TUGAS MANDIRI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN “Ringkasan Materi Kelompok 1 - 8” BAB I TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN DAN TEORI DESKRIPTIF DAN TEORI PRESKRIPTIF A. TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN 1. Pengertian Pembelajaran Pembelajaran yang diidentikkan dengan kata “mengajar” berasal dari kata dasar “ajar” yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut) ditambah dengan awalan “pe” dan akhiran “an menjadi “pembelajaran”, yang berarti proses, perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan sehingga anak didik mau belajar. (KBBI) Dengan kata lain, kegiatan pembelajaran adalah kegiatan yang di dalamnya terdapat proses mengajar, membimbing, melatih, memberi contoh, dan atau mengatur serta memfasilitasi berbagai hal kepada peserta didik agar bisa belajar sehingga tercapai tujuan pendidikan. Pembelajaran
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TUGAS MANDIRI
BELAJAR DAN PEMBELAJARAN“Ringkasan Materi Kelompok 1 - 8”
BAB I
TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN DAN TEORI
DESKRIPTIF DAN TEORI PRESKRIPTIF
A. TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
1. Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran yang diidentikkan dengan kata “mengajar” berasal dari kata dasar
“ajar” yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut)
ditambah dengan awalan “pe” dan akhiran “an menjadi “pembelajaran”, yang berarti
proses, perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan sehingga anak didik mau belajar.
(KBBI)
Dengan kata lain, kegiatan pembelajaran adalah kegiatan yang di dalamnya
terdapat proses mengajar, membimbing, melatih, memberi contoh, dan atau mengatur
serta memfasilitasi berbagai hal kepada peserta didik agar bisa belajar sehingga tercapai
tujuan pendidikan. Pembelajaran juga diartikan sebagai usaha sistematis yang
memungkinkan terciptanya pendidikan.
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan
pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan
kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik.
Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat
belajar dengan baik.
Proses Pembelajaran juga dapat diartikan sebagai suatu rangkaian interaksi antara
siswa dan guru dalam rangka mencapai tujuannya.
2. Konsep Dasar Pembelajaran
Dalam pembelajaran, guru mempunyai tugas-tugas pokok antara lain bahwa ia
harus mampu dan cakap merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi dan membimbing
dalam kegiatan pembelajaran. Dengan kata lain, agar para guru mampu menunaikan
tugasnya dengan sebaik-baiknya, ia terlebih dahulu hendaknya memahami dengan
seksama hal-hal yang berkaitan dengan proses pembelajaran.
3. Pendekatan atau Model dalam Pembelajaran
Belajar dapat dilakukan diberbagai tempat, kondisi, dan waktu. Cepatnya
informasi lewat radio, televisi, film, wisatawan, surat kabar, majalah, dapat
mempermudah belajar. meskipun informasi dengan mudah dapat diperoleh, tidak dengan
sendirinya seseorang terdorong untuk memperoleh pengetahuan, pengalaman, dan
ketrampilan dari padanya. Guru profesional memerlukan pengetahuan dan ketrampilan
pendekatan pembelajaran agar mampu mengelola berbagai pesan sehingga siswa
berkebiasaan belajar sepanjang hayat.
Pendekatan pembelajaran dapat berarti anutan pembelajaran yang berusaha
meningkatkan kemampuan-kemampuan kognitif, afekif, dan psikomotorik siswa dalam
pengolahan pesan sehingga tercapai sasaran belajar.
Dalam belajar tentang pendekatan pembelajaran tersebut, orang dapat melihat:
a. pengorganisasian siswa,
b. posisi guru-siswa dalam pengolahan pesan, dan
c. pemerolehan kemampuan dalam pembelajaran.
Pendekatan pembelajaran dengan pengorganisasian siswa dapat dilakukan dengan:
a. pambelajaran secara individual,
b. pembelajaran secara kelompok, dan
c. pembelajaran secara klasikal.
Pada ketiga keorganisasian siswa tersebut tujuan pengajaran, peran guru dan
siswa, program pembelajaran, dan disiplin belajar berbeda-beda. Pada ketiga
pengorganisasian siswa tersebut siswa tersebut seyogyanya digunakan untuk
membelajarkan siswa yang menghadapi kecepatan informasi pada masa kini.
Sehubungan dengan posisi guru-siswa dalam pengolahan pesan, guru dapat
menggunakan strategi ekspositori, strategi discovery, dan strategi inkuiri. Strategi
ekpositori, strategi discovery, dan strategi inkuiri. Strategi ekspositori masih terpusat
pada guru; oleh karena itu seyogianya dikurangi. Strategi discovery dan inkuiri terpusat
ada siswa. Dalam kedua strategi ini siswa dirancang aktif belajar, sehingga ia dapat
menemukan, bekerja secara ilmu pengetahuan, dan merasa senang. Pada tempatnya guru
menggunakan strategi discovery dan inkuiri yang sesuai dengan pendekatan CBSA.
Dalam pembelajaran pada pebelajar terjadi peningkatan kemampuan. Semula, ia
memiliki kemampuan pra-belajar; dalam proses belajar pada kegiatan belajar hal
tertentu, ia meningkatkan tingkat atau memperbaiki tingkat ranah-ranah kognitif, afektif,
dan psikomotorik. Keputusan tentang perbaikan tingkat ranah tersebut didasarkan atas
evaluasi guru dan unjuk kerja siswa dalam pemecahan masalah. Dari sisi guru, proses
pemerolehan pengalaman siswa atau proses pengolahan pesan tersebut dapat dilakuikan
dengan cara dedukatif dan induktif. Pengolahan pesan secara deduktif dimulai dari
generalisasi atau suatu teori yang benar, pencarian data, dan uji kebenaran generalisasi
atau suatu teori tersebut. Pada pengolahan pesan secara induktif kegiatan bermula dari
adanya fakta atau peristiwa khusus, penyusunan konsep-konsep. Dalam usaha
pembelajaran guru dapat menggunakan pengolahan pesan secara deduktif atau induktif
tergantung pada karakteristik bidang studinya.
Selain pendekatan atau model belajar individual, kelompok dan klasikal, masih
terdapat banyak model belajar yang lain. Di antaranya:
4. Peran Guru Dalam Kegiatan Pembelajaran
Peran guru dalam pembelajaran yaitu membuat desain instruksional,
menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar, bertindak mengajar atau membelajarkan,
mengevaluasi hasil belajar yang berupa dampak pengajaran. Selain itu, menurut
Djamarah (2000: 43-48) bahwa tugas dan tanggung jawab guru atau lebih luasnya
pendidik adalah sebagai:
1) Korektor, yaitu pendidik bisa membedakan mana nilai yang baik dan mana nilai
yang buruk, koreksi atau penilaian yang dilakukan bersifat menyeluruh dari segi
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Setiap peserta didik mempunyai kemampuan yang
berbeda dalam menerima pelajaran. Ada yang mempunyai kemampuan baik di bidang
kognitif tetapi kurang pada afektifnya, ada pula yang baik pada psikomotorik namun
Teori belajar Yang ditekankan Tokoh
Behaviorisme (tingkah
laku)
Stimulus, respon, penguatan
motivasi
Pavlov, Skinner, Bandura
Cognitivisme Daya ingat, perhatian,
pemahaman mendalam,
organisasi gagasan, proses
informasi
Brunner, Piaget, Ausubel
Konstruktivisme Pengalaman, interaksi Jean Piaget, Vygotsky,
Humanisme Emosi, perasaan, komunikasi
yang terbuka, nilai-nilai
John Miler
kurang pada kognitifnya, dan berbagai macam perbedaan peserta didik yang lain. Oleh
karena itu, dalam memberikan penilaian, hendaknya pendidik tidak hanya memberikan
penilaian dari satu aspek saja.
2) Inspirator, yaitu pendidik menjadi inspirator atau ilham bagi kemajuan belajar
siswa atau mahasiswa, petunjuk bagaimana cara belajar yang baik, serta member
masukan dalam menyelesaikan masalah lainnya.
3) Informator, yaitu pendidik harus dapat memberikan informasi perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dengan peserta didik yang dibekali pengetahuan tentang
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka peserta didik tersebut akan
memiliki daya saing yang tinggi. Sehingga peserta didik tidak akan tertinggal di era
global ini.
4) Organisator, yaitu pendidik harus mampu mengelola kegiatan akademik (belajar),
hingga tercipta kegiatan pembelajaran yang tertib dan menyenangkan.
5) Motivator, yaitu pendidik harus mampu mendorong peserta didik agar bergairah
dan aktif belajar. Motivasi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi keefektifan
kegiatan belajar siswa. Motivasilah yang mendorong siswa ingin melakukan kegiatan
belajar. Para ahli psikologi mendefinisikan motivasi sebagai proses di dalam diri
individu yang aktif, mendorong, memberikan arah, dan menjaga perilaku setiap saat
(Slavin, 1994). Motivasi dari pendidik merupakan motivasi ekstrinsik. Meskipun dalam
proses belajar, motivasi intrinsik atau motivasi yang berasal dari dalam diri individu
memiliki pengaruh yang lebih efektif, (karena motivasi intrinsik bertahan relatif lebih
lama) namun motivasi ekstrinsik juga tetap dibutuhkan. Karena kurangnya respons dari
lingkungan secara positif akan mempengaruhi semangat belajar seseorang. Oleh karena
itu, guru sebagai salah satu motivasi ekstrinsik hendaknya selalu memberikan motivasi
pada peserta didiknya.
6) Inisiator, yaitu pendidik menjadi pencetus ide-ide kemajuan dalam pendidikan
dan pembelajaran. Melalui berbagai macam pengalaman yang didapatkan pendidik
selama di kelas, pendidik hendaknya memberikan ide-ide demi kemajuan pembelajaran,
minimal untuk kemajuan pembelajaran di kelas yang dibimbing.
7) Fasilitator, yaitu pendidik dapat memberikan fasilitas yang memungkinkan
kemudahan kegiatan belajar.
8) Pembimbing, yaitu pendidik harus mampu membimbing peserta didik menjadi
manusia dewasa yang bertanggung jawab. Hal yang harus dilakukan pendidik adalah
memberikan contoh yang baik pada peserta didik dan mengarahkannya. Oleh karena itu,
pendidik hendaknya selalu menjaga sikap dan perilaku, karena membimbing seseorang
tanpa memberikan teladan yang baik adalah sia-sia.
9) Demonstrator, yaitu jika diperlukan pendidik bisa mendemonstrasikan bahan
pelajaran yang susah dipahami. Peserta didik akan lebih mudah memahami suatu materi
jika materi tersebut didemonstrasikan, karena sesuatu yang didemonstrasikan
melibatkan aspek audio dan visual, sehingga lebih mudah untuk dipahami peserta didik.
10) Pengelola kelas, yaitu pendidik harus mampu mengelola kelas untuk menunjang
interaksi edukatif. Jika kelas dikelola dengan baik, maka proses pembelajaran dapat
berjalan dengan tertib.
11) Mediator, yaitu pendidik menjadi media yang berfungsi sebagai alat komunikasi
guna mengefektifkan proses interaktif edukatif. Proses pembelajaran merupakan proses
interaksi, bukan hanya penyampaian materi dari satu arah atau dari guru saja, peserta
didik hendaknya turut aktif dalam proses pembelajaran, dan dengan adanya pendidik
maka diharapkan proses interaktif edukatif tersebut tercipta di kelas. Dalam hal ini
biasanya pendidik cukup memberikan sedikit materi di awal, kemudian mengajak
dialog peserta didik mengenai materi yang telah diberikan sebelumnya, atau dengan
memberikan pertanyaan-pertanyaan mengenai materi yang akan dibahas.
12) Supervisor, yaitu pendidik hendaknya dapat memperbaiki dan menilai secara kritis
terhadap proses pembelajaran. Setiap selesai proses pembelajaran, pendidik yang baik
akan menilai proses pembelajaran yang telah berlangsung, apabila terdapat kekurangan,
maka ia akan mencari sumber kekurangan tersebut dan memperbaikinya, sehingga
proses pembelajaran dapat berjalan lebih baik setiap harinya.
13) Evaluator, yaitu pendidik dituntut menjadi evaluator yang baik dan jujur. Pendidik
diharapkan bisa berlaku adil dan jujur dalam setiap proses evaluasi, sehingga tiap- tiap
peserta didik dapat mengetahui kemampuannya. Membantu peserta didik ketika
menghadapi ujian bukanlah hal yang tepat dilakukan oleh seorang pendidik, karena hal
tersebut merupakan pembodohan peserta didik dan mengajarkan ketidakjujuran pada
peserta didik. Dan hal tersebut juga membuat peserta didik tidak akan pernah merasa
percaya diri terhadap kemampuan yang dimilikinya.
Oleh karena itu, jelaslah bahwa kata “pendidik” dalam perspektif pendidikan
yang selama ini berkembang di masyarakat memiliki makana yang lebih luas, dengan
tugas, peran, dan tanggung jawabnya adalah mendidik peserta didik agar tumbuh dan
berkembang potensinya kea rah yang lebih sempurna
B. TEORI DESKRIPTIF DAN TEORI PRESKRIPTIF
1. Reori belajar deskriptif
Bruner mengemukakan bahwa teori pembelajaran adalah preskriptif dan teori
belajar adalah deskriptif, preskriptif karena tujuan utama teori pembelajaran adalah
menetapkan metode pembelajaran yang optimal, dan deskriptif karena tujuan utama teori
belajar adalah memerika proses belajar. Teori belajar menaruh perhatian pada hubungan
di antara variabel-variabel yang menentukan hasil belajar, atau sebagaimana seseorang
belajar. Teori pembelajaran menaruh perhatian pada bagaimana seseorang
mempengaruhi orang lain agar terjadi hal belajar atau upaya mengontrol variabel-
variabel yang dispesifikasi dalam teori belajar agar dapat memudahkan belajar.
Teori belajar yang deskriptif menempatkan variabel kondisi dan metode
pembelajaran sebagai given, dan memerikan hasil pembelajaran sebagai variabel yang
diamati atau kondisi dan metode pembelajaran sebagai variabel bebas dan hasil
pembelajaran sebagai variabel tergantung. Sedangkan teori pembelajaran yang
preskriptif, kondisi dan hasil pembelajaran ditempatkan sebagai given dan metode yang
optimal dtempatkan sebagai variabel yang diamati, atau metode pembelajaran sebagai
variabel tergantung. Teori preskriptif adalah goal oriented(untuk mencapai tujuan),
sedangkan teori deskriptif adalah goal free(untuk memerikan hasil). Variabel yang
diamati dalam pengembangan teori-teori pembelajaran yang preskriptif adalah metode
yang optimal untuk mencapai tujuan, sedangkan dalam pengembangan teori-teori
pembelajaran deskriptif variabel yang diamati adalah hasil sebagai efek dari interasi
antara metode dan kondisi.
Dengan teori pembelajaran secara deskritif dan teori preskritif ada bebrapa Ciri
utama dari pembelajaran adalah inisiasi, fasilitasi, dan peningkatan proses belajar siswa.
Sedangkan komponen-komponen dalam pembelajaran adalah tujuan, materi, kegiatan,
dan evaluasi pembelajaran.
1. Teori belajar adalah deskriptif karena tujuan utamanya menjelaskan proses
belajar, sedangkan teori pembelajaran adalah preskriptif karena tujuan utamanya
menetapkan metode pembelajaran yang optimal
2. Teori pembelajaran preskriptif dimaksudkan untuk mencapai tujuan, sedangkan
teori pembelajaran deskriptif dimaksudkan untuk memberikan hasil. itulah
sebabnya, variabel yang diamati dalam teori-teori pembelajaran yang preskriptif
adalah metode yang optimal untuk mencapai tujuan
3. Teori belajar menaruh perhatian pada hubungan diantara variable variabel yang
menentukan hasil belajar, atau bagaimana seseorang belajar.
4. Teori pembelajaran menaruh perhatian pada bagaimana seseorang mempengaruhi
orang lain agar terjadi hal belajar, atau upaya mengontrol variabel-variabel yang
dispesifikasi dalam teori belajar agar dapat memudahkan belajar
5. Teori perspektif adalah goal oriented (untuk mencapai tujuan), sedangkan teori
deskriptif goal free (untuk memerikan hasil).
Dari perspektif lain, Simon (dalam Degeng, 1989) mengemukakan perbedaan
serupa dengan memaparkan persamaan karakteristik dari ”a prescriptive science” dan
membandingkan dengan karakteristik dari ”a descriptive science”. Dalam kerangka ini
nyata sekali bahwa teori pembelajaran termasuk teori preskriptif yang berpasangan
dengan teori belajar yang termasuk teori deskriptif.
Ilmu deskriptif dan ilmu preskriptif memiliki perbedaan peranan. Aspek penting
yang membedakan adalah hanya ada satu jenis profesi dalam ilmu deskriptif, yaitu
ilmuwan. Sedangkan dalam ilmu preskriptif terlibat tiga jenis profesi, yaitu (1) ilmuwan;
(2) teknolog dan (3) teknisi. Ilmuwan berurusan dengan pengembangan prinsip dan teori.
Teknolog yang menggunakan prinsip dan teori untuk mengembangkan prosedur.
Sedangkan teknisi yang menggunakan prosedur yang dikembangkan teknolog untuk
menciptakan sesuatu (Reigeluth, Bunderson, dan Merril dalam Degeng, 1989)
Teori belajar menaruh perhatian pada hubungan diantara variabel-variabel yang
menentukan hasil belajar. Teori belajar menaruh perhatian pada ”bagaimana seseorang
belajar”. Sebaliknya teori pembelajaran menaruh pehatian pada bagaimana seseorang
mempengaruhi orang lain untuk belajar. Teori pembelajaran berurusan dengan upaya
mengontrol variabel-variabel.
Pembedaan teori belajar (deskriptif) dan pembelajaran (preskriptif)
dikembangkan oleh Bruner, lebih lanjut oleh Reigeluth (1983), Gropper (1983),
dan Landa (1983). Menurut Reigeluth (dalam Degeng 1989) teori-teori dan prinsip
pembelajaran yang deskriptif menempatkan variabel kondisi dan metode pembelajaran
sebagai givens dan memerikan hasil pembelajaran sebagai variabel yang diamati.
Dengan kata lain kondisi dan metode pembelajaran sebagai variabel bebas dan hasil
pembelajaran sebagai variabel tergantung.
Teori Deskriptif dan Perspektif Untuk membedakan antara teori belajar dan teori
pembelajaran bisa diamati dari posisional teorinya, apakah berada pada tataran teori
deskriptif atau perspektif. Bruner (dalam Dageng 1989) mengemukakan bahwa teori
pembelajaran adalah perspektif dan teori belajar adalah deskriptif. Perspektif karena
tujuan utama teori pembelajaran adalah menetapkan metode pembelajaran yang optimal,
sedangkan teori belajar bersifat deskritif karena tujuan utama teori belajar adalah
menjelaskan proses belajar. Teori belajar menaruh perhatian pada hubungan aantara
variable-variabel yang menentukan hasil belajar. Sedangkan teori pembelajaran
sebaliknya teori ini menaruh perhatian pada bagaimana seseorang mempengaruhi orang
lain agar terjadi proses belajar. Dengan kata lain teori pembelajaran berurusan dengan
upaya mengontrol variable yang dispesifikasikan dalam teori belajar agar dapat
memudahkan belajar. (C.Asri Budiningsih,2004).
Asri Budiningsih (2004) dalam buku Belajar dan Pembelajaran menjelaskan
bahwa upaya dari Bruner untuk membedakan antara teori belajar yang deskriptif dan
teori pembelajaran yang perspektif dikembangkan lebih lanjut oleh Reigeluth.teori dan
prinsip-prinsip pembelajaran yang deskriptif menempatkan variable kondisi dan metode
pembelajaran sebagai givens dan menempatkan hasil belajar sebagai varibael yang
diamati. Dengan kata lain, kondisi dan metode pembelajaran sebagai variable bebas dan
hasil pembelajaran sebagai variable tergantung.
Reigeluth (1983 dalam degeng ,1990) mengemukakan bahwa teori perspektif
adalah goal oriented sedangkan teori deskriptif adalah goal free. Maksudnya adalah
bahwa teori pembelajaran perspektif dimaksudkan untuk mencapai tujuan, sedangkan
teori belajar deskriptif dimaksudkan untuk memberikan hasil. Itulah sebabnya variable
yang diamati dalam mengembangkan teori belajar yang perspektif adalah metode yang
optimal untuk mencapai tujuan, sedangkan dalam pengembangan teori pem,belajaran
deskriptif, variable yang diamati adalah hasil belajar sebagai akibat dari interaksi antara
metode dan kondisi.
Dengan kata lain teori pembelajaran mengungkapkan hubungan antara kegiatan
pembelajaran dengan proses psikologis dalam diri siswa, sedangkan teori belajar
mengungkapkan hubungan antara kegiatan siswa dengan proses psikologis dalam diri
siswa. Teori pembelajaran harus memasukkan variable metode pembelajaran. Bila tidak,
maka teori itu bukanlah teori pembelajaran. Hal ini penting sebab banyak yang terjadi
apa yang dianggap sebagai teori pembelajaran yang sebenarnya adalah teori belajar.
Teori pembelajaran selalu menyebutkan metode pembelajaran sedangkan teori belajar
sama sekali tidak berurusan dengan metode pembelajaran.
Kelebihan dan kekurangan teori belajar deskriptif dan preskriptif
Kelebihan dan kekurangan teori belajar deskripitif kelebihan
lebih terkonsep sehingga siswa lebih memahami materi yang akan disampaikan.
mendorong siswa untuk mencari sumber pengetahuan sebanyak-banyaknya dalam
mengerjakan suatu tugas.
Kekurangan
kurang memperhatikan sisi psikologis siswa dalam mendalami suatu materi.
Kelebihan dan kekurangan teori belajar preskriptif kelebihan
lebih sistematis sehingga memiliki arah dan tujuan yang jelas. banyak member motivasi
agar terjadi proses belajar. mengoptimalisasikan kerja otak secara maksimal.
Kekurangan
membutuhkan waktu cukup lama
BAB II
TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK DAN TEORI BELAJAR
KOGNITIF
1. Teori Behaviouristik
Teori behaviouristik mengatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku.
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia telah mampu menunjukkan perubahan
tingkah laku. Pandangan behaviouristik mengakui pentingnya masuan atau input yang
berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respon. Sedangkan apa yang
terjadi di antara stimulus dan respon di anggap tidak penting diperhatikan sebab tidak
bisa diamati dan diukur. Yang bisa diamati dan diukur hanyalah stimulus dan respons.
Penguatan (reinforcement) adaah faktor penting dalam belajar. Penguatan adalah
apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positif
reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Demikian juga jika penguatan dikurangi
(negative reinforcement) maka respon juga akan menguat. Tokoh-tokoh penting teori
behaviouristik antara lain Thorndike, Watson, Skiner, Hull dan Guthrie.
Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan sebagai
aktifitas “mimetic” yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan
yang sudah dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan dari bagian-bagian
keseluruhan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil, dan evaluasi menuntut
suatu jawaban benar. Jawaban yang benar menunjukkan bahwa siswa telah
menyelesaikan tugas belajarnya.
2. Teori Kognitif
Pengertian belajar menurut teori kognitif adalah perubahan persepsi dan
pemahaman, yang tidak selalu berbentuk tingkah laku yang dapat diamati dan dapat
diukur. Asumsi teori ini adalah bahwa setiap orang telah memiliki pengetahuan dan
pengalaman yang telah tertata dalam bentuk struktur kognitif yang dimilikinya. Proses
belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran atau informasi baru beradaptasi
dengan struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang.
Dalam kegiatan pembelajaran, keterlibatan siswa secara aktif amat dipentingkan.
Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengetahuan
baru dengan steruktur kognitif yag telah dimilii siswa. Materi pelajaran disusun dengan
menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhan ke kompleks. Perbedaan individual
pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mepengaruhi keberhasilan
siswa.
BAB III
TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK DAN TEORI
PEMBELAJARAN HUMANISTIK
A. Teori Konstruktivistik
Usaha mengembangkan manusia dan masyarakat yang memiliki kepekaan,
mandiri, bertanggungjawab, dapat mendidik dirinya sendiri sepanjang hayat, serta
mampu berkolaborasi dalam memecahkan masalah, diperlukan layanan pendidikan yang
mampu melihat kaitan antara ciri-ciri manusia tersebut, dengan praktek-praktek
pendidikan dan pembelajaran untuk mewujudkannya. Pandangan konstruktivistik yang
mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha pemberian makna oleh siswa kepada
pengalamnnya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju pada pembentukan
struktur kognitifnya, memungkinkan mengarah kepada tujuan tersebut. Oleh karena itu,
pembelajaran diusahakan agar dapat memberikan kondisi terjadinya proses pembentukan
tersebut secara optimal pada diri siswa.
Proses belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada
pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi, akan membentuk suatu
kunstruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya. Guru-
guru konstrutivistik yang mengakui dan menghargai dorongan dari manusia atau siswa
untuk mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri, kegiatan pembelajaran yang
dilakukannya akan diarahkan agar terjadi aktifitas konstruksi pengetahuan oleh siswa
secara optimal.
Teori Belajar Konstruktivistik Dan Penerapannya Dalam
Pembelajaran
1. Karakteristik Manusia Masa Depan yang Diharapkan
Upaya membangun sumber daya manusia ditentukan oleh karakteristik manusia dan
masyarakat masa depan yang dikehendaki. Karakteristik manusia masa depan yang
dikehendaki tersebut adalah manusia-manusia yang memiliki kepekaan, kemandirian,
tanggung jawab terhadap resiko dalam mengambil keputusan, mengembangkan segenap
aspek potensi melalui proses belajar yang terus menerus untuk menemukan diri sendiri
dan menjadi diri sendiri yaitu suatu proses … (to) learn to be. Mampu melakukan
kolaborasi dalam memecahkan masalah yang luas dan kompleks bagi kelestarian dan
kejayaan bangsanya (Raka Joni, 1990).
2. Konstruksi Pengetahuan
Faktor-faktor yang juga mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan adalah
konstruksi pengetahuan yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur
kognitif yang dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki
seseorang akan menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang. Pengalaman
akan fenomena yang baru menjadi unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan
pengetahuan. Keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan membatasi
pengetahuannya akan hal tersebut. Pengetahuan yang telah dimiliki orang tersebut akan
membentuk suatu jaringan struktur kognitif dalam dirinya.
3. Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivistik
Proses belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada
pengalamannya melaui proses asimilasi dan akomodasi, akan membentuk suatu
konstruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya. Ada
beberapa pandangan dari segi konstruktivistik, dan dari aspek-aspek si-belajar, peranan
guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.
Proses belajar konstruktivistik. Secara konseptual, proses belajar jika dipandang
dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu
arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa
kepada pengalamanya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada
pemutahkiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi
prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas.
Proses tersebut berupa “…..constructing and restructuring of knowledge and skills
(schemata) within the individual in a complex network of increasing conceptual
consistency…..”. pemberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh individu
tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi
dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun diluar
kelas. Oleh sebab itu pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan
siswa dalam memproses gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan dan
lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan
dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainya.
B. Teori belajar humanistik
1. Pengertian Teori Belajar Humanistik.
Dalam teori belajar humanistik proses belajar harus berhulu dan bermuara
pada manusia itu sendiri. Meskipun teori ini sangat menekankan pentingya isi dari
proses belajar, dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan
dan proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini
lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar
seperti apa adanya, seperti apa yang bisa kita amati dalam dunia keseharian.. Teori
apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk “memanusiakan manusia” (mencapai
aktualisasi diri dan sebagainya) dapat tercapai.
Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. \
proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya
sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambatlaun ia mampu
mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha
memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang
pengamatnya.
Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan
dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri
sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang
ada dalam diri mereka. Para ahli humanistik melihat adanya dua bagian pada proses
belajar, ialah :
1. Proses pemerolehan informasi baru,
2. Personalia informasi ini pada individu.
Tokoh penting dalam teori belajar humanistik secara teoritik antara lain adalah:
Arthur W. Combs, Abraham Maslow dan Carl Rogers.
a. Arthur Combs (1912-1999)
Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian
pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering
digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa
memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka.
Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka
enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus
mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dati
ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan
kepuasan baginya.
Untuk itu guru harus memahami perlaku siswa dengan mencoba memahami
dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus
berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal
membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru
membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi
pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah
menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa
si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan
menghubungkannya dengan kehidupannya.
Combs memberikan lukisan persepsi dir dan dunia seseorang seperti dua
lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran kecil (1) adalah
gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia. Makin
jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap
perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin
mudah hal itu terlupakan.
b. Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal :
(1) suatu usaha yang positif untuk berkembang
(2) kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi
kebutuhan yang bersifat hirarkis.
Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut
untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut
membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang
juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah
berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan
pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri(self).
Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh
hirarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan
fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah
kebutuhan mendapatkan ras aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia
menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperharikan oleh
guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi
belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi.
c. Carl Rogers
Carl Rogers lahir 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois Chicago, sebagai anak
keempat dari enam bersaudara. Semula Rogers menekuni bidang agama tetapi
akhirnya pindah ke bidang psikologi. Ia mempelajari psikologi klinis di Universitas
Columbia dan mendapat gelar Ph.D pada tahun 1931, sebelumnya ia telah merintis
kerja klinis di Rochester Society untuk mencegah kekerasan pada anak.
Gelar profesor diterima di Ohio State tahun 1960. Tahun 1942, ia menulis
buku pertamanya, Counseling and Psychotherapy dan secara bertahap
mengembangkan konsep Client-Centerd Therapy.
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
1. Kognitif (kebermaknaan)
2. experiential ( pengalaman atau signifikansi)
Guru menghubungan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti
memperlajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential Learning
menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar
experiential learning mencakup : keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif,
evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa.
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah
pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:
1. Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak
harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
2. Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian
bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian
yang bermakna bagi siswa
3. Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru
sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
4. Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip
dasar humanistik yang penting diantaranya ialah :
a. Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
b. Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid
mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
c. Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri
diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
d. Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan
diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
e. Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan
berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
f. Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
g. Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut
bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
h. Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan
maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam
dan lestari.
i. Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai
terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan
penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
j. Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah
belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap
pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan
itu.
Salah satu model pendidikan terbuka mencakuo konsep mengajar guru yang fasilitatif
yang dikembangkan Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai
kemampuan para guru untuk menciptakan kondidi yang mendukung yaitu empati,
penghargaan dan umpan balik positif. Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :
1. Merespon perasaan siswa
2. Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
3. Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
4. Menghargai siswa
5. Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
6. Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk mementapkan kebutuhan
segera dari siswa)
7. Tersenyum pada siswa
Dari penelitian itu diketahui guru yang fasilitatif mengurangi angka bolos siswa,
meningkatkan angka konsep diri siswa, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi
akademik termasuk pelajaran bahasa dan matematika yang kurang disukai, mengurangi
tingkat problem yang berkaitan dengan disiplin dan mengurangi perusakan pada peralatan
sekolah, serta siswa menjadi lebih spontan dan menggunakan tingkat berpikir yang lebih
tinggi.
BAB IV
TEORI BELAJAR SIBERNETIK
DAN TEORI BELAJAR REVOLUSI SOSIOKULTURIAL
A. TEORI BELAJAR SIBERNETIK
a. Ciri Khas dalam Psikologi Humanistik
1. Mereka menekankan bahwa psikologi seharusnya memperlakukan “keseluruhan
pribadi manusia” meliputi seluruh aspek-aspeknya.
2. Mereka menekankan kepada aktivitas dari sudut pandangan orangnya daripada
pandangan “peninjau” (observer). Pengikut psikologi humanistik menyatakan
bahwa dalam melihat manusia sebagian besar ahli-ahli psikologi mengambil sudut
pandangan orang ketiga, sedangkan cara yang paling nyata untuk mempelajari
psikologi adalah melalui “mata person” yaitu dirinya sendiri.
3. Mereka juga menekankan kepada “self-actualization”, “self-fulfillment” atau “self-
realization”.
4. Mengenai perkembangan pribadi seseorang dalam arah apapun, orang tersebut
selalu memilih atau menilai.
b. Aplikasi Teori Humanistik Carl Roger Dalam Pendidikan Teori Roger dalam
bidang pendidikan adalah dibutuhkannya 3 sikap dalam fasilitator belajar yaitu:
1. Realitas di dalam fasilitator belajar
2. Penghargaan, penerimaan, dan kepercayaan
3. Pengertian yang empati
C. Prinsip Pendidikan dan Pembelajaran
1. Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar
2. Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya.
3. Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru
sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
4. Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
B. TEORI BELAJAR REVOLUSI SOSIOKULTURIAL
1. Konsep teori sosio-kultural
Ada 3 konsep penting dalam teori sosiogenesis Vygotsky tentang perkembangan
kognitif sesuai dengan revolusi sosiokoltural dalam teori belajar dan pembelajaran
yaitu genetic law of development, zona of proximal development dan mediasi.
a. Hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development)
Menurut Vygotsky, setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang
melewati dua tataran, yaitu interpsikologis atau intermental dan intrapsikologis
atau intramental. Pandangan teori ini menempatkan intermental atau lingkungan
sosial sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan
serta perkembangan kognitif seseorang. Sedangkan fungsi intramental dipandang
sebagai derivasi atau keturunan yang tumbuh atau terbentuk melalui penguasaan
dan internalisasi terhadap proses-proses sosial tersebut.
b. Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development)
Vygotsky membagi perkembangan proksimal (zone of proximal development)
ke dalam dua tingkat:
(1) Tingkat perkembangan aktual yang tampak dari kemampuan seseorang untuk
menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah secara mandiri
(intramental).
(2) Tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk
menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika dibawah bimbingan
orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih
kompeten (intermental). Jarak antara keduanya, yaitu tingkat perkembangan
aktual dan tingkat perkembangan potensial ini disebut zona perkembangan
proksimal.
C .Mediasi
Menurut Vygotsky, semua perbuatan atau proses psikologis yang khas
manusiawi dimediasikan dengan psychologis tools atau alat-alat psikologis berupa
bahasa, tanda dan lambang, atau semiotika. Ada dua jenis mediasi, yaitu:
(1) Mediasi metakognitif adalah penggunaan alat-alat semiotik yang bertujuan untuk
melakukan self- regulation yang meliputi: self planning, self monitoring, self
checking, dan self evaluating. Mediasi metakognitif ini berkembang dalam
komunikasi antar pribadi.
(2) Mediasi kognitif adalah penggunaan alat-alat kognitif untuk memecahkan masalah
yang berkaitan dengan pengetahuan tertentu atau subject-domain problem.
Mediasi kognitif bisa berkaitan dengan konsep spontan (yang bisa salah) dan
konsep ilmiah (yang lebih terjamin kebenarannya).
C. PENGARUH SOSIO-KULTURAL PADA PERKEMBANGAN KOGNISI
Pengaruh sosial pada perkembangan kognisiMenurut Vygotsky, anak adalah
seorang eksplorer yang mempunyai rasa ingin tahu tinggi, sangat aktif dalam
pembelajaran, selalu ingin menemukan sendiri, dan mengembangkan pemahaman baru.
Namun demikian Vygostky lebih menekankan pada kontribusi sosial dalam proses
perkembangan dan tidak melihat peranan besar dalam penemuan sendiri. Perkembangan
pertama dalam lingkup sosial muncul dalam individu sebagai kategori interpsikological
dan kemudian pada anak sebagai kategori intrapsikologikal. Contohnya adalah
Kecerdasan eksistensial banyak dijumpai pada para filsuf. Mereka mampu
menyadari dan menghayati dengan benar keberadaan dirinya di dunia ini dan
apa tujuan hidupnya. Melalui kontemplasi dan refleksi diri kecerdasan ini dapat
berkembang.
Pada dasarnya semua orang memiliki semua macam kecerdasan di atas, namun
tentu saja tidak semuanya berkembang atau dikembangkan pada tingkatan yang
sama, sehingga tidak dapat digunakan secara efektif. Pada umumnya satu
kecerdasan lebih menonjol/ kuat dari pada yang lain. Tetapi tidak berarti bahwa
hal itu permanen/ tetap. Di dalam diri manusia tersedia kemampuan untuk
mengaktifkan semua kecerdasan tersebut. Teori Garnerd ini memang masih
memerlukan penelitian lebih lanjut khususnya tentang strategi pengukuran
untuk masing-masing jenis kecerdasan, serta apakah macam-macam
kecerdasan yang ada adalah sejumlah yang telah diuraiakan di atas atau masih
bisa bertambah lagi.
Kriteria Keabsahan Munculnya Teori Kecerdasan
Memiliki dasar biologis
Kecenderungan untuk mengetahui dan memecahkan masalah merupakan sifat
dasar biologis/ fisiologis manusia. Misalnya, gerak tubuh, berkomunikasi
dengan orang lain, berimajinasi sendiri, menggunakan ritme dan suara, dan
lain-lain. Kecenderungan-kecenderungan ini semua berakar pada sistem
biologis manusia itu sendiri.
Bersifat universal bagi spesies manusia
Setiap cara untuk memahami sesuatu selalu ada pada setiap budaya, tidak
peduli kondisi sosio-ekonomi dan pendidikanya. Walaupun telah berkembang
jenis ketrampilan pada budaya yang berbeda, namun hadirnya kecerdasan
adalah bersifat universal. Dengan kata lain, kecerdasan berakar pada
keberadaan spesies manusia itu sendiri.
Nilai budaya suatu ketrampilan
Cara untuk memahami sesuatu didukung oleh budaya manusia dan merupakan
hal yang harus diteruskan kepada generasi penerus. Contoh, pengembangan
bahasa bisa berupa tilisan pada suatu budaya,hiroglif pada budaya lain, pesan-
pesan lisan, bahasa-bahasa tanda, pada budaya lain pula. Namun bahasa formal
dinilai tinggi dan merupakan kriteria pendidikan dan sosial seseorang.
Memiliki basis neurologi
Setiap kecerdasan memiliki bagian tertentu pada otak sebagai pusat kerjanya,
dan yang dapat diaktifkan atau dipicu oleh informasi eksternal maupun
internal.
Dapat dinyatakan dalam bentuk simbol
Setiap kecerdasan dapat dinyatakan dalam bentuk simbol atau tanda-tanda
tertentu. Misalnya simbol kata, gambar, music, angka, dan lain-lain. Adanya
simbol-simbol tersebut merupakan kunci bahwa kecerdasan dapat dialihkan
atau diajarkan.
Strategi Dasar Pembelajaran Kecerdasan Ganda
Ada beberapa strategi dasar dalam kegiatan pembelajaran untuk
mengembangkan kecerdasan ganda, yaitu:
Membangunkan /memicu kecerdasan , yaitu upaya untuk mengaktifkan indera
dan menghidupkan kerja otak.
Memperkuat kecerdasan, yaitu dengan cara member latihan dan memperkuat
kemampuan membangunkan kecerdasan.
Mengajarkan dengan /untuk kecerdasan ,yaitu upaya-upaya mengembangkan
struktur pelajaran yang mengacu pada penggunaan kecerdasan ganda.
Mentransfer kecerdasan, yaitu usaha memanfaatkan berbagai cara yang telah
dilatihkan di kelas untuk memahami realitas di luar kelas atau pada lingkungan
nyata.
Di dalam bukunya yang berjudul “Seven ways of knowing: Teaching for
multiple intelligences” Lazear secara lengkap menjelaskan cara pengelolaan
masing-masing kecerdasan dengan urutan seperti pada strategi dasar di atas,
lengkap dengan tujuan dan proses, teori dan penjelasan bagian otak yang
berkaitan dengan kerja kecerdasan masing-masing.
Mengembangkan Kecerdasan Ganda dalam Kegiatan Pembelajaran
Kecerdasan ganda sebenarnya merupakan teori yang bersifat filosofis. Hal
ini tampak pada sikapnya terhadap belajar dan pandangannya terhadapa
pendidikan atau pembelajaran. Pendidikan/pembelajaran ditinjau dari sudut
pandang kecerdasan ganda lebih mengarah kepada hakekat dari pendidikan itu
sendiri, yaitu yang secara langsung berhubungan dengan eksistensi, kebenaran ,
dan pengetahuan. Gambarannya tentang pendidikan diwarnai oleh semangat
Dewey yang mendasarkan diri pada pendidikan yang bersifat progresif.
Kategori-kategori yang banyak digunakan orang selama ini adalah
kategori music, pengamatan ruang, dan body-kinestetik (Amstrong, 1994).
Adalah hal yang baru ketika Garnerd memasukkan kategori-kategori itu semua
ke dalam pengertian kecerdasan dan bukannya talenta atau bakat. Garnerd
menyadari bahwa banyak orang telah terbiasa mengatakan atau mendengarkan
ungkapan seperti “Ia tidak begitu cerdas, tetapi ia memiliki bakat music yang
sangat hebat”. Sebagaimana orang-orang mengatakan bahwa sesuatu adalah
bakat, oleh Garnerd bakat-bakat atau kategoro-kategori tersebut dikatakan
sebagai kecerdasan.
Untuk memberi dasar terhadap teori yang dikemukakannya, Gardner
merancang dasar-dasar “tes” tertentu, dimana setiap kecerdasan harus
dipertimbangkan sebagai inteligensi yang terlatih dan memiliki banyak
pengalaman, yang tidak disebut sebagai talenta atau bakat. Hal-hal penting
yang perlu diperhatikan dalam teori kecerdasan ganda, yaitu:
Setiap orang memiliki semua kecerdasan-kecerdasan itu
Banyak orang dapat mengembangkan masing-masing kecerdasannya sampai ke
tingkat optimal
Kecerdasan biasanya bekerja bersama-sama dengan cara yang unik
Ada banyak cara untuk menjadi cerdas
Para pakar terdahulu mengatakan bahwa pikiran dipertimbangkan sebagai
sesuatu yang ada pada jantung, hati dan batu ginjal. Pakar berikutnya
beranggapan bahwa kecerdasan atau inteligensi terdiri dari beberapa factor.
Teori kecerdasan ganda merupakan model kognitif yang menjelaskan
bagaimana individu-individu menggunakan kecerdasannya untuk memecakan
masalah dan bagaimana hasilnya. Tidak seperti model-model lain yang
berorientasi proses, pendekatan Gardner lebih berorientasi pada bagaimana
pikiran manusia mengoprasi atau mengolah, menggunakan, menguasai
lingkungan.
Pengalaman-pengalaman menyenangkan ketika belajar akan menjadi
activator bagi perkembangan kecerdasan pada tahap perkembangan berikutnya.
Sedangkan pengalaman-pengalaman yang menakutkan, memalukan,
menyebabkan marah, dan pengalaman emosi negative lainnya akan
menghambat perkembangan kecerdasan pada tahap perkembangan berikutnya.
Apabila ingin mengetahui arah kecerdasan siswa di kelas, dapat diketahui
melalui indicator-indikator tertentu. Misalnya, apa yang dikerjakan siswa
ketika mereka mempunyai waktu luang. Setiap guru dapat menggunakan
catatan-catatan kecil praktis yang dapat digunakan untuk memantau
kecenderungan perkembangan kecerdasan siswa di kelas. Guru juga dapat
menyusun checklist yang berisi tentang kecerdasan-kecerdasan tersebut.
Cheklist dapat digunakan untuk memantau kecerdasan siswa. Selain checklist
ada cara lain yang dapat digunakan yaitu mengumpulkan dokumen berupa
photo, rekaman-rekaman lain yang berhubungan dengan aktifitas siswa, dan
catatan-catatan di sekolah yang berhubungan dengan peringkat nilai semua
mata pelajaran.
Kegiatan-kegiatan yang dapat digunakan untuk mengembangkan
kecerdasan ganda antara lain, dengan menyediakan hari-hari karir, studi
tour,biografi, pembelajaran terprogram, kegiatan-kegiatan eksperimen, majalah
dinding, papan display, membaca buku-buku yang bertujuan untuk
mengembangkan kecerdasan ganda, membuat table perkembangan kecerdasan
ganda, atau human intelligence hunt.
Setiap siswa memiliki perbedaan kecenderungan dalam perkembangan
kecerdasan gandanya, maka guru perlu menggunakan strategi umum maupun
khusus dalam pembelajaran untuk mengembangkan seluruh kecerdasan siswa
secara optimal. Teori kecerdasan ganda juga mengatakan bahwa tidak ada satu
pun pendekatan atau strategi yang cocok digunaka bagi semua siswa. Dalam
hal pengukuran kecerdasan ganda lebih mengutamakan pada studi dokumentasi
dan proses pemecahan masalah. Apabila kegiatan di atas dapat dilakukan maka
ketrampilan kognitif siswa pun dapat berkembang dengan sendirinya.
Ada satu alternative lain yang juga dapat digunakan dalam rangka
memantau perkembangan kecerdasan siswa di kelas, yaitu dengan
memberdayakan siswa sendiri. Artinya, checklist yang mencakup kecerdasan-
kecerdasan tadi yang mengisi bukannya guru, tetapi pengisian dilakukan oleh
para siswa. Kegiatan di kelas pada saat-saat tertentu adalah pengisian checklist
tentang kecerdasan-kecerdasan masing-masing anak. Mereka saling
memberikan penilaian antar teman.Selain anak diberi kesempatan untuk
menilai kecerdasan temannya, ia juga diberi kesempatan untuk self-monitoring,
dengan cara mengisi checklist tentang kecerdasan-kecerdasan yang dimilikinya
sendiri.
Perkembangan kecerdasan juga dapat dilakukan dengan teknik “konseling
sebaya”/ “tutor sebaya”. Caranya, guru menyeleksi siapakah yang memiliki
keunggulan di bidang matematika misalnya, dimimta membimbing teman-
temannya yang kurang dalam matematika. Demikian juga untuk bidang-bidang
kecerdasan yang lain. Pembimbing di dalam kelompok dapat bergantian
tergantung pada kecerdasan apa yang akan dikembangkan.
Pendekatan ini sangat tepat digunakan untuk anak-anak SMP dan SMA,
mengingat pada dasarnya mereka lebih suka berbicara dan bergaul dengan
teman sebayanya dari pada gurunya. Di samping itu, model konseling sebaya
atau tutor sebaya dalam pembelajaran kecerdasan ganda memungkinkan
berbagai aspek dalm diri anak dapat berkembang selaras dan optimal.
Kelompok belajar semacam ini sangat potensial untuk mengembangkan
kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal. Guru dituntut untuk
mampu mendeteksi anak-anak yang memiliki kecerdasa-kecerdasan unggul,
dan membentuk kelompok-kelompok sesuai dengan kebutuhan.
Pendidikan/pembelajaran kecerdasan ganda berorientasi pada
pengembangan potensi anak bukan berorientasi pada idiealisme guru atau
orang tua apalagi ideology politik. Anak berkembang agar mampu membuat
penilaian dan keputusan sendiri secara tepat, bertanggungjawab, percaya diri
dan mandiri tidak bergantung pada orang lain, kreatif, mampu berkolaborasi,
serta dapat membedakan mana yang baik dan tidak baik. Ketrampilan-
ketrampilan ini sangat dibutuhkan oleh manusia-manusia yang hidup di era
ekonomi informasi abad global.
Belajar Dari Sudut Pandang Teori Kecerdasan Majemuk
Belajar adalah usaha untuk menghidupkan secara utuh dan alamiah
seluruh kecerdasan yang dimiliki individu. Dari sudut pandang teori
humanistik, dasar-dasar teori kecerdasan majemuk memang sangat humanis,
yang memberi tekanan pada positive regards (pandangan positif), acceptance
(dukungan), awareness (kesadaran), self-worth (nilai diri) yang kesemuanya itu
bermuara pada aktualisasi diri yang optimal. Psikologi humanistik menekankan
pada personal growth (perkembangan individu), sesuai dengan arah dari teori
kecerdasan majemuk.
Pembelajaran adalah suatu proses membangun/memicu, memperkuat,
mencerdaskan, dan mentransfer kecerdasan. Pada hakikatnya seorang pendidik
adalah seorang fasilitator. Fasilitator baik dalam aspek kognitif, afektif,
psikomotorik, maupun konatif (Riyanto Theo, 2002). Seorang pendidik
hendaknya mampu membangun suasana belajar yang kondusif untuk belajar-
mandiri (self-directed learning). Ia juga hendaknya mampu menjadikan proses
pembelajaran sebagai kegiatan eksplorasi diri. Galileo menegaskan bahwa
sebenarnya kita tidak dapat mengajarkan apapun, kita hanya dapat membantu
peserta didik untuk menemukan dirinya dan mengaktualisasikan dirinya. Setiap
pribadi manusia memiliki “self-hidden potential excellence” (mutiara talenta
yang tersembunyi di dalam diri), tugas pendidikan yang sejati adalah
membantu peserta didik untuk menemukan dan mengembangkannya seoptimal
mungkin.
Persoalannya adalah bagaimana menciptakan kondisi kelas bagi tumbuh
kembangnya kecerdasan majemuk pada diri para siswa, mengingat banyak
orang mempersepsi bahwa kelas yang baik adalah kelas yang diam, teratur,
tertib, dan taat pada guru. Kelas yang ramai selalu diterima sebagai kelas yang
negatif, tidak teratur, walaupun mungkin ramainya kelas tersebut disebabkan
karena siswa berdebat, berdiskusi, bereksplorasi, atau kegiatan-kegiatan positif
lainnya. Guru-guru yang ada pun seringkali lebih menyukai pada kelas yang
tertib, teratur, siswa-siswanya patuh dan tidak kritis.
Sistem pendidikan hendaknya berpusat pada peserta didik, artinya
kurikulum, administrasi, kegiatan ekstrakurikuler maupun kokurikulernya,
sistem pengelolaannya harus dirumuskan dan dilaksanakan demi kepentingan
peserta didik, bukan demi kepentingan guru, sekolah atau lembaga lain.
Pendidikan yang hanya memusatkan pada kepentingan kebutuhan kerja secara
sempit harus dikembalikan kepada kepentingan pertumbuhan dan
perkembangan kepribadian peserta didik secara utuh. Seperti misalnya
kemampuan bernalar, berpikir aktif-positif, kreatif, menemukan alternatif dan
prosesnya menjadi pribadi yang utuh (process of becoming). Peserta didik
hendaknya benar-benar dikembalikan sebagai subjek (dan juga objek)
pendidikan dan bukannya objek semata-mata.
Pendidikan dan pembelajaran yang mendasarkan pada kecerdasan
majemuk membuka kesempatan pada para siswanya untuk kritis dan mungkin
tidak patuh karena siswa menemukan kebenaran-kebenaran lain dari kebenaran
yang dipegang oleh gurunya. Masalahnya, sejauh mana kesiapan para guru dan
pengelola pendidikan lainnya dalam rangka mengembangkan sumber daya
manusia Indonesia? Dapatkah sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan lain
memenuhi semua fasilitas untuk kepentingan mengasah kecerdasan yang sesuai
dengan gaya belajar secara proporsional? Apakah guru atau tenaga-tenaga
kependidikan lain siap mengadakan pembaharuan terhadap dirinya? Semua
jawaban terpulang pada mereka yang terlibat dalam proses pendidikan dan
pembelajaran.
Kelebihan Dan Kekurangan Teori Kecerdasan Majemuk
Sebagai sebuah teori, apa yang dikemukakan oleh Howard Gardner ini
tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan-kelebihan teori
kecerdasan majemuk antara lain sebagai berikut ini.
1. Pembelajaran dapat lebih fokus terhadap suatu kecenderungan kecerdasan dan
punya hasil yang optimal.
2. Memberikan sudut pandang baru terhadap pengembangan potensi manusia.
3. Memberi harapan dan semangat baru, terutama terhadap si belajar/pemelajar.
4. Membuka kesempatan pada si belajar untuk kritis dan berpikiran terbuka.
5. Menghindari adanya penghakiman terhadap manusia dari sudut pandang
kecerdasan/inteligensi.
Dan kelemahan-kelemahannya sebagai berikut:
1. Memiliki kontroversi terutama dalam pandangan ahli psikologi tradisional,
antara lain mencampuradukkan pengertian kecerdasan, ketrampilan dan bakat.
2. Bersifat personal/individual sehingga teori ini lebih efektif digunakan untuk
mengembangkan pembelajaran orang per orang daripada mengembangkan
pembelajaran massa/klasikal.
3. Membutuhkan fasilitas yang lengkap sehingga membutuhkan biaya besar untuk
operasional klasikal atau massal.
4. Tenaga kependidikan di Indonesia belum sepenuhnya siap melaksanakan teori
ini dalam praktek di dalam kelas K-12 ataupun juga pembelajaran yang
melibatkan pemelajar dewasa, karena sudut pandang kebanyakan orang masih
sudut pandang tradisional.
Bertolak dari permasalahan tersebut, maka untuk menerapkan konsep
kecerdasan majemuk diperlukan suatu reformasi pendidikan.
Untuk dapat mengadakan reformasi pendidikan, hal-hal berikut perlu
mendapatkan pertimbangannya: a) si belajar dijadikan subjek pendidikan dan
pusat proses pembelajaran; b) teori aktivitas diri dan aktif-positif merupakan
dasar dari proses pembelajaran; c) tujuan pendidikan dirumuskan berkaitan
dengan pertumbuhan dan perkembangan si belajar daripada tekanan pada
penguasaan materi pembelajaran; d) kurikulum sekolah disusun dalam
kerangka kegiatan bersama atau kegiatan yang bersifat “proyek”; e) perlunya
secara rutin kontrol informal di kelas dan sosialisasi mengajar dan belajar atau
kegiatan bersama di tengah-tengah arus deras individualisme; g) hendaknya
banyak diterapkan keaktifan berpikir dan berargumentasi daripada sekedar
menghafal atau mengingat-ingat saja; h) pendidikan hendaknya
mengembangkan kreativitas siswa.
Teori Howard Gardner tentang kecerdasan majemuk memang masih
memerlukan kajian dan banyak pengalaman lapangan. Namun, setidaknya teori
ini telah banyak mengingatkan kepada kita bahwa manusia memang diciptakan
unik (disusun oleh Arka, Rini dkk).
Penerapan Teori Kecerdasan Majemuk dalam Pembelajaran
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses pengembangan potensi
individu. Melalui pendidikan, potensi yang dimiliki oleh individu akan diubah
menjadi kompetensi. Kompetensi mencerminkan kemampuan dan kecakapan
individu dalam melakukan suatu tugas atau pekerjaan. Tugas pendidik atau
guru dalam hal ini adalah memfasilitasi anak didik sebagai individu untuk
dapat mengembangkan potensi yang dimiliki menjadi kompetensi sesuai
dengan cita-citanya. Oleh karenanya program pendidikan dan pembelajaran
seperti yang berlangsung saat ini harus lebih diarahkan atau lebih berorientasi
kepada invidu peserta didik.
Kenyataan menunjukkan bahwa program pendidikan yang berlangsung
saat ini lebih banyak dilaksanakan dengan cara membuat generalisasi terhadap
potensi dan kemampuan siswa. Hal ini disebabkan karena kurangnya
pemahaman pendidik tentang karakteristik individu. Salah satu karakteristik
penting dari individu yang perlu dipahami oleh guru sebagai pendidik adalah
bakat dan kecerdasan individu. Guru yang tidak memahami kecerdasan anak
didik akan memiliki kesulitan dalam memfasilitasi proses pengembangan
potensi individu menjadi yang dicita-citakan. Generalisasi terhadap
kemampuan dan potensi individu memberikan dampak negatif yaitu siswa
tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan secara optimal potensi yang
ada pada dirinya. Barangkali rendahnya mutu keluaran persekolahan yang
dirasakan saat ini sebagai akibat penanganan salah yang telah dilakukan oleh
sistem persekolahan saat ini sehingga kita telah kehilangan bakat-bakat
cemerlang. Individu-individu yang cerdas tidak dapat mengembangkan potensi
diri mereka secara optimal.
Teori Kecerdasan majemuk (Multiple Inteligence) yang dikemukakan oleh
Howard Gardner – seorang professor psikologi dari Harvard University akan
dijadikan acuan untuk lebih memahami bakat dan kecerdasan individu. Tulisan
ini bertujuan untuk membahas dan lebih memahami tentang upaya yang perlu
dilakukan oleh guru sebagai pendidik dalam membantu memfasilitasi
pengembangan potensi individu peserta didik agar dapat menguasai minimal
satu kompetensi yang sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki oleh peserta
didik. Dengan memiliki minimal satu kompetensi secara maksimal, kompetensi
ini akan digunakan oleh peserta didik dalam hidup dan kehidupannya kelak
A. TEORI MANUSIA PEMBELAJARAN
1. Albert Bandura
Bandura lahir di Canada, memperoleh gelar Ph. D dari University of Iowa dan
kemudian mengajar di Stanford Uni. Sebagai seorang behaviorist, Bandura
menekankan teorinya pada proses belajar tentang respon lingkungan. Oleh karenya
teorinya disebut teori belajar sosial, atau modeling. Prinsipnya adalah perilaku
merupakan hasil interaksi resiprokal antara pengaruh tingkah laku, koginitif dan
lingkungan. Singkatnya, Bandura menekankan pada proses modeling sebagai sebuah
proses belajar
2. Pengertian Belajar
Dalam pengertian yang umum atau populer, belajar adalah mengurupulkan sejumlah
pengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh dari seseorang yang lebih tahu atau
yang sekarang ini dikenal dengan guru. Dalam belajar, pengetahuan tersebut
dikumpulkan sedikit demi sedikit hingga akhirnya menjadi banyak. Orang yang
banyak pengetahuannya diidentifikasi sebagai orang yang banyak belajar, sementara
orang yang sedikit pengetahuannya diidentifikasi sebagai orang yang sedikit belajar,
dan orang yang tidak berpengetahuan dipandang sebagai orang yang tidak belajar.
Belajar dalam pengertian mengurupulkan sejumlah pengetahuan demikian, tampaknya
masih diikuti juga sampai sekarang. Orang baru dikatakan belajar manakala sedang
membaca bacaan, membaca sejumlah tugas mata kuliah atau mata pelajaran,
membaca buku pelajaran. Seorang murid yang sedang mengerjakan tugas-tugas
matematika biasa disebut sedang belajar. Orang yang sedang menimba pengetahuan
pada bangku sekolah lazim juga dikenal sebagai pelajar. Bahkan orang yang banyak
menguasai ilmu pengetahuan lazim dikenal dengan kaum terpelajar. Singkat
perkataan, belajar dalam pengertian umum atua populer adalah suatu upaya yang
dimaksudkan untuk menguasai sejumlah pengetahuan. Pengetahuan belajar demikian,
secara konseptual tampakanya sudah mulai ditinggalkan orang, meskipun secara
praktikal masih banyak yang menganut. Ini karena berkembang pesatnya teknologi
informasi seperti sekarang ini. Guru tidak lagi dipandang sebagai satu-satunya sumber
informasi yang dapat memberikan informasi apa saja kepada para pembelajar. Hampir
semua ahli telah mencoba.
3. Pengertian Belajar Menurut Psikologi Gestalt
Dalam aliran ini ada beberapa istilah yang artinya sama ialah: field, pattera,
organisme, closure, integration, wholistk, configuration, dan gestalt. Karena itu
psikologi gestalt sering disebut psikologi organisme atau field theory. Menurut aliran
ini, jiwa manusia adalah suatu keseluruhan yang berstruktur. Suatu keseluruhan bukan
terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur. Unsur-unsur itu berada dalam keseluruhan
menurut struktur yang telah tertentu dan saling berinteralisi satu sama lain, Contoh:
kepala manusia bukan merupakan penjumlahan 2/3 daripada batok kepala, telinga,
bidung, mata, mulut, rambut, dagu, dan sebagainya, melainkan kepala itu adalah suatu
keseluruhan yang bermakna, di mana unsur-unsur tadi teletak pada struktumya
masing-masing. Mata tidak mungkin terletak di ibu jari, hidung tidak mungkin
terletak di tengah-tengah dada dan seterusnya. Pada struktumya masing-masing itulah
bagian-bagian dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Bagian-bagian itu hanya
bermakna dalam hubungan keseluruhan itu. Lagi pula sesuatu hal, perbuatan, benda
lain-lain hanya bermakna dalam hubungan dengan situasi tertentu. Misalnya: emas
(perhiasan) hanya bermakna dalam situasi di mana ada pesta. para tamu umumnya
memakai perhiasan yang indah-indah, akan tetapi akan tidak bermakna dalam situasi
padang pasir di mana seseorang sedang mengalami rasa haus dan dahaga. Pandangan
ini sangat berpengaruh terhadap tafsiran tentang belajar.
BAB VI
KUANTUM LEARNING DAN PEMBELAJARAN KOPERATIF DAN
PEMBIMBINGAN KOLABORATIF
A. KUANTUM LEARNING
Pembelajaran kuantum merupakan salah satu model, strategi, dan pendekatan
pembelajaran yang mengutamakan pada keterampilan guru dalam mengelola
pembelajaran.Istilah “quantum” dipinjam dari dunia ilmu fisika yang berarti interaksi
yang mengubah energi menjadi cahaya.Maksudnya dalam pembelajaran kuantum,
pengubahan bermacam- macam interaksi yang terjadi dalam kegiatan
belajar.Interaksi- interaksi ini mengubah kemampuan dan bakat alamiah guru dan
siswa menjadi hal yang bermanfaat bagi kemajuan mereka dalam belajar secara
efektif dan efisien.
Asas utama pembelajaran kuantum adalah membawa dunia siswa ke dalam
dunia guru, dan mengantarkan dunia guru ke dunia siswa.Subjek belajar adalah siswa.
Guru hanya sebagai fasilitator, sehingga guru harus memahami potensi siswa terlebih
dahulu. Salah satu cara yang dapat digunakan dalam hal ini adalah mengaitkan apa
yang akan diajarkan dengan peristiwa- peristiwa, pikiran atau perasaan, tindakan yang
diperoleh siswa dalam kehidupan baik di rumah, di sekolah, maupun di lingkungan
masyarakat. Apabila seorang guru telah memahami dunia siswa, maka siswa telah
merasa diperlakukan sebagaimana mestinya, sehingga pembelajaran akan menjadi
harmonis seperti sebuah “orkestrasi” yang saling bertautan dan saling mengisi
Tujuan pokok pembelajaran kuantum yaitu meningkatkan partisipasi siswa
melalui penggubahan keadaan, meningkatkan motivasi dan minat belajar,
meningkatkan daya ingat dan meningkatkan rasa kebersamaan, meningkatkan daya
dengar, dan meningkatkan kehalusan perilaku.
Dimensi pengembangan konteks pembelajaran kuantum yaitu suasana belajar yang
menyenangkan, landasan yang kukuh, lingkungan yang mendukung, dan rancangan
belajar yang dinamis.
Pembelajaran kuantum mengonsep tentang “menata pentas lingkungan belajar yang
tepat”, yaitu bagaimana upaya penataan situasi lingkungan belajar yang optimal baik
secara fisik maupun mental.
Lingkungan belajar terdiri dari lingkungan mikro dan lingkungan makro.
Lingkungan mikro adalah tempat siswa melakukan proses belajar, bekerja, dan
berkreasi. Lebih khusus lagi perhatian pada penataan meja, kursi, dan belajar yang
teratur.Lingkungan makro yaitu dunia luas, artinya siswa diminta untuk menciptakan
kondisi ruang belajar di masyarakat.Mereka diminta berinteraksi sosial ke lingkungan
masyarakat yang diminatinya, sehingga kelak dapat berhubungan secara aktif dengan
masyarakat.
Pembelajaran kuantum sering dijadikan primadona dalam Kegiatan Belajar
Mengajar.Namun, metode pembelajaran kuantum belum tentu cocok digunakan dalam
setiap mata pelajaran, tergantung dari materi dan fasilitas yang ada.Dalam mengajar
sebaiknya tidak hanya menggunakan satu metode saja, melainkan dapat digunakan
beberapa metode, yaitu memilih metode yang cocok untuk digunakan pada materi dan
situasi yang bersangkutan.Tidaklah maksimal jika dalam mengajar hanya
mendewakan salah satu metode pembelajaran saja.Bagi seorang pengajar, banyak
metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran, sehingga
keterampilan guru dapat terasah melalui pembelajaran tersebut.
B. PEMBELAJAR KOMPERATIF DAN PEMBELAJAR KOLABORATIF
Ted Panitz telah meneliti bertahun-tahun terhadap Holy Grail dari belajar
interaktif, suatu perbedaan antara definisi belajar kolaboratif dan kooperatif. Beliau
nampaknya teliti terhadap semua tujuan yang sulit dipahami setiap saat. Ted Panitz
yakin bahwa kebingungan muncul apabila orang melihat pada proses yang berkaitan
dengan masing-masing konsep dan melihat sejumlah penggunaan yang tumpang-
tindih tertentu atau antar-konsep tertentu. Beliau dapat menjelaskan definisi belajar
kolaboratif dan kooperatif pertama dengan menyajikan definisi dari dua istilah dan
menelaah ini dari pengarang lain yang telah membantu menjelaskan berpikir dan
kedua dengan menyajikan dan menganalisis manfaat pendidikan dari teknik belajar
kolaboratif/kolaboratif. Premis utama untuk belajar kolaboratif dan kooperatif
didasarkan dalam epistemologi konstruktivisme. Johnson, Johnson & Smith (1991)
tela merangkum prinsip-prinsip ini dalam definisi mereka dari suatu paradigma baru
dari mengajar. “Pertama, pengetahuan dikonstruk, ditemukan, dan ditarnsformasikan
oleh siswa. Kemampuan staf pengajar mengembangkan kondisi-kondisi ini di mana
siswa dapat konstruk makna dari material yang di studi dengan memprosesnya
melalui struktur kognitif yang ada dan kemudian menguasainya dalam memory
jangka-panjang di mana kembali membukanya untuk selanjutnya memprose dan
mungkin rekonstruksi. Kedua, siswa secara aktif konstruk pengetahuan mereka-
sendiri. Belajar dirasakan sebagai seorang pelajar yang dapat melakukan, tidak dapat
melakukan adalah dengan dilakukan pelajar. Siswa tidak secara pasif menerima
pengetahuan dari guru atau kurikulum. Siswa menggiatkan struktur kognitif mereka
yang ada atau konstruk struktur kognitif baru untuk menggolongkan masukan (input)
baru. Ketiga, usaha staf pengajar bertujuan pada mengembangkan kompetensi dan
talenta siswa. Keempat, pendidikan merupakan suatu transaksi personal di antara
siswa bersama-sama. Kelima, semua yang di atas hanya dapat mengambil tempat
dalam suatu konteks kooperatif. Keenam, mengajar diasumsikan sebagai suatu
aplikasi teori kompleks dan penelitian yang membutuhkan pelatihan guru yang dapat
dipertimbangkan dan perbaikan keterampilan dan prosedur yang kontinu” (h. 16).
Berikut ini dapat membantu sebagai awal untuk diskusi ini. Suatu definisi dasar dari
istilah-istilah kolaboratif dan kooperatif, direduksi dengan istilah-istilah sederhana
yang disajikan sebagai berikut: “Kolaboratif” adalah suatu folosofi interaksi dan
gaya hidup personal di mana individual bertanggungjawab terhadap tindakan mereka,
meliputi belajar dan respek kemampuan dan kontribusi rekan-rakan mereka.
Dalam model kolaboratif kelompok mendapat kelompok masih diasumsikan
tanggungjawab total untuk menjawab pertanyaan itu. Siswa menentukan jika mereka
cukup informasi untuk menjawab pertanyaan itu. Jika tidak, mereka identifikasi
sumber lain, seperti, jurnal, buku, video, internet, dengan menamai beberapa.
Pekerjaan yang memperoleh sumber tambahan material dapat didistribusikan di antara
anggota kelompok dengan anggota kelompok itu. Kelompok dapat memutuskan
berapa banyak alasan yang mereka dapat identifikasi. Guru kolaboratif tidak dapat
menentukan sejumlah, tetapi dapat ases kemajuan masing-masing kelompok dan data
yang dihasilkan itu. Ini juga dapat terjadi bagi siswa untuk mendaftarkann alasan-
alasan dalam urutan prioritas. Guru dapat bersedia untuk konsultasi dan dapat
memfasilitasi proses dengan bertanya untuk seringkali melaporkan kemajuan dari
kelompok-kelompok itu, memfasilitasi diskusi kelompok tentang dinamika kelompok;
bantuan terhadap resolusi konflik, dsb. Hasil akhir ditentukan oleh masing-masing
kelompok, setelah konsultasi dengan guru. Makna asesmen dari kinerja kelompok
juga dapat dinegosiasi oleh masing-masing kelompok dengan guru. Beberapa
kelompok dapat memutuskan untuk menganalisis UN, seperti kelompok kooperatif
yang di arahkan untuk dilakukan, atau mereka dapat mncoba memajukan suatu
organisasi baru secara lengkap. Mereka dapat kembali mengalami sejarah dengan
menentukan bagaimana periode perdamaian lain dikembangkan. Proses sangat open
ended sedangkan pemeliharaannya fokus 3
pada keseluruhan tujuan. Siswa mengembangkan suatu kepemilikkan yang
sangat kuat untuk proses dan menjawab sangat secara positif terhadap fakta yang
mereka masih berikan tanggungjawab lengkap dengan mengalami masalah yang
dimiliki bagi mereka dan mereka memiliki masukan (input) signifikan ke dalam
asesmen mereka. Premis utama untuk belajar kooperatif dan kolaboratif didasarkan
dalam teori konstruktivis. Pengetahuan ditemukan siswa dan ditransformasikan ke
dalam konsep siswa dapat berkaitan. Ini kemudian direkonstruk dan dikembangkan
melalui pengalaman belajar baru. Belajar memuat partisipasi aktif oleh siswa lawan
penerimaan informasi pasif yang disajikan oleh seorang dosen pakar (expert lecturer)
[guru pakar (expert teacher)]. Belajar melalui transaksi dan dialog di antara siswa dan
antara staf pengajar dan siswa, dalam suatu setting sosial. Siswa belajar untuk
mengerti dan perspektif berbeda apresiasi melalui suatu dialog dengan rekan-rekan
mereka. Suatu dialog dengan guru membantu siswa belajar kata-kata sukar dan
struktur sosial yang mengatur kelompok siswa yang ingin ikut serta, seperti, ahli
sejarah, matematisi, penulis, aktor, dsb. Ken Bruffee (1995) mengidentifikasi dua
kasus untuk perbedaan antara dua pendekatan itu. Beliau mengatakan: “Pertama,
belajar kolaboratif dan kooperatif dikembangkan secara murni untuk mendidik orang
dari umur berbeda, pengalaman dan level penguasaan dari keahlian saling
bergantungan. Kedua, apabila menggunakan satu metode atau metode yang lain, guru
cenderung membuat asumsi berbeda tentang ciri dan otoritas pengetahuan.” (h. 12)
Asumsi berbeda ini dapat dieksplor seluruh makalah itu. Umur atau level pendidikan
sebagai suatu perbedaan menjadi kabur atas waktu sebagai pelaksana pada semua
level menggabungkan dua pendekatan itu. Bagaimanapun, menentukan pendekatan
mana yang digunakan bergantung pada level pengalaman siswa yang tercakup,
dengan memerlukan kolaboratif persiapan siswa yang lebih lanjut yang bekerja dalam
kelompok. Faktor lain yang menentukan adalah fiosofi dan persiapan guru. Bruffee
melihat pendidikan sebagai suatu proses reakulturasi melalui percakapan konstruktif.
Siswa belajar tentang kultur masyarakat yang mereka ingin terlibat dengan
mengembangkan kata-kata sukar tepat dari masyarakat dan dengan mengeksplor
kultur dan norma-norma masyarakat (misalnya, matematisi, ahli sejarah, jurnalis,
dsb.). Beliau mengidentifikasi dua tipe pengetahuan sebagai suatu basis untuk
mermilih pada suatu pendekatan. Dialek dan tata bahas benar, prosedur matematika,
fakta-fakta sejarah, suatu pengetahuan dari konten dari konstitusi, dsb; dapat
menyajikan tipe-tipe pengetahuan fundamental. Bruffee berpendapat bahwa ini adalah
belajar terbaik yang menggunakan struktur belajar kooperatif dalam tingkat awal.
Beliau mengatakan: “Tujuan utama pendidikan sekolah dasar adalah untuk membantu
anak renegosiasi anggota mereka dalam kultur lokal kehidupan keluarga dan
membantu mereka terlibat suatu komunitas pengetahuan yang ditentukan ada bagi
mereka dan mencakup kultur yang mereka perankan bersama. Suatu tujuan penting
dari pendidikan PT atau universitas adalah untuk membantu anak remaja dan dewasa
terlibat lagi suatu komunitas pengetahuan yang ditentukan ada bagi mereka. Tetapi
pendidikan yang lain, dan barangkali tujuan yang lebih penting dari pendidikan PT
atau universitas adalah untuk membantu mahasiswa renegosiasi anggota mereka
dalam mencakup kultur bersama yang kemudian terhadap lingkungan kehidupan
mereka.” (h. 15) Bruffee menyatakan pengetahuan nonfundamental seperti yang
diturunkan melalui penalaran dan bertanya lawan memory yang dihafalkan tanpa
berpikir. Beliau menulis: “Hal ini lebih dimungkinkan dialamatkan kepada pertanyaan
dengan jawaban ragu-ragu atau ambigu, jawaban yang membutuhkan keputusan yang
dikembangkan-baik dicapai, keputusan bahwa belajar dengan menjawab sebagai suatu
kecenderungan pertanyaan, sebaliknya, untuk mengembangkan.” (h. 5) Cara lain di
mana pendidikan nonfundasional dibedakan dari fundasional bahwa ini menganjurkan
siswa jangan mengambil otoritas guru mereka diterima sehingga benar. Siswa dapat
menjawab ragu-ragu dan metode untuk kembali pada jawaban ditentukan oleh
profesor mereka, dan barangkali mereka secara lebih penting perlu dibantu untuk
datang kepada istilah keraguan mereka dengan berpartisipasi secara aktif dalam
belajar dan proses inquiry. Di luar dari proses pengetahuan yang diketahui ini
seringkali dikembangkan, sesuatu tidak mungkin terjadi apabila menghadapi fakta-
fakta dan informasi berhubungan dengan pengetahuan fondasional. BELAJAR
KOLABORATIF (COLLABORATIVE LEARNING/CL) Belajar kolaboratif adalah
suatu filosofi personal, benar-benar bukan suatu teknik kelas. Dalam semua situasi di
mana orang datang bersama-sama dalam kelompok, dorongan suatu cara menghadapi
orang yang respek dan menyoroti kemampuan dan kontribusi anggota kelompok
masing-masing. Ada suatu berbagi (sharing) otoritas dan penerimaan tanggungjawab
di antara anggota kelompok untuk tindakan kelompok. Premis utama dari belajar
kolabratif berdasarkan pada konsensus membangun melalui kooperasi oleh anggota
kelompok, dibedakan dengan kompetensi di mana anggota kelompok lain masing-
masing terbaik. Pelaksana belajar kolaboratif menggunakan filosofi ini di kelas, pada
pertemuan komisi, dengan keluarga komunitas, dalam keluarga mereka dan umumnya
sebagai suatu cara hidup dengan orang lain dan menghadapi orang lain.
4. BELAJAR KOOPERATIF (COOPERATIVE LEARNING) Belajar kooperatif
didefinisikan dengan suatu himpunan proses yang membantu orang interaksi bersama-
sama untuk menyelesaikan/menyempurnakan suatu tujuan khusus atau
mengembangkan suatu produk akhir yang biasanya adalah konten khusus. Sistem ini
lebih direktif daripada suatu sistem mengajar kolaboratif dan dikontrol secara tepat
oleh guru. Sedangkan, ada banyak mekanisme untuk analisis kelompok dan
introspeksi pendekatan fundamental adalah berpusat-guru, sedangkan belajar
kolabratif lebih berpusat-siswa. Spencer Kagan (1989) menetapkan suatu definisi
belajar kooperatif yang sangat baik dengan melihat pada struktur umum yang dapat
digunakan untuk setiap situasi. Definisinya menetapkan suatu payung untuk karya
spesialis belajar kooperatif yang meliputi Johnsons, Slavin, Cooper, Graves dan
Graves, Mills, dsb. Berikut ini: “Pendekatan struktural terhadap belajar kooperatif
berdasarkan pada kreasi, analisis dan aplikasi struktur sistematik, atau cara
mengorganisasikan interaksi sosial bebas-konten di kelas. Struktur biasanya meliputi
sederetan langkah-langkah, dengan melarang perilaku pada masing-masing langkah.
Salah satu landasan dasar penting dari pendekatan itu adalah perbedaan “struktur” dan
“aktivitas.” Untuk ilustrasi, guru dapat desain banyak aktivitas kooperatif yang sangat
baik, seperti membuat suatu tim. Sebagai aktivitas hampir selalu memiliki sasaran
batas-konten khusus dan oleh karena itu tidak dapat digunakan untuk menyampaikan
suatu range konten akademik. Struktur dapat digunakan berulang-ulang dengan
hampir setiap materi pelajaran, pada suatu range mendalam dari level kelas dan pada
berbagai hal dalam suatu rencana pelajaran.”
BAB VII
LESSON STUDY DAN BELAJAR BERBASIS PROBLEM
SOLVING DAN PROBLEM POSSING
A. LESSON STUDY
1. Pengertian lesson study
Lesson Study merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan proses dan
hasil pembelajaran yang dilaksanakan secara kolaboratif dan berkelanjutan oleh
sekelompok guru. Tujuan utama Lesson Study yaitu untuk :
(1) memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana siswa belajar dan
guru mengajar;
(2) memperoleh hasil-hasil tertentu yang bermanfaat bagi para guru lainnya dalam
melaksanakan pembelajaran;
(3) meningkatkan pembelajaran secara sistematis melalui inkuiri kolaboratif.
(4) membangun sebuah pengetahuan pedagogis, dimana seorang guru dapat menimba
pengetahuan dari guru lainnya.
Manfaat yang yang dapat diambil Lesson Study, diantaranya:
(1) guru dapat mendokumentasikan kemajuan kerjanya,
(2) guru dapat memperoleh umpan balik dari anggota lainnya, dan
(3) guru dapat mempublikasikan dan mendiseminasikan hasil akhir dari Lesson Study.
Lesson Study dapat dilakukan melalui dua tipe yaitu berbasis sekolah dan berbasis
MGMP. Lesson Study dilakukan berdasarkan tahapan-tahapan secara siklik, yang
terdiri dari: (1) perencanaan (plan); (b) pelaksanaan (do); refleksi (check); dan tindak
lanjut (act).
2. Hakikat lesson study
Konsep dan praktik Lesson Study pertama kali dikembangkan oleh para guru pendidikan dasar di Jepang, yang dalam bahasa Jepang-nya disebut dengan istilah kenkyuu jugyo.Adalah Makoto Yoshida, orang yang dianggap berjasa besar dalam mengembangkan kenkyuu jugyo di Jepang. Keberhasilan Jepang dalam mengembangkan Lesson Study tampaknya mulai diikuti pula oleh beberapa negara lain, termasuk di Amerika Serikat yang secara gigih dikembangkan dan dipopulerkan oleh Catherine Lewis yang telah melakukan penelitian tentang Lesson Study di Jepang sejak tahun 1993. Sementara di Indonesia pun saat ini mulai gencar disosialisasikan untuk dijadikan sebagai sebuah model dalam rangka meningkatkan proses pembelajaran siswa, bahkan pada beberapa sekolah sudah mulai dipraktikkan. Meski pada awalnya, Lesson Study dikembangkan pada pendidikan dasar, namun saat ini ada kecenderungan untuk diterapkan pula pada pendidikan menengah dan bahkan pendidikan tinggi.
Lesson Study bukanlah suatu strategi atau metode dalam pembelajaran, tetapi merupakan salah satu upaya pembinaan untuk meningkatkan proses pembelajaran yang dilakukan oleh sekelompok guru secara kolaboratif dan berkesinambungan, dalam merencanakan, melaksanakan, mengobservasi dan melaporkan hasil pembelajaran. Lesson Study bukan sebuah proyek sesaat, tetapi merupakan kegiatan terus menerus yang tiada henti dan merupakan sebuah upaya untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip dalam Total Quality Management, yakni memperbaiki proses dan hasil pembelajaran siswa secara terus-menerus, berdasarkan data. Lesson Study merupakan kegiatan yang dapat mendorong terbentuknya sebuah komunitas belajar (learning society) yang secara konsisten dan sistematis melakukan perbaikan diri, baik pada tataran individual maupun manajerial.Slamet Mulyana (2007) memberikan rumusan tentang Lesson Study sebagai salah satu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan pada
prinsip-psrinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. Sementara itu, Catherine Lewis (2002) menyebutkan bahwa:
“lesson study is a simple idea. If you want to improve instruction, what could be more obvious than collaborating with fellow teachers to plan, observe, and reflect on lessons? While it may be a simple idea, lesson study is a complex process, supported by collaborative goal setting, careful data collection on student learning, and protocols that enable productive discussion of difficult issues”.
Bill Cerbin & Bryan Kopp mengemukakan bahwa Lesson Study memiliki 4 (empat) tujuan utama, yaitu untuk : (1) memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana siswa belajar dan guru mengajar; (2) memperoleh hasil-hasil tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh para guru lainnya, di luar peserta Lesson Study; (3) meningkatkan pembelajaran secara sistematis melalui inkuiri kolaboratif. (4) membangun sebuah pengetahuan pedagogis, dimana seorang guru dapat menimba pengetahuan dari guru lainnya.
Dalam tulisannya yang lain, Catherine Lewis (2004) mengemukakan pula tentang ciri-ciri esensial dari Lesson Study, yang diperolehnya berdasarkan hasil observasi terhadap beberapa sekolah di Jepang, yaitu:
1. Tujuan bersama untuk jangka panjang. Lesson study didahului adanya kesepakatan dari para guru tentang tujuan bersama yang ingin ditingkatkan dalam kurun waktu jangka panjang dengan cakupan tujuan yang lebih luas, misalnya tentang: pengembangan kemampuan akademik siswa, pengembangan kemampuan individual siswa, pemenuhan kebutuhan belajar siswa, pengembangan pembelajaran yang menyenangkan, mengembangkan kerajinan siswa dalam belajar, dan sebagainya.
2. Materi pelajaran yang penting. Lesson study memfokuskan pada materi atau bahan pelajaran yang dianggap penting dan menjadi titik lemah dalam pembelajaran siswa serta sangat sulit untuk dipelajari siswa.
3. Studi tentang siswa secara cermat. Fokus yang paling utama dari Lesson Study adalah pengembangan dan pembelajaran yang dilakukan siswa, misalnya, apakah siswa menunjukkan minat dan motivasinya dalam belajar, bagaimana siswa bekerja dalam kelompok kecil, bagaimana siswa melakukan tugas-tugas yang diberikan guru, serta hal-hal lainya yang berkaitan dengan aktivitas, partisipasi, serta kondisi dari setiap siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Dengan demikian, pusat perhatian tidak lagi hanya tertuju pada bagaimana cara guru dalam mengajar sebagaimana lazimnya dalam sebuah supervisi kelas yang dilaksanakan oleh kepala sekolah atau pengawas sekolah.
4. Observasi pembelajaran secara langsung. Observasi langsung boleh dikatakan merupakan jantungnya Lesson Study. Untuk menilai kegiatan pengembangan dan pembelajaran yang dilaksanakan siswa tidak cukup dilakukan hanya dengan cara melihat dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (Lesson Plan) atau hanya melihat dari tayangan video, namun juga harus mengamati proses pembelajaran secara langsung. Dengan melakukan pengamatan langsung, data yang diperoleh tentang proses pembelajaran akan jauh lebih akurat dan utuh, bahkan sampai hal-hal yang
detail sekali pun dapat digali. Penggunaan videotape atau rekaman bisa saja digunakan hanya sebatas pelengkap, dan bukan sebagai pengganti.
Berdasarkan wawancara dengan sejumlah guru di Jepang, Caterine Lewis mengemukakan bahwa Lesson Study sangat efektif bagi guru karena telah memberikan keuntungan dan kesempatan kepada para guru untuk dapat: (1) memikirkan secara lebih teliti lagi tentang tujuan, materi tertentu yang akan dibelajarkan kepada siswa, (2) memikirkan secara mendalam tentang tujuan-tujuan pembelajaran untuk kepentingan masa depan siswa, misalnya tentang arti penting sebuah persahabatan, pengembangan perspektif dan cara berfikir siswa, serta kegandrungan siswa terhadap ilmu pengetahuan, (3) mengkaji tentang hal-hal terbaik yang dapat digunakan dalam pembelajaran melalui belajar dari para guru lain (peserta atau partisipan Lesson Study), (4) belajar tentang isi atau materi pelajaran dari guru lain sehingga dapat menambah pengetahuan tentang apa yang harus diberikan kepada siswa, (5) mengembangkan keahlian dalam mengajar, baik pada saat merencanakan pembelajaran maupun selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran, (6) membangun kemampuan melalui pembelajaran kolegial, dalam arti para guru bisa saling belajar tentang apa-apa yang dirasakan masih kurang, baik tentang pengetahuan maupun keterampilannya dalam membelajarkan siswa, dan (7) mengembangkan “The Eyes to See Students” (kodomo wo miru me), dalam arti dengan dihadirkannya para pengamat (obeserver), pengamatan tentang perilaku belajar siswa bisa semakin detail dan jelas.
Sementara itu, menurut Lesson Study Project (LSP) beberapa manfaat lain yang bisa diambil dari Lesson Study, diantaranya: (1) guru dapat mendokumentasikan kemajuan kerjanya, (2) guru dapat memperoleh umpan balik dari anggota/komunitas lainnya, dan (3) guru dapat mempublikasikan dan mendiseminasikan hasil akhir dari Lesson Study. Dalam konteks pendidikan di Indonesia, manfaat yang ketiga ini dapat dijadikan sebagai salah satu Karya Tulis Ilmiah Guru, baik untuk kepentingan kenaikan pangkat maupun sertifikasi guru.
Terkait dengan penyelenggaraan Lesson Study, Slamet Mulyana (2007) mengetengahkan tentang dua tipe penyelenggaraan Lesson Study, yaitu Lesson Study berbasis sekolah dan Lesson Study berbasis MGMP. Lesson Study berbasis sekolah dilaksanakan oleh semua guru dari berbagai bidang studi dengan kepala sekolah yang bersangkutan.dengan tujuan agar kualitas proses dan hasil pembelajaran dari semua mata pelajaran di sekolah yang bersangkutan dapat lebih ditingkatkan. Sedangkan Lesson Study berbasis MGMP merupakan pengkajian tentang proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh kelompok guru mata pelajaran tertentu, dengan pendalaman kajian tentang proses pembelajaran pada mata pelajaran tertentu, yang dapat dilaksanakan pada tingkat wilayah, kabupaten atau mungkin bisa lebih diperluas lagi.
Dalam hal keanggotaan kelompok, Lesson Study Reseach Group dari Columbia University menyarankan cukup 3-6 orang saja, yang terdiri unsur guru dan kepala sekolah, dan pihak lain yang berkepentingan. Kepala sekolah perlu dilibatkan
terutama karena perannya sebagai decision maker di sekolah.Dengan keterlibatannya dalam Lesson Study, diharapkan kepala sekolah dapat mengambil keputusan yang penting dan tepat bagi peningkatan mutu pembelajaran di sekolahnya, khususnya pada mata pelajaran yang dikaji melalui Lesson Study. Selain itu, dapat pula mengundang pihak lain yang dianggap kompeten dan memiliki kepedulian terhadap pembelajaran siswa, seperti pengawas sekolah atau ahli dari perguruan tinggi.
3. Tahapan-tahapan lesson study
Berkenaan dengan tahapan-tahapan dalam Lesson Study ini, dijumpai beberapa pendapat.Menurut Wikipedia (2007) bahwa Lesson Study dilakukan melalui empat tahapan dengan menggunakan konsep Plan-Do-Check-Act (PDCA). Sementara itu, Slamet Mulyana (2007) mengemukakan tiga tahapan dalam Lesson Study, yaitu : (1) Perencanaan (Plan); (2) Pelaksanaan (Do) dan (3) Refleksi (See). Sedangkan Bill Cerbin dan Bryan Kopp dariUniversity of Wisconsin mengetengahkan enam tahapan dalam Lesson Study, yaitu:
1. Form a Team: membentuk tim sebanyak 3-6 orang yang terdiri guru yang bersangkutan dan pihak-pihak lain yang kompeten serta memilki kepentingan dengan Lesson Study.
2. Develop Student Learning Goals: anggota tim memdiskusikan apa yang akan dibelajarkan kepada siswa sebagai hasil dari Lesson Study.
3. Plan the Research Lesson: guru-guru mendesain pembelajaran guna mencapai tujuan belajar dan mengantisipasi bagaimana para siswa akan merespons.
4. Gather Evidence of Student Learning: salah seorang guru tim melaksanakan pembelajaran, sementara yang lainnya melakukan pengamatan, mengumpulkan bukti-bukti dari pembelajaran siswa.
5. Analyze Evidence of Learning: tim mendiskusikan hasil dan menilai kemajuan dalam pencapaian tujuan belajar siswa
6. Repeat the Process: kelompok merevisi pembelajaran, mengulang tahapan-tahapan mulai dari tahapan ke-2 sampai dengan tahapan ke-5 sebagaimana dikemukakan di atas, dan tim melakukan sharing atas temuan-temuan yang ada.
Untuk lebih jelasnya, dengan merujuk pada pemikiran Slamet Mulyana (2007) dan konsep Plan-Do-Check-Act (PDCA), di bawah ini akan diuraikan secara ringkas tentang empat tahapan dalam penyelengggaraan Lesson Study
1. Tahapan Perencanaan (Plan)
Dalam tahap perencanaan, para guru yang tergabung dalam Lesson Study berkolaborasi untuk menyusun RPP yang mencerminkan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Perencanaan diawali dengan kegiatan menganalisis kebutuhan dan
permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran, seperti tentang: kompetensi dasar, cara membelajarkan siswa, mensiasati kekurangan fasilitas dan sarana belajar, dan sebagainya, sehingga dapat ketahui berbagai kondisi nyata yang akan digunakan untuk kepentingan pembelajaran. Selanjutnya, secara bersama-sama pula dicarikan solusi untuk memecahkan segala permasalahan ditemukan. Kesimpulan dari hasil analisis kebutuhan dan permasalahan menjadi bagian yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan RPP, sehingga RPP menjadi sebuah perencanaan yang benar-benar sangat matang, yang didalamnya sanggup mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi selama pelaksanaan pembelajaran berlangsung, baik pada tahap awal, tahap inti sampai dengan tahap akhir pembelajaran.
2. Tahapan Pelaksanaan (Do)
Pada tahapan yang kedua, terdapat dua kegiatan utama yaitu: (1) kegiatan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh salah seorang guru yang disepakati atau atas permintaan sendiri untuk mempraktikkan RPP yang telah disusun bersama, dan (2) kegiatan pengamatan atau observasi yang dilakukan oleh anggota atau komunitas Lesson Study yang lainnya (baca: guru, kepala sekolah, atau pengawas sekolah, atau undangan lainnya yang bertindak sebagai pengamat/observer)
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam tahapan pelaksanaan, diantaranya:
1. Guru melaksanakan pembelajaran sesuai dengan RPP yang telah disusun bersama.2. Siswa diupayakan dapat menjalani proses pembelajaran dalam setting yang wajar dan
natural, tidak dalam keadaan under pressure yang disebabkan adanya program Lesson Study.
3. Selama kegiatan pembelajaran berlangsung, pengamat tidak diperbolehkan mengganggu jalannya kegiatan pembelajaran dan mengganggu konsentrasi guru maupun siswa.
4. Pengamat melakukan pengamatan secara teliti terhadap interaksi siswa-siswa, siswa-bahan ajar, siswa-guru, siswa-lingkungan lainnya, dengan menggunakan instrumen pengamatan yang telah disiapkan sebelumnya dan disusun bersama-sama.
5. Pengamat harus dapat belajar dari pembelajaran yang berlangsung dan bukan untuk mengevalusi guru.
6. Pengamat dapat melakukan perekaman melalui video camera atau photo digital untuk keperluan dokumentasi dan bahan analisis lebih lanjut dan kegiatan perekaman tidak mengganggu jalannya proses pembelajaran.
7. Pengamat melakukan pencatatan tentang perilaku belajar siswa selama pembelajaran berlangsung, misalnya tentang komentar atau diskusi siswa dan diusahakan dapat mencantumkan nama siswa yang bersangkutan, terjadinya proses konstruksi pemahaman siswa melalui aktivitas belajar siswa. Catatan dibuat berdasarkan pedoman dan urutan pengalaman belajar siswa yang tercantum dalam RPP.
3. Tahapan Refleksi (Check)
Tahapan ketiga merupakan tahapan yang sangat penting karena upaya perbaikan proses pembelajaran selanjutnya akan bergantung dari ketajaman analisis para perserta berdasarkan pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Kegiatan refleksi dilakukan dalam bentuk diskusi yang diikuti seluruh peserta Lesson Study yang dipandu oleh kepala sekolah atau peserta lainnya yang ditunjuk. Diskusi dimulai dari penyampaian kesan-kesan guru yang telah mempraktikkan pembelajaran, dengan menyampaikan komentar atau kesan umum maupun kesan khusus atas proses pembelajaran yang dilakukannya, misalnya mengenai kesulitan dan permasalahan yang dirasakan dalam menjalankan RPP yang telah disusun.
Selanjutnya, semua pengamat menyampaikan tanggapan atau saran secara bijak terhadap proses pembelajaran yang telah dilaksanakan (bukan terhadap guru yang bersangkutan). Dalam menyampaikan saran-saranya, pengamat harus didukung oleh bukti-bukti yang diperoleh dari hasil pengamatan, tidak berdasarkan opininya. Berbagai pembicaraan yang berkembang dalam diskusi dapat dijadikan umpan balik bagi seluruh peserta untuk kepentingan perbaikan atau peningkatan proses pembelajaran. Oleh karena itu, sebaiknya seluruh peserta pun memiliki catatan-catatan pembicaraan yang berlangsung dalam diskusi.
4. Tahapan Tindak Lanjut (Act)
Dari hasil refleksi dapat diperoleh sejumlah pengetahuan baru atau keputusan-keputusan penting guna perbaikan dan peningkatan proses pembelajaran, baik pada tataran indiividual, maupun menajerial.
Pada tataran individual, berbagai temuan dan masukan berharga yang disampaikan pada saat diskusi dalam tahapan refleksi (check) tentunya menjadi modal bagi para guru, baik yang bertindak sebagai pengajar maupun observer untuk mengembangkan proses pembelajaran ke arah lebih baik.
Pada tataran manajerial, dengan pelibatan langsung kepala sekolah sebagai peserta Lesson Study, tentunya kepala sekolah akan memperoleh sejumlah masukan yang berharga bagi kepentingan pengembangan manajemen pendidikan di sekolahnya secara keseluruhan. Kalau selama ini kepala sekolah banyak disibukkan dengan hal-hal di luar pendidikan, dengan keterlibatannya secara langsung dalam Lesson Study, maka dia akan lebih dapat memahami apa yang sesungguhnya dialami oleh guru dan siswanya dalam proses pembelajaran, sehingga diharapkan kepala sekolah dapat semakin lebih fokus lagi untuk mewujudkan dirinya sebagai pemimpin pendidikan di sekolah.
B. BELAJAR BERBASIS PROBLEM SOLVING DAN PROBLEM POSSING
1. Penerapan Model Pembelajaran Problem Solving Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar
Menurut Funke (2001), pada awal 1900-an, pemecahan masalah dipandang
sebagai aktivitas yang bersifat mekanistis, sistematis, dan sering diasosiaskan sebagai
konsep yang abstrak. Dalam pengertian ini masalah yang diselesaikan adalah masalah
yang mempunyai jawab tunggal yang diperoleh melalui proses yang melibatkan cara
atau metode yang tunggal pula (penalaran konvegen). Sejalan dengan berkembangnya
teori belajar kognitif, pemecahan masalah dipandang sebagai aktivitas mental yang
melibatkan keterampilan kognitif kompleks. Hal ini juga sesuai dengan pendapat
Kirkley (2003) yang menyatakan bahwa pemecahan masalah melibatkan keterampilan
berpikir tingkat tinggi seperti visualiasi, asosiasi, abstraksi, penalaran, analisis,
sintesis, dan generalisasi. Terdapat beragam pengertian pemecahan masalah. Menurut
Nakin (2003), pemecahan masalah adalah proses yang melibatkan penggunaan
langkah-langkah tertentu (heuristik), yang sering disebut sebagai model atau langkah-
langkah pemecahan masalah, untuk menemukan solusi masalah itu. Heuristik
merupakan pedoman atau langkah-langkah umum sebagai pemandu penyelesaian
suatu masalah. Namun demikian, heuristik ini belum tentu menjamin keberhasilan
pemecahan masalah. Sementara itu Gagne (Kirkley, 2003) mendefinisikan pemecahan
masalah sebagai proses mensintesis berbagai konsep, aturan, atau rumus untuk
memecahkan masalah.
Dari berbagai pengertian pemecahan masalah yang dikemukakan di atas
mengindikasikan bahwa diperolehnya solusi suatu masalah menjadi syarat bagi proses
pemecahan masalah dikatakan berhasil. Hal ini berbeda dengan pendapat Brownell
(McIntosh et al, 2000) yang menyatakan bahwa suatu masalah belum dikatakan telah
diselesaikan hanya karena telah diperolehnya solusi dari masalah itu. Menurutnya,
suatu masalah baru benar-benar dikatakan telah diselesaikan apabila siswa telah
memahami apa yang ia kerjakan, yakni memahami proses pemecahan masalah dan