Sanak: “tampilan masyarakat di wilayah perbatasan lebih menarik daripada tampilan

masyarakat di wilayah perbatasan tetangga”. Lihat Ibid,hlm.136 84 Kedua mazhab dalam Human Security (Kanada dan Jepang) sepakat dalam permasalahan ini, hanya saja

mereka berbeda soal ruang lingkup ancaman dan -tentunya sebagai implikasinya- solusi apa yang dapat

ditempuh untuk menolak ancaman tersebut. 85 Model baru kedaulatan negara ini akan dibahas secara lebih rinci pada bab II

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 27: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

33

bangsa. Menurut Heinbecker negara bangsa yang sejak lama dilekatkan padanya kuasa untuk

menjamin keamanan di dalam negerinya sudah tidak memungkinkan lagi untuk

dipertahankan. Heinbecker menjelaskan contoh kasus negara gagal (failed state) yang

menyebabkan negara tersebut tidak mampu menjamin keamanan rakyatnya. Jika dalam

kondisi semacam itu Heinbecker menegakan bahwa harus ada skema khusus yang

memungkinkan penjaminan keamanan manusia86

. Secara spesifik ia menyebut Kanada87

menawarkan gagasan menarik untuk merancang suatu skema dan instrumen khusus yang

memungkinkan aktor lain (komunitas inetrnasional berkontribusi menciptakan keamanan

pada kondisi semacam itu di sebuah negara bangsa88

.

Dari pemaparan Heinbecker diatas sangat jelas menyiratkan perubahan besar yang

muncul paska munculnya paradigna Human Security, yakni yakni: pertama, ternadinya

redefinisi konsep kedaulatan negara bangsa. Kedua, eksistensi skema khusus yang

memungkinkan “bantuan bagi penciptaan kemanan” dilakukan oleh komunitas

internasional89

. Sebuah perubahan yang tentunya mengubah drastis relasi antar negara yang

sebelumnya sangat dipengaruhi prinsip non intervensi ala Westphalian. Jelas dengan

eksistensi Human Security intervensi menjadi sebuah barang “halal” –atas nama keamanan

global-, bukan lagi barang “haram” sebagaimana dibayangkan konsepsi Westphalia di masa

lampau.

Selain Heinbecker ada sejumlah argumentasi lain yang sejalan dengannya, yang misi

utamanya membenarkan perubahan konsep negara bangsa demi penciptaan keamanan

manusia di dalam negara tersebut dalam konteks negara gagal90

. Sebut saja karya Commision

on Human Security (CHS)91

berjudul Human Security Now yang diberi kata pengantar oleh

akademisi terkemuka dunia Amartya Sen. Sebagaimana gagasan Heinbecker (dan Kanada)

Menurut karya tersebut, pemberian kewenangan penuh kepada negara untuk memastikan

86 Heinbecker, Paul. 2000. Human Security The Hard Edge. Dalam Canadian Military Journal Spring

Edition,hlm. 13 87 Jika membaca secara keseluruhan artikel Heinbecker jelas menunjukkan dirinya merupakan pendukung

mazhab Kanada 88 Ibid 89 Dua perubahan ini termanifestasi sangat jelas dalam konsepsi R2P, bahakan dapat dikatakan menjadi pondasi

dasar pendirian R2P. Lebih jauh mengenai pembahasan R2P akan dibahas pada Bab III 90 Gagal dalam artian negara dianggap berada dalam kondisi tidak bisa menjaga keamanan rakyatnya

(kelemahan pada dirinya) ataupun negara dianggap tidak mau menjaga keamanan rakyatnya (negara kontra rakyat). 91 Lembaga ini berorientasi kepada mazhab Jepang. Namun sebagaimana ditegaskan dalam sejumlah tempat

dalam penelitian ini kedua mazhab berada pada pijakan yang sama yakni redefinsi konsep kedaulatan negara

bangsa sekaligus menekankan pada aktor baru non negara (komunitas internasional) sebagai aktor utama

penegakan keamanan global. Jadi kedua mazhab sebenarnya saling memperkuat satu sama lain dalam konteks

ini.

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 28: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

34

keamanan warganya sudah tidak relevan lagi di era kontemporer (abad 21)92

. Sama dengan

alasan Heinbecker, CHS juga menekankan realitas adanya sejumlah negara yang dianggap

gagal dalam melakukan tugas penyediaan keamanan sehingga merugikan warganya. Solusi

yang ditawarkan oleh CHS sangat jelas yakni mengubah referent object (obyek yang harus

dilindungi) dari negara ke individu. Sehingga individu dapat lebih dijamin keamannya93

.

Perubahan tersebut tentunya otomatis meredefinisi kedaulatan negara bangsa dan perlunya

pembuatan skema khusus yang memungkinkan bantuan penciptaan kemanan dilakukan oleh

aktor non negara (komunitas internasional)94

Berbeda dengan cara pandang yang ditawarkan oleh literatur ala Heinbecker dan

CHS, disadari atau tidak telah muncul literatur yang memberikan informasi penting adanya

gugatan terhadap implikasi konsepsi Human Security terhadap konsepsi westphalia tersebut.

Namun perlu ditegaskan kembali bahwa dapat dikatakan banyak karya yang mengandung

informasi penting ini sejatinya juga tidak bermaksud mengkritik human security, namun

justru membelanya.

Salah satu literatur yang memenuat informasi penting ini misalnya karya Shahrbanou

Tadjbakhsh &‎Anuradha Chenoy. Dalam karyanya sejatinya Tadjbakhsh &‎ Chenoy

bermaksud mendukung gagasan human security. Namun sadar atau tidak dalam karya dua

akademisi tersebut memuat opini lain yang mempertanyakan implikasi dari gagasan human

security tersebut. Opini lain yang dimaksud ialah kedasaran diantara kedua akademisi

tersebut bahwa sejatinya gagasan human security potensial bias barat (terkhusus yang

berorientasi freedom from fear/ mazhab Kanada). Bahkan Tadjbakhsh &‎ Chenoy

memberikan informasi penting mengenai sikap negara G77 yang pernah menyatakan

kecurigaan akan gagasan human security yang dianggap dapat menjadi teknologi kuasa baru

bagi Barat untuk mengintervensi dunia ketiga95

. Namun dalam artikel tersebut Tadjbakhsh &‎

Chenoy berupaya menepis opini lain tersebut, seraya menyatakan gagasan human security

sebenarnya justru menguntungkan dunia ketiga yang menginginkan agar masalah non militer

92 Commission on Human Security. 2003. Human Security Now. New York: Commission on Human

Security,hlm. 2 93Ibid 94 Dalam istilah CHS: “The security of one person, one community, one nation rests on the decisions of many

others”. Lihat Ibid Many others disini tentunya bermakna komunitas internasional, sebagaimana tercermin dengan jelas di dalam

karya CHS yang berulangkali disebut. Selain istilah komunitas internasional dalam karya CHS juga digunakan

istilah “interlinked world” yang tentunya semakin menambah keyakinan akan bangkitnya orde keamanan baru

yang berbasis kesepakatan di level internasional, bukan lagi urusan negara per negara. 95 Tadjbakhsh, Shahrbanou &‎Anuradha Chenoy. 2007. Human Security: Concepts and implications. New York:

Routledge,hlm. 35

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 29: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

35

lebih diperhatikan dalam pembicaraan keamannan internasional -secara khusus persoalan

pembangunan dunia ketiga-96

.

Dari keterangan diatas terlihat jelas bahwa Tadjbakhsh &‎ Chenoy berusaha

memadamkan kecurigaan dan kekhawatiran negara G77 akan potensi negatif dari

kemunculan gagasan Human Security. Dengan lihau Tadjbakhsh &‎ Chenoy berupaya

mengalihkan dan kemudian memframing pembicaraaan dengan menekankan soal non militer

(pembangunan dunia ketiga) sebagai isu keamanan yang lebih diinginkan untuk dibicarakan

dunia ketiga dalam forum internasional, tidak melulu soal militer. Agumen Tadjbakhsh &‎

Chenoy yang seakan membela negara dunia ketiga sejatinya mengandung kekeliruan besar.

Memang benar Human Security membuka peluang bagi pembicaraan keamanan yang

berspespektif non militer. Namun bukankan Human Security di level global berpijak di atas

redefinisi konsep kedaulatan negara bangsa? Jika peluang ini dibuka bukankah potensial

memberi ruang bagi berkembangnya mazhab freedom from fear yang Tadjbakhsh &‎ Chenoy

sendiri memandang bias barat? Apakah ada jaminan pembahasan non militer yang akhirnya

mendominasi pembicaraan keamanan global diantara negara bangsa dunia?97

. Permasalahan

itulah yang seharusnya menjadi titik pembahasan terlebih dahulu, tidak sebagaimana

dilakukan Tadjbakhsh &‎ Chenoy dengan memindah pembicaraan ke isu keamanan yang

bercorak non militer. Bahkan jikalau pembahasan berhasil diarahkan ke isu kemanan non

militer -dalam hal ini pembangunan98

-, maka apakah secara otomatis negara dunia ketiga

menjadi diuntungkan dengan hal tersebut? Sekali lagi perlu ditegaskan implikasi gagasan

Human Security di level global adalah meredefinisi konsep kedaulatan negara bangsa.

Dimana aktor luar (komunitas internasional) bahkan diposisikan lebih linggi dari negara

bangsa. Maka apakah bisa dijamin pembangunan ala komunitas internasional bakal

bermanfaat bagi dunia ketiga? Sisi kelam teori modernisasi dan governance -yang telah

dibahas dalam paper ini- menjadi pelajaran penting untuk selalu kritis terhadap berbagai

gagasan asing yang mengusung tema pembangunan bagi negara dunia ketiga99

.

96Ibid 97 Faktanya hingga hari ini justru wajah Human Security yang dianggap paling nyata di dunia internasional ialah

mazhab Kanada yang notebene dekat dengan isu militer lewat instrumennya bernama Responsibility to Protect

(R2P) 98 Model pembangunan (non militer) inilah yang menjadi pusat perhatian mazhab Jepang 99 Paper ini tidak membicarakan mengenai sisi non militer (khsuusnya pembangunan) dari gagasan Human

Security yang notabene masuk dalam domain mazhab Jepang. Tentunya ini merupakan tema penelitian

menarik yang dapat dikembangkan di masa depan untuk mengkaji secara kritis arah pembangunan ala

mazhab Human Security versi Jepang/ freedom from want yang juga didukung oleh lembaga

internasional semacam UNDP

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 30: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

36

Meskipun peneiti tidak sepakat dengan argumen pribadi yang diwacanakan

Tadjbakhsh &‎ Chenoy, namun tidak bisa dipungkini nilai penting dari karya Tadjbakhsh &‎

Chenoy yang membuka mata mengenai adanya suara lain yang menggugat klaim netralitas

yang diusung oleh gagasan Human Security. Penelitian ini sendiri mengambil sikap sejalan

dengan “suara lain” yang hadir dalam karya Tadjbakhsh &‎ Chenoy, dimana memandang

human Security secara umum di level global secara kritis. Namun sebagaimana misi awal

penelitian, studi ini akan dibatasi hanya pada telaah kritis salah satu instrumen penegakan

Human Security bernama Responsibility to Protect (R2P), yang hingga kini berkedudukan

sebagai instrumen utama penegakan human security secara global.

Tabel 1.2

Rumpun Literatur yang membahas Human Security

N

o

Penulis Corak Literatur Human Security

Konteks Global KonteksLokal

Pro (Redefinisi

konsep

kedaulatan

negara

bangsa)

Memuat

suara lain

(kritis

terhadap

redefinisi

konsep

kedaulata

n negara

bangsa)

Security Sector

Reform (SSR)

Keamanan

berbasis

Kesejahteraan

(non militer)

1 Cornelis

Lay

Membahas

mengenai SSR di

sektor intelejen.

Intelejen menjadi

penting untuk

dibenahi agar

eksistensinya

jangan

disalahgunakan

untuk

membahayakan

keamanna

manusia. Lay

menawarkan

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 31: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

37

reformasi intelejen

(indonesia)

dengan dua

mekanisme yakni:

1.) pembenahan

pada level

organisasi,misalny

a penegasan ranah

mana yang

merupakan hak

intelejen dan

ranah mana yang

merupakan hak

penegak

keamanan lain

semisal polisi.

Tidak boleh

masing-masing

pihak melanggar

batasan ranah

tersebut. lewat 2.)

pembenahan pada

level individu,

meislanya

merencang standar

baku kerja seorang

agen. Agar di

lapangan tidak

bertindak semena-

mena

2 Internationa

l Crisis

Group

(ICG)

Membahas

mengenai SSR di

sektor kepolisian.

Kepolisian

menjadi penting

untuk dibenahi

agar eksistensinya

benar-benar

memberikan rasa

aman pada rakyat

(konteks

indonesia). ICG

menawarkan

reformasi intelejen

(indonesia)

dengan dua

mekanisme yakni:

1.) pembenahan

pada level

organisasi,misalny

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 32: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

38

a penegasan ranah

mana yang

merupakan hak

intelejen dan

ranah mana yang

merupakan hak

penegak

keamanan lain

semisal polisi.

Tidak boleh

masing-masing

pihak melanggar

batasan ranah

tersebut. lewat 2.)

pembenahan pada

level individu,

meislanya

merencang standar

baku kerja seorang

agen. Agar di

lapangan tidak

bertindak semena-

mena. ICG salah

satunya

menawarkan

solusi pengawasan

polisi oleh

lembaga eksternal

(yang tentunya

juga harus

diperkuat) semaca

ombudsman dan

kelompok

masyarakat sipil

lain

3 Dimas P

Yudha

Membahas

mengenai SSR di

sektor militer.

Militer menjadi

penting untuk

dibenahi agar

eksistensinya

mendukung

keamanan rakyat,

bukan sebaliknya

menjadi musuh

rakyat. Yudha

mengapresiasi

langkah reformasi

yang telah

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 33: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

39

dilakukan selama

ini seperti

penghapusan

dwifungsi ABRI,

pemisahan tugas

kepolisian dan

TNI, netralitas

TNI dalam

pilkada. Namun

Yudha juga

mendorong

reformasi tidak

cukup sampai di

level itu saja.

Misalnya ia

menegaskan

pentingnya

pendisiplinan

bisnis-bisnis

militer. Dimana

alasan bisnis

itulah yang

potensial

menyebabkan

militer justru

berhadapan

bahkan

menggunakan

keekrasan kepada

rakyat di berbagai

wilayah. Atau

dengan kata lain

militer justru aktor

penyebab

ketidakamanan

warga.

4 Yohanes

Sanak

Human Security

(versi mazhab

Jepang/berbasis

pembangunan)

menjadi gagasan

esensial yang harus

diintegrasikan dalam

konsep keamanan

nasional (dalam hal

ini Indonesia),

terkhusus mengenai

konsep keamanan

perbatasan. Jika

diterapkan secara

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 34: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

40

khusus di wilayah

perbatasan akan

meningkatkan

ketahanan

Indonesia, karena

dengan kondisi

rakyat yang

sejahtera

dibayangkan akan

meningkatkan rasa

cinta tanah air

mereka. Kekuatan

rakyat inilah yang

diharapkan mampu

menjadi benteng

kuat penegakan

kemanan di

Indonesia,khususnya

a perbatasan.

5 Paul

Heinbecker

(pro

mazhab

Kanada)

Perlunya

redefinisi ulang

konsep

kedaulatan

negara bangsa

di era

kontemporer.

Alasannya

akibat

fenomena

negara gagal

yang notebene

tidak mampu

lagi

menyediakan

fungsi

keamanan bagi

warganegarany

a. Redefinisi

inilah yang

mampu

ditawarkan

Human

Security,

dimana

memungkinkan

terbukanya

ruang bagi

aktor non

negara untuk

terlibat aktif

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 35: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

41

menyediakan

keamanan

warga dunia.

6 Commision

on Human

Security

(pro

Mazhab

Jepang)

Sejalan dengan

Heinbecker.

Human Security

dinyatakan

sebagai konsep

kemanan abad

21.

Eksistensinya

penting untuk

memastikan

perlindungan

pada individu

yang seringkali

tidak mendapat

perlindungan

memadahi dari

negara

7 Tadjbakhsh

&‎Chenoy

Kedua akademisi

sadar adanya

potensi bias

kepentingan Barat

pada gagasan

Human Security

terkhusus dalam

gagasan freedom

from fear, bahkan

memberikan

informasi

kekhawatran

serupa juga pernah

dilontarkan negara

G77. Namun

keduanya sepakat

untuk mengajak

pada pembacanya

tetap optimis

terhadap

eksisitensi Human

Security.

1.5. Kerangka Teori

Guna melakukan telaah kritis terhadap gagasan Human Security yang dipandang

nirkepentingan dan normatif, namun sejatinya menyimpan aspek kuasa terselubung dapat

dijelaskan dengan bantuan teori Foucault tentang kuasa/pengetahuan ditambah dengan

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 36: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

42

konsepsi biopower. Sebelum membahas mengenai penggabungan dua teori yang sama-sama

dicetuskan oleh Foucault tersebut ada baiknya menjelaskan secara ringkas apa yang menjadi

gagasan utama kedua teori tersebut. Setelah penjelasan masing-masing teori kemudian

dilanjutkan dengan pemaparan penggunaan dua teori tersebut untuk kepentingan riset dalam

tulisan ini.

1.5.1 Kuasa/Pengetahuan Foucault

Salah satu sumbangan berharga Foucault dalam dunia akademik adalah idenya

tentang kuasa/pengetahuan. Bagi Foucault kuasa dan pengetahuan memiliki hubungan yang

saling mengisi atau saling terkait, dalam artian pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari kuasa

tertentu dan pengetahuan juga membentuk kuasa tertentu100

. Sebuah poin penting terkait

pengetahuan ini cenderung terlihat netral, tidak menyimpan kuasa, dan normatif. Foucault

sendiri menganalisis kelahiran pemerintahan liberal yang muncul di Eropa tidak dapat

dilepaskan dari kemunculan pengetahuan tertentu, dimana salah satu pilarnya adalah

perkembangan ilmu-ilmu sosial101

.

Sebuah contoh menarik mengenai kuasa yang mampu mendorong perubahan sosial

ditunjukkan dalam penelitian Walter d. Mignolo mengenai upaya dekolonialisasi konsep

tanah yang dilakukan di Amerika Latin. Menurut Mingono selama ini konsep yang

berkembang secara global dan juga berpengaruh besar di Amerika latin tentang tanah

didominasi gagasan kapitalis liberal dan komunisme. Konsepsi tanah dalam dominasi

paradigma liberal mengandaikan tanah adalah properti privat dari individu atau korporasi.

Sedangkan tanah dalam paradigma komunisme diyakini sebagai milik negara, dan tidak ada

hak kepemilikan di tangan individu. Walaupun negara dapat mengalokasikan tanah kepada

komunitas tertentu, tetapi tetap hak milik masih berada di tangan negara102

.

Keberadaan dua konsepsi tersebut dianggap bertentangan dengan konsepsi tradisional

masyarakat Amerika Latin dalam memandang tanah. Menurut mereka tanah bukan

merupakan milik negara ataupun individu, karena tanah tidak bisa menjadi hak milik

100 Konsepsi ini secara tegas dinyatakan oleh Foucault: “power and knowledge directly imply one another; that

there is no power relation without the correlative constitution of a field of knowledge, nor any knowledge that

does not presuppose and constitute at the same time power relations”. Lihat Foucault, Michel. 1995. Discipline

and Punish: The Birth of the Prison. New York: Vintage Books, hlm.27 101Lihat Howe, Adrian. 1994. Punish and Critique: Towards a Feminist Analysis of Penality. New York:

Routledge,hlm.72-73 dan Hindess, Barry. 1998. Knowledge and Political Reason. Dalam Nola, Robert (ed).

Foucault. New York: Routledge,hlm. 64 102Mignolo, Walter D. 2008. Preamble: The Historical Foundation of Modernity/Coloniality and the Emergence

of Decolonial Thinking. Dalam Klaren, Sara Castro (ed). A Companion to Latin American Literature and

Culture. Blackwell Publishing, Oxford: Blackwell Publishing, hlm.18-19

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 37: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

43

siapapun. Mignolo menambahkan bahwa secara realitas, upaya mengubah konsepsi ini sudah

dicoba oleh Evo Morales yang melakukan renegosiasi dengan sejumlah perusahaan gas alam

dan Cola mengenai masalah lahan yang ditempatinya103

.

Poin penting dari kajian Mignolo ialah bahwasanya wacana mengenai tanah yang

didominasi paradigma liberal atau komunis berimplikasi pada banyak hal. Sebagai contoh

jika paradigma yang berkembang tentang tanah didominasi komunis tentunya berimplikasi

pada banyak hal terkait seperti kewenangan negara, relasi negara-rakyat, dan hak milik.

Negara memiliki kewenangan yang kuat karena sebagai satu-satunya aktor yang memiliki

hak atas tanah. Tentunya kondisi ini memicu bentuk relasi negara-rakyat yang khas. Begitu

juga dengan model liberal, tentunya akan menimbulkan berbagai realitas baru, seperti

munculnya berbagai institusi terkait sertifikasi tanah.

Dalam konteks Bolivia misalnya, sebelum Morales memimpin, konsepsi dominan

tentang tanah (dipengaruhi paradigma liberal) dengan jelas merubah drastis realitas sosial

yang ada di negara tersebut. Dimana masyarakat tradisional yang memiliki konsepsi tanahnya

sendiri, menjadi terpinggirkan karena tanah yang dulu tidak dimiliki sia-siapa kini menjadi

rebutan kalangan berpunya (individu atau peruasahaan) untuk kepentingan mereka104

. Namun

karena adanya wacana yang membentuk rezim kebenaran maka seakan akan proses tersebut

absah.

Foucault juga memberikan penekanan bahwa pengetahuan tidaklah lahir dari ruang

hampa. Pengetahuan itu juga dibentuk oleh kuasa yang memiliki historisitas tertentu. Sebagai

contoh nyata adalah wajah ilmu sosial Indonesia terkhusus di Era Orde Baru yang dapat

dikatakan didominasi pandangan Amerika sentris. Wajah ilmu sosial tesebut tidak dapat

dilepaskan dari kepentingan AS yang dalam percaturan internasional tengah menghadapi

lawan besarnya yakni Uni Soviet. Kedua negara tersebut berupaya berebut pengaruh agar

makin banyak negara dunia yang berhasil masuh dalam pengaruhnya. AS sendiri melihat

bahwa dunia ketiga, temasuk Indonesia menjadi penting untuk dirangkul agar tidak jatuh ke

tangan komunis Uni Soviet105

. Salah satu langkah yang ditempuh AS ialah memberikan

sejumlah beasiawa kepada intelektual Indonesia untuk menempuh studinya di sejumlah

universitas terkemuka di AS. Perlu dicatat bahwa stetagi ini tidak hanya dilakukan melalui

103Ibid,hlm.19 104Sebagai contoh tercatat hanya sekitar 50.000 keluarga yang mampu mengakses 90% tanah produktif di

Bolivia. Jutaan lainnya tidak memiliki akses kepada tanah tersebut, kalaupun ada hanya memiliki akses yang

relatif kecil. Lihat Veltmeyer, Henry. 2007. On the Move: The Politics of Social Change in Latin America.

Ontario: Broadview Press, hlm.159-160 105Samuel, Hanneman. 2010. Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial Indonesia Dari Kolonoalisme Belanda hingga

Modernisme Amerika. Depok: Penerbit Buku Kepik Ungu,hlm.101

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 38: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

44

pemerintah, tetapi juga berkat kerja yang dilakukan lembaga non pemerintah seperti Ford

Foundation106

.

Pemberian beasiswa tesebut tebukti berhasil, dimana sejak masa Sukarno upaya

Amerikanisasi ilmu sosial telah mulai dirintis. Sebagai contoh di kalangan sosiolog Indonesia

sejumlah pandangan khas Amerika seperti parsoanian dan teori modernisasi mulai

disebarluaskan. Di masa Orde Baru proses ini semakin masif karena jaringan yang solid

sudah terbentuk, salah satunya melalui jaringan pusat studi Indonesia di tiga universitas AS

(Yale, Cornell, dan MIT)107

. Salah satu dampak dari Amerikasisasi ini salah satunya nampak

mempengaruhi cara pandang tentang pembangunan ekonomi yang banyak dipengaruhi

“mafia Berkeley”.

1.5.2 Biopower Foucault

Pembicaraan mengenai biopower tidak dapat dilepaskan pula dari nama Michel

Foucault, yang karya-karyanya tidak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang masalah

kekuasaan dan pendisiplinan. Terkait dengan definisi biopower dari Foucault sendiri dapat

dikatakan kurang jelas, namun sebagaimana dikatakan oleh Jen Pylypa, istilah biopower

berkonotasi menggambarkan sebuah kekuasaan yang cakupannya sangat luas sebagai berikut:

“power as dispersed throughout society, inherent in social relationships, embedded in a

network of practices, institutions, and technologies--operating on all of the "microlevels" of

everyday life”108

. Istilah ini dipakai Foucault untuk menggambarkan model kekuasaan baru

yang tumbuh di Eropa pada abad modern yang berbeda dengan kekuasaan model militer109

.

Istilah biopower sendiri seringkali mengalami kekaburan karena bersinggungan

dengan istilah Biopolitics yang sama-sama dinyatakan oleh Foucault. Sebagai ilustrasi dalam

catatan kali buku Security, Territory, Population dinukilkan ucapan Foucault dalam buku

“La Volonté de savoir” (Sejarah Seksualitas), dimana ia menggunakan kedua istilah tersebut

secara bersamaan dalam konteks pemaknaan yang sama: “What does this new technology of

power, this biopolitics, this bio-power that is beginning to establish itself, involve110

?”.

Bertolak dari pemakaian Foucault sendiri yang tumpang tindih maka dalam penelitian ini

istilah Biopower atau Biopolitics dianggap sama.

106Ibid,hlm.109-110 107Ibid,hlm.116 108 Pylypa, Jen. 1998. Power And Bodily Practice: Applying the Work of Foucault to an Anthropology of The

Body. Dalam Arizona Antropologist Volume 13,hlm.21 109Ibid 110 Foucault, Michel. 2007. Security, Territory, Population (Lectures at the College de France). New York:

Palgrave Macmillan, hlm.16 (penekanan ditambahkan)

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 39: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

45

Lalu apakah Biopower atau Biopolitic itu? Dapat dikatakan Biopower ialah teknologi

kuasa yang objeknya adalah masyarakat (society)111

. Stategi ini sebenarnya lebih tepat

dinyatakan sebagai perluasan teknologi kuasa “lama” yang pernah diperbincangkan Foucault

dalam sejumlah karyanya yakni teknologi kekuasaan pada level individu (yang sering

diistilahkan sebagai “anatomo-politics” atau “disciplines”)112

.

Jika fokus anatomo-politics pada upaya penciptaan identitas, norma, bahkan hasrat

tertentu yang berfungsi menciptakan individu yang patuh113

, atau seringkali diistilahkan

“docile body” (tubuh yang jinak) maka biopower bertujuan menciptakan sebuah equirilibium

(homoeostatis) atau “kenormalan” dalam sebuah populasi. Diantara contoh biopower ini

seperti kebijakan pro-natalis dan pencegahan endemi dalam sebuah populasi114

.

Sebagai ilustrasi bekerjanya biopower digambarkan secara menarik oleh Clare

Hanson yang memotret bekerjanya biopower di Inggris di tahun 1949. Paska Perang dunia II,

Inggris mengalami masalah kependudukan dimana laju pertumbuhan penduduk mengalami

penurunan. Pemerintah Inggris yang khawatir tentang masalah pertumbuhan membuat sebuah

badan yang dianmakan Royal Commision on Population. Menarik mencermati apa yang

diwacanakan oleh lembaga tersebut di bawah payung sebuah slogan besar yaitu “vitalitas

populasi Inggris”115

. Slogan tersebut memiliki dua katogorisasi spesifik untuk mendefinisikan

apa yang disebut “vitalitas populasi”, yaitu vitalitas secara kualitatif dan kuantitafif.

Guna mewujudkan impian “vitalitas populasi Inggris”, Royal Commision on

Population menyebarkan wacana bahwa dibandingkan dengan populasi Inggris, populasi di

negara oriental (timur) meningkat pesat, dan dapat menjadi tantangan bagi dunia Barat116

.

Asumsinya karena bangsa barat (termasuk warga Inggris) merasa “terancam” akan segera

berfikir untuk meningkatkan populasi mereka dengan semakin memperbanyak keturunan117

.

Apabila mencermati penjelasan Clare Hanson diatas dapat disimpulkan bagaimana

dampak pewacanaan tersebut pada masyarakat Inggris. Masalah berapa jumlah anak atau

111 Biebricher, Thomas. 2011. The Biopolitics of Ordoliberalism. Dalam Foucault Studies No 12,hlm. 174 dan

Friedner, Michele. 2010. Biopower, Biosociality, and Community Formation: How Biopower is Constitutive of

the Deaf Community. Dalam Sign Language Studies Vol.10 No.3 ,hlm. 340 112 Biebricher, Thomas. 2011.Op.cit 113 Takeshita,Chikako. 2012. The Global Biopolitics Of The IUD : How Science Constructs Contraceptive Users

And Women’s Bodies. London: The MIT Press,hlm. 21 114Hanson, Clare. Biopolitics, Biological Racism and Eugenics. Dalam Morton, Stephen and Stephen Bygrave

(ed). 2008. Foucault in an Age of Terror: Essays on Biopolitics and the Defence of Society. New York: Palgrave Macmillan. hlm.106-107 115Ibid. hlm. 109 116Ibid.hlm. 108-109 117 Sebaliknya cara berfikir terbalik juga dapat muncul dari pewacanaan semacam ini, yakni bagaimana Inggris

(dan Barat) berupaya menciptakan “normalitas” populasi bangsa non Barat agar gap diantara kedua populasi

(Barat-non Barat) tidak semakin melebar dan potensial mengancam dunia Barat.

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 40: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

46

masalah kehamilan yang semula dalam ruang privat berubah menjadi masalah pubik ketika

wacana Royal Commision muncul. Tentunya sebagai dampak dari wacana tersebut

pemerintah dilekatkan hak (kuasa) guna menginfiltrasi kehidupan masyarakat ke level yang

lebih dalam, baik masyarakat Inggris sendiri atau masyarakat Timur yang diposisikan sebagai

“ancaman”. Nyatanya dalam konteks campur tangan pemerintah terhadap masalah kehamilan

di luar negeri hingga saat ini masih terjadi.

Satu fakta menarik yang patut untuk dikaji ialah hingga saat ini Inggris mendanai

proyek strelisiasi paksa yang dilakukan oleh pemerintah India. Fakta ini salah satunya

dijelaskan secara terperinci oleh seorang peneliti London School of Economics and Political

Science (LSE) bernama Kalpana Wilson. Menurut kajian Wilson, kebijakan yang telah

berlangsung sejak tahun 1970an tersebut dipenuhi oleh sejarah kekerasan, kematian, dan

berbagai penipuan. Semisal di tahun 70an, banyak lelaki India yang menjadi korban

“penculikan” oleh aparat negara dan dipaksa untuk melakukan vaksetomi di kamp-kamp

sterilisasi118

.

Tidak hanya laki-laki, perempuan juga menjadi korban –bahkan dapat dikatakan lebih

parah-. Seringkali mereka menjadi korban penipuan dengan diiming-imingi sejumlah reward

jika melakukan sterilisasi, dalam keadaan lain mereka diancam tidak mendapatkan sejumlah

akses program pemerintah terkait kesejahteraan (welfare), bahkan tidak jarnag sebagaimana

kaum laki-laki disana mereka dibawa paksa ke kamp untuk kemudian dilaksanakan

sterilisasi119

. Lebih menyedihkan lagi menurut temuan Wilson, kondisi kamp tidaklah baik

sehingga tidak jarang banyak wanita yang menjalani operasi di sana berakhir dengan

kematian120

. Tentu saja kenyataan semacam ini tidak diperlihatkan oleh Inggris. Wajah

“kehidupanlah” yang diperlihatkannya. Semisal dengan mewacanakan “hak-hak reproduksi”,

padahal menurut Wilson sejatinya rasisme dan partiarkal121

.

Kenyataan menyedihkan tersebut menurut Wilson tidak menyurutkan Inggris terus

menggelontorkan dana kepada pemerintah India melalui The Department for International

Development (DFID) guna membiayai kebijakan tersebut122

. Alasan pembiayaan terus

menerus ini tentunya sangat terkait dengan ketakutan demografi yang dihadapi Inggris pasca

118 Wilson, Kalpana. 2014. Britain Must End Its Support For Sterilisation In India Diakses di

http://blogs.lse.ac.uk/southasia/2014/11/20/britains-population-policies-are-fuelling-atrocities-like-indias-

sterilisation-camp-deaths/ pada tanggal 25 November 2015 pukul 10.41 WIB 119 Ibid 120 Ibid 121 Wilson, Kalpana. 2014. Britain’s Population Policies Are Fuelling Atrocities Like India’s Sterilisation Camp

Deaths. Diakses di http://blogs.lse.ac.uk/southasia/2014/11/20/britains-population-policies-are-fuelling-

atrocities-like-indias-sterilisation-camp-deaths/ pada tanggal 25 November 2015 pukul 10.42 WIB 122 Ibid

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 41: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

47

perang dunia II. Sebagaimana dibahas sebelumnya, Inggris ketakutan jika populasi dunia

Timur, termasuk India yang merupakan negara bekas jajahannya dapat menjadi pesaing bagi

dunia Barat123

. Selain itu meningkatnya populasi dunia tentunya akan semakin berimplikasi

pada pemakaian sumber daya alam dunia. Tentunya Inggris akan lebih memilih populasi

Inggris yang menikmati sumber daya itu dibandingkan dengan warga dunia Timur124

.

Kasus diatas menunjukkan bagaimana mengerikannya kuasa biopower. Seakan

muncul dengan wajah “kehidupan” yang berupaya membenahi populasi Inggris paska perang

dunia II yang tentunya mengalami penurunan drastis dan kualitas yang buruk akibat perang.

Namun wajah “kematian” sekaligus menyertainya, dimana salah satunya terbukti dari

kebijakan bantuan sterilisasi Inggris untuk menghalangi sebisa mungkin meningkatnya

populasi di dunia Timur (termasuk India yang merupakan wilayah jajahannya) agar tercipta

demografi yang “normal” antara warga Inggris (dan Barat lain) dengan warga Timur.

Poin penting yang perlu ditekankan pada biopower ini ialah pembacaannya yang kritis

dalam melihat kuasa besar di balik pengaturan populasi. Sebagaimana dipahami bahwa

biopower memiliki tujuan menciptakan homoeostatis atau “kenormalan” di level masyarakat

(populasi). “Kenormalan” yang dimaksud seakan bernuansa positif, yakni meningkatkan

kualitas populasi, yang dalam istilah Foucault “power to make live125

”. Dalam kasus Inggris

diatas, pemerintah punya hak memastikan kuantitas dan kualitas populasi Inggris. Guna

mencapai tujuan tersebut maka dibutuhkan intervensi di tingkat populasi. Padahal intervensi

ini hakikatnya bagai dua sisi koin, dimana satu sisi terkait dengan wajah “kehidupan” namun

pada sisi lain terkait dengan wajah “kematian”. Maksud dari dua sisi tersebut ialah guna

menjamin “kenormalan” pada populasi maka berbagai intervensi yang notabene bertentangan

dengan “kehidupan”, seperti penolakan, hukuman, bahkan memusnahkan menjadi legal untuk

123 Tidak heran AS sebagai aktor kuat dunia Barat saat ini menggantikan Inggris juga terlibat aktif mendanai

sterilisasi paksa di India ini lewat mekanisme USAID. AS sendiri melalui mekanisme USAID hanya

mementingkan hasil (melalui sistem kuota). Sehingga dapat dikatakan keadaan manusia (khususnya wanita)

India tidak lain diyakini layaknya benda mati, tidak punya pilihan. Ukuran kuota berapa banyak yang sanggup

disterilisasi dalam kurun waktu tertentu yang menjadi ukuran. Bukan mau tidaknya sang pasien, bagaimana

kondisi kamp, cara seperti apa yang harus dilakukan agar target kuota terpenuhi tidak menjadi hal yang penting

bagi AS. Lihat Celeste McGovern. No date. USAID Funding of Sterilization Camps in India. Shenandoah

Valley: The Population Research Institute,hlm.14-15

Perlu ditambahkan, tentunya AS maupun Inggris beserta “partnernya”, yakni pemerintah India tidak

menunjukkan wajah “kematian”nnya dalam melakukan sterilisasi paksa ini. Sebagaimana yang ditegaskan 124 Menariknya program pengurangan populasi global lewat program sterilisasi (yang dalam konteks

indonesia dikenal dengan nama KB) termasuk instrumentasi penegakan Human Security yang diusung dalam

laporan UNDP tahun 1994. Sehingga menarik pula untuk menjadi topik penelitian ke depan untuk

mencermati proyek sterilisasi ini. 125Foucault, Michel. 2003. Society Must Be Defended Lectures At The College De France 1975-1976. New

York: Picador,hlm. 247

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 42: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

48

memastikan kehidupan tersebut126

. Menjadi sebuah ancaman yang menakutkan ketika kuasa

“kematian” ini pada hakikatnya dilakukan oleh si pemegang kuasa (dalam konteks Inggris

pemerintah Inggris). Dialah yang memiliki kuasa penuh menentukan apa yang dianggap

membahayakan kondisi “kenormalan” populasi inggris sehingga bisa ditindak dengan

berbagai kebijakan yang “relevan”.

Sebuah contoh sederhana dapat memberikan gambaran mengenai dua wajah kuasa

biopower sebagaimana diisustrasikan oleh Foucault sendiri. Menurut Foucault kuasa

biopower secara nyata termanifestasi dalam negara Jerman Nazi. Kekuasaan Nazi sendiri

berpijak pada gagasan besarnya yakni meningkatkan taraf hidup populasi Jerman/bangsa

Arya. Tujuan tersebut jelas sejalan dengan konsepsi biopower yang bertujuan mengontrol

populasi agar mencapai homoeostatis. Dibungkus tujuan “mulia” tersebut (yang dapat

disebut “wajah” kehidupan) rezim NAZI secara otomatis terlekati kuasa “kematian”127

.

Dampaknya tentu dapat disaksikan bahwa Jerman Nazi berupaya menghapus sejumlah

“ketidaknormalan” pada sejumlah kalangan masyarakat–menurut anggapan rezim- dengan

cara membinasakannya agar tidak merusak populasi Jerman secara keseluruhan.

Contoh nyata Jerman dalam menghapus “ketidaknormalan” ini ialah kebijakannya

pada kalangan difabel. Kalangan difabel dianggap “mengotori” populasi “normal” bangsa

Arya, dan meningkatnya jumlah difabel tentunya akan semakin mempengaruhi komposisi

“normal” dan “tidak normal” dalam populasi Arya Jerman. Maka sejumlah kebijakan diambil

oleh Nazi untuk mengembalikan “kenormalan” populasi Arya dengan sejumlah cara, seperti:

pertama, sterilisasi bagi kalangan difabel. Langkah ini guna menghambat peningkatan

populasi difabel di masa mendatang. Kedua, eliminasi bagi kalangan difabel. Sejumlah cara

ditempuh Nazi untuk mengeliminasi difabel. Tercatat pembunuhan bayi yang lahir dalam

keadaan difabel sebagai langkah utama, dibarengi dengan sejumlah langkah lain seperti

memberi obat atau suntikan racun (euthanasia) bahkan memebiarkannya kelaparan sampai

mati128

.

Tidak terbatas pada kaum difabel saja, sejumlah kalangan yang mengidap penyakit

tertentu juga dianggap “membahayakan” populasi, sehingga perlu diambil tindakan dengan

mengeliminasi mereka. Tercatat Nazi menganggap sejumlah penyakit seperti sipilis, epilepsi,

126Ibid,hlm.254-256 127Ibid,hlm.256-260 128 Friedlander, Henry. 1995. The Origins Of Nazi Genocide : From Euthanasia To The Final Solution. Chapel

Hill ; London : University North Carolina Press, hlm. 151 dan Branson, Jan & Don Miller. 2002. Damned For

Their Difference : The Cultural Construction Of Deaf People As "Disabled" : A Sociological History.

Washington, D.C. : Gallaudet,hlm. 33

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 43: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

49

dan shizophernia sebagai “perusak” populasi, dan individu yang dianggap mengidapnya akan

dihabisi. Langkah ini direalisasikan Nazi dengan nama operasi T4, dimana dilaksanakan di

ibukota Jerman Berlin. Cap “normal” atau “tidak” akan diberikan oleh dokter-dokter T4 pada

individu, dan siapa yang mendapat cap “tidak” maka akan dihabisi dengan menggunakan

kamar gas129

.

Tindakan Nazi tersebut dapat dikatakan sebagai perwujudan yang dapat ditemukan

sebagai manifestasi biopower di dunia ini, dimana ia memiliki kuasa “kehidupan” yang

berada pada sisi depan sebuah koin (yang nampak di permukaan) dan kuasa “kematian” yang

berada pada sisi belakang sebuah koin (yang tidak nampak di permukaan). Maka tidak heran

Foucault memberikan penekanan penting pada kuasa terselubung yang hadir di balik wajah

“indah” biopower dengan ungkapan “if you want to live, the other must die130

”, yang

mengambarkan relasi tak terpisahkan dari dua kuasa tersebut.

Secara mudah kuasa biopower sebagaimana dijelaskan panjang lebar diatas ialah

sebuah kuasa yang berbeda dengan model kuasa masa lalu (pra modern) yang “berwajah”

kematian. Contoh dari model kuasa model ini ialah kekuasaan ditandai dengan tentara,

hukuman mati, penjara, upeti, dan mekanisme lain yang sangat menyeramkan. Sehingga

ketundukan pada kuasa dikarenakan ketakutan seseorang pada mekanisme-mekanisme kuasa

tersebut. Berbeda dengan kuasa masa lalu, biopower yang memiliki wajah yang berbeda 180

derajat. Kuasa biopower merupakan jenis kuasa masa kontemporer (modern). Kuasa ini justru

menampilkan “wajah” kehidupan, bukannya kematian. Walaupun secara hakikat “wajah”

kematian tetap hadir di balik “wajah” kehidupan.

Contoh dari model kuasa ini terlihat dari cara NAZI membangun kekuasaannya.

NAZI berpijak pada gagasan perbaikan bangsa Jerman sehingga menjapai fase yang lebih

baik. Sebuah gagasan yang nampaknya indah di permukaan. Namun sebagaimana dinyatakan

Foucault, “wajah” kehidupan ini sejatinya sekaligus membawa “wajah” lain yakni kematian.

Karena itulah NAZI dengan mudah mendapatkan legitimasi luas dari rakyat Jerman untuk

membinasakan berbagai kelompok ras/individu yang tidak “normal” agar tujuan “mulia”

perbaikan bangsa Jerman tercapai. Istilahnya pengorbanan diperlukan demi kemajuan.

Dua teori yang telah dipaparkan diatas terbukti sangat bermenfaat untuk memudahkan

analisa terhadap gagasan Human Security secara kritis. Namun tentunya sebagaimana janji di

awal kedua terori tersebut haruslah dirangkai sedemikian rupa agar dapat membantu

129Poore, Carol. 2007. Disability in Twentieth-century German Culture. Ann Arbor : University of Michigan

Press,hlm.87 130Foucault, Michel. 2003. Society Must Be Defended Lectures At The College De France 1975-1976. New

York: Picador,hlm. 255

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 44: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

50

menghasilkan pembacaan yang kritis mengenai Human Security. Secara detail penggabungan

dua teori tersebut dapat disimak pada skema 1.1

Skema 1.1

Alur Berfikir

Human Security [konteks global]

sebagai bentuk pengetahuan

yang melahirkan kuasa ala

Foucault: Dimana termanifestasi

dari redefinisi konsep kedaulatan

negara bangsa dan hak bagi aktor

non negara (komunitas

internasional) untuk terlibat aktif

“memastikan kemanan” di suatu

negara

Implikasinya: Memungkinkan

negara yang memiliki power untuk

menjalankan ambisinya memformat

dunia berkedok perlindungan

keamanan manusia global dengan

justifikasi negara gagal menjaga

keamanan wilayahnya sendiri

Tantangan: Harus ada skema/

mekanisme/instumentasi yang

jelas untuk memastikan ambisi

negara yang memiliki power

tersebut terlaksana, namun

dengan “wajah” yang bersahabat

(Sebagai contoh saja: eksistensi

tambang diklaim sebagai

instumentasi kesejahteraan rakyat di

berbagainegara dunia ketiga

(termasuk Indonesia). Namun

faktanya demi elit lokal dan asing

saja. Rakyat menderita. Terjadi

kutukan sumber daya alam )

Responsibility to Protect (R2P) sebagai salah

satu instumentasi untuk mewujudkan ambisi

negara yang memiliki power tersebut dan

menjadi fokus penelitian ini

Instumen R2P sendiri merupakan hasil karya dari

mazhab Human Security ala Kanada yang

menekankan pada perlindungan manusia dari

ancaman konflik kekerasan

Melalui R2P opsi operasi militer dan pendudukan

wilayah oleh komunitas internasional atas nama keamanan manusia di sebah negara terbuka lebar

Misi Penelitian:

Melucuti “topeng” R2P:

Membuktikan bahwa

kepentingan negara yang

memiliki power menjadi

prioritas utama. Keselamatan

manusia di wilayah penerapan

R2P bukan merupakan

prioritas bahkan sama sekali

tidak dianggap penting jika

tidak berkesesuaian dengan

upaya mewujudkan

kepentingan negara yang

memiliki power.

Staretgi Penelitian: “Melucuti

topeng R2P”:

1.Menyingkap kepentingan

terselubung apa di balik suatu

misi R2P

2. Mencermati secara kritis

penerapan di lapangan apakah

kepentingan terselubung itu

yang menjadi prioritas atau

keamanan rakyat di wilayah

yang dilanda konflik-kekerasan

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 45: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

51

1.6. Metode Penelitian

1.6.1 Desain Penelitian, Teknik pengumpulan& Analisa data

Penelitian meilih menggunakan metode studi kasus sebagai desain penelitiannya.

Alasannya studi kasus dianggap sebagai meode yang sesuai dengan misi penelitian yakni

mengungkap sudut gelap penerapan salah satu Instrumen penegakan Human Security yakni

Responsibility to Protect (R2P) yang hingga kini menjadi manifestasi paling nyata atau dapat

pula dikatakan “wajah” dari Human Security global kontemporer. Studi kasus yang dimaksud

dalam penelitian ini mengikuti pendefinsian kasus yang dinyatakan oleh George & Bennet131

yakni “an instance of a class of events of interest to the investigator”132

. Dari pengertian

diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya ada dua hal mendasar dalam penelitian studi

kasus merujuk pada mengertian George & Bennet, yakni: 1.) instance of a class of events,

yang mendakan bahwa dalam penelitian studi kasus diperlukan contoh kejadian yang jamak

namun saling terkait satu sama lain (ada benang merah pada kasus tersebut). 2.) interest to

the investigator, yang menandakan pemilihan kasus yang saling terkait itu ditentukan

sepenuhnya oleh subjektivitas sang investigator/ peneliti dengan alasan tertentu. Dimana

dalam hal ini tentunya terkait dengan tujuan peneitiannya.

Mencermati keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa studi kasus amat relevan

dengan tujuan peneitian ini yang ingin mengungkap sudut gelap penerapan R2P di lapangan.

Tentunya untuk memenuhi tujuan tersebut dibutuhkan sejumlah penenusuran aktivitas R2P di

lapangan yang tentunya terjadi dalam lingkup geografis yang beragam. Dengan skema studi

kasus sebagaimana didefinsikan oleh George & Bennet maka misi penelitian yang ingin

dicapai penulis dapat dikerangkai dengan baik. Dimana: Pertama, instance of a class of

events yang dimaksud oleh George & Bennet merujuk pada episode historis (sejarah) suatu

fenomena ilmiah yang terdefinisikan dengan baik133

. Dalam konteks penelitian ini berbagai

131 Bennet sejatinya menukil dari George. Namun dalam sejumlah referensi belakangan kedua nama tersebut

tidak dipisahkan karena Bennet sendiri mengafirmasi dan ikut serta mempopulerkan ide George. Sehingga

dalam penelitan ini nama George & Bennet dipakai secara bersama-sama. 132 Bennett, Andrew. 2002. Case Study Methods: Design, Use, and Comparative Advantages. Dalam Sprinz, D.

F., & Wolinsky, Yael. Cases, Numbers, Models: International Relations Research Methods. Ann Arbor:

University of Michigan Press,hlm. 28 133 ; George, Alexander L. & Andrew Bennett. 2004. Case Studies and Theory Development in the Social

Sciences. Cambridge: MIT Press,hlm. 18 Lihat pula: Levy, Jack S. 2009. Case Studies and Conflict Resolution.

Dalam Bercovitch, Jacob, Victor Kremenyuk & I William Zartman (ed). The SAGE Handbook of Conflict

Resolution. London: Routledge,hlm. 73; Llacay, Barbara & Gilbert Peffer. 2009. Foundation for A Framework

for Multiagent-Based Simulation of Macrohistorical Episodes in Financial markets. Dalam Hernandez, Cesareo,

Marta Posada& Adolfo Lopez-Paredes (ed). Artificial Economics. Heidelberg: Springer,hlm. 135

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 46: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

52

kasus lapangan penerapan R2P sejatinya dapat dimasukkan dalam satu ikatan (class) yang

berciri episode historis, dimana beragam penerapan R2P di lapangan yang sangat luas secara

geografis (Afrika, Asia, Eropa) merupakan sebuah narasi besar dari proses evolusi R2P dari

penciptaannya menuju proses mencapai “kesempurnaan”134

. Kedua, soal interest to the

investigator maka membuka peluang bagi peneliti untuk memasukkan kasus mana saja dalam

proses evolusi R2P tersebut yang dirasa sangat penting untuk membuktikan misi penelitian,

yakni menyingkap sisi gelap (implikasi negatif) eksistensi R2P. Tentunya pilihan yang

sifatnya subjektif tersebut haruslah dijustifikasi alasannya. Termasuk juga variabel apa yang

dipakai untuk mengamati kasus tersebut dan relasinya dengan teori yang digunakan dalam

peneitian ini.

Berbekal pendefinisian studi kasus ala George & Bennet maka dibutuhkan

rasionalisasi mengenai instance of a class of events apa untuk dipergunakan sebagai fokus

penelitian ini berikut alasannya. Sebagaiman dibahas dalam paragraf sebelumnya, peneitian

ini akan berfokus pada sebuah realitas bernama Responsibility to Protect (R2P), secara

spesifik mengenai penerapannya di lapangan. Dikarenakan misi penitian yang ingin

membuktikan bahwasanya R2P dalam penerapannya di lapangan tidak seindah yang

dipropagandakan selama ini (berimplikasi negatif) alias ingin mengungkap sisi gelap R2P

maka diperlukan sejumlah kasus yang cukup representatif untuk membuktikan hipotesis

tersebut. Sebagaimana ditegaskan oleh George & Bennet bahwa studi kasus terkait erat

dengan episode historis (sejarah) sedangkan penerapan R2P di lapangan secara faktual juga

terkait erat dengan episode historis tertentu yakni sejarah evolutif R2P menuju proses

“kesempurnaan” (1999-2011)135

, maka haruslah dipilih peristiwa penerapan R2P yang

“menonjol” atau mempunyai andil besar dalam mentukan sejarah evolusi R2P hingga fase

“kesempurnaan”. Penelitian ini sendiri akan mengambil sejumlah peristiwa historis

penerapan R2P sejak awal kelahirannya hingga tahap kesempuran dengan alasannya sebagai

berikut:

134 Satu tonggak besar dalam proses kesempurnaan ini ialah penerimaan luas dunia internasional di tahun 2005

dan pada akhirnya R2P dikenal sebagai wajah dari Human Security di level global. Sehingga R2P seakan telah

menjadi sinomin dari Human Security itu sendiri padahal sejatinya ia merupakan salah satu instumentasi Human

Security di level global. Dari sisi tersebut saja sudah sangat layak untuk menyebut R2P telah memasuki fase

kesempurnaan. Lihat secara lebih detail proses evolusi R2P hingga mencapai tahap “kesempurnaan” pada

bab III 135 Sebagai informasi penting, R2P dianggap mulai terbentuk atau lahir ketika terjadi intervensi NATO pada perang Kosovo pada tahun 1999. Sementara fase “kesempurnaan” R2P dapat dikatakan dimulai pada tahun 2005

ketika secara resmi dunia internasional menerima doktrin ini sebagai norma yang disepakai secara global. Fase

kesempurnaan menjadi utuh ketika terjadi krisis Libya di tahun 2011 yang berujung pada penerapan operasi R2P

di wialyah tersebut sebagai test case paska formalisasi R2P di tahun 2005, dan dianggap berhasil dengan

gemilang. Lihat secara lebih detail proses evolusi R2P hingga mencapai tahap “kesempurnaan” pada bab

III

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 47: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

53

Tabel 1.3

Lokasi Misi Responsibility to Protect (R2P) yang menjadi Fokus Kajian

Lokasi

Penerapan

Tahun Alasan

Kosovo 1999 Merupakan tonggak awal dimana ide

R2P muncul. Diklaim perang Kosovo

menajdi tonggak dimulainya era baru

perang humanitarian bukan

sebagimana perang lama -yang

bersifat destruktif, demi kepentingan

kejayaan bangsa tertentu-. Perang

bukan soal mengalahkan musuh tapi

keselamatan manusia136

Indonesia/Timor

Leste137

1999 Merupakan sebuah peristiwa penting

dalam sejarah evolusi R2P dimana

R2P diklaim mampu mengadirkan

kembali nuansa perang demi

humanitarian ala Kosovo. Peristiwa

Timor Leste ini sebagaimana

Kosovo, juga menandai bagaimana

komunitas internasional berfungsi

sebagai pemutus perselisihan

Indonesia-rakyat Timor Leste

136 Mary Kaldor memberikan strategi membedakan apa yang disebut sebagai “perang baru” yang bercorak

humanitarian dengan “perang lama”. Menurutnya cara membedakan perang tersebut pada tujuannya. Pada

“perang baru” tujuan utama perang adalah:1.) mencegah pelanggaran terhadap hak asasi manusia (keamanan

manusia dari konflik kekerasan). Perang tidak dimaksudkan untuk menghabisi musuh. 2.) Perang bersifat

defensif bukan ofensif. Termasuk juga perang coba diminimalisir eksalasinya. Bukannya perang model lama

yang notabene justru “gandrung” dengan eskalasi misal dengan mencoba membuka berbagai macam front demi

memperoleh kemenangan. Lihat Kaldor, Mary. 2012. Introduction. Dalam Kaldor, Mary (ed). Global Insecurity.

London: Bloomsbury Continuum,hlm. 21 137 Perlu diingat R2P dilaksanakan pada sebuah wilayah negara bangsa yang dianggap gagal atau bertindak sebagai pelanggar kemanan manusia. Bukan dalam konteks negara lain yang melakukan invasi dan kemudian

melakukan pelanggaran kemanan manusia (seperti msial NAZI yang menginfasi berbagai negara Eropa dan

melakukan kekejaman terhadap warganya). Dalam konteks penelitian R2P ini Timor Leste bukan sebagai

negara merdeka sebagaimana Kosovo hingga sebelum misi R2P dilaksanakan tetapi bagian dari entitas

besar bernama negara Indonesia (dalam kasus Kosovo, wilayah itu merupakan bagaian dari negara

Serbia-Yugoslavia).

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 48: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

54

mengenai masa depan wilayah

tersebut lewat Referendum, dan

nation bulider negara baru Timor

Leste yang lepas dari wilayah

Indonesia yang sukses

Libya 2011 Merupakan pelaksanaan R2P secara

resmi pertama kali oleh komunitas

internasional paska pengesahan

norma R2P di tahun 2005. Diklaim

secara luas sebagai bukti sukses

penerapan R2P di lapangan

Dari pemaparan dalam tabel diatas dapat dilihat secara jelas lokasi penerapan R2P yang

menjadi fokus penelitian ini beserta alasannya. Dikarenakan peneitian ini membatasi rentang

waktu penelitian yakni sejak 1999 hingga 2011 maka sejumlah kasus yang terkait dengan

misi R2P paska fase “kesempurnaan” di tahun 2011 tidak menjadi fokus penelitian. Karena

asumsinya ketika R2P memasuki fase “kesempurnaan” doktrin tersebut telah memiliki posisi

kuat sebagai norma internasional sehingga sulit digugat. Alasanya ketika fase

“kesempurnaan” telah tercapai tidak butuh lagi “pembuktian” yang diperlukan bagi

pengusung R2P kepada dunia internasional bahwa doktrin tersebut tidak bermasalah.

Faktanya saat ini R2P dianggap sebagai wajah Human Security itu sendiri. Bukti tersebut saja

sudah menunjukkan bahwa tahap “kesempurnaan” R2P telah berhasil tercapai dengan baik.

Dengan alasan tersebut maka kasus R2P paska 2011 tidak menjadi pembahasan dalam

penelitian ini, misal kasus Suriah yang kondisinya semestinya membutuhkan campur tangan

komunitas internasional lewat doktrin R2P138

.

Perlu ditambahkan bahwa Pemilihan kasus ini juga merujuk pada kasus yang secara

umum sudah disepakati sebagai bagian dari operasi R2P139

. Sedangkan kasus yang tidak

138 Kasus Suriah sendiri menjadi unik karena warga tidak hanya dihadapkan pada kekerasan yang dilakukan oleh

rezim Bashar Al Assad tetapi juga oleh milisi anti rezim terkhusus ISIS. Keberadaan ISIS bahkan tidak hanya

mengancam Human Security warga Suriah saja tetepi juga Iraq karena wilayah ISIS melebar sampai wilayah

Iraq. Bahkan tercatat pimpinan ISIS saat ini memang berasal dari wilayah Iraq bernama Abu Bakr Al Baghdadi. Situasi ini seharusnya jelas mengisyaratkan R2P namun hingga saat ini tidak terdengar adanya inisiasi R2P di

wilayah tersebut. Kasus Suriah dapat menjadi topik menarik untuk agenda penelitian ke depan mengenai

R2P, sebagai pelengkap atas penelitian ini (yang dibatasi rentang waktu: tahun 1999-2011) 139 Lihat misalnya Hall, Lucy & Lara J. Shepherd. WPS and R2P: Theorising Responsibility and Protection.

Dalam Davies, Sara E. , Zim Nwokora & Eli Stamnes,Sarah Teitt (ed). Responsibility to Protect and Women,

Peace and Security: Aligning the Protection Agendas. Leiden: Brill,hlm. 55 (Timor Leste & Kosovo); Branch,

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 49: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

55

dianggap secara umum sebagai bagian dari sejarah R2P maka tidak dimasukkan dalam

penelitian ini seperti Perang Iraq tahun 2003. Sejatinya perang Iraq potensial untuk dikaji

dikarenakan AS mendasarkan pijakan operasi militernya salah satunya dengan retorika

penegakan keamanan manusia Iraq. Di mata AS Saddam telah gagal menjamin keamanan

manusia Iraq, bahkan rezimnya itulah biang keladi ketidakamanan rakyat Iraq sehingga patut

bagi AS untuk mengintervensi Iraq140

. Namun karena kasus Iraq ini dianggap bukan bagian

dari sejarah R2P maka tidak disertakan141

.

Sebagai sebuah informasi tambahan guna menghilangkan pertanyaan yang mungkin

muncul terkait mengapa ada jeda waktu yang cukup lama antara tahun 1999 hingga 2005 saat

R2P resmi disahkan dunia internasional? Sehingga kasus yang diambil terkesan melompat?

Jawabannya ialah semenjak tahun 2001 hingga tahun 2003 dunia internasional dihebohkan

oleh peristiwa 9/11 yang menandai era baru dunia yang dikenal dengan “zaman teror”. Paska

9/11 dunia dapat dikatakan disibukkan dengan sejumlah aksi unilateral yang dilakukan AS

dan sekutunya ke sejumlah negara yang dicurigai membantu terorisme internasional di bawah

Adam. 2014. Responsibility to Protect and Africa’s International Relations. Dalam Murithi, Tim (ed). Handbook

of Africa's International Relations. Abingdon: Routledge,hlm. 192 (Libya) 140 Salah satu wacana yang dimunculkan Bush misalnya pada 26 Februari 2003 saat menghadiri acara makan

malam di American Enterprise Institute: “The First benefit of Free Iraq would be the Iraqi People, themselves.

Today they live in scarcity and fear, under a dictator who has bought them nothing but war, misery, and torture.

Their lives and freedom matter little for Saddam Hussein –but their lives and freedom matter greatly for us”.

Lihat Bush, George W. 2003. Iraq is Fully Capable of Living in Freedom. Dalam Sifry, Micah L & Christopher

Cerf (ed). The Iraq War Reader: History, Documents, Opinions. New York: Touchstone,hlm. 557

Sangat jelas wacana ini menyiratkan pesan pentingnya penjaminan keamanan manusia Iraq dan

ketidakmampuan rezim Saddam menyediakan keamanan ini. Sehingga AS berhak mengintervensi Iraq demi

kepentingan warga Iraq sendiri. 141 Diantara sebab kasus Iraq tidak dianggap sebagai bagian dari R2P misalnya: 1.) tidak ada peristiwa

kekejaman massal yang terjadi secara real time di tahun 2013. 2). Ada tumpang tindih alasan perang Iraq

dilaksanakan, seperti alasan humanitarian, kepemilikan senjata penusnah massal, dan perang melawan teror.

Lihat Hashemi, Nader & Danny Postel (ed). The Syria Dilemma. Cambridge: The MIT Press,hlm. 267;

DiMaggio, Anthony R. 2015. Selling War, Selling Hope: Presidential Rhetoric, the News Media, and U.S

Foreign Policy Since 9/11. Albany: State University of New York Press,hlm. 81-82

Terkait dengan argumen pertama, dapat dikatakan sangat lemah, mengingat R2P tidak hanya bersifat reaktif

(jika ada kasus kekejaman massal yang real time) tapi juga mencakup pencegahan. Jika menerima asumsi bahwa

Saddam adalah sosok tiran kejam penindas rakyatnya sendiri secara brutal maka sejatinya tidak ada alasan untuk

tidak menindak Saddam melalui mekanisme R2P sedini mungkin, bukan menunggu ia akan melakukan

kekejaman layaknya di tahun 1990an terhadap Kurdi dengan menggunakan senjata kimia. Terkait alasan no 2,

maka menurut peneliti dapat diterima karena misi R2P haruslah berpijak pada misi utama penegakan keamanan manusia bukan penghancuran musuh. Jika ada berbagai retorika yang menjadi basis perang, terlebih lagi alasan

perang melawan teror dimana Saddam berkoalisi dengan Al Qaeda maka mau tidak mau perang haruslah

ditujukan untuk menghancurkan rezim Saddam. Tentunya dengan misi yang secara eksplisit sangat bernuansa

“perang lama” guna menghancurkan musuh ini sangat sulit untuk didamaikan dengan “perang baru” yang corak

idealnya bernuansa defensif, non eskalatif, dan berorientasi perlindungan pada keamanan manusia di wilayah

tersebut.

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 50: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

56

komando Al Qaeda, seperti Afghanistan dan Iraq dengan sandi “perang melawan teror (war

on terror)142

.

Dari realitas diatas dapat disimpulkan bahwasanya perhatian dunia sempat teralihkan

kepada permasalahan terorisme global. Perang melawan teror sendiri dapat dikatakan lebih

bernuansa “perang lama” yang sangat jelas bernuansa menghabisi musuh sehancur-

hancurnya. Atau dapat dikatakan masa “perang melawan teror” ini nuansa “bermain cantik”

tidak termanifestasi secara baik sebagaimana dalam konsepsi R2P yang mengusung gagasan

“perang baru”. Guantanamo misalnya, merupakan salah satu bukti paling nyata dimana

pelanggaran HAM ala “perang melawan teror” terpampang dengan jelas di mata dunia

internasional dan hingga kini merusak citra AS di mata dunia143

.

Mungkin dapat dikatakan ketakukan akan terus berlangsungnya “perang lama”

dengan slogan “melawan teror” yang sifatnya unilateral tanpa mempertimbangkan

“kehendak” komunitas internasional secara umum itulah yang juga menjafi faktor pendorong

penerimaan dunia internasional terhadap gagasan R2P. Dimana gagasan R2P diimajinasikan

menawarkan konsep “perang baru” yang humanis demi menjamin tegaknya keamanan

manusia global dari berbagai konflik kekerasan. R2P sendiri dilakukan dengan

memperhatikan “kehendak” komunitas internasional sehingga dapat meredam fenomena

unilateralisme ala AS dengan “perang melawan terornya”144

.

Paska penetapan kasus yang menajdi fokus penelitian dan alasannnya, maka perlu

menentukan variabel apa yang dipakai untuk mengamati kasus tersebut dan relasinya dengan

teori yang digunakan dalam peneitian ini. Dikarenakan teori yang dipakai dalam penelitian

142 Kaldor, Mary. 2012. A Decade of the War on Terror and The ‘Responsibility to Protect. Dalam Kaldor,

Mary, Henrietta L. Moore & Sabine Selchow (ed). Global Civil Society 2012: Ten Years of Critical Reflection.

London: PalgraveMacmillan,hlm. 88 143 Ibid 144

Namun tentunya itu hanyalah ilusi belaka karena sejatinya R2P sama saja dengan perang melawan teror,

dalam artian bukan bertujuan demi menegakkan kemanan manusia (atau dalam konteks perang melawan teror

ialah membasmi teroris) tetapi lebih pada upaya format dunia sesuai keinginan negara yang memiliki power,

seperti AS. Dalam kasus perang Iraq dengan pijakan melawan teror (Saddam dianggap memiliki relasi dengan

Al Qaeda), Iraq di bawah Saddam yang dianggap ikon anti AS di Timur Tengah dapat diruntuhkan. Pasca

Saddam, AS dapat mengontrol negeri itu demi kepentingan nasionalnya, khususnya terkait masalah minyak.

Fenomena perang demi minyak ini sangat jelas terlihat selama berjalannya perang. Tentara AS terbukti

berupaya menduduki kilang minyak di Iraq sejak perang resmi dimulai. Selain kilang minyak saat memasuki

Baghdad sasaran utama pendudukan tentara AS salah satunya adalah kantor kementrian minyak Iraq. Sementara

berbagai aksi penjarahan di kota Baghdad yang merugikan warga Iraq dibiarkan saja oleh tentara AS. Jadi

pernag tersebut bukan untuk menumpas teroris, untuk membebaskan rakyat Iraq, atau untuk mendemokratisasikan Iraq. Misi utama pernag ialah memastikan kepentingan AS terpenuhi. Perlu ditambahkan

dengan penguasaan minyak Iraq oleh AS, negara tersebut dapat memastikan keamanan energinya dari

kemungkinan tekanan OPEC soal harga minyak -karena Iraq adalah anggota OPEC yang signifikan

kontribusinya- dan ketergantungan dari minyak Rusia (musuh AS). Lihat James DeFronzo. 2010. The Iraq War:

Origins and Consequences. Boulder, CO: Westview Press,hlm.132; McGoldrick, Dominic. 2004. From '9-11' to

the 'Iraq War 2003': International Law in an Age of Complexity. Oregon: Oxford and Portland,hlm.19

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 51: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

57

ini ialah teori kuasa/pengetahuan dan biopower ala Foucault yang pada intinya melihat

doktrin R2P instrumen kuasa negara yang memiliki power untuk memformat dunia sesuai

kepentingan mereka namun dengan kedok kebaikan, maka ada dua variabel penting yang

sekiranya menjadi pokok penelusuran kasus-kasus diatas yakni: 1.) kepentingan non

keamanan manusia (humanitarian) apa yang tersembunyi di balik lahirnya misi R2P di

sebuah wilayah. 2.) Bagimana wujud keamanan manusia di wilayah yang menjadi target misi

R2P. Apakah benar-benar terwujud pasca kehadiran misi R2P? Hipotesis yang ingin

dibangun sangat sederhana. Apakah misi R2P benar benar sesuai dengan yang

diimajinasikan/diidealkan benar terjadi ataukah tidak. Jika R2P lebih memprioritaskan

kepentingan terselubung non keamanan manusia (humanitarian) dalam pelaksanaan misinya

terlebih lagi jika kondisi keamanan manusia di wilayah yang menjadi target misi R2P tidak

membaik (atau justru memburuk) maka sangat jelas R2P pada hakikatnya merupakan

instrumen kuasa ala biopower sebagaimana hipotesis peneliti dengan berbekal konsepsi

Foucault.

Terkait dengan data yang dipakai untuk kepentingan peneitian ini dan teknik

pengumpulannya maka secara penuh data yang dipakai ini berupa data kepustakaan.

Sehingga teknik pengumpulannya juga mengandalkan teknik studi pustaka. Terkait dengan

pustaka yang dimaksud dalam penelitian ini ialah segala literatur yang terkait dengan misi

peneitian, yakni pustaka yang memuat gagasan Responsibility to Protect (R2P), Human

Security, penerapan R2P di berbagai wilayah yang diteliti, serta berbagai literatur lain yang

relevan dengan penelitian ini. Perlu ditambahkan bahwa jenis literatur utama yang dipakai

dalam penelitian ini mengandalkan buku atau jurnal ilmiah yang relevan. Penggunaan

sumber-sumber elektronik, seperti artikel online diupayakan yang dipublikasikan oleh

lembaga kredibel seperti lembaga penelitian atau think thank. Peneitian ini berupaya

menghindari penggunaan jenis literatur yang masih diperselisihkan penggunaanya di dunia

akademik seperti wikipedia dan blog pribadi145

.

Fase analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini sendiri setidaknya terbagi dalam

dua tahapan penting yakni: 1.) menjabarkan konstruksi ideal misi R2P yang secara

mainstream dibangun mengenai penerapan R2P di sejumlah wilayah yang menjadi fokus

penelitian. Penjabaran ini menjadi penting sebagai basis untuk melangkah pada fase

145 Khususnya yang menggunakan akhiran wordpress. Namun jika blog itu resmi milik universitas atau lembaga

penelitian kredibel dan penulisnya merupakan pihak yang kompeten maka dapat dipergunakan dalam penelitian

ini.

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 52: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

58

selanjutnya, yakni telaah kritis terhadapnya. Mustahil melakukan telaah kritis dilakukan jika

tidak ada penggambaran konstruksi yang akan dikritik. Fokus penelitian dalam fase ini ialah

mengungkap argumen yang menjadi landasan berpijak untuk menyatakan penerapan R2P

sukses sesuai dengan prinsip yang digembar-gemborkannya sendiri, yakni perlindungan

manusia dari konflik kekerasan. 2.) kritik terhadap konstruksi mainstream tersebut. Tolak

ukur kritik didasarkan pada penelusuran realitas di lapangan: apakah benar keamanan

manusia menjadi prioritas penerapan R2P atau tidak? Jika yang terjadi adalah tidak apa

alasannya? Pasal alasan inilah yang coba ditelusuri dengan pencarian kepentingan politik-

ekonomi di balik penerapan misi R2P tersebut.

Secara lebih ringkas fase analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini dapat

disimak pada tebel berikut:

Tabel 1.4

Fase Analisis Data

Fase I Menjabarkan Konstruksi

mainstream yang terkesan

“ideal” menyangkut

penerapan R2P di

lapangan

Tolak ukur:

Mengapa dapat dikatakan misi sukses?

Fase II Melakukan kritik terhadap

pembacaan mainstream

Tolak ukur:

Benarkah manusia menjadi prioritas

penerapan R2P?

Jika tidak: apa alasan politik ekonomi di

baliknya?

Agar tidak menimbulkan kesalahpahaman perlu ditegaskan fase analisa data tidak

berbanding lurus dengan alur penulisan yang dilakukan pada peneitian ini. Fase analisa data

digunakan sebagai kerangka berfikir yang logis untuk melakukan telaah kritis pada R2P.

Sementara alur penulisan sendiri sifatnya lebih cair.

1.7. Sistematika Bab

Penelitian ini terdiri atas empat bab, yang disajikan dengan sistematika sebagai berikut :

Bab Judul Isi Bab

Bab I Pendahuluan Menjelaskan tentang

penelitian itu sendiri hingga

sampai pada sistematika Bab

ini

Diantara poin penting pada

bab ini mencakup:

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 53: Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95770/po...7 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis

59

1. Misi Penelitian: Telaah

kritis R2P sebagai

instrumen penegakan

Human Security: apakah

benar R2P menjamin

penegakan keamanan

manusia global atau justru

alat kuasa negara yang

memiliki power sehingga

justru menjadi masalah

kemanan baru?

2. Lokasi Penelitian:

Penerapan R2P di Kosovo,

Timor Leste/Indonesia,

Libya (1999-2011)

3. Basis Teoritik: Kuasa

Pengetahuan & Biopower

Foucault

4. Hipotesis: R2P alat kuasa

negara yang memiliki

power sehingga justru

menjadi masalah kemanan

baru

Bab II Kelahiran Rezim Human Security Global Menjelaskan tentang

perubahan paradigma

keamanan global: dari State

security menjadi Human

Security dan konsekuensi

penting perubahan tersebut

pada posisi negara bangsa

dalam pergaulan internasional

Bab III Memikir Ulang Responsibility to Protect146

Menjelaskan tentang

implikasi negatif dari

penerapan R2P

Bab IV Kesimpulan dan Agenda Penelitian Ke Depan

146 Terinspirasi judul artikel Mahmoud Mamdani berjudul: Responsibility to Protect or Responsibility to

Punish?

Responsibility to Protect (R2P): Solusi atau Polusi? Telaah Kritis Instrumen Penegakan HumanSecurity Versi Mazhab KanadaNURUDDIN AL AKBARUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/