UNIAN NASIONAL DAN KEBIJAKAN PARADOKSAL Nazla Maharani Umaya 2013 Ujian Nasional (UN) menggunakan sistem seperti halnya periode ujian akhir sekolah di awal terselenggaranya di pendidikan di Indonesia. Sesuai dengan standar kompetensi lulusan yang menjadi lampiran Permendiknas nomor 23 tahun 2006, apakah terakomodasi dengan tepat dan efektif melalui UN memerlukan pemahaman lebih mendalam lagi. Antara rencana, rancangan, serta aplikasi dan pencapaian seolah menjadi pelega kemorat maritan sistem UN untuk mendapatkan label pendidikan nasional yang sudah berkualitas baik melalui hasil ujian yang dipaksakan, karena disediakan ujian susulan bagi yang belum memenuhi standar kelulusan yang telah ditentukan. A. Pendahuluan Ujian Akhir Nasional (UAN) yang saat ini disebut dengan Ujian Nasional (UN) merupakan kegiatan yang dilakukan sebagai alat mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran (PP no 19 tahun 2005). Pelaksanaan ujian akhir yang menjadi penutup proses pembelajaran dalam bentuk evaluasi hasil pencapaian telah berjalan di pendidikan di Indonesia cukup lama. Permasalahan yang berulang muncul adalah terkait dengan kualitas pendidikan, pendidik, serta sistem yang berlaku. Atas dasar pertimbangan bersama tertentu yang ditetapkan dan disyahkan, maka
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
UNIAN NASIONAL DAN KEBIJAKAN PARADOKSAL
Nazla Maharani Umaya2013
Ujian Nasional (UN) menggunakan sistem seperti halnyaperiode ujian akhir sekolah di awal terselenggaranya dipendidikan di Indonesia. Sesuai dengan standarkompetensi lulusan yang menjadi lampiran Permendiknasnomor 23 tahun 2006, apakah terakomodasi dengantepat dan efektif melalui UN memerlukan pemahamanlebih mendalam lagi. Antara rencana, rancangan, sertaaplikasi dan pencapaian seolah menjadi pelega kemoratmaritan sistem UN untuk mendapatkan label pendidikannasional yang sudah berkualitas baik melalui hasil ujianyang dipaksakan, karena disediakan ujian susulan bagiyang belum memenuhi standar kelulusan yang telahditentukan.
A. Pendahuluan
Ujian Akhir Nasional (UAN) yang saat ini disebut
dengan Ujian Nasional (UN) merupakan kegiatan yang
dilakukan sebagai alat mengukur pencapaian
kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam
proses pembelajaran (PP no 19 tahun 2005).
Pelaksanaan ujian akhir yang menjadi penutup proses
pembelajaran dalam bentuk evaluasi hasil pencapaian
telah berjalan di pendidikan di Indonesia cukup
lama. Permasalahan yang berulang muncul adalah
terkait dengan kualitas pendidikan, pendidik, serta
sistem yang berlaku. Atas dasar pertimbangan bersama
tertentu yang ditetapkan dan disyahkan, maka
keputusan untuk siswa mengenai keberlanjutan
pendidikannya diputuskan. Yang menjadi pertanyaan
banyak pihak adalah apakah proses tersebut telah
melalui analisa kesesuaian yang valid mengenai
teknik dan evaluasi hasil pencapaian sebagai media
pengukuran.
Pendidikan yang maksimal akan melahirkan
generasi yang maksimal. Generasi maksimal yang
berkualitas akan membawa negara pada kemakmuran pada
idealnya. Hal tersebut seolah bertentangan dengan
kondisi Indonesia yang tercermin pada angka nilai
pengangguran di Indonesia dengan jenjang maksimal
menempuh sekolah menengah atas (SMA/SMK/Sederajat).
Tampak pada data tingkat pengangguran berdasarkan
pendidikan terakhir tampak signifikan mengalami
peningkatan di tingkat jenjang Sekolah Menengah
Pertama pada tahun memasuki 2011, yaitu sekitar
13,80% dari jumlah pengangguran semula 1.661.449
jiwa menjadi 1.890.755 jiwa. Apabila dibandingkan
dengan jenjang lainnya seperti Sekolah Dasar (SD)
selalu menurun dari tahun ke tahun, dan pada jenjang
Sekolah Menengah Atas (SMA) mengalami kenaikan
jumlah pengangguran di perpindahan tahun 2007-2008
sebesar 1,76% dari jumah sebelumnya, yaitu sebesar
3.812.522 jiwa menjadi 3.879.471 jiwa (BPS RI,
2011).2
Mengamati angka tersebut dapat diidentifikasikan
bahwasanya terdapat gejala ketidaktepatan terhadap
aturan dan ketentuan hal-hal yang berkaitan dengan
ujian nasional yang berproses di akhir proses
pembelajaran. Nasional sebagai lingkup pendidikan
yang akan mengambil peran pada pemaknaan ujian akhir
menjadi bersifat memusat (mengacu pada pemerintah).
Dengan demik ian segala yang berhubungan, sifatnya
legal secara nasional. Perubahan bentuk dan istilah
yang terjadi pada tindakan evaluasi akhir belajar
dalam mencapai kompetensi, menjadikan kendala
tersendiri bagi siswa dan guru dalam mencapai
keberhasilan pembelajaran. Yang terjadi adalah,
kurangnya pemahaman guru dalam mencapai keberhasilan
siswa yang telah distandarisasi. Oleh karena itu,
spontanitas yang terjadi dalam sistematika
penyelenggaraan ujian akhir secara nasional hingga
tampak pada perubahan nama menjadi UN juga membawa
dampak pada ketidaksiapan pendidikan di Indonesia.
Sama halnya dengan perubahan istilah untuk ujian
akhir yang berfungsi sebagai alat evaluasi,
kurikulum juga mengalami hal yang sama di Indonesia.
Ragam bentuk rancangan konsep dasar pelaksanaan
pendidikan membawa dampak pada teknik
penyelenggarakan Ujian Nasional (sebutan masa kini).
Namun apakah perubahan identitas ujian akhir3
tersebut seiring sejajar dengan perubahan wajah
konsep kurikulum pendidikan di Indonesia (Agus
Mulyadi. 2011) memerlukan analisa lebih lanjut.
Kurikulum di Indonesia telah berubah sebanyak kurang
lebih 11 kali (di tahun 1947, 1952, 1968, 1975,
1984, 1994, 1999, 2004, 2006, dan 2009) dan ujian
akhir telah berubah sebanyak 5 istilah (Ujian Akhir
evaluasi kemampuan yang terlaksana di akhir proses
pembelajaran. Kesesuaian penilaian dengan kompetensi
sesungguhnya yang dimiliki, membutuhkan instrumen
yang tepat (Sofiyah Surotonoyo. 2010). Dan selalu
mempertimbangkan kondisi dan konteks yang berangsung
menjadi pertimbangan yang wajib. Dengan demikian,
keputusan dalam proses penilaian kompetensi siswa
tidaklah dapat serta merta berasal dari instrumen
evaluasi yang bersifat mono up date, sekali berbeda
beraksi terus menerus dengan wajah yang beragam.
Yang terjadi pada sistematika pelaksanaan dan
pembangunan konsepnya haruslah mempertimbangkan
pencapaian. Apakah tujuan diadakannya Ujian
Nasional?.
4
UAN juga harus memahami pendidikan secara
menyeluruh. Hal tersebut dinyatakan atas landasan
bahwa pendidikan merupakan bagian dari upaya
pembangunan salah satu bidang yang ada di negara
nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan
meningkatkan kualitas manusia Indonesia (UURI no 2
tahun 1989). Ragam pemikiran masyarakat umum, para
orang tua murid, serta para pelaku pendidikan secara
menyeluruh, Ujian Nasional masih merupakan produk
yang belum terang kejelasannya.
.
B. Sejarah Ujian Nasional
Ujian Nasional tercatat mulai di awal tahun
1950-1960an. Pada masa itu ujian akhir menjadi ujian
kelulusan yang bersifat nasional, diselenggarakan
oleh pemerintah pusat yang juga sekaligus
merancangan soal ujian peserta uji. Kemudian priode
1965-1971. Pada periode tersebut, ujian
diselenggarakan dengan mengujikan semua mata
pelajaran dengan bahan dari pemerintahan pusat
bersama pedoman-pedomannya, dan disebut dengan
istilah Ujian Negara. Permasalahan yang muncul
semenjak diselenggarakannya sistem ujian dengan
Ujian Negara adalah tidak spesifiknya nilai
kemampuan yang mampu menggambarkan kemampuan siswa.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka diadakan5
ujian yang sifatnya dapat mengakomodasi penilaian
terhadap hasil secara tepat. Ujian di laksanakan
dengan dua tahap, yaitu tahap evaluasi belajar
dengan evaluasi belajar tahap akhir tingkat
nasional.
Pelaksanaan EBTA bertujuan untuk menguji mata
pelajaran yang sifatnya tidak umum, dan biasanya
antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lain
memiliki macam dan ragam pembelajaran yang berbeda.
Seperti halnya keterampilan. Ragam keterampilan yang
diajarkan di setiap sekolah pada muridnya tidaklah
sama, maka hal yang diujikan pun menyesuaikan hal
yang telah dipelajari peserta didik tersebut.
Sedangkan untuk mata pelajaran EBTANAS adalah mata
pelajaran umum, yang di semua sekolah diajarkan
dengan standar kurikulum yang sama sampai pada
tingkat perancangan silabus pembelajaran oleh para
guru. Dengan demikian, pencapaian pembelajaran
memiliki tujuan yang sama(berstandar). EBTA dan
EBTANAS menjadi proyek pembagian tugas, antara
pemerintahan pusat dan provinsi. Dengan demikian,
sesungguhnya sistematika pelaksanaan ujian yang
memusat, dan terkesan diberikannya wilayah otonomi
guru dalam menilai pada wilayah EBTA, ternyata tidak
sepenuhnya. Dengan demikian konsep tetap hampir
sama. Kelulusan ditentukan oleh kombinasi dua6
evaluasi yang telah dijumlahkan (Ramadi, 2011). EBTA
dan EBTANAS berlangsung dalam periode hingga tahun
2000an.
Pada tahuan awal 2001 dan 2002, pelaksanaan
Ujian Nasional yang semula terbagi menjadi 2 bagian,
yaitu EBTA dan EBTANAS, maka pada masa tersebut,
ujian akhir secara nasional dirubah menjadi dengan
nama Ujian Akhir Nasional (UAN) dengan menggunakan
sistem kelulusan melalui kebermanpuan siswa melalui
hasil uji tes dalam mencapai angka standar
kelulusan. Kendala yang terjadi adalah perubahan
sistem yang secara spontan menyebabkan kembali
ketidaksiapan peserta didik dan guru dalam
menghadapi hal tersebut. Dengan demikian,
permasalahan kelulusan di tahun 2002 hingga awal
tahun 2005 menjadi carut marutnya dunia pendidikan
terkait dengan uji kemampuan melalui Ujian tahap
akhir pembelajaran bernama UAN.
Harapan yang digantungkan pada sistem pendidikan
saat itu adalah, kejelasan dari Depdiknas mengenai
sikapnya dalam menentapkan standar kelulusan yang
berbeda dan meningkat selama lima tahun mendatang
(Kunandar, 2009) seperti contohnya standar kelulusan
terus meningkat dengan rentang nilai 0,5 - 1 pada
tiap rentang kenaikannya. Standar kelulusan pada UAN
2003 adalah 3,01 pada setiap mata pelajaran dan7
nilai rata minilan adalah 6,00. Dan pada 2004
standar kelulusan UAN adalah 4,01. Berarti pada
rentang >1 hingga memasuki periode tahun 2005 yang
kembali nama berubah menjadi UN. Hal yang
menyebabkan terjadinya perubahan nama, menjadi
bentuk ketidakjelasan pemerintah dalam menentukan
nama yang sesuai dengan apa yang ada dalam bayangan
rancangan ujian akhir nasional. Hal tersebut
berlangsung hingga kini, dengan nama Ujian Nasional
(UN). Sejarah mencatatkan nama dalam perubahan Ujian
akhir nasional, tetapi sejarah tidak mencatat
perubahan sistematika yang mencarikan solusi
pendidikan di Indonesia terkait evaluasi hasil
belajar di tingkat akhir pembelajaran.
C. Ujian dan Pendidikan Nasional
Ujian menjadi menjadi pembicaraan banyak pihak
apabila dikaitkan dengan pendidikan nasional, mulai
dari rancangan, standarisasi, hingga tujuan dan
ketercapaiannya. Penilaian hingga pencapai tingkat
tertinggi memerlukan proses yang signifikan secara
bertahap. Pemaknaan ujian yang tergambar melalui
sejarah ujian akhir sekolah di Indonesia, ujian
dimaknai sebagai tes kelayakan. Apakah peserta didik
tertentu telah layak atau tidak untuk diakui
kemampuan dan penguasaannya untuk dapat melanjutkan8
jenjangnya atau tidak. Padahal, pada dasarnya ujain
merupakan tahap evaluasi yang mengarah pada hasil
akhir pembelajaran dan prestasi pembelajaran. Ujian
adalah penilaian dan pengukuran (M Solichin, 2011).
Tindakan menilai berarti mengukur yang dipahami
sebagai upaya membandingan sesuatu dengan satu
ukuran yang bersifat kuantitatif, mengambil suatu
keputusan dengan ukuran tertentu yang bersifat
kualitatif, serta keduanya dilakukan secara
bertahap.
Pelaksanaan evaluasi di tingkat sekolah akan
terkait erat dengan guru. Beberapa prinsip yang
harus dipegang dalam melalukan tindakan evaluasi di
antaranya adalah, pendidik harus membuat perencanaan
yang efektif terhadapa penilaian dengan fokus pada
siswa. Dengan demikian ujian akhir yang direncanakan
sebagai instrumen penilaian haruslah direncanakan
secara berkesinambungan dengan kegiatan pembelajaran
secara menyeluruh. Hal tersebut terkait dengan
kesesuaian instrumen dengan responden. Ujian juga
dapat diartikan sebagai penilaian terhdap
keterampilan guru dalam menjalankan profesionalisme
kerjanya. Dengan demikian bimbingan dalam upaya
peningkatan kemampuan menjadi proses yang panjang
dan harus sesuai dengan penacapaian rencana
penilaian kemampuan.9
Seperti halnya yang tercantum dalam peraturan
pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005
mengenai standar nasional pendidikan pada bab I
mengenai ketentuan umum yang menentapkan peraturan
pemerintah tentang standar nasional pasal 1, yaitu
bahwasanya standar nasional pendidikan merupakan
kriteria minimal tentang sistem pendidikan di
seluruh wilayah hukum negara kesatuan Republik
Indonesia. Dengan demikian, halnya yang dialami di
beberapa wilayah daerah tertinggal di Indonesia,
yang tengah sibuk mengatasi permasalahan pendidikan
pada tingkat penyediaan sarana pendidikan di tingkat
dasar apakah mampu mengikuti standar pendidikan yang
telah di tetapkan beberapa tahun kemudian mengalami
perubahan secara spontanitas menjadi hal yang
mustahil.
Kaitannya ujian dengan keberlanjutan jenjang,
seperti pada tingkatan SMA/SMK yang melanjutkan ke
perguruan tinggi, maka kedudukan ujian sebagai
instrumen evaluasi hasil belajar dan prestasi tidak
memiliki kedudukan yang signifikan secara
fungsional. Terlihat pada periode memasuki perguruan
tinggi tetap diselenggarakan oleh perguruan tinggi
terkait dalam bentuk SMPTN dan Ujian Masuk (UM) yang
bersifat mandiri, dan tentunya memiliki standar
kelulusan yang berbeda sesuai kebutuhan. Untuk10
itulah, kebutuhan dan keberfungsian ujian yang
diselenggarakan dan disosialisasikan secara
menasional ini masih perlu pemahaman yang mendalam
mengenai keberfungsiannya. Hal tersebut terjadi
kemungkinan disebabkan adanya ketentuan mengenai
evaluasi pendidikan yang diartikan sebagai kegiatan
pengendalian, penjaminan dan penetapan mutu
pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan
pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan
pendidikan (PerMen RI nomor 19 tahun 2005 pasal 1
butir 18)
Tuntutan itulah yang menjadi pegangan,
bahwasanya fungsi guru menjadi bergeser, pada
tingkat penilaian dan evaluasi, bukan ketercapaian
kurikulum pendidikan. Pergeseran inilah yang semakin
lama membuat udara pendidikan semakin hari terkesan
tidak percaya diri dengan sistematika yang telah
dirancang dan ditentukannya. Ujian dan pendidikan
seolah menjadi dua hal yang saling menunjuk.
D. Ujian Nasional (UN) dalam Kebijakan Paradoksal
Ujian Akhir Nasional merupakan produk pendidikan
yang berada ditingkatan evaluasi. Seperti yang
disampaikan dalam PP nomor 19 tahun 2005 mengenai
standar nasional pendidikan pada butir ke-8 yaitu11
mengenai standar penilaian (assesment). Mengacu pada
hal tersebut ujian akhir nasional menjadi standar
penentu kelulusan yang juga dipahami oleh beberapa
pihak lain sebagai ”Standar Penentu” bagi kesuksesan
suatu proses pembelajaran (shofiyah,2010). Ujian
akhir dalam perjalanan pembelajaran di tingkat
satuan pendidikan di Indonesia memiliki perjalanan
yang panjang. Sebelum adanya istilah ujian nasional,
ujian di akhir pembelajaran pada setiap tingkat
pendidikan menggunakan sistem ujian negara. Hal
tersebut diterapkan pada semua mata pelajaran yang
dipelajari di sekolah. Dengan demikian ujian
dilakukan secara ganda, ujian sekolah dan ujian
negara.
Hal tersebut dilakukan guna pengakuan atas
tingkat keberhasilan pendidikan tertentu dalam taraf
kenegaraan. Ujian kelulusan dilaksanakan disetiap
sekolah dengan soal-soal berasal dari Departemen
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Koreksi hasil
ujian kelulusan dilakukan oleh pihak pusat rayon.
Hal tersebut berlangsung dalam periode antara tahun
1950-an hingga tahun 1960-an. Segala bentuk
peraturan pemerintah, maupun undang-undang yang
mendasari sistem ujian sekolah terkait dengan ujian
akhir guna kelulusan pada setiap tingkatan satuan
pendidikan mengacu pada undang-undang 1945, Pasal 3112
butir ke-2 yang berbunyi “Pemerintah mengusahakan
dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran
nasional, yang diatur dengan undang-undang”. Dengan
demikian pelaksanaan yang kaitannya dengan
pendidikan secara kenegaraan dan yang bersifat
nasional ditangani oleh lembaga yang berkompeten di
kenegaraan. Pada tahun 1950-an soal ujian akhir
sekolah diproduksi di pusat dan kemudian dikirimkan
ke setiap kota.
Ujian akhir sekolah berlangsung hingga tahun
1960-an memiliki julukan baru, yaitu ujian negara.
Ujian negara pada tahun tersebut memiliki sistem
pelaksanaan yang tidak jauh berbeda. Semua masih
ditangani dan dilaksanakan oleh pihak pusat.
Sedangkan, sekolah dan lembaga pendidikan yang
bersangkutan hanya menjadi kepanjangan tangan dari
pihak pusat. Mulai dari pembuatan soal, hingga tahap
pengkoreksian, masih bersifat memusat. Hal tersebut
berlangsung hingga akhir tahun 1960-an. Ujian negara
diselenggarakan pada tingkat provinsi yang
diselenggarakan di sekolah. Pelaksanaan di tingkat
provinsi masih berada dalam wilayah kewenangan yang
memusat. Ujian negara yang berlaku pada semua mata
pelajaran ini, ujian dan pelaksanaannya ditetapkan
oleh pemerintah pusat dan seragam untuk seluruh
wilayah di Indonesia. Hal tersebut berlangsung13
hingga awal tahun 1970-an. Evaluasi pembelajaran
yang memusat tidak dapat menghasilkan penghitungan
tingkat keberhasilan pembelajaran secara meluas
dengan hasil yang maksimal. Hal tersebut melihat
pada kenyataannya masih banyak sekolah di Indonesia
yang berada pada wilayah tertentu memiliki tingkat
pembelajaran yang masih kurang dari standar
pendidikan nasional yang diwakilkan melalui soal-
soal pada ujian akhir atau kelulusan.
Tujuan pendidikan di Indonesia yang tercermin
melalui kurikulum juga mempengaruhi keputusan atas
bagaimana terselenggaranya ujian kelulusan
pendidikan dalam wilayah nasional dengan standar
yang telah ditentukan. Karakter kurikulum yang
sangat erat dengan berkepribadian kebangsaan,
bermoral, serta nilai nilai capaian lainnya
dirumuskan secara sentral. Maka ujian sekolah
sebagai bukti keberhasilan pembelajaran diujikan
secara memusat. Masih kuatnya pengaruh kurikulum
tahun 1968 yang memiliki tujuan untuk membentuk
manusia pancasila sejati hingga muncul kurikulum
tahun 1975 yang memiliki tujuan diarahkan pada
pendidikan yang efisien dan efektif mengarah pula
pada konsep manajemen. Metode, materi dan tujuan
pengajaran dalam kurikulum tersebut dikembangkan
pada rencana pelajaran menjadi satuan pembahasan14
yang lebih rinci. Dengan demikian guru saat itu
dituntut untuk merancang pembelajaran dengan
menyesuaikan siswa atau peserta didik.
15
Dengan demikian, apabila ujian akhir sekolah
guna kelulusan diselenggarakan secara memusat hingga
pada wilayah pembuatan instrumen penilaian (soal)
hingga pada taraf penilaian sebagai tindakan
evaluasi pembelajaran terasa kekurangannya. Karena
sekian banyak sekolah dengan menerapkan sistem
pembelajaran tersebut, maka akan muncul keberagaman
kemampuan siswa pada setiap sekolah dan wilayah.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka
perkembangan sistem penentuan nilai kelulusan siswa
menjadi berubah. Hingga akhir tahun 1970-an
kebebasan untuk setiap sekolah menyelenggarakan
ujian masing-masing, mulai dari pembuatan soal
hingga pada tingkat penilaian. Dalam hal ini,
pemerintah memberikan pedoman yang dapat
dipergunakan oleh para guru dan tenaga pendidik
untuk dapat melaksanakan ujian kelulusan.
Kebijakan tersebut membawa pengaruh pada
kualitas pendidikan di Indonesia. Karena pemberian
kewenangan terhadap pelaksanaan ujian hingga pada
tingkatan penilaian, maka pihak sekolah dapat
meluluskan siswanya berdasarkan pertimbangan intern.
Selama tidak ada penyalahgunaan, maka ujian akhir
belajar sebagai takaran kemampuan syarat kelulusan
dapat berfungsi maksimal sebagai media evaluasi
belajar. Apabila proses penilaian tidak berjalan dan16
dilaksanakan sesuai dengan standar pendidikan
tentunya akan mendapatkan sangsi. Ujian akhir
sekolah menjadi pembangun peluang lain di sekolah,
yaitu manajemen sekolah yang bersifat material.
Kelompok mata ajar yang diujikan adalah semua mata
pelajaran yang dipelajari.
Sejumlah mata pelajaran yang cukup banyak
diujikan disekolah dalam pelaksanaan ujian akhir
sekolah. Evaluasi hasil belajar akhir yang akan
menentukan apakah siswa tertentu layak untuk
diluluskan atau belum, kaitannya dengan pemenuhan
standar minimal kelulusan. Tidak semua mata
pelajaran dapat dikatakan tuntas hanya dengan sistem
penilaian tertulis. Ada beberapa mata pelajaran yang
menuntut pemenuhan kompetensi yang tidak dapat
diujikan secara tertulis. Dengan demikian, ujian
tertulis sekolah apakah dapat mewakili proses
pengambilan keputusan yang tepat untuk meluluskan
atau tidak meluluskan siswa tertentu dengan
berdasarkan hasil uji tes tertulis yang dilaksanakan
dalam waktu tertentu.
Berlanjut pada periode tahun 1980-an, ujian
akhir sekolah berkembang mengikuti perkembangan
kurikulum pula. Kurikulum 1984 dengan produknya Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA) juga membawa pengaruh
dalam pengambilan keputusan bentuk evaluasi hasil17
belajar akhir siswa. Beranjak dari bermunculannya
pelaku-pelaku pelanggaran dengan proses
penyelenggaraan ujian sekolah dalam wilayah masing-
masing, maka dipertimbangkan untuk menggabungkan dua
jenis ujian yang dapat dijadikan media evaluasi
hasil belajar siswa. Sesungguhnya hal tersebut
muncul karena adanya ketidakpuasan pelaksanaan ujian
sekolah yang diijinkan secara mandiri terpusat.
Sehingga penggabungan melalui pembagian dua kategori
materi uji, pada periode 1980-an ujian dikelompokkan
menjadi Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA) dan
Evaluasi belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS).
Hanya permasalahan pembagian wilayah kekuasaan,
antara EBTA (wilayah kewenangan sekolah) dan EBTANAS
(wilayah kewenangan pemerintahan pusat), terkait
dengan proses pengkordinasian. Mata ajar yang
diujikan antara keduanya adalah berbeda. Mata uji yg
sudah diujikan di EBTA tidak lagi diujikan di
EBTANAS. Dengan demikian, apakan siswa yang memiliki
nilai di atas standar batas nilai EBTA dan EBTANAS
akan lulus untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya.
Ujian sekolah yang dilaksanakan mandiri sebelumnya
seolah tidak sesuai dengan pencapaian hasil belajar
siswa. Meskipun pada praktisnya, pelaksanaan masih
bersifat sama (EBTA). Kedua sistem ujian akhir
tersebut masih mencakup banyak mata pelajaran untuk18
diujikan. Fungsi ujian diselenggarakan untuk
mengesahkan keberhasilan belajar peserta ujian
sebagai hasil belajar yang telah memenuhi
persyaratan, seperti pernyataan pada UURI no2 tahun
1989.
Memasuki periode 2000-an awal ujian akhir
sekolah terjadi pergantian pada EBTANAS. Penilaian
yang dilakukan juga berdasarkan standar pendidikan
yang bersifat nasional. Seperti halnya pada undang-
undang republik Indonesia nomor 2 tahun 1989 pasal
44, bahwasanya ujian dilaksanakan berdasarkan atas
kurikulum yang bersifat nasional. Kondisi yang
beragam mempengaruhi ragam proses pembelajaran yang
berlangsung. Hal tersebut menyebabkan hasil evaluasi
pada sekolah di daerah tertentu sulit untuk
disamakan dengan sekolah di daerah tertentu lainnya.
Standar keberhasilan hasil evaluasi menjadi sulit
untuk dibangun secara menyeluruh atau memusat.
Dengan demikian, nilai yang dihasilkan dari proses
EBTA sulit untuk menjadi indikator perjalanan
pendidikan di Indonesia. Menjadi hal yang tidak
benar apabila memukul rata pendidikan di setiap
penjuru Indonesia melalui tingkat keberhasilan siswa
yang jelas berbeda tingkatannya. Ujian akhir sekolah
dengan penggabungan EBTA dan EBTANAS menjadi
pertimbangan lagi.19
EBTANAS diganti menjadi Ujian Akhir Nasional
(UAN) dengan pembatasan standar kelulusan yang
berubah-ubah pada tiap periode tahunnya. Hal
tersebut menyikapi masih adanya peran yang
berlebihan terhadap kelulusan siswa yang mengarah
pada tindakan merugikan. Hal tersebut dirasakan
karena masih adanya peran sekolah dalam menentukan
kelulusan siswa. Kembali peran guru, sebagai pihak
yang paling paham kemampuan siswa dipenggal disaat
proses ujian akhir. Kelulusan pada Ujian Akhir
Nasional adalah berdasarkan ketuntasan siswa secara
individual terhadap beberapa mata pelajaran pilihan
yang sudah ditentukan. Hal tersebut apabila
mempertimbangakan PP nomor 19 tahun 2005 yang
mengatakan bahwasanya standar nasional pendidikan
adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di
seluruh wilayah hukum negara Kesatuan RI, maka masih
ada ruang guru untuk bisa lebih berkreasi dalam
proses pembelajaran.
Sedangkan pada praktisnya, materi ujian Nasional
sudah ditentukan oleh tim tertentu yang bertugas
membuat soal ujian secara memusat tidak mungkin
menggabungkan kreatifitas semua guru. Demikian pula
dengan evaluasi pendidikan yang dipahami sebagai
kegiatan pengendalian, penjaminan dan penetapan mutu
pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan20
pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan
pendidikan (PP no 19 tahun 2005). Hasil Ujian Akhir
Nasional yang diperoleh siswa dapatkah menjadi
standar bukti kemampuan siswa untuk dapat
meneruskannya di jenjang selanjutnya, menjadi
pertanyaan besar terhadap maksimalitas pelaksanaan
Ujian Akhir Nasional. Cara penentuan kelulusan sudah
berbeda dengan sistem EBTANAS, tetapi apabila
dibandingkan dengan sistem evaluasi hasil belajar
akhir pada periode awal 1950-an, UAN sama halnya
dengan ujian negara. Hanya saja jumlah mata
pelajaran yang diujikan berbeda, dan pada UAN mata
pelajaran berjumlah lebih sedikit. Seolah berbeda,
tetapi pada dasarnya sama dan ada kecenderungan
berbalik arah pada masa awal diselenggarakannya
ujian akhir sekolah yang bersifat memusat. Apakah
ada perbedaan yang signifikan antara UAN dengan UN,
menjadi perhatian lanjut bagi pemerhati pendidikan
di Indonesia.
E. Penutup
Ujian di masa akhir pembelajaran di sekolah
dalam tingkatan tertentu menjadi media evaluasi
pembelajaran. Evaluasi pembelajaran yang sesuai
adalah evaluasi yang memiliki indikator pemenuhan21
hasil pembelajaran sesuai dengan tujuan pencapaian
tiap pembelajaran yang mampu menentukan tingkat
kemampuan siswa tertentu. Dengan demikian, evaluasi
pembelajaran dirancang dengan menggunakan instrumen
uji yang sesuai dengan pelaku uji. Akan cenderung
lebih sesuai apabila pelaksanaan ujian nasional
tetap mempertimbangkan perbedaan proses pembelajaran
pada tiap daerah untuk dapat menuntaskan
pembelajaran pada standar minimal pencapaian. Yang
tergambar dalam catatan pelaksanaan ujian akhir
sekolah dalam beberapa periode adalah kebimbangan
penentuan instrumen ketuntasan pembelajaran.
Sistem yang diterapkan hanya berbalik dengan
wajah dan nama yang berbeda, tetapi memiliki esensi
yang sama, yaitu menilai kemampuan siswa dalam
penuntasan pembelajaran secara memusat. Keberagaman
kompetensi yang dimiliki menjadi pertimbangan
perubahan dan juga menjadi ketakutan tersendiri
terhadap rancangan keberhasilan pendidikan di
Indonesia. Belum menemukan kekurangan yang
signifikan, UAN dikembangkan menjadi UN. Hal
tersebut menjadi pemicu keraguan publik terhadap
hasil belajar siswa yang diperoleh melalui UN
sebagai hasil yang maksimal dan penanda tingkat
kemampuan siswa. Sehingga, keinginan untuk
mewujudkan pendidikan yang bermutu guna peningkatan22
kualitas sumber daya manusia melalui divisi
pendidikan, yang terampil menjadi pertanyaan besar
apabila ketentuan Ujian Nasional yang tercantum
dalam peraturan pemerintah dalam hal standarisasi
kelulusan belum terakomodasi melalui Ujian Nasional
(UN).
DAFTAR REFERENSI
____________. 2011. Peraturan Menteri Pendidikan danKebudayaan Republik Indonesia nomor 59 tahun 2011tentang kriteria Kelulusan Pserta didik dari SatuanPendidikan dan Penyelenggaraan UjianSekolah/Madrasah dan Ujian Nasional.
____________. 1989. Undang-undang Republik Indonesianomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem pendidikanNasional.
____________. 2005. Peraturan Pemerintah RepublikIndonesia nomor 19 Tahun 2005 tentang StandarNasional Pendidikan.
Agus Mulyadi. 2011. Kurikulum Pendidikan 1847, 1952,1968, 1975, 1984, 1994, 1999, 2004, dan 2006.Diunduh pada maret 2012.http://mbahkarno.blogspot.com
Djemari mardapi. 2011. Mekanisme Penilaian dan ProsedurKelulusan Peserta Didik pada Ujian Nasional 2011.Makalah disampaikan pada seminar tentang UjianNasional 22 Mei 2011 di IAIN Makasar.
Kunandar. 2009. Pro Kontra Seputar Ujian Nasional.http://ruangpikir.multiply.com/journal/item/45?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem. Diunduhpada April 2012.