-
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara demokrasi, namun dalam perjalanan
sejarah
perwujudan demokrasi di Indonesia tidaklah berjalan dengan
semestinya,
sebagaimana sebuah negara demokrasi. Dari awal pemerintahan
Indonesia,
dimana Presiden Soekarno sebagai kepala negara dan sebagai
kepala
pemerintahan, menerapkan konsepsi demokrasi terpimpin yang
dikatakannya
sebagai demokrasi asli Indonesia tetapi dalam prakteknya di
dalam demokrasi
terpimpin itu tidak ada atau, dengan meminjam ungkapan M.
Natsir, semua ada di
dalam demokrasi terpimpin itu kecuali demokrasi itu sendiri yang
tidak ada.
Pemerintahan Soekarno yang sangat otoriter dengan demokrasi
terpimpinnya
akhirnya jatuh melalui proses yang tidak normal menyusul Gerakan
30 September
1965.1 Setelah jatuhnya pemerintahan Soekarno muncullah
pemerintahan orde
baru dimana Presiden Soeharto sebagai kepala negara dan sebagai
kepala
pemerintahan. Pada awalnya orde baru dapat menampilkan
pemerintahan yang
demokratis tetapi ternyata hal itu hanya berlangsung kira-kira
selama 3 tahun
yakni selama pemerintah baru ini menyiapkan format politik baru
melalui
penyusunan Undang-undang bidang politik. Setelah itu dan
lebih-lebih setelah
pemilu tahun 1971, pemerintah kembali otoriter. Otoriterisme
negara ini
1 Moh.Mahfud MD, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata
Negara,Ctk.
Pertama,UII Press,Yogyakarta, Agustus 1999,hlm. 5.
-
berlangsung terus hingga dijatuhkannya rezim orde baru oleh
gerakan reformasi
pada Juli 1998.2
Turunnya pemerintahan Soeharto merupakan awal dimulainya
tahapan
baru bagi masyarakat Indonesia, yang kemudian dikenal dengan era
reformasi,
yaitu suatu proses untuk membuka ruang-ruang politik, hukum,
ekonomi, sosial
yang selama hampir 32 tahun tertutup. Ketika gerakan reformasi
bergelora banyak
yang mengatakan bahwa keberhasilan gerakan reformasi di
Indonesia pada
tahap permulaan dewasa ini merupakan dasar kebangkitan demokrasi
di
Indonesia yang harus dimanfaatkan dan didorong oleh berbagai
kelompok
masyarakat agar peluang tersebut tidak terlepas dari tangan
bangsa Indonesia.3
Pada saat itu proses reformasi berusaha mengubah
ketentuan-ketentuan politik
yang dihasilkan pemerintahan Soeharto. Habibie, yang ditunjuk
oleh Soeharto
menjadi Presiden, banyak mempunyai kelemahan-kelemahan politik
akibat
mempunyai kedekatan dengan pemerintahan masa lalu. Sehingga
tidak ada jalan
lain bagi Habibie untuk segera melakukan Pemilu, yang kemudian
diadakan pada
tahun 1999.4 Setelah proses pemilu ditetapkan, maka kemudian
bermunculan
partai-partai politik baru, dimana setiap partai politik membawa
aspirasi dan
kepentingan sekelompok orang atau golongan tertentu. Munculnya
partai- partai
politik baru yang jumlahnya cukup banyak dikarenakan selama
pemerintahan
Soeharto, hanya ada 3 partai politik yang diperbolehkan ikut
dalam pesta
demokrasi, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan
Pembangunan
2 Ibid.hlm. 5-6.
3 Ibid.hlm. 9.
4 Edward Aspinall, Indonesia Setelah Soeharto dalam Edward
Aspinall, Herbert Feit
dan Gerry Van Kliken (editor), Titik Tolak Reformasi, Hari-hari
Terakhir Presiden Soeharto, Ctk.
Pertama, LKIS, Yogyakarta, Juli 2002, hlm. 338.
-
(PPP), dan Partai Demokrat Indonesia (PDI). Ketiga partai ini,
disahkan dalam
Undang Undang Politik 1965, dimana Undang Undang tersebut adalah
hasil dari
pemerintahan Soeharto yang mengebiri sembilan partai politik
lainnya yang
terlibat dalam pemilu 1971.5 Pemilu tahun 1999 dapat disebut
juga sebagai pemilu
multipartai kedua setelah pemilu 1955. Dan pada pemilu-pemilu
berikutnya
setelah pemilu tahun 1999, yaitu pemilu tahun 2004 dan pemilu
tahun 2009
kemarin, sistem kepartaian yang digunakan di Indonesia tetap
menggunakan
sistem multipartai. Hal ini membuktikan telah terjadinya
reformasi dalam bidang
politik, dimana merupakan sebuah perwujudan negara yang
demokrasi yang
memberikan kebebasan warga negaranya untuk berserikat,
mengeluarkan
pendapat dan aspirasinya.
Penerapan sistem multipartai di Indonesia dianggap merupakan
salah satu
bentuk dari demokratisasi yang selalu berjalan mencari bentuk
yang tepat sesuai
dengan kondisi rakyat Indonesia. Namun dalam perjalanan
penerapan sistem
multipartai di Indonesia setelah reformasi ini, masih juga
menimbulkan
permasalahan, hal ini dikarenakan berdasarkan teori, sistem
kepartaian yang
diterapkan dalam suatu negara harus selaras dengan sistem
pemerintahan yang
dianut di negara tersebut. Dan juga karena adanya keterkaitan
yang erat antara
upaya penataan sistem politik yang demokratis dengan terwujudnya
sistem
pemerintahan dengan baik dalam rangka penyelenggaraan
negara.
5 David Bourchier, Sistem Pemilu Pada Masyarakat Transisi dalam
Erward Aspinal,
Herbert Feit dan Gerry Van Kliken (editor), Titik Tolak
Reformasi, Hari-hari Terakhir Presiden
Soeharto, Ctk. Pertama, LKIS, Yogyakarta, Juli 2000,
hlm.343.
-
Sistem pemerintahan itu sendiri merupakan salah satu cermin dari
jati diri
suatu bangsa dan merupakan salah satu aspek yang menentukan
penyelenggaraan
negara. Sistem pemerintahan menunjukkan pada pembagian kekuasaan
dan
hubungan antar lembaga negara, khususnya antara eksekutif dan
legislatif. Sistem
pemerintahan yang dianut Indonesia adalah sistem pemerintahan
presidensiil yang
terdapat dan diatur di dalam UUD 1945 baik sebelum dan sesudah
amandemen.
Sistem pemerintahan presidensiil telah dianut oleh Indonesia
sejak masa orde
lama sampai masa reformasi sekarang ini. Namun dalam
perjalanannya sistem
pemerintahan presidensiil di Indonesia dapat dibagi kedalam dua
periode, yaitu
periode sebelum amandemen UUD 1945 dan periode sesudah amandemen
UUD
1945. Pada periode sebelum amandemen UUD 1945, sistem
pemerintahan
presidensiil yang terdapat dan diatur dalam UUD 1945 sebelum
amandemen serta
di dalam mempraktikkannya dianggap tidak sesuai dengan inti
ajaran sistem
pemerintahan presidensiil yang sesungguhnya karena UUD 1945
sebelum
amandemen memuat prinsip-prinsip sistem pemerintahan
presidensiil dan prinsip-
prinsip sistem pemerintahan parlementer secara bersamaan. Dengan
adanya dua
sistem pemerintahan yang berbeda dalam UUD 1945 sebelum
amandemen ,
dimana UUD 1945 merupakan dasar dari sistem pemerintahan yang
berlaku di
Indonesia menunjukan terjadinya dualisme sistem pemerintahan
dalam UUD 1945
sebelum amandemen. Padahal jika ditinjau sesuai dengan teori
sistem, dalam
UUD tidak boleh ada dualisme karena konstitusi merupakan suatu
kesatuan yang
tersusun secara sistematis, tidak boleh ada pertentangan antara
bagian yang satu
-
dengan bagian yang lain, atau antara bagian-bagian itu dengan
keseluruhannya.6
Dengan adanya penyatuan prinsip-prinsip sistem pemerintahan
presidensiil
dengan prinsip-prinsip sistem parlementer di dalam UUD 1945
sebelum
amandemen, minimal menimbulkan dua buah konsekuensi logis yaitu;
(1),
menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat, termasuk di
kalangan para ahli
ilmu politik dan ahli hukum tata negara. Konsekuensi lainnya
dengan adanya
dualisme sistem pemerintahan dalam UUD 1945 sebelum amandemen
adalah (2),
memeberikan peluang terjadinya konflik antar lembaga negara,
seperti yang dulu
pernah terjadi anatar DPR/MPR dengan Presiden Soekarno dan
Presiden
Abdurrahman Wahid.7 Alasan-alasan tersebut menjadi dasar salah
satu agenda
dalam amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR pada Sidang
Istimewa
MPR 1998, yaitu mempertegas atau memperkuat sistem pemerintahan
presidensiil
di dalam UUD 1945. Setelah dilakukannya amandemen terhadap UUD
1945
maka sistem pemerintahan yang di anut oleh Indonesia dianggap
banyak kalangan
lebih jelas dan lebih tegas kepada sistem pemerintahan
presidensiil.
Dari uraian penjelasan di atas dapat diketahui sistem kepartaian
dan sistem
pemerintahan apa dan yang bagaimana yang diterapkan di
Indonesia. Dan dengan
melihat teori serta fakta sejarah, dimana sistem pemerintahan
yang dianut oleh
suatu negara harus didukung dengan sistem kepartaian yang sesuai
atau ideal
dengan sistem pemerintahan tersebut sehingga terjadi keselarasan
antara sistem
pemerintahan dengan sistem kepartaian karena hal tersebut akan
berdampak pada
6Bintan R. Saragih& M. Kusnardi, Susunan Pembagian Kekuasaan
Menurut Sistem UUD
1945, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990, hlm.2. 7Mahmuzar,
Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum dan
Sesudah
Amandemen, Nusa Media, Bandung, 2010, hlm. 132.
-
perwujudan sistem pemerintahan itu sendiri dalam rangka
penyelenggraan negara
yang baik. Di Indonesia sendiri seperti yang telah dijelaskan
diatas, merupakan
negara yang menganut sistem pemerintahan presidensiil dengan
menerapkan
sistem multi partai di dalamnya, sehingga akan memunculkan
pertanyaan
mengapa sistem multi partai di adopsi dalam sistem pemerintahan
presidensiil
Indonesia pasca amandemen UUD 1945, serta apakah tepat sistem
multi partai
diterapkan dalam sistem pemerintahan presidensiil Indonesia
pasca amandemen
UUD 1945?. Oleh karena itu penulis mempunyai inisiatif, untuk
melakukan
penelitian dan berusaha menjawab pertanyaan mendasar diatas.
Sehingga penulis
memilih judul SISTEM MULTI PARTAI DALAM SISTEM PRESIDENSIIL
PASCA AMANDEMEN UUD 1945.
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa sistem multi partai diadopsi dalam sistem
pemerintahan
presidensiil Indonesia pasca amandemen UUD 1945?
2. Apakah tepat sistem multi partai diterapkan dalam sistem
pemerintahan
presidensiil Indonesia pasca amandemen UUD 1945?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut :
1. Mengetahui mengapa sistem multi partai diadopsi dalam
sistem
pemerintahan presidensiil pasca amandemen UUD 1945.
2. Mengetahui apakah tepat sistem multi partai diterapkan dalam
sistem
pemerintahan presidensiil pasca amandemen UUD 1945.
-
D. Tinjauan Pustaka
1. Sistem Kepartaian
Dalam upaya mengklasifikasikan sistem kepartaian sampai saat ini
belum
ada metode yang bisa disepakati secara luas, sehingga hal ini
menyebabkan
banyak munculnya klasifikasi sistem kepartaian yang dikemukakan
oleh para ahli.
Menurut Miriam Budiardjo dalam bukunya yang berjudul
Dasar-dasar
Ilmu Politik mengemukakan beberapa cara pengklasifikasian sistem
kepartaian.
Pertama, dilihat dari segi komposisi dan fungsi keanggotaan
partai politik.
Dengan cara secara umum partai politik dapat dibagi dalam dua
jenis yaitu partai
massa dan partai kader. Partai massa mengutamakan kekuataan
berdasarkan
keunggulan jumlah anggota, oleh karena itu partai massa biasanya
terdiri dari
pendukung-pendukung dari berbagai aliran politik dalam
masyarakat yang sepakat
bernaung dibawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang
biasanya luas
dan kabur. Kelemahan dari partai massa ialah bahwa masing-masing
aliran atau
kelompok yang bernaung di bawah partai massa cenderung untuk
memaksakan
kepentingan masing-masing, terutama pada saat-saat krisis,
sehingga persatuan
dalam partai dapat menjadi lemah atau hilang sama sekali
sehingga salah satu
golongan memisahkan diri dan mendirikan partai baru. Sedangkan
partai kader
sangat mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja dari
anggota-
anggotanya. Dalam partai kader, pimpinan partai biasanya menjaga
kemurnian
doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan
terhadap calon
anggotanya dan memecat anggota yang menyeleweng dari garis
partai yang telah
ditetapkan. Klasifikasi kedua yang dikemukakan oleh Miriam
Budiardjo adalah
-
dengan cara melihat dari segi sifat dan orientasi, dalam hal
mana partai-partai
dapat dibagi dalam dua jenis yaitu partai lindungan (patronage
party) dan partai
ideologi atau partai azas (Weltanscauungs Partei atau
programmatic party).
Partai lindungan umumnya memiliki organisasi nasional yang
kendor (sekalipun
organisasinya di tingkat lokal sering cukup ketat), disiplin
yang lemah dan
biasanya tidak mementingkan pemungutan iuran secara teratur.
Tujuan utama
partai lindungan adalah memenangkan pemilihan umum untuk
anggota-anggota
yang dicalonkannya, oleh karena itu hanya giat menjelang
masa-masa pemilihan.
Partai Demokrat dan Partai Republik di Amerika Serikat merupakan
contoh dari
partai lindungan. Sedangkan partai ideologi atau partai azas
(Sosialisme, fasisme,
komunisem, kristen-demokrat) biasanya mempunyai pandangan hidup
yang
digariskan dalam kebijaksanaan pimpinan dan berpedoman pada
disiplin partai
yang kuat dan mengikat. Terhadap calon anggota diadakan
saringan, sedangkan
untuk menjadi anggota pimpinan disyaratkan lulus melalui tahap
percobaan.
Untuk memperkuat ikatan batin dan kemurnian ideologi maka
dipungut iuran
secara teratur dan disebarkan organ-organ partai yang memuat
ajaran-ajaran serta
keputusan-keputusan yang telah dicapai oleh pimpinan.8
Sedangkan Gabriel A. Almond dalam memberikan serta
mengemukakan
gambaran tentang klasifikasi partai politik memiliki sudut
pandang atau kriteria
sendiri, dimana dalam salah satu risalahnya Interest
Articulation and the
Function of Aggregation mengemukakan fungsi agregasi sebagai
salah satu
alternatif dalam mengklasifikasikan sistem kepartaian. Dengan
menggunakan
8 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Ctk. Ketujuh, PT.
Gramedia, Jakarta,
1982, hlm.166-167.
-
kriteria tersebut, Gabriel A. Almond mengajukan empat kategori
sistem
kepartaian, masing-masing adalah :
a. Sistem kepartaian authoritarian, dengan salah satu
sub-kategorinya yang disebut totalitarian. Dalam
mengagregasikan
berbagai kepentingan, partai-partai politik yang totaliter
(totalitarian parties) berusaha masuk jauh ke dalam struktur
masyarakat negara yang bersangkutan. Karena itu mereka pada
umumnya beranggapan bahwa proses transmisi dan agregasi
berbagai kebutuhan ataupun tuntutan-tuntutan yang da harus
diwujudkan melalui struktur partai tunggal. Sedangkan jika
dilihat
dalam satu segi, sistem kepartaian otoritarian dipandang
lebih
luwes dibandingkan sistem totaliter, disamping mereka selalu
mengajukan penyampaian berbagai tuntutan dan kebutuhan
secara
terbuka. Tetapi, ketiadaan kebebasan memilih beserta
alternatif
pilihan menyebabkan kebijaksanaan-kebijaksanaan cenderung
dibuat melalui struktur otoritatif seperti partai politik,
kekuasaan
militer dan birokrasi.
b. Sistem kepartaian dominant non-authoritarian. Sistem
kepartaian ini berkembang pada saat kelompok-kelompok kepentingan
yang
ada mengikatkan diri secara bersama-sama dalam satu program
untuk mencapai kemerdekaan nasional. Dalam sistem ini,
peranan
partai oposisi (loyal oppositon) kurang memadai, kohesi
partai
sulit untuk dicapai dan berbagai kepentingan tidak
diagregasikan
secara efektif.
c. Sistem dua partai yang selalu bersaing satu sama lain. Sistem
kepartaian ini dalam banyak hal bisa dilihat dalam pelaksanaan
sistem kepartaian di Amerika Serikat dan Inggris.
d. Sistem banyak partai yang senantiasa bersaing satu sama lain.
Sistem kepartaian ini biasanya dibedakan antara working class
dengan kelas-kelas lain yang disebut immobilist. Untuk
working
class dapat ditemukakan di negara-negara Skandinavia, dimana
partai-partai politik yang ada bersifat homogen serta
melaksanakan fungsi agregatif secara lebih luas, dan
bertujuan
mencapai mayoritas yang stabil serta memperkenankan
penggabungan berbagai kelompok oposisi terhadap pemerintah.
Sedang untuk immobilist dikembangkan di Italia dan Perancis
yang tumbuh dalam satu kebudayaan politik isolatif dan
fragmentaris, di mana koalisi politik sangat rapuh dan
lemah.9
9 Gabriel A. Almond dalam Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik Dan
Perspektifnya, Ctk.
Pertama, Tiara Wacana & YP2LPM,Yogyakarta, 1986,
hlm.225-226.
-
Klasifikasi yang lain, dikemukakan oleh Maurice Duverger
dengan
menggunakan kekuatan partai sebagai salah satu alat ukurnya.
Aspek kekuatan
yang dimaksudkan Maurice Duverger tersebut bisa diukur dari segi
pemilih dalam
suatu proses pemilihan maupun dari segi jumlah kursi yang
diperoleh partai
politik dalam badan-badan perwakilan. Tetapi, pada prinsipnya
Maurice Duverger
lebih menekankan pada segi jumlah kursi yang diperoleh oleh
suatu partai politik
dalam badan perwakilan dibanding besarnya pemilih pada pemilihan
umum.
Berdasarkan sudut pandang tersebut, Maurice Duverger
mengelompokan partai
politik ke dalam empat jenis. Masing-masing adalah:
a. Partai-partai dengan kekuatan mayoritas yang ingin membawa
kekuasaan mayoritasnya secara absolut dalam badan perwakilan
rakyat. Partai-partai semacam ini biasa terdapat dalam negara
yang
menganut sistem dua partai dan dalam beberapa kasus terdapat
pula dalam negara yang menganut sistem banyak partai.
b. Partai-partai dengan kekuatan mayoritas yang tidak ingin
membawakan kekuasaan mayoritasnya secara absolut dan bahkan
tidak memaksakan kepentingannya. Kenyataan semacam ini
adalah sebagai akibat koalisi beberapa partai politik sehingga
bisa
menguasai suara mayoritas dalam badan perwakilan rakyat.
c. Partai-partai yang tergolong medium dan yang tidak mampu
membentuk pemerintahan minoritas.
d. Partai-partai minoritas yang tidak mampu memainkan peranan
politik, baik dalam hubungannya dengan partai-partai pemerintah
maupun partai-partai oposisi.10
Giovani Sartori mengklasifikasikan sistem kepartaian berdasarkan
ideologi
yang dianut masing-masing partai serta banyaknya partai yang
diakui dan ikut
dalam setiap pemilihan umum. Pengklasifikasian sistem kepartaian
tersebut dibagi
menjadi 4 macam, yaitu Sistem dua Partai, Pluralisme Moderat,
Pluralisme
Terpolarisasi dan Sistem Partai Berkuasa. Sistem dua partai
ditandai oleh adanya
10
Maurice Duverger dalam Cheppy Haricahyono, Ibid.hlm.226-227.
-
dua partai yang terus bersaing di dalam setiap pemilu serta
paling memiliki
pendukung luas. Kedua partai tersebut dapat saja memiliki
ideologi yang berbeda
ataupun isu-isu politik yang kontras. Contohnya di Amerika
Serikat dimana Partai
Republik dan Partai Demokrat yang bersaing. Partai Republik
membawakan
kepentingan pengusaha, kalangan militer, dan golongan
konservatif. Partai
Demokrat, kerap dicitrakan sebagai lebih dekat ke kalangan
pekerja, gerakan
sosial bernuansa hak asasi manusia, dan kesejahteraan sosial.
Pluralisme Moderat
adalah sistem kepartaian suatu negara di mana partai-partai
politik yang ada di
dalamnya memiliki ideologi yang berbeda-beda. Namun, perbedaan
ideologi
tersebut tidak begitu tajam sehingga dapat saja para pemilih
suatu partai dapat
berpindah dari partai yang satu ke partai lainnya. Demikian
pula, di tingkatan
parlemen, partai-partai yang memiliki perbedaan ideologi tetap
dapat menjalin
koalisi jika memang diperlukan guna menggolkan suatu kebijakan.
Pluralisme
Terpolarisasi adalah sistem kepartaian suatu negara dimana
partai-partai politik
yang ada di dalamnya memiliki ideologi yang berbeda-beda.
Perbedaan ideologi
tersebut terkadang cukup fundamental sehingga sulit bagi pemilih
partai yang satu
untuk berpindah ke partai lainnya. Demikian pula, di tingkatan
parlemen,
perbedaan ideologi tersebut membuat sulitnya tercipta koalisi
akibat perbedaan
ideologi yang cukup tajam tersebut. Sistem Partai Berkuasa
adalah sistem
kepartaian di mana di suatu negara terdapat sejumlah partai,
tetapi ada sebuah
partai yang selalu memenangkan pemilihan umum dari satu periode
ke periode
lain. Partai yang selalu menang tersebut menjadi dominan di
antara partai-partai
lainnya, dilihat dari sisi basis massa, dukungan pemerintah,
maupun kemenangan
-
kursi mereka di setiap pemilihan umum. Contoh dari satu Sistem
Partai Berkuasa
ini adalah Malaysia, Indonesia di era Orde Baru, ataupun
India.11
Berbeda dengan yang lainnya, Roy C. Macridis yang cenderung
tidak
membedakan antara partai dan sistem kepartaian dalam
mengungkapakan tipologi
atau skema klasifikasinya. Dalam bukunya, yang berjudul
Political Parties:
Comtemporary Trends and Ideas, Roy C. Macridis mengemukakan tiga
kriteria
yang bisa digunakan. Yang pertama, adalah menyangkut
sumber-sumber
pendukung partai politik. Dari kriteria ini muncul dua tipe
partai politik, yaitu
comphrehensive parties yang berusaha menjangkau suara-suara
keseluruhan
pemilih dan sectarian parties yang mencoba mencari para pengikut
dari kelas-
kelas, daerah-daerah atupun ideologi-ideologi tertentu. Kriteria
kedua, berkaitan
dengan masalah organisasi internal partai politik. Dengan
menggunakan kriteria
ini muncul dua bentuk partai politik, yaitu closed party, yang
dalam prakteknya
membatasi secara ketat kenggotaan partainya, dan open party
yang
memperkenankan semua orang masuk menjadi anggota partainya.
Kriteria ketiga,
kriteria ini menjangkau masalah bentuk-bentuk tindakan tertentu.
Untuk itu
dibedakan antara apa yang disebut specialized dan diffused. Yang
pertama
mengikuti prosedur konvensional untuk melaksanakan fungsi
pengawasan
terhadap pemerintah menurut tujuan dan waktu yang terbatas,
sedangkan yang
kedua lebih pragmatis dalam menggunakan beberapa cara untuk
memperoleh
kekuasaan dan lebih menekankan pada pengawasan menyeluruh dan
permanen.12
11
Giovani Sartori, Sistem Kepartaian Di Indonesia, at
http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/sistem-kepartaian-di-indonesia.html.
Agust. 30, 2010.
12
Roy C. Macridis dalam Cheppy Haricahyono,
Ilmu...Op.Cit.hlm.227-228.
-
Di samping berbagai klasifikasi yang telah dikemukakan di atas
terdapat
metode yang paling konvensional dalam mengklasifikasikan partai
politik, ialah
menurut jumlah partai yang ada dalam suatu negara. Dengan cara
konvensional
tersebut, dikenal adanya tiga klasifikasi, masing-masing adalah
sistem satu partai
(one-party system, atau mono-partism), sistem dua partai atau
sistem dwi partai,
dan sistem banyak partai (multi party system, atau
multipartism). Seperti yang
telah dikemukakan di atas mengenai belum adanya metode yang bisa
disepakati
secara luas dalam upaya mengklasifikasikan sistem kepartaian,
tetapi
pengklasifikasian berdasar jumlah partai politik yang ada dalam
suatu negara
banyak menuai kritik dari para ahli dengan alasan
pengklasifikasian tersebut
sebenarnya memperkosa konsep dasar pola hubungan persaingan yang
terjadi di
dalam maupun antar partai. Para penganut aliran empirisme
seringkali
mempermasalahkan dilema teoritis sebagai akibat penggunaan
pendekatan yang
berdasarkan jumlah partai tersebut. Mereka pada umumnya
beranggapan bahwa
pada hakekatnya tidak mungkin ada persaingan intern maupun antar
partai dalam
negara yang menganut sistem partai tunggal. Di samping itu, satu
fakta
menunjukkan bahwa negara-negara seperti Amerika Serikat ataupun
negara-
negara lain yang dikatakan menganut sistem dua partai, ternyata
masih
memungkinkan tumbuhnya gerakan partai ketiga yang meramaikan
persaingan
yang ada. Kenyataan lain, bahwa di negara-negara yang termasuk
dalam kategori
penganut sistem banyak partai, lebih sering menerapkan pola
sistem partai
tunggal, karena dominannya salah satu di antara berbagai partai
yang ada.13
Frank
13
Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik Dan Perspektifnya, Ctk.
Pertama, Tiara Wacana &
-
J. Sorauf berpendapat bahwa cara mengklasifikasikan dengan
menggunakan
jumlah partai cenderung memberikan pengukuran pada salah satu
dimensi dan
melupakan dimensi-dimensi lainnya, seperti persaingan ideologis
antara partai
mayoritas dengan partai-partai minoritas, kendatipun lebih
banyak terjadi dalam
organisasi politik dibanding dalam partai politik. Lebih lanjut
dikatakan bahwa
cara-cara tersebut juga cenderung melupakan perbedaan-perbedaan
yang ada
dalam organisasi partai, begitu pula hasil yang dicapai dari
analisa semacam itu
sangat tidak memuaskan dibandingkan dengan menggunakan analisa
persaingan
antara pemilih dan pendukung partai politik.14
Meskipun dalam perkembangannya metode pengklasifikasian
sistem
kepartaian dengan menggunakan jumlah partai politik mendapat
berbagai kritik
dari para ahli namun dalam kenyataannya metode ini yang paling
banyak
digunakan di berbagai negara dalam mengklasifikasikan sistem
kepartaian. Begitu
pula di Indonesia.
2. Sistem Pemerintahan
Kata sistem berasal dari bahasa Yunani yaitu systema yang
mempunyai
arti sebagai berikut: Pertama, suatu keseluruhan yang tersusun
dari sekian banyak
bagian. Kedua, hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan
atau
komponen secara teratur. Dengan perkataan lain systema itu
mengandung arti
sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara
teratur dan
merupakan satu keseluruhan (a whole).15
Pengertian kata sistem juga banyak
dikemukakan oleh para ahli, antara lain :
Menurut Prof. Pamudji, sistem adalah :
YP2LPM,Yogyakarta, 1986, hlm.224-225
14 Frank J. Souraf dalam Cheppy Haricahyono, Ibid.hlm.225.
15 Tatang Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Ctk. keenam,
Rajawali Press, Jakarta, 1996,
hlm. 1.
-
1. Suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau
terorganisir, suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau
bagian-bagian yang
membentuksuatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau
utuh.16
2. Suatau kebulatan atau keseluruhan yang utuh, dimana di
dalamnya terdapat komponen-kompenen yang pada gilirannya
merupakan
sistem tersendiri yang mempunyai fungsi masing-masing,
saling
berhubungan satu sama lain menurut pola, tata atau norma
tertentu
dalam rangka mencapai satu tujuan.17
Menurut W. J. S. Poerwadarminta, sistem adalah sekelompok
bagian-
bagian (alat dan sebagainya), yang bekerja bersama-sama untuk
melakukan
sesuatu maksud.18
Sedangkan menurut Jarl J. Federich, sistem adalah:
Sesuatu keseluruhan, yang terdiri dari berbagai macam
bagian-bagian yang
mempunyai hubungan fungsional baik antar bagian maupun
keseluruhan
antar bagian sehingga hubungan itu menimbulkan suatu
ketergantungan
antar bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak
bekerja
dengan baik maka akan mempengaruhi keseluruhan itu.19
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai pengertian tentang
sistem yang
dikemukakan oleh beberapa ahli, dapat ditarik kesimpulan
mengenai pengertian
sistem, sebagai berikut:
Sistem adalah kesatuan yang utuh dari sesuatu rangkaian, yang
kait
mengkait satu sama lain. Bagian atau anak cabang dari suatu
sistem,
menjadi induk sistem dari rangkaian selanjutnya. Begitulah
seterusnya
sampai pada bagian yang terkecil, rusaknya salah satu bagian
akan
mengganggu kestabilan sistem itu sendiri. Pemerintahan Indonesia
adalah
suatu contoh sistem pemerintahan, anak cabangnya adalah
sistem
16
Prof. Drs. S. Pamudji, MPA, Toeri Sistem dan Pengeterapannya
dalam Management.
Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta, 1981, hlm. 4-7. 17
Prof. Drs. S. Pamudji, MPA, Perbandingan Pemerintahan, Bina
Aksara, Jakarta, 1985,
hlm. 9-10. 18
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta,
1987, hlm. 955. 19
Moh. Kusnardi dan Harmaly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Pusat
Studi Hukum Tata Negara FH UI dan CV Sinar Bakti, Jakarta, 1988,
hlm. 160.
-
pemerintahan daerah, kemudian seterusnya sistem pemerintahan
desa/keseluruhan.20
A. Hamid S. Atamimi mengemukakan bahwa dalam kata sistem
pemerintahan terdapat begian-bagian dari pemerintahan yang
masing-masing
mempunyai tugasa dan fungsinya namun secara keseluruhan
bagian-bagian itu
merupakan salah satu kesatuan yang padu dan bekerjasama secara
rasional21
.
Sedangkan pengertian Pemerintahan memiliki dua arti, yakni dalam
arti
luas dan dalam arti sempit.
Pengertian pemerintahan dalam arti luas yakni segala bentuk
aktifitas/kegiatan penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh
organ-
organ negara (lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif)
yang
mempunyai otoritas menjalankan kekuasaan. Sedangkan
pengertian
pemerintahan dalam arti sempit adalah suatu aktifitas/kegiatan
yang
dilakukan oleh lembaga eksekutif yang dalam hal ini dilakukan
oleh
presiden maupun perdan menteri sampai dengan level birokrasi
yang
paling rendah tingkatannya.22
Dari pengertian pemerintahan di atas, dalam melakukan
pembahasan
mengenai pemerintahan negara, dasar yang dipergunakan yakni
konteks
pemerintahan dalam arti luas yaitu meliputi pembagian kekuasaan
negara,
hubungan antar alat-alat perlengkapan negara yang menjalankan
kekuasaan-
kekuasaan tersebut baik hubungan horizontal (pemisahan/pembagian
kekuasaan)
20
Drs. Inu Kencana Syariie, Pengantar Ilmu Pemerintahan, Ersco,
Bandung, 1992, hlm.
101. 21
A. Hamid S. Atamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Negara Suatu Analisis Mengenai Keputusan
Presiden Yang berfungsi Sebagai
Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita II, (Disertasi),
fakultas pasca sarjana UI, Jakarta,
1990, hlm.110-111. 22
Hestu Cipto Handoyo , Hukum Tata Negara Kewarganegaraan
(Memahami Proses
Konsolidasi Sistem Demokrasi), UAJY, Yogyakarta, 2003,
hlm.84.
-
maupun hubungan vertikal (pemencaran kekuasaan) antara
pemerintah pusat dan
pemerintah lokal.
Dengan demikian jika pengertian pemerintahan tersebut dikaitkan
dengan
pengertian sistem maka, pengertian sistem pemerintahan adalah
suatu
tatanan/susunan pemerintahan yang berupa struktur yang terdiri
dari organ-organ
pemegang kekuasaan di dalam negara yang saling melakukan
hubungan
fungsional di antara organ-organ negara tersebut baik secara
vertikal maupun
horizontal untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.
Kebanyakan orang menganggap bahwa yang dimaksud dengan
sistem
pemerintahan negara hanya berkisar pada mekanisme hubungan
antara pemegang
kekuasaan eksekutif dan legislatif anggapan semacam ini dapat
dibenarkan,
sepanjang sistem pemerintahan dimaksudkan adalah sistem
pemerintahan negara
dalam arti sempit. Oleh karena itu, agar lebih jelas dalam
memahami sistem
pemerintahan, menurut Hestu Cipto Handoyo dalam doktrin hukum
tata negara
yang biasa tertuang di dalam setiap konstitusi maka sistem
pemerintahan negara
dapat dibagi tiga pengertian, yaitu:
1. Sistem pemerintahan negara dalam arti paling luas, yakni
tatanan yang berupa struktur dari suatu negara dengan
menitikberatkan
pada hubungan antara negara dengan rakyat dalam mekanisme
pengangkatan kepala negara dan mekanisme pengambilan
keputusan negara. Kajian ini akan menimbulkan:
a. Model/bentuk pemerintahan monarki. 1) Mekanisme pengangkatan
kepala negara melalui
pewarisan.
2) Mekanisme pengambilan keputusan negara ada pada satu
orang.
b. Model/bentuk pemerintahan republik.
-
1) Mekanisme pengangkatan kepala negara melalui pemilihan oleh
rakyat.
2) Mekanisme pengambilan keputusan negara ada pada suatu majelis
yang mencerminkan representasi
rakyat.
2. Sistem pemerintahan negara dalam arti luas, yakni suatu
tatanan atau struktur pemerintahan negara yang bertitik tolak
dari
hubungan antar semua organ negara, termasuk hubungan antar
pemerintah pusat (central government) dengan bagian-bagian
yang
terdapat dalam negara ditingkat lokal (local government).
Kajian
sistem pemerintahan negara dalam arti sempit seperti ini
meliputi:
a. Bangunan negara kesatuan: pemerintah pusat memegang otoritas
penuh (berkedudukan lebih tinggi) daripada
pemerintah lokal.
b. Bangunan negara serikat (federal): pemerintah pusat dan
negara bagian mempunyai kedudukan yang sama.
c. Bangunan negara konfederasi: pemerintah lokal
(kanton/wilayah) mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
dari pemerintah pusat.
3. Sistem pemerintahan negara dalam arti sempit, yakni suatu
tatanan atau struktur pemerintahan yang bertitik tolak dari
hubungan
sebagian organ negara ditingkat pusat khususnya hubungan
antara
eksekutif dan legislatif. Struktur atau tatanan pemerintahan
negara
seperti ini akan menimbulkan model:
a. Sistem parlementer : parlemen (legislatif) mempunyai
kedudukan lebih tinggi ketimbang eksekutif. Contohnya di
Jepang, India, Inggris.
b. Sistem pemisahan kekuasaan (presidensiil) : parlemen
(legislatif) pemerintahan mempunyai kedudukan yang sama
dan saling melakukan kontrol (check and balances).
Contohnya di Amerika Serikat.
c. Sistem pemerintahan dengan pengawasan langsung oleh rakyat :
pemerintahan (eksekutif) pada hakikatnya adalah
badan pekerja dari parlemen (legislatif), dengan kata lain
eksekutif merupakan bagian yang tidak terpisah dari
legislatif (parlemen) oleh karena itu parlemen tidak diberi
kewenangan untuk melakukan pengawasan kepada
eksekutif, sehingga yang berhak mengawasi parlemen dan
eksekutif adalah rakyat secara langsung. Contohnya di
Swiss.23
Secara konseptual sistem pemerintahan yang pada umumnya
digunakan
oleh negara-negara demokrasi dapat dibedakan menjadi tiga
kelompok, yakni ;
23
Ibid, hlm.86.
-
sistem pemerintahan Parlementer (the Parliamentary Cabinet
Government),
sistem pemerintahan Presidensiil (the Presidential Government),
dan sistem
pemerintahan yang mengandung ciri sistem Parlementer dan ciri
sistem
Presidensiil (Semi Presidential Government) atau dapat juga
disebut sebagai
sistem pemerintahan campuran.24
3. Sistem Pemerintahan Dan Sistem Kepartaian Di Indonesia
Pasca
Amandemen UUD 1945
a. Sistem Pemerintahan Di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945
Salah satu agenda dalam amandemen UUD 1945 yang dilakukan
oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR 1998, yaitu mempertegas
dan
memperkuat sistem pemerintahan presidensiil dalam UUD 1945.
Setelah dilakukannya amandemen UUD 1945 dengan melalui empat
tahapan maka sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia
dianggap banyak kalangan sudah lebih jelas dan lebih tegas
kepada
sistem presidensiil yang sesungguhnya. Hal ini
mengindikasikan
keberhasilan yang dilakukan oleh MPR hasil pemilu 1999 dalam
memperkuat sistem pemerintahan presidensiil dalam UUD 1945.
Hal
itu dapat terlihat dari; (1), dihapusnya beberapa
ketentuan-ketentuan
UUD 1945 sebelum amandemen yang memuat prinsip-prinsip
sistem
pemerintahan parlementer.25
(2), Dipertegasnya lima prinsip sistem
24
Ellydar Chaidir, Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia
Pasca Perubahan
Undang-undang Dasar 1945, Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm 1.
25
Prinsip sistem parlementer yang dihapus dalam UUD 1945 adalah;
(a), Presiden dan
Wakil Presiden dipilih oleh MPR dan bertanggungjawab kepada MPR,
diganti menjadi
Presidendan Wakil Presiden dipilih lengsung oleh rakyat dan
bertnggungjawab kepada rakyat. (b),
Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya karena melanggar
-
pemerintahan presidensiil di antaranya;26
(a) walaupun pasal 4 ayat
(1) UUD 1945 hanya menyebutkan kekuasaan pemerintahan
dipegang oleh Presiden,27
tetapi berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UUD
1945 dapat dilihat bahwa Presiden dan Wakil Presiden
merupakan
institusi penyelenggara kekuasaan eksekutif negara yang
tertinggi di
bawah UUD, karena apabila Presiden berhalangan, baik
berhalangan
tetap maupun berhalangan sementara, maka kekuasaan Presiden
dijalankan oleh Wakil Presiden,28
(b), Presiden dan Wakil Presiden
dipilih oleh rakyat secara langsung.29
(c) Presiden dan/ atau Wakil
Presiden tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya.
Presiden
hanya dapat diminta pertanggungjawaban secara hukum dalam
masa
jabatannya apabila melakukan pelanggaran hukum berat,
perbuatan
tercela dan mengalami perubahan sehingga tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.30
(d), Para Menteri
merupakan pembantu Presiden. Menteri diangkat dan
diberhentikan
konstitusi dan GBHN dirubah menjadi Presiden dan/ Wakil Presiden
hanya dapat diberhentikan
dalam masa jabatannya karena melanggar hukum dan karena
perubahan tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden yang terlebih
dahulu harus dibuktikan oleh
Mahkamah Konstitusi (MK). 26
Mahmuzar, Sistem...Op.cit.hlm.133. 27Pasal 4 ayat (1) UUD 1945
menyebutkan, Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. 28
Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, Dalam melakukan
kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.
29Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 hasil perubahan ketiga menyebutkan,
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat.
30Pasal 7A UUD 1945, Presiden dan/ atau Wakil Presiden dapat
diberhentikan dalam
masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul
Dewan Perwakilan Rakyat, baik
apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela maupun apabila terbukti
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil
Presiden.
-
oleh Presiden, dan karena itu bertanggungjawab kepada
Presiden.31
(e), Ditentukannya masa jabatan Presiden selama lima tahun,
dan
tidak boleh dijabat oleh orang yang sama lebih dari dua masa
jabatan.32
b. Sistem Kepartaian Di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945
Sistem kepartaian di Indonesia Pasca amandemen UUD 1945
adalah
sistem kepartaian yang multi partai, hal ini dijelaskan
dalam
penjelasan UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang
menggantikan UU No. 2 Tahun 1999 yang dianggap tidak sesuai
lagi
dengan perkembangan masyarakat dan perubahan ketatanegaraan.
Dalam penjelasan UU No.31 Tahun 2002 ini, dinyatakan bahwa
sistem kepartaian kita menganut sistem multi partai sederhana
yang
dilakukan dengan menerapkan persyaratan kualitatif ataupun
kuantitatif, baik dalam pembentukan partai politik maupun
penggabungan partai politik yang ada. Dalam perkembangannya
upaya pengaturan partai politik terus dilakukan, yang
berarti
penataan legislasi pertai politik dengan membentuk
undang-undang
partai politik yang baru merupakan keharusan yang tidak
mungkin
dihindari. Sehingga pada tahun 2008 diberlakukan UU No. 2
Tahun
2008 tentang Partai Politik, menggantikan UU No. 31 Tahun
2002.
31Pasal 17 ayat (1), Presiden dibantu oleh Menteri-menteri
Negara. Ayat (2)
menyebutkan, Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden. 32Pasal 7 UUD 1945, Presiden dan Wakil Presiden memegang
jabatan selama lima
tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam masa jabatan
yang sama, hanya untuk satu kali
masa jabatan.
-
Alasan penggantian UU No. 31 Tahun 2002 dengan UU 2 Tahun
2008 adalah belum optimalnya UU No.31 Tahun 2002
mengakomodasi dinamika dan perkembangan masyarakat yang
menuntut peran partai politik dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Sebenarnya sistem kepartaian yang multi partai ini sudah
diterapkan
di Indonesia sejak masa pemerintahan orde lama, yaitu pada
masa
presiden Soekarno. Namun dalam perjalanannya di masa
pemerintahan orde baru setelah jatuhnya pemerintahan orde
lama,
yaitu pada masa presiden Soeharto terjadi perubahan sistem
kepartaian di Indonesia, yang dianggap oleh beberapa pihak
disebut
sebagai sistem satu partai berkuasa atau sistem dominan satu
partai.
Hal ini dikarenakan adanya penggabungan partai-partai politik
ke
dalam kedekatan garis ideologi politik yang menghasilkan tiga
partai
dari sembilan partai yang ada sebelumnya. Setelah jatuhnya
pemerintahan orde baru dan beralih ke masa reformasi pintu
politik
terbuka lebar, sehingga segala pembatas terhadap prinsip
kebebasan
berserikat ditiadakan. Sesuai dengan jaminan konstitusional
mengenai prinsip kebebasan, semua orang diakui berhak
mendirikan
partai politik, sehingga berkembang menjadi sistem politik
yang
biasa dikenal dengan sistem multi partai.
E. METODE PENELITIAN
-
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif33
yang akan
mengkaji penerapan sistem multi partai dalam sistem pemerintahan
presidensiil di
Indonesia melihat implementasi sistem dengan mengkaji
doktrin-doktrin yang
berkembang dari para ahli dan akedemesi. Selain itu penelitian
ini mengkaji asas-
asas yang ada dalam undang-undang guna menganalisis dengan
teori, doktrin,
Undang-Undang sebagai sumber formal. Obyek penelitian ini yaitu
: Undang-
Undang, Doktrin, Asas-asas. Karena bersifat normatif, maka
penelitian ini tidak
menggunakan kasus hukum yang bersifat spesifik untuk dijadikan
sebagai objek
penelitian. Jika pun terdapat beberapa kasus yang diungkapkan
dalam penelitian
ini, hal tersebut merupakan sampel yang lebih bersifat data
untuk melengkapi
pembahasan.
Aspek-aspek yang muncul dalam metode penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Objek penelitian ini adalah berbagai hukum positif di
Indonesia yang
berkaitan dengan konsepsi penerapan sistem multi partai dalam
sistem
presidensiil pasca amandemen UUD 1945.
2. Sumber Data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini merupakan data
sekunder yang
mencakup :
a. Bahan Hukum Primer yaitu bahan bahan hukum yang mengikat
secara yuridis, mulai dari Undang-Undang Dasar 1945 baik
sebelum
maupun setelah amandemen, dan undang-undangan yang terkait
dengan
penelitian.
33
Menurut Wignjosoebroto, Penelitian normatif adalah penelitian
yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Pemikiran
normatif didasarkan pada
penelitian yang mencakup (1) asa-asas hukum, (2) sistematik
hukum, (3) adanya taraf sinkronisasi
vertikal dan horizontal, (4) perbandingan hukum, (5) sejarah
hukum. Lebih jauh tentang ini lihat,
M. Syamsudin, Operasi Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2007, hlm. 21-26.
-
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan
mengenai
bahan hukum primer berupa buku-buku literatur, jurnal yang
relevan,
tulisan-tulisan ilmiah, hasil-hasil seminar, penelitian
terdahulu, situs-
situs internet yang relevan, artikel, dan lain-lain.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu yang memberikan petunjuk bahan
hukum
primer dan sekunder berupa kamus hukum, dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah studi
pustaka, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan
yang
berupa peraturan perundang-undangan dan buku-buku kepustakaan
yang
berhubungan dengan mudah yang diteliti agar mendapat gambaran
dan
pengertian secara teoritis.
4. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis,
yakni menganalisis permasalahan dari sudut pandang hukum,
terutama
hukum tata negara.
5. Analisis Data
Dalam penelitian ini, data yang diperoleh akan dianalisis secara
kualitatif.
Hal ini dikarenakan data yang akan digunakan adalah data yang
bersifat
kualitatif, bukan data kuantitatif yang berupa angka, skala, dan
ukuran.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
-
Penulisan skripsi ini disusun secara sistematis dalam 5 BAB yang
saling
mendukung sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Menjelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan
masalah,
tujuan penelitian, tinjauan pustaka dan metode penelitian.
BAB II : SISTEM-SISTEM PEMERINTAHAN
Membahas teori-teori tentang pemisahan dan pembagian
kekuasaan, sistem pemerintahan presidensiil, sistem
pemerintahan
parlementer dan sistem pemerintahan campuran.
BAB III: SISTEM-SISTEM KEPARTAIAN
Membahas tentang hak politik rakyat dalam mendirikan partai
politik, sistem partai tunggal, sistem dua partai dan sistem
multi
partai.
BAB IV: SISTEM MULTI PARTAI DALAM SISTEM PRESIDENSIIL
PASCA AMANDEMEN UUD 1945
Membahas mengenai sistem pemerintahan presidensiil Indonesia
pasca amandemen UUD 1945, alasan sistem multi partai
diadopsi
dalam sistem pemerintahan presidensiil Indonesia pasca
amandemen UUD 1945, tepat tidaknya sistem multi partai
diterapkan dalam sistem pemerintahan presidensiil pasca
amandemen UUD 1945 serta gagasan ideal penerapan sistem
multi
-
partai dalam sistem pemerintahan presidensiil di Indonesia
pasca
amandemen UUD 1945.
BAB V : PENUTUP
Berupa :
A. Kesimpulan
Kesimpulan pada skripsi ini intinya berisi jawaban atas
permasalahan yang menjadi objek penelitian setelah
dilakukannya analisis oleh peneliti.
B. Saran
Saran adalah rekomendasi terhadap hasil simpulan dalam
skripsi.