Presentasi Kasus Ujian Bedah Plastik SEORANG LAKI-LAKI USIA 17 TAHUN DENGAN FRAKTUR ANGULUS MANDIBULA SINISTRA DAN VULNUS EKSKORIASI REGIO FRONTAL SINISTRA Periode : 31 Agustus – 5 September 2015 Oleh: Shinta Andi Sarasati G99141026 Pembimbing: dr. Amru Sungkar, SpB, SpBP-RE KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Presentasi Kasus Ujian Bedah Plastik
SEORANG LAKI-LAKI USIA 17 TAHUN DENGAN FRAKTUR ANGULUS MANDIBULA SINISTRA DAN VULNUS EKSKORIASI REGIO FRONTAL SINISTRA
Periode : 31 Agustus – 5 September 2015
Oleh:
Shinta Andi Sarasati G99141026
Pembimbing:
dr. Amru Sungkar, SpB, SpBP-RE
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015
BAB I
STATUS PASIEN
A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. R
Umur : 17 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Norowangsan, Laweyan , Surakarta
Tanggal Masuk : 1 September 2015
Tanggal Periksa : 2 September 2015
Status Pembayaran : BPJS
No. RM : 01312415
2. Keluhan Utama
Nyeri pada pipi kiri setelah KLL
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Satu hari SMRS saat pasien sedang mengendarai sepeda motor tanpa
menggunakan helm, pasien tergelincir pada saat akan belok. Pasien terjatuh dengan
posisi kepala membentur aspal lalu tidak sadarkan diri, kejang (-),muntah (-). Oleh
penolong pasien kemudian dibawa ke RS Brayat minulya diinfus dan diinjeksi obat-
obatan dan di ronsen kepala. Lalu pasien dibawa pullang oleh keluarganya, karena
nyeri tidak berkurang, oleh keluarga pasien di bawa ke RSDM.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal
1
Riwayat diabetes : disangkal
Riwayat trauma sebelumnya : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat diabetes : disangkal
6. Riwayat kebiasaan
Nutrisi : pasien makan 3 kali sehari dengan gizi seimbang.
Olahraga : pasien olahraga 1 minggu sekali
Merokok : (-)
7. Riwayat sosial ekonomi
Pasien adalah seorang pelajar yang berobat menggunakan BPJS.
GENERAL SURVEY
1. Primary Survey
a. Airway : bebas
b. Breathing : tidak spontan, frekuensi pernafasan 10 x/menit
Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri, krepitasi (-)
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
c. Circulation : tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 88 x/menit, CRT<2 detik
d. Disability : GCS E4V5M6, reflek cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/
3mm), lateralisasi (-/-)
e. Exposure : suhu 36,5ºC, Jejas (+) lihat status lokalis
2
2. Secondary Survey
a. Keadaan umum : compos mentis, tampak sakit sedang
b. Kepala : mesocephal, jejas (+) lihat status lokalis
c. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(3mm/3mm), reflek cahaya (+/+), hematom supraorbital
akibat tusukan benda tajam), vulnus traumatica (luka akibat hantaman benda tajam).
Gejala yang tampak di lapang berupa robeknya sebagian kulit, pengerasan daerah
sekitar kulit dan kadang berbau busuk dan eksudat di daerah vulnus menjadi mukopurulen
jika telah berlangsung lama. Eksudat di daerah vulnus yang telah mukopurulen merupakan
indikasi telah terjadi infeksi sekunder dari bakteri lingkungan yang menghasilkan nanah,
misalnya Streptococcus dan Stahpylococcus. Gejala-gejala yang muncul jika tidak segera
ditangani dapat memicu terjadinya miasis.
1. Mekanisme terjadinya luka
Luka insisi (Incised Vulnus), terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam. Misal
yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura seterah
seluruh pembuluh darah yang luka diikat (ligasi). Luka memar (Contusion Vulnus), terjadi
akibat benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak,
perdarahan dan bengkak. Luka lecet (Abraded Vulnus), terjadi akibat kulit bergesekan
dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam. Luka tusuk
(Punctured Vulnus), terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau yang masuk
kedalam kulit dengan diameter yang kecil. Luka gores (Lacerated Vulnus), terjadi akibat
benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat. Luka tembus (PenetratingVulnus),
yaitu luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya
kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.
2. Klasifikasi luka
Menurut Tingkat Kontaminasi Terhadap Luka
a. Clean Vulnus (Luka bersih)
Clean Vulnus (Luka bersih) yaitu luka bedah takterinfeksi yang mana tidak terjadi
proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan, pencernaan, genital dan
urinari tidak terjadi. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika diperlukan
dimasukkan drainase tertutup (misal; Jackson – Pratt). Kemungkinan terjadinya infeksi luka
sekitar 1% – 5%.
17
b. Clean-contamined Vulnus (Luka bersih terkontaminasi)
Clean-contamined Vulnus (Luka bersih terkontaminasi) merupakan luka pembedahan
dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol,
kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% – 11%.
c. Contamined Vulnus (Luka terkontaminasi)
Contamined Vulnus (Luka terkontaminasi) termasuk luka terbuka, fresh, luka akibat
kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi
dari saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen.
Kemungkinan infeksi luka 10% – 17%.
d. Dirty or Infected Vulnus (Luka kotor atau infeksi)
Dirty or Infected Vulnus (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya mikroorganisme
pada luka.
Berdasarkan Kedalaman dan Luasnya Luka, dibagi menjadi
Stadium I
Luka Superfisial (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada lapisan
epidermis kulit.
Stadium II
Luka Partial Thickness yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan
bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti
abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
Stadium III
Luka Full Thickness yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau
nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati
jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan
fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang
yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
18
Stadium IV
Luka Full Thickness yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan
adanya destruksi/kerusakan yang luas.
Proses Penyembuhan Luka
Tubuh secara normal akan berespon terhadap cedera dengan jalan proses
peradangan, yang dikarakteristikkan dengan lima tanda utama: bengkak (swelling),
kemerahan (redness), panas (heat), Nyeri (pain) dan kerusakan fungsi (impaired function).
3. Proses penyembuhannya luka
a. Fase Inflamasi
Fase inflamasi adalah adanya respon vaskuler dan seluler yang terjadi akibat
perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Tujuan yang hendak dicapai adalah
menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati dan
bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan. Pada awal fase ini
kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya platelet yang berfungsi sebagai
hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot) dan juga
mengeluarkan substansi vasokonstriksi yang mengakibatkan pembuluh darah kapiler
vasokonstriksi. Selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan menutup pembuluh
darah. Periode ini berlangsung 5-10 menit dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler
akibat stimulasi saraf sensoris (Local sensory nerve endding), local reflex action dan
adanya substansi vasodilator (histamin, bradikinin, serotonin dan sitokin). Histamin juga
menyebabkan peningkatan permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari
pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi oedema jaringan dan
keadaan lingkungan tersebut menjadi asidosis.
Secara klinis fase inflamasi ini ditandai dengan: eritema, hangat pada kulit, oedema dan
rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4.
b. Fase Proliferatif
19
Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan
menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblas sangat besar pada
proses perbaikan yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur
protein yang akan digunakan selama proses reonstruksi jaringan.
Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas sangat
jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka,
fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian
akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin,
hyaluronic acid, fibronectin dan proteoglycans) yang berperan dalam membangun
(rekontruksi) jaringan baru. Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal
bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannya substrat oleh
fibroblas, memberikan pertanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas
sebagai kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka. Sejumlah sel dan pembuluh darah
baru yang tertanam didalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi.
Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk,
terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai growth faktor yang dibentuk
oleh makrofag dan platelet.
c. Fase Maturasi
Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang
lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan
baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblas sudah mulai
meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringa mulai berkurang karena
pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat
jaringan parut. Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10
setelah perlukaan.
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara
kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan terjadi
penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan
menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka.
20
Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan
parut mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktifitas normal. Meskipun proses
penyembuhanluka sama bagi setiap penderita, namun outcome atau hasil yang dicapai
sangat tergantung pada kondisi biologis masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka.
Penderita muda dan sehat akan mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan kurang
gizi, diserta penyakit sistemik (diabetes mielitus).
4. Faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
a. Usia
Semakin tua seseorang maka akan menurunkan kemampuan penyembuhan jaringan.
b. Infeksi
Infeksi tidak hanya menghambat proses penyembuhan luka tetapi dapat juga
menyebabkan kerusakan pada jaringan sel penunjang, sehingga akan menambah ukuran
dari luka itu sendiri, baik panjang maupun kedalaman luka.
c. Hipovolemia
Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya
ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka.
d. Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara bertahap
diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar
hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat
proses penyembuhan luka.
e. Benda asing
Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu
abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan sel
mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan yang kental yang
disebut dengan nanah (Pus).
f. Iskemia
21
Iskemi merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah pada bagian
tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat dari balutan
pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi
pada pembuluh darah itu sendiri.
g. Diabetes
Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi
tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan protein-
kalori tubuh.
5. Pengobatan
Steroid akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap
cedera. Antikoagulan dapat mengakibatkan perdarahan, Antibiotik : efektif diberikan
segera sebelum pembedahan untuk bakteri penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika
diberikan setelah luka pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi
intravaskular.
6. Klasifikasi Penyembuhan
a. Penyembuhan Primer (sanatio per primam intentionem)
Penyembuhan Primer tertunda atau Penyembuhan dengan jaringan
tertunda yaitu
1. Luka dibiarkan terbuka.
2. Setelah beberapa hari ada granulasi baik dan tidak ada infeksi.
3. Luka dijahit.
4. Penyembuhan.
b. Penyembuhan sekunder (sanatio per secundam intentionem)
1. Luka diisi jaringan granulasi dimulai dari dasar terus naik sampai penuh
2. Ephitel menutup jaringan granulasi mulai dari tepi.
3. Penyembuhan .
22
DAFTAR PUSTAKA
Courtney Pendleton, Shaan M. Raza, Gary L. Gallia, Alfredo Quinones-Hinojosa (2014). Harvey Cushing’s Early Operative Treatment Of Skull Base Fractures. J Neurol Surg B 2014;75:27–34.
Dodson TB, Jafek WB. Zygomatic, maksillary and orbital fractures. In: Jafek WB, Murrow WB eds. ENT Secrets 3rd ed. Elsevier. Philadelphia; 2005: 334-340 7.
Gao W, Xi JH, Ju NY, Cui GX (2014). Ropivacaine via trans-cricothyroid membrane injection inhibits the extubation response in patients undergoing surgery for maxillary and mandibular fractures. Genetics and Molecular Research, 13(1): 1635-1642.
Guilherme Brasileiro De Aguıar, João Miguel De Almeıda Sılva, Rodrigo Becco De Souza, Marcus André Ac Ioly (2015). Skull Base Fracture Involving The Foramen Spinosum – An Indirect Sign Of Middle Meningeal Artery Lesion: Case Report And Literature Review. Turk Neurosurg 2015, Vol: 25, No: 2, 317-319
Harasen G (2008). Maxillary and mandibular fractures. CVJ, 49: 819-820.
Ji Hwan Jang., Jung Soo Kim. (2014). Pontomedullary Laceration, A Fatal Consequenceof Skull Base Ring Fracture. J. Korean Neurosurg Soc 56 (6) : 534-536, 2014
Kellman MR, Tatum AS. Complex facial trauma with plating. In: Bailey JB, Johnson TJ eds. Head and Neck Surgery - Otolaryngology. 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia; 2006 : 1027-1044 8.
Murr HA. Maxillofacial trauma. In: Lalwani KA ed. Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2nd ed. Lange Mc Graw Hill. New York; 2003: 203-213 5.
Prein J. Manual of Internal Fixation in the Cranio-Facial Skeleton. Springer-Verlag.Berlin Heidelberg, New York; 1998 10. Lore MJ, Klotch WD. Fracture of facial bones. In: Lore MJ, Medina EJ eds. An Atlas of Head & Neck Surgery. 4th ed. Elsevier Inc. Philadelphia; 2005: 595-652
Rostini, Intang A, Darwis (2013). Pengaruh penggunaan larutan nacl 0,9% terhadap lama hari rawat pada pasien vulnus laceratum di rumah sakit umum daerah h. Andi sulthan daeng radja kabupaten bulukumba. E-library STIKES Nani Hasanuddin, 2(4): 1-6.
Wulandari A, Azis A, Aryanti N. Efektifitas Kesembuhan Luka Pada Penggunaan Rivanol Dengan Povidone Iodine Terhadap Vulnus Laseratum.
Wood R. J, Jurkiewicz M.J. Plastic and Reconstructive Surgery. In: Schwartz S.I, Shires G.T, Spencer F.C, Daly J.M, Fischer J.E, Galloway A.C. Schwartz Principles of Surgery 7th ed. United States of America:McGraw-Hill Companies Inc. 1999