Top Banner
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KAJIAN PELAYANAN FARMASI KLINIS TERHADAP PASIEN DM TIPE 2 DITINJAU DARI EDUKASI DAN KONSELING DI APOTEK KECAMATAN JATIASIH DAN BEKASI SELATAN WILAYAH KOTA BEKASI SKRIPSI HESTI SULISTIORINI NIM : 1113102000004 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA 2019
135

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KAJIAN PELAYANAN FARMASI KLINIS TERHADAP PASIEN DM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/53723... · 2020. 11. 17. · uin syarif hidayatullah

Feb 08, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    KAJIAN PELAYANAN FARMASI KLINIS TERHADAP

    PASIEN DM TIPE 2 DITINJAU DARI EDUKASI DAN

    KONSELING DI APOTEK KECAMATAN JATIASIH DAN

    BEKASI SELATAN WILAYAH KOTA BEKASI

    SKRIPSI

    HESTI SULISTIORINI

    NIM : 1113102000004

    FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

    PROGRAM STUDI FARMASI

    JAKARTA

    2019

  • UIN SYARIH HIDAYATULLAH JAKARTA

    KAJIAN PELAYANAN FARMASI KLINIS TERHADAP

    PASIEN DM TIPE 2 DITINJAU DARI EDUKASI DAN

    KONSELING DI APOTEK KECAMATAN JATIASIH DAN

    BEKASI SELATAN WILAYAH KOTA BEKASI

    SKRIPSI

    Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

    HESTI SULISTIORINI

    NIM : 1113102000004

    FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

    PROGRAM STUDI FARMASI

    JAKARTA

    2019

  • iii

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

  • iv

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    ABSTRAK

    Nama : Hesti Sulistiorini

    Program studi : Farmasi

    Judul : Kajian Pelayanan Farmasi Klinis Terhadap Pasien DM Tipe 2

    Ditinjau Dari Edukasi dan Konseling di Apotek Kecamatan

    Jatiasih dan Bekasi Selatan Wilayah Kota Bekasi

    Berdasarkan Permenkes RI No. 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Klinik

    di Apotek, Apoteker memiliki tugas dalam memberikan pelayanan farmasi klinis.

    Pasien diabetes melitus memenuhi kriteria untuk mendapatkan pelayanan farmasi

    klinis oleh Apoteker di apotek. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

    gambaran pelayanan farmasi klinis yang meliputi Pemberian Informasi Obat dan

    Konseling. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei dan simulasi pasien

    terhadap 53 apotek terpilih apotek di Kecamatan Jatiasih dan Bekasi Selatan dengan

    sasaran penelitian Apoteker dan petugas apotek (non apoteker). Alat bantu

    penelitian ini adalah scenario, lembar checklist dan resep yang ditulis oleh dokter.

    Data penelitian ini berasal dari lembar checklist yang diisi setelah berkunjung ke

    apotek terpilih. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata persentase kehadiran

    Apoteker di apotek Kecamatan Jatiasih 74,66% (sedang) dan Kecamatan Bekasi

    Selatan 70,52% (sedang). Pelayanan farmasi klinis di apotek belum dilaksanakan

    seluruhnya oleh Apoteker, hasil menunjukkan bahwa pemberi pelayanan farmasi

    klinis di Apotek Kecamatan Jatiasih 66,7% dilakukan oleh Apoteker dan 33%

    dilakukan oleh petugas apotek, sedangkan di Apotek Kecamatan Bekasi Selatan

    50% dilakukan oleh Apoteker, 45% dilakukan oleh petugas apotek dan 5%

    dilakukan oleh Apoteker dan petugas apotek secara bersamaan. Selama pelayanan

    farmasi klinis di Apotek, 60% kegiatan dispensing berupa penyerahan obat

    dilakukan sesuai resep.

    Kata kunci : pelayanan farmasi klinis, diabetes mellitus, peran apoteker

  • v

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    ABSTRACT

    Name : Hesti Sulistiorini

    Study Program: Farmasi

    Title : Kajian Pelayanan Farmasi Klinis Terhadap Pasien DM Tipe 2

    Ditinjau Dari Edukasi dan Konseling di Apotek Kecamatan

    Jatiasih dan Bekasi Selatan Wilayah Kota Bekasi

    According to Permenkes of RI No. 35 year 2014 about the standard of pharmacy

    services in drug stores that pharmacists has duties in clinical pharmacy services.

    Patient with diabetes mellitus is one of patients who match the citeria for clinical

    service. The aim of this research is to describe clinical pharmacy service about drug

    information and counseling in pharmacy. This research was conducted by survey

    method and patient simulation of 53 pharmacies selected in the Kecamatan Jatiasih

    and South Bekasi with the aim of the study were pharmacists and non-pharmacists.

    The tools of this research are scenarios, checklist sheets and prescriptions written

    by doctors. The data were conducted from the checklist sheet that was filled after

    visiting the selected pharmacy. The results showed the average percentage of the

    presence of Pharmacists in pharmacies in Kecamatan Jatiasih was 74.66%

    (moderate) and Kecamatan Bekasi Selatan was 70.52% (moderate). Clinical

    pharmacy services in pharmacies have not been fully implemented by Pharmacists,

    the results show that clinical pharmacy service providers in Pharmacy in Kecamatan

    Jatiasih 66.7% are conducted by Pharmacists and 33% are conducted by non

    pharmacists, while in Pharmacy in Kecamatan Bekasi Selatan 50% are conducted

    by Pharmacists, 45 % is conducted by non pharmacists and 5% is conducted by

    pharmacists and non pharmacists. During clinical pharmacy services at the

    Pharmacy, 60% of dispensing activities in the form of drug delivery are according

    to a prescription.

    Keyword : pharmacy clinical service, diabetes mellitus, the role of pharmacists

  • vi

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    KATA PENGANTAR

    Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa mencurahkan

    segala rahmat-Nya kepada kita semua. Salawat serta salam senantiasa terlimpahkan

    kepada Nabi Muhammad SAW. Syukur atas limpahan cinta dan kasih-Nya

    sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Kajian

    Pelayanan Farmasi Klinis Terhadap Pasien DM Tipe 2 Ditinjau dari Edukasi

    dan Konseling di Apotek Kecamatan Jatiasih dan Bekasi Selatan Wilayah Kota

    Bekasi” yang bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar

    Sarjana Farmasi.

    Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan

    bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan

    skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan

    sebesar-besarnya kepada :

    1. Bapak Yardi, Ph.D., Apt. dan Ibu Nelly Suryani, Ph.D., Apt. selaku

    pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, waktu, tenaga, kesabaran

    dalam membimbing, memberikan saran dan dukungan untuk penulis dalam

    menuangkan ide serta kepercayaannya selama penelitian berlangsung

    hingga tersusunnya skripsi ini.

    2. Bapak Dr. H, Arif Sumantri, S.KM., M.Kes., selaku Dekan FKIK UIN

    Jjakarta yang telah memberikan banyak motivasi dan bantuan.

    3. Ibu Eka Putri, M.Si., Apt. selaku penasehat akademik yang telah

    memberikan waktu dan saran dalam membantu perbaikan skripsi ini.

    4. Ibu Delina Hasan, M.Kes., Apt. dan Bapak Hendri Aldrat, Ph.D., Apt.

    selaku penguji yang telah memberikan waktu dan saran dalam membantu

    perbaikan skipsi ini.

    5. Dinas Kesehatan Kota Bekasi dan Pengurus Cabang IAI Kota Bekasi yang

    telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di Kota Bekasi.

    6. Kedua orang tua tercinta, ayah Budi Setiono dan mama Suswati yang selalu

    menjadi orang tua terhebat dalam setiap doa yang mereka panjatkan. Kakak

    dan adik yang sangat saya sayangi M. Syifa Wicaksono dan M. Irfandi

  • Wibisono. Support system terbaik yang selalu ikhlas memberikan dukungan

    berupa moril, materil dan nasehat. Mereka adalah sebuah titipan terindah

    yang diberikan oleh Allah SWT, semoga berkah hidup, kebahagiaan dan

    kesehatan selalu mengiringi kehidupannya di dunia dan akhirat.

    7. Teman-teman di Program Studi Ffarmasi 2013, khususnya Bukhoriah,

    Ervina, Ambar, Zuha dan Batari. Terima kasih telah menjadi sahabat yang

    memberikan bantuan dan dukungan semangat di kala suka maupun duka.

    8. Erfian Ahmad yang selalu memberikan dukungan dan semangat yang tidak

    pernah henti.

    9. Serta pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah

    memberikan dukungan hingga terwujudnya skripsi ini.

    Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

    Namun, besar harapan penulis agar hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat

    untuk banyak pihak dan memberikan kontribusi dalam ilmu pengetahuan. Akhir

    kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua

    pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian ini.

    Ciputat, Agustus 2019

    Penulis

  • viii

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS

    AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

    Sebagai civitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

    Jakarta, saya yang betandatangan di bawah ini :

    Nama : Hesti Sulistiorini

    NIM : 1113102000004

    Program Studi : Farmasi

    Fakultas : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

    Jenis Karya : Skripsi

    Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya

    dengan judul

    KAJIAN PELAYANAN FARMASI KLINIS TERHADAP PASIEN DM

    TIPE 2 DITINJAU DARI EDUKASI DAN KONSELING DI APOTEK

    KECAMATAN JATIASIH DAN BEKASI SELATAN WILAYAH KOTA

    BEKASI

    Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital

    Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

    untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

    Demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat denagn sebenar-

    benarnya.

    Dibuat di : Ciputat

    Tanggal : Agustus 2019

    Yang menyatakan,

    Hesti Sulistiorini

  • DAFTAR ISI

    Halaman

    DAFTAR ISI ............................................................................................................. i

    DAFTAR TABEL ................................................................................................... iv

    DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... v

    DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................ vi

    BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

    1.1. Latar Belakang ................................................................................................. 1

    1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................ 5

    1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 5

    1.4. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................................ 6

    1.5. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 6

    1.5.1. Secara Teoritis ........................................................................................ 6

    1.5.2. Secara Metodologi .................................................................................. 6

    1.5.3. Secara Aplikatif ...................................................................................... 6

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 8

    2.1. Perkembangan Profesi Kefarmasian ................................................................ 8

    2.2. Apoteker ......................................................................................................... 10

    2.2.1. Peran Apoteker ..................................................................................... 10

    2.2.1.1. Peran Apoteker Menurut WHO ..................................................... 10

    2.2.1.2. Peran Apoteker Menurut Peraturan di Indonesia .......................... 12

    2.3. Asisten Apoteker ............................................................................................ 14

    2.4. Apotek ............................................................................................................ 14

    2.5. Pelayanan Kefarmasian di Apotek ................................................................. 16

    2.5.1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis

    Pakai ..................................................................................................... 16

    2.5.2. Pelayanan Farmasi Klinis di Apotek .................................................... 19

    2.6. Pelayanan Informasi Obat (PIO) .................................................................... 23

    2.6.1. Definisi PIO .......................................................................................... 23

    2.7. Konseling ....................................................................................................... 25

  • 2.7.1. Definisi Konseling ................................................................................ 25

    2.7.2. Tujuan dan Manfaat Konseling ............................................................ 26

    1.7.3. Prinsip Dasar Konseling ....................................................................... 27

    1.7.4. Tahap Kegiatan Konseling ................................................................... 28

    1.7.5. Konseling Pasien Rawat Jalan .............................................................. 29

    1.7.6. Masalah dalam Konseling .................................................................... 30

    1.7.7. Evaluasi Mutu Pelayanan ..................................................................... 31

    1.8. Metode Simulasi Pasien ................................................................................. 31

    1.9. Diabetes Melitus ............................................................................................ 34

    2.9.1. Pendahuluan.......................................................................................... 34

    2.9.2. Prevalensi Diabetes Melitus ................................................................. 34

    2.9.3. Penatalaksanaan Diabetes ..................................................................... 35

    2.9.4. Pelayanan Kefarmasian Pada Pasien Diabetes ..................................... 37

    2.9.5. Peran Apoteker dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus ................... 39

    2.10.Gambaran Umum Kota Bekasi ..................................................................... 43

    BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL .............. 42

    3.1. Kerangka Konsep ........................................................................................... 42

    3.2. Definisi Operasional ...................................................................................... 43

    BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ............................................................ 53

    4.1. Alur Kerja ...................................................................................................... 53

    4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................ 54

    4.2.1. Lokasi ................................................................................................... 54

    4.2.2. Waktu Penelitian................................................................................... 54

    4.3. Rancangan Penelitian ..................................................................................... 54

    4.3.1. Metode Simulasi Pasien........................................................................ 54

    4.4. Populasi dan Sampel ...................................................................................... 55

    4.4.1. Populasi ................................................................................................ 55

    4.4.2. Sampel .................................................................................................. 55

    4.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi.......................................................................... 57

    4.5.1. Kriteria Inklusi ...................................................................................... 57

    4.5.2. Kriteria Eksklusi ................................................................................... 57

    4.6. Langkah Penelitian ......................................................................................... 57

  • 4.6.1. Penelitian Pendahuluan ......................................................................... 57

    4.6.2. Persetujuan Etik .................................................................................... 57

    4.6.3. Perizinan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) .......................................... 58

    4.6.4. Instrumen Penelitian ............................................................................. 58

    4.6.5. Validasi Instrumen ................................................................................ 60

    4.6.6. Pengumpulan Data ................................................................................ 61

    4.6.7. Pengolahan Data ................................................................................... 62

    4.6.8. Analisis Data......................................................................................... 63

    BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 64

    5.1. Gambaran Kehadiran Apoteker di Apotek Kecamatan Jatiasih dan Kecamatan

    Bekasi Selatan Wilayah Kota Bekasi ............................................................. 66

    5.2. Gambaran Pemberi Pelayanan Farmasi Klinis di Apotek Kecamatan Jatiasih

    dan Kecamatan Bekasi Selatan ...................................................................... 70

    5.3. Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinis di Apotek Kecamatan

    Jatiasih dan Bekasi Selatan ............................................................................ 72

    5.3.1. Gambaran Pelaksanaan Pemberian Obat dan Jenis yang jumlahnya

    sama sesuai dengan Resep di Apotek Kecamatan Jatiasih dan Bekasi

    Selatan .................................................................................................. 73

    5.3.2. Gambaran Pelaksanaan Konseling di Apotek Kecamatan Jatiasih dan

    Bekasi Selatan....................................................................................... 74

    5.4. Gambaran Kualitas Pelayanan farmasi klinis Apotek di Kecamatan Jatiasih

    dan Bekasi Selatan ......................................................................................... 80

    BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 84

    DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 86

  • DAFTAR TABEL

    Halaman

    Tabel 1. Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Apoteker ........................................ 28

    Tabel 2. Diagnosis DM dari ACCP/ADA 2013 ...................................................... 35

    Tabel 3. Penatalaksanaan Diabetes .......................................................................... 36

    Tabel 4. Definisi Operasional Penelitian ................................................................. 43

    Tabel 5.1. Gambaran Frekuensi Kehadiran Apoteker ............................................ 66

    Tabel 5.4 Gambaran Pengkategorian Kualitas Pelayanan farmasi klinis Apotek ... 80

    file:///C:/Users/Hesti_2/Documents/edit%20fix.docx%23_Toc522104569file:///C:/Users/Hesti_2/Documents/edit%20fix.docx%23_Toc522104570file:///C:/Users/Hesti_2/Documents/edit%20fix.docx%23_Toc522104571file:///C:/Users/Hesti_2/Documents/edit%20fix.docx%23_Toc522104572

  • DAFTAR LAMPIRAN

    Halaman

    Lampiran 1. Check List ............................................................................................ 91

    Lampiran 2. Komposisi resep .................................................................................. 96

    Lampiran 3. Protokol Penelitian .............................................................................. 97

    Lampiran 4. Skenario Simulasi Pasien .................................................................... 98

    Lampiran 5. Perhitungan Frekuensi Kehadiran Apoteker ....................................... 99

    Lampiran 6. Perhitungan Distribusi Pemberi Pelayanan Farmasi Klinis di Apotek

    ............................................................................................................................... 102

    Lampiran 7. Perhitungan persentase kesesuaian penyerahan obat dengan resep .. 105

    Lampiran 8. Perhitungan Persentase Tahapan Konseling yang dilaksanakan Apoteker

    ............................................................................................................................... 106

    Lampiran 9. Perhitungan Persentase Kualitas Pelayanan Klinis di Kecamatan Jatiasih

    dan Bekasi Selatan ................................................................................................. 107

    Lampiran 10. Surat Persetujuan Izin dan Rekomendasi Penelitian dari IAI Cabang

    Kota Bekasi ........................................................................................................... 117

    Lampiran 11. Surat Izin Penelitian ........................................................................ 118

    Lampiran 12. Surat Persetujuan Penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi .... 119

    persentase kesesuaian penyerahan obat dengan resep .......................................... 105

  • DAFTAR SINGKATAN

    ACCP : American College of Clinical Pharmacy

    ADA :American Diabetes Association

    APA : Apoteker Pengelola Apotek

    CVD : Cardio Vaskular Disease

    Depkes : Departemen Kesehatan

    Dinkes : Dinas Kesehatan

    DM : Diabetes Mellitus

    DRP : Drug Related Problem

    ESO : Efek Samping Obat

    FEFO : First Expired First Out

    FIFO : First In First Out

    HbA1c : Hemoglobin A1c

    IAI : Ikatan Apoteker Indonesia

    IDF : International Diabetes Federation

    MESO : Monitoring Efek Samping Obat

    MTO : Masalah Terapi Obat

    Permenkes : Peraturan Menteri Kesehatan

    PIO : Pelayanan Informasi Obat

    PTO : Pemantauan Terapi Obat

    PP : Peraturan Pemerintah

    RPK : Rencana Pelayanan Kefarmasian

    SDM : Sumber Daya Manusia

    SIP : Surat Izin Praktek

    WHO : World Health Organization

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Pelayanan kesehatan sangat diperlukan bagi masyarakat untuk

    menjamin kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan bagi masyarakat

    meliputi pelayanan Rumah Sakit (RS), Puskesmas (pusat kesehatan

    masyarakat), dokter dan pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian

    (pharmaceutical care) adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab

    langsung profesi Apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan

    kualitas hidup pasien (Depkes RI, 2004). Kesehatan merupakan hak setiap

    warga negara Indonesia. Oleh karena itu setiap tenaga kesehatan, khususnya

    Apoteker, wajib memberikan pelayanan terbaik untuk menunjang kesehatan

    warga negara Indonesia melalui praktek pelayanan kefarmasian.

    Pelayanan farmasi klinis dalam Permenkes RI Nomor 35 Tahun 2014

    mencakup pengkajian resep, dispensing, pelayanan informasi obat (PIO),

    konseling, pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care),

    pemantauan terapi obat (PTO), dan monitoring efek samping obat (M

    enkes RI, 2014). Peraturan tersebut merupakan upaya agar Apoteker dapat

    melaksanakan praktek kefarmasian dengan baik dan dengan tujuan sebagai

    pedoman praktek Apoteker dalam menjalankan profesi, melindungi

    masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, dan melindungi profesi

    dalam menjalankan praktek kefarmasian (Sudibyo et. al, 2011).

    Peran apoteker yang berada di apotek (apoteker komunitas) di

    Indonesia sangat strategis. Apotek merupakan tempat praktek profesi yang

    paling banyak menampung apoteker. Namun, peran penting apoteker

    komunitas tersebut sampai saat ini masih banyak dipertanyakan. Beberapa

    media massa memberitakan tentang peran apoteker tersebut, antara lain

    Radar Banyumas online (Desember 2015) melaporkan “Dinas Kesehatan

    Kabupaten Banyumas menyatakan ada 18 apotek yang saat ini harus berhenti

    beroperasi. Mereka belum mengantongi Surat Izin Penanggung Jawab

    Apotek (SIPA) yang dimiliki oleh seorang apoteker.”; Banjarmasin

  • Tribunnews (November 2016) melaporkan “Dinas Kesehatan Palangkaraya

    menutup 2 apotek karena diketahui apotekernya tidak ada.”; Radar Sorong

    online (Januari 2017) melaporkan “Di kota Sorong, tenaga apoteker masih

    sangat minim, masih banyak apotek yang tidak memiliki apoteker.”

    Dari beberapa berita di atas, dapat diketahui bagaimana pentingnya

    peran apoteker komunitas di apotek yang bertanggung jawab. Sehingga

    adanya penutupan apotek di beberapa daerah yang tidak memiliki apoteker

    saat apotek tersebut sedang dalam jam operasionalnya. Padahal, apoteker

    memainkan peran penting dalam mengoptimalkan penggunaan obat dan

    meningkatkan hasil kesembuhan pada pasien, mencegah penyalahgunaan

    obat dan mengurangi biaya obat. Hal tersebut dilakukan dengan melakukan

    konseling pada pasien. Konseling merupakan proses interaktif antara

    Apoteker dengan pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan,

    pemahaman, kesadaran, dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku

    dalam penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien

    (Menkes RI, 2014). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa Apoteker yang

    memberikan konseling pada pasien akan meningkatkan hasil klinis, kualitas

    hidup, pengetahuan tentang obat dan penyakit, kepuasan pasien dengan

    layanan, dan penghasilan secara ekonomi. Terdapat bukti yang menunjukkan

    bahwa adanya intervensi Apoteker komunitas seperti konseling dapat

    meyakinkan pasien akan penggunaan obat-obatan secara tepat dan mencegah

    permasalahan yang terkait dengan obat (Alaqeel & Abanmy, 2015).

    Dalam pelaksanaan pemberian konseling ini diperlukan kehadiran

    Apoteker selaku pemberi pelayanan. Namun beberapa penelitian yang telah

    dilakukan menunjukkan tingkat kehadiran Apoteker di Apotek masih rendah,

    menurut penelitian Kwando, didapatkan hasil bahwa rata-rata dari persentase

    kehadiran Apoteker di apotek wilayah Surabaya Timur adalah 63,33%,

    sedangkan rata-rata pelayanan kefarmasian yang terjadi di apotek adalah

    42,05% (Kwando, 2014) Hasil penelitian dari Rizza Suci Permana

    menyatakan persentase kehadiran Apoteker di apotek kecamatan Tarogong

    Kaler, Garut adalah 30%dan juga persentase kualitas pelayanan farmasi klinis

    berupa PIO di Apotek Kecamatan Garut Kota yang diberikan oleh petugas

  • apotek (non Apoteker) adalah 57,14% dan hasil tersebut dikategorikan buruk

    (Suci, 2015). Di Padang, penelitian yang dilakukan oleh Dwi Dominica

    secara keseluruhan skor persentase kehadiran Apoteker di apotek kota Padang

    58,67% (Dominica, 2016) . Kehadiran Apoteker ini menjadi penting karena

    dengan meningkatnya frekuensi kehadiran Apoteker di Apotek maka akan

    meningkatkan pelaksanaan pelayanan kefarmasian di Apotek (Kwando,

    2014). Penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati terhadap tingkat kepatuhan

    pasien dalam menggunakan obat antidiabetes di Surabaya tahun 2014

    ditemukan bahwa sebanyak 52,7% pasien tidak patuh dalam penggunaan obat

    (Trisnawati, 2014). Masalah yang terjadi seperti di atas seharusnya dapat

    dikurangi atau diatasi dengan adanya optimalisasi peran apoteker di tempat

    prakteknya.Diabetes melitusadalah salah satu penyakit yang biasanya

    memerlukan obat dalam jumlah banyak (polifarmasi) untuk mengatasi atau

    mencegah komplikasi (Sujit Rambhade, 2012)

    Diabetes merupakan penyakit yang sering di derita oleh sebagian besar

    orang di dunia, bersifat kronis dan pembiayaannya mahal. Penyakit diabetes

    ini ditandai dengan hiperglikemia (tingginya kadar glukosa dalam darah),

    akibatkurangnya insulin yang dihasilkan dalam tubuh karena kerusakan

    pankreas (diabetes tipe 1) atau akibat resistensi insulin (diabetes tipe 2)

    (International Diabetes Federation, 2011). Penyakit diabetes ini 90% di

    dominasi oleh diabetes melitus tipe 2 (WHO, 2013). Permasalahan penyakit

    diabetes melitus di Indonesia menduduki peringkat ke empat dan di Jawa

    Barat prevalensinya mencapai 1,3% (Riskesdas, 2013).

    Ditinjau dari sifat penyakitnya, diabetes melitus merupakan penyakit

    seumur hidup (lifelong disease) dengan resiko komplikasi yang tinggi

    sehingga menyebabkan kematian, maka diperlukan perhatian lebih dalam

    perawatannya. Peningkatan kepedulian pasien diabetes sendiri diperlukan

    dalam menjaga dan mengontrol kondisinya agar tetap dapat hidup lebih

    panjang dan sehat (Sutandi Aan, 2012). Selain itu pengetahuan tentang obat

    diperlukan oleh pasien untuk dapat menggunakan obat dengan benar, dengan

    tujuan memperoleh terapi yang maksimal dan efek samping obat yang

    minimal (Amor et al, 2010 dan Mitchel et al, 2011 dikutip dalam Nita, Yuda

  • and Nugraheni, 2012). Hal tersebut menjadi bagian peran apoteker dalam segi

    pelayanan klinis dalam pemberian informasi obat dan konseling yang harus

    dilakukan terutama untuk pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit

    kronis seperti diabetes mellitus (Menkes RI, 2014).

    Dalam Islam, kata “amal” bertebaran dalam Al Quran. Etos kerja

    menjadi hal kunci yang cukup mendapat banyak perhatian. Tak hanya kerja

    untuk kehidupan akhirat kelak, tapi juga kerja untuk keberlangsungan hidup

    di dunia. Islam melarang umatnya berpangku tangan atau menunggu belas

    kasihan orang. Sebaliknya, agama Islam selalu menekankan pentingnya kerja

    keras dan profesionalitas.

    Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, umat Islam diarahkan oleh

    agamanya agar meningkatkan kualitas takwa dan keimanannya secara terus

    menerus dan berkesinambungan. Meningkatkan kualitas taqwa, seorang

    muslim pasti akan meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran

    agamanya secara baik dan lebih sempurna. Islam mengarahkan umatnya agar

    memiliki etos kerja yang tinggi dan mengarah pada profesionalisme.

    Manusia yang beriman dan bekerja dengan baik, sehingga melahirkan

    karya-karya besar yang bermanfaat bagi sesamanya, disebutkan Al Quran

    sebagai manusia yang paling baik dan terpuji. Sesungguhnya manusia yang

    paling mulia adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi sesamanya

    dan makhluk lain secara menyeluruh. Tak terkecuali dengan Apoteker

    komunitas yang harus bekerja dalam melakukan pelayanan farmasi klinis

    secara professional dan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya.

    Allah SWT berfirman :

    ِت أُ إِنَّ ِلَحَّٰ ئَِك ُهْم َخْيُر ٱْلبَِريَّةِ ٱلَِّذيَن َءاَمنُو۟ا َوَعِملُو۟ا ٱلصَََّّٰٰٓ ۟ولََّٰ

    “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan melakukan pekerjaan yang

    baik, mereka adalah sebaik-baiknya makhluk.”(QS Al Bayyinah, 98:7)

    Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

    metode simulasi pasien. Metode simulasi pasien digunakan untuk

    menentukan bagaimana Apoteker komunitas saat ini menyediakan layanan

    konseling pasien. Puspitasari et. al mengevaluasi penelitian yang

  • dipublikasikan di 1993-2007 dan melaporkan bahwa di antara semua metode

    penelitian, simulasi-pasien adalah metode yang lebih dapat diandalkan untuk

    mengevaluasi praktek konseling di apotek (dikutip dalam Ibrahim et al.,

    2016).

    Dari paparan di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui

    gambaran pelaksanaan konseling kepada pasien di apotek Kecamatan Jatiasih

    dan Bekasi Selatan wilayah Kota Bekasi. Peneliti memandang penting untuk

    meneliti sejauh mana apoteker telah memenuhi perannya dalam

    melaksanakan pemberian konseling oleh apoteker komunitas sesuai Standar

    Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat

    memperbaharui hasil penelitan yang pernah ada dan menambah data-data

    informasi akan peran apoteker khususnya di Kecamatan Jatiasih dan Bekasi

    Selatan wilayah Kota Bekasi.

    1.2. Rumusan Masalah

    1. Bagaimana pelayanan resep terhadap edukasi dan konseling di apotek

    kecamatan Bekasi Selatan dan Jatiasih terhadap resep diabetes melitus?

    2. Apakah Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Peraturan

    Menteri Kesehatan RI No. 35 Tahun 2014 telah diterapkan oleh apotek-

    apotek khususnya di kecamatan Jatiasih dan Bekasi Selatan wilayah Kota

    Bekasi?

    1.3. Tujuan Penelitian

    1.3.1. Tujuan Umum

    Untuk mengetahui gambaran pelayanan farmasi klinis terhadap pasien

    DM tipe 2 di apotek kecamatan Bekasi Selatan dan Jatiasih wilayah Kota

    Bekasi.

    1.3.2. Tujuan Khusus

    a. Untuk mengetahui gambaran kehadiran Apoteker di tempat kerja

    (Apotek) di Kecamatan Jatiasih dan Bekasi Selatan wilayah Kota

    Bekasi.

  • b. Untuk mengetahui gambaran pelaksanaan pelayanan farmasi klinis

    terhadap pasien DM tipe 2 ditinjau dari edukasi dan konseling.

    1.4. Ruang Lingkup Penelitian

    Ruang lingkup diperlukan untuk membuat pokok bahasan menjadi

    lebih terarah.Penelitian ini dilakukan dengan metode simulasi pasien dengan

    instrument yang digunakan adalah lembar check list. Lembar check list berisi

    informasi tentang tahapan-tahapan dari konseling.

    Pada penelitian ini digunakan resep untuk pasien diabetes melitus,

    dengan obat yang digunakan adalah metformin. Pelayanan farmasi klinis

    yang diteliti hanyalah mencangkup edukasi dan konseling. Penelitian ini

    dimulai bulan Januari – Juli 2018 di Apotek Kecamatan Jatiasih dan Bekasi

    Selatan wilayah Kota Bekasi.

    1.5. Manfaat Penelitian

    1.5.1. Secara Teoritis

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan serta

    wawasan tentang pelayanan resep antidiabetes terhadap edukasi dan

    konseling di apotek.

    1.5.2. Secara Metodologi

    Metode penelitian ini dapat menjadi referensi untuk diaplikasikan

    pada penelitian farmasi klinis sejenis di Apotek daerah lain.

    1.5.3. Secara Aplikatif

    Hasil penelitian berupa gambaran pelayanan resep antidiabetes

    terhadap edukasi dan konseling di Apotek ini dapat digunakan menjadi

    informasi tentang sejauh mana penerapan pelayanan farmasi klinis yang

    berpusat pada pasien telah terlaksana di Apotek dan menjadi masukan

    tersendiri untuk para ahli profesi farmasi dalam melaksanakan

    peranannya sebagai tenaga kesehatan. Dapat juga digunakan oleh IAI

    (Ikatan Apoteker Indonesia) dalam upaya meningkatkan pelayanan

    kefarmasian terutama pada bagian edukasi dan konseling di apotek

    serta melindungi masyarakat dari pelayanan kefarmasian yang tidak

  • profesional. Dan digunakan oleh Dinas Kesehatan Kota Bekasi untuk

    memperbaiki dan lebih mengontrol apotek-apotek di Kota Bekasi agar

    dapat memenuhi standar.

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Perkembangan Profesi Kefarmasian

    Secara historis, perubahan-perubahan dalam profesi kefarmasiaan

    dapat dibagi dalam 4 tahap (Ross W. Holland dan Christine M. Nimmo,

    1999):

    1. Tahap 1 : Tugas utama farmasi adalah memproduksi. Pada tahap ini

    farmasi muncul sebagai industri rumahan yang melayani masyarakat.

    Apoteker membuat obat patennya sendiri dengan resep yang dibuat

    sendiri, kemudian dijual dari apotek mereka sendiri. Pasien akan datang ke

    apoteker untuk membeli obat dan meminta bimbingan dalam pemilihan

    dan penggunaan obat yang akan digunakan. Apotek pada periode ini setara

    dengan industri farmasi saat ini dan pada saat itu, farmasi memiliki nilai

    sosial yang jelas.

    2. Tahap 2 : Pada periode ini muncul farmasi industri manufaktur dan pada

    saat yang sama pembuatan resep obat oleh dokter sedang meningkat,

    sehingga pekerjaan utama apoteker berhenti dalam memproduksi obat dan

    berpindah ke peracikan obat yang telah diproduksi dari industri yang

    disesuaikan dengan resep. Pada tahap ini pasien masih datang ke apotek

    untuk mendapatkan obat dan bimbingan dalam penggunaan obat. Peran

    apoteker masih memiliki nilai sosial yang jelas.

    3. Tahap 3 : Pada tahap ini tugas utama apoteker mengalami penyimpangan.

    Banyaknya jumlah produk obat yang semakin meningkat membuat fokus

    utama peran apoteker menjadi ke produk obat dan peran pada pasien

    menjadi memudar. Hal tersebut juga didorong oleh adanya Kode Etik

    Asosiasi Farmasi Amerika (American Pharmaceutical Association/AphA

    Code of Ethics) mulai tahun 1922-1969 farmasis dilarang untuk

    mendiskusikan efek terapi atau komposisi resep dengan pasien.

    4. Tahap 4 : Akibat perubahan fokus farmasis terhadap produk (obat) maka

    muncul berbagai laporan tentang kegagalan terapi, hal ini memicu untuk

    farmasis mengisi kembali bidang pelayanan kefarmasian. Sehingga pada

  • tahap keempat, Apoteker kembali berperan dalam pemberian informasi

    obat, saran dan konseling pasien.

    Gambar 1. Tahapan perubahan praktik kefarmasian Sumber: Ross W. Holland dan Christine M. Nimmo, 1999

  • 2.2. Apoteker

    Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan

    telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker (Peraturan Pemerintah RI No.

    51, 2009). Apoteker sebagai pelaku utama pelayanan kefarmasiaan yang

    bertugas sebagai pelaksana atau pemberi pelayanan kesehatan diberi

    wewenang sesuai kompetensi pendidikan yang diperolehnya, sehingga terkait

    erat dengan hak dan kewajiban (Ikatan Apoteker Indonesia, 2011).

    Berdasarkan Peraturan pemerintah No. 51 tahun 2009 pasal 1,

    pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung

    jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud

    mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.

    Sebagai konsekuensi perubahan orientasi dari obat kepada pasien yang

    mengacu kepada pharmaceutical care (pelayanan kefarmasiaan) maka

    Apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan

    agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien (Pemerintah RI,

    2009).

    Dalam pengelolaan apotek, Apoteker harus memiliki kemampuan

    menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan

    yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri

    sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM

    secara efektif, selalu belajar sepanjang karir dan membantu memberi

    pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan (Menkes

    RI, 2004).

    2.2.1. Peran Apoteker

    2.2.1.1. Peran Apoteker Menurut WHO

    Untuk bisa efektif sebagai anggota tim kesehatan,

    apoteker butuh intelektual untuk melakukan fungsi-fungsi

    yang berbeda. WHO menyebutkan tentang peran apoteker

    dalam pelayanan kesehatan dengan istilah 8 bintang (Eight-

    Star Pharmacist), yaitu (Wiedenmeyer dkk., 2006):

  • 1. Care giver, artinya apoteker dapat memberi pelayanan

    kepada pasien, memberi informasi obat kepada

    masyarakat dan kepada tenaga kesehatan lainnya.

    2. Decision maker, artinya apoteker mampu mengambil

    keputusan, tidak hanya mampu mengambil keputusan

    dalam hal manajerial namun harus mampu mengambil

    keputusan terbaik terkait dengan pelayanan kepada

    pasien, sebagai contoh ketika pasien tidak mampu

    membeli obat yang ada dalam resep maka apoteker dapat

    berkonsultasi dengan dokter atau pasien untuk pemilihan

    obat dengan zat aktif yang sama namun harganya lebih

    terjangkau.

    3. Communicator, artinya apoteker mampu berkomunikasi

    dengan baik dengan pihak ekstern (pasien atau

    customer) dan pihak intern (tenaga profesional

    kesehatan lainnya).

    4. Leader, artinya apoteker mampu menjadi seorang

    pemimpin di apotek. Sebagai seorang pemimpin,

    apoteker merupakan orang yang terdepan di apotek,

    bertanggung jawab dalam pengelolaan apotek mulai dari

    manajemen pengadaan, administrasi, manajemen SDM

    serta bertanggung jawab penuh dalam kelangsungan

    hidup apotek.

    5. Manager, artinya apoteker mampu mengelola apotek

    dengan baik dalam hal pelayanan, pengelola manajemen

    apotek, pengelolaan tenaga kerja dan adinistrasi

    keuangan. Untuk itu apoteker harus mempunyai

    kemampuan manaerial yang baik, yaitu keahlian dalam

    menjalankan prinsip-prinsip ilmu manajemen.

    6. Life long learner, artinya apoteker harus terus-menerus

    menggali ilmu pengetahuan, senantiasa belajar,

  • menambah pengetahuan dan keterampilannya serta

    mampu mengembangkan kualitas diri.

    7. Teacher, artinya apoteker harus mampu menjadi guru,

    pembimbing bagi stafnya, harus mau meningkatkan

    kompetensinya, harus mau menekuni profesinya, tidak

    hanya berperan sebagai orang yang tahu saja, namun

    harus dapat melaksanakan profesinya dengan baik.

    8. Researcher, berkaitan dengan peran sebagai life long

    learner, apoteker dituntut untuk selalu mengikuti

    perkembangan ilmu pengetahuan dengan melakukan

    penelitian baru yang bermanfaat bagi dunia kesehatan.

    2.2.1.2. Peran Apoteker Menurut Peraturan di Indonesia

    Berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

    tahun 1945 pada pasal 28H ayat 1 dan pasal 34 ayat 3,

    mendapat pelayanan kesehatan menjadi hak setiap warga

    negara dan negara menjadi penanggung jawab atas

    penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas

    pelayanan umum yang layak (UUD RI, 1945). Pelayanan

    Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan

    bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan

    sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti

    untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan

    Kefarmasian di Apotek diselenggarakan oleh Apoteker,

    dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga

    Teknis Kefarmasian yang memiliki Surat Tanda Registrasi,

    Surat Izin Praktik atau Surat Izin Kerja. Dalam melakukan

    Pelayanan Kefarmasian seorang apoteker harus menjalankan

    peran yaitu (Menkes RI, 2014) :

    1. Pemberi layanan

    Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus

    berinteraksi dengan pasien. Apoteker harus

  • mengintegrasikan pelayanannya pada sistem

    pelayanan kesehatan secara berkesinambungan.

    2. Pengambil keputusan

    Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam

    mengambil keputusan dengan menggunakan seluruh

    sumber daya yang ada secara efektif dan efisien.

    3. Komunikator

    Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien

    maupun profesi kesehatan lainnya sehubungan dengan

    terapi pasien. Oleh karena itu harus mempunyai

    kemampuan berkomunikasi yang baik.

    4. Pemimpin

    Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk

    menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan

    meliputi keberanian mengambil keputusan yang

    empati dan efektif, serta kemampuan

    mengomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.

    5. Pengelola

    Apoteker harus mampu mengelola sumber daya

    manusia, fisik, anggaran dan informasi secara efektif.

    Apoteker harus mengikuti kemajuan teknologi

    informasi dan bersedia berbagi informasi tentang obat

    dan hal-hal lain yang berhubungan dengan obat.

    6. Pembelajar seumur hidup

    Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan,

    sikap dan keterampilan profesi melalui pendidikan

    berkelanjutan (Continuing Professional Development/

    CPD).

    7. Peneliti

    Apoteker harus selalu menerapkan prinsip/kaidah

    ilmiah dalam mengumpulkan informasi sediaan

    farmasi dan pelayanan kefarmasian serta

  • memanfaatkannya dalam pengembangan dan

    pelaksanaan pelayanan kefarmasiaan.

    2.3. Asisten Apoteker

    Asisten Apoteker adalah tenaga teknis kefarmasian yang membantu apoteker

    dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian. Tenaga Teknis Kefarmasian terdiri

    atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga

    Menengah Farmasi/Asisten Apoteker (Menkes RI, 2014). Asisten apoteker

    memiliki tugas dan fungsi dalam pengelolaan apotek, yaitu (Umar, 2005):

    1. Fungsi pembelian meliputi: mendata kebutuhan barang, membuat

    kebutuhan pareto barang, mendata pemasok, merencanakan dan

    melakukan pembelian sesuai dengan yang dibutuhkan, kecuali ketentuan

    lain dari APA dan memeriksa harga.

    2. Fungsi gudang meliputi: menerima dan mengeluarkan berdasarkan fisik

    barang, menata, merawat dan menjaga keamanan barang.

    3. Fungsi pelayanan meliputi: melakukan penjualan dengan harga yang

    telah ditetapkan, menjaga kenyamanan ruang tunggu, melayani

    konsumen dengan ramah dan membina hubungan baik dengan

    pelanggan.

    2.4. Apotek

    Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek

    kefarmasian oleh apoteker (Menkes RI, 2014). Apotek memiliki tugas dan

    fungsi sebagai :

    a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan

    sumpah jabatan.

    b. Sarana farmasi untuk melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk,

    pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat.

    c. Sarana penyaluran perbekalan farmasi dalam menyebarkan obat-obatan

    yang diperlukan masyarakat secara luas dan merata.

  • Sarana dan prasarana yang harus dimiliki oleh apotek untuk menunjang

    Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi sarana yang memiliki fungsi

    (Menkes RI, 2014):

    1. Ruang penerimaan

    Resep Ruang penerimaan Resep sekurang-kurangnya terdiri dari

    tempat penerimaan Resep, 1 (satu) set meja dan kursi, serta 1 (satu) set

    komputer. Ruang penerimaan Resep ditempatkan pada bagian paling

    depan dan mudah terlihat oleh pasien.

    2. Ruang pelayanan

    Resep dan peracikan (produksi sediaan secara terbatas) Ruang

    pelayanan Resep dan peracikan atau produksi sediaan secara terbatas

    meliputi rak obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan. Di ruang

    peracikan sekurang-kurangnya disediakan peralatan peracikan,

    timbangan obat, air minum (air mineral) untuk pengencer, sendok obat,

    bahan pengemas obat, lemari pendingin, termometer ruangan, blanko

    salinan resep, etiket dan label obat. Ruang ini diatur agar mendapatkan

    cahaya dan sirkulasi udara yang cukup, dapat dilengkapi dengan

    pendingin ruangan (air conditioner).

    3. Ruang penyerahan obat

    Ruang penyerahan obat berupa konter penyerahan obat yang dapat

    digabungkan dengan ruang penerimaan resep.

    4. Ruang konseling

    Ruang konseling sekurang-kurangnya memiliki satu set meja dan kursi

    konseling, lemari buku, buku-buku referensi, leaflet, poster, alat bantu

    konseling, buku catatan konseling dan formulir catatan pengobatan

    pasien.

    5. Ruang penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan

    Medis Habis Pakai

    Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur,

    kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan

    keamanan petugas. Ruang penyimpanan harus dilengkapi dengan

    rak/lemari Obat, pallet, pendingin ruangan (AC), lemari pendingin,

  • lemari penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika, lemari

    penyimpanan Obat khusus, pengukur suhu dan kartu suhu. 6. Ruang

    arsip Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang

    berkaitan dengan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan

    Bahan Medis Habis Pakai serta Pelayanan Kefarmasian dalam jangka

    waktu tertentu.

    2.5. Pelayanan Kefarmasian di Apotek

    Pelayanan kefarmasian di apotek meliputi dua kegiatan, yaitu kegiatan

    yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan,

    dan bahan medis habis pakai dan pelayanan farmasi klinis.Kegiatan tersebut

    harus didukung oleh sumber daya manusia, sarana dan prasarana (Menkes RI,

    2014).

    2.5.1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis

    Habis Pakai

    Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis

    habis pakai dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan

    yang berlaku meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan,

    penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan pelaporan

    (Menkes RI, 2014).

    a. Perencanaan

    Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat

    kesehatan, dan bahan medis habis pakai perlu diperhatikan pola

    penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.

    b. Pengadaan

    Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan

    sediaan farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan

    perundang- undangan.

    Merupakan suatu proses kegiatan yang bertujuan agar tersedianya

    sediaan farmasi dengan jumlah dan jenis yang cukup sesuai dengan

    kebutuhan pelayanan. Kriteria yang harus dipenuhi dalam

  • pengadaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan adalah

    (Menkes RI, 2014) :

    1. Apotek hanya membeli sediaan farmasi dan perbekalan

    kesehatan yang telah memiliki izin edar atau nomor regristrasi.

    2. Mutu sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan dapat

    dipertanggungjawabkan.

    3. Pengadaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan dari

    jalur resmi, yaitu pedagang besar farmasi, industri farmasi, dan

    apotek lain.

    4. Dilengkapi dengan persyaratan administrasi seperti faktur.

    c. Penerimaan

    Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis

    spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera

    dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.

    d. Penyimpanan

    1. Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.

    Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan

    pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi

    dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah

    sekurang-kurangnya memuat nama obat, nomor batch dan

    tanggal kadaluwarsa.

    2. Semua obat atau bahan obat harus disimpan pada kondisi yang

    sesuai sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.

    3. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memerhatikan bentuk

    sediaan dan kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.

    4. Pengeluaran obat memakai sistem FEFO (First expire first out)

    dan FIFO (First In First Out).

    e. Pemusnahan

    1. Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai

    dengan jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat

    kadaluwarsa atau rusak yang mengandung narkotika dan

    psikotropika dilakukan oleh apoteker dan disaksikan oleh

  • dinas kesehatan kabupaten atau kota. Pemusnahan obat selain

    narkotika dan psikotropika dilakukan oleh apoteker dan

    disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat

    izin praktek atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan

    dengan berita acara pemusnahan menggunakan formulir satu

    sebagaimana terlampir.

    2. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima)

    tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh

    apoteker disaksikan sekurang-kurangnya petugas lain di

    apotek dengan cara dibakar atau pemusnahan lain yang

    dibuktikan dengan berita acara pemusnahan dan selanjutnya

    dilaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota.

    f. Pengendalian

    Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah

    persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem

    pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini

    bertujuan untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan,

    kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta

    pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan

    menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau elektronik.

    Kartu stok sekurang-kurangnya memuat nama obat, tanggal

    kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa

    persediaan.

    g. Pencatatan dan Pelaporan

    Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan

    farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi

    pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stock),

    penyerahan (nota atau struk penjualan) dan pencatatan lainnya

    disesuaikan dengan kebutuhan. Pelaporan terdiri dari pelaporan

    internal dan eksternal. pelaporan internal merupakan pelaporan yang

    digunakan untuk kebutuhan manajemen apotek, meliputi keuangan,

    barang dan laporan lainnya. Pelaporan eksternal merupakan

  • pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan

    ketentuan peraturan perundang-undangan meliputi pelaporan

    narkotika, psikotropika dan pelaporan lainnya.

    2.5.2. Pelayanan Farmasi Klinis di Apotek

    Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

    No. 35 tahun 2014, pelayanan farmasi klinis di Apotek merupakan

    bagian dari pelayanan kefarmasian yang langsung dan bertanggung

    jawab kepada pasien berkaitan dengan sediaan farmasi, alat kesehatan,

    dan bahan medis habis pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti

    untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelayanan farmasi klinis

    meliputi :

    1. Pengkajian Resep

    Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian

    farmasetik dan pertimbangan klinis. a. Kajian administratif

    meliputi:

    1) Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan

    2) Nama Dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat,

    nomor telepon dan paraf.

    3) Tanggal penulisan resep

    4) Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:

    a. Bentuk dan kekuatan sediaan

    b. Stabilitas

    c. Kompatibilitas (ketercampuran obat)

    5) Pertimbangan klinis meliputi:

    a. Ketepatan indikasi dan dosis obat

    b. Aturan, cara dan lama penggunaan obat

    c. Duplikasi dan/atau polifarmasi

    6) Reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping

    obat, manifestasi klinis lain)

    7) Kontra indikasi dan interaksi

  • 8) Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil

    pengkajian maka Apoteker harus menghubungi dokter

    penulis resep.

    2. Dispensing

    Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian

    informasi obat. Apoteker menyiapkan obat sesuai dengan

    permintaan resep, melakukan peracikan obat bila diperlukan,

    memberikan etiket, memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat

    dan terpisah untuk obat yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan

    menghindari penggunaan yang salah. Apoteker di Apotek juga

    dapat melayani obat non resep atau pelayanan swamedikasi.

    Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang

    memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan dengan

    memilihkan obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai

    Rincian standar praktik Apoteker Indonesia berupa dispensing

    juga dijelaskan lebih rinci oleh Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).

    Rincian praktik tersebut ada pada standar 3 praktik Apoteker (IAI,

    2013):

    a. Apoteker menerapkan cara dispensing yang baik

    b. Apoteker memastikan resep yang diterima berasal dari dokter

    c. Memastikan resep yang diterima sesuai dengan nama pasien

    yang dimaksud.

    d. Apoteker memastikan obat yang tertera dalam resep sesuai

    dengan tujuan penggunaan obat pasien.

    e. Memastikan resep tidak berpotensi menimbulkan masalah

    DRP.

    f. Apoteker berkomunikasi dengan dokter.

    g. Apoteker melakukan dispensing obat sitostatika secara tepat.

    h. Apoteker melakukan pemeriksaan ulang dan dokumentasi

    terhadap sediaan obat hasil dispensing.

    i. Apoteker melakukan pengecekan ulang terhadap identitas

    pasien.

  • j. Apoteker menyelesaikan dispensing tepat waktu.

    k. Memastikan pasien paham bila terjadi penggantian merek

    obat.

    l. Memastikan pasien memahami tentang obat yang diterimanya

    3. Pelayanan Informasi Obat (PIO) (dijelaskan lebih lanjut pada sub

    bab PIO)

    4. Konseling (dijelaskan lebih lanjut pada sub bab konseling)

    5. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care)

    Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat

    melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah,

    khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan

    penyakit kronis lainnya. Jenis pelayanan kefarmasian di rumah

    yang dapat dilakukan oleh apoteker, meliputi:

    a. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan

    dengan pengobatan.

    b. Identifikasi kepatuhan pasien. Pendampingan pengelolaan

    obat dan/atau alat kesehatan di rumah, misalnya cara

    pemakaian obat asma, penyimpanan insulin.

    c. Konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum.

    d. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan

    penggunaan obat berdasarkan catatan pengobatan pasien.

    e. Dokumentasi pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah

    dengan menggunakan formulir yang telah ditetapkan (Menkes

    RI, 2014).

    6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)

    Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien

    mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan

    memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping. Kriteria

    pasien:

    d. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.

    e. Menerima obat lebih dari 5 (lima) jenis.

    f. Adanya multidiagnosis.

  • g. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.

    h. Menerima obat dengan indeks terapi sempit.

    i. Menerima obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi

    obat yang merugikan.

    Kegiatan:

    a. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.

    b. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan

    pasien yang terdiri dari riwayat penyakit, riwayat penggunaan

    obat dan riwayat alergi; melalui wawancara dengan pasien

    atau keluarga pasien atau tenaga kesehatan lain.

    c. Melakukan identifikasi masalah terkait obat. Masalah terkait

    obat antara lain adalah adanya indikasi tetapi tidak diterapi,

    pelayanan obat tanpa indikasi, pemilihan obat yang tidak tepat,

    dosis terlalu tinggi, dosis terlalu rendah, terjadinya reaksi obat

    yang tidak diinginkan atau terjadinya interaksi obat.

    d. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien

    dan menentukan apakah masalah tersebut sudah atau

    berpotensi akan terjadi

    e. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang

    berisi rencana pemantauan dengan tujuan memastikan

    pencapaian efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak

    dikehendaki.

    f. Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang

    telah dibuat oleh apoteker harus dikomunikasikan dengan

    tenaga kesehatan terkait untuk mengoptimalkan tujuan terapi.

    g. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi obat

    dengan menggunakan formulir yang telah ditetapkan (Menkes

    RI, 2014).

    7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).

    Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat

    yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis

  • normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis,

    diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis. Kegiatan:

    a. Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko

    tinggi mengalami efek samping obat.

    b. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO).

    c. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional

    dengan menggunakan Formulir 10.

    Faktor yang perlu diperhatikan:

    a. Kerjasama dengan tim kesehatan lain.

    b. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat

    (Menkes RI, 2014).

    2.6. Pelayanan Informasi Obat (PIO)

    2.6.1. Definisi PIO

    Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan

    oleh Apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak

    memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam

    segala aspek penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien

    atau masyarakat. Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat

    bebas dan herbal (Menkes RI, 2014).

    Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute

    dan metode pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan

    alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui,

    efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau

    kimia dari obat dan lain-lain.

    Kegiatan pelayanan informasi obat di Apotek meliputi (Menkes

    RI, 2014).

    1. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan.

    2. Membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan

    masyarakat (penyuluhan).

    3. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien.

  • 4. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa

    farmasi yang sedang praktik profesi.

    5. Melakukan penelitian penggunaan obat.

    6. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah.

    7. Melakukan program jaminan mutu.

    Pelayanan informasi obat harus didokumentasikan untuk

    membantu penelusuran kembali dalam waktu yang relatif singkat

    dengan menggunakan formulir sesuai format yang telah ditetapkan.

    Dalam standar praktik kefarmasian yang dijelaskan dalam IAI

    Pelayanan Informasi Obat adalah bagian dari Konseling dimana dalam

    pelaksanaannya harus memperhatikah hal-hal seperti berikut (Ikatan

    Apoteker Indonesia, 2014) :

    a. Apoteker melakukan komunikasi dan interaksi yang baik.

    b. Apoteker memberikan penjelasan dan uraian atas setiap obat yang

    diberikan kepada pasien.

    c. Apoteker memberikan konseling obat kepada pasien dan keluarga.

    d. Melakukan konseling sesuai informasi terkini dan berbasis bukti.

    e. Apoteker menggunakan berbagai macam metode komunikasi

    untuk menjamin efektifitas konseling.

    f. Apoteker secara aktif menyediakan bahan informasi.

    g. Apoteker mendokumentasikan pelayanan konseling.

    h. Apoteker memelihara pengetahuan dan keterampilan untuk

    memberikan pelayanan informasi obat.

    i. Apoteker memiliki akses ke sumber informasi terkini yang

    relevan untuk mendukung pelayanan.

    j. Apoteker mengevaluasi mutu pelayanan informasi obat.

  • 2.7. Konseling

    2.7.1. Definisi Konseling

    Sherzer & Stone (1974) mendefenisikan konseling adalah suatu

    proses yang terjadi dalam hubungan tatap muka antara seorang individu

    yang terganggu oleh karena masalah-masalah yang tidak dapat

    diatasinya sendiri dengan seorang pekerja profesional, yaitu orang yang

    terlatih dan berpengalaman membantu orang lain mengenai

    pemecahan-pemecahan terhadap berbagai jenis kesulitan pribadi.

    Bahwa konseling adalah pemberian nasihat atau penasihatan kepada

    orang lain secara individual yang dilakukan secara berhadapan dari

    seorang yang mempunyai kemahiran (konselor) kepada seseorang yang

    mempunyai masalah (klien).

    Konseling berasal dari kata counsel yang artinya memberikan

    saran, melakukan diskusi dan pertukaran pendapat. Konseling adalah

    suatu kegiatan bertemu dan berdiskusinya seseorang yang

    membutuhkan (klien) dan seseorang yang memberikan (konselor)

    dukungan dan dorongan sedemikian rupa sehingga klien memperoleh

    keyakinan akan kemampuannya dalam pemecahan masalah.

    Konseling pasien merupakan bagian tidak terpisahkan dan

    elemen kunci dari pelayanan kefarmasian, karena Apoteker sekarang

    ini tidak hanya melakukan kegiatan compounding dan dispensing saja,

    tetapi juga harus berinteraksi dengan pasien dan tenaga kesehatan

    lainnya dimana dijelaskan dalam konsep Pharmaceutical Care. Dapat

    disimpulkan bahwa pelayanan konseling pasien adalah suatu pelayanan

    farmasi yang mempunyai tanggung jawab etika serta medikasi legal

    untuk memberikan informasi dan edukasi mengenai hal-hal yang

    berkaitan dengan obat.

    Kegiatan konseling dapat diberikan atas inisiatif langsung dari

    apoteker mengingat perlunya pemberian konseling karena pemakaian

    obat-obat dengan cara penggunaan khusus, obat-obat yang

    membutuhkan terapi jangka panjang sehingga perlu memastikan untuk

    kepatuhan pasien meminum obat. Konseling yang diberikan atas

  • inisiatif langsung dari apoteker disebut konseling aktif. Selain

    konseling aktif dapat juga konseling terjadi jika pasien datang untuk

    berkonsultasi kepada apoteker untuk mendapatkan penjelasan tentang

    segala sesuatu yang berhubungan dengan obat dan pengobatan, bentuk

    konseling seperti ini disebut konseling pasif (Departemen Kesehatan

    RI, 2007)

    Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan

    pasien atau keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman,

    kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam

    penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien.

    Untuk mengawali konseling, Apoteker menggunakan three prime

    questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu

    dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker harus

    melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah

    memahami obat yang digunakan.

    2.7.2. Tujuan dan Manfaat Konseling

    1. Tujuan Konseling

    Tujuan Umum :

    a. Meningkatkan keberhasilan terapi.

    b. Memaksimalkan efek terapi meminimalkan resiko efek

    samping.

    c. Meningkatkan cost effectiveness.

    d. Menghormati pilihan pasien dalam menjalankan terapi.

    Tujuan Khusus :

    a. Meningkatkan hubungan kepercayaan antara apoteker dengan

    pasien.

    b. Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien.

    c. Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obatnya.

    d. Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan dengan

    penyakitnya.

    e. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan.

    f. Mencegah atau meminimalkan Drug Related Problem.

  • g. Meningkatkan kemampuan pasien untuk memecahkan

    masalahnya sendiri dalam hal terapi.

    h. Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan.

    i. Membimbing dan mendidik pasien dalam menggunakan obat

    sehingga dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan

    mutu pengobatan pasien (Departemen Kesehatan RI, 2007)

    2. Manfaat Konseling

    Bagi pasien :

    a. Menjamin keamanan dan efektifitas pengobatan.

    b. Mendapatkan penjelasan tambahan mengenai penyakitnya.

    c. Membantu dalam merawat atau perawatan kesehatan sendiri.

    d. Membantu pemecahan masalah terapi dalam situasi tertentu.

    e. Menurunkan kesalahan penggunaan obat.

    f. Meningkatkan kepatuhan dalam menjalankan terapi.

    g. Menghindari reaksi obat yang tidak diinginkan.

    h. Meningkatkan efektivitas & efisiensi biaya kesehatan.

    Bagi Apoteker :

    a. Menjaga citra profesi sebagai bagian dari tim pelayanan

    kesehatan.

    b. Mewujudkan bentuk pelayanan asuhan kefarmasian sebagai

    tanggung jawab profesi apoteker.

    c. Menghindarkan apoteker dari tuntutan karena kesalahan

    penggunaan obat (Medication error) Suatu pelayanan tambahan

    untuk menarik pelanggan sehingga menjadi upaya dalam

    memasarkan jasa pelayanan (Departemen Kesehatan RI, 2007).

    1.7.3. Prinsip Dasar Konseling

    Prinsip dasar konseling adalah terjadinya kemitraan atau korelasi

    antara pasien dengan apoteker sehingga terjadi perubahan perilaku

    pasien secara sukarela. Pendekatan Apoteker dalam pelayanan

    konseling mengalami perubahan model pendekatan dari pendekatan

    “Medical Model” menjadi Pendekatan “Helping model” (Depkes

    RI,2007).

  • 1.7.4. Tahap Kegiatan Konseling

    1. Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien.

    2. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui

    Three Prime Questions, yaitu :

    a. Apa yang disampaikan Dokter tentang obat Anda?

    b. Apa yang dijelaskan oleh Dokter tentang cara pemakaian obat

    Anda?

    c. Apa yang dijelaskan oleh Dokter tentang hasil yang

    diharapkan setelah Anda menerima terapi obat tersebut?

    3. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan

    kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat.

    4. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan

    masalah penggunaan obat.

    5. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien

    (Menkes RI, 2014).

    Adapun hal yang harus diperhatikan dalam pemberian informasi

    obat (PIO) dan konseling menurut standar praktek kefarmasian IAI

    2014:

    a. Apoteker melakukan komunikasi dan interaksi yang baik.

    Medical Model Helping Model

    1. Pasien passive 2. Dasar dari kepercayaan ditunjukkan

    berdasarkan citra profesi

    3. Mengidentifikasi masalah dan menetapkan solusi

    4. Pasien bergantung pada petugas kesehatan

    5. Hubungan seperti ayah-anak

    1. Pasien terlibat secara aktif 2. Kepercayaan didasarkan dari

    hubungan pribadi yang

    berkembang setiap saat

    3. Menggali semua maslah dan memilih cara pemecahan masalah

    4. Pasien mengembangkan rasa percaya dirinya untuk

    memecahkan masalah

    5. Hubungan setara (Seperti teman)

    Sumber : Pedoman Konseling Pelayanan Kefarmasian Di

    Sarana Kesehatan, Depkes RI, 2007

    Tabel 1. Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Apoteker

  • b. Apoteker memberikan penjelasan dan uraian atas setiap obat yang

    diberikan kepada pasien.

    c. Apoteker memberikan konseling obat kepada pasien dan atau

    keluarga.

    d. Apoteker melakukan konseling sesuai informasi terkini dan

    berbasis bukti (evidence based).

    e. Apoteker menggunakan berbagai macam metoda komunikasi

    untuk menjamin efektifitas konseling.

    f. Apoteker secara aktif menyediakan bahan informasi.

    g. Apoteker mendokumentasikan pelayanan konseling.

    h. Apoteker memelihara pengetahuan dan keterampilan untuk

    memberikan pelayanan informasi obat.

    i. Apoteker memiliki akses ke sumber informasi terkini yang

    relevan untuk mendukung pelayanan.

    j. Apoteker mengevaluasi mutu pelayanan informasi obat.

    1.7.5. Konseling Pasien Rawat Jalan

    Pemberian konseling untuk pasien rawat jalan dapat diberikan pada saat

    pasien mengambil obat di apotek, puskesmas dan di sarana kesehatan lain.

    Kegiatan ini bisa dilakukan di counter pada saat penyerahan obat tetapi

    lebih efektif bila dilakukan di ruang khusus yang disediakan untuk

    konseling. Pemilihan tempat konseling tergantung dari kebutuhan dan

    tingkat kerahasiaan atau kerumitan akan hal-hal yang perlu

    dikonselingkan ke pasien. Konseling pasien rawat jalan diutamakan pada

    pasien yang (Departemen Kesehatan RI, 2007):

    a. Menjalani terapi untuk penyakit kronis, dan pengobatan jangka

    panjang. (Diabetes, TBC, epilepsi, HIV/AIDS, dll).

    b. Mendapatkan obat dengan bentuk sediaan tertentu dan dengan cara

    pemakaian yang khusus. Misal : suppositoria, enema, inhaler, injeksi

    insulin dll.

    c. Mendapatkan obat dengan cara penyimpanan yg khusus. Misal :

    insulin dll.

  • d. Mendapatkan obat-obatan dengan aturan pakai yang rumit, misalnya

    : pemakaian kortikosteroid dengan tapering down.

    e. Golongan pasien yang tingkat kepatuhannya rendah, misalnya :

    geriatrik, pediatri.

    f. Mendapatkan obat dengan indeks terapi sempit (digoxin, phenytoin,

    dll).

    g. Mendapatkan terapi obat-obatan dengan kombinasi yang banyak

    (polifarmasi).

    1.7.6. Masalah dalam Konseling

    Penyebab ketidakpatuhan dalam penggunaan obat Beberapa

    penyebab dari ketidak patuhan pasien dalam penggunaan obat dapat

    disebabkan karena faktor pasien sendiri maupun faktor-faktor yang lain

    (Departemen Kesehatan RI, 2007).

    Faktor Penyakit :

    a. Keparahan atau stadium penyakit, kadang orang yang merasa sudah

    lebih baik kondisinya tidak mau meneruskan pengobatan.

    b. Lamanya terapi berlangsung, semakin lama waktu yang diberikan

    untuk terapi, tingkat kepatuhan semakin rendah.

    Faktor Terapi :

    a. Regimen pengobatan yang kompleks baik jumlah obat maupun

    jadwal penggunaan obat.

    b. Kesulitan dalam penggunaan obat, misalnya kesulitan menelan obat

    karena ukuran tablet yang besar.

    c. Efek samping yang ditimbulkan, misalnya : mual, konstipasi dll.

    d. Rutinitas sehari-hari yang tidak sesuai dengan jadwal penggunaan

    obat.

    Faktor Pasien :

    a. Merasa kurang pemahaman mengenai keseriusan dari penyakit dan

    hasil yang didapat jika tidak diobati.

    b. Menganggap pengobatan yang dilakukan tidak begitu efektif.

    c. Motivasi ingin sembuh.

  • d. Kepribadian/perilaku, misalnya orang yang terbiasa hidup teratur

    dan disiplin akan lebih patuh menjalani terapi.

    e. Dukungan lingkungan sekitar / keluarga.

    f. Sosio-demografi pasien : umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, dll

    Faktor Komunikasi :

    a. Pengetahuan yang kurang tentang obat dan kesehatan.

    b. Kurang mendapat instruksi yang jelas tentang pengobatannya.

    c. Kurang mendapatkan cara atau solusi untuk mengubah gaya

    hidupnya.

    d. Ketidakpuasan dalam berinteraksi dengan tenaga ahli kesehatan.

    e. Apoteker tidak melibatkan pasien dalam pengambilan keputusan.

    1.7.7. Evaluasi Mutu Pelayanan

    Merupakan proses penilaian kinerja pelayanan kefarmasian di

    apotek yang meliputi penilaian terhadap sumber daya manusia (SDM),

    pengelolaan perbekalan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan, dan

    pelayanan kefarmasian kepada pasien. Indikator mutu pelayanan di

    apotek antara lain: kepuasan pasien, kebutuhan pasien dan keberhasilan

    pengobatan.

    Tujuan evaluasi mutu pelayanan adalah untuk mengevaluasi

    seluruh rangkaian kegiatan pelayanan kefarmasian di apotek dan

    sebagai dasar perbaikan pelayanan kefarmasian selanjutnya. Untuk

    mengetahui mutu pelayanan kefarmasian, salah satu indikator yang

    mudah dilakukan adalah dengan mengukur kepuasan pasien dengan

    cara angket (Menkes RI, 2014).

    1.8. Metode Simulasi Pasien

    Simulasi pasien merupakan ‘‘aktor-pasien’’, yang telah dilatih untuk

    memainkan peran pada situasi pra-determined dalam hal mengajar atau

    evaluasi. Dalam literatur, simulasi pasien juga dikenal sebagai

    pseudopatients, standardized patients, pseudo-customer, shopper patient dan

    mystery patient dan lainnya. Apoteker atau penelitian yang dilakukan dengan

  • pendekatan ini mungkin atau tidak mungkin menyadari identitas pasien

    simulasi dan tujuannya (Mesquita et al., 2010).

    Metode ini sudah semakin digunakan sebagai pendekatan yang efektif

    untuk mengevaluasi praktek farmasi saat ini dan mengidentifikasi wilayah

    untuk kemajuan. Seorang pasien simulasi didefinisikan sebagai seseorang

    yang terlatih untuk melakukan kunjungan rahasia ke apotek untuk

    memberlakukan skenario dan laporan tentang perilaku staf apotek tanpa staf

    tersebut menyadari bahwa mereka sedang dievaluasi. Sebuah alat/ instrumen

    standarpengumpulan data digunakan untuk semua kunjungan guna

    mengurangi resiko bias. Seorang pasien simulasi yang melakukan kunjungan

    rahasia dipastikan mengurangi gejala yang dikenal sebagai gejala Hawthorne

    atau Observer Effect (perubahan perilaku pada objek sebagai akibat dari telah

    mengetahui bahwa mereka sedang diamati). Interaksi pasien simulasi dengan

    staf farmasi mengakibatkan terjadinya kondisi yang kurang erat yang

    tercermin pada praktek farmasi saat ini.Perekaman suara secara rahasia saat

    kunjungan dapat digunakan untuk memvalidasi data yang dilaporkan sendiri.

    Namun, dalam perekaman suara secara rahasia dalam penelitian ini, pasien

    simulasi tidak perlu meminta izin dari staf farmasi sebelum merekam.

    Penelitian ini disetujui oleh La Trobe University Human Ethics Commitee

    (Byrne, Wood, & Spark, 2018).

    Metode simulasi pasien merupakan metode pengumpulan data dengan

    menggunakan seseorang yang telah terlatih berperan sebagai pasien yang

    mengunjungi apotek untuk memerankan sebuah skenario untuk menguji atau

    mengetahui tingkah laku spesifik dari apoteker ataupun staf apotek (Watson,

    Norris, & Granas, 2006). Sebenarnya ada metode lain yang bisa digunakan

    dalam penelitian ini, seperti bertanya penyedia layanan untuk

    menggambarkan kebiasaan mereka atauterapi yang paling sering untuk tipe

    kasus tertentu (Madden et al, 1997). Selain itu juga bisa menggunakan metode

    pengamatan atau observasi (Notoatmodjo, 1997). Pada penelitian ini, metode

    yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode simulasi pasien

    (simulated patient) yang merupakan metode observasi tertutup (covert)

    (Watson et al, 2004). Dipilih metode simulasi pasien karena memiliki

  • keuntungan yang tidak dimiliki oleh metode lain, yaitu memberikan

    kesempatan untuk merekam praktek yang sebenarnya tanpa disadari oleh

    orang yang sedang diteliti dan merupakan metode yang praktis untuk menilai

    praktek secara nyata (Madden et al, 1997).

    Data yang penting untuk disiapkan pada saat peneliti melakukan

    kunjungan ke apotek antara lain adalah riwayat kesehatan yang akan

    ditanyakan, pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, keputusan yang akan

    dibuat, saran, dan informasi yang akan diberikan. Dalam melakukan

    penelitian harus diperhatikan situasi dari tempat, waktu penelitian, atau aspek

    komunikasi seperti bahasa, nada dan sikap. Persiapan yang dilakukan pada

    saat pengambilan data seperti metode, pilot pengujian, perbaikan yang

    mungkin perlu dilakukan, dan pelatihan untuk pelaku di lapangan

    (Rismawati, 2011).

    Peneliti harus dilatih dalam memainkan skenario agar meyakinkan pada

    saat melakukan kunjungan ke apotek sehingga dapat mengumpulkan data

    yang akurat. Untuk itu peneliti harus sudah bertemu dengan pasien

    sebenarnya untuk berbicara atau menanyakan kondisi pasien dan

    menyaksikan konsultasi yang sebenarnya (Madden et al, 1997).

    Seperti metode yang lain, metode simulasi pasien ini juga memiliki

    keterbatasan antara lain adalah :

    a Skenario yang digunakan hanya dapat mengekstrak informasi bagian

    kecil suatu penyedia pelayanan. Sulit untuk mengeneralisasi dalam

    masalah kesehatan lain walaupun masalahnya sama hanya berbeda

    dalam gejala yang timbul.

    b Metode ini biasanya tidak melibatkan pengguna pelayanan sebenarnya

    (pasien sebenarnya) ataupun pemberi pelayanan. Dengan demikian,

    metode ini memberikan sedikit wawasan atau tidak menunjukan

    karakteristik, pemahaman teknis, pendapat, dan motivasi dari penyedia

    dan pengguna yang sebenarnya.

    c Sulit untuk mengetahui apakah kunjungan dapat mewakili dari kasus

    yang serupa.

  • d Skenario yang rumit pada kasus-kasus tertentu akan sulit dalam

    mengolah data, sehingga memerlukan tenaga lapangan dan analis yang

    terlatih. e. Seperti metode penelitian yang lain, metode penelitian ini

    terbatas dalam jenis dan kualitas informasi yang dikumpulkan (Madden

    et al, 1997).

    1.9. Diabetes Melitus

    2.9.1. Pendahuluan

    Diabetes adalah salah satu penyakit tidak menular yang menjadi

    prioritas ke empat penyakit yang diidentifikasi oleh WHO bersama

    dengan penyakit cardiovascular disease (CVD), yang mencakup

    serangan jantung, stroke, kanker dan penyakit pernapasan kronis.

    Diabetes melitus merupakan penyakit yang sering diderita oleh

    sebagian besar orang di dunia, bersifat kronis dan pembiayaannya

    mahal. Penyakit diabetes ini ditandai dengan hiperglikemia (tingginya

    kadar glukosa dalam darah), akibat kurangnya insulin yang dihasilkan

    dalam tubuh karena kerusakan pankreas (diabetes tipe 1) atau akibat

    resistensi insulin (diabetes tipe 2) (International Diabetes Federation,

    2011)

    2.9.2. Prevalensi Diabetes Melitus

    Berdasarkan data WHO, 347 juta penduduk dunia mengidap

    penyakit diabetes yang didominasi oleh diabetes tipe 2 sebanyak 90%.

    Diprediksi bahwa pada tahun 2030 penyakit diabetes ini akan menjadi

    7 penyakit terbesar di dunia yang menyebabkan kematian. Kematian

    akibat diabetes 80% akan terjadi di negara berpenghasilan rendah dan

    menengah, dengan usia penduduk antara 35-64 tahun. Total kematian

    akibat diabetes diproyeksikan meningkat lebih dari 50% dalam 10

    tahun kedepan (WHO, 2013).

    Indonesia sendiri merupakan salah satu negara dengan prevalensi

    diabetes melitus yang tinggi dengan menduduki peringkat ke tujuh dari

    semua negara di dunia dengan didominasi oleh penduduk usia 20-79

    tahun. (International Diabetes Federation, 2013). Di Indonesia sendiri

  • berdasarkan hasil survei Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013

    mengenai prevalensi penyakit tidak menular yang dilakukan pada

    responden dengan umur > 15 tahun didapatkan hasil bahwa prevalensi

    diabetes mellitus menduduki peringkat ke empat di Indonesia.

    2.9.3. Penatalaksanaan Diabetes

    Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan

    morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai

    2 target utama, yaitu (Azrifitria dan Silma Awalia, 2013) :

    1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal.

    2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi

    diabetes.

    The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan

    beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan

    penatalaksanaan diabetes.

    Gula darah

    terkontrol

    Prediabetes Diabetes Melitus

    (DM)

    GDP (Glukosa

    Darah Puasa < 100 mg/dL 100 – 125 mg/dL ≥ 126 mg/dL

    Kadar glukosa 2

    jam setelah

    makan

    < 140 mg/dL 140 – 199 mg/dL ≥ 200 mg/dL

    GDS (Glukosa

    Darah Sewaktu)

    ≥ 200 mg/dL +

    gejala

    Hemoglobin A1c < 5,7 % 5,7 – 6,4 % ≥ 6,5 %

    (Sumber : Farmakoterapi Diabetes, 2013)

    Tabel 2. Diagnosis DM dari ACCP/ADA 2013

  • Parameter Glikemik

    GDP 70 – 130 mg/Dl

    Kadar glukosa 2 jam setelah makan

  • Umumnya pengobatan awal untuk penyakit diabetes ini adalah

    kombinasi dari perubahan gaya hidup lebih sehat dengan penggunaan obat

    (Marić, 2010). Metformin ini menimbulkan efek hipoglikemia yang rendah

    namun mudah menyebabkan terjadinya laktat asidosis pada pasien yang

    mengalami kerusakan ginjal (Sweetman.S., 2009). Metformin menurunkan

    glukosa darah dengan cara menghambat produksi glukosa hepatik dan

    menurunkan resistensi terhadap insulin. Penggunaan metformin secara

    tunggal, mampu menurunkan HbA1c sampai 1,5% (Marić, 2010).

    Dosis awal metformin 500 mg adalah dua atau tiga kali per hari atau

    850 mg satu atau dua kali perhari setelah makan (Sweetman.S., 2009).

    Metformin digunakan saat sedang makan untuk mengurangi efek samping

    yang berhubungan dengan pencernaan (McEvoy, 2002). Metformin ini

    mampu mengalami interaksi bila digabungkan dengan obat lain, contohnya

    simetidin. Penggunaan simetidin dan metformin secara bersamaan bisa

    menyebabkan penurunan ekskresi metformin oleh ginjal sehingga bisa

    menyebabkan lactic acidosis. Maka bila kedua obat ini harus di gunakan

    dalam waktu yang sama atau berdekatan maka turunkan dosis metformin

    untuk mencegah interaksi tersebut (Karen Baxter, 2008).

    2.9.4. Pelayanan Kefarmasian Pada Pasien Diabetes

    Secara prinsip, pelayanan kefarmasian terdiri dari beberapa tahap

    yang harus dilaksanakan secara berurutan (Departemen Kesehatan RI,

    2005):

    a. Penyusunan informasi dasar atau database pasien

    Penyusunan database dilakukan dengan menyalin nama, umur,

    berat badan pasien serta terapi yang diberikan yang tertera pada

    resep. Mengenai masalah medis (diagnosis, gejala) yang

    selanjutnya dikonfirmasikan ulang kepada pasien dan dokter bila

    perlu. Riwayat alergi, riwayat obat (riwayat penggunaan obat satu

    bulan terakhir). Hal ini diperlukan untuk memprediksikan efek

    samping dan efek yang disebabkan masalah terapi obat lainnya,

    serta untuk membantu pemilihan obat.

    b. Evaluasi atau Pengkajian (Assessment)

  • Tujuan yang ingin dicapai dari tahap ini adalah identifikasi

    masalah yang berkaitan dengan terapi obat. Pelaksanaan evaluasi

    dilakukan dengan membandingkan problem medik, terapi, dan

    database yang telah disusun, kemudian dikaitkan dengan

    pengetahuan tentang farmakoterapi, farmakologi dan ilmu

    pengetahuan lain yang berkaitan.

    c. Penyusunan Rencana Pelayanan Kefarmasian (RPK)

    Rekomendasi terapi, rencana monitoring (monitoring

    efektivitas terapi, Monitoring Reaksi Obat Berlawanan (ROB)) dan

    rencana konseling).

    d. Implementasi RPK dan monitoring implementasi

    Kegiatan ini merupakan upaya melaksanakan Rencana

    Pelayanan Kefarmasian (RPK) yang sudah disusun. Rekomendasi

    terapi yang sudah disusun dalam RPK, selanjutnya

    dikomunikasikan kepada dokter penulis resep, lalu lakukan

    monitoring.

    e. Tindak Lanjut

    Tindak lanjut merupakan kegiatan yang menjamin

    kesinambungan pelayanan kefarmasian sampai pasien dinyatakan

    sembuh atau tertatalaksana dengan baik. Kegiatan yang dilakukan

    dapat berupa pemantauan perkembangan pasien baik

    perkembangan kondisi klinis maupun perkembangan terapi obat

    dalam rangka mengidentifikasi ada atau tidaknya Masalah Terapi

    Obat (MTO) yang baru. Bila ditemukan MTO baru, maka

    selanjutnya apoteker menyusun atau memodifikasi RPK.

    Kegiatan lain yang dilakukan dalam follow-up adalah

    memantau hasil atau outcome yang dihasilkan dari rekomendasi

    yang diberikan. Hal ini sangat penting bagi Apoteker dalam menilai

    ketepatan rekomendasi yang diberikan. Kegiatanfollow-upmemang

    su