Top Banner
1 UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN HUBUNGANNYA DENGAN TITER ANTIBODY IgM PADA PENDERITA KUSTA MB Resistance rpoB Gene to Rifampicin and Its Relationship with IgM Antibody in Patients With MB Leprosy Sari bumi Nomor Stambuk : P1507207103 PASCASARJANA KEDOKTERAN KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU ( COMBINED DEGREE) PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012 PERNYATAAN KEASLIAN TESIS Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Saribumi No.Stambuk : P1507207103 Program Studi : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
76

UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

Jan 22, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

1

UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN HUBUNGANNYA DENGAN TITER ANTIBODY IgM PADA PENDERITA KUSTA MB

Resistance rpoB Gene to Rifampicin and Its Relationship with IgM Antibody in Patients With MB Leprosy

Sari bumi

Nomor Stambuk : P1507207103

PASCASARJANA KEDOKTERANKONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU

( COMBINED DEGREE)PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR

2012PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : SaribumiNo.Stambuk : P1507207103Program Studi : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Page 2: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

2

Makassar, Desember 2012

Yang menyatakan

saribumi

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirabbilalamin, puji syukur yang teramat sangat penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini terfikirkan, tercipta dan terselesaikan. Pada kesempatan ini, banyak sekali terima kasih yang ingin saya ucapkan kepada berbagai pihak yang telah berperan sehingga tesis ini dapat selesai dan saya dapat menyelesaikan pendidikan ini pada akhirnya.

Kepada Direktur Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dan Ketua Program Pendidikan Dokter Spesialis I Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, saya mengucapkan banyak terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan dokter spesialis di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Terima kasih saya ucapkan kepada dr. Alwi A. Mappiasse, Sp.KK, PhD, FINSDV dan dr. Dirmawati Kadir, Sp.KK selaku Kepala Bagian dan Sekretaris Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Dr. dr. Khairuddin Djawad, Sp.KK(K), dan dr. Rosmini Marola, Sp.KK selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Terima kasih yang tidak terhingga kepada Prof. Dr. dr. Muh. Dali Amiruddin, Sp.KK(K), FINSDV, selaku pembimbing I tesis saya dan dr.Safruddun Amin, SpKK. MARS selaku pembimbing II tesis saya yang telah membimbing dengan penuh kesabaran dan memberikan masukan serta solusi sehingga tersusunnya tesis ini. Terima kasih yang teramat sangat pula saya ucapkan kepada para penguji; Prof. Dr. Moh. Hatta, SpMK, Ph.D, atas bimbingan, arahan, dan masukannya kepada saya dalam penyusunan tesis ini, kepada Dr. dr. Arifin Seweng, MPH, terima kasih yang teramat sangat atas bimbingan dan arahannya yang dengan penuh kesabaran mengajarkan serta membantu menganalisis statistik pada tesis ini, dan terima kasih pula saya ucapkan kepada dr. Danny Suwandi, SpFK, Ph.D atas segala masukannya dalam tesis ini.

Kepada seluruh staf pengajar Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, terima kasih atas segala bimbingannya sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan lancar, semoga ilmu yang telah diberikan dapat menjadi manfaat untuk saya dan orang lain disekitar saya nantinya. Dan kepada seluruh teman-teman peserta Program Pendidikan Spesialisasi I Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Universitas Hasanuddin, terima kasih atas segala bantuan kalian baik yang disadari maupun tidak disadari selama menempuh pendidikan di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin ini.

Terima kasih yang tidak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata untuk keluarga saya, orang tua saya tercinta, ayahanda Alm H.Ahmadin Latompai dan ibunda Hj.Rosna yang selalu dengan penuh kesabaran, pengertian dan cintanya serta dukungannya dalam menyelesaikan pendidikan baik secara moril maupun materil, saudara-saudara saya, Moh.Ikbal, H.Sariana dan Amir Hamza yang telah banyak memberi dukungan, semangat dan kasih sayangnya. Dan kepada suami tercinta, Dr. dr. H. Rasyidin Abdullah, MPH. MH.Kes, dan penyemangat hidupku

Page 3: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

3

Mardiansar Faiq Farras Aziz dan Abdul Ahmad Affan, terimakasih atas dukungan, semangat dan kasih sayangnya, terutama untuk kesabaran dan pengertiannya yang luar biasa atas ketidaksempurnaan kewajiban saya selaku istri dan ibu. Dan selesainya tesis ini merupakan salah satu hadiah yang bisa saya berikan untuk kalian dan diri saya, sekali lagi terima kasih Ya Allah SWT.

Kepada sahabat-sahabatku, teman angkatan januari 2008 TopTen (dr. Evi, dr. Yeyen, dr. Astrid, dr. Ninda, dr. Wiwi, dr. Nely, dr. Felisia, dr. Ian, dr. Eche) yang selalu memberi semangat dalam penyelesaian tesis ini. dr. Diano, dr. Adharia, dr. Lisa, dr. Zakiani, dr. Halida, dr. Meyti dan dr. Khairil dan sahabat-sahabat saya yang lainnya, terima kasih telah menjadi sahabat-sahabat yang begitu baik, tulus, dikala senang maupun susah, semoga Allah SWT mempermudah jalan bagi kita semua dalam menyelesaikan pendidikan ini.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh pasien dan orang tua pasien yang menjadi sampel dalam penelitian ini, karena tanpa mereka penelitian ini tidak mungkin berjalan dan dari mereka penulis dapat belajar banyak hal. Tidak perlu menunggu sempurna untuk bahagia, cukup bersyukur dengan apa yang telah kita miliki seharusnya kita sudah bisa bahagia.

Terima kasih yang tidak terhingga pula disampaikan kepada semua pihak yang namanya tidak tercantum tetapi telah banyak membantu selama penelitian ini berlangsung dan dalam proses penyelesaian tesis ini.

Semua kalimat memiliki titik, pada akhirnya proses pendidikan ini sampai dititik yang sungguh sangat melegakan. Semoga Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang selalu melimpahkan berkat dan karunia-Nya bagi kita semua.

Makassar, Desember 2012

Saribumi

ABSTRAK

Page 4: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

4

SARIBUMI. Uji Resistensi Gen rpoB terhadap Rifampisin dan Hubungannya dengan Titer Antibodi IgM pada penderita kusta MB (dibimbing oleh Muh. Dali Amiruddin dan Safruddin Amin)

Rifampisin merupakan komponen utama dalam rejimen kemoterapi yang di gunakan untuk memberantas penyakit kusta digunakan sebagai rejimen utama dalam MDT yang direkomendasikan oleh WHO untuk mengobati penyakit kusta. Setelah mendapat pengobatan MDT-WHO maka kadar IgM PGL-1 akan mengalami penurunan 50% atau bahkan lebih, seiring dengan makin berkurangnya nilai dari pemeriksaan bakteriologis BI dan MI. Ditemukannya resistensi rifampisin telah menimbulkan kekhawatiran dan ancaman bagi program-program intervensi penyakit infeksi.

Penelitian dilakukan di rumah sakit Tajuddin Chalid Makassar dan perkampungan kusta Jongayya Makassar dengan metode cross sectional. Sampel penelitian sebanyak 35 penderita kusta post MDT WHO yang dinilai berdasarkan bakterial indeks (BI), morfologis indeks (MI), antibodi IgM anti PGL-1, lesi kulit dan keteraturan berobat. Didapatkan satu penderita terjadi mutasi gen rpoB resisten rifampisin dengan riwayat ketidakteraturan berobat dan pemeriksaan: bakterial indeks (BI) +4, morfologi indeks (MI) 1%, antibodi IgM anti PGL-1 +4 dan jumlah lesi kulit diatas 10.

Bakteri M.Leprae yang masih hidup post terapi MDT berkaitan erat dengan faktor ketidakteraturan berobat, faktor bakteriologis, faktor penderita sendiri dan faktor resistensi terhadap rifampisin.

Kata kunci: mutasi gen rpoB, resistensi rifampisin, antibodi IgM, kusta MB

ABSTRACT

SARIBUMI. Resistance rpoB Gene to Rifampicin and Its Relationship with IgM antibody titers in patients with MB leprosy (supervised by Muh. Dali Amiruddin dan Safruddin Amin)

Rifampicin is the main component in chemotherapy regimens used to eradicate leprosy is used as the primary MDT regimen recommended by WHO for the treatment of leprosy. After receiving treatment the MDT- WHO, PGL-1 IgM levels will decline 50% or even more, along with the reduction in the value of BI and MI bacteriological examination. The discovery of rifampicin resistance has raised concerns and the threat of intervention programs for infectious diseases.

The study was conducted at the Tajuddin Chalid hospital, Makassar and settlement of leprosy in Jongayya with cross sectional method. The research sample of 35 patients with leprosy post MDT-WHO assessed by bacterial index (BI), morphological index (MI), antibody IgM anti PGL-1, skin lesions and order treatment. One patient obtained rpoB gene mutations of rifampin resistance with a history of treatment and examination irregularity: bacterial index (BI) +4, morphology index (MI) 1%, antibody IgM anti PGL-1 +4 and the number of skin lesions above 10.

Bacteria surviving post M.Leprae MDT therapy is closely related to irregularity factor treatment, bacteriological factors, patient factors alone and rifampicin resistance factor.

Keywords: gen rpoB mutation,rifampisin resistance, IgM antibody, MB leprosy

Page 5: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

5

DAFTAR ISI Halaman

UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... i

ABSTRAK ............................................................................................... iii

ABSTRACT .............................................................................................. iv

DAFTAR ISI ............................................................................................ v

DAFTAR GAMBAR ................................................................................ ix

DAFTAR TABEL ..................................................................................... x

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xi

BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................... 1

I.1 Latar Belakang Masalah ......................................................... 1

I.2 Rumusan Masalah .................................................................. 5

I.3 Tujuan Penelitian .................................................................... 6

I.4 HipotesisPenelitian ................................................................. 6

I.5 Manfaat Penelitian .................................................................. 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 8

II.A. Tinjuan Umum Kusta .............................................................. 8

II.A.1 Definisi ........................................................................... 8

II.A.2 Epidemiologi ................................................................... 8

Page 6: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

6

II.A.3 Etiologi ........................................................................... 9

II.A.4 Penularan ....................................................................... 10

II.A.5 Imunologi ........................................................................ 10

II.A.6 Gambaran Klinis .............................................................. 14

II. A.7. Diagnosis …………………………………………... 16

II. A.8. Pemeriksaan Diagnosis Kusta …………………… 17

II. A.9. Pengobatan MDT ………………………………… 25

II.B. Kerangka Teori ...................................................................... 33

II.B. Kerangka Konsep ................................................................. 34

BAB III. METODE PENELITIAN ............................................................. 35

III.A. Rancangan Penelitian ......................................................... 35

III.B. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................. 35

III.C. Populasi Penelitian .....................................................................35

III. D. Sampel Penelitian .............................................................. 36

III. E.Kriteria Inklusi dan Eksklusi ................................................. 37

III.F. Ijin Penelitian dan Kelaikan Etik (Ethical Clearance) ............ 37

III.G. Prosedur Penelitian ............................................................ 38

III.H. Alur Penelitian ...................................................................... 47

III.I. Identifikasi Variabel ............................................................... 48

III.J. Definisi Operasional .............................................................. 48

III.K. Pengolahan dan Analisis Data ............................................. 50

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 51

IV.A. Hasil Penelitian .................................................................... 51

IV.A.1 Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB

Berdasarkan Umur ....................................................... 51

IV.A.2. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB

Page 7: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

7

Berdasarkan Terapi ..................................................... 51

IV.A.3. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB

Berdasarkan Bakterial Indeks....................................... 52

IV.A.4. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB

Berdasarkan Morfologis Indeks .................................... 52

IV.A.5. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB

Berdasarkan Jumlah Lesi ............................................. 53

IV.A.6. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB

Berdasarkan Tes ML Flow............................................

53 IV.A.7. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB

Berdasarkan PCR......................................................... 54

IV.A.8. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB

Berdasarkan Sequencing M.Leprae ............................ 54

IV.A.9. Hubungan Terapi Dengan Sequensing

Rifampisin.................................................................. 54

IV.A.10. Hubungan Terapi Dengan Tes ML Flow................. 56

IV.A.11. Hubungan Terapi Dengan Sequensing

Rifampisin................................................................. 57

IV.A.12. Hubungan Terapi Dengan Sequensing

Tes ML Flow............................................................... 58

IV.A.13. Hubungan Tes ML Flow Dengan Sequensing

Rifampisin................................................................... 59

IV.A. Pembahasan ........................................................................ 60

BAB V. PENUTUP ................................................................................... 64

V.1 Kesimpulan ........................................................................... 64

V.2 Saran ..................................................................................... 65

Page 8: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

8

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 66

LAMPIRAN

DAFTAR GAMBAR

No halaman

1. Regimen Pengobatan MDT Menurut Umur (DEPKES 2007) ............... 32

2. Kerangka Teori ..................................................................................... 33

3. Kerangka Konsep ................................................................................. 34

4. Alur Penelitian ....................................................................................... 47

DAFTAR TABEL

No halaman

IV.A.1 Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB Berdasarkan Umur …………….51

IV.A.2. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB Berdasarkan Terapi…………….51

IV.A.3. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB Berdasarkan Bakterial

Indeks ........................................................................................... 52

Page 9: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

9

IV.A.4. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB Berdasarkan Morfologis

Indeks ............................................................................................ 52

IV.A.5. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB Berdasarkan Jumlah

Lesi ............................................................................................ 53

IV.A.6. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB Berdasarkan Tes

ML Flow ......................................................................................... 53

IV.A.7. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB Berdasarkan PCR…… 54

IV.A.8. Sebaran Karateristik Penderita Kusta MB Berdasarkan

Sequencing M.Leprae ...................................................................…. 54

IV.A.9. Hubungan Terapi Dengan Sequensing Rifampisin .......................… 54

IV.A.10. Hubungan Terapi Dengan Tes ML Flow......................................……… 56

IV.A.11. Hubungan Terapi Dengan Sequensing Rifampisin .....................……… 57

IV.A.12. Hubungan Terapi Dengan Sequensing Tes ML Flow..................……… 58

IV.A.13. Hubungan Tes ML Flow Dengan Sequensing Rifampisin……....….. 59

Page 10: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

10

DAFTAR LAMPIRAN

No

1. Daftar Sampel Penelitian

2. Hasil Pemeriksaan Sequensing PCR

3. Hasil Pemeriksaan PCR

4. Hasil Pemeriksaan ML Flow Tes

5. Rekomendasi Persetujuan Etik

6. Analisis Statistik

BAB I

Page 11: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

11

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kusta merupakan penyakit infeksi kronik pada manusia yang disebabkan oleh

Mycobacterium leprae (M.Leprae) yang utamanya menyerang pembuluh saraf perifer

dan kulit.(Brysceson dan Pfaltzgraff., 1990, Rea dan Modlin., 2008)

Sampai saat ini penyakit kusta masih merupakan problema besar di beberapa

negara di dunia, karena penyakit ini tidak saja infeksius tetapi dapat juga menyebabkan

kecacatan yang akan menimbulkan masalah-masalah sosial ekonomi.(Widodo., 1991)

Program eliminasi kusta dicanangkan oleh Wordl Health Organization (WHO) pada

tahun 2000 dan melaporkan 118 negara dari 122 negara telah dieliminasi, namun

kenyataannya jumlah penderita kusta masih tinggi dan masih banyak ditemukan kasus

baru yang dilaporkan setiap tahunnya.(Sehgal dkk., 2008, Scollard., 2008, Worobec.,

2009) Berdasarkan data WHO, awal tahun 2009 dilaporkan prevalensi kusta yang

tercatat di seluruh dunia sebesar 213.036, sedikit menurun dibandingkan prevalensi

awal tahun 2006 yang tercatat diseluruh dunia sebesar 219.286 kasus. Negara-negara

yang termasuk endemik kusta dimana Indonesia menduduki tempat yang ketiga setelah

Brazil, India, keempat Nepal, Nigeria dan Republik Demokratik Kongo.(Williams dkk.,

2005, WHO., 2006, WHO., 2009, Worobec., 2009)

Pendeteksian kasus baru di seluruh dunia telah berkurang signifikan selama 5

tahun terakhir, tetapi dalam 2 tahun terakhir penurunannya tidak terlalu signifikan

khususnya di Asia Tenggara yang mewakili 74% kasus baru di seluruh dunia. India

mendeteksi ≥ 137.000 kasus baru pada tahun 2007, sedangkan pada tahun 2006 ada

≥ 139.000 kasus baru, dimana menunjukkan penurunan hanya 1%. Diantara 18 negara

Page 12: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

12

teratas yang melaporkan ≥ 1000 kasus baru selama 2007, hal ini menunjukkan

peningkatan pendeteksian kasus baru dibanding tahun 2006, hanya dilakukan pada 10

negara.(WHO., 2008)

Secara nasional Indonesia sudah mencapai eliminasi kusta pada bulan juni

2000, namun sampai saat ini jumlah penderita kusta di Indonesia masih cukup tinggi.

Hal ini terbukti dari prevalensi penderita kusta pada tahun 2008 sebesar 21.538

penderita, jumlah kasus baru yang terdeteksi sebanyak 17.441 kasus, 82,15%

diantaranya adalah penderita tipe multibasiler (MB). (WHO., 2009) Provinsi dengan

prevalensi kusta tertinggi di Indonesia (>1/10.000 penduduk) diantaranya Maluku Utara,

Papua, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara.(Regan dkk., 2005) Situasi kusta di

Sulawesi Selatan, hampir sama dengan pola nasional, dimana jumlah penderita dan

angka prevalensi per 10.000 penduduk mengalami penurunan yang tidak signifikan dari

tahun ke tahun. Pada tahun 2006, jumlah penderita kusta yang terdaftar sebanyak

1.561 orang dengan prevalensi 2,1 per 10.000 penduduk dengan urutan 5

kabupaten/kota penderita kusta terbanyak adalah Jeneponto, Makasar, Bulukumba,

Wajo, dan Gowa.(Sudarianto dkk., 2008)

Sejak diperkenalkannya Multi Drug therapy (MDT) oleh World Health

Organization (WHO) untuk pengobatan penyakit kusta pada tahun 1982, lebih dari 8

juta penderita di seluruh dunia telah menyelesaikan pengobatan dengan menggunakan

rejimen MDT tersebut.(Baohong dkk., 1997) Rifampisin merupakan komponen utama

dalam rejimen kemoterapi yang di gunakan untuk memberantas penyakit kusta dan

tuberkulosis dan digunakan sebagai rejimen utama dalam MDT yang direkomendasikan

oleh WHO untuk mengobati penyakit kusta.(Honore., 1993, Williams.,1994)

Page 13: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

13

Antara tahun 1970-1980 rifampisin telah digunakan hampir di seluruh negara,

baik secara tunggal maupun sebagai kombinasi dengan obat-obat lain telah diresepkan

untuk waktu yang lama, selain itu rifampisin juga diberikan secara cuma-cuma untuk

pengobatan penyakit tuberkulosis dan kusta selama lebih dari 10 tahun.(Laurus

dkk.,1984). Ditemukannya resistensi obat telah menimbulkan kekhawatiran dan

ancaman bagi program-program intervensi penyakit infeksi. Kusta merupakan penyakit

kronis dengan stigma sosial, resistensi obat menimbulkan kendala yang serius pada

tahapan ketika terjadi penurunan dramatis prevalensi akibat intervensi kemoterapi yang

intensif dan menyeluruh yang dilakukan oleh komunitas global. Agar dapat memenuhi

tantangan untuk mengantisipasi resistensi obat di berbagai kondisi yang menyebabkan

rentan terhadap penyakit kusta. Ini bisa dilakukan dengan surveilens resisten obat

melalui sistem dukungan klinis, lapangan dan laboratorium yang sesuai.(WHO., 2008)

Jumlah pasien kusta resistensi terhadap rifampisin meningkat karena kegagalan

terapeutik dan kepatuhan yang rendah. Penelitian oleh Matsuoka dkk diambil sampel

38 pasien sementara terapi MDT dan tinggal di barat dan selatan Meksiko. Sampel

diperoleh dari telinga atau lesi dengan metode slit-skin sesuai dengan prosedur

standar, didapatkan hasil mutasi pada kodon 425 (TCG:Ser untuk TTC:Leu) dan satu

lagi di kodon 428 (GGC:Gly untuk AGC:Ser) dari gen rpoB diamati salah satu dari dua

telinga masing-masing dari satu dan dua pasien. Data klinis untuk pasien ini tidak

menunjukkan indikasi resisten rifampisin.(Matsuoka., dkk., 2010) Rifampisin adalah

komponen utama yang tidak bisa digantikan, munculnya resistensi terhadap rifampisin

akan menyebabkan kesulitan dalam penyembuhan dan akan terjadi penularan yang

luas, yang dapat menimbulkan ancaman serius dalam hal pencapaian target eliminasi

Page 14: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

14

kusta.(Williams dkk., 1994, Norman dkk., 2003). Resistensi M. leprae terhadap

rifampisin pertama kali dilaporkan oleh Jacobson dan Hasting pada tahun 1976 pada 2

penderita kusta dengan menggunakan pemeriksaan pada telapak kaki tikus secara

Shepard (Shepard’s mouse footpad assay). Resistensi terhadap rifampisin sebagian

besar juga didapatkan pada penderita yang menerima monoterapi rifampisin atau

pengobatan yang tidak adekuat.(Honore dkk., 2001) Isu-isu tentang bagaimana

mempertahankan dan melestarikan pengendalian kusta, bisa dihambat oleh terjadinya

resistensi rifampisin, karena rifampisin merupakan obat inti dalam MDT, maka isu ini

sangat relevan dan penting. Dalam hal ini, perlu ditelaah tekhnologi terbaru untuk

pendeteksian resistensi rifampisin yang akan memungkinkan para pemegang program

untuk merencanakan sebuah strategi surveilans global.(WHO, 2008)

WHO mendefinisikan relaps dalam kusta MB sebagai perkembangbiakan

M.Leprae, dimana hasil skin smear pasien dinyatakan negative selama atau setelah

pengobatan dihentikan dan dikemudian hari kondisi klinik memburuk (terdapatnya

bercak baru atau nodul dan atau kerusakan saraf baru) dengan skin smear positif yang

ditandai dengan peningkatan nilai bakterial index (BI) secara signifikan, sekurang-

kurangnya 2+ dari nilai sebelumnya dengan atau morphologi indeks (MI) yang positif.

Seperti pada kasus penyakit infeksi lainnya, angka relaps merupakan salah satu

parameter penting dalam menilai khasiat jangka panjang suatu terapi.(Matsuoka, 2000)

Antibodi IgM anti PGL-1 lebih dominan terhadap terhadap M.Leprae yang masih

solid oleh karena PGL-1 terdapat pada kapsul basil kusta sedangkan antibodi IgG

berperan terhadap antigen protein yang lebih banyak terdapat di bagian dalam tubuh

mikobakterium dimana antigen protein akan meningkat jika basil kusta telah pecah

Page 15: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

15

terbelah (fragmented). (Agusni, 2000; Abbas and Lichtman, 2007) Setelah mendapat

pengobatan MDT-WHO maka kadar IgM PGL-1 akan mengalami penurunan 50% atau

bahkan lebih, seiring dengan makin berkurangnya nilai dari pemeriksaan bakteriologis

BI dan MI. Hal ini menunjukkan bahwa pemusnahan basil kusta berhasil dengan baik.

Sebaliknya, jika dalam periode surveillans kadar IgM PGL-1 masih tinggi maka sangat

besar kemungkinannya dalam jaringan masih terdapat basil kusta.(Agusni., 2000)

Deteksi terhadap antibodi PGL-1 telah dipergunakan secara luas untuk survey populasi,

kontak dengan penderita kusta, diagnosis dini, monitor efek pengobatan, monitor reaksi

dan untuk identifikasi penderita relaps.(Chao., 2001).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan

pertanyaan penelitian sebagai berikut: bagaimana hubungan antara mutasi gen rpoB

dan peningkatan titer antibodi pada penderita kusta multibasiler (MB) yang resisten

rifampisin?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Page 16: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

16

Mengetahui hubungan mutasi gen rpoB dan peningkatan titer antibodi pada

penderita kusta MB yang resistens rifampisin

2. Tujuan Khusus

a. Menentukan jumlah penderita kusta MB yang resisten rifampisin.

b. Menilai ekspresi gen rpoB yang mengalami mutasi pada penderita kusta MB

yang resisten rifampisin.

D. Hipotesis Penelitian

Peningkatan titer antibodi pada penderita kusta MB post terapi MDT-WHO

berhubungan dengan resistens rifampisin.

E. Manfaat Penelitian

Page 17: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

17

1. Manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Menambah wawasan di bidang ilmu kesehatan kulit dan kelamin, khususnya

penyakit kusta terutama efek pengobatan rifampisin, program pemberantasan

kusta serta uji klinis resistensi kuman yang dapat dilakukan menuju eleminasi

kusta di seluruh Indonesia, meningkatkan pemahaman berbagai faktor yang

berkaitan dengan resistensi M.leprae terhadap obat rifampisin, menemukan

metode lebih sederhana untuk mendeteksi resistensi M.leprae terhadap

rifampisin MDT-MB WHO serta memberikan alternatif dalam hal kontrol

keberhasilan pengobatan dan menjadi bahan acuan dan bacaan demi

kepentingan program pemberantasan kusta.

2. Manfat untuk kepentingan praktis dan klinis.

Apabila terbukti adanya ekspresi gen rpoB yang mengalami mutasi pada

pengobatan rifampisin pada penderita kusta MB yang menyebabkan resistensi,

maka diperlukan perhatian besar terhadap pengobatan kusta di kemudian hari

dan apabila uji resistensi memberikan bukti sebagai metode sederhana untuk

penilaian maka uji resistensi sebaiknya dijadikan alat follow up pengobatan

penderita kusta

BAB II

Page 18: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

18

Tinjauan Pustaka

A. Tinjauan Umum Kusta

1. Definisi

Penyakit kusta merupakan penyakit infeksi kronik pada manusia yang

disebabkan oleh M.leprae.(Amiruddin dkk., 2003, Job., 1994, Bryceson dan Pfaltzgraff.,

1990, Jopling dan McDougall., 1996). Penyakit ini mula-mula menyerang saraf tepi dan

kulit, selanjutnya dapat mengenai organ atau sistem lain seperti mata, mukosa mulut,

saluran pernapasan, sistem retikuloendotelial, otot, tulang dan testis, kecuali susunan

saraf pusat.(Amiruddin dkk., 2003, Katoch., 2004, Job., 1994, Worobec., 2009).

2. Epidemiologi

Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-

beda; banyak ditemukan di daerah tropik dan subtropik. Lebih dari 60 % berada di Asia

dan lebih dari 30% di Afrika.(Regan dkk., 2006, Hastings dkk, 1988) Pada awal tahun

2009, prevalensi kusta secara global adalah 213.036 kasus dan jumlah kasus baru

yang terdeteksi selama tahun 2008 dari laporan 121 negara adalah 249.007 kasus.

Sebaran prevalensi dan insidensi penyakit kusta diseluruh dunia menunjukkan bahwa

Indonesia sampai saat ini sebagai negara ketiga terbanyak penderita kusta setelah

India dan Brazil dengan penemuan kasus yang baru masih memerlukan perhatian.

(WHO., 2006) Prevalensi di Indonesia adalah 21.538 kasus dan jumlah kasus baru

yang terdeteksi adalah 17.441 kasus, dalam hal ini Indonesia berada di posisi ketiga

teratas.(WHO., 2009)

Penyakit kusta dapat menyerang semua orang, pria lebih banyak terkena

dibanding wanita dengan perbandingan 2:1, walaupun ada beberapa daerah yang

Page 19: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

19

menunjukkan insidensi ini hampir sama bahkan ada daerah yang menunjukkan

penderita wanita lebih banyak.(Amiruddin dkk., 2003) Penyakit ini memiliki distribusi

usia dengan puncak pertama antara usia 10-15 tahun dan puncak kedua antara usia

30-60 tahun. Terdapat 15% kasus menyerang anak- anak. Pada anak- anak,

perbandingan laki- laki dan perempuan sama banyak.(Brysceson dan Pfaltzgraff., 1990)

3. Etiologi

Mycobacterium leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit

kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, Gerhard Henrik Armauer Hansen

pada tahun 1873.(Rees dan Young., 1994, Amiruddin dkk., 2003, Regan dkk., 2005).

Kuman ini bersifat tahan asam, berbentuk batang lurus atau melengkung dengan

panjang 1-8 pm dan diameter 0,3 urn, dapat berkelompok (globi) dan ada yang tersebar

satu- satu. Kuman ini dengan Ziehl-Neelsen termasuk golongan basil tahan asam

(BTA). Organisme ini hidupnya obligat intraseluler dan sampai saat ini belum dapat

dibiakkan pada media buatan, memerlukan waktu 11-13 hari untuk membelah diri.

Kuman yang mati tampak tidak beraturan, fragmented atau granulated. Suhu optimal

untuk pertumbuhan adalah 27 - 30°C, hal ini yang menjelaskan predileksi penyakit

kusta terutama pada daerah-daerah tubuh yang lebih dingin.(Ladhani dan Zhang.,

2008, Hastings dkk., 1988, Amiruddin dkk., 2003, Rees dan Young., 1994).

Hingga saat ini M.leprae belum berhasil dibiakkan dalam medium buatan.

Pembiakan yang dapat dilakukan saat ini adalah dengan menginokulasikan M.leprae

pada telapak kaki mencit (mouse footpads) dan pada tikus yang tidak memiliki thimus

ataupun yang telah mengalami thimektomi (nude mice) ataupun pada jaringan tubuh

Page 20: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

20

hewan armadillo dari Amerika (nine banded Armadillo) serta sejenis kera Mangabey di

Afrika.(Rees dan Young., 1994, Scollard dan Adams., 2006, Regan dkk., 2005)

4. Penularan

Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe MB kepada orang lain

dengan cara penularan langsung. Penularan terjadi apabila M.leprae yang hidup

(viable) keluar dari tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Cara

penularan yang pasti belum diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat

bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan bagian atas dan

kontak kulit yang tidak utuh. Suatu swab hapusan dari penderita tipe lepromatosa yang

tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 104 -107; telah terbukti bahwa saluran

nafas atas dari penderita tipe lepromatosa merupakan sumber kuman terpenting dalam

lingkungan. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama

dengan penderita.(Regan dkk., 2006, Amiruddin dkk., 2003)

5. Imunologi

Semua mekanisme imunologis, baik yang nonspesifik maupun yang spesifik dapat

berperan dalam imunopatogenesis kusta. Pada penyakit kusta defek imunologis yang

ditimbulkan oleh M.Leprae bersifat spesifik, yang menunjukkan bahwa gangguan

terjadi pada tingkat imunitas yang didapat. Kemungkinan gangguan bisa pada tingkat

sel penyaji antigen, limfosit T atau B, pada proses pembentukan limfokin atau antibodi.

Peranan sistem imun menentukan manifestasi klinis penyakit ini. Tingkat respon imun

individu yang bervariasi menyebabkan gambaran klinisnya bervariasi.(Odom., 2000)

A. Respon Imun Nonspesifik

Page 21: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

21

Sebagai proteksi awal, sistem kekebalan tubuh lapis pertama bekerja secara

nonspesifik lewat pertahanan secara mekanis, fisiologis atau kimiawi serta lewat

beberapa jenis sel yang bisa langsung membunuh kuman. Mekanisme nonspesifik

yang paling berperan untuk mengeliminasi M.Leprae adalah monosit yang bekerja

sebagai sel fagosit dimana M.Leprae yang masuk ke dalam tubuh akan dilisiskan

hingga 95% individu yang terinfeksi M.Leprae tidak menimbulkan gejala klinis atau

minimal hanya subklinis saja. Sistem kekebalan nonspesifik atau alamiah juga

ditunjang oleh status kesehatan secara umum. Sebagain kuman M.Leprae yang

masuk ke dalam tubuh dan berhasil lolos melewati sistem pertahanan lapis pertama

akan ikut bersama monosit dalam darah.

Selama dalam monosit, kuman tersebut tidak terbunuh bahkan bisa berkembang

biak. Dengan tumpangan monosit tersebut, basil kusta masuk ke organ yang lebih

dalam dan suatu saat monosit akan mati dan pecah. Kuman akan menyebar mencari

sel yang sistem pertahanannya lemah, salah satu jenis sel fagosit yang menjadi

sasaran adalah sel Schwann (non professional phagosyte) yang terletak di perineum

saraf tepi yang merupakan predileksi untuk hidupnya M.Leprae dan tidak dapat

terdeteksi oleh sistem imun, sehingga sel Schwan menjadi pos pertama dari basil

kusta sebelum menginvasi ke kulit dan organ lain. Karena M.Lepare sendiri tahan

terhadap lisozim, maka kuman tersebut bisa berkembang biak di dalam sel Schwan.

Pada waktu sel Schwan yang tua mati dan pecah, M.Leprae akan tersebar keluar dan

ditangkap kembali oleh sel fagosit lainnya termasuk sel Schwan.(Agusni., 1998)

B. Respon Imun Spesifik

Page 22: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

22

Proses imunitas spesifik mulai bekerja setelah kuman yang masuk dikenal oleh

sistem tubuh. Respon imun seluler karena sifat M.Lepare adalah obligat intraseluler,

maka untuk penghancuran kuman yang efektif harus melalui respon imun seluler dan

diperlukan kerjasama antara makrofag dan limfosit T. Magrofag yang menangkap dan

memproses antigen harus memberi sinyal lewat penyajian antigen, lalu terjadi kontak

dengan sel limfosit T yang mengeluarkan interleukin dan IFN-gamma untuk

mengaktifkan makrofag tersebut agar menghancurkan antigen (M.Leprae). Respon

imun seluler adalah menentukan dalam manifestasi klinis, dimana jika cukup baik

maka timbul tipe yang disebut tuberkuloid atau tidak menderita sama sekali dan jika

sangat jelek akan menderita lepromatous. Pada borderline status imunologis tidak

stabil, dapat membaik (up grading) atau menurun (down grading).(Agusni., 1998)

Respon imunitas humoral akan terbentuk antibodi terhadap antigen M.Leprae.

bagian titer yang tertinggi terdapat pada spektrum lepromatous, sedangkan ke arah

tuberkuloid sering dijumpai titer dan aktifitas yang rendah. Terjadinya produksi

berlebihan dari antibodi spesifik (IgM dan IgG) diduga akibat lumpuhnya sistem

imunitas seluler (anergi) sehingga kontrol terhadap sel limfosit B menjadi hilang,

akibatnya sel B terus memproduksi antibodi. Juga akibat keadaan energi ini, kuman

M.leprae berkembang biak dengan pesat dan menginvasi banyak organ tubuh.

Rangsangan dalam waktu lama oleh antigen M.Leprae pada penderita kusta tipe

lepromatous, menyebabkan terbentuknya antibodi dalam jumlah berlebihan dalam

sirkulasi penderita. Terdapatnya antibodi spesifik (IgM dan IgG) tidak dapat mengatasi

infeksi kusta, malah dapat menyebabkan kerusakan jaringan.(Agusni., 1998)

Page 23: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

23

Berbagai kelas antibodi akan memiliki fungsi efektor yang berbeda-beda pada

lokasi yang jauh dari tempat produksinya. Imunoglobulin M (IgM) merupakan isotop

immunoglobulin yang sebagian besar terdapat intravaskular, bekerja mengaktivasi

jalur klasik komplemen dan sebagai reseptor antigen pada limfosit B naif.

Imunoglobulin M didapat pada respon imun primer dalam waktu yang relatif singkat

dibandingkan IgG. Pada penyakit lepra, multiplikasi Mycobacterium leprae

mengakibatkan produksi antibodi. Sifat basil lepra yang intraseluler menyebabkan

immunoglobulin pada reaksi humoral tidak berperan banyak dalam daya tahan tubuh

terhadap basil lepra.(Brysceson dan Pfaltzgraff.,1990) Pecahan PGL-1 merupakan

bagian pembungkus sel M.Leprae dan menginduksi pembuatan respon humoral

spesifik terhadap PGL-1 yang terdeteksi pada serum pasien. Ketika kadar antibodi

tinggi, dapat dipastikan bahwa infeksinya sedang aktif, khususnya selama episode

reaksi yang menyertai komplikasi umum perkembangan kusta.(Chin, dkk., 1992)

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa keberadaan antibodi IgM

PGL-1 spesifik M.Leprae berkorelasi dengan muatan bakteri seorang pasien kusta.

15-40% pasien PB menunjukkan hasil seropositif, dibanding dengan 80-100% pasien

MB. Dengan demikian, pendeteksian antibodi-antibodi ini bisa menjadi metode

alternatif yang bermanfaat untuk mengelompokkan kusta.(Buhrer., 2007) Antibodi

IgM anti PGL-1 khususnya lebih dominan terhadap M.Leprae yang masih solid oleh

karena PGL-1 terdapat pada kapsul basil kusta sedangkan antibodi IgG berperan

terhadap antigen protein yang lebih banyak terdapat di bagian dalam tubuh

mikobakterium dimana antigen protein akan meningkat jika basil kusta telah pecah

terbelah (fragmented). Disamping itu IgG juga berperanan dalam proses opsonisasi

Page 24: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

24

antigen untuk fagositosis makrofag dan neutrofil, dengan demikian ikut berperan

terhadap inflamasi yang terjadi sehingga akan memberikan gambaran klinis yang

kelihatan masih eritem atau lesi tampak masih aktif.(Agusni., 2000)

6. Gambaran Klinis dan Klasifikasi

Gambaran klinis penyakit kusta bervariasi, tergantung tipe klinisnya. Gambaran

klinis meliputi adanya kelainan kulit, saraf tepi dan organ lainnya, seperti madarosis,

penebalan cuping telinga, dan lain-lain. Berdasarkan klasifikasi Ridley-Jopling

Terdapat 5 tipe klinis kusta yaitu: tipe TT (polar tuberkuloid, tuberkuloid tuberkuloid),

tipe BT ( borderline tuberkuloid), tipe BB (mid borderline, borderline borderline), tipe BL

(borderline lepromatosa), tipe LL (polar lepromatosa, lepromatosa lepromatosa).

(Dharmendra., 1994, Hastings dkk., 1988, Moschella., 2004). Sedangkan klasifikasi

berdasarkan WHO adalah pausibasiler (PB) yang terdiri dari TT dan BT dari Ridley-

Jopling (memiliki indeks bakteriologis <2+) dan MB yang terdiri dari LL, BL dan BB dari

Ridley-Jopling (memiliki indeks bakteriologis > 2+).(Dharmendra., 1994)

a. Kusta tipe tuberkuloid tuberkuloid (TT)

Lesi ini mengenai kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat

berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan

lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi

yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata.

Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi meninggi bahkan dapat menyerupai

psoriasis. Gejala ini dapat disertai penebalan saraf perifer yang umumnya teraba,

hilangnya rasa dan kelemahan otot.(Amiruddin dkk., 2003, Rea dan Modlin., 2008)

b. Kusta tipe borderline tuberkuloid (BT)

Page 25: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

25

Lesi tipe ini menyerupai TT, berupa makula anestesi atau plakat yang sering disertai

dengan lesi satelit di pinggirnya, jumlah lesi satu atau beberapa, akan tetapi

gambaran hipopigmentasi, kulit kering atau skuama tidak jelas seperti pada tipe TT.

Gangguan saraf tidak seberat pada tipe TT dan umumnya asimetrik. Biasanya di

jumpai lesi satelit yang letaknya dekat saraf perifer yang menebal.(Amiruddin dkk.,

2003, Rea dan Modlin., 2008)

c. Kusta tipe borderline-borderline (BB)

Tipe BB merupakan tipe yang paling tidak stabil. Tipe ini disebut juga sebagai

bentuk dimorfik. Lesi dapat berupa makula infiltrat. Permukaan lesi dapat mengkilat,

batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi melebihi tipe BT dan cenderung simetrik.

Lesi sangat bervariasi, baik ukuran, bentuk maupun distribusinya. Dapat dijumpai

lesi punched out, yaitu hipopigmentasi oval pada bagian tengah, batas jelas yang

merupakan ciri khas dari tipe ini.(Amiruddin dkk. ,2003, Rea dan Modlin., 2008)

d. Kusta tipe borderline lepromatosa (BL)

Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit

kemudian dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula tampak lebih jelas dan

lebih bervariasi bentuknya. Walau masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan

distribusi lesi yang hampir simetrik dan beberapa nodus tampak melekuk pada

bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan pinggir di dalam

infiltrat lebih jelas dibanding pinggir luarnya dan beberapa plak tampak seperti

punched out.(Amiruddin dkk., 2003, Rea dan Modlin., 2008)

e. Kusta tipe lepromatosa lepromatosa (LL)

Page 26: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

26

Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritem, mengkilat,

berbatas tidak tegas dan tidak ditemukan gangguan anestesi dan anhidrosis pada

stadium dini. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping

telinga yang menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk fades

leonina, yang dapat disertai madarosis, iritis dan keratitis. Pada keadaan lebih lanjut

dapat terjadi deformitas pada hidung, dapat disertai adanya pembesaran kelenjar

limfe, orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf dermis

menyebabkan gejala gloves and stocking anesthesia. (Amiruddin dkk., 2003, Rea

dan Modlin., 2008).

7. Diagnosis

Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal

(cardinal sign), yaitu: (Regan dkk., 2005, Amiruddin dkk., 2003, Rea dan Modlin., 2008)

a. Bercak kulit yang mati rasa.

Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plak).

Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa

suhu, dan rasa nyeri.

b. Penebalan saraf tepi.

Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf

yang terkena, yaitu :

1) Gangguan fungsi sensoris : mati rasa

2) Gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis

3) Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang

Page 27: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

27

terganggu.

c. Ditemukan Basil Tahan Asam.

Bahan pemeriksaan adalah hapusan sayatan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada

bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.

Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit ditemukan satu tanda

kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan

tersangka kusta dan penderita perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan

sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.(Moschella., 2004, Bryceson

dan Pfaltzgraff., 1990, Worobec., 2009)

8. Pemeriksaan Diagnostik Kusta

a. Pemeriksaan Bakteriologi Kusta

Pemeriksaan ini pada penyakit kusta merupakan hal yang mutlak dilakukan,

karena berguna untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, menunjang penentuan

klasifikasi atau tipe penyakit kusta, memberi petunjuk potensi penularan dari penderita

dan mengevaluasi pengobatan. Untuk keseragaman, pemilihan lokasi pengambilan

bahan pemeriksaan sebagai berikut (berurutan) : (1) cuping telinga kiri, (2) cuping

telinga kanan, (3) salah satu makula atau lesi kulit, (4) daerah kulit yang lainnya, bila

perlu.(Rees dan Young., 1994)

- Indeks Bakteriologi

Indeks bakteriologi merupakan ukuran semi kuantitatif kepadatan BTA dalam

sediaan apus tanpa membedakan solid dan non solid. Indeks bakteri berguna

untuk membantu menetukan tipe kusta dan menilai hasil pengobatan.

Pemeriksaan dilakukan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi.

Page 28: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

28

Indeks bakteriologis seseorang adalah BI rata-rata semua lesi yang dibuat

sediaan. Indeks bakteriologi ini disajikan menurut skala logaritma Ridley, sebagai

berikut:(Bryceson dan Pfaltzgraff., 1990, Rees dan Young., 1994, Amiruddin dkk.,

2003, Worobec., 2009)

0 : 0 BTA dalam 100 lapangan pandang

1+ : 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang

2+ : 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang

3+ : 1-10 BTA rata-rata dalam 1 lapangan pandang

4+ : 11-00 BTA rata-rata dalam 1 lapangan pandang

5+ : 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 lapangan pandang

6+ : >1000 BTA rata-rata dalam lapangan pandang

- Indeks Morfologi

Indeks morfologi merupakan teknik standar yang dipakai memperkirakan proporsi

kuman yang hidup (solid) diantara seluruh kuman. Indeks morfologi berguna untuk

mengetahui daya penularan kuman, menilai hasil pengobatan dan membantu

menentukan adanya resistensi terhadap obat.(Amiruddin dkk., 2003, Bryceson dan

Pfaltzgraff,1990, Rees dan Young, 1994, Worobec,2009)

Jumlah basil solid

MI = --------------------------- x 100%

Jumlah seluruh basil

Kriteria basil solid adalah basil yang (1) seluruh bagiannya menyerap warna

pengecatan, (2) sisinya paparel, (3) ujungnya melengkung dan (4) panjang

minimalnya paling kurang 5 kali lebarnya. Hasil positif palsu adalah akibat

Page 29: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

29

presipitasi zat warna, BTA saprofit, pewarnaan serat, biji-bijian, ada goresan pada

gelas obyek dan kontaminasi akibat penggunaan gelas obyek bekas. Sedangkan

hasil negattf palsu dapat dikarenakan oleh preparasi yang tidak adekuat, cara

pewarnaan yang salah dan pembacaan yang tidak adekuat. Pada kusta tipe

tuberkuloid sulit menemukan BTA sehingga Ml biasanya 0, sedangkan pada tipe

lepromatosa terdapat 25 - 75% basil solid.(Amiruddin dkk., 2003, Kumar dan

Dogra., 2009)

b. Pemeriksaan Histopatologi

Pelaksanaan pemeriksaan histopatologis dapat dengan cara biopsi eksisi skalpel

yang dalam (harus sedalam dermis dan diikutsertakan sebagian dari lemak subkutan)

dan biopsi plong dengan cara memutar. Biopsi plong dapat mengambil ukuran lesi

kurang lebih 5 mm. Perlu diperhatikan dalam pelaksanaan biopsi kusta tidak perlu

disertakan kulit normal pada bagian tepi lesi. Pelaksanaan biopsi seperti prosedur

biopsi umum, dengan terlebih dahulu menyuntikkan cairan anestesi intradermal di

daerah yang akan dilakukan biopsi. Setelah biopsi selesai, luka dijahit, bila

menggunakan alat plong 5 mm cukup dilakukan 1 jahitan, selanjutnya ditutup dengan

kasa dressing tersebut. Operator harus berhati-hati terhadap material biopsi pada saat

menggunakan forsep tajam dan tidak boleh menggunakan forsep bergerigi agar tidak

merusak material biopsi tersebut. Selanjutnya spesimen dikirim ke bagian patologi

anatomi untuk diproses lebih lanjut sampai pembacaan hasil pemeriksaan.(Jopling dan

McDougall., 1996)

C. Pemeriksaan Mycobacterium Leprae Flow Test (ML- Flow Test)

Page 30: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

30

ML- Flow test (immunochromatographic strip test) adalah uji yang paling cepat

dan mudah digunakan, untuk deteksi antibodi IgM terhadap PGL-1 M.Leprae. Seperti

tes serologi lain untuk kusta, bukanlah alat untuk diagnostik, karena mayoritas pasien

PB tidak dapat terdeteksi kadar antibodinya, tapi bisa digunakan sebagai alat untuk

klasifikasi setelah diagnosis awal dibuat berdasarkan tanda-tanda dan gejala klinis.

Penelitian yang dilakukan oleh Buhrer dkk, sensitifitas ML-Flow test untuk

mengklasifikasi pasien MB 97,4% dan spesifitas berdasarkan hasil kelompok Kontrol

90,2% . Tes ML-Flow test memberikan hasil positf pada 9,8% dari 498 serum kontrol

dan 1,3% dari 158 kontrol dari area yang non-endemik, yang mirip dengan hasil yang

didapat dengan penelitian ELISA paralel. Pengamatan ini menguatkan spesifitas tes

ML-Flow, bahkan ketika persentase hasil positif dalam kelompok kontrol yang berasal

dari area endemik relatif tinggi.(Buhrer dkk., 2003)

ML- Flow test dinilai secara visual untuk pewarnaan garis antigen, pembacaan

test ini mengakibatkan penilaian secara subjektif. Jika hasil pewarnaan samar-samar

pada ML-Flow test, harus dianggap negatif karena tujuan dari test ini untuk mendeteksi

orang dengan kandungan bakteri yang relatif tinggi. ML-Flow test dianggap sebagai alat

yang simpel, stabil dan cepat untuk dua pemakaian, yaitu (1) untuk klasifikasi yang

benar pada pasien kusta yang baru terdiagnosa dan (2) untuk mengidentifikasi kontak

pasien kusta yang beresiko tinggi menderita kusta dimasa yang akan datang.(Buhrer

dkk., 2007)

Uji ini dilakukan dengan memasukkan 5 ul sampel serum yang tidak diencerkan

atau whole blood pada lubang sampel, yang diikuti dengan menambahkan 130 ul

larutan buffer ( PBS yang mengandung 0,66 mg BSA/ml dan 3% Tween 20 ). Hasil uji

Page 31: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

31

dibaca setelah 10 menit untuk sampel berupa serum atau 5 sampai 10 menit untuk

sampel berupa whole blood. Pembacaan hasil dinyatakan positif bila kedua garis pada

bagian terbaca dengan jelas, ketebalan garis pada test line dapat kategorikan sebagai

positif 1 sampai 4 sesuai dengan standar yang telah ditentukan.(Buhrer dkk., 2009)

Kesesuaian metode ini dengan ELISA mencapai 91% (kappa=0,77) dan tidak

terdapat perbedaan yang bermakna antara penggunaan sampel whole blood dan serum

dengan kesesuaian sebesar 85% ( kappa=0,70). Metode ini memiliki reprodusibilitas

yang tinggi, baik untuk pembacaan hasil yang positif maupun yang negatif. Uji

penyimpanan membuktikan bahwa kit tes ML-Flow ini bersifat stabil, bahkan pada

penyimpanan dengan suhu 4-450C selama 1 tahun atau pada penyimpanan dengan

suhu 550C selama 2 bulan.(Buhrer., dkk., 2003) Penelitian Lyon dkk menunjukkan

hubungan kuat antara tes serologi ML-flow dengan hapusan sayatan kulit. Juga

ditunjukkan bahwa tes ML-Flow mampu mendeteksi seropositif pada setengah pasien

yang menunjukkan BI negatif, yang mana sangat penting, khusunya untuk para

profesional yang bekerja di unit-unit perawatan kesehatan primer yang akan lebih

percaya diri dalam mengelompokkan pasien-pasien kusta, dengan catatan hasil yang

mereka peroleh terkait erat dengan pengamatan lapangan.(Lyon dkk., 2008)

d. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)

Polymerase Chain Reaction adalah suatu metode enzimatis untuk

melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara

in vitro.(Yuwono., 2006) Metode ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1985 oleh

Kary B.Mullis, seorang peneliti di perusahaan Cetus Corpoation, California. Protokol

amplifikasi DNA, menggunakan fragmen Klenow dari DNA polimerase E.coli untuk

Page 32: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

32

mengkatalisa ekstensi oligonukleotida. Pada awal perkembangannya metode ini hanya

digunakan untuk melipatgandakan molekul DNA, tetapi kemudian dikembangkan lebih

lanjut sehingga dapat digunakan pula untuk melipatgandakan dan melakukan kuantitasi

molekul mRNA.(Amiruddin dkk., 2003, Hardyanto dkk., 2003)

Prinsip dasar PCR mempunyai empat komponen utama pada proses PCR

adalah (1) DNA cetakan, yaitu fragmen DNA yang akan dilipat gandakan, (2)

oligonukleotida primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (15-25 basa

nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, (3)

deoksirinukleotidatrifosfat (dNTP), terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP, dan (4) enzim

DNA polimerase, yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA.

Komponen lain yang juga penting adalah senyawa buffer.(Hehanusa., 2009 Yuwono.,

2006).

Dilapangan, Material bakteriologis diambil dari usapan mukosa hidung dan

usapan irisan kulit, sedangkan di pusat-pusat lepra dibutuhkan identifikasi M.Leprae

dari biopsi kulit dan biopsi saraf tepi. Sebelum perbanyakan DNA dengan PCR, DNA

harus di ekstraksi dari bakteri, sedangkan sebelum ekstraksi, material bakteriologis

harus dibuat menjadi suspensi terlebih dahulu. Material dari usapan mukosa hidung dan

usapan irisan kulit dapat langsung dibuat menjadi suspensi dengan menambahkan dan

mensentrifusikan dalam larutan Hank, sedangkan biopsi kulit yang segar harus

dibekukan lebih dahulu, digerus baru kemudian dibuat suspensi.(William dan Gillis.,

1991, Widodo., 1991).

Sensitifitas dan spesifisitas PCR tergantung pada primer yang digunakan,

dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi, PCR mampu mendeteksi M.Leprae

Page 33: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

33

secara akurat dan dalam waktu yang cepat, juga PCR pada penyakit kusta dapat

digunakan untuk menentukan penderita pausibasiler, orang sehat (carrier) dan sumber

penularan lain seperti alat rumah tangga, lantai, pakaian yang sejauh ini masih belum

jelas peranannya dalam penularan penyakit kusta, meskipun diketahui bahwa M.Leprae

dapat tetap hidup 3 hari setelah keluar dari tubuh penderita.(Widodo., 1991, (Williams

dkk., 1994) Dengan PCR juga dapat diketahui viabilitas dari kuman kusta, namun

kelemahan utama dari teknik PCR adalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan serta

harus dilakukan di laboratorium yang besar.(Agusni., 2001, Hartskeerl, dkk., 1989)

DNA Sequensing

Sejak ditemukannya tehnik PCR, maka M.Leprae lebih mudah dideteksi dan

sekaligus dianalisa lewat metode sequencing DNA. Prinsip kerja DNA sequencing ini

dapat dilakukan dengan tujuan untuk deteksi adanya resistensi M.leprae terhadap obat

MDT melalui evaluasi terhadap mutasi gen yang ditunjukkan.(Honore dan Cole., 1993)

Dengan cara ini deretan asam amino pembentuk gen rpoB yang menyandi β subunit

dari DNA-dependent RNA polymerase dapat diteliti. Adanya perubahan deretan protein

pembentuk gen rpoB ini berkaitan erat dengan terjadinya resistensi M.Leprae terhadap

rifampisin. Maka tehnik PCR dan sequencing DNA sekarang banyak dipakai karena

lebih menghemat waktu dibandingkan dengan uji pada telapak kaki tikus secara

Shepard. Disamping itu tehnik biomolekular ini bisa langsung menganalisa bila terjadi

mutasi. Rangkaian informasi ini mampu menjelaskan basis molekuler resistensi

rifampisin.(Williams dan Gillis., 2005, Werdaningsih dan Agusni., 2003)

Page 34: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

34

Dari isolat yang produk amplifikasinya menunjukkan hasil positif adanya DNA

M. leprae, selanjutnya dilakukan uji PCR kedua dengan menggunakan primer rpoB

(dengan susunan nukleotida rpoB FO 5' CAG GAC GTC GAG GCG ATC AC'S dan

rpoB RO 5' CAG CGG TCA AGT ATT CGA TC'3) sebagai penyandi gen target kerja

rifampisin, yang akan mengamplifikasi 374 basepairs dari gen rpoB (penyandi subunit

DNA-dependent RNA polymerase). Rangkaian reaksi dilakukan dengan The Big Dye

Terminator Cycle Sequencing FS Ready Reaction kit (Perkin Elmer Applied Biosystem,

Norwalk). Tahapan pertama adalah ekstraksi DNA diikuti dengan amplifikasi area

penentu resistensi obat pada gen rpoB. Ampilifikasi area target akan ditegaskan

dengan elektroforesis agarosa. Produk-produk PCR dimurnikan dan diikuti dengan

reaksi sequencing.(WHO, 2009) Produk ampliflkasi gen rpoB ini setelah dimurnikan

akan diperiksa lewat proses DNA sequencing untuk mendapatkan mutan nukleotida

dari gen rpoB tersebut. Pada urutan nukleotida yang didapat kemudian dilakukan

analisis apakah urutan nukleotidanya sesuai dengan kontrol pembanding yang telah

diketahui normalnya (data dianalisa dengan membandingkan rangkaian DNA dengan

data dasar dari the GenBank). Proses analisis dapat dipercepat dengan menggunakan

program computer BLAST. Urutan nukleotida gen rpoB dari sampel kemudian

dibandingkan dengan urutan gen rpoB dari M. leprae yang sensitif terhadap rifampisin

atau gen rpoB yang dideposit di GenBank (NCBI). Perubahan urutan nukleotida pada

gen rpoB penyandi protein, akan menghasilkan produk enzim yang berbeda sehingga

tidak dapat lagi menjadi target kerja rifampisin. Hal inilah yang menjadikan kuman

tersebut resisten terhadap regimen MDT.(WHO., 2009., Honore dkk., 2001, Williams

dkk., 1994) Sequencing DNA langsung untuk resistensi obat adalah metode yang paling

Page 35: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

35

definitif dari semua protokol pendeteksian mutasi berbasis asam nukleat karena bisa

mendeteksi perubahan nukleotida sebenarnya dalam gen target dimana mutasi-mutasi

yang terkait dengan resistensi antibiotik ditemukan.( (Matsuoaka., 2010., Williams dan

Gillis., 2004)

9. Pengobatan MDT

Tujuan utama dari program pemberantasan kusta adalah memutus rantai

penularan untuk menurunkan insidensi penyakit, mengobati dan menyembuhkan, dan

mencegah timbulnya cacat. Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika

Kelompok Studi Kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi

pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai rejimen

MDT-WHO. Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat dapson, rifampisin, dan

klofazimin. Selain untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat,

penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan penderita dan

menurunkan angka putus-obat (drop-out rate) yang cukup tinggi pada masa monoterapi

dapson. Di samping itu diharapkan juga MDT dapat mengeliminasi persistensi kuman

kusta dalam jaringan.(WHO., 1982)

Obat dalam rejimen MDT-WHO (WHO, 1982).

9.a. Dapson (DOS 4,4 diamino- difenil- sulfon).

Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat

sintetase. Resistensi terhadap dapson timbul akibat kandungan enzim sintetase yang

terlalu tinggi pada kuman kusta. Dapson biasanya diberikan sebagai dosis tunggal,

yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa, atau 2 mg/kg berat badan untuk anak-anak.

Indeks morfologi kuman penderita LL yang diobati dengan dapson biasanya menjadi

Page 36: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

36

nol setelah 5 sampai 6 bulan. Obat ini sangat murah, efektif, dan relatif aman. Efek

samping yang mungkin timbul antara lain: erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia,

insomnia, neuropatia, nekroltsis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia.

Namun efek samping tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim.(Bryceson dan

Pfaltzgraff., 1990, Jacobson.,1994, Amiruddin dkk., 2003)

Konsentrasi puncak dapson dalam plasma dicapai dalam 2-8 jam setelah

pemberian dan eliminasi waktu paruh sekitar 20-30 jam. Dua puluh empat jam setelah

diminum secara oral, 100 mg dapson maka konsentrasi dalam plasma bervariasi dari

0,4-2 ug/ml. sekitar 70% dapson berkaitan dalam protein plasma. Dapson

didistribusikan melalui keseluruhan cairan tubuh dan berada diseluruh jaringan,

mempunyai kecendrungan bertahan di kulit dan otot juga di dalam hati dan ginjal,

bertahan sampai 3 minggu setelah obat dihentikan.(Chambers., 2001)

9.b. Rifampisin

Rifampisin ditemukan pada tahun 1965, mempunyai berat molekul yang besar

(BM:823) merupakan kompleks semisintetik turunan dari rifampisin. Rifampisin adalah

suatu antibiotik yang dihasilkan oleh Streptomyces mediterrania. Rifampisin merupakan

obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta, dan bersifat bakterisidal kuat pada dosis

lazim. Kunci bakterisidalnya adalah gugus rifampisin 3-{[(4-metil-1-piperazinil)-imino]-

metil}. Dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kg berat badan) mampu membunuh

kuman kira-kira 99,9% dalam waktu beberapa hari. Pemberian seminggu sekali

dengan dosis tinggi (900-1200 mg) dapat menimbulkan gejala yang disebut flu like

syndrome. Pemberian 600 mg atau 1200 mg sebulan sekali ditoleransi dengan baik.

efek samping yang harus diperhatikan adalah: hepatotoksik, nefrotoksik, gejala

Page 37: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

37

gastrointestinal, dan erupsi kuiit. Dapat meningkatkan kadar serum fungsi hati (ALT

atau SGPT dan AST atau SGOT) sampai 2-3 kali diatas normal, namun hal ini hanya

bersifat sementara, akan kembali normal bila obat dihentikan.(Bryceson dan

Pfaltzgraff., 1990, Jacobson., 1994, Amiruddin dkk., 2003)

Konsentrasi minimal penghambatannya kurang dari 1 ug/ml. Rifampisin

merupakan kelompok antibiotik makrosiklik yang diproduksi oleh streptomyces

mediterranei. Rifampisin tidak hanya menghambat pertumbuhan bakteri gram positif

tetapi juga gram negatif.(Chambers., 2001) Setelah pemberian peroral, rifampisin

menghasilkan kadar puncak dalam plasma 2-4 jam, setelah konsumsi 600 mg dengan

kadar sekitar 7 µg/ml, namun dapat bervariasi, dengan waktu paruh biologik sekitar 3

jam (1,5-5 jam). Waktu paruh rifampisin akan menurun cepat sekitar 40% selama 14

hari pertama pemberian. Sesudah absorpsi dari saluran cerna, rifampisin dengan cepat

dieliminasi dalam kandung empedu dan terjadi sirkulasi enterohepatik, dimana

reabsorpsi akan terganggu oleh deasitilasi obat di hati. Ekskresi sebagian besar (2/3)

melalui saluran cerna. Sifat rifampisin yang larut dalam lemak membuatnya dapat

membunuh bakteri intraselular dan ekstraselular. Rifampisin didistribusi ke seluruh

tubuh dan berada dalam beberapa organ dan cairan tubuh, sehingga memberi warna

merah oranye pada urin, feses, saliva, sputum, air mata dan keringat.(Jacobson., 1994,

Chambers., 2001)

Resistensi Rifampisin pada Mycobacterium Leprae

Rifampisin adalah obat utama dalam terapi MDT yang direkomendasikan WHO

untuk terapi lepra. Munculnya strain resisten rifampisin dari patogenitas mikobakteri

telah mengancam kegunaan obat tersebut dalam pengobatan penyakit infeksi

Page 38: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

38

mikobakteri. Paling penting dari pengobatan penderita yang terinfeksi oleh strain

resisten adalah identifikasi strain tersebut secara langsung dari spesimen klinis.

Sebelum ditemukannya MDT, rifampisin telah digunakan sebagai monoterapi atau

dikombinasikan dengan dapson.(Norman dkk., 2003, Honore dan Cole., 1993.,

Matsuoka., 2010) Rifampisin menargetkan subunit (β) dari RNA polymerase, yang

dikodekan oleh rpoB. Pengikatan rifampisin ke subunit β menghambat transkripsi

mRNA dependen RNA. Sebuah korelasi antara resistensi rifampisin dan mutasi pada

daerah yang sangat terkonservasi dalam gen rpoB.(Cambau., 2002, Sapkota dkk.,

2008)

Resistensi obat pada kuman mikrobakterium termasuk M. leprae disebabkan

oleh mekanisme genetik yang diduga berasal dari aberasi mutasi kromosom. Mutasi

yang terjadi pada fenotip yang resisten terhadap rifampisin terdapat pada gen yang

mengkode β-subunit DNA dependent RNA polymerase (gen rpoB), sehingga

mengakibatkan ikatan dengan obat menjadi tidak efektif. Enzim tersebut adalah suatu

kompleks oligomer yang terdiri dari empat subunit yang berbeda (α, β, β1 dengan σ

yang dikode masing-masing oleh rpoA, rpoB, rpoC dan rpoD, yang dapat terjadi baik

sebagai suatu core enzim (α2ββ1) atau sebagai holoenzim (α,β,β1 dengan α).

Rifampisin akan berikatan dengan subunit α dari RNA polymerase dan akan

menyebabkan hambatan pada proses transkripsi.(Maeda, S., dkk., 2001, Rice dkk.,

2003, Williams dan Gillis., 2004)

Untuk gen rpoB biasanya mutasi terjadi pada 5 daerah kodon yang paling

sering dan merupakan tempat yang paling harus dicurigai dan dicari sesuai guidelines

WHO tentang global surveillance of Drug Risistance in leprosy, yaitu pada posisi 407,

Page 39: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

39

410, 416, 420, 425 dan 427 dengan akibat perubahan asam amino pembentuk enzim

DNA-dependent RNA polymerase subunit p.(WHO., 2009, Matsuoka dkk., 2007,

Sapkopta dkk., 2008) Resistensi mikobakteri terhadap rifampisin berkorelasi dengan

perubahan struktur subunit-β dari RNA polymerase dependen-DNA utamanya karena

mutasi-mutasi missens dalam kodon daerah terkonversi tinggi gen rpoB, yang disebut

sebagai area penentu resisten rifampisin (RRDR). Resistensi rifampisin pada M.Leprae

juga berkerolasi dengan mutasi missens dalam RRDR rpoB. Substitusi dalam kodon

Ser425 telah terbukti sebagai mutasi paling sering yang terkait dengan terjadinya

fenotip resisten rifampisin pada M.Leprae.(Williams & Gillis., 2004, Matsuoka dkk.,

2010)

Penelitian kasus lepra resisten rifampisin yang dilaporkan Grosset dkk (1989)

dan suatu penelitian, jumlah resistensi rifampisin sekunder pada lepra 56% (22 dari 39

penderita) dan 40% (12 dari 30) pada penelitian ini, dimana jumlah tersebut lebih tinggi

dibanding yang ditemukan untuk tuberkulosis (20%), tetapi jumlah total kasus lepra

yang diteliti masih rendah.(Cambau dkk., 2002) Resistensi obat terbagi atas resistensi

primer dan resistensi sekunder, dimana pada yang primer terjadi oleh karena basil

kusta resisten dengan sendirinya terhadap obat MDT sedangkan resistensi sekunder

terjadi karena adanya mutasi basil dalam kehidupannya dan ini banyak dikaitkan

dengan ketidakaturan berobat misalnya resistensi rifampisin dan atau monoterapi

seperti yang umum terjadi pada resistensi DDS.(Williams & Gillis., 2004)

Resistensi obat perlu dicurigai pada penderita kusta tipe MB yang mengalami

relaps saat sedang dalam pengobatan, setelah menyelesaikan pengobatan atau pada

penderita dengan respon klinis tidak sesuai dengan yang diharapkan, juga pada

Page 40: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

40

penderita baru yang mempunyai riwayat kontak erat dengan kasus resistensi sekunder.

Kegagalan respon terhadap dosis penuh yang diberikan pada jangka waktu tertentu

juga perlu dicurigai adanya resistensi obat.(Baohong., 1985., Maeda, dkk., 2001)

Resistensi sekunder pada penderita kusta tipe MB tampak adanya lesi aktif yang baru.

Pada kulit, lesi dapat memiliki karateristik yang berbeda dari infeksi awal.(Brysceson

dan Pfaltzgraff., 1990)

Kuman M.Leprae yang terus menerus bertahan, dimana bakteri dalam keadaan

istrahat/dormant (inaktivasi metabolik) biasanya tidak dipengaruhi oleh antimikroba.

Kuman persisten atau persisters merupakan organisme yang dormant atau tertidur baik

secara partial maupun permanen dan mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup

didalam host yang sementara menerima kemoterapi adekuat.(Burdick, dkk., 2006)

9.c. Klofazimin (Lamprene).

Obat ini merupakan turunan zat wama iminofenazin dan mempunyai efek

bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanya diduga melalui gangguan etabolism

radikal. Di samping ini obat ini juga mempunyai efek antiinflamasi sehingga berguna

untuk pengobatan reaksi kusta, khususnya eritema nodosum leprosum. Dosis untuk

kusta adalah 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kg

berat badan/hari. Selain itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk

mengurangi reaksi tipe 1 dan tipe 2. Kekurangan obat ini adalah harganya mahal, di

samping itu menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah pada

ketaatan berobat penderita berkulit putih.(Jacobson., 1994, Chambers., 2001, Zubaidi.,

2005). Efek sampingnya hanya terjadi pada dosis tinggi, berupa gangguan

Page 41: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

41

gastrointestinal (nyeri abdomen, diare, anoreksia, dan vomitus).(Bryceson and

Pfaltzgraff., 1990, Jacoson., 1994., Amiruddin dkk., 2003)

Regimen Pengobatan MDT menurut umur (Depkes, 2007)

Tipe PB

Jenis Obat < 5 tahun 5-9 tahun 10-14 tahun Lebih 15

tahun

Keterangan

Rifampisin Berdasarkan

berat badan

300 mg/bln 450 mg/bln 600 mg/bln Minum di

depan

petugasDDS 25 mg/bln 50 mg/bln 100mg/bln Minum di

depan

petugas25 mg/bln 50 mg/bln 100 mg/bln Minum di

rumah

Tipe MB

Jenis Obat < 5 tahun 5-9 tahun 10-14 tahun Lebih 15

tahun

Keterangan

Rifampisin Berdasarkan

berat badan

300 mg/bln 450 mg/bln 600

mg/bln

Minum di

depan

petugasDDS 25 mg/bln 50 mg/bln 100

mg/bln

Minum di

depan

petugas25 mg/bln 50 mg/bln 100

mg/bln

Minum di

rumahklofazimin 100 mg/bln 150 mg/b!n 300

mg/bln

Minum di

depan

petugas

50 mg 2

kali

seminggu

50

mg setiap 2

hari

50 mg/hari Minum di

rumah

Page 42: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

42

B. Kerangka teori

C. Kerangka Konsep

Penderita kusta MB dengan terapi MDT -WHO

Pengobatan berhasil lesi kulit aktif (-), Indeks bakteriologis ↓, titer antibodi anti PGL-1 ↓

M.Leprae resisten rifampisin

gen β-subunit DNA dependent RNA polymerase (rpoB)

Metode sequencing DNA

Mutasi & aberasi kromosom (gen rpo-B)

Hambatan transkripsi

Pengobatan tidak berhasil: lesi kulit aktif (+), Indeks BI & MI ↑, antibodi IgM anti PGL-1↑

Page 43: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

43

Keterangan:

Variable antara variabel tergantung

Variable bebas

BAB Ill

METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dengan rancangan studi cross-

sectional untuk mengetahui resistensi gen rpoB terhadap rifampisin dan

hubungannya dengan titer antibodi pada penderita kusta MB.

B.Tempat dan Waktu

Bakteriologis Indeks (BI)Morfologis Indeks (MI)

Antibodi IgM anti PGL-1

Resistensi rifampisin

Mutasi gen rpoB

Lesi kulit

Keteraturan berobat

Page 44: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

44

Penelitian dilakukan di RS Tajuddin Chalid Daya dan penampungan

penderita kusta Jongayya di Makassar sebagai tempat pengambilan sampel.

Bagian Mikrobiologi universitas Hasanuddin sebagai tempat pemeriksaan ML-

Flow test serta PCR-DNA sequensing. Penelitian dilaksanakan mulai bulan april

sampai juni 2012.

C. Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah penderita kusta MB post terapi MDT- MB

WHO sesuai klasifikasi berdasarkan kriteria WHO yang datang berobat ke

poliklinik Kulit dan Kelamin RS Tajuddin Chalid Daya dan penampungan

penderita kusta Jongayya di Makassar.

D.Sampel Penelitian

D.1. Pemilihan Sampel

Sampel penelitian adalah seluruh populasi terjangkau yang memenuhi

kriteria inklusi. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling.

D.2. Perkiraan Besar Sampel

Penentuan besar sampel pada penelitian diperkirakan keseluruhan

sampel sekitar 35 kasus dengan tingkat kepercayaan yang dikehendaki sebesar

95%. Perkiraan proporsi kejadian resistensi rifampisin belum diketahui selama

pengobatan (p=0,5), jumlah kasus penderita kusta MB adalah 29 orang setiap

bulan, tingkat ketepatan relatif yang diinginkan (d) adalah 0,05 dengan tingkat

Page 45: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

45

kemaknaan (z) 1,96 dan Q=(1-P), maka perkiraan besar sampel pada penelitian

ini adalah:

N.Z2.p.qn =

d2 (N – 1) + Z2.p.q

33.1,962.0.5.0,5 = 0,052 ( 33 – 1) + 1,962.0,5.0,5

n = 35.02 dibulatkan menjadi 35.

E. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

E.1. Kriteria Inklusi Subyek Penelitian

a. Penderita kusta tipe MB, laki-laki dan perempuan usia lebih dari 15 tahun.

b. Post terapi MDT- MB WHO

c. Pada saat diperiksa masih menunjukkan gejala klinik kusta yang aktif

d. Bersedia ikut serta dalam penelitian ini sampai selesai dengan menanda tangani

formulir informed consent.

E.2. Kriteria Eksklusi Subyek Penelitian

a. Penderita adalah perempuan hamil/ menyusui.

b. Penderita kusta MB yang telah mendapatkan pengobatan bukan

MDT-WHO MB.

c. Sedang menderita penyakit kronis lainnya.

F. Izin Penelitian dan Kelaikan Etik

(Ethical Clearance)

Page 46: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

46

Pemberian informasi dan permintaan ijin (informed consent) dari penderita

atau keluarganya untuk dimasukkan dalam penelitian ini, serta persetujuan

kelaikan etik penelitian dari Komisi Etik Penelitian Biomedis pada manusia,

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dilakukan dalam penelitian ini.

G. Cara Penelitian

G.1. Alokasi Subyek

Penelitian dilakukan pada penderita kusta post terapi MDT- MB WHO yang

memenuhi kriteria penelitian.

G.2. Prosedur Penelitian

G.2.a. Pemeriksaan Indeks Bakteriologi dan Indeks Morfologi

Alat dan Bahan:

Kapas, Larutan alkohol 70%, sarung tangan dan masker, pipet dan jam skalpel

tajam atau pisau bedah kecil berujung runcing dengan ukuran tangkai pisau

no.3 dan pisau no. 15, lampu spiritus (Bunsen),korek api, kaca obyek dan gelas

penutup, pensil kaca/Penanda kaca obyek/label,

Penyangga/rak kaca obyek, mikroskop cahaya, minyak emersi, zat pewarna :

larutan karbol fuchsin 0,3%, larutan asam dkohol 3% dan larutan methylen blue

1%, wadah dengan air mengalir

Cara Kerja:

G.2.a.1. Cara Kerja Apus Sayatan Kulit

- Cuci tangan dan kenakan sarung tangan dan masker

- Ambil kaca obyek baru, bersih dan tidak tergores. Beri tanda atau nomor pada

Page 47: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

47

bagian bawah kaca obyek dengan pensil kaca atau label kaca obyek sesual

nomor identitas penderita.

- Apus sayatan kulit diambil dari 4 tempat yaitu 2 dari daerah cuping telinga kanan

dan kiri, 2 dari lesi kulit yang aktif dari tempat yang berbeda.

- Bersihkan lokasi kulit tempat pengambilan apus sayatan kulit dengan kapas

alkohol, biarkan mengering.

- Nyalakan api pada lampu spiritus.

- Pasanglah skalpel/pisau pada gagang/tangkai skalpel/pisau.

- Jepit/pencet dengan erat kulit yang akan dilakukan apus sayatan menggunakan

ibu jari dan telunjuk, sampai tampak pucat dan tanpa darah.

- Buatlah insisi (irisan) kecil pada kulit dengan panjang sekitar 5 mm dan

kedalaman kurang lebih 2 mm dari atas ke bawah, sambil tangan yang satu tetap

menjepit kulit agar tidak ada darah yang keluar. Jika berdarah bersihkan dengan

kapas alkohol.

- Kemudian pisau diputar 90° dan pertahankan pada sudut yang tepat pada irisan.

Keroklah irisan tersebut sekali atau dua kali menggunakan skalpel dengan

serutan ke arah atas sehingga terkumpul cairan dan bubur jaringan. Tidak boleh

ada darah pada spesimen tersebut karena dapat mengganggu pewarnaan dan

pembacaan.

- Lepaslah jepitan pada kulit dan hapus/bersihkan darah dengan kapas alkohol.

- Bubur jaringan yang terambil diletakkan di atas kaca obyek dan dibuat apusan

berbentuk lingkaran dengan diameter 8 mm.

- Hapus kotoran bekas kerokan pertama pada mata skalpel menggunakan kapas

Page 48: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

48

alkohol. Lewatkan mata pisau/skalpel di atas api Bunsen selama 3-4 detik.

Biarkan dingin tanpa menyentuh sesuatu.

- Ulangi langkah di atas untuk lokasi apus sayatan kulit di tempat lain.

- Bubur jaringan yang sudah diletakkan di atas kaca obyek dibiarkan mengering

beberapa saat dengan temperatur ruangan, dan difiksasi dengan melewatkannya

di atas lampu Bunsen sebanyak 3 kali, namun gelas obyek tersebut tidak boleh

tertalu panas saat disentuh.

G.2.a.2. Cara Kerja Pewarnaan dengan Metode Ziehl-Nielsen

- Gelas obyek yang telah berisi bubur jaringan dan telah difiksasi dilakukan

pewarnaan ZN untuk melihat basil tahan asam M.leprae.

- Tutupi seluruh permukaan kaca obyek dengan larutan karbol fuchsin 0,3% dan

biarkan selama 20 menit atau dipanaskan sampai keluar uap tanpa mendidih

selama 5 menit.

- Setelah itu cuci dengan hati-hati di bawah air yang mengalir, keringkan dan tetesi

lagi dengan asam alkohol 3% sampai semua permukaan tertutup untuk

membuang warna pada kaca obyek selama 3-5 detik.

- Cuci kembali perlahan dengan air. Tetesi larutan methylen blue 1% selama 2

menit. Setelah itu cuci kembali dengan air mengalir dan biarkan sampai kering di

rak pengeringan dengan posisi miring dan sisi apusan menghadap ke bawah.

- Apusan siap dibaca.

G.2.a.3. Cara Pembacaan BTA

- Letakkan kaca obyek di bawah mikroskop dengan apusan menghadap ke atas.

- Fokuskan gambar menggunakan obyektif 10 kali.

Page 49: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

49

- Tetesi apusan dengan minyak emersi.

- Ubah obyektif menjadi perbesaran 100 kali dan akan membuat lensa obyektif

menyentuh minyak emersi.

- Buka diafragma seluruhnya dan naikkan kondensor ke posisi tertinggi.

- Fokuskan dengan tepat menggunakan mikrometer.

- Carilah keberadaan BTA yang tampak sebagai batang merah dengan latar

belakang biru, bentuknya dapat lurus atau melengkung, warna merah

merata/homogen (solid), tidak rata (fragmentasi dan granuler). Kelompok basil

disebut sebagai globi. Basil yang solid menandakan adanya mikroorganisme

yang hidup dan dapat dengan mudah terlihat pada kasus baru yang belum

diterapi atau kasus relaps.

- Setelah melakukan pemeriksaan lapangan pandang pertama, pindahkan

lapangan pandang berikutnya. Periksalah sekitar 100 lapangan pandang tiap

apusan.

- Jika BTA terlihat, jumlahkan dengan skala berikut, sesuai Bl. Jumlahkan Bl untuk

tiap apusan secara terpisah. Setelah dijumlahkan kemudian dibagi 4

berdasarkan 4 tempat pengambilan apus sayatan kulit, maka diperoleh nilai

indeks bakteri (Bl) dari subyek tersebut (logaritma Ridley).

- Selanjutnya dilakukan perhitungan dengan jumlah basil/BTA yang masih solid

pada seluruh lapangan pandang di bawah mikroskop. Hal ini sangat berguna

untuk melihat seberapa besar kuman yang masih hidup sehingga diketahui

seberapa besar kemampuan dan kemungkinan untuk menginfeksi orang lain,

karena sifatnya yang infeksius.

Page 50: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

50

- Indeks morfologi dihitung berdasarkan jumlah BTA yang masih solid dibagi

jumlah seluruh BTA yang ditemukan pada seluruh lapangan pandang di bawah

mikroskop dikalikan dengan 100%.

G.2.b. Pengambilan Sediaan Biopsi Kulit

Alat dan bahan:

Lampu dengan pencahayaan yang baik, alat Punch biopsi ukuran 4 mm dan

bedah Minor set, sarung tangan dan masker, duk steril, spuit/jarum suntik 3 cc,

anestesi lokal lidokain 1-2%, kasa steril, cairan antiseptik: alkohol dan povidon

iodin, gunting jaringan dan gunting benang, penanda/marker pada kulit yang

akan, dieksisi (Sterile marking pen), benang Non-absorbable dan absorbable,

pinset sirurgis dan anatomis, label identitas subyek yang ditempel pada botol

kecil tempat spesimen, larutan fiksasi: Buffer formalin 10% dalam botol kesil

tempat biopsi spesimen, cairan NaCl 0,9%, alkohol 96%

Cara kerja:

- Cuci tangan dan keringkan, pasang masker dan sarung tangan steril.

- Tandai daerah lesi kulit yang aktif dengan marker

- Bersihkan daerah lesi dan kulit sekitar dengan larutan antiseptik yang dibasahi

pada kasa steril.

- Tutup dengan duk steril

- Anestesi infiltrasi pada daerah lesi dengan lidokain 2%, kemudian tunggu 3-5

menit, bila penderita sudah merasa tebal serta tidak merasa sakit bila ditusuk

dengan jarum, maka dilakukan sayatan kecil.

- Lakukan biopsi dengan alat Punch biopsi ukuran 4 mm ada lesi kulit yang masih

Page 51: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

51

aktif.

- Jaringan hasil biopsi dimasukkan ke dalam tabung plastik mikrosentrifugasi 1,5

ml yang berisi RNA later yang ditutup rapat yang telah diberi label identitas

penderita dan tanggal pengambilan. Disimpan di suhu 4°C, setelah sampel

terkumpul kemudian dikirim ke laboratorium Mikrobiologi fakultas kedokteran

Hasanuddin Makasar.

- Atasi perdarahan dari bekas eksisi dengan penekanan.

- Tutup luka biopsi dengan jahitan menggunakan benang non-absorbable.

- Tutup dengan kasa steril dan perban. Duk dibuka.

- Anjurkan kepada penderita untuk kontrol kembali 3 hari kemudian dan iuka

jahitan jangan terkena air.

G.2.c. Pemeriksaan Serologi dengan ML-Flow Test

Alat dan bahan:

Sarung tangan dan masker, torniquet, disposible syringe 3 cc, plester, tabung

serum, rak, pipet, alkohol 70%, becker glass, pipet mikro, tip

Cara Kerja:

1. Keluarkan perangkat tes dari kantong aluminium, dan simpan pada permukaan

datar dan kering.

2. Tambahkan 40 uL serum pasien ke dalam lubang sampel perangkat tes.

3. Langsung tambahkan 60 uL (atau 2 tetes) larutan pengencer tes ke dalam

lubang sampel perangkat tes.

4. Pada saat tes mulai bekerja, akan terlihat warna ungu berpindah ke jendela hasil

dalam pusat perangkat tes.

Page 52: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

52

5. Interpretasi hasil tes setelah 10 menit.

Interpretasi hasil tes

1. Sebuah berkas warna akan muncul pada bagian kiri jendela hasil untuk

menunjukkan bahwa tes ini bekerja dengan baik. Berkas ini adalah Berkas

Kontrol.

2. Berkas warna akan muncul pada bagian kanan jika jendela hasil menunjukkan

hasil tes. Jika berkas warna lain muncul pada bagian kanan jendela hasil, maka

berkas ini adalah Berkas Tes.

I. Hasil positif: Hasil positif apabila terdapat dua berkas warna (berkas “T” dan

berkas “C”) dalam jendela hasil tanpa tergantung berkas mana yang muncul

pertama kali. Hasil positif diberi skor sebagai 1+, 2+, 3+ dan 4+ menurut

intensitas warna.

II. Hasil negatif: Hasil negatif apabila terdapat hanya satu berkas warna ungu

(berkas “C”) dalam Jendela Hasil.

III. Hasil tidak valid: Setelah melakukan tes dan tidak berkas warna ungu terlihat

dalam Jendela Hasil, maka hasilnya dianggap tidak valid. Petunjuk-petunjuk

tes mungkin tidak diikuti dengan benar atau tes kemungkinan buruk.

Dianjurkan agar spesimen dites ulang.

G.2.d. Pemeriksaan gen rpoB

Alat, bahan dan cara kerja:

d.1. Protokol ekstraksi DNA

Page 53: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

53

1. Sentrifus selama 20 menit pada kecepatan maksimum

2. Keluarkan supernatan

3. Suspensi ulang butiran yang diperoleh dalam 500 uL PBS

(120mM NaCl;2,0mM KcL;100mM; Na2HPO4;6mM KH2PO4,pH7,310mM

4. Di biarkan selama lebih 30 menit pada kecepatan maksimum (>5.000xg)

5. Di suspensi dalam 50 uL atau 100 uL larutan buffer lysis (proteinase K 1mg/mL

0,05% tween pada 20 pada 0,1M Tris-HCL,pH 8,5

6. Dilapisi dengan minyak mineral untuk mencegah penguapan

7. Inkubasi semalaman pada suhu 600C

8. Panaskan 10 menit pada suhu 970C

9. Transfer suspensi ke tabung pengikat DNA

d. 2. Protokol PCR

1. Denaturasi selama 2 menit pada suhu 950C

2. Dibuat 40 siklus pada kondisi:

- denaturasi selama 15 detik pada suhu 950C

- dilakukan pendinginan selama 15 detik pada suhu 580C

- ekstensi selama 60 detik pada suhu 720C

3. Ekstensi terahir selama 72 menit pada suhu 720C

d.3. Protokol sequencing DNA

1. Produk-produk PCR dimurnikan dengan menggunakan alat pemurnian QIA quick

PCR

2. Diperhitungkan konsentrasi DNA yang tersedia untuk sekuensing

3. Untuk setiap sekuensing ditambahkan reagen-reagen berikut:

Page 54: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

54

- 8,0 µL larutan Big Dye 1.1 Terminator Ready Reaction mix 1X

- Hingga 11 µL 3-5ng DNA dalam dH2O

- Sesuaikan volume menjadi total 20,0 µL

- Skema-skema lain dengan menggunakan Big Dye Terminator

H. Alur Penelitian

Penderita kusta MB post terapiMDT- WHO

Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Kriteria inklusi dan eksklusi

Page 55: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

55

Pemeriksaan bakteriologi, biopsi, ML – Flow Test

Uji resistensi PCR DNA sequencing

Analisa data

I. Identifikasi Variabel

a. Variabel bebas: Indeks BI dan MI, antibodi IgM anti PGL-1, lesi kulit

b. Variabel tergantung: mutasi gen rpoB

c. Variabel antara: resistensi rifampisin

J. Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif

J.1. Definisi Operasional

1. Penderita kusta MB adalah penderita kusta yang berdasarkan klasifikasi

WHO terdiri atas tipe borderline (BB), borderline lepromatosa (BL),

lepromatosa (LL), dengan semua kasus tipe apapun dijumpai hasil

pemeriksaan BTA positif.

2. Pengobatan MDT WHO adalah pengobatan pada penderita kusta MB yang

sesuai dengan rejimen pengobatan dari WHO yang terdiri rifampisin 600

Page 56: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

56

mg/bulan, dapson/DDS 100 mg/hari dan klofazimin 300 mg/bulan dilanjutkan

50 mg/hari selama 12 bulan.

3. Resistensi terhadap rifampisin adalah suatu keadaan bila terjadi

pertumbuhan bakteri yang tidak dapat dihambat oleh rifampisin pada kadar

maksimal yang dapat ditolerir host.

4. Gen rpoB adalah gen yang bertanggung jawab terhadap resistensi kuman

pada rifampisin.

5. Pemeriksaan apus sayatan kulit adalah pemeriksaan bakteriologis yang

diperoleh dari irisan dan kerokan kecil pada kelainan kulit yang paling aktif

untuk mendapatkan bubur jaringan dan selanjutnya diberikan pewarnaan

tahan asam untuk melihat M.Leprae (berdasarkan BI dan MI).

6. Pemeriksaan imunologis adalah pemeriksaan serologis dengan ML-Flow Test

untuk deteksi antibodi IgM terhadap PGL-1 pada penderita kusta dengan

interpretasi Hasil positif:

7. Pemeriksaan DNA sequencing adalah pemeriksaan untuk mendapatkan

urutan nukleotida dari gen tertentu yang digunakan untuk pemeriksaan

resisten kuman terhadap MDT berupa mencari mutasi pada urutan nukleotida

dari gen penyandi protein yang menjadi target kerja dari obat, dengan

membandingkan urutan nukleotida yang normal dari GENBANK .

J.2. Kriteria Objektif

Adapun kriteria objektif yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Penilaian klinis: lesi aktif yang memiliki karateristik berbeda dari infeksi awal.

2. Multi drug therapy MB WHO adalah kombinasi obat Rifampisin 600 mg/bulan,

Page 57: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

57

DDS (dapson) 100 mg/hari & Lampren (Clofazimin) 300 mg/bulan serta 50

mg/hari selama 12 bulan berturut-turut.

3. Indeks bakteriologis (BI) adalah indeks yang menunjukkan kepadatan kuman

M.Leprae tanpa membedakan solid (kuman hidup) dan non solid (kuman yang

mati) pada sebuah sediaan dalam tiap satuan lapangan tertentu. Morfologis

indeks (MI) adalah proporsi/presentasi kuman yang hidup (solid/utuh) diantara

seluruh kuman yang ditemukan/diperiksa.

4. Pemeriksaan imunologis dengan ML-Flow hasil dinilai secara semi-kuantitatif,

positif jika kedua garis pada bagian nitroselulosa tampak garis merah yang jelas,

ketebalan garis dapat dikategorikan sebagai 1+ sampai 4+. Jika tidak ada atau

sangat samar (+/-) hasilnya dianggap nol (negatif).

5. Pemeriksaan biologi molekuler PCR sequencing positif apabila membuktikan

adanya mutasi gen pada posisi urutan nukleotida tertentu, lewat analisis

perbandingan dengan urutan nukleotida gen yang sensitif terhadap obat

rifampisin.

K. Metode Analisis

Data yang terkumpul adalah semua data yang diperoleh dari hasil penelitian

selanjutnya dikelompokkan berdasarkan tujuan, jenis data dan skala ukur variabel,

kemudian dipilih metode statistik yang sesuai.

Page 58: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

58

BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASILHasil Analisis Diskriptif

Sebaran Frekuensi Variabel Kategorikal

Tabel 1. Sebaran karateristik penderita kusta MB berdasarkan umur

N %Laki-Laki 19 54,3Perempuan 16 45,7Total 35 100,0

Tabel 2. Sebaran karateristik penderita kusta MB berdasarkan terapi

N %Teratur 28 80,0Tidak Teratur 7 20,0Total 35 100,0

Tabel 3. Sebaran karateristik penderita kusta MB berdasarkan Bakterial indeks

N %+1 4 11,4+2 23 65,7+3 5 14,3+4 3 8,6Total 35 100,0

Page 59: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

59

Tabel 4. Sebaran karateristik penderita kusta MB berdasarkan Morfologi Indeks (%)

N % 0 22 62,9 1 11 31,4 2 2 5,7 Total 35 100,0

Tabel 5. Sebaran karateristik penderita kusta MB berdasarkan jumlah lesi

N % 5 7 20,0>5 10 28,6>10 18 51,4Total 35 100,0

Tabel 6. Sebaran karateristik penderita kusta MB berdasarkan Tes ML FlowN % %

+1 10 28,6 30,3+2 8 22,9 24,2+3 7 20,0 21,2+4 8 22,9 24,2Total 33 94,3 100,0

Total 35 100,0

Page 60: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

60

Tabel 7. Sebaran karateristik penderita kusta MB berdasarkan Tes PCR N %

Positif 33 94,3Total 35 100,0

Keterangan:Dari 33 sampel yang ada hasil pemeriksaan PCR, semuanya positif

Tabel 8. Sebaran karateristik penderita kusta MB berdasarkan Sequensing Rifampisin

N %Positif 1 2,9Negatif 32 91,4Total 35 100,0

Keterangan:Dari 33 sampel yang ada hasil pemeriksaan sequensing rifampisin, terdapat 32 (91,4%) yang negatif dan hanya satu orang (2,9%) yang hasilnya positif

Hasil Uji StatistikTabel 9. Hubungan Terapi dengan Sequensing Rifampisin

Sequensing Rifampisin Total Positif Negatif

Terapi Teratur N 0 26 26% 0,0% 100,0% 100,0%

Tidak Teratur

N 1 6 7

% 14,3% 85,7% 100,0%Total N 1 32 33

% 3,0% 97,0% 100,0%Fisher Exact test (p=0,212)Keterangan:

Page 61: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

61

Tidak ada hubungan signifikan antara terapi dengan sequensing rifampisin (p>0,05).\

Tabel 10. Hubungan Jumlah Lesi dengan ML Flow ML Flow Total +1 +2 +3 +4

Jumlah Lesi

5 N 3 3 0 0 6

% 50,0% 50,0% 0,0% 0,0% 100,%

>5 N 2 3 2 3 10% 20,0% 30,0% 20,0% 30,0% 100,%

>10 N 5 2 5 5 17% 29,4% 11,8% 29,4% 29,4% 100,%

Total N 10 8 7 8 33% 30,3% 24,2% 21,2% 24,2% 100,%

Fisher Exact test (p=0,124)Keterangan:

Tidak ada hubungan signifikan antara jumlah lesi dengan ML Flow (p>0,05).

Tabel 11. Hubungan ML Flow dengan Sequensing RifampisinSequensing Rifampisin Total

Page 62: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

62

Positif NegatifML Flow

+1 N 0 9 9

% ,0% 100,0% 100,0%+2 N 0 8 8

% ,0% 100,0% 100,0%+3 N 0 7 7

% ,0% 100,0% 100,0%+4 N 1 7 8

% 12,5% 87,5% 100,0%Total N 1 31 32

% 3,1% 96,9% 100,0%Likelihood Ratio test (p=0,412)Keterangan:

Tidak ada hubungan signifikan antara ML Flow dengan sequensing rifampisin (p>0,05)

Tabel 12. Hubungan Jumlah Lesi dengan Sequensing Rifampisin

Sequensing Rifampisin Total

Positif NegatifJumlah Lesi 5 N 0

% 0,0%>5 N 0

% 0,0%>10 N 1

% 5,9%Total N 1

% 3,0%Likelihood Ratio test (p=0,508)Keterangan:

Tidak ada hubungan signifikan antara jumlah lesi dengan sequensing rifampisin (p>0,05).

Page 63: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

63

B. PEMBAHASAN

Telah dilakukan penelitian di rumah sakit kusta Tajuddin Chalid dan

perkampungan penderita kusta Jongayya untuk memperoleh data pasien

penderita kusta MB post terapi MDT-WHO dengan lesi aktif terbanyak laki-laki

(19 kasus) dibandingkan perempuan (16 kasus). Kusta menyerang jenis kelamin

laki-laki maupun perempuan, tetapi laki-laki lebih banyak daripada perempuan

dengan perbandingan 2:1. Kesimpulan tersebut didapatkan dari penelitian di

beberapa tempat di India, Filipina, Hawai, Venezuela dan Cameroon. Jumlah

penderita laki-laki dewasa biasanya 2 – 3 lebih besar daripada wanita, hal ini

dihubungkan dengan aktifitas pria diluar rumah sehingga risiko tertular lebih

besar. (Agusni, 2005) Tetapi perbandingan penderita kusta berdasarkan jenis

kelamin seperti tersebut diatas tidak bersifat universal. Dibeberapa wilayah

seperti Uganda, Nigeria, Malawi, Gambia dan Zambia, Thailand dan Jepang

jumlah penderita laki-laki sama dengan penderita wanita. (Noordeen, 1994). Hal

ini disebabkan karena baik pada laki-laki maupun wanita memiliki tingkat

paparan yang sama karena aktivitas mereka diluar rumah.

Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan keteraturan terapi dengan

sequencing rifampisin (p>0.05). Data dari keteraturan penderita berobat dengan

Page 64: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

64

menggunakan regimen MDT-WHO diperoleh informasi, dari 35 penderita MB,

yang teratur terapi 28 penderita (80%) dan tidak teratur 7 penderita (20%). Hasil

ini menunjukkan bahwa tingkat keteraturan penderita berobat MDT cukup tinggi

dibandingkan yang berobat tidak teratur. Pemahaman bahwa kusta dapat

disembuhkan dengan berobat telah dapat diterima oleh masyarakat. Pada terapi

MDT-WHO tidak teratur akan memberikan pengaruh negatif terhadap efek

pemusnahan bakteri oleh karena mekanisme kerja obat menjadi tidak seimbang.

Selain itu dosis, jumlah dan kebutuhan obat untuk memusnahkan kuman tidak

mencukupi, sehingga memungkinkan M.leprae berkembang lebih banyak

sebelum obat dikonsumsi kembali. Hasil penelitian lain mengemukakan bahwa

penderita dengan terapi MDT-WHO yang tidak teratur efek pemusnahan bakteri

M.lepare tidak berlangsung sukses dan tuntas, masih tersisa kuman di jaringan

saraf meskipun WHO telah menyatakan bahwa MDT memiliki efek pemusnahan

kuman sebesar 100% (Kishore,1995; Katoch,1996)

Tidak ada keraguan tentang efikasi terapi MDT yang digunakan saat ini

untuk pengobatan kusta, sebagaimana diindikasikan oleh berkurangnya

prevalensi penyakit kusta sejak penerapan terapi ini. (Rocha dkk, 2012)

Meskipun terapi MDT sudah dianggap yang terbaik saat ini untuk pengobatan

kusta , ternyata dari penelitian ini, sebanyak 35 orang pasien (100%) yang sudah

selesai dengan pengobatan MDT masih mengalami keluhan, masih

menunjukkan klinis aktif yang disertai BTA slit skin smear positif untuk menilai

indeks bakteri (BI+). Prosentase yang ditunjukkan masih tinggi dan ini

memberikan makna bahwa follow up post MDT WHO sangat diperlukan untuk

Page 65: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

65

mengantisipasi tingginya angka relaps, sesuai anjuran WHO untuk melakukan

kontrol terhadap penderita sampai nilai BI dari BTA hasilnya negatif. (WHO,

1982).

Hasil penelitian ini post terapi MDT WHO didapatkan BI tinggi (+4)

sebanyak 3 orang (8,6%) dari total 35 orang (100%) pasien kusta, juga

didapatkan MI (2%) sebanyak 2 orang (5,7%) pasien kusta dari total 35 orang

(100%) pasien kusta. Penelitian lain melaporkan bahwa BI tinggi meningkatkan

risiko kekambuhan dan juga hasil negatif dari hapusan tidak berarti melindungi

terhadap terjadinya relaps, didapatkan dari 300 pasien 176 pasien (59%)

memiliki nilai BI yang tinggi (+4) post terapi MDT-WHO. Kejadian relaps

kemungkinan disebabkan oleh reinfeksi atau pertumbuhan organisme yang

bertahan, dan kemungkinan karena resistensi obat atau kegagalan terapi yang

bisa terjadi pada tahun-tahun awal follow up. (Matsuoka dkk, 2010) Meskipun

WHO menyatakan bahwa regimen MDT mampu memusnahkan bakteri

penyebab kusta sebesar hamper 100%. (WHO, 1982) Namun beberapa

penelitian lain ternyata melaporkan adanya basil kusta yang masih ditemukan

pada penderita kusta yang telah dinyatakan selesai mendapatkan pengobatan

dengan MDT-WHO. (Katoch, 1996)

Beberapa studi telah melaporkan ada korelasi antara titer IgM, bentuk

klinis kusta dan aktivitas penyakit. Hubungan antara BI dan tes ML Flow

menandakan bahwa ketika BI meningkat, hasil dari tes serologi juga meningkat.

(Lyon dkk, 2008) Schurring dkk melaporkan terdapat korelasi antara nilai antibodi

anti PGL-1 dengan kusta tipe MB, jumlah IB dan gejala klinis. (Schuring dkk,

Page 66: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

66

2006) Hasil penelitian ini tidak ada hubungan signifikan antara jumlah lesi

dengan tes ML Flow (p>0,05) dan juga tidak ada hubungan signifikan antara BI

dengan tes ML Flow (p>0,05).

Pemeriksaan PCR pada penelitian ini dari 33 sampel hasil semuanya

positif ditemukan bakteri M.Leprae. Hasil ini memberikan suatu bukti pada tingkat

pemeriksaan secara biologi molekular bahwa post terapi MDT-WHO pada

penderita yang masih belum sembuh terdapat kemungkinan adanya bakteri

M.Leprae yang masih hidup yang sedang mempersiapkan komponen RNA untuk

kembali berkembang dan memperbanyak diri. (Widodo, 1991)

Pada penelitian ini didapatkan mutasi pada gen rpoB mencakup satu

kasus mutasi pada CTA menjadi CTG pada kodon 410 dan mutasi pada CTA

menjadi CTG pada kodon 427. Penelitian yang dilakukan oleh Matsuoka dkk

ditemukan resistensi rifampisin di Indonesia sebanyak 4 diantara 121 (3%) isolat

M.Leprae dari kasus baru ditemukan memiliki mutasi resisten rifampisin,

sedangkan 2 diantara 10 (20%) kasus lama ditemukan memiliki mutasi resisten

rifampisin. Mutasi pada gen rpoB didapatkan mutasi satu kasus mutasi GAT

menjadi TAT pada kodon 410, satu kasus mutasi TCG menjadi TTG dan satu

kasus mutasi TCG menjadi ATG pada kodon 425. (Matsuoka dkk., 2007)

Beberapa penelitian dikemukakan bahwa kebanyakan mutasi yang resisten

rifampisin M.Leprae melibatkan kodon 425. (Sapkota dkk, 2008) Pada satu

kasus yang resisten rifampisin didapatkan pemeriksaan bakteriologis masih

ditemukan bakteri M.Leprae post terapi MDT-WHO. Bakteri M.Leprae yang

masih hidup post terapi MDT berkaitan erat dengan faktor ketidak aturan

Page 67: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

67

berobat, faktor bakteriologis, regimen pengobatan, factor penderita sendiri dan

faktor resistensi terhadap komponen regimen MDT-WHO. (Neira, 2001)

penelitian oleh Lyon dkk melaporkan terdapat korelasi antara hasil ML-Flow

dengan peningkatan IB pada 100% kasus diserati dengan peningkatan antibodi

secara semi-kuantitatif. (Lyon, 2008)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Pada penelitian ini dari 33 penderita kusta post terapi MDT WHO, didapatkan 1

penderita yang mengalami mutasi gen rpoB yang resisten rifampisin.

2. Ekspresi gen rpoB yang mengalami mutasi, pada penelitian ini didapatkan

mutasi pada gen rpoB mencakup satu kasus mutasi pada CTA menjadi CTG

pada kodon 410 dan mutasi pada CTA menjadi CTG pada kodon 427

B. SARAN

1. Perlu dilakukan penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar dengan tidak

membatasi sampel dari pasien post MDT-WHO untuk evaluasi program

pemberantasan kusta yang menyeluruh.

2. Surveilens harus selalu dilakukan terhadap kasus-kasus post MDT-WHO untuk

mempertahankan efikasi MDT-WHO dan mencegah penyebaran bakteri

M.Leprae yang resisten obat.

Page 68: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

68

DAFTAR PUSTAKAAbbas AK., Lichtman AH. (2007) Celuller and Molecular Immunology, International

Edition, California: Saunders; pp. 3-16: 235-339.

Agusni, I. (1997) Perubahan pola Imunopatologik sebagai indikator untuk penanganan

kusta subklinik . suatu studi obsercasional longitudinal untuk mendapatkan

dasar kebijakan dalam penanganan kusta stadium subklinik. Disertasi,

Universitas Airlangga, Surabaya.

Agusni, I. (1998) Perkembangan Terbaru Imunopatogenesis Penyakit Kusta, Peranan

Imunodermatologi dalam Menghadapi Era Globalisasi. Bandung: FK UNPAD.

Agusni, I. (2000) Imunologi penyakit kusta. Dalam: Sudigdoadi, Sutedja, E., Agusni,

Y.H., Sugiri, U. Ed. Makalah lengkap kursus imuno-dermatologi II dokter

spesialis kulit dan kelamin. Bandung: KS Dermatologi Bag./SMF I.K.Kulit &

Kelamin RS Hasan Sadikin; 231-244.

Agusni, I. (2001) Aplikasi teknik Polimerase Chain Reaction (PCR) Pada Penyakit

Kusta. Berkala Ilmu kesehatan Kulit dan Kelamin; 13 (1): s28-32.

Agusni, I. (2005) Kusta Stadium Subklinis pada Dua Jenis Kelompok Narakontak

Penderita Kusta. Konas XI Perdoski. Jakarta

Amiruddin, M. D., Hakim, Z. & Darwis, E. (2003) Diagnosis Penyakit Kusta. IN Sjamsoe-

Daili, E. S., Menaldi, S. L., Ismiarto, S.P. & Nilasari, H. (Eds.) Kusta. 2 ed.

Jakarta, Balai Penerbit FKUI.

Baohong, J., Jamet, P., Sao, S., Perani, E,. Traore, I,. Grosset, J. (1997) High Relapse

Rate among Lepromatous Leprosy Patients Treated with Rifampin plus

Ofloxacin Daily for 4 Weeks. Antimicrobial Agents and Chemotherapy; 4:1953-

1956.

Bryceson, A. & Pfaltzgraff, E.R. (Eds.) (1990) Leprosy, London,Churchill Livingstone.

Page 69: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

69

Buhrer S., Smiths, H., Gussenhoven, G., Vanleeuwen, S., Amador, S., Fujiwara, T.,

Klatser, P. & Oskam, L. (2003) Simple and Fast Lateral Flow Test for

Classification of Leprosy Patients and Identification of Contacts with High Risk

of Developing Leprosy. Journal of Clinical Microbiology; 41: 1991-1995.

Buhrer, S., Visschedijk, J., Grossi A.M., Dhakal, K.P., Namadi, A.U., Klatser, P.R.,

Oskam, L. (2007) The ML Flow test as a Point of Care Test for Leprosy Control

Programmes: Potential Effects on Classification of Leprosy Patients. Lepr Rev;

78: 70-9.

Buhrer, S., Illarramendi, X., Teles,RB., Lucia, M., Oskam,L., Sarno, E.N., Sales, A.M.

(2009)The Additional Benefit of the ML Flow Test to Classify Leprosy Patients.

Acta Tropica; 111: 172-176.

Burdick, AE., Capo, PVA., Frankel, S. Leprosy.In: Tyring, SK., Lupi, O., Hengge, UR.

Editors. Tropical dermatology. 1st published. Philadelphia: Elsevier Churchill

Livingstone;2006:255-72.

Cambau, E., Bonnafous, P., Perani, E., Sougakoff, W., Baohong, J & Jarlier, V. (2002)

Molecular Detection of Rifampin and Ofloxacacin Resistance for Patients Who

Experience Relapse of Multibacillary Leprosy. Clinical Infection Diseases; 34:

39-45.

Chambers, H. F. (2001) Antimicrobial agents (Continued) Protein Synthesis Inhibitors

and Miscellaneous Antibacterial Agents. IN: Goodman, L. S., Gilman, A,

Hardman, J. G. & Limbird, L E.(Eds.) Goodman & Gilman's The

Pharmacological Basis of Therapeutics, Tenth ed. New York, McGraw-Hill

Medical Publishing Division.

Chin, A.L., Faber, W.R., Van Rens, M.M., Leiker, D.L., Naafs, B., Klatser, P.R. (1992)

Follow-up of multibacillary leprosy patients using Phenolic Glycolipid-1 based

ELISA. Do Increasing ELISA values after Discontinuation of Treatment Indicate

relapse?. Lepr Rev; 63:21-27

Davey, T.F., & Rees, R.J.W. (1974) The Nasal Discharge In Leprosy: Clinical and

Bacteriological Aspects. Lepr. Rev; 45: 121-134.

Dharmendra. (1994) Classifications of Leprosy. In Hastings, R. C. & Opromolla, D. V. A.

(Eds.) Leprosy. Second ed. Edinburgh, Churchill Livingstone.

Page 70: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

70

Diana, L.W & Thomas, P.G. (2004) Molecular Detection of Drug Resistance in

M.Leprae. Lepr Rev; 75: 118-130.

Hardyanto, S.S & Suhariyanto, B. (2003) Pengobatan Penyakit Kusta. IN Sjamsoe-Daili,

E. S., Menaldi, S. L., Ismiarto, S. P. & Nilasari, H. (Eds.) Kusta. 2 ed. Jakarta,

Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, 2003.

Hartskeerl, R.A., Dewit, M.Y.L., & Klatser, P.R. (1989) Polymerase Chain Reaction for

the Detection of Mycobacterium Leprosy. J. Gen. Microbiol: 135-139.

Hastings, R.C., Gillis, T. P., Krahenbuhl, J. L & Franzblau, S. G. (1988) Leprosy. Clin.

Microbiol. Rev; 1: 3303-3348.

Hehanusa, A. (2009) Viabilitas Mycobacterium Leprae dengan pemeriksaan Reversa

Transcriptase Polymerase Chain Reaction pada penderita kusta multibasiler

yang diobati Multi Drug Therapy-WHO. Program Pendidikan Dokter Spesialis

Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Sam Ratulangi,

Manado.

Honore, N & Cole, S.T. (1993) Moleculer Basis of Rifampin Resistance in

Mycobacterium Leprae. Antimicrobial Agents and Chemotherapy; 37(3):414-

418.

Honore, N., Roche PW, Grosset JH, Cole ST. (2001) A Method for Rapid Detection of

Rifampicin-Reistant Isolates of Mycobacterium Leprae. Lepr Rev; 72:441-448.

Jacobson, R. R. (1994) Treatment of Leprosy. IN Hastings, R. C. & Opromolla, D. V. A.

(Eds.) Leprosy Second ed. Edinburgh, Churchill Livingstone.

Job, C. K. (1994) Pathology of leprosy. IN Hastings, R. C. & Opromolla, D. V. A. (Eds.)

Leprosy. Second ed. Edinburgh,Churchill Livingstone.

Jopling, W.H. & Mcdougall, A. C. (Eds) (1996) Handbook of Leprosy, New Delhi, CBS

Publishers & Distributors.

Katoch K. (1996) Immunotherapy of Leprosy. Indian J Lepr; 68(4): 349-61.

Katoch, V.M. (2004) Advances in the Diagnosis and Treatment of Leprosy. Expert

reviews in molecular medicin;, 4: 1-14.

Kishore BN., Shetty JN. (1995). Bacterial Clearence with WHO-Recommended

Multidrug Regimen for Multibacillary Leprosy. Indian J lepr.; 67(3): 301-7.

Page 71: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

71

Kumar, B. & Dogra, S. (2009) Leprosy : A Disease with Diagnostic and Management

Challenges. Indian Journal of Dermatology,Venereology and Leprology; 75: 111

-115.

Ladhani, S. & Zhang, W. (2008) Leprosy. IN Williams, H., Bigby, M., Diepgen, T.,

Herxheimer, A., Naldi, L & Rzany, B. (Eds.) Evidenced-Based Dermatology.

Second ed. Massachusetts, BMJ Blackwell Publishing.

Laurus, C.C.G., Grosset, J.H., Desportes, M.C. (1984) Nine Cases of Rifampin-

Resistant Leprosy. Int J Leprosy; 52(1): 101-102.

Lyon, S., Silva, S., Lyon, A. C., Grossi, M. A., Azevedo, M. L., Buhrer, S., Rocha, M.O.

(2008) Association of the ML Fow Serological Test with Slit Skin Smear.

Revista da Sociedade Brasileira de medicina Tropical; 41: 23-26.

Maeda, S., Matsuko, M., Nakata, N., Kai, M., Hashimoto, K., Kimura, H. (2001)

Multidrug Resistant Mycobacterium Leprae from Patients with Leprosy.

Antimicrobial Agents and Chemotherapy; 45(12): 3635-3639.

Matsuoka, M., Budiawan, T., Aye, K.S., Kyaw, K., Tan, E.V., Cruz, E.D., Gelber, R.,

Saunderson, P., Balagon, V & Pannikar, V. (2007) The Frequency of Drug

Resistance Mutations in M.Leprae Isolates in Untreated and Relapsed Leprosy

Patients from Myanmar, Indonesia and the Philippines. Lepr Rev; 78: 343-352.

Matsuoka, M. (2010) Drug Resistance in Leprosy. Jpn.J.Infect.Dis; 63: 1-7.

Matsuoka, M., Suzuki, Y., Garcia, I.E., Fafutis, M., Vargas, A., Carrefio, C., Fukushima,

Y., Nakajima, C. (2010) Possible Mode of emergence for Drug-Resistant

Leprosy Is Revealed by an Analysis of Samples from Mexico. Jpn.J.Infect.Dis;

63: 412-416.

Moschella, S. L. (2004) An Update on the Diagnosis and Treatment of Leprosy. J Am

Acad Dermato;, 51: 417-26.

Neira, MP (2001) The Final Push to Eliminate Leprosy. Int.J.Lepr; 69 (2): s7-s12

Noordeen, S. (1994) Epidemiology of leprosy. Leprosy. New York, Churchil Livingstone,

29-45.

Norman, G., Joseph, G., Ebenezer, G., Rao, P.S.S.S., Job, C.K. (2003) Secondary

Rifampin Resistance Following Multi-Drug Therapy-A Case report. Int J

Leprosy; 71(1): 18-21.

Page 72: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

72

Odom, R.B. (2000) Andrew’s Diseases of the Skin Clinical Dermatology. 9th ed.

Philadelphia: WB Saunders Company.

Rea, T. H. & Modlin, R. L. (2008) Leprosy. IN Wolf, K., Goldsmith, L. A., Katz, S. I.,

Gilchrest, B. A., Paller, A. S. & Leffell, D. J. (Eds.) Fitzpatrick's Dermatology in

General Medicine. Seventh ed. New York, McGraw Hill Medical.

Rees, R.J.W. & Young, D.B. (1994) The Microbiology of Leprosy. IN Hastings, R.C. &

Opromolla, D.V.A. (Eds.) Leprosy Edinburgh, Churchill Livingstone.

Regan, M.O., Keja, J., Adhyatma, Lapian, A.R., Lourenapessy, A.A., Teterissa, M.R.,

Hashibuan, Y. & Day, R. (2005) Buku Pedoman Nasional Pemberantasan

Penyakit Kusta. IN Lingkungan, K. R. I. D. J. P. P. M. D. P. (Eds) Cetakan XVII

ed., Departemen Kesehatan R.I. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit

Menular dan Penyehatan Lingkungan.

Rice, L.B., Sahm. D., Bonomo, R.A. (2003) Mechanisms of Resistance to Antibacterial

Agents. In: Murray PR, Baron EJ, Jorgensen H, Pfaller MA, Yolken RH, eds.

Manual of Clinical Microbiology. 8th ed. Washington DC: ASM Press:1074-1101.

Rocha AS., Cunha MG., Diniz LM., Claudio S., Aires MAP. (2012) Drug and Multiple-

Drug Resistance Among M.Leprae 4 Isolates From Brazilian Relapsed Leprosy

Patients. J. Clin. Microbiol; 10(11): 561-71

Sapkota, B.R., Ranjit, C., Neupane, K.D., Macdonald, M. (2008) Development and

Evaluation of a Novel Multiple Primer PCR Amplification Refractory Mutation

System for the Rapid Detection of Mutations Conferring Rifampicin Resistance

in Codon 425 of the rpo B Gene of Mycobacterium Leprae. Journal of Medical

Microbiology; 57: 179-184.

Scollard, D.M. (2008) Treatment Gets Better: but Leprosy Remains a Global Problem.

Annals Academy of Medicine; 37: 1-2.

Scollard, D.M. & Adams, L.B. (2006) The Continuing Challenges of Leprosy. Clin.

Microbiol. Rev; 19: 338-351.

Schuring RP., Moet FJ., Pahan D. (2006) Association Between Anti PGL-1 IgM and

Clinical and Demographic Parameters in Leprosy . Lepr Rev; 77: 345-55.

Page 73: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

73

Sehgal, V.N., Sardana, K. & Dogra, S. (2008) The Imperatives of Leprosy Treatment in

the Pre-and Post-Global Leprosy Elimination era : Appraisal of Changing the

Scenario to Current Status. Journal of Dermatological Treatment, 19, 82-91.

Sudarianto., Mursalim., Nur., M., Syahri.r, Nurmiyati., Haruna, I., Agusyanti, Papura, E.

& Marwiyah. (2008) Profil Kesehatan Sulawesi Selatan Tahun 2007. IN 2008,

D. K. P. S. S. T.(Eds) Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008

Jl.Perintis Kemerdekaan Km. 11 Makassar.

Werdiningsih, R. & Agusni, I. (2003) Rifampisin pada Kusta. Berkala Ilmu kesehatan

Kulit dan Kelamin; 15(2): 155-162.

Widodo, Y.W. (1991) Polimerase Chain Reaction (PCR) untuk Deteksi M.Leprae. Berita

Kedokteran Masyarakat VII; 3: 142-148.

Williams, D.L., & Gillis, T.P. (1991) Identification of M.Leprae by PCR. Workshop on

PCR Technology for the Detection of M.Leprae. Leprosy Division, Sasakawa

Research Building. Nonthaburi, Thailand.

Williams, D.L., & Gillis, T.P. (2004) Molecular Detection of Drug Resistance in

Mycobacterium Leprae. Lepr Rev; 75: 118-130.

Williams, D.L, Waguespack, C., Eisenach, K. (1994) Characterization of Rifampin

Resisstance in Pathogenic Mycobacteria. Antimicrobial Agents and

Chemotherapy; 38(10):2380-2386.

Williams, A. C, Gallery, H. F., Watt, A. M. & Webeter, N. R. (2005) Differential effects of

three Antibiotics on T Helper Cellcytokine Expression. Journal of Antimicrobial

Chemotherapy, 56, 502-506.

World Health Organization. (1982) Chemotherapy of Leprosy for Control Programmes.

Report of a WHO Study Group. WHO Technical Report Series 675. Wordl

Health Organization, Genewa, Switzerland.

World Health Organization. (2000) Leprosy-global situation'. Wkly Epidemiol

Rec. 75:226-231.

World Health Organization. (2006) Global leprosy situation, Weekly epidemiological

record; 81: 309-316.

Page 74: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

74

World Health Organization,. (2008) Report of the workshop on sentinel surveillence

for drug resistance in leprosy. WHO regional office for South-East Asia, Hanoi,

Viet Nam.

World Health Organization. (2009) Global Leprosy Situation. Wkly Epidemiol Rec; 84:

333-340.

World Health Organization. (2009) Guidelines for Global Surveilance of Drug

Resistance in Leprosy. WHO. Genewa.

Worobec, S. M. (2009) Treatment of Leprosy Hansen's Disease in the Early 21st

Century. Dermatologic Therapy; 22: 518-537.

Yuwono, T. (2006) Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction. Penerbit Andi

Yogyakarta: 1-16.

Zubaidi, Y. (2005) Tuberkulostatik dan Leprostatik. IN Ganiswarna, S.G., Setiabudy, R. Suyatna, F.D., Purwantyastuti & Nafriadi (Eds) Farmakologi dan Terapi. 4 ed.

Jakarta, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran-Universitas Indonesia,

Jakarta.

Page 75: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

75

Page 76: UJI RESISTENSI GEN rpoB TERHADAP RIFAMPISIN DAN ...

76