TUGAS TERSTRUKTUR METODOLOGI PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP KEJADIAN TEMPER TANTRUM PADA ANAK USIA TODDLER DI PAUD TUNAS MULIA KARANGWANGKAL PURWOKERTO UTARA AI NURAENI G1D007001 KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEPERAWATAN PURWOKERTO
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TUGAS TERSTRUKTUR
METODOLOGI PENELITIAN
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP
KEJADIAN TEMPER TANTRUM PADA ANAK USIA TODDLER
DI PAUD TUNAS MULIA KARANGWANGKAL PURWOKERTO UTARA
AI NURAENI
G1D007001
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertumbuhan dan perkembangan manusia merupakan hal yang berjalan
terus dan berliku-liku, proses kompleks yang sering dibagi ke dalam tahap yang
diatur sesuai kelompok umur. Makhluk manusia adalah sistem kompleks dan
terbuka yang dipengaruhi oleh dorongan alami dari dalam dan dari lingkungan.
Umumnya, dorongan alami menentukan batasan perkembangan, di mana faktor
eksternal menghadirkan keuntungan untuk mencapai potensi tersebut.
Penelitian terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia menghasilkan
beberapa teori perkembangan. Teori ini bermacam-macam berdasarkan
bagaimana manusia dilihat dari aspek perkembangan yang ditekankan. Beberapa
teori melihat perkembangan sebagai proses yang berlangsung terus, berpindah
dari hal-hal yang sederhana ke arah yang lebih kompleks. Teori lain melihat
bahwa proses tersebut tidak berlangsung terus, dengan pilihan periode hubungan
keseimbangan dan ketidakseimbangan.
Menurut Freud dalam Potter&Perry (2005:639), Tingkat maturasi anak
menentukan saat perubahan terjadi. Jika pemuasaan kesukaan berlebihan atau
dihambat, anak mungkin menjadi tersangkut secara emosional (terikat) pada
tahapan yang khusus. Sedangkan menurut Erikson (1963) dalam Potter&Perry
(2005:639), setiap tahap memiliki krisis personal yang melibatkan konflik utama
yang kritis pada saat itu. Perkembangan ego sangat dipengaruhi oleh pengaruh
sosial dan kultural, dan kesuksesan hasil dari setiap krisis melibatkan
perkembangan dari kebaikan yang khusus.
Piaget (1952) dalam Potter&Perry (2005:645) melihat perkembangan
pikiran sebagai kejadian melalui adaptasi terhadap lingkungan. Teori ini
menempatkan manusia dalam peran belajar yang aktif dan adalah hal yang penting
untuk memahami bagaimana anak belajar. Menurut Kohlberg (1968) dalam
Potter&Perry (2005:645) mengemukakan bahwa perkembangan kognitif
mendasari kemajuan moral seseorang dari tingkat ke tingkat.
Memahami anak-anak dan pertumbuhan serta perkembangan mereka
merupakan hal yang esensial untuk meningkatkan kesehatan dan menetapkan pola
yang sehat. Pertumbuhan dan perkembangan merupakan proses sinkronisasi yang
bersifat interdependen dalam kesehatan individu. Individu mengalami perubahan
secara kuantitatif dan kualitatif dalam pertumbuhan dan perkembangan
(Potter&Perry, 2005).
Merujuk pada penjelasan di atas bahwa perkembangan akan berjalan terus,
berliku menjadi proses kompleks yang berbeda-beda dan dibagi ke dalam setiap
kelompok umur. Masa toddler berada dalam rentang dari masa kanak-kanak mulai
berjalan sendiri sampai mereka berjalan dan berlari dengan mudah, yaitu
mendekati usia 12 sampai 36 bulan. Toddler tersebut ditandai dengan peningkatan
kemandirian yang diperkuat dengan kemampuan mobilitas fisik dan kognitif lebih
besar.
Toddler terus meningkatkan kewaspadaan terhadap kemampuan mereka
untuk mengontrol dan senang dengan keberhasilan usaha keterampilan baru ini.
Keberhasilan ini membuat mereka mengulangi usaha untuk mengontrol
lingkungan mereka. Ketidakberhasilan usaha pada pengontrolan dapat
menimbulkan perilaku negatif dan temper tantrum. Perilaku ini paling umum
terjadi pada saat orang tua menghalangi tindakan mandiri pertama kalinya. Orang
tua melihat hal tersebut sebagai perilaku yang bermasalah selama tahun toddler
dan waktu untuk mengekspresikan rasa frustasi dengan mencoba untuk membuat
batasan hukum yang konsisten dan sambil secara simultan mendorong
kemandirian.
Menurut Erikson (1963) dalam Potter&Perry (2005:662), perasaan
autonomi muncul selama masa toddler. Kemauan kekuatan mereka sering
diperlihatkan dalam perilaku yang negatif bahkan temper tantrum mungkin terjadi
pada saat toddler frustasi dengan batasan orang tua. Orang tua perlu memberi
toddler kemandirian bertahap, membiarkan mereka melakukan hal-hal yang
mereka mampu pelajari atau merasakan perasaan malu untuk hal-hal yang telah
mereka lakukan. Batasan ketegasan, kesabaran, dan dukungan memungkinkan
toddler mengembangkan perilaku yang diterima secara sosial.
Secara sosial, toddler tetap secara kuat terikat dengan orang tua mereka dan
merasa takut untuk berpisah dari orang tua. Kehadiran mereka membuat toddler
merasa aman, dan rasa ingin tahu mereka ditandai dengan eksplorasi mereka
terhadap lingkungan. Ibu dari toddler jarang dibiarkan untuk mendapatkan privasi
kamar mandi karena menutup pintu membuat tangisan yang tidak berhenti sampai
pintu tersebut dibuka.
Temper tantrum adalah suatu ledakan kemarahan yang diekspresikan secara
sangat dramatis, dengan agitasi motorik hebat seperti menjerit-jerit sambil
berguling di lantai, menendang, menggigit, membenturkan kepala ke lantai atau
tembok, menghentakkan kaki, memukuli diri sendiri atau orang lain, menangis,
memaki, dan lain sebagainya (Markum, 1991).
Temper tantrum dapat merupakan ekspresi kemarahan seorang anak dengan
penyesuain diri normal. Penyebab dan manifestasi tantrum berubah dengan
bertambahnya umur, reaksi fisik dan motorik berkurang menjadi lebih verbal dan
lebih tertuju pada objek atau orang yang dianggap sebagai penyebab terjadinya
frustasi. Temper tantrum dapat juga merupakan ekspresi frustasi yang
berkepanjangan seorang anak yang sedang mengalami ansietas atau depresi. Pada
anak balita tantrum merupakan upaya yang cukup berhasil untuk mendapatkan
perhatian.
Keadaan semacam itu tidak terlepas dari bagaimana cara orang tua mendidik
dan membesarkan anak yang juga dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain
faktor budaya, agama, kebiasaan, kepercayaan, dan keperibadian orang tua. Para
orang tua seringkali memakai cara komunikasi yang tidak efektif dalam
menghadapi anaknya. Padahal keluarga merupakan lingkungan pertama dan
utama bagi anak yang mempunyai pengaruh sangat besar. Orang tua mempunyai
peranan yang besar dalam pembentukan kepribadian anak. Orang tua merupakan
pendidik yang paling utama, guru serta teman sebaya yang merupakan lingkungan
kedua bagi anak. Hal itu juga diungkapkan Hurlock (1978) yang menyatakan
bahwa orang yang paling penting bagi anak adalah orang tua, guru dan teman
sebaya dari merekalah anak mengenal sesuatu yang baik dan tidak baik. Cara
pengasuhan orang tua yang bekerja dan tidak bekerja berbeda. Begitu pula dengan
gaya pengasuhan orang tua yang mempunyai latar belakang pendidikan yang
tinggi dan yang rendah. Dan juga pola asuh orang tua yang tingkat perekonomian
menengah keatas dan manangah kebawah. Masing-masing pola asuh yang
diberikan orang tua mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan
kepribadian anak.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di PAUD Tunas Mulia
Karangwangkal Purwokerto Utara didapatkan anak usia 2-4 tahun mengalami
temper tantrum sebanyak 47,5% dan hal ini tidak diketahui penyebabnya. Asumsi
penulis ada beberapa faktor penyebab tingginya kejadian temper tantrum pada
anak usia toddler tersebut di antaranya pola asuh orang tua. Untuk itu penelitian
ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua terhadap
kejadian temper tantrum pada anak usia toddler di PAUD Tunas Mulia
Karangwangkal Purwokerto Utara.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan yaitu:
Adakah hubungan antara pola asuh orang tua terhadap kejadian temper tantrum
pada anak usia toddler di PAUD Tunas Mulia Karangwangkal Purwokerto Utara?
C. Tujuan
a. Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua terhadap
kejadian temper tantrum pada anak usia toddler di PAUD Tunas Mulia
Karangwangkal Purwokerto Utara.
b. Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua terhadap
kejadian temper tantrum pada anak usia toddler di PAUD Tunas
Mulia Karangwangkal Purwokerto Utara.
2. Untuk mengetahui kejadian temper tantrum pada anak usia toddler di
PAUD Tunas Mulia Karangwangkal Purwokerto Utara.
D. Manfaat penelitian
a. Profesi keperawatan
Sebagai masukan bagi tenaga perawat untuk meningkatkan pengetahuan
tentang pertumbuhan dan perkembangan anak usia toddler khususnya
dalam perkembangan emosi anak.
b. Pengembangan ilmu
Sebagai masukan dalam meningkatkan pengetahuan dan wawasan
berupa perkembangan emosi anak usia toddler.
c. Peneliti
Mencoba kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian dalam
bidang keperawatan dan hasil penelitian ini dapat dijadikan wacana
untuk penelitian lanjut serta menjadi pengalaman untuk penelitian lain
dalam rangka meningkatkan khasanah keilmuan khususnya
keperawatan.
E. Keaslian penelitian
a. Penelitian yang dilakukan oleh Utami (2008), dengan judul “Pengaruh
tingkat pendidikan dan tipe pola asuh orang tua terhadap perkembangan
psikososial anak prasekolah di Taman Kanak – kanak Aisyiyah II
Nganjuk”. Instrumen yang digunakan adalah angket untuk data tingkat
pendidikan, pola asuh dan perkembangan psikososial anak prasekolah
yang meminta jawaban dari orang tua siswa. Penelitian ini
menggunakan desain observasional dengan pendekatan cross sectional,
dengan sampling proposional purposive random sampling. Hasil
penelitian menunjukan, ada pengaruh antara tingkat pendidikan
responden dengan perkembangan psikososial anak dimana didapatkan
nilai Á (0,000) ± (0,05), namun tipe pola asuh berpengaruh terhadap
perkembangan psikososial anak prasekolah dimana hasil uji didapatkan
Á (0,000). Persamaan dengan penelitian yang akan penulis kerjakan
yaitu variabel independent/bebas yang digunakan yaitu pola asuh orang
tua serta penggunaan desain penelitian yang sama menggunakan desain
observasional dengan pendekatan cross sectional sedangkan perbedaan
dari penelitian yang akan penulis lakukan terletak pada variabel
dependent/terikat yaitu penulis menggunakan kejadian temper tantrum
sebagai variabel terikatnya, instrumen penelitian yang digunakan yaitu
kuesioner, dan pada sampel yang digunakan yaitu anak usia toddler.
b. Penelitian yang dilakukan oleh Agustine (2007) dengan judul “Persepsi
orangtua tentang temper tantrum dan cara mengatasi pada anak usia 2 –
4 tahun di paud amanah malang”. Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif dimana dalam pengambilan sampelnya menggunakan metode
non random sampling yaitu menggunakan sampling jenuh. Dari
penelitian ini didapakan bahwa persepsi orangtua tentang temper
tantrum dan cara mengatasinya terdapat 60% orangtua memiliki persepsi
yang positif dan 40% memilki persepsi yang negatif. Disebutkan bahwa
60 % memiliki persepsi yang positif, salah satu yang mempengaruhi
persepsi yaitu cognisi (pengetahuan) yang mencakup penafsiran orang
tua tentang tanda dan perilaku temper tanturm serta penanganannya.
Sedangkan yang memiliki persepsi negatif sekitar 40% bisa dikarenakan
pengetahuan yang kurang akan temper tantrum dan cara penanganannya.
Persamaan dengan penelitian yang akan penulis kerjakan yaitu sampel
penelitian anak usia toddler. Sedangkan perbedaan dari penelitian yang
akan penulis lakukan terletak pada desain penelitian yang menggunakan
desain observasinal dengan pendekatan cross sectional dengan
instrumen penelitian yang digunakan yaitu kuesioner.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Pola Asuh Orang Tua
a. Definisi Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan
bersifat relatif konsisten dari waktu kewaktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan
oleh anak, dari segi negatif dan positif (Nuraeni, 2006). Faktor lingkungan sosial
memiliki sumbangannya terhadap perkembangan tingkah laku individu (anak)
ialah keluarga khususnya orang tua terutama pada masa awal (kanak-kanak)
sampai masa remaja. Dalam mengasuh anaknya orang tua cenderung
menggunakan pola asuh tertentu. Penggunaan pola asuh tertentu ini memberikan
sumbangan dalam mewarnai perkembangan terhadap bentuk-bentuk perilaku
sosial tertentu pada anaknya.
Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama
mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik,
membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai
kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Kohn
(dalam Taty Krisnawaty, 1986: 46) yang dikutip Nuraeni (2006) dalam skripsinya
menyatakan bahwa pola asuhan merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi
dengan anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan
aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritasnya,
dan cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya.
Dalam melakukan tugas-tugas perkembangannya, individu banyak dipengaruhi
oleh peranan orang tua tersebut. Peranan orang tua itu memberikan lingkungan
yang memungkinkan anak dapat menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya.
b. Tipe Pola Asuh Orang Tua
Dalam mengasuh dan membina anak, masyarakat kita mengenal tiga model
pola asuh yaitu :
1. Pola Asuh Otoriter
Dalam pola asuh yang otoriter biasanya pihak orang tua yang menggariskan
keputusan-keputusan tentang perilaku anak-anaknya. Wujudnya tampak dalam
contoh berikut ini : “Kamu harus bangun pagi jika saya mengatakan kamu harus
bangun. Kamu harus pergi tidur jika saya menyatakan kamu harus pergi tidur “
(Maurice Balson, 1987:2).
Pola asuh ini bercirikan dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang
tua. Kebebasan anak dibatasi oleh orang tua, sehingga aturan yang ada dalam
pergaulan keluarga terasa kaku sebab orang tua selalu memaksakan untuk
berperilaku sesuai dengan keinginan orang tua. Bila aturan-aturan yang berlaku
dilanggar, orang tua akan memberi hukuman kepada anaknya, namun jika akan
mematuhinya orang tua tidak memberikan hadiah atau pujian karena apa yang
dilakukan anak sudah sepantasnya dilakukan. Dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa pola asuh otoriter adalah orang tua sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
dalam keluarga untuk mengekang dan mengendalikan anak. Kebebasan anak
dibatasi oleh orang tua, sehingga aturan yang ada dalam pergaulan keluarga terasa
kaku. Bila aturan-aturan yang berlaku dilanggar, orang tua tidak segan-segan akan
memberi hukuman kepada anaknya.
2. Pola Asuh Permisif
Dalam pola asuh permisif atau juga dikenal dengan pola asuh liberal,
keluarga memberikan kebebasan pada anak, kebebasan diberikan dari orang tua
kepada anaknya untuk berperilaku sesuai dengan keinginan anak. Orang tua
kurang peduli dan tidak pernah memberi aturan yang jelas dan pengarahan pada
anak. Segala keinginan anak keputusannya diserahkan sepenuhnya pada anak,
orang tua tidak memberikan pertimbangan bahkan tidak tahu atau sikap orang tua
yang masa bodoh, anak kurang tahu apakah tindakan yang ia kerjakan salah atau
benar (Danny .I. Yatim, 1986:96).
Dari uraian yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa pola asuh
permisif adalah orang tua yang memberikan kebebasan pada anak untuk berbuat
sekehendak hatinya. Keputusan diserahkan sepenuhnya pada anak, orang tua tidak
memberikan pertimbangan apakah tindakan yang ia kerjakan salah atau benar.
3. Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis mendorong anak sebagai individu yang selalu
berkembang, sehingga memiliki ciri adanya sikap saling terbuka antar anak
dengan orang tua. Dalam setiap pengambilan keputusan atau aturanaturan yang
dipakai atas kesepakatan bersama. Orang tua memberi kesempatan pada anak
untuk menyampaikan pendapat, gagasan maupun keinginannya dan belajar untuk
dapat menghargai dan menanggapi orang lain. Orang tua bersikap hanya sebagai
pemberi pendapat dan pertimbangan terhadap aktivitas anak ( Danny I Yatim,
1986:98 ).
Menurut Martaniah (1964: 19), orang tua demokratis besar pengertiannya
terhadap anak dan memberikan kebebasan kepada anak untuk menyatakan
pendapatnya. Bagi orang tua demokratis anak mempunyai kedudukan yang sama
dalam keluarga. Orang tua yang demokratis selalu memperhatikan perkembangan
anak, dan tidak harus sekedar mampu dalam memberi saran-saran atau nasehat
saja, tetapi juga mau mendengarkan keluhan anak sehubungan dengan persoalan
yang anak hadapi.
Tim Penggerak PKK Pusat (1992: 10) menjelaskan, pelaksanaan pola asuh
demokratis atau yang dikenal dengan pola asuh pendekatan perilaku, tidak
menang dan tidak kalah adalah orang tua yang bersikap keras, jelas dan
konsekuen, tidak memaksakan kehendak, menghargai dan menghormati,
membiasakan minta maaf kepada anak jika akan, sedang dan sesudah
menyinggung perasaan orang lain, kalau anak menyimpang dari aturan, adat,
hukum dan agama, menasehati tanpa merendahkan martabat anak, tidak
menyalahkan atau membenarkan apabila salah satunya berkelahi, menghindari,
mengalahkan atau memenangkan anak. Akibat dari pola asuh ini adalah
menyebabkan anak menjadi mandiri, mempunyai tanggung jawab, mempunyai
inisiatif dan kreatif, sopan santun dan dapat membedakan yang baik dan yang
buruk. Jadi dapat ditarik suatu pengertian bahwa pola asuh demokratis adalah
orang tua memposisikan anak dalam posisi yang sama dengan orang tua artinya
memiliki hak dan kewajiban yang sama, orang tua tidak harus menang dan tidak
harus kalah artinya orang tua bersikap keras, jelas dan konsekuen tetapi
memaksakan kehendak. Orang tua memberi kesempatanmpada anak untuk
menyampaikan pendapat, gagasan maupun keinginannya dan belajar untuk dapat
menghargai dan menanggapi oarang lain. Orang tua bersikap hanya sebagai
pemberi pendapat dan pertimbangan terhadap aktivitas anak. Anak akan semakin
termotivasi dalam melakukan kegiatan karena adanya kepercayaan diri yang
diberikan oleh orang tua, sehingga semakin bertanggung jawab.
Berbagai pola asuh yang diterapkan orang tua terhadap anaknya dipengaruhi
oleh latar belakang pendidikan orang tua. Pendidikan adalah bimbingan yang
diberikan seseorang kepada orang lain untuk mencapai apa yang dicita – citakan
(Utami, 2008). Latar belakang pendidikan orang tua mempunyai pengaruh yang
besar terhadap perilaku anak. Orang tua yang mempunyai latar belakang
pendidikan yang tingi cenderung akan lebih memperhatikan segala perubahan dari
setiap perkembangan yang terjadi pada anaknya. Orang tua yang berpendidikan
tinggi umumnya mengetahui bagaimana tingkat perkembangan anak dan
bagaimana pola asuh orang tua yang baik sesuai dengan perkembangan anak
khususnya untuk pembentukan perilaku yang baik bagi anak.
Orang tua yang berpendidikan tinggi umumnya dapat mengajarkan sopan
santun kepada orang lain, baik dalam berbicara ataupun dalam hal lain, mampu
mengajarkan bagaimana mengendalikan keinginan sendiri ditengah-tengah
khalayak dan sebagainya. Berbeda dengan orang tua yang mempunyai latar
belakang pendidikan yang rendah cenderung acuh terhadap hal semacam itu.
Dalam memberikan pola asuh pada anak umumnya kurang memperhatikan tingkat
perkembangan anak. Hal ini dikarenakan orang tua yang masih awam dan tidak
mengetahui tingkat perkembangan anak dan bagaimana cara berkomunikasi serta
memberikan pola asuh yang tepat bagi anaknya sesuai dengan tahap
perkembangan. Orang tua biasanya mengasuh anak dengan gaya dan cara mereka
sendiri tanpa tahu jelas ketepatan pola asuh tersebut sehingga menghasilkan
seorang anak dengan pribadi dan perilaku yang kurang baik.
2. Gangguan Perilaku
a. Definisi Gangguan Perilaku
Gangguan perilaku yaitu gangguan penyesuaian diri terhadap lingkungan
sosial yang disebabkan oleh lemahnya control diri, merupakan kasus yang paling
banyak terjadi pada anak-anak. Kazdin (dalam Carr, 2001) menyebutkan bahwa
dari seluruh anak-anak yang dirujuk karena mengalami gangguan klinis, sepertiga
sampai setengah diantaranya karena mengalami gangguan perilaku. Bahkan pada
populasi yang bukan klinis, ditemukan bahwa 50% atau lebih anak usia 4-5 tahun
telah menunjukkan beberapa yang tetap (Campbell, Coie & Reid, dalam Bennett,