BAB IPENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangBabesiosis merupakan suatu penyakit parasit
di dalam sel darah merah akibat infeksi protozoa dari genus
Babesia. Infeksi oleh organisme satu sel ini dapat terjadi melalui
vektor caplak. Penyakit ini sering ditemukan di daerah yang
beriklim tropis, subtropis, dan beriklim sedang. Patogenitas dari
spesies Babesia spp. di seluruh dunia beragam seiring dengan vektor
biologisnya yang tersebar secara luas. Keberadaan babesiosis di
Indonesia sudah dilaporkan sejak tahun 1986, tetapi sampai sekarang
belum dapat diberantas (Astyawati dkk., 2010). Menurut Ressang
(1984), penyakit ini bersifat endemik di daerah Bogor dan
sekitarnya sehingga banyak ditemukan kasus babesiosis dalam bentuk
menahun.Penyakit Babesiosis yang umum ditemukan di Indonesia adalah
Babesia canis, yang menyerang anjing dan Babesia bovis, yang biasa
menyerang sapi (Ronohardjo et al., 1985; Wilson dan Ronohardjo,
1984). Gejala klinis babesiosis pada umumnya ditandai dengan suhu
rektum sampai 41,5C, kelemahan, urin berwarna merah
(hemoglubinuria), anemia yang biasanya diikuti dengan ikterus.
Sedangkan pada kasus babesiosis yang disebabkan oleh B. bovis
disamping tanpa-tanda di atas, juga disertai ataxia, konvulsi dan
paralisis kemudian diikuti dengan koma dan kematian (Solihat,
2002). Penyakit babesiosis yang ditularkan berbagai caplak dapat
menyebabkan kematian 80-90% pada sapi dewasa yang tidak diobati dan
10-15% pada ternak muda umur satu sampai dua tahun. Hewan yang
terinfeksi Babesia spp. dalam jumlah besar dan sekaligus dapat
menyebabkan kematian hewan tersebut (Nasution, 2007). Menurut
Soulsby (1982), Babesia spp. ditularkan oleh caplak yaitu Boophilus
spp. dan Rhipicephalus spp. 1.2. Rumusan Masalah1. Bagaimana
patogenesis pada infeksi Babesia spp. ?2. Bagaimana sejarah
perkembangan penyakit Babesia spp.?3. Bagaimana diagnosis infeksi
Babesia spp. ?
1.3. Manfaat1. Mengetahui mekanisme patogenesis pada infeksi
Babesia spp. 2. Mengetahui sejarah perkembangan penyakit Babesia
spp.3. Mengetahui cara mendiagnosis infeksi Babesia spp.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1. Etiologi Babesia spp.Babesia spp. merupakan parasit darah
yang termasuk filum Apicomplexa. Babesia spp. tersebar ke seluruh
dunia dan ditemukan pertama kali oleh Babes 1888 USA; Australia,
Asia, Eropa. Morfologi berbentuk bulat seperti buah pir, oval,
piriform, dan berpasangan dengan ukuran sebesar 1.5-2.5 m atau
3.05.0 m (Gambar 2.1.) (de S et al. 2006).
Gambar 2.1. Babesia spp. (Duh et al. 2004).
Taksonomi Babesia spp. menurut Bock et al., (2004) adalah
sebagai berikut :Filum: ApicomplexaKelas: SporozoasidaOrdo :
EucoccidioridaFamili : BabesiidaeGenus : Babesia Spesies : Babesia
spp. 2.2. Epidemiologi Babesia spp.Penyakit babesiosis menulari
hewan peliharaan dan binatang liar terdapat di seluruh dunia tetapi
lebih banyak di negara tropis dan subtropis. Beberapa negara
menganggap penyakit ini berdampak serius pada anggaran belanja dan
distribusi tekstil (Trenton, 1990).Penyakit Babesiosis yang menular
pada manusia banyak dilaporkan dari Yugoslavia, Irlandia, Prancis,
Britania Raya, Spanyol dan Rusia. Penularan Babesia spp. terjadi
melalui transfusi darah karena menimbulkan parasitemia yang lebih
lama tanpa menimbulkan keluhan dan gejala (Trenton, 1990).
2.3. Siklus Hidup Babesia spp. Babesia spp. merupakan parasit
obligat intraseluler dengan induk semangnya adalah ruminansia,
anjing, dan satwa liar. Pada induk semang, Babesia spp. akan
berhabitat di dalam sel darah merah. Penyebaran Babesia spp.
terjadi melalui gigitan vektor yaitu caplak keras yang tergolong ke
famili Ixodide, misalnya Dermacentor spp., Haemaphysalis spp.,
Hyalomma spp., dan Rhipicephalus spp. Babesia spp. dapat berpindah
atau bertransmisi dari satu generasi caplak ke generasi lainnya
sehingga caplak dari stadium larva, nympha, dan dewasa berpotensi
sebagai vektor.Siklus hidup Babesia spp. dapat terjadi di dalam
tubuh vektor dan induk semang. Babesia spp. melakukan reproduksi
secara aseksual dan seksual. Reproduksi aseksual terdiri dari
stadium merogoni yang terjadi di dalam sel darah merah induk
semang. Reproduksi seksual terdiri dari stadium sporogoni dan
gametogoni yang dimulai dari terbentuknya makrogamet dan mikrogamet
di dalam tubuh caplak. Stadium merogoni diawali pada saat caplak
baik pada stadium larva, nympha, dan dewasa yang mengandung
sporozoit pada salivanya menggigit hewan vertebrata. Sporozoit akan
masuk ke dalam sel darah merah melalui penetrasi mekanis. Di dalam
sel darah merah, sporozoit akan berubah menjadi trofozoit yang
mengalami pembelahan biner menjadi dua atau empat individu
merozoit. Hal ini akan menyebabkan desakan mekanis sehingga sel
darah merah ruptur. Bersamaan dengan rupturnya sel darah merah,
merozoit akan mencari sel darah merah baru dan berpenetrasi ke
dalam sel darah merah dalam tubuh induk semang yang sama (Kumar et
al. 2008). Di dalam sel darah merah merozoit akan mengalami
perubahan menjadi pre-gametosit. Caplak dewasa yang menghisap darah
hewan vertebrata yang terinfeksi Babesia spp. secara tidak langsung
akan menghisap pula sel darah merah yang mengandung pre-gametosit.
Pre-gametosit yang dibawa akan berperan dalam reproduksi seksual
yang terjadi di dalam tubuh caplak. Pre-gametosit akan berubah
menjadi gametosit yang akan menjadi awal dari stadium gametogoni
atau gamogoni. Gametosit yang terbentuk akan menghasilkan ray
bodies atau gamet yang terbagi menjadi mikrogamet (gamet jantan)
dan makrogamet (gamet betina) dimana keduanya akan berdifusi
menjadi zigot. Tahap selanjutnya adalah zigot berkembang menjadi
ookinet atau vermiculus (Uilenberg, 2006). Ookinet yang dihasilkan
dapat berpindah secara transovarial ke caplak stadium larva, dan
secara transstadial ke caplak stadium nympha dan dewasa (Bock et
al., 2004). Ookinet ini akan mengalami diferensiasi dalam proses
sporogoni membentuk kinet. Menurut Taylor et al., (2007) kinet akan
masuk ke kelenjar saliva pada masing-masing stadium caplak dan akan
mengekspansi sel sehingga terjadi hipertrofi sel kelenjar saliva
dan berkembang menjadi sel multinukleat sporoblast. Satu sporoblast
matang akan menjadi 5000-10000 sporozoit. Sporozoit-sporozoit dari
setiap stadium caplak inilah yang dapat menginfeksi induk semang
melalui gigitan caplak sehingga terjadi kembali stadium merogoni.
Penzhorn, 2006).
Gambar 2.2. Siklus hidup Babesia spp. (Zintl et al., 2003;
Chauvin et al., 2009; Florin-Christensen and Schnittger, 2009).
2.3. Gejala Klinis Babesia spp. Induk semang yang berumur muda
relatif resisten terhadap infeksi Babesia spp. dan tidak selalu
menunjukkan gejala klinis. Pada fase akut gejala klinis diawali
oleh demam, diikuti ikterus, haus, anemia (Duh et al., 2004),
petechi dan hemorhagi pada gusi atau ventral abdomen, dan anemia
(Taylor et al., 2007). Anemia merupakan faktor yang menyebabkan
terjadinya kelemahan dan penurunan kondisi tubuh. Anemia yang
terjadi secara cepat mengakibatkan 75% atau lebih sel darah merah
rusak dalam waktu beberapa hari. Keadaan anemia biasanya bersamaan
dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Pada kasus kronis, gejala
demam dan ikterus terjadi secara ringan (Duh et al,. 2004). Jika
hewan dapat bertahan, hewan akan mengalami penurunan berat badan
dan produksi (Taylor et al,. 2007).
BAB IIIPEMBAHASAN
3.1. Mekanisme Patogenesis terhadap infeksi Babesia spp.Sitokin
dan agen farmakologi lainnya yang aktif memiliki fungsi penting
dalam respon imun pada infeksi Babesia spp. Hal ini berkaitan
dengan waktu yang dan kuantitas yang dihasilkan, tetapi populasi
Babesia spp. dalam jumlah besar menyebabkan kontribusi penyakit
yaitu vasodilatasi, hipotensi, peningkatan permeabilitas kapiler,
edema, kolaps pembuluh darah, gangguan koagulasi, kerusakan endotel
dan sirkulasi darah yang bersifat statis (Bock et al., 2004). Lesi
patofisiologi pada infeksi Babesiosis terjadi di otak dan
paru-paru. Hal ini dapat mengakibatkan Babesiosis serebral dan
sindrom gangguan pernapasan terkait dengan infiltrasi neutrofil,
permeabilitas pembuluh darah dan edema. Anemia hemolitik progresif
berkembang selama infeksi B. Bovis (Bock et al., 2004).Umumnya masa
inkubasi pada infeksi yang disebabkan oleh B. Bovis lebih lama
dibandingkan dengan B. Bigemina. Vektor yang menggigit inang akan
menularkan parasit ini kedalam sirkulasi darah inang. Saat memasuki
fase eksoeritrositik, inang tidak menunjukkan gejala klinis.
Selanjutnya parasit akan terus berkembang biak secara aseksual
didalam sel darah merah hingga menjadi 2-4 agen parasit. Jika
perkembangannya telah sempurna, maka parasit ini akan merusak sel
darah merah dan menginfeksi sel darah merah yang baru. Kerusakan
eritrosit ini menyebabkan gejala seperti hemoglobinemia,
hemoglobinuria, dan jaundice. Pada kasus babesiosis yang
berlangsung menahun, parasit mampu mengubah spesifisitas antigen
dipermukaan sel hingga berubah kepekaannya terhadap antibodi
(Suarez and Noh, 2011).Sitokin yang dihasilkan seperti TNF, IL-1,
IL-6, dan IFN- untuk melawan infeksi Babesia spp. yang bersifat
sistemik menimbulkan efek sebagai pirogen yang akan memicu
peningkatan suhu tubuh (demam) dengan tujuan untuk menciptakan
kondisi lingkungan yang tidak sesuai bagi perkembangan
mikroorganisme sehingga dapat membantu efektifitas kerja respon
imun seluler dalam mengeleminasi Babesia spp. (Gambar 3.1)
(Janeway, 2005).
Gambar 3.1. Peranan sitokin dalam menimbulkan demam (Janeway,
2005).
Sitokin yang dihasilkan akibat infeksi yang sitemik selain
berperan dalam manisfestasi demam, pada konsentrasi yang tinggi
dapat menyebabkan kerusakan mitokondria. Kerusakan pada mitolondria
akan menyebabkan jaringan mengalami anoreksia. Selain itu semakin
banyak infeksi Babesia spp. pada eritrosit dapat menyebabkan
peningkatan ekpresi molekul adhesi yang memicu penempelan eritrosit
di pembuluh darah dan dapat menyebabkan obstruksi yang menimbulkan
gejala klinis seperti anemia, peningkatan tekanan darah, kerusakan
organ vital, hewan menjadi depresi, dan menyebabkan kematian
(Gambar 3.2) (Krause et al., 2007).
Gambar 3.2. Pengaruh sitokin terhadap kerusakan mitokondria dan
gejala klinis yang terlihat akibat infeksi Babesia spp. (Krause et
al., 2007).
3.2. Strategi Babesia Menghindar dari Respon Imun HospesBabesia
dalam menghadapi respon imun hospes juga mengembangkan strategi
agar dapat terhindar dari respon imun sehingga terjadi infeksi yang
persisten. Dalam mengahdapi sistem imun, bebasia memiliki antigen
yang berperan agar ia terhindar dari sistem imun yaitu antigen
variationandcytoadherence(VESA) danantigenic polymorphism
(Chauvunet al., 2009). VESA merupakan antigen yang multigenik dari
babesia yang akan diekpresikan pada permukaan eritrosit. Antigen
ini menyebabkan penempelan eritrosit pada pembuluh darah. Meski di
ekpresikan pada permukaan eritrosit, namun karena sifat antigen ini
cepat berubah (variatif) sehingga dapat lolos dari sistem imun
hospes (Chauvunet al., 2009).Antigen polymorficmerupakan antigen
yang babesia yang berperan dalam inisiasi penempelan babesia pada
permukaan eritrosit. Antigen ini juga bersifat multigenik sehingga
terjadi polimorfik antigen di permukaan sel yang menyebabkan
parasit dapat lolos dari sistem imun hospes (Chauvunet al.,
2009).
3.3. Diagnosis BabesiosisUntuk identifikasi yang paling
konservatif adalah metode observasi mikroskopik dari preparat ulas
darah. Metode diagnostik ini sangat ekonomis dan relatif mudah,
yang dapat dilaksanakan di sebagian besar laboratorium. Namun,
beberapa penulis menyatakan bahwa metedo ini lambat, dan bergantung
pada teknisi yang berpengalaman. Secara independen metode masih
merupakan diagnosis pertama digunakan untuk identifikasi dan
konfirmasi adanya terinfeksi Babesia di eritrosit, khususnya dalam
manifestasi akut (Rodriguez et al., 2013).Pada tahap kronis,
parasitemia biasanya rendah dan dalam banyak kasus, parasit hanya
dapat dideteksi dengan metodologi molekuler. Sejumlah teknik
molekuler telah dikembangkan, berdasarkan kualitatif dan
kuantitatif Polymerase Chain Reaction (PCR), Reverse Line Blot
Hybridization (RLB), loop-mediated isothermal amplification of DNA,
dan oligonucleotide suspension microarrays (Rodriguez et al.,
2013). Teknik serologi yang paling luas adalah Indirect
Immunofluorescence (IFAT), yang meskipun sederhana, memakan waktu,
tidak memiliki objektivitas, dan erjadi reaksi silang. Tes ELISA,
di sisi lain, adalah obyektif dan memungkinkan pengolahan simultan
sejumlah sampel yang besar. Beberapa ELISA telah dikembangkan untuk
Babesiosis, berdasarkan antigen merozoit atau protein rekombinan.
Penggunaan protein rekombinan memungkinkan untuk spesifisitas lebih
tinggi, dan standarisasi mudah pada skala besar. Selain itu,
deteksi cepat dari anti- antibodi B. bovis dan B. bigemina dapat
dicapai dengan menggunakan tes jalur immunochromatographic.
Ketersediaan komersial dari jenis reagen dan kit akan sangat
bermanfaat untuk kontrol Babesiosis sapi (Rodriguez et al.,
2013).
DAFTAR PUSTAKA
Astyawati, T., Wulansari, R., Cahyono, Ardhiansyah, F., Rumekso,
A., dan Dhett. 2010. Konsentrasi Serum Anjing yang Optimum untuk
Menumbuhkan dan Memelihara Babesia spp. canis dalam Biakan. Jurnal
Veteriner. 11(4): 238-243.
Bock, R., Jackson, L., De Vos, A., and Jorgensen, W. 2004.
Babesiosis of cattle. Parasitol. 129:247-269.
Chauvun, A., Moreau, E., Bonnet, S., Plantard, O., dan
Malandrin, L., 2009. Babesia spp. and its hosts: adaptation to
long-lasting interactions as a way to achieve efficient. Vet. Res.
40:37.
de S AG, Cerqueira A de MF, ODwyer LH, Macieira D de B, Abreu F
da S, Ferreira RF, Pereira AM, Velho PB, Almosny NR. 2006.
Detection and molecular characterization of Babesia spp. canis
vogeli from naturally infected Brazilian dogs. Intern J Appl Res
Vet Med. 4(2):163-168.
Duh, D., Natasa, T., Miroslav, P., Katja, S., dan Tatjana, A. Z.
2004. Canine babesiosis in Slovenia: Molecular evidence of Babesia
spp. canis canis and Babesia spp. canis vogeli. Vet Res.
35:363368.
Krause, P.J., Daily, J., Telford, S.R., Vannier, E., Lantos, P.,
dan Spielman, A.,2007. Shared features in the pathobiology of
babesiosis and malaria. Trends in Parasitology 23(12): 605-610.
Kumar M, Pallay S, Haque S, Mahto D. 2008. Feline babesiosis.
Veterinary World. 1(4):120-121.
Nasution, A. Y. A. 2007. Parasit Darah pada Ternak Sapi dan
Kambing di Lima Kecamatan, Kota Jambi [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Ressang, A. A. 1984. Patologi Khusus Veteriner, ed.2. Denpasar.
NV. Percetakan Bali.
Rodriguez, A., Schnittger, L., Tomazic, M., Florin-Christensen,
M. Current and Prospective Tools for the Control of Cattleinfecting
Babesia Parasites. ResearchGate. 1-56
Ronohardjo. P, Wilson AJ, Hirst RG. 1985. Current Livestock
Disease Status in Indonesia. Penyakit Hewan. 27: 317-326.
Solihat, L. 2002. Proses Pemeriksaa Sampel Penyakit-penyakit
Parasit Darah di Laboratorium Parasitologi Balitvet. Di dalam: Temu
Teknis Fungsional Non Peneliti 2002. Balai Besar Veteriner. Bali.
77-85; [diakses pada 21 Juni 2015].
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CB0QFjAA&url=http%3A%2F%2Fbalitnak.litbang.deptan.go.id
Soulsby, E. J. L. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of
Domesticated Animals. New York.
Suarez, C. E., and Noh, S. 2011. Emerging Perspectives in the
Research of Bovine Babesiosis and Anaplasmosis. Vet. Parasitol. 180
(2):109-125.
Trenton, K. 1990. Ruebush Intropical and Geographical Medicine
ed 2. Editor Kenneth, S., Warren, M.D., Adel, A.F., and Mahmound,
MD, PhD. 264-265.
Taylor, M. A., Coop, R. L., Wall, R. L. 2007. Veterinary
Parasitology. 3th Edition. Hongkong : Graphicraft Limited.
Uilenberg, G. 2006. Babesia spp. a historical overview. Vet
Parasitol. 138:2-10.
Wilson, A. J., and Ronohardjo, P. 1984. Some factors affecting
the control of bovine anaplasmosis with special reference to
Australia and Indonesia. Prer. Get. Med. 2: 121 - 134.
Zintl, A., Mulcahy, G., Skerrett, H. E., Taylor, S. M., and
Gray, J. S. 2003.Babesia divergens, a bovine blood parasite of
veterinary and zoonotic importance.Clin. Microbiol. Rev. 16,
622636. doi: 10.1128/CMR.16.4.622-636.Page 11 of 14