KONSEP KELUARGA DAN KEBEBASAN BERAGAMA DALAM MASYARAKAT MADRAIS (Studi Kasus pada Masyarakat Kelurahan Cigugur Kabupaten Kuningan) Skripsi Diajukan untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Rita Hardianti NIM. 1110032100015 PROGRAM STUDI STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1413 H/2017 H
94
Embed
KONSEP KELUARGA DAN KEBEBASAN BERAGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36516/1/RITA... · i KONSEP KELUARGA DAN KEBEBASAN BERAGAMA DALAM MASYARAKAT MADRAIS
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
KONSEP KELUARGA DAN KEBEBASAN BERAGAMA
DALAM MASYARAKAT MADRAIS
(Studi Kasus pada Masyarakat Kelurahan Cigugur Kabupaten Kuningan)
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Agama (S.Ag)
Oleh:
Rita Hardianti
NIM. 1110032100015
PROGRAM STUDI
STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1413 H/2017 H
ii
iii
iv
v
Motto
Berangkat dengan penuh keyakinan,
Berjalan dengan penuh keikhlasan,
Konsisten dalam dalam kebaikan, dan ikhlas menjalani
kehidupan.
Jadilah seperti Gunung Ciremai yang tinggi menjulang
namun tak pernah pongah, yang memberi manfaat bagi orang
lain. Karena itu, Jadilah orang yang diperhitungkan dan
bermanfaat bagi orang lain.
vi
ABSTRAKSI
Rita Hardianti
KONSEP KELUARGA DAN KEBEBASAN BERAGAMA DALAM
MASYARAKAT MADRAIS
(Studi Kasus pada Masyarakat Kelurahan Cigugur Kabupaten Kuningan)
Pesatnya perkembangan teknologi informasi terutama media sosial tak dapat
dipungkiri telah melahirkan perubahan besar hampir di semua sisi kehidupan,
termasuk kehidupan sosial dan keagamaan. Terutama dengan munculnya media
sosial, telah membuat perubahan sosial dapat dilakukan dengan cepat. Sayangnya,
tidak semua yang berkembang melalui internet dan sosial media bisa cocok dan
diterima dengan baik. Karena internet dan media sosial ternyata juga memilik i
wajah gandanya (jenus faced), yang selain membawa dampak baik, juga membawa
dampak yang buruk terhadap perubahan sosial.
Institusi keluarga sebagai insistusi sosial terendah dan seharusnya yang paling
kuat dalam menopang solidaritas, kebhinekaan dan toleransi kemudian berada pada
persimpangan jalan ketika menghadapi perubahan sosial yang terjadi saat ini.
Institusi keluarga tak lagi memegang peran penting dalam mengajarkan pentingnya
toleransi, keberagaman dan kerukunan, sehingga mengancam kebebasan beragama
dalam institusi sosial yang lebih luas.
Di tengah kondisi sosial yang sangat mengkhawatirkan tersebut, penting
kiranya untuk belajar bagaimana kemudian sebuah masyarakat di kaki Gunung
Ciremai, Kelurahan Cigugur ternyata mampu memertahankan kearifan lokalnya.
Mereka tidak larut dalam arus perubahan yang begitu deras, dan berhasil
menjinakkan kehidupan sosialnya.
Masyarakat Kelurahan Cigugur, yang kemudian dalam penelitian ini disebut
sebagai Masyarakat Madrais penulis lihat mampu menjaga keyakinannya tentang
harmoni atau keseimbangan menjalankan kehidupan, lebih jauh lagi memahami
konsep keluarga dan kebebasan beragama. Ajaran kepercayaan dan penghayatan
kepada Tuhan Yang Maha Esa mereka jadikan sebagai pendorong, penggerak dan
pengontrol bagi tindakan para pemeluknya untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-
nilai kebudayaan dan ajarannya. Dan yang terpenting dari apa yang diyakini oleh
masyarakat Madrais adalah bahwa pola interaksi penganut kepercayaan dan
penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan warga sekitar harus terjalin
dengan baik, sehingga saling menghargai, menghormati, toleransi dan kerukunan
antar umat beragama terjalin dengan baik.
vii
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. yang telah memberikan
rahmat dan hidayahnya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesa ikan
skripsi ini. Shalawat dan salam penulis panjatkan kepada junjungan kita yakni Nabi
Muhammad saw., keluarga, sahabat dan para pengikutnya yag senantiasa berkorban
menyebarkan dakwah kepada seluruh umat.
Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata
1 (S.1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Membahas
dan menyusun skripsi ini bukan hal yang mudah, dibutuhkan semangat,
kesungguhan dan kerja keras serta keikhlasan dalam menjalani setiap rintangannya.
Di samping itu penulis juga banyak mendapatkan motivasi, petunjuk dan
bimbingannya dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung
sehingga penyelesaian skripsi ini dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai
dengan apa yang diharapkan. Dengan penuh hormat penulis menyampaikan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ushuludd in
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Media Zainul Bahri, M.A., Selaku Ketua Prodi Studi Agama-
Agama.
viii
3. Ibu Dra. Halimah Mahmudy, MA. Selaku Sekretaris Jurusan Studi Agama-
Agama yang sudah banyak membantu penulis dalam mengurus semua
keperluan skripsi sampai selesai.
4. Ibu Dra. Hermawati, MA. selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa
meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan serta
koreksi yang sangat berarti dalam kelancaran penulisan skripsi ini dan
dengan sabar memberikan masukan berupa pikiran, kritikan maupun saran
yang sangat baik, serta dorongan dan membantu menyelesaikan masalah
penulisan dalam menyusun skripsi.
5. Para dosen yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, semoga ilmu
yang diberikan bermanfaat serta menjadi berkah bagi penulis, serta para
pimpinan dan staf perpustakaan utama maupun perpustakaan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Penulis haturkan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada kedua
orangtua, Ibunda tercinta yang telah mendidik penulis dengan kasih sayang
yang tulus, yang saat itu masih bisa menemani penulis saat penelit ian.
Namun takdir berkehendak lain, ibunda pergi lebih cepat sebelum penelit ian
ini rampung. Semoga ibunda ditempatkan di tempat yang paling mulia di
sisi-Nya. Alluhmmagfirlaha Warhamha Wa afiha Wa’fuanha. Untuk
Ayahanda tercinta, penulis haturkan terimakasih untuk kasih sayangnya
yang diberikan kepada penulis, terimkasih telah mengajarkan arti
kemandirian hidup.
ix
7. Untuk keluarga kecilku; suami dan anakku tersayang, Maruf Muttaqien dan
Adeeva Martha Yara terima kasih sudah menjadi teman hidup penulis dan
memberikan motivasi dan perhatian yang tulus kepada penulis. Terimakas ih
atas kesabarannya dalam memberikan dukungan dan semangat buat penulis.
8. Kakak dan adikku tersayang Rini Setiani dan Rian Hardiana terima kasih
do’a dan dukungannya, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini,
serta semua keluarga besar yang ada di Bogor dan Kuningan. Terimakas ih
atas do’a dan dukungannya selama ini.
9. Teman–teman IMM Cabang Ciputat, terimakasih atas dukungan dan
kebersamaan semasa menjalankan roda organisasi.
10. Teman – teman seperjuangan Studi Agama–Agama Angkatan 2010, yang
telah menjalani waktu bersama selama di bangku perkuliahan. Terutama
untuk sahabatku; Elita Karlina, Fatma Utami Zauharoh, Ita Siti Nurhalimah,
dan Haikal Rahmatullah.
11. Penulis juga haturkan terima kasih kepada Direksi TVMU, Ibu Retno
A. Pengertian dan Konsep Keluarga ....................................................
B. Fungsi Keluarga Dalam Masyarakat ...............................................
C. Keluarga Menurut Pandangan Masyarakat Madrais .......................
D. Landasan Berkeluarga dalam Pikukuh Tilu ....................................
E. Seren Taun dan Peran Perempuan dalam Keluarga ........................
18
25
30
36
41
BAB III KEBEBASAN BERAGAMA ..................................................... 45
A. Pengertian Kebebasan Beragama ...................................................
B. Landasan Kebebasan Beragama .....................................................
45
48
xii
C. Perkembangan Kebebasan Beragama dalam Masyarakat Madrais 54
BAB IV ANALISA HUBUNGAN KONSEP KELUARGA DAN
KEBEBASAN BERAGAMA DALAM MASYARAKAT MADRAIS ..
60
A. Cigugur Sebagai Miniatur Pluralisme .............................................
B. Analisis Hubungan Konsep Keluarga dan Kebebasan Beragama ..
60
66
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 76
A. Kesimpulan ......................................................................................
B. Saran ............................................................................................... ..
76
78
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Derasnya arus modernisasi terkadang membuat kita larut dalam mimpi
tentang kemajuan masa depan yang lebih baik dan sejahtera. Menghadirkan
harapan baru lalu sejenak menghapus noda “ketertinggalan zaman”. Mimpi
tersebut juga terkadang membutakan mata, mengadopsi apa pun dari hasil
modernisasi tanpa memberikan catatan kritis.
Padahal, selain menghadirkan harapan kemajuan, dunia baru juga seringka li
menimbulkan ancaman krisis. Inilah yang disebut dengan janus face, atau wajah
ganda dunia baru yang dilahirkan oleh kemajuan teknologi informasi. Ini karena
di balik kekaguman dan terfasilitasinya kebutuhan manusia oleh teknologi
informasi dan komunikasi, tersimpan potensi ekstrem yang berbahaya.1Keluarga
sebagai institusi terendah dalam relasi sosial, merupakan yang paling
mengkhawatirkan di era ini. Terutama soal seksualitas, reproduksi dan
perkawinan. Dalam perjalanan selanjutnya, persoalan di level terendah dalam
relasi sosial ini lalu berakibat panjang pada kebebasan beragama.2
1Muhamad Sulhan, Kutukan “Janus” bagi Media di Indonesia: Mencoba Membaca Fenomena
Pasca Demo 411 Jakarta, (Tempo: 14-20 November, 2016). 2Anthony Giddens, Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita,
(Jakarta: Gramedia Pustaka, 2001), h. 52-53.
2
Belum lagi dengan sejumlah fenomena di seputar dunia teknologi informas i
dan komunikasi yang ternyata ikut mengubah tatanan kehidupan kita. Mulai dari
fenomena jejaring sosial, yang sedikit banyak telah mengubah model hubungan
sosial masyarakat kita, hingga pesatnya perkembangan aplikasi dan alat
komunikasi, yang selain merangsang hasrat kepemilikan atasnya, juga
melemahkan solidaritas sosial masyarakat.
Dalam perkembangan terakhir, pesatnya perkembangan dunia baru terutama
media sosial telah berhasil membuat sekat-sekat perbedaan menjadi rapuh.
Kebhinekaan yang selama ini terjaga selama puluhan tahun, malah mulai
tercerai-berai,Meningkatnya konflik baik di media sosial maupun dunia nyata,
telah merusak tatanan masyarakat, melemahkan solidaritas sosial, dan
mengabaikan arti penting kebebasan serta kerukunan beragama.
Sekilas, memang terasa tidak ada kaitan antara konsep keluarga dan
kebebasan beragama dalam kehidupan sosial kita. Padahal, keduanya saling
terkait satu sama lain. Agama selama ratusan tahun telah menjadi sponsor utama
dalam mempertahankan apa yang di atas tadi penulis sebut sebagai nilai-nila i
institusi sebuah keluarga. Baik terkait seksualitas, reproduksi, perkawinan dan
termasuk cara keberagamaan yang diajarkan dalam keluarga. Awalnya nilai-
nilai institusi keluarga tersebut terpelihara dengan baik, namun belakangan sejak
revolusi internet dan terutama perkembangan media sosial yang kian tak
terbendung secara perlahan melemah. Seperti kuda liar yang dikekang di istalnya
dalam waktu yang cukup lama, lalu ketika gerbang istal itu terbuka, maka kuda-
kuda itu pun segera berhamburan menuju padang savana.
3
Institusi keluarga di era modern dapat kita saksikan hampir telah kehilangan
semua nilai-nilainya tersebut, semakin hari ia semakin rapuh. Terkait kebebasan
beragama, hilangnya peran seksualitas dan reproduksi dalam institusi keluarga
ternyata juga diikuti oleh hilangnya peran keluarga dalam mengajarkan
pentingnya toleransi, kerukunan, dan kebebasan beragama. Secara formal, era
modern memang telah banyak mengubah kehidupan masyarakat secara posit if,
namun di sisi lain kemajuan teknologi ternyata gagal menghadirkan sikap
toleransi kosmopolitan dalam menghadapi fundamentalisme, baik agama
maupun pasar (neoliberalism).
Fundamentalisme tidak mampu menyediakan ruang dialog untuk melewati
tahapan ini. Doktrin agama yang kita kenal tentang perilaku sosial masyarakat
lebih sering dikaitkan secara historis dengan sejarah masa silam, dibandingkan
alasan lain yang lebih rasional, yang memberikan solusi lain yang lebih mungkin
diterima masayarakat modern. Pada akhirnya, kehidupan sosial kita tidak
mampu dijinakan, dan malah lepas kendali (run a way).3
Sepertinya, memang tidak ada cara lain untuk menjinakkan kehidupan sosial
kita saat ini. Karena seperti apa yang diungkapkan oleh para psikolog Jungian,
yang membaca kesalahan besar Michel Fouchalt dan Sigmund Freud ketika
menyimpulkan psikopatologi masyarakat modern. Yaitu tidak adanya diskusi
lebih lanjut tentang cinta dan romantisme atau apa yang kita kenal dengan
harmony (keseimbangan) dalam masyarakat demokratis.4
3Giddens, Runaway World, h. 49. 4Hisyam A. Fachri, Tarot Psikologi: Menemukan Jati Diri, Konseling, dan Hipnosis Terapan
(Jakarta: Gagas Media, 2010), h. 24.
4
Oleh karena itu, penting kiranya kita belajar dari Masyarakat Madrais yang
dalam studi ini akan secara khusus penulis teliti terkait keyakinan tentang
harmoni atau keseimbangan menjalankan kehidupan, lebih jauh lagi memahami
konsep keluarga dan kebebasan beragama. Madrais, sebutan untuk masyarakat
yang terletak di Kelurahan Cigugur Kabupaten Kuningan ini, bersandar pada
pendirinya yakni Madrais atau Pangeran Sadewa Alibasa yang melahirkan dan
menggerakkan kepercayaan dan penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena tidak mendapat kepuasan baik dari ajaran Islam yang diberikan
kepadanya maupun dari ajaran Ngelmu Cirebon yang diterimanya. Kepercayaan
dan penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang didirikan oleh Madrais
mendasarkan pada sistem keyakinan yangmenggunakan landasan keyakinan
yang menjadi lawan dari hukum-hukum alamiah. Ajaran kepercayaan dan
penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa juga dijadikan sebagai pendorong,
penggerak dan pengontrol bagi tindakan para pemeluknya untuk tetap berjalan
sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajarannya.
Dan yang terpenting dari apa yang diyakini oleh Masyarakat Madrais adalah
bahwa pola interaksi penganut kepercayaan dan penghayatan kepada Tuhan
Yang Maha Esa dengan warga sekitar harus terjalin dengan baik, sehingga saling
menghargai, menghormati, toleransi dan kerukunan antar umat beragama terjalin
dengan baik. Di samping itu, gotong-royong, bantu-membantu, atau
bekerjasama dalam segala aktivitas dan kegiatan sosial juga terjalin dengan baik
5
diwarnai dengan kehidupan yang harmonis dan bisa berkembang sampai
sekarang.5
Satu hal yang menarik dari apa yang diyakini dan dipraktikkan dalam
Masyarakat Madrais adalah bahwa keluarga dalam Masyarakat Madrais
memberi kebebasan kepada anggotanya untuk menganut agama yang berbeda.
Inilah bentuk kebebasan beragama yang ingin penulis telusuri. Dan oleh karena
itu penulis memberi judul penelitian skripsi ini dengan “Konsep Keluarga dan
Kebebasan Beragama Masyarakat Madrais: (Studi Kasus Masyarakat
Kelurahan Cigugur Kabupaten Kuningan).”
B. Rumusan Masalah
Agar tidak menjadi sebuah masalah yang rumit, penulis membatasi
permasalahan yang diteliti dalam field reaserch ini, yaitu bagaimana hubungan
konsep keluarga dengan kebebasan beragama dalam Masyarakat Madrais.
Adapun rumusan masalahnya adalah: Bagaimana hubungan konsep keluarga dan
kebebasan beragama dalam Masyarakat Madrais?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan konsep
keluarga dan kebebasan beragama serta upaya-upaya dalam mempertahankan
5Lihat Nuhrison M Nuh, Paham Madrais/Adat Karuhun Urang (AKUR) di Cigugur Kuningan:
Studi tentang Ajaran dan Pelayanan Hak -Hak Sipil, Jurnal Harmoni Volume x, Nomor 3, Juli-
September 2011.
6
identitasnya serta respon masyarakat di Kelurahan Cigugur, Kabupaten
Kuningan.
D. Kegunaan Penelitian
1. Bagi Pengembangan Ilmu
Kebebasan beragama di dalam keluarga Masyarakat Madrais telah
menimbulkan kerukunan dalam masyarakat penganut kepercayaan Madrais.
Antara satu sama lain saling berdampingan dalam masyarakat yang harmonis
dan saling kerjasama. Dalam hal ini penulis berusaha ingin membahas tentang
bagaimana konsep keluarga dengan kebebasan beragama yang ada pada
kepercayaan Masyarakat Madrais.
2. Bagi Masyarakat
Studi ini dapat membantu masyarakat untuk menanamkan arti penting
kebebasan beragama dalam level institusi sosial terendah atau keluarga.
Sehingga pengarusutamaan (mainstreaming) kebebasan beragama dalam
kehidupan masyarakat dapat berjalan lebih efektif.
E. Tinjauan Pustaka
Sejumlah penelitian ilmiah terkait Masyarakat Madrais memang telah
dilakukan beberapa peneliti di sejumlah lembaga maupun Universitas. Hanya
saja yang fokus pada konsep keluarga dan kebebasan beragama belum ada.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan misalnya:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Nuhrison M Nuh, lalu dipublikasikan dalam
Jurnal Harmoni terbitan Puslitbang DEPAG RI tahun 2010 dengan judul
“Paham Madrais/Adat karuhun Urang (AKUF) di Cigugur Kabupaten
7
Kuningan: Studi tentang ajaran dan Pelayananan hak-hak sipil. Penelitian ini
berusaha menelusuri apa dan bagaimana sebetulnya masyarakat Madrais
menjalankan keyakinannya. Lalu bagaimana respon para tokoh agama dan
pemerintah setempat terhadap keberadaan mereka. Bagaimana pula mereka
mendapatkan hak-hak sipilnya.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Iwan Ahenda dalam skripsinya dengan
judul“Madrais dan Kerukunan Umat Beragama”. Hasil penelitian ini lebih
umum terhadap kerukunan beragama dalam Masyarakat Madrais.
F. Kerangka Teori
Secara umum pengertian konsep dapat dirumuskan sebagai representasi
abstrak dan umum tentang sesuatu. Sebagai representasi abstrak dan umum,
konsep merupakan suatu hal yang bersifat mental. Karena itu, melalui dan dalam
konsep kita mengenal, memahami, dan menyebut objek yang kita ketahui.6
1. Pendekatan Konseptual Keluarga
Dalam kajian ilmu sosial tentang keluarga, para peneliti dan para analis
keluarga menerapkan beragam pandangan dan pendekatan mengena i
keluarga. Idam-idaman yang dianut oleh para ilmuwan pengkaji keluarga
adalah bahwa akhirnya teori akan dirumuskan, yang dapat menjelaskan
setiap aspek dari fenomena-fenomena dalam bidang keluarga. Setiap
pengkaji keluarga, seperti halnya para pakar ilmu lainnya, bertitik tolak dari
asumsi-asumsi tertentu, konsep-konsep tertentu dan pendekatan-pendekatan
6J. Sudarminta, Epistemologi dasar (Yogyakarta: Penerbit Kanis ius, 2002), h. 87.
8
yang menurut anggapan mereka paling tepat digunakan dalam upaya
memberi penjelasan tentang fenomena yang dikaji, dalam
mengorganisasikan berbagai unsur yang tercakup di dalamnya. Kerangka-
kerangka seperti itu dinamakan kerangka konseptual.
Dalam penelitian ini, penulis menguraikan secara ringkas beberapa
kerangka konseptual yang dipilih dengan pertimbangan bahwa kerangka
konseptual inilah yang paling banyak digunakan. Kerangka konseptual yang
penulis pilih tersebut adalah fungsional-struktural, interaksionis dan
pendekatan konflik.7
a. Pendekatan Fungsional Struktural
Dalam kerangka pikir fungsional-struktural, masyarakat dipandang
sebagai suatu sistem yang dinamis, yang terdiri dari berbagai bagian
atau subsistem yang saling berhubungan. Pendekatan fungsiona l-
struktural berfokus pada hubungan timbal balik antara seluruh anggota
keluarga dan apakah mereka dapat menjalankan fungsi masing-mas ing
dengan baik.
Struktur mengacu pada bagaimana sebuah keluarga dapat diurus,
bagaimana sikap dan aturan dapat diatur, dan bagaimana masing-
masing anggota keluarga dapat berinteraksi satu sama lain. Sementara
fungsional, mengacu pada bagaimana hasil atau konsekuensi dari
keberadaan sebuah keluarga, itulah tujuan sebuah keluarga yang
memiliki peran penting bagi anggota keluarga dan masyarakat secara
7T.O. Ihromi, ed., Bunga Rampai Sosiologi Keluarga (Jakarta: Yayasan Obor, 1999), h. 269.
9
lebih luas. Dengan kata lain, fungsional adalah apa yang telah dilakukan
sebuah keluarga atau apa alasan dari keberadaan sebuah keluarga.8
b. Pendekatan Interaksionis
Pendekatan interaksionis atau pendekatan interaksi simbolik,
adalah kerangka pemikiran yang banyak digunakan pada masa ini.
Pendekatan ini memperoleh pendorong dari buah-buah pemikiran
sejumlah filusuf dan sosiolog seperti George Simmel, William James,
Charles Harton Cooley dan George Herbert Mead. Sebelum munculnya
karya mereka ini umumnya diterima bahwa tingkah laku dipahami
berdasarkan seperangkat insting yang khas ada pada manus ia.
Pemikiran-pemikiran yang dikembangkan para penulis seperti Simmel
dan Cooley tersebut menimbulkan anggapan bahwa kelakuan manus ia
tidaklah dibatasi oleh perangkat insting yang telah berkembang secara
evolusioner, tetapi manusia memiliki kemampuan untuk menggunakan
dan memanipulasi simbol-simbol dan untuk berpikir secara bebas dan
kreatif. Karena hal tersebutlah maka individu- individu memilik i
kemampuan memberi makna kepada gejala-gejala yang ditemukan
dalam lingkungan dan untuk membagi bersama makna-makna itu
dengan orang lain. Makna-makna tersebut atau lambang- lambang yang
dimiliki bersama, telah dipelajari melalui interaksi dengan orang lain
dan memperoleh makna dan paling berarti dalam unit keluarga.
8Vicky R. Browden, Children and Their Families: The Continum of Care (China: Wolter
Klower Health, 2010), h. 19.
10
Menurut pendekatan interaksionis, faktor yang menentukan dalam
upaya untuk memahami perilaku keluarga adalah kajian terhadap
interaksi antara para anggota keluarga dan interpretasi apa yang para
individu bersangkutan berikan pada interaksi tersebut. Karena para
anggota keluarga secara terus-menerus saling mempengaruhi, maka
keluarga adalah suatu unit sosial yang senantiasa bertumbuh, berubah
dan bersifat dinamis.
Dalam kerangka pendekatan ini, fokus utama adalah pada interaksi
manusia. Melalui proses interaksi inilah terjadi komunikasi antara dua
orang atau lebih yang memungkinkan terjadinya modifikasi pada
perilaku dari semua pihak yang terlibat. Manusia belajar untuk
berinteraksi secara efektif melalui pengambilan peranan (role taking)
dan memainkan peranan (role playing).
c. Pendekatan Konflik
Dalam pandangan beberapa pakar penganut pemikiran yang
mengkaji keluarga, konflik dalam keluarga umumnya dianggap sebagai
ancaman bagi stabilitas keluarga. Lain halnya dengan pendekatan
konflik karena baginya konflik dianggap sebagai suatu akibat yang
wajar, yang alamiah dari terjadinya interaksi manusia. Karena
pandangan semacam itu, maka dalam kajian keluarga yang
menggunakan pendekatan ini terdapat penekanan pada manajemen
konflik dan alokasi kekuasaan dan sumber daya dalam keluarga.9
9T.O. Ihromi, ed.,Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, h. 276-278.
11
2. Kebebasan Beragama
Pengertian bebas adalah keadaan dimana bebas campur tangan dari pihak
luar.10 Sementara kebebasan beragama adalah prinsip yang menyokong
kebebasan individu atau masyarakat untuk mengamalkan agama atau
kepercayaan secara tertutup atau terbuka.
Secara umum model kebebasan beragama dapat berupa internal dan
eksternal: Internal dalam arti memberi keleluasaan penuh setiap saat bagi
setiap individu, untuk menggali atau mendalami keyakinan-keyakinan atau
agama lain dan membuat pilihan pribadi untuk menganut, melepaskan,
menolak secara terbuka yang diinginkan. Sementara eksternal berarti
kebebasan pribadi baik secara individu ataupun dalam masyarakat bersama
orang lain. Di depan umum atau ruang yang bersifat pribadi untuk
menyatakan agama lewat ajaran, pengalaman, ibadat dan ketaatan terhadap
aturan-aturan agama.11
Sayyed Husein Nasr, seorang sufi dan ilmuwan Iran, memilah dua mod el
kebebasan beragama: Pertama, kebebasan menjadi (freedom to be), yang
ditandai oleh pengalaman keberadaan diri yang asali berkaitan dengan
mistikisme yang kepedulian utamanya adalah kebebasan pribadi, bukan
kebebasan poiltis. Kebebasan pribadi adalah kebabasan mutlak (absolute or
10Arif Budiman, Kebebasan Negara Pembangunan (Jakarta: Alvabet, 2006), h. 114. 11Bahia Tahzib-Lie, ed., Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh
(Yogyakarta: Kanisius, 2010), h. 432.
12
infinite freedom), yang terdapat di dalam kehidupan spiritual, yang juga
disebut sebagai kebebasan moral (kebebasan menentukan sendiri tanpa
hampatan sebab-sebab eksternal), atau kebebasan batin pada pikiran dan
imaginasi.
Kedua, kebebasan bertindak (freedom to act) yang ada dalam batas-batas
yangdipaksakan oleh realitas eksternal kepada manusia. Prinsip kebebasan
beragama dijelaskan secara gamblang dalam al-Qur'an, seperti surahal-
Baqarah [2] ayat 256 (tidak ada paksaan dalam beragama); al-Kafirun [109]
ayat1-6 (pengakuan terhadap pluralisme agama); Yunus, [10] ayat 99
(larangan memaksa penganut agama lain memeluk Islam); Ali Imran, [4] 64
(himbauan kepada ahli kitab untuk mencari titik temu dan mencapai
kalimatun sawa’); dan al-Mumtahanah, [60] ayat 8-9 (anjuran berbuat baik,
berlaku adil, dan menolong orang-orang non-Muslim yang tidak memusuhi
dan tidak mengusir mereka).12
G. Metodologi Penelitian
Metodologi yang digunakan dalam penelitian bertujuan untuk menemukan
data yang valid, dan analisa yang rasional. Sehingga dari penelitian tersebut
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Adapun metodologi penelit ian
yang penulis gunakan adalah sebagai berikut:
1. Objek Kajian
12Musdah Mulia, Pengertian Umum Kebebasan Beragama, lihat
golongan. Kulawarga (kulawargi dalam basa lemes) mengandung pengertian
keluarga inti atau keluarga batih dalam istilah antropologi, yaitu terdiri atas
orangtua dan anak-anaknya, kadang-kadang ditambah dengan anak angkat,
pembantu, atau orang lain yang diakui sebagai anggota keluarga. Hubungan
yang paling intim dan paling deket terjadi dalam Kulawarga. Sementara warga
memiliki seluruh kekerabatan yang tertentu karena keturunan dan perkawinan
yang menetap di satu lokasi tertentu. Dulur atau sadulur berarti saudara kandung;
dulur tere adalah saudara seayah atau saudara seibu; dulur misan atau dulur
20Lestari, Psikologi Keluarga, h. 6 21 A. Suryadi, Masyarakat Sunda: Budaya dan Problema (Jakarta: Alumni, 1985), h. 152.
23
sabrayna adalah saudara sekakek atau saudara senenek; dulur misan mindo
adalah saudara satu buyut. Pengertian baraya sama dengan saderek, yaitu
saudara dalam pengertian luas, seluruh anggota kekerabatan, baik karena
keturunan maupun karena perkawinan, serta baik yang menetap di satu desa
tertentu maupun yang menetap di luar desa. Kulawedet, bondoroyot, dan
golongan mempunyai pengetian yang hamper sama dengan baraya dan saderek
hanya salam hal ini menunjuk kepada pangkal tokoh tertentu, jadi lebih
cenderung kekerabatan berdasarkan keturunan. Dewasa ini, kulawedet,
bondoroyot, atau golongan sering disejajarkan dengan ungkapan dalam bahasa
Indonesia sebagai keluarga besaryang terdiri dari 7 turunan atau generasi. Untuk
keturunan dari atas ke bawah, strukturnya dimulai dari kolot, embah, buyut, bao,
janggawareng, udeg-udeg, dan gantungsiwur. Sedangkan untuk keturunan dari
bawah ke atas, dimulai dari anak, incu, buyut, buyut, bao, janggawareng, udeg-
udeg, dan gantungsiwur.22
Sebagai catatan terkait luasnya jaringan tersebut, Masyarakat Sunda
memiliki kebebasan untuk memilih jodohnya, namun terdapat larangan menik ah
dengan sesama keluarga batih, selain itu dianjurkan untuk tidak menikah dengan
saudara dekat, agar persaudaraan makin luas dan kalau ada penyakit tidak mudah
diturunkan. Pepatah sunda mengatakan, “lamun nyiar jodo kudu sawaja
sabeusi”, artinya dalam mencari jodohharus sesuai dan cocok.
22Ukun Suryaman, Tempat Pemakaian Istilah Klasifikasi Kekerabatan pada Orang Jawa dan
Sunda dalam Susunan Masyarakat (Bandung: Penerbit Universitas), h.9.
24
Secara umum, ada dua belas macam fungsi sosial segala macam kelompok
kekerabatan masyarakat manusia. Ke-12 macam fungsi sosial kelompok
kekerabatan dimaksud adalah:
1. Menampung kebutuhan manusia akan hubungan intim, mesra, dan
emosional;
2. Menatalaksanakan kehidupan rumah tangga;
3. Kesatuan dalam mata pencaharian hidup;
4. Mengasuh dan mendidik angkatan berikutnya;
5. Menguasai harta milik kelompok yang bersangkutan;
6. Menguasai hak milik atau hak ulayat atas sejumlah tanah;
7. Melaksanakan gotong royong;
8. Melindungi dan member bantuan kepada warga dalam keadaan darurat;
9. Melaksanakan upacara-upacara kelompok;
10. Membina rasa identitas kelompok, kekuasaan, dan gengsi;
11. Memelihara norma-norma dan adat tradisional;
12. Mengerahkan kekuatan politik.23
Bila dihubungkan dengan macam-macam kelompok kekerabatan yang
adadalam masyarakat Sunda pedesaan seperti tersebut di atas, maka fungs i-
fungsi sosial itu dikaitkan sebagai berikut. Kulawarga mempunyau dan
menjalankan fungsi yang paling banyak dan paling efektif, yaitu 11 macam
fungsi, hanya fungsi nomor 12 tidak dapat ditampung oleh kulawarga. Dulur
juga dapat menjalankan banyak fungsi, hanya fungsi nomor 1 dan nomor 12
tidak dapat ditampung oleh kelompok kekerabatan ini. Bondoroyot hanya dapat
menjalankan fungsi nomor 7,8,9,10 dan 11. Jadi fungsi yang dapat diembannya
23Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h.159.
25
lebih terbatas. Fungsi sosial yang dapat dilaksanakan oleh kelompok
kekerabatan warga ialah fungsi sosial nomor 7,8,10, dan 12 kelompok
kekerabatan baraya dapat menjalankan fungsi sosial nomor 8,9,10, dan 11.24
B. Fungsi Keluarga dalam Masyarakat
Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga berperan penting dalam
kehidupan bermasyarakat. Peranan tersebut menggambarkan seperangkat
perilaku antar pribadi, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan pribadi dalam
posisi dan situasi tertentu.
Menurut para ahli, keluarga memiliki banyak fungsi penting dalam
kehidupan masyarakat. Secara umum, fungsi-fungsi tersebut dapat
dikelompokkan dalam 3 fungsi pokok keluarga dalam kehidupan masyarakat;
Asih, adalah memberikan kasih sayang, perhatian, rasa aman, kehangatan
kepada anggota keluarga sehingga memungkinkan mereka tumbuh berkembang
sesuai usia dan kebutuhannya; Asuh, adalah menuju kebutuhan pemeliharaan
dan perawatan semua anggota keluarga agar kesehatannya selalu terpelihara,
sehingga diharapkan menjadikan mereka individu yang sehat baik fisik, mental,
dan sipiritual; Asih, adalah memenuhi kebutuhan pendidikan anak, sehingga siap
menjadi manusia dewasa yang mandiri dalam mempersiapkan masa depannya. 25
Bila diuraikan secara umum, maka paling tidak fungsi-fungsi keluarga
dalam masyarakat adalah sebgai berikut:
24Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah (Bandung: Pustaka Jaya,
2014), h.183. 25Nasrul Effendy, Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat (Jakarta: EGC, 1998), h.
36.
26
1. Fungsi reproduksi
Dalam keluarga, anak-anak merupakan wujud dari cinta kasih dan
tanggungjawab suami istri untuk meneruskan keturunannya. Karena itulah
reproduksi atau melanjutkan keturunan merupakan fungsi dari institus i
keluarga. Dengan adanya reproduksi, manusia bisa mempertahankan
kelangsungan hidup dan mempertahankan garis silsilah. Fungsi reproduksi
menyangkut aktivitas seksual antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri).
Hanya dengan perkawinanlah fungsi keluarga dapat dilakukan dengan sah
tanpa adanya penyalahan aturan, norma, budaya sosial dan tentu saja sehat.
Dengan demikian, reproduksi tanpa adanya perkawinan akan
mendatangkan banyak kesulitan dan kerugian di kemudian hari. Karena
fungsi reproduksi cenderung mengalami perubahan karena adanya program
keluarga berencana, peraturan yang membatasi kepemilikan anak lebih dari
dua. Semakin sulitnya fasilitas perumahan yang layak, semakin banyak
perempuan yang memilih berkarir dulu, lalu menikah di usia yang tidak
produktif.
Di era modern, terutama saat manusia mulai menemukan alat-alat
kontrasepsi, mendorong terjadinya pemisahan antara seksualitas dan
reproduksi, telah membawa implikasi luar biasa terhadap perubahan di
wilayah seksualitas yang kemudian berdampak pada institusi perkawinan dan
keluarga. Muncul apa yang disebut Anthony Giddens sebagai seksualita s
27
plastis” (plastic sexuality), yaitu sejenis seksualitas tak terpusat yang terbebas
dari kebutuhan-kebutuhan reproduksi26.
Fenomena ini merupakan sesuatu yang krusial bagi perubahan cara
pandang masyarakat terhadap fungsi reproduksi keluarga dalam kehidupan
masyarakat. Dimana seksualitas kemudian tak lagi dipandang sebagai sebuah
kenikmatan yang hanya dapat dialami dengan melakukan pernikahan, namun
bisa saja dengan cara-cara lain. Dengan kata lain, keintiman atau seksualita s
hanyalah sebentuk negosiasi transaksional dari ikatan-ikatan personal oleh
orang-orang yang setara.27
Sementara pemahaman akan kedudukan anak sebagai generasi penerus,
menempatkan fungsi reproduksi sebagai salah satu fungsi keluarga dalam
menjaga keberlangsungan sistem sosial yang lebih luas. Hal tersebut sesuai
dengan teori perkembangan konsep diri Erikson, bahwa seorang individu
dewasa memiliki keinginan untuk berketurunan (sense of generativity).28
Lebih lajut, dalam teori tahapan perkembangan ala psikoanalis asal Jerman
ini mengatakan bahwa, sense of generativity merupakan rasa peduli yang
lebih dewasa dari sekadar kepuasan diri sendiri. Bila dengan keintiman
seseorang terlibat dalam hubungan dimana ia mengharapkan suatu timbal
balik dari pasangannya, maka dengan generativity seseorang tidak
26Anthony Giddens, Transformation of Intimacy: Seksualitas, Cinta, dan Erotisme dalam
masyarakat Modern (Tangerang: Penerbit Fresh Book, 2004), h.ix. 27Ratna Batara Murni, Demokrasi Keintiman: Seksualitas di Era Global (Yogyakarta: LKIS,
2005), h. 33. 28Euis Sunarti, Mengasuh dengan Hati: Tantangan yang Menyenangkan (Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2004), h. 267.
28
mengharapkan balasan. Pada tingkat tertentu, para orangtua bahkan tidak
keberatan untuk menderita atau meninggal demi keturunannya.29
2. Fungsi Afektif
Fungsi afektif adalah fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan
segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan
orang lain. Fungsi ini dibutuhkan untuk perkembangan individu dan
psikososial anggota keluarga.
Menurut Friedman (1986), definisi fungsi afektif keluarga dalah fungs i
internal keluarga untuk pemenuhan kebutuhan psikososial, saling mengasah
dan memberikan cinta kasih, serta saling menerima dan mendukung. Fungsi
afektif ini merupakan sumber kebahagiaan da;am keluarga. Keluarga
memberikan kasih sayang dan rasa aman. Sementara perhatian di antara
anggota keluarga, membina kedewasaan kepribadan anggota keluarga dan
memberikan identitas keluarga.
Lebih lanjut Friedman mengidentifikasi fungsi afektif keluarga yaitu:
Fungsi sosialisasi adalah fungsi mengembangkan dan melatih anak untuk
berkehidupan social sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan
dengan orang lain di luar rumah.
4. Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi, yaitu keluarga berfungs untuk memenuhi kebutuhan
keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan
individu meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
5. Fungsi perawatan/pemeliharaan kesehatan,
Yaitu untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar
tetap memiliki produktivitas tinggi. Fungsi ini dikembangkan menjadi tugas
keluarga di bidang kesehatan.
Dengan berubahnya pola hidup agraris menjadi industrialisasi, fungsi
keluarga dikembangkan menjadi:
a. Fungsi ekonomi, yaitu keluarga diharapkan menjadi keluarga yang
produktif yang mampu menghasilkan nilai tambah ekonomi dengan
memanfaatkan sumber daya keluarga.
b. Fungsi mendapatkan status social, yaitu keluarga yang dapat dilihat dan
dikatagorikan strata sosialnya oleh keluarga lain yang berada di
sekitarnya.
c. Fungsi pendidikan, yaitu keluarga yang memilki peran dan
tanggungjawab yang besar terhadap pendidikan anak-anaknya untuk
menghadapi kehidupan dewasanya
d. Fungsi sosialisasi bagi anaknya, yaitu orangtua atau keluarga diharapkan
mampu menciptakan kehidupan social yang mirip dengan luar rumah.
e. Fungsi pemenuhan kesehatan, yaitu keluarga diharapkan dapat memnuhi
kebutuhan kesehatan yang primer dalam rangka melindungi dan
pencegahan terhadap penyakit yang mungkin dialami keluarga.
30
f. Fungsi religious, yaitu keluarga merupakan tempat belajar tentang agama
dan mengamalkan ajaran agamanya
g. Fungsi rekreasi, yaitu eluarga merupakan tempat untuk melakukan
kegiatan yang dapat mengurangi ketegangan akibat berada di luar rumah.
h. Fungsi reproduksi, dalam artian bukan hanya mengembangkan
keturunan, tetapi juga merupakan tempat mengembangkan fungs i
reproduksi secara universal (menyeluruh), diantaranya; seks yang sehat
dan berkualitas, pendidikan seks bagi anak, dan yang lain.
i. Fungsi afeksi, yaitu keluarga merupakan tempat yang utama untuk
pemenuhan kebutuhan psikososial sebelum anggota keluarga berada di
luar rumah.30
C. Keluarga Menurut Pandangan Masyarakat Madrais
Masyarakat Madrais merupakan masyarakat yang multi agama,31 hal itu
jelas dapat dilihat dari keragaman keagamaan yang dianut oleh masyarakat
Madrais.32 Meski begitu, tidak berarti Masyarakat Madrais memiliki potensi
konflik yang tinggi. Sebaliknya, Masyarakat Madrais adalah masyarakat multi
agama yang telah sejak lama mampu hidup rukun dan harmonis.
Menurut Gumirat Barna Alam, Penerus Pangeran Djatikusuma,
keharmonisan dalam Masyarakat Madrais yang telah terjalin cukup lama bertitik
30Suprajitno, Asuhan Keperawatan Keluarga (Jakarta: EGC, 2003), h. 12-15. 31Kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, merupakan salah satu yang
terletak di kaki Gunung Ciremai dan berjarak sekitar 30 km dari Kota Cirebon. Kelurahan Cigugur
termasuk wilayah administrative Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kuningan dengan luas
wilayah 300 Ha. Kelurahan Cigugur terletak kurang lebih 3,5 km kea rah Barat dari pusat kota
Kuningan. Lokasinya berada di kaki Gunung Ciremai sisi Timur dengan ketinggian sekitar 660
meter di atas permukaan laut, terletak pada koordinat 108027’15” BT dan 5058’8” LS, luas
wilayahnya adalah 300,15 hektar. 32Penduduk di Kelurahan Cigugur memiliki keyakinan yang beragam. Bila di tempat lain di
Jawa Barat Islam biasanya sangat dominan, namun di Cigugur jumlah penganut agama lainnya tak
kalah banyak. Islam (4.068), Katholik (2.657), Protestan (216), Hindu (3), Budha (8), Lain-lain (155).
31
tolak pada hukum adikodrati, yang telah dikehendaki oleh Tuhan kepada
manusia Sunda. Titik tolak ini kemudian meniscayakan para penganut adat
untuk senantiasa mensyukuri nikmat yang telah dianugerahkan kepadanya,
diciptakan sebagai manusia. Lebih lanjut menurut Gumirat, keharmonisan
tersebut terbingkai lantaran leluhurnya terutama Kyai Madrais menekankan
adanya 5 faktor atau 5 unsur kehidupan, yaitu: unsur cinta kasih, silsilah
kekeluargaan, lalu karena ada silsilah kekeluargaan maka manusia pun
dianugerahkan memiliki tata krama, lalu tata krama itu direalisasikan dengan
budi daya, dan budi bahasa, terakhir manusia pun dapat memilah dan memilih
mana yang baik dan mana yang buruk atau dikenal dengan Wiwaha Yuda Na
Raga (“Ngaji Badan” membaca dan memahami sebuah tatanan [ekosistem/tubuh
secara utuh]).33
Dalam pelaksanaannya, keyakinan akan adanya 5 unsur kehidupan tersebut
kemudian menjadi dasar pandangan hidup dari masyarakat Madrais secara
umum. Lebih lanjut, unsur-unsur kehidupan tersebut menjadi semacam tuntunan
untuk membentuk sistem sosial yang termanivestasi dalam sistem kekerabatan
masyarakat sunda.
Seperti halnya sistem kekeraban di Tatar Sunda lainnya, sistem kekerabatan
dalam masyarakat Madrais, bersifat parental, garis keturunan ditarik dari piha k
ayah dan ibu bersama. Kesamaan lainnya, adalah posisi ayah yang bertindak
sebagai kepala keluarga, dan ikatan kekeluargaan yang sangat kuat.
33Wawancara Penulis dengan Gumirat Barna Alam pada 29 November 2016.
32
Menurut R. Bell (1979) ada 3 jenis hubungan dalam keluarga: pertama
kerabat dekat (conventional kin), yang terdiri dari individu yang terikat dalam
keluarga melalui hubungan darah, adopsi, dan atau perkawinan, seperti suami
istri, orangtua-anak, dan antarsaudara (siblings). Kedua, kerabat jauh
(discretionary kin), yang terdiri dari individu yang terikat dalam keluarga
melalui hubungan darah, adopsi dan perkawinan, tetapi ikatan keluarganya lebih
emah daripada kerabat dekat. Anggota kerabat jauh terkadang tak menyadari
adanya hubungan kekerabatan tersebut. Ketiga, orang yang dianggap kerabat
(fictive kin), seseorang dianggap anggota kerabat karena ada hubungan khusus,
misalnya hubungan antar teman akrab.34
Sementara menurut Profesor Harsojo, di tanah Sunda, bentuk keluarga yang
terpenting adalah keluarga batih atau keluarga inti (nuclear family). Kecuali
keluarga batih ada pula kelompok kerabat sekitar keluarga batih itu, yang masih
sadar akan hubungan kekerabatannya, sering bertemu dalam forum yang cukup
intens, misalnya kawinan, khitanan, kematian, halal bihalal dan sebagainya.35
Sistem kekerabatan ini mengakui dan menghargai kerabat keturunan dari
kedua belah pihak orangtua. Sistem ini pun dilatarbelakangi oleh pandangan dan
sikap masyarakat Cigugur terhadap pandangan martabat yang sama sebagai
manusia antara laki-laki dan perempuan. Namun demikian tidak tertutup
kemungkinan adanya suatu pandangan hak dan kewajiban yang berbeda antara
laki-laki dan perempuan. Hal ini biasanya terjadi dalam masalah pewarisan dan
34Evelyn Sulaeman, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga (Jakarta: Yayasan Obor, 1999), h. 91. 35A. Suryadi, Masyarakat Sunda Budaya dan Problem (Jakarta: Penerbit Alumni, 1985), h.
152.
33
keluarga yang didasarkan pada agama dan kepercayaannya masing-mas ing
berdasarkan hukum waris yang dipedomaninya.
Seorang anggota keluarga pada masyarakat Madrais membedakan pola
tingkah lakunya (sikap) dan bentuk penghormatan berdasarkan tingkatan
bahasanya sesuai dengan hubungan kekerabatan dan perbedaan statusnya.
Terhadap kerabat atau keturunan langsung mereka biasanya menyebut dengan
sebutan dulur teges atau dulur deuheus (bermakna ‘saudara dekat’), sedangkan
kerabat yang lebih jauh disebut dengan dulur ti gigir atau ‘baraya’ (bermakna
‘saudara jauh’).
Pengertian kerabat dalam masyarakat Cigugur sangat luas, selama ada
hubungan ikatan perkawinan dan ikatan darah baik dari pihak ayah maupun ibu.
Panggilan kerabat yang dimaksud adalah “sadulur”, “baraya”, atau “wargi” ini
menunjukan sebagai suatu kesatuan keluarga besar dari nenek moyang yang
sama. Istilah lain dalam sistem kekerabatan masyarakat yang menunjukan
ukuran jumlah sebagai keluarga besar adalah “sabondoroyot”, yang artinya
keturunan yang ditarik dari tujuh turunan ke bawah atau ke atas.36
Dalam hal ini kekerabatan orang Sunda mengenal adanya 7 susunan atau
generasi, baik ke atas maupun ke bawah. Susunan tersebut dapat kita lihat di
bawah ini: 7 susunan keturunan atau generasi orang Sunda:
Pasal yang mengatur secara khusus tentang hak kebebasan beragama dan
berkeyakinan adalah pasal 22 yang berbunyi “setiap orang bebas memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”, dan “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”. Sesuai dengan UUD 1945, hak ini tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun, namun boleh dibatasi oleh undang-
undang. Pembatasan ini dimaksudkan untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.51
Landasan lainnya yang patut disandarkan terkait alasan kenapa kita harus
mengembangkan paham kemajemukan dan menegakkan kebebasan beragama
secara serius adalah bahwa masalah ini merupakan problem universal, bukan
semata-mata problem negara-negara di belahan dunia seperti Eropa dan
Amerika, tapi juga problem masyarakat kita, Indonesia.
Sejarah mencatat, bila problem kebebasan beragama memang telah terjadi
sejak lama, terutama ketikanegara dan agama di satu sisi dan agama-agama di
sisi lain terus mengalami ketegangan dalam konteks negara-bangsa. Bahkan dari
istilah kebebasan beragama sendiri (freedom of religion/faith/belief, liberte de
conscience, al-hurriyah al-diniyyah) menjadi problem penting bahkan setelah
Revolusi Perancis 1789.52
51Pasal 28 ayat (4) berbunyi “perlindungan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. 52Muhammad Ali, Mengapa Membumikan Paham Kemajemukan dan Kebebasan Beragama di
Indonesia makalah disampaikan pada diskusi publik yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam
dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina, pada 19 Juli 2006 di Jakarta.
53
Sejarah panjang problem kebebasan beragama tersebut tentu saja dapat
menjadi pelajaran sangat berharga bagi bangsa Indonesia, dan terutama bagi
Muslim di Indonesia adalah untuk menggali teks-teks kitab, sejarah, teladan
orang-orang baik, dan bahan-bahan modern untuk membangun pemikiran yang
cocok dan tepat bagi masyarakat Indonesia modern.53
Apalagi seperti dijelaskan Jamal al-Banna dalam Al-Ta’addudiyah fi al-
Mujtama al-Islamy dan Muhammad Sachedina dalam the Islamic Roots of
Democratic Pluralism (20001), bahwa al-Qur’an adalah fondasi otentik bagi
pluralisme. Al-Qur’an mengakui perbedaan bahasa dan warna kulit,
kemajemukan suku-suku dan bangsa-bangsa, penciptaan segala sesuatu
berpasang-pasangan dan tidak tunggal, mengakui perbedaan kapasitas dan
intelektualitas manusia, mengajak berlomba dalam kebajikan, membiarkan
sinagog-sinagog, gereja-gereja, masjid-masjid, dan tempat ibadah lainnya untuk
beridiri kokoh, memperhatikan kehidupan akhirat dan kehidupan dunia (dengan
segala kompleksitas dan kemajemukan di dalamnya), mengakui kebebasan
berkeyakinan (untuk beriman atau tidak), untuk masuk dan keluar agama
tertentu.54
Al-Qur’an telah menjelaskan tentang adanya persaudaraan hanafiyah
samhah dan persaudaraan kemanusiaan. Dalam konsep al-Qur’an, penganut
agama Yahudi, Kristen, dan Islam adalah saudara seiman dan sebapak, Ibrahim,
53Nurcholish Madjid, Kemungkinan Menggunakan Bahan-Bahan Modern untuk
MemahamiKembali Pesan Islam” dalam Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1998)
, h. 60. 54Gamal Al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam Al-Quran, terj. Al-Ta’addudiyah fi al-Mujatama
al-Islamy, Taufik Damas (Bekasi Timur: Menara, 2006), h. 14-21.
54
meskipun mereka saling berselisih dalam sejarahnya. Agama-agama mereka
adalah satu dan berasal dari satu Tuhan. Lebih luas lagi bahkan, selain Yahudi
dan Kristen, Islam juga bersaudara dengan seluruh penganut keberagamaan yang
benar, yang tidak sombong dan tidak berbuat kerusakan.55
C. Perkembangan Kebebasan Beragama dalam Masyarakat Madrais
Jatuhnya Orde Baru dan dimulainya era reformasi merupakan tonggak
penting bagi kehidupan kebebasan beragama di Indonesia hingga sekarang. Bagi
masyarakat muslim misalnya, reformasi menjadi momentum untuk
‘kebangkitan’ Islam di Tanah Air. Kenapa demikian? Karena di masa sekarang
identitas keislaman yang tak tunggal dapat mencuat ke permukaan—sesuatu
yang tentu saja mustahil terjadi pada masa Orde Baru berkuasa.56
Hal ini tentu saja berkat diamandemennya UUD 1945, terutama pasal 28 a
dan 28 c yang memberi kebebasan pada Hak Asasi Manusia, termasuk dalam
kepercayaan. Adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja dengan demikian
tidaklah cukup; sebab yang terpenting adalah komunitas-komunitas itu
diperlakukan sama oleh negara. Oleh karena itu, multikulturalisme sebagai
sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics of recognition) terhadap semua,
perbedaan sebagai entitas dalam masyarakat yang harus diterima, dihargai,
dilindungi serta dijamin eksistensinya.57
55Surah al-Hujurat [49]: 13 56Siti Musdah Mulia, dalam buku “Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai
Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi” (Jakarta: Kompas 2009), h. 350. 57Azyumardi Azra, Dari Harvard Hingga Makkah(Jakarta: Penerbit Republika, 2005), h. 21.
55
Momentum reformasi dan amandemen UUD 1945 juga memberi angin
segar kepada para penganut kepercayaan lokal di Indonesia. Hal ini karena
kepercayaan lokal dalam masyarakat Indonesia sejak dahulu seringkali menjadi
polemik. Akibatnya kepercayaan lokal yang ada di Indonesia sebagai
keniscayaan dari tradisi keberagamaan memunculkan ambiguitas mengena i
kategori kepercayaan lokal sebagai agama atau etnik. Kulminasi dari adanya
polemik ini kemudian berpengaruh terhadap hak dan kewajiban sebagai warga
negara Indonesia.58
Satu abad berlalu, reformasi semakin membuahkan perubahan yang berarti.
Posisi kepercayaan lokal kemudian diatur negara dalam wewenang Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan. Kepercayaan lokal pun kemudian dianggap
sebagai bagian dari pluralitas Indonesia yang harus dilestarikan nilai-nila inya
serta tidak diabaikan hak-hak pemeluknya sebagai warga negara. Para penghayat
kepercayaan lokal seperti masyarakat Madrais di Cigugur-Kabupaten Kuningan
mulai dapat menghirup udara segar kembali dan muncul di depan publik. Hal ini
seperti diberitakan Harian Kompasketika meliput acara Seren Taun Desember
2010. Kompas menuliskan sebagai berikut:
Perayaan seren taun di kampung adat Cigugur, Kuningan, bukan
sekadar pesta sekdekah bumi, melainkan perwujudan toleransi masyarakat
yang tidak tersekat batasan apa pun. Kegitan budaya ini juga menjadi salah
satu bentuk pelestarian kearifan lokal. Puncak pergelaran adat yang
dirayakan tiap 22 Rayagung ini merupakan manifestasi rasa syukur
58Arbi Mulya Sirait dkk., dalam buku “Posisi dan Reposisi Kepercayaan Lokal di Indonesia”
(Jurnal Kuriositas, Edisi VIII, Vol. 1, Juni 2015).
56
penduduk agraris Sunda atas limpahan kesejahteraan yang selama ini
mereka peroleh.
Sejak Setelah itu, publik pun mulai tahutentang apa, siapa, dan dimana
masyarakat Madrasis berada. Pada akhir abad ke-19 di daerah Cigugur
Kabupaten Kuningan muncul suatu gerakan sosial/keagamaan yang dipimpin
oleh seorang tokoh bernama Muhammad Rais (Madrais). Madrais adalah anak
dari Pangeran Gebang yang bernama Alibassa Koesoemawidjajaningrat dari
Keraton Gebang yang menikah dengan perempuan bernama Kastewi, seorang
keturunan dari Tumenggung Jayadipura dari Lebakwangi.59
Setelah Madrais lahir pada tahun 1832, Kastewi tinggal di rumah seorang
Kuwu Desa Cigugur bernama Ki Sastrawadhana. Hanya saja, karena tidak lahir
dalam Keraton Pagebangan melainkan lahir jauh dari keluarga ayahnya, maka
Madrais disebut oleh beberapa kalangan keraton Cirebon sebagai
putra bunian artinya putra yang disembunyikan. Saat Madrais dititipkan ke
Kuwu Desa tersebut nama Sadewa diubah menjadi Taswan.Sejak lahir hingga
berusia 10 tahun Taswan atau Sadewa hidup dan tinggal di Cigugur.60 Pada saat
berusia 10 tahun, ia dibesarkan oleh kakek dari ibunya yang merupakan guru
mengaji dari Lebakwangi. Pada saat Madrais tinggal di tempat kakeknya itulah
ia mendapatkan nama Muhammad Rais yang kemudian lebih sering disingkat
59Hal ini tertulis dalam arsip surat dari Pangeran Keraton Kanoman Cirebon yang bernama
Hoedajabrata pada 1 September 1922 yang dikirimkan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Lihat
(Afschriften Mailrap geheim no 1925/ 8 dan ANRI, 1981: 207-208). 60Wawancara dengan Gumirat Barna Alam pada 29 November 2016 di Cigugur. Dan pernah
disebutkan oleh Anto Widyo Nugrahanto dalam wawancara dengan Djatikusumah pada 20
November 2011.
57
menjadi Madrais.61 Ketika dewasa, Madrais mulai mengembara untuk belajar ke
beberapa pesantren di sekitar Cirebon. Madrais mulai mengembara pada usia 10
tahundan berpindah pindah pesantren dalam beberapa tahun. Jadi ketika Madrais
ikut dalam keluarga kakek dari ibunya yang merupakan guru mengaji itulah
Madrais telah memulai pengembaraannya. Pengembaraan Madrais terjadi saat
usianya baru menginjak sepuluh tahun. Jika Madrais dilahirkan pada 1832 maka
pada 1842 pengembaraan itu mulai dilakukan.62
Menurut seorang peneliti ajaran Madrais W. Sraathof, Madrais mulai keluar
dari pesantren karena merasa mendapatkan ilham atau pulung yang merupakan
dorongan untuk mengembara sambil menjalankan puasa. Pulung tersebut
kemudian mendorong Madrais untuk berkeliling mengunjungi dusun-dusun
terutama tempat-tempat yang dikenal karena kesaktiannya. Sejak saat itu
Madrais lebih banyak mempelajari ilmu-ilmu kebatinan.63
Tahun 1869, Madrais terlibat dalam peristiwa kerusuhan di Tambun Bekasi
. Ia disebut Rama Pangeran Alibassa dari Cirebon. Saat itu para petani Tambun
mengalami kemelaratan karena selalu diperas para tuan tanah. Madrais yang
datang dari Cirebon menyatakan bahwa tanah-tanah yang terletak diantara
Sungai Citarum hingga Sungai Cisadane adalah tana-tanah rakyat warisan dari
leluhur mereka. Masyarakat kemudian mendukung Madrais dan hari
pemberontakan ditentukan 5 April 1869 dan akan menyerang daerah Tambun.
61Tentang nama Muhammad Rais ini telah diungkapkan oleh Djatikusumah kepada KH E.Z.
Muttaqien pada Januari 1983 (Tempo, 29 Januari 1983: 26) 62Strathof dalam Anto Widyo Nugrahanto, “Sejarah Singkat Gerakan Sosial Madrais di
Cigugur” 63W. Straathrof, dalam Basis Majalah Kebudayaan Umum edisi April XX/7: 202.
58
Sebelum sempat meletus, pemberontakan tersebut kemudin dapat digagalkan
oleh pemerintah Kolonial.
Rakyat mendukung Madrais dan hari pemberontakan ditentukan 5 April
1869 dan akan menyerang daerah Tambun. Akan tetapi, pemberontakan itu
kemudian dapat ditumpas oleh Pemerintah Kolonial. Beberapa orang yang
terlibat dalam rencana pemberontakan tersebut kemudian dihukum mati.64
Sejak terlibat dalam peristiwa tersebut, Madrais hidup berpindah-pindah
dengan menyembunyikan identitas dirinya. Oleh karena itu, ia tercatat
mengganti namanya beberapa kali. Ketika mengunjungi pesantren-pesantren di
Jawa Timur misalnya ia pernah memakai nama Gusti Ahmad.65
Akhirnya madrais mengakhiri pengembaraannya dan pulang ke Cigugur
untuk melangsungkan pernikahan. Setelah menikah ia tinggal di rumah yang
sekarang menjadi Gedung Paseban Tri Panca Tunggal di Cigugur.66 Sejak saat
itu, sedikit demi sedikit masyarakat mulai mempercayainya dan memutuskan
untuk menjadi pengikutnya. Bahkan pada tahun 1985 telah terbentuk komunitas
pengikut ajaran Madrais di Cigugur untuk mendirikan pesantren dan
mengajarkan agama Islam dan menyebarkan pandangan-pandangannya.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, peran Madrais lebih banyak sebagai
guru kebatinan daripada mengajarkan Agama Islam. Madrais bahkan lebih
terkenal sebagai Kyai Madrais. Sejak menetap di Cigugur, pandangan-
64Mulyawan Karim dalam Kompas, edisi 23 April 2009: halaman 26. Lihat juga “Bekasi, Titik
awalpemberontakan-jawara-betawi/ diunduh pada Selasa, 21/06/2016. 65Wawancara dengan Gumirat Barna Alam pada 29 November 2016. 66Djatikusumah dalam Kompas, 2 Juni 1997.
pandangan Madrais memang mulai memperoleh wujud yang lebih jelas sebagai
sebuah ajaran kebatinan. Bahkan, dari Desa Cigugur Madrais mulai
menyebarkan ajaran dan pandangannya. Dan mulai banyak orang tersentuh oleh
nasehat-nasehatnya.67 Karena kecenderungan inilah Madrais sampai harus
bersitegang dengan Kyai Mad (Muhammad) Tohir. Karena mengkritik Madrais,
Kyai Mad Tohir mengatakan Madraishanyalah anak haram dari Pangeran
Gebang yang tidak berhak memimpin shalat karena shalatnya menjadi tidak sah.
Dari situ Madrais merasa tidak lagi nyaman menjadi seorang muslim.
Kian hari, pengikut Madrais bertambah banyak. Tak hanya di Cigugur,
namun juga di beberapa desa di Kuningan bahkan hingga keluar Kuningan.
Karena mulai kewalahan melayani para pengikutnya, Madrais pun mengangkat
pembantu-pembantunya yang disebut dengan badal. Para badal tersebut
kemudian membantu mencari dan mengumpulkan pengikut Madrais. Para
pengikut Madrais semakin bertambah banyak bahkan dari luar kuningan,
terutama setelah dibukanya praktik pengobatan. Lalu, sedikit demi sedikit
muncullah apa yang dinamakan Gerakan Sosial Madrais yang berpusat di
Cigugur.
67W. Straathof dalam Basis1971: 204
60
BAB IV
ANALISA HUBUNGAN KONSEP KELUARGA
DAN KEBEBASAN BERAGAMA DALAM MASYARAKAT
MADRAIS
A. Cigugur sebagai Miniatur Pluralisme
Bagi masyarakat Madrais, ajaran serta tuntunan-tuntunannya telah
meninggalkan suatu keyakinan dan kebenaran dalam hati sanubari mereka yang
paling dalam. Sehingga dalam realitas kehidupan mereka senantiasa berusaha
untuk taat dan menjalankan dengan benar tentang hal-hal yang telah didawuhkan
leluhurnya, yakni keyakinan bagaimana menjalani hidup yang benar serta
memelihara cara-ciri manusia dan budaya bangsanya.
Dengan berpegang pada ajaran Madrais, Masyarakat Cigugur dapat
merasakan sikap toleran yang tinggi terhadap kenyataan perbedaan kepercayaan.
Hal ini terbukti dengan tidak ada masalah besar yang menyangkut SARA di
daerah ini. Bukan merupakan hal yang aneh bila dalam satu keluarga terdapat
beberapa kepercayaan. Hal ini dapat dicontohkan pada keluarga Paseban yang
bermacam-macam penganut, serta demikian pula pada keluarga inti pemimpin
pengayat, putra-putranya ada yang menganut penghayat, Islam, Katolik, dan
Bethel. Mereka memegang prinsip sapangartosan (satu pengertian) meskipun
tidak sapangangkenan (satu pengakuan kepercayaan/agama); dan meskipun
61
sewing-sewangan (masing-masing dalam kepercayaan, namun tidak ewang-
ewangan (terpecah-pecah; apriori) dalam hidup bermasyarakat dan berbudaya.
Anak pertama Pangeran Djatikusuma adalah seorang Pendeta Kristen
Protestan (Cirebon), anu kadua Katolik (Jakarta), putera katilu Muslim
(Kuningan) carogena muslim tapi tos pupus, kaopat simkuring sunda wiwitan
(Kuningan), kalima sunda wiwitan (Jakarta).68
Untuk saat ini, keluarga Paseban atau pimpinan adat masyarakat Madrais yakni
Keluarga Pangeran Djatikusuma dan Emalia Wigarningsih menganut kepercayaan
yang berbeda-beda. Anak pertama mereka adalah seorang Pendeta Kristen Protestan
di Cirebon, lalu yang kedua adalah seorang Katolik dan tinggal di Jakarta. Anak
ketiga mereka adalah seorang muslim dan tinggal di Kuningan (sudah almarhum),
sementara anak keempat mereka adalah Gumirat Barna Alam, yang seorang
penghayat sunda wiwitan dan didaulat menggantikan sang ayah lantaran sakit yang
berkepanjangan. Terakhir, anak kelima mereka adalah juga penganut sunda wiwitan,
tinggal di Jakarta.69
Demikian juga dengan keluarga Bapak Kento (60 tahun) dan Bapak Ukar (50
tahun), kedua pemuka adat Masyarakat Madrais ini juga memberi kebebasan kepada
anak-anaknya untuk memilih agamanya masing-masing. Bapak Kento memiliki dua
putera (1 laki-laki dan 1 perempuan) yang keduanya memilih untuk menjadi
penganut Katolik. Sementara Bapak Ukar, kedua anaknya untuk sementara
mengikuti dirinya yang seorang muslim. Tentu bukan karena paksaan, namunlebih
karena lingkungan tempat tinggalnya yang lebih banyak menganut agama Islam.
68Wawancara dengan Gumirat Barna Alam 69Kecuali anak laki-laki yang merupakan jejer, penerus, sehingga keyakinannya tak bisa diubah.
Meski sebagai jejer, tapi tentu tidak boleh memiliki sifat yang umaing, merasa paling benar, harus bisa
mengayomi semuanya.
62
Kerukunan dalam masyarakat Madrais itu seumpama hitungan ““5+5=10,
6+4=10, 7+3=10”. Semua mutlak benar! Jumlahnya mutlak 10, seperti
masyarakat Madrais yang walaupun berbeda paham, beda agama, beda aliran
tapi berusaha satu pengertian, yaitu menyembah kepada Allah yang maka kuasa.
“Saya 4 bersaudara, saya anak pertama muslim, adik saya yang ke-dua
ikut Sunda Wiwitan, yang ke-tiga dan ke-empat Kristen. Jadi kami dalam
keluarga ada tiga agama tapi ya rukun rukun, kita tetap bersaudara.70
Seperti disampaikan sebelumnya, bahwa menurut Gumirat Barna Alam,
kebebasan untuk memilih kepercayaan dalam masyarakat AKUR, bersandar pada
paham pangeran Madrais yang bertitik tolak pada hukum adikodrati, yang telah
Tuhan berikan kepada manusia Sunda. Itu tak lain, karena ajaran Kyai madrais
menitikberatkan agar manusia Sunda dapat menerima karsa dan merasakan serta
harus mampu bersyukur akan nikmat yang dianugerahkan sang maha pencipta;
syukur karena telah diciptakan sebagai manusia.
Oleh karena itu, ajaran Pak Madrais itu menekankan pada 5 faktor atau 5 unsur
cinta kasih; adanya silsilah kekeluargaan, oleh karena struktur silsilah kekeluargaan
makanya manusia dianugerahkan memiliki tatakrama. Kemudian tatakrama itu
direalisasikan dengan budi daya dan budi bahasa. Itulah karakteristik manusia sunda.
Terakhir, adalah manusia dapat memilih dan memilah mana yang baik dan mana
yang buruk atau dikenal dengan Wiwaha Yuda Na Raga (“Ngaji Badan” membaca
dan memahami sebuah tatanan /ekosistem/tubuh secara utuh).
70Wawancara dengan Bapak Ukar (penghayat beragama Islam), 29 November 2016.
63
Terkait hal itu, maka manusia Sunda perlu memerangi ajakan atau keinginan
dari saudara yang 4, yang menyatu dalam tubuh; unsur tanah, api, angin dan air. Itu
harus dikendalikan oleh ruh manusianya sendiri agar supaya dapat melaksanakan
wiwaha yuda na raga. Karena ruh tidak mandiri disebabkan 4 unsur tersebut.
“Bila dalam Islam itu ada insan, sufiyah, lawamah, dan mudmainnah.
Betapa agungnya makna yang tersirat dari Islam itu sendiri. Nama Islam itu
sesungguhnya perwujudan konkrit yang diciptakan oleh sang maha pencipta
dengan keberadaan ciptaannya berupa alam raya dan alam raga, alamul
akbar dan alamul asgar.”71
Secara umum, mayarakat Madrais memandang kebebasan beragama seperti
halnya dengan cara pandang dalam menghayati jasad manusia. Jasad itu plural yang
diciptakan Allah Swt., tidak hanya satu unsur di dalamnya, tapi multi unsur.
Bagaimana fungsi otak tengah, otak kiri dan fungsi otak kanan. Kelenjar hipopesa,
sel-sel butir darah merah, bagaimana fungsi empedu. Itu merupakan keharmonisan
hidup yang tercermin dalam wujud manusia. Karena wujud manusia itu plural, dalam
cara pandang atau wordviewnya, cara hidupnya atau human lifenya bahwasanya
memandang kehidupan keanekaragaman hayati itu sama juga dengan kita bercermin
ke dalam diri sendiri.
Masyarakat Madrais juga meyakini, bahwa hakikat kebesaran Allah itu juga ada
pada jasad tersebut; bermacam unsur bersemayang dalam diri, dan ditemani oleh
saudara yang lain. Ini sudah memperlihatkan kebhinekaan, sudah akbar,
kemahabesaran Allah itu bisa kita rasakan dalam wujud jasad dan alam raya. Bahwa
71Wawancara dengan Gumirat Barna Alam, 21 November 2016.
64
Allah telah menciptakan resonansi suara, menciptakan jutaan getaran suara di
atmosfer.
“Allah menciptakan satu nafas kehidupan, tapi menyatu. Suka
tidak suka, nafas yang terhirup itu terdiri dari nafas-nafas makhluk
lainnya. soal nafas tidak bisa mengindari keterkaitan dengan nafas
makhluk lainnya. Kata orang sunda, Uteuk tongo walang taga
ronggogodongan pucuk daun kembang buah beuti pun itu masih satu
nafas. Nafas yang dikeluarkan daun-daun pun terhirup oleh kita.
kemahatunggalan sang khalik itu disitulah, terkandung pada nafas yang
diciptakan oleh Allah Swt.”72
Selanjutnya, Masyarakat Madrais memiliki falsafah hidup meski tak
sekeyakinan tapi kita harus sepengertian. Tidak sepengakuan maksudnya dalam tata
cara ibadah memang berbeda, ataupun dalam penyebutannya, itu tidak menjadi
sebuah persoalan yang serius. Karena kita sepengertian, kita mengerti akan
kemahabesaran Allah.
Lebih jauh di dalam sistem keluarga, dimana sebelum membentuk mahligai
keluarga masyarakat manusia Sunda mengalami fase perjaka dan gadis. Dari awal
itulah mereka berusaha melakukan pendidikan sebelum lahir, benih-benih janin
kehidupan yang telah dikaruniakan kepada manusia. Hakekat pendidikan sebelum
lahir itu adalah kita harus menjaga akhlak sebagai manusia yang baik, agar supaya
memori otak itu menghendaki senantiasa berucap dan bersikap baik kepada sesama.
Kalau kita jaga perilaku dan memori otak itu dengan baik, tentunya akan
menghasilkan buah spermatosa ovum yang baik. Itu yang dikatakan pendidikan
72Wawancara dengan Gumirat Barna Alam, 29 November 2016.
65
sebelum lahir, sebelum adanya akad nikah/pra nikah. Karena nasehat dari leluhur,
‘indung lanjang, bapak bujang urang geus aya’. Anak, benih itu sudah ada di dalam
jasad. Maka jagalah benih-benih kehidupan itu agar tidak terkontaminasi baik dari
unsure makanan ataupun unsur unsure-unsur saudara yang 4 tadi. Bagaimana
caranya? yaitu selalu membuang unsur-unsur itu melalui nafas yang dikeluarkan.
Dalam masyarakat Madrais juga ada penanaman keyakinan sejak usia dini, dan
menjadi tanggungjawab orangtua masing-masing. Sementara pendidikan formalnya
diselenggarakan di SMP Trimulya.
“Trimulya yangmemiliki makna tiga kemuliaan; seperti manusia bisa
menyeimbangkan keberadaan naluri, rasa, dan pikir. Keseimbangan id,
ego dan super ego. Saleresna mah istilah santi oge berasatl dari dua
suku kata; san itu tina bahasa Belanda ‘kendali’, tri itu tiga (naluri,
rasa, dan pikir).”73
Terkait pilihan ini, memang tak dapat dipaksakan. Sejak SD hingga SMP anak
mereka bergaul dengan lingkunganya masing-masing, lalu mereka mulai
menemukan satu dua hal yang mereka pahami dan terima. Ini lantaran masyarakat
adat tidak boleh bersilang pendapat hanya karena beda pengakuan, sebab yang utama
adalah sapengertian. Sebab lainnya juga karena tujuan memilih satu agama adalah
untuk ketenangan, agar bisah repeh dan rapih, bisa tahu mana yang baik dan mana
yang buruk.
“Simkuring teu tiasa lamun cai mah ngalir terus, margi lamun cai
dibendung mah sanes janten manfaat tapi janten musibah.”74
73Wawancara dengan Gumirat Barna Alam (Penghayat yang berkeyakinan sunda wiwitan),
29 November 2016. 74Wawancara dengan Bapak Kento, 21 November 2016.
66
Salah satu pengajaran kepada anak yang dilakukan para orangtua penghayat
AKUR misalnya adalah, “anaking hidep sing nyaah ka sasama,” dikasih nasehat
sambil menyusui. Sesama ummat Allah, karenanya sang bunda memberikan aliran
positif, maka ke air susu pun mengalir ke dalam si putera sebuah energi yang positif.
Para penghayat juga meyakini adanya pengaruh apa yang mereka makan.
Makanya, para orangtua seringkali menyarankan untuk mengurangi daging-
dagingan yang sifatnya hewani. Ini karena faktor makanan juga memiliki pengaruh
yang besar bagi kehidupan. Bukan ruhnya tapi yang terkena adalah jiwanya, suara
maupun cahaya yang ada di hati. Sehingga ruh terselimuti asap tebal.
Seren taun juga menjadi simbol pengajaran leluhur tentang fungsi keluarga.
Dimana bapak-bapak nanggung rengkong itu menjadi simbol bahwa tanggungjawab
membina keluarga ada di pundak para bapak. Lalu, menyunggi pare dina sirah
nganggo nampan, (nyuhun padi di atas kepala), menyimbolkan bahwa tugas ibu itu
memohon kepada yang maha kuasa, juga menyimbolkan bahwa benih-benih padi itu
ada di pundak generasi penerus.75
B. Analisis Hubungan Konsep Keluarga dan Kebebasan Beragama
Ada beberapa ajaran Madrais yang akan penulis paparkan sebagai upaya untuk
sedikit memahami bagaimana konsep ajaran keluarga dalam ajaran Madrais begitu
relevan dengan kebebasan beragama di Indonesia dengan cara meneliti langsung di
lapangan maupun wawancara dengan beberapa masyarakat yang ada di lingkungan
Cigugur Jawa Barat.
75Wawancara dengan Gumirat Barna Alam, 29 November 2016.
67
1. Pandangan Pangeran Sadewa Alibassa Kusumah Wijaya Ningrat atau Kyai
Madrais dalam “Pikukuh Tilu” mengenai keluarga, Madrais memaparkan
bahwa:
Kelompok sosial anu pangleutikna tapi ngabogaan daya kakuatan
anu gede. Hiji kulawarga anu ngabiasakeun dina kaayaan tata
krama hade moal boa buahna oge hade, sabalikna hiji kulawarga
dina kaayaan kurang hade mindeng parasea, songong pangeusina
oge tangtu amburadul. Tatakrama di lingkungan kulawarga bisa
dijadikeun parameter pangdeuheusna pikeun kamekaran jiwa
pangeusina.
Dalam paparan tersebut dapat dilihat begitu pentingnya sistem
kekerabatan keluarga menurut pandangan Madrais. Sehingga masyarakat
Madrais menganggap institusi keluarga sebagai entitas yang tidak dapat
dipisahkan dalam kehidupan sosial. Keduanya saling terkait satu sama lain.
Mereka memandang keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam
membentuk budaya dan perilaku. Dari keluargalah pendidikan kepada
individu dimulai, tatanan masyarakat yang baik diciptakan, budaya dan
perilaku sehat dapat lebih ditanamkan. Oleh karena itu, keluarga memilik i
posisi yang strategis untuk dijadikan sebagai unit pelayanan kesehatan,
pendidikan, dan tentu saja penanaman keyakinan/agama. Hemat penulis
pandangan Madrais mengenai keluarga ini bisa menjadi sebuah pandangan
yang menarik untuk dikaji terlebih Madrais membebaskan dalam satu
keluarga menganut berbagai agama sesuai keyakinannya. Hal ini bisa
menjadi sebuah rujukan bagamaimana Masyarakat mampu memiliki cara
pikir yang sama yaitu memberi kebebasaan dan menghargai perbedaan
namun tetap saling tumbuh kekerabatan.
68
Dalam hal ini, Pangeran Sadewa Alibassa Kusumah Wijaya Ningrat
atau Kyai Madrais dalam “Pikukuh Tilu” mengatakan bahwa keluarga
adalah:
Kelompok sosial anu pangleutikna tapi ngabogaan daya kakuatan anu
gede. Hiji kulawarga anu ngabiasakeun dina kaayaan tatakrama hade moal
boa buahna oge hade, sabalikna hiji kulawarga dina kaayaan kurang hade
mindeng parasea, songong pangeusina oge tangtu amburadul. Tatakrama
di lingkungan kulawarga bisa dijadikeun parameter pangdeuheusna pikeun
kamekaran jiwa pangeusina.76
Hal penting lainnya dari apa yang diyakini oleh Masyarakat Madrais
adalah bahwa pola interaksi penganut kepercayaan dan penghayatan kepada
Tuhan Yang Maha Esa dengan warga sekitar harus terjalin dengan baik,
sehingga saling menghargai, menghormati, toleransi dan kerukunan antar
umat beragama terjalin dengan baik. Di samping itu, gotong-royong, bantu-
membantu, atau bekerjasama dalam segala aktivitas dan kegiatan sosial juga
terjalin dengan baik diwarnai dengan kehidupan yang harmonis dan bisa
berkembang sampai sekarang.77
Walau masyarakat Sunda Cigugur berbeda-beda dalam keyakinan,
namun mereka memiliki pemahaman yang sama dalam memandang sistem
adat dan kehidupan yang mereka jalani. Dimana keluarga atau kekerabatan
menjadi ikatan paling kuat dibandingkan dengan keyakinan terhadap agama
76Kusnadi, ed.,Pikukuh Tilu: Ajaran Karuhun Urang (Bogor, LPKN, 2006), h. 76. 77Nuhrison, Paham Madrais/Adat Karuhun Urang (AKUR) di Cigugur Kuningan. Jurnal
Harmoni.
69
dan kepercayaan lainnya. Hal ini terlihat dari sikap para kepala keluarga
dalam Masyarakat Madrais yang mengedepankan semangat kekeluargaan
dan memberi kebebasan kepada anak-anaknya untuk memilih agama dan