Page 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kurang kalori protein (KKP) pada anak masih menjadi masalah
gizi dan kesehatan masyarakat di Indonesia. Menurut Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan tahun 2010, kejadian gizi buruk pada
balita masih tinggi. Indonesia masuk dalam posisi nomor 3 di dunia,
sebagai pemasuk anak pendek (Sjarif, 2014). Hasil Riskesdas tahun 2010
menunjukkan bahwa sebanyak 13% anak berstatus gizi kurang,
diantaranya 4,9% berstatus gizi buruk. Data yang sama menunjukkan pula
bahwa sebanyak 13,3% anak kurus, terdapat sekitar 6,0% anak sangat
kurus dan 17,1% anak memiliki kategori sangat pendek. Keadaan ini
berpengaruh kepada masih tingginya angka kematian bayi. Menurut WHO
lebih dari 50% kematan bayi dan anak terkait dengan gizi kurang dan gizi
buruk (Kemenkes RI, 2011).
Berdasarkan perkembangan masalah gizi, pada tahun 2005 di
Indonesia diperkirakan sekitar 5 juta anak menderita gizi kurang (berat
badan menurut umur) dan 1,5 juta diantaranya menderita gizi buruk. Anak
yang menderita gizi buruk tersebut terdapat 150.000 anak menderita gizi
buruk tingkat berat yang disebut marasmus, kwasiorkor, dan marasmik
kwasiorkor yang memerlukan perawatan kesehatan yang intensif. Pada
tahun 2011 diperkirakan masih terdapat 110 kabupaten/kota dari 440
kabupaten/kota di Indonesia yang mempunyai prevalensi gizi buruk diatas
30% (berat badan menurut umur) dan menurut WHO keadaan ini masih
tergolong sangat tinggi (Sulistyawati, 2011). KKP menyerang anak-anak
yang sedang tumbuh terutama anak yang berusia 2-4 tahun dan dapat pula
menyerang orang dewasa, yang biasanya kekurangan makan secara
menyeluruh (Sediaoetama, 2008). Sedangkan marasmus sering
menjangkiti bayi yang baru berusia kurang dari 1 tahun, sementara
kwasiorkor cenderung menyerang setelah mereka berusia 18 (Arisman,
2009).
1
Page 2
Akibat yang ditimbulkan dari KKP mempengaruhi banyak hal
dalam tubuh anak, termasuk mempengaruhi kesehatan organ tubuh, mental
maupun kecerdasan. Oleh karena itu diperlukan penanganan yang tepat
dalam tatalaksananya untuk mengurangi atau menghilangkan dampak yang
ditimbulkan.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk memberikan informasi
ilmiah mengenai Kurang Kalori Protein (KKP) meliputi definisi KKP,
faktor risiko KKP, klasifikasi KKP, cara diagnosis KKP, pengaruh KKP
dan tatalaksana KKP.
2
Page 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Kurang Kalori Protein adalah keadaan kurang gizi pada anak yang
disebabkan oleh kurangnya energi, protein atau keduanya (Muscaritoli et
al, 2009 ; Obimba, 2009). Kedua bentuk defisiensi ini tidak jarang berjalan
bersisian, meskipun salah satu terkadang lebih dominan ketimbang yang
lain. Jika terjadi kekurangan energi yang dominan maka dikenal sebagai
marasmus, sedangkan jika yang dominan adalah kekurangan protein maka
disebut sebagai kwasiorkor. Akan tetapi, jika terjadi kekurangan keduanya
maka disebut sebagai marasmik kwasiorkor. Marasmus dan kwashiorkor
atau marasmic kwashiorkor dikenal di masyarat sebagai “busung lapar”
(Arisman, 2009 ; Kemenkes RI, 2011 ; Mitayani dan Sartika, 2013).
B. Faktor Risiko
Faktor penyebab yang melatarbelakangi KKP pada bayi dan balita
adalah (Arisman, 2009 ; Mitayani dan Sartika, 2013) :
1. Pemberian nutrisi yang salah
Terjadinya penurunan minat dalam memberi ASI akan berpotensi
menumbuhsuburkan KKP.
2. Faktor sosial ekonomi
Kemiskinan merupakan salah satu determinan sosial-ekonomi dan
merupakan akar dari ketiadaan pangan, tempat mukin yang berjejalan,
kumuh, dan tidak sehat serta ketidakmampuan mengakses fasilitas
kesehatan.
3. Faktor pengetahuan
Ketidaktahuan, baik yang berdiri sendiri maupun yang berkaitan
dengan kemiskinan, menimbulkan salah paham tentang merawat bayi
dan anak yang benar.
4. Faktor lingkungan
3
Page 4
Tempat tinggal yang berjejalan dan tidak bersih menyebabkan infeksi
sering terjadi. Adanya bencana alam, perang, atau migrasi paksa telah
terbukti mengganggu distribusi pangan.
5. Faktor biologi
Komponen biologi yang menjadi latar belakang KKP antara lain
malnutrisi ibu, baik sebelum maupun selama hamil, penyakit infeksi,
serta diet rendah energi dan protein. Seorang ibu yang mengalami
KKP selama kurun waktu tersebut pada gilirannya akan melahirkan
bayi berberat badan rendah. Tanpa ketersediaan pangan yang cukup,
bayi KKP tersebut tidak akan mampu mengejar ketertinggalannya,
baik kekurangan berat semasa dalam kandungan maupun setelah lahir.
Selain itu, penyakit infeksi berpotensi sebagai penyokong atau
pembangkit KKP. Penyakit diare, campak, dan infeksi saluran napas
kerap menghilangkan nafsu makan. Penyakit saluran pencernaan yang
sebagian muncul dalam bentuk muntah dan gangguan penyerapan,
menyebabkan kehilangan zat-zat gizi dalam jumlah besar.
C. Klasifikasi KKP
Berdasarkan penyebabnya, maka kejadian KKP dibedakan menjadi 2
macam, yaitu (Arisman, 2009) :
1. KKP Primer : KKP yang diakibatkan ketiadaan pangan sehingga
terjadi kekurangan asupan
2. KKP Sekunder : KKP yang dikarenakan adanya penyakit yang
mengakibatkan pengurangan asupan, gangguan serapan serta
peningkatan kebutuhan (dan/atau kehilangan) akan zat gizi
Berdasarkan derajatnya, maka KKP dibedakan menjadi beberapa macam :
1. Klasifikasi Gomez
Gomez (1956) merupakan orang pertama yang mempublikasikan cara
pengelompokan kasus kurang kalori protein. Klasifikasi KKP menurut
Gomez didasarkan pada berat badan terhadap usia (BB/U). Berat anak
yang diperiksa dinyatakan sebagai persentase dari berat anak seusia
4
Page 5
yang diharapkan pada baku acuan dengan menggunakan persentil ke-
50 baku acuan Harvard (Arisman, 2009).
Tabel 1. Klasifikasi KKP menurut Gomez (Supariasa et al, 2008)
Derajat KKP Berat Badan/Usia (%)
0 (normal) ≥ 90%
I (ringan) 89 - 75%
II (sedang) 74-60%
III (berat) <60%
Sayang sekali dengan cara ini marasmus tidak dapat dibedakan
dengan kwasiorkor. Akibatnya anak yang rasio berat badan terhadap
usia sangat rendah tidak termasuk sebagai penderita KKP karena anak
yang kurus ini memiliki ukuran tinggi badan yang rendah pula.
Penggunaan nilai defisit berdasarkan berat terhadap usia tidak
membedakan anak yang memang mempunyai berat badan kurang
(KKP kini) dengan mereka yang berat dan tingginya seimbang (KKP
lampau), disamping data tentang kronologis usia tidak selalu tersedia
dan kalaupun ada, data tersebut biasanya tidak valid (terandal)
(Arisman, 2009).
2. Klasifikasi Jellife
Sama seperti Gomez, Jellife (1966) juga menyusun klasifikasi
berdasarkan berat terhadap usia, termasuk penggunaan baku acuan
Harvard dengan persentik ke-50. Bedanya, Jellife membagi KKP
menjadi 4 tingkatan, I sampai dengan IV (Arisman, 2009).
Tabel 2. Klasifikasi KKP menurut Jellife (Arisman, 2009)
Kategori Berat badan/usai (%)
KKP I 90-80
KKP II 80-70
KKP III 70-60
KKP IV <60
5
Page 6
3. Klasifikasi Bengoa
Dengan klasifikasi Jellife, kwasiorkor dan marasmus masih belum
dibedakan. Karena itu, Bengoa mencoba menengahi kedua
pengelompokkan ini dengan memasukkan tana edema, tanpa
memandang defisit berat badan. Menurut Bengoa. KKP cukup
dikelompokkan menjadi 3 kategori dan seluruh penderita yang
menanpakkan tanda edema dinilai sebagai KKP derajat III. Klasifikasi
Bengoa masih menggunakan baku Harvard sebagai acuan (Arisman,
2009).
Tabel 3. Klasifikasi KKP menurut Bengoa (Supariasa et al, 2008)
Kategori Berat badan/usia (%)
KKP I 90-76
KKP II 75-61
KKP III Semua penderita dengan edema
4. Klasifikasi Wellcome
Hampir sama dengan Gomez, Jellife, dan Bengoa, klasifikasi
Wellcome (1970) juga mengacu pada baku Harvard. Bedanya,
Wellcome memasukkan parameter edema ke dalam penilaian. Jika
defisit berat badan pada klasifikasi Bengoa tidak diperhatikan,
Wellcome memasukkan indikator ini ke dalam komponen yang harus
dinilai. Dengan demikian, perbedaan berbagai tahapan kelainan status
gizi tergambar jelas (Arisman, 2009).
Tabel 4. Klasifikasi KKP menurut Wellcome (Arisman, 2009)
Tanda yang Ada % Berat Baku Edema Defisit BB/TB
Kurus 80-60 0 Minimal
Pendek <60 0 Minimal
Marasmus <60 0 ++
kwasiorkor 80-60 + ++
Marasmik
kwasiorkor
<60 + ++
6
Page 7
5. Klasifikasi Waterlow
Klasifikasi Waterlow (1973) telah lebih baik, menggunakan indikator
berat badan terhadap usia dan berat terhadap tinggi meskipun masih
mengacu pada baku Harvard. Watermelow mengelompokkan KKP
menjadi 4 kelas yaitu normal, kurus, kurus dan pendek, serta pendek.
Data seperti ini penting karena pendekatan serta antisipasi lamanya
terapi keduanya tidak sama. Sebagai contoh, untuk menormalkan
mereka yang kurus tidak memakan waktu lama, sementara sebaliknya,
mengejar ketertinggalan pertumbuhan linier (kalau masih dapat)
memerlukan waktu cukup panjang (Arisman, 2009).
Tabel 5. Klasifikasi KKP menurut Waterlow (Arisman, 2009)
Derajat
kependekan
Derajat kekurusan (BB/TB)
Persen (derajat)
BB/U
>90% (0) 80-90% (1) 70-80 (2) <70% (3)
>90% (derajat 0
95-90% (derajat
1)
Normal Kurus
85-90% (derajat
2)Pendek Kurus - Pendek
6. Klasifikasi menurut Departemen Kesehatan RI
Departemen Kesehatan RI (2000) berdasarkan Temu Pakar Gizi di
Bogor dan di Semarang tahun 2000, merekomendasikan baku WHO-
NCHS untuk digunakan sebagai baku antropometris di Indonesia. Dari
sini klasifikasi KKP kemudian disusun. Indikator yang dipakai ialah
tinggi dan berat, sementara penyajian indeks digunakan simpangan
baku (Arisman, 2009).
Tabel 6. Klasifikasi KKP menurut Departemen RI (Arisman, 2009)
Indeks Simpangan Baku Status Gizi
Berat badan terhadap Usia
(BB/U)
≥ 2 SD Gizi lebih
7
Page 8
-2 SD sampai +2 SD
< -2 SD sampai -3 SD
< -3SD
Gizi baik
Gizi kurang
Gizi buruk
Tinggi badan terhadap
Usia (TB/U)
-2SD sampai +2SD
<-2SD
Normal
Pendek
Berat badan terhadap
tinggi badan (BB/TB)
≥ 2 SD
-2 SD sampai +2 SD
< -2 SD sampai -3 SD
< -3SD
Gemuk
Normal
Kurus
Sangat kurus
D. Diagnosis KKP
Anak yang mengalami gejala klinis KKP ringan dan sedang pada
pemeriksaan hanya nampak kurus. Namun gejala klinis KKP berat secara
garis besar dapat dibedakan menjadi 3 yaitu marasmus, kwashiorkor atau
marasmic kwashiorkor (Supariasa, dkk, 2008):
1. Marasmus
Gambaran penderita marasmus dapat terwakili dalam istilah
“tulang terbalut kulit”, jaringan lemak bawah kulit (nyaris) lenyap dan
bila kulit tersebut dijepit diantara jari akan membentuk lipatan, serta
tidak terasa ada jaringan lemak subkutan. Berat badan penderita
marasmus biasanya hanya sekitar 60% dari berat yang seharusnya dan
mengalami kemunduran pertumbuhan longitudinal (Grover dan Ee,
2009 ; Arisman, 2009). Kulit tampak berlipat-lipat di daerah pantat
seperti kulit tersebut kedodoran terlalu lebar bagi tubuh yang kurus
tersebut. Lipatan-lipatan kulit terdapat pula di bagian muka, sehingga
muka anak menyerupai muka seorang tua yang sudah keriput
(oldman’s face) atau dipersamakan pula dengan muka anak monyet
yang baru lahir (monkey’s face). Selain itu, anak menjadi cengeng dan
rewel, atau bahkan bisa keliatan apatis (Sediaoetama, 2008 ; Supariasa
et al, 2008).
Nafsu makan sebagian penderita hilang sama sekali dan sebagian
masih mau makan. Namun bila diberi sejumlah makanan yang
8
Page 9
diperkirakan dapat melenyapkan rasa lapar, anak tidak jarang muntah.
Diare menahun dan kelemahan yang menyeluruh sering mendampingi
KKP sehingga anak tidak dapat berdiri sendiri tanpa dibantu. Detak
jantung, tekanan darah dan suhu tubuh biasanya rendah. Akan tetapi
takikardia juga sering terjadi. Hipoglikemia juga sering terjadi dan
tidak jarang pula ditemani oleh hipotermia (suhu tubuh 35,5OC).
Organ dalam (visera) biasanya kecil. Dinding perut menegang
sementara kelenjar limfe mudah sekali diraba (Arisman, 2009). Pada
penderita marasmus biasanya tidak ada pembesaran hati
(hepatomegali) dan kadar lemak serta kolesterol di dalam darah
menurun (Sediaoetama, 2008). Penyulit yang lazim terjadi ialah
gastgroenteritis akut, dehidrasi, infeksi saluran nafas dan kerusakan
mata akibat kekurangan vitamin A. Infeksi yang bersifat sistemik
bahkan dapat menimbulkan renjatan septik atau intravascular slotting
(Arisman, 2009).
2. Kwasiorkor
Pada kwasiorkor gambaran klinik anak sangat berbeda. Berat
badan tidak terlalu rendah, bahkan dapat tertutup oleh adanya oedema,
sehingga penurunan berat badan ini relatif tidak terlalu jauh, tetapi
bila pengobatan oedema menghilang, maka berat badan yang rendah
akan mulai menampakan diri. Biasanya berat badan tersebut tidak
sampai dibawah 60% dari berat badan standar bagi usia yang sesuai
(Sediaoetama, 2008 ; Grover dan Ee, 2009). Edema yang jika ditekan
melekuk, tidak sakit dan lunak biasanya terjadi di kaki, merupakan
gambaran utama kwasiorkor. Edema bahkan dapat meluas sampai ke
daerah perineum, ekstremitas atas dan muka. Pada daerah edema tidak
jarang pula timbul lesi kulit. Eritema yang timbul di daerah edema
biasanya mengkilap, ada bagian yang kering, hiperkeratosis, dan
hiperpigmenatasi yang cenderung menyatu. Epidermis mengelupas
sehingga jaringan dibawah kulit mudah terinfeksi (Arisman, 2009).
Jaringan lemak di bawah kulit masih cukup baik, namun jaringan otot
tampak mengecil lebih nyata apabila diperiksa pada posisi berdiri dan
9
Page 10
duduk, anak berbaring terus menerus. Kekurangan berat, setelah
dikurangi berat cairan edema biasanya tidak separah marasmus.
Tinggi badan bisa normal, bisa juga tidak, tergantung pada
kemenahunan penyakit yang tengah berlangsung, disamping riwayat
gizi di masa lalu (Arisman, 2009).
Rambut kering, rapuh dan tidak mengkilap, dan mudah dicabut
tanpa menimbulkan rasa sakit. Rambut yang sebelumnya berombak
berubah menjadi lurus, sementara pigmen rambut berganti warna
menjadi coklat, atau kemerahan. Penderita tampak pucat, tungkai
berwarna kebiruan, dan teraba dingin. Gangguan kulit berupa bercak
merah yang meluas dan berubah menjadi hitam terkelupas (crazy
pavement dermatosis). Ekspresi wajah tampak seperti susah dan sedih,
disamping apatis dan iritatif (Arisman, 2009).
Kulit tampak kering (xerosis) dan memberi kesan kasar dengan
garis-garis permukaan yang jelas tampak seperti mozaix (mozaic
skin). Di daerah tungkai dan sikut serta di daerah bokong terdapat
daerah kulit yang menunjukkan hiperpigmentasi dan kulit dapat
mengelupas dalam lembaran yang lebar, meningalkan dasar yang licin
berwarna lebih putih mengkilap, memberi kesan seperti kertas
perkamen (kulit perkamen). Tampak daerah ini menunjukkan kelainan
yang disebut crazy pavement dermatosis (Sediaoetama, 2008).
Ketiadaan nafsu maka, muntah segera setelah makan, serta diare,
kerap terjadi. Kondisi ini akanmembaik manakala keadaan gizi
terkoreksi dan dilakukan pengobatan saluran gastrointestinal secara
spesifik. Hati membesar dengan sudut tumpul dan frekuensinya
rendah. Tonus dan kekuatan otot sangat berkurang. Selain itu
takikardia tidak jarang terjadi, sementara hipotermia dan hipoglikemia
dapat terjadi tidak lama sesudah puasa (Arisman, 2009).
Penyulit yang biasanya terjadi sama dengan marasmus, kecuali
diare, infeksi saluran napas, dan kulit yang berlangsung lebih parah.
Infeksi yang serius dan fatal dapat terjadi tanpa disertai demam,
takikardia, distres pernafasan, atau lekositosis tang memadai.
10
Page 11
Penyebab kematian yang utama adalah edema paru yang disertai oleh
bronkopneumonia, septikemia, gastroenteritis, serta
ketidakseimbangan air dan elektroli (Arisman, 2009).
3. Marasmik – kwasiorkor
Kasus yang terbanyak ialah campuran kedua gambaran klinis
diatas, disebabkan oleh kekurangan energi dan protein sekaligus.
Keadaan campuran ini disebut marasmic kwashiorkor, dan inilah yang
disebut KKP. Penderita mempunyai berat badan dibawah berat standar
untuk umurnya, tetapi mungkin tidak terlalu jauh di bawah
(Sediaoetama, 2008). Gambaran yang utama ialah kwasiorkor edema
dengan atau tanpa lesi kulit, pengecilan otot, dan pengurangan lemak
bawah kulit seperti pada marasmus. Jika edema dapat hilang pada
awal pengobatan, penampakan penderita ini akan menyerupai
marasmus. Gambaran marasmus dan kwasiorkor muncul secara
bersamaan dan didominasi oleh kekurangan protein yang parah
(Arisman, 2009).
E. Pengaruh KKP terhadap Tubuh
1. Saluran pencernaan
KKP berat menurunkan sekresi asam dan melambatkan gerak
lambung. Mukosa usus halus mengalami atrofi. Vili pada mukosa usus
lenyap, permukaannya berubah menjadi datar dan diinfiltrasi oleh sel-
sel limfosit. Pembaruan sel-sel epitel, indeks mitosis, kegiatan
disakarida berkurang. Pada hewan percobaan, kemampuan untuk
mempertahankan kandungan normal mucin dalam mukosa terganggu
dan laju penyerapan asam amino serta lemak berkurang (Arisman,
2009).
2. Pankreas
KKP menyebabkan atrofi dan fibrosis sel-sel asinar yang akan
mengganggu fungsi pankreas sebagai kelenjar eksokrin. Gangguan
fungsi pankreas bersama dengan intoleransi disakarida akan
11
Page 12
menimbulkan sindrom malabsorpsi, yang selanjutnya berlanjut
sebagai diare (Arisman, 2009).
3. Hati
Pengaruh KKP pada hati bergantung pada lama serta jenis zat gizi
yang berkurang. Glikogen pada penderita marasmus cepat sekali
terkuras sehingga zat lemak kemudian tertumpuk dalam sel-sel hati.
Manakala kelaparan terus berlanjut, hati mengerut sementara
kandungan lemak menyusut dan protein habis meskipun jumlah
hepatosit relatif tidak berubah (Arisman, 2009).
Ukuran hati penderita kwasiorkor membesar serta banyak
mengandung glikogen. Infiltrasi lemak merupakan gambaran
menonjol yang terutama disebabkan oleh penumpukan trigliserida.
Dengan mikroskop elektron akan terlihat proliferasi retikulum
endopllasma halus, sementara jumlah retikulum endoplasma kasar
menurun. Mekanisme bagaimana kedua hal terjadi belum diketahui
(Arisman, 2009).
4. Ginjal
Meskipun fungsi agak normal ginjal masih dapat dipertahankan,
GFR (glomerular filtration rate) dan RPF (Renal plasma flow) telah
terbukti menurun. Penelitian di Minnesota membuktikan bahwa
keadaan semikepalaran dapat mengakibatkan poliuria (tampak jelas
setelah 6 minggu kelaparan) dan nokturia. Gangguan kemampuan
untuk pemekatan urin diperkirakan sebagai akibat dari penurunan
jumlah urea dalam medula yang disertai penyusutan medulla osmolar
gradient. Pemeriksaan laboratorium urine berupa berat jenis (BJ)
rendah, ada sedikit sedimen, RBC, WBC, dan toraks sementara
protein tidak ada. Secara histologis, tidak ada perubahan yang
bermakna (Arisman, 2009).
5. Sistem hematologik
Perubahan pada sistem hematologik meliputi anemia, leukopenia,
trombositopenia, pembentukan akantosit, serta hipoplasia sel-sel
sumsum tulang yang berkaitan dengan transformasi substansi dasar,
12
Page 13
tempat nekrosis sering terlihat. Derajat kelainan ini bergantung pada
berat serta lamanya kekurangan kalori berlangsung (Arisman, 2009).
Anemia pada kasus demikian biasanya bersifat normokromik dan
tidak disertai oleh retikulositosis meskipun cadangan zat besi cukup
adekuat. Penyebab anemia pasien yang asupan proteinnya tidak
adekuat ialah menurunnya sintesis eritropoietin, sementara anemia
pada mereka yang sama sekali tidak makan protein timbul karena stem
cell dalam sumsum tulang tidak berkembang, disamping sitesis
eritropoietin juga menurun (Arisman, 2009).
Malnutrisi berat berkaitan dengan leukopenia dan hitung jenis yang
normal. Morfologi neutrofil juga kelihatan normal. Namun, jika
infeksi terjadi, jumlah neutrofil biasanya (namun tidak selalu)
meningkat. Simpanan neutrofil yang dinyatakan sebagai hitung
neutrofil tertinggi setealh 3-5 jam pemberian hidrokortison pada
malnutrisi juga berkurang, dan fungsinya tidak normal. Sebagai
tambahan julah trombosit turut pula menurun (Arisman, 2009).
6. Sistem kardiovaskular
Kondisi semikelaparan akan menyusutkan berat badan sebanyak
24%, mengerutkan volume jantung hingga 17% di samping
menyebabkan bradikardia, hipotensi arterial ringan, penurunan
tekanan vena, konsumsi oksigen, stroke volume, dan penurunan curah
jantung. Dampaknya adalah kerja jantung menurun, penjenuhan
(saturasi) oksigen vena dan kandungan oksigen arterial berkurang
(Arisman, 2009).
7. Sistem pernafasan
Hasil otopsi penderita KKP menunjukkan tanda-tanda yang
menyiratkan bahwa selama hidup mereka pernah terserang bronkitis,
tuberkulosis, serta penumonia. Kematian akibat malnutrisi biasanya
terjadi berkaitan dengan pneumonia. Penyulit ini terutama disebabkan
oleh lenyapnya kekuatan otot perut, sela iga, bahu, dan diafragma.
Akibatnya fungsi ventilasi terganggu, kemampuan untuk
mengeluarkan dahak menjadi rusak sehingga eksudat menumpuk
13
Page 14
dalam bronkus. Keadaan hipoproteinemia secara bersamaan
mengakibatkan edema interstitial dan sekresi bronkus. Kondisi
demikian memperberat fungsi ventilasi yang telah terganggu
(Arisman, 2009).
8. Gangguan perkembangan mental dan perkembangan
KKP yang diderita pada masa dini perkembangan otak anakn
mengurangi sintesa protein DNA, dengan akibat terdapatnya otak
dengan jumlah sel yang kurang walaupun besarnya otak itu normal.
Jika KKP terjadi setelah masa devisi otak berhenti, hambatan sintesis
protein akan menghasilkan otak dengan jumlah sel yang normal tetapi
dengan ukuran yang lebih kecil. Perubahan ini dapat kembali dengan
perbaikan diet. Selain itu, menurut Depkes (2003) juga menjelaskan
lebih lanjut bahwa akibat gizi buruk pada anak yaitu pertumbuhan
badan dan perkembangan mental anak sampai dewasa terhambat
(Sulistyawati, 2011).
9. Gangguan sistem endokrin
Pada kasus gizi buruk ditemukan perubahan produksi beberapa
hormon seperti hormon kortisol yang meningkat pada kwasiorkor dan
marasmus, insulin menurun, hormon pertumbuhan meninggi pada
kwasiorkor dan marasmus dan TSH yang meninggi tetapi fungsi tiroid
yang menurun (Sulistyawati, 2011).
10. Penyembuhan luka
Gangguan penyembuhan luka baru akan timbul manakala berat
badan menyusut lebih dari sepertiga berat badan normal karena
kekuatan mekanisme otot serta kulit perut telah berkurang. Pada
kolon, pengurangan kekuatan seperti ini tidak terjadi. Penyusutan
jaringan kolagen viseral jauh lebih sedikit ketimbang jaringan parietal.
Namun, pengaruh buruk ini masih dapat diatasi jika nutrisi
pascaoperasi terselenggara dengan baik (Arisman, 2009).
14
Page 15
Tabel 7. Perbedaan Marasmus dan Kwasiorkor (Arisman, 2009)
Tanda klinis Marasmus Kwasiorkor
Usia Bayi Tahun II dan III
Gangguan pertumbuhan Lazim Lazim
Edema Tidak ada Sangat sering
Perubahan mental Jarang, berat jika terjadi
pada bayi dan
berlangsung lama
Sangat sering
Hepatomegali Sering Sangat sering
Perubahan rambut Sering Sangat sering
Dermatosis (flaky) Jarang Sering
Anemia Sering, berat Sering, ringan
Lemak bawah kulit Tidak ada Ada tapi tipis
Penurunan berat Parah Parah, tertutup edema
Nafsu makan Baik Buruk
Infeksi Sering Sangat sering
Diare Tidak lazim Sangat lazim
Penyembuhan luka Baik jika stres tidak
lama, buruk jika lama
Buruk
Adaptasi stres Baik Buruk
Defisiensi vitamin Tidak lazim Lazim
Malabsorpsi Sebagian Luas
Infiltrasi lemak hati Tidak ada Parah
Toleransi glukosa IV Normal Terganggu
Glukosa Rendah Sangat rendah
Cu, Zn, Na Normal Rendah
Asam amino Normal Tinggi
Kolesterol Normal Rendah
Hormon pertumbuhan Rendah atau normal Tinggi
Urea/ total N Diatas 65% Dibawah 505
Insulin Rendah rendah
15
Page 16
F. TATALAKSANA
1. Tahapan
Pasien yang menderita KKP tanpa penyulit sangat dianjurkan
untuk dirawat di rumah saja. Menginap di rumah sakit justru
meningkatkan risiko infeksi silang, sementara suasana asing yang
berlainan dengan keadaan rumah menyebabkan anak merasa
diasingkan, kondisi tersebut menyuburkan suasana apatis sekkaligus
memperburuk anoreksia yang telah ada. Perawatan di rumah sakit
tidak dapat dihindarkan lagi jika keadaan penderita dapat mengancam
jiwanya. Kondisi demikian hanya berlangsung pada KKP yang parah
(Arisman, 2009).
Di Indonesia digunakan buku panduan Tatalaksana Anak Gizi
Buruk yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan, disusun
berdasarkan buku Management of Severe Malnutrition WHO (1999)
dan dilakukan penyesuaian dengan kondisi dan sistem kesehatan yang
ada (Susanto et al, 2014).
Tatalaksana penderita gizi buruk yang dirawat di RS dibagi
menjadi dua tahap yaitu fase stabilisasi dan rehabilitasi dengan
tindakan atau kegiatan yang terdiri dari 10 langkah utama. Tindakan
pada fase stabilisasi bertujuan untuk mengatasi kedaruratan medis dan
menstabilkan kondisi klinis anak, mengatasi atau mencegah
hipoglikemia, hipotermia, dehidrasi, infeksi serta koreksi
keseimbangan elektrolit dan pemberian makan, sedangkan tujuan fase
rehabilitasi adalah pemulihan serta tumbuh kejar yang memerlukan
waktu lebih lama. Walaupun secara klinis terdapat perbedaan antara
marasmus dan kwasiorkor, prosedur tatalaksana terapi pada marasmus
maupun kwasiorkor sama (Susanto et al, 2014).
Berdasarkan Kementerian Kesehatan RI (2011) tatalaksana KKP
berat dibagi menjadi 4 fase yaitu:
1) Fase stabilisasi : diberikan makanan formula 75 (F75) dengan
asupan gizi 80-100 kkal/kgbb/hari dan protein 1-1,5
16
Page 17
gram/kgbb/hari. ASI tetap diberikan pada anak yang masih
mendapatkan ASI
2) Fase transisi : pada fase transisi ada perubahan pemberian makanan
dari F75 menjadi F100. Diberikan makanan formula 100 dengan
asupan gizi 100-15- kkal/kgbb/hari dan protein 2-3 gram/kgbb/hari
3) Fase rehabilitasi : diberikan makanan seperti pada fase transisi
yaitu F100 dengan penambahan makanan untuk anak dengan BB
<7 kg diberikan makanan bayi dan untuk anak dengan BB > 7 kg
diberikan makanan anak. Asupan gizi 150-220 kkal/kgbb/hari dan
protein 4-6 gram/kgbb/hari
4) Fase tindak lanjut (dilakukan di rumah) : setelah anak pulang, anak
tetap dikontrol oleh puskesmas pengirim secara berkala melalui
kegiatan posyandu atau kunjungan ke puskesmas. Lengkapi
imunisasi yang belum diterima, berikan imunisasi campak sebelum
pulang. Anak tetap melakukan kontrol pada bulan I satu
kali/minggu, bulan II satu kali/2minggu, selanjutnya sebulan sekali
sampai dengan bulan ke-6. Tumbuuh kembang anak dipantau oleh
tenanga kesehatan puskesmas pengirim sampai anak berusia 5
tahun.
Tabel 8. Tatalaksana KKP Berat (WHO, 2009)
Pada saat anak gizi buruk tiba di RS, seringkali terdapat komplikasi
berat yang mengancam jiwa seperti hipoglikemia, hipotermia, dehidrasi
dan lain-lain, sehingga memerlukan tindakan segera. Pada penderita
gizi buruk seluruh organ tubuhnya mengalami atrofi, lemak subkutan
sebagai cadangan energi sangat tipis, kemampuan memproduksi enzim
17
Page 18
sangat terbatas, kekebalan sangat terganggu dan reaksi tubuh sangat
kacau (terdapat infeksi tetapi justru hipotermi dan leukopeni) dan
didapatkan gangguan elektrollit. Oleh karena itu, pada fase stabilisasi,
penderita dianjurkan dirawat di ruang khusus non infeksi dengan suhu
ruangan yang cukup (tidak dingin). Segera beri makanan berupa
formula 75 (F75) setiap 2-3 jam sekali dan pada 2 jam pertama F75
diberikan ¼ dari jumlah yang dibutuhkan setiap 30 menit. Dilakukan
pemantauan akseptabilitas, suhu tubuh, frekuensi nadi, kadar gula
darah, dan waspadai kemungkinan kelebihan cairan. 10 tahap
tatalaksanan KKP berat yaitu (Susanto et al, 2014) :
1) Atasi / cegah hipoglikemi
Semua anak gizi burukberisiko untuk terjadi hipoglikemia (kadar
gula darah < 3mmol/dl atau 54 mg/dl) yang sering kali merupakan
penyebab kematian pada 2 hari pertaa perawatan. Hipoglikemia
dapat trejadi karena adanya infeksi berat atau anak tidak
mendapatkan makanan selama 4-6 jam. Agar hipoglikemia tidak
terjadi, anak harus diberi makan sekurang-kurangnya setiap 2-3
jam, baik siang ataupun malam (Susanto, 2014). Tanda
hipoglikemia mencakup temperatur tubuh kurang dari 36,5OC,
letargi, lemas dan kesadaran berkurang. Banyak keringat dan pucat
tidak biasanya bebarengan hadir bersama hipoglikemia. Jika tanda-
tanda ini telah tampak , upaya pengobatan harus segera dilakukan
tanpa harus menanti hasil pemeriksaan laboratorium. Selama
tindakan berlangsung, anak harus didampingi sampai kesadarannya
pulih (Arisman, 2009).
Terapi (Susanto, 2014):
a. Bila anak sadar dan dapat minum
1) Bolus 50ml larutan glukosa 10% atau sukrosa 10% (1
sendok teh penuh gula dengan 50 ml air), baik per oral
maupun dengan pipa nasogastrik. Kemudian mulai
pemberian F75 setiap 2 jam, untuk 2 jam pertama berikan ¼
dari dosis makanan setiap 30 menit)
18
Page 19
2) Pemberian makan per 2 jam siang dan malam
b. Bila anak tidak sadar
1) Glukosa 10% intravena (5mg/ml), diikuti dengan 50ml
Glukosa 10% atau sukrosa lewat pipa NGT. Kemudian
mulai pemberian F75 setiap 2 jam, untuk 2 jam pertama
berikan ¼ dari dosis makanan setiap 30 menit.
2) Pemberian makanan per 2 jam siang dan malam
Monitor (Susanto, 2014):
a. Kadar gula darah: setelah 2 jam, ulangi pemeriksaan kadar gula
darah. Selama terapi, umumnya anak akan stabil dalam 30 menit.
Bila gula darah masih rendah, ulangi pemberian 50 ml bolus
glukosa 10% atau larutan sukrosa, kemudian lanjutkan pemberian
makan F75 setiap 2 jam hingga anak stabli
b. Suhu rektal: jika turun hingga <35.5OC, ulangi pengukuran kadar
gula darah.
c. Tingkat kesadaran : bila belum pulih, ulangi pengukuran kadar gula
darah sambil mencari penyebabnya.
2) Atasi / cegah hipotermi
Jika suhu aksila <35,0OC, lakukan pemeriksaan suhu rektal
menggunakan termometer raksa. Jika suhu rektal <35,5OC, maka
lakukan (Susanto, 2014):
a. Berikan makanan secara langsung (atau mulai rehidrasi bila
diperlukan)
b. Hangatkan anak : selain memakaikan pakaian, tutupi dengan
selimut hangat hingga kepala (kecuali wajah) atau tempatkan di
dekat penghangat atau lampu (jangan gunakan botol air panas),
atau letakkan anak pada dada ibu (skin to skin, cara kanguru)
lalu tutupi selimut keduanya.
3) Atasi / cegah dehidrasi dan renjatan septik
Penentuan adanya dehidrasi pada anak gizi buruk tidak mudah
karena tanda dan gejala dehidrasi seperti turgor kulit dan mata
cekung sering didapati pada gizi buruk walaupun tanpa dehidrasi.
19
Page 20
Akan tetapi, pada anak gizi buruk dengan dehidrasi ringan sekalipun
dapat menimbulkan komplikasi lain seperti hipoglikemia dan letargi
sehingga memperberat kondisi klinis. Oleh karena itu, perlu
diantisipasi terjadinya dehidrasi pada anak gizi buruk dengan riwayat
diare atau muntah dan melakukan tindakan pencegahan. Diagnosis
pasti adanya dehidrasi yaitu dengan pengukuran berat jenis urin
(>1.030) selain tanda dan gejala klinis khas bila ada, antara lain rasa
haus dan mukosa mulut kering (Susanto, 2014).
Terapi:
Larutan gula-garam standar untuk rehidrasi oral (75 mmol Na/L)
mengandung terlalu banyak natrium dan terlalu sedikit K bagi anak
malnutrisi berat. Oleh karena itu diberikan larutan rehidrasi khusus
yaitu rehydration solution for malnutrition (ReSoMal) (Susanto,
2014).
Sulit untuk memperkirakan status dehidrasi dengan melihat klinis
saja pada anak KKP berat, maka diasumsikan bahwa setiap anak
dengan diare cair dapat mengalami dehidrasi dan diberikan (Susanto,
2014):
a. ReSoMal 5 ml.kg setiap 30 menit selama 2 jam pertama, baik
per oral maupun lewat NGT
b. Dilanjutkan 5-10 ml/kg/jam selama 4-10 jam berikutnya :
jumlah yang seharusnya diberikan pada anak ditentukan oleh
berapa banyak anak mau minum, dan jumlah diare dan muntah.
Ganti dosis ReSoMal pada jam ke 4, 6, 8, dan 10 dengan F75
bila rehidrasi masih dibutuhkan
c. Kemudian bila sudah terehidrasi, hentikan pemberian ReSoMal
dan dilanjutkan F75 setiap 2 jam
d. Bila masih diare, beri ReSoMal setiap anak diare : anak < 2
tahun: 50-100 ml dan anak > 2 tahun: 100-200 ml
4) Koreksi ketidakseimbangan elektrolit
Semua anak dengan malnutrisi berat mengalami kelebihan natrium
(Na) walaupun kadar Na darah rendah. Kadar Na darah lebih
20
Page 21
mencerminkan kadar Na ekstraseluler, bukan Na total yang meliputi
Na intraseluler. Keberadaan kalium (K) dan Na intraseluler
dikendalikan oleh pompa Na-K. Secara normal cukup energi, K
dipertahankan berada tetap di intrasel. Jika tubuh kekurangan energi
maka Na akan berada pada intrasel. Asupan Na berlebihan akan
dapat menyebabkan kematian oleh karena kelebihan Na intrasel yang
berakibat terjadinya edema seluler. Defisiensi K dan magnesium
(Mg) juga terjadi dan membutuhkan waktu minimal dua minggu
untuk melakukan koreksi. Edema yang muncul bisa disebabkan
ketidakseimbangan elektrolit. Jangan memberikan diuretic sebagai
terapi edema. Berikan ekstra kalium 3-4 mmol/kg/hari, ekstra
magnesium 0,4-0,6 mmol/kg/hari, saat rehidrasi berikan cairan
rendah natrium (misal ReSoMal) dan siapkan makanan tanpa garam
(Susanto, 2014).
5) Atasi / cegah infeksi
Pada malnutrisi berat, tanda umum adanya infeksi seperti demem
sering tidak dijumpai dan infeksi sering bersembunyi. Oleh karena
itu, beri secara rutin saat rawat inap yaitu antibiotik spektrum
spektrum luas, vaksin campak jika anak > 6 bulan dan belum
mendapat imunisasi (tunda jika kondisi klinis buruk atau dalam
keadaan syok) (Susanto, 2014).
Pilihan antibiotik spektrum luas antara lain :
a. Jika pada anak tidak terdapat komplikasi atau infeksi tidak nyata,
beri kotrimoksasol 5 ml larutan pediatrik per oral dua kali sehari
selama 5 hari (2,5ml jika berat <6 kg)
b. Jika anak terlihat sangat sakit (apatis, letargi) atau terdapat
komplikasi (hipoglikemia, hipotermi, dermatosis, infeksi traktus
respiratorius atau urinarius) maka beri ampizilin 50 mg/kg IM/IV
per 6 jam untuk 2 hari, kemudian dilanjutkan dengan amoksisilin
per oral 15 mg/kg per 8 jam untuk 5 hari, atau jika amoksisilin
tidak tersedia, lanjutkan dengan ampisilin per oral 50 mg/kg per
6 jam.
21
Page 22
Selain itu, tambahkan pula gentamisin 7,5 mg/kgbb IM/IV sekali
sehari selama 7 hari. Jika anak tidak ada perbaikan klinis dalam
waktu 48 jam maka tambahkan kloramfenikol 25 mg/kg IM/IV per 8
jam selama 5 hari. Jika infeksi spesifik teridentifikasi, tambahkan
antibiotik spesifik yang sesuai. Jika anoreksia tetap ada setelah 5 hari
pemberian antibiotik, lanjutkan sampai 10 hari. Selain itu, evaluasi
ulang aak seutuhnya, periksa fokal infeksi dan organisme yang
potensial untuk resisten dan pastikan bahwa suplemen vitamin dan
mineral telah diberikan secara benar (Susanto, 2014).
6) Koreksi defisiensi mikronutrien
Penderita KKP berat juga mengalami defisiensi vitamin dan mineral.
Meskipun anemia sering terjadi, pada periode awal (stabilisasi) tidak
boleh diberikan preparat besi tetapi ditunggu sampai anak memiliki
nafsu makan yang baik dan dimulai saat berat badan bertambah
(biasanya minggu kedua atau pada fase rehabilitasi) (Susanto, 2014).
Pemberian pada hari pertama diberikan vitamin A per oral (dosis
untuk >12 bulan 200.000 SI, untuk 6-12 bulan 100.000 SI, untuk 0-5
bulan 50.000 IU) ditunda bila kondisi klinis buruk. Asam folat 45mg
per oral diberikan pada hari pertama. Pemberian harian selama 2
minggu diberikan suplemen multivitamin, asam folat 1mg/hari, zinc
2mg/kgbb/hari, copper 0,3 mg/kgbb/hari, preparat besi 3 mg/kg/hari
(pada fase rehabilitasi) (Susanto, 2014).
7) Memulai pemberian makan
Pemberian makan sebaiknya dimulai sesegera mungkin sesegera
mungkin setelah pasien masuk dan harus dirancang untuk memenuhi
kebutuhan energi dan protein secukupnya untuk mempertahankan
proses fisiologi dasar. Hal-hal penting dalam pemberian makan
selama fase stabilisasi:
a. Pemberian makanan dengan porsi kecil dan sering dengan
osmolaritas rendah dan rendah laktosa (F75)
b. Pemberian makan secara oral atau lewat pipa nasogastrik
c. Energi : 80-100 kkal/kgbb/hari
22
Page 23
d. Protein: 1-1,5 gr/kgbb/hari
e. Cairan : 130 ml/kgbb/hari cairan (100 cc/kgbb/hari bila anak
mengalami edema berat)
f. Apabila anak minum ASI, lanjutkan pemberian ASI tetapi
setelah formula dihabiskan
Formula F75 mengandung 75 kcal/100 ml dan 0,9 gram protein/100
ml cukup memenuhi kebutuhan bagi sebagian besar anak. Berikan
dengan menggunakan cangkir atau sendok. Anak yang sangat lemah,
mungkin perlu diberikan dengan sendok atau secara drop atau
dengan spuit.
Tabel 8. Jadwal pemberian F75
Hari Frekuensi Volume/kgbb/pemberian Volume/kg/hari
1-2 Tiap 2 jam 11 cc 130
3-5 Tiap 3 jam 16 cc 130
6-7+ Tiap 4 jam 22 cc 130
Perubahan frekuensi makan dari tiap 2 jam menjadi tiap 3 jam dan 4
jam dilakukan bila anak mampu menghabiskan porsinya. Untuk anak
dengan nafsu makan yang baik dan tanpa edema , jadwal ini dapat
diselesaikan dalam 2-3 hari. Jika karena suatu sebab seperti muntah,
diare, letargi, dll, asupan tidak dapat mencapai 80 kkal//kgbb/hari
(jumlah minimal yang harus dicapai), makanan harus diberikan
melalui NGT untuk mencukupi jumlah asupan. Jangan melebihi 100
kkal/kg/hari pada fase ini (Susanto, 2014).
8) Mengupayakan tumbuh kejar
Pada tahap rehabilitasi perlu pendekatan yang baik untuk pemberian
makan dalam pencapaian asupan yang tinggi dan kenaikan berat
badan yang cepat (>10 gram/kg/hari). Formula yang dianjurkan pada
fase ini adalah F100 yang mengandung 100 kkal/10ml dan 2,9 gram
protein/100ml. Kesiapan untuk memasuki fase rehabilitasi ditandai
dengan kembalinya nafsu makan, biasanya sekitar satu minggu
setelah perawatan. Transisi yang bertahap direkomendasikan untuk
23
Page 24
mencegah risiko gagal jantung yang dapat muncul bila anak
mengkonsumsi makanan langsung dalam jumlah banyak. Untuk
mengubah dari pemberian makanan awal ke makanan kejar tumbuh
(transisi) maka yang perlu dilakukan (Susanto, 2014) :
a. Ganti F75 dengan F100 dalam jumlah yang sama selama 48 jam
b. Kemudian volume dapat ditambah bertahap sebanyak 10-15 ml
per kali hingga mencapai 150 kkal/kgbb/hari
c. Energi : 100-150 kkal/kgbb/hari
d. Protein : 2-3 gram/kgbb/hari
e. Bila anak masih mendapat ASI maka tetap berikan diantara
pemberian formula
Setelah fase transisi, anak memasuki ke tahap rehabilitasi dan yang
perlu dilakukan diantaranya (Susanto, 2014):
a. Lanjutkan menambah volume pemberian F100 hingga ada
makanan sisa yang tidak termakan oleh anak (anak tidak mampu
menghabiskan porsinya). Tahapan ini biasanya terjadi pada saat
pemberian makanan mencapai 30 ml/kgbb/makan (200
ml/kgbb/hari)
b. Pemberian makanan yang sering (sedikitnya tiap 4 jam) dari
jumlah formula tumbuh kejar
c. Energi : 150-220 kkal/kg/hari
d. Protein : 4-6 gram protein/kg/hari
e. Bila anak masih mendapat ASI maka tetap diberikan diantara
pemberian formula
9) Memberikan stimulasi sensoris dan dukungan emosional
Pada KKP berat didapatkan perkembangan mental dan perilaku yang
terlambat, sehingga perlu diberikan (WHO, 2009). :
a. Ungkapan kasih sayang
b. Lingkungan yang ceria
c. Terapi bermain terstruktur selama 15-30 menit per hari
d. Aktivitas fisik segera setelah anak cukup sehat
24
Page 25
e. Keterlibatan ibu sesering mungkin (misalnya menghibur, memberi
makan, memandikan, bermain)
10) Mempersiapkan untuk tindak lanjut pasca perbaikan
2. Kriteria Sembuh dari KKP
Bila BB/TB atau BB/PB > -2 SD dan tidak ada gejala klinis dan memenuhi
kriteria pulang sebagai berikut (Kemenkes RI, 2009) :
1. Edema sudah berkurang atau hilang, anak sadar dan aktif
2. BB/PB atau BB/TB > -3 SD
3. Komplikasi sudah teratasi
4. Ibu telah mendapat konseling gizi
5. Ada kenaikan BB sekitar 50 g/kgBB/minggu selama 2 minggu
berturut-turut
6. Selera makan sudah baik, makanan yang diberikan dapat dihabiskan.
3. Kriteria kegagalan terapi
1) Kegagalan primer (Susanto, 2014)
a. Gagal memperbaiki nafsu makan (hari ke-4)
b. Gagal mengobati edema (hari ke-4)
c. Edema masih tetap ada (hari ke-10)
d. Gagal menambah BB 5 gr/kgbb/hari (hari ke-10)
2) Kegagalan sekunder
Gagal menambah BB 5 gram/kgbb/hari selama 3 hari berturut-turut
(selama rehabilitasi)
G. PROGNOSIS
Tanda khas prognosis buruk pasien KKP (Arisman, 2009)
1. Usia kurang dari 6 bulan
2. Defisit berat terhadap tinggi >30% atau berat terhadap usia >40%
3. Perubahan mental dan gangguan kesadaran, stupor, koma
4. Infeksi, terutama bronkopneumonia dan campak
25
Page 26
5. Petekie, atau kecenderungan pendarahan (purpura biasanya berkaitan
dengan septikemi atau infeksi virus
6. Dehidrasi dan gangguan elektrolit terutama hipokalemia, dan asidosis
berat
7. Takikardia menetap, tanda gagal jantung atau susah bernafas
8. Serum protein total <30gr/dl
9. Anemia berat dengan tanda klinis hipoksia
10. Jaundice klinis atau peningkatan bilirubin serum
11. Lesi kulit eksfoliatif atau eksudatif yang luas, atau ulkus dekubitus yang
dalam
12. Hipoglikemia atau hipotermia
26
Page 27
BAB III
RINGKASAN
Kurang Kalori Protein (KKP) adalah keadaan kurang gizi pada anak yang
disebabkan oleh kurangnya energi, protein atau keduanya. KKP pada anak juga
masih menjadi masalah gizi dan kesehatan masyarakat di Indonesia. Banyak
faktor yang menyebabkan terjadinya KKP. Di sisi lain, adanya KKP dapat
berdampak pada tubuh anak baik dalam sistem organ, mental, maupun
perkembangan. Oleh karena itu diperlukan tatalaksana yang adekuat untuk
mencegah maupun mengatasi KKP. Di Indonesia sendiri menggunakan buku
panduan Tatalaksana Anak Gizi Buruk yang diterbitkan oleh Kementerian
Kesehatan yang disusun berdasarkan buku Management of Severe Malnutrition
WHO.
27
Page 28
DAFTAR PUSTAKA
Arisman. 2009. Buku Ajar Ilmu Gizi: Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC
Grover, Z., L.C. Ee. 2009. Protein energy malnutrition. Pediatr. Clin. North Am.
56(5): 1055-1068.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Buku Pelayanan Anak Gizi Buruk. Jakarta :
Kementerian Kesehatan RI.
Mitayani., W. Sartika. 2013. Buku Saku Ilmu Gizi. Jakarta : Transinfotim.
Muscaritoli, M., A. Molfino., MR. Bollea., FR. Fanelli. 2009. Malnutrition and
wasting in renal disease. Curr. Opinio n Clin. Nut. Metab. Care. 12 (4):
378 – 383.
Obimba., C. Kelechukwu. 2012. Utilization of High Quality Weaning Formulae
as Dietary Therapies of Protein Energy Malnutrition. Int. J.
Biochem.Biotechnol. Vol. 1(9), pp.230-238
Sediaoetama, A.D. 2008. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I. Jakarta:
Dian Rakyat.
Sjarif, D.R., E.D. Lestari. 2014. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit
Metabolik. Jakarta : FKUI.
Sulistyawati. 2011. Pengaruh Pemberian Diet Formula 75 dan 100 terhadap Berat
Badan Balita Gizi Buruk Rawat Jalan di Wilayah Kerja Puskesmas
Pancoran Mas Kota Depok. Tesis. Fakultas ilmu keperawatan.
Universitas Indonesia.
Supariasa, I.D.N., B. Bakri., I. Fajar. 2008. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Susanto, J.C., M. Maria., S.S. Nasar. 2014. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan
Penyakit Metabolik. Jakarta : FKUI.
World Health Organozation. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di
Rumah Sakit. Jakarta : WHO Indonesia.
28