Top Banner
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kurang kalori protein (KKP) pada anak masih menjadi masalah gizi dan kesehatan masyarakat di Indonesia. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan tahun 2010, kejadian gizi buruk pada balita masih tinggi. Indonesia masuk dalam posisi nomor 3 di dunia, sebagai pemasuk anak pendek (Sjarif, 2014). Hasil Riskesdas tahun 2010 menunjukkan bahwa sebanyak 13% anak berstatus gizi kurang, diantaranya 4,9% berstatus gizi buruk. Data yang sama menunjukkan pula bahwa sebanyak 13,3% anak kurus, terdapat sekitar 6,0% anak sangat kurus dan 17,1% anak memiliki kategori sangat pendek. Keadaan ini berpengaruh kepada masih tingginya angka kematian bayi. Menurut WHO lebih dari 50% kematan bayi dan anak terkait dengan gizi kurang dan gizi buruk (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan perkembangan masalah gizi, pada tahun 2005 di Indonesia diperkirakan sekitar 5 juta anak menderita gizi kurang (berat badan menurut umur) dan 1,5 juta diantaranya menderita gizi buruk. Anak yang menderita gizi buruk tersebut terdapat 150.000 anak menderita gizi 1
44

Tugas Referat Kkp Silvia

Feb 18, 2016

Download

Documents

ABDUL RAHMAN

kkp
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Tugas Referat Kkp Silvia

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kurang kalori protein (KKP) pada anak masih menjadi masalah

gizi dan kesehatan masyarakat di Indonesia. Menurut Riset Kesehatan

Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan tahun 2010, kejadian gizi buruk pada

balita masih tinggi. Indonesia masuk dalam posisi nomor 3 di dunia,

sebagai pemasuk anak pendek (Sjarif, 2014). Hasil Riskesdas tahun 2010

menunjukkan bahwa sebanyak 13% anak berstatus gizi kurang,

diantaranya 4,9% berstatus gizi buruk. Data yang sama menunjukkan pula

bahwa sebanyak 13,3% anak kurus, terdapat sekitar 6,0% anak sangat

kurus dan 17,1% anak memiliki kategori sangat pendek. Keadaan ini

berpengaruh kepada masih tingginya angka kematian bayi. Menurut WHO

lebih dari 50% kematan bayi dan anak terkait dengan gizi kurang dan gizi

buruk (Kemenkes RI, 2011).

Berdasarkan perkembangan masalah gizi, pada tahun 2005 di

Indonesia diperkirakan sekitar 5 juta anak menderita gizi kurang (berat

badan menurut umur) dan 1,5 juta diantaranya menderita gizi buruk. Anak

yang menderita gizi buruk tersebut terdapat 150.000 anak menderita gizi

buruk tingkat berat yang disebut marasmus, kwasiorkor, dan marasmik

kwasiorkor yang memerlukan perawatan kesehatan yang intensif. Pada

tahun 2011 diperkirakan masih terdapat 110 kabupaten/kota dari 440

kabupaten/kota di Indonesia yang mempunyai prevalensi gizi buruk diatas

30% (berat badan menurut umur) dan menurut WHO keadaan ini masih

tergolong sangat tinggi (Sulistyawati, 2011). KKP menyerang anak-anak

yang sedang tumbuh terutama anak yang berusia 2-4 tahun dan dapat pula

menyerang orang dewasa, yang biasanya kekurangan makan secara

menyeluruh (Sediaoetama, 2008). Sedangkan marasmus sering

menjangkiti bayi yang baru berusia kurang dari 1 tahun, sementara

kwasiorkor cenderung menyerang setelah mereka berusia 18 (Arisman,

2009).

1

Page 2: Tugas Referat Kkp Silvia

Akibat yang ditimbulkan dari KKP mempengaruhi banyak hal

dalam tubuh anak, termasuk mempengaruhi kesehatan organ tubuh, mental

maupun kecerdasan. Oleh karena itu diperlukan penanganan yang tepat

dalam tatalaksananya untuk mengurangi atau menghilangkan dampak yang

ditimbulkan.

B. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk memberikan informasi

ilmiah mengenai Kurang Kalori Protein (KKP) meliputi definisi KKP,

faktor risiko KKP, klasifikasi KKP, cara diagnosis KKP, pengaruh KKP

dan tatalaksana KKP.

2

Page 3: Tugas Referat Kkp Silvia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Kurang Kalori Protein adalah keadaan kurang gizi pada anak yang

disebabkan oleh kurangnya energi, protein atau keduanya (Muscaritoli et

al, 2009 ; Obimba, 2009). Kedua bentuk defisiensi ini tidak jarang berjalan

bersisian, meskipun salah satu terkadang lebih dominan ketimbang yang

lain. Jika terjadi kekurangan energi yang dominan maka dikenal sebagai

marasmus, sedangkan jika yang dominan adalah kekurangan protein maka

disebut sebagai kwasiorkor. Akan tetapi, jika terjadi kekurangan keduanya

maka disebut sebagai marasmik kwasiorkor. Marasmus dan kwashiorkor

atau marasmic kwashiorkor dikenal di masyarat sebagai “busung lapar”

(Arisman, 2009 ; Kemenkes RI, 2011 ; Mitayani dan Sartika, 2013).

B. Faktor Risiko

Faktor penyebab yang melatarbelakangi KKP pada bayi dan balita

adalah (Arisman, 2009 ; Mitayani dan Sartika, 2013) :

1. Pemberian nutrisi yang salah

Terjadinya penurunan minat dalam memberi ASI akan berpotensi

menumbuhsuburkan KKP.

2. Faktor sosial ekonomi

Kemiskinan merupakan salah satu determinan sosial-ekonomi dan

merupakan akar dari ketiadaan pangan, tempat mukin yang berjejalan,

kumuh, dan tidak sehat serta ketidakmampuan mengakses fasilitas

kesehatan.

3. Faktor pengetahuan

Ketidaktahuan, baik yang berdiri sendiri maupun yang berkaitan

dengan kemiskinan, menimbulkan salah paham tentang merawat bayi

dan anak yang benar.

4. Faktor lingkungan

3

Page 4: Tugas Referat Kkp Silvia

Tempat tinggal yang berjejalan dan tidak bersih menyebabkan infeksi

sering terjadi. Adanya bencana alam, perang, atau migrasi paksa telah

terbukti mengganggu distribusi pangan.

5. Faktor biologi

Komponen biologi yang menjadi latar belakang KKP antara lain

malnutrisi ibu, baik sebelum maupun selama hamil, penyakit infeksi,

serta diet rendah energi dan protein. Seorang ibu yang mengalami

KKP selama kurun waktu tersebut pada gilirannya akan melahirkan

bayi berberat badan rendah. Tanpa ketersediaan pangan yang cukup,

bayi KKP tersebut tidak akan mampu mengejar ketertinggalannya,

baik kekurangan berat semasa dalam kandungan maupun setelah lahir.

Selain itu, penyakit infeksi berpotensi sebagai penyokong atau

pembangkit KKP. Penyakit diare, campak, dan infeksi saluran napas

kerap menghilangkan nafsu makan. Penyakit saluran pencernaan yang

sebagian muncul dalam bentuk muntah dan gangguan penyerapan,

menyebabkan kehilangan zat-zat gizi dalam jumlah besar.

C. Klasifikasi KKP

Berdasarkan penyebabnya, maka kejadian KKP dibedakan menjadi 2

macam, yaitu (Arisman, 2009) :

1. KKP Primer : KKP yang diakibatkan ketiadaan pangan sehingga

terjadi kekurangan asupan

2. KKP Sekunder : KKP yang dikarenakan adanya penyakit yang

mengakibatkan pengurangan asupan, gangguan serapan serta

peningkatan kebutuhan (dan/atau kehilangan) akan zat gizi

Berdasarkan derajatnya, maka KKP dibedakan menjadi beberapa macam :

1. Klasifikasi Gomez

Gomez (1956) merupakan orang pertama yang mempublikasikan cara

pengelompokan kasus kurang kalori protein. Klasifikasi KKP menurut

Gomez didasarkan pada berat badan terhadap usia (BB/U). Berat anak

yang diperiksa dinyatakan sebagai persentase dari berat anak seusia

4

Page 5: Tugas Referat Kkp Silvia

yang diharapkan pada baku acuan dengan menggunakan persentil ke-

50 baku acuan Harvard (Arisman, 2009).

Tabel 1. Klasifikasi KKP menurut Gomez (Supariasa et al, 2008)

Derajat KKP Berat Badan/Usia (%)

0 (normal) ≥ 90%

I (ringan) 89 - 75%

II (sedang) 74-60%

III (berat) <60%

Sayang sekali dengan cara ini marasmus tidak dapat dibedakan

dengan kwasiorkor. Akibatnya anak yang rasio berat badan terhadap

usia sangat rendah tidak termasuk sebagai penderita KKP karena anak

yang kurus ini memiliki ukuran tinggi badan yang rendah pula.

Penggunaan nilai defisit berdasarkan berat terhadap usia tidak

membedakan anak yang memang mempunyai berat badan kurang

(KKP kini) dengan mereka yang berat dan tingginya seimbang (KKP

lampau), disamping data tentang kronologis usia tidak selalu tersedia

dan kalaupun ada, data tersebut biasanya tidak valid (terandal)

(Arisman, 2009).

2. Klasifikasi Jellife

Sama seperti Gomez, Jellife (1966) juga menyusun klasifikasi

berdasarkan berat terhadap usia, termasuk penggunaan baku acuan

Harvard dengan persentik ke-50. Bedanya, Jellife membagi KKP

menjadi 4 tingkatan, I sampai dengan IV (Arisman, 2009).

Tabel 2. Klasifikasi KKP menurut Jellife (Arisman, 2009)

Kategori Berat badan/usai (%)

KKP I 90-80

KKP II 80-70

KKP III 70-60

KKP IV <60

5

Page 6: Tugas Referat Kkp Silvia

3. Klasifikasi Bengoa

Dengan klasifikasi Jellife, kwasiorkor dan marasmus masih belum

dibedakan. Karena itu, Bengoa mencoba menengahi kedua

pengelompokkan ini dengan memasukkan tana edema, tanpa

memandang defisit berat badan. Menurut Bengoa. KKP cukup

dikelompokkan menjadi 3 kategori dan seluruh penderita yang

menanpakkan tanda edema dinilai sebagai KKP derajat III. Klasifikasi

Bengoa masih menggunakan baku Harvard sebagai acuan (Arisman,

2009).

Tabel 3. Klasifikasi KKP menurut Bengoa (Supariasa et al, 2008)

Kategori Berat badan/usia (%)

KKP I 90-76

KKP II 75-61

KKP III Semua penderita dengan edema

4. Klasifikasi Wellcome

Hampir sama dengan Gomez, Jellife, dan Bengoa, klasifikasi

Wellcome (1970) juga mengacu pada baku Harvard. Bedanya,

Wellcome memasukkan parameter edema ke dalam penilaian. Jika

defisit berat badan pada klasifikasi Bengoa tidak diperhatikan,

Wellcome memasukkan indikator ini ke dalam komponen yang harus

dinilai. Dengan demikian, perbedaan berbagai tahapan kelainan status

gizi tergambar jelas (Arisman, 2009).

Tabel 4. Klasifikasi KKP menurut Wellcome (Arisman, 2009)

Tanda yang Ada % Berat Baku Edema Defisit BB/TB

Kurus 80-60 0 Minimal

Pendek <60 0 Minimal

Marasmus <60 0 ++

kwasiorkor 80-60 + ++

Marasmik

kwasiorkor

<60 + ++

6

Page 7: Tugas Referat Kkp Silvia

5. Klasifikasi Waterlow

Klasifikasi Waterlow (1973) telah lebih baik, menggunakan indikator

berat badan terhadap usia dan berat terhadap tinggi meskipun masih

mengacu pada baku Harvard. Watermelow mengelompokkan KKP

menjadi 4 kelas yaitu normal, kurus, kurus dan pendek, serta pendek.

Data seperti ini penting karena pendekatan serta antisipasi lamanya

terapi keduanya tidak sama. Sebagai contoh, untuk menormalkan

mereka yang kurus tidak memakan waktu lama, sementara sebaliknya,

mengejar ketertinggalan pertumbuhan linier (kalau masih dapat)

memerlukan waktu cukup panjang (Arisman, 2009).

Tabel 5. Klasifikasi KKP menurut Waterlow (Arisman, 2009)

Derajat

kependekan

Derajat kekurusan (BB/TB)

Persen (derajat)

BB/U

>90% (0) 80-90% (1) 70-80 (2) <70% (3)

>90% (derajat 0

95-90% (derajat

1)

Normal Kurus

85-90% (derajat

2)Pendek Kurus - Pendek

6. Klasifikasi menurut Departemen Kesehatan RI

Departemen Kesehatan RI (2000) berdasarkan Temu Pakar Gizi di

Bogor dan di Semarang tahun 2000, merekomendasikan baku WHO-

NCHS untuk digunakan sebagai baku antropometris di Indonesia. Dari

sini klasifikasi KKP kemudian disusun. Indikator yang dipakai ialah

tinggi dan berat, sementara penyajian indeks digunakan simpangan

baku (Arisman, 2009).

Tabel 6. Klasifikasi KKP menurut Departemen RI (Arisman, 2009)

Indeks Simpangan Baku Status Gizi

Berat badan terhadap Usia

(BB/U)

≥ 2 SD Gizi lebih

7

Page 8: Tugas Referat Kkp Silvia

-2 SD sampai +2 SD

< -2 SD sampai -3 SD

< -3SD

Gizi baik

Gizi kurang

Gizi buruk

Tinggi badan terhadap

Usia (TB/U)

-2SD sampai +2SD

<-2SD

Normal

Pendek

Berat badan terhadap

tinggi badan (BB/TB)

≥ 2 SD

-2 SD sampai +2 SD

< -2 SD sampai -3 SD

< -3SD

Gemuk

Normal

Kurus

Sangat kurus

D. Diagnosis KKP

Anak yang mengalami gejala klinis KKP ringan dan sedang pada

pemeriksaan hanya nampak kurus. Namun gejala klinis KKP berat secara

garis besar dapat dibedakan menjadi 3 yaitu marasmus, kwashiorkor atau

marasmic kwashiorkor (Supariasa, dkk, 2008):

1. Marasmus

Gambaran penderita marasmus dapat terwakili dalam istilah

“tulang terbalut kulit”, jaringan lemak bawah kulit (nyaris) lenyap dan

bila kulit tersebut dijepit diantara jari akan membentuk lipatan, serta

tidak terasa ada jaringan lemak subkutan. Berat badan penderita

marasmus biasanya hanya sekitar 60% dari berat yang seharusnya dan

mengalami kemunduran pertumbuhan longitudinal (Grover dan Ee,

2009 ; Arisman, 2009). Kulit tampak berlipat-lipat di daerah pantat

seperti kulit tersebut kedodoran terlalu lebar bagi tubuh yang kurus

tersebut. Lipatan-lipatan kulit terdapat pula di bagian muka, sehingga

muka anak menyerupai muka seorang tua yang sudah keriput

(oldman’s face) atau dipersamakan pula dengan muka anak monyet

yang baru lahir (monkey’s face). Selain itu, anak menjadi cengeng dan

rewel, atau bahkan bisa keliatan apatis (Sediaoetama, 2008 ; Supariasa

et al, 2008).

Nafsu makan sebagian penderita hilang sama sekali dan sebagian

masih mau makan. Namun bila diberi sejumlah makanan yang

8

Page 9: Tugas Referat Kkp Silvia

diperkirakan dapat melenyapkan rasa lapar, anak tidak jarang muntah.

Diare menahun dan kelemahan yang menyeluruh sering mendampingi

KKP sehingga anak tidak dapat berdiri sendiri tanpa dibantu. Detak

jantung, tekanan darah dan suhu tubuh biasanya rendah. Akan tetapi

takikardia juga sering terjadi. Hipoglikemia juga sering terjadi dan

tidak jarang pula ditemani oleh hipotermia (suhu tubuh 35,5OC).

Organ dalam (visera) biasanya kecil. Dinding perut menegang

sementara kelenjar limfe mudah sekali diraba (Arisman, 2009). Pada

penderita marasmus biasanya tidak ada pembesaran hati

(hepatomegali) dan kadar lemak serta kolesterol di dalam darah

menurun (Sediaoetama, 2008). Penyulit yang lazim terjadi ialah

gastgroenteritis akut, dehidrasi, infeksi saluran nafas dan kerusakan

mata akibat kekurangan vitamin A. Infeksi yang bersifat sistemik

bahkan dapat menimbulkan renjatan septik atau intravascular slotting

(Arisman, 2009).

2. Kwasiorkor

Pada kwasiorkor gambaran klinik anak sangat berbeda. Berat

badan tidak terlalu rendah, bahkan dapat tertutup oleh adanya oedema,

sehingga penurunan berat badan ini relatif tidak terlalu jauh, tetapi

bila pengobatan oedema menghilang, maka berat badan yang rendah

akan mulai menampakan diri. Biasanya berat badan tersebut tidak

sampai dibawah 60% dari berat badan standar bagi usia yang sesuai

(Sediaoetama, 2008 ; Grover dan Ee, 2009). Edema yang jika ditekan

melekuk, tidak sakit dan lunak biasanya terjadi di kaki, merupakan

gambaran utama kwasiorkor. Edema bahkan dapat meluas sampai ke

daerah perineum, ekstremitas atas dan muka. Pada daerah edema tidak

jarang pula timbul lesi kulit. Eritema yang timbul di daerah edema

biasanya mengkilap, ada bagian yang kering, hiperkeratosis, dan

hiperpigmenatasi yang cenderung menyatu. Epidermis mengelupas

sehingga jaringan dibawah kulit mudah terinfeksi (Arisman, 2009).

Jaringan lemak di bawah kulit masih cukup baik, namun jaringan otot

tampak mengecil lebih nyata apabila diperiksa pada posisi berdiri dan

9

Page 10: Tugas Referat Kkp Silvia

duduk, anak berbaring terus menerus. Kekurangan berat, setelah

dikurangi berat cairan edema biasanya tidak separah marasmus.

Tinggi badan bisa normal, bisa juga tidak, tergantung pada

kemenahunan penyakit yang tengah berlangsung, disamping riwayat

gizi di masa lalu (Arisman, 2009).

Rambut kering, rapuh dan tidak mengkilap, dan mudah dicabut

tanpa menimbulkan rasa sakit. Rambut yang sebelumnya berombak

berubah menjadi lurus, sementara pigmen rambut berganti warna

menjadi coklat, atau kemerahan. Penderita tampak pucat, tungkai

berwarna kebiruan, dan teraba dingin. Gangguan kulit berupa bercak

merah yang meluas dan berubah menjadi hitam terkelupas (crazy

pavement dermatosis). Ekspresi wajah tampak seperti susah dan sedih,

disamping apatis dan iritatif (Arisman, 2009).

Kulit tampak kering (xerosis) dan memberi kesan kasar dengan

garis-garis permukaan yang jelas tampak seperti mozaix (mozaic

skin). Di daerah tungkai dan sikut serta di daerah bokong terdapat

daerah kulit yang menunjukkan hiperpigmentasi dan kulit dapat

mengelupas dalam lembaran yang lebar, meningalkan dasar yang licin

berwarna lebih putih mengkilap, memberi kesan seperti kertas

perkamen (kulit perkamen). Tampak daerah ini menunjukkan kelainan

yang disebut crazy pavement dermatosis (Sediaoetama, 2008).

Ketiadaan nafsu maka, muntah segera setelah makan, serta diare,

kerap terjadi. Kondisi ini akanmembaik manakala keadaan gizi

terkoreksi dan dilakukan pengobatan saluran gastrointestinal secara

spesifik. Hati membesar dengan sudut tumpul dan frekuensinya

rendah. Tonus dan kekuatan otot sangat berkurang. Selain itu

takikardia tidak jarang terjadi, sementara hipotermia dan hipoglikemia

dapat terjadi tidak lama sesudah puasa (Arisman, 2009).

Penyulit yang biasanya terjadi sama dengan marasmus, kecuali

diare, infeksi saluran napas, dan kulit yang berlangsung lebih parah.

Infeksi yang serius dan fatal dapat terjadi tanpa disertai demam,

takikardia, distres pernafasan, atau lekositosis tang memadai.

10

Page 11: Tugas Referat Kkp Silvia

Penyebab kematian yang utama adalah edema paru yang disertai oleh

bronkopneumonia, septikemia, gastroenteritis, serta

ketidakseimbangan air dan elektroli (Arisman, 2009).

3. Marasmik – kwasiorkor

Kasus yang terbanyak ialah campuran kedua gambaran klinis

diatas, disebabkan oleh kekurangan energi dan protein sekaligus.

Keadaan campuran ini disebut marasmic kwashiorkor, dan inilah yang

disebut KKP. Penderita mempunyai berat badan dibawah berat standar

untuk umurnya, tetapi mungkin tidak terlalu jauh di bawah

(Sediaoetama, 2008). Gambaran yang utama ialah kwasiorkor edema

dengan atau tanpa lesi kulit, pengecilan otot, dan pengurangan lemak

bawah kulit seperti pada marasmus. Jika edema dapat hilang pada

awal pengobatan, penampakan penderita ini akan menyerupai

marasmus. Gambaran marasmus dan kwasiorkor muncul secara

bersamaan dan didominasi oleh kekurangan protein yang parah

(Arisman, 2009).

E. Pengaruh KKP terhadap Tubuh

1. Saluran pencernaan

KKP berat menurunkan sekresi asam dan melambatkan gerak

lambung. Mukosa usus halus mengalami atrofi. Vili pada mukosa usus

lenyap, permukaannya berubah menjadi datar dan diinfiltrasi oleh sel-

sel limfosit. Pembaruan sel-sel epitel, indeks mitosis, kegiatan

disakarida berkurang. Pada hewan percobaan, kemampuan untuk

mempertahankan kandungan normal mucin dalam mukosa terganggu

dan laju penyerapan asam amino serta lemak berkurang (Arisman,

2009).

2. Pankreas

KKP menyebabkan atrofi dan fibrosis sel-sel asinar yang akan

mengganggu fungsi pankreas sebagai kelenjar eksokrin. Gangguan

fungsi pankreas bersama dengan intoleransi disakarida akan

11

Page 12: Tugas Referat Kkp Silvia

menimbulkan sindrom malabsorpsi, yang selanjutnya berlanjut

sebagai diare (Arisman, 2009).

3. Hati

Pengaruh KKP pada hati bergantung pada lama serta jenis zat gizi

yang berkurang. Glikogen pada penderita marasmus cepat sekali

terkuras sehingga zat lemak kemudian tertumpuk dalam sel-sel hati.

Manakala kelaparan terus berlanjut, hati mengerut sementara

kandungan lemak menyusut dan protein habis meskipun jumlah

hepatosit relatif tidak berubah (Arisman, 2009).

Ukuran hati penderita kwasiorkor membesar serta banyak

mengandung glikogen. Infiltrasi lemak merupakan gambaran

menonjol yang terutama disebabkan oleh penumpukan trigliserida.

Dengan mikroskop elektron akan terlihat proliferasi retikulum

endopllasma halus, sementara jumlah retikulum endoplasma kasar

menurun. Mekanisme bagaimana kedua hal terjadi belum diketahui

(Arisman, 2009).

4. Ginjal

Meskipun fungsi agak normal ginjal masih dapat dipertahankan,

GFR (glomerular filtration rate) dan RPF (Renal plasma flow) telah

terbukti menurun. Penelitian di Minnesota membuktikan bahwa

keadaan semikepalaran dapat mengakibatkan poliuria (tampak jelas

setelah 6 minggu kelaparan) dan nokturia. Gangguan kemampuan

untuk pemekatan urin diperkirakan sebagai akibat dari penurunan

jumlah urea dalam medula yang disertai penyusutan medulla osmolar

gradient. Pemeriksaan laboratorium urine berupa berat jenis (BJ)

rendah, ada sedikit sedimen, RBC, WBC, dan toraks sementara

protein tidak ada. Secara histologis, tidak ada perubahan yang

bermakna (Arisman, 2009).

5. Sistem hematologik

Perubahan pada sistem hematologik meliputi anemia, leukopenia,

trombositopenia, pembentukan akantosit, serta hipoplasia sel-sel

sumsum tulang yang berkaitan dengan transformasi substansi dasar,

12

Page 13: Tugas Referat Kkp Silvia

tempat nekrosis sering terlihat. Derajat kelainan ini bergantung pada

berat serta lamanya kekurangan kalori berlangsung (Arisman, 2009).

Anemia pada kasus demikian biasanya bersifat normokromik dan

tidak disertai oleh retikulositosis meskipun cadangan zat besi cukup

adekuat. Penyebab anemia pasien yang asupan proteinnya tidak

adekuat ialah menurunnya sintesis eritropoietin, sementara anemia

pada mereka yang sama sekali tidak makan protein timbul karena stem

cell dalam sumsum tulang tidak berkembang, disamping sitesis

eritropoietin juga menurun (Arisman, 2009).

Malnutrisi berat berkaitan dengan leukopenia dan hitung jenis yang

normal. Morfologi neutrofil juga kelihatan normal. Namun, jika

infeksi terjadi, jumlah neutrofil biasanya (namun tidak selalu)

meningkat. Simpanan neutrofil yang dinyatakan sebagai hitung

neutrofil tertinggi setealh 3-5 jam pemberian hidrokortison pada

malnutrisi juga berkurang, dan fungsinya tidak normal. Sebagai

tambahan julah trombosit turut pula menurun (Arisman, 2009).

6. Sistem kardiovaskular

Kondisi semikelaparan akan menyusutkan berat badan sebanyak

24%, mengerutkan volume jantung hingga 17% di samping

menyebabkan bradikardia, hipotensi arterial ringan, penurunan

tekanan vena, konsumsi oksigen, stroke volume, dan penurunan curah

jantung. Dampaknya adalah kerja jantung menurun, penjenuhan

(saturasi) oksigen vena dan kandungan oksigen arterial berkurang

(Arisman, 2009).

7. Sistem pernafasan

Hasil otopsi penderita KKP menunjukkan tanda-tanda yang

menyiratkan bahwa selama hidup mereka pernah terserang bronkitis,

tuberkulosis, serta penumonia. Kematian akibat malnutrisi biasanya

terjadi berkaitan dengan pneumonia. Penyulit ini terutama disebabkan

oleh lenyapnya kekuatan otot perut, sela iga, bahu, dan diafragma.

Akibatnya fungsi ventilasi terganggu, kemampuan untuk

mengeluarkan dahak menjadi rusak sehingga eksudat menumpuk

13

Page 14: Tugas Referat Kkp Silvia

dalam bronkus. Keadaan hipoproteinemia secara bersamaan

mengakibatkan edema interstitial dan sekresi bronkus. Kondisi

demikian memperberat fungsi ventilasi yang telah terganggu

(Arisman, 2009).

8. Gangguan perkembangan mental dan perkembangan

KKP yang diderita pada masa dini perkembangan otak anakn

mengurangi sintesa protein DNA, dengan akibat terdapatnya otak

dengan jumlah sel yang kurang walaupun besarnya otak itu normal.

Jika KKP terjadi setelah masa devisi otak berhenti, hambatan sintesis

protein akan menghasilkan otak dengan jumlah sel yang normal tetapi

dengan ukuran yang lebih kecil. Perubahan ini dapat kembali dengan

perbaikan diet. Selain itu, menurut Depkes (2003) juga menjelaskan

lebih lanjut bahwa akibat gizi buruk pada anak yaitu pertumbuhan

badan dan perkembangan mental anak sampai dewasa terhambat

(Sulistyawati, 2011).

9. Gangguan sistem endokrin

Pada kasus gizi buruk ditemukan perubahan produksi beberapa

hormon seperti hormon kortisol yang meningkat pada kwasiorkor dan

marasmus, insulin menurun, hormon pertumbuhan meninggi pada

kwasiorkor dan marasmus dan TSH yang meninggi tetapi fungsi tiroid

yang menurun (Sulistyawati, 2011).

10. Penyembuhan luka

Gangguan penyembuhan luka baru akan timbul manakala berat

badan menyusut lebih dari sepertiga berat badan normal karena

kekuatan mekanisme otot serta kulit perut telah berkurang. Pada

kolon, pengurangan kekuatan seperti ini tidak terjadi. Penyusutan

jaringan kolagen viseral jauh lebih sedikit ketimbang jaringan parietal.

Namun, pengaruh buruk ini masih dapat diatasi jika nutrisi

pascaoperasi terselenggara dengan baik (Arisman, 2009).

14

Page 15: Tugas Referat Kkp Silvia

Tabel 7. Perbedaan Marasmus dan Kwasiorkor (Arisman, 2009)

Tanda klinis Marasmus Kwasiorkor

Usia Bayi Tahun II dan III

Gangguan pertumbuhan Lazim Lazim

Edema Tidak ada Sangat sering

Perubahan mental Jarang, berat jika terjadi

pada bayi dan

berlangsung lama

Sangat sering

Hepatomegali Sering Sangat sering

Perubahan rambut Sering Sangat sering

Dermatosis (flaky) Jarang Sering

Anemia Sering, berat Sering, ringan

Lemak bawah kulit Tidak ada Ada tapi tipis

Penurunan berat Parah Parah, tertutup edema

Nafsu makan Baik Buruk

Infeksi Sering Sangat sering

Diare Tidak lazim Sangat lazim

Penyembuhan luka Baik jika stres tidak

lama, buruk jika lama

Buruk

Adaptasi stres Baik Buruk

Defisiensi vitamin Tidak lazim Lazim

Malabsorpsi Sebagian Luas

Infiltrasi lemak hati Tidak ada Parah

Toleransi glukosa IV Normal Terganggu

Glukosa Rendah Sangat rendah

Cu, Zn, Na Normal Rendah

Asam amino Normal Tinggi

Kolesterol Normal Rendah

Hormon pertumbuhan Rendah atau normal Tinggi

Urea/ total N Diatas 65% Dibawah 505

Insulin Rendah rendah

15

Page 16: Tugas Referat Kkp Silvia

F. TATALAKSANA

1. Tahapan

Pasien yang menderita KKP tanpa penyulit sangat dianjurkan

untuk dirawat di rumah saja. Menginap di rumah sakit justru

meningkatkan risiko infeksi silang, sementara suasana asing yang

berlainan dengan keadaan rumah menyebabkan anak merasa

diasingkan, kondisi tersebut menyuburkan suasana apatis sekkaligus

memperburuk anoreksia yang telah ada. Perawatan di rumah sakit

tidak dapat dihindarkan lagi jika keadaan penderita dapat mengancam

jiwanya. Kondisi demikian hanya berlangsung pada KKP yang parah

(Arisman, 2009).

Di Indonesia digunakan buku panduan Tatalaksana Anak Gizi

Buruk yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan, disusun

berdasarkan buku Management of Severe Malnutrition WHO (1999)

dan dilakukan penyesuaian dengan kondisi dan sistem kesehatan yang

ada (Susanto et al, 2014).

Tatalaksana penderita gizi buruk yang dirawat di RS dibagi

menjadi dua tahap yaitu fase stabilisasi dan rehabilitasi dengan

tindakan atau kegiatan yang terdiri dari 10 langkah utama. Tindakan

pada fase stabilisasi bertujuan untuk mengatasi kedaruratan medis dan

menstabilkan kondisi klinis anak, mengatasi atau mencegah

hipoglikemia, hipotermia, dehidrasi, infeksi serta koreksi

keseimbangan elektrolit dan pemberian makan, sedangkan tujuan fase

rehabilitasi adalah pemulihan serta tumbuh kejar yang memerlukan

waktu lebih lama. Walaupun secara klinis terdapat perbedaan antara

marasmus dan kwasiorkor, prosedur tatalaksana terapi pada marasmus

maupun kwasiorkor sama (Susanto et al, 2014).

Berdasarkan Kementerian Kesehatan RI (2011) tatalaksana KKP

berat dibagi menjadi 4 fase yaitu:

1) Fase stabilisasi : diberikan makanan formula 75 (F75) dengan

asupan gizi 80-100 kkal/kgbb/hari dan protein 1-1,5

16

Page 17: Tugas Referat Kkp Silvia

gram/kgbb/hari. ASI tetap diberikan pada anak yang masih

mendapatkan ASI

2) Fase transisi : pada fase transisi ada perubahan pemberian makanan

dari F75 menjadi F100. Diberikan makanan formula 100 dengan

asupan gizi 100-15- kkal/kgbb/hari dan protein 2-3 gram/kgbb/hari

3) Fase rehabilitasi : diberikan makanan seperti pada fase transisi

yaitu F100 dengan penambahan makanan untuk anak dengan BB

<7 kg diberikan makanan bayi dan untuk anak dengan BB > 7 kg

diberikan makanan anak. Asupan gizi 150-220 kkal/kgbb/hari dan

protein 4-6 gram/kgbb/hari

4) Fase tindak lanjut (dilakukan di rumah) : setelah anak pulang, anak

tetap dikontrol oleh puskesmas pengirim secara berkala melalui

kegiatan posyandu atau kunjungan ke puskesmas. Lengkapi

imunisasi yang belum diterima, berikan imunisasi campak sebelum

pulang. Anak tetap melakukan kontrol pada bulan I satu

kali/minggu, bulan II satu kali/2minggu, selanjutnya sebulan sekali

sampai dengan bulan ke-6. Tumbuuh kembang anak dipantau oleh

tenanga kesehatan puskesmas pengirim sampai anak berusia 5

tahun.

Tabel 8. Tatalaksana KKP Berat (WHO, 2009)

Pada saat anak gizi buruk tiba di RS, seringkali terdapat komplikasi

berat yang mengancam jiwa seperti hipoglikemia, hipotermia, dehidrasi

dan lain-lain, sehingga memerlukan tindakan segera. Pada penderita

gizi buruk seluruh organ tubuhnya mengalami atrofi, lemak subkutan

sebagai cadangan energi sangat tipis, kemampuan memproduksi enzim

17

Page 18: Tugas Referat Kkp Silvia

sangat terbatas, kekebalan sangat terganggu dan reaksi tubuh sangat

kacau (terdapat infeksi tetapi justru hipotermi dan leukopeni) dan

didapatkan gangguan elektrollit. Oleh karena itu, pada fase stabilisasi,

penderita dianjurkan dirawat di ruang khusus non infeksi dengan suhu

ruangan yang cukup (tidak dingin). Segera beri makanan berupa

formula 75 (F75) setiap 2-3 jam sekali dan pada 2 jam pertama F75

diberikan ¼ dari jumlah yang dibutuhkan setiap 30 menit. Dilakukan

pemantauan akseptabilitas, suhu tubuh, frekuensi nadi, kadar gula

darah, dan waspadai kemungkinan kelebihan cairan. 10 tahap

tatalaksanan KKP berat yaitu (Susanto et al, 2014) :

1) Atasi / cegah hipoglikemi

Semua anak gizi burukberisiko untuk terjadi hipoglikemia (kadar

gula darah < 3mmol/dl atau 54 mg/dl) yang sering kali merupakan

penyebab kematian pada 2 hari pertaa perawatan. Hipoglikemia

dapat trejadi karena adanya infeksi berat atau anak tidak

mendapatkan makanan selama 4-6 jam. Agar hipoglikemia tidak

terjadi, anak harus diberi makan sekurang-kurangnya setiap 2-3

jam, baik siang ataupun malam (Susanto, 2014). Tanda

hipoglikemia mencakup temperatur tubuh kurang dari 36,5OC,

letargi, lemas dan kesadaran berkurang. Banyak keringat dan pucat

tidak biasanya bebarengan hadir bersama hipoglikemia. Jika tanda-

tanda ini telah tampak , upaya pengobatan harus segera dilakukan

tanpa harus menanti hasil pemeriksaan laboratorium. Selama

tindakan berlangsung, anak harus didampingi sampai kesadarannya

pulih (Arisman, 2009).

Terapi (Susanto, 2014):

a. Bila anak sadar dan dapat minum

1) Bolus 50ml larutan glukosa 10% atau sukrosa 10% (1

sendok teh penuh gula dengan 50 ml air), baik per oral

maupun dengan pipa nasogastrik. Kemudian mulai

pemberian F75 setiap 2 jam, untuk 2 jam pertama berikan ¼

dari dosis makanan setiap 30 menit)

18

Page 19: Tugas Referat Kkp Silvia

2) Pemberian makan per 2 jam siang dan malam

b. Bila anak tidak sadar

1) Glukosa 10% intravena (5mg/ml), diikuti dengan 50ml

Glukosa 10% atau sukrosa lewat pipa NGT. Kemudian

mulai pemberian F75 setiap 2 jam, untuk 2 jam pertama

berikan ¼ dari dosis makanan setiap 30 menit.

2) Pemberian makanan per 2 jam siang dan malam

Monitor (Susanto, 2014):

a. Kadar gula darah: setelah 2 jam, ulangi pemeriksaan kadar gula

darah. Selama terapi, umumnya anak akan stabil dalam 30 menit.

Bila gula darah masih rendah, ulangi pemberian 50 ml bolus

glukosa 10% atau larutan sukrosa, kemudian lanjutkan pemberian

makan F75 setiap 2 jam hingga anak stabli

b. Suhu rektal: jika turun hingga <35.5OC, ulangi pengukuran kadar

gula darah.

c. Tingkat kesadaran : bila belum pulih, ulangi pengukuran kadar gula

darah sambil mencari penyebabnya.

2) Atasi / cegah hipotermi

Jika suhu aksila <35,0OC, lakukan pemeriksaan suhu rektal

menggunakan termometer raksa. Jika suhu rektal <35,5OC, maka

lakukan (Susanto, 2014):

a. Berikan makanan secara langsung (atau mulai rehidrasi bila

diperlukan)

b. Hangatkan anak : selain memakaikan pakaian, tutupi dengan

selimut hangat hingga kepala (kecuali wajah) atau tempatkan di

dekat penghangat atau lampu (jangan gunakan botol air panas),

atau letakkan anak pada dada ibu (skin to skin, cara kanguru)

lalu tutupi selimut keduanya.

3) Atasi / cegah dehidrasi dan renjatan septik

Penentuan adanya dehidrasi pada anak gizi buruk tidak mudah

karena tanda dan gejala dehidrasi seperti turgor kulit dan mata

cekung sering didapati pada gizi buruk walaupun tanpa dehidrasi.

19

Page 20: Tugas Referat Kkp Silvia

Akan tetapi, pada anak gizi buruk dengan dehidrasi ringan sekalipun

dapat menimbulkan komplikasi lain seperti hipoglikemia dan letargi

sehingga memperberat kondisi klinis. Oleh karena itu, perlu

diantisipasi terjadinya dehidrasi pada anak gizi buruk dengan riwayat

diare atau muntah dan melakukan tindakan pencegahan. Diagnosis

pasti adanya dehidrasi yaitu dengan pengukuran berat jenis urin

(>1.030) selain tanda dan gejala klinis khas bila ada, antara lain rasa

haus dan mukosa mulut kering (Susanto, 2014).

Terapi:

Larutan gula-garam standar untuk rehidrasi oral (75 mmol Na/L)

mengandung terlalu banyak natrium dan terlalu sedikit K bagi anak

malnutrisi berat. Oleh karena itu diberikan larutan rehidrasi khusus

yaitu rehydration solution for malnutrition (ReSoMal) (Susanto,

2014).

Sulit untuk memperkirakan status dehidrasi dengan melihat klinis

saja pada anak KKP berat, maka diasumsikan bahwa setiap anak

dengan diare cair dapat mengalami dehidrasi dan diberikan (Susanto,

2014):

a. ReSoMal 5 ml.kg setiap 30 menit selama 2 jam pertama, baik

per oral maupun lewat NGT

b. Dilanjutkan 5-10 ml/kg/jam selama 4-10 jam berikutnya :

jumlah yang seharusnya diberikan pada anak ditentukan oleh

berapa banyak anak mau minum, dan jumlah diare dan muntah.

Ganti dosis ReSoMal pada jam ke 4, 6, 8, dan 10 dengan F75

bila rehidrasi masih dibutuhkan

c. Kemudian bila sudah terehidrasi, hentikan pemberian ReSoMal

dan dilanjutkan F75 setiap 2 jam

d. Bila masih diare, beri ReSoMal setiap anak diare : anak < 2

tahun: 50-100 ml dan anak > 2 tahun: 100-200 ml

4) Koreksi ketidakseimbangan elektrolit

Semua anak dengan malnutrisi berat mengalami kelebihan natrium

(Na) walaupun kadar Na darah rendah. Kadar Na darah lebih

20

Page 21: Tugas Referat Kkp Silvia

mencerminkan kadar Na ekstraseluler, bukan Na total yang meliputi

Na intraseluler. Keberadaan kalium (K) dan Na intraseluler

dikendalikan oleh pompa Na-K. Secara normal cukup energi, K

dipertahankan berada tetap di intrasel. Jika tubuh kekurangan energi

maka Na akan berada pada intrasel. Asupan Na berlebihan akan

dapat menyebabkan kematian oleh karena kelebihan Na intrasel yang

berakibat terjadinya edema seluler. Defisiensi K dan magnesium

(Mg) juga terjadi dan membutuhkan waktu minimal dua minggu

untuk melakukan koreksi. Edema yang muncul bisa disebabkan

ketidakseimbangan elektrolit. Jangan memberikan diuretic sebagai

terapi edema. Berikan ekstra kalium 3-4 mmol/kg/hari, ekstra

magnesium 0,4-0,6 mmol/kg/hari, saat rehidrasi berikan cairan

rendah natrium (misal ReSoMal) dan siapkan makanan tanpa garam

(Susanto, 2014).

5) Atasi / cegah infeksi

Pada malnutrisi berat, tanda umum adanya infeksi seperti demem

sering tidak dijumpai dan infeksi sering bersembunyi. Oleh karena

itu, beri secara rutin saat rawat inap yaitu antibiotik spektrum

spektrum luas, vaksin campak jika anak > 6 bulan dan belum

mendapat imunisasi (tunda jika kondisi klinis buruk atau dalam

keadaan syok) (Susanto, 2014).

Pilihan antibiotik spektrum luas antara lain :

a. Jika pada anak tidak terdapat komplikasi atau infeksi tidak nyata,

beri kotrimoksasol 5 ml larutan pediatrik per oral dua kali sehari

selama 5 hari (2,5ml jika berat <6 kg)

b. Jika anak terlihat sangat sakit (apatis, letargi) atau terdapat

komplikasi (hipoglikemia, hipotermi, dermatosis, infeksi traktus

respiratorius atau urinarius) maka beri ampizilin 50 mg/kg IM/IV

per 6 jam untuk 2 hari, kemudian dilanjutkan dengan amoksisilin

per oral 15 mg/kg per 8 jam untuk 5 hari, atau jika amoksisilin

tidak tersedia, lanjutkan dengan ampisilin per oral 50 mg/kg per

6 jam.

21

Page 22: Tugas Referat Kkp Silvia

Selain itu, tambahkan pula gentamisin 7,5 mg/kgbb IM/IV sekali

sehari selama 7 hari. Jika anak tidak ada perbaikan klinis dalam

waktu 48 jam maka tambahkan kloramfenikol 25 mg/kg IM/IV per 8

jam selama 5 hari. Jika infeksi spesifik teridentifikasi, tambahkan

antibiotik spesifik yang sesuai. Jika anoreksia tetap ada setelah 5 hari

pemberian antibiotik, lanjutkan sampai 10 hari. Selain itu, evaluasi

ulang aak seutuhnya, periksa fokal infeksi dan organisme yang

potensial untuk resisten dan pastikan bahwa suplemen vitamin dan

mineral telah diberikan secara benar (Susanto, 2014).

6) Koreksi defisiensi mikronutrien

Penderita KKP berat juga mengalami defisiensi vitamin dan mineral.

Meskipun anemia sering terjadi, pada periode awal (stabilisasi) tidak

boleh diberikan preparat besi tetapi ditunggu sampai anak memiliki

nafsu makan yang baik dan dimulai saat berat badan bertambah

(biasanya minggu kedua atau pada fase rehabilitasi) (Susanto, 2014).

Pemberian pada hari pertama diberikan vitamin A per oral (dosis

untuk >12 bulan 200.000 SI, untuk 6-12 bulan 100.000 SI, untuk 0-5

bulan 50.000 IU) ditunda bila kondisi klinis buruk. Asam folat 45mg

per oral diberikan pada hari pertama. Pemberian harian selama 2

minggu diberikan suplemen multivitamin, asam folat 1mg/hari, zinc

2mg/kgbb/hari, copper 0,3 mg/kgbb/hari, preparat besi 3 mg/kg/hari

(pada fase rehabilitasi) (Susanto, 2014).

7) Memulai pemberian makan

Pemberian makan sebaiknya dimulai sesegera mungkin sesegera

mungkin setelah pasien masuk dan harus dirancang untuk memenuhi

kebutuhan energi dan protein secukupnya untuk mempertahankan

proses fisiologi dasar. Hal-hal penting dalam pemberian makan

selama fase stabilisasi:

a. Pemberian makanan dengan porsi kecil dan sering dengan

osmolaritas rendah dan rendah laktosa (F75)

b. Pemberian makan secara oral atau lewat pipa nasogastrik

c. Energi : 80-100 kkal/kgbb/hari

22

Page 23: Tugas Referat Kkp Silvia

d. Protein: 1-1,5 gr/kgbb/hari

e. Cairan : 130 ml/kgbb/hari cairan (100 cc/kgbb/hari bila anak

mengalami edema berat)

f. Apabila anak minum ASI, lanjutkan pemberian ASI tetapi

setelah formula dihabiskan

Formula F75 mengandung 75 kcal/100 ml dan 0,9 gram protein/100

ml cukup memenuhi kebutuhan bagi sebagian besar anak. Berikan

dengan menggunakan cangkir atau sendok. Anak yang sangat lemah,

mungkin perlu diberikan dengan sendok atau secara drop atau

dengan spuit.

Tabel 8. Jadwal pemberian F75

Hari Frekuensi Volume/kgbb/pemberian Volume/kg/hari

1-2 Tiap 2 jam 11 cc 130

3-5 Tiap 3 jam 16 cc 130

6-7+ Tiap 4 jam 22 cc 130

Perubahan frekuensi makan dari tiap 2 jam menjadi tiap 3 jam dan 4

jam dilakukan bila anak mampu menghabiskan porsinya. Untuk anak

dengan nafsu makan yang baik dan tanpa edema , jadwal ini dapat

diselesaikan dalam 2-3 hari. Jika karena suatu sebab seperti muntah,

diare, letargi, dll, asupan tidak dapat mencapai 80 kkal//kgbb/hari

(jumlah minimal yang harus dicapai), makanan harus diberikan

melalui NGT untuk mencukupi jumlah asupan. Jangan melebihi 100

kkal/kg/hari pada fase ini (Susanto, 2014).

8) Mengupayakan tumbuh kejar

Pada tahap rehabilitasi perlu pendekatan yang baik untuk pemberian

makan dalam pencapaian asupan yang tinggi dan kenaikan berat

badan yang cepat (>10 gram/kg/hari). Formula yang dianjurkan pada

fase ini adalah F100 yang mengandung 100 kkal/10ml dan 2,9 gram

protein/100ml. Kesiapan untuk memasuki fase rehabilitasi ditandai

dengan kembalinya nafsu makan, biasanya sekitar satu minggu

setelah perawatan. Transisi yang bertahap direkomendasikan untuk

23

Page 24: Tugas Referat Kkp Silvia

mencegah risiko gagal jantung yang dapat muncul bila anak

mengkonsumsi makanan langsung dalam jumlah banyak. Untuk

mengubah dari pemberian makanan awal ke makanan kejar tumbuh

(transisi) maka yang perlu dilakukan (Susanto, 2014) :

a. Ganti F75 dengan F100 dalam jumlah yang sama selama 48 jam

b. Kemudian volume dapat ditambah bertahap sebanyak 10-15 ml

per kali hingga mencapai 150 kkal/kgbb/hari

c. Energi : 100-150 kkal/kgbb/hari

d. Protein : 2-3 gram/kgbb/hari

e. Bila anak masih mendapat ASI maka tetap berikan diantara

pemberian formula

Setelah fase transisi, anak memasuki ke tahap rehabilitasi dan yang

perlu dilakukan diantaranya (Susanto, 2014):

a. Lanjutkan menambah volume pemberian F100 hingga ada

makanan sisa yang tidak termakan oleh anak (anak tidak mampu

menghabiskan porsinya). Tahapan ini biasanya terjadi pada saat

pemberian makanan mencapai 30 ml/kgbb/makan (200

ml/kgbb/hari)

b. Pemberian makanan yang sering (sedikitnya tiap 4 jam) dari

jumlah formula tumbuh kejar

c. Energi : 150-220 kkal/kg/hari

d. Protein : 4-6 gram protein/kg/hari

e. Bila anak masih mendapat ASI maka tetap diberikan diantara

pemberian formula

9) Memberikan stimulasi sensoris dan dukungan emosional

Pada KKP berat didapatkan perkembangan mental dan perilaku yang

terlambat, sehingga perlu diberikan (WHO, 2009). :

a. Ungkapan kasih sayang

b. Lingkungan yang ceria

c. Terapi bermain terstruktur selama 15-30 menit per hari

d. Aktivitas fisik segera setelah anak cukup sehat

24

Page 25: Tugas Referat Kkp Silvia

e. Keterlibatan ibu sesering mungkin (misalnya menghibur, memberi

makan, memandikan, bermain)

10) Mempersiapkan untuk tindak lanjut pasca perbaikan

2. Kriteria Sembuh dari KKP

Bila BB/TB atau BB/PB > -2 SD dan tidak ada gejala klinis dan memenuhi

kriteria pulang sebagai berikut (Kemenkes RI, 2009) :

1. Edema sudah berkurang atau hilang, anak sadar dan aktif

2. BB/PB atau BB/TB > -3 SD

3. Komplikasi sudah teratasi

4. Ibu telah mendapat konseling gizi

5. Ada kenaikan BB sekitar 50 g/kgBB/minggu selama 2 minggu

berturut-turut

6. Selera makan sudah baik, makanan yang diberikan dapat dihabiskan.

3. Kriteria kegagalan terapi

1) Kegagalan primer (Susanto, 2014)

a. Gagal memperbaiki nafsu makan (hari ke-4)

b. Gagal mengobati edema (hari ke-4)

c. Edema masih tetap ada (hari ke-10)

d. Gagal menambah BB 5 gr/kgbb/hari (hari ke-10)

2) Kegagalan sekunder

Gagal menambah BB 5 gram/kgbb/hari selama 3 hari berturut-turut

(selama rehabilitasi)

G. PROGNOSIS

Tanda khas prognosis buruk pasien KKP (Arisman, 2009)

1. Usia kurang dari 6 bulan

2. Defisit berat terhadap tinggi >30% atau berat terhadap usia >40%

3. Perubahan mental dan gangguan kesadaran, stupor, koma

4. Infeksi, terutama bronkopneumonia dan campak

25

Page 26: Tugas Referat Kkp Silvia

5. Petekie, atau kecenderungan pendarahan (purpura biasanya berkaitan

dengan septikemi atau infeksi virus

6. Dehidrasi dan gangguan elektrolit terutama hipokalemia, dan asidosis

berat

7. Takikardia menetap, tanda gagal jantung atau susah bernafas

8. Serum protein total <30gr/dl

9. Anemia berat dengan tanda klinis hipoksia

10. Jaundice klinis atau peningkatan bilirubin serum

11. Lesi kulit eksfoliatif atau eksudatif yang luas, atau ulkus dekubitus yang

dalam

12. Hipoglikemia atau hipotermia

26

Page 27: Tugas Referat Kkp Silvia

BAB III

RINGKASAN

Kurang Kalori Protein (KKP) adalah keadaan kurang gizi pada anak yang

disebabkan oleh kurangnya energi, protein atau keduanya. KKP pada anak juga

masih menjadi masalah gizi dan kesehatan masyarakat di Indonesia. Banyak

faktor yang menyebabkan terjadinya KKP. Di sisi lain, adanya KKP dapat

berdampak pada tubuh anak baik dalam sistem organ, mental, maupun

perkembangan. Oleh karena itu diperlukan tatalaksana yang adekuat untuk

mencegah maupun mengatasi KKP. Di Indonesia sendiri menggunakan buku

panduan Tatalaksana Anak Gizi Buruk yang diterbitkan oleh Kementerian

Kesehatan yang disusun berdasarkan buku Management of Severe Malnutrition

WHO.

27

Page 28: Tugas Referat Kkp Silvia

DAFTAR PUSTAKA

Arisman. 2009. Buku Ajar Ilmu Gizi: Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC

Grover, Z., L.C. Ee. 2009. Protein energy malnutrition. Pediatr. Clin. North Am.

56(5): 1055-1068.

Kementerian Kesehatan RI. 2011. Buku Pelayanan Anak Gizi Buruk. Jakarta :

Kementerian Kesehatan RI.

Mitayani., W. Sartika. 2013. Buku Saku Ilmu Gizi. Jakarta : Transinfotim.

Muscaritoli, M., A. Molfino., MR. Bollea., FR. Fanelli. 2009. Malnutrition and

wasting in renal disease. Curr. Opinio n Clin. Nut. Metab. Care. 12 (4):

378 – 383.

Obimba., C. Kelechukwu. 2012. Utilization of High Quality Weaning Formulae

as Dietary Therapies of Protein Energy Malnutrition. Int. J.

Biochem.Biotechnol. Vol. 1(9), pp.230-238

Sediaoetama, A.D. 2008. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I. Jakarta:

Dian Rakyat.

Sjarif, D.R., E.D. Lestari. 2014. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit

Metabolik. Jakarta : FKUI.

Sulistyawati. 2011. Pengaruh Pemberian Diet Formula 75 dan 100 terhadap Berat

Badan Balita Gizi Buruk Rawat Jalan di Wilayah Kerja Puskesmas

Pancoran Mas Kota Depok. Tesis. Fakultas ilmu keperawatan.

Universitas Indonesia.

Supariasa, I.D.N., B. Bakri., I. Fajar. 2008. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.

Susanto, J.C., M. Maria., S.S. Nasar. 2014. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan

Penyakit Metabolik. Jakarta : FKUI.

World Health Organozation. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di

Rumah Sakit. Jakarta : WHO Indonesia.

28