BAB ISTATUS PASIEN THT
IDENTITAS PASIEN:Nama: Ny. SPekerjaan: KaryawatiUmur: 29
tahunAlamat: Pulo jahe Jenis Kelamin: PerempuanTgl. Datang poli: 24
Januari 2014 Agama: IslamNo. RM: ...
ANAMNESISAutoanamnesa 1. Keluhan UtamaMimisan sejak 2 bulan yang
lalu2. Keluhan TambahanPilek hilang timbul, hidung tersumbat.3.
Riwayat Penyakit SekarangMimisan paling banyak setengah tutup
botol, seminggu 2x 3x, kadang sakit kepala dan leher sebelum
mimisan sejak 2 bulan yang lalu. Pilek hilang timbul dan hidung
tersumbat sejak 2 bulan lalu. Bersin ketika bertemu debu. Demam
(-), nyeri didaerah wajah (-), trauma di wajah (-), batuk(-), sakit
kepala(-), pusing(-), gatal dihidung(-), nyeri tenggorokan (-),
napas berbau (-), nyeri saat menelan (-), sakit gigi (-), gigi
berlubang (-), tidur mendengkur (-), keluar cairan dari telinga
(-), gangguan pendengaran (-), telinga berdenging (-), sesak napas
(-). 4. Riwayat Penyakit DahuluKeluhan ini pertama kali dirasakan.
Tidak ada riwayat Hipertensi, Diabetes Melitus, Asma, ataupun
operasi 5. Riwayat Penyakit KeluargaKeluhan ini tidak di rasakan
dalam keluarga6. Riwayat PengobatanJika pilek beli obat di warung7.
Riwayat AlergiAlergi, makanan, cuaca, dan obat-obatan
disangkal.
8. Riwayat PsikososialPunya kebiasaan ngorek-ngorek hidung.
Riwayat merokok dan minum alkohol disangkal
PEMERIKSAAN FISIKKeadaan Umum: Tampak sakit sedangKesadaran:
Compos mentisTanda-tanda VitalTekanan Darah: Tidak diperiksaNadi:
Tidak diperiksaFrekuensi Napas: Tidak diperiksaSuhu: Tidak
diperiksaA. Status GeneralisKepala: NormochepalMata: Tidak
diperiksaMulut : Bibir kering (-), sianosis (-), pucat (-)Thorax:
Tidak diperiksaAbdomen : Tidak diperiksaEkstremitas: Tidak
diperiksaKulit: Tidak diperiksaB. Status Pemeriksaan Lokalis
THTTelingaBagianKelainanAuris
DextraSinistra
PreaurikulaKelainan kongenitalRadangTumorTraumaNyeri
tekan----------
AurikulaKelainan kongenitalRadangTumorTraumaNyeri
tarik----------
RetroaurikulaEdemaHiperemisNyeri
tekanRadangTumorSikatriks------------
CanalisAcustikusExternaKelainan
kongenitalKulitSekretSerumenEdemaJaringan
granulasiMassaCholesteatoma-Tenang-------Tenang------
MembranaTimpaniIntakReflek cahayaPerforasiGambar++-
++-
Tes PenalaInterpretasi pada Auris
DextraSinistra
Tes RhinneTidak dilakukanTidak dilakukan
Tes WeberTidak dilakukanTidak dilakukan
Tes SchwabachTidak dilakukanTidak dilakukan
HidungPemeriksaanDextraSinistra
Keadaan LuarWarna, bentuk dan ukuranDalam batas normalDalam
batas normal
Rhinoskopi anteriorMukosaSekretConcha inferiorSeptum
Polip/tumorPasase udaraHiperemis+EutrofiHiperemis+Eutrofi
Hiperemis
+ Hiperemis, Permukaan licin+-
+
TenggorokBagianKelainanKeterangan
MulutMukosa mulutLidahPalatum molleGigi geligiUvula Halitosis
LembabBersihTenangCaries (-)Simetris-
Tonsil MukosaBesarKriptaDetritusHiperemis (-)T2-T3Tidak
melebar-/-
Faring MukosaGranulaPost nasal drip Hiperemis (-)--
LaringEpiglotisGlotisAritenoidPita suaraHiperemis (-) Hiperemis
(-)Hiperemis (-)Hiperemis (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANGCT Scan Nasofaring potongan aksial dan
koronal tanpa media kontras dengan jarak irisan 5mm dan tebal
irisan 2mm. Hasil sbb : Lesi soft tissue hipoechoic di cavum nasi
dextra region infero-anterior Diameter lesi 12s11 mm, os nasal dan
maksila tidak terlihat destruksi Septum nasi tidak deviasi Mukosa
cavum nasi di region tidak menebal Tak tampak pneumatisasi conchae
bilateral Processus uncinatus kanan dan kiri baik Tak tampak sel
haller Osteo meatal complex kanan dan kiri terbuka Sinus paranasal
bilateral serasi normal Adenoid tidak hipertrofi Rongga nasofaring
simetris
Kesan : Massa soft tissue homogeny di infero-anterior cavum nasi
dextraCuriga polip aspek benign
Tes LaboratoriumTestHasilUnitNilai Rujukan
HematologiDarah
LengkapHbMCVMCHMCHCEritrositHematokritLeukositTrombositLED
13.7 78 26345.241 12.9 41817
mg/dlflpgg/dl10^6/ul%10^3/ul10^3/ulMm
12.5-15.582-9827-3331-374.5-5.837-475.0-10.0150-4000-20
Hitung
JenisBasofilEosinofilNetrofilLimfositMonosit0.31.158.133.47.1%%%%%0.0-1.01.0-3.037.0-72.020.0-40.02.0-8.0
HemostasisBleeding TimeCloating Time3.006.00MenitMenit
1.00-3.003.00-6.00
Pemeriksaan Patologi AnatomiMakroskopik : Jaringan ukuran
1,5x1x0,5cm warna coklatMikroskopik: Sediaan berasal dari kavum
nasi menunjukkan jaringan ikat sembab berbentuk polipoid mengandung
pembuluh-pembuluh darah yang sebagian terbentuk seperti tanduk
rusa. Stroma berserbukan ringan. Sel radang menahun.Kesimpulan:
Gambaran histologik mengarah pada angiofibroma. Tidak tampak tanda
ganas
RESUMEAnamnesisNy. S mimisan sejak 2 bulan yang lalu. Mimisan
paling banyak setengah tutup botol, seminggu 2x 3x, kadang sakit
kepala dan leher sebelum mimisan sejak 2 bulan yang lalu. Pilek
hilang timbul dan hidung tersumbat sejak 2 bulan lalu. Bersin
ketika bertemu debu. Punya kebiasaan ngorek-ngorek hidung.
Pemeriksaan FisikRinoskopi anterior : Mucosa : Livid. Septum :
Hiperemis. Polip/Tumor dextra, hiperemis, dan permukaan licin.
Pemeriksaan PenunjangCT Scan : Ditemukan Lesi soft tissue
hipoechoic di cavum nasi dextra region infero-anteriorPemeriksaan
Lab : MCV 78 fl, MCH 26 pg, Leukosit 12.9 10^3/ul, Trombosit 418
10^3/ulPemeriksaan Patologi Anatomi : Gambaran histologik mengarah
pada angiofibroma.
DIAGNOSISAngifibroma dekstra
PENATALAKSANAANNon-medikamentosa Edukasi ke pasien, untuk
menggunakan masker saat bekerja ataupun saat bepergian. Jika
menggunakan AC atau kipas angin jangan langsung mengenai wajah
pasien.
Medikamentosa1. Dekongestan : Efedrin 1% (lokal), atau
Pseudoefedrin 3x60mg 1. Prednisolon oral 2 sampai 3 mg/kgBB/hari
selama 4 sampai 6 mingguPROGNOSIS Quo ad vitam: ad bonam Quo ad
fungsionam: ad bonam Quo ad sanactionam: ad bonam BAB IITinjauan
PustakaA. Anatomi HidungUntuk mengetahui penyakit dan kelainan
hidung, misalnya sumbatan hidung perlu diketahui dulu tentang
anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid
hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta persarafannya,
serta fisiologi hidung. Untuk mendiagnosis penyakit yang terdapat
di dalam hidung perlu diketahui dan dipelajari pula cara
pemeriksaan hidung.Hidung luar berbentuk piramid dengan
bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge)2)
dorsum nasi3) puncak hidung4) ala nasi5) kolumela6) lubang hidung
(nares anterior).Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan
tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa
otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang
hidung. Kerangka tulang terdiri dari :1) tulang hidung (os
nasalis)2) prosesus frontalis os maksila 3) prosesus nasalis os
frontal
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang
tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu
:1)sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang
kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago alar mayor, 3) beberapa pasang kartilago alar minor dan
4) tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi
kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi
bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut
nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring.Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala
nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut vestibulum.
Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.Tiap kavum
nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior.Dinding medial hidung ialah septum nasi.
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah
lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila
dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah
kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.Septum
dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium
pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa
hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut
ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi
sebagian besar dinding lateral hidung.Pada dinding lateral terdapat
4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka
inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil
lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema.Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat
pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior
dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.Di antara
konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu
meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di
antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis.Meatus medius terletak di antara konka media dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula
etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum
etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung
dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid
anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka
superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan
sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan
dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap
hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang
memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung dan merupakan
lempeng tulang yang berasal dari os etmoid, tulang ini
berlubang-lubang (kribrosa = saringan) tempat masuknya
serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga
hidung dibentuk oleh os sfenoid.
Kompleks Ostiomeatal (KOM)KOM merupakan celah pada dinding
lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea.
Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus
unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid,
agger nasi, dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang
merupakan tempat ventilasi dan drenase dari sinus-sinus yang
letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan
frontal.
Infundibulum ethmoidPerkembangan infundibulum mendahului sinus.
Dibentuk oleh struktur yang kompleks. Dinding anterior dibentuk
oleh processus uncinatus, dinding medial dibentuk oleh processus
frontalis os maxila dan lamina papyracea. Infundibulum etmoid
adalah terowongan tiga dimensi yang menghubungkan ostium natural
sinus maksilaris dengan meatus medius melalui hiatus
semilunaris.Batas-batas infundibulum etmoid Batas medial : prosesus
unsinatus dan hiatus semilunaris Batas lateral : lamina papirasea
Batas anterior : pertemuan antara prosesus unsinatus dengan lamina
papiracea Batas posterior: permukaan anterior bulla etmoid Batas
superior : bervariasi tergantung dari perlekatan prosesus
unsinatus
Prosesus uncinatusMerupakan sebuah lamina yang melengkung pada
os etmoid, yang menjorok kebawah dan kebelakang dan dibentuk oleh
bagian kecil dari dinding medial sinus maxilaris, dan dihubungkan
dengan processus etmoid dari konka nasal inferior.
Resesus frontalisMerupakan ruang antara sinus frontalis dan
hiatus semilunaris yang menuju ke aliran sinus. Bagian anterior
dibatasi oleh sel ager nasi, superior oleh sinus frontalis, medial
oleh konka medial dan bagian lateral oleh lamina papyracea.
Bula ethmoid`Terletak diatas infundibulum dan permukaan lateral/
inferiornya, dan tepi superior procesus uncinatus membentuk hiatus
semilunaris. Ini merupakan sel etmoid anterior terbesar. Arteri
etmoid anterior menyilang terhadap atap sel ini. Bulla etmoid
merupakan salah satu sel etmoid anterior yang paling konstan dan
paling besar. Di superior, dinding anterior bulla etmoid dapat
meluas sampai ke basis kranii dan membentuk batas posterior dari
resesus frontalis. Bila bulla etmoid tidak mencapai basis kranii,
maka akan terbentuk resesus suprabullar antara basis kranii dengan
permukaan superior dari bulla. Di posterior, bulla bertautan
langsung dengan lamina basalis atau terdapat ruang antara bulla dan
lamina basalis yang disebut resesus retrobullar.
Sel-sel ethmoid anteriorSel dibagian anterior menuju lamella
basal. Pengalirannya ke meatus medial melalui infundibulum etmoid.
Termasuk sel ager nasi, bulla etmoid dan sel-sel anterior
lainnya.
Hiatus semilunarisHiatus semilunaris adalah celah berbentuk
bulan sabit terletak antara posterior tepi bebas prosesus unsinatus
dengan dinding anterior bulla etmoid.
Ostium sinus maksilarisOstium naturalis sinus maksilaris
mengalirkan sekretnya ke dalam infundibulum. Ostium ini terletak di
dinding medial sinus maksilaris sedikit ditepi bawah lantai orbita.
Van Alyea melaporkan bahwa 10% ostium maksilaris berada di 1/3
superior, 25% berada di 1/3 tengah dan 65% berada di 1/3 bawah dari
infundibulum. Ostium aksesoris sinus maksilaris ditemukan pada 20%
- 25% kasus. Ostium naturalis sinus maksilaris berbentuk bulat
sedangkan ostium aksesoris biasanya berbentuk elips dan berada di
posterior ostium naturalis. Sel agger nasiSel ager nasi merupakan
sel ekstramural paling anterior dari sel etmoid anterior. Terletak
agak ke anterior dari perlekatan anterosuperior konka media dan
anterior dari resesus frontal. Sel ager nasi yang membesar dapat
meluas ke sinus frontal dan menyebabkan penyempitan resesus
frontal.Batas-batas sel agger nasi Batas anterior : prosesus
frontal os maksila Batas superior : resesus frontalis Batas
anteroleteral : os nasalis Batas inferomedial : prosesus uncinatus
Batas inferolateral : os lakrimalis
Kompleks ostiomeatal merupakan istilah yang digunakan oleh ahli
bedah kepala leher untuk menunjukkan daerah yang dibatasi oleh
turbinate tengah pada bagian medial, lamina papyracea pada bagian
lateral, dan lamella basalis pada bagian superior dan posterior.
Batas inferior dan anterior dari kompleks osteomeatal ini
terbuka.Isi dari ruang ini adalah sel agger nasi, resesus
nasofrontal (reses frontal), infundibulum, bula ethmoidalis dan
kelompok anterior sel udara ethmoidal. Kompleks ini terdiri dari
area anatomi yang sempit, yaitu:1. Beberapa struktur tulang
(turbinate tengah, prosessus uncinatus, bulla ethmoidalis) 2. Ruang
udara (resessus frontal, infundibulum ethmoidal, meatus media)3.
Ostium dari sinus ethmoidal, maksila dan frontal anterior. Pada
area ini, permukaan mukosanya sangat dekat, kadang-kadang bahkan
dapat terjadi kontak antar mukosa yang menyebabkan penumpukan
sekresi. Silia dengan gerakan menyapunya dapat mendorong sekret
hidung. Jika mukosa yang melapisi daerah ini menjadi meradang dan
bengkak, pembersihan mukosiliar dapat terhambat, yang akhirnya
menghalangi sinus-sinus di kepala.Beberapa penulis membagi kompleks
osteomeatal menjadi bagian anterior dan posterior. Kompleks
osteomeatal klasik digambarkan sebagai kompleks osteomeatal
anterior, sedangkan ruang di belakang lamella basalis yang
mengandung sel-sel ethmoidal posterior disebut sebagai kompleks
ethmoidal posterior, sehingga mengakui pentingnya lamella basalis
sebagai landasan anatomi pada sistem ethmoidal posterior. Oleh
karena itu kompleks osteomeatal anterior dan posterior memiliki
sistem drainase yang terpisah. Jadi, ketika penyakit ini terbatas
pada kompartemen anterior dari kompleks osteomeatal, sel-sel
ethmoid dapat dibuka dan jaringan yang sakit dapat dibuang sejauh
lamella basalis, meninggalkan lamella basalis tanpa gangguan serta
meminimalkan risiko selama operasi.Selaput sinus menghasilkan
cairan bening berupa lendir yang berguna membersihkan KOM dari
bahan yang tidak diinginkan. Cairan ini melewati saluran drainase
ke bagian belakang hidung dan tenggorokan. Ini terjadi
terus-menerus, meskipun kita biasanya tidak menyadarinya. Ketika
kelebihan cairan yang dihasilkan itu sering dikenal sebagai dahak
yang dapat menghasilkan iritasi yang kronis di tenggorokan dikenal
dengan nama post-nasal drip.Pada sepertiga tengah dinding lateral
hidung yaitu di meatus medius, ada muara saluran dari sinus
maksilaris, sinus frontal, sinus sphenoid dan sinus etmoid. Daerah
ini rumit dan sempit, dinamakan kompleks osteomeatal (KOM), terdiri
dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus
unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid, sel-sel etmoid anterior
dengan ostiumnya dan ostium sinus maksilaris. Selaput sinus
menghasilkan cairan bening berupa lendir yang berguna membersihkan
KOM dari bahan yang tidak diinginkan. Cairan ini melewati saluran
drainase ke bagian belakang hidung dan tenggorokan. Ini terjadi
terus-menerus, meskipun kita biasanya tidak menyadarinya. Ketika
kelebihan cairan yang dihasilkan itu sering dikenal sebagai dahak
yang dapat menghasilkan iritasi yang kronis di tenggorokan dikenal
dengan nama post-nasal drip.
Pendarahan HidungBagian atas rongga hidung mendapat pendarahan
dari a.etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari
a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal dari a.karotis
interna.Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang
a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan
a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama
n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari
cabang-cabang a.fasialis.Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior,
a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus
Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah
cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis
terutama pada anak.Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan
berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan
struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan
dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup,
sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran
infeksi sampai ke intrakranial.
Persarafan HidungBagian depan dan atas rongga hidung mendapat
persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan
cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus. Rongga
hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari
n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum.Ganglion sfenopalatinum,
selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan
vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari
n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang
dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun
melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan
kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung n.olfaktoirus. Hanya 5
% yang digunakan untuk menghidu Mebrana olfaktoria terletak pd
celah sempit pada bagian superior rongga hidung Luas permukaan
membran 10 cm ~ panjang 170 cm Celah olfaktorius perempuan >
laki-laki, berhubungan dengan pigmentasi Membran olfaktoria terdiri
dari 3 lapis : lapisan penunjang, lapisan sel-sel reseptor, dan
lapisan sel basal Sinus Paranasal Sinus maksila kanan dan kiri
Sinus frontal kanan dan kiri, Sinus ethmoid kanan dan kiri Sinus
sfenoid kanan dan kiri
B. Fisiologi Hidung 1. Sebagai Jalan Nafas Pada inspirasi, udara
masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka
media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga
aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi,
udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama
seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara
memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan
bergabung dengan aliran dari nasofaring.
2. Pengatur Kondisi Udara (Air Conditioning) Fungsi hidung
sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang
akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :a.
Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir.
Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari
lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaliknya.b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena
banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka
dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara
optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang
lebih 37o C.3. Sebagai Penyaring Dan PelindungFungsi ini berguna
untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh :a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasib.
Siliac. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan
melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan
dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan
ke nasofaring oleh gerakan silia. d. Enzim yang dapat menghancurkan
beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.
4. Indra PenghirupHidung juga bekerja sebagai indra penghirup
dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka
superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau
bila menarik nafas dengan kuat. Kecepatan aliran udara pada saat
inspirasi 250 ml/sec Inspirasi dalam molekul udara lebih banyak
menyentuh mukosa olfaktorius sensasi bau tercium zat-zat yang ikut
dalam udara inspirasi akan larut dalam lapisan mukus yang berada
pada permukaan membrane.
5. Resonansi SuaraPenting untuk kualitas suara ketika berbicara
dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang
atau hilang, sehingga terdengar suara sengau. 6. Proses
BicaraMembantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal
(m,n,ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka,
palatum molle turun untuk aliran udara.
7. Refleks NasalMukosa hidung merupakan reseptor refleks yang
berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan.
Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas
terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pancreas.
Fungsi Sinus Paranasal
Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)Sinus berfungsi
sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban
udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak
didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan rongga
hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih
1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan
beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula
mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang
sebanyak mukosa hidung.
Sebagai penahan suhu (termal insulators)Sinus paranasal
berfungsi sebagai buffer (penahan) panas, melindungi orbita dan
fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara
hidung dan organ-organ yang dilindungi.
Membantu keseimbangan kepalaSinus membantu keseimbangan kepala
karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam
sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan pertambahan berat
sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak
bermakna.
Membantu resonansi suaraSinus mungkin berfungsi sebagai rongga
untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi
ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan
sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Tidak ada korelasi
antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat
rendah.
Sebagai peredam perubahan tekanan udaraFungsi ini berjalan bila
ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu
bersin atau membuang ingus.
Membantu produksi mucusMukus yang dihasilkan oleh sinus
paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari
rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut
masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus
medius, tempat yang paling strategis. C. Tumor Hidung dan
SinonasalDefinisiTumor hidung dan sinus paranasal adalah tumor
ganas yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal
disekitar hidung. Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya
jarang ditemukan, baik yang jinak maupun yang ganas. Di Indonesia
dan di luar, kekerapan jenis yang ganas hanya sekitar 1% dari
keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala
dan leher.Hidung dan sinus paranasal atau disebut juga sinonasal
merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang
merupakan daerah yang terlindung sehingga tumor yang timbul
didaerah ini sulit diketahui secara dini. Asal tumor primer juga
sulit ditentukan, apakah dari hidung atau sinus karena biasanya
pasien berobat dalam keadaan penyakit telah lanjut dan tumor sudah
memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus.
Epidemiologi dan EtiologiInsiden tertinggi keganasan sinonasal
ditemukan di Jepang, yaitu 2 sampai 3,6 per 100.000 penduduk
pertahun. Di Department THT FKUI RS Cipto Mangunkusumo, keganasan
ini ditemukan pada 10-15% dari seluruh tumor ganas THT. Laki-laki
ditemukan lebih banyak dengan rasio laki-laki banding wanita
sebesar 2:1.Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui, tetapi
diduga beberapa zat kimia atau bahan industry merupakan penyebab
antara lain nikel, debu, kayu, kulit, formaldehid, kromium, minyak
isopropil, dan lain-lain. Pekerja di bidang ini mendapat
kemungkinan terjadi keganasan sinonasal lebih besar. Banyak laporan
mengenai kasus adeno-karsinoma sinus etmoid pada pekerja-pekerja
industry penggergajian kayu dan pembuatan mebel, alcohol, asap
rokok, makanan yang diasin atau diasap diduga meningkatkan
kemungkinan terjadinya keganasan, sebaliknya buah dan sayuran
mengurangi kemungkinan terjadi keganasan.
Jenis HistopatologiHampir seluruh jenis histopatologi tumor
jinak dan ganas dapat tumbuh di daerah sinonasal. Termasuk tumor
jinak epitelial, yaitu adenoma dan papilloma, yang non-epitelial
yaitu fibroma, angiofibroma, hemangioma, neurilemomma, osteoma,
diplasia fibrosa, dan lain-lain. Disamping itu, ada tumor
odontogenik, misalnya ameloblastoma atau adamantinoma, kista tulang
dan lain-lain.Tumor ganas epitelial adalah karsinoma sel skuamosa,
kanker kelenjar liur, adeno-karsinoma, karsinoma tanpa
diferensiasi, dan lain-lain. Jenis non-epitelial ganas adalah
hemangioperisitoma, bermacam-macam sarkoma termasuk rabdomiosarkoma
dan ostogenik sarkoma ataupun keganasan limfoproliferatif seperti
limfoma malignum, plasmasitoma, ataupun polimorfik retikulosis
sering juga ditemukan didaerah ini.Beberapa jenis tumor jinak ada
yang mudah kambuh atau secara klinis bersifat ganas karena tumbuh
agresif mendestruksi tulang, misal papilloma inverted, displasia
fibrosa, ataupun ameioblastoma. Pada jenis-jenis ini tindakan
operasi harus radikal.
Gejala dan TandaGejala tergantung dari asal primer tumor serta
arah dan perluasannya. Tumor di dalam sinus maksila biasanya tanpa
gejala. Gejala timbul setelah tumor besar, mendorong atau menembus
dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi, atau
orbita.Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikategorikan
sebagai berikut:1. Gejala nasal. Gejala nasal berupa obstruksi
hidung unilateral dan rinorea. Sekretnya sering bercampur darah
atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang
hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas
ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik.2. Gejala
orbital. Perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia,
proptosis atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus
dan epifora.3. Gejala oral. Perluasan tumor ke rongga mulut
menyebabkan penonjolan di palatum atau di prosesus alveolaris.
Pasien mengeluh gigi palsunya tidak pas lagi atau gigi geligi
goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di
gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut.4.
Gejala fasial. Perluasan tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan
pipi, disertai nyeri, anesthesia, atau parasetesia muka jika
mengenai n. trigeminus.5. Gejala intrakranial. Perluasan tumor ke
intracranial menyebabkan sakit kepala hebat, oftalmoplegia, dan
gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak yang
keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media,
maka saraf-saraf kranial lainnya juga terkena. Jika tumor meluas ke
belakang, terjadi trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus
disertai anesthesia dan parestesi daerah yang dipersarafi n.
maksilaris dan mandibularis.saat pasien berobat biasanya tumor
sudah dalam fase lanjut. Hal lain yang juga menyebabkan diagnosis
terlambat adalah karena gejala klinisnya mirip dengan rhinitis atau
sinusitis kronis sehingga sering diabaikan oleh pasien maupun
dokter.
PemeriksaanSaat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah
pasien apakah ada asimetri atau distrosi. Jika ada proptosis,
perhatikan arah pendorongan bola mata. Jika mata terdorong ke atas
berarti tumor berasal dari sinus maksila, jika ke bawah dan lateral
berarti tumor berasal dari sinus frontal atau etmoid.Selanjutnya
periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi
anterior dan posterior. Deskripsi massa sebaik mungkin, apakah
permukaannya licin, merupakan pertanda tumor jinak, atau permukaan
berbenjol-benjol, rapuh, dan mudah berdarah, merupakan pertanda
tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial
berarti tumor berada di sinus maksila. Untuk memeriksa rongga oral,
disamping inspeksi lakukanlah palpasi dengan menggunakan sarung
tangan, palpasi gusi rahang atas dan palatum, apakah ada nyeri
tekan, penonjolan, atau gigi goyah.Pemeriksaan naso-endoskopi dan
sinus-kopi dapat membantu menemukan tumor dini. Adanya pembesaran
kelenjar di leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang
bermetastasis ke kelenjar leher.
Pemeriksaan PenunjangFoto polos sinus paranasal kurang berfungsi
dalam mendiagnosis dan menentukan perluasan tumor kecuali pada
tumor tulang seperti osteoma. Tetapi foto polos tetap berfungsi
sebagai diagnosis awal, terutama jika ada erosi tulang dan
perselubungan padat unilateral, harus dicurigai keganasan, dan
buatlah tomogram atau CT scan. CT scan merupakan sarana terbaik
karena lebih jelas memperlihatkan perluasan tumor dan destruksi
tulang. MRI atau Magnetic Resonance Imaging dapat membedakan
jaringan tumor dari jaringan normal tetapi kurang begitu baik dalam
memperlihatkan destruksi tulang. Foto polos paru diperlukan untuk
melihat adanya metastase tumor di paru.
DiagnosisDiagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
histopatologi. Jika tumor tampak di rongga hidung atau rongga
mulut, maka biopsi mudah dan harus segera dilakukan. Biopsi tumor
sinus maksila, dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi atau
melalui operasi Caldwell-Luc yang insisinya melalui sulkus
ginggivo-bukal.Jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya hemangioma
atau angiofibroma, jangan lakukan biopsi karena akan sangat sulit
menghentikan perdarahan yang terjadi. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan angiografi.
Tumor JinakTumor jinak tersering adalah papilloma skuamosa.
Secara makroskopis mirip dengan polip, tetapi lebih vascular, padat
dan tidak mengkilat. Ada 2 jenis papilloma, pertama eksofitik atau
fungiform dan yang kedua endofitik disebut papilloma inverted.
Papilloma inverted ino bersifat sangat invasive, dapat merusak
jaringan disekitarnya. Tumor ini sangat cenderung untuk residif dan
dapat berubah menjadi ganas. Lebih sering dijumpai pada laki-laki
usia tua. Terapi adalah bedah radikal misalnya rinotomi lateral
atau maksilektomi medial.Tumor jinak angiofibroma nasofaring sering
bermanifestasi sebagai massa yang mengisi rongga hidung, bahkan
juga mengisi seluruh rongga sinus paranasal dan mendorong bola mata
ke anterior.
Tumor GanasTumor ganas tersering adalah karsinoma sel skuamosa
(70%), disusul oleh karsinoma tanpa diferensiasi dan tumor asal
kelenjar. Sinus maksila adalah yang tersering terkena (50-60%),
disusul sinus etmoid (15-25%), hidung sendiri (24%), sedangkan
sinus sfenoid dan frontal jarang terkena. Metastasis jauh juga
jarang ditemukan ( 3 cm dan < 6 cm), N3 (diameter terbesar >
6 cm). Metastasis jauh dikategorikan sebagai M0 (tidak ada
metastasis) dan M1 (ada metastasis).Berdasarkan TNM ini, dapat
ditentukan stadium, yaitu stadium dini (stadium I dan II), stadium
lanjut (stadium III dan IV). Lebih dari 90% pasien datang dalam
stadium lanjut dan sulit menentukan asal tumor primernya karena
sudah hampir seluruh hidung dan sinus paranasal sudah terkena
tumor.
PenatalaksaanPembedahan atau lebih sering bersama dengan
modalitas terapi lainnya seperti radiasi dan kemoterapi sebagai
ajuvan sampai saat ini masih merupakan pengobatan utama untuk
keganasan di hidung dan sinus paranasal. Pembedahan masih
diindikasikan walaupun menyebabkan morbiditas yang tinggi bila
terbukti dapat mengangkat tumor secara lengkap. Pembedahan
dikontraindikasikan pada kasus yang telah bermetastasis jauh, sudah
meluas ke sinus kavernous bilateral atau tumor sudah mengenai kedua
orbita.Kemoterapi bermanfaat pada tumor ganas dengan metastasis
atau residif atau jenis yang sangat baik dengan kemoterapi,
misalnya limfoma malignum.Pada tumor jinak dilakukan ekstirpasi
tumor sebersih mungkin. Bila perlu dilakukan dengan cara pendekatan
rinotomi lateral atau degloving (peningkapan).Untuk tumor ganas,
tindakan operasi harus seradikal mungkin. Biasanya dilakukan
maksilektomi medial, total atau radikal. Maksilektomi radikal
dilakukan misalnya pada tumor yang sudah mengenai seluruh dinding
sinus maksila dan sering juga masuk ke rongga orbita, sehingga
pengangkatan maksila dilakukan secara en bioc disertai eksenterasi
orbita. Jika tumor sudah masuk ke rongga intracranial dilakukan
reseksi kraniofasial atau jika perlu kraniotomi, tindakan dilakukan
dalam tim bersama dokter bedah saraf.
Rekonstruksi dan RehabilitasiSesudah maksilektomi total, harus
dipasang prostesis maksila sebagai tindakan rekonstruksi dan
rehabilitasi, supaya pasien tetap dapat fungsi menelan dan
berbicara dengan baik, disamping perbaikan kosmetis melalui operasi
bedah plastic. Dengan tindakan-tindakan ini, pasien dapat
bersosialisasi kembali dalam keluarga dan masyarakat.
PrognosisPada umumnya, prognosis kurang baik. Banyak sekali
faktor yang mempengaruhi prognosis keganasan hidung dan sinus
paranasal, cara tepat dan akurat. Faktor-faktor tersebut seperti,
perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan tumor,
pengobatan yang diberikan sebelumnya, status imunologi, terapi
ajuvan yang diberikan, status batas sayatan, lamanya follow up, dan
banyak lagi faktor lainnya yang dapat berpengaruh terhadap
agresifitas penyakit dan hasil pengobatan yang tentunya berpengaruh
terhadap prognosis penyakit ini. Walaupun demikian, pengobatan yang
agresif secara multimodalitas akan memberikan hasil yang terbaik
dalam mengontrol tumor primer dan akan meningkatkan angka bertahan
hidup selama 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor.
D. HemangiomaDefinisiHaemangiomas adalah tumor jinak pembuluh
darah, yang berasal dari kulit, mukosa dan struktur dalam seperti
tulang, otot dan kelenjar. terdiri dari dua jenis utama, kapiler
dan kavernosa. Ketika neoplasma ini jarang muncul dalam rongga
hidung, mereka sebagian besar adalah tipe kapiler dan ditemukan
melekat pada septum hidung. Haemangiomas tipe kavernosa, lebih
mungkin ditemukan pada dinding lateral rongga hidung
EtiologiEtiologi hemangioma belum diketahui pasti, namun
proliferasi pembuluh darah lokal dan peningkatan tekanan
hidrostatik yang disebabkan oleh stimulasi lokal berulang diketahui
mempengaruhi terjadinya hemangioma. Ini biasanya terjadi pada
septum hidung anterior di Pleksus Kiesselbach karena daerah ini
memiliki distribusi pembuluh darah yang banyak dan sebagian besar
terkena trauma berulang.
PatofisiologiFase proliferasiPertumbuhan hemangioma infantil
terdiri dari sel lemak dan laju pemisahan yang cepat dari sel
endotel dan sel perisit sehingga membentuk kanal sinusodial yang
padat. Marker immunohistokimia seluler menjelaskan fase klinis dari
siklus hidup hemangioma. Bahkan pada tahap awal, sel-sel endotel
mengekspresikan marker fenotip dari kematangan dan molekul adhesi
sel spesifik. Regulasi angiogenesis didokumentasikan oleh ekspresi
dari proses proliferasi antigen sel nuklear, dimediasi dan dibagi
oleh dua peptida angiogenik, vascular endothelial growth factor
(VEGF) dan basic fibroblast growth factor (bFGF). Enzim terlibat
dalam proses remodeling dari matriks ekstraselular yang juga ada,
yang menunjukkan bahwa kerusakan kolagen diperlukan untuk memberi
ruang untuk proses pertumbuhan pembuluh kapiler. Tipe eritrosit
protein transporter glukosa-1 (GLUT1) adalah imunopositif
disepanjang siklus hidup dan negatif disebagian besar tumor
pembuluh darah dan malformasi vaskular.Fase involuntingRegresi ini
ditandai dengan semakin berkurangnya aktivitas endotel dan
pembesaran luminal. Degenarasi sel endotel, apoptosis dimulai
sebelum 1 tahun dan spesimen mencapai puncak dalam 2 tahun.
Terdapat deposisi progresif dan dari perivaskular dan jaringan
fibrosa interlocular/interlobular, masuknya sebuah sel stroma
(termasuk sel mast, fibroblas, dan makrofag), dan munculnya
inhibitor jaringan metalloproteinase (TIMP)-1, penekanan
pembentukan pembuluh darah baru.Meskipun sel mast muncul dalam fase
proliferasi akhir, mereka lebih jelas terlihat selama fase
involusi, berinteraksi dengan makrofag, fibroblas, dan jenis sel
lainnya. Sel mast dapat mensekresikan modulator yang menurunkan
omset regulasi endotel.Pada akhir hidup hemangioma, semua yang
tersisa adalah beberapa kapiler seperti pembuluh darah dan vena
yang kosong atau kering. Berbagai macam dan lapisan yang berlapis
dari membran dasar, sebuah ciri ultrastruktural dari fase
proliferasi, bertahan pada daerah sekitar pembuluh kecil. Sekali
peninggian parenkim selular digantikan oleh jaringan longgar
fibro-fatty yang bercampur dengan kolagen padat dan serat
retikuler.DiagnosisGejala mungkin termasuk perdarahan hidung
unilateral dan sumbatan hidung bertahap selama periode enam bulan.
Ukuran hemangioma yang terbatas pada rongga hidung dalam berkisar
dari beberapa mm lebih dari 2 cm, dapat terlihat dengan rhinoskopi
anterior. Dengan melakukan CT, ukuran tumor dan ada atau tidaknya
metastasis kedaerah sekitar dapat terlihat. Angiografi, sangat
membantu dalam membedakan hemangioma dari angiofibroma nasofaring
dalam kasus-kasus metastasis kedaerah sekitar.
PenatalaksanaanPengobatan dengan antibiotik topikal setiap hari
atau balutan hidrokoloid. Lidokain kental (2,5%) membantu untuk
mengontrol rasa sakit. Apabila lesi masih berukuran kecil, eksisi
bedah sangat dianjurkan.Pengobatan lini pertama untuk hemangioam
adalah terapi kortikosteroid dapat diberikan per oral maupan
intralesi, yang sangat efektif (tingkat respon mencapai 85%).
Prednisolon oral 2 sampai 3 mg/kgBB/hari selama 4 sampai 6
minggu.Rekombinan interferon (IFN) -2 atau 2b adalah sebuah agen
lini kedua untuk hemangioma yang membahayakan dan mengancam jiwa.
Indikasi penggunaannya adalah (a) kegagalan untuk merespon
kortikosteroid, (b) kontraindikasi kortikosteroid parenteral yang
berkepanjangan, (d) penolakan orang tua terhadap terapi
kortikosteroid. Kortikosteroid dan IFN tidak boleh dipakai
bersamaan dalam dosis terapi. Dosis empiris adalah 2 sampai 3
Mu/m2, disuntikkan subkutan setiap hari
KomplikasiSekitar 10% dari hemangioma menimbulkan komplikasi
seperti ulserasi/kerusakan besar, distorsi jaringan yang terlibat,
dan obstruksi dari struktur vital. Ulserasi spontan kulit yang
terlibat dapat meluas ke jaringan yang lebih dalam, menyebabkan
hilangnya sebagian struktur, seperti hidung, kelopak mata, bibir,
atau daun telinga. Mungkin 1% dari semua hemangioma menyebabkan
komplikasi yang mengancam jiwa, seperti pengalihan aliran darah
yang cukup untuk menghasilkan gagal jantung.
PrognosisPada umumnya, prognosis kurang baik. Banyak sekali
faktor yang mempengaruhi prognosis keganasan hidung dan sinus
paranasal, cara tepat dan akurat. Faktor-faktor tersebut seperti,
perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan tumor,
pengobatan yang diberikan sebelumnya, status imunologi, terapi
ajuvan yang diberikan, status batas sayatan, lamanya follow up, dan
banyak lagi faktor lainnya yang dapat berpengaruh terhadap
agresifitas penyakit dan hasil pengobatan yang tentunya berpengaruh
terhadap prognosis penyakit ini. Walaupun demikian, pengobatan yang
agresif secara multimodalitas akan memberikan hasil yang terbaik
dalam mengontrol tumor primer dan akan meningkatkan angka bertahan
hidup selama 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor.
E. Polip NasiDefinisiPolip hidung adalah massa lunak yang
mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung, berwarna putih
keabu-abuan, yang terjadi akibat inlamasi mukosa.
EtiologiDulu diduga predisposisi timbulnya polip nasi adalah
rinitis alergi atau penyakit atopi, tetapi makin banyak penelitian
yang mengemukakan teori dan para ahli sampai saat ini menyatakan
bahwa etiologi polip nasi belum di ketahui dengan pasti
EpidemiologiDalam populasi umum, prevalensi polip nasi sekitar
4%. Mereka terutama mempengaruhi orang dewasa dan biasanya hadir
pada pasien yang lebih tua dari 20 tahun. Di sebuah rumah sakit
distrik Nigeria, dilaporkan bahwa tingkat presentasi maksimum
berusia antara 31 dan 40 tahun. Di Perancis, kejadian diperkirakan
meningkat dengan usia, mencapai puncaknya pada kelompok usia 50
sampai 59 tahun. Polip nasi jarang pada anak di bawah 10 dan
mungkin terdapat cystic fibrosis. Dengan rasio polip nasi 2:1 pada
laki-laki dibanding perempuan.
PatofisiologiPembentukan polip sering diasosiasikan dengan
inflamasi kronik, disfungsi saraf otonom serta predisposisi
genetic. Menurut teori Bernstein, terjadi perubahan mukosa hidung
terjadi akibat peradangan atau aliran udara yang berturbulensi,
terutama di daerah sempit di kompleks osteomeatal. Terjadi prolaps
submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar
baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan
sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polipTeori
lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vaskular
yang berakibat dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan
menyebabkan edema dan lama-kelamaan menyebabkan polip.
DiagnosisAnamnesisKeluhan utama penderita polip nasi adalah
hidung rasa tersumbat dari yang ringan sampai berat, rinore dari
yang jernih sampai yang purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin
disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai nyeri
kepala didaerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin
didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang
dapat timbul adalah bernafas melalui mulut, suara sengau,
halitosis, gangguan tidur, dan penurunan kualitas hidup.
Pemerikssaan fisikPolip nasi yang masif dapat menyebabkan
deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena
pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior
terlihat sebaga masssa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus
medius dan mudah digerakkan. Pembagian stadium polip menurut Mackay
dan Lund (1997), stadium 1 : Polip masih terbatas dimeatus medius.
Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga
hidung tapi belum memenuhi rongga hidung. Stadium 3 : polip yang
masif
Naso-endoskopiAdanya fasilitas endoskopi akan sangat membantu
diagnosis kasus polip yang baru. Polip stadium 1 dan 2
kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior
tetapi tampak dengan pemeriksaan naso-endoskopi.Pada kasus polip
koanal juga dapat sering dilihat tangkai polip yang berasal dari
ostium asesorius sinus maksila.Pemeriksaan RadiologiFoto sinus
paranasal (posisi waters, AP, dan lateral) dapat memperlihatkan
penebalas mukosa dan adanya batas udara-cairan dalam sinus, tetapu
kurang bermanfaat pada kasus polip.Pemeriksaan tomografi komputer
(Tk, CT scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan
di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan
anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks osteomeatal. Tk
teruatama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan
terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada
perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi.
PenatalaksanaanTujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi
ialah menghilangkan keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan
mencegah rekurensi polip.Pemberian kortikosteroid untuk
menghilangkan polip nasi disebut polipektomi medikamentosa. Dapat
diberikan topikal atau sistemik. Polip tipe eosinofilik memberikan
respons yang lebih baik terhadap pengobatan kortikosteroid
intranasal dibandingkan polip tipe neutrofilik.Kasus polip yang
tidak membaik dengan terapu medikamentosa atau polip masif
disarankan untuk terapi bedah. Dapat dilakukan ekstraksi polip
(polipektomi) menggunakan senar polip atau cunam dengan analgesi
lokal, etmodektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk
polip etmoid. Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitas endoskop
maka dapat dilakukan tindakan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi
Fungsional)
KomplikasiKomplikasi parah jarang terjadi. Komplikasi meliputi:
1. Akut sinusitis bakteri - dengan potensi komplikasi infeksi
intrakranial (misalnya meningitis);. Trombosis sinus kavernosus,
komplikasi orbital (periorbital dan selulitis orbital, abses
orbital), dan abses subperiosteal. 2. Tidur gangguan. 3. Dapat
berkontribusi untuk gejala asma. 4. Jarang, polip besar (seperti
yang terjadi di cystic fibrosis atau dengan sinusitis jamur alergi)
dapat menyebabkan kelainan struktur kraniofasial dengan hasil
proptosis, hypertelorism (peningkatan jarak interorbital) dan
diplopia.
PrognosisTidak ada pengobatan kuratif tunggal dan kekambuhan
adalah hal umum, termasuk setelah operasi.
F. AngiofibromaDefinisi dan EpidemiologiAngiofibroma merupakan
tumor yang bersifat jinak secara histopatologis tetapi secara
klinis bersifat destruktif.Angiofibroma berasal terutama di
nasofaring dan terbatas pada laki-lakiremaja atau anak usia dini.
Sedangkan angiofibroma dari rongga hidung sangat langka dan telah
dilaporkan terjadi pada septum, konka inferior, medial, dan
superior. Pada septum hidung adalah yang sangat langka dengan hanya
5 kasus yang dilaporkan dalam literature inggris. Rasio perempuan
dan laki-laki adalah 2:1 dengan usia berkisar 8-50 tahun.
EtiologiPenyebab dari angiofibroma belum dapat diketahui secara
pasti. Beberapa teori telah diajukan oleh para ahli untuk
mendapatkan jawaban yang pasti. Pada dasarnya teori-teori tersebut
dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teori jaringan asal dan
teori ketidakseimbangan hormonal.
PatofisiologiPada teori jaringan asal, dinyatakan bahwa
angiofibroma nasofaring terjadi karena pertumbuhan abnormal
jaringan fibrokartilago embrional atau periosteum di daerah
oksipitalis os sfenoidalis. Diperkirakan bahwa kartilago atau
periosteum tersebut merupakan matriks dari angiofibroma. Pada
akhirnya didapatkan gambaran lapisan sel epitelial yang mendasari
ruang vaskular pada fasia basalis dan dikemukakan bahwa
angiofibroma berasal dari jaringan tersebut. Sehingga dikatakan
bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding
posterolateral atap rongga hidungSedangkan teori ketidakseimbangan
hormonal menyatakan bahwa terjadinya angiofibroma diduga karena
adanya perubahan aktivitas pituitari. Hal ini menyebabkan
ketidakseimbangan hormonal yaitu adanya kekurangan hormon androgen
dan atau kelebihan hormon estrogen. Teori ini didasarkan adanya
hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan usia penderita
serta adanya hambatan pertumbuhan pada semua penderita
angiofibroma. Diduga tumor berasal dari periosteum nasofaring
dikarenakan tidak adanya kesamaan pertumbuhan pembentukkan tulang
dasar tengkorak menyebabkan terjadinya hipertropi di bawah
periosteum sebagai reaksi terhadap hormonal
DiagnosisDiagnosis angiofibroma nasofaring ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
radiologis. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
histopatologis jaringan tumor pasca operasi. Tindakan biopsi
sebaiknya dihindari atau dilakukan dalam kamar operasi dengan
peralatan operasi yang telah dipersiapkan, mengingat bahaya
perdarahan yang biasanya sukar dikontrol.AnamnesisGejala klinis
yang tampak pada penderita angiofibroma sangat bervariasi
tergantung dari lokasi tumor serta perluasannya. 1. Pada permulaan
penyakit gejala yang paling sering ditemukan (> 80%) adalah
hidung tersumbat yang progresif dilanjutkan dengan adanya
epistaksis masif yang berulang. 2. Adanya obstruksi hidung
memudahkan terjadinya penimbunan sekret, sehingga timbul rinorea
kronis yang diikuti oleh gangguan penciuman. 3. Sefalgia hebat yang
menunjukkan bahwa tumor sudah meluas ke intrakranial,
Pemeriksaan fisikPada pemeriksaan fisik secara rinoskopi akan
terlihat massa tumor yang konsistensinya kenyal, warnanya
bervariasi dari abu-abu sampai merah muda, dengan konsistensi
kenyal dan permukaan licin.Pemeriksaan PenunjangPada CT scan dengan
zat kontras akan tampak secara tepat perluasan massa tumor serta
destruksi tulang ke jaringan sekitarnyaPemeriksaan magnetic
resonansi imaging (MRI) dilakukan untuk batas tumor terutama yang
telah meluas ke intrakranialPemeriksaan angiografi (arteriografi)
bertujuan melihat pembuluh darah pemasok utama (feeding vessel)
untuk tumor serta mengevaluasi besar dan perluasan tumor. Pada
pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna, akan terlihat
vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari cabang arteri
maksilaris interna homolateral.
PenatalaksanaanPengobatan angiofibroma adalah bedah reseksi.
Pendekatan bedah ditentukan oleh ukuran, lokasi dan suplai darah
tumor. berbeda inovasi telah dijelaskan untuk eksisi lengkap mulai
dari pendekatan endoskopi untuk alotomy dan sebelah lateral
rhinotomy untuk eksposur yang lebih baik. Kelangkaan angiofibroma
septal dan kurangnya sistem pementasan membuat sulit untuk
menetapkan pedoman standar untuk terapi.
KomplikasiKomplikasi meliputi: perdarahan yang banyak (excessive
bleeding). Transformasi keganasan (malignant transformation).
PrognosisPrognosis angiofibroma pada penderita dimana angka
kekambuhan setelah terapi dilaporkan bervariasi antara 6 % hingga
57%.Salah satu penelitian menyebutkan angka rekuren 2,5% dari 19-40
penderita yang dirawat, dan satu dari penderita yang ada mengalami
kekambuhan sampai 12 kali. Angka mortalitas penyakit ini sekitar
3%.
Daftar Pustaka
Adam, Boies, Higler, Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6, EGC,
Jakarta, 1997Archontaki, M dkk, Cavernous haemangioma of the left
nasal cavity. ACTA Otorhinolharingologica Italica, 2008Guyton, AC,
Hall, JE, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 1997, editor: irawati
setiawan, ed. 9, 1997, Jakarta: EGCKim, Seon Tae dkk, Three Cases
of Hemangioma in Nasal Septum. 2000Latif Hamdan, Abdul dkk,
Angiofibroma of the Nasal Septum. Middle East Journal of
Anesthesiology. 2012Meymane Jahromi, Ahmad dkk, The Epidemiological
and Clinical Aspects of Nasal Polyps that Require Surgery. National
Center for Biotechnology Information (NCBI), 2012Mulliken, Jhon B.
VascularAnomaliesIn : Grabb and Smiths PlasticSurgery. 6th edition.
Philadelphia .2007Soepardi, Efiaty Arsyad dkk, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher edisi 7, FK UI,
2012.Snell, Richard S., Anatomi klinik edisi 6, EGC, 2006
Rahman, Sukri dkk, Angiofibroma Nasofaring Pada Dewasa. Telinga
Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas PadangRay Newton, Jonathan dkk, A review of
nasal polyposis, National Center for Biotechnology Information
(NCBI), 2008www.patient.co.uk/doctor/nasal-polyps-pro