Page 1
1
UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN HUBUNGANNYA DENGAN TITER ANTIBODY IgM PADA PENDERITA KUSTA MB
Resistance rpoB Gene to Rifampicin and Its Relationship with IgM Antibody in Patients With MB Leprosy
Sari bumi
Nomor Stambuk : P1507207103
PASCASARJANA KEDOKTERANKONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU
( COMBINED DEGREE)PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR
2012PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : SaribumiNo.Stambuk : P1507207103Program Studi : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Page 2
2
Makassar, Desember 2012
Yang menyatakan
saribumi
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahirabbilalamin, puji syukur yang teramat sangat penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini terfikirkan, tercipta dan terselesaikan. Pada kesempatan ini, banyak sekali terima kasih yang ingin saya ucapkan kepada berbagai pihak yang telah berperan sehingga tesis ini dapat selesai dan saya dapat menyelesaikan pendidikan ini pada akhirnya.
Kepada Direktur Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dan Ketua Program Pendidikan Dokter Spesialis I Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, saya mengucapkan banyak terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan dokter spesialis di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Terima kasih saya ucapkan kepada dr. Alwi A. Mappiasse, Sp.KK, PhD, FINSDV dan dr. Dirmawati Kadir, Sp.KK selaku Kepala Bagian dan Sekretaris Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Dr. dr. Khairuddin Djawad, Sp.KK(K), dan dr. Rosmini Marola, Sp.KK selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Terima kasih yang tidak terhingga kepada Prof. Dr. dr. Muh. Dali Amiruddin, Sp.KK(K), FINSDV, selaku pembimbing I tesis saya dan dr.Safruddun Amin, SpKK. MARS selaku pembimbing II tesis saya yang telah membimbing dengan penuh kesabaran dan memberikan masukan serta solusi sehingga tersusunnya tesis ini. Terima kasih yang teramat sangat pula saya ucapkan kepada para penguji; Prof. Dr. Moh. Hatta, SpMK, Ph.D, atas bimbingan, arahan, dan masukannya kepada saya dalam penyusunan tesis ini, kepada Dr. dr. Arifin Seweng, MPH, terima kasih yang teramat sangat atas bimbingan dan arahannya yang dengan penuh kesabaran mengajarkan serta membantu menganalisis statistik pada tesis ini, dan terima kasih pula saya ucapkan kepada dr. Danny Suwandi, SpFK, Ph.D atas segala masukannya dalam tesis ini.
Kepada seluruh staf pengajar Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, terima kasih atas segala bimbingannya sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan lancar, semoga ilmu yang telah diberikan dapat menjadi manfaat untuk saya dan orang lain disekitar saya nantinya. Dan kepada seluruh teman-teman peserta Program Pendidikan Spesialisasi I Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Universitas Hasanuddin, terima kasih atas segala bantuan kalian baik yang disadari maupun tidak disadari selama menempuh pendidikan di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin ini.
Terima kasih yang tidak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata untuk keluarga saya, orang tua saya tercinta, ayahanda Alm H.Ahmadin Latompai dan ibunda Hj.Rosna yang selalu dengan penuh kesabaran, pengertian dan cintanya serta dukungannya dalam menyelesaikan pendidikan baik secara moril maupun materil, saudara-saudara saya, Moh.Ikbal, H.Sariana dan Amir Hamza yang telah banyak memberi dukungan, semangat dan kasih sayangnya. Dan kepada suami tercinta, Dr. dr. H. Rasyidin Abdullah, MPH. MH.Kes, dan penyemangat hidupku
Page 3
3
Mardiansar Faiq Farras Aziz dan Abdul Ahmad Affan, terimakasih atas dukungan, semangat dan kasih sayangnya, terutama untuk kesabaran dan pengertiannya yang luar biasa atas ketidaksempurnaan kewajiban saya selaku istri dan ibu. Dan selesainya tesis ini merupakan salah satu hadiah yang bisa saya berikan untuk kalian dan diri saya, sekali lagi terima kasih Ya Allah SWT.
Kepada sahabat-sahabatku, teman angkatan januari 2008 TopTen (dr. Evi, dr. Yeyen, dr. Astrid, dr. Ninda, dr. Wiwi, dr. Nely, dr. Felisia, dr. Ian, dr. Eche) yang selalu memberi semangat dalam penyelesaian tesis ini. dr. Diano, dr. Adharia, dr. Lisa, dr. Zakiani, dr. Halida, dr. Meyti dan dr. Khairil dan sahabat-sahabat saya yang lainnya, terima kasih telah menjadi sahabat-sahabat yang begitu baik, tulus, dikala senang maupun susah, semoga Allah SWT mempermudah jalan bagi kita semua dalam menyelesaikan pendidikan ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh pasien dan orang tua pasien yang menjadi sampel dalam penelitian ini, karena tanpa mereka penelitian ini tidak mungkin berjalan dan dari mereka penulis dapat belajar banyak hal. Tidak perlu menunggu sempurna untuk bahagia, cukup bersyukur dengan apa yang telah kita miliki seharusnya kita sudah bisa bahagia.
Terima kasih yang tidak terhingga pula disampaikan kepada semua pihak yang namanya tidak tercantum tetapi telah banyak membantu selama penelitian ini berlangsung dan dalam proses penyelesaian tesis ini.
Semua kalimat memiliki titik, pada akhirnya proses pendidikan ini sampai dititik yang sungguh sangat melegakan. Semoga Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang selalu melimpahkan berkat dan karunia-Nya bagi kita semua.
Makassar, Desember 2012
Saribumi
ABSTRAK
Page 4
4
SARIBUMI. Uji Resistensi Gen rpoB terhadap Rifampisin dan Hubungannya dengan Titer Antibodi IgM pada penderita kusta MB (dibimbing oleh Muh. Dali Amiruddin dan Safruddin Amin)
Rifampisin merupakan komponen utama dalam rejimen kemoterapi yang di gunakan untuk memberantas penyakit kusta digunakan sebagai rejimen utama dalam MDT yang direkomendasikan oleh WHO untuk mengobati penyakit kusta. Setelah mendapat pengobatan MDT-WHO maka kadar IgM PGL-1 akan mengalami penurunan 50% atau bahkan lebih, seiring dengan makin berkurangnya nilai dari pemeriksaan bakteriologis BI dan MI. Ditemukannya resistensi rifampisin telah menimbulkan kekhawatiran dan ancaman bagi program-program intervensi penyakit infeksi.
Penelitian dilakukan di rumah sakit Tajuddin Chalid Makassar dan perkampungan kusta Jongayya Makassar dengan metode cross sectional. Sampel penelitian sebanyak 35 penderita kusta post MDT WHO yang dinilai berdasarkan bakterial indeks (BI), morfologis indeks (MI), antibodi IgM anti PGL-1, lesi kulit dan keteraturan berobat. Didapatkan satu penderita terjadi mutasi gen rpoB resisten rifampisin dengan riwayat ketidakteraturan berobat dan pemeriksaan: bakterial indeks (BI) +4, morfologi indeks (MI) 1%, antibodi IgM anti PGL-1 +4 dan jumlah lesi kulit diatas 10.
Bakteri M.Leprae yang masih hidup post terapi MDT berkaitan erat dengan faktor ketidakteraturan berobat, faktor bakteriologis, faktor penderita sendiri dan faktor resistensi terhadap rifampisin.
Kata kunci: mutasi gen rpoB, resistensi rifampisin, antibodi IgM, kusta MB
ABSTRACT
SARIBUMI. Resistance rpoB Gene to Rifampicin and Its Relationship with IgM antibody titers in patients with MB leprosy (supervised by Muh. Dali Amiruddin dan Safruddin Amin)
Rifampicin is the main component in chemotherapy regimens used to eradicate leprosy is used as the primary MDT regimen recommended by WHO for the treatment of leprosy. After receiving treatment the MDT- WHO, PGL-1 IgM levels will decline 50% or even more, along with the reduction in the value of BI and MI bacteriological examination. The discovery of rifampicin resistance has raised concerns and the threat of intervention programs for infectious diseases.
The study was conducted at the Tajuddin Chalid hospital, Makassar and settlement of leprosy in Jongayya with cross sectional method. The research sample of 35 patients with leprosy post MDT-WHO assessed by bacterial index (BI), morphological index (MI), antibody IgM anti PGL-1, skin lesions and order treatment. One patient obtained rpoB gene mutations of rifampin resistance with a history of treatment and examination irregularity: bacterial index (BI) +4, morphology index (MI) 1%, antibody IgM anti PGL-1 +4 and the number of skin lesions above 10.
Bacteria surviving post M.Leprae MDT therapy is closely related to irregularity factor treatment, bacteriological factors, patient factors alone and rifampicin resistance factor.
Keywords: gen rpoB mutation,rifampisin resistance, IgM antibody, MB leprosy
Page 5
5
DAFTAR ISI Halaman
UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... i
ABSTRAK ............................................................................................... iii
ABSTRACT .............................................................................................. iv
DAFTAR ISI ............................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ ix
DAFTAR TABEL ..................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xi
BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................... 1
I.1 Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
I.2 Rumusan Masalah .................................................................. 5
I.3 Tujuan Penelitian .................................................................... 6
I.4 HipotesisPenelitian ................................................................. 6
I.5 Manfaat Penelitian .................................................................. 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 8
II.A. Tinjuan Umum Kusta .............................................................. 8
II.A.1 Definisi ........................................................................... 8
II.A.2 Epidemiologi ................................................................... 8
Page 6
6
II.A.3 Etiologi ........................................................................... 9
II.A.4 Penularan ....................................................................... 10
II.A.5 Imunologi ........................................................................ 10
II.A.6 Gambaran Klinis .............................................................. 14
II. A.7. Diagnosis …………………………………………... 16
II. A.8. Pemeriksaan Diagnosis Kusta …………………… 17
II. A.9. Pengobatan MDT ………………………………… 25
II.B. Kerangka Teori ...................................................................... 33
II.B. Kerangka Konsep ................................................................. 34
BAB III. METODE PENELITIAN ............................................................. 35
III.A. Rancangan Penelitian ......................................................... 35
III.B. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................. 35
III.C. Populasi Penelitian .....................................................................35
III. D. Sampel Penelitian .............................................................. 36
III. E.Kriteria Inklusi dan Eksklusi ................................................. 37
III.F. Ijin Penelitian dan Kelaikan Etik (Ethical Clearance) ............ 37
III.G. Prosedur Penelitian ............................................................ 38
III.H. Alur Penelitian ...................................................................... 47
III.I. Identifikasi Variabel ............................................................... 48
III.J. Definisi Operasional .............................................................. 48
III.K. Pengolahan dan Analisis Data ............................................. 50
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 51
IV.A. Hasil Penelitian .................................................................... 51
IV.A.1 Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB
Berdasarkan Umur ....................................................... 51
IV.A.2. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB
Page 7
7
Berdasarkan Terapi ..................................................... 51
IV.A.3. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB
Berdasarkan Bakterial Indeks....................................... 52
IV.A.4. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB
Berdasarkan Morfologis Indeks .................................... 52
IV.A.5. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB
Berdasarkan Jumlah Lesi ............................................. 53
IV.A.6. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB
Berdasarkan Tes ML Flow............................................
53 IV.A.7. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB
Berdasarkan PCR......................................................... 54
IV.A.8. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB
Berdasarkan Sequencing M.Leprae ............................ 54
IV.A.9. Hubungan Terapi Dengan Sequensing
Rifampisin.................................................................. 54
IV.A.10. Hubungan Terapi Dengan Tes ML Flow................. 56
IV.A.11. Hubungan Terapi Dengan Sequensing
Rifampisin................................................................. 57
IV.A.12. Hubungan Terapi Dengan Sequensing
Tes ML Flow............................................................... 58
IV.A.13. Hubungan Tes ML Flow Dengan Sequensing
Rifampisin................................................................... 59
IV.A. Pembahasan ........................................................................ 60
BAB V. PENUTUP ................................................................................... 64
V.1 Kesimpulan ........................................................................... 64
V.2 Saran ..................................................................................... 65
Page 8
8
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 66
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
No halaman
1. Regimen Pengobatan MDT Menurut Umur (DEPKES 2007) ............... 32
2. Kerangka Teori ..................................................................................... 33
3. Kerangka Konsep ................................................................................. 34
4. Alur Penelitian ....................................................................................... 47
DAFTAR TABEL
No halaman
IV.A.1 Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB Berdasarkan Umur …………….51
IV.A.2. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB Berdasarkan Terapi…………….51
IV.A.3. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB Berdasarkan Bakterial
Indeks ........................................................................................... 52
Page 9
9
IV.A.4. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB Berdasarkan Morfologis
Indeks ............................................................................................ 52
IV.A.5. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB Berdasarkan Jumlah
Lesi ............................................................................................ 53
IV.A.6. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB Berdasarkan Tes
ML Flow ......................................................................................... 53
IV.A.7. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB Berdasarkan PCR…… 54
IV.A.8. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB Berdasarkan
Sequencing M.Leprae ...................................................................…. 54
IV.A.9. Hubungan Terapi Dengan Sequensing Rifampisin .......................… 54
IV.A.10. Hubungan Terapi Dengan Tes ML Flow......................................……… 56
IV.A.11. Hubungan Terapi Dengan Sequensing Rifampisin .....................……… 57
IV.A.12. Hubungan Terapi Dengan Sequensing Tes ML Flow..................……… 58
IV.A.13. Hubungan Tes ML Flow Dengan Sequensing Rifampisin……....….. 59
Page 10
10
DAFTAR LAMPIRAN
No
1. Daftar Sampel Penelitian
2. Hasil Pemeriksaan Sequensing PCR
3. Hasil Pemeriksaan PCR
4. Hasil Pemeriksaan ML Flow Tes
5. Rekomendasi Persetujuan Etik
6. Analisis Statistik
BAB I
Page 11
11
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kusta merupakan penyakit infeksi kronik pada manusia yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae (M.Leprae) yang utamanya menyerang pembuluh saraf perifer
dan kulit.(Brysceson dan Pfaltzgraff., 1990, Rea dan Modlin., 2008)
Sampai saat ini penyakit kusta masih merupakan problema besar di beberapa
negara di dunia, karena penyakit ini tidak saja infeksius tetapi dapat juga menyebabkan
kecacatan yang akan menimbulkan masalah-masalah sosial ekonomi.(Widodo., 1991)
Program eliminasi kusta dicanangkan oleh Wordl Health Organization (WHO) pada
tahun 2000 dan melaporkan 118 negara dari 122 negara telah dieliminasi, namun
kenyataannya jumlah penderita kusta masih tinggi dan masih banyak ditemukan kasus
baru yang dilaporkan setiap tahunnya.(Sehgal dkk., 2008, Scollard., 2008, Worobec.,
2009) Berdasarkan data WHO, awal tahun 2009 dilaporkan prevalensi kusta yang
tercatat di seluruh dunia sebesar 213.036, sedikit menurun dibandingkan prevalensi
awal tahun 2006 yang tercatat diseluruh dunia sebesar 219.286 kasus. Negara-negara
yang termasuk endemik kusta dimana Indonesia menduduki tempat yang ketiga setelah
Brazil, India, keempat Nepal, Nigeria dan Republik Demokratik Kongo.(Williams dkk.,
2005, WHO., 2006, WHO., 2009, Worobec., 2009)
Pendeteksian kasus baru di seluruh dunia telah berkurang signifikan selama 5
tahun terakhir, tetapi dalam 2 tahun terakhir penurunannya tidak terlalu signifikan
khususnya di Asia Tenggara yang mewakili 74% kasus baru di seluruh dunia. India
mendeteksi ≥ 137.000 kasus baru pada tahun 2007, sedangkan pada tahun 2006 ada
≥ 139.000 kasus baru, dimana menunjukkan penurunan hanya 1%. Diantara 18 negara
Page 12
12
teratas yang melaporkan ≥ 1000 kasus baru selama 2007, hal ini menunjukkan
peningkatan pendeteksian kasus baru dibanding tahun 2006, hanya dilakukan pada 10
negara.(WHO., 2008)
Secara nasional Indonesia sudah mencapai eliminasi kusta pada bulan juni
2000, namun sampai saat ini jumlah penderita kusta di Indonesia masih cukup tinggi.
Hal ini terbukti dari prevalensi penderita kusta pada tahun 2008 sebesar 21.538
penderita, jumlah kasus baru yang terdeteksi sebanyak 17.441 kasus, 82,15%
diantaranya adalah penderita tipe multibasiler (MB). (WHO., 2009) Provinsi dengan
prevalensi kusta tertinggi di Indonesia (>1/10.000 penduduk) diantaranya Maluku Utara,
Papua, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara.(Regan dkk., 2005) Situasi kusta di
Sulawesi Selatan, hampir sama dengan pola nasional, dimana jumlah penderita dan
angka prevalensi per 10.000 penduduk mengalami penurunan yang tidak signifikan dari
tahun ke tahun. Pada tahun 2006, jumlah penderita kusta yang terdaftar sebanyak
1.561 orang dengan prevalensi 2,1 per 10.000 penduduk dengan urutan 5
kabupaten/kota penderita kusta terbanyak adalah Jeneponto, Makasar, Bulukumba,
Wajo, dan Gowa.(Sudarianto dkk., 2008)
Sejak diperkenalkannya Multi Drug therapy (MDT) oleh World Health
Organization (WHO) untuk pengobatan penyakit kusta pada tahun 1982, lebih dari 8
juta penderita di seluruh dunia telah menyelesaikan pengobatan dengan menggunakan
rejimen MDT tersebut.(Baohong dkk., 1997) Rifampisin merupakan komponen utama
dalam rejimen kemoterapi yang di gunakan untuk memberantas penyakit kusta dan
tuberkulosis dan digunakan sebagai rejimen utama dalam MDT yang direkomendasikan
oleh WHO untuk mengobati penyakit kusta.(Honore., 1993, Williams.,1994)
Page 13
13
Antara tahun 1970-1980 rifampisin telah digunakan hampir di seluruh negara,
baik secara tunggal maupun sebagai kombinasi dengan obat-obat lain telah diresepkan
untuk waktu yang lama, selain itu rifampisin juga diberikan secara cuma-cuma untuk
pengobatan penyakit tuberkulosis dan kusta selama lebih dari 10 tahun.(Laurus
dkk.,1984). Ditemukannya resistensi obat telah menimbulkan kekhawatiran dan
ancaman bagi program-program intervensi penyakit infeksi. Kusta merupakan penyakit
kronis dengan stigma sosial, resistensi obat menimbulkan kendala yang serius pada
tahapan ketika terjadi penurunan dramatis prevalensi akibat intervensi kemoterapi yang
intensif dan menyeluruh yang dilakukan oleh komunitas global. Agar dapat memenuhi
tantangan untuk mengantisipasi resistensi obat di berbagai kondisi yang menyebabkan
rentan terhadap penyakit kusta. Ini bisa dilakukan dengan surveilens resisten obat
melalui sistem dukungan klinis, lapangan dan laboratorium yang sesuai.(WHO., 2008)
Jumlah pasien kusta resistensi terhadap rifampisin meningkat karena kegagalan
terapeutik dan kepatuhan yang rendah. Penelitian oleh Matsuoka dkk diambil sampel
38 pasien sementara terapi MDT dan tinggal di barat dan selatan Meksiko. Sampel
diperoleh dari telinga atau lesi dengan metode slit-skin sesuai dengan prosedur
standar, didapatkan hasil mutasi pada kodon 425 (TCG:Ser untuk TTC:Leu) dan satu
lagi di kodon 428 (GGC:Gly untuk AGC:Ser) dari gen rpoB diamati salah satu dari dua
telinga masing-masing dari satu dan dua pasien. Data klinis untuk pasien ini tidak
menunjukkan indikasi resisten rifampisin.(Matsuoka., dkk., 2010) Rifampisin adalah
komponen utama yang tidak bisa digantikan, munculnya resistensi terhadap rifampisin
akan menyebabkan kesulitan dalam penyembuhan dan akan terjadi penularan yang
luas, yang dapat menimbulkan ancaman serius dalam hal pencapaian target eliminasi
Page 14
14
kusta.(Williams dkk., 1994, Norman dkk., 2003). Resistensi M. leprae terhadap
rifampisin pertama kali dilaporkan oleh Jacobson dan Hasting pada tahun 1976 pada 2
penderita kusta dengan menggunakan pemeriksaan pada telapak kaki tikus secara
Shepard (Shepard’s mouse footpad assay). Resistensi terhadap rifampisin sebagian
besar juga didapatkan pada penderita yang menerima monoterapi rifampisin atau
pengobatan yang tidak adekuat.(Honore dkk., 2001) Isu-isu tentang bagaimana
mempertahankan dan melestarikan pengendalian kusta, bisa dihambat oleh terjadinya
resistensi rifampisin, karena rifampisin merupakan obat inti dalam MDT, maka isu ini
sangat relevan dan penting. Dalam hal ini, perlu ditelaah tekhnologi terbaru untuk
pendeteksian resistensi rifampisin yang akan memungkinkan para pemegang program
untuk merencanakan sebuah strategi surveilans global.(WHO, 2008)
WHO mendefinisikan relaps dalam kusta MB sebagai perkembangbiakan
M.Leprae, dimana hasil skin smear pasien dinyatakan negative selama atau setelah
pengobatan dihentikan dan dikemudian hari kondisi klinik memburuk (terdapatnya
bercak baru atau nodul dan atau kerusakan saraf baru) dengan skin smear positif yang
ditandai dengan peningkatan nilai bakterial index (BI) secara signifikan, sekurang-
kurangnya 2+ dari nilai sebelumnya dengan atau morphologi indeks (MI) yang positif.
Seperti pada kasus penyakit infeksi lainnya, angka relaps merupakan salah satu
parameter penting dalam menilai khasiat jangka panjang suatu terapi.(Matsuoka, 2000)
Antibodi IgM anti PGL-1 lebih dominan terhadap terhadap M.Leprae yang masih
solid oleh karena PGL-1 terdapat pada kapsul basil kusta sedangkan antibodi IgG
berperan terhadap antigen protein yang lebih banyak terdapat di bagian dalam tubuh
mikobakterium dimana antigen protein akan meningkat jika basil kusta telah pecah
Page 15
15
terbelah (fragmented). (Agusni, 2000; Abbas and Lichtman, 2007) Setelah mendapat
pengobatan MDT-WHO maka kadar IgM PGL-1 akan mengalami penurunan 50% atau
bahkan lebih, seiring dengan makin berkurangnya nilai dari pemeriksaan bakteriologis
BI dan MI. Hal ini menunjukkan bahwa pemusnahan basil kusta berhasil dengan baik.
Sebaliknya, jika dalam periode surveillans kadar IgM PGL-1 masih tinggi maka sangat
besar kemungkinannya dalam jaringan masih terdapat basil kusta.(Agusni., 2000)
Deteksi terhadap antibodi PGL-1 telah dipergunakan secara luas untuk survey populasi,
kontak dengan penderita kusta, diagnosis dini, monitor efek pengobatan, monitor reaksi
dan untuk identifikasi penderita relaps.(Chao., 2001).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut: bagaimana hubungan antara mutasi gen rpoB
dan peningkatan titer antibodi pada penderita kusta multibasiler (MB) yang resisten
rifampisin?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Page 16
16
Mengetahui hubungan mutasi gen rpoB dan peningkatan titer antibodi pada
penderita kusta MB yang resistens rifampisin
2. Tujuan Khusus
a. Menentukan jumlah penderita kusta MB yang resisten rifampisin.
b. Menilai ekspresi gen rpoB yang mengalami mutasi pada penderita kusta MB
yang resisten rifampisin.
D. Hipotesis Penelitian
Peningkatan titer antibodi pada penderita kusta MB post terapi MDT-WHO
berhubungan dengan resistens rifampisin.
E. Manfaat Penelitian
Page 17
17
1. Manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Menambah wawasan di bidang ilmu kesehatan kulit dan kelamin, khususnya
penyakit kusta terutama efek pengobatan rifampisin, program pemberantasan
kusta serta uji klinis resistensi kuman yang dapat dilakukan menuju eleminasi
kusta di seluruh Indonesia, meningkatkan pemahaman berbagai faktor yang
berkaitan dengan resistensi M.leprae terhadap obat rifampisin, menemukan
metode lebih sederhana untuk mendeteksi resistensi M.leprae terhadap
rifampisin MDT-MB WHO serta memberikan alternatif dalam hal kontrol
keberhasilan pengobatan dan menjadi bahan acuan dan bacaan demi
kepentingan program pemberantasan kusta.
2. Manfat untuk kepentingan praktis dan klinis.
Apabila terbukti adanya ekspresi gen rpoB yang mengalami mutasi pada
pengobatan rifampisin pada penderita kusta MB yang menyebabkan resistensi,
maka diperlukan perhatian besar terhadap pengobatan kusta di kemudian hari
dan apabila uji resistensi memberikan bukti sebagai metode sederhana untuk
penilaian maka uji resistensi sebaiknya dijadikan alat follow up pengobatan
penderita kusta
BAB II
Page 18
18
Tinjauan Pustaka
A. Tinjauan Umum Kusta
1. Definisi
Penyakit kusta merupakan penyakit infeksi kronik pada manusia yang
disebabkan oleh M.leprae.(Amiruddin dkk., 2003, Job., 1994, Bryceson dan Pfaltzgraff.,
1990, Jopling dan McDougall., 1996). Penyakit ini mula-mula menyerang saraf tepi dan
kulit, selanjutnya dapat mengenai organ atau sistem lain seperti mata, mukosa mulut,
saluran pernapasan, sistem retikuloendotelial, otot, tulang dan testis, kecuali susunan
saraf pusat.(Amiruddin dkk., 2003, Katoch., 2004, Job., 1994, Worobec., 2009).
2. Epidemiologi
Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-
beda; banyak ditemukan di daerah tropik dan subtropik. Lebih dari 60 % berada di Asia
dan lebih dari 30% di Afrika.(Regan dkk., 2006, Hastings dkk, 1988) Pada awal tahun
2009, prevalensi kusta secara global adalah 213.036 kasus dan jumlah kasus baru
yang terdeteksi selama tahun 2008 dari laporan 121 negara adalah 249.007 kasus.
Sebaran prevalensi dan insidensi penyakit kusta diseluruh dunia menunjukkan bahwa
Indonesia sampai saat ini sebagai negara ketiga terbanyak penderita kusta setelah
India dan Brazil dengan penemuan kasus yang baru masih memerlukan perhatian.
(WHO., 2006) Prevalensi di Indonesia adalah 21.538 kasus dan jumlah kasus baru
yang terdeteksi adalah 17.441 kasus, dalam hal ini Indonesia berada di posisi ketiga
teratas.(WHO., 2009)
Penyakit kusta dapat menyerang semua orang, pria lebih banyak terkena
dibanding wanita dengan perbandingan 2:1, walaupun ada beberapa daerah yang
Page 19
19
menunjukkan insidensi ini hampir sama bahkan ada daerah yang menunjukkan
penderita wanita lebih banyak.(Amiruddin dkk., 2003) Penyakit ini memiliki distribusi
usia dengan puncak pertama antara usia 10-15 tahun dan puncak kedua antara usia
30-60 tahun. Terdapat 15% kasus menyerang anak- anak. Pada anak- anak,
perbandingan laki- laki dan perempuan sama banyak.(Brysceson dan Pfaltzgraff., 1990)
3. Etiologi
Mycobacterium leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit
kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, Gerhard Henrik Armauer Hansen
pada tahun 1873.(Rees dan Young., 1994, Amiruddin dkk., 2003, Regan dkk., 2005).
Kuman ini bersifat tahan asam, berbentuk batang lurus atau melengkung dengan
panjang 1-8 pm dan diameter 0,3 urn, dapat berkelompok (globi) dan ada yang tersebar
satu- satu. Kuman ini dengan Ziehl-Neelsen termasuk golongan basil tahan asam
(BTA). Organisme ini hidupnya obligat intraseluler dan sampai saat ini belum dapat
dibiakkan pada media buatan, memerlukan waktu 11-13 hari untuk membelah diri.
Kuman yang mati tampak tidak beraturan, fragmented atau granulated. Suhu optimal
untuk pertumbuhan adalah 27 - 30°C, hal ini yang menjelaskan predileksi penyakit
kusta terutama pada daerah-daerah tubuh yang lebih dingin.(Ladhani dan Zhang.,
2008, Hastings dkk., 1988, Amiruddin dkk., 2003, Rees dan Young., 1994).
Hingga saat ini M.leprae belum berhasil dibiakkan dalam medium buatan.
Pembiakan yang dapat dilakukan saat ini adalah dengan menginokulasikan M.leprae
pada telapak kaki mencit (mouse footpads) dan pada tikus yang tidak memiliki thimus
ataupun yang telah mengalami thimektomi (nude mice) ataupun pada jaringan tubuh
Page 20
20
hewan armadillo dari Amerika (nine banded Armadillo) serta sejenis kera Mangabey di
Afrika.(Rees dan Young., 1994, Scollard dan Adams., 2006, Regan dkk., 2005)
4. Penularan
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe MB kepada orang lain
dengan cara penularan langsung. Penularan terjadi apabila M.leprae yang hidup
(viable) keluar dari tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Cara
penularan yang pasti belum diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat
bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan bagian atas dan
kontak kulit yang tidak utuh. Suatu swab hapusan dari penderita tipe lepromatosa yang
tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 104 -107; telah terbukti bahwa saluran
nafas atas dari penderita tipe lepromatosa merupakan sumber kuman terpenting dalam
lingkungan. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama
dengan penderita.(Regan dkk., 2006, Amiruddin dkk., 2003)
5. Imunologi
Semua mekanisme imunologis, baik yang nonspesifik maupun yang spesifik dapat
berperan dalam imunopatogenesis kusta. Pada penyakit kusta defek imunologis yang
ditimbulkan oleh M.Leprae bersifat spesifik, yang menunjukkan bahwa gangguan
terjadi pada tingkat imunitas yang didapat. Kemungkinan gangguan bisa pada tingkat
sel penyaji antigen, limfosit T atau B, pada proses pembentukan limfokin atau antibodi.
Peranan sistem imun menentukan manifestasi klinis penyakit ini. Tingkat respon imun
individu yang bervariasi menyebabkan gambaran klinisnya bervariasi.(Odom., 2000)
A. Respon Imun Nonspesifik
Page 21
21
Sebagai proteksi awal, sistem kekebalan tubuh lapis pertama bekerja secara
nonspesifik lewat pertahanan secara mekanis, fisiologis atau kimiawi serta lewat
beberapa jenis sel yang bisa langsung membunuh kuman. Mekanisme nonspesifik
yang paling berperan untuk mengeliminasi M.Leprae adalah monosit yang bekerja
sebagai sel fagosit dimana M.Leprae yang masuk ke dalam tubuh akan dilisiskan
hingga 95% individu yang terinfeksi M.Leprae tidak menimbulkan gejala klinis atau
minimal hanya subklinis saja. Sistem kekebalan nonspesifik atau alamiah juga
ditunjang oleh status kesehatan secara umum. Sebagain kuman M.Leprae yang
masuk ke dalam tubuh dan berhasil lolos melewati sistem pertahanan lapis pertama
akan ikut bersama monosit dalam darah.
Selama dalam monosit, kuman tersebut tidak terbunuh bahkan bisa berkembang
biak. Dengan tumpangan monosit tersebut, basil kusta masuk ke organ yang lebih
dalam dan suatu saat monosit akan mati dan pecah. Kuman akan menyebar mencari
sel yang sistem pertahanannya lemah, salah satu jenis sel fagosit yang menjadi
sasaran adalah sel Schwann (non professional phagosyte) yang terletak di perineum
saraf tepi yang merupakan predileksi untuk hidupnya M.Leprae dan tidak dapat
terdeteksi oleh sistem imun, sehingga sel Schwan menjadi pos pertama dari basil
kusta sebelum menginvasi ke kulit dan organ lain. Karena M.Lepare sendiri tahan
terhadap lisozim, maka kuman tersebut bisa berkembang biak di dalam sel Schwan.
Pada waktu sel Schwan yang tua mati dan pecah, M.Leprae akan tersebar keluar dan
ditangkap kembali oleh sel fagosit lainnya termasuk sel Schwan.(Agusni., 1998)
B. Respon Imun Spesifik
Page 22
22
Proses imunitas spesifik mulai bekerja setelah kuman yang masuk dikenal oleh
sistem tubuh. Respon imun seluler karena sifat M.Lepare adalah obligat intraseluler,
maka untuk penghancuran kuman yang efektif harus melalui respon imun seluler dan
diperlukan kerjasama antara makrofag dan limfosit T. Magrofag yang menangkap dan
memproses antigen harus memberi sinyal lewat penyajian antigen, lalu terjadi kontak
dengan sel limfosit T yang mengeluarkan interleukin dan IFN-gamma untuk
mengaktifkan makrofag tersebut agar menghancurkan antigen (M.Leprae). Respon
imun seluler adalah menentukan dalam manifestasi klinis, dimana jika cukup baik
maka timbul tipe yang disebut tuberkuloid atau tidak menderita sama sekali dan jika
sangat jelek akan menderita lepromatous. Pada borderline status imunologis tidak
stabil, dapat membaik (up grading) atau menurun (down grading).(Agusni., 1998)
Respon imunitas humoral akan terbentuk antibodi terhadap antigen M.Leprae.
bagian titer yang tertinggi terdapat pada spektrum lepromatous, sedangkan ke arah
tuberkuloid sering dijumpai titer dan aktifitas yang rendah. Terjadinya produksi
berlebihan dari antibodi spesifik (IgM dan IgG) diduga akibat lumpuhnya sistem
imunitas seluler (anergi) sehingga kontrol terhadap sel limfosit B menjadi hilang,
akibatnya sel B terus memproduksi antibodi. Juga akibat keadaan energi ini, kuman
M.leprae berkembang biak dengan pesat dan menginvasi banyak organ tubuh.
Rangsangan dalam waktu lama oleh antigen M.Leprae pada penderita kusta tipe
lepromatous, menyebabkan terbentuknya antibodi dalam jumlah berlebihan dalam
sirkulasi penderita. Terdapatnya antibodi spesifik (IgM dan IgG) tidak dapat mengatasi
infeksi kusta, malah dapat menyebabkan kerusakan jaringan.(Agusni., 1998)
Page 23
23
Berbagai kelas antibodi akan memiliki fungsi efektor yang berbeda-beda pada
lokasi yang jauh dari tempat produksinya. Imunoglobulin M (IgM) merupakan isotop
immunoglobulin yang sebagian besar terdapat intravaskular, bekerja mengaktivasi
jalur klasik komplemen dan sebagai reseptor antigen pada limfosit B naif.
Imunoglobulin M didapat pada respon imun primer dalam waktu yang relatif singkat
dibandingkan IgG. Pada penyakit lepra, multiplikasi Mycobacterium leprae
mengakibatkan produksi antibodi. Sifat basil lepra yang intraseluler menyebabkan
immunoglobulin pada reaksi humoral tidak berperan banyak dalam daya tahan tubuh
terhadap basil lepra.(Brysceson dan Pfaltzgraff.,1990) Pecahan PGL-1 merupakan
bagian pembungkus sel M.Leprae dan menginduksi pembuatan respon humoral
spesifik terhadap PGL-1 yang terdeteksi pada serum pasien. Ketika kadar antibodi
tinggi, dapat dipastikan bahwa infeksinya sedang aktif, khususnya selama episode
reaksi yang menyertai komplikasi umum perkembangan kusta.(Chin, dkk., 1992)
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa keberadaan antibodi IgM
PGL-1 spesifik M.Leprae berkorelasi dengan muatan bakteri seorang pasien kusta.
15-40% pasien PB menunjukkan hasil seropositif, dibanding dengan 80-100% pasien
MB. Dengan demikian, pendeteksian antibodi-antibodi ini bisa menjadi metode
alternatif yang bermanfaat untuk mengelompokkan kusta.(Buhrer., 2007) Antibodi
IgM anti PGL-1 khususnya lebih dominan terhadap M.Leprae yang masih solid oleh
karena PGL-1 terdapat pada kapsul basil kusta sedangkan antibodi IgG berperan
terhadap antigen protein yang lebih banyak terdapat di bagian dalam tubuh
mikobakterium dimana antigen protein akan meningkat jika basil kusta telah pecah
terbelah (fragmented). Disamping itu IgG juga berperanan dalam proses opsonisasi
Page 24
24
antigen untuk fagositosis makrofag dan neutrofil, dengan demikian ikut berperan
terhadap inflamasi yang terjadi sehingga akan memberikan gambaran klinis yang
kelihatan masih eritem atau lesi tampak masih aktif.(Agusni., 2000)
6. Gambaran Klinis dan Klasifikasi
Gambaran klinis penyakit kusta bervariasi, tergantung tipe klinisnya. Gambaran
klinis meliputi adanya kelainan kulit, saraf tepi dan organ lainnya, seperti madarosis,
penebalan cuping telinga, dan lain-lain. Berdasarkan klasifikasi Ridley-Jopling
Terdapat 5 tipe klinis kusta yaitu: tipe TT (polar tuberkuloid, tuberkuloid tuberkuloid),
tipe BT ( borderline tuberkuloid), tipe BB (mid borderline, borderline borderline), tipe BL
(borderline lepromatosa), tipe LL (polar lepromatosa, lepromatosa lepromatosa).
(Dharmendra., 1994, Hastings dkk., 1988, Moschella., 2004). Sedangkan klasifikasi
berdasarkan WHO adalah pausibasiler (PB) yang terdiri dari TT dan BT dari Ridley-
Jopling (memiliki indeks bakteriologis <2+) dan MB yang terdiri dari LL, BL dan BB dari
Ridley-Jopling (memiliki indeks bakteriologis > 2+).(Dharmendra., 1994)
a. Kusta tipe tuberkuloid tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat
berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan
lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi
yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata.
Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi meninggi bahkan dapat menyerupai
psoriasis. Gejala ini dapat disertai penebalan saraf perifer yang umumnya teraba,
hilangnya rasa dan kelemahan otot.(Amiruddin dkk., 2003, Rea dan Modlin., 2008)
b. Kusta tipe borderline tuberkuloid (BT)
Page 25
25
Lesi tipe ini menyerupai TT, berupa makula anestesi atau plakat yang sering disertai
dengan lesi satelit di pinggirnya, jumlah lesi satu atau beberapa, akan tetapi
gambaran hipopigmentasi, kulit kering atau skuama tidak jelas seperti pada tipe TT.
Gangguan saraf tidak seberat pada tipe TT dan umumnya asimetrik. Biasanya di
jumpai lesi satelit yang letaknya dekat saraf perifer yang menebal.(Amiruddin dkk.,
2003, Rea dan Modlin., 2008)
c. Kusta tipe borderline-borderline (BB)
Tipe BB merupakan tipe yang paling tidak stabil. Tipe ini disebut juga sebagai
bentuk dimorfik. Lesi dapat berupa makula infiltrat. Permukaan lesi dapat mengkilat,
batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi melebihi tipe BT dan cenderung simetrik.
Lesi sangat bervariasi, baik ukuran, bentuk maupun distribusinya. Dapat dijumpai
lesi punched out, yaitu hipopigmentasi oval pada bagian tengah, batas jelas yang
merupakan ciri khas dari tipe ini.(Amiruddin dkk. ,2003, Rea dan Modlin., 2008)
d. Kusta tipe borderline lepromatosa (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit
kemudian dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula tampak lebih jelas dan
lebih bervariasi bentuknya. Walau masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan
distribusi lesi yang hampir simetrik dan beberapa nodus tampak melekuk pada
bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan pinggir di dalam
infiltrat lebih jelas dibanding pinggir luarnya dan beberapa plak tampak seperti
punched out.(Amiruddin dkk., 2003, Rea dan Modlin., 2008)
e. Kusta tipe lepromatosa lepromatosa (LL)
Page 26
26
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritem, mengkilat,
berbatas tidak tegas dan tidak ditemukan gangguan anestesi dan anhidrosis pada
stadium dini. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping
telinga yang menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk fades
leonina, yang dapat disertai madarosis, iritis dan keratitis. Pada keadaan lebih lanjut
dapat terjadi deformitas pada hidung, dapat disertai adanya pembesaran kelenjar
limfe, orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf dermis
menyebabkan gejala gloves and stocking anesthesia. (Amiruddin dkk., 2003, Rea
dan Modlin., 2008).
7. Diagnosis
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal
(cardinal sign), yaitu: (Regan dkk., 2005, Amiruddin dkk., 2003, Rea dan Modlin., 2008)
a. Bercak kulit yang mati rasa.
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plak).
Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa
suhu, dan rasa nyeri.
b. Penebalan saraf tepi.
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf
yang terkena, yaitu :
1) Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
2) Gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis
3) Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang
Page 27
27
terganggu.
c. Ditemukan Basil Tahan Asam.
Bahan pemeriksaan adalah hapusan sayatan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada
bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit ditemukan satu tanda
kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan
tersangka kusta dan penderita perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan
sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.(Moschella., 2004, Bryceson
dan Pfaltzgraff., 1990, Worobec., 2009)
8. Pemeriksaan Diagnostik Kusta
a. Pemeriksaan Bakteriologi Kusta
Pemeriksaan ini pada penyakit kusta merupakan hal yang mutlak dilakukan,
karena berguna untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, menunjang penentuan
klasifikasi atau tipe penyakit kusta, memberi petunjuk potensi penularan dari penderita
dan mengevaluasi pengobatan. Untuk keseragaman, pemilihan lokasi pengambilan
bahan pemeriksaan sebagai berikut (berurutan) : (1) cuping telinga kiri, (2) cuping
telinga kanan, (3) salah satu makula atau lesi kulit, (4) daerah kulit yang lainnya, bila
perlu.(Rees dan Young., 1994)
- Indeks Bakteriologi
Indeks bakteriologi merupakan ukuran semi kuantitatif kepadatan BTA dalam
sediaan apus tanpa membedakan solid dan non solid. Indeks bakteri berguna
untuk membantu menetukan tipe kusta dan menilai hasil pengobatan.
Pemeriksaan dilakukan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi.
Page 28
28
Indeks bakteriologis seseorang adalah BI rata-rata semua lesi yang dibuat
sediaan. Indeks bakteriologi ini disajikan menurut skala logaritma Ridley, sebagai
berikut:(Bryceson dan Pfaltzgraff., 1990, Rees dan Young., 1994, Amiruddin dkk.,
2003, Worobec., 2009)
0 : 0 BTA dalam 100 lapangan pandang
1+ : 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
2+ : 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3+ : 1-10 BTA rata-rata dalam 1 lapangan pandang
4+ : 11-00 BTA rata-rata dalam 1 lapangan pandang
5+ : 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 lapangan pandang
6+ : >1000 BTA rata-rata dalam lapangan pandang
- Indeks Morfologi
Indeks morfologi merupakan teknik standar yang dipakai memperkirakan proporsi
kuman yang hidup (solid) diantara seluruh kuman. Indeks morfologi berguna untuk
mengetahui daya penularan kuman, menilai hasil pengobatan dan membantu
menentukan adanya resistensi terhadap obat.(Amiruddin dkk., 2003, Bryceson dan
Pfaltzgraff,1990, Rees dan Young, 1994, Worobec,2009)
Jumlah basil solid
MI = --------------------------- x 100%
Jumlah seluruh basil
Kriteria basil solid adalah basil yang (1) seluruh bagiannya menyerap warna
pengecatan, (2) sisinya paparel, (3) ujungnya melengkung dan (4) panjang
minimalnya paling kurang 5 kali lebarnya. Hasil positif palsu adalah akibat
Page 29
29
presipitasi zat warna, BTA saprofit, pewarnaan serat, biji-bijian, ada goresan pada
gelas obyek dan kontaminasi akibat penggunaan gelas obyek bekas. Sedangkan
hasil negattf palsu dapat dikarenakan oleh preparasi yang tidak adekuat, cara
pewarnaan yang salah dan pembacaan yang tidak adekuat. Pada kusta tipe
tuberkuloid sulit menemukan BTA sehingga Ml biasanya 0, sedangkan pada tipe
lepromatosa terdapat 25 - 75% basil solid.(Amiruddin dkk., 2003, Kumar dan
Dogra., 2009)
b. Pemeriksaan Histopatologi
Pelaksanaan pemeriksaan histopatologis dapat dengan cara biopsi eksisi skalpel
yang dalam (harus sedalam dermis dan diikutsertakan sebagian dari lemak subkutan)
dan biopsi plong dengan cara memutar. Biopsi plong dapat mengambil ukuran lesi
kurang lebih 5 mm. Perlu diperhatikan dalam pelaksanaan biopsi kusta tidak perlu
disertakan kulit normal pada bagian tepi lesi. Pelaksanaan biopsi seperti prosedur
biopsi umum, dengan terlebih dahulu menyuntikkan cairan anestesi intradermal di
daerah yang akan dilakukan biopsi. Setelah biopsi selesai, luka dijahit, bila
menggunakan alat plong 5 mm cukup dilakukan 1 jahitan, selanjutnya ditutup dengan
kasa dressing tersebut. Operator harus berhati-hati terhadap material biopsi pada saat
menggunakan forsep tajam dan tidak boleh menggunakan forsep bergerigi agar tidak
merusak material biopsi tersebut. Selanjutnya spesimen dikirim ke bagian patologi
anatomi untuk diproses lebih lanjut sampai pembacaan hasil pemeriksaan.(Jopling dan
McDougall., 1996)
C. Pemeriksaan Mycobacterium Leprae Flow Test (ML- Flow Test)
Page 30
30
ML- Flow test (immunochromatographic strip test) adalah uji yang paling cepat
dan mudah digunakan, untuk deteksi antibodi IgM terhadap PGL-1 M.Leprae. Seperti
tes serologi lain untuk kusta, bukanlah alat untuk diagnostik, karena mayoritas pasien
PB tidak dapat terdeteksi kadar antibodinya, tapi bisa digunakan sebagai alat untuk
klasifikasi setelah diagnosis awal dibuat berdasarkan tanda-tanda dan gejala klinis.
Penelitian yang dilakukan oleh Buhrer dkk, sensitifitas ML-Flow test untuk
mengklasifikasi pasien MB 97,4% dan spesifitas berdasarkan hasil kelompok Kontrol
90,2% . Tes ML-Flow test memberikan hasil positf pada 9,8% dari 498 serum kontrol
dan 1,3% dari 158 kontrol dari area yang non-endemik, yang mirip dengan hasil yang
didapat dengan penelitian ELISA paralel. Pengamatan ini menguatkan spesifitas tes
ML-Flow, bahkan ketika persentase hasil positif dalam kelompok kontrol yang berasal
dari area endemik relatif tinggi.(Buhrer dkk., 2003)
ML- Flow test dinilai secara visual untuk pewarnaan garis antigen, pembacaan
test ini mengakibatkan penilaian secara subjektif. Jika hasil pewarnaan samar-samar
pada ML-Flow test, harus dianggap negatif karena tujuan dari test ini untuk mendeteksi
orang dengan kandungan bakteri yang relatif tinggi. ML-Flow test dianggap sebagai alat
yang simpel, stabil dan cepat untuk dua pemakaian, yaitu (1) untuk klasifikasi yang
benar pada pasien kusta yang baru terdiagnosa dan (2) untuk mengidentifikasi kontak
pasien kusta yang beresiko tinggi menderita kusta dimasa yang akan datang.(Buhrer
dkk., 2007)
Uji ini dilakukan dengan memasukkan 5 ul sampel serum yang tidak diencerkan
atau whole blood pada lubang sampel, yang diikuti dengan menambahkan 130 ul
larutan buffer ( PBS yang mengandung 0,66 mg BSA/ml dan 3% Tween 20 ). Hasil uji
Page 31
31
dibaca setelah 10 menit untuk sampel berupa serum atau 5 sampai 10 menit untuk
sampel berupa whole blood. Pembacaan hasil dinyatakan positif bila kedua garis pada
bagian terbaca dengan jelas, ketebalan garis pada test line dapat kategorikan sebagai
positif 1 sampai 4 sesuai dengan standar yang telah ditentukan.(Buhrer dkk., 2009)
Kesesuaian metode ini dengan ELISA mencapai 91% (kappa=0,77) dan tidak
terdapat perbedaan yang bermakna antara penggunaan sampel whole blood dan serum
dengan kesesuaian sebesar 85% ( kappa=0,70). Metode ini memiliki reprodusibilitas
yang tinggi, baik untuk pembacaan hasil yang positif maupun yang negatif. Uji
penyimpanan membuktikan bahwa kit tes ML-Flow ini bersifat stabil, bahkan pada
penyimpanan dengan suhu 4-450C selama 1 tahun atau pada penyimpanan dengan
suhu 550C selama 2 bulan.(Buhrer., dkk., 2003) Penelitian Lyon dkk menunjukkan
hubungan kuat antara tes serologi ML-flow dengan hapusan sayatan kulit. Juga
ditunjukkan bahwa tes ML-Flow mampu mendeteksi seropositif pada setengah pasien
yang menunjukkan BI negatif, yang mana sangat penting, khusunya untuk para
profesional yang bekerja di unit-unit perawatan kesehatan primer yang akan lebih
percaya diri dalam mengelompokkan pasien-pasien kusta, dengan catatan hasil yang
mereka peroleh terkait erat dengan pengamatan lapangan.(Lyon dkk., 2008)
d. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase Chain Reaction adalah suatu metode enzimatis untuk
melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara
in vitro.(Yuwono., 2006) Metode ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1985 oleh
Kary B.Mullis, seorang peneliti di perusahaan Cetus Corpoation, California. Protokol
amplifikasi DNA, menggunakan fragmen Klenow dari DNA polimerase E.coli untuk
Page 32
32
mengkatalisa ekstensi oligonukleotida. Pada awal perkembangannya metode ini hanya
digunakan untuk melipatgandakan molekul DNA, tetapi kemudian dikembangkan lebih
lanjut sehingga dapat digunakan pula untuk melipatgandakan dan melakukan kuantitasi
molekul mRNA.(Amiruddin dkk., 2003, Hardyanto dkk., 2003)
Prinsip dasar PCR mempunyai empat komponen utama pada proses PCR
adalah (1) DNA cetakan, yaitu fragmen DNA yang akan dilipat gandakan, (2)
oligonukleotida primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (15-25 basa
nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, (3)
deoksirinukleotidatrifosfat (dNTP), terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP, dan (4) enzim
DNA polimerase, yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA.
Komponen lain yang juga penting adalah senyawa buffer.(Hehanusa., 2009 Yuwono.,
2006).
Dilapangan, Material bakteriologis diambil dari usapan mukosa hidung dan
usapan irisan kulit, sedangkan di pusat-pusat lepra dibutuhkan identifikasi M.Leprae
dari biopsi kulit dan biopsi saraf tepi. Sebelum perbanyakan DNA dengan PCR, DNA
harus di ekstraksi dari bakteri, sedangkan sebelum ekstraksi, material bakteriologis
harus dibuat menjadi suspensi terlebih dahulu. Material dari usapan mukosa hidung dan
usapan irisan kulit dapat langsung dibuat menjadi suspensi dengan menambahkan dan
mensentrifusikan dalam larutan Hank, sedangkan biopsi kulit yang segar harus
dibekukan lebih dahulu, digerus baru kemudian dibuat suspensi.(William dan Gillis.,
1991, Widodo., 1991).
Sensitifitas dan spesifisitas PCR tergantung pada primer yang digunakan,
dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi, PCR mampu mendeteksi M.Leprae
Page 33
33
secara akurat dan dalam waktu yang cepat, juga PCR pada penyakit kusta dapat
digunakan untuk menentukan penderita pausibasiler, orang sehat (carrier) dan sumber
penularan lain seperti alat rumah tangga, lantai, pakaian yang sejauh ini masih belum
jelas peranannya dalam penularan penyakit kusta, meskipun diketahui bahwa M.Leprae
dapat tetap hidup 3 hari setelah keluar dari tubuh penderita.(Widodo., 1991, (Williams
dkk., 1994) Dengan PCR juga dapat diketahui viabilitas dari kuman kusta, namun
kelemahan utama dari teknik PCR adalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan serta
harus dilakukan di laboratorium yang besar.(Agusni., 2001, Hartskeerl, dkk., 1989)
DNA Sequensing
Sejak ditemukannya tehnik PCR, maka M.Leprae lebih mudah dideteksi dan
sekaligus dianalisa lewat metode sequencing DNA. Prinsip kerja DNA sequencing ini
dapat dilakukan dengan tujuan untuk deteksi adanya resistensi M.leprae terhadap obat
MDT melalui evaluasi terhadap mutasi gen yang ditunjukkan.(Honore dan Cole., 1993)
Dengan cara ini deretan asam amino pembentuk gen rpoB yang menyandi β subunit
dari DNA-dependent RNA polymerase dapat diteliti. Adanya perubahan deretan protein
pembentuk gen rpoB ini berkaitan erat dengan terjadinya resistensi M.Leprae terhadap
rifampisin. Maka tehnik PCR dan sequencing DNA sekarang banyak dipakai karena
lebih menghemat waktu dibandingkan dengan uji pada telapak kaki tikus secara
Shepard. Disamping itu tehnik biomolekular ini bisa langsung menganalisa bila terjadi
mutasi. Rangkaian informasi ini mampu menjelaskan basis molekuler resistensi
rifampisin.(Williams dan Gillis., 2005, Werdaningsih dan Agusni., 2003)
Page 34
34
Dari isolat yang produk amplifikasinya menunjukkan hasil positif adanya DNA
M. leprae, selanjutnya dilakukan uji PCR kedua dengan menggunakan primer rpoB
(dengan susunan nukleotida rpoB FO 5' CAG GAC GTC GAG GCG ATC AC'S dan
rpoB RO 5' CAG CGG TCA AGT ATT CGA TC'3) sebagai penyandi gen target kerja
rifampisin, yang akan mengamplifikasi 374 basepairs dari gen rpoB (penyandi subunit
DNA-dependent RNA polymerase). Rangkaian reaksi dilakukan dengan The Big Dye
Terminator Cycle Sequencing FS Ready Reaction kit (Perkin Elmer Applied Biosystem,
Norwalk). Tahapan pertama adalah ekstraksi DNA diikuti dengan amplifikasi area
penentu resistensi obat pada gen rpoB. Ampilifikasi area target akan ditegaskan
dengan elektroforesis agarosa. Produk-produk PCR dimurnikan dan diikuti dengan
reaksi sequencing.(WHO, 2009) Produk ampliflkasi gen rpoB ini setelah dimurnikan
akan diperiksa lewat proses DNA sequencing untuk mendapatkan mutan nukleotida
dari gen rpoB tersebut. Pada urutan nukleotida yang didapat kemudian dilakukan
analisis apakah urutan nukleotidanya sesuai dengan kontrol pembanding yang telah
diketahui normalnya (data dianalisa dengan membandingkan rangkaian DNA dengan
data dasar dari the GenBank). Proses analisis dapat dipercepat dengan menggunakan
program computer BLAST. Urutan nukleotida gen rpoB dari sampel kemudian
dibandingkan dengan urutan gen rpoB dari M. leprae yang sensitif terhadap rifampisin
atau gen rpoB yang dideposit di GenBank (NCBI). Perubahan urutan nukleotida pada
gen rpoB penyandi protein, akan menghasilkan produk enzim yang berbeda sehingga
tidak dapat lagi menjadi target kerja rifampisin. Hal inilah yang menjadikan kuman
tersebut resisten terhadap regimen MDT.(WHO., 2009., Honore dkk., 2001, Williams
dkk., 1994) Sequencing DNA langsung untuk resistensi obat adalah metode yang paling
Page 35
35
definitif dari semua protokol pendeteksian mutasi berbasis asam nukleat karena bisa
mendeteksi perubahan nukleotida sebenarnya dalam gen target dimana mutasi-mutasi
yang terkait dengan resistensi antibiotik ditemukan.( (Matsuoaka., 2010., Williams dan
Gillis., 2004)
9. Pengobatan MDT
Tujuan utama dari program pemberantasan kusta adalah memutus rantai
penularan untuk menurunkan insidensi penyakit, mengobati dan menyembuhkan, dan
mencegah timbulnya cacat. Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika
Kelompok Studi Kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi
pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai rejimen
MDT-WHO. Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat dapson, rifampisin, dan
klofazimin. Selain untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat,
penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan penderita dan
menurunkan angka putus-obat (drop-out rate) yang cukup tinggi pada masa monoterapi
dapson. Di samping itu diharapkan juga MDT dapat mengeliminasi persistensi kuman
kusta dalam jaringan.(WHO., 1982)
Obat dalam rejimen MDT-WHO (WHO, 1982).
9.a. Dapson (DOS 4,4 diamino- difenil- sulfon).
Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat
sintetase. Resistensi terhadap dapson timbul akibat kandungan enzim sintetase yang
terlalu tinggi pada kuman kusta. Dapson biasanya diberikan sebagai dosis tunggal,
yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa, atau 2 mg/kg berat badan untuk anak-anak.
Indeks morfologi kuman penderita LL yang diobati dengan dapson biasanya menjadi
Page 36
36
nol setelah 5 sampai 6 bulan. Obat ini sangat murah, efektif, dan relatif aman. Efek
samping yang mungkin timbul antara lain: erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia,
insomnia, neuropatia, nekroltsis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia.
Namun efek samping tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim.(Bryceson dan
Pfaltzgraff., 1990, Jacobson.,1994, Amiruddin dkk., 2003)
Konsentrasi puncak dapson dalam plasma dicapai dalam 2-8 jam setelah
pemberian dan eliminasi waktu paruh sekitar 20-30 jam. Dua puluh empat jam setelah
diminum secara oral, 100 mg dapson maka konsentrasi dalam plasma bervariasi dari
0,4-2 ug/ml. sekitar 70% dapson berkaitan dalam protein plasma. Dapson
didistribusikan melalui keseluruhan cairan tubuh dan berada diseluruh jaringan,
mempunyai kecendrungan bertahan di kulit dan otot juga di dalam hati dan ginjal,
bertahan sampai 3 minggu setelah obat dihentikan.(Chambers., 2001)
9.b. Rifampisin
Rifampisin ditemukan pada tahun 1965, mempunyai berat molekul yang besar
(BM:823) merupakan kompleks semisintetik turunan dari rifampisin. Rifampisin adalah
suatu antibiotik yang dihasilkan oleh Streptomyces mediterrania. Rifampisin merupakan
obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta, dan bersifat bakterisidal kuat pada dosis
lazim. Kunci bakterisidalnya adalah gugus rifampisin 3-{[(4-metil-1-piperazinil)-imino]-
metil}. Dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kg berat badan) mampu membunuh
kuman kira-kira 99,9% dalam waktu beberapa hari. Pemberian seminggu sekali
dengan dosis tinggi (900-1200 mg) dapat menimbulkan gejala yang disebut flu like
syndrome. Pemberian 600 mg atau 1200 mg sebulan sekali ditoleransi dengan baik.
efek samping yang harus diperhatikan adalah: hepatotoksik, nefrotoksik, gejala
Page 37
37
gastrointestinal, dan erupsi kuiit. Dapat meningkatkan kadar serum fungsi hati (ALT
atau SGPT dan AST atau SGOT) sampai 2-3 kali diatas normal, namun hal ini hanya
bersifat sementara, akan kembali normal bila obat dihentikan.(Bryceson dan
Pfaltzgraff., 1990, Jacobson., 1994, Amiruddin dkk., 2003)
Konsentrasi minimal penghambatannya kurang dari 1 ug/ml. Rifampisin
merupakan kelompok antibiotik makrosiklik yang diproduksi oleh streptomyces
mediterranei. Rifampisin tidak hanya menghambat pertumbuhan bakteri gram positif
tetapi juga gram negatif.(Chambers., 2001) Setelah pemberian peroral, rifampisin
menghasilkan kadar puncak dalam plasma 2-4 jam, setelah konsumsi 600 mg dengan
kadar sekitar 7 µg/ml, namun dapat bervariasi, dengan waktu paruh biologik sekitar 3
jam (1,5-5 jam). Waktu paruh rifampisin akan menurun cepat sekitar 40% selama 14
hari pertama pemberian. Sesudah absorpsi dari saluran cerna, rifampisin dengan cepat
dieliminasi dalam kandung empedu dan terjadi sirkulasi enterohepatik, dimana
reabsorpsi akan terganggu oleh deasitilasi obat di hati. Ekskresi sebagian besar (2/3)
melalui saluran cerna. Sifat rifampisin yang larut dalam lemak membuatnya dapat
membunuh bakteri intraselular dan ekstraselular. Rifampisin didistribusi ke seluruh
tubuh dan berada dalam beberapa organ dan cairan tubuh, sehingga memberi warna
merah oranye pada urin, feses, saliva, sputum, air mata dan keringat.(Jacobson., 1994,
Chambers., 2001)
Resistensi Rifampisin pada Mycobacterium Leprae
Rifampisin adalah obat utama dalam terapi MDT yang direkomendasikan WHO
untuk terapi lepra. Munculnya strain resisten rifampisin dari patogenitas mikobakteri
telah mengancam kegunaan obat tersebut dalam pengobatan penyakit infeksi
Page 38
38
mikobakteri. Paling penting dari pengobatan penderita yang terinfeksi oleh strain
resisten adalah identifikasi strain tersebut secara langsung dari spesimen klinis.
Sebelum ditemukannya MDT, rifampisin telah digunakan sebagai monoterapi atau
dikombinasikan dengan dapson.(Norman dkk., 2003, Honore dan Cole., 1993.,
Matsuoka., 2010) Rifampisin menargetkan subunit (β) dari RNA polymerase, yang
dikodekan oleh rpoB. Pengikatan rifampisin ke subunit β menghambat transkripsi
mRNA dependen RNA. Sebuah korelasi antara resistensi rifampisin dan mutasi pada
daerah yang sangat terkonservasi dalam gen rpoB.(Cambau., 2002, Sapkota dkk.,
2008)
Resistensi obat pada kuman mikrobakterium termasuk M. leprae disebabkan
oleh mekanisme genetik yang diduga berasal dari aberasi mutasi kromosom. Mutasi
yang terjadi pada fenotip yang resisten terhadap rifampisin terdapat pada gen yang
mengkode β-subunit DNA dependent RNA polymerase (gen rpoB), sehingga
mengakibatkan ikatan dengan obat menjadi tidak efektif. Enzim tersebut adalah suatu
kompleks oligomer yang terdiri dari empat subunit yang berbeda (α, β, β1 dengan σ
yang dikode masing-masing oleh rpoA, rpoB, rpoC dan rpoD, yang dapat terjadi baik
sebagai suatu core enzim (α2ββ1) atau sebagai holoenzim (α,β,β1 dengan α).
Rifampisin akan berikatan dengan subunit α dari RNA polymerase dan akan
menyebabkan hambatan pada proses transkripsi.(Maeda, S., dkk., 2001, Rice dkk.,
2003, Williams dan Gillis., 2004)
Untuk gen rpoB biasanya mutasi terjadi pada 5 daerah kodon yang paling
sering dan merupakan tempat yang paling harus dicurigai dan dicari sesuai guidelines
WHO tentang global surveillance of Drug Risistance in leprosy, yaitu pada posisi 407,
Page 39
39
410, 416, 420, 425 dan 427 dengan akibat perubahan asam amino pembentuk enzim
DNA-dependent RNA polymerase subunit p.(WHO., 2009, Matsuoka dkk., 2007,
Sapkopta dkk., 2008) Resistensi mikobakteri terhadap rifampisin berkorelasi dengan
perubahan struktur subunit-β dari RNA polymerase dependen-DNA utamanya karena
mutasi-mutasi missens dalam kodon daerah terkonversi tinggi gen rpoB, yang disebut
sebagai area penentu resisten rifampisin (RRDR). Resistensi rifampisin pada M.Leprae
juga berkerolasi dengan mutasi missens dalam RRDR rpoB. Substitusi dalam kodon
Ser425 telah terbukti sebagai mutasi paling sering yang terkait dengan terjadinya
fenotip resisten rifampisin pada M.Leprae.(Williams & Gillis., 2004, Matsuoka dkk.,
2010)
Penelitian kasus lepra resisten rifampisin yang dilaporkan Grosset dkk (1989)
dan suatu penelitian, jumlah resistensi rifampisin sekunder pada lepra 56% (22 dari 39
penderita) dan 40% (12 dari 30) pada penelitian ini, dimana jumlah tersebut lebih tinggi
dibanding yang ditemukan untuk tuberkulosis (20%), tetapi jumlah total kasus lepra
yang diteliti masih rendah.(Cambau dkk., 2002) Resistensi obat terbagi atas resistensi
primer dan resistensi sekunder, dimana pada yang primer terjadi oleh karena basil
kusta resisten dengan sendirinya terhadap obat MDT sedangkan resistensi sekunder
terjadi karena adanya mutasi basil dalam kehidupannya dan ini banyak dikaitkan
dengan ketidakaturan berobat misalnya resistensi rifampisin dan atau monoterapi
seperti yang umum terjadi pada resistensi DDS.(Williams & Gillis., 2004)
Resistensi obat perlu dicurigai pada penderita kusta tipe MB yang mengalami
relaps saat sedang dalam pengobatan, setelah menyelesaikan pengobatan atau pada
penderita dengan respon klinis tidak sesuai dengan yang diharapkan, juga pada
Page 40
40
penderita baru yang mempunyai riwayat kontak erat dengan kasus resistensi sekunder.
Kegagalan respon terhadap dosis penuh yang diberikan pada jangka waktu tertentu
juga perlu dicurigai adanya resistensi obat.(Baohong., 1985., Maeda, dkk., 2001)
Resistensi sekunder pada penderita kusta tipe MB tampak adanya lesi aktif yang baru.
Pada kulit, lesi dapat memiliki karateristik yang berbeda dari infeksi awal.(Brysceson
dan Pfaltzgraff., 1990)
Kuman M.Leprae yang terus menerus bertahan, dimana bakteri dalam keadaan
istrahat/dormant (inaktivasi metabolik) biasanya tidak dipengaruhi oleh antimikroba.
Kuman persisten atau persisters merupakan organisme yang dormant atau tertidur baik
secara partial maupun permanen dan mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup
didalam host yang sementara menerima kemoterapi adekuat.(Burdick, dkk., 2006)
9.c. Klofazimin (Lamprene).
Obat ini merupakan turunan zat wama iminofenazin dan mempunyai efek
bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanya diduga melalui gangguan etabolism
radikal. Di samping ini obat ini juga mempunyai efek antiinflamasi sehingga berguna
untuk pengobatan reaksi kusta, khususnya eritema nodosum leprosum. Dosis untuk
kusta adalah 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kg
berat badan/hari. Selain itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk
mengurangi reaksi tipe 1 dan tipe 2. Kekurangan obat ini adalah harganya mahal, di
samping itu menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah pada
ketaatan berobat penderita berkulit putih.(Jacobson., 1994, Chambers., 2001, Zubaidi.,
2005). Efek sampingnya hanya terjadi pada dosis tinggi, berupa gangguan
Page 41
41
gastrointestinal (nyeri abdomen, diare, anoreksia, dan vomitus).(Bryceson and
Pfaltzgraff., 1990, Jacoson., 1994., Amiruddin dkk., 2003)
Regimen Pengobatan MDT menurut umur (Depkes, 2007)
Tipe PB
Jenis Obat < 5 tahun 5-9 tahun 10-14 tahun Lebih 15
tahun
Keterangan
Rifampisin Berdasarkan
berat badan
300 mg/bln 450 mg/bln 600 mg/bln Minum di
depan
petugasDDS 25 mg/bln 50 mg/bln 100mg/bln Minum di
depan
petugas25 mg/bln 50 mg/bln 100 mg/bln Minum di
rumah
Tipe MB
Jenis Obat < 5 tahun 5-9 tahun 10-14 tahun Lebih 15
tahun
Keterangan
Rifampisin Berdasarkan
berat badan
300 mg/bln 450 mg/bln 600
mg/bln
Minum di
depan
petugasDDS 25 mg/bln 50 mg/bln 100
mg/bln
Minum di
depan
petugas25 mg/bln 50 mg/bln 100
mg/bln
Minum di
rumahklofazimin 100 mg/bln 150 mg/b!n 300
mg/bln
Minum di
depan
petugas
50 mg 2
kali
seminggu
50
mg setiap 2
hari
50 mg/hari Minum di
rumah
Page 42
42
B. Kerangka teori
C. Kerangka Konsep
Penderita kusta MB dengan terapi MDT -WHO
Pengobatan berhasil lesi kulit aktif (-), Indeks bakteriologis ↓, titer antibodi anti PGL-1 ↓
M.Leprae resisten rifampisin
gen β-subunit DNA dependent RNA polymerase (rpoB)
Metode sequencing DNA
Mutasi & aberasi kromosom (gen rpo-B)
Hambatan transkripsi
Pengobatan tidak berhasil: lesi kulit aktif (+), Indeks BI & MI ↑, antibodi IgM anti PGL-1↑
Page 43
43
Keterangan:
Variable antara variabel tergantung
Variable bebas
BAB Ill
METODOLOGI PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dengan rancangan studi cross-
sectional untuk mengetahui resistensi gen rpoB terhadap rifampisin dan
hubungannya dengan titer antibodi pada penderita kusta MB.
B.Tempat dan Waktu
Bakteriologis Indeks (BI)Morfologis Indeks (MI)
Antibodi IgM anti PGL-1
Resistensi rifampisin
Mutasi gen rpoB
Lesi kulit
Keteraturan berobat
Page 44
44
Penelitian dilakukan di RS Tajuddin Chalid Daya dan penampungan
penderita kusta Jongayya di Makassar sebagai tempat pengambilan sampel.
Bagian Mikrobiologi universitas Hasanuddin sebagai tempat pemeriksaan ML-
Flow test serta PCR-DNA sequensing. Penelitian dilaksanakan mulai bulan april
sampai juni 2012.
C. Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah penderita kusta MB post terapi MDT- MB
WHO sesuai klasifikasi berdasarkan kriteria WHO yang datang berobat ke
poliklinik Kulit dan Kelamin RS Tajuddin Chalid Daya dan penampungan
penderita kusta Jongayya di Makassar.
D.Sampel Penelitian
D.1. Pemilihan Sampel
Sampel penelitian adalah seluruh populasi terjangkau yang memenuhi
kriteria inklusi. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling.
D.2. Perkiraan Besar Sampel
Penentuan besar sampel pada penelitian diperkirakan keseluruhan
sampel sekitar 35 kasus dengan tingkat kepercayaan yang dikehendaki sebesar
95%. Perkiraan proporsi kejadian resistensi rifampisin belum diketahui selama
pengobatan (p=0,5), jumlah kasus penderita kusta MB adalah 29 orang setiap
bulan, tingkat ketepatan relatif yang diinginkan (d) adalah 0,05 dengan tingkat
Page 45
45
kemaknaan (z) 1,96 dan Q=(1-P), maka perkiraan besar sampel pada penelitian
ini adalah:
N.Z2.p.qn =
d2 (N – 1) + Z2.p.q
33.1,962.0.5.0,5 = 0,052 ( 33 – 1) + 1,962.0,5.0,5
n = 35.02 dibulatkan menjadi 35.
E. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
E.1. Kriteria Inklusi Subyek Penelitian
a. Penderita kusta tipe MB, laki-laki dan perempuan usia lebih dari 15 tahun.
b. Post terapi MDT- MB WHO
c. Pada saat diperiksa masih menunjukkan gejala klinik kusta yang aktif
d. Bersedia ikut serta dalam penelitian ini sampai selesai dengan menanda tangani
formulir informed consent.
E.2. Kriteria Eksklusi Subyek Penelitian
a. Penderita adalah perempuan hamil/ menyusui.
b. Penderita kusta MB yang telah mendapatkan pengobatan bukan
MDT-WHO MB.
c. Sedang menderita penyakit kronis lainnya.
F. Izin Penelitian dan Kelaikan Etik
(Ethical Clearance)
Page 46
46
Pemberian informasi dan permintaan ijin (informed consent) dari penderita
atau keluarganya untuk dimasukkan dalam penelitian ini, serta persetujuan
kelaikan etik penelitian dari Komisi Etik Penelitian Biomedis pada manusia,
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dilakukan dalam penelitian ini.
G. Cara Penelitian
G.1. Alokasi Subyek
Penelitian dilakukan pada penderita kusta post terapi MDT- MB WHO yang
memenuhi kriteria penelitian.
G.2. Prosedur Penelitian
G.2.a. Pemeriksaan Indeks Bakteriologi dan Indeks Morfologi
Alat dan Bahan:
Kapas, Larutan alkohol 70%, sarung tangan dan masker, pipet dan jam skalpel
tajam atau pisau bedah kecil berujung runcing dengan ukuran tangkai pisau
no.3 dan pisau no. 15, lampu spiritus (Bunsen),korek api, kaca obyek dan gelas
penutup, pensil kaca/Penanda kaca obyek/label,
Penyangga/rak kaca obyek, mikroskop cahaya, minyak emersi, zat pewarna :
larutan karbol fuchsin 0,3%, larutan asam dkohol 3% dan larutan methylen blue
1%, wadah dengan air mengalir
Cara Kerja:
G.2.a.1. Cara Kerja Apus Sayatan Kulit
- Cuci tangan dan kenakan sarung tangan dan masker
- Ambil kaca obyek baru, bersih dan tidak tergores. Beri tanda atau nomor pada
Page 47
47
bagian bawah kaca obyek dengan pensil kaca atau label kaca obyek sesual
nomor identitas penderita.
- Apus sayatan kulit diambil dari 4 tempat yaitu 2 dari daerah cuping telinga kanan
dan kiri, 2 dari lesi kulit yang aktif dari tempat yang berbeda.
- Bersihkan lokasi kulit tempat pengambilan apus sayatan kulit dengan kapas
alkohol, biarkan mengering.
- Nyalakan api pada lampu spiritus.
- Pasanglah skalpel/pisau pada gagang/tangkai skalpel/pisau.
- Jepit/pencet dengan erat kulit yang akan dilakukan apus sayatan menggunakan
ibu jari dan telunjuk, sampai tampak pucat dan tanpa darah.
- Buatlah insisi (irisan) kecil pada kulit dengan panjang sekitar 5 mm dan
kedalaman kurang lebih 2 mm dari atas ke bawah, sambil tangan yang satu tetap
menjepit kulit agar tidak ada darah yang keluar. Jika berdarah bersihkan dengan
kapas alkohol.
- Kemudian pisau diputar 90° dan pertahankan pada sudut yang tepat pada irisan.
Keroklah irisan tersebut sekali atau dua kali menggunakan skalpel dengan
serutan ke arah atas sehingga terkumpul cairan dan bubur jaringan. Tidak boleh
ada darah pada spesimen tersebut karena dapat mengganggu pewarnaan dan
pembacaan.
- Lepaslah jepitan pada kulit dan hapus/bersihkan darah dengan kapas alkohol.
- Bubur jaringan yang terambil diletakkan di atas kaca obyek dan dibuat apusan
berbentuk lingkaran dengan diameter 8 mm.
- Hapus kotoran bekas kerokan pertama pada mata skalpel menggunakan kapas
Page 48
48
alkohol. Lewatkan mata pisau/skalpel di atas api Bunsen selama 3-4 detik.
Biarkan dingin tanpa menyentuh sesuatu.
- Ulangi langkah di atas untuk lokasi apus sayatan kulit di tempat lain.
- Bubur jaringan yang sudah diletakkan di atas kaca obyek dibiarkan mengering
beberapa saat dengan temperatur ruangan, dan difiksasi dengan melewatkannya
di atas lampu Bunsen sebanyak 3 kali, namun gelas obyek tersebut tidak boleh
tertalu panas saat disentuh.
G.2.a.2. Cara Kerja Pewarnaan dengan Metode Ziehl-Nielsen
- Gelas obyek yang telah berisi bubur jaringan dan telah difiksasi dilakukan
pewarnaan ZN untuk melihat basil tahan asam M.leprae.
- Tutupi seluruh permukaan kaca obyek dengan larutan karbol fuchsin 0,3% dan
biarkan selama 20 menit atau dipanaskan sampai keluar uap tanpa mendidih
selama 5 menit.
- Setelah itu cuci dengan hati-hati di bawah air yang mengalir, keringkan dan tetesi
lagi dengan asam alkohol 3% sampai semua permukaan tertutup untuk
membuang warna pada kaca obyek selama 3-5 detik.
- Cuci kembali perlahan dengan air. Tetesi larutan methylen blue 1% selama 2
menit. Setelah itu cuci kembali dengan air mengalir dan biarkan sampai kering di
rak pengeringan dengan posisi miring dan sisi apusan menghadap ke bawah.
- Apusan siap dibaca.
G.2.a.3. Cara Pembacaan BTA
- Letakkan kaca obyek di bawah mikroskop dengan apusan menghadap ke atas.
- Fokuskan gambar menggunakan obyektif 10 kali.
Page 49
49
- Tetesi apusan dengan minyak emersi.
- Ubah obyektif menjadi perbesaran 100 kali dan akan membuat lensa obyektif
menyentuh minyak emersi.
- Buka diafragma seluruhnya dan naikkan kondensor ke posisi tertinggi.
- Fokuskan dengan tepat menggunakan mikrometer.
- Carilah keberadaan BTA yang tampak sebagai batang merah dengan latar
belakang biru, bentuknya dapat lurus atau melengkung, warna merah
merata/homogen (solid), tidak rata (fragmentasi dan granuler). Kelompok basil
disebut sebagai globi. Basil yang solid menandakan adanya mikroorganisme
yang hidup dan dapat dengan mudah terlihat pada kasus baru yang belum
diterapi atau kasus relaps.
- Setelah melakukan pemeriksaan lapangan pandang pertama, pindahkan
lapangan pandang berikutnya. Periksalah sekitar 100 lapangan pandang tiap
apusan.
- Jika BTA terlihat, jumlahkan dengan skala berikut, sesuai Bl. Jumlahkan Bl untuk
tiap apusan secara terpisah. Setelah dijumlahkan kemudian dibagi 4
berdasarkan 4 tempat pengambilan apus sayatan kulit, maka diperoleh nilai
indeks bakteri (Bl) dari subyek tersebut (logaritma Ridley).
- Selanjutnya dilakukan perhitungan dengan jumlah basil/BTA yang masih solid
pada seluruh lapangan pandang di bawah mikroskop. Hal ini sangat berguna
untuk melihat seberapa besar kuman yang masih hidup sehingga diketahui
seberapa besar kemampuan dan kemungkinan untuk menginfeksi orang lain,
karena sifatnya yang infeksius.
Page 50
50
- Indeks morfologi dihitung berdasarkan jumlah BTA yang masih solid dibagi
jumlah seluruh BTA yang ditemukan pada seluruh lapangan pandang di bawah
mikroskop dikalikan dengan 100%.
G.2.b. Pengambilan Sediaan Biopsi Kulit
Alat dan bahan:
Lampu dengan pencahayaan yang baik, alat Punch biopsi ukuran 4 mm dan
bedah Minor set, sarung tangan dan masker, duk steril, spuit/jarum suntik 3 cc,
anestesi lokal lidokain 1-2%, kasa steril, cairan antiseptik: alkohol dan povidon
iodin, gunting jaringan dan gunting benang, penanda/marker pada kulit yang
akan, dieksisi (Sterile marking pen), benang Non-absorbable dan absorbable,
pinset sirurgis dan anatomis, label identitas subyek yang ditempel pada botol
kecil tempat spesimen, larutan fiksasi: Buffer formalin 10% dalam botol kesil
tempat biopsi spesimen, cairan NaCl 0,9%, alkohol 96%
Cara kerja:
- Cuci tangan dan keringkan, pasang masker dan sarung tangan steril.
- Tandai daerah lesi kulit yang aktif dengan marker
- Bersihkan daerah lesi dan kulit sekitar dengan larutan antiseptik yang dibasahi
pada kasa steril.
- Tutup dengan duk steril
- Anestesi infiltrasi pada daerah lesi dengan lidokain 2%, kemudian tunggu 3-5
menit, bila penderita sudah merasa tebal serta tidak merasa sakit bila ditusuk
dengan jarum, maka dilakukan sayatan kecil.
- Lakukan biopsi dengan alat Punch biopsi ukuran 4 mm ada lesi kulit yang masih
Page 51
51
aktif.
- Jaringan hasil biopsi dimasukkan ke dalam tabung plastik mikrosentrifugasi 1,5
ml yang berisi RNA later yang ditutup rapat yang telah diberi label identitas
penderita dan tanggal pengambilan. Disimpan di suhu 4°C, setelah sampel
terkumpul kemudian dikirim ke laboratorium Mikrobiologi fakultas kedokteran
Hasanuddin Makasar.
- Atasi perdarahan dari bekas eksisi dengan penekanan.
- Tutup luka biopsi dengan jahitan menggunakan benang non-absorbable.
- Tutup dengan kasa steril dan perban. Duk dibuka.
- Anjurkan kepada penderita untuk kontrol kembali 3 hari kemudian dan iuka
jahitan jangan terkena air.
G.2.c. Pemeriksaan Serologi dengan ML-Flow Test
Alat dan bahan:
Sarung tangan dan masker, torniquet, disposible syringe 3 cc, plester, tabung
serum, rak, pipet, alkohol 70%, becker glass, pipet mikro, tip
Cara Kerja:
1. Keluarkan perangkat tes dari kantong aluminium, dan simpan pada permukaan
datar dan kering.
2. Tambahkan 40 uL serum pasien ke dalam lubang sampel perangkat tes.
3. Langsung tambahkan 60 uL (atau 2 tetes) larutan pengencer tes ke dalam
lubang sampel perangkat tes.
4. Pada saat tes mulai bekerja, akan terlihat warna ungu berpindah ke jendela hasil
dalam pusat perangkat tes.
Page 52
52
5. Interpretasi hasil tes setelah 10 menit.
Interpretasi hasil tes
1. Sebuah berkas warna akan muncul pada bagian kiri jendela hasil untuk
menunjukkan bahwa tes ini bekerja dengan baik. Berkas ini adalah Berkas
Kontrol.
2. Berkas warna akan muncul pada bagian kanan jika jendela hasil menunjukkan
hasil tes. Jika berkas warna lain muncul pada bagian kanan jendela hasil, maka
berkas ini adalah Berkas Tes.
I. Hasil positif: Hasil positif apabila terdapat dua berkas warna (berkas “T” dan
berkas “C”) dalam jendela hasil tanpa tergantung berkas mana yang muncul
pertama kali. Hasil positif diberi skor sebagai 1+, 2+, 3+ dan 4+ menurut
intensitas warna.
II. Hasil negatif: Hasil negatif apabila terdapat hanya satu berkas warna ungu
(berkas “C”) dalam Jendela Hasil.
III. Hasil tidak valid: Setelah melakukan tes dan tidak berkas warna ungu terlihat
dalam Jendela Hasil, maka hasilnya dianggap tidak valid. Petunjuk-petunjuk
tes mungkin tidak diikuti dengan benar atau tes kemungkinan buruk.
Dianjurkan agar spesimen dites ulang.
G.2.d. Pemeriksaan gen rpoB
Alat, bahan dan cara kerja:
d.1. Protokol ekstraksi DNA
Page 53
53
1. Sentrifus selama 20 menit pada kecepatan maksimum
2. Keluarkan supernatan
3. Suspensi ulang butiran yang diperoleh dalam 500 uL PBS
(120mM NaCl;2,0mM KcL;100mM; Na2HPO4;6mM KH2PO4,pH7,310mM
4. Di biarkan selama lebih 30 menit pada kecepatan maksimum (>5.000xg)
5. Di suspensi dalam 50 uL atau 100 uL larutan buffer lysis (proteinase K 1mg/mL
0,05% tween pada 20 pada 0,1M Tris-HCL,pH 8,5
6. Dilapisi dengan minyak mineral untuk mencegah penguapan
7. Inkubasi semalaman pada suhu 600C
8. Panaskan 10 menit pada suhu 970C
9. Transfer suspensi ke tabung pengikat DNA
d. 2. Protokol PCR
1. Denaturasi selama 2 menit pada suhu 950C
2. Dibuat 40 siklus pada kondisi:
- denaturasi selama 15 detik pada suhu 950C
- dilakukan pendinginan selama 15 detik pada suhu 580C
- ekstensi selama 60 detik pada suhu 720C
3. Ekstensi terahir selama 72 menit pada suhu 720C
d.3. Protokol sequencing DNA
1. Produk-produk PCR dimurnikan dengan menggunakan alat pemurnian QIA quick
PCR
2. Diperhitungkan konsentrasi DNA yang tersedia untuk sekuensing
3. Untuk setiap sekuensing ditambahkan reagen-reagen berikut:
Page 54
54
- 8,0 µL larutan Big Dye 1.1 Terminator Ready Reaction mix 1X
- Hingga 11 µL 3-5ng DNA dalam dH2O
- Sesuaikan volume menjadi total 20,0 µL
- Skema-skema lain dengan menggunakan Big Dye Terminator
H. Alur Penelitian
Penderita kusta MB post terapiMDT- WHO
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Kriteria inklusi dan eksklusi
Page 55
55
Pemeriksaan bakteriologi, biopsi, ML – Flow Test
Uji resistensi PCR DNA sequencing
Analisa data
I. Identifikasi Variabel
a. Variabel bebas: Indeks BI dan MI, antibodi IgM anti PGL-1, lesi kulit
b. Variabel tergantung: mutasi gen rpoB
c. Variabel antara: resistensi rifampisin
J. Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif
J.1. Definisi Operasional
1. Penderita kusta MB adalah penderita kusta yang berdasarkan klasifikasi
WHO terdiri atas tipe borderline (BB), borderline lepromatosa (BL),
lepromatosa (LL), dengan semua kasus tipe apapun dijumpai hasil
pemeriksaan BTA positif.
2. Pengobatan MDT WHO adalah pengobatan pada penderita kusta MB yang
sesuai dengan rejimen pengobatan dari WHO yang terdiri rifampisin 600
Page 56
56
mg/bulan, dapson/DDS 100 mg/hari dan klofazimin 300 mg/bulan dilanjutkan
50 mg/hari selama 12 bulan.
3. Resistensi terhadap rifampisin adalah suatu keadaan bila terjadi
pertumbuhan bakteri yang tidak dapat dihambat oleh rifampisin pada kadar
maksimal yang dapat ditolerir host.
4. Gen rpoB adalah gen yang bertanggung jawab terhadap resistensi kuman
pada rifampisin.
5. Pemeriksaan apus sayatan kulit adalah pemeriksaan bakteriologis yang
diperoleh dari irisan dan kerokan kecil pada kelainan kulit yang paling aktif
untuk mendapatkan bubur jaringan dan selanjutnya diberikan pewarnaan
tahan asam untuk melihat M.Leprae (berdasarkan BI dan MI).
6. Pemeriksaan imunologis adalah pemeriksaan serologis dengan ML-Flow Test
untuk deteksi antibodi IgM terhadap PGL-1 pada penderita kusta dengan
interpretasi Hasil positif:
7. Pemeriksaan DNA sequencing adalah pemeriksaan untuk mendapatkan
urutan nukleotida dari gen tertentu yang digunakan untuk pemeriksaan
resisten kuman terhadap MDT berupa mencari mutasi pada urutan nukleotida
dari gen penyandi protein yang menjadi target kerja dari obat, dengan
membandingkan urutan nukleotida yang normal dari GENBANK .
J.2. Kriteria Objektif
Adapun kriteria objektif yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Penilaian klinis: lesi aktif yang memiliki karateristik berbeda dari infeksi awal.
2. Multi drug therapy MB WHO adalah kombinasi obat Rifampisin 600 mg/bulan,
Page 57
57
DDS (dapson) 100 mg/hari & Lampren (Clofazimin) 300 mg/bulan serta 50
mg/hari selama 12 bulan berturut-turut.
3. Indeks bakteriologis (BI) adalah indeks yang menunjukkan kepadatan kuman
M.Leprae tanpa membedakan solid (kuman hidup) dan non solid (kuman yang
mati) pada sebuah sediaan dalam tiap satuan lapangan tertentu. Morfologis
indeks (MI) adalah proporsi/presentasi kuman yang hidup (solid/utuh) diantara
seluruh kuman yang ditemukan/diperiksa.
4. Pemeriksaan imunologis dengan ML-Flow hasil dinilai secara semi-kuantitatif,
positif jika kedua garis pada bagian nitroselulosa tampak garis merah yang jelas,
ketebalan garis dapat dikategorikan sebagai 1+ sampai 4+. Jika tidak ada atau
sangat samar (+/-) hasilnya dianggap nol (negatif).
5. Pemeriksaan biologi molekuler PCR sequencing positif apabila membuktikan
adanya mutasi gen pada posisi urutan nukleotida tertentu, lewat analisis
perbandingan dengan urutan nukleotida gen yang sensitif terhadap obat
rifampisin.
K. Metode Analisis
Data yang terkumpul adalah semua data yang diperoleh dari hasil penelitian
selanjutnya dikelompokkan berdasarkan tujuan, jenis data dan skala ukur variabel,
kemudian dipilih metode statistik yang sesuai.
Page 58
58
BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASILHasil Analisis Diskriptif
Sebaran Frekuensi Variabel Kategorikal
Tabel 1. Sebaran karateristik penderita kusta MB berdasarkan umur
N %Laki-Laki 19 54,3Perempuan 16 45,7Total 35 100,0
Tabel 2. Sebaran karateristik penderita kusta MB berdasarkan terapi
N %Teratur 28 80,0Tidak Teratur 7 20,0Total 35 100,0
Tabel 3. Sebaran karateristik penderita kusta MB berdasarkan Bakterial indeks
N %+1 4 11,4+2 23 65,7+3 5 14,3+4 3 8,6Total 35 100,0
Page 59
59
Tabel 4. Sebaran karateristik penderita kusta MB berdasarkan Morfologi Indeks (%)
N % 0 22 62,9 1 11 31,4 2 2 5,7 Total 35 100,0
Tabel 5. Sebaran karateristik penderita kusta MB berdasarkan jumlah lesi
N % 5 7 20,0>5 10 28,6>10 18 51,4Total 35 100,0
Tabel 6. Sebaran karateristik penderita kusta MB berdasarkan Tes ML FlowN % %
+1 10 28,6 30,3+2 8 22,9 24,2+3 7 20,0 21,2+4 8 22,9 24,2Total 33 94,3 100,0
Total 35 100,0
Page 60
60
Tabel 7. Sebaran karateristik penderita kusta MB berdasarkan Tes PCR N %
Positif 33 94,3Total 35 100,0
Keterangan:Dari 33 sampel yang ada hasil pemeriksaan PCR, semuanya positif
Tabel 8. Sebaran karateristik penderita kusta MB berdasarkan Sequensing Rifampisin
N %Positif 1 2,9Negatif 32 91,4Total 35 100,0
Keterangan:Dari 33 sampel yang ada hasil pemeriksaan sequensing rifampisin, terdapat 32 (91,4%) yang negatif dan hanya satu orang (2,9%) yang hasilnya positif
Hasil Uji StatistikTabel 9. Hubungan Terapi dengan Sequensing Rifampisin
Sequensing Rifampisin Total Positif Negatif
Terapi Teratur N 0 26 26% 0,0% 100,0% 100,0%
Tidak Teratur
N 1 6 7
% 14,3% 85,7% 100,0%Total N 1 32 33
% 3,0% 97,0% 100,0%Fisher Exact test (p=0,212)Keterangan:
Page 61
61
Tidak ada hubungan signifikan antara terapi dengan sequensing rifampisin (p>0,05).\
Tabel 10. Hubungan Jumlah Lesi dengan ML Flow ML Flow Total +1 +2 +3 +4
Jumlah Lesi
5 N 3 3 0 0 6
% 50,0% 50,0% 0,0% 0,0% 100,%
>5 N 2 3 2 3 10% 20,0% 30,0% 20,0% 30,0% 100,%
>10 N 5 2 5 5 17% 29,4% 11,8% 29,4% 29,4% 100,%
Total N 10 8 7 8 33% 30,3% 24,2% 21,2% 24,2% 100,%
Fisher Exact test (p=0,124)Keterangan:
Tidak ada hubungan signifikan antara jumlah lesi dengan ML Flow (p>0,05).
Tabel 11. Hubungan ML Flow dengan Sequensing RifampisinSequensing Rifampisin Total
Page 62
62
Positif NegatifML Flow
+1 N 0 9 9
% ,0% 100,0% 100,0%+2 N 0 8 8
% ,0% 100,0% 100,0%+3 N 0 7 7
% ,0% 100,0% 100,0%+4 N 1 7 8
% 12,5% 87,5% 100,0%Total N 1 31 32
% 3,1% 96,9% 100,0%Likelihood Ratio test (p=0,412)Keterangan:
Tidak ada hubungan signifikan antara ML Flow dengan sequensing rifampisin (p>0,05)
Tabel 12. Hubungan Jumlah Lesi dengan Sequensing Rifampisin
Sequensing Rifampisin Total
Positif NegatifJumlah Lesi 5 N 0
% 0,0%>5 N 0
% 0,0%>10 N 1
% 5,9%Total N 1
% 3,0%Likelihood Ratio test (p=0,508)Keterangan:
Tidak ada hubungan signifikan antara jumlah lesi dengan sequensing rifampisin (p>0,05).
Page 63
63
B. PEMBAHASAN
Telah dilakukan penelitian di rumah sakit kusta Tajuddin Chalid dan
perkampungan penderita kusta Jongayya untuk memperoleh data pasien
penderita kusta MB post terapi MDT-WHO dengan lesi aktif terbanyak laki-laki
(19 kasus) dibandingkan perempuan (16 kasus). Kusta menyerang jenis kelamin
laki-laki maupun perempuan, tetapi laki-laki lebih banyak daripada perempuan
dengan perbandingan 2:1. Kesimpulan tersebut didapatkan dari penelitian di
beberapa tempat di India, Filipina, Hawai, Venezuela dan Cameroon. Jumlah
penderita laki-laki dewasa biasanya 2 – 3 lebih besar daripada wanita, hal ini
dihubungkan dengan aktifitas pria diluar rumah sehingga risiko tertular lebih
besar. (Agusni, 2005) Tetapi perbandingan penderita kusta berdasarkan jenis
kelamin seperti tersebut diatas tidak bersifat universal. Dibeberapa wilayah
seperti Uganda, Nigeria, Malawi, Gambia dan Zambia, Thailand dan Jepang
jumlah penderita laki-laki sama dengan penderita wanita. (Noordeen, 1994). Hal
ini disebabkan karena baik pada laki-laki maupun wanita memiliki tingkat
paparan yang sama karena aktivitas mereka diluar rumah.
Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan keteraturan terapi dengan
sequencing rifampisin (p>0.05). Data dari keteraturan penderita berobat dengan
Page 64
64
menggunakan regimen MDT-WHO diperoleh informasi, dari 35 penderita MB,
yang teratur terapi 28 penderita (80%) dan tidak teratur 7 penderita (20%). Hasil
ini menunjukkan bahwa tingkat keteraturan penderita berobat MDT cukup tinggi
dibandingkan yang berobat tidak teratur. Pemahaman bahwa kusta dapat
disembuhkan dengan berobat telah dapat diterima oleh masyarakat. Pada terapi
MDT-WHO tidak teratur akan memberikan pengaruh negatif terhadap efek
pemusnahan bakteri oleh karena mekanisme kerja obat menjadi tidak seimbang.
Selain itu dosis, jumlah dan kebutuhan obat untuk memusnahkan kuman tidak
mencukupi, sehingga memungkinkan M.leprae berkembang lebih banyak
sebelum obat dikonsumsi kembali. Hasil penelitian lain mengemukakan bahwa
penderita dengan terapi MDT-WHO yang tidak teratur efek pemusnahan bakteri
M.lepare tidak berlangsung sukses dan tuntas, masih tersisa kuman di jaringan
saraf meskipun WHO telah menyatakan bahwa MDT memiliki efek pemusnahan
kuman sebesar 100% (Kishore,1995; Katoch,1996)
Tidak ada keraguan tentang efikasi terapi MDT yang digunakan saat ini
untuk pengobatan kusta, sebagaimana diindikasikan oleh berkurangnya
prevalensi penyakit kusta sejak penerapan terapi ini. (Rocha dkk, 2012)
Meskipun terapi MDT sudah dianggap yang terbaik saat ini untuk pengobatan
kusta , ternyata dari penelitian ini, sebanyak 35 orang pasien (100%) yang sudah
selesai dengan pengobatan MDT masih mengalami keluhan, masih
menunjukkan klinis aktif yang disertai BTA slit skin smear positif untuk menilai
indeks bakteri (BI+). Prosentase yang ditunjukkan masih tinggi dan ini
memberikan makna bahwa follow up post MDT WHO sangat diperlukan untuk
Page 65
65
mengantisipasi tingginya angka relaps, sesuai anjuran WHO untuk melakukan
kontrol terhadap penderita sampai nilai BI dari BTA hasilnya negatif. (WHO,
1982).
Hasil penelitian ini post terapi MDT WHO didapatkan BI tinggi (+4)
sebanyak 3 orang (8,6%) dari total 35 orang (100%) pasien kusta, juga
didapatkan MI (2%) sebanyak 2 orang (5,7%) pasien kusta dari total 35 orang
(100%) pasien kusta. Penelitian lain melaporkan bahwa BI tinggi meningkatkan
risiko kekambuhan dan juga hasil negatif dari hapusan tidak berarti melindungi
terhadap terjadinya relaps, didapatkan dari 300 pasien 176 pasien (59%)
memiliki nilai BI yang tinggi (+4) post terapi MDT-WHO. Kejadian relaps
kemungkinan disebabkan oleh reinfeksi atau pertumbuhan organisme yang
bertahan, dan kemungkinan karena resistensi obat atau kegagalan terapi yang
bisa terjadi pada tahun-tahun awal follow up. (Matsuoka dkk, 2010) Meskipun
WHO menyatakan bahwa regimen MDT mampu memusnahkan bakteri
penyebab kusta sebesar hamper 100%. (WHO, 1982) Namun beberapa
penelitian lain ternyata melaporkan adanya basil kusta yang masih ditemukan
pada penderita kusta yang telah dinyatakan selesai mendapatkan pengobatan
dengan MDT-WHO. (Katoch, 1996)
Beberapa studi telah melaporkan ada korelasi antara titer IgM, bentuk
klinis kusta dan aktivitas penyakit. Hubungan antara BI dan tes ML Flow
menandakan bahwa ketika BI meningkat, hasil dari tes serologi juga meningkat.
(Lyon dkk, 2008) Schurring dkk melaporkan terdapat korelasi antara nilai antibodi
anti PGL-1 dengan kusta tipe MB, jumlah IB dan gejala klinis. (Schuring dkk,
Page 66
66
2006) Hasil penelitian ini tidak ada hubungan signifikan antara jumlah lesi
dengan tes ML Flow (p>0,05) dan juga tidak ada hubungan signifikan antara BI
dengan tes ML Flow (p>0,05).
Pemeriksaan PCR pada penelitian ini dari 33 sampel hasil semuanya
positif ditemukan bakteri M.Leprae. Hasil ini memberikan suatu bukti pada tingkat
pemeriksaan secara biologi molekular bahwa post terapi MDT-WHO pada
penderita yang masih belum sembuh terdapat kemungkinan adanya bakteri
M.Leprae yang masih hidup yang sedang mempersiapkan komponen RNA untuk
kembali berkembang dan memperbanyak diri. (Widodo, 1991)
Pada penelitian ini didapatkan mutasi pada gen rpoB mencakup satu
kasus mutasi pada CTA menjadi CTG pada kodon 410 dan mutasi pada CTA
menjadi CTG pada kodon 427. Penelitian yang dilakukan oleh Matsuoka dkk
ditemukan resistensi rifampisin di Indonesia sebanyak 4 diantara 121 (3%) isolat
M.Leprae dari kasus baru ditemukan memiliki mutasi resisten rifampisin,
sedangkan 2 diantara 10 (20%) kasus lama ditemukan memiliki mutasi resisten
rifampisin. Mutasi pada gen rpoB didapatkan mutasi satu kasus mutasi GAT
menjadi TAT pada kodon 410, satu kasus mutasi TCG menjadi TTG dan satu
kasus mutasi TCG menjadi ATG pada kodon 425. (Matsuoka dkk., 2007)
Beberapa penelitian dikemukakan bahwa kebanyakan mutasi yang resisten
rifampisin M.Leprae melibatkan kodon 425. (Sapkota dkk, 2008) Pada satu
kasus yang resisten rifampisin didapatkan pemeriksaan bakteriologis masih
ditemukan bakteri M.Leprae post terapi MDT-WHO. Bakteri M.Leprae yang
masih hidup post terapi MDT berkaitan erat dengan faktor ketidak aturan
Page 67
67
berobat, faktor bakteriologis, regimen pengobatan, factor penderita sendiri dan
faktor resistensi terhadap komponen regimen MDT-WHO. (Neira, 2001)
penelitian oleh Lyon dkk melaporkan terdapat korelasi antara hasil ML-Flow
dengan peningkatan IB pada 100% kasus diserati dengan peningkatan antibodi
secara semi-kuantitatif. (Lyon, 2008)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Pada penelitian ini dari 33 penderita kusta post terapi MDT WHO, didapatkan 1
penderita yang mengalami mutasi gen rpoB yang resisten rifampisin.
2. Ekspresi gen rpoB yang mengalami mutasi, pada penelitian ini didapatkan
mutasi pada gen rpoB mencakup satu kasus mutasi pada CTA menjadi CTG
pada kodon 410 dan mutasi pada CTA menjadi CTG pada kodon 427
B. SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar dengan tidak
membatasi sampel dari pasien post MDT-WHO untuk evaluasi program
pemberantasan kusta yang menyeluruh.
2. Surveilens harus selalu dilakukan terhadap kasus-kasus post MDT-WHO untuk
mempertahankan efikasi MDT-WHO dan mencegah penyebaran bakteri
M.Leprae yang resisten obat.
Page 68
68
DAFTAR PUSTAKAAbbas AK., Lichtman AH. (2007) Celuller and Molecular Immunology, International
Edition, California: Saunders; pp. 3-16: 235-339.
Agusni, I. (1997) Perubahan pola Imunopatologik sebagai indikator untuk penanganan
kusta subklinik . suatu studi obsercasional longitudinal untuk mendapatkan
dasar kebijakan dalam penanganan kusta stadium subklinik. Disertasi,
Universitas Airlangga, Surabaya.
Agusni, I. (1998) Perkembangan Terbaru Imunopatogenesis Penyakit Kusta, Peranan
Imunodermatologi dalam Menghadapi Era Globalisasi. Bandung: FK UNPAD.
Agusni, I. (2000) Imunologi penyakit kusta. Dalam: Sudigdoadi, Sutedja, E., Agusni,
Y.H., Sugiri, U. Ed. Makalah lengkap kursus imuno-dermatologi II dokter
spesialis kulit dan kelamin. Bandung: KS Dermatologi Bag./SMF I.K.Kulit &
Kelamin RS Hasan Sadikin; 231-244.
Agusni, I. (2001) Aplikasi teknik Polimerase Chain Reaction (PCR) Pada Penyakit
Kusta. Berkala Ilmu kesehatan Kulit dan Kelamin; 13 (1): s28-32.
Agusni, I. (2005) Kusta Stadium Subklinis pada Dua Jenis Kelompok Narakontak
Penderita Kusta. Konas XI Perdoski. Jakarta
Amiruddin, M. D., Hakim, Z. & Darwis, E. (2003) Diagnosis Penyakit Kusta. IN Sjamsoe-
Daili, E. S., Menaldi, S. L., Ismiarto, S.P. & Nilasari, H. (Eds.) Kusta. 2 ed.
Jakarta, Balai Penerbit FKUI.
Baohong, J., Jamet, P., Sao, S., Perani, E,. Traore, I,. Grosset, J. (1997) High Relapse
Rate among Lepromatous Leprosy Patients Treated with Rifampin plus
Ofloxacin Daily for 4 Weeks. Antimicrobial Agents and Chemotherapy; 4:1953-
1956.
Bryceson, A. & Pfaltzgraff, E.R. (Eds.) (1990) Leprosy, London,Churchill Livingstone.
Page 69
69
Buhrer S., Smiths, H., Gussenhoven, G., Vanleeuwen, S., Amador, S., Fujiwara, T.,
Klatser, P. & Oskam, L. (2003) Simple and Fast Lateral Flow Test for
Classification of Leprosy Patients and Identification of Contacts with High Risk
of Developing Leprosy. Journal of Clinical Microbiology; 41: 1991-1995.
Buhrer, S., Visschedijk, J., Grossi A.M., Dhakal, K.P., Namadi, A.U., Klatser, P.R.,
Oskam, L. (2007) The ML Flow test as a Point of Care Test for Leprosy Control
Programmes: Potential Effects on Classification of Leprosy Patients. Lepr Rev;
78: 70-9.
Buhrer, S., Illarramendi, X., Teles,RB., Lucia, M., Oskam,L., Sarno, E.N., Sales, A.M.
(2009)The Additional Benefit of the ML Flow Test to Classify Leprosy Patients.
Acta Tropica; 111: 172-176.
Burdick, AE., Capo, PVA., Frankel, S. Leprosy.In: Tyring, SK., Lupi, O., Hengge, UR.
Editors. Tropical dermatology. 1st published. Philadelphia: Elsevier Churchill
Livingstone;2006:255-72.
Cambau, E., Bonnafous, P., Perani, E., Sougakoff, W., Baohong, J & Jarlier, V. (2002)
Molecular Detection of Rifampin and Ofloxacacin Resistance for Patients Who
Experience Relapse of Multibacillary Leprosy. Clinical Infection Diseases; 34:
39-45.
Chambers, H. F. (2001) Antimicrobial agents (Continued) Protein Synthesis Inhibitors
and Miscellaneous Antibacterial Agents. IN: Goodman, L. S., Gilman, A,
Hardman, J. G. & Limbird, L E.(Eds.) Goodman & Gilman's The
Pharmacological Basis of Therapeutics, Tenth ed. New York, McGraw-Hill
Medical Publishing Division.
Chin, A.L., Faber, W.R., Van Rens, M.M., Leiker, D.L., Naafs, B., Klatser, P.R. (1992)
Follow-up of multibacillary leprosy patients using Phenolic Glycolipid-1 based
ELISA. Do Increasing ELISA values after Discontinuation of Treatment Indicate
relapse?. Lepr Rev; 63:21-27
Davey, T.F., & Rees, R.J.W. (1974) The Nasal Discharge In Leprosy: Clinical and
Bacteriological Aspects. Lepr. Rev; 45: 121-134.
Dharmendra. (1994) Classifications of Leprosy. In Hastings, R. C. & Opromolla, D. V. A.
(Eds.) Leprosy. Second ed. Edinburgh, Churchill Livingstone.
Page 70
70
Diana, L.W & Thomas, P.G. (2004) Molecular Detection of Drug Resistance in
M.Leprae. Lepr Rev; 75: 118-130.
Hardyanto, S.S & Suhariyanto, B. (2003) Pengobatan Penyakit Kusta. IN Sjamsoe-Daili,
E. S., Menaldi, S. L., Ismiarto, S. P. & Nilasari, H. (Eds.) Kusta. 2 ed. Jakarta,
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, 2003.
Hartskeerl, R.A., Dewit, M.Y.L., & Klatser, P.R. (1989) Polymerase Chain Reaction for
the Detection of Mycobacterium Leprosy. J. Gen. Microbiol: 135-139.
Hastings, R.C., Gillis, T. P., Krahenbuhl, J. L & Franzblau, S. G. (1988) Leprosy. Clin.
Microbiol. Rev; 1: 3303-3348.
Hehanusa, A. (2009) Viabilitas Mycobacterium Leprae dengan pemeriksaan Reversa
Transcriptase Polymerase Chain Reaction pada penderita kusta multibasiler
yang diobati Multi Drug Therapy-WHO. Program Pendidikan Dokter Spesialis
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Sam Ratulangi,
Manado.
Honore, N & Cole, S.T. (1993) Moleculer Basis of Rifampin Resistance in
Mycobacterium Leprae. Antimicrobial Agents and Chemotherapy; 37(3):414-
418.
Honore, N., Roche PW, Grosset JH, Cole ST. (2001) A Method for Rapid Detection of
Rifampicin-Reistant Isolates of Mycobacterium Leprae. Lepr Rev; 72:441-448.
Jacobson, R. R. (1994) Treatment of Leprosy. IN Hastings, R. C. & Opromolla, D. V. A.
(Eds.) Leprosy Second ed. Edinburgh, Churchill Livingstone.
Job, C. K. (1994) Pathology of leprosy. IN Hastings, R. C. & Opromolla, D. V. A. (Eds.)
Leprosy. Second ed. Edinburgh,Churchill Livingstone.
Jopling, W.H. & Mcdougall, A. C. (Eds) (1996) Handbook of Leprosy, New Delhi, CBS
Publishers & Distributors.
Katoch K. (1996) Immunotherapy of Leprosy. Indian J Lepr; 68(4): 349-61.
Katoch, V.M. (2004) Advances in the Diagnosis and Treatment of Leprosy. Expert
reviews in molecular medicin;, 4: 1-14.
Kishore BN., Shetty JN. (1995). Bacterial Clearence with WHO-Recommended
Multidrug Regimen for Multibacillary Leprosy. Indian J lepr.; 67(3): 301-7.
Page 71
71
Kumar, B. & Dogra, S. (2009) Leprosy : A Disease with Diagnostic and Management
Challenges. Indian Journal of Dermatology,Venereology and Leprology; 75: 111
-115.
Ladhani, S. & Zhang, W. (2008) Leprosy. IN Williams, H., Bigby, M., Diepgen, T.,
Herxheimer, A., Naldi, L & Rzany, B. (Eds.) Evidenced-Based Dermatology.
Second ed. Massachusetts, BMJ Blackwell Publishing.
Laurus, C.C.G., Grosset, J.H., Desportes, M.C. (1984) Nine Cases of Rifampin-
Resistant Leprosy. Int J Leprosy; 52(1): 101-102.
Lyon, S., Silva, S., Lyon, A. C., Grossi, M. A., Azevedo, M. L., Buhrer, S., Rocha, M.O.
(2008) Association of the ML Fow Serological Test with Slit Skin Smear.
Revista da Sociedade Brasileira de medicina Tropical; 41: 23-26.
Maeda, S., Matsuko, M., Nakata, N., Kai, M., Hashimoto, K., Kimura, H. (2001)
Multidrug Resistant Mycobacterium Leprae from Patients with Leprosy.
Antimicrobial Agents and Chemotherapy; 45(12): 3635-3639.
Matsuoka, M., Budiawan, T., Aye, K.S., Kyaw, K., Tan, E.V., Cruz, E.D., Gelber, R.,
Saunderson, P., Balagon, V & Pannikar, V. (2007) The Frequency of Drug
Resistance Mutations in M.Leprae Isolates in Untreated and Relapsed Leprosy
Patients from Myanmar, Indonesia and the Philippines. Lepr Rev; 78: 343-352.
Matsuoka, M. (2010) Drug Resistance in Leprosy. Jpn.J.Infect.Dis; 63: 1-7.
Matsuoka, M., Suzuki, Y., Garcia, I.E., Fafutis, M., Vargas, A., Carrefio, C., Fukushima,
Y., Nakajima, C. (2010) Possible Mode of emergence for Drug-Resistant
Leprosy Is Revealed by an Analysis of Samples from Mexico. Jpn.J.Infect.Dis;
63: 412-416.
Moschella, S. L. (2004) An Update on the Diagnosis and Treatment of Leprosy. J Am
Acad Dermato;, 51: 417-26.
Neira, MP (2001) The Final Push to Eliminate Leprosy. Int.J.Lepr; 69 (2): s7-s12
Noordeen, S. (1994) Epidemiology of leprosy. Leprosy. New York, Churchil Livingstone,
29-45.
Norman, G., Joseph, G., Ebenezer, G., Rao, P.S.S.S., Job, C.K. (2003) Secondary
Rifampin Resistance Following Multi-Drug Therapy-A Case report. Int J
Leprosy; 71(1): 18-21.
Page 72
72
Odom, R.B. (2000) Andrew’s Diseases of the Skin Clinical Dermatology. 9th ed.
Philadelphia: WB Saunders Company.
Rea, T. H. & Modlin, R. L. (2008) Leprosy. IN Wolf, K., Goldsmith, L. A., Katz, S. I.,
Gilchrest, B. A., Paller, A. S. & Leffell, D. J. (Eds.) Fitzpatrick's Dermatology in
General Medicine. Seventh ed. New York, McGraw Hill Medical.
Rees, R.J.W. & Young, D.B. (1994) The Microbiology of Leprosy. IN Hastings, R.C. &
Opromolla, D.V.A. (Eds.) Leprosy Edinburgh, Churchill Livingstone.
Regan, M.O., Keja, J., Adhyatma, Lapian, A.R., Lourenapessy, A.A., Teterissa, M.R.,
Hashibuan, Y. & Day, R. (2005) Buku Pedoman Nasional Pemberantasan
Penyakit Kusta. IN Lingkungan, K. R. I. D. J. P. P. M. D. P. (Eds) Cetakan XVII
ed., Departemen Kesehatan R.I. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan.
Rice, L.B., Sahm. D., Bonomo, R.A. (2003) Mechanisms of Resistance to Antibacterial
Agents. In: Murray PR, Baron EJ, Jorgensen H, Pfaller MA, Yolken RH, eds.
Manual of Clinical Microbiology. 8th ed. Washington DC: ASM Press:1074-1101.
Rocha AS., Cunha MG., Diniz LM., Claudio S., Aires MAP. (2012) Drug and Multiple-
Drug Resistance Among M.Leprae 4 Isolates From Brazilian Relapsed Leprosy
Patients. J. Clin. Microbiol; 10(11): 561-71
Sapkota, B.R., Ranjit, C., Neupane, K.D., Macdonald, M. (2008) Development and
Evaluation of a Novel Multiple Primer PCR Amplification Refractory Mutation
System for the Rapid Detection of Mutations Conferring Rifampicin Resistance
in Codon 425 of the rpo B Gene of Mycobacterium Leprae. Journal of Medical
Microbiology; 57: 179-184.
Scollard, D.M. (2008) Treatment Gets Better: but Leprosy Remains a Global Problem.
Annals Academy of Medicine; 37: 1-2.
Scollard, D.M. & Adams, L.B. (2006) The Continuing Challenges of Leprosy. Clin.
Microbiol. Rev; 19: 338-351.
Schuring RP., Moet FJ., Pahan D. (2006) Association Between Anti PGL-1 IgM and
Clinical and Demographic Parameters in Leprosy . Lepr Rev; 77: 345-55.
Page 73
73
Sehgal, V.N., Sardana, K. & Dogra, S. (2008) The Imperatives of Leprosy Treatment in
the Pre-and Post-Global Leprosy Elimination era : Appraisal of Changing the
Scenario to Current Status. Journal of Dermatological Treatment, 19, 82-91.
Sudarianto., Mursalim., Nur., M., Syahri.r, Nurmiyati., Haruna, I., Agusyanti, Papura, E.
& Marwiyah. (2008) Profil Kesehatan Sulawesi Selatan Tahun 2007. IN 2008,
D. K. P. S. S. T.(Eds) Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008
Jl.Perintis Kemerdekaan Km. 11 Makassar.
Werdiningsih, R. & Agusni, I. (2003) Rifampisin pada Kusta. Berkala Ilmu kesehatan
Kulit dan Kelamin; 15(2): 155-162.
Widodo, Y.W. (1991) Polimerase Chain Reaction (PCR) untuk Deteksi M.Leprae. Berita
Kedokteran Masyarakat VII; 3: 142-148.
Williams, D.L., & Gillis, T.P. (1991) Identification of M.Leprae by PCR. Workshop on
PCR Technology for the Detection of M.Leprae. Leprosy Division, Sasakawa
Research Building. Nonthaburi, Thailand.
Williams, D.L., & Gillis, T.P. (2004) Molecular Detection of Drug Resistance in
Mycobacterium Leprae. Lepr Rev; 75: 118-130.
Williams, D.L, Waguespack, C., Eisenach, K. (1994) Characterization of Rifampin
Resisstance in Pathogenic Mycobacteria. Antimicrobial Agents and
Chemotherapy; 38(10):2380-2386.
Williams, A. C, Gallery, H. F., Watt, A. M. & Webeter, N. R. (2005) Differential effects of
three Antibiotics on T Helper Cellcytokine Expression. Journal of Antimicrobial
Chemotherapy, 56, 502-506.
World Health Organization. (1982) Chemotherapy of Leprosy for Control Programmes.
Report of a WHO Study Group. WHO Technical Report Series 675. Wordl
Health Organization, Genewa, Switzerland.
World Health Organization. (2000) Leprosy-global situation'. Wkly Epidemiol
Rec. 75:226-231.
World Health Organization. (2006) Global leprosy situation, Weekly epidemiological
record; 81: 309-316.
Page 74
74
World Health Organization,. (2008) Report of the workshop on sentinel surveillence
for drug resistance in leprosy. WHO regional office for South-East Asia, Hanoi,
Viet Nam.
World Health Organization. (2009) Global Leprosy Situation. Wkly Epidemiol Rec; 84:
333-340.
World Health Organization. (2009) Guidelines for Global Surveilance of Drug
Resistance in Leprosy. WHO. Genewa.
Worobec, S. M. (2009) Treatment of Leprosy Hansen's Disease in the Early 21st
Century. Dermatologic Therapy; 22: 518-537.
Yuwono, T. (2006) Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction. Penerbit Andi
Yogyakarta: 1-16.
Zubaidi, Y. (2005) Tuberkulostatik dan Leprostatik. IN Ganiswarna, S.G., Setiabudy, R. Suyatna, F.D., Purwantyastuti & Nafriadi (Eds) Farmakologi dan Terapi. 4 ed.
Jakarta, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran-Universitas Indonesia,
Jakarta.