NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG KEBEBASAN BERAGAMA
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Legislative Drafting Kelas
D
Disusun Oleh: HENDRY TARYONO ARSO SETIO ATMOJO AWAM WIWOAJI
BASTIAN YOGASWARA FAHMI ARIF JEKSON ANTON H SIMANJUNTAK DIAN
LESTARI NIM. 0810110031 NIM. 0810110091 NIM. 0810110094 NIM.
0810110101 NIM. 0810110125 NIM. 0810110153 NIM. 0810113038
KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS
HUKUM MALANG 20111
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1. Landasan Filosofis Indonesia saat ini
memiliki 33 propinsi, lima diantaranya berstatus sebagai Daerah
Khusus atau Daerah Istimewa. Ada lebih dari 17.504 pulau dari
Sabang sampai Merauke. Termasuk pulau-pulau yang berada di daerah
perbatasan dengan segala bentuk ketertinggalannya dalam gerak
pembangunan fisik. Ada kurang lebih 746 suku dengan budaya serta
583 ragam bahasa dan dialegnya masing-masing. Berdasarkan hal
tersebut maka Indonesia terkenal dengan semboyannya yang berbunyi
Bhineka Tunggal Ika yang memiliki arti walaupun berbeda-akan tetapi
tetap satu jua. Semboyan Indonesia tersebut menunjukan pluralism
masyarakat Indonesia. Pluralisme masyarakat Indonesia tersebut
dapat didasarkan pada Suku, Ras, Adat, Wilayah
maupun dasar pembeda lainnya. Adanya masyarakat yang pluralism
juga tentunya mempengaruhi suatu masyarakat dalam menganut atau
memeluk suatu keyakinan atau kepercayaan yang dalam hal ini lebih
dikenal dengan Agama. Dasar pengaturan kehidupan beragama di
Indonesia terdapat dalam Pancasila yang terdapat dalam pasal 1 yang
berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila Pertama pancasila tersebut
dapat di terjemahkan atau ditafsirkan sebagai berikut : a.
Mengandung arti pengakuan adanya kuasa prima (sebab pertama) yaitu
Tuhan yang Maha Esa b. Menjamin penduduk untuk memeluk agama
masing-masing dan beribadah menurut agamanya. c. Tidak memaksa
warga negara untuk beragama. d. Menjamin berkembang dan tumbuh
suburrnya kehidupan beragama. e. Bertoleransi dalam beragama, dalam
hal ini toleransi ditekankan dalam beribadah menurut agamanya
masing-masing.
2
f. Negara memberi fasilitator bagi tumbuh kembangnya agama dan
iman warga negara dan mediator ketika terjadi konflik agama.
Sehingga dengan berdasarkan pada penjelasan sila pertama pancasila
tersebut maka pada dasarnya di Indonesia menjamin warga negaranya
untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agamanya
tanpa adanya unsur paksaan. Dasar yang mengatur kehidupan beragama
di Indonesia yang lain adalah Undang-undang Dasar 1945, dimana
dalam pembukaan UUD tersebut juga telah dijelaskan bahwa Kedaulatan
Rakyat berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang pada dasarnya
menghendaki kehidupan masyarakat dengan berdsarkan pada Ketuhanan
Yang Maha Esa. Sehingga dengan demikian maka dapat diketahui bahwa
dasar kehidupan beragama di Indonesia dapat didasarkan pada
Pancasila Sila Pertama dan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang
terdapat dalam alinea keempat. 2. Landasan Yuridis Peraturan
perundang-undangan yang menjadi landasan yuridis yang berkaitan
dengan judul Naskah Akademis adalah sebagai berikut : a.
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28 E ayat (1) dan (2) (1) Setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali. **) (2) Setiap orang atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya. **) Pasal 29 ayat (1) dan (2) (1)
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
3
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu. b. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 18 Setiap orang berhak
atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama; hak ini
meliputi kebebasan untuk mengubah agama atau keyakinannya, serta
kebebasan secara pribadi atau bersama-sama dengan orang-orang lain
dan secara terbuka atau pribadi, untuk menjalankan agama atau
keyakinannya dalam pengajaran, praktek, ibadah dan ketaaatan. c.
Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965
3. Landasan Sosiologis Landasan sosiologis yang mendorong perlu
dibuatnya Naskah Akademik adalah banyaknya konflik atau
permasalahan yagn terjadi berkaitan dengan kebebasann beragama di
Indonesia. Kasus Kerusuhan atau konflik yang terkait dengan agama
misalnya yang terjadi di Poso dan Ambon, demikian pula kasus
kerusuhan agama yang terjadi di Banjarmasin 1997, Kasus konflik
etnis dan agama di Kalimantan Barat, tahun 1996, Kerusuhan di
Mataram 2000, Kasus kerusuhan Kupang 1998. Kasus konflik antar
agama juga terjadi akhir-akhir ini yaitu mengenai pengrusakan
Gereja HKBP di Bekasi dan yang paling menarik perhatian massa
adalah Konflik agama terkait dengan Ahmadiyah. Berdasarkan kondisi
sosiologis diatas maka diperlukan suatu regulasi atau peraturan
yang mengatur mengenai kebebasan beragama dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia.
B. Identifikasi Masalah
4
Identifikasi maslaah dalam hal ini akan dibagi menjadi dua
bagian yang pertama yaitu yang berkaitan dengan materi muatan dan
yang kedua adalah terkait ruang lingkup pengaturan terkait naskah
akademik rancangan undang-undang kebebasan beragama. 1. Materi
Muatan Pengaturan Kebebasan Beragama a) b) Bagaimana pengaturan
kebebasan beragama di Indonesia? Bagaimana cara mewujudkan
kebebasan beragama di Indonesia
mengingat sangat pluralistiknya masyarakat Indonesia? c)
Bagaiamana mewujudkan peran serta masyarakat dalam menciptakan
kebebasan beragama dalam masyarakat? d) Bagaimana peran serta
pemerintah terhadap pengaturan mengenai
kebebasan beragama di Indonesia? e) Bagaimana pengaturan
kewenangan yang dapat dimiliki oleh pemerintah
dalam menjalankan tugas dan fungsinya terkait dengan kebebasan
beragama di masyarakat? f) Bagaimana mekanime atau tatacara
masyarakat untuk mendirikan
tempat ibadah sebagai sarana menjalankan ajaran agama?g)
Bagaimana akibat hukum yang dapat diterima apabila seseorang
ibadah suatu kepercayaan/agama atau dapat
melakukan perusakan tempat
dikatakan tidak mewujudkan suatu kebebasan beragama di
masyarakat?h)
Bagaimana mekanisme perlindungan hukum yang dapat diberikan
pemerintah kepada masyarakat dalam hal tidak tercapainya suatu
kebebasan seseorang untuk beribadah menurut agama dan
kepercayaannya masing-masing? 2. Ruang Lingkup Pengaturan Kebebasan
Beragama a) b) Pengaturan kebebasan beragama. Asas pengaturan, yang
pada intinya pengaturan ini didasarkan pada
Pancasila serta Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia.
c) Hak dan kewajiban masyarakat pada pelaksanaan kebebasan
beragama.5
d) e)
Peran serta masyarakat dalam pelaksanaan kebebasan beragama.
Akibat hukum terkait segala macam bentuk tindakan yang
bertujuan
menciptakan situasi dan kondisi yang tidak kondusif untuk
terwujudnya kebebasan beragama dalam masyarakat.
C. Tujuan dan Kegunaan Gambaran latar belakang permasalahan di
atas menunjukkan bahwa penegakan peraturan mengenai kebebasan
beragama sangat diperlukan dalam menjawab permasalahan permasalahan
tersebut. Oleh karena itu tujuan dari penulisan naskah ini adalah
pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang kebebasan beragama yang
diharapkan dapat memberikan solusi menyeluruh terhadap permasalahan
antar agama dan aliran kepercayaan di Indonesia. Dengan dibuatnya
naskah ini diharapkan dapat tercapai kerukunan antar umat
beragama.
D. Metode Penelitian Naskah akademis ini disusun dengan
menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang dilakukan
dengan cara sebagai berikut: Studi literatur naskah Undang-Undang
dan peraturan sejenis di berbagai negara lain. Studi berbagai
naskah Undang-Undang dan Peraturan yang sudah dikeluarkan terlebih
dahulu yang terkait dengan kebebasan agama antara lain:o o
Undang-Undang No. 1/PNPS Tahun 1965 Undang-Undang No. 39 Tahun
1999
Penyaringan data-data melalui internet yaitu melalui milis-milis
organisasi keagamaan di Indonesia
Pertemuan dengan berbagai kementerian dan lembaga terkait,
yaitu:
6
o Kementerian agama o Komsi nasional hak asasi manusia o
Organisasi-organsiasi keagamaan
BAB II ASAS-ASAS YANG DIGUNAKAN DALAM PENYUSUNAN NORMA7
A. ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1. Asas
Kejelasan Tujuan Bahwa setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak
dicapai, dimana dalam naskah akademik rancangan undang-undang ini
mempunyai tujuan yang jelas yaitu untuk mewujudkan kehidupan
beragama yang bebas artinya setiap warga Negara mempunyai hak untuk
memeluk agama dan menjalankan ibadah menurut agama dan
kepercayaannya masing-masing. 2. Asas Kelembagaan atau Organ
Pembentuk yang Tepat Penjelasan asas ini adalah bahwa setiap jenis
peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat
pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan
perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum,
bila dibuat oleh lembaga atau pejabat yang tidak berwenang.
Penerapan asas ini dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
yang dalam hal ini adalah rancangan undang-undang kebebasan
beragama di bentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden yang
berwenang untuk membuat undang-undang ini.3. Asas Kesesuaian antara
Jenis dan Materi Muatan
Bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus
benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis
peraturan perundangundangannya. 4. Asas Dapat Dilaksanakan Bahwa
setiap pembentukan efektifitas peraturan perundang-undangan
tersebut harus dalam
memperhitungkan
peraturan
perundang-undangan
masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, dan sosiologis.
Berkaitan banyaknya kasus mengenai kebebasan beragama di Indonesia
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas dalam Bab 1 khususnya
bagian latar belakang telah dijelaskan mengenai tinjuan yuridis,
sosiologis, dan filosofis, maka besar kemungkinan bahwa
undang-undang ini dapat berjalan efektif di masyarakat.8
5. Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan Bahwa peraturan
perundang-undangan ini dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan
dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara dalam kaitannya dengan kebebasan beragama. 6. Asas
Kejelasan Rumusan Bahwa dalam penyusunan undang-undang kebebasan
beragama harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan
perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminology,
serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. 7.
Asas Keterbukaan Bahwa dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan ini mulai dari perencanaan, persiapan,
penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan
demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluasluasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembentukan
peraturan perundangundangan. B. ASAS MATERI MUATAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN 1. Asas Pengayoman Peraturan perundang-undangan
(Undang-undang Kebebasan Beragama) ini harus berfungsi atau
mempunyai tujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat
dalam hal memeluk agama dan beribadah menurut agama dan
kepercayaannya masingmasing sehingga tercipta ketentraman
masyarakat. 2. Asas Kemanusiaan Bahwa materi muatan Peraturan
perundang-undangan (Undang-undang Kebebasan Beragama) mencerminkan
perlindungan dan pengayoman Hak-hak Asasi Manusia yang dalam hal
ini Hak Asasi Manusia untuk memeluk agama dan beribadah menurut
agama dan kepercayaannya masing-masing. Dengan demikian adanya
undnag-undang
9
ini memberikan jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap
Kebebasan Beragama di dalam masyarakat. 3. Asas Kebangsaan Bahwa
materi muatan Peraturan perundang-undangan (Undang-undang Kebebasan
Beragama) mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang
pluralistik dengan tetap menjaga prinsip Kesatuan Negara Republik
Indonesia. Pluralistik dalam hal ini dapat terlihat dari banyaknya
warga masyarakat yang menganut suatu kepercayaan atau agama dalam
kehidupannya sehari-hari. 4. Asas Kenusantaraan Bahwa setiap materi
muatan yang terdapat dalam Peraturan perundang-undangan
(Undang-undang Kebebasan Beragama) senantiasa memperhatikan
kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan merupakan bagian dari
system hukum nasional yang berdasarkan pancasila. 5. Asas Bhineka
Tunggal Ika Bahwa materi muatan yang terdapat dalam Peraturan
perundang-undangan (Undang-undang Kebebasan Beragama) senantiasa
memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, dan golongan,
kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut
masalah-masalah sensitive dalam kehisupan bermasyarkat, berbangsa
dan bernegara. 6. Asas Keadilan Materi muatan dalam Peraturan
perundang-undangan (Undang-undang Kebebasan Beragama) ini
memberikan keadilan secara proporsional bagi setiap Warga Negara
Indonesia tanpa kecuali. 7. Asas kesamaan Kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam materi muatan
Peraturan perundangundangan (Undang-undang Kebebasan Beragama)
tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasar latar
belakang agama, suku, ras, golongan, gender ataupun status
social.
10
8. Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum, Bahwa materi muatan
Peraturan perundang-undangan (Undang-undang Kebebasan Beragama) ini
harus dapat memberikan jaminan kepastian hukum sehingga menimbulkan
ketertiban dalam masyarakat.
BAB III MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN
KETERKAITANNYA DENGAN HUKUM POSITIF
A. Kajian/Analisis Tentang Keterkaitan Dengan Hukum Positif
Keterkaitan antara Rancangan Undang-undang Kebebasan Beragama
dengan hukum positif dinilai sangat jelas terkait karena munculnya
Rancangan Undang-undang Kebebasan Beragama dibuat untuk memberikan
kejelasan atau penjabaran dari sejumlah isu atau permasalahan
bahkan konflik hukum yang terjadi dalam masyarakat. Rancangan
Undang-undang Kebebasan Beragama ini sangat jelas keterkaitannya
dengan hukum positif yaitu dengan Undang-undang Dasar (UUD) Tahun
1945. Dalam Undang-undang Dasar 1945 tersebut terdapat suatu
pengaturan mengenai kebebasan untuk memilih agama serta menjalankan
ibadah menurut agama dan kepercayaannya tersebut, yaitu terdapat
dalam ketentuan pasal 29 yang bunyinya sebagai berikut : (1) Negara
berdasar atas Ketuhahan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Selain
pasal 29, dalam Undang-undang Dasar juga terdapat pengaturan
mengenai hak untuk memeluk agama serta menjalankan ibadah menurut
agama dan kepercayaannya11
tersebut, hal tersebut terdapat dalam pasal 28 E ayat (1) dan
ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut : (1) Setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan
dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali. **) (2) Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. **)
Sehingga dengan demikian apabila kita lihat tentu saja ada
keterkaitan antara Rancangan Undang-undang Kebebasan Beragama
dengan Undang-undang Dasar 1945, karena Rancangan Undang-undang
Kebebasan Beragama memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk
memeluk agama serta menjalankan ibadah menurut agama dan
kepercayaannya masing-masing, selama pelaksanaannya tidak
mengganggu kepentingan agama atau kepercayaan yang dianut oleh
orang lain. Selain berkaitan dengan Undang-undang Dasar 1945
sebagai hukum positif Rancangan Undang-undang Kebebasan Beragama
juga erat kaitannya dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Dalam undang-undang nomor 39 tahun 1999
tersebut mengatur hak asasi manusia sebagai seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia. Hak asasi manusia sebagaimana yang dijelaskan diatas juga
meliputi hak seseorang atau individu untuk bebas memeluk agama
serta beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.
Pengaturan mengenai hal tersebut terdapat dalam pasal 22 UU Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi sebagai
berikut : (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Negara
menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Keterkaitann Rancangan Undang-undang Kebebasan Beragama tidak hanya
ada pada Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak12
Asasi Manusia, tetapi keterkaitan tersebut juga terdapat dalam
Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965. Dengan melihat pada
keterkaitan Rancangan Undang-undang Kebebasan Beragama ini terhadap
berbagai peraturan hukum yang merupakan hukum positif bertujuan
untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat bahwa pada dasarnya
setiap masyarakat atau individu bebas untuk memeluk agama dan
beribadah menurut agama dan kepercayaan. Dengan adanya penjelasan
tersebut diharapkan masyarakat dapat beribadah dengan kondusif
tanpa ada pihak-pihak yang melakukan suatu perbuatan yang dapat
mengganggu ketenangan masyarakat dalam menjalankan ibadah. B.
Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan 1. Ketentuan Umum
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa Rancangan Undang-undang
ini memiliki keterkaitan dengan beberapa peraturan
perundang-undangan yang merupakan hukum positif Indonesia antara
lain Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, Penetepan Presiden Nomor 1 Tahun 1965
yang kesemuannya memberikan kebebasan kepada setiap masyarakat atau
indvidu sebagai anggota masyarakat untuk memeluk agama serta
beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Kebebasan
dalam hal ini tidak dapat diartikan sebagai kebebasan
sebebas-bebasnya karena hal tersebut tentu akan merugikan hak orang
lain. Kebebasan dalam hal ini diartian bahwa kebebasan tersebut
dibatasi dengan aturan. Kebabasan mana tidak boleh merugikan
individu atau masyarakat lain baik terhadap ajaran yang dianut,
kegiatan ibadah, tempat ibadah maupun terhadap kitab suci
masyarakat yang menganut suatu ajaran atau kepercayaan tertentu.
Agama atau kepercayaan memiliki banyak arti atau banyak definisi.
Pada dasarnya agama atau kepercayaan memilik beberapa ciri penting
atau unsur-unsur sehingga dapat dikatakan sebagai agama atau
kepercayaan misalnya :a. Pada setiap agama mempunyai sasaran atau
tujuan penyembahan atau
Sesuatu Yang Ilahi dan disembah. Yang bisa disebut Tuhan, Allah,
God, Dewa, dan lain sebagainya sesuai dengan konteks dan bahasa
masyarakat yang menyembah-Nya.b. Pada setiap agama ada keterikatan
kuat antara yang menyembah (manusia)
dan yang disembah atau Ilahi. Ikatan itu menjadikan yang
menyembah (manusia, umat) mempunyai keyakinan tentang keberadaan
Ilahi.13
Keyakinan itu dibuktikan dengan berbagai tindakan nyata
(misalnya, doa, ibadah, amal, perbuatan baik, moral, dan lain-lain)
bahwa ia adalah umat sang Ilahi. Hal itu berlanjut, umat
membuktikan bahwa ia atau mereka beragama dengan cara menjalankan
ajaran-ajaran agamanya.c. Pada umumnya, setiap agama ada sumber
ajaran utama (yang tertulis
maupun tidak tidak tertulis). Ajarannya tersebut serba tetap,
walaupun tafsirnya dapat berubah sesuai dengan kecerdasan dan
kepekaan manusia. d. Ajran-ajaran tersebut biasanya terdapat atau
tertulis dalam Kitab Suci. e. Kebenarannya adalah universal yaitu
berlaku bagi setiap manusia , masa dan keadaan. Sehingga
berdasarkan penjelasan beberapa ciri-ciri agama diatas maka dalam
hal ini dapat ditarik suatu Pengertian Yang Lebih Sederhana Dari
Agama adalah suatu kepercayaan terhadap sesuatu yang disembah yang
merupakan sasaran atau tujuan penyembahan dimana antara orang yang
menyembah dengan yang disembah atau dipercayai ada ikatan yang kuat
sehingga ada keyakinan tentang keberadaan-Nya. Dalam kehidupan
beragama tidak lepas dari ajaran agama yang mengatur berbagai aspek
kehidupan manusia. Misalnya saja mengatur mengenai perbuatan
penyembahan yang dilakukan manusia sebagai hubungan vertical maupun
perbuatan manusia terhadap sesame manusia yang biasa di sebut
sebagai hubungan horizontal. Kesemuannya tersebut merupakan ajaran
agama. Ajaran Agama disini dapat definisikan sebagai keseluruhan
aturan yang mengatur perbuatan manusia baik dalam hubungannya
secara vertical berkaitan dengan pelaksanaan ibadah atau
penyembahannya kepada Tuhan maupun perbuatan manusia dalam
hubungannya dengan manusia secara horizontal yang disertai larangan
atau anjuran untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Ajaran
tersebut biasanya terdapat dalam Kitab Suci Agama atau kepercayaan
tertentu. Kitab suci adalah kitab yang berisi kumpulan peraturan
yang mengatur perbuatan manusia baik dalam hubungannya secara
vertical berkaitan dengan pelaksanaan ibadah atau penyembahannya
maupun perbuatan manusia dalam hubungannya dengan manusia secara
horizontal yang disertai larangan atau anjuran untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu. Telah dijelaskan diatas mengenai
keterkaitan antara Rancangan Undang-undang Kebebasan Beragama ini
berbagai peraturan perundang-undangan yang merupakan14
hukum Positif, yang kesemuanya menjamin kebebasan masyarakat
atau indvidu dalam melaksanakan ibadah menurut agama dan
kepercayaannya masing-masing. Ibadah dalam hal ini merupakan suatu
perbuatan baik yang merupakan aktif atau pasif dalam hubungannya
secara vertical kepada Tuhan yang biasanya merupakan perbuatan baik
dalam arti tidak menimbulkan gangguan atau kerugian bagi pihak
lain. Pelaksanaan ibadah seabagaimana yang telah dijelaskan diatas
sebagai perbuatan dalam hubungannya secara vertical antara Manusia
dengan Tuhan tentu saja terdapat suatu area atau tempat yang baik
untuk melaksanakan ibadah tersebut tempat tersebut adalah Tempat
Ibadah. Tempat ibadah merupakan suatu tempat atau area yang baik
untuk melakukan aktivitas keagamaan atau ibadah yang dapat
berbentuk sebuah bangunan maupun yang tidak berbentuk bangunan
sesuai dengan agam dan kepercayaan masyarakat yang bersangkutan.
Tempat ibadah masing-masing agama berbeda-beda sesuai dengan agama
dan kepercayaan masyarakat yang bersangkutan. 2. Ketentuan Asas dan
Tujuan Tujuan pembentukan peraturan perundang-undangan ini adalah
untuk mewujudkan kehidupan beragama yang bebas artinya setiap warga
Negara mempunyai hak untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah
menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Sehingga tercipta
kerukunan antar umat beragama dalam kehidupan beragama di
masyarakat. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
meliputi: a. Asas Kejelasan Tujuan Bahwa setiap pembentukan
peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang
hendak dicapai, dimana dalam naskah akademik rancangan
undang-undang ini mempunyai tujuan yang jelas yaitu untuk
mewujudkan kehidupan beragama yang bebas artinya setiap warga
Negara mempunyai hak untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah
menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. b. Asas Kelembagaan
atau Organ Pembentuk yang Tepat Penjelasan asas ini adalah bahwa
setiap jenis peraturan perundangundangan harus dibuat oleh
lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang15
undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut
dapat dibatalkan atau batal demi hukum, bila dibuat oleh lembaga
atau pejabat yang tidak berwenang. Penerapan asas ini dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan yang dalam hal ini adalah
rancangan undang-undang kebebasan beragama di bentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden yang berwenang untuk membuat
undang-undang inic. Asas Kesesuaian antara Jenis dan Materi
Muatan
Bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus
benarbenar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis
peraturan perundang-undangannya. d. Asas Dapat Dilaksanakan Bahwa
setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut
dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, dan sosiologis.
Berkaitan banyaknya kasus mengenai kebebasan beragama di Indonesia
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas dalam Bab 1 khususnya
bagian latar belakang telah dijelaskan mengenai tinjuan yuridis,
sosiologis, dan filosofis, maka besar kemungkinan bahwa
undang-undang ini dapat berjalan efektif di masyarakat. e. Asas
Kedayagunaan dan Kehasilgunaan Bahwa peraturan perundang-undangan
ini dibuat karena memang benarbenar dibutuhkan dan bermanfaat dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam
kaitannya dengan kebebasan beragama. f. Asas Kejelasan Rumusan
Bahwa dalam penyusunan undang-undang kebebasan beragama harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan
perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminology,
serta bahasa hukumnya jelas dan
16
mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya. g. Asas Keterbukaan Bahwa dalam
proses pembentukan peraturan perundang-undangan ini mulai dari
perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat
transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat
mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan
dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Asas Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan : a. Asas Pengayoman Peraturan
perundang-undangan (Undang-undang Kebebasan Beragama) ini harus
berfungsi atau mempunyai tujuan untuk memberikan perlindungan
kepada masyarakat dalam hal memeluk agama dan beribadah menurut
agama dan kepercayaannya masing-masing sehingga tercipta
ketentraman masyarakat. b. Asas Kemanusiaan Bahwa materi muatan
Peraturan perundang-undangan (Undang-undang Kebebasan Beragama)
mencerminkan perlindungan dan pengayoman Hak-hak Asasi Manusia yang
dalam hal ini Hak Asasi Manusia untuk memeluk agama dan beribadah
menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Dengan demikian
adanya undang-undang ini memberikan jaminan perlindungan Hak Asasi
Manusia terhadap Kebebasan Beragama di dalam masyarakat. c. Asas
Kebangsaan Bahwa materi muatan Peraturan perundang-undangan
(Undang-undang Kebebasan Beragama) mencerminkan sifat dan watak
bangsa Indonesia yang pluralistik dengan tetap menjaga prinsip
Kesatuan Negara Republik Indonesia. Pluralistik dalam hal ini dapat
terlihat dari banyaknya warga masyarakat yang menganut suatu
kepercayaan atau agama dalam kehidupannya sehari-hari. d. Asas
Kenusantaraan17
Bahwa setiap materi muatan yang terdapat dalam Peraturan
perundangundangan (Undang-undang Kebebasan Beragama) senantiasa
memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan merupakan
bagian dari system hukum nasional yang berdasarkan pancasila. e.
Asas Bhineka Tunggal Ika Bahwa materi muatan yang terdapat dalam
Peraturan perundang-undangan (Undang-undang Kebebasan Beragama)
senantiasa memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, dan
golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang
menyangkut masalah-masalah sensitive dalam kehisupan bermasyarkat,
berbangsa dan bernegara. f. Asas Keadilan Materi muatan dalam
Peraturan perundang-undangan (Undang-undang Kebebasan Beragama) ini
memberikan keadilan secara proporsional bagi setiap Warga Negara
Indonesia tanpa kecuali. g. Asas kesamaan Kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam materi muatan
Peraturan perundang-undangan (Undang-undang Kebebasan Beragama)
tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasar latar
belakang agama, suku, ras, golongan, gender ataupun status social.
h. Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum Bahwa materi muatan
Peraturan perundang-undangan (Undang-undang Kebebasan Beragama) ini
harus dapat memberikan jaminan kepastian hukum sehingga menimbulkan
ketertiban dalam masyarakat.
3. Materi Pengaturan a. Peran Serta Masyarakat Kebebasan
beragama dalam masyarakat tidak akan dapat dicapai tanpa peran
serta masyarakat baik peran serta tersebut secara pasif maupun
secara aktif. Hal ini
18
disebabkan kebabasan beragama tersebut ditujukan agar tercapai
kerukunan antara umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara. b. Peran Pemerintah Dalam upaya mewujudkan
kebebasan beragama dalam kehidupan bermasyarakat, diperlukan adanya
suatu peran pemerintah. Peran tersebut anatara lain bahwa
pemerintah berkewajiban untuk memberikan jaminan kebebasan beragama
dan memelihara kerukunan umat beragama dengan mengacu pada empat
pilar kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dalam rangka membangun dan memelihara kerukunan
umat beragama sebagai tujuan kebebasan beragama, Pemerintah
mengarahkan pada dua kebijakan besar yaitu:1) Pemerintah berupaya
memberdayakan masyarakat pada umumnya dan
kelompok umat beragama serta pemuka agama untuk menyelesaikan
sendiri masalah umat beragama. 2) Pemerintah memberikan rambu-rambu
dalam pengelolaan kerukunan umat beragama baik yang dilakukan oleh
umat maupun Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Rambu-rambu tersebut
berupa peraturan perundangan yang mengatur lalu lintas kehidupan
warga negara yang berbeda kepentingan karena perbedaan agama.
Rambu-rambu tersebut disusun dengan tetap memperhatikan partisipasi
masyarakat, seperti dalam penyiapan draf Peraturan Bersama Menteri
(PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006/Nomor 8
Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemeliharaan Tugas Kepala
Sekolah/Wakil Beragama, Kepala Daerah dalam Forum Kerukunan Umat
Pemberdayaan
Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, melalui
beberapa kali pertemuan para wakil majelis agama sehingga hampir
seluruh naskah PBM merupakan hasil diskusi pemuka agama. Sejalan
dengan hal tersebut, Pemerintah melakukan langkah-langkah sebagai
berikut: 1) Pembentukan dan peningkatan efektivitas Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB). Hingga saat ini telah terbentuk FKUB di 33
provinsi di seluruh Indonesia, dan juga telah terbentuk di 421
kabupaten/kota di19
seluruh Indonesia. Sebagian FKUB itu telah banyak yang berperan
maksimal dalam pemeliharaan kerukunan, namun sebagian lainnya masih
berproses menuju optimalitas perannya. 2) Pengembangan sikap dan
perilaku keberagamaan yang inklusif dan toleran. Pengembangan sikap
dan perilaku seperti ini menjadi sangat penting di tengah isu
terorisme dan radikalisme belakangan ini. Badan Litbang dan Diklat
telah melakukan sejumlah penelitian dan lokakarya terkait upaya
deradikalisasi dan pengembangan budaya damai. 3) Penguatan
kapasitas masyarakat dalam menyampaikan dan mengartikulasikan
aspirasi-aspirasi keagamaan melalui cara-cara damai, serta
pengembangan pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM). 4) Peningkatan
dialog dan kerjasama intern dan antarumat beragama, dan pemerintah
dalam pemeliharaan "kerukunan umat beragama. Kementerian Agama
telah melaksanakan kegiatan "Dialog Pengembangan Wawasan
Multikultural Antara Pemuka Agama Pusat dan Daerah" sejak tahun
2003 hingga saat ini, dan sudah dilakukan di 26 provinsi dan
kabupaten/kota di seluruh Indonesia. 5) Peningkatan koordinasi
antar instansi/lembaga pemerintah dalam upaya penanganan konflik
terkait isu-isu keagamaan. Kementerian Agama senantiasa
berkoordinasi dalam berbagai isu keagamaan dan kerukunan yang
terjadi. 6) Pengembangan wawasan multikultur bagi guru-guru agama,
penyuluh agama, siswa, mahasiswa dan para pemuda calon pemimpin
agama. 7) Peningkatan peran Indonesia dalam dialog lintas agama di
dunia internasional. Pemerintah telah turut aktif bahkan menjadi
inisiator dalam berbagai kegiatan dialog lintas agama/keyakinan
(interfaith dialogue) antarnegara, baik tingkat regional,
bilateral, maupun internasional. 8) Penguatan peraturan
perundang-undangan terkait kehidupan keagamaan, seperti perlunya
penyusunan rancangan undang-undang tentang kerukunan umat beragama,
perlindungan dan kebebasan beragama. c. Hak, Kewajiban dan Larangan
masyarakat Tujuan Kebebasan beragama akan tercapai apabila dalam
hal ini didukung oleh masyarakat. Masyararakat dalam hal ini
mempunyai hak dan kewajiban serta
20
larangan untuk melakukan suatu perbuatan dalam kaitannya dengan
masalah kebebasan beragama ini. Hak masyarakat dalam permasalahan
kebebasan beragama ini adalah bahwa masyarakat berhak untuk
menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya
masing-masing tanpa ada gangguan atau intervensi dari pihak lain.
Di lain pihak masyarakat juga wajib untuk menghormati adanya agama
serta kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat. Selain hal
itu perlu ada suatu larangan-larangan misalnya larangan untuk
membandingkan ajaran agama sehingga terjadi perselisihan antara
agama yang dapat mengakibatkan tidak tercapainya kebebasan
beragama. Sehingga larangan ini digunakan untuk menjaga tercapainya
tujuan daripada kebebasan beragama. d. Kewenangan Pemerintah
Pemerintah dalam kaitannya dengan kebebasan beragama merupakan
salah satu unsur atau komponen untuk berjalan optimalnya kebebasan
beragama didalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena pemerintah
mempunyai kewenangan yang dapat dipaksakan pemberlakuannya.
Berkaitan dengan kewenangan pemerintah dalam kaitannya dengan
kebebasan beragama dapat di wujudkan dengan pembatasan-pembatasan
sebagai berikut :1) Restriction For The Protection of Public Safety
(Pembatasan untuk
Melindungi Keselamatan Masyarakat). Pembatasan kebebasan
memanifestasikan agama di publik dapat dilakukan pemerintah seperti
pada prosesi keagamaan, upacara kematian dalam rangka melindungi
kebebasan individu2) Restriction For The Protection of Public Order
(Pembatasan untuk
Melindungi Ketertiban Masyarakat). Pembatasan kebebasan
memanifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban
umum/masyarkat, antara lain keharusan mendaftar badan hukum
organisasi keagamaan masyarakat, mendapatkan ijin untuk melakukan
rapat umum, mendirikan tempat ibadat yang diperuntukan umum.
Pembatasan kebebasan menjalankan agama bagi nara pidana.3)
Restriction For The Protection of Public Health (Pembatasan
untuk
Melindungi Kesehatan Masyarakat). Pembatasan yang diijinkan
berkaitan dengan kesehatan public.
21
4) Restriction For The Protection of Morals (Pembatasan untuk
Melindungi
Moral Masyarakat). Pembatasan dapat dilakukan pemerintah, bahkan
untuk binatang tertentu yang dilindungi oleh Undang-Undang untuk
tidak disembelih guna kelengkapan ritual aliran agama tertentu. 5)
Restriction For The Protection of The (Fundamental) Rights and
Freedom of Others (Pembatasan untuk Melindungi Kebebasan Mendasar
dan Kebebasan orang lain). a) Proselytism (Penyebaran Agama) Dengan
adanya hukuman terhadap tindakan Proselytism, pemerintah mencampuri
kebebasan seseorang di dalam memanifestasikan agama mereka melalui
aktivitas-aktivitas misionaris di dalam rangka melindungi agar
kebebasan beragama orang lain untuk tidak dikonversikan. b)
Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau
kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang lain,
khususnya hak untuk hidup, kebebasan, integritas phisik dari
kekerasan, pribadi, perkimpoian, kepemilikan, kesehatan,
pendidikan, persamaan, melarang perbudakan, kekejaman dan juga
hak-hak kaum minoritas. e. Pendirian Tempat Ibadah Dalam konteks
kebebasan beragama sebagai HAM, khususnya Hak Sipil dan Politik,
pendirian tempat ibadat merupakan bagian kebebasan baik
sendiri-sendiri maupun bersama-samadalam ruang public maupun privat
untuk memanifestasikan agama dan keyakinannya. Bagaimanapun, rumah
ibadat tidaklah semata-mata untuk keperluan ibadat ritual saja,
tetapi juga untuk melakukan aktivitas social yang dianggap senafas
dengan pemahaman agama itu sendiri. Jadi, sekali lagi, dalam
konteks ini, saya kira masalah pendirian rumah ibadat dipandang
sebagai persoalan HAM karena termasuk wahana memanifestasikan agama
dan keyakinan. Namun, secara factual juga harus dipahami bahwa
pendirian tempat ibadat tidaklah berada dalam ruang kosong. Ia
harus menjadi bagian dari sebuah komunitas sosial yang
kadang-kadang tidak identik dengan pemeluknya, tetapi lebih luas
lagi, ia berada dalam tatanan ruang social dan psikologis sekaligus
karena22
menyangkut hajat hidup orang banyak. Sehubungan dengan ini
penulis menganggap tepat ketentuan yang mensyaratkan adanya
dukungan sosiologis untuk pendirian tempat ibadat. Inilah gambaran
khas kultur Indonesia: HAM tidaklah mengejawantah dalam hak asasi
yang sifatnya mutlak tetapi harus berpadu dengan kewajiban asasi
untuk menjaga harmoni social dan ketertiban umum. Tak terelakkan,
maka sebagai pelaksanaan HAM, pendirian rumah ibadat tunduk
ketentuan Pasal 28J UUD 1945 yang selengkapnya dikutip sebagai
berikut: (1). Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia
orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. (2). Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis. Syarat pendirian tempat ibadah ditinjau dari
segi sosiologis kemasyarakatan: 1) Didasarkan kepada keperluan
nyata dan sungguh-sungguh
berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat
beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa; 2) Dilakukan
dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama,
tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta
mematuhi peraturan perundang-undangan; 3) Jika syarat keperluan
nyata bagi pelayanan umat beragama di
wilayah kelurahan/desa tidak dipenuhi, maka didasarkan kepada
pertimbangan komposisi jumlah penduduk pada batas wilayah kecamatan
atau kabupaten/kota atau provinsi. Berkaitan dengan perizinan, izin
pendirian rumah ibadat. Untuk dapat memperoleh izin tersebut,
pemohon harus mengajukan permohonan dengan memenuhi berbagai
persyaratan. Instansi yang menangani permohonan akan melihat
berbagai persyaratan yang ada, termasuk rekomendasi dari instansi
terkait. Pemerintah mengarahkan aktivitas membangun rumah ibadat
dengan23
menyesuaikannya dengan tata ruang dan sama sekali tidak memasuki
wilayah aktivitas keagamaan. Ini dilakukan dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis sesuai ketentuan
Pasal 28J UUD 1945. Inilah prinsip umum dan motif yuridis
dibutuhkannya izin pendirian rumah ibadat. f. Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum dalam hal ni ditujukan untuk memberikan
perlindungan terhadap masyarakat yang agama atau kepercayaannya
telah merasa terganggu dengan tindakan seseorang atau pihak lain.
Hal ini di sebabkan dalam kemajemukan masyarakat Indonesia banyak
terjadi perbedaan pendapat maupun pandangan terhadap agama atau
kepercayaan suatu masyarakat yang mengakibatkan timbulnya
perselisihan atau konflik berkepanjangan antar umat beragama. Oleh
karena itu perlu adanya suat mekanisme yang memberikan perlindungan
kepada masyarakat ketika terdapat gangguan baik pada saat
melaksanakan kegiatan keagamaan maupun dalam kehidupan beragama
dalam masyarakat. 4. Ketentuan Sanksi Menurut Prof. Moeljatno,
Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk: 1)
menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana
tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 2)
menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi
pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3) Menentukan dengan cara
bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut. Sedangkan menurut Simons, kelakuan yang diancam
dengan pidana, yakni yang bersifat melawan hukum yang berhubungan
dengan kesalahan & dilakukan oleh orang24
yang mampu bertanggung jawab. Pada prinsipnya tentang sanksi
pidana adalah Peraturan yang mengatur perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang Kebebasan Beragama dan berakibat
diterapkannya hukuman (Akibat Hukum) bagi barang siapa yang
melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan
dalam undang-undang Kebebasan Beragama. Kejahatan yang dapat
dikategorikan sebagai perbuatan pidana dalam Rancangan
Undang-undang Kebebasan Beragama sehingga menimbulkan sanksi pidana
adalah sebagai berikut : a. Perbuatan merusak tempat ibadah
keagamaan. b. Perbuatan yang mengakibatkan tidak bebasnya
pelaksanaan keagamaan di masyarakat. c. Perbuatan menghasut
seseoranga atau sekempok orang untuk keluar dari agama dan masuk ke
dalam agama atau kepercayaan orang yang menghasut tersebut. d.
Perbuatan menyebarkan agama yang mengganngu kebebasan masyarakat
pemeluk agama dan kepercayaan selain masyarakat pemeluk agama yang
disebarkan. Subyek hukum dalam tindak pidana di atas tersebut
meliputi subyek hukum orang (natuurlijk person) maupun badan hukum
(recht person). 5. Ketentuan Peralihan Bahwa ketentuan yang
terdapat dalam Rancangan Undang-undang Kebebasan Beragama ini tidak
berlaku surut artinya terhadap suatu peristiwa yang telah terjadi
sebelum adanya undang-undang ini tidak dapat ketentuan sebagaimana
yang terdapat dalam undang-undang ini. 6. Ketentuan Penutup
Pemilihan nama untuk dari RUU ini adalah UU Kebebasan Beragama
(nama singkat). Di mana UU ini akan berlaku pada tanggal
diundangkan dan agar setiap orang mengetahuinya maka memerintahkan
pengundangan UU ini dengan dalam Lembaga Negara Republik Indonesia.
menempatan
25
Pelaksanaan (Rancangan) Undang-undang Kebebasan Beragama dalam
hal ini merupakan ketentuan yang berlaku khusus atau (lex
specialis) mengesampingkan ketentuan yang bersifat umum. Sehingga
dalam ada benturan hukum dalam pengaturan mengenai hal yang sama
maka (Rancangan) Undang-undang Kebebasan beragama ini berlaku
secara khusus dari ketentuan yang umum apabila, konflik aturan
hukum tersebut terjadi antara (Rancangan) Undang-undang Kebebasan
Beragama ini dengan peraturan perundang-undangan yang sejenis yaitu
Undang-undang. Demi menjamin pelaksanaan (Rancangan) Kebebasan
Beragama maka segala sesuatu yang belum ada pengaturannya secara
jelas akan dijelaskan dalam peraturan pemerintah. Hal ini sesuai
dengan hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang
terdapat dalam pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004
yang bunyinya sebagai berikut: Jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan adalah sebagai berikut : 1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3) Peraturan Pemerintah; 4)
Peraturan Presiden;5) Peraturan Daerah.
26
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Rangkuman Pokok Isi Naskah Akademik :a. Dalam
kaitannya dengan keinginan pembentukan yang kuat demi
mewujudkan
pembentukan Undang-Undang Kebebasan Beragama ini, menunjukkan
adanya suatu kesadaran serta komitmen untuk menempatkan dan
memfokuskan bahwa Kebebasan Beragama sebagai bagian dari Hak Asasi
yang dimiliki oleh setiap individu.b. Pembentukan Undang-Undang
Kebebasan Beragama ini sangatlah penting,
adapaun penilaian keberadaannya yaitu:1)
Landasan Filosofis
:
Indonesia saat ini memiliki 33 propinsi, lima diantaranya
berstatus sebagai Daerah Khusus atau Daerah Istimewa. Ada lebih
dari 17.504 pulau dari Sabang sampai Merauke. Termasuk pulau-pulau
yang berada di daerah perbatasan dengan segala bentuk
ketertinggalannya dalam gerak pembangunan fisik. Ada kurang lebih
746 suku dengan budaya serta 583 ragam bahasa dan dialegnya
masing-masing. Berdasarkan hal tersebut maka Indonesia terkenal
dengan semboyannya yang berbunyi Bhineka Tunggal Ika yang memiliki
arti walaupun berbeda-akan tetapi tetap satu jua. Semboyan
Indonesia tersebut menunjukan pluralism masyarakat Indonesia.
Pluralisme masyarakat Indonesia tersebut dapat didasarkan pada
Suku, Ras, Adat, Wilayah maupun dasar pembeda lainnya. Adanya
masyarakat yang pluralism juga tentunya mempengaruhi suatu
masyarakat dalam menganut atau memeluk suatu keyakinan atau
kepercayaan yang dalam hal ini lebih dikenal dengan Agama. Dasar
pengaturan kehidupan beragama di Indonesia terdapat dalam Pancasila
yang terdapat dalam pasal 1 yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sila Pertama pancasila tersebut dapat di terjemahkan atau
ditafsirkan sebagai berikut :27
a. Mengandung arti pengakuan adanya kuasa prima (sebab pertama)
yaitu Tuhan yang Maha Esa b. Menjamin penduduk untuk memeluk agama
masing-masing dan beribadah menurut agamanya. c. Tidak memaksa
warga negara untuk beragama. d. Menjamin berkembang dan tumbuh
suburrnya kehidupan beragama. e. Bertoleransi dalam beragama, dalam
hal ini toleransi ditekankan dalam beribadah menurut agamanya
masing-masing. f. Negara memberi fasilitator bagi tumbuh kembangnya
agama dan iman warga negara dan mediator ketika terjadi konflik
agama. Sehingga dengan berdasarkan pada penjelasan sila pertama
pancasila tersebut maka pada dasarnya di Indonesia menjamin warga
negaranya untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut
agamanya tanpa adanya unsur paksaan. Dasar yang mengatur kehidupan
beragama di Indonesia yang lain adalah Undang-undang Dasar 1945,
dimana dalam pembukaan UUD tersebut juga telah dijelaskan bahwa
Kedaulatan Rakyat berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang pada
dasarnya menghendaki kehidupan masyarakat dengan berdsarkan pada
Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga dengan demikian maka dapat
diketahui bahwa dasar kehidupan beragama di Indonesia dapat
didasarkan pada Pancasila Sila Pertama dan Pembukaan Undang-undang
Dasar 1945 yang terdapat dalam alinea keempat. 2) Landasan Yuridis
Peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan yuridis yang
berkaitan dengan judul Naskah Akademis adalah sebagai berikut : a.
Undang-undang Dasar 1945
Pasal 28 E ayat (1) dan (2)28
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali. **) (2) Setiap orang
atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya. **)
Pasal 29 ayat (1) dan (2) (1) Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu. b. Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 18 Setiap orang berhak atas
kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama; hak ini meliputi
kebebasan untuk mengubah agama atau keyakinannya, serta kebebasan
secara pribadi atau bersama-sama dengan orang-orang lain dan secara
terbuka atau pribadi, untuk menjalankan agama atau keyakinannya
dalam pengajaran, praktek, ibadah dan ketaaatan. c.Penetapan
Presiden Nomor 1 Tahun 1965 3) Landasan Sosiologis Landasan
sosiologis yang mendorong perlu dibuatnya Naskah Akademik adalah
banyaknya konflik atau permasalahan yagn terjadi berkaitan dengan
kebebasann beragama di Indonesia. Kasus Kerusuhan atau konflik yang
terkait dengan agama misalnya yang terjadi di Poso dan Ambon,
demikian pula kasus kerusuhan agama yang terjadi di Banjarmasin
1997, Kasus konflik etnis dan agama di Kalimantan Barat, tahun
1996, Kerusuhan di29
Mataram 2000, Kasus kerusuhan Kupang 1998. Kasus konflik antar
agama juga terjadi akhir-akhir ini yaitu mengenai pengrusakan
Gereja HKBP di Bekasi dan yang paling menarik perhatian massa
adalah Konflik agama terkait dengan Ahmadiyah. Berdasarkan kondisi
sosiologis diatas maka diperlukan suatu regulasi atau peraturan
yang mengatur mengenai kebebasan beragama dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia. 2. Materi Pengaturan Tujuan pembentukan
peraturan perundang-undangan ini adalah untuk mewujudkan kehidupan
beragama yang bebas artinya setiap warga Negara mempunyai hak untuk
memeluk agama dan menjalankan ibadah menurut agama dan
kepercayaannya masingmasing. Sehingga tercipta kerukunan antar umat
beragama dalam kehidupan beragama di masyarakat. Untuk dapat
terwujudnya kerukunan antar umat beragama maka diadakan beberapa
pengaturan terkait kebebasan beragama yang pada dasarnya menjamin
Hak Individu untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan
kepercayaannya masingmasing sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka diadakan pengaturan-pengaturan
yang antara lain memuat tentang : a. Peran Serta Masyarakat tekait
Kebebasan Beragama. b. Peran Pemerintah terkait Kebebasan Beragama.
c. Hak, Kewajiban dan Larangan yang ditujukan pada masyarakat dalam
kaitannya dengan kebebasan beragama. d. Kewenangan Pemerintah
terkait dengan Kebebasan Beragama. e. Pendirian tempat ibadah. f.
Perlindungan Hukum terhadap korban dari setiap tindakan yang
mengakibatkan atau mengurangi kebebasan beragama di masyarakat. B.
Saran30
1. Nakah Akademik tentang Undang-undang Kebebasan Beragama ini
setelah dibentuk dalam sebuah Undang-Undang sebaiknya dibentuk pula
peraturan pelaksana. Peraturan pelaksana ini dibentuk sebagai
tindak lanjut untuk melaksanakan Undang-Undang yang telah dibentuk.
Dengan dibentuknya peraturan pelaksana diharapkan undang-undang ini
dapat berjalan dengan optimal dan maksimal serta efektif berlaku
didalam masyarkat. 2. Rekomendasi Daerah. Adapun beberapa
rekomendasi yang harus dilaksanakan dan harus ada dalam RUU
Kebebasan beragama yakni Perlindungan Hukum terhadap korban dari
setiap tindakan yang mengakibatkan atau mengurangi kebebasan
beragama di masyarakat. Dalam hal ini perlu ada mekanisme bagaimana
tata cara untuk mempertahankan hak seseorang karena hak kebebasan
agama tersebut telah dilanggar oleh pihak lain. Hal lain yang tidak
kalah penting adalah apakah perlindungan hukum ini dilakukan
melalui jalur litigasi ataupun jalur non litigasi. Sehingga
diperlukan suatu Bab khusus yang mengatursecara rinci mekanisme
perlindungan hukum ini. Sehingga RUU tentang Kebebasan Beragama
ini, dalam penyusunannya lebih memprioritaskan dalam program
legislasi nasional. Di mana pada Bagian Pertama terdiri dari Sampul
Depan/Cover, Kata Pengantar, Daftar Isi. Bagian Kedua terdiri dari
5 bab yakni pada Bab 1 Pendahuluan (Latar Belakang, Pokok-pokok
permasalahan, Dasar Pemikiran perlunya peraturan perundang-undangan
, Tujuan dan Sasaran pengaturan, Metode/Pendekatan Penulisan
(deskriptif analitis). Bab 2 Teori dan Analisis Fakta: menguraikan
berbagai teori, gagasan-gagasan, dan konsepsi dari materi hukum
yang ditinjau dari berbagai aspek atau bidang kehidupan yang
terkait dengan peraturan perundang-undangan yang akan dibuat, yang
berasal dari hasil penelitian atau observasi, baik yang bersifat
empiris maupun normatif. Bab 3 Analisis dan Evaluasi Peraturan
Perundang-undangan: menguraikan asas-asas hukum yang akan dimuat
dalam perumusan materi muatan Rancangan Peraturan
Perundang-undangan disertai dengan analisis dan evaluasi peraturan
perundang-undangan terkait yang disajikan dalam bentuk uraian yang
sistematis yang ditinjau secara sistemik holistik. Bab 4 Ruang
Lingkup Pengaturan Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Perundangundangan terdiri dari Ketentuan Umum, Materi Pokok yang
akan diatur, Ketentuan31
tentang
skala
prioritas
penyusunan
Rancangan
Undang-
Undang/Rancangan Perda dalam Program Legislasi Nasional/Program
Legislasi
Sanksi (jika diperlukan), Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)
dan Ketentuan penutup. Dan Bab 5 Penutup yang menguraikan tentang
saran/rekomendasi.3. Kegiatan-kegiatan lain yang diperlukan untuk
mendukung penyempurnaan penyusunan
naskah akedemik lanjut adalah mendapatkan materi muatan yang
dapat mencerminkan aspirasi masyarakat dengan cara - cara langkah
yang segera harus dilakukan :a. Melakukan sosialisasi gagasan
melalui media cetak dan atau elektronik kepada
masyarakat luas tentang rancangan undang undang Kebebasan
Beragama.b. Menjaring masukan dari masyarakat terhadap Usulan
Rancangan undang
undang Kebebasan Beragama guna penyempurnaan materi muatan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Maria Farida Indrati. 2007. Ilmu Perundang-undangan. Yogyakarta
: Kanisius. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004
tentang
2. 3.
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.4.
Permenkumham Negara Republik Indonesia Nomor M.HH-01.PP.01.01
Tahun
2008 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan
Peraturan Perundang-undangan. 5. Undang-undang Negara Republik
Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia.
32
6.
http://mediakeberagaman.com/PENDIRIAN%20RUMAH%20IBADAT
diakases
%20DALAM%20PERSPEKTIF%20HAK%20ASASI%20MANUSIA.pdf, pada tanggal
25 Maret 2011.7.
http://dewon.wordpress.com/2007/11/04/kategori-20/, diakses pada
tanggal 25
Maret 2011.8.
http://www.komisikepolisianindonesia.com/main.php?page=artikle&id=3435,
diakses pada tanggal 25 Maret 2011.9.
http://khazanna032.wordpress.com/2009/07/16/makna-sila-sila-pancasila/,
diakses pada tanggal 25 Maret 2011.
33