BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial mengamanahkan Peta Rupa Bumi Indonesia sebagai Peta Dasar diselenggarakan mulai pada skala 1 : 1.000.000 sampai dengan skala 1 : 1000. Peta dengan skala 1:5000 sangat dibutuhkan untuk perencanaan tata ruang seperti Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) dan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RDTR) tersebut sesuai dengan yang diregulasikan pada Peraturan Pemerintah Pekerjaan Umum Nomor 20 Tahun 2011. Ketelitian yang dibutuhkan untuk RDTR dan RTRW untuk ketelitian dengan kelas paling minimal yaitu kelas 3 adalah 2,5 meter baik untuk akurasi vertikal maupun akurasi horizontal pada skala 1:5000. Pemilihan kelas 3 tersebut mempertimbangkan keterbatasan sarana dan prasarana yang ada pada daerah menurut Peraturan Pemerintah no 8 tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang, Konsep dan Implementasinya. Tingkat ketelitian peta skala 1:5.000 yang memenuhi spesifikasi teknis telah ditentukan dalam Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial tentang Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar. Ketelitian skala 1:5000 tersebut terbagi menjadi 3 kelas yaitu kelas 1, kelas 2 dan kelas 3. Kelas 1 mensyaratkan nilai ketelitian akurasi minimal 1 meter, kelas 2 mensyaratkan nilai ketelitian akurasi minimal 1,5 meter dan kelas 3 mensyaratkan nilai ketelitian akurasi minimal 2,5 meter. Tingkat ketelitian tersebut dapat dicapai menggunakan beberapa metode pemetaan. Beberapa metode tersebut yaitu secara fotogrametris (menggunakan foto udara stereo sebagai sumber data) serta metode terestris (melakukan pengukuran langsung terhadap objek yang akan dipetakan menggunakan alat ukur total station, waterpass, dll). Dua metode tersebut merupakan metode yang menghasilkan tingkat ketelitian baik. Metode tersebut jika ditinjau dari faktor biaya tergolong mahal serta waktu yang lama. Solusinya diperlukan alternatif metode lain yang salah satunya adalah metode ekstraterristris (Anonim, 2015). Pekerjaan pemetaan skala besar dengan menggunakan metode ekstrateristris yaitu memakai citra satelit resolusi tinggi sebagai sumber data. Metode ekstraterristris ini dapat dipergunakan sebagai alternatif (Anonim, 2015). Citra satelit resolusi tinggi tersebut terlebih dahulu harus melalui proses koreksi geometrik yang salah satunya adalah proses ortorektifikasi. Proses ortorektifikasi adalah salah satu proses menegakkan citra satelit karena EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISI TITIK KONTROL TANAH UNTUK SKALA PETA 1:5000 MUH HARDIEN A.T.L Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
Embed
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93881/potongan/S1-2016-319128-introduction.pdf · Citra satelit adalah hasil dari pemotretan/perekaman
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial mengamanahkan
Peta Rupa Bumi Indonesia sebagai Peta Dasar diselenggarakan mulai pada skala 1 : 1.000.000
sampai dengan skala 1 : 1000. Peta dengan skala 1:5000 sangat dibutuhkan untuk perencanaan
tata ruang seperti Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) dan Rencana Tata Ruang dan Wilayah
(RDTR) tersebut sesuai dengan yang diregulasikan pada Peraturan Pemerintah Pekerjaan
Umum Nomor 20 Tahun 2011. Ketelitian yang dibutuhkan untuk RDTR dan RTRW untuk
ketelitian dengan kelas paling minimal yaitu kelas 3 adalah 2,5 meter baik untuk akurasi
vertikal maupun akurasi horizontal pada skala 1:5000. Pemilihan kelas 3 tersebut
mempertimbangkan keterbatasan sarana dan prasarana yang ada pada daerah menurut
Peraturan Pemerintah no 8 tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang, Konsep
dan Implementasinya.
Tingkat ketelitian peta skala 1:5.000 yang memenuhi spesifikasi teknis telah ditentukan
dalam Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial tentang Pedoman Teknis Ketelitian Peta
Dasar. Ketelitian skala 1:5000 tersebut terbagi menjadi 3 kelas yaitu kelas 1, kelas 2 dan kelas
3. Kelas 1 mensyaratkan nilai ketelitian akurasi minimal 1 meter, kelas 2 mensyaratkan nilai
ketelitian akurasi minimal 1,5 meter dan kelas 3 mensyaratkan nilai ketelitian akurasi minimal
2,5 meter. Tingkat ketelitian tersebut dapat dicapai menggunakan beberapa metode pemetaan.
Beberapa metode tersebut yaitu secara fotogrametris (menggunakan foto udara stereo sebagai
sumber data) serta metode terestris (melakukan pengukuran langsung terhadap objek yang akan
dipetakan menggunakan alat ukur total station, waterpass, dll). Dua metode tersebut
merupakan metode yang menghasilkan tingkat ketelitian baik. Metode tersebut jika ditinjau
dari faktor biaya tergolong mahal serta waktu yang lama. Solusinya diperlukan alternatif
metode lain yang salah satunya adalah metode ekstraterristris (Anonim, 2015).
Pekerjaan pemetaan skala besar dengan menggunakan metode ekstrateristris yaitu
memakai citra satelit resolusi tinggi sebagai sumber data. Metode ekstraterristris ini dapat
dipergunakan sebagai alternatif (Anonim, 2015). Citra satelit resolusi tinggi tersebut terlebih
dahulu harus melalui proses koreksi geometrik yang salah satunya adalah proses
ortorektifikasi. Proses ortorektifikasi adalah salah satu proses menegakkan citra satelit karena
EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
adanya faktor pergeseran. Faktor pergeseran (displacement) yang diakibatkan posisi miring
pada satelit dan variasi topografi saat pengambilan data membuat lokasi pada citra belum sesuai
dengan lokasi sebenarnya.
Proses ortorektifikasi akan memberikan indikator kualitas berupa nilai RMS Error.
Nilai RMS Error tersebut selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai akurasi citra. Nilai
akurasi citra yang dihasilkan dari proses ortorektifikasi tersebut dapat tergantung dari berbagai
faktor. Salah satunya adalah variasi kondisi titik kontrol tanah (TKT). Dari penelitian
sebelumnya variasi yang paling berpengaruh yaitu variasi berdasarkan jumlah titik kontrol
tanah dan distribusi pada terrain citra. Variasi yang paling berpengaruh yaitu variasi distribusi
terrain pada citra (Omer dkk, 2014). Variasi lain yang berpengaruh yaitu variasi persebaran
titik kontrol tanah yang merata atau tidak merata (Eltohamy dkk, 2009).
Konfigurasi yang diinginkan pada penelitian ini yaitu konfigurasi titik kontrol tanah
yang optimal. Konfigurasi optimal adalah konfigurasi dimana titik kontrol tanah dapat
menghasilkan nilai akurasi yang akurat namun tetap memperhatikan efisiensi biaya. Efisiensi
biaya tersebut berkaitan dengan jumlah titik kontrol tanah yang dipakai. Pada skripsi ini akan
dilakukan evaluasi terhadap tiga variasi kondisi titik kontrol tanah yaitu variasi berdasarkan
jumlah titik kontrol tanah, variasi berdasarkan persebaran titik kontrol tanah dan variasi titik
kontrol tanah mewakili terrain citra.
I.2. Identifikasi Masalah
Nilai ketelitian pada masing-masing titik kontrol tanah (TKT) yang terukur pasti
berbeda-beda. Faktor – faktor yang berpengaruh perlu dipertimbangkan sebagai salah satu
proses evaluasi dari nilai akurasi ortorektifikasinya. Faktor-faktor tersebut merupakan variasi
kondisi titik kontrol tanah. Semua titik kontrol tanah tersebut terletak pada posisi yang berbeda-
beda (seperti dataran tinggi atau dataran rendah) serta jarak yang berada pada kisaran 3,5 – 4
km satu dengan yang lainnya (titik tersebar secara merata yang mewakili kondisi terrain
keseluruhan).
Kegiatan pengukuran titik kontrol tanah (TKT) di lapangan memerlukan waktu dan
biaya sehingga perlu diidentifikasi konfigurasi titik kontrol tanah yang optimal. Kondisi yang
diinginkan merupakan kondisi dimana jumlah titik kontrol tanah seminimal mungkin
jumlahnya dan nilai akurasinya memenuhi standar spesifikasi Peraturan Kepala Badan
Informasi Geospasial tentang Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar untuk skala 1:5000.
EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Berdasarkan uraian di atas, masalah yang diidentifikasi adalah pemakaian banyak
jumlah titik kontrol tanah membuat biaya pengukuran yang semakin tinggi. Efisiensi biaya
akuisisi data dan jumlah titik dipertimbangkan untuk mengetahui apa pengaruh dari jumlah
titik yang dibuat bervariasi, titik kontrol tanah yang sebarannya dibuat merata serta titik yang
mewakili terrain citra terhadap nilai akurasi hasil proses ortorektifikasi citra.
I.3. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan dalam penelitian ini yaitu :
1. Kondisi dan variasi titik kontrol tanah seperti apakah yang optimal untuk koreksi
ortorektifikasi citra Worldview-2 dalam penelitian ini?
2. Apakah akurasi citra satelit WorldView-2 tersebut memenuhi standar ketelitian
menurut Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial tentang Pedoman Teknis
Ketelitian Peta Dasar untuk skala 1:5000?
I.4. Batasan Masalah
Kegiatan dalam penelitian ini yaitu:
1. Data yang digunakan citra satelit resolusi tinggi Worldview-2 untuk wilayah kota
Semarang sebanyak 2 scene.
2. Titik kontrol tanah sebanyak 40 titik untuk dua buah scene tersebut yang telah diukur
di lapangan dengan menggunakan GPS geodetik metode RTK (Real Time
Kinematic) untuk input koordinat X, Y nya serta DEM (Digital Elevation Model)
untuk koordinat Z nya dalam proses ortorektifikasi.
3. Batasan variasi kondisi pada penelitian ini yaitu :
a. Variasi Jumlah Titik : variasi ini hanya mempersoalkan
jumlah titik saja
b. Variasi Persebaran Distribusi Titik : variasi ini hanya mempersoalkan pola
distribusi saja
c. Variasi Titik Mewakili Terrain : variasi ini hanya mempersoalkan titik-
titik terletak sesuai topografi area
EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
I.5. Tujuan
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi nilai akurasi hasil dari proses ortorektifikasi citra
resolusi tinggi Worldview-2 berdasarkan variasi konfigurasi titik kontrol tanah . Variasi
konfigurasi titik kontrol tanah tersebut adalah :
1. Variasi konfigurasi jumlah titik kontrol tanah.
2. Variasi konfigurasi persebaran titik kontrol tanah merata serta tidak merata,
3. Variasi konfigurasi distribusi titik kontrol tanah yang mewakili terrain.
I.6. Manfaat
Penelitian ini memiliki manfaat yaitu:
Mengetahui konfigurasi titik kontrol tanah yang optimal tanpa memakai terlalu banyak
titik kontrol tanah sehingga biaya akuisisi data dapat lebih efisien.
1.7. Tinjauan Pustaka
Penelitian yang dilakukan ini memiliki tujuan untuk mengevaluasi akurasi citra satelit
Worldview-2 dengan memperhatikan variasi kondisi jumlah titik, persebaran titik , serta titik
kontrol tanah (TKT) yang mewakili terrain. Penelitian yang dilakukan oleh Bambang (2011)
meneliti mengenai sebaran titik kontrol tanah terhadap ketelitian peta citra hasil ortorektifikasi.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa banyak titik kontrol tanah (TKT) yang digunakan
dalam proses ortorektifikasi citra sangat berpengaruh terhadap ketelitian hasil koreksi
geometrik yang ditunjukkan melalui harga Root Mean Square Error (RMSE). Uji coba dengan
banyak titik kontrol tanah tersebut digunakan jumlah dengan variasi dimulai dari 6, 8, 9, 13,
dan 15 buah TKT dan sebaran yang merata.
Faktor pengaruh kondisi terrain citra dikemukakan oleh Bidang Produksi Data Pusat
Data Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (2010). Penelitian
tersebut menyatakan bahwa koreksi ortorektifikasi merupakan koreksi geometrik untuk
memperbaiki distorsi geometri. Distorsi geometri tersebut disebabkan oleh karakteristik
sensor, arah penginderaan dan pergeseran relief yang mengakibatkan arah penginderaan
memiliki proyeksi perspektif. Kondisi ini dapat terjadi pada citra dengan variasi topografi yang
sangat tinggi seperti lembah hingga puncak gunung dan bukit.
Akurasi dari proses koreksi geometrik bergantung utamanya pada jumlah TKT yang
dipilih , fitur yang diidentifikasi pada citra (persimpangan jalan, perpotongan jalan bandara,
EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
lengkungan pada sungai dan fitur-fitur lainnya), dan distribusi dari TKT yang dipilih pada area
citra yang terdistorsi yang dinyatakan oleh Eltohamy dan Hamza (2009) pada papernya. Paper
tersebut menyebutkan jumlah TKT yang digunakan yaitu 20 TKT untuk dua scene citra.
Penelitian lain oleh Omer, Murat dan Haci (2014) menyatakan dalam papernya mengenai efek
dari jumlah TKT dan distribusinya pada permukaan diinvestigasi pada citra stereo WorldView-
2. Variasi kondisi yang berpengaruh adalah variasi distribusi titik kontrol pada terrain dan
variasi jumlah titik kontrol tanah. Variasi distribusi titik kontrol pada terrain terlihat lebih
efektif daripada efek jumlah TKT melihat pada hasil adjustment. Penelitian oleh Omer, Murat
dan Haci tersebut menggunakan variasi jumlah TKT mulai dari jumlah 31, 26, 21, 16, 11, 6, 4
TKT untuk dua scene citra. Data DEM (Digital Elevation Model) tidak digunakan dalam kedua
penelitian tersebut.
Evaluasi hasil ortorektifikasi citra diperlukan untuk dapat mengetahui kondisi apakah
yang paling mempengaruhi nilai akurasi tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Bambang
(2011) menyebutkan bahwa nilai RMSE dipengaruhi oleh jumlah titik TKT dengan pola
sebaran merata dan sejalan dengan Eltohamy dan Hamza (2009) yang menyatakan faktor
jumlah TKT dan distribusi TKT memiliki pengaruh pada nilai akurasi citra. Pada penelitian ini
selain variasi jumlah titik TKT ditambahkan variasi dengan jumlah TKT yang sama namun
pola sebaran selain dibuat merata juga dibuat tidak merata. Variasi kondisi lain yaitu variasi
TKT yang mewakili terrain citra. Titik kontrol tanah diletakkan pada daerah bukit (terrain
tinggi) serta daerah dekat pantai (terrain rendah) untuk meminimalisir distorsi geometri yang
sebelumnya telah dinyatakan oleh Bidang Produksi Data Pusat Data Penginderaan Jauh
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (2010) akibat variasi topografi pada citra yang
diteliti. Hal serupa dikemukakan oleh Omer, Murat dan Haci (2014) mengenai efek distribusi
titik kontrol pada terrain. Variasi distribusi titik kontrol pada terrain lebih efektif atau
berpengaruh daripada variasi jumlah TKT.
EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
1.8. Landasan Teori
I. 8. 1 Citra Satelit Worldview-2
Citra merupakan masukan data atau hasil observasi dalam proses penginderaan jauh
(Hornby, 1974). Penginderaan Jauh atau Remote Sensing didefinisikan sebagai ilmu dan seni
untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data
yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena
tersebut.
Citra merupakan gambaran yang tampak dari suatu obyek yang sedang diamati, sebagai
hasil liputan atau rekaman suatu alat pemantau/sensor, baik optik, elektrooptik, optik-mekanik
maupun elektromekanik (Simonett dkk, 1983). Citra memerlukan proses interpretasi atau
penafsiran terlebih dahulu dalam pemanfaatannya.
Citra satelit adalah hasil dari pemotretan/perekaman alat sensor yang dipasang pada
wahana satelit ruang angkasa dengan ketinggian lebih dari 400 km dari permukaan bumi.
Kemampuan sensor dalam merekam obyek terkecil pada tiap pikselnya ini disebut
dengan resolusi spasial. Berdasarkan tingkatan resolusinya citra satelit dibedakan menjadi 3
macam, yaitu (Sutanto,1994) :
Citra resolusi rendah, memiliki resolusi spasial antara 15 m s/d 30 m
Citra resolusi sedang, memiliki resolusi spasial 2.5 m s/d 10 m
Citra resolusi tinggi, memiliki resolusi spasial 0.5 m s/d 1 m
Tingkat resolusi spasial citra satelit ini dipengaruhi oleh kemampuan sensor dalam
merekam objek yang terkecil, Satelit Landsat TM mampu merekam obyek terkecil dilapangan
sebesar 30 x 30 meter, Satelit Ikonos merekam dengan obyek terkecilnya 1 x 1 meter.
QuickBird dengan ukuran obyek terkecilnya 0,6 x 0,6 meter.
Citra satelit terbentuk dari serangkaian matrik elemen gambar yang disebut dengan
piksel. Piksel merupakan unit terkecil dari sebuah citra. Piksel sebuah citra pada umumnya
berbentuk segi empat dan mewakili suatu area tertentu pada citra. Jika sebuah sensor memiliki
resolusi spasial 20 meter dan citra dari sensor tersebut menampilkannya secara penuh, maka
masing-masing piksel akan mewakili area seluas 20 x 20 meter. Citra yang menampilkan area
dengan cakupan yang luas biasanya memiliki resolusi spasial yang rendah. Pada penelitian ini
digunakan citra satelit WorldView-2 dengan level produk yang digunakan yaitu level 2A yang
EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
tidak memiliki relief topografi sehingga untuk proses ortorektifikasi dapat digunakan nilai
elevasi dari sumber lain dalam hal ini yaitu DEM (Digital Elevation Model) menurut Omer,
Murat dan Haci (2014). Gambar 1.1 berikut menunjukkan ilustrasi bentuk dari satelit resolusi
tinggi Worldview-2.
Gambar 1.1. Ilustrasi Satelit Resolusi Tinggi WorldView-2
(Sumber : http://www.geomatching.com)
I. 8. 2 Ketelitian Peta
Ketelitian peta adalah nilai yang menggambarkan tingkat kesesuaian antara posisi dan
atribut sebuah objek di peta dengan posisi dan atribut sebenarnya. Root Mean Square Error
(RMSE) adalah akar kuadrat dari rata-rata kuadrat selisih antara nilai koordinat data dan nilai
koordinat dari sumber independent yang akurasinya lebih tinggi.
EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/